HUBUNGAN ANTARA PEMAAFAN DAN PSYCHOLOGICAL WELLBEING PADA INDIVIDU YANG MENIKAH SEBUAH STUDI PADA INDIVIDU DEWASA MUDA DAN MADYA
ARINDINA MEISITTA WIDHIKORA ERIDA RUSLI PROGRAM STUDI SARJANA REGULER FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS INDONESIA
Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara forgiveness dan psychological well-being pada individu yang menikah. Pengukuran forgiveness menggunakan alat ukur transgression-related interpersonal motivation 12-scale form (McCullough., et al, 1998) dan pengukuran psychological well-being menggunakan alat ukur Ryff’s psychological well-being scale (Ryff, 1995). Partisipan berjumlah 74 individu yang memiliki karakteristik sebagai seseorang yang terikat dalam hubungan pernikahan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara forgiveness dengan psychological well-being pada pasangan yang menikah (r = 0.318; p = 0.006, signifikan pada L.o.S. 0.01). Artinya, semakin tinggi skor forgiveness yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi ia menampilkan kesejahteraan secara psikologis. Berdasarkan hasil tersebut, perlu diadakan intervensi untuk meningkatkan forgiveness sebagai salah satu faktor dibalik bertambahnya psychological well-being. Kata Kunci: Forgiveness; Psychological Well-Being; Individu yang Menikah This research was conducted to find the correlation between forgiveness and psychological well-being in married couples. Forgiveness was measured by using an instrument called transgression-related interpersonal motivation 12-scale form (McCullough, et al, 1998) and psychological well-being was measured by using an instrument called Ryff’s psychological well-being scale (Ryff, 1995). The participants of this research were 74 individuals with a characteristic of currently being married. The main result of this research showed that forgiveness is positively and significantly correlated with psychological wellbeing (r = 0.318; p = 0.006, significant at L.o.S. 0.01). That is, the higher the level of forgiveness in one’s own nature, the higher that person shows psychological well-being inside oneself. Based on such results, there needs to be an intervention to increase forgiveness as one of the factors in increasing psychological well-being. Keyword: Forgiveness; Psychological Well-Being; Married Individuals
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
PENDAHULUAN
Latar Belakang Pernikahan didefinisikan sebagai sebuah hubungan yang diakui secara sosial diantara seorang laki-laki dan perempuan yang bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan seksual, legitimasi keturunan yang dihasilkan, dan penetapan pembagian peran antara pasangan yang menikah (Duvall & Miller, 1985). Saat dua individu bergabung dalam institusi pernikahan, terjadi asimilasi yang harus dihadapi oleh kedua belah pihak. Masing-masing individu tersebut tentunya berasal dari latar belakang yang berbeda. Perbedaan ini dapat berupa budaya yang bertentangan, pendidikan yang tidak kompatibel, atau karakteristik keluarga yang tidak sama. Semua perbedaan dan permasalahan yang dihadapi oleh pasangan yang menikah dapat menjadi pemicu terjadinya konflik dan transgresi. Dalam konteks pemaafan, transgresi diartikan sebagai perilaku yang melanggar kepercayaan individu lainnya. Ketika transgresi terjadi dalam hubungan pernikahan, individu yang menjadi korban transgresi akan merasa kehilangan kepercayaan dengan pelaku kesalahan. Selain hilangnya kepercayaan, kedekatan fisik dan emosional yang dirasakan oleh kedua individu dapat hilang begitu saja. Jika korban transgresi ini tidak memiliki tendensi untuk memaafkan pasangannya yang melakukan kesalahan, maka transgresi ini terjadi berlarut-larut dan memakan waktu serta energi kedua belah pihak, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi kesehatan fisik dan mental kedua belah pihak. Pernikahan yang sukses ditandai dengan adanya forgiveness atau pemaafan. Pemaafan merupakan sebuah komponen yang penting dalam hubungan romantis atau pernikahan, dan bahwa kapasitas individu untuk mencari dan mengabulkan pemaafan ditinjau sebagai salah satu faktor yang signifikan dalam kepuasan pernikahan dan umur panjang pernikahan (Fenell, 1993). Selain itu, pemaafan juga berperan dalam proses penyembuhan dalam permasalahan pernikahan yang serius seperti ketidaksetiaan dan juga untuk menangani permasalahan pernikahan sehari-hari (Gordon, Beaucom & Snyder, 2004; Fincham, Beach & Davila, 2004). Dalam konteks penelitian ini, transgresi yang dimaksud adalah marital conflicts, yang didefinisikan sebagai masalah yang muncul dari interaksi sosial, dimana kedua individu samasama memegang tujuan, minat, keinginan, ekspektasi atau opini yang berbeda-beda. Transgresi yang dimaksud dalam marital conflict ini dapat berupa perbedaan kecil hingga
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
pertengkaran verbal dan fisik (Beach, 2001; Bradbury, Rogge & Lawrence, 2001 dalam Paleari, Regalia & Fincham, 2009). Pemaafan didefinisikan sebagai sebuah proses intra-individu dan prososial dimana terjadi penurunan emosi negatif, yang berupa kebencian maupun kognisi dan motivasi negatif yang saling berhubungan, sehingga individu tidak lagi merasakan dendam terhadap individu yang berbuat kesalahan (Worthington, Van Oyen Witvliet, Pietrini, & Miller, 2007). Terdapat dua dimensi dari pemaafan, yaitu avoidance (penghindaran) dan revenge (pembalasan dendam; McCullough, et al, 1997). Pada dimensi avoidance, terjadi jarak, baik fisik maupun emosional, antara dua individu yang menghadapi masalah. Sedangkan pada dimensi revenge, salah satu pihak akan berusaha membalas dendam atas kesalahan yang dilakukan oleh pihak lainnya. Pemaafan tentu memiliki efek bagi individu. Secara psikologis, efek positif dari pemaafan diantaranya berupa peningkatan kesehatan mental jika hubungan interpersonal individu baik (Al-Mabuk, Enright & Cardis, 1995, dalam Edmonson, 2004). Hebl dan Enright (1993, dalam Edmonson, 2004) juga melaporkan bahwa pemaafan memiliki hubungan dengan kepercayaan diri yang meningkat, tingkat depresi dan kecemasan yang rendah. Adapun efek dari kegagalan individu untuk memaafkan adalah depresi, kecemasan, rasa ketidakpercayaan, kepercayaan diri yang rendah dan introversi sosial (Mauger, Freeman, McBride, Perry, Grove & McKinney, 1992; Brown, 2003 dalam Edmonson, 2004). Saat individu memiliki pemaafan yang tinggi, salah satu hal yang bertambah dalam dirinya adalah kesejahteraan psikologis. Adapun hubungan antara pemaafan dan psychological well-being dijelaskan oleh Karremans, Van Lange, Ouwerkerk dan Kluwer (2003), yang menyatakan bahwa korelasi yang positif antara pemaafan dan psychological well-being dipengaruhi oleh adanya komitmen interpersonal. Komitmen interpersonal sendiri diartikan sebagai keinginan individu untuk menetap dalam sebuah hubungan jangka panjang (Rusbult, 1983 dalam Karremans, et al, 2003; Rusbult, Verette, Whitney, Slovik & Lipkus, 1991). Psychological well-being didefinisikan oleh Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Semua keadaan ini merupakan dimensi dari psychological well-being itu sendiri, yaitu penerimaan diri sendiri (self acceptance), hubungan yang positif dengan orang lain (positive relation with others), otonomi (autonomy),
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
penguasaan terhadap lingkungan (enviromental mastery), keterarahan hidup (purpose in life), serta pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang berkelanjutan (personal growth). Hingga saat ini belum terdapat banyak penelitian ilmiah yang secara spesifik membahas mengenai hubungan antara pemaafan dan psychological well-being pada individu yang menikah di Indonesia, mengingat bahwa hampir semua penelitian yang telah disebutkan dilakukan di negara Barat. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Edmonson (2004) lebih berfokus pada hubungan antara pemaafan dan psychological health pada tahapan perkembangan yang berbeda. Oleh karena itu, peneliti merasa bahwa penelitian yang menggugah hubungan antara pemaafan dan psychological well-being penting untuk dilakukan, terutama dalam konteks pasangan yang menikah di Indonesia. Adapun alat ukur yang akan dipakai dalam penelitian ini terdiri dari dua bagian, yaitu alat ukur pemaafan (Transgression-Related Interpersonal Scale-12 (TRIM-12)) yang disusun oleh McCullough, et al (1998), serta alat ukur psychological well-being (Ryff’s Scales of Psychological Well-Being Scale), yang disusun oleh Ryff (1995). Permasalahan yang ingin diteliti kali ini terdiri dari tiga bagian, yaitu gambaran pemaafan pada individu yang menikah, gambaran psychological well-being pada individu yang menikah serta korelasi antara pemaafan dan psychological well-being pada individu yang menikah. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan korelasi antara kedua variabel tersebut. TINJAUAN TEORITIS Psychological Well-Being Psychological well-being dijelaskan oleh Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) sebagai pencapaian penuh dari potensi psikologis seseorang dan suatu keadaan ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal. Keadaan-keadaan yang menggambarkan psychological well-being ini adalah dimensi dari psychological well-being itu sendiri. Terdapat enam dimensi dari psychological well-being yaitu penerimaan diri sendiri (self acceptance), memiliki hubungan yang positif dengan orang lain (positive relation with others), otonomi (autonomy), penguasaan terhadap lingkungan (enviromental mastery), memiliki tujuan dan arti hidup (purpose in life), serta pertumbuhan dan perkembangan pribadi yang berkelanjutan (personal growth, Keyes & Ryff, 1999). Dalam dimensi otonomi, terdapat
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
beberapa aspek yang menjadi kualitas yang menggambarkan otonomi. Kualitas yang dimaksud dalam hal ini antara lain adalah penentuan diri sendiri, kemandirian, peran locus internal dalam evaluasi diri dan pengendalian perilaku yang berasal dari dalam diri individu (Ryff, 1989). Selain itu, Ryff dan Singer (1996) menjelaskan bahwa individu dengan otonomi yang baik memiliki evaluasi diri secara internal, yang ditandai dengan kemampuannya untuk menilai perilakunya sendiri sesuai dengan standar yang dimiliki. Dimensi kedua adalah penguasaan lingkungan. Ryff (1989) menjelaskan beberapa kualitas yang tercakup dalam dimensi ini meliputi kemampuan individu untuk memilih atau menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kondisinya, berpartisipasi dalam lingkungan di luar dirinya, mengontrol dan memanipulasi lingkungan yang kompleks, serta kemampuan untuk mengambil keuntungan dari kesempatan di lingkungan (Ryff & Singer, 1996). Selain dimensi otonomi dan penguasaan lingkungan, dimensi selanjutnya adalah pertumbuhan pribadi. Untuk mencapai fungsi psikologis yang optimal, seseorang perlu memiliki aspekaspek pertumbuhan pribadi yang baik. Hal ini antara lain ditandai dengan adanya keinginan untuk terus berkembang, kemampuan untuk melihat dirinya sebagai sesuatu yang terus tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman baru, memiliki keinginan untuk merealisasikan potensinya, serta dapat melihat kemajuan dalam diri dan perilakunya dari waktu ke waktu (Ryff, 1989). Dimensi keempat adalah hubungan positif dengan orang lain. Terdapat beberapa kualitas yang dihubungkan dengan kemampuan untuk membina hubungan interpersonal secara positif. Kualitas ini meliputi hubungan yang hangat dan adanya kepercayaan satu sama lain, adanya pengembangan pribadi antara satu pihak dengan pihak lainnya, memiliki kemampuan untuk mencintai dan juga bersikap hangat. Semua kualitas yang telah disebutkan ini adalah ciri-ciri kesehatan mental yang juga positif (Ryff, 1989). Selanjutnya, dimensi keterarahan hidup menjelaskan bahwa individu yang dianggap baik dalam dimensi keterarahan hidup adalah mereka yang memiliki tujuan dan arah hidup, yang juga merasa bahwa kehidupan dirinya di masa lalu dan masa sekarang memiliki makna tertentu, serta memegang keyakinan yang memberikan tujuan dalam hidup (Ryff, 1989). Dimensi yang keenam adalah penerimaan diri, yang merupakan ciri sentral dari konsep kesehatan mental dan juga merupakan karakteristik dari orang yang teraktualisasi dirinya, yang berfungsi secara optimal dan matang. Penerimaan diri yang baik ditandai dengan dimilikinya sikap positif terhadap diri sendiri, kemampuan menerima diri apa adanya, baik dari segi positif maupun negatif, dan memandang kehidupan yang telah dilaluinya sebagai hal yang positif (Ryff, 1989).
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
Pemaafan Pemaafan merupakan perubahan intra-individual dan prososial individu terhadap individu lain yang dianggap sebagai pelaku kesalahan dalam konteks hubungan interpersonal (McCullough, Pargament dan Thoresen, 2000). Penjelasan ini kemudian dilengkapi oleh Worthington (2005, dalam Worthington, Van Oyen Witvliet, Pietrini, & Miller, 2007), dimana pemaafan didefinisikan sebagai sebuah proses dimana terdapat penurunan emosi yang berbasis kebencian, kognisi dan motivasi negatif yang saling berhubungan. Selain faktor emosi, pemaafan merubah motivasi seseorang untuk berpikir, bertindak dan berperasaan negatif terhadap individu yang melakukan transgresi (Fincham, Hall & Beach, 2006). Pemaafan adalah perubahan motivasional, dimana terdapat penurunan motivasi untuk balas dendam dan motivasi untuk menghindari orang yang telah menyakiti seseorang (McCullough, Worthington & Rachal, 1997). Pemaafan juga meningkatkan usaha untuk memperbaiki hubungan yang rusak akibat transgresi yang dilakukan agar norma moral dalam hubungan tersebut dapat ditegakkan kembali seperti dahulu, atau malah lebih baik dari norma sebelum transgresi terjadi (McCullough, Sandage & Worthington, 1997; McCullough, Rachal, Sandage, Worthington, Brown & Hight, 1998 dalam Worthington, 1998). Adapun faktor-faktor yang dapat memengaruhi pemaafan dapat berupa kepribadian pelaku maupun korban transgresi (Worthington, 1998; Toussaint, et al (2001, dalam Edmonson, 2004), gender (Miller, Worthington & McDaniel, 2008), usia atau tahapan perkembangan, budaya (Kadiangandu, et al, 2007 dalam Ho & Fung, 2011), serta hubungan interpersonal yang terjalin antara korban dan pelaku kesalahan. Secara khusus, Miller, et al (2008) menyatakan bahwa perempuan memiliki tendensi untuk memaafkan daripada laki-laki. Hasil penelitian ini didukung oleh Fincham, Beach dan Davila (2004) menjelaskan bahwa dalam konteks transgresi di pernikahan, pihak istri yang biasanya memiliki pengaruh dalam proses forgiveness dibandingkan suaminya, karena perempuan cenderung tidak menghindar dari permasalahan. Dinamika antara Pemaafan dan Psychological Well-Being Saat individu melakukan kesalahan kepada pasangannya dan pada akhirnya menimbulkan pertengkaran, efek langsung yang biasanya dirasakan diantaranya adalah munculnya kemarahan, perasaan sakit hati, kelelahan secara emosional, kekecewaan dan hilangnya intimasi dan kepercayaan dengan pasangannya dalam jangka waktu tertentu. Apabila semua hal ini dibiarkan saja tanpa ada penyelesaian permasalahan atau tanpa adanya pemaafan, maka pada akhirnya efek negatif yang dirasakan semakin parah, yang dapat
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
berakibat pada munculnya depresi dan kecemasan. Sebaliknya, saat pemaafan muncul setelah transgresi terjadi, maka pasangan memiliki kemungkinan untuk tidak merasakaan efek negatif seperti yang disebutkan diatas, dan justru dapat meningkatkan kesehatan mental mereka. Menurut Worthington (2004, dalam Fincham, Hall & Beach, 2006), pemaafan merupakan pertanda pernikahan yang sukses, dan individual yang telah terikat dalam hubungan pernikahan rata-rata memiliki level psychological well-being yang lebih tinggi daripada mereka yang belum menikah. Hasil ini mungkin dipengaruhi oleh efek positif dari sumber ekonomi dan dukungan emosional yang diemban berbarengan dengan pasangan hidupnya (Woo & Raley, 2009). Jika dilihat dari dimensi kedua variabel, dimensi pemaafan yang terdiri dari penghindaran (avoidance) dan pembalasan dendam (revenge) memiliki hubungan yang erat dengan dimensi hubungan positif dengan orang lain dalam variabel psychological well-being. Jika dilihat dari penjelasan mengenai pembalasan dendam (revenge), korban transgresi akan cenderung untuk menyakiti kembali pelaku yang membuat kesalahan untuk mengurangi rasa sakitnya, sedangkan pada penghindaran (avoidance) korban transgresi akan menghindari pelaku yang menyakitinya untuk menghindari terjadinya transgresi selanjutnya. Kedua dimensi ini secara langsung mempengaruhi hubungan positif dengan orang lain, dimana pencapaian psychological well-being diraih salah satunya melalui hubungan interpersonal yang positif, yang ditandai dengan hubungan yang hangat dan hadirnya kepercayaan satu sama lain (Ryff, 1989). Hal ini tentu tidak terpenuhi jika individu menunjukkan sikap membalas dendam dan menghindar kepada pelaku yang berbuat kesalahan padanya. Saat transgresi dilakukan, maka kepercayaan menjadi salah satu aspek yang luntur dari hubungan interpersonal. Kehangatan juga hilang saat muncul kecenderungan korban transgresi untuk membalas dendam. METODE PENELITIAN Variabel yang akan diteliti dalam penelitian ilmiah ini adalah pemaafan dan psychological well-being, khususnya pada individu dewasa muda dan dewasa madya yang sudah menikah dan berusia minimal 20 tahun. Tipe penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian terapan dan kuantitatif yang bertujuan untuk mencari korelasi antara variabel. Sebuah penelitian ilmiah dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu aspek aplikasi, tujuan penelitian dan perolehan data. Jika dilihat dari aspek aplikasi, penelitian ini termasuk penelitian terapan karena hasil dan manfaat yang dihasilkan dapat dimanfaatkan untuk mening meningkatkan
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
kesadaran diri dan menyadari pentingnya pemaafan dalam sebuah pernikahan untuk meningkatkan psychological well-being, atau sebaliknya. Peneliti akan memperoleh data secara kuantitatif, yaitu dengan menggunakan kuesioner dan mengolah data yang dikumpulkan melalui perhitungan statistika. Ketiga, penelitian ini bertujuan untuk meneliti hubungan antara variabel pemaafan dan psychological well-being pada individu yang menikah. Berdasarkan reference period, penelitian ini diklasifikasikan sebagai retrospective study design karena dalam penelitian ini terdapat investigasi mengenai fenomena, situasi, masalah atau isu yang telah terjadi, sedangkan berdasarkan nature of investigation, penelitian ini diklasifikasikan sebagai penelitian non-eksperimental, karena dalam penelitian ini tidak diidentifikasi variabel IV dan variabel EV beserta hubungan sebab akibatnya, namun hanya memastikan hubungan yang signifikan pada kedua variabel tersebut. Selain itu, peneliti juga tidak melakukan manipulasi atau kontrol variabel, tidak melakukan randomisasi dan tidak membagi partisipan dalam control group dan experiment group. Selain itu, berdasarkan number of contacts, desain penelitian yang ini adalah cross-sectional, dimana jumlah kontak antara partisipan dan peneliti hanya 1 kali saja. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini termasuk dalam kategori convenient sampling di mana sampel dipilih berdasarkan ketersediaan individu dan kemauan untuk mengikuti penelitian ini. Adapun teknik pengambilan yang digunakan dengan menggunakan kuesioner fisik dan online. Teknik sampling ini termasuk ke dalam kategori non-random/nonprobability sampling karena tidak semua orang dalam populasi mempunyai kesempatan yang sama untuk menjadi partisipan penelitian. Dalam penelitian ini instrumen yang akan digunakan adalah dua alat ukur berbentuk kuesioner yang masing-masing mengukur variabel pemaafan dan variabel psychological wellbeing. Variabel pemaafan akan diukur dengan menggunakan kuesioner TransgressionRelated Interpersonal Scale (TRIM-12), yang terdiri dari 12 buah item dari dua dimensi pemaafan (McCullough, et al, 1998). Adapun alat ukur yang digunakan untuk variabel psychological well-being adalah alat ukur Ryff’s Scales of Psychological Well-Being (RPWB) yang berisikan 18 item pertanyaan terkait enam dimensi dari psychological well-being (Ryff, 1995). Peneliti menggunakan kuesioner fisik dan online. Khusus untuk kuesioner online, peneliti menggunakan aplikasi Google Documents berbentuk spreadsheet, yang dapat diisi sesuai keinginan penulis. Kuesioner online ini disebarkan dalam bentuk link tertentu, yang akan membawa partisipan dalam sebuah halaman web khusus yang berisikan kuesioner
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
penelitian. Adapun kuesioner fisik berbentuk booklet disebarkan secara langsung kepada partisipan penelitian. Setelah pengambilan data selesai, data yang telah terkumpul dalam tahap pelaksanaan penelitian, baik secara hard-copy dan online, diperiksa kelengkapannya agar tidak ada data demografis maupun item yang terlewatkan. Setelah pemeriksaan data selesai dilakukan, data pun diolah secara kuantitatif dengan menggunakan aplikasi IBM SPSS Statistics Version 16. Adapun metode statistik yang digunakan dalam pengolahan data dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif, yang digunakan untuk mengetahui tendensi sentral (mean), standar deviasi (SD) dari masing-masing variabel. Teknik ini digunakan untuk mengetahui gambaran umum variabel pemaafan, variabel psychological well-being, jenis kelamin, dan umur, Pearson correlation, yang digunakan untuk melihat signifikansi hubungan antara dua variabel, yaitu variabel pemaafan dan variabel psychological well-being, serta Independent Sample T-test, yang digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean antara dua kelompok sebagai satu variabel terhadap variabel yang lain. Teknik ini digunakan untuk mengetahui signifikansi perbedaan mean jenis kelamin dan umur dengan variabel pemaafan. HASIL PENELITIAN Hasil pertama yang akan dilaporkan adalah statistik deskriptif pada variabel pemaafan, dengan hasil sebagai berikut : Tabel 1.1 Statistik Deskriptif Gambaran Pemaafan pada Partisipan N
M
Median
SD
74
63
66
8.88
Dari hasil yang telah dijabarkan dalam tabel 1.2 diatas, maka peneliti dapat menyusun norma kelompok variabel pemaafan, yang dirangkum dalam tabel sebagai berikut : Tabel 1.2 Norma Persentil 50 Variabel Pemaafan pada Partisipan
Karakteristik
Skor
Frekuensi
Persentase
Rendah
≤ 66
42
56.8%
Tinggi
> 66
32
43.2%
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
Berdasarkan data yang tertera diatas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas partisipan penelitian memiliki skor pemaafan yang rendah. 56.8% partisipan memiliki skor yang berada di median dan dibawah mean, sedangkan 43.2% dari partisipan memiliki skor pemaafan yang tinggi. Adapun statistik deskriptif dan juga norma kelompok untuk variabel psychological well-being adalah sebagai berikut : Tabel 1.3 Statistik Deskriptif Gambaran Psychological Well-Being pada Partisipan N
M
Median
SD
74
84.445
84.5
9.04
Tabel 1.4 Norma Persentil 50 Variabel Psychological Well-Being pada Partisipan Karakteristik
Skor
Frekuensi
Persentase
Rendah
≤ 84
41
51.9%
Tinggi
> 84
38
48.1%
Partisipan
Jika dilihat dalam tabel diatas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas partisipan memiliki skor psychological well-being yang rendah dengan persentase sebesar 51.9%, sedangkan partisipan yang memiliki psychological well-being yang rendah memiliki persentase 48.1%. Peneliti juga menghitung statistik deskriptif per dimensi pada dua variabel yang diteliti. Variabel pemaafan memiliki dua dimensi (avoidance dan revenge), sedangkan variabel psychological well-being memiliki enam dimensi (environmental mastery, selfacceptance, autonomy, positive relations with others, personal growth dan purpose in life). Adapun penjelasan dari statistik deskriptif per dimensi adalah sebagai berikut : Tabel 1.5 Statistik Deskriptif Dimensi Variabel Pemaafan
Dimensi
N
M
SD
Avoidance
74
36.9
6.43
Revenge
74
26
3.64
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
Tabel 1.6 Statistik Deskriptif Dimensi Variabel Psychological Well-Being Dimensi
N
M
SD
Self-Acceptance
74
13.3
2.48
Positive Relations with Others
74
14.7
2.37
Autonomy
74
13.2
2.07
Purpose in Life
74
14.1
1.84
Personal Growth
74
15.4
2.44
Environmental Mastery
74
13.6
2.02
Permasalahan penelitian yang ketiga adalah mengenai korelasi antara variabel pemaafan dan psychological well-being pada individu yang menikah. Dari hasil korelasi yang menggunakan teknik statistik Pearson correlation, ditemukan hasil sebagai berikut : Tabel 1.7 Hasil Perhitungan Korelasi antara Pemaafan dan Psychological Well-Being Variabel
R
Sig (p)
Pemaafan dengan psychological well-being
0.318
.006**
**Signifikan pada L.o.S 0.01 Adapun hasil tambahan dalam penelitian ini adalah mengenai perbedaan variabel pemaafan pada partisipan laki-laki dan perempuan, dengan hasil sebagai berikut : Tabel 1.8 Hasil Perhitungan Perbedaan Pemaafan pada Partisipan Laki-laki dan Perempuan Gender
N
M
Levene’s Test for
T-test for Equality of Means
Equality of Variances F
Sig
T
Df
Sig (2tailed)
Laki-laki
32
64.9
Perempuan
42
61.6
2.273
0.136
1.569
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
72
0.121
PEMBAHASAN Jika dilihat dari angka mean dan standar deviasi per dimensi variabel pemaafan, dapat dilihat bahwa nilai mean dari dimensi avoidance adalah 36.9 (SD = 6.43), sedangkan nilai mean dimensi revenge adalah 26 (SD = 3.64). Perbedaan nilai mean dan standar deviasi pada kedua dimensi ini dapat diakibatkan oleh jumlah item pada dua dimensi yang tidak sama. Peneliti berasumsi bahwa item pada dimensi revenge lebih sedikit dibandingkan item dimensi avoidance karena konteks dari item dimensi revenge yang cukup ekstrem (“Saya akan membalas dendam”) jika dibandingkan dengan item pada dimensi avoidance yang lebih netral, meskipun keduanya memiliki konteks yang negatif. Pada statistik deskriptif per dimensi variabel psychological well-being, ditemukan bahwa nilai mean pada dimensi autonomy dan environmental mastery adalah 13.2 dan 13.6. Ryff (1995) menyatakan bahwa kedua dimensi ini akan meningkat sejalan dengan usia, terutama saat individu menginjak tahapan perkembangan dewasa muda ke dewasa madya. Nilai mean yang cukup rendah pada dua dimensi ini dapat diakibatkan oleh perbedaan jumlah partisipan yang berada dalam tahapan perkembangan dewasa muda dan dewasa madya (46 vs 28), sehingga baru sedikit dari partisipan yang merasa bahwa mereka sudah menguasai lingkungan dan memiliki otonomi dalam hidupnya. Berbeda dengan dimensi environmental mastery dan autonomy, dimensi purpose in life dan personal growth justru akan makin berkurang seiring dengan bertambahnya usia. Hal ini menjelaskan mengapa nilai mean pada dimensi purpose in life dan personal growth yang cukup tinggi, yaitu 14.1 dan 15.4. Jumlah partisipan yang mayoritas berada pada usia 20 hingga 40 tahun merasa bahwa mereka menyadari aspek pertumbuhan pribadi, seperti terbuka akan pengalaman, menyadari potensi yang masih dapat dicapai, dan sebagainya. Hal yang sama juga terjadi pada dimensi purpose in life, dimana mereka yang berusia 20 hingga 40 tahun memiliki pemahaman yang jelas atas tujuan hidup dan makna hidup yang ia jalani (Ryff, 1995). Permasalahan penelitian yang ketiga adalah korelasi antara variabel pemaafan dan psychological well-being pada individu yang menikah. Hasil perhitungan statistik menemukan bahwa nilai r adalah sebesar 0.318 dan nilai p sebesar 0.006, sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat signifikansi antara kedua variabel pada L.o.S 0.01. Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil ini adalah bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemaafan dan psychological well-being pada individu yang menikah. Dari hasil yang didapatkan, dapat disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang positif antara pemaafan dan psychological well
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
being pada individu yang menikah, dimana semakin tinggi pemaafan yang dimiliki oleh individu, maka semakin tinggi pula psychological well-being yang dimilikinya. Kesimpulan ini sejalan dengan teori Worthington (2004, dalam Fincham, Hall & Beach, 2006) yang menyatakan bahwa munculnya pemaafan adalah tanda pernikahan yang sukses, yang kemudian mempengaruhi psychological well-being yang dialami oleh individu. Karremans, Van Lange, Ouwekerk dan Kluwer (2003) menjelaskan bahwa korelasi positif antara pemaafan dan psychological well-being dipengaruhi oleh komitmen interpersonal. Selain hasil-hasil penelitian yang telah dijabarkan diatas, peneliti juga ingin melihat perbedaan skor variabel pemaafan pada partisipan laki-laki dan perempuan. Hasil perhitungan statistik menunjukkan bahwa nilai F adalah sebesar 2.273 dan Sig = 0.136. Jika dilihat dari nilai signifikansi yang melebihi angka L.o.S sebesar 0.05, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara partisipan laki-laki dan perempuan dalam variabel pemaafan yang diukur melalui alat ukur TRIM-12. Adapun melalui t-test for Equality of Means, didapat nilai t = 1.569, df = 72 dan nilai Sig (2-tailed) = 0.121. Kesimpulan ini tidak sesuai dengan dugaan bahwa terdapat perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam variabel pemaafan. Miller, Worthington dan McDaniel (2008) mengadakan sebuah penelitian yang menyatakan bahwa perempuan memiliki tendensi untuk memaafkan daripada laki-laki. Fincham, Beach dan Davila (2004) menjelaskan bahwa dalam konteks transgresi di pernikahan, pihak istri yang biasanya memiliki pengaruh dalam proses pemaafan dibandingkan suaminya, karena perempuan cenderung tidak menghindar dari permasalahan. Kedua teori ini dibantah dalam penelitian ini, karena ditemukan bahwa ternyata partisipan laki-laki lebih mudah untuk memaafkan jika dibandingkan dengan partisipan perempuan. KESIMPULAN Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan, didapatkan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pemaafan dan psychological well-being pada pasangan yang menikah. Oleh karena itu, semakin tinggi pemaafan yang dimiliki oleh individu yang menikah, maka semakin tinggi pula psychological well-being yang dimiliki. Selain itu, berdasarkan analisis data untuk hasil penelitian tambahan, tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada skor variabel pemaafan yang diukur melalui alat ukur TransgressionRelated Interpersonal Motivation Scale (TRIM-12) antara partisipan laki-laki dan perempuan. Jika ditinjau lebih dalam lagi, didapatkan kesimpulan bahwa partisipan laki-laki memiliki tingkatan untuk memaafkan pasangannya yang lebih tinggi daripada partisipan perempu
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
SARAN
Saran Metodologis Berdasarkan analisis data dan kesimpulan yang telah dicapai, peneliti menyarankan beberapa poin untuk diperhatikan pada penelitian selanjutnya, antara lain: 1. Ada baiknya apabila metode pengambilan data dilengkapi dengan wawancara dan observasi, tidak hanya melalui kuesioner. Hal ini dapat dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif dari partisipan penelitian. 2. Untuk merepresentasikan populasi dengan baik, disarankan untuk menambah jumlah sampel dan memperluas penyebaran partisipan. Pada penelitian ini, mayoritas partisipan bekerja sebagai karyawan swasta, berusia antara 20-40 tahun dan berdomisili di Jakarta. Ada baiknya jika semua hal ini diperluas untuk mencapai hasil yang lebih optimal. 3. Pengujian validitas dan reliabilitas alat ukur dapat dilakukan dengan menggunakan teknik statistik lainnya (selain menggunakan Cronbach’s Alpha dan internal consistency saja) untuk memastikan bahwa alat ukur yang akan digunakan valid dan reliabel. 4. Social desirability bias perlu diperhatikan dengan lebih seksama, terutama dalam konteks pemaafan setelah terjadinya transgresi. Alat ukur TRIM-12 terdiri dari itemitem yang terkesan ekstrem (“Saya akan membalas dendam”), sehingga muncul kemungkinan bahwa partisipan memberikan respons yang dapat diterima secara sosial. berharap bahwa pada penelitian selanjutnya bias ini dapat dikontrol atau dikurangi. Saran Praktis Selain saran metodologis, peneliti juga memberikan saran praktis untuk penelitian berikutnya, antara lain : 1. Ada baiknya jika dilakukan intervensi dan penyadaran pada pasangan yang menikah untuk meningkatkan aspek pemaafan dalam ikatan pernikahan, yang juga membantu meningkatkan well-being secara psikologis dalam waktu jangka panjang. 2. Awareness terhadap pemaafan dan psychological well-being dapat dimulai dari media cetak atau elektronik yang menyasar kepada masyarakat dewasa muda atau dewasa madya, agar masyarakat luas mengetahui pentingnya pemaafan dalam pernikahan maupun dalam pencapaian psychological well-being.
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
KEPUSTAKAAN
Duvall, E.M., & Miller, B.C. (1985). Marriage and family development (6th Ed.). New York: Harper & Row Publishers. Edmonson. K.A. (2004). Forgiveness and rumination: Their relationship and effects psychological and physical health. Disertasi Doktoral. University of Tennessee, Knoxville, USA. Fenell, D. (1993). Characteristics of long-term first marriages. Journal of Mental Health Counseling, 15, 446-460. Fincham, F.D., Beach, S.R.H., & Davila, J. (2004). Forgiveness and conflict resolution in marriage. Journal of Family Psychology, 18(1), 72-81. Fincham, F.D., Hall, J., & Beach, S.R.H. (2006). Forgiveness in marriage: Current status and future directions. Family Relations, 55, 415-427. Gordon, K.C., Baucom, D.H., & Snyder, D.K. (2004). An integrative intervention for promoting recovery from extramarital affairs. Journal of Marital and Familu Therapy, 30, 213-230. Guilford, J.P., & Fruchter, B. (1981). Fundamental statistics in psychology and education. USA: McGraw-Hill. Hoo, M.Y., & Fung, H.H. (2011). A dynamic process model of forgiveness: A cross-cultural perspective. Review of General Psychology, 15(1), 77-84. Huyck, M.H. (1995). Marriage and close relationships of the marital kind. Dalam R. Blieszner & V. Hilkevitch (Eds.). Handbook of aging and the family. United States: Greenwood Press. Karresmans, J.C., Van Lange, P.A.M., Ouwerkerk, J.W., & Kluwer, E.S. (2003). When forgiving enhances psychological well-being: The role of interpersonal commitment. Journal of Personality and Social Psychology, 84(5), 1011-1026. McCullough, M.E., Worthington, E.L. Jr., & Rachal, K.C. (1997). Interpersonal forgiving in close relationships. Journal of Personality and Social Psychology, 73, 321-336. McCullough, M.E., Rachal, K.C., Sandage, S.J., Worthington, E.L., Jr., Brown, S.W., & Hight, T.L. (1998). Interpersonal forgiving in close relationships: II. Theoretical elaboration and measurement. Journal of Personality and Social Psychology, 76, 15861603. McCullough, M.E., Pargament, K.I., & Thoresen, C.E. (2000). The psychology of forgiveness: History, conceptual issues, and overview. Dalam M.E. McCullough, K.I. Pargament., & C.E. Thoresen (Eds.). Forgiveness: Theory, research and practice. New York: Guildford Press.
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013
McCullough, M.E. (2001). Forgiveness: Who does it and how do they do it? Current Directions in Psychological Science, 10, 194-197. Miller, A.J., Worthington Jr., E.L., & McDaniel, M.A. (2008). Gender and forgiveness: A Meta-analytic review and research agenda. Journal of Social and Clinical Psychology, 27(8), 843-876. Paleari, G.E., Regalia, C., & Fincham, F.D. (2009). Forgiveness and conflict resolution in close relationships: Within and cross partner effects. Universitas Psychologica, 9(1), 35-56. Paleari, G.E., Regalia, C., & Fincham, F.D. (2011). Inequity in forgiveness: Implications for personal and relational well-being. Journal of Social and Clinical Psychology, 30(3), 297-324. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development (11th Ed.). United States: McGraw-Hill. Rusbult, C.E., Verette, J., Whitney, G.A., Slovik, L.F., & Lipkus, I. (1991). Accomodation processes in close relationships: Theory and preliminary empirical evidence. Journal of Personality and Social Psychology, 60, 53-78. Ryff, C. D. (1989). Happiness is everything, or is it? Explorations on the meaning of psychological well-being. Journal of Personality and Social Psychology, 57(6). Ryff, C. D., & Keyes, C. L. M. (1995). The structure of psychological well-being revisited. Journal of Personalify and Social Psychology, 69(4), 719-727. Ryff, C.D., & Singer, B. (1996). Psychological well-being: Meaning, measurement, and implications for psychotherapy research. Psychother Psychosom, 65(1), 14-23. Worthington, Jr, E, L. (Ed.). (1998). Dimensions of forgiveness : Psychological research & theological perspectives. USA : Templeton Foundation Press. Worthington, Jr., E.L., Van Oyen Witvliet, C., Pietrini, P., & Miller, A.J. (2007). Forgiveness, health and well-being : A review of evidence for emotional versus decisional forgiveness, dispositional forgivingness, and reduced unforgiveness. Journal of Behavioral Medicine, 30, 291-302.
Hubungan antara pemaafan…, Arindina Meisitta, FPsi UI, 2013