BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kepulauan Seribu merupakan salah satu kawasan pesisir terletak di wilayah bagian utara Jakarta yang saat ini telah diberikan perhatian khusus dalam hal kebijakan maupun perencanaan pengelolaan wilayah pesisirnya. Kepulauan Seribu mempunyai potensi yang besar untuk dikelola yang berasal dari sumberdaya perairannya sebagai pusat aktivitas dan jasa-jasa lingkungan meliputi: sektor perdagangan, transportasi, perikanan, dan pariwisata (Estradivari et al. 2009). Pulau Pramuka termasuk ke dalam salah satu pulau berpenghuni yang terdapat di gugusan Kepulauan Seribu, yang memiliki tingkat kepadatan penduduk cukup tinggi karena dijadikan sebagai Pusat Administrasi Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu (Biro Pusat Statistik 2006). Adanya tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, juga memicu aktivitas masyarakat yang berdampak negatif, seperti kegiatan penambangan pasir dan karang, penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, serta pembuangan limbah ke perairan (Estradivari et al. 2009). Pulau Pramuka terdapat tiga habitat utama di wilayah pesisir yaitu mangrove, lamun dan terumbu karang. Ketiga habitat tersebut saling berinteraksi dan berkaitan satu sama lain. Interaksi tersebut dapat membentuk suatu hubungan ekologis yang dapat menciptakan efek stabilitas pada lingkungan dalam mendukung komunitas biota di dalamnya (Sachoerman 2008). Pada ketiga habitat tersebut terdapat proses-proses ekologi, terjadi interaksi antara komponen biotik dan abiotik. Salah satu dari komponen biotik tersebut adalah makrozoobentos (Estradivari et al. 2009). Makrozoobentos adalah organisme yang hidup di dasar perairan, baik membenamkan diri di dasar perairan maupun hidup di permukaan dasar perairan (Nybakken 1988). Ukuran dari makrozoobentos berkisar antara 0,5 mm – 5 cm.
1
2
Makrozoobentos tersebut memiliki peranan penting dalam rantai makanan dan proses ekologi seperti siklus nutrien yang terjadi di pada ekosistem terumbu karang dan lamun. Salah satu filum dari makrozoobentos adalah echinodermata (Aziz 1981). Kelompok echinodermata memiliki peranan cukup besar pada ekosistem terumbu karang dan lamun, terutama peranannya dalam jaringan makanan. Di dalam jaringan makanan memiliki berbagai kedudukan, meliputi herbivora, karnivora, ataupun sebagai pemakan detritus (Birkeland 1989). Salah satu jenis ekhinodermata yang selalu ditemukan di daerah terumbu karang adalah bulu babi (Echinoidea). Bulu babi merupakan organisme echinodermata yang bersifat omnivore yang memangsa makroalga dan beberana jenis koloni karang (Aziz1981). Salah satu jenis bulu babi yang banyak ditemukan di wilayah ekosistem terumbu karang adalah spesies Diadema setosum. Bulu babi D. setosum hidup di daerah pantai berbatu dan daerah terumbu karang yang tersebar di wilayah Indo-Pasifik. Pada umumnya bulu babi D. setosum dapat ditemukan diseluruh perairan pantai, mulai dari daerah pasang surut sampai perairan dalam. Bulu babi D. setosum lebih menyukai perairan yang jernih dan airnya relatif tenang (Thamrin et al. 2011). Keberadaan bulu babi D. setosumpada ekosistem terumbu karang memberikan pengaruh yang signifikan terhadap keseimbangan ekologi (Thamrin et al. 2011). Sifat bulu babi yang dapat dikatakan herbivori atau perumput, dikarenakan pola makan pada bulu babi yang umumnya memakan alga yang terdapat pada terumbu karang (Birkeland 1989). Kegiatan memakan alga tersebut menyebabkan adanya penurunan dari jumlah makroalga yang terdapat di ekosistem terumbu karang dan menyeimbangkan kembali ruang tempat terumbu karang tersebut dapat hidup. Dimana sebelumnya diketahui bahwa peningkatan jumlah makroalga menimbulkan perebutan ruang untuk tumbuh bagi hewan karang (Rusli 2006). Kepadatan bulu babi pada wilayah ekosistem terumbu karang menyebabkan adanya kelimpahan pada komunitas makroalga yang berbeda-beda pada lokasi perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Berdasarkan dari permasalahan
3
tersebut, maka perlu dilakukan penelitian mengenai korelasi antara tingkat kepadatan bulu babi D. setosum terhadap komunitas makroalga yang terdapat pada wilayah perairan di Pulau Pramuka. Penelitian dilakukan melalui monitoring pada kepadatan bulu babi dan komunitas makroalga yang berada di wilayah perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. 1.2 Identifikasi Masalah Keseimbangan ekosistem terumbu karang dipengaruhi oleh peningkatan nutrien. Perairan akan menjadi lebih subur disebabkan oleh peningkatan nutrien. Kesuburan perairan ini dimanfaatkan oleh makroalga dalam proses fotosintesis yang menghasilkan asam amino untuk metabolisme dan pertumbuhannya (Rusli 2006). Tingkat kepadatan dari bulu babi D. setosumyang tinggi menyebabkan terkendalinya laju pertumbuhan dari makroalga di wilayah tersebut. Namun, bila jumlah kepadatan tersebut sangat tinggi, dapat menyebabkan penurunan yang sangat besar pada jumlah kelimpahan serta penyebaran dari makroalga, hal tersebut dapat bersifat menguntungkan bagi terumbu karang (Hughes 1994). Dengan adanya bulu babi yang bersifat sebagai herbivori atau perumput, maka akan mengurangi adanya perebutan lahan tempat berkembang biak antara makroalga dan hewan karang, sehingga karang mempunyai lahan untuk berkembang biak (Mc Cook dan Price 1997). Berdasarkan dari permasalahan di atas, maka permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tingkat kepadatan bulu babi D. setosum yang terdapat pada wilayah perairan Pulau Pramuka 2. Bagaimana pola hubungan antara organisme bulu babi dengan makroalga pada wilayah perairan Pulau Pramuka 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarakan dari permasalahan yang telah dijelaskan, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui pola penyebaran dan tingkat kepadatan bulu babi D. setosum diwilayah perairan Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu.
4
2. Mengetahui persentase luas tutupan makroalga dan jenis-jenis makroalga yang terdapat pada ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. 3. Menganalisa korelasi yang terjadi antara kepadatan bulu babi D. setosum terhadap komunitas makroalga yang terdapat pada wilayah perairan di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. 1.4 Manfaat Penelitian Kegunaan penelitian ini adalah untuk memberikan informasi mengenai korelasi antara kepadatan bulu babi D. setosum kepada peneliti lain atau Stakeholder wilayah perairan Pulau Pramuka. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar pengelolaan wilayah perairan Pulau Pramuka, Kepulauan seribu. 1.5 Pendekatan Masalah Kerangka pemikiran yang mendasari penelitian ini adalah pengaruh dari adanya tingkat kepadatan bulu babi pada suatu wilayah, akan berpengaruh terhadap luas tutupan dari makroalga yang terdapat pada wilayah perairan tersebut. Secara ekologi, populasi bulu babi mempengaruhi pola penyebaran dari komunitas makroalga (Sugiarto dan Supardi 1995). Cepatnya pertumbuhan yang dimiliki oleh makroalga, membuat karang keras mengalami kesulitan dalam menghadapi kompetisi tempat, sehingga semakin lama akan menyebabkan adanya perubahan komunitas pada ekosistem terumbu karang (Paonganan 2008). Makroalga adalah organisme yang dapat berfotosintesis, yaitu dengan bantuan cahaya matahari makroalga dapat mengolah nutrien (nitrogen dan fosfat) menjadi sumber energi (Rusli 2006). Hewan herbivor, seperti bulu babi juga membutuhkan nitrogen untuk metabolisme dan pertumbuhannya, namun bulu babi memiliki jaringan hewan yang tidak mampu untuk mengolah nutrien menjadi sumber energi. Oleh karena itu, dengan jalan memanen (grazing) makroalga, bulu babi dapat memenuhi kebutuhan akan nutrien (Sugiartodan Supardi 1995). Peningkatan konsentrasi nutrien akibat adanya aktivitas manusia yang menghasilkan limbah organik, menyebabkan pertumbuhan makroalga yang hidup di sekitar ekosistem terumbuh karang mengalami pertumbuhan yang cepat (Rusli
5
2006). Makroalga dapat tumbuh baik pada habitat karang-karang yang sudah mati. Pada kondisi tertentu, makroalga dapat tumbuh pada koloni karang yang masih hidup. Laju sedimentasi yang tinggi juga merupakan faktor yang menyebabkan kematian pada karang. Adanya laju sedimentasi menyebabkan karang-karang menjadi kurang sehat karena menempelnya sedimen pada polip karang sehingga metabolisme pada karang menjadi terganggu (Paonganan 2008). Peran hewan herbivori, seperti bulu babi D. setosum, sangat berpengaruh terhadap laju pertumbuhan pada makroalga (Aziz 1987). Tingkat kepadatan yang tinggi dari bulu babi D. setosum dapat memberikan pola penyebaran komunitas makroalga yang berbeda-beda pada wilayah Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui korelasi yang antara kepadatan dari bulu babi D. setosum terhadap komunitas makroalga yang terdapat di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Sehingga dapat diketahui bagaimana pengaruh adanya kepadatan bulu babi D. setosum terhadap persentase luas penutupan makroalga serta jenis-jenis makroalga yang terdapat pada wilayah perairan tersebut.