ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA PNEUMONIA PADA BALITA DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2011-2015
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Oleh : ISNAENI WAHYU SAPUTRI NIM: 1112101000024
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/ 2016 H
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Judul Skripsi ANALISIS SPASIAL FAKTOR LINGKUNGAN PENYAKIT ISPA PNEUMONIA PADA BALITA DI PROVINSI BANTEN TAHUN 2011-2015
Telah disetujui, diperiksa dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Disusun Oleh: ISNAENI WAHYU SAPUTRI NIM: 1112101000024 Jakarta, Desember 2016 Mengetahui Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes
Catur Rosidati, MKM
NIP. 19721002 200604 2 001
NIP. 19750210 200801 2 018 i
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Disusun Oleh: ISNAENI WAHYU SAPUTRI NIM: 1112101000024 Jakarta, Desember 2016 Penguji I
Hoirun Nisa, M. Kes, Ph.D NIP. 197904272005012005 Penguji II
Siti Rahmah, MKKK
Penguji III
Andi Asnifatimah, SKM, M.Kes ii
PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta,
Desember 2016
Isnaeni Wahyu Saputri
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP DATA DIRI Nama
: Isnaeni Wahyu Saputri
Jenis Kelamin
: Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir
: Purwokerto, 23 Agustus 1994
Usia
: 22 Tahun
Agama
: Islam
No. Telpon
: 089661824299
Alamat
: Gg. H. Sapri, RT 07 RW 03, no. 79, Kelurahan Parung Serab, Kecamatan Ciledug, Kota Tangerang
Email
:
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN 2012 - sekarang
: Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan,
Universitas
Hidayatullah Jakarta 2009 – 2012
: SMAN 12 Tangerang
2006 – 2009
: SMPN 3 Tangerang
2000 – 2006
: SDN Peninggilan 03
iv
Islam
Negeri
Syarif
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Desember 2016 Isnaeni Wahyu Saputri, NIM: 1112101000024 Analisis Spasial Faktor Lingkungan Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 xix + 122 halaman, 2 bagan, 2 grafik, 4 tabel, 9 peta, 2 lampiran ABSTRAK Penyakit ISPA pneumonia merupakan pembunuh nomor satu balita di Indonesia dengan estimasi kematian sebesar 80-90%. Sejak tahun 2011-2013 penyakit ini menjadi 10 penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat di Provinsi Banten. Bahkan Provinsi Banten termasuk kedalam 10 Provinsi dengan kasus ISPA terbesar di Indonesia. Dibutuhkan analisis situasi penyakit ISPA pneumonia di Provinsi Banten menggunakan analisis spasial untuk menghadirkan informasi faktor-faktor lingkungan yang memiliki kecenderungan berkontribusi dalam terjadinya penyakit ISPA pneumonia pada balita secara lebih baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi dan memetakan distribusi penyakit ISPA pneumonia pada balita beserta faktor lingkungan seperti faktor lingkungan fisik (jenis lantai rumah, jenis dinding rumah, jenis bahan bakar memasak, kepadatan ternak, dan kepadatan industri) dan faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan dan kemiskinan) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-2015. Disain studi penelitian ini adalah ecological study dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus ISPA pneumonia pada balita per Kabupaten/Kota yang terlaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. Distribusi kejadian penyakit ISPA pneumonia yang tinggi pada balita selama tahun 2011-2015 memperlihatkan adanya kecenderungan lebih terpusat di wilayah timur Provinsi Banten. Kemudian, terdapat pola persebaran penyakit, dimana tingkat kejadian ISPA pneumonia pada balita yang sama terjadi di wilayah yang berdekatan. Pola persebaran penyakit ISPA pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan ternak, kepadatan industri, dan jenis pekerjaan industri memiliki kecenderungan ke arah positif. Sedangkan pola persebaran penyakit ISPA pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis lantai, jenis dinding, jenis bahan bakar, jenis pekerjaan pertanian dan kemiskinan memiliki kecenderungan ke arah negatif. Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk menanggulangi permasalahan ISPA pneumonia pada balita dimulai dengan kabupaten/kota dengan kasus v
tertinggi kemudian dilanjutkan dengan wilayah yang ada di sekitarnya, meningkatkan upaya dalam memperbaiki kesehatan lingkungan di sektor industri dan peternakan, serta meningkatkan ketersediaan data yang lebih baik. Kata Kunci: Analisis spasial, faktor lingkungan, ISPA pneumonia balita, Provinsi Banten.
vi
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduate Thesis, December 2016 Isnaeni Wahyu Saputri, NIM: 1112101000024 Spatial Analysis Environmental Factors of Pneumonia Acute Respiratory Infection In Children Under Five Years in Banten Province 2011-2015 xix + 122 pages, 2 charts, 2 graph, 4 tables, 9 maps, 2 attachments ABSTRACT Pneumonia Acute Respiratory Infection (ARI) is the number one killer of children under five years in Indonesia with an estimated mortality of 80-90%. Since 2011-2013, the illness becomes 10 diseases suffered by people in the Banten Province. Even Banten included into 10 provinces with the largest ARI cases in Indonesia. An analysis of the situation of Pneumonia ARI in Banten use spatial analysis to present a better information about environmental factors that allow contribute to the occurrence of respiratory diseases in children under five years. This study aimed to determine the frequency and map the distribution of Pneumonia ARI in children under five years and environmental factors such as physical environmental factors (type of floor, type of walls, type of cooking fuel, stocking density, and industry density) and socioeconomic environmental factors (type employment and poverty) based on the regency / cities in Banten Province 2011-2015. The design of this research study is an ecological study with approach of Geographic Information Systems (GIS). The population in this study are all Pneumonia ARI cases in children under five years per regency/city reported by the Banten Provincial Health Office during the years 2011-2015. The distribution of the incidence of pneumonia in children under five years that have high cases during 2011-2015 show a pattern of spread of the disease that have a tendency centrally in east area of Banten Province. Then, there is the pattern which the incidence rate of pneumonia in children under five years same is occur in the adjacent territory. The pattern of the spread of pneumonia in children against environmental factors such as stocking density, industries density, and types of industrial work have a tendency toward positive. The pattern of spread of Pneumonia in children against environmental factors such as the type of floor, wall type, fuel type, the type of agricultural work, and poverty have a tendency towards negative. It is suggested that the Provincial Health Office of Banten to cope pneumonia in children under five years starting with regency/cities with highest cases and then proceed with the area around it, an increased effort to improve environmental health in industry and agriculture, and increase cooperation for a better database availability. Keywords: Spatial analysis, Environmental factors, Pneumonia in Children under five years, Banten Province. vii
LEMBAR PERSEMBAHAN
Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR. Ahmad, ath-Thabrani, ad-Daruqutni)
“Barang siapa yang memudahkan kesulitan seorang mu’min dari berbagai kesulitankesulitan dunia, Allah akan memudahkan kesulitan-kesulitannya pada hari kiamat. Dan siapa yang memudahkan orang yang sedang dalam kesulitan niscaya akan Allah mudahkan baginya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim).
Skripsi ini aku persembahkan untuk: Bapak dan Mamah yang sangat aku cintai Kakak dan Adikku tersayang Sahabat-sahabatku terkasih Almamaterku UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Bismillaahirrahmaanirrahiim Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya laporan hasil penelitian ini dapat diselesaikan. Sholawat serta salam tidak lupa senantiasa dilimpahkan keharibaan Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umat Nya dari zaman yang gelap gulita menuju ke zaman yang terang benderang. Laporan ini disusun untuk menunjang gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat. Laporan skripsi dengan judul “Analisis Spasial Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita di Provinsi Banten Tahun 2011-2015” dapat selesai dengan baik dan tepat pada waktunya berkat bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, ucapan terimakasih dituturkan secara ikhlas dan penuh kerendahan hati atas terselesaikannya laporan skripsi ini kepada: 1. Keluarga tercinta, Bapak, Mamah, Mba Puput dan Shanti, terima kasih atas dukungan dan doa yang tiada hentinya, perhatian, serta kasih sayang kalian yang sangat luar biasa. 2. Prof. Dr. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, dan Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.KM selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat. 3. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku pembimbing 1 yang selalu siap memberikan bimbingan, masukan, dan nasihat yang selalu saya ingat.
ix
4. Ibu Catur Rosidati, MKM selaku pembimbing 2 yang banyak membantu dalam memberikan bimbingan dan masukan-masukan yang sangat baik dalam penelitian ini. 5. Ibu Hoirun Nisa, M. Kes, Ph.D, Ibu Siti Rahmah Hidayatullah Lubis, MKKK, dan Ibu Andi Asnifatima, SKM, M. Kes, selaku penguji yang telah banyak memberikan penilaian dan masukan untuk perbaikan. 6. Bapak Fajar Nugraha, yang telah memberikan ilmu tentang Sistem Informasi Geografis, selalu bersedia menyediakan waktu untuk bimbingan dan diskusi, membantu dalam memberi masukan, pendapat, nasihat-nasihat yang akan selalu saya ingat, saya ucapkan banyak terima kasih. 7. Jajaran Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Banten yang telah memberikan saya izin untuk melaksanakan penelitian ini. Terima kasih kepada seluruh staff bagian P2 Dinas Kesehatan Provinsi Banten terutama Teh Ratna karena telah bersedia meluangkan waktunya untuk berdiskusi dan memberikan data yang dibutuhkan untuk penelitian ini. 8. Sahabat-sahabat tercinta yang selalu ada saat senang maupun sedih, terima kasih untuk doanya, semangatnya, bantuannya, terima kasih Abd Rohim, Yufa Zuriya, Tyas Indah, Sri Widiyastuti, Nuril Hidayah, dan Lilis Yuliarti. 9. Seluruh teman peminatan Kesehatan Lingkungan angkatan 2012 yang selalu memberi semangat, dukungan dan doa sampai penelitian ini selesai. 10. Teman-teman seperjuangan jurusan kesehatan masyarakat angkatan 2012 yang memberi dukungan selama melaksanakan penelitian ini.
x
11. Semua civitas akademika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang turut memberikan berbagai fasilitas yang mendukung penelitian ini serta berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak memberikan kontribusi dalam proses penyusunan penelitian ini. Penulis berharap laporan ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri, mahasiswa, peneliti lainnya, pihak Dinas Kesehatan Provinsi Banten dan masyarakat pada umumnya. Namun, dalam laporan ini tentu tidak lepas dari kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi kesempurnaan laporan ini. Wassalamu’alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh
Ciputat, Desember 2016
Penulis
xi
DAFTAR ISI DAFTAR ISI PERNYATAAN PERSETUJUAN...................................................................................i PERNYATAAN BEBAS PLAGIASI ........................................................................... iii DAFTAR RIWAYAT HIDUP .......................................................................................iv ABSTRAK ....................................................................................................................... v LEMBAR PERSEMBAHAN ...................................................................................... viii KATA PENGANTAR .....................................................................................................ix DAFTAR ISI .................................................................................................................. xii DAFTAR BAGAN .........................................................................................................xvi DAFTAR GRAFIK ..................................................................................................... xvii DAFTAR TABEL ...................................................................................................... xviii DAFTAR PETA ............................................................................................................xix BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1 1.1
Latar Belakang .................................................................................................... 1
1.2
Rumusan Masalah ............................................................................................... 6
1.3
Pertanyaan Penelitian .......................................................................................... 7
1.4
Tujuan Penelitian ................................................................................................. 8
1.5
1.6
1.4.1
Tujuan Umum .............................................................................................. 8
1.4.2
Tujuan Khusus ............................................................................................. 8
Manfaat Penelitian ............................................................................................... 9 1.5.1
Bagi Penelitian Selanjutnya ......................................................................... 9
1.5.2
Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Banten ....................................................... 9
1.5.3
Bagi Masyarakat......................................................................................... 10
Ruang Lingkup .................................................................................................. 10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.................................................................................... 11 2.1
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) .......................................................... 11 xii
2.2
Klasifikasi ISPA pada Balita ............................................................................. 12
2.3
Mekanisme Terjadinya ISPA ............................................................................ 13
2.4
Faktor Risiko ISPA ........................................................................................... 15 2.4.1
Faktor Individu ........................................................................................... 15
2.4.2
Faktor Lingkungan Fisik ............................................................................ 20
2.4.3
Faktor Lingkungan Sosial Ekonomi........................................................... 30
2.5
Program Penanggulangan ISPA ........................................................................ 35
2.6
Analisis Spasial ................................................................................................. 38
2.7
Kerangka Teori .................................................................................................. 39
BAB III KERANGKA KONSEP .................................................................................. 42 3.1
Kerangka Konsep .............................................................................................. 42
3.2
Definisi Operasional .......................................................................................... 44
BAB IV METODOLOGI .............................................................................................. 47 4.1
Desain Penelitian ............................................................................................... 47
4.2
Waktu dan Lokasi Penelitian ............................................................................. 47
4.3
Populasi Penelitian ............................................................................................ 47
4.4
Manajemen Data ................................................................................................ 47 4.4.1
Pengumpulan Data ..................................................................................... 47
4.4.2
Pengolahan Data......................................................................................... 48
4.5
Instrumen Penelitian .......................................................................................... 50
4.6
Analisis Data ..................................................................................................... 51
BAB V HASIL ................................................................................................................ 52 5.1
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................................... 52
5.2
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Berdasarkan Faktor Lingkungan Fisik Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015.................................................................... 58 5.2.1
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .......................... 58 xiii
5.3
5.2.2
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Dinding Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 61
5.2.3
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Bahan Bakar Memasak Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 64
5.2.4
Distribusi Frekuensi Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 70
5.2.5
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jumlah Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .......................................... 73
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Faktor Lingkungan Sosial Ekonomi Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ................ 76 5.3.1
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Pekerjaan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 ...................................... 76
5.3.2
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kemiskinan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 ....................................................... 79
BAB VI PEMBAHASAN............................................................................................... 82 6.1
Keterbatasan Penelitian ..................................................................................... 82
6.2
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................................... 82
6.3
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Faktor Lingkungan Fisik Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ................................. 86
6.4
6.3.1
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .......................... 86
6.3.2
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Dinding Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 90
6.3.3
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Bahan Bakar Memasak Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............ 93
6.3.4
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .............................. 96
6.3.5
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jumlah Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .......................................... 98
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Faktor Lingkungan Sosial Ekonomi Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .............. 100 xiv
6.4.1
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Pekerjaan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 .................................... 100
6.4.2
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kemiskinan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 ..................................................... 104
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN .................................................................... 107 7.1
Kesimpulan ...................................................................................................... 107
7.2
Saran ................................................................................................................ 109
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................... 111 LAMPIRAN .................................................................................................................. 124
xv
DAFTAR BAGAN DAFTAR BAGAN
Bagan 2. 1 Kerangka Teori .............................................................................................. 41 Bagan 3. 1 Kerangka Konsep ........................................................................................... 43
xvi
DAFTAR GRAFIK DAFTAR GRAFIK
Grafik 5. 1 Distribusi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............................................................ 52 Grafik 5. 2 Insidens ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ............................................................ 54
xvii
DAFTAR TABEL DAFTAR TABEL
Tabel 2. 1 Kategori Status Gizi Pada Balita .................................................................................. 16 Tabel 2. 2 Perbandingan Jumlah Kamar dan Penghuninya........................................................... 24 Tabel 3. 1 Definisi Operasional .................................................................................................... 44 Tabel 4. 1 Daftar Variabel, Instrument, dan Instansi Data Sekunder Penelitian .......................... 50
xviii
DAFTAR PETA DAFTAR PETA
Peta 5. 1 Distribusi Insidens Penyakit ISPA Pnemonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................................... 56 Peta 5. 2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai Rumah di Provinsi Banten Tahun 2011-2015........................................ 59 Peta 5. 3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Dinding Rumah di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ..................................... 62 Peta 5. 4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Bahan Bakar Memasak di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ......................... 65 Peta 5. 5 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai Kayu, Jenis Dinding Kayu, dan Jenis Bahan Bakar Kayu di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................................................................................. 68 Peta 5. 6 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 .................... 71 Peta 5. 7 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kepadatan Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 ................................ 74 Peta 5. 8 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 ............................................... 77 Peta 5. 9 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kemiskinan Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 .......................... 80
xix
BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) masih menjadi masalah kesehatan utama di dunia. Penyakit ini menjadi penyebab utama morbiditas dan mortalitas penyakit infeksi di seluruh dunia (WHO, 2014) dengan angka kejadian sebesar 18,8 miliar kasus dan jumlah kematian sebesar 4 juta orang setiap tahunnya (WHO, 2015). Secara global, ISPA menjadi penyebab ke-7 terbesar dari terjadinya kematian terkait lingkungan (WHO, 2016). Penyakit ini terjadi di seluruh wilayah mulai dari negara miskin, negara berkembang sampai negara maju. Seperti di wilayah Sub Sahara Afrika, China, dan Australia dimana penyebab utama kunjungan masyarakat ke pelayanan kesehatan adalah ISPA (Jary, et al., 2015, Juan, et al., 2014, Clucas, et al., 2008). Selama tahun 2015, jumlah kematian akibat ISPA tertinggi terjadi di wilayah Afrika, yang selanjutnya diikuti oleh Asia Tenggara (WHO, 2016). Infeksi Saluran Pernapasan Akut dapat dikategorikan menjadi 2 jenis yaitu infeksi saluran pernapasan atas dan infeksi saluran pernapasan bawah (Simoes et al, 2006). Pneumonia merupakan salah satu dari jenis infeksi saluran pernapasan bawah dan telah menjadi perhatian serius, karena merupakan penyebab utama dari kematian
1
balita terutama di negara berkembang dengan 3 juta kematian setiap tahunnya (WHO, 2015). Balita merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap penyakit ISPA. Sepanjang tahun 2015, pneumonia telah menyebabkan 5,9 juta balita meninggal dunia (WHO, 2016). Hal ini menjadikan ISPA pneumonia menjadi penyebab terbesar atas kematian anak di seluruh dunia, terutama di wilayah Asia Tenggara dan Sub Sahara Afrika (WHO, 2015) dengan perkiraan jumlah kematian sebesar 51 % (Dawood, 2012). Di wilayah Asia Tenggara, Indonesia merupakan negara dengan jumlah kematian akibat ISPA tertinggi yaitu sebesar 25.000 jiwa selama tahun 2015, kemudian diikuti oleh Philipina, Myanmar, Vietnam, Laos, dan Kamboja (WHO, 2016). Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar Nasional tahun 2013 period prevalence ISPA pneumonia di Indonesia sebesar 2,7 % yang mengalami peningkatan dari hasil sebelumnya pada tahun 2007 yaitu sebesar 2,1 % (Kemenkes RI, 2013). Bahkan, pneumonia sempat menjadi penyebab terbesar kematian bayi yang terjadi di 10 provinsi di Indonesia pada tahun 2005, yaitu sebesar 22,30 % dari seluruh kematian bayi (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012). Sehingga penyakit ISPA pneumonia menjadi pembunuh balita nomor satu di Indonesia dengan perkiraan kematian sebesar 80-90% (Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, 2014). Berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2013 Provinsi Banten masuk kedalam 10 provinsi dengan ISPA tertinggi di Indonesia, dimana periode prevalence ISPA pneumonia pada balita sebesar 19,3 permil dan telah melebihi angka Indonesia yaitu 2
18,5 permil (Kemenkes RI, 2013). Sementara itu, berdasarkan hasil Riskesdas Banten tahun 2007 rasio prevalensi pneumonia klinis sebulan terakhir adalah lebih dari 1 per 10 dari prevalensi klinis ISPA (Depkes RI, 2009 & 2013). Penyakit Pneumonia pada balita di Provinsi Banten cenderung mengalami fluktuasi, dimana pada tahun 2009 terdapat 13.098 kasus (1,6 %), kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2010 menjadi 35.767 kasus (2,6 %), tahun 2011 mengalami penurunan kembali menjadi 20.475 kasus (1,8 %), dan terjadi lagi peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2012 menjadi 116.906 kasus (10,8%). Dan setiap tahun ISPA selalu menjadi urutan pertama dari 10 penyakit terbanyak yang terjadi di Provinsi Banten (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011, 2012, 2013). Salah satu indikator yang ingin dicapai pada Millenium Development Goals (MDGs) adalah menurunkan angka kematian bayi dan balita. Namun berdasarkan hasil pencapaian MDGs 2000-2015 indikator tersebut tidak tercapai di Indonesia dan hingga kini masih menjadi masalah yang dibutuhkan kerja keras untuk mengatasinya (Kemenkes RI, 2015). Karena ISPA pneumonia merupakan penyebab utama kematian pada bayi dan balita di Indonesia, maka penanggulangan dan pemberantasan penyakit ISPA pneumonia sangat diperlukan sebagai upaya pencapaian indikator tersebut. Perencanaan program pemberantasan penyakit ISPA harus dibentuk secara baik, dan berdasarkan pedoman pelaksanaan Sustainable Development Goals (SDGs) di Indonesia bahwa peran pemerintah provinsi menjadi kekuatan dasar dalam mewujudkan indikator yang ingin dicapai (Kemenkes RI, 2015), maka perencanaan program pemberantasan penyakit ISPA terutama 3
pneumonia di tingkat Provinsi perlu dibuat dengan melakukan analisis situasi penyakit yang sedang terjadi, mulai dari jumlah kasus, distribusi, serta karakteristik dan faktor yang berkontribusi terhadap situasi penyakit tersebut. Berbagai hasil penelitian menyatakan bahwa kondisi lingkungan pada kelompok masyarakat di suatu wilayah merupakan penyebab dari terjadinya penyakit ISPA. Keberadaan sumber-sumber pencemaran udara seperti gas buang kendaraan bermotor, industri (Wardhani et al, 2010), pemeliharaan ternak di sekitar tempat tinggal (Herawati & Sukoco, 2011) dapat menciptakan kondisi lingkungan udara yang buruk dan merupakan faktor utama penyebab penyakit ISPA. Selain itu faktor lingkungan dalam rumah juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA (Shibata et al, 2014), seperti kondisi dinding rumah (Soesanto, Lubis, & Atmosukarto, 2000), lantai rumah, sampai dengan penggunaan bahan-bahan yang dapat menimbulkan pencemaran udara di dalam rumah seperti obat nyamuk bakar (Yulianti, Setiani, & Hanani, 2012) dan bahan bakar memasak (Acharya, Mishra, & Beckhoff, 2014) berperan dalam terjadinya penyakit ISPA. Bahkan faktor sosial dan ekonomi masyarakat seperti kepadatan penduduk (Breiman, et al., 2015), pendapatan (Prakash, 2014), dan pekerjaan (Cohen, 2006) juga ikut mempengaruhi kejadian penyakit ISPA. Berbagai pencemaran udara tersebut dapat menimbulkan penyakit ISPA dan dapat memperberat kondisi seseorang yang sudah menderita ISPA terutama pneumonia pada Balita (Ditjen P2PL, 2012) Untuk melihat gambaran situasi penyakit ISPA beserta faktor-faktor yang mempengaruhinya di Provinsi Banten, maka pemetaan distribusi penyakit ISPA 4
dengan menggunakan analisis spasial dapat sangat membantu menghadirkan informasi tersebut secara lebih baik. Analisis spasial merupakan analisis data yang dilakukan terhadap data spasial (data yang berorientasi keruangan), yang dapat dilakukan dengan menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Sistem Informasi Geografis adalah sebuah sistem yang mampu membangun, memanipulasi dan menampilkan informasi yang memiliki referensi geografis (Ramadona & Kusnanto, 2012). Analisis spasial menggunakan SIG memiliki keunggulan dibandingkan hanya menggunakan analisis data tabular, karena memungkinkan untuk melihat, memahami, menginterpretasi dan menampilkan data spasial dalam banyak cara, yang memperlihatkan hubungan, pola dan trend secara spasial, dalam bentuk peta, globe, laporan dan grafik (Marjuki, 2014). Penggunaan analisis spasial terhadap suatu populasi di wilayah yang luas merupakan langkah awal dalam menggambarkan situasi penyakit beserta karakteristik yang melekat di wilayah tersebut. Analisis ini dapat sangat membantu pemerintah dan petugas kesehatan di Provinsi Banten dalam mengetahui pola distribusi penyakit ISPA pneumonia dan faktor-faktor yang menyertainya secara lebih jelas. Dengan mengetahui pola distribusi penyakit dan kemungkinan penyebabnya maka akan lebih mudah bagi petugas dalam melakukan perencanaan upaya penanggulangan dan pencegahan penyakit ISPA pneumonia secara lebih efektif,
berbasis
komunitas,
ataupun
mempermudah
dalam
merancang
pengembangan program penanggulangan selanjutnya (Ramadona & Kusnanto,
5
2012), data yang ditampilkan pun mudah dipahami dan hasilnya mudah disebarluaskan (Marjuki, 2014). Analisis spasial penyakit ISPA pneumonia di Provinsi Banten mampu menghadirkan peta distribusi penyakit dalam kurun waktu tertentu sehingga dapat diketahui perkembangan penyakit yang terjadi. Maka dengan mengetahui informasi tersebut dapat membantu membangun hipotesis terkait faktor risiko penyakit ISPA pneumonia untuk kemudian merencanakan program penanggulangan secara efektif dan tepat sasaran. Dengan demikian peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai analisis spasial penyakit ISPA pneumonia pada balita di Provinsi Banten tahun 2011-2015. 1.2 Rumusan Masalah Penyakit ISPA pneumonia merupakan pembunuh nomor satu balita di Indonesia dengan estimasi kematian sebesar 80-90%. Sejak tahun 2011-2013 penyakit ini menjadi 10 penyakit terbanyak yang diderita oleh masyarakat di Provinsi Banten. Bahkan Provinsi Banten termasuk kedalam 10 Provinsi dengan kasus ISPA terbesar di Indonesia. Situasi tersebut dimungkinkan menjadi salah satu penyebab dari tidak tercapainya salah satu indikator MDGs 2000-2015 yaitu menurunkan angka kematian bayi dan balita. Sehingga pada perencanaan SDGs indikator tersebut masih dimasukkan sebagai salah satu indikator yang harus dicapai dengan kerja keras. Untuk membuat perencanaan program penanggulangan penyakit ISPA secara tepat sebagai salah satu upaya mencapai indikator SDGs, maka perlu diketahui 6
informasi frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita beserta faktor yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan penyakit tersebut secara lebih baik di tingkat provinsi, termasuk Provinsi Banten. Informasi tersebut dapat dihasilkan secara lebih baik dengan membuat pemetaan distribusi penyakit ISPA pneumonia menggunakan Sistem Informasi Geografis. Dengan demikian, peneliti ingin mengangkat permasalahan ISPA pneumonia pada balita di Provinsi Banten beserta faktor-faktor yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan penyakit ISPA pneumonia pada balita menggunakan analisis spasial. 1.3 Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-2015? 2. Bagaimana distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita dilihat dari faktor lingkungan fisik (jenis lantai rumah, jenis dinding rumah, jenis bahan bakar memasak, kepadatan ternak unggas, dan kepadatan industri) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 20112015? 3. Bagaimana distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita dilihat dari faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan dan kemiskinan) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 20112015?
7
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita secara spasial dilihat dari faktor lingkungan berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-2015. 1.4.2 Tujuan Khusus 1. Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-2015. 2. Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita dilihat dari faktor lingkungan fisik (jenis lantai rumah, jenis dinding rumah, jenis bahan bakar memasak, kepadatan ternak unggas, dan kepadatan industri) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-2015. 3. Diketahuinya distribusi dan frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita dilihat dari faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan dan kemiskinan) berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten tahun 2011-2015.
8
1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1 Bagi Penelitian Selanjutnya Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan informasi berkaitan dengan distribusi dan frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita berdasarkan faktor-faktor lingkungan yang memiliki kecenderungan ke arah positif ataupun negatif dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita tersebut. Hasil penelitian ini juga dapat membantu penelitian selanjutnya dalam mengetahui lokasi wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015 yang paling bermasalah, sehingga dapat membantu dalam menentukan lokasi penelitian selanjutnya. 1.5.2 Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Banten Dapat dijadikan sebagai sumber informasi untuk mengetahui frekuensi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita di masing-masing wilayah kabupaten/kota, kemudian mengetahui letak wilayah kabupaten/kota yang memiliki frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita tertinggi atau wilayah
yang
paling
bermasalah
dan
faktor-faktor
yang
memiliki
kecenderungan ke arah positif ataupun negatif terhadap penyakit tersebut di Provinsi Banten tahun 2011-2015. Sehingga dapat dijadikan salah satu dasar informasi dalam membuat keputusan selanjutnya yang berkaitan dengan perencanaan program penanggulangan penyakit ISPA di Provinsi Banten.
9
1.5.3 Bagi Masyarakat Dapat dijadikan sumber informasi untuk menambah pengetahuan masyarakat tentang distribusi dan frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita dan faktor-faktor yang memiliki kecenderungan ke arah positif ataupun negatif dengan penyakit tersebut yang terjadi di Provinsi Banten. 1.6 Ruang Lingkup Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui frekuensi dan memetakan distribusi penyakit ISPA pneumonia pada balita dan faktor lingkungan yang memiliki kecenderungan ke arah positif ataupun negatif dengan penyakit tersebut seperti faktor lingkungan fisik (jenis lantai rumah, jenis dinding rumah, jenis bahan bakar memasak, kepadatan ternak unggas, dan kepadatan industri) dan faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan dan kemiskinan) di Provinsi Banten. Penelitian ini dilakukan pada Bulan Juli-Desember 2016 di wilayah Provinsi Banten. Disain studi penelitian ini adalah ecological study dengan pendekatan Sistem Informasi Geografis (SIG), sehingga akan dihasilkan peta distribusi kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita beserta faktor-faktor yang memiliki kecenderungan ke arah positif ataupun negatif dengan penyakit tersebut di Provinsi Banten. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2011-2015 dan Laporan Banten Dalam Angka oleh Badan Pusat Statistik Provinsi Banten Tahun 2012-2016.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) merupakan infeksi yang menyerang saluran pernapasan baik itu saluran pernapasan atas ataupun saluran pernapasan bawah. Saluran pernapasan atas dimulai dari bagian lubang hidung, pita suara, laring, sinus paranasal, serta telinga tengah, dan saluran pernapasan bawah terdiri dari trakea, bronkus, bronkiolus, dan alveoli (Simoes, et al., 2006). ISPA yang terjadi pada saluran pernapasan atas sering ditemui sebagai common cold, influenza, sinusitis, tonsillitis, bahkan dapat meluas hingga menyebabkan otitis media. Sementara ISPA yang menyerang saluran pernapasan bawah adalah bronchitis dan pneumonia (Asih & Effendy, 2004). ISPA pneumonia merupakan infeksi salurah pernafasan bawah atau biasa disebut radang paru yang disebabkan oleh bakteri, dimana Streptococcus pneumonia merupakan jenis bakteri penyebab utamanya (WHO, 2007). Selain bakteri, fungi (Maryani dan Kristiana, 2004), virus (WHO, 2007), dan polutan udara (WHO, 2009) juga merupakan agen penyebab penyakit ISPA pada umumnya, dimana bukan hanya pajanan tunggal tetapi pajanan gabungan dari beberapa jenis agen penyakit tersebut dapat menyebabkan terjadinya penyakit ISPA termasuk jenis pneumonia.
11
Walaupun penyakit ini menyerang saluran pernapasan, tetapi dampak yang ditimbulkannya bersifat sistemik, sehingga dapat menyebabkan penyakit pada organ dan sistem tubuh lainnya. Contoh dampak dari penyakit ISPA yang tidak ditanggulangi adalah timbulnya penyakit berbahaya lainnya seperti penyakit difteri, pertussis, dan campak (Simoes, et al., 2006). Penyakit ini menjadi penyebab utama dari buruknya status kesehatan dan kematian pada anak-anak (WHO, 2009). 2.2 Klasifikasi ISPA pada Balita Menurut Program Pemberantasan Penyakit ISPA terdapat 2 golongan klasifikasi penyakit ISPA yaitu pneumonia dan bukan pneumonia. Berdasarkan derajat beratnya penyakit, pneumonia itu sendiri dibagi lagi menjadi pneumonia berat dan pneumonia tidak berat (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012). Secara lebih jelasnya Kementerian Kesehatan (2012) mengklasifikasikan penyakit ISPA kedalam beberapa kelompok yaitu 1. Untuk kelompok usia 2 bulan sampai < 5 tahun, dibedakan dalam 3 klasifikasi, antara lain: -
Pneumonia berat, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas, serta adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing)
-
Pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas, napas cepat sebanyak 50 kali atau lebih/menit untuk usia 2 bulan sampai < 1 tahun, 40 kali atau lebih/menit untuk usia 1 sampai < 5 tahun.
12
-
Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernafas, tidak ada napas cepat serta tidak adanya tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
2. Untuk usia < 2 bulan, klasifikasi terdiri dari: -
Pneumonia berat, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas, napas cepat 60 kali atau lebih per menit atau tarikan kuat dinding dada bagian bawah ke dalam
-
Bukan pneumonia, ditandai dengan adanya batuk dan atau sukar bernapas, tidak adanya napas cepat dan tidak ada tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam.
2.3 Mekanisme Terjadinya ISPA Pneumonia Dalam mekanisme atau proses terjadinya penyakit ISPA pneumonia, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi, yaitu sumber keberadaan agen penyebab, wahana lingkungan sebagai media penularan, kontak atau pajanan terhadap host, dan kemampuan tubuh untuk melakukan metabolisme agen yang telah masuk untuk menentukan kondisi sakit atau tidak sakit, yang dikenal dengan Teori Simpul (Anies, 2006). Sumber agen pada penyakit ISPA dapat berupa bakteri, virus, atau polutan udara. Sumber agen berupa bakteri dan virus dapat berasal dari lingkungan rumah yang tidak baik, atau dapat berasal dari orang lain yang menderita penyakit ISPA pneumonia, sementara agen berupa polutan udara dapat bersumber dari aktivitas manusia didalam rumah seperti memasak, merokok, menggunakan obat nyamuk 13
bakar, atau aktivitas manusia di luar rumah yang menyebabkan timbulnya emisi kendaraan, emisi pabrik, gas buang dari tempat sampah atau kandang ternak yang selanjutnya akan memasuki lingkungan udara. Percikan air liur merupakan media bagi agen penyakit untuk dapat menularkan penyakit ini (Depkes RI, 2009). Dalam proses penularannya, penyakit ini dapat terjadi akibat terpapar oleh agen penyebabnya baik terjadi kontak langsung antar permukaan badan dan perpindahan mikro-organisme dari orang yang terinfeksi ke orang sehat yang rentan, maupun melalui benda perantara yang terkontaminasi (terkena percikan air liur penderita) dan memindahkan agen penyebabnya, cara ini dikenal dengan transmisi kontak. Selain transmisi kontak, penularan penyakit ini juga dapat terjadi melalui transmisi droplet. Terjadinya batuk, bersin, dan berbicara dari orang yang terinfeksi merupakan sumber droplet agen penyebab ISPA pneumonia. Droplet yang mengandung mikroorganisme penyebab ISPA jika tersembur dalam jarak dekat (< 1m) melalui udara dan terdeposit di mukosa mata, mulut, hidung, tenggorokan, atau faring orang lain maka selanjutnya agen tersebut akan menyerang sistem pernapasan manusia. (WHO, 2007). Pada fase ini maka agent penyakit telah masuk ke dalam tubuh host. Agen yang telah masuk akan memicu timbulnya reaksi oleh tubuh host. Jika masih berada dalam saluran pernapasan atas maka akan menimbulkan reaksi berupa peradangan yang memicu terjadinya gejala ringan yang diawali dengan panas atau demam, tenggorokan sakit, nyeri telan, pilek, dan batuk (Kemenkes RI, 2013). Jika telah memasuki saluran pernapasan yang lebih dalam, maka agen dapat menyerang 14
paru-paru dan menyebabkan timbulnya nanah (pus) dan cairan yang memenuhi alveoli, sehingga terjadi sesak napas, mengi, atau kesulitan bernapas (WHO, 2007) karena kesulitan dalam penyerapan oksigen. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemampuan paru-paru untuk mengembang sehingga tubuh bereaksi dengan adanya pernapasan yang cepat untuk menghindari terjadinya hipoksia. Jika keadaan ini semakin memburuk, paru akan bertambah kaku dan timbul tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam. Pada fase ini maka host telah berada pada kondisi sakit ISPA pneumonia. Jika hipoksia atau sepsis (infeksi menyeluruh) terjadi, dapat berisiko untuk terjadinya kematian (Kemenkes RI, 2012). 2.4 Faktor Risiko ISPA Pneumonia Terjadinya penyakit ISPA pneumonia dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik itu dari individu itu sendiri maupun dari lingkungan disekitarnya seperti lingkungan fisik dan sosial ekonomi. Faktor-faktor tersebut antara lain, 2.4.1
Faktor Individu a. Usia Kelompok usia tertentu memiliki kerentanan yang lebih tinggi untuk terserang penyakit ISPA (WHO, 2007). Salah satu yang paling rentan terhadap berbagai masalah kesehatan termasuk ISPA pneumonia adalah balita dan anak-anak (Ditjen P2PL, 2012), karena pada masa tersebut sistem kekebalan tubuh mereka masih belum sebaik orang dewasa (Hafid et al, 2013). Hal ini dapat dilihat dari tingginya angka
15
mortalitas dan morbiditas pada balita terutama di negara berkembang yang penyebab utamanya adalah penyakit ISPA (Mirji, et al, 2015). b. Status gizi Status gizi adalah suatu keadaan kesehatan tubuh yang dipengaruhi oleh asupan zat gizi yang diperoleh melalui makanan dan minuman yang dihubungkan dengan kebutuhan (Sutomo & Anggraini, 2010). Status gizi anak usia dibawah lima tahun merupakan indikator kesehatan publik yang secara international dikenal untuk memonitor kesehatan dan status gizi penduduk (LPEM FEUI, 2010). Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menetapkan kategori dan ambang batas yang dapat digunakan untuk menentukan status gizi anak berdasarkan indeks sebagai berikut Tabel 2. 1 Kategori Status Gizi Pada Balita
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2010
16
Status gizi dapat sangat menentukan kerentanan seseorang untuk menderita penyakit tertentu, termasuk ISPA (WHO, 2007). Seseorang dengan status gizi yang rendah akan memiliki sistem kekebalan tubuh yang rendah, sehingga akan lebih mudah terserang berbagai penyakit. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Pore, Ghattargi, & Rayate (2010) yang menyatakan bahwa status gizi berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita, dimana 5,17 kali lebih tinggi risiko balita untuk terkena ISPA jika berada pada kondisi gizi kurang. Mairuhu, Birawida, & Manyullei (2008) dalam penelitiannya juga menyatakan terdapat hubungan antara status gizi dengan kejadian ISPA, dimana terdapat sebesar 94,1% balita dengan gizi kurang menderita penyakit ISPA. Balita merupakan kelompok rentan terhadap berbagai masalah kesehatan sehingga apabila kekurangan gizi maka akan sangat mudah terserang infeksi termasuk ISPA pneumonia (Ditjen P2PL, 2012). c. ASI eksklusif ASI eksklusif atau pemberian ASI secara eksklusif adalah pemberian ASI (air susu ibu) sedini mungkin setelah persalinan, diberikan tanpa jadwal dan tidak diberi makanan lain baik itu tambahan cairan lain seperti air putih, susu formula, jeruk, madu, air teh, maupun tambahan makanan padat seperti pisang, papaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim, sampai bayi berumur 6 bulan. Setelah 6 bulan, bayi mulai dikenalkan dengan makanan lain dan tetap diberikan ASI sampai
17
bayi berumur dua tahun atau bahkan lebih (Purwanti, 2004 & Roesli, 2001). ASI eksklusif dapat memberikan manfaat yang sangat besar untuk kesehatan anak karena kandungan gizinya yang sangat baik. Anak yang mendapatkan ASI eksklusif akan memiliki kekebalan tubuh yang baik, sehingga tubuhnya akan lebih mampu dalam menangkal berbagai agen penyakit yang kontak atau masuk ke dalam tubuh. Sebaliknya anak yang tidak mendapatkan ASI eksklusif akan memiliki kekebalan tubuh yang lebih rendah, sehingga akan mudah terserang penyakit seperti ISPA pneumonia. Hal ini sesuai dengan penelitian Mirji et al (2015) yang menyatakan bahwa ASI eksklusif berhubungan dengan kejadian ISPA, dimana semakin sedikit durasi ibu memberikan ASI, semakin besar risiko balita untuk terserang penyakit ISPA. Bhat & Manjunath (2013) dalam penelitiannya di India juga menemukan bahwa balita yang mendapatkan ASI dalam periode waktu yang tidak memenuhi standar lebih berisiko 3,01 kali lebih besar untuk terkena ISPA pada saluran pernapasan bawah. Hasil penelitian Sugihartono & Nurjazuli (2012) juga menyatakan bahwa balita yang mengkonsumsi ASI tanpa cairan lainnya kurang enam bulan berisiko 8,958 kali lebih besar menderita pneumonia dibandingkan dengan balita yang mengkonsumsi ASI tanpa cairan lainnya lebih atau sama dengan enam bulan.
18
d. Status Imunisasi Imunisasi adalah memasukkan sesuatu (agen penyakit) ke dalam tubuh untuk membentuk kekebalan terhadap suatu penyakit agar tubuh tahan terhadap penyakit yang sedang mewabah atau berbahaya bagi seseorang. Pemberian imunisasi bertujuan untuk melindungi bayi dan anak yang masih sangat rentan dari penyakit yang bisa menyebabkan kesakitan, kecacatan, bahkan kematian karena imunitas tubuhnya masih rendah (Hafid et al, 2013). Pemberian imunisasi pada balita dapat menurunkan risiko untuk terkena ISPA terutama pneumonia. Imunisasi tersebut terdiri dari imunisasi pertussis (DTP), campak, haemophilus influenza (Hib), dan pneumokokus (PCV). Hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan bahwa penurunan bermakna kejadian pneumonia pada anak dan keluarganya terutama para lansia terjadi setelah penggunaan vaksin secara rutin pada bayi. Hasil penelitian di Gambia (Afrika) menemukan bahwa setelah pemberian imunisasi PCV 9 terjadi penurunan kasus pneumonia sebesar 37 %, pengurangan penderita yang harus dirawat di rumah sakit sebesar 15 %, dan pengurangan kematian pada anak sebesar 16 % (Kartasasmita, 2010). Di Indonesia imunisasi masuk kedalam program upaya penurunan angka morbiditas dan mortalitas pada balita, termasuk yang diakibatkan oleh ISPA. Imunisasi pertussis (DPT) dan campak masuk kedalam imunisasi dasar wajib bagi balita bersama dengan imunisasi BCG dan 19
Polio (Hidayat, 2008). Sementara imunisasi haemophilus influenza (Hib) dan pneumokokus (PCV) termasuk imunisasi yang dianjurkan (Said, 2010) dan merupakan salah satu alternatif dalam pencegahan pneumonia (Weber & Handy, 2010). Program imunisasi tersebut berpengaruh terhadap kejadian ISPA pada balita. Hasil penelitian Nasution et al (2009) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara imunisasi dengan kejadian ISPA. Prajapati, et al (2012) menjelaskan dalam penelitiannya bahwa kejadian ISPA lebih banyak
terjadi pada
balita
yang tidak
mendapatkan imunisasi
dibandingkan yang telah diimunisasi. Lebih lanjut Fanada (2012) menemukan bahwa balita yang status imunisasinya tidak lengkap memiliki risiko 7,6 kali untuk terkena penyakit pneumonia dibandingkan dengan balita yang status imunisasinya lengkap. 2.4.2
Faktor Lingkungan Fisik 2.7.2.1
Lingkungan Fisik Dalam Rumah
a. Luas ventilasi Ventilasi udara dapat menciptakan hawa ruangan tetap segar karena pertukaran udara yang cukup menyebabkan ruangan mengandung oksigen yang cukup. Jendela yang memadai merupakan salah satu bentuk ventilasi udara yang harus ada dalam sebuah rumah. Luas jendela secara keseluruhan kurang lebih 15 % dari luas lantai. Susunan ruangan juga harus diatur sedemikian rupa sehingga udara dapat mengalir bebas jika 20
jendela dan pintu dibuka (Chandra, 2007). Kementerian Kesehatan mengatur luas ventilasi dalam sebuah hunian atau rumah sebaiknya adalah sebesar 10% dari luas lantai (Kemenkes RI, 1999). Agen penyebab penyakit ISPA seperti bakteri maupun virus memiliki lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan hidupnya, dimana kondisi yang lembab merupakan salah satunya. Kelembaban dipengaruhi oleh suhu, pergerakan udara, dan cahaya matahari. Rumah yang memiliki sedikit ventilasi akan menyebabkan kurangnya intensitas cahaya yang masuk, pergerakan udara, dan suhu yang rendah, sehingga akan menciptakan kondisi lingkungan yang kondusif bagi agen penyakit ISPA. Hal ini menyebabkan seseorang yang tinggal di rumah dengan luas ventilasi yang kurang atau tidak sesuai akan lebih mudah untuk terserang penyakit ISPA termasuk pneumonia (Ditjen P2PL, 2012). Hasil penelitian Prajapati, Talsania, & Sonaliya (2011) di India menunjukkan bahwa luas ventilasi rumah memiliki hubungan yang signifikan dengan kejadian penyakit ISPA pada balita, dimana anak yang menderita ISPA lebih banyak terjadi pada rumah dengan ventilasi yang tidak mencukupi dibandingkan dengan rumah yang memiliki ventilasi yang mencukupi. Hasil yang sama juga didapatkan oleh Goel et all (2012) di India pada daerah yang berbeda bahwa prevalensi ISPA lebih tinggi terjadi pada anak yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang
21
tidak mencukupi dibandingkan dengan rumah dengan ventilasi yang mencukupi. b. Jenis lantai Jenis lantai berhubungan dengan kondisi kebersihan suatu rumah. Berdasarkan kriteria rumah sehat sederhana (RSS) yang diterapkan di Indonesia, suatu rumah harus memiliki lantai yang kering dan mudah dibersihkan (Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002), persyaratan tersebut dapat terpenuhi jika lantai rumah terbuat dari ubin keramik (Chandra, 2007). Hasil penelitian Geberetsadik, Worku, & Berhane (2015) menunjukkan bahwa jenis lantai rumah berhubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA pada balita. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Pramudiyani & Prameswari (2011) juga menunjukkan bahwa kondisi lantai menjadi salah satu faktor lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian penyakit pneumonia. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Wayangkau, Wambrauw, & Simanjuntak (2015) yang menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA, dimana anak yang tinggal dirumah dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat berisiko 3,538 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai memenuhi syarat.
22
c. Jenis dinding Jenis dinding rumah sangat menentukan kualitas udara di dalam rumah. Dinding rumah yang kurang baik seperti terdapat lubang dan celah-celah ataupun terbuat dari material yang memungkinkan bagi mikroorganisme untuk hidup dan berkembang biak akan memungkinkan meningkatnya berbagai agen panyakit ISPA pneumonia seperti polutan udara dan bakteri di dalam rumah. Sehingga jenis dinding tersebut akan memberikan dampak pada lebih mudahnya seseorang untuk terserang penyakit ISPA termasuk pneumonia. Oleh sebab itu sebuah rumah harus memiliki persyaratan dinding yang terbuat dari conblock (Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002) atau batu bata dan telah diplester (Chandra, 2007). Hasil penelitian Lubis, et al. (1996) menyatakan bahwa jenis tembok berpengaruh terhadap proporsi balita yang sakit batuk dengan napas cepat. Hasil penelitian Sikolia, et all (2002) juga menunjukkan hasil yang serupa, bahwa jenis dinding rumah berpengaruh terhadap kejadian penyakit ISPA pada balita, dimana balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding yang buruk memiliki risiko 1,13 kali lebih besar untuk terkena penyakit ISPA dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding yang telah diplester. d. Kepadatan hunian rumah Karena penyakit ISPA merupakan penyakit yang dapat ditularkan melalui media udara dari satu penderita ke orang yang sehat, maka 23
kepadatan hunian memiliki peran dalam terjadinya penyakit ini. Rumah yang memiliki kepadatan hunian yang tinggi maka sirkulasi dan pertukaran udara lebih rendah, juga memiliki kemungkinan lebih mudah terserang penyakit jika ada salah satu anggota keluarga yang sakit, karena penularan kasus ISPA pneumonia akan lebih cepat apabila terjadi pengumpulan massa (Ditjen P2PL, 2012). Kepadatan hunian dapat dilihat dari jumlah ruangan atau kamar beserta penghuninya. Ruang atau kamar diperhitungkan berdasarkan jumlah penghuni atau jumlah orang yang tinggal bersama di dalam satu rumah dengan persyaratan 5 m2 per orang (Chandra, 2007). Perbandingan jumlah kamar dan penghuni dalam rumah dapat dilihat pada tabel dibawah ini Tabel 2. 2 Perbandingan Jumlah Kamar dan Penghuninya Jumlah kamar Jumlah orang 1 2 2 3 3 5 4 7 5 10 Sumber: Chandra (2007)
Sementara itu Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (1999) menetapkan standar luas ruang tidur minimal adalah 8 m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang dalam satu ruangan, kecuali anak di bawah umur 5 tahun.
24
Hasil penelitian Taksande & Yeole (2016) menunjukkan bahwa balita yang tinggal di lingkungan rumah dengan kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3,84 kali lebih tinggi untuk terkena ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan kepadatan hunian yang memenuhi syarat. Fakunle, Ana, & Ayede (2014) juga menemukan bahwa anak yang tinggal di rumah dengan kamar yang dihuni lebih dari 2 orang memiliki 14 kali risiko yang lebih besar untuk terkena ISPA dari pada anak yang tinggal di rumah dengan kamar yang dihuni oleh kurang dari 2 orang. e. Suhu dan kelembaban Pada kondisi suhu dan kelembaban tertentu agen penyakit ISPA seperti bakteri dan virus akan lebih mudah untuk tumbuh dan berkembang. Begitu pula pada jenis-jenis polutan udara tertentu yang dapat bertahan atau bahkan bereaksi pada lingkungan dengan suhu dan kelembaban tertentu. Oleh sebab itu sebaiknya suhu ruangan harus dijaga tetap berkisar antara 18-20o C (Chandra, 2007) atau 18-30o C dan kelembaban ruangan sebesar 40% - 70% (Kemenkes RI, 1999). Hasil penelitian Choube, et all (2014) menemukan bahwa kelembaban rumah merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi terjadinya penyakit ISPA pada balita. Yuwono (2008) juga menemukan hasil yang serupa bahwa balita yang tinggal di rumah dengan tingkat kelembaban yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 2.7 kali lebih besar untuk
25
terkena pneumonia dari pada balita yang tinggal di rumah dengan tingkat kelembaban yang memenuhi syarat. f. Pencemaran udara dalam rumah Salah satu agen penyebab penyakit ISPA adalah polutan udara. Polutan udara ini dapat bersumber dari berbagai aktivitas manusia didalam rumah, seperti aktivitas memasak, penggunaan obat nyamuk bakar dan merokok. Rumah yang didalamnya masih menggunakan bahan bakar fosil untuk memasak seperti kayu bakar atau minyak tanah akan menghasilkan polutan udara yang lebih tinggi (Vanker, et al., 2015). Sukar, et al (1996) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara ISPA dan tingkat pencemaran udara karena kebiasaan ibu membawa bayi dan anak-anak mereka ketika memasak didapur. Hasil penelitian lainnya di India (Rosdiana & Hermawati, 2015) juga menunjukkan bahwa kejadian ISPA 4,312 kali lebih berisiko pada balita yang di rumahnya menggunakan kayu bakar untuk memasak dibandingkan dengan balita yang di rumahnya menggunakan bahan bakar gas atau minyak tanah. Begitu pula pada penelitian Wichman & Voyi (2006) yang menunjukkan bahwa terdapat 1,27 kali risiko yang lebih besar bagi anak untuk menderita pneumonia bila tinggal di rumah yang menggunakan bahan bakar yang menimbulkan pencemaran dibanding dengan yang menggunakan listrik atau gas. Dalam penelitian Mairuhu, Birawida, & Manyullei (2008) menyatakan bahwa penggunaan obat anti nyamuk memiliki hubungan 26
yang signifikan dengan terjadinya penyakit ISPA pada balita, dimana penderita ISPA lebih banyak terdapat di rumah yang masih menggunakan obat nyamuk dibandingkan dengan rumah yang tidak menggunakan obat nyamuk. Yulianti, Setiani, & Hanani (2012) juga menemukan bahwa penggunaan obat nyamuk bakar merupakan faktor risiko kejadian pneumonia pada balita, dimana balita yang tinggal di rumah dengan menggunakan obat nyamuk bakar mempunyai risiko menderita pneumonia 3,949 kali lebih besar dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan tidak menggunakan obat nyamuk bakar. Begitu pula jika terdapat anggota keluarga yang merokok didalam rumah, tentu asap rokok tersebut akan mengeluarkan berbagai bahan pencemar udara yang dapat menyebabkan gangguan pada saluran pernapasan jika terhirup. Seperti pada penelitian Bielska, et al., (2015) yang menyatakan bahwa anak yang tinggal di dalam kondisi lingkungan rumah yang terdapat polusi asap rokok akan lebih sering mengalami penyakit ISPA. Winarni, Ummah, & Salim, (2010) juga menyatakan bahwa jika salah satu anggota keluarga merokok di dalam rumah, maka akan menyebabkan anggota keluarga lainnya terserang penyakit ISPA. 2.7.2.2 Lingkungan Fisik Luar Rumah a. Suhu dan kelembaban Suhu dan kelembaban merupakan salah satu faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian ISPA (WHO, 2007). Suhu dan 27
kelembaban di lingkungan luar atau udara ambien dapat mempengaruhi kondisi pencemaran udara. Syech, Sugianto, dan Anthika (2014) dalam penelitiannya menyatakan bahwa suhu udara yang rendah dan kelembaban udara yang tinggi menyebabkan konsentrasi zat pencemar menjadi tinggi. Kondisi pencemaran udara ini dapat menyebabkan lingkungan sekitar rumah menjadi rentan untuk menyebabkan penyakit ISPA akibat adanya agen penyakit ISPA berupa polutan udara dan mikroorganisme, bahkan bila kondisi fisik rumah memungkinkan, polutan yang ada di lingkungan luar rumah dapat masuk ke dalam rumah. b. Pencemaran udara ambien Keberadaan polutan di udara ambien atau sekitar rumah menjadi salah satu kondisi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ISPA termasuk pneumonia. Polutan tersebut dapat berasal dari berbagai aktivitas manusia, seperti penggunaan kendaraan bermotor, aktivitas pabrik atau industri, memelihara ternak di sekitar tempat tinggal, sampai aktivitas pembuangan sampah. Hal ini dibuktikan dengan adanya hasil penelitian yang menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara beberapa jenis polutan udara dengan gangguan saluran pernapasan, antara lain SO2 dengan ISPA, SO2 dengan bronchitis, NO dengan bronchitis, dan NOx dengan ISPA dimana sumber polutan tersebut dapat berasal dari transportasi, industri, dan pembuangan limbah padat (Agustin, 2004). Sugiarti
(2008)
juga
menyatakan 28
bahwa
hasil
aktivitas
yang
menggunakan sulfur dalam bahan bakar dan pelumas akan menghasilkan emisi SOx yang dapat menyebabkan gangguan sistem pernapasan karena menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan, hingga paru-paru, bahkan peradangan hebat dapat terjadi pada paparan yang lama. Hasil penelitian Ardianto & Yudhastuti (2012) menyatakan bahwa lama tinggal responden di kawasan industri berpengaruh terhadap kejadian ISPA, dimana penduduk yang tinggal di kawasan industri ≥ 2 tahun berisiko 9,58 kali lebih tinggi untuk menderita ISPA dibandingkan yang belum lama tinggal di kawasan industri. Keberadaan ternak disekitar tempat tinggal juga memberikan pengaruh terhadap kondisi lingkungan udara yang memicu timbulnya ISPA. Penelitian Herawati dan Sukoco (2011) menyatakan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan risiko ISPA terhadap masyarakat yang memelihara ternak, terutama pada mereka yang memelihara unggas yang dikandangkan di dalam rumah. Hasil penelitian Yousef dan Hamed (2016) terhadap anak-anak usia sekolah di Mesir menemukan bahwa keberadaan sumber pencemar udara di dalam rumah seperti hewan peliharaan, unggas, atau binatang pertanian dapat meningkatkan risiko terjadinya ISPA. Kualitas udara yang buruk juga dapat disebabkan oleh pembuangan sampah. Penelitian Suhartini (2013) menemukan bahwa udara di sekitar TPA mengandung mikroba penyebab ISPA yang terdiri dari
Streptococcus,
Staphylococcus, 29
Klebsiella,
Corynebacterium,
Aspergillus dan Candida, dimana semakin dekat dengan titik pusat TPA maka jumlah mikroba semakin tinggi, dan semakin tinggi jumlah populasi mikroba udara semakin tinggi pula kejadian ISPA. Pencemaran udara tersebut dapat menimbulkan penyakit ISPA dan dapat memperberat kondisi seseorang yang sudah menderita ISPA terutama pneumonia pada Balita (Ditjen P2PL, 2012). Oleh sebab itu, terdapat persyaratan lingkungan yang harus dipenuhi dari dibangunnya sebuah rumah atau perumahan, yaitu letak perumahan harus jauh dari sumber pencemaran dengan jarak minimal sekitar 5 Km dan memiliki daerah penyangga atau daerah hijau (green belt) (Chandra, 2007). 2.4.3
Faktor Lingkungan Sosial Ekonomi a. Kepadatan Penduduk Kepadatan penduduk adalah angka yang menunjukkan rasio banyaknya penduduk per kilometer persegi (Banten Dalam Angka, 2016). Kepadatan penduduk merupakan salah satu kriteria dalam menentukan prioritas wilayah dalam memberikan pelayanan kesehatan terutama kesehatan lingkungan karena memiliki risiko kesehatan yang lebih tinggi (Fauziah, 2006). Standar Nasional Indonesia mengkategorikan kepadatan penduduk kedalam tiga kelompok yaitu, kepadatan penduduk rendah jika <150 jiwa/ha, kepadatan penduduk sedang jika sama dengan 150-200 jiwa/ha, dan kepadatan penduduk tinggi jika >200 jiwa/ha.
30
Kepadatan penduduk yang tinggi di suatu wilayah erat kaitannya dengan kondisi lingkungan di wilayah tersebut. Wilayah yang memiliki penduduk yang padat maka akan memiliki jarak antara satu rumah ke rumah yang lain lebih dekat bahkan sempit, sehingga aktivitas yang dilakukan oleh satu keluarga kemungkinan besar akan memberikan pengaruh pada orang-orang disekitarnya, terutama aktivitas yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit ISPA termasuk pneumonia seperti pencemaran udara yang dihasilkan dari kegiatan memasak terutama bila masih menggunakan kayu bakar, aktivitas merokok anggota keluarga, membakar sampah, emisi kendaraan bermotor, dan lainnya. Selain itu, jarak rumah yang berdekatan akan memungkinkan anak untuk lebih sering kontak dengan orang-orang disekitarnya yang bila berada dalam kondisi sakit akan memungkinkan terjadinya penularan yang lebih besar. Kepadatan penduduk yang tinggi di suatu wilayah juga memungkinkan terbentuknya lingkungan yang kumuh, dimana pada kondisi lingkungan kumuh akan meningkatkan risiko timbulnya berbagai penyakit termasuk ISPA. Hasil Riskesdas menunjukkan bahwa kondisi tempat tinggal penduduk menentukan kejadian ISPA, pada daerah rural anak-anak lebih sedikit menderita penyakit ISPA dari pada anak yang tinggal di daerah urban, dimana daerah rural dan urban tersebut dihubungkan dengan perbedaan
pada
tingkat
kepadatan
penduduknya
(Daroham
&
Mutiatikum, 2009). Pandemik Influenza A (H1N1) juga pernah terjadi di Utah pada tahun 2009, dimana terjadi pada daerah yang memiliki 31
kepadatan penduduk tertinggi (CDC, 2011). Sebuah penelitian di Kiberia juga menyatakan bahwa kepadatan penduduk diduga menjadi salah satu penyebab dari penyebaran virus ISPA di wilayah perkotaan (Breiman, et al., 2015). Penelitian di Malaysia terhadap 6 area strategis di Kota Kuala Lumpur juga menemukan bahwa kasus ISPA yang tinggi lebih banyak terjadi pada area perkotaan dengan kepadatan penduduk yang tinggi (Leh, et al, 2011). b. Jenis Pekerjaan Bekerja merupakan kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan (Banten Dalam Angka, 2016). Dengan memperoleh pendapatan dari hasil bekerja maka masyarakat dapat memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, termasuk kebutuhan untuk memenuhi kesehatannya. Jenis
pekerjaan
penduduk
secara
tidak
langsung
dapat
mempengaruhi kejadian ISPA di suatu wilayah. Berbagai jenis pekerjaan akan berpengaruh pada frekuensi dan distribusi penyakit karena sebagian hidupnya dihabiskan di tempat pekerjaan (Budiarto & Anggraeni, 2003). Seseorang yang bekerja di tempat yang berisiko seperti parbik yang menghasilkan pencemaran udara, atau di pinggir jalan yang merupakan pusat kepadatan lalu lintas sehingga menghirup banyak polusi, dan tempat-tempat berisiko lainnya akan memiliki kemungkinan lebih besar untuk terkena penyakit ISPA, dibandingkan orang yang bekerja di 32
lingkungan yang sehat dan jauh dari sumber penyebab ISPA. Seperti dalam penelitian Dewi (2009) dimana pekerja polisi lalu lintas memiliki risiko untuk mengalami ISPA 1,97 kali lebih besar dari pada polisi bagian administrasi. Begitu pula pada orang yang bekerja di lingkungan yang berisiko terhadap pencemaran udara lainnya seperti Rumah Pemotongan Unggas, dimana pekerja mengalami keluhan subjektif seperti sesak napas, batuk, serta flu/bersin yang merupakan gejala dari penyakit ISPA (Septantiana & Asfawi, 2015). Hasil penelitian Muhe (1994) menemukan bahwa tinggal dalam keluarga yang ayahnya bekerja sebagai petani memiliki keterkaitan dengan meningkatnya kejadian penyakit ISPA pada anak. Goel et al (2012) juga menemukan bahwa prevalensi ISPA paling tinggi terjadi pada anak yang pekerjaan ayahnya di bidang pertanian. Hasil penelitian Geberetsadik, Worku, & Berhane, (2015) juga menemukan bahwa status pekerjaan ibu berpengaruh terhadap kejadian ISPA
pada
balita,
dimana
ibu
yang
memiliki
pekerjaan
tetap/professional/teknik merupakan faktor protektif dari terjadinya ISPA. c. Kemiskinan Kemiskinan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk menilai status ekonomi penduduk. Kemiskinan dipandang sebagai suatu keadaan dimana terdapat ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar baik berupa makanan maupun non makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran
33
per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan disebut sebagai penduduk miskin (Banten Dalam Angka, 2016). Kemiskinan juga dapat mempengaruhi kejadian penyakit ISPA di suatu wilayah. Penduduk yang memiliki status ekonomi yang rendah atau dikategorikan sebagai penduduk miskin cenderung akan memiliki tempat tinggal atau rumah yang tidak memenuhi persyaratan kesehatan, selain itu ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan terhadap makanan yang bergizi juga dapat terjadi sehingga masyarakatnya akan lebih rentan terserang penyakit termasuk ISPA pneumonia. Kemiskinan juga akan mempengaruhi kondisi lingkungan yang tercipta di wilayah mereka tinggal dan cenderung memiliki kondisi yang tidak baik bahkan dapat menciptakan kondisi yang kumuh. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Machmud (2009) yang menemukan bahwa balita yang tinggal dalam lingkungan rumah tangga miskin memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena pneumonia, yang disebabkan oleh pencemaran di dalam rumah. Hasil penelitian (Hapsari, Dharmayanti, & Supraptini, 2013) dalam kurun waktu 10 tahun menyatakan bahwa penyakit ISPA terus mengalami peningkatan seiring dengan jumlah rumah sehat yang mengalami penurunan, dan penurunan rumah sehat tersebut terjadi pada penduduk dengan status ekonomi yang rendah. Hasil penelitian (Biradar, 2013) juga menemukan bahwa kejadian penyakit ISPA sangat berkaitan dengan status ekonomi penduduknya, dimana kejadian ISPA yang tinggi terjadi pada masyarakat yang memiliki status ekonomi yang rendah. Penelitian Rahman & Rahman 34
(1997) juga menyatakan bahwa kemiskinan berhubungan dengan kejadian ISPA, dimana ISPA pada anak lebih banyak terjadi pada keluarga yang tergolong miskin. Hasil penelitian (Rojas, 2007) juga menyatakan bahwa kemiskinan berhubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA pada penduduk di Chili, terutama pada wilayah yang ditempati oleh penduduk pribumi. 2.5 Program Penanggulangan ISPA Sebagai upaya dalam menanggulangi penyakit ISPA, pemerintah memfokuskan pengendalian ISPA pada beberapa hal, yaitu pengendalian pneumonia balita, kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah, pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun, dan faktor risiko ISPA (Ditjen P2PL, 2012), dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Pengendalian pneumonia balita Pneumonia merupakan salah satu jenis ISPA yang menjadi pembunuh nomor dua pada balita (13,2%). Salah satu penyebab tingginya angka kematian yang disebabkan oleh pneumonia adalah tidak tertanganinya penderita secara maksimal, hal ini disebabkan karena hanya sebagian kecil saja kasus yang terlaporkan dan tertangani dengan baik. Sejak tahun 2000, angka cakupan penemuan pneumonia Balita berkisar antara 20%-36% yang masih jauh dari target nasional yaitu 86% pada periode 2000-2004, 46%-86% pada periode 2005-2009. Oleh sebab itu, cakupan penemuan pneumonia
35
balita secara maksimal dan sesuai dengan target nasional adalah salah satu bentuk upaya dalam penanggulangan masalah ISPA di Indonesia. 2. Kesiapsiagaan dan respon terhadap pandemi influenza serta penyakit saluran pernapasan lain yang berpotensi wabah Kasus flu burung pernah terjadi di Indonesia dan telah tersebar di 13 provinsi serta 53 kabupaten/kota. Indonesia merupakan negara dengan kasus flu burung terbesar di dunia dengan kematian 149 orang dari 181 kasus positif (CFR 82,3%) dan 15 klaster (Oktober 2011). Walaupun penyakit tersebut masih dalam fase penularan hewan ke manusia, namun terdapat kekhawatiran kemungkinan akan terjadi mutasi virus flu burung dengan patogenitas yang lebih tinggi dan dapat menular antar manusia. Oleh karena itu, Indonesia telah menyusun Rencana Strategi Penanggulangan Flu Burung dan Kesiapsiagaan Pandemi
Influenza tahun 2005, dengan
upaya
pengendalian antara lain penyiapan rumah sakit rujukan, penguatan surveilans, laboratorium virologi dan BSL-3, KIE, aspek hukum, logistik, koordinasi LP/LS, kerjasama internasional dan simulasi. 3. Pengendalian ISPA umur ≥ 5 tahun Pada pengendalian ini dikembangkan Surveilans Sentinel Pneumonia di seluruh Provinsi di Indonesia, dengan tujuan: -
Mengetahui gambaran kejadian pneumonia dalam distribusi epidemiologi menurut waktu, tempat dan orang di wilayah sentinel
-
Mengetahui jumlah kematian, angka fatalitas kasus (CFR) pneumonia usia 0 – 59 bulan (Balita) dan ≥ 5 tahun 36
-
Tersedianya data dan informasi faktor risiko untuk kewaspadaan adanya sinyal epidemiologi episenter pandemi influenza
-
Terpantaunya pelaksanaan program ISPA
4. Faktor risiko ISPA Penanggulangan penyakit ISPA juga dilakukan dengan cara menanggulangi dan mengurangi faktor-faktor risiko seperti polusi udara ambien, polusi udara dalam rumah terutama pada penggunaan kayu bakar sebagai bahan bakar memasak, kondisi ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat, kepadatan hunian maupun kepadatan penduduk, status gizi yang rendah, dan penyakit campak. Di dalam program penanggulangan penyakit ISPA terdapat beberapa kegiatan-kegiatan pokok seperti advokasi dan sosialisasi, penemuan dan tatalaksana pneumonia balita, ketersediaan logistik, supervisi, pencatatan dan pelaporan, kemitraan dan jejaring, pengembangan program, autopsi verbal, serta monitoring dan evaluasi. Berbagai bentuk kegiatan dalam upaya penanggulangan penyakit ISPA tersebut harus dilakukan dengan mengikutsertakan seluruh komponen mulai dari pemerintah sebagai penentu kebijakan, tenaga kesehatan, berbagai sektor terkait, sampai dengan seluruh masyarakat harus bekerjasama dengan baik untuk mencapai keberhasilan penanggulangan penyakit ISPA termasuk pneumonia.
37
2.6 Analisis Spasial Analisis spasial merupakan istilah yang sering digunakan dalam melakukan analisis data dengan menggunakan sistem informasi geografis, yang memiliki keunikan dan berbeda dengan analisis lainnya karena mengikutsertakan dimensi ruang atau geografi (Handayani, Soelistijadi, & Sunardi, 2005). Analisis spasial berhubungan dengan bagaimana data diolah dan dianalisis untuk menghasilkan sebuah informasi yang dilakukan dengan pengukuran (measurement), reklasifikasi spasial (spatial reclassification), analisa jaringan, analisa permukaan (surface analysis), vector geoprocessing, dan raster geoprocessing, dan hasilnya dapat ditampilkan dalam bentuk peta, table, grafik, maupun laporan, yang dapat disimpan kembali dalam basis data, serta dapat dimanfaatkan untuk aplikasi lain (Marjuki, 2014). Hubungan antara lingkungan dan kesehatan secara lebih baik dapat digambarkan dengan menggunakan teknik pemetaan. Selain lingkungan geografis, faktor-faktor lainnya seperti sosial ekonomi dalam kaitannya dengan kesehatan dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola persebaran penyakit, yang dapat diselidiki lebih lanjut untuk mengetahui korelasi antara faktor-faktor tersebut. Selain mengetahui hubungan kausal, analisis spasial juga dapat dikembangkan untuk memprediksi perubahan kesehatan berdasarkan perubahan lingkungan yang terjadi, sebagai contoh pemetaan kerentanan masyarakat terhadap wabah penyakit dapat diketahui dengan menggunakan analisis spasial yang didasarkan pada informasi kualitas air, suhu, dan curah hujan (WHO, 2016).
38
Berdasarkan penelitian terdahulu diketahui bahwa penggunaan analisis spasial dapat memberikan manfaat dalam penelitian berbagai penyakit. Seperti dalam penelitian Wardani et al (2013) yang memanfaatkan analisis spasial untuk mengetahui pola persebaran penyakit tuberkulosis, hasil penelitian tersebut menunjukkan informasi tentang lokasi populasi yang berisiko yaitu pada wilayah dengan determinan sosial yang rendah, hasil penelitian tersebut digunakan sebagai dasar dalam upaya pengendalian tuberkulosis. Hasil penelitian Widiarti, Heriyanto, & Widyastuti (2014) yang menggunakan analisis spasial mampu menggambarkan pola persebaran kejadian luar biasa penyakit malaria di Kabupaten Purbalingga yaitu berpola mengelompok terhadap keberadaan mata air yang merupakan faktor lingkungan yang berpengaruh pada keberadaan vektor penyakit. Pemanfaatan analisis spasial pada penyakit lainnya seperti leptospirosis (Febrian & Solikhah, 2013), filariasis (Wulandhari, 2015) dapat menggambarkan pola persebaran penyakit berdasarkan faktor lingkungan, serta dapat memprediksi daerah rawan pada penyakit ISPA (Ni’mah, 2014), daerah rentan penyakit TB, demam berdarah, dan diare (Fitria, Wahjudi, & Wati, 2014). 2.7 Kerangka Teori Dari Berbagai teori yang telah dipaparkan sebelumnya, maka status kesehatan masyarakat terhadap terjadinya penyakit ISPA pada balita dapat dijelaskan berdasarkan teori H. L. Blum. Menurut teori tersebut, terdapat empat faktor utama yang berpengaruh terhadap status kesehatan masyarakat yaitu faktor lingkungan, faktor perilaku, faktor pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (Ryadi, 2016). Faktor 39
lingkungan merupakan faktor yang memiliki pengaruh paling besar, kemudian diikuti oleh faktor perilaku, pelayanan kesehatan, dan yang paling sedikit memberikan pengaruh adalah faktor genetik. Jika status kesehatan masyarakat yang rendah dalam kaitannya dengan kejadian penyakit ISPA pneumonia yang tinggi pada balita digambarkan berdasarkan teori H. L. Blum, maka faktor lingkungan yang berperan adalah faktor lingkungan dalam rumah seperti luas ventilasi, jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian rumah, suhu, kelembaban, dan pencemaran udara dalam rumah; faktor lingkungan fisik luar rumah seperti suhu, kelembaban, dan pencemaran udara ambien; serta lingkungan sosial dan ekonomi seperti kepadatan penduduk, jenis pekerjaan, dan kemiskinan penduduk. Kemudian faktor perilaku itu sendiri dapat dikaitkan dengan faktor lingkungan sosial dan ekonomi, dimana faktorfaktor itulah yang turut serta membentuk perilaku masyarakat terhadap pencegahan penyakit ISPA pneumonia. Selanjutnya faktor pelayanan kesehatan dalam hal ini maka adanya program penanggulangan penyakit ISPA, serta faktor genetik berupa faktor individu yang terdiri dari usia, status imunisasi, status gizi, dan ASI eksklusif. Hubungan berbagai faktor tersebut dapat terlihat lebih jelas dalam Bagan 2.1 Kerangka Teori berikut ini,
40
Karakteristik individu: - Usia - Status imunisasi, - Status gizi, - ASI eksklusif
Bakteri dan virus dalam tubuh penderita Masuk ke udara ambien Polutan udara dari emisi kendaraan, TPA, industri, dan kandang ternak
Faktor lingkungan luar rumah : - Suhu - Kelembaban
Masuk kedalam saluran pernapasan balita
Terhirup oleh manusia (balita)
Faktor lingkungan dalam rumah : - Luas ventilasi, - Jenis lantai, - Jenis dinding, - Kepadatan hunian rumah, - Suhu dan kelembaban - Pencemaran udara dalam rumah
Metabolisme tubuh
Genetik
Replikasi pada alveoli menimbulka n cairan, sehingga mengalami kesulitan bernapas
Pelayanan Kesehatan
Keluar melalui sistem ekskresi
Urin Faktor lingkungan sosial dan ekonomi : kepadatan penduduk, jenis pekerjaan, dan kemiskinan
Bagan 2. 1 Kerangka Teori 41
Sakit ISPA pneumonia
Tidak sakit
Perilaku
BAB III KERANGKA KONSEP BAB III KERANGKA KONSEP 3.1 Kerangka Konsep Kerangka konsep ini mengacu kepada kerangka teori pada pembahasan sebelumnya dimana terdapat beberapa faktor yang berkaitan dengan terjadinya ISPA pneumonia pada balita, yaitu faktor individu yang terdiri dari usia, status gizi, status imunisasi, dan ASI eksklusif; kemudian faktor lingkungan dalam rumah yang terdiri dari jenis lantai, jenis dinding, kepadatan hunian rumah, luas ventilasi, suhu, kelembaban, dan pencemaran udara dalam rumah; kemudian faktor lingkungan luar rumah yang terdiri dari suhu, kelembaban, sumber pencemaran udara ambien; serta faktor lingkungan sosial ekonomi seperti jenis pekerjaan dan kemiskinan. Namun, pada penelitian ini tidak semua variabel tersebut dapat diteliti. Faktor individu tidak diteliti karena variabel tersebut tidak sesuai untuk desain studi ekologi yang unit analisisnya merupakan populasi, selain itu penelitian ini juga lebih terfokus pada faktor lingkungan, yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial ekonomi. Selanjutnya pada faktor lingkungan fisik dalam rumah, hanya variabel jenis lantai, jenis dinding, dan bahan bakar memasak yang dapat dilakukan penelitian, hal ini disebabkan oleh keterbatasan data yang tersedia. Sementara untuk faktor lingkungan luar rumah, variabel status merokok, penggunaan obat anti nyamuk, keberadaan TPA, serta suhu dan kelembaban udara tidak dilakukan pengukuran karena keterbatasan data yang tersedia.
42
Kerangka konsep terdiri dari variabel dependen dan variabel independen. Yang merupakan variabel dependen dalam penelitian ini adalah kejadian ISPA pneumonia pada balita. Dan yang merupakan variabel independen adalah faktor lingkungan fisik dalam rumah (jenis lantai, jenis dinding, dan bahan bakar memasak), faktor lingkungan fisik luar rumah (kepadatan ternak unggas dan industri), dan faktor lingkungan sosial ekonomi (jenis pekerjaan dan kemiskinan). Hubungan antara variabel-variabel tersebut dapat digambarkan dalam Bagan 3.1 sebagai berikut.
Faktor lingkungan fisik : - jenis lantai rumah - jenis dinding rumah - jenis bahan bakar memasak - kepadatan ternak unggas - kepadatan industri
Kejadian ISPA Pneumonia Pada Balita
Faktor lingkungan sosial ekonomi : - Jenis pekerjaan - Kemiskinan
Bagan 3. 1 Kerangka Konsep
43
3.2 Definisi Operasional Tabel 3. 1 Definisi Operasional Definisi Operasional No.
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil pengukuran
1.
Kejadian ISPA pneumonia pada balita
2.
Jenis lantai Bahan atau material dari bagian dasar Observasi data Laporan Banten rumah dalam ruangan rumah penduduk per sekunder Dalam Angka tahun kabupaten/kota yang diperoleh dari 2012-2016 hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional yang tercatat dalam Laporan Banten Dalam Angka selama tahun 20122016
1. Lantai tanah (%)
Jenis dinding rumah
1. Dinding tembok Ordinal (%)
3.
4.
Balita yang menderita infeksi saluran Observasi data Laporan Tahunan 1. < 1% pernafasan bawah jenis pneumonia sekunder Dinas Kesehatan 2. 1% - 4% dibandingkan dengan jumlah balita Provinsi Banten 3. > 4% yang ada pada masing-masing Tahun 2011-2015 kabupaten/kota di Provinsi Banten (Kemenkes RI, 2010) yang tercatat dalam Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Banten selama tahun 2011-2015
Skala ukur
Bahan atau material dari salah satu Observasi data Laporan Banten elemen bagunan untuk memisahkan sekunder Dalam Angka tahun atau membentuk ruangan dalam 2012-2016 rumah penduduk per kabupaten/kota yang diperoleh dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional yang tercatat dalam Laporan Banten Dalam Angka selama tahun 2012-2016
Jenis bahan Bahan atau material yang digunakan Observasi data Laporan 44
Banten
Ordinal
Ordinal
2. Lantai non tanah (%)
2. Dinding kayu (%) 3. Dinding lainnya (%)
1. Listrik (%)
Ordinal
No.
Variabel bakar memasak
5.
6.
Kepadatan industri
Kepadatan ternak unggas
Definisi
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil pengukuran
oleh penduduk untuk memasak per sekunder kabupaten/kota yang diperoleh dari hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional yang tercatat dalam Laporan Banten Dalam Angka selama tahun 20122016
Dalam Angka tahun 2012-2016
Banyaknya perusahaan industri pengolahan yang memiliki tenaga kerja 20 orang atau lebih di tiap wilayah kabupaten/kota yang dibandingkan dengan jumlah seluruh perusahaan industri pengolahan yang ada di Provinsi Banten yang diperoleh dari hasil survei oleh Badan Pusat Statistik dan tercatat dalam Laporan Banten Dalam Angka selama tahun 2012-2016
Observasi data sekunder, kemudian dilakukan perhitungan dengan rumus:
Laporan Banten 1. < 5 % Dalam Angka per 2. 5 – 10 % setiap tahunnya 3. > 10 % selama kurun waktu 2012-2016 (Sopari, 2007)
Banyaknya jenis hewan dari Famili Phasianidae (keluarga burung) yang dikembangbiakkan untuk dimanfaatkan daging dan telurnya dalam satuan ternak (ST) yang dibandingkan dengan luas wilayah kabupaten/kota dalam satuan Km2 yang diperoleh dari Dinas Pertanian dan Peternakan Provinsi Banten yang tercatat dalam Laporan Banten Dalam
Observasi data Laporan Banten sekunder, Dalam Angka tahun kemudian 2012-2016 dilakukan perhitungan dengan rumus:
Skala ukur
2. Gas (%) 3. Minyak (%)
tanah
4. Kayu bakar (%) 5. Lainnya (%) Ordinal
(Jumlah industri di kabupaten/kota ÷ jumlah industri di Provinsi) × 100 %
Jumlah unggas (Satuan Ternak) ÷ luas wilayah 45
1. Jarang (< 10) 2. Sedang (10 – 20) 3. Padat (20 – 50) 4. Sangat padat (> 50) (Modifikasi dari teori Ashari, Juarini, Sumanto, Wibowo, dan Suratman,
Ordinal
No.
Variabel
Definisi Angka selama tahun 2012-2016
7.
8.
Jenis pekerjaan
Cara Ukur
Alat Ukur
(Km2)
Persentase jumlah penduduk yang Observasi data Laporan Banten bekerja di bidang pertanian dan di sekunder Dalam Angka tahun bidang industri tiap wilayah 2012-2016 kabupaten/kota di Provinsi Banten.
Hasil pengukuran 1995) 1. Pekerjaan bidang pertanian (%)
Ordinal
2. Pekerjaan bidang industri (%)
Kemiskinan Jumlah penduduk yang dikategorikan Observasi data Laporan Banten 1. < 10 % sebagai penduduk miskin, yaitu sekunder Dalam Angka per 2. 10 – 20 % penduduk yang memiliki rata-rata setiap tahunnya 3. 20 – 30 % pengeluaran per kapita per bulan selama kurun waktu dibawah Garis Kemiskinan pada 2012-2016 4. > 30 % masing-masing kabupaten/kota di (BPS & Kementerian Provinsi Banten yang dinyatakan Sosial RI, 2012) dalam persentase.
46
Skala ukur
Ordinal
BAB IV METODOLOGI BAB IV METODOLOGI 4.1 Desain Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan desain studi ekologi, karena pada penelitian ini menggunakan data sekunder berbasis populasi (aggregate). Metode yang digunakan adalah analisis spasial, karena variabel pada penelitian ini berupa faktor risiko atau karakteristik yang keberadaannya konstan di masyarakat, dan selanjutnya akan dianalisis terhadap distribusi penyakit (Chandra, 2009) yang dibatasi secara geografik. 4.2 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Juli sampai dengan Bulan Desember tahun 2016. Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Dinas Kesehatan Provinsi Banten yang mencakup 4 kabupaten dan 4 kota. 4.3 Populasi Penelitian Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh kasus ISPA pneumonia pada balita per Kabupaten/Kota yang terlaporkan oleh Dinas Kesehatan Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. 4.4 Manajemen Data 4.4.1
Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan bersumber pada data sekunder. Data sekunder yang digunakan terdiri dari data spasial dan non spasial. Data
47
spasial adalah data yang berorientasi geografis, dalam hal ini maka yang termasuk dalam data spasial adalah peta digital Provinsi Banten berdasarkan wilayah Kabupaten/Kota yang diperoleh secara open source dari Badan Informasi Geospasial (BIG). Sementara data non spasial merupakan data tabular atau data yang berisi informasi deskriptif, dalam hal ini maka yang termasuk data non spasial adalah: - Data kasus
penyakit
ISPA
pneumonia di
Provinsi
Banten per
Kabupaten/Kota selama tahun 2011-2015 yang tercatat dalam Laporan Tahunan Dinas Kesehatan Provinsi Banten yang diperoleh dari Bagian P2 (Penanggulangan Penyakit) Dinas Kesehatan Provinsi Banten. - Data jenis lantai rumah penduduk, jenis dinding rumah penduduk, jenis bahan bakar memasak penduduk, kepadatan ternak unggas, kepadatan industri, jenis pekerjaan penduduk, dan kemiskinan di Provinsi Banten per Kabupaten/Kota yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik dalam Laporan Banten Dalam Angka Tahun 2012-2016. 4.4.2
Pengolahan Data Tahapan pengolahan data dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pemeriksaan Data Pada tahapan ini semua data yang telah dikumpulkan dari beberapa sumber akan diperiksa mana sajakah data yang dibutuhkan dan
48
digunakan dalam penelitian, kemudian dilakukan pemeriksaan kembali terkait kelengkapan dari data yang dibutuhkan tersebut. 2. Pemasukan Data Setelah data dipilih dan diperiksa kelengkapannya selanjutnya data yang dibutuhkan dimasukkan kedalam komputer menggunakan software pengolah data tabular. Maka data yang akan diolah diubah tampilannya kedalam bentuk tabel. Pada proses pemasukan data dilakukan tahap normalisasi data. Tahapan ini dilakukan dengan cara mengedit baris dan kolom yang tidak diperlukan pada setiap variabel penelitian, sehingga tampilan tabel akan menjadi sesederhana mungkin. Tampilan tabel tersebut akan membantu dalam proses analisis data tahap selanjutnya. 3. Pemberian Kode Tahapan selanjutnya adalah membuat kode pada setiap variabel penelitian. Kode dibuat dengan panjang maksimal 10 huruf. Setelah diberikan kode pada setiap variabel penelitian, selanjutnya menetapkan primary key, dalam hal ini maka primary key adalah nama kabupaten/kota. Kemudian tahap berikutnya adalah membuka file dbf dari atribut shapfile yang telah tersedia dari BIG. Setelah filenya terbuka, salin (copy dan paste) kolom primary key ke file berisi tabel kerja yang dilakukan normalisasi, kemudian pindahkan dan samakan kolom primary key ke dalam kolom kabupaten/kota dengan teknik dragging. Lalu 49
lakukan pengecekkan kembali agar tidak terjadi kesalahan pada data yang telah dimasukkan. 4. Perubahan Format File Tahap berikutnya adalah menyimpan lembar kerja pengolahan data tabular yang telah dilakukan normalisasi sebelumnya dalam bentuk CSV. Selanjutnya data tersebut akan dijoin ke dalam software pengolah data spasial yaitu Quantum GIS 2.8.1. 4.5
Instrumen Penelitian Instrument dalam penelitian ini berupa laporan yang telah dikumpulkan dari beberapa instansi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4.1 berikut ini Tabel 4. 1 Daftar Variabel, Instrument, dan Instansi Data Sekunder Penelitian Daftar Variabel, Instrument, dan Instansi Data Sekunder Penelitian
No 1.
2.
Variabel
Instrument
Kejadian ISPA pneumonia Laporan tahunan Dinas Kesehatan pada balita Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Jenis lantai rumah Laporan Banten penduduk, jenis dinding Dalam Angka rumah penduduk, jenis tahun 2012-2016 bahan bakar memasak, kepadatan ternak unggas, kepadatan industri, jenis pekerjaan penduduk, dan kemiskinan
50
Instansi Dinas Kesehatan Provinsi Banten
Badan Pusat Statistik Provinsi Banten
4.6
Analisis Data Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis univariat dan analisis spasial. Analisis univariat digunakan untuk menggambarkan distribusi penyakit ISPA pneumonia berdasarkan variabel jenis lantai rumah penduduk, jenis dinding rumah penduduk, jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak, kepadatan ternak unggas, kepadatan industri, jenis pekerjaan penduduk, dan kemiskinan. Hasil dari analisis univariat berupa proporsi yang ditampilkan dalam bentuk grafik dan diagram. Selanjutnya distribusi penyakit ISPA pneumonia tersebut akan dianalisis menggunakan analisis spasial sehingga akan dihasilkan peta distribusi penyakit berdasarkan variabel-variabel penelitian yang dipisahkan dan dibandingkan berdasarkan
letak
geografis
yaitu
dibatasi
oleh
wilayah
masing-masing
kabupaten/kota dan trend penyakit dalam kurun waktu 5 tahun. Analisis ini dilakukan dengan cara menggabungkan (join) database peta digital wilayah Provinsi Banten dengan jumlah kasus ISPA pneumonia pada masing-masing kabupaten/kota. Kemudian pada attributable, tiap wilayah kabupaten/kota akan diberi warna sesuai klasifikasi dari masing-masing variabel penelitian dan jumlah kasus ISPA pneumonia.
51
BAB V HASIL BAB V HASIL 5.1 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi distribusi frekuensi penyakit ISPA pada balita secara umum yang dilihat dari proporsi penyakit berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten dari tahun 2011-2015. Perkembangan tren penyakit ISPA pada balita selama kurun waktu 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Grafik 5.1 berikut, Grafik 5. 1 Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Distribusi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011-2015
52
Berdasarkan Grafik 5.1, dapat diketahui bahwa frekuensi penyakit ISPA pada balita selama lima tahun mengalami fluktuasi pada semua wilayah kabupaten/kota. Dapat terlihat bahwa kenaikan frekuensi penyakit cenderung terjadi pada tahun 2012, sedangkan penurunan frekuensi penyakit cenderung terjadi pada tahun 2013. Secara umum, pada tahun 2014 juga terjadi peningkatan frekuensi penyakit ISPA pada balita di sebagian besar wilayah kabupaten/kota, kecuali Kota Cilegon, begitu pula pada tahun 2015 dimana juga terus mengalami peningkatan pada sebagian besar wilayah kabupaten/kota kecuali Kota Tangerang. Sehingga dapat terlihat adanya perkembangan penyakit ISPA pada balita yang mengalami peningkatan tahun 2012, kemudian menurun pada tahun 2013, yang selanjutnya cenderung terus mengalami peningkatan hingga tahun 2015. Frekuensi penyakit ISPA pada balita yang paling tinggi terjadi di Kota Cilegon setiap tahunnya, dengan angka yang paling tinggi sebesar 100% pada tahun 2011 dan 2012. Sedangkan untuk kasus terendah tersebar di beberapa wilayah lainnya, dengan angka terendah sebesar 13,13% terjadi pada tahun 2013 di Kota Serang. Berdasarkan data tersebut, maka dapat terlihat jumlah kabupaten/kota yang telah melebihi prevalensi penyakit ISPA pada balita di tingkat Provinsi Banten terus meningkat dalam 2 tahun terakhir. Sedangkan informasi perkembangan tren penyakit ISPA yang lebih terfokus pada jenis ISPA pneumonia pada balita yang dilihat dari angka insidens penyakit berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama kurun waktu 5 tahun terakhir dapat dilihat pada Grafik 5.2 sebagai berikut,
53
Grafik 5. 2 Insidens Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 I nsidens IS PA Pneum onia Pada Balita Berda sarkan Wilaya h Ka bupaten/Kota di Provinsi Ba nten Tahun 20 11-2015
Sumber: Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011-2015
Berdasarkan Grafik 5.2, dapat terlihat bahwa insidens penyakit ISPA pneumonia pada balita selama lima tahun mengalami fluktuasi pada sebagian besar wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten. Terdapat dua kabupaten/kota yang memliki tren penyakit ISPA pneumonia yang cenderung meningkat, yaitu pada Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang, sementara Kota Tangerang Selatan terus mengalami peningkatan selama lima tahun. Dapat terlihat bahwa kenaikan frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita cenderung terjadi pada tahun 2014, sedangkan penurunan frekuensi penyakit cenderung terjadi pada tahun 2013. Angka tertinggi dari insidens penyakit ISPA pneumonia pada balita tersebut adalah sebesar 4,61 % yang terjadi di Kota Tangerang tahun 2012 dan 54
angka terendah sebesar 0,43 % yang terjadi di Kabupaten Lebak tahun 2013. Berdasarkan grafik tersebut, dapat terlihat bahwa jumlah kabupaten/kota yang telah melebihi insidens penyakit ISPA pneumonia pada balita di tingkat Provinsi Banten juga mengalami fluktuasi dalam 5 tahun terakhir. Untuk melihat distribusi penyakit ISPA pneumonia pada balita tersebut berdasarkan keruangan, dapat dilihat pada Peta 5.1 berikut,
55
Peta 5. 1 Distribusi Insidens Penyakit ISPA Pnemonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Distrib usi Ins idens Peny akit I SPA Pnemonia Pada Balita Berdasarkan Wilay ah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Tahun 2014
Tahun 2015
Keterangan: Insidens ISPA Pneumonia Balita
Batas wilayah Utara = Laut Jawa Selatan = Samudera Hindia Barat = Selat Sunda Timur = Provinsi DKI Jakarta dan Provinsi Jawa Barat 56
Peta 5.1 memperlihatkan distribusi frekuensi penyakit ISPA pada balita yang lebih difokuskan pada jenis ISPA Pneumonia. Berdasarkan peta tersebut dapat terlihat 3 area yang memiliki warna berbeda. Wilayah dengan warna hijau (zona hijau) menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah, kemudian wilayah dengan warna kuning (zona kuning) menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang sedang, sedangkan wilayah dengan warna merah (zona merah) menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi. Pada tahun 2011, dapat terlihat bahwa insidens ISPA Pneumonia pada balita antara 1 – 4 % (zona kuning) tersebar merata pada seluruh wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten. Kemudian di tahun 2012 terdapat peningkatan kejadian ISPA Pneumonia pada balita di Kota Cilegon dan Kota Tangerang, sehingga terdapat peningkatan jumlah kabupaten/kota yang berada pada zona merah yaitu 2 dari 8 kabupaten/kota. Pada tahun 2013 terjadi perbaikan yang ditandai dengan adanya penurunan kejadian ISPA Pneumonia balita pada 2 kabupaten/kota yang sebelumnya berada pada zona merah menjadi zona kuning, kemudian terjadi juga penurunan kejadian ISPA Pneumonia pada balita di Kabupaten Lebak menjadi zona hijau, sehingga tidak terdapat lagi kabupaten/kota yang berada pada zona merah. Namun di tahun 2014 kembali terjadi peningkatan kasus ISPA Pneumonia pada balita di Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan sehingga terdapat 2 dari 8 kabupaten/kota yang berada pada zona merah seperti di tahun 2012. Walaupun terdapat penurunan kasus ISPA Pneumonia di tahun berikutnya (2015), namun tetap terdapat wilayah yang
57
berada pada zona merah yang menunjukkan masih terdapat kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi, yaitu di Kota Tangerang Selatan. Berdasarkan berbagai perkembangan persebaran ISPA Pneumonia pada balita selama lima tahun tersebut, dapat terlihat bahwa penyakit ISPA Pneumonia pada balita didominasi oleh wilayah kabupaten/kota yang berada pada zona kuning, dan persebaran penyakit yang lebih tinggi cenderung terjadi di wilayah Timur Provinsi Banten.
5.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Berdasarkan Faktor Lingkungan Fisik Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 5.2.1
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi perkembangan jenis lantai rumah yang dimiliki penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. Jenis lantai rumah penduduk tersebut merupakan faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.2 berikut,
58
Peta 5. 2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai Rumah di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Distribus i Peny akit I SPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai Rumah di Provinsi Banten Tahu n 2011-20 15
Distribusi Pe nya kit I SPA P neumo nia P ada Balita Berdasar ka n Je nis La ntai Tanah di Prov insi Bante n Ta hun 2 011-2015
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Tahun 2014
Tahun 2015
Keterangan: Insidens ISPA Pneumonia Balita
Proporsi Jenis Lantai
59
Peta 5.2 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA Pneumonia pada balita berdasarkan jenis lantai rumah penduduk selama lima tahun. Dapat terlihat bahwa pada semua wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten sebagian besar penduduknya telah memiliki rumah dengan lantai non tanah, artinya terdapat kecenderungan kondisi rumah penduduk dilihat berdasarkan jenis lantainya sudah cukup baik. Bila dilihat berdasarkan proporsi lantai tanah penduduk, maka Kabupaten Pandeglang memiliki proporsi tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lain (dengan angka sebesar 11,66 % pada tahun 2013), namun wilayah tersebut berada pada zona kuning dan terdapat zona hijau namun memiliki proporsi lantai tanah yang cukup tinggi dibandingkan dengan wilayah lain yaitu Kabupaten Lebak pada tahun 2013 (3,99 %) yang menunjukkan adanya kecenderungan kasus yang rendah. Pada kondisi sebaliknya dapat terlihat bahwa proporsi kepemilikan lantai tanah penduduk yang lebih rendah berada di Kota Tangerang (2,25 % pada tahun 2012 dan 0,30 % pada tahun 2014) dan Kota Tangerang Selatan (0,14 % pada tahun 2014 dan tidak terdapat lagi penduduk yang menggunakan lantai tanah pada tahun 2015), namun wilayah tersebut memiliki kejadian ISPA Pneumonia balita yang berada pada zona kuning dan zona merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang tinggi. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis lantai memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya proporsi kepemilikan jenis lantai tanah penduduk yang tinggi justru menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah, begitu pula sebaliknya. 60
5.2.2
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Dinding Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi perkembangan jenis dinding rumah yang dimiliki penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. Jenis dinding rumah penduduk merupakan faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.3 berikut,
61
Peta 5. 3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Dinding Rumah di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Tahun 2014
Tahun 2015
Keterangan: Insidens ISPA Pneumonia Balita
Proporsi Jenis Dinding
62
Peta 5.3 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA Pneumonia pada balita berdasarkan jenis dinding rumah penduduk selama lima tahun. Dapat terlihat bahwa pada semua wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten sebagian besar penduduknya telah memiliki rumah dengan jenis dinding tembok, kemudian diikuti dengan jenis dinding lainnya, dan sebagian kecil yang masih memiliki dinding kayu, artinya terdapat kecenderungan kondisi rumah penduduk dilihat berdasarkan jenis dindingnya sudah cukup baik. Bila dilihat berdasarkan proporsi dinding kayu maupun dinding lainnya, maka Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang lah yang memiliki proporsi tertinggi (dengan angka masing-masing sebesar 3,12 % dan 6,73 % pada tahun 2013). Namun wilayah tersebut berada pada zona kuning dan zona hijau yang menunjukkan adanya kecenderungan kasus yang rendah. Pada kondisi sebaliknya dapat terlihat bahwa proporsi kepemilikan jenis dinding kayu yang rendah terjadi pada zona kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan perkembangan kasus yang tinggi seperti pada Kota Tangerang (2,99 % pada tahun 2012 dan 2,67 % pada tahun 2014), dan Kota Tangerang Selatan (0,85 % pada tahun 2014 dan 0,47 % pada tahun 2015). Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis dinding rumah memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya proporsi kepemilikan jenis dinding kayu penduduk yang tinggi justru menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah. Persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang rendah dengan proporsi kepemilikan dinding kayu yang tinggi memiliki kecenderungan terjadi di 63
wilayah selatan Provinsi Banten, dimana wilayah tersebut merupakan wilayah yang masih didominasi oleh area rural. Begitu pula pada persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi dengan proporsi kepemilikan dinding kayu yang rendah memiliki kecenderungan terjadi di wilayah Timur Provinsi Banten, dimana wilayah tersebut didominasi oleh area urban bahkan termasuk kedalam wilayah penyangga ibu kota.
5.2.3
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Bahan Bakar Memasak Penduduk di Provinsi Banten Tahun 20112015 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi perkembangan jenis bahan bakar yang digunakan penduduk untuk memasak berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. Jenis bahan bakar penduduk tersebut merupakan faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.4 berikut,
64
Peta 5. 4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Bahan Bakar Memasak di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Distribusi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Penggunaan Bahan Bakar Kayu Untuk Memasak Oleh Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Tahun 2014
Keterangan: Insidens ISPA Pneumonia Balita
Tahun 2015
Proporsi Jenis Bahan Bakar
65
Peta 5.4 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA Pneumonia pada balita selama lima tahun berdasarkan jenis bahan bakar yang digunakan oleh penduduk untuk memasak. Dapat terlihat bahwa pada wilayah utara Provinsi Banten (Kota Cilegon, Kabupaten Serang, Kota Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) sebagian besar penduduknya telah menggunakan jenis bahan bakar gas, sementara pada wilayah Selatan Provinsi Banten (Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak) sebagian besar penduduknya masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat dua jenis bahan bakar yang paling dominan digunakan oleh sebagian besar masyarakat di Provinsi Banten yaitu bahan bakar gas dan kayu bakar, sementara untuk jenis bahan bakar lainnya hanya sebagian kecil saja yang menggunakannya. Bila dilihat berdasarkan proporsi bahan bakar kayu, maka Kabupaten Lebak dan Kabupaten Pandeglang lah yang memiliki proporsi tertinggi (dengan angka masing-masing sebesar 65,02 % dan 64,72% pada tahun 2013). Namun wilayah tersebut berada pada zona kuning, bahkan pada tahun 2013 Kabupaten Lebak berada pada zona hijau yang menunjukkan adanya kecenderungan kasus yang rendah. Pada kondisi sebaliknya dapat terlihat bahwa proporsi kepemilikan jenis bahan bakar kayu yang rendah terjadi pada zona kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan perkembangan kasus yang semakin tinggi seperti Kota Tangerang (1,02 % pada tahun 2012 dan 0,56 % pada tahun 2014) dan Kota Tangerang Selatan (0,39 % pada tahun 2012 dan 0,30 % pada tahun 2014). Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada 66
balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis bahan bakar untuk memasak memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya proporsi penggunaan jenis bahan bakar kayu untuk memasak yang tinggi justru menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah, begitu pula sebaliknya. Persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang rendah dengan proporsi penggunaan bahan bakar kayu yang tinggi memiliki kecenderungan terjadi di wilayah selatan Provinsi Banten, dimana wilayah tersebut merupakan wilayah yang masih didominasi oleh area rural. Begitu pula pada persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi dengan proporsi penggunaan bahan bakar kayu yang rendah memiliki kecenderungan terjadi di wilayah Utara Provinsi Banten, dimana wilayah tersebut didominasi oleh area urban, seperti Kota Serang yang merupakan Ibu Kota dan pusat pemerintahan Provinsi Banten, begitu pula Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan yang termasuk kedalam wilayah penyangga ibu kota.
67
Peta 5. 5 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai Tanah, Jenis Dinding Kayu, dan Jenis Bahan Bakar Kayu di Provinsi Banten Tahun 20112015 Distrib usi Frekuensi Peny akit I SPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jen is Lantai Kay u, Jenis D inding Kay u, dan Jenis Bahan Bakar Kay u di Provins i Banten Tahu n 2011-20 15
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Tahun 2014
Tahun 2015
Keterangan: Insidens ISPA Pneumonia Balita
Faktor Lingkungan
68
Peta 5.5 menunjukkan persebaran kejadian ISPA Pneumonia pada balita selama lima tahun dilihat berdasarkan 3 faktor lingkungan yang sebelumnya telah dijelaskan yang lebih terfokus pada jenis faktor lingkungan yang paling berpengaruh terhadap kejadian ISPA Pneumonia pada balita yaitu jenis lantai tanah, dinding kayu, dan bahan bakar kayu. Dapat terlihat bahwa proporsi yang paling tinggi dari ketiga faktor lingkungan tersebut justru terjadi pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang cenderung rendah, seperti pada Kabupaten Lebak tahun 2013, begitu pula sebaliknya proporsi yang paling rendah dari ketiga faktor lingkungan tersebut justru terjadi pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang cenderung tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa kejadian ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis lantai, dinding, dan bahan bakar memiliki kecenderungan ke arah negatif. Bila dilihat berdasarkan keruangan maka wilayah yang memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah dengan proporsi lantai tanah, dinding kayu, dan bahan bakar kayu yang tinggi terjadi pada daerah pedesaan. Sedangkan wilayah yang memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi dengan proporsi lantai tanah, dinding kayu, dan bahan bakar kayu yang rendah terjadi pada daerah perkotaan.
69
5.2.4
Distribusi Frekuensi Kejadian Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 20112015 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi perkembangan kepadatan ternak unggas berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. Kepadatan ternak unggas tersebut merupakan faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan tersebut yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.6 berikut,
70
Peta 5. 6 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Distribusi Frekuen si Penyakit ISPA Pne umonia Pada Balita Berda sarkan Kepa datan Ternak U nggas di Provinsi Bante n Tahun 201 1-2 015
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Tahun 2014
Tahun 2015
Keterangan: Insidens ISPA Pneumonia Balita
Kepadatan Ternak Unggas
71
Peta 5.6 memperlihatkan persebaran kejadian ISPA Pneumonia pada balita berdasarkan faktor lingkungan berupa kepadatan ternak unggas selama lima tahun. Dapat terlihat bahwa wilayah yang memiliki ternak unggas sangat padat terdapat di zona merah seperti di wilayah Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang pada tahun 2012 dan 2014, kemudian wilayah yang memiliki ternak unggas sangat padat juga terdapat di zona kuning seperti yang terjadi di Kabupaten Serang dan Kota Serang. Selain itu dapat terlihat juga adanya peningkatan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang seiring juga dengan peningkatan kepadatan ternak unggas, begitu pula terjadinya penurunan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang seiring dengan penurunan kepadatan ternak unggas, pola persebaran penyakit ini terjadi pada wilayah Kota Tangerang selama lima tahun. Hal ini memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan ternak memiliki kecenderungan ke arah positif. Artinya wilayah dengan kepadatan ternak yang tinggi menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi pula. Namun pada sebagian kecil wilayah kabupaten/kota lainnya menunjukkan hasil yang berbeda. Dimana wilayah dengan kepadatan ternak unggas yang jarang terdapat di zona merah seperti di Kota Cilegon tahun 2012, begitu pula sebaliknya wilayah yang memiliki ternak unggas padat justru terjadi di zona hijau seperti yang terjadi di Kabupaten Lebak tahun 2013. Selain itu terdapat peningkatan ataupun penurunan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tidak disertai 72
dengan peningkatan ataupun penurunan kepadatan ternak unggas, seperti yang terjadi di Kota Cilegon tahun 2012 dan Kota Tangerang Selatan tahun 2011-2014. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan ternak unggas memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya kepadatan ternak unggas yang tinggi menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah, begitu pula sebaliknya. 5.2.5
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kepadatan Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi perkembangan kepadatan industri berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015. Kepadatan industri tersebut merupakan faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita
yang terjadi di
Provinsi
Banten untuk
melihat kecenderungan
persebarannya berdasarkan faktor lingkungan tersebut yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.7 berikut,
73
Peta 5. 7 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kepadatan Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Distribusi Frekue nsi Penyakit IS PA Pneumonia Pada Balita Berda sarkan Jumla h Industri di Pr ovinsi Ba nten Ta hun 2011 -20 15
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Tahun 2014
Tahun 2015
Keterangan: Insidens ISPA Pneumonia Balita
Kepadatan Industri
74
Peta 5.7 memperlihatkan persebaran kejadian ISPA Pneumonia pada balita berdasarkan faktor lingkungan berupa kepadatan industri selama lima tahun. Dapat terlihat bahwa terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap kepadatan industri memiliki kecenderungan ke arah positif. Tetapi pola tersebut hanya terjadi di wilayah utara dan timur Provinsi Banten, yaitu Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, dan Kota Tangerang yang termasuk ke dalam zona kuning dan merah yang disertai juga dengan kepadatan industri yang sedang dan tinggi. Sedangkan pada wilayah lainnya, menunjukkan kecenderungan ke arah negatif. Walaupun pada tahun 2013 wilayah Kabupaten Lebak berada pada zona hijau yang disertai juga dengan kepadatan industri yang rendah sehingga menunjukkan adanya kecenderungan positif, namun pada dua tahun sebelumnya sudah terlihat kondisi kepadatan industri yang sama, tetapi kepadatan industri yang ada tidak menunjukkan kesesuaian dengan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang ada, dan kondisi tersebut juga terulang di tahun berikutnya, sehingga kecenderungan ke arah negatif antara kejadian ISPA Pneumonia pada balita dengan kepadatan industri menjadi lebih besar. Berbagai kondisi tersebut memperlihatkan bahwa dalam satu wilayah Provinsi Banten dapat menunjukkan karakteristik yang berbeda-beda bila dilihat dari
distribusi
dan
frekuensi
penyakitnya
berdasarkan
faktor
yang
mempengaruhinya. Kejadian penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan faktor lingkungan berupa 75
kepadatan industri terjadi di wilayah utara dan timur Provinsi Banten terutama Kabupaten Serang yang berbatasan langsung dengan ibu kota provinsi, serta Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang yang berbatasan langsung dengan DKI Jakarta dan merupakan wilayah penyangga ibu kota negara, sedangkan pada wilayah lainnya memiliki kecenderungan ke araf negatif dengan kepadatan industri yang ada.
5.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Faktor Lingkungan Sosial Ekonomi Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 5.3.1
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Pekerjaan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi perkembangan jenis pekerjaan penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2014. Jenis pekerjaan penduduk merupakan faktor lingkungan sosial ekonomi yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan sosial ekonomi tersebut yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.8 berikut,
76
Peta 5. 8 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Jenis Pekerjaan di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 Distribusi Frekue nsi Penyakit IS PA Pneumonia Pada Balita Berda sarkan Je nis Pek erjaan di Pr ovinsi Ba nten Ta hun 2011 -20 15
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Tahun 2014
Keterangan: Insidens ISPA Pneumonia Balita
Proporsi Jenis Pekerjaan
77
Peta 5.8 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA Pneumonia pada balita selama lima tahun berdasarkan jenis pekerjaan penduduk. Dapat terlihat bahwa pada wilayah utara Provinsi Banten (Kota Cilegon, Kota Serang, Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) sebagian besar penduduknya lebih banyak yang bekerja dibidang industri, sementara pada wilayah Selatan Provinsi Banten (Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak) sebagian besar penduduknya lebih banyak bekerja di bidang pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa jenis pekerjaan di bidang industri lebih banyak terdapat di daerah urban, sedangkan jenis pekerjaan di bidang pertanian lebih banyak terdapat di daerah rural. Dapat terlihat bahwa wilayah kabupaten/kota yang termasuk dalam zona merah memiliki proporsi jenis pekerjaan di bidang industri yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan proporsi jenis pekerjaan di bidang pertanian, seperti yang terjadi di Kota Cilegon (18,90 % pada tahun 2012), Kota Tangerang (32,11 % pada tahun 2012 dan 34,33 % pada tahun 2014), dan Kota Tangerang Selatan (7,16 % pada tahun 2014). Sedangkan proporsi pekerjaan bidang pertanian yang paling tinggi terjadi di Kabupaten Lebak dan Pandeglang (dengan angka masingmasing 37,69 % dan 43,11 % pada tahun 2013), dimana kedua wilayah tersebut termasuk kedalam zona kuning dan zona hijau yang menunjukkan kejadian penyakit ISPA Pneumonia yang rendah. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis pekerjaan bidang industri memiliki kecenderungan ke arah positif, 78
sedangkan jenis pekerjaan bidang pertanian memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya proporsi pekerjaan bidang industri yang tinggi juga menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi, sedangkan proporsi pekerjaan bidang pertanian yang tinggi menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah.
5.3.2
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kemiskinan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan informasi perkembangan kemiskinan penduduk berdasarkan wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2014. Kemiskinan penduduk tersebut dilihat dari besarnya persentase penduduk yang tergolong sebagai penduduk miskin pada setiap wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten selama tahun 2011-2014. Proporsi penduduk miskin tersebut merupakan faktor lingkungan yang akan dikaitkan dengan frekuensi penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang terjadi di Provinsi Banten untuk melihat kecenderungan persebarannya berdasarkan faktor lingkungan sosial ekonomi tersebut yang dapat dilihat secara keruangan pada Peta 5.9 berikut,
79
Peta 5. 9 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kemiskinan Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 Distribusi Frekue nsi Penyakit IS PA Pneumonia Pada Balita Berda sarkan Kemiski nan Penduduk di Provi nsi Bante n Tahun 2 011 -2014
Tahun 2011
Tahun 2012
Tahun 2013
Tahun 2014
Keterangan: Insidens ISPA Pneumonia Balita
Proporsi Penduduk Miskin
80
Peta 5.9 tersebut memperlihatkan persebaran kejadian penyakit ISPA Pneumonia pada balita selama empat tahun berdasarkan persentase penduduk miskin. Dapat terlihat bahwa selama tahun 2011-2014 wilayah kabupaten/kota di Provinsi Banten didominasi oleh tingkat proporsi penduduk miskin yang rendah yaitu di bawah 10 %, dan hanya terdapat 1 kabupaten/kota yang memiliki proporsi penduduk miskin antara 10 – 20 % yaitu di Kabupaten Pandeglang pada tahun 2013. Wilayah kabupaten/kota yang hamir seluruhnya memiliki proporsi penduduk miskin yang rendah selama lima tahun menunjukkan bahwa Provinsi Banten termasuk ke dalam provinsi dengan tingkat kemiskinan yang rendah. Selama
kurun
waktu
2011-2014
dapat
terlihat
bahwa
terdapat
kabupaten/kota yang memiliki proporsi penduduk miskin rendah berada pada zona hijau yang menunjukkan kasus yang rendah, seperti yang terjadi pada Kabupaten Lebak pada tahun 2013. Kondisi tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA pneumonia pada balita terhadap kemiskinan penduduk memiliki kecenderungan ke arah positif. Walaupun demikian, kabupaten/kota yang memiliki proporsi penduduk miskin yang rendah dan berada pada zona kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang tinggi jumlahnya jauh lebih besar. Sehingga pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kemiskinan penduduk lebih memiliki kecenderungan ke arah negatif. Artinya wilayah dengan proporsi penduduk miskin yang tinggi menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah.
81
BAB VI PEMBAHASAN BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Keterbatasan Penelitian Dalam pelaksanaan penelitian ini, terdapat beberapa keterbatasan, yaitu: 1. Penelitian ini merupakan jenis penelitian univariat, dimana hasilnya hanya berupa distribusi dan frekuensi penyakit dilihat berdasarkan faktor lingkungan, sehingga tidak dapat menyimpulkan adanya hubungan antara faktor lingkungan yang diteliti dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita yang ada. 2. Data penyakit ISPA pneumonia pada balita merupakan data sekunder yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Provinsi Banten, data tersebut diperoleh dari masing-masing dinas kesehatan kabupaten/kota yang bersumber dari fasilitas pelayanan kesehatan yang terdapat di wilayah kabupaten/kota tersebut, sehingga data yang diperoleh merupakan penderita yang datang ke pelayanan kesehatan, yang menandakan data yang ada belum merupakan seluruh kasus yang sebenarnya, karena terdapat kemungkinan penderita yang tidak berobat. 3. Kejadian ISPA pada balita yang diteliti hanya difokuskan pada jenis ISPA Pneumonia saja, karena keterbatasan standar baku yang dapat digunakan.
6.2 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Wilayah Kabupaten/Kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat diketahui persebaran penyakit ISPA pada balita di Provinsi Banten selama 5 tahun (2011-2015). Terlihat bahwa 82
Kabupaten Cilegon selalu memiliki kejadian ISPA yang tinggi, hal ini dimungkinkan karena beberapa faktor, salah satunya adalah kondisi ekosistem di wilayah tersebut yang termasuk sebagai daerah pemukiman dan industri. Terbentuknya area tertentu di muka bumi seperti halnya area pemukiman dan perkotaan akan menciptakan kondisi lingkungan tertentu, dimana kondisi lingkungan ini dapat berpengaruh pada kesehatan masyarakat di area tersebut. Pengaruh yang dapat terlihat pada area pemukiman adalah adanya aktivitas urbanisasi yang berpengaruh kepada timbulnya kepadatan penduduk, adanya kepadatan tersebut menuntut ketersediaan lahan untuk tempat tinggal, keterbatasan lahan yang ada menimbulkan adanya daerah slum/kumuh, dan pada daerah tersebut sanitasi kesehatan lingkungan akan memburuk (Alhamda & Sriani, 2015) yang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit. Area pemukiman juga cenderung memiliki aktivitas/kegiatan yang tinggi seperti lalu lintas, tingginya aktivitas alat transportasi sehingga menimbulkan emisi gas yang dapat mencemari udara, dan pencemaran udara ini jika terhirup masyarakat dapat memicu timbulnya penyakit ISPA. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Novirsa dan Achmadi (2012) yang menyatakan bahwa penduduk yang tinggal di area yang dekat dengan sumber pencemar pabrik semen memiliki risiko yang lebih besar untuk terkena ISPA, sehingga jarak paling aman bagi pemukiman dari sumber pabrik semen adalah diatas 2,5 Km. Gertrudis (2010) dalam penelitiannya terhadap masyarakat yang tinggal di sekitar pabrik semen menemukan bahwa terdapat hubungan bermakna antara PM10 dengan kejadian ISPA pada balita dimana balita yang tinggal dalam rumah dengan kadar PM10 tidak memenuhi syarat berisiko 3,1 kali untuk mengalami ISPA 83
dibanding balita yang tinggal dalam rumah dengan kadar PM10 memenuhi syarat. Hasil penelitian yang sejalan juga dilakukan oleh Maywati dan Novianti (2014) terhadap kesehatan balita di lingkungan pemukiman sekitar industri mebeul yang menunjukkan bahwa 74,5% tempat tinggal balita mempunyai kadar debu melebihi standar, dan sebanyak 58,8% balita mengalami ISPA. Distribusi penyakit ISPA pneumonia pada balita berdasarkan hasil penelitian (Peta 5.1) jika dilihat secara spasial dan temporal, dapat terlihat selama kurun waktu lima tahun terdapat kecenderungan persebaran penyakit ISPA pneumonia yang tinggi lebih terpusat pada wilayah timur Provinsi Banten, terutama pada Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Jika diperhatikan, maka terdapat pola persebaran penyakit, dimana terdapat tingkat kejadian ISPA pneumonia pada balita yang sama terjadi pada wilayah yang berdekatan. Hal tersebut terjadi dimungkinkan karena adanya pengaruh dari wilayah dengan kejadian ISPA pneumonia yang tinggi, sehingga wilayah disekitarnya ikut mengalami peningkatan kasus. Menurut WHO (2007) pengendalian administrasi dan lingkungan untuk mengurangi penularan infeksi pernapasan akut sangat penting untuk dilakukan, karena walaupun cara penularan utama sebagian besar ISPA adalah melalui droplet, tetapi penularan melalui kontak (termasuk kontaminasi tangan yang diikuti oleh inokulasi tak sengaja) dalam jarak dekat bisa juga terjadi untuk sebagian pathogen, sehingga resiko penularan tinggi dapat terjadi di sekitar tempat yang terdapat banyak penderita. Penularan dan persebaran penyakit ISPA yang menembus batas wilayah pernah terjadi secara luas dan global, seperti wabah SARS yang pernah terjadi, dimana penyakit ini pertama kali dilaporkan di Asia pada bulan Februari 2003 dan 84
kemudian menular dan menyebar di lebih 24 negara di Asia, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Eropa sebelum wabah tersebut terbendung (WHO, 2007). Penyakit menular seperti ISPA termasuk pneumonia bersifat tidak mengenal batas wilayah administratif dan sistem pemerintahan, maka perlu dikembangkan pengendalian penyakit
menular
dan
penyehatan
lingkungan
secara
terpadu,
menyeluruh/komprehensif berbasis wilayah melalui peningkatan surveilans, advokasi dan kemitraan (Ditjen P2PL, 2012). Kabupaten Tangerang, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan merupakan wilayah yang berbatasan secara langsung dengan Ibu Kota Negara Indonesia yaitu DKI Jakarta. Sebagai wilayah yang berbatasan langsung dengan ibu kota, maka wilayah-wilayah tersebut menjadi daerah penyangga ibu kota yang menyebabkan terpengaruhnya budaya serta karakteristik secara sosiodemografi yang turut memberikan dampak pada status kesehatan masyarakatnya. Wilayah-wilayah tersebut didominasi oleh area pemukiman dan industri, dengan kepadatan penduduk yang tinggi, memungkinkan adanya daerah slum/kumuh sehingga sanitasi kesehatan lingkungan akan memburuk (Alhamda & Sriani, 2015) seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, kondisi tersebut dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan bakteri penyebab ISPA Pneumonia (Ditjen P2PL, 2012). Selain faktor yang telah dijelaskan sebelumnya, masih terdapat faktor-faktor lingkungan lainnya yang dimungkinkan memiliki keterkaitan terhadap kejadian ISPA pneumonia pada balita di Provinsi Banten. Gambaran status kesehatan masyarakat terhadap kejadian penyakit ISPA pneumonia pada balita di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015 yang dilihat berdasarkan kondisi lingkungan berupa jenis lantai, 85
jenis dinding, bahan bakar memasak, kepadatan industri, kepadatan ternak unggas, jenis pekerjaan, dan kemiskinan dapat dilihat pada penjelasan selanjutnya.
6.3 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Faktor Lingkungan Fisik Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 6.3.1
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Lantai Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Lantai merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan untuk dapat menciptakan rumah yang sehat, kondisi lantai harus kedap air dan tidak lembab, tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan, untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau anyaman bambu (Ditjen Cipta Karya, 1997). Kondisi lantai rumah yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit ISPA Pneumonia pada balita. Ruangan di dalam rumah akan menjadi lebih panas dan lembab jika lantai rumah masih terbuat dari tanah, bahkan kandungan pencemar dari bahan bangunan rumah juga akan mengalami peningkatan karena terjadi penguapan di dalam ruangan akibat suhu panas yang meningkat. Sel-sel bakteri termasuk Pneumococus akan mengalami pertumbuhan yang cepat pada kelembaban yang tinggi karena kandungan uap air di udara cukup tinggi, sehingga kondisi ini sangat kondusif bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup agen penyakit ISPA Pneumonia tersebut (Gould & Brooker, 2003). Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Pramudiyani & Prameswari (2011) yang menunjukkan bahwa kondisi lantai menjadi salah satu 86
faktor lingkungan rumah yang berhubungan dengan kejadian penyakit pneumonia. Wayangkau, Wambrauw, & Simanjuntak (2015) juga menemukan bahwa anak yang tinggal dirumah dengan jenis lantai tidak memenuhi syarat berisiko 3,538 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai memenuhi syarat. Bahkan, hasil penelitian Suriyasa et al (2006) membuktikan bahwa lantai rumah yang memenuhi syarat dan berada dalam kondisi yang bersih mampu menurunkan risiko ISPA sebesar 51%. Namun, dalam penelitian ini menghasilkan gambaran yang berbeda, dimana terdapat wilayah dengan proporsi lantai tanah penduduk yang tinggi berada pada zona kuning dan zona hijau yang menunjukkan kecenderungan kasus yang rendah. Kemudian terdapat proporsi kepemilikan lantai tanah penduduk yang rendah berada pada zona kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan perkembangan kasus yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis lantai memiliki kecenderungan ke arah negatif. Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Safitri dan Keman (2007) yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara jenis lantai rumah dengan kejadian ISPA pada balita. Begitu pula pada penelitian Yousef dan Hamed (2016) yang menyatakan tidak ada perbedaan yang signifikan antara lantai yang berbahan keramik ataupun yang masih berupa tanah terhadap kejadian ISPA pada balita. Untuk menciptakan kondisi rumah yang sehat tidak hanya ditentukan dari jenis lantainya saja, tetapi juga beberapa kondisi lainnya seperti bangunan, jendela 87
dan ventilasi, dinding, langit-langit, serta atap rumah (Ditjen Cipta Karya, 1997), sehingga terdapat kemungkinan kejadian ISPA pneumonia pada balita dipengaruhi oleh komponen lainnya selain jenis lantai tanah. Selain faktor lingkungan dalam rumah, terdapat kemungkinan adanya pengaruh dari faktor lain seperti geografi, demografi, maupun sosio ekonomi (Chen, Williams, dan Kirk, 2014), mengingat penyakit ISPA pneumonia merupakan penyakit yang tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor saja. Hasil penelitian ini juga memperlihatkan bahwa terdapat wilayah dengan proporsi lantai tanah yang tinggi, namun memiliki kasus ISPA Pneumonia pada balita yang rendah, seperti yang terjadi di Kabupaten Lebak tahun 2013. Hal ini dapat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang ada di Kabupaten Lebak, yang secara morfologi didominasi oleh daerah perbukitan dan pegunungan (Pokja AMPL Kabupaten Lebak, 2013). Daerah perbukitan merupakan daerah yang didominasi oleh area hutan dan perkebunan sehingga kualitas udara di area tersebut masih sejuk dan bersih (KLHK, 2015), kondisi lingkungan tersebut dapat memungkinkan menjadi faktor yang mendukung dari kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang rendah. Seperti dalam hasil penelitian Sulistiyani (n.d.) yang menemukan bahwa terdapat perbedaan kualitas udara di daerah pantai, peralihan ataupun pegunungan, dimana daerah pegunungan memiliki kualitas udara yang lebih baik dari daerah lain karena memiliki kadar debu yang paling rendah. Hasil penelitian Daroham & Mutiatikum (2009) juga menemukan bahwa anak-anak yang tinggal di daerah rural lebih sedikit menderita penyakit ISPA dari pada anak yang tinggal di daerah urban. 88
Jika dilihat berdasarkan teori H. L. Blum, maka terdapat kemungkinan adanya pengaruh yang lebih besar dari faktor lainnya, yaitu faktor pelayanan kesehatan dan faktor genetik seperti yang terjadi di Kota Tangerang tahun 2012. Pada faktor pelayanan kesehatan, persentase penemuan kasus pneumonia balita di Kota Tangerang masih sangat rendah, yaitu 37,7% (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012). Angka penemuan kasus pneumonia yang memenuhi target merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk dapat menanggulangi penyakit ISPA pada balita, bila angka penemuan kasus pneumonia pada balita rendah maka terdapat kemungkinan masih banyaknya penderita yang tidak ditangani oleh petugas kesehatan, sehingga memungkinkan untuk terjadinya penularan yang lebih luas bahkan dapat meningkatkan risiko kematian (Ditjen P2PL, 2012). Kemudian pada faktor genetik dapat dikaitkan oleh status gizi balita, dimana Kota Tangerang memiliki persentase balita gizi buruk tertinggi dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya yaitu sebesar 1,4% (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012). Status gizi yang buruk pada balita dapat mempengaruhi rendahnya imunitas tubuh balita dalam melawan pathogen penyakit, sehingga balita akan lebih mudah terserang penyakit termasuk ISPA (WHO, 2007). Jadi, terdapat kecenderungan bahwa kejadian ISPA pada balita yang ada di masyarakat tidak hanya berkaitan dengan kondisi lantai, tetapi juga berkaitan dengan kondisi kesehatan lingkungan lainnya, dan dapat juga berkaitan dengan faktor selain lingkungan seperti pelayanan kesehatan dan genetik.
89
6.3.2
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Dinding Rumah Penduduk di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Menurut kemenkes RI (1999), salah satu persyaratan rumah yang sehat adalah memiliki dinding yang terbuat dari conblock (Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002) atau batu bata dan telah diplester (Chandra, 2007). Hal ini difungsikan untuk memberikan perlindungan penghuninya dari berbagai kondisi lingkungan luar rumah yang dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan, salah satunya adalah kondisi udara luar rumah (ambien) yang mengalami pencemaran seperti gas-gas beracun dari alam ataupun aktivitas manusia (Kemenkes RI, 1999). Selain itu, bahan bangunan rumah tidak boleh terbuat dari bahan yang dapat melepaskan zat-zat yang dapat membahayakan kesehatan (Kemenkes RI, 1999), sementara kayu merupakan bahan yang bersifat higroskopis (menyerap dan melepaskan kelembaban), memiliki pori-pori atau serat-serat, sehingga memiliki kemampuan untuk menyerap udara yang ada disekitarnya, terlebih lagi bila kayu memiliki ketebalan yang rendah, maka kemungkinan besar polusi udara yang berada di luar rumah dapat memasuki ruangan dalam rumah melewati serat-serat atau celah-celah pada dinding yang terbuat dari kayu tersebut, selain itu juga dapat memungkinkan bagi mikroorganisme terutama bakteri untuk hidup dan melekat pada permukaan kayu (Dumanau, 2007) yang dapat menjadi agen penyakit ISPA. Kondisi dinding rumah ini akan berpengaruh juga pada kelembaban. Kelembaban rumah akan menjadi tidak normal jika dinding rumah memiliki kondisi yang tidak memenuhi syarat, dan kelembaban yang tidak normal tersebut akan menjadi prakondisi 90
pertumbuhan kuman maupun bakteri pathogen yang dapat menimbulkan penyakit bagi penghuinya (Padmonobo, Setiani, dan Joko, 2012). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Lubis, et al. (1996) yang menyatakan bahwa jenis tembok berpengaruh terhadap proporsi balita yang sakit batuk dengan napas cepat. Hasil penelitian Sikolia, et all (2002) juga menunjukkan hal yang serupa, bahwa jenis dinding rumah berpengaruh terhadap kejadian penyakit ISPA pada balita, dimana balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding yang buruk memiliki risiko 1,13 kali lebih besar untuk terkena penyakit ISPA dibanding dengan balita yang tinggal di rumah dengan kondisi dinding yang telah diplester. Lebih lanjut Sunarsih dan Purba (2015) dalam hasil penelitiannya menyatakan bahwa materi dinding yang tidak diplester, yang terbuat dari kayu atau papan akan memproduksi partikel debu halus yang dapat mengiritasi saluran pernapasan bila terhirup, dan iritasi tersebut akan memudahkan seseorang untuk terserang pneumonia. Namun, penelitian ini menghasilkan kondisi yang berbeda. Berdasarkan Peta 5.3 dapat terlihat bahwa wilayah dengan proporsi dinding kayu yang tinggi berada pada zona kuning dan hijau yang menunjukkan kecenderungan kasus yang rendah. Kemudian proporsi kepemilikan jenis dinding kayu yang rendah terjadi pada zona kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang tinggi. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis dinding rumah memiliki kecenderungan ke arah negatif.
91
Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Winardi, Umboh, dan Rattu (2015) yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara jenis dinding rumah terhadap penyakit ISPA pada anak balita. Maka terdapat kemungkinan adanya faktor lingkungan lain yang mempengaruhinya, salah satunya adalah kondisi lingkungan geografis wilayah tersebut. Kota Tangerang termasuk kedalam daerah penyangga ibukota yang didominasi oleh area pemukiman (50%), pertanian (20%), dan industri (15%). Kota Tangerang terdapat sistem jaringan transportasi terpadu dengan kawasan Jabodetabek, serta memiliki aksesibilitas yang baik terhadap simpul transportasi berskala nasional dan internasional, seperti Bandar Udara Internasional Soekarno Hatta, Pelabuhan Internasional Tanjung Priok, serta Pelabuhan Bojonegara, menjadikan letak geografis Kota Tangerang yang strategis dan memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga mendorong pertumbuhan aktivitas industri, perdagangan dan jasa (Pokja AMPL Kota Tangerang, 2013). Tingkat kepadatan penduduk di Kota Tangerang juga merupakan yang tertinggi jika dibandingkan wilayah kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten yang dapat berkaitan juga dengan sanitasi rumah dan pemukiman penduduknya yang kurang baik. Berbagai kondisi tersebut menyebabkan adanya peningkatan aktivitas manusia yang berdampak pada penurunan kualitas udara ambien di wilayah Kota Tangerang, sehingga terjadinya kontak antara pathogen dan penderita bisa saja tidak hanya berasal dari dalam rumah, melainkan dari lingkungan udara ambien di luar rumah. Jika dilihat berdasarkan teori H. L. Blum, maka terdapat kemungkinan adanya pengaruh dari faktor lainnya, yaitu faktor genetik. Berdasarkan faktor 92
genetik dapat dilihat dari masih rendahnya pemberian ASI ekslusif di Kota Tangerang (34,8%), kemudian jumlah balita yang mengalami gizi kurang (10,5 %) dan gizi buruk (1,7 %) merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan Kabupaten/kota lainnya di Provinsi Banten (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2012). ASI eksklusif dan status gizi balita akan berpengaruh pada terbentuknya imunitas balita menjadi lebih baik yang dapat melindungi dari berbagai penyakit. Sehingga kedua faktor ini dapat berkaitan dengan tingginya kasus ISPA pneumonia pada balita di Kota Tangerang walaupun proporsi dinding kayu yang ada sudah rendah.
6.3.3
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Bahan Bakar Memasak Penduduk di Provinsi Banten Tahun 20112015 Salah satu penyebab ISPA Pneumonia pada balita dapat bersumber dari dalam rumah sendiri, yang berasal dari asap rumah tangga yang masih menggunakan kayu bakar untuk memasak, hal ini dapat diperburuk apabila ventilasi rumah kurang baik dan dapur menyatu dengan ruang keluarga atau kamar (Ditjen P2PL, 2012). Asap yang dihasilkan dari pembakaran kayu menghasilkan beberapa jenis polutan udara seperti particulate matter, carbon monoxide, nitrogen oxide, formaldehyde, benzene, 1,3 butadiene, polycyclic aromatic hydrocarbons yang berbahaya bagi kesehatan termasuk bagi saluran pernapasan (Krauss, 2003). Bila polutan tersebut terhirup kedalam saluran pernapasan, maka dapat menimbulkan iritasi. Adanya iritasi pada saluran 93
pernapasan akan mengganggu fungsi mukosilier dalam mencegah masuknya kuman ke dalam saluran pernapasan, sehingga kuman dan bakteri penyebab penyakit ISPA Pneumonia akan lebih mudah menyerang sistem pernapasan pada balita (Wahyuni & Ikhsan, 2010). Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian di India (Rosdiana & Hermawati, 2015) yang menemukan bahwa kejadian ISPA 4,312 kali lebih berisiko pada balita yang di rumahnya menggunakan kayu bakar untuk memasak dibandingkan dengan balita yang di rumahnya menggunakan bahan bakar gas atau minyak tanah. Hasil penelitian Sanbata, Asfaw, dan Kumie (2014) di Ethiopia juga menemukan bahwa penggunaan kayu bakar memiliki risiko 2,97 kali lebih besar bagi balita untuk terserang penyakit ISPA. Penelitian Wichman & Voyi (2006) juga menunjukkan bahwa terdapat 1,27 kali risiko yang lebih besar bagi anak untuk menderita pneumonia bila tinggal di rumah yang menggunakan bahan bakar yang menimbulkan pencemaran dibanding dengan yang menggunakan listrik atau gas. Perubahan jenis bahan bakar biomasa dan kayu bakar (arang) untuk memasak menjadi bahan bakar bersih seperti gas dan listrik dapat menjadi salah satu upaya dalam mengurangi prevalensi penyakit ISPA (Kilabuko & Nakai, 2007). Namun hasil penelitian ini menunjukkan kondisi yang berbeda. Dimana terdapat wilayah dengan proporsi bahan bakar kayu yang tinggi berada pada zona kuning dan zona hijau yang menunjukkan kecenderungan kasus yang rendah. Terdapat juga proporsi kepemilikan jenis bahan bakar kayu yang rendah dan jenis bahan bakar gas yang tinggi terjadi di wilayah yang berada pada zona kuning dan 94
merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang tinggi. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis bahan bakar untuk memasak memiliki kecenderungan ke arah negatif. Hal tersebut dapat terjadi tergantung pada kondisi lingkungan rumah, jika di ruangan dapur terdapat lubang penghawaan keluar (baik berupa lubang ventilasi, maupun peralatan bantu elektrikal seperti blower atau exhaust fan) maka asap pembakaran dari dapur tidak akan memasuki ruangan keluarga, ruang tidur, ruang tamu dan ruang kerja, sehingga tidak mengganggu kenyamanan ruangan dalam bangunan dimana anggota keluarga termasuk balita berada (Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah, 2002). Bila ruang dapur memiliki ventilasi yang baik, maka kejadian ISPA Pneumonia pada balita dapat dicegah, karena konsentrasi emisi partikel asap dari sisa pembakaran dapat berkurang dengan adanya
sirkulasi
udara
yang
baik
dari
keberadaan
ventilasi
tersebut
(Sunyatiningkamto, et al., 2004 & Yadama, et al., 2012). Oleh sebab itu pemanfaatan ventilasi udara di dapur menjadi salah satu metode untuk menurunkan risiko pneumonia pada balita yang diakibatkan bahan bakar memasak (Fahimah, Kusumowardani, dan Susanna, 2014). Selain faktor lingkungan dari ruang dapur, terdapat kemungkinan adanya pengaruh dari faktor lainnya yaitu faktor perilaku. Berdasarkan faktor perilaku terdapat kemungkinan kebiasaan ibu ketika memasak tidak membawa balita ke dapur, sehingga risiko untuk menghirup asap yang ditimbulkan berkurang, seperti dalam penelitian Sukar, et al (1996) yang menemukan bahwa terdapat hubungan 95
yang signifikan antara ISPA dan kebiasaan ibu membawa bayi dan anak-anak mereka ketika memasak didapur. Maka dalam hal ini letak atau posisi dapur yang terpisah dari ruang lainnya di dalam rumah menjadi hal yang sangat penting, karena asap pembakaran dari kegiatan memasak dapat mencemari ruang lainnya di dalam rumah, termasuk ruang kamar tempat balita lebih banyak menghabiskan waktunya (Anwar & Dharmayanti, 2012).
6.3.4
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kepadatan Ternak Unggas di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Berdasarkan Peta 5.6 dapat terlihat bahwa wilayah yang memiliki ternak unggas padat dan sangat padat terdapat di zona merah dan zona kuning yang menunjukkan adanya kecenderungan kasus yang tinggi. Selain itu dapat terlihat juga adanya peningkatan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang seiring juga dengan peningkatan kepadatan ternak unggas, begitu pula sebaliknya. Hal ini memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan ternak memiliki kecenderungan ke arah positif. Keberadaan unggas di sekitar tempat tinggal merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit ISPA pada balita (WHO, 2007). Kegiatan memelihara unggas memiliki
risiko
terhadap penurunan kualitas
lingkungan
karena
dapat
meningkatkan keberadaan bakteri, protozoa, fungi, virus, atau parasit lainnya yang dapat menyebabkan atau menularkan penyakit ke manusia (Krauss, et al., 2003), dan berbagai mikroorganisme tersebut merupakan agent penyebab 96
penyakit ISPA Pneumonia. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Herawati dan Sukoco (2011) serta Yousef dan Hamed (2016) yang juga menyatakan bahwa terdapat kecenderungan peningkatan risiko ISPA terhadap masyarakat yang memelihara unggas. Bahkan beberapa jenis virus telah terbukti dapat menularkan penyakit dari unggas secara langsung ke manusia, seperti wabah flu burung yang pernah terjadi di Indonesia dan telah tersebar di 13 provinsi serta 53 kabupaten/kota yang merupakan kasus terbesar di dunia dengan kematian 149 orang dari 181 kasus positif (CFR 82,3%) (Ditjen P2PL, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa faktor lingkungan berupa keberadaan ternak unggas yang tinggi memiliki kecenderungan untuk menunjukkan kejadian ISPA Pneumonia yang tinggi pula. Namun hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian Hemsworth (2006) yang menunjukkan bahwa memelihara ternak unggas tidak selalu menyebabkan penyakit ISPA, karena dengan menjaga kebersihan dan sanitasi unggas serta melindungi diri dari kontaminasi secara langsung dapat mencegah timbulnya infeksi atau penyakit yang ditularkan oleh unggas tersebut. Memelihara kebersihan kandang, kotoran, dan mengatur jarak kandang unggas dengan tempat tinggal secara baik juga dapat menurunkan risiko terkena ISPA yang disebabkan oleh unggas (Puspita, 2014), sehingga keberadaan unggas tidak akan memperburuk kondisi lingkungan fisik dalam rumah (Afandi, 2012). Maka terdapat kemungkinan bahwa jika perilaku masyarakat dalam memelihara unggas sudah baik, dan ternak unggas berada pada jarak yang jauh dari rumah penduduk, tidak akan memberikan dampak buruk pada masyarakat. 97
6.3.5
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kepadatan Industri di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Berdasarkan Peta 5.7 dapat diketahui bahwa terdapat kabupaten/kota yang termasuk ke dalam zona merah dan disertai juga dengan kepadatan industri yang tinggi. Maka terdapat pola kejadian ISPA pneumonia pada balita terhadap kepadatan industri memiliki kecenderungan ke arah positif, tetapi pola tersebut hanya terjadi pada wilayah timur Provinsi Banten. Berdasarkan hal tersebut terdapat kecenderungan bahwa masyarakat yang tinggal di wilayah yang memiliki kepadatan industri yang tinggi juga memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi pula. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Ardianto & Yudhastuti (2012) yang menyatakan bahwa lama tinggal responden di kawasan industri berpengaruh terhadap kejadian ISPA, dimana penduduk yang tinggal di kawasan industri ≥ 2 tahun berisiko 9,58 kali lebih tinggi untuk menderita ISPA dibandingkan yang belum lama tinggal di kawasan industri. Salah satu penyebab penyakit ISPA pneumonia adalah polutan udara. Aktivitas industri akan menghasilkan beberapa jenis polutan udara yang dapat membahayakan kesehatan khususnya pada sistem pernapasan, dan jika terhirup oleh manusia dapat menyebabkan adanya reaksi peradangan pada saluran pernapasan, kondisi yang lebih buruk dapat terjadi bila terhirup oleh balita dan anak-anak yang imunitas tubuhnya masih rendah. Hasil penelitian Agustin (2004) menemukan bahwa beberapa jenis polutan seperti SO2, NO, dan NOx yang berasal dari transportasi, industri, dan pembuangan limbah padat berhubungan 98
dengan gangguan saluran pernapasan termasuk
ISPA. Sugiarti
(2008)
menambahkan bahwa paparan SOx dapat menyebabkan peradangan pada selaput lendir di hidung, tenggorokan, hingga paru-paru, bahkan jika paparan terjadi dalam waktu yang lama peradangan hebat dapat terjadi. Peradangan tersebut menjadi satu kondisi yang menguntungkan bagi bakteri penyebab pneumonia untuk menyerang saluran pernapasan bawah, sehingga akan lebih mudah bagi balita untuk menderita pneumonia (Wahyuni & Ikhsan, 2010). Namun penelitian ini juga menghasilkan kondisi yang berbeda pada wilayah lainnya, dimana terdapat wilayah dengan kepadatan industri yang rendah namun memiliki kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian ISPA pneumonia yang tinggi bisa saja tidak berkaitan dengan jumlah industri yang ada, tetapi karena pengaruh dari faktor lainnya. Selain faktor lingkungan, menurut H. L. Blum pelayanan kesehatan juga merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan status kesehatan masyarakat (Ryadi, 2016). Berdasarkan pedoman penanggulangan ISPA di Indonesia, salah satu upaya untuk menurunkan kejadian ISPA pada balita yang tinggi adalah dengan meningkatkan angka cakupan penemuan kasus pneumonia sesuai dengan target yang telah ditetapkan yaitu 70% pada tahun 2011 dan 80% pada tahun 2012 (Ditjen P2PL2, 2012). Namun di Kabupaten Pandeglang penemuan kasus pneumonia balita hanya mencapai 1,9% bahkan menjadi yang terendah dibandingkan dengan kabupaten/kota lainnya, walaupun terjadi peningkatan yang cukup tinggi pada tahun 2012 menjadi 23,1%, namun tetap masih jauh dari target 99
yang harus dicapai (Dinas Kesehatan Provinsi Banten, 2011 & 2012). Faktor tersebutlah
yang
dimungkinkan
menjadi
salah
satu
penyebab
adanya
kecenderungan penyakit ISPA Pneumonia pada balita yang tinggi walaupun jumlah industri di wilayah tersebut sudah rendah.
6.4 Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Faktor Lingkungan Sosial Ekonomi Di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 6.4.1
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Jenis Pekerjaan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 Status kesehatan seseorang dapat dipengaruhi oleh jenis pekerjaan yang digeluti oleh orang tersebut. Jenis pekerjaan seseorang akan berhubungan dengan keterpaparan penyakit akibat pekerjaannya (Daroham & Mutiatikum, 2009). Pekerjaan di bidang pertanian dapat menjadi faktor risiko dari terjadinya infeksi saluran pernapasan, karena dalam kegiatan pertanian terdapat beberapa polutan yang sering kontak dengan pekerja, polutan tersebut antara lain debu organik, debu anorganik, gas-gas yang berasal dari kandang hewan seperti hydrogen sulfide (H2S), ammonia (NH3), carbon dioxide (CO2) dan methane (CH4), serta gas, asap, maupun bahan-bahan kimia lain yang bersifat toksik (Kirkhorn, n.d). Bila berbagai polutan tersebut terhirup oleh pekerja maka dapat menyebabkan iritasi pada saluran pernapasan sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya infeksi saluran pernapasan termasuk pneumonia (Daud & Sedionoto, 2010., Fahimah, Kusumowardani, dan Susanna, 2014). Pernyataan tersebut sesuai dengan hasil penelitian Muhe (1994) yang menemukan bahwa tinggal dalam 100
keluarga yang ayahnya bekerja sebagai petani memiliki keterkaitan dengan meningkatnya kejadian penyakit ISPA pada anak. Goel et al (2012) juga menemukan bahwa prevalensi ISPA paling tinggi terjadi pada anak yang pekerjaan ayahnya di bidang pertanian. Namun, hasil penelitian ini memberikan gambaran yang berbeda. Dapat terlihat bahwa proporsi pekerjaan bidang pertanian yang tinggi terjadi pada zona kuning dan zona hijau, yang menunjukkan kejadian ISPA pneumonia pada balita yang rendah. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis pekerjaan bidang pertanian memiliki kecenderungan ke arah negatif. Hasil ini sejalan dengan penelitian Sofiyatun, Rahayuningsih (2014) dan Suriyasa, et al. (2006) yang menyatakan tidak ada hubungan yang signifikan antara jenis pekerjaan baik itu tidak bekerja, pekerja petani, pekerja kantoran, polisi, ataupun jenis pekerjaan lainnya dengan kejadian ISPA. Kondisi tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor lainnya yang melekat pada wilayah masing-masing, yaitu pada karakteristik wilayah secara morfologi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Kabupaten Lebak memiliki wilayah yang didominasi oleh daerah perbukitan dan pegunungan dimana kualitas udara masih segar dan bersih (memiliki tingkat pencemaran udara yang rendah), sehingga kejadian ISPA Pneumonia pada balita rendah walaupun penduduk yang bekerja di bidang pertanian tinggi. Sementara itu, pada jenis pekerjaan di bidang industri memberikan hasil yang berbeda. Dapat terlihat bahwa proporsi pekerjaan bidang industri yang tinggi terjadi pada zona kuning dan zona merah, yang menunjukkan kejadian ISPA 101
pneumonia pada balita yang tinggi. Hal tersebut memperlihatkan adanya pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis pekerjaan bidang industri memiliki kecenderungan ke arah positif. Emisi udara, limbah buangan, dan sampah padat yang dapat mengandung berbagai jenis polutan kimia berpotensi dihasilkan dari kegiatan pokok di dalam industri (Widyastuti, 2006). Sehingga orang yang bekerja di lingkungan industri memiliki potensi besar untuk terpapar oleh zat-zat kimia berbahaya yang dapat menyebabkan penyakit salurah pernapasan. Contoh bahaya kesehatan pekerja di industri adalah paparan uap zat kimia yang dapat mengakibatkan iritasi dan peradangan pada saluran pernapasan yang ditandai dengan batuk, pilek, sesak napas, dan demam (Lestari, 2010). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Yusnabeti, Wulandari, & Luciana (2010) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan antara pekerjaan industri dengan kejadian ISPA, dimana proses produksi dan aktivitas industri dapat menghasilkan polutan PM10 yang melebihi nilai ambang batas sehingga berperan dalam kejadian ISPA pada pekerja, hal ini diperkuat lagi dengan kondisi lingkungan kerja yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Adanya pola kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan pekerjaan bidang industri menunjukkan bahwa terdapat kecenderungan penyakit ISPA Pneumonia yang diderita oleh balita disebabkan karena penularan dari anggota keluarga yang terkena ISPA, terutama dengan anggota keluarga yang bekerja di bidang industri. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Banda, et al., (2016) yang menyatakan bahwa ada 102
hubungan antara anggota keluarga yang menderita ISPA dengan kejadian ISPA pada balita, dimana anggota keluarga terutama ibu dan saudara kandung yang tinggal serumah dengan riwayat penyakit ISPA sebulan terakhir memiliki risiko untuk menularkan kepada balita. Selain itu, terdapat kemungkinan pula orang yang bekerja di bidang industri adalah penduduk setempat yang berada atau tinggal di sekitar area industri, sehingga terdapat kemungkinan rumah penduduk berada pada jarak yang dekat dengan area industri sehingga meningkatkan risiko balita untuk terkena ISPA Pneumonia. Namun dalam hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Etiler, Velipasaoglu, & Aktekin (2002) yang menemukan bahwa tidak terdapat hubungan antara status pekerjaan anggota keluarga (ayah) dengan kejadian ISPA pada balita. Seseorang yang bekerja di bidang industri memang memiliki risiko untuk menderita ISPA dan memungkinkan untuk menularkan kepada balita atau anggota keluarga lain di lingkungan rumah. Namun pekerja maupun masyarakat dapat terlindungi dari paparan zat kimia yang dikeluarkan dari proses industri selama bekerja jika prosedur industri dan tindakan pencegahan tepat dijalankan dengan benar (Widyastuti, 2006). Sehingga walaupun terdapat anggota keluarga yang bekerja di tempat kerja yang memiliki risiko untuk terserang penyakit ISPA, ia tidak akan terserang penyakit tersebut bila selama bekerja menerapkan prosedur pencegahan keterpaparan agen-agen penyakit ISPA di tempat kerja dengan baik, dan bila ia dapat menjaga kebersihan diri ketika berada di rumah dan kontak dengan balita, maka akan menurunkan risiko terjadinya penularan.
103
6.4.2
Distribusi Frekuensi Penyakit ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kemiskinan Di Provinsi Banten Tahun 2011-2014 Penyakit ISPA merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak diderita oleh masyarakat miskin (Kasim, 2006). Badan organisasi dunia WHO menjelaskan bahwa penyakit ISPA pada dasarnya bukan penyakit mematikan dan jarang menjadi fatal bila sistem pelayanan kesehatan memiliki sumber daya yang baik dan efektif, namun di negara berkembang penyakit ISPA pneumonia menjadi salah satu penyebab kematian terbesar pada balita dan anak-anak, hal ini disebabkan oleh pelayanan kesehatan yang kurang memadai, akses yang buruk terhadap pelayanan kesehatan yang tersedia, kurangnya sumber daya yang dibutuhkan dan berbagai penyebab lainnya yang dipengaruhi oleh masalah kemiskinan (Apriningsih, 2009). Kondisi kemiskinan tersebut juga akan berpengaruh pada ketidaktercapaian kebutuhan asupan gizi yang baik bagi balita sehingga berpengaruh pada rendahnya status gizi balita, dan berkaitan erat dengan kondisi sanitasi lingkungan rumah yang buruk (pencemaran lingkungan dalam rumah) (Machmud, 2009). Kedua faktor tersebut akan berpengaruh pada kondisi fisik balita sehingga lebih mudah terserang ISPA Pneumonia (Pore, Ghattargi, & Rayate 2010., Machmud, 2009). Hal tersebut sesuai dengan penelitian Hapsari, Dharmayanti, & Supraptini (2013), Rojas (2007), Biradar (2013) yang menyatakan bahwa kemiskinan berhubungan secara signifikan dengan kejadian ISPA, dimana kejadian ISPA yang tinggi terjadi pada masyarakat yang memiliki status ekonomi yang rendah.
104
Penelitian Rahman & Rahman (1997) juga menyatakan bahwa kejadian ISPA pada anak lebih banyak terjadi pada keluarga yang tergolong miskin. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan kondisi yang berbeda. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki proporsi penduduk miskin yang rendah dan berada pada zona kuning dan merah yang menunjukkan kecenderungan kasus yang tinggi jumlahnya jauh lebih besar, yang menunjukkan pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap kemiskinan penduduk memiliki kecenderungan ke arah negatif. Pernyataan tersebut sejalan dengan penelitian Duarte & Botelho (2000) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara pendapatan keluarga dengan kejadian penyakit ISPA pada anak. Adanya kondisi pola penyakit ISPA pneumonia terhadap faktor lingkungan sosial ekonomi berupa kemiskinan penduduk yang memiliki kecenderungan ke arah negatif paling terlihat di wilayah Kota Tangerang. Wilayah tersebut memiliki angka kepadatan Industri yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya di Provinsi Banten selama lima tahun. Selain itu pada hasil penelitian ini juga menunjukkan adanya pola persebaran penyakit yang memiliki kecenderungan ke arah positif dengan faktor lingkungan berupa kepadatan industri. Sehingga terdapat kecenderungan bahwa faktor tersebutlah yang berperan terhadap kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi walaupun proporsi kemiskinan penduduknya rendah. Dengan demikian, dapat terlihat bahwa pada wilayah timur Provinsi Banten, terutama Kota Tangerang menunjukkan kecenderungan sebagai wilayah yang paling bermasalah, karena pada beberapa faktor lingkungan yang 105
menunjukkan hasil adanya kecenderungan ke arah positif terhadap penyakit ISPA pneumonia pada balita selalu terjadi pada wilayah tersebut.
106
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan 1. Distribusi frekuensi penyakit ISPA pneumonia pada balita yang tinggi di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015 memiliki kecenderungan lebih terpusat pada wilayah timur Provinsi Banten, terutama pada Kota Tangerang dan Kota Tangerang Selatan. Kemudian, terdapat pola persebaran penyakit, dimana tingkat kejadian ISPA pneumonia pada balita yang sama terjadi pada wilayah yang berdekatan. 2. Distribusi frekuensi penyakit ISPA pneumonia berdasarkan faktor lingkungan fisik di Provinsi Banten tahun 2011-2015 yaitu: 2.1 Kabupaten/kota dengan proporsi lantai tanah penduduk yang tinggi tersebar pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang rendah, dan begitu pula sebaliknya. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis lantai yang memiliki kecenderungan ke arah negatif. 2.2 Kabupaten/kota dengan proporsi dinding kayu yang tinggi tersebar pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang rendah, dan begitu pula sebaliknya. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis dinding yang memiliki kecenderungan ke arah negatif. 2.3 Kabupaten/kota dengan proporsi bahan bakar kayu yang tinggi tersebar pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang rendah, dan 107
begitu pula sebaliknya. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis bahan bakar yang memiliki kecenderungan ke arah negatif. 2.4 Kabupaten/kota yang memiliki ternak unggas padat dan sangat padat tersebar di wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi. Selain itu terdapat peningkatan dan penurunan kejadian ISPA Pneumonia pada balita yang seiring juga dengan peningkatan dan penurunan kepadatan ternak unggas. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan ternak yang memiliki kecenderungan ke arah positif. 2.5 Kabupaten/kota dengan kepadatan industri yang tinggi tersebar pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kepadatan industri yang memiliki kecenderungan ke arah positif. 3. Distribusi kejadian penyakit ISPA pneumonia berdasarkan faktor lingkungan sosial ekonomi di Provinsi Banten selama tahun 2011-2015 yaitu: 3.1 Kabupaten/kota dengan proporsi pekerjaan bidang industri yang tinggi tersebar pada wilayah yang memiliki kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa jenis pekerjaan industri yang memiliki kecenderungan ke arah positif, sementara pada jenis pekerjaan pertanian memiliki kecenderungan ke arah negatif. 108
3.2 Kabupaten/kota dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita yang tinggi tersebar pada wilayah yang memiliki proporsi penduduk miskin yang rendah. Sehingga terdapat pola persebaran penyakit ISPA Pneumonia pada balita terhadap faktor lingkungan berupa kemiskinan yang memiliki kecenderungan ke arah negatif.
7.2 Saran 1. Bagi Dinas Kesehatan Provinsi Banten 1.1 Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk lebih meningkatkan kerjasama antar Kabupaten/kota di seluruh Provinsi Banten dalam menanggulangi permasalahan ISPA pneumonia pada balita dimulai dengan wilayah yang paling tinggi kasusnya (Kota Cilegon, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan) kemudian dilanjutkan dengan wilayah yang ada di sekitarnya. 1.2 Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk meningkatkan upaya dalam memperbaiki kesehatan lingkungan tidak hanya pada kesehatan lingkungan rumah penduduk tetapi juga kesehatan lingkungan di sektor industri dan peternakan. 1.3 Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk meningkatkan kerjasama dengan berbagai sektor dalam melakukan surveilans, sehingga dapat membantu dalam ketersediaan data yang lebih baik untuk analisis situasi kejadian ISPA dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
109
1.4 Disarankan kepada Dinas Kesehatan Provinsi Banten untuk menetapkan target pencapaian pada berbagai komponen status kesehatan dan kesejahteraan masyarakat, terutama pada program pemberantasan penyakit ISPA. 2. Bagi Penelitian Selanjutnya 2.1 Melakukan penelitian lebih lanjut untuk melihat hubungan beberapa faktor lingkungan yang dalam hasil penelitian ini memiliki kecenderungan ke arah positif dengan kejadian ISPA pneumonia pada balita seperti faktor kepadatan ternak, kepadatan industri, dan pekerjaan industri. 2.2 Penelitian lanjutan yang lebih terfokus pada wilayah yang lebih kecil seperti kabupaten/kota dengan kasus tertinggi seperti di Kota Cilegon, Kota Tangerang, dan Kota Tangerang Selatan sangat baik dilakukan dengan menggunakan metode point penyakit, sehingga dapat dilakukan analisis hubungan antar berbagai faktor lingkungan dengan kejadian penyakit ISPA pneumonia secara lebih mendalam.
110
DAFTAR PUSTAKA Acharya, Pawan., Mishra, Shiva Raj., & Beckhoff, Gabriele Berg. (2015). Solid Fuel in Kitchen and Acute Respiratory Tract Infection Among Under Five Children: Evidence from Nepal Demographic and Health Survey 2011. Journal Community Health, Vol. 40: 515-521. Afandi, A. I. (2012). Hubungan Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akuta Pada Anak Balita di Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah Tahun 2012. Depok: Universitas Indonesia. Agustin. (2004). Hubungan Kualitas Udara Ambien Dengan Kasus ISPA, Bronkitis dan Asma di DKI Jakarta Tahun 2003-2004 (Studi Ekologi di 15 Kecamatan). Tesis. Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Epidemiologi Kesehatan Lingkungan, Universitas Indonesia. Alhamda, S., & Sriani, Y. (2015). Buku Ajar Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM). Padang: Deepublish. Anies. (2006). Manajemen Berbasis Lingkungan, Solusi Mencegah dan Menanggulangi Penyakit Menular: Seri Lingkungan dan Penyakit. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Anwar, Athena., & Dharmayanti, Ika. (2012). Pneumonia Pada Anak Balita di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 8 (8): 359-365. Apriningsih. (2009). Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan Anak. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Ardianto, Y. Denny., & Yudhastuti, Ririh. (2012). Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Pekerja Pabrik. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 6 (5): 230233. Ashari E, Juarini E, Sumanto, Wibowo, Suratman. (1995). Pedoman Analisis Potensi Wilayah Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Jakarta: Balai Penelitian Ternak dan Direktorat Bina Penyebaran dan Pengembangan Peternakan. Asih, Niluh Gede Yasmin., & Effendy, Christantie. (2004). Medikal Bedah: Klien Dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: EGC. Badan Pusat Statistik (BPS) & Kementerian Sosial RI. (2012). Analisis Data Kemiskinan Berdasarkan Data Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) 2011. Jakarta: BPS.
111
Banda, e. a. (2016). Risk Factors Associated With Acute Respiratory Infections Among Under-Five Children Admitted to Arthur's Children Hospital, Ndola, Zambia. Asian Pacific Journal Of Health Science, 3 (3), 153-159. Bhat, R. Y., & Manjunath, N. (2013). Correlates of Acute Lower Respiratory Tract Infections in Children Under 5 Years of Age in India. The International Journal of Tuberculosis and Lung Disease, 17 (3): 418-422. Bielska, D. E., et al. (2015). Exposure to Environmental Tobacco Smoke and Respiratory Tract Infections in Pre-School Chlidren - a Cross Sectional Study in Poland. Annals of Agricultural and Environmental Medicine, 22 (3), 524-529. Biradar, M. K. (2013). Epidemiologi Factors Contributing To Acute Respiratory Infection In Under Five Children In An Urban Slum. International Journal Of Pharma and Bio Sciences, 4 (1), 364-369. Breiman, Robert F., et al. (2015). Severe Acute Respiratory Infection in Children in A Denely Populated Urban Slum in Kenya 2007-2011. BioMed Central Infectious Disease, 15 (95): 1-11. Budiarto, E., & Anggraeni, D. (2003). Pengantar Epidemiologi Edisi 2. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Center for Disease Control and Prevention (CDC). (2011). Severe Illness from 2009 Pandemic Influenza A (H1N1)-Utah, 2009-2010 Influenza Season. Utah: Morbidity and Mortality Weekly Report. Chandra, Budiman. (2007). Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC. Choube, et al. (2014). Potential Risk Factors Contributing to Acute Respiratory Infections in Under Five Age Group Children. International Journal of Medical Science and Public Health, 3 (11). Clucas, D. B., et al., (2008). Disease Burden and Health-Care Clinic Attendances for Young Children in Remote Aboriginal Communities of Northen Australia. Bulletin of World Health Organization, 86 (4): 275-281. Cohen, S. (2006). Social Status and Susceptibility to Respiratory Infection. Annals New York Academy Of Sciences, 15213-3890. Daroham, N. I., & Mutiatikum. (2009). Penyakit ISPA Hasil Riskesdas Di Indonesia. Buletin Penelitian Kesehatan, 50-55. Daud A, & Sedionoto B. (2010). Analisis Risiko Konsentrasi SO2 dan PM2,5 Terhadap Penurunan Kapasitas Fungsi Paru Penduduk di Sekitar Kawasan Industri Makassar. Jurnal Lingkungan Tropis, 4 (2): 129-137.
112
Dawood, Fatimah S, et al. (2012). Estimated Global Mortality Associated With The First 12 Months Of 2009 Pandemic Influenza A H1N1 Virus Circulation: A Modelling Study. The Lancet Infectious Diseases Journal, 12 (9): 687-695. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). (2009). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Banten Tahun 2007. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI). (2013). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) Provinsi Banten Tahun 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dewi, H. R. (2009). Hubungan Antara Lingkungan Kerja dan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Polisi Lalu Lintas Di Polwiltabes Semarang. Surakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. (2014). Profil Kesehatan Kota Tangerang Selatan Tahun 2014. Tangerang Selatan: Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Dinas Kesehatan Provinsi Banten. (2011). Profil Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2010. Serang: Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Dinas Kesehatan Provinsi Banten. (2012). Profil Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2011. Serang: Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Dinas Kesehatan Provinsi Banten. (2013). Profil Kesehatan Provinsi Banten Tahun 2012. Serang: Dinas Kesehatan Provinsi Banten. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen P2PL). (2012). Pedoman Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Ditjen Cipta Karya. (1997). Rumah dan Lingkungan Pemukiman Sehat. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum RI. Duarte, D. M., & Botelho, C. (2000). Clinical Profile in Children Under Five Year Old With Acute Respiratory Tract Infections. Journal de Pediatria, 76 (3), 207-212. Dumanau, J.F. (2007). Mengenal Kayu. Yogyakarta: Kanisius. Etiler, N., Velipasaoglu, S., & Aktekin, M. (2002). Incidence of Acute Respiratory Infections and The Relationship With Some Factors in Infancy in Antalya, Turkey. Pediatrics International, 44, 64-69. 113
Fahimah, Rilla., Kusumowardhani, Endah., dan Susanna, Dewi. (2014). Kualitas Udara Rumah Dengan Kejadian Pneumonia Anak Bawah Lima Tahun (di Puskesmas Cimahi Selatan dan Leuwi Gajah Kota Cimahi). Makara Journal Health Respiratory, 18 (1): 25-33. Fakunle, G. A., Ana, G. R., & Ayede, A. I. (2014). Environmental Risk Factors for Acute Respiratory Infections in Hospitalized Children Under 5 Years of Age in Ibadan, Nigeria. Journal of Paediatrics and International Child Health, 34 (2): 120-124. Fanada, Mery. (2012). Faktor-faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kenten Palembang Tahun 2012. Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan. Fauziah, M. (2006). Bencana Alam: Perlindungan Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Febrian, Ferry., & Solikhah. (2013). Analisis Spasial Kejadian Penyakit Leptospirosis di Kabupaten Sleman Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2011. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 7 (1): 1-54. Fitria, Laras., Wahjudi, Pudjo., & Wati, Dwi Martiana. (2014). Pemetaan Tingkat Kerentanan Daerah Terhadap Penyakit Menular (TB Paru, DBD, dan Diare) di Kabupaten Lumajang Tahun 2012. E-Jurnal Pustaka Kesehatan, 2 (3): 460-467. Geberetsadik, A., Worku, A., & Berhane, Y. (2015). Facors Associated With Acute Respiratory Infection in Children Under The Age of 5 Years: Evidence From The 2011 Ethiopia Demographic and Health Survey. Pediatric Health, Medicine and Therapeutics, 6, 9-13. Gertrudis T. (2010). Hubungan Antara Kadar Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal Dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Sekitar Pabrik Semen PT Indocement, Citeureup, Tahun 2010. Depok: Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia. Goel, Kapil, et all. (2012). A Cross Sectional Study on Prevalence of Acute Respiratory Infections (ARI) in Under-Five Children of Meerut District, India. Journal Community Medical Health Education, 2 (9): 1-4. Gould D., & Brooker, C. (2003). Mikrobiologi Terapan Untuk Perawat. Jakarta: EGC. Hafid, et al. (2013). Majalah Kesehatan Muslim: Antara Tawakal dan Pengobatan (Edisi III). Yogyakarta: Pustaka Muslim. Hapsari, D., Dharmayanti, I., & Supraptini. (2013). Pola Penyakit ISPA dan Diare Berdasarkan Gambaran Rumah Sehat di Indonesia Dalam Kurun Waktu Sepuluh Tahun Terakhir. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 16 (4), 363-372.
114
Hemsworth S, P. B. (2006). Pet ownership in immunocompromised children—a review of the literature and survey of existing guidelines. Eur J Oncol Nurs, 10, 117-127. Herawati, Maria Holly., & Sukoco, Noor Edi Widya. (2011). Pengaruh Memelihara Ternak Dalam Rumah Terhadap Kecenderungan Meningkatnya Risiko Infeksi Saluran Pernapasan Akut. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan, 15 (1): 83-90. Hidayat, A. Aziz Alimul. (2008). Pengantar Ilmu Kesehatan Anak Untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. Jary, H., et al. (2015). Study Protocol: The Effects of Air Pollution Exposure and Chronic Respiratory Disease on Pneumonia Risk in Urban Malawian Adults - The Acute Infection of The Respiratory Tract Study (The AIR Study). BMC Pulmonary Medicine: 1-8. Juan, G. L., et al. (2014). Association Between Ambient Air Pollution and Outpatient Visit for Acute Bronchitis in a Chinese City. Biomed Environ Sci, 27 (11), 833840. Kartasasmita, Cissy B. (2010). Pneumonia Pembunuh Balita. Buletin Jendela Epidemiologi: Pneumonia Balita, 3: 22-26. Kasim,
M. (2006). Karakteristik Kemiskinan Penanggulangannya. Jakarta: Indomedia.
di
Indonesia
dan
Strategi
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (1999). Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: 829/Menkes/SK/VII/1999 Tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2010). Pneumonia Balita. Buletin Jendela Epidemiologi, 3: 1-10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2012). Modul Tatalaksana Standar Pneumonia: Lihat dan Dengarkan dan Selamatkan Balita Indonesia dari Kematian. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2013). Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI). (2015). Kesehatan Dalam Kerangka Sustainable Development Goals (SDGs). Jakarta: RAKORPOP Kementerian Kesehatan RI. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). (2015). Statistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tahun 2014. Pusat Data dan Informasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 115
Kilabuko, J. H., & Nakai, S. (2007). Effects of Cooking Fuels on Acute Respiratory Infections in Children in Tanzania. International Journal of Environmental Research and Public Health, 4 (4), 283-288. Kirkhorn, S. R. (n.d.). Agricultural Respiratory Hazards and Disease. Waseca: University of Minnesota Family Practice and Community Health. Krauss H, W. A., & al., e. (2003). Zoonoses: Infectious Diseases Transmissible From Animals to Humans, 3rd edition. Washington, DC: American Society for Microbiology Press. Leh, O. L., et al. (2011). Urban Environmental Health : Respiratory Illness and Urban Factors in Kuala Lumpur City, Malaysia. Journal of EnvironmentAsia, 4 (1), 3946. Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LPEM FEUI). (2010). Indonesia Macroeconomic Outlook 2010. Jakarta: Grasindo. Lestari, F. (2010). Bahaya Kimia : Sampling & Pengukuran Kontaminan Kimia di Udara. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Lubis, A., et al. (1996). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit Batuk Dengan Nafas Cepat Pada Balita. Buletin Penelitian Kesehatan, 24 (2 & 3): 5564. Mairuhu, V., Birawida, A. B., & Manyullei, S. (2008). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian ISPA Pada Balita Di Pulau Barrang Lompo Kecamatan Ujung Tanah Subdistrct Makassar City. Hasanudin University Repository, Bagian Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin: 1-8. Marjuki, Bramantiyo. (2014). Sistem Informasi Geografi Menggunakan Quantum GIS 2.0.1 Durfour. Maryani, H., & Kristiana, L. (2004). Tanaman Obat Untuk Influenza. Depok: PT. AgroMedia Pustaka. Maywati, S., & Novianti, S. (2014). Dampak Aktivitas Home Industri Meubel Terhadap Kesehatan Balita di Sekitas Industri Meubel Sektor Informal Kel. Kahuripan Kec. Tawang Kota Tasikmalaya. Jurnal Kesehatan Komunitas Indonesia, 10 (1), 923930. Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia. (2002). Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/KPTS/M/2002 Tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat). Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia. 116
Mirji, G., et al. (2015). Influence of Breast Feeding Practices and Immunization Status Among Under Five Children Suffering From Acute Respiratory Infection. Indian Journal of Health and Wellbeing, 6 (1): 100-102. Muhe, L. (1994). Child Health And Acute Respiratory Infections In Ethiopia, Epidemiology For Prevention And Control. Umea: Dissertations. Department of Epidemiology and Public Health, Umea University and Depatment of Paediatrics and Chilf Health Addis Ababa University. Nasution, K., et al. (2009). Infeksi Saluran Napas Akut pada Balita di Daerah Urban Jakarta. Sari Pediatri, 11 (4): 223-228. Ni’mah, Risma Muti Setyandri An. (2014). Sistem Informasi Geografis Visualisasi Clustering Penyakit ISPA di Kecamatan Kaliwungu. Jurusan Teknik Informatika, Fakultas Ilmu Komputer, Universitas Dian Nuswantoro Semarang. Novirsa, Randy., & Achmadi, Umar Fahmi. (2012). Analisis Risiko Pajanan PM2,5 di Udara Ambien Siang Hari Terhadap Masyarakat di Kawasan Industri Semen. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 7 (4): 173-179. Padmonobo, H., Setiani, O., & Joko, T. (2012). Hubungan Faktor-faktor Lingkungan Fisik Rumah dengan Kejadian Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Jatibarang Kabupaten Brebes. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11 (2), 194-198. Pokja AMPL Kabupaten Lebak. (2013). Buku Putih Sanitasi Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Pemerintah Kabupaten Lebak. Pokja AMPL Kota Tangerang. (2013). Buku Putih Sanitasi Kota Tangerang Provinsi Banten. Pemerintah Kota Tangerang. Pore, Prasad D., Ghattargi, Chandrashekhar H.,, & Rayate, Madhavi V. (2010). Study of Risk Factors of Acute Respiratory Infection (ARI) in Underfives in Solapur. National Journal of Community Medicine, 1 (2): 63-66. Prajapati, Bipin., Talsania, Nitiben., & Sonaliya K N. (2011). A Study On Prevalence Of Acute Respiratory Tract Infections (ARI) In Under Five Children In Urban And Rural Communities Of Ahmedabad District, Gujarat. National Journal of Community Medicine, 2 (2) : 255-259. Prajapati, et al. (2012). A Study of Risk Factors of Acute Respiratory Tract Infection (ARI) of Under Five Age Group in Urban and Rural Communities of Ahmedabad District, Gujarat. Healthline, 3 (1): 16-20. Prakash, L. K. (2014). Acute Respiratory Infection Among Children and Health Seeking Behaviour in India. International Journal of Scientific and Research Publications, 4 (11), 1-6. 117
Pramudiyani, N. A., & Prameswari, G. N. (2011). Hubungan Antara Sanitasi Rumah Dan Perilaku Dengan Kejadian Pneumonia Balita. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 6 (2): 71-78. Purwanti, Hubertin Sri. (2004). Konsep Penerapan ASI Eksklusif: Buku Saku Untuk Bidan. Jakarta: EGC. Puspita, A. D. (2014). Hubungan Pemeliharaan Ternak Dengan Kejadian ISPA di Desa Patokan Kecamatan Bantaran Kabupaten Probolinggo. Jurnal Universitas Airlangga. Rahman, M., & Rahman, A. (1997). Prevalence of Acute Respiratory Tract Infection And Its Risk Factors in Under Five Children. Bangladesh Media Respiratory Council Bulletin, 47-50. Ramadona, Aditya L., & Kusnanto, Hari. (2012). Open Source GIS: Aplikasi Quantum GIS Untuk Sistem Informasi Lingkungan. Yogyakarta: BPFE Roesli, Utami. (2001). Mengenal ASI Eksklusif (Seri 1). Jakarta: Trubus Agriwidya. Rojas, F. (2007). Poverty Determinants of Acute Respiratory Infections Among Mapuche Indigenous People in Chile's Ninth Region of Araucania, Using GIS and Spatial Statistics to Identify Health Disparities. International Journal of Health Geographics, 6 (26), 1-12. Rosdiana, Dian., & Hermawati, Ema. (2015). Hubungan Kualitas Mikrobiologi Udara dalam Rumah dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut pada Balita. Journal of Respiration Indonesia, 35 (2): 83-96. Ryadi, Alexander Lucas Slamet. (2016). Ilmu Kesehatan Masyarakat. Yogyakarta: ANDI. Said, Mardjanis. (2010). Pengendalian Pneumonia Anak-Balita dalam Rangka Pencapaian MDG4. Buletin Jendela Epidemiologi: Pneumonia Balita. 3: 16-21. Sanbata, H., Asfaw, A., & Kumie, A. (2014). Association of Biomass Fuel Use With Acute Respiratory Infections Among Under-Five Children in a Slum Urban of Addis Ababa, Ethiopia. MBC Public Health, 14 (1122), 1-8. Septantiana, N., & Asfawi, S. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Keluhan Subjektif Pernapasan Pada Pedagang Unggas Wanita Akibat Kondisi Udara di RPU Penggaron Kota Semarang Tahun 2015. Jurnal Universitas Dian Nuswantoro, 1-15. Shibata, T., et al. (2014). Childhood Acute Respiratory Infections and Household Environment in an Eastern Indonesia Urban Setting. Internasional Journal of Environmental Research and Public Health, 12190-12203. 118
Sikolia DN, et all. (2002). The Prevalence of Acute Respiratory Infections and The Associated Risk Factors: A Study of Children Under Five Years of Age in Kibera Lindi Village, Nairobi, Kenya. Journal National Institute Public Health, 51 (1): 67-72. Simoes, E. A., et al. (2006). Acute Respiratory Infections in Children (Chapter 25). The International Bank for Reconstruction and Development/The Wolrd Bank Grup, Disease Control Priorities in Developing Countries, second edition (NCBI), 483497. Soesanto, Sri Soewasti., Lubis Agustina., & Atmosukarto, Kusnindar. (2000). Hubungan Kondisi Perumahan Dengan Penularan Penyakit ISPA dan TB Paru. Media Litbang Kesehatan. 10 (2): 27-31. Sofiyatun, E., & Rahayuningsih, B. V. (2014). Risk Factors Study Of Acute Infection Respiratory Syndrome in District of Banjarnegara. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 8 (1), 77-82. Sopari, Asep. (2007). Analisis Spasial Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pneumonia Pada Balita di Kabupaten Tangerang 2004. Tesis. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Sugihartono, & Nurjazuli. (2012). Analisis Faktor Risiko Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sidorejo Kota Pagar Alam. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11 (1): 82-86. Suhartini, Nin. (2013). Hubungan Antara Populasi Mikroorganisme Udara Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut di Sekitar Tempat Pembuangan Akhir Sampah Terjun Medan. Tesis: Universitas Sumatera Utara. Sukar, et al. (1996). Pengaruh Kualitas Lingkungan Dalam Ruang (Indoor) Terhadap Penyakit ISPA-Pneumonia Di Indramayu, Jawa Barat. Buletin Penelitian Kesehatan, 24 (1): 13-20. Sulistiyani. (n.d.). Status Kesehatan Masyarakat dan Kualitas Lingkungan Pada DAS Garang Kabupaten dan Kota Semarang (Studi Analisis Spasial Pada Daerah Urban, Rural, Pantai, Pegunungan). Http://jurnal.unimus.ac.id, 1-10. Sunarsih, E., & Purba, I. G. (2015). Risk Factor Analysis of Acute Respiratory Infection on Children Under Five Years Old in Tanjung Pering Village Ogan Ilir. International Journal of Sciences: Basic and Applied Research, 22 (1), 21-30. Sunyatiningkamto, et al. (2004). The Role Of Indoor Air Pollution And Other Factors In The Incidence Of Pneumonia In Under-Five Children. Journal of Paediatrica Indonesiana, 44 (1-2): 25-29.
119
Suriyasa, P., & al., e. (2006). Non-dirt House Floor and The Stimulant of Environmental Health Decreased The Risk Acute Respiratory Infection (ARI). Med J Indonesia,15 (1), 60-65. Sutomo, Budi., & Anggraini, Dwi Yanti. (2010). Menu Sehat Alami Untuk Batita & Balita. Jakarta: Demedia. Syech, Riad., Sugianto, & Anthika. (2014). Faktor-faktor Fisis Yang Mempengaruhi Akumulasi Nitrogen Monoksida dan Nitrogen Dioksida di Udara Pekanbaru. Jurnal Universitas Riau: 516-523. Taksande, Amar M., & Yeole, Mayuri. (2016). Risk Factors of Acute Respiratory Infection (ARI) in Under-Five in a Rural Hospital of Central India. Journal of Pediatric and Neonatal Individualized Medicine, 5 (1): 1-6. Vanker, A., et al. (2015). Home Environment and Indoor Air Pollution Exposure in an African Birth Cohort Study. Journal of The Science of the total environment: 7362. Wahyuni TD., & Ikhsan M. (2010). Perubahan Iklim dan Kesehatan Paru. Journal Respiratory Indonesia, 30: 230-237. Wardani, Dyah Wulan Sumekar Rengganis., et al. (2013). Pentingnya Analisis Cluster Berbasis Spasial dalam Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional,. 8 (4): 147-151. Wardhani, Eka., et al. (2010). Hubungan Faktor Lingkungan, Sosial-Ekonomi, dan Pengetahuan Ibu Dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) Pada Balita di Kelurahan Cicadas Kota Bandung. Seminar Nasional Sains & Teknologi III, Lembaga Penelitian Universitas Lampung. Wayangkau, E. C., Wambrauw, A., & Simanjuntak, T. P. (2015). The Correlation Of Physical Of A House To The Acute Respiratory Tract Infection (ARTI) Cases On Toddler At Nendali Village, East Sentani District. International Journal of Research In Medical and Health Sciences, 5 (4), 1-7. Weber, Martin., & Handy, Fransisca. (2010). Action Against Pneumonia In Children, Outline of a Global Action Plan (GAPP) – Aksi Global Melawan Pneumonia Pada Anak. Buletin Jendela Epidemiologi: Pneumonia Balita. Vol. 3, ISSN 20871546. Wichman J., & Voyi, KVV. (2006). Impact of Cooking and Heating Fuel Use On Acute Respiratory Health of Preschool Children in South Africa. The Southern Africa Journal of Epidemiology and Infection, 21 (2): 48-54. Widiarti., Heriyanto, Bambang., & Widyastuti Umi. (2014). Analisis Spasial Pada Kejadian Luar Biasa (KLB) Malaria di Desa Panusupan Kecamatan Rembang dan 120
Desa Sidareja Kecamatan Kaligodang Kabupaten Purbalingga. Media Litbangkes, 24 (4):169-180. Widyastuti, P. (2006). Bahaya Bahan Kimia Pada Kesehatan Manusia dan Lingkungan. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. Winardi, W., Umboh, J. M., & Ratuu, A. J. (2015). Hubungan Antara Kondisi Lingkungan Rumah Dengan Kejadian Penyakit ISPA Pada Anak Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sario Kecamatan Sario Kota Manado. Manado: Tesis, Universitas Sam Ratulangi. Winarni., Ummah, B. A., & Salim, S. A. (2010). Hubungan Antara Perilaku Merokok Orang Tua dan Anggota Keuarga yang Tinggal Dalam Satu Rumah Dengan Kejadian ISPA pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sempor II Kabupaten Kebumen Tahun 2009. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan, 6 (1): 16-21. World Health Organization (WHO). (2007). Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan. Pedoman Interm WHO, Waspada dan Tanggap Epidemi dan Pandemi, 1-100. World Health Organization (WHO). (2009). Indikator Perbaikan Kesehatan Lingkungan Anak. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. World Health Organization (WHO). (2014). Infection Prevention and Control of Epidemic- and Pandemic-prone Acute Respiratory Infection in Health Care. WHO Inatitutional Repository, 1-156. World Health Organization (WHO). (2015). Pneumonia. Media centre: fact sheet. (Online). Tersedia: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs331/en/, diakses pada 27 April 2016. World Health Organization (WHO). (2016). Children: Reducing Mortality. Media centre: fact sheet. (Online). Tersedia: http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs178/en/, diakses pada 7 Mei 2016. World Health Organization (WHO). (2015). Protocol For The Investigation of Acute Respiratory Illness Outbreaks of Unknown Etiology. Brazzaville: Integrated Disease Surveillance Programme Health Security and Emergencies Cluster, World Healt Organization Regional Officer for Africa. World Health Organization (WHO). (2016). Map and Spatial Information Technologies (Geographical Information Systems) in Health and Environment DecisionMaking. Scientific data and assessment tools, The Health and Environment Linkages Initiative (HELI). (Online). Tersedia: http://www.who.int/heli/tools/maps/en/, diakses pada 7 Mei 2016. 121
World Health Organization (WHO). (2016). An Estimated 12.6 Million Deaths Each Year Are Attributable to Unhealthy Environments. Geneva: Media Center, World Health Organization. Wulandhari, Shobiechah Aldillah. (2015). Analisis Spasial Aspek Kesehatan Lingkungan Dengan Kejadian Filariasis di Kota Pekalongan. Skripsi: Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang. Yadama GN, et al. (2012). Social, Economic, and Resource Predictors of Variability in Household Air Pollution From Cookstove Emissions. Plos One, 7 (10): 1-8. Yulianti, Lina., Setiani, Onny., & Hanani D, Yusniar. (2012). Faktor-faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Pangandaran Kabupaten Ciamis. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 11 (2) :187-193. Yusnabeti, Wulandari, R. A., & Luciana, R. (2010). PM10 dan Infeksi Saluran Pernapasan Akut Pada Pekerja Industri Mebel. Jurnal Makara Kesehatan, 14 (1) , 25-30. Yuwono, T. A. (2008). Faktor-faktor Lingkungan Fisik Rumah Yang Berhubungan Dengan Kejadian Pneumonia Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Kawunganten Kabupaten Cilacap. Tesis: Magister Kesehatan Lingkungan, Universitas Diponegoro.
122
LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 LAMPIRAN Kejadian Penyakit ISPA Pada Balita Berdasarkan Kabupaten/kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Kejadian ISPA Pada Balita (%) Kabupaten/kota 2011
2012
2013
2014
2015
Pandeglang
23.09
48.17
41.89
48.87
52.33
Lebak
40.56
59.73
27.68
47.21
47.58
Tangerang
29.66
35.60
24.13
31.86
32.91
Serang
27.33
32.20
25.83
36.69
40.56
Tangerang (K)
55.33
58.84
45.81
51.03
40.27
Cilegon (K)
100.00
100.00
79.58
66.97
73.51
Serang (K)
32.54
35.01
13.13
35.94
41.75
Tangerang Selatan (K)
30.08
36.28
25.23
38.35
42.75
Banten
35.81
48.66
32.45
41.49
41.89
Insidens ISPA Pneumonia Pada Balita Berdasarkan Kabupaten/kota di Provinsi Banten Tahun 2011-2015 Insidens ISPA Pneumonia Pada Balita (%) Kabupaten/kota 2011
2012
2013
2014
2015
Pandeglang
1.01
2.57
1.65
2.05
1.56
Lebak
1.64
1.25
0.43
1.72
1.68
Tangerang
1.34
1.61
1.78
2.44
2.81
Serang
1.07
1.70
1.44
2.31
3.02
Tangerang (K)
3.10
4.61
3.77
4.18
3.58
Cilegon (K)
3.69
4.51
3.20
2.94
2.56
Serang (K)
3.98
3.24
1.20
3.44
3.16
Tangerang Selatan (K)
1.17
1.47
3.15
4.15
4.07
Banten
1.71
2.37
2.16
2.89
2.91
124
LAMPIRAN 2 LAMPIRAN 2 LAMPIRAN 3
125
126