Hubungan antara Kekerasan dalam Pacaran dan Keterampilan Sosial pada Mahasiswa Laki-Laki Friyanka H. D. Sitorus Nathanael E. J. Sumampouw Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
ABSTRAK Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan keterampilan sosial pada mahasiswa laki-laki. Pengukuran terhadap kekerasan dalam pacaran menggunakan alat ukur The Revised Conflict Tactics Scale yang dikembangkan oleh Straus (1996) dan telah diadaptasi oleh peneliti. Sementara, pengukuran terhadap keterampilan sosial menggunakan alat ukur Social Skill Inventory yang dikembangkan oleh Riggio (1986) yang diadaptasi oleh Rachma Rizanti (2010) dan Dewi Ashuro, dkk. (2011). Subyek penelitian ini berjumlah 87 mahasiswa laki-laki berusia 19 sampai 25 tahun. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain korelasional. Hasil penelitian menemukan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara frekuensi kekerasan yang dilakukan dalam pacaran dan keterampilan sosial, dengan nilai korelasi (r) sebesar 0.269 (p < 0.05). Sedangkan, terkait frekuensi kekerasan yang dialami dalam pacaran tidak ditemukan adanya hubungan yang signifikan dengan keterampilan sosial. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa kekerasan yang paling sering terjadi di kalangan mahasiswa ialah kekerasan psikologis. Adapun dimensi - dimensi keterampilan sosial yang paling berkontribusi dalam kekerasan adalah emotional control dan social control. This research was conducted to find the correlation between dating violence and social skills in male university students. Dating violence was measured using a modified instrument named The Revised Conflict Tactics Scale (Straus, 1996). While Social skills was measured using Social Skills Inventory (Riggio, 1986) and modified by Rachma Rizanti (2010) and Dewi Ashuro, et al. (2011). Subjects were 87 male university students with age ranging from 19 to 25. This is a quantitative study with correlational design. The result of this study suggested that perpetration of dating violence have significantly negative correlation with social skills, in which r = 0.269 (p < 0.05). While another finding of this study suggested that victimization of dating violence didn’t have significant correlation with social skills. According to this research, the most frequently violence happened in university students was psychological violence. Finally, this research found that the dimensions of social skills which have the biggest contribution to dating violence are emotional control and social control. Key Words: Dating violence; social skills; male university students
1
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
2 LATAR BELAKANG Kekerasan dalam pacaran (KDP) merupakan fenomena sosial yang cukup serius di kalangan remaja dan dewasa muda. Namun, yang selama ini menjadi topik bahasan dalam penelitian-penelitian yang ada masih terfokus pada kekerasan dalam rumah tangga atau kekerasan pada anak saja (Setchell, 2009). Padahal berdasarkan fakta yang ada beberapa tahun belakangan ini, kekerasan dalam pacaran menjadi isu penting yang sudah seharusnya mendapat perhatian dari para praktisi dan peneliti. Menurut Murray & Kardatzke (2007), penelitian tentang kekerasan dalam pacaran penting dilakukan karena dua alasan. Pertama, perilaku tersebut seringkali mengakibatkan luka fisik dan emosional. Kedua, kekerasan dalam pacaran diduga sebagai pemicu kekerasan dalam rumah tangga. Penelitian pada Price, et al. (2000) menunjukkan bahwa kekerasan dalam pacaran dapat dimulai pada masa remaja awal dan mungkin dapat berlanjut di sepanjang usia remaja hingga usia dewasa. Kemudian, berdasarkan berbagai penelitian yang ada, ditemukan bahwa mahasiswa merupakan populasi yang paling rentan terhadap perilaku kekerasan dalam pacaran (Gover, Kaukinen dan Fox, 2008). Dengan demikian, tidak heran kalau kekerasan dalam pacaran paling banyak terjadi pada hubungan intim yang dijalin oleh kalangan mahasiswa (Straus, 2004). Makepeace (1981) melaporkan bahwa satu dari lima pasangan di perguruan tinggi terlibat dalam hubungan kekerasan. Bahkan penelitian terbaru melaporkan bahwa bentuk kekerasan yang terjadi di kalangan mahasiswa terus meningkat, yaitu sebanyak satu dari tiga pasangan di perguruan tinggi terlibat dalam setidaknya satu bentuk kekerasan selama menjalani hubungan pacaran (Centers for Disease Control and Prevention, 2000; Jackson, 1999; Lewis & Fremouw, 2001 dalam Luthra dan Gidycz, 2006). Centers for Disease Control (CDC) (2008) mengemukakan tiga bentuk kekerasan yang umum terjadi dalam hubungan berpacaran, yaitu kekerasan fisik, seksual dan emosional. Selanjutnya, Anderson (2002) menyatakan bahwa laki-laki merupakan pelaku kekerasan utama dan perempuan sebagai korbannya. Fenomena ini juga dapat terlihat dari berbagai kasus kekerasan yang terjadi di Indonesia. Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan menemukan peningkatan angka kasus kekerasan dalam pacaran yang terjadi di sepanjang tahun 2010 dan 2011. Pada tahun 2010 tercatat 1.299 kasus kekerasan dalam berpacaran yang menimpa kaum perempuan. Kemudian di tahun 2011 terlihat adanya peningkatan yaitu 1.405 kasus. Adapun bentuk kekerasan yang paling banyak terjadi adalah kekerasan psikis, kemudian diikuti oleh kekerasan ekonomi, kekerasan fisik dan kekerasan seksual (komnasperempuan.or.id, 2012).
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
3 Tingginya angka kekerasan dalam berpacaran tersebut tentu menjadi fenomena yang memprihatinkan karena adanya konsekuensi fisik dan mental yang terkandung di dalamnya (Callahan, Tolman, & Saunders, 2003; Coker, Smith, McKeown & King, 2000 dalam O’Keefe, 2005). Terkait hal ini, Anderson (2002) menyatakan bahwa laki-laki sebagai pelaku kekerasan terlihat masih cenderung menyepelekan dampak kekerasan yang terjadi pada kaum perempuan. Bahkan laki-laki juga seringkali beranggapan bahwa tingkah laku pasangan terhadap mereka memiliki maksud yang lebih buruk (Holtzworth-Munroe and Hutchinson, 1993 dalam Follingstad, et al., 1999). Hal ini dikarenakan laki-laki sebagai pelaku kekerasan seringkali meminimisasi frekuensi, intensitas, tingkat keparahan, dan konsekuensi dari tingkah laku kekerasan yang mereka lakukan (Adams & Penn, 1981; Bernard & Bernard, 1984; Dutton, 1986; Saunders, 1982 dalam Stordeur dan Stille, 1989). Mereka juga memiliki kecenderungan untuk menyangkal tingkah laku kekerasan yang mereka lakukan terhadap pasangan dengan alasan mereka tidak tahu apa yang terjadi sehingga tidak dapat mengontrol diri (Stordeur dan Stille, 1989). Ketidakmampuan laki-laki dalam mengontrol diri terutama terhadap amarah serta keinginan mereka yang kuat untuk mendominasi dan mengontrol pasangan, memiliki hubungan yang kuat dengan kekerasan yang terjadi dalam pacaran (Follingstad, et al., 1999). Kekerasan terhadap pasangan yang dilakukan oleh laki-laki cenderung dianggap sebagai cara untuk memaksakan keinginan mereka dengan mengubah keadaan tertentu menjadi keadaan yang sesuai dengan persepsi dan harapan mereka (Stordeur dan Stille, 1989). Mereka menganggap tindak kekerasan yang mereka lakukan merupakan cara untuk mengontrol pasangannya. Bahkan, laki-laki muda juga seringkali beranggapan bahwa mendominasi perempuan merupakan hal yang wajar (Unger, 2001). Selanjutnya dikatakan bahwa laki-laki yang seringkali menggunakan kekerasan cenderung mengalami hubungan pertemanan dan hubungan romantis yang kurang baik. Hal ini dikarenakan ketidakmampuan mereka dalam mengenali atau mengungkapkan sejumlah besar emosi yang sedang mereka rasakan. Ketidakmampuan tersebut pada akhirnya membawa mereka pada amarah yang kemudian tersalur melalui kekerasan (Saunders, 1982 dalam Stordeur dan Stille, 1989). Adapun ketidakmampuan tersebut menunjukkan adanya defisit pada keterampilan sosial (Riggio, 1986). Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti tertarik untuk melihat kaitan antara keterampilan sosial dan kemungkinan terjadinya konflik yang dapat berdampak pada timbulnya kekerasan dalam suatu hubungan. Suatu hasil penelitian sebelumnya menunjukkan
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
4 bahwa lemahnya keterampilan sosial memiliki hubungan dengan kecenderungan laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap pasangannya (Setchell, 2009). Namun, sampai sekarang masih sedikit penelitian ilmiah yang melihat hubungan antara kurangnya keterampilan sosial dan kecenderungan munculnya perilaku kekerasan dalam pacaran. Berdasarkan fenomena tersebut, peneliti memutuskan untuk meneliti bagaimana hubungan antara keterampilan sosial dengan kekerasan dalam hubungan pacaran. TINJAUAN TEORITIS Kekerasan dalam Pacaran Straus dan Gelles (1990, dalam Prospero & Vohra-Gupta, 2007) menyatakan bahwa kekerasan dalam pacaran termasuk pada kekerasan dalam hubungan intim yang diartikan sebagai tindakan yang dilakukan dan dipersepsikan dengan maksud menyakiti orang lain melalui agresi verbal, agresi fisik, dan/atau pemaksaan seksual, yang dilakukan oleh salah satu pihak terhadap pasangannya dalam konteks berpacaran. Berdasarkan Center of Disease Control (2008), terdapat tiga bentuk kekerasan yang umum terjadi dalam hubungan berpacaran. Kekerasan fisik terjadi ketika salah satu pasangan menggunakan kekuatan fisik untuk mengontrol yang lainnya. Kekerasan ini mencakup berbagai serangan, mulai dari mendorong, mencengkram, mencekik, membakar hingga menyerang dengan senjata. Kekerasan fisik biasanya dikarakteristikkan mulai dari kekerasan ringan hingga berat. Kekerasan ringan didefinisikan sebagai tindakan yang risiko terhadap bahaya permanen dan cederanya tergolong rendah. Sebaliknya, kekerasan yang tergolong berat atau parah meliputi tindakan yang berisiko tinggi terhadap cedera parah dan permanen. Bentuk kekerasan kedua ialah kekerasan psikologis yang meliputi tindakan menghina atau memaki, meremehkan atau mengancam pasangan. Selain itu, kekerasan psikologis juga dapat berupa tindakan merusak harta atau benda milik pasangan serta mengisolasi pasangan dari teman-teman dan kerabat. Selanjutnya, bentuk kekerasan yang juga terjadi dalam hubungan pacaran ialah kekerasan seksual yang meliputi pemaksaan terhadap pasangan untuk terlibat dalam aktivitas seksual. Misalnya, menggunakan kekerasan untuk berusaha melakukan hubungan seksual, dan mencoba melakukan atau berhubungan seksual dengan seseorang yang berada di bawah pengaruh obat-obatan atau alkohol sehingga tidak dapat menolak atau memberikan izin. Menurut Riggs dan O’Leary (1989 dalam Luthra dan Gidycz, 2006) terdapat faktor kontekstual dan situasional yang secara empiris dan teoritis memiliki hubungan dengan kecenderungan melakukan kekerasan dalam pacaran. Faktor kontekstual meliputi pengalaman
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
5 terpapar dengan kekerasan dalam hubungan intim, pengalaman terhadap kekerasan antara orang tua dan anak, sikap penerimaan terhadap kekerasan sebagai cara untuk menyelesaikan konflik dan pengalaman pernah menggunakan kekerasan. Selanjutnya, faktor situasional meliputi penggunaan alkohol atau obat-obat terlarang, penggunaan kekerasan yang terlebih dahulu dilakukan oleh pasangan, keterampilan terkait pemecahan masalah dan lamanya hubungan. Kekerasan dalam pacaran dapat menimbulkan dampak yang merugikan baik pada korban laki-laki maupun perempuan. Beberapa penelitian menemukan bahwa terdapat perbedaan dampak kekerasan yang dirasakan laki-laki dan perempuan sebagai korban. Adapun dampak yang seringkali dirasakan ialah berkaitan dengan kesehatan fisik dan mental serta kepuasan hubungan pacaran (Amanor-Boadu et al, 2011). Sejumlah peneliti menemukan bahwa rendahnya keterampilan intrapersonal dan interpersonal merupakan salah satu karakteristik pelaku kekerasan (Browning, 1983; Fot, Eisler & Pinkston, 1975; Ganley & Harris, 1978; Goode, 1971; O’Brien, 1971; Rimm, Hill, Brown & Stuart, 1974 dalam Stordeur dan Stille, 1989) Rendahnya keterampilan tersebut pada akhirnya hanya memberi pelaku kekerasan sedikit alternatif dalam mengatasi konflik atau mengungkapkan perasaan, sehingga sebagai gantinya, mereka justru melakukan kekerasan atau menjadi marah. Kondisi ini mengakibatkan ketidakmampuan dalam mengenali atau mengungkapkan sejumlah besar emosi dan membawa mereka pada kecenderungan untuk merasakan dan mengungkapkan emosi-emosi tersebut dalam kemarahan atau kekerasan, yang diberi istilah “male emotional funnel”. Hal ini terjadi ketika laki-laki berada pada situasi dimana mereka merasakan kesedihan, kehilangan atau rasa malu, atau ketika hal yang terjadi pada mereka tidak sesuai dengan harapan dan mereka merasa ditolak, ditinggalkan, tidak mampu, cemburu atau takut. Emosi-emosi tersebut pada akhirnya akan membawa mereka pada amarah (Saunders, 1982 dalam Stordeur dan Stille, 1989). Karakteristik lainnya ialah laki-laki sebagai pelaku kekerasan seringkali meminimisasi frekuensi, intensitas, tingkat keparahan, dan konsekuensi dari perilaku kekerasan mereka (Adams & Penn, 1981; Bernard & Bernard, 1984; Dutton, 1986; Saunders, 1982 dalam Stordeur dan Stille, 1989). Bahkan mereka mereka juga memiliki kecenderungan untuk melebih-lebihkan perilaku pasangan terhadap mereka. Kemudian, menyangkal juga merupakan salah satu karakteristik laki-laki sebagai pelaku kekerasan. Bentuk penyangkalan yang dilakukan oleh laki-laki sebagai pelaku kekerasan dapat beragam, mulai dari
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
6 penyangkalan atas kekerasan yang ia lakukan seketika itu juga, penyangkalan maksud, hingga penyangkalan tanggung jawab.
Keterampilan sosial Riggio (1986) mendefinisikan ketrampilan sosial (social skill) sebagai kemampuan untuk mengirimkan dan menerima informasi tertentu (Riggio, 1986, hal. 650). Kemudian, Barreras (2008) mendefinisikan ketrampilan sosial (social skill) sebagai kemampuan yang dibutuhkan untuk berinteraksi, beradaptasi dan berfungsi secara benar dalam suatu lingkungan sosial. Riggio dan Reichard (2008) mendefinisikan ketrampilan sosial (social skill) sebagai kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara bijak dalam berbagai situasi sosial yang meliputi kemampuan untuk mengekspresikan diri dalam interaksi sosial, kemampuan untuk membaca dan memahami situasi sosial yang beragam, pengetahuan tentang peran-peran, norma-norma dan aturan-aturan sosial, kemampuan pemecahan masalah interpersonal serta kemampuan bermain peran. Berdasarkan beberapa definisi keterampilan sosial di atas, peneliti menyimpulkan bahwa keterampilan sosial adalah keterampilan individu untuk menerima atau mengirimkan informasi terhadap orang lain baik secara verbal maupun nonverbal dengan cara yang tepat dan efektif dalam suatu interaksi sosial. Riggio (1986) membagi keterampilan sosial menjadi tiga jenis, yaitu: expressivity, sensitivity dan control. Expressivity merujuk pada kemampuan dalam menyampaikan simbol atau mengekspresikan pesan. Sensitivity merujuk pada kemampuan memahami simbol yaitu terkait dengan kepekaan terhadap pesan yang disampaikan oleh orang lain. Sementara control merujuk pada kemampuan dalam meregulasi atau mengontrol komunikasi. Selanjutnya, Riggio (1986) menyatakan bahwa ketiga jenis keterampilan sosial tersebut dapat dioperasikan pada domain emosional/nonverbal dan sosial/verbal sehingga menghasilkan enam dimensi keterampilan sosial yang meliputi kemampuan dalam menyampaikan, menerima dan mengontrol komunikasi. Keenam dimensi keterampilan sosial tersebut, antara lain: 1. Emotional Expressivity (EE): Merujuk pada keterampilan komunikasi individu secara non-verbal dalam hal penyampaian informasi. 2. Emotional Sensitivity (ES): merujuk pada keterampilan individu dalam menerima dan memahami sinyal non-verbal yang ditunjukkan orang lain.
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
7 3. Emotional Control (EC): merujuk pada keterampilan individu dalam mengontrol, mengatur serta menampilkan emosi yang mereka rasakan. 4. Social Expressivity (SE): mengacu pada keterampilan individu dalam berkomunikasi secara verbal dan keterampilan untuk melibatkan orang lain dalam suatu situasi sosial. 5. Social Sensitivity (SS): merujuk pada keterampilan individu dalam memahami komunikasi verbal serta norma-norma yang mengatur tingkah laku sosial. 6. Social Control (SC): merujuk pada keterampilan individu dalam mempresentasikan
diri pada lingkungan sosial.
Keberhasilan individu dalam menjalin suatu interaksi sosial ditentukan oleh banyak faktor, baik yang berhubungan dengan individu itu sendiri, tanggapan atau respon dari orang lain serta konteks sosial (Spence, 2003). Adapun salah satu faktor tersebut meliputi respon verbal dan non-verbal yang mempengaruhi persepsi dan respon dari orang lain selama melakukan interaksi sosial. Dalam hal ini, Spence (2003) membagi respon verbal dan nonverbal pada dua tingkatan. Pada tingkat mikro, penting bagi individu untuk mampu menyesuaikan kuantitas dan kualitas respon non-verbal seperti kontak mata, ekspresi wajah, postur, kesenjangan sosial serta penggunaan isyarat, dengan tuntutan situasi sosial yang berbeda. Demikian pula dengan kualitas respon verbal seperti nada suara, volume suara, dan kejelasan dalam berbicara juga secara signifikan mempengaruhi persepsi orang lain serta reaksi yang mereka munculkan terhadap kita. Kemudian,
pada
tingkat
makro,
individu
harus
mampu
mengintegrasikan
keterampilan-keterampilan pada tingkat mikro dengan menggunakan strategi yang sesuai untuk menghadapi tugas-tugas sosial tertentu dimana masing-masing tugas memerlukan respon perilaku tertentu yang sesuai dalam rangka mencapai keberhasilan interaksi. Sebagai contoh, keberhasilan individu dalam memulai percakapan dengan orang lain melibatkan banyak keterampilan pada tingkat mikro dan keterampilan-keterampilan yang lebih kompleks lagi, seperti mengidentifikasi waktu yang tepat untuk memulai percakapan, memilih topik yang sesuai untuk percakapan, dan sebagainya. Selain respon verbal dan non-verbal, Spence (2003) mengemukakan faktor lain yang mempengaruhi keterampilan sosial individu, yaitu kemampuan individu dalam hal pemecahan masalah interpersonal. Ia mengatakan bahwa defisit dalam kemampuan pemecahan masalah interpersonal dapat membuat individu menimbulkan respon-respon yang tidak sesuai dalam suatu situasi sosial. Biasanya, individu yang tidak mampu mengidentifikasi tantangan-
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
8 tantangan yang mungkin muncul dalam suatu situasi sosial tertentu, cenderung gagal menemukan alternatif yang sesuai dalam upaya mengatasinya. Dengan demikian mereka akan cenderung menggunakan respon sosial yang tidak tepat dan pada akhirnya dapat mengakibatkan interaksi yang buruk dengan dengan orang lain (Spence, 2003).
Mahasiswa Menurut Arnett (2000), mahasiswa tergolong dalam periode emerging adulthood yang berada pada rentang usia 18-25 tahun. Schlegel and Barry (1991 dalam Arnett, 2000), menyatakan bahwa tahap kehidupan antara masa remaja akhir dan dewasa ini merupakan konsep yang universal. Hanya saja, terminologi yang umumnya digunakan pada budaya nonWestern ialah “youth”. Namun, seiring perkembangan zaman, masa emerging adulthood telah menjadi konsep yang lebih luas di seluruh dunia. Hal ini dikarenakan peningkatan globalisasi dari perekonomian dunia. Periode emerging adulthood biasanya ditandai dengan adanya perubahan dan eksplorasi (Arnett, 1998; Rindfuss, 1991 dalam Arnett, 2000) dimana para kaum muda seringkali mengeksplorasi berbagai kemungkinan pilihan terkait percintaan, pekerjaan dan cara pandang. Pada masa ini, eksplorasi dalam dunia percintaan menjadi lebih intim dan serius. Pacaran pada masa remaja masih dianggap sebagai rekreasi. Sementara di masa emerging adulthood ini, pacaran biasanya berlangsung dalam jangka waktu yang lebih panjang dan dijalani sebagai kesempatan untuk membangun keintiman antarpasangan baik secara emosional dan fisik (Arnett, 2000). Eksplorasi dalam dunia percintaan yang dialami pada masa emerging adulthood ini tidak selalu menyenangkan. Terkadang, hal ini justru mendatangkan kekecewaan. Arnett (2000) menyatakan bahwa sekitar sepertiga dari orang-orang yang berada pada masa emerging adulthood melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi setelah menyelesaikan tingkat pendidikan sekolah menengah atas. Oleh karena itu, penelitian terkait masa emerging adulthood seringkali dilakukan pada mahasiwa karena terbukti bahwa orangorang dengan pendidikan yang lebih tinggi pada umumnya lebih terdorong untuk melakukan eksplorasi dalam menjalani kehidupannya (Pascarella & Terenzini, 1991 dalam Arnett, 2000).
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
9 METODE PENELITIAN Desain penelitian Penelitian ini menggunakan desain non-experimental studies dimana peneliti tidak melakukan manipulasi variabel atau intervensi terhadap subyek penelitian (Kumar, 2005). Dalam hal ini peneliti melakukan satu kali pengambilan data untuk mengetahui frekuensi dating violence dan social skill subyek dan berfokus pada fenomena masa lalu yaitu frekuensi kekerasan yang terjadi pada hubungan berpacaran pada satu tahun terakhir dan kemampuan sosial hingga saat ini. Terkait tipe penelitian, penelitian ini tergolong ke dalam penelitian korelasional, karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat ada tidaknya hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan keterampilan sosial pada mahasiswa laki-laki, bukan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat yang terjadi di antara kedua variabel penelitian tersebut. Selanjutnya, berdasarkan tujuan penelitian dan tipe informasi yang diperoleh, penelitian ini tergolong dalam penelitian kuantitatif yang merupakan pendekatan dengan dasar pengukuran variabel terhadap partisipan untuk memperoleh skor tertentu (biasanya berupa nilai angka), yang kemudian dilakukan analisis statistikal untuk meringkas atau melakukan interpretasi terhadap suatu gejala menggunakan prosedur statistik standar (Gravetter & Forzano, 2009). Berdasarkan tujuan penelitian dan tipe informasi yang diperoleh, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif. Partisipan penelitian Partisipan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 87 mahasiswa laki-laki dengan rentang usia 19 sampai 25 tahun. Mahasiswa laki-laki dipilih sebagai subyek penelitian karena mahasiswa merupakan populasi yang paling rentan terhadap perilaku kekerasan dalam pacaran dimana pada masa ini kebanyakan orang mulai menjalin hubungan romantis yang intim dengan pasangannya (Gover, Kaukinen dan Fox, 2008). Selain itu, Straus (2004) juga menyatakan bahwa kekerasan paling banyak terjadi pada hubungan intim yang dijalin oleh kalangan mahasiswa. Teknik pengambilan sampel Metode pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah nonprobability sampling dimana tidak semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi partisipan dalam penelitian. Adapun jenis nonprobability sampling yang digunakan adalah convenience sampling yang juga dikenal sebagai accidental sampling dimana peneliti
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
10 memilih subyek penelitian berdasarkan ketersediaan dan kerelaan untuk memberi respon (Grevetter & Forzano, 2009). Instrumen penelitian Kekerasan dalam Pacaran. Peneliti menggunakan alat ukur Conflict Tactic Scale Revised (CTS2) yang dikembangkan oleh Murray A. Straus pada tahun 1996 untuk mengukur variabel kekerasan dalam pacaran. Alat ukur ini digunakan untuk mengetahui sejauh mana pasangan dalam suatu hubungan intim (dating, cohabiting, marriage) menggunakan kekerasan fisik atau psikologis pada satu sama lain, serta bagaimana penggunaan negosiasi dalam mengatasi konflik yang mereka hadapi (Straus, dkk., 1996). Alat ukur ini diadaptasi oleh peneliti yang menghasilkan 23 pasang item yang digunakan untuk mengukur perilaku positif dan negatif yang mungkin muncul dalam konteks konflik pada suatu hubungan. Itemitem berpasangan ini meminta responden untuk melaporkan tindakan-tindakan yang pernah mereka lakukan terhadap pasangan (sebagai pelaku) dan tindakan-tindakan yang pernah dilakukan pasangan terhadap mereka (sebagai korban), selama periode satu tahun (Straus, et al., 1996). Hasil uji reliabilitas alat ukur ini menunjukkan koefisien Cronbach’s Alpha sebesar 0,888. Keterampilan Sosial. Peneliti menggunakan Social Skills Inventories (SSI) untuk mengukur keterampilan sosial yang dimiliki subyek penelitian. SSI adalah alat ukur lapor diri yang didesain oleh Ronald E. Riggio pada tahun 1986 untuk mengukur keterampilan dasar dalam komunikasi emosional dan sosial yang dimiliki individu. SSI terdiri dari 90 item yang meliputi 6 dimensi dimana masing-masing dimensi terdiri dari 15 item. Dimensi tersebut adalah emotional expressivity, emotional sensitivity, emotional control, social expressivity, social sensitivity, dan social control. SSI tepat untuk digunakan bagi individu berusia 14 tahun ke atas dan memiliki pemahaman bacaan setara atau di atas level membaca kelas VIII (Riggio dan Carney, 2003). Dalam penggunaan SSI pada penelitian ini, peneliti menggunakan alat ukur SSI yang telah diadaptasi oleh Rachma Rizanti (2010) dan Dewi Ashuro, dkk. (2011) dengan jumlah yang sama dengan alat ukur aslinya. Selanjutnya, penelitian melakukan revisi kembali atas dasar pertimbangan kualitatif terhadap alat ukur yang telah diadaptasi ini sehingga dihasilkan 80 item. Alat ukur SSI memiliki nilai reliabilitas pada rentang α = 0,88 berdasarkan uji internal consistency. Nilai validitas diperoleh menggunakan uji validitas convergent and discriminant validity. Korelasi SSI dan ACT (Affective Communication Test) sebesar 0,64 (p < .001). Korelasi SSI dan BSRI-Femininity sebesar 0.45 (p < .001). Korelasi
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
11 SSI dan BSRI-Masculinity sebesar 0,41 (p < .001). Data psikometri ini menunjukkan bahwa alat ukur dinyatakan valid dan reliabel untuk digunakan dalam penelitian. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Metode atau teknik statistik yang digunakan untuk pengolahan data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Statistik deskriptif Teknik ini digunakan untuk mengolah data partisipan dan data demografis yang ada. Selain itu, teknik ini juga digunakan untuk melihat gambaran umum terkait karakteristik sampel penelitian berdasarkan frekuensi, nilai rata-rata, dan presentase skor.
Pearson Correlation Teknik ini digunakan untuk mengetahui besar dan arah hubungan linier antara dua variabel (Gravetter & Wallnau, 2007). Dalam penelitian ini, variabel yang dikorelasikan ialah kekerasan dalam pacaran dan keterampilan sosial.
HASIL PENELITIAN Deskripsi Statistik Sebelum memaparkan hubungan antara kekerasan dalam pacaran dan keterampilan sosial pada mahasiswa laki-laki, peneliti terlebih dahulu memaparkan gambaran demografis subyek penelitian. Adapun gambaran tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Gambaran Demografis Subyek Aspek Demografis Lama Berpacaran 1 tahun – 1 tahun 11 bulan 2 tahun – 2 tahun 11 bulan > 3 tahun Total Asal Perguruan Negeri Swasta Tinggi Total
Frekuensi
%
34 30 23 87 61 26 87
39.1 34.5 26.4 100 70 30 100
Selanjutnya, peneliti juga memaparkan hasil statistik deskriptif terkait skor partisipan penelitian pada setiap variabel. Adapun gambaran tersebut dapat dilihat pada tabel-tabel di bawah ini.
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
12
Tabel 2. Gambaran Skor Kekerasan yang Dilakukan dan Dialami Subyek Rata-Rata Range skor Standar Deviasi
Kekerasan yang Dilakukan 12.91 2 – 32 5.97
Kekerasan yang Dialami 13.92 0 – 34 6.83
Tabel 3. Rata-Rata Skor Kekerasan yang Dilakukan Berdasarkan Lamanya Pacaran Lama Pacaran 1 tahun – 1 tahun 11 bulan 2 tahun – 2 tahun 11 bulan > 3 tahun
Fisik 0.8 0.8 1.2
Psikologis 6.2 5.6 6.4
Seksual 0.4 0.4 0.3
Tabel 4. Rata-Rata Skor Kekerasan yang Dialami Berdasarkan Lamanya Pacaran Lama Pacaran 1 tahun – 1 tahun 11 bulan 2 tahun – 2 tahun 11 bulan > 3 tahun
Fisik 0.8 1.3 1.5
Psikologis 6.1 5.6 5.7
Seksual 0.2 0.3 0.2
Tabel 5. Persentase Subyek Berdasarkan Bentuk Kekerasan dan Negosiasi yang Dilakukan Kekerasan Fisik Kekerasan Psikologis Kekerasan Seksual Negosiasi
Tidak Pernah Melakukan 63.2 % 3.4 % 78.2 % 0
Pernah Melakukan 36,8 % 96.6 % 21.8 % 100 %
Tabel 6. Tingkah Laku Spesifik yang Paling Banyak Dilakukan Subyek berdasarkan Alat Ukur CTS2 Kekerasan Fisik : Saya mencengkeram pasangan saya dengan kuat Psikologis : Saya melakukan sesuatu untuk membuat pasangan saya kesal Seksual : Pasangan sebenarnya tidak bersedia melakukan aktivitas seksual (ciuman, meraba bagian intim, bersenggama), tetapi saya memaksa Negosiasi : Saya menghargai perasaan pasangan tentang suatu permasalahan (misalnya masalah
Persentase Subyek yang Pernah Melakukan 18.4 % 71.3 % 17.2 %
100 %
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
13 pendidikan, keluarga, pekerjaan) Tabel 7. Persentase Subyek Berdasarkan Bentuk Kekerasan dan Negosiasi yang Dialami Kekerasan Fisik Psikologis Seksual Negosiasi
Tidak Pernah Mengalami 67.8 % 4.6 % 81.6 % 0
Pernah Mengalami 32.2 % 95.4 % 18.4 % 100 %
Tabel 8. Tingkah Laku Spesifik yang Paling Banyak Dialami Subyek berdasarkan Alat Ukur CTS2 Kekerasan Fisik : Pasangan saya mendorong tubuh saya dengan kuat Psikologis : Pasangan membentak saya ketika ia marah Seksual : Saya sebenarnya tidak bersedia melakukan aktivitas seksual (ciuman, meraba bagian intim, bersenggama), tetapi pasangan memaksa saya Negosiasi : Pasangan menghargai perasaan saya tentang suatu permasalahan (misalnya masalah pendidikan, keluarga, pekerjaan)
Persentase Subyek yang Pernah Mengalami 14.9 % 67,8 % 16.1 %
100 %
Tabel 9. Gambaran Skor Total dan Dimensi-Dimensi pada Keterampilan Sosial Subyek
Skor Total Emotional Expressivity Emotional Sensitivity Emotional Control Social Expressivity Social Sensitivity Social Control
Rata-Rata Skor 213.6 35.2 40.4 38.2 38.5 39.9 39.5
Skor Minimum 174 18 27 21 18 24 26
Skor Maksimum 253 40 50 45 49 52 53
Possible Score 0 – 320 0 – 48 0 – 56 0 – 48 0 – 52 0 – 60 0 – 56
Analisis Korelasi Dari hasil penghitungan korelasi antara kekerasan yang dilakukan dan dialami dengan keterampilan sosial, diperoleh hasil sebagai berikut :
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
14 Tabel 10. Hubungan antara Kekerasan yang Dilakukan dan Keterampilan Sosial Keterampilan Sosial
Kekerasan dalam Pacaran yang dilakukan Total Fisik Psikologis Seksual Total -0.269* -0.024 -0.105 0.049 Emotional Expressivity 0.026 0.002 0.064 0.119 Emotional Sensitivity -0.164 0.125 -0.020 -0.124 Emotional Control -0.233* -0.005 -0.195 0.112 Social Expressivity -0.176 0.019 -0.060 0.030 Social Sensitivity -0.010 0.104 0.100 -0.042 Social Control -0.273* -0.287** -0.203 0.067 **korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed) *korelasi signifikan pada level 0.05 (2-tailed) Tabel 11. Hubungan antara Kekerasan yang Dialami dan Keterampilan Sosial Keterampilan Sosial
Kekerasan dalam Pacaran yang dialami Total Fisik Psikologis Seksual Total -0.185 0.004 0.089 0.102 Emotional Expressivity -0.005 0.030 0.129 0.167 Emotional Sensitivity -0.124 0.065 -0.101 -0.050 Emotional Control -0.176 0.036 -0.210 0.023 Social Expressivity -0.096 0.070 -0.006 0.095 Social Sensitivity -0.002 -0.007 0.060 -0.051 Social Control -0.179 -0.167 -0.145 0.134 **korelasi signifikan pada level 0.01 (2-tailed) *korelasi signifikan pada level 0.05 (2-tailed)
PEMBAHASAN Analisis utama penelitian ini menemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara tingkah laku kekerasan yang dilakukan dengan keterampilan sosial pada mahasiswa laki-laki. Dari sini terlihat bahwa semakin tinggi frekuensi kekerasan yang dilakukan atau dialami subyek, maka semakin rendah keterampilan sosial yang ia miliki, begitu pula sebaliknya. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian oleh Segrin (2001) yang menemukan adanya hubungan negatif yang signifikan antara keterampilan sosial dan peristiwa negatif yang terjadi dalam hidup (negative life events), misalnya interaksi yang bermasalah dengan orang lain, seperti kekerasan yang terjadi dalam hubungan interpersonal. Kemudian, masih terkait dengan hasil analisis utama dalam penelitian ini, penemuan oleh Lee (2007) menunjukkan bahwa keterampilan sosial penting untuk membangun suatu hubungan dan berinteraksi dengan dunia sosial. Lee (2007) menyatakan bahwa individu yang memiliki keterampilan sosial yang rendah, seringkali mengalami hubungan pertemanan dan hubungan
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
15 romantis yang kurang baik. Mereka juga akan cenderung merasakan konsekuensi emosional negatif berupa perasaan marah. Berdasarkan rata-rata skor total antara kekerasan yang dilakukan dan dialami subyek, terlihat bahwa skor rata-rata tingkah laku kekerasan yang dialami cenderung lebih tinggi daripada yang dilakukan. Dengan demikian, terlihat bahwa kebanyakan subyek penelitian mempersepsikan bahwa diri mereka lebih sering mengalami kekerasan yang dilakukan oleh pasangan mereka. Hasil ini bertentangan dengan Anderson (2002) yang menyatakan bahwa laki-laki merupakan pelaku utama kekerasan. Begitu pula dengan Unger (2001) yang menyatakan bahwa pada kekerasan dalam hubungan intim, perempuan cenderung menjadi korban dan laki-laki adalah pelakunya. Hal ini dapat dijelaskan melalui kecenderungan lakilaki yang seringkali meminimisasi frekuensi, intensitas, tingkat keparahan, dan konsekuensi dari perilaku kekerasan yang mereka lakukan (Adams & Penn, 1981; Bernard & Bernard, 1984; Dutton, 1986; Saunders, 1982 dalam Stordeur dan Stille, 1989). Selain itu, hal ini juga dapat dijelaskan melalui perilaku menyangkal yang merupakan salah satu karakteristik yang seringkali ditampilkan oleh laki-laki. Bentuk penyangkalan yang umumnya dilakukan oleh laki-laki dapat beragam, mulai dari penyangkalan atas kekerasan yang ia lakukan, penyangkalan maksud, hingga penyangkalan tanggung jawab. Salah satu alasan umum atas penyangkalan ini ialah kehilangan kontrol (Adams & Penn, 1981; Coleman, 1980; Dutton, 1986; Ptacek, 1988 dalam Stordeur dan Stille, 1989). Dalam upaya menjelaskan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa subyek lebih banyak melaporkan diri mereka sebagai korban, dapat juga dijelaskan melalui penelusuran lebih lanjut terkait alat ukur CTS2. Pada alat ukur tersebut, item-item yang ditujukan bagi pelaku dan korban ditampilkan secara berdampingan sehingga memiliki kecenderungan untuk menimbulkan bias. Apabila dikaitkan dengan hasil penelitian ini, terlihat pada data deskriptif bahwa tingkah laku spesifik terkait kekerasan yang dilakukan ataupun dialami cenderung sama. Namun, bila ditinjau pada skor rata-ratanya, tingkah laku kekerasan yang dialami subyek cenderung lebih tinggi daripada yang dilakukan. Hal ini dapat dijelaskan melalui penelitian Setchell (2009) yang menemukan bahwa laki-laki memiliki kecenderungan untuk melaporkan lebih sedikit tentang kekerasan yang mereka lakukan terhadap pasangan. Bahkan laki-laki juga cenderung melebih-lebihkan perlakuan pasangan terhadap mereka. Apabila ditinjau berdasarkan hasil penelitian terkait bentuk-bentuk kekerasan yang terjadi di kalangan subyek penelitian, ditemukan bahwa kekerasan psikologis merupakan bentuk kekerasan yang paling sering dilakukan ataupun dialami. Hasil penelitian ini sejalan
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
16 dengan Murray & Kardatzke (2007) yang menemukan bahwa kekerasan psikologis merupakan kekerasan yang paling sering terjadi di kalangan mahasiswa. Hal ini terlihat dari hasil penelitiannya yang menunjukkan persentase kasus kekerasan psikologis yang terjadi di kalangan mahasiswa, yaitu sekitar 80% hingga 90%. Selanjutnya, peninjuan tehadap rata-rata skor kekerasan fisik yang dilakukan ataupun dialami subyek, menunjukkan hasil yang tergolong cukup rendah. Hasil ini bertentangan dengan penemuan Straus (2004) yang menunjukkan bahwa kekerasan fisik merupakan bentuk paling umum yang terjadi dalam hubungan romantis yang dijalani oleh mahasiswa. Hal ini dapat dijelaskan melalui alat ukur CTS2 yang menyatakan bahwa individu dikatakan sebagai pelaku atau korban kekerasan dalam satu dimensi tertentu apabila ia melaporkan setidaknya melakukan atau mengalami dua kali dari item-item yang ada. Dengan demikian, hal ini tidak menunjukkan bahwa kekerasan fisik merupakan bentuk kekerasan yang jarang terjadi di kalangan mahasiswa, melainkan frekuensinya yang tergolong cukup rendah. Kemudian, ditemukan bahwa kekerasan seksual merupakan yang paling jarang terjadi di kalangan subyek penelitian. Apabila ditinjau secara spesifik berdasarkan item-itemnya, memang sebagian besar subyek melaporkan bahwa mereka tidak pernah melakukan ataupun mengalami kekerasan seksual. Dalam hal ini, peneliti berasumsi bahwa perilaku seksual merupakan hal yang bersifat confidential sehingga kecenderungan subyek untuk melaporkannya dalam suatu penelitian masih sangat kecil. Berdasarkan pengukuran terhadap keterampilan sosial, hampir seluruh subyek penelitian memiliki keterampilan sosial yang baik. Namun, kekerasan masih saja terjadi pada hubungan pacaran yang mereka jalani. Hal ini dapat dijelaskan melalui penemuan Riggs dan O’Leary (1989 dalam Luthra dan Gidycz (2006) yang menunjukkan adanya faktor kontekstual dan situasional yang secara empiris dan teoritis memiliki hubungan dengan kecenderungan melakukan kekerasan dalam pacaran, salah satunya ialah lama berpacaran. Bila dikaitkan dengan statistik deskriptif pada penelitian ini, terlihat bahwa frekuensi kekerasan yang dilakukan lebih tinggi pada pasangan yang dengan usia lama pacaran yang lebih tinggi pula. Berdasarkan hasil yang lebih spesifik terkait dimensi-dimensi dalam keterampilan sosial, ditemukan bahwa dimensi emotional expressivity merupakan keterampilan dengan skor rata-rata paling rendah pada subyek penelitian ini. Dengan demikian dapat diketahui bahwa sebagian besar subyek penelitian ini masih sulit dalam mengekspresikan keadaan emosional yang mereka rasakan sehingga masih saja terjadi kekerasan dalam konteks hubungan pacaran yang sedang mereka jalani. Penemuan ini sejalan dengan Stordeur dan Stille (1989) yang mengungkapkan bahwa salah satu karakteristik dari laki-laki sebagai pelaku kekerasan ialah
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
17 ketidakmampuan dalam mengenali atau menyatakan emosi yang mereka rasakan.. ketidakmampuan ini membuat mereka merasakan dan mengungkapkan emosi-emosi tersebut dalam kemarahan yang pada akhirnya berujung kekerasan. Kondisi ini diberi istilah “male emotional funnel”. Hal ini biasanya terjadi ketika laki-laki berada pada situasi dimana mereka merasakan kesedihan, kehilangan atau rasa malu, atau ketika hal yang terjadi pada mereka tidak sesuai dengan harapan dan membuat mereka merasa ditolak, ditinggalkan, cemburu atau takut. Secara keseluruhan, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kekerasan psikologis merupakan kekerasan yang paling banyak terjadi di kalangan subyek penelitian. Kemudian, disusul dengan bentuk kekerasan fisik dan seksual. Adapun hasil penelitian ini sesuai dengan data pada Komnas Perempuan yang menunjukkan bahwa bentuk kekerasan dalam pacaran yang paling sering terjadi adalah kekerasan psikis, kemudian diikuti oleh kekerasan ekonomi, kekerasan fisik dan kekerasan seksual (komnasperempuan.or.id, 2012). KESIMPULAN Berdasarkan rumusan permasalahan utama, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Terdapat hubungan negatif yang signifikan antara tingkah laku kekerasan yang dilakukan dalam pacaran dan keterampilan sosial pada mahasiswa laki-laki. Artinya, semakin tinggi tingkat kekerasan yang dilakukan dalam pacaran, maka semakin rendah keterampilan sosial yang dimiliki mahasiswa laki-laki sebagai pelaku kekerasan. 2. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tingkah laku kekerasan yang dialami dalam pacaran dan keterampilan sosial pada mahasiswa laki-laki. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, peneliti memberikan beberapa saran metodologis untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya dengan topik serupa: 1. Mengusahakan anonimitas subyek dengan maksimal. Dalam hal ini sebaiknya pembagian dan pengambilan kuesioner dari calon subyek penelitian tidak dilakukan secara individual, tetapi bersama-sama dengan calon subyek lainnya. Dengan demikian, subyek bisa lebih terbuka dalam mengisi kuesioner. 2. Memastikan kerepresentatifan sampel dan memperbanyak jumlah subyek agar generalisasi hasil penelitian dapat dilakukan.
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
18 3. Melakukan pengambilan data lanjutan melalui wawancara terhadap subyek yang memiliki skor kekerasan (baik sebagai pelaku atau korban) dalam pacaran yang tergolong tinggi. 4. Mengidentifikasi faktor-faktor lain yang juga diasumsikan memiliki hubungan dengan kekerasan dalam pacaran. 5. Item-item yang ditujukan bagi pelaku dan korban diberikan secara terpisah untuk mengurangi bias. Selanjutnya, peneliti juga memberikan beberapa saran praktis untuk pihak-pihak terkait: 1. Melihat adanya hubungan negatif yang signifikan antara kekerasan yang dilakukan dalam pacaran dan keterampilan sosial, maka perlu dilakukan pelatihan mengenai peningkatan keterampilan sosial pada mahasiswa laki-laki untuk mengurangi tingkah laku kekerasan yang terjadi dalam hubungan pacaran. 2. Bagi pembaca yang mendapati bahwa hubungan pacaran yang sedang dijalani mengandung kekerasan, baik fisik, psikologis ataupun seksual, diharapkan untuk belajar lebih percaya dan terbuka kepada orang-orang terdekat untuk menceritakan tentang hal tersebut. Bila terasa sulit, dapat mencari bantuan melalui konseling.
DAFTAR PUSTAKA Amanor-Boadu, Yvonne, Stith, S. M., Miller, M. S., Cook, J., Allen, L., & Gorzek, M. (2011). Impact of Dating Violence on Male and FemalecCollege Students. Partner Abuse, 2, 323-343. Anderson, K. L. (2002). Perpetrator or Victim? Relationships between Intimate Partner Violence and Well-Being. Journal of Marriage and Family, 64, 851-863. Arnett, J. J. (2000). Emerging adulthood: A theory of development from the late teens through the twenties. American Psychologist, 55, 469–480. Barreras, R. Bernando. (2008). An experimental Analysis of the Treatment Validity of the Social Skills Deficit Model for At-Risk Adolescents. Disertasi. US: University of California Riverside. Follingstad, D. R., Bradley, R. G., Laughlin, J. E., & Burke, L. (1999). Risk Factors and Correlates of Dating Violence: The Relevance of Examining Frequency and Severity Levels in a College Sample. Violence and Victims, 14 (4), 365-379.
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
19 Gover, A. R., Kaukinen, C, & Fox, K. A. (2008). The Relationship Between Violence in the Family of Origin and Dating Violence Among College Students. Journal of Interpersonal Violence, 23 (12), 1667-1693. Gravetter, F.J. & Forzano, L.B., (2009). Research Methods for the Behavioral Sciences. USA: Wadsworth Cengage Learning. Kumar, R. (2005). Research Methodology: A Step by Step Guide for Beginners, Second Edition. London: SAGE Publication Ltd. Lee, S. W. (2007). Social Skills. Encyclopedia of School Psychology. Univ British Columbiavancouve: Sage Publications, Inc. Luthra, R. & Gidycz, C. A. (2006). Dating Violence Among College Men and Women. Journal of Interpersonal Violence, 21, 717-731. Makepeace, J. M. (1981). Courtship violence among college students. Family Relations, 30, 97–102. Murray, C. E. & Kardatzke, K. N. (2007). Dating Violence Among College Students: Key Issues for College Counselors. Journal of College Counseling, 10, 79-89. O’Keefe, Maura. (2005). Teen Dating violence: A Review of Risk Factors and Prevention Efforts. National Online Resource Centre on Violence Against Women. Price, E. L., Byers, E. S., Sears, H. A., Whelan, J. J., Saint-Piere, M. (2000). Dating Violence Among New Brunswick Adolescents: A Summary of Two Studies. Research Paper Series (University of New Brunswick). Prospero, M, & Vohra-Gupta, S. (2007). Gender Differences in the Relationship between Intimate Partner Violence Victimization and the Perception of Dating Situations among College Students. Violence and Victims, 22 (4). Reis, H. T. & Sprecher, S. (2009). Social Skills, Adults. Encyclopedia of Human Relationships. Univ British Columbia-vancouve: Sage Publications, Inc. Riggio, R. E. (1986). Assessment of Basic Social Skills. Journal of Personality and Social Psychology, 51, 649-660. Riggio, R. E. & Carney, D. R. (2003). Social Skills Inventory Manual 2nd edition. Mind Garden, Inc. Riggio, R.E. & Reichard, R. J. (2008). The Emotional And Social Intelligences Of Effective Leadership: An Emotional And Social Skill Approach. Journal of Managerial Psychology, 23, 169-185.
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013
20 Riggs, D. S. & O’Leary, K. D. (1996). Aggression Between Heterosexual Dating Partners: An Examination of A Causal Model of Courtship Aggression. Journal of Interpersonal Violence, 11 (4), 519-540. Setchell, S. R. (2009). Social Skill Deficits And Male-Perpetrated Dating Violence. Thesis. Canada: University of Windsor. Spence, S. H. (2003). Social Skills Training with Children and Young People:Theory, Evidence and Practice. Child and Adolescent Mental Healt, 8, 84–96. Stordeur, R. A. & Stille, R. (1989). Ending Men’s Violence Against Their Partners: One Road to Peace. USA: Sage Publication, Inc. Straus, M. A., Hamby, S. L., Boney-McCoy, S., & Sugarman, D. B. (1996). The Revised ConflictTactics Scales (CTS2) Development and Preliminary Psychometric Data. Journal of Family Issues, 17, 283-316. Straus, M.A. (2004). Prevalence of Violence Againts Dating Partners by Male and Female University Students Worldwide. Sage Publication, 10 (7), 790 – 811. Unger, R. K. (2001). Handbook of the Psychology of Women and Gender. USA: Wiley. ---. (2008). Understanding Teen Dating Violence Fact Sheet. http://www.cdc.gov/ncipc/pubres/datingabusefactsheet.pdf. Diunduh pada 10 September 2012. ---. (2012). Lembar Fakta: Pentingnya terobosan hukum dan Perlindungan Korban di Pengadilan
Nasional.
http://www.komnasperempuan.or.id/wp-
content/uploads/2012/07/lembar-fakta_Konferensi-Pers-Bersama-Komnas-PerempuanKPAI.pdf. Diunduh pada 29 Agustus 2012.
Hubungan antara ..., Friyanka H.D. Sitorus, FPSI UI, 2013