HUBUNGAN ANTARA KOMITMEN KERJA DAN KESIAPAN MENIKAH PADA WANITA DEWASA MUDA YANG BEKERJA (The Correlation between Occupational Commitment and Readiness for Marriage in Young Adult Working Women)
Neysa Oktanina Pembimbing: Mellia Christia Muchlis, M.Si., M.Phil., Psikolog Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara komitmen kerja dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja. Pengukuran komitmen kerja dilakukan menggunakan alat ukur Occupational Commitment, sedangkan pengukuran kesiapan menikah dengan menggunakan alat ukur Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah. Partisipan pada penelitian ini berjumlah 96 orang yang merupakan wanita dewasa muda yang bekerja. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara komitmen kerja dengan kesiapan menikah (r = 0.387, p < 0.01). Artinya, semakin tinggi komitmen kerja, maka semakin tinggi pula kesiapan menikah, begitu pula sebaliknya. Dalam penelitian ini, terdapat tiga area dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan komitmen kerja, yaitu keuangan, anak dan pengasuhan, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui bahwa usia, tingkat pendidikan, lama bekerja, lama berpacaran, dan rencana pelaksanaan pernikahan tidak memberikan pengaruh terhadap komitmen kerja dan kesiapan menikah. Kata kunci: komitmen kerja, kesiapan menikah, dewasa muda, wanita bekerja
1 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
1. Pendahuluan Adanya pergerakan kaum wanita di Indonesia yang menuntut adanya kesamaan derajat dengan pria, membuat perbedaan gender di antara keduanya kini semakin berkurang. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan jumlah angkatan kerja wanita di Indonesia. Menurut data Keadaan Tenaga Kerja di Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2012, selama Agustus 2010 – Agustus 2011, jumlah tenaga kerja wanita bertambah 934.912 orang, sedangkan tenaga kerja pria hanya bertambah 527.720 orang. Data tersebut menunjukkan bahwa jumlah pekerja di Indonesia, terutama pekerja wanita, setiap tahun mengalami peningkatan. Perubahan tradisi pernikahan dalam kehidupan manusia, yaitu penundaan pernikahan pertama ke usia yang lebih lanjut, disebutkan DeGenova (2008) sebagai tren dalam pola pernikahan yang terjadi di Amerika Serikat pada beberapa dekade terakhir. Usia yang lebih tua saat pernikahan pertama ini seringkali diasosiasikan dengan kesejahteraan ekonomi dan pendidikan (DeGenova, 2008). Semakin tingginya tingkat pendidikan wanita, membuat wanita ingin memanfaatkan pendidikan tinggi yang mereka raih untuk investasi masa depannya, yaitu berupa karir. Berkarir merupakan salah satu tugas perkembangan bagi wanita yang berada pada rentang usia 20-40 tahun, yang dapat digolongkan ke dalam tahap perkembangan dewasa muda. Duvall dan Miller (1985) menjelaskan pernikahan sebagai suatu hubungan yang dijalin oleh pria dan wanita yang diakui secara sosial, dengan tujuan melegalkan hubungan seksual dan pengasuhan anak yang sah, dan di dalamnya terjadi pembagian hubungan peran yang jelas bagi masingmasing pihak, baik suami maupun istri. Pernikahan juga dapat dikatakan sebagai bergabungnya dua sistem yang sangat kompleks, dua kepribadian yang berbeda menyatu dalam satu ikatan, dan tentunya akan menimbulkan banyak masalah dan perbedaan yang harus dapat dihadapi bersama. Pembagian peran dalam mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang dibebankan kepada wanita biasanya lebih berat dibandingkan pria. Rapaport (1963 dalam Duvall dan Miller, 1985) mengatakan bahwa seorang dikatakan siap untuk menikah bila ia telah siap menyandang peran-peran barunya, yaitu sebagai suami atau istri, kemudian berusaha untuk terlibat terhadap perkawinannya dan mampu menyesuaikan pola-pola kepuasan yang didapatnya sebelum menikah, ke dalam kehidupan pernikahan.
2 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
Selain memerlukan kesiapan yang baik sebelum menikah, ternyata tugas perkembangan untuk bekerja secara bersamaan juga menuntut individu, terutama wanita, untuk memiliki komitmen yang tinggi terhadap pekerjaannya. Hal ini disebabkan karena meskipun wanita memiliki beban pekerjaan rumah tangga yang lebih tinggi dibandingkan pria, tidak tertutup kemungkinan bahwa beban kerja pada wanita dalam pekerjaannya di luar rumah memiliki bobot yang sama dengan pria. Banyak wanita Indonesia dengan latar belakang pendidikan yang baik memilih untuk mengakhiri pekerjaan mereka setelah menikah, karena batasan yang diberikan oleh suami kepada mereka, atau karena terlalu sibuk mengurus anak (Sarwono, 2005). Pernikahan seringkali dianggap sebagai suatu hal yang menghambat karir wanita. Sebaliknya, peran wanita dalam pekerjaannya di luar rumah dianggap penting karena dapat menunjang kesiapan menikahnya dari segi financial resource. Hal ini disebabkan karena bekerja dan menikah merupakan dua tugas perkembangan yang penting dan hadir dalam waktu yang bersamaan saat individu menginjak tahap perkembangan dewasa muda. Dengan melihat hubungan di antara keduanya, kurangnya pengembangan penelitian dalam bidang pranikah, dan berbagai fenomena yang terjadi di Indonesia terkait dengan pekerjaan dan pernikahan, seperti fenomena meningkatnya jumlah tenaga kerja wanita dan fenomena penundaan pernikahan, maka peneliti tertarik untuk melihat hubungan antara komitmen kerja dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja. Penelitian ini diharapkan dapat membantu wanita yang hendak menikah untuk lebih mengetahui gambaran kesiapan menikah dan komitmen kerja yang dimilikinya untuk mencegah kemungkinan terjadinya konflik peran pada wanita di antara kedua area tersebut setelah menikah nantinya dengan cara melakukan asesmen sebelum menikah. 2. Tinjauan Teoritis 2.1. Kesiapan Menikah Kesiapan menikah didefinisikan oleh Larson (1988 dalam Carroll et al., 2009) sebagai evaluasi subjektif individu terhadap kesiapan dirinya untuk mengemban tanggung jawab dan tantangan dalam pernikahan. Stinnett (1969 dalam Carroll et al., 2009) mengemukakan bahwa kesiapan menikah memiliki kaitan dengan kompetensi pernikahan, yaitu kemampuan seseorang untuk menjalankan peran yang berhubungan dengan pernikahan untuk dapat memenuhi kebutuhan pasangan dalam kehidupan pernikahan. Berdasarkan kedua penjelasan tersebut, Holman dan Li (1997) menyimpulkan kesiapan menikah sebagai kemampuan yang 3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
dipersepsikan oleh individu untuk menjalankan peran dalam pernikahan, dan melihatnya sebagai aspek dari proses pemilihan pasangan atau perkembangan hubungan. Rapaport (1963 dalam Duvall dan Miller, 1985) mengatakan bahwa seorang dikatakan siap untuk menikah apabila ia telah siap menyandang peran-peran barunya, yaitu sebagai suami atau istri, kemudian berusaha untuk terlibat terhadap pernikahannya, dan mampu menyesuaikan pola-pola kepuasan yang didapatnya sebelum menikah ke dalam kehidupan pernikahan. Adapun area-area dalam kesiapan menikah menururt Wiryasti (2004) antara lain: 1) komunikasi, 2) keuangan, 3) anak dan pengasuhan, 4) pembagian peran suami dan istri, 5) latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, 6) agama, 7) minat dan pemanfaatan waktu luang, serta 8) perubahan pada pasangan dan pola hidup. 2.2. Komitmen Kerja Pekerja yang berkomitmen adalah seseorang yang bertahan pada pekerjaannya baik dalam keadaan susah maupun senang, hadir penuh secara rutin, melindungi aset perusahaan, bersama-sama mencapai tujuan perusahaan, dan sebagainya (Meyer & Allen, 1997). Komitmen kerja didefinisikan sebagai keyakinan dan penerimaan nilai-nilai seseorang terhadap pekerjaan yang dipilihnya, dan kemauan untuk mempertahankan pekerjaannya tersebut (Morrow & Writh, 1989; Ritzer & Trice, 1969; Sorensen & Sorensen, 1974 dalam Goswami, Mathew, & Chadha, 2007). Selain itu, Meyer, Allen, dan Smith (1993) juga mendefinisikan komitmen kerja sebagai sebuah keadaan psikologis yang cenderung konstan, yang menggambarkan keterikatan pekerja dengan pekerjaannya dan memiliki implikasi terhadap keputusan untuk melanjutkan atau menghentikan pekerjaannya tersebut. Individu dengan komitmen kerja yang tinggi akan lebih mengasosiasikan dirinya dengan pekerjaannya, dan memiliki perasaan yang lebih positif tentang pekerjaannya, dibandingkan individu dengan komitmen kerja yang rendah (Lee, Carswell, & Allen, 2000). Komitmen kerja juga berhubungan dengan berbagai perilaku kerja, terutama apakah seseorang mau bertahan pada pekerjaannya atau tidak (Lee, Carswell, & Allen, 2000). Meyer, Allen, dan Smith (1993) membedakan komitmen kerja menjadi tiga komponen, yaitu komitmen afektif, komitmen kelanjutan, dan komitmen normatif. 2.3. Tahap Perkembangan Dewasa Muda Sepanjang hidupnya, individu akan terus berkembang memasuki berbagai fase perkembangan mulai dari anak-anak, remaja, hingga dewasa. Pada setiap fase tersebut, 4 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
terdapat tugas-tugas perkembangan yang akan membantu individu untuk mengembangkan kemampuan kognitif, emosional, dan psikososialnya (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Salah satu fase yang akan dilalui individu dalam hidupnya adalah tahap perkembangan dewasa muda. Individu yang telah mencapai tahap dewasa muda juga dapat digolongkan ke dalam tahap keenam dari teori perkembangan psikososial Erikson, yaitu tahap intimacy versus isolation (1950; 1982 dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Pada tahap ini, kematangan perkembangan psikososial dapat dicapai ketika individu mampu mencapai resolusi dengan virtue berupa cinta: pengabdian antara pasangan yang telah memilih untuk berbagi kehidupan, memiliki anak, dan membantu anak-anak mereka mencapai perkembangan yang sehat (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). 2.4. Hipotesis Penelitian (1) Terdapat hubungan yang signifikan antara komitmen kerja dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja. (2) Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara komitmen kerja dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja. 3. Metode Penelitian Tipe penelitian didasarkan oleh tiga hal, yaitu penerapan penelitian, tujuan penelitian dan pendekatan pencarian informasi yang digunakan dalam penelitian (Kumar, 2005). Bila dilihat dari penerapan penelitian, penelitian ini adalah applied research, yaitu teknik, prosedur, dan metode penelitian yang diaplikasikan pada situasi, isu, problem atau fenomena, sehingga hasil penelitiannya dapat digunakan untuk memecahkan masalah sehari-hari (Kumar, 2005). Apabila dillihat dari tujuannya, penelitian ini merupakan penelitian korelasional karena ditujukan untuk melihat korelasi antara dua variabel, yaitu variabel komitmen kerja dan kesiapan menikah. Sementara itu, berdasarkan pendekatan pencarian informasi, tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif, yang berfungsi untuk melakukan pengukuran terhadap sebuah situasi atau masalah. Desain penelitian dapat dilihat dari tiga hal pula, yaitu jumlah kontak antara peneliti dengan partisipan penelitian, kerangka waktu penelitian, dan sifat penelitian. Dilihat dari jumlah kontak antara peneliti dengan partisipan penelitian, penelitian ini termasuk ke dalam cross-sectional atau one-shot studies, karena hanya membutuhkan satu kali kontak dengan populasi atau satu kali pengambilan data. Bila dilihat dari kerangka waktunya, penelitian ini 5 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
masuk dalam kategori prospective study design, di mana penelitian ini ditujukan untuk melihat prevalensi sebuah situasi, masalah dan sikap, terkait dengan apa yang akan terjadi di masa mendatang (Kumar, 2005). Penelitian ini bersifat non-eksperimental, karena tidak melibatkan manipulasi atau kontrol yang ketat. Partisipan yang digunakan dalam penelitian ini harus memenuhi beberapa kriteria sebagai kepentingan proses analisis data, antara lain: wanita, berusia 20-40 tahun, bekerja selama minimal 3 bulan, serta memiliki pacar dan berencana untuk menikah. Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling methods, yang menurut Gravetter dan Forzano (2009) merupakan metode pengambilan sampel di mana kemungkinan terpilihnya seorang individu tidak diketahui karena peneliti tidak mengetahui jumlah populasi. Adapun metode nonprobability sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode convenience sampling, di mana peneliti memilih partisipan berdasarkan ketersediaan dan kemauan partisipan untuk terlibat dalam penelitian (Gravetter & Forzano, 2009). Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah Occupational Commitment Scale (OCS) yang dikembangkan oleh Meyer, Allen, dan Smith pada tahun 1993 untuk mengukur komitmen kerja, dan Modifikasi Inventori Kesiapan Menikah yang dikembangkan oleh Wiryasti untuk mengukur kesiapan menikah. Peneliti kemudian melakukan proses uji coba alat ukur kepada 50 orang subjek yang sesuai dengan karakteristik penelitian. Setelah melaksanakan proses uji coba alat ukur, peneliti melakukan perbaikan kata pada item-item serta mengeliminasi item-item yang terbukti kurang baik. Selanjutnya peneliti menggabungkan kedua alat ukur ke dalam kuesioner yang berbentuk booklet sebelum kemudian diperbanyak dan siap disebarkan kepada partisipan. Peneliti juga juga menyiapkan reward sebagai ucapan terima kasih atas kesediaan partisipan membantu pelaksanaan penelitian. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga Februari 2013. Untuk memperoleh data, peneliti memberikan kuesioner dalam bentuk booklet yang diberikan langsung kepada subjek yang sesuai dengan karakteristik yang telah ditentukan, serta memberikan softcopy booklet dan spreadsheet yang dikirimkan melalui e-mail kepada subjek penelitian yang sebelumnya sudah diketahui sesuai dengan karakteristik subjek penelitian namun sulit dijangkau oleh peneliti. Seluruh instruksi dalam alat ukur ini diberikan secara individual baik secara langsung maupun dari yang tertera di lembar pengisian. 6 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
Data yang terkumpul kemudian diseleksi berdasarkan kelengkapannya dan diskor sesuai dengan teknik scoring yang telah ditentukan sebelumnya. Total subjek yang didapatkan secara adalah sebanyak 100 orang, namun setelah dilakukan analisis terhadap data yang didapatkan, hanya 87 orang subjek yang datanya dapat digunakan. Adapun proses scoring dilakukan dengan menggunakan Microsoft Excel dan setelah itu data diolah dengan menggunakan Statistical Package for Social Science (SPSS) versi 20.0 dengan teknik-teknik: (1) Statistik Deskriptif untuk mengolah data partisipan dan data demografis seperti daerah asal subjek, usia, tingkat pendidikan, pekerjaan, lama bekerja, lama subjek menjalin hubungan dengan pacarnya, serta rencana pelaksanaan pernikahan subjek, (2) Pearson Correlation untuk mengetahui besar dan arah hubungan linier dari dua variabel, (3) One-Way Analysis of Variance (ANOVA) untuk mengenahui signifikansi perbedaan mean antara lebih dari dua kelompok sebagai satu variabel terhadap variabel yang lain. 4. Hasil Penelitian 4.1. Gambaran Partisipan Subjek penelitian ini adalah wanita dewasa muda dengan rentang usia 20–40 tahun, bekerja, memiliki pacar, dan memiliki rencana untuk menikah dengan pasangannya tersebut. Total subjek dalam penelitian ini adalah 87 orang yang tersebar di berbagai kota di Indonesia. Adapun mayoritas subjek berdomisili di DKI Jakarta. Berdasarkan usianya, mayoritas subjek penelitian berusia antara 20-25 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan, terbukti bahwa semakin tinggi usia subjek maka tingkat pendidikannya juga semakin bertambah, di mana 57.5% subjek dalam kelompok usia 20-25 tahun merupakan lulusan S1, serta subjek pada kelompok usia 36-40 tahun merupakan lulusan S2. Mayoritas pekerjaan subjek adalah pegawai, baik pegawai negeri sipil, pegawai BUMN, maupun pegawai swasta. Mayoritas subjek penelitian baru bekerja selama kurang dari 1 tahun. Analisis gambaran umum subjek berdasarkan rencana pelaksanaan pernikahannya menunjukkan bahwa mayoritas subjek berencana menikah dengan pasangannya dalam kurun waktu antara 1-12 bulan mendatang. 4.2. Analisis Hasil Penelitian Berdasarkan penghitungan statistik deskriptif yang telah dilakukan pada variabel kesiapan menikah, diketahui bahwa nilai minimum untuk rata-rata skor kesiapan menikah adalah 2.27, sedangkan nilai maksimumnya adalah 3.62. Berdasarkan persebaran skor 7 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
kesiapan menikah, didapatkan persebaran terbanyak berada dalam kategori tinggi (76.1%) dan sisanya memiliki skor kesiapan menikah yang tergolong sedang (23.9%). Artinya, sebagian besar subjek mempersepsikan dirinya telah mampu untuk melaksanakan peran dalam kehidupan rumah tangga. Berdasarkan rata-rata skor per item, tampak bahwa area yang memiliki skor rata-rata terbesar adalah area agama, yaitu sebesar 3.36. Peneliti menggunakan teknik one-way analysis of variance (ANOVA) untuk melihat perbedaan atau hubungan antara skor kesiapan menikah dengan aspek-aspek demografis yang diteliti. Namun ditemukan bahwa tidak terdapat perbedaan mean skor kesiapan menikah yang signifikan dilihat dari usia, pendidikan, lama berpacaran, maupun rencana pelaksanaan pernikahan pada wanita dewasa muda yang bekerja. Artinya, skor kesiapan menikah tidak dipengaruhi oleh usia, pendidikan, lama menjalin hubungan berpacaran, maupun rencana pelaksanaan pernikahan. Berdasarkan penghitungan statistik deskriptif yang telah dilakukan pada variabel komitmen kerja, diketahui bahwa nilai minimum untuk rata-rata skor komitmen kerja adalah 2.06, sedangkan nilai maksimumnya adalah 4. Jika dilihat persebaran skor komitmen kerja, maka akan tampak persebaran terbanyak berada dalam kategori sedang (66.7%) dan tidak terdapat satu pun subjek penelitian yang termasuk ke dalam kategori rendah. Artinya, sebagian besar subjek memiliki perasaan yang cukup positif tentang pekerjaannya, serta cukup terikat untuk tetap bertahan pada pekerjaannya. Secara spesifik, peneliti melakukan penghitungan untuk melihat skor rata-rata dari tiap komponen komitmen kerja, dan didapatkan hasil bahwa subjek dalam penelitian ini memiliki skor rata-rata paling tinggi dalam komponen normatif, yaitu sebesar 2.88. Artinya, subjek bertahan pada pekerjaannya karena rasa kewajiban dan nilai-nilai pribadi yang dianut oleh subjek. Dalam melakukan perhitungan mengenai hubungan antara komitmen kerja dan data demografis penelitian, peneliti menggunakan teknik one-way analysis of variance (ANOVA), namun tidak ditemukan perbedaan mean skor komitmen kerja yang signifikan ditinjau dari aspek usia, pendidikan, maupun lama bekerja wanita dewasa muda yang bekerja. Artinya, skor komitmen kerja tidak dipengaruhi oleh usia, pendidikan, maupun lama bekerja subjek. Berdasarkan pada perhitungan statistik menggunakan teknik pearson correlation untuk mengetahui hubungan antara kedua variabel penelitian, diperoleh nilai r sebesar 0.401 (p < 0.01, 2-tailed) dengan arah positif untuk korelasi antara komitmen kerja dan kesiapan 8 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
menikah. Artinya, semakin tinggi komitmen kerja, maka semakin tinggi pula kesiapan menikah. Dengan adanya hubungan antara kedua variabel dalam penelitian ini, yaitu komitmen kerja dan kesiapan menikah, maka hipotesis null (H0) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima, yang artinya terdapat hubungan yang signifikan antara komitmen kerja dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja. Di samping melihat hubungan komitmen kerja dan kesiapan menikah secara keseluruhan, peneliti juga melakukan analisis terhadap hubungan antara komitmen kerja dengan beberapa area kesiapan menikah yang peneliti anggap memiliki hubungan langsung dengan komitmen kerja, antara lain keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suamiistri, minat dan pemanfaatan waktu luang, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup. Melalui penghitungan dengan menggunakan teknik analisis pearson correlation, diketahui bahwa terdapat tiga area yang memiliki hubungan positif dan signifikan dengan komitmen kerja, yaitu area keuangan, anak dan pengasuhan, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup. Area pertama adalah keuangan dengan nilai r sebesar 0.261 (p < 0.05) yang artinya semakin tinggi skor komitmen kerja, maka skor area keuangan juga semakin tinggi. Area kedua adalah anak dan pengasuhan dengan besar nilai koefisien korelasi antara komitmen kerja dengan area anak dan pengasuhan adalah 0.336 (p < 0.05). Artinya, semakin tinggi skor komitmen kerja, maka skor area anak dan pengasuhan juga semakin tinggi. Area ketiga yang juga berkorelasi positif dengan komitmen kerja adalah area perubahan pada pasangan dan pola hidup dengan nilai r sebesar 0.296 (p < 0.05). Artinya, semakin tinggi skor komitmen kerja, maka skor area perubahan pada pasangan dan pola hidup juga semakin tinggi. Ditemukan pula bahwa area pembagian peran suami-istri, serta area minat dan pemanfaatan waktu luang tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen kerja. 5. Pembahasan Berdasarkan data yang didapatkan dalam penelitian ini, didapatkan hasil bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara komitmen kerja dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja, dengan nilai r sebesar 0.387 (p < 0.01). Hasil penelitian tersebut sejalan dengan hipotesis yang telah peneliti buat sebelumnya, yaitu terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel dalam penelitian ini. Dapat diartikan bahwa semakin tinggi komitmen kerja, maka akan semakin tinggi pula kesiapan menikahnya, dan sebaliknya. Hal 9 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
tersebut dapat terjadi karena komitmen kerja dan kesiapan menikah merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan, mengingat berkarir dan menikah merupakan dua tugas perkembangan yang penting dan hadir dalam waktu yang bersamaan ketika individu menginjak tahap perkembangan dewasa muda (Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Kedua variabel tersebut juga saling menunjang satu sama lain, di mana untuk dapat dikatakan siap menikah, individu perlu memiliki komitmen kerja yang tinggi terhadap pekerjaannya, sehingga ia akan memiliki financial resource yang baik. Secara spesifik, dari penghitungan statistik yang dilakukan, ditemukan adanya korelasi positif yang signifikan antara area keuangan dalam kesiapan menikah dengan komitmen kerja, yaitu dengan nilai r sebesar 0.253 (p < 0.05). Hal ini berarti bahwa semakin tinggi keterikatan individu dengan pekerjaannya, maka semakin siap individu untuk menikah dari segi keuangan. Blood (1969) mengemukakan bahwa financial resource atau sumber daya keuangan merupakan hal yang penting dipersiapkan sebelum pasangan memutuskan untuk menikah, dan dapat diperoleh melalui bekerja. Dengan bekerja, seorang individu memiliki sumber daya keuangan yang stabil untuk bisa meningkatkan standar kehidupan keluarga dan memenuhi kebutuhan hidup dari masing-masing anggota keluarga seperti keperluan rumah, biaya transportasi, makanan, kesehatan, rekreasi, pendidikan dan kebutuhan lainnya (DeGenova, 2008). Dari penelitian ini, dapat dilihat bahwa individu yang memiliki komitmen kerja yang tinggi, akan memiliki kesiapan yang baik dalam hal keuangan, seperti cara memperoleh pendapatan, pengelolaan keuangan rumah tangga, dan perencanaan pengeluaran. Masalah pekerjaan dan keuangan ini ternyata tidak hanya dibebankan kepada pria saja. Menurut DeGenova (2008), pertimbangan ekonomi juga merupakan hal yang relevan pada preferensi pria dalam pemilihan pasangan sebelum menikah, di mana laki-laki cenderung kurang bersedia untuk menikahi seorang wanita yang tidak memiliki pekerjaan tetap. Penjelasan di atas memungkinkan adanya hubungan antara komitmen kerja dan kesiapan menikah pada wanita. Selain keuangan, area lain dalam kesiapan menikah yang memiliki hubungan positif yang signifikan dengan komitmen kerja adalah anak dan pengasuhan, dengan nilai r sebesar 0.273 (p < 0.01). Hal tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi keterikatan individu dengan pekerjaannya, maka semakin baik pula perencanaan yang berkaitan dengan anak dan cara pengasuhan, seperti sikap dan perasaan pasangan yang hendak menikah untuk memiliki anak dan cara membesarkan anak, perencanaan masa depan untuk anak, serta pengaruh kehadiran 10 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
anak terhadap hubungan suami-istri. Di zaman sekarang, di mana lebih dari separuh jumlah wanita menikah juga bekerja di luar rumah, keadilan menuntut adanya kemauan dari suami untuk memikul tanggung jawab bersama untuk mengurus pekerjaan rumah tangga dan anak (DeGenova, 2008). Pada keluarga yang berpenghasilan ganda, di mana suami dan istri samasama bekerja, ayah memiliki keterlibatan yang lebih besar dalam kegiatan anak-anak mereka, dan keterlibatan ini meningkat seiring meningkatnya jam kerja ibu (DeGenova, 2008). Area perubahan pada pasangan dan pola hidup dalam kesiapan menikah juga diketahui memiliki korelasi positif yang signifikan dengan komitmen kerja, yaitu dengan nilai r sebesar 0.327 (p < 0.01). Hasil analisis tersebut berarti bahwa semakin tinggi keterikatan individu dengan pekerjaannya, maka semakin siap pula individu untuk melakukan adaptasi terhadap perubahan pasangan serta pola hidup yang mungkin terjadi setelah menikah, seperti tugas-tugas baru yang akan diemban oleh seorang individu serta berkurangnya waktu yang tersedia bagi diri pribadi. Dalam penelitian ini, wanita dewasa muda yang menjadi subjek penelitian sudah bekerja sejak sebelum mereka menikah. Untuk dapat tetap bertahan pada pekerjaannya, wanita-wanita ini perlu memiliki kesiapan yang baik dalam melakukan adaptasi guna menyelaraskan antara pekerjaan yang sudah dimiliki dengan tugas dan peran baru yang akan muncul setelah menikah nanti. Berdasarkan persebaran skor kesiapan menikah, sebagian besar subjek berada pada kategori tinggi (76.1%), yang artinya mayoritas subjek dalam penelitian ini mempersepsikan dirinya mampu untuk bisa menjalankan peran-peran yang ada dalam suatu pernikahan. Dalam konteks penelitian ini, data demografis subjek penelitian menunjukkan bahwa rencana pelaksanaan pernikahan terbanyak adalah 1-12 bulan mendatang (54.2%). Hasil tersebut tentunya tidak terlepas dari karakteristik subjek dalam penelitian ini, yaitu wanita dewasa muda yang bekerja. Wanita yang memiliki pekerjaan tetap dan memiliki penghasilan akan memiliki kesiapan financial resource yang baik, sehingga ia akan lebih siap menikah. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh DeGenova (2008), di mana salah satu faktor yang dapat memengaruhi kesiapan menikah pada individu adalah pekerjaan. Berdasarkan rata-rata skor per item pada setiap area, diketahui urutan area dalam kesiapan menikah yang memiliki skor rata-rata terbesar hingga terkecil, yaitu (1) agama, (2) perubahan pada pasangan dan pola hidup, (3) minat dan pemanfaatan waktu luang, (4) latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, (5) keuangan, (6) komunikasi, (7) pembagian peran 11 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
suami-istri, serta (8) anak dan pengasuhan. Berdasarkan urutan tersebut, tampak bahwa area ke1, 2, 3, 4, 5, dan 6 telah dipelajari sedikit demi sedikit selama masa berpacaran. Hasil temuan ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Blood (1969), bahwa pada saat berpacaran, pasangan dapat mengetahui perbedaan di antara keduanya, sehingga pasangan dapat mempelajari dan menyesuaikan diri dalam berbagai macam hal. Area ke-7 dan 8 lebih berorientasi ke masa depan. Hal ini memungkinkan kedua area tersebut memiliki skor rata-rata item yang lebih rendah dibandingkan enam area sebelumnya. Pasangan yang belum menikah pada umumnya belum pernah melakukan pembagian peran sebagai suami-istri ataupun melakukan pengasuhan anak bersama-sama. Dari pemaparan sebelumnya, tampak bahwa area dalam kesiapan menikah yang memiliki skor rata-rata tertinggi adalah agama, yaitu dengan skor rata-rata per item sebesar 3.36. Hal-hal yang menyangkut agama merupakan sesuatu yang bersifat fundamental di budaya ketimuran, khususnya di Indonesia. Peraturan yang mengatur masalah pernikahan di Indonesia, yaitu Undang-Undang
Republik
Indonesia
No.1
Tahun
1974
tentang
Perkawinan,
tidak
memungkinkan dilakukannya pernikahan antar agama, karena pencatatan pernikahan yang resmi oleh pemerintah hanya dapat dilakukan oleh pasangan yang memiliki kesamaan keyakinan (Sarwono, 2005). Sebuah pernikahan wajib didaftarkan di salah satu instansi yang telah ditentukan, yaitu KUA bagi pasangan yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi pasangan yang beragama selain Islam. Adanya ketentuan tersebut membuat kesamaan prinsip agama menjadi hal yang sangat penting dalam pemilihan pasangan di Indonesia. Selain itu, perbedaan agama pun diyakini dapat meningkatkan risiko perceraian (Weinberger, 2012). Selanjutnya, apabila dilihat dari persebaran skor komitmen kerja, sebagian besar subjek memiliki skor dalam kategori sedang (66.7%), dan sisanya berada pada kategori tinggi. Hal ini dimungkinkan karena data demografis penelitian ini menunjukkan bahwa mayoritas subjek merupakan lulusan S1 yang baru bekerja selama 1-12 bulan sebagai pegawai di tempat kerjanya saat ini. Hal ini memungkinkan komitmen kerja yang dimiliki oleh para subjek belum terbentuk sempurna dalam masa kerja yang relatif singkat, sehingga komitmen kerja mereka masih berkembang dan belum berada pada kategori tinggi. Kemungkinan lain yang menyebabkan persebaran skor komitmen kerja subjek penelitian berada di kategori sedang adalah karena faktor-faktor lain yang tidak dikontrol dalam penelitian ini, seperti faktor-faktor anteseden dari komponen komitmen kerja. Faktor anteseden mencakup hal-hal yang dapat membuat seorang 12 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
pekerja memiliki komitmen kerja tertentu. Faktor-faktor anteseden ini antara lain adalah kondisi pekerjaan, harapan yang terpenuhi, manfaat yang diperoleh, lapangan pekerjaan yang tersedia, nilai-nilai pribadi, serta kewajiban yang dirasakan oleh individu terhadap pekerjaannya (Spector, 2000). Selain membahas mengenai pengaruh konteks penelitian kepada gambaran umum persebaran skor total komitmen kerja dan kesiapan menikah, peneliti juga melakukan analisis terkait gambaran umum kedua variabel tersebut ditinjau dari aspek demografis dan informasi penunjang penelitian. Skor kesiapan menikah diketahui tidak dipengaruhi oleh aspek demografis seperti usia, tingkat pendidikan, lama berpacaran, maupun rencana pelaksanaan pernikahan. Selain itu, dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa subjek dalam kategori usia tertinggi, yaitu 36-40 tahun, memiliki rencana pelaksanaan pernikahan yang tergolong paling lama, yaitu lebih dari 24 bulan mendatang, meskipun ia telah berpacaran selama lebih dari 60 bulan. Hasil penelitian tersebut berkebalikan dengan apa yang dikemukakan oleh Holman dan Li (1997) bahwa karakteristik sosial-demografis seperti usia, pendidikan, dan pendapatan merupakan faktor yang memengaruhi kesiapan menikah individu. Peneliti juga menemukan bahwa tidak terdapat satupun perbedaan mean komitmen kerja yang signifikan pada subjek penelitian ditinjau dari aspek demografis usia, tingkat pendidikan, maupun lama bekerja. Hasil penelitian ini berkebalikan dengan hasil penelitian Meyer, Allen, dan Smith (1993) yang menyatakan bahwa lamanya bekerja akan sangat mempengaruhi komitmen kerja, terutama komitmen kelanjutan. Mowday, Porter, dan Steers (1982) juga menyatakan hal serupa, yaitu bahwa komitmen kerja berkorelasi positif dengan usia dan lama bekerja seseorang, di mana semakin bertambahnya usia dan semakin lama seseorang bekerja, maka individu tersebut akan memiliki komitmen kerja yang makin tinggi pula. Sementara itu, tidak adanya korelasi antara tingkat pendidikan dengan komitmen kerja juga tidak sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Mowday, Porter, dan Steers (1982). Mereka mengemukakan adanya korelasi negatif di antara tingkat pendidikan dan komitmen kerja. Seorang individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memiliki harapan yang semakin tinggi terhadap perusahaan yang mempekerjakannya, sehingga kemungkinan akan sulit bagi perusahaan untuk memenuhi harapan tersebut, sehingga pada akhirnya komitmen kerjanya menjadi rendah (Mowday, Porter, & Steers, 1982). Peneliti menyadari bahwa subjek yang dipilih untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini kurang bervariasi apabila ditinjau dari aspek usia, 13 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
tingkat pendidikan, serta pekerjaan yang hanya didominasi oleh satu kategori. Berdasarkan usianya, 92.7% subjek penelitian berusia antara 20-25 tahun. Sedangkan dari aspek tingkat pendidikan dan lama bekerja, mayoritas subjek penelitian telah menyelesaikan pendidikan pada tingkat S1 yaitu sebanyak 55.2% dan baru bekerja selama 1-12 bulan. Oleh karena itu, ketidaksesuaian antara hasil penelitian ini dengan literatur dapat disebabkan oleh keadaan yang telah dijelaskan sebelumnya. 6. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan terhadap 87 wanita dewasa muda yang bekerja, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara komitmen kerja dan kesiapan menikah pada wanita dewasa muda yang bekerja. Artinya, semakin tinggi komitmen kerja, maka semakin tinggi pula kesiapan menikah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa keterikatan individu dengan pekerjaannya memiliki hubungan dengan persepsi individu mengenai kemampuannya untuk menjalankan peran dalam kehidupan pernikahan. Secara lebih spesifik, hasil analisis data menunjukkan bahwa dari lima area kesiapan menikah yang diduga memiliki hubungan dengan komitmen kerja, terdapat tiga area yang memiliki hubungan positif yang signifikan terhadap komitmen kerja. Adapun ketiga area tersebut adalah keuangan, anak dan pengasuhan, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup. Hubungan yang signifikan antara komitmen kerja dan area keuangan menandakan bahwa semakin tinggi keterikatan individu dengan pekerjaannya, maka semakin siap individu untuk menikah dari segi keuangan. Selanjutnya, hubungan yang signifikan antara komitmen kerja dan area anak dan pengasuhan menandakan bahwa semakin tinggi keterikatan individu dengan pekerjaannya, maka semakin siap individu untuk memiliki dan mengasuh anak setelah menikah nanti. Hubungan yang signifikan antara komitmen kerja dan area perubahan pada pasangan dan pola hidup menandakan bahwa semakin tinggi keterikatan individu dengan pekerjaannya, maka semakin siap individu dalam melakukan adaptasi terhadap peran-peran baru yang akan didapat dalam kehidupan pernikahan. Sedangkan dua area lain dalam kesiapan menikah yang diduga berhubungan dengan komitmen kerja, yaitu area pembagian peran suami-istri serta area minat dan pemanfaatan waktu luang memiliki hubungan yang tidak signifikan dengan komitmen kerja.
14 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
7. Saran Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi konselor pernikahan untuk lebih memperhatikan area-area dalam kesiapan menikah, yaitu komunikasi, keuangan, anak dan pengasuhan, pembagian peran suami-istri, latar belakang pasangan dan relasi dengan keluarga besar, agama, minat dan pemanfaatan waktu luang, serta perubahan pada pasangan dan pola hidup dalam materi yang akan diberikan pada dewasa muda yang akan menikah. Akan lebih baik apabila hasil penelitian ini juga dilengkapi dengan hasil penelitian terhadap pihak pria, mengingat wanita dan pria yang berpacaran akan sama-sama memasuki kehidupan pernikahan. Lebih lanjut lagi, melihat pentingnya area anak dan pengasuhan serta area pembagian peran suami istri, namun tidak diimbagi dengan prioritas pasangan untuk mempersiapkannya sebelum menikah, maka pasangan diharapkan lebih memperhatikan kedua area tersebut sebelum menikah.
15 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
Kepustakaan Adekola, B. (2010). Interferences between work and family among male and female executives in Nigeria. African Journal of Business Management, 4(6), 1069-1077. Anastasi, A. & Urbina, S. (1997). Psychological testing (7th ed.). New Jersey: Prentice Hall, Inc. Badan Pusat Statistik. (2012). Perkembangan beberapa indikator utama sosial-ekonomi Indonesia. Diakses pada 7 Desember 2012 dari http://www.datastatistikindonesia.com/portal/index.php?option=com_content&task=view&id=540&Itemid=540&l imit=1&limitstart=1 Berk, L.E. (2011). Exploring lifespan development (2nd ed.). USA: Pearson. Blood, R.O. (1969). Marriage (2nd ed.). Toronto: Collier-Macmillan. Carroll, J.S., Badger, S., Willoughby, B.J., Nelson, L.J., Madsen, S.D., & Barry, C.M. (2009). Ready or not?: Criteria for marriage readiness among emerging adults. Journal of Adolescent Research, 24(3), 349. Cox, Sue. (1976). Female psychology: The emerging self. Chicago: Science Research Association. DeGenova, M.K. (2008). Intimate relationships, marriages, & families (7th ed.). New York: McGraw-Hill. DeLap, H. (2000). Personal readiness for marriage in adult children of alcoholics and adult children of non-alcoholics. USA: University of Wisconsin-Stout. Duvall, E.M. & Miller, B.C. (1985). Marriage and family development (6th ed.). New York: Harper and Row Publishers Inc.
16 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
Fowers, B.J., & Olson, D.H. (1989). Enrich marital inventory: A discriminant validity and crossvalidity assessment. Journal of Marital and Family Therapy, 15(1). Frieze, I.H. (1978). Women and sex roles: A social psychological perspective. New York: W W Norton & Company Incorporated. Gaswami, S., Mathew, M., & Chadha, N.K. (2007). Differences in Occupational Commitment amongst Scientists in Indian Defence, Academic, and Commercial R&D Organizations. Vikalpa, 32(4). Ginanjar, A.S. (2011). Sebelum janji terucap. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Gravetter, F.J. & Forzano, L.B. (2009). Research methods for the behavioral sciences (3rd ed.). Belmont: Wadsworth Cengage Learning. Gravetter, F.J., & Wallnau, L. (2008). Essentials statistics for the behavioral science (6th ed.). Belmont: Wadsworth. Grazella, M. & Osman, N. (2012). Female CEOs advise women to break mind barrier. Diakses pada 16 Oktober 2012 dari http://www.thejakartapost.com/news/2012/10/01/female-ceos-advise-women-break-mindbarrier.html Hoffman, L.W. & Nye, F.I. (1984). Working mothers: An evaluative review of the consequences for wife, husband, and child. San Francisco: Jossey-Bass. Holman, T. B., Larson, J. H., & Harmer, S. L. (1994). The development and predictive validity of a new premarital assessment instrument: The preparation for marriage questionnaire. Family Relations, 43, 46-52. Holman, T. B., & Li, B. D. (1997). Premarital factors influencing perceived readiness for marriage. Journal of Family Issues, 18, 124-144.
17 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
Hoyer W.J. & Roodin, P.A. (2003). Adult development and aging (5th ed.). Boston: McGrawHill. Inilah Alasan Umum Wanita Memilih Karier dan Menunda Menikah. (2011). Diakses pada 4 Desember 2012 dari http://hotklik.blogspot.com/2011/09/inilah-alasan-umum-wanita-memilih.html?m=0 Irving, P.G., Coleman, D.F., & Cooper, C.L. (1997). Further assessments of a three-component model of occupational commitment: Generalizability and differences across occupations. Journal of Applied Psychology, 82(3), 444-452. Irving, P.G. & Meyer, J.P. (1994). Reexamination of the met-expectations hypothesis: A longitudinal analysis. Journal of Applied Psychology, 79, 937-949. Kaplan, R.M., & Saccuzzo, D.P. (2004). Psychological testing: Principles, applications, and issues (6th ed..). Canada: Wadsworth Cengage Learning. Kumar, R. (2005). Research methodology: A step by step guide for beginners (2nd ed.). New Delhi: SAGE Publications. Lee, K., Carswell, J.J., & Allen, N.J. (2000). A meta-analytic review of occupational commitment: Relations with person- and work-related variables. Journal of Applied Psychology, 85(5), 799-811. Meyer, J.P., Allen, N.J., & Smith, C.A. (1993). Commitment to organizations and occupations: Extension and test of a three-component conceptualization. Journal of Applied Psychology, 78(4), 538-551. Meyer, J.P. & Allen, N.J. (1997). Commitment in the workplace: Theory, research, an application. California: SAGE Publications. Morris, M.L., & Carter, S.A. (1999). Transition to marriage: A literature review. Journal of Family and Consumer Science Education, 17(1).
18 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
Mosko, J. E. & Pistole, M. C. (2010). Attachment and religiousness: Contribution to young adult marital attitudes and readiness. The Family Journal Counseling and Therapy for Couples and Families, 18(2), 127-135. Nelson, H.A. (2008). A grounded theory model of how couples prepare for marriage (Doctoral Dissertation). Diunduh dari ProQuest Dissertations and Theses. (UMI No. 3314858) Olson, D.H. & DeFrain, J. (2006). Marriage and families: Intimacy, diversity and strengths. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development (11th ed.). New York: McGraw-Hill. Riggio, R.E. (2009). Introduction to industrial/organizational psychology. New Jersey: Prentice Hall. Grazella, M. & Osman, N. (2012). Female CEOs advise women to break mind barrier. Diakses pada 16 Oktober 2012 dari http://www.thejakartapost.com/news/2012/10/01/female-ceos-advise-women-break-mindbarrier.html Samantha, G. (2012). Berkarir, impian favorit wanita. Diakses pada 7 Desember 2012 dari http://waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=236203:-berkaririmpian-favorit-wanita&catid=31:perempuan&Itemid=99 Sarwono, S.W. (2005). Families in Indonesia. Dalam J.L. Roopnarine, & U.P. Gielen. Families in global perspective (hal. 104-119). Boston: Pearson Education, Inc. Seccombe, K. & Warner, R.L. (2004). Marriage and families: Relationship in social context. Canada: Thomson Learning, Inc. Snape, E. & Redman, T. (2003). An evaluation of a three-component model of occupational commitment: dimensionality and consequences among United Kingdom human resource management specialists. Journal of Applied Psychology, 88(1), 151-159. 19 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.
Spector, P.E. (2000). Industrial and organizational psychology: Reasearch and practice (2nd ed.). New York: John Wiley & Sons, Inc. Unger, R. & Crawford, M. (1992). Women and gender: A feminist psychology. New York: McGraw-Hill. Weinberger, B.Z. (2012). Divorce and devotion: How does religion factor in splits?. Diakses pada 11 Mei 2013 dari http://www.huffingtonpost.com/ bari-zell-weinberger-esq/divorceand-devotion-is-f_b_1729395.html William, B.K., Sawyer, S.C. & Wahlstrom, C.M. (2006). Marriages, families, & intimate relationship: A practical introduction. Boston: Pearson Education, Inc. Wiryasti, C.H. (2004). Modifikasi dan Uji Validitas dan Reliabilitas Inventori Kesiapan Menikah (Tesis). Depok: Universitas I
20 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Hubungan antara..., Neysa Oktanina, FPSI UI, 2013.