BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Ekosistem mangrove di dunia saat ini diperkirakan tersisa 17 juta ha. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al, 1998), yaitu mencapai 4,25 juta ha atau sekitar 25% dari ekosistem mangrove dunia dan 76% dari luas mangrove di Asia Tenggara. Luas hutan mangrove di seluruh Indonesia yang mencapai 4,25 juta merupakan 3,98% dari seluruh luas hutan Indonesia yang mencapai 120 juta ha. Areal hutan mangrove yang luas antara lain terdapat di pesisir timur Sumatera, pesisir Kalimantan dan Papua (Nontji, 1987). Namun, luas ekosistem mangrove Indonesia terus mengalami penurunan. Tahun 1982, luas ekosistem mangrove mencapai 4,25 juta ha, namun terus mengalami penurunan karena tekanan pembangunan. Kementrian kelautan dan perikanan (KKP) memperkirakan luas ekosistem mangrove telah berkurang sebesar 2,15 juta ha sehingga tersisa 2,1 juta ha. Tingkat kerusakan mangrove dari sedang sampai parah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang unik yang memiliki fungsi ekologis yang tak tergantikan, disamping fungsi sosial ekonominya ( salim dalam sumedi dan mulyadhi, 1996). Namun dari tahun ke tahun luas hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan, bahkan di beberapa daerah pantai ekosistem mangrove telah lenyap sama sekali. Konflik pemanfaatan lahan mangrove selalu menjadi bayang-bayang akan timbulnya degradasi baik fisik dan
1
kwalitasnya. Hal ini telah mendapatkan perhatian yang serius bagi banyak kalangan pemerhati lingkungan. Pengembangan tambak-tambak beberapa tahun belakangan dapat dikatakan menjadi salah satu faktor yang merusak karena pengembangannya didahului dengan penebangan mangrove sehingga ekosistem yang telah terbentuk sebelumnya mengalami gangguan. Hilangnya hutan mangrove tidak saja telah mengakibatkan kerugian ekonomi bagi nelayan tapi juga
mengancam
ekologi
daerah
pantai.
Sementara
itu
untuk
dapat
mengembalikan hutan mangrove sebagaimana kondisi semula dibutuhkan waktu yang lama di samping biaya yang tinggi. Pembukaan hutan mangrove menjadi tambak diakibatkan oleh permintaan hasil-hasil perikanan terutama ikan bandeng dan udang yang semakin meningkat. Pembukaan hutan mangrove ini akan menurunkan potensi hutan mangrove, terutama dalam meningkatkan produktivitas hutan. Selain itu pembukaan mangrove juga akan menimbulkan dampak seperti rusaknya habitat alami bagi ekosistem perairan, karena perairan hutan mangrove merupakan tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan larva ikan (nursery ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi ikan dan hewan laut lainnya, bahaya erosi (abrasi pantai) karena tidak adanya mangrove sebagai tumbuhan pelindung dan hilangnya potensi wisata (Supriharyono, 2000) Berdasarkan sejarah perkembangan dan penyebaran pendudukan di wilayah pesisir pantai, keinginan untuk membudidayakan ikan dan udang dalam bentuk tambak secara besar-besaran bagi masyarakat pantai tradisional adalah akibat tuntutan perkembangan ekonomi. Masyarakat nelayan ini sebelumnya hidup
2
secara subsiden dan tradisional kini sudah banyak yang berubah menjadi petanipetani tambak dan pedagang dengan orientasi keuntungan dan pendapatan setinggi- tingginya. Masyarakat semakin antusias untuk mengkonversi hutanhutan mangrove menjadi tambak ikan dan udang. Usaha untuk memulihkan fungsi ekosistem mangrove salah satunya melalui kegiatan rehabilitasi yang meliputi penghijauan pantai dengan menanam mangrove yang cocok seperti yang telah dilakukan secara swadaya oleh masyarakat dan didukung oleh dinas - dinas terkait di desa Tawangsari kecamatan Losari. Di beberapa tempat yang berhadapan langsung dengan pantai, mangrove hasil kegiatan rehabilitasi tumbuh cukup baik. Kabupaten Cirebon merupakan salah satu kawasan rehabilitasi yang diharapkan mampu mendukung kelestarian ekosistem mangrove, sehingga dapat memberikan banyak manfaat untuk kehidupan masyarakat. Untuk menjaga kelestarian hutan ini diperlukan data dan informasi mengenai sejauh mana keberhasilan kegiatan rehabilitasi yang telah dilakukan. Keberhasilan rehabilitasi mangrove yaitu dapat dilihat melalui keanekaragaman jenis biota yang dipengaruhi kerapatan vegetasi dan kualitas habitat mangrove yang terbentuk di kawasan tersebut. Fungsi mangrove sebagai nursery ground sering dimanfaatkan untuk silvofishery. Silvofishery merupakan suatu pola agroforestri yang digunakan dalam pelaksanaan program kehutanan sosial di kawasan hutan mangrove. Petani dapat memelihara ikan dan udang atau jenis komersial lainnya untuk menambah penghasilan, disamping itu ada kewajiban untuk memelihara hutan mangrove. Jadi
3
prinsip silvofishery adalah perlindungan tanaman mangrove dengan memberikan hasil dari sektor perikanan. Sistem ini mampu memberikan tambahan pendapatan masyarakat dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan mangrove. Selain itu, keuntungan silvofishery ini adalah mengurangi biaya penanaman, karena penanaman dibebankan kepada petani tambak. Secara ekologis sistem ini mampu meningkatkan keanekaragaman jenis biota perairan (Poedjirahajoe, 1995), sedangkan secara ekonomi, sistem ini akan mampu meningkatkan produktivitas tambak yang berarti peningkatan pendapatan petani tambak. Lokasi penelitian di pantai utara Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dianggap tepat karena pada kawasan rehabilitas ini terdapat keseragaman umur tanaman berdasarkan tahun tanam yang sama dan juga pada areal rehabilitasi ada beberapa wilayah yang dijadkan tambak oleh masyarakat. Kualitas habitat dalam hal ini dicerminkan melalui kualitas fisis dan kimiawi perairan yang meliputi parameter suhu, salinitas, kandungan oksigen terlarut, ketebalan lumpur, dan pH. Kualitas fisis dan kimiawi perairan merupakan faktor lingkungan penting yang mendukung kestabilan ekosistem mangrove (Poedjirahajoe, 2006). Penelitian mengenai perbedaan karakteristik habitat mangrove setelah digunakan silvofishery pada kawasan rehabilitasi mangrove di pantai utara Kabupaten Cirebon ini belum pernah dilakukan sebelumnya, sehingga penelitian ini merupakan penelitian yang pertama. Berdasarkan hasil penelitian ini diharapkan dapat diketahui sejauh mana keberhasilan rehabilitasi mangrove
4
dilihat dari segi kualitas fisik dan kimia perairan dapat memberikan andil dalam pembangunan kehutanan khususnya di bidang konservasi kawasan mangrove.
1.2 PERUMUSAN MASALAH Salah satu faktor kerusakan hutan mangrove yang terjadi di desa Tawangsari kabupaten Cirebon diakibatkan karena adanya konversi mangrove menjadi tambak. Pembukaan tambak liar dengan menebang habis mangrove yang ada pada awalnya memang mendatangkan keuntungan tetapi berdasarkan pengalaman petani, kesinambungan hasilnya hanya bertahan sampai beberapa tahun saja. Oleh sebab itu pemerintah setempat mengupayakan kegiatan rehabilitasi, perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan hutan mangrove serta memberikan keuntungan secara ekonomis bagi masyarakat sekitar dengan pembuatan silvofishery. Selama ini silvofishery dikenal sebagai bentuk pemanfaatan hutan mangrove yang masih mempertahankan fungsi ekologinya. Berdasarkan permasalahan tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai sejauh mana silvofishery merupakan bentuk pemanfaatan hutan mangrove, dengan kondisi ekologi yang tetap terjaga. Oleh sebab itu maka disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Seperti apa faktor lingkungan di silvofishery dan mangrove bukan silvofishery? 2. Berdasarkan faktor lingkungan apakah ada perbedaan yang signifikan antara kondisi lingkungan mangrove dan kondisi lingkungan silvofishery?
5
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka peneliti membandingkan faktor kondisi lingkungan mangrove dan silvofishery.
1.3 TUJUAN PENELITIAN Tujuan dari penelitian ini adalah untuk: 1. Mengetahui karakteristik faktor lingkungan mangrove ( suhu, salinitas, ketebalan lumpur, pH, dan DO) dengan mangrove silvofishery dan mangrove tanpa silvofishery. 2. Menganalisis perbedaan faktor kondisi lingkungan antara mangrove silvofishery dengan mangrove tanpa silvofishery.
1.4 MANFAAT PENELITIAN a) Hasil penelitian diharapkan sebagai bahan masukkan untuk pemerintah daerah dan masyarakat yang berkaitan dengan pengaruh konversi kawasan mangrove terhadap habitatnya serta menentukan pengelolaan silvofishery selanjutnya. b) Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai sumber informasi bagi pihak dinas kehutanan sebagai pengelola, mengenai kualitas fisik dan kimia habitat serta kondisi vegetasi yang terletak di silvofishery dan mangrove rehabilitasi.
6