Sundari, Kesehatan lingkungan dan kejadian ISPA pada balita
KESEHATAN LINGKUNGAN DAN KEJADIAN ISPA PADA BALITA
Siti Sundari, Pratiwi, PuguhYudho T Poltekkes Kemenkes Malang, Jl. Besar Ijen No 77C Malang email:
[email protected] Abstract: One of some causes from ISPA, was a low quality indoor and outdoor air. The research objective was to know the dominant factor of environmental health condition area againts risks incident ISPA toddlers. The research was an analytical epidemiology study by studying the relationship between disease and (paparan)/ research factor. It was held by comparing the cases group and the control group based on the research factor. The research was held for six months from June 2013 to November 2013 at Dinoyo Public Health Center of Malang City. The total sample was 54 people; consist of 24 people of case group and 30 people of control group. The result shown that there were 6 factors of unappropriate house conditions. The conditions positioned as the dominant risk factors, such as (lubang asap) kitchen, the population of house members, windows, dusty ceilings, room ventilation, and bedroom windows. Keywords: ISPA, toddler, environmental, health
Abstrak: Salah satu penyebab terjadinya ISPA adalah rendahnya kualitas udara baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Tujuan penelitian ini mengetahui kondisi kesehatan lingkungan yang menjadi faktor dominan terhadap risiko kejadian ISPA pada Balita. Penelitian ini termasuk studi epidemiologi analitik dgn mempelajari hubungan penyakit dan paparan (faktor penelitian), dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya. Pelaksanaan penelitian selama 6 bulan pada bulan Juni s/d Nopember 2013 di wilayah kerja puskesmas Dinoyo, Kota Malang. Sampel sejumlah 54; terdiri dari 24 orang kelompok kasus dan kelompok kontrol 30 orang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 6 faktor kondisi rumah tidak memenuhi syarat yang menjadi faktor risiko dominan, yaitu keberadaan lubang asap dapur; kepadatan penghuni rumah; jendela ruang keluarga; langit-langit rumah kotor berdebu, ventilasi ruangan; dan jendela kamar tidur yg tidak memenuhi syarat. Kata Kunci: ISPA, balita, lingkungan, kesehatan
PENDAHULUAN
rumah maupun di luar rumah (Depkes RI, 2011). Menurut Survei Kesehatan Nasional (SKN) 2001, 27,6% kematian bayi, dan 22,8% kematian balita disebabkan oleh penyakit sistem respiratori, terutama pneumonia. Bagian penting dalam pencegahan dan pengendalian penyakit menular, termasuk penyakit ISPA adalah memutus rantai penularan. Sanitasi lingkungan yang tidak higienis mempermudah penularan penyakit (Widoyono, 2008). Infeksi saluran pernapasan bagian atas terutama yang disebabkan oleh virus, sering terjadi pada semua golongan umur, tetapi ISPA yang berlanjut menjadi 99
Sepuluh besar penyakit terbanyak pada pasien rawat jalan di Rumah Sakit di Indonesia tahun 2009, menempatkan Infeksi Saluran Pernafasan Bagian Atas (ISPA) pada urutan pertama dengan total kasus sebanyak 488.794, sedangkan pada pasien rawat inap menempati urutan ke tujuh dengan total kasus 36.048 serta CFR 0,45% (Depkes RI, 2010). Lebih dari dua dasawarsa ini penyakit ISPA selalu menduduki peringkat pertama dari 10 penyakit terbanyak di Indonesia. Salah satu penyebab terjadinya ISPA ISSN 2301-4024 adalah rendahnya kualitas udara baik di dalam 99
JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN, VOLUME 4, NO. 2, OKTOBER 2015: 99-107
Pneumonia sering terjadi pada anak kecil terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak hygiene. Prevalensi ISPA di Kota Malang cukup tinggi, karena termasuk 10 besar penyakit di Puskesmas. Penemuan penderita ISPA balita di Kota Malang pada tahun 2012 sebanyak 30.387 ISPA bukan Pneumonia dan 1349 ISPA Pneumonia, dimana Puskesmas Dinoyo merupakan Puskesmas dengan penemuan penderita Pneumonia tertinggi (399 Balita atau 82,9% dari target) diantara 15 Puskesmas di wilayah Kota Malang. Rata-rata penemuan penderita ISPA Pneumonia di Puskesmas Kota Malang tahun 2012 adalah 21,8% dengan variasi antara (0 s/d 82,9%), dimana dua Puskesmas yaitu Puskesmas Arjuno dan Mulyorejo tidak menemukan ISPA Pneumonia, namun penderita ISPA Non Pneumonia pada balita penderitanya cukup banyak (Dinkes Kota Malang, 2012). Tujuan penelitian ini mengetahui kondisi kesehatan lingkungan apakah yang menjadi faktor penyebab atau faktor risiko kejadian ISPA Pneumonia pada balita di wilayah kerja Puskesmas Dinoyo Kota Malang METODE PENELITIAN Penelitian ini termasuk studi epidemiologi analitik dengan rancangan kasus-kontrol, yaitu rancangan studi epidemiologi yang mempelajari hubungan penyakit dan paparan(faktor penelitian), dengan cara membandingkan kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan status paparannya. Dalam rancangan penelitian ini peneliti mengikuti proses perjalanan penyakit ke arah belakang, berdasarkan urutan waktu (retrospektif). Dengan kata lain kasus kontrol menggunakan paradigma akibat ke sebab yang merupakan kebalikan dari penelitian prospektif (Hikmawati, Isna, 2011) Sebagai kelompok kasus adalah ibu balita penderita ISPA Pneumonia yang berobat di Puskesmas Dinoyo Pada Mei s/d Juli tahun 2013 dan sebagai kelompok Kontrol adalah balita sehat peserta posyandu di Kelurahan Dinoyo di RW 3 yang terpilih sebagai sampel.
100
Penelitian dimulai secara simultan pada kelompok kasus dan kelompok kontrol yang memenuhi syarat sebagai sampel untuk mengetahui ada dan tidaknya faktor resiko terhadap terjadinya ISPA pada balita. Analisis dilakukan dengan menghitung Rasio Relatif (RR) atau Rasio Insiden Komulatif) yang menyatakan besarnya resiko (kemungkinan) untuk menderita bagi mereka yang terpapar dibanding mereka yang tidak terpapar atau memperlihatkan besarnya pengaruh keterpaparan terhadap timbulnya penyakit Populasi penelitian ini seluruh ibu yang memiliki balita penderita ISPA Pneumonia yang berobat ke Puskesmas Dinoyo bulan Mei s/d Juli tahun 2013 dan berasal dari wilayah kerja Puskesmas Dinoyo sebanyak 34 orang dan ibu yang memiliki balita sehat peserta Posyandu di RW 3 Kelurahan Dinoyo sebanyak 152 orang. Populasi kelompok kasus diperoleh dari dokumen rekam medis di Puskesmas Dinoyo, sedangkan populasi kelompok kontrol diperoleh dari dokumen Posyandu Kelurahan Dinoyo Besar sampel sebanyak 54, yaitu 24 orang pada kelompok kasus (ibu balita penderita ISPA Pneumonia) yang memenuhi kriteria inklusi dan untuk kelompok kontrol (ibu balita sehat) ditentukan 30 orang. Sampel kelompok kasus adalah semua ibu balita sakit yang memenuhi kriteria inklusi, sedangkan untuk sampel kelompok kontrol sebesar 30 orang diambil secara proporsional random sampling dari masingmasing RT di wilayah RW 3 Kelurahan Dinoyo. Kriteria inklusi untuk kelompok kasus adalah: 1) ibu yang balitanya sakit ISPA Pneumonia yang tidak diikuti penyakit menular lainnya, 2) berobat ke Klinik MTBS Puskesmas Dinoyo bulan Mei s/ d Juli 2013, 3) tinggal di kelurahan wilayah kerja Puskesmas Dinoyo, 4) ibu balita yang bersedia berpartisipasi dalam penelitian, 5) ibu balita yang tinggal serumah dengan balita penderita ISPA Pneumonia. Untuk kelompok kontrol/ kelola adalah 1) ibu balita yang balitanya menjadi peserta aktif ke Posyandu di Kelurahan Dinoyo, 2) tinggal serumah dengan balitanya, 3) bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.
ISSN 2301-4024
Sundari, Kesehatan lingkungan dan kejadian ISPA pada balita
Kriteria eksklusi untuk kelompok kasus adalah: 1) alamat ibu balita tidak diketemukan, telah dilakukan renovasi rumah setelah balita berobat ke Puskesmas dengan diagnosa Pneumonia. Untuk kelompok kontrol adalah: 1) dalam 3 bulan terakhir balitanya mengalami sakit/ gejala ISPA Pneumonia, 2) melakukan renovasi rumah dalam 3 bulan terakhir. Variabel penelitian terdiri dari variabel independen dan dependen. Variabel independen adalah kondisi kesehatan lingkungan rumah balita dan variabel dependen nya yaitu kejadian ISPA Pneumonia pada balita. Observasi dilakukan dengan mengukur kelembapan rumah dengan Hygrometer, mengukur suhu ruangan dengan alat Termometer, mengukur cahaya dengan Luxmeter dan luas ruangan dengan Rollmeter. Angka kelembaban ruang dibuat rata-rata. Kelembaban udara tidak memenuhi syarat apabila rata-rata > 60% dan kurang 40%, dan memenuhi syarat apabila hasil pengukuran rata-rata antara (40 s/d 60%) Pengukuran suhu dilakukan siang hari, suhu rata-rata diinterpretasikan tidak memenuhi syarat apabi l a rata-rata <180 C atau >30 0 C, dan memenuhi syarat apabila suhu rata-rata antara 18–300C Kepadatan penghuni diperoleh dengan cara membagi luas rumah dengan jumlah penghuni dengan satuan meter persegi per orang, Kepadatan penghuni yang tidak memenuhi syarat apabila penghuni <8m2 per orang, dan memenuhi syarat apabila rata-rata >8m2 per orang. Data yang terkumpul dimasukkan dalam master sheet, kemudian dikelompokkan atau ditabulasikan, dalam bentuk tabel frekuensi. Bentuk tabel analisis faktor resiko seperti Tabel 1.
Untuk mengetahui faktor resiko dominan kondisi kesehatan lingkungan terhadap kejadian ISPA pada balita dilakukan analisis dengan menghitung besarnya risk relatif (RR) yang menunjukkan berapa kali (lebih besar atau lebih kecil) risiko untuk mengalami penyakit pada populasi terpapar relatif dibandingkan populasi tak terpapar. Istilah lain dari Risiko Relatif adalah rasio insidensi komulatif (comulative Incidence Ratio), (Hikmawati, I., 2011 ). Dalam penelitian ini besarnya RR menunjukkan berapa kali risiko untuk mengalami sakit Pneumonia pada balita terpapar kondisi kesehatan rumah tinggal yang tidak sehat dibanding dengan balita tak terpapar. Risiko relatif merupakan nilai perbandingan (rasio) antara rate insiden kelompok terpapar dengan rate insiden kelompok tidak terpapar pada akhir pengamatan dengan perhitungan sebagai berikut: Risiko Relative (RR) = CI Terpapar / CI Tidak terpapar. Kriteria hasil analisis, apabila nilai RR = 1 artinya tidak ada pengaruh antara keterpaparan dengan kejadian penyakit; apabila nilai RR > 1 artinya ada pengaruh antara keterpaparan dengan kejadian penyakit; apabila nilai RR <1 artinya keterpaparan bukan merupakan risiko kejadian penyakit. Kegiatan penelitian dilakukan pada bulan April s/d Nopember 2014. Penelitian ini bertempat di wilayah kerja Puskesmas Dinoyo Kota Malang. HASIL PENELITIAN Penelitian pada balita penderita ISPA Pneumonia yang berobat ke Puskesmas Dinoyo diperoleh dari dokumen rekam medis rawat jalan Puskesmas. Sebanyak 64 orang dengan proporsi asal penderita berasal dari luar wilayah kerja Puskesmas Dinoyo 29 balita berasal dari wilayah kerja Puskesmas Dinoyo 35 orang. Dari 35 balita
Tabel 1. Analisis faktor resiko menurut Hikmawati I (2011)
Kelompok Sakit/ Kasus Kelompok Kontrol/ sehat Jumlah
ISSN 2301-4024
Terpapar Tidak Terpapar Jumlah (TPP) (TTP) a b a+ b c d c+ d a+ c b+ d n = a+b+c+d
101
JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN, VOLUME 4, NO. 2, OKTOBER 2015: 99-107
penderita Pneomonia yang berobat tersebut 6 orang catatan alamatnya tidak lengkap, dan 5 orang alamatnya tidak diketemukan, sehingga responden balita penderita ISPA Pneumonia sebesar 24 orang. Gambaran karakteristik balita penderita ISPA yang berobat ke Puskesmas Dinoyo sebagai kelompok kasus dan balita peserta Posyandu RW 3 Kelurahan Dinoyo Sebagai kelompok kontrol. Sebagian besar responden, baik dari kelompok balita penderita ISPA Pneumonia, maupun kelompok kontrol berusia (1 s/d <5) tahun, dan sebagian kecil lainnya berusia <1 tahun (bayi) (Tabel 2). Jumlah penderita ISPA Pnemonia pada balita lebih banyak berjenis kelamin perempuan dari pada laki-laki (Tabel 3). Sebagian besar pendidikan ibu balita kelompok kasus maupun kelompok kontrol berpendidikan menengah, sedangkan proporsi pendidikan tinggi lebih besar pada kelompok kontrol daripada kelompok kasus, sebaliknya proporsi pendidikan ibu balita dalam katagori perguruan tinggi, lebih besar kelompok kontrol daripada kelompok kasus (Tabel 4) Berdasarkan status pekerjaan, sebagian besar ibu balita kelompok kasus maupun kelompok kontrol dalam status tidak bekerja, sedangkan Tabel 2. Distribusi frekuensi balita kelompok kasus dan kelompok kontrol berdasarkan usia Balita Usia < 1 tahun 1s/d <5 tahun Jumlah
Kel. Kasus n % 8 33,33 16 66,67 24 100
Kel. Kontrol Jumlah n % 30
100
54
Tabel 3. Distribusi frekuensi penderita ISPA pneumoni pada Balita berdasarkan jenis kelamin Jenis Kelamin Laki-laki Perempuan Jumlah
102
n 11 13 24
% 45,83 54,17 100
proporsi bekerja pada kelompok kontrol lebih besar daripada kelompok kasus (Tabel 5). Hasil penelitian didapatkan nilai CITPP =0,72 atau 72%, artinya 72 diantara 100 balita yang tinggal di rumah dengan kondisi langit-langit tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengalami sakit ISPA Pneumonia,dan CI tidak terpapar 0,37 atau 37%, artinya sekitar 37 diantara 100 orang balita yang tidak terpapar kondisi langit-langit tidak sehat akan mengalami sakit ISPA Pneumonia. Resiko relatif (RR) = 1,95 menunjukkan besarnya efek keterpaparan, yaitu balita yang terpapar, lebih besar 1,95 kali kemungkinannya untuk mengalami ISPA Pneumonia dari pada balita yang tidak terpapar tersebut (Tabel 6). Berdasarkan kondisi dinding rumah, Nilai CITPP =0,66 atau 66%, artinya 66 diantara 100 balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding tidak memenuhi syarat akan mengalami sakit ISPA Pneumonia, dan CI tidak terpapar 0,41 atau 41%, artinya sekitar 41 diantara 100 orang balita yang tidak terpapar kondisi lantai rumah tidak memenuhi syarat akan mengalami sakit ISPA Pneumonia. Resiko relatif (RR) = 1,6 menunjukkan besarnya efek keterpaparan, yaitu balita yang terpapar, lebih besar 1,6 kali kemungkinannya untuk mengalami ISPA Pneumonia dari pada balita yang tidak terpapar (Tabel 7). Tabel 4. Distribusi frekuensi berdasarkan pendidikan ibu Pendidikan SD SMP -SMA PT Total
Kel. Kasus n % 2 8,33 20 83,34 2 8,33 24 100
Kel. Kontrol n % 2 6,67 19 63,33 9 30 30 100
Jumlah 4 39 11 54
Tabel 5. Distribusi frekuensi berdasarkan status pekerjaan ibu Status pekerjaan Bekerja Tidak bekerja Total
Kel. Kasus n % 4 16,67 20 83,33 24 100
Kel. Kontrol n % 8 26,67 22 73,33 30 100
Jumlah 12 42 54
ISSN 2301-4024
Sundari, Kesehatan lingkungan dan kejadian ISPA pada balita
Tabel 6. Faktor kondisi langit-langit rumah tinggal yang tidak memenuhi syarat terhadap risiko kejadian ISPA pneumonia pada Balita Kelompok
Terpapar (TPP)
Kasus Kontrol Jumlah
8 3 11
Tidak terpapar (TTP) 16 27 43
Jumlah
Ket.
24 30 54
CI TPP = 0,72 CI TTP = 0,37 RR = 1,95
Tabel 7. Risiko faktor kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat terhadap risiko kejadian ISPA pneumonia pada Balita Kelompok Kasus Kontrol Jumlah
Tidak Terpapar terpapar (TPP) (TTP) 4 20 2 28 6 48
Jumlah 24 30 54
Ket. CI TPP = 0,66 CI TTP = 0,41 RR = 1,6
Tabel 8. Faktor kondisi lantai rumah tinggal responden yang tidak memenuhi syarat terhadap risiko kejadian ISPA pneumonia pada Balita Kelompok Kasus Kontrol Jumlah
Tidak Terpapar terpapar Jumlah Keterangan (TPP) (TTP) 3 21 24 CI TPP = 0,75 1 29 30 CI TTP = 0,37 4 50 54 RR = 1,78
Hasil pada Tabel 8 menunjukkan nilai CITPP =0,75 artinya 75 diantara 100 balita yang tinggal di rumah dengan kondisi lantai tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengalami sakit ISPA Pneumonia,dan CI tidak terpapar 0,37 artinya sekitar 37 diantara 100 orang balita yang tidak terpapar kondisi langit-langit tidak sehat akan mengalami sakit ISPA Pneumonia. Resiko relatif (RR) = 1,78 menunjukkan besarnya efek keterpaparan, yaitu balita yang terpapar, lebih besar 1,78 kali kemungkinannya untuk mengalami ISPA Pneumonia dari pada balita yang tidak terpapar. Berdasarkan kondisi jendela kamar tidur
ISSN 2301-4024
Tabel 9. Faktor kondisi jendela kamar tidur responden yang tidak memenuhi syarat terhadap risiko kejadian ISPA Pneumoni Tidak Kelompok Terpapar terpapar Jumlah Ket. (TPP) (TTP) Kasus 7 17 24 CI TPP = 0,7 Kontrol 3 27 30 CI TTP = 0,38 Jumlah 10 44 54 RR = 1,81
Tabel 10. Faktor kondisi jendela ruang keluarga rumah tinggal responden yang tidak memenuhi syarat terhadap kejadian ISPA pneumoni pada Balita Kelompok Kasus Kontrol Jumlah
Tidak Terpapar terpapar Jumlah Ket. (TPP) (TTP) 6 18 24 CI TPP = 0,85 1 29 30 CI TTP = 0,38 7 47 54 RR = 2,23
Tabel 11. Faktor kondisi ventilasi rumah tinggal yang tidak memenuhi syarat terhadap risiko kejadian ISPA Pneumoni
Tidak Terpapar Kelompok terpapar Jumlah Ket. (TPP) (TTP) Kasus 23 1 24 CI TPP = 0,46 Kontrol 27 3 30 CI TTP = 0,25 Jumlah 50 4 54 RR = 1,84
didapatkan nilai CITPP =0,7 atau 70%, artinya 70 diantara 100 balita yang tinggal di rumah dengan kondisi jendela kamar tidur tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengalami sakit ISPA Pneumonia ,dan CI tidak terpapar 0,38 atau 38%, artinya 38 diantara 100 orang balita yang tidak terpapar kondisi tidak memenuhi syarat tersebut akan mengalami sakit ISPA Pneumonia. Resiko relatif (RR) = 1,81 menunjukkan besarnya efek keterpaparan, yaitu balita yang terpapar, lebih besar 1,81 kali kemungkinannya untuk mengalami ISPA Pneumonia dari pada balita yang tidak terpapar kondisi tersebut (Tabel 9). Pada Tabel 10, Nilai CITPP =0,85 atau 85%, artinya 85 diantara 100 balita yang tinggal di rumah dengan kondisi jendela ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengalami sakit
103
JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN, VOLUME 4, NO. 2, OKTOBER 2015: 99-107
Tabel 12. Faktor kondisi lubang asap dapur rumah tinggal responden yang tidak memenuhi syarat terhadap kejadian ISPA pneumoni pada Balita Tidak Terpapar Kelompok terpapar Jumlah Ket. (TPP) (TTP) Kasus 23 1 24 CI TPP = 0,53 Kontrol 20 10 30 CI TTP = 0,09 Jumlah 43 11 54 RR = 5,88
Tabel 13. Faktor keberadaan cerobong asap dapur rumah tinggal responden yang tidak sehat terhadap kejadian ISPA pneumoni pada balita
Tabel 15. Faktor kelembaban rumah tinggal yang tidak memenuhi syarat terhadap risiko kejadian ISPA Pneumoni Kelompok Kasus Kontrol Jumlah
Tabel 16. Risiko faktor suhu udara rumah tinggal terhadap terhadap risiko kejadian ISPA Pneumonia pada Balita Kelompok
Kelompok Kasus Kontrol Jumlah
Tidak Terpapar terpapar Jumlah Ket. (TPP) (TTP) 21 3 24 CI TPP = 0,43 27 3 30 CI TTP = 0,5 RR = 0,875 48 6 54
Tabel 14. Faktor kondisi pencahayaan rumah tinggal responden yang tidak sehat terhadap risiko kejadian ISPA pneumoni pada Balita
Kelompok Kasus Kontrol Total
Tidak Terpapar terpapar Jumlah Ket. (TPP) (TTP) 17 7 24 CI TPP = 0,48 18 12 30 CI TTP = 0,36 35 19 54 RR = 1,31
ISPA Pneumonia, dan CI tidak terpapar 0,38 atau 38%, artinya 38 diantara 100 orang balita yang tidak terpapar kondisi tidak memenuhi syarat akan mengalami sakit ISPA Pneumonia.Risiko relatif (RR) = 2,23 menunjukkan besarnya efek keterpaparan, yaitu balita yang terpapar, lebih besar 2,23 kali kemungkinannya untuk mengalami ISPA Pneumonia dari pada balita yang tidak terpapar tersebut. Pada Tabel 11, nilai CI TPP =0,46 atau 46 %, artinya 46 diantara 100 Balita yang tinggal di rumah dengan kondisi ventilasi tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengalami sakit Ispa Pneumoni,dan CI tidak terpapar 0,25 atau 25 %,
104
Tidak Terpapar terpapar Jumlah Ket. (TPP) (TTP) 14 10 24 CI TPP = 0,41 20 10 30 CI TTP = 0,5 34 20 54 RR = 0,82
Kasus Kontrol Jumlah
Tidak Terpapar terpapar Jumlah Ket. (TPP) (TTP) 0 24 24 CI TPP = 0 30 30 CI TTP = 0,44 0 54 54 RR = -
Tabel 17. Risiko faktor kepadatan penghuni terhadap risiko kejadian ISPA pneumonia pada Balita Kelompok Kasus Kontrol Jumlah
Tidak Terpapar terpapar Jumlah Ket. (TPP) (TTP) 10 14 24 CI TPP = 0,76 3 27 30 CI TTP = 0,34 13 41 54 RR = 2,25
artinya sekitar 25 diantara 100 0rang Balita yang tidak terpapar kondisi ventilasi tidak sehat akan mengalami sakit ISPA Pneumoni. Resiko relatf (RR) = 1,84 menunjukkan besarnya efek keterpaparan, yaitu Balita yang terpapar kondisi ventilasi rumah tidak memenuhi syarat lebih besar 1,84 kali kemungkinannya untuk mengalami ISPA Pneumoni dari pada Balita yang tidak terpapar kondisi tersebut CI TPP =0,53 atau 53%, artinya 53 diantara 100 Balita yang tinggal di rumah dengan lubang asap dapur tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengalami sakit Ispa Pneumoni,dan CI tidak terpapar 0,09 atau 9 %, artinya sekitar 9 diantara 100 0rang Balita yang tidak terpapar kondisi lubang asap dapur tidak memenuhi syarat akan mengalami sakit ISPA Pneumoni. Resiko relatf
ISSN 2301-4024
Sundari, Kesehatan lingkungan dan kejadian ISPA pada balita
Tabel 18. Faktor dominan kondisi kesehatan lingkungan terhadap risiko kejadian ISPA Pneumoni pada Balita
No pernyataan
7 12 5 1 6 4 3 2 9 8 10 11
Komponen rumah tidak sehat (faktor risiko)
Lubang asap dapur Kepadatan penghuni Jendela ruang kel. Langit-langit Ventilasi Jendela kamar tidur Lantai Dinding Pencahayaan Cerobong asap dapur Kelembaban Suhu
Insidens komulatif (CI) terpapar
Tidak terpapar
0,53 0,77 0,85 0,72 0,46 0,7 0,75 0,66 0,48 0,43 0,41 -
0,09 0,34 0,38 0,37 0,25 0,38 0,42 0,41 0,36 0,5 0,5 0,44
(RR) = 5,88 menunjukkan besarnya efek keterpaparan, yaitu Balita yang tinggal pada rumah dengan lubang asap dapur tidak memenuhi syarat, lebih besar 5,88 kali kemungkinannya untuk mengalami ISPA Pneumoni dari pada Balita yang tidak terpapar kondisi tersebut (Tabel 12). CI TPP =0,43 atau 43%, artinya 43 diantara 100 Balita yang tinggal di rumah dengan kondisi tanpa cerobong asap dapur akan mengalami sakit Ispa Pneumoni,dan CI tidak terpapar 0,5 atau 50 %, artinya sekitar 50 diantara 100 0rang Balita yang tidak terpapar kondisi tidak sehat tersebut akan mengalami sakit ISPA Pneumoni. Resiko relatf (RR) = 0,875 menunjukkan besarnya efek keterpaparan, yaitu Balita yang terpapar, lebih kecil 0,875 kali kemungkinannya untuk mengalami ISPA Pneumoni dari pada Balita yang tidak terpapar rumah tinggal tanpa asap dapur (Tabel 13). CI TPP =0,48 atau 48 %, artinya 48 diantara 100 Balita yang tinggal pada rumah dengan pencahayaan ruangan tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengalami sakit Ispa Pneumoni,dan CI tidak terpapar 0,36 atau 36 %, artinya sekitar 36 diantara 100 0rang Balita yang tidak terpapar kondisi pencahayaan tidak sehat akan mengalami sakit ISPA Pneumoni. Resiko relatf (RR) = 1,31 menunjukkan besarnya efek keterpaparan, yaitu Balita yang terpapar, lebih
ISSN 2301-4024
Relatif Risiko (RR) l
Urutan faktor risiko dominan
5,88 2,25 2,23 1,95 1,84 1,81 1,78 1,6 1,31 0,87 0,82 -
I II III IV V VI VII VIII IX X XI
besar 1,31 kali kemungkinannya untuk mengalami ISPA Pneumoni dari pada Balita yang tidak terpapar kondisi tersebut (Tabel 14). CI TPP =0,41 atau 41%, artinya 41 diantara 100 Balita yang tinggal di rumah dengan kondisi kelembaban ruangan tidak memenuhi syarat, mengalami sakit ISPA Pneumoni, dan CI tidak terpapar 0,5 atau 50%, artinya sekitar satu diantara dua 0rang Balita yang tidak terpapar kondisi kelembaban tidak memenuhi syarat akan mengalami sakit ISPA Pneumoni. Resiko relatf (RR) = 0,82 menunjukkan besarnya efek keterpaparan, yaitu Balita yang terpapar, lebih kecil 0,82 kali kemungkinannya untuk mengalami ISPA Pneumoni dari pada Balita yang tidak terpapar kondisi tersebut (Tabel 15). Pengukuran suhu udara pada rumah tinggal kelompok kasus dan kelompok kontrol dilakukan pada bulan Agustus s/d September, pada musim kemarau, sehingga hasil pengukuran menunjukkan angka sekitar (23-26) 0 C, dimana seluruh rumah tinggal Balita kelompok kasus maupun kelompok kontrol masih dalam katagori memenuhi syarat, artinya tidak satupun Balita kelompok kasus maupun kelompok kontrol terpapar suhu yang tidak sehat CI TTP ==0,44 artinya, 44 Balita diantara
105
JURNAL PENDIDIKAN KESEHATAN, VOLUME 4, NO. 2, OKTOBER 2015: 99-107
100 Balita akan terkena ISPA Pneumonia (Tabel 16). CI TPP =0,76 atau 76%, artinya 76 diantara 100 Balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan penghuni tinggi akan mengalami sakit Ispa Pneumoni,dan CI tidak terpapar 0,37 atau 37 %, artinya sekitar 37 diantara 100 0rang Balita yang tidak terpapar kondisi tidak memenuhinsyarat akan mengalami sakit ISPA Pneumoni. Resiko relatf (RR) = 2,25 menunjukkan besarnya efek keterpaparan, yaitu Balita yang terpapar lebih besar 1,95 kali kemungkinannya untuk mengalami ISPA Pneumoni dari pada Balita yang tidak tinggal pada rumah dengan kepadatan penghuni tinggi (Tabel 17). Urutan kondisi kesehatan lingkungan yang menjadi faktor dominan risiko terhadap kejadian ISPA Pneumoni pada Balita adalah yang memiliki nilai RR .> 1 adalah : 1) keberadaan lubang asap dapur yang tidak memenuhi syarat kesehatan, 2) rumah dengan kepadatan penghuni tinggi, 3) jendela ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat kesehatan, 4) rumah tinggal dengan tidak ada langit-langit atau kondisi yang kotor berdebu, 5) keberadaan ventilasi ruangan dalam rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan, 6) keberadaan jendela ruang tidur yang tidak memenuhi syarat, 7) keberadaan lantai yang tidak kedap air, 8) keberadaan dinding rumah yang tidak permanen, 9) kelembaban ruangan yang tidak memenuhi syarat kesehatan, 10) pencahayaan rumah yang kurang terang atau silau (Tabel 18). PEMBAHASAN Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa usia penderita ISPA Pneumoni yang bayi (0 - <1 fahun) sebanyak 33,33% dan (1- <5) tahun sebanyak 66,67%, hal ini kemungkinan terjadi karena bayi dibawah 3 bulan memiliki fungsi pelindung antibody keibuan, infeksi meningkat setelah berumur (3-6) bulan. Ketika anak umur 5 tahun, infeksi pernapasan yang disebabkan oleh virus berkurang frekuensinya, tetapi pengaruh infeksi mycoplasma pneumoni dan grup A-B Hymolitic Streptococcus akan meningkat, beberapa virus membuat sakit ringan pada anak yang lebih tua, namun
106
menyebabkan sakit yang hebat pada sistem pernapasan bawah (Depkes RI, 2006). Proporsi jenis kelamin laki-laki memang rendah, namun belum tentu morbiditas balita lakilaki masih tetap lebih rendah, karena kenyataannya penduduk perempuan lebih banyak dari laki-laki dan diasumsikan balita perempuan juga lebih dari balita laki-laki Status pendidikan ibu balita kelompok kasus dan kelompok kontrol sebagian besar dalam katagori menengah (SMP & SMA), namun tingkat pendidikan tinggi lebih besar pada kelompok kontrol, dan timgkat pendidikan rendah lebih besar pada kelompok kasus. Demikian sebagian besar responden adalah tidak bekerja, dan proporsi tidak bekerja lebih besar pada kelompok kasus. Hasil penelitian ini sesuai dengan yang dikemukakan Hartono (2012) bahwa faktor yang mempengaruhi terjadinya ISPA adalah fator intrinsik umur anak, musim , kondisi tempat tinggal , masalah kesehatan yang ada, pendidikan orang tua, Status ekonomi dan penggunaan fasilitas kesehatan. Menurut Rahajoe (2008) tingkat pendidikan orang tua menunjukkan hubungan terbalik antara kejadian dengan kematian ISPA. Tingkat pendidikan berhubungan erat dengan ssosial ekonomi ,dan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA Pneumoni tidak diketahui dan diobati. Sebanyak 12 komponen rumah yang diduga sebagai faktor dominan risiko terjadinya ISPA Pneumoni pada balita, hasil analisis mengungkapkan bahwa 9 (sembilan) diantaranya adalah faktor komponen rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang menjadi faktor risiko terjadinya ISPA Pneumoni pada balita, apabila diambil enam faktor dominan dominan, maka komponen rumah tidak memenuhi syarat yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA Pneumonia pada balita adalah 1) keberadaan lubang asap/ventilasi dapur yang tidak memenuhi syarat kesehatan, 2) rumah dengan kepadatan penghuni tinggi, 3) jendela ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat kesehatan, 4) rumah tinggal dengan tidak ada langit-langit atau kondisi yang kotor berdebu, 5) keberadaan ventilasi ruangan
ISSN 2301-4024
Sundari, Kesehatan lingkungan dan kejadian ISPA pada balita
dalam rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan 6) keberadaan jendela ruang tidur yang tidak memenuhi syarat Hasil penelitian ini sesuai dengan Depkes RI (2011) bahwa pertukaran udara yang tidak memenuhi syarat akibat ventilasi yang kurang dan tidak adanya pemeliharaan AC secara berkala dapat menyebabkan suburnya pertumbuhan mikro organisme, yang mengakibatkan gangguan kesehatan. Demikian pula kelembaban yang terlalu tinggi atau rendah dapat menyuburkan pertumbuhan mikro organisme. Partikel debu (PM 2,5 dan PM 10 ) dapat menyebabkan Pneumonia, gangguan sistem pernapasan, iritasi mata, alergi, bronchitis chronis. Kondisi tidak memenuhi syarat komponen lubang asap dapur, kepadatan penghuni tinggi, jendela ruang keluarga yang tidak memenuhi syarat kesehatan, tidak ada langit-langit atau kondisi yang kotor berdebu, ventilasi ruangan yang kurang, dan jendela ruang tidur yang tidak memenuhi syarat memperburuk kualitas udara dalam ruang rumah, yaitu polutan asap dapur, debu rumah, lembab, peningkatan suhu udara, yang semuanya sangat dominan menjadi risiko terjadinya ISPA Pneumoni pada balita Terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut beberapa faktor penyebaran berkaitan dengan kondisi lingkungan (misalnya polutan udara, kepadatan anggota keluarga), kelembaban, kebersihan, musim, temperature; ketersediaan dan efektifitas pelayanan kesehatan; faktor penjamu seperti usia, kebiasaan merokok, kemampuan penjamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya, infeksi serentak oleh patogen lain dan kondisi kesehatan umum, serta karakteristik patogen (WHO,2007). Belum diketahui seberapa besar pengaruh perilaku tidak sehat dan kondisi lingkungan rumah tinggal secara bersama-sama menjadi faktor dominan risiko terjadinya ISPA Pneumoni pada Balita PENUTUP
terjadinya penyakit Pneumonia pada balita dengan nilai RR > 1, dengan rentang nilai RR (1,37–5,88) yang artinya (1,37–5,88) kali lebih besar kemungkinan risiko terjadi ISPA Pneumonia pada balita terpapar daripada balita yang tidak terpapar kondisi rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Hasil analisis kondisi kesehatan rumah tinggal yang tidak menjadi faktor risiko terjadinya ISPA Pneumoni pada balita adalah keberadaan cerobong asap, pencahayaan, dan kepadatan penghuni.
DAFTAR PUSTAKA Depkes RI. 1992. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA). Jakarta: Dirjen PPM & PLP. Depkes RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut Penanggulangan Pneumonia Pada Balita,Dirjen PP&PL Depkes RI. 2009. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kesehatan 2004-2025 Depkes RI . 2011. Profil Kesehatan Indonesia 2010. Jakarta: Bakti Husada Depkes RI. 2006. Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut, Untuk Penanggulangan Pneumoni Pada Balita. Hikmawati, Isna. 2011. Buku Ajar Epidemiologi. Yogyakarta: Nuha Medika. Machfoedz, Ircham. 2007. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan Keperawatan dan Kebidanan. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Penerbit Fitramaya. Rasmaliah. 2004. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) dan Penanggulangannya. FKM Universitas Sumatera Utara Safitri. 2011. Sepuluh Besar Penyakit Terbanyak di Indonesia, : http://doc-alfarisi.blogspot.com/2011/ 04/10-besar-penyakit-terbanyak-di.html, diakses tanggal 22 Desember 2012 WHO.2007. Pencegahan dan Pengendalian ISPA yang Cenderung Menjadi Epidemi & Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan, Pedoman Interim WHO Widoyono. 2008. Penyakit Tropis; Epidemiologi, penularan, pencegahan dan pemberantasannya. Jakarta: Erlangga
Terdapat sembilan komponen rumah tidak memenuhi syarat yang menjadi faktor risiko
ISSN 2301-4024
107