HASIL DAN PEMBAHASAN Penelitian Pendahuluan Lamanya pengovenan yang akan digunakan dalam penelitian utama ditentukan melalui uji ranking hedonik pada telur asin dengan perlakuan direbus (R), direbus dan dioven 2 jam (R+O2), direbus dan dioven 4 jam (R+O4), serta direbus dan dioven 6 jam (R+O6). Uji sensori tersebut menggunakan 15 panelis agak terlatih dengan atribut sensori berupa warna putih (pt) dan kuning telur (kt), aroma keseluruhan telur, tekstur putih dan kuning telur, serta rasa putih dan kuning telur. Jumlah ranking terendah pada perlakuan di dalam atribut sensorik yang sama menunjukkan bahwa perlakuan tesebut paling disukai sehingga skor yang diberikan juga paling tinggi (Tabel 2). Tabel 2. Hasil Uji Ranking Hedonik pada Telur Asin Atribut Sensorik
Jumlah Ranking R
Skor
R+O2
R+O4
R+O6
R
R+O2
R+O4
R+O6
Warna pt
17c
31bc
42ab
60a
3
2,5
1,5
1
Warna kt
27b
34,5ab
38ab
50,5a
2
1,5
1,5
1
Aroma
43,5a 42,5ab
40ab
24b
1
1,5
1,5
2
Tekstur pt
43a
39a
32a
36a
1
1
1
1
Tekstur kt
51a
41a
36ab
22b
1
1
1,5
2
Rasa pt
32a
33a
44a
41a
1
1
1
1
Rasa kt
a
ab
bc
c
1
1,5
2,5
3
10
10
10,5
11
52
Total skor
46
29
23
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda dalam baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05). Pemberian skor berdasarkan huruf superskrip: a = 1, b = 2, c = 3, ab = 1,5, bc = 2,5
Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa ranking hedonik setiap perlakuan berbeda nyata (P<0,05) pada warna putih dan kuning telur, aroma, tekstur kuning telur, dan rasa kuning telur. Melalui uji perbandingan berganda diperoleh bahwa telur asin yang paling disukai berdasarkan atribut sensori aroma, tekstur kuning telur, dan rasa kuning telur adalah perlakuan R+O6, sedangkan berdasarkan atribut sensori warna putih dan kuning telur adalah perlakuan R. Telur asin yang paling disukai 25
berdasarkan seluruh atribut sensorik yaitu telur asin perlakuan rebus dan oven 6 jam (R+O6) dengan total skor tertinggi (11) dan yang paling kurang disukai adalah perlakuan rebus (R) serta rebus dan oven 2 jam (R+O2) dengan total skor terendah (10). Perlakuan yang dipilih untuk penelitian utama adalah perlakuan yang menghasilkan telur asin dengan penilaian disukai (R+O4) hingga paling disukai (R+O6), sedangkan sebagai kontrol dipilih perlakuan R. Penelitian Utama Karakteristik Kimia pada Putih Telur Asin Kadar NaCl Putih Telur. Kadar NaCl putih telur hanya diamati sebelum penyimpanan (H0) karena kadar NaCl tidak mengalami perubahan yang signifikan selama penyimpanan (Wulandari, 2002). Kadar NaCl dari putih telur asin pada hari ke-0 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Kadar NaCl (% bb) pada Putih Telur Asin Perlakuan
Kadar NaCl (% bb)
Perebusan (R)
3,73 ± 0,01
Perebusan dan oven 4 jam (R+O4)
4,23 ± 0,04
Perebusan dan oven 6 jam (R+O6)
4,83 ± 0,00
Pengasinan yang dilakukan pada penelitian ini menggunakan konsentrasi larutan garam dan lama pengasinan yang sama, namun demikian terdapat perbedaan kadar NaCl di antara perlakuan telur asin tersebut. Telur asin yang hanya mendapat perlakuan perebusan (R) memiliki kadar NaCl yang lebih rendah daripada yang mengalami pengovenan. Hal tersebut dapat terjadi karena pengovenan menyebabkan air yang keluar dari telur asin akan lebih banyak, ditunjukkan dari hasil penelitian bahwa pada pengamatan hari ke-0 kadar air dari putih telur asin R paling tinggi (86,13%) kemudian diikuti dengan perlakuan R+O4 (84,29%) dan perlakuan R+O6 (81,89%). Banyaknya air yang hilang akan meningkatkan konsentrasi zat yang tertinggal pada telur asin diantaranya mineral. Pendapat ini didukung oleh data kadar abu putih telur pada hari ke-0 (Gambar 8) yang menunjukkan bahwa perlakuan R+O6 menghasilkan kadar abu putih telur tertinggi (5,26%) kemudian diikuti perlakuan R+O4 (4,56%) dan R (4,12%), oleh sebab itu kadar NaCl pada perlakuan 26
dengan pengovenan paling lama yaitu 6 jam (R+O6) menghasilkan kadar NaCl paling tinggi, sedangkan pada perlakuan R kadar NaCl paling rendah. Nilai pH Putih Telur. Ray (2004) menjelaskan bahwa nilai pH adalah konsentrasi ion hidrogen dalam sistem yang diekspresikan sebagai logaritma negatif hidrogen atau konsentrasi proton (–log [H+]). Pengukuran nilai pH perlu dilakukan untuk mengetahui kadar keasaman atau kebasaan serta keamanan dan umur simpan dari suatu produk makanan karena perubahan nilai pH yang signifikan dapat mengubah atribut sensori dari produk makanan tersebut. Rataan nilai pH putih telur asin yang
Nilai pH
diperoleh selama penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 5. 8,13 ± 0,32 8.20 8,20 8,05 ± 0,20 8,00 8.00 8,02 ± 0,30 7.80 7,80 7.60 7,60 7.40 7,40 7.20 7,20 7.00 7,00 6.80 6,80 0
7,91 ± 0,09
7,96 ± 0,21
7,80 ± 0,19 7,55 ± 0,30
7,59 ± 0,13
7,36 ± 0,22
15
30
Lama Penyimpanan (Hari) Gambar 5. Nilai pH Putih Telur pada Perlakuan R ( ( ) selama Penyimpanan
), R + O4 (
), dan R + O6
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pH putih telur asin baik sebelum penyimpanan (H0) maupun setelah penyimpanan 15 dan 30 hari (H15 dan H30). Nilai rata-rata pH putih telur asin dari masing-masing perlakuan tergolong basa (pH > 7). Belitz dan Grosch (2009) menyebutkan bahwa nilai pH putih telur segar yang belum mengalami pengasinan sekitar 7,6-7,9, sedangkan nilai pH putih telur asin yang belum dimasak sekitar 7,15-7,99 (Wulandari, 2002). Hal tersebut menunjukkan baik telur itik segar, telur asin yang belum dimasak maupun yang telah dimasak sama-sama memiliki nilai pH putih telur yang tinggi (basa). Rata-rata nilai pH putih telur setiap perlakuan mengalami penurunan selama penyimpanan, kecuali perlakuan R pada akhir pengamatan (H30). Perubahan nilai 27
pH tersebut sering dihubungkan dengan aktivitas mikroorganisme. Hal ini didukung dengan hasil total mikroba yang cenderung meningkat selama penyimpanan (Gambar 9). Penurunan nilai pH disebabkan oleh peningkatan konsentrasi ion hidrogen yang berasal dari hasil metabolisme mikroorganisme berupa asam. Asam yang terbentuk berasal dari pemecahan karbohidrat atau protein oleh mikroorganisme yang tahan garam seperti Micrococcus dan Pseudomonas. Harrungton et al. (1974) menyebutkan bahwa Micrococcus leutus dan Pseudomonas cepacia masih ditemukan pada telur asin. Peningkatan nilai pH seperti yang terjadi pada perlakuan R setelah disimpan selama 30 hari juga dipengaruhi oleh mikroorganisme. Buckle et al. (2007) menjelaskan bahwa kapang dan khamir dapat memecah asam yang secara alamiah terdapat dalam bahan makanan sehingga menyebabkan kenaikan nilai pH. Kapang akan menggunakan asam sebagai sumber karbohidratnya dan mengoksidasi asam amino sehingga terbentuk NH3 yang bersifat basa. Fardiaz (1992) menambahkan, beberapa bakteri proteolitik mampu mendegradasi protein menjadi senyawa-senyawa yang bersifat basa seperti amonia selama penyimpanan. Nilai Aktivitas Air (aw) Putih Telur. Perubahan aktivitas air selama penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 6. 0,910 0.910 0.900 0,900
Nilai aw
0,890 0.890 0.880 0,880
0,899 ± 0,005 0,889 ± 0,005
0,887 ± 0,010 0,882 ± 0,011 0,884 ± 0,021
0,879 ± 0,003 0,872 ± 0,013
0,876 ± 0,013
0,870 0.870
0,868 ± 0,013 0,860 0.860 0,850 0.850 0
15
30
Lama Penyimpanan (Hari) Gambar 6. Nilai Aktivitas Air (aw) Putih Telur pada Perlakuan R ( dan R+O6 ( ) selama Penyimpanan
), R+O4 (
),
28
Aktivitas air merupakan ukuran ketersediaan air untuk fungsi biologis dan berhubungan dengan kehadiran air pada makanan dalam bentuk bebas (Ray, 2004). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa nilai aktivitas air (aw) tidak berbeda nyata pada ketiga perlakuan telur asin baik sebelum (H0) maupun selama penyimpanan (H15 dan H30). Nilai aw telur asin yang dioven lebih rendah dari telur segar. Ray (2004) menyebutkan bahwa nilai aktivitas air pada telur segar adalah 0,98-0,99. Perubahan nilai aw tersebut disebabkan oleh adanya penambahan garam NaCl dan pemasakan. Winarno (2008) menyebutkan, jika garam dengan konsentrasi tinggi ditambahkan ke dalam suatu larutan protein maka daya larut protein akan berkurang, akibatnya protein akan terpisah sebagai endapan. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan salting out, dengan adanya peristiwa tersebut maka nilai aw menjadi turun. Pemasakan turut berperan dalam perubahan nilai aw karena pemasakan menyebabkan sebagian air bebas dari telur menguap sehingga nilai aw menurun. Rata-rata nilai aw yang diperoleh dari masing-masing perlakuan mengalami penurunan selama penyimpanan kecuali perlakuan R pada akhir pengamatan (H30). Penurunan nilai aw tersebut dapat disebabkan oleh menurunnya kadar air selama penyimpanan. Hal ini berdasarkan hukum Raoult yang menyatakan bahwa aktivitas air berbanding lurus dengan jumlah mol pelarut dan berbanding terbalik dengan jumlah mol larutan (Syarief dan Halid, 1993), namun penurunan nilai aw tidak selalu diiringi dengan penurunan kadar air, karena grafik hubungan aw dan kadar air tidak berbentuk garis lurus namun membentuk kurva yang disebut dengan kurva sorpsi isotermik (Winarno, 2008). Contohnya pada pengamatan H15, secara statistik kadar air putih telur ketiga perlakuan tidak berbeda namun kadar air perlakuan R+O4 dan R+O6 mengalami peningkatan, sedangkan aktivitas airnya mengalami penurunan dari pengamatan H0. Hal ini menandakan bahwa kenaikan kadar air tidak selalu diikuti dengan kenaikan aktivitas air karena pada pengukuran kadar air, seluruh kandungan air terikat dan air bebas diukur, sedangkan pada aktivitas air hanya air bebas yang diukur. Keadaan ini serupa dijumpai pada Kadir (1982) terhadap pindang ikan tongkol yang menyebutkan bahwa penambahan kadar garam dari 6%-20% hanya akan menaikkan kadar air bahan, sebaliknya aw akan berkurang karena protein globular ikan tongkol mampu mengikat molekul air akibat pengaruh NaCl.
29
Gambar 6 menunjukkan bahwa penurunan nilai aw putih telur terbesar selama penyimpanan terjadi pada telur asin yang dioven lebih lama (R+O6) walaupun secara statistik lama pengovenan tidak mempengaruhi nilai aw putih telur. Hal tersebut dapat terjadi karena semakin lama waktu pengovenan menyebabkan konsentrasi NaCl yang tertinggal dalam putih telur semakin tinggi sehingga protein globular telur mampu mengikat molekul-molekul air bebas pada putih telur. Pendapat tersebut didukung dengan kadar abu putih telur perlakuan R+O6 lebih tinggi daripada perlakuan R dan R+O4 selama penyimpanan (Gambar 8). Gambar 6 juga menunjukkan bahwa peningkatan nilai aw ditemukan pada perlakuan R setelah penyimpanan 30 hari (H30). Buckle et al. (2007) menyatakan bahwa peningkatan tersebut disebabkan oleh metabolisme mikroorganisme yang umumnya diikuti dengan pelepasan air sehingga nilai aw akan meningkat. Kadar Air Putih Telur. Perubahan kadar air putih telur asin selama penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 7. 87,00 87.00
86,13 ± 1,12a
Kadar Air (% bb)
86,00 86.00
85,18 ± 0,34a
85,00 85.00 84,00 84.00
84,85 ± 0,26a 84,29 ± 0,80ab
83.00 83,00
84,04 ± 0,65a 83,98 ± 0,95a
84,11 ± 1,14a
82,58 ± 2,06a
82.00 82,00 81.00 81,00
81,89 ± 2,15b
80.00 80,00 79.00 79,00 0
15 Lama Penyimpanan (Hari)
30
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada setiap lama penyimpanan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 7. Kadar Air Putih Telur pada Perlakuan R ( ( ) selama Penyimpanan
), R+O4 (
), dan R+O6
Kadar air merupakan persentase kandungan air suatu bahan yang dapat dinyatakan berdasarkan berat basah atau berat kering (Syarief dan Halid, 1993). Kadar air dan aktivitas air menurut Man (1999) dapat mempengaruhi perkembangan 30
reaksi pembusukan secara kimia dan mikrobiologi dalam makanan. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa lama pengovenan memberikan pengaruh nyata (P<0,05) pada kadar air putih telur sebelum penyimpanan (H0). Hasil uji Tukey menunjukkan bahwa kadar air putih telur dengan perlakuan rebus dan oven 6 jam (R+O6) berbeda dengan perlakuan yang hanya direbus (R). Semakin lama waktu pengovenan yang dilakukan maka semakin banyak air yang dapat diuapkan dari dalam telur, oleh sebab itu putih telur perlakuan R+O6 mempunyai kadar air yang paling rendah sebelum penyimpanan, diikuti dengan perlakuan R+O4 dan R. Lama pengovenan tidak memberikan pengaruh nyata pada kadar air putih telur selama penyimpanan 15 dan 30 hari (H15 dan H30). Rata-rata kadar air putih telur mengalami penurunan akibat menguapnya air dari dalam telur selama penyimpanan kecuali perlakuan yang mengalami pengovenan (R+O4, R+O6) setelah disimpan 15 hari. Peningkatan kadar air putih telur terbesar terjadi pada perlakuan R+O6 walaupun secara statistik kadar air putih telur tidak berbeda. Hal tersebut dapat disebabkan oleh waktu pengovenan yang lebih lama menyebabkan denaturasi protein lebih besar dan kadar NaCl yang tertinggal pada putih telur juga lebih banyak. Fennema (1985) menyatakan bahwa salah satu akibat dari denaturasi protein adalah berubahnya daya mengikat air. Umumnya denaturasi protein akan menurunkan daya mengikat air karena interaksi antar protein menjadi lemah sehingga ruang untuk molekul air berkurang, namun dengan adanya NaCl yang juga mampu mendenaturasi protein dan memiliki sifat higroskopis menyebabkan protein globular telur dapat mengikat molekul-molekul air bebas sehingga kadar air putih telur meningkat dan aktivitas airnya menurun. Pendapat tersebut didukung dengan data penurunan aktivitas air terbesar setelah disimpan 15 hari (H15) terdapat pada perlakuan R+O6. Perubahan kadar air putih telur selama penyimpanan berhubungan dengan suhu (28-30 oC) dan kelembaban ruang penyimpanan (83%-91%) yang tinggi, sehingga terjadi reaksi penyerapan dan pengeluaran uap air pada telur asin untuk mencapai kadar air yang seimbang dengan kelembaban udara di sekitarnya. Besarnya penguapan yang terjadi dipengaruhi oleh ketebalan (diameter) dan jumlah pori-pori kerabang telur. Pendapat tersebut didukung oleh pernyataan Wulandari (2002) bahwa
31
penguapan air dipengaruhi oleh diameter dan jumlah pori-pori kulit telur, suhu, kelembaban relatif (RH), dan tekanan udara selama penyimpanan. Kadar Abu Putih Telur. Abu merupakan residu anorganik yang tertinggal setelah pembakaran atau oksidasi sempurna pada bahan organik (Winarno, 2008). Penentuan kadar abu pada produk makanan bertujuan untuk mengetahui kualitas dan stabilitas mikrobiologi dari produk makanan tersebut, karena konsentrasi abu dan jenis mineral yang terkandung di dalamnya dapat mempengaruhi rasa dan tekstur dari makanan, dan kadar abu yang tinggi dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Kadar abu putih telur selama penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 8. 5.50 5,50 Kadar Abu (% bb)
5.00 5,00
5,26 ± 0,72 4,56 ± 0,45
4.50 4,50 4.00 4,00
4,65 ± 0,37
4,50 ± 0,68
4,39 ± 0,20 4,31 ± 0,81
4,15 ± 0,32 4,12 ± 1,00
3.50 3,50
3,91 ± 0,31
3,00 3.00 2.50 2,50 2.00 2,00 0
15
30
Lama Penyimpanan (Hari) Gambar 8. Kadar Abu Putih Telur pada Perlakuan R ( ( ) selama Penyimpanan
), R+O4 (
), dan R+O6
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa kadar abu putih telur tidak dipengaruhi oleh lama pengovenan baik sebelum penyimpanan (H0) maupun setelah penyimpanan pada H15 dan H30. Kaewmanee (2010) menyatakan bahwa dengan semakin meningkatnya waktu pengasinan maka akan meningkatkan kadar garam dan kadar abu pada putih telur. Berdasarkan pernyataan tersebut, lama pengovenan tidak mempengaruhi kadar abu putih telur baik sebelum maupun setelah penyimpanan karena waktu pengasinan dan konsentrasi larutan garam yang digunakan pada ketiga perlakuan tersebut adalah sama dan abu tidak menguap selama penyimpanan, seperti pernyataan Wulandari (2002) bahwa abu merupakan komponen anorganik yang tidak 32
dapat menguap melalui pori-pori kerabang telur, sebab abu yang terdapat pada putih telur akan berikatan dengan protein-protein yang berada dalam putih telur tersebut. Rata-rata nilai kadar abu putih telur perlakuan R+O4 dan R+O6 mengalami penurunan setelah penyimpanan 15 hari kemudian mengalami peningkatan pada penyimpanan selanjutnya (H30), sedangkan kadar abu putih telur perlakuan R terus mengalami peningkatan selama penyimpanan. Hal tersebut bertolak belakang dengan kadar air putih telur yang diperoleh (Gambar 7). Ersoy dan Ozeren (2009) menyebutkan bahwa kadar abu pada ikan lele yang dipanggang mengalami peningkatan seiring dengan penurunan kadar air pada ikan lele tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa kadar abu selalu berkorelasi negatif dengan kadar airnya, karena perhitungan kadar abu ditentukan oleh perbandingan antara berat abu dengan berat sampel awal yang masih mengandung sejumlah air tertentu (Accociation of Official Analytical Chemist, 2006), oleh sebab itu semakin rendah kadar air yang terdapat pada sampel awal maka kadar abu akan semakin tinggi. Perubahan kadar abu pada putih telur selama penyimpanan juga dapat dihubungkan dengan nilai aktivitas airnya. Kadar abu yang mengandung garam NaCl dapat mempengaruhi protein pada putih telur yang telah terdenaturasi oleh pemasakan untuk masih dapat mengikat molekul-molekul air bebas, sehingga nilai aw putih telur akan turun meskipun kadar airnya meningkat (Gambar 6 dan 7 pada H15). Umumnya peningkatan kadar abu putih telur akan menurunkan nilai aktivitas airnya, karena garam yang terdapat dalam abu bersifat mudah menyerap air (higroskopis). Karakteristik Mikrobiologi Telur Asin Kerusakan yang terjadi pada produk makanan biasanya disebabkan oleh aktivitas mikroorganisme. Buckle et al. (2007) menyebutkan bahwa pertumbuhan mikroorganisme di dalam makanan dapat menyebabkan perubahan fisik maupun kimia yang tidak diinginkan, sehingga makanan tersebut menjadi tidak layak untuk dikonsumsi. Cepat lambatnya kerusakan bergantung pada total mikroba dalam produk makanan tersebut. Total mikroba telur asin selama penyimpanan ditunjukkan pada Gambar 9. Hasil
sidik
ragam
menunjukkan
bahwa
lama
pengovenan
hanya
mempengaruhi total mikroba telur asin pada H0 (P<0,05). Melalui uji Tukey diperoleh bahwa total mikroba telur asin yang direbus (R) berbeda dengan yang 33
direbus dan dioven selama 6 jam (R+O6), sedangkan total mikroba telur asin yang direbus dan dioven selama 4 jam (R+O4) tidak berbeda dengan R dan R+O6. 3.50 3,50 Total Mikroba (log cfu/g)
3,15 ± 0,05a 2,89 ± 0,69a
3.00 3,00 2,51 ± 0,07a 2.50 2,50 2,00 2.00
2,29 ±
0,05ab
2,74 ± 0,48a
3,05 ± 0,49a 2,65 ± 0,07a
2,47 ± 0,10a
2,22 ± 0,06b
1,50 1.50 1,00 1.00 0
15 Lama Penyimpanan (Hari)
30
Keterangan: Huruf superskrip yang berbeda pada setiap lama penyimpanan menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 9. Total Mikroba Telur Asin pada Perlakuan R ( ( ) selama Penyimpanan
), R+O4 (
), R+O6
Lama pengovenan berpengaruh pada total mikroba telur asin sebelum penyimpanan karena waktu pengovenan yang lebih lama akan meningkatkan kematian mikroba pembusuk maupun patogen. Mikroorganisme yang masih dimungkinkan untuk tetap hidup dalam telur asin sebelum penyimpanan adalah mikroorganisme dari golongan halofilik (suka dengan kondisi garam), halotoleran (tahan dengan kondisi garam), termofilik (suka dengan kondisi suhu yang tinggi) dan termodurik (tahan dengan kondisi suhu yang tinggi). Buckle et al. (2007) menyebutkan, banyak makanan yang diolah dengan pemanasan mengandung organisme-organisme yang masih hidup seperti spora-spora bakteri termofilik, oleh sebab itu sejumlah mikroorganisme masih ditemukan pada masing-masing perlakuan telur asin. Lama pengovenan tidak memberikan pengaruh pada total mikroba telur asin selama penyimpanan H15 dan H30, walaupun demikian total mikroba tertinggi selama penyimpanan terdapat pada telur asin perlakuan R yang diikuti dengan 34
perlakuan R+O4 dan R+O6. Gambar 9 menunjukkan bahwa mikroorganisme berada dalam fase pertumbuhan logaritmik selama penyimpanan. Buckle et al. (2007) menyebutkan bahwa sel-sel mikroba dalam fase tersebut akan tumbuh dan membelah diri secara eksponensial hingga
mencapai
jumlah
maksimum.
Kecepatan
pertumbuhan dalam fase tersebut menurut Fardiaz (1992) sangat dipengaruhi oleh medium tempat tumbuhnya seperti pH dan kandungan nutrien, serta faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban udara. Suhu (28-30 oC), kelembaban ruang penyimpanan (83%-91%), pH putih telur (7,36-8,13), dan aw putih telur (0,868-0,899) yang tinggi mendukung pertumbuhan bakteri mesofilik, kapang, maupun khamir untuk tumbuh dan berkembang biak dalam telur asin selama penyimpanan. Estiasih dan Ahmadi (2009) menjelaskan bahwa mikroba pembusuk memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang biak pada nilai pH yang lebih besar dari 4,6. Aktivitas air (aw) minimal menurut Jay (2000) untuk pertumbuhan bakteri adalah 0,9, khamir 0,88, kapang 0,80, dan bakteri halofilik 0,75. Golongan bakteri lebih menyukai kondisi bahan pangan yang mengandung protein dan berasam rendah (pH>4,5), sedangkan kapang dan khamir lebih menyukai bahan pangan yang mengandung karbohidrat dan gula serta berasam tinggi (pH<4,5) (Syarief dan Halid, 1993). Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa golongan bakteri lebih mudah untuk tumbuh dan berkembang dalam telur asin selama penyimpanan daripada kapang dan khamir, karena komposisi protein pada telur asin lebih besar daripada karbohidrat berdasarkan Poedjiadi dan Supriyanti (2005). Batas maksimum angka lempeng total (total plate count) pada telur segar berdasarkan SNI 7388:2009 adalah 105 koloni/g atau 5 log cfu/g. Mengacu pada standar tersebut, maka total mikroba telur asin perlakuan R, R+O4, dan R+O6 yang diperoleh selama penyimpanan 30 hari termasuk rendah sehingga masih aman untuk dikonsumsi. Rendahnya total mikroba dapat disebabkan oleh jumlah mikroba awal (sebelum telur diasinkan) yang rendah, faktor pengasinan dan pemasakan. Pengasinan pada telur menurut Damayanthi dan Mudjajanto (1995) memiliki beberapa manfaat, selain sebagai penambah citarasa juga dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme karena ion Cl dari garam bersifat racun bagi mikroorganisme dan larutan garam dapat mengurangi oksigen yang terlarut, 35
akibatnya pertumbuhan mikroorganisme aerobik dapat terhambat selama pengasinan. Perebusan dan pengovenan selama ≥ 1 jam juga dapat menyeleksi mikroorganisme yang dapat bertahan dalam telur asin, sehingga total mikroba sebelum penyimpanan (H0) cenderung rendah terutama perlakuan yang dioven lebih lama (R+O6) dan jumlahnya tetap berada di bawah batas maksimal TPC (SNI 7388:2009) selama penyimpanan 30 hari di suhu ruang. Karakteristik Organoleptik Telur Asin Penilaian organoleptik (evaluasi sensori) dilakukan dalam dua tahap, yakni tahap pertama yang bertujuan untuk mengetahui urutan penerimaan serta mutu dari telur asin setelah penyimpanan 7 hari (H7) melalui uji ranking dan mutu hedonik, serta tahap kedua yang bermaksud untuk mengetahui daya terima telur asin setelah penyimpanan 28 hari (H28) melalui uji hedonik. Evaluasi Sensori Tahap Pertama Hasil uji ranking hedonik dan mutu hedonik dalam evaluasi sensori tahap pertama ditunjukkan pada Gambar 10 dan 11. 3.50 3,50 Ranking Hedonik
a
2,50 2.50
a
a
a
ab
2,00 2.00 1.50 1,50
a
a
3,00 3.00
b b
b
a b
a a
a a
a
a
b
bb
1.00 1,00 0.50 0,50 0.00 0,00 warna pt warna kt
aroma tekstur pt tekstur kt rasa pt Atribut Sensorik
rasa kt
Keterangan: Huruf yang berbeda pada setiap atribut sensorik menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 10. Rataan Nilai Ranking Hedonik Telur Asin pada Parameter Warna Putih Telur (pt), Warna Kuning Telur (kt), Aroma, Tekstur pt, Tekstur kt, Rasa pt, dan Rasa kt dengan Jumlah Panelis (n) =15; = Perlakuan R, = Perlakuan R+O4, = Perlakuan R+O6 dengan Skala 1 (Paling Disukai) hingga 3 (Paling Kurang Disukai)
36
5.00 5,00 a Mutu Hedonik
4,00 4.00 a
a
b
a b b
b
a a
ab
a
3,00 3.00
a
a
b
a a
a a
2.00 2,00 1,00 1.00
c
c
0.00 0,00 warna pt warna kt
aroma tekstur pt tekstur kt rasa pt Atribut Sensorik
rasa kt
Keterangan: 1. Huruf yang berbeda pada setiap atribut sensorik menunjukkan berbeda nyata (P<0,05) 2. Nilai mutu hedonik dan deskripsinya Nilai Mutu Hedonik 5
Warna pt
Warna kt
Aroma
Tekstur pt
Coklat gelap
Coklat gelap
4 3
Coklat Kuning kecoklatan
2
Putih kekuningan Putih
Coklat Sangat kuning kecoklatan Kuning kecoklatan Kuning
Sangat amis Amis Kurang amis
Sangat kesat Kesat Kurang basah dan berair Basah dan berair Sangat basah dan berair
1
Tidak amis Sangat tidak amis
Tekstur kt Sangat masir Masir Kurang masir
Rasa Rasa pt kt Sangat asin
Tidak masir Sangat tidak masir
Tidak asin
Asin Kurang asin
Sangat tidak asin
Gambar 11. Rataan Nilai Mutu Hedonik Telur Asin pada Parameter Warna Putih Telur (pt), Warna Kuning Telur (kt), Aroma, Tekstur pt, Tekstur kt, Rasa pt, dan Rasa kt dengan Jumlah Panelis (n) =15; = Perlakuan R, = Perlakuan R+O4, = Perlakuan R+O6 Warna Putih Telur. Warna merupakan salah satu karakteristik penting yang menjadi referensi konsumen dalam memilih suatu produk makanan. Nilai rata-rata ranking hedonik untuk warna putih telur asin rebus (R) sebesar 1,00 ± 0,00, telur asin rebus dan oven 4 jam (R+O4) sebesar 2,40 ± 0,51, serta telur asin rebus dan oven 6 jam (R+O6) sebesar 2,60 ± 0,51. Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada warna putih telur asin. Warna putih telur asin yang paling disukai berdasarkan uji perbandingan berganda adalah warna putih telur perlakuan R, sedangkan yang paling kurang disukai adalah perlakuan R+O4 dan R+O6. Penilaian tersebut berhubungan dengan nilai mutu hedonik yang diberikan. 37
Nilai rata-rata mutu hedonik dari masing-masing perlakuan telur asin yaitu 1,00 ± 0,00 untuk perlakuan R, 2,13 ± 0,35 untuk perlakuan R+O4, dan 3,13 ± 0,63 untuk perlakuan R+O6. Warna putih telur dari ketiga perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 12.
R
R + O4
R + O6
Gambar 12. Warna Putih Telur Asin dengan Perlakuan Rebus (R), Rebus dan Oven 4 Jam (R+O4), serta Rebus dan Oven 6 Jam (R+O6) Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) terhadap warna putih telur asin. Hasil uji banding rataan ranking menunjukkan bahwa warna putih telur R berbeda dengan R+O4 dan R+O6, dengan deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan yaitu putih (R), putih kekuningan (R+O4), dan kuning kecoklatan (R+O6). Perbedaan tersebut disebabkan oleh kecepatan reaksi Maillard yang bervariasi pada masing-masing perlakuan. Reaksi Maillard pada perlakuan R berlangsung lebih lambat dan diduga berada pada tahap awal, sehingga warna putih telur belum berubah. Muchtadi (1989) menjelaskan bahwa senyawa Amadori yang terbentuk dari reaksi awal Maillard merupakan bentuk utama lisin terikat dalam makanan yang masih belum mengubah warna makanan tersebut. Reaksi Maillard pada produk makanan menurut Simpson (2012) dan Man (1999) dapat terjadi karena adanya reaksi antara gula pereduksi dan protein yang didukung oleh faktor lingkungan seperti suhu, aktivitas air, pH dan komposisi kimia dari produk makanan tersebut. Reaksi Maillard dapat berlangsung lebih lambat dalam proses perebusan karena terjadi penyerapan air rebusan melalui pori-pori kerabang telur, sehingga air tersebut akan melarutkan protein dan gula-gula pereduksi yang berperan sebagai reaktan dalam reaksi Maillard. Pernyataan tersebut didukung oleh Fellow (2000) yang menyebutkan bahwa semakin tinggi kadar air 38
bahan makanan maka laju reaksi Maillard semakin turun karena kadar air yang tinggi mampu melarutkan zat-zat yang akan bereaksi dalam reaksi Maillard. Man (1999) menambahkan bahwa reaksi Maillard akan cepat terjadi dengan semakin meningkatnya aw dan mencapai laju maksimum pada aw 0,6 hingga 0,7. Lewat rentang tersebut laju reaksi akan mengalami penurunan kembali. Pengovenan yang lebih lama menyebabkan perubahan warna putih telur lebih jelas terlihat. Hal ini disebabkan oleh adanya pengurangan kadar air yang lebih besar, sehingga zat-zat yang akan bereaksi dalam reaksi Maillard lebih terkonsentrasi dan reaksi Maillard berlangsung lebih cepat. Intensitas warna kecoklatan yang dihasilkan dari reaksi Maillard tidak selalu sama pada setiap telur meskipun lama pengovenan yang dilakukan sama, karena setiap telur memiliki ketebalan dan jumlah pori-pori kerabang yang berbeda sehingga kecepatan panas dari proses pengovenan yang diterima oleh bagian putih telur juga berbeda. Reaksi Maillard yang terjadi pada produk makanan dapat menjadi suatu hal yang diinginkan atau sebaliknya tergantung aspek yang dilihat (Man, 1999). Warna putih telur yang paling disukai panelis adalah perlakuan R karena warnanya masih putih, oleh sebab itu reaksi Maillard tidak diharapkan terjadi pada telur asin jika dilihat dari aspek warna putih telur. Warna Kuning Telur. Nilai rata-rata warna kuning telur dari uji ranking hedonik yaitu 1,20 ± 0,41 (R), 2,07 ± 0,70 (R+O4), dan 2,73 ± 0,46 (R+O6). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada warna kuning telur. Warna kuning telur perlakuan R paling disukai sedangkan perlakuan R+O6 paling kurang disukai (Gambar 10). Penilaian tersebut berhubungan dengan mutu hedonik yang diberikan. Nilai rata-rata mutu hedonik pada warna kuning telur asin yaitu 1,00 ± 0,00 (R), 2,00 ± 0,00 (R+O4), dan 3,00 ± 0,00 (R+O6). Warna kuning telur dari ketiga perlakuan tersebut dapat dilihat pada Gambar 13. Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) pada warna kuning telur. Hasil uji banding rataan ranking menunjukkan bahwa warna kuning telur R berbeda dengan R+O4 dan R+O6, dengan deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan yaitu kuning (R), kuning kecoklatan (R+O4), dan sangat kuning kecoklatan (R+O6). Meningkatnya waktu pengovenan akan memicu terjadinya reaksi 39
Maillard, akibatnya warna kuning telur menjadi kecoklatan. Trilaksami et al. (2004) menyebutkan bahwa kecerahan dari suatu produk makanan akan berkurang dengan semakin tingginya suhu dan lama pengovenan. Sama halnya dengan warna putih telur, reaksi Maillard juga tidak diharapkan terjadi pada telur asin jika dilihat dari aspek warna kuning telur, karena panelis paling menyukai warna kuning telur yang cerah (perlakuan R). Pernyataan ini didukung oleh Soekarto (1985) bahwa warna cerah atau mencolok dari suatu bahan makanan dapat memberi kesan yang menarik sehinggga lebih disukai oleh konsumen.
R
R+O4
R+O6
Gambar 13. Warna Kuning Telur Asin dengan Perlakuan Rebus (R), Rebus dan Oven 4 Jam (R+O4), serta Rebus dan Oven 6 Jam (R+O6) Aroma. Aroma atau bau dapat timbul karena adanya reseptor khas dalam sel olfaktori yang akan menangkap molekul senyawa bau dengan bentuk dan ukuran yang sesuai sehingga timbul impuls yang menyatakan mutu bau tersebut (Winarno, 2008). Nilai rata-rata ranking hedonik untuk aroma telur asin yaitu 3,00 ± 0,00 (R), 1,73 ± 0,46 (R+O4), dan 1,27 ± 0,46 (R+O6). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada aroma telur asin. Aroma telur asin yang mengalami pengovenan (R+O4 dan R+O6) paling disukai daripada yang hanya mengalami perebusan (R). Hal ini dapat terjadi karena timbulnya aroma khas pada telur asin yang dioven. Smith dan Hui (2004) menyatakan bahwa reaksi Maillard akan menimbulkan citarasa, warna dan aroma yang khas pada produk hasil pemanggangan. Fellow (2000) menambahkan, aroma yang terbentuk selama pemanggangan tergantung dari kombinasi lemak, asam amino, gula yang ada pada bahan makanan, suhu dan kadar air bahan, serta lama waktu pemanasan.
40
Nilai rata-rata dari uji mutu hedonik terhadap aroma telur asin adalah 3,27 ± 0,80 (R), 2,27 ± 0,88 (R+O4), dan 2,07 ± 0,88 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) terhadap aroma telur asin. Hasil uji banding rataan ranking menunjukkan bahwa aroma telur asin perlakuan R berbeda dengan perlakuan R+O4 dan R+O6, sedangkan perlakuan R+O4 memiliki mutu hedonik yang sama dengan R+O6. Deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan yaitu kurang amis (R) dan tidak amis (R+O4 dan R+O6). Aroma yang timbul pada telur asin yang direbus (R) berasal dari senyawa sulfur, hal ini sesuai dengan pernyataan Stadelman dan Cotterill (1995) bahwa aroma utama pada telur yang dimasak adalah sulfur, sedangkan aroma khas pada telur asin yang mengalami pengovenan (R+O4 dan R+O6) berasal dari senyawa pirazin (Warren et al., 1995). Berbeda dengan warna putih dan kuning telur, reaksi Maillard diharapkan terjadi pada telur asin jika dilihat dari aspek aroma, sebab aroma telur menjadi tidak amis dan beraroma khas pemanggangan. Tekstur Putih Telur. Tekstur menurut Fellow (2000) paling banyak ditentukan oleh kadar air, lemak, tipe dan jumlah karbohidrat, serta protein yang terdapat pada bahan makanan. Tekstur suatu bahan makanan menurut Lawless dan Heymann (1998) digunakan oleh konsumen sebagai indikator dari kualitas makanan (food quality) dan dapat diketahui melalui indra penglihatan, sentuhan, serta pendengaran. Nilai ratarata tekstur putih telur yang diperoleh dari uji ranking hedonik (Gambar 10) yaitu 1,67 ± 0,82 (R), 1,87 ± 0,74 (R+O4), dan 2,47 ± 0,74 (R+O6). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada tekstur putih telur, artinya tidak ada tekstur putih telur yang paling disukai maupun yang paling kurang disukai. Rataan nilai mutu hedonik pada tekstur putih telur yaitu 2,80 ± 0,68 (R), 2,53 ± 0,74 (R+O4), dan 2,60 ± 0,83 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh pada tekstur putih telur. Tekstur putih telur ditentukan oleh aktivitas air dan kadar airnya (Man, 1999). Tingginya nilai aktivitas air (aw) (Gambar 6) dan kadar air putih telur (Gambar 7) yang diperoleh pada setiap perlakuan menyebabkan deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan adalah kurang basah dan berair. 41
Tekstur Kuning Telur. Nilai rata-rata tekstur kuning telur dari uji ranking hedonik yaitu 2,33 ± 0,82 (R), 2,27 ± 0,59 (R+O4), dan 1,27 ± 0,46 (R+O6). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada tekstur kuning telur asin. Tekstur kuning telur yang paling disukai berdasarkan uji perbandingan berganda adalah perlakuan R+O6. Penilaian tersebut berhubungan dengan nilai mutu hedonik yang diberikan. Nilai rata-rata mutu hedonik pada tekstur kuning telur yakni 3,00 ± 0,85 (R), 3,53 ± 0,52 (R+O4), dan 4,13 ± 0,74 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) pada tekstur kuning telur. Melalui uji banding rataan ranking diperoleh bahwa tekstur kuning telur R berbeda dengan R+O6, sedangkan tekstur kuning telur R+O4 tidak dapat dibedakan dengan R dan R+O6. Deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan yaitu kurang masir (R), kurang masir hingga masir (R+O4), dan masir (R+O6). Tekstur kuning telur perlakuan R+O6 lebih masir dari perlakuan R, karena waktu pengovenan yang lebih lama menyebabkan denaturasi protein dan penguapan air dari kuning telur lebih besar terjadi. Protein kuning telur yang berikatan dengan lemak (lipoprotein) telah terdenaturasi akibat penambahan NaCl sebelum dilakukan pemasakan, akibatnya protein akan terlepas dari lemaknya dan saling menyatu. Waktu pengovenan yang lebih lama semakin membantu penggabungan protein tersebut sehingga ukuran granula polihedral semakin besar dan dengan semakin banyaknya air yang diuapkan menyebabkan pemadatan granula dalam kuning telur semakin kuat dan batas antar granula semakin jelas terlihat. Hal tersebut menyebabkan tekstur kuning telur R+O6 lebih masir. Pendapat di atas didukung oleh penjelasan Chi dan Tseng (1998) yang menyebutkan bahwa tekstur masir merupakan salah satu kriteria utama yang mempengaruhi tingkat penerimaan konsumen pada telur asin. Tekstur masir tersebut terjadi akibat hilangnya air pada kuning telur selama pengasinan yang menyebabkan mikrostruktur kuning telur yaitu yolk sphere akan bergabung membentuk granula polihedral sehingga terbentuk sensasi berpasir pada kuning telur. Hal ini lebih lanjut dijelaskan oleh Lai et al. (2010) bahwa selama pengasinan terjadi dehidrasi dan pemadatan kuning telur yang disebabkan oleh interaksi antara NaCl dengan protein dalam bentuk low density lipoprotein (LDL), akibatnya terjadi peristiwa salting out, 42
yakni protein terpisah dengan lipid sebagai endapan sehingga tekstur masir terbentuk, sedangkan lipid akan terpisah dari protein dalam bentuk bebas berupa minyak yang semakin meningkat dengan dilakukannya pemasakan. Rasa Putih Telur. Rasa asin menurut Soekarto (1985) berasal dari zat-zat anionik seperti Cl- dan kationik seperti Na+. Man (1999) menyebutkan, jika bobot molekul kation atau anion atau keduanya bertambah besar maka garam cenderung terasa pahit, oleh sebab itu Soekarto (1985) menyebutkan penggunaan garam pada masakan biasanya antara 1%-2% dan untuk pengawetan makanan antara 5%-15%. Nilai rata-rata rasa putih telur asin dari uji ranking hedonik yaitu 1,93 ± 0,96 (R), 1,73 ± 0,88 (R+O4), dan 2,33 ± 0,49 (R+O6). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata pada rasa putih telur, artinya panelis tidak dapat membedakan rasa putih telur yang paling disukai maupun yang paling kurang disukai. Penilaian tersebut berhubungan dengan nilai mutu hedonik yang diberikan. Nilai rata-rata mutu hedonik pada rasa putih telur yaitu 4,07 ± 0,70 (R), 4,33 ± 0,62 (R+O4), dan 4,47 ± 0,52 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh pada rasa putih telur asin dengan deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan adalah asin. Hal ini dapat terjadi karena lamanya waktu pengasinan dan konsentrasi larutan garam yang digunakan pada masing-masing perlakuan adalah sama, sehingga panelis tidak dapat mengurutkan tingkat kesukaan maupun keasinan pada rasa putih telur. Pendapat tersebut didukung dengan data kadar abu putih telur yang tidak berbeda antar perlakuan selama penyimpanan (Gambar 8). Rasa Kuning Telur. Nilai rata-rata rasa kuning telur dari uji ranking hedonik yaitu 3,00 ± 0,00 (R), 1,53 ± 0,52 (R+O4), dan 1,47 ± 0,52 (R+O6). Hasil uji Friedman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata (P<0,05) pada rasa kuning telur. Rasa kuning telur yang paling disukai berdasarkan uji perbandingan berganda adalah rasa kuning telur perlakuan R+O4 dan R+O6, sedangkan yang paling sedikit disukai adalah perlakuan R. Nilai rata-rata mutu hedonik pada rasa kuning telur yaitu 3,20 ± 0,68 (R), 3,53 ± 0,52 (R+O4), dan 3,60 ± 0,51 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan 43
bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh terhadap rasa kuning telur. Deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan adalah kurang asin. Rasa kuning telur yang paling disukai panelis berasal dari perlakuan yang mengalami pengovenan (R+O4 dan R+O6) walaupun deskripsi mutu hedonik masing-masing perlakuan sama. Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat faktor lain selain rasa asin yang mempengaruhi penilaian panelis terhadap rasa kuning telur. Faktor tersebut dapat berupa rasa khas pemanggangan akibat reaksi Maillard yang terjadi. Rasa khas tersebut lebih dapat ditimbulkan pada bagian kuning telur daripada putih telur karena kandungan protein dan glukosa sebagai zat yang bereaksi dalam reaksi Maillard ditemukan lebih banyak dalam kuning telur. Yuwanta (2010) menyebutkan bahwa komposisi rata-rata protein dan glukosa pada kuning telur adalah 16% dan 1%-2%, sedangkan pada putih telur adalah 9,7%-10,8% untuk protein dan 0,5% untuk glukosa. Evaluasi Sensori Tahap Kedua Hasil uji hedonik dalam evaluasi sensori tahap kedua ditunjukkan pada Gambar 14. 7
Nilai Hedonik
6 5
b
b
ab a
a a
a a
a a a
a
a
a
a a a
a
a a
a
4 3 2 1 0 warna pt warna kt
aroma tekstur pt tekstur kt rasa pt Atribut Sensorik
rasa kt
Keterangan: Huruf yang berbeda pada setiap atribut sensorik menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Gambar 14. Rataan Nilai Hedonik Telur Asin pada Parameter Warna Putih Telur (pt), Warna Kuning Telur (kt), Aroma, Tekstur pt, Tekstur kt, Rasa pt, dan Rasa kt dengan Jumlah Panelis (n) =20; = Perlakuan R, = Perlakuan R+O4, = Perlakuan R+O6 dengan Skala 1 (Sangat Tidak Suka) hingga 7 (Sangat Suka) 44
Warna Putih Telur. Nilai rata-rata warna putih telur asin dari uji hedonik yaitu 6,05 ± 0,76 (R), 5,60 ± 0,94 (R+O4), dan 5,00 ± 0,92 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) terhadap warna putih telur asin. Hasil uji banding rataan ranking menunjukkan adanya perbedaan tingkat kesukaan antara warna putih telur yang direbus (R) dengan yang dioven 6 jam (R+O6), sedangkan telur yang dioven 4 jam (R+O4) tidak dapat dibedakan dari R dan R+O6. Deskripsi nilai hedonik pada masing-masing perlakuan yaitu suka (R), agak suka hingga suka (R+O4), dan agak suka (R+O6). Panelis masih lebih menyukai warna putih telur asin yang hanya direbus (R), baik pada hari ke-7 (Gambar 10) maupun hari ke-28 (Gambar 14) karena warnanya yang lebih putih. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan kimia (nilai pH, aw, kadar air, maupun kadar abu putih telur) dan total mikroba selama penyimpanan tidak mengubah tingkat kesukaan panelis pada warna putih telur, artinya pengaruh lama pengovenan terhadap mutu hedonik dari warna putih telur masih dapat dipertahankan selama 28 hari. Warna Kuning Telur. Nilai rata-rata warna kuning telur dari uji hedonik yaitu 5,85 ± 0,93 (R), 4,35 ± 1,56 (R+O4), dan 4,00 ± 1,82 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan berpengaruh (P<0,05) terhadap warna kuning telur asin. Hasil uji banding rataan ranking menunjukkan adanya perbedaan tingkat kesukaan antara warna kuning telur yang direbus (R) dengan yang dioven 4 dan 6 jam (R+O4 dan R+O6). Deskripsi nilai hedonik pada masing-masing perlakuan yaitu suka (R), dan netral (R+O4 dan R+O6). Penilaian tersebut menunjukkan bahwa panelis masih menyukai warna kuning telur yang direbus (R) baik pada H7 (Gambar 10) maupun H28 (gambar 14) karena warna kuning telur yang direbus lebih cerah daripada yang mengalami pengovenan. Hal tersebut menunjukkan bahwa perubahan kimia (nilai pH, aw, kadar air, maupun kadar abu putih telur) dan total mikroba selama penyimpanan tetap tidak mengubah tingkat kesukaan panelis pada warna kuning telur, artinya pengaruh lama pengovenan terhadap mutu hedonik dari warna kuning telur masih dapat dipertahankan hingga penyimpanan 28 hari.
45
Aroma. Nilai rata-rata aroma telur asin dari uji hedonik yaitu 4,90 ± 1,21 (R), 5,25 ± 1,25 (R+O4), dan 5,45 ± 1,14 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh pada aroma telur asin, artinya tingkat kesukaan panelis pada semua perlakuan adalah sama. Berbeda dengan evaluasi sensori tahap kedua, pada evaluasi sensori tahap pertama (H7) lama pengovenan masih mempengaruhi urutan kesukaan (ranking hedonik) dan mutu hedonik panelis terhadap aroma telur asin. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh lama pengovenan terhadap mutu hedonik dari aroma telur asin dapat dipertahankan selama 7 hari, sedangkan pada penyimpanan yang lebih lama (28 hari) aroma telur asin tidak dapat dibedakan dan dinilai agak suka. Penyimpanan telur asin di suhu ruang akan mendukung penyerapan bau di sekitar ruang penyimpanan, selain itu dengan kelembaban dan suhu ruang penyimpanan yang tinggi yakni 83%-91% dan 28–30 oC memungkinkan terjadinya kontaminasi dari mikroorganisme yang mampu mendegradasi komponen-komponen dalam telur menjadi senyawa-senyawa penghasil bau tidak sedap. Fardiaz (1992) menyebutkan, beberapa bakteri bersifat putrefaktif yakni memecah protein secara anaerobik sehingga menghasilkan komponen-komponen berbau busuk seperti hidrogen sulfida, merkaptan, amin, indol, skatol, dan asam-asam lemak, contohnya beberapa spesies dari Pseudomonas. Kontaminasi oleh mikroorganisme sangat mungkin terjadi karena perubahan nilai pH selama penyimpanan (Gambar 5) berhubungan erat dengan aktivitas mikroorganisme yang menunjukkan peningkatan seiring lamanya waktu penyimpanan (Gambar 9). Pengeluaran minyak dari kuning telur juga dapat memicu timbulnya aroma tengik (rancid) sehingga menurunkan kesukaan panelis terhadap aroma telur asin setelah disimpan 28 hari. Aroma tengik tersebut dapat berasal dari hasil metabolisme lemak oleh bakteri lipolitik (Fardiaz, 1992) maupun kerusakan oksidatif (Buckle et al., 2007) dari asam lemak tidak jenuh pada kuning telur. Tekstur Putih Telur. Nilai rata-rata tekstur putih telur dari uji hedonik yaitu 5,15 ± 1,27 (R), 5,20 ± 1,24 (R+O4), dan 5,30 ± 1,03 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh pada tekstur putih telur. Deskripsi nilai hedonik masing-masing perlakuan adalah agak suka. 46
Ranking, mutu, dan nilai hedonik dari tekstur putih telur pada ketiga perlakuan tidak dipengaruhi oleh lama pengovenan baik pada H7 maupun H28, karena lama pengovenan juga tidak mempengaruhi kadar air dan aw putih telur selama penyimpanan. Man (1999) menjelaskan bahwa tekstur makanan dipengaruhi oleh faktor aktivitas air dan kadar airnya, hubungan kedua faktor tersebut dikenal dengan sorpsi isotermik. Terdapat tiga wilayah pada sorpsi isotermik yang digunakan untuk mengklasifikasikan makanan berdasarkan teksturnya, antara lain wilayah pertama yaitu makanan bertekstur keras (hard) dan garing (crisp), wilayah kedua yaitu makanan bertekstur kering (dry), kuat (firm), dan fleksibel, dan wilayah ketiga yaitu makanan bertekstur halus (soft). Putih telur pada ketiga perlakuan termasuk makanan yang bertekstur halus karena memiliki kadar air dan aw yang tinggi. Resiko dari makanan dengan kadar air dan aw yang tinggi adalah mudah rusak. Hal tersebut dapat dilihat pada nilai pH yang tinggi selama penyimpanan (Gambar 5). Estiasih dan Ahmadi (2011) menyatakan bahwa mikroba pembusuk memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh dan berkembang biak pada pH > 4,6 sehingga makanan mudah menjadi busuk. Salah satu tanda kebusukan tersebut adalah tekstur makanan menjadi lunak atau berlendir sehingga mengurangi daya terima makanan tersebut. Tekstur Kuning Telur. Nilai rata-rata tekstur kuning telur dari uji hedonik yaitu 5,35 ± 1,27 (R), 5,05 ± 1,79 (R+O4), dan 5,35 ± 1,39 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh pada tekstur kuning telur. Deskripsi nilai hedonik masing-masing perlakuan adalah agak suka. Tekstur kuning telur masih dapat dibedakan ranking dan mutu hedoniknya pada H7. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh lama pengovenan terhadap mutu hedonik dari tekstur kuning telur dapat bertahan selama 7 hari dan akan mengalami penurunan pada penyimpanan yang lebih lama, oleh sebab itu tingkat kesukaan terhadap tekstur kuning telur menjadi sama pada penyimpanan berikutnya (H28). Penurunan mutu hedonik dan tingkat kesukaan pada tekstur kuning telur selama penyimpanan ditandai dengan berubahnya tekstur menjadi semakin lunak, berair, dan berlendir. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya penyerapan air 47
(akibat sifat garam yang higroskopis) ke dalam kuning telur dan aktivitas dari mikroorganisme pembusuk. Rasa Putih Telur. Nilai rata-rata rasa putih telur asin dari uji hedonik yaitu 5,10 ± 1,02 (R), 4,95 ± 1,36 (R+O4), dan 5,15 ± 1,09 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh terhadap rasa putih telur. Rasa putih telur perlakuan R, R+O4, dan R+O6 tidak dapat dibedakan ranking dan mutu hedoniknya pada H7 maupun nilai hedoniknya pada H28, artinya lama pengovenan tidak mempengaruhi karakteristik organoleptik rasa putih telur selama penyimpanan. Hal ini disebabkan oleh proses pengasinan yang sama dan nilai kadar abu putih telur yang tidak berbeda secara statistik selama penyimpanan. Kadar abu berhubungan dengan kadar NaCl, Wulandari (2002) menyebutkan bahwa kadar NaCl putih telur asin tidak mengalami perubahan yang signifikan selama penyimpanan, oleh sebab itu tingkat keasinan pada putih telur masing-masing perlakuan akan sama setelah disimpan 28 hari, sehingga nilai hedoniknya tidak dapat dibedakan dan rasa putih telur dinilai agak suka. Rasa Kuning Telur. Nilai rata-rata rasa kuning telur dari uji hedonik yaitu 5,40 ± 1,23 (R), 4,60 ± 1,60 (R+O4), dan 5,70 ± 0,92 (R+O6). Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama pengovenan tidak berpengaruh pada rasa kuning telur. Lama pengovenan hanya mempengaruhi ranking hedonik dari rasa kuning telur setelah disimpan 7 hari, sedangkan mutu hedonik masing-masing perlakuan sama yakni kurang asin. Wulandari (2002) menyebutkan bahwa kadar NaCl kuning telur asin tidak mengalami perubahan yang signifikan selama penyimpanan, oleh sebab itu rasa asin pada kuning telur cenderung sama setelah disimpan 28 hari, sehingga nilai hedoniknya tidak dapat dibedakan secara statistik dan dinilai agak suka kecuali perlakuan R+O6 yang dinilai suka. Penentuan Perlakuan Terbaik Penentuan perlakuan yang terbaik pada telur asin didasarkan pada parameter kimia, mikrobiologi, dan organoleptik sebelum dan selama penyimpanan. Penilaian dilakukan pada parameter yang memberikan pengaruh nyata terhadap telur asin. Parameter yang dinilai sebelum penyimpanan (H0) adalah parameter kimia (kadar air 48
putih telur) dan mikrobiologi, sedangkan selama penyimpanan (H7 dan H28) adalah parameter organoleptik. Hasil penilaian dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Skor Penilaian pada Telur Asin Perlakuan Parameter
R
R+O4
R+O6
H0
H7
H28
H0
H7
H28
H0
H7
H28
Kadar air pt (% bb)
86,13a (1)
-
-
84,29ab (1,5)
-
-
81,89b (2)
-
-
TPC (log cfu/g)
2,51a (1)
-
-
2,29ab (1,5)
-
-
2,22b (2)
-
-
Warna putih telur (pt)
-
1b (2)
6,05b (2)
-
2,40a (1)
5,60ab (1,5)
-
2,60a (1)
5a (1)
Warna kuning telur (kt)
-
1,20b (2)
5,85b (2)
-
2,07ab (1,5)
4,35a (1)
-
2,73a (1)
4a (1)
Aroma
-
3a (1)
-
-
1,73b (2)
-
-
1,27b (2)
-
Tekstur kt
-
2,33a (1)
-
-
2,27a (1)
-
-
1,27b (2)
-
Rasa kt
-
3a (1)
-
-
1,53b (2)
-
-
1,47b (2)
-
Total skor
2
7
4
3
7,5
2,5
4
8
2
Total skor setiap perlakuan
13
13
14
Keterangan: 1. Angka di dalam kurung merupakan skor terhadap parameter yang dinilai. Pemberian skor berdasarkan huruf superskrip, a =1, b = 2, ab = 1,5 2. Parameter yang dinilai pada H7 berasal dari uji ranking hedonik, dan pada H28 dari uji hedonik
Hasil penilaian menunjukkan bahwa perlakuan terbaik sebelum penyimpanan (H0) terdapat pada perlakuan R+O6 dengan total skor tertinggi (4) yang diikuti dengan perlakuan R+O2 (3) dan R (2). Perlakuan R+O6 memiliki kadar air putih telur yang paling rendah sehingga skor yang diberikan juga paling tinggi. Rendahnya kadar air tersebut menyebabkan kadar abu dan NaCl putih telur yang diperoleh juga semakin tinggi, hal ini memberikan keuntungan bagi telur asin karena pertumbuhan 49
mikroorganisme selama penyimpanan menjadi terhambat. Pendapat tersebut didukung dengan hasil total mikroba yang paling rendah sebelum dan selama penyimpanan adalah perlakuan R+O6 (Gambar 9), oleh sebab itu total mikroba (total plate count) perlakuan tersebut diberi skor yang paling tinggi pada H0. Total mikroba yang rendah menyebabkan telur asin masih aman dan layak untuk dikonsumsi setelah penyimpanan satu bulan dalam suhu ruang. Parameter organoleptik digunakan untuk menentukan perlakuan terbaik selama penyimpanan, selain disebabkan oleh parameter lain (kimia dan mikrobiologi) yang menunjukkan hasil tidak berbeda nyata, parameter organoleptik juga lebih tepat digunakan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Gelman et al. (1990) yang menyebutkan bahwa faktor organoleptik lebih dapat diandalkan dalam menilai perubahan produk makanan selama penyimpanan. Telur asin perlakuan R+O6 masih memperoleh total skor tertinggi (8) selama penyimpanan 7 hari (H7). Penilaian tersebut berasal dari uji ranking hedonik dan skor paling tinggi diberikan pada perlakuan dengan nilai ranking hedonik yang paling rendah untuk setiap parameter. Berbeda dengan sebelumnya, telur asin yang memperoleh total skor tertinggi (4) setelah penyimpanan 28 hari (H28) adalah telur asin yang hanya direbus (R) karena hanya parameter warna putih dan kuning telur saja yang menunjukkan perbedaan secara statistik, walaupun parameter lain (aroma, tekstur putih dan kuning telur, rasa putih dan kuning telur) tidak menunjukkan perbedaan secara statistik, namun rata-rata nilai hedonik tertinggi dari parameter tersebut masih terdapat pada perlakuan R+O6. Total skor tertinggi dari seluruh parameter diperoleh pada perlakuan telur asin yang direbus dan dioven selama 6 jam (R+O6), selain itu rasa kuning telur dari perlakuan tersebut masih disukai hingga penyimpanan satu bulan, oleh sebab itu perlakuan R+O6 dipilih sebagai perlakuan yang terbaik dalam penelitian ini.
50