Laporan Teknis Penelitian Tahun Anggaran 2011 Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
PERAKITAN GALUR/MUTAN JAHE PUTIH KECIL TOLERAN BERCAK DAUN >70%, PRODUKTIVITAS > 12 T/HA DAN KADAR MINYAK ATSIRI > 3,5% DENGAN TEKNIK IRRADIASI N. Bermawie, N. Laela W. M., Melati, S. Purwiyanti, D. Wahyuno dan D. Manohara ABSTRAK Penyakit bercak daun yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia, Phyllosticta dan Cercospora, menjadi masalah utama dalam usahatani jahe di beberapa sentra produksi di Indonesia (Bengkulu, Jawa Barat, dan Jawa Tengah) dengan tingkat kerusakan daun sampai 90%. Serangan bercak daun mengakibatkan pertumbuhan tanaman kerdil, produksi rimpang dan mutu menurun. Penggunaan varietas toleran penyakit menjadi salah satu alternatif yang perlu dipertimbangkan. Sampai saat ini belum ditemukan varietas jahe yang toleran. Jahe merupakan tanaman introduksi yang selalu diperbanyak secara vegetatif karena steril, sehingga keragaman genetik plasma nutfah di alam rendah. Oleh sebab itu dilakukan peningkatan keragaman antara lain melalui induksi mutasi dengan irradiasi sinar gamma Co60 pada benih jahe (rimpang). Percobaan dilakukan di KP Cicurug (MV1) kemudian hasil panen MV1 ditanam di KP Cicurug dan rumah kaca (MV2). Percobaan disusun berdasarkan rancangan split plot dengan petak utama yaitu aksesi 1 dan aksesi 2 serta anak petak adalah 4 dosis yaitu 0, 5, 10, 15 Gy. Perlakuan diulang sebanyak 5 kali, setiap perlakuan menggunakan 5 benih (ukuran ± 50 g/benih). Irradiasi menimbulkan keragaman pada karakter morfologi, komponen hasil, mutu dan ketahanan. Pada aksesi 1 irradiasi dosis 5 dan 10 Gy, mampu menurunkan tingkat serangan penyakit bercak daun <30%. Irradiasi menurunkan bobot rimpang, namun sampai dosis 5 Gy bobot rimpang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Irradiasi juga menurunkan kadar minyak atsiri pada jahe putih kecil <3,5%, namun masih lebih tinggi dari standar MMI (1,6%). Untuk penelitian lebih lanjut dua populasi hasil irradiasi (A1D1 dan A1D2) dengan tingkat serangan <30% dan populasi A1D1 dan A1D2 yang memiliki pola pita RAPD berbeda dan tidak terserang bercak daun akan dipilih untuk diteliti lebih lanjut. Perlu dilakukan irradiasi dengan dosis <5 Gy, untuk menghasilkan mutan dengan ketahanan >70%, kadar minyak atsiri >3,5% dan produktivitas >12 t/ha. Kata kunci: jahe putih kecil, bercak daun, irradiasi, sinar gamma, toleran ABSTRACT Leafspot caused by Pyricularia, Phyllosticta and Cercospora, have been one of the major consraints in ginger cultivation in several ginger production centres in Indonesia (Bengkulu, Jawa Barat, and Jawa Tengah). The disease caused damage on leaves up to 90%. Severe leafspot caused plants to become dwarf and consequently reduce rhizome yield and quality. The use of tolerant variety is one of the alternatives to solve the problem. There were no tolerant varieties available, including in the germ plasm collection. Ginger is propagated vegetatively and high sterility of the flowers, so that the genetic variability in natural population is small. Induction of genetic varibility using gamma Co60 irradiation may increase genetic variability of the population. The irradiated plants (MV1) were planted KP. Cicurug (January-April 2011) then harvested (MV2) and regrown in the greenhouse and planting in KP. Cicurug, Sukabumi (May-December 2011). The experiment used a split plot design with main plots were accession 1 and accession 2 and then subplot were 4 doses of 0, 5, 10, 15 Gy. The treatment was replicated 5 times, each treatment contains 5 seed (size ±50g/ seed). Irradiation caused variation in morphological characters, yield components, quality and durability. On the accession 1 irradiation dose of 5 and 10 Gy, can reduce the level of leaf spot disease <30%. But, iradiation reduced rhizomes weight, but until at dose 5 Gy rhizome weights was not significantly different from controls. Irradiation also reduced levels of essential oil in a small white ginger <3,5%, but still higher
299
Nurliani Bermawie, dkk
than the standard MMI (1,6%). For further study of two populations of irradiation (A1D1 and A1D2) with the disease incidence <30% and A1D1 and A1D2 population that has a different RAPD banding pattern and not attacked by leaf spot will be selected for further investigation. It is necessary to do more irradiation using lower irradiation dose <5 Gy, to generate mutants with resistance > 70%, volatile oil content > 3,5% and productivity> 12 t/ha. Keywords: small white ginger, leafspots, gamma irradiation, tolerance. PENDAHULUAN Jahe (Zingiber officinale Rosc.) termasuk yang telah sejak ribuan tahun digunakan dan diperdagangkan secara luas di dunia, sebab jahe merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai banyak kegunaan baik sebagai rempah, obat maupun bahan makanan. Di Indonesia dikenal tiga tipe jahe yaitu jahe putih besar (jahe gajah atau jahe badak), jahe putih kecil (jahe emprit) dan jahe merah (jahe sunti) (Rugayah, 1994). Dalam industri makanan dan minuman jahe putih besar digunakan untuk penghangat tubuh, sedangkan jahe putih kecil dan jahe merah minyak atsirinya banyak digunakan untuk bahan baku obat-obatan untuk meredakan sakit perut dan nyeri akibat haid, meningkatkan daya tahan tubuh dan melancarkan peredaran darah (Benge, 2000). Menurut Beers (2001) diantara banyaknya kegunaan jahe yang utama adalah untuk menghangatkan tubuh dan sekarang jahe di negara-negara barat direkomendasikan untuk mengurangi “morning sickness”. Jusnya biasa digunakan untuk mengobati batuk, kudis, luka, galian langsing, galian singset, sehat wanita, sehat lelaki, galian bersalin. Berkembangnya pemanfaatan rimpang dari jahe sebagai bahan baku obat tradisional, fitofarmaka maupun industri makanan dan minuman di dalam maupun di luar negeri membutuhkan pasokan bahan baku yang produksinya berkesinambungan, dan mutunya terjamin, sehingga perlu penanganan yang benar-benar efektif dan efisien. Sebagai komoditi andalan nasional baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor, budidaya jahe belum dilakukan secara optimal, hal ini terlihat dari produksi dan mutu jahe yang cenderung semakin menurun. Penurunan produksi dan mutu jahe disebabkan antara lain oleh serangan penyakit bercak daun yang disebabkan oleh jamur Phyllosticta zingiber. Serangan bercak daun semakin meluas pada pertanaman jahe hampir di semua pertanaman jahe di Indonesia. Pada daerah dengan kelembaban tinggi, pertanaman jahe agak ternaungi, penyakit bercak daun menjadi masalah yang serius apabila serangannya terjadi sejak tanaman masih muda (2-3 bulan). Hampir seluruh daun menjadi rusak sehingga pertumbuhan tanaman menjadi kerdil. Penyakit bercak daun diduga tersebar melalui benih (rimpang jahe), air dan angin sehingga mudah sekali menyebar. Gejala yang terlihat adalah adanya bintik-bintik kuning cukup banyak, makin lama makin meluas hingga terbentuk bercak. Pada serangan berat daun menjadi rusak, menguning, mengecil dan daun muda yang baru muncul akan menampakkan gejala klorosis, sehingga produktivitas dan mutu rimpang menurun. Penanggulangan dengan penyemprotan fungisida selain kurang efektif, selain juga menambah biaya usahatani serta merusak lingkungan dan berdampak buruk terhadap kesehatan konsumen. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu dilakukan perakitan varietas unggul tahan penyakit. Keberhasilan perakitan varietas unggul melalui pemuliaan, sangat ditentukan oleh tersedianya keragaman genetik yang luas (Smith dan Duvick, 1989). Apabila keragaman genetik suatu sifat sempit, setiap individu dalam populasi tersebut secara teoritis sama, sehingga tidak akan didapatkan perbaikan sifat yang berarti (Poehlman, 1979 dalam Haeruman et al., 1990). Jahe merupakan tanaman introduksi dan selalu diperbanyak secara vegetatif sehingga diduga keragaman genetiknya sempit (Purseglove et al., 1981). Untuk mendukung perakitan varietas unggul perlu dilakukan peningkatkan keragaman genetik antara lain melalui induksi mutasi (Suwarno dan Silitonga, 2006). Mutasi adalah
300
Perakitan galur mutan jahe putih kecil toleran bercak daun >70 %, produktivitas > 12 t/ha dan kadar minyak atsiri > 3.5% dengan teknik irradiasi
perubahan pada materi genetik suatu makhluk yang terjadi secara tiba-tiba, acak, dan merupakan dasar bagi sumber variasi organisme hidup yang bersifat terwariskan (heritable). Mutasi dapat terjadi secara spontan di alam (spontaneous mutation) dan dapat juga terjadi melalui induksi (induced mutation). Mutasi induksi merupakan salah satu cara untuk menimbulkan keragaman genetik, yang dapat dilakukan dengan cara fisik menggunakan irradiasi atau dengan cara kimia menggunakan senyawa yang bersifat mutagen. Mutasi buatan telah memberikan kontribusi nyata terhadap perbaikan tanaman di dunia (Maluszynski et al., 1995 cit., Sudjindro, 2008). Menurut Broert jes, C. dan A.M. Van Harten (1988) cit., Dwimahyan (2006), mutasi induksi menggunakan sinar gamma (Cobalt60), mudah diaplikasikan dan menghasilkan frekuensi mutasi yang tinggi. Choudary dan Dnyansagar (1982); Scossiroli (1977) dalam Haeruman et al., 1990) pada generasi VM2 dan VM3 terungkap bahwa irradiasi sinar gamma paling efektif dibanding dengan mutagen kimia, karena menghasilkan jenis varians yang maksimum dan memiliki spektrum yang luas. Variasi fenotipik sifat-sifat morfologi atau sifat pada populasi yang diirradiasi ternyata lebih besar dibandingkan dengan pada populasi tanpa irradiasi. Hal ini disebabkan variasi genetik sifat-sifat pada populasi dengan perlakuan irradiasi cenderung lebih besar, karena irradiasi menghasilkan individu-individu yang secara genetis lebih bervariasi. Salah satu hasil yang signifikan dari induksi mutasi melalui irradiasi adalah ketahanan terhadap penyakit. Keberhasilan upaya irradiasi untuk meningkatkan keragaman populasi sangat ditentukan oleh radiosensitivitas tanaman (Banerji dan Datta, 1992 cit., Herison et al., 2008), selain beberapa faktor lain seperti genotipe, bagian tanaman diiradiasi, stadia perkembangan sel tanaman, jumlah kromosom, umur jaringan, oksigen, temperatur, dan dosis irradiasi. Pemuliaan mutasi pada tanaman yang diperbanyak secara vegetatif lebih efektif karena dapat mengubah satu atau beberapa karakter tanpa mengubah karakteristik kultivar asalnya. Jahe (Zingiber officiniale Rosc.) merupakan salah satu tanaman obat yang memiliki demand cukup tinggi di pasar domestik dan ekspor. Permintaan jahe dalam negeri dan ekspor yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Trend peningkatan konsumsi tumbuh 18,71% setiap tahunnya selama periode 1984-1990. Kebutuhan rimpang jahe untuk 10 industri besar obat tradisional dan 12 industri obat tradisional menengah pada tahun 1995–1999, mencapai 1.364.270kg, diluar untuk kebutuhan lainnya yang mencapai 36.200kg/bulan. Ekspor Indonesia akan komoditas jahe meningkat 101,8% setiap tahunnya untuk kurun waktu antara tahun 1986-1990. Peningkatan ekspor jahe ini menunjukkan pangsa pasar jahe Indonesia di pasar Internasional dari 2,4% tahun 1988 menjadi 12,9% tahun 1991, walaupun terjadi penurunan demand jahe di pasar internasional pada tahun 1995 menjadi 9% per tahun, namun demand kembali meningkat pada tahun 2002 menjadi 13% setiap tahunnya. Ekspor jahe Indonesia rata-rata meningkat 32.75% per tahun. Sedangkan pangsa pasar jahe Indonesia terhadap pasar dunia 0,8%, hal ini berarti bahwa peluang Indonesia sangat besar untuk meningkatkan ekspor. Permintaan yang tinggi baik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dan untuk meningkatkan daya saing, mutu dan produk ekspor, pemerintah melalui Direktorat Jenderal Hortikultura menempatkan jahe sebagai komoditas prioritas untuk dikembangkan. Pengembangan ini perlu didukung oleh inovasi teknologi yang tepat, antara lain tersedianya benih unggul. Permasalahan dalam perakitan varietas unggul jahe adalah rendahnya keragaman materi genetik yang tersedia di alam. Untuk meningkatkan keragaman genetik perlu dilakukan induksi keragaman melalui mutasi. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk memperoleh lima populasi jahe putih kecil (VM2) hasil irradiasi, yang nantinya diharapkan akan didapat lima populasi jahe putih kecil yang toleran terhadap penyakit bercak daun >70%, produktivitas >12 t/ha dan kadar minyak atsiri >3,5%.
301
Nurliani Bermawie, dkk
BAHAN DAN METODE Pemeliharaan pertanaman jahe putih kecil (VM1) akan terus dilakukan di KP Cicurug hingga panen (Januari-Juni 2011). Hasil panen (VM2) digunakan sebagai bibit pada pertanaman selanjutnya. Penanaman populasi jahe putih kecil VM2 dilakukan di rumah kaca Balittro pada bulan Agustus-Desember 2011. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, embrat, sigmat elektrik, penggaris besi, pisau, tampah, kain hitam dan bak persemaian, sedangkan bahan yang digunakan adalah cocopit, tanah, pupuk kandang, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCl, gandasil D, pestisida. Tahapan pelaksanaan
Pemeliharaan, tingkat toleransi, pengamatan penanda morfologi, penanda anatomi populasi jahe putih kecil VM1 Pemeliharaan populasi jahe putih kecil VM1 Penanaman rimpang jahe hasil radiasi (VM1), pemeliharaan tanaman di lapang hingga umur 4 bulan dan pengamatan pertumbuhan tanaman umur 3 bulan telah dilakukan pada tahun 2010. Tahun 2011 ini meneruskan kegiatan sebelumnya yaitu pemeliharaan tanaman hingga panen (Januari-Juni 2011), pengamatan pertumbuhan tanaman umur 6 dan 9 bulan dan panen. Pemeliharaan meliputi: Apabila tidak ada hujan, penyiraman dilakukan 2 hari sekali hingga tanaman berumur 8 bulan, setelah itu tanaman tidak perlu disiram karena saat itulah fase pengisian rimpang. Jika pada fase pengisian rimpang terlalu banyak air, akan mengakibatkan terjadinya kebusukan. Penyiangan dilakukan satu minggu sekali untuk menghindarkan tanaman dari persaingan tumbuh dan penyakit dengan gulma. Pembumbunan dilakukan saat tanaman berumur sekitar 8 bulan, yang bertujuan untuk melindungi jahe yang kemungkinan muncul diatas tanah. Jahe yang muncul diatas permukaan tanah akan mengalami kebusukan akibat terkena air hujan ataupun pengeroposan rimpang akibat tidak memperoleh suplai makanan. Tingkat toleransi, pengamatan penanda morfologi dan penanda anatomi populasi jahe putih kecil VM1 Pengamatan morfologi tanaman dilakukan pada 10-15 populasi berdasarkan pertumbuhan tanaman dan tingkat toleran terhadap penyakit bercak daun yang berbeda dengan kontrol. Tingkat toleransi terhadap bercak daun diamati dengan menggunakan sistem scoring Viji et al., (2001) pada bulan ke 4 setelah tanam. Pengamatan karakter morfologi dibagi menjadi dua, yaitu karakter kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan karakter kualitatif akan dilakukan saat pertumbuhan vagetatif tanaman optimal antara umur 5-6 bulan dengan cara observasi pada masing-masing populasi. Pengamatan karakter kuantitatif dibagi menjadi 2 yaitu karakter pertumbuhan dan potensi hasil. Karakter yang akan diamati sesuai dengan PPI Jahe (Panduan Pengujian Individual Jahe, 2007). Panen jahe akan dilakukan pada umur 10 bulan setelah tanam. Rimpang jahe yang telah di panen diproses untuk analisis mutu. Analisa mutu yang dilakukan meliputi analisa mutu proximat (kadar air, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sari larut dalam air dan kadar sari larut dalam alkohol) mengacu pada standar Materia Medika Indonesia (MMI), kadar pati (menggunakan metode titrimetri), kadar serat (menggunakan metode grafimetri), kadar minyak atsiri (dengan metode destilasi), fitokimia (alkaloid, tanin, saponin, fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid dan glikosida) dan kadar gingerol (menggunakan metode TLC scanner).
302
Perakitan galur mutan jahe putih kecil toleran bercak daun >70 %, produktivitas > 12 t/ha dan kadar minyak atsiri > 3.5% dengan teknik irradiasi
Penanda anatomi dapat dilihat dengan pengamatan stomata. Pengamatan ini berguna untuk mengetahui kerapatan stomata dan indeks stomata antar daun pada tanaman yang berbeda. Penanaman, pemeliharaan, inokulasi, seleksi, pengamatan penanda morfologi, penanda anatomi dan penanda molekuler populasi jahe putih kecil VM2 Penanaman dan pemeliharaan populasi jahe putih kecil VM2 Bibit jahe yang digunakan untuk pertanaman populasi VM2 berasal dari pertanaman VM1. Rimpang hasil panen, ditunaskan terlebih dahulu dengan cara penyemaian yaitu menghamparkan rimpang di dalam bak persemaian dengan media tanam cocopit. Untuk mencegah infeksi bakteri, sebelum penanaman di bak persemaian dilakukan perendaman dahulu dalam larutan antibiotik sesuai dosis anjuran, kemudian dikeringanginkan. Selama penyemaian, penyiraman dilakukan setiap hari untuk menjaga kelembaban rimpang. Setelah berumur 1 bulan di bak persemaian rimpang dipindahkan ke rumah kaca. Rimpang yang telah bertunas ditanam pada polibag berukuran 60 x 60 cm dengan menggunakan media campuran pupuk kandang dan tanah 2 : 1. Dasar dari polybag diberikan tanah kemudian tanah bagian atas saja yang dicampur dengan pupuk kandang untuk meningkatkan keefisienan penggunaan pupuk, sehingga berat polybag yang telah diberikan media yaitu 15-20 kg. Pencampuran pupuk kandang dan tanah ini dilakukan 2 4 minggu sebelum tanam. Sedangkan dosis pupuk buatan SP-36 dan KCl sebanyak 2 g/polybag, diberikan pada saat tanam. Pupuk urea diberikan 3 kali pada umur 1, 2 dan 3 bulan setelah tanam sebanyak 3 g/polybag, masing-masing 1/3 dosis setiap pemberian. Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman setiap hari, pembersihan gulma dua minggu sekali dan pengendalian hama penyakit yang menyerang. Setiap aksesi ditanam sebanyak 10 polybag. Inokulasi dan seleksi populasi jahe putih kecil VM2 yang toleran bercak daun Populasi jahe putih kecil VM2 yang berumur kira-kira 3-4 bulan di lapang diinokulasi dengan isolat penyebab penyakit bercak daun setelah itu tanaman jahe VM2 yang telah ditanam di polybag, diseleksi kembali berdasarkan penanda morfologi dan RAPD, diamati tingkat tolerannya terhadap penyakit bercak daun dengan mengukur tingkat kerusakan tanaman menggunakan teknik skoring. Skala yang digunakan mengacu pada Viji et al., (2001). Skoring dilakukan pada 3 daun yaitu daun ke 5,6 dan 7. Seleksi tingkat toleransi terhadap penyakit bercak daun dan produktivitas dilakukan secara bersamaan saat dilakukannya panen sehingga terpilih 10 populasi jahe putih kecil VM2 terbaik. Persentase serangan =
Tingkat serangan = Keterangan : (0,1, 2, ... 10) N0 – N10 Skoring 0 1 2 3 4 5
(0 xN
o
daunterserang x100% daunsehat
) (1xN 1 ) ... (10 xN 10 )
( daunsakitxN10 )
= = = = = = = =
x100%
Daun yang menunjukkan bercak pada setiap skoring Jumlah daun yang terserang pada setiap skoring Tidak ada bercak Bercak 0% Bercak 10% Bercak 20% Bercak 30% Bercak 40%
303
Nurliani Bermawie, dkk
= = = = =
6 7 8 9 10
Bercak Bercak Bercak Bercak Bercak
50% 60% 70% 80% 90%
Pengamatan penanda morfologi, penanda anatomi dan penanda molekuler populasi jahe putih kecil VM2 Penanda Morfologi. Penanda morfologi dibagi menjadi dua, yaitu karakter kualitatif dan kuantitatif. Pengamatan Karakter kualitatif akan dilakukan saat pertumbuhan vagetatif tanaman optimal antara umur 5-6 bulan dengan cara observasi pada masing-masing aksesi. Pengamatan karakter kuantitatif terbagi menjadi 2 yaitu karakter pertumbuhan dan potensi hasil. Karakter pertumbuhan dilakukan sejak tanaman berumur 1 bulan hingga tanaman luruh pada semua tanaman, sedangkan karakter potensi hasil diamati saat panen. Setelah panen rhizome diproses agar dapat dianalisis mutunya. Peubah yang akan diamati meliputi : Tanaman : (a) Bentuk pertumbuhan tanaman (tegak, semi tegak, menyebar) (b) Arah pertumbuhan daun tertinggi (tegak, semi tegak, menyebar), dan (c) Tinggi tanaman (cm) Daun : (a) Bentuk daun, (b) Bentuk pertulangan daun, (c) Tekstur permukaan daun, (d) Intensitas warna hijau daun (terang, sedang, gelap), (e) Jumlah daun pada batang utama (tertinggi), (f) Panjang daun (cm), (g) Lebar Daun (cm), (h) Luas daun (cm), Batang : (a) Tekstur permukaan batang, (b) Intensitas warna hijau batang (terang, sedang, gelap), (c) Warna anthocyanin (sangat pucat, pucat, sedang, kuat, sangat kuat), (d) Panjang batang (cm), (e) Jumlah batang, (f) Diameter batang (mm), Rimpang : (a) Bentuk rimpang, (b) Warna kulit rimpang, (c) Tekstur permukaan rimpang, (d) Warna anthocyanin tunas (sangat pucat, pucat, sedang, kuat, sangat kuat), (e) Warna daging rimpang, (f) Bobot rimpang total, (g) Jumlah propagul, (h) Ukuran propagul (panjang, lebar dan tebal), dan (i) Bobot propagul Penanda Anatomi (Stomata) Daun segar dari masing-masing perlakuan dan ulangan diambil 3 lembar, kemudian permukaan bawah daun diolesi dengan cat kuku, dibiarkan sekitar 5-10 menit. Setelah agak kering cat kuku ditempeli dengan selotip bening kemudian dikelupas. Sampel yang diperoleh diletakkan di atas gelas objek (jangan terbalik). Supaya tidak lepas susut-sudut gelas penutup ditetesi cat kuku. Pengamatan kemudian dilakukan di bawah mikroskop, dengan masing-masing aksesi dan ulangan 2 bidang pandang pada perbesaran mikroskop 400x. Kerapatan stomata =
Indeks stomata =
stomata
Luasbidangpandang (mm 2 )
stomata x100% stomata selepiderm is
Penanda Molekuler (Analisa RAPD) Pada saat tanaman mengalami pertumbuhan morfologi yang optimal (5-6 bulan), sampel daun dari beberapa tanaman terseleksi diambil untuk dianalisis keragamannya dengan penanda RAPD. Analisis molekuler dilakukan terhadap 20 sampel tanaman dengan menggunakan 5 primer di laboratorium BB Biogen. Selanjutnya berdasarkan pola pita yang ada dilakukan analisa gerombol berdasarkan UPGMA menggunakan NTSYSpc.
304
Perakitan galur mutan jahe putih kecil toleran bercak daun >70 %, produktivitas > 12 t/ha dan kadar minyak atsiri > 3.5% dengan teknik irradiasi
HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pertumbuhan VM1 Pengamatan pertumbuhan pada umur 9 Bulan Setelah Tanam (BST) pada tanaman jahe hasil irradiasi (VM1) menghasilkan 8 populasi yang mampu bertunas dari 22 populasi yang diuji. Delapan populasi tersebut adalah pada aksesi 1 dengan dosis irradiasi 0, 5, 10 dan 15 Gy (A1D0, A1D1, A1D2, A1D3), dan pada aksesi 2 dengan dosis 0, 5, 10 , 15 Gy (A2D0, A2D1, A2D2 dan A2D3) sedangkan populasi yang lainnya tidak mampu bertunas. Karakter pertumbuhan tanaman (VM1) dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Karakteristik Pertumbuhan VM1 umur 9 BST Prlk
Tinggi Tanaman
Panjang Batang
A1D0
51.79
a
34.04a
A1D1
47.36
a
A1D2
33.73
c
A1D3
17.40
d
A2D0
47.92
a
A2D1
44.96
ab
A2D2
39.75
A2D3
18.52
Jumlah Daun
Diameter Batang
Jumlah Anakan
14.05 a
7.52
ab
8.41 b
19.35
a
2.55
a
0.19
a
30.31a
12.99 ab
7.69
a
6.27 c
19.32
a
2.44
ab
0.18
ab
17.84b
8.72 c
6.48
b
3.12 d
13.46
b
2.12
d
0.15
bc
8.13c
7.00 c
4.42
c
1.00 e
8.78
c
1.63
e
0.14
c
31.15a
13.33 ab
7.55
ab 13.62 a
18.93
a
2.38
abc
0.17
abc
29.54a
14.04 a
7.34
ab 12.40 a
18.25
a
2.31
bc
0.18
ab
bc
23.54b
11.85 b
7.41
ab
6.79 bc
16.54
a
2.24
dc
0.18
ab
d
11.95c
c
2.23 de
9.43
c
1.68
e
0.15
bc
7.39 c
4.77
%KK
10.39
13.99
8.89
9.26
Prlk
**
**
**
**
Panjang Daun
Lebar Daun
Tebal daun
16.99
11.07
4.68
11.63
**
**
**
tn
Hasil analisa data menunjukkan bahwa parameter pertumbuhan jahe putih kecil antar perlakuan sangat berbeda nyata pada karakter tinggi tanaman, panjang batang, jumlah daun, diameter batang, jumlah anakan, panjang daun, lebar daun sedangkan pada parameter tebal daun tidak berbeda nyata antar perlakuan. Perlakukan kontrol dan dosis irradiasi 5 Gy tidak berbeda nyata,namun secara umum irradiasi cenderung memperkecil ukuran tanaman. Pada kedua aksesi, semakin tinggi dosis irradiasi tanaman semakin pendek, ukuran daun semakin kecil, jumlah daun dan anakan semakin sedikit. Hasil tersebut sejalan dengan Abdullah et al, 2009 yang menyatakan bahwa pemberian dosis irradiasi pada rimpang Curcuma alismatifolia menunjukkan semakin tinggi dosis yang diberikan maka ukuran tanaman akan semakin rendah. Berdasarkan ukuran tanaman maka dosis irradiasi terbaik adalah 5 Gy. Karakter Produksi VM2 (Hasil Pertanaman VM1) Karakter komponen hasil tanaman jahe putih kecil MV2 pada saat panen berumur 9 BST dapat dilihat pada Tabel 2. Hasil analisis data menunjukkan bahwa pada parameter bobot rimpang, panjang rimpang, lebar rimpang, tebal rimpang, jumlah propagul berbeda nyata antar perlakuan sedangkan pada parameter panjang propagul dan lebar propagul tidak berbeda nyata antar perlakuan. Aksesi 1 dosis 0 dan dosis 5 Gy (A1D0 dan A1D1) memiliki bobot rimpang, panjang rimpang, lebar rimpang, jumlah propagul dan lebar propagul yang tinggi, sedangkan pada dosis 15 Gy (A1D3) nilainya rendah. Pada karakter bobot rimpang perlakuan aksesi 2, dosis 0 (A2D0) memiliki bobot rimpang, panjang rimpang, lebar rimpang, jumlah propagul tertinggi dan tidak berbeda nyata dengan dosis 5 Gy (A2D1) pada semua parameter. Sedangkan tanaman yang diberikan dosis 15 Gy (A2D3) memiliki nilai terendah. Seperti pada parameter pertumbuhan, pada parameter komponen hasil perlakukan kontrol tidak berbeda nyata dengan dosis irradiasi 5 Gy. Semakin tinggi dosis irradiasi ukuran rimpang semakin mengecil. Berdasarkan parameter tersebut, dosis 5 Gy merupakan dosis terbaik. Dari hasil analisa menunjukkan bahwa bobot rimpang yang dihasilkan pada aksesi 2 tidak
305
Nurliani Bermawie, dkk
berbeda nyata dengan aksesi 1, sekitar 200-250 g atau setara dengan 9.2 – 9.5t/ha, padahal potensinya sampai 16t/ha. Rendahnya bobot rimpang disebabkan pada saat pelaksanaan penelitian ini terjadi kemarau panjang, sehingga tanaman kekurangan air. Sekalipun dilakukan penyiraman namun suhu udara dan kelembaban yang rendah menyebakan pertumbuhan tanaman tidak optimal. Tabel 2. Karakteristik Produksi VM2 pada 9 BST Prlk
Bobot Rimpang
Panjang Rimpang
Lebar Rimpang
Tebal Rimpang 10.43 a
Jumlah Propagul 18.27 ab
Panjang Propagul 4.38 a
Lebar Propagul
A1D0
238.34 ab 18.74 abc
8.90 a
A1D1
233.30 ab 19.34 ab
7.65 ab
9.39 ab
23.03 ab
4.11 a
A1D2
116.14 cd 14.67 c
4.84 c
8.92 abc
17.65 ab
3.53 ab 1.87 bc 2.16 b
2.68 a 2.29 abc 1.71 c
Diameter propagul 21.49b 23.90a 20.31bc
A1D3
46.98 d
7.90 d
4.40 c
4.85 d
7.75 c
A2D0
254.60 a
20.92 a
8.91 a
9.42 ab
27.00 a
3.50 ab 2.26 abc
21.10bc
A2D1
204.83 ab 18.97 ab
8.14 ab
9.05 abc
20.08 ab
4.11 a
22.24ab
A2D2
160.14 bc 18.33 abc
6.50 bc
7.92 bc
15.19 bc
3.30 ab 2.52 ab
20.81bc
A2D3
121.17 dc 16.60 bc
6.16 bc
7.20 c
15.19 bc
2.24 ab 2.26 abc
19.44c
%KK
25.33
12.87
17.07
11.67
28.00
20.84
17.23
5.12
**
**
*
**
**
tn
tn
**
2.72 a
14.39d
Intensitas Serangan VM1 Intensitas serangan bercak daun terhadap dua aksesi dan 4 dosis yaitu D0 (0 Gy), D1 (5 Gy), D2 (10 Gy), D3 (15 Gy) dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Histogram Intensitas Serangan pada Umur 7 Bulan Hasil pengamatan terhadap intensitas serangan bercak daun pada aksesi 1 dengan dosis irradiasi 0, 5, 10 Gy (A1D0, A1D1, A1D20), tingkat serangan penyakit bercak daun lebih rendah dibandingkan dengan aksesi 2 pada dosis 5, 10, 15 Gy (A2D1, A2D2, A2D3). Hal tersebut diduga aksesi 1 lebih toleran terhadap serangan penyakit bercak daun. Pada aksesi 1, dosis irraidasi 15 Gy tidak menunjukkan adanya serangan bercak daun, sedangkan pada dosis 5-10 Gy tingkat serangan dibawah 30%, sehingga sesuai dengan target output penelitian ini dan layak untuk dipilih untuk diteliti lebih lanjut. Pada aksesi 2, tanaman kontrol (A2D0) tidak terdapat serangan sama sekali, sedangkan pada perlakukan irradiasi semua dosis terserang bercak daun dengan tingkat serangan di atas 30%, sehingga aksesi 2 tidak layak untuk dipilih lebih lanjut. Data ini menunjukkan bahwa tiap aksesi memiliki respon yang berbeda terhadap irradiasi, susunan genetik
306
Perakitan galur mutan jahe putih kecil toleran bercak daun >70 %, produktivitas > 12 t/ha dan kadar minyak atsiri > 3.5% dengan teknik irradiasi
aksesi diduga berpengaruh terhadap respon tanaman. Pemilihan aksesi yang tepat dan dosis yang tepat menentukan keberhasilan irradiasi. Karakter Mutu Pertanaman VM2 Rimpang yang telah selesai ditimbang kemudian dipotong tipis dan dikeringkan dengan menggunakan oven pada suhu 45 oC selama lebih kurang 3 hari. Prosesing pasca panen ini ditujukan untuk menghasilkan sampel bahan yang akan digunakan untuk analisis mutu. Mutu Proximat Menurut Materia Medika Indonesia (MMI) analisis mutu proximat pada bahan baku tanaman obat meliputi kadar air, kadar minyak atsiri, kadar abu, kadar abu tak larut asam, kadar sari larut air, kadar sari larut alkohol, kadar serat, kadar pati, kadar gingerol. Mutu proximat biasanya digunakan untuk mengetahui mutu bahan yang digunakan. Hasil analisa mutu dapat dilihat pada Tabel 3. Dari hasil rata-rata analisis kadar minyak atsiri semua perlakukan irradiasi maupun kontrol dan varietas asal (D0) menghasilkan kadar minyak atsiri lebih tinggi dari standar MMI. Perlakukan irradiasi dosis 5 Gy pada kedua aksesi menurunkan kadar minyak atsiri, namun meningkat kembali pada perlakuan 10 Gy. Sekalipun pada dosis 5 Gy kadar minyak atisir lebih kecil dari tanaman kontrol (varietas asal) namun nilainya tetap lebih tinggi dari standar MMI. Kadar abu pada kedua aksesi menunjukkan hasil diatas standar MMI. Tingginya nilai kadar abu menunjukkan bahwa pada prosesing bahan baku kurang bersih, sehingga masih terdapat kotoran yang tinggi, sehingga bukan disebabkan oleh aksesinya. Kadar asam lebih rendah dari MMI untuk semua perlakukan dan aksesi. Kadar sari larut air menentukan mutu ekstrak air untuk minuman, sedangkan kadar sari larut alkohol menentukan mutu ekstrak alkohol. Untuk kadar sari larut air dan sari larut alkohol semua perlakukan dan aksesi lebih tinggi dari MMI, menunjukkan bahwa mutunya baik. Tabel 3. Mutu Proximat VM2 pada Panen 9 BST Perlakuan A1D0 A1D1 A1D2 A2D0 A2D1 A2D2 Kontrol (Halina1) Kontrol (Halina2) MMI (simplisia) MMI (ekstrak)
Kadar Minyak air atsiri(%) (%) 6.88 6.94 5.74 5.67 6.72 5.88
Kadar abu (%)
Abu tak Larut Asam 0.50 0.00 0.06 0.00 0.00 0.55
Kadar sari larut Air 24.38 20.61 23.68 21.99 21.66 21.18
Kadar Sari larut alkohol 16.54 11.74 11.58 11.16 15.26 11.78
Kadar Serat
Kadar Karbohidrat sbg Pati
Kadar Ginger ol
9.50 14.56 9.31 9.57 10.16 10.87
41.95 45.03 35.94 42.34 40.14 35.48
0.86 0.80 0.85 0.82 0.77 0.48
3.35 2.52 3.16 3.66 2.28 3.32
6.65 7.98 9.55 7.17 7.86 9.56
2.92
5.84
22.61
9.06
7.88
43.30
2.86
9.07
22.00
5.85
7.64
45.16
>0.7
<5.00
<3.90
≥15.60
≥4.30
≥1.6
≤7.6
≤1.9
Komponen Fitokimia Pengujian komponen fitokimia pada penelitian ini dilakukan dengan cara kualitatif sehingga hasil yang diperoleh berupa tingkat kekuatan kandungan komponen tersebut yang dinyatakan dalam bentuk tanda positif (+). Semakin banyak (+) menunjukkan kandungan komponen tersemakin tinggi. Komponen fitokimia yang diuji meliputi alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid triterpenoid, steroid dan glikosida (Tabel 4).
307
Nurliani Bermawie, dkk
Tabel 4. Kandungan Fitokimia dua aksesi JPK pada tiga dosis iradiasi Hasil Pengujian/Pemeriksaan (No. Contoh/Kode) Perlakuan
Uji Fitokimia Alkaloid
Saponin
Tanin
Fenolik
Flavonoid
A1D0
+++
A1D1
++++
A1D2
-
+
++++
++++
-
++
++++
++++
++++
-
++++
+++
-
+
++++
++++
++++
-
++++
A2D0
+++
-
+
++++
++++
++++
-
++++
A2D1
+++
+
+
++++
++++
++++
-
++++
+++
+
++
++++
++++
++++
-
++++
A2D2 Keterangan
Triterpenoid Steroid Glikosida ++++
-
++++
: + Positif Lemah ++: Positif +++ : Positif Kuat ++++: Positif Kuat Sekali
Berdasarkan uji fitokimia pada laboratorium uji mutu menunjukkan bahwa tidak terdapat perubahan yang berarti pada jahe hasil irradiasi untuk semua parameter uji. Aksesi 1 dosis 5 Gy menghasilkan alkaloid pada A1D1 positif kuat sekali, sedangkan perlakuan lainnya positif kuat. Tidak terdapat saponin pada aksesi 1 (kontrol dan perlakukan) dan aksesi 2 kontrol, saponin terdeteksi lemah pada aksesi 2 dosis 5 dan 10 Gy. Tanin terinduksi meningkat menjadi positif 2 pada perlakukan 5 Gy pada aksesi 1, perlakukan 10 Gy pada aksesi2. Tidak terjadi perubahan pada fenolik, flavonoid, triterpenoid, steroid dan glikosida pada semua perlakuan, yang menunjukkan bahwa irradiasi tidak merubah fenol, flavonoid, steroid dan glikosida. Karakter stomata Ketahanan suatu tanaman berkaitan dengan kemampuan tanaman untuk mencegah, menghambat dan memperlambat perkembangan penyakit. Ketahanan dan kepekaan terhadap beberapa patogen berhubungan dengan jumlah stomata, struktur stomata dan membuka atau menutupnya stomata. Pada tabel 5 dapat dilihat ukuran stomata, kerapatam stomata dan indeks stomata pada daun jahe. Tabel 5. Ukuran, kerapatn dan indeks stomata pada jahe hasil irradiasi No
Perlakuan
1 2 3 4 5 6 7
A1D0 A1D1 A1D2 A1D3 A2D0 A2D1 A2D2
308
Stomata Panjang Lebar (nm) (nm) 29894 13335 31402 13906 29105 13280 30361 12719 29856 12526 30632 11953 27903 12767
Kerapatan Stomata
Indeks Stomata
5.56E-11 4.64E-11 6.28E-11 5.10E-11 7.08E-11 6.23E-11 5.78E-11
0.105 0.103 0.108 0.107 0.088 0.088 0.096
Perakitan galur mutan jahe putih kecil toleran bercak daun >70 %, produktivitas > 12 t/ha dan kadar minyak atsiri > 3.5% dengan teknik irradiasi
Tabel 7. Karakter Kualitatif MV2 di Rumah Kaca No.
Deskripsi
A1D0
A1D1
A1D2
A2D0
A2D0
A2D1
A2D2
A2D3
1
Habitus
Kerucut
Kerucut
Besar
Kerucut
Tegak
Kerucut
Kerucut
Tegak
2
Warna Batang
Hijau tua
Hijau tua
Hijau tua
Hijau
Hijau
Hijau muda
Hijau
Hijau muda
3
Bentuk Daun
Lanset
Lanset
Lanset
Lanset
Lanset
Lanset
Lanset
Lanset
4
Permukaan DaunHalus
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
Halus
5
Posisi Daun
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
6
Meruncing
Meruncing Meruncing Meruncing Meruncing Meruncing
Meruncing Meruncing
tegak
tegak
tegak
tegak
tegak
tegak
tegak
tegak
8
Pangkal Daun Posisi Daun Bendera Bagian daun Terlebar
tengah
tengah
tengah
tengah
tengah
tengah
tengah
tengah
9
Pinggir Daun
rata
rata
rata
rata
rata
rata
rata
rata
7
10 Ujung Daun Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Runcing Warna Helaian 11 Daun Hijau Hijau Hijau Hijau Hijau muda Hijau tua Warna Tulang 12 Daun Hijau muda Hijau muda Hijau muda Hijau muda Hijau muda Hijau muda
Runcing
Runcing Hijau tua, Hijau muda Variegata
13 Warna Pelepah Hijau muda Hijau muda Hijau muda Hijau muda Hijau muda Hijau muda
Hijau muda Hijau muda
Hijau muda Hijau muda
Pada habitus tanaman jahe putih kecil beberapa ada yang kerucut dan beberapa ada yang tegak. Warna batang pada aksesi 1 berwarna hijau tua pada semua dosis, serta werna hijau dan hijau muda pada aksesi 2. Bentuk daun pada masing-masing aksesi adalah lanset, posisi daun berada di tengah atau antara 45-90 derajat. Pangkal daun meruncing pada semua perlakuan posisi daun bendera tegak, bagian tengah tanaman jehe putih kecil ini yang memiliki bagian daun terlebar. Pinggir daun rata, ujung daun runcing pada semua perlakuan. Warna helaian daun ada yang berwarna hijau, hijau muda, hijau tua dan variegata, warna tulang daun dan warna pelepah adalah hijau muda. Analisa RAPD pertanaman MV2 Karakterisasi morfologi yang didukung oleh karakterisasi menggunakan penanda molekuler akan memberikan hasil yang lebih sempurna. Penanda molekuler dapat memberikan gambaran hubungan kekerabatan yang lebih akurat karena analisis DNA sebagai material genetik tidak dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Menurut Sneath & Sokal (1973) penggunaan alat ukur dalam pendugaan hubungan kekerabatan sering ditentukan secara subyektif. Maka pengukuran berdasarkan molekuler akan menghasilkan suatu standar untuk membandingkan kekerabatan yang berbeda dari pengukuran berdasarkan morfologi. Primer yang digunakan dalam analisis keragaman genetik berdasar penanda RAPD berjumlah 6 primer, namun hanya 3 primer yang menunjukkan polimorfisme yaitu primer OPD 16, OPJ 04 dan OPG 18 (Gambar 3, 4, 5 ). M 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
2000 bp bp 1600 1000 bp 850 bp 650 bp 500 bp 400 bp 3003. bpHasil Gambar 200 bp 100 bp 16
amplifikasi DNA terhadap 23 populasi dengan menggunakan primer OPD
Berdasarkan pola pita (Gambar 3), semua perlakukan pada aksesi 1 baik yang terserang maupun tidak terserang bercak daun memiliki pola pita sama. Sedangkan pada
309
Nurliani Bermawie, dkk
aksesi 2, terdapat variasi pola pita, yaitu pada tanaman nomor J8 (A2D1-albino), J9 (A2D1 tidak terserang bercak daun), J10 (A2D2 tidak terserang bercak daun) dan J13 (A2D3 tidak terserang bercak daun) dimana terdapat satu pita berukuran di atas 1600 bp, yang tidak terdapat pada tanaman lainnya. Aksesi 2 responsif terhadap irradiasi ditunjukkan dengan terjadinya perubahan pola pita DNA. M 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
2000 bp 1600 bp 1000 bp 850 bp 650 bp 500 bp 400 bp 300 bp 200 bp 100 bp
Gambar 4. Hasil amplifikasi DNA terhadap 23 populasi dengan menggunakan primer OPJ 04 Dari Gambar 4, terlihat pada aksesi 1 varietas asal (J1) berbeda pola pitanya dengan tanaman yang diiradiasi (J2 - J5), dimana posisi pita 100 bp hilang, tetapi muncul pita baru. Pada aksesi2 lebih banyak variasi yang ditimbulkan akibat irradiasi. Tanaman kontrol (J6, J7, J20) memiliki pola pita berbeda. Tanaman nomor J6 dan J7 memiliki pola pita sama dengan aksesi hasil irradiasi pada aksesi1, tetapi nomor J20 terdapat satu pita hilang (<100 bp). Tanaman nomor J10 memiliki pola pita sama dengan J20, J13,J16,J17,J18, J20, J21 dan J22. Tanaman nomor J11 (A2D2) berbeda dengan pola pita dari tanaman lainnya. M 1
2
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
2000 bp 1600 bp 1000 bp 850 bp 650 bp 500 bp 400 bp 300 bp 200 bp 100 bp
Gambar 5. Hasil amplifikasi DNA terhadap 23 populasi dengan menggunakan primer OPJ 04 Berdasarkan primer OPJ04 (Gambar 5) ada empat pola pita pada tanaman jahe hasil irradiasi. Tanaman kontrol A1D0 (J1) dan A2D0 (J2) (varietas asal, dosis irradiasi 0 Gy) memiliki pola pita yang sama (tiga pita) yaitu pada ukuran 400, 650 dan 1000 bp. Pada tanaman hasil irradiasi A1D1 (J2) terdapat satu pita 400 bp yang hilang. Pada aksesi 2, J8 dan J9 (A2D1) terdapat satu pita 400 bp yang hilang, sedangkan pada J18 (A1D4) terdapat satu pita baru 200 ukuran bp. Irradiasi menyebabkan hilang atau munculnya pita baru pada aksesi 1 dan aksesi2.
310
Perakitan galur mutan jahe putih kecil toleran bercak daun >70 %, produktivitas > 12 t/ha dan kadar minyak atsiri > 3.5% dengan teknik irradiasi
J1 J10 J9 J2 J3 J4 J7 J8 J14 J6 J13 J5 J16 J17 J20 J21 J22 J23 J18 J11 J12 J15 J19
J10
0.50
0.63
0.75
0.88
1.00
Coefficient
Gambar 6. Dendogram hasil analisa RAPD Hubungan kekerabatan 23 populasi yang diuji dapat dilihat dari dendogram (Gambar 6). Dendogram membagi 23 populasi yang diuji menjadi 2 kelompok besar pada koefisien keragaman 0.97 yaitu kelompok 1 beranggotakan J2 (A1D1), J3 (A1D1), J4 (A1D2), J5 (A1D2), J6 (A2D0), J7 (A2D0), J8 (A2D1), J11(A2D2), J12 (A2D3), J13 (A2D3), J19 (A2D3), J20 (A2D0), J21 (A1D2), J22 (A1D2), J23(A1D2), kelompok 2 beranggotakan J1 (A1D0), J9 (A2D1), J10 (A2D2). Tanaman nomor J9, J13 dan J18 berdiri sendiri dan berbeda dengan varietas asalnya. Kegiatan Optimasi Dosis di KP. Cicurug Optimasi dosis bertujuan untuk menentukan dosis irradiasi yang lebih optimal. Berdasarkan penelitian tahun 2010 bahwa tanaman jahe putih kecil yang diberikan dosis 0-15 Gy yang mampu bertahan hidup, sehingga benih jahe putih kecil diberikan dosis dengan rentang lebih kecil yaitu 0, 5, 7, 9, 11, 13, 15 Gy. Tabel 8. Karakter Pertumbuhan Optimasi Dosis 2 BST di KP. Cicurug Dosis
Tinggi Batang (cm)
Tinggi Tanaman (cm)
0 (Kontrl)
40.33 a
61.54
a
22.43
a
8.74
ab
1 (5 Gy)
41.42 a
61.95
a
22.17
ab 2.80 ab
0.17 ab 8.84
ab
14.88
a
2 (7 Gy)
38.36 ab 60.80
a
21.92
ab 2.86 a
0.19 a
a
13.50
ab
7
bc
3 (9 Gy)
33.80 bc 55.27
ab 20.63
ab 2.74 ab
0.18 ab 8.97
ab
12.33
abc
6
bcd
4 (11 Gy)
30.20 cd 51.08
bc 19.07
bc
2.59 ab
0.17 ab 8.41
ab
11.33
bc
5
cd
5 (13 Gy)
26.20 d
45.26
c
17.20
c
2.55 b
0.17 ab 7.74
b
10.12
cd
4
d
6 (15 Gy)
17.50 e
32.41
d
13.18
d
2.15 c
0.16 b
c
7.60
d
3
d
Hasil
**
**
Panjang Lebar daun (cm) Daun(cm)
**
2.76ab
**
Tebal Daun 1.18 a
tn
Diameter Batang
9.22
6.32 **
Jumlah Daun 14.28 ab
**
Jumlah Anakan 12
a
8
b
**
Hasil dari pengamatan optimasi dosis 2 BST menunjukkan bahwa tanaman jahe putih kecil yang telah diiradiasi sangat berbeda nyata antar dosis yaitu pada parameter tinggi batang, tinggi tanaman, panjang daun, lebar daun, diameter batang, jumlah daun
311
Nurliani Bermawie, dkk
dan jumlah anakan, sedangkan pada parameter tebal daun hasilnya tidak berbeda nyata antar dosis. Pada parameter tinggi batang, tinggi tanaman, jumlah daun dosis 1 (5 Gy) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan dosis lainnya, dan pada parameter lebar daun, tebal daun dan diameter batang pada dosis 2 (7 Gy) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan aksesi lainnya. Ini dikarenakan pengaruh irradiasi yang memberikan pengaruh positif yaitu nilai pada parameter tertentu pada tanaman yang telah diiradiasi memiliki nilai relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Perlakuan irradiasi pada rimpang jahe dengan sinar gamma 60 Co dosis 0,25 - 4,00 krad menunjukkan bahwa pada dosis rendah (0,5 krad) memacu pertumbuhan sedangkan pada dosis tinggi (4,00 krad) menghambat pertumbuhan (Saptasari, 1999). Keragaman somaklonal pada tanaman krisan terbentuk pada kombinasi irradiasi sinar gamma 0-12 krad pada mata tunas in vitro (Handayani et al., 2002). Sedangkan menurut Dwimahyani (2006), pada tanaman krisan setek tanpa akar dan setek berakar umumnya diiradiasi sinar gamma dengan dosis 1,0-3,0 krad (10-30 Gy), sementara untuk biakan atau eksplan dengan dosis 0,8-2,5 krad (8-25 gy). Kalus nilam yang berumur 1-24 bulan diradiasi sinar gamma 1-3 krad (Mariska dan Lestari 2003) mengakibatkan adanya keragaman di antara nomor-nomor hasil irradiasi tidak hanya pada kadar minyaknya tetapi juga pada komponen pertumbuhan lainnya. Demikian juga Lestari et al., (2005) telah berhasil memperoleh somaklon yang menunjukkan keragaman genetik yang tinggi dan tahan kekeringan. Mariska et al., (2006) menunjukkan bahwa irradiasi sinar gamma 1000 rad dapat menginduksi mutasi pada kalus pisang ambon kuning dan menghasilkan mutan yang tahan terhadap isolat Fusarium patogen. Perlakuan iradiasi 1-3 krad pada biakan in vitro mawar mini menghasilkan mutan yang genjah (Anonim, 2006). Timbulnya keragaman yang disebabkan oleh irradiasi adalah karena berubahnya jumlah dan struktur khromosom dalam sel. Induksi mutasi bersifat resesif, namun teknik ini telah berperan sangat nyata dalam perbaikan tanaman di dunia dan dalam beberapa hal telah memberikan pengaruh yang baik dalam meningkatkan produktivitas tanaman (Malusyuski, 1995). Walaupun variasi tidak mempengaruhi semua sifat dan tidak selalu menguntungkan di dalam pertanian, tetapi dengan seleksi kemungkinan dapat diperoleh nomor-nomor yang berguna dari sumber variasi tersebut. Misalnya peningkatan ketahanan terhadap herbisida klorosulfuran pada tanaman jagung, kenaikan toleransi terhadap imidazilinone pada jagung, ketahanan terhadap Helminthosporium sativum pada gandum dan barley, toleransi terhadap garam pada rami, juga peningkatan terhadap pembekuan, kualitas butir dan kandungan protein pada gandum, serta peningkatan ukuran biji dengan kandungan protein yang tinggi pada padi (Hutami et al., 2006). KESIMPULAN DAN SARAN Irradiasi menimbulkan keragaman pada karakter morfologi, komponen hasil, mutu dan ketahanan. Pada aksesi 1 irradiasi dosis 5 dan 10 Gy, mampu menurunkan tingkat serangan penyakit bercak daun <30%. Irradiasi menurunkan bobot rimpang, namun sampai dosis 5 Gy bobot rimpang tidak berbeda nyata dengan kontrol. Irradiasi juga menurunkan kadar minyak atsiri pada jahe putih kecil <3.5%, namun masih lebih tinggi dari standar MMI (1.6%). Untuk penelitian lebih lanjut dua populasi hasil irradiasi (A1D1 dan A1D2) dengan tingkat serangan <30% dan populasi A1D1 dan A1D2 yang memiliki pola pita berbeda dan tidak terserang bercak daun akan dipilih untuk diteliti lebih lanjut. Perlu dilakukan irradiasi dengan dosis <5 Gy, untuk menghasilkan mutan dengan ketahanan >70%, kadar minyak atsiri > 3.5 % dan produktvitas >12t/ha. Dengan diperolehnya varietas jahe toleran bercak daun diharapkan akan dapat mengurangi kehilangan hasil, mengurangi biaya usaha tani akibat penggunaan pestisida, sehingga meningkatkan pendapatan usaha tani jahe dan ramah lingkungan.
312
Perakitan galur mutan jahe putih kecil toleran bercak daun >70 %, produktivitas > 12 t/ha dan kadar minyak atsiri > 3.5% dengan teknik irradiasi
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2006. Keragaman Genetik Mawar Mini dengan Iradiasi Sinar Gamma. Balai Penelitian Tanaman Hias. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian XXVIII(4) : 17-18. Anonim. 2008. Statistik perdagangan luar negri Indonesia jilid 1 : Ekspor 2008. Badan Pusat Statistik. p74 Anonim. 2008. Statistik perdagangan luar negri Indonesia jilid 1 : Impor 2008. Badan Pusat Statistik. p57 Azrai, M. 2005. Pemanfaatan Markah Molekuler dalam Proses Seleksi Pemuliaan Tanaman. Ulasan. Jurnal AgroBiogen I(1) : 26-37 Chung, B.Y., Y.-B. Lee, M.-H. Baek,J.-H. Kim, S.G. Wi and J.-S. Kim. Effects of low-dose gamma-irradiation on production of shikonin derivatives in callus cultures of Lithospermum erythrorhizon S. 2006. Radiation Physics and Chemistry. 75 (9) : 1018-1023p. Datta, S.K. 2001. Mutation stusies on garden chrysantemun : A review. Scientific Horticulture VII : 159-199 Dwimahyani, I. 2006. Galur mutan krisan toleran terhadap fotoperiodisitas. Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi BATAN. Buletin Penelitian no 10. Gill, KS. 1988. “Germplasm collections and the public plant breeders”. In AHD Brown (Ed.) : The use of plant genetic resources. Cambride University Press. p. 3-16. Haeruman, M., K. A. Baihaki, G. Satari, T. Danakusuma dan A.H. Permadi. 1990. Penampilan bawang putih generasi VVM2 radiasi sinar gamma dan neutron cepat. Zuriat. Vol I (1) : 41-47. Handayani, W., Darliah, I. Mariska, dan R. Purnamaningsih. 2002. Peningkatan keragaman genetik mawar mini melalui kultur in vitro dan iradiasi sinar gamma. Berita Biologi V (4) : 365-371. Herison, C., Rustikawati, S.H. Sutjahjo dan S.I. Aisyah. 2008. Induksi mutasi melalui irradiasi sinar gamma terhadap benih untuk meningkatkan keragaman populasi dasar jagung. Jurnal Akta Agrosia. XI (1) : 56-62. Hutami, S, I. Mariska dan Y. Supriati. 2006. Peningkatan keragaman genetik tanaman melalui keragaman somaklonal. Jurnal AgroBiogen 2(2):81-88 Lusiyanti, Y Dan M. Syaifudin. 2007. Penerapan efek interaksi radiasi dengan sistem biologi sebagai dosimeter biologi. Seminar Nasional III SDM Teknologi Nuklir. Yogyakarta, 21-22 November 2007. Maluszynski, M., B.S. Ahloowalia and B. Sigurbjornsson. 1995. Application of in vivo and in vitro mutation for crop improvement.Euphytica 85:303-315 Mignouna, H.D. , R.A. Mank, T.H.N. Ellis, N. Van den Bosch, R. Asiedu, M.M Abang and J. Peleman. 2002. A genetik linkage map of water yam (Dioscorea alata L.) based on AFLP markers and QTL analysis for anthracnose resistance. Theor appl. Genet. 105: 726-725. Pandey, S., S. Kumar, U. Mishra, A. Rai, M. Singh and M. Rai. 2008. Genetic diversity in Indian ash gourd (Benincasa hispida) accessions as revealed by quantitative traits and RAPD markers. Scientia Horticulturae 118 : 80–86 Poerba, Y. S., dan Yuzammi. 2008. Pendugaan Keragaman Genetik Amorphophallus titanum Becc. Berdasarkan Marka Random Amplified Polymorphic DNA. Biodiversitas. 9 (2) : 103-107
313
Nurliani Bermawie, dkk
Purseglove, J.W., E.G. Brown, C.L. Green, and S.R.J. Robbins, 1981. “Spices”. London and New York, pp. 447-531. Pusat Studi Biofarmaka IPB. 2001. Pasar Domestik Dan Ekspor Produk Tanaman Obat (Biofarmaka). Diakses tanggal 28 Desember 2009. Rao, J.T., K.V. Srinivasan, and K. C. Alexander. 1966. A red-rot resistant mutant of sugarcane induced by gamma irradiation. Proceedings: Plant Sciences. 64 (4) : 224230p. Rugayah, 1994. Status taksonomi jahe putih dan jahe merah. Floribunda 1(14):53-56. Setiawan, D. dan Y. Sumpena. Identifikasi Senyawa Physalin dari Physalis angulata L. (Cecendet) Setelah Diiradiasi Sinar Gamma dengan Menggunakan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT). 10 (3). Shibu M.P., K.V. Ravishankar, L. Anand, K.N. Ganeshalah and U. Shaankar. 2003. Identification of sex specific DNA markers in the dioecious tree, nutmeg (Myristica fragrans Houtt.). PGR Newstletter No 121 : 59-61 Singh, B. and P.S. Datta. 2010. Gamma irradiation to improve plant vigour, grain development, and yield attributes of wheat. Radiation Physics and Chemistry. 79 (2) : 139-143 p. Siswanto, D. Wahyuno, D. Manohara, Desmawati, S. Ramadhani, D. Anser Sianturi, R. Karyatiningsih dan L.S. Utami. 2008. Sebaran hama dan penyakit tanaman jahe di tiga propinsi di Indonesia. Seminar Nasional Pengendalian Terpadu Oragnisme Penganggu Tanaman Jahe dan Nilam. Balittro, Puslitbangbun, Badan Litbang Pertanian. Bogor, 4 Nopember 2008. 39-48 p. Smith, JSC and DN Duvick. 1988. “Germplasm collections and private plant breeders”. In AHD Brown (Eds.) : The use of plant genetic resources. Cambride University Press. P. 17-31. Soeranto H. 2003. Peran IPTEK nuklir dalam pemuliaan tanaman untuk mendukung industri pertanian. Puslitbang Teknologi Isotop dan Radiasi. Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) Jakarta. Srinivasachar, D., and A. Seetharam. 1971. Induction of resistance to rust, Melampsora lini, in flax, by gamma radiation . Radiation Botany. 11 (2): 143-144 p. Statistik Produksi Hortikultura. 2006. “Statistik Produksi Hortikultura Tahun 2006 (Angka tetap)”. Dirjen Hortikultura, Dept. Pertanian. Suwarno dan TS Silitonga. 1996. “Koleksi dan konservasi benih plasma nutfah dalam pengembangan bank gen”. Makalah disajikan pada seminar sehari penyusunan konsep pelestarian ex-situ plasma nutfah pertanian di Bogor. 18 Des. 16 hal. Urasaki, N., M. Tokumoto, K. Tarora, Y. Ban, T. Rayano, H. Tanaka, H. Oku, I. Chinen and R. Terauchi. 2002. A male and hermaprodit specific RAPD marker for papaya (Carica papaya L.). Theor. Applied. Genet. 104 : 281-285. Wahyuni, S., D.H. Xu, N. Bermawie, H. Tsunematsu and T. Ban. 2003. Genetic relationships among ginger accessions based on AFLP marker. Jurnal Bioteknologi Pertanian. 8 (2) : 60-68. Penyakit Bercak Daun Coklat (Brown Leaf Spot). http://bbpadi.litbang.deptan.go.id/index.php/in/penyakit-padi-karena-jamur/198 --penyakit-bercak-daun-coklat-brownleaf-spot.
314