HUBUNGAN LINGKUNGAN DALAM RUANG KELAS DENGAN KEJADIAN ISPA PADA SISWA KELAS 5 SDN DI KECAMATAN CIPUTAT BULAN JUNI TAHUN 2013 SKRIPSI Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Dosen Pembimbing :
OLEH : HERISMA YANTI 109101000045
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M/ 1435 H
i
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Mei 2014 Herisma Yanti, NIM : 109101000045 Hubungan Lingkungan Dalam Ruang Kelas Dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 ( xv+83 Hal+11 tabel+ 2 Bagan+ 12 Lampiran) ABSTRAK Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyebab kesakitan paling banyak pada anak-anak. Berdasarkan Data Dinkes Tangsel 2012, kejadian ISPA pada anak usia 5-14 tahun mencapai 64.750 kasus. Tingginya kasus ISPA pada anak usia sekolah dapat disebabkan faktor lingkungan dalam ruang kelas karenasiswa menghabiskan sebagian besar waktu dalam kelas. Penelitian ini merupakan studi ekologi. Tujuan penelitianuntuk mengetahui hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 sekolah dasar negeri (SDN). Variabel bebas/independen penelitian adalah suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi alami, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas. Sedangkan variabel terikat/dependen adalah kejadian ISPA. Populasi dalam penelitian ini adalah SDN di Kecamatan Ciputat, sedangkan sampel penelitian yaitu ruang kelas lima di tiap SDN. Uji statistik yang digunakan dalam penelitianyaitu uji Korelasi dan uji Mann-Whitney. Hasil penelitian menunjukkan terdapat tiga variabel independen yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat, yaitu suhu (p=0,001), kelembaban (p=0,016), dan kepadatan siswa (p=0,011). Sedangkan variabel yang tidak berhubungan yaitu luas ventilasi, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas. Kata Kunci: Kejadian ISPA, Faktor Lingkungan Kelas, Siswa Kelas 5 SDN Daftar Bacaan : 84
ii
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH Undergratuated Thesis, May 2014 Herisma Yanti, NIM : 109101000045 Association Between Environment In the Classroom and Acute Respiratory Infections (ARI) Among5thStudents In Ciputat June 2013 (xv+83 Pages+11 Tables+2 Charts+12Attachments)
ABSTRACT Acute Respiratory Infections (ARI) isthemostcause of illnessin children.Based on Tangsel Health Department datain 2012,ARIincidencein children agedmorethan5years reach64750caseswith thehighestcases atCiputat Health Center.High incidence ofARIin childrenof schoolage maycaused by school environment factors, especially classroom. Students spendmost oftheir times inthe classroom. This researchis anecologicalstudy. The purposeofthis researchistodetermine the relationship between school environment in the classroom and ARIamong students in public elementary school.Independent variablesin this researcharetemperature, humidity,students density, extensivenatural ventilation, natural ventilation, artificialventilationandfloor.Dependent variablein this research is ARI among students in public elementary school. Populationin this researchis public elementary schoolin Ciputatsub-district, while the samplearefifthclassroomineach school. The result showed there were three variables had association with ARI. Those variables were temperature(p =0.000), humidity (p= 0.000), andstudents density (p=0.001).In contrast, variables such as extensivenatural ventilation, natural ventilation, artificialventilationandfloorwere negatively associated with Acute Respiratory Infections (ARI). Keywords:ARI,EnvironmentClassroom Factors,5thElementary SchoolStudents Reading List:84
iii
iv
v
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama
: Herisma Yanti
Tempat, Tanggal Lahir
: Tangerang, 09 Maret 1991
Alamat
: Komplek Perumahan Persada Indah 1 Jalan 4 No.7 Blok A5 Desa Tualang Perawang, Kabupaten Siak Sri Indrapura, Riau-Pekanbaru
Agama
: Islam
Golongan Darah
: AB
No.Telp
: 087808205540
Email
:
[email protected] ;
[email protected]
Riwayat Pendidikan 1996
-
1997
TK YPPI Riau
1997
-
2003
SDS YPPI Riau
2003
-
2006
SMPS YPPI Riau
2006
-
2009
SMA Islam Nurul Fikri Boarding School Anyer-Serang
2009
-
2014
S-1 Peminatan Kesehatan Lingkungan Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
vi
KATA PENGANTAR
Berkat rahmat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta dorongan yang kuat, penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Lingkungan Dalam Ruang Kelas Dengan Kejadian ISPA Pada SiswaKelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013”. Shalawat serta salam selalu terjunjung kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah membawa umatnya dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang akan ilmu pengetahuan. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sangatlah sulit untuk dapat menyelesaikan skripsi ini.Dibalik rasa syukur, dalam penulisan skripsi ini penulis ingin mengucapakan terima kasih dengan tulus atas bimbingan serta dukungan kepada: 1. Prof. Dr. (hc) dr. M.K. Tadjudin, Sp.And selaku Dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. 2. Ir.Febrianti, M.Si selaku Ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat. 3. Ibu Dewi Utami Iriani, SKM, M.Kes, Ph.D selaku Pembimbing I dan Dr.Ela Laelasari, SKM, M.Kes selaku pembimbing II yang selalu memberi motivasi dan dukungan
morilserta menyempatkan waktu di tengah kesibukannya untuk
membimbing penyusunan skripsi ini. 4. Ibu Minsarnawati, SKM, M.Kes, Ibu Catur Rosidati, SKM, MKM, dr.Gatot Sudiro Husodo, Sp.P, selaku penguji skripsi atas kesempatannya menguji dan mendukung penelitian ini.
vii
5. Pihak Dinas Kesehatan Tangerang Selatan, UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Ciputat, Kepala sekolah, Guru dan Siswa di SDN yang berada di Kecamatan Ciputat yang bekerja sama dengan baik serta membantu dalam ketersediaan data dan membantu menjalankan penelitian. 6. Orang tua (Bapak Heryadi dan Ibu Emi Suhaemi) serta adik-adik (Herisfani Fauziah, Herisfina Fauziah dan Surandi Imam Syahputra) yang selalu memberikan motivasi dan doa. 7. Saudara seperjuangan, jama’ah peminatan Kesehatan Lingkungan 2009 atas dukungan dan masukan penelitian; Ratna, Maya, Nita, Yenni, Nisa, Rudi, Tari, Ersa, Yudi, Agung, Rahmi, Cita, Aan, Dila, Moris, Udin, Zia, dan Reni. Rahmayatul Fillacano dan Yenni Faridawati yang telah membantu dalam pengumpulan data di lapangan. 8. Sahabat dan teman-teman serta rekan-rekan seperjuangan yang telah membantu memberikan senyuman, doa, dukungan dan semangat demi selesainya skripsi ini, terima kasih atas segala bantuan apapun. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Penulis berharap skripsi ini dapat menjadi referensi yang berguna dan bermanfaat bagi masyarakat dan penelitian selanjutnya. Semoga Allah SWT memberikan kemuliaan dan kelancaran serta kemampuan berpikir untuk mengejar masa depan yang lebih cerah bagi kita semua. Amin Ciputat, Mei 2014
Penulis
viii
DAFTAR ISI Lembar Pernyataan……………………………………………………………
i
Abstrak...............................................................................................................
ii
Abstract..............................................................................................................
iii
Lembar Persetujuan……………………………………………………………iv Lembar Pengesahan……………………………………………………………
v
Riwayat Hidup...................................................................................................vi Kata Pengantar...................................................................................................
vii
Daftar Isi............................................................................................................
ix
Daftar Tabel.......................................................................................................
xiv
Daftar Bagan…..................................................................................................
xvi
Daftar Lampiran…………………………………………………………………xvii BAB I : PENDAHULUAN A.
Latar Belakang.................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah............................................................................... 5
C.
Pertanyaan Penelitian.......................................................................... 6
D.
Tujuan Penelitian................................................................................ 7 1. Tujuan Umun.................................................................................. 7 2. Tujuan Khusus................................................................................ 7
E.
Manfaat Penelitian.............................................................................. 9 1. Bagi Pemerintah.............................................................................. 9
ix
2. Bagi Masyarakat.............................................................................. 9 3. Bagi Penulis.................................................................................... 10 F.
Ruang Lingkup Penelitian................................................................... 10
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)............................................
11
1. Definisi...........................................................................................
11
2. Etiologi...........................................................................................
13
3. Epidemiologi..................................................................................
14
4. Patogenesis.....................................................................................
17
5. Klasifikasi dan Gejala ISPA...........................................................
19
Faktor Lingkungan Dalam Kelas........................................................
20
1. Suhu dan Kelembaban....................................................................
21
2. Ventilasi Ruangan...........................................................................
23
3. Kepadatan Hunian..........................................................................
29
4. Lantai..............................................................................................
31
C.
Gangguan ISPA Ditinjau dari Faktor Lingkungan.............................
32
D.
Studi Ekologi......................................................................................
33
E.
Kerangka Teori...................................................................................
34
A.
B.
x
BAB III: KERANGKA KONSEP & DEFINISI OPERASIONAL A.
Kerangka Konsep...............................................................................
37
B.
Definisi Operasional...........................................................................
40
C.
Hipotesis..............................................................................................
43
BAB IV: METODOLOGI PENELITIAN A.
Desain Studi...........................................................................................
44
B.
Lokasi Penelitian..................................................................................
44
C.
Populasi……………...........................................................................
44
D.
Jenis Data............................................................................................
48
E.
Pengumpulan Data.............................................................................
46
F.
Pengolahan Data.................................................................................
47
G.
Analisa Data ......................................................................................
48
BAB V: HASIL PENELITIAN A.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian...................................................
50
B.
Analisis Univariat……………………………………………………
51
1.
Gambaran Kejadian ISPA………………………...…………
2.
Gambaran Faktor yang Mempengaruhi ISPA Pada Siswa SD……………………………...…………………............…
xi
51
53
C.
Analisis Bivariat……………………………………………………
55
1. Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA…………………...
55
2. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA…………...
56
3. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA……..
57
4. Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA….
58
5. Hubungan Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA………..
59
6. Hubungan Ventilasi Buatan dengan Kejadian ISPA……….
60
7. Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA………...…
61
BAB VI: PEMBAHASAN PENELITIAN A.
Keterbatasan Penelitian……………………………………...………
62
B.
Kejadian ISPA……………………………………………………….
62
C.
Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA…………………...............
63
D.
Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA…………...............
65
E.
Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA……………..
68
F.
Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA………….
71
G.
Hubungan Ventilasi dengan Kejadian ISPA………………...……..
74
H.
Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA………………...…
77
xii
BAB VII: SIMPULAN DAN SARAN A.
Simpulan..............................................................................................
79
B.
Saran.....................................................................................................
81
1. Pihak Sekolah...........................................................................
81
2. Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan……………………...
81
3. Puskesmas……………………………………………………
81
4. Penelitian Selanjutnya…………………………..……………
82
xiii
DAFTAR TABEL 4.1
Pengkodean untuk Faktor Lingkungan Sekolah......................................
5.1
Insidensi Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013...............................................................
5.2
56
Analisis Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014……
5.8
56
Analisis Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014…………..
5.7
54
Analisis Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014…………………
5.6
53
Distribusi ventilasi alami, ventilasi buatan, lantai kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 ...........................................
5.5
53
Distribusi suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 ...........................................
5.4
51
Distribusi Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013..............................................................
5.3
47
57
Analisis Hubungan Luas Ventilasi dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014…………..
xiv
58
5.9
Analisis Hubungan Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014……
59
5.10 Analisis Hubungan Ventilasi Buatan dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014……
60
5.11 Analisis Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2014………..…
xv
61
DAFTAR BAGAN
2.1 Kerangka Teori..................................................................................
36
3.1 Kerangka Konsep..............................................................................
39
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Surat Izin Penelitian
Lampiran 2
Kuesioner
Lampiran 3
Lembar Observasi
Lampiran 4
Hasil Uji Statistik
Lampiran 5
Besar Suhu Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 6
Besar Kelembaban Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 7
Besar Kepadatan Hunian Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 8
Besar Luas VentilasiKelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 9
Ventilasi Alami SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 10
Ventilasi BuatanSDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 11
Lantai Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Lampiran 12
Dokumentasi Lapangan
xvii
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyebab kesakitan paling banyak pada anak-anak dan penyebab kematian utama di dunia (Stansfield, 2000). ISPA adalah penyakit akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Depkes, 2002). Data Riskesdas 2007 menunjukkan prevalensi ISPA di Indonesia adalah 25,5% (rentang: 17,5% - 41,4%) dengan 16 provinsi diantaranya mempunyai prevalensi di atas angka nasional. Salah satu provinsi tersebut adalah Banten. Prevalensi ISPA tertinggi terjadi pada balita (>35%) diikuti dengan usia 5-14 tahun sebesar 29% (Balitbangkes Depkes RI, 2008).Hasil analisa data kegiatan surveilans ISPA berat di Indonesia (SIBI) (2013),dari 275 kasus ISPA berat sebesar 16% merupakan kelompok umur 5-14 tahun. Dari hasil pengamatan epidemiologi diketahui angka kesakitan ISPA di kota lebih besar daripada di desa. Hal ini mungkin disebabkan tingkat kepadatan tempat tinggal dan pencemaran lingkungan/pencemaran udara di kota lebih tinggi daripada di desa (Widoyono, 2008).Berdasarkan WHO 23 persen dari seluruh kematian disebabkan oleh faktor lingkungan.Kemungkinan atas resiko ini tidak
2
terjadi di semua usia. Anak-anak adalah golongan yang paling rentan terhadap efek pajanan lingkungan, dengan proporsi kematian pada anak terkait dengan faktor lingkungan adalah sebesar 36 persen(Breysse, 2010). Penelitian Pramayu (2012) terkait faktor lingkungan sekolah (sanitasi fisik) terhadap ISPA pada siswa SDN di Depok menyatakan bahwa faktor lingkungan/sanitasi fisik meliputi suhu, kelembaban serta kepadatan ruang kelas berpengaruh terhadap ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan suhu dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat akan beresiko 3,08 kali untuk terkena gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa yang berada di ruang kelas dengan suhu dan kelembaban memenuhi syarat. Siswa yang berada di dalam ruang kelas yang luas ruangannya < 2 m2/siswa akan beresiko 2,73 kali lebih besar terkena gangguan ISPA dibandingkan siswa yang berada di ruangan kelas dengan luas ≥2 m2/siswa. Hasil laporan U.S. Environmental Protection Agency (EPA, 2004) mengatakan bahwa hampir semua tipe sekolah di Amerika (sekolah baru atau lama, besar atau kecil, sekolah dasar sampai sekolah menengah umum) mengalami masalah dalam hal kualitas udara dalam ruangan. Kualitas udara di ruang kelas akan mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar. Kualitas udara di ruang kelas juga dapat mempengaruhi produktivitas guru dan karyawan sekolah lainnya (EPA, 2004). Ironisnya sedikit perhatian atas kualitas udara di dalam ruangan sehingga seringkali menjadi hal yang terlupakan oleh masyarakat.Padahal seharusnya
3
kualitas udara di dalam ruang menjadi hal yang harus diperhatikan karena pada saat ini banyak sekali orang yang lebih banyak menghabiskan waktu mereka di dalam ruangan(Breysse, 2010). Kualitas udara sekolah seharusnya menjadi perhatian penting karena anak usia sekolah menghabiskan jumlah waktu yang signifikan di sekolah dan anak-anak merupakan golongan yang rentan terkena penyakit(EPA, 2004). Di Kota Tangerang Selatan, ISPA merupakan 10 besar penyakit di semua puskesmas. Kejadian ISPA pada usia lebih dari 5 tahun di Kota Tangerang Selatan pada tahun 2012 mencapai 64.750 kasus dengan kasus tertinggi pada Puskesmas Ciputat yaitu sebesar 6.526 kasus (Dinkes Tangsel, 2012). Dari LB1 (data kesakitan) Puskesmas Ciputat, diketahui bahwa jumlah kasus ISPA pada anak usia SD pada tahun 2012 sebesar 1321 kasus. Jumlah ini tidak jauh dengan kasus ISPA pada balita sebesar 2412 kasus. Tingginya kasus ISPA pada anak usia SD di Ciputat dapat disebabkan olehlingkungan sekolah khususnya ruang kelas karena siswa menghabiskan waktu sebagian besar di dalam ruang kelas. Faktor tersebut meliputi suhu, kelembaban, kepadatan hunian, dan luas ventilasi (Handajani, 2004). Hasil penelitianGardinassi (2012) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban udara berkorelasi positif dengan virus penyakit pernafasan terhadap anak-anak di bagian tenggara Brasil. Kepadatan hunian berpengaruh terhadap terjadinya cross infection. Ketika ada penderita ISPA yang berada dalam satu ruangan maka pada saat batuk/bersin
4
melalui udara akan mempercepat proses penularan terhadap orang lain (Mairusnita, 2007). Kelembaban berkaitan dengan ventilasi dimana sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara menjadi rendah sehingga kelembaban menjadi tinggi. Kondisi tersebut dapat memicu perkembangbiakan mikroorganisme termasuk virus penyebab ISPA (WHO, 2007). Letak sekolah yang dekat dengan akses kendaraan motor juga merupakan salah satu faktor resiko kejadian ISPA pada siswa. Sebuah studi cohort selama 3 bulan pada murid SD mengenai gangguan pernapasan dengan tingkat pajanan pencemaran udara di DKI Jakarta oleh Djafri (2007) menyimpulkan dari 4 gejala pernapasan yang dianalisis, angka kesakitan masing-masing gejala yang didapatkan lebih tinggi pada sekolah di daerah dengan pajanan pencemaran udara tinggi dibandingkan sekolah di daerah dengan pajanan pencemaran udara rendah. Hasil studi pendahuluan pada siswa SD di dua sekolah menunjukkan bahwa 60% siswa SD mengalami batuk dan pilek selama 3-7 hari. Tiga puluh persen siswa SD mengalami batuk dan pilek disertai sakit tenggorokan. Selain itu, hasil observasi di beberapa SDN di Cipayung, beberapa sekolah berada di pinggir jalan raya. Jendela di ruang kelas hanya sedikit yang dibuka dan lantai ruang kelas berdebu. Beberapa jendela dan ventilasi kelas bahkan tertutup oleh poster. Hal ini tentu akan mengganggu sirkulasi udara dalam kelas. Padahal ketersediaan dan ukuran ventilasi yang tidak sesuai dengan standar merupakan salah satu risiko untuk terjadi penyakit ISPA (Ranuh, 1997).
5
Banyaknya kejadian ISPA pada siswa SD di Tangerang Selatan khususnya di Kecamatan Ciputat serta berdasarkan studi pendahuluan yang menunjukkan banyaknya siswa mengalami batuk pilek dan sakit tenggorokan (60% siswa mengalami batuk dan pilek selama 3-7 hari dan 30% siswa mengalami batuk dan pilek disertai sakit tenggorokan) serta letak sekolah dasar yang sebagian besar berada di pinggir jalan membuat peneliti tertarik untuk mengangkat judul hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan kejadian keluhan gejala ISPA pada siswa kelas 5 SDNbulan Juni tahun 2013. Studi ekologi adalah investigasi dari distribusi kesehatan dan faktor determinannya antara grup. Studi ekologi digunakan jika data pada tingkat individu tidak tersedia, data tingkat pengukuran pajanan individu tidak tersedia, tetapi data pada tingkat grup/populasi tersedia (Goldberg, 2000). Penelitian ini menggunakan studi ekologi karena unit analisis dalam peneitian ini adalah populasi. Selain itu data tingkat pengukuran pajanandebu maupun faktor fisik (suhu, kelembaban, luas ventilasi, kepadatan hunian, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas) pada individu tidak tersedia dan data yang tersedia adalah pada populasi.
B.
Rumusan Masalah ISPA tidak hanya rentan pada balita, tetapi juga pada anak-anak usia sekolah. Sebagian besarSDN berada di pinggir jalan raya dengan pencemaran udara dari transportasi yang cukup tinggi. Banyaknya siswa SD yang tercatat
6
menderita ISPA dimungkinkan karena kondisi lingkungan sekolah khususnya ruang kelas yang tidak memenuhi syarat. Lingkungan sekolah (ruang kelas) yang tidak memenuhi syarat meliputi faktor suhu, kelembaban, ventilasi, kepadatan huniandan lantai kelas dapat menyebabkan ISPA pada siswa SD. Hasil studi pendahuluan menunjukkan 60% siswa SDN mengalami batuk dan pilek selama 3-7 hari dan 30% siswa SDN mengalami batuk dan pilek disertai sakit tenggorokan. Beberapa penelitian telah melakukan penelitan tentang hubungan lingkungan sekolah terhadap ISPA. Penelitian ini tidak hanya melihat ada tidaknya hubungan, tetapi juga melihat derajat asosiasi (keeratan hubungan) antara lingkungan dalam kelas dengan ISPA. Oleh karena itu dilakukan penelitian mengenai hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN bulan Junitahun 2013.
C. Pertanyaan penelitian 1.
Bagaimanakah gambaran kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
2.
Bagaimanakah gambaran besar suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantaikelas SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
3.
Apakah ada hubungan antara suhu dalam ruang kelas dengankejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
7
4.
Apakah ada hubungan antara kelembaban dalam ruang kelas dengankejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
5.
Apakah ada hubungan antara kepadatan hunian dengankejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
6.
Apakah ada hubungan antara luas ventilasi dalam kelas dengankejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
7.
Apakah ada hubungan antara ventilasi alami kelas dengankejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
8.
Apakah ada hubungan antara ventilasi buatan kelas dengankejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
9.
Apakah ada hubungan antara lantai kelas dengankejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013?
D. Tujuan 1.
Tujuan Umum Mengetahui hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan bulan Junitahun 2013.
2.
Tujuan Khusus 1.
Mengetahui
gambaran
kejadian
ISPA
pada
SDNdiKecamatan Ciputatbulan Juni tahun 2013
siswa
kelas
5
8
2.
Mengetahuigambaran besar suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantaikelas SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
3.
Mengetahuihubungan antara suhu dalam ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
4.
Mengetahuihubungan antara kelembaban dalam ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni tahun 2013
5.
Mengetahuihubungan antara kepadatan huniankelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
6.
Mengetahuihubungan antara luas ventilasi alami dalam kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
7.
Mengetahuihubungan antara ventilasi alami kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
8.
Mengetahuihubungan antara ventilasi buatan kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni tahun 2013
9.
Mengetahuihubungan antara lantai kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
9
E. Manfaat 1.
Bagi Pemerintah a. Terbinanya kerjasama dengan institusi dalam upaya meningkatkan kesadaran terhadap kesehatan lingkungan baik di pemukiman, sekolah maupun di tempat-tempat beraktivitas lainnya. b. Menjadi masukan bagi pemerintah, khususnya Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan dan puskesmas dalam perencanaan program penanganan ISPA pada siswa SD serta memberikan perhatian pada kondisi lingkungan fisik kelas demi kelancaran proses belajar mengajar.
2.
Bagi Masyarakat a. Membantu masyarakat mengetahui hal-hal yang dapat menyebabkan ISPA akibat adanya pajanan di sekitar wilayah tinggal maupun wilayah beraktivitas b. Membantu masyarakat mengenali gangguan kesehatan yang diderita tidak hanya akibat faktor tunggal
3.
Bagi Penulis
10
a. Menambah ilmu dan mengaplikasikan ilmu yang telah dipelajari selama di bangku perkuliahan
F. Ruang Lingkup Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan lingkungan dalam ruang kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Junitahun 2013. Lingkungan sekolah dalam ruang kelas meliputi suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi, ventilasi alami dan buatan, serta lantai kelas. Penelitian ini menggunakan studi ekologi karena unit analisis dalam penelitian adalah populasi. Selain itu data tingkat pengukuran pajanandebu maupun faktor fisik (suhu, kelembaban, luas ventilasi, kepadatan hunian, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas) pada individu tidak tersedia dan data yang tersedia adalah pada populasi. Dalam pengumpulan data primer, peneliti menggunakan alat pengukur suhu dan kelembaban yaitu thermohygrometer dari laboratorium HES FKIK UIN Jakarta. Luas ventilasi diukur menggunakan rollmeter. Sedangkan data ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas diperoleh dari hasil observasi. Data-data keluhan gejala ISPA diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner. Data sekunder didapatkan dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan, Puskesmas Ciputat, UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Ciputat dan sekolah yang dijadikan tempat penelitian.
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) merupakan penyakit yang banyak diderita oleh anak-anak, baik di negara berkembang maupun negara maju. Banyak dari anak-anak harus mendapat penanggulangan dari rumah sakit karena penyakitnya cukup gawat. Penyakit-penyakit saluran pernafasan pada masa bayi dan anak-anak dapat memberi kecacatan sampai pada masa dewasa (Suprajitno, 2004).
1.
Definisi Istilah ISPA merupakan singkatan dari infeksi saluran pernafasan akut. Istilah ini merupakan padanan istilah Bahasa Inggris Acute Respiratory Infection (ARI). ISPA mulai diperkenalkan pada tahun 1984 setelah dibahas dalam lokakarya Nasional ISPA di Cipanas. Dalam lokakarya tersebut terdapat dua perbedaan pendapat dalam pemilihan istilah. Pendapat pertama memilih istilah ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut) dan pendapat kedua memilih istilah ISNA (Infeksi Saluran Nafas Akut). Pada akhir lokakarya diputuskan memilih istilah ISPA (Depkes, 2002).
12
ISPA adalah penyakit akut yang menyerang salah satu bagian dan atau lebih dari saluran nafas mulai dari hidung (saluran atas) hingga alveoli (saluran bawah) termasuk jaringan adneksanya, seperti sinus, rongga telinga tengah dan pleura (Depkes, 2002). Pengertian lain ISPA adalah infeksi saluran pernafasan akut yang menyerang tenggorokan, hidung dan paru-paru yang berlangsung kurang lebih 14 hari. ISPA mengenai struktur saluran di atas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini mengenai bagian saluran atas dan bawah secara simultan atau berurutan (Muttaqin, 2008). ISPA adalah penyakit saluran pernafasan atas atau bawah, biasanya menular, yang dapat menimbulkan berbagai spektrum penyakit yang berkisar dari penyakit tanpa gejala atau infeksi ringan sampai penyakit yang parah dan mematikan, tergantung pada patogen penyebabnya, faktor lingkungan, dan faktor pejamu (WHO, 2007). Timbulnya gejala ISPA biasanya berlangsung cepat, yaitu dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari. Gejalanya meliputi demam, batuk, dan sering juga nyeri tenggorok, coryza (pilek), sesak nafas, mengi atau kesulitan bernafas (WHO, 2007). ISPA merupakan penyakit yang sering dijumpai dengan manifestasi ringan sampai berat. ISPA yang mengenai jaringan paru-paru atau ISPA berat dapat menjadi pneumonia. Pneumonia merupakan penyakit infeksi penyebab kematian utama, terutama pada balita (Riskesdas, 2007). Prevalensi ISPA di Indonesia menurut Riskesdas (2007) adalah 25,5% (rentang: 17,5% - 41,4%) dengan 16 provinsi di antaranya mempunyai
13
prevalensi di atas angka nasional. Sebanyak 16 provinsi mempunyai prevalensi ISPA diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, Bangkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, Papua Barat, dan Papua.Prevalensi ISPA tertinggi pada balita yaitu lebih dari 35% diikuti dengan usia 5-14 tahun sebesar 29%. Artinya kejadian ISPA pada anak usia sekolah juga cenderung tinggi (Riskesdas, 2007).
2.
Etiologi Etiologi ISPA terdiri lebih dari 300 jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab ISPA antara lain dari genus Streptokokus, Stafilokokus, Pneumokokus,
Hemofilus,
Bordetelladan
Korinebakterium.
Virus
penyebabnya antara lain golongan Miksovirus, Adenovirus, Koronavirus, Pikornavirus, Mikoplasma, Herpesvirus. Bibit penyakit utama ISPA adalah virus, tetapi pada bakteri baik karena infeksi sekunder atau primer dapat memberikan manifestasi klinis yang lebih berbahaya. Kontak terhadap virus dapat mencapai 75-80% tetapi seperempatnya saja yang menjadi sakit atau menimbulkan gejala setelah beberapa hari atau bulan (Lubis, 2000). Kebanyakan infeksi menyerang bagian
atas
dan
bawah
saluran
nafas
secara
bersamaan
atau
berurutan.Beberapa diantaranya akan mengkhususkan pada bagian tertentu
14
dari saluran nafas. Insiden infeksi saluran pernafasan meningkat karena adanya polusi udara.
3.
Epidemiologi Terjadinya ISPA tertentu bervariasi menurut beberapa faktor. Penyebaran dan dampak penyakit berkaitan dengan (WHO, 2007): -
kondisi lingkungan (misalnya: polutan udara, kepadatan anggota keluarga, kelembaban, kebersihan, musim, temperatur)
-
ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya: vaksin, akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, kapasitas ruang isolasi)
-
faktor pejamu(seperti: usia, kebiasaan merokok, kemampuan pejamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi kesehatan umum)
-
karakteristik pathogen (seperti: cara penularan, daya tular, faktor virulensi dan jumlah atau dosis mikroba) Beberapa hal yang diduga sebagai faktor resiko kejadian ISPA pada
anak-anak dan balita adalah: a.
Usia ISPA dapat ditemukan pada 50 persen anak berusia di bawah 5 tahun dan 30 persen pada anak berusia 5 sampai 12 tahun. Umur terkait
15
dengan sistem kekebalan tubuhnya. Bayi dan balita merupakan kelompok yang kekebalan tubuhnya belum sempurna, sehingga masih rentan terhadap berbagai penyakit infeksi (Rahajoe, 2008). b.
Jenis kelamin Insiden lebih tinggi pada anak laki-laki berusia di atas 6 tahun (Rahajoe, 2008). Salah satu faktor resiko yang dapat meningkatkan insidens terjadinya infeksi saluran pernafasan pada anak balita adalah jenis kelamin laki-laki. Selama masa anak-anak, laki-laki dan perempuan mempunyai kebutuhan energi dan gizi yang hampir sama. Kebutuhan gizi untuk usia 10 tahun pertama adalah sama, sehingga diasumsikan kerentanan terhadap masalah gizi dan konsekuensi kesehatannya akan sama pula. Anak
perempuan
mempunyai
keuntungan
biologis.
Pada
lingkungan optimal mempunyai keuntungan yang diperkirakan sebesar 0,15-1 kali lebih di atas anak laki-laki dalam hal tingkat kematian (Departemen Kesehatan RI, 2002). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2002-2003 mencatat bahwa anak balita yang mempunyai gejala-gejala pneumonia dalam dua bulan survey pendahuluan, sebesar 7,7% dari jumlah balita yang ada (14.510) adalah anak balita laki-laki. Sedangkan jumlah balita perempuan yang mempunyai gejala-gejala pneumonia sebesar 7,4%.
16
c.
Status gizi Status gizi buruk merupakan fakor predisposisi terjadinya kasus ISPA pada anak karena adanya gangguan respon imun. Risk ratio (RR) anak malnutrisi dengan ISPA/pneumonia adalah 2,3. Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor resiko yang penting untuk terjadinya ISPA. Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang (Rahajoe, 2008). Supriasa (2002) menyatakan bahwa antara sebuah penyakit infeksi dengan kondisi status gizi individu dapat digambarkan sebagai sebuah hubungan timbal balik. Jika individu terkena penyakit infeksi maka keadaan tersebut mampu memperburuk kondisi gizi.Apabila individu mengalami kondisi gizi yang buruk maka tubuhnya akan menjadi rentan terhadap penyakit. Gizi buruk juga akan menghambat reaksi imunologis serta berhubungan dengan prevalensi penyakit dan derajat berat ringannya penyakit. Penyakit infeksi akan meningkatan penghancuran jaringan tubuh karena dipakai untuk pembentukan protein atau enzim-enzim yang diperlukan dalam imunitas. Kekurangan gizi akan berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dan respon imunologis terhadap suatu penyakit ataupun kejadian keracunan (Soemirat, 2000).
17
d.
Lingkungan Salah satu faktor resiko ISPA dari lingkungan yaitu polusi udara. Studi epidemiologi di negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara, baik di dalam maupun di luar rumah berhubungan dengan beberapa penyakit termasuk ISPA. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respiratori (Rahajoe, 2008). Penularan penyakit ISPA dapat terjadi melalui udara yang telah tercemar bibit penyakit masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan. Oleh karena itu maka penyakit ISPA termasuk golongan air borne disease. Penularan melalui udara yang dimaksud adalah cara penularan yang terjadi tanpa kontak dengan penderita maupun dengan benda terkontaminasi. Saluran pernafasan selalu terpapar dengan dunia luar sehingga untuk mengatasinya dibutuhkan suatu sistem pertahanan yang efektif dan efisien (Alsagaff dan Mukty, 2010).
4.
Patogenesis Perjalanan klinis penyakit ISPA dimulai dengan berinteraksinya virus dengan tubuh. Masuknya virus sebagai antigen ke saluran pernafasan menyebabkan silia yang terdapat pada permukaan saluran nafas bergerak ke atas mendorong virus ke arah faring atau dengan suatu tangkapan refleks
18
spasmus oleh laring. Jika refleks tersebut gagal maka virus merusak lapisan epitel dan lapisan mukosa saluran pernafasan (Haddad, 2002). Iritasi virus pada kedua lapisan tersebut menyebabkan timbulnya batuk kering. Kerusakan stuktur lapisan dinding saluran pernafasan menyebabkan kenaikan aktifitas kelenjar mukus yang banyak terdapat pada dinding saluran nafas, sehingga terjadi pengeluaran cairan mukosa yang melebihi normal. Rangsangan cairan yang berlebihan tersebut menimbulkan gejala batuk. Sehingga pada tahap awal gejala ISPA yang paling menonjol adalah batuk (Haddad, 2002). Adanya infeksi virus menurut Haddad (2002) merupakan predisposisi terjadinya infeksi sekunder bakteri. Akibatnya terjadi kerusakan mekanisme mukosiliaris yang merupakan mekanisme perlindungan pada saluran pernafasan terhadap infeksi bakteri sehingga memudahkan bakteri-bakteri patogen yang terdapat pada saluran pernafasan atas seperti streptococcus pneumonia, haemophylus influenza dan staphylococcus menyerang mukosa yang rusak tersebut. Infeksi sekunder bakteri ini menyebabkan sekresi mukus bertambah banyak dan dapat menyumbat saluran nafas sehingga timbul sesak nafas dan juga menyebabkan batuk yang produktif. Invasi bakteri ini dipermudah dengan adanya fakor-faktor seperti suhu, kelembaban dan malnutrisi Menurut Tyrell (1980) virus yang menyerang saluran nafas atas dapat menyebar ke tempat-tempat yang lain dalam tubuh, sehingga dapat
19
menyebabkan kejang, demam, dan juga bisa menyebar ke saluran nafas bawah. Dampak infeksi sekunder bakteripun bisa menyerang saluran nafas bawah. Bakteri-bakteri yang biasanya hanya ditemukan dalam saluran pernafasan atas, sesudah terjadinya infeksi virus dapat menginfeksi paruparu sehingga menyebabkan pneumonia bakteri.
5.
Klasifikasi dan Gejala ISPA Seorang anak yang menderita ISPA bisa menunjukkan bermacammacam tanda dan gejala, seperti batuk, bersin, serak, sakit tenggorokan, sakit telinga, keluar cairan dari telinga, sesak nafas, pernafasan yang cepat, nafas yang berbunyi, penarikan dada ke dalam, mual, muntah, tak mau makan, badan lemah dan sebagainya. Depkes (2002) mengklasifikasikan ISPA dalam 3 kategori, yaitu: 1.
ISPA ringan Keluhan gejala ISPA ringan yaitu batuk, pilek, demam, tidak ada nafas cepat 40 kali per menit tidak ada tarikan dinding ke dada dalam. Seseorang dinyatakan menderita ISPA ringan jika ditemukan gejalagejala: batuk, serak (bersuara parau pada waktu mengeluarkan suara), pilek (mengeluarkan lendir dari hidung), panas atau demam (suhu badan lebih dari 30oC). Penderita ISPA ringan cukup dibawa ke puskesmas atau diberi obat penurun panas di rumah(Suyudi, 2002).
20
2.
ISPA sedang Keluhan gejala ISPA sedang yaitu sesak nafas, suhu lebih dari 39oC, bila bernafas mengeluarkan suara seperti mengorok. Seseorang dinyatakan menderita ISPA sedang jika dijumpai gejala ISPA ringan disertai gejala: suhu lebih dari 39oC, tenggorokan berwarna merah, timbul bercak-bercak pada kulit menyerupai bercak campak, telinga sakit atau mengeluarkan nanah dari telinga, pernafasan berbunyi seperti mendengkur (Suyudi, 2002).
3.
ISPA berat Keluhan gejala ISPA berat yaitu kesadaran menurun, nadi cepat/tidak teraba, nafsu makan menurun, bibir dan ujung jari membiru (sianosis). Seseorang dinyatakan menderita ISPA berat jika ditemukan gejala ISPA ringan atau sedang disertai satu atau lebih keluhan gejala yaitu: bibir atau kulit membiru, lubang hidung kembang kempis pada waktu bernafas, tidak sadar atau kesadarannya menurun, pernafasan berbunyi mengorok atau tampak gelisah, pernafasan menciut, sela iga tertarik ke dalam pada waktu bernafas , nadi cepat lebih dari 60 kali per menit atau tidak teraba, tenggorokan berwarna merah (Suyudi, 2002).
B. Faktor Lingkungan Dalam Kelas Salah satu faktor resiko dan sumber penularan berbagai jenis penyakit adalah lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan. ISPA merupakan
21
salah satu penyakit yang erat hubungannya dengan kondisi higiene bangunan (Kemenkes, 2002). 1.
Suhu dan Kelembaban Suhu dan kelembaban di dalam ruangan merupakan faktor yang berpengaruh terhadap ISPA. Suhu dan kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan virus, bakteri dan jamur yang menyebakan ISPA. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum (suhu dan kelembaban yang optimal) (Padmonobo, 2012). Pada suhu dan kelembaban tertentu, faktor penyebab ISPA pertumbuhannya dapat terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati, tapi pada suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan sangat cepat. Hal ini yang membahayakan karena semakin sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut. Akibatnya makin besar peluang anak untuk terjangkit ISPA (Padmonobo, 2012). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Mengenai Persyaratan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri (2002), suatu ruangan memenuhi syarat jika suhu udara dalam ruangan berkisar antara 180C-280C. Suhu udara yang tinggi akan menyebabkan tubuh semakin banyak kehilangan garam dan
22
air.Akibatnya akan terjadi kejang atau kram serta mengalami gangguan metabolisme dan sirkulasi aliran darah. Suhu dalam suatu ruangan dapat mempengaruhi kelembaban, sehingga dapat berpengaruh pada kondisi udara yang kering dan mengakibatkan iritasi membran mukosa. Hal ini menjadi faktor penting yang harus diperhatikan karena dapat memicu terjadinya infeksi saluran pernafasan (WHO, 1997). Peningkatan suhu dapat menyebabkan polutan dalam atmosfir terperangkap dan tidak menyebar. Peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan polutan udara (Yusnabeti, 2010). Selain itu kelembaban yang tinggi dan debu dapat menyebabkan berkembang biaknya organisme patogen maupun organisme yang bersifat alergen. Sedangkan kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan kekeringan/iritasi pada membran mukosa, iritasi mata dan gangguan sinus (Kemenkes, 2007). Semakin tinggi kelembaban dalam ruangan maka dapat mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama infeksi. Kelembaban dianggap memenui syarat apabila berada pada kisaran 4070 persen dan dikatakan tidak memenuhi syarat bila <40 persen dan >70 persen (Kepmenkes, 2011). Kelembaban berkaitan dengan ventilasi karena sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi suhu udara dalam rumah menjadi rendah sehingga kelembaban udara menjadi tinggi. Jamurmenjadi salah satu indikator tingginya kelembaban dalam suatu
23
ruangan. Hal tersebut berperan besar dalam pathogenesis penyakit pernafasan. Kelembaban yang cukup tinggi dalam ruang kelas dapat disebabkan karena ventilasi alami yang terdapat dalam ruang kelas tidak dipergunakan secara maksimal. Jendela yang tersedia dalam ruang kelas banyak, namun banyak juga dari jendela tersebut yang tidak dapat dibuka. Sehingga tidak dapat membantu sirkulasi udara berjalan dengan baik dan hanya mengandalkan lubang angin dalam ruang kelas (Pramayu, 2012).
2.
Ventilasi Ruangan Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam rumah dan pengeluaran udara kotor dari suatu rungan tertutup baik secara alamiah maupun mekanis (Ranuh, 1997). Ventilasi adalah proses pergantian udara segar ke dalam dan mengeluarkan udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah maupun buatan (Millatin, 2011).Ventilasi ruangan adalah proses memasukkan dan menyebarkan udara luar, dan/atau udara daur ulang yang telah diolah dengan benar ke dalam gedung atau ruangan (WHO, 2007). Tujuan ventilasi adalah mempertahankan kualitas udara dalam ruang yang baik, yaitu menjamin agar udara dalam ruang aman untuk keperluan pernapasan (WHO, 2007).Fungsi dari ventilasi dapat dijabarkan sebagai berikut (Suhandayani, 2009) :
24
a.
Mensuplai udara bersih yaitu udara yang mengandung kadar oksigen yang optimum bagi pernapasan.
b.
Membebaskan udara ruangan dari bau-bauan, asap ataupun debu dan zat-zat pencemar lain dengan cara pengenceran udara.
c.
Mensuplai panas agar hilangnya panas badan seimbang.
d.
Mensuplai panas akibat hilangnya panas ruangan dan bangunan.
e.
Mengeluarkan kelebihan udara panas yang disebabkan oleh radiasi tubuh, evaporasi ataupun keadaan eksternal.
f.
Mendisfungsikan suhu udara secara merata. Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua
jenis, yaitu (Notoatmodjo, 2003): a)
Ventilasi alami Ventilasi alami berfungsi untuk mengalirkan udara di dalam ruang yang terjadi secara alamiah melalui jendela, pintu, serta lubang angin.
Kegunaan
lain
dari
ventilasi
alamiah
adalah
untuk
menggerakkan udara sebagai hasil dari sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai. Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. b)
Ventilasi buatan Ventilasi buatan dapat dilakukan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik, seperti kipas angin, exhauster dan pendingin
25
ruangan atau Air Conditioner (AC). Ventilasi buatan berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Hasil penelitian Moerdjoko (2004) menunjukkan jumlah koloni mikroorganisme pada ruangan yang menggunakan AC lebih sedikit dibandingkan mikroorganisme dari ruangan yang tidak menggunakan AC. Mikroorganisme udara pada ruang yang menggunakan AC lebih sedikit dibanding yang tidak ber AC, yaitu antara 3 -15 koloni (< 20 koloni) per cawan petri. Sedangkan pada ruang yang tidak menggunakan AC jumlah koloni per cawan petri adalah 24-43 koloni (> 20 koloni). Mikroorganisme memerlukan lingkungan yang memadai untuk pertumbuhan yang optimal. Pada ruangan yang tidak menggunakan pengontrol udara maka pengaruh udara luar sangat berperan, seperti temperatur dan kelembaban. Pada ruang yang menggunakan AC temperatur dan kelembaban diatur dengan alat tersebut.Kondisi udara menjadi media yang kurang menguntungkan untuk pertumbuhan mikroorganisme. Sehingga jumlah dan jenis mikroorganisme yang teridentifikasi pada cawan petri tidak banyak. Oleh karena itu ruangan memerlukan adanya fan maupun AC agar di dalam ruangan selalu ada pergerakan atau sirkulasi udara (Moerdjoko, 2004). Berdasarkan Kepmenkes Nomor 1077 Tahun 2011, ventilasi dikatakan baik dan memenuhi syarat bila memenuhi kriteria berikut:
26
a.
Luas lubang ventilasi tetap minimal 5% dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5% dari luas lantai. Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
b.
Udara yang masuk ke dalam ruangan harus bersih, tidak dicemari asap kendaraan bemotor, asap pembakaran sampah serta debu.
c.
Aliran udara diusahakan cross ventilation. Cross ventilation adalah dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara tersebut tidak boleh terhalang oleh barang-barang besar seperti dinding, lemari, sekat rumah. Pengukuran atau penilaian ventilasi udara dapat dilakukan dengan cara
membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai dengan menggunakan rollmeter. Jika berdasarkan indikator penghawaan rumah, maka luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah ≥10 persen dari luas lantai rumah.Sedangkan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat adalah <10 persen dari luas lantai rumah (Notoatmodjo, 2003). Standar luas ventilasi rumah menurut Kepmenkes RI No 829 Tahun 1999 adalah minimal 10% dari luas lantai. Ruangan yang ventilasinya kurang baik akan membahayakan kesehatan khususnya saluran pernafasan. Terdapatnya bakteri di udara disebabkan adanya debu dan uap air. Jumlah bakteri udara akan bertambah jika penghuninya ada yang menderita penyakit saluran pernafasan, seperti TBC, Influenza dan ISPA (Millatin, 2011).
27
Mikroorganisme dapat berada di udara dengan berbagai cara antara lain dari debu yang bertebaran. Debu ini dapat berasaldari tanah, kotoran hewan atau manusia yang mengering serta bahan lainya. Debu yang mengandung mikroorganisme ini akan berterbangan di dalam ruangan. Sehingga jika tidak terdapat ventilasi, debu yang berada di udara dan mengandung mikroorganisme ini tidak dapat keluar ruangan. Hal ini menyebabkan timbulnya berbagai penyakit seperti ISPA (Millatin, 2011). Ventilasi memungkinkan tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan yang sangat dibutuhkan manusia.Sehingga apabila suatu ruangan tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik dan over crowded maka akan menimbulkan keadaan
yang
dapat
merugikan kesehatan (Millatin,
2011).Menurut Lindawaty (2010) kurangnya ventilasi akan menyebabkan proses sirkulasi udara dalam ruangan berjalan tidak normal, serta membuat ruangan menjadi terasa panas. Kondisi tersebut bisa menjadi lebih buruk apabila ruangan tersebut padat penghuninya yang mengakibatkan kurangnya oksigen serta meningkatnya karbondioksida. Ruangan yang ventilasinya kecil mengakibatkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik serta meningkatkan pajanan asap. Ventilasi yang kurang baik juga mengakibatkan rumah menjadi lembab dan basah.Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap pada dinding tembok dan matahari pagi sukar masuk dalam rumah.Terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam
28
rumah mengakibatkan kuman yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. Hal ini juga mempermudah anak-anak untuk terserang ISPA (Millatin, 2011). Ruangan dengan ventilasi yang tidak baik, jika dihuni dapat menyebabkan kenaikan kelembaban yang disebabkan penguapan cairan tubuh dari kulit. Jika udara kurang mengandung uap air, maka udara terasa kering dan tidak menyenangkan. Apabila udara yang banyak mengandung uap air akan menjadi udara basah dan apabila dihirup dapat menyebabkan gangguan pada fungsi paru (Padmonobo, 2012). Fungsi lain dari ventilasi adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap pada kelembaban yang seharusnya. Tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban udara dalam ruangan meningkat karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan.Sedangkan kelembaban merupakan media yang baik untuk tumbuhnya bakteri (Tugaswati, 1996). Ventilasi yang kurang baik dapat membahayakan kesehatan kususnya saluran pernafasan. Ventilasi yang buruk dapat meningkatkan pajanan asap. Luas ventilasi yang kurang menyebabkan suplai udara segar masuk ke dalam ruangan tidak mencukupi, sementara pengeluaran udara kotor dalam ruangan juga tidak maksimal. Dengan demikian akan menyebabkan kualitas udara dalam rumah menjadi buruk. Kurangnya luas ventilasi juga dapat menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya
29
proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik untuk bakteri-bakteri penyebab penyakit (Widianingtias, 2004). Ventilasi yang baik akan menyebabkan sirkulasi yang baik. Sirkulasi udara yang baik akan mengurangi kadar partikulat, dan sebaliknya apabila ventilasi tidak memenuhi syarat maka akan meningkatkan kadar partikulat di dalam ruangan. Selain itu, ventilasi yang baik dapat membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama patogen karena dengan adanya ventilasi maka akan selalu terjadi pertukaran aliran udara yang terus menerus (Notoatmodjo, 2003). Sirkulasi yang baik yaitu udara dapat bergerak atau bertukar akan mengurangi jumlah mikroorganisme. Sebaliknya jika sirkulasi buruk, udara relatif tidak bergerak atau ada pergerakan tetapi sedikit dan tidak mampu mengganti udara berkualitas buruk dengan udara bersih/segar.Sehingga kemungkinan akan mengandung mikroorganisme lebih besar. Hal ini berarti pada ruangan yang menggunakan AC ataupun ventilasi alami, jika sirkulasi udara buruk maka mikroorganisme akan tetap dapat tumbuh, asalkan temperatur dan kelembaban memenuhi syarat (Moerdjoko, 2004).
3.
Kepadatan Hunian Infeksi saluran pernafasan ditularkan melalui kontak langsung atau droplet dari saluran pernafasan dan lebih sering terjadi pada kontak yang
30
dekat. Keadaan tersebut terjadi di semua bentuk kepadatan seperti kepadatan hunian rumah (jumlah saudara dan besarnya rumah) maupun kepadatan penghuni ruangan serta kepadatan populasi. Menurut Depdiknas RI (2007), persyaratan luas ruang kelas sekolah dasar yaitu 56 m2 dengan kapasitas maksimum 28 orang atau 2m2/orang. Batas kepadatan dalam ruang kelas yang baik berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Tahun 2007 mengenai standar sarana dan prasarana sekolah, ditetapkan sebesar ≥2m2/siswa. Jika dirasakan dalam suatu ruang kelas terasa pengap atau seperti terasa sesak, penyebab kondisi ini karena luas ruangan tidak mencukupi untuk menampung murid-murid. Terlalu padatnya kondisi ruang kelas dapat menghalangi proses pertukaran udara bersih, sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi (Pramayu, 2012). Kepadatan
yang
terlalu
tinggi
dalam
sebuah
ruangan
juga
memudahkan terjadinya penularan suatu penyakit. Penularan dapat melalui inhalasi individu ataupun kekerapan terkena droplet dari siswa yang sedang sakit kepada siswa lainnya (Pramayu, 2012). Berdasarkan penelitian Janssen (1999) di Amsterdam menunjukkan konsentrasi PM10 yang tinggi di dalam kelas berhubungan dengan resuspensi debu akibat aktivitas murid di dalan kelas ketika ruang kelas dihuni oleh sekitar 30 anak. Kondisi kepadatan hunian tidak terlepas dari faktor penularan suatu penyakit antar individu. Gangguan pernafasan yang disebabkan oleh virus
31
disebarkan melalui individu lainnya dan dihantarkan melalui udara. Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa kondisi rumah yang dihuni lebih dari batas hunian yang dipersyaratkan dapat mengakibatkan kurangnya konsumsi oksigen, kemudian memudahkan terjadinya penularan apabila ada salah satu penghuni rumah yang sedang menderita penyakit infeksi.
4.
Lantai Jenis lantai atau kondisi lantai sangat penting. Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi perantara atau media penularan penyakit seperti penyakit saluran pernafasan. Lantai yang tidak memenuhi standar adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Lantai harus padat atau stabil sehingga mudah dibersihkan dan dapat cepat kering bila terkena air. Lantai perlu diplester dan akan lebih baik jika dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM dan PL, 2002). Syarat yang penting disini adalah tdak berdebu pada musim kemarau dan tidak basah pada musim hujan. Untuk memperoleh lantai tanah yang padat (tidak berdebu) dapat ditempuh dengan menyiram air kemudian dipadatkan dengan benda-benda yang berat, dan dilakukan berkali-kali. Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit gangguan pernapasan (Notoatmodjo, 2007).
32
C. Gangguan ISPA ditinjau dari Faktor Lingkungan Beberapa penelitian meneliti perihal hubungan ISPA dengan kondisi lingkungan. Sehingga penelitian-penelitian tersebut memiliki relevansi dengan penelitian yang sedang dilakukan. Pramayu (2012) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara suhu dan kelembaban dengan gangguan ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan kondisi suhu dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat, maka akan beresiko 3,08 kali lebih tinggi untuk terkena gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa SD yang berada di ruang kelas dengan suhu dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat. Gertudis (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan anatara kelembaban dengan gangguan ISPA. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban tidak memenuhi syarat akan mengalami resiko terkena gangguan ISPA 11,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban yang berada dalam rentang yang memenuhi syarat.Lindawaty (2010) menyatakan bahwa suhu memiliki pengaruh terhadap munculnya gangguan ISPA. Balita yang berada dalam rumah tinggal dengan suhu tidak memenuhi syarat maka akan mengalami resiko 18 kali lebih tinggi untuk mengalami ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal dalam rumah dengan suhu yang memenuhi syarat. Selain itu, terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan siswa dalam kelas dengan gangguan ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan
33
luas <2m2/siswa akan mengalami gangguan ISPA 2,73 kali lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang berada di ruangan kelas dengan luas ≥2m2/siswa (Pramayu, 2012). Penelitian Wattimena (2004) mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan terjadinya gangguan pernafasan pada balita, dimana balita yang berada di dalam rumah yang tidak memenuhi batas hunian beresiko 4,3 kali lebih tinggi dibanding rumah yang memenuhi batas hunian. Ventilasi akan mempengaruhi terjadinya gangguan saluran pernafasan. Namun tidak hanya pada pengukuran luas ventilasi tetapi juga diukur dari laju udara yang mampu dilewati melalui ventilasi. Dengan meningkatkan rata-rata laju udara dari luar ruangan ke dalam ruangan dari 1,3 menjadi 11,5 liter/detik mampu menurunkan risiko gejala asma dan gangguan saluran pernafasan pada anak sekolah (Hellsing, 2009).
D. Studi Ekologi Studi ekologi merupakan penelitian atau penelaahan hubungan antara dua variabel pada suatu situasi atau sekelompok subjek. Hal ini dilakukan untuk melihat hubungan antara gejala satu dengan gejala yang lain atau variabel satu dengan variabel yang lain (Notoatmojo, 2010). Studi ekologi adalah salah satu penelitian yang unit analisisnya adalah kelompok. Ciri analisis primer studi ekologi adalah tidak diketahuinya joint distribution faktor studi dan penyakit di setiap kelompok (unit analisis) (Goldberg, 2000).
34
Pada dasarnya, desain studi ekologi menggambarkan hubugan korelatif antara penyakit dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Disain studi ini memiliki kekuatan dan kelemahan. Kekuatan studi ini adalah dapat menggunakan data insidensi, prevalensi maupun mortalitas. Studi ini tepat digunakan untuk penyelidikan awal hubungan penyakit karena mudah dilakukan dan murah dengan memanfaatkan informasi yang tersedia. Kelemahan dari desain studi ini adalah tidak dapat dipakain untuk menganalisis hubungan sebab akibat karena tidak mampu menjembatani kesenjangan status pajanan dan status penyakit pada tingkat populasi dan individu, seta tidak mampu engontrol faktor perancu potensial (Supriyadi, 2009).
E. Kerangka Teori Lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan salah satu resiko dan sumber penularan berbagai jenis penyakit. ISPA merupakan salah satu penyakit yang erat hubungannya dengan kondisi higiene bangunan. Kondisi higiene bangunan tersebut yang merupakan lingkungan fisik ruangan meliputi suhu, kelembaban, kepadatan hunian, ventilasi dan lantai ruangan. Suhu
dalam
suatu
ruangan
dapat
mempengaruhi
kelembaban.
Kelembaban yang tinggi dan debu dapat menyebabkan berkembang biaknya organisme patogen maupun organisme yang bersifat alergen. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum
35
(suhu
dan kelembaban
yang
optimal).
Sehingga
host
akan
terpapar
mikroorganisme dan berpeluang terhadap kejadian ISPA. Selain suhu dan kelembaban, faktor lain yang dapat menyebabkan perkembangbiakan kuman adalah kepadatan hunian, ventilasi dan lantai. Kepadatan hunian berpengaruh terhadap terjadinya cross infection. Ketika ada penderita ISPA yang berada dalam satu ruangan, maka pada saat batuk/bersin maka kuman penyakit dapat menyebar melalui udara dan akan mempercepat proses penularan terhadap orang lain. Ventilasi berfungsi membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen. Ventilasi juga berperan dalam mengontrol suhu dan kelembaban dalam ruang. Lantai yang tidak memenuhi standar adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA. Selain kondisi lingkungan, karakteristik individu juga mempengaruhi kejadian ISPA. Karakteristik individu tersebut meliputi umur, jenis kelamin, dan status gizi. Berdasarkan umur, balita lebih rentan terkena ISPA karena daya tahan tubuh yang masih rentan terhadap penyakit. Berdasarkan jenis kelamin, anak laki-laki lebih rentan karena lebih banyak beraktivitas di luar sehingga pajanan faktor resiko ISPA lebih besar. Status gizi berpengaruh terhadap daya tahan tubuh. Status gizi kurang maupun buruk akan meyebabkan daya tahan tubuh lemah sehingga rentan terhadap infeksi kuman penyakit.
36
Kondisi Lingkungan Fisik Ruangan -
Suhu Kelembaban Kepadatan hunian Ventilasi Alami Ventilasi Buatan Lantai
Jumlah Kuman
Pertumbuhan Kuman
Karakteristik Individu - Umur - Jenis kelamin - Status gizi Bagan 2.1 Kerangka Teori
Kejadian ISPA
37
BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL DAN HIPOTESIS
A.
Kerangka Konsep Kerangka konsep penelitian ini ingin mengetahui hubungan faktor lingkungan dalam ruang kelas dapat menyebabkan ISPA pada siswa kelas 5 SDN. Kondisi lingkungan dalam ruang kelas meliputi suhu, kelembaban, ventilasi, kepadatan huniandan lantai kelas. Suhu udara yang rendah dapat menyebabkan polutan dalam atmosfir terperangkap dan tidak menyebar. Peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan polutan udara. Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan berkembang biaknya organisme patogen maupun organisme yang bersifat alergen. Sedangkan kelembaban yang terlalu rendah dapat menyebabkan kekeringan/iritasi pada membran mukosa, iritasi mata dan gangguan sinus. Kelembaban udara dalam ruang dapat meningkat jika ventilasi ruang tidak cukup. Ventilasi yang kurang dalam ruang dapat menyebabkan debu yang mengandung mikroorganisme akan berterbangan di dalam ruangan. Akibatnya debu tidak dapat keluar ruangan sehingga menyebabkan timbulnya berbagai penyakit antara lain ISPA. Ruangan juga memerlukan ventilasi buatan (fan maupun air conditioning)agar di dalam ruangan selalu ada pergerakan atau sirkulasi udara.
38
Kejadian ISPA juga tidak lepas dari kepadatan hunian. Kepadatan hunian merupakan faktor penularan suatu penyakit antar individu. Gangguan pernafasan yang disebabkan oleh virus disebarkan melalui individu lainnya dan dihantarkan melalui udara. Selain itu lantai yang tidak memenuhi standar adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA.Lantai yang baik adalah lantai yang dilapisi ubin atau keramik dan tidak berdebu. Adapun variabel yang tidak diteliti adalah faktor karakteristik individu. Karakteristik individu meliputi umur, jenis kelamin, status gizi, status merokok. Penelitian ini merupakan studi ekologi dimana objek penelitian adalah populasi bukan individu, sehingga faktor karakteristik individu tidak diteliti dalam penelitian ini.
39
Suhu Kelembaban Kepadatan Hunian Kejadian
Luas Ventilasi Alami
ISPA Ventilasi Alami
Ventilasi Buatan
Lantai
Bagan 3.1 Kerangka Konsep
40
B. Definisi Operasional
No 1.
Variabel
Definisi
Skala Ukur
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Angka
Jumlah siswa ISPA yang mengalami Wawancara
Kuesioner
Rasio
Incidence Rate/IR (%)
Kejadian
gejala ISPA berdasarkan keluhan yang
ISPA
dirasakan dibagi total siswa yang
Hasil pengukuran derajat panas atau Pengukuran
Thermo
Rasio
0
dingin
hygro
menghuni kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat 2.
Suhu
udara
dalam
ruang
kelas di titik
(Kepmenkes No.1405, 2002 tentang episentrum
C
meter
persyaratan kesehatan lingkungan kerja ruang kelas perkantoran dan industri) 3.
Kelem-
Hasil pengukuran persentase kandungan Pengukuran
Thermo
baban
uap air udara dalam ruang kelas di titik
hygro
(Kepmenkes No.1405, 2002 tentang episentrum
meter
persyaratan kesehatan lingkungan kerja ruang kelas kantoran)
Rasio
%
41
No 4.
Variabel
Definisi
Cara Ukur
Kepadatan
Kepadatan siswa dalam kelas yang Pengukuran
Hunian
diperoleh dari hasil perhitungan luas
Alat Ukur
Skala Ukur
Hasil Ukur
Meteran
Rasio
m2/siswa
Meteran
Rasio
luas ventilasi (m2) : luas lantai
lantai ruang kelas dibagi jumlah siswa dalam
ruang
kelas
(Permendiknas,
2007) 5.
Luas
Luas jendela dan lubang angin ruangan Pengukuran
Ventilasi
kelas yang berfungsi untuk aliran udara
Alami
dari luar kelas ke dalam kelas atau
(m2)
sebaliknya 6.
Ventilasi
Keadaan ventilasi alami (jendela dan Observasi
Lembar
Alami
lubang angin) dalam ruang kelas
Observasi
Ordinal
1. Tidak baik jika aliran udara terhalang barang besar atau kurang dari 4 jendela terbuka saat belajar 2. Baik jika
aliran udara tidak
terhalang barang besar atau minimal 4 jendela terbuka saat belajar (Kepmenkes, 2011)
42
No 7.
Variabel
Definisi alat
mekanis
Cara Ukur maupun Observasi
Ventilasi
Pemakaian
Buatan
elektrik, seperti kipas angin, exhauster dan
pendingin
ruangan
Alat Ukur Lembar
Skala Ukur
Hasil Ukur
Ordinal
1. Tidak baik jika tidak ada kipas
Observasi
angin atau ada kipas angin
(Air
kipas
tetapi
Conditioner)
digunakan
angin saat
tidak
kegiatan
belajar berlangsung 2. Baik jika ada kipas angin dan kipas angin digunakan saat kegiatan belajar berlangsung (Moerdjoko, 2004) 8.
Lantai
Jenis dan kondisi lantai ruang kelas saat Observasi
Lembar
Kelas
siswa belajar
Observasi
Ordinal
1. Tidak baik jika dalam keadaan lembab,
tidak
dilapisi
ubin/keramik, berdebu 2. Baik
jika
dalam
keadaan
kering/tidak lembab, dilapisi ubin/keramik, tidak berdebu (Notoatmodjo, 2007)
43
C.
Hipotesis 1.
Ada hubungan antara suhu dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
2.
Ada hubungan antara kelembaban dengankejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
3.
Ada hubungan antara kepadatan hunian dengankejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
4.
Ada hubungan antara luas ventilasi alamidengankejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
5.
Ada hubungan antara ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
6.
Ada hubungan antara ventilasi buatan dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
7.
Ada hubungan antara lantai dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013
44
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
A.
Desain Studi Desain studi dalam penelitian ini adalah desain penelitian studi ekologi dimana unit analisis dalam peneitian ini adalah populasi. Data tingkat pengukuran pajanan pada individu tidak tersedia, tetapi data pada tingkat grup/populasi tersedia. Data pengukuran yang dimaksud yaitu kondisi lingkungandalam ruang kelas meliputi suhu, kelembaban, luas ventilasi, kepadatan hunian, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas..
B.
Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di SDN yang berada di wilayah Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Kecamatan Ciputat dipilih karena kejadian ISPA tertinggi dari data sekunder Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kejadian ISPA di Puskesmas Ciputat yaitu sebesar 6.526 kasus.
C.
Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 5 yang ada di SDN di Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Terdapat 40 SDN di Kecamatan Ciputat Kota Tangerang Selatan. Sepuluh SD sedang dalam tahap renovasi sehingga tidak dapat dilakukan penelitian. SDN yang dapat
45
ditelitiadalah SDN yang memilik satu ruang kelas 5. Sehingga dari 30 SDN yang tersedia, hanya 24 SDN yang memiliki satu ruang kelas 5. Sebagian besar dari SDN tersebut terletak di pinggir jalan raya yang merupakan pusat kemacetan. Pada saat proses belajar, walau terdapat banyak jendela, namun hanya sedikit yang dibuka. Beberapa jendela maupun lubang angin terhalang papan tulis, lemari maupun poster. Selain itu walaupun terdapat kipas angin dalam kelas, namun tidak dihidupkan selama proses belajar. Sehingga sirkulasi udara dalam kelas terganggu.
D.
Jenis Data Data dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dengan melakukan pengukuran langsung. Data primer dalam penelitian ini terdiri dari data pengukuran suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi, ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas. Sedangkan data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari data ISPA pada anak usia sekolah tahun 2012 dari Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan sebanyak 64.750 kasus dan data SDN di Kecamatan Ciputat serta jumlah siswa dari UPT Dinas Pendidikan Kecamatan Ciputat.
46
E.
Pengumpulan Data Data kejadian ISPA di setiap SDN diperoleh dengan pengumpulan data pada siswa kelas 5 SDN yang mengalami gejala ISPA berdasarkan keluhan yang dirasakan. Setiap siswa kelas 5 diwawancara untuk menjawab kuesioner yang berisi pertanyaan terkait keluhan gejala ISPA. Hal ini dilakukan karena tidak terdapat data kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SD di Puskesmas maupun UKS sekolah. Siswa kelas 5 SD dipilih karena siswa kelas 5 SD memiliki tingkat pemahaman yang cukup untuk memahami pertanyaan yang akan ditanyakan pada mereka seputar keluhan gejala ISPA. Selain itu siswa kelas 5 lebih dapat memusatkan pehatian dan memiliki memori jangka panjang lebih baik sehingga dapat menjawab pertanyaan kuesioner dengan baik. Data jumlah siswa kelas 5 SD diperoleh dari absen siswa dengan mengkonfirmasi ulang kepada guru walikelas. Konfirmasi ulang bertujuan untuk memastikan ada tidaknya murid yang tidak masuk kelas saat penelitian maupun ada tidaknya murid yang pindah selama periode bulan Juni tahun 2013. Data suhu, kelembaban, kepadatan hunian dan luas ventilasi diperoleh dari hasil pengukuran langsung saat penelitian. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan menggunakan alat thermohygrometer. Waktu pemeriksaan lebih kurang 5 menit sampai jarum menunjukkan angka stabil. Data luas ventilasi diperoleh dari hasil pengukuran lubang angin dan jendela
47
dengan rollmeter. Data ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas diperoleh dari lembar observasi.
F.
Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari serangkaian tahapan yang harus dilakukan meliputi: 1.
Data Editing Pada tahapan ini, data yang telah terkumpul melalui daftar pertanyaan (kuesioner) ataupun pada wawancara perlu dibaca kembali untuk melihat apakah ada hal-hal yang masih meragukan dari jawaban responden
sehingga
masih
dapat
ditelusuri
kembali
kepada
responden/informan yang bersangkutan. 2.
Data Coding Kegiatan mengklasifikasikan data dan memberikan kode untuk masing-masing kelas sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data. Tabel 4.1 Pengkodean untuk Faktor Lingkungan Sekolah Kategori
Variabel Ventilasi Alami Ventilasi Buatan Lantai Kelas
a. b. a. b. a. b.
Tidak baik Baik Tidak baik Baik Tidak baik Baik
Kode 0 1 0 1 0 1
48
3.
Data Structure Data structure dikembangkan sesuai dengan analisis yang akan dilakukan dan jenis perangkat lunak yang dipergunakan. Pada saat mengembangkan data structure, bagi masing-masing variabel perlu ditetapkan ; nama, skala ukur variabel, jumlah digit.
4.
Data Entry Memasukkan data yang telah dikumpulkan ke dalam program atau fasilitas analisis data. Program untuk analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah SPSS.
5.
Data Cleaning Proses pembersihan data setelah data dientri. Cara yang dilakukan yaitu dengan melihat distribusi frekuensi dari variabel-variabel dan menilai kelogisannya. Untuk data kontinue (data dengan skala variabelnya interval atau rasio) dapat dilihat sebarannya untuk melihat ada tidaknya outliers.
G.
Analisis Analisis dilakukandengan analisis univariat dan bivariat. Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh distribusi frekuensi tiap variabel yang diteliti dengan cara mendeskripsikan tiap-tiap variabel dengan melihat parameter frekuensi dan persentase. Hasil yang disajikan adalah mean, median, nilai minimum, nilai maksimum dan standar deviasi.
49
Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen yang berupa signifikansi perbedaan dua nilai pada variabel independen. Sebelum melakukan uji analisis bivariat, uji normalitas tiap-tiap variabel dilakukan untuk menentukan kenormalan distribusi data yang nantinya akan menentukan jenis uji korelasi yang akan digunakan. Uji korelasi data yang berdistribusi normal menggunakan uji korelasi Pearson, sedangkan data yang berdistribusi tidak normal menggunakan uji korelasi Spearman. Pada penelitian ini data kejadian ISPA tidak berdistribusi normal. Sehingga uji yang digunakan untuk suhu, kelembaban, kepadatan hunian dan luas ventilasi adalah uji korelasi Spearman. Sedangkan untuk variabel ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas menggunakan uji Mann-Whitney. Selain melihat hubungan antara variabel dependen dan independen, uji korelasi juga melihat keeratan hubungan. Keeratan hubungan diperoleh dari nilai korelasi (r). Kisaran nilai r adalah antara +1 dan -1, dengan r +1 menyatakan hubungan positif yang kuat dan r -1 menyatakan hubungan negatif yang kuat (Morton, 2009). Menurut Colton dalam Sabri (2006), nilai r dan derajat asosiasinya mempunyai rentang: r 0,00 >0,0-0,25 0,26-0,50 0,51-0,75 0,76-1,00
derajat asosiasi tidak ada hubungan hubungan lemah hubungan sedang hubungan kuat/baik hubungan sangat baik/sempurna
50
BAB V HASIL PENELITIAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Kecamatan Ciputat terletak di bagian tengah kota Tangerang selatan. Luas Kecamatan Ciputat adalah 3.626 Ha dengan letak ketinggian dari permukaan laut 44 m dan memiliki curah hujan rata-rata 2000-3000 mm/tahun. Berdasarkan data sensus tahun 2006, jumlah penduduk yang ada di wilayah Kecamatan Ciputat berjumlah 260.477 jiwa. Kecamatan Ciputat terdiri dari 7 kelurahan yaitu:Ciputat, Cipayung, Serua, Sawah Lama, Sawah Baru, Serua Indah dan Jombang. Jumlah penduduk laki-laki di Kecamatan Ciputat yaitu 97.979
jiwa.
Sedangkan jumlah perempuan yaitu 94.226 jiwa. Jumlah penduduk Kecamatan Ciputat yaitu 192.200 orang dengan luas wilayah 15,43 km2. Sehingga kepadatan Kecamatan Ciputat yaitu 10,457 orang/km2. Kecamatan Ciputat beriklim tropis dengan temperatur rata-rata berkisar antara 23,5-32,60C dan temperatur minimum terendah yaitu 22,80C. Rata-rata kelembaban udara dan intensitas matahari sekitar 78,3% dan 59,3 %. Keadaan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Februari yaitu 486 mm, sedangkan ratarata curah hujan dalam setahun adalah 177,3 mm. Rata-rata kecepatan angin dalam setahun adalah 3,8 m/detik dan kecepatan maksimum 12,6 m/detik.
51
B. Analisis Univariat Analisis
univariat
mendeskripsikan
suhu,
kelembaban,
ventilasi,
kepadatan hunian) dan kejadian ISPA. 1.
Gambaran Kejadian ISPA Ukuran kejadian ISPA dalam penelitian ini yaitu insidensi kejadian ISPA dengan Incidence Rate (IR). IR kejadian ISPA diperoleh dengan membandingkan jumlah siswa yang mengalami gejala ISPA berdasarkan keluhan yang dirasakandibagi total siswa yang menghuni kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013. Insidensi kejadian ISPA pada siswa kelas 5 di setiap SDN di Kecamatan Ciputat ditunjukkan sebagai berikut : Tabel 5.1 Insidensi Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 No
Nama Sekolah
Jumlah ISPA (siswa)
Penghuni Kelas (Siswa)
IR
1.
SDN 2 Ciputat
40
47
85.11
2.
SDN 3 Ciputat
22
40
55.00
3.
SDN 4 Ciputat
26
44
59.09
4.
SDN 5 Ciputat
6
24
25.00
5.
SDN 7 Ciputat
12
40
30.00
6.
SDN 8 Ciputat
18
38
47.37
7.
SDN 9 Ciputat
35
47
74.47
8.
SDN 3 Cipayung
36
51
70.58
9.
SDN 4 Cipayung
10
36
27.78
52
Tabel 5.1 (Lanjutan)
10.
SDN 1 Serua
Jumlah ISPA (siswa) 26
11.
SDN 3 Serua
36
46
78.26
12.
SDN 5 Serua
33
48
68.75
13.
SDN 2 Serua Indah
29
38
76.31
14.
SDN 3 Serua Indah
22
40
55.00
15.
SDN 1 Sawah
25
33
75.75
16.
SDN 3 Sawah
31
51
60.78
17.
SDN 4 Sawah
32
49
65.31
18.
SDN 1 Sawah Baru
18
33
54.54
19.
SDN 2 Sawah Baru
20
37
54.05
20.
SDN 3 Jombang
31
43
72.09
21.
SDN 4 Jombang
27
41
65.85
22.
SDN 5 Jombang
33
51
64.70
23.
SDN 6 Jombang
10
33
30.30
24.
SDN 11 Jombang
30
38
78.95
No
Nama Sekolah
Penghuni Kelas (siswa) 38
68.42
IR
Pada tabel 5.1 menunjukkan jumlah siswa kelas 5 yang mengalami gejala ISPA berdasarkan keluhan pada bulan Juni tahun 2013 dan IR kejadian ISPAbulan Juni tahun 2013.IR ISPA tertinggi terdapat di SDN 2Ciputat yaitu sebesar 85,11% pada bulan Juni tahun 2013 dan terendah terdapat di SDN 5 Ciputat yaitu sebesar 25% pada bulan Juni tahun 2013.
53
Tabel 5.2 Distribusi Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 Variabel
Rata-rata
Standar Deviasi
Min-Max
Kejadian ISPA
60,14
17,267
25-85,11
Rata-ratakejadian ISPA di 24 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013 adalah 60,14% dengan standar deviasi 17,267.
2.
Gambaran Faktor-Faktor yang Mempengaruhi ISPA Pada Siswa SD Faktor-faktor yang mempengaruhi ISPA pada siswa SDN meliputi suhu, kelembaban, kepadatan hunian, luas ventilasi, ventilasi alami, ventilasi buatan, serta lantai kelas. Tabel 5.3 Distribusi Suhu, Kelembaban, Kepadatan Hunian, Luas Ventilasi SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 Variabel
Rata-rata
Standar Deviasi
Min-Max
Suhu Kelembaban Kepadatan Hunian Luas Ventilasi
30,58 61,50 1,181 9,963
2,24 2,187 0,220 2,680
26-34 57-65 0,95-2,01 4,34-13,74
Rata-rata suhu kelas di 24 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013 adalah 30,580C dengan standar deviasi 2,24. Suhu tertinggi sebesar 340C di 4 SD yaitu SDN 2 Ciputat, SDN 3 Cipayung, SDN 5 Serua dan SDN 3 Sawah. Sedangkan suhu terendah sebesar 260C di SDN 5 Ciputat. Rata-rata kelembaban kelas di 24 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013 adalah 61,50% dengan standar deviasi 2,187. Kelembaban
54
tertinggi sebesar 65% di 2 SD yaitu SDN 2 Ciputat dan SDN 3 Jombang. Sedangkan kelembaban terendah sebesar 57% di SDN 5 Ciputat. Rata-rata kepadatan hunian kelasdi 24 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013 adalah 1,181 m2/siswa dengan standar deviasi 0,220. Nilai kepadatan hunian kelas paling tinggi yaitu 2,01m2/siswa yaitu di SDN 5 Ciputat.Sedangkan nilai kepadatan hunian terendah yaitu 0,95 m2/siswa di SDN 1 Serua. Rata-rata luas ventilasialami kelasdi 24 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013 adalah 9,963 m2 dengan standar deviasi 2,680. Nilai luas ventilasi tertinggi sebesar 13,74 m2 di SDN 5 Ciputat dan SDN 3 Serua Indah. Sedangkan nilai luas ventilasi terendah sebesar 4,34 m2 di SDN 1 Sawah Baru. Tabel 5.4 Distribusi Ventilasi Alami, Ventilasi Buatan, Lantai Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 Variabel Ventilasi Alami Ventilasi Buatan Lantai
Kategori Tidak baik Baik Tidak baik Baik Tidak baik Baik
Frekuensi
Persentase
13 11 16 8 17 7
54,2 45,8 66,7 33,3 70,8 29,2
Table 5.4 menunjukkan 13 SDN (54,2%) memiliki ventilasi alami tidak baik. Ventilasi alami kelas dikatakan baik jika aliran udara tidak terhalang dan minimal terdapat 4 jendela yang dikuba saat siswa sedang
55
belajar. Selain itu 16 SDN (66,7%) memiliki ventilasi buatan tidak baik. Ventilasi buatan kelas dikatakan baik jika terdapat kipas angin dalam kelas dan kipas angin digunakan saat kegiatan belajar berlangsung. Terdapat 17 SDN (70,8%) yang memiliki lantai kelas tidak baik. Lantai yang baik dan memenuhi syarat adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab, dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan, tidak berdebu di musim kemarau dan tidak basah pada musim penghujan.
C. Analisis Bivariat Analisis bivariat merupakan analisis lanjutan dari analisis univariat yang bertujuan untuk melihat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen. Uji yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara suhu, kelembaban, luas ventilasi dan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA adalah uji Korelasi Spearman. Sedangkan hubungan ventilasi alami, ventilasi buatan dan lantai kelas dengan kejadian ISPA adalah uji Mann-Whitney yang hasilnya akan dijelaskan dibawah ini : 1.
Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian mengenai hubungan antara suhu dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut :
56
Tabel 5.5 Analisis Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 Variabel Independen Suhu
Variabel Dependen (ISPA) r 0,653
p value 0,001
Dari Tabel 5.5 terlihat hubungan suhu dengan kejadian ISPA menunjukkan hubungan yang kuat (r=0,653) dan berpola positif yang artinya semakin tinggi suhu maka insidensi kejadian ISPA semakin tinggi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar0,001, pada tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian sejalan dengan hipotesis penelitian yaitu ada hubungan antara suhu dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013.
2.
Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian mengenai hubungan antara kelembaban kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.6 Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 Variabel Independen Kelembaban
Variabel Dependen (ISPA) r 0,487
p value 0,016
57
Dari tabel 5.6 terlihat hubungan kelembaban dengan kejadian ISPA menunjukkan hubungan yang sedang (r=0,487) dan berpola positif yang artinya semakin tinggi kelembaban maka insidensi kejadian ISPA semakin tinggi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar0,016, pada tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian sejalan dengan hipotesis penelitian yaitu ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013.
3.
Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian mengenai hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.7 Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 Variabel Independen Kepadatan Hunian
Variabel Dependen (ISPA) r -0,510
p value 0,011
Dari tabel 5.7 terlihat hubungan kepadatan hunian dengan kejadian ISPA menunjukkan hubungan yang kuat (r=0,510) dan berpola negatif yang artinya semakin tinggi nilai kepadatan hunian maka insidensi kejadian ISPA semakin rendah. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value
58
sebesar0,011,pada tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian sejalan dengan hipotesis penelitian yaitu ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013.
4.
HubunganLuas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian mengenai hubungan antara luas ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.8 Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013 Variabel Independen Luas Ventilasi Alami
Variabel Dependen (ISPA) r 0,131
p value 0,540
Dari grafik 5.8 terlihat hubungan luas ventilasi dengan kejadian ISPA menunjukkan hubungan yang lemah (r=0,131) dan berpola positif yang artinya semakin tinggi nilai luas ventilasi maka insidensi kejadian ISPA semakin tinggi. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar0,541,pada tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian tidak sejalan dengan hipotesis penelitian sehingga tidak ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013.
59
5.
Hubungan Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian mengenai hubungan antara ventilasi alami kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.9 Analisis Hubungan Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Tidak Baik
13
Rata-rata ISPA 65,31
Baik
11
52
Ventilasi Alami
N
Standar deviasi 15,745 20,645
p value 0,124
Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa rata-rata kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas dengan ventilasi alami tidak baik adalah 65,31 dengan standar deviasi sebesar 15,745, sedangkan ratarata kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas dengan ventilasi alami baik adalah 52 dengan standar deviasi 20,645. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar0,124,pada tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian tidak sejalan dengan hipotesis penelitian sehingga tidak ada hubungan antara ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013.
60
6.
Hubungan Ventilasi Buatan dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian mengenai hubunganventilasi buatan dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.10 Analisis Hubungan Ventilasi Buatan dengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Tidak Baik
16
Rata-rata ISPA 61,31
Baik
8
55
Kejadian ISPA
N
Standar Deviasi 16,304 24,178
p value 0,602
Berdasarkan tabel 5.10 diketahui bahwa rata-rata kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas dengan ventilasi buatan tidak baik adalah 61,31 dengan standar deviasi sebesar 16,304, sedangkan ratarata kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas dengan ventilasi buatan baik adalah 55 dengan standar deviasi 24,178. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar0,602,pada tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian tidak sejalan dengan hipotesis penelitian sehinggatidak ada hubungan antara ventilasi buatan dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013.
61
7.
Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA Hasil penelitian mengenai hubungan antara lantai kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputatbulan Juni tahun 2013 dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.11 Analisis Hubungan Lantai Kelasdengan Kejadian ISPA Pada Siswa Kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
Tidak Baik
17
Rata-rata ISPA 60,06
Baik
7
57,14
Kejadian ISPA
N
Standar deviasi 18,552 21,381
p value 0.924
Berdasarkan tabel 5.11 diketahui bahwa rata-rata kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas dengan keadaan lantai tidak baik adalah 60,06 dengan standar deviasi sebesar 18,552, sedangkan ratarata kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN yang berada di ruang kelas dengan keadaan lantai baik adalah 57,14 dengan standar deviasi 21,381. Berdasarkan hasil uji statistik diperoleh nilai p value sebesar0,924,pada tingkat kemaknaan 5% dapat disimpulkan bahwa hasil penelitian tidak sejalan dengan hipotesis penelitian sehingga tidak ada hubungan antara lantai kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013.
62
BAB VI PEMBAHASAN
A.
Keterbatasan Penelitian Keterbatasan dalam penelitian ini yaitu tidak diukurnya besar PM10 dalam ruang kelas selama siswa belajar di kelas karena keterbatasan alat pengukur. Sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajanan debu yang merupakan penyebab terjadinya ISPA. Data kejadian ISPA diperoleh dari siswa kelas 5 SD yang masuk sekolah saat penelitian dilakukan. Sehingga tidak meliputi siswa yang tidak masuk sekolah.
B.
Kejadian ISPA Ukuran angka kejadian ISPA dalam penelitian ini adalah insidensi kejadian ISPA yaitu IR. IR kejadian ISPA diperoleh dari jumlah siswa yang mengalami gejala ISPA berdasarkan keluhan yang dirasakan dibagi total siswa yang menghuni kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat. Nilai IR tertinggi yaitu sebesar 85,11% di SDN 2Ciputat dan terendah sebesar 25% di SDN 5 Ciputat. Penelitian Pramayu (2012) tentang gangguan ISPA pada siswa SD di Kecamatan Cipayung Kota Depok tahun 2012 juga menunjukkan bahwa jumlah siswa yang mengalami gangguan ISPA lebih banyak dibanding dengan jumlah siswa yang tidak mengalami gangguan ISPA yaitu 75 siswa (62,5%) mengalami gangguan ISPA dan 45 siswa (37,5%) tidak mengalami gangguan ISPA.
63
Hal ini dapat terjadi karena kondisi ruang kelas SDN yang tidak memenuhi syarat kesehatan. Padahal sebagian besar waktu siswa adalah di sekolah khususnya di dalam kelas. Kondisi ruang kelas tersebut meliputi suhu, kelembaban, kepadatan hunian dan ventilasi ruang kelas (Pramayu, 2012). Menurut Hasil laporan EPA (2002), kondisi ruang kelas dan kualitas udara kelas akan mempengaruhi kemampuan siswa dalam belajar. Breysse (2010) menyatakan bahwa kondisi ruangan khususnya kualitas udara ruang seringkali menjadi hal yang terlupakan oleh masyarakat. Kualitas udara ruang seharusnya
menjadi
perhatian
mengingat
bahwa
anak
usia
sekolah
menghabiskan jumlah waktu yang signifikan di sekolah dan anak-anak merupakan golongan yang rentan terkena penyakit.
C.
Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA Suhu adalah derajat panas atau dingin udara dalam ruang kelas (Kepmenkes, 2002). Suhu udara yang tinggi menyebabkan tubuh banyak kehilangan garam dan air. Selain itu, peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan polutan udara (WHO, 1997). Suhu menjadi faktor penting yang harus diperhatikan karena dapat memicu terjadinya infeksi saluran pernafasan. Selain itu, suhu dalam suatu ruangan dapat mempengaruhi kelembaban, sehingga dapat berpengaruh pada kondisi udara yang kering dan mengakibatkan iritasi membran mukosa (WHO, 2007).
64
Peningkatan suhu dapat menyebabkan polutan terperangkap dan tidak menyebar. Selain itu peningkatan suhu dapat mempercepat reaksi kimia perubahan polutan udara. Tingginya suhu udara akan menyebabkan partikel debu bertahan lebih lama di udara sehingga memungkinkan terhisap ke dalam pernafasan. Hal itu yang menjadikannya faktor risiko terjadinya ISPA (Yusnabeti, 2010). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara suhu dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,001. Selain itu adanya hubungan yang kuat antara suhu dengan kejadian ISPA (r=0,653). Penelitian Pramayu (2012) menyatakan bahwa siswa yang berada di ruang kelas dengan kondisi suhu yang tidak memenuhi syarat maka akan beresiko 3,08 kali lebih tinggi untuk terkena gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa SD yang berada di ruang kelas dengan suhu yang memenuhi syarat. Kemudian pada penelitian lain yang dilakukan Lindawaty (2010) menyatakan bahwa suhu memiliki pengaruh terhadap munculnya gangguan ISPA. Balita yang berada dalam rumah dengan suhu tidak dalam rentang yang dtentukan oleh kementrian kesehatan maka akan mengalami resiko 18 kali lebih tinggi untuk mengalami ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan suhu yang memenuhi syarat. Suhu ruang dikatakan memenuhi syarat yaitu sebesar 18-280C. Hasil pengukuran suhu di 30 ruang kelas SD negeri di Kecamatan Ciputat
65
menunjukkan 8 sekolah dengan suhu ruang kelas memenuhi syarat. Selain itu, 22 kelas menunjukkan hasil pengukuran suhu ruang kelas diatas 280C. Suhu mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan virus, bakteri dan jamur yang menyebabkan ISPA. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum (suhu yang optimal). Pada suhu tertentu, faktor penyebab ISPA pertumbuhannya dapat terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati (dalam rentang suhu 18-280C), tapi pada suhu tertentu dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan sangat cepat yaitu pada suhu lebih dari 290C. Hal ini yang membahayakan karena semakin sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut. Akibatnya makin besar peluang anak untuk terjangkit ISPA (Padmonobo, 2012).
D.
Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA Kelembaban adalah persentase kandungan uap air udara dalam ruang kelas (Kepmenkes, 2002). Kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan berkembang biaknya organisme patogen dan alergen. Sedangkan kelembaban terlalu rendah dapat menyebabkan kekeringan/iritasi pada membran mukosa serta gangguan sinus. Semakin tinggi kelembaban dalam ruangan maka dapat mempengaruhi penurunan daya tahan tubuh seseorang dan dapat meningkatkan kerentanan tubuh terhadap penyakit terutama infeksi pernafasan(Kemenkes, 2007).
66
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,016. Selain itu adanya hubungan yang sedang antara kelembaban dengan kejadian ISPA (r=0,487). Penelitia Pramayu (2012) di Kota Depok menyatakan bahwa ada hubungan antara kelembaban dengan gangguan ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan kondisi suhu dan kelembaban yang tidak memenuhi syarat maka akan beresiko 3,08 kali lebih tinggi terkena gangguan ISPA dibandingkan dengan siswa SD yang berada di ruang kelas dengan suhu dan kelembaban yang memenuhi syarat. Penelitian Gertudis (2010) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kelembaban dengan gangguan ISPA. Hasil penelitiannya menyebutkan bahwa balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban tidak memenuhi syarat akan mengalami resiko terkena gangguan ISPA 11,2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan kelembaban yang berada dalam rentang yang memenuhi syarat. Kelembaban dikatakan memenuhi syarat apabila berada pada kisaran 4070% (Kepmenkes, 2011). Hasil pengukuran kelembaban di 30 ruang kelas SD negeri menunjukkan hasil kelembaban terendah sebesar 57% dan kelembaban ruang kelas tertinggi adalah 65%. Kelembaban dalam ruang kelas yang tinggi dalam penelitian ini dapat disebabkan ventilasi alami yang tidak dipergunakan secara maksimal. Jendela yang tersedia dalam ruang kelas termasuk cukup banyak, namun banyak dari
67
jendela tersebut yang tidak dapat dibuka, sehingga tidak dapat membantu sirkulasi udara berjalan dengan baik dan hanya dengan mengandalkan lubang angin
dalam
ruang
kelas.
Akibatnya
kelembaban
dalam
ruang
meningkat.Padahal menurut WHO (2007), kelembaban berkaitan dengan ventilasi dimana sirkulasi udara yang tidak lancar akan mempengaruhi kelembaban menjadi tinggi. Kondisi tersebut dapat memicu perkembangbiakan mikroorganisme, termasuk virus penyebab ISPA. Kelembaban mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangbiakan virus, bakteri dan jamur penyebab ISPA. Virus, bakteri dan jamur dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan baik pada kondisi optimum (kelembaban yang optimal). Pada kelembaban tertentu, faktor penyebab ISPA pertumbuhannya dapat terhambat bahkan tidak tumbuh sama sekali atau mati (kelembaban 4060%), tapi pada suhu dan kelembaban tertentu dapat tumbuh dan berkembangbiak dengan sangat cepat (kelembaban di atas 65%). Hal ini yang membahayakan karena semakin sering anak berada dalam ruangan dengan kondisi tersebut dan dalam jangka waktu yang lama maka anak terpapar faktor risiko tersebut. Akibatnya makin besar peluang anak untuk terjangkit ISPA (Padmonobo, 2012).Kelembaban yang tinggi dan debu dapat menyebabkan berkembang biaknya organisme patogen maupun organisme yang bersifat allergen (Kemenkes, 2007). Mairusnita (2007) menyatakan bahwa kelembaban udara menyebabkan bakteri akan bertahan lebih lama. Dalam kondisi rumah yang tidak dilengkapi
68
ventilasi yang baik, maka akan mempercepat proses penularan penyakit.Naria (2008) juga menyatakan bahwa keadaan kelembaban rumah memenuhi syarat atau tidak memenuhi syarat dapat terjadi karena keadaan ventilasi rumah. Kurangnya ventilasi rumah akan meningkatkan kelembaban rumah. Udara yang lembab akan menimbulkan gangguan kesehatan penghuninya terutama timbulnya penyakit ISPA. Kelembaban yang tinggi merupakan media yang baik untuk perkembangan mikroorganisme patogen. Kelembaban rumah yang
tinggi
akanmendukung
terjadinya
penyakit
dan
penularan
penyakit.Penelitian Gardinassi (2012) menunjukkan ketika kelembaban udara meningkat, virus infeksi saluran pernafasan cenderung meningkat. Pada kelembaban relatif sebesar 75%, virus pernafasan terdapat dalam beberapa sampel laboratorium.
E.
Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA Batas kepadatan dalam ruang kelas yang baik ditetapkan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Tahun 2007 mengenai standar sarana dan prasarana sekolah adalah sebesar ≥2m2/siswa. Jika dirasakan dalam suatu ruang kelas terasa pengap atau seperti terasa sesak, penyebab kondisi ini karena luas ruangan tidak mencukupi untuk menampung murid-murid. Terlalu padatnya kondisi ruang kelas dapat menghalangi proses pertukaran udara bersih, sehingga kebutuhan udara bersih tidak terpenuhi (Pramayu, 2012).
69
Menurut Yusup (2005) dalam jurnal kesehatan lingkungan menyatakan bahwa semakin banyak jumlah penghuni rumah maka semakin cepat udara ruangan mengalami pencemaran gas. Dengan banyaknya penghuni maka kadar oksigen dalam ruangan menurun dan diikuti oleh peningkatan CO2 ruangan dan dampak dari peningkatan CO2 ruangan adalah penurunan kualitas udara dalam rumah.Kepadatan yang terlalu tinggi dalam sebuah ruangan juga memudahkan terjadinya penularan suatu penyakit melalui inhalasi individu, ataupun kekerapan terkena droplet dari siswa yang sedang sakit kepada siswa lainnya (Pramayu, 2012). Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,011. Selain itu adanya hubungan yang kuat antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA, dengan (r=0,510). Penelitian Pramayu (2012) di Kota Depok menunjukkan kepadatan hunian siswa dalam ruang kelas terbukti berpengaruh dalam menimbulkan gangguan ISPA. Siswa yang berada di ruang kelas dengan luas <2m2/siswa akan mengalami gangguan ISPA 2,73 kali lebih tinggi dibandingkan siswa yang berada di ruangan kelas dengan luas ≥2m2/siswa. Penelitian Ringgih (2012) menunjukkan hasil adanya hubungan kepadatan penghuni rumah dengan kejadian ISPA pada balita dengan nilai p sebesar 0,001. Penelitian Wattimena (2004) juga mendapatkan hasil bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
70
kepadatan hunian dengan terjadinya gangguan saluran pernafasan pada bailta. Balita yang tinggal di dalam rumah yang tidak memenuhi syarat batas hunian beresiko 4,3 kali lebih tinggi dibandingkan yang memenuhi syarat. Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa untuk ketetapan luas rumah, jumlah, dan ukuran ruangan harus disesuaikan dengan jumlah orang yang akan menempati rumah tersebut agar tidak terjadi kelebihan jumlah penghuni rumah. Luas lantai bangunan harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas bangunan yang tidak sebanding dengan penghuninya akan menyebabkan over crowded. Hal ini akan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan serta menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen sehingga berpotensi terhadap penularan penyakit infeksi. Jika penghuni terlalu padat, bila ada penghuni yang sakit maka dapat mempercepat penularan penyakit tersebut, seperti penyakit yang berhubungan dengan saluran pernapasan. Mairusnita (2007) menyatakan bahwa kepadatan hunian berpengaruh terhadap terjadinya cross infection. Ketika ada penderita ISPA yang berada dalam satu ruangan, maka pada saat batuk/bersin melalui udara akan mempercepat proses penularan terhadap orang lain.Padmonobo (2012) juga menyatakan bahwa kepadatan hunian tidak terlepas dari faktor penularan suatu penyakit antar individu. Gangguan pernafasan yang disebabkan oleh virus biasanya disebarkan dari satu individu ke individu lainnya dan dihantarkan melalui udara. Semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya penyakit
71
melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian ISPA.
F.
Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA Ventilasi adalah suatu lubang penghawaan yang fungsinya sebagai proses pemasukan udara bersih dan pengeluaran udara yang berkualitas kurang baik dari dalam ruangan. Ventilasi adalah proses penyediaan udara segar ke dalam dan pengeluaran udara kotor dari suatu ruangan tertutup secara alamiah ataupun mekanis.Ketersediaan dan ukuran ventilasi yang tidak sesuai dengan standar merupakan salah satu risiko untuk terjadi penyakit ISPA (Ranuh, 1997). Luas ventilasi penting untuk suatu rumah karena berfungsi sebagai sarana untuk menjamin kualitas dan sirkulasi masuk keluarnya udara dalam ruangan. Luas ventilasi juga berfungsi menjaga agar aliran udara di dalam ruangan tetap segar, bersih dan untuk membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen (Notoatmodjo, 2003). Ventilasi memungkinkan tersedianya udara segar dalam rumah atau ruangan.Sehingga apabila suatu ruangan tidak mempunyai sistem ventilasi yang baik dan over crowded akan menimbulkan keadaan yang dapat merugikan kesehatan. Ruangan yang ventilasinya kecil mengakibatkan pertukaran udara tidak dapat berlangsung dengan baik. Tidak tersedianya ventilasi atau ventilasi yang kurang sempurna menyebabkan kualitas udara rendah sehingga udara di dalam ruangan tidak dapat dikeluarkan dan tidak dapat digantikan dengan udara
72
yang berkualitas baik. Kondisi ini akan meningkatkan risiko terjadinya ISPA dan penyakit infeksi lain pada anak (Millatin, 2011). Millatin (2011) juga menyatakan bahwa ventilasi yang kurang baik mengakibatkan rumah menjadi lembab dan basah.Rumah yang lembab dan basahmenyebabkan matahari pagi sukar masuk dalam rumah.Hal ini juga mempermudah anak-anak untuk terserang ISPA. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara luas ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN di Kecamatan Ciputat bulan Juni tahun 2013, dengan p value sebesar 0,541. Selain itu adanya hubungan yang lemah antara luas ventilasi alami dengan kejadian ISPA (r=0,131). Penelitian Handajani (2004) di Palembang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara variabel luas ventilasi dengan kejadian gangguan pernafasan pada anak SD negeri. Penelitian Bahri (2008) di Jakarta Timur dan penelitian Pramayu (2012) di Kota Depok juga menunjukkan tidak ada hubungan yang signifikan antara ventilasi kelas dengan gangguan ISPA dan fungsi paru pada anak sekolah dasar. Penelitian Millatin (2011) menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara ventilasi dengankejadian ISPA pada balita di wilayah kerjaPuskesmas Pabelan Kabupaten Semarang. Tidak adanya hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA dalam penelitian ini disebabkan karena seluruh kelas memiliki luas ventilasi yang cukup memadai dan sesuai dengan peraturan yang ditetapkan yaitu 10% dari
73
luas lantai. Handajani (2004) dan Millatin (2011) menyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara luas ventilasi dengan gangguan ISPA karena semua responden berada di ruangan dengan ventilasi yang memadai dan sesuai dengan standar. Sehingga sebagian besar sampel homogen pada jenis ruang yang sama. Selain itu, luas ventilasi yang diukur dalam penelitian ini hanya meliputi jendela dan lubang angin. Sedangkan pintu kelas tidak diperhitungkan. Beberapa kelas menggunakan pintu sebagai aliran udara, seperti pada SDN 4 Ciputat. Oleh karena itu tidak diukurnya pintu menjadi salah satu penyebab tidak adanya hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada siswa SD negeri. Penyebab lain tidak adanya hubungan antara ventilasi dengan kejadian ISPA dalam penelitian ini adalah laju udara dari ventilasi tidak diperhitungkan. Sehingga tidak diketahui apakah laju udara tersebut memenuhi syarat atau tidak. Hellsing (2009) menyatakan bahwa terjadinya gangguan saluran pernafasan tidak hanya dipengaruhi oleh luas ventilasi tetapi juga dari laju udara yang mampu dilewati melalui ventilasi. Dengan meningkatkan rata-rata laju udara dari luar ruangan ke dalam ruangan dari 1,3 menjadi 11,5 liter/detik mampu menurunkan risiko gejala asma dan gangguan saluran pernafasan pada anak sekolah.
74
G.
Hubungan antara Ventilasi dengan Kejadian ISPA Ventilasi dalam penelitian ini terdiri dari ventilasi alami dan ventilasi buatan. Ventilasi alami meliputi jendela, lubang angin dan pintu. Ventilasi alami berfungsi untuk mengalirkan udara di dalam ruang yang terjadi secara alamiah dan untuk menggerakkan udara sebagai hasil dari sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai.Ventilasi buatan dilakukan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik, seperti kipas angin, exhauster dan pendingin ruangan (AC).
Ventilasi
buatan
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan
mikroorganisme(Notoatmodjo, 2007). Berdasarkan Kepmenkes Nomor 1077 Tahun 2011, ventilasi dikatakan baik dan memenuhi syarat jika aliran udara cross ventilation. Disamping itu, aliran udara tersebut tidak terhalang oleh barang-barang besar seperti dinding, lemari, sekat rumah. Udara yang masuk ke dalam ruangan harus bersih, tidak dicemari asap kendaraan bemotor, asap pembakaran sampah serta debu. Selain itu adanya kipas angin yang digunakan dalam ruangan penting untuk mengontrol udara dalam ruangan. Ventilasi yang kurang baik mengakibatkan rumah menjadi lembab dan basah.Rumah yang lembab dan basah karena banyak air yang terserap pada dinding tembok menyebabkan matahari pagi sukar masuk dalam rumah. Terhalangnya proses pertukaran aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah mengakibatkan kuman yang ada di dalam rumah tidak dapat
75
keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. Hal ini juga mempermudah anak-anak untuk terserang ISPA (Millatin, 2011). Hasil uji statistik menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN, dengan pvalue 0,124. Hasil uji statistik juga menunjukkan tidak ada hubungan antara ventilasi buatan dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN, dengan pvalue 0,602. Hasil peneitian ini berbeda dengan penelitian
Millatin (2011) yang
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang bermakna antara ventilasi dengan kejadian ISPA pada balita. Balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi standar beresiko 1,853 kali terkena ISPA dibandingkan dengan balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang memenuhi standar. Hasil penelitiannya juga menunjukkan bahwa balita yang terkena ISPA lebih banyak tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi standar. Sedangkan balita yang tidak ISPA lebih banyak tinggal di rumah dengan ventilasi yang memenuhi standar. Ventilasi berfungsi sebagai sirkulasi udara.Jika ventilasi tidak memenuhi standar, maka akan menyebabkan kurangnya O2 di dalam rumah yang berarti kadar CO2 yang bersifat racun akan meningkat. Ventilasi yang tidak memenuhi standar juga akan menyebabkan kelembaban udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Hal ini merupakan media yang baik bagi bakteri-bakteri penyebab penyakit infeksi untuk berkembang. Kualitas udara dalam ruangan yang buruk dan banyak
76
mengandung mikroorganisme penyebab penyakit jika masuk dalam tubuh akan menyebabkan seseorang mudah terserang penyakit (Ranuh, 1997). Tidak adanya hubungan pada penelitian ini karena hasil penelitian menunjukan tidak adanya perbedaan persentase kejadian ISPA pada siswa yang belajar di kelas dengan ventilasi yang baik dan siswa yangbelajar di kelas dengan ventilasi yang tidakbaik.Selain itu dapat disebabkan kualitas udara yang sama baik di ruangan dengan ventilasi baik maupun ventilasi tidak baik. Jika dilihat berdasarkan luas ventilasi, semua ruang kelas memiliki luas ventilasi yang cukup. Sehingga dapat diasumsikan aliran udara dalam kelas baik dengan ventilasi yang cukup. Walaupun jendela yang dibuka saat kegiatan belajar berlangsung sedikit. Ventilasi yang baik akan menyebabkan sirkulasi yang baik. Sirkulasi udara yang baik akan mengurangi kadar partikulat, dan sebaliknya apabila ventilasi tidak memenuhi syarat maka akan meningkatkan kadar partikulat di dalam ruangan. Selain itu, ventilasi yang baik dapat membebaskan udara ruangan dari bakteri-bakteri terutama patogen karena dengan adanya ventilasi maka akan selalu terjadi pertukaran aliran udara yang terus menerus (Notoatmodjo, 2007). Hasil penelitian juga menunjukkan tidak ada perbedaan kejadian ISPA pada siswa yang berada di ruang yang memiliki kipas angin maupun yang tidak memiliki kipas angin. Selain itu juga tidak ada perbedaan kejadian ISPA pada siswa yang berada di kelas yang memiliki kipas dan digunakan dengan siswa
77
yang berada di kelas yang memiliki kipas tetapi tidak digunakan. Sehingga pada uji statistik tidak menunjukkan adanya hubungan antara ventilasi (alami maupun buatan) dengan kejadian ISPA. Luas ventilasi yang cukup sehingga sirkulasi udara baik juga menyebabkan tidak adanya hubungan.
H.
Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA Lantai yang tidak memenuhi syarat dapat menjadi perantara atau media penularan penyakit seperti penyakit saluran pernafasan. Lantai yang tidak memenuhi standar adalah media yang baik untuk perkembangbiakan bakteri atau virus penyebab ISPA.Lantai yang baik adalah lantai yang dalam keadaan kering dan tidak lembab. Lantai harus padat atau stabil sehingga mudah dibersihkan dan dapat cepat kering bila terkena air. Lantai perlu diplester dan akan lebih baik jika dilapisi ubin atau keramik yang mudah dibersihkan (Ditjen PPM dan PL, 2002). Hasil analisis menunjukkan tidak ada hubungan antara lantai kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN, dengan pvalue 0,924. Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian Pangestika (2010) yang menyatakan bahwa ada hubungan antara lantai dengan kejadian ISPA pada balita. Frekuensi yang menderita ISPA lebih banyak pada balita dengan kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat. Tidak ada hubungan antara lantai kelas dengan kejadian ISPA dalam penelitian ini karena tidak ada perbedaan jumlah siswa yang mengalami
78
kejadian ISPA pada lantai yang memenuhi syarat maupun pada lantai yang tidak memenuhi syarat. Selain itu, semua lantai ruang kelas terbuat dari keramik yang mudah dibersihkan. Sehingga walaupun lantai berdebu dapat dengan mudah disingkirkan karena lantai terbuat dari keramik. Semua lantai kelas juga kedap air sehingga kelas tidak lembab dan lantai dalam keadaan kering. Penelitian Handajani (2004) juga menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara lantai kelas dengan gangguan pernafasan. Dalam penelitiannya, Handajani mengelompokkan lantai menjadi lantai yang kedap air dan lantai yang tidak kedap air. Semua lantai kelas adalah lantai yang kedap air, sehingga semua lantai memenuhi syarat. Oleh karena itu hasil uji statistik menunjukkan hubungan yang tida bermakna antara jenis lantai dengan gangguan pernafasan. Lantai yang tidak kedap air dapat mempengaruhi kelembaban di dalam rumah
dan
kelembaban
dapat
mempengaruhi
berkembangbiaknya
mikroorganisme penyebab penyakit.Lantai yang basah dan berdebu merupakan sarang penyakit gangguan pernapasan (Notoatmodjo, 2007). Hubungan yang bersifat langsung dapat terjadi karena lantai yang terbuat dari tanah. Rumah dengan lantai tanah akan menyebabkan kondisi dalam rumah menjadi berdebu. Keadaan berdebu ini sebagai salah satu bentuk terjadinya polusi udara dalam ruang (indoor air pollution). Debu dalam udara apabila terhirup akan menempel pada saluran napas (Padmonobo, 2012).
79
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
A.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh beberapa simpulan sebagai berikut : 1.
IR kejadian ISPA tertinggi di SDN 2Ciputat yaitu sebesar 85,11% dan terendah terdapat di SDN 5 Ciputat yaitu sebesar 25%.
2.
Gambaran lingkungan fisik sekolah dalam ruang kelas, yaitu: a. suhu (rata-rata:30,580C, minimum-maksimum: 260C-340C) b. kelembaban (rata-rata:61,50%, minimum-maksimum: 57%-64%) c. kepadatan hunian (rata-rata:1,181 m2/siswa, maksimum: 2,01 m2/siswa) d. luas ventilasi (rata-rata:9,963 m2, minimum: 4,34m2)
3.
Tiga variabel memiliki hubungan dengan kejadian ISPA. a. Ada hubungan antara suhu dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN (p value=0,001) dan derajat asosiasi yang kuat dan berpola positif, artinya peningkatan suhu disertai dengan peningkatan insidensi kejadian ISPA (r=0,653)
b. Ada hubungan antara kelembaban dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN (p value=0,016) dan derajat asosiasi yang sedang dan
80
berpola positif, artinya peningkatan kelembaban disertai dengan peningkatan insidensi kejadian ISPA (r=0,487) c. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN (pvalue=0,011) dan derajat asosiasi yang kuatdan berpola negatif, artinya peningkatan nilai kepadatan huniandisertai dengan penurunan insidensi kejadian ISPA (r=0,510) 4.
Empat variabel tidak memiliki hubungan dengan angka kejadian ISPA. e. Tidak ada hubungan antara luas ventilasi dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN (p value=0,541). f. Tidak ada hubungan antara ventilasi alami dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN (p value=0,124). g. Tidak hubungan antaraventilasi buatan dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN (p value=0,602). h. Tidak hubungan antara lantai kelas dengan kejadian ISPA pada siswa kelas 5 SDN (p value=0,924).
B.
Saran 1.
Pihak Sekolah
81
a.
Setiap sekolah rutin melakukan kegiatan bersih-bersih misalnya dengan diadakan piket setelah pulang sekolah. Selain itu melakukan pemeliharaan fasilitas kelas secara periodik sebulan sekali.
b.
Jika memungkinkan, disarankan untuk bisa mengurangi kapasitas siswa dalam kelas sehingga kepadatannya berkurang. Pengurangan kapasitas bisa dilakukan dengan pemberlakuan kelas pagi dan sore.
2.
Dinas Pendidikan dan Dinas Kesehatan a.
Menyelenggarakan pertandingan kebersihan antar sekolah sebagai motivasi tiap sekolah dalam membersihkan lingkungan sekolahnya. Kegiatan dapat dilakukan secara periodik beberapa bulan sekali.
b.
Koordinasi antara dinas pendidikan dan dinas kesehatan untuk memperhatikan kesehatan siswa khususnya yang berhubungan dengan kebersihan dan fasilitas sekolah.
3.
Puskesmas a. Adanya koordinasi antara puskesmas dan sekolah untuk menghidupkan kembali UKS sekolah sehingga dapat terlihat riwayatpenyakit infeksi pada siswa. Selain itu UKS befungsi untuk memperhatikan dan menjaga kesehatan siswa.
4.
Penelitian Selanjutnya
82
a.
Penelitian yang juga melihat PM10 ambien di semua kelas sehingga dapat terlihat besarnya pencemaran udara dalam kelas di tiap sekolah dan adanya studi lanjutan dengan fokus studi individu yang mengukur pajanan pencemaran debu PM10personal/indivdu.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, U.F. 2011. Dasar-Dasar Penyakit Berbasis Lingkungan. Jakarta: Rajawali Press. AIRNOW.
2010.
Particle
Pollution
(PM10)
(PM2.5)http://airnow.gov/index.cfm?action=aqibasics.particle.Unduhpada
and 28
Desember 2012. Alsagaff, H. and Mukty, H.A. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Cetakan keempat. Surabaya: Erlangga University Press. Amalia, M. 2010. Perkiraan Dampak Konsentrasi PM10 pada Kesehatan Masyarakat di Jabodetabek. Majalah Perencanaan Pembangunan. Balitbangkes Depkes RI. 2008. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Jakarta: Balitbangkes Depkes RI. Bernard, S.M., et.al. 2001.The Potential Impacts Of Climate Variability And Change On Air Pollution-Related Health Effects In The United States, Environmental Health Perspectives, vol.109, no.2, pp.199-209. Buletin Surveilans ISPA Berat di Indonesia (SIBI). 2013. Jakarta: RS sentinel SIBI. Breysse, P.N.,et.al. 2010. Indoor Air Pollution and Asthma in Children. Proceedings of American Thoracic Society, vol.7, pp 102-106. Chandra, B. 2006. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta: EGC. Cissy, B.K. 2010. Pneumonia Pembunuh pada Balita. Buletin Jendela Epidemiologi, Vol.3.
Depkes RI. 2002. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut. Dirjen PPM & PLP . 2002.Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Ditjen PPM & PPLhttp://
[email protected] . 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta: Depkes RI. . 2009.Pedoman Pengendalian Penyakit Infeksi Saluran Penafasan Akut. Ditjen P2P. Dinas Kesehatan Kota Tangerang Selatan. Kejadian ISPA di Kota Tangerang Selatan tahun 2012. Djafri, D. 2007. Survival Analysis Gangguan Pernafasan dengan Tingkat Pajanan Pencemaan Udara di DKI Jakarta (Studi Cohort Pada Murid Sekolah Dasar). Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol.2. EPA. 2004. Air Quality Criteria for Particulate Matter. Center for Environmental Research
Information
of
Office
Research
and
Development.
http://ofmpub.epa.gov. Unduh pada 13 Februari 2013. Ferdiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius. Fierro,
M.
2000.
Particulate
Matter.
Particulate
Matter
Singspace
Handouts.
http://www.airinfonow.org/pdf. Unduh pada 28 Desember 2012.
Gamble, J.F. and Lewis, R.J. 1996. Health And Respirable Particulate (PM10) Air Pollution: A Causal Or Statistical Association?, Environmental Health Perspectives, vol.104, no.8, pp.838-850. Gardinassi, L.G, et.al. 2012. Seasonality of viral respiratory infections in Southeast of Brazil: the influence of temperature and air humidity. Brazilian Journal of Microbiology, vol.43, no.1, pp. 98-108.
Hall, J.V., et.al. 1992.Valuing The Health Benefits Of Clean Air, Science, New Series, vol.255, no.5046, pp.812-17. Hamidi, P. 2002. Pajanan Debu dengan Kejadian Gangguan Pernafasan Studi Terhadap Bayi dan Balita Pada Pemukiman di Jalan Transportasi Batubara, Kecamatan Mataram, Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. [Tesis]. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia.
Handajani, R. 2004. Analisis Konsentrasi PM2,5 dan Gangguan Pernafasan Pada Anak Sekolah Dasar Negeri di Kota Palembang Tahun 2004. [Tesis]. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Holopainen, R. et. al. 2010. Mitigating The Adverse Impact of Particulates on Indoor Air . Helsinki. Kementerian Kesehatan RI. 2001. Pedoman Pemberantasan Penyakit Infeksi Sluran Pernafasan Akut. Jakarta. , Direktorat Jendral P2M dan PL. 2007. Pedoman Teknis Penilaian Rumah Sehat. Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan RI, No.829 Tahun 1999 TentangPersyaratan Kesehatan Perumahan. , No.1405 Tahun 2002 Mengenai Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. , No.1077 Tahun 2011 Mengenai Pedoman Penyehatan Udara dalam Ruang Rumah. , No.1995 Tahun 2010 Mengenai Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak.
Kleinman, M.T. 2000. The Health Effects of Air Pollution on Children. University of California.http://www.aqmd.gov/forstudents/health_effects_on_children. Unduh pada tanggal 12 Januari 2013. Kunzli, N., et.al.2000. Public-health impact of outdoor and traffic-related air pollution: a European assessment, The Lancet, vol.356, no.9232, pp.795-801. Lameshow. 1997. Besar Sampel Dalam Penelitian Kesehatan. Hari kusnanto (Ed), Dibyo Pramono (penerjemah). Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Lee, SC & Chang M. 1999. Indoor Air Quality Investigations at Five Classroom. Indoor Air Journal,vol. 9, pp.134-138. Lindawaty. 2010. Partikulat (PM10) Udara Rumah Tinggal yang Mempengaruhi Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita. [Tesis]. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Lubis, A., dkk. 2000. Hubungan Kondisi Perumahan Dengan Penularan Penyakit ISPA dan TB Paru. Artikel Media Litbang Kesehatan, vol.10, no. 2, pp: 27-31. Mairusnita. 2007. Karakteristik Penderita ISPA yang Berobat ke Badan Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit Umum Daerah (BPKRSUD). Universitas Sumatera Utara. Martono,H., et.al. 2003. Kandungan TSP dan PM10 di Udara Jakarta dan Sekitarnya. Jurnal Ekologi Kesehatan, vol.2,no.3, pp. 255-262. Millatin, K, dkk. 2011. Hubungan Antara Ventilasi dengan Kejadian ISPA pada Balita di WilayahKerja Puskesmas Pabelan Kabupaten Semarang. Jurnal Gizi dan Kesehatan, vol.3, no.1, pp. 16-28.
Moerdjoko. 2004. Kaitan Sistem Ventilasi Bangunan Dengan Keberadaan Mikroorganisme Udara. Dimensi Teknik Arsitektur, vol. 32, no. 1, pp.89-94. http://puslit.petra.ac.id/~puslit/journals/ Morton, Richard F. 2009. Panduan Studi Epidemiologi & StatistikaI. Jakarta: EGC. Mukono, H. 2003. Pencemaran Udara dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Kesehatan. Surabaya: Airlangga University Press. Munziah. 2002. Hubungan Konsentrasi Partikulat Melayang (PM10) Rumah dengan Gangguan Saluran Pernafasan Studi Pada Bayi dan Balita di Kecamatan Indramayu Kabupaten Ogan Komering Ilir Sumatera Selatan Tahun 2002. [Tesis]. Program Pasca Sarjana, Universitas Indonesia. Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar: Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika. Naria, E., dkk. 2008. Hubungan Kondisi Rumah Dengan Keluhan Ispa PadaBalita Di Wilayah Kerja Puskesmas TuntunganKecamatan Medan Tuntungan Tahun 2008. Departemen
Kesehatan
Lingkungan,
Fakultas
Kesehatan
Masyarakat,
Universitas Sumatera Utara. Notoatmodjo, S. 2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Rineka Cipta. Notoatmodjo, S. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Padmonobo, H., dkk. Hubungan Faktor-Faktor Lingkungan Fisik Rumah Dengan Kejadian Pneumonia Pada Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Jatibarang Kabupaten Brebes. Jurnl Kesehatan Lingkungan Indonesia, vol.11, no.2, pp. 194-198.
Pangestika, Y.R & Pawenang, E.T. 2010. Hubungan Kondisi Lingkungan Terhadap Kejadian Ispa Pada Balita Keluarga Pembuat Gula Aren. Jurnal Kesehatan Masyarakat, vol.5, no.2, pp.80-88. Pope III, C., et.al.1996.Particulate air pollution as a predictor of mortality in the perspective study of us adults, American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine, vol.151, pp.669-74. Pramayu, A.P. 2012.Hubungan Konsentrasi PM10 Dalam Ruang Kelas dengan Gangguan ISPA Siswa SD Kecamatan Cipayung Kota Depok Tahun 2012. [Tesis]. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Pudjiastuti, L, dkk. 1998. Kualitas Udara Dalam Ruang. Ditjen Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta. Purwana, R. 1999. Partikulat Rumah Sebagai Faktor Resiko Gangguan Pernafasan Anak Balita (Penelitian di Kelurahan Pekojan, Jakarta). [Disertasi]. Program Doktoral Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Rahajoe, N.N., dkk. 2008. Buku Ajar Respirologi Anak. Jakarta: IDAI. Ranuh, I.G.N. 1997. Masalah ISPA dan Kelangsungan Hidup Anak.Surabaya, Continunig Education. Ilmu Kesehatan Anak Rasmaliah. 2004. Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) DAN Penanggulangannya. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatra Utara. Sabri, L & Hastono, S.P. 2006. Satistik Kesehatan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Sastrawijaya, A. Tresna. 2009. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Rineka Cipta. Soemirat, J. 2000. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada Press. Stansfield S., Shepard, D. 2000. Acute respiratory infection. In: Jameson D, Mosley W, Measham A, Bobadilla J, eds. Disease control priorities in developing countries. Oxford: Oxford University Press, 1993: 67–90. Suhandayani, I. 2009. Faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian ISPA pada balita di puskesmas pati I kabupaten pati tahun 2009. [Skripsi].Fakultas Ilmu Keolahragaan jurusanIlmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Airlangga. Suprajitno. 2004. Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi dan Praktik. Jakarta: EGC Supriasa, et.al. 2002. Penilaian Status Gizi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Sutrisna, B. 1999. Polusi Udara Indoor (IAP) Sebagai Faktor Resiko ISPA, Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, no.6. Tangsel Raya. 2011. Polusi Debu Udara Tangsel Dapat
Rapor Merah.
http://www.tangselraya.com/hot-news/47-home.html. Unduh pada 28 Desember 2012. Tugaswati, T.A., dkk. 1996. Pemantauan Kualitas Udara di Daerah Rawasari dan Pulo Gadung. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. vol. 24,no.1, pp.2-5. US. Environmental Protection Agency. 2002. Continous Measerement of PM10 Suspenden Particulate Matter in Ambient Air: An Overview. Center for Environmental Research Information Office of Research and Development. http://ofmpub.epa.gov. Unduh pada 13 Februari 2013.
Wardhana, W.A. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada Press. Wattimena, C.S. 2004. Faktor Lingkungan Rumah yang Mempengaruhi Hubungan Kadar PM10 dengan Kejadian ISPA Pada Balita di Wilayah Puskesmas Curug Kabupaten Tangerang Tahun 2004. [Tesis]. Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia. Widoyono. 2008. Penyakit Tropis: Epidemiologi, Penularan, Pencegahan & Pemberantasannya. Jakarta: Penerbit Erlangga. Widianingtias, R., dkk. 2004. Survei Cepat Gambaran Kondisi Fisik Rumah Kaitanya denganKejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) Pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kebumen 2 Kabupaten Kebumen. 3 (2): 33-37. WHO. 1997. Health Impacts of Low Indoor Temperatur. Copenhagen, Netherland. . 1999. Guidelines for Air Quality. Geneva, Switzrland. . 2002. Health Impact Assessment of Air Pollution in The Eight Major Italian Cities. WHO EUROPEAN Centre for Environment and Health, Rome Operational Division, WHO Regional Office for Europe. .
2006.
Pneumonia
The
Forgotten
Killer
of
Cildren.
http://whqlibdoc.who.int/publications/2006. Unduh pada 13 Februari 2013. . 2007. Infection prevention and control of epidemic-and pandemic-prone acute respiratory diseases in health care. WHO Interim Guidelines, June 2007. Jenewa. Yusnabeti, dkk. 2010. PM10 dan Infeksi Saluran Pernafasan Akut pada Pekerja Industri Mebel. Makara Kesehatan, nol. 14, no.1, pp.25-30.
Yusup, N.A & Sulistyorini, L. 2005. Hubungan Sanitasi Rumah Secara Fisik dengan Kejadian ISPA Pada Balita. Jurnal Kesehatan Lingkungan, vol.1, no.2, pp:110119. Zaini, J. 2008. Dampak Polusi Udara Terhadap Kesehatan. Majalah Inovasi,vol.10.
Lampiran 1 Surat Izin Penelitian
Lampiran 2 Kuesioner
Nomor Responden
:
Tanggal Wawancara : Pewawancara A.
:
Data Umum Nama
:
Nama Sekolah : Jenis Kelamin B.
:
Gejala ISPA Beri tanda checklist (ü) pada kolom Ya/Tidak No
Pertanyaan
1.
Apakah kamu mengalami batuk pada 2 minggu terakhir?
2.
Apakah kamu mengalami pilek dalam 2 minggu terakhir?
3.
Apakah kamu mengalami sesak nafas pada 2 minggu terakhir? Apakah kamu mengalami panas/demam pada 2 minggu terakhir?
4.
Ya
Tidak
Lampiran 3 Lembar Observasi
1. Apakah jendela/lubang angin terhalang? a. lemari b. poster c. papan tulis 2. Apakah terdapat kipas angin dalam ruang kelas? a. tidak ada b. ada 3. Apakah kipas angin digunakan saat belajar? a. digunakan b. tidak digunakan 4. Jenis lantai kelas a. tanah b. semen c. keramik 5. Bagaimana kondisi lantai kelas? a. kotor b. bersih
Lampiran 4 Hasil Uji Statistik
1.
Analisis Univariat a.
Gambaran Kejadian ISPA Descriptive Statistics N
b.
Minimum
ispa
24
Valid N (listwise)
24
Maximum
25.00
Mean
85.11
Std. Deviation
60.1442
17.26703
Gambaran Suhu Kelas Descriptive Statistics N
Minimum
Suhu
24
Valid N (listwise)
24
Maximum
26
Mean
34
30.58
Std. Deviation 2.244
c. Gambaran Kelembaban Kelas Descriptive Statistics N
Minimum
kelembaban
24
Valid N (listwise)
24
Maximum
57
65
Mean 61.50
Std. Deviation 2.187
d. Gambaran Kepadatan Hunian Dalam Kelas Descriptive Statistics N
Minimum
kep_sis
24
Valid N (listwise)
24
.95
Maximum 2.00
Mean 1.1813
Std. Deviation .22011
e. Gambaran Luas Ventilasi Alami Kelas Descriptive Statistics N
Minimum
luas_ventilasi
24
Valid N (listwise)
24
4.34
Maximum
Mean
13.74
Std. Deviation
9.9638
2.68061
f. Ventilasi Alami Statistics ventilasi_alami N
Valid
24
Missing
0
Mean
.46
Median
.00
Std. Deviation
.509
Minimum
0
Maximum
1 Ventilasi_alami
Frequency Percent Valid tidak baik
Valid Percent
Cumulative Percent
13
54.2
54.2
54.2
baik
11
45.8
45.8
100.0
Total
24
100.0
100.0
g. Ventilasi Buatan Statistics ventilasi_buatan N
Valid
24
Missing
0
Mean
.33
Median
.00
Std. Deviation
.482
Minimum
0
Maximum
1 ventilasi_buatan Frequency Percent
Valid tidak baik
Cumulative Percent
16
66.7
66.7
66.7
baik
8
33.3
33.3
100.0
Total
24
100.0
100.0
h. Lantai Kelas Statistics keadaan_lantai N
Valid Percent
Valid Missing
24 0
Mean
.29
Median
.00
Std. Deviation
.464
Minimum
0
Maximum
1
keadaan_lantai Frequency Percent Valid tidak baik
2.
Valid Percent
Cumulative Percent
17
70.8
70.8
70.8
baik
7
29.2
29.2
100.0
Total
24
100.0
100.0
Analisis Bivariat a. Uji Normalitas Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova Statistic
df
Shapiro-Wilk
Sig.
Statistic
df
Sig.
ispa
.146
24
.199
.911
24
.038
suhu
.147
24
.191
.946
24
.217
kelembaban
.132
24
.200*
.961
24
.451
kepadatan_hunian
.134
24
.200*
.065
24
.000
24
*
.954
24
.324
luas_ventilasi
.118
.200
a. Lilliefors Significance Correction *. This is a lower bound of the true significance.
b. Hubungan Suhu dengan Kejadian ISPA Correlations ispa Spearman's rho
ispa
Correlation Coefficient
1.000
.653**
.
.001
24
24
.653**
1.000
.001
.
24
24
Sig. (2-tailed) N suhu
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed)
suhu
N **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). c. Hubungan Kelembaban dengan Kejadian ISPA Correlations ispa Spearman's rho
Ispa
Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N
Kelembaban Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N *. Correlation
is significant at the 0.05 level (2-tailed).
Kelembaban
1.000
.487*
.
.016
24
24
.487*
1.000
.016
.
24
24
d. Hubungan Kepadatan Hunian dengan Kejadian ISPA Correlations kepadatan_ hunian
ispa Spearman's rho ispa
Correlation Coefficient
1.000
-.510*
.
.011
24
24
-.510*
1.000
.011
.
24
24
Sig. (2-tailed) N kepadatan_hunian Correlation Coefficient Sig. (2-tailed) N *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
e. Hubungan Luas Ventilasi Alami dengan Kejadian ISPA Correlations ispa Spearman's rho ispa
Correlation Coefficient
1.000
.131
.
.541
24
24
Correlation Coefficient
.131
1.000
Sig. (2-tailed)
.541
.
24
24
Sig. (2-tailed) N luas_ventilasi
luas_ventilasi
N
f. Hubungan Ventilasi Alami Kelas dengan Kejadian ISPA Ranks ventilasi_alami ispa
N
Mean Rank
Sum of Ranks
tidak baik
13
14.54
189.00
Baik
11
10.09
111.00
Total
24 Test Statisticsa ispa
Mann-Whitney U
45.000
Wilcoxon W
111.000
Z
-1.538
Asymp. Sig. (2-tailed)
.124
a. Grouping Variable: ventilasi_alami
g. Hubungan Ventilasi Buatan Kelas dengan Kejadian ISPA Ranks ventilasi_buatan ispa
tidak baik
N
Mean Rank
Sum of Ranks
16
13.03
208.50
Baik
8
11.44
91.50
Total
24
Test Statisticsa ispa Mann-Whitney U
55.500
Wilcoxon W
91.500
Z
-.522
Asymp. Sig. (2-tailed)
.602
a. Grouping Variable: ventilasi_buatan h. Hubungan Lantai Kelas dengan Kejadian ISPA Ranks keadaan_lantai ispa
N
tidak baik
Mean Rank
Sum of Ranks
17
12.59
214.00
Baik
7
12.29
86.00
Total
24 Test Statisticsa ispa
Mann-Whitney U
58.000
Wilcoxon W
86.000
Z Asymp. Sig. (2-tailed) a. Grouping Variable: keadaan_lantai
-.095 .924
Descriptives ventilasi_alami IR_ispa
tidak baik
Statistic
Mean
65.31
95% Confidence Interval for Lower Bound
55.79
Mean
Upper Bound
66.23
Median
66.00 247.897
Std. Deviation
15.745
Minimum
29
Maximum
85
Range
56
Interquartile Range
24
Skewness
-.955
.616
.763
1.191
Mean
52.00
6.225
95% Confidence Interval for Lower Bound
38.13
Kurtosis baik
4.367
74.82
5% Trimmed Mean
Variance
Std. Error
Mean
Upper Bound
65.87
5% Trimmed Mean
51.61
Median
55.00
Variance Std. Deviation
426.200 20.645
Minimum
26
Maximum
85
Range
59
Interquartile Range
41
Skewness Kurtosis
.057
.661
-1.470
1.279
Descriptives ventilasi_buatan IR_ispa
tidak baik
Statistic
Mean
61.31
95% Confidence Interval for Lower Bound
52.62
Mean
Upper Bound
62.12
Median
63.50 265.829
Std. Deviation
baik
4.076
70.00
5% Trimmed Mean
Variance
Std. Error
16.304
Minimum
29
Maximum
79
Range
50
Interquartile Range
25
Skewness
-.810
.564
Kurtosis
-.208
1.091
Mean
55.00
8.548
95% Confidence Interval for Lower Bound
34.79
Mean
Upper Bound
75.21
5% Trimmed Mean
54.94
Median
59.50
Variance Std. Deviation
584.571 24.178
Minimum
26
Maximum
85
Range
59
Interquartile Range
50
Skewness Kurtosis
.005
.752
-1.761
1.481
Descriptives keadaan_lantai IR_ispa
tidak baik
Statistic
Mean
60.06
95% Confidence Interval for Lower Bound
50.52
Mean
Upper Bound
60.57
Median
61.00 344.184
Std. Deviation
baik
4.500
69.60
5% Trimmed Mean
Variance
Std. Error
18.552
Minimum
26
Maximum
85
Range
59
Interquartile Range
24
Skewness
-.569
.550
Kurtosis
-.478
1.063
Mean
57.14
8.081
95% Confidence Interval for Lower Bound
37.37
Mean
Upper Bound
76.92
5% Trimmed Mean
57.44
Median
65.00
Variance Std. Deviation
457.143 21.381
Minimum
30
Maximum
79
Range
49
Interquartile Range
48
Skewness Kurtosis
-.439
.794
-1.929
1.587
Lampiran 5 Besar Suhu Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
1.
SDN 2 Ciputat
Suhu (0C) 34
2.
SDN 3 Ciputat
30
14.
SDN 3 Serua Indah
31
3.
SDN 4 Ciputat
31
15.
SDN 1 Sawah
30
4.
SDN 5 Ciputat
26
16.
SDN 3 Sawah
34
5.
SDN 7 Ciputat
28
17.
SDN 4 Sawah
31
6.
SDN 8 Ciputat
30
18.
SDN 1 Sawah Baru
28
7.
SDN 9 Ciputat
32
19.
SDN 2 Sawah Baru
30
8.
SDN 3 Cipayung
34
20.
SDN 3 Jombang
31
9.
SDN 4 Cipayung
28
21.
SDN 4 Jombang
31
10
SDN 1 Serua
29
22.
SDN 5 Jombang
32
11.
SDN 3 Serua
33
23.
SDN 6 Jombang
27
12.
SDN 5 Serua
34
24.
SDN 11 Jombang
30
No
Sekolah
13.
SDN 2 Serua Indah
Suhu (0C) 30
No
Sekolah
Lampiran 6 Besar Kelembaban Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
No
Sekolah
Kelembaban (%)
No
Sekolah
Kelembaban (%)
1.
SDN 2 Ciputat
65
13.
SDN 2 Serua Indah
60
2.
SDN 3 Ciputat
63
14.
SDN 3 Serua Indah
61
3.
SDN 4 Ciputat
63
15.
SDN 1 Sawah
61
4.
SDN 5 Ciputat
57
16.
SDN 3 Sawah
63
5.
SDN 7 Ciputat
58
17.
SDN 4 Sawah
62
6.
SDN 8 Ciputat
60
18.
SDN 1 Sawah Baru
61
7.
SDN 9 Ciputat
62
19.
SDN 2 Sawah Baru
64
8.
SDN 3 Cipayung
63
20.
SDN 3 Jombang
65
9.
SDN 4 Cipayung
58
21.
SDN 4 Jombang
60
10.
SDN 1 Serua
59
22.
SDN 5 Jombang
63
11.
SDN 3 Serua
62
23.
SDN 6 Jombang
62
12.
SDN 5 Serua
60
24.
SDN 11 Jombang
64
Lampiran 7 Besar Kepadatan Hunian Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
1.
SDN 2 Ciputat
Kepadatan Hunian (m2/siswa) 1,15
2.
SDN 3 Ciputat
1,04
14.
SDN 3 Serua Indah
1,41
3.
SDN 4 Ciputat
0,98
15.
SDN 1 Sawah
1,32
4.
SDN 5 Ciputat
2,01
16.
SDN 3 Sawah
1,13
5.
SDN 7 Ciputat
1,36
17.
SDN 4 Sawah
0,97
6.
SDN 8 Ciputat
1,36
18.
SDN 1 Sawah Baru
1,14
7.
SDN 9 Ciputat
0,97
19.
SDN 2 Sawah Baru
1,21
8.
SDN 3 Cipayung
1,10
20.
SDN 3 Jombang
1,14
9.
SDN 4 Cipayung
1,25
21.
SDN 4 Jombang
1,01
10.
SDN 1 Serua
0,95
22.
SDN 5 Jombang
1,20
11.
SDN 3 Serua
1,08
23.
SDN 6 Jombang
1,31
12.
SDN 5 Serua
1,04
24.
SDN 11 Jombang
1,14
No
Nama Sekolah
13.
SDN 2 Serua Indah
Kepadatan Hunian (m2/siswa) 1,11
No
Nama Sekolah
Lampiran 8 Besar Luas Ventilasi Alami Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
1.
SDN 2 Ciputat
Luas Ventilasi Alami (m2) 11,06
2.
SDN 3 Ciputat
9,53
14.
SDN 3 Serua Indah
13,74
3.
SDN 4 Ciputat
8,67
15.
SDN 1 Sawah
6,65
4.
SDN 5 Ciputat
13,74
16.
SDN 3 Sawah
12,43
5.
SDN 7 Ciputat
7,97
17.
SDN 4 Sawah
5,72
6.
SDN 8 Ciputat
9,37
18.
SDN 1 Sawah Baru
4,34
7.
SDN 9 Ciputat
13,50
19.
SDN 2 Sawah Baru
10,08
8.
SDN 3 Cipayung
10,05
20.
SDN 3 Jombang
12,88
9.
SDN 4 Cipayung
7,20
21.
SDN 4 Jombang
5,98
10.
SDN 1 Serua
10,05
22.
SDN 5 Jombang
12,53
11.
SDN 3 Serua
9,35
23.
SDN 6 Jombang
11,04
12.
SDN 5 Serua
10,44
24.
SDN 11 Jombang
13,08
No
Nama Sekolah
13.
SDN 2 Serua Indah
Luas Ventilasi Alami (m2) 9,73
No
Nama Sekolah
Lampiran 9 Ventilasi Alami Kelas SDN di Kecamatan Ciputat Bulan Juni Tahun 2013
No
Nama Sekolah
Aliran Udara
1.
SDN 2 Ciputat
2.
SDN 3 Ciputat
Terhalang lemari dan beberapa poster di lubang angin Tidak terhalang
3.
SDN 4 Ciputat
4.
Jendela yang dibuka 3 dari 7
Kesimpulan Tidak baik
4 dari 8
Baik
Tidak terhalang
0 dari 6
Tidak baik
SDN 5 Ciputat
Tidak terhalang
4 dari 8
Baik
5.
SDN 7 Ciputat
Tidak terhalang
6 dari 6
Baik
6.
SDN 8 Ciputat
Tidak terhalang
8 dari 8
Baik
7.
SDN 9 Ciputat
0 dari 7
Tidak baik
8.
SDN 3 Cipayung
Terhalang lemari kelas dan papan tulis kecil Tidak terhalang
4 dari 7
Baik
9.
SDN 4 Cipayung
Tidak terhalang
3 dari 8
Tidak baik
10.
SDN 1 Serua
Tidak terhalang
6 dari 8
Baik
11.
SDN 3 Serua
Terhalang lemari
3 dari 8
Tidak baik
12.
SDN 5 Serua
Tidak terhalang
4 dari 7
Baik
13.
SDN 2 Serua Indah
Terhalang papan dan poster
2 dari 7
Tidak baik
14.
SDN 3 Serua Indah
Terhalang lemari dan poster
3 dari 7
Tidak baik
15.
SDN 1 Sawah
Tidak terhalang
3 dari 8
Tidak baik
16.
SDN 3 Sawah
Tidak terhalang
4 dari 7
Baik
17.
SDN 4 Sawah
Tidak terhalang
4 dari 8
Baik
18.
SDN 1 Sawah Baru
Tidak terhalang
2 dari 3
Tidak baik
19.
SDN 2 Sawah Baru
Tidak terhalang
2 dari 6
Tidak baik
20.
SDN 3 Jombang
4 dari 8
Tidak baik
21.
SDN 4 Jombang
Terhalang lemari dan poster di lubang angin Tidak terhalang
0 dari 8
Tidak baik
22.
SDN 5 Jombang
3 dari 7
Tidak baik
23.
SDN 6 Jombang
Terhalang poster dan papan tulis kecil Tidak terhalang
4 dari 7
Baik
24.
SDN 11 Jombang
Terhalang lemari kelas
4 dari 8
Tidak baik
Lampiran 10 Ventilasi Buatan Kelas SDN di Kecamatan Ciputat No
Nama Sekolah
Bulan Juni Tahun 2013 Pemakaian Keberadaan Kipas Angin Kipas Angin Ada Digunakan
Kesimpulan
1.
SDN 2 Ciputat
Baik
2.
SDN 3 Ciputat
Tidak Ada
Tidak ada
Tidak baik
3.
SDN 4 Ciputat
Ada
Tidak digunakan
Tidak baik
4.
SDN 5 Ciputat
Ada
Digunakan
Baik
5.
SDN 7 Ciputat
Ada
Digunakan
Baik
6.
SDN 8 Ciputat
Tidak Ada
Tidak ada
Tidak baik
7.
SDN 9 Ciputat
Tidak Ada
Tidak ada
Tidak baik
8.
SDN 3 Cipayung
Ada
Tidak digunakan
Tidak baik
9.
SDN 4 Cipayung
Tidak Ada
Tidak ada
Tidak baik
10.
SDN 1 Serua
Ada
Tidak digunakan
Tidak baik
11.
SDN 3 Serua
Tidak Ada
Tidak ada
Tidak baik
12.
SDN 5 Serua
Ada
Digunakan
Baik
13.
SDN 2 Serua Indah
Tidak Ada
Tidak ada
Tidak baik
14.
SDN 3 Serua Indah
Ada
Tidak digunakan
Tidak baik
15.
SDN 1 Sawah
Tidak Ada
Tidak ada
Tidak baik
16.
SDN 3 Sawah
Ada
Tidak digunakan
Tidak baik
17.
SDN 4 Sawah
Ada
Digunakan
Baik
18.
SDN 1 Sawah Baru
Tidak Ada
Tidak ada
Tidak baik
19.
SDN 2 Sawah Baru
Ada
Digunakan
Baik
20.
SDN 3 Jombang
Ada
Tidak digunakan
Tidak baik
21.
SDN 4 Jombang
Tidak Ada
Tidak ada
Tidak baik
22.
SDN 5 Jombang
Ada
Digunakan
Baik
23.
SDN 6 Jombang
Ada
Digunakan
Baik
24.
SDN 11 Jombang
Tidak Ada
Tidak ada
Tidak baik
Lampiran 11 Lantai Kelas SDN di Kecamatan Ciputat No
Nama Sekolah
Bulan Juni Tahun 2013 Jenis Kondisi Lantai Lantai Kelas Keramik Kotor
Kesimpulan
1.
SDN 2 Ciputat
2.
SDN 3 Ciputat
Keramik
Kotor
Tidak baik
3.
SDN 4 Ciputat
Keramik
Kotor
Tidak baik
4.
SDN 5 Ciputat
Keramik
Kotor
Tidak baik
5.
SDN 7 Ciputat
Keramik
Bersih
Baik
6.
SDN 8 Ciputat
Keramik
Bersih
Baik
7.
SDN 9 Ciputat
Keramik
Kotor
Tidak baik
8.
SDN 3 Cipayung
Keramik
Bersih
Baik
9.
SDN 4 Cipayung
Keramik
Kotor
Tidak baik
10.
SDN 1 Serua
Keramik
Kotor
Tidak baik
11.
SDN 3 Serua
Keramik
Bersih
Baik
12.
SDN 5 Serua
Keramik
Kotor
Tidak baik
13.
SDN 2 Serua Indah
Keramik
Kotor
Tidak baik
14.
SDN 3 Serua Indah
Keramik
Kotor
Tidak baik
15.
SDN 1 Sawah
Keramik
Kotor
Tidak baik
16.
SDN 3 Sawah
Keramik
Kotor
Tidak baik
17.
SDN 4 Sawah
Keramik
Bersih
Baik
18.
SDN 1 Sawah Baru
Keramik
Kotor
Tidak baik
19.
SDN 2 Sawah Baru
Keramik
Kotor
Tidak baik
20.
SDN 3 Jombang
Keramik
Kotor
Tidak baik
21.
SDN 4 Jombang
Keramik
Kotor
Tidak baik
22.
SDN 5 Jombang
Keramik
Kotor
Tidak baik
23.
SDN 6 Jombang
Keramik
Bersih
Baik
24.
SDN 11 Jombang
Keramik
Bersih
Baik
Tidak baik
Lampiran 12 Dokumentasi Lapangan