IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Bahan Baku Penelitian pengembangan zat antimikroba dan zat antioksidan dari fraksi aktif ekstrak jarak pagar ini memanfaatkan bahan baku berupa produk hasil samping dari budidaya jarak pagar yaitu batang dan daun hasil pemangkasan tanaman jarak, dan dari proses pengepresan biji jarak pagar berupa bungkil (Gambar 7).
Gambar 7 Daun, bungkil biji dan batang tanaman jarak pagar
Pemangkasan tanaman jarak pagar merupakan bagian dari teknik budidaya jarak pagar yang dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan jumlah cabang produktif. Hambali et al. (2006) menyatakan bahwa pemangkasan tanaman jarak pagar dilakukan pertama kali dengan memangkas cabang/batang yang berkayu dengan memotong pucuk tanaman setinggi 20-30 cm dari permukaan tanah dan selanjutnya dilakukan secara rutin setiap tahun satu kali. Dari proses pemangkasan ini akan dihasilkan pangkasan daun dan batang yang cukup banyak, mencapai 70% dari biomassa yang dipangkas. Dari pengamatan yang dilakukan oleh Mercy (2011), pengumpulan biomassa hasil pemangkasan tanaman jarak pagar pada tahun pertama menghasilkan sekitar 300 g biomassa kering/pohon. Bungkil jarak merupakan sisa pengepresan biji jarak pagar hingga menjadi minyak. Jumlah bungkil jarak yang dihasilkan juga cukup banyak, yaitu 65-70% dari jumlah biji jarak yang diproses. Satu ton biji jarak pagar akan menghasilkan ± 650-700 kg bungkil biji jarak.
40
Sebelum digunakan dalam penelitian, sampel serbuk kering dari daun, bungkil dan kulit batang jarak pagar dikarakterisasi yang meliputi analisa kadar air, kadar lemak dan kadar abu, dengan hasil analisis disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Analisis proksimat bahan baku penelitian Parameter uji
Satuan
Sampel Daun
Kulit batang 9,35
Kadar air
% bb
9,58
Bungkil 9,28
Kadar abu
% bb
13,74
4,41
10,84
Kadar minyak
% bk
12,47
22,64
4,96
Kandungan air selain berpengaruh terhadap daya simpan bahan, juga dapat mempengaruhi proses ekstraksi yang dilakukan. Semakin rendah nilai kadar air bahan maka semakin memudahkan pelarut untuk mengekstrak komponen senyawa aktif yang diinginkan. Kadar air 10% telah digunakan sebagai batasan maksimal kadar air agar bahan pertanian tidak mudah rusak selama penyimpanan. Adapun Setyowati (2009) meyatakan bahwa dalam proses ekstraksi, maksimum kadar air yang disyaratkan agar proses ekstraksi dapat berjalan lancar yaitu sebesar 11%. Hasil pengujian kadar air menunjukkan bahwa ketiga sampel memiliki kadar air dibawah kadar air maksimum yang disyaratkan, yaitu untuk daun sebesar 9,58%; bungkil 9,28% dan kulit batang 9,35%. Hasil pengujian kadar abu mendapatkan nilai kadar abu yang cukup tinggi yaitu 13,74 %bb untuk daun, 4,41 %bb untuk bungkil dan 10,84 %bb untuk kulit batang. Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Kadar abu bahan tanaman jarak pagar yang berasal dari kebun jarak pagar PT. Indocement Tunggal Prakarsa, Tbk memang cukup tinggi, sebagaimana hasil penelitian Nurmillah (2009) yang mendapatkan nilai kadar abu untuk sampel serbuk daun dan batang adalah 10,58 (%b/b) dengan menggunakan sampel tanaman jarak pagar dari perkebunan yang sama. Perkebunan jarak yang ada tersebut memiliki kondisi lahan yang berkapur sehingga memiliki
kandungan mineral yang cukup tinggi seperti Fe, Mg, Ca, Zn, K, Si, Al, dan lain sebagainya, sehingga mempengaruhi kandungan mineral pada tanaman tersebut. Nurmillah (2009) melaporkan beberapa bahan mineral yang terdapat pada sampel
41
batang dan daun jarak pagar yaitu Fe (111,26 mg/kg b.b), Zn (71,37 mg/kg b.b), Ca (2,75%), K (2,63%) dan Mg (0,44%). Pengukuran
kadar
lemak
dengan
cara
ekstraksi
pelarut
selain
menunjukkan banyaknya kandungan trigliserida dalam bahan juga menunjukkan kandungan bahan-bahan lain seperti steroid, vitamin, zat warna/pigmen yang ikut terekstrak dalam pelarut non polar heksan. Hasil penelitian menunjukkan nilai kadar lemak untuk daun adalah 12,47 %bk, bungkil 22,64 %bk dan kulit batang 4,96 %bk. Bungkil jarak pagar menunjukkan kadar lemak paling tinggi, yang disebabkan karena biji jarak mengandung kadar minyak yang tinggi mencapai 3050%. Proses pengepresan biji jarak menggunakan mesin press tipe ulir (screw press) untuk memisahkan minyak umumnya mendapatkan rendemen proses 1525%, tergantung pada kinerja mesin. Dengan demikian masih cukup banyak minyak yang tertinggal dalam bungkil. Adapun pada daun jarak pagar, kandungan pigmen dan lilin menyebabkan cukup tingginya kadar lemak daun.
4.2 Proses Ekstraksi Senyawa Aktif dan Fraksinasi Senyawa aktif pada bahan alam dikenal umum dengan istilah senyawa fitokimia yang meliputi beberapa golongan senyawa yaitu fenol, flavonoid, tanin, alkaloid, steroid, dan triterpenoid. Proses ekstraksi senyawa aktif dari sampel kering tanaman jarak pagar dilakukan secara maserasi, yaitu dengan cara perendaman di dalam pelarut metanol pada suhu ruang. Maserasi merupakan teknik ekstraksi konvensional dimana bahan direndam dalam pelarut dengan waktu yang cukup lama. Maserasi banyak digunakan dalam teknik ekstraksi senyawa dari bahan alam karena metode dan peralatan sederhana, murah karena tidak memerlukan energi, dapat memberikan hasil ekstraksi yang bagus dan cukup selektif, serta banyak diaplikasikan untuk senyawa-senyawa yang tidak tahan panas. Hasil perhitungan rendemen ekstrak jarak pagar (Tabel 7) menunjukkan rendemen paling tinggi dimiliki oleh ekstrak metanol dari bagian kulit batang diikuti ekstrak bungkil dan ekstrak daun jarak pagar. Kandungan senyawa metabolit sekunder dalam kulit batang relatif lebih tinggi dibanding bagian tanaman lainnya. Beragam senyawa fitokima yang terdiri dari saponin, steroid,
42
tanin, glikosida, alkaloid, dan flavonoid teridentifikasi pada kulit batang (Igbinosa et al. 2009). Daun jarak pagar teridentifikasi mengandung senyawa tanin, alkaloid, steroid dan saponin (Akinpelu et al. 2009), sedangkan dalam bungkil biji jarak pagar teridentifikasi senyawa fitat, saponin dan tripsin inhibitor (Makkar dan Becker 2009). Dengan proses ekstraksi menggunakan pelarut metanol, maka senyawa-senyawa tersebut relatif dapat terekstrak semua karena metanol merupakan pelarut universal yang mampu melarutkan semua jenis senyawa baik polar, semi polar maupun non polar.
Tabel 7 Rendemen proses ekstraksi Sampel Daun jarak pagar Bungkil biji jarak pagar Kulit batang jarak pagar
Rendemen ekstrak kering (%) 5,08 6,55 7,77
Kandungan senyawa metabolit primer dalam bahan seperti kandungan lemak, protein, karbohidrat, klorofil, pektin juga mempengaruhi rendemen proses ekstraksi. Dalam bagian tanaman, semakin tinggi kandungan senyawa metabolit primer, maka kandungan senyawa metabolit sekunder akan semakin rendah. Untuk sampel jarak pagar, dibandingkan kulit batang, kandungan senyawa metabolit primer relatif lebih tinggi pada daun dan bungkil jarak pagar. Daun jarak pagar dari penelitian ini mengandung lemak sebesar 12,47% bk dan bungkil jarak pagar mengandung lemak sebesar 22,64%-bk. Adapun Nurmillah (2009) melaporkan kadar pati dan protein kasar sampel daun dan batang masing-masing sebesar 20,04 ±1,14%-bb dan 25,37%-bb. Dengan proses ekstraksi menggunakan metanol, beberapa senyawa metabolit primer seperti lemak, klorofil tidak dapat terlarut sempurna dalam metanol karena perbedaan kepolaran. Hal inilah yang menyebabkan rendemen ekstraksi untuk bagian daun dan bungkil lebih kecil dari bagian kulit batang. Rendemen ekstraksi kulit batang adalah 7,77% berbeda nyata dengan rendemen ekstrak daun dan bungkil jarak. Van Beek (1999) menyatakan bahwa senyawa-senyawa yang dapat teresktraksi meliputi sejumlah metabolit primer, klorofil, senyawa pektin, pati, protein/glikoprotein dan garam serta senyawa metabolit sekunder. Persentase
43
berat senyawa metabolit sekunder sangat dipengaruhi oleh jenis tanaman dan bagian tanaman, (buah, biji, batang, kulit batang, kayu, bunga, daun) tetapi pada umumnya kurang dari 10%. Ekstrak daun menghasilkan rendemen ekstraksi sebesar 5.08%, sedangkan ekstrak bungkil menghasilkan rendemen sebesar 6,55%. Besarnya rendemen proses juga dipengaruhi oleh teknik ekstraksi yang dilakukan. Penelitian Sriprang et al. (2007) mendapatkan perbedaan rendemen ekstrak bungkil jarak mencapai 51.24%, yaitu 2.67% untuk Cold extraction dan 35.03% untuk Hot extraction dengan waktu ekstraksi selama 72 jam. Penggunaan Hot extraction dapat melarutkan lebih banyak senyawa karena adanya bantuan panas yang dapat meningkatkan penetrasi pelarut ke dalam jaringan tanaman. Meskipun demikian waktu proses juga berpengaruh. Nurmillah (2009) mendapatkan ekstrak kasar ranting dan daun jarak sebesar 8.85% dengan tehnik sokletisasi selama 5-6 jam. Ekstrak kasar yang dihasilkan selanjutnya difraksinasi menggunakan teknik partisi pelarut yaitu pelarut heksan dan etil asetat. Tujuan dari proses ini adalah untuk memisahkan senyawa-senyawa berdasarkan tingkat kepolarannya. Hasil persentase proses pemisahan dengan partisi pelarut disajikan pada Tabel 8.
Tabel 8 Persentase fraksi-fraksi pelarut dari ekstrak Sampel Daun Bungkil Kulit batang
Heksan 14,90 40,68 5,01
Fraksi (% b/b) Etil asetat Metanol 8,11 72,56 8,28 36,89 1,54 89,98
Loss dan lain-lain 4,43 14,15 3,47
Dari proses partisi pelarut yang dilakukan, untuk ekstrak daun jarak, fraksi terbanyak yang diperoleh adalah fraksi metanol diikuti oleh fraksi heksan dan fraksi etil asetat. Begitu juga untuk ekstrak kulit batang, sedangkan untuk ekstrak bungkil jarak, fraksi terbanyak dimiliki oleh fraksi heksan diikuti oleh fraksi metanol dan fraksi etil asetat. Dari 100% ekstrak daun jarak kasar, 14,90% adalah fraksi non polar (heksan), 8,11% fraksi semi polar (etil asetat), 72,56% fraksi polar (metanol) dan 4,43% adalah loss proses dan padatan yang tersaring. Jika persentase fraksi ini dikonversi ke dalam nilai rendemen (Tabel 9), maka
44
untuk bagian tanaman daun jarak akan mendapatkan nilai rendemen sebesar 5,08% (ekstrak kasar); 3,68% (fraksi metanol); 0,76% (fraksi heksan) dan 0,41% (fraksi etil asetat)
Tabel 9 Rendemen ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar Jenis Ekstrak Ekstrak kasar Fraksi metanol Fraksi heksan Fraksi etil asetat
Rendemen ekstrak (% b/b serbuk kering) Daun Bungkil Kulit batang 5,08± 0.00 6,55± 0.00 7,77± 0.00 3,68± 0.06 2,41± 0.37 6,99± 0.35 0,76± 0.06 2,66± 1,41 0,39± 0.02 0,41± 0.01 0,54± 0.00 0,12± 0.06
Pelarut etil asetat merupakan pelarut semipolar yang dapat melarutkan alkaloid dan aglikon (Rahayu 1999), sedangkan pelarut nonpolar seperti heksan akan melarutkan senyawa seperti lilin, lemak, dan terpenoid yang bersifat nonpolar (Houghton dan Raman, 1998). Metanol merupakan pelarut universal yang bisa melarutkan lebih banyak senyawa dibandingkan jenis pelarut lainnya. Penelitian Aiyelaagbe et al. (2007) mendapatkan adanya senyawa steroid, alkaloid, saponin, tanin dan glikosida pada ekstrak metanol akar jarak pagar. Pelarut heksan hanya menghasilkan senyawa steroid, alkaloid dan tanin sedangkan etil asetat hanya menghasilkan senyawa alkaloid dan tanin. Fraksi heksan bungkil jarak berbentuk cairan kuning kecoklatan dengan komponen utama senyawa lemak/minyak karena bahan baku bungkil jarak mengandung minyak yang cukup tinggi (22,64%bk). Fraksi heksan dari ekstrak daun dan kulit batang berbentuk semipadat (pasta) berwarna hijau gelap yang sebagian besar merupakan komponen pigmen tanaman yang memang bersifat larut dalam pelarut non polar. Kadar lemak daun jarak pagar adalah 12,47% bk. Fraksi etil asetat yang merupakan fraksi terkecil dari kulit batang berbentuk padatan/bubuk dengan warna hijau pucat. Senyawa-senyawa yang dapat terlarut dalam etil asetat meliputi sterol dan terpenoid, saponin, tannin dan flavanoid. Fraksi metanol merupakan komponen terbesar dalam ekstrak daun dan kulit batang, sedangkan pada ekstrak bungkil jarak pagar merupakan komponen terbesar kedua. Fraksi metanol berbentuk pasta berwarna coklat hingga coklat gelap. Warna gelap berasal dari reaksi Maillard/pencoklatan yang terjadi selama
45
proses penguapan sisa pelarut yang dilakukan pada suhu 50oC dan pengeringan beku yang dilakukan selama 24 jam. Reaksi pencoklatan ini terjadi karena dalam fraksi metanol-air tersebut terlarut senyawa-senyawa prekursor reaksi Maillard yaitu asam amino, protein serta senyawa gula yang memang bersifat larut dalam pelarut polar. Semakin tinggi kandungan senyawa protein dan gula dalam fraksi metanol-air, reaksi pencoklatan yang terjadi semakin besar. Hal ini terlihat dari lebih gelapnya warna coklat pada fraksi metanol bungkil jarak dibanding fraksi metanol daun dan kulit batang (Gambar 8).
a
b
c
Gambar 8 Fraksi metanol daun (a), bungkil (b) dan kulit batang (c)
4.3 Analisa Ekstrak dan Fraksi Ekstrak a. Aktivitas Antimikroba Uji aktivitas antimikroba merupakan uji yang dilakukan untuk melihat apakah suatu zat atau senyawa tertentu memiliki aktivitas menghambat atau membunuh mikroba. Uji ini menggunakan bakteri S.aureus yang merupakan bakteri patogen kelompok Gram positif dan E.coli yang merupakan kelompok Gram negatif. Staphylococcus merupakan bakteri Gram positif yang dapat tumbuh secara aerobik atau anaerobik. S.aureus umum terdapat pada permukaan kulit, rambut, hidung, mulut, dan tenggorokan manusia. Bakteri tersebut dapat menghasilkan toksin yang dapat menyebabkan beberapa penyakit seperti bisul, penyakit kulit, serta keracunan makanan (Brannan, 2006). Keberadaan S.aureus dalam produk kosmetik merupakan indikasi adanya kontaminasi dari manusia. Karena sifatnya yang patogen, maka S.aureus disyaratkan bernilai
46
negatif untuk tingkatan cemaran mikroba pada produk kosmetik, disamping kapang Candida albicans dan Pseudomonas aeruginosa (BPOM 1994) Adapun E. coli merupakan flora normal dari saluran usus. Pada pengujian ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar terhadap S.aureus diperoleh bahwa untuk semua jenis ekstrak (daun, bungkil, kulit batang), fraksi etil asetat menunjukkan aktivitas antimikroba tertinggi dibanding fraksi pelarut yang lain yang ditunjukkan oleh diameter penghambatan yang terbentuk (Gambar 9). Diameter penghambatan adalah selisih antara diameter areal bening yang terbentuk dengan diameter sumur. Areal bening di sekitar koloni bakteri menunjukkan adanya penghambatan pertumbuhan bakteri uji, semakin besar diameter areal bening menunjukkan semakin tinggi aktivitas antimikroba dari sampel tersebut.
Gambar 9 Diameter zona penghambatan ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar terhadap bakteri S. aureus
Hasil sidik ragam terhadap aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa jenis bagian tanaman (daun, bungkil, kulit batang) tidak berpengaruh nyata, sedangkan jenis ekstrak (ekstrak kasar, fraksi metanol, fraksi heksan, fraksi etil
asetat)
berpengaruh
sangat
nyata
( =0.01)
terhadap
diameter
penghambatan S.aureus pada konsentrasi uji 2,5%. Adapun interaksi antara
47
jenis bagian tanaman dan jenis ekstrak memberikan pengaruh yang sangat nyata ( =0.01) (Lampiran 7). Fraksi etil asetat memiliki aktivitas paling tinggi dan berbeda sangat nyata dengan jenis ekstrak lainnya. Masing-masing fraksi dari ekstrak daun jarak memiliki aktivitas antimikroba yang berbeda nyata ( =0.05), dengan aktivitas tertinggi dimiliki oleh fraksi etil asetat. Untuk ekstrak bungkil jarak, aktivitas ekstrak kasar tidak berbeda nyata dengan fraksi metanol, akan tetapi berbeda nyata dengan fraksi etil asetat. Adapun fraksi heksan tidak menunjukkan aktivitas penghambatan. Diantara ekstrak kasar, ekstrak daun memiliki aktivitas penghambatan paling tinggi, berbeda nyata dengan ekstrak kulit batang tetapi tidak berbeda dengan ekstrak bungkil jarak pagar. Untuk masing-masing fraksi, aktivitas penghambatan dari semua jenis ekstrak bagian tanaman tidak berbeda nyata. Fraksi etil asetat memiliki aktivitas antibakteri yang paling tinggi disebabkan karena pelarut semi polar ini mampu melarutkan beberapa senyawa yang memiliki aktivitas antimikroba seperti sterol dan terpenoid, saponin, tanin, flavanoid serta senyawa fenol (Oyi et al. 2007). Fraksi heksan memiliki aktivitas penghambatan paling rendah dibandingkan fraksi ekstrak lainnya yang disebabkan karena pelarut tersebut hanya melarutkan sedikit senyawa metabolit sekunder dengan aktivitas antimikroba. Senyawa lipid dan pigmen tanaman seperti klorofil yang relatif tidak memiliki aktivitas antimikroba akan terlarut sempurna dalam pelarut heksan. Hal inilah yang menyebabkan tidak adanya aktivitas penghambatan mikroba pada fraksi heksan bungkil jarak karena fraksi ini didominasi oleh komponen lemak yaitu trigliserida. Pada ekstrak daun dan kulit batang, senyawa dengan aktivitas antimikroba seperti sterol, steroid, dan triterpenoid relatif bisa ditemukan dibandingkan pada ekstrak bungkil jarak. Hasil penapisan fitokimia ekstrak metanol daun jarak pagar oleh Akinpelu et al. (2009) menunjukkan keberadaan senyawa tanin, alkaloid, steroid dan saponin. Igbinosa et al. (2009) membuktikan adanya senyawa saponin, steroid, tanin, glikosid, alkaloid dan flavanoid pada ekstrak kulit batang dengan penapisan fitokimia. Senyawa fitokimia tersebut berkontribusi
48
terhadap aktivitas biokimia yang dimiliki termasuk aktivitas antimikroba. Dari tanaman famili Euphorbiaceae, senyawa tanin dilaporkan memiliki sifat anti septik, antiviral, anti fungi dan antimutagenik. Senyawa alkaloid memiliki sifat antimikrobial dan antitumor, saponin memiliki sifat sitoksik dan anti ulcer sedangkan steroid yang merupakan golongan triterpenoid memiliki sifat antibiotik dan anti fungi (Mwine dan Damme 2011). Uji penghambatan terhadap bakteri E.coli menunjukkan semua ekstrak dan fraksi ekstrak tidak menunjukkan aktivitas penghambatan yang terlihat dari tidak terbentuknya zona bening. E.coli merupakan jenis bakteri gram negatif yang relatif lebih tahan terhadap senyawa antimikroba karena didukung oleh struktur ganda dinding selnya yang terdiri dari membran dalam dan membran luar. Dinyatakan oleh Brannan (2006) bahwa membran luar bakteri gram negatif terbuat dari lapisan lipid lapis ganda sebagaimana membran pada umumnya. Adanya lipopolisakarida (LPS) yang memanjang dari lapisan luar membran luar ke arah lingkungan memberikan keunikan pada membran luar tersebut. LPS ini berperan dalam mendatangkan respon kebanyakan antibodi selama masa infeksi dan dapat berubah secara cepat untuk menghindari serangan antibodi terhadap sel mikroba. Fungsi lain LPS adalah membantu menstabilkan membran luar dan merupakan komponen yang berperan sebagai endotoksin. Membran luar bakteri gram negatif lebih berperan dalam memberikan perlindungan dan memperlambat masuknya senyawa toksik ke dalam sel. Adapun bakteri Gram positif selnya sebagian besar (90%) terdiri dari lapisan peptidoglikan dan lapisan tipis asam teikoat (Fardiaz, 1989). Asam teikoat menyebabkan permukaan sel bakteri Gram positif bersifat polar dan mempunyai muatan negatif. Sifat ini akan mempengaruhi laju penetrasi molekul-molekul ke dalam sel yang akhirnya dapat menyebabkan kebocoran sel. Terlihatnya aktivitas penghambatan mikroba oleh suatu senyawa sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan dan konsentrasi mikroba uji. Diperlukan konsentrasi mikroba yang cukup rendah sehingga diameter hambat yang terbentuk dapat terlihat. Konsentrasi bahan/senyawa uji yang digunakan
49
adalah 2,5% atau 25 mg/ml. Semakin tinggi konsentrasi ekstrak maka aktivitas penghambatan mikroba yang diperlihatkan akan semakin besar. Konsentrasi terendah senyawa yang dapat menunjukkan aktivitas penghambatan
mikroba
dikenal
dengan
MIC
(Minimum
Inhibitory
Concentration). MIC akan berbeda-beda untuk jenis ekstrak dan jenis mikroba. Akinpelu et al. (2009) mendapatkan MIC yang cukup rendah dari ekstrak metanol daun jarak pagar terhadap S.aureus dan E.coli yaitu 5 mg/ml. Adapun Ogueke et al. (2007) mendapatkan MIC ekstrak etanol daun Euphorbia hirta untuk S.aureus dan E.coli, P.aeruginosa dan B.subtilis masing-masing adalah 22,55 mg/ml; 58,09 mg/ml; 57,64 mg/ml dan 74,61 mg/ml. Dari penelitian Ogueke tersebut terlihat bahwa MIC E.coli memiliki nilai lebih dari dua kali lebih besar dibandingkan MIC S.aureus, yang berarti konsentrasi ekstrak perlu ditingkatkan hingga dua kali lipat agar diperoleh aktivitas penghambatan yang sama antara E.coli dengan S.aureus.
b. Uji Aktivitas Antioksidan Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya dari radikal bebas yang merupakan molekul yang memiliki satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan pada orbital kulit terluarnya. Aktivitas antioksidan adalah kemampuan suatu bahan untuk menangkal/memperlambat reaksi oksidasi bahan, baik dengan mekanisme pemutusan maupun mekanisme pencegahan. Pemutusan reaksi oksidasi merupakan fungsi antioksidan primer yaitu dengan proses pendonoran atom hidrogen pada radikal, sedangkan pencegahan merupakan fungsi antioksidan sekunder yang dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme seperti pengikatan ion logam, menangkap oksigen, memecah hidroperoksida menjadi non radikal, menyerap radiasi ultraviolet maupun mendeaktifkan oksigen singlet. Pengukuran aktivitas antioksidan dilakukan menggunakan metode peredaman radikal bebas yaitu 1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl (DPPH) dalam pelarut metanol pada suhu ruang. Dalam pengujian antioksidan dengan DPPH ini, aktivitas penangkapan radikal DPPH oleh suatu antioksidan dimonitor dengan penurunan absorbansi. Ketika larutan DPPH bercampur dengan
50
senyawa yang dapat mendonorkan atom hidrogen, maka DPPH akan tereduksi dan akan kehilangan warna ungunya. Semakin banyak senyawa antioksidan dalam sampel, kehilangan warna unggu akan semakin besar. Aktivitas peredaman DPPH ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar disajikan pada Gambar 10.
Gambar 10 Aktivitas antioksidan ekstrak dan fraksi ekstrak daun, bungkil dan kulit batang jarak pagar
Hasil sidik ragam terhadap aktivitas antioksidan menunjukkan bahwa jenis bagian tanaman (daun, bungkil, kulit batang) berpengaruh nyata, sedangkan jenis ekstrak (ekstrak kasar, fraksi metanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat) berpengaruh sangat nyata ( =0.01) (Lampiran 8). Fraksi etil asetat memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi, berbeda sangat nyata dengan fraksi heksan dan fraksi metanol, akan tetapi tidak berbeda dengan ekstrak kasar. Adapun interaksi antara jenis tanaman dan jenis ekstrak memberikan pengaruh yang sangat nyata ( =0.01). Proses pemisahan dengan partisi pelarut akan mengelompokkan senyawa non polar dalam fraksi heksan, senyawa semi polar dalam fraksi etil asetat dan senyawa-senyawa polar dalam fraksi metanol. Pada semua fraksi tersebut ditemukan adanya akivitas antioksidan dengan nilai tertinggi dimiliki oleh fraksi etil asetat, diikuti ekstrak kasar, fraksi metanol dan fraksi heksan.
51
Aktivitas antioksidan dalam ekstrak yang tinggi dipengaruhi oleh kandungan senyawa fenolik dalam sampel yang umumnya merupakan senyawa antioksidan alami pada tumbuhan yang dapat berupa golongan flavanoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol dan asam-asam organik polifungsi (Pratt dan Hudson 1990). Senyawa antioksidan alami polifenolik adalah bersifat multifungsional dan dapat bereaksi sebagai a) pereduksi, b) penangkap radikal bebas, c) pengkelat logam dan d) peredam terbentuknya singlet oksigen (Javanmardi et al. 2003). Senyawa-senyawa yang merupakan antioksidan alami meliputi tokoferol, karoten, flavanoid, diterpen, serta senyawa produk reaksi Maillard dll. Senyawa-senyawa dengan aktivitas antioksidan tersebut memiliki tingkat kepolaran yang berbeda-beda dan akan terpartisi dalam kelompok pelarut yang berbeda-beda. Fraksi etil asetat dengan aktivitas antioksidan tertinggi menunjukkan bahwa senyawa-senyawa dengan aktivitas antioksidan bersifat semipolar dan terlarut dalam pelarut etil asetat. Aktivitas antioksidan ekstrak kasar daun jarak pagar tidak berbeda nyata ( =0.05) dengan fraksi metanol, akan tetapi berbeda nyata dengan fraksi heksan dan fraksi etil asetat. Aktivitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh fraksi metanol daun jarak pagar dengan peredaman DPPH sebesar 88,21%. Untuk ekstrak bungkil jarak pagar, aktivitas antioksidan ekstrak kasar tidak berbeda nyata dengan fraksi metanol dan fraksi etil asetat, akan tetapi berbeda nyata dengan fraksi heksan. Aktivitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh ekstrak kasar bungkil jarak pagar dengan peredaman DPPH sebesar 94,98%. Untuk ekstrak kulit batang, aktivitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh fraksi etil asetat dengan peredaman DPPH sebesar 80,97%, nilai peredaman ini tidak berbeda nyata dengan fraksi heksan akan tetapi berbeda nyata dengan ekstrak kasar dan fraksi metanol. Bungkil biji jarak pagar secara umum memiliki aktivitas antioksidan paling tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena kandungan karoten, asam lemak, senyawa diterpen serta flavanoid yang merupakan antioksidan alami. Selain itu juga bisa disebabkan oleh kandungan protein dan karbohidrat/gula dalam bungkil jarak. Kandungan gula dapat menstabilkan senyawa polifenol
52
yang ada sebagaimana penelitian Peinado et al. (2010) yang menemukan adanya sinergi antara senyawa fenolik dengan senyawa gula terhadap aktivitas antioksidan dalam sweet wine. Senyawa gula terlibat dalam menstabilkan senyawa polifenol; sehingga autooksidasi katekin oleh ion Fe dapat dihambat oleh campuran glukosa dan fruktosa. Kandungan protein dan gula berkontribusi terhadap reaksi Maillard, dan beberapa produk reaksi Maillard merupakan antioksidan alami. Reaksi Maillard pada ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar kemungkinan terjadi pada saat penguapan pelarut dengan rotary evaporator yang dilakukan pada suhu 50oC dengan kondisi vakum. Proses pengeringan beku untuk menghilangkan kandungan air dalam ekstrak yang dilakukan selama 24 jam juga berkontribusi terhadap reaksi Maillard yang terjadi pada ekstrak, sebagaimana dinyatakan oleh Kroh (1994) yang diacu dalam Capuano et al. (2010) bahwa reaksi Maillard akan mudah terjadi pada sistem dengan kandungan air sedang, suhu lebih tinggi dari 50oC dan pH sedikit asam, dan waktu proses yang lama. Adapun penelitian Budryn et al. (2009) mendapatkan bahwa pigmen coklat yang merupakan produk reaksi Maillard dapat juga terbentuk selama ekstraksi dan liofilisasi ekstrak, dimana diperlihatkan koefisien warna merah dan kuning yang meningkat dengan kedua proses tersebut. Produk reaksi Maillard telah terbukti memiliki aktivitas antioksidan. Produk reaksi Maillard tersebut selain dapat berperan menangkap radikal bebas (Nakamura et al. (1992), juga dapat berperan dalam menekan pembentukan radikal OH melalui pengkelatan logam Fe2+ (reaksi Fenton) (Yoshimura et al. 1997). Produk reaksi Maillard inilah yang diduga menyebabkan tingginya aktivitas antioksidan fraksi metanol daun jarak, yang terlihat dari penampakan fisik berupa pasta dengan warna coklat gelap disertai dengan bau khas reaksi pencoklatan. Adapun fraksi metanol bungkil jarak pagar yang memiliki penampakan yang lebih gelap tidak menunjukkan aktivitas antioksidan yang lebih tinggi. Hal ini dapat disebabkan karena proses penguapan pelarut serta pengeringan beku dalam waktu yang lama dapat mendegradasi beberapa senyawa/unsur antioksidan dalam fraksi metanol
53
tersebut, disamping pengaruh distribusi/kelarutan senyawa dengan aktivitas antioksidan yang spesifik dalam ekstrak bungkil jarak pagar tersebut. Nicoli et al. (1999) menyatakan bahwa reaksi Maillard lebih mudah terjadi pada kondisi aktivitas air yang rendah yang terjadi selama penyangraian. Pengaruh akhir penyangraian terhadap nilai kapasitas antioksidan total merupakan hasil kesetimbangan antara degradasi termal senyawa alami antioksidan dan pembentukan produk reaksi Maillard baru yang memiliki kapasitas antioksidan. Selain kondisi penyangraian, jumlah reaktan reaksi Maillard yaitu karbohidrat dan protein akan menentukan kapasitas antioksidan total akhir dari biji dan kacang-kacangan yang disangrai.
c. Uji Total Fenol Total fenol mengacu kepada senyawa-senyawa fenol, yaitu senyawa metabolit sekunder yang merupakan turunan dari lintasan pentosa fosfat, shikimat dan lintasan phenylpropanoid pada tanaman. Kebanyakan senyawasenyawa fenol tersebut secara alami berkonjugasi dengan mono dan polisakarida, atau berikatan dengan satu atau lebih grup senyawa fenol dan juga bisa terjadi sebagai turunan fungsional seperti ester ataupun metil ester. Hasil uji total fenol ekstrak dan fraksi ekstrak disajikan pada Gambar 11. Secara keseluruhan, untuk masing-masing sampel tanaman jarak pagar, fraksi etil asetat memiliki kandungan total fenol paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa senyawa fenolik dalam bahan alami umumnya bersifat semipolar dan mudah larut dalam pelarut semipolar seperti etil asetat. Penelitian Bonnilla et al. (1999) juga menunjukkan hasil yang sama, yaitu ekstraksi senyawa fenolik dari hasil distilasi residu fermentasi anggur merah dengan etil asetat menghasilkan kadar fenolik yang lebih tinggi dibandingkan dengan hasil ekstraksi dengan air. Pelarut etil asetat juga terbukti efektif untuk mengekstraksi senyawa fenol dari ampas minyak zaitun (Meessen et al. 2001). Berdasarkan sifat kelarutan senyawa, pigmen dalam tanaman memiliki kelarutan yang tinggi dalam pelarut non polar seperti heksan, kloroform, sedangan flavon dan polifenol memiliki kelarutan yang tinggi pada etil asetat.
54
Gambar 11 Total fenol ekstrak dan fraksi ekstrak jarak pagar
Hasil sidik ragam terhadap total fenol menunjukkan bahwa jenis bagian tanaman (daun, bungkil, kulit batang) berpengaruh nyata ( =0.05), sedangkan jenis ekstrak (ekstrak kasar, fraksi metanol, fraksi heksan, fraksi etil asetat) berpengaruh sangat nyata ( =0.01) (Lampiran 9). Adapun interaksi antara jenis bagian tanaman dan jenis ekstrak tidak memberikan pengaruh yang nyata. Fraksi etil asetat memiliki total fenol paling tinggi, berbeda sangat nyata dengan ketiga jenis ekstrak lainnya. Total fenol fraksi etil asetat daun jarak pagar menunjukkan nilai paling tinggi yaitu sebesar 88,53 mg asam tanat/g ekstrak, berbeda nyata dengan ketiga fraksi ekstrak lainnya. Untuk ekstrak bungkil jarak pagar dan kulit batang, fraksi etil asetat menunjukkan kondisi yang sama, yaitu memiliki kandungan total fenol paling tinggi masing-masing 83,57 dan 65,34 g asam tanat/g ekstrak. Tingginya kandungan total fenol pada fraksi etil asetat inilah merupakan salah satu alasan mengapa fraksi etil asetat tersebut menunjukkan aktivitas antimikroba dan antioksidan yang tinggi. Meskipun tidak semua senyawa fenol menunjukkan aktivitas antioksidan dan antimikroba. Hal ini terlihat dari fraksi etil asetat daun jarak pagar memiliki total fenol paling tinggi, akan tetapi aktivitas antioksidannya masih lebih rendah dibanding fraksi etil asetat bungkil dan kulit batang. Senyawa-senyawa fenol menunjukkan sifat
55
fisiologis yang sangat luas seperti antialergi, anti arterogenik, anti inflamasi, antimikroba, antioksidan, antitrombotik dan juga efek cardioprotective dan vasodilatory (Balasundram et al. 2006).
d. Uji Kandungan Ester Forbol Ester forbol merupakan senyawa diterpen tetrasiklik yang secara umum dikenal karena aktivitasnya sebagai promotor tumor. Hal tersebut disebabkan karena senyawa PE dapat meniru aksi dari Diacyl Glycerol (DAG) yaitu sebagai aktivator protein kinase C (PKC) yang merupakan enzim kunci pada penghantaran sinyal dan aktivitas metabolik sel lainnya. Interaksi yang berlanjut antara phorbol ester dengan PKC menyebabkan respon mitogenik dan pembentukan tumor. Phorbol ester juga menyebabkan meningkatnya proliferasi sel, aktivasi platelet darah, mitogenesis limfosit, inflamasi, produksi prostaglandin dan degranulasi neutrofil (Aitken 1986). Hasil kromatogram HPLC menunjukkan keberadaan senyawa ester forbol dalam sampel ekstrak yang terlihat pada peak-peak pada menit ke 3,9-9,0. Penentuan peak sebagai phorbol ester didasarkan pada peak standar phorbol ester (phorbol-12-myristate 13-acetate) yang muncul pada menit ke 3.96, adapun peak-peak yang lain ditentukan berdasarkan referensi yang menyatakan bahwa di dalam minyak jarak pagar teridentifikasi 6 jenis senyawa phorbol ester (Haas et al. 2002) serta analisis ester forbol yang dilakukan oleh beberapa peneliti. Hass dan Mittelbach (2000) menentukan waktu retensi senyawa ester forbol pada menit ke 6-11 dimana analisa menggunakan campuran isokratik 80% acetonitrile dan 20% air, sedangkan Makkar et al.(2007) menyatakan waktu retensi ester forbol pada menit ke 26-29 dimana analisa menggunakan sistem gradien dari pelarut air yang bersifat asam, asetonitril dan tetrahydrofuran. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak kasar bungkil jarak pagar mengandung senyawa ester forbol dengan konsentrasi yang cukup tinggi yaitu 106,43 mg/g ekstrak. Dalam fraksi metanol tidak terdeteksi senyawa PE, sedangkan dalam fraksi heksan terdeteksi senyawa PE dengan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 267,75 mg/g ekstrak. Untuk ekstrak daun dan kulit batang,
56
pada ekstrak kasar dan fraksi metanol tidak terdeteksi senyawa PE secara jelas sedangkan pada fraksi etil asetat terdeteksi peak dengan waktu retensi 3.6 yang diduga sebagai senyawa PE. Konsentrasi PE fraksi etil asetat daun dan kulit batang masing-masing adalah 13,41 mg/g ekstrak dan 1,55 mg/g ekstrak (Tabel 10). Kromatogram HPLC untuk analisa ester forbol disajikan pada Lampiran 10.
Tabel 10 Kandungan ester forbol pada ekstrak dan fraksi ekstrak Sampel Daun jarak pagar Ekstrak kasar Fraksi metanol Fraksi heksan Fraksi etil asetat Bungkil jarak pagar Ekstrak kasar Fraksi metanol Fraksi heksan Fraksi etil asetat Kulit batang jarak pagar Ekstrak kasar Fraksi metanol Fraksi heksan Fraksi etil asetat
Ester forbol (mg/g ekstrak) tidak dianalisa tidak terdeteksi tidak dianalisa 13,41 106,43 tidak terdeteksi 267,75 tidak dianalisa tidak dianalisa tidak terdeteksi tidak dianalisa 1,55
Ester forbol telah diidentifikasi sebagai senyawa racun utama pada jarak pagar. Kandungan ester forbol pada biji dan kernel jarak pagar sangat dipengaruhi oleh varietas. Makkar et al. (1998) melaporkan kandungan ester forbol untuk empat varietas jarak pagar yang berbeda. Varietas toksik Cape Verde yang diperoleh dari Nicaragua mengandung ester forbol paling tinggi yaitu 2.7 mg/g kernel, sedangkan varietas non toksik Mexico paling rendah yaitu 0.11 mg/g kernel. Makkar et al. (1998) juga menemukan bahwa biji dari buah muda (belum matang) mengandung senyawa ester forbol yang lebih tinggi. Distribusi senyawa ester forbol dalam biji jarak yang telah matang sebagaimana dikemukakan oleh peneliti University Of York adalah sebagai berikut: cangkang biji 0.33 ± 0.11 μg/mg, kulit ari biji 25.23 ± 1.45 μg/mg,
57
kernel / endosperma 4.71 ± 0.71 μg/mg, sedangkan embrio biji adalah 0.55 ± 0.03 μg/mg. Bungkil jarak pagar yang digunakan adalah bungkil biji utuh jarak pagar, sehingga walaupun telah terekstraksi sebagian minyaknya, senyawa ester forbol masih tertinggal dalam konsentrasi tinggi pada bungkil jarak. Senyawa ester forbol terdistribusi pada tanaman jarak pagar dengan konsentrasi yang berbeda-beda mulai dari akar hingga biji jarak (Makkar dan Becker 2009). Biji jarak pagar mengandung ester forbol dengan konsentrasi tertinggi. Hal ini karena kandungan minyak dalam biji dimana senyawa ester forbol bersifat larut dalam minyak, dan sebagian besar terikut dalam minyak setelah proses pengepresan. Sifat larut dalam lemak inilah yang menyebabkan tingginya kandungan ester forbol dalam fraksi heksan bungkil jarak. Setyaningsih (2010) menguji kandungan ester forbol pada bungkil jarak pagar terdetoksifikasi. Bungkil jarak pagar yang diberi perlakuan pemanasan basah (autoclave) mengandung ester forbol dengan konsentrasi 73,92 mg/g bungkil, adapun perlakukan transesterifikasi yang diikuti pencucian heksan dapat menurunkan kadar ester forbol menjadi 1,04±0,26 mg/g bungkil dan tidak terdeteksi untuk pencucian dengan metanol.
4.4 Pemilihan Fraksi Ekstrak Jarak Potensial sebagai Zat Antioksidan dan Zat Antimikroba Pemilihan jenis ekstrak yang potensial sebagai zat antioksidan dan zat antimikroba didasarkan pada aktivitas yang tinggi dengan memperhatikan rendemen dan kandungan senyawa toksik ester forbol. Aktivitas antioksidan dan aktivitas antimikroba yang dimiliki oleh ekstrak merupakan parameter keampuhan/khasiat bahan. Rendemen berhubungan dengan pertimbangan kelayakan proses dan kelayakan ekonomi, sedangkan kandungan ester forbol berhubungan dengan tingkat keamanan penggunaan.
4.4.1. Zat antioksidan Aktivitas antioksidan tertinggi dimiliki oleh ekstrak kasar bungkil jarak pagar, diikuti fraksi etil asetat bungkil, fraksi metanol daun jarak pagar, dan
58
fraksi etil asetat kulit batang. Dengan mempertimbangkan aktivitas antioksidan dan rendemen (Tabel 11), ekstrak kasar dan fraksi metanol daun, serta ekstrak kasar dan fraksi metanol bungkil jarak pagar cukup potensial sebagai zat antioksidan. Diantara ekstrak potensial tersebut, fraksi metanol daun dipilih sebagai zat antioksidan dengan pertimbangan aktivitas antioksidan yang cukup tinggi dan tidak mengandung ester forbol, meskipun aktivitasnya masih lebih rendah dari antioksidan komersial BHT yang memiliki peredaman DPPH mencapai 95,36%. Ekstrak kasar bungkil jarak pagar walaupun memiliki aktivitas paling tinggi, tidak dipilih sebagai zat antioksidan karena mengandung senyawa toksik ester forbol. Ekstrak kasar bungkil jarak memiliki aktivitas tertinggi yaitu 94,39%, berbeda nyata ( =0.05) dengan ekstrak kasar daun, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan fraksi metanol daun dan fraksi metanol bungkil. Analisis ragam untuk pemilihan ekstrak sebagai zat antioksidan dan analisis ragam untuk rendemen ekstrak disajikan pada Lampiran 11 dan Lampiran 12.
Tabel 11 Pemilihan ekstrak sebagai zat antioksidan Parameter Peredaman DPPH (%) Kandungan ester forbol Rendemen (% b/b serbuk kering)
Daun Ekstrak Kasar Fr. metanol
74,53±6.93 tidak terdeteksi 5,08±0,00
89,42±1,64 tidak terdeteksi 3,68±0,06
Bungkil Ekstrak Kasar Fr. metanol
94,39±1,38 terdeteksi
6,55±0,00
84,04±3,55 tidak terdeteksi 2,41±0,37
Ekstrak terpilih sebagai zat antioksidan dikarakterisasi lebih lanjut dengan analisa
komposisi
kimia
dengan
GC-MS
dan
dianalisa
aktivitas
antioksidannya dengan menentukan EC50. Hasil analisa komposisi kimia menggunakan GC-MS pada fraksi metanol daun jarak mendapatkan beberapa senyawa yang teridentifikasi seperti pada Tabel 12. Kromatogram GC-MS fraksi metanol daun jarak disajikan pada Lampiran 13.
59
Tabel 12. Identifikasi senyawa kimia fraksi metanol ekstrak daun jarak pagar No 1 2 3 4 5 6 7
Retention Time 6.76 7.38 8.97 9.20 10.42 13.19 13.73
Keterangan
Nama Senyawa 2,3-dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl, 4H-pyran-4-One 5-hydroxymethyl-2-furancarboxaldehyde 3-Pyridinecarboxamide 3-dimethylamino-2-methyl-2-cyclopenten-1-one 4-methyl-2,5-dimethylbenzaldehyde n-Hexadecanoic acid 9H-Pyrido[3,4] indole
Senyawa piran Seyawa fural Nicotinamide
senyawa alkaloid
Senyawa 5-hydroxymethyl-2-furancarboxaldehyde adalah produk reaksi Maillard yang merupakan hasil reaksi gugus karbonil dari gula dengan gugus amino dari asam amino, peptida dan protein dalam fraksi metanol daun jarak. Dengan kelimpahan yang cukup tinggi dalam fraksi metanol, senyawa inilah yang bertanggung jawab terhadap aktivitas antioksidan yang dimiliki. Bailey dan Won Um (1992) melaporkan beberapa produk reaksi Maillard seperti redukton amino ataupun polimer seperti melanoidin memiliki aktivitas antioksidan. Waghmare et al. (2010) mendapatkan bahwa senyawa fural ditemukan pada ekstrak metanol dan ekstrak etanol dari cangkang biji asam (Tamarindus indica Linn.) dan bertanggung jawab terhadap aktivitas antibakteri dari ekstrak yang dihasilkan.
5 hydroxymethyl, 2-Furancarboxaldehyde
2,3-dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl, 4HPyran-4-One
Pyridinecarboxamide Gambar 12 Struktur senyawa yang teridentifikasi pada fraksi metanol daun jarak (www. pubchem.ncbi.nlm.nih.gov)
60
Senyawa 2,3-dihydro-3,5-dihydroxy-6-methyl,-4H-pyran-4-one (DDMP) adalah senyawa piran yang juga merupakan produk reaksi Maillard. Senyawa dengan rumus molekul C6H8O4 ini mampu mendonorkan 2 ikatan hidrogennya (Pubchem Compound), sehingga senyawa ini juga memiliki aktivitas antioksidan. Aktivitas lain yang dimiliki oleh senyawa ini adalah aktivitas anti proliferasi dan proapoptosis sebagaimana dilaporkan oleh Jung Ok Ban et al. (2007). Dalam penelitiannya, Ok Ban mendapatkan bahwa perlakuan DDMP yang diisolasi dari bawang putih dengan konsentrasi 0,5-1,5 mg/ml dengan perlakuan 0-48 jam dapat menghambat pertumbuhan sel kanker kolon. DDMP ditemukan juga pada ekstrak metanol daun Vitex negundo (Kumar et al, 2010). Dilaporkan bahwa senyawa ini merupakan fraksi flavanoid yang memiliki aktivitas antibakteri dan antiinflamasi. Senyawa lain yang teridentifikasi adalah pyridinecarboxamide atau dikenal juga dengan nicotinamide. Nicotinamide merupakan senyawa vitamin yang merupakan konstituen penting dalam sintesis pyridine coenzyme pada mamalia. Nicotinamide murni berwujud padat, kelarutan dalam air sebesar 691-1000g/l dan akan terpartisi sempurna dalam pelarut air (OECD SIDS). Nilai Efficient Concentration (EC50) adalah parameter yang menunjukkan kesetaraan konsentrasi yang memberikan 50% pengaruh. EC50 didefinisikan sebagai konsentrasi substrat
yang menyebabkan kehilangan aktivitas
DPPH/warna sebesar 50%. Semakin tinggi aktivitas antioksidan, maka nilai EC50 akan semakin rendah. Hasil pengukuran EC50 fraksi metanol ekstrak daun jarak pagar adalah sebesar 0.13 mg/ml, adapun BHT sebagai antioksidan komersial memiliki nilai EC50 sebesar 0.012 mg/ml. Perbandingan aktivitas antioksidan ekstrak terpilih dengan BHT ditunjukkan pada Gambar 13.
61
Gambar 13 Perbandingan aktivitas antioksidan ekstrak terpilih dengan BHT
Nilai EC50 ekstrak terpilih adalah 0.13 mg/ml yang berarti bahwa untuk meredam DPPH sebesar 50% diperlukan konsentrasi ekstrak sebesar 0.13 mg/ml. Konsentrasi ini masih lebih tinggi dibanding BHT yang hanya memerlukan konsentrasi 0.012 mg/ml untuk proses peredaman. Pada konsentrasi 0.04 mg/ml BHT sudah dapat meredam DPPH sebesar 85,15%.
4.4.2. Zat antimikroba Pemilihan ekstrak sebagai zat antimikroba didasarkan juga pada aktivitas antimikroba, rendemen, serta kandungan senyawa toksik ester forbol. Aktivitas antimikroba tertinggi dimiliki oleh fraksi etil asetat bungkil, diikuti oleh fraksi etil asetat daun, fraksi etil asetat kulit batang dan ekstrak kasar daun. Fraksi etil asetat daun jarak terpilih sebagai zat antimikroba dengan pertimbangan aktivitas antimikroba paling tinggi, kandungan ester forbol rendah, serta pertimbangan proses produksi yang berkaitan dengan pemanfaatan fraksi metanol daun sebagai zat antioksidan (Tabel 13).
62
Tabel 13 Pemilihan ekstrak sebagai zat antimikroba Parameter
Daun Diameter penghambatan 12,5 terhadap S. aureus (mm) Rendemen 0,41± 0.01
Fraksi etil asetat Bungkil Kulit batang 14,45 12,42 0,54± 0.00
0,12± 0.06
tidak dianalisa
1,55
(% b/b serbuk kering)
Ester forbol (mg/g ekstrak)
13,41
Fraksi etil asetat bungkil jarak pagar memiliki rendemen yang paling tinggi. Meskipun demikian fraksi ini tidak dipilih sebagai zat antimikroba karena ditakutkan adanya kandungan ester forbol yang lebih tinggi. Kandungan ester forbol pada fraksi etil asetat bungkil jarak tidak diketahui, akan tetapi dapat diperkirakan kandungan senyawa ini jauh lebih tinggi dibanding dua fraksi etil asetat lainnya karena tingginya kandungan ester forbol pada ekstrak kasar dan fraksi heksan. Senyawa ester forbol khususnya forbol 12-miristat 13 asetat dilaporkan oleh Sigma bersifat larut dalam aseton, DMSO, etil asetat, etanol dan metilen klorida.
Tabel 14 Identifikasi senyawa kimia fraksi etil asetat ekstrak daun jarak pagar No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Retention Time 6.46 7.24 7.41 8.14 8.26 8.51 8.92 9.15 9.25 9.36 10.04 11.50 11.62 11.97 12.18 12.23
16 17 18 19 20 21
12.36 12.42 12.54 12.95 14.22 14.37
Nama Senyawa
Keterangan
Benzeneethanol 2,3-dihydro benzofuran 3 ethyl, 4 methyl 1 H-pyrole-2,5 dione Indole 4 vinyl 2 methoxy phenol 4 hydroxy benzaldehyde Niacinamide 4 hydroxy benzeneethanol 1-(4-hydroxyphenyl) ethanone 4-hydroxy benzoic acid methyl ester 1-Naphthalenol 12-methyl- tridecanoic acid methyl ester 9 hydroxy-4-megastigmen-3-one 4-methoxy-3-methylbenzofuran-6-ol (-) –Loliolide 4-hydroxy-3,5,6-trimethyl-4-(3-oxo-1-butenyl)-2cyclohexen-1-one Neophytadiene 1H-Indole-3-carboxaldehyde (E)-6,6-dimethylcyclooct-4-en-1-one hexadecanoic acid methyl ester 9 Octadecenoic acid (Z) methyl ester 16-methyl- heptadecanoic acid methyl ester
alkohol aromatik fenol alkaloid alkaloid fenol fenol Senyawa vitamin fenol senyawa keton, fenol ester fenol ester senyawa glikosida Senyawa terpene
alkaloid Metil ester Metil ester Metil ester
63
Hasil uji GC-MS terhadap fraksi etil asetat daun jarak pagar mendapatkan beberapa senyawa yang dapat teridentifikasi dengan baik (Tabel 14). Senyawasenyawa yang teridentifikasi meliputi senyawa fenol, aldehid serta terpene yang cukup mendominasi fraksi etil asetat ekstrak daun jarak. Kromatogram GC-MS fraksi etil asetat juga disajikan pada Lampiran 13. Senyawa terpen yang teridentifikasi adalah Loliolide yang merupakan senyawa monoterpen. Senyawa ini juga telah diisolasi dari tanaman Euphorbia supine oleh Tanaka dan Matsunaga (1988), daun Equisetum arvense oleh Hiraga et al. (2010) dengan aktivitas penghambatan terhadap germinasi biji lettuce, ekstrak kloroform daun Eucommia ulmoides (Okada et al. 2001) yang menunjukkan aktivitas immunosuppressive dan diisolasi dari ekstrak etanol daun M.whitei (Apocynaceae) dimana Neergaard et al. (2010) melaporkan bahwa senyawa ini bertanggung jawab terhadap aktivitas mirip antidepressant dan menunjukkan afinitas terhadap serotonin transporter. Senyawa-senyawa alkaloid yang teridentifikasi adalah 3 ethyl, 4 methyl 1 H-pyrole-2,5 dione, indole dan 1H-Indole-3-carboxaldehyde. Adapun senyawa fenol yang teridentifikasi meliputi 2,3-dihydro benzofuran, 4 vinyl 2 methoxy phenol, 4 hydroxy benzaldehyde, 4 hydroxy benzeneethanol dan 1Naphthalenol.
Senyawa
lain
yang
ditemukan
adalah
9-hydroxy-4-
megastigmen-3-one yang merupakan senyawa glikosida. Senyawa-senyawa turunan megastigmen telah tercatat ditemukan pada beberapa family tanaman yang berbeda-beda antara lain Apocynaceae, Aquifoliaceae, Betulaceae, Cupressaceae, Euphorbiaceae, Lamiaceae, Leguminosae, Magnoliaceae, Pinaceae,
Podocarpaceae,
Rhamnaceae,
Rosaceae,
Simaroubaceae,
Solanaceae, and Vitaceae. Senyawa ini menunjukkan aktivitas antimikroba sehingga tanaman yang mengandung senyawa ini banyak digunakan sebagai obat herbal untuk beberapa jenis penyakit. Niasinamid merupakan senyawa aromatik heterosiklik yang umum digunakan dalam produk kosmetik yaitu berfungsi sebagai conditioning agents pada rambut dan kulit. Niasinamid merupakan senyawa vitamin larut air, dan merupakan bagian dari golongan vitamin B. Senyawa ini menunjukkan aktivitas anti inflamasi yang berguna bagi pasien dengan kondisi kulit
64
inflamasi seperti penyakit acne vulgaris. Beberapa struktur senyawa yang teridentifikasi pada fraksi etil asetat daun jarak disajikan pada Gambar 14.
Indol
benzofuran
Niasinamid
3 ethyl, 4 methyl 1 H-pyrole2,5 dione
1H-Indole-3-carboxaldehyde
Gambar 14 Struktur senyawa yang teridentifikasi pada fraksi etil asetat daun jarak (www. pubchem.ncbi.nlm.nih.gov) 4.5 Uji Coba Formulasi Ekstrak Terpilih dalam Produk Krim Produk kosmetik yang diformulasi adalah produk krim yang merupakan salah satu produk kosmetik topikal untuk perawatan diri yang digunakan untuk melindungi kulit supaya tetap halus dan lembut, mencegah kulit tidak kering, bersisik dan mudah pecah. Secara komersial jenis krim dengan fungsi tersebut dikenal dengan hand and body cream. Terdapat dua jenis produk krim berdasarkan tipe emulsi yang dihasilkan, yaitu tipe minyak dalam air (o/w) dan tipe air dalam minyak (w/o). Produk krim tipe o/w lebih banyak digunakan karena tidak terasa lengket ketika dioleskan ke kulit dan lebih merata. Produk krim merupakan produk emulsi tipe minyak dalam air (o/w) dengan fase minyak dan humektan yang lebih banyak dari produk lotion. Bahan-bahan penyusun produk krim serta fungsi yang dimiliki dalam formulasi disajikan pada Tabel 15.
65
Tabel 15 Bahan pembuatan krim beserta fungsinya Nama Bahan Fase lemak Asam stearat Setil alkohol Minyak zaitun Nipagin (Metil paraben-MP) Nipasol (Propil paraben-PP) Em delta Alantoin Dimetikon TiO2 BHT Fase Air
Emmolient dan pengental/pembentuk konsistensi Pengental dan pembentuk konsistensi, oklusif, penstabil emulsi oklusif, emmolient Pengawet (Anti jamur) Pengawet (Anti bakteri) Anti iritasi dan pengobat luka kecil Pelindung kulit, anti lengket, mencegah efek penyabunan Pengental, pemutih, bahan aktif tabir surya/pelindung Antioksidan Humektan, Membantu efektivitas penetrasi dari bahan lain dalam formula Humektan, plastisizer
Propilen Glikol Sorbitol Pembuatan
Fungsi
produk
hand
and
body
cream
dilakukan
dengan
mencampurkan/menghomogenkan secara terpisah bahan-bahan fase air (air, sorbitol dan PG) pada suhu 60oC dan fase lemak (asam stearat, em delta, dll) pada suhu 50oC. Setelah masing-masing fase homogen kemudian dilakukan pencampuran dan homogenisasi fase air dan fase minyak pada suhu 55-60oC hingga diperoleh sediaan krim, pendinginan hingga suhu 40oC dan dilakukan penambahan bahan pengawet yaitu zat antioksidan dan zat antimikroba. BHT (Butylated hydroxytoluene) merupakan zat antioksidan sintetik yang digunakan pada produk krim. BHT merupakan senyawa fenol terintangi dengan karakteristik menyerupai BHA akan tetapi stabilitas pada suhu tinggi dan sifat carry through dalam minyak dan lemak kurang bagus. Sifat carry through adalah kestabilan pada kondisi pemrosesan. Karena sifat ini BHT umumnya ditambahkan pada akhir proses pada suhu yang relatif rendah. Mitsui (1997) menyatakan bahwa dalam formula produk kosmetik, zat antioksidan seperti tokoferol, BHT, BHA, dan ester asam galat sering ditambahkan untuk mencegah pembentukan radikal lipid yang bisa merusak produk. Nipagin (MP) dan nipasol (PP) adalah pengawet yang berperan sebagai antimikroba yang sering digunakan pada berbagai produk
66
kosmetik dan produk personal care. Bahan ini merupakan ester dari asam hidroksibenzoat. Bahan pengawet dalam produk kosmetik harus bersifat larut dalam konsentrasi yang digunakan. Hal ini terkait dengan fungsi pengawetan yang diberikan dalam produk, dimana agar bisa memberikan fungsi yang maksimal, senyawa pengawet harus bisa terlarut sempurna di dalam bahan yang akan diawetkan. Meskipun demikian perlu dipertimbangkan beberapa persyaratan zat pengawet dalam fungsi pengawetan produk kosmetik antara lain kesesuaian dengan komponen lain dalam formula produk, khasiat, keamanan, kelarutan bahan serta ketahananan terhadap lingkungan luar dan kondisi proses. Dalam hal ini kesesuaian ekstrak jarak pagar terpilih sebagai zat antimikroba dan zat antioksidan dievaluasi melalui uji coba formulasi dalam produk krim.
a.2.1. Formulasi krim tahap I Fraksi aktif jarak pagar terpilih yaitu fraksi metanol daun jarak sebagai zat antioksidan dan fraksi etil asetat sebagai zat antimikroba ditambahkan dalam formula krim sebagai bahan substitusi pengawet (MP, PP dan BHT). Pada tahap ini dicoba empat formula krim yang memanfaatkan fraksi ekstrak jarak pagar termasuk formula kontrol (Tabel 16). Penambahan ekstrak antioksidan adalah sebesar 0,064% hampir sama dengan penambahan konsentrasi BHT yaitu sebesar 0,0616%, dengan tujuan untuk mendapatkan kesetaraan aktivitas antioksidan berdasarkan nilai peredaman DPPH yang diperoleh (BHT 95,35%; ekstrak antioksidan 89,42%). Tabel 16 Formula penambahan fraksi aktif terpilih dalam produk krim Bahan
Formula (% bobot) Kontrol (I)
II
III
IV
Zat antimikroba - Metil paraben
0,1
0,1
0
0
Zat antimikroba - Propil paraben
0,1
0,1
0
0
0,0616
0
0,0616
0,0616
Ekstrak antioksidan
0
0,0641
0
0
Ekstrak antimikroba
0
0
1,67
0,2
Zat antioksidan - BHT
67
Penambahan ekstrak antimikroba dilakukan dengan 2 konsentrasi yaitu 0,2% yang merupakan total konsentrasi penggunaan MP dan PP dalam krim (masingmasing 0,1%), dan konsentrasi 1,67% dimana nilai ini diperoleh berdasarkan uji coba kelarutan ekstrak dalam formulasi krim. Penggunaan zat antioksidan dalam produk kosmetik memang tidak dibatasi secara jelas. Diharapkan penambahan zat antioksidan tersebut tidak hanya untuk perlindungan produk (pengawetan) akan tetapi berfungsi juga ketika produk diaplikasikan. Meskipun demikian dalam penggunaannya harus memperhatikan aspek keamanan seperti iritasi, toksisitas, perubahan warna produk dan juga kelarutan. Lanigan dan Yamarik (2002) melaporkan penggunaan BHT dalam produk kosmetik bervariasi dari 0,0002% - 0,5%. Penggunaan pengawet paraben dalam produk kosmetik dibatasi hingga 0,4% untuk ester tunggal dan 0,8% untuk ester campuran (BPOM 2008). Adapun pengawet dari bahan alami seperti minyak atsiri dan ekstrak tanaman lain tidak terdapat batasan yang jelas tentang konsentrasi penggunaannya. Penggunaan konsentrasi bahan alami tersebut lebih dibatasi oleh sifat keamanannya dimana hal tersebut menjadi tanggung produsen.
Formula I
Formula III
Formula II
Formula IV
Gambar 15 Produk krim hasil formulasi dengan fraksi ektrak jarak pagar
68
Produk hand and body cream hasil formulasi dengan fraksi ektrak jarak pagar terpilih disajikan pada Gambar 15. Untuk mengetahui pengaruh penambahan ekstrak terpilih dalam produk kosmetik dan untuk melihat efektivitas aktivitas antimikroba dan antioksidan yang dimilikinya maka dilakukan analisa nilai pH, stabilitas emulsi, aktivitas antioksidan dan cemaran mikroba terhadap produk yang telah disimpan pada suhu 37oC selama 15 hari.
a.2.1.1. Analisa pH Produk Krim Derajat keasaman suatu produk ditunjukkan dengan nilai pH produk tersebut. pH sediaan produk krim maupun sediaan kosmetik haruslah sesuai dengan pH penerimaan kulit. Jika pH sediaan kosmetik jauh berbeda dengan pH kulit, maka produk tersebut cenderung mengiritasi kulit, begitu juga jika sediaan kosmetik memiliki sifat alkali akan menyebabkan kulit menjadi kering. Pengukuran nilai pH juga menjadi salah satu parameter untuk mengukur kestabilan dan keampuhan suatu pengawet pada produk akhir.
Gambar 16 Histogram pengaruh formulasi produk krim terhadap nilai pH
Nilai rata-rata pH produk krim dengan perlakuan penambahan ekstrak jarak pagar bernilai antara 6,15 – 6,81 (Gambar 16). Nilai ini masih memenuhi nilai pH persyaratan SNI produk krim yaitu berkisar 4.5-8. Pada awal penyimpanan, nilai pH produk krim tertinggi dimiliki oleh Formula IV, sedangkan nilai pH terendah dimiliki oleh krim Formula III. Nilai pH
69
formula IV berbeda nyata dengan ketiga formula lainnya, sedangkan antara formula I dan II tidak ada perbedaan yang nyata. Rendahnya nilai pH pada formula III dapat disebabkan salah satunya oleh komponen fenol yang ditemukan cukup mendominasi fraksi etil asetat daun jarak pagar. Senyawa fenol relatif bersifat asam dan dapat bereaksi dengan basa (Wikipedia 2011). Jika membandingkan nilai pH awal dan akhir penyimpanan, terlihat bahwa produk krim formula II relatif lebih stabil dibanding formula kontrol (Formula I) dan formula lainnya. Penurunan nilai pH pada akhir penyimpanan produk dapat terjadi karena adanya proses oksidasi, hidrolisis maupun pengrusakan bahan organik oleh mikroba. Proses-proses tersebut dapat menghasilkan senyawa-senyawa hasil degradasi akhir seperti alkohol, asam karboksilat, keton dll.
a.2.1.2. Stabilitas emulsi Emulsi merupakan suatu sistem heterogen yang mengandung dua fase cairan, yang satu terdispersi sebagai globula dalam medium pendispersi dalam bentuk droplet (butiran). Emulsi yang baik tidak membentuk lapisanlapisan, tidak terjadi perubahan warna, dan konsistensi tetap (Suryani et al. 2002). Prinsip dasar tentang kestabilan emulsi adalah keseimbangan antara gaya tarik menarik dan gaya tolak menolak yang terjadi antar partikel dalam sistem emulsi. Kestabilan emulsi perlu mengalami pengujian antara lain dengan mengamati penampilan (pemisahan fase dan warna), bau, pH dan kekentalan. Uji stabilitas emulsi yang dilakukan adalah pengamatan pemisahan fase. Hasil pengamatan produk krim menunjukkan bahwa semua sampel tidak menunjukkan pemisahan fase (emulsi stabil). Adapun pengamatan stabilitas emulsi pada akhir penyimpanan menunjukkan formula krim II walaupun produk stabil terlihat adanya butiran-butiran, sedangkan pada formula III terlihat ada sedikit fase minyak yang memisah. Menurut Mitsui (1997), pengamatan perubahan fisik dapat dilakukan untuk memantau kestabilan produk kosmetik. Perubahan fisik yang mungkin
70
terjadi antara lain pemisahan, sedimentasi, penggumpalan, pengembangan, keluar cairan, pembentukan gel, ketidakmerataan, evaporasi, pengerasan, pelunakan dll.
Perubahan fisik tersebut dapat diuji antara lain dengan
melakukan uji kestabilan temperatur sebagaimana dilakukan dalam penelitian ini.
a.2.1.3. Cemaran mikroba Total mikroba merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui jumlah mikroorganisme yang terdapat pada suatu bahan. Uji ini menggunakan metode hitungan cawan dengan menganggap bahwa setiap sel yang dapat hidup akan berkembang menjadi koloni, jumlah koloni yang hidup dan berkembang merupakan indeks jumlah mikroorganisme yang dapat hidup pada produk tersebut.
Gambar 17 Histogram pengaruh formulasi produk krim terhadap total mikroba
Pada uji total mikroba terhadap produk krim (Gambar 17), diperoleh jumlah mikroorganisme yang bervariasi dari 5,0 x 102 hingga 1,3 x 104. Formula I yang merupakan formula kontrol memiliki jumlah mikroorganisme 1,4 x 103. Setelah dilakukan penyimpanan selama 15 hari pada suhu 37oC, untuk semua formula krim menunjukkan peningkatan total mikroba. Total
71
mikroba formula III meningkat dari 5,0 x 102 menjadi 1,0 x 104 atau sebesar 19%, sedangkan formula IV mengalami peningkatan paling kecil yaitu sebesar 0,15% yaitu dari 1,3 x 104 menjadi 1,5 x 104. Formula kontrol menunjukkan peningkatan total mikroba sebesar 12,57%. Total mikroba paling kecil pada awal dan akhir penyimpanan dimiliki oleh formula krim III (Tabel 17).
Tabel 17 Nilai cemaran mikroba pada formula produk krim Formula krim I II III IV
Total mikroba (CFU/g) Awal Akhir Selisih penyimpanan penyimpanan 1.4E+03 1.9E+04 1.8E+04 4.4E+03 2.0E+04 1.6E+04 5.0E+02 1.0E+04 9.5E+03 1.3E+04 1.5E+04 2.0E+03
Peningkatan (%) 12.57 3.55 19.00 0.15
Sebagai zat antimikroba, ekstrak jarak terpilih dengan penambahan pada konsentrasi tinggi dapat menekan jumlah mikroba, akan tetapi aktivitas yang dimiliki diduga menurun/menghilang selama penyimpanan. Hal inilah yang menyebabkan tingginya persentase peningkatan total mikroba pada akhir penyimpanan. Ekstrak antimikroba yang digunakan didominasi oleh senyawa fenol alami yang akan mudah teroksidasi atau rusak oleh lingkungan. Formula IV dengan konsentrasi antimikroba yang lebih rendah menunjukkan total mikroba yang lebih tinggi baik pada awal penyimpanan maupun pada akhir penyimpanan. Peningkatan total mikroba formula II lebih rendah dari kontrol (Formula I) yang dapat menjadi indikasi bahwa penambahan zat antioksidan dapat memberikan efek antimikroba, meskipun di akhir penyimpanan diperoleh nilai total mikroba yang lebih tinggi. Substitusi zat antimikroba sintetik dengan ekstrak antimikroba dengan konsentrasi penambahan dalam formula krim 0,2%-1,67% sudah bisa memberikan perlindungan produk, yang terlihat dari nilai cemaran mikroba pada akhir penyimpanan pada formula III dan IV lebih rendah dibandingkan formula I dan II.
72
Mengenai konsentrasi ekstrak jarak pagar sebagai zat antimikroba yang ditambahkan dalam formula krim, pada formula IV, penambahan sebanyak 0.2% belum memberikan efek pengawetan produk. Hal ini terlihat dari produk krim yang dibiarkan pada suhu ruang mulai ditumbuhi jamur pada hari 7, tidak demikian dengan Formula III (ekstrak antimikroba 1.67%) dan formula lain dengan penambahan antimikroba komersial. Dengan demikian, penambahan ekstrak jarak sebagai zat antimikroba perlu ditingkatkan namun perlu mempertimbangkan kelarutan bahan dalam formula produk.
a.2.1.4. Aktivitas Antioksidan Pada penelitian ini aktivitas antioksidan produk krim dianalisa dengan metode peredaman DPPH. Hasil uji antioksidan krim menunjukkan bahwa penambahan ekstrak antioksidan menghasilkan produk krim dengan aktivitas antioksidan yang masih lebih rendah dibanding kontrol/penambahan BHT (Gambar 18). Dengan konsentrasi penambahan yang hampir sama, maka hal ini dapat terjadi karena nilai EC50 ekstrak antioksidan lebih dari 10 kali lebih besar dibanding nilai EC50 BHT. Adapun penambahan ekstak antimikroba dengan konsentrasi 0,2% dapat meningkatkan aktivitas antioksidan jauh melebihi formula kontrol. Hal ini disebabkan karena konsentrasi penambahan ekstrak yang cukup tinggi yaitu mencapai 3 kali lebih besar dari penambahan zat antioksidan komersial. Zat antimikroba terpilih (fraksi etil asetat daun jarak pagar) memiliki aktivitas antioksidan dengan nilai peredaman DPPH sebesar 60,18%.
73
Gambar 18 Histogram pengaruh formulasi ekstrak terhadap aktivitas antioksidan krim Efektivitas antioksidan dalam sistem emulsi baik pada produk pangan maupun produk kosmetik sangat dipengaruhi oleh sifat fisik emulsi serta partisi antioksidan antara fase lipid, interfase dan fase air (Frankel et al. 2000; Schwarz et al. 2000). Efektivitas relatif antioksidan dalam sistem emulsi tergantung pada beberapa faktor, yakni substrat lipid, pH, sistem emulsi (O/W atau W/O), konsentrasi, waktu oksidasi, metode yang digunakan dalam menentukan oksidasi lipid, pengemulsi, adanya inggredient lain, stabilitas relatif antioksidan, serta kemampuan mendonasi atom hidrogen. Nilai pH berpengaruh terhadap aktivitas antioksidan karena berhubungan dengan partisinya pada fase air. Antioksidan akan terdisosiasi pada pH di atas nilai pKa. Mengenai efektivitas antioksidan khususnya dalam bahan pangan, Porter di dalam Frankel (2004) mempostulatkan suatu aturan umum, bahwa dalam sistem pangan dengan rasio surface to volume rendah (seperti minyak utuh), antioksidan polar dengan HLB tinggi seperti propil galat, TBHQ dan trolox bersifat lebih aktif dibandingkan antioksidan lipofilik seperti BHA, BHT, dan alfa tokoferol. Sebaliknya dalam sistem pangan yang mempunyai rasio surface to volume tinggi (seperti minyak teremulsi), antioksidan lipofilik dengan HLB rendah lebih disukai.
74
Pada formulasi krim tahap I ini juga dilakukan uji coba penambahan ekstrak pada suhu lebih tinggi dari penambahan bahan pengawet pada umumnya (40oC). Ekstrak antioksidan ditambahkan pada suhu 60oC yaitu pada fase air, sedangkan ekstrak antimikroba ditambahkan pada suhu 50 oC yaitu pada fase minyak. Hasil analisa produk krim disajikan pada Tabel 18.
Tabel 18 Pengaruh suhu penambahan ekstrak terhadap karakteristik krim Parameter pH Stabilitas emulsi Penampakan krim Total mikroba Awal Akhir Aktivitas antioksidan (% Peredaman DPPH)
Ekstrak antioksidan 60oC 40oC (fase air) 6,48 6,61 Stabil Stabil tampak butiran homogen
Ekstrak antimikroba 50oC 40oC (fase lemak) 6,81 7,25 Stabil Stabil tampak butiran homogen
4,4 x 103 2,0 x 104 29,54
1,3 x 104 1,5 x 104 90,13
2,9 x 103 3,0 x 103 28,95
Ekstrak antioksidan, 40oC
Ekstrak antioksidan, 60oC
Ekstrak antimikroba, 40oC
Ekstrak antimikroba, 60oC
4,0 x 103 1,6 x 104 90,73
Gambar 19 Produk krim dengan perbedaan suhu penambahan ekstrak
75
Dari analisa produk krim terlihat bahwa penambahan zat antimikroba dan antioksidan pada suhu yang lebih tinggi dari 40oC dapat meningkatkan nilai pH. Penambahan pada suhu proses juga dapat memperbaiki kehomogenan produk karena ekstrak yang ditambahkan bersifat lebih larut. Penambahan ekstrak pada suhu pengolahan tidak mempengaruhi aktivitas antioksidan produk krim secara nyata. Penambahan ekstrak pada suhu pengolahan memberikan efek positif pada total mikroba, dimana penambahan pada suhu proses dapat menurunkan total mikroba dari 4,4 x 103 menjadi 2,9 x 103 untuk ekstrak antioksidan dan dari 1,3 x 104 menjadi 4,0 x 103 untuk ekstrak antimikroba.
a.2.21. Formulasi Krim Tahap II Pada tahap ini dilakukan formulasi 4 produk krim sebagaimana disajikan pada Tabel 19. Zat antioksidan ditambahkan sebesar 0.0641%, sama dengan penambahan antioksidan komersial, sedangkan zat antimikroba ditambahkan sebesar 1.25%. Besarnya konsentrasi yang dipilih didasarkan pada uji coba pembuatan krim tahap 1, dimana penambahan sebesar 1.67% b/b menunjukkan produk yang tidak stabil (pemisahan fase minyak pada akhir penyimpanan, perubahan nilai pH yang besar) dan dari penampakan produk yang memiliki intensitas warna yang tinggi. Oleh karena pada formulasi tahap II dilakukan pengurangan konsentrasi penambahan ekstrak antimikroba yaitu sebesar 1,25%. Konsentrasi ini dipilih karena dari uji iritasi kulit yang dilakukan, larutan fraksi etil asetat hingga konsentrasi 1,25% tidak menimbulkan reaksi iritasi.
Tabel 19 Formula produk krim dengan penambahan ekstrak jarak pagar Bahan
Formula (% bobot) I (kontrol)
II
III
IV
Zat antimikroba - metil paraben
0,0
0,1
0,1
0,0
Zat antimikroba - propel paraben
0,0
0,1
0,1
0,0
zat antioksidan - BHT
0,0
0,0616
0,0
0,0616
Ekstrak antioksidan
0,0
0,0
0,0641
0,0
76
Ekstrak antimikroba
0,0
0,0
0,0
1,25
Penambahan ekstrak antioksidan dilakukan pada suhu 55-60oC yaitu pada fase air, sedangkan ekstrak antimikroba ditambahkan pada suhu 50oC yaitu pada fase lemak untuk mendapatkan kelarutan yang lebih baik. Produk krim hasil formulasi dianalisa nilai pH, aktivitas antioksidan, cemaran mikroba serta disimpan pada suhu 37oC selama 30 hari untuk melihat kestabilan penyimpanan. Produk krim hasil formulasi juga dianalisa sifat toksisitasnya yaitu tingkat iritasi terhadap kulit. Nilai pH produk krim yang dihasilkan berkisar 6,19 – 6.34, nilai tersebut masih memenuhi standar SNI produk krim yang disyaratkan. Penambahan ekstrak antimikroba sebanyak 1,25% berhasil mendapatkan nilai pH produk mendekati formula kontrol dan formula komersial. Uji aktivitas antioksidan produk krim menunjukan penambahan ekstrak antioksidan sebesar 0.064% dapat meningkatkan aktivitas antioksidan sebesar 21% dibanding formula kontrol (tanpa penambahan bahan pengawet). Akan tetapi peningkatan ini masih lebih rendah dibanding formula I yang menggunakan pengawet komersial (BHT, MP, PP). Adapun krim formula III yang ditambah ekstrak antimikroba sebesar 1,25% menunjukkan aktivitas antioksidan yang sangat tinggi (Gambar 20). Dengan konsentrasi larutan pengujian yang 10 kali lebih kecil dibanding formula lain masih menunjukkan aktivitas paling tinggi yaitu sebesar 92,67%. Tingginya aktivitas antioksidan ini lebih disebabkan oleh tingginya konsentrasi ekstrak antimikroba dalam sampel yaitu 1,25%, dimana ekstrak tersebut juga memiliki aktivitas antioksidan yang cukup tinggi.
Gambar 20 Histogram pengaruh formulasi ekstrak jarak terhadap aktivitas
77
antioksidan krim Uji total mikroba menunjukkan bahwa pada awal penyimpanan diperoleh total mikroba tertinggi dimiliki oleh formula II yaitu sebesar 1,3 x 104 (Gambar 21). Total mikroba terendah dimiliki oleh formula III yaitu sebesar 2,0 x 103. Adapun setelah dilakukan penyimpanan selama 30 hari pada suhu 37oC, total mikroba tertinggi dimiliki oleh krim kontrol yaitu sebesar 6,1 x 104. Produk krim formula kontrol yang disimpan menunjukkan pertumbuhan mikroba pada hari ke12, sedangkan pada ketiga formula lainnya tidak.
Gambar 21 Histogram pengaruh formulasi ekstrak jarak terhadap total mikroba
78
Gambar 22 Produk krim yang terkontaminasi mikroorganisme Produk krim yang merupakan sediaan perawatan kulit berpotensi terkontaminasi mikrooganisme karena di dalam formulanya terdapat air dan bahan-bahan lain yang dapat dirusak mikroorganisme. Pada Gambar 22 disajikan produk
krim
kontrol
(tanpa
penambahan
pengawet)
yang
ditumbuhi
mikroorganisme. Pertumbuhan mikroorganisme dalam produk selain dipengaruhi oleh kandungan bahan pengawet, juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan seperti kadar padatan, aktivitas air, pH, suhu serta kandungan oksigen. Untuk mengontrol pertumbuhan mikrorganisme pada produk kosmetik maka dalam produk ditambahkan pengawet berupa zat antimikroba seperti benzil alkohol, asam borat, asam sorbat, chlorhexidine, formaldehid, paraben, senyawa amonium quartener, phenol, senyawa imidazolidinil dll (Brannan 2006).
4.6 Uji Toksisitas Kulit Uji toksisitas perlu dilakukan untuk mengetahui keamanan penggunaan bahan baru di dalam formula kosmetik. Beberapa data keamanan diperlukan untuk aplikasi kosmetik yang memanfaatkan bahan baku yang termasuk baru seperti ekstrak tanaman. Pengujian bahan sebagai bahan baku kosmetik antara lain meliputi uji toksisitas akut, uji iritasi kulit primer, uji iritasi kulit kumulatif, uji sensitisasi, uji iritasi mata, uji mutagenik dan juga uji patch test pada manusia. Uji toksisitas kulit yang dilakukan pada penelitian ini adalah uji iritasi primer. Pengujian ini menggunakan 4-6 ekor kelinci jantan New Zealand dengan bobot 1.5-2 kg. Uji tingkat iritasi kulit dilakukan terhadap ekstrak jarak serta produk krim yang mengandung ekstrak jarak pagar dengan menggunakan teknik Draize test yang umum digunakan untuk mendefinisikan iritant lokal utama sebagai senyawa yang menghasilkan reaksi radang kulit. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa fraksi etil asetat daun jarak dengan dengan konsentrasi 0,1% – 1,25% tidak menyebabkan perubahan reaksi kulit (PII = 0), sedangkan konsentrasi 2,5% menyebabkan reaksi peradangan berupa eritema dan menghasilkan nilai PII sebesar 0,25 (Tabel 20). Adapun fraksi metanol daun jarak pagar dengan konsentrasi 0,064% - 1% tidak menghasilkan reaksi iritasi kulit (PII = 0).
79
Tabel 20 Hasil Primary Skin Irritation Testing Bahan uji Respon reaksi kulit* Fraksi etil asetat 0,1% ( 0 + 0 )/4 0,5% ( 0 + 0 )/4 1,25% ( 0 + 0 )/4 2,50% ( 1 + 0 )/4 Fraksi metanol 0,064% ( 0 + 0 )/4 0,1% ( 0 + 0 )/4 0,5% ( 0 + 0 )/4 1% ( 0 + 0 )/4 Produk krim Krim tanpa pengawet ( 0 + 0 )/4 Krim dg pengawet komersial ( 0 + 0 )/4 Krim dengan fraksi metanol 0,064% ( 1 + 0 )/4 Krim dengan fraksi etil asetat 1,25% ( 5 + 0 )/4 Ekstrak daun jarak Ekstrak kasar (1:1) ( 5 + 0 )/4 Fraksi metanol (1:1) ( 0 + 0 )/4 Fraksi etil asetat (1:1) ( 9 + 0 )/4 Kontrol positif (SDS 20%) (21 + 0 )/4
Nilai PII 0 0 0 0,25 0 0 0 0 0 0 0,25 1,25 1,25 0 2,25 5,25
Keterangan: Respon reaksi kulit*: (Jumlah maksimal score eritema dan pembentukan kerak + jumlah maksimal score edema)/Jumlah kelinci
Pengujian sifat iritasi terhadap produk krim memperoleh hasil bahwa produk krim yang mengandung fraksi etil asetat sebesar 1,25% menunjukkan reaksi eritema dan menghasilkan PII sebesar 1,25 (produk bersifat iritasi ringan), begitu juga produk krim dengan penambahan fraksi metanol sebesar 0,064% juga menunjukkan reaksi eritema meskipun dengan nilai PII lebih rendah yaitu 0,25 (iritasi lemah). Pada pengujian ekstrak daun jarak, ekstrak kasar menghasilkan reaksi iritasi ringan (PII = 1,25), fraksi metanol tidak menghasilkan reaksi iritasi (PII=0), sedangkan fraksi etil asetat juga menghasilkan iritasi ringan dengan PII cukup tinggi yaitu 2,25. Kontrol positif yang digunakan yaitu Sodium Dedocyl Sulfat (SDS) 20% menghasilkan tingkat iritasi parah/berat (PII = 5,25). Produk krim dengan penambahan fraksi etil asetat sebesar 1,25% sebagai zat antimikroba menyebabkan iritasi ringan (PII 1,25). Senyawa-senyawa aktif dalam fraksi etil asetat teridentifikasi dapat menyebabkan reaksi iritasi kulit, meskipun pada konsentrasi yang sama fraksi etas dalam bentuk larutan ekstrak
80
hanya menyebabkan iritasi yang bisa diabaikan (PII 0,25). Hal ini menunjukkan bahwa bentuk sediaan aplikasi mempengaruhi tingkat iritasi. Bentuk krim yang padat dapat meningkatkan penetrasi pada kulit dibandingkan bentuk larutan karena bahan dapat menempel lebih lama pada kulit. Selain itu adanya interaksi senyawa dalam ekstrak dengan senyawa lain dalam formula kosmetik juga memungkinkan untuk menimbulkan reaksi iritasi. Fraksi etil asetat ekstrak daun jarak pagar menunjukkan tingkat iritasi yang cukup besar. Hal ini disebabkan karena senyawa-senyawa dalam fraksi tersebut memiliki sifat toksik/iritasi antara lain senyawa benzeneethanol, senyawa fenol serta senyawa terpen. Senyawa diterpen yaitu ester forbol merupakan senyawa toksik jarak pagar yang bersifat mengiritasi kulit. LD50 pada mencit jantan adalah 27.34 mg/kg berat badan. Adolf et al. (1984) mengkaji tingkat iritasi turunan senyawa forbol dari empat species Jatropha dengan menggunakan prosedur distribusi kromatografi dan countercurrent. Komponen dengan tingkat iritasi tinggi yang diisolasi dari jarak pagar adalah senyawa ester forbol (12-deoxy-16-hydroxyphorbol). Iritasi kulit yang teridentifikasi pada larutan fraksi etil asetat ekstrak daun jarak serta produk krim yang mengandung ekstrak tersebut dapat disebabkan oleh kandungan ester forbol. Gejala
toksisitas
jarak
pagar
tergantung
pada
jenis
ekstrak,
dosis/kosentrasi, cara pemberian/cara aplikasi serta sensitivitas hewan yang digunakan. Fraksi toksik dari minyak jarak pagar yang diaplikasikan pada kulit kelinci dengan dosis 100μl menunjukkan reaksi eritema dan edema, yang kemudian menjadi nekrosis dan teregenerasi. Skor eritema dan edema yang dihasilkan adalah 5,83 dari total skor 8, adapun aplikasi minyak jarak pagar menghasilkan skor iritasi 0,58. Fraksi toksik yang sama yang diaplikasikan pada mencit dengan dosis 50 μl menunjukkan pembengkakan wajah, mata berdarah, diare dan eritema kulit sebelum terjadi kematian. Sedangkan aplikasi pada kulit tikus (4 jam) pada dosis 50 μl menunjukkan edema dan eritema yang kemudian menyebabkan scaling/pembentukan kerak yang parah dan terjadi penebalan kulit (Gandhi et al., 1995).
81
Beberapa
komponen
dalam
kosmetik
memang
dapat
berpotensi
mengiritasi kulit antara lain zat pengawet (zat antimikroba), antioksidan, pewangi, pewarna dan pelindung UV. Pada penelitian produk krim yang menggunakan pengawet komersial tidak menghasilkan reaksi iritasi kulit, sama dengan produk krim yang tidak menggunakan bahan pengawet. Hal ini menunjukkan bahwa bahan pengawet komersial cukup aman. Sebagaimana dilaporkan oleh FDA, pada tahun 1984, The Cosmetic Ingredient Review (CIR) telah mengkaji keamanan penggunaan bahan pengawet paraben. Disimpulkan bahwa bahan tersebut aman digunakan dalam produk kosmetik hingga level 25%. Umumnya paraben digunakan pada rentang konsentrasi 0,01 – 0,3%. Hingga saat ini kajian tentang keamanan pengawet paraben telah dilakukan beberapa kali dan hasilnya masih belum berubah tentang keamanannya. Mitsui (1997) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi respon kulit dalam pengujian iritasi kulit. Pertama adalah bahan uji yang meliputi sifat fisikokimia, kemurnian, pelarut/pengencer dan konsentrasi. Kedua adalah faktor biologi seperti faktor genetik, jenis kelamin, umur dan kondisi kulit. Faktor ketiga adalah kondisi lingkungan seperti cuaca, suhu dan kelembaban, dan faktor keempat adalah aplikasi dan penggunaan seperti frekuensi, kondisi penanganan, periode aplikasi dan penggunaan. Dalam pengujian tingkat iritasi kulit ini faktor kedua hingga keempat diasumsikan sama, sehingga hasil hanya dipengaruhi oleh sifat bahan. Beberapa bahan dalam formulasi produk kosmetik seperti surfaktan maupun pengawet memang berpotensi untuk mengiritasi kulit. Oleh karena itu dalam beberapa formula ditambahkan zat anti iritasi yang dapat mengurangi tingkat iritasi seperti penambahan alantoin dalam formula produk krim ini. Selain itu dapat juga digunakan bahan-bahan alam yang dapat mengurangi tingkat iritasi seperti jus gel lidah buaya dan sejenis lumut irish moss sebagaimana dilaporkan dalam US Patent No. 6.485.711.
4.7 Uji Sifat Alergi Uji sifat alergi ekstrak jarak pagar pada penelitian ini dilakukan menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Prinsip
82
pengujian ELISA adalah reaksi antara antibodi dan antigen, dimana reaksi yang terbentuk diamati berdasarkan perubahan warna yang terjadi pada substrat pereaksi sesuai dengan konjugat enzim/label yang digunakan. Tehnik ELISA yang digunakan adalah metode Sandwich, yaitu ekstrak jarak pagar diikat oleh 2 molekul Ab serum subjek penderita alergi (IgE) sehingga membentuk lapisan seperti ”sandwich”. Banyaknya IgE yang mengikat ekstrak dideteksi menggunakan Ab sekunder yang berkonjugasi dengan enzim HRP. Konsentrasi ekstrak yang digunakan adalah 100 μg/well (200 μg/ml, 50 μl/well), sedangkan serum subjek langsung dilapiskan pada lempeng tanpa pengenceran dengan pertimbangan konsentrasi IgE dalam serum yang cukup rendah. Pada tahap awal pengujian dilakukan deteksi IgE dalam serum subjek. Serum subjek dilapiskan dalam lempeng mikrotiter. Adanya IgE dalam serum dideteksi dengan IgG kelinci anti IgE manusia, dan IgG kelinci dideteksi dengan anti IgG kelinci yang terkonjugasi dengan HRP. Hasil deteksi IgE dalam serum subjek disajikan pada Gambar 23.
Gambar 23 Hasil deteksi IgE dalam serum darah subjek
Tiga dari enam serum terbukti positif mengandung IgE (Nilai OD lebih besar dari blanko/kontrol negatif) dan digunakan lebih lanjut untuk pengujian ekstrak jarak pagar. Tiga serum terpilih adalah serum A, serum W dan serum S,
83
dimana 2 dari 3 subjek berdasarkan hasil wawancara memiliki alergi terhadap produk jarak pagar. Pada pengujian alergenitas ekstrak jarak pagar, ekstrak jarak pagar ditambahkan pada sumur mikrotiter yang telah berisi IgE serum subjek. Setelah penambahan ekstrak, serum sebagai sumber IgE ditambahkan kembali ke dalam sumur sehingga akan terbentuk komplek antigen antibodi dalam sistem sandwich. Keberadaan komplek tersebut dideteksi dengan antibodi sekunder IgG kelinci anti IgE manusia dan anti IgG kelinci yang terkonjugasi dengan HRP (Horseradish Peroxidase). Hasil uji alergenitas ekstrak jarak pagar disajikan pada Gambar 24.
(a)
(b) Gambar 24 Hasil ELISA penentuan alergenitas ekstrak jarak pagar (a) pengenceran 1:100, (b) pengenceran 1:300
84
Hasil pengujian menunjukkan bahwa ekstrak bungkil jarak dan kulit batang bersifat alergen bagi subyek A dan S, sedangkan bagi subjek W, ekstrak bungkil tidak bersifat alergen yang terlihat dari nilai OD. Semakin besar nilai OD berarti semakin banyak komplek yang terbentuk, sementara komplek yang terbentuk menunjukan kandungan IgE dalam serum yang bereaksi dengan ekstrak jarak pagar. Maciel et al. (2009) melaporkan alergen dari biji jarak pagar yaitu berupa protein 2S albumin yang dinotasikan dengan Jat c 1. Senyawa ini dapat berikatan dengan IgE yang terikat pada sel mastosit yang dapat memicu pelepasan histamin dalam uji PCA (passive cutaneus anaphylaxis) dan uji degranulasi sel mastosit secara in vitro. Senyawa tersebut juga menunjukkan reaktivitas silang dengan alergen utama pada biji jarak kepyar Ric c1 dan Ric c3. Senyawa alergen dalam biji jarak pagar tersebut kemungkinan juga yang menyebabkan reaksi positif sifat alergenitas dari ekstrak bungkil jarak pagar. Dari ketiga bagian tanaman jarak pagar, kulit batang tanaman jarak menunjukkan sifat alergi yang paling positif (nilai OD paling tinggi). Hal ini dapat mungkin disebabkan oleh kandungan senyawa kimianya yang berpotensi menyebabkan alergi seperti jatrocurcin. Naengchomnong et al. (1994) melaporkan kandungan tetrasiklik triterpen ester jatrocurcin dalam kulit batang tanaman jarak pagar. Curcin merupakan toxalbumin yang utamanya ditemukan pada biji jarak pagar, juga pada buah dan getah. Senyawa-senyawa yang merupakan antigen/alergen umumnya adalah senyawa protein, polisakarida, glikoprotein maupun lipoprotein baik dari bahan hewani atau nabati. Alergen juga dapat berupa hapten atau senyawa molekul kecil yang membentuk komplek dengan protein. Alergen memiliki 2 sifat utama, yaitu memiliki kemampuan untuk merangsang pembentukan antibodi dan kemampuan untuk bereaksi secara spesifik dengan antibodi tersebut dan atau jaringan yang berhubungan. Adapun dari sudut pandang secara kimia, alergen harus memiliki permukaan dimana antibodi dapat membentuk permukaan yang saling melengkapi, harus memiliki urutan asam amino yang dapat berikatan dengan MHC-II, energi bebas untuk proses interaksi antara alergen dan antibodi harus mencukupi untuk memastikan terjadinya pengikatan pada konsentasi rendah dan
85
alergen harus membentuk paling sedikit 2 epitop yang bisa beraksi sebagai jembatan yang menghubungkan 2 molekul antibodi (Blumenthal dan Rosenberg 2004).