HUBUNGAN KARAKTERISTIK PEMILIH DAN TERPAAN INFORMASI KAMPANYE POLITIK DENGAN PERILAKU MEMILIH (Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur Tahun 2006)
UNDANG SURYATNA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
HUBUNGAN KARAKTERISTIK PEMILIH DAN TERPAAN INFORMASI KAMPANYE POLITIK DENGAN PERILAKU MEMILIH (Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur Tahun 2006)
UNDANG SURYATNA
Tesis Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian
: Hubungan Karakteristik Pemilih dan Terpaan Informasi Kampanye Politik dengan Perilaku Memilih (Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur Tahun 2006)
Nama
: Undang Suryatna
NRP
: P054030141
Program Studi
: Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Menyetujui, Komisi Pembimbing
Prof.Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS.,Dipl. Ing. DEA
Dra. Hj. Farida Rohadji, MS.
Ketua
Anggota
Mengetahui
Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan
Dr. Ir. Sumardjo. MS.
Tanggal Ujian : 7 Maret 2007
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodipuro, MS
Tanggal Lulus :
SURAT PERNYATAAN
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis saya ini yang berjudul :
HUBUNGAN
KARAKTERISTIK
PEMILIH
DAN
TERPAAN
INFORMASI
KAMPANYE POLITIK DENGAN PERILAKU MEMILIH : Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur Tahun 2006
Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, dengan bimbingan dari komisi pembimbing, kecuali yang jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar sejenis pada perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan dinyatakan secara jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 7 Maret 2007
Nama : Undang Suryatna Nrp
: P054030141
ABSTRAK
UNDANG SURYATNA. Hubungan Karakteristik Pemilih dan Terpaan Informasi Kampanye Poilitik dengan Perilaku Memilih: Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur Tahun 2006. Di bawah bimbingan H. MUSA HUBEIS dan Hj. FARIDA ROHADJI. Reformasi di bidang politik membawa perubahan besar dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, di antaranya pemilihan kepala daerah (Pilkada) yang sebelumnya di pilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), sejak diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menjadi dipilih langsung oleh rakyat. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mengetahui karakteristik pemilih dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006, (2) menganalisis terpaan informasi kampanye politik pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006, (3) menganalisis tingkat keterlibatan pemilih dalam mengolah informasi kampanye politik pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006, (4) menganalisis perilaku pemilih dalam menentukan keputusan memilih pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006 dan (5) menganalisis hubungan antara karakteristik pemilih, terpaan informasi kampanye dan keterlibatan dalam mengolah pesan kampanye dengan perilaku memilih. Penelitian ini didesain sebagai penelitian survai korelasional, dilaksanakan di Kabupaten Cianjur. Populasi penelitian adalah pemilih dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006, melalui penarikan contoh purposif dengan contoh 100 orang, dianalsis dengan korelasi Rank Spearman untuk data ordinal dan Koefisien Kontingensi untuk data nominal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pemilih yang berusia 20-49 tahun, berpendidikan SLTA dan di atasnya, berpekerjaan tetap dan berpenghasilan di atas satu juta rupiah sebagian besar berhubungan dengan partai politik sebatas simpatisan dan pendukung partai politik, (2) saluran kampanye yang paling banyak menerpa pemilih adalah media luar ruang/post material, surat kabar/tabloid, siaran radio dan televisi, kampanye massa dalam bentuk arak-arakan/pawai, rapat umum, dialog/debat dan kampanye tertutup, sedangkan komunikasi interpersonal yang paling banyak dilakukan adalah dengan keluarga, tetangga/teman kerja dan tokoh masyarakat, (3) perilaku pemilih dalam menerima dan mengolah pesan/informasi kampanye menunjukkan ketertarikan terhadap figur dan dalam menyeleksi pesan kampanye sebagian besar tidak berperilaku selektif, bersikap terbuka, menilai dan membandingkan pesan semua pasangan calon, (4) perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya sebagian besar dilakukan setelah memiliki informasi dari semua pasangan calon dan alasan yang mendasari putusannya adalah figur pasangan calon daripada faktor visi dan misi pasangan calon atau partai politik pengusungnya, (5) Hubungan antara karakteristik pemilih dan terpaan informasi kampanye dengan perilaku memilih menunjukkan hubungan nyata baik secara parsial maupun serentak. Kata kunci : Karakteristik pemilih, Terpaan Media, Kampanye, Perilaku Memilih
ABSTRACT
UNDANG SURYATNA. Relatioship between Voter Characteristics and Political Campaign Information Exposure with Voting Behavior: Case study of Bupati and Wakil Bupati Cianjur Election Year 2006. Counselors: H. MUSA HUBEIS and Hj. FARIDA ROHADJI. Reformation in political field brought a great change in Indonesian democratic life. For example, election of a head of local government (Pilkada), that was previously elected by local legistative institution (DPRD), has been elected directly by people since the application of the new local government laws (UU No. 32 Tahun 2004). This rsearch is aimed to (1) know voter characteristics in Bupati and Wakil Bupati Cianjur elections year 2006, (2) analyze political campaign information exposure in Bupati and Wakil Bupati Cianjur election year 2006, (3) analyze level of voter’s involvement in managing political campaign information in Bupati and Wakil Bupati Cianjur election year 2006, (4) analyze voter behavior in making decision to choose the candidate couples of Bupati and Wakil Bupati Cianjur year 2006, and (5) analyze relationship between voter characteristics, campaigne information exposure, and voter involvement in managing campaign messages and the voter behavior. This research has been designed in a correlational survey research and conducted at Kabupaten Cianjur. Research population was the voter of Pilkada Kabupaten Cianjur Year 2006. Sampling method has conducted with a purposive sampling. As many as 100 people were determined as the research samples. The collected data were analyzed with Rank Spearman correlation for ordinal data or Contingency Coefficient for nominal data. Results of the research showed that: (1) most voters of 20-49 year old, high school or higher, fixed job, and earned over one million rupiah related with political party as far as sympatism and supporter of political party, (2) campaign channels the most exposure to the voters were post materials, newspaper, television and radio broadcasts, mass campaign in pageant forms, public meeting, dialogue, debate, and limited campaign, while the most conducted intepersonal communication were with families, neighbors, collegiates, and opinion leaders, (3) voter behavior in receiving and managing campaign information showed interest to figure and most voters acted unselectively in selecting campaign messages but tended to act transparently, evaluated and compared the messages from all of the candidate couples, (4) most voter behavior in determining their political choices decided after they were having some information from all candidate couples and some reason supported their decisions were the figure of the candidate couples or their political party promoter, and (5) relationship between voter characteristics and campaign information exposure with voting behavior is significantly related either partially or simultanously. Keywords: voter characteristics, media exposure, campaign, voter behavior.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 28 September Tahun 1959 di Ciamis (Jawa Barat) dari Ayah (alm) H. Anwar dan Ibu Hj. Admirah, sebagai anak keempat dari delapan bersaudara. Jenjang pendidikan penulis dimulai dari SDN 8 Ciamis lulus tahun 1973, SMPN 2 Ciamis lulus tahun 1976 dan pada tahun 1980 lulus dari SMAN 1 Ciamis. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan di Universitas Padjadajaran Bandung pada Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fakultasi ilmu Sosial dan Ilmu Politik dan lulus pada tahun 1987. Penulis tercatat sebagai mahasiswa Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor
(IPB)
tahun
2003
Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.
pada
program
studi
Komunikasi
PRAKATA
Puji syukur Alhamdulillah atas rakhmat dan karunianya hingga penulis dapat menyelesaikan laporan tesis ini sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh Gelar Magister Sains dalam bidang Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Institut Pertanian Bogor. Selama penyusunan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. H. Musa Hubeis, MS.,Dipl. Ing. DEA dan Dra. Hj. Farida Rohadji, MS selaku pembimbing yang telah dengan sabar dan ikhlas memberi arahan, saran dan masukan sejak persiapan penelitian hingga tersusunnya tesis ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan, Dr. Ir. Sumardjo, MS. serta Dr. Ir. H. Amiruddin Saleh, MS, selaku dosen penguji luar komisi dan seluruh staff pengajar yang telah banyak membekali ilmu bagi penulis. Penulis sangat berterima kasih kepada teman-teman di KPU Kabupaten Cianjur, khususnya Drs. Adhi Susilo yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk meneliti dan memfasilitasi dalam mengumpulkan data-data yang dibutuhkan untuk penelitian ini serta memberikan kesempatan untuk mengikuti bebagai momen kegiatan Pilkada di Kabupaten Cianjur. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ir. Dede Kardaya, M.Si. sahabat yang selalu memberi motivasi
dan
arahan
pada
saat
penulis
kehilangan
semangat
untuk
menyelesaikan tesis ini, Dikdik dan Wiwi mahasiswa FISIP-Unida yang turut membantu penulis dalam menyebarkan kuesioner dan mewawancarai responden penelitian. Anggota dan sekretariat KPU Kota Bogor serta teman-teman di Sekolah Pascasarjana KMP 2003, terima kasih atas dukungan dan motivasinya selama menjalani perkuliahan. Penghargaan yang khusus disampaikan kepada istri tercinta Dra. Sri Kartini dan anak-anak tersayang, Gilang, Ghifari dan Gisca yang telah dengan sabar dan ikhlas kehilangan waktunya untuk bercengkrama. Semoga segala kebaikan yang telah diberikan mendapat imbalan yang setimpal dari Allah SWT.
Bogor, 7 Maret 2007 Penulis
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL……………………………………………………………………………..
iv
DAFTAR GAMBAR………………………………………………………………………….
vii
DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………………………………..
viii
PENDAHULUAN……………………………………………………………………………..
1
Latar Belakang…………………………………………………………………………...
1
Perumusan Masalah…………………………………………………………………….
5
Tujuan Penelitian………………………………………………………………………...
7
Kegunaan Penelitian…………………………………………………………………….
7
TINJAUAN PUSTAKA……………………………………………………………………….
8
Komunikasi……………………………………………………………………………….
8
Kampanye………………………………………………………………………………..
9
Jenis-jenis Kampanye…………………………………………………………….…
11
Sifat Persuasif Kampanye Politik…………………………………………………..
12
Karakteristik Produk Politik…………………………………………………………
13
Kredibilitas Sumber Kampanye…………………………………………………….
16
Pesan Kampanye……………………………………………………………………
17
Saluran dalam Kampanye Politik………………………………………………….
21
Terpaan Kampanye Politik………………………………………………………….
23
Perilaku Mengolah Pesan Kampanye…………………………………………….
26
Efek Kampanye Politik………………………………………………………………
29
Perilaku Pemilih…………………………………………………………………………
33
Studi Perilaku Pemilih di Indonesia……………………………………………………
40
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
47
Kerangka Pemikiran…………………………………………………………………….
47
Hipotesis………………………………………………………………………………….
53
Definisi Operasional…………………………………………………………………….
53
METODE PENELITIAN……………………………………………………………………..
57
Desain Penelitian………………………………………………………………………..
57
Lokasi dan Waktu Penelitian…………………………………………………………..
57
Populasi dan Sampel…………………………………………………………………
57
ii Data dan Instrumentasi…………………………………………………………………
58
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian………………………………………
59
Analisa Data dan Pengujian Hipotesis………………………………………………..
60
HASIL DAN PEMBAHASAN………………………………………………………………..
62
Gambaran Umum Lokasi Penelitian…………………………………………………..
62
Keadaan Geografis dan Sosial Budaya…………………………………………..
62
Sosial Politik………………………………………………………………………….
66
Pilkada kabupaten Cianjur………………………………………………………….
67
Biografi Pasangan Calon………………………………………………………..
69
Kampanye………………………………………………………………………..
69
Pemilih Terdaftar…………………………………………………………………
73
Perolehan Suara Pasangan Calon…………………………………………….
74
Distribusi Peubah Penelitian……………………………………………………………
78
Distribusi Peubah Karakteristik Demografi dan Sosial-Psikologis Pemilih…….
78
Distribusi Peubah Terpaan Informasi Kampanye…………………………………
83
Terpaan Media Surat Kabar/Tabloid…………………………………………..
84
Terpaan Media Radio……………………………………………………………
86
Terpaan Media Televisi..………………………………………………………..
89
Terpaan Media Luar Ruang/Post Material……………………………………
91
Kampanye Tatap Muka…………………………………………………………
94
Komunikasi Interpersonal………………………………………………………
98
Distribusi Peubah Perilaku Mengolah Pesan Kampanye……………………….
100
Orientasi Pesan/Informasi Kampanye…………………………………………
101
Perilaku dalam Menyeleksi Pesan Kampanye……………………………….
103
Perilaku dalam Merespons Pesan Kampanye……………………………….
105
Distribusi Peubah Perilaku Memilih………………………………………………..
107
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Karakteristik Pemilih…………………….
110
Hubungan Peubah Karakteristik Demografi dengan Orientasi Politik Pemilih..
110
Hubungan Karakteristik Pemilih dengan Terpaan Informasi Kampanye………
112
Hubungan Karakteristik Pemilih dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye
116
Hubungan Karakteristik Pemilih dengan Perilaku Memilih………………………
122
Faktor-Faktor yang berhubungan dengan Terpaan Informasi Kampanye…………
127
Hubungan Terpaan Informasi Kampanye dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye……………………………………………………………………………..
129
Hubungan Terpaan Informasi Kampanye dengan Perilaku Memilih……………
131
iii Hubungan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye dengan Perilaku Memilih………
136
KESIMPULAN DAN SARAN………………………………………………………………
138
Kesimpulan………………………………………………………………………………
138
Saran………………………………………………………………………………………
143
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………………
145
LAMPIRAN…………………………………………………………………………………..
154
iv DAFTAR TABEL
Nomor
Halaman
1
Contoh makna politis dan orientasi pilihan politik yang muncul dari stimulus politik …………………………………………………………………
15
2
Hubungan karakteristik sosial dengan partisipasi dalam voting………….
34
3
Pertimbangan dalam memilih kepala daerah……………………………….
44
4
Banyaknya desa/kelurahan, RW dan RT setiap kecamatan berdasarkan wilayah pembangunan tahun 2004…………………………………………..
63
Jumlah penduduk Kabupaten Cianjur menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2004……………………………………………………………
64
Jumlah penduduk 10 tahun ke atas menurut status pendidikan dan jenis kelamin Tahun 2004…………………………………………………………..
64
Jumlah penduduk 10 tahun ke atas menurut lapangan usaha dan jenis kelamin Tahun 2004…………………………………………………………..
65
Perolehan suara parpol dan kursi anggota DPRD Kabupaten Cianjur pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2004……………………………...
67
Nama pasangan calon, nama parpol, jumlah gabungan perolehan suara dan gabungan kursi parpol pengusung pasangan calon dalam Pilkada Kabupaten Cianjur tahun 2006…………………………………………….…
68
10
Biografi calon peserta Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006………….
69
11
Wilayah kampanye pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2006 dari tanggal 13 s/d 26 Januari 2006……………………….....
70
Jadual kampanye pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2006 dari tanggal 13 s/d 26 Januari 2006………………………..…
71
Rekapitulasi jumlah pemilih tetap dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh KPUD Kabupaten Cianjur…………………..…
74
Perolehan suara pasangan calon dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006…………………………………………………………………..…
75
Perbandingan perolehan suara pasangan calon dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006 dengan kumulatif perolehan suara partai politik pengusung pasangan calon dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004……………………………………………………………………..
76
Distribusi Peubah karakteristik demografi dan sosial-psikologis pemilih…………………………………………………………………………..
79
5
6
7
8
9
12
13
14
15
16
v Nomor 17
18
Halaman
Distribusi peubah terpaan informasi kampanye melalui surat Kabar/Tabloid…………………………………………………………………..
85
Distribusi peubah terpaan informasi kampanye melalui radio……………………………………………………………………………..
88
19
Distribusi peubah terpaan informasi kampanye melalui televisi………………..................................................................................
20
Distribusi peubah terpaan informasi kampanye melalui media luar ruang/post material………………………………………………………….…
92
Distribusi peubah terpaan informasi kampanye melalui bentuk Kampanye tatap muka………………………………………………………..
95
Distribusi peubah terpaan informasi kampanye melalui bentuk komunikasi interpersonal……………………………………………………..
99
23
Distribusi peubah orientasi pesan/informasi kampanye…………………..
102
24
Distribusi peubah perilaku dalam menseleksi pesan kampanye…………
104
25
Distribusi peubah perilaku dalam merespon pesan kampanye…..…………………………………………………………………..
106
26
Distribusi peubah perilaku memilih…………………………………………..
108
27
Koefisien korelasi antara karakteristik demografi dengan orientasi politik pemilih…………………………………………………………………………..
110
Hasil uji perbedaan mengenai afiliasi parpol, orientasi parpol dan motivasi pemilih berdasarkan jenis kelamin………………………………...
111
Koefisien korelasi antara karakteristik pemilih dengan terpaan informasi kampanye……………………………………………………………………….
112
Hasil uji perbedaan mengenai terpaan informasi kampanye berdasarkan jenis kelamin…………………………………………………….
116
Koefisien korelasi antara karakteristik pemilih dengan perilaku mengolah pesan kampanye…………………………………………………..
117
Hasil uji perbedaan mengenai perilaku mengolah pesan kampanye berdasarkan jenis kelamin…………………………………………………….
121
33
Koefisien korelasi antara karakteristik pemilih dengan perilaku memilih..
122
34
Hasil uji perbedaan mengenai perilaku memilih berdasarkan jenis kelamin………………………………………………………………………….
126
Koefisien korelasi antara terpaan informasi kampanye dengan perilaku mengolah pesan kampanye…………………………………………………
128
21
22
28
29
30
31
32
35
90
vi Nomor 36
37
Halaman
Koefisien korelasi antara terpaan informasi kampanye dengan perilaku memilih………………………………………………………………………….
132
Koefisien korelasi antara perilaku mengolah pesan kampanye dengan perilaku memilih………………………………………………………………..
136
vii DAFTAR GAMBAR
Nomor
Halaman
1. Model komunikasi elaborasi…………………………………………..………..…...28 2. Model sosiologis keputusan memilih……………………………………..………..35 3. Model sosial-psikologis keputusan memilih………..……………………..…….…37 4. Kerangka berpikir keterkaitan hubungan karakteristik pemilih dan terpaan informasi kampanye politik dengan perilaku memilih ……………………..….…52
viii DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Halaman
1
Peta Kabupaten Cianjur............………………………………………………........155
2
Kuesioner penelitian…………………………………………………………….…...156
3
Visi dan misi pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006.....162
4
Rekapitulasi jumlah pemilih tetap Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh KPUD Kabupaten Cianjur……………………………….…..163
5
Pelaksanaan kampanye Pilkada Cianjur 2006……………………………….…...164
6
Surat pemberitahuan survai/riset……………………………………………....…...174
PENDAHULUAN
Latar Belakang Reformasi
politik
yang
sudah
berlangsung
sejak
berakhirnya
pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998, telah melahirkan perubahan besar dalam kehidupan demokrasi politik di Indonesia. Perubahan yang sangat berarti bagi perkembangan demokrasi di Indonesia adalah dengan diamandemennya konstitusi dan sejumlah perundangundangan dalam bidang politik. Undang-Undang Dasar 1945 yang sejak tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 sudah empat kali diamandemen membawa perubahan besar dalam sistem pemilihan pejabat-pejabat publik (politik) di Indonesia, terutama dalam pengisian jabatan anggota legislatif, presiden dan wakil presiden yang dipilih langsung oleh rakyat. Selanjutnya dengan diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menggantikan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, telah mengubah ketentuan yang mengatur pergantian kepala daerah. Kepala daerah yang sebelumnya dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) diubah menjadi dipilih secara langsung oleh rakyat. Ketentuan ini tertuang dalam pasal 56 ayat 1 undang-undang tersebut, “Kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”. Dengan demikian Gubernur, Bupati dan Wali Kota yang masa jabatannya berakhir pada tahun 2005 dan setelahnya akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan langsung. Perkembangan tersebut menjadikan studi perilaku pemilih mendapat tempat dan peranan yang penting dalam merekam opini publik dalam menentukan pilihan politiknya. Sebelumnya, pada era Orde Baru studi-studi tentang perilaku pemilih dalam pemilu kurang mendapatkan ruang sama sekali, dan kalaupun ada kurang bisa memberikan arti yang otentik dalam merekam opini atau keinginan pemilih secara bebas (Ridwan, 2004). Pemilu saat ini berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, saat ini massa pemilih mempunyai kesempatan secara langsung dan penuh dalam memilih calon-calon pejabat publik (Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota) yang dikehendakinya. Hasil survai Lembaga Survai Indonesia (LSI) pada pemilu legislatif menunjukkan bahwa terdapat beberapa alasan pemilih dalam menjatuhkan
2
pilihan politiknya, baik alasan-alasan sosiologis (seperti aliran politik, pengaruh keluarga, teman dan lain-lain), psikologis (seperti kebiasaan memilih, ketokohan dan lain-lain), maupun rasional (seperti berdasarkan visi, misi dan program parpol). Hasil survai LSI yang dilakukan menjelang Pemilu Presiden 5 Juli 2004, alasan “kepribadian” yang paling disukai mayoritas pemilih (33%) sedangkan alasan lainnya, seperti kemampuan mengatasi masalah ekonomi, korupsi, keamanan dan alasan agama, masing-masing di bawah 18% (Ridwan, 2004). Sejalan dengan itu hasil survei yang dilakukan oleh Center for Study of Developmnet and Democracy (Cesda) dan Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), menunjukkan bahwa “sebagian besar masyarakat cenderung tidak lagi mempersoalkan latar belakang sosial dan asal partai seseorang sebagai bahan pertimbangan utama untuk memilih” (Harmain, 2004). Kecenderungan pemilih berdasarkan hasil survai tersebut menunjukkan bahwa khalayak komunikasi politik pada umumnya memiliki selektivitas terhadap isi pesan. Selektivitas itu salah satunya dipengaruhi oleh budaya komunikasi. Menurut Antropolog Edward T. Hall bangsa Indonesia termasuk dalam rumpun high contect culture dalam berkomunikasi. Dalam budaya ini, konteks atau pesan non-verbal diberi makna yang sangat tinggi. Masyarakat budaya konteks tinggi kurang menghargai ucapan atau bahasa verbal. Bahkan acapkali mengharapkan orang lain mengerti apa yang diinginkannya, dengan tanpa harus mengucapkan inti permasalahan yang dimaksud (Subiakto, 2004). Budaya dan perilaku komunikasi tersebut dapat mempengaruhi sikap dan perilaku pemilih dalam merespons isu dan calon yang bersaing dalam suatu pemilihan kepala daerah. Kampanye politik (political campaign) dalam suatu pemilihan kepala daerah merupakan sarana yang legal untuk “memasarkan” dan “menjual” program, isu maupun figur pasangan calon kepala daerah sebagai upaya meraih dukungan sebanyak-banyaknya dari khalayak pemilih. Kampanye politik umumnya dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu dengan menggunakan berbagai bentuk saluran komunikasi. Saluran komunikasi yang paling banyak digunakan dalam kampanye politik adalah media massa. Media ini dipandang memiliki kekuatan menerpa khalayak dalam jangkauan yang luas dan dalam waktu
bersamaan.
Kesempatan
seorang
calon
pejabat
publik
untuk
memenangkan pemilihan umum bergantung pada penggunaan media massa dalam kampanye politik yang dilakukannya (Venus, 2004).
3
Pengalaman pemilihan umum sebelumnya, pemilu legislatif dan pemilu presiden, menunjukkan adanya kecenderungan melemahnya pengaruh dari partai politik dan semakin luasnya otonomi pemilih dalam mengungkapkan preferensi pilihan politiknya. Oleh karena itu dalam pemilihan kepala daerah langsung seorang calon pejabat publik tidak lagi dapat menggantungkan sepenuhnya pada konstituen partai politik yang mengusungnya tetapi harus mampu mengubah, mempertahankan atau memperkuat keyakinan pemilih atas dirinya agar dapat meraih dukungan sebanyak-banyaknya. Kampanye politik akan menjadi salah satu kegiatan yang penting dilakukan oleh masing-masing kandidat sebagai sarana untuk membangun citra (image) dan meyakinkan (beliefs) pemilih atas visi, misi, program kandidat dan kompetensi serta legitimasinya. Kampanye merupakan periode yang sangat strategis untuk menyusun dan memanfaatkan berbagai bentuk saluran komunikasi dalam menyampaikan pesan kepada pemilih. Kredibilitas calon akan menjadi taruhan dalam memenangkan pemilu. Calon yang dipersepsi memiliki kredibilitas dan daya tarik yang kuat berpeluang meraih dukungan pemilih, walaupun mungkin untuk sebagian pemilih lebih mengutamakan kesetiaan kepada partai politiknya. Pemahaman terhadap sikap dan perilaku pemilih dalam merespons isuisu politik yang berkembang dan orientasinya terhadap calon kepala daerah akan memberikan gambaran sejauhmana tingkat kesadaran politik dan partisipasi masyarakat dalam mewujudkan kehidupan yang demokratis untuk mencapai citacita dan tujuan pembangunan bangsa dan negara Indonesia. Dengan demikian studi tentang kampanye politik dan perilaku memilih masyarakat dalam pemilihan kepala daerah penting dilakukan untuk mengetahui sejauhmana sikap kritis masyarakat terhadap terpaan informasi kampanye politik serta bagaimana masyarakat mengambil keputusan dalam menentukan pilihan politiknya. Keputusan masyarakat dalam menentukan pilihan politiknya akan menentukan masa depan masyarakat dan daerahnya, paling tidak untuk selama lima tahun mendatang sejalan dengan periode masa jabatan kepala daerah yang dipilihnya. Sikap selektif masyarakat dalam memilih kepala daerah akan menjadi barometer perkembangan demokrasi di Indonesia dan masa depan arah pembangunan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kabupaten Cianjur sebagai salah satu kabupaten/kota di Indonesia yang untuk pertama kalinya melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung
4
pada tanggal 30 Januari 2006. Kabupaten Cianjur memiliki wilayah yang sangat luas lebih kurang 370 hektar, terbagi dalam 30 kecamatan, 342 desa dan 6 kelurahan. Kabupaten Cianjur memiliki jumlah penduduk yang 2.058.234 jiwa (BPS, 2005).
mencapai
Dalam konteks Pilkada 2006, jumlah penduduk
yang memiliki hak pilih mencapai 1.404.777 orang, dengan jumlah pemilih lakilaki 715.866 orang (51%) dan pemilih perempuan 688.911 orang (49%), yang disebar di 3.413 buah Tempat Pemungutan Suara (TPS). Kondisi masyarakat Kabupaten Cianjur yang relatif homogen dan memiliki karakteristik rural-urban. Di Pusat Ibu Kota Pemerintahan Kabupaten Cianjur menunjukkan suasana lingkungan perkotaan yang dilalui oleh jalur lintasan transportasi antara Bandung – Jakarta, serta obyek wisata Cipanas-Puncak. Sementara sebagian besar lainnya menunjukkan suasana lingkungan pedesaan dengan sumber kehidupan masyarakatnya dari pertanian. Penduduk Kabupaten Cianjur memiliki tingkat aksesibilitas informasi yang tidak merata. Penduduk yang berada di dekat Ibu Kota Pemerintahan Kabupaten Cianjur cenderung mempunyai aksesibilitas informasi yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan penduduk yang ada di pinggiran, karena perbedaan jangkauan komunikasi dan keterbatasan media dalam menyebarluaskan informasi sampai pelosok-pelosok daerah. Keterbatasan jangkauan komunikasi serta perbedaan tingkat aksesibiltas informasi antara pemilih yang ada di dekat pusat pemerintahan dengan yang berada di daerah pinggiran diduga akan menimbulkan perbedaan dalam pola perilaku pemilih antara pemilih yang banyak diterpa informasi dengan pemilih yang kurang mendapat terpaan informasi pada pelaksanaan pilkada di Kabupaten Cianjur. Pengetahuan dan pemahaman tentang pola perilaku pemilih tersebut
akan
dapat
menunjukkan
sejauhmana
tingkat
efektivitas
penyelenggaraan kampanye pemilihan kepala daerah secara langsung dalam membangun kesadaran politik dan partisipasi masyarakat dalam menciptakan tata kehidupan politik yang lebih demokratis dalam menuju terwujudnya suatu pemerintahan yang baik (good governance) yang didukung dan dipercaya masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka studi ini difokuskan untuk mengkaji sejauhmana “Hubungan Karakteristik Pemilih dan Terpaan Informasi Kampanye Politik dengan Perilaku Memilih (Kasus Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur Tahun 2006)”
5
Perumusan Masalah Pemilihan kepala daerah langsung sebagai konsekuensi diberlakukannya UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, untuk pertama kalinya dilaksanakan pada bulan Juni 2005 di seluruh Indonesia.
Pemilihan kepala
daerah secara langsung menempatkan rakyat sebagai pengambil keputusan dalam menentukan siapa yang akan menduduki jabatan kepala daerah
dan
wakilnya. Dengan demikian perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya akan menentukan kualitas pejabat kepala daerah yang terpilih dan masa depan masyarakatnya. Sistem pemilihan kepala daerah langsung yang bentuk pemberian suaranya (balloting) dilakukan dengan cara memilih salah satu foto pasangan calon yang terdapat dalam surat suara, akan menempatkan pentingnya informasi visual calon selain informasi tentang siapa dan bagaimana kepribadian, kemampuan serta kredibilitas masing-masing pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah (Pilkada). Pengetahuan pemilih tentang figur dan citra calon akan menjadi faktor yang menentukan keputusan pemilih dalam menetapkan pilihannya. Salah satu sarana untuk memperkenalkan calon, mengembangkan citra calon dan membimbing pemilih dalam memilih pasangan calon adalah kampanye politik. Kampanye politik merupakan suatu kegiatan yang diagendakan dan diatur secara resmi dalam suatu rangkaian kegiatan pemilihan guna meyakinkan para pemilih, melalui penawaran visi, misi dan program pasangan calon, agar mendapatkan dukungan sebanyak-banyaknya dari pemilih. Oleh karena itu kampanye merupakan bentuk komunikasi persuasif yang dilakukan dengan menggunakan berbagai bentuk dan saluran
komunikasi yang dibenarkan
menurut peraturan yang berlaku. Media massa, khususnya media cetak, mempunyai peranan penting dalam memberikan informasi kampanye baik dalam bentuk liputan maupun iklan kampanye. Aktor-aktor politik senantiasa berusaha menarik perhatian media agar aktivitas politiknya memperoleh liputan dari media. Selain itu peristiwa politik dalam bentuk tingkah laku dan pernyataan para aktor politik lazimnya selalu mempunyai nilai berita, apalagi jika peristiwa itu bersifat luar biasa. Liputan politik memiliki dimensi pembentukan opini publik, baik yang diharapkan oleh para politisi maupun oleh pengelola media itu sendiri.
6
Dalam melakukan kerangka opini publik media massa umumnya melakukan tiga kegiatan sekaligus, yaitu menggunakan simbol-simbol politik (language of politic), strategi pengemasan pesan (framing strategies) dan melakukan fungsi agenda media (agenda setting function). Dalam melakukan kegiatan tersebut sebuah media dapat dipengaruhi oleh kepentingan politik pengelola media maupun kepentingan dari suatu kekuatan politik tertentu. Isu-isu dan pesan-pesan politik yang diterpakan oleh masing-masing pasangan calon peserta Pilkada pada masa kampanye merupakan sumber informasi bagi pemilih yang dapat menimbulkan efek memperteguh atau mengubah pilihan politiknya. Pada umumnya pesan-pesan kampanye politik dipersepsikan oleh pemilih sesuai dengan latar belakang dan pengalaman sosialnya. Dalam beberapa kasus pemilih mengambil keputusan politiknya karena terikat oleh kedekatannya pada suatu partai politik. Sedangkan pada kasus lainnya pemilih dapat menentukan pilihannya secara bebas (independent). Fenomena ini menunjukkan adanya kecenderungan-kecenderungan yang berbeda di antara pemilih karena perbedaan karakteristik pemilih. Kampanye sepertinya akan lebih efektif apabila diterpakan kepada pemilih yang belum menentukan pilihannya. Sedangkan bagi pemilih yang sudah menentukan pilihannya sejak awal pada umumnya akan dapat memantapkan, menggoyahkan atau bahkan mengubah pilihannya. Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan di atas maka penelitian ini lebih memusatkan perhatiannya pada persoalan sebagai berikut : 1. Bagaimana karakteristik pemilih dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006 ? 2. Bagaimana terpaan informasi kampanye politik dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006 ? 3. Bagaimana keterlibatan pemilih dalam mengolah pesan-pesan kampanye politik pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006 ? 4. Bagaimana perilaku pemilih dalam menentukan keputusan memilih pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006 ? 5. Bagaimana hubungan antara karakteristik pemilih, terpaan informasi kampanye, perilaku dalam mengolah pesan kampanye dengan memilih ?
perilaku
7
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang hendak dicapai dari penyusunan tesis ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui karakteristik pemilih dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006. 2. Untuk menganalisis terpaan informasi kampanye politik pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006. 3. Untuk menganalisis tingkat keterlibatan pemilih dalam mengolah informasi kampanye politik pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006. 4. Untuk menganalisis perilaku pemilih dalam menentukan keputusan memilih pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Cianjur tahun 2006. 5. Untuk menganalisis hubungan antara karakteristik pemilih, terpaan informasi kampanye dan keterlibatan pemilih dalam mengolah pesan kampanye dengan perilaku memilih.
Kegunaan Penelitian 1. Hasil penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberikan
kontribusi
dalam
memperkaya khasanah kajian tentang komunikasi politik dalam pemilihan kepala daerah secara langsung dengan kekhususan pada karakteristik pemilih, media kampanye, perilaku komunikasi dan perilaku memilih. 2. Bagi praktisi politik hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan mengenai tingkat efektivitas berbagai bentuk kampanye politik yang digunakan untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. 3. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan masukan untuk memperbaiki dan menyempurnakan strategi kampanye politik pasangan calon peserta pemilihan kepala daerah. 4. Bagi penyelenggara pemilu dan pemerintah hasil penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam memformulasikan program sosialisasi dan pendidikan politik masyarakat untuk membentuk pemilih yang kritis dan rasional.
TINJAUAN PUSTAKA Komunikasi Komunikasi
adalah
aktivitas
menerima pesan dari orang lain.
manusia
dalam
menyampaikan
dan
Miller mendefinisikan komunikasi sebagai
situasi-situasi yang memungkinkan suatu sumber menyebarluaskan suatu pesan kepada seseorang penerima dengan disadari untuk mempengaruhi perilaku penerima (Mulyana, 2003).
Sedangkan Hybels dan Weafer (dalam Liliweri,
2003) menyatakan bahwa komunikasi merupakan setiap proses pertukaran informasi,
gagasan dan perasaan. Proses itu meliputi informasi yang
disampaikan tidak hanya secara lisan dan tulisan, tetapi juga dengan bahasa tubuh, gaya maupun penampilan diri atau menggunakan alat bantu di sekeliling kita untuk memperkaya sebuah pesan. Lasswell (dalam Effendy, 1997) mengemukakan bahwa komunikasi adalah menjawab pertanyaan sebagai berikut, who (siapa), says what (berkata apa), in which channel (melalui saluran apa), to whom (kepada siapa) dan with what effect (dengan efek apa) ? Berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu. Proses komunikasi dapat dibagi menjadi dua kategori, yakni komunikasi antar persona dan komunikasi massa. Karakteristik komunikasi antar persona sebagai suatu proses adalah komunikator dan komunikannya tatap muka (face to face communication) dan di antaranya saling berbagi ide, informasi dan berbagi sikap. Sedangkan komunikasi massa, adalah bentuk komunikasi yang menggunakan saluran (media) dalam menghubungkan komunikator dan komunikan secara massal, berjumlah banyak, bertempat tinggal yang jauh (terpencar), sangat heterogen dan menimbulkan efek tertentu (Ardianto dan Erdinaya, 2004). Bentuk komunikasi lain yang tidak dapat dikategorikan sebagai komunikasi
antar
persona,
tetapi
memiliki
sifat
antar
persona
karena
komunikannya sering kali hanya satu orang dan dikenal oleh komunikatornya. Bentuk komunikasi ini tidak dapat dikategorikan ke dalam komunikasi massa, meskipun memiliki situasi pada komunikasi massa. Bentuk komunikasi ini disebut komunikasi medio (seperti telepon, teleks, faksimili, closed-circuit television dan sejenisnya). Kata medio berasal dari bahasa Latin yang berarti tengah-tengah, yang mempunyai karakteristik berada di antara komunikasi antar persona dan komunikasi massa. Kategori komunikasi medio dalam dunia periklanan adalah
9
media luar ruang (poster, spanduk, transit/panel bis) dan media lini bawah (pameran, direct mail, kalender, display). Unesco dalam rekomendasi globalnya yang diberi judul Many Voice One World (Aneka Suara Satu Dunia), mengemukakan bahwa komunikasi secara keseluruhan tidak dapat dimengerti apabila tidak dihubungkan dengan dimensi politik; masalah-masalahnya tidak dapat disesuaikan apabila tidak diperhatikan hubungan-hubungan politiknya. Politik dalam arti luas berhubungan dengan komunikasi (McBride, 1983). Praktek politik tidak dapat dipisahkan dari aktivitasaktivitas komunikasi dalam berbagai bentuk dan saluran komunikasi. Komunikasi dalam dimensi politik, sebagaimana dikemukakan oleh Habermas, adalah proses perebutan pengaruh yang paling demokratis. Komunikasi menjadi sarana yang paling adil - bahkan paling manusiawi - untuk saling mempertukarkan pengaruh dan memperebutkan kekuasaan. Cara-cara ini telah digunakan ketika Ilmu Retorika dikenal di Yunani Kuno hingga kampanye pemilihan
umum yang diselenggarakan oleh setiap negara demokratis
(Dwijowijoto, 2004). Lasswell (1936), sejalan dengan paradigma komunikasi yang dibuatnya, mengatakan bahwa politik adalah berhubungan dengan pertanyaan, who (siapa), get what (mendapat apa), when (kapan) dan how (bagaimana) ?. Oleh karena itu politik merupakan pembuatan keputusan yang penting tentang siapa mendapat apa ?, yaitu proses yang berhubungan dengan distribusi nilai-nilai dalam masyarakat. Pada saat yang sama, politik dapat diartikan dengan siapa mengatakan apa?, yaitu proses mengkomunikasikan simbol-simbol kepada masyarakat
(Dye and Zeigler, 1986). Komunikasi politik adalah penting bagi
suatu masyarakat massa. Apa yang dikatakan para pemimpin, adalah sama sepentingnya dengan apa yang dilakukan para pemimpin.
Kampanye Kampanye adalah suatu kegiatan komunikasi yang dilakukan secara terlembaga. Penyelenggara kampanye umumnya bukanlah individu melainkan lembaga atau organisasi. Lembaga tersebut dapat berasal dari lingkungan pemerintahan, kalangan swasta atau lembaga swadaya masyarakat. Terlepas siapa pun penyelenggaranya, kampanye selalu memiliki tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan tersebut sangat beragam dan berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya.
10
Rogers dan Storey (dalam Venus, 2004) mendefinisikan kampanye sebagai “serangkaian tindakan komunikasi yang terencana dengan tujuan menciptakan efek tertentu pada sejumlah besar khalayak yang dilakukan secara berkelanjutan pada kurun waktu tertentu”. Sejalan dengan definisi ini, Snyder (dalam Venus, 2004).
mengemukakan bahwa “kampanye komunikasi adalah
tindakan komunikasi yang terorganisir yang diarahkan pada khalayak tertentu, pada periode waktu tertentu guna mencapai tujuan tertentu”. Demikian juga Rajasundaram (dalam Venus, 2004) menyatakan bahwa “kampanye dapat diartikan sebagai pemanfaatan berbagai metode komunikasi yang berbeda secara terkoordinasi dalam periode waktu tertentu yang ditujukan untuk mengarahkan khalayak pada masalah tertentu berikut pemecahannya”. Dari pengertian kampanye tersebut di atas dapat dikemukakan bahwa kampanye merupakan kegiatan komunikasi yang mempunyai ciri-ciri khusus sebagaimana dikemukakan oleh Venus (2004), bahwa setiap aktivitas kampanye komunikasi setidaknya harus mengandung empat hal yakni (1) tindakan kampanye yang ditujukan untuk
menciptakan efek atau dampak tertentu (2)
jumlah khalayak sasaran yang besar (3) biasanya dipusatkan dalam kurun waktu tertentu dan (4) melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi. Kampanye selalu memiliki tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan tersebut sangat beragam dan berbeda antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Untuk mencapai tujuan dengan menggunakan kampanye pada dasarnya adalah merupakan usaha untuk menggugah kesadaran dan pendapat masyarakat pada isu tertentu. Melalui cara tersebut kemudian dapat diperoleh dukungan yang bisa digunakan untuk menekan pengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang diperlukan. Meskipun demikian segala tindakan dalam kegiatan kampanye itu sendiri dilandasi oleh prinsip persuasi yakni mengajak dan mendorong publik untuk menerima atau melakukan sesuatu yang dianjurkan atas dasar kesukarelaan. Apapun ragam dan tujuannya, upaya perubahan yang dilakukan kampanye menurut Pfau and Parrot (1993) selalu terkait dengan aspek pengetahuan (knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (behavioral). Sementara Ostergaard (dalam Venus, 2004) menyebut ketiga aspek tersebut dengan istilah “3A” sebagai kependekan dari awareness, attitude and action. Ketiga aspek ini bersifat saling terkait dan merupakan sasaran pengaruh (target of influences) yang harus dicapai secara bertahap agar satu kondisi perubahan dapat tercapai.
11
Kegiatan kampanye pada akhirnya ditujukan untuk mengubah perilaku khalayak secara konkrit dan terukur, serta menghendaki adanya tindakan tertentu yang dilakukan oleh sasaran kampanye. Tindakan tersebut dapat bersifat “sekali itu saja” atau berkelanjutan (terus menerus).
Jenis-Jenis Kampanye Jenis-jenis
kampanye
berhubungan
dengan
motivasi
yang
melatarbelakangi diselenggarakannya sebuah program kampanye. Motivasi tersebut pada gilirannya akan menentukan ke arah mana kampanye akan digerakkan dan apa tujuan yang akan dicapai. Jadi secara inheren ada keterkaitan antara motivasi dan tujuan kampanye. Mengacu pada keterkaitan tersebut, Larson (1992) membagi kampanye ke dalam tiga kategori yakni; product-oriented campaigns, candidate oriented campaigns dan ideologically or cause oriented campaigns. Product-oriented campaigns, atau kampanye yang berorientasi pada produk umumnya terjadi di lingkungan bisnis. Istilah lain yang sering dipertukarkan dengan kampanye jenis ini adalah commercial campaign atau corporate campaign. Motivasi yang mendasarinya adalah keuntungan finansial. Cara
yang
ditempuh
adalah
dengan
memperkenalkan
produk
dan
melipatgandakan penjualan sehingga diperoleh keuntungan yang diharapkan. Kampanye Public Relations yang ditujukan untuk membangun citra positif perusahaan di mata publik juga dapat dimasukkan ke dalam kelompok ini. Candidate oriented campaigns, atau kampanye yang berorientasi pada kandidat umumnya dimotivasi oleh hasrat untuk meraih kekuasaan politik. Karena itu jenis kampanye ini dapat juga disebut sebagai political campaign (kampanye politik). Tujuannya antara lain adalah untuk memenangkan dukungan masyarakat terhadap kandidat-kandidat yang diajukan partai politik agar dapat menduduki jabatan politik yang diperebutkan lewat proses pemilihan umum. Kampanye Pemilu, kampanye penggalangan dana bagi partai politik, kampanye kuota perempuan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan contoh-contoh jenis ini. Ideologically or cause oriented campaigns, adalah jenis kampanye yang berorientasi pada tujuan-tujuan yang bersifat khusus dan seringkali berdimensi perubahan sosial. Karena itu kampanye jenis ini dalam istilah Kotler and Anderson (1987) disebut sebagai social change campaigns, yakni kampanye
12
yang ditujukan untuk menangani masalah-masalah sosial melalui perubahan sikap dan perilaku publik yang terkait. Jenis kampanye yang tidak termasuk dalam kategori kampanye politik atau kampanye produk dapat dimasukan ke dalam kampanye perubahan sosial (Venus, 2004). Berkenaan dengan kampanye politik yang dalam kategori Larson (1992) termasuk dalam kategori candidate oriented campaigns, Steinberg (1981) mendefiniskannya sebagai suatu usaha yang terkelola, terorganisir untuk mengikhtiarkan orang dicalonkan, dipilih atau dipilih kembali dalam suatu jabatan resmi. Selanjutnya ia menambahkan bahwa dalam kampanye politik untuk jabatan resmi, si calon dipertontonkan. Ia juga mengangkat seorang manajer yang menangani secara keseluruhan segala usaha umum yang nampak jelas itu, untuk
meraih
kekuasaan.
Sementara
Smith
dan
Zurchrer
(1966)
mendefinisikannya sebagai suatu kontes persaingan calon untuk suatu jabatan tertentu dan dari organisasi politik mereka masing-masing untuk memenangkan dukungan pemilih dalam pemungutan suara. Metode yang digunakan hanya dibatasi oleh aturan (hukum) dan kecerdikan. Sumber daya keuangannya diperoleh dari para kontestan dan pendukung mereka dan lebih mempercayai untuk memanfaatkan platform, pidato di radio dan televisi, serta daya tarik barang cetakan untuk mendukung pengiriman melalui surat, distribusi poster, plakat, lencana dan barang sejenisnya, parade serta bentuk lainnya dan kunjungan pribadi dari pintu ke pintu.
Sifat Persuasif Kampanye Politik Persuasi secara inheren terkandung dalam kampanye. Dengan demikian setiap tindakan kampanye adalah persuasi. Ellul mengemukakan bahwa jangka waktu yang terbatas untuk kampanye politik hampir tidak cukup untuk upaya propaganda yang penuh. “Tidak mengherankan bahwa propaganda seperti itu hanya sedikit pengaruhnya”, tulisnya, “sebab tidak ada teknik besar propaganda yang dapat efektif” dalam kampanye yang terbatas (Nimmo, 2000). Dalam setiap pemilihan terdapat unsur-unsur propaganda (komunikasi organisasi melalui partai politik), tetapi sifat dasar kampanye politik kontemporer terletak pada upaya untuk mempersuasi melalui periklanan massa (komunikasi massa) dan retorik (komunikasi interpersonal), bukan pada propaganda. Dalam kontes (persaingan) antar partai ada tiga tujuan kampanye. Pertama, ada upaya untuk membangkitkan kesetiaan alami para pengikut suatu
13
partai dan agar mereka memilih sesuai kesetiaan itu; kedua, ada kegiatan untuk menjajagi warga negara yang tidak terikat pada partai dan menurut istilah Burke (dalam Venus, 2004), untuk menciptakan pengidentifikasian di antara golongan independen; ketiga, ada kampanye yang ditujukan pada oposisi, bukan dirancang untuk mengalihkan kepercayaan dan nilai anggota partai, melainkan untuk meyakinkan rakyat bahwa keadaan akan lebih baik jika dalam kampanye ini mereka memilih kandidat dari partai lain. Oleh karena itu sifat persuasif dalam kampanye politik menjadi sangat penting untuk meraih simpati dan dukungan sebanyak-banyaknya dari pemilih. Persuasi itu sendiri sebagaimana didefinisikan oleh Pace et al. (1979) adalah merupakan “tindakan komunikasi yang bertujuan untuk membuat komunikan mengadopsi pandangan komunikator mengenai sesuatu hal atau melakukan suatu tindakan tertentu”. Sedangkan Johnston (1994) memberikan definisi yang lebih spesifik dengan menyatakan bahwa “persuasi adalah proses transaksional di antara dua orang atau lebih di mana terjadi upaya merekonstruksi realitas melalui pertukaran makna simbolis yang kemudian menghasilkan perubahan kepercayaan, sikap dan atau perilaku secara sukarela”. Dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa persuasi pada prinsipnya adalah setiap tindakan komunikasi yang ditujukan untuk mengubah atau memperteguh sikap kepercayaan dan perilaku khalayak secara sukarela sehingga sejalan dengan apa yang diharapkan komunikator. Pada kenyataannya setiap kegiatan persuasi selalu ditandai oleh empat hal, yakni; melibatkan sekurang-kurangnya dua pihak, adanya tindakan mempengaruhi secara sengaja, terjadinya pertukaran pesan persuasif dan adanya kesukarelaan dalam menerima atau menolak gagasan yang ditawarkan. Istilah persuasi sendiri sangat “cair” dan mudah berubah. Bila upaya mempengaruhi itu mengandung unsur-unsur penyimpangan kebenaran isi pesan secara sengaja dan sistematis, maka hal itu disebut manipulasi. Bila pelaku lebih bersifat memaksa daripada mempengaruhi secara sukarela maka istilah yang digunakan adalah koersi.
Karakteristik Produk Politik Baines et al. (dalam Nursal, 2004) mengemukakan, karakteristik produk politik memiliki kedekatan – untuk tidak mengatakan sama – dengan produk jasa. Karakteristik tersebut meliputi intangibility (tak dapat diraba), inseparibility (tidak
14
dapat dipisah-pisahkan), variability (sangat beragam), perishability (tak tahan lama) dan pemilikannya tidak dapat diklaim oleh satu pihak. Presentasi politik mengandung ketidakpastian karena janji-janji politik yang disampaikan tidak selamanya dapat dipegang karena penuh ketidakpastian (intangibility). Terhadap jani-janji tersebut juga memungkinkan terjadinya multi interpretasi. Calon yang terpilih belum tentu menjamin akan dapat memenuhi janji-janjinya karena kompleksnya proses politik. Proses produksi, komunikasi dan konsumsi produk politik terjadi pada saat yang bersamaan (inseparability). Orang mengkonsumsi produk politik untuk memperoleh keyakinan atas pesan-pesan politik tertentu. Keyakinan itu diperoleh melalui makna politis yang tertanam dalam benak pemilih sebagai interpretasi terhadap stimulus produk politik. Pesan-pesan politik yang dikonsumsi pada dasarnya meliputi substansi dan konteks politik yang tidak dapat dipisahkan. Keragaman produk politik yang bersumber dari beragamnya aspirasi dan karakter para pemilih (variablitiy). Dengan keragaman tersebut, maka seorang kontestan tidak bisa membuat standar baku mengenai pesan utama dan gaya produk yang disampaikan, Dalam proses memproduksi stimulus tertentu, seringkali melibatkan massa pemilih, seperti menggelar rapat akbar. Pelibatan massa ini mempersulit kontestan untuk membuat standar baku mengenai event tertentu. Karena sifatnya yang intangibel dan perishable, maka tidak seorang pun dapat mengklaim kepemilikan produk politik tertentu. Seseorang dapat mengkalim isu anti korupsi sebagai pesan kampanye politik, tetapi tidak dapat mengkalim bahwa hak cipta anti korupsi adalah miliknya. Berdasarkan analisis cara-tujuan (means-end), yang lazim dugunakan dalam studi perilaku konsumen (Peter dan Olson dalam Nursal, 2004), produk politik dapat dilihat sebagai sekumpulan atribut, serangkaian manfaat dan sekumpulan nilai (value). Atribut dapat dipilah lagi menjadi atribut konkrit dan abstrak. Contoh atribut konkrit yang dimiliki seorang kandidat adalah jenis kelamin, usia, tingkat pendidikan dan sebagainya. Contoh atribut abstrak antara lain paras dan kharisma. Atribut tersebut akan menghasilkan manfaat yang merupakan bentuk dari konsekuensi yang diinginkan oleh para pemilih.
15
Tabel 1.
Contoh makna politis dan orientasi perilaku pilihan politik yang muncul dari stimulus politik
Makna Politis Konservatif Orang bisnis Orang muda Orang kaya Independen Pencinta lingkungan hidup Wong cilik Tokoh Islam Intelektual Pro mahasiswa Moderat Tokoh lama kita Pilihan sejak dulu Partai kita sejak dulu Orang kita Enteng Patriotik Bertanggungjawab Percaya diri Optimistik Memuaskan Penuh harapan Ruwet Dapat dipercaya Cerdas (strong minded) Berintegrasi tinggi Orang yang menyadari tujuan Enerjik Stabil Bergairah Pandai mengemukakan pikirannya (artikulasi) Pemerintah yang tegas dan kuat Kebijakan jangka panjang yang jelas dan konsisten Meningkatkan kewibawaan bangsa Menegakkan hukum Membawa ide-ide baru dan segar ke dalam pemerintahan Mampu menolak usulan Parlemen yang tidak efisien Mengembangkan militer Menghemat energi Mengurangi inflasi Mempertahankan negara kesatuan Anti korupsi Ekonomi pro rakyat Anti gerakan sparatis Prihatin lonjakan harga-harga, pengangguran dan daya beli Anti KKN Sedih kekalahan referendum Timtim Mengecam kekalahan atas peradilan Sipadan-Ligitan Peduli pada ledakan bom di beberapa tempat Dikejar-kejar Orde Baru Ikut berjuang meruntuhkan Orde Baru Terlibat dalam gerakan reformasi Pernah ditangkap musuh waktu perang Figur populer Wajah dan harapan baru di tengah kebobrokan Calon di luar mainstream
Orientasi Perilaku Pilihan
Social Imagery
Identifikasi Partai
Emotional feelings kandidat
Personalita kandidat
Isu dan kebijakan politik
Peristiwa mutakhir
Peristiwa personal
Faktor-faktor epistemik
Sumber : Nursal, 2004. Manfaat tersebut juga dapat dipilah-pilah lagi menjadi manfaat fungsional dan manfaat psikososial. Contoh manfaat fungsional adalah kompetensi teknis, kemampuan memimpin dan kapabilitas. Sedangkan contoh manfaat psikososial
16
adalah simpati, jujur dan sebagainya (Nursal, 2004). Dalam dunia politik, pengertian atribut sebagaimana diuraikan di atas seringkali rancu dengan manfaat. Sulit untuk membedakan pemimpin kharismatis sebagai atribut abstrak dengan pemimpin yang jujur, bergaya halus, pintar berkomunikasi dan dapat diterima sebagai manfaat fungsional. Produk politik juga merupakan alat untuk menstimuli makna (meaning provider). Produk politik merupakan alat untuk meyakinkan para pemilih melalui pemaknaan terhadap produk politik. Serangkaian makna yang tertanam di dalam benak pemilih pada akhirnya menentukan orientasi perilaku. Makna politis yang paling efektif untuk meyakinkan pemilih pada dasarnya merupakan jawaban atas “pertanyaan”, mengapa seseorang menyukai calon tertentu (Nursal, 2004). Menurut Nimmo (2000), dalam proses pemaknaan orang akan mengamati tiga obyek, yakni obyek fisik, obyek sosial dan obyek abstrak. Obyek fisik meliputi berbagai
atribut partai, seperti bendera, logo, uniform, kantor,
posko, medium komunikasi dan sebagainya. Obyek sosial adalah manusia, baik sebagai individual maupun massa. Sedangkan obyek abstrak meliputi gagasan, ajaran, keinginan, ideologi, visi-misi, platform dan sebagainya. Contoh-contoh makna politis yang disajikan dalam Tabel 1 adalah contoh makna politis yang positif dan merupakan faktor yang mendorong pemilih untuk memilih calon tertentu. Sedangkan makna politis yang negatif terjadi karena adanya kampanye negatif (negative campaign) atau kampanye hitam (black campaign), sebaliknya dapat menimbulkan penolakan pemilih atas calon tertentu.
Kredibilitas Sumber Kampanye Sebagai sumber informasi, seseorang harus peduli dengan kredibilitas dirinya sendiri, di mana kredibilitas ini berkaitan dengan persepsi khalayak tentang keefektifan seseorang sebagai pembicara. Demikian halnya dengan pelaku kampanye harus memperhitungkan kredibiltas dirinya di mata khalayak bila ingin pesan-pesan yang disampaikannya didengarkan (received) dan diterima khalayak (accepted). Kredibilitas itu tidak secara inheren ada dalam diri komunikator. Sementara dengan analogi yang pas Pearson dan Nelson (dalam Venus, 2004) menyebut kredibilitas itu mirip dengan kecantikan, yaitu ada pada mata orang yang memandangnya. Penelitian yang dilakukan Hovland, Janis dan Kelley (dalam Venus, 2004) menemukan tiga aspek yang mempengaruhi kredibilitas
17
sumber yakni (a) keterpercayaan (trustworthiness), (b) keahlian (expertise) dan (c) daya tarik (attractiveness). Keterpercayaan berkaitan dengan penilaian khalayak bahwa sumber informasi dianggap tulus, jujur, bijak dan adil, obyektif, memiliki integritas pribadi, serta memiliki tanggungjawab sosial yang tinggi. Khalayak akan menilai apakah pelaku kampanye dapat dipercaya atau apakah secara moral mereka dapat diandalkan. Penilaian yang dilakukan umumnya berpatokan pada perilaku sumber pada masa lalu dan dugaan khalayak tentang perilakunya pada saat sekarang. Dengan kata lain, track record seseorang akan menjadi acuan apakah yang bersangkutan dianggap memiliki keterpercayaan atau tidak. Faktor keahlian berhubungan dengan penilaian di mana sumber dianggap berpengetahuan, cerdas, berpengalaman, memiliki kewenangan tertentu dan menguasai skill yang bisa diandalkan. Untuk dikatakan ahli orang perlu memiliki semua kualitas di atas, karena satu atau dua sifat saja umumnya dianggap sudah mencukupi. Dalam konteks kampanye, keahlian pelaku kampanye di mata khalayak dapat merentang dari kategori ahli hingga tidak ahli. Jika khalayak mempersepsi komunikator sebagai orang yang ahli, maka mereka cenderung bersedia mendengarkan, mempelajari dan menerima isi pesan yang disampaikan. Sebaliknya bila komunikator dipandang tidak memiliki keahlian maka khalayak akan mengabaikan pesan tersebut. Daya tarik sumber termasuk peubah yang paling banyak dimanfaatkan oleh kalangan praktisi periklanan, kampanye politik dan public relations dalam mengefektifkan pesan-pesan yang mereka sampaikan. Secara umum konsep ini meliputi penampilan fisik dan identifikasi psikologis sebagai daya tarik kepada seseorang yang didasarkan pada kesamaan nilai atau karakteristik kepribadian lainnya. Pada konteks ini daya tarik berbeda dengan kharisma. Seseorang mungkin saja mempunyai kharisma, tetapi tetap ditemukan bahwa nilai-nilai orang tersebut sangat berbeda dan tidak menarik hati anda untuk melakukan identifikasi.
Pesan Kampanye Kampanye selalu dimulai dari gagasan. Ide dasar berbagai jenis kampanye yang dilakukan partai politik adalah menciptakan pesan-pesan kampanye yang menarik sehingga khalayak mau memilih partai atau calon tersebut. Jadi inti dari kampanye tidak lain adalah pesan.
18
Kampanye pada dasarnya adalah penyampaian pesan-pesan dari pengirim (sumber) kepada khalayak. Pesan-pesan tersebut dapat disampaikan dalam berbagai bentuk mulai dari poster, spanduk, baliho (billboard), pidato, diskusi, iklan hingga selebaran. Apapun bentuknya pesan-pesan selalu menggunakan simbol, baik verbal maupun non-verbal. Melalui simbol-simbol, pesan-pesan kampanye dirancang secara sistematis agar dapat memunculkan respons tertentu dalam pikiran khalayak. Agar respons itu muncul maka prasyarat yang harus dipenuhi adalah adanya kesamaan pengertian tentang simbol-simbol yang digunakan di antara pelaku dan penerima. Jadi menciptakan kesamaan makna (commoness) di antara pelaku kampanye dan penerima pesan merupakan landasan bagi tercapainya tujuan kampanye. Setidaknya ada dua aspek penting yang harus diperhatikan dalam mengemas pesan, yakni isi pesan dan struktur pesan (Venus, 2004). Ada beberapa hal yang terkait dengan isi pesan, mulai dari materi pendukungnya, visualisasi pesan, isi negatif pesan, pendekatan emosional, pendekatan rasa takut, kreativitas dan humor, serta pendekatan kelompok rujukan.
Banyak
penelitian menemukan bahwa material pendukung, seperti ilustrasi dan kejadian bersejarah dalam sebuah pesan sangat mempengaruhi perubahan sikap orang yang menerima pesan tersebut. Menurut Koballa (dalam Venus, 2004) sikap yang terbentuk berdasarkan contoh-contoh dan peristiwa bersejarah yang telah terjadi di masa lalu lebih menetap dalam diri seseorang dalam waktu yang lama, dibandingkan dengan sikap yang terbentuk dengan data-data. Isi pesan kampanye pada umumnya menyertakan visualisasi mengenai dampak positif atas respons tertentu yang diharapkan muncul dari khalayak sasaran. Makin nyata visualisasi pesan makin mudah khalayak mengevaluasi pesan tersebut dan makin cepat mereka menentukan sikap untuk menerima atau menolak isi pesan. Selain itu isi pesan juga harus dilihat dari pendekatan emosional, rasa takut, kreativitas dan humor, serta pendekatan kelompok rujukan. Melalui pendekatan emosional orang akan lebih menerima pesan berdasarkan dimensi afektif yang dimilikinya. Jika seseorang merasa terancam dengan isi pesan maka ia cenderung tidak akan merespons pesan tersebut. Oleh karena itu himbauan rasa takut yang berlebihan akan mengakibatkan pesan tidak efektif, karena khalayak berupaya menghindari atau menolak pesan tersebut. Jadi pesan kampanye yang baik adalah yang dapat menyesuaikan isi pesan dengan perasaan khalayaknya.
19
Dalam kegiatan kampanye, misalnya kampanye politik, tidak selamanya orang membeberkan program-program kampanyenya dengan serius, karena hal itu justru akan sangat membosankan dan menimbulkan kejenuhan khalayak. Lebih dari itu mereka mungkin akan bingung dan kesulitan karena terlalu banyak data dan informasi yang harus dicerna. Dalam kondisi seperti ini boleh jadi perhatian mereka akan menurun dan akibatnya pesan-pesan kampanye tidak diterima oleh khalayak. Oleh karena itu kreativitas pelaku kampanye dalam mengemas
pesan
dan
cara
menyampaikan
pesan
kampanye
harus
memperhitungkan kondisi situasional khalayak agar pesan lebih mudah diterima. Apalagi kalau dibumbui hal-hal yang jenaka yang sifatnya menghibur agar kondisi khalayak menjadi rileks dalam menerima pesan-pesan kampanye. Aspek lain dalam meningkatkan efektivitas isi pesan adalah pendekatan kelompok rujukan khalayaknya. Kelompok rujukan adalah sekumpulan orang yang memberikan inspirasi tertentu kepada orang lain dan mereka menjadi panutan atau model untuk dicontoh. Pesan kampanye akan lebih efektif apabila memperlihatkan orang-orang yang menjadi rujukan orang lainnya sebagai orang yang mengadopsi isi pesan kampanye. Seseorang akan lebih mudah menerima isi pesan jika orang lain yang menjadi rujukannya juga menerima pesan tersebut. Aspek struktur pesan merujuk pada bagaimana unsur-unsur pesan diorganisasikan. Nursal (2004) mengemukakan, secara umum ada tiga aspek yang terkait langsung dengan pengorganisasian pesan kampanye, yakni sisi pesan (message sidedness), susunan pesan (order of presentation) dan pernyataan kesimpulan (drawing conclusion). Sisi pesan memperlihatkan bagaimana argumentasi yang mendasari suatu pesan persuasif disajikan kepada khalayak. Bila pelaku kampanye (secara sepihak) hanya menyajikan pesan-pesan yang mendukung posisinya, maka ia menggunakan pesan satu sisi (one sided fashion). Dalam hal seperti ini kelemahan posisi pelaku kampanye atau kekuatan posisi pihak lawan tidak pernah dinyatakan secara eksplisit. Bila pelaku kampanye juga menyajikan sebagian dari kelemahan posisinya atau sebagian kelebihan dari posisi pihak lain, maka ia menggunakan pola pesan dua sisi (two sided message). Meskipun dua sisi pesan disajikan, namun tentu saja harus dilakukan secara proporsional supaya tidak merugikan posisi pelaku kampanye. Penggunaan argumen dua sisi dapat memperkuat kredibilitas pelaku kampanye. Khalayak akan menganggap pesan dua sisi lebih jujur dan dapat
20
dipercaya. Argumentasi dua sisi menjadi lebih efektif apabila berhadapan dengan khalayak (1) berpendidikan tinggi atau cerdas; (2) menyadari adanya dua sisi yang berseberangan dari suatu isu; dan (3) khalayak belum sepakat dengan posisi juru kampanye. Sementara argumentasi satu sisi akan lebih efektif apabila berhadapan dengan khalayak; (1) khalayak sudah dalam posisi mendukung posisi juru kampanye; (2) khalayak mudah bingung atau sulit memahami isu yang ada; dan (3) khalayak tidak menyadari adanya argumentasi yang berseberangan. Pengaturan lainnya adalah mengenai penempatan argumentasi dalam pesan (order of presentation) . Apakah argumentasi tersebut akan ditempatkan di awal, di tengah atau di akhir dari suatu pesan kampanye. Penempatan ini erat kaitannya dengan cara penyusunan pesan yang meliputi susunan klimaks, antiklimaks dan susunan piramidal. Pemilihan atas susunan yang akan diterapkan akan tergantung pada tingkat ketertarikan khalayak (audience’s level of interest). Dalam pengaturan klimaks argumentasi terbaiknya ditempatkan di bagian akhir pesan kampanye, susunan ini akan baik digunakan ketika tingkat perhatian khalayak tinggi. Sebaliknya untuk antiklimaks argumentasi terbaiknya ditempatkan di bagian awal pesan kampanye, yaitu ketika tingkat perhatian khalayak rendah. Sedangkan pada susunan piramidal argumentasi terbaiknya ditempatkan di bagian tengah pembicaraan, yaitu ketika tingkat perhatian khalayak dalam keadaan moderat. Pertimbangan berdasarkan minat khalayak dengan susunan penyajian argumentasi pokok (key argument) didukung oleh temuan penelitian persuasi yang menyimpulkan adanya primacy effect dan recency effect (Venus, 2004). Primacy effect adalah penempatan argumentasi kunci di awal pembicaraan yang diyakini lebih efektif dalam mempengaruhi perubahan pendapat dan sikap khalayak. Sementara recency effect menempatkan argumentasi terpenting di bagian akhir pembicaraan yang juga dianggap memiliki daya persuasif. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa khalayak pada umumnya lebih mampu mengingat bagian awal dan akhir dari suatu penyajian pesan. Aspek penting struktur pesan lainnya berkaitan dengan pernyataan apakah pelaku kampanye perlu menyajikan kesimpulan pesan (drawing conclusion) secara eksplisit atau membiarkan khalayak menyimpulkan pesan sendiri. Menyajikan kesimpulan secara implisit, menurut Stiff (dalam Venus, 2004) harus memperhitungkan karakteristik khalayak yang meliputi tingkat
21
pendidikan, kepribadian dan tingkat keterlibatan khalayak dalam kegiatan kampanye yang dilakukan.
Saluran dalam Kampanye Politik Penggunaan saluran kampanye untuk jabatan politik dapat dikelompokan ke dalam kampanye massa, kampanye Interpersonal dan kampanye organisasi (Nimmo, 2000). Kampanye massa adalah kegiatan kampanye yang dilakukan melalui saluran komunikasi massa. Imbauan kepada massa dilakukan melalui hubungan tatap muka ataupun melalui jenis media berperantara, yaitu media elektronik, media cetak atau poster. Rapat umum politik adalah salah satu bentuk kampanye massa yang memberikan peluang utama kepada kandidat untuk melakukan komunikasi tatap muka di depan khalayak massa. Namun, sebagian besar orang banyak yang datang untuk melihat dan mendengarkan seorang kandidat dalam rapat umum massa sudah mempunyai kecenderungan kepadanya. Tujuan kandidat dalam hal ini bukan untuk membelokan oposisi, melainkan memperkuat golongan yang setia dan mempublikasikan gaya pribadi (Nimmo, 2000). Dalam rapat umum politik yang dilaksanakan oleh kandidat atau juru kampanye sebagian besar dari peserta yang hadir biasanya adalah para pendukungnya, atau yang hanya sekedar untuk mencari hiburan, misalnya selingan pertunjukan musik. Oleh karena itu banyaknya peserta yang hadir dalam suatu rapat umum politik tidak selalu menunjukan banyaknya suara yang akan diperoleh oleh kandidat tersebut. Beberapa jenis media elektronik yang umum dipakai sebagai saluran kampanye massa di antaranya adalah: (1) Kampanye radio yaitu kampanye audio yang dapat dilakukan dalam bentuk iklan politik, jingle, pidato, wawancara, talk show, debat, berita dan sebagainya; (2) Kampanye televisi, adalah kampanye
yang
menggunakan
audio-visual,
biayanya
mahal,
sehingga
penekanannya ialah pada pembuatan citra untuk memproyeksikan atribut-atribut terpilih dari kandidat. Dalam komunikasi televisi durasinya harus betul-betul diatur sedemikian rupa sehingga tidak membosankan; (3) Kampanye melalui pesawat telepon, telepon sebagai alat komunikasi lisan mempunyai beberapa kegunaan bagi kampanye kontemporer, telepon dapat mencapai sejumlah besar pemilih
dalam
waktu
yang
singkat,
hubungan
telepon
juga
dapat
memperkenalkan kandidat kepada pemilih; (4) inovasi, perkembangan teknologi elektronik telah mendorong para juru kampanye politik untuk menerapkannya
22
untuk tujuan persuasif, contoh pemasangan iklan kampanye di internet, penyebaran Short Message Service (SMS) dan sebagainya (Nimmo, 2000; Nursal, 2004; Venus, 2004). Kampanye menggunakan media cetak masih merupakan alat utama kandidat politik untuk berkomunikasi dengan khalayak massa. Ada dua tipe media cetak yang sangat penting, yaitu surat langsung dan surat kabar; (1) kampanye surat langsung ditujukan pada pengumpulan dana, pembinaan dan pengenalan nama dan citra kandidat dan imbauan untuk mengumpulkan suara; (2) kampanye surat kabar, ada tiga isi surat kabar yang bertindak sebagai sarana komunikasi kampanye, yaitu berita, editorial dan iklan. Semuanya itu membantu pembinaan citra dan penyajian masalah. Kepada pembaca surat kabar menyajikan cerita yang membina kesan tentang pentingnya kredibilitas, watak, gaya dan reputasi kandidat melalui sarana, seperti penempatan cerita, judul, isi dan banyaknya liputan yang ditujukan kepada setiap pencari jabatan (Nimmo, 2000). Seperti pada kampanye yang dilakukan melalui media massa, melakukan kampanye pada tingkat interpersonal dilakukan baik melalui komunikasi tatap muka maupun komunikasi berperantara. Hubungan tatap muka terdiri atas tiga jenis; yang pertama, ialah penampilan pribadi yang dilakukan oleh kandidat (atau isterinya, kerabat dekat dan juru bicara utama) dalam setting yang relatif informal. Kedua, adalah kampanye melalui kebaikan pemuka pendapat, para kandidat membina itikad baik tokoh-tokoh lokal, negara bagian/daerah dan nasional. Ketiga, ada orang-orang yang sukarela melakukan anjangsana selama kampanye dengan mengunjungi setiap rumah di setiap seksi untuk kepentingan kandidat (Nimmo, 2000). Selanjutnya Nimmo (2000) mengemukakan bahwa kampanye melalui jaringan komunikasi organisasi menggabungkan sifat-sifat massa dan saluran interpersonal. Saluran komunikasi organisasi yang umumnya digunakan, pertama adalah organisasi kandidat, yaitu kelompok “manajemen” (organisasi kampanye) yang terdiri dari para politikus berpengalaman (baik pejabat pemerintah maupun pemimpin partai), juru kampanye profesional (termasuk segala jenis personel dari manajer kampanye dan konsultan sampai spesialis dalam polling opini publik, merencanakan pesan iklan, mengumpulkan dana, membuat iklan televisi, menulis pidato dan melatih kandidat dalam penampilan di depan umum) dan sukarelawan dari kalangan warga negara (sejumlah orang
23
yang bersedia melakukan hubungan telepon, menjilat prangko, berkunjung ke rumah-rumah, menaikan tanda dan sebagainya). Kedua, terdiri atas beraneka ragam organisasi kepentingan khusus yang menduduki posisi, membantu dana dan sumber daya lain, mengerahkan anggota dan memberikan tekanan kepada calon pejabat: serikat buruh, asosiasi perusahaan, kelompok agrikultur, organisasi hak sipil, lobby konsumen, pencinta lingkungan dan lain-lain. Organisasi kepentingan ini merupakan mata rantai yang vital di antara kandidat dan anggota kelompok. Ketiga, bentuk organisasi ini terutama untuk kampanye politik, kelompok penyokong. Untuk memberikan kesan mendapat dukungan yang luas melebihi barisan partisan, pegawai dan etnik, para juru kampanye politik mendirikan asosiasi untuk menyokong dan bekerja untuk kepentingan kandidat mereka. Pada
tahun
1972,
misalnya,
Partai
Republik
(Amerika
Serikat)
untuk
memanfaatkan penyebrang potensial dari Partai Demokrat mendirikan organisasi “Demokrat bagi Nixon”. Keempat adalah organisasi utama politik, yaitu partai politik. Saluran utama komunikasi partai terdiri atas kantor partai khusus dan hubungan partai dengan para pemilih. Komite seksi, distrik, negara bagian dan nasional serta konvensi adalah tingkat-tingkat pokok mesin partai yang menyalurkan pesan kepada anggota partai dan pendukung partai. Selain itu partai menyediakan birobiro pembicara dan kantor-kantor informasi untuk kepentingan para kandidatnya. Dalam pemilihan presiden tahun 1976, misalnya, Partai Republik menggunakan “regu
kebenaran”,
biasanya
para
pemimpin
Kongres
Republikan
yang
membuntuti calon presiden Demokrat untuk membantah pernyataan anggota partainya. Partai-partai politik menyampaikan pesan mereka langsung kepada pemilih melalui anjangsana. Pada umumnya partai-partai mengikuti aturan “berburu di tempat bebek berada”; artinya, setiap partai membatasi anjangsana terutama hanya di daerah yang simpatisannya diketahui, bukan berkeliaran mencari makanan di wilayah lawan.
Terpaan Kampanye Politik Fungsi utama kampanye pemilihan umum adalah menyampaikan informasi kepada pemilih, yang nantinya diharapkan akan memproses informasi tersebut dan dipersuasi untuk melakukan aktivitas sesuai dengan yang diinginkan oleh penyampai pesan.
24
Terpaan (exposure) menurut Shimp (dalam Amini, 2004) adalah di mana konsumen (pemilih) melakukan kontak dengan pemasar (kontestan) misalnya, mereka melihat iklan di majalah/surat kabar, mendengar iklan radio dan sebagainya. Terpaan tidak menjamin bahwa pesan akan menghasilkan efek, tetapi ini merupakan tahapan penting untuk taraf berikutnya dalam memproses informasi. Terpaan membutuhkan beberapa hal, diantaranya: 1. Saluran pada media yang ditayangkan atau didistribusikan (surat kabar, majalah, radio, televisi dan sebagainya). 2. Konsumen (dalam hal ini khalayak pemilih) untuk menerima terpaan dari saluran
media
(dengan
membaca
surat
kabarnya,
majalahnya,
mendengarkan radionya, menonton televisinya dan sebagainya). 3. Konsumen (dalam hal ini khalayak pemilih) menerima terpaan dari iklan tertentu dan pengiklan yang disampaikan pada media yang ada lewat saluran media. Jadi ketika individu menerima informasi dari penyampai pesan yang memiliki tujuan tertentu dari saluran media yang dikonsumsi oleh individu, maka keadaan ini disebut sebagai terpaan individu (Amini, 2004). Donohew at. al (1980) dalam teorinya tentang Aktivasi Terpaan Informasi (Activation Theory of Information Exposure) menjelaskan bahwa seorang individu akan berusaha mencari (memenuhi) stimulasi dan informasi dari suatu pesan yang sesuai dengan keinginannya, sebelum mereka memenuhi kebutuhannya terhadap informasi itu sendiri. Teori ini beranggapan bahwa kebutuhan akan informasi dan stimulasi berbeda untuk setiap individu oleh karena itu setiap orang akan memilih stimulasi dan informasi yang menarik perhatiannya daripada informasinya itu sendiri. Sementara Ardianto dan Erdinaya (2004) mengemukakan bahwa terpaan media massa (media exposure) adalah penggunaan media, baik jenis media, frekuensi penggunaan maupun durasi penggunaan (longevity).
Penggunaan
jenis media meliputi media audio, audiovisual, media cetak, kombinasi media audio dan media audiovisual, media audio dan media cetak, serta media audio, audiovisual dan media cetak. Selanjutnya Ardianto dan Erdinaya (2004) mengemukakan bahwa frekuensi penggunaan media adalah mengumpulkan data khalayak tentang berapa kali sehari seseorang menggunakan media dalam satu minggu (untuk
25
meneliti program harian); beberapa minggu seseorang menggunakan dalam satu bulan (untuk program mingguan dan tengah bulanan); serta berapa kali sebulan seseorang menggunakan media dalam satu tahun (untuk mengetahui program bulanan). Dari ketiga pola tersebut yang sering dilakukan adalah pengukuran frekuensi program harian. Sedangkan pengukuran peubah durasi penggunaan media menghitung berapa lama khalayak bergabung dengan suatu media (berapa jam sehari); atau berapa lama (menit) khalayak mengikuti suatu program (audience’s share on program). Terpaan informasi kampanye tidak selalu menimbulkan efek yang sama pada setiap individu, hal ini akan tergantung pada suasana terpaan (setting of exposure) yang sedang dihadapi oleh individu tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Weiss (dalam Ardianto dan Erdinaya, 2004) menunjukkan bahwa anak-anak lebih ketakutan menonton televisi dalam keadaan sendirian di tempat yang gelap. Reaksi orang lain pada saat menonton akan mempengaruhi emosi individu lainnya pada waktu memberikan respons, ketakutan, kengerian juga emosi lain sangat mudah menular. Dalam hubungannya dengan terpaan informasi ada satu konsep yang memainkan peranan sangat penting, yaitu selective perception (persepsi yang selektif).
Selective perception didefinisikan oleh Nurudin (2005) sebagai
kecenderungan seseorang untuk hanya menerima pesan-pesan yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya. Adanya proses yang selektif ini berarti untuk suatu pesan yang sama, orang yang berbeda dapat menampilkan respons yang berbeda.
Dalam persepsi yang selektif, persepsi orang dipengaruhi oleh
keinginannya, kebutuhannya, sikap dan faktor psikologis lainnya. Tidak ada seorang komunikator pun yang dapat mengasumsikan bahwa sebuah pesan akan memberikan arti yang diinginkan bagi penerima pesan (receiver). Sears dan Freedman (dalam Jahi, 1993) menyebutkan bahwa proses persepsi yang selektif meliputi sejumlah tahap. Tahap pertama adalah keterdedahan (exposure) yang selektif, yang anggota-anggota suatu khalayak menentukan pada media mana mereka akan mendedahkan diri. Pembacapembaca surat kabar biasanya tidak membaca seluruh artikel surat kabar, tetapi membatasi diri pada sejumlah artikel saja. Sekalipun telah membeli surat kabar kesukaannya, sebagian pembaca akan membaca dengan selintas halamanhalaman yang ada, membaca beberapa artikel, feature dan iklan di sana-sini. Tahap ini dikenal sebagai “Perhatian Selektif”. Aspek-aspek seleksi screening
26
(seleksi, penyaringan) di pihak audience (seperti selective exposure, selective perception, selective retention) mempunyai impact pesan. Dengan kata lain pesan-pesan yang diterima sangat tergantung sistem seleksi yang ada pada masing-masing audience. Partisipan dalam suatu komunikasi membawa pengalaman yang berbeda dalam diri mereka. Sebagai akibatnya, akan terdapat juga “Komprehensi Selektif” ketika pembaca yang berbeda membaca butir yang sama dalam suatu surat kabar.
Akhirnya
terdapat
“Retensi
Selektif”
(selective
retention),
yaitu
kecenderungan seseorang untuk hanya mau mengingat pesan yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya (Nurudin, 2005). Seperti, pembaca yang berbeda akan mengingat hal-hal yang berbeda pada suatu isu spesifik yang terdapat dalam suatu surat kabar. Hal ini benar, sekalipun membaca butir yang sama.
Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Khalayak dalam menanggapi pesan-pesan kampanye akan menentukan apakah mereka akan menerima atau menolak pesan-pesan tersebut. Setidaknya ada tiga teori yang dapat menjelaskan bagaimana khalayak mengolah dan merespons berbagai stimulus yang menerpa mereka, yakni social judgement theory (teori pertimbangan sosial), information integration theory (teori integrasi informasi) dan elaboration likelihood model (Venus, 2004). Teori
pertimbangan
sosial
menyatakan
bahwa
perubahan
sikap
seseorang terhadap obyek sosial atau isu tertentu merupakan hasil proses pertimbangan (judgement) yang terjadi dalam diri orang tersebut terhadap pokok persoalan yang dihadapi. Proses mempertimbangkan isu atau objek sosial tersebut
berpatokan pada kerangka rujukan (reference points) yang dimiliki
seseorang. Kerangka rujukan inilah yang menjadi dasar bagaimana seseorang memosisikan suatu pesan persuasif yang diterimanya. Sherif (dalam Venus, 2004) menegaskan bahwa tindakan memosisikan dan menyortir pesan yang dilakukan oleh alam bawah sadar kita terjadi sesaat setelah terjadi persepsi. Selanjutnya dikemukakan oleh Sherif (dalam Venus, 2004), ada tiga rujukan yang digunakan seseorang untuk merespons suatu stimulus yang dihadapi. Ketiganya merupakan bagian yang saling terkait, yaitu pertama disebut latitude of acceptance (rentang atau wilayah penerimaan) yang terdiri dari pendapat-pendapat yang masih dapat diterima dan ditoleransi. Bagian kedua
27
disebut latitude of rejection (rentang penolakan) yang mencakup pendapat dan gagasan-gagasan yang kita tolak karena bertentangan dengan kerangka rujukan kita (sikap dan keyakinan) dan yang terakhir disebut latitude of noncommitment (rentang ketidakterlibatan) yang terdiri dari pendapat atau pesan-pesan persuasif yang tidak kita tolak dan tidak kita terima. Dalam rentang ketidakterlibatan ini kita tidak memiliki opini apa-apa sehingga bersikap netral terhadap pokok persoalan yang ada. Di samping ketiga konsep pokok di atas, masih ada satu konsep penting lainnya dari teori ini yang disebut ego-involvement, yakni derajat yang menunjukkan arti penting suatu isu bagi seseorang. Derajat penting-tidaknya suatu
stimulus
akan
turut
menentukan
sejauhmana
seseorang
dapat
dipengaruhi. Dengan kata lain semakin kurang berarti suatu isu bagi seseorang maka semakin kecil kemungkinan orang tersebut dapat dipengaruhi (Venus, 2004). Teori integrasi informasi (information-integration theory) memusatkan perhatiannya pada cara mengumpulkan dan mengorganisasikan informasi tentang orang, peristiwa, gagasan atau objek lainnya untuk membentuk sikap terhadap objek atau konsep tersebut. Dalam hal ini sikap dianggap sebagai informasi akumulatif tentang berbagai peristiwa, orang atau objek lainnya yang sebelumnya telah mengalami proses evaluasi. Setiap perubahan sikap dipandang sebagai penambahan informasi atau perubahan penilaian terhadap kebenaran informasi. Menurut teori ini sistem sikap individu dapat dipengaruhi oleh informasi yang diterima dan diintegrasikan ke dalam sistem informasi sikap tersebut (Venus, 2004). Semua informasi mempunyai potensi untuk mempengaruhi sikap seseorang, tetapi derajat bagaimana informasi tersebut dapat mempengaruhi sikap ditentukan oleh dua peubah, yakni valence dan weigth. Valence atau valensi adalah derajat yang menunjukkan apakah suatu informasi dipandang sebagai kabar baik (goodnews) atau buruk (badnews). Jadi setiap informasi akan dievaluasi dengan skala positif-negatif. Mulai dari sangat positif hingga sangat negatif. Peubah kedua adalah wight atau bobot pesan yang dikaitkan dengan kredibilitas sumber yang menyampaikan informasi tersebut. Jika seseorang menganggap informasi tersebut sebagai kebenaran, maka ia akan memberikan bobot yang tinggi terhadap informasi tersebut, jika sebaliknya maka informasi tersebut akan diberi nilai yang rendah. Jadi valence menunjukan bagaimana
28
suatu informasi akan mempengaruhi sikap, sementara weigth menentukan seberapa besar pengaruh tersebut akan timbul. Bila bobot yang diberikan pada informasi tersebut rendah, maka derajat pengaruh informasi juga akan kecil terlepas dari valensi yang ada (Venus, 2004).
Pesan Kampanye
Jalur Sentral
Jalur Periferal
Elaborasi tinggi (Kemampuan dan motivasi mengolah informasi tinggi)
Elaborasi rendah (Kemampuan dan motivasi mengolah informasi rendah)
Pengolahan informasi dilakukan secara hati-hati
Pengolahan informasi tidak berhati-hati
Tingkat perubahan dipengaruhi kualitas argumentasi
Tingkat perubahan dipengaruhi faktor non-argumentasi
Perubahan sikap
Gambar 1. Model Kemungkinan Elaborasi (Elaboration Likelihood Model) Sumber : Venus, 2004 Teori Elaboration Likelihood Model (ELM), atau model kemungkinan elaborasi merupakan suatu teori persuasi yang paling populer dewasa ini. Teori ini menjelaskan bahwa keputusan dibuat tergantung pada jalur yang ditempuh dalam memeroses sebuah pesan. Jika seseorang secara sungguh-sungguh mengolah pesan-pesan persuasif yang diterimanya semata-mata berfokus pada isi pesan tersebut maka orang tersebut menurut teori ELM dianggap
29
menggunakan jalur sentral (central route) atau memeroses informasi dalam kondisi keterlibatan tinggi. Sementara bila orang tersebut
tidak melakukan
evaluasi yang mendalam terhadap isi pesan yang diterimanya melainkan lebih memperhatikan daya tarik penyampai pesan, kemasan produk atau aspek periferal lainnya, maka ia dipandang menggunakan jalur pinggiran (peripheral route) atau memeroses informasi dalam kondisi keterlibatan rendah. Teori ini dikembangkan Petty dan Cacioppo (Venus, 2004; Sutisna, 2003). Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa orang dapat memeroses pesan persuasif dengan cara yang berbeda. Pada suatu situasi menilai sebuah pesan secara mendalam, hati-hati dan dengan pemikiran yang kritis, namun pada situasi lain menilai pesan sambil lalu dengan tanpa mempertimbangkan argumen
yang
mendasari
isi
pesan
tersebut.
Pada
umumnya
orang
berpendidikan tinggi atau berstatus sebagai pemuka pendapat (opinion leader) berkecenderungan menggunakan central route dalam mengolah pesan-pesan persuasif. Sementara orang berpendidikan rendah cenderung menggunakan jalur peripheral di mana faktor-faktor di luar isi pesan atau nonargumentasi lebih berpengaruh bagi yang bersangkutan dalam menentukan tindakan. Perilaku pemilih dalam memproses pesan kampanye, dimana pesan diterima dan disalurkan melalui dua jalur yang berbeda yang central route dan peripheral route dapat dilihat pada Gambar 1. Harrington et. al
(2006) mengemukakan bukti-bukti yang mendukung
bahwa tindakan memperhatikan dan memperoses pesan-pesan persuasif adalah fungsi dari proses kognitif dan biologis. Implikasi perhatian dan pemrosesan dari perluasan model aktivasi terpaan informasi (activation model of information exposure) melalui penambahan peubah kognitif yang dihubungkan dengan model kemungkinan elaborasi (elaboration likelihood model) bertujuan untuk menentukan bagaimana target audiens secara optimal dipengaruhi oleh informasi persuasif yang sehat, menarik dan mendapat perhatian, memicu (mendorong) pengolahan informasi, dan akhirnya membawa kepada perubahan perilaku.
Efek Kampanye Politik Gonzalez (dalam Jahi, 1993) mengemukakan, ada tiga dimensi efek komunikasi massa, yaitu kognitif, afektif dan konatif. Efek kognitif meliputi peningkatan kesadaran, belajar dan tambahan pengetahuan. Efek afektif
30
berhubungan dengan emosi, perasaan dan atitude (sikap). Sedangkan efek konatif berhubungan dengan perilaku dan niat untuk melakukan sesuatu menurut cara tertentu. Akibat (efek) kampanye pada pemberi suara (pemilih) berdasarkan studi generasi pertama dan kedua (Nimmo, 2001), meneliti (1) terutama mencari kasus pemberi suara yang mengubah pikirannya sebagai akibat terpaan media dan (2) mengikuti
prosedur
sederhana
untuk
mengidentifikasi
pengaruh
yang
dimaksudkan dari pesan tertentu, orang yang dimaksudkan dipengaruhi oleh pesan itu dan akibat pengaruh tersebut pada khalayak yang dimaksudkan. Studi pemberian suara generasi ketiga mempunyai tekanan dan asumsi yang berbeda. Studi tersebut tidak hanya menelaah perubahan yang mungkin terjadi pada preferensi pemberi suara, tetapi juga perubahan pada tingkat informasi dan pengharapan pemberi suara. Sementara studi kontemporer mengadopsi pendekatan “penggunaan dan pemuasan” (uses and gratification). Di antara pemuasan yang dicari orang dari isi politik dan media ialah pedoman untuk mencapai pilihan pemberian suara, peneguh dan dukungan bagi putusan yang telah diambil, informasi sebagai alat untuk mengamati lingkungan politik, kegembiraan sebagai penonton drama konflik pemilihan umum dan bahan argumentasi untuk perdebatan dan diskusi di masa depan. Mendelsohn dan O’Keefe (dalam Nimmo, 2001) mengemukakan bahwa para pemberi suara menggunakan berbagai media untuk mengumpulkan empat jenis informasi (1) apa yang akan dicari dalam kampanye atau mencari petunjuk tentang agenda (agenda-cueing); (2) apa isu yang penting dari kampanye itu, atau penetapan agenda (agenda-setting); (3) posisi kandidat terhadap isu yang penting dan (4) informasi tentang kepribadian dan atribut lain dari kandidat. Persentase terbesar dari responden yang disurvai yang banyak menggunakan media untuk maksud ini menggunakan televisi (mayoritas setelah kampanye), sekitar sepertiganya menggunakan surat kabar, dan persentase yang relatif kecil menggunakan radio, majalah dan komunikasi interpersonal. Penelitian lain yang menekankan isi berita dan isi editorial dari media itu sebagai sumber informasi bagi ticket splitters meskipun menekankan bahwa media cetak (surat kabar dan majalah) menyajikan bagian yang lebih besar bagi informasi untuk pemberi suara dibandingkan dengan televisi. Sementara studi lainnya melaporkan bahwa iklan politik pada televisi, bukan berita, adalah sumber informasi utama. Terpaan iklan politik yang
31
ditelevisikan segera dan langsung mempengaruhi kepercayaan pemberi suara terhadap kandidat. Akhirnya Medelsohn dan O’keefe (dalam Nimmo, 2001) memberikan data bahwa pemberi suara yang berbeda menanggapi iklan politik dengan cara berbeda. Mereka yang mengambil keputusan dalam kampanye, lebih kecil kemungkinannya mencari informasi dan pedoman dari iklan politik yang ditelevisikan dibandingkan dengan yang lambat mengambil keputusan. Sedangkan yang lambat mengambil keputusan, kurang mengandalkan sumber informasi yang lain (partai politik, berita televisi, media cetak dan sebagainya), tetapi menoleh kepada sumber “tanpa upaya”, seperti iklan politik pada televisi. Terdapat juga petunjuk mereka yang mengubah pikirannya selama kampanye (yang disebut switchers) bisa jadi juga memperoleh informasi melalui iklan politik yang
ditelevisikan.
Siwtchers
dan
yang
lambat
mengambil
keputusan
menggunakan televisi untuk mendapat informasi selama pemilhan umum. Hal ini mengesankan bahwa komunikasi politik mempengaruhi penilaian pemberi suara maupun tingkat pengetahuan mereka tentang isu dan kandidat. Suatu studi eksperimental menyingkapkan bahwa iklan spot pada televisi yang menekankan isi isu lebih banyak mengubah citra pemberi suara tentang kandidat daripada yang menekankan isi citra (sifat pribadi dan sebagainya). Spot sepanjang lima menit terbukti lebih unggul daripada siaran iklan yang lebih pendek, enam puluh detik (Nimmo, 2001). Perubahan dalam orientasi afektif terhadap kandidat pada pemberi suara yang diterpa bentuk kampanye sangat bervariasi. Tidak ada bukti yang meyakinkan, misalnya bahwa kampanye surat langsung sangat memperbaiki penilaian yang dibuat oleh pemberi suara tentang orang yang mencalonkan diri menjadi pejabat. Studi akhir-akhir ini memang mempermasalahkan keefektifan yang menyeluruh dari surat langsung. Di lain pihak, media display mempunyai perbedaan, jumlah dan mutu billboard, yard sign, poster dan sebagainya dapat memperbesar jumlah informasi tentang kandidat untuk menciptakan pengakuan nama dan juga mempunyai akibat positif terhadap penilaian pemberi suara. Akhirnya, keefektifan komunikasi organisasi terhadap penilaian pemberi suara (terutama kontak oleh partai politik) sukar ditaksir. Biasanya kurang dari setengah orang Amerika dihubungi oleh suatu partai politik selama pemilihan kepresidenan; yang telah cenderung dipengaruhi oleh partailah yang pada umumnya dihubungi mereka. Adakalanya tindakan menghubungi itu berhasil memperbaiki citra kandidat; citra tentang Hurbert Humprey pada tahun 1968
32
tentang George McGovern pada tahun 1972 menjadi lebih baik di antara para pemberi suara yang dihubungi oleh partai Demokrat (Nimmo, 2001). Selanjutnya, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana hubungan pemakaian komunikasi politik dengan pengharapan dan perilaku pemberi suara ? Salah satu dari sedikit studi yang meneliti hubungan antara pengharapan pemberi suara dan terpaan mereka oleh media politik adalah analisis Mendelsohn dan O’keefe (dalam Nimmo, 2001) tentang kampanye tahun 1972. Pada awal kampanye, suatu panel dari responden survai memberikan jawaban atas pertanyaan yang mengukur berapa banyak setiap pemberi suara memprakirakan dipengaruhi oleh media politik dalam mencapai pilihan. Survai terhadap responden ini pada butir selanjutnya menyingkapkan bahwa yang mengharapkan akan dipengaruhi oleh media adalah mereka yang dalam kenyataannya paling dipengaruhi. Skor yang paling tinggi pada pengaruh yang diperkirakan adalah switchers, yaitu pemberi suara yang berubah dari satu kandidat ke kandidat yang lain selama kampanye, yang juga skornya paling tinggi dalam pengaruh yang dilaporkan pada akhir kampanye Namun, mengenai hubungan antara komunikasi kampanye dan pilihan pemberian suara, studi pemberian suara generasi ketiga sejajar dengan penelitian yang lebih dulu tentang apakah kampanye membantu rakyat dalam mengambil putusan. Mendelsohn dan O’keefe (dalam Nimmo, 2001) melaporkan bahwa 75 persen dari contoh mereka
yang terdiri atas pemberi suara dari
Summit Country, Ohio, adalah pengambil putusan dini, 13 persen yang lambat mengambil putusan dan 10 persen switchers. Peran kampanye sebagai agen pengaruh selama kampanye rupanya pada satu sisi terbenam pada sisi lain sangat dominan. Terpaan media saja hanya merupakan petunjuk tentang adanya pengaruh (dan yang lemah) di antara yang sudah memutuskan, diduga yang mencari pembenaran atas putusan mereka. Terpaan itu sebenarnya mempunyai hubungan negatif, meskipun lemah dengan pengaruh setelah faktor-faktor lain dikontrol bagi switchers dan yang lambat mengambil putusan. Oleh karena itu, terpaan media kampanye saja tidak merupakan petunjuk adanya pengaruh yang berkaitan baik dengan pengambilan keputusan pada pemberi suara maupun dengan pengubahan mereka. Namun sebelum berasumsi bahwa konsekuensi komunikasi politik terhadap perilaku itu minimal, harus diperhatikan adanya sejumlah masalah sebagaimana dikemukakan oleh Mendelsohn dan O’Keefe (dalam Nimmo, 2001),
33
bahwa Pertama, sekedar terpaan oleh dan perhatian pada media tidak merupakan pengaruh. Kita juga harus mempertimbangkan pemenuhan yang diterima oleh rakyat dari media seperti peneguhan, dukungan atau bimbingan. Ini membuat pemberi suara bisa menyesuaikan pilihan dalam pemilihan umum dengan pengalaman yang terus berlangsung yang dihadapi oleh mereka selama hidup, dengan posisi, kebiasaan dan kebutuhan mereka dengan segala sesuatu yang harus dipertimbangkan dalam menyusun makna bagi kampanye tertentu. Kedua, bukti bahwa pemilih mengambil putusan pada awal kontes kepresidenan tetapi tidak berarti bahwa mereka berbuat demikian dalam seluruh perlombaan pemilihan umum. Misalnya, penelitian yang ada menunjukkan bahwa pemberi suara yang dihadapkan pada lebih dari satu pemilihan umum berbalik kepada media politik untuk mencari bimbingan, apakah mereka akan memberi suara kepada kandidat-kandidat dari satu partai ataukah akan melakukan split ticket. Semakin banyak memperhatikan media untuk mencari informasi tentang kandidat kedua partai maka semakin besar kemungkinannya pemberi suara split ticket. Bahkan dalam pemilihan presiden yang hasilnya sering cenderung dipastikan sebelumnya, seperti yang terjadi tahun 1972 di Amerika Serikat, media politik memainkan peran yang lebih besar
dalam membantu pemberi
suara dalam menyusun pilihannya, bahkan, barangkali memperoleh dari kebiasaan memberikan suara yang tradisional. Akhirnya, sebaiknya kita tidak mengabaikan bahwa di samping media massa, baik saluran interpersonal maupun organisasi mempunyai dampak terhadap hasil pemilihan umum.
Perilaku Pemilih Perilaku memilih bukan hanya sekedar perilaku individu yang bersifat rasional tetapi juga mengandung unsur refleksi struktur budaya, ekonomi ataupun politik yang mempengaruhinya. Untuk memahami tingkah laku individual, termasuk
keputusan memilih dalam satu pemilihan umum, harus
dihubungkan dengan interaksi sosial yang terjadi dalam satu masyarakat. Selanjutnya interaksi sosial ini akan membangun kesamaan persepsi antar anggota masyarakat, yang kemudian menentukan interpretasi seseorang terhadap satu fenomena sosial (Imawan dan Gaffar, 1993). Persepsi seseorang ditentukan oleh hubungan antara hal-hal yang diharapkan. Semakin kecil jarak (gap) antara keduanya, akan semakin baik
34
persepsi seseorang terhadap satu fenomena. Karena itu, persepsi sangat dipengaruhi oleh faktor pengalaman masa lalu, latar belakang sosial budaya dan motivasi dan suasana hati. Untuk menjelaskan perilaku pemilih, dalam ilmu politik dikenal dengan adanya dua pendekatan besar (utama) untuk menerangkan tingkah laku politik pada saat berlangsungnya pemilihan umum. Di satu pihak, ada keinginan untuk menerangkan gejala memberikan suara berdasarkan atas latar belakang sosialekonomi para pemilih. Pendekatan ini dikenal dengan “Sociological School” atau “Mazhab Columbia” (Columbia School of Electoral Behavior), berkembang pertama kali di benua Eropa. Pendekatan ini memandang masyarakat terdiri atas status anarkis. Penganut pendekatan ini percaya bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang berlandaskan atas pengelompokan sosiologis, seperti agama, kelas (status sosial), pekerjaan dan lainnya. Lipset (1960), misalnya mengajukan sejumlah peubah yang dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku orang menentukan pilihan politiknya. Peubah-peubah tersebut adalah: pendapatan (income), ras, jenis kelamin, umur, status kewarganegaraan dan partisipasi sosial. Seperti yang tampak dalam Tabel 2 pola pemilih seseorang sebenarnya sudah dapat diramalkan sesuai dengan karakteristik sosial yang melingkupinya. Tabel 2. Hubungan karakteristik sosial dengan partisipasi dalam voting Kategori Pendapatan Pendidikan Pekerjaan
Partisipasi lebih tinggi Pendapatan tinggi Pendidikan tinggi Orang bisnis Karyawan Kantor Pegawai pemerintah Petani pedagang (commersial corp farmers) Buruh tambang Ras Kulit putih Jenis Kelamin Pria Umur Setengah baya (35-55 tahun), tua (55 tahun ke atas) Tempat tinggal Penduduk lama Buruh di Eropa Barat Situasi Situasi krisis Status Orang kawin Organisasi Anggota organisasi Sumber : Lipset,1960.
Partisipasi lebih rendah Pendapatan rendah Pendidikan rendah Buruh kasar Pembantu rumah tangga Karyawan dinas-dinas Pelayanan Petani kecil Kulit hitam Wanita Muda (di bawah 35 tahun) Penduduk baru Buruh di Amerika Serikat Situasi normal Orang bujangan Orang yang hidup menyendiri
35
Sedangkan proses terbentuknya hubungan antara karakterisitk sosial pemilih dengan perilaku memilih dapat dilihat pada Gambar 2 . Karakteristik sosial-ekonomi sebagai basis bagi pengelompokan sosial
Menentukan: • • • •
Berpengaruh kepada: • Kelas sosial • Status sosial ekonomi • Pendidikan • Agama
Tujuan kelompok Tipe kepemimpinan Aktivitas rutin Sistem Komunikasi internal
Persepsi
Keputusan memilih
Lingkungan
Gambar 2. Model sosiologis keputusan memilih Sumber : Imawan dan Gaffar, 1993. Pendekatan
ini
menjelaskan
bahwa
karakteristik
sosial
dan
pengelompokan-pengelompokan sosial dianggap menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Untuk itu pemahaman terhadap pengelompokan sosial, baik secara formal (seperti keanggotaan seseorang dalam organisasi keagamaan, organisasi profesi dan sebagainya) maupun secara informal (seperti keluarga, pertemanan ataupun kelompok kecil lainnya) merupakan faktor
yang sangat
penting dalam memahami perilaku pemilih, karena kelompok-kelompok tersebut mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi seseorang. Pomper (dalam Ridwan, 2004)
memperinci pengaruh pengelompokan
sosial tersebut dalam kajian voting behavior ke dalam dua peubah, yaitu peubah predisposisi sosial-ekonomi pemilih dan keluarga pemilih. Menurutnya kedua peubah tersebut
mempunyai hubungan signifikan dengan perilaku pemilih.
Preferensi keluarga, apakah preferensi politik ayah atau ibu, berpengaruh terhadap preferensi politik anak-anaknya. Preferensi sosial-ekonomi, bisa berupa kelas sosial, agama, tempat tinggal,
karakteristik demografis dan sejenisnya
juga berpengaruh terhadap pilihan politik seseorang. Asumsinya, bahwa para pemilih yang beragama Islam akan cenderung memilih partai-partai Islam. Kajian voting behavior di Eropa pada tahun 1970-an menunjukkan bahwa wanita lebih
36
suka mendukung partai borjuis daripada sosialis. Adanya rasa kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai atau kontestan tertentu. Kelompok berpenghasilan rendah dan kelas pekerja cenderung memberikan suara kepada partai sosialis atau komunis. Sedangkan kelas menengah dan atas biasanya menjadi pendukung partai konservatif. Kelemahan utama dari model sosiologi adalah kenyataan bahwa memilih merupakan suatu tindakan individual, bukan suatu tindakan kolektif. Dapat saja seseorang dijejali dengan norma-norma sosial yang berlaku. Tetapi tidak ada jaminan bahwa pada saat seseorang menentukan pilihan, dia tidak akan menyimpang dari norma yang dimilikinya. Dengan kata lain selalu ada kemungkinannya bahwa seseorang akan bertindak menyimpang dari normanorma atau keyakinan kelompoknya. Kelemahan lainnya adalah, secara metodologis pendekatan sosiologis dianggap sulit diukur, seperti bagaimana mengukur secara tepat sejumlah indikator kelas sosial, tingkat pendidikan, agama dan sebagainya. Sehingga sebagian sarjana menganggap bahwa faktor sosialisasilah sebenarnya yang paling menentukan kecenderungan perilaku pemilih tersebut, bukan karakteristik sosiologis. Tanggapan atas kelemahan pendekatan sosiologis (Columbia School) adalah berkembangnya pendekatan aspek sosio-psikologis yang menentukan tindakan memilih, yang dikembangkan oleh “The Survey Research Center” oleh kelompok peneliti Universitas Michigan (Michigan School) atau mazhab psikologi. Hasil studi kelompok Michigan menemukan bahwa sebagian besar pemberi suara di Amerika Serikat terikat dengan suatu partai politik; mereka memiliki identitas partai, yang sering diwarisi dari orang tua mereka dan diperkuat dengan pekerjaan, kelas dan lingkungan tetangga mereka (Kuper and Kuper, 2000; Budge et al., 1976). Keterikatan pemberi suara seperti itu kemudian dikenal dengan istilah Identifikasi Partai (Party Identification). Mazhab psikologis ini percaya bahwa tingkah laku memilih dari seseorang dapat dideteksi dengan dua konsep. Pertama, disebut political involvement, yakni perasaan penting atau tidak untuk terlibat dalam isu-isu politik yang bersifat umum (general). Kedua, disebut party identification, yakni preferensi (perasaan suka atau tidak suka) dari seseorang terhadap satu partai atau kelompok politik tertentu. Pada tahap awal harus merasa yakin bahwa kehadiran atau keikutsertaannya dalam proses politik memang sangat diperlukan. Hanya dengan memiliki kepedulian yang tinggi ia akan termotivasi untuk memperhatikan dan
37
memberikan respons terhadap perkembangan isu-isu politik yang ada. Tahap awal ini akan segera diikuti oleh kesadaran bahwa berpolitik tidak lepas dari berorganisasi. Dunia politik sangat mengandalkan legitimasi massa. Legitimasi ini akan sulit diperoleh jika seseorang bertindak sendiri (Kuper and Kuper, 2000). Aliran Michigan menggambarkan “pemberian suara” (voting) berada diujung sebuah saluran yang menggambarkan proses pemilihan umum. Keputusan pemberian suara tergantung pada banyak faktor yang terjadi di awal proses. Peristiwa-peristiwa yang mengikuti deretan faktor yang menyebabkan pergerakkan dari mulut saluran ke ujung batang dari saluran tersebut. Begitu banyak penyebab yang membatasi ke dalam tindakan pemberian suara, sebagaimana dapat di lihat pada Gambar 3.
karakteristik sosial karakteristik keluarga karakteristik status sosial
Identifikasi Partai
peristiwa kampanye
waktu
Keputusan memilih
evaluasi keluarga dan calon dan isu teman
Gambar 3. Model sosial – psikologis keputusan memilih Sumber: Gant and Luttbeg, 1991. Berada di mulut saluran adalah latar belakang karakteristik sosial (etnik, ras, daerah, agama dan sebagainya), karakteristik status sosial (pendidikan, jabatan, kedudukan, kelas) dan karakteristik yang berkenaan dengan keluarga (kelas, partisanship). Semuanya mempengaruhi pilihan terhadap identifikasi
38
partai. Item berikutnya dalam saluran tersebut adalah identifikasi partai yang pada gilirannya akan mempengaruhi evaluasi terhadap isu dan calon, kemudian peristiwa kampanye juga turut mempengaruh sikap pemilih. Bahkan semakin dekat kepada ujung saluran (hari pemungutan suara), peristiwa komunikasi interpersonal di antara pemilih dengan keluarga dan pertemanan seputar pemilihan umum dapat menentukan keputusan untuk memilih. Selanjutnya pada hari pemungutan suara memilih sesuai dengan pilihannya (Gant and Luttbeg, 1991) Pendekatan psikologis menganggap sikap sebagai peubah sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih. Hal ini disebabkan oleh fungsi sikap itu sendiri, yang menurut Greenstein (dalam Ridwan, 2004) ada tiga; pertama, sikap merupakan fungsi kepentingan. Penilaian terhadap suatu obyek diberikan berdasarkan motivasi, minat dan kepentingan orang tersebut. Kedua, sikap merupakan fungsi penyesuaian diri. Seseorang bersikap tertentu sesuai dengan keinginan orang itu untuk sama atau tidak sama dengan tokoh atau kelompok yang
dikaguminya.
Ketiga,
sikap
merupakan
fungsi
eksternalisasi
dan
pertahanan diri. Sikap seseorang itu merupakan upaya untuk mengatasi konflik batin atau tekanan psikis, yang mungkin berwujud mekanisme pertahanan (defense mechanism). Namun sikap bukan sesuatu yang begitu saja terjadi, melainkan melalui proses sosialisasi yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan partai politik atau kandidat tertentu. Ikatan psikologis karena adanya proses sosialisasi inilah yang kemudian dikenal dengan identifikasi partai (party identification). Dengan demikian, konsep identifikasi partai merupakan peubah sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih. Identifikasi merupakan dorongan untuk menjadi identik atau sama dengan orang lain tanpa disadari. Identifikasi partai dilakukan kepada seorang kandidat atau partai politik yang dianggap ideal di mata pemilih. Kritik terhadap pendekatan psikologis mempersoalkan hubungan antara sikap dan perilaku. Sebab belum tentu orang yang menyukai partai atau kandidat tertentu dalam pemilihan nanti akan memilih sesuai dengan posisi sikapnya. Selain itu benarkah peubah-peubah yang dipakai oleh para ahli psikologi dalam menjelaskan perilaku seseorang dapat dihubungkan dengan perilaku pemilih ? Kedua pendekatan yang telah dikemukakan di atas menempatkan pemilih pada waktu dan ruang kosong baik secara implisit maupun eksplisit. Hal lainnya
39
beranggapan bahwa perilaku pemilih bukanlah keputusan yang dibuat pada saat menjelang atau ketika ada di bilik suara, tetapi sudah ditentukan jauh sebelumnya, bahkan jauh sebelum kampanye dimulai. Karakteristik sosiologis atau
identifikasi
mempengaruhi
partai perilaku
merupakan atau
peubah
pilihan
politik
yang
secara
seseorang.
sendiri-sendiri Tetapi
pada
kenyataannya, ada sebagian pemilih yang mengubah pilihannya dari satu pemilu ke pemilu lainnya.
Hal ini disebabkan oleh ketergantungan pada peristiwa-
peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi politik seseorang. Hal ini berarti menunjukkan bahwa ada peubah-peubah lain yang ikut menentukan dan mempengaruhi perilaku politik seseorang. Ada faktor-faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam pemilu. Dengan begitu pemilih bukan hanya pasif, tetapi juga individu aktif. Faktor-faktor situasional berupa isu-isu politik atau kandidat yang dicalonkan yang berkembang pada masa kampanye, mempunyai peranan penting dalam menentukan pilihan politik seseorang. Oleh karena itu dalam pendekatan rasional ini penilaian terhadap isu-isu politik dan kandidat merupakan faktor yang sangat penting dalam menjelaskan pilihan politik seseorang. Di sinilah para pemilih dapat menentukan pilihannya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan rasional. Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berpusat pada pertanyaan; apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan masalahmasalah yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara ? Sementara orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Meskipun demikian ketertarikan pemilih terhadap isu-isu yang ditawarkan oleh partai ataupun kandidat bersifat situasional. Sehingga dengan sendirinya ketertarikan pemilih pada keduanya tidak permanen melainkan berubah-ubah. Pengaruh terhadap isu dan kandidat tersebut berkaitan erat dengan peristiwa-peristiwa sosial, ekonomi, politik, hukum atau suatu peristiwa tertentu yang kontekstual dan dramatis. Perilaku memilih menurut Him Melweit (dalam Ridwan, 2004), merupakan pengambilan keputusan yang cepat dan keputusan tersebut bergantung pada situasi sosial politik tertentu yang tidak berbeda dengan pengambilan keputusan lainnya. Sedangkan dalam menilai kandidat, terdapat dua peubah yang harus dipunyai oleh seorang kandidat. Pertama, kualitas instrumental, yakni tindakan
40
yang diyakini pemilih akan direalisasikan oleh kandidat bila kelak menang pemilu. Kedua, kualitas simbolis, yakni kualitas kepribadian seseorang yang berkaitan dengan integritas diri, ketegasan, kejujuran, ketaatan pada norma dan aturan, kebaikan, sikap merakyat dan lain sebagainya. Pendekatan rasional berasumsi bahwa pemilih melakukan penilaian yang valid terhadap visi, misi dan program kerja partai dan kandidat. Pemilih rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan dan informasi yang cukup. Tindakan mereka bukan karena faktor kebetulan atau kebiasaan dan tidak semata-mata untuk kepentingan sendiri, melainkan juga untuk kepentingan umum, menurut pikiran dan pertimbangan yang logis. Perbedaan antara pendekatan rasional dengan pendekatan lainnya yaitu bahwa pemilih rasional adalah pemberi suara yang responsif dan tidak permanen.
Studi Perilaku Pemilih di Indonesia Studi tentang perilaku pemilih pada dasarnya masih merupakan persoalan baru dalam konteks politik di Indonesia. Tidak banyak studi tentang perilaku pemilih dalam pemilihan umum di Indonesia. Herberth Feith (1999) dalam bukunya “Pemilihan Umum 1955 di Indonesia” menyebut pemilu 1955 sebagai yang paling luber (langsung, umum, bebas dan rahasia) dan jurdil (jujur dan adil) namun tidak ada studi yang sistematik dengan metodologi yang ketat hingga generalisasi yang realistis dapat ditarik dari pemilu tersebut. Karakteristik studi pemilu tahun 1955 lebih bersifat deskriptif daripada analitis (Ridwan, 2004). Feith dan Castles (1970) dalam bukunya Indonesian Political Thinking 1945-1965 menunjukkan adanya aliran-aliran dalam masyarakat yang berhubungan dengan orientasinya terhadap partai-partai politik pada pemilu tahun 1955, yaitu aliran Islam, sosialisme demokrat, nasionalisme radikal, tradisionalisme jawa dan komunisme (Budiardjo, 1982). Perhatian peneliti pada tahun 1950-an lebih berorientasi pada pola pemikiran politik dan kebudayaan politik, sebagaimana yang dilakukan oleh peneliti MIT (Massacushet Institute of Technology) yang melakukan penelitian lapangan di Indonesia. Salah seorang di antaranya adalah Clifford Geertz (1962) dengan karyanya yang terkenal The Religion of Java yang kemudian mempengaruhi hasil kerja analis lain seperti Liddle (1992), Jay (1963) atau Emmerson (1976). Kelompok pemikiran ini berpendapat bahwa
dalam
masyarakat Indonesia, terutama jawa, terdapat tiga kebudayaan dasar: priyayi,
41
santri dan abangan. Ketiga pemilahan kebudayaan ini ternyata memiliki dampak yang luas dalam tingkah laku ataupun pemilahan sosial lainnya, termasuk politik. Mengikuti alur pemikiran tersebut maka partai politik di Indonesia memiliki basis atau terkait dengan cara pengikut dari suatu pola kebudayaan di tingkat bawah. Keberadaan partai tidak lebih dari refleksi emosi dan kepentingan dari pola kebudayaan yang mendukungnya. Penelitian yang dilakukan oleh A. Gaffar (1992) terhadap pemilihan umum pada masa Orde Baru, dalam bukunya “The Javanese Voters: A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System” membuktikan bahwa tiga kebudayaan dasar, santri, priyayi dan abangan yang dikemukakan oleh Geertz mempunyai hubungan dengan pola perilaku politiknya, PPP (partai Islam) di dukung oleh kelompok santri, Golkar (golongan fungsional) didukung oleh priyayi dan PDI (partai nasionalis) didukung oleh kelompok abangan. Cara pandang seperti itu masih relevan untuk menganalisa politik di Indonesia pada masa Orde Baru yang hanya ada tiga partai politik peserta pemilu. Namun demikian pemilupemilu yang terjadi pada masa Orde Baru tidak dapat dijadikan sebagai rujukan yang berarti karena jalannya pemilu berlangsung semu, tidak demokratis, penuh rekayasa, tekanan dan intimidasi. Pemilu Orde Baru adalah merupakan pemilu yang
semu
sebab
sudah
hampir
diketahui
hasilnya
sebelum
pemilu
diselenggarakan. Beberapa hasil studi lainnya yang dapat dirujuk untuk memahami perilaku pemilih adalah, studi tentang perilaku pemilih pada Pemilu tahun 1999, Liddle dan Mujani (2000), menemukan dua kesimpulan penting dalam memahami
perilaku
pemilih
dalam
pemilu
tersebut.
Pertama,
semakin
memudarnya politik aliran di tingkat massa pemilih. Massa pemilih sudah cenderung tidak lagi memperdulikan aliran dari masing-masing partai politik. Massa pemilih dan kalangan santri pun sudah cukup toleran dan mampu membedakan wilayah politik dan wilayah keagamaan, dua wilayah yang sering dikaburkan oleh para elite
dalam memobilisasi dukungan massa. Kedua,
ketokohan tetap menjadi peubah yang sangat penting dalam menarik dukungan massa pemilih. Para pemilih memilih partai tertentu bukan karena daya tarik terhadap partai dan programnya, melainkan lebih ketertarikan kepada tokoh yang ada di partai tersebut. Oleh karenanya hanya partai yang mempunyai tokoh terkemuka saja yang mendapatkan suara signifikan dalam pemilu tersebut.
42
Studi perilaku pemilih pada Pemilu tahun 1999 yang dilakukan oleh Ananta et al. (2004) dalam bukunya “Indonesian Electoral Behavior: A. Statistical Perspective” yang menggunakan peubah kebudayaan (agama dan etnis) dan peubah sosial-ekonomi (pendidikan dan komposisi geografi, populasi urban dan migran, pendapatan per kapita dan kemiskinan) sebagai unit analisis, menemukan bahwa (1) peubah loyalitas etnis dan agama berpengaruh terhadap hasil Pemilu 1999 walaupun bukan peubah yang paling menentukan dalam menjelaskan distribusi suara pemilih, kecuali untuk Golkar di Pulau Jawa, PPP dan PBB di luar Jawa yang didukung oleh pemilih muslim. Bagi beberapa partai loyalitas etnis merupakan faktor yang penting di Pulau jawa dan di luar Jawa, misalnya dukungan untuk PPP, PBB dan PK diberikan oleh penduduk Pulau Jawa yang non-etnis Jawa daripada di luar Jawa. Sedangkan dukungan etnis Jawa bagi PDI-P lebih menguntungkan diperoleh dari luar Pulau Jawa daripada di Pulau Jawa sendiri. Berbeda halnya dengan PKB dukungan yang paling berarti diperoleh dari pemilih etnis Jawa yang berada di Pulau Jawa. Bagi PDI-P dan PKB nampaknya isu etnis lebih penting daripada isu agama, sebaliknya bagi PPP dan PBB isu agama lebih menarik daripada isu etnis di Jawa maupun di luar Jawa. Sementara bagi Golkar untuk di Pulau Jawa isu agama lebih penting dari isu etnis sedangkan di luar Jawa isu etnis lebih berperanan. Sedangkan bagi PAN isu agama lebih berperanan; (2) peubah sosial-ekonomi di beberapa daerah, seperti pendidikan dan status migran nampak memainkan peranan yang berarti. Pemilih PDI-P sebagian besar adalah bependidikan rendah dibandingkan dengan pemilih yang memilih partai lainnya, tetapi di Jawa, peubah “non-migran” memiliki pengaruh yang besar terhadap pemilih PDI-P dan di luar Jawa di dukung oleh pemilih yang sebagian besar berpendidikan rendah. PAN memperoleh dukungan dari pemilih yang tingkat pendidikannya lebih baik tanpa menghiraukan aspek agamanya. Sedangkan PK sebagian besar tergantung pada pemilih muslim yang berpendidikan lebih baik. Tidak banyak studi statistik terhadap hasil pemilu di Indonesia, penulisnya berharap bahwa hasil studi statistik tersebut dapat memberikan kontribusi untuk penelitian-penelitian kualitatif mengenai pemilihan umum di Indonesia. Pemilu tahun 2004 memberikan pengalaman yang paling berharga karena selain untuk memilih anggota legislatif juga untuk pertama kalinya rakyat memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung. Studi terhadap perilaku pemilih semakin marak dilakukan oleh berbagai lembaga-lembaga survai dalam
43
maupun luar negeri, seperti Lembaga Survai Indonesia (LSI), Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Soegeng Sarjadi Syndicate (SSS), International Foundation of Electoral System (IFES), Center for Study of Development and Democracy (Cesda), FRI,YAPPIKA dan banyak lagi (Budi, 2004; Harmain, 2004; JICA dan LSI, 2004; Qodari, 2004, Ridwan, 2004). Hasil survai LSI (dalam Ridwan, 2004) menunjukkan bahwa unsur psikologis
merupakan
unsur
dominan
yang
mendasari
pemilih
dalam
menjatuhkan pilihan politiknya pada pemilu legislatif 2004. Hal ini terlihat dengan dominannya alasan kebiasaan (23,5%) yang melatarbelakangi pilihan politik para pemilih. Selain itu alasan ketokohan (21,4%) dan alasan karena partai tersebut yakin akan menang (3,3%). Jika alasan itu digabungkan maka 48,2% pemilih menjatuhkan pilihan politiknya berdasarkan unsur psikologis. Namun, ternyata alasan rasional menempati alasan kedua yang mendasari pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya, yaitu 22,1% pemilih yang telah memilih partai berdasarkan
alasan
kesukaannya
terhadap
visi,
misi
dan
programnya.
Sementara hanya sekitar 19,6% pemilih saja yang cenderung menjatuhkan pilihannya berdasarkan unsur sosiologis, yaitu gabungan dari sekitar 9,1% dari yang akan memilih partai Islam, sekitar 4,0% karena ikut keluarga, 3,5% karena ikut orang lain dan 3,0% karena partai nasionalis. Kecilnya kecenderungan unsur sosiologis yang mendasari pemilih menunjukkan
semakin
memudarnya
dominasi
politik
aliran.
Sedangkan
berdasarkan hasil survai LSI yang dilakukan menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 5 Juli 2004, ternyata alasan “kepribadian” merupakan alasan yang disukai mayoritas pemilih dalam menjatuhkan pilihannya, yaitu sebesar 33%, sedangkan alasan kemampuan dalam mengatasi masalah keamanan dipilih oleh sekitar 17,8%, alasan kemampuan dalam mengatasi masalah ekonomi dipilih sekitar 17,5%, alasan kemampuan dalam memberantas korupsi dipilih oleh sekitar 6,3% dan hanya sekitar 4,7% saja yang menghendaki dari kalangan tokoh Islam meskipun mayoritas pemilih adalah muslim. Hasil pemilu presiden dan wakil presiden menunjukkan adanya trend melemahnya pengaruh dari partai-partai politik. Partai politik tidak lagi dapat diandalkan sebagai mesin politik yang efektif dalam mendulang perolehan suara dalam pemilihan Presiden. Proses pemilihan presiden memberikan ruang yang lebih besar bagi otonomi pemilih dalam mengungkapkan preferensi pilihan politik
44
mereka, termasuk untuk menggunakan hak pilih mereka. Perkembangan ini merupakan proses transformasi yang berarti dalam perilaku pemilih (voting behavior) yang selama beberapa dasawarsa yang lalu terikat pada menguatnya tambatan budaya politik patrimonial dan orientasi politik aliran (Piliang, 2004). Kajian perilaku pemilih dalam pemilu tahun 2004, khususnya mengenai pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, dapat memberikan sumbangan berarti bagi studi perilaku pemilih dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang mulai dilaksanakan sejak bulan Juni 2005. Namun demikian belum banyak referensi yang dianggap cukup memadai untuk memahami perilaku pemilih dalam pemilihan kepala daerah secara langsung. Hasil jajak pendapat Kompas (2005) menunjukkan bahwa kemampuan memimpin dan integritas moral dari calon kepala daerah menjadi pertimbangan utama. Jajak pendapat tersebut selain menunjukkan adanya rasionalitas responden dalam menentukan sikapnya sebagai pemilih, juga menggambarkan independensinya, yakni hanya 28% responden yang menyatakan peduli dengan kesamaan partai politik pilihannya.
Tabel 3. Pertimbangan dalam memilih kepala daerah Keterangan
ya
tidak
tidak menjawab
Kesamaan latar belakang parpol
28,1
68,1
3,8
Kesamaan latar belakang asal daerah
27,9
70,0
2,1
Kesamaan latar belakang agama
41,2
56,6
2,2
Kesamaan latar belakang jenis kelamin
25,2
72,7
2,1
Berasal dari putra daerah
44,7
51,4
3,9
Berasal dari keturunan pemimpin
27,1
70,0
2,9
Berasal dari kalangan militer
23,0
73,3
3,7
Berasal dari ulama/rohaniawan
28,2
67,3
4,5
Berasal dari kalangan birokrat pemerintahan
37,3
58,0
4,7
Berasal dari politisi
36,4
58,3
5,3
Berpengalaman memimpin
84,9
13,2
1,9
Memiliki tingkat pendidikan tinggi
83,4
14,6
2,0
Memiliki tingkat ekonomi tinggi
54,9
41,7
3,4
n= 1.016 Sumber: Kompas, 14 Februari 2005.
45
Secara umum hasil pilkada sejauh ini mencerminkan bagaimana kondisi sosial politik sekarang, bagaimana peran partai-partai politik dan sejauh mana partai-partai itu mengusung aspirasi rakyat. Hal ini terungkap dalam analisis Pilkada Juni 2005 harian Media Indonesia (dalam Mahendra dan Soehady, 2005) dari
105
pilkada,
incumbent
(kapala
daerah
yang
sedang
menjabat)
bupati/walikota hanya kalah oleh wajah baru di 36 wilayah. Hal ini menunjukan gejala baru kecenderungan meningkatnya kepopuleran figur politik dibandingkan dengan kepopuleran partai (Mahendra dan Soehady, 2005). Di tujuh provinsi yang telah melaksanakan pemilihan gubernur hampir semuanya dimenangkan oleh pasangan yang dicalonkan bukan oleh partai paling kuat. Di ketujuh provinsi tersebut partai yang paling kuat, yang dapat mencalonkan gubernur dan wakil gubernur tanpa koalisi adalah Partai Golkar. Ternyata tak satu pun pasangan dari Partai Golkar sukses, kecuali ia berkoalisi dengan partai lain. Partai Golkar mencalonkan pasangannya tanpa koalisi di Provinsi Sulawesi Utara, Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Bengkulu. Di semua provinsi ini Partai Golkar mengalami kekalahan. Sementara itu Partai Golkar berkoalisi dengan PAN dalam mencalonkan pasangannya di Provinsi Jambi, kemudian di Provinsi Kepulauan Riau Partai Golkar berkoalisi dengan partai lain (8 partai), meraih sukses dan berhasil memperoleh suara sekitar 80% dan 60% di masing-masing provinsi tersebut. Di ke tujuh provinsi tersebut ternyata partai politik bukan faktor penting. Menurut survai pra-pilkada di provinsi-provinsi tersebut, pasangan dari partai Golkar relatif tidak dikenal di banding lawan-lawannya, kecuali calon-calon Golkar tersebut sudah menjabat gubernur (Mahendra dan Soehady, 2005). Pemilihan kepala daerah juga menunjukkan angka partisipasi pemilih yang lebih rendah dibanding partisipasi pemilih di Pemilu Legislatif maupun Pemilihan Presiden Tahap l dan Tahap II Tahun 2004. Jumlah pemilih yang tidak hadir di TPS rata-rata mencapai 26,27%. Kondisi ini tentu tidak hanya karena minimnya sosialisasi, khususnya yang menyangkut pendidikan pemilih. Faktor kualitas pasangan calon yang berkompetisi diduga juga turut andil dalam mempengaruhi minat pemilih untuk hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) (Fitriyah, 2005). Walaupun menurut Huntington (2001) bahwa di kebanyakan negara demokrasi yang baru, tingkat pemberian suara selama masa transisi tinggi, tetapi menurun, kadang-kadang secara agak drastis, pada pemilihan-pemilihan
46
berikutnya. Tetapi di banyak negara Pemilu lokal lebih mendapat perhatian dibanding Pemilu nasional, yang kemudian mendorong pemilih untuk hadir di TPS, karena isu yang “dijual” pada Pemilu lokal sangat dekat dengan kepentingan pemilih lokal. Ironisnya, terjadi di berbagai daerah di Indonesia, ketika pemilihan kepala daerah mendekatkan pasangan calon dengan rakyat pemilih, partisipasi pemilih justru menurun drastis. Dalam pemilihan kepala daerah visi, misi dan program yang ditawarkan calon sejatinya belum mampu mengangkat isu lokal tersebut. Masyarakat juga kurang mempunyai akses untuk mengetahui dengan baik program-program yang ditawarkan para calon. Berbeda dengan pemilu presiden dan wakil presiden tahun 2004 yang masa kampanyenya 30 hari, dalam pemilihan kepala daerah masa kampanyenya hanya 14 hari dan tidak banyak menarik perhatian masyarakat. Kondisi ini mendorong pemilih tetap memenangkan pasangan calon yang sedang menjabat (incumbent)
yang nota bene sudah dikenal (Fitriyah,
2005) Studi perilaku pemilih adalah merupakan bagian dari disiplin ilmu politik dan pendekatan yang paling banyak digunakan model sosiologis
(Mazhab
Columbia) dan sosial-psikologis (Mazhab Michigan). Pendekatan politik aliran (pendekatan sosial-psikologis) masih mendominasi studi perilaku pemilih di Indonesia. Walaupun setelah reformasi, dengan adanya perubahan sistem pemilihan pejabat publik, semakin marak kajian studi perilaku pemilih namun domain utamnya masih dipengaruhi oleh pendekatan politik aliran. Kajian studi perilaku pemilih masih sangat jarang yang menggunakan model pendekatan multidisiplin. Salah satu disiplin ilmu yang erat hubungannya dengan perilaku pemilih, selain disipili ilmu politik, sosiologi dan psikologi, adalah disiplin ilmu komunikasi. Oleh karena itu dalam penelitian ini mencoba untuk mengkaji studi perilaku pemilih dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu komunikasi. Asumsi yang menjadi landasan pemikiran ini adalah bahwa pada hakekatnya perkembangan dan perubahan sikap dan perilaku manusia terjadi karena proses komunikasi yang mendahuluinya. Berdasarkan asumsi tersebut penulis mencoba menghubungkan beberapa peubah komunikasi dengan sejumlah peubah yang berhubungan dengan perilaku pemilih (faktor sosiologis dan sosial-psikologis) sebagaimana diuraikan dalam kerangka pemikiran.
METODE PENELITIAN
Desain Penelitian Penelitian Hubungan Karakteristik Pemilih dan Terpaan Informasi Kampanye Politik dengan Perilaku Memilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur Tahun 2006, di desain sebagai penelitian survai korelasional dengan analisis terhadap semua indikator peubah dan hubungan liniear antar peubah. Penelitian ini terdiri dari tiga kelompok peubah, yaitu peubah bebas, peubah antara dan peubah tak bebas. Peubah bebas adalah (1) karakteristik pemilih dan (2) terpaan informasi kampanye. Peubah antara adalah perilaku mengolah pesan kampanye dan peubah tak bebas adalah perilaku memilih.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini di dilaksanakan di wilayah Kabupaten Cianjur pada saat dan setelah pelaksanaan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur secara langsung pada bulan Desember 2005 – Juni 2006. Lokasi penelitian dipusatkan pada lokasi-lokasi yang memiliki aksesibilitas media, surat kabar, radio, televisi, yang relatif tinggi dan yang berdekatan dengan lokasi yang dijadikan tempat dilaksanakannya kampanye Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur Tahun 2006. Lokasi penelitian difokuskan pada Kecamatan Cianjur, Cugenang, Pacet, Cipanas, Sukaresmi, Mande, Karang Tengah, Ciranjang, Warung Kondang dan Sukanagara.
Populasi dan Sampel Populasi adalah kumpulan obyek penelitian (Rakhmat 2002) Populasi dalam penelitian ini adalah pemilih yang mempunyai hak untuk memilih dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati secara langsung di Kabupaten Cianjur Provinsi Jawa Barat tahun 2006. Pemilih adalah warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dan terdaftar sebagai pemilih berdasarkan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Jumlah pemilih terdaftar adalah 1.404.777 pemilih, yang terdiri atas pemilih laki-laki 715.866 orang (51%) dan pemilih perempuan 688.911 orang (49%), yang tersebar di 3.413 buah Tempat Pemungutan Suara (TPS). Sampel (contoh) adalah sebagian atau wakil populasi yang diteliti (Arikunto 2002). Sampel pada penelitian ini diambil dengan metode purposive sampling,
yaitu
pengambilan
sampel
dari
anggota
populasi
dengan
58
pertimbangan-pertimbangan tertentu sesuai dengan tujuan penelitian. Sampling ini cocok untuk studi kasus yang mana aspek dari kasus tunggal yang representatif diamati dan dianalisis (Riduwan 2003). Sampel penelitian diambil di beberapa wilayah yang sering dijadikan lokasi kampanye dan wilayah sekitarnya yang berdekatan serta memiliki aksesibilitas tinggi terhadap media massa, dengan tujuan untuk mengetahui sejauhmana perilaku pemilih yang tinggal di sekitar lokasi kampanye merespons pesan-pesan kampanye dan perilakunya dalam memberikan suara terhadap pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Cianjur dalam Pilkada tahun 2006. Besarnya ukuran sampel yang diambil untuk tingkat kesalahan (sampling error) 10% dari populasi pemilih dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006 yang berjumlah 1.404.777 orang, digunakan rumus :
N n = --------1+Ne2
1.404.777 n=
----------------------------
= 99.99288 = 100 2
1+ (1.404.777) (0,10)
Dengan demikian besarnya sampel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah sebanyak 100 pemilih (sampel).
Data dan Instrumentasi Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung dari responden melalui kuesioner, yaitu suatu pedoman pertanyaan baik dilakukan secara wawancara atau pengisian secara terinci berupa pertanyaan yang sudah terstruktur yang bisa meliputi semua peubah (Arikunto 2002). Penyusunan pertanyaan dalam kuesioner dapat dilakukan secara tertutup. Data primer yang dikumpulkan berupa data kuantitatif yang diminta atas pertanyaan terhadap kegiatan yang sedang dan sudah dilaksanakan mencakup semua instrumen penelitian yang diturunkan dari peubah-peubah penelitian,
59
yang mencakup (1) karakterisitik pemilih, (2) terpaan informasi kampanye, (3) perilaku dalam mengolah pesan kampanye dan (4) perilaku memilih. Sedangkan data sekunder berupa gambaran umum demografi, sosial budaya dan politik Kabupaten Cianjur serta data penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2006 digunakan untuk membantu menjelaskan analisis data kuantitatif.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah-peubah yang dikaji dalam penelitian. Untuk mengetahui kelayakan instrumen, maka dilakukan uji validitas dan reliabilitas. Menurut Kerlinger (2003) dan Rakhmat (2002) validitas adalah suatu ukuran yang menunjukkan tingkat-tingkat kevalidan atau kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dapat dikatakan valid apabila: (a) mampu mengukur apa yang diinginkan, (b) dapat mengungkap data dari peubah yang diteliti secara tepat dan (c) dapat menggambarkan sejauhmana data yang terkumpul tidak menyimpang dari gambaran tentang peubah yang dimaksud (Arikunto 2002; Kerlinger 2003). Untuk memperoleh validitas instrumen diusahakan dengan cara: (a) menyesuaikan daftar pertanyaan dengan judul penelitian; (b) memperhatikan saran-saran para ahli dan (c) teori-teori dalam pustaka. Supaya kuesioner memiliki validitas tinggi, maka daftar pertanyaan dalam kuesioner disusun dengan mempertimbangkan saran para ahli (judgment experts) dan rujukan teori yang relevan. Jika alat ukur telah dinyatakan valid, maka alat ukur tersebut harus diuji reliabilitasnya. Reliabilitas adalah suatu nilai yang menunjukkan konsistensi suatu alat ukur dalam mengukur gejala yang sama (Azwar 2000). Reliabilitas instrumen digunakan dengan (a) mengungkapkan pertanyaan secara lugas (tidak membingungkan), (b) memberikan petunjuk yang jelas dan baku dan (c) melakukan uji coba kuesioner pada responden yang memiliki ciri-ciri yang relatif sama dengan obyek penelitian. Reliabilitas menunjukan pengertian bahwa suatu insrtrumen cukup dapat dipercaya untuk digunakan sebagai alat pengumpul data karena instrumen tersebut sudah baik (Arikunto 2002; Kerlinger 2003; Rakhmat 2002).
60
Menurut Sarwono (2006) reliabilitas menunjuk pada adanya konsistensi dan stabilitas nilai hasil skala pengukuran tertentu. Reliabilitas berkonsentrasi pada masalah akurasi pengukuran dan hasilnya. Untuk menguji reliabilitas instrumen dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan koefisien Cronbachs Alpha, dengan rumus sebagai berikut : k ∑ σb2 r11= (-----------) (1 - ---------- ) k–1
σ2t
Keterangan : r11
= reliabilitas intsrumen
k
= banyak butir pertanyaan
∑
σb2
σ2t
= jumlah varian butir = varian total Proses pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan program
aplikasi Statistical Programm for Social Science (SPPS) 13.0 for Windows dan hasil pengujiannya menunjukkan nilai alpha (koefisien reliabilitas) sebesar 0,909. Menurut Sarwono (2006) jika hasil korelasinya ≥ 0,8 maka instrumen tersebut dinyatakan andal.
Analisa Data dan Pengujian Hipotesis Analisa data dilakukan dengan dua cara yaitu, analisis deskriptif
dan
analisis korelasional. Analisis deskriptif dilakukan untuk menjelaskan fenomenafenomena yang terjadi pada saat kampanye, kecenderungan perilaku pemilih dan faktor-faktor situasional. Hasil analisis deskriptif dapat digunakan untuk menjelaskan faktor-faktor yang dapat mengganggu atau menghambat pola hubungan di antara peubah penelitian yang tidak dapat diduga sebelumnya. Analisis korelasional antar peubah yang datanya berbentuk interval dan ordinal dilakukan dengan uji korelasi Rank Spearman (rs) dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
61
6 ∑ di2 rs = 1 – ------------n (n2 – 1) Keterangan :
rs
= Koefisien korelasi Spearman
n
= Banyaknya jenjang
di = Selisih jenjang untuk faktor yang sama Hasil uji korelasi Rank Spearman digunakan untuk pembuktian hipotesis yang dimaksud dalam penelitian ini, yaitu melihat keeratan hubungan antar peubah yang terdiri dari karakterisitik pemilih, terpaan informasi kampanye, perilaku mengolah pesan kampanye sebagai peubah bebas dengan perilaku memilih sebagai peubah terikat. Analisa korelasional antar peubah yang datanya berbentuk nominal dilakukan dengan uji Koefisien Kontingensi, yaitu :
C=
χ2 --------n+χ2
C = Koefisen Kontingensi χ2 = Nilai Chi Kuadrat n = jumlah contoh Untuk menghitung nilai Chi Kuadrat (x2) dari tabel kontingensi menggunakan rumus :
2
χ =
∑
(O – E)2 ---------E
χ2 = nilai Chi Kuadrat O = nilai observasi E
= nilai harapan
Analisis tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak SPSS 13.0 for Windows.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Keadaan Geografis dan Sosial Budaya Secara geografis Kabupaten Cianjur terletak di tengah Provinsi Jawa Barat, dengan jarak sekitar 65 Km dari Ibu Kota Provinsi Jawa Barat (Bandung) dan 120 Km dari Ibu Kota Negara (Jakarta), terletak di antara 6 derajat 21 detik Lintang Selatan – 7 derajat 25 detik Lintang Selatan dan 106 derajat 42 detik Bujur Timur – 107 derajat 25 detik Bujur Timur. Kabupaten Cianjur yang luasnya 350.147 hektar dengan luas tanah sawah 58.585 hektar dan luas lahan darat 291.562 hektar dengan batas-batasnya adalah sebagai berikut : Sebelah utara Sebelah barat
: :
Sebelah selatan : Sebelah timur
Berbatasan
dengan
wilayah
Kabupaten
Purwakarta.
Kabupaten
Bogor
dan
Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Sukabumi Berbatasan dengan Samudra Indonesia.
: Berbatasan dengan wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Garut.
Keadaan alam daerah Kabupaten Cianjur terletak di kaki Gunung Gede dengan ketinggian 2.300 meter di atas permukaan laut dan terendah 7 meter di atas permukaan laut. Secara geografis wilayah ini terbagi dalam 3 bagian yaitu : 1. Cianjur Bagian Utara : merupakan dataran tinggi tereletak di kaki Gunung Gede, sebagian besar merupakan daerah dataran tinggi pegunungan dan sebagian lagi merupakan dataran yang dipergunakan untuk areal perkebunan dan persawahan. 2. Cianjur Bagian Tengah : merupakan daerah yang berbukit-bukit kecil dikelilingi dengan keadaan struktur tanahnya labil sehingga sering terjadi tanah longsor dan daerah ini pun merupakan daerah gempa bumi, dataran lainnya terdiri dari areal perkebunan dan daerah persawahan. 3. Cianjur Bagian Selatan : merupakan dataran rendah akan tetapi terdapat banyak
bukit-bukit kecil yang diselingi oleh pegunungan yang melebar
sampai ke daerah pantai Samudera Indonesia, seperti halnya daerah Cianjur Bagian Tengah bagian selatan pun tanahnya labil dan sering terjadi longsor dan daerah gempa.
63
Kabupaten Cianjur terdiri atas 30 kecamatan, 342 Desa dan 6 Kelurahan (data pada saat Pilkada pada bulan Januari 2006), 2.483 RW dan 9473 RT, yang terbagi dalam 3 (tiga) wilayah pembangunan, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini. Tabel 4. Banyaknya Desa/Kelurahan, RW dan RT setiap kecamatan berdasarkan Wilayah Pembangunan tahun 2004 Wilayah
Kecamatan
Desa/Kelurahan
RW
RT
Selatan
01. Agrabinta 02. Leles 03. Sindangbarang 04. Cidaun 05. Naringgul 06. Cibinong 07. Cikadu
10 11 9 13 10 13 9
47 39 43 69 100 72 55
193 143 196 347 342 273 215
Tengah
08. Tanggeung 19. Kadupandak 10. Cijati 11. Pagelaran 12. Sukanagara 13. Takokak 14. Campaka 15. Campakamulya
16 13 9 17 10 9 11 5
76 65 45 67 60 109 89 23
267 229 137 266 261 355 355 113
18 11 8 10 10 16 12 12 16 11 16 7 7 11 18 348
164 82 67 91 70 115 125 60 118 173 106 79 81 90 103 2.483
566 299 217 363 280 480 416 273 521 536 397 289 317 345 413 9.473
Utara
16. Cibeber 17. Warungkondang 18. Gekbrong 19. Cilaku 20. Sukaluyu 21. Bojongpicung 22. Ciranjang 23. Mande 24. Karangtengah 25. Cianjur 26. Cugenang 27. Pacet 28. Cipanas 29. Sukaresmi 30. Cikalongkulon Jumlah Sumber : BPS Kabupaten Cianjur, 2005.
Penduduk Kabupaten Cianjur tahun 2004 menurut hasil Susenas (Sensus Penduduk Nasional) adalah 2.058.134 jiwa yang terdiri dari 1.048.005 jiwa lakilaki dan 1.010.129 jiwa perempuan dengan sex ratio 103,75. (BPS Kabupaten
64
Cianjur, 2005). Kepadatan rata-rata penduduk Kabupaten Cianjur tahun 2004 adalah 587 jiwa per km persegi dan kepadatan terbesar ada di Kecamatan Cianjur, yaitu 6.276 jiwa per km persegi dan kepadatan terendah ada di Kecamatan Naringgul, yaitu 181 jiwa per km persegi. Tabel 5. Jumlah penduduk Kabupaten Cianjur menurut kelompok umur dan jenis kelamin tahun 2004. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 00 – 04 97.330 98.487 05 – 09 125.623 139.354 10 – 14 136.129 125.703 15 – 19 105.005 80.460 20 – 24 77.992 71.745 25 – 29 67.492 76.521 30 – 34 78.749 92.400 35 – 39 77.075 80.497 40 – 44 81.894 66.729 45 – 49 56.580 52.327 50 - 54 50.776 45.883 55 – 59 21.012 23.437 60 - 64 29.130 20.932 65 – 69 11.700 16.076 70 – 74 19.301 13.171 75 + 12.217 6.407 Jumlah 1.048.005 1.010.129 Sumber : BPS Kabupaten Cianjur, 2005. Kelompok Umur
Sedangkan
apabila
dilihat
dari
sebaran
penduduk
Jumlah 195.817 264.977 261.832 185.465 149.737 144.013 171.149 157.572 148.623 108.907 96.659 44.449 50.062 27.776 32.472 18.624 2.058.134 berdasarkan
pendidikan tertinggi yang ditamatkan untuk penduduk yang berusia 10 tahun ke atas dapat dilihat pada Tabel 6 berikut : Tabel 6. Jumlah penduduk 10 tahun ke atas menurut status pendidikan dan jenis kelamin tahun 2004. Jenis Kelamin Pendidikan Tertinggi yang ditamatkan Laki-laki Perempuan 1. Tidk/Belum pernah sekolah 12.457 26.902 2. Tdk/Belum tamat SD 214.767 224.233 3. SD/MI 445.167 419.502 4. SLTP/MTs. 85.064 68.988 5. SLTA/SMK/Aliyah 62.901 29.241 6. D1 s.d S1 4.696 3.422 Jumlah 825.052 772.288 Sumber : BPS Kabupaten Cianjur, 2005.
Jumlah 39.359 439.000 864.669 154.052 92.142 8.118 1.597.340
65
Selanjutnya
apabila
penduduk
Kabupaten
Cianjur
dikelompokkan
berdasarkan penduduk usia 10 tahun ke atas yang bekerja dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 7. Jumlah penduduk 10 tahun ke atas yang bekerja menurut lapangan usaha dan jenis kelamin tahun 2004. Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan 1. Pertanian 312.798 143.588 2. Pertambangan/Galian 2.985 3. Industri 28.170 10.426 4. Listrik, Gas dan Air 1.034 5. Konstruksi 32.429 597 6. Perdagangan 75.555 48.099 7. Angkutan dan Komunikasi 55.269 8. Keuangan 3.182 1.551 9. Jasa 44.320 11.220 Jumlah 555.742 215.481 Sumber : BPS Kabupaten Cianjur, 2005. Lapangan Usaha/Utama
Jumlah 456.386 2985 38.596 1.034 33.026 123.654 55.269 4.733 155.540 771.223
Lapangan atau pekerjaan penduduk Kabupaten Cianjur di sektor pertanian yaitu sekitar 62.99 %. Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yaitu sekitar 42,80%. Sektor lainnya yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan dan jasa yaitu sekitar 14,60% Beras Pandan Wangi yaitu beras asli Cianjur merupakan satu-satunya beras terbaik yang tidak ditemukan di daerah lain dan menjadi trade mark Cianjur dari masa ke masa. Masyarakat Kabupaten Cianjur adalah masyarakat yang religius dan mayoritas penduduknya 99,23 % beragama Islam (Ananta et al. 2004). Suasana kehidupan Islami dalam pembangunan masyarakat Cianjur tercermin dalam Gerakan Pembangunan Masyarakat Berakhlaqul Karimah, disingkat ”GERBANG MARHAMAH”, yang merupakan respons terhadap aspirasi umat Islam Cianjur dalam mewujudkan cita-cita untuk membumikan secara bertahap ajaran luhur Islam. Intinya, bagaimana ajaran Islam yang begitu sempurna itu tidak berhenti hanya pada tataran nilai, tetapi secara bertahap mampu diaktualisasikan pada tataran amaliah, Islam tidak saja berhenti pada tataran teologis dogmatis, tetapi mampu diaplikasikan dalam keseharian hidup umatnya. Islam tidak saja berhenti pada tataran aqidah, tetapi mampu ditransformasikan ke dalam tataran amaliah.
66
Sosial Politik Kabupaten Cianjur dalam Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2004 memilih 45 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) untuk periode 2004 -2009 dan diikuti oleh 24 Partai Politik peserta Pemilu. Dalam Pemilu Tahun 2004 kabupaten Cianjur dibagi ke dalam 5 Daerah Pemilihan (DP), yang terdiri atas DP Cianjur 1 dengan 10 Kursi (Kecamatan Cianjur, Warungkondang, Cibeber dan Cilaku), DP Cianjur 2 dengan 9 kursi (meliputi Kecamatan Ciranjang, Karangtengah, Bojongpicung, Mande dan Sukaluyu), DP Cianjur 3 dengan 10 kursi (meliputi Kecamatan Pacet, Cugenang, Cikalongkulon, Sukaresmi) , DP Cianjur 4 dengan 6 kursi (meliputi Kecamatan Sukanagara, Pagelaran, Campaka, Campaka Mulya dan Takokak), dan DP Cianjur 5 dengan 10 kursi (meliputi Kecamatan Tanggeung, Cibinong, Cikadu, Kadupandak, Agrabinta, Cidaun, Sindangbarang dan Naringgul). Dari 24 partai politik peserta Pemilu tahun 2004 hanya 7 (tujuh) partai politik saja yang mendapatkan kursi di DPRD Kabupaten Cianjur, yaitu Partai Golongan Karya 17 kursi (38%), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) 8 kursi (18%), Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 8 kursi (18%), Partai Demokrat (PD) 4 kursi (9%), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 3 kursi (7%), Partai Bulan Bintang 2 kursi (4%) dan Partai Kebangkitan Bangsa 2 kursi (4%). Berdasarkan data perolehan kursi DPRD Kabupaten Cianjur tersebut dapat dijelaskan bahwa partai-patai politik lama, Partai Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), yang sudah eksis sejak masa Pemerintahan Orde Baru masih mendominasi perolehan kursi. Sementara partai politik lainnya, Patai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang sudah menjadi peserta pemilu sejak Pemilu 1999, perolehan kursinya dapat dilampaui oleh partai politik baru, yaitu Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). PKS sebenarnya bukan partai politik yang sama sekali baru, dalam Pemilu 1999 menggunakan nama Partai Keadilan (PK), namun karena tidak lolos electoral threshold (batas minimum untuk dapat menjadi peserta pemilu berikutnya) mendaftarkan diri sebagai partai politik baru dengan mengganti namanya menjadi Partai Keadilan Sejahtera. Perolehan suara partai politik beserta perolehan kursi anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cianjur dalam Pemilu Tahun 2004 dapat dilihat pada Tabel 8.
67
Tabel 8. Perolehan Suara Parpol dan Kursi Anggota DPRD Kabupaten Cianjur pada Pemilihan Umum Legislatif Tahun 2004. No.
Nama Partai politik
Jumlah suara sah
Jumlah kursi
1 2
Partai Nasional Indonesia Marhaenisme (PNIM) Partai Buruh Sosial Demokrat (PBSD)
3 4
Partai Bulan Bintang (PBB) Partai Merdeka
5
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan (PPDK) Partai Perhimpunan Indonesia Baru (PPIB) Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) Partai Demokrat (PD) Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) Partai Amanat Nasional (PAN) Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Partai Bintang Reformasi (PBR)
18 19
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Partai Damai Sejahtera (PDS)
180.642 3.356
8
20 21 22 23 24
Partai Golongan Karya (Golkar) Partai Patriot Pancasila Partai Sarikat Indonesia (PSI) Partai Persatuan Daerah (PPD) Partai Pelopor
378.273 6.824 1.402 894 8.462
17
1.095.729
45
Jumlah suara sah Sumber: KPU Kabupaten Cianjur, 2004. (setelah diolah).
2.564 1.479 48.778 4.613
2
168.873
8
1.691 2.946 4.457 69.942 6.835 8.982 12.908 27.971 19.870 45.579 63.882 24.506
4
3 3
Pilkada Kabupaten Cianjur Pada tanggal 30 Januari 2006 untuk pertama kalinya Kabupaten Cianjur melaksanakan pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) secara langsung oleh rakyat. Di wilayah Provinsi Jawa Barat, Pilkada langsung Kabupaten Cianjur merupakan Pilkada yang ketujuh setelah Kota Depok, Kabupaten Sukabumi, Kabupaten Indramayu, Kabupaten Karawang, Kabupaten Bandung dan Kabupaten Tasikmalaya. Pemilihan Kepala Daerah secara langsung ini merupakan implementasi dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mulai diterapkan secara serempak mulai bulan Juni tahun 2005.
68
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Bupati dan Wakil Bupati) Kabupaten Cianjur tahun 2006 diikuti oleh 4 (empat) pasangan calon yang sebagian besar calonnya berasal dari lingkungan pemerintah daerah Kabupaten Cianjur. Salah satu calon di antaranya adalah Bupati Cianjur (incumbent) yang berpasangan dengan Ketua DPRD Kabupaten Cianjur dan secara resmi diusung oleh 10 (sepuluh) partai politik yang terdiri dari Partai Golongan Karya, Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK), Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI) dan Partai Pelopor. Sementara pasangan calon lainnya hanya diusung oleh paling banyak 2 (dua) partai politik, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9. Nama pasangan calon, nama parpol, jumlah gabungan perolehan suara dan gabungan kursi parpol pengusung pasangan calon dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006.
No. Urut
Nama Pasangan Calon
Parpol Pengusung
Ir.H.Wasidi Swastomo, M.Si dan Drs.H.Ade Barkah Surahman,M.Si
Partai Golkar, PAN, PKB, PBB, PPNUI, PKPB, PBR, PNBK, PPDI dan Partai Pelopor
2.
H. Dadang Rachmat dan Drs. H. Kusandi Sundjaya, M.M.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP)
3.
Drs.H.Tjetjep Muchtar Soleh, MM dan Drs. H. Dadang Sufianto, M.M.
Partai Demokrat (PD) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
1.
4.
Ir. Yayat Rustandi, M.STr. dan Hj. Titin Suastini, SH.
Partai Persatuan Pembangunan (PPP)
Jumlah
Sumber : Awaludin, U dkk, 2006. (setelah diolah).
jumlah perolehan suara gabungan parpol
Jumlah perolehan kursi gabungan parpol
579.786
22
180.642
8
133.824
7
168.873
8
1.063.125
45
69
Biografi Pasangan Calon Pasangan calon peserta Pilkada Cianjur tahun 2006 pada umumnya memilki latar belakang yang hampir sama apabila dilihat dari tingkat pendidikan dan pengalaman dalam lingkungan birokrasi pemerintahan. Secara ringkas biografi pasangan calon dapat di lihat pada Tabel 10 berikut ini. Tabel 10. Biografi calon peserta Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006. No Urut 1
Ir. H. Wasidi Swastomo, M.Si
S-2 S-2
2
Drs. Ade Barkah Surahman, M.Si. H. Dadang Rahmat
3
4
Nama Calon
Pendidikan
SMA
Drs. H. Kusnadi Sundjaya, MM
S-2
Drs.H.Tjetjep Muchtar Soleh, MM
S-2
Drs. H. Dadang Sufianto, MM.
S-2
Ir. Yayat Rustandi, M.STr.
S-2
H. Titin Suastini, SH.
S-1
Latar belakang pekerjaan Bupati Kab. Cianjur 2001-2006. Ketua DPRD Kab Cianjur 2004 -2009. Wakil Bupati Cianjur 2001-2006. Kepala Dinas Kehutanan dan Konservasi Tanah Kab. Cianjur 20012005. Kapala Bappeda Kab. Cianjur 2001-2005. Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab. Cianjur 2001-2005. Ketua Umum PS Locomotif PT Kereta Api (Persero) Bandung. Anggota Komisi II DPRD Kab. Cianjur 2004-2009.
Alamat/asal daerah Cianjur Cianjur Cianjur Cianjur
Cianjur Cianjur
Cianjur
Cianjur
Sumber : Awaludin, U dkk., 2006. (setelah diolah).
Kampanye Penyelenggaraan Kampanye Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2006 dilaksanakan berdasarkan regulasi dan kesepakatan sebagai berikut : a. Peraturan KPU Kabupaten Cianjur No. 01/2005 tentang Tahapan Program dan Jadual Waktu Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2006. b. Peraturan KPU Kabupaten Cianjur No. 05/2005 tentang Tata cara Pencalonan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2006.
70
c. Peraturan KPU Kabupaten Cianjur No.06/2005 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kampanye Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2006. d. Peraturan KPU No.07/2006 tentang Penerapan Prosedur yang disepakati atas laporan dana kampanye pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Cianjur tahun 2006. e. Kesepakatan bersama antara KPU Provinsi Jawa Barat dengan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah Jawa Barat tentang Pedoman Siaran Kampanye Pemilihan Kepala Derah dan Wakil Kepala Daerah di Jawa Barat
melalui
media
penyiaran
No.
123/KPU-JB/2005
dan
No.004/SK/KPID-Jabar/III/2005. (Awaludin dkk, 2006). Pelaksanaan kampanye dibagi dalam empat wilayah kampanye, dan setiap pasangan calon secara bergiliran mendepatkan kesempatan yang sama untuk menyelenggarakan kampanye di keempat wilayah kampanye tersebut sesuai jadual yang telah disusun bersama antara KPUD Kabupaten Cianjur dengan Tim Kampanye setiap pasangan calon. Pembagian wilayah kampanye dalam Pilkada Cianjur Tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Wilayah kampanye pasangan calon bupati dan wakil bupati dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2006 dari tanggal 13 s/d 26 Januari 2006. I
II
III
1. Cianjur 2. Cilaku 3. Cibeber 4. Warungkondang 5. Gekbrong
1. Karangtengah 2. Ciranjang 3. Sukaluyu 4. Mande 5. Bojongpicung
1. Campaka 2. Campakamulya 3. Sukanagara 4. Pagelaran 5. Tanggeung
6. Cugenang 6. Cikalongkulon 6. Kadupandak 7. Pacet 7. Cijati 8. Cipanas 8. Takokak 9. Sukaresmi Sumber : KPU Kabupaten Cianjur, 2006.
IV 1. Cibinong 2. Cikadu 3. Agrabinta 4. Leles 5. Sindangbarang 6. Cidaun 7. Naringgul
Kampanye pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam Pilkada Cianjur Tahun 2006 dilaksanakan mulai tanggal 13 Januari sampai dengan 26 Januari 2006, dan satu hari sebelum masa kampanye, tanggal 12
71
Januari 2006, dilakukan sosialisasi pasangan calon peseta Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006 dalam bentuk pawai keliling Kota Cianjur yang diikuti oleh semua pasangan calon beserta tim kampanyenya. Jadual kampanye pasangan calon diatur oleh Komisi Pemilihan Umum Daerah kabupaten Cianjur sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini. Tabel 12. Jadual kampanye pasangan calon bupati dan wakil bupati dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Cianjur Tahun 2006 dari tanggal 13 s/d 26 Januari 2006. No. Urut Tanggal dan Wilayah Kampanye Pasangan 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 Calon No.Urut 1 * I IV III II I IV III II I IV III II I No.Urut 2 * II III IV I II III IV I II III IV I II No.Urut 3 * III II I IV III II I IV III II I IV III No.Urut 4 * IV I II III IV I II III IV I II III IV Keterangan : tanda * tidak ada kampanye terbuka Sumber : KPU Kabupaten Cianjur, 2006. Pada
hari pertama
kampanye, tanggal 13 Januari 2006,
tidak
dilaksanakan kampanye di wilayah kampanye yang telah ditetapkan, namun kegiatan kampanye dilaksanakan dalam bentuk penyampaian visi, misi setiap pasangan di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Cianjur yang dimulai pada jam 08.00 sampai dengan jam 11.00. Kemudian pada malam harinya, jam 19.30 sampai dengan jam 23.00 dilaksanakan kampanye dalam bentuk “debat publik”. Baru pada hari berikutnya, mulai tanggal 14 sampai dengan 26 Januari 2006, kampanye pasangan calon dilaksanakan menurut jadual dan wilayah-wilayah kampanye yang telah ditetapkan. Berbagai Jenis media komunikasi digunakan oleh setiap pasangan calon dalam upaya menarik perhatian dan mengajak pemilih untuk memilihnya. Bentukbentuk media yang paling banyak digunakan oleh pasangan calon dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006 di antaranya adalah Jenis media cetak yang dapat dikelompokan ke dalam media luar ruang (post material) dan surat kabar/tabloid. Media luar ruang (post material) terdiri atas poster, selebaran atau pamplet, spanduk, bendera, baliho (billboard), sticker dan pin. Kampanye tatap muka, dalam bentuk rapat umum, pawai, tatap muka dengan kelompok masyarakat, panggung hiburan dan istiqosah. Kampanye di media massa cetak,
72
seperti surat kabar terbitan lokal, regional dan nasional, tabloid lokal dan tabloid pasangan calon. Surat kabar dan Tabloid yang memuat berita-berita seputar kampanye dan isu-isu tentang Pilkada Kabupaten Cianjur di antaranya adalah koran/tabloid lokal Fajar Indonesia, Tabloid Pasundan, Suara Puncak, Koran regional wilayah Bogor, seperti Pakuan Raya, Radar Bogor, SK Pakuan, dan koran regional Jawa Barat di antaranya, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar dan Gala Media, serta koran nasional seperti, Media Indonesia,
Seputar Indonesia, Warta Kota dan
sebagainya. Pasangan calon juga ada yang membuat tabloid sendiri (tabloid pasangan calon) yang disebarkan pada saat kampanye. Penggunaan media massa radio sebagai sarana kampanye dan sosialisasi Pilkada Cianjur dilaksanakan dalam bentuk penyiaran dialog interaktif (talkshow), penyiaran lagu-lagu Pilkada, spot iklan kampanye. Siaran Radio yang sering meliput isu-sisu Pilkada dan kampanye pasangan calon di antaranya adalah Tjandra FM, RRI Cianjur (RSPD FM), Pasundan FM, Nurani FM, Khatalina FM, Qi FM, Mora FM dan sebagainya (Awaludin dkk, 2006). Media audio-visual yang sering memberitakan tentang isu-isu dan iklan kampanye Pilkada Kabupaten Cianjur adalah TVRI Jabar-Banten (Bandung). Stasiun televisi lainnya (swasta) hanya sesekali saja menyiarkan reportase pilkada berdasarkan isu yang dianggap paling menarik. Kampanye tatap muka dilaksanakan di ruang terbuka maupun tertutup. Kampanye tatap muka di ruang terbuka, meliputi kegiatan rapat umum, istiqosah, panggung hiburan dan pawai kendaraan bermotor. Kampanye tatap muka yang dilaksanakan di ruang tertutup, meliputi debat publik dan dialog tatap muka pasangan calon dan tim kampanye dengan kader dan tokoh-tokoh masyarakat. Selain itu kampanye tatap muka juga dilaksanakan dalam bentuk-bentuk lainnya, seperti menutup kejuaran Motorcross, salat Jum’at bersama, silaturahmi kepada pedagang pasar dan sebagainya. Dalam kampanye tatap muka yang diselenggarakan di suatu lapangan terbuka dan dihadiri oleh massa pendukung yang berjumlah banyak. Pasangan calon atau tim kampanye biasanya hanya menggunakan sedikit waktu untuk menyampaikan orasi tentang visi dan misinya, selebihnya banyak diisi dengan hiburan dan upaya membangkitkan emosi masa dengan meneriakan yel-yel kampanyenya. Oleh karena itu setiap pasangan calon memiliki yel-yelnya sendiri yang sekaligus digunakan sebagai simbol-simbol dari pasangan calon tersebut.
73
Masing-masing pasangan calon dalam upaya mempengaruhi pemilih mereka menciptakan slogan atau yel-yel yang merupakan akronim dari namanama pasangan calon. Pasangan calon nomor satu, Ir. Wasidi Swastomo, M.Si – Drs. Ade Barkah Surahman. M.Si. menggunakan slogan “Mawadah” yang merupakan akronim dari “Masyarakat Wasidi dan Ade Barkah”. Sementara pasangan nomor urut dua H. Dadang Rachmat, SE – H. Kusnadi Sundjaya yang didukung oleh PDIP menggunakan slogan “Darahku” yang merupakan akronim dari “Dadang Rachmat dan Kusnadi Sunjaya”. Pasangan nomor urut tiga Drs. Tjetjep Muchtar Soleh, MM – Drs. Dadang Sufianto, MM. Menggunakan slogan ”Cerdas” merupakan akronim dari ”Tjetjep Muchtar Soleh dan Dadang Sufianto”. Sedangkan pasangan nomor urut empat yaitu Ir. Yayat Rustandi, M.STr. – Titin Suastini, SH menggunakan slogan ”Yatin” yang merupakan akronim dari ”Yayat Rustandi dan Titin Suastini” Slogan ini selalu dijadikan simbol-simbol dalam meneriakan yel-yel pasangan calon pada setaip kesempatan kampanye. Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dikemukakan bahwa dalam kegiatan kampanye Pilkada di Kabupaten Cianjur Tahun 2006, semua pasangan calon berusaha semaksimal mungkin menggunakan berbagai jenis dan bentuk media yang tidak dilarang menurut aturan untuk digunakan dalam upaya mempengaruhi khalayak pemilih yang akan menggunakan hak pilihnya. Penggunaan berbagai jenis dan bentuk media dalam kampanye politik kemungkinan disebabkan karena secara umum visi dan misi antara pasangan calon tidak memiliki perbedaan yang menyolok baik dalam program maupun sasarannya, sementara khalayak pemilihnya bersifat heterogen sehingga tidak mudah untuk disegmentasikan.
Pemilih Terdaftar Dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006, jumlah penduduk terdaftar yang memiliki hak pilih adalah sebanyak 1.404.777 orang, dengan jumlah pemilih laki-laki 715.866 orang (51%) dan pemilih perempuan 688.911 orang (49%), yang tersebar di 3.413 buah Tempat Pemungutan Suara (TPS) sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 13.
Karakteristik pemilih dilihat dari
kriteria jenis kelamin, antara pemilih laki-laki dan pemilih perempuan, dari segi jumlah tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.
74
Tabel 13. Rekapitulasi jumlah pemilih tetap dalam Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh KPUD Kabupaten Cianjur Hak pilih Laki-laki Perempuan Cianjur 52.400 52.525 Warungkondang 21.252 20.444 Gekbrong 15.787 15.272 Cibeber 38.126 36.275 Cilaku 31.354 29.484 Karangtengah 42.074 41.409 Ciranjang 30.069 29.505 Bojongpicung 36.949 35.716 Mande 21.673 20.681 Sukaluyu 23.320 21.484 Pacet 29.686 27.890 Cipanas 32.765 30.715 Cugenang 31.001 29.194 Cikalongkulon 29.892 .29431 Sukaresmi 24.887 24.286 Sukanagara 15.769 15.317 Campaka 21.154 20.319 Campakamulya 8.888 8.521 Takokak 17.126 16.833 Pagelaran 29.780 28.578 Tanggeung 21.821 21.123 Kadupandak 16.182 15.746 Cijati 11.047 11.390 Cibinong 19.946 18.084 Sindangbarang 17.102 16.570 Agrabinta 14.659 14.412 Leles 11.965 11.023 Cidaun 21.739 21.758 Naringgul 14.915 14.321 Cikadu 12.538 11.605 Jumlah 715.866 688.911 Sumber : KPU Kabupaten Cianjur, 2005. Kecamatan
Jumlah 103.925 41.696 31.059 74.401 60.838 83.483 59.574 73.665 42.354 44.804 57.576 63.480 60.195 59.323 49.173 31.086 41.473 17.409 33.959 58.358 42.944 31.928 22.437 38.030 33.672 29.071 22.988 43.497 29.236 24.143 1.404.777
Jumlah PPS 11 18 11 10 8 12 16 16 12 10 7 16 18 11 7 11 11 17 9 5 16 13 13 9 9 9 13 10 11 10 349
Jumlah TPS 238 104 75 153 129 183 119 149 88 147 122 159 142 130 110 81 90 36 82 209 98 114 80 105 87 65 57 103 99 59 3.413
Pemilih terdaftar yang menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006 adalah sebanyak 991.727 pemilih (71%), dari jumlah keseluruhan pemilih terdaftar, 1.404.777 pemilih. Kemudian dari 991.727 pemilih yang menggunakan hak pilihnya, sebanyak 907.310 (91,49%) suaranya dinyatakan sah dan 84.417 (8,51%) dinyatakan tidak sah.
Perolehan Suara Pasangan Calon Berdasarkan hasil penghitungan suara pasangan calon kepala daerah yang dilakukan oleh KPUD Kabupaten Cianjur; pasangan calon nomor urut tiga (Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM.
dan
Drs. H. Dadang Sufianto, MM.)
75
memperoleh suara sah sebanyak
311.802 (34,37%) dan menjadi pemenang
dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006. Pasangan calon nomor urut satu, (Ir. H. Wasidi
Swastomo, M.Si
dan
Drs. H. Ade Barkah Surahman, M.Si)
memperoleh suara sebanyak 309.181 (34,08%). Perolehan suara kedua pasangan calon ini menempatkan kedua pasangan calon ini pada posisi pertama dan kedua dengan selisih perolehan suara sebanyak 2.621 suara atau 0,028 %. Pasangan calon dengan nomor urut dua (H. Dadang Rachmat dan Drs. H. Kusandi Sundjaya, MM.) memperoleh 218.391 (24,07%) suara dan nomor urut empat (Ir. Yayat Rustandi, M.STr. dan Hj. Titin Suastini, SH.) memperoleh 67.936 (7,49%) suara. Tabel 14. Perolehan Suara Pasangan Calon dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006 No. Urut 1. 2. 3. 4.
Nama Pasangan Calon Ir. H. Wasidi Swastomo, M.Si Drs. H. Ade Barkah Surahman, M.Si H. Dadang Rachmat Drs. H. Kusandi Sundjaya, M.M. Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM. Drs. H. Dadang Sufianto, M.M. Ir. Yayat Rustandi, M.STr. Hj. Titin Suastini, SH.
Atribut Pasangan Calon
jumlah suara sah
%
Mawadah
309.181
34,08
Darahku
218.391
24,07
Cerdas
311.802
34,36
Yatin
67.936
7,49
907.310
100,00
Jumlah Sumber : Awaludin, U dkk, 2006. (setelah diolah)
Hasil Pilkada Kabupaten Cianjur menunjukkan adanya pergeseran suara pemilih antara Pemilu Legislatif Tahun 2004 dengan Pilkada Kabupaten Cainjur Tahun 2006 sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 15. Pasangan calon nomor urut satu yang diusung oleh gabungan banyak partai politik (10 partai politik) dan sekaligus merupakan calon incumbent (Bupati yang sedang menjabat), dengan jumlah kumulatif suara dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004 yang mencapai 579.786 (53%) suara, dalam Pilkada hanya memperoleh 309.181 (34,0767%) suara, turun sebanyak 18,92%. Pasangan calon nomor urut tiga yang diusung oleh dua partai politik dengan jumlah kumulatif suara dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004 sebanyak 133.824 (12%) memperoleh 311.802 (34,3655%) suara,
76
meningkat sebanyak 22,37%. Pasangan calon dengan nomor urut dua yang diusung oleh satu partai politik dengan perolehan suara dalam Pemilu Lagislatif Tahun 2004 sebanyak 180.642 (16%) suara, memperoleh 218.391 (24,0702%) suara, menunjukkan adanya peningkatan sebanyak 8,07%. Pasangan calon nomor urut empat, yang diusung oleh satu partai politik dengan perolehan suara dalam Pemilu Lagislatif Tahun 2004 sebanyak 168.873 (15%), memperoleh suara sebanyak 67.936 (7,4876%), turun sebanyak 7,51%. Tabel.15. Perbandingan Perolehan Suara Pasangan Calon dalam Pilkada Kabuapten Cianjur Tahun 2006 dengan Kumulatif Perolehan Suara Partai Politik Pengusung Pasangan Calon dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004. Nomor urut pasangan calon 1
Partai politik Perolehan pengusung pasangan suara calon Pemilu 2004 Partai Golkar, PAN, PKB, PBB, PPNUI, 579.786 PKPB, PBR, PNBK, PPDI dan Partai Pelopor Partai Demokrasi 180.642 2 Indonesia Perjuangan (PDIP) Partai Demokrat (PD) 133.824 3 dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Partai Persatuan 168.873 4 Pembangunan (PPP) Sumber : Awaludin, U dkk. 2006. (setelah diolah)
%
Perolehan suara Pilkada
%
53
309.181
34,0767
16
218.391
24,0702
12
311.802
34,3655
15
67.936
7,4876
Berdasarkan uraian sebelumnya dapat dijelaskan bahwa terdapat sejumlah pemilih yang dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004 memberikan pilihannya kepada suatu partai politik tertentu dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006 memilih pasangan calon yang diusung oleh partai politik lain. Hal ini berarti terdapat sejumlah pemilih yang mengalihkan pilihannya (swing voter, switcher) dari partai politik yang satu ke partai politik lainnya dalam pemilihan yang berbeda. Gejala ini menandakan bahwa pilihan seseorang dapat berubahubah seiring dengan berjalannya waktu dan peristwa-pristiwa politik yang dialaminya. Tidak ada jaminan seorang pemilih yang memberikan suara kepada salah satu partai politik dalam suatu pemilihan akan memberikan suaranya kepada partai politik yang sama pada pemilihan lainnya.
77
Fenomena tersebut dapat mengubah pandangan terhadap teori perilaku pemilih (voting behavior) yang selama ini banyak dijadikan referensi dalam studi perilaku pemilih, yaitu Mazhab Columbia (Columbia School for Electoral Behavior), yang menyatakan bahwa pengelompokan-pengelompokan sosial mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi dan orientasi pemilih, maupun Mazhab Michigan (The Michigan Survey Research Center), yang berpandangan bahwa ikatan psikologis pemilih dengan partai politik atau calon merupakan faktor yang menentukan dalam membentuk perilaku pemilih. Tetapi fenomena ini mendukung pendekatan rasional dalam studi perilaku pemilih, yang beranggapan bahwa selain faktor sosiologis dan psikologis ada peubah lain yang ikut menentukan dalam mempengaruhi perilaku politik seseorang (Ridwan, 2004). Pemilih tidak bersifat pasif, terbelenggu oleh karakterisitik sosiologis dan psikologis, melainkan bebas bertindak (aktif) dimana faktor-faktor situasional, baik itu berupa isu-isu politik maupun kandidat yang dicalonkan, mempunyai peranan yang penting dalam menentukan pilihan politik seseorang. Oleh karena itu, dalam pendekatan rasional penilaian terhadap isuisu politik dan kandidat merupakan faktor yang sangat penting dalam menjelaskan pilihan politik seseorang. Dalam pendekatan rasional terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat. Orientasi isu berhubungan dengan isu-isu publik yang sedang menjadi sorotan masyarakat pada saat itu serta
program-program
apa
yang
ditawarkan
kandidat
sebagai
upaya
memecahakan persoalan-persoalan yang sedang dihadapi oleh masyarakat. Sedangkan orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi kandidat tanpa memperdulikan label partainya. Meskipun demikian, ketertarikan pemilih terhadap isu-isu yang ditawarkan oleh kandidat bersifat situasional. Sehingga ketertarikan pemilih kepada keduanya tidak bersifat permanen melainkan berubah-ubah.
78
Distribusi Peubah Penelitian Sebelum menguji hipotesis, maka data primer yang telah terkumpul dari hasil penelitian yang dilakukan terhadap pemilih (responden) dalam Pilkada Kabupaten
Cianjur
Tahun
2006,
selanjutnya
dideskripsikan
dengan
menggunakan metode distribusi frekuensi terhadap semua peubah penelitian dikelompokkan sebagai berikut :
Distribusi Peubah Karakteristik Demografi dan Sosial-Psikologis Pemilih Karakteristik pemilih yang diamati dan diduga berhubungan dengan banyaknya menerima terpaan informasi kampanye, perilaku dalam mengolah pesan kampanye dan perilaku memilih dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006, meliputi (1) umur, (2) jenis kelamin, (3) pendidikan, (4) pekerjaan, (5) penghasilan/ pengeluaran keluarga, (6) afiliasi dengan partai politik, (7) orientasi terhadap partai politik dan (8) motivasi pemilih. Tabel 16
mendeskripsikan
sebaran karakteristik demografi dan sosial - psikologis pemilih. Karakteristik demografi dalam teori perilaku pemilih Mazhab Columbia disebut karakteristik sosial, yang meliputi umur (tua-muda), jenis kelamin (priawanita),
agama,
status
sosial,
pendidikan,
pekerjaan
dan
kekayaan
(penghasilan). Sedangkan karakterisitik sosial-psikologis (Mazhab Michigan) meliputi konsep sikap dan sosialisasi. Sikap sebagai peubah sentral dalam menjelaskan perilaku pemilih menurut Greenstein (dalam Ridwan 2004) mengandung tiga fungsi, (1) fungsi kepentingan, (2) fungsi penyesuaian diri, dan (3) fungsi eksternalisasi dan pertahanan diri. Sedangkan sikap yang terbentuk melalui proses sosialisasi yang berkembang menjadi ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan partai politik atau kandidat tertentu, dikenal dengan sebutan identifikasi partai (party identification). Peubah sosial-psikologis dalam penelitian ini diukur dengan peubah afiliasi parpol, orientasi parpol dan motivasi memilih. Afiliasi parpol adalah tingkat kedekatan hubungan antara pemilh dengan salah satu partai politik, yang meliputi kategori pengurus partai, aktivis atau anggota partai, pendukung setia, simpatisan atau tidak memiliki kedekatan hubungan. Orientasi parpol adalah ketertarikan secara psikologis pemilih terhadap salah satu partai politik tertentu, yang meliputi kategori karena alasan ideologis (agama atau aliran politik), ketokohan pimpinan partai, pewarisan dari orang tua, karena teman/tetangga
79
atau lingkungan sosial. Sedangkan motivasi adalah stimulus yang mendorong pemilih untuk ikut menggunakan hak pilih dalam Pilkada Kabupaten Cianjur tahun 2006, yang dikategorikan ke dalam ingin pemimpin yang lebih baik, melaksanakan hak, menjalankan kewajiban, ikut karena ajakan orang lain atau tidak tahu/tidak mengerti. Tabel 16. Distribusi peubah karakteristik demografi dan sosial-psikologis pemilih No.
Karakteristik
Kategori
1.
Umur
Distribusi :
2.
Jenis kelamin
3.
Pendidikan Formal
4.
Pekerjaan
5.
Penghasilan/ Pengeluaran Keluaraga
6.
Afiliasi (hubungan) dengan Parpol
7.
Orientasi terhadap Partai Politik
8.
Motivasi
Laki-laki Perempuan SD/Tdk Sekolah SLTP SLTA Diploma Sarjana atau diatasnya Pelajar/tidak bekerja/IRT Buruh/petani Pegawai swasta Pengusaha/wiraswasta Pegawai Negeri Sipil < Rp 500.000 Rp 500.000 - Rp.1000.000 Rp 1.000.001 - Rp.1.500.000 Rp.1.500.001 - Rp.2.000.000 > Rp.2.000.000 Pengurus partai Aktivis partai/anggota Pendukung setia partai Simpatisan Tidak ada hubungan Kesamaan ideologi Tokoh/figur pribadi pemimpin Parpol yg dipilih keluarga Parpol teman/tetangga Tidak tertarik/tidak tahu Pemimpin yang lebih baik Melaksanakan hak Melaksanakan kewajiban Ikut karena ajakan orang lain Tidak tahu
≤ 19 tahun 20-29 tahun 30-39 tahun 40-49 tahun ≥ 50 tahun
Jumlah (orang) 5 34 26 28 7 57 43 10 12 47 8 23 16 12 26 22 24 10 15 52 17 6 5 9 26 33 27 25 38 24 9 4 30 23 31 9 7
Persentase (%) 5 34 26 28 7 57 43 10 12 47 8 23 16 12 26 22 24 10 15 52 17 6 5 9 26 33 27 25 38 24 9 4 30 23 31 9 7
Berdasarkan Tabel 16 dapat dijelaskan bahwa karakteristik pemilih dilihat dari peubah usia, terdistribusi hampir merata pada usia antara 20 sampai dengan 49 tahun (88%). Tingkat usia 20-39 tahun 34%, usia 30-39 tahun 26% dan usia
80
40-49 tahun 28%, sementara usia di bawah 20 tahun hanya sebanyak 5% dan usia 50 tahun ke atas sebanyak 7%. Peubah jenis kelamin terdistribusi hampir seimbang antara laki-laki dan perempuan. Hal ini menunjukkan tidak terlampau jauh berbeda antara komposisi responden dengan keadaan populasi pemilih yang sebenarnya dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006, yaitu responden pemilih laki-laki 57 % (populasi 51%) dan perempuan 43 %. (populasi 49%). Pengelompokan agama yang dianggap sebagai faktor yang menentukan dalam mempengaruhi perilaku pemilih (Mazhab Clolumbia) dan umumnya dijadikan peubah utama dalam
penelitian-penelitian perilaku pemilih di
Indonesia, namun dalam penelitian ini tidak dijadikan peubah yang dianalisis dengan alasan, pertama, cukup sulit untuk mendapatkan responden yang bukan beragama Islam dan bersedia untuk diwawancarai atau menjawab kuesioner. Kedua, 99,23 % penduduk Kabupaten Cianjur adalah beragama Islam (Ananta et al. 2004) sehingga kurang relevan untuk dianalisis dalam kasus ini. Berdasarkan pertimbangan tersebut peubah agama yang dianut oleh pemilih tidak dijadikan peubah yang dianalisis. Karakteristik pemilih apabila dilihat berdasarkan peubah pendidikan, pekerjaan dan pengeluaran keluarga, dapat dijelaskan, bahwa tingkat pendidikan responden sebagian besar berpendidikan setingkat SLTA (47%) dan di atas SLTA (Diploma dan Sarjana) 31 %, sedangkan yang berpendidikan di bawah SLTA (SLTP dan SD atau tidak sekolah) 22 %. Pekerjaan responden dominan yang memiliki status pekerjaan yang tetap (mapan), yaitu pegawai negeri sipil, pengusaha/wiraswasta dan pegawai swasta (72%). Pegawai swasta (26%), pegawai PNS (24%) dan pengusaha atau berwirausaha (22%),
sedangkan
buruh/petani 12% dan ibu rumah tangga, pelajar atau tidak/belum bekerja sebanyak 16%. Pengeluaran keluarga per-bulan sebagian besar terdistribusi antara Rp 1.000.001,- sampai dengan Rp. 1.5 juta (52 %), di bawah
Rp
1.000.000,- sebanyak 25% dan di atas Rp. 1,5 juta,- sebanyak 23 %. Sebaran responden berdasarkan peubah pendidikan dan pekerjaan memang tidak mencerminkan karakteristik penduduk Kabupaten Cianjur. Hal ini disebabkan karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui intensitas terpaan dari beragam saluran komunikasi dan media kampanye, sehingga pengambilan contoh didasarkan pada responden yang memiliki aksesibilitas terhadap berbagai bentuk media kampanye.
Karena pemilih yang dijadikan
responden diambil dari sejumlah lokasi penelitian yang merupakan wilayah yang
81
berdekatan dengan tempat-tempat yang menjadi pusat kegiatan kampanye, sementara sebagian besar responden yang terpilih secara kebetulan adalah pemilih yang berpendidikan setingkat SLTA dan di atas SLTA. Demikian halnya dengan jenis pekerjaan, karena dalam penelitian ini peubah pekerjaan didasarkan pada peringkat kemapanan dalam pekerjaan (memiliki pekerjaan tetap) dan tingkat ancaman peluang kehilangan pekerjaan, sehingga responden yang terpilih kebanyakan berstatus pegawai tetap. Dominannya responden yang berstatus pegawai negeri sipil, pegawai swasta serta pengusaha atau wiraswasta, disebabkan karena lokasi kampanye yang digunakan oleh pasangan calon pada umumnya menggunakan lokasi yang berdekatan dengan lingkungan perumahan atau penduduk yang relatif padat. Sementara penduduk yang berstatus pekerjaannya petani, yang berdasarkan data demografi merupakan penduduk Cianjur terbanyak, tersebar di berbagai pelosok dan hanya sedikit terjangkau oleh media komunikasi, surat kabar/tabloid, televisi dan radio sehingga relatif kecil kemungkinannya untuk mendapat terpaan kampanye dari media yang beragam, maka penelitian ini tidak didasarkan pada pertimbangan keadaan populasi yang sebenarnya. Selanjutnya berdasarkan karakteristik sosial-psikologis pemilih yang menjadi responden sebagian besar menyatakan tidak memiliki hubungan atau ikatan (afiliasi) dengan partai politik secara langsung. Kebanyakan di antara responden hanya sebatas simpatisan saja (33%), sebagai pendukung setia partai (26%), dan tidak mempunyai hubungan (27%). Responden yang menyatakan berasal dari pengurus partai politik dan anggota atau aktivis partai politik hanya sebanyak 14% saja. Hal ini menandakan bahwa tidak banyak masyarakat yang berafiliasi dengan parpol terlibat langsung dalam kehidupan partai, seperti menjadi anggota atau pengurus partai. Kecenderngan ini merupakan fenomena pemilih di Indonesia yang sering disebut masa mengambang (floating mass). Selain itu juga karena kondisi setelah reformasi berbeda jauh dengan kondisi pada masa Orde Baru dimana pada saat itu semua pegawai negeri sipil harus menjadi anggota salah satu partai politik (Golkar). Dilihat dari orientasi parpol, kebanyakan responden menyatakan lebih tertarik pada figur atau ketokohan pimpinan partai (38%), sedangkan yang berdasarkan alasan kesamaan ideologi, yang secara psikologis biasanya lebih kuat dan permanen, hanya 25% hampir sama dengan responden yang memiliki alasan karena parpol yang dipilih oleh keluarga (24%). Reponden yang
82
menyatakan ketertarikannya terhadap partai karena alasan pengaruh teman atau tetangga hanya 9% dan menyatakan tidak tahu sebanyak 4%.
Hal ini
menandakan bahwa sebagian besar pemilih sudah mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu partai politik tertentu, sebagai akibat dari proses sosialisasi yang dilalui pemilih dan kemudian berkembang menjadi ikatan psikologis yang kuat antara seseorang dengan partai politiknya. Sikap seperti ini dalam teori perilaku memilih (voting behavior) dikenal dengan istilah identifikasi partai (party identification). Pada umumnya pemilih yang mempunyai kedekatan dengan suatu partai politik seperti itu sudah menentukan pilihan politiknya jauh sebelum pelaksanaan pemungutan suara dan tidak mudah untuk berpindah ke partai politik lain. Distribusi peubah motivasi pemilih menunjukkan bahwa 31% responden menyatakan motivasinya didasarkan karena menjalankan kewajiban. Hal ini menandakan bahwa masih banyaknya pemilih (sebagian besar) yang alasan keikutsertaannya dalam pemilihan didasarkan karena faktor kewajiban daripada hak maupun alasan menginginkan kepemimpinan yang lebih baik.
Hal ini
menandakan bahwa sebagian besar pemilih masih memandang kegiatan pemilu sebagai kegiatan ritual yang wajib diikuti. Kondisi ini kemungkinan disebabkan oleh masih kuatnya pengaruh suasana pemilihan umum di masa Orde Baru, dimana penduduk yang sudah memiliki hak pilih diwajibkan untuk menggunakan hak pilihnya di dalam setiap pemilhan umum dan pemilih yang tidak menggunakan
hak
pilihnya
sering
mendapatkan
intimidasi
dari
aparat
pemerintah. Namun demikian masih cukup banyak pemilih yang alasan memilihnya didasarkan karena menghendaki pemimpin yang lebih baik (30%) dan melaksanakan hak (23%), tetapi relatif sedikit pemilih yang alasan memilihnya karena karena ikut-ikutan (9%), dan tidak tahu atau tidak menjawab (7%). Dengan demikian karakteristik pemilih menggambarkan kondisi sosialpsikologis yang mencerminkan masih cukup kuatnya ikatan psikologis pemilih dengan suatu partai politik, mulai simpatisan sampai pendukung setia. Ikatan psikologis ini juga cenderung dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan partai politik yang kharismatis daripada karena faktor kesamaan ideologi. Pengaruh psikologis pemilu-pemilu di masa Orde Baru nampaknya masih melekat di sebagian pemlih, sehingga pemilu dianggap sebagai kegiatan ritual yang wajib dilakukan. Sikap ini menandakan sikap apatis pemilih yang kurang merasa yakin atau bahkan tidak
83
perduli apakah dengan adanya pergantian kepemimpinan akan dapat merubah nasibnya kelak
Distribusi Peubah Terpaan Informasi Kampanye Dalam kegiatan kampanye pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah secara langsung, partai politik atau pasangan calon pada umumnya menggunakan berbagai cara untuk meraih dukungan pemilih. Sebagaimana dikemukakan oleh Venus (2004) dalam kampanye politik hampir seluruh bentuk media dan sarana komunikasi dapat digunakan, dan khalayak pemilihnya juga tidak memiliki segmentasi yang khusus karena sangat heterogen. Bentuk media kampanye yang paling umum dan banyak digunakan adalah rapat umum (kampanye terbuka) dan penyebaran media luar ruang dan post material, seperti spanduk, poster, bendera, baliho (billboard), pamplet, sticker dan sebagainya. Seiring dengan perkembangan teknologi informasi, calon-calon yang memiliki dukungan finansial yang cukup biasanya juga menggunakan media masa surat kabar/tabloid, radio dan televisi sebagai media kampanye untuk menjangkau calon pemilih yang tersebar diberbagai pelosok dalam waktu yang singkat. Saluran komunikasi lainnya yang biasanya digunakan adalah melaui komunikasi antarpribadi melalui tokoh-tokoh masyarakat yang menjadi tim kampanyenya. Terpaan (exposure) informasi kampanye pada masa-masa kampanye biasanya begitu gencar dan menyebar luas ke berbagai pelosok daerah dan yang paling intensif biasanya dilakukan di wilayah yang menjadi obyek sasaran kampanye. Terpaan media massa (media exposure) adalah penggunaan media, baik jenis media cetak, audio maupun audio visual, frekuensi penggunaan maupun durasi penggunaan (longevity). Penggunaan jenis media meliputi, media audio, audiovisual, media cetak, maupun kombinasi antar media. Dalam suatu kegiatan kampanye politik penyebaran informasi kampanye tidak hanya dilakukan melalui media masa, tetapi juga komunikasi tatap muka, seperti kampanye terbuka (rapat umum) dan komunikasi antarpribadi. Untuk mengetahui berbagai bentuk komunikasi dan frekuensi serta jenis media yang menerpa pemilih selama masa kampanye, maka peubah terpaan informasi kampanye dalam penelitian ini mencakup terpaan (1) media surat kabar/tabloid, (2) radio, (3) televisi, (4) media luar ruang (baliho, spanduk, poster, pemplet/selebaran, stiker), (5) kampanye tatap muka (kampanye terbuka,
84
kampanye tertutup, debat/dialog, pawai atau arak-arakan), dan 6) komunikasi interpersonal. Kuesioner yang digunakan untuk menjaring informasi terpaan kampanye digunakan pertanyaan semi tertutup, untuk memberikan kesempatan kepada responden menambahkan bentuk saluran komunikasi yang sejenis dengan saluran informasi yang ditanyakan. Untuk mengukur perbedaan besarnya terpaan informasi kampanye menggunakan skala ordinal dengan kategori, (1) 0 (tidak sama sekali), (2) 1 – 3 kali, (3) 4 – 6 kali, (4) 7 – 9 kali, dan (5) lebih dari 9 kali. Rentang interval yang digunakan untuk pengelompokan ordinal ini karena masa kampanye hanya 14 hari. Untuk mengukur besarnya terpaan informasi kampanye
dilakukan
dengan
cara
mengakumulasikan
semua
jawaban
responden untuk setiap bentuk dan jenis saluran komunikasi.
Terpaan Media Surat Kabar/Tabloid Media cetak surat kabar dan tabloid adalah termasuk media komunikasi massa yang prosesnya satu arah, pesannya bersifat umum, medianya menimbulkan keserempakan dan khalayaknya heterogen (Effendi 1997). Media cetak surat kabar dan tabloid adalah media yang berbentuk tulisan, dilihat/dibaca, membaca dapat ditunda, tidak butuh tempat khusus, terbatas ruang dan waktunya, mudah didokumentasikan, dan distribusinya terbatas (Muda 2003). Untuk menyerap informasi surat kabar dan tabloid, pembaca dituntut untuk bisa membaca serta memiliki intelektualitas tertentu (Ardianto dan Ardinaya 2004). Terpaan media cetak surat kabar/tabloid diukur dengan frekuensi pemilih dalam membaca informasi kampanye melalui surat kabar/tabloid selama periode masa kampanye (13 – 26 Januari 2006). Media cetak surat kabar dan tabloid digunakan untuk mengukur terpaan informasi kampanye atas pertimbangan; pertama, karena akses khalayak pemilih terhadap surat kabar dan tabloid relatif lebih mudah dibandingkan dengan media cetak lainnya, seperti majalah atau lainnya. Kedua, surat kabar dan tabloid adalah media cetak yang paling sering memuat informasi yang beragam tentang isu-isu pilkada dan kampanye. Ketiga, terbitnya teratur/berkala, seperti harian, tiga harian, atau mingguan. Selain itu pada masa kampanye juga beredar tabloid pasangan calon yang diterbitkan secara temporer oleh partai politik/timkampanye.
85
Tabel 17. Distribusi peubah terpaan informasi kampanye melalui surat kabar/tabloid Jumlah (orang)
No.
Indikator
Kategori
Persentase (%)
1.
Frekuensi membaca koran
frekuensi : lebih dari 9 kali 7-9 kali 4-6 kali 1-3 kali tidak sama sekali
21 25 27 19 8
21 25 27 19 8
2.
Banyaknya jenis surat kabar/tabloid yang dibaca
lebih dari 3 surat kabar/tabloid 3 surat kabar/tabloid 2 surat kabar/tabloid 1 surat kabar/tabloid tidak sama sekali
20 22 30 20 8
20 22 30 20 8
3.
Jenis surat kabar/tabloid yang paling banyak dibaca
Pikiran Rakyat Pakuan Raya Radar Bogor Tabloid pasangan calon SK Pakuan Tribun Jabar Gala Media Tabloid Pasundan Warta Kota Koran Seputar Indonesia Kompas Puncak Pos Media Indonesia Tabloid Lentera
62 44 41 29 18 12 11 9 3 2 2 1 1 1
26.27 18.64 17.37 12.29 7.63 5.08 4.66 3.81 1.27 0.85 0.85 0.42 0.42 0.42
Berdasarkan Tabel 17 dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden (92%) menyatakan membaca surat kabar/tabloid pada 14 hari masa kampanye, dan 8% tidak membaca surat kabar/tabloid. Sebagian besar membaca lebih dari tiga kali (73%) dan 19% membaca hanya satu sampai tiga kali. Sebanyak 27% membaca empat sampai enam kali, 25% membaca tujuh sampai sembilan kali, 21% lebih dari sembilan kali, dan 19% membaca hanya sekali selama periode tersebut.
Dilihat berdasarkan banyaknya jenis surat
kabar/tabloid yang dibaca, 20% membaca lebih dari 3 jenis, 22% membaca 3 jenis, 30% membaca dua jenis, 20% membaca satu jenis, 8% tidak membaca surat kabar/tabloid. Hal ini menandakan bahwa media cetak surat kabar dan tabloid merupakan media kampanye yang banyak menerpa khalayak pemilih, bahkan sebagian besar pemilih (72%) membaca lebih dari satu surat kabar/tabloid. Tingginya terpaan informasi kampanye melalui media cetak surat kabar/tabloid, diduga karena media ini relatif murah dan mudah didapat.
86
Sedangkan apabila dihubungkan dengan karakteristiknya (1) dapat diakses masyarakat luas (publicity) dan menyebar ke berbagai tempat, (2) terbit secara teratur (periodesitas), (3) memuat informasi yang beraneka ragam (universalitas), (4)
menginformasikan
isu-isu
yang
aktual
(aktualitas),
dan
(5)
dapat
didokumentasikan. Surat kabar yang paling banyak dibaca adalah Harian Pikiran Rakyat (26,27%), merupakan surat kabar regional Jawa Barat (terbitan Bandung) yang rutin memuat berita dan informasi seputar kampanye Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006. Surat kabar lainnya yang banyak dibaca adalah Harian Pakuan Raya (18,64%), Harian Radar Bogor (17,37%), dan
Surat Kabar Pakuan
(7,63%). Ketiga surat kabar tersebut semuanya terbit di Bogor dan banyak memuat berita dan informasi tentang Pilkada Cianjur. Surat kabar terbitan Bandung yang juga beredar di Cianjur di antaranya Tribun Jabar (5,08%) dan Gala Media (4,66%). Sedangkan Harian Warta Kota (terbitan Jakarta) juga beredar di Cianjur, tetapi hanya sesekali memberitakan Pilkada Cianjur dibaca oleh 3 responden (1,27%). Surat Kabar terbitan lokal, yang banyak dibaca adalah Tabloid Pasundan, 9 responden (3,81%), Tabloid Lentera dan Puncak Pos masing-masing hanya dibaca oleh seorang responden (0,42%). Hal ini disebabkan media tersebut tidak terbit secara teratur dan jangkauan penyebarannya terbatas, hanya beredar di lingkungan komunitas tertentu. Surat kabar nasional, seperti Kompas, Seputar Indonesia dan Media Indonesia, paling banyak dibaca oleh dua responden karena jarang memuat berita kampanye dan Pilkada Cianjur. Tabloid Pasangan calon yang diterbitkan khusus oleh tim kampanye untuk menginformasikan program-program kampanye pasangan calon dibaca oleh 29 reponden (12,29%). Hal ini menandakan semakin pentingnya media cetak untuk dijadikan saluran informasi kampanye dalam usaha mempersuasi khalayak memilih. Media ini ternyata cukup efektif menerpa pemilih selain surat kabar umum yang terbit secara berkala.
Terpaan Media Radio Media massa radio adalah media elektronik yang penyeberannya luas (tergantung daya jangkau siarannya), memerlukan alat penangkap siaran, bersifat sesaat (tidak dapat ditunda/sekilas) tidak dapat diulang, membutuhkan kemampuan
mendengar dan dapat didengar sambil melakukan aktivitas lain
87
(Masduki 2001; Muda 2003). Siaran radio, pada saat ini, lebih banyak digunakan sebagai sarana hiburan. Informasi seperti spot iklan, jingle umumnya disiarkan pada saat jeda acara atau siaran iklan. Sedangkan reportase, disampaikan dalam bentuk siaran berita, lintasan berita (breaking news), atau siaran langsung. Siaran radio sesekali mengadakan wawancara atau talk show membahas isu-isu publik. Karena sifatnya sekilas maka hanya yang memiliki kebiasaan mendengarkan radio saja yang berpeluang mendapatkan informasi kampanye dari siaran radio. Pertimbangan media radio dijadikan sebagai salah satu media yang digunakan untuk mengukur terpaan informasi kampanye karena, pertama, radio merupakan sarana media massa yang murah dan mudah diakses oleh khalayak; kedua, media massa radio, terutama radio lokal, merupakan media yang sering memberitakan informasi seputar isu-isu Pilkada dan kampanye. Terpaan media radio diukur dengan banyaknya frekuensi responden mendengarkan radio selama periode masa kampanye. Bentuk informasi Pilkada Kabupaten Cianjur yang banyak disiarkan melaui radio di antaranya, siaran berita dan lintasan berita, spot iklan Pilkada dan kampanye pasangan calon, talk show dan siaran langsung
dari
lokasi
kampanye
atau
aktivitas-aktivitas
yang
langsung
berhubungan dengan proses pelaksanaan Pilkada. Berdasarkan Tabel 18 dapat dijelaskan sebagian besar reponden (92%) mendengarkan informasi kampanye dan isu Pilkada melalui siaran radio, selama masa kampanye, dan 8% tidak mendengarkan kampanye melalui siaran radio. Sebagian besar responden mendengarkan siaran radio sebanyak 1 sampai 6 kali (63%), lebih dari 6 kali (29%), dan tidak sama sekali (8%). Sedangkan dilihat berdasarkan jumlah siaran radio yang didengarkan oleh responden, kebanyakan hanya mendengar dari satu siaran radio saja (63%), 2 siaran radio (26%), dan lebih dari dua siaran radio (3%). Siaran radio yang paling banyak didengarkan responden selama periode masa kampanye, secara berturut-turut, Pasundan FM, didenganrkan oleh 61 responden (48,80%), Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur (RRI Cianjur) 27 reponden (21,60 %), Tjandra FM 20 reponden (16%), Mora FM 7 reponden (5,60%), Qi FM 4 reponden (3,20%), El Shinta 3 reponden (2,40%), Antasalam 2 responden (1,60%) dan Trisara FM 1 responden (0,80%).
88
Tabel 18. Distribusi peubah terpaan informasi kampanye melalui radio No.
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Frekuensi : lebih dari 9 kali 7-9 kali 4-6 kali 1-3 kali tidak sama sekali
10 19 37 26 8
10 19 37 26 8
Banyaknya siaran radio yang didengarkan
lebih dari 3 siaran radio 3 siaran radio 2 siaran radio 1 siaran radio tidak sama sekali
1 2 26 63 8
1 2 26 63 8
Siaran radio yang paling banyak didengarkan
Pasundan FM RSPD Kabupaten Cianjur Tjandra FM Mora FM Qi FM El Shinta Antasalam Trisara FM
61 27 20 7 4 3 2 1
48.80 21.60 16.00 5.60 3.20 2.40 1.60 0.80
Indikator
Kategori
1.
Frekuensi mendengarkan radio
2.
3.
Selain Pasundan FM, beberapa siaran radio yang digunakan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Cianjur sebagai mitra dalam penyiaran spot dan informasi Pilkada, seperti Radio Suara Samudera FM, Radio SKN AM, Radio Bintang FM, Radio Nurani FM, Radio Kathalina FM, dan Radio Pas AM tidak ada satu responden pun yang menyatakan mendengarkan informasi kampanye dari radio-radio tersebut. Sementara Radio Pasundan FM, Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur (RRI Cianjur), Radio Tjandra FM merupakan radio yang paling banyak didengarkan oleh responden dalam menerima informasi kampanye. Uraian di atas menjelaskan bahwa sebagian dari responden memiliki siaran radio favorit, dan sebagian besar menerima informasi dari satu siaran radio saja. Adapun responden yang menerima informasi kampanye lebih dari satu siaran radio, diduga ia memiliki siaran favorit di lebih dari satu siaran radio atau secara sengaja maupun tidak sengaja menerima
informasi dari
siaran
radio lain. Siaran radio yang paling banyak dipilih oleh responden adalah siaran radio lokal Cianjur. Stasiun radio lainnya, seperti Antasalam, Qi FM, Mora FM adalah siaran radio Bandung yang dapat ditangkap di beberapa wilayah Cianjur.
89
Sedangkan Radio El-Shinta adalah merupakan radio nasional yang secara khusus menyiarkan berita-berita aktual dari berbagai pelosok Indonesia.
Terpaan Media Televisi Media massa televisi adalah media elektronik audio-visual yang dapat dilihat dan didengar, memerlukan berbagai perangkat penerima/penangkap siaran yang tergantung pada lokasi atau tempat. Walaupun media siaran memiliki daya jangkau yang luas, tetapi tidak semua tempat dapat menerima siaran dengan baik. Informasi yang ditangkap melalui siaran televisi bersifat selintas, tidak dapat diulang, tetapi informasi yang diperoleh dapat mengendap dalam daya ingatan manusia lebih lama jika dibandingkan perolehan informasi yang sama tetapi melalui membaca. Hal ini disebabkan karena gambar/visualisasi bergerak yang berfungsi sebagai tambahan dan dukungan informasi penulisan narasi penyiar atau reporter memiliki kemampuan untuk memperkuat daya ingat manusia dan memanggilnya (recall) kembali (Muda 2003). Pertimbangan media televisi dijadikan salah satu media yang digunakan untuk mengukur terpaan informasi kampanye karena, pertama, pada saat ini televisi
bukan
lagi
termasuk
barang
mewah
dan
sebagian
penduduk
menggunakan media ini sebagai sarana informasi dan hiburan; kedua, siaran televisi, khususnya TVRI Jabar-Banten (Bandung) dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006, digunakan sebagai sarana sosialisasi dan informasi Pilkada serta menyiarkan berita seputar kampanye Pilkada Kabupaten Cianjur tahun 2006. Terpaan media televisi diukur dengan banyaknya frekuensi responden menonton siaran televisi selama periode masa kampanye. Wilayah Cianjur Utara, Timur dan Barat dapat menangkap siaran televisi cukup baik siaran nasional maupun regional (TVRI Jabar-Banten). Berdasarkan Tabel 19 dapat dijelaskan, sebagian besar reponden (91%) menyatakan menerima informasi kampanye dan informasi Pilkada Kabupaten Cianjur tahun 2006 melalui siaran televisi selama periode 14 hari masa kampanye. Hanya 9% responden saja yang menyatakan sama sekali tidak pernah menyaksikan informasi kampanye melalui siaran televisi. Namun sebagian besar responden hanya satu sampai tiga kali saja (46%) menerima informasi kampanye melalui siaran televisi, yang lainnya empat sampai enam kali
90
sebanyak 26%, tujuh sampai sembilan kali 11% dan yang lebih dari sembilan kali 8%. Tabel 19 Distribusi peubah terpaan informasi kampanye melalui televisi No.
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Frekuensi : lebih dari 9 kali 7-9 kali 4-6 kali 1-3 kali tidak sama sekali
8 11 26 46 9
8 11 26 46 9
Jumlah siaran televisi yang ditonton
lebih dari 3 siaran TV 3 siaran TV 2 siaran TV 1 siaran TV tidak satu pun
2 6 25 58 9
2 6 25 58 9
Siaran TV yang paling banyak ditonton
TVRI Jabar-Banten SCTV RCTI Trans TV Metro TV Indosiar Bandung TV STV TPI Lativi QTV
83 15 13 7 3 2 2 1 1 1 1
64.34 11.63 10.08 5.43 2.33 1.55 1.55 0.78 0.78 0.78 0.78
Indikator
Kategori
1.
Frekuensi nonton televisi
2.
3.
Berdasarkan banyaknya siaran televisi yang ditonton, sebagian besar responden menyatakan hanya menerima informasi kampanye dari satu siaran televisi saja (58%), selebihnya 25% menyatakan dari dua siaran televisi, 6% dari tiga siaran televisi dan yang menonton di lebih dari tiga siaran televisi hanya 2% saja. Siaran televisi yang paling banyak ditonton responden adalah siaran TVRI Jabar-Banten (Bandung), dinyatakan oleh 83 responden (64,34%). Hal ini menandakan bahwa pemilih masih memiliki perhatian yang besar terhadap informasi kampanye di tengah gencarnya terpaan siaran hiburan (musik, sinetron, film dan sebagainya) dari berbagai stasiun televisi swasta. Sedangkan responden yang menerima informasi kampanye dari stasiun TV swasta nasional, hanya sekitar 27% saja, yang paling banyak ditonton adalah SCTV (11,63%), RCTI (10,08%) dan Trans TV (5,43%). Siaran televisi lainnya di bawah 5%. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa media televisi juga merupakan media komunikasi yang banyak menerpa pemilih di masa-masa kampanye di
91
samping surat kabar dan radio. Media televisi memberikan informasi visual yang bergerak dan lebih menarik perhatian dibandingkan dengan media lainnya. Tetapi siaran televisi memiliki keterbatasan dalam menyampaikan informasi karena sifatnya selintas dan memiliki aturan durasi yang ketat. Siaran TVRI Jabar-Banten (Bandung) banyak ditonton oleh masyarakat Kabupaten Cianjur, diduga karena memiliki jadual siaran yang tetap, terutama siaran “Berita Daerah” yang ditayangkan sore hari, dan secara rutin menginformasikan peristiwaperistiwa yang terjadi di Jawa Barat.
Terpaan Media Luar Ruang dan Post Material Media luar ruang (poster, spanduk), dan post material (sticker, direct mail), yang juga disebut media lini bawah, termasuk dalam kategori komunikasi medio, yang berada di antara komunikasi antarpersona dan komunikasi massa. Media ini sering digunakan dalam dunia periklanan. Bentuk komunikasi ini tidak termasuk dalam kategori komunikasi massa tetapi memiliki situasi pada komunikasi massa (Ardianto dan Erdinaya, 2004). Media luar ruang yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah media kampanye yang berbentuk cetakan yang secara sengaja disebarkan atau di pasang di tempat-tempat strategis yang mudah dilihat dan diakses oleh umum. Pada umumnya pesan dalam media ini hanya berupa gambar/tulisan yang berisi slogan atau pesanpesan singkat. Terpaan media luar ruang dan post material diukur dengan banyaknya frekuensi responden melihat atrubut-atribut kampanye dalam bentuk media luar ruang, seperti baliho (billboard), spanduk dan poster, yang
pada umumnya
berukuran besar dan dipasang di tempat-tempat terbuka yang dapat dilihat dengan mudah oleh masyarakat. Sedangkan atribut-atribut kampanye dalam bentuk post material, meliputi sticker dan pamplet atau selebaran, yang pada umumnya disebarkan atau dipasang di tempat-tempat terbuka, namun ukurannya relatif kecil dibandingkan dengan poster. Pertimbangan disatukannya jenis media luar ruang dengan post material, karena kedua jenis media ini merupakan bentuk media yang memiliki karakteristik yang hampir sama, umumnya dipasang atau ditempel ditempattempat terbuka yang mudah dilihat orang. Karakteristik kedua jenis media ini mempunyai kesamaan dalam penyebarannya maupun bentuk informasi yang disampaikannya, seperti dalam bentuk gambar calon dan/atau nama pasangan
92
calon maupun slogan-slogan yang merupakan ciri khas identitas pasangan calon. Oleh karena itu untuk mengukur terpaan informasi kampanye melalui media luar ruang dan post material didasarkan pada frekuensi melihat atau menyaksikan bentuk-bentuk media luar ruang dan post material yang paling banyak ditemukan selama masa kampanye berlangsung. Tabel 20. Distribusi peubah terpaan informasi kampanye melalui media luar ruang/pos material No.
Indikator
Kategori
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1.
Frekuensi menyaksikan media luar ruang/post material
frekuensi : lebih dari 9 kali 7-9 kali 4-6 kali 1-3 kali tidak sama sekali
73 4 14 6 3
73 4 14 6 3
2.
Banyaknya bentuk media luar ruang dan/atau post material yang disaksiskan
lebih dari 3 media 3 media 2 media 1 media tidak sama sekali
59 16 10 12 3
59 16 10 12 3
3,
Bentuk media luar ruang/post material yang banyak disaksikan
Spanduk Pamplet/selebaran Poster Sticker Baliho Bentuk lainnya
80 79 75 68 47 11
22,22 21,94 20,83 18,89 13,06 3,06
Berdasarkan Tabel 20 dapat dijelaskan bahwa sebagian besar reponden (97%) menyatakan melihat atau memperhatikan pesan-pesan kampanye dalam bentuk media luar ruang/post material, dan hanya 3% saja responden yang menyatakan sama sekali tidak pernah melihat media informasi kampanye tersebut. Sebagian besar responden melihat atau menyaksikan media luar ruang dan/atau post material lebih dari 9 kali (73%), yang lainnya, sebanyak 7 sampai 9 kali (4%), 4 sampai 6 kali (14%), dan 1 sampai 3 (6%). Banyaknya responden yang menyatakan melihat atau menyaksikan media kampanye dalam bentuk media luar ruang dan/atau post material , dapat dijelaskan bahwa media tersebut dipasang dan ditempel di tempat-tempat strategis dan dinding-dinding rumah penduduk mulai sejak hari pertama masa kampanye hingga akhir masa kampanye. Karakteristik media ini pada umumnya bersifat tahan lama dan tidak mudah dilepas, sehingga tidak heran kalau setiap
93
orang bisa berkali-kali melihat media tersebut, walaupun belum tentu memperhatikan secara seksama (hanya melihat sepintas saja) pesan-pesan kampanye tersebut karena pada umumnya hanya memuat gambar dan informasi singkat saja. Sedangkan dilihat dari banyaknya bentuk media yang dibaca atau disaksikan oleh responden, nampak bahwa 59% dari responden mengaku melihat lebih dari 3 bentuk media luar ruang/post material, sebanyak 3 media 16%, 2 media 10%, dan 1 media 12%. Sementara responden yang tidak melihat satu media pun hanya 3% saja. Banyaknya responden yang menyatakan melihat lebih dari 3 bentuk media luar ruang dan/atau post material, dapat dijelaskan bahwa bentuk-bentuk media luar ruang dan post material merupakan bentukbentuk media kampanye yang paling banyak digunakan dalam setiap kampanye politik, baik dari segi bentuk maupun jumlahnya. Bentuk-bentuk media luar ruang dan post material nampaknya masih dipandang sebagai sarana yang paling efektif untuk menyampaikan informasi kampanye dibandingkan dengan jenis media lainnya. Bentuk media luar ruang dan post material yang paling banyak dilihat oleh responden, teridiri atas, spanduk (22,22%), pamplet/selebaran (21,94%), poster (20,83%), sticker (18,89%), Baliho (13,06%), dan bentuk lainnya (3,06%). Baliho (billboard), walaupun dilihat dari bentuknya memiliki ukuran yang sangat besar dibandingkan dengan spanduk, dan dapat cepat menarik perhatian orang, namun karena jumlah media kampanye delam bantuk ini jumlahnya tidak banyak, hanya di sejumlah tempat tertentu saja, maka tidak heran kalau tidak banyak responden yang menyatakan melihat bentuk media ini Bentuk lain dari media luar ruang dan post material yang disebarkan pada masa kampanye, tetapi jumlahnya relatif terbatas adalah dalam bentuk pin yang bentuknya bulat dan bergambar pasangan calon (umumnya hanya dipakai oleh anggota Tim Kampanye), syal (ikat kepala) yang bertuliskan nama pasangan calon, serta lambang partai politik yang dipasang pada label air minum (aqua gelas) yang biasanya dibagikan kepada kader-kader partai politiknya pada saat kampanye dan berbagai bentuk medai lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa media luar ruang dan post material merupakan media yang paling banyak variasinya yang digunakan oleh kandidat dalam menyampaikan pesan-pesan kampanye.
94
Bedasarkan uraian tersebut dapat disimpilkan bahwa media luar ruang dan post material merupakan media yang mampu menerpa khalayak pemilih secara luas di banding jenis-jenis media lainnya. Dilihat dari karakteristk bentuk medianya, spanduk paling banyak dilihat responden karena ukurannya besar, dipasang di tempat yang tinggi dan mudah dilihat serta tersebar hampir di seluruh pelosok daerah. Sementara pamplet/selebaran, poster dan sticker merupakan bentuk media yang ditempel di tempat-tempat strategis, seperti dinding-dinding rumah, toko, tembok, kaca mobil, angkutan kota dan sebagainya. Selain itu bentuk media ini juga disebarkan kepada penduduk dan orang-orang yang melintas di tempat-tempat kampanye. . Hal ini menandakan bahwa media luar ruang, yang selama ini paling banyak digunakan sebagai media kampanye, masih efektif menerpa khalayak pemilih. Namun demikian karena informasi yang disampaikannya relatif terbatas dan bersifat propaganda, bentuk media informasi ini akan efektif mempengaruhi pemilih yang kurang kritis terhadap pesan kampanye, yang dalam teori Elaboration Likelihood Model, termasuk kategori yang mengambil jalur pheriperal dalam mengolah informasi.
Kampanye Tatap Muka Kampanye tatap muka adalah bentuk kampanye yang mengerahkan massa atau kelompok pendukung salah satu kandidat, baik dilaksanakan pada ruang terbuka (rapat umum), kampanye ruang tertutup, debat pasangan calon maupun pawai keliling. Bentuk kampanye ini paling disukai oleh kandidat dan sering dianggap suatu keharusan ritual dalam setiap pemilihan umum. Kampanye seperti ini juga lebih sering diisi dengan panggung hiburan dan arakarakan sambil meneriakan yel-yel dan propaganda daripada diisi dengan penyampaian program kerja (visi dan misi) yang ditawarkan oleh kandidat. Terpaan media kampanye tatap muka diukur dengan banyaknya frekuensi responden menghadiri kampanye tatap muka, seperti kampanye terbuka (atau rapat umum), kampanye tertutup, dialog atau debat pasangan calon dan arak-arakan/pawai. Kampanye terbuka (rapat umum), adalah bentuk kampanye yang dilaksanakan di lapangan terbuka, menghadirkan massa pendukungnya dan umumnya bertujuan untuk unjuk kekuatan (show of force). Dalam kegiatan kampanye seperti ini biasanya diselingi dengan hiburan dan dilanjutkan dengan arak-arakan/pawai di jalan.
95
Kampanye tertutup umumnya dilaksanakan di suatu ruangan/gedung yang dihadiri oleh kader-kader partai politik pendukungnya dan tokoh-tokoh masyarakat dengan tujuan untuk memperkuat/memperteguh (reinforcment effect) dukungan dari kader-kadernya. Bentuk kampanye dialog/debat pasangan calon dilaksanakan secara interaktif, menghadirkan tokoh atau pengamat sebagai panelis yang mengajukan sejumlah pertanyaan kepada setiap pasangan calon, dan terbuka untuk umum. Debat/dialog pasangan calon dalam kampanye Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006 dilaksanakan pada hari pertama masa kampanye. Kegiatan tersebut direkam dan kemudian disiarkan ulang di TVRI Jabar-Banten
(Bandung).
Sedangkan
kampanye
dalam
bentuk
arak-
arakan/pawai dilakukan dengan menggunakan kendaraan bermotor melintasi jalan-jalan yang ada di wilayah kampanye sambil meneriakan yel-yel kampanye. Tabel 21. Distribusi peubah terpaan informasi kampanye melalui bentuk kampanye tatap muka No.
Jumlah (orang)
Persentase (%)
frekuensi : lebih dari 9 kali 7-9 kali 4-6 kali 1-3 kali tidak sama sekali
13 13 29 25 20
13 13 29 25 20
Banyaknya bentuk kampanye tatap muka yang diikuti
lebih dari 3 bentuk kampanye 3 bentuk kampanye 2 bentuk kampanye 1 bentuk kampanye tidak sama sekali
7 14 33 26 20
7 14 33 26 20
Bentuk kampanye tatap muka yang paling banyak diikuti
arak-arakan/pawai kampanye terbuka dialog/debat kampanye tertutup bentuk kampanye lainnya
56 44 20 8 10
40,58 31,88 14,49 5,80 7,25
Indikator
Kategori
1.
Frekuensi menghadiri kampanye tatap muka
2.
3,
Berdasarkan Tabel 21 dapat dijelaskan, responden yang menyatakan pernah menghadiri atau menyaksikan kampanye tatap muka adalah sebanyak 80%, dan 20% menyatakan tidak pernah sama sekali. Sebaran frekuensi responden dalam menghadiri atau menyaksikan kampanye, paling banyak 4 sampai 6 kali (29%), dan satu sampai tiga kali (25%). Sedangkan yang menyatakan menghadiri kampanye 7 sampai 9 kali dan lebih dari 9 kali, masingmasing adalah 13%.
96
Banyaknya responden yang menyatakan tidak pernah menghadiri atau menyaksikan kampanye tatap muka (20%), diduga disebabkan mayoritas dari responden bekerja atau memiliki aktivitas yang terjadual (rutin), pegawai swasta, pegawai negeri sipil (PNS), pengusaha dan wiraswasta sebanyak 72%. Kecilnya frekuensi kehadiran responden di dalam kampanye tatap muka, kemungkinan disebabkan karena aktivitas atau pekerjaan rutinnya. tidak dapat ditinggalkan, karena kegiatan kampanye tatap muka diselenggarakan mulai jam 09.00 pagi sampai dengan jam 16.00 sore. Dengan demikian karena waktu penyelenggaran kampanye bersamaan dengan waktu kerja pegawai/karyawan dan PNS serta pengusaha/wiraswasta, sehingga pada saat hari kerja kecil kemungkinannya dapat menghadiri kampanye, kecuali pada hari libur, sabtu dan minggu. Dilihat dari ferkuensi banyaknya kampanye tatap muka yang diikuti atau dihadiri responden, paling banyak menyaksikan dua bentuk kampanye tatap muka (33%), kemudian satu bentuk kampanye tatap muka (26%) dan yang lebih banyak dari dua bentuk kampanye adalah sebanyak 21%. Dari data ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya responden hanya menghadiri satu sampai dua bentuk kampanye tatap muka saja dari beberapa bentuk kampanye tatap muka yang diselenggarakan dalam Pilkada Cianjur. Bentuk kampanye tatap muka yang paling banyak dihadiri atau disaksikan oleh responden adalah, arak-arakan/pawai (56%), kampanye terbuka (rapat umum) di lapangan (44%), dialog/debat pasangan calon (20%), kampanye tertutup (8%) dan bentuk kampanye tatap muka lainnya (10%). Hal ini menandakan bahwa bentuk kampanye terbuka di lapangan dan arak-arakan merupakan bentuk kampanye yang paling banyak digunakan. Bahkan masih muncul anggapan bahwa bentuk kampanye tersebut merupakan ritual dalam setiap kegiatan pemilihan umum. Bentuk kampanye arak-arakan/pawai karena dilakukan dengan berkeliling kota, menggunakan kendaraan bermotor, membunyikan klakson dan suara kendaraan yang meraung-raung, meneriakan yel-yel, dan menyebabkan jalanan macet, sehingga mudah mengambil perhatian orang. Bentuk kampanye ini dapat disaksikan tanpa harus dengan sengaja datang ke lokasi kampanye namun bentuk kampanye ini tidak memberi banyak informasi kepada khalayak, kecuali unjuk kekuatan (show of force) yang memperlihatkan kuat atau lemahnya massa pendukung pasangan calon tersebut.
97
Bentuk kampanye terbuka (rapat umum) biasanya mempunyai keterkaitan yang erat dengan bentuk kampanye arak-arakan/pawai, karena biasanya arakrakan/pawai merupakan kelanjutan dari kampanye terbuka. Kampanye terbuka umumnya dilaksankan di suatu lapangan terbuka dan menyediakan panggung hiburan. Dalam kampanye terbuka, materi pokok kampanye bukan hanya menyampaikan visi dan misi tetapi juga panggung hiburan. Orasi penyampaian visi dan misi biasanya hanya mengambil porsi waktu yang sedikit dibandingkan dengan waktu yang disediakan untuk membangkitkan emosi massa dengan yelyel dan panggung hiburan. Kedua bentuk kampanye tersebut, rapat umum dan arak-arakan, termasuk bentuk kampanye yang paling banyak dihadiri atau disaksikan responden, di duga karena kedua bentuk kampanye tersebut saling berkaitan. Kampanye dalam bentuk dialog/debat pasangan calon, dilaksanakan di dalam gedung (ruang tertutup), ada moderator dan penelis yang akan melakukan dialog dengan pasangan calon. Bentuk kampanye ini tidak banyak diikuti atau dihadiri oleh reponden, diduga karena hanya dilakukan satu kali saja selama masa kampanye, dan bentuk rekamannya disiarkan ulang di TVRI Jabar-Banten (Bandung). Bentuk kampanye tertutup juga dilakukan di dalam gedung dan biasanya jumlah pesertanya terbatas, terdiri dari kader-kader partai politik dan tokoh-tokoh masyarakat. Karena kedua bentuk kegiatan kampanye tersebut sifatnya terbatas, sehingga tidak banyak responden yang memiliki kesempatan untuk hadir dalam kegiatan tersebut. Sedangkan bentuk kampanye tatap muka lainnya (10%), adalah bentuk-bentuk kampanye tatap muka, yang tidak termasuk ke dalam kategori bentuk kampanye yang telah dikemukakan sebelumnya. Bantuk kapamye tatap muka lainnya yang dapat diidentifikasi di antaranya adalah pasangan calon melakukan tatap muka dengan pedagang pasar, tatap muka dengan para alim ulama, shalat dzuhur bersama, Istigosah dengan alim ulama dan tokoh masyarakat, menutup kejuaran motorcross. Bentuk kampanye tatap muka dalam bentuk rapat umum dan arakarakan/pawai hingga saat ini dianggap sebagai inti dari kegiatan kampanye pemilihan umum walaupun bentuk kampanye ini hanya mampu memberikan informasi yang terbatas (low infromation). Bentuk kampanye ini masih dianggap memiliki pengaruh yang cukup kuat mempengaruhi pemilih yang tidak bersikap kritis terhadap pesan-pesan kampanye (mengambil jalur pheriperal). Kekuatan dari bentuk kampanye seperti ini adalah untuk mempengaruhi sugesti pemilih
98
dengan menampilkan massa pendukung yang banyak dalam kampanye dan arak-rakan/pawai
sehingga
mengesankan
seolah-olah
kandidat
tersebut
didukung oleh banyak pemilih. Selain itu bentuk kampanye tersebut digunakan oleh kandidat untuk memberikan efek peneguhan (reinforcment effect) terhadap massa pendukungnya .
Komunikasi Interpersonal Komunikasi interpersonal tidak termasuk dalam bentuk komunikasi massa, karena bersifat antar pribadi dan biasanya dilakukan oleh orang-orang yang telah saling mengenal atau orang-orang yang mempunyai perhatian yang sama terhadap sesuatu obyek masalah. Walaupun komunikasi ini bukan merupakan bentuk komunikasi massa namun berdasarkan teori model komunikasi dua tahap (two-step flow of communication) yaitu informasi mengalir dari media massa kepada pemuka pendapat dan dari pemuka pendapat kepada khalayak massa melalui komunikasi antarpribadi (Wright dalam Sutaryo, 2005) maka dapat dikatakan komunikasi antarpribadi (interpersonal) mempunyai keterkaitan dengan proses komunikasi massa. Everrett M. Rogers (Sutaryo, 2005) mengemukakan bahwa proses komunikasi dapat terjadi dalam dua tahap atau lebih. Dalam kasus tertentu dapat saja terjadi proses komunikasi satu tahap, misalnya media masa langsung mempengaruhi audience. Dalam kasus lain, media massa menimbulkan proses komunikasi yang bertahap banyak (multi stage). Berdasarkan asumsi tersebut, maka komunikasi interpersonal dijadikan sebagai salah satu alat ukur untuk mengetahui terpaan informasi kampanye, karena sebagaimana dikemukakan sebelumnya, dalam kampanye politik berbagai jenis dan bentuk saluran komunikasi secara masif digunakan untuk mempengaruhi khalayak pemilih. Terpaan informasi kampanye melaui komunikasi inerpersonal diukur dengan
banyaknya
frekuensi
responden
dalam
melakukan
komunikasi
interpersonal dengan calon/tim kampanye/anggota parpol (umumnya merupakan agent-agent
kampanye
pasangan
calon),
tokoh
masyarakat,
keluarga,
teman/tetangga, selama periode 14 hari masa kampanye. Bentuk komunikasi ini pada umumnya dilakukan dalam suasana santai, baik secara sengaja, seperti yang dilakukan oleh kadaer-kader partai untuk mempengaruhi pemilih dengan berkunjung) ke rumah-rumah penduduk (road show) maupun secara tidak
99
sengaja, seperti pada saat bercengkrama atau ngobrol di antara anggota keluarga, tetangga atau teman kerja. Berdasarkan Tabel 22 dapat dijelaskan bahwa hampir semua responden (98%)
menyatakan
pernah
melakukan
komunikasi
interpersonal
dalam
membicarakan isu-isu seputar kampanye Pilkada Kabupaten Cianjur, dan hanya 2% saja responden yang menyatakan tidak pernah melakukan komunikasi interpersonal sama sekali. Sebagian besar responden menyatakan melakukan komunikasi interpersonal lebih dari 9 kali (49%), 7 sampai 9 kali (22%), 4 sampai 6 kali (17%) dan 1 sampai 3 kali (10%) selama masa periode kampanye. Tabel 22. Distribusi peubah terpaan informasi kampanye melalui bentuk komunikasi interpersonal No.
Indikator
Kategori
1.
Frekuensi melakukan komunikasi interpersonal
frekuensi : lebih dari 9 kali 7-9 kali 4-6 kali 1-3 kali tidak sama sekali
2.
Banyaknya jenis komunkasi interpersonal yang dilakukan
3,
Bentuk komunikasi interpersonal yang paling banyak dilakukan
lebih dari 3 jenis 3 jenis 2 jenis 1 jenis tidak sama sekali Komunikasi dengan : keluarga Tetangga/teman Tokoh Masyarakat Calon/Tim Kampanye/Parpol Orang lainnya
Jumlah (orang)
Persentase (%)
49 22 17 10 2
49 22 17 10 2
32 27 25 14 2
32 27 25 14 2
66 63 43 37 16
29.33 28.00 19.11 16.44 7.11
Dilihat dari banyaknya aktivitas komunikasi interpersonal yang dilakukan dengan orang yang memiliki status berbeda (calon/tim kampanye/kader parpol, tokoh masyarakat, tetangga/teman, keluarga), 32% responden melakukan lebih dari tiga aktivitas komunikasi interpersonal, komunikasi interpersonal,
27% melakukan tiga aktivitas
25% dua aktivitas komunikasi interpersonal, 14%
hanya satu aktivitas komunikasi interpersonal. Sedangkan apabila dilihat dari banyaknya komunikasi interpersonal yang dilakukan, komunikasi dengan keluarga merupakan bentuk aktivitas komunikasi interpersonal yang paling banyak dilakukan, yaitu 66 reponden (29,33). Komunikasi dengan tetangg/teman,
100
63 reponden (28%), dengan tokoh masyarakat, 43 reponden (19,11%), dengan calon/tim/kamapnye/ kader partai politik, 37 reponden (16,44%) dan dengan orang lainnya, 16 reponden (7,11%). Dari uraian di atas dapat dijelaskan bahwa pada umumnya responden lebih banyak melakukan komunikasi interpersonal dalam lingkungan keluarga, tetangga dan teman bekerja. Hal ini diduga karena lingkungan keluarga dan tetangga atau teman kerja merupakan lingkungan yang paling dekat dan paling sering bertemu. Sedangkan komunikasi interpersonal dengan tokoh masyarakat, calon, tim kampanye atau kader partai politik pendukung pasangan calon, terjadi apabila ada kepentingan (interest) untuk mengetahui lebih jauh informasi tentang pasangan
calon,
atau
untuk
memperkuat/memperteguh
keyakinannya
(enforcement effect) terhadap salah satu pasangan calon tertentu yang akan dipilihnya nanti. Komunikasi dengan tokoh masyarakat adalah komunikasi yang dilakukan dengan orang yang dianggap oleh responden dapat memberikan pertimbangan (opinion leader) dalam menentukan pilihan politiknya. Sedangkan calon, tim kampanye atau kader-kader partai politik adalah orang yang dapat memberikan informasi secara langsung dari sumber pertama. Pemilih yang mengadakan komunkasi langsung dengan calon, tim kampanye atau kader partai politik biasanya adalah orang-orang yang telah menentukan pilihannya dan untuk memperteguh keyakinannya melakukan komunikasi secara langsung untuk mendapatkan informasi dari sumber pertama. Komunikasi interpersonal dengan orang lainnya adalah komunikasi dengan orang-orang yang tidak dikenal secara dekat tetapi secara kebetulan terlibat dalam suatu pembicaraan tentang isu-isu kampanye.
Distribusi Peubah Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Perilaku pemilih dalam mengolah informasi/pesan kampanye menurut model kemungkinan elaborasi (elaboration likelihood model), terjadi dalam kondisi keterlibatan tinggi (central route) dan keterlibatan rendah (pheriperal route). Pemilih yang memiliki keterlibatan tinggi akan melakukan evaluasi yang mendalam terhadap isi pesan yang diterimanya dan perubahan sikapnya sebagian besar ditentukan oleh pertimbangan rasional terhadap argumen yang disajikan. Sedangkan pemilih yang memiliki keterlibatan rendah tidak melakukan evaluasi yang mendalam terhadap isi pesan yang diterimanya melainkan lebih
101
memperhatikan daya tarik penyampai pesan atau faktor-faktor di luar pesan lainnya sehingga sikap yang ditimbulkannya cenderung tidak didasarkan pada pertimbangan rasional (Venus, 2004).
Orientasi Pesan/Informasi Kampanye Ada sejumlah faktor situasional yang ikut berperan dalam mempengaruhi pilihan politik seseorang dalam suatu pemilihan umum. Oleh karena itu penilaian terhadap isu-isu politik atau kandidat yang dicalonkan yang berkembang pada masa kampanye, mempunyai peranan yang penting dalam menentukan pilihan politik seseorang. Dalam situasi ini terdapat dua orientasi yang menjadi daya tarik pemilih, yaitu orientasi isu dan orientasi kandidat (Ridwan, 2004). Orientasi isu berpusat pada
apa yang seharusnya dilakukan dalam memecahkan
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat (visi, misi dan program pasangan calon). Sementara orientasi kandidat mengacu pada sikap seseorang terhadap pribadi
kandidat
tanpa
memperdulikan
label
partainya
(asal
daerah,
kepemimpinan). Dalam pemilihan kepala daerah, selain isu-isu politik dan kandidat, isu kedaerahan juga menjadi pusat perhatian dari sejumlah pengamat karena dalam pemilihan kepala daerah antara pemilih dengan calonnya relatif lebih dekat secara psikologis. Hasil jajak pendapat Harian Kompas (Kompas 2005), 44,7% menyatakan calon harus berasal dari putra daerah. Oleh karena itu dalam penelitian ini, selain orientasi isu, orientasi kandidat (calon), juga dimasukan orientasi kedaerahan. Orientasi terhadap pesan/informasi kampanye dianalisis berdasarkan sikap dan perilaku pemilih dalam memberikan perhatian (orientasi) terhadap pesan-pesan kampanye yang meliputi, (a) orientasi teradap pasangan calon, (b) orientasi terhadap daerah asal pasangan calon, dan (c) orientasi terhadap kampanye. Berdasarkan Tabel 23 dapat dijelaskan bahwa 44% dari pemilih menyatakan ketertarikannya terhadap figur atau ketokohan pasangan calon, sedangkan pemilih yang berorientasi pada visi dan misi (program) pasangan calon dan partai politik pengusung pasangan calon, masing-masing 28%. Hal ini menandakan bahwa figur atau ketokohan pasangan calon masih merupakan faktor yang menjadi dasar pertimbangan pemilih dalam menentukan orientasi pilihannya dibandingkan terhadap program atau partai politiknya.
102
Tabel 23. Distribusi peubah orientasi pesan/informasi kampanye No.
Indikator
Kategori
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1.
Orientasi terhadap pasangan calon
visi dan misi figur/ketokohan partai politik pengusung
28 44 28
28 44 28
2.
Orientasi terhadap daerah asal pasangan calon
boleh dari luar daerah harus pernah tinggal di Cianjur harus putra daerah
48 33 19
48 33 19
3,
Orientasi terhadap kampanye
visi dan misi pasangan calon figur calon hiburan/arak-arakan
59 24 17
59 24 17
Anggapan akan munculnya kecenderungan sentimen kedaerahan dalam pemilihan kepala daerah, “pasangan calon harus dari putra daerah”, yang sekarang menjadi kekhawatiran umum, ternyata dalam kasus penelitian ini tidak terbukti. Pemilih yang menyatakan bahwa pasangan calon “harus putra daerah” hanya 19% sedangkan yang “tidak mempermasalahkan asal daerah” (boleh dari luar daerah) mencapai 48%, dan “harus pernah tinggal di daerah (Cianjur)” sebanyak 33%. Hal ini menandakan bahwa asal daerah calon tidak dijadikan dasar pertimbangan dalam menentukan pilihan politiknya. Namun sikap ini belum tentu dapat digeneralisasikan untuk daerah-daerah lainnya. Sedangkan pemilih yang menyatakan bahwa orientasinya terhadap kampanye didasarkan pada alasan visi dan misi pasangan calon adalah sebanyak 59%. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar pemilih dalam menerima informasi kampanye memiliki orientasi terhadap visi dan misi (isu) pasangan calon daripada terhadap figur pasangan calon atau hiburan dan arakarakan kampanye. Fenomena ini menunjukkan adanya perbedaan yang kontardiktif antara orientasi tehadap calon dengan orientasi terhadap pesan (visi dan misi). Hal ini kemungkinan disebabkan karena pasangan calon sebagian besar sudah cukup dikenal oleh pemilih, karena hampir semuanya berasal dari unsur birokrasi (pejabat) di lingkungan pemerintahan Kabupaten Cianjur, kecuali Ir. Yayat Rustandi, M.STr (pasangan calon nomor urut empat) berasal dari pejabat dari PT Kereta Api Bandung. Orientasi pemilih terhadap visi dan misi pasangan calon dalam kampanye kemungkinan ditujukan untuk mengenal lebih jauh program dari pasangan calon yang dapat memperkuat keputusannya (enforcement effect) atau bahkan sebaliknya mengubah pilihan politiknya.
103
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sebagian besar pemilih mempunyai ketertarikan yang kuat terhadap figur pasangan calon, dan cenderung untuk tidak mempermasalahkan asal daerah calon serta orientasinya terhadap kampanye lebih didasarkan pada visi dan misi (orientasi isu) pasangan calon. Fenomena ini menunjukkan kecenderungan pemilih yang menjadi responden dalam penelitian ini memiliki sikap rasional dan kritis dalam menilai kandidat dan isu-isu kampanye. Namun isu-isu kampanye pada umumnya bersifat situasional dan dipengaruhi oleh isu-isu politik lainnya yang berkembang menjelang hari pemungutan suara. Pilihan politik pemilih bisa berubah-ubah seiring dengan bergulirnya waktu, isu dan perubahan peristiwa politik. Keputusan pemilih dalam menentukan pilihan politiknya juga akan tergantung pada seberapa banyak informasi yang dapat diserap, dan seberapa besar pengaruh informasi tersebut dapat memperkuat atau mengubah pilihan politiknya.
Perilaku dalam Menyeleksi Pesan Kampanye Terpaan informasi kampanye tidak selalu menimbulkan efek yang sama pada setiap individu, hal ini akan tergantung pada suasana terpaan (setting of exposure) yang sedang dihadapi oleh individu tersebut. Persepsi yang selektif (selective perception) atau kecenderungan untuk hanya menerima pesan-pesan yang sesuai dengan sikap dan keyakinannya akan mempengaruhi sikapnya dalam menyeleksi pesan-pesan kampanye (Nurudin, 2005). Proses seleksi ini memungkinkan untuk suatu pesan yang sama, orang yang berbeda dapat menampilkan respon yang berbeda. Oleh karena itu perilaku dalam meseleksi pesan kampanye akan berpengaruh terhadap perilakunya dalam mengevaluasi dan mengkritisi pesan-pesan yang diterimanya sebelum menentukan putusan politiknya. Pemilih yang rasional tidak akan membatasi terpaan informasi kampanye hanya dari partai atau kandidat yang disukainya saja, tetapi berusaha mendapatkan informasi dari semua kandidat menilainya dan membandingkan antara pesan kampanye dari satu kandidat ke kandidat lainnya. Perilaku pemilih dalam menyeleksi pesan-pesan kampanye dianalisis berdasarkan perilakunya dalam memilih dan menilai pesan kampanye, yang meliputi a) perilaku selektif terhadap pesan kampanye, b) perilaku menilai pesan kampanye, dan c) perilaku mengolah pesan kampanye.
104
Tabel 24. Distribusi peubah perilaku dalam menyeleksi pesan kampanye No.
Indikator
Kategori
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1.
Perilaku selektif terhadap pesan kampanye
Semua pasangan calon pasangan calon yang disukai tidak perduli
51 39 10
51 39 10
2.
Perilaku menilai pesan kampanye
Semua pasangan calon pasangan calon yang disukai tidak perduli
51 35 14
51 35 14
3.
Perilaku mengolah pesan kampanye
membandingkan pesan semua pasangan calon
46
46
mencermati pesan pasangan calon yang disukai saja
40
40
tidak perduli
14
14
Berdasarkan Tabel 24 diperoleh gambaran bahwa 51% dari pemilih bersikap terbuka untuk menerima pesan dari semua pasangan calon, sedangkan hanya menerima pesan dari pasangan calon yang disukai saja sebanyak 39%, dan yang menyatakan tidak perduli hanya 10%. dari total responden. Sikap terbuka ini memiliki kecenderungan untuk menilai setiap pesan kampanye yang diterimanya. Sementara pemilih yang hanya menerpakan dirinya (selective exposure) terhadap pesan dari pasangan calon yang disukainya saja kemungkinan besar adalah pemilih yang mempunyai ikatan emosional yang kuat terhadap pasangan calon atau partai politik, sehingga hanya menerima pesanpesan kampanye yang sesuai dengan keyakinannya saja. Pemilih yang tidak perduli terhadap pesan kampanye kemungkinan adalah pemilih yang bersifat apatis dan merasa tidak perduli terhadap hasil pemilihan, dan menganggap pemilihan umum sebagai kegiatan ritual belaka. Banyaknya pemilih yang menyatakan memberikan penilaian terhadap pesan yang disampaikan oleh lebih dari satu pasangan calon (51%), menandakan bahwa sebagian besar pemilih bersikap hati-hati terhadap pesanpesan yang disampaikan oleh pasangan calon sebelum menentukan pilihan politiknya. Perilaku dari pemilih yang hanya memberkan penilaian terhadap satu pasangan calon yang disukainya saja, memiliki kecenderungan bertujuan untuk memperteguh keyakinan atau pilihan politiknya. Pemilih seperti ini biasanya
105
sudah memiliki ikatan emosional dengan pasangan calon atau partai politik tertentu. Sedangkan pemilih yang tidak perduli, memiliki dua kemungkinan, pertama, pemilih yang mempunyai kesetiaan (loyalitas) yang sangat kuat dengan salah satu partai politik atau calon, sehingga tidak memperdulikan informasi, kedua, pemilih yang bersikap apatis dan tidak memiliki harapan apa-apa terhadap hasil pemilihan.. Sebagian besar pemilih mengolah pesan kampanye dengan cara membandingkan lebih dari satu pasangan calon (46%). Hal ini menandakan bahwa sebagian besar pemilih bersikap rasional dalam mengambil keputusan untuk menentukan pilihan politiknya. Sedangkan pemilih yang hanya mencermati pesan kampanye satu pasangan calon saja (40%), kemungkinan adalah pemilih yang sudah menetapkan pilihan sebelumnya namun masih ragu-ragu terhadap pilihannya tersebut. Dengan mencermati informasi kampanye pasangan yang disukainya
tersebut,
(reinforcement
effect)
kemungkinan atau
pemilih
mungkin
juga
berharap mengganti
dapat
memperkuat
pilihan
politiknya.
Sedangkan pemilih yang tidak perduli dalam mengolah pesan kampanye kemungkinan sudah menetapkan pilihan dan tidak akan mengubah pilihan politiknya atau mungkin juga pemilih yang bersikap apatis. Perilaku dalam melakukan seleksi terhadap pesan kampanye mempunyai beberapa kemungkinan. Pertama, memperkuat keyakinan politiknya terhadap pasangan calon yang sebelumnya sudah diyakini akan dipilih. Kedua, mengubah pilihan politiknya dari satu pasangan calon ke pasangan calon lainnya. Ketiga, bagi pemilih yang belum mempunyai pilihan politik, menjadikannya sebagai sarana untuk menentukan keputusan politiknya.
Perilaku dalam Merespons Pesan Kampanye Respons
pemilih
terhadap
terpaan
informasi
kampanye
memiliki
kecenderungn yang berbeda antara individu yang satu dengan individu lainnya. Respons seseorang terhadap isu-isu politik sangat dipengaruhi oleh preferensi politiknya. Respons pemilih terhadap pesan-pesan kampanye dipengaruhi oleh sejauhmana ia sudah mendapatkan informasi yang valid tentang kandidat dan isu yang ditawarkannya, seberapa besar keyakinan pemilih terhadap janji-janji yang disampaikan oleh kandidat akan direalisasikan, dan seberapa besar informasi-informasi kampanye tersebut mempengaruhi pengambilan keputusan
106
pemilih. Perilaku pemilih dalam merespons/menanggapi pesan kampanye dianalisis berdasarkan, (a) kecukupan informasi, (b) respons pemilih terhadap janji-janji kampanye, dan (c) pengaruh pesan kampanye terhadap keputusan memilih. Tabel 25. Distribusi peubah perilaku dalam merespons pesan kampanye No.
Indikator
Kategori
Jumlah (orang)
Persentase (%)
1.
Respons terhadap kecukupan informasi
sangat memadai cukup memadai tidak memadai
22 65 13
22 65 13
2.
Respons terhadap janji kampanye
percaya ragu-ragu tidak percaya
26 56 18
26 56 18
3,
Respons terhadap pengaruh pesan kampanye
sangat berpengaruh cukup berpengaruh tidak berpengaruh
29 50 21
29 50 21
Berdasarkan Tabel 25 dapat diketahui bahwa sebanyak 65% pemilih menyatakan informasi kampanye yang diterima kurang memadai. Hal ini menandakan bahwa infromasi kampanye yang disampaikan dianggap kurang memadai untuk dijadikan dasar dalam menentukan pilihan politiknya. Kesan ini kemungkinan disebabkan karena pesan-pesan kampanye yang disampaikan, pertama, walaupun disebar melalui berbagai saluran komunikasi, tetapi karena pesan kampanye terlampau umum, kurang mendalam, dan disampaikan dalam waktu yang singkat (14 hari). Kedua, pemilih dalam mendapatkan informasi kampanye pada umumnya hanya sebagai produk sampingan dari aktivitas seharai-hari, sehingga kurang mendapatkan informasi yang cukup, dalam istilah Popkin (dalam Nursal, 2003) disebut sebagai hukum low information rationality (rasionalitas berdasarkan informasi terbatas). Sikap pemilih dalam merespons janji-jani kampanye, yang sebagian besar menyatakan sikap ragu-ragu (56%). Hal ini kemungkinan disebabkan, pertama, karena pemilih kurang mengenal lebih jauh kredibilitas (kualitas kepribadian) dan kapabilitas (kemampuan) masing-masing pasangan calon. Kedua, karena pengalaman pemilu-pemilu pada waktu sebelumnya, yang pada umumnya tidak banyak mempengaruhi terhadap perbaikan nasib mereka. Kekalahan pasangan calon yang sebelumnya menjabat sebagai Bupati Cianjur
107
(incumbent), menunjukkan menurunnya kepercayaan pemilih terhadap mantan Bupati tersebut dan kemungkinan pemilih mengehendaki figur pemimpin yang baru di daerahnya. Pesan kampanye ternyata juga tidak banyak mempengaruhi keputusan pemilih dalam menentukan pilihannya. Hal ini dapat dilihat dari pemilih yang menyatakan cukup berpengaruh, sebanyak 50%, sedangkan yang menyatakan berpengaruh hanya 29% dan tidak berpengaruh sebanyak 21%. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar pemilih dalam pengambilan keputusan politiknya dipengaruhi oleh informasi kampanye (79%).
Kecenderungan ini
menunjukkan pemilih bersikap kritis dan memiliki keterlibatan yang cukup tinggi dalam mengevaluasi pesan kampanye. Ditinjau dari model kemungkinan elaborasi (elaboration likelihood model), maka sebagian besar pemilih dapat dikategorikan melakukan evaluasi yang mendalam terhadap pesan yang diterimanya,
namun karena keterbatasan
informasi yang dimilikinya sehingga mengambil keputusan dalam kondisi low information rationality (rasionalitas berdasarkan informasi terbatas).
Perilaku
pemilih dalam merespons pesan-pesan kampanye, juga dipengaruhi oleh faktorfaktor lain, seperti motivasi, prinsip, dan preferensi politik. Pesan atau Informasi yang sama yang diterima oleh seseorang bisa saja direspons secara berbeda oleh orang lainnya.
Distribusi Peubah Perilaku Memilih Perilaku
memilih
(voting
behavior),
adalah
perilaku
pengambilan
keputusan dalam menentukan pilihan politiknya. Pemilih yang rasional memiliki motivasi, prinsip, pengetahuan, dan informasi yang cukup. Pilihan politiknya bisa berubah-ubah seiring bergulirnya waktu, isu dan perubahan peristiwa politik. Pemilih rasional merupakan pemilih yang pragmatis yang berorientasi pada visi, misi dan program partai atau kandidat (Ridwan, 2004). Dengan demikian pemilih yang rasional berkecenderungan mementukan pilihan politiknya berdasarkan visi, misi dan program calon daripada figur calon dan partai politiknya. Perilaku memilih dalam penelitian ini diukur
berdasarkan (1) perilaku
dalam pengambilan keputusan untuk memilih, (2) alasan/pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk memilih dan (3) keputusan memilih. Berdasarkan Tabel 26 dapat dijelaskan bahwa sebagian besar pemilih mengambil keputusan politiknya setelah memiliki informasi semua pasangan
108
calon
(47%),
sebagian
pemilih
lainnya
mengambil
keputusan
tanpa
memperdulikan informasi pasangan calon (44%), dan tidak perduli informasi (9%).
Pemilih yang mengambil keputusan setelah memiliki cukup informasi,
dapat dikategorikan sebagai pemilih yang kritis, memiliki keterlibatan mendalam dalam mengolah pesan kampanye dan bersikap hati-hati sebelum mengambil keputusan. Dalam terminologi teori Model Kemungkinan Elaborasi (Elaboration Likelihood Model) perilaku pemilih seperti itu dikategorikan sebagai pemilih yang menggunakan jalur sentral (central route). Sedangkan pemilih yang mengambil keputusan tanpa memperdulikan informasi kampanye termasuk dalam kategori pemilih yang menggunakan jalur periferal (pheriperal route). Tabel 26. Distribusi peubah perilaku memilih No.
Jumlah (orang)
Persentase (%)
Menentukan pilihan setelah memiliki informasi semua calon Menentukan pilihan tanpa memperdulikan informasi calon Tidak perduli informasi
47
47
44
44
9
9
Indikator
Kategori
Perilaku dalam mengambilan keputusan
1
2
Alasan memilih
Visi dan misi pasangan calon Figur/ketokohan Partai politik pengusung calon Tidak jawab/tidak tahu
27 41 29 3
27 41 29 3
3
Keputusan memilih
Tjetjep Muchtar S. dan Dadang Sufianto
41
41
Wasidi Swastomo dan Ade Barkah
35
35
Dadang Rachmat dan Kusnadi Sundjaya
20
20
Yayat Rustandi dan Titin Suastini
4
4
Alasan yang mendasari pilihan politik pemilih sebagian besar didasarkan atas pertimbangan figur/ketokohan dari pasangan calon (41%),
partai politik
pengusung pasangan calon (29%), sementara yang memilih atas pertimbangan visi dan misi pasangan calon hanya 27% dan tidak tahu (tidak jawab) 3%. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar keputusan memilih masih didasarkan pada pertimbangan figur/ketokohan dan partai politik pengusung pasangan calon.
109
Sedikitnya pemilih yang menentukan pilihannya berdasarkan
pada
program (visi dan misi) pasangan calon, diduga disebabkan karena di antara visi dan misi pasangan calon dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006, tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Visi dan misi pasangan calon yang disampaikan masih bersifat umum dan kurang didukung oleh informasi mengenai strategi dan program untuk merealisasikannya. Selain itu, kemungkinan disebabkan karena pesan-pesan kampanye, oleh sebagian pemilih masih dianggap sebagai slogan-slogan yang mengandung ketidakpastian, karena janjijanji politik tidak selamanya dapat dipegang (intangibillity). Keyakinan pemilih terhadap figur/ketokohan kemungkinan didasarkan atas pertimbangan psiko-sosial dari calon, seperti simpatik, jujur dan sebagainya, atau karena pertimbangan faktor komptensi teknis, kemampuan memimpin dan kapabilitas, yang dimiliki pasangan calon. Hal ini dimungkinkan karena sebagian besar calon berasal dari lingkungan birokrasi pemerintahan Kabupaten Cianjur, sehingga relatif dikenal oleh pemilih. Banyaknya responden yang alasan memilihnya diorientasikan terhadap calon dapat diduga juga karena pemilih menilai, bahwa faktor kepemimpinan calon lebih penting dibandingkan faktor lainnya. Keputusan memilih adalah keputusan pemilih dalam menjatuhkan pilihan politiknya terhadap pasangan calon. Pasangan calon nomor urut satu (Ir. H. Wasidi Swastomo, M.Si dan Drs. H. Ade Barkah Surahman, M.Si), dipilih oleh 35 reponden. Pasangan nomor urut dua (H. Dadang Rachmat dan Drs. H. Kusandi Sundjaya, M.M.), dipilih oleh 20 responden. Pasangan nomor urut tiga (Drs. H. Tjetjep Muchtar Soleh, MM. dan Drs. H. Dadang Sufianto, M.M.), dipilih oleh 41 responden dan pasangan nomor urut empat (Ir. Yayat Rustandi, M.STr. dan Hj. Titin Suastini, SH.) dipilih oleh 4 responden. Apabila dibandingkan antara peringkat berdasarkan pilihan responden dengan peringkat berdasarkan perolehan suara hasil Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006, menunjukkan adanya kesamaan urutan peringkat, walaupun persentase perbedaan angkanya tidak sama. Hal ini menandakan adanya kecenderungan pemilih dalam menentukan pilihan politiknya memiliki pola yang relatif sama di beberapa daerah pemilihan.
110
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Karakteristik Pemilih
Hubungan Peubah Karakteristik Demografi dengan Orientasi Politik Pemilih. Peubah karakteristik demografi pemilih (umur, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan/penghasilan keluarga) yang diduga berhubungan dengan orientasi politik pemilih (afiliasi parpol, orientasi parpol dan motivasi memilih) dianalisis dengan uji korelasi Rank Spearman. Sementara hubungan antara peubah jenis kelamin dengan orientasi politik dianalisis dengan menggunakan uji Khi-Kuadrat dan Koefisien Kontingensi. Tabel 27. Koefisien korelasi antara karakteristik demografi dengan orientasi politik pemilih Karakteristik demografi Umur Pendidikan Pekerjaan Penghasilan Afiliasi parpol -0,062 -0,256* -0,170 -0,184 Orientasi parpol -0,058 0,543** 0,255* 0,465** Motivasi -0,043 0,673** 0,457** 0,621** Keterangan : ** berhubungan sangat nyata pada taraf α : 0,01 * berhubungan nyata pada taraf α : 0,05 Orientasi politik
Berdasarkan Tabel 27 diperoleh gambaran bahwa pendidikan, pekerjaan dan penghasilan berhubungan nyata dengan orientasi parpol dan motivasi memilih. Semakin tinggi tingkat pendidikan, status pekerjaan dan penghasilan responden semakin berorientasi pada figur/ketokohan pimpinan parpol dan ideologi parpol. Semakin tinggi tingkat pendidikan, status pekerjaan dan penghasilan responden semakin memiliki motivasi untuk melaksanakan hak-hak politiknya dan harapan akan perubahan kepemimpinan daerah menuju ke arah yang lebih baik. Dengan demikian, dapat dikatakan dalam kasus ini pemilih yang memiliki tingkat pendidikan, status pekerjaan dan penghasilan tinggi memiliki orientasi parpol dan motivasi, serta harapan-harapan yang tinggi terhadap hasil Pilkada Kabupaten Cianjur. Tingkat pendidikan berhubungan negatif dengan afiliasi parpol. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan responden, maka semakin lemah afiliasinya dengan suatu partai politik. Demikian halnya dengan pekerjaan dan penghasilan yang bersifat negatif dengan afiliasi parpol. Hal ini berarti semakin tinggi penghasilan dan status pekerjaan responden semakin lemah afiliasinya dengan suatu partai politik. Dapat dikatakan dalam kasus ini pemilih
111
yang memiliki tingkat pendidikan, status pekerjaan dan penghasilan tinggi cenderung memiliki hubungan lemah dengan suatu partai politik. Usia pemilih tidak menunjukkan adanya hubungan nyata dengan afiliasi parpol, orientasi parpol dan motivasi memilih. Usia pemilih bersifat negatif terhadap afiliasi parpol, orientasi parpol dan motivasi memilih. Hal ini menunjukkan bahwa ada kecenderungan semakin tua usia responden, maka semakin lemah afiliasinya dengan suatu partai politik, tetapi orientasi politiknya masih didasarkan pada partai politik yang telah sejak lama menjadi pilihan keluarganya, dan motivasinya masih dipengaruhi oleh suasana pemilu di masa Orde Baru (sebagai kewajiban). Hubungan jenis kelamin dengan afiliasi parpol, orientasi parpol dan motivasi dianalisis dengan menggunakan uji Khi-Kuadrat dan Koefisien Kontingensi (Tabel 28). Tabel 28. Hasil Uji perbedaan mengenai afiliasi parpol, orientasi parpol dan motivasi pemilih berdasarkan Jenis Kelamin. Peubah Db Taraf nyata χ2 Afiliasi parpol 2,724 4 0,605 Orientasi parpol 5,585 4 0,232 Motivasi 11,125 4 0,025 Keterangan : * berhubungan nyata pada taraf α : 0,05
Dari Tabel 28
C-kontingensi 0,163 0,230 0,316*
dapat dijelaskan bahwa jenis kelamin responden tidak
menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dalam kedekatannya dengan suatu partai politik (afiliasi parpol) dan orientasinya terhadap partai politik. Namun reponden perempuan memiliki kecenderungan memiliki kedekatan dengan partai politik dibandingkan dengan responden laki-laki. Demikian juga hubungan jenis kelamin dengan orientasi parpol tidak menunjukkan adanya perbedaan namun menunjukkan adanya kecenderungan responden laki-laki memiliki ketertarikan terhadap figur (pesona) pimpinan parpol dan ideologi partai, sedangkan perempuan berorientasi pada figur (pesona) pimpinan parpol dan partai politik pilihan keluarga. Jenis kelamin berhubungan nyata dengan motivasi memilih (Koefisien Kontingensi = 0,316; α=0,025) walaupun tingkat keeratannya relatif rendah, tetapi terlihat ada kecenderungan motivasi memilih perempuan karena ajakan orang lain sedangkan laki-laki karena menginginkan kepemimpinan yang lebih baik.
112
Hubungan Karakteristik Pemilih dengan Terpaan Informasi Kampanye Hubungan karakteristik pemilih dengan terpaan informasi kampanye dianalisis dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman, kecuali hubungan peubah jenis kelamin dengan terpaan informasi kampanye diuji dengan uji Koefisien Kontingensi. Berdasarkan uji Korelasi Rank Spearman diperoleh gambaran hubungan antara peubah karakteristik pemilih dengan peubah terpaan informasi kampanye seperti terlihat pada tabel 29. Tabel 29. Koefisien korleasi antara karakteristik pemilih dengan terpaan informasi kampanye Karakteristik pemilih Umur
Surat kabar/ tabloid 0,224*
Terpaan informasi kampanye Media Kampanye Radio Televisi luar tatap muka ruang -0,057 0,066 0,115 -0,058
Komunikasi interpersonal -0,084
Pendidikan
0,864**
0,228*
0,508**
0,389**
-0,064
0,033
Pekerjaan
0,501**
0,084
0,351**
0,282**
-0,094
-0,101
Penghasilan
0,776**
0,187
0,415**
0,435**
-0,060
0,062
Afiliasi parpol
-0,195
0,049
0,018
-0,166
0,563**
0,149
0,561**
0,280**
0,171
0,086
0,044
-0,058
-0,023
0,062
Orientasi parpol
Motivasi 0,600** 0,189 0,352** 0,340** Keterangan : ** berhubungan sangat nyata pada taraf α : 0,01 * berhubungan nyata pada taraf α : 0,05
1) Hubungan Umur dengan Terpaan Informasi Kampanye Berdasarkan Tabel 29 diperoleh gambaran bahwa secara umum tingkat usia pemilih tidak memiliki perbedaan yang nyata dalam menerima terpaan dari berbagai saluran komunikasi kampanye. Pemilih yang usianya lebih tua memiliki kecenderungan tidak banyak menerima informasi kampanye dari siaran radio, kampanye tatap muka maupun dari komunikasi antarpribadi. Tetapi tingkat usia pemilih sejalan dengan banyaknya terpaan informasi kampanye melalui surat kabar atau tabloid. Hal ini menandakan bahwa tingkat usia yang lebih tinggi memilki kecenderungan untuk bersikap pasif dalam menerima informasi kampanye. Mereka lebih suka menerima informasi kampanye dari media cetak dan media visual, seperti surat kabar, media luar ruang, post material dan televisi dengan media audio dan komunikasi langsung.
113
2) Hubungan Pendidikan dengan Terpaan Informasi Kampanye Tingkat
pendidikan
pemilih
sejalan
dengan
banyaknya
frekuensi
menerima terpaan informasi kampanye dari media massa, seperti surat kabar/tabloid, siaran televisi, siaran radio, dan media luar ruang, tetapi mempunyai kecenderungan jarang (kurang suka) menghadiri bentuk kampanye tatap muka seperti, kampanye terbuka (rapat umum), kampanye tertutup, debat pasangan calon dan lainnya. Hal ini duga karena
biasanya, semakin tinggi
tingkat pendidikannya semakin banyak memiliki kesibukan, apakah itu bekerja ataupun belajar (bagi pelajar atau mahasiswa). Karena kampanye dalam bentuk tatap muka biasanya dilaksanakan mulai pada waktu pagi sampai siang hari, sehingga kesempatan mereka untuk hadir dalam kampanye sangat terbatas karena bersamaan waktunya dengan waktu melaksanakan aktivitas. 3) Hubungan Pekerjaan dengan Terpaan Informasi Kampanye Jenis pekerjaan pemilih sejalan dengan banyaknya frekuensi menerima terpaan informasi kampanye dari media massa surat kabar/tabolid, televisi dan media luar ruang. Kecuali radio, kampanye tatap muka dan komunikasi interpersonal menunjukkan hubungan negatif. Pemilih yang memiliki pekerjaan yang mapan, pegawai negeri sipil, pengusaha maupun pegawai swasta, mempunyai kecenderungan kurang menyukai bentuk kampanye tatap muka dan membicarakn isu-isu kampanye melalui komunikasi antarpribadi. Hal ini menandakan bahwa tingkat kemapanan dalam pekerjaan mempunyai kaitan erat dengan kebiasaan mencari informasi melalui media surat kabar/tabloid, menonton televisi ataupun memperhatikan informasi media luar ruang, seperti spanduk, brosur, poster dan lainnya, tetapi tidak mempunyai cukup waktu untuk hadir dalam kampanye ataupun melakukan komunikasi antarpribadi. Sedangkan siaran radio, sebagai salah satu medai komunikasi massa yang relatif murah, walaupun banyak memberikan informasi kampanye pada saat kampanye Pilkada Kabupaten
Cianjur,
namun
tidak
menunjukkan
adanya
hubungan
atau
perbedaan yang nyata.. 4) Hubungan Penghasilan/Pengeluaran Keluarga dengan Terpaan Informasi Kampanye Tingkat penghasilan atau pengeluaran keluarga (rumah tangga) pemilih sejalan dengan banyaknya frekuensi menerima terpaan informasi kampanye dari
114
media cetak (surat kabar/tabloid), medai luar ruang dan siaran televisi, tetapi berhubungan negatif dengan bentuk kampanye tatap muka. Tingkat penghasilan/ pengeluaran keluarga pada umumnya berhubungan erat dengan tingkat kemapanannya dalam pekerjaan, sehingga kemungkinan tidak punya cukup waktu untuk menghadiri kampanye dalam bentuk tatap muka, karena waktu bekerja pada umumnya bersamaan dengan waktu pelaksanaan kampanye tatap muka, pagi hingga siang hari. 5) Hubungan Afiliasi Parpol dengan Terpaan Informasi Kampanye Afiliasi parpol adalah merupakan tingkat hubungan pemilih dengan salah satu partai politik baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti menjadi pengurus partai, anggota (aktivis partai), pendukung setia atau hanya sebagai simpatisan partai saja.
Berdasarkan Tabel 29 dapat diketahui bahwa tingkat
kedekatan hubungan dengan partai politik mempunyai hubungan yang erat dengan banyaknya terpaan informasi dari bentuk kampanye tatap muka, dan mempunyai
kecenderungan
sedikit
membaca
surat
kabar/tabloid
dan
memperhatikan informasi dari media luar ruang. Hal ini menandakan bahwa kedekatan pemilih dengan salah satu partai politik, seperti sebagai pengurus, anggota ataupun pendukung setia, menyebabkan mereka sering terlibat dalam kegiatan-kegiatan kampanye, sebagai bukti loyalitasnya terhadap partai politik. Karena kedekatannya dengan partai politik menyebabkan mereka tidak begitu peduli dengan informasi-informasi kampanye lainnya, selain dari kampanye tatap muka. Perilaku seperti ini dapat dipahami karena kecenderungan umum dalam kampanye tatap muka biasanya mengerahkan seluruh unsur kekuatan partai politik, dari mulai pengurus, anggota, pendukung setia hingga simpatisan, sebagai bentuk unjuk kekuatan (show of force). 6) Hubungan Orientasi Parpol dengan Terpaan Informasi Kampanye Orientasi parpol menunjukkan preferensi pemilih (perasaan suka dan tidak suka) dengan salah satu partai politik, seperti faktor ideologi, ketokohan pimpinan partai politik, partai yang sejak dulu dipilih keluarga atau karena alasan partai yang dipilih teman/tetangga. Dari Tabel 29 diketahui bahwa tingkat ketertarikan secara psikologis (identifikasi parpol) pemilih sejalan dengan banyaknya terpaan informasi kampanye dari media surat kabar/tabloid dan siaran radio, tetapi memiliki kecenderungan kurang memperoleh informasi
115
kampanye dari komunikasi antarpribadi. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi dasar ikatan psikologis pemilih dengan suatu partai politik, semakin tinggi keterlibatannya dalam menerima informasi kampanye dari surat kabar/tabloid dan radio. Hal ini diduga karena surat kabar/tabloid dan radio lebih banyak menyajikan informasi kampanye diabadingkan dengan bentuk-bentuk media massa lainnya. Sedangkan kecenderungan sedikitnya informasi kampanye yang diperoleh melalui komunikasi antarpribadi karena kemungkinan beranggapan tidak akan banyak mendapatkan informasi yang dibutuhkannya. 7) Hubungan Motivasi Memilih dengan Terpaan Informasi Kampanye Motivasi untuk memilih adalah alasan keikutsertaan pemilih dalam memberikan suara dalam Pilkada Kabupaten Cianjur yang dikategorikan berdasarkan,
berharap
pemimpin
yang
lebih
baik,
melaksankan
hak,
melaksanakan kewajiban atau ikut-ikutan orang lain. Tabel 29. menunjukkan bahwa tingkat motivasi sejalan dengan banyaknya frekuensi terpaan informasi kampanye melalui media massa, seperti surat kabar/tabloid, televisi dan media luar ruang, kecuali radio. Media massa radio, walaupun biasanya relatif lebih banyak memberikan inofrmasi kampanye dibandingkan dengan media massa lainnya, namun media ini nampaknya mulai kurang diminati. Pemilih yang memiliki motivasi lebih tinggi cenderung tidak banyak menerima informasi kampanye dari bentuk kampanye tatap muka. Hal ini kemungkinan disebabkan karena tidak memiliki waktu yang cukup, karena pekerjaan, atau kurang suka dengan bentuk kampanye tatap muka, seperti rapat umum, arak-arakan dan sebagainya, karena merasa tidak akan banyak informasi program pasangan calon yang dapat diperoleh. 8) Hubungan Jenis Kelamin dengan Terpaan Informasi Kampanye Untuk menguji hubungan antara jenis kelamin dengan terpaan informasi kampanye dilakukan dengan uji Koefisen Kontingensi. Hasil uji tersebut dapat dilihat pada Tabel 30. Berdasarkan Tabel 30. dapat dijelaskan bahwa antara pemilih perempuan dengan pemilih laki-laki tidak ada perbedaan yang nyata dalam menerima terpaan informasi kampanye dari media massa.
Namun dalam komunikasi
interpersonal terdapat perbedaan yang sangat nyata antara pemilih laki-laki dan pemilih perempuan (Koefisien Kontingensi=0,423; α = 0,00). Pemilih perempuan
116
lebih banyak menerima informasi melalui komunikasi interpersonal dibandingkan laki-laki. Tabel 30. Hasil Uji perbedaan mengenai terpaan informasi kampanye berdasarkan jenis kelamin. Peubah Db Taraf nyata χ2 Terpaan media surat kabar/tabloid 8.926 4 0,063 Terpaan media radio 3.043 4 0,551 Terpaan media televisi 5.040 4 0,283 Terpaan media luar ruang 4.086 4 0,394 Kampanye tatap muka 4.579 4 0,333 Komunikasi interpersonal 21.755 4 0,000 Keterangan : ** berhubungan sangat nyata pada taraf α : 0,01
Hal
ini
menandakan
bahwa
pemilih
C-Kontingensi 0,299 0,172 0,219 0,198 0,209 0,423**
perempuan
lebih
banyak
membicarakan isu-isu kampanye dengan orang-orang yang dianggap dekat, terutama keluarga, tetangga atau teman kerja dan tokoh masyarakat. Sedangkan pemilih laki-laki cenderung lebih banyak mendapatkan informasi dari membaca koran mendengarkan radio, nonton televisi, media luar ruang, dibandingkan perempuan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa untuk mempengaruhi pemilih peremupan akan lebih efektif apabila melalui opinion leader, atau kaderkader partai dengan saluran komunikasi interpersonal.
Hubungan
Karakteristik
Pemilih
dengan
Perilaku
Mengolah
Pesan
Kampanye Ada tiga peubah utama perilaku mengolah pesan kampanye yang diduga berhubungan dengan karakteristik pemilih, yaitu (1) orientasi terhadap pesan kampanye, (2) perilaku menyeleksi pesan kampanye, (3) respon terhadap pesan kampanye. Hubungan karakteristik pemilih dengan perilaku mengolah pesan kampanye dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman dapat dilihat pada tabel berikut. 1) Hubungan Umur dengan Perilaku Mengolah Pesan/Informasi Kampanye Berdasarkan Tabel 31 dapat dijelaskan, dilihat dari segi usia pemilih tidak ada perbedaan dalam perilaku mengolah pesan kampanye. Tetapi tingkat usia sejalan dengan tingkat orientasinya terhadap isu kampanye, yaitu semakin tua usia pemilih semakin tinggi orientasinya terhadap isu-isu kampanye (orientasi pada visi dan misi). Hal ini menandakan bahwa pemilih yang lebih tua lebih
117
dewasa dalam menilai pesan kampanye, dan menghendaki adanya perubahan kepemimpinan ke arah yang lebih baik. Pemilih yang lebih tua cenderung memiliki orientasi kedaerahan (calon harus dari putra daerah), hal ini diduga karena calon putra daerah memiliki kedekatan secara psikologis dengan pemilih. Pemilih yang usianya lebih tua cenderung merasa tidak cukup mendapatkan informasi kampanye, hal ini bisa disebabkan karena pemilih yang lebih tua memiliki minat yang tinggi terhadap isu kampanye,
sedangkan
pesan-pesan
kampanye
umumnya
kurang
menginformasikan program maupun kandidat yang ditawarkan. Tabel 31.Koefisien korelasi antara karakteristik pemilih dengan perilaku mengolah pesan kampanye Perilaku Mengolah Pesan Kampanye
Karakteristik Pemilih Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Afiliasi parpol
Orientasi Parpol
Motivasi
Orientasi pesan/informasi kampanye Orientasi Calon Orientasi kedaerahan Orientasi kampanye
0,051
0,480**
0,315**
0,434**
-0,223*
0,530**
0,413**
-0,163
0,017
-0,091
-0,031
0,143
-0,121
-0,042
0,203*
0,017
-0,091
-0,031
0,143
-0,121
-0,042
Perilaku menyeleksi pesan kampanye Perilaku seleksi Perilaku menilai Perilaku mengolah
0,095
0,658**
0,444**
0,645**
-0,149
0,390**
0,570**
0,039
0,633**
0,366**
0,616**
-0,073
0,450**
0,612**
0,029
0,621**
0,378**
0,606**
-0,001
0,406**
0,625**
Perilaku merespons pesan kampanye Respons terhadap kecukupan Informasi Repson terhadap Janji kampanye Respons terhadap pengaruh kampanye Keterangan :
-0,034
0,365**
0,192
0,325**
0,054
0,305**
0,357**
-0,184
0,633**
0,366**
0,616**
-0,073
0,450**
0,612**
0,154
0,468**
0,192
0,453**
0,091
0,498**
0,432**
** berhubungan sangat nyata pada taraf α : 0,01 * berhubungan nyata pada taraf α : 0,05
Kecenderungan sikap kurang percaya pemilih ada pada janji-janji kampanye, kemungkinan disebabkan karena pemilih yang lebih tua, sudah
118
pernah mengalami beberapa peristiwa pemilihan umum, dan janji-janji kampanye pada umumnya tidak pernah dapat direalisasikan. Pesan-pesan kampanye juga cenderung tidak mempengaruhi keputusan politik pemilih yang lebih tua, hal ini kemungkinan ada kaitannya dengan sikap kurang percaya terhadap janji-janji kampanye. 2) Hubungan Pendidikan dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Tingkat pendidikan pemilih sejalan dengan perilakunya dalam mengolah pesan kampanye dan memiliki kecenderungan yang kurang berorientasi kedaerahan. Hal ini menandakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikannya akan
semakin
tinggi
tingkat
keterlibatannya
dalam
mengolah
pesan
kampanye.Tingkat keterlibatan yang tinggi dalam mengolah pesan kampanye memungkinkan pemilih melakukan evaluasi yang mendalam terhadap isi pesan yang diterimanya dan perubahan sikpanya sebagian besar ditentukan oleh pertimbangan rasional terhadap informasi kampanye. Mengacu pada Model Kemungkinan Elaborasi (Elaboration Likelihood Model), perilaku pemilih dalam memproses pesan kampanye seperti tiu dapat dikategorikan menggunakan jalur sentral (central route), yaitu melakukan penilaian secara hati-hati dan kritis terhadap pesan-pesan kampanye. 3) Hubungan Pekerjaan dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Pemilih yang memiliki pekerjaan yang relatif mapan, seperti pegawai negeri sipil, pengusaha dan pegawai swasta, memiliki orientasi yang tinggi dalam menilai pasangan calon dan pesan-pesan kampanye. Mereka lebih berorientasi pada program (visi dan misi) pasangan calon, tetapi memiliki kecenderungan berorientasi kedaerahan (lebih menyukai calon putra daerah) dan tidak percaya pada janji-janji kampanye. Pada umumnya, pegawai negeri sipil, pengusaha dan pegawai swasta mempunyai perhatian terhadap perubahan kepemimpinan di daerah, karena perubahan kepemimpinan akan bedampak pada perubahanperubahan kebijakan yang akan berpengaruh secara langsung terhadap mereka. Kekurangpercayaan mereka terhadap janji-janji kampanye dapat disebabkan karena mereka merasa ragu-ragu terhadap calon pemimpin yang belum dikenal sebelumnya,
atau sebaliknya karena sudah pernah mengenalnya namun
merasa ragu akan kemampuan kepemimpinannya. Sedangkan orientasi kedaerahan yang lebih kuat diduga apabila calon yang berasal dari putra daerah
119
dapat lebih mudah untuk diajak kerjasama dalam mengembangkan usaha atau meningkatkan karirnya. 4) Hubungan Penghasilan dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Tingkat penghasilan/pengeluaran keluarga pemilih sejalan dengan perilakunya dalam mengolah pesan kampanye. Pemilih yang berpenghasilan tinggi memiliki keterlibatan yang mendalam dalam mengolah pesan-pesan kampanye. Tingkat penghasilan/pengeluaran keluarga dengan tingkat pendidikan memiliki kesamaan dalam perilaku mengolah pesan-pesan kampanye. Namun sebagian dari pemilih yang memiliki penghasilan/pengeluaran yang lebih tinggi cenderungan lebih berorientasi kedaerahan. Hal ini menandakan bahwa pemilih yang berpenghasilan lebih tinggi cenderung menyukai calon putra daerah, karena selain dekat secara psikologis juga kemungkinan dianggap akan lebih mudah membangun kerjasama atau mengembangkan karirnya.. 5) Hubungan Afiliasi Parpol dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Kedekatan pemilih dengan suatu partai politik, sebagi pengurus, anggota atau
aktivis partai,
pendukung
setia
atau
simpatisan,
sejalan
dengan
keterikatannya kepada partai politik dan kurang tertarik pada program (visi dan misi) pasangan calon. Semakin dekat hubungannya dengan suatu partai politik maka akan semakin kuat orientasinya terhadap partai politik. Kedekatan pemilih dengan partai politik juga sejalan dengan kepercyaannya terhadap janji-janji kampanye. Hal ini diduga disebabkan karena pemilih yang mempunyai kedekatannya dengan suatu partai politik akan merasa dirinya merupakan bagian dari partainya, sehingga merasa memiliki kewajiban untuk mendukung partainya. Pemilih yang termasuk dalam kategori ini cenderung tidak bersifat kritis dalam menilai pesan-pesan kampanye dan kurang dipengaruhi oleh informasi kampanye. Keputusan-keputusannya cenderung lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang non-argumentatif. Perilaku pemilih yang seperti ini apabila mengacu pada Teori Model Kemungkinan Elaborasi (Elaobration Likelihood Model), termasuk dalam kategori pemilih yang menggunakan jalur periferal (pheriperal route). 6) Hubungan Orientasi Parpol dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Tingkat orientasi orientasi parpol sejalan dengan perilakunya dalam mengolah pesan kampanye, semakin tinggi tingkat orientasi parpol semakin
120
rasional dalam mengolah pesan-pesan kampanye. Pemilih yang memiliki orientasi ideologis dengan suatu partai politik lebih berorientasi pada program (visi dan misi) pasangan calon, memiliki keterlibatan yang tinggi dalam menilai dan mengolah pesan kampanye, memiliki informasi yang memadai, percaya pada janji kampanye dan dipengaruhi oleh pesan-pesan kampanye. Pemilih seperti itu dikategorikan ke dalam pemilih yang rasional dan tidak berorientasi kedaerahan. Hal ini menandakan bahwa identifikasi partai yang didasarkan pada ikatan psikologis dengan suatu partai politik tidak menyebabkan pemilih berperilaku tidak rasional. Dalam kasus pemilihan kepala daerah di Kabupaten Cianjur Tahun 2006, orientasi pemilih terhadap isu (visi dan misi) dan calon (kandidat) lebih kuat dibandingkan dengan ortintasinya terhadap partai politik. Perilaku pemilih seperti itu termasuk kategori pemilih yang menggunakan jalur sentral (central route) menurut Teori Model Kemungkinan Elaborasi (Elaboration Likelihood Model). Fenomena perilaku pemilih tersebut menunjukkan adanya peberbedaan dengan teori perilaku pemilih pendekatan psikologis (Mazhab Michigan). Teori ini beranggapan bahwa pemilih yang sudah mengidentifikasikan dirinya dengan salah satu partai politik, pada saat pemilihan akan memilih partai politik atau kandidat dari partai politik tersebut. Sedangkan pemilih dalam Pilkada Cianjur menunjukkan perilaku yang sebaliknya, semakin tinggi ikatan psikologis dengan suatu partai politik, semakin berperilaku rasional dalam mengolah pesan kampanye. Tetapi perilaku rasional dalam mengolah pesan kampanye tidak selalu menyebabkan seseorang mengganti pilihan politiknya. Walaupun dalam kasus Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006, menunjukkan adanya fenomena pemilih yang mengganti pilihan politiknya (swing voter atau switcher), dapat dilihat dari adanya
penambahan dan penguarangan suara yang diperoleh
pasangan calon dibandingkan dengan perolehan suara dalam Pemilu Legislatif tahun 2004. 7) Hubungan Motivasi dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Motivasi pemilih sejalan dengan perilakunya dalam mengolah pesan kampanye. Pemilih yang memiliki motivasi yang tinggi (berharap kepemimpinan yang lebih baik) lebih hati-hati dalam mengevaluasi pesan kampanye. Mereka menilai pesan-pesan kampanye secara kritis, mengevaluasi dan membandingkan setiap pesan/informasi yang diterimanya. Semakin tinggi motivasi memilih cenderung semakin terbuka menerima pasangan calon yang berasal dari luar
121
daerah. Pemilih yang memiliki motivasi yang tinggi musatkan perhatiannya pada program-program (visi dan misi) pasangan calon. Pemilih seperti ini termasuk dalam kategor pemilih rasional yang menggunakan jalur sentral (central route) menurut teori Model Kemungkinan Elaborasi (Elaboration Likelihood Model). 8) Hubungan Jenis Kelamin dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Berdasarkan hasil uji koefisien kontingensi, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 32 dapat dijelaskan bahwa tidak terdapat perbedaan nyata antara pemilih perempuan dan laki-laki dalam perilak mengolah pesan kampanye, kecuali orientasi pada kampanye (Koefisien Kontingensi=0,344; α = 0,001). Pemilih laki-laki berorientasi pada program (visi dan misi) pasangan calon, sedangkan perempuan lebih tertarik pada unsur hiburan dan pawai/arak-arakan. Pemilih laki-laki dalam orientasinya terhadap calon cenderung lebih tertarik pada program (visi dan misi) pasangan calon, berperilaku rasional dalam menyeleksi dan mengolah pesan kampanye, percaya pada janji kampanye serta mudah terpengaruh oleh isu-isu kampanye dibandingkan dengan pemilih perempuan. Sedangkan pemilih perempuan berorientasi kedaerahan (calon putra daerah) dan kurang peduli terhadap informasi kampanye. Dengan demikian pemilih lakilaki lebih bersikap rasional dalam mengolah pesan kampanye dan dalam mengambil keputuan politik dibandingkan dengan perempuan. Tabel 32.
Hasil Uji perbedaan mengenai perilaku mengolah pesan kampanye berdasarkan jenis kelamin.
Db Taraf nyata χ2 Orientasi pesan/informasi kampanye Orientasi calon 0.902 2 0,637 Orientasi kedaerahan 3.168 2 0,205 Orientasi kampanye 13.401 2 0,001 Perilaku menyeleksi pesan kampanye Perilaku seleksi 2.935 2 0,231 Perilaku menilai 1.410 2 0,494 Perilaku mengolah 1.893 2 0,388 Perilaku merespons pesan kampanye Respons terhadap kecukupan Informasi 0.163 2 0,922 Respons terhadap janji kampanye 0.579 2 0,749 Respons terhadap pengaruh kampanye 0.969 2 0,616 Keterangan : ** berhubungan sangat nyata pada taraf α : 0,01 Peubah
C-Kotingensi 0,095 0,175 0,344** 0,169 0,118 0,136 0,040 0,076 0,098
122
Hubungan Karakteristik Pemilih dengan Perilaku Memilih Peubah perilaku memilih yang diduga berhubungan dengan karakteristik pemilih, yaitu (1) perilaku dalam menentukan pilihan (keputusan) politik, (2) alasan dalam menentukan pilihan politik (orientasi pilihan), dan (3) keputusan memilih (pasangan calon yang dipilih). Hubungan karakteristik pemilih dengan perilaku memilih menggunakan uji korelasi Rank Spearman dapat dilihat pada Tabel 33 berikut ini. Tabel 33. Koefisien korleasi antara karakteristik pemilih dengan perilaku memilih Karakteristik Pemilih Perilaku Memilih
Umur
Pendidikan
Pekerjaan
Penghasilan
Afiliasi Parpol
Perilaku dalam 0,043 0,569** 0,362** 0,567** -0,064 menentukan pilihan 0,062 0,561** 0,375** 0,493** -0,145 Alasan dalam menentukan pilihan Keputusan 0,100 0,452** 0,392** 0,399** -0,231* memilih Keterangan : ** berhubungan sangat nyata pada taraf α : 0,01 * berhubungan nyata pada taraf α : 0,05
Orientasi Parpol 0,299**
Motivasi 0,462**
0,421**
0,392**
0,265**
0,370**
1) Hubungan Umur dengan Perilaku Memilih Umur pemilih tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata dalam perilaku pemilih. Hal ini menandakan bahwa faktor usia pemilih tidak dapat digunakan untuk menjelaskan perbedaan pemilih yang berperilaku rasional dan tidak rasional dalam mengambil keputusan untuk memilih. Dapat diambil kesimpulan bahwa faktor usia pemilih tidak berhubungan dengan perilaku memilihnya. Kesimpulan ini terutama berlaku untuk pemilih yang berusia antara 20 - 49 tahun, karena sebaran usia pemilih relatif merata di usia ini. Hasil penelitian ini tidak selaras (berbeda) dengan teori perilaku pemilih pendekatan sosiologis (Mazhab Columbia), yang menyatkan bahwa faktor usia (tua-muda) menentukan perilaku memilih seseorang. 2) Hubungan Pendidikan dengan Perilaku Memilih Tingkat pendidikan berhubungan nyata dengan perilaku memilih. Semakin tinggi tingkat pendidikannya semakin rasional perilakunya dalam memilih. Hal ini menandakan bahwa tingkat pendidikan sejalan dengan sikap kritisnya dalam menentukan pilihan politiknya. Tingkat pendidikan sejalan alasan
123
pilihan politik yang rasional. Tingkat pendidikan sejalan dengan peringkat hasil pemilihan dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006. 3) Hubungan Pekerjaan dengan Perilaku Memilih Jenis pekerjaan pemilih berhubungan nyata dengan perilaku memilih. Hal ini berarti semakin mapan status pekerjaan (kepastian pekerjaan) pemilih semakin rasional dalam pengambilan keputusan untuk memilih. Status kepegawai Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki kecenderungan lebih rasional dibandingkan dengan status pekerjaan lainnya. Perilaku ini diduga disebabkan karena pertama, pergantian kepemimpinan kepala daerah akan sangat berpengaruh terhadap posisi pekerjaannya, karena PNS orang yang sangat dekat dan terpengaruh langsung oleh kebijakan-kebijakan kepala daerahnya. Kedua, pasangan calon yang berkompetisi dalam Pilkada Kabupaten Cianjur hampir semuanya berasal dari lingkungan birokrasi pemerintahan Kabupaten Cianjur, sehingga relatif lebih dekat mengenal calonnya. Ketiga, sejak bergulirnya reformasi, PNS tidak lagi harus berafiliasi dengan salah satu partai politik, sehingga memiliki kebebasan untuk bertindak dan mengambil keputusan politik tanpa takut pada ancaman/intimidasi dari institusi politik lain. Keempat, orang yang bersatatus PNS juga pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Sementara pemilih yang tidak bekerja atu tidak memiliki pekerjaan tetap juga biasanya juga tingkat pendidikannya rendah, cenderung lebih berorientasi pada partai politik, daripada terhadap visi, misi dan program pasangan calon. Pemilih seperti ini biasanya lebih mudah dipengaruhi oleh simbol-simbol partai politik dan politik uang (money politics). Mereka juga cenderung menganggap kegiatan pemilihan sebagian kegiatan ritual, tidak menyadari bahwa keputusan memilihnya akan berpengaruh terhadap kepentingan masyarakat yang lebih luas. 4) Hubungan Penghasilan Pemilih dengan Perilaku Memilih Tingkat penghasilan pemilih berhubungan nyata dengan perilaku memilihnya. Semakin tinggi tingkat penghasilan pemilih semakin rasional perilakunya dalam memilih. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada umumnya tingkat penghasilan (pengeluaran keluarga) berhubungan dengan tingkat pendidikannya. Orang yang memiliki penghasilan tinggi cenderung memiliki pendidikan yang tinggi dan memiliki pekerjaan yang dipengaruhi oleh kebijakan-
124
kebijakan pemerintah. Sikap rasionalnya dalam mengambil keputusan untuk memilih kemungkinan didorong oleh sikap kehati-hatiannya dalam menilai pasangan calon, karena hasil pemilihan dikhawatirkan akan mempengaruhi posisinya dalam pekerjaan atau usahanya. 5) Hubungan Afiliasi Parpol dengan Perilaku Memilih Afiliasi pemilih dengan suatu partai politik tidak berhubungan nyata, kecuali dengan keputusan memilih. Berdasarkan Tabel 33 dapat dijelaskan bahwa semakin dekat hubungan pemilih dengan partai politik memiliki kecenderungan berperilaku tidak rasional dalam perilaku memilihnya. Pemilih dalam kategori ini memiliki kecenderungan tidak memperdulikan isu-isu kampanye, karena mereka sudah menentukan pilihannya berdasarkan partai politik yang disukainya. Alasan menentukan pilihan politiknya lebih didasarkan pada keterikatannya terhadap partai politiik. Kelompok pemilih ini juga cenderung untuk tidak mengubah pilihan politiknya karena terpaan informasi kampanye, karena dasar orientasi pilihannya bukan kepada isu (visi dan misi) dan calon tetapi pada partai politik yang diidentifikasinya. 6) Hubungan Orientasi Parpol dengan Perilaku Memilih Orientasi parpol berhubungan nyata dengan perilaku memilih. Hal ini berarti bahwa semakin kuat dasar orientasinya terhadap suatu partai politik semakin rasional perilakunya dalam mengambil keputusan untuk memilih. Pemilih yang memiliki dasar ikatan psikologis dengan partai politik karena kesamaan ideologis/aliran politik berperilaku rasional dalam menentukan pilihan politiknya. Kesimpulan ini nampaknya bertentangan dengan teori perilaku pemilih (voting behavior) pendekatan psikologis (Mazhab Michigan). Pendekatan psikologis beranggapan bahwa seseorang yang mempunyai ikatan psikologis sudah menentukan pilihannya jauh sebelum kampanye dimulai, dan akan memilih partai tersebut pada saat di bilik suara (Ridwan, 2004). Hal tersbut kemungkinan terjadi karena, pertama, partai politik di Indonesia
sebagian
mengutamakan
besar
keunggulan
dapat jumlah
dikatetgorikan anggota,
partai
massa,
yang
pendukung-pendukungnya
biasanya dari berbagai aliran politik dalam masyarakat yang sepakat bernaung di bawahnya (Azed dan Amir, 2005). Tipologi partai ini biasanya hanya aktif mencari dukungannya pada saat menjelang pemilu dari massa yang belum
125
mempunyai ikatan politik, yang disebut “massa mengambang” (floating mass). Kedua partai politik di Indonesia, sebagian besar adalah partai yang berazas nasional dan terbuka, ketertarikan terhadap partai politik lebih pada kharisma kepemimpinan nasionalnya dibandingkan pada ideologi/aliran politiknya. Ketiga, dalam pemilihan kepala daerah, sebagaimana dalam kasus Pilkada Kabupaten Cianjur tahun 2006, orientasi pemilih lebih banyak ditujukan pada figure calon, dan isu-isu kampanye dibandingkan pada partai politiknya, karena isu-isu politik daerah dirasakan lebih dekat dengan pemilih dan berhubungan langsung dengan masa depan daerahnya. Faktor-faktor ini diduga yang mendorong pemilih yang memiliki kedekatan psikologis dengan suatu partai politik menjadi lebih rasional dalam perilaku memilihnya. Fenomena ini mendukung pendekatan rasional dalam studi perilaku pemilih,
bahwa perilaku politik seseorang tidak selalu terbelenggu oleh
karakteristik sosiologis, dan sikapnya terhadap suatu partai politik belum tentu akan mempengaruhi perilaku politiknya. Sebab, belum tentu orang yang menyukai partai atau kandidat tertentu dalam pemilu nanti akan memilih sesuai posisi siikapnya (Ridwan, 2004). Banyak kasus pemilih yang mengubah pilihan politiknya dari satu pemilu ke pemilu lainnya. Hal ini disebabkan oleh ketergantungan pada peristiwa-peristiwa politik tertentu yang bisa saja mengubah preferensi politik sesorang (Nursal, 2004). Dalam kasus Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006, menunjukkan adanya pemilih yang mengubah preferensi politiknya dari satu partai politik ke partai politik lainnya, sebagaimana dapat dilihat dari perbandingan perolehan suara parpol dalam Pemilu 2004 dengan perolehan suara pasangan calon yang didukung parpol tertentu. Pasangan calaon nomor urut satu dengan jumlah kumulatif suara dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004 yang mencapai 579.786 (53%) suara hanya memperoleh 309.181 (34,08%) suara, terjadi penurunan sebesar 18,92%. Demikian halnya pasangan calon nomor urut empat, pada Pemilu Lagislatif Tahun 2004 partai politik memperoleh suara sebanyak 168.873 (15%) dalam Pilkada hanya dapat memperoleh suara sebanyak 67.936 (7,49%), terjadi penurunan sebesar 7,51%. Sedangkan pasangan calon nomor urut tiga, yang dalam Pemilu Legislatif Tahun 2004 hanya memperoleh suara sebanyak 133.824
(12%)
dalam
pilkada
memperoleh
311.802
(34,37%)
suara,
menunjukkan peningkatan sebesar 22.37%. Begitu juga pasangan nomor urut dua, yang dalam Pemilu Lagislatif Tahun 2004 hanya memperoleh 180.642
126
(16%) suara, dalam Pilkada Cianjur 2006 memperoleh suara sebanyak 218.391 (24,07%), meningkat sebesar 8.07%. 7) Hubungan Motivasi Pemilih dengan Perilaku Memilih Motivasi pemilih berhubungan nyata dengan perilaku memilih. Hal ini berarti semakin tinggi motivasi pemilih terhadap pemilihan kepala daerah semakin rasional perilaku memilihnya. Pemilih yang menaruh harapan terhadap hasil pemilihan kepala daerah, seperti berharap kepemimpinan yang lebih baik atau melaksanakan
haknya politiknya akan
berperilaku rasional dalam
menentukan pilihan politiknya. Sedangkan pemilih yang masih menganggap bahwa pemilihan sebagai suatu peristiwa ritual yang wajib dilaksanakan, atau karena dorongan pihak lain dalam menentukan pilihan politiknya, cenderung untuk tidak bersikap kritis, dan menentukan pilihan sesuai dengan kesukaan pada partai politik. . 8) Hubungan Jenis Kelamin dengan Perilaku Memilih Berdasarkan hasil uji koefisien kontingensi terhadap hubungan jenis kelamin dengan perilaku memilih, sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 34 dapat dijelaskan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata antara pemilih laki-laki dengan perempuan dalam perilaku memilihnya. Tabel 34.
Hasil Uji perbedaan mengenai perilaku memilih berdasarkan jenis kelamin.
Peubah Perilaku dalam menentukan pilihan Alasan dalam Menentukan Pilihan Keputusan Memilih
χ2 2.481 4.295 5.085
Db 2 3 3
Taraf nyata 0,289 0,231 0,166
C-Kontingensi 0,156 0,203 0,220
Dalam keputusan memilih, pemilih perempuan cenderung memilih pasangan calon yang ada calon perempuannya (pasangan calon nomor empat). Kecenderungan keputusan memilih ini diduga karena faktor kesamaan gender dan janji-janji kampanyenya, Hj. Titin Suastini, SH. yang berpasangan dengan Ir. Yayat Rustandi, M.STr. Dalam orasinya menjanjikan akan memperjuangkan nasib kaum perempuan agar memiliki kedudukan dan kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam pendidikan dan pekerjaan. Sementara pemilih laki-laki memiliki kecenderungan lebih rasional dalam perilaku memilihnya dibandingkan dengan perempuan.
127
Faktor-faktor yang berhubungan dengan Terpaan Informasi Kampanye Hubungan Terpaan Informasi Kampanye dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Hubungan terpaan informasi kampanye dengan perilaku mengolah pesan kampanye diuji dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Berdasarkan uji tersebut dapat diperoleh gambaran antara peubah terpaan informasi kampanye dengan perilaku mengolah pesan kampanye sebagaimana terlihat pada Tabel 35. 1) Hubungan Terpaan Media Surat Kabar/Tabloid dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Berdasarkan Tebl 35 dapat dinyatakan bahwa terpaan media surat kabar/tabloid berhubungan nyata dengan perilaku mengolah pesan kampanye. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi frekuensi membaca koran mengenai informasi kampanye semakin semakin tinggi keterilabatannya dalam mengolah pesan kampanye. Pemilih yang sering membaca surat kabar/tabloid seputar isuisu kampanye, berorientasi pada program (visi dan misi) calon, tertarik pada isuisu kampanye serta tidak mempermasalahkan daerah asal calon (orientasi kedaerahan). Pemilih ini juga berusaha mendapatkan informasi mengenai pesanpesan kampanye setiap pasangan calon kemudian menilai dan membandingkan setiap pasangan calon, memiliki cukup informasi, meyakini janji-janji kampanye dan pengambilan keputusan politiknya dipengaruhi oleh isu-isu kampanye. Hal ini menandakan bahwa media cetak surat kabar/tabloid merupakan media yang efektif untuk mempengaruhi pemilih dalam mengambil keputusan politiknya. 2) Hubungan Terpaan Media Radio dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Terpaan media siaran radio berhubungan nyata dengan perilaku mengolah pesan kampanye, dalam hal orientasinya terhadap calon dan kampanye, seleksi dan mengolah pesan kampanye, serta respons terhadap janjijanji kampanye. Namun pemilih ini tidak memiliki perbedaan dalam hal orientasinya terhadap calon dan asal daerah calon, perilaku menilai pesan kampanye, kecukupan informasi dan pengaruh pesan kampanye terhadap perilaku memilihnya. Hal ini berarti bahwa pemilih yang sering mendengarkan
128
informasi kampanye melalui siaran radio memiliki ketertarikan terhadap isu-isu kampanye, menerima informasi dari lebih dari satu calon, membandingkan calon yang satu dengan lainnya, dan memiliki keyakinan terhadap janji-janji kampanye. Media siaran radio kurang efektif untuk mempengaruhi pemilih, karena siaran radio, sifatnya selintas dan tidak bisa diulang. Selain itu dengan semakin murahnya harga pesawat televisi menyebabkan siaran radio mulai kurang diminati. Tabel 35. Koefisien korelasi antara terpaan informasi kampanye dengan perilaku mengolah pesan kampanye Perilaku mengolah pesan kampanye
Surat kabar/ tabloid
Orientasi calon Orientasi kedaerahan Orientasi kampanye
Terpaan informasi kampanye Media Kampanye Radio Televisi luar tatap muka ruang Orientasi pesan/informasi kampanye
Komunikasi interpersonal
0,365**
0,112
0,121
0,007
-0,087
-0,195
-0,021
0,103
0,027
0,081
0,130
0,060
0,603**
0,245*
0,385**
0,247*
-0,048
-0,104
Perilaku menyeleksi pesan kampanye Seleksi pesan Menilai pesan Mengolah pesan
0,611**
0,212**
0,419**
0,342**
0,088
0,002
0,589**
0,147
0,351**
0,252*
0,159
0,090
0,560**
0,216**
0,354**
0,275**
0,237*
0,083
0,234*
0,027
0,234*
0,163
0,139
0,109
Respons terhadap pesan kampanye Kecukupan 0,430** 0,125 0,206* 0,094 informasi Respons terhadap 0,359** 0,225* 0,367** 0,234* janji kampanye Pengaruh pesan 0,471** 0,175 0,183 0,260** kampanye Keterangan : ** berhubungan sangat nyata pada taraf α : 0,01 * berhubungan nyata pada taraf α : 0,05
3) Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Terpaan media siaran televisi berhubungan nayat dengan perilaku mengolah
pesan
kampanye,
kecuali
dengan
orientasi
calon,
orientasi
kedaerahan dan pengaruhnya terhadap keputusan memilih tidak menunjukkan perbedaan. Pemilih yang banyak menyaksikan pesan-pesan kampanye dari
129
siaran televisi menunjukkan menunjukkan orientasi kampanyenya ditujukan pada visi dan misi pasangan calon. Semakin banyaknya pemilih menerima terpaan dari media siaran televisi semakin tinggi tingkat keterlibatannya dalam menyeleksi pesan kampanye dan semakin tinggi pula responsnya terhadap pesan kampanye, namun tidak memiliki perbedaan dalm hal pengaruh pesan kampanye terhadap keputusan politiknya. Media televisi memang cukup efektif untuk mempengaruhi pemilih dalam mengambil keputusan politik, karena media televisi selain menampilkan tulisan dan suara juga menampilkan gambar. Informasi yang disampaikan melalui siaran televisi, cenderung tersimpan lama dalam ingatan, karena siaran televisi merupakan media audio- visual, dengan gambar bergerak.
Tidak besarnya
pengaruh terpaan informasi melalui siaran televisi, kemungkinan disebabkan karena, informasi kampanye dalam siaran televisi hanya bersifat selintas, kebanyakan dalam bentuk berita (news), siaran ulang debat pasangan calon, dan iklan,
sehingga
dirasakan
tidak
cukup
untuk
dijadikan
rujukan
dalam
pengambilan keputusan politik, atau ada media massa lain yang dianggap lebih banyak memberikan informasi. 4) Hubungan Terpaan Media Luar Ruang dan Post Material dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Terpaan media luar ruang dan post material berhubungan nyata dengan perilaku mengolah pesan kampanye, kecuali dengan orientasi calon, orientasi kedaerahan dan respons terhadap kecukupan informasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini menunjukkan bahwa banyaknya terpaan media luar ruang dan post material berhubungan dengan perilakunya dalam menyeleksi pesan kampanye, meyakini janji-janji kampanye dan terpengaruh oleh informasi kampanye. Karakteristik media luar ruang dan post material, seperti baliho (billborad), spanduk,
poster,
pamplet/selebaran,
stciker
dan
sebagainya,
bersifat
propaganda, pesan yang disampaikan singkat, bahkan kadang hanya berupa slogan, dengan tulisan besar-besar dan dihiasi gambar pasangan calon, di tempatkan di tempat yang banyak dilalui orang dan mudah dilihat. Tujuannya adalah untuk menarik perhatian orang yang lewat/melintas di lokasi tersebut. Tidak banyak pesan/informasi atau pengetahuan yang dapat diperoleh dari media seperti ini. Pemilih yang lebih memperhatikan daya tarik simbolik
130
dibanding informasi yang mendalam, dalam teori Model Kemungkinan Elaborasi (Elaboration Likelihood Model) dikategorikan sebagai pemilih yang menggunakan jalur pinggiran (pheriperal route) dan memperoses informasi dalam keterlibatan rendah. Keputusan yang diambil cenderung bersifat non-argumentatif. Media luar ruang hanya efektif pada tahap awal untuk membangkitkan perhatian (interest) dan
kesadaran (awareness) terhadap pesan (obyek) yang ditawarkan, dan
selanjutnya diikuti dengan penyampaian pesan lainnya yang lebih substansial melalui media yang berbeda yang dpat lebih banyak menyampaikan informasi. 5) Hubungan Kampanye Tatap Muka dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Kampanye tatap muka tidak berhubungan dengan perilaku mengolah pesan kampanye. Tetapi pemilih yang sering menghadiri atau menyaksikan kampanye tatap muka cenderung memiliki oerientasi yang kuat dengan salah satu partai politik, orientasinya terhadap kampanye karena tertarik oleh faktor hiburannya. Kecenderungan adanya perbedaan pemilih dalam orientasi terhadap calon dan isu-isu kampanye dengan perilaku merespons pesan kampanye, kemungkinan disebabkan karena bentuk kampanye tetap muka banyak ragamnya, seperti, kampanye terbuka (rapat umum), dialog/debat, kampanye tertutup, arak-arakan. Kebanyakan massa yang datang menghadiri kampanye terbuka (rapat umum), pada umumnya adalah anggota partai, pendukung setia partai dan simpatisan partai. Hal ini menandakan bahwa pemilih yang sering menghadiri kampanye tatap muka, pada umumnya orang-orang yang sudah memiliki kedekatan degan suatu partai politik. Oleh karena itu orang yang sering menghadiri kampanye tatap muka, dan.pawai/arak-arakan, cenderung lebih berorientasi kepada partai daripada kepada isu/program dan kandidat. Kampanye tatap muka (rapat umum) umumnya hanya untuk mempertahankan dan memperteguh (reinforcement effect) massa pendukungnya untuk memilih pasangan calon tersebut. Kampanye tatap muka kurang efektif dilakukan untuk mempengaruhi pemilih. Namun hingga saat ini kampanye dalam bentuk rapat umum dan arak-arakan seolah-olah menjadi ritual kampanye yang wajib dilakukan oleh kandidat, dan merupakan ajang untuk unjuk kekuatan pendukung (show of force).
131
6) Hubungan Komunikasi Interpersonal dengan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye Komunikasi interpersonal tidak berhubungan nyata dengan perilaku mengolah pesan kampanye. Hal ini menandakan bahwa banyaknya melakukan komunikasi interpersonal tidak memiliki perbedaan dengan perilakunya dalam mengolah pesan kampanye. Namun pemilih yang sering melakukan komunikasi interpersonal memiliki kecenderungan untuk memiliki orientasi terhadap partai politik daripada terhadap program (visi dan misi) kandidat. Demikian juga orientasinya terhadap kampanye, lebih suka menonton hiburannya daripada mendengarkan orasi/pidato calon-calon yang akan berkompetisi dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006. Komunikasi
interpersonal
memiliki
kecenderungan
lebih
banyak
dilakukan oleh pemilih perempuan daripada pemilih laki-laki. Frekuensi melakukan komunikasi interpersonal tidak menunjukkan adanya perbedaan dengan perilakunya dalam mengolah pesan kampanye. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa komunikasi interpersonal kurang efektif untuk mempengaruhi pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Peranan pemuka pendapat (opinion leader) dalam upaya mempengaruhi pemilih. Komunikasi antarpribadi yang dilakukan pemilih dengan calon, tim kampanye, kader partai politik, tokoh masyarakat, keluarga dan tetangga. tidak banyak berpengaruh terhadap pemilih.
Hubungan Terpaan Informasi Kampanye dengan Perilaku Memilih Hubungan terpaan informasi kampanye dengan perilaku memilih diuji dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Berdasarkan uji tersebut diperoleh gambaran hubungan antara peubah terpaan informasi kampanye dengan perilaku memilih sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 36. 1) Hubungan Terpaan Media Surat Kabar/Tabloid dengan Perilaku Memilih Terpaan media surat kabar/tabloid berhubungan nyata dengan perilaku memilih. Hal ini berarti semakin banyak menerima terpaan media surat kabar/tabloid semakin rasional perilakunya dalam memilih. Pemilih yang banyak menerima terpaan informasi kampanye melalui media surat kabar/tabloid dalam menentukan pilihan politiknya dilakukan setelah mendapatkan informasi yang memadai tentang pasangan calon, keputusan politiknya didasarkan pada pertimbangan visi dan misi pasangan calon dan pilihan politiknya memiliki
132
kesamaan dengan pasangan calon yang mendapatkan suara terbanyak dalam pemilihan. Hal ini diduga karena surat kabar/tabloid biasanya mengulas berita lebih mendalam, mengembangkan opini,
dan memberikan informasi yang
seimbang mengenai isu-isu politik yang berkembang. Selain itu surat kabar/tabloid dapat didokumentasikan dan dibaca berulang-ulang. Orang yang banyak membaca surat kabar/tabloid pada umumnya berpendidikan, memiliki pekerjaan dan berpenghasilan yang cukup. Dengan demikian perilaku rasional pemilih kemungkinan bukan hanya karena terpaan media surat kabar/tabloid itu sendiri melainkan berhubungan dengan faktor-faktor lainnya. Tabel 36. Koefisien korelasi antara terpaan informasi kampanye dengan perilaku memilih Perilaku memilih
Surat kabar/ tabloid
Terpaan informasi kampanye Media Kampanye Radio Televisi luar tatap muka ruang
Perilaku dalam menentukan pilihan
0,517**
0,153
0,355**
0,232*
0,100
-0,030
Alasan dalam menentukan pilihan
0,489**
0,147
0,322**
0,213*
0,048
-0,044
Keputusan 0,424** 0,121 0,143 0,260** -0,299** memilih Keterangan : ** berhubungan sangat nyata pada taraf α : 0,01 * berhubungan nyata pada taraf α : 0,05
Komunikasi interpersonal
-0,021
2) Hubungan Terpaan Media Radio dengan Perilaku Memilih Terpaan media siaran radio tidak berhubungan nyata dengan perilaku memilih. Hal ini berarti pemilih yang banyak mendengarkan informasi kampanye melalui siaran radio tidak memiliki perbedaan perilakunya dalam memilih. Hal ini diduga karena karakteristik media siaran radio untuk mengkonsumsinya tidak memerlukan keterampilan khusus, seperti untuk mengkonsumsi media surat kabar orang harus bisa membaca. Media siaran radio hanya memerlukan kemampuan mendengar saja, tetapi memerlukan alat khusus untuk dapat menangkap siarannya. Media siaran radio memiliki kelemahan, informasi yang diterima bersifat sekilas tidak bisa diulang, walaupun dapat didengarkan sambil melaksanakan aktivitas lain, namun untuk menyerap informasinya memerlukan konsentrasi. Karena karakteristiknya tersebut diduga informasi yang diterima
133
tidak lengkap dan tidak tersimpan lama dalam ingatan, sehingga tidak menjadikannya sebagai dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan politiknya. Selain itu, harga radio relatif murah, hampir dapat dimiliki oleh setiap orang, bahkan ada kecenderungan lebih banyak didengarkan oleh mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan berpenghasilan rendah. 3) Hubungan Terpaan Media Televisi dengan Perilaku Memilih Terpaan media siaran televisi berhubungan nyata dengan perilaku memilih, kecuali dalam keputusan memilihnya tidak menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini berarti bahwa semakin banyak terpaan media siaran televisi semakin rasional perilakunya dalam memilih. Pemilih yang banyak menerima terpaan informasi kampanye melalui siaran televisi dalam menentukan pilihan politiknya dilakukan setelah mendapatkan informasi yang memadai tentang pasangan calon dan keputusan politiknya lebih didasarkan pada pertimbangan visi dan misi pasangan calon. Siaran televisi memiliki karakteristik yang hampir sama dengan media siaran radio, kelebihannya adalah televisi dapat menampilkan tulisan, suara dan sekaligus ilustrasi gambar yang bergerak, sehingga walaupun bersifat sekilas tetapi dapat tersimpan lama dalam ingatan penontonnya. Untuk mengkonsumsi siaran televisi tidak memerlukan keterampilan khusus, cukup bisa mendengar dan melihat, tetapi siaran televisi untuk dapat ditangkap dengan baik memerlukan peralatan khusus dan harganya relatif mahal dibandingkan pesawat radio. Oleh karena itu orang yang memiliki peswat televisi harus memiliki penghasilan yang cukup dan pada umumnya juga memiliki tingkat pendidikan yang relatif tinggi. Hubungan terpaan media siaran televisi dengan perilaku memilih, diduga tidak berdiri sendiri tetapi berhubungan dengan faktor-faktor lainnya. Hubungan yang tidak nyata antara banyaknya terpaan media siaran televisi dengan keputusan memilih, diduga karena siaran televisi relatif terbatas dalam meberikan informasi kampanye Pilkada Cianjur, sebagian besar informasi televisi disiarkan pada “Berita Daerah” (sore hari), iklan dan siaran ulang “Debat Publik”.
134
4) Hubungan Terpaan Media Luar Ruang dan Post Material dengan Perilaku Memilih Terpaan media luar ruang dan post material berhubungan nyata dengan perilaku memilih. Hal ini berarti bahwa banyaknya terpaan informasi kampanye melalui media luar ruang dan post material berhubungan dengan perilaku rasional pemilih dalam mengambil keputusan politiknya. Media luar ruang dan post material (dircet mail), tidak termasuk dalam komunikasi massa tetapi dikategorikan ke dalam komunikasi medio (Ardianto dan Erdinaya 2004), karena berada di antara komunikasi massa dan komunikasi antarpribadi. Media luar ruang umumnya hanya memberikan informasi yang singkat, berupa slogan dan ilustrasi gambar sehingga menarik perhatian orang. Media luar ruang biasanya di pasang di tempat-tempat yang mudah dilihat orang, atau disebarkan kepada individu-individu di tempat-tempat umum. Post Material, dalam bentuk pamplet dan selebaran biasanya memuat informasi yang yang lebih banyak dibandingkan media luar ruang, dan berisi ajakan-ajakan secara persuasif untuk memilih pasangan calonnya. Hampir semua pasangan calon membuat dan menyebarkan pamplet dan selebaran, dan media ini dibaca oleh 79 responden. Hal ini diduga berhubungan dengan perilaku rasional pemilih dalam menentukan keputusan politiknya disamping faktor-faktor lainnya. 5) Hubungan Kampanye Tatap Muka dengan Perilaku Memilih Kampanye tatap muka tidak menunjukkan adanya hubungan yang nyata dengan perilaku memilih, kecuali dengan keputusan memilih. Hal ini berarti bahwa pasangan calon yang jumlah perolehan suaranya sedikit lebih banyak dipilih oleh pemilih yang banyak mengikuti bentuk kampanye tatap muka. Banyaknya keterlibatan dalam berbagai bentuk kampanye tatap muka tidak menunjukkan adanya perbedaan siginifkan dengan perilaku rasional dalam pengambilan keptusan politiknya. Kampanye tatap muka, terutama dalam bentuk rapat umum, biasanya hanya mengandalkan pada pengumpulan massa pendukungnya saja sebagi bentuk unjuk kekuatan (show of force). Kegiatan bentuk kampanye ini
lebih
banyak diisi dengan hiburan dan pawai/arak-arakan dibandingkan dengan informasi visi, misi dan program pasangan calon. Bantuk lainnya dari kampanye tatap muka, seperti rapat tertutup, biasanya hanya dilakukan dengan orangorang yang sudah mempunyai kecenderungan pilihannya terhadap calonnya
135
(reonforcement effect). Kampanye dalam bentuk “Debat Publik” pasangan calon, yang dapat memberikan informasi yang kritis terhadap pasangan calon hanya dilakukan satu kali, dan siaran ulang di TVRI Jabar-Banten (Bandung). Oleh karena itu pemilih yang banyak mengikuti kampanye pun kemungkinan tidak mendapatkan cukup banyak informasi untuk dijadikan dasar pengambilan keputusan politiknya. 6) Hubungan Komunikasi Interpersonal dengan Perilaku Memilih Komunikasi interpersonal tidak berhubungan dengan perilaku memilih. Pemilih yang banyak melakukan komunikasi interpersonal justru mempunyai kecenderungan berperilaku tidak rasional dalam pengambilan keputusan memilihnya. Hal ini diduga pemilih yang lebih sering melakukan komunikasi interpersonal untuk mendapatkan informasi isu-isu kampanye dibandingkan dari saluran komunikasi lainnya, kemungkinan tidak mendapat cukup informasi, atau sudah mempunyai kecenderungan pilihan terhadap salah satu pasangan calon. Dalam situasi seperti itu diduga komunikasi interpersonal dilakukan hanya untuk memperkuat kecenderungan pilihan politiknya (reinforcement effect) daripada untuk mendapatkan informasi yang lebih banyak tentang kandidatkandidat lainnya. Kelompok pemilih seperti ini cenderung tidak terpengaruh atau memperdulikan isu-isu kampanye, kecuali informasi yang berhubungan dengan kandidat yang disukainya. Alasan pilihan politiknya cenderung didasarkan pada partai politik yang mengusung pasangan calon daripada visi, misi dan program pasangan calon. Kelompok pemilih seperti ini juga biasanya tidak mudah terpengaruh oleh sisu-isu politik yang berkembang dan tidak mudah untuk mengubah pilihan politiknya. Kecenderungan lainnya adalah pemilih ini berusaha menyamakan pilihan politiknya dengan tokoh masyarakat (opinion leader), keluarga, teman kerja atau tetangga, sehingga tidak terpengaruh oleh isu-isu politik yang berkembang. Fenomena ini mendukung pendapat C. R. Wright, dalam bukunya “The People Choice”, (dalam Sutaryo, 2005) yang menuturkan hasil penelitian beberapa ahli, bahwa “orang-orang yang hidup dalam kondisi-kondisi sosial dan ekonomi yang sama cenderung berbagi kebutuhan yang serupa dan berbagi minat serta menginterpretasikan
pengalaman-pengalaman mereka dalam
kerangka politik yang sama”. Individu-individu yang melakukan kontak-kontak
136
personal sehari-hari mempengaruhi orang lain dalam hal pembentukan keputusan dan pendapatnya.
Hubungan Perilaku Mengolah Pesan Kampanye dengan Perilaku Memilih Hubungan terpaan perilaku mengolah pesan kampanye dengan perilaku memilih diuji dengan menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Berdasarkan uji tersebut dapat diperoleh gambaran antara peubah perilaku mengolah pesan kampanye dengan perilaku memilih sebagaimana dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 37. Koefisien korelasi antara perilaku mengolah pesan kampanye dengan perilaku memilih Perilaku Memilih Alasan dalam Perlikau dalam menentukan menentukan pilihan pilihan Orientasi Pesan/Informasi Kampanye Orientasi calon 0,318** 0,603** Orientasi kedaerahan 0,087 0,173 Orientasi kampanye 0,439** 0,449** Perilaku Menyeleksi Pesan Kampanye Seleksi pesan 0,817** 0,524** Menilai pesan 0,732** 0,510** Mengolah pesan 0,732** 0,490** Respons terhadap Pesan Kampanye Kecukupan informasi 0,519** 0,310** Respons terhadap janji kampanye 0,369** 0,302** Pengaruh pesan kampanye 0,559** 0,345** Perilaku Mengolah Pesan Kampanye
Keputusan Memilih 0,254** -0,043 0,370** 0,261** 0,252** 0,353** 0,111 0,108 0,220*
Keterangan : ** berhubungan sangat nyata pada taraf α : 0,01 * berhubungan nyata pada taraf α : 0,05 1) Hubungan Orientasi Pesan/Informasi Kampanye dengan Perilaku Memilih Orientasi pesan/kampanye berhubungan nyata dengan perilaku pemilih. Namun orientasi kedaerahan pemilih tidak menunjukkan perbedaan dengan perilaku memilih. Pemilih yang berorientasi kedaerahan pilihan politiknya tidak sejalan dengan pilihan peringkat perolehan suara calon, dalam arti pemilih yang memiliki orientasi kedaerahan yang kuat (harus putra daerah) cenderung tidak memilih pasangan calon yang menang dalam pilkada. Pemilih yang berorientasi terhadap pasangan calon karena faktor visi, misi dan prorgram, mengambil keputusan setelah memiliki informasi dari semua pasangan calon, memilih atas dasar pertimbangan visi dan misi (program), dan
137
pilihan
politiknya
mempunyai
kesamaan
dengan
peringkat
calon
yang
memenangkan pilkada. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orientasi pemilih terhadap calon dan isu-isu kampanye memiliki kesamaan dengan alasannya
dalam
menentukan
pilihan
politiknnya.
Sedangkan
orientasi
kedaerahan tidak menunjukkan adanya perbedaan dengan perilaku rasional dalam menentukan pilihan politik, dan pilihannya cenderung berbeda dengan pasangan calon yang dipilih orang banyak. 2) Hubungan Perilaku Menyeleksi Pesan Kampanye dengan Perilaku Memilih Perilaku menyeleksi pesan kampanye berhubungan nyata dengan perilaku memilih. Hal ini berarti bahwa perilaku pemilih dalam menyeleksi, menilai dan mengolah pesan kampanye sejalan dengan perilaku pengambilan keputusan memilih dan alasan dalam menentukan pilihan. Pilihan politiknya sejalan dengan peringkat perolehan suara pasangan calon. Pemilih yang menyeleksi semua pesan/informasi kampanye, menilai semua pesan/informasi kampanye dan membandingkan semua informasi kampanye akan menentukan pilihan politiknya setelah mendapatkan informasi dari semua pasangan calon dan menentukan pilihannya berdasarakan isu-isu (visi dan misi) pasangan calon. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perilaku menyeleksi pesan kampanye sejalan dengan perilaku rasional dalam pengambilan keputusan politik. Orang yang memiliki keterlibatan yang tinggi dalam menyeleksi pesan kampanye juga akan bertindak rasional dalam mengambil keputusan politik. 3) Hubungan Respons terhadap Pesan Kampanye dengan Perilaku Memilih Perilaku dalam merespons pesan kampanye berhubungan nyata dengan perilaku pengambilan keputusan dan alasan pengambilan keputusan dalam memilih. Pengaruh pesan kampanye berhubungan nyata dengan keputusan memilih,
tetapi
respons
terhadap
informasi
dan
janji
kampanye
tidak
berhubungan dengan keputusan memilih. Pemilih yang keputusan memilihnya dipengaruhi oleh pesan-pesan kampanye keputusan memilihnya memiliki kesamaan dengan urutan perolehan suara pasangan calon yang memenangkan pilkada. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa perilaku pemilih dalam mersepon pesan kampanye sejalan dengan perilaku rasional dalam pengambilan keputusan politik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Karakteristik demografi pemilih yang mencakup usia antara 20-49 tahun, berpendidikan SLTA dan di atasnya, memiliki status pekerjaan tetap (pegawai negeri sipil, pengusaha/wiraswasta dan pegawai swasta) serta berpenghasilan rataan di atas satu juta, sebagian besar memiliki kedekatan hubungan dengan partai politik sebatas simpatisan hingga pendukung setia partai politik. Orientasinya terhadap partai politik umumnya didasarkan pada faktor
ketokohan pimpinannya, kesamaan ideologi atau parpol pilihan
keluarga.
Motivasi
pemilih dalam menggunakan hak pilihnya
sebagian
besar karena dorongan untuk menjalankan kewajiban, menghendaki pemimpin yang lebih baik atau karena alasan melaksanakan hak politik. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin tinggi motivasi dan orientasinya terhadap partai politik, namun semakin lemah hubungannya (afiliasinya) dengan partai politik. Pemilih laki-laki memiliki kecenderungan lebih tertarik pada ketokohan (figur) pimpinan dan ideologi parpol, sedangkan pemilih perempuan lebih pada ketokohan (figur) dan partai politik yang menjadi pilihan keluarga.
2. Sebagian besar pemilih diterpa oleh berbagai saluran komunikasi dan media kampanye, tetapi berbeda dalam intensitas terpaannya. a. Media luar ruang dan post material menunjukkan intensitas yang sangat tinggi menerpa pemilih, sebagian besar di atas sembilan kali selama empat belas hari masa kampanye. Sebagian besar pemilih menerima terpaan lebih dari tiga bentuk media luar ruang/post material dan media yang paling banyak menerpa, secara berturut-turut, adalah spanduk, pamplet/selebaran, poster, sticker dan baliho. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa media luar ruang/post material merupakan media yang efektif menerpa khalayak pemilih dalam kegiatan kampanye politik. b. Aktivitas
komunikasi
interpersonal
yang
dilakukan
pemilih
untuk
mendapatkan informasi seputar calon kepala daerah relatif tinggi, sebagian besar lebih dari enam kali dan dilakukan dengan lebih dari dua lingkungan kelompok masyarakat yang berbeda. Aktivitas komunikasi
139
interpersonal yang paling banyak dilakukan adalah dengan keluarga, tetangga, teman kerja dan tokoh masyarakat, hanya sedikit sekali yang melakukanya dengan calon, tim kampanye atau anggota parpol. c. Terpaan media cetak surat kabar dan tabloid memiliki frekuensi terpaan yang cukup tinggi, sebagian besar di atas tiga kali selama masa kampanye dan kebanyakan membaca dua atau lebih surat kabar/tabloid. Surat kabar yang paling banyak dibaca, secara berturut-turut, adalah Harian Pikiran Rakyat, Harian Pakuan Raya,` Harian Radar Bogor dan tabloid pasangan calon yang diterbitkan khusus oleh tim kampanye. d. Terpaan media siaran radio sebagian besar berkisar antara satu sampai enam kali selama masa kampanye dan kebanyakan hanya menerima informasi dari satu siaran radio. Siaran radio yang paling banyak didengarkan pemilih di antaranya adalah Pasundan FM, Radio Siaran Pemerintah Daerah Kabupaten Cianjur (RSPD Cianjur), Tjandra FM dan Mora FM. e. Terpaan media televisi sebagian besar berkisar antara satu sampai enam kali selama masa kampanye dan kebanyakan hanya menerima informasi dari satu stasiun televisi. Siaran televisi yang paling banyak ditonton adalah siaran TVRI Jabar-Banten dan hanya sedikit informasi kampanye yang diperoleh melalui stasiun TV swasta nasional (di bawah lima persen), seperti SCTV, RCTI dan Trans TV dan siaran televisi lainnya. Hal ini menandakan bahwa pemilih masih memiliki perhatian besar terhadap informasi kampanye Pilkada di tengah gencarnya terpaan siaran hiburan (musik, sinetron, film dan sebagainya) dari berbagai stasiun televisi swasta. f.
Tingkat keterlibatan responden dalam kampanye tatap muka sebagian besar berkisar antara satu sampai enam kali tetapi pemilih yang tidak pernah sama sekali sebanyak dua puluh persen. Sebagian besar pemilih mengikuti antara satu sampai dua bentuk kampanye tatap muka. Bentuk kampanye tatap muka yang paling banyak diikuti oleh responden, secara berturut-turut, adalah arak-arakan/pawai, kampanye terbuka (rapat umum) di lapangan, dialog/debat pasangan calon dan kampanye tertutup. Kampanye terbuka di lapangan dan arak-arakan masih merupakan Bentuk kampanye tatap muka yang menarik dan merupakan kegiatan “ritual” dalam setiap kegiatan pemilihan umum.
140
3. Perilaku pemilih dalam mengolah pesan/informasi kampanye menunjukkan keterlibatan yang cukup tinggi, ditunjukkan oleh hal berikut: a. Sebagian besar pemilih memiliki ketertarikan yang kuat terhadap figur pasangan calon, dan cenderung tidak mempermasalahkan asal daerah calon. Orientasinya terhadap kampanye lebih didasarkan pada visi dan misi (isu-isu) pasangan calon. Sikap pemilih seperti ini menunjukkan kecenderungan untuk bersikap rasional dalam menilai kandidat dan isuisu kampanye. b. Sebagian besar pemilih dalam menyeleksi pesan kampanye tidak berperilaku selektif, tetapi cenderung bersikap terbuka dalam menerima pesan dari semua pasangan calon, menilai semua pesan dan membandingkan informasi kampanye (sikap hati-hati) dari semua pasangan calon. c. Sebagian besar pemilih merasa bahwa informasi kampanye yang diterima kurang memadai untuk dijadikan dasar dalam menentukan pilihan politiknya.
Bersikap ragu-ragu (kurang percaya) terhadap janji-janji
kampanye dan pesan-pesan kampanye tidak banyak mempengaruhi perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya. Kondisi ini menunjukkan bahwa pemilih mengambil keputusan dalam keadaan low information rationality (rasionalitas berdasarkan informasi terbatas).
4. Perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya sebagian besar dilakukan setelah memiliki informasi dari semua pasangan calon dan alasan yang mendasari putusannya adalah figur pasangan calon daripada faktor visi, misi (isu-isu) maupun partai politik pengusungnya. Hal ini menunjukkan bahwa pemilih memiliki kecenderungan untuk bersikap rasional dalam menentukan pilihan politiknya dan menunjukkan semakin memudarnya ketergantungan pemilih pada suatu partai politik. Fenomena ini diperkuat dengan hasil perolehan suara dalam Pilkada Kabupaten Cianjur Tahun 2006, di mana pasangan calon yang didukung oleh partai kecil dapat mengalahkan pasangan calon (incumbent) yang didukung oleh koalisi partai besar. Hal ini menunjukkan adanya pemilih yang mengalihkan pilihan politiknya (swing voter) dari satu partai politik ke partai politik lainnya pada kegiatan pemilihan yang berbeda sebagaimana dapat dilihat dari perbedaan hasil perolehan
141
suara partai politik pengusung pasangan calon pada saat Pemilu Legislatif Tahun 2004 dan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Cianjur Tahun 2006 .
5. Hubungan antara peubah karakteristik pemilih, terpaan informasi kampanye dan perilaku mengolah pesan kampanye dengan perilaku memilih dijelaskan sebagai berikut: pertama, karakteristik pemilih berhubungan nyata dengan terpaan informasi kampanye, tetapi memiliki keragaman dalam bentuk dan jenis media yang menerpanya. a. Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin banyak menerima terpaan informasi kampanye dari media surat kabar/tabloid, siaran televisi, media luar ruang/post material, dan siaran radio. b. Semakin tinggi tingkat penghasilan, status pekerjaan dan motivasi pemilih, semakin banyak menerima terpaan kampanye media surat kabar/tabloid, siaran televisi, dan media luar ruang/post material.. c. Semakin tinggi ikatan psikologis pemilih (orientasi parpol) dengan suatu partai politik semakin banyak menerima terpaan dari surat kabar/tabloid dan siaran radio. d. Semakin tinggi tingkat afiliasi pemilih dengan suatu partai politik semakin tinggi keterlibatannya dalam kampanye tatap muka. e. Semakin tinggi umur pemilih semakin banyak menerima terpaan informasi kampanye dari media surat kabar/tabloid. f.
Pemilih perempuan lebih sering melakukan komunikasi interpersonal dibandingkan dengan laki-laki.
Kedua, karakterisitik pemilih berhubungan nyata dengan perilaku mengolah pesan kampanye antara lain: a. semakin tinggi pendidikan, penghasilan, status pekerjaan, orientasi parpol dan motivasi memilih, semakin kuat orientasinya terhadap calon, bersikap kritis dan hati-hati dalam menilai pesan kampanye. b. Faktor
usia
pemilih
dan
afiliasinya
dengan
partai
politik
tidak
menyebabkan adanya perbedaan dalam perilaku mengolah pesan kampanye, tetapi semakin tua usia pemilih semakin cenderung berorientasi pada partai dan kurang hati-hati dalam menilai pesan-pesan kampanye.
142
c. Pemilih perempuan lebih menyukai unsur hiburan daripada isu-isu kampanye, sementara laki-laki cenderung lebih hati-hati dalam mengolah pesan kampanye. Hal ini menandakan bahwa sebagian besar pemilih memiliki kecenderungan bersikap rasional dalam mengolah pesan kampanye dan berdasarkan kriteria model
kemungkinan
elaborasi
(elaboration
likelihood
model)
dapat
dikategorikan ke dalam pemilih yang menggunakan jalur sentral (central route) dalam mengolah pesan kampanye.
Ketiga, karakteristik pemilih berhubungan nyata dengan perilaku memilih, antara lain: a. semakin tinggi pendidikan, penghasilan, status pekerjaan, orientasi parpol dan motivasi memilih, semakin hati-hati dalam mengambil keputusan dan semakin rasional alasan dalam menentukan keputusan politiknya. b. Faktor usia tidak menyebabkan perbedaan dalam perilaku memilih. c. Pemilih yang berafiliasi dengan suatu partai politik cenderung tidak hatihati dalam mengambil keputusan, dan pilihan politiknya didasarkan pada partai politik yang menjadi afiliasinya. d. Perbedaan jenis kelamin tidak menunjukkan perbedaan dalam perilaku memilihnya.
Keempat, terpaan informasi kampanye berhubungan nyata dengan perilaku mengolah pesan kampanye antara lain: a. Semakin banyak pemilih diterpa oleh informasi kampanye dari media surat kabar/tabloid semakin kuat orientasinya terhadap visi dan misi pasangan calon dan isu-isu kampanye, semakin banyak menerima pesan kampanye serta melakukan penilaian dan membandingkan pesan-pesan kampanye dari semua pasangan calon,
menrima cukup informasi,
percaya pada janji-janji kampanye dan keputusan politiknya dipengaruhi oleh isu-isu dan pesan-pesan kampanye. b. Semakin banyak
pemilih diterpa siaran televisi, radio dan media luar
ruang/post material semakin berorientasi pada isu-isu kampanye, semakin
banyak
menerima
pesan
kampanye
serta
menilai
dan
membandingkan pesan-pesan kampanye dari semua pasangan calon, menerima cukup informasi, percaya pada janji-janji kampanye tetapi tidak
143
mempengaruhi
keputusan
politiknya,
kecuali
terpaan
media
luar
ruang/post material. c. Semakin banyak pemilih terlibat dalam kampanye tatap muka semakin banyak menerima pesan kampanye serta menilai dan membandingkan pesan-pesan kampanye dari semua pasangan calon, tetapi penilaiannya lebih didasarkan atas kekuatan dukungan massa pada saat kampanye, memiliki cukup informasi, lebih percaya pada janji-janji kampanye pasangan calon yang didukungnya dan memiliki kecenderungan untuk menyesuaikan pilihan politiknya dengan partai politik yang mengusung pasangan calon. d. Aktivitas komunikasi interpersonal tidak menimbulkan perbedaan dalam mengolah
pesan
kampanye
dan
memiliki
kecenderungan
lebih
berorientasi pada simbol-simbol partai politik daripada terhadap isu-isu dan pasangan calon. Dari sejumlah media komunikasi yang menerpa pemilih pada masa kampanye, yang memperkuat respons terhadap pengaruh pesan kampanye adalah media surat kabar dan media luar ruang/post material.
Kelima, terpaan informasi kampanye berhubungan nyata dengan perilaku memilih, antara lain : a. Semakin sering pemilih menerima terpaan informasi kampanye melalui media, surat kabar/tabloid, siaran televisi dan media luar ruang/post material semakin kritis dan hati-hati dalam mengambil keputusan serta semakin rasional keputusan politiknya. b. Pemilih yang banyak melakukan komunikasi interpersonal cenderung berperilaku tidak rasional dalam pengambilan keputusan politiknya. c. Terpaan siaran radio tidak menyebabkan perbedaan dalam perilaku memilih.
Keenam, Perilaku mengolah pesan kampanye berhubungan nyata dengan perilaku memilih, antara lain a. Semakin tinggi keterlibatan pemilih dalam mengolah pesan kampanye semakin kritis dan hati-hati dalam mengambil keputusan dan semakin rasional keputusan politiknya.
144
b. Orientasi pemilih terhadap asal daerah pasangan calon (orientasi kedaerahan) tidak berbeda dalam perilaku memilihnya.
Saran
1. Dalam menyusun strategi kampanye untuk Pilkada hendaknya dilakukan kajian mengenai isu-isu publik yang berkembang di dalam masyarakat, sikap dan harapan publik, serta melakukan segmentasi khalayak berdasarkan kecenderungan perilaku memilihnya. 2. Pesan-pesan kampanye politik akan lebih efektif apabila diformulasikan dan disesuaikan dengan segmentasi khalayak pemilih dan saluran komunikasi yang digunakan disesuaikan dengan preferensi khalayak pemilih terhadap jenis media dan kemampuan dalam menyerap informasi, media yang mudah diakses oleh publik di antaranya adalah baliho, spanduk, poster, pamplet dan sticker. 3. Penggunaan bentuk kampanye tatap muka (rapat umum), panggung hiburan dan pawai/arak-arakan kurang efektif untuk mempengaruhi pilihan publik, tetapi cukup efektif untuk memperkuat/memperteguh (reinforcement effect) pilihan dari dari kader-kader dan pendukung setia partai. 4. Media cetak, surat kabar dan tabloid, efektif untuk mempengaruhi publik yang berpendidikan, mempunyai pekerjaan tetap dan berpenghasilan cukup. Misal surat kabar dan tabloid yang digunakan harus yang paling banyak dibaca masyarakat dan memiliki jangkauan luas. 5. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan jumlah contoh yang lebih besar yang mencakup komunitas sosial yang berbeda, seperti desa-kota, dan kelompok-kelompok
sosial
rujukan
(seperti
organsiasi
profesi
dan
keagamaan) serta pemilih pemula dan pemilih yang sudah pengalaman, untuk mengkaji lebih jauh faktor-faktor lingkungan sosial dan jaringan komunikasi yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih dalam pengambilan keputusan politik. 6. Sejalan dengan pesatnya perkembangan tekonologi informasi penelitian ini dapat diperluas dengan mengkaji kemungkinan penggunaan berbagai bentuk teknologi informasi dalam kegiatan kampanye politik seperti, jaringan internet, Short Message Service (SMS) dan sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, N. 1999. Peradaban Komunikasi Politik; Potret Manusia Indonesia. Remaja Rosdakarya. Bandung. Amini, F. 2004. Hubungan Kepribadian, Persepsi dan Terpaan Kampanye Komunikasi dengan Perilaku ”Word of Mouth”; Survey terhadap Perilaku ”Word Mouth” tentang Kondom di Kalangan Remaja Pengunjung Mal di Jakarta. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta. Ananta, A., E.N. Arifin, and L. Suryadinata. 2004. Indonesian Electoral Behavior; A Statistical Perspective. ISEAS. Singapore. Ardianto, E. dan L.K. Erdinaya. 2004. Komunikasi Massa; Suatu Pengantar. Simbiosa Rekatama Media. Bandung. Arikunto, S. 2002. Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktek (Edisi Revisi V). Rineka Cipta. Jakarta. Asfar, M. 1989. “Beberapa Pendekatan dalam Memahami Perilaku Pemilih” dalam Jurnal Ilmu-Ilmu Politik. Vol.16. 1989. PT Gramedia. Jakarta. _______________. 2004. Presiden Golput. Jawa Pos Press. Surabaya. Awaludin, U. dkk. 2006. Potret Cianjur Dalam Pilkada 2006. KPU Kabupaten Cianjur. Cianjur. Azed, A. B. dan M. Amir. 2005. Pemilu & Partai Politik di Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara. Fakultas Hukum-UI. Jakarta. Azwar, S. 2000. Validitas dan Reliabilitas. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Berger, C.R and S.H. Chaffe (ed.). 1987. Handbook of Communication Science. CA Sage. New Burry Park. Birowo, M. A. 2004. Metode Penelitian Komunikasi; Teori dan Praktek. Gitanyali. Yogyakarta. Bone, H. A. and A. Ranney. 1962. The Politics and Voters. McGraw-Hill Company. New York. Budge, I., I. Crewe and D. Farlie (ed.). 1976. Party Identification and Beyond. John Willey & Son Ltd. New York. Budi, E.S. 2004. Sipil dan Pemilu 2004 dalam R. A. Soni Bl de (ed). “Siapa Mau Menjadi Presiden?. Debat Publik Seputar Program dan Partai Politik pada Pemilu 2004”. Penerbit Buku Kompas. Jakarta.
146
Budiardjo, M. 1982. Partisipasi dan Partai Politik; Sebuah Bunga Rampai. PT Gramedia. Jakarta. Bulaeng,
A.
2004. Metode Yogyakarta.
Penelitian
Komunikasi
Kontemporer.
Andi.
Campbell, A., P. E. Converse, W. E. Miller, and D. E. Stoke, 1976. The American Voter. Unbridged Edition. University of Chicago Press. Chicago. Castles, L. 2004. Pemilu 2004 dalam Konteks Komparatif & Historis. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Clubb, J. M., W.H. Flanigan, and N.H. Zingale, (ed). 1981. Analyzing Electoral History. A Guide to the Study of American Voter Behavior. Sage Publication. Beverliy Hills. DeVito, J.A. 1997. Komunikasi Antarmanusia; Kuliah Dasar; Edisi Kelima. (Terjemahan. A. Maulana MSM). Professional Books. Jakarta. Donohew, L., P. Palmgreen and J Duncan. 1980. An Activation Model of Information Exposure. Communication Monographs, 47. Drever, J. 1988. Kamus Psikologi. (Terjemahan. N. Simanjuntak). PT. Bina Aksara. Jakarta. Dwidjowijoto, R.N. 2004. Komunikasi Pemerintahan. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Dye, T.R., and H. Ziegler. 1986. American Politics in The Media Age. Second Edition. Brooks/Cole Publishing Company. Monterey California. Effendy, O.U. 1997. Ilmu Komunikasi. Teori dan Praktek. Remaja Rosdakarya. Bandung. Emmerson, D.K. 1976. Indonesia’s Elite: Political Culture and Cultural Politics. Cornel University Press. Ithaca. Eriyanto. 1999. Metodologi Polling; Memberdayakan Suara Rakyat. Remaja Rosdakarya. Bandung. Feith, H. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. PT Gramedia. Jakarta. ------------------ and L. Castles (Eds.).1970. Indonesian Poltical Thinking 19451965. Cornel University Press. Itacha. Fiske, J. 2004. Cultural and Communication Studies; Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. (Terjemahan. Y. Iriantara dan I.S. Ibrahim). Jalasutra. Yogyakarta.
147
Fitriyah. 2005. Sistem dan Proses Pilkada Secara Langsung. dalam Analisis CSIS; “Demokrasi Lokal : Pilkada Langsung”. Vol. 34. No.3. September 2005. Gaffar, A. 1992. Javanese Voters; A Case Study of Election Under A Hegemonic Party System. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Gant, M.M., and N.R. Luttbeg. 1991. American Electoral Behavior 1952-1988. F.E. Peacock Publishers Inc. Itasca. Illinois. Geertz, C. 1962. The Religion of Java. Cornell University Press. Itacha. NY. Gudykunst, W.B. and B. Mody. 2002. Handbook of International and Intercultural Communication. Sage Publication. Thousands Oaks. Hamad, I. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Granit. Jakarta. Hamdi, M., M. Kahariady, dan S. Arief (ed). 1999. Kajian Pemilu 1999. Pusat Pengkajian Etika dan Pemerintahan (PUSKAP). Jakarta. Harahap, H.A.A. 2005. Manajemen & Resolusi Konflik Pilkada. CIDESINDO. Jakarta. Harmain, A.M. 2004. Militer dan Pemilu 2004. dalam R. A. Soni Bl de (ed). “Siapa Mau Menjadi Presiden?; Debat Publik Seputar Program dan Partai Politik pada Pemilu 2004”. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Harrington, N.G, D.R. Lane, L. Donohew dan R.S. Zimmerman. 2006. An Extension of the Activation Model of Information Exposure: The Addition of Cognitive Variabel to a Model of Attention. Media Psychology. Vol.8. No.2. Hasan, M.I. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Ghalia Indonesia. Jakarta. Hogan, K. 1996. The Psychology of Persuassion. Prefessional Books. Jakarta. Huntington, S.P. 2001. Gelombang Demokrasi Ketiga. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta. Imawan, R dan A. Gaffar, 1993. Analisis Hasil Pemilihan Umum 1992. Laporan Penelitian FISIP-UGM. Yogyakarta. Ismawan, I. 1999. ”Money Politics”: Pengaruh Uang dalam Pemilu. Media Pressindo. Yogyakarta. Jahi, A. 1993. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di NegaraNegara Dunia Ketiga. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
148
JICA dan LSI .2004. Jajak Pendapat dan pemilu di Indonesia; Kinerja Lembaga Jajak Pendapat dalam Meramal Hasil Pemilu 1999 dan 2004. Japan International for Corporation Agency dan Lembaga Survei Indonesia. Jakarta. Jauhari, A. 2003. Peranan Komunikasi Politik dalam Proses Legislasi; Kasus pada pembahasan UU No.29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman di Komisi-III DPR. Tesis. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Jay, R. 1963. Religion and Politics in Rural Java. Southeast Asia Studies. Cultural Report Series No.12. Yale University. New Haven. Johnston, D. 1994. The Art and Science of Persuassion. Prentice Hall. New Jersey. Kerlinger, F.N. 2003. Asas-asas penelitian Behavioral. Edisi Ketiga. (Terjemahan. L.R Simatupang). Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Kotler, P. and A. Anderson, 1987. Strategic Marketing for Non-Propit Organization. Prentice Hall. Englewoods Cliffs. New Jersey. Kulsum, N.M. 2002. Kampanye Politik Partai Amanat Nasional dalam Pemilu 1999. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta. Kupper, A. and J. Kupper. 2000. Ensiklopedi Ilmu-Ilmu Sosial; Buku Kedua. (Terjemahan H. Munandar dkk.). PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Lane, R. E. 1972. Political Man. The Free Press. New York. Larson, C.U. 1992. Persuassion. Perception and Responsibility. Wardsworth Publishing Company. California. Lasswell, H.D. 1936. Who Gets What When How. Free Press. New York. Liddle, W. 1992. Pemilu-Pemilu Orde Baru; Pasang Surut Kekuasaan Politik. LP3ES. Jakarta. ------------------ dan S. Mujani. 2000. Politik Aliran Memudar, Kepemimpinan Nasional Menentukan Pilihan Partai Politik. Harian Kompas, 1 September 2000. Liliweri, A. 2003. Makna Budaya dalam Komunikasi antar Budaya. LKiS. Yogyakarta. Lippmann, W. 1998. Opini Umum. (Terjemahan. S. Maimoen). Yayasan Obor. Jakarta. Lipset, S.M. 1960. Political Man. The Social Bases of Politics. Anchor Books Doubleday & Company. Inc. Garden City. New York.
149
Mahendra, A.A.O. dan Soehady (ed). 2005. Pilkada di Tengah Konflik Horozontal. Millenium Publisher. Jakarta. Masduki, 2001. Jurnalisitik Radio; Menata Profesionalisme Reporter dan Penyiar. LkiS. Yogyakarta. Mashad, D. 2004. Pemilu Presiden; Runtuhnya Sekat Ideologi Islam-Sekuler. dalam “Quo Vadis Politik Indonesia?. Year Book 2004”. Pusat Penelitian LIPI. Jakarta. McBride, S. 1983. Aneka Suara Satu Dunia. Balai Pustaka-Unesco. Jakarta. McQuail, D. 1987. Teori Komunikasi Suatu Pengantar. Edisi Kedua (Terjemahan. A. Dharma dan A. Ram). Penerbit Erlangga. Jakarta. ______________ and S. Windahl. 1993. Communication Models for the Study of Mass Communication. 2nd edition. Longman. New York. Mendoza, D. 2004. Kampanye Isu dan Cara Melobi. (Terjemahan. S. Kusdyantinah). Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Muda, D.I. 2003. Jurnalistik Televisi; Menjadi Reporter Profesional. Remaja Rosdakarya. Bandung. Mulyana, D. 1999. Nuansa-Nuansa Komunikasi; Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer. Remaja Rosdakarya. Bandung. ______________ 2003. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Remaja Rosdakarya. Bandung. Niemi, R.G’ and H.F. Winsberg. 1984. Contorversion in Voting Behavior. Second Edition. Congressional Quarterly Inc. Washington D.C. Nimmo, D. 2000. Komunikasi Politik; Komunikator. Pesan dan Media. (Terjemahan T. Surjaman). PT Remaja Rosdakarya. Bandung. _______________ 2001. Komunikasi Politik; Khalayak dan Effek. (Terjemahan T. Surjaman). PT Remaja Rosdakarya. Bandung. _______________ and W.L. Rivers (ed). 1981. Watching American Politics. Articles and Commentaries about Citizens. Politicians dan The News Media. Longman. New York & London. Nugroho, G. 2004. Opera Sabun SBY; Televisi dan Komunikasi Politik. Nastiti. Jakarta. Nursal, A. 2004. Political Marketing; Strategi Memenangkan Pemilu. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Nurudin. 2001. Komunikasi Propaganda. Remaja Rosdakarya. Bandung. ______________. 2004. Komunikasi Massa. CESPUR. Malang.
150
______________. 2005. Sistem Komunikasi Indonesia. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Oetomo, M.W. 2004. Sinteron Soesilo Bambang Yudhoyono. dalam R. A. Soni Bl de (ed). “Siapa Mau Menjadi Presiden?. Debat Publik Seputar Program dan Partai Politik pada Pemilu 2004”. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Pace, R. W., B.D. Peterson, and D. Burnett. 1979. Techniques of Effective Communication. Eddison Wesley Publishing Commpany. Massachusset. Pfau, M. and R. Parrot. 1993. Persuassive Communication Campaign. Allyn & Bacon. Massachussets. Piliang, I.J. 2004. “Beralihlah Indonesia: Sebuah Catatan Politik”. dalam Analisis CSIS. Vol. 33. No.3. September 2004. Prayitno, S. 2004. Komunikasi Politik Megawati dalam R. A. Soni Bl de (ed). “Siapa Mau Menjadi Presiden?. Debat Publik Seputar Program dan Partai Politik pada Pemilu 2004”. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Prisgunanto, I. 2004. Praktik Ilmu Komunikasi dalam Kehidupan Sehari-hari. Teraju. Jakarta. Qodari, M. 2004. ”Hukum-Hukum” Koalisi dalam R. A. Soni Bl de (ed). “Siapa Mau Menjadi Presiden?. Debat Publik Seputar Program dan Partai Politik pada Pemilu 2004”. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Rakhmat, J. 2001. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. Remaja Rosdakarya. Bandung. _______________ 2002. Metode Penelitian Komunikasi. Remaja Rosdakarya. Bandung. Ridwan, A. 2004. Memahami Perilaku Pemilih pada Pemilu 2004 di Indonesia. dalam “Pemilu 2004 dan Konsolidasi Demokrasi Kita?”. Jurnal Demokrasi & HAM. Vol.4. No.1. 2004. Riduwan. 2003. Skala Pengukuran Variabel-Variabel Penelitian. Alfabeta. Bandung. ______________ 2004. Metode & Teknik Penyusunan Tesis. Alfabeta. Bandung. Romli, L. 2004. Partai Islam dan Pemilih Islam di Indonesia. dalam “Pemilu Legislatif 2004”. Jurnal Penelitian Politik. Vol 1. No.1. 2004. LIPI.
151
______________ 2005. Pilkada Langsung. Otonomi Daerah dan Demokrasi Lokal. dalam Analisis CSIS; Demokrasi Lokal: Pilkada Langsung. Vol. 34. No.3. September 2005. Rose, R. (ed). 1974. Electoral Behavior; A Comparative Handbook; The Free Press. New York. Rusfian, E. 2001. Manajemen Strategik Kampanye Golkar untuk Pemilu 2004. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta. Santoso, S. 2005. Menggunakan SPSS untuk Statistik Non Parametrik. PT Elex Media Komputindo. Jakarta. Sarwono, J. 2006. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS 13. ANDI. Yogyakarta. Saydam, G. (ed). 1999. Dari Bilik Suara ke Masa Depan Indonesia; Potret Konflik Politik Pasca pemilu dan Nasib Reformasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta. Septiani, H.L.D. 2003. Persepsi Audience terhadap Iklan Politik; Suatu Studi Kasus Kualitatif mengenai Kegiatan Komunikasi Pemasaran Kartu GSM Prabayar Mentari. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta. Singarimbun, M. dan S. Effendi. 1995. Metode Penelitan Survei. Jakarta. LP3ES. Smith, E.C. and A.J. Zuchrer. 1966. Dictonary of American Politics. Barnes & Noble. Inc. New York. Soesilo, M.E. dan Prayudi. 2004. “Signifikasi Iklan Politik dalam Pemilu 2004; Analisis Semiotika Iklan PDI Perjuangan dalam Kampanye Pemilu 2004”. dalam Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol. 2. No. 2. September-Desember 2004. FISIP UPN Veteran Yogyakarta. Steinberg, A., 1981. Kampanye Politik dalam Praktek. (Terjemahan. M. Sidarto). PT Intermasa. Jakarta. Subiakto, H. 2004. Kampanye Capres dan Budaya Komunikasi dalam R. A. Soni Bl de (ed). “Siapa Mau Menjadi Presiden?. Debat Publik Seputar Program dan Partai Politik pada Pemilu 2004”. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Sudibyo, M. 2005. Tinjauan Perkembangan Politik; Perlunya Merajut Kembali Persatuan. dalam Analisis CSIS; “Demokrasi Lokal : Pilkada Langsung”. Vol. 34. No.3. September 2005. Sugiyono. 2004. Statisitik Nonparametris. Untuk Penelitiaan. Alfabeta. Bandung. Sulaeman, A.1992. Perilaku Pemilih dalam Pemilihan Umum Tahun 1987. Tesis. Universitas Indonesia. Jakarta. Sutaryo. 2005. Sosiologi Komunikasi. Arti Bumi Intaran. Yogyakarta.
152
Sutisna. 2003. Perilaku Konsumen & Komunikasi Pemasaran. Remaja Rosdakarya. Bandung. Tjahyono, H. 2004. Psikologi Orang-orang Kalah. dalam R. A. Soni Bl de (ed). “Siapa Mau Menjadi Presiden?. Debat Publik Seputar Program dan Partai Politik pada Pemilu 2004”. Penerbit Buku Kompas. Jakarta. Tubbs, S.L. dan S. Moss. 2001 Humman Communication; Prinsip-Prinsip Dasar. Buku Pertama. (Terjemahan. D. Mulyana dan Gembirasari). Remaja Rosdakarya. Bandung. Wibawanto, A., Syamsudin dan E. Hilal. 2005. Strategi Menang dalam Pemilihan Kepala Daerah; Teknik Memandu Kemanangan Politik Calon Kepala Daerah. Pembaruan. Yogyakarta. White, L.G. and. R.P. Clark. 1983. Political Analysis; Technique and Practice. Brooks/Cole Publishing Company. Monterey. California. Winarso, H.P. 2005. Sosiologi Komunikasi Massa. Prestasi Pustaka Publisher. Jakarta. Wiratma, I.M.L. 2004. “Perkembangan Politik Triwulan Kedua (April-Juni) 2004; Dari Pemilu Legislatif Menuju Pemilu Presiden”. dalam Analisis CSIS. Vol. 33. No.2. Juni 2004. Venus, A. 2004. Manajemen Kampanye. Simbiosa Rekatama Media. Bandung. Zisk, B.H. 1987. Money, Media and Grass Roots; State Ballot Issues and The Electoral Process. Sage Library of Social Research Vol. 164. Sage Publication.
Dokumen BPS Kabupaten Cianjur. 2005. Kabupaten Cianjur Dalam Angka 2004. Biro Pusat Statistik Kabupaten Cianjur. Cianjur. Departemen Dalam Negeri. 2004. Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Departemen Dalam Negeri. 2004. Bahan Sosialisasi Undang-Undang No.32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Kompas. 2005. Pertimbangan dalam memilih kepala daerah. Hasil Jajak Pendapat Kompas, Harian Kompas. 14 Februari. KPU Kabupaten Cianjur. 2004. Lampiran Laporan Penyelenggaraan Pemilu 2004. Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Cianjur. Cianjur.
153
KPU Kabupaten Cianjur .2005. Rekapitulasi Jumlah Pemilih tetap Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah oleh KPUD Kabupaten Cianjur. Komisi Pemilihan Umum Cianjur. Cianjur. KPU Kabupaten Cianjur. 2006. Pokja Kampanye. Komisi Kabupaten Cianjur. Cianjur.
Pemilihan Umum
PELAKSANAAN KAMPANYE PILKADA CIANJUR 2006 Hari/Tanggal Sabtu, 14 Januari 2006
Minggu, 15 Januari 2004
Pasangan Calon
Wilayah Kampanye
Lokasi Kampanye
1
I
Lapangan olahraga Pannyaweuyan, Pacet
Pelaksanaan kampanye secara terbuka diikuti sekitar ± 5000 orang simpatisan dari 9 wilayah kecamatan, disi dengan hiburan dan orasi, kasidah dangdut, dan pelawak dari Bandung Kendaraan : Roda 4 : 100 unit Roda 2 : 1000 unit Truk : 20 buah
2
II
Lapangan olah raga Buniayu, Kutapinggan, Ciranjang
Pelaksanaan Kampanye (Istigosah) dengan Remaja Mesjid, dihadiri sekitar ± 560 orang simpatisan dari 6 wilayah kecamatan Kendaraan : Roda 4 : 20 unit Roda 2 : 3000 unit
3
III
Alun-alun Sukanagara
Pelaksanaan kampanye secara terbuka diikuti sekitar ± 100 orang simpatisan dilakukan dengan orasi, silaturahmi ke pedagang pasar, shalat dzuhur bersama di Mesjid Kaum Sukanagara Kendaraan : Roda 4 : 10 unit Roda 2 : 20 unit Truk engkel : 1 buah
4
IV
Lapangan Sindangbarang, Sindangbarang
Pelaksanaan kampanye secara terbuka diikuti sekitar ± 300 orang simpatisan dari 7 wilayah kecamatan Kendaraan : Roda 4 : 50 unit Roda 2 : 100 unit
1
IV
Lapangan Gunung Bitung, Desa Penanggapan, kecamatan Cibinong
Pelaksanaan kampanye secara terbuka diikuti sekitar ± 1500, tatap muka sekaligus menutup kejuaran Motorcross memperebutkan Piala Bupati Cup. Kendaraan : Roda 4 : 100 unit Roda 2 : 300 unit
Peserta Kampanye
165
Senin, 16 Januari 2006
2
III
Lapangan Desa Pagelaran, kecamatan Pagelaran
Pelaksanan kampanye secara terbuka diikuti sekitar ± 500 orang simpatisan, bentuk kampanye tatap muka dan panggung hiburan Kendaraan : Roda 4 : 12 unit Roda 2 : 100 unit
3
II
Lapangan BLPP Desa Cihea, Bojongpicung
Pelaksanan kampanye secara terbuka diikuti sekitar ± 1000 orang simpatisan, menampilkan artis Jamal Mirdad (artis Ibukota) Kendaraan : Roda 4 : 30 unit Roda 2 : 150 unit
4
I
Lapangan Desa Ciherang, Pacet
Pelaksanan kampanye secara terbuka diikuti sekitar ± 1500 orang simpatisan, menyampaikan visi dan misi Kendaraan : Roda 4 : 60 unit Roda 2 : 100 unit
1
III
Pesantren Parung Payung dan Pontren Tanggul Hasan Kec, Cijati – Kadupandak
Bantuk kampanye tatap muka, mengajak ± 200 orang simpatisan/pendukung untuk memilih pasangan No.1 dan Pimpinan Pontren siap dan akan mendukung Kendaraan : Roda 4 : 9 unit Roda 2 : 50 unit
2
IV
Lapangan Cidamar, Desa Cidamar, kec. Cidaun
Bentuk kampanye tatap muka dengan para Alim Ulama di Masjid Kaum, menyampaikan visi dan misi, mengajak para simpatisan untuk memilih psangan calon No.2 Kendaraan : Roda 4 : 10 unit Roda 2 : 30 unit
3
I
Lapangan Prawatasari Joglo, Kelurahan Sawah gede, Kecamatan Cianjur
Kampanye tatap muka dengan para pedagang pasar di Bojongmeron, dilanjutkan dengan orasi, Juru Kampanye oleh anggota DPR-RI, Adjie Massaid, Angelina Sondakh, H. Komar, Max Sopacua, Syarif Hasan dan Rustanto Wahidi. Dihadiri oleh ±2000 orang simpatisan, dalam
166 kegiatan tersebut masyarakat dihibur oleh artis-artis Ibu Kota di bawah pimpinan Imam S. Arifin. Kendaraan : Roda 4 : 50 unit Roda 2 : 130 unit
Selasa, 17 Januari 2006
4
II
Alun-alun Cibalagung, Desa Kademangan, Kecamatan Mande
Bentuk kampanye rapat umum dan orasi, dihadiri oleh ± 500 oranag simpatisan, menyampaikan visi dan misi, mengajak untuk memilih pasangan No. 4 Kendaraan : Roda 4 : 30 unit Roda 2 : 100 unit
1
II
Lapangan Selajambe, Kec. Sukaluyu
Bentuk Kampanye Rapat Umum, dihadiri oleh ± 4.000 simpatisan, menghadirkan Uu Rukmana (DPD Golkar Jabar) dan Nurul Arifin (DPP Golkar), mengusung thema “Meneruskan Gerbang Marhamah di kabupaten Cianjur” Kendaraan : Roda 4 : 200unit Roda 2 : 500 unit
2
I
Lapangan Jagakarsa, Desa Jambudipa, Kecamatan Warungkondang
Bentuk Kampanye Rapat Umum, dihadiri oleh ± 1.000, menyampaikan visi dan misi, mengajak simpatisan memilih pasangan calon No.2 Kendaraan : Roda 4 : 50 unit Roda 2 : 200 unit
3
IV
Lapangan Jayanti, Desa Cidamar, Kec. Ciadun
Rapat Umum, dihadiri oleh ±300, menyampaikan visi dan misi, mengajak simpatisan memilih pasangan calon No.3 Kendaraan : Roda 4 : 15 unit Roda 2 : 50 unit
4
III
Lapangan Tarumanagara Kecamatan Sukanagara
Rapat Umum dan Orasi, dihadiri oleh ±600, menyampaikan visi dan misi, mengajak simpatisan memilih pasangan calon No.4, Peranan wanita harus sejajar dengan laki-laki dan akan memperjuangkan hak-hak perempuan di Kabupaten
167 Cianjur, yang selama ini perempuan banyak dijadikan sebagai obyek dalam pembangunan. Kendaraan : Roda 4 : 20 unit Roda 2 : 200 unit
Rabu, 18 Januari 2006
Kamis , 19 Januari 2006
1
I
Pesantren Benjot, Kecamatan Cugenang
Rapat Tertutup, dihadiri ±200 orang, juru kampanye kedua pasangan calon dan pimpinan Ponpes (KH. Nazhmudin), mengajak para simpatisan memilih pasangan No.1, mengusung tema “Meneruskan Gerbang Marhamah di kabupaten Cianjur” Kendaraan : Roda 4 : 20 unit Roda 2 : 15 unit
2
II
Halaman Kantor Desa Jati, Kec. Bojongpicung
Kegiatan Kampanye diisi dengan Bakti Sosial, Pengobatan gratis bertempat di lapangan Cihea Bojongpicung, dilanjutkan dengan acara silaturahmi dengan pedagang pasar Ciranjang. Jumlah massa ± 300 orang Kendaraan : Roda 4 : 20 unit Roda 2 : 50 unit
3
III
-
4
IV
Lapangan Jayagiri, Sindangbarang
1
IV
2
III
Tidak menggunakan hak kampanye, dengan alasan digunakan untuk istirahat Tidak menggunakan hak kampanye dengan alasan sakit, massa yang sudah terlanjur kumpul di lapangan akhirnya membubarkan diri
Tidak menggunakan hak kampanyenya Masjid Istiqlal Parakantugu, Kec. Cijati
Rapat tertutup, dihadiri ± 300 orang, Istigosah dengan para alim ulama, dan tokoh masyarakat setempat. Kendaraan : Roda 4 : 8 unit Roda 2 : 100 unit
168
3
II
Desa Kamurang, kecamatan Cikalongkulon
Kunjungan ke lokasi bencana alam , diikiti oleh ± 100 orang, silaturahmi sekaligus memberikan bantuan kepada masyarakat yang terkena bencana tanah longsor di Desa Kamurang Kecamatan Cikalongkulon. Kendaraan : Roda 4 : 20 unit Roda 2 : 50 unit Terjadi kecelakaan lalu lintas mobil Suzuki Carry Pickup menimpa peserta kampanye di ruas jalan baru Rawa Bango, kec. Karangtengah, 23 orang cedera, 4 diantaranya dirawat di RSUD dan seorang di bawa ke RS Hasan Saidikin Bandung
Jum’at, 20 Januari 2006
4
I
Lapangan Prawatasari Joglo, Kel. Sawah Gede, Kec. Cianjur
Rapat Umum dihadiri ± 3000 orang, menyampaikan visi dan misi, mengajak untuk memilih pasangan No. 4 Kendaraan : Roda 4 : 120 unit Roda 2 : 800 unit
1
III
Pesantren Al Hidayah, Kecamatan Pagelaran
Bentuk Kampanye Dialog, dihadiri ± 250 orang, mengajak para simpatisan/pendukung untuk memilih No.1 dan mewujudkan Gerbang Marhamah di Kabupaten Cianjur. (jam 08.30- 11.00) Kendaraan : Roda 4 : 7 unit Roda 2 : 10 unit
Kp. Pasirangin, Desa Simpang, Kecamatan Pagelaran
Rapat terbuka, dihadiri ± 250 orang, mengajak para simpatisan/pendukung untuk memilih No.1, - Gerbang Marhamah (11.00 – 12.00) Kendaraan : Roda 4 : 15 unit Roda 2 : 100 unit
Kp. Cijampang, Desa Situhiang, Kecamatan Pagelaran
Rapat Terbuka, dihadiri ± 250 orang, pesan kampanye, pembangunan jalan akan diperhatikan khususnya di wilayah Cianjur selatan, mewujudkan Gerbang
169 Marhamah di Kabupaten Cianjur (13.00 – 16.00) Kendaraan : Roda 4 : 15 unit Roda 2 : 150 unit
Sabtu, 21 Januari 2006
2
IV
Masjid Al Jihad Desa Saganten, Kecamatan Sindangbarang
Tabligh Akbar, dihadiri ± 200 orang, menyampaikan visi dan misi, janji kampanye akan mensejahterakan masyarakat Cianjur Selatan yang merata Kendaraan : Roda 4 : 11 unit Roda 2 : 100 unit
3
I
Pasar Cipanas, Kecamatan Pacet
Tatap Muka, janji kampanye akan memperhatikan kesejahteraan petani dan pedagang serta akan memperindah bentuk pasar rakyat Kendaraan : Roda 4 : 5 unit Roda 2 : 15 unit
4
II
-
1
II
Rumah Makan milik Sdr. Ade Misbah Jangari Kecamatan Mande Rumah Makan milik Sdr. Ade Kp Tajurhalang Kecamatan Karangtengah Pontren Radhatul Sidian Kp. Sukanagara, Desa Sukamantri Kec. Karangtengah DPC LDII Kabupaten Cianjur, Desa Bojong Kecamatan Karangtengah
Tidak menggunakan hak kampanye (istirahat)
Silaturahmi/Tatap Muka, pesan kampanye P: - “gerbang Marhamah” - akan meningkatkan prestasi olahraga di kabupaten Cianjur, - agar memilih No.1 - akan meni9ngkatkan pembangunan infrastruktur, baik jalan umum, irigasi dan fasilitas umum Kendaraan : Roda 4 : 50 unit Roda 2 : 100 unit
170
Minggu, 22 Januari 2006
2
I
Lapangan Ciherang, Kecamatan Pacet
3
IV
-
Tidak menggunakan hak kampanye (istirahat)
4
III
-
Tidak menggunakan hak kampanye (istirahat)
1
I
Pontren Kawungluwuk, Kecamatan Sukaresmi Pontren Darul Fallah, Desa Cipendawa, Kecamatan Pacet Masjid Muslimul Human Desa Gadog, Kecamatan Pacet, Pacar Cipanas
Lapangan Selajambe, Desa Selajambe, Kecamatan Sukaluyu
Rapat Umum, menyampaikan visi dan misi, akan mensejahterakan masyarakat di Kabupaten Cianjur, diisi hiburan orkes dangdut Kendaraan : Roda 4 : 410 unit Roda 2 : 1500 unit
Rapat Terbuka dan Silaturahmi, diikuti ± 3000 orang, pesan kampanye’ - Gerbang Marhamah, dan menjadikan Cianjur sebagai kota santri yang agamis - Agar memilih No.1 - Mohon dukungan kepada para santrisantri Pontren Kawungluwuk - Apabila terpilih lagi menjadi Bupati akan memberikan kebijakan yang berpihak kepada rakyat demi terciptanya pembangunan ekonomi rakyat. Kendaraan : Roda 4 : 50 unit Roda 2 : 500 unit Rapat Umum (terbuka), diikuti ± 1000 orang, menyampaikan visi dan misi, akan mensejahterakan masyarakat di Kabupaten Cianjur. Kendaraan : Roda 4 : 50 unit Roda 2 : 125 unit
2
II
3
III
-
Tidak menggunakan hak kampanye (istirahat)
4
IV
-
Tidak menggunakan hak kampanye (istirahat)
171
Senin, 23 Januari 2006
Selasa, 24 Janurai 2006
1
IV
Lapangan Alunalun Sindangbarang, Kecamatan Sindangbarang
Rapat terbuka, dihadiri ± 5000 orang, pesan kampanye : - Gerbang Marhamah - Penyampaian visi dan misi - Agar memilih No.1 - Akan meningkatkan pembangunan sekolah, MCK dan Masjid-masjid khususnya di wilayah Cianjur Selatan Kendaraan : Roda 4 : 35 unit Roda 2 : 100 unit Rapat Umum (terbuka) dan hiburan, dihadiri ± 1000 orang - menyampaikan visi dan misi, - akan meningkatkan pembangunan di daerah Cianjur Selatan, - mengajak kepada para simpatisan untuk memilih pasangan No,2 Kendaraan : Roda 4 : 50 unit Roda 2 : 125 unit
2
III
Lapangan Binaraga Desa Paswahan, Kecamatan Takokak
3
II
-
Tidak menggunakan hak kampanye (istirahat)
4
I
-
Tidak menggunakan hak kampanye (istirahat)
1
III
Lapangan Tarumanagara, Kecamatan Sukanagara
Rapat Terbuka, diikuti ± 3000 orang, pesan kampanye; - Gerbang Marhamah - Penyampaian visi dan misi - Agar memilih No.1 Kendaraan : Roda 4 : 75 unit Roda 2 : 600 unit
2
IV
Lapangan Naringgul, Kecamatan Naringgul
Hiburan Wayang Golek, dihadiri ± 500 orang, pesan kampanye; -menyampaikan visi dan misi, -mengajak memilih No.2 Kendaraan : Roda 4 : 30 unit Roda 2 : 200 unit
172
Rabu, 25 Januari 2006
Lapangan Prawatasari Joglo, Kel Sawah Gede, Kecamatan Cianjur
Rapat Terbuka dan Jalan Santai, mengajak kepada para simpatisan untuk memilih No.3, menyampaikan visi dan misi, Cianjur sehat bersama pemimpin Cerdas, berjiwa bersama Demokrat dan Keadilan Sejahtera Kendaraan : Roda 4 : 125 unit Roda 2 : 400 unit Roda 6 : 5 unit
3
I
4
II
-
1
II
Rumah Tokoh Agama H. Zaenal Asikin, Kecamatan Bojongpicung, Pondok Pesantren Miftahul Ulum, Desa Sukasirna, Kecamatan Bojongpicung
Tatap muka/Silaturahmi, dihadiri ± 500 orang, pesan kampanye, melanjutkan Gerbang Marhamah, penyampaian visi dan misi, agar memilih No.1 Kendaraan : Roda 4 : 20 unit Roda 2 : 200 unit
2
I
Lapangan Prawatasari, Joglo Desa Sawah Gede, Kecamatan Cianjur
Rapat terbuka dan Panggung hiburan, Juru kampanye Cahyo Kumolo (DPP PDIP) dan R.A Drajat (DPD PDIP Jabar), diikuti oleh ± 4000 orang, pesan kampanye; -menyampaikan visi dan misi, “hayu urang rempug jukung nagwangun Cianjur Sugih Mukti tur Islami”, agar memilih No.2 Kendaraan : Roda 4 : 200 unit Roda 2 : 1000 unit
3
IV
Lapangan Alunalun Sindangbarang, Kecamatan Sindangbarang
Rapat terbuka dan panggung hiburan, pesan kampanye; -mengajak kepada para simpatisan untuk memilih No.3 -menyampaikan visi dan misi -akan merubah Kabupaten Cianjur baik dari segi Pembangunan infrastruktur serta akan meningkatkan pendidikan
Tidak menggunakan hak kampanye (istirahat)
173 Kendaraan : Roda 4 : 20 unit Roda 2 : 100 unit
Selasa, 26 Januari 2006
4
III
-
Tidak menggunakan hak kampanye (istirahat)
1
I
Lapangan Prawatasari Joglo, Kel. Sawah Gede, Kec. Cianjur
Bantuk Kampanye Istigosah, jumlah Peserta 5000 orang simpatisan dari 7 kecamatan
2
II
Lapangan Bojong Karangtengah
Bentuk Kampanye Terbuka, jumlah Peserta 1500 orang simpatisan dari 9 kecamatan
3
III
Alun-alun Sukanagara
Bentuk Kampanye Terbuka, jumlah Peserta 8500 orang simpatisan dari 8 kecamatan
4
IV
Lapangan Jayagiri Sindangbarang
Bantuk Kampanye Istigosah, jumlah Peserta 2000 orang simpatisan dari 7 kecamatan
Sumber : data primer (pengamatan lapangan) dan data sekunder, antara lain : 1. Desk Pilkada Kabupaten Cianjur. 2006. Laporan Harian Hasil Kegiatan Kampanye Pilkada 200. Cianjur. Sekretaris Desk Pilkada Kabupaten Cianjur. 2. Awaluddin, U dkk. 2006. Potret Cianjur dalam Pilkada 2006. Cianjur. KPU Kabupaten Cianjur.
155 PETA KABUPATEN CIANJUR