Hubungan antara Kekerasan dalam Pacaran dan Keterampilan Sosial pada Perempuan Usia Dewasa Muda
The Correlation between Dating Violence and Social Skills in Young Adulthood Women Pratiwi Wandansari Pembimbing :Grace Kilis Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
ABSTRAK Skripsi ini membahas tentang hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan keterampilan sosial pada perempuan yang berada dalam masa dewasa muda, yaitu sekitar 18 – 40 tahun. Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan desain korelasional. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan negatif antara frekuensi kekerasan dalam pacaran dan keterampilan sosial, dengan nilai korelasi (r) sebesar -0.235 (p < 0.05). Bentuk kekerasan yang berhubungan secara signifikan adalah kekerasan psikologis dan kekerasan fisik. Dimensi-dimensi dari keterampilan sosial yang memiliki hubungan paling kuat dalam kekerasan adalah social expressivity dan social control. Kata Kunci: Kekerasan dalam pacaran, keterampilan Sosial, perempuan
1. Pendahuluan Tahap
perkembangan
individu
usia
dewasa
muda
memiliki
tugas
perkembangan yang salah satunya adalah mencari pasangan hidup dan membentuk relasi intim dengan orang lain (Papalia, Olds, & Feldman, 2009; Havighurst, 1955). Sehingga kemudian untuk mencapai hal tersebut, pada masa ini banyak individu usia dewasa muda yang memiliki hubungan romantis dengan orang lain yang biasa disebut pacaran. Memiliki hubungan intim dengan orang lain dikatakan memiliki pengaruh terhadap kualitas hidup individu (Khaleque, 2004), dimana individu yang memiliki pasangan atau hubungan intim dengan orang lain dapat membuat individu
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
tersebut memiliki kesejahteraan psikologi yang baik. Selain itu, DeGenova (2008) menyebutkan fungsi pacaran salah satunya adalah sebagai sarana bagi individu untuk dapat mempelajari keterampilan sosial dan komunikasi. Namun, fungsi tersebut hanya dapat terjadi pada hubungan pacaran yang sehat. Faktanya adalah, kekerasan dalam hubungan intim dikatakan paling umum terjadi pada masa dewasa muda (Brown & Bulanda, 2008) dengan perkiraan 23% - 55% pada pasangan yang berusia di bawah 30 tahun (Sorenson, Upchurch, & Shen, 1996; Schafer, Caetano, & Clark, 1998). Kekerasan dalam hubungan intim termasuk pacaran dapat terjadi karena individu yang terlibat hubungan intim tersebut tidak dapat mengkomunikasikan dan memahami perasaan serta keinginan diri dan pasangan dengan efektif, sehingga hal tersebut dapat menyebabkan terjadi pertengkaran, dimana kekerasan untuk mengatasi pertengkaran tersebut dapat terjadi (Cavell & Malcolm, 2007; Schachner, Saver, & Mikulincer, 2005). Menurut penelitian Follette dan Alexander (1992), individu yang tidak dapat mengekspresikan dirinya dan melakukan komunikasi secara efektif memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menjadi korban kekerasan. Faktor-faktor penyebab lain terjadinya kekerasan adalah adalah kecemburuan dan ketidakamanan, stres, dan minuman keras (Follingstad, Bradley, Laughlin, & Burke, 1999), lalu adanya kepercayaan peran gender dimana kedudukan laki-laki lebih tinggi dari perempuan dalam suatu budaya tertentu, praktik kekerasan di lingkungan sekitar karena adanya penerimaan sosial penggunaan kekerasan untuk mengatasi konflik, dan nilai-nilai bahwa laki-laki memang pantas mendapatkan superioritas (Flood & Fergus, 2010; Unicef, 2000). Berkaitan dengan peran gender tersebut, perempuan menjadi korban kekerasan lebih banyak empat kali lipat dari laki-laki (Catalano, Smith, Snyder, and Rand, 2009). Kekerasan memiliki dampak yang beranekaragam dan dapat berupa dampak fisik seperti luka-luka hingga terjadi kematian dan bunuh diri, dampak psikologis seperti mengalami depresi, kecemasan, dan gangguan mental lainnya, dan dampak sosial seperti kecenderungan korban perempuan untuk menjauhi orang-orang di sekitarnya dan tidak dapat terbuka secara emosional dengan orang lain (Holmes, 2012; Amar & Alexy, 2005), hingga mengalami kembali menjadi korban kekerasan pada hubungan intim lain di masa yang akan datang (Brown & Bulanda, 2008). Hal ini karena perempuan lebih mungkin mengalami luka serius setelah terjadi konflik dengan pasangannya, lebih mudah mengalami ketakutan dan depresi, dan adanya
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
perbedaan gender dan budaya bahwa laki-laki memiliki otoritas lebih tinggi (Stets & Straus, 1990). Melihat dampak yang terjadi dapat sangat fatal pada perempuan yang lebih sering menjadi korban kekerasan, maka perlu dilakukan tindakan pemberdayaan pada perempuan yang menjadi korban kekerasan, berupa tindakan preventif untuk mencegah terjadinya tindak kekerasan, dan tindakan kuratif agar kekerasan yang terjadi tidak terulang kembali. Peneliti menduga kekerasan terjadi karena perempuan mungkin tidak dapat mengekspresikan harapan dan keinginannya terhadap pasangannya karena adanya pengaruh sosialisasi budaya bahwa perempuan harus tunduk pada laki-laki sebagai pasangannya. Sehingga berdasarkan dugaan tersebut, perlu dilakukan pemberdayaan terhadap perempuan yang dapat dilakukan dengan meminimalisir faktor-faktor yang menimbulkan terjadinya kekerasan, misalnya memperbaiki
kepercayaan
bahwa
laki-laki
dan
perempuan
setara,
dan
meningkatkan keterampilan sosial agar perempuan dapat mengekspresikan dan memahami pasangannya dengan lebih efektif. Keterampilan sosial tersebut terdiri dari kemampuan untuk mengekspresikan perasaan, nilai, dan harapan baik verbal dan nonverbal, kemampuan untuk memahami dan menginterpretasikan situasi, dan kemampuan untuk melakukan kontrol terhadap pengekspresian pesan yang disesuaikan dengan situasi di sekitanya. Sehingga, melalui penelitian ini, peneliti ingin menguatkan dugaan bahwa ada korelasi yang jelas antara kekerasan dan keterampilan sosial pada perempuan, sebagai tindakan awal untuk melakukan pemberdayaan keterampilan sosial pada korban kekerasan terutama perempuan. Berdasarkan latar belakang tersebut, pertanyaan dalam penelitian adalah: “Apakah
terdapat
hubungan
antara
kekerasan
dalam
pacaran
dan
keterampilan sosial pada perempuan usia dewasa muda?” 2. Tinjauan Teori Menyakiti secara fisik dapat bervariasi mulai dari yang ringan seperti menampar hingga yang berat seperti pembunuhan (Gelles & Straus, 1979). Pelaku dan korban kekerasan pada kekerasan interpersonal dapat termasuk suami, istri, pasangan romantis, orang tua, anak-anak, teman kerja, dan teman sekelas. Kekerasan merupakan suatu konsep yang sulit didefinisikan dengan jelas dan memuaskan karena cakupannya yang luas. Pengertian pada masa awal yang disampaikan oleh Gelles dan Straus (1979) mengatakan bahwa kekerasan dipandang lebih bila terdapat dampak fisik yang terlihat. Hal yang sama diungkapkan
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
oleh Poerwandari (2004) bahwa cakupan kekerasan dapat berupa tindakan menyakiti yang memiliki dampak terlihat, seperti luka fisik goresan hingga luka fisik yang dapat menyebabkan kematian, serta pemaksaan hubungan seksual. Kemudian cakupan tersebut meluas hingga kenyataan bahwa ketika tubuh fisik seseorang terluka, hal tersebut dapat menyebabkan luka secara psikologis atau jiwanya (Poerwandari, 2004). Straus dan Gelles (1990, dalam dalam Prospero & VohraGupta, 2007) kemudian menambahkan bahwa kekerasan tidak hanya mencakup menyakiti secara fisik terbatas pada hasil akhir yang tampak secara fisik saja, tetapi yang penting adalah terdapat tindakan yang memiliki intensi untuk menyakiti atau memiliki persepsi bahwa ia berintensi untuk menyakiti, sehingga kemudian Straus dan Gelles (1990, dalam Prospero & Vohra-Gupta, 2007) memperluas definisi kekerasan (violence)sebagai tindakan yang dilakukan dan dipersepsikan dengan maksud menyakiti orang lain melalui kekerasan verbal, kekerasan fisik, dan/atau pemaksaan hubungan/aktivitas seksual, serta penguntitan (stalking). Menyakiti secara fisik tidak hanya terbatas pada hasil akhir yang tampak secara fisik, tetapi yang penting adalah terdapat tindakan yang memiliki intensi untuk menyakiti atau dipersepsi bahwa ia memiliki intensi untuk menyakiti orang lain, sehingga psychological aggression dan coercive control (kontrol dengan pemaksaan) merupakan hal yang juga sama pentingnya dengan kekerasan fisik (Straus & Mickey, 2012). Kemudian kekerasan dalam pacaran adalah merupakan suatu tindakan yang dilakukan dengan intensi, atau dipersepsikan bahwa ia berintensi, untuk menyakiti salah satu pihak dari pasangan yang belum menikah oleh pihak lainnya, melalui serangan verbal, serangan fisik, dan serangan psikologis, dalam konteks berpacaran(Straus, 2004; Gelles & Straus, 1979; Straus & Gelles, 1990, dalam Prospero & Vohra-Gupta, 2007). Sedangkan keterampilan sosial merupakan kemampuan yang melibatkan kemampuan untuk mengekspresikan diri dalam interaksi sosial, kemampuan untuk „membaca‟ dan memahami situasi sosial yang berbeda-beda, memiliki pengetahuan tentang peran sosial dan norma, kemampuan pemecahan masalah, serta kemampuan untuk memainkan peran sosial. Segrin (2001) mengungkapkan bahwa keterampilan sosial melibatkan kemampuan untuk melakukan interaksi yang tepat (appropriate) dan efektif dengan orang lain. Individu yang memiliki keterampilan sosial yang baik mampu mengekspresikan dirinya secara efektif, mampu memahami dan berempati, melakukan komunikasi yang dilihat secara positif oleh orang di
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
sekitarnya, mampu mencapai tujuan interaksi dari hubungan interaksinya dengan orang lain, mempertahankan hubungan sosial dan sekaligus personal, dan sebagainya.Keterampilan sosial terdiri dari dua dimensi yaitu emotional (nonverbal) dan social (verbal), dan masing-masing dimensi terbagi dalam expressivity, sensitivity, dan control. Pengekspresian (expressivity) merupakan kemampuan individu untuk mengirimkan pesan atau berkomunikasi kepada orang lain, sensitivitas (sensitivity) merupakan kemampuan individu untuk menerima dan menginterpretasikan pesan dari orang lain, dan kontrol (control) merupakan kemampuan
individu
komunikasi.Berdasarkan
untuk
meregulasi
dimensi-dimensi
dan
dan
mengatur
pembagiannya,
Riggio
proses (1990)
membagi kemampuan sosial ini menjadi enam dimensi, yaitu emotional expressivity, emotional sensitivity, social expressivity, social sensitivity, emotional control, dan social control.
2.1. Hipotesis H1: “Terdapat korelasi negatif yang signifikan antara skor total kekerasan dalam pacaran dan skor total keterampilan sosial perempuan dewasa muda.” Ho: “Tidak terdapat korelasi negatif yang signifikan antara skor total kekerasan dalam pacaran dan skor total keterampilan sosial perempuan dewasa muda.” 3. Metode Populasi subyek pada penelitian ini yaitu perempuan yang berada pada usia dewasa muda yang sedang terlibat dalam hubungan berpacaran, dan sampel responden adalah beberapa perempuan usia dewasa muda yang sedang terlibat dalam hubungan berpacaran minimal satu tahun. Peneliti memilih sampel beberapa perempuan usia dewasa muda (18 – 40 tahun), dan sedang terlibat dalam hubungan pacaran selama minimal satu tahun. Peneliti mencari subyek yang sedang terlibat dalam hubungan pacaran minimal satu tahun karena berdasarkan pra-penelitian CTS2 yang dilakukan oleh Straus (1996) pada mahasiswa, ditemukan bahwa dalam satu tahun hubungan dapat terjadi prevalensi kekerasan sebanyak 25 – 33%. Selain itu, semakin lama suatu hubungan akan meningkatkan kemungkinan terjadinya konflik, dimana dari konflik tersebut dapat terjadi kekerasan (Stets & Pirogood, 1987), sehingga kemudian peneliti memberi batasan usia pacaran minimal satu tahun sesuai dengan standar pada alat ukur CTS2.Jumlah sampel yang ditentukan
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
dalam penelitian ini adalah 101 orang perempuan usia dewasa muda yang sedang berpacaran minimal satu tahun. Peneliti menggunakan teknik sampling convenience karena peneliti memilih sampel berdasarkan keinginan (willingness) dan kesediaan (availability) subyek untuk mengisi kuesioner (Gravetter & Forzano, 2009). Peneliti menggunakan alat ukur Conflict Tactic Scale Revised (CTS2) yang dibuat oleh Murray A. Straus pada tahun 1996, dan telah dilakukan adaptasi. Alat ukur ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana pasangan dalam suatu hubungan intim (dating, cohabiting, marriage) melakukan kekerasan fisik atau psikologis pada satu sama lain, serta penggunaan negosiasi dalam mengatasi konflik mereka (Straus, dkk., 1996).CTS2 menggunakan skala likert „tidak pernah hingga sangat sering‟ untuk menunjukkan frekuensi kekerasan dalam satu tahun terakhir, dengan rincian:
Tidak pernah: mengalami/melakukan kekerasan sebanyak 0 kali.
Jarang: mengalami/melakukan kekerasan sebanyak 1-5 kali.
Kadang-kadang: mengalami/melakukan kekerasan sebanyak 6-10 kali.
Sering: mengalami/melakukan kekerasan sebanyak 11-20 kali.
Sangat sering: mengalami/melakukan kekerasan sebanyak lebih dari 20 kali.
Peneliti melakukan uji reliabilitas dan memperoleh koefisien Cronbach’s Alpha sebesar 0.888 dan uji validitas dengan keseluruhan item memiliki nilai corrected item total correlation sebesar 0.2. Peneliti menggunakan Social Skills Inventories (SSI) untuk mengukur keterampilan sosial yang dimiliki responden. SSI adalah alat ukur lapor diri yang didesain untuk mengukur keterampilan dasar dalam komunikasi emosional dan sosial yang dimiliki individu dan dibuat oleh Ronald E. Riggio pada tahun 1986. SSI terdiri dari 90 item yang meliputi 6 dimensi, 15 item untuk setiap dimensi. Dimensi tersebut adalah emotional expressivity, emotional sensitivity, emotional control, social expressivity, social sensitivity, dan social control. SSI tepat untuk digunakan bagi usia 14 tahun ke atas dan memiliki pemahaman bacaan setara atau di atas level membaca kelas VIII (Riggio dan Carney, 2003). Dalam penggunaan SSI pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur SSI yang telah diadaptasi oleh Dewi Ashuro (2011) dengan jumlah yang sama dengan alat ukur aslinya.Hasil adaptasi dari alat ukur SSI yang dilakukan oleh Ashuro (2011) menghasilkan reliabilitas α = 0,88 berdasarkan uji
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
internal consistency, dan nilai validitas inter-item di atas 0.4 untuk semua item. Data psikometri ini menunjukkan bahwa alat ukur dinyatakan valid dan reliabel untuk digunakan dalam penelitian.Responden diminta mengisi 90 item pernyataan dalam skala Likert dengan rentang 1-4, dimana tiap-tiap dimensi keterampilan sosial diwakili oleh 15 item. Skala 1-4 tersebut memiliki arti sebagai berikut: Skala 1 berarti item sangat tidak menggambarkan diri responden. Skala 2 berarti item agak tidak menggambarkan diri responden. Skala 3 berarti agak menggambarkan diri responden. Skala 4 berarti sangat menggambarkan diri responden. 4. Hasil Berikut pemaparan gambaran umum responden penelitian berdasarkan data demografis usia. Gambaran Umum Responden Berdasar Usia Aspek Demografis
Usia
Klasifikasi
Frekuensi
(%)
30-34
2
2
25-29
6
6
20-24
75
75
15-19
18
17
Total
101
100
Kemudian, aspek demografis berdasarkan pekerjaan dari responden dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Gambaran Umum Pekerjaan Responden Aspek Demografis
Klasifikasi
Frekuensi
(%)
Pekerjaan
Mahasiswa
89
88
Bekerja
12
12
Total
101
100
Aspek demografis lain yang penting sehubungan dengan penelitian ini adalah
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
lama hubungan pacaran responden. Berikut adalah gambaran umumnya. Gambaran Umum Responden Berdasar Lamanya Hubungan Pacaran Klasifikasi
Aspek Demografis
Lama Pacaran
Frekuensi
(%)
1 - < 2 tahun
36
35.6
2 – 4 tahun
40
39.6
> 4 tahun
25
24.8
Total
101
100
(Tahun)
Gambaran tingkat kekerasan yang terjadi dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Tingkat Kekerasan Tingkat Kekerasan
Klasifikasi
Rendah
0 – 30
Sedang
31 – 61
Tinggi
62 – 92
Gambaran kekerasan yang terjadi pada perempuan sebagai korban memiliki rata-rata skor 16.82, dengan standar deviasi sebesar 8.054. Melalui standar deviasi tersebut dapat diketahui kisaran true score yaitu 8.766 – 24.874. Gambaran Umum Perempuan sebagaiKorban Kekerasan dalam Pacaran Total
Rata-rata
Nilai
Nilai
Standar
Subjek
Skor Total
Minimum
Maksimum
Deviasi
101
16.82
4
48
8.054
Kekerasan dalam pacaran yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tiga bentuk yaitu kekerasan psikologis, kekerasan fisik, dan kekerasan seksual. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui skor masing-masing dimensi untuk dapat mengetahui gambaran bentuk kekerasan yang mana yang lebih sering terjadi pada suatu hubungan pacaran pada dewasa muda. Namun demikian, karena tiap dimensi memiliki jumlah item yang berbeda sehingga rata-rata skor tidak dapat dijadikan
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
patokan dalam melihat gambaran kekerasan yang sering terjadi pada perempuan dewasa muda, sehingga peneliti melakukan perhitungan manual dengan membagi rata-rata skor total dengan masing-masing jumlah item pada setiap area. Gambaran Umum Bentuk Kekerasan Responden Jumla Area
h Item
Rata-rata
Rata-rata
Skor Total
Skor per Item
Kekerasan Psikologis
13
13.39
1.03
Kekerasan Fisik
7
2.39
0.34
Kekerasan Seksual
3
1.05
0.35
Nilai rata-rata skor total keterampilan sosial responden sebesar 233.77 dengan standar deviasi sebesar 23.801, sehingga dari hal tersebut dapat diketahui kisaran true score yaitu antara 209.969 – 257.571. Nilai minimum dari keterampilan sosial responden adalah 169 dan nilai maksimum sebesar 298. Gambaran Umum Keterampilan Sosial Responden Total
Rata-rata
Nilai
Nilai
Standar
Subjek
Skor Total
Minimum
Maksimum
Deviasi
101
233.77
169
298
23.801
Keterampilan sosial yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari enam dimensi yaitu emotional expressivity, emotional sensitivity, social expressivity, social sensitivity, emotional control, dan social control. Oleh karena itu, penting untuk mengetahui skor masing-masing dimensi untuk dapat mengetahui gambaran keterampilan sosial yang dimiliki responden yang dalam penelitian ini mengalami kekerasan dalam hubungan pacaran. Melihat rata-rata skor pada masing-masing dimensi, rata-rata responden memiliki skor di atas low cut-off pada masing-masing dimensi.
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
Gambaran Umum Dimensi-dimensi Keterampilan Sosial Responden Jumla Area
h Item
Rata-rata
Rata-rata
Skor Total
Skor per Item
Emotional Expressivity
15
36.45
2.43
Emotional Sensitivity
15
41.72
2.78
Social Expressivity
15
38.22
2.55
Social Sensitivity
15
42.80
2.85
Emotional Control
15
36.43
2.43
Social Control
15
37.71
2.51
Kemudian analisis utama penelitian ini yaitu, berdasarkan perhitungan dengan menggunakan teknik analisis pearson correlation untuk mengetahui hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan keterampilan sosial, diketahui bahwa nilai koefisien korelasi antara kekerasan dan keterampilan sosial adalah sebesar r = 0.268 (p < 0.01) dengan arah negatif. Artinya, semakin tinggi skor kekerasan, maka skor keterampilan sosial akan semakin rendah. Adanya hubungan antara kekerasan dalam pacaran dengan keterampilan sosial, maka hipotesis null (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Ha) diterima, dengan kata lain terdapat hubungan yang signifikan antara kekerasan dalam hubungan pacaran dan keterampilan sosial. Berikut adalah tabel hubungan antara masing-masing bentuk-bentuk kekerasan dan keterampilan sosial. Hubungan antara Bentuk Kekerasan dan Keterampilan Sosial Bentuk Kekerasan
Kekerasan Psikologis
Keterampilan Sosial r
p
-0.243
0.014*
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
Kekerasan Fisik
-0.231
0.020*
Kekerasan Seksual
-0.013
0.898
*korelasi signifikan pada level 0.5 (2-tailed) Berikut adalah tabel hubungan antara masing-masing dimensi keterampilan sosial dan kekerasan dalam pacaran. Hubungan antara Kekerasan dan Dimensi Keterampilan Sosial Dimensi Keterampilan Sosial
Kekerasan dalam Pacaran r
p
Emotional Expressivity
-0.101
0.314
Emotional Sensitivity
-0.088
0.380
Social Expressivity
-0.233
0.019*
Social Sensitivity
-0.074
0.465
Emotional Control
-0.088
0.380
Social Control
-0.298
0.002**
*Korelasi signifikan pada p < 0.05 **Korelasi signifikan pada p < 0.01 5. Diskusi Hasil penelitian mengenai hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan keterampilan sosial pada perempuan usia dewasa muda ini membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan diantara kedua variabel ini. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Holmes (2012) bahwa kekerasan berhubungan secara signifikan dengan kesulitan dalam melakukan regulasi emosi dan rendahnya fungsi sosial, seperti kurang dapat berinteraksi dengan orang lain terutama dengan orang baru, kurang dapat memulai pembicaraan, kurang sensitif terhadap kebutuhan orang lain sehingga kurang dapat mengembangkan perilaku menolong, serta mengalami dampak-dampak dari kekerasan tersebut dalam jangka panjang. Hasil penelitian ini menunjukkan korelasi negatif antara kekerasan dan keterampilan sosial sehingga semakin tinggi frekuensi terjadinya kekerasan yang
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
dialami maka semakin rendah keterampilan sosial yang dimiliki. Keterampilan sosial merupakan kemampuan individu untuk mengirimkan dan memahami informasi sosial, serta melakukan kontrol diri terhadap bahasa verbal dan nonverbal (Riggio, 1986;1990), sehingga melihat definisi dari keterampilan sosial, penelitian ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya, dimana kekerasan berhubungan secara signifikan negatif dengan keterampilan sosial seperti kurang dapat berinteraksi dengan orang lain, kurang sensitif dengan kebutuhan orang lain, dan rendah dalam kemampuan melakukan regulasi emosi. Selain itu, hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian Segrin (2001) yang memberikan hasil adanya korelasi yang negatif signifikan antara keterampilan sosial dan peristiwa negatif yang terjadi dalam kehidupan (negative life events). Berdasarkan hasil penelitian Segrin (2001) tersebut, kekerasan dalam hubungan pacaran merupakan salah satu peristiwa negatif dalam kehidupan sehingga dapat dikatakan keterampilan sosial berhubungan negatif signifikan dengan kekerasan dalam hubungan pacaran. Berdasarkan hasil pengolahan data secara spesifik, kekerasan psikologis memiliki korelasi negatif yang signifikan dengan keterampilan sosial (r = 0.243, p < 0.05). Hal ini sejalan dengan penelitian Peloquin (2010) yang mengatakan bahwa kemampuan untuk memahami perasaan dan pengalaman satu sama lain dari pasangan dalam hubungan pacaran dapat mencegah terjadi kekerasan yang dilakukan secara psikologis. Kekerasan dapat terjadi apabila salah satu pihak merasa tidak dimengerti oleh pihak lain, atau kedua pihak sama-sama tidak memahami makna bahasa verbal/nonverbal satu sama lain, dan dikarenakan tidak adanya pemahaman tersebut menyebabkan terjadi pertengkaran, dan dalam pertengkaran tersebut dapat menggunakan kata-kata kasar, seperti menyebut pihak lain sebagai kekasih yang tidak baik, menghina pasangan, membentak dan meneriaki pasangan, dan sebagainya. Menurut asumsi peneliti berdasarkan penelitian (Venable & Martin, 1997) yang menghasilkan bahwa kekerasan verbal berkorelasi signifikan negatif dengan komunikasi yang berlangsung dalam hubungan tersebut, sehingga semakin tinggi kekerasan verbal akan membuat komunikasi yang berlangsung dalam hubungan tersebut menjadi kurang efektif. Berdasarkan hal tersebut, apabila komunikasi yang ada dalam suatu hubungan dapat berjalan dengan efektif maka kekerasan verbal yang terjadi dalam suatu hubungan dapat berkurang karena masing-masing dari individu dalam hubungan tersebut dapat melakukan saling mengutarakan pikiran dan perasaan dengan jelas dan sesuai
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
dengan
situasi
dimana
mereka
berada.
Hasil
penelitian
Peloquin
(2010)
mengungkapkan bahwa terjadinya kekerasan psikologis juga dapat disebabkan oleh pasangan yang tidak dapat memahami keinginan dan harapan korban, dan hal tersebut ditambah dengan korban yang kurang dapat mengkomunikasikan perasaannya secara efektif, sehingga kemudian kemungkinan terjadi pertengkaran yang menggunakan kekerasan psikologis semakin besar. Selain itu, kekerasan psikologis seringkali menggunakan bentuk berupa ungkapan verbal ataupun gestur nonverbal yang dapat menyakiti pasangan, hal ini sesuai dengan pengertian keterampilan sosial sendiri yang berhubungan dengan komunikasi verbal dan nonverbal, sehingga tidak heran apabila kekerasan psikologis berhubungan paling signifikan dengan keterampilan sosial karena keduanya menyangkut komunikasi verbal dan nonverbal di dalamnya. Kekerasan fisik juga menunjukkan hasil yang signifikan negatif pada hasil pengolahan data (r = 0.231, p < 0.05). Penelitian dari Peloquin (2010) juga menghasilkan temuan bahwa ketidakmampuan kedua pihak untuk memahami perasaan dan pengalaman satu sama lain dapat memperbesar risiko terjadi kekerasan verbal, dari kekerasan verbal yang semakin sering terjadi dapat memperbesar risiko terjadinya kekerasan fisik. Melihat penelitian Straus, Hamby, McCoy, & Sugarman (1996) yang menghasilkan temuan bahwa kekerasan psikologis memiliki hubungan yang signifikan positif dengan kekerasan fisik, sehingga semakin tinggi kekerasan psikologis yang terjadi, semakin tinggi pula terjadinya kekerasan fisik pada suatu hubungan intim, apabila ketidakmampuan memahami perasaan dan pengalaman terhadap satu sama lain terus terjadi, pertengkaran dan kekerasan psikologis akan semakin meningkat, dan semakin meningkatnya kekerasan psikologis dapat meningkatkan terjadinya kekerasan fisik. Oleh karena itu, hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian-penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa ketidakmampuan pasangan untuk memahami perasaan satu sama lain dapat berakibat pada kekerasan verbal, dan semakin sering kekerasan verbal terjadi dapat menimbulkan kekerasan fisik. Meski demikian, kekerasan seksual tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan keterampilan sosial namun memiliki korelasi yang negatif (r = 0.013, p < 0.05). Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Straus, Hamby, McCoy, dan Sugarman (1996) yang menyatakan bahwa kekerasan psikologis dan fisik berhubungan signifikan positif dengan kekerasan seksual, dimana semakin tinggi kekerasan
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
psikologis dan fisik terjadi, semakin mungkin kekerasan seksual dapat terjadi. Menurut asumsi peneliti, hal ini dapat terjadi karena aktivitas seksual masih menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan atau dilaporkan, apalagi dengan budaya di Indonesia yang melarang aktivitas seksual di luar pernikahan, sehingga ada kemungkinan subyek penelitian tidak melaporkan kejadian yang sesungguhnya berkaitan dengan aktivitas seksual mereka. Kemudian, peneliti juga melihat hubungan antara kekerasan dalam pacaran dengan dimensi-dimensi keterampilan sosial. Dimensi keterampilan sosial yang berhubungan signifikan negatif adalah social control (r = -0.298, p , 0.01). Social control merupakan kemampuan regulasi terhadap perilaku verbal, dimana untuk dapat melakukan kontrol ini individu perlu untuk memahami situasi di sekitarnya dan dapat mengungkapkan apa yang dipikirkannya dengan baik, sehingga individu dapat secara tepat sesuai situasi dan efektif dalam mengkomunikasikan bahasa verbalnya. Individu dengan kontrol sosial tinggi cenderung pandai berbicara, bijaksana, dan percaya diri dalam suatu situasi sosial dan dapat menyesuaikan diri dengan berbagai situasi sosial (Riggio, 1990). Penelitian yang dilakukan Marcus (2004) menghasilkan adanya perbedaan dalam penggunaan bahasa verbal dan dalam memahami pasangannya, pada pasangan yang terdapat kekerasan dalam hubungan pacaran dan pasangan yang tidak terdapat kekerasan dalam hubungan pacaran. Pada pasangan yang tidak terdapat kekerasan, mereka cenderung menggunakan kata-kata yang menggambarkan kasih sayang dalam penggunaan bahasa mereka, serta mereka lebih memiliki pemahaman terhadap satu sama lain. Berdasarkan penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa kekerasan terjadi karena tidak adanya pemahaman satu sama lain yang mengakibatkan kemungkinan tingginya pengekspresian bahasa yang kurang baik, jarang mengekpresikan bahasa yang mencerminkan kasih sayang, dan hal tersebut dapat menimbulkan pertengkaran yang dapat berujung pada terjadinya kekerasan. Hasil penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Brecklin dan Ullman (2005) pada perempuan yang mengalami kekerasan menghasilkan bahwa perempuan yang lebih mampu menyampaikan pendapatnya dengan tepat sesuai dengan situasi akan lebih dapat membuat
pasangannya
dilakukannya,
berhenti
dibandingkan
atau
perempuan
mengurangi yang
tidak
tindak
kekerasan
mampu
yang
menyampaikan
pendapatnya. Hal ini berarti, perempuan yang memiliki kontrol sosial yang baik, yang dapat
mengatakan
pendapatnya
setelah
melihat
situasi
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
kemudian
dapat
menyesuaikan ungkapan verbal dan situasi dimana ia berada, lebih dapat mengurangi kekerasan bentuk apapun yang mungkin terjadi. Dimensi kedua yang berhubungan signifikan negatif dengan kekerasan adalah social expressivity. Social expressivity merupakan kemampuan ekspresi verbal dan kelancaran dalam mengungkapkan maksud verbal (Riggio, 1990). Dalam suatu hubungan intim pacaran, komunikasi yang efektif merupakan sesuatu yang penting (Papalia, Olds, & Feldman, 2009), sehingga ketika perempuan tidak dapat mengkomunikasikan pikiran dan perasaannya secara efektif kepada pasangan, konflik dapat terjadi yang mengarahkan pada kemungkinan terjadinya kekerasan. Hal juga ini sejalan dengan penelitian yang menyatakan bahwa sebagian besar individu yang menjadi korban kekerasan memiliki karakteristik yang pasif, pendiam, penyendiri, dan kurang dapat menyampaikan pendapat atau perasaannya (Estevez, Jimenez, dan Musitu, 2008). Penelitian Myles (1998) mengatakan bahwa terdapat hubungan antara pola komunikasi dengan terjadinya kekerasan, dimana pola komunikasi yang paling besar berkontribusi terhadap terjadinya kekerasan adalah penggunaan bahasa verbal yang bersifat menyerang. Berdasarkan penelitian ini, peneliti berasumsi bahwa terjadinya kekerasan dapat terjadi apabila dalam suatu hubungan, baik salah satu pihak maupun kedua pihak mengungkapkan pikiran, perasaan, harapan menggunakan kata-kata yang bersifat menyerang, hal tersebut memicu terjadinya pertengkaran dan meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan. Hal lain yang dapat menjadi sebab adalah apabila menilik dari budaya perempuan Asia bahwa perempuan yang baik adalah perempuan patuh terhadap pasangannya (EACH, 2009), sehingga perempuan di Asia cenderung diam untuk menuruti apa yang dikatakan pasangannya. Perempuan di Asia yang diam ini mungkin memendam perasaannya, tidak berani mengutarakan pendapatnya, bahkan ketika ia mengalami kekerasan dalam hubungan yang sedang ia jalan. Hal tersebut membuat pasangannya yang melakukan kekerasan merasa bahwa kekerasan diperbolehkan, hingga kemudian tindak kekerasan akan berulang. Kekerasan tidak berhubungan secara signifikan dengan dimensi emotional expressivity,emotional sensitivity, emotional control, dan social sensitivity karena perempuan memiliki kemampuan mengekspresikan dan menginterpretasikan bahasa nonverbal lebih baik dari laki-laki (Frances, 1979) dan memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap bahasa verbal orang lain (Bianchin dan Angrilli, 2012), sehingga tidak adanya hubungan yang signifikan disebabkan karena skor pada
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
dimensi tersebut secara keseluruhan tinggi pada perempuan yang menjadi subyek penelitian. Selain itu, berdasarkan hasil analisis ditemukan bahwa perempuan dewasa muda di Indonesia memiliki emotional sensitivity dan social sensitivity yang paling tinggi diantara dimensi-dimensi keterampilan sosial, akan tetapi tidak ada hubungan yang signifikan dengan kekerasan, dan dimensi yang berhubungan dengan kekerasan adalah social control dan social expressivity. Hal ini dapat diartikan perempuan dewasa muda di Indonesia memiliki sensitivitas yang tinggi namun
kurang
dapat
berekspresi
secara
verbal
dengan
efektif
terhadap
pasangannya. Melalui analisis gambaran umum, diketahui bahwa kekerasan psikologis merupakan kekerasan yang paling banyak terjadi, yaitu dengan rata-rata skor tiap item sebanyak 1.03. Hal ini sesuai dengan penelitian Halpem, Oslak, Young, dkk. (2001) yang memperoleh temuan dari responden penelitian yang mengalami kekerasan, kekerasan yang paling banyak dialami adalah kekerasan psikologis. Menurut asumsi peneliti, kekerasan psikologis terjadi apabila terdapat perasaan, pikiran, keinginan, pilihan, kebutuhan dari salah satu pihak disepelekan oleh pihak lain. Seringkali hal tersebut tidak disadari oleh korban bahwa mereka mengalami kekerasan psikologis (Pipes & LeBov-Keeler, 1997), sehingga kekerasan ini paling banyak terjadi, dan hampir semua pasangan melaporkan terjadi setidaknya satu kekerasan psikologis dalam hubungan mereka (Straus, Hamby, McCoy, & Sugarman, 1996). Misalnya, cemburu yang berlebihan terhadap pasangan yang menyebabkan pasangan tidak bebas berinteraksi dengan orang lain dan mengacuhkan keinginan serta harapan pasangan merupakan kekerasan psikologis yang sering dialami, dan korban tidak menyadari bahwa hal tersebut merupakan kekerasan sehingga pelaku terus melakukan hal tersebut. Selain itu, Kekerasan psikologis merupakan tanda-tanda awal dari terjadinya kekerasan yang lebih parah pada suatu hubungan (pvamu.edu, 2012), dan dalam setiap kekerasan yang terjadi selalu diawali dengan kekerasan psikologis dan semakin lama akan berkembang menjadi kekerasan bentuk lain. Hal ini karena kekerasan psikologis merupakan kekerasan yang paling inti dari bentuk kekerasan yang terjadi dalam suatu hubungan. Kekerasan kedua yang paling banyak dialami adalah kekerasan seksual dengan rata-rata skor tiap itemnya adalah 0.35. Rata-rata skor tiap item dari kekerasan seksual dan kekerasan fisik tidak jauh berbeda, yaitu 0.34. Hal ini terjadi
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
karena kekerasan fisik dan seksual merupakan kekerasan yang berada pada tingkat yang termasuk parah, dan sampel dari subyek yang diambil oleh peneliti secara kebetulan mungkin mengalami kekerasan fisik dan seksual dalam tingkatan yang ringan. Selain itu, terdapat kemungkinan subyek tidak benar-benar melaporkan kekerasan yang dialaminya karena merasa takut atau malu. Selain itu, pada analisis gambaran umum selanjutnya diketahui bahwa social sensitivity dan emotional sensitivity memiliki skor paling tinggi dalam dimensi keterampilan sosial pada perempuan yang mengalami kekerasan dalam pacaran. Hal ini sesuai dengan teori Stets dan Straus (1990) dimana perempuan lebih besar kemungkinan mengalami stres serta depresi. Hal tersebut dapat disebabkan oleh penelitian yang dilakukan oleh (Bianchin & Angrilli, 2012) yang menemukan bahwa perempuan lebih sensitif terhadap stimulus nonverbal, terutama stimulus yang sifatnya tidak menyenangkan. Berdasarkan itu, peneliti menyimpulkan bahwa perempuan lebih sensitif dalam memahami situasi dan ungkapan verbal maupun nonverbal orang lain, terutama pada stimulus yang sifatnya tidak menyenangkan seperti mengalami kekerasan. 6. Kesimpulan `
Berdasarkan rumusan permasalahan utama, maka dapat disimpulkan bahwa
terdapat hubungan yang signifikan negatif antara kekerasan dalam pacaran dan keterampilan sosial pada perempuan usia dewasa muda. Artinya, semakin tinggi frekuensi kekerasan dalam pacaran, maka semakin rendah keterampilan sosial yang dimiliki perempuan yang menjadi korban kekerasan. 7. Saran Untuk penelitian selanjutnya, item-item dalam kekerasan seksual harus lebih disajikan dengan lebih disesuaikan dengan budaya di Indonesia guna meningkatkan sensitivitas respon responden. Hal ini untuk mencegah adanya social desireability yang menjawab sesuai dengan norma sosial, mengingat seksuall merupakan hal yang tabu di Indonesia.Untuk penelitian selanjutnya dapat disempurnakan dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Hal ini dilakukan agar peneliti dapat memperoleh informasi dengan lebih mendalam pada setiap variabelnya.Ketika melakukan administrasi kuesioner, akan lebih baik jika peneliti memberikan langsung semua kuesioner kepada subyek dan mengawasi pelaksanaan pengisian kuesioner,
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
sehingga dapat meminimalisir kesalahan dalam pengisian kuesioner.Kontrol terhadap faktor-faktor yang mungkin dapat mempengaruhi kekerasan, misalnya kepribadian responden, untuk meminimalkan terjadinya kekerasan yang terjadi karena faktor-faktor lain selain keterampilan sosial. Selain itu, bagi pasangan yang sedang terlibat dalam hubungan pacaran, dapat lebih meningkatkan kepedulian dan kesadaran akan adanya kekerasan yang dapat diawali dari hal-hal kecil. Oleh karena itu, pasangan lebih baik bila meningkatkan keterampilan sosialnya agar tercipta hubungan yang sehat.Bagi perempuan dewasa muda di Indonesia yang sensitif namun kurang dapat berekspresi akan lebih baik bila
menyadari
hal
tersebut
dan
berusaha
meningkatkan
kemampuan
berekspresinya secara efektif. Bagi pihak-pihak yang memiliki kepedulian akan kesejahteraan
perempuan
dapat menciptakan
suatu
tindakan
nyata untuk
pencegahan terjadinya kekerasan.Melihat adanya korelasi antara kekerasan dan keterampilan sosial, maka perlu dilakukan pelatihan mengenai peningkatan keterampilan sosial pada perempuan untuk mengurangi terjadinya kekerasan. Peningkatan keterampilan sosial yang dilakukan misalnya dengan pelatihan pengembangan pengekspresian pikiran dan perasaan dengan tepat (asertivitas), pelatihan menggunakan I-message dalam penggunaan bahasa dengan pasangan, dan pelatihan regulasi emosi. Adanya pelatihan dan pengembangan tersebut diharapkan dapat mengurangi terjadinya kekerasan dalam hubungan berpacaran. Kepada pembaca yang menjadi teman/kerabat korban kekerasan dapat memberikan bantuan yang sesuai dengan kebutuhan korban kekerasan tersebut.
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
Daftar Pustaka Ackard, D. M., Eisenberg, M. E., & Neumark-Sztainer, D. (2007). Long-term impact of adolescent dating violence on the behavioral and psychological health male and female youth. Adolescent Dating Violence, 4, 476 – 481. Amar, A. F. & Alexy, E. M. (2005). “Dissed” by dating violence. Perspectives in Psychiatric Care, 41 (4). Anderson, K. L & Umberson, D. (2001). Gendering violence: Masculinity and power in men‟s accounts of domestic violence. Gender & Society, 15, 358. Bachman, R. & Saltzman, L. E. (1995). Violence against women: Estimates from the redesigned survey. Bureau of Justice Statistics Special Report, NCJ-154348. Baker, C. R. (2007). A Study of factors predicting dating violence perpetration among male and female college students. Tesis. Virginia: Virginia Polytechnic Institute and State University. Bianchin, M. & Angrilli, A. (2012). Gender differences in emotional responses: A psychophysiological study. Physiology & Behavior, 105 (4), 925 – 932. Brecklin, L. R. & Ullman, S. E. (2005). Self-defense or assertiveness training and women‟s responses to sexual attacks. Journal of Interpersonal Violence, 20, 738. Brown, S.L & Bulanda, J.R. (2008). Relationship violence in young adulthood: A comparison of daters, cohabitors, and marrieds. Social Science Research, 37, 73 – 87. Catalano, S., Smith, E., Snyder, H., & Rand, M. (2009). Female victims of violence. Bureau of Justice Statistic Selected Findings, NCJ 228356. Cavell, T.A. & Malcolm, K.T. (2007). Anger, aggression, and interventions for interpersonal violence. London: Lawrence Erlbaum Associates. DeGenova, M. K. (2008). Intimate relationship, marriage & families. New York: McGraw Hill. Follingstad, D. R., Bradley, R. G., Laughlin, J. E., & Burke, L. (1999). Risk factors and correlates of dating violence: The relevance of examining frequency and severity levels in a college sample. Violence and Victims, 14 (4). Follette, V., & Alexander, P. (1992). Dating violence: Current and historical correlates. Behavioral Assesment, 14, 39 – 52. Gelles, R. J. & Straus, M. A. (1979). Determinants of violence in the family: Toward a
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
theoretical integration. The Family and Problems, 10. Gravetter, F. J. & Forzano, L. B. (2009).
Research methods for the behavioral
sciences third edition. New York: Wadsworth Cengange Learning. Holmes, M. R. (2012). Long-term effect of intimate partner violence on children’s social behavior. Disertasi. California: University of California. Halpem, C. T., Oslak, S. G., Young, M. L., Martin, S. L., & Kupper, L. L. (2001). Partner violence among adolescence in opposite-sex romantic relationship: findings from the national longitudinal study of adolescent health. American Journal of Public Health, 91 (10). Khaleque, A. (2004). Intimate adult relationship, quality of life and psychological adjusment. Social Indicators Research, 69 (3), 351 – 360. Kumar, R. (2005). Research methodology: A step by step guide for beginners, (edisi ke-2). London: SAGE Publication Ltd. Lewis, S. F., & Fremouw, W. (2001). Dating violence: A critical review of the literature. Clinical Psychological Review, 21 (1), 105 – 127. Marcus, R. F. (2004). Dating partners‟ responses to simulated dating conflict: Violence to chronicity, expectation, and emotional quality of relationship. Genetic, Social, and General Psychology Monographs, 130 (2), 163 – 188. Nunnally, J. C. & Bernstein, I. H. (1994). Psychometric theory, (edisi ke-3). New York: McGraw-Hill, Inc. Papalia, D.E., Olds, S.W., & Feldman, R.D. (2009). Human development, (edisi ke11). New York: McGraw – Hill International Edition. Peloquin, K. (2010). Dyadic emphatic and romantic attachment: Explaining psychological and physical intimate partner violence in heterosexual couples. Disertasi. Ottawa: University of Ottawa. Prospero, M. & Vohra-Gupta, S. (2007). Gender differences in the relationship between intimate parrtner violence victimization and the perception of dating situations among college students. Violence and Victims, 22 (4). Ray, A. L. & Gold, S. R. (1996). Gender roles, aggression, and alcohol use in dating relationship. The Journal od Sex Research, 33 (1), 47 – 55. Riggio, R.E. (1986). Assesment of Basic Skill. Journal of Personality and Social Psychology, 51 (3), 649 – 660. Riggio, R. E., & Carney, D. R. (2003). Social skill inventory manual (edisi ke-2). Mind Garden, Inc.
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013
Riggio, R. E., & Reichard, R. J. (2008). The emotional and social intelligences of effective leadership: An emotional and social skill approach. Journal of Managerial Psychology, 23 (2), 169 – 185. Stets, J. E. (1990). Verbal and physical aggression in marriage. Journal of Marriage and Family, 52 (2), 501 – 514. Straus, M. A., Hamby, S. L., Boney-McCoy, S., & Sugarman, D. B. (1996). The revised
conflict
tactics
scales
(CTS2):
Developmental
and
preliminary
psychometric data. Journal of Family Issues, 17 (3), 283 – 316. Straus, M. A. (2004). Prevalence of Violence Againts Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide. Sage Publication, 10 (7), 790 – 811. Straus, M.A. (2004). Cross Cultural Reliability and Validity of the Revised Conflict Tactics Scales: A Study of University Student Dating Couples in 17 Nations. Cross Cultural Research, 38 (4), 407 – 432. Straus, M.A. & Mickey, E.L. (2012). Reliability, Validity, and Prevalence of Partner Violence Measured by the Conflict Tactics Scales in Male-Dominant Nations. Aggression and Violent Behavior, 17, 463 - 474. Unicef. (2002). Domestic violence against women and girls. Florence: United Nation‟s Children Fund Innoceti Research Centre. Venable, K. V. & Martin, M. M. (1997). Argumentativeness and verbal aggressiveness in dating relationships. Journal of Social Behavior and Personality, 12, 955 – 964. World Health Organization. (2010). Preventing intimate partner and sexual violance against woman: Taking action and generating evidence. Geneva: WHO Press. ---. (2008). Understanding Teen Dating Violence Fact Sheet. Diunduh pada 4 Agustus 2012 dari http://www.cdc.gov/ncipc/pub-res/datingabusefactsheet.pdf. ---. (2012). Lembar Fakta: Pentingnya terobosan hukum dan Perlindungan Korban di Pengadilan
Nasional.
Diunduh
pada
4
Agustus
2012
dari
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-content/uploads/2012/07/lembarfakta_Konferensi-Pers-Bersama-Komnas-Perempuan-KPAI.pdf. ---.
(-).
Dating
Violence.
Diunduh
pada
7
Oktober
2012
dari
http://www.ovw.usdoj.gov/datingviolence.html. ---. (-). What is dating violence and domestic violence. Diunduh pada 21 November 2012 dari https://www.pvamu.edu/pages/2317.asp.
Hubungan antara ..., Pratiwi Wandansari, FPsi UI, 2013