ANALISIS ADMINISTRASI PENERIMAAN RETRIBUSI PELAYANAN KESEHATAN DI KABUPATEN BOGOR (STUDI KASUS PADA PUSKESMAS DI KECAMATAN CIBINONG)
JATSIYANNISA UBAYA DAN ACHMAD LUTFI Ilmu Administrasi Fiskal, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia,
[email protected]
Abstrak. Penelitian ini membahas mengenai administrasi penerimaan retribusi pelayanan kesehatan pada puskesmas di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Penelitian ini melihat administrasi retribusi pelayanan kesehatan dari teori yang dikemukakan oleh Mc.Master. Penelitian ini mengangkat tiga permasalahan yaitu administrasi penerimaan retribusi pelayanan kesehatan, kendala yang dihadapi dalam proses administrasi retribusi, dan upaya yang dilakukan Pemerintah Kabupaten Bogor dalam mengatasi kendala tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan teknik pengumpulan data melalui wawancara mendalam, studi kepustakaan, dan observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa administrasi penerimaan retribusi pelayanan kesehatan pada puskesmas di Kabupaten Bogor pada beberapa aspek sudah dilakukan namun masih terdapat hambatan-hambatan. Petugas melakukan diskresi dalam penetapan biaya pelayanan kesehatan dan sanksi administrasi belum pernah diterapkan. Selain itu, masih ditemukan wajib retribusi yang tidak menerima bukti pemungutan yang sah. Kata Kunci : Administrasi penerimaan retribusi, retribusi pelayanan kesehatan, Kabupaten Bogor
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
REVENUE ADMINISTRATION OF HEALTH CHARGE IN BOGOR REGENCY (CASE STUDY IN HEALTH CENTER IN SUB-CIBINONG, BOGOR REGENCY)
Abstract. This thesis is focused on the revenue administration of health charge in Bogor regency. In this study, researcher analyzed revenue administration of health charge from theory by Mc.Master. This thesis had three issues about revenue administration of health charge in Bogor regency, problems faced during the process of health charge, and effort from the Government to solve the problems. This research used quantitative approach through in-depth interview, literature study and observation. The result showed that revenue administration of health charge in Bogor regency have not applied optimally. Discretion occurs in calculating the health charge and penalties have not applied. Moreover, user charge payers do not accept the actual receipt for the collection. Keywords: Revenue administration of user charge, health charge, Bogor regency
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
1.
Pendahuluan Peranan pemerintah daerah dalam menggali dan mengembangkan berbagai
potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintah, pembangunan dan pelayanan masyarakat di daerah. Dalam mewujudkan peran pemerintah daerah tersebut, satu hal yang harus dimiliki
oleh
daerah
adalah
kemampuan
dalam
penyediaan
pembiayaan
pembangunan yang bertumpu pada sumber pendapatan daerah yang lebih besar. Salah satu cara yang dapat ditempuh pemerintah daerah dalam memaksimalkan penerimaan yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah yaitu dengan menyempurnakan dan mengoptimalkan penerimaan dari pajak daerah dan retribusi daerah serta menerapkan jenis pajak daerah dan retribusi daerah. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menerangkan bahwa retribusi dibagi atas tiga golongan yaitu Retribusi Jasa Umum, Retribusi Jasa Usaha dan Retribusi Perizinan Tertentu. Jenis retribusi yang dipungut oleh daerah akan berkembang sesuai dengan berkembangnya jenis-jenis pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah. Semakin banyak jenis pelayanan yang diberikan maka semakin banyak pula jenis retribusi yang dipungut oleh pemerintah daerah dan semakin besar pula peluangnya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Salah satu daerah yang memiliki potensial yang cukup besar dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah nya adalah Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor dikenal sebagai kabupaten yang paling dinamis dengan tingkat kemajuan dan pertumbuhan yang sangat pesat di berbagai sektor, termasuk di sektor ekonomi dan bisnis. Pesatnya pertumbuhan dan pembangunan di Kabupaten Bogor juga dapat dilihat dari kehadiran berbagai macam perumahan-perumahan elite yang merupakan jawaban terhadap pesatnya perkembangan Kabupaten Bogor sebagai kawasan pemukiman, pendidikan, dan industri yang sangat prospektif. Kabupaten Bogor secara garis besar terdiri atas tiga wilayah dan 40 kecamatan. Kecamatan-kecamatan tersebut dibagi atas sejumlah desa dan kelurahan. Pusat pemerintahan Kabupaten Bogor terletak di Kecamatan Cibinong yang memiliki jumlah penduduk terbesar pada Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
tahun 2010 yaitu sebesar 253.293 (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Bogor). Tabel 1.2 Jumlah penduduk Kabupaten Bogor tahun 2004-2010 Tahun 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Jumlah Penduduk 3,408,810 4,100,934 4,199,741 4,237,962 4,340,520 4,477,296 4,771,932
Persentase 16,87 % 2,40 % 0,91 % 2,40 % 3,15 % 6,58 %
Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor
Tabel 1.2 menunjukan jumlah penduduk Kabupaten Bogor yang terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2004, jumlah penduduk Kabupaten Bogor sebesar 3,408,810 jiwa dan meningkat hingga 4,771,932 jiwa pada tahun 2010. Angka ini terus naik dan mengalami lonjakan pada tahun 2010 dengan presentasi sebesar 6,58%. Besarnya peningkatan jumlah penduduk yang terjadi di Kabupaten Bogor disebabkan karena adanya perpindahan penduduk maupun peningkatan secara alami. Pusat Pemerintahan Kabupaten Bogor berada di Kecamatan Cibinong. Di dalam data Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor, Kecamatan Cibinong merupakan pusat pemerintahan Daerah Kabupaten Bogor dan kecamatan yang memiliki jumlah Puskesmas terbanyak. Ada empat Puskesmas di Kecamatan Cibinong yaitu Puskesmas Cibinong, Puskesmas Cirimekar, Puskesmas Pabuaran Indah dan Puskesmas Karadenan. Atas pemungutan retribusi pelayanan kesehatan Pemda Kabupaten Bogor harus mengacu pada Undang-Undang No. 16 Tahun 2010 dan harus sesuai prosedur serta sistem yang tertera dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Dalam praktiknya proses pemungutan retribusi tidak sesuai dengan sistem dan prosedur yang tertera dalam peraturan perundang-undangan.
Besaran tarif yang dikenakan atas retribusi
merupakan variabel penting dalam pemungutan retribusi. Besarnya tarif harus disesuaikan dengan kemampuan masyarakat yang menggunakan jasa pelayanan
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
kesehatan yang diberikan. Umumnya pengguna jasa pelayanan kesehatan di Puskesmas adalah masyarakat menengah kebawah. Oleh karena itu, Pemda Kabupaten Bogor diharapkan menyesuaikan tarif yang dikenakan. 2.
Kerangka Teori Anderson mengungkapkan istilah kebijakan atau policy digunakan untuk
menunjuk perilaku seorang aktor (misalnya seorang pejabat, suatu kelompok, maupun suatu lembaga pemerintah) atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Anderson, 1969 : 4). Lester dan Stewart dalam Winarno (2004 : 101), implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak dan tujuan yang diinginkan. Menurut Rochmat Sumitro (1994 : 17) secara umum retribusi diartikan sebagai pembayaran-pembayaran kepada negara yang dilakukan oleh mereka yang menggunakan jasa-jasa negara. Retribusi pelayanan kesehatan merupakan jenis retribusi jasa umum. Menurut Kotler sebagaimana dikutip Sinambela (2006 : 2), pelayanan didefiniskan sebagai setiap kegiatan yang menguntungkan dalam suatu kumpulan atau kesatuan, dan menawarkan kepuasan meskipun hasilnya tidak terikat pada suatu produk fisik. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam hal memberikan pelayanan kesehatan, yakni : 1.
Hasil dari pelayanan harus bersifat heterogen
2.
Memiliki sifat seperti public goods, artinya semua lapisan masyarakat harus dapat menikmati pelayanan tersebut jika mereka membutuhkan atau menginginkannya. Persediaan barang atau jasa atas pelayanan yang akan diberikan juga harus bersifat hetergogen/beragam (Azwar, 1996 : 72) Administrasi pendapatan asli daerah terkait dengan implementasi kebijakan
fiskal
yang sampai
batas-batas tertentu telah didesentralisasikan melalui
diterapkannya desentralisasi fiskal. Hal ini dikemukakan oleh Mc.Master (1991 : 35):
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
“Revenue administration is concerned with the implementation of fiskal policy-with the process of identification of fiskal policy-with the process of identification/registration of taxpayers and consumer, asseement, collection, and enforcement.” Dari definisi diatas, kebijakan fiskal yang telah terdesentralisasi mencakup proses identifikasi atau registrasi dari wajib pajak daerah dan/atau retribusi daerah, perhitungan pajak daerah dan/atau retribusi daerah, pemungutan pajak daerah dan/atau retribusi daerah dan penegakan sanksi.
3.
Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan yaitu pendekatan kuantitatif. Sesuai
dengan pendapat yang dikemumakan oleh Creswell (1994 : 82) : “….in quantitative paradigm of research, in which researchers use accepted and pricase meaning, a theory commonly is understood to have certain characteristic….”. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis administrasi penerimaan retribusi pelayanan kesehatan pada Puskesmas di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor yang diikuti dengan kendala-kendala yang terjadi pada saat pengimplementasiannya. Penelitian ini memiliki tujuan untuk memberikan suatu gambaran mengenai keadaan di lapangan terkait pelaksanaan administrasi penerimaan retribusi pelayanan kesehatan pada Puskesmas di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor. Penelitian ini dikumpulkan dan dikaji dalam satu waktu tertentu yaitu dimulai dari bulan September 2012 hingga Desember 2012. Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan tiga cara antara lain : studi kepustakaan (library research), wawancara mendalam, dan observasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Hasil wawancara dengan narasumber/informan disajikan dalam bentuk verbatim kemudian data yang diperoleh disusun dan dianalisis. Penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah mengenai Administrasi Penerimaan Retribusi Pelayanan Kesehatan pada Puskesmas di Kecamatan Cibinong, Kabupaten Bogor.
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
Pembatasan penelitian ini dilakukan untuk mempersempit dan fokus pada wilayah penelitian.
4.
Hasil Penelitian Pengidentifikasian ini terkait dengan diketahuinya kriteria wajib retribusi
sehingga setiap orang pribadi atau badan serta petugas dapat mengidentifikasi secara langsung apabila memenuhi kriteria sebagai wajib retribusi. Masyarakat baik orang pribadi maupun badan ketika memperoleh pelayanan kesehatan maka secara otomatis teridentifikasi sebagai wajib retribusi dan wajib dikenakan retribusi, sedangkan bagi masyarakat yang tidak mendapat pelayanan kesehatan dari Dinas Kesehatan tidak dapat dikenakan retribusi. Masyarakat yang akan meminta pelayanan kesehatan ini akan mengisi formulir pendaftaran terlebih dahulu. Formulir pendaftaran ini selanjutnya akan ditindaklanjuti oleh pihak Dinas Kesehatan atau pun Puskesmas sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing bidang. Dinas Kesehatan bekerja sama dengan Puskesmas dalam hal pemungutan retribusi pelayanan kesehatan yang secara otomatis dibayarkan ketika membayar pelayanan kesehatan. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mc.Master disimpulkan bahwa masyarakat baik orang pribadi atau pun badan yang menerima pelayanan kesehatan dari Puskesmas dan pemungutan retribusi dilakukan oleh Puskesmas sudah secara otomatis teridentifikasi sebagai wajib retribusi kesehatan dan wajib memenuhi kewajibannya untuk membayar retribusi tepat waktu. Penerapan prosedur yang tepat akan memaksa dan mempersulit wajib retribusi untuk menyembunyikan kewajibannya untuk membayar dan membantu Puskesmas melakukan identifikasi. Prosedur identifikasi yang dilakukan oleh Puskesmas dalam mengidentifikasi wajib retribusi dilakukan dengan memberikan karcis tanda pembayaran sebagai bukti pembayaran telah dapat membuat wajib retribusi melakukan identifikasi sendiri. Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari beberapa wajib retribusi sebagai berikut : “Sekarang kan kalau kita bayar nanti langsung dikasih karcis sama petugasnya”. (Wawancara dengan Ida, tanggal 21 November 2012). Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mc.Master bahwa bahwa wajib retribusi yang datang akan mendaftarkan diri ke Puskesmas untuk meminta pelayanan dan secara otomatis akan teridentifikasi sebagai wajib retribusi dengan pemberian karcis tanda pembayaran retribusi pelayanan kesehatan telah mampu membuat wajib retribusi menyadari bahwa masyarakat adalah wajib retribusi pelayanan kesehatan dan berkewajiban membayar retribusi tepat waktu dan sesuai dengan apa yang telah diterapkan. Dalam proses identifikasi wajib retribusi Dinas Kesehatan tidak bekerja sama dengan instansi manapun dengan begitu bahwa konfirmasi wajib retribusi sebatas dengan pihak internal saja. Hal ini diungkapkan oleh Irawan Susanto selaku Kepala Seksi Pengendalian dan Evaluasi Dinas Pendapatan Kabupaten Bogor sebagai berikut: “Dinas Pendapatan Daerah dan Dinas Kesehatan hanya bertemu pada saat rekonsiliasi / penyamaan data setelah adanya realisasi penerimaan dari retribusi daerah”. (Jawaban atas email dari Irawan Susanto, tanggal 27 November 2012). Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mc.Master bahwa dalam proses identifikasi wajib retribusi sepenuhnya menjadi tugas dan tanggung jawab dari Puskesmas dan Dinas Kesehatan dengan tidak melibatkan Dispenda. Namun koordinasi antara Puskesmas dan Dinas Kesehatan dilakukan terkait dengan informasi adanya kartu jaminan kesehatan masyarakat dalam pelayanan kesehatan yang ada di Puskesmas. Hal ini tentu dapat membantu Puskesmas dalam menjaring wajib retribusi baru, sekaligus sebagai acuan untuk melakukan pembaharuan data wajib retribusi. Sebagian besar wajib retribusi mengetahui kewajibannya yaitu membayar retribusi
ketika
mendapatkan
pelayanan
kesehatan
yang
berasal
dari
Puskesmas.Setiap pelayanan kesehatan jika akan melakukan jasa tindakan maka setiap wajib retribusi diwajibkan untuk membayar biaya jasa tindakan tersebut sebagai bentuk penambahan jasa pelayanan yang diberikan oleh Puskesmas. Hal ini didukung oleh pernyataan salah satu wajib retribusi sebagai berikut : “Ya kewajibannya kalau emang kita sakit ya datang ke Puskesmas ya tentunya harus
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
bayar, itu bayarnya Rp. 5.000,- nanti langsung dilayani”. (Wawancara dengan Siti Nurhaya, 21 November 2012) Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mc.Master bahwa proses identifikasi akan terbantu jika setiap wajib retribusi dan petugas sama-sama mengetahui kewajibannya. Dapat diketahui bahwa wajib retribusi pelayanan kesehatan memiliki kewajiban untuk membayar retribusi sesuai dengan yang telah ditetapkan yakni sebesar Rp. 5.000,-. Penetapan retribusi pelayanan kesehatan dilakukan secara official assessment oleh Puskesmas. Adapun peraturan yang menjadi dasar dalam penetapan retribusi pelayanan kesehatan di Kabupaten Bogor adalah Perda No.16 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Bogor. Tingkat penggunaan jasa pelayanan diukur berdasarkan jenis pelayanan kesehatan yang dilayani. Dalam hal pelayanan kesehatan rawat jalan yang merupakan pelayanan yang banyak digunakan oleh masyarakat Kabupaten Bogor, maka tarif retribusi diukur berdasarkan jasa sarana dan jasa pelayanan yang digunakan. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mc.Master bahwa dalam proses penetapan retribusi pelayanan kesehatan di Kabupaten Bogor sudah tersedia peraturan atau standar baku, yaitu Perda No. 16 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Bogor. Ketentuan yang sudah ada secara jelas dan rinci dalam mengklasifikasikan struktur tarif retribusi per jenis pelayanan kesehatan. Standardisasi penetapan retribusi menjadi pedoman bagi pihak yang terkait dalam menentukan besarnya retribusi yang harus dipungut. Standardisasi yang digunakan harus mencakup semua kemungkinan yang dapat timbul untuk mengurangi peluang penilai untuk melakukan diskresi yang berlebihan dalam proses penetapan. Dengan adanya kejelasan pengaturan dalam penetapan retribusi pelayanan kesehatan ini, petugas tidak mempunyai kewenangan di luar itu. Namun, di lapangan retribusi pelayanan kesehatan ditetapkan pada survei awal didasarkan pada mekanisme pelayanan kesehatan dan ditetapkan secara global dengan memukul rata setiap jenis tindakan medis yang dilakukan. Hal ini mengindikasikan bahwa telah terjadi diskresi yang dilakukan oleh petugas. Diskresi
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
dapat dihindari apabila kedua belah pihak, baik petugas maupun wajib retribusi samasama mengetahui dan memahami standardisasi tarif yang berlaku Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mc.Master bahwa terindikasi terjadi diskresi terhadap penetapan biaya tambahan yaitu biaya tambahan pada jenis pelayanan dan ambulans dan jenis pelayanan yang belum diatur di dalam Perda No.16 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Bogor. Diskresi dalam penetapan biaya tambahan terjadi akibat ketidakpahaman petugas dalam melakukan perhitungannya. Dalam proses penetapan sewajarnya pemerintah daerah melakukan konfirmasi dengan sumber lain yang digunakan untuk membandingkan nilai terutang. Hal ini ditujukan agar wajib retribusi daerah sulit untuk menghindari diri dari seluruh kemampuannya untuk membayar retribusi yang sudah ditetapkan , serta mencegah tindakan sewenang-wenang petugas. Sumber informasi penetapan retribusi terutang yang pemungutannya dilakukan oleh Puskesmas adalah karcis tanda pembayaran. Hal ini karena penetapan besaran retribusi yang dikenakan oleh wajib retribusi tertuang dalam karcis tersebut sehingga wajib retribusi harus membayarkan sesuai dengan nilai yang ada di dalamnya. Berdasarkan teori yang diungkapkan oleh Mc.Master bahwa Dinas Kesehatan dalam menetapkan besaran retribusi melakukan konfirmasi dengan Puskesmas sehingga Dinas Kesehatan juga dapat melakukan pengawasan terkait dengan tugas yang dilakukan oleh Puskesmas. Pembayaran secara otomatis berkaitan dengan saat pembayaran retribusi. Perda No. 16 Tahun 2010 menyatakan bahwa retribusi daerah terutang pada saat diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. Pembayaran retribusi harus dilunasi sekaligus. Wajib retribusi harus melunasi retribusi pelayanan kesehatan yang terutang paling lambat 15 (lima belas) hari sejak diterbitkannya SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan. Seperti yang dikemukakan oleh Puji Hartati, sebagai berikut : “Jadi kalau untuk bayar retribusi di Puskesmas langsung ya harus dilunasi untuk pasien yang tunai”. (Wawancara dengan Puji Hartati, tanggal 20 November 2012)
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mc.Master bahwa pada saat pembayaran retribusi pelayanan kesehatan sudah diatur secara jelas, yaitu pembayaran retribusi harus dilunasi sekaligus dan untuk retribusi yang teurtang harus dilunasi paling lambat 15 (lima belas) hari, sehingga memberikan kepastian bagi wajib retribusi dalam melakukan pembayaran. Retribusi wajib dibayarkan ketika masyarakat datang ke Puskesmas untuk menggunakan jasa pelayanan kesehatan setelah itu petugas pemungut menerbitkan SKRD atau dokumen lain yang dipersamakan, yaitu berupa karcis tanda pembayaran retribusi pelayanan kesehatan yang diserahkan langsung oleh petugas pemungut ketika wajib retribusi membayarkan retribusi. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Nia selaku Sub.Bag.Keuangan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, sebagai berikut : “Itu berupa karcis ya. Jadi semua tarif retribusi pelayanan kesehatan semua besaran ada di perda dan sarana untuk memungutnya itu berupa karcis itu.” (Wawancara dengan Nia, tanggal 19 November 2012). Dengan diterbitkannya karcis tanda pembayaran sebagai bukti pemungutan tersebut memaksa wajib retribusi untuk membayar retribusi sejumlah yang telah ditetapkan oleh petugas. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mc.Master dengan diterbitkannya karcis tanda pembayaran retribusi pelayanan kesehatan sebagai bukti pemungutan memaksa wajib retribusi untuk membayar retribusi tepat waktu. Kelalaian wajib retribusi dalam membayar retribusi dapat diketahui melalui pengawasan. Pengawasan dilakukan terhadap Perda No. 16 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan untuk melihat apakah keadaan yang berjalan sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Untuk pengawasan retribusi pada Dinas Kesehatan maka pengawasan dapat dilihat dari koordinasi yang terjalin di dalam internal Dinas Kesehatan. Wajib retribusi yang tidak atau pun membayar retribusi melebihi jangka waktu yang telah ditetapkan maka dianggap lalai dalam memenuhi kewajibannya untuk membayar retribusi tepat waktu. Sebagaimana dikatakan oleh Tisna selaku Bendahara Penerimaan Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor, sebagai berikut : “Pengguna pelayanan kesehatan di Puskesmas itu kan berarti pasien. Berarti mereka datang sendiri untuk meminta pelayanan ke Puskesmas setelah
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
meminta pelayanan tersebut lalu mereka bayar retribusi. (Wawancara dengan Tisna, tanggal 19 November 2012). Berdasarkan kutipan wawancara di atas dapat diketahui bahwa dalam pemungutan retribusi pelayanan kesehatan, wajib retribusi langsung mendatangi Puskesmas karena rata-rata pengguna pelayanan kesehatan itu biasanya pasien yang sedang membutuhkan pengobatan. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mc.Master bahwa koordinasi yang terjalin antara Puskesmas, UPT dan Dinas Kesehatan berupa pelaporan hasil realisasi penerimaan setiap bulannya beserta data wajib retribusi dapat dengan jelas mengetahui wajib retribusi yang melakukan kelalaian. Terdapat tiga jenis sanksi yang berlaku dalam Perda tersebut, yaitu sanksi administrasi berupa denda 2% setiap bulan dari besarnya retribusi yang terutang atau kurang bayar dan ditagih dengan menerbitkan STRD, denda paling banyak 3 (tiga) kali jumlah retribusi terutang yang tidak atau kurang dibayar dan pidana berupa kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Jenis sanksi tersebut dijatuhkan bergantung pada jenis kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh wajib retribusi. Namun dalam praktiknya saksi-sanksi tersebut belum pernah diterapkan terhadap wajib retribusi yang melanggar. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Puji Hartati selaku Petugas Pemungut Retribusi Pelayanan Kesehatan Puskesmas Cibinong Kabupaten Bogor, sebagai berikut : “Kalau untuk penerapan sanksi sih disini belum pernah diterapkan ya.” (Wawancara dengan Puji Hartati, tanggal 21 November 2012). Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mc.Master bahwa sanksi retribusi pelayanan kesehatan belum pernah diterapkan dengan pertimbangan menjalin hubungan baik dengan masyarakat dan kemanusiaan. Selain itu, sanksi juga belum dapat diterapkan jika kewajiban dan hak dari wajib retribusi belum diterima sepenuhnya. Bukti pembayaran yang digunakan oleh Puskesmas untuk menyetor ke UPT ini berupa tanda bukti penerimaan bernama Bend.26 untuk bendaharawan khusus penerima. Pengawasan terhadap penerimaan retribusi dapat dilihat dari bukti penerimaan yang dipegang oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam transaksi penerimaan tersebut. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Nia selaku
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
Sub.Bag.Keuangan Dinas Kesehatan sebagai berikut : “Kalau karcis retribusi itu yang mencetak kan dari sini akan mengajukan ke Bagian Umum Dinas Kesehatan idealnya kan kalau bonggol (ujung karcis) nya yang habis itu kan setor ke dinas”. (Wawancara dengan Nia, tanggal 19 November 2012) Pengadaan benda berharga atau selanjutnya disebut karcis ini dibuat perbonggol (satuan yang terdiri beberapa lembar karcis) yang setiap lembarnya diberikan tanda khusus (porporasi) sesuai dengan model yang telah ditentukan. Selain itu porporasi tersebut umunya berbentuk nomor urut yang berbeda dan dengan adanya porporasi tersebut penggunaan karcis dapat dengan mudah terhitung dan diawasi dalam pelaksanaannya. Karcis yang telah di porporasi ini diserahkan dari Dispenda kepada Dinas Kesehatan selaku koordinator pengadaan karcis yang selanjutnya dapat diadministrasikan oleh Dinas Kesehatan, yang selanjutnya diserahkan kepada petugas pemungut di Puskesmas-puskemas. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Mc.Master bahwa prosedur penerimaan retribusi pelayanan kesehatan mulai dari penyetoran hingga pelaporan sudah dapat memastikan seluruh penerimaan retribusi masuk ke kas daerah. Pembayaran yang mudah terkait dengan tersedianya mekanisme pembayaran yang tidak menyulitkan wajib retribusi dalam memenuhi kewajibannya tepat waktu. Selain itu, petugas pemungut juga tidak mengalami kesulitan dalam memungut retribusi daerah sehingga hasil penerimaan dapat disetorkan ke kas daerah sesuai dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Pembayaran retribusi pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh wajib retribusi adalah dengan mendatangi langsung petugas pemungut retribusi yang berada pada Puskesmas. Berdasarkan teori yang diungkapkan oleh Mc.Master bahwa wajibretribusi menerima kemudahan dalam pembayaran retribusi pelayanan kesehatan. Hal ini dikarenakan adanya sistem yang langsung dipungut oleh petugas pemungut retribusi ketika wajib retribusi mendatangi Puskesmas ketika akan menggunakan jasa pelayanan kesehatan.
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
4.2
Kendala-kendala dalam Pengadministrasian Penerimaan Retribusi Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Bogor Sumber daya manusia merupakan sumber daya yang paling penting bagi
sebuah organisasi. Dengan jumlah petugas yang memadai, maka secara otomatis akan membantu proses pelaksanaan administrasi retribusi pelayanan kesehatan berjalan lebih maksimal. Hal ini terkait dengan petugas pemungut dari Puskesmas yang bertugas untuk memungut retribusi secara langsung ke wajib retribusi. Puskesmas hanya memiliki 1 (satu) petugas
pemungut retribusi pelayanan kesehatan untuk
setiap Kecamatan yang ada di Kabupaten Bogor. Keterbatasan jumlah petugas pemungut retribusi pada pelayanan kesehatan di Puskesmas Kabupaten Bogor ini merupakan kendala paling besar yang dihadapi oleh Puskesmas. Tidak sedikit petugas yang mengeluhkan adanya kekurangan sumber daya manusia dalam memungut retribusi pelayanan kesehatan ini. Rangkap kerja yang dilakukan oleh petugas menyulitkan Puskesmas dalam hal melayani masyarakat, hal ini akan memberikan pengaruh yang besar dalam kualitas dan kuantitas yang diberikan Puskesmas. Dampak lain yang ditimbulkan yaitu keterlambatan dalam penyetoran dan pelaporan jumlah penerimaan retribusi. Terbatasnya jumlah petugas dalam memungut retribusi seringkali berdampak pada telatnya pelaporan penerimaan retribusi ke Dinas Kesehatan. Seharusnya Pemerintah Daerah harus bersiap menambah jumlah petugas disertai dengan peningkatan kualitas pemungut. Pemberian pelayanan akan berjalan dengan baik apabila didukung dengan sarana, prasarana, dan sumber daya manusia yang memadai baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Pelayanan kesehatan akan berjalan optimal jika didukung dengan tersedianya fasilitas dan alat-alat kesehatan yang memadai untuk menjangkau seluruh pelayanan yang diberikan. Penampilan dan mutu pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Puskesmas belum optimal. Pengelolaan manajemen logistik, tenaga kesehatan, dan biaya operasional sangat menentukan mutu pelayanan yang diberikan. Walaupun sarana pada Puskesmas bagus tetapi fasilitas alat kesehatan tidak memadai akan mengurangi jumlah pasien yang datang sehingga menurunkan jumlah target penerimaan.
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
Kurangnya fasilitas alat kesehatan di Puskesmas secara otomatis akan menghambat jasa pelayanan yang diberikan. Pemerintah daerah harus terus menjaga agar pemberian pelayanan kesehatan secara optimal kepada wajib retribusi yang tidak terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana baik dari kuantitas maupun kualitas. .Sarana dalam melaksanakan penegakan hukum berupa sanksi baik administrasi berupa bunga, denda, maupun pidana atas kelalaian wajib retribusi yang tidak membayar atau terlambat melakukan pembayaran. Pemberian sanksi tersebut merupakan salah satu cara untuk melakukan penegakan hukum. Namun, sampai dengan saat ini baik Puskesmas maupun Dinas Kesehatan tidak menjalankan secara tegas mekanisme pemberian sanksi bunga sebesar 2% atas retribusi yang tidak atau kurang bayar sebagaimana tertuang dalam Perda No. 16 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan. Puskesmas belum pernah menerapkan sanksi tersebut dan memilih mengambil langkah persuasif dengan menanyakan langsung alasan yang mendasari wajib retribusi tidak memenuhi kewajibannya. Jika wajib retribusi tidak mau membayar juga maka terhadap wajib retribusi maka ada surat teguran yang ditandatangani langsung oleh kepala dinas. Penerapan sanksi yang tegas dalam penegakan hukum menjadi elemen penunjang untuk meningkatkan kesadaran dan kepatuhan wajib retribusi untuk memenuhi kewajibannya sehingga proses pengadministrasian retribusi pelayanan kesehatan dapat berjalan lebih optimal.
6.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, maka simpulan yang diperoleh peneliti antara
lain : administrasi penerimaan retribusi pelayanan kesehatan di Kabupaten Bogor pada beberapa aspek sudah dilakukan namun masih terdapat hambatan-hambatan. Petugas melakukan diskresi dalam penetapan biaya pemungutan retribusi pelayanan kesehatan untuk pelayanan kesehatan pada beberapa tindakan. Selain itu, masih ditemukan wajib retribusi yang tidak menerima karcis sebagai bukti penerimaan yang sah dalam pemungutan retribusi pelayanan kesehatan serta belum diterapkannya sanksi administrasi. Dan yang kedua kendala-kendala yang dihadapi dalam proses
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
administrasi retribusi pelayanan kesehatan yaitu : sumber daya manusia yang masih belum tercukupi dan masih terbatasnya jumlah petugas pemungut retribusi, sarana dan prasarana alat kesehatan yang belum memadai dan sarana dalam pelaporannya, serta belum adanya aturan yang jelas dalam penerapan sanksi. 7.
Saran Jika dilihat dari sisi pengawasannya, diharapkan pengawasan yang dilakukan
tidak hanya melakukan pemeriksaan atas penyetoran dan pelaporan retribusi nya saja, tetapi juga harus dilihat pada pelaksanaan pemungutan di lapangan dan juga pengecekan pada saat pembukuan. Pemerintah Kabupaten Bogor juga sebaiknya menambah sumber daya manusia dalam hal pemungutan retribusi pelayanan kesehatan mengingat terbatasnya jumlah petugas yang ada dilapangan. Diharapkan Pemerintah Kabupaten Bogor memfasilitasi dalam hal pelayanan kesehatan pada Puskesmas-puskesmas yang ada di Kabupaten Bogor mengingat terdapatnya pencatatan secara manual di dalam melakukan pengadministrrasian. Akan lebih baik jika Puskesmas-puskesmas di Kabupaten Bogor untuk memasukkan data base pasien sampai dengan melakukan seluruh proses pengadministrasian dengan menggunakan sistem komputerisasi serta memperbaiki administrasi penerimaan retribusi pelayanan kesehatan agar terciptanya kinerja yang efekif dan efisien.
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
Kepustakaan Anderson, James. 1969. Public Policy Making, New York : Holt, Renehart, And Winston. Approaches. Boston: Allyn and Bacon Peason Education, inc. Azwar, Azrul. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan. Jakarta: PT. Binarupa Aksara. Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor 2005 – 2010. Kabupaten Bogor. Creswell, J.W. 1994. Research Design: Qualitative an Quantitative Approaches. California: Sage Publications Inc. McMaster, James. 1991. Urban Financial Management : A Training Manual. Washington : The International Bank for Reconstruction and Development. Sinambela, Lijan Poltak. 2006. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Soemitro, Rochmat. 1994. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Bandung: Eresco. Winarno, Budi. 2004. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media Pressindo. Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Peraturan Daerah Kabupaten Bogor Nomor 16 Tahun 2010 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di Kabupaten Bogor
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013
Universitas Indonesia
Analisis Administrasi ..., Jatsiyannisa Ubaya, FISIP UI, 2013