HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Surfaktan Terpilih Tahap awal penelitian ini dilakukan pemilihan jenis surfaktan. Pada tahap pemilihan jenis surfaktan ini menggunakan formula yang sama yaitu formula P. Surfaktan yang digunakan adalah asam oleat (formula PO) dan poloxamer 188 (formula PP). Surfaktan terpilih adalah surfaktan yang menghasilkan nilai turbiditas terkecil dan dapat membantu pembentukan nanopartikel. Pembuatan nanopartikel pada formula PO dan PP menggunakan metode homogenisasi, ultrasonikasi dan sentrifugasi. Proses homogenisasi dengan kecepatan 13500 rpm selama 5 menit dilakukan pada saat mencampurkan kitosan dengan TPP untuk mempercepat terbentuknya ikatan silang kitosan-TPP, dan dilakukan pada saat mencampurkan ketoprofen dan surfaktan (asam oleat atau poloxamer 188) kedalam kitosan-TPP. Proses homogenisasi juga membantu mempermudah dan mempercepat pembentukan emulsi antara kitosan-TPP dan ketoprofen dengan menggunakan surfaktan asam oleat atau poloxamer 188. Setelah terbentuk formula yang homogen dilakukan pemecahan partikel dengan cara ultrasonikasi. Proses ultrasonikasi pada formula PO dan PP dilakukan selama 30 menit dengan ragam amplitudo 20, 30, dan 40. Pemisahan partikel yang masih berukuran besar dilakukan dengan sentrifugasi dengan kecepatan 19900 rpm selama 2 jam. Supernatan yang diperoleh dari hasil sentrifugasi kemudian dianalisis nilai turbiditasnya dengan menggunakan turbidimeter. Parameter awal untuk memprediksikan telah terjadi degradasi kitosan menjadi molekul yang lebih kecil adalah dengan mengukur turbiditasnya. Secara visual formula PO1 dan PP7 yang keduanya diultrasonikasi pada amplitudo 20 selama 30 menit menghasilkan penampilan yang berbeda. Formula PO1 tampak
Gambar 7 Perbandingan turbiditas formula PP7 dan PO1 secara visual.
20
lebih keruh dibandingkan formula PP7 (Gambar 7). Berdasarkan Gambar 7 tersebut diprediksikan bahwa formula PP7 memiliki turbiditas dan ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan formula PO1. Pengukuran turbiditas dilakukan pada masing-masing formula tiap setelah homogenisasi (T0), setelah ultrasonikasi (Ta), dan setelah sentrifugasi (Tb). Semakin kecil nilai turbiditas diasumsikan ukuran partikel yang ada didalam formula juga semakin kecil. Setelah dianalisis menggunkanan turbidimeter, ternyata formula PO memiliki turbiditas yang lebih besar dibandingkan dengan formula PP (Tabel 3). Turbiditas terendah pada formula PO adalah 121,60 NTU (formula PO1) yang diultrasonikasi selama 30 menit dengan amplitudo 20. Oleh karena itu formula PO1 dianalisis dengan menggunakan PSA untuk mengetahui ukran partikel yang sebenarnya. Agar dapat diketahui pengaruh dari jenis surfaktan yang digunakan, maka formula PP yang dianalisis dengan menggunakan PSA adalah formula yang diultrasonikasi dengan kondisi yang sama pada formula PO1 yaitu formula PP7. Tabel 3 Hubungan jenis surfaktan dan kondisi ultrasonikasi dengan nilai turbiditas Ultrasonikasi Tb Formula t (menit) A E (Joule) (NTU) PO1 30 20 4188 121,60 PO2 30 30 7195 124,60 PO3 30 40 9710 127,80 PP7 30 20 4298 11,72 PP8 30 30 7211 10,64 PP9 30 40 10256 9,54 PO: Formula P dengan surfaktan asam oleat, PP: Formula P dengan surfaktan poloxamer 188.
Walaupun proses ultrasonikasi dilakukan dengan kondisi yang sama pada formula PO1 dan PP7, hasil analisis PSA membuktikan bahwa formula PO1 tidak dapat menghasilkan nanopartikel sedangkan formula PP7 menghasilkan 93,05% nanopartikel yang berukuran 700,2 nm (Tabel 4). Wahyono et al. (2010) menggunakan asam oleat dan ultrasonikasi selama 30 menit yang menghasilkan 58,08% nanopartikel kitosan terisi ketoprofen. Namun penentuan jumlah nanopartikel pada penelitian tersebut dilakukan dengan cara perhitungan manual pada foto SEM dari masing-masing formula yang disintesis. Asam oleat tidak
21
mampu menghasilkan nanopartikel yang lebih banyak, karena asam oleat memiliki HLB lebih rendah dari poloxamer 188. Nilai HLB asam oleat adalah 1 sedangkan poloxamer 188 adalah 29. Nilai HLB sangat mempengaruhi kestabilan partikel dalam medium cairan. Semakin tinggi nilai HLB dari surfaktan, maka semakin mampu menstabilkan partikel yang ada dalam medium air. Surfaktan dengan nilai HLB >8 akan mempromosikan jenis emulsi tipe o/w (Birdi 2010). Tiap formula yang dibuat pada penelitian ini termasuk tipe emulsi o/w yang mengandung sekitar 75% air sehingga poloxamer 188 lebih mampu menstabilkan formula dibandingkan dengan asam oleat. Kestabilan turbiditas dari formula PO diamati selama 7 hari dan ternyata semakin lama waktu penyimpanan mengakibatkan semakin naiknya nilai turbiditas, bahkan pada hari ke-7 nilai turbiditas dari setiap formula PO mendekati nilai turbiditas sebelum dilakukan proses ultrasonikasi (Lampiran 2b). Tabel 4 Jumlah nanopartikel berdasarkan jenis surfaktan dan turbiditas Ultrasonikasi Kisaran ∑ Tb diameter Rata-rata (nm) Nano t E (NTU) A partikel (nm) (%) (mnt) (Joule) PO1 30 20 4188 121,60 2285,00 - 3204,00 2.621,5 ± 183,7 0,00 PP7 30 20 4298 11,72 529,10 - 2892,80 93,05 700,2 ± 200,7 PO: Formula P dengan surfaktan asam oleat, PP: Formula P dengan surfaktan poloxamer 188. Formula
Sugita et al. (2010a) melakukan sintesis nanoenkapsulasi ketoprofen tersalut kitosan-alginat berdasarkan jenis dan ragam konsentrasi surfaktan. Surfaktan yang digunakan pada penelitian tersebut adalah Tween 80 (HLB = 15) dan Span 80 (HLB = 4,3). Jumlah nanokapsul tertinggi ternyata diperoleh pada konsentrasi surfaktan 3% v/v, pada formula dengan menggunakan Tween 80 menghasilkan 53,23% nanokapsul sedangkan formula yang menggunakan Span 80 hanya menghasilkan 34,31% nanokapsul, dari penelitian tersebut dapat dibuktikan bahwa penggunaan surfaktan dengan nilai HLB yang lebih besar dapat membantu memperbanyak partikel berukuran nanometer yang dihasilkan. Penggunaan poloxamer 188 sebagai surfaktan lebih efektif dibandingkan dengan asam oleat. Poloxamer 188 dapat membantu dalam pembentukan nanopartikel. MemisogluBilensoy et al (2006) menyatakan bahwa adanya pluronic F68 (poloxamer 188) dalam sistem nanopartikel memainkan pernan penting tidak hanya sebagai
22
penstabil sistem, tetapi tentunya mereduksi ukuran partikel. Oleh karena itu surfaktan terpilih adalah poloxamer 188 karena menghasilkan nilai turbiditas lebih rendah dan dapat membantu dalam pembentukan nanopartikel kitosan terisi ketoprofen. Kondisi Ultrasonikasi Optimum Kondisi ultrasonikasi optimum adalah waktu dan amplitudo ultrasonikasi yang dapat menghasilkan nilai turbiditas terkecil dan jumlah partikel berukuran 10-1000 nm terbanyak. Untuk mengetahui kondisi ultrasonikasi yang optimal, maka formula PP diultasonikasi dengan menggunakan ragam waktu (10, 20, 30, 45 dan 60 menit) dan amplitudo (20, 30 dan 40). Semakin tinggi waktu dan amplitudo ultrasonikasi yang digunakan pada formula PP akan menghasilkan energi yang semakin tinggi (Gambar 8). Tang et al. (2003) dan Tsai et al (2008) menyatakan bahwa penggunaan waktu yang lebih lama dan amplitudo yang tinggi pada proses ultrasonikasi, memiliki energi yang lebih banyak dalam pembentukan efek kavitasi. Energi ultrasonikasi yang besar diharapkan proses pemecahan partikel berjalan dengan baik. Pengukuran nilai turbiditas dilakukan pada masingmasing formula untuk memprediksikan ukuran partikel. Semakin kecil nilai turbiditas suatu formula menunjukkan proses kavitasi berjalan dengan baik sehingga ukuran partikelnya semakin kecil. Tabel 5 memperlihatkan hubungan antara waktu, amplitudo serta energi ultrasonikasi terhadap turbiditas dari suatu formula. Semakin tinggi waktu dan amplitudo ultrasonikasi pada formula PP menghasilkan energi yang semakin tinggi dan turbiditas yang rendah. 25000
Energi (Joule)
20000 10 menit 15000
20 menit
10000
30 menit 45 menit 60 menit
5000 0 0
10
20
30
40
50
Amplitudo
Gambar 8 Hubungan amplitudo dengan energi ultrasonikasi pada formula PP
23
Tabel 5 Hubungan kondisi ultrasonikasi dengan nilai turbiditas formula PP ultrasonikasi Tb Formula t (menit) A E (Joule) (NTU) 30,09 PP1 10 20 1427 29,81 PP2 10 30 2556 28,02 PP3 10 40 3543 29.97 PP4 20 20 2962 27,77 PP5 20 30 5168 27,25 PP6 20 40 7023 PP7 30 20 4298 11,72 PP8 30 30 7211 10,64 PP9 30 40 10256 9,54 PP10 45 20 5920 11,22 PP11 45 30 9611 10,56 PP12 45 40 14744 7,88 PP13 60 20 8252 10,88 PP14 60 30 13475 10,13 PP15 60 40 20215 6,68 Analisis dengan menggunkan PSA juga dilakukan untuk mengetahui ukuran partikel yang sebenarnya. Hasil analisis PSA kemudian dibandingkan dengan nilai turbiditas dari masing-masing formula untuk membuktikan bahwa semakin kecil nilai turbiditas suatu formula, maka ukuran partikelnya juga semakin kecil. Tabel 6 menggambarkan bahwa semakin tinggi waktu dan amplitudo yang digunakan menghasilkan energi yang semakin tinggi. Energi yang tinggi menghasilkan turbiditas yang rendah dan ukuran partikel yang kecil. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian dari Tang et al (2003) yang melakukan proses ultrasonikasi pada kitosan-TPP, dan dapat dibuktikan bahwa semakin meningkatnya amplitudo dan waktu pada proses ultrasonikasi mampu menurunkan diameter rata-rata partikel. Tsai et al. (2008) juga membuktikan bahwa semakin tinggi waktu radiasi ultrasonik dapat menurunkan diameter rata-rata partikel kitosan-TPP. Berdasarkan Tabel 6 formula yang memiliki ukuran partikel lebih kecil adalah formula PP15 (rata-rata diameter partikelnya 355,3±101,1 nm) yang diultrasonikasi selama 60 menit dengan amplitudo 40. Kondisi ultrasonikasi optimum adalah pada waktu 60 menit dengan amplitudo 40 yang menghasilkan turbiditas dan ukuran partikel terkecil. Kondisi ultrasonikasi optimum ini yang kemudian digunakan untuk mensintesis nanopartikel pada formula lainnya.
24
Tabel 6 Jumlah nanopartikel berdasarkan waktu, amplitudo, energi ultrasonikasi dan turbiditas pada formula PP Formula PP7 PP9 PP15
Ultrasonikasi t E A (mnt) (Joule) 30 20 4298 30 40 10256 60 40 20215
Tb (NTU) 11,72 9,54 6,68
Kisaran diameter partikel (nm) 529,10 - 2892,80 473,30 - 1993,80 275,00 - 1578,30
Rata-rata (nm)
∑ Nano (%)
700,2 ± 200,7 638,3 ± 151,5 355,3 ± 101,1
93,05 97,07 99,79
Formula nanopartikel kitosan terisi ketoprofen terbaik Pemilihan
formula
nanopartikel
kitosan
terisi
ketoprofen
terbaik
menggunakan tiga formula dari Wahyono et al. (2010) yang memiliki jumlah nanopartikel dan efisiensi penjerapan >50% (Tabel 2). Penggunaan kitosan dikarenakan kitosan merupakan biopolimer yang tidak beracun, mudah terdegradasi, dan biokompatibel yang banyak digunakan sebagai pengantar obat (Ru et al. 2009). Namun kitosan bersifat rapuh, sehingga perlu dilakukan modifikasi kimia dan modifikasi fisik. Untuk memperkuat matriks kitosan digunakan TPP yang merupakan senyawa pengikat silang yang bersifat tidak beracun. Kitosan-TPP telah digunakan oleh Wahyono et al. (2010) dan Sugita et al. (2010a) sebagai penyalut ketoprofen. Obat anti inflamasi ketoprofen memiliki waktu eliminasi yang cepat yaitu 1,5–2 jam sehingga perlu disalut oleh kitosanTPP agar pelepasan ketoprofen dalam tubuh lebih terkendali. Agar lebih tepat sasaran dan dapat melewati penghalang pada sistem metabolisme perlu dilakukan modifikasi fisik yaitu pembentukan nanopartikel. Kelebihan menggunakan nanopartikel sebagai sistem pengantaran obat antara lain (1) ukuran partikel dan karakteristik permukaan nanopartikel dapat dengan mudah dimanipulasi sesuai dengan target pengobatan; (2) nanopartikel mengatur dan memperpanjang pelepasan obat selama proses transpor obat ke sasaran; (3) obat dapat dimasukan ke dalam sistem nanopartikel tanpa reaksi kimia; dan (4) sistem nanopartikel dapat diterapkan untuk berbagai sasaran pengobatan, karena nanopartikel masuk ke dalam sistem peredaran darah dan di bawa oleh darah menuju target pengobatan (Mohanraj & Chen 2006). Nanoteknologi pada formulasi obat tidak hanya mempertinggi absorpsi pada obat dengan kelarutan rendah dalam air tetapi memperbaiki keefektifan pengobatan obat dalam penelitian farmasi. Formulasi nanopartikel adalah suatu hal baru dalam
25
sistem pengantaran obat dengan memiliki keuntungan yang bermacam-macam, mencakup meningkatnya kelarutan obat, meningkatkan kecepatan disolusi, memperbaiki bioavailabilitas, dan menurunkan dosis yang dibutuhkan untuk efek sesuatu, dibandingkan dengan obat kasar atau ukuran mikro (Yen et al. 2008). Tabel 7 Hubungan konsentrasi material, viskositas, energi ultrasonikasi, dan turbiditas Konsentrasi* Viskositas Ē Tb Formula C P-188 (cP) (Joule) (NTU) (%b/v) (mg/mL) P 3,00 1,50 14,24 20215 6,68 A 2,50 0,10 12,93 20389 5,90 B 2,50 0,80 12,95 20785 5,42 *C (kitosan), P-188 (poloxamer 188), konsentrasi T (TPP): 0,84 mg/mL, K (ketoprofen): 0,2 mg/mL, masing-masing formula diultasonikasi pada A:40 selama 60 menit.
Ketiga formula yang disintesis menggunakan poloxamer 188 sebagai surfaktan dan diultrasonikasi selama 60 menit dengan amplitudo 40. Tiga formula yang disintesis menghasilkan energi dan turbiditas yang berbeda walaupun proses sintesisnya dalam kondisi ultrasonikasi dan surfaktan yang sama (Tabel 7). Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi material yang terkandung dari masing-masing formula. Penggunaan kitosan 3% b/v pada formula P memiliki nilai viskositas lebih tinggi dibandingkan dengan formula A dan B yang menggunakan kitosan 2,5% b/v. Hal tersebut dapat menggambarkan bahwa semakin tinggi konsentrasi kitosan yang digunakan maka formula yang dihasilkan semakin kental (nilai viskositasnya tinggi). Nilai viskositas berbanding terbalik dengan energi yang dihasilkan dari proses ultrasonikasi. Menurut Gronroos et al. (2001) semakin tinggi energi ultrasonikasi yang digunakan menghasilkan viskositas yang semakin menurun. Formula yang memiliki nilai viskositas rendah memiliki energi yang tinggi dan memiliki turbiditas yang rendah. Rendahnya nilai viskositas dapat mempermudah terjadinya gelembung kavitasi. Ketika gelombang ultrasonik merambat dengan amplitudo tinggi pada medium cairan yang memiliki viskositas rendah akan menghasilkan gelembung kavitasi yang cukup besar dan menghasilkan energi yang cukup tinggi untuk mereduksi ukuran partikel. Nilai viskositas berbanding lurus dengan nilai konsentrasi kitosan. Konsentrasi kitosan yang lebih tinggi menghasilkan viskositas tinggi, energi ultrasonikasi rendah dan
26
turbiditas tinggi. Berdasarkan Tabel 7 formula P memiliki konsentrasi kitosan tertinggi yaitu 3% b/v sehingga memiliki turbiditas teringgi pula dibandingkan formula A dan formula B yaitu 6,68 NTU. Maka dapat diindikasikan bahwa formula P memiliki ukuran diameter partikel lebih tinggi dari formula A dan formula B. Selain konsentrasi kitosan dan viskositas formula, faktor lain yang akan mempengaruhi proses kavitasi, yaitu penambahan surfaktan dalam medium cairan. Surfaktan akan terakumulasi di bagian antarmuka antara gas dan cairan pada gelembung kavitasi yang akan menurunkan tegangan permukaan gelembung. Turunnya tegangan permukaan akan mengakibatkan bertambahnya kecepatan pembentukan gelembung. Namun, gelembung yang terbentuk tidak stabil dan akhirnya pecah menjadi ukurang yang lebih kecil di bandingkan gelembung dalam medium cairan tanpa penambahan surfaktan (Schroeder et al. 2009). Gelombang kejut yang dihasilkan pada saat ultrasonikasi dapat memisahkan gumpalan partikel dan terjadi dispersi sempurna dengan penambahan surfaktan sebagai penstabil (Hielscher 2005). Formula P, A, dan B merupakan emulsi o/w yang masingmasing mengandung 75% air, sehingga memerlukan surfaktan dengan nilai HLB lebih besar dari 8 yang mampu menstabilkan emulsi pada medium berair (tipe o/w). Poloxamer 188 memiliki HLB = 29, sehingga poloxamer 188 mampu menurunkan tegangan permukaan pada saat terjadi proses kavitasi dan mampu menstabilkan partikel sehingga tidak terjadi aglomerasi (penggumpalan). Berdasarkan Tabel 8 dapat diduga bahwa formula B memiliki ukuran partikel lebih kecil dibandingkan dengan formula P dan A, karena formula B memiliki nilai turbiditas terkecil. Oleh karena itu untuk mengetahui ukuran partikel sebenarnya dilakukan analisis dengan menggunakan PSA. Pengukuran partikel dengan menggunakan PSA dinilai lebih akurat jika dibandingkan dengan metode analisa gambar (mikrografi) dengan menggunakan SEM, TEM dan AFM terutama untuk sampel-sampel dalam orde nanometer dan submicron yang biasanya memliki kecenderungan aglomerasi yang tinggi. Hal ini dikarenakan pada metode PSA, partikel didispersikan ke dalam media sehingga partikel tidak saling beraglomerasi (menggumpal). Dengan demikian ukuran partikel yang terukur adalah ukuran dari single particle. Selain itu hasil
27
pengukuran dalam bentuk distribusi, sehingga hasil pengukuran dapat diasumsikan sudah menggambarkan keseluruhan kondisi sampel. Pengukuran diameter partikel pada penelitian ini menggunakan metode particle size analyzer (PSA) dengan menggunakan alat Delsa Nano C yang memiliki kisaran pengukuran
dari 0,6 nanometer hingga 7 mikrometer dengan berat molekul
minimal 267 Dalton dan konsentrasi 1–40 ppm. Hasil analisis PSA terdapat pada Tabel 8. Tabel 8 Jumlah nanopartikel dan indeks polidispersitas berdasarkan konsentrasi material, dan turbiditas Formula
Konsentrasi* C (%b/v)
P-188 (mg/mL)
P A B
3,00 2,50 2,50
1,50 0,10 0,80
Tb (NTU)
Kisaran diameter partikel (nm)
Rata-rata (nm)
∑ Nano (%)
IP
6,68 5,90 5,42
275,00 - 1578,30 79,90 - 452,70 60,40 - 340,10
355,3 ± 101,1 104,2 ± 30,4 78,2 ± 22,1
99,79 100 100
0,30 0,39 0,24
*C (kitosan), P-188 (poloxamer 188), konsentrasi T (TPP): 0,84 mg/mL, K (ketoprofen): 0,2 mg/mL, masing-masing formula diultasonikasi pada A:40 selama 60 menit.
Berdasarkan Tabel 8 nampak bahwa proses ultrasonikasi dapat menurunkan rata-rata diameter partikel. Ukuran nanopartikel yang diperoleh dipengaruhi oleh amplitudo, waktu radiasi ultrasonik, energi yang dihasilkan setelah ultrasonikasi, suhu larutan dan konsentrasi kitosan (Tang et al. 2003; Tsai et al. 2011). Ketiga formula yang disintesis menghasilkan jumlah nanopartikel yang banyak. Namun dari ketiganya memberikan distribusi ukuran partikel yang berbeda walaupun proses sintesisnya dalam kondisi yang sama yaitu homogenisasi dengan kecepatan 13500 rpm selama 5 menit, ultrasonikasi dengan amplitudo 40 selama 60 menit, dan sentrifugasi dengan kecepatan 19.900 rpm selama 2 jam. Hal tersebut dipengaruhi oleh konsentrasi material yang terkandung dalam formula masingmasing. Formula P yang memiliki konsentrasi kitosan 3% b/v menghasilkan ukuran rata-rata diameter partikel yang lebih besar (355,3 ± 101,1 nm) dibandingkan dengan formula A (104,2 ± 30,4 nm) dan formula B (78,2 ± 22,1 nm) yang masing-masing memiliki konsentrasi kitosan 2,5% b/v. Tsai et al. (2011) melakukan proses ultrasonikasi dengan daya 29 W selama 4 menit pada suhu 25⁰C pada kitosan-TPP dengan ragam konsentrasi 1, 2, 4 dan 10 mg/mL,
28
menghasilkan rata-rata diameter parikel berturut-turut 92,7±0,8, 127,8±0,3, 205,3±0,5, 709,2±1,7 nm. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dinyatakan bahwa rata-rata diameter nanopartikel yang dihasilkan meningkat seiring dengan meningkatnya konsentrasi kitosan. Selain konsentrasi kitosan yang dapat mempengaruhi ukuran diameter partikel, konsentrasi poloxamer 188 memiliki peranan penting dalam mereduksi ukuran partikel. Berdasarkan Tabel 8 pada konsentrasi kitosan yang sama yaitu 2,5% b/v dapat menghasilkan jumlah nanopartikel sebanyak 100%. Namun formula B yang memiliki konsentrasi poloxamer 188 lebih tinggi yaitu 0,80 mg/mL menghasilkan ukuran partikel yang lebih kecil dibandingkan dengan formula A yang mengandung 0,10 mg/mL poloxamer 188. Semakin besar konsentrasi poloxamer 188 maka ukuran partikel yang dihasilkan juga semakin kecil karena poloxamer 188 membantu mengurangi tegangan permukaan pada saat terbentuknya gelembung kavitasi dalam proses ultrasonikasi, sehingga dapat terbentuk gelembung yang besar namun tidak stabil dan akhirnya pecah menjadi partikel yang berukuran lebih kecil. Cuscuta chinensis sukses dijadikan nanopartikel dengan menggunakan Pluronic F 68 (poloxamer 188) dengan ukuran rata-rata diameter 267,6 ± 4,4 nm dan nilai indeks polidispersitas 0,173 ± 0,041 dengan stabilitas nanopartikel yang cukup (Yen et al. 2008), hal tersebut diduga karena poloxamer 188 dapat larut dalam air, surfaktan nonionik kopolimer digunakan luas sebagai agen pelarut, emulsifier, dan penstabil suspensi untuk dosis dalam bentuk oral atau larutan, karena memiliki dua rantai hidrofilik polioksietilen yang berhubungan dengan rantai hidrofobik polioksipropilen (Chen et al. 2004; Shah et al. 2007). Selain mengukur ukuran diameter partikel PSA juga dapat digunakan untuk mengetahui indeks polidispersitas (IP) yang merupakan ukuran lebarnya distribusi ukuran partikel. Untuk nilai IP yang lebih kecil dari 0,3, mengindikasikan sampel tersebut memiliki distribusi yang sempit dan juga menunjukkan formula nanopartikel yang sangat baik (Yen et al. 2008). Dari ketiga formula yang disintesis, formula B yang memiliki nilai IP terkecil yaitu 0,240, maka formula B dapat dinyatakan sebagai formula nanopartikel yang sangat baik.
29
Ukuran partikel berbanding lurus dengan nilai turbiditas pada formula yang disintesis dalam penelitian ini. Dengan kata lain semakin tinggi nilai turbiditas suatu formula maka ukuran partikelnya juga semakin tinggi. Oleh karena itu untuk mengetahui kestabilan ukuran partikel dilakukan pengontrolan nilai turbiditas selama 20 hari pada masing-masing formula dengan waktu pengukuran tiap 2 hari. Gambar 9 menunjukkan bahwa formula P dengan konsentrasi poloxamer 188 tertinggi yaitu 1,5 mg/mL merupakan formula yang paling stabil karena pada formula P dapat memperlambat peningkatan nilai turbiditas. Tingginya konsentrasi surfaktan dapat membantu stabilitas ukuran partikel karena surfaktan dapat
mengurangi
kemampuan
partikel
untuk
mengalami
aglomerasi
(penggumpalan). Secara visual juga dapat terlihat bahwa formula yang telah disimpan selama 20 hari terlihat lebih keruh dibandingkan dengan formula yang segar (Gambar 10). Hasil penelitian ini sesuai denga Tsai et al. (2011) yang melakukan penyimpanan pada nanopartikel kitosan-TPP dengan konsentrasi kitosan 1 mg/mL
selama 0, 1, 3, 6 dan 10 hari, ternyata setelah dilakukan
penyimanan ukuran partikel mengalami kenaikan berturut-turut 92,7±0,8, 93,6±1,1, 94,1±0,3, 94,3±0,2, dan 94,8±0,8 nm. Begitu juga dengan konsentrasi kitosan 2 mg/mL yang dengan waktu penyimpanan 0, 1, 3, 6 dan 10 hari ukuran partikelnya berturut-turut 112,7±0,3, 113,5±0,1, 114,7±0,4, 116,0±0,4, dan 116,4±0,2 nm. Semakin meningkatnya nilai turbiditas dari formula selama proses
Turbiditas (NTU)
penyimpanan disumsikan ukuran partikel dari formula tersebut semakin besar. 14,00 12,00 10,00 8,00 6,00 4,00 2,00 0,00
Formula p Formula A Formula B
0
2
4
6
8 10 12 14 Penyimpanan (hari)
16
18
20
Gambar 9 Tingkat kestabilan turbiditas formula P, A, dan B berdasarkan waktu penyimpanan.
30
(a)
(b)
Gambar 10 Perbandingan turbiditas formula (a) sebelum penyimpanan, dan (b) setelah disimpan 20 hari. Karakterisasi nanopartikel kitosan terisi ketoprofen Analisis SEM Nanopartikel kitosan terisi ketoprofen yang terbentuk dapat dibedakan secara visual setelah dianalisis menggunakan SEM. Analisis SEM ini berfungsi untuk mengidentifikasi morfologi permukaan, bentuk, serta ukuran nanopartikel kitosan yang ditampilkan melalui sebuah gambar. Berdasarkan pencirian formula B dengan menggunakan SEM pada perbesaran 2000× memperlihatkan bahwa nanopartikel kitosan terisi ketoprofen yang dihasilkan memiliki ukuran partikel yang seragam dan sebagian besar berbentuk sferis serta tidak mengalami aglomerasi (Gambar 11). Oleh karena itu untuk memperoleh ukuran partikel yang kecil dan seragam diperlukan formula yang memiliki nilai turbiditas kecil.
Gambar 11 Foto bentuk partikel formula B dengan menggunakan SEM perbesaran 2.000×. Analisis FTIR Karakterisasi gugus fungsi dilakukan dengan menggunakan analisis FTIR. Analisis ini
perlu dilakukan untuk mengetahui perubahan gugus fungsi dari
kitosan dan ketoprofen setelah diformulasi. Selain itu analisis FTIR juga digunakan untuk membandingkan apakah terjadi kerusakan pada formula yang
31
diindikasikan dari munculnya pita baru yang berasal dari terbentuk atau terputusnya ikatan yang tidak diinginkan akibat tingginya energi dan suhu yang dihasilkan dari proses ultrasonikasi. L aborato ry T e s t Res ul t ki tos (a)an 1
k e toprofe n (b)
%T s am (c)pel 2
s am(d) pe l 5
4 00 0.0
3 00 0
2 00 0
1 50 0
1 00 0
4 50 .0
cm-1
Gambar 12 Spektrum FTIR (a) kitosan, (b) ketoprofen, (c) formula Bo serta (d) formula B. Tabel 9 Puncak serapan pada spektrum FTIR kitosan, ketoprofen formula Bo dan formula B Getaran ν(O–H) ν(N–H)amina 10 β(O–H) ν(C–O–C) ν(N–H)garam amina10 β(N–H)amina 10
Silverstein (2005) 3550-3200 3500; 3400 1420-1330 1150-1085 3000-2800; 2800-2000 1600-1575; 1550-1504
ν(O–H) karboksilat ν(C–H) metil
3100-3000
Nada lipat aromatis
2000-1650
ν(C=O)karboksilat; ν(C=O)keton ν(C=C)cincin ν(P=O) ν(P–OH) ν: regangan, β: tekukan
3300-2500
1870-1540 1667-1440 1150 1040-910
Bilangan Gelombang (cm-1) Formula Kitosan Ketoprofen Bo 35883547,463320 3394,42 1375,65 1340,39 1076,90 1153,24 2867,84; 2345,45 2361,35 1648,08; 1646,73 1559,86 3054,873015,11 2877,94 2979,37 2936,20 1915,641869,951827,79 1847,72 1827,79; 1704,39; 1702,15 1638,01 1445,57 1411,72 1076,14 1030,50
Formula B 3547,033395,15 1340,17 1154,53 2345,62 1648,11; 1559,90 3008,92 2933,21 1869,981847,81 1704,42; 1638,01 1411,17 1075,63 1030,83
32
Sampel yang di analisis dengan menggunakan FTIR adalah kitosan, ketoprofen, formula B sebelum ultrasonikasi (formula Bo) dan formula B setelah ultrasonikasi dengan puncak serapan pada Tabel 9. Menurut Wahyono et al. (2010) spektrum FTIR kitosan memiliki puncak-puncak spesifik pada bilangan gelombang 3400 cm-1 (–OH), 1027 cm-1 (C–O–C), dan 1651 cm-1 (N–H tekukan pada amina primer). Wu et al. (2005) menyatakan puncak spesifik kitosan terdapat pada bilangan gelombang 3424 cm-1 (–OH), 1610 cm-1 (regangan N–H amina primer), dan 1092 cm-1 (C–O–C). Luo et al. (2010) menyatakan kitosan memiliki enam puncak spesifik, yaitu pada bilangan gelombang 3358,52, 1648,61, 1586,59, 1418,88, 1375,24, dan 1025,94 cm−1, yang berturut-turut merupakan regangan (O–H), regangan (C–O), tekukan (N–H) pada amida I dan regangan (C– N) pada amida II, tekukan (–CH2), perubahan bentuk simetri –CH3 dan regangan kerangka pada (C–O). Spektrum ketoprofen dari penelitian Wahyono et al. (2010) memiliki puncak-puncak spesifik pada bilangan gelombang 2978 cm-1 (–OH pada karboksilat), 1700 cm-1 (C=O), 1600 cm-1 (konjugasi C=O dengan 2 cincin aromatik), 1200 cm-1 (C–O), 2000 cm-1 (pita karakteristik benzena), 1600 cm-1 dan 1480 cm-1 (C=C aromatik). Spektrum FTIR kitosan, ketoprofen formula Bo dan formula B dibandingkan untuk mengetahui keberadaan gugus-gugus fungsi penting dan untuk memastikan tidak terjadi kerusakan formula setelah proses ultrasonikasi. Terjadi pergeseran bilangan gelombang 3588-3320 cm-1 dari regangan (O–H) menjadi 3547,46-3394,42 cm-1 pada formula Bo dan 3547,03-3395,15 cm-1 pada formula B dikarenakan pada formula Bo dan B memiliki gugus (O–H) karboksilat dari ketoprofen dan adanya ikatan hidrogen yang dapat menggeser puncak serapan ke arah bilangan gelombang lebih rendah. Puncak serapan regangan (O–H) pada formula Bo dan B lebih lebar dibandingkan kitosan akibat adanya gugus (O–H) dari poloxamer 188. Puncak serapan pada bilangan gelombang 1646,73 cm-1 yang merupakan tekukan (N–H) amina primer dari kitosan bergeser menjadi 1648,08 cm-1 (amida I) dan 155,86 cm-1 (amida II) pada formula Bo serta 1648,11 cm-1 (amida I) dan 1599,90 cm-1 (amida II) pada formula B, puncak-puncak ini diindikasikan akibat adanya interaksi elektrostatik antara gugus fosfat dari TPP dengan gugus amina dari kitosan (Luo et al. 2010). Puncak serapan dari regangan
33
(C–O–C) kitosan mengalami pergeseran dari 1076,90 cm-1 menjadi 1153,24 cm-1 (formula Bo) dan 1154,53 cm-1 (formula B) yang terjadi akibat adanya gugus (C– O–C) dari polxamer 188 yang terdapat pada formula Bo dan B. Hal tersebut mengakibatkan terjadinya pergeseran dan penajaman puncak serapan reganagan (C–O–C). Terdapat puncak serapan baru pada bilangan gelombang 1076,14 cm-1 (formula Bo) dan 1075,63 cm-1 (formula B) yang merupakan puncak serapan dari (regangan P=O) yang berasal dari TPP. Selain itu puncak lainnya terbentuk pada bilangan gelombang 1030,50 cm-1 (formula Bo) dan 1050,83 cm-1 (formula B) yang merupakan puncak dari regangan (P–OH) dari TPP. Secara keseluruhan spektrum FTIR formula Bo dan B (Gambar 12 c dan 12d) tidak memiliki perbedaan yang tajam, sehingga dapat dinyatakan bahwa proses ultrasonikasi tidak merubah struktur senyawa yang ada dalam formula. Proses ultrasonikasi berperan dalam memodifikasi secara fisik yaitu ukuran diameter partikel, dan tidak menyebabkan modifikasi kimia atau tidak mengakibatkan perubahan struktur senyawa yang terdapat dalam formula sehingga gugus fungsi yang memiliki peranan penting dapat dipertahankan. Analisis XRD Analisis XRD dapat digunakan untuk mengetahui struktur kristal dari suatu material, menganalisis komposisi fasa, ukuran dan bentuk kristal, kisi distorsi dan variasi komposisi (Sundar et al. 2010). Analisis dengan menggunakan XRD yang dilakukan pada penelitian ini bertujuan menganalisis kristalinitas kitosan, formula Bo dan formula B. Hal ini dapat membantu mengidentifikasi ada atau tidaknya kerusakan setruktur kitosan setelah proses ultrasonikasi yang menghasilkan energi serta suhu yang tinggi. Pola difraksi sinar-X pada Gambar 13 menunjukkan bahwa kitosan memiliki dua puncak karakteristik dengan intensitas tinggi yaitu pada sudut 2θ sekitar 10⁰ dan 22⁰. Menurut Beppu et al. (2007) puncak di daerah 2θ sekitar 10⁰ dan 22⁰ berhubungan dengan refleksi (200) dan (020), tetapi umumnya struktur kitosan memperlihatkan struktur semikristalin karena diduga terbentuk ikatan hidrogen (Costa et al. 2009). Puncak pada sudut 2θ = 10⁰ menunjukkan kitosan selalu mengikat air (sekitar 5%). Penggabungan molekul air dalam kisi kristal akan membentuk kristal terhidrat, dan umumnya struktur kitosan
34
didominasi struktur polimorf, sedangkan puncak pada sudut 2θ=22⁰ menunjukkan kisi kristal yang relatif teratur (Wan et al. 2006). Kitosan memiliki tiga pola difraksi sinar-X, yaitu puncak tajam pada sudut 2θ = 10,4⁰ dan 20–22⁰ dimiliki oleh kitosan terhidrat, puncak tajam pada sudut 2θ = 15⁰ dan 20⁰ dimiliki oleh kitosan anhydrous, dan puncak tajam hanya pada sudut 2θ = 20⁰ dimiliki oleh kitosan amorf (Kencana 2009).
–
–
–
Gambar 13 Difraktogram XRD ( ) kitosan, ( ) formula Bo, ( ) formula B. Berdasarkan Gambar 13 terlihat bahwa pada formula Bo dan formula B tidak terdapat puncak pada sudut 2θ = 10⁰ yang berasal dari kitosan, hal ini dapat diduga bahwa gugus amina pada kitosan tidak lagi berinteraksi dengan air, tetapi sudah berinteraksi elektrostatik dengan gugus fosfat dari TPP. Kristalinitas dari kitosan yang digunakan adalah 37,03%, setelah kitosan dicampur dengan senyawa lain dalam formula Bo nilai kristalinitas meningkat menjadi 39,91% dan setelah dilakukan proses ultrasonikasi selama 60 menit dengan amplitudo 40 nilai kristalinitas formula B menjadi 41,02%. Kenaikan kristalinitas ini dikarenakan struktur kitosan menjadi lebih teratur dan kaku setelah terjadi ikatan silang akibat adanya interaksi elektrostatik antara gugus amina pada kitosan dengan gugus fosfat pada TPP. Kenaikan nilai kristalinitas juga menunjukkan adanya senyawa lain (ketoprofen) yang terjerap dalam nanopartikel kitosan-TPP. Secara umum difraktogram pada formula Bo dan formula B tidak mengalami perubahan yang
35
tajam, oleh karena itu dapat dinyatakan bahwa energi dan suhu tinggi yang dihasilkan dari proses ultrasonikasi tidak merusak struktur senyawa yang ada di dalam formula. Efisiensi penjerapan ketoprofen pada nanopartikel kitosan Efisiensi penjerapan (EP) dapat menggambarkan seberapa banyak ketoprofen yang terjerap dalam nanopartikel kitosan. Metode yang digunakan untuk menentukan nilai EP adalah metode ekstraksi, yaitu sebanyak ± 25 mg nanopartikel kitosan terisi ketoprofen dicampur dengan 50 mL larutan bufer fosfat pH 7,2 kemudian dikocok selama 24 jam dan disaring. Filtrat yang diperoleh kemudian diukur nilai absorbansnya pada panjang gelombang 259,8 nm. Nilai pH 7,2 digunakan karena nilai pH ini mendekati nilai pH usus manusia. Nilai absorbans yang diperoleh kemudian diplotkan pada kurva standar (Lampiran 8) untuk mengetahui nilai konsentrasi ketoprofen. Berdasarkan Tabel 10 dapat diindikasikan bahwa, semakin kecil ukuran partikel, persentase efisiensi penjerapan ketoprofennya semakin besar. Hal tersebut dikarenakan partikel yang memiliki ukuran partikel lebih kecil memiliki luas permukaan yang lebih besar sehingga obat
yang terjerap lebih bayak
dibandingkan dengan partikel yang berukuran lebih besar (Sundar et al. 2010). Dalam bidang farmasi nilai efisiensi penjerapan merupakan hal yang penting karena dari nilai efisiensi penjerapan akan terlihat kemampuan nanopartikel kitosan membawa ketoprofen kedalam tubuh (Wahyono et al. 2010). Dari ketiga formula yang disintesis, formula B yang memiliki nilai efisiensi penjerapan tertinggi yaitu 86,99%. Formula B dan formula A memiliki konsentrasi kitosan, TPP, dan ketoprofen yang sama tetapi konsentrasi poloxamer 188 yang berbeda. Formula B memiki konsentrasi poloxamer 188 lebih tinggi daripada formula A (Tabel 2). Dengan konsentrasi kitosan yang sama, semakin tinggi konsentrasi poloxamer 188 mengakibatkan semakin tinggi nilai efisiensi penjerapan ketoprofen dalam nanopartikel kitosan (Tabel 10). Formula P yang memiliki konsentrasi kitosan yang lebih tinggi dibandingkan formula A dan B memiliki efisiensi penjerapan yang paling rendah yaitu 72,74%. Oleh karena itu dapat dinyataan bahwa semakin kecil nilai turbiditas suatu formula memiliki ratarata diameter partikel semakin kecil dan efisiensi penjerapan semakin besar.
36
Tabel 10 Hubungan ukuran partikel dengan efisiensi penjerapan Formula P A B
Konsentrasi* P-188 C (%b/v) (mg/mL) 3,00 1,50 2,50 0,10 2,50 0,80
Tb (NTU) 6,68 5,90 5,42
Rata-rata diameter (nm) 355,3 ± 101,1 104,2 ± 30,4 78,2 ± 22,1
∑ Nano (%) 99,79 100 100
EP (%) 72,74 74,13 86,99
*C (kitosan), P-188 (poloxamer 188), konsentrasi T (TPP): 0,84 mg/mL, K (ketoprofen): 0,2 mg/mL.