Hubungan Antara Perfeksionisme Dan Psychological Well-Being Pada Seniman Berusia Dewasa Muda Dan Dewasa Madya (The Relationship Between Perfectionism And Psychological Well-Being Among Artists In Early And Middle Adulthood) Pandam Kuntaswari Stevanus Stanislaus Budi Hartono Program Studi Sarjana Reguler Fakultas Psikologi ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perfeksionisme dan psychological well-being pada seniman berusia dewasa muda dan dewasa madya. Hal ini penting dilakukan karena penelitian sebelumnya mengenai kedua variabel ini menemukan korelasi yang negatif, namun penelitian ini belum banyak dilakukan kepada seniman. Pengukuran perfeksionisme menggunakan alat ukur Multidimensional Perfectionism Scale(Hewitt & Flett, 1989) dan pengukuran psychological well-being menggunakan alat ukur Ryff’s Revised-Psychological Well-Being (Ryff, 1995). Partisipan berjumlah 63 seniman berusia dewasa muda dan dewasa madya.Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perfeksionismedan psychological well-being (r = -0.584; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Artinya, semakin tinggi perfeksionismeyang dimiliki seseorang, maka semakin rendahpsychological well-being yang ia miliki. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwadimensiperfeksionisme yang memberikan sumbangan paling banyak terhadappsychological well-being adalah socially prescribed perfectionism. Berdasarkan hasil tersebut, perlu dilakukan intervensi lebih dini terhadap perfeksionisme, terutama pada socially prescribed perfectionism. Kata Kunci: Perfeksionisme; Psychological Well-Being; Seniman
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
ABSTRACT This research was conducted to find the correlation between perfectionism and psychological well-being in artists in their young and middle adulthood. This research needs to be done because prior research found negative correlation, but there is no adequate amount of research about this two variables in artists. Perfectionism was measured by using Multidimensional Perfectionism Scale (Hewitt & Flett, 1989), and psychological well-being was measured by using Ryff’s Revised-Psychological Well-Being (Ryff, 1995). The participants of this research were 63 artists currently in their young and middle adulthood. The main result of this research showed that perfectionism is negatively significant correlated with PWB (r = -0.584; p = 0.000, significant in L.o.S 0.01). This meant that the higher the level of one's perfectionism, the lower the level of PWB in oneself. Other result of this research was that the dimension of perfectionism that contributed the most to PWB was socially prescribed perfectionism. Based on such results, there needs to be an early intervention about perfectionism, especially about the socially prescribed perfectionism. Keywords: Artists; Perfectionism; Psychological Well-Being PENDAHULUAN Latar Belakang Meskipun beberapa peneliti menyebutkan perfeksionisme bersifat positif karena dapat memberikan energi dan motivasi bagi seseorang untuk mencapai goal yang telah ditetapkan (Roedell, 1984), banyak penelitian yang melihat perfeksionisme bersifat negatif dan counterproductive dengan pencapaian goal seseorang (Chang, 2000; Chang, 2006).Dampak negatif perfeksionisme ini akan terjadi ketika individu menetapkan standar yang terlalu tinggi dan tidak realistis terhadap diri sendiri (Chang, 2006). Hewitt dan Flett (1989) merupakan tokoh perfeksionisme yang pertama kali menyebutkan bahwa pada dasarnya perfeksionisme adalah trait kepribadian yang mampu mengarahkan individu kearah yang positif maupun negatif.Mereka mendefinisikan perfeksionisme sebagai trait kepribadian dimana seseorang berusaha mencapai kesempurnaan dan menetapkan goal yang sangat tinggi yang terdiri dari aspek intrapersonal dan interpersonal.Hewitt dan Flett (1989) kemudian menyusun alat ukur Multidimentional Perfectionism Scale (MPS) untuk mengukur tingkat perfeksionisme seseorang. Dari penelitian lanjutan menggunakan alat ukur ini, diketahui bahwa dampak negatif dari perfeksionisme yang tinggi lebih mendominasi, terutama pada dimensi socially prescribed perfectionism (Hewitt & Flett, 1991a). Penelitian-penelitian
lain
juga
menemukan
banyak
dampak
negatif
dari
perfeksionisme.Disebutkan bahwa perfeksionisme adalah prediktor utama dari depresi dan
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
gejala-gejala psikosomatis pada pelajar di Jepang (Katsunori & Koji, dalam Rise & Butt, 2010).Sejalan dengan itu, Greenspoon (2008) mengatakan bahwa pada dasarnya perfeksionisme berbeda dengan sekadar striving for excellence. Hal ini karena individu dengan striving for excellence akan melihat kegagalan sebagai motivasi untuk memperbaiki diri, sedangkan individu perfeksionis menganggap kegagalan sebagai kelemahan personal. Hal ini pada akhirnya akan menyebabkan kecemasan, deprsesi, dan bahkan kecenderungan bunuh diri (Blatt, 1995; Greenspoon, 2008; Kawamura, Hunt, Frost & Di Bartolo, dalam Rise & Butt, 2010). Selain itu, ditemukan hubungan positif antara perfeksionisme dengan psychological distress seperti kemarahan serta kecemasan interpersonal, bahkan depresi (Chang, 2006; Hewitt & Flett, 1991a; Sagar &Stöber, 2009).Sebaliknya, hubungan negatif ditemukan antara perfeksionisme dengan afek positif (Isaboonchi & Lundh, dalam Rise & Butt, 2010). Secara spesifik disebutkan bahwa perfeksionisme di usia dewasa muda dan dewasa madya berhubungan negatif dengan afek positif serta berhubungan positif dengan psychological distress serta depresi secara lebih tinggi dibandingkan pada tahapan usia lainnya (Frost, Martin, Lahart & Rosenblate, 1990; Hewitt & Flett, 1991b). Hal ini disebabkan karena tuntutan sosial yang harus dipenuhi oleh individu pada kedua tahapan usia ini lebih tinggi dan lebih banyak dibandingkan tuntutan sosial pada tahapan usia remaja maupun lansia, sehingga tingginya perfeksionisme dalam memenuhi tuntutan sosial yang tinggi ini dapat meningkatkan distress yang dialami individu dewasa muda dan madya (Chang & Rand, dalam Chang, 2000; Hewitt & Flett, 1991b). Lebih lanjut, penelitian Chang (2006) yang dilakukan pada mahasiswa psikologi di Universitas Michigan menemukan psychological distress sebagai mediator antara perfeksionisme
dan
psychological
well-being
dimana
perfeksionisme
secara
total
berhubungan positif dengan psychological distress, dan psychological distress berhubungan negatif dengan psychological well-being.Apabila hubungannya dilihat per dimensi perfeksionisme dan psychological-well-being, ditemukan hasil yang bervariasi. Misalnya, dimensi other-oriented perfectionism tidak ditemukan berkorelasi dengan dimensi psychological well-being, sedangkan dimensi socially prescribed perfectionism ditemukan berkorelasi negatif dengan semua dimensi psychological well-being karena merupakan dimensi yang paling dapat memicu psychological distress. Bagaimanapun, penelitian lain menemukan bahwa perfeksionisme berhubungan negatif secara langsung dengan kebahagiaan yang terukur melalui Bradburn’s Affect Balance Scale (Chang & Rand, dalam Chang, 2000). Ada juga penelitian yang menemukan bahwa
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
perfeksionisme memiliki hubungan negatif langsung terhadap kebahagiaan dan kepuasan hidup, dimana kedua hal ini merupakan indikator dari subjective well-being (Stoeber & Childs, 2011). Artinya, semakin tinggi perfeksionisme individu, maka akan semakin rendah subjective well-being-nya, terlepas dari apakah individu tersebut mengalami psychological distress atau tidak. Meskipun telah ditemukan hubungan negatif langsung yang signifikan antara perfeksionisme dan subjective well-being, belum banyak penelitian yang secara langsung meneliti hubungan antara perfeksionisme dan psychological well-being. Psychological well-being sendiri merupakan salah satu kondisi yang perlu dicapai individu agar dapat memiliki perasaan sehat terhadap diri dan hidup mereka (Ryff & Singer, 1998).Berdasarkan hasil integrasi teori-teori mengenai psikologi perkembangan, klinis, serta positive psychological function, Ryff mengajukan model teori psychological well-being yang multidimensional. Dimensi-dimensi psychological well-being terdiri dariself-acceptance (penerimaan diri), positive relations with others (hubungan positif dengan orang lain), autonomy (autonomi), environmental mastery (penguasaan lingkungan), purpose in life (tujuan dalam hidup) dan personal growth (pertumbuhan personal). Meskipun telah terdapat penelitian yang menunjukkan adanya hubungan yang negatif antara perfeksionisme dan psychological well-being, banyak individu yang masih berpendapat bahwa perfeksionisme hanya bersifat positif tanpa memiliki dampak negatif sehingga harus terus dikembangkan (Rise & Butt, 2010). Apabila dilihat secara spesifik berdasarkan profesi, beberapa profesi dengan tingkat perfeksionisme tinggi antara lain adalah atlet (Stirling & Kerr, 2006), dokter dan pekerja medis lain (Neimark, 2007; Sanders dalam Burt, 2009), pengacara (Burt, 2009), serta seniman (Neimark, 2007). Dari semua profesi yang telah disebutkan, seniman adalah profesi yang literatur terkait perfeksionismenya masih sedikit ditemukan sehingga dapat dikatakan bahwa penelitian perfeksionisme pada populasi ini belum banyak dilakukan. Hasil wawancara peneliti kepada seniman dari beberapa bidang seni, yakni seni rupa, seni musik, dan seni teater menemukan bahwa seniman seni rupa cenderung memiliki perfeksionisme yang tinggi.Hal ini terlihat dari tingginya penilaian diri para seniman seni rupa terhadap indikator-indikator perfeksionisme yang ditanyakan oleh peneliti. Hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti ini sejalan dengan hasil penelitian yang menemukan bahwa perfeksionisme yang tinggi, terutama self-oriented perfectionism, kebanyakan ditemukan pada individu yang bekerja secara individual, sedangkan seniman yang paling sering bekerja secara individual adalah seniman seni rupa (Hewitt & Flett, 1991a; Throsby & Zednik 2010).
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian serta wawancara tersebut, peneliti kemudian memutuskan untuk meneliti hubungan antara perfeksionisme dan psychological well-being pada seniman.Mengacu kepada hasil wawancara dan penelitian Throsby dan Zednik (2010), seniman yang dimaksud dalam penelitian ini adalah seniman seni rupa, yaitu seniman yang secara spesifik berkarya pada bidang seni murni maupun seni terapan. Lebih lanjut, mengingat bahwa efek negatif dari perfeksionisme paling tinggi pada tahap dewasa muda dan dewasa madya, seniman yang akan dijadikan populasi dalam penelitian ini adalah seniman pada tahapan usia tersebut. Pemilihan populasi yang lebih spesifik ini penting dilakukan karena apabila terdapat hubungan di antara kedua variabel tersebut, populasi dengan usia inilah yang paling harus diperhatikan tingkat perfeksionismenya. Hingga saat ini penelitian untuk melihat hubungan antara perfeksionisme dan psychological well-being pada seniman berusia dewasa muda dan dewasa madya belum banyak dilakukan sehingga penelitian terkait topik dan populasi ini menjadi perlu dilakukan. Hal ini perlu diteliti lebih lanjut karena apabila terdapat hubungan yang negatif antara kedua variabel, maka adanya perfeksionisme yang tinggi dari seniman dewasa muda dan dewasa madya akan menunjukkan psychological well-being yang rendah sehingga perlu dilakukan upaya-upaya pengembangan intervensi untuk membantu meregulasi perfeksionisme seniman. Permasalahan Penelitian Apakah terdapat hubungan yang negatif antara perfeksionisme dan psychological wellbeing pada seniman berusia dewasa muda dan madya? Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui hubungan antara perfeksionisme dan psychological well-being pada seniman berusia dewasa muda dan madya. TINJAUAN TEORITIS Perfeksionisme Meskipun terdapat pendapat yang menyebutkan bahwa perfeksionisme dapat bersifat positif, pandangan bahwa perfeksionisme akan selalu bersifat neurotik, disfungsional, dan mengindikasikan psikopatologi lebih mendominasi (Rise & Butt, 2010; Stöber & Otto, 2006). Lebih lanjut, menurut Hewitt dan Flett (2006) pendapat bahwa individu dengan perfeksionisme yang positif dapat merasakan kepuasan saat target tercapai juga masih diperdebatkan.Penelitian-penelitian juga menunjukkan bahwa perfeksionisme berhubungan dengan tingkat distress yang tinggi, depresi dan kecemasan (Hewitt & Flett, 1991a), gangguan
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
interpersonal dan kecenderungan bunuh diri (Blatt, 1995), serta gangguan makan (Hewitt, Mittelstaedt, & Wollert, 1989 dalam Stöber & Otto, 2006; Legge, 2012). Frost, Marten, Lahart, dan Rosenblate (1990) serta Hewitt dan Flett (1989) kemudian membuat pembagian yang lebih komprehensif mengenai perfeksionisme dibandingkan pembagian Hamachek. Mereka juga secara terpisah menyusun alat ukur perfeksionime dengan berbagai
dimensi.Frost
dkk.mengajukan
enam
dimensi
dari
perfeksionisme
yang
menggambarkan bahwa seorang perfeksionis memiliki standar yang tinggi, mementingkan urutan dan organisasi juga pendapat dan ekspektasi orang tua, dan berusaha keras menghindari kesalahan sehingga sering ragu-ragu dalam bertindak. Keenam dimensi tersebut adalah; personal standards, organization, concern over mistakes, doubts about actions, parental expectations, serta parental criticism (Frost, Marten, Lahart, dan Rosenblate, 1990). Di sisi lain, Hewitt dan Flett (1991) membagi perfeksionisme menjadi self-oriented perfectionism, other-oriented perfectionism, serta socially-prescribed perfectionism. Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan teori dari Hewitt dan Flett. Alasannya adalah karena penjelasan mengenai perfeksionisme dan variabel-variabel terkait dari tokoh ini dianggap paling lengkap dan komprehensif sehingga teori mereka menjadi teori yang paling populer dan banyak digunakan dalam penelitian lanjutan mengenai perfeksionisme, disamping juga karena alat ukur mereka memiliki reliabilitas dan validitas yang baik (Chang, 20006; Enns & Cox, dalam Lee, 2007). Sesuai dengan tiga dimensi yang telah mereka susun, Hewitt dan Flett menjelaskan perfeksionisme sebagai trait kepribadian dimana seseorang berusaha mencapai kesempurnaan dan menetapkan goal dan standar yang sangat tinggi yang terdiri dari aspek intrapersonal dan interpersonal (Hewitt & Flett, 1989). Lebih spesifik, Hewitt dan Flett (1991a) menjelaskan self-oriented perfectionism meliputi perilaku-perilaku seperti menetapkan standar yang kaku dan tinggi (exacting and high standards) bagi diri sendiri dan secara keras (stringently) melakukan evaluasi serta kritik terhadap perilaku-perilakunya. Self-oriented perfectionism memiliki komponen motivasional yang nyata.Komponen ini tereflesksi oleh adanya usaha untuk mencapai kesuksesan atau kesempurnaan disamping juga usaha untuk menghindari kegagalan (Hewitt & Flett, 1991a). Di dalam dimensi ini juga terdapat adanya penekanan akan pentingnya mencapai kesempurnaan (Campbell & DiPaula, 2002; Hewitt & Flett, 1991a). Dimensi other-oriented perfectionism melibatkan kepercayaan dan ekspektasi individu terhadap kemampuan individu lain. Dimensi ini adalah aspek interpersonal dari perfeksionisme (Hewitt & Flett, 1991a).Other-oriented perfectionist cenderung memiliki standar yang terlalu tinggi hingga tidak realistis dalam menuntut orang-orang terdekatnya.
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
Oleh karena kesempurnaan dari orang lain mereka anggap sebagai hal yang penting, mereka juga mengevaluasi performa orang lain secara keras. Dari sini dapat dilihat bahwa perilaku yang mencerminkan other-oriented perfectionism tidak berbeda dengan perilaku yang merepresentasikan self-oriented perfectionism, perbedaannya adalah kepada target cperilaku tersebut. Socially prescribed perfectionism melibatkan kebutuhan individu untuk mencapai standar dan memenuhi ekspektasi yang menurut individu tersebut ditetapkan orang lain kepada mereka (Hewitt & Flett, 1991a). Di dalam dimensi perfeksionisme ini, terdapat kepercayaan atau persepsi dari seseorang bahwa orang-orang terdekat mereka memiliki standar yang tinggi bagi mereka, akan mengevaluasi mereka secara keras, serta menuntut mereka untuk menjadi sempurna (Hewitt & Flett, 1991a; Hewitt & Flett dalam Chang, 2006). Psychological Well-Being Teori psychological well-being dari Ryff berangkat dari beberapa teori dari tiga perspektif, yaitu psikologi perkembangan, psikologi klinis, dan kesehatan mental (Ryff, 1995). Ryff kemudian mengintegrasikan berbagai elemen dari teori-teori dalam perspektif tersebut sampai menghasilkan enam dimensi kunci dari psychological well-being, yaitu selfacceptance, positive relationship with other, autonomy, environmental mastery, purpose in life, serta personal growth (Ryff, 1995). Keenam dimensi inilah yang membentuk psychological well-being sehingga psychological well-being dapat didefinisikan sebagai evaluasi positif terhadap diri dan hidup dengan adanya penerimaan atas kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, adanya tujuan hidup, pengembangan relasi yang positif dengan orang lain, kemandirian dalam berpikir dan berperilaku, kemampuan mengendalikan lingkungan, dan pertumbuhan secara personal. Ryff (1995) menyebutkan enam dimensi dari psychological well-being yaitu penerimaan diri sendiri (self acceptance), memiliki hubungan yang positif dengan orang lain (positive relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan (enviromental mastery), memiliki tujuan dan arti hidup (purpose in life), serta pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang berkelanjutan (personal growth). Dimensi self-acceptance merujuk kepada dimilikinya sikap positif terhadap diri sendiri, penerimaan aspek-aspek positif maupun negatif dalam diri, serta perasaan positif terhadap masa lalu.. Dimensi positive relation with others meliputi dimilikinya hubungan yang hangat, memuaskan, dan penuh rasa percaya dengan orang lain, adanya kepedulian akan kesejahteraan orang sekitar, mampu merasakan empati, afeksi serta keakraban dengan orang lain serta mampu memahami interaksi “memberi dan menerima” antar manusia (Ryff, 1989; 1995).
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
Selanjutnya, dimensi autonomy meliputi kualitas-kualitas seperti self-determination, kemandirian, pengendalian perilaku, serta adanya peranan locus internal dalam melakukan evaluasi diri. Dengan kata lain, individu yang memiliki autonomy yang tinggi memiliki kemampuan menentukan nasib sendiri dan mandiri, kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara bebas tanpa terbawa tekanan sosial, mampu mengatur perilakunya, serta melakukan evaluasi diri berdasarkan standar-standar personal, dan bukan melihat orang lain untuk mendapat persetujuan. Mereka juga memiliki kepercayaan penuh terhadap pengalamannya sendiri sebagai penentu bagi mereka untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Ryff,1989). Lebih lanjut, dimensi environmental mastery merujuk pada kompetensi dalam memilih dan mengontrol lingkungan dan berbagai aktivitas eksternal yang kompleks, memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada di sekitar secara efektif, mampu memilih atau menciptakan konteks yang cocok dengan nilai dan kebutuhan personal, serta kemampuan untuk mengambil keuntungan dari kesempatan di lingkungan. Purpose of life merujuk kepada dimilikinya goal dalam hidup serta perasaan akan dimilikinya makna dalam hidup saat ini maupun masa lalu. Jadi juga harus dimiliki belief yang memberikan tujuan dalam hidup. Pada akhirnya,goal dan arah dalam hidup inilah yang akan membuat hidup seseorang menjadi bermakna. Terakhir, dimensi personal growth menunjukan bahwa seseorang mengalami perkembangan yang berkelanjutan, terbuka untuk pengalaman baru, menyadari potensi diri, dan meningkatkan kemampuan diri terus menerus (Ryff 1989; 1995). Dinamika Perfeksionisme dan Psychological Well-Being Penelitian terdahulu menemukan hubungan positif antara perfeksionisme dengan psychological distress (Hewitt & Flett, 1991a dalam Chang, 2006; Sagar &Stöber, 2009) dan hubungan yang negatif dengan afek positif (Isaboonchi & Lundh, 2003 dalam Rise & Butt, 2010). Penelitian yang melihat hubungan antara psychological well-being dan psychological distress menemukan adanya hubungan negatif yang sangat signifikan antara kedua variabel ini (Chang, 2000; Mardiah, 2010). Lebih lanjut, penelitian Chang (2006) ini juga menemukan hubungan antar dimensi perfeksionisme dan psychological well-being. Disebutkan bahwa socially prescribed perfectionism memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan semua dimensi psychological well-being. Sedangkan, dimensi other-oriented perfectionism tidak memiliki korelasi yang signifikan dengan dimensi dari psychological well-being.Secara keseluruhan, skor korelasi antara dimensi other-oriented perfectionism dengan dimensi-dimensi psychological wellbeing adalah paling lemah apabila dibandingkan dengan skor korelasi kedua dimensi
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
perfeksionisme yang lain dengan psychological well-being.Terkait dengan dimensi selforiented perfectionism, disebutkan bahwa dimensi ini berhubungan dengan kemandirian dan kontrol perilaku seseorang, dimana hal ini adalah indikator dari autonomy. Selain berhubungan dengan autonomy, dimensi self-oriented perfectionism juga berhubungan dengan purpose in life dan personal growth dari psychological well-being (Chang, 2006).. Secara langsung, perfeksionisme memiliki hubungan yang negatif dengan psychological well-being karena perilaku perfeksionis dapat memicu kecenderungan seseorang untuk melakukan evaluasi ketat dan keras atas kinerjanya, terlalu berfokus pada aspek negatif dari kinerja, serta sedikitnya kepuasan yang diperoleh dari proses pengerjaan suatu pekerjaan tertentu (Hewitt dkk, 1996 dalam Chang, 2006). Hal ini dapat menghambat perkembangan kondisi psikologis inidividu kearah yang positif dan menghambat individu tersebut mencapai potensi mereka yang seutuhnya. METODE PENELITIAN Variabel dan Responden Penelitian Variabel yang akan dilihat hubungannya dalam penelitian ini adalah perfeksionisme dan psychological well-being. Hubungan antara kedua variabel tersebut akan dilihat pada seniman bidang seni rupayang meliputi bidang seni murni (seni patung, seni lukis, seni grafis) maupun seni terapan (desain komunikasi dan visual, desain produk, desain interior, dan craft) yang berada pada rentang usia dewasa muda maupun dewasa madya, yang berdasarkan Papalia, Olds, dan Feldman (2009) adalah antara 20-40 tahun dan 40-65 tahun.Seniman dalam penelitian ini harus pernah/sedang mengikuti pameran seni rupa selama masa kariernya. Hal ini merujuk pada definisi seniman dari Dickie (1984) dan Dutton (2006) yang menyebutkan bahwa seniman adalah seseorang yang menciptakan suatu karya yang orisinil menggunakan berbagai media dan teknik serta mendemonstrasikannya kepada publik melalui media yang bervariasi. Alat Ukur Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah kuesioner. Responden penelitian diberikan dua kuesioner yang masing-masing mengukur variabel perfeksionisme dan variabel psychological well-being. Kuesioner untuk mengukur pefeksionisme adalah alat ukur perfeksionisme dari Hewitt dan Flett (1989) yaitu Multidimensional Perfectionism Scale (MPS) yang terdiri dari 15 item untuk mengukur masing-masing dimensi, sehingga jumlah total item adalah 45 item. Selain menyebabkan jumlah item dalam alat ukur berkurang menjadi 44 item, hasil adaptasi dan uji coba alat ukur ini juga menyebabkan perubahan jumlah
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
skala pilihan alat ukur MPS dari 7 menjadi 6. Oleh karena itu, skor minimum yang mungkin diperoleh oleh partisipan adalah 44 dan skor maksimum adalah 264. Kuesioner untuk mengukur psychological well-being adalah alat ukur Ryff’s Scales of Psychological well-being (SPWB) yang berisikan 18 item pertanyaan terkait enam dimensi dari psychological wellbeing sehingga skor minimum yang mungkin diperoleh responden adalah 18 dan skor maksimum yang mungkin diperoleh adalah 108 (Ryff, 1995). Desain Penelitian Berdasarkan reference period, penelitian ini diklasifikasikan sebagai retrospective study design karena menginvestigasi fenomena, situasi, masalah atau isu yang telah terjadi. Berdasarkan nature of investigation, penelitian ini diklasifikasikan sebagai penelitian noneksperimental. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini tidak diidentifikasi mana IV dan mana DV namun hanya memastikan adanya hubungan yang signifikan pada kedua variabel tersebut (Kumar, 2005).Selain itu, juga tidak dilakukan manipulasi atau kontrol variabel, tidak melakukan randomisasi dan tidak membagi responden dalam control group dan experiment group (Seniati, Yulianto & Setiadi, 2008).Berdasarkan number of contacts, desain penelitian ini adalah cross-sectional.Cross-sectional study adalah desain penelitian dimana peneliti melakukan satu kali pengambilan data untuk memeroleh informasi mengenai variabel antar subkelompok-subkelompok dalam populasi (Coolican, 2004; Kumar, 2005). Teknik Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah convenience sampling di mana sampel dipilih berdasarkan ketersediaan individu dan kemauan untuk mengikuti penelitian (Kumar, 2005). Penyebaran kuesioner dilakukan secara online kepada responden melalui informasi dari beberapa organisasi seni di Jakarta seperti Bentara Budaya Jakarta, Galeri Nasional, Galeri Nadi serta komunitas seni rupa online. Dari sini peneliti mengetahui nomor kontak seniman yang pernah berpameran di galeri-galeri tersebut. Peneliti kemudian menghubungi seniman melalui email untuk meminta kesediaan mereka menjadi responden dalam penelitian sebelum mengirimkan link kuesioner online yang sebelumnya telah disiapkan oleh peneliti. Metode Pengolahan Data Data yang telah terkumpul pada tahap pelaksanaaan kemudian diseleksi agar data dari responden yang tidak memenuhi kriteria penelitian tidak dimasukkan dalam pengolahan data. Dari 64 data responden yang diterima oleh peneliti, satu data tidak dapat digunakan karena berasal dari seniman yang masih pada tahapan usia remaja, yaitu 19 tahun. Ke-63 data yang telah dipilih tersebut, kemudian diolah secara kuantitatif dengan menggunakan program “IBM
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
SPSS Statistics Version 16”, tepatnya menggunakan teknik statistik Descriptive, Pearson Correlation, Mulitiple Regression, Independent sample t-test, One-Way Analysis of Variance (ANOVA), serta Simple dan Multiple Regression. HASIL PENELITIAN Hasil uji statistik deskriptif menemukan bahwa skor rerata perfeksionisme responden (185.1) lebih mendekati skor maksimum yang mungkin didapatkan dalam alat ukur (264) dibandingkan minimum sehingga dapat dikatakan bahwa responden memiliki perfeksionisme yang tergolong cukup tinggi. Rerata psychological well-being (71.52) responden juga lebih mendekati nilai maksimum yang dapat diperoleh (108) dibandingkan nilai minimum sehingga dapat dikatakan bahwa psychological well-being responden tergolong cukup tinggi. Teknik statistik yang digunakan untuk mengetahui hubungan antara perfeksionisme dan psychological well-being adalah teknik korelasi Pearson Product Moment. Koefisien korelasi yang didapat yaitu r = -0.584 dan p = 0.000 yang berarti signifikan pada L.o.S 0.01. Hubungan yang signifikan ini membuat hipotesis null ditolak dan hipotesis alternatif diterima. Artinya, terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perfeksionisme dan psychological well-being pada seniman berusia dewasa muda dan madya. Arah hubungan yang negatif mengindikasikan semakin tinggi perfeksionisme diikuti dengan penurunan psychological well-being pada seniman. Peneliti kemudian melakukan uji statistik simple regression untuk mengetahui besaran pengaruh perfeksionisme kepada psychological well-being.Hasilnya, didapatkan nilai R2 sebesar 0.341. Hal ini menunjukkan bahwa sekitar 34.1% varians skor psychological wellbeing dapat dijelaskan oleh skor perfeksionisme dan 65.9% dapat dijelaskan oleh variabel lain selain perfeksionisme. Nilai beta sebesar -0.584 menunjukkan setiap kali skor perfeksionisme meningkat sebesar 1 poin, maka skor psychological well-being akan menurun sebesar 0.584. Selanjutnya, perhitungan multiple regression digunakan untuk melihat sumbangan dimensi-dimensi perfeksionisme terhadap dimensi psychological well-being. Hasilnya, diketahui bahwa dimensi self-oriented perfectionism memberikan sumbangan positif dan signifikan terhadap dimensi autonomy dari psychological well-being (Beta = 0.680; p = .000). Kemudian, dimensi socially prescribed perfectionism memberikan sumbangan negatif yang signifikan terhadap dimensi environmental mastery (Beta = -0.632; p = .000), personal growth (Beta = -0.319; p = .034),positive relation with others (Beta = -0.537; p = .000), dan purpose in life (Beta = -0.526; p = .000). Adapun, dimensi self-oriented perfectionism (Beta =
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
-0.462; p = .000) dan socially prescribed perfectionism (Beta = -0.540; p = .000) sama-sama memberikan sumbangan negatif yang signifikan terhadap dimensi self-acceptance dari psychological well-being PEMBAHASAN Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perfeksionisme dan psychological well-being pada seniman berusia dewasa muda dan madya.Artinya semakin tinggi perfeksionisme, maka semakin rendah psychological wel-being-nya.
Hasil dapat disebabkankarena perilaku perfeksionis
dapat memicu kecenderungan seseorang untuk melakukan evaluasi ketat dan keras atas kinerjanya, terlalu berfokus pada aspek negatif dari kinerja, serta sedikitnya kepuasan yang diperoleh dari proses pengerjaan suatu pekerjaan tertentu (Hewitt dkk, 1996 dalam Chang, 2006). Hal ini dapat menghambat perkembangan kondisi psikologis inidividu kearah yang positif dan menghambat individu tersebut mencapai potensi mereka yang seutuhnya. Apabila dilihat per dimensi, maka diketahui dari hasil uji regresi ganda bahwa dimensi self-oriented perfectionism memberikan sumbangan positif kepada dimensi autonomy. Hal ini dapat dijelaskan karena self-oriented perfectionism melibatkan adanya standar yang kaku yang ditetapkan terhadap diri sendiri dimana hal ini mengindikasikan bahwa individu dengan self-oriented perfectionism yang tinggi memiliki kemampuan untuk mengatur perilakunya secara mandiri serta melakukan evaluasi diri berdasarkan standar-standar personal mereka, yang merupakan indikasi dari dimensi autonomy. Selain itu, self-oriented perfectionism juga bersifat self-directed dan personal sehingga dimensi ini dapat meningkatkan perasaan autonomy, di samping juga meningkatkan kepercayaan diri (Lee, 2007). Hasil lainnya adalah bahwa socially prescribed memberikan sumbangan negatif ke dimensi environmental mastery dari psychological well-being. Penjelasan dari hal ini terkait dengan kontrolabilitas dari dimensi socialy prescribed perfectionism itu sendiri. Adanya kebutuhan individu socially prescribed perfectionists untuk mencapai ekspektasi orang lain dapat membuat mereka tertekan dan khawatir tidak mampu memenuhi harapan orang lain serta mengalami perasaan learned helplessness (Hewitt & Flett, 1991a). Learned helplessness adalah kondisi dimana individu berperilaku seolah-olah tidak ada harapan serta tidak berespon terhadap kesempatan di lingkungan akibat adanya persepsi bahwa mereka tidak dapat mengontrol situasi (Seligman, 1975 dalam Hall & Lindzey, 1978). Persepsi akan ketidakmampuan mengontrol situasi ini disebabkan karena adanya belief bahwa reinforcement dan perilaku tidak saling tergantung. Perasaan tertekan dan tidak mampu untuk mengubah
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
atau mengontrol lingkungannya merupakan indikasi rendahnya environmental mastery (Ryff, 1995). Diketahui juga bahwa dimensi socially prescribed perfectionism memberikan sumbangan negatif terhadap dimensi personal growth. Hal ini dapat juga dijelaskan dengan merujuk ke dampak dari tingginya socially prescribed perfectionism, yaitu munculnya learned helplessness dan tertekan (Hewitt & Flett, 1991a). Personal growth menunjukan bahwa seseorang mengalami perkembangan diri terus menerus dan merasa mampu membentuk atau mempelajari sikap serta perilaku yang baru (Ryff, 1989;1995) yang tidak akan dapat tercapai apabila individu mengalami learned helplessness dan perasaan tertekan. Dimensi socially prescribed perfectionism juga memberikan sumbangan negatif terhadap dimensi positive relation with others dari psychological well-being. Hasil ini dipengaruhi oleh kecenderungan individu dengan tingkat socially prescribed perfectionism yang tinggi untuk menolak berbagi perasaan dan pikiran mereka kepada orang lain serta cenderung menutupi ketidaksempurnaan mereka, sesuai dengan penjabaran dari Hewitt dan Flett (1991a). Terkait penjabaran tersebut, dapat dilihat bahwa indikator adanya kepercayaan kepada orang lain serta pemahaman akan interaksi give and take dalam hubungan antar manusia dari dimensi positive relations with others menjadi negatif pada socially prescribed perfectionists. Selanjutnya, dimensi socially prescribed perfectionism jugamemberikan sumbangan negatif terhadap dimensi purpose in life dari psychological well-being. Socially prescribed perfectionism memang melibatkan kebutuhan individu untuk mencapai standar dan memenuhi ekspektasi yang menurut individu tersebut ditetapkan orang lain kepada mereka (Hewitt & Flett, 1991). Hal ini mengindikasikan bahwa individu lebih mementingkan harapan dari orang lain tanpa mementingkan standar atau tujuan dari dirinya sendiri. Dengan demikian individu tersebut tidak mampu melihat tujuan atau makna hidupnya sendiri apabila tidak disertai tuntutan dari orang lain, dimana hal ini bertentangan dengan aspek dari purpose in life, yaitu mampu melihat tujuan dari kejadian yang ia alami selama hidupnya. Hasil lain dari uji regresi ganda menemukan bahwa self-oriented perfectionism dan socially prescribed perfectionism memberikan sumbangan negatif yang signifikan terhadap dimensi self-acceptance. Disebutkan oleh Hewitt dkk. (1996) bahwa ketika seseorang dengan tingkat self-oriented perfectionism yang tinggi merasa performanya dalam suatu pekerjaan tidak mencapai standar yang telah ia tetapkan, ia tidak hanya akan merasa tidak puas dengan pekerjaannya, namun juga dengan hidup mereka secara umum. Hal ini menunjukkan rendahnya self-acceptance yang ditandai dengan adanya ketidakpuasan terhadap diri sendiri
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
dan kejadian masa lalu.Hal ini sejalan dengan pendapat dari Flett, Russo, dan Hewitt (1994) yang menyebutkan bahwa self-oriented perfectionism memiliki hubungan negatif dengan positive thinking yang melibatkan self-acceptance. Terkait dengan sumbangan negatif dimensi socially prescribed perfectionism terhadap self-acceptance, hal tersebut dapat disebabkan karena kegagalan individu dengan socially prescribed perfectionism yang tinggi untuk memenuhi ekspektasi orang lain yang menurut individu tersebut dimiliki terhadap mereka dapat menimbulkan reaksi self-blame dan selfcriticism. Selain itu, mereka juga memiliki kecenderungan untuk menutupi kekurangan mereka.(Hewitt & Flett, 1991a).Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak memiliki sikap positif terhadap diri sendiri serta gagal menerima aspek-aspek positif maupun negatif dalam diri mereka yang merupakan indikator dari tercapainya self-acceptance. Dari uji deskriptif, tingkat perfeksionisme responden yang mengikuti penelitian ini termasuk tinggi. Hal ini sesuai dengan pendapat Neimark (2007) yang mengatakan bahwa seniman adalah salah satu profesi dengan tingkat perfeksionisme yang tinggi. Tingginya skor total perfeksionisme seniman dapat disebabkan karena tingginya conscentiousness dan neuroticism seniman yang nampak dari tingginya persistensi dan depresi mereka (Legge, 2010; Hill, McIntyre, & Bacharach, 1997; Throsby & Zednik, 2010). Kedua trait kepribadian tersebut dapat mendorong terbentuknya perfeksionisme, tepatnya self-oriented perfectionism oleh trait conscientiousness dan socially prescribed perfectionism oleh trait neuroticsm (Hill, McIntyre, & Bacharach, 1997). Dari hasil penelitian ini, responden penelitian memang paling tinggi pada dimensi self-oriented perfectionism diikuti dengan socially prescribed perfectionism. Psychological well-being responden juga termasuk cukup tinggi. Temuan ini dapat mucul karena adanya perubahan kondisi kerja yang dialami oleh seniman terkait dengan perubahan sistem bekerja di dunia modern. Sejak era globalisasi, seniman-seniman menjadi lebih sering aktif mengerjakan berbagai bidang seni yang beragam yang terkadang menuntut partisipasi dan kerjasama dalam tim atau memerlukan dilakukannya proses pembelajaran lebih lanjut (Throsby & Zednik, 2010). Perubahan pola kerja seniman ini mengindikasikan bahwa seniman seni rupa tidak lagi harus bekerja secara individual sehingga dapat mengurangi perasaan terisolasi yang pada akhirnya dapat memicu distress.
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
KESIMPULAN Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, dapat disimpulkan hasil utama penilitian, yaitu, terdapat hubungan negatif yang signifikan antara perfeksionismedan psychological well-being pada seniman. Artinya semakin tinggi perfeksionismeyang dimiliki, maka akan diikuti dengan semakin rendahnya psychological well-being mereka. Selain itu, diketahui bahwa dimensi self-oriented perfectionism adalah satu-satunya dimensi yang memberikan sumbangan positif dan signifikan terhadap dimensi autonomy dari psychological well-being. Kemudian, dimensi socially prescribed perfectionism memberikan sumbangan negatif yang signifikan terhadap dimensi environmental mastery, personal growth, positive relation with other, dan purpose in life. Adapun, dimensi self-oriented perfectionis dan socially prescribed perfectionist sama-sama memberikan sumbangan negatif yang signifikan terhadap dimensi self-acceptance dari psychological well-being. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, peneliti menyarankan beberapa hal untuk penelitian selanjutnya. Pertama, perlu dilakukan kembali penelitian-penelitian mengenai other oriented perfectionism dan psychological well-being, khusunya pada dimensi positive relation with others mengingat adanya teori yang menyebutkan bahwa dimensi perfeksionisme tersebut berhubungan dengan interpersonal frustration. Kedua, melakukan penelitian terkait hubungan perfeksionisme dan psychological well-being kepada populasipopulasi lain terutama populasi yang dilaporkan memiliki perfeksionisme tinggi seperti atlet (Stirling & Kerr, 2006) dan dokter (Neimark, 2007; Sanders, dalam Burt, 2009) mengingat ditemukannya hubungan negatif antara kedua variabel tersebut.Ketiga, melakukan studi kasus terhadap individu-individu yang memiliki tingkat perfeksionisme dan psychological wellbeing yang tinggi untuk mengetahui variabel-variabel lain yang dapat memengaruhi hubungan kedua variabel tersebut. Hal ini karena responden penelitian memiliki tingkat perfeksionisme dan psychological well-being yang sama-sama tergolong cukup tinggi meskipun terdapat hubungan negatif yang signifikan antara kedua variabel tersebut.Terakhir, melakukan uji normalitas untuk mengetahui persebaran skor responden. Apabila terdapat data responden yang outliers, data tersebut sebaiknya tidak ikut diolah agar distribusi data tetap normal dan mendekati populasi. Hal ini perlu dilakukan terutama pada penelitian yang menggunakan metode online questionairre karena peneliti tidak bisa mengontrol partisipan saat menjawab. Selain saran metodologis, berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, peneliti menyarankan beberapa saran praktikal yang bisa diterapkan, yaitu perlunya pemberian
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
konseling kepada individu-individu yang merasakan tekanan berlebihan baik dari dalam diri maupun orang lain untuk selalu menjadi sempurna. Konseling ini dapat diberikan untuk membantu individu yang perfeksionis dalam meregulasi kebutuhan mereka untuk menjadi sempurna agar tidak melebihi batas normal. Tujuannya adalah supaya psychological wellbeing mereka juga tetap dapat berada pada batasan yang normal. Penerapan parenting counselingjuga dapat diberikan kepada orangtua-orangtua untuk mencegah mereka memberikan tekanan dan kritik yang terlalu berat kepada anak-anak mereka. Hal ini bertujuan agar anak tidak menginternalisasi standar dan kritikan orangtua yang berlebihan tersebut ke dalam diri mereka yang kemudian dapat berkembang menjadi perfeksionisme yang bersifat maladaptif
KEPUSTAKAAN Blatt, S. J. (1995). The destructiveness of perfectionism: Implication for the treatment of depression. American Psychologist, 50, 1003–1020. Burt, R. A. (2009). Doctors vs. Lawyers: The Perils of Perfectionism. Faculty Scholarship Series.Paper 6:91. Campbell, J. D., & Di Paula, A. (2002). Perfectionistic self-beliefs: Their relation to personality goal pursuit. Dalam G. L. Flett & P. L. Hewitt (Eds.), Perfectionism (pp. 181-198). Washington, DC: American Psychological Association Chang, E. C. (2006). Perfectionism and dimensions of psychological well-being in a college student sample: A test of a stress-mediation model. Journal of Social and Clinical Psychology, 25(9), 1001-1022. Coolican, H. (2004). Introduction to Research Methods and Statistics in Psychology (4th Edition). Canada: Hodder Arnold. Dickie, G. (1984). The Art Circle, New York: Haven. Dutton, D. (2006). A naturalist definition of art.Journal of Aesthetics and Art Criticism, 64: 367–377. Frost, R. O., Marten, P., Lahart, C., & Rosenblate, R. (1990).The dimensions of perfectionism.Cognitive Therapy and Research, 14(5), 449-468. Greenspon, T.S. (2008). Making sense of error: A view of the origins and treatment of perfectionism.American Journal of Psychotherapy, 62, (3), 263-282. Guilford, J.P., Fruchter, B. (1981). Fundamental statistics in psychology and education.USA : McGraw-Hill. Flett, G. L., Russo, F. A., & Hewitt, P. L. (1994).Dimensions of perfectionism and constructive thinking as a coping response.Journal of Rational Emotive and Cognitive Behavior Therapy, 12, 163-179. Hall, C. S., & Lindzey, C. (1978).Introduction for Theories of Personality (3rd edition). New York: John Wiley & Sons. Hewitt, P. L., & Flett, G. L. (1989). The Multidimensional Perfectionism Scale: Development and validation. Canadian Psychology,30, 339. Hewitt, P. L., & Flett, G. L. (1991a). Perfectionism in the self and social contexts: Conceptualization, assessment, and association with psychopathology. Journal ofPersonality and Social Psychology, 60, 456-470.
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013
Hewitt, P. L., & Flett, G. L. (1991b). Dimensions of perfectionism in unipolar depression, Journal of Abnormal Psychology 100 (1): 98–101. Hill, R. W, McIntire, K., & Bacharach, V R. (1997). Perfectionism and the big five factors. Journal of Social Behavior and Personality, 12, 257-269. Kumar, R. (2005). Research methodology: A step by step guide for beginners. London: SAGE Publications. Lee, L. (2007). Dimensions Of Perfectionism And Life Stress: Predicting Symptoms Of Psychopathology. (Tesis). Canada: Queen’s University. Legge, D. (2012). 10 Careers With High Rates of Depression. Jobs and Depression dari http://www.health.com/health/gallery/0,,20428990,00.html. Mardiah, D. (2010). Hubungan Antara Stres Dengan Psychological Well-Being Pada Isteri Karyawan Perkebunan Kelapa Sawit. (Skripsi). Indonesia: Universitas Sumatera Utara. Neimark, J. (2007), The Optimism Revolution, Psychology Today: 1–3 dari http://www.psychologytoday.com/articles/archive Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human Development (11th Ed.,). New York: McGrawHill. Rise, J., & Butt, F. M. (2010). The role of perfectionism in psychological health: A study of adolescents in pakistan.Europe's Journal of Psychology, 6(4), 125. Roedell, W.C. (1984). Vulnerabilities of highly gifted children. Roeper Review 6 (3): 127– 130. Ryff, C. D. (1989) Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being.Journal of Personality and Social Psychology, 57(6). Ryff, C. D. (1995). Psychological well-being ini adult life.Current Directions in Psychological Science, 57(6), 99-104. Ryff, C.D., Singer, B. (1996). Psychological well-being : Meaning, measurement, and implications for psychotherapy research. Psychother Psychosom, 65(1), 14-23. Sagar, S., & Stöber, J. (2009). Perfectionism, fear of failure, and affective responses to success and failure: The central role of fear of experiencing shame and embarrassment. Journal of Sport & Exercise Psychology, 31, 602– 627. Stirling, A. E., & Kerr, G. A. (2006).Perfectionism and mood states among recreational and elite athletes.Athletic Insight, 8, 1-14. Stöber, J.,& Childs, J. H. (2011). Perfectionism.In R. J. R. Levesque (Ed.), Encyclopedia of adolescence (Vol. 4, Part 16, pp. 2053-2059). New York: Springer. Stöber, J., & Otto, K. (2006). Positive conceptions of perfectionism: Approaches, evidence, challenges. Personality and Social Psychology Review, 10, 295-319. Throdsby, D., Zednik, A. (2010). Do You Really Expect To Get Paid?: Economic Study of Professional Artist in Australia. Research and Strategic Analysis, Australia Council for the Arts, dari www.australiacouncil.gov.au/artistcareers.
Hubungan Antara ..., Pandam Kuntaswari, FPsi, 2013