Hubungan antara Kecerdasan Emosi dan Kepuasan Hubungan pada Mahasiswa yang Menjalani Hubungan Pacaran Jarak Jauh Rayi Rizqa Aldila dan Ina Saraswati Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia Abstrak
Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara kecerdasan emosi dan kepuasan hubungan pada mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh. Pengukuran kecerdasan emosi dilakukan dengan menggunakan alat ukur Brief Emotional Intelligence Scale (Davies et al., 2010) dan pengukuran kepuasan hubungan dilakukan dengan menggunakan alat ukur Relationship Assessment Scale (Hendrick, 1988). Partisipan penelitian berjumlah 185 mahasiswa dengan karakteristik sedang menjalani hubungan pacaran jarak jauh. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dan kepuasan hubungan pada mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh (r =0.251; p = 0.001, signifikan pada L.o.S 0.01). Artinya, semakin tinggi kecerdasan emosi yang dimiliki seseorang, maka semakin tinggi kepuasan hubungan yang dicapai.
Kata Kunci: Kecerdasan Emosi; Kepuasan Hubungan; Mahasiswa. Abstract
This research is conducted to gain insight about the correlation between emotional intelligence and relationship satisfaction on undergraduate students who are experiencing long distance relationship. The measurement tool that is used to gauge the emotional intelligence factor is the Brief Intelligence Scale (Davies et al., 2010) and the measurement tool used for relationship satisfaction factor is Relationship Assessment Scale (Hendrick, 1988). The number of samples for this particular research are 185 undergraduate students with the characteristic of having engaging in long distance relationship. The result obtained in this research shows that there’s a significant positive correlation between emotional intelligence and relationship satisfaction among the undergraduate students who experience long distance relationship (r =0.251; p = 0.001, that shows significance at L.o.S 0.01). Which means, the higher the level of emotional intelligence within a person, therefore resulting in achieving a higher level of relationship satisfaction. Keywords: Emotional Intelligence; Satisfaction Relationship; Undergraduate Student. Pendahuluan Hubungan pacaran merupakan salah satu pengalaman yang lazim terjadi dalam kehidupan manusia. Hubungan pacaran dijelaskan sebagai hubungan yang diliputi perasaan ketertarikan, cinta, dan kecenderungan terhadap ketertarikan seksual serta kemungkinan berlanjutnya hubungan pada hubungan pernikahan (Baron & Bryne, 2000). Baron dan Bryne (2000) menjelaskan bahwa hubungan pacaran ditandai dengan sejumlah kedekatan fisik; berpegangan
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013
tangan, berpelukan, berciuman ataupun melakukan interaksi seksual. Adapun kedekatan fisik tersebut mengindikasikan bahwa hubungan pacaran biasanya dijalani secara berdekatan. Namun dalam prosesnya, hubungan pacaran tidak dapat selalu dilakukan secara berdekatan. Terdapat hal-hal yang membuat pasangan harus melangsungkan hubungan secara jarak jauh, misalnya menjalani pendidikan atau pekerjaan di lokasi yang jauh dari tempat tinggal pasangannya. Berdasarkan berbagai penelitian yang ada, ditemukan bahwa mahasiswa adalah populasi yang paling banyak menjalani hubungan pacaran jarak jauh. Penelitian menunjukkan sekitar 25% hingga 50% mahasiswa perguruan tinggi terlibat dalam hubungan jarak jauh dan proporsinya semakin besar pada mahasiswa tingkat pertama (Aylor, 2003). Stafford, Daly dan Reske (dalam Aylor, 2003) menemukan sekitar satu per tiga hubungan pacaran pada mahasiswa terjadi dalam hubungan jarak jauh. Secara spesifik, Knox (dalam Aylor, 2003) mengungkapkan bahwa setengah mahasiswa tingkat pertama yang menjalani hubungan pacaran, dialami dalam bentuk hubungan pacaran jarak jauh. Di Indonesia, tidak ada data statistik yang menunjukkan prevalensi mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh. Namun, berdasarkan hasil survey yang dilakukan peneliti, diketahui bahwa hubungan pacaran jarak jauh juga merupakan hal yang umum dialami oleh mahasiswa di Indonesia. Dalam hubungan jarak jauh, kepuasan hubungan seringkali menjadi fokus dalam berbagai penelitian mengenai hubungan jarak jauh (Aylor, 2003). Stafford dan Reske (dalam Aylor, 2003) melaporkan individu dalam hubungan romantis jarak jauh lebih merasa puas dibandingkan dengan individu yang menjalani hubungan romantis biasa (bukan secara jarak jauh). Berbeda dengan hal tersebut, Aylor (2003) menyatakan bahwa hubungan jarak jauh dipercaya akan menghasilkan kepuasan hubungan yang rendah. Hal serupa juga diungkapkan Jessica dan Michael (2007), bahwa hubungan jarak jauh dapat menyebabkan reduksi atau menurunnya kepuasan hubungan. Lydon, Pierce, dan O’Regan (1997) mengemukakan kepuasan hubungan yang rendah dapat berpengaruh pada stabilitas hubungan dan dapat menyebabkan berakhirnya hubungan. Tidak hanya itu, kepuasan hubungan yang rendah juga berdampak pada individu dalam hubungan tersebut; menyebabkan stress (Randall & Bodenmann dalam Lee-Ji-Yeon, 2012), strategi penyelesaian masalah yang kurang efektif diantara pasangan (Papp & Witt, 2010 dalam Lee-JiYeon, 2012), dan menurunnya tingkat kepercayaan terhadap pasangan (Campbell, Simpson, Boldry, & Rubin, 2010 dalam Lee-Ji-Yeon, 2012). Rendahnya kepuasan hubungan dalam hubungan pacaran jarak jauh mungkin disebabkan oleh berbagai tantangan yang harus dihadapi pasangan. Tantangan tersebut diantaranya adalah menjalani hubungan yang dibatasi oleh jarak sehingga menghasilkan keterpisahan fisik, kurangnya komunikasi secara face-to-face, kontak fisik dan kedekataan diantara pasangan
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013
(Sahlstein, 2006), serta membangun kepercayan dan komitmen dalam hubungan yang dibatasi oleh jarak (Aylor, 2003). Selain itu, mengelola konflik secara efektif diantara pasangan yang terpisah keberadaannya satu sama lain juga merupakan tantangan dalam hubungan jarak jauh (Sahlstein, 2006). Terkait dengan jarak, Sahlstein (2006) menyatakan salah satu masalah terberat dalam mengelola hubungan adalah jarak. Hal ini dikarenakan kita cenderung mengasosiasikan hubungan yang dijalani bersama pasangan dengan kedekatan (closeness), interaksi secara langsung (face-to-face interaction), dan kehadiran fisik pasangan. Jarak dianggap sebagai pembatas bagi pasangan untuk berhubungan baik secara fisik, psikologis atau emosional (Aylor, 2003). Jarak juga menghasilkan keterpisahan secara fisik. Jessica dan Michael (2007) menjelaskan keterpisahan fisik diantara pasangan dalam hubungan jarak jauh dapat meningkatkan distress. Pasalnya, pasangan dalam hubungan jarak jauh seringkali mengalami kesulitan dalam melalui penyesuaian yang cukup emosional saat harus berpisah dengan pasangannya. Mereka juga cenderung terlalu memikirkan momen-momen saat bersama pasangannya. Hal tersebut diketahui dapat menyebabkan tekanan dan memicu timbulnya distress (Sahlstein, 2006). Guldner (dalam Sahlstein, 2006) mengungkapkan bahwa pasangan dalam hubungan jarak jauh melaporkan lebih banyak mengalami simtom depresi dibandingkan pasangan yang tidak menjalani hubungan jarak jauh. Khususnya bagi mereka yang sulit bertemu dalam jangka waktu yang lama. Selanjutnya, terkait dengan penyelesaian konflik, Sahlstein (2006) menjelaskan bahwa pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh memiliki kesulitan dalam mengelola konflik. Hal ini dikarenakan pasangan memiliki dua kecenderungan dalam menyelesaikan konflik. Pertama, kecenderungan untuk mengabaikan konflik yang dikarenakan adanya persepsi dari pasangan bahwa mendiskusikan konflik membuat hubungan menjadi lebih berat, sehingga pasangan memilih untuk mengabaikan konflik yang ada (Sahlstein, 2006). Kedua, kecenderungan untuk menunda penyelesaian konflik untuk dibahas saat keduanya bertemu (Sahlstein). Namun, konflik justru sering tidak terselesaikan karena penyelesaiannya yang tidak pasti. Menurut Sahlstein (2006), pasangan dalam hubungan pacaran jarak jauh memiliki waktu yang terbatas untuk menghabiskan waktu bersama, sehingga ketika mereka memiliki kesempatan tersebut, mereka lebih memilih untuk menghindari dan menyingkirkan berbagai diskusi yang mungkin menyebabkan ketegangan atau pertengkaran. Akibatnya, penyelesaian konflik pun menjadi terabaikan. Pengelolaan konflik semacam ini diketahui berpengaruh terhadap rendahnya kepuasan hubungan. Gottman (1993) menjelaskan, pasangan yang meremehkan atau menghindari konflik dengan pasangannya cenderung memiliki kepuasan yang rendah dibandingkan dengan pasangan yang mendiskusikan segala masalah dan perbedaan pendapat.
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa sejumlah tantangan dalam hubungan jarak jauh seringkali dirasakan sebagai tekanan yang dapat memicu timbulnya distress dan menghasilkan reduksi dalam kepuasan hubungan. Dapat dikatakan, menjalani hubungan pacaran jarak jauh bukanlah hal yang mudah. Terlebih lagi, mahasiswa memiliki tantangan lain terkait dengan kegiatan akademik yang dijalaninya; frekuensi tugas yang tinggi dan prestasi akademik yang baik. Adapun tuntutan akademik ini dapat meningkatkan resiko berkembangkannya masalah kesehatan fisik dan psikologis yang pada akhirnya dapat meningkatkan stress (Bowman, R., Bowman, V., & DeLucia, 1990; Frazier & Schauben, 1994; Sloboda, 1990 dalam Gonzalez, 2011). Oleh karena itu, kemampuan untuk mengatasi distress, mengelola diri dan menyesuaikan diri dengan keadaan geografis yang terpisah merupakan hal penting untuk dimiliki mahasiswa dalam menjalani hubungan pacaran jarak jauh. Selain itu, agar mereka dapat membangun hubungan yang sukses dengan pasangannya dibutuhkan juga kemampuan emosional yang tinggi termasuk empati, pengendalian diri dan pemahaman terhadap kebutuhan dan perasaan orang lain (Fitness, 2001). Adapun kemampuan-kemampuan tersebut dapat diukur melalui kecerdasan emosi seseorang (Fitness, 2001). Salovey dan Mayer (1990) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai bagian dari kecerdasan sosial yang terdiri dari kemampuan untuk memantau perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, membedakan keduanya, dan menggunakan informasi tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan. Kecerdasan emosi terdiri dari tiga aspek kemampuan kognitif adaptif; penilaian dan ekspresi emosi (appraisal and expression of emotion), regulasi emosi (regulation of emotion), dan penggunaan emosi dalam pemecahan masalah (utilization of emotions in problem solving) (Salovey & Mayer, 1990). Dengan kecerdasan emosi, mahasiswa akan lebih mudah dalam mengatasi distress, baik yang dihasilkan dari tantangan dalam hubungan pacaran jarak jauh ataupun tantangan akademik yang dihadapinya. Dalam hal ini, kecerdasan emosi dapat membantu mahasiswa dalam melakukan regulasi emosi dalam rangka mengatasi distress. Kecerdasan emosi juga dapat membantu mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh untuk menyelesaikan konflik secara efektif. Schroder-Abe dan Schutz (2011) menjelaskan kecerdasan emosi mengarahkan individu untuk dapat berkomunikasi secara lebih efektif dengan pasangannya; kecerdasan emosi membantu individu untuk lebih tepat dalam mengenali emosi pasangan, memahami kebutuhan pasangan dan pendapat pasangan, sehingga dapat menghasilkan perspektif yang lebih baik dalam menghadapi pasangannya. Dengan kata lain, kecerdasan emosi dapat mengarahkan individu pada pengelolaan konflik yang baik, dimana rendahnya konflik dalam hubungan diprediksi menghasilkan kepuasan hubungan yang lebih tinggi.
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013
Selain itu, kecerdasan emosi dapat memperbesar kemungkinan pasangan untuk menjalani hubungan jangka panjang dengan bahagia (Fitness, 2001). Dalam hal ini, kecerdasan emosi yang mencakup ketepatan dalam menilai perasaan dan sensitivitas terhadap emosi yang ditunjukkan secara verbal ataupun non verbal dapat membantu mahasiswa yang menajalani hubungan pacaran jarak jauh untuk tetap dapat memahami keadaan pasangan dan memberikan respon yang tepat, sekalipun pasangan tidak melakukan interaksi secara face-to-face. Berdasarkan pemaparan di atas, kecerdasan emosi yang terdiri dari kemampuan untuk memahami dan mengekspresikan emosi, serta regulasi emosi disadari dapat berkontribusi pada kepuasan hubungan pacaran jarak jauh. Secara spesifik, kecerdasan emosi membantu mahasiswa untuk mengatasi berbagai tantangan dalam hubungan pacaran jarak jauh. Meskipun demikian, hal tersebut masih perlu diuji lebih lanjut, mengingat minimnya penelitian mengenai kecerdasan emosi dalam konteks hubungan jarak jauh. Karena itu, peneliti bermaksud untuk menguji hubungan antara kecerdasan emosi dan kepuasan hubungan pada mahasiswa yang menjalani hubungan romantis jarak jauh dengan tujuan mengetahui ada tidaknya hubungan antara kecerdasan emosi dan kepuasan hubungan pada mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh.
Tinjauan Pustaka Kecerdasan Emosi Peter Salovey and John Mayer (1990) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai bagian dari kecerdasan sosial yang terdiri dari kemampuan untuk menangkap perasaan dan emosi diri sendiri dan orang lain, membedakan keduanya dan menggunakan informasi tersebut untuk memandu pikiran dan tindakan. Weisinger (dalam Sojka & Schmelz, 2002) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi terdiri dari kemampuan dalam menggunakan emosi untuk membantu mengarahkan perilaku dan pikiran. Goleman (1998) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kapasitas untuk mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, untuk mengelola emosi dalam diri dan hubungan kita dengan baik. Dapat disimpulkan bahwa kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengenali dan memahami emosi baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, dan menggunakan informasi tersebut untuk melakukan regulasi emosi dalam berhubungan dengan diri dan orang lain. Lebih lanjut, Salovey dan Mayer (1990) membagi kecerdasan emosi ke dalam tiga aspek yang didasarkan pada kemampuan kognitif; penilaian dan ekspresi emosi, regulasi emosi, dan penggunaan emosi dalam pemecahan masalah.
Penilaian dan Ekspresi Emosi. Aspek penilaian dan ekspresi emosi merujuk pada individu yang mampu menyadari suasana hati dan pikiran mereka tentang suasana hatinya (Salovey & Mayer,
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013
1990). Mereka juga dapat merasakan dan merespon emosi mereka secara lebih akurat dan lebih cepat, serta dapat mengekspresikan emosinya kepada orang lain dengan lebih baik. Selain itu, individu dengan kecerdasan emosi juga mampu mengukur secara akurat afek seseorang dan memilih perilaku sosial adaptif yang tepat dalam menanggapinya. Salovey dan Mayer (1990) menjelaskan aspek penilaian dan pengekspresian emosi terhadap orang lain ini berkaitan dengan empati, yaitu kemampuan untuk memahami perasaan orang lain dan ikut merasakan apa yang dialami orang tersebut. Dikatakan berkaitan, karena dalam prosesnya empati juga melibatkan penilaian dan pengekspresian emosi terhadap orang lain. Empati mengarahkan individu untuk memahami sudut pandang orang lain, mengidentifikasi secara akurat emosi yang dialami orang lain, ikut merasakan apa yang dialami orang tersebut dan akhirnya mengekspresikan pengalaman yang dirasakannya itu baik secara verbal atau tindakan.
Regulasi Emosi. Kemampuan regulasi emosi berkaitan dengan pengelolaan emosi ataupun suasana hati, baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Dalam menjelaskan regulasi emosi, Salovey dan Mayer (1990) lebih menekankan pada suasana hati. Salovey dan Mayer (1990) menyatakan, meskipun suasana hati memiliki sifat yang berbeda dengan emosi, individu dengan kemampuan emosional yang baik seharusnya juga mampu mengelola suasana hati secara efektif. Kemampuan ini ditunjukkan baik terhadap diri sendiri ataupun orang lain. Adapun regulasi emosi dalam diri mengacu pada meta-experience atas suasana hati, atau pemantauan, evaluasi, dan tindakan untuk mengubah suasana hati. Secara spesifik, regulasi emosi berhubungan dengan usaha untuk memperbaiki suasana hati yang tidak menyenangkan dan menjaga suasana hati yang menyenangkan (Salovey & Mayer, 1990). Selanjutnya, regulasi emosi terhadap orang lain mencakup kemampuan untuk mengelola dan mengubah reaksi afek orang lain. Misalnya, kemampuan untuk menenangkan orang lain yang berada dalam keadaan sedih atau mengalami emosi negatif lain.
Penggunaan Emosi dalam Pemecahan Masalah. Salovey dan Mayer (1990) mengungkapkan bahwa suasana hati dan emosi dapat membantu individu dalam strategi pemecahan masalah. Aspek penggunaan dan pemecahan masalah ini merujuk pada individu yang memanfaatkan suasana hati atau emosi dalam menghadapi berbagai permasalahan. Salovey dan Mayer (1990) menjelaskan ketika individu menggunakan pendekatan ini, mereka dapat memecahkan berbagai masalah secara adaptif.
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013
Kepuasan Hubungan Kepuasan hubungan merupakan sesuatu yang dirasakan atau dianggap menyenangkan dalam hubungan (Taylor, Freedman, & Peplau, 1985). Rusbult (1983) menjelaskan kepuasan hubungan sebagai perasaan positif atau ketertarikan individu terhadap hubungan yang dijalaninya. Dalam hal ini, individu yang merasa puas dengan hubungannya secara umum memiliki perasaan yang positif terhadap pasangan dan hubungannya tersebut. Hendrick, S. S., Dicke, A. dan Hendrick, C. (1998) menyatakan bahwa kepuasan hubungan mengacu pada penilaian subyektif individu terhadap hubungannya. Dapat disimpulkan kepuasan hubungan adalah penilaian subyektif individu yang bersifat positif terhadap pasangan dan hubungan yang dijalaninya.
Hubungan Pacaran Jarak Jauh Dainton dan Aylor (dalam Aylor 2003) mendefinisikan hubungan pacaran jarak jauh sebagai hubungan dimana pasangan terpisah secara geografis dan kurangnya kontak secara langsung (face-to-face contact). Stephen (dalam Aylor, 2003) menjelaskan hubungan jarak jauh sebagai hubungan dimana pasangan tinggal terpisah di kota atau negara yang berbeda. Sementara, Ficara dan Mongeau (dalam Aylor, 2003) menyatakan hubungan jarak jauh ditandai dengan ketidakmampuan pasangan untuk bertemu secara tetap atau teratur (setiap hari atau setiap minggu). Dalam penelitian ini, hubungan pacaran jarak jauh ditentukan dengan kriteria sebagai berikut: 1) Pasangan tinggal di kota atau negara yang berbeda 2) Pasangan tidak dapat bertemu secara rutin karena alasan jarak
Metode Penelitian Prosedur dan Partisipan Pengambilan data dilakukan dengan cara menyebarkan link kuesioner melalui berbagai media sosial seperti messanger, email, Twitter, Path dan Facebook. Kuesioner tersebut diisi secara online oleh partisipan melalui media Google Drive. Dari 334 data yang berhasil dikumpulkan, hanya 185 data yang dapat diolah. Hal tersebut dikarenakan ketidaklengkapan pengisian atau ketidaksesuaian karakteristik subjek. Secara spesifik, data yang dapat diolah adalah data yang sesuai dengan karakteristik partisipan penelitian, yaitu mahasiswa (18-25 tahun) yang sedang menjalani hubungan pacaran jarak jauh; 1) Pasangan tinggal di kota atau negara yang berbeda 2) Pasangan tidak dapat bertemu secara rutin karena alasan jarak. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari partisipan perempuan sebanyak 151 orang (81.6%) dan laki-laki sebanyak 34 orang (18.4%). Lalu, dilihat dari segi usia, partisipan tertua berada pada usia 25 tahun dan usia termuda berada pada usia 18 tahun, dengan partisipan
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013
terbanyak berada pada usia 21 tahun yaitu sebanyak 59 orang (31.4%). Dilihat dari lamanya hubungan, rentang 13 – 24 bulan merupakan jangka waktu hubungan dengan jumlah partisipan terbanyak yaitu, 61 orang (33%). Terakhir, dilihat dari lokasi hubungan pacaran jarak jauh, hubungan yang dijalani oleh partisipan dalam penelitian ini didominasi oleh hubungan yang dijalani di kota yang berbeda, yaitu sebanyak 135 orang (72,97%).
Pengukuran Kecerdasan Emosi. Kecerdasan emosi diukur dengan menggunakan alat ukur Brief Emotional Intelligence Scale (BEIS) (Davies dkk, 2010). BEIS dibuat berdasarkan konsep orisinil kecerdasan emosi yang diajukan oleh Salovey dan Mayer (1990). Terdiri dari lima faktor yang menggambarkan aspek-aspek kecerdasan emosi yang diajukan Salovey dan Mayer (1990); (a) appraisal of own emotion; (b) appraisal of other’s emotion; (c) regulation of own emotion; (d) regulation of other’s emotion; dan (e) utilization of emotions (Davies dkk 2010). BEIS terdiri dari 10 item pernyataan. Setiap item dijawab pada 5 poin skala likert dengan respon antara ‘sangat tidak setuju’ sampai ‘sangat setuju’ dan diskor sesuai dengan poin skala 1 (sangat tidak setuju) sampai 5 (sangat setuju).
Kepuasan Hubungan. Dalam mengukur kepuasan hubungan, digunakan alat ukur Relationship Assessment Scale (RAS) milik Hedrick (1988). RAS terdiri dari 7 item pertanyaan dengan konten evaluasi mengenai diri dan pasangan dalam hubungan, serta evaluasi terhadap hubungan yang dijalaninya. Setiap item dijawab pada 5 poin skala likert dengan respon antara ‘sangat rendah’ sampai ‘sangat tinggi’ dan diskor sesuai dengan poin skala 1 (sangat rendah) sampai 5 (sangat tinggi). Untuk item unfavorable, nilai diberikan dengan cara pembalikan skoring yaitu dari 5 (sanagat rendah) sampai 1 (sangat tinggi). Adapun item yang tergolong unfavorable yaitu nomor 4 dan 7. Teknik Statistik Teknik statistik yang digunakan adalah statistik deskriptif dan Pearson Correlation. Statistik deskriptif digunakan untuk melihat gambaran umum terkait karakteristik sampel penelitian dan pengolahan data demografis seperti jenis kelamin, usia, lama hubungan dan lokasi hubungan jarak jauh yang dijalani. Lalu, signifikansi hubungan antara variabel kecerdasan emosi dan variabel kepuasan hubungan, data diolah melalui teknik statistik Pearson Correlation.
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013
Hasil Penelitian Hasil perhitungan korelasi antara variabel kecerdasan emosi dan kepuasan hubungan melalui teknik statistik pearson correlation dapat dilihat pada tabel 5.1.
Tabel 5.1 Hasil Perhitungan Korelasi antara Kecerdasan Emosi dan Kepuasan Hubungan Variabel Kecerdasan emosi dan Kepuasan hubungan
R
Sig (p)
0.251
.001**
**Signifikan pada L.o.S .01
Melalui tabel 5.1 dapat diketahui bahwa skor koefisien korelasi yang didapat yaitu r = 0.251 dan p = 0.001 yang berarti signifikan pada L.o.S 0.01. Sehubungan dengan itu dapat dikatakan bahwa hipotesis nol ditolak dan hipotesis alternatif diterima sehingga dapat diinterpretasikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosi dan kepuasan hubungan pada mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh.
Pembahasan Hasil peneltian ini menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang positif signifikan antara kecerdasan emosi dan kepuasan hubungan pada mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh. Hal ini sejalan dengan penelitian sebelumnya bahwa kecerdasan emosi yang tinggi diasosiasikan dengan kualitas hubungan yang positif dan semakin tingginya kepuasan hubungan (Schutte, N., Malouff, J., Bobik, C., Greeson, C., Jedlicka, C., Rhodes, E., & Wendorf, G., 2001; Brackett dkk 2005; McCarthy, Breeana 2006). Dalam penelitian sebelumnya, penelitian ditujukkan kepada pasangan secara umum, baik pada konteks pernikahan maupun hubungan pacaran. Sementara, penelitian ini fokus kepada pasangan yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh. Adapun hasil hubungan yang signifikan dalam penelitian ini menambah bukti bahwa kecerdasan emosi memang berhubungan secara positif dengan kepuasan hubungan, baik dalam hubungan pacaran jarak jauh ataupun tidak. Lebih lanjut, hubungan yang positif antara kedua variabel memberikan penjelasan bahwa semakin tinggi kecerdasan emosi, semakin tinggi pula kepuasan hubungan yang dimiliki seseorang. Hal ini juga sejalan dengan penelitian sebelumnya, yaitu individu dengan kecerdasan emosi yang lebih tinggi, akan lebih merasa puas dengan hubungannya (Schutte dkk 2001; Grieco, 2001; Vadnais, 2005 dalam McCarthy , Breena 2006). Meskipun ditemukan hubungan yang positif signifikan antara kecerdasan emosi dan kepuasan hubungan, hubungan yang dihasilkan antara kedua variabel tersebut menunjukkan
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013
hubungan yang lemah. Secara spesifik, koefisien korelasi yang didapat adalah r = 0.251. Menurut Guilford dan Fruchter (1978), batasan koefeisien Pearson dari rentang 0.2-0.4 menunjukkan hubungan yang lemah. Hubungan yang lemah ini mungkin berkaitan dengan karakteristik individu yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh, dimana mereka memiliki kecenderungan untuk melakukan idealisasi terhadap pasangan dan hubungannya. Berdasarkan sejumlah penelitian, idealisasi seringkali diasosiasikan dengan kepuasan hubungan dalam hubungan jarak jauh (Murray, Holmes, & Griffin, 1996; Lee, Ji-yeon, 2011; Lee & Pistole, 2012). Idealisasi dalam tingkat moderat; sedikit tidak realistis dengan hubungannya dan terkadang menolak atau tidak menganggap penting masalah dapat berpengaruh pada kepuasan hubungan pada hubungan jarak jauh (Lee, Ji-yeon, 2011). Dalam hal ini, idealisasi membantu pasangan untuk menjaga kepuasan hubungan, yaitu dengan meminimalkan konflik atau segala perasaan kecewa, dan memaksimalkan hal-hal yang dianggap sebagai kekuatan dari pasangannya (Murray dkk dalam Lee, Ji-yeon, 2011). Secara spesifik, idealisasi digunakan pasangan dalam hubungan jarak jauh untuk menerima hubungan yang dijalani secara berjauhan dan meminimalisir kemungkinan pasangan untuk tertarik dengan orang lain di sekitarnya (Arditti & Kauffman, dalam Lee, Ji-yeon, 2011). Jika partisipan dalam penelitian ini memiliki kecenderungan tersebut, dapat dikatakan kecerdasan emosi tidak berperan cukup besar dalam kepuasan hubungan pacaran jarak jauh; mereka cenderung tidak mempermasalahkan atau menganggap penting hal-hal negatif seperti perasaan kecewa atau konflik, sehingga kondisi distress atau konflik diantara pasangan tidak terlalu dirasakan. Meskipun begitu, idealisasi bukanlah cara yang tepat dalam menjaga kepuasan hubungan. Pada dasarnya, perbandingan antara ekspektasi (hubungan ideal) dengan kenyataan hubungan yang dijalani mengindikasikan besarnya kepuasan (Taylor, Freedman, & Peplau, 1985). Semakin kecil perbandingan tersebut, maka kepuasan hubungan yang dicapai pun semakin besar. Adapun pasangan yang saling mencintai, namun dalam ilusi masing-masing, dapat menyebabkan kesulitan dalam hubungannya dan mengarahkan pada rendahnya kepuasan hubungan. Sahlstein (2004) menjelaskan bahwa individu yang menunjukkan idealisasi dalam hubungan pacaran jarak jauh, dapat mengalami kesulitan ketika harus menjalani hubungan pacaran biasa. Hal ini dikarenakan mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan kondisi hubungan dan sifat pasangan yang sebenarnya. Lebih lanjut, jika idealisasi ini tidak dapat terbukti, dapat menyebabkan kekecewaan dan frustrasi. Karena itu, selain melihat sisi positif pasangan, penting juga untuk dapat menerima pasangan satu sama lain (Furnham & Swami, 2008). Mengacu pada hasil penelitian yang menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan, kecerdasan emosi tetap memiliki kontribusi dalam kepuasan hubungan. Bagaimana pun,
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013
kecerdasan emosi yang mencakup kemampuan dalam mengenali emosi pasangan secara tepat, sensitivitas terhadap emosi yang ditunjukkan secara verbal ataupun non verbal dan kemampuan untuk melakukan regulasi emosi, perlu untuk dimiliki oleh mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh. Dengan demikian, mereka tetap dapat memahami keadaan dan kebutuhan pasangan sekalipun terbatas dalam interaksi secara face-to-face.
Kesimpulan Berdasarkan analisis data dan hasil interpretasi untuk menjawab masalah penelitian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dan kepuasan hubungan pada mahasiswa yang menjalani hubungan pacaran jarak jauh, yaitu semakin tinggi skor kecerdasan emosi, semakin tinggi pula skor kepuasan hubungan dan demikian sebaliknya.
Saran Dari hasil penelitian ini diharapkan dapat mendorong untuk dilakukannya penelitian lanjutan. Dalam penelitian selanjutnya, sampel dapat diubah dari mahasiswa (dalam hal ini per individu) menjadi pasangan. Nantinya, peneliti dapat menyelidiki bagaimana peran kecerdasan emosi terhadap kepuasan hubungan diteliti dari pasangan yang keduanya memiliki kecerdasan emosi yang tinggi dan pasangan yang hanya salah satu di antaranya yang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi. Lainnya, idealisasi dalam kepuasan hubungan dapat pula dijadikan topik penelitian selanjutnya baik dalam konteks hubungan jarak jauh, misalnya membandingkan peran idealisasi dalam kepuasan hubungan pada hubungan jarak jauh dengan hubungan biasa. Dalam praktiknya, pasangan perlu mengembangkan kecerdasan emosi guna menjaga stabilitas hubungan; dalam menghadapi berbagai tantangan yang ada dan untuk mencapai kepuasan hubungan dengan cara yang lebih baik dibandingkan idealisasi semata.
Daftar Pustaka Arnett, J.J. (2000). Emerging Adulthood: a Theory of Development From the Late Teens Through the Twenties. American Psychologist, 55 (5), 469-480. Baron, R. A., Branscombe, N. R., & Byrne, D. (2009). Social Psychology (12th ed.). Boston, MA: Pearson/Allyn and Bacon. Aylor, B. A. (2003). Maintaining Long-Distance Relationships. In Canary, D. J., & Dainton, M. (Eds.). Maintaining Relationships through communication: relational, contextual, and cultural variations (pp: 127-134). Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum.
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013
McCarthy, Breeanna. (2006). Does Emotional Intelligence Mediate the Relationship Between Conflict and Relationship Satisfaction in Romantic Relationships? Dissertation Fitness, J. (2001). Emotional intelligence and intimate relationships. In J. Ciarrochi., J. Furnham, A & Swami, V. (2008). Is Really Love so Blind?: Positive Illusion in Romantic Relationship. The British Psychological Society, vol. 21, 108-111 Goleman, D. (1998). Working with emotional intelligence. New York: Bantam Books. Goleman, D. (2006). Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ. New York: Bantam Books. Gonzalez, Camille, C. (2011). Personal and Perceived Partner Commitment and Trust as Predictors of Relationship Satisfaction in Long-Distance and Proximally Close Dating Relationships of Graduate Students. Dissertation Gottman, J. M. (1993). The roles of conflict engagement, escalation, and avoidance in marital interaction: A longitudinal view of five types of couples. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 61(1), 6-15 Hendrick, Susan S. A Generic Measure of Relationship Satisfaction. Journal of Marriage and Family, Vol. 50, No. 1, pp 93-98 Hendrick, Susan S., Dicke, Amy & Hendrick, Clyde. (1998). The Relationship Assessment Scale. Journal of Social and Personal Relationship, Vol. 15(1): 137-142. Jessica, C. & Michael, R. (2007). In Times of Uncertainty: Predicting the Survival of LongDistance Relationships. Journal of Social Psychology, Vol 147(6 , 581-606) Lydon, J., Pierce, T. & O'Regan, S. (1997).Coping With Moral Commitment to Long-Distance Dating Relationships. Journal of Personality and Social Psychology, Vol. 73, No. 1. 104-113 Lee, Ji-yeon. (2012). Attachment, Self-Disclosure, Gossip, and Idealization as Predictors of satisfaction in Geographically Close and Long Distance Romantic Relationships: Dissertation Lee, Ji-yeon & Pistole, M. Carole. (2012). Predictors of Satisfaction in Geographically Close and Long-Distance Relationships. Journal of Counseling Psychology, Vol. 59, No. 2, 303– 313 McCarthy, Breeanna. (2006). Does Emotional Intelligence Mediate the Relationship Between Conflict and Relationship Satisfaction in Romantic Relationships? Dissertation Rusbult Carly, E. (1983). A Longitudinal Test of the Investment Model: The Development (and Deterioration) of Satisfaction and Commitment in Heterosexual Involvements. American Psychological Association, Inc. Journal of Personality and Social Psychology Vol. 45, No. 1, 101-117
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013
Sahlstein, Erin, Marie. (2006). The Trouble With Distance. In Kirkpatrick, D. Charles., Duck Steve & Foley, Megan. K. (Eds.). Relating Difficulty: The Processes of Constructing And Managing Difficult Interaction (pp. 119-121). NJ: Lawrence Erlbaum Associates Salovey, P. & Mayer J. D. (1990). Emotional Intelligence. Imagination, Cognition, and Personality, 9, 185-211. Sears, D. O., Freedman, J. L., & Peplau, L. A. (1985). Social Psychology, 5th Ed. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Schroeder-Abe, M., & Schutz, A. (2011). Walking in each other’s shoes: Perspective taking mediates effects of emotional intelligence on relationship quality. Journal of Personality, 25, 155-169. Schutte, N., Malouff, J., Bobik, C., Greeson, C., Jedlicka, C., Rhodes, E., & Wendorf, G. (2001). Emotional intelligence and interpersonal relations. Journal of Social Psychology, 141, 523-536. Sojka J. Z. & Schmelz. D.R (2002). Enhancing the Emotional Intelligence of Salespeople. American Journal of Business vol. 17 no.1
Hubungan antara ..., Rayi Rizqa Aldila, FPSI UI, 2013