Hubungan antara Religiositas dan Stabilitas Pernikahan pada Individu yang Menikah Melalui Ta’aruf Rizka Yuniarsih, Yudiana Ratna Sari 1. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia 2. Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia E-mail:
[email protected]
Abstrak Di Indonesia, terdapat proses perkenalan sebelum menikah yang diatur berdasarkan nilai-nilai agama Islam, yaitu ta’aruf. Ta’aruf memiliki beberapa aturan tertentu, seperti adanya batasan durasi saat ta’aruf, interaksi pria dan wanita yang tidak boleh bersentuhan, dan harus dimediatori oleh pihak tertentu selama menjalani prosesnya. Individu yang menjalani proses ta’aruf diketahui merupakan individu yang mempunyai tingkat religiositas yang tinggi. Berdasarkan beberapa litelatur, religiositas memiliki hubungan yang positif dengan stabilitas pernikahan. Peneliti menduga bahwa tingkat religiositas yang tinggi pada individu yang menikah melalui ta’aruf juga akan memiliki hubungan yang positif dengan stabilitas pernikahan. Maka, peneliti melakukan penelitian yang melihat hubungan antara religiositas dan stabilitas pernikahan pada 100 individu yang menikah melalui ta’aruf. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara religiositas dan stabilitas pernikahan pada individu yang menikah melalui ta’aruf (r = 0.170, p < 0.05, one tailed).
Relationship Between Religiosity and Marital Stability in Ta’aruf Married Individuals
Abstract In Indonesia, there is an acquaintanceship process before marriage regulated based on values of Islam, namely ta’aruf. Ta’aruf has some specific rules, such as limitation of ta’aruf duration, no physical contacts allowed during interaction between men and women, and the couples should be mediated by other party along the process. Individuals who practice ta’aruf process known as individuals who have a high level of religiosity. Based on some literatures, religiosity has a positive relationship with marital stability. Researcher speculated that high level of religiosity on individuals who are married through ta’aruf will also have a positive relationship with marital stability. Thus, researcher conducted a study to see the relationship between religiosity and marital stability in 100 individuals who are married through ta’aruf. The results showed that there is a significant positive relationship between religiosity and marital stability (r = 0170, p < 0.05, one-tailed). Keywords: Religiosity, marital stability, ta’aruf
Pendahuluan
Latar Belakang Manusia adalah mahluk sosial. Hal tersebut mempunyai arti bahwa dalam kehidupannya, manusia selalu terdorong untuk melakukan berbagai interaksi sosial dan menjalin hubungan-hubungan dengan orang lain. Selaras dengan hakikatnya sebagai mahluk Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
sosial, Maslow memandang bahwa menjalin hubungan dengan orang lain dan menjadi bagian dari kelompok tertentu merupakan salah satu kebutuhan manusia yang harus dipenuhi dari lima tingkatan kebutuhan (hierarchy of needs), yaitu love and belongingness needs (Feist & Feist, 2009). Konsep ini dideskripsikan dengan pemberian dan penerimaan cinta dari seseorang kepada orang lain, dimana salah satunya bisa diekspresikan kepada pasangan hidup dengan menjalin hubungan pernikahan. Pernikahan merupakan sumber keintiman yang penting (Olson, DeFrain & Skogrand, 2011). Bukan hanya keintiman, pernikahan juga menawarkan komitmen, pertemanan, afeksi, pemenuhan kebutuhan seksual, pendampingan, dan kesempatan untuk perkembangan emosional, serta untuk pencapaian status dan harga diri seseorang (Myers dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2009). Dalam pasal pertama Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Negara Republik Indonesia mengartikan pernikahan sebagai “... ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.” (hal.2). Terkait dengan pengertian pernikahan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, setiap individu yang ingin memutuskan untuk menikah pasti mempunyai harapan pernikahannya akan bahagia dan bertahan lama. Akan tetapi pada kenyataannya, tidak semua harapan-harapan sebelum pernikahan tersebut dapat terwujud. Selama mengarungi rumah tangga, tidak sedikit konflik yang muncul dan harus diselesaikan oleh pasangan. Biasanya setiap pasangan akan berusaha untuk mengatasi masalah tersebut, sehingga pernikahannya dapat bertahan. Akan tetapi apabila pasangan tidak menemukan solusi dari masalah tersebut, biasanya pasangan akan mengambil solusi yang tidak efektif, yaitu dengan berpisah atau bercerai. Seiring dengan pernyataan tersebut, Glazko (1986) serta Chinitz dan Brown (2001) menyimpulkan bahwa semakin rumit atau besar konflik pernikahan yang terjadi di dalam rumah tangga seseorang, maka akan menyebabkan semakin menurunnya tingkat kestabilan pernikahan (marital stability), dimana hal ini menciptakan kecenderungan yang besar individu untuk bercerai (marital instability). Stabilitas pernikahan sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor. Salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas pernikahan ialah agama (Booth & White, 1980; Lehrer & Chiswick, 1993; Call & Heaton, 1997; Booth, Johnson, Branaman, & Sica, 1995). Bagi sebagian individu, agama dianggap sebagai komitmen untuk nilai-nilai dasar seluruh kehidupan (Landis & Landis, 1970). Terkait pernikahan itu sendiri, seluruh agama menekankan setiap Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
pasangan untuk dapat menerapkan nilai-nilai kebahagiaan, kasih sayang, dan keintiman dengan
pasangannya.
Agama
menganjurkan
seseorang
untuk
tetap
berkomitmen
mempertahankan pernikahannya dan berupaya untuk selalu mengatasi setiap konflik dengan sebaik mungkin (Schumm, 1986, dalam Abbott, Berry, & Meredith, 1990). Selain itu, agama juga tidak menganjurkan individu untuk melakukan perpisahan dan perceraian di rumah tangga nya masing-masing (Strong, DeVault, & Cohen, 2011). Konsep agama erat kaitannya dengan istilah religiositas. Worthington dkk. (2003) menyebutkan religiositas dengan istilah komitmen beragama (religious commitment), yaitu merupakan derajat seberapa besar ketaatan individu terhadap nilai, keyakinan, dan praktik agamanya, serta menggunakannya ke dalam kehidupan sehari-hari. Individu yang mempunyai tingkat religiositas yang tinggi cenderung akan mengevaluasi dunianya melalui skema religios dan kemudian akan mengintegrasikan agamanya dalam banyak kehidupan (Worthington dkk., 2003). Menurut Worthington dkk. (2003) religiositas seseorang dapat diukur melalui dua komponen antara lain adalah intrapersonal religious commitment dan interpersonal religious commitment. Intrapersonal religious commitment ialah komponen kognitif yang fokus pada keyakinan dan pengalaman personal seseorang terhadap religiositasnya (Mokhlis, 2009). Brown, Orbuch, dan Bauermeister (2008) menyatakan bahwa keyakinan yang kuat terhadap agama yang dimiliki pasangan, membuat mereka akan tetap mempertahankan pernikahan meskipun dalam kondisi yang tidak bahagia sekalipun. Penelitian menemukan bahwa individu yang mempunyai keyakinan yang kuat terhadap agama dan semakin banyak agama mempengaruhi kehidupannya ditemukan memiliki kecenderungan yang rendah untuk bercerai (Booth & White, 1980; Booth, Johnson, Branaman, & Sica, 1995). Sementara itu, pengalaman personal adalah berbagai tindakan yang dilakukan oleh individu terkait dengan keyakinan agamanya. Pengalaman personal ini memberikan arti dan koherensi, serta membantu mengintepretasikan kejadian stres sebagai keadaan yang dapat dikendalikan (Pargament, 1997, dalam Brown, Orbuch, & Bauermeister, 2008). Apabila dikaitkan dengan pernikahan, maka hubungan pribadi individu dengan Tuhan memberikan pasangan rasa bahwa segala konflik atau kesulitan yang diperoleh dapat dikendalikan dan diselesaikan (Brown, Orbuch, & Bauermeister, 2008). Seiring dengan pernyataan tersebut, hasil penelitian Booth, Johnson, Branaman, dan Sica (1995) menemukan bahwa kerentanan terhadap perceraian akan semakin berkurang terhadap individu yang sering berdoa dan membaca kitab suci.
Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
Komponen religiositas yang kedua adalah interpersonal religious commitment. Komponen tersebut adalah komponen tingkah laku yang fokus pada aktivitas individu dalam keagamaan yang terorganisir (Mokhlis, 2009). Booth, Johnson, Branaman, dan Sica (1995) menemukan bahwa individu yang sering berpartisipasi secara sosial di tempat ibadah mempunyai tingkat ketidakstabilan pernikahan yang rendah. Peneliti lainnya yang berfokus pada frekuensi mengunjungi tempat ibadah, menemukan bahwa semakin banyak frekuensi individu mengunjungi tempat ibadah, maka akan semakin kecil kemungkinan konflik yang akan terjadi di dalam rumah tangganya dan semakin kecil pula kecenderungan individu untuk bercerai (Kunz & Albrecht, 1977; Shrum, 1980; Call & Heaton, 1997; Booth, Johnson, & Branaman, & Sica, 1995). Menurut Brown, Orbuch, dan Bauermeister (2008) kedatangan individu ke tempat ibadah dan berpartipasi dalam kegiatan keagamaan dapat dijadikan sebagai sumber sosial yang memberikan kesejahteraan pernikahan dan mengurangi permasalahan rumah tangga. Hal ini mungkin terjadi karena ketika individu datang dan berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan, maka individu akan bersosialisasi dengan individu lain yang mempunyai nilai, kepercayaan, norma, dan harapan yang sesuai dengan agama (Witter, Stock, Okun, & Haring, 1985, dalam Ellison, 1991). Di dalam komunitas keagamaan pun biasanya disediakan tempat informasi dan pendampingan yang berguna untuk membantu memecahkan masalah ketika individu sedang dalam keadaan tertekan (stress) (Maton, 1989, dalam Ellison, 1991). Hal tersebut memberikan arahan kepada individu dalam bertingkah laku, berhubungan secara interpersonal, dan pernikahan (Brooks, 2002, dalam Brown, Orbuch, & Bauermeister, 2008). Maka, dari dua komponen religiositas tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa religiositas mampu meningkatkan stabilitas pernikahan. Pernyataan ini didukung pula oleh Robinson (1994, dalam Dollahite, Marks, & Goodman, 2004) bahwa religiositas membantu menstabilkan pernikahan dengan arahan moral dan dukungan sosial, emosional, serta spiritual kepada individu. Disamping agama berpengaruh pada stabilitas pernikahan, keyakinan agama yang dimiliki seseorang juga turut mempengaruhi bagaimana individu memilih calon pendamping hidupnya. Menurut Strong, DeVault, dan Cohen (2011) keyakinan agama yang dianut memberikan pengaruh terhadap bagaimana dan kapan dirinya dapat memilih pasangan. Hal ini juga sesuai dengan penelitian oleh Mahoney dan Pargament (2009) yang menemukan bahwa keyakinan agama menjadi salah satu faktor kontekstual yang penting dalam perilaku menikah dan pencarian pasangan. Di Indonesia, salah satu cara pemilihan pasangan yang Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
didasarkan oleh keyakinan agama disebut ta’aruf. Ta’aruf merupakan tata cara pencarian pasangan yang dianjurkan dalam agama Islam bagi pemeluk-pemeluknya sebelum memulai suatu hubungan pernikahan (Hana, 2012). Ta’aruf sendiri berasal dari Bahasa Arab, yang artinya adalah mengenal. Untuk tujuan pernikahan, ta’aruf didefinisikan sebagai proses perkenalan atau pendekatan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah. Dalam menjalankan prosesnya pun kedua calon pasangan harus tetap mengikuti aturan Islam atau syariat Islam. Beberapa aturan tersebut yaitu kedua calon sama-sama saling menjaga aurat, tidak melakukan kontak fisik dan berpandang-pandangan yang disertai dengan nafsu, serta bila ingin bertemu, pasangan harus menghadirkan perantara atau pihak ketiga, yaitu kakak, adik, paman, bibi, atau teman yang dipercaya (Widiarti, 2010). Tidak ada ketentuan batas waktu pelaksanaan ta’aruf, namun proses ini umumnya berjalan tidak melebihi satu tahun (Pusparini, 2012), dan biasanya berlangsung selama tiga bulan (Hana, 2012). Waktu yang cenderung singkat ini merupakan syariat dalam agama Islam, dimana menjalin hubungan dengan seseorang yang dimaksudkan adalah calon istri dan suami dalam jangka waktu yang panjang merupakan perbuatan yang dikhawatirkan akan mendatangkan fitnah dan zinah bagi calon pasangan (Takariawan, 2010). Dari penjelasan mengenai ta’aruf diatas, dapat dilihat bahwa individu yang melakukan ta’aruf merupakan individu yang mempunyai keteguhan komitmen untuk menerapkan keyakinan agamanya pada konteks pernikahan (Widiarti, 2010). Selain menerapkan keyakinannya dalam konteks pernikahan, individu yang melakukan ta’aruf juga menerapkan nilai-nilai agama Islam ke dalam kehidupan sehari-hari, seperti rajin melakukan ibadah wajib dan sunnah yaitu salah satunya shalat wajib maupun sunnah, mengaji, membaca Al-Qur’an, menjaga adab penampilan dan pergaulan, dan melakukan pertemuan rutin dengan komunitas agamanya. (Widiarti, 2010; Hana, 2012; Pusparini, 2012). Merujuk definisi karakteristik individu yang memiliki religiostas yang tinggi milik Worthington dkk. (2003), maka individu yang melakukan ta’aruf dapat dikategorikan sebagai individu yang memiliki religiositas yang tinggi. Ardhianita dan Andayani (2005) juga menyatakan bahwa individu yang melakukan ta’aruf memiliki tingkat religiositas yang tinggi. Terkait dengan stabilitas pernikahan, sejumlah peneliti yang telah menghubungkannya dengan religiositas menemukan bahwa religiositas berhubungan secara positif pada stabilitas pernikahan (Kunz & Albrecht, 1977; Call & Heaton, 1997; Sullivan, 2001) dan memiliki kecenderungan yang kecil bagi individu untuk melakukan perceraian (Shrum, 1980; Booth & White, 1980; Booth, Johnson, Branaman, & Sica, 1995). Dengan begitu, dalam konteks ta’aruf, peneliti menduga bahwa Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
terdapat hubungan positif antara religiositas dan stabilitas pernikahan pada individu yang melakukan ta’aruf. Dilain pihak, pernikahan melalui ta’aruf itu sendiri mempunyai batasan-batasan, salah satu batasannya adalah dalam hal waktu dan interaksi ta’aruf. Pelaksanaan ta’aruf tidak boleh berlama-lama dan harus secepat mungkin. Goode (1982, dalam Hansen, 2006) dan Grover, Russell, Schumm, dan Paff-Bergen, (1985) yang menyatakan bahwa singkatnya durasi pasangan untuk berkenalan membuat pasangan tidak benar-benar mengenal calon pasangannya. Padahal menurut Landis dan Landis (1970) mengenal calon pasangan dengan baik sebelum pernikahan akan sangat berguna bagi pasangan untuk mengatasi masalah perbedaan yang muncul dan rumit di dalam rumah tangganya. Akibatnya, masalah atau konflik pernikahan yang dimiliki cenderung lebih besar terjadi pada pasangan yang memiliki durasi perkenalan sebelum menikah yang singkat (Grover, Russell, Schumm, Paff-Bergen, 1985). Seperti yang telah dinyatakan diatas oleh Glazko (1986) serta Chinitz dan Brown (2001) bahwa semakin besar konflik atau masalah pernikahan, maka kecenderungan untuk bercerai pun juga akan semakin besar. Selaras dengan pernyataan tersebut, sejumlah peneliti menemukan bahwa semakin singkat durasi berkenalan yang dimiliki pasangan, maka akan semakin besar kecenderungan pasangan untuk bercerai (Goode, 1956, dalam Nye, White & Friederes, 1973; Bayer, 1968; Landis & Landis, 1970; Whyte, 1990 dalam Hansen, 2006; Hansen, 2006). Berdasarkan penjelasan diatas, diketahui bahwa individu yang melakukan ta’aruf merupakan individu yang memiliki religiositas yang tinggi, dimana peneliti berasumsi bahwa individu yang melakukan ta’aruf juga akan mempunyai stabilitas pernikahan yang tinggi. Disisi lain, adanya waktu dan interaksi yang singkat dalam melakukan ta’aruf ternyata membuat pasangan semakin rentan untuk melakukan perceraian. Meskipun demikian, peneliti berasumsi bahwa religiositas individu yang melakukan ta’aruf tetap dapat menekan kecenderungan individu untuk bercerai. Melalui urgensi tersebut, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai hubungan religiositas dan stabilitas pernikahan pada individu yang menikah melalui ta’aruf. Peneliti memiliki dugaan bahwa terdapat hubungan positif antara religiositas dan stabilitas pernikahan pada individu yang menikah melalui ta’aruf. Permasalahan Penelitian “Apakah terdapat hubungan yang positif antara religiositas dan stabilitas pernikahan pada individu yang menikah melalui ta’aruf? Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui ada atau tidaknya hubungan positif antara religiositas dan stabilitas pernikahan pada individu yang menikah melalui ta’aruf. Tinjauan Teoritis
Stabilitas Pernikahan Definisi stabilitas pernikahan sendiri telah mengalami perkembangan dalam ranah penelitian. Secara umum, stabilitas pernikahan diartikan sebagai sebuah keadaan pernikahan yang tetap bersama atau bertahan, yang mana hal tersebut merupakan fakta yang dapat diobservasi melalui kuantifikasi lamanya pernikahan (Lenthall, 1977; Weiss, 2005). Maka untuk mengukur stabilitas pernikahan, beberapa peneliti umumnya menggunakan definisi dengan keadaan negatif, yaitu apakah pernikahan bercerai atau tidak (marital dissolution). Lewis dan Spanier (1979, dalam Karney, Bradbury, & Johnson, 1999) menjelaskan stabilitas pernikahan sebagai konsep yang mengindikasikan sebuah keutuhan (pernikahan tersebut utuh atau tidak). Pernikahan yang stabil akan dianggap apabila pernikahannya tersebut diakhiri karena kematian pasangannya. Berbeda dengan Lewis & Spanier (1979, dalam Karney, Bradbury, & Johnson, 1999). Beberapa peneliti lain mengukur stabilitas pernikahan bukan dengan keadaan yang bercerai atau tidak, melainkan diukur dengan adanya sebuah peluang atau kesempatan pasangan untuk bercerai, dimana pengukuran ini dilakukan terhadap pasangan yang statusnya masih bersama (Weiss & Cerreto, 1980; Huber & Spitze, 1980, Booth, Johnson, & Edwards, 1983; Booth & White, 1980; Heaton & Albrecht, 1991). Booth, Johnson, & Edwards (1983) menggunakan konsep tersebut dengan istilah ketidakstabilan pernikahan (marital instability). Istilah ini diartikan sama dengan istilah kerentanan bercerai (divorce proneness) (Booth, Johnson, Branaman, & Sica, 1995). Definisi ketidakstabilan pernikahan itu sendiri diutarakan Booth, Johnson, dan Edwards (1983) sebagai kecenderungan pasangan untuk mengakhiri hubungan pernikahannya, meskipun perceraian bisa saja bukan menjadi keputusan akhir. Berdasarkan dari dua definisi yang berbeda tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa stabilitas maupun ketidakstabilian pernikahan adalah dua konsep yang mengukur kondisi yang sama. Pernyataan ini didukung oleh Nye, White, dan Frideres (1973) yang berpendapat bahwa istilah stabilitas atau ketidakstabilan merupakan dua sisi pada koin yang sama, dimana Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
hal-hal yang menurunkan ketidakstabilan pernikahan, akan meningkatkan stabilitas pernikahan. Dengan demikian, peneliti mengartikan stabilitas pernikahan sebagai sebuah kecenderungan individu untuk tetap bersama dengan pasangannya di dalam hubungan pernikahan. Religiositas Religiositas adalah konsep yang tidak mudah untuk didefinisikan, karena mengingat religiositas mencakup banyak aspek kehidupan dan diekspresikan berbeda-beda antara individu (Hassan, 2007). Namun untuk memberikan gambaran mengenai religiositas, para tokoh telah menjelaskan arti dari religiositas itu sendiri. Worthington dkk. (2003) menjelaskan religiositas sebagai “the degree to which a person adheres to his or her religious values, beliefs, and practice and uses them in daily living” (hal. 85). Kwon (2003) juga menjelaskan religiositas sebagai “the extent to which believers think of everyday matters in a unique way and apply religious beliefs to their daily life situation” (hal. 101). Dari penjabarkan definisi diatas, maka peneliti menyimpulkan bahwa religiositas merupakan tingkat ketaatan individu terhadap nilai, kepercayaan, dan keyakinan terhadap agama, yang tercermin ke dalam segala bentuk perilaku dan pemikiran individu sehari-hari. Salah satu pengukuran religiositas yang menggunakan multi komponen dikembangkan oleh Worthington dkk. (2003). Pengukuran ini memiliki dua komponen berbeda di dalamnya, yaitu intrapersonal religious commitment dan interpersonal religious commitment. Berikut adalah penjelasan dari dua komponen religiositas: 1. Intrapersonal religious commitment merupakan komponen kognitif yang berfokus pada keyakinan dan pengalaman personal seseorang terhadap religiositasnya (Mokhlis, 2009). Komitmen beragama ini ditunjukan individu dengan berhubungan langsung kepada TuhanNya. Keyakinan terhadap religiositas dapat terlihat dari keyakinan individu terhadap agama yang digunakan baik sebagai dasar untuk menghadapi kehidupan maupun sebagai aspek yang memberikan pengaruh terhadap kehidupan individu. Selain itu, individu yang memiliki religiositas menganggap bahwa agama adalah aspek yang penting karena agama dapat menjawab makna kehidupan dirinya. Sementara itu, pengalaman personal yang dimaksud adalah berbagai tindakan yang dilakukan oleh individu terkait dengan keyakinan agamanya, seperti membaca buku dan majalah mengenai keyakinannya, melakukan berbagai tindakan untuk lebih memahami keyakinan, dan menghabiskan waktu dalam pemikiran dan releksi pribadi mengenai agama (Worthington dkk., 2003). Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
2. Interpersonal religious commitment merupakan komponen tingkah laku yang fokus pada aktivitas individu dalam keagamaan yang terorganisir (Mokhlis, 2009). Aktivitas tersebut dapat terlihat dari bagaimana individu menghabiskan waktu bersama dengan orang yang berasal dari agama yang sama, menyenangi ketika ia bekerja dalam aktivitas organisasi keagamaan, mengikuti perkembangan kelompok agama yang diikuti, dan berkontribusi secara finansial untuk organisasi agama (Worthington dkk., 2003). Ta’aruf Ta’aruf berasal dari bahasa Arab yaitu mengenal (Pusparini, 2012). Makna mengenal mempunyai arti yang sangat luas, sehingga dapat diartikan berbeda-beda tergantung tujuannya itu sendiri. Adapun firman Allah SWT dalam surat Al-Hujarat ayat 49 nomor 13 yang menerangkan tentang ta’aruf yakni “Hai manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal”. (Pustaka Amani Jakarta, 2005). Untuk tujuan pernikahan, ta’aruf didefinisikan sebagai proses perkenalan atau pendekatan antara laki-laki dan perempuan yang akan menikah (Hana, 2012). Menurut Pusparini (2012), ta’aruf adalah proses perkenalan yang bertujuan mewujudkan pernikahan bagi individu yang sudah siap untuk menikah. Proses perkenalan ini disyariatkan oleh agama Islam dan mengikuti tuntunan Rassullah SAW (Hana, 2012). Proses perjodohan yang didasari oleh agama ini mempunyai beberapa adab tertentu bagi pasangan ketika melakukan ta’aruf. Menurut Widiarti (2010) sejumlah adab tersebut antara lain adalah membersihkan niat karena Allah, berupaya menjaga keseriusan ta’aruf, kejujuran dalam pembicaran ta’aruf, melakukan nadzor, menerima atau menolak dengan cara sebaik mungkin, menjaga rambu-rambu syariat (tetap menutup aurat, tidak berduaan dengan lawan jenis tanpa disertai pihak ketiga, tidak berjabat tangan atau berhubungan fisik, dan tidak mengumbar pandangan dengan syahwat), dimediatori oleh pihak ketiga, menjauhi tempat-tempat yang mencurigakan, menjaga rahasia ta’aruf, dan melakukan shalat istikharah. Metode Penelitian Tipe dan Desain Penelitian Berdasarkan penggolangan tipe penelitian menurut Kumar (1996), penelitian ini tergolong sebagai penelitian terapan, korelasional, dan kuantitatif. Penelitian ini tergolong Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
terapan karena bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai berbagai aspek dalam sebuah situasi, isu, dan fenomena, dimana dapat digunakan untuk formulasi, administrasi, dan meningkatkan pemahaman terhadap sebuah fenomena (Kumar, 1996). Penelitian ini termasuk sebagai tipe penelitian korelasional karena bertujuan untuk mencari hubungan antara dua atau lebih aspek dari suatu fenomena (Kumar, 1996). Selain itu, penelitian ini juga tergolong sebagai penelitian kuantitatif karena data yang diperoleh merupakan data yang bervariasi dalam kuantitas, diolah dengan statistik, dan hasilnya menunjukan besaran variasi yang bisa disimpulkan (Kumar, 1996). Berdasarkan penggolongan desain penelitian menurut Kumar (1996), penelitian ini termasuk cross-sectional studies, retrospective, dan non-exprimental. Ditinjau dari number of contacts, penelitian ini termasuk penelitian cross-sectional studies karena pengambilan data pada sampel hanya dilakukan satu kali (Kumar, 1996). Religiositas dan stabilitas pernikahan diukur menggunakan alat bantu berupa kuesioner kepada individu yang menikah melalui ta’aruf pada satu waktu. Kemudian apabila ditinjau dari reference period, penelitian ini merupakan jenis penelitian retrospective karena penelitian ini melakukan investigasi sebuah fenomena, situasi, atau masalah yang sudah terjadi (Kumar, 1996). Lebih lanjut lagi, berdasarkan nature of investigation, penelitian ini adalah penelitian non-experimental karena peneliti melakukan penelitian dengan dua variabel yang sudah terberi pada subjek, tidak ada manipulasi, randomisasi, maupun kontrol terhadap partisipan (Kumar, 1996). Partisipan Penelitian Karakteristik partisipan penelitian yang digunakan antara lain adalah individu yang menikah melalui proses ta’aruf sebelumnya dan individu memiliki usia pernikahan minimal tiga tahun. Pembatasan ini dilakukan karena masalah penyesuaian pada tahun-tahun pertama pernikahan menimbulkan kerentanan yang besar untuk pasangan bercerai (Olson, DeFrain, & Skogrand, 2011). Sementara itu, keretanan terhadap perceraian akan semakin menurun pada pasangan seiiring meningkatnya durasi pernikahan (Huber & Spitze, 1980; Hecker, Nowak, & Synder, 1998). Adapun alat ukur yang digunakan oleh peneliti yaitu Marital Instability Index (MII-Short Form) milik Booth, Johnson, dan Edwards (1983) juga membatasi karakteristik subjeknya berdasarkan minimal tiga tahun durasi masa pernikahan. Teknik Pemilihan Partisipan
Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
Pemilihan partisipan dalam penelitian ini menggunakan teknik non-probability sampling. Teknik ini peneliti gunakan karena peneliti tidak mengetahui jumlah elemen dalam populasi dan peneliti tidak dapat mengidentifikasi partisipan secara individual (Kumar, 1996). Berdasarkan jenis non-probability sampling menurut Kumar (1996), penelitian ini menggunakan teknik accidental sampling dan snowball. Accidental sampling dipilih karena di dalam penelitian ini partisipan berpartisipasi atas dasar kesediaannya untuk berpartisipasi (Kumar, 1996). Pertimbangan lainnya adalah kemudahan dalam pelaksanaan penelitian. Selanjutnya, peneliti juga memilih teknik snowball karena peneliti memperoleh data melalui jaringan informasi dari satu individu ke individu lainnya (Kumar, 1996). Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui kuesioner, yaitu serangkaian pertanyaan atau pernyataan tertulis yang kemudian dijawab oleh partisipan (Kumar, 1996). Peneliti memilih metode ini karena kuesioner lebih praktis, murah, terjangkau pada wilayah yang jauh, dan adanya anonimitas dalam pengisian nama partisipan (anonym) (Kumar, 1996). Kuesioner yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua bentuk, yaitu hardcopy atau booklet, dan online dengan menggunakan google spreadsheet. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan untuk mengukur religiositas adalah Religious Commitment Inventory (RCI-10). Alat ukur ini dikembangkan oleh Worthington dkk. (2003). Instrumen pengukuran ini memiliki dua komponen yaitu intrapersonal religious commitment yang terdiri dari 6 item dan interpersonal religious commitment yang terdiri dari 4 item. Semakin individu menjawab sesuai, maka semakin religios individu tersebut. Sebaliknya, semakin individu menjawab tidak sesuai, maka semakin tidak religios individu tersebut. Skala yang digunakan adalah skala likert 6 poin dengan rentang dimulai dari 1 hingga 6. Instrumen yang digunakan untuk mengukur ketidakstabilan pernikahan adalah Marital Instability Index (MII) dengan format pendek. Alat ukur ini dikembangkan oleh Booth, Johnson, dan Edwards (1983). MII- Short Form adalah instrumen pengukuran ketidakstabilan pernikahan dimana didalamnya terdiri dari 5 item mengenai kognitif dan tingkah laku individu yang mengarahkan individu pada perceraian. Booth, Johnson, dan Edwards (1983) memiliki skala likert 4 poin dengan rentang 1 hingga 4. Total skor yang paling tinggi menandakan partisipan mempunyai peluang untuk melakukan perceraian. Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
Peneliti kemudian melakukan tahap adaptasi alat ukur dengan menerjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan back translate ke dalam bahasa Inggris. Peneliti meminta bantuan kepada dosen dan mahasiswa untuk menerjemahkan kedua alat ukur ini. Hasil dari proses adaptasi membuktikan bahwa item-item yang telah ditranslasi memiliki arti yang sama dengan bahasa Inggris dalam alat ukur RCI-10 dan MII-Short Form. Setelah itu, peneliti melakukan uji coba alat ukur secara kualitatif dan kuantitatif. Uji coba alat ukur kualitatif dilakukan kepada 8 partisipan yang menikah. Hasil uji coba ini kemudian didiskusikan oleh tiga expert panel yang ahli dibidangnya. Diskusi terhadap kedua alat ukur menghasilkan beberapa perbaikan. Pada RCI-10, peneliti memperbaiki kalimat dan mengubah skala likert menjadi 6 poin. Pada MII-Short Form, peneliti memperbaiki kalimat, membuat kalimat pengkondisian sebelum partisipan mengerjakan item, dan mengubah skala likert 4 poin menjadi rentang 1 hingga 4. Proses uji kuantitatif dilakukan untuk menguji reliabilitas dan validitas kedua alat ukur dengan menggunakan data terpakai, yaitu 100. Teknik pengujian reliabilitas yang peneliti gunakan adalah coefficient alpha. Hasil pengujian reliabilitas alat ukur RCI-10 dan MII-Short Form menghasilkan nilai alpha cronbach sebesar 0.752 dan 0.787. Menurut Kaplan dan Saccuzzo (2005) indeks reliabilitas dapat dikatakan baik apabila mempunyai nilai koefisen alpha berkisar 0.7 hingga 0.8. Maka dengan begitu, alat ukur RCI-10 dan MII-Short Form dapat dinyatakan reliabel. Setelah melakukan uji reliabilitas, peneliti selanjutnya mengukur validitas. Teknik validitas yang digunakan adalah internal consistency. Hasil uji validitas alat ukur RCI-10 menghasilkan nilai koefisien korelasi berkisar 0.449 hingga 0.726. Kemudian hasil uji validitas MII-Short Form menghasilkan nilai korelasi berkisar 0.498 hingga 0.849. Adapun nilai korelasi yang baik pada setiap item minimal adalah 0.2 (Nunnally & Bernstein, 1994). Dengan demikian, alat ukur RCI-10 valid mengukur religiositas dan MIIShort Form valid mengukur ketidakstabilan pernikahan. Teknik Pengolahan Data dan Analisis Teknik pengujian statistik yang digunakan dalam pengolahan data adalah statistik deskriptif dan pearson correlation product moment. Statistik deskriptif digunakan untuk mengetahui gambaran umum karakteristik partisipan dan deskripsi skor yang diperoleh partisipan. Pearson product moment digunakan karena sesuai dari tujuan penelitian ini, yaitu untuk mencari hubungan antara religiositas dan stabilitas pernikahan. Selain itu, data yang dihasilkan dari dua variabel merupakan data kontinus. Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
Hasil Penelitian Dari hasil pengolahan statistik deskriptif terhadap 100 partisipan, peneliti menemukan karakteristik yang umumnya dimiliki partisipan dalam penelitian ini. Berdasarkan karakteristik jenis kelamin (perempuan 56% dan laki-laki 44%), usia partisipan (25-30 tahun 50%, 30-35 tahun 32%, >35 tahun 18%), usia partisipan saat menikah (<20 tahun 5% dan >20 tahun 95%), usia pernikahan (3-5 tahun 37% dan >5 tahun 63%), jumlah anak (tidak memiliki anak 9%, memiliki anak 91% {jumlah anak 1 24%, jumlah anak >1 67%}). Hasil uji statistik dengan pearson correlation product moment menghasilkan nilai koefisien korelasi sebesar r = -0.170; N=100; p < L.o.S 0.05, one tailed. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Ho dalam penelitian ini ditolak, Ha diterima, yaitu terdapat hubungan negatif yang signifikan antara religiositas dan ketidakstabilan pernikahan pada individu yang menikah melalui ta’aruf. Hasil ini memberikan penjelasan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara religiositas dan stabilitas pernikahan pada individu yang menikah melalui ta’aruf. Hal ini menunjukkan meningkat atau menurunnya religiositas individu yang menikah melalui ta’aruf berhubungan dengan meningkat atau menurunya stabilitas pernikahan. Menurut Cohen (1992) nilai korelasi r = 0.170 tergolong sebagai nilai korelasi yang rendah (0.1 < r < 0.3). Artinya, terdapat faktor-faktor lain selain religiositas yang mempunyai hubungan dengan stabilitas pernikahan di dalam penelitian ini. Berdasarkan nilai r2 yang diperoleh yaitu 0.0289, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat 2.98% variabilitas dalam skor stabilitas pernikahan yang dapat diprediksi dari hubungannya dengan religiositas. Sementara, 96.08% variabilitas lainnya dalam skor stabilitas pernikahan dapat diprediksi dari hubungannya dengan faktor-faktor lain yang tidak diukur dalam penelitian ini. Pembahasan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara religiositas dan stabilitas pernikahan pada individu yang menikah melalui ta’aruf. Temuan ini sesuai dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya yang menemukan bahwa religiositas berhubungan secara positif dengan stabilitas pernikahan (Kunz & Albrecht, 1977; Call & Heaton, 1997; Sullivan, 2001). Beberapa hal yang mungkin dapat menjelaskan hasil penelitian tersebut dapat dipahami melalui religiositas milik Worthington dkk. (2003). Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
Menurut Worthington dkk. (2003) untuk dapat memahami religiositas individu, peneliti harus melihat berdasarkan dua komponen dalam religiositas tersebut, yaitu intrapersonal religious commitment dan interpersonal religious commitment. Komponen pertama adalah intrapersonal religious commitment, yaitu komponen kognitif yang fokus pada keyakinan dan pengalaman personal individu kepada Tuhan (Mokhlis, 2009). Dalam agama Islam, keyakinan kepada Allah SWT dinamakan aqidah (Mubarak, 2010). Sementara itu, individu yang taat pada keyakinannya dengan menjalani semua apa yang dianjurkan dan ditinggalkan disebut ibadah. Dalam agama Islam, pernikahan dinilai sebagai bentuk ibadah individu kepada Allah SWT. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW dalam HR. Thabrani dan Hakim mengenai pernikahan, bahwa individu yang menikah dianggap telah menyempurnakan separuh agama dihadapan Allah SWT (Fadlillah, 2014). Peneliti menduga individu yang menikah melalui ta’aruf di dalam penelitian ini, menyakini bahwa dengan dirinya menikah dan menjaga pernikahan tersebut, maka ia menganggap bahwa dirinya telah melaksanakan ibadah kepada Allah SWT. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semakin kuat keyakinan individu terhadap agama, maka semakin rendah kecenderungan individu untuk bercerai (Booth & White, 1980). Selain keyakinan, Worthington dkk. (2003) juga menyebutkan pengalaman personal di dalam komponen intrapersonal religious commitment. Pengalaman personal adalah berbagai tindakan yang dilakukan terkait dengan keyakinan tersebut (Worthington dkk., 2003). Konsep pengalaman personal dalam pandangan agama Islam disebut ibadah. Bentuk ibadah vertikal, salah satunya diwujudkan dalam perilaku membaca Al-Qur’an, shalat, dan berdoa (Najati, 2002). Menurut Foley (1988, dalam Ellison, 1991) permasalahan individu akan lebih mudah terselesaikan apabila ia menginternalisasi penjelasan ayat di dalam kitab suci ke dalam kondisinya. Maka, disaat individu yang menikah melalui ta’aruf mempunyai permasalahan dalam rumah tangganya, ia akan lebih mudah menyelesaikan masalah tersebut dengan salah satunya membaca dan menginternalisasikan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an yang sesuai dengan kondisinya ke dalam dirinya. Begitu juga dengan shalat dan berdoa. Dengan melakukan kegiatan tersebut, umat muslim akan memperoleh perasaan yang lebih tentram dan damai, ketegangan dan kegelisahan terasa lebih berkurang, serta akan mendapatkan kekuatan spiritual yang dapat memperbaharui harapan, tekad, dan kekuatannya untuk memungkinkan dirinya menanggung segala kesulitan (Najati, 2002). Sesuai dengan pernyataan Eliison (1991) bahwa pengalaman personal dengan Tuhan dapat mengurangi kecemasan dan rasa kebersalahan diri dengan mendorong perasaan bahwa segala situasi yang bermasalah dapat Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
diselesaikan. Hal serupa juga diungkapkan oleh Brown, Orbuch, dan Bauermeister (2008). Mereka menjelaskan bahwa hubungan pribadi individu dengan Tuhan memberi pasangan rasa bahwa segala konflik atau kesulitan yang diperoleh dapat dikendalikan dan diselesaikan. Menurut Glazko (1986) serta Chinitz dan Brown (2001) ketika permasalahan di dalam rumah
tangga
berkurang,
maka
kecenderungan
individu
untuk
mempertahankan
pernikahannya akan semakin besar. Demikian pula dengan individu yang menikah melalui ta’aruf, semakin sering ia membaca dan menginternalisasikan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an, shalat, dan berdoa, maka akan semakin stabil hubungan pernikahannya. Pernyataan tersebut didukung oleh hasil penelitian yang menemukan bahwa semakin sering individu membaca kitab suci, maka semakin stabil pernikahannya (Booth, Johnson, Branaman, & Sica, 1995). Selain bentuk vertikal, bentuk ibadah lainnya adalah ibadah horizontal atau muamalah. Ibadah muamalah dalam konteks pernikahan tercermin dari bagaimana suami dan istri membina hubungan rumah tangga sesuai dengan tuntutan Allah SWT. Di dalam surat ArRum ayat 30 nomor 32 dijelaskan bahwa Allah SWT menganjurkan kepada umat-Nya untuk memelihara kasih sayang kepada pasangannya agar memperoleh rasa kentraman di dalam dirinya. Selain diwujudkan melalui kasih sayang, rasa ketentraman juga dapat tercipta ketika pasangan sama-sama melaksanakan hak dan kewajiban sebagai suami dan istri. Disamping menganjurkan bagaimana hubungan rumah tangga seharusnya dibina, Allah SWT juga menganjurkan umat-Nya agar selalu melakukan musyawarah, bersabar, dan bersyukur apa yang sudah ia peroleh dari rumah tangganya ketika ia memiliki konflik dengan pasangannya (Al-Atsary, 2014; Fadlillah, 2014). Upaya-upaya tersebut dilakukan agar umat muslim senantiasa selalu mempertahankan pernikahannya dan menghindari perceraian, sebagaimana sabda Rasulullah SAW berkata “Perbuatan halal yang paling dibenci oleh Allah ialah perceraian” (HR. Abu Daud dan Hakim, dalam Fadlillah, 2014). Komponen religiositas lainnya adalah interpersonal religious commitment, yaitu komitmen beragama yang terlihat dari bagaimana hubungan individu dengan individu lainnya atau komunitas keagamaan. Menurut Ellison (1991) komunitas keagamaan berguna sebagai integrasi sosial, sosialisasi sosial, dan kontrol sosial terhadap perilaku anggota komunitasnya. Sosialisasi komunitas keagamaan terjadi ketika individu datang dan berpartisipasi dalam kegiatan keagamaan. Dengan datangnya individu tersebut, maka ia akan bersosialisasi dengan individu lainnya yang mempunyai nilai, kepercayaan, norma, dan harapan yang sesuai dengan agama (Witter, Stock, Okun, & Haring, 1985, dalam Ellison, 1991), dan menemukan tempat informasi dan pendampingan yang berguna untuk membantu memecahkan masalah ketika Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
individu sedang dalam keadaan tertekan (Maton, 1989, dalam Ellison, 1991). Dengan seringnya individu yang menikah melalui ta’aruf hadir dan berinteraksi dengan individu atau anggota lain yang berasal dari komunitas agama yang sama, maka individu tersebut semakin mendapat arahan dalam berhubungan di dalam rumah tangga sesuai dengan ajaran agama Islam itu sendiri. Arahan ini berguna bagi individu yang menikah melalui ta’aruf untuk lebih berupaya meningkatkan hubungan yang romantis dan menyelesaikan setiap permasalahan dalam rumah tangga dengan baik. Adapun apabila individu yang menikah melalui ta’aruf berpikir atau melakukan perbuatan yang mengarah kepada perceraian, maka sesuai dengan pernyataaan Ellison (1991), individu tersebut akan merasa bahwa ia akan mendapatkan sanksi dari komunitasnya. Meskipun memiliki korelasi, menurut Cohen (1992) korelasi antara religiositas dan stabilitas pernikahan pada penelitian ini ditemukan rendah. Artinya, meskipun individu yang menikah melalui ta’aruf memiliki religiositas yang tinggi, tetapi ada faktor lainnya selain religiositas yang lebih berhubungan dengan stabilitas pernikahan. Salah satu faktor tersebut adalah cinta. Hasil penelitian oleh Gupta dan Singh (1982, dalam Epstein, Pandit, & Thakar, 2012) yang menemukan bahwa perasaan cinta pada pasangan yang tidak berpacaran sebelumnya ditemukan mulai tumbuh saat mereka menikah dan perasaan tersebut berkembang hingga melebihi masa pasangan yang baru menikah (newlyweed). Jika dilihat karakteristik partisipan, mayoritas karakteristik usia pernikahan partisipan dalam penelitian ini adalah diatas lima tahun, yaitu sebanyak 63 partisipan (63%). Peneliti menduga bahwa perasaan cinta yang dimiliki mayoritas individu yang melakukan ta’aruf dalam penelitian ini sedang berkembang. Hal ini yang mungkin berhubungan dengan besarnya kecenderungan individu yang menikah melalui ta’aruf dalam penelitian ini untuk lebih mempertahankan pernikahannya. Faktor lainnya adalah kehadiran anak dan jumlah anak. Berdasarkan karakteristik partisipan, mayoritas partisipan dalam penelitian ini memiliki anak, yakni sebanyak 91 partisipan
(91%).
Penelitian
menemukan
bahwa
kehadiran
anak
mempengaruhi
kecenderungan individu untuk tetap bertahan dalam pernikahannya (Previti & Amato, 2003). Dalam pandangan agama Islam sendiri, anak dianggap sebagai anugrah dan titipan Allah SWT yang harus dirawat, dibimbing, dan dicintai (Fadlillah, 2014). Bukan hanya itu, Heaton dan Albrecht (1991) juga menemukan bahwa semakin banyak individu memiliki anak, maka semakin stabil hubungan pernikahannya. Dari data karakteristik partisipan diperoleh sebesar 67 partisipan (67%) memiliki lebih dari satu anak. Dari penjelasan tersebut, peneliti Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
menyimpulkan bahwa dengan bertahannya individu yang menikah melalui ta’aruf di dalam pernikahannya, maka akan semakin banyak kesempatan individu dengan pasangannya untuk merawat dan membimbing titipan dari Allah SWT tersebut. Hal ini yang nantinya diduga berhubungan dengan kecenderungan yang kecil untuk bercerai. Faktor lainnya yang diduga berhubungan dengan stabilitas pernikahan di dalam penelitian ini adalah usia pada saat individu menikah. Berdasarkan karakteristik partisipan, dapat diketahui bahwa hampir sebagian besar partisipan penelitian menikah disaat usianya lebih dari 20 tahun, yaitu sebanyak 95 partisipan (95%). Booth dan White (1980) serta Booth dan Edwards (1985) menemukan bahwa usia pada saat individu menikah dibawah 20 tahun cenderung lebih rentan untuk memikirkan perceraian dan memiliki tingkat ketidakstabilan pernikahan yang tinggi dibandingkan dengan individu yang menikah diatas 20 tahun. Dengan demikian, peneliti menduga bahwa faktor usia saat individu menikah berhubungan dengan meningkatnya stabilitas pernikahan pada individu yang menikah melalui ta’aruf dalam penelitian ini. Adanya kontrol terhadap usia pernikahan minimal tiga tahun keatas juga diduga berhubungan dengan tingginya stabilitas pernikahan pada individu yang menikah melalui ta’aruf di dalam penelitian ini. Penelitian menemukan bahwa keretanan terhadap perceraian akan semakin menurun pada pasangan seiiring meningkatnya durasi pernikahan (Huber & Spitze, 1980). Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis statistik dan intepretasi yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara religiositas dan stabilitas pernikahan pada individu yang menikah melalui ta’aruf. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat religiositas individu, maka semakin tinggi tingkat stabilitas pernikahan. Begitu pula sebaliknya, semakin rendah tingkat religiostias individu, maka semakin rendah pula tingkat stabilitas pernikahan. Saran
Saran metodologis untuk penelitian selanjutnya antara lain menggunakan ahli agama dalam proses adaptasi kedua alat ukur, mengukur kepuasan pernikahan individu yang Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
menikah melalui ta’aruf dalam kaitannya terhadap religiositas dan stabilitas pernikahan, memperhatikan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan stabilitas pernikahan, meneliti kepada pasangan, menggunakan metode kualitatif fenomenologis, dan memperbesar partisipan penelitian. Selain saran metodologis, saran praktis yang dapat peneliti sampaikan adalah pertama, penelitian ini tidak mengetahui sebab dan akibat dari kedua hubungan tersebut, tetapi individu yang menikah melalui ta’aruf dapat mempertimbangkan aspek-aspek yang terdapat di dalam religiositas yang dapat meningkatkan stabilitas pernikahan. Religiositas dapat ditingkatkan melalui perkuat keyakinan beragama, meluangkan waktunya lebih banyak untuk beribadah vertikal dan muamalah, dan melibatkan dirinya lebih banyak dalam kegiatan bersama dengan individu lainnya yang berasal dari agama Islam. Kedua, bagi psikolog, terapis, dan mentor dalam keagamaan. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk memilih metode konseling atau terapis yang tepat untuk individu yang menikah melalui ta’aruf. Salah satunya dengan menggunakan metode yang lebih bersifat keagamaan. Daftar Referensi
Abbott, D. A., Berry, M., & Meredith, D. H. (1990). Religious belief and practice: A potential assets in helping families. Family Relations, 39(4), 443-448. Al-Atsary, A. S. F. (2014). Menikah untuk Bahagia: Antara Dua Arah Cinta. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Ardhianita, I., & Andayani, B. (2005). Kepuasan pernikahan ditinjau dari berpacaran dan tidak berpacaran. Jurnal Psikologi, 32(2), 101-111. Bayer, A. E. (1968). Early dating and early marriage. Journal of Marriage and Family, 30(4), 628-632. Booth, A., & Edwards, J. N. (1985). Age at marriage and marital instability. Journal of Marriage and Family, 47(1), 67-75. Booth, A., Johnson, D. R., & Edwards, J. N. (1983). Measuring marital instabiliy. Journal of Marriage and Family, 45(2), 387-394. Booth, A., Johnson, D. R., Branaman, A., & Sica, A. (1995). Belief and behavior: does religion matter in today’s marriage?. Journal of Marriage and Family, 57(3), 661-671. Booth, A., & White, L. (1980). Thinking about divorce. Journal of Marriage and Family, 42(3), 605-616. Brown, E., Orbuch, T. L., & Bauermeister, J. A. (2008). Religiosity and marital stability among black american couples. Family Relations, 57(2), 186-197. Call, R. A., Heaton, T. B. (1997). Religious influences on marital stability. Journal for the scientific study of religion, 36(3), 382-392. Chinitz, J. G., & Brown, R. A. (2001). Religious homogamy, marital conflict, and stability in same-faith and interfaith jewish. Journal for the scientific study of religion, 40(4), 723733. Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
Cohen, J. (1992). A quantitative methods in psychology: A power primer. American Psychological Association, 112(1), 155-159. Dollahite, D. C., Marks, L. D., & Goodman, M. A. (2004). Families and religious belief, practices, and communites: Linkages in a diverse and dynamic cultural context. In M. Coleman & L. Ganong, (Ed.). Handbook of personal relationship (pp. 411-432). Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, Inc. doi: http://dx.doi.org/10.4135/9781412976022.n24 Ellison, C. G. (1991). Religious involvment and subjective well-being. Journal of Health and Social Behavior, 32(1), 80-99. Epstein, R., Pandit, M., & Thakar, M. (2012). How love emerges in arranged marriages: Two cross-cultural studies. Journal of Comparative family studies, 44(3), 341-360. Fadlillah, M. (2014). Menikah itu Indah. Yogyakarta: Elangit7 Publishing. Feist, J., & Feist, G. (2009). Theories of personality (7th ed.). New York: McGraw-Hill International Edition. Glazko, S. J. (1986). The effect of long-distance running on the marital relationship. Diakses dari MINDS@UW Digital Materials From University of Wisconsin. Grover, K. J., Russell, C. S., Schumm, W. R., & Paff-Bergen, L. A. (1985). Mate selection processes and marital satisfaction. Family Relations, 34(3), 383-386. Hana, L. (2012). Taaruf: proses perjodohan sesuai syari islam. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. Hansen, S. R. (2006). Courtship duration as a correlate of marital satisfaction and stability. Dissertation Abstract International: Section B: The Sciences and Engineering, 67(4-B), 2279. Hassan, R. (2007). On being religious: Patterns of religious commitment in muslim societies. The Muslim World, 93(3), 437. Heaton, T. B., & Albrecht, S. L. (1991). Stable unhappy marriages. Journal of Marriage and Family, 53(3), 747-758. Huber, J., & Spitze, G. (1980). Considering divorce: An expansion of becker’s theory of marital instability. American Journal of Sociology, 86(1), 75-89. Kaplan, F. M., & Saccuzzo, D. P. (2005). Psychological Testing: Principles, Application & Issue (6th ed.). Belmont, CA: Thomson Wadsworth. Karney, B. R., Bradbury, T. N., & Johnson, M. J. (1999). Deconstructing stability: The distinction between the course of a close relationship and its endpoint. In J. Adams & W. Jones (Ed.), Handbook of interpersonal commitment and relationship stability (pp. 481-499). New York: Springer Science+Business Media, LLC. DOI: 10.1007/978-14615-4773-0. Kumar, R. (1996). Research methodology: A step-by-step guide for beginners. London: SAGE Publications, Inc. Kunz, P. R., & Albrecht, S. L. (1977). Religion, marital happiness, and divorce. International journal of sociology of the family, 7(2), 227-232. Kwon, O. (2003). Buddhist and prostestant korean immigrants: Religious beliefs and socioeconomic aspect of life. New York: LFB. Landis, J. T., & Landis, M. G. (1970). Personal adjustment, marriage and family living (5th ed.). Englewood Cliffs, N.J. : Prentice-Hall. Lehrer, E. L., & Chiswick, C. U. (1993). Religion as a determinant of marital stabily. Demography, 30(3), 385-404. Lenthall, G. (1977). Marital satisfaction and marital stability. Journal of marriage and family counseling, 3(4), 25-32.
Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013
Mahoney, A., & Pargament, K. (2009). Religion, spirituality, and relationship. In H. Reis & S. Sprecher (Ed.). Enyclopedia of human relationship (pp. 1359-1360). Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, Inc. DOI: http://dx.doi.org/10.4135/9781412958479.n441 Mokhlis, S. (2009). Relevancy and measurement of religiosity in consumer behavior research. International Business Research,2(3). Mubarak, Z. (2010). Menjadi cendekiawan muslim: Kuliah islam di perguruan tinggi (2nd ed.). Jakarta: Yayasan Ukhuwah Insaniah. Najati, M. U. (2002). Al-Qur’an dan psikologi. Jakarta: Aras Pustaka. Nunnally, J. C., & Bernstein, I. H. (1994). Psychometric theory. New York: McGraw-Hill. Nye, I. F., White, L., & Frideres, J. E. (1973). A prelimenary theory of marital stability: Two models. International Journal of Sociology of the Family, 3(1), 102-122. Olson, D. H., DeFrain, J., & Skogrand, L. (2011). Marriages & family: Intimacy, diversity, strengths (7th ed.). Boston: Mc-Graw-Hill International Edition. Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R.D. (2009). Human development (11th ed.). New York: McGraw-Hill. Previti, D., & Amato, P. R. (2003). Why stay married? Rewards, barriers, and marital stability. Journal of Marriage and Family, 65(3), 561. Pusparini, A. (2012). Agar ta’aruf cinta berbuah pahala. Yogyakarta: Pro-U Media. Pustaka Amani Jakarta. (2005). Al-Qur’an dan terjemahannya. Jakarta: Pustaka Amani Jakarta. Shrum, W. (1980). Religion and marital instability: Change in the 1970s?. Review of Religious Research, 21(2), 135-147. Siauw, F. Y. (2013). Udah Putusin Aja. Bandung: PT. Mizan Pustaka. Strong, B., DeVault, C., & Cohen, T. F. (2011). The marriage and family experience: Intimate Relationship in a Changing Society (11th ed.). Belmont, CA: Wadsworth Cengage Learning. Sullivan, K. T. (2001). Understanding the relationship between religiosity and marriage: An investigation of the immediate and longitudinal effects of religiosity on newlywed couples. Journal of family psychology, 15(4), 610-626. DOI: 1037/0893-3200.15.4.610. Takariawan, C. (2010). Di jalan dakwah aku menikah. Solo: Era Adicitra Intermedia. Undang-Undang Republik Indonesia. (n.d). Undang-undang Republik Indonesia: Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Yayasan Peduli Anak Negeri (YPAN). Diakses dari http://www.dikti.go.id/files/atur/UU1-1974Perkawinan.pdf, pada tanggal 10 Februari 2014 pukul 14.00 WIB. Widiarti, A. (2010). Tak kenal maka ta’aruf: Panduan lengkap proses ta’aruf hingga pernikahan aktivis dakwah. Solo: PT. Era Adicitra Intermedia. Weiss, R. L. (2005). A critical view of marital satisfaction. In W. Pinsoff & J. Lebow (Eds.), Family psychology: The art of science (pp. 23-41). New York: Oxford University Press, Inc. Weiss, R. L., & Cerreto, M. C. (1980). The marital status inventory: Development of a measure of dissolution potential. The American Journal of Family Therapy, 8(2), 80-85. DOI: 10.1080/01926188008250358. Worthington, E. L., Jr. Wade. N. G., Hight. T. L., Ripley, J. S., McCullough, M. E., Berry, J. W., Schmitt, M. M., Berry, J. T., Bursley, K. H., & O’Connor, L. (2003). The religious commitment inventory-10: Developement, refinement, and validation of a brief scale for research and counseling. Journal of Counseling Psychology, 50(1), 84-96. DOI: 10.1037/0022-0167.50.1.84.
Hubungan antara Religiositas…, Rizka Yuniarsih, FPsi UI, 2013