10
mM, 1 µL masing-masing primer AEX1F ukuran 231 bp sebagai forward dengan sekuen 5’ AGGCGGAGCTACGAGTACCA 3’ dan primer AEX1R sebagai reverse dengan sekuen 5’ GCAGAGCGGCTGCGA 3’ (Septiningsih et al. 2009), 0.16 µL Taq polymerase, dan 12.84 µL MQ H2O. Kemudian digunakan program SUB I pada mesin PCR dengan kondisi denaturasi awal 94 0C selama 5 menit denaturasi 94 0C selama 1 menit, penempelan primer 55 0C selama 1 menit, perpanjangan primer 72 0C selama 2 menit, dan perpanjangan primer akhir 72 0C selama 5 menit. Seleksi PCR dengan Marka RM219F dan AEX1R Seleksi keberadaan gen Sub1 juga dilakukan dengan menggunakan marka mikrosatelit RM219F dan AEX1R dengan campuran reaksi untuk PCR terdiri atas 2 µL DNA 50 ng/ µL, 2 µL bufer PCR 10x, 0.6 µL MgCl2 50 mM, 0.4 µL dNTP mix 50 mM, 1 µL masing-masing primer RM219F sebagai forward dengan sekuen 5’ CGTCGGATGATGTAAAGCCT 3’ dan primer AEX1R sebagai reverse dengan sekuen 5’ GCAGAGCGGCTGCGA 3’ (Septiningsih et al. 2009), 0.16 µL Taq polymerase, dan 12.84 µL MQ H2O. Kemudian dilakukan amplifikasi PCR seperti pada marka AEX1. Elektroforesis Produk PCR (Septiningsih et al. 2009) Ukuran produk PCR selanjutnya dapat dianalisis dengan elekroforesis gel agarose. Sebanyak 1-2% gel agarosa dan 1x buffer TAE (Tris Acetic Acid EDTA) dimasukkan ke dalam cetakan. Setelah gel agarosa memadat kemudian dimasukkan ke dalam tangki elektroforesis yang berisi 1x buffer TAE. Sebanyak 10 µl produk PCR dari masingmasing sampel ditambahkan dengan 2 µl loading dye dan dicampur sempurna, kemudian dimasukkan ke dalam sumur di dalam gel. Ukuran dari produk PCR ditentukan dengan mnyertakan DNA standar (100 bp ladder) sebagai pembanding. Sampel dielektroforesis dengan tegangan 80 volt selama kurang lebih 1.5 jam. Setelah itu, gel agarose diwarnai dengan larutan etidium bromida (EtBr) (10 mg/l) selama 10 menit dan dicuci dengan air selama 10-20 menit. Gel agarose kemudian divisualisasi dengan Chemidoc gel system (Biorad).
HASIL DAN PEMBAHASAN Pembentukan Benih dan Populasi BC3F1 Ciherang/Swarna-Sub1 dan BC3F1 Ciherang/IR64-Sub1 Pembentukan populasi BC3F1 CiherangSub1 dari penelitian ini merupakan penggabungan sifat yang dimiliki dari dua jenis tetua yang berbeda. Proses pembentukan BC3F1 dilakukan dengan melakukan persilangan antara benang sari dan putik sehingga akan dihasilkan embrio yang akan berkembang menjadi benih. Penggabungan sifat yang dihasilkan dari kedua tetua pada BC3F1 terjadi secara acak, sehingga kombinasi sifat yang dihasilkan bersifat lebih menguntungkan dari kedua tetuanya (Welsh & James 1981). Keturunan yang dihasilkan akan memiliki sifat baru yang berbeda dengan kedua induknya. Hasil persilangan antara Ciherang (host) dengan BC2F1 (Ciherang/Swarna-Sub1 dan Ciherang/IR64-Sub1) akan menghasilkan komposisi gen 93,75%:6,25% yang artinya gen dari kedua tetua telah bersegregasi dalam tanaman BC3F1 dengan komposisi paling banyak gen Ciherang pada populasi BC3F1 (Gambar 5). Dalam pembentukan benih BC3F1 Ciherang-Sub1 digunakan metode persilangan terarah (site-directed crossing). Pada metode ini, introgresi donor dapat diminimalisasi, hanya sifat yang diinginkan yang terintroduksi pada host, sehingga dapat dipertahankan sifat-sifat yang baik pada padi host. Metode ini lebih dikenal dengan nama marker assisted backcrossing (Lu & Chang 1980, Mackill et al. 2007). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, metode ini merupakan alternatif yang dapat digunakan untuk mengintroduksi sifat tertentu secara spesifik tanpa harus melalui rekayasa genetik yang menghasilkan produk tanaman transgenik (Xu et al. 2004, Mackill et al. 2007). Persilangan ini dimaksudkan agar tanaman BC3F1 Ciherang/Sub1 yang dihasilkan memiliki sifat penuh yang dimiliki padi Ciherang. Selanjutnya turunannya akan disilang balik lagi sampai generasi BC5F1 agar komposisi gen mendekati seratus persen kembali ke Ciherang. Banyak faktor yang harus dipenuhi agar persilangan buatan berhasil dengan baik, diantaranya adalah waktu berbunga, kastrasi atau emaskulasi, penyerbukan, isolasi dan pemeliharaan. Proses persilangan dilakukan ketika pembungaan antara jantan dan betina memiliki waktu yang sama, sehingga perlu
11
Gambar 5 Diagram metode persilangan terarah (site directed crossing) . dilakukan pengaturan dan penghitungan jarak waktu tanam agar kedua tetua dapat berbunga secara bersamaan. Persilangan antara Ciherang dengan BC2F1 Ciherang IR64Sub1 terjadi lebih awal dengan masa berbunga ± 86 hari, sedangkan persilangan antara Ciherang dengan BC2F1 Ciherang/Swarna-Sub1 memiliki masa berbunga ± 104 hari.
Selanjutnya adalah kastrasi. Kastrasi atau emaskulasi adalah membuang bagian tanaman yang tidak diperlukan. Kegiatan ini biasa disebut dengan pengebirian. Kastrasi dilakukan sehari sebelum penyerbukan agar putik menjadi masak sempurna saat penyerbukan sehingga keberhasilan penyilangan lebih tinggi (Harahap 1982). Dua kepala putik yang menyerupai rambut tidak boleh rusak (UPLB 1967) sehingga perlu hati-hati dalam melakukan kastrasi. Bunga pada malai yang akan dikastrasi dijarangkan hingga tinggal 15-50 bunga (Harahap 1982). Sepertiga bagian bunga dipotong miring menggunakan gunting kemudian benang sari diambil dengan alat penyedot vacuum pump. Bunga yang telah bersih dari benang sari ditutup dengan glacine bag agar tidak terserbuki oleh tepung sari yang tidak dikehendaki. Proses penyerbukan dilakukan dengan cara menyalakan semua lampu di ruang persilangan sejak pagi hari agar suhu ruangan meningkat untuk mempercepat pemasakan tepung sari (Soedyanto et al. 1978). Bunga yang sudah diserbuki segera ditutup dengan kantong kertas transparan atau glacine bag (Soedyanto et al. 1978). Tanaman hasil penyerbukan dipelihara di rumah kaca sampai biji hasil persilangan masak. Setelah 3-4 minggu, malai dipanen kemudian dikeringkan
Gambar 6 Pembentukan dan seleksi padi BC3F1 Ciherang-Sub1. (1) Malai dan bulir padi hasil penyerbukan; (2) Biji BC3F1 hasil persilangan Ciherang/ BC2F1 Cih-Sub1; (3) Benih ditanam pada petri dan pot kecil; (4) Pengujian genangan; (5) tanaman hasil genangan yang berhasil hidup ditanam di ember; (6) populasi tanaman BC3F1 Ciherang-Sub1 dalam rumah kaca.
12
dengan cara dijemur atau dioven (Sadjad 1993). Biji yang sudah kering dirontok. Benih yang dihasilakan dari persilangan memiliki bentuk ramping, panjang tanpa kulit luar. Benih-benih tersebut kemudian ditumbuhkan untuk menghasilkan tanaman utuh BC3F1 (Gambar 6). Seleksi Uji Toleransi Genangan Padi umumnya memang tahan terhadap rendaman air, seperti banjir berebihan dan lain sebagainya. Tanaman akan mati bila terlalu lama terendam. Uji toleran genangan yang dilakukan pada penelitian ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi tanaman padi BC3F1 yang tahan terhadap rendaman (Septiningsih et al. 2009) dan sekaligus mempunyai gen Sub1 (Gambar 7). Pengujian ini tidak dapat membuktikan secara spesifik tanaman BC3F1 mengandung gen Sub1 setelah diintrogesi dari padi Ciherang dengan BC2F1 Ciherang-Sub1. Namun, uji ini dilakukan untuk melihat dan menyeleksi tanaman padi mana yang tahan terhadap rendaman. Galur padi yang mendapat perlakuan uji toleransi genangan yaitu masing-masing tetua host (Ciherang) dan donor Sub1(SwarnaSub1 dan IR64-Sub1), tanaman BC3F1 Ciherang/IR64-Sub1 dan BC3F1 Ciherang/Swarna-Sub1 serta tanaman IR42. Padi varietas IR42 yang digunakan dalam uji genangan berfungsi sebagai kontrol toleran genangan karena sensitif terhadap genangan sehingga dapat menjadi patokan batas uji genangan yang dilakukan (Septiningsih et al. 2009). Pemberian air dalam bak dilakukan dengan menggunakan selang dengan kecepatan air disesuaikan agar tanaman padi tidak rusak. Selama 14 hari uji rendaman, tanaman dalam bak harus selalu diamati karena ketinggian air akan berkurang akibat penguapan dan harus ditambah lagi sampai ketinggian semula. Respon tanaman padi terhadap lingkungan yang seperti itu akan melakukan dua proses pertahanan, yaitu pemanjangan sel tanaman dan toleran terhadap cekaman rendaman tersebut (Fukao & Bailey-Serres 2008). Pemanjangan sel tanaman di bawah kondisi tergenang merupakan hal yang tidak menguntungkan. Hal ini karena tanaman akan menghabiskan cadangan makanan untuk pemanjangan sel tersebut, sedangkan pada kondisi tergenang tanaman harus bertahan hidup tanpa
memperoleh asupan nutrisi dari lingkungan (Setter et al. 1997). Padi yang terlihat melakukan pemanjangan sel adalah Ciherang dan beberapa padi BC3F1. Setelah hasil pengujian toleransi genangan selama dua minggu, dilakukan pengurangan air dari dalam bak secara perlahan dan masih menyisakan sedikit air di dalam bak agar tanaman tidak stress. Kemudian tanaman dibiarkan sepuluh hari untuk dapat recovery (tumbuh normal kembali) dengan kondisi daun yang tidak terlalu tegak (Septiningsih et al. 2009). Gambar 8 memperlihatkan hasil recovery selama 10 hari. Hasil yang didapat dari uji genangan yaitu sebagian tanaman BC3F1 mampu bertahan hidup dan dari hasil recovery selama 10 hari terdapat 7 tanaman varietas Ciherang/IR64-Sub1 dan 6 tanaman galur Ciherang/Swarna-Sub1. Pengurangan jumlah tanaman BC3F1 yang hidup dikarenakan sebagian tanaman BC3F1 tidak
Gambar 7 Uji genangan padi BC3F1 Ciherang-Sub1. (1) Tanaman BC3F1 yang ditanam dalam pot kecil 2 minggu; (2) Tanaman di dalam bak uji genangan sebelum digenangi air; (3) Tanaman dengan cekaman rendaman air dalam bak; (4) Uji toleransi genangan setelah 14 hari (elongasi sel); (5) Tanaman melakukan recovery 10 hari setelah uji genangan.
13
terintroduksi gen Sub1. Tanaman BC3F1 yang berhasil lolos dari uji genangan ditumbuhkan sampai cukup umur (± 3 minggu) untuk dilakukan isolasi dan pengujian molekuler berbasis PCR dengan marka spesifik Sub1 untuk mendeteksi keberadaan gen tersebut. Hasil Isolasi dan Karakterisasi DNA Hasil isolasi DNA diuji secara kualitatif maupun kuantitatif. Uji kualitatif dilakukan dengan melihat DNA hasil isolasi pada agarosa, sedangkan uji kuantitatif dilakukan dengan spektrofotometer yang meliputi konsentrasi dan kemurnian DNA pada perbandingan panjang gelombang 260/280 nm. Uji ini bermanfaat untuk menjamin tidak terdapat kontaminasi protein dan polisakarida pada DNA yang diisolasi. Proses isolasi DNA pada dasarnya harus melalui tahapan penghancuran sel (lysis cell), pemisahan DNA dari komponen lain, pengendapan dan pemanenan DNA (Sambrook et al. 1989). Pada penelitian ini digunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) (Doyle & Doyle 1987). Keuntungan menggunakan metode ini adalah tidak membutuhkan waktu isolasi yang lama serta tahapan metode yang relatif lebih mudah dan cepat. Isolasi DNA dilakukan melalui empat tahap yang meliputi pemanenan, preparasi ekstrak sel, pemurnian DNA, dan pemekatan DNA. Selain itu, metode ini merupakan metode yang paling umum dilakukan karena konsentrasi DNA yang diperoleh relatif lebih banyak jika dibandingkan dengan metode yang lain (Lumaret et al. 1998; Jose & Usha 2000).
Ada tiga langkah utama dalam ekstraksi DNA, yaitu perusakan dinding sel (lisis), pemisahan DNA dari bahan padat seperti selulosa dan protein, serta pemurnian DNA (Nicholl 1993; Surzycki 2000). Daun yang diambil adalah daun yang muda sehingga memudahkan untuk penggerusan karena daun muda memiliki tekstur yang lebih lunak dan sedikit serat. Ekstrak sel dihasilkan melalui penggerusan dalam mortar dan secara kimia menggunakan buffer CTAB. CTAB merupakan detergen yang dapat melisiskan membran sel dan mampu mengendapkan polisakarida serta senyawa fenolik yang terdapat pada tanaman padi. Bufer CTAB mengandung Tris-Cl, EDTA, NaCl, CTAB, PVP, dan merkaptoetanol. Tris-Cl berfungsi untuk mendenaturasi protein. NaCl berfungsi sebagai bahan penetral pada gula fosfat DNA. EDTA berfungsi sebagai penghancur sel dengan cara mengikat ion magnesium yang diperlukan oleh sel untuk menjaga keutuhan selubung sel secara keseluruhan. Larutan CTAB, PVP dan merkaptoetanol pada bufer ekstraksi berfungsi untuk mendegradasi senyawa-senyawa metabolit sekunder yang terdapat dalam tanaman. Selain itu, CTAB berfungsi untuk memisahkan DNA dan RNA dari pengotor (karbohidrat dan protein) (Nicholl 1993). DNA padi dimurnikan dengan senyawa kloroform isoamilalkohol dan asam asetat untuk mendenaturasi protein. RNAse yang berfungsi untuk melisiskan RNA. Presipitasi DNA menggunakan isopropanol yang berfungsi mengendapkan DNA dan memisahkan DNA dari garam-garam mineral, serta melarutkan sisa CTAB (Nicholl 1993)
Gambar 8 Visualisasi pemulihan selama 10 hari.
14
Etanol 70% berfungsi untuk mencuci pelet yang dihasilkan pada proses presipitasi isopropanol. Pemurnian tersebut bertujuan untuk menghilangkan senyawa-senyawa yang dapat menghambat reaksi enzimatis pada proses PCR. DNA hasil isolasi diuji kualitasnya dengan spektrofotometer. Panjang gelombang yang dipakai adalah 260/280. Tabel 2 menunjukkan hasil uji kualitas DNA yang diisolasi dengan menggunakan metode CTAB. Data menunjukkan bahwa dari seluruh sampel yang dihitung konsentrasi kemurniannya, secara umum memiliki konsentrasi yang relatif besar. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah DNA yang diperoleh dari hasil isolasi jumlahnya banyak. Nilai konsentrasi ini sangat berpengaruh terhadap analisis selanjutnya yaitu analisis PCR. Konsentrasi masing-masing sampel Tabel
2
Pengukuran konsentrasi dan kemurnian DNA daun padi Konsentrasi Varietas padi A260/280 (µg/ml) Ciherang (Cih) 2733,7 1,87 Swarna-Sub1 4630,5 1,92 IR64-Sub1 2834,2 1,98 F1Cih/IR64Sub1 1 F1Cih/IR64Sub1 2 F1Cih/IR64Sub1 3 F1Cih/IR64Sub1 4 F1Cih/IR64Sub1 5 F1Cih/IR64Sub1 6 F1Cih/IR64Sub1 7 F1Cih/SwarnaSub1 1 F1Cih/SwarnaSub1 2 F1Cih/SwarnaSub1 3 F1Cih/SwarnaSub1 4 F1Cih/SwarnaSub1 5 F1Cih/SwarnaSub1 6
3126,9
1,96
4353,6
1,9
3314
1,97
3520,3
1,94
5021,2
1,9
2727,5
1,94
1913,2
1,93
3307,1
1,95
2200,8
1,91
2835,2
1,89
5599,9
1,86
3959,7
1,94
2219,2
1,95
harus disamakan dalam analisis PCR agar jumlah DNA yang teramplifikasi relatif sama. Pengenceran dilakukan sampai 50 µg/ml. Sedangkan kemurnian DNA dapat dilihat dari rasio absorbansi 260/280. Semua molekul dapat diabsorbsi pada panjang gelombang yang spesifik untuk molekul tersebut dapat diserap dan menghasilkan pengukuran yang akurat. Nukleotida dan RNA akan diserap pada panjang gelombang 260 nm, sedangkan protein, fenol, dan kontaminan yang lain dapat diserap kuat pada panjang gelombang mendekati 280 nm. Sehingga kemurnian DNA dapat dilihat pada rasio 260/280 nm (William et al. 1997). Data menunjukkan bahwa DNA yang diperoleh sangat murni karena nilainya berkisar antara 1.8-2.0. Menurut Sambrook dan Russel (1989), sampel DNA yang memiliki nilai dibawah 1.8 menunjukkan sampel DNA mengalami kontaminasi protein sedangkan nilai diatas 2.0 menunjukkan adanya kontaminasi oleh RNA. Hasil Seleksi BC3F1 Ciherang-Sub1 dengan analisis PCR Marka Sub1A (AEX1) Setelah diuji genangan, tanaman BC3F1 harus diuji secara spesifik apakah sudah tersisipi gen Sub1 atau belum. Marka yang digunakan pada PCR ini adalah marka AEX1. Marka ini dapat mendeteksi adanya gen Sub1A pada padi. Menurut Xu et al (2004), Sub1A merupakan respon etilen mirip gen yang mengendalikan toleransi terhadap genangan pada padi. Sub1A yang pertama kali ditemukan merupakan suatu variabel. Namun, dibutuhkan untuk toleransi terhadap genangan. Ketika terekspresi lebih dalam, gen Sub1A menyebabkan varietas padi toleran genangan di air. Marka AEX1 merupakan pengembangan primer dengan SNP pada ujung 3’ nya. Marka AEX1F sebagai forward dengan sekuen 5’ AGGCGGAGCTACGAGTACCA 3’. Primer AEX1F berukuran 231 bp. Primer AEX1R merupakan primer reverse yang spesifik untuk gen Sub1. Sekuen dari primer AEXR adalah 5’ GCAGAGCGGCTGCGA. Septiningsih et al. (2009) menyatakan bahwa untuk varietas toleran genangan donor Sub1 dan nontoleran genangan Ciherang dengan menggunakan primer AEX1 dapat melacak keberadaan gen Sub1 dengan ukuran pita 231 bp.
15
Hasil elektroforesis sampel DNA tanaman padi BC3F1 Ciherang/Swarna-Sub1 (Gambar 9) dan padi BC3F1 Ciherang/IR64-Sub1 (Gambar 10) memperlihatkan hasil yang positif keberadaan gen Sub1A. Hasil tersebut merupakan hasil PCR dengan visualisasi elektroforesis 2% sehingga terlihat jarak amplifikasi atau pita ukuran basa yang jelas antar spesies. Padi yang telah berhasil terintroduksi gen Sub1A memperlihatkan pita DNA pada ukuran 231 bp mengikuti tetua donornya masing-masing yaitu IR64-Sub1 dan Swarna-Sub1. Hasil ini sesuai dengan penelitian Septingsih et al. (2009). Dari hasil tersebut (Gambar 9 dan 10) terlihat bahwa padi yang digunakan sebagai kontrol negatif yaitu Ciherang tidak memperlihatkan adanya pita DNA sehingga terbukti bahwa Ciherang tidak toleran terhadap genangan karena tanaman tidak berhasil bertahan hidup pada waktu seleksi uji genangan. Sedangkan air yang digunakan untuk mendeteksi adanya kontaminan pada waktu elektroforesis juga tidak menunjukkan adanya pita sehingga hasil tersebut dinyatakan berhasil. Selanjutnya tanaman padi BC3F1 CiherangSub1 yang telah positif mengandung gen Sub1 akan disilangbalikkan (backcross) kembali dengan padi Ciherang untuk menghasilkan tanaman BC4F1 CiherangSub1. Marka Gabungan RM219F dan AEX1R Marka RM219 merupakan marka mikrosatelit (SSR atau Simple Sequence repeat) yang berupa urutan dinukleotida atau tetranukleotida yang berulang dan berurutan. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, SSR
12000 bp 5000 bp
400 bp 300 bp 200 bp 100 bp
Gambar 9 Hasil elektroforesis padi BC3F1 Ciherang/IR64-Sub1 dengan marka AEX1F dan AEX1R. Padi Ciherang (C), donor IR64-Sub1 (S), sampel BC3F1 CiherangSub1(F1 CS), dan Air (A) dengan marker (m) DNA 1 kb.
12000 bp 5000 bp
400 bp 300 bp 200 bp 100 bp
Gambar 10 Hasil elektroforesis padi BC3F1 Ciherang/Swarna-Sub1 dengan marka AEX1F dan AEX1R. Padi Ciherang (C), donor SwarnaSub1 (S), sampel BC3F1 Ciherang-Sub1(F1 CS), dan Air (A) dengan marker (m) DNA 1 kb. sering dipilih karena relatif praktis, efisien, dan memungkinkan pembuatan beberapa marka sekaligus dalam satu kali reaksi (multiplexing). Selain itu SSR juga cenderung bersifat polymorphic, codominant (mampu membedakan homozigot dan heterozigot), multi allelic serta akurat digunakan pada berbagai varietas padi (sebarannya merata di seluruh bagian genom padi) (McCouch et al. 2002). Marka mikrosatelit RM219 merupakan marka alternatif yang digunakan untuk analisis kodominan padi BC3F1 CiherangSub1. Analisis PCR dengan menggunakan marka mikrosatelit RM219 merupakan analisis lanjutan dari marka AEX1. Berdasarkan penelitian Marlina E (2011) dan Sinaga JR (2011) hasil amplifikasi PCR dengan marka RM219 dapat membedakan tetua Ciherang, Swarna-Sub1, IR64-Sub1, dan BC3F1 Ciherang-Sub1 dengan ukuran fragmen DNA yaitu 204 bp dan 194 bp. Akan tetapi, perbedaan fragmen DNA ini terlalu kecil hanya berkisar antar 5-10 bp sehingga dilakukan uji PCR dengan marka kombinasi RM219F dan AEX1R. Hal ini dilakukan untuk mendeteksi keheterozigotan sifat padi BC3F1 agar lebih jelas pitanya. Hasil yang menarik dan konsisten (Gambar 11 dan 12) diperoleh saat RM219F dan AEX1R digunakan sebagai marker. Sampel donor Swarna dan IR64 menunjukkan pita yang tidak ada pada padi host (Ciherang). Sedangkan pita Ciherang dan pita Swarna/IR64 yang hadir dalam tanaman BC3F1 Ciherang-Sub1 menunjukkan bahwa padi tersebut bersifat heterozigot. Dari gambar 11 menunjukkan hanya satu sampel padi BC3F1 yang bersifat
16
heterozigot yaitu sampel no. 1 sedangkan no. 2-6 tidak menunjukkan heterozigot. Sedangakan dari gambar 12 menunjukkan sampel no. 1, 2, 3, 4, dan 7 bersifat heterozigot dan sampel nomor 5 dan 6 tidak bersifat heterozigot. Hasil dari elektroforesis juga menunjukkan tambahan pita. Ini menunjukkan penyisipan Sub1 dari donor ke dalam host (Ciherang), dan rekombinasi tidak hanya sebagai fragmen tunggal, tetapi dibagi menjadi paling sedikit dua lokasi yang berbeda seperti yang ditunjukkan pada pita tambahan. Gel agarosa yang digunakan dalam PCR dengan marka kombinasi antara RM219F dan AEX1R ini adalah 1%.
12000 bp 5000 bp 1000 bp 650bp
200 bp 100 bp
Gambar 11 Hasil elektroforesis padi BC3F1 Ciherang/Swarna-Sub1 dengan marka RM219F dan AEX1R. Padi Ciherang (C), donor Swarna-Sub1 (S), sampel BC3F1 Ciherang- Sub1(F1 CS), dan Air (A) dengan marker (m) DNA 1 kb.
12000 bp 5000 bp 1000 bp
650bp
200 bp 100 bp
Gambar 12 Hasil elektroforesis padi BC3F1 Ciherang/IR64-Sub1 dengan marka RM219F dan AEX1R. Padi Ciherang (C), donor IR64Sub1 (S), sampel BC3F1 Ciherang- Sub1(F1 CS), dan Air (A) dengan marker (m) DNA 1 kb.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Pembentukan populasi BC3F1 Ciherang-Sub1 telah berhasil dilakukan melalui persilangan terarah (Site Directed Crossing) dengan silang balik antara host (Ciherang) dan padi BC2F1 Ciherang-Sub1. Hasil elektroforesis PCR menunjukkan bahwa terdapat pita DNA gen Sub1 hasil amplifikasi dengan ukuran 231 bp, sedangkan yang menggunakan marka RM219F dan AEX1R menunjukkan adanya pola pita heterozigot. Saran Penelitian lanjutan perlu dilakukan hingga dihasilkan tanaman generasi BC5F1 Ciherang-Sub1 dan perlu analisis lanjutan PCR dengan marka yang dapat membedakan dengan jelas keheterozigotan gen hasil persilangan seperti kit berbasis nanomolecular beacon yang merupakan solusi alternatif.
DAFTAR PUSTAKA Armstrong J, Armstrong W. 2005. Rice: sulfide-induced barriers to root radial oxygen loss, Fe2+ and water uptake, and lateral root emergence. Annals of Botany 96: 625–638. Armstrong W, Drew MC. 2002. Root Growth and Metabolism Under Oxygen Deficiency. Di dalam: Waisel Y, Eshel A, Kafkafi U, editor. Plant roots: the hidden half. Ed ke-3. New York: Marcel Dekker. hlm 729–761. CGIAR (Consultative Group on International Agriculture Research). 2006. Intensified Research Effort Yields Climate-Resilient Agriculture To Blunt Impact of Global Warming, Prevent Widespread Hunger.Heattolerant Wheat, Flood-proof Rice, Satellites for Carbon Trading Among New Technologies. Doyle JJ, JL Doyle. 1990. Isolation of plant DNA from fresh tissue. Focus 12:1315. Fukao T, Xu K, Ronald PC, Bailey-Serres J. 2006. A variable cluster of ethylene response factor-like genes regulates metabolic and developmental acclimation responses to submergence in rice. Plant Cell 18:2021–2034.