I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Industri dan perdagangan gula Indonesia pascakemerdekaan ditandai oleh kuatnya intervensi pemerintah mulai dari intervensi harga, distribusi, perdagangan luar negeri hingga pengaturan lisensi impor. Wahyuni et al. (2009) bahkan menunjukkan jumlah regulasi yang mengatur industri dan perdagangan gula Indonesia adalah nomor dua terbanyak dan hanya kalah dari regulasi yang mengatur beras. Hal ini dilakukan untuk mendorong industri gula sebagai industri pertanian
strategis
guna
meningkatkan
ketahanan
pangan,
menciptakan
kesempatan kerja, dan pertumbuhan pendapatan. Karena perannya yang strategis itu pula maka setiap rezim pemerintah berusaha meningkatkan produksi gula nasional. Selain itu struktur pasar gula dunia ditandai dengan rasio konsentrasi eksportir lebih besar dari importir, mengindikasikan volatilitas harga gula dunia sangat
ditentukan
oleh
goncangan
pada
sisi
penawaran.
Gambar
1
memperlihatkan perkembangan harga gula dunia yang rentan terhadap goncangan produksi di negara-negara eksportir karena permintaan gula dunia secara umum bersifat inelastik. Eksportir utama gula dunia adalah negara berkembang seperti Brazil, Thailand dan India sehingga volatilitas harga gula dunia sangat tergantung pada kemampuan Brazil meningkatkan dan mengalokasikan produksi tebu untuk kebutuhan pangan dan energi serta situasi politik di perdesaan India. Sementara itu produksi gula Thailand menghadapi kompetisi lahan dan air dengan komoditi
pangan lainnya yang menjadi isu politik domestik (USDA, 2008, 2010). Struktur pasar gula dunia yang demikian seakan-akan merupakan justifikasi logis bagi negara importir termasuk Indonesia untuk mengejar swasembada gula.
$/ton 1400 Gula rafinasi
1200
Gula mentah 1000 800 600 400 200 2005
Sumber
2006
2007
2008
2009
: USDA, 2010
Gambar 1. Perkembangan Harga Gula Dunia Tahun 2005-2009 Keterangan: Data Triwulan
Sebagai negara net importir gula selama lebih dari tiga dasawarsa terakhir, Indonesia merasakan akibat buruk dari lonjakan harga tersebut karena sebagai salah satu komoditas pangan utama, volatilitas harga gula dunia dapat mengganggu ketahanan pangan nasional. Dengan demikian dari sudut pandang teori kepentingan publik (Public Interest Theory), dimana pemerintah berperan sebagai agen pelayanan publik, intervensi pemerintah pada industri gula dilakukan untuk mengatasi kegagalan pasar demi mencapai Pareto Improvement karena pada kondisi tersebut harga yang terjadi gagal menjelaskan kelangkaan sumberdaya. Teori kepentingan publik ini merupakan pendekatan yang paling banyak digunakan di negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam menjelaskan peran regulatif pemerintah terutama jika dikaitkan dengan alasan historis ketika
sistim pasar gagal menciptakan distribusi pendapatan yang lebih merata. Argumentasi ini tidak pernah dipertanyakan dan hingga sekarang masih menjadi landasan berpikir kebanyakan peneliti pergulaan Indonesia meski pemerintah telah berupaya mencapai swasembada gula sejak tahun 1999. Hal ini terlihat dari sejumlah rekomendasi yang diberikan oleh hampir seluruh peneliti pergulaan Indonesia yang intinya “mengamini” program swasembada melalui berbagai kebijakan pergulaan yang protektif (lihat Wahyudi dan Erwidodo, 2000; Malian dan Saptana, 2003; Mardianto, et al.,2005; Hadi dan Nuryanti, 2005; Susila dan Sinaga, 2005a, 2005b; Indraningsih dan Malian, 2006). Lebih jauh lagi, Wahyuni, et al. (2009) menyebutkan biaya untuk mendukung program tersebut mencapai Rp. 14.8 triliun selama periode 2006-2009, dan kegagalan mencapai swasembada hingga saat ini menurut Arifin (2008) dikarenakan pemerintah kurang memahami ekonomi pergulaan nasional sehingga target swasembada selalu bergerak dari tahun ke tahun berikutnya (moving target). Pada sisi lain, teori kelompok kepentingan (Interest Group Theory) melihat regulasi yang dikeluarkan pemerintah merupakan respon terhadap permintaan berbagai kelompok kepentingan yang saling bersaing mendapatkan manfaat transfer kebijakan (policy transfer benefits) melalui serangkaian aktivitas perburuan rente. Teori ini tidak pernah digunakan oleh peneliti Indonesia dalam menganalisis kebijakan pergulaan nasional. Dalam upaya mendapatkan rente ekonomi tersebut sejumlah sumberdaya dikeluarkan dan menurut Tullock (1967, 1993, 2003), Krueger (1974), dan Posner (1975) nilainya sama dengan besarnya rente itu sendiri. Krueger menghitung besarnya biaya sosial rent seeking di India pada tahun 1964 sekitar 7% dari GNP, sementara estimasi Mohammad and
Whalley (1984) berkisar antara 30% dan 45% dari GNP. Menurut teori ini sekelompok kecil produsen gula yang terorganisir, terutama mereka yang beroperasi tidak efisien, dapat mengatasi persoalan free riding sehingga mampu mempengaruhi regulator dalam proses pembuatan regulasi seperti yang terjadi pada industri gula India (Kamath, 1989). Teori ini sangat relevan untuk kasus Indonesia mengingat 90 persen pabrik gula yang ada (total 61 PG) tidak beroperasi secara efisien, baik tidak efisien secara teknis maupun secara ekonomi (Indraningsih dan Malian, 2006). Sementara itu konsumen meskipun menanggung kerugian dari regulasi yang dihasilkan, kepentingan ekonomi mereka tidak diperhatikan karena tidak ada insentif rasional membangun organisasi untuk menolak regulasi yang merugikan tersebut (Tollison, 1982). Jika literatur ekonomi politik tentang rent seeking menekankan aktivitas perburuan rente utamanya dilakukan oleh kelompok kepentingan swasta yang berkolusi dengan pemerintah, maka pada kasus industri gula Indonesia pola perburuan rente tersebut mungkin berbeda mengingat besarnya peran pemerintah yang tidak hanya sebagai regulator tetapi juga operator pada industri gula. Peran sebagai operator tersebut antara lain terlihat pada kepemilikan PG dimana 80 persen PG yang ada di Indonesia dimiliki oleh negara. Persoalan menjadi semakin serius mengingat seluruh PG milik negara tersebut secara ekonomi tidak efisien (Pakpahan, 2003; Indraningsih dan Malian, 2006). Indikasi lainnya adalah ditetapkannya gula sebagai barang dalam pengawasan seperti tercantum dalam Keputusan Presiden (Keppres) No. 57/2004 dan keluarnya Surat Keputusan (SK) Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Menperindag) No. 643/2002, yang diperbarui dengan SK 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula (KIG), yang
mengatur harga gula patokan petani (HPP), tarif dan kuota impor, penentuan importir, serta segmentasi pasar gula memberikan peluang besar bagi pemerintah, pabrik gula milik negara dan BUMN perdagangan mendapatkan rente ekonomi. Terlebih lagi regulasi ini dikeluarkan dalam kerangka mencapai swasembada gula dan untuk melindungi petani tebu dari persaingan tidak adil dengan gula impor sehingga aktivitas perburuan rente yang ditimbulkannya luput dari perhatian masyarakat dan peneliti. Penelitian, kajian dan rekomendasi untuk meningkatkan kinerja industri dan swasembada gula nasional telah banyak dilakukan. Namun demikian sebagian besar penelitian tersebut lebih menekankan pada pentingnya perbaikan aspek teknologi, kebijakan protektif dan kelembagaan ekonomi namun kurang memperhatikan faktor dinamika politik diantara berbagai kelompok kepentingan. Selain itu berbagai penelitian tersebut menganggap struktur pasar gula bersifat kompetitif, menggunakan model statik dan jika dilakukan analisis pada kondisi oligopolistik itu hanya diasumsikan. Itulah sebabnya analisis swasembada gula yang komprehensif tidak memadai jika dilakukan hanya dari pendekatan ekonomi semata tanpa mempertimbangkan faktor kompetisi dari berbagai kelompok kepentingan, dan pada bagian inilah penelitian ini memiliki perbedaan dan melengkapi sejumlah penelitian kebijakan pergulaan yang telah dilakukan.
1.2. Perumusan Masalah Karakteristik industri gula Indonesia sejak pemerintah menetapkan gula sebagai barang dalam pengawasan melalui Keppres 57/2004 relatif rumit. Produksi gula dibedakan menjadi Gula Kristal Putih (GKP) berbasis tebu dan
Gula Kristal Rafinasi (GKR) berbasis Gula Kristal Mentah (GKM) impor. Akibatnya pasar gula menjadi tersegmentasi dimana GKP untuk konsumsi rumahtangga sementara GKR untuk keperluan industri, dan untuk kedua jenis produk tersebut Indonesia tercatat sebagai negara importir neto. Segmentasi pasar selanjutnya mempengaruhi kebijakan, prosedur, dan alokasi kuota impor. Struktur pasar gula domestik pun saat ini ditandai dengan tingginya konsentrasi produsen yang didominasi oleh empat kelompok perusahaan penghasil gula terbesar yaitu Sugar Group Company (SGC), PTPN X, XI, dan PT. RNI. Selain itu ketiga kelompok produsen yang disebut terakhir bersama PTPN IX menghasilkan sekitar 50 % produksi GKP dan mereka merupakan Importir Terdaftar (IT) gula yang berdasarkan regulasi pemerintah mendapatkan lisensi untuk melakukan importasi gula berbasis tebu. Dengan demikian produsen GKP berpotensi melakukan pengendalian produksi gula dalam negeri (supply management). Gambar 2 menyajikan model kebijakan impor gula Indonesia ketika volume impor dibatasi dengan tarif dan kuota, dan pasar gula dalam negeri bersifat oligopolistik. Penawaran domestik dinyatakan dengan S sementara permintaan domestik adalah D0. Sebagai negara kecil maka Indonesia adalah penerima harga di pasar gula dunia, sehingga pada perdagangan bebas harga gula domestik sama dengan harga paritas impornya (Pw), dan permintaan domestik adalah 0Q1 sementara produksi domestik 0Q3. Kekurangannya dipenuhi dari impor sebanyak Q3Q1. Jika pemerintah menetapkan kuota impor Q2Q4 dan importir berkompetisi untuk mendapatkan kuota tersebut maka harga yang terjadi adalah Pt. Namun jika pasar gula bersifat oligopolistik dan terjadi pembatasan jumlah importir (hanya
untuk IP dan IT gula) maka produsen gula domestik dalam upaya maksimisasi profit menghadapi kurva permintaan D1, karena Q2Q4 dipenuhi dari impor, dan menghasilkan output ketika penerimaan marjinal (MR) sama dengan biaya marjinal (MC). Harga yang terjadi kemudian adalah Pm karena produsen domestik menghasilkan 0Q3 dan impor menjadi Q3Q2. P S
Pm
c
x g
Pt
a Pw
d
y
b
f D1 (λ=0)
MR (λ=1)
0
Q3
z
Q2
Q4
D0
Q1
Q
Sumber: Diadaptasi dari Kennedy and Schmitz (2009)
Gambar 2. Perburuan Rente di Industri Gula Indonesia Keterangan: λ = parameter kekuatan pasar
Dengan menggunakan harga paritas impor (Pw) sebagai opportunity cost sumberdaya maka pembatasan impor gula pada struktur pasar yang oligopolistik menyebabkan harga gula lebih tinggi dari pada pasar kompetitif. Akibatnya produsen menikmati rente ekonomi PmcaPw sementara rente dari kuota impor sebesar cxab, lebih besar dari rente pada kondisi persaingan dybf. Hal ini dimungkinkan karena para importir umumnya adalah processor dan produsen gula yang mendapatkan fasilitas Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT) sesuai dengan SK Menperindag Nomor 527/2004. Rente dari kuota impor sebagian diterima pemerintah dalam bentuk pajak impor (abdg) dan selebihnya
diterima importir (cxdg) karena importir membeli pada harga dunia (Pw), membayar pajak impor PwPt dan menjual gula impor di dalam negeri dengan harga Pm. Rente ekonomi yang dinikmati produsen dan importir tersebut menurut Tullock, Krueger, dan juga Posner seluruhnya tergerus dalam aktivitas perburuan rente, sementara penerimaan pemerintah habis untuk biaya administrasi dan manajemen. Hal ini dikarenakan penentuan importir dan alokasi kuota tidak dilelang tapi sepenuhnya merupakan diskresi yang dimiliki birokrat. Pada situasi ini maka para calon pemburu rente (potential rent seekers) bersedia mengeluarkan biaya hingga sebesar
Pm-Pw per unit gula yang diimpor untuk mendapatkan
lisensi dan kuota impor. Dengan demikian pemborosan sumberdaya di industri gula nasional adalah penjumlahan segitiga Harberger (xbz) dan segi empat Tullock (PmxbPw). Luas segitiga Harberger (xbz), yang menyatakan Dead Weight Loss
(DWL), dihitung dengan memanfaatkan nilai elastisitas. Jika elastisitas
permintaan gula di dalam negeri (ε ) = ΔQ ⋅ P maka ΔQ = ε ⋅ ΔP ⋅ Q sehingga ΔP Q
P
ε ⋅ ΔP ⋅ Q ⋅ ΔP ε ⋅ (ΔP ) ⋅ Q 1 = ⋅ ΔQ ⋅ ΔP atau DWL = . 2 2P 2P 2
DWL =
Pertanyaannya kemudian adalah apakah produsen gula yang relatif terkonsentrasi tersebut memiliki kekuatan pasar (market power), dan berapa besar, dalam mempengaruhi harga gula domestik? Bagaimana respon konsumen (demand) dan produsen (supply) terhadap perubahan harga pada struktur pasar yang oligopolistik tersebut? Berapa besar dan bagaimana distribusi rente yang diterima pemerintah dan berbagai kelompok kepentingan lain di industri gula Indonesia? Seberapa serius biaya sosial yang diakibatkan aktivitas perburuan
rente tersebut dan bagaimana hubungannya dengan aktivitas lobi produsen dan pencapaian tingkat swasembada? Pertanyaan-pertanyaan tersebut absen dari berbagai penelitian kebijakan pergulaan nasional meskipun ia telah menimbulkan beban ekonomi besar bagi masyarakat. Oleh karena itu penelitian ini selain memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut, ia juga menghasilkan alternatif rekomendasi kebijakan dalam mengatasi persoalan pergulaan nasional.
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan utama menemukan penjelasan mengenai kebijakan pergulaan yang protektif dan merumuskan alternatif kebijakan pergulaan yang kondusif bagi pencapaian swasembada yang efisien. Selain itu ia juga memiliki tujuan tambahan, yaitu: 1.
Mengestimasi tingkat kekuatan pasar yang dimiliki produsen pada pasar gula dalam negeri yang bersifat oligopolistik.
2.
Menentukan tingkat responsivitas konsumen dan produsen terhadap perubahan harga gula domestik.
3.
Mengestimasi nilai rente ekonomi yang terjadi di industri gula dan distribusinya diantara berbagai kelompok kepentingan.
4.
Mengestimasi besarnya biaya sosial yang ditimbulkan dari aktivitas perburuan rente di industri gula nasional.
5.
Menguji hubungan antara aktivitas lobi/tekanan politik yang dilakukan produsen dengan pencapaian tingkat swasembada dan besarnya rente ekonomi.
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini selain mengungkap (uncover) persoalan ekonomi dan kelembagaan yang dihadapi industri dan perdagangan gula, ia juga memberikan insight terhadap banyaknya konflik kepentingan diantara berbagai kelompok dalam mengambil manfaat regulasi yang banyak mengatur industri gula. Dari perspektif hak penguasaan (property right), individu atau kelompok akan melakukan “investasi” dengan mempengaruhi spesifikasi penetapan regulasi melalui berbagai lobby terhadap otoritas pembuat regulasi. Investasi dilakukan dalam bentuk kontribusi dana kampanye, pemberian dukungan suara pemilihan, atau sumbangan finansial lainnya. Oleh karena itu kontributor terbesar umumnya adalah mereka yang aktivitas ekonominya dilindungi oleh banyak regulasi dan kebijakan pemerintah dan mereka yang mendapatkan manfaat dari banyaknya regulasi atau kebijakan tersebut antara lain adalah pelaku usaha pergulaan. Oleh karena itu penelitian ini dapat memberikan kontribusi teoritis dan praktis pada pengungkapan hubungan antara aktivitas lobi dengan manfaat transfer kebijakan guna memperbaiki industri pergulaan nasional.
1.5. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memusatkan perhatian pada kompetisi berbagai kelompok kepentingan yaitu produsen, konsumen, serta pemerintah dalam mempengaruhi proses pembuatan dan implementasi kebijakan swasembada gula. Analisis ekonomi politik yang digunakan adalah kombinasi model oligopolistik dinamik dengan fungsi preferensi politik (political preference function) untuk mengungkap preferensi kebijakan pemerintah terhadap berbagai kelompok kepentingan pada
berbagai rezim kebijakan terutama setelah keluarnya SK Menperindag Nomor 643/2002. Industri gula Indonesia terdiri dari industri gula konsumsi yang dihasilkan dari penggilingan tebu untuk memenuhi konsumsi rumahtangga dan industri gula rafinasi untuk keperluan industri (terutama industri makanan dan minuman serta farmasi) yang bahan bakunya berasal dari gula mentah impor. Bila industri gula konsumsi telah ada sejak zaman penjajahan Belanda tahun 1920an, industri gula rafinasi mulai berkembang di Indonesia sejalan dengan pertumbuhan industri makanan dan minuman pada awal tahun 2000. Karena pertimbangan ketersediaan data yang relatif terbatas dari industri gula rafinasi tersebut maka analisis ekonomi politik dalam penelitian ini ditekankan pada industri gula konsumsi. Fungsi preferensi politik pada penelitian ini digunakan untuk mendapatkan bobot politik berbagai kelompok kepentingan sebagai proksi terhadap pengeluaran lobi dan tekanan politik yang dilakukan berbagai kelompok kepentingan pada tingkat swasembada tertentu bukan mencari tingkat swasembada optimal pada bobot politik tertentu . Seperti halnya penelitian lain yang menggunakan data sekunder, penelitian ini memiliki keterbatasan dalam menjelaskan aspek kualitatif dari fenomena ekonomi politik pergulaan. Oleh karena itu untuk mengatasi persoalan ini peneliti melengkapi dengan informasi yang relevan dari berbagai sumber lain seperti hasil penelitian terdahulu, informasi dari media masa cetak, elektronik ataupun media online yang relevan dengan fenomena yang dianalisis. Estimasi biaya sosial perburuan rente hanya terbatas pada perburuan yang diakibatkan oleh hambatan perdagangan dalam bentuk tarif dan kuota impor. Oleh
karena itu hasil yang didapat bersifat underestimate karena perburuan rente juga terjadi akibat segementasi pasar gula antara gula konsumsi berbasis tebu dengan gula rafinasi berbasis gula mentah impor. Indikasinya adalah ditemukannya gula rafinasi “illegal” dan yang merembes ke pasar gula konsumsi yang menimbulkan konsekuensi biaya tambahan untuk penanganannya (unnecessary cost).
1.6. Kebaruan Penelitian 1. Intervensi pemerintah terhadap industri gula nasional umumnya didekati dengan teori kepentingan publik sehingga tidak dapat mengungkap banyak kepentingan di balik kebijakan tersebut. Dalam penelitian ini analisis dilakukan dengan pendekatan teori kelompok kepentingan menggunakan lobbying model atau pressure group model sehingga dapat mengungkap motif ekonomi politik yang mendasari lahir dan dipertahankannya sebuah kebijakan meskipun kebijakan tersebut tidak efisien. 2. Penelitian ekonomi politik pertanian umumnya didasarkan pada struktur pasar kompetitif. Pada penelitian ini analisis dilakukan pada struktur oligopolistik dan adanya market power tidak diasumsikan tapi diuji. Selain itu
model
ekonometrik-politik
yang
digunakan
umumnya
tidak
mempertimbangkan ketidak-stasioneran data yang banyak dijumpai pada data ekonomi sehingga hubungan antar variabel ekonomi-politik secara statistik tidak valid (spurious). Pada penelitian ini hubungan antar variabel ekonomi-politik dianalisis dengan mengakomodasikan stasioneritas data.