HUBUNGAN LINGKUNGAN DALAM RUMAH TERHADAP ISPA PADA BALITA DI KELURAHAN CIPUTAT KOTA TANGERANG SELATAN TAHUN 2013
SKRIPSI Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Dosen Pembimbing :
OLEH : RAHMAYATUL FILLACANO 109101000054
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 M/ 1435 H
PERNYATAAN PERSETUJUAN Skripsi denganjudul
PERSEPSI ORANG TUA TENTANG PERILAKU CARING PERAWAT PADA PELAKSANAAN AST]HAN I(EPERAWATAN
DI RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD SERANG TAHUN 2011 Telah disetujui dan diperiksa oleh pernbimbing skripsi Program Studi llmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarla DISUSLIN OLEH:
AI ROSIDAH 1
07 1 04000286
Perlbimbing I
Pembimbing
II
@,1 Ns. Waras Budi Utomo.S.Ke
Ns. Yanti Rivantini.M.Kep-.Sp. Kep.An N
I
NIP : 1 9790520200901 l0l2
P: 1 96507 0619 89032002
PROGRAM STTIDI ILMU KEPERAWATAN F'AKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1433
W20t2
PENGESAHAN SIDANG SKRIPSI Skripsi denganjudul PERSEPSI ORANG TUA TEI\TANG PERILAKU CARING PERAWAT
PADA PELAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD SERANG TAHUN
2011
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi
Ai Rosidah NrM 107104000286 Jakarta,Mei2012
Penguji I
@.1
Ns. Yanti Riyantini.M.Kep.Sp. Kep.An NIP. 196507 061989032002
NIP. 19790s
Pengrrji
III
Irma Nurbaeti.M.Kep.Sp.Mat NIP. 19700s01 1996012001
SURAT PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini; saya
:
Nama
:Ai
NIM
: 107104000286
Program Tahun
studi
Akademik
:
Rosidah
Ilmu Keperawatan
:2007
Menyatakan bahwa saya tidak melakukan plagiat dalam penulisan skripsi yang berjudul:
PERSEPSI ORANG
TUA TENTANG PERILAKU
CARING
PERAWAT PADA PELAKSANAAN ASUHAN KEPERAWATAN DI RUANG RAWAT INAP ANAK RSUD SERANG TAHUN 2011 Apabila suatu saat terbukti saya melakukan tindakan plagiat, maka saya akan menerima sangsi yang telah ditetapkan.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benamya.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama / Name Alamat/ Address Telepon/ Phone E-mail Jenis Kelamin / Gender Tanggal Kelahiran / Date of Birth Status Marital / Marital Status Warga Negara / Nationality Agama / Religion
: Rahmayatul Fillacano : Serdang Street No.15 RT 01/12 Duren Sawit East Jakarta : 081288692690 :
[email protected] : Perempuan/Female : Palembang, 21 September 1992 : Sendiri/Single : Indonesia : Islam /Moslem
2009 – 2013 Environmental Health, Public Health, State Islamic University (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2006 – 2009 High School 100,Cipinang, East Jakarta 2003 – 2006 Junior High School 202 , Pondok Bambu East Jakarta 1997 – 2003 Elementary School 10 ,Duren Sawit East Jakarta
Training Integrated Management Systems ISO 9001:2008, ISO 14001:2004&OHSAS 18001:2007 (2012)
iii
1. Practical Work at PT.CPI (Chevron Pacific Indonesia) on Departement of Health Environmental and Safety (HES), Minas,Riau 2013. 2. Job Orientation at PT.YAMA ENGINEERING Oil and Gas Services Company as Departement HSE, BSD 2012 3. Field Trip to PT. Chevron Gheothermal Indonesia at Garut 2012 4. Field Trip to Chevron Pacific Indonesia at Balikpapan 2012 5. Field Trip to Pertamina Balikpapan,2012 6. Work at PT.Melia Sehat Sejahtera, Jakarta (until now) 7. Field Learning Experience at Puskesmas Pondok Aren Kabupaten Tangerang Selatan (2012).
Seminar : 1. Seminar Nasional “Menuju Indonesia Bebas Kaki gajah dan Sosialisasi Flu Burung”, BEM Jurusan Kesehatan Masyarakat UIN Srarif Hidayatullah Jakarta, 2009 2. Seminar Profesi Gizi “Regulasi Keamanan Pangan Minuman Isotonik di Indonesia”, Auditorium FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011 3. Seminar Profesi K3 “Sudah Amankah Anda Berkendara?”, Auditorium FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011 4. Seminar Profesi Kesehatan Lingkungan “Ecodriving”, Auditorium FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,2012 Organization : 1. Corporate Social Responsibility (CSR)” Kemitraan antara PT. YAMA Engineering dengan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012 2. Member of Environmental Health Student Association (ENVIHSA) Indonesia, UIN 2009-2013 3. OSIS in Junior High School as Public Relation 2006
iv
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, 1 Desember 2013 Rahmayatul Fillacano, NIM : 109101000054 Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Terhadap ISPA Pada Balita Di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan Tahun 2013 ( xv+88 hal+15 tabel+ 2 Bagan+6 Lampiran) ABSTRAK Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang sering dialami oleh balita dengan gejala seperti batuk, pilek dan panas selama 2 minggu terakhir. Berdasarkan Data Dinkes Tangsel 2012 ISPA menempati urutan pertama dari 10 penyakit yang lain. ISPA pada balita paling banyak diderita di Puskesmas Ciputat. ISPA bisa diakibatkan oleh faktor internal/lingkungan dalam rumah yang meliputi faktor individu balita, lingkungan fisik rumah, faktor perilaku, faktor sosialdemografi. Penelitian ini bersifat analitik dengan pendekatan Cross Sectional. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ISPA pada balita. Variabel bebas/independen dalam penelitian ini adalah status gizi, pemberian asi, ventilasi, kepadatan hunian, kelembaban, kebiasaan merokok dan pendidikan orang tua sedangkan variabel terikat /dependen adalah ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat. Penelitian dilakukan pada bulan September 2013. Sampel pada penelitian ini sebanyak 88 sampel dengan responden ibu balita. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa sebesar 51,5% atau sebanyak 45 balita mengalami ISPA dan 43 balita 48,9% tidak mengalami ISPA. Selanjutnya berdasarkan hasil analisis bivariat diketahui bahwa terdapat tiga variabel independen yang berhubungan terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, yaitu kepadatan hunian dengan nilai p=0,029, ventilasi dengan nilai p=0,019 , dan pendidikan orang tua dengan nilai p=0,019. Sedangkan variabel yang tidak berhubungan yaitu status gizi, kebiasaan merokok, kelembabab, dan pemberian Asi Ekslusif.
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH Undergratuated Thesis, 17 December 2013 Rahmayatul Fillacano, NIM : 109101000054 Association Between Domestic Environment and Acute Respiratory Infections (ARI) Among Children Under the Age of Five In Ciputat Subdistrict, South Tangerang City, Year 2013 (xv+88 pages+15 Tables+2 Charts+6 Attachments) ABSTRACT Acute Respiratory Infections (ARI) is a disease that often suffered by children under the age of five with symptoms such as cough, cold and heat that last throughout the fortnight. Based on Tangsel Health Agency Data year 2012, ARI was the lead cases out of ten other diseases that found in Tangsel, and those cases mostly found in Ciputat health-care center. ARI could be caused by many factors in the environment that surrounded the child under five, thus environment known as a micro environment, which include the child-individual factor, physical factor, behavior factor, and socio demographic factor. This research was a descriptive analytic with Cross Sectional approach. This study sought to examine the association between domestic environment and Acute Respiratory Infections (ARI) among children under five. Dependent variable in this study was an ARI among children under five in Ciputat subdistrict, whereas the independent variable were nutritional status, humidity, exclusive breast-feeding, smooking behavior, ventilation, occupant density, and parents education level. This research being held in September 2013 with total sample of 88 children under five with their parents as a respondent. The results showed that 51.5% or approximately 45 children under five suffered an ARI, while the other 43 child (48,9%) were not. Furthermore, bivariate analysis showed that there are 3 independent variables that were positively associated with Acute Respiratory Infections (ARI) that were found among children under the age of five in Ciputat subdistrict. Those variables are occupant density (p = 0,029), ventilation (p = 0,019), and parents education level (p = 0,019). In contrast, variables such as nutritional status, smoking behavior, humidity, and exclusive breast-feeding were negatively associated with ARI.
iv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat serta ridho-Nya saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman yang terang saat ini. Penulisan skripsi ini dilakukan sebagai syarat untuk mendapat gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit bagi saya untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada : 1. Kedua Orang Tua saya yang selalu memberikan doa dan motivasi dalam menyelesaikan skripsi ini serta kepada Kakak dan Adik saya yang smemacu saya sehingga memberikan semangat untuk menyelesaikan skripsi. 2. Bapak Arif Sumantri sebagai Penanggung Jawab Peminatan Kesehatan Lingkungan yang selalu memberikan saran serta dukungan kepada jamaah kesehatan lingkungan untuk segera menyelesaikan skripsi tepat pada waktunya beserta Dosen yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama proses belajar dikampus serta kepada seluruh karyawan di lingkungan civitas akademika Fakultas Kesehatan Masyarakat.
v
3. Bapak Kepala Suku Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan yang telah memberikan izin untuk mengambil data dan izin penelitian. 4. Ibu Ela Laelasari SKM,M.Kes selaku dosen pembimbing utama yang telah membimbing saya selama proses penyelesaian skripsi. 5. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, MKM, Phd selaku pembimbing kedua, yang telah memberikan masukan yang berharga dalam penyelesaian dan penyempurnaan penulisan skripsi ini. 6. Kepala Puskesmas Kelurahan Ciputat beserta staf atas bantuan dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melakukan penelitian di wilayah kerjanya. 7. Kepada Bapak Lurah Ciputat yang telah memberikan bantuan serta fasilitas untuk menunjang menyelesaikan skripsi ini. 8. Kepada seluruh ibu balita sebagai responden dalam penelitian ini yang telah membantu
mengisi
kuisioner
sebagai
data
penting
untuk
menunjang
menyelesaikan skripsi ini. 9. Kepada teman-teman Kesehatan Lingkungan khususnya angkatan 2009 atas kerjasama, dukungan, support dalam membantu menyelesaikan penulisan skripsi ini serta 4 sahabat sekaligus teman seperjuangan mulai dari semester awal hingga akhir kepada Rahmi Hidayati, Roya Selaras Cita, Srikandi Fajarini, Ardilla Wasiah atas kebersamaan kita selama di bangku kuliah. 10. Kepada Herisma Yanti yang membantu dan menemani saat pengambilan data di lapangan.
vi
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat dan penelitian selanjutnya yang ingin mengkaji lebih dalam mengenai topik tersebut. Semoga Allah SWT memberikan kemuliaan dan kelancaran serta kemampuan berpikir untuk mengejar masa depan yang lebih cerah bagi kita semua. Amin
Ciputat, September 2013
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Abstrak ................................................................................................................................. i Abstract................................................................................................................................. ii Riwayat Hidup ..................................................................................................................... iii Kata Pengantar .................................................................................................................... v Daftar Isi............................................................................................................................... viii Daftar Tabel......................................................................................................................... xiii Daftar Lampiran................................................................................................................... xiv Daftar Bagan........................................................................................................................ xv BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang........................................................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah.....................................................................................................
5
1.3
Pertanyaan Penelitian................................................................................................ 6
1.4
Tujuan Penelitian......................................................................................................
7
1.4.1 Tujuan Umun...................................................................................................
7
1.4.2 Tujuan Khusus.................................................................................................
7
Manfaat Penelitian....................................................................................................
8
1.5.1 Bagi Ilmu Pengetahuan....................................................................................
8
1.5.2 Bagi Puskesmas...............................................................................................
8
1.5
1.5.3 Bagi Peneliti..................................................................................................... 8 1.6
Ruang Lingkup Penelitian........................................................................................ 1 9
viii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Infeksi Saluran Pernafasan Akut................................................................................ 11 2.1.1 Pengertian ISPA................................................................................................ 11 2.1.2 Etiologi ISPA.................................................................................................... 12 2.1.3 Klasifikasi ISPA................................................................................................ 13 2.1.4 Cara Penularan ISPA.........................................................................................14 2.1.5 Gejala ISPA....................................................................................................... 14 2.1.6 Cara Pencegahan ISPA..................................................................................... 17
2.2
Paradigma Kejadian ISPA pada Balita...................................................................... 17 2.2.1 Pengertian Balita............................................................................................... 17 2.2.2 ISPA pada Balita............................................................................................... 17 2.2.3 Paradigma Kesehatan Masyarakat.................................................................... 18 2.2.4 Paradigma ISPA Menurut World Bank, Depkes RI dan Riskesdas................ 19
2.3
Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi ISPA............................................. 20 2.3.1 Faktor Lingkungan Fisik Rumah...................................................................... 20 2.3.2 Faktor Sosial-Ekonomi......................................................................................26 2.3.3 Faktor Individu/Balita....................................................................................... 28 2.3.4 Faktor Perilaku.................................................................................................. 34
2.3
Kerangka Teori...........................................................................................................39
ix
BAB III KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL 3.1
Kerangka Konsep.................................................................................................. 41
3.2
Definisi Operasional............................................................................................. 42
3.3
Hipotesis................................................................................................................ 44
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN 4.1
Desain Penelitian........................................................................................................... 45
4.2
Populasi dan Sampel................................................................................................. 45 4.2.1 Populasi............................................................................................................ 45 4.2.2 Sampel.............................................................................................................. 46
4.3
Pengambilan Sampel................................................................................................ 48
4.4
Jenis Data.................................................................................................................. 48
4.5
Lokasi dan Waktu Penelitian...................................................................................... 49
4.6
Pengumpulan Data.................................................................................................... 49
4.7
Pengolahan Data......................................................................................................... 49
4.8
Analisa Data ...............................................................................................................51
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1
Gambaran Umum Kelurahan Ciputat....................................................................... 52
5.2
Hasil Analisis Univariat............................................................................................. 53 5.2.1
Gambaran Kejadian ISPA.............................................................................. 53
5.2.2
Gambaran Status Gizi Balita.......................................................................... 53
5.2.3
Gambaran Status Imunisasi............................................................................54
5.2.4
Gambaran Pemberian Asi Ekslusif................................................................ 55
5.2.5
Gambaran Kelembaban Kamar Tidur............................................................ 55 x
5.2.6
Gambaran Ventilasi....................................................................................... 56
5.2.7
Gambaran Kepadatan Hunian........................................................................ 56
5.2.8
Gambaran Kebiasaan Merokok.....................................................................57
5.2.9
Gambaran Pendidikan Orang Tua.................................................................. 58
5.2.10 Gambaran Penggunaan Bahan Bakar.............................................................58 5.2.11 Gambaran Penggunaan Obat Nyamuk Bakar............................................... 59 5.3
Analisis Bivariat 5.3.1
Hubungan Status Gizi Terhadap ISPA pada Balita.........................................60
5.3.2
Hubungan Pemberian Asi Ekslusif Terhadap ISPA pada Balita................... 61
5.3.3
Hubungan Ventilasi Terhadap ISPA pada Balita............................................62
5.3.4
Hubungan Kelembaban Dalam Kamar Terhadap ISPA pada Balita............ 63
5.3.5
Hubungan Kepadatan Hunian terhadap ISPA pada Balita..............................64
5.3.6
Hubungan Kebiasaan Merokok terhadap ISPA pada Balita.......................... 65
5.3.7
Hubungan Pendidikan Orang Tua terhadap ISPA pada Balita..................... 66
BAB VI PEMBAHASAN 6.1
Keterbatasan Penelitian.............................................................................................. 68
6.2
Gambaran Variabel Dependen................................................................................... 68
6.3
Analisis Bivariat.........................................................................................................70 6.3.1
Hubungan Status Gizi terhadap ISPA pada Balita......................................... 70
6.3.2
Hubungan Pemberian Asi Ekslusif Terhadap ISPA pada Balita................... 72
6.3.3
Hubungan Ventilasi Terhadap ISPA pada Balita...........................................74
6.3.4
Hubungan Kepadatan Hunian Terhadap ISPA pada Balita.......................... 76
6.3.5
Hubungan Kelembaban Terhadap ISPA pada Balita.................................... 78
6.3.6
Hubungan Kebiasaan Merokok terhadap ISPA pada Balita.......................... 80
6.3.7
Hubungan Pendidikan Orang Tua terhadap ISPA pada Balita..................... 82
xi
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1
Kesimpulan............................................................................................................... 85
7.2
Saran......................................................................................................................... 87
xii
DAFTAR TABEL
No
Judul Tabel
Hal
5.1
Distribusi ISPA Pada Balita Di Kelurahan Ciputat...............................
53
5.2
Distribusi Status Gizi.............................................................................
54
5.3
Distribusi Status Imunisasi.....................................................................
54
5.4
Distribusi Asi Ekslusif...........................................................................
55
5.5
Distribusi Kelembaban...........................................................................
55
5.6
Distribusi Ventilasi................................................................................
56
5.7
Distribusi Kepadatan Hunian Rumah....................................................
57
5.8
Distribusi Kebiasaan Merokok Penghuni Rumah..................................
57
5.9
Distribusi Pendidikan Orang Tua...........................................................
58
5.10 Distribusi Penggunaan Bahan Bakar......................................................
59
5.11 Distribusi Penggunaan Obat Nyamuk Bakar.........................................
59
5.12 Hubungan Status Gizi Terhadap ISPA Pada Balita...............................
60
5.13 Hubungan Pemberian Asi Ekslusif Terhadap ISPA Pada Balita...........
61
5.14 Hubungan Ventilasi Rumah Terhadap ISPA Pada Balita......................
62
5.15 Hubungan Kelembaban Terhadap ISPA Pada Balita ............................
63
5.16 Hubungan Kepadatan Hunian Terhadap ISPA pada Balita.................
64
5.17 Hubungan Kebiasaan Merokok Penghuni Rumah Tua Terhadap ISPA pada Balita.............................................................................................. 5.18 Hubungan Pendidikan Orang Tua Terhadap ISPA pada Balita.............
65 66
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Izin Penelitian
Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6
Kuisioner Hasil Uji Statistik Dokumentasi Lapangan Surat Keterangan Peraturan Rumah Sehat
xiv
DAFTAR BAGAN
Judul Bagan 2.1 Kerangka Teori................................................................................ 3.1 Kerangka Konsep............................................................................
xv
Hal 39 41
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Menurut WHO, setiap tahun diperkirakan terdapat sekitar 200 ribu kematian akibat pencemaran udara yang menimpa daerah perkotaan, dimana 93% kasus terjadi di negara-negara berkembang (WHO, 2003). Kontribusi terbesar pencemaran udara berasal dari alat transportasi yang cenderung terus meningkat sejak tahun 2000 (BPS, 2003). Pada program lingkungan PBB, tahun 2002 tercatat beban pencemaran udara dari sumber bergerak di DKI Jakarta untuk cemaran debu sebesar 15.977,3 ton/tahun. Akibat pencemaran tersebut, munculah berbagai macam penyakit salah satunya Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Pengertian ISPA adalah infeksi saluran pernapasan akut yang berlangsung sampai 14 hari yang terjadi didalam organ mulai dari hidung sampai gelembung paru (Depkes, 2007). Di negara dengan pendapatan perkapita rendah dan menengah hampir empat juta orang meninggal akibat ISPA setiap tahun terutama pada bayi, balita dan orang lanjut usia (Lindawaty, 2010). ISPA merupakan salah satu penyebab utama rawat jalan dan rawat inap di fasilitas pelayanan kesehatan terutama pada bagian perawatan anak (WHO, 2008). Di Indonesia proporsi kematian yang disebabkan oleh ISPA mencakup 20%-30% dari seluruh kematian anak balita (Depkes, 2002). Survei mortalitas yang dilakukan oleh sub Direktorat ISPA tahun 2005 menempatkan ISPA
1
(Pneumonia) sebagai penyebab kematian terbesar di Indonesia dengan persentase 22,30% dari seluruh kematian balita (Anonim, 2007). Prevalensi berdasarkan jenis kelamin antara anak laki-laki dan perempuan relatif sama (Depkes RI, 2008). Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2001 memperlihatkan prevalensi ISPA pada anak usia <1 tahun sebesar 38,7% dan pada anak usia 1-4tahun sebesar 42,2% (SDKI, 2007 dalam Gertrudis, 2010). ISPA terjadi di seluruh provinsi dan kota di Indonesia, salah satunya di Provinsi Banten. Berdasarkan hasil laporan bulanan penyakit dari seluruh puskesmas selama tahun 2011 tercatat jumlah kasus ISPA sebanyak 37.186 dari 131.860 jumlah balita dan bayi (Dinkes, 2011). ISPA masuk dalam urutan 10 besar dari 30 besar penyakit yang paling sering diderita masyarakat dengan jumlah kasus ISPA paling tinggi berada pada wilayah kerja Pukesmas Ciputat yakni mencapai 2336 kasus ISPA dari 5.874 balita (Dinkes, 2012). Data Laporan Bulanan Puskesmas Ciputat pada tahun 2012 sesuai golongan umur, hampir sekitar 16%-25% dari masing-masing jumlah kasus yang ada setiap bulan diderita pada umur 1-5 tahun. Tingginya angka kejadian ISPA di Kelurahan Ciputat bisa disebabkan oleh tingginya pencemaran udara di luar rumah balita yang bersumber dari hasil pembakaran, dan transportasi yang dapat menghasilkan debu (Total Suspended Particulat (TSP)). Diketahui pada penelitian oleh BPLH Tangerang Selatan pada tanggal 5 Juni 2012 terdapat kadar TSP di Ciputat melebihi ambang batas yakni 268,64 µg/m³ dari ambang batas yang ditetapkan sebesar 230 µg/m³ (BPLHD, 2012).
2
Hasil penelitian yang dilakukan Lindawaty (2010) menyatakan bahwa nilai TSP tinggi menyebabkan tingginya jumlah kasus ISPA. Namun, bila dilihat dari aktivitas balita yang lebih sering melakukan kegiatan didalam rumah bersama orang tua/anggota keluarga, ISPA yang terjadi pada balita bisa disebabkan oleh lingkungan dalam rumah balita yang tidak memenuhi syarat (Lindawaty, 2010). Faktor-faktor lingkungan rumah yang dapat mempengaruhi ISPA yaitu faktor lingkungan fisik rumah, faktor perilaku, faktor individu, faktor sosialekonomi (Depkes, 2004). Faktor lingkungan fisik rumah salah satunya yaitu ventilasi rumah. Berdasarkan peraturan No. 1077/MENKES/PER/V/2011, setiap rumah wajib memiliki ventilasi minimum 10% dari luas rumah untuk memenuhi persyaratan rumah sehat. Pada penelitian Lindawaty (2010) ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat akan menyebabkan ISPA pada balita dengan resiko 3,07 kali lebih besar dibanding dengan ventilasi rumah yang memenuhi syarat. Selain itu, variabel dari faktor perilaku seperti yaitu kebiasaan merokok. Kebiasaan merokok anggota keluarga menjadikan balita sebagai perokok pasif yang selalu terpapar asap rokok. Menurut penelitian Citra (2012) mengemukakan bahwa perokok pasiflah yang mengalami resiko kesakitan lebih besar dari perokok aktif. Rumah yang penghuni/anggota keluarga mempunyai kebiasaan merokok berpeluang meningkatkan kejadian ISPA sebesar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang penghuninya tidak merokok didalam rumah.
3
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di Kelurahan Ciputat
masih
banyak ibu yang ketika balita mengalami gejala ISPA tidak langsung membawa ke Puskesmas dengan alasan bahwa gejala tersebut sering dialami anak dan akan hilang dengan sendirinya. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya pengetahuan ibu mengenai penyakit ISPA serta bagaimana tindakan pencegahan serta penanggulangan yang seharusnya dilakukan. Pengetahuan seseorang terkait pendidikan yang diselesaikan oleh orang tua balita. Pada penelitian yang dilakukan oleh Suptiaptini (2007) menyatakan bahwa ada hubungan antara pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan ibu terhadap ISPA pada balita. Berdasarkan uraian diatas, penyebab terjadinya ISPA bukan hanya berasal dari lingkungan luar rumah dengan melihat kadar TSP dimasing-masing lokasi penelitian yang dinginkan. Namun harus diperhatikan apakah ada penyebab dari lingkungan dalam rumah yang meliputi faktor lingkungan fisik rumah, sosial, faktor balita, dan faktor perilaku dalam lingkup kecil yang paling dekat dengan balita setiap hari yang berpotensi menyebabkan balita terkena ISPA. Hal ini supaya program pencegahan yang ingin dilakukan diawali dari lingkup kecil menuju pencegahan yang bersifat lebih luas terhadap penyebab munculnya ISPA. Oleh karena itu, dalam studi ini peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan antara pengaruh lingkungan dalam rumah (faktor lingkungan fisik rumah, sosial, faktor balita, faktor perilaku) terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan.
4
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan hasil laporan bulanan penyakit dari seluruh puskesmas selama
tahun 2011 tercatat jumlah kasus ISPA sebanyak 37.186 dari 131.860 jumlah balita dan bayi (Dinkes, 2011). ISPA masuk dalam urutan 10 besar dari 30 besar penyakit yang paling sering diderita masyarakat dengan jumlah kasus ISPA paling tinggi berada pada wilayah kerja Pukesmas Ciputat yakni mencapai 2336 kasus ISPA dari 5.874 balita (Dinkes, 2012). Tingginya angka kejadian ISPA di Kelurahan Ciputat mungkin bisa disebabkan oleh faktor lingkungan luar rumah seperti tingginya kadar debu (Total Suspended Particulat (TSP)) akibat polusi udara. Namun mungkin bisa disebabkan oleh faktor lingkungan dalam rumah dimana balita lebih banyak menghabiskan aktivitas didalam rumah. Faktor-faktor lingkungan rumah yang dapat mempengaruhi ISPA yaitu faktor lingkungan fisik rumah, faktor perilaku, faktor individu, faktor sosial-ekonomi (Depkes, 2004). Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin mengetahui apakah ada hubungan faktor lingkungan dalam rumah terhadap kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat yang meliputi faktor perilaku, faktor lingkungan dalam rumah, faktor individu balita, dan faktor sosial demograf.. 1.3
Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran faktor lingkungan fisik rumah balita (ventilasi, kelembapan, kepadatan hunian) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.
5
2. Bagaimana gambaran faktor individu balita (status gizi, dan Asi Ekslusif) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 3. Bagaimana gambaran faktor perilaku orang tua balita (kebiasaan merokok) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 4. Bagaimana gambaran faktor sosial-demograf orang tua balita (pendidikan orang tua) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 5. Apakah ada hubungan antara faktor lingkungan fisik rumah (ventilasi, kelembapan, kepadatan hunian) terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 6. Apakah ada hubungan faktor individu balita (asi ekslusif, status gizi) terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 7. Apakah ada hubungan faktor perilaku orang tua ( kebiasaan merokok) terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 8. Apakah ada hubungan faktor sosial orang tua (pendidikan orang tua) terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat,Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui gambaran balita terhadap kejadian ISPA di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 6
2. Mengetahui gambaran faktor lingkungan fisik rumah balita (ventilasi, kelembapan, kepadatan hunian) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 3. Mengetahui gambaran faktor individu (status gizi dan pemberian ASI) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 4. Mengetahui gambaran faktor perilaku orang tua (kebiasaan merokok) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 5. Mengetahui gambaran faktor sosial orang tua balita (pendidikan orang tua) di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 6. Mengetahui hubungan faktor lingkungan fisik rumah (ventilasi, kelembapan, dan kepadatan hunian) terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 7. Mengetahui hubungan faktor individu balita (status gizi, pemberian ASI eksklusif) terhadap kejadian ISPA di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 8. Mengetahui hubungan faktor perilaku orang tua (kebiasaan merokok) terhadap kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 9. Mengetahui hubungan faktor sosial (pendidikan orang tua) terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013.
7
1.5 Manfaat Peneliti 1.5.1 Bagi Ilmu Pengetahuan Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ISPA pada balita khususnya di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi yang ingin melakukan penelitian serupa ditempat lain,ataupun sebagai dasar untuk melakukan penelitian yang lebih rinci mengenai masalah yang sama di wilayah yang sama atau diwilayah lain. 1.5.2 Bagi Puskesmas Bahan masukan dalam perencanaan program pengendalian ISPA pada Balita bagi pengelola program ISPA di Kota Tangerang Selatan,khususnya Puskesmas di Kelurahan Ciputat. Memberikan informasi kepada keluarga tentang
hubungan lingkungan
dalam rumah sebagai faktor resiko gangguan saluran pernafasan pada anak balita,sehingga setiap keluarga bisa berpartisi dalam pencegahan ISPA pada anak balita. 1.5.3 Bagi Peneliti Menjadi bahan proses belajar bagi peneliti, menambah pengalaman serta dapat menambah pengetahuan dan wawasan mengenai faktor fisik rumah
8
yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian Studi ini termasuk dalam ruang lingkup kesehatan masyarakat peminatan kesehatan lingkungan. Penelitian dilakukan di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013 pada bulan September 2013 yang bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan dalam rumah terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggunakan pendekatan cross sectional. Variabel dalam penelitian ini yaitu variabel dependen yaitu ISPA dan variabel independen yaitu faktor individu (status gizi dan pemberian ASI eksklusif), faktor lingkungan fisik rumah (ventilasi, kepadatan hunian, kelembapan), faktor perilaku (kebiasaan merokok),dan faktor sosial-demograf (pendidikan orang tua). Data yang digunakan yaitu dengan mengumpulkan data primer melalui wawancara dengan kuisioner serta pengukuran. Pengolahan data menggunakan Microsoft Excel dan SPSS.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) 2.1.1 Pengertian ISPA ISPA merupakan singkatan dari Infeksi Saluran Pernafasan Akut yang diadaptasi dari istilah dalam bahasa Inggris Acute Respiratory Infection (ARI)(Depkes RI, 2000). Menurut Depkes RI, 2007 ISPA adalah infeksi saluran pernapasan akut akibat masuknya kuman/mikroorganisme kedalam tubuh
yang
berlangsung sampai 14 hari dengan keluhan batuk disertai pilek, sesak nafas dengan atau tanpa demam. ISPA dibedakan menjadi dua yaitu saluran pernafasan bagian atas seperti rhinitis,fharingitis, dan otitis serta saluran pernafasan bagian bawah seperti laryngitis, bronchitis, bronchiolitis dan pneumonia (WHO, 2009). Menurut Depkes RI, 2005 Infeksi saluran pernapasan akut mempunyai pengertian sebagai berikut : 1. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme kedalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga menimbulkan gejala penyakit. 2. Saluran Pernafasan adalah organ mulai dari hidung hingga alveoli beserta adneksnya seperti sinus-sinus, rongga telinga tengah dan pleura.
11
3. Infeksi Akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari. Batas 14 hari diambil untuk
menunjukkan proses akut meskipun untuk beberapa
penyakit yang dapat digolongkan dalam ISPA proses ini dapat berlangsung lebih dari 14 hari. Perbedaan ISPA dengan Pneumonia yaitu ditandai apabila balita penderita ISPA menderita batuk-pilek yang tidak menunjukan gejala frekuensi sesak nafas dan tidak menunjukkan adanya penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (Depkes RI, 2000). Penyakit ISPA merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak, karena sistem pertahan tubuh anak masih rendah. Kejadian penyakit batuk pilek pada balita di Indonesia diperkirakan 3 sampai 6 kali pertahun, yang berarti seorang balita ratarata mendapat serangan batuk pilek sebanyak 3 sampai 6 kali setahun (Geturdis, 2010). Sebagian besar dari infeksi saluran pernapasan hanya bersifat ringan seperti batuk pilek dan tidak memerlukan pengobatan dengan antibiotic, namun demikian anak akan menderita pneumonia bila infeksi paru ini tidak diobati dengan antibiotic dan dapat mengakibatkan kematian (Depkes RI, 2000). 2.1.2 Etiologi ISPA Etiologi ISPA terdiri atas bakteri, virus dan ricketsia. Penyebab ISPA dapat berupa bakteri maupun virus. Bakteri Streptokokus,
Stafilokokus,
penyebabnya antara lain dari genus
Pneumokokus,
Hemofilus,
Bordotella
dan
Korinebakterium. Virus penyebabnya antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, dan Herpesvirus. Sekitar 90-95% penyakit
12
ISPA disebabkan oleh virus (Depkes R.I, 2008b). Keanekargaman penyebab ISPA tergantung dari umur, kondisi tubuh dan kondisi lingkungan. Di Amerika Serikat anak yang berumur 1 bulan hingga 6 tahun penyebab terbesarya adalah Streptococus pneumonia dan heamapilus influenza serotype B. Sedangkan khusus anak 4 bulan hingga 2 tahun kejadian ISPA antara 60-70% disebabkan oleh bakteri (Wattimena, 2004). Penyakit ISPA khususnya penumonia masih merupakan penyakit utama penyebab kesakitan dan kematian bayi dan balita. Keadaan ini berkaitan erat dengan berbagai kondisi yang melatar belakanginya seperti malnutrisi juga kondisi lingkungan baik polusi di dalam rumah berupa asap maupun debu dan sebagainya (Depkes R.I, 2006). 2.1.3 Klasifikasi ISPA A. Klasifikasi Penyakit ISPA dibedakan menjadi 2 kelompok umur 2 bulan dan kelompok umur 2 hingga 5 tahun (Depkes RI, 2000) yakni : 1. Kelompok umur 2 bulan terdiri atas 2 jenis yaitu
:
a. Pneumonia Berat, bila batuk disertai nafas cepat (>60kali/menit) dengan atau tanpa tarikan dada bagian bawah ke dalam yang kuat. Disamping itu ada beberapa tanda klinis yang dapat dikelompokan sebagai tanda bahaya seperti kurang mampu minum, kejang, kesadaran menurun, stridor, wheezing dan demam.
13
b. Bukan pneumonia, bila batuk pilek tanpa disertai nafas cepat (<60kali/menit) dan tanpa tarikan dinding dada bagian bawah kedalam. 2. Kelompok umur 2 bulan-5tahun, terdiri dari 3 jenis yaitu
:
a. Pneumonia berat, jika batuk disertai nafas sesak yaitu adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam pada waktu anak menarik nafas. b. Pneumonia biasa, batuk dengan tanda-tanda tidak ada tarikan dinding dada bagian ke dalam, namun disertai nafas cepat (>50kali/menit untuk umur 212 bulan, dan >40kali/menit untuk umur 12 bulan sampai 5 tahun). c. Bukan Pneumonia, batuk pilek biasa dan tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat. 2.1.4 Cara Penularan ISPA ISPA dapat terjadi karena transmisi organisme melalui AC, droplet dan melalui tangan yang dapat menjadi jalan masuk bagi virus. Penularan faringitis terjadi melalui droplet, kuman menginfiltrasi lapisan epitel, jika epitel terkikis maka jaringan limfoid superficial bereaksi sehingga terjadi pembendungan radang dengan infiltrasi leukosit polimorfonuklear. Pada sinusitis, saat terjadi ISPA melalui virus, hidung akan mengeluarkan ingus yang dapat menghasilkan superfinfeksi bakteri, sehingga dapat menyebabkan bakteri patogen masuk kedalam rongga-rongga sinus (WHO, 2008). 2.1.5. Gejala ISPA Penyakit ISPA adalah penyakit yang timbul karena menurunnya sistem kekebalan atau daya tahan tubuh, misalnya karena kelelahan atau stres. Bakteri dan
14
virus penyebab ISPA di udara bebas akan masuk dan menempel pada saluran pernafasan bagian atas, yaitu tenggorokan dan hidung. Pada stadium awal, gejalanya berupa rasa panas, kering dan gatal dalam hidung, yang kemudian diikuti bersin terus menerus, hidung tersumbat dengan ingus encer serta demam dan nyeri kepala. Permukaan mukosa hidung tampak merah dan membengkak. Akhirnya terjadi peradangan yang disertai demam, pembengkakan pada jaringan tertentu hingga berwarna kemerahan, rasa nyeri dan gangguan fungsi karena bakteri dan virus di daerah tersebut maka kemungkinan peradangan menjadi parah semakin besar dan cepat. Infeksi dapat menjalar ke paru-paru, dan menyebabkan sesak atau pernafasan terhambat, oksigen yang dihirup berkurang. Infeksi lebih lanjut membuat sekret menjadi kental dan sumbatan di hidung bertambah. Bila tidak terdapat komplikasi, gejalanya akan berkurang sesudah 3-5 hari. Penyakit pada saluran pernafasan mempunyai gejala yang berbeda yang pada dasarnya ditimbulkan oleh iritasi, kegagalan mucociliary transport, sekresi lendir yang berlebihan dan penyempitan saluran pernafasan. Tidak semua penelitian dan kegiatan program memakai gejala gangguan pernafasan yang sama. Misalnya untuk menentukan infeksi saluran pernafasan, menurut WHO (2008) menganjurkan pengamatan terhadap gejala-gejala, kesulitan bernafas, radang tenggorok, pilek dan penyakit pada telinga dengan atau tanpa disertai demam. Efek pencemaran terhadap saluran pernafasan memakai gejala-gejala penyakit pernafasan yang meliputi radang tenggorokan, rinitis, bunyi mengi dan sesak nafas.
15
Dalam hal efek debu terhadap saluran pernafasan telah terbukti bahwa kadar debu berasosiasi dengan insidens gejala penyakit pernafasan terutama gejala batuk. Di dalam saluran pernafasan, debu yang mengendap menyebabkan oedema mukosa dinding saluran pernafasan sehingga terjadi penyempitan saluran. Menurut Mudehir (2002), faktor yang mendasari timbulnya gejala penyakit pernafasan : 1. Batuk Timbulnya gejala batuk karena iritasi partikulat adalah jika terjadi rangsangan pada bagian-bagian peka saluran pernafasan, misalnya trakeobronkial, sehingga timbul sekresi berlebih dalam saluran pernafasan. Batuk timbul sebagai reaksi refleks saluran pernafasan terhadap iritasi pada mukosa saluran pernafasan dalam bentuk pengeluaran udara (dan lendir) secara mendadak disertai bunyi khas. 2. Dahak Dahak terbentuk secara berlebihan dari kelenjar lendir (mucus glands) dan sel goblet oleh adanya stimuli, misalnya yang berasal dari gas, partikulat, alergen dan mikroorganisme infeksius. Karena proses inflamasi, di samping dahak dalam saluran pernafasan juga terbentuk cairan eksudat berasal dari bagian jaringan yang berdegenerasi. 3. Sesak nafas Sesak nafas atau kesulitan bernafas disebabkan oleh aliran udara dalam saluran pernafasan karena penyempitan. Penyempitan dapat terjadi karena saluran pernafasan
16
menguncup, oedema atau karena sekret yang menghalangi arus udara. Sesak nafas dapat ditentukan dengan menghitung pernafasan dalam satu menit. 4. Bunyi mengi Bunyi mengi merupakan salah satu tanda penyakit pernafasan yang turut diobservasikan dalam penanganan infeksi akut saluran pernafasan. 2.1.6
Cara Pencegahan ISPA Banyak hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya penyakit ISPA
diantaranya (Depkes RI, 2008b): 1. Menghindarkan diri dari penderita ISPA 2. Hindari asap, debu dan bahan lain yang menganggu pernafasan 3. Imunisasi lengkap pada balita di Posyandu. 4. Membersihkan rumah dan lingkungan tempat tinggal. 5. Rumah harus mendapatkan udara bersih dan sinar matahari yang cukup serta memiliki lubang angin dan jendela. 6. Menutup mulut dan hidung saat batuk. 7. Tidak meludah sembarangan. 2.2 Paradigma Kejadian ISPA pada Balita 2.2.1 Pengertian Balita Balita adalah anak berusia dibawah umur lima tahun yang sedang mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat. Pertumbuhan perkembangan balita
17
dipengaruhi oleh kesehatan yang baik, status gizi yang baik, lingkungan yang sehat, serta keluarga (termasuk pengasuh) yang baik dalam merawat balita (Depkes RI, 2008). 2.2.2 ISPA pada Balita Balita sering terpajan oleh beberapa jenis polutan dan virus dengan mudah terutama polutan yang berasal dari dalam rumah karena sekitar 80% balita menghabiskan waktu didalam rumah. Selain itu, ditambah lagi dengan daya tahan tubuh yang berbeda setiap balita menyebabkan balita lebih rentan terhadap penyakit terutama ISPA. Keterpajanan balita terhadap bahaya kesehatan lingkungan terjadi di beberapa area yang berbeda yakni didalam rumah, lingkungan tetangga, dan komunitas dilingkungan yang lebih luas . Terdapat dua faktor kesehatan pada balita (WHO, 2007) yaitu perumahan dan tempat tinggal (seluruh aspek ketersediaan dan kualitas perumahan, kepadatan hunian, kondisi rumah yang berbahaya dan tidak aman, kelembapan dan ventilasi yang buruk), dan polusi udara dalam ruangan( misalnya asap dari pemanasan dan proses memasak, perabotan yang mengeluarkan asap, asap rokok di lingkungan sekitar dan zat polutan dari luar ruangan yang masuk ke dalam ruangan). 2.2.3 Paradigma Kesehatan Masyarakat Konsep hidup sehat menurut H.L Blum (Notoadmojo, 2003) dapat digunakan untuk mengetahui faktor-faktor kondisi yang dapat memepengaruhi kondisi kesehatan
18
secara holistik mulai dari kondisi fisik hingga sosial dalam masyarakat. Dalam teori H.L Blum menjelaskan bahwa untuk menciptakan kondisi sehat diperlukan harmonisasi dari 4 faktor utama yakni faktor determinan timbulnya masalah kesehatan yang meliputi faktor perilaku/Gaya Hidup, faktor lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya maupun fisik, kimia,, biologi), faktor pelayanan kesehatan (jenis cakupan dan kualitasnya) dan faktor genetik (keturunan). Keempat faktor tersebut saling saling berinteraksi dan yang mempengaruhi kesehatan perorangan dan derajat keseahtan masyarakat. Diantara keempat faktor tersebut faktor perilaku manusia merupakan faktor determinan yang paling besar dan paling sukar di tanggulangi dan disusul dengan faktor lingkungan. Hal ini disebabkan karena lingkungan hidup manusia sangat dipengaruhi oleh perilaku masyarakat. 2.2.4 Paradigma ISPA Menurut World Bank, Depkes RI dan Riskesdas World Bank dalam Diseases Control Priorities in Developing Countries menguraikan bahwa kejadian ISPA disebabkan oleh agen biologi yang dapat berupa virus maupun bakteri. Bakteri yang dapat mengakibatkan ISPA adalah Streptoccous pneumonia, Mycoplasma pneumonia, dan Chamydia pneumonia sedangkan virus yang dapat mengakibatkan ISPA antara lain Rhinovirus, RSVs, Parainfluenza, dan virus influenza (World Bank, 2006). Menurut Depkes (2002) kejadian ISPA dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko antara lain pendidikan dan pengetahuan ibu, sosial ekonomi, pelayan kesehatan
19
BBLR, status gizi buruk, status ASI eksklusif, vitamin A, pemberian makan dini, mikroorganisme (agent), daya tahan tubuh, kepadatan tempat tinggal dan kondisi fisik rumah. Kondisi fisik rumah yang dapat menyebabkan ISPA antara lain jenis atap, jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian, penggunaan anti nyamuk bakar, jenis bahan bakar memasak yang digunakan dan perokok di dalam rumah. Sedangkan hasil data Riskesdas (2007) diperoleh faktor-faktor yang berhubungan signifikan dengan kejadian ISPA yaitu umur, status gizi, pendidikan ibu, bahan bakar memasak, perokok dalam rumah, jenis lantai dan polusi udara (debu). Faktor lainya yang dapat mempengaruhi kejadian ISPA adalah suhu, kelembapan (Mudehir, 2002). 2.3 Faktor-Faktor Lingkungan yang Mempengaruhi ISPA Menurut Depkes RI 2004, faktor-faktor terjadinya ISPA secara umum dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu : 2.3.1 Faktor Lingkungan Fisik Rumah Rumah merupakan kebutuhan primer manusia yang berfungsi sebagai tempat tinggal untuk berlindung dari bahaya lingkungan luar seperti perubahan iklim dan makhluk hidup lainnya (Depkes RI, 2000). Rumah yang baik bagi penghuni atau sebuah keluarga dapat dilihat dengan beberapa kriteria seperti (Safitri, 2010) : a. Kepadatan Hunian Penduduk di kota meningkat memicu terjadinya peningkatan pembangunan sebagai tempat tinggal. Namun terkadang dalam satu rumah yang seharusnya hanya
20
bisa menampung beberapa orang saja, dipaksakan untuk menampung melebihi kapasitas rumah. Hal ini mengakibatkan terjadinya kepadatan dalam rumah yang dimungkinkan dapat mempengaruhi kesehatan penghuni rumah. Menurut keputusan menteri kesehatan nomor RI No.1077/MENKES/PER/V/2011 tentang persyaratan rumah dikatakan padat penghuni apabila perbandingan luas lantai seluruh ruangan dengan jumlah penghuni lebih kecil dari 10m2/org, sedangkan ukuran untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3m2/org. Pencegahan terjadinya penularan penyakit (misalnya penyakit pernafasan) jarak antara tepi tempat tidur yang satu dengan yang lain minimum 90cm dan sebaiknya kamar tidur tidak dihuni lebih dari 2 orang. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan secara bermakna antara kepadatan hunian dengan terjadinya ISPA seperti penelitian Irianto (2006) mengatakan bahwa kepadatan hunian berpengaruh pada besarnya kejadian ISPA, yaitu besarnya anak terkena ISPA adalah 2,27 kali lipat dari rumah yang padat penghuninya dibandingkan dengan rumah tidak padat penghuninya. Menurut Achmadi (2008) semakin tingginya kepadatan rumah, maka penularan penyakit khususnya melalui udara akan semakin cepat. b. Ventilasi Ventilasi dalam rumah berfungsi sebagai sirkulasi udara atau pertukaran udara dalam rumah karena udara yang segar dalam ruangan sangat dibutuhkan manusia. Ventilasi yang
buruk akan menimbulkan gangguan kesehatan pernapasan pada
penghuninya. Penularan penyakit saluran pernapasan disebabkan karena kuman didalam rumah tidak bisa tertukar dan mengendap sehingga ventilasi diharuskan 21
memenuhi syarat Menkes RI Nomor RI No.1077/MENKES/PER/V/2011 yakni luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai. Rumah yang mempunyai ventilasi yang tidak berfungsi dengan baik akan menghasilkan 3 akibat yaitu kekurangan oksigen, bertambahnya konsentrasi CO2 dan adanya bahan organik beracun yang mengendap dalam rumah. Menurut hasil penelitian Lindawaty (2010) mengatakan bahwa terdapat hubungan antara ventilasi terhadap kejadian ISPA pada balita dan resiko balita mengalami ISPA 3,07 kali lebih besar pada ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat dibandingkan dengan ventilasi yang memenuhi syarat. Oleh karena itu, memperoleh udara yang segar menurut Mudehir (2002) dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : 1. Ventilasi Alamiah Ventilasi alamiah adalah masuknya udara kedalam ruangan melalui jendela, pintu ataupun lubang angin yang sengaja dibuat untuk masuknya udara kedalam rumah. Ventilasi yang baik dalam suatu ruangan mempunyai persyaratan yaitu : a. Udara yang masuk melewati ventilasi adalah udara yang bersih/tidak tercemar oleh asap dapur, pembakaran sampah, kendaraan bermotor, atau sumber lain disekitar pemukiman. b. Rumah yang menggunakan lilin, lampu minyak sebagai penerangan didalam harus memerlukan ventilasi untuk menukar CO2 menjadi O2.
22
2. Ventilasi Buatan Ventilasi buatan yaitu sebuah alat yang digunakan didalam rumah untuk membersihkan udara yang bersifat portable seperti AC, exhauster, kipas angin, air purifing. c. Pencahayaan Pencahayaan matahari sangat penting, karena dapat membunuh bakteri patogen dalam rumah misalnya bakteri penyebab penyakit ISPA dan TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat di dalam ruangan rumah. Menurut WHO kebutuhan standar minimun cahaya alami yang memenuhi syarat kesehatan untuk kamar keluarga dan kamar tidur yaitu 60-120 lux. d. Kelembapan Kelembapan merupakan presentase kandungan uap air pada atmosfir. Jumlah uap yang terkandung di udara bervariasi tergantung cuaca dan suhu (Gertrudis, 2010). Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di lingkungan industri adalah berkisar antara 65% - 95%. Bila kelembaban udara ruang kerja > 95% perlu menggunakan alat dehumidifier dan bila kelembaban udara ruang kerja < 65% perlu menggunakan humidifier, misalnya mesin pembentuk aerosol (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002). Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di
23
rumah adalah berkisar antara 40 - 60% (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor : No.1077/MENKES/PER/V/2011). Menurut Mudehir (2002) terdapat hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita. kelembaban dalam rumah dapat dipengaruhi oleh konstruksi rumah yang tidak baik, ventilasi yang kurang, serta pencahayaan yang minim. Pada penelitian Lindawaty (2010) resiko antara kelembapan rumah balita terhadap kejadian ISPA didapatkan bahwa rumah yang dengan kelembaban tidak memenuhi syarat beresiko 2,98 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA dibanding dengan rumah balita yang memenuhi syarat. Kelembaban dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat atau oleh cuaca. Pada musim hujan kelembaban akan meningkat namun bila kondisi rumah baik seperti cahaya matahari dapat masuk, tidak terdapat genangan air, ventilasi udara yang cukup dapat mempertahankan kelembaban dalam rumah (Lindawaty, 2010) e. Suhu Suhu sangat berhubungan dengan kenyamanan dalam ruangan. Suhu rumah yang tinggi menyebabkan tubuh akan kehilangan garam sehingga akan terjadi kejang atau kram dan terjadinya perubahan metabolisme dan sirkulasi darah. Suhu dapat mempengaruhi konsentrasi pencemar udara tergantung pada keadaan cuaca tertentu. Suhu udara dalam rumah dapat berubah jika terjadi beberapa faktor seperti penggunaan bahan bakar, ventilasi tidak bagus, kepadatan hunian, kondisi topografi/geografis (Aprinda, 2007). Hasil Penelitian Fanji (2006) yang mengatakan
24
bahwa rumah dengan suhu tidak memenuhi syarat beresiko 36,49 kali menderita ISPA dibanding dengan rumah yang suhu udaranya memenuhi syarat. f. Letak dapur Dapur berfungsi sebagai tempat terjadinya pembakaran bahan bakar untuk memasak dan timbul panas, asap, atau debu sehingga dapur mempengaruhi kualitas udara dalam rumah. Penataan ruangan dalam rumah harus memperhatikan letak posisi dapur karena jika letak dapur berdekatan dengan ruang istirahat anak/ kamar anak akan mempengaruhi kesehatan anak. Hal ini sesuai dengan penelitian Citra (2012) yang menyatakaan bahwa balita yang tinggal didalam rumah dengan letak dapur menyatu/berada didalam rumah mempunyai resiko menderita pneumonia 5,2 kali dibandingkan dengan balita dengan letak dapur terpisah. dan diperburuk dengan ventilasi yang tidak baik akan menyebabkan terjadinya gangguan saluran pernafasan dan gangguan penglihatan (Lindawaty, 2003). g. Jenis Lantai Lantai merupakan media yang sangat baik bagi perkembang biakan bakteri. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam kondisi kering dan tidak lembab dan harus kedap air sehingga mudah dibersihkan. Jadi lantai seharusnya sudah diplester bahkan lebih baik lagi jika sudah di beri ubin/keramik. Menurut Ditjen PPM dan PL, 2002 rumah yang mempunyai lantai yang terbuat dari tanah cenderung menimbulkan lembab, dan pada musim panas lantai menjadi kering sehingga dapat menimbulkan
25
debu yang berbahaya bagi penghuni rumah. Rumah sehat memiliki lantai yang terbuat dari marmer, ubin, keramik, sudah diplester semen (Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1077/MENKES/PER/V/2011). Sehingga indikator lantai rumah yang tidak sehat mempunyai lantai yang berjenis lainya. Hasil uji statistik pada penelitian Lindawaty, 2010 menunjukkan bahwa jenis lantai yang tidak memenuhi syarat beresiko 2,15 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA dibanding dengan balita yang jenis lantainya memenuhi syarat. h. Jenis Dinding Dinding berfungsi sebagai pelindung rumah yang terbuat dari berbagai bahan seperti bambu, triplek, batu bata, dan dari berbagai bahan tersebut yang paling baik yaitu yang terbuat dari batu bata atau tembok. Dinding yang terbuat dari tembok bersifat permanen, tidak mudah terbakar dan kedap air. Rumah yang menggunakan dinding berlapis kayu, bambu akan menyebabkan udara masuk lebih mudah yang membawa debu-debu ke dalam rumah sehingga dapat membahayakan penghuni rumah bila terhirup terus-menerus terutama balita. Balita yang jenis dindingnya masih terbuat dari bahan yang tidak permanen seperti triplek, bambu, batu bata beresiko 1,51 kali lebih besar bagi balita terkena ISPA ( Lindawaty, 2010). 2.3.2
Faktor Sosial-Ekonomi
a. Pendidikan orang tua Pendidikan ibu berpengaruh terhadap informasi yang diterima mengenai kesehatan anak. Ibu dengan pendidikan tinggi akan menerima segala informasi
26
dengan mudah mengenai cara memelihara dan menjaga kesehatan anak serta gizi yang baik untuk anak. Berdasarkan pengaruh terhadap kesehatan dan prilaku seseorang peran pendidikan juga berpengaruh terhadap lingkungan, pelayanan kesehatan dan juga heriditas (Achmadi, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Citra (2011) dan Suptiaptini (2007) menyatakan bahwa ada hubungan antara pendidikan yang berkaitan dengan pengetahuan ibu terhadap ISPA pada balita. Ibu yang berpendidikan rendah (<SMA) cenderung tidak mengetahui gejala-gejala ISPA yang dialami oleh balita dan menganggap hal tersebut tidak terlalu berbahaya. Namun, menurut Fitri (2004) tidak ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan kejadian ISPA pada balita. Baik pendidikan tinggi maupun rendah hampir sama dalam menanggapi dan merespons serta mengambil tindakan ketika salah satu keluarga mengalami ISPA atau penyakit lain. b. Penghasilan orang tua Penghasilan orang tua mempengaruhi asupan makanan yang diterima dan pemerikasaan balita ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan. Orang tua yang berpenghasilan rendah cenderung jarang memikirkan mengenai kesehatan karena biaya yang mahal. Selain itu asupan gizi yang diberikan pada balita tidak sesuai dengan kebutuhan gizi yang seharusnya didapatkan oleh
balita. Hal ini akan
berpengaruh terhadap gizi balita yang cenderung menurun dan imnitas yang tidakk
27
terbentuk menyebabkan balita mudah terkena penyakit salah satunya penyakit saluran pernafasan atau ISPA. 2.3.3
Faktor Individu/Balita
a. Umur Balita Umur yang paling rawan adalah masa balita, oleh karena pada masa itu anak mudah sakit. Umur bayi kurang dari 1 tahun lebih cenderung mudah terkena ISPA dibanding dengan balita umur lebih dari 1 tahun (DepKes, 2000). Untuk keperluan perbandingan maka WHO menganjurkan pembagian umur menurut tingkat kedewasaan, interval lima tahun dan untuk mempelajari penyakit anak (Notoatmodjo, 2003). b. Status Gizi Balita Gizi adalah suatu proses organisme menggunakan makanan yang dikonsumsi secara normal melalui proses digesti, absorpsi, transportasi, penyimpanan, metabolisme dan pengeluaran zat-zat yang tidak digunakan untuk mempertahankan kehidupan, pertumbuhan, dan fungsi normal dari organ-organ serta menghasilkan energi. Seorang anak yang kekurangan gizi akan mengakibatkan terjadinya defisiensi gizi yang merupakan awalan dari gangguan sistem kekebalan tubuh. Penilaian status gizi dilakukan menggunakan antropometri yakni : berat badan menurut umur (weight-for-age), panjang badan menurut umur (height-for-age), berat badan menurut tinggi badan (weight-for-height), lingkar lengan atas kiri (left midupper arm circumference). Masing-masing indikator itu memberikan penjelasan
28
tentang status gizi bayi dan anak-anak. Indikator protein-Energy Malnutrition (PEM) yang paling sering dipakai adalah berat badan menurut umur. Nilai rendah angka indikator berat badan menurut umur mencerminkan terjadinya adaptasi anak terhadap gangguann gizi jangka panjang dan jangka pendek. Defisit pertumbuhan linier yang diindikasikan ukuran antropometri tinggi badan menurut umur baru akan terjelma manakala defisiensi telah berlangsung lama sehingga tidak termanifestasi semasa bayi (DepKes, 2002). Balita yang mengalami kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respons imunologis terhadap penyakit dan keracunan (Soemirat, 2000). Pada hasil penelitian yang dilakukan Gertrudis, 2010 diperoleh bahwa balita beresiko 2,5 kali lebih besar mengalami ISPA dengan status gizi kurang karena daya tahan tubuh akan berbagai virus lemah. Pada keadaan balita mengalami gizi kurang, balita cenderung mengalami ISPA berat dan seranganya lebih lama ( DepKes RI, 2006). Sebaliknya, menurut penelitian yang dilakukan oleh Muhedir (2002), dan Irianto (2004) mengatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA. Menurut Almatsler (2003), timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan karena asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapatkan cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makanan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah sehingga mudah terserang penyakit.
29
c. Imunisasi Balita Imunisasi pada balita diberikan untuk menjaga kesehatan balita dimana cenderung mudah terkena berbagai macam penyakit. Pemberian imunisasi dimulai sejak lahir hingga umur 5 tahun (Depkes, 2005). Terdapat 2 imunisasi, yaitu imunisasi aktif adalah dimana tubuh anak sendiri yang membuat zat anti yanhg akan bertahan selama bertahun-tahun. Dan imunisasi pasif adalah tubuh anak tidak membuat sendiri zat anti, tetapi didapatkan dari luar tubuh dengan cara penyuntikan zat anti dari ibunya semasa dalam kandungan (Mudehir, 2002). Pemberian imunisasi bertujuan untuk mengurangi angka kesakitan dan kematian akibat beberapa penyakit yakni TBC, Difteri tetanus, Batuk rejan, Poliomelitis, Tifus, Campak, Hepatitis B dan demam kuning (Nur, 2004). Menurut hasil penelitian Wattiimena (2004) anak yang imunisasi belum lengkap mempunyai resiko 1,18 kali lebih besar untuk terkena ISPA dibandingkan dengan anak yang telah di imunisasi campak atau pernah menderita campak. Dengan imunisasi campak dan imunisasi pertusis (DPT) yang efektif sekitar 11% dan 6% kematian penumonia balita dapat dicegah. Infeksi virus campak pada saluran pernafasan dapat menyebabkan terjadinya kerusakan pada mukosa. Pada umumnya komplikasi penyakit campak dapat menyebabkan terjadinya diare kronis dan pneumonia. Oleh karena itu, berikut beberapa vaksin yang harus dilengkapi bagi anak untuk menghindari berbagai penyakit yakni :
30
a) Vaksinasi BCG
Vaksinasi BCG diberikan pada bayi umur 0-12 bulan secara suntikan intrakutan dengan dosis 0,05 ml. Vaksinasi BCG dinyatakan berhasil apabila terjadi tuberkulin konversi pada tempat suntikan. Ada tidaknya tuberkulin konversi tergantung pada potensi vaksin dan dosis yang tepat serta cara penyuntikan yang benar. Kelebihan dosis dan suntikan yang terlalu dalam akan menyebabkan terjadinya abses ditempat suntikan. Untuk menjaga potensinya, vaksin BCG harus disimpan pada suhu 20C (Depkes RI, 2005).
b) Vaksinasi DPT
Kekebalan terhadap penyakit difteri, pertusis dan tetanus adalah dengan pemberian vaksin yang terdiri dari toksoid difteri dan toksoid tetanus yang telah dimurnikan ditambah dengan bakteri bortella pertusis yang telah dimatikan. Dosis penyuntikan 0,5 ml diberikan secara subkutan atau intramuscular pada bayi yang berumur 2-12 bulan sebanyak 3 kali dengan interval 4 minggu. Reaksi spesifik yang timbul setelah penyuntikan tidak ada. Gejala biasanya demam ringan dan reaksi lokal tempat penyuntikan. Bila ada reaksi yang berlebihan seperti suhu yang terlalu tinggi, kejang, kesadaran menurun, menangis yang berkepanjangan lebih dari 3 jam, hendaknya pemberian vaksin DPT diganti dengan DT. (Depkes RI, 2005).
31
c) Vaksinasi Polio
Untuk kekebalan terhadap poliomyelitis diberikan 2 tetes vaksin polio oral yang mengandung virus polio tipe 1, 2 dan 3 dari suku Sabin. Vaksin yang diberikan melalui mulut pada bayi umur 2-12 bulan sebanyak 4 kali dengan jarak waktu pemberian 4 minggu (Depkes RI, 2005)
d) Vaksinasi Campak
Vaksin yang diberikan berisi virus campak yang sudah dilemahkan dan dalam bentuk bubuk kering atau freeseried yang harus dilarutkan dengan bahan pelarut yang telah tersedia sebelum digunakan. Suntikan ini diberikan secara subkutan dengan dosis 0,5 ml pada anak umur 9-12 bulan. Dinegara berkembang imunisasi campak dianjurkan diberikan lebih awal dengan maksud memberikan kekebalan sedini mungkin, sebelum terkena infeksi virus campak secara alami. Pemberian imunisasi lebih awal rupanya terbentur oleh adanya zat anti kebal bawaan yang berasal dari ibu (maternal antibodi), ternyata dapat menghambat terbentuknya zat kebal campak dalam tubuh anak, sehingga imunisasi ulangan masih diberikan 4-6 bulan kemudian. Maka untuk Indonesia vaksin campak diberikan mulai anak berumur 9 bulan (Depkes RI, 2005).
Berdasarkan beberapa penelitian yang dillakukan oleh Lindawaty (2010) dalam melihat hubungan faktor individu (status gizi dan status imunisasi) menunjukkan
32
adanya hubungan bermakna antara status gizi dengan kejadian ISPA pada Balita dimana balita dengan status gizi kurang mempunyai resiko 2,5 kali untuk mengalami kejadian ISPA dibanding dengan status gizi baik. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Mudehir (2002), Wattimena (2002), Kristina (2011) bahwa ada hubungan status gizi terhadap ISPA pada balita. Balita yang mempunyai status gizi yang kurang mudah terserang oleh bakteri, virus yang masuk melalui saluran pernafasan dan menyebabkan gangguan pernafasan pada balita salah satunya ISPA. d. Pemberian ASI ASI merupakan makanan utama bagi bayi yang bersifat alamiah. ASI mengandung bebagai zat gizi yang dibutuhkan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan bayi serta mengandung antibodi yang dapat membantu bayi membangun sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai macam sumber penyakit. Manfaat yang dapat diberikan dari pemberian ASI eksklusif pada bayi yaitu dapat melindungi bayi dari penyakit diare, infeksi pernafasan, kegemukan, infeksi kandung kemih, infeksi telinga dan lainya (Sinaga, 2012). ASI mengandung Immunoglobulin yang dapat mencegah bayi dari penyakit infeksi dan mengandung rangkaian asam lemak tak jenuh yang sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Selain praktis, ASI juga mudah dicerna, bersih dan aman bagi bayi. Pada penelitian Rahayu, 2011 terdapat hubungan antara bayi yang tidak mendapatkan ASI eksklusif dengan kejadian ISPA pada balita. Hasil studi yang menunjukkan bahwa ASI merupakan faktor protektif terhadap kejadian ISPA
33
yaitu pada penelitian Sinaga (2012) yang mengatakan bahwa ASI memiliki daya protektif terhadap kejadian ISPA pada bayi umur 0-4 bulan. 2.3.4 Faktor Perilaku Pencemaran udara dalam rumah terjadi akibat adanya polutan dalam rumah yang konsentrasinya dapat beresiko menimbulkan gangguan kesehatan penghuni rumah (DepKes RI, 2011). Pencemaran udara dalam rumah terjadi akibat prilaku penghuni rumah yang tidak sehat. Faktor perilaku dalam pencegahan dan penanggulangan penyakit ISPA pada bayi dan balita lebih efektif dilakukan oleh keluarga baik yang dilakukan oleh ibu atau keluarga yang tinggal dalam satu rumah. Keluarga sangat mempengaruhi munculnya penyakit didalam rumah. Bila salah satu keluarga mengalami gangguan kesehatan yang bersifat menular maka akan mempengaruhi anggota keluarga lainya. Peran keluarga sangat penting dalam menangani ISPA karena penyakit ISPA termasuk dalam penyakit yang sering diderita sehari-hari didalam keluarga/ masyarakat. Hal ini menjadi fokus perhatian keluarga karena penyakit ISPA sangat sering diderita oleh balita, sehingga ibu balita dan anggota keluarga uang sebagian besar dekat dengan balita harus mengetahui gejala-gejala balita terkena ISPA. Dalam penanganan ISPA tingkat keluarga keseluruhanya dapat dogolongkan menjadi 3(tiga) kategori yaitu perawatan oleh ibu balita, tindakan yang segera dan pengamatan tentang perkembangan penyakit balita, pencarian pertolongan pada pelayanan kesehatan. Sebagian besar keluarga tidak mengetahui dari kebiasaan yang sering
34
dilakukan dapat menimbulkan pencemaran udara dalam rumah dan berpengaruh terhadao kesehatan balita seperti : a. Kebiasaan merokok Merokok merupakan kebiasaan yang sering dilakukan oleh penghuni rumah terutama oleh bapak-bapak. Cenderung bapak-bapak merokok didalam rumah sambil istirahat seperti menonton tv, membaca koran dan sebagainya. Asap rokok yang dikeluarkan adalah gas beracun dari hasil pembakaran produk tembakau yang biasa mengandung Poliyclinic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) yang berbahaya bagi kesehatan (DepKes RI, 2011). Asap rokok yang di keluarkan oleh seorang perokok mengandung bahan toksik yang berbahaya dan akan menimbulkan penyakit serta menambah resiko kesakitan dari bahan toksik tersebut (Kusnoputranto, 2000). Dari hasil penelitian Citra (2012) mengemukakan bahwa perokok pasiflah yang mengalami resiko lebih besar daripada perokok aktif. Anak-anak yang keluarganya terdapat perokok lebih rentan terkena penyakit gangguan pernafasan dibanding dengan anak-anak yang bukan keluarga perokok. Pada hasil uji statistik penelitian Lindawaty (2010) menyatakan bahwa balita yang tinggal bersama penguni yang merokok beresiko 2,04 kali lebih besar terkena ISPA dibanding dengan balita yang tidak terdapat penghuni rumah yang merokok. Oleh karena itu untuk melindungi bayi/anak-anak dari asap rokok perlu diusahakan untuk tidak merokok didalam rumah, atau menyediakan tempat khusus bagi keluarga yang merokok supaya asap tidak tersebar ke ruangan lain didalam rumah.
35
Asap rokok dari seseorang yang merokok dalam rumah, tidak saja merupakan bahan pencemaran dalam ruang yang serius melainkan juga akan menyebabkan kesakitan dari toksik yang lain dan anak-anak yang terpapar asap rokok dapat menimbulkan gangguan pernapasan terutama memperberat timbulnya Infeksi Saluran Pernapaasan Akut dan gangguan paru-paru pada waktu dewasa nanti ( Avrianto, 2006). Menurut penelitian Wattimena (2004) bahwa rumah yang penghuninya mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada balita 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang penghuninya tidak merokok. b. Bahan bakar memasak Di zaman yang semakin berkembang , bahan bakar memasak beraneka ragam mulai dari penggunaan minyak tanah, gas, atau listrik. Saat ini penggunaan kayu sudah sangat jarang ditemukan di kota-kota besar di Indonesia. Masyarakat yang masih menggunakan bahan bakar selain gas cenderung takut dikarenakan ledakan gas yang sering terjadi sehingga memilih bahan bakar yang aman seperti minyak tanah dan kayu bakar bagi pedesaan. Namun akibat penggunaan bahan bakar tersebut, dapat menyebabkan resiko terjadinya pencemaran udara hasil pembakaran didalam rumah. Keadaan tersebut diperburuk dengan tidak adanya ventilasi dalam rumah sehingga asap sisa pembakaran atau debu yang dihasilkan tidak keluar melainkan mengendap didalam rumah (DepkKes RI, 2011). Partikel debu yang dihasilkan dari pembakaran tersebut mengandung unsur-unsur kimia, seperti timbal, besi, mangan, arsen,
36
cadmium dimana jika terhirup atau masuk langsung ke pernafasan dapat menempel diparu-paru. Paparan partikel dengan kadar yang tinggi akan menimbulkan edema pada trachea, bronchus, dan bronchiolus. Hasil Cahya (2011) menyatakan bahwa pencemaran udara akibat penggunaan bahan bakar dimungkinkan berperan walaupun kecil. Rumah dengan bahan bakar minyak tanah memberikan kesempatan 3,8 kali lebih besar balita terkena ISPA dibandingkan dengan bahan bakar gas. c. Penggunaan obat nyamuk. Pengendalian dan pemberantasan nyamuk dalam rumah sebagaian masyarakat cenderung menggunakan obat nyamuk yang terbuat dari bahan insektisida yang disemprot dan obat nyamuk bakar. Semakin maraknya merk-merk obat penghilang nyamuk didalam rumah untuk mengusir vektor nyamuk. Terpengaruhnya masyarakat dengan berbagai merk obat nyamuk membuat konsumsi akan obat nyamuk hampir disetiap rumah warga. Walaupun tujuan dari obat nyamuk tersebut baik, namun terdapat dampak yang harus diperhatikan oleh penguni rumah. Obat nyamuk mengandung bahan-bahan kimia yang sulit terurai dalam waktu cepat. Jika obat nyamuk itu mengendap setiap hari di bantal-atau tempat tidur manusia dan terhirup akan berdampak pada gangguan kesehatan baik bersifat kronik ataupun akut. Sehingga perlu diperhatikan intensitas penggunaan obat nyamuk tersebut.
37
Hasil Penelitian Safwan (2003) yang menyatakan bahwa balita yang tingga didalam rumah yang menggunakan bahan bakar minyak tanah atau kayu berpeluang menderita ISPA sebanyak 2,235 kali lebih tinggi dibanding dengan balita yang tinggal didalam rumah yang menggunakan bahan bakar gas. Selain itu,menurut Wattimena (2004) mengatakan bahwa ada hubungan antara kebiasaan merokok dalam rumah terhadap ISPA pada balita. Rumah yang penghuninya mempunyai kebiasaan merokok dalam rumah berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada balita sebsar 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang penghuninya tidak merokok didalam rumah.
38
2.4 Kerangka Teori
Faktor Perilaku : a. Kebiasaan merokok
Faktor Lingkungan
b. Bahan bakar masak a. Rumah :
Kepadatan Hunian
Ventilasi udara
Pencahayaan rumah
Kelembapan
Suhu dalam ruang
Letak dapur
Lantai rumah
Dinding rumah
c. Penggunaan obat nyamuk.
INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT(ISPA)
Faktor Individu Balita : b. Sosial-Ekonomi
a. Umur Balita
a. Pendidikan orang tua
b. Status Gizi Balita
b. Pekerjaan orang tua
c. Imunisasi Balita d. Pemberian ASI
Bagan 2.1 Kerangka Teori
Sumber : Modifikasi Hendrik L.Blum dalam Notoatmodjo (2003); Depkes RI, (2004); World Bank (2006) dan peneliti lain.
39
BAB III KERANGAKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
.3.1 KERANGKA KONSEP Berdasarkan kerangka teori yang ada, dalam studi ini peneliti ingin melihat hubungan faktor pelayanan kesehatan/individu balita, lingkungan fisik rumah, faktor perilaku dan faktor sosial terhadap ISPA pada balita. Berdasarkan teori H.L Blum derajat kesehatan sesorang dipengaruhi oleh beberapa faktor yakni pelayanan kesehatan genetik, lingkungan dan perilaku. Variabel yang diambil dari keempat faktor tersebut adalah variabel yang paling berhubungan atau signifikan yang dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya yakni status gizi, pemberian ASI ekslusif menurut Mudehir (2002); kepadatan hunian, kelembapan ,ventilasi menurut Cahya (2011) ; kebiasaan merokok berhubungan dengan polusi udara dalam rumah menurut Avrianto (2006); kemudian pendidikan orang tua terkait pengetahuan yang didapat megenai penyakit ISPA dan cara penanggualnganya penyakit pada anak. Oleh karena itu, peneliti mengambil beberapa variabel independen tersebut berdasarkan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa ada hubungan masing-masing variabel dengan kejadian ISPA pada balita.
40
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Faktor individu balita :
Status gizi
Pemberian ASI eksklusif
Faktor Lingkungan dalam Rumah :
Kepadatan Hunian Rumah
Ventilasi rumah
Kelembaban udara
ISPA Faktor Perilaku :
Kebiasaan merokok
Faktor Sosial:
Pendidikan orang tua
41
3.2 DEFINISI OPERASIONAL Variabel Dependen No
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
1.
ISPA pada
Balita yang mengalami gangguan wawancara kuisioner
Balita
penyakit infeks saluran pernafasan
Skala Ukur
Kategori
Ordinal
0= Mengalami ISPA 1=Tidak Mengalami ISPA
akut atas pada anak berusia 1-5 tahun (Depkes RI, 2007) Variabel Independen 1.
Kelembaban
Persentase kandungan uap air udara Pengu-
Hygrometer
Ordinal
0=Tidak memenuhi syarat (TMS), jika
dalam ruangan tempat balita tidur kuran
kelembaban dalam ruang kelas <40%atau
(Keputusan Menteri Kesehatan RI
>60% (DepKes RI, 2011)
Nomor : 829/Menkes/SK/VII/1999)
1=Memenuhi syarat (MS), jika kelembaban dalam ruang kelas 40-60% (Permenkes RI No.1077/MENKES/PER/V/2011)
2.
Kepadatan
Perbandingan luas lantai rumah(m2 ) Pengu-
Kuisioner dan
hunian rumah
dengan
rollmeter
jumlah
orang
rumah. (Kepmenkes,1999)
penghuni kuran dan wawancara
42
Ordinal
0=Tidak memenuhi syarat(TMS) (10m2/orang) 1=Memenuhi syarat(MS) (.>10m2 /orang)
3.
Ventilasi
Perbandingan
luas
lantai
kamar Observasi
rollmeter
Ordinal
0=Tidak memenuhi syarat (TMS), jika
dengan luas jendela dan lubang angin dan
luas ventilasi<10% dari luas lantai
kamar balita dan lubang angin yang pengukuran
1=Memenuhi syarat (MS), jika luas
dapat menghubungkan udara dalam
ventilasi≥10% dari luas lantai
rumah dengan udara luar di ruangan tidur balita .(Kepmenkes,1999). 4
Status Gizi
Keadaan gizi anak balita saat
Wawancar,
Timbangan
dilakukan penelitian diukur
pengukuran
dan daftar
berdasarkanBB/U.
Ordinal
0= Gizi Kurang(-3,0 SD s/d -2SD) 1= Gizi Baik (-2,0 SD s/d +3SD)
pertanyaan
(1995/MENKES/SK/XII/2010) 5.
6.
Kebiasaan
Ada atau tidaknya anggota keluarga Wawancara
Daftar
merokok
yang merokok didalam rumah.
pertanyaan
Pendidikan
Pendidikan
orang tua
diselesaikan orang tua.
formal
yang
sudah Wawancara
Daftar
Ordinal
O= Ada 1= Tidak
Ordinal
pertanyaan
0=Rendah ( Tidak Sekolah, Tamat SD, SMP, SMA) 1=Tinggi ( Tamat D3, Sarjana)
7.
Pemberian Asi Pemberian Asi yang dilakukan oleh Wawancara
Daftar
Ekslusif
pertanyaan
ibu selama kurun waktu 6 bulan tanpa disertai makanan tambahan.
43
Ordinal
0= Tidak ( kurang dari 6 bulan) 1= Ya (6 bulan atau lebih)
3.3 HIPOTESIS 1. Ada hubungan antara ventilasi terhadap ISPA di Kelurahan Ciputat, Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 2. Ada hubungan antara kepadatan hunian terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013.. 3. Ada hubungan antara kelembaban terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 4. Ada hubungan status gizi terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 5. Ada hubungan pemberian ASI ekslusif terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahunn 2013. 6. Ada hubungan kebiasaan merokok terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013. 7. Ada hubungan pendidikan orang tua terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan tahun 2013.
44
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian Metode penelitian yang digunakan yaitu survei analitik atau penelitian yang mencoba menggali bagaimana dan mengapa fenomena kesehatan itu terjadi. Kemudian melakukan analisis dinamika korelasi antara fenomena/ faktor resiko dengan efek atau akibat dari adanya faktor resiko. Faktor resiko adalah faktor-faktor yang mengakibatkan terjadinya efek (pengaruh). Dalam penelitian ini, faktor resiko yang disebut sebagai variabel independen meliputi kebiasaan merokok, status gizi, pemberian asi ekslusif dan status imunisasi, kepadatan hunian, ventilasi rumah, kelembapan dan pendidikan orang tua. Penelitian ini menggunakan pendekatan Cross Sectional yaitu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dan efek dengan observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat/ point time (Notoatmodjo, 2010). 4.2 Populasi dan Sampel 4.2.1 Populasi Populasi pada studi ini adalah semua balita dengan umur 1-5 tahun yang berada di kelurahan Ciputat periode bulan Agustus tahun 2013 dengan responden ibu balita. 45
4.2.2 Sampel Sampel pada penelitian ini adalah anak balita yang berumur 1-5 tahun yang melakukan pemeriksaan ke Posyandu bulan terakhir yakni Juli/Agustus yang ada dikelurahan Ciputat. Perhitungan jumlah sampel balita yang akan diambil diperoleh dengan rumus besar sampel menurut Lemeshow (1997) dengan menggunakan rumus uji hipotesis beda dua proporsi, yaitu :
Keterangan : n
: Jumlah sampel minimal yang diperlukan
P1
: Proporsi variabel kebiasaan merokok didalam rumah balita yang mengalami ISPA sebesar 61% ( Irianto, 2006)
P2
: Proporsi variabel kebiasaan tidak merokok didalam rumah balita yang mengalami ISPA sebesar 34,6% (Irianto, 2006)
P
: Rata-rata proporsi
Z1-α/2 : Derajat kemaknaan α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5%=1,96 Z1-β
: Kekuatan uji 1-β yaitu sebesar 80%=0,84 Tabel 4.2.3 Hasil Perhitungan Sampel
Variabel Kelembapan P1: Tidak Memenuhi Syarat P2: Memenuhi Syarat
P1 0,778
P2 0,271
46
α (%) 5 10 1
β (%) 80
N 12 9 19
(Fidiani,2006)
5 90 16 10 12 1 24 Status Gizi 0,821 0,435 5 80 18 P1: Gizi Kurang 10 13 P2: Gizi Baik 1 30 (Wattimena,2004) 5 90 38 10 19 1 25 Ventilasi 0,714 0,353 5 80 23 P1: Tidak Memenuhi Syarat 10 17 P2:Memenuhi Syarat 1 37 (Wattimena,2004) 5 90 31 10 24 1 48 Kebiasaan Merokok 0,602 0,341 5 80 44 P1: Ada 10 32 P2:Tidak Ada 1 71 (Irianto,2006) 5 90 60 10 46 1 91 Berdasarkan hasil perhitungan sampel pada tabel diatas, jumlah sampel yang akan diambil adalah yang paling besar yakni 44 orang (P1: kebiasaan merokok didalam rumah balita yang mengalami ISPA dan P2: Proporsi kebiasaan tidak merokok didalam rumah balita yang mengalami ISPA) pada α : 5% dan β : 80%). Dari hasil tersebut kemudian dilakukan perhitungan sampel minimal dengan menggunakan perbandingan dari hasil Lindawaty, 2003 yaitu hasil dari responden yang tidak mengalami ISPA sebesar 49,7% : 44 = N= N = 88 balita
47
Jadi total keseluruhan sampel yang akan diambil yaitu 88 balita di seluruh kelurahan Ciputat. 4.2 Pengambilan Sampel Pengambilan sampel dilakukan di Kelurahan Ciputat dengan data Posyandu di masing-masing RW terhadap responden ibu balita dengan tahapan sbb : 1. Jumlah balita (populasi balita) diambil dari 13 RW dengan data posyandu di Kelurahan Ciputat. 2. Balita tercatat melakukan pemeriksaan di Posyandu terakhir pada bulan Agustus 2013. 3. Sampel diambil dengan membagi jumlah populasi dengan jumlah sampel untuk mendapatkan interval sampel. Interval yang didapat yakni 6. Jadi dihitung dari no.1 populasi sampai no.6 dijadikan nomor sampel 1 seterusnya dilakukan sampai nomor urut sampel 88. 4.3 Jenis Data Berdasarkan sumbernya, data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1.
Data primer adalah data yang dikumpulkan peneliti yang diperoleh secara langsung dari responden ibu balita berupa kuisioner dengan melakukan wawancara.
2.
Data sekunder yaitu data yang bersumber dari instansi (pihak tertentu) melalui data Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Data Puskesmas Ciputat, Data Kelurahan, Data Posyandu.
48
4.4 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian akan dilakukan di Kelurahan Ciputat Kota Tangerang Selatan dari bulan Agustus-September 2013 mulai dari tahap pengumpulan sampai laporan hasil. 4.5 Pengumpulan Data Pengumpulan data masing-masing variabel dilakukan dengan beberapa cara yakni: 1. Kelembapan dengan hygrometer. 2. Ratio ventilasi menggunakan rollmeter 3. Kepadatan Hunian rumah dengan meteran dan daftar pertanyaan. 4. Kebiasaan merokok dengan wawancara. 6. Status Gizi balita berdasarkan BB/U 7. Pendidikan dengan kusioner. 8. ISPA dengan kusioner. 4.6 Pengolahan Data Semua data yang telah terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah melalui tahap-tahap sebagai berikut: 1. Variabel yang sudah dikategorikan sesuai dengan definisi operasional, diinput kedalam SPSS untuk dilakukan pengolahan data. 2. Variabel dependen dan independen dipindahkan didalam variabel view dan kemudian pindah ke data view untuk menginput hasil pengkategorikan (0/1).
49
3. Setelah semua hasil dimasukan, kemudian lakukan analisis univariat untuk mengetahui frekuensi masing-masing variabel dengan cara Klik Analyze, pilih Descriptive Statistics, pilih Frequencies . Kemudian masukan satu persatu variabel yang akan dilihat kemudian akan muncul di output spss. 4. Setelah melakukan analisis univariat, kemudian lakukan analisis bivariat dengan uji chi-square untuk melihat hubungan variabel independen dengan variabel dependen dengan cara Klik Analyze, Pilih Descriptive Statistics, Pilih Crosstab .Kemudian masukan satu persatu di kolom independen variabel yang akan dilihat dengan variabel dependen ISPA. 4.7 Analisa Data 1. Analisis Univariat Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan karakteristik masingmasing variabel dependen dan independen. Mengingat pada penelitian ini menggunakan data kategorik maka hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi. 2. Analisis Bivariat Tujuan analisis bivariat dalam penelitian ini adalah untuk melihat hubungan faktor lingkungan fisik rumah, faktor individu balita, faktor prilaku, faktor sosial sebagai variabel independen terhadap ISPA pada balita. Uji yang digunakan yaitu Chi-Square , dengan nilai tingkat kemaknaan adalah 5%. Apabila nilai p<α maka hasilnya bermakna secara statistik atau terdapat hubungan antara variabel dependen dengan independen ,sedangkan bila nilai p> α 50
maka hasilnya tidak bermakna atau tidak terdapat hubungan antara variabel independen dengan dependen.
51
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Gambaran Umum Kelurahan Ciputat Kelurahan Ciputat merupakan salah satu Kelurahan yang berada di Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Luas wilayah Kelurahan Ciputat ±183,34 Ha/km2 dengan kondisi geografis penuh dengan pemukiman masyarakat. Adapun batas wilayah Kelurahan Ciputat adalah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Kelurahan Sawah Lama
Sebelah Selatan
: Kelurahan Pondok Cabe Ilir
Sebelah Barat
: Kelurahan Kedaung & Kelurahan Pamulang Timur
Sebelah Timur
: Kelurahan Cempaka Putih/Kelurahan Cipayung
Jumlah Penduduk di Kelurahan Ciputat yang dibagi berdasarkan jenis kelamin yakni laki-laki sebanyak 9.780 jiwa dan perempuan sebanyak 9.100 jiwa dengan jumlah total yakni 18.880 jiwa. Jumlah RW dikelurahan Ciputat sebanyak 15RW, 55RT, dan 4.718 KK . Berdasarkan jenis pekerjaan sebagaian besar penduduk di Kelurahan Ciputat bekerja sebagai karyawan swasta sebanyak 20% , dan buruh sebanyak 16,6%.
52
5.2 Hasil Analisis Univariat Analisis univariat dilakukan untuk mengetahui gambaran frekuensi dari setiap variabel dependen dan independen pada 88 balita yang berasal dari hasil statistik data primer di Kelurahan Ciputat tahun 2013 sebagai berikut : 5.2.1
Gambaran Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase ISPA pada balita di
kelurahan Ciputat sebagai berikut : Tabel 5.1 Distribusi ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013 Balita
Frekuensi
Presentase
Mengalami ISPA
45
51,1%
Tidak Mengalami ISPA
43
48,9%
Jumlah
88
100%
Pada tabel 5.1 didapat presentase balita yang mengalami ISPA sebesar 45 balita (51,1%) dan 43balita(48,9%) tidak mengalami ISPA. 5.2.2
Gambaran Status Gizi Balita Berdasarkan hasil yang diperoleh menunjukan presentase
balita di kelurahan Ciputat sebagai berikut :
53
status gizi pada
Tabel 5.2 Distribusi Status Gizi di Kelurahan Ciputat tahun 2013 Status Gizi
Frekuensi
Presentase
Gizi Kurang
14
15,9%
Gizi Baik
74
84,1%
Jumlah
88
100%
Pada tabel 5.2 didapatkan bahwa sebanyak 14 balita (15,9%) mengalami gizi kurang dan 74 balita (84,1%) mengalami gizi baik. 5.2.3
Gambaran Status Imunisasi Hasil pengolahan data status imunisasi pada balita di kelurahan Ciputat
menunjukan presentase sebagai berikut : Tabel 5.3 Distribusi Status Imunisasi di Kelurahan Ciputat tahun 2013 Status Imunisasi
Frekuensi
Presentase
Tidak Lengkap
7
8%
Lengkap
81
92%
Jumlah
88
100%
Pada tabel 5.3 didapatkan bahwa
81 balita (92%)
sudah mendapatkan
imunisasi dasar lengkap yakni BCG, DPT, Polio, dan campak dan 7 balita (8%) belum mendapatkan imunisasi lengkap.
54
5.2.4
Gambaran Asi Eksklusif
Hasil pengolahan data berikut menunjukkan presentase pemberian Asi Eksklusif pada balita dikelurahan Ciputat sebagai berikut : Tabel 5.4 Distribusi Pemberian Asi Eksklusif pada Balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013 Asi Ekslusif Frekuensi Presentase Tidak
69
78,4%
Ya
19
21,6%
Jumlah
88
100%
Berdasarkan tabel 5.4 didapatkan bahwa dari 88 balita, 69 balita (78,4%) tidak diberikan Asi Eksklusif dan 19 balita (21,6%) diberikan Asi Eksklusif. 5.2.5
Gambaran Kelembaban Hasil perhitungan statistik menunjukkan presentase kelembaban kamar tidur
balita dikelurahan Ciputat sebagai berikut : Tabel 5.5 Distribusi Kelembaban kamar tidur Balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013 Kelembaban Frekuensi Presentase Tidak Memenuhi Syarat
13
14,8%
Memenuhi Syarat
75
85,2%
Jumlah
88
100%
55
Hasil penelitian pada tabel 5.5
menunjukan bahwa dari 88 kamar balita
dikelurahan Ciputat, 13 kamar balita (14,8%) memiliki kelembaban yang tidak memenuhi syarat yakni 40% - 70% & 75 balita (85,2%) memiliki kelembaban memenuhi syarat yakni 40% - 70%. 5.2.6
Gambaran Ventilasi Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, gambaran ventilasi rumah balita
dikelurahan Ciputat sebagai berikut : Tabel 5.6 Distribusi Ventilasi Rumah Balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013 Ventilasi
Frekuensi
Presentase
Tidak Memenuhi Syarat
51
58%
Memenuhi Syarat
37
42%
Jumlah
88
100%
Hasil uji statistik pada tabel 5.6 diperoleh gambaran sebesar 51 rumah balita (58%) memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat (<10% dari luas rumah) dan 37 rumah balita (42%) memiliki ventilasi yang memenuhi syarat yang ditentukan yakni >10% dari luas tanah. 5.2.7
Gambaran Kepadatan Hunian Dibawah ini presentase hasil perhitungan variabel kepadatan hunian di
kelurahan Ciputat sebagai berikut :
56
Tabel 5.7 Distribusi Kepadatan Hunian Rumah Balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013 Kepadatan Hunian
Frekuensi
Presentase
Tidak Memenuhi Syarat
58
65,9%
Memenuhi Syarat
30
34,1%
Jumlah
88
100%
Pada tabel 5.7 sebanyak 58 rumah balita (65,9%) padat penghuni/tidak memenuhi syarat yang ditetapkan yakni <10m2/org dan 30 (34,1%) rumah balita memenuhi syarat kepadatan hunian yakni >10m2/org. 5.2.8
Gambaran Kebiasaan Merokok Hasil perhitungan yang dilakukan pada variabel kebiasaan merokok penghuni
rumah di kelurahan Ciputat sebagai berikut : Tabel 5.8 Distribusi Kebiasaan Merokok Penghuni Rumah di Kelurahan Ciputat tahun 2013 Kebiasaan Merokok
Frekuensi
Presentase
Ada
54
61,8%
Tidak Ada
34
38,6%
Jumlah
88
100%
57
Pada tabel 5.8 terlihat sebanyak 54 rumah balita (61,4%) terdapat penghuni rumah yang merokok dan 34 rumah balita (38,6%) tidak terdapat penghuni rumah yang merokok. 5.2.9
Gambaran Pendidikan Orang Tua Dari hasil uji statistik yang dilakukan pada variabel pendidikan orang tua balita
di Kelurahan Ciputat sebagai berikut : Tabel 5.9 Distribusi Pendidikan Orang Tua Balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013 Pendidikan Orang Tua
Frekuensi
Presentase
Rendah
47
53,4%
Tinggi
41
46,6%
Jumlah
88
100%
Tabel 5.9 menunjukan sebanyak 47 orang tua balita (53,4%) berpendidikan rendah (tidak sekolah, tamat SD, dan SMP) dan 41 orang tua balita (46,6%) berpendidikan tinggi (lulus SMA, D3, S1). 5.2.10 Gambaran Penggunaan Bahan Bakar Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada variabel penggunaan bahan bakar dirumah balita didapat data sebagai berikut :
58
Tabel 5.10 Distribusi Penggunaan Bahan Bakar dalam rumah Balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013 Bahan Bakar
Frekuensi
Persentase
Kayu/Minyak Tanah
4
4,5%
Gas
84
95,5%
Jumlah
88
100%
Didapat hasil perhitungan sampel pada tabel 5.10 diperoleh data sebanyak 4 rumah (4,5%) ibu balita masih menggunakan minyak tanah dan 84 rumah (95,5%) sudah menggunakan gas untuk memasak 5.2.11 Gambaran Penggunaan Obat Nyamuk Bakar Dibawah ini hasil persentase yang dilakukan pada variabel penggunaan obat nyamuk bakar di rumah balita sebagai berikut : Tabel 5.11 Distribusi Penggunaan Obat Nyamuk Bakar di Kelurahan Ciputat tahun 2013 Bahan Bakar
Frekuensi
Per sentase
Menggunakan
9
10,2%
Tidak Menggunakan
79
89,8%
Jumlah
88
100%
Pada tabel 5.11 diperoleh sebanyak 9 rumah (10,2%) rumah balita menggunakan obat nyamuk bakar setiap hari dan menggunakan obat nyamuk bakar. 59
79 rumah (89,8%) tidak
5.3 Hasil Analisis Bivariat Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen (status gizi, pemberian asi eksklusif, ventilasi, kelembabab, kepadatan hunian, kebiasaan merokok, pendidikan orang tua) dan variabel dependen (ISPA pada Balita) dengan menggunakan uji chi square. Hasil hubungan variabel independen dan variabel dependen pada penelitian ini dapat dilihat sebagai berikut : 5.3.1
Hubungan Status Gizi terhadap ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara status gizi terhadap ISPA pada balita di
Kelurahan Ciputat tahun 2013sebagai berikut : Tabel 5.12 Analisis Hubungan antara Status Gizi terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat Tahun 2013 Balita Status Gizi
Gizi Kurang
Mengalami
Tidak Mengalami
ISPA
ISPA
Total
N
%
N
%
N
%
4
28,6
10
71,4
14
100
Gizi Baik
41
55,4
33
44,6
74
100
Jumlah
45
51,1
43
48,9
88
100
60
p-value
OR
0,121
0,3 (0,09-1,1)
Pada Tabel 5.12 didapat hasil hubungan antara status gizi terhadap ISPA pada balita yaitu sebanyak 4 dari 14 (28,6%) balita gizi kurang mengalami ISPA serta 33 dari 74 (44,6%) balita dengan gizi baik tidak mengalami. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p= 0,121 (p-value >0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara status gizi terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis diperoleh pula nilai OR sebesar 0,3 (95%CI : 0,09-1,1) yang berarti bahwa balita dengan status gizi kurang mempunyai peluang 0,3 kali untuk mengalami ISPA dibanding balita gizi baik. 5.3.2
Hubungan Pemberian Asi Eksklusif terhadap ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara pemberian asi eksklusif terhadap ISPA pada
balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013sebagai berikut : Tabel 5.13 Analisis Hubungan Pemberian Asi Eksklusif Terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat Tahun 2013 Balita Pemberian Asi Eksklusif
Mengalami ISPA
Total
Tidak Mengalami
p-value
OR
0,251
2,1(0,7-5,9)
ISPA N
%
N
%
N
%
Tidak
38
55,1
31
44,9
69
100
Ya
7
36,8
12
63,2
19
100
Jumlah
51,1
48,9
43
48,9
88
100
61
Berdasarkan tabel 5.13 menunjukkan hasill analisis hubungan antara pemberian asi eksklusif terhadap ISPA pada balita sebanyak 38 dari 69 balita (55,1%) yang tidak diberikan asi ekslusif mengalami ISPA dan sebanyak 12 dari 19 (63,2%) balita yang diberikan asi ekslusif tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,251 (p-value>0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pemberian asi ekslusif terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis diperoleh pula OR sebesar 2,1 (95%CI : 0,7-5,9) yang berarti bahwa balita yang tidak diberikan ASI Eksklusif beresiko 2,1 kali lebih besar mengalami ISPA.. 5.3.3
Hubungan Ventilasi terhadap ISPA pada Balita Hasil statistik hubungan antara ventilasi terhadap ISPA pada balita di
Kelurahan Ciputat tahun 2013 sebagai berikut : Tabel 5.14 Analisis Hubungan Ventilasi Rumah Terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat Tahun 2013 Balita Total Mengalami ISPA Tidak p-value Ventilasi Mengalami ISPA N
%
N
%
N
%
TMS
32
62,7
19
37,3
51
100
MS
13
35,1
24
18,1
37
100
Jumlah
45
51,1
43
48,9
88
100
62
0,019
OR
3 (1,2-7,5)
Pada tabel 5.14 menunjukkan hubungan antara ventilasi rumah terhadap ISPA pada balita yaitu sebanyak 32 dari 51 (62,7%) ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat dan balita mengalami ISPA. Sedangkan sebanyak 24 dari 37 (18,1%) ventilasi rumah memenuhi syarat dan balita tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,019 (p-value <0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara ventilasi rumah terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis diperoleh pula OR sebesar 3 (95%CI : 1,1-7,2) yang berarti bahwa balita dengan ventilasi rumah tidak memenuhi syarat beresiko 3 kali mengalami ISPA. 5.3.4
Hubungan Kelembaban Dalam Kamar Terhadap ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara kelembaban terhadap ISPA pada balita di
Kelurahan Ciputat tahun 2013sebagai berikut : Tabel 5.15 Analisis Hubungan Kelembaban Dalam Kamar Terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat Tahun 2013 Balita Kelembaban
Mengalami ISPA
Total
Tidak
p-value
OR
0,49
0,5 (0,1-1,8)
Mengalami ISPA N
%
N
%
N
%
TMS
5
38,5
8
61,5
13
100
MS
40
53,3
35
46,7
75
100
Jumlah
45
51,1
43
48,9
88
100
63
Tabel 5.15 menunjukkan hubungan kelembaban kamar terhadap ISPA pada balita yaitu sebanyak 5 dari 43 (38,5%) kelembaban kamar balita yang tidak memenuhi syarat (TMS) dan balita mengalami ISPA. Sedangkan, sebanyak 35 dari 45(46,7%) kamar balita dengan kelembaban kamar memenuhi syarat (MS) balita tidak mengalami ISPA. Hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,49 (p-value >0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara kelembaban kamar terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis ini pula diperoleh nilai OR sebesar 0,5 ( 95%CI : 0,3-1,9) yang berarti bahwa kamar balita dengan kelemaban tidak memenuhi syarat beresiko 0,5 kali lebih besar mengalami ISPA. 5.3.5
Hubungan Kepadatan Hunian terhadap ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara kepadatan hunian terhadap ISPA pada balita di
Kelurahan Ciputat tahun 2013sebagai berikut : Tabel 5.16 Analisis Hubungan Kepadatan Hunian Rumah Terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat Tahun 2013 Balita Kepadatan
Mengalami ISPA
Hunian
TMS
Total
Tidak
p-value
OR
Mengalami ISPA N
%
N
%
N
%
35
60,3
23
39,7
58
100 0,029
MS
10
33,3
20
66,7
30
100
Jumlah
45
51,1
43
48,9
88
100
64
3 (1,2-7,6)
Tabel 5.16 menunjukkan hubungan kepadatan hunian terhadap ISPA pada balita yaitu sebanyak 35 dari 58 (60,3%) rumah balita memiliki kepadatan hunian tidak memenuhi syarat (TMS) dan balita mengalami ISPA. Sedangkan, sebanyak 10 dari 30(33,3%) rumah balita dengan kepadatan hunian memenuhi syarat (MS) balita tidak mengalami ISPA. Hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,029 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara kepadatan hunian terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis ini pula diperoleh nilai OR sebesar 3,0 ( 95%CI : 1,2-7,6) yang berarti bahwa kamar balita dengan kepadatan hunian tidak memenuhi syarat beresiko 3 kali lebih besar mengalami ISPA. 5.3.6
Hubungan Kebiasaan Merokok terhadap ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara kebiasaan merokok terhadap ISPA pada balita di
Kelurahan Ciputat tahun 2013sebagai berikut Tabel 5.17 Analisis Hubungan Kebiasaan Merokok Penghuni Rumah Terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat Tahun 2013 Balita Kebiasaan
Mengalami ISPA
Tidak Mengalami
Merokok
Total
p-value
OR
0,409
1,7 (0,7-4)
ISPA N
%
N
%
N
%
Ya
30
55,6
24
26,4
51
100
Tidak
15
44,1
19
55,9
37
100
Jumlah
45
51,5
43
48,9
88
100
65
Tabel 5.17 menunjukkan hasil analisis hubungan antara kebiasaan merokok penghuni rumah terhadap ISPA pada balita diperoleh sebanyak 30 dari 51 (55,6%) rumah dengan penghuni yang merokok dan balita mengalami ISPA. Sementara itu, sebanyak 19 dari 37 (55,9%) penghuni rumah yang tidak merokok dan balita tidak mengalami ISPA. Hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,409 (p-value >0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara kebiasaan merokok penghuni rumah terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis didapat nilai OR sebesar 1,7 ( 95%CI : 0,7-4) yang berarti bahwa balita yang tinggal dengan penghuni yang merokok beresiko 1,7 kali mengalami ISPA. 5.3.7
Hubungan Pendidikan Orang Tua terhadap ISPA pada Balita Hasil analisis hubungan antara pendidikan orang tua terhadap ISPA pada balita
di Kelurahan Ciputat tahun 2013sebagai berikut : Tabel 5.18 Analisis Hubungan Pendidikan Orang Tua Terhadap ISPA pada Balita di Kelurahan Ciputat Tahun 2013 Balita Pendidikan
Mengalami ISPA
Tidak Mengalami
Orang Tua
Rendah
Total
p-value
OR
0,019
3 (1,2-7,3)
ISPA N
%
N
%
N
%
26
65
14
35
40
100
Tinggi
19
39,6
29
60,4
48
100
Jumlah
45
51,1
43
48,9
88
100
66
Pada tabel 5.18 menunjukkan hasil analisis hubungan antara pendidikan orang tua terhadap ISPA pada balita yaitu sebanyak 26 dari 40 (65%) orang tua balita dengan status pendidikan rendah dan balita mengalami ISPA. Sedangkan sebanyak 29 dari 48 ibu balita (60,4%) dengan pendidikan tinggi, balita tidak mengalami ISPA. Berdasarkan hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,019 (p-value <0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara pendidikan orang tua terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Dari hasil analisis didapat nilai OR sebesar 2,8 ( 95%CI : 1,2-7,3) yang berarti bahwa balita dengan pendidikan orang tua rendah beresiko 3 kali balita mengalami ISPA.
67
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Keterbatasan Penelitian 1. Desain yang digunakan yaitu studi cross sectional dimana semua variabel yang diteliti diambil dalam satu waktu yang sama mengingat jadwal posyandu yang hanya terjadi dalam 1 minggu 1 kali. 2. Penentuan Balita terkena ISPA hanya dengan pengisian kusioner pada responden/tidak diteliti penyebab ISPA pada masing-masing balita karena tidak memungkinkan dari segi biaya untuk menelusuri lebih jauh tentang frekunsi kejadian, lamanya sakit atau dengan diagnosis dokter. 3. Kemungkinan terjadi bias dalam pengukuran terkait luas rumah dimana sebagian besar responden tidak memiliki rumah pribadi sehingga tidak mengetahui ukuran luas rumah. 4. Faktor individu balita (pemberian asi ekslusif) hanya berdasarkan daya ingat responden kemungkinan terjadi missing memory. 6.2 Gambaran Variabel Dependen Pada penelitian ini, balita dikatakan mengalami ISPA dan tidak mengalami ISPA berdasarkan adanya tanda dan gejala seperti pilek, batuk-batuk, demam, dan sukar bernafas yang terjadi dalam kurun waktu 2 minggu terakhir yang terjadi dari
68
mulai rongga hidung sampai gelembung paru yang bersifat akut (Depkes, 2007). Dari hasil penelitian terhadap 88 anak balita di Kelurahan Ciputat didapatkan hasil angka kejadian ISPA yaitu sebesar 51,1% mengalami ISPA dan 48,9% tidak mengalami ISPA. ISPA bisa diakibatkan oleh virus maupun akibat polusi udara. Ciputat merupakan daerah yang paling sering dilalui oleh kendaraan karena sebagai jalur penghubung antara Jawa Barat dan Jakarta (Salman, 2012) sehingga dimungkinkan nilai total partikulat semakin tinggi dan terjadi pencemaran udara. Hal ini didukung oleh penelitian BPLHD Tangerang Selatan pada tanggal 5 Juni 2012 terdapat Total Suspended Partikulat (TSP) melebihi ambang batas yakni 268,64 µg/Nm³dari ambang batas yang ditetapkan sebesar 230 µg/Nm³. Menurut penelitian Triska (2005) menyebutkan bahwa anak-anak dan wanita didaerah urban lebih sering terpapar polusi dari industri dan kendaraan bermotor yang dihubungkan dengan gangguan pernafasan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hamidi (2002) menyatakan bahwa kadar debu yang masuk kedalam rumah dan melebihi 70µg/Nm³ dapat menyebabkan bayi dan balita yang tinggal didalamnya mengalami gangguan pernapasan 3,13 kali dibandingkan dengan kadar debu rumah yang memnuhi syarat. Namun, tidak dipungkiri bahwa ISPA bisa terjadi akibat penularan virus dari penderita ke balita yang lain. Hasil observasi dilapangan, letak rumah terlalu berhimpitan baik kesamping maupun kedepan sehingga kemungkinan besar virus penyebab ISPA pada penderita menyebar lebih cepat ke balita yang lain.
69
6.3 Analisis Bivariat 6.3.1 Hubungan Status Gizi terhadap ISPA pada Balita Pada penelitian ini status gizi balita ditetapkan berdasarkan perbandingan berat
badan
menurut
umur
(BB/U)
yang
mengacu
pada
keputusan
MENKES/SK/XII/2010. Balita dikatakan gizi baik apabila nilai perbandingan antara BB dan umur yaitu SD 2 dan apabila nilai SD -2 maka dikatakan status gizi kurang. Menurut Soemirat (2000) kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respons imunoligis terhadap penyakit dan keracunan. Pada tabel 5.2 didapat bahwa dari 88 balita, 14 balita (15,9%) memiliki status gizi kurang dan 74 balita (84,1%) berstatus gizi baik. Menurut Almatsler (2003) timbulnya gizi kurang tidak hanya dikarenakan karena asupan makanan yang kurang, tetapi juga penyakit. Anak yang mendapatkan cukup makanan tetapi sering menderita sakit, pada akhirnya dapat menderita gizi kurang. Demikian pula pada anak yang tidak memperoleh cukup makanan, maka daya tahan tubuhnya akan melemah sehingga mudah terserang penyakit. Berdasarkan hasil uji chi square pada penelitian ini disimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara status gizi terhadap kejadian ISPA pada balita dengan nilai p= 0,121 (p>0,05). Balita dengan gizi kurang beresiko 0,3 kali mengalami ISPA dibanding dengan balita gizi baik . Hal ini sejalan dengan
70
penelitian menurut Muhedir (2002), Irianto (2004), dan Citra (2010) yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan antara status gizi balita dengan kejadian ISPA. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Geturdis (2010) dimana terdapat hubungan antara status gizi balita terhadap kejadian ISPA dimana balita yang gizi kurang beresiko 2,5 kali lebih besar mengalami ISPA karena daya tahan tubuh lemah terhadap serangan virus. Tidak adanya hubungan antara status gizi balita terhadap kejadian ISPA bisa saja terjadi karena ISPA tidak hanya disebabkan oleh gizi kurang atau gizi buruk dari balitanya, melainkan oleh banyak faktor salah satunya faktor lingkungan. Menurut konsep HL Blum dalam Notoatmodjo 2003 menyatakan bahwa faktor lingkungan merupakan faktor terbesar mempengaruhi kesehatan manusia. Walaupun status gizi balita dalam kondisi baik, dimungkinkan balita terkena ISPA akibat lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat. Dari
88 balita pada penelitian ini ternyata hanya ada 14 balita yang
mempunyai gizi kurang. Walaupun persentase kecil, tetap perlu di lakukan upayaupaya perbaikan status gizi balita karena perbaikan gizi masyarakat harus dimulai dari perbaikan gizi pada masa bayi dan balita (Notoatmodjo, 2007) seperti : a. Penyuluhan dari instansi kesehatan mengenai makanan-makanan yang mengandung gizi baik dengan harga yang tidak terlalu mahal tapi
71
mempunyai nilau asupan gizi yang tinggi sehingga tidak memberatkan ibu balita. b. Pemberitahuan akibat-akibat yang akan disebabkan jika balita tidak mempunyai status gizi yang baik sehingga diharapkan menimbulkan rasa takut dan kesadaran akan pentingnya makanan yang sehat. c. Selain makanan, anak-anak perlu diberikan suplemen atau vitamin untuk melengkapi kebutuhan gizi yang kurang. 6.3.2 Hubungan Pemberian Asi terhadap ISPA pada Balita ASI merupakan makanan utama bagi bayi yang bersifat alamiah. ASI mengandung berbagai zat gizi yang dibutuhkan dalam proses perkembangan dan pertumbuhan bayi serta mengandung antibodi yang dapat membantu bayi membangun sistem kekebalan tubuh terhadap berbagai macam sumber penyakit. Manfaat yang dapat diberikan dari pemberian ASI eksklusif pada bayi yaitu dapat melindungi bayi dari penyakit diare, infeksi pernafasan, kegemukan, infeksi kandung kemih, infeksi telinga dan lainya (Sinaga, 2012). Hasil penelitiaan pada tabel 5.4 menunjukkan bahwa balita yang tidak diberikan ASI ekslusif sebanyak 69 (78,4%) dan yang tidak diberikan ASI eksklusif sebanyak 19 balita (21,6%) . Berdasarkan hasil observasi dilapangan besarnya balita yang tidak diberikan ASI ekslusif disebabkan beberapa hal yakni bekerja, tidak bisa mengeluarkan ASI, serta beberapa ibu masih mengikuti
72
kepercayaan lama dengan langsung memberikan makanan selain ASI pada saat umur 0-6 bulan. Hasil uji chi square diperoleh nilai p = 0,251 (p-value>0,05) sehingga disimpulkan bahwa tidak ada hubungan bermakna antara pemberian asi ekslusif terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. Balita yang diberikan ASI Eksklusif beresiko mengalami ISPA 2,1 kali lebih besar dibanding yang diberikan asi ekslusif. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Citra (2010) bahwa tidak ada hubungan antara pemberian ASI Eksklusif terhadap kejadian ISPA pada balita. Namun jika pada bayi kemunginan terdapat hubungan antara ISPA dengan bayi seperti pada penelitian Rahayu (2011). Walaupun pada penelitian ini tidak terdapat hubungan yang bermakna antara pemberian Asi Ekslusif terhadap kejadian ISPA di kelurahan Ciputat, tetap perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengatasi besarnya jumlah balita yang tidak diberikan Asi Ekslusif supaya mencegah berbagai penyakit lain yang mungkin timbul selain ISPA. Upaya-upaya yang dilakukan diantara lain : a.
Sosialisasi perlunya pemberian Asi Ekslusif demi ketahanan tubuh seorang anak terhadap ancaman berbagai macam penyakit.
b.
Alternatif bagi ibu yang bekerja agar tetap bisa memberikan Asi Ekslusif.
c.
Pengetahuan mengenai fungsi Asi Ekslusif terhadap anak serta melibatkan suami untuk mengingatkan ibu memberikan asi kepada bayi. 73
6.3.3 Hubungan Ventilasi terhadap ISPA pada Balita Ventilasi dalam rumah berfungsi sebagai sirkulasi udara atau pertukaran udara dalam rumah karena udara yang segar dalam ruangan sangat dibutuhkan manusia. Ventilasi yang
buruk akan menimbulkan gangguan kesehatan
pernapasan pada penghuninya. Penularan penyakit saluran pernapasan disebabkan karena kuman didalam rumah tidak bisa tertukar dan mengendap sehingga ventilasi
diharuskan
memenuhi
syarat
Menkes
RI
Nomor
RI
No.1077/MENKES/PER/V/2011 yakni luas ventilasi minimal 10% dari luas lantai. Hasil gambaran ventilasi rumah pada tabel 5.6 di kelurahan Ciputat menunjukkan bahwa 51 rumah balita (58%) memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat (<10% dari luas rumah) dan 37 rumah balita (42%) memiliki ventilasi yang memenuhi syarat yang ditentukan yakni >10% dari luas tanah. Berdasarkan hasil obervasi, jarak antara rumah satu dengan yang lain sangat berhimpitan dan cenderung ventilasi rumah hanya berada di bagian depan saja karena bagian samping sudah tertutup tembok bangunan rumah lain. Hasil uji chi square diperoleh nilai p= 0,019 (p<0,05) sehingga dapat di simpulkan bahwa ada hubungan bermakna antara ventilasi rumah terhadap ISPA dan di dapat bahwa rumah yang memiliki ventilasi tidak memenuhi syarat bersiko 3 kali lebih besar balita terkena ISPA di banding dengan rumah dengan ventilasi memenuhi syarat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Lindawaty (2010) yang
74
menyatakan ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi tidak memenuhi syarat beresiko sebesar 3,07 kali mengalami ISPA dibanding balita yang tinggal dirumah dengan ventilasi memenuhi syarat (Lindawaty, 2003 ). Ventilasi yang baik dapat membebaskan udara ruangan dari bakteri patogen karena dengan adanya ventilasi, udara bertukar secara terus menerus. Ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat dapat dijadikan indikator bahwa kurangnya pemahaman mengenai rumah sehat dengan ventilasi yang sesuai ketentuan yakni minimal 10% dari luas rumah. Ventilasi berfungsi untuk memberikan memberikan udara segar dan sehat bagi balita dan penghuninya. Berdasarkan hasil observasi dilapangan menunjukkan bahwa setiap rumah memiliki ventilasi namun sebagian rumah menutup ventilasi sepanjang hari sehingga kemunginan sirkulasi udara dalam rumah tidak baik. Selain itu, sebagian besar ventilasi selalu ditutupi gorden sehingga cahaya matahari sulit masuk kedalam rumah. Rumah yang sedikit cahaya matahari masuk dan udara yang tidak bagus akan menyebabkan ruangan menjadi lembab. Ruangan yang lembab merupakan tempat berkembangnya mikroorganisme penyebab penyakit. Akibat ventilasi yang tidak berfungsi dengan baik, menyebabkan pencemaran udara semakin meningkat karena polusi udara dan berbagai mikroorganisme penyebab penyakit dalam rumah tidak dapat keluar sehingga akan
75
membahayakan penghuni rumah terutama balita yang rentan terhadap penyakit yang disebabkan mikroorganisme. Untuk menekan angka kejadian ISPA pada balita akibat ventilasi rumah yang tidak difungsikan dengan baik, maka perlu dilakukan program penyuluhan kepada masyarakat pentingnya memiliki ventilasi minimal 10% dari luas lantai. Bagi masyarakat perlu diberi himbauan agar tidak menutup ventilasi dengan kain dan tidak menutup terus-menerus supaya terjadi pertukaran udara. 6.3.4 Hubungan Kepadatan Hunian terhadap ISPA pada Balita Persyaratan kepadatan hunian untuk rumah
sehat tercantum dalam
persyaratan kesehatan perumahan RI No.1077/MENKES/PER/V/2011 . Rumah dikatakan padat/ tidak memenuhi syarat apabila luas rumah dibagi jumlah penghuni adalah <10m2. Pada tabel 5.16 didapat jumlah rumah yang padat penghuni dengan balita mengalami ISPA sebanyak 35 balita (60,3%) dan rumah dengan kepadatan hunian memenuhi syarat dengan balita tidak mengalami ISPA sebanyak 20 balita (66,7%). Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian terhadap kejadian ISPA pada balita dengan nilai p=0,029 dimana balita yang tinggal dengan kepadatan hunian tidak memenuhi syarat beresiko 3 kali mengalami ISPA. Penelitian ini sejalan dengan Irianto (2006) bahwa ada hubungan kepadatan hunian terhadap ISPA pada balita. Balita yang tinggal dengan rumah padat penghuni berisko 2,27 kali dibandingkan dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat.
76
Hasil observasi di lapangan menunjukkan sebanyak 51 rumah dengan tingkat kepadatan hunian tidak memenuhi syarat diakibatkan karena luas rumah tidak sesuai dengan jumlah penghuni yang tinggal. Terdapat rumah yang terdiri dari beberapa kepala keluarga, dan terdapat pula warga yang bahkan menempati 1 rumah dengan 8-12 orang. Alasan beberapa warga tetap tinggal satu rumah karena keterbatasan penghasilan sehingga belum mampu untuk menyewa rumah sendiri. Menurut Achmadi (2008) semakin tingginya kepadatan rumah, maka penularan penyakit khususnya melalui udara akan semakin cepat. Rumah yang padat penghuni akan menyebabkan sirkulasi udara tidak baik, pertukaran oksigen kurang sempurna dan diperburuk apabila ventilasi rumah tidak memenuhi syarat. Hal ini sangat berbahaya apabila ada anggota keluarga yang menderita gangguan pernafasaan yang disebabkan oleh virus, akan cepat menyerang anggota keluarga lain akibat menghirup udara yang sama dan sudah tercemar. Semakin padat penghuni dalam rumah maka akan semakin mudah penularan penyakit pada balita terutama penyakit yang diakibatkan oleh pencemaran udara seperti gangguan pernafasan atau ISPA. 6.3.5 Hubungan Kelembaban terhadap ISPA pada Balita Pengukuran kelembaban kamar balita menggunakan alat hygrometer dengan berlandaskan pada peraturan RI No.1077/MENKES/PER/V/2011 mengenai persyaratan kelembaban rumah yaitu 40-60% Rh. Rumah dengan kelembaban yang terlalu tinggi maupun rendah merupakan kondisi dimana mikroorganisme
77
dapat tumbuh. Menurut Mudehir (2002) kelembaban dalam rumah dapat di pengaruhi oleh konstruksi rumah yang tidak baik, ventilasi yang kurang, serta pencahayaan yang minim. Pada penelitian ini didapat hasil pengukuran kelembaban didalam kamar balita yang tidak memenuhi syarat dan menyebabkan ISPA sebanyak 5 (38,5%) dan kamar balita dengan kelembaban yang memenuhi syarat dan tidak mengalami ISPA sebanyak 46,7%. Berdasarkan hasil uji chi-square didapatkan bahwa nilai p=0,49 yang artinya tidak ada hubungan bermakna antara kelembaban kamar terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat. Penelitian ini sejalan dengan Lindawaty (2010) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita namun beresiko 2,98 kali lebih besar balita mengalami ISPA dengan tinggal dikelembaban yang tidak memenuhi syarat. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Mudehir (2002) dimana terdapat hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada balita. Kelembaban dapat dipengaruhi oleh beberapa hal seperti lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat atau oleh cuaca. Pada musim hujan kelembaban akan meningkat namun bila kondisi rumah baik seperti cahaya matahari dapat masuk, tidak terdapat genangan air, ventilasi udara yang cukup dapat mempertahankan kelembaban dalam rumah (Lindawaty, 2010).
78
Hasil observasi di lapangan, sebagian besar kamar balita tidak tertutup pintu, hanya bersekatan dengan ruang tamu dan warga tidak banyak menggunakan AC di dalam kamar sehingga kelembaban ruangan tidak terlalu rendah dan tidak terlalu tinggi. ISPA pada balita di kelurahan Ciputat mungkin bisa disebabkan oleh faktor lain seperti mungkin dari penularan penghuni kamar yang sedang mengalami ISPA dan tidur satu ruangan dengan balita. Walaupun tingkat kelembaban yang tidak memenuhi syarat rendah, tetap perlu diadakan upaya penyehatan kelembaban ruang tidur balita seperti yang tercantum pada peraturan RI No.1077/MENKES/PER/V/2011 yang meliputi : 1) Bila kelembaban udara kurang dari 40%, maka dapat di lakukan upaya penyehatan antara lain : a) Menggunakan alat untuk meningkatkan kelembaban seperti humidifier (alat pengatur kelembaban udara) b) Membuka jendela rumah c) Menambah jumlah dan luas jendela rumah d) Memodifikasi fisik bangunan (meningkatkan pencahayaan,sirkulasi udara) 2) Bila kelembaban udara lebih dari 60%, maka dapat dilakukan upaya penyehatan antara lain : a) Memasang genteng kaca b) Menggunakan alat untuk menurunkan kelembaban seperti
79
humidifier (alat pengatur kelembaban udara) 6.3.6 Hubungan Kebiasaan Merokok terhadap ISPA pada Balita Asap rokok yang di keluarkan oleh seorang perokok mengandung bahan toksik yang berbahaya dan akan menimbulkan penyakit serta menambah resiko kesakitan dari bahan toksik tersebut (Kusnoputranto, 2000). Hasil penelitian pada tabel 5.8 yang dilakukan di kelurahan Ciputat menunjukkan sebagian besar balita 54 (61,8%) tinggal didalam rumah dengan penghuni merokok dan 34 (38,6%) tidak tinggal dengan penghuni yang merokok. Tingginya jumlah balita yang tinggal bersama penghuni rumah yang merokok dimungkinkan bahwa sebagian besar balita sering terpapar dan menghirup bahan toksik yang berbahaya untuk kesehatan. Asap rokok adalah sebuah campuran asap yang di keluarkan dari hasil pembakaran tembakau yang mengandung Polyclinic Aromatic Hydrocarbons (PAHs) dan berbahaya bagi kesehatan (Depkes, 2011). Manusia yang menghirup asap rokok bisa disebut perokok pasif dan berisiko lebih besar pada kesehatan. Hal ini sesuai dengan penelitian Citra (2012) bahwa perokok pasif yang lebih rentan terkena penyakit gangguan pernafasan dibanding dengan perokok aktif . Hasil uji chi square
pada penelitian ini menunjukkan tidak adanya
hubungan bermakna antara kebiasaan merokok penghuni rumah terhadap kejadian ISPA pada balita dengan nilai p=0,409 (p>0,05). Namun, diketahui bahwa balita yang tinggal di rumah dengan penghuni merokok mempunyai resiko 1,7 kali
80
mengalami ISPA dibanding balita yang tinggal di rumah tanpa penghuni merokok. Hasil penelitian ini sejalan dengan Budiaman (2008) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara responden yang rumahnya ada yang merokok dengan kejadian penyakit gangguan saluran pernafasan balita. Penelitian ini berbeda dengan Lindawaty (2010 ) yang menyatakan bahwa balita yang tinggal bersama penguni yang merokok beresiko 2,04 kali lebih besar terkena ISPA dibanding dengan balita yang tidak terdapat penghuni rumah yang merokok. Pada penelitian ini tidak menujukkan hubungan antara kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita. Hal ini dimungkinkan karena wawancara dilakukan hanya menanyakan ada atau tidak penghuni yang merokok tanpa menanyakan lebih spesifik tentang kebiasaan merokok di dalam atau di luar rumah pada perokok serta seberapa banyak jumlah rokok yang di habiskan dalam sehari. Semakin banyak jumlah rokok yang di konsumsi perokok yang merokok di dalam rumah kemungkinan besar balita terpapar asap rokok lebih banyak sehingga menimbulkan gangguan pernafasan pada balita. Walaupun tidak terdapat hubungan yang bermakna, menurut penelitian Wattimena (2004) bahwa rumah yang penghuninya mempunyai kebiasaan merokok di dalam rumah berpeluang meningkatkan kejadian ISPA pada balita 7,83 kali dibandingkan dengan rumah balita yang penghuninya tidak merokok dalam rumah. Begitu pula dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang mengatakan bahwa resiko penghuni
81
perokok terhadap kejadian ISPA pada balita lebih besar sehingga perlu di lakukan upaya-upaya untuk mengurangi pencemaran asap rokok sebagai berikut : a.
Penyuluhan mengenai bahaya merokok kepada keluarga balita untuk meningkatkan kesadaran penghuni dalam pentingya menjaga kebersihan udara yang terhirup di dalam rumah.
b.
Memberikan pengetahuan mengenai ISPA serta sebab-sebab penularan yang dimungkinkan salah satunya disebabkan oleh asap rokok dalam rumah.
c.
Menganjurkan untuk tidak merokok di dalam rumah.
6.3.8 Hubungan Pendidikan Orang Tua terhadap ISPA pada Balita Pada penelitian ini tingkat pendidikan ibu dibagi dalam 2 kategori yakni pendidikan rendah (tidak sekolah, tamat SD, tamat SMP) dan tinggi (SMA, D3, S1). Distribusi tingkat pendidikan ibu berdasarkan tabel 5.9 sebanyak 40 ibu yang termasuk dalam kategori pendidikan rendah atau setengah dari jumlah sampel yang ada. Hasil pernyataan ibu-ibu yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi mulai dari sudah ingin menikah, tidak mempunyai biaya sehingga dituntut untuk mencari kerja setelah wajib belajar 9 tahun. Hasil uji statistik pada tabel 5.18 didapat sebanyak 26 ibu (65%) yang berpendidikan rendah memiliki balita yang mengalami ISPA dan berpendidikan tinggi dan memiliki balita yang mengalami ISPA sebanyak 19 ibu (39,6%).
82
Berdasarkan uji chi-square diperoleh nilai p=0,019 sehingga disimpulkan bahwa terdapat hubungan bermakna antara pendidikan orang tua terhadap ISPA pada balita di kelurahan Ciputat. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan Citra (2012) dan Suptiaptini (2007), menunjukkan adanya hubungan antara pendidikan ibu dengan kejadian ISPA pada balita. Ibu yang berpendidikan rendah mempunyai resiko untuk menderita ISPA lebih besar dibandingkan dengan ibu balita yang berpendidikan tinggi. Namun hal ini bertolak belakang dengan penelitian Fitri (2004) dimana tidak ada hubungan antara pendidikan orang tua dengan kejadian ISPA pada balita. Pendidikan ikut menentukan atau mempengaruhi mudah tidaknya seseorang menerima pengetahuan, semakin tinggi pendidikan masyarakat maka diharapkan penerimaan pengetahuan akan semakin mudah sehingga diharapkan dapat merubah perilaku seseorang. Berdasarkan pengaruh terhadap kesehatan dan perilaku seseorang peran pendidikan juga berpengaruh terhadap lingkungan, pelayanan kesehatan dan juga heriditas (Achmadi, 2008). Perananan tenaga kesehatan dalam memberikan pendidikan kesehatan khususnya ISPA dengan tujuan agar ibu yang tidak tahu menjadi tahu bagaimana tanda-tanda gejala ISPA serta kegiatan pencegahan dan penanggulanganya bagi balita dan anggota keluarga. Hasil observasi dilapangan membuktikan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi tindakan ibu dalam menanggulangi penyakit. Ibu dengan
83
pendidikan rendah cenderung hanya membiarkan balita yang mengalami tandatanda ISPA seperti batuk, pilek atau gejala ISPA sebagai penyakit biasa dan akan hilang dengan sendirinya. Selain itu, ibu berasumsi bahwa penyebab balita terkena ISPA akibat sering makan permen, atau es yang menyebabkan batuk-batuk pada anak. Tidak ada tindak lanjut terhadap ISPA yang diderita oleh balita. Sementara itu, ibu yang termasuk dalam kategori pendidikan tinggi lebih sedikit peduli terhadap balitanya. Ibu langsung mengambil tindakan dengan memberikan obat penurun panas/batuk pilek pada balita saat mengalami gejala ISPA. Pentingnya pendidikan bagi ibu atau anggota keluarga yang lain mengenai gejala penyakit, dan cara penanggulangannya sangat dibutuhkan bagi balita dimana lebih rentan terhadap penyakit. Jika ibu memiliki pengetahuan tinggi, diharapkan balita yang mengalami ISPA atau gejalanya dapat segera di lakukan tindakan penanggulangan. Balita dengan pendidikan orang tua lebih rendah beresiko sebesar 2,8 kali balita terkena ISPA sehingga perlu diupayakan tindakan untuk menambah pengetahuan mengenai penyakit oleh tenaga kesehatan yang diharapkan dapat memberikan perlindungan yang lebih pada balita dengan tindakan yang tepat dan cepat.
84
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan Hasil penelitian yang dilakukan pada 88 balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013 didapatkan kesimpulan sebagai berikut : 1. Gambaran balita terhadap kejadian ISPA pada kurun waktu 2 minggu pada 88 sampel di kelurahan Ciputat yaitu sebanyak 45 balita (51,5%) mengalami ISPA dan 43balita (48,9%) tidak mengalami ISPA. 2. Gambaran faktor lingkungan fisik rumah balita meliputi : 2.1 Ventilasi rumah dari 88 sampel balita di kelurahan Ciputat yaitu 51 rumah balita (58%) memiliki ventilasi yang tidak memenuhi syarat (<10% dari luas rumah) dan 37 rumah balita (36,4%) memiliki ventilasi memenuhi syarat yang ditentukan yakni >10% dari luas rumah. 2.2 Kelembaban kamar tidur balita pada 88 sampel yaitu 13 kamar balita (14,8%) memiliki kelembaban tidak memenuhi syarat yakni <40% s/d >60% dan 75 kamar balita (85,2%) memiliki kelembaban memenuhi syarat yakni 40% - 60%. 2.3 Kepadatan hunian dalam rumah terhadap 88 sampel balita di kelurahan Ciputat yaitu 58 rumah balita (65,9%) padat penghuni/tidak memenuhi
85
syarat yang ditetapkan yakni <10m2/org dan 30 (34,1%) rumah balita memnuhi syarat kepadatan hunian yakni >10m2/org. 3. Gambaran faktor individu meliputi : 3.1 Status gizi balita dari 88 sampel di kelurahan Ciputat yaitu 14 balita (15,9%) mengalami gizi kurang dan 74 balita (84,1%) mengalami gizi baik. 3.2 Pemberian Asi Eksklusif dari 88 sampel di kelurahan Ciputat yaitu 69 balita (78,4%) tidak diberikan Asi Eksklusif dan 19 balita (21,6%) diberikan Asi Eksklusif. 4. Gambaran faktor perilaku orang tua yaitu kebiasaan merokok penghuni rumah didapat hasil dari 88 sampel di kelurahan Ciputat yaitu 54 rumah balita (61,8%) terdapat penghuni yang merokok dan 34 rumah balita (38,6%) tidak terdapat perokok. 5. Gambaran faktor sosial seperti pendidikan orang tua yaitu sebesar 47 orang tua balita (46,6%) berpendidikan rendah atau tidak sekolah, tamat SD, dan SMP dan 41 orang tua balita (46,6%) berpendidikan tinggi atau lulus SMA, D3, S1. 6. Faktor lingkungan fisik yang berhubungan terhadap kejadian ISPA pada balita di kelurahan Ciputat yaitu ventilasi dan kepadatan hunian dengan nilai p<0,05. Kelembaban memiliki nilai p>0,05 sehingga tidak terdapat hubungan terhadap ISPA pada balita.
86
7. Tidak terdapat hubungan antara faktor individu balita : status gizi dan pemberian asi ekslusif (nilai p>0,05) terhadap kejadian ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. 8. Tidak terdapat hubungan antara faktor perilaku orang tua : kebiasaan merokok (nilai p<0,05) terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. 9. Terdapat hubungan antara faktor sosial : pendidikan orang tua (nilai p<0,05) terhadap ISPA pada balita di Kelurahan Ciputat tahun 2013. 7.2 Saran 1. Masyarakat dapat mengetahui bahaya merokok terhadap kesehatan pada balita sehingga dapat mengurangi atau berhenti untuk merokok. 2. Masyarakat mengetahui pentingnya memiliki ventilasi 10% dari luar rumah dan tetap selalu membuka ventilasi sebagai tempat pertukaran sirkulasi udara. 3. Masyarakat dapat lebih memperhatikan tanda-tanda atau gejala ISPA pada balita dan segera memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia. 4. Puskesmas bekerja sama dengan kader di harapkan dapat memberikan penyuluhan rutin mengenai penyakit dan menjelaskan bagaimana kegiatan penanggulanganya. 5. Bagi peneliti lain dapat melakukan penelitian lebih mendalam dengan menggunakan bantuan tenaga medis untuk mendiagnosis lebih dalam sebab penyakit ISPA.
87
6.Penelitian ini di harapkan dapat digunakan sebagai referensi bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian selanjutnya yang lebih dalam dengan sampel yang lebih besar. 7. Pemerintah daerah dapat lebih memperhatikan lingkungan tempat tinggal warga atau di harapkan dapat membantu dan memperbaiki rumah yang layak tinggal dengan kententuan peraturan mengenai rumah sehat.
88
Daftar Pustaka Achmadi, Umar Fahmi, 2008. Manajemen Penyakit Berbasis Wilayah.Universitas Indonesia Press. Jakarta Anonim, 2007. Profil Kesehatan di Indonesia. Depkes RI,Jakarta. Aprinda D.S,Soedjajadi K, 2007. Hubungan Tingkat Kesehatan Rumah. Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut .Jurnal Kesehatan Lingkungan, VOL.3, NO.2, JANUARI 2007: 139 – 150. Avrianto,Fanji , 2011 . Analisis Kadar Partulate Matter 10(PM10) di Udara dan Keluhan Gangguan Pernafasan Pada Masyarakat yang Tinggal di Sepanjang Jalan Raya Kelurahan Lalang Kecamatan Sunggal Medan.Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatra Utara Medan. Badan Pusat Statistik, 2003. Statistik Lingkungan Hidup Indonesia 2002, PT Relindo Jaya, Jakarta. BPLH, 2012. Pengukuran Kadar TSP di Wilayah Kota Tangerang Selatan. Tangsel Citra,Putri, 2012. Hubungan Lingkungan Dalam Rumah Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Atang Jungket Kecamatan Bies Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2012.Skripsi.FKM UI.Depok. Depkes RI, 2000. Pedoman Program Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Direktorat PPM & PL. Jakarta Depkes. RI, 2004. Pedoman pemberantasanpenyakit infeksi saluran pernafasan akut untuk penanggulangan pneumonia pada balita . Jakarta. Depkes RI, 2005. Rencana Kerja Jangka Menengah Nasional Penanggulangan Pneumonia Balita Tahun 2005-2009. Depkes RI, 2005. Pedoman Penyelenggaraan Pemberian Imunisasi.Jakarta Depkes RI, 2006. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut Untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita. Jakarta. Depkes RI. 2007.Pengertian ISPA, http. www. Google. Com 26 Mei 2013.
Depkes RI, 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar.Riskesdas Indonesia tahun 2007. Depkes RI, 2008b. Surveilans Penyakit dan Masalah Kesehatan Berbasis Masyarakat. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Depkes RI, 2011.Kualitas Udara dalam Rumah terhadap ISPA pada Balita.Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2010. Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tangerang Selatan. Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2011. Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan.Tangerang Selatan. Dinkes Kota Tangerang Selatan, 2012. Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan.Tangerang Selatan. Ditjen PPM dan PLP, 2002. Modul Pelatihan ISPA untuk Petugas. Jakarta : Departemen Kesehatan RI. Fitri, Widya,2004.Faktor Resiko yang Berhubungan dengan kejadian ISPA Pada Balita Di Propinsi Riau tahun 2004.Tesis FKM UI.Depok Gertrudis T, 2010.Hubungan Antara Kadar Partikulat(PM10) Udara Rumah Tinggal Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Sekitar Pabrik Semen PT Indocement,Citeurep,tahun
2010.Tesis
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat
UI.Depok. Haryanto,B, 2007. Blood-Lead Monitoring Exposure to Leaded-Gasoline among School Children in Jakarta,Inonesia 2005. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional,Volume 1,No.4, Fakultas Kesehatan Masyarakat,UI,Depok Hamidi. (2002). Pajanan Debu Dengan Kejadian Gangguan Pernapasan Studi Terhadap Bayi dan Balita Pada Pemukiman di Jalan Transportasi Batubara, Kecamatan Mataram Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan,Tesis, FKM UI, Depok.
Irianto,Bambang, 2006.Hubungan Faktor Lingkungan Rumah Dan Karakteristik Balita Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Di Wilayah Kecamatan Lemahwungkuk Kota Cirebon. Program Pascasarjana FKM UI.Depok. Keman,S,2005.
Kesehatan
Perumahan
dan
Lingkungan
Pemukiman;Bagian
Kesehatan Lingkungan,Vol.2 No.1 : 29-42. KepMen No.1077/MENKES/PER/V/2011. Persyaratan Rumah Sehat. Jakarta Kristina, 2011.Hubungan Faktor Kondisi Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita Di Wilayah Puskesmas Pabuaran Tumpeng Kota Tangerang tahun 2011.Skripsi.FKM UI.Depok. Lindawaty, 2010. Partikulat(PM Kejadian
ISPA
Prapatan,Jakarata
pada Selatan
10
Udara Rumah Tinggal Yang Memepengaruhi
Balita(Penelitian
diKecamatan
tahun2009-2010).Tesis
Fakultas
Mampang Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia.Depok. Mudehir, 2002. Hubungan faktor-faktor lingkungan rumah dengan kejadian penyakit ISPA pada Anak balita di Kecamatan Jambi Selatan tahun 2002. Tesis. FKM UI. Depok. Nur,Hidayat,2004.Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut(ISPA) Pada Balita Di kelurahan Pasienan Tigo Kecamatan Koto Tengah Kota Padang.Skripsi.FKM UNSU.Sumatera Barat. Notoatmodjo,S, 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat.Jakarta:PT.Rineka Cipta.2003. Notoatmodjo, S,2010.Metodologi Penelitian Kesehatan.Jakarta:PT.Rineka Cipta, 2010. Puskesmas Ciputat, 2012. Laporan Tahunan Puskesmas Ciputat 2012.Tangerang Selatan. Permenkes RI No.1077/MENKES/PER/V/2011.Pedoman Penyehatan Udara Dalam Rumah.Jakarta.2011 Riset Kesehatan Dasar. 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, Republik Indonesia.
Safitri,Aprinda Dwi dan Ismail,Sofyan, 2010. Hubungan Tingkat Kesehatan Rumah Dengan Kejadian ISPA Anak Balita DI Desa Labuhan Kecamatan Labuhan Badas Kabupaten Sumbawa. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.3,No.2,Januari 2007:139-150. Safwan, 2003. Lingkungan Fisik Rumah dan Sumber Pencemar dalam Rumah sebagai faktor resiko kejadian ISPA pada anak Balita. Tesis. FKM UI. Depok. Sinaga, Epi Ria Kristina, 2012. Kualitas Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kelurahan Warakas Kecamatan Tanjung Priok Jakarta Utara 2011.Skripsi FKM UI.Depok. Soemirat,SJ,2000.Mortality and Morbidity as Related to Air Polution. A Paper. University of Minnesota. Supriaptini, 2007. Faktor-Faktor pencemaran udara dalam rumah yang berhubungan dengan kejadian ispa pada balita di indonesia.Dalam jurnal ekologi kesehatan,vol.9,2 Juni 2010. Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia, 2007. Penyakit anak. Jakarta:Badan Pusat Statistik. Triska S.N. dan Lilis S, 2005. Hubungan Sanitasi Rumah dengan Kejadian ISPA Jurnal Kesehatan Lingkungan, VOL. 2, NO.1, 50 JULI 2005 : 43 – 52. Wattimena,C.S, 2004. Faktor Lingkungan Rumah yang Mempengaruhi Hubungan Kadar PM10 dengan kejadian ISPA pada Balita di wilayah Puskesmas Curug Kabupaten Tangerang tahun 2004. Tesis.FKM UI. Depok. World Bank, 2006. Diseases Control Priorities in Developing Countries. WHO, 1997. Health and Environment in Sustainable Development Five Years after the Earth Summit. WHO, Geneva. WHO, 2003. Health Aspects of Air Pollution,WHO Regional Office for Europe. WHO. 2007. Pencegahan & pengendalianInfeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)yang cenderung menjadi epidemic &pandemic di fasilitas pelayanan kesehatan. Diperoleh tanggal 5 April 2013. http://www. Who.or.id
WHO, 2008.Pencegahan dan Pengendalian ISPA di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Diakses : 21 Januari 2013. WHO, 2008. Infection Prevention and Control of Epidemic and PandemicProne Acute Respiratory Diseases In Health Care, WHO Interim Guidelines, June 2007, WHO/HSE/EPR/2008.2. WHO, 2009. Acute Respiratory Infection, Initiative for V accine Reasearch(IVR). Rahayu,Yuyu,Sri, 2011. Kejadian ISPA Pada Balita Ditinjau Dari Pengetahuan Ibu,Karakteristik Balita,Sumber Pencemar Dalam Ruang dan Lingkungan Fisik Rumah Di Wilayah Kerja Puskesmas DTP Cibeber Kabupaten Lebak Propinsi Banten Tahun 2011.Skripsi.FKM UI.Depok
LAMPIRAN FOTO
Foto Saat Wawancara dan Pengukuran Tinggi Badan
Foto Pengukuran Kelembaban
Foto Pengukuran Ventilasi dan Kondisi Rumah
SAVE OUTFILE='D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav' /COMPRESSED. FREQUENCIES VARIABLES=statusgizi /STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN /ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Statistics statusgizi N Valid
88
Missing
0
Mean
.84
Median
1.00
Std. Deviation
.368
Minimum
0
Maximum
1 statusgizi
Valid
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Valid Percent
gizi kurang
14
15.9
15.9
15.9
gizi baik
74
84.1
84.1
100.0
Total
88
100.0
100.0
FREQUENCIES VARIABLES=KejadianISPA /STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN /ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Statistics KejadianISPA N Valid
88
Statistics KejadianISPA N Missing
0
Mean
.49
Median
.00
Std. Deviation
.503
Minimum
0
Maximum
1 KejadianISPA
Valid
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Valid Percent
Mengalami ISPA
45
51.1
51.1
51.1
Tidak Mengalami ISPA
43
48.9
48.9
100.0
Total
88
100.0
100.0
FREQUENCIES VARIABLES=statusimunisasi /STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN /ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Statistics statusimunisasi N Valid Missing Mean
88 0 .92
Median
1.00
Std. Deviation
.272
Minimum
0
Maximum
1 statusimunisasi Frequency
Valid
tidak lengkap
Percent
Valid Percent
Cumulative Percent
7
8.0
8.0
8.0
lengkap
81
92.0
92.0
100.0
Total
88
100.0
100.0
FREQUENCIES VARIABLES=asieksklusif /STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN /ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Statistics asieksklusif N Valid
88
Missing
0
Mean
.22
Median
.00
Std. Deviation
.414
Minimum
0
Maximum
1 asieksklusif
Valid
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Valid Percent
tidak
69
78.4
78.4
78.4
iya
19
21.6
21.6
100.0
Total
88
100.0
100.0
FREQUENCIES VARIABLES=kelembaban /STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN /ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Statistics kelembaban N Valid Missing Mean Median
88 0 .85 1.00
Statistics kelembaban Std. Deviation
.357
Minimum
0
Maximum
1 kelembaban
Valid
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Valid Percent
TMS
13
14.8
14.8
14.8
MS
75
85.2
85.2
100.0
Total
88
100.0
100.0
FREQUENCIES VARIABLES=kebiasaanmerokok /STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN /ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Statistics kebiasaanmerokok N Valid
88
Missing Mean
0 .39
Median
.00
Std. Deviation
.490
Minimum
0
Maximum
1 kebiasaanmerokok
Valid
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Valid Percent
Ada
54
61.4
61.4
61.4
tidak ada
34
38.6
38.6
100.0
Total
88
100.0
100.0
FREQUENCIES VARIABLES=obtnymkbakar /STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN /ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Statistics obtnymkbakar N Valid Missing Mean
88 0 .90
Median
1.00
Std. Deviation
.305
Minimum
0
Maximum
1 obtnymkbakar
Valid
Frequency
Percent
Valid Percent
menggunakan
Cumulative Percent
9
10.2
10.2
10.2
tidak menggunakan
79
89.8
89.8
100.0
Total
88
100.0
100.0
FREQUENCIES VARIABLES=bhnbakarmemasak /STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN /ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Statistics bhnbakarmemasak N Valid Missing Mean
88 0 .95
Median
1.00
Std. Deviation
.209
Minimum
0
Maximum
1
bhnbakarmemasak
Valid
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Valid Percent
4
4.5
4.5
4.5 100.0
kayu/minyak tanah gas
84
95.5
95.5
Total
88
100.0
100.0
FREQUENCIES VARIABLES=ventilasi /NTILES=4 /STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN /ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Statistics ventilasi N
Valid
88
Missing
0
Mean
.42
Median
.00
Std. Deviation
.496
Minimum
0
Maximum Percentiles
1 25
.00
50
.00
75
1.00 ventilasi
Valid
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Valid Percent
TMS
51
58.0
58.0
58.0
MS
37
42.0
42.0
100.0
Total
88
100.0
100.0
SAVE OUTFILE='D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav' /COMPRESSED. FREQUENCIES VARIABLES=kepadatanhunian /NTILES=4 /STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN /ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Statistics kepadatanhunian N Valid
88
Missing
0
Mean
.34
Median
.00
Std. Deviation
.477
Minimum
0
Maximum Percentiles
1 25
.00
50
.00
75
1.00 kepadatanhunian
Valid
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Valid Percent
TMS
58
65.9
65.9
65.9
MS
30
34.1
34.1
100.0
Total
88
100.0
100.0
SAVE OUTFILE='D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav' /COMPRESSED. FREQUENCIES VARIABLES=pendidikanorgtua /NTILES=4 /STATISTICS=STDDEV MINIMUM MAXIMUM MEAN MEDIAN /ORDER=ANALYSIS.
Frequencies
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Statistics pendidikanorgtua N Valid
88
Missing
0
Statistics pendidikanorgtua Mean
.47
Median
.00
Std. Deviation
.502
Minimum
0
Maximum Percentiles
1 25
.00
50
.00
75
1.00 pendidikanorgtua
Valid
Cumulative Percent
Frequency
Percent
Valid Percent
Rendah
47
53.4
53.4
53.4
tinggi
41
46.6
46.6
100.0
Total
88
100.0
100.0
GET FILE='D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SKRIPSI MAYA FIX\SPSS\spss.sav'. DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT. GET FILE='D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SKRIPSI MAYA FIX\SPSS\spss.sav'. DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT. GET FILE='C:\Users\Reni\Desktop\SPSS\spss.sav'. DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT.
CROSSTABS /TABLES=statusgizi BY KejadianISPA /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK /CELLS=COUNT EXPECTED ROW /COUNT ROUND CELL /METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Case Processing Summary Cases Valid N statusgizi * KejadianISPA
Missing
Percent 88
100.0%
N
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 88
100.0%
statusgizi * KejadianISPA Crosstabulation KejadianISPA Tidak Mengalami ISPA
Mengalami ISPA statusgizi
gizi kurang
Count Expected Count % within statusgizi
gizi baik
Count Expected Count % within statusgizi
Total
Count Expected Count % within statusgizi
4
10
Total 14
7.2
6.8
14.0
28.6%
71.4%
100.0%
41
33
74
37.8
36.2
74.0
55.4%
44.6%
100.0%
45
43
88
45.0
43.0
88.0
51.1%
48.9%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-sided)
df
3.393 a
1
.065
2.404
1
.121
3.478
1
.062
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
3.354
c
1
.067
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.084
.060
.084
.060
.084
.060
.084
.060
88
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,84. b. Computed only for a 2x2 table c. The standardized statistic is -1,831. Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for statusgizi (gizi kurang / gizi baik) For cohort KejadianISPA = Mengalami ISPA For cohort KejadianISPA = Tidak Mengalami ISPA N of Valid Cases
Lower
Upper
.322
.093
1.120
.516
.220
1.210
1.602
1.055
2.432
88
GET FILE='D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav'. DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT. CROSSTABS /TABLES=asieksklusif BY KejadianISPA /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK /CELLS=COUNT EXPECTED ROW /COUNT ROUND CELL /METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav
Point Probability
.044
Case Processing Summary Cases Valid N asieksklusif * KejadianISPA
Missing
Percent 88
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent 88
100.0%
asieksklusif * KejadianISPA Crosstabulation KejadianISPA Tidak Mengalami ISPA
Mengalami ISPA asieksklusif
tidak
Count Expected Count % within asieksklusif
iya
Count Expected Count % within asieksklusif
Total
Count Expected Count % within asieksklusif
Total
38
31
69
35.3
33.7
69.0
55.1%
44.9%
100.0%
7
12
19
9.7
9.3
19.0
36.8%
63.2%
100.0%
45
43
88
45.0
43.0
88.0
51.1%
48.9%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-sided)
df
1.982 a
1
.159
1.319
1
.251
1.997
1
.158
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1.959 c
1
.162
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.199
.125
.199
.125
.199
.125
.199
.125
88
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 9,28. b. Computed only for a 2x2 table c. The standardized statistic is 1,400. Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for asieksklusif (tidak / iya) For cohort KejadianISPA = Mengalami ISPA For cohort KejadianISPA = Tidak Mengalami ISPA N of Valid Cases
CROSSTABS
Lower
Upper
2.101
.738
5.980
1.495
.799
2.796
.711
.462
1.095
88
Point Probability
.078
/TABLES=kelembaban BY KejadianISPA /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK /CELLS=COUNT EXPECTED ROW /COUNT ROUND CELL /METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Case Processing Summary Cases Valid N kelembaban * KejadianISPA
Missing
Percent 88
100.0%
N
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 88
100.0%
kelembaban * KejadianISPA Crosstabulation KejadianISPA Tidak Mengalami ISPA
Mengalami ISPA kelembaban
TMS
Count
5
Expected Count % within kelembaban MS
Count Expected Count % within kelembaban
Total
Count Expected Count % within kelembaban
Total 8
13
6.6
6.4
13.0
38.5%
61.5%
100.0%
40
35
75
38.4
36.6
75.0
53.3%
46.7%
100.0%
45
43
88
45.0
43.0
88.0
51.1%
48.9%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
b
Asymp. Sig. (2-sided)
df
.981 a
1
.322
.476
1
.490
.987
1
.321
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
.970 c
1
.325
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.378
.246
.378
.246
.378
.246
.378
.246
88
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 6,35. b. Computed only for a 2x2 table c. The standardized statistic is -,985.
Point Probability
.148
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for kelembaban (TMS / MS) For cohort KejadianISPA = Mengalami ISPA For cohort KejadianISPA = Tidak Mengalami ISPA N of Valid Cases
Lower
Upper
.547
.164
1.826
.721
.351
1.481
1.319
.805
2.159
88
CROSSTABS /TABLES=ventilasi BY KejadianISPA /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK /CELLS=COUNT EXPECTED ROW /COUNT ROUND CELL /METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Case Processing Summary Cases Valid N ventilasi * KejadianISPA
Missing
Percent 88
N
100.0%
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 88
ventilasi * KejadianISPA Crosstabulation KejadianISPA Mengalami ISPA ventilasi
TMS
Count Expected Count % within ventilasi
MS
Count Expected Count % within ventilasi
Total
Count Expected Count % within ventilasi
32
Tidak Mengalami ISPA 19
Total 51
26.1
24.9
51.0
62.7%
37.3%
100.0%
13
24
37
18.9
18.1
37.0
35.1%
64.9%
100.0%
45
43
88
45.0
43.0
88.0
51.1%
48.9%
100.0%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-sided)
df
6.542 a
1
.011
5.484
1
.019
6.625
1
.010
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.017
.009
.017
.009
.017
.009
.017
.009
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
6.468
c
1
.011
88
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 18,08. b. Computed only for a 2x2 table c. The standardized statistic is 2,543. Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for ventilasi (TMS / MS) For cohort KejadianISPA = Mengalami ISPA For cohort KejadianISPA = Tidak Mengalami ISPA N of Valid Cases
Lower
Upper
3.109
1.287
7.511
1.786
1.098
2.904
.574
.374
.881
88
CROSSTABS /TABLES=kebiasaanmerokok BY KejadianISPA /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK /CELLS=COUNT EXPECTED ROW /COUNT ROUND CELL /METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Case Processing Summary Cases Valid N kebiasaanmerokok * KejadianISPA
Missing
Percent 88
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 88
100.0%
Point Probability
.007
kebiasaanmerokok * KejadianISPA Crosstabulation KejadianISPA Mengalami ISPA kebiasaanmerokok
Ada
Count Expected Count % within kebiasaanmerokok Count
tidak ada
Expected Count % within kebiasaanmerokok Count
Total
Expected Count % within kebiasaanmerokok
Tidak Mengalami ISPA
Total
30
24
54
27.6
26.4
54.0
55.6%
44.4%
100.0%
15
19
34
17.4
16.6
34.0
44.1%
55.9%
100.0%
45
43
88
45.0
43.0
88.0
51.1%
48.9%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-sided)
df
1.092 a
1
.296
.683
1
.409
1.094
1
.296
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
1.080
c
1
.299
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.382
.204
.382
.204
.382
.204
.382
.204
88
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 16,61. b. Computed only for a 2x2 table c. The standardized statistic is 1,039. Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for kebiasaanmerokok (Ada / tidak ada) For cohort KejadianISPA = Mengalami ISPA For cohort KejadianISPA = Tidak Mengalami ISPA N of Valid Cases
Lower
Upper
1.583
.667
3.756
1.259
.805
1.969
.795
.521
1.213
88
CROSSTABS /TABLES=pendidikanorgtua BY KejadianISPA /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK /CELLS=COUNT EXPECTED ROW /COUNT ROUND CELL
Point Probability
.101
/METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Case Processing Summary Cases Valid N pendidikanorgtua * KejadianISPA
Missing
Percent 88
100.0%
N
Total
Percent 0
.0%
N
Percent 88
100.0%
pendidikanorgtua * KejadianISPA Crosstabulation KejadianISPA Mengalami ISPA pendidikanorgtua
Rendah
Count Expected Count
tinggi
% within pendidikanorgtua Count Expected Count % within pendidikanorgtua Count
Total
Expected Count % within pendidikanorgtua
Tidak Mengalami ISPA
Total
30
17
47
24.0
23.0
47.0
63.8%
36.2%
100.0%
15
26
41
21.0
20.0
41.0
36.6%
63.4%
100.0%
45
43
88
45.0
43.0
88.0
51.1%
48.9%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
b
Asymp. Sig. (2-sided)
df
6.505 a
1
.011
5.460
1
.019
6.585
1
.010
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
6.431
c
1
.011
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.018
.009
.018
.009
.018
.009
.018
.009
88
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 20,03. b. Computed only for a 2x2 table c. The standardized statistic is 2,536.
Point Probability
.007
Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for pendidikanorgtua (Rendah / tinggi) For cohort KejadianISPA = Mengalami ISPA For cohort KejadianISPA = Tidak Mengalami ISPA N of Valid Cases
Lower
Upper
3.059
1.281
7.305
1.745
1.105
2.755
.570
.365
.890
88
CROSSTABS /TABLES=kepadatanhunian BY KejadianISPA /FORMAT=AVALUE TABLES /STATISTICS=CHISQ RISK /CELLS=COUNT EXPECTED ROW /COUNT ROUND CELL /METHOD=EXACT TIMER(5).
Crosstabs
[DataSet1] D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav Case Processing Summary Cases Valid N kepadatanhunian * KejadianISPA
Missing
Percent 88
100.0%
N
Total
Percent 0
N
.0%
Percent 88
100.0%
kepadatanhunian * KejadianISPA Crosstabulation KejadianISPA Mengalami ISPA kepadatanhunian
TMS
Count Expected Count
MS
% within kepadatanhunian Count Expected Count
Total
% within kepadatanhunian Count
Tidak Mengalami ISPA
Total
35
23
58
29.7
28.3
58.0
60.3%
39.7%
100.0%
10
20
30
15.3
14.7
30.0
33.3%
66.7%
100.0%
45
43
88
kepadatanhunian * KejadianISPA Crosstabulation KejadianISPA Tidak Mengalami ISPA
Mengalami ISPA Total
Expected Count % within kepadatanhunian
Total
45.0
43.0
88.0
51.1%
48.9%
100.0%
Chi-Square Tests Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
b
Likelihood Ratio
Asymp. Sig. (2-sided)
df
5.774 a
1
.016
4.743
1
.029
5.853
1
.016
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases
5.708 c
1
.017
Exact Sig. (2sided)
Exact Sig. (1sided)
.024
.014
.024
.014
.024
.014
.024
.014
Point Probability
.010
88
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,66. b. Computed only for a 2x2 table c. The standardized statistic is 2,389. Risk Estimate 95% Confidence Interval Value Odds Ratio for kepadatanhunian (TMS / MS) For cohort KejadianISPA = Mengalami ISPA For cohort KejadianISPA = Tidak Mengalami ISPA N of Valid Cases
Lower
Upper
3.043
1.209
7.664
1.810
1.047
3.130
.595
.396
.893
88
SAVE OUTFILE='D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SPSS\spss.sav' /COMPRESSED. GET FILE='D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SKRIPSI MAYA FIX\SPSS\spss.sav'. DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT. GET FILE='D:\DOKUMEN MAYA NITIP\SKRIPSI\Draft Skripsi Maya\SKRIPSI MAYA FIX\SPSS\spss.sav'. DATASET NAME DataSet1 WINDOW=FRONT.