GLOBALIZATION Presented by :
M Anang Firmansyah
Upaya-upaya pembangunan jati diri bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya penghargaan pada nilai budaya dan bahasa, nilai-nilai solidaritas sosial, kekeluargaan dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Pudarnya budaya bangsa disebabkan oleh beberapa faktor. Dalam kenyataannya di dalam struktur masyarakat terjadi ketimpangan sosial, baik dilihat dari status maupun tingkat pendapatan. Kesenjangan sosial yang semakin melebar itu menyebabkan orang kehilangan harga diri. Budaya lokal yang lebih sesuai dengan karakter bangsa semakin sulit dicernakan, sementara itu budaya global lebih mudah merasuk. Di dalam pendidikan masyarakat pun, kepemimpinan tidak mencerminkan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tutu wuri handayani (di depan memberi teladan, di tengah membimbing, dan di belakang mendorong). Menipisnya keteladanan itu tampak di segala lingkungan. ”Ilmu titen” yang ada dalam masyarakat sudah mulai menipis karena semakin sulit menyaring dan menjaring budaya yang adiluhung, karena terhanyut pada gaya hidup global. Masyarakat telah mengalami kerancuan bahasa, sehingga sulit membedakan apa yang disebut dengan westernisasi dengan modernisasi. Selama ini yang terjaring oleh masyarakat hanyalah gaya hidup ke-Barat-Baratan, bukan pola hidup modern. Fenomena yang berkembang dalam masyarakat dunia ketiga termasuk Indonesia yaitu adanya kecenderungan terjadinya perubahan gaya hidup (life style), akibat dari ekspansi industri pangan yang dimanifestasikan kedalam bentuk restoran
siap saji. Generasi muda lebih suka makan dan menghabiskan waktu ke mall, ke cafe dan tentunya dengan makanan-makanan ala barat atau restoran siap saji, McD, KFC dan lain sebagainya. Hal ini sejalan dengan pendapat George Ritzer bahwa dampak fast-food sampai pada tataran luas yang begitu mendalam pada berbagai posisi bahkan sudah menyampai pada pola hidup dunia, terus meluas pada berbagai tingkat akselerasi . Melihat uraian singkat di atas, masuknya makanan siap saji berimplikasi tidak hanya pada sekor ekonomi ditandai pada matinya dan terhimpitnya bisnis-bisnis makanan lokal. Tetapi lebih besar dari itu berimplikasi pada perubahan gaya hidup. Inilah bentuk dari hegemoni global dari perkembangan kapitalis modern, menarik untuk dianalisis dalam makalah ini pertama, melihat bagaimana proses masuknya restoran siap saji, sebagai sebuah cengkeraman kapitalis terhadap negara berkembang. kedua yaitu melihat implikasi pergeseran dan perubahan gaya hidup dalam masyarakat dinegara berkembang. Berdasarkan dua fokus kajian tersebut, tujuan dalam makalah ini yaitu untuk melihat peranan media dalam pecitraan restoran siap saji dalam masyarakat. Serta menganalisis dan menggambarkan pergeseran dan perubahan gaya hidup dalam masyarakat berkembang. Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi: Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain. Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi. Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia. Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal. Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara. Prinsip Rasionalisasi Sedangkan istilah McDonaldisasi pertama-tama dikemukakan oleh sosiolog Amerika, George Ritzer, seorang ahli bidang teori sosial, menulis sebuah buku berjudul McDonaldization of Society: An Investigation into the Changing Character of Contemporary Social Life pada tahun 1995. Isinya membahas kesuksesan McD dan pengaruhnya terhadap perubahan karakter dan kehidupan sosial masa kini (bahwa
McDonald atau jenis fast-food lainnya yang diusung oleh Amerika telah menjadi fenomena global (global phenomenon); karena bukan hanya berpengaruh terhadap bisnis restoran, tapi juga melebar kepada unsur-unsur pendidikan, kerja, travel, aktivitas luang, politik, keluarga dan beberapa sektor lainnya. Begitu juga dengan produk-produk semisal seperti Pizza Hut, KFC, B&B, dan lain-lain yang menyebar luas ke penjuru dunia, yang bisa dengan mudah ditemukan hampir di setiap negara). Buku ini hingga sekarang menjadi rujukan banyak pihak yang ingin mendiskusikan pengaruh upaya rasionalisasi terhadap hidup manusia. Wabah McD sesungguhnya berakar dari ide rasionalitas, yang bisa diartikan sebagai penggunaan pikiran untuk menentukan untung-rugi segala sesuatu. Dalam usaha ekonomi, tak pelak orang harus berpikir rasional agar memperoleh keuntungan. Dan upaya rasionalisasi salah satunya adalah melalui birokrasi, yakni dengan membentuk hirarki dan tanggung jawab kerja terstruktur dalam sebuah organisasi. Masing-masing kerja didefinisikan agar tujuan organisasi tercapai, seperti yang diungkap oleh Max Weber. Semuanya dilakukan dengan tujuan rasional yang ujungnya menghasilkan keuntungan. Dan karena sukses, berbondong-bondonglah orang meniru prinsip di atas. McD menjadi wabah, yang kemudian oleh Ritzer disebut sebagai McDonaldisasi. Artinya kira-kira adalah suatu proses masuk dan mendominasinya prinsip-prinsip restoran siap saji ini ke berbagai sektor lain dalam kehidupan masyarakat Amerika, juga dunia. Menurut Ritzer, franchise dari Mc Donald berdasarkan pada empat prinsip : 1) Prinsip Efisiensi. Prinsip ini dikenal secara luas di dalam bisnis. Berdasarkan prinsip Fordis (assembly line), scientific management dan prinsip birokrasi, maka restoran-restoran Mc Donald dikelola secara sangat efisien. Metode ini disebut
juga metode optimal, untuk memindahkan orang dari satu titik ke titik lain. McD menerjemahkannya sebagai perubahan secepatnya dari lapar ke kenyang. Maka, orang tak perlu repot berpikir apa yang harus dimakan, atau di mana harus makan. Cukup ke McD, pesan,dan,.. kenyang. Pada pokoknya restoran tersebut melaksanakan prinsip uniformitas, menu standard, porsi yang sama dengan harga yang sama, serta kualitas yang sama dalam setiap restoran Mc Donald. McD menerapkan juga prinsip kalkulabilitas, alias aspek kepastian terukur tentang kuantitas produk yang diperoleh. 2) Kalkulabilitas. Bisnis yang diadakan haruslah dapat dihitung untung ruginya. Apabila tidak memungkinkan, maka dicari jalan pemecahan agar bisnis tetap memberi keuntungan. Sebagai contoh, pola franchising Mc Donald tidak menarik fee dasar yang besar, tetapi setiap pembelian dikenakan 1,9% kepada pemilik franchise. Jadi yang dipentingkan ialah keuntungan dari para franchise. Demikian pula unformitas tidak menghalangi adanya inovasi. Oleh sebab itu, Mc Donald di Indonesia mempunyai rasa yang cocok dengan lidah Indonesia karena menyertakan nasi di samping french fries atau kentang goreng. 3) Prediktabilitas. Dengan adanya kalkulabilitas, maka dengan sendirinya dapat diprediksikan keuntungan yang diperoleh outlet Mc Donald. Dalam hal ini, semua orang tahu persis, bahwa produk dan jasa yang mereka beli akan sama di mana pun mereka cari di dunia. Rasa French fries alias kentang goreng di Kalimalang tak ada bedanya dengan yang di California. Demikian juga dengan sistem kerja mereka sudah dapat diprediksi, misalnya berapa lama waktu untuk masak. Setiap outlet telah dapat memprediksi tempat-tempat yang strategis di mana orang akan mencari makan secara cepat, misalnya di lingkungan-lingkungan perkantoran di mana orang tergesa-gesa untuk makan dan bekerja kembali.
Demikian pula di highway-highway di mana orang mencari makan di tengah perjalanannya secara cepat. 4) Kontrol. Kontrol ketat lewat substitusi tenaga manusia kepada teknologi. Jalur produksi yang sudah ditetapkan atau menu yang sudah diatur sehingga orang hanya bisa memesan sesuai menu yang ditetapkan, merupakan contoh dari betapa terkendalinya kegiatan usaha tersebut. Termasuk tentang perilaku dan kerja pegawainya juga distandarisasi. Dari kontrol manusia menuju kontrol robot yang mekanistik, bisnis Mc Donald mempunyai manual operasi yang sangat tepat yang sudah diterbitkan sejak tahun 1958. Bahkan, pada tahun 1961 dia mendirikan suatu pusat pelatihan, sejenis
”hamburger
unversity”
dangan
gelar
”hamburology”.
Cara-cara
memberikan servis yang cepat yang dikontrol secara mekanis dan terarah telah dapat mempertahankan kualitas makanan secara cepat dan menyenangkan banyak orang. Rasional versus Irasional Pertanyaannya, benarkah semua prinsip itu membawa kita ke arah yang lebih baik? Dalam beberapa hal, harus diakui ya. Tapi dalam banyak hal lain, yang terjadi adalah ironi. Manusia jadi kehilangan rasa kemanusiaannya. Hal ini tak mengherankan, karena manusia sesungguhnya hidup bukan hanya dengan rasionalitas, tapi juga nilai-nilai. Dan nilai-nilai tersebut, termasuk di dalamnya keyakinan/iman, bisa jadi yang utama diperjuangkan ketimbang sekadar urusan untung-rugi. Dalam kasus McDonaldisasi alias wabah McDonald, semua prinsip demi rasionalisasi tadi pada kenyataannya justru muncul ketidakefisienan. Hal yang diharapkan rasional justru menjadi tidak rasional. Ritzer menyebutnya sebagai “Irrationality of Rationality" (Irasionalitas dari Rasionalitas).
Kecepatan untuk mengubah lapar menjadi kenyang yang didengungkan, pada kenyataannya malah membuat antrian konsumen yang panjang. Ingin makan segera, tetapi karena mengantri sehingga harus menunggu. Juga antrian di ATM, yang membuat orang stres. Jika satu orang menghabiskan waktu 2 menit, berarti anda butuh waktu 20 menit di antrian kesebelas. Yang pernah belanja di pusat grosir besar, tentu tahu betapa banyaknya lorong-lorong yang disediakan untuk tiap jenis barang. Alih-alih menyediakan pilihan terbaik bagi konsumen, yang terjadi adalah orang kesal karena harus berputar-putar setiap kali memberi barang yang berbeda. Bandingkan dengan kios tetangga, misalnya, yang tinggal pesan, maka barang datang. Prinsip ala Kroc juga secara nyata mengakibatkan dehumanisasi. Makanan cepat saji pada akhirnya membuat orang tak lagi memikirkan kandungan gizi yang tepat. Belum lagi soal teknologi, dengan membuat bahan produksi secara khusus, misalnya budidaya tanaman secara intensif, tapi mengorbankan lingkungan bahkan kesehatan manusia, seperti yang kini banyak dicemaskan orang. Dehumanisasi lainnya adalah hubungan antar-manusia yang kering. Coba, ketika kita memesan suatu menu di depan kassa makanan sebuah restoran. Begitu anda selesai membayar, pelayan dengan senyum mengembang mengatakan, ”Terima kasih, selamat menikmati.” (Sekilas, ini adalah bentuk keramahan. Tapi di balik itu, sadarkah kita kalau sesungguhnya restoran ingin menyatakan kepada Anda, ”Terima kasih, mohon pergi selekasnya, pelanggan lain yang mau membayar sudah menunggu.”) Demikian juga hubungan dengan sesama pekerja di sebuah perusahaan, menjadi kaku dan singkat karena disibukkan dengan pekerjaan masing-masing dan kehilangan waktu untuk bersosialisasi.
Faktor negatif lainnya adalah adanya homogenisasi. Konsumen tidak lagi punya hak meminta hal spesifik kecuali yang sudah tertera di menu. Padahal, apa susahnya menambahkan buah ceri di atas es krim yang kita pesan. Tapi, karena tidak ada dalam manual, maka permintaan sepele itu tidak akan pernah bisa dikabulkan. Membeli baju juga bukan lagi seperti masa lalu, pesan ke tukang jahit dan diukur sesuai tubuh. Yang ada, di swalayan tersedia ukuran S, M, L, XL, dan seterusnya. Kalau pas di tubuh, tapi lengannya terlalu panjang, anda tidak bisa protes. Hidup di Era Irasional Malapetaka-kah hidup di era seperti itu? Belum tentu. Ada banyak cara untuk berkelit dan bertekad hidup tidak dengan ala McDonald seperti fenomena di atas. Dalam bukunya, Ritzer memberikan beberapa tips untuk menghindari terjerumus dalam akibat-akibat negatif yang terjadi. Banyak perusahaan juga memodifikasi model usahanya sehingga tidak terperosok menjadi perusahaan efisien tapi bak robot. Ada banyak kafe, misalnya, yang menyediakan lebih banyak ruang baca, tempat bersantai, atau bermain. Restoran menyediakan layanan bagi pelanggan untuk memilih menu yang disukai, di luar yang sudah tercantum. Majalah dan koran hadir memperbanyak ruang cerpen atau sastra, dan menghindari berita-berita kaku. Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Fenomena
berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi. Menyimak definisi Ritzer; tak pelak lagi istilah "McDonaldization" mengacu kepada sebuaj perkembangan restoran waralaba fast-food, yang awalnya diilhami oleh Ray Kroc, McDonald. McDonald menjadi sosok ber-ide besar dan ambisi yang luar biasa. Bahkan pemilik idenya pun tidak mampu mengantisipasi dampak dahsyat dari kreasi itu. McDonald menjelma sebagai tengkorak perkembangan penting yang berpengaruh pada kehidupan Amerika di abad 20. Bisnis waralaba fast-food Kentucky Fried Chicken (KFC) memulai bisnis lebih dulu pada tahun 1954 . Sedangkan McDonald memulai bisnis waralaba pada 15 April 1954, membuka outlet ke 12.000 pada 22 Maret 1991 dan di akhir 1993,ia telah menjadi sekitar 14.000 restoran diseluruh dunia. Keuntungannya pada tahun 1993 sekitar USD 1,6 miliar pertahun, total aset jualnya mencapai USD 23,6 miliar . Tahun 1998 nilai total penjualan sebesar $ 36 milyar dari 24.800 resto di seluruh dunia. Dan pada tahun 2000 aset perjualan mencapai 40 miliar dolar Amerika Serikat (US) dari 29.000 outlet yang tersebar. Bisnis resto makanan cepat saji McDonald dari AS yang selama sekian dekade hingga saat ini tetap menjadi simbol merk global bisnis yang sukses di seluruh dunia. McDonald adalah salah satu perusahaan yang terus-menerus bercokol dalam top-list merk global dan kapitalisasi bisnis ratusan milyar dollar yang menggurita keseluruh antero dunia. McDonaldisasi merupakan pelaksanaan prinsip-prinsip dan sistem franchising makanan cepat saji (fast-food) dari Mc Donald yang terdapat di hampir seluruh dunia. Bermula dari restoran kecil drive in yang menjual hamburger di San Bernardino, California, tahun 1954 oleh Mc Donald bersaudara, outlet-outlet Mc Donald
kemudian menyebar di hampir seluruh dunia. Seorang inovator bernama Ray Crock pada 1955 memodernisasi serta merasionalisasikan restoran kecil tersebut menjadi raksasa makanan cepat-saji yang mendunia. Walaupun dalam hal ini Ritzer pun menjelaskan, bahwa sesungguhnya yang dipentingkan dari istilah "McDonaldization" sesungguhnya adalah sisi uraian pengertian atas definisi yang dilontarkannya. Sungguh kebetulan pula istilah "McDonaldization" terdengar lebih enak dirangkai, jika dibandingkan misalnya dengan BurgerKingization, 7Elevenization, Starbuckization, dll. Kaum pedagang muslim memberi banyak pengaruh bagi negara – negara di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia. Ini sama halnya dengan Mc Donald yang mewabah ke seluruh penjuru dunia. Dengan mengacu pada empat prinsip Mc Donald, telah membuat restoran cepat saji tersebut menjadi semacam icon dari proses Amerikanisasi budaya dunia. Prinsip McDonaldisasi ini diterapkan bukan hanya di restorannya, tetapi juga merambah hampir ke semua sektor kehidupan dari budaya global dewasa ini. Hampir tidak ada sektor kehidupan modern yang tidak dimasukinya. Mc Donald telah menjadi suatu life style manusia modern. Untuk urusan perut, Kentucky Fried Chicken, Burger King, Pizza Hut, dan lain-lain boleh dibilang mengikuti jejak McD. Di luar itu, kini berkembang usaha dengan prinsip sama, seperti McDentist (Urusan Dokter Gigi), McDoctor (medis), dan segala Mc lainnya. Media massa pun terimbas. Di Amerika, ada surat kabar USA Today, yang isinya ringkas, sehingga membantu bagi yang sibuk karena mereka
cukup membaca berita yang ringkas. Atau, kita semua menggunakan mesin ATM (anjungan tunai mandiri) bukan? Itu tak lain menggunakan empat prinsip tadi. Anda tahu persis apa yang akan anda dapatkan, atau yang bisa diurus oleh ATM. Bangsa Eropa, seperti Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda yang merupakan pelopor-pelopor eksplorasi. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. Berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia. Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia. Di Indonesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris, adalah beberapa contohnya. Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini. Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara - negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara pun mulai kabur. Arus globalisasi begitu cepat masuk ke masyarakat luas. Tepatnya pada negara-negara berkembang. Karena beberapa faktor yang mempermudah jalannya proses tersebut. Di antaranya adalah teknologi dan media informasi yang berkembang pesat hampir di seluruh lapisan masyarakat sehingga segala informasi dengan
berbagai bentuk dan kepentingan dapat tersebar luas. Ruang makin dipersempit dan waktu makin dipersingkat dalam interaksi dan komunikasi skala dunia. Bentuk yang ditawarkan dan disuguhkan oleh globalisasi pun bermacam-macam. Mulai dari Ideologi, segala kepentingan yang berhubungan dengan Politik, Ekonomi (eksporimpor, penyebaran produk-produk global, dan lain-lain), hiburan (film, musik), seks bebas, nilai-nilai, gaya hidup, dan seterusnya. Daya serap masyarakat terhadap budaya global lebih cepat dibanding daya serap budaya lokal. Bukti nyata dari pengaruh globalisasi itu, antara lain dapat disaksikan pada gaya berpakaian, gaya berbahasa, teknologi informatika dan komunikasi, dan lain sebagainya. Rok mini dipandang lebih indah daripada pakaian yang rapat. Bahasa Indonesia yang baik dan benar menjadi bahasa yang ke sekian di bawah Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia gaul. Dengan pergeseran waktu, wanita-wanita yang terkenal pandai memasak mulai beralih pada makanan-makanan cepat saji (fastfood) yang bisa didapatkan di restoran. Pizza, spagetti, humberger, fried chicken dianggap lebih fashionable daripada makanan lokal. Media elektronik selalu kebanjiran film-film Mandarin, Bollywood, Hollywood, Mexico, dan lain sebagainya. Tempat belanja lokal tidak memenuhi kebutuhan, sehingga wisata belanja ke luar negeri membudaya, walaupun membutuhkan biaya mahal. Handphone dengan berbagai model dikerumuni banyak remaja. Proses imitasi budaya asing akan terus berlangsung. Bagaimana pun masyarakat yang ada sekarang lebih cinta untuk memilih budaya dan suguhan hidangan global dibanding menerima dan menghidupkan tradisi serta
budaya
warisan nenek moyang mereka. Akhirnya
globalisasi
telah
meminimalisir perlindungan terhadap budaya lokal melalui proses liberalisasi pasar dan perdagangan luas di banyak negara berkembang. Suatu hal yang sulit dihindari
karena merebaknya media-media dan prasarana lainnya berupa film, sastra, siaran satelit, internet, koran, majalah yang telah mencemari budaya lokal. Perkembangan industri pangan (food industry) dewasa ini, ditandai dengan menjamurnya berbagai restoran siap saji diseluruh penjuru dunia. Saat ini hampir tidak ada kota yang tidak disinggahi oleh McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, dan lain sebagainya . Hal ini merupakan bentuk dari hegemoni kapitalisme global mencengkram seluruh sendi-sendi kehidupan. Dua sifat utama dari kapitalisme yaitu eksploitatif dan ekspansif. Kedua wajah kapitalisme ini berjalan beriringan sehingga pencapaian tujuan kapitalisme untuk meningkatkan akumulasi modal semakin masife. Ada rasa yang beda ketika mereka memasuki dan makan ditempat-tempat yang identik dengan pangan elit. Tidak hanya rasa tetapi mereka membeli pola dan gaya hidup, agar mereka menjadi orang modern inilah efek sampingan dari pencitraan media melalui iklan-iklan. Menurut Susongko, ada penciptaan norma baru di masyarakat seolah-olah orang akan menjadi udik dan ketinggalan zaman bila belum pernah menyantap pizza, hamburger, dan berbagai produk pangan lainnya. Produk itu dianggap pangan elit oleh sebagian besar masyarakat. Ekspansi industri pangan dalam bentuk bisnis waralaba fast food (KFC, McDonalds, dan lain sebagainya), telah merambah di berbagai kota belahan dunia khususnya di negara berkembang. Negara berkembang sebagai ruang transisi antara masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, menjadi pasar yang cukup signifikan bagi penjualan produk-produk kapitalisme tersebut, untuk memperbesar akumulasi modal atau dengan kata lain sebagai bentuk eksploitasi. Kondisi tersebut sejalan dengan hukum dasar dari kapitalis menurut Marx dalam sirkulasi komoditas kapitalis yaitu MI-C-M2, bahwa kapital adalah uang yang menghasilkan lebih banyak
lagi, selain itu menurut Marx bahwa kapital tidak hanya uang tetapi adanya relasi sosial tertentu. Masuknya Restoran Siap Saji (Fast-Food) Sebuah Cengkeraman Tangan Kapitalis Masuknya bisnis waralaba (franchise) makanan siap saji khususnya di Indonesia muncul pada tahun 1970-an. Masuknya Shakey Pisa, KFC, Swesen dan Burger King merupakan generasi awal franchise di Indonesia. Adanya lisensi franchise plus yang tidak sekedar penyalur, namun juga memiliki hak untuk memproduksi menandakan perkembangan selanjutnya. Sejak tahun 1995 sistem franchise mulai berkembang pesat pada tanggal 18 Juni 1997 dikeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) RI No. 16 Tahun 1997 tentang Waralaba . Peraturan pemerintah tersebut telah melegalkan dan memberikan kekuatan hukum bagi ekspansi dan eksploitasi para pemilik modal dalam hal ini perusahaan-perusahaan waralaba makanan siap saji (fast-food). Peraturan Pemerintah tersebut kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Pasal 1. poin pertama bahwa waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Poin kedua pemberi waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba. Poin ketiga penerima waralaba orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan Waralaba yang dimiliki Pemberi Waralaba .
Akselerasi bisnis waralaba makanan siap saji (fast-food) semakin melebar seiring penerimaan oleh masyarakat di Indonesia. Perkembangan outlet-outlet restoran siap saji (McD, KFC dan lain sebaginya), semakin meningkat bahkan hampir disetiap kota sudah dimasuki oleh agen perusahaan transnasional tersebut. Sebuah realitas yang cukup mengerikan inilah gambaran kecil dari sebuah sketsa besar hegemoni kapitalis.
Perdagangan bebas (free trade) dan adanya landasan hukum
formal untuk berkembangnya sistem kapitalisme di negara berkembang, merupakan entri point bagai eksploitasi dan akumulasi modal yang besar bagi kapitalisme asing di negara berkembang. Sehingga cengkeraman tangan-tangan tak nampak dari kapitalisme merongrong sendi-sendi kehidupan dan terjadilah penghisapan agen kapitalisme global terhadap negara berkembang. Menurut Paul Baran, munculnya kekuatan ekonomi asing dalam bentuk modal kuat dari dunia Barat ke negara-negara Dunia Ketiga, membuat surplus yang terjadi disana, diambil alih oleh kaum pendatang, melalui berbagai macam cara. Maka yang terjadi di negara-negara pinggiran bukanlah akumulasi modal melainkan penyusutan modal . Restoran Siap Saji (fast-food), Peran Media dan Perubahan Gaya Hidup (lifestyle) Ekspansi perusahaan multinasional (MMC), berupa pembukaan outlet-outlet restoran siap saji (fast-food) McDonald, Kentucky Fried Chicken dan lain sebagiannya. Merupakan sebuah proses ekspansi kultural neoliberal dan transformasi kultural masyarakat setempat terjadi pada kehidupan sehari-hari dengan cara marasuki kesadaran masyarakat pada umumnya. Masyarakat menjadi objek dari pasar yang diciptakan kemerdekaan untuk memilih makananpun sudah terkikis oleh hegemoni fast-food. Sebuah budaya baru, lahir dalam komunitas masyarakat yang merangkak menuju modern, yaitu amerikanisasi, manusia modern dan lain sebagainya.
Menghempas dalam ketidakberdayaan dan terpasung secara sistematis oleh sistem neo-liberalisme. Perkembangan ini merupakan imbas dari globalisasi yang ditandai dengan perluasan integrasi pasar antara negara-negara maju, negara-negara sedang berkembang dan antara keduanya. Pusat kebudayaan dunia ada di negara-negara industrial yang memproduksi baik barang-barang, jasa-jasa dan simbol-simbol modernitas yang kemudian dikonsumsi secara global oleh seluruh penduduk dunia melalui komoditisasi dalam kemasan-kemasan budaya . Tentunya penyebaran produk-produk kapitalis, dalam hal ini outlet-outlet restoran siap saji (fast-food), misalnya McDonald, Kentucky Fried Chicken dan lain sebagiannya. Di ikuti oleh penyebaran atau penduniaan budaya konsumtif yang mengancam peradaban manusia. Budaya konsumtif dikemas dalam gaya hidup internasional dan merupakan simbol modernitas. Hegemoni fast food sangatlah dipengaruhi oleh banyak faktor yang mendukung, salah satunya adalah media. Sebagai agen dari kapitalis negara maju yang mengembangkan bisnis waralaba fast-food, khususnya Amerika merupakan salah satu negara yang memiliki berbagai macam kemajuan teknologi, baik dari segi informasi maupun ilmu pengetahuan. Melalui teknologinya, baik media cetak, elektronik, audio visual, visual dan sebagainya, menyebarakan berbagai persfektif atau ideologi yang diyakini oleh masyarakat benar adanya, dan berakibat dalam pola keseharian masyarakat dunia berkembang khususnya dalam hal ini Indonesia yang telah terjajah oleh kaum kapitalisme. Media massa, baik elektronik maupun cetak, tidak dapat dipungkiri sebagai corong utama penyebaran “epidemi global”. Gaya memakan makanan fast-food
seperti Hamburger McDonald, KFC, Texas, dan lain-lain merebak diseantero jagat termasuk di Indonesia. Perubahan gaya hidup yang menjadi serba instan telah merasuki relung-relung kehidupan terutama generasi muda dewasa ini. Hal ini senada dengan pendapat Martin Khor, bahwa perusahaan multinasional (MMC) melalui iklan dan promosi produk, mereka juga mempromosikan budaya konsumtif sesaat dan tidak berkelanjutan . Menurut Tri Hardiyanto Sasongko, proses homogenisasi juga didukung oleh kuatnya pencitraan komoditi yang ditawarkan melalui iklan di media massa. Salah satu citra yang ditawarkan adalah citra modern dan gaya hidup baru di berbagai pelosok negeri . Di lain pihak banyak juga efek yang ditimbulkan dari hegemoni bisnis fast-food, baik ekonomi, sosial, dan juga budaya. Efek lain yang tidak rasional dari restoran fast-food adalah dehumanisasi yang berlasung ditempat makan dan verja. Pembeli dipaksa antri hanya untuk mendapatkan burger. Sementara pekerja kerap merasa tidak ubahnya bagian dari alur parasitan . Tetapi efek-efek negatif tidak pernah diangkat oleh media, kondisi ini merupakan salah bentuk dari hegemoni dalam persfektif Gramsci. Perubahan gaya hidup merupakan salah satu akibat dari hegemoni bisnis fastfood terutama McDonald’s, Kentucky Fried Chicken, dan lain sebagainya. Kondisi ini bersentuhan langsung pada pola konsumsi masyarakat sebagai bagian dari gaya hidup, munculnya perilaku konsumtif dan konsumerisme adalah bagian yang tak terpisahkan dari efek ekspansi bisnis fast-food di negara berkembang termasuk Indonesia. Proses perkembangan restoran siap saji (fast-food) sebagai hasil dari ekspansi perusahaan-perusahaan multinasional (MMC). Kedai-kedai atau outlet fast-food berkembang cukup pesat beriringan dengan diterimanya produk tersebut oleh masyarakat di dunia berkembang.
Tentunya peran media sangat signifikan dalam pembentukan opini dan propaganda dengan simbol-simbol modern. Sehingga masyarakat terhipnotis dan merasa bahwa untuk menjadi modern harus mengikuti pola hidup atau gaya hidup seperti yang dipropagandakan oleh iklan-ikalan di media massa. Inilah wujud utuh dari hegemoni kapitalis dalam mencengkeramkan tanganya ke negara-nagara berkembang. Pergeseran dan perubahan gaya hidup (life style) berpengaruh cukup signifikan khususnya pada generasi muda. Dewasa ini pengaruh dan cengkeraman restoran fast-food McDonald, KFC, Pizza, Texas dan lain sebagainya, cukup besar bagi pembentukan statu pola gaya hidup tertentu. Gaya hidup yang instan, perilaku konsumtif dan juga konsumerisme. Awalnya konsumsi tidak lain adalah pemenuhan kebutuhan manusia. Namun demikian, konsumsi dan polanya sudah berkembang sedemikian rupa sehingga mencapai bentuk yang lebih jauh dari bentuk awal dan primitifnya. Ia bukan hanya sebagai pemenuhan kebutuhan melainkan lokomotif dari gerbong kapitalisme. Kebanyakan
masyarakat
di
negara
berkembang
terjangkit
penyakit
konsumerisme, termasuk Indonesia. Secara singkat bahwa konsumerisme merupakan suatu pola pikir dan tindakan di mana orang melakukan tindakan membeli barang bukan karena ia membutuhkan tetapi tindakan membeli itu memberikan statu kepuasan pada dirinya . Selain itu konsep kebutuhan didefinisikan ulang oleh iklan dan segenap bentuknya (mulai dari advertorial, iklan berbentuk berita dan laporan ilmiah, iklan bentuk hiburan dan lain sebagainya), inilah signifikasi dari media mempengaruhi
perilaku
masyarakat
didunia
berkembang
sebagai
pasarnya
perusahaan-perusaan multinasional (MMC). Berimbas pada pembentukan gaya hidup yang instan sesuai dengan pencitraan di iklan-iklan. Jadilah manusia sebagai robot
yang dikendalikan oleh mesin kapitalisme. Inilah bagian dari banyak cerita tragis akibat arus globalisasi yang mencekik kerongkongan masyarakat negara berkembang. Konsumerisme yang tinggi (dalam hal makanan), memiliki dampak negatif bagi masyarakat. Fast-food adalah makanan yang diolah dan disajikan secara cepat. Belum tentu sesuatu yang cepat memiliki kualitas yang bagus dan sehat. Junk-food salah satunya. Kata fast-food dan junk-food sangat erat kedengarannya. Junk-food merupakan makanan sampah. Ini bukan berarti makanan yang diambil dari sampah, namun makanan yang memilioki kadar gula tinggi, kadar kolesterol tinggi, kadar lemak tinggi, yang tentu saja merupakan makanan ”musuh” dari tubuh kita karena semuanya dikonsumsi dengan kadar yang ”terlalu” tinggi. Dan alhasil, negara AS, sebagai awal mula McDonadlisasi, masyarakatnya banyak yang mengalami obesitas (kegemukan). Tingkat konsumerisme negara AS juga termasuk tinggi. Namun, diimbangi dengan tingkat penghasilan rata – rata yang tinggi. Namun, jika McDonaldisasi deterapkan di negara berkembang, misalnya saja Indonesia, sebenarnya kurang cocok. Karena antara tingkat konsumsi dan pendapatan tidak seimbang. Dapat dikatakan, ”Besar pasak daripada tiang.” Dalam kasus lain kondisi ini sejalan dengan pendapat Hoggrt, bahwa masuknya budaya populer melalui berbagai jenis asupan produk dari novel-novel sex dan kekerasan lagu-lagu pop komersial melalui media iklan dan sebagainya, membuat kelas pekerja kehilangan dirinya dan budaya mereka, sebuah budaya yang dibawah dari seberang Samudra Atlantik, atau sering ia sebut dengan amerikanisasi . Remaja diera dinegara berkembang telah masuk kedalam kubangan jerat kapitalisme melalui penanaman nilai dan pandangan hidup yang dikonstruksikan melalui media massa. Perilaku nongkrong di mall, café, dan memakan makan siap saji (fast-food) KFC, McD, Pizza, Texas dan lain sebagainya adalah bagian dari
keseharian mereka. Sebuah penukaran identitas lokal dengan identitas instan modern. Semua orang sudah begitu dalam masuk kedalam perangkap kapitalisme dan tidak menyadari akan perangkap itu. Penyebarluasan globalisasi budaya Barat merupakan suatu produk homogen yang mempunyai karakter 'materialistik', yang berdampak kepada pergolakan dan konflik sosial di masyarakat non-Barat. Mereka memiliki warisan budaya dan kehidupan religius yang jelas berbeda dengan masyarakat Barat sebagai pengusung globalisasi dan kapitalisme. Karena, globalisasi-kapitalisme mengisyaratkan sebuah perubahan atau dengan kata lain merupakan rekonstruksi bentuk-bentuk masyarakat yang berlaku berupa tatanan etika dan selebihnya, merupakan perubahan tersebut acap kali membangkitkan konflik sosial yang hebat. Biasanya perubahan ini terjadi pada wilayah perkotaan (urbanized area). Proses modifikasi baru saja ditembus. Seperti yang banyak terjadi di negara-negara ketiga. Ada pun pengaruh globalisasi terhadap sosial budaya meliputi dua sisi, yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif. Salah satu yang menjadi pelajaran positif untuk kehidupan sosial adalah masyarakat suatu bangsa dapat meniru pola berfikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi, disiplin, dan ilmu pengetahuan dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan masyarakat setempat sehingga bisa menegakkan agama dan membangun bangsanya untuk lebih maju. Sedangkan dampak negatif globalisasi terhadap masyarakat --khususnya anak muda, banyak dari mereka yang melupakan identitas diri sebagai anak bangsa, karena gaya hidup mereka cenderung imitatif terhadap budaya Barat. Mulai dari pakaian, potongan dan warna rambut, pilihan hiburan, dan seterusnya.
Pengaruh negatif kedua yaitu adanya kesenjangan sosial yang tajam antara warga kelas atas dan bawah, kaya-miskin, disebabkan adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Yang ketiga adalah munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidakpedulian antar individu dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat tidak akan peduli atas bangsa dan budayanya. Ekonomi mempunyai pengaruh kuat terhadap masyarakat. Seperti yang pernah dikatakan oleh Karl Marx, bahwa ternyata aspek ekonomi seseorang mampu menentukan kesadaran sosial masyarakat; seperti cara seseorang bersikap, berperilaku, hingga keberagamaan suatu masyarakat. Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa dengan merebaknya globalisasi ekonomi pada suatu bangsa maka kehidupan sosial juga akan berubah sesuai dengan potensi yang di sebarluaskan oleh globalisasi tersebut. Pendukung
globalisasi
(sering
juga
disebut
dengan
pro-globalisasi)
menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera digital (mampu mencetak lebih efesien dan bermutu tinggi) sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor produksinya untuk memaksimalkan produksi kamera digital, lalu menutupi
kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga sebaliknya. Salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah adanya larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Di satu sisi, kebijakan ini dapat melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi lain, hal ini akan meningkatkan biaya produksi barang impor sehingga sulit menembus pasar negara yang dituju. Para pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut, mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan meningkat. Karena permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat dan begitu seterusnya. Beberapa kelompok pro-globalisme juga mengkritik Bank Dunia dan IMF, mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya mengontrol dan mengalirkan dana kepada suatu negara, bukan kepada suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai hasilnya, banyak pinjaman yang mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang kemudian menyelewengkan dan tidak menggunakan dana tersebut sebagaimana mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam lilitan hutang negara, dan sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun. Karena tingkat kemakmuran menurun, akibatnya masyarakat negara itu terpaksa mengurangi tingkat konsumsinya; termasuk konsumsi barang impor, sehingga laju globalisasi akan terhambat dan -- menurut mereka -- mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia. Arus kapitalis mendera cukup deras keseluruh bagian negara-negara di dunia. Ada banyak persoalan yang dihadapi oleh negara berkembang dengan masuknya berbagai regulasi agen-agen kapitalis yang melakukan ekspansi besar-besaran perusahaan multinasional mereka. Penyebaran perusahaan waralaba berupa restoranrestoran siap saji KFC, McD, Pizza, Texas, dan lain sebagainya, telah berdampak pada
perubahan dan penciptaan gaya hidup baru terutama dikalangan generasi muda. Mereka disuguhkan tayangan media masa berupa iklan-iklan produk tersebut, berimbas pada penghambaan terhadap produk-produk tersebut. Sebuah gambaran pencarian identitas tetapi terjadinya kehilangan identitas. Kehadiran budaya Barat seakan mendominasi dan selalu menjadi trend-centre masyarakat. Kebiasaan dan pola hidup orang barat seakan menjadi cermin kemodernan. Hal ini jelas mengikis perilaku dan tindakan seseorang. Hembusan pengaruh budaya Barat, dianggap sebagai ciri khas kemajuan dalam ekspresi kebudayaan kekinian. Padahal belum tentu sesuai dengan kebutuhan situasi dan kondisi masyarakat sendiri. Keadaan ini terus mengikis budaya dan kearifan lokal yang menjadi warisan kebudayaan masyarakat nusantara. Nilai tradisional masyarakat perlahan mengalami kepunahan, tak mampu bersaing dengan derasnya publikasi budaya modern dalam konteks pergaulan masyarakat. Beberapa dampak yang dirasakan adalah dengan menurunnya rasa sosial dan tenggang rasa masyarakat, mengikisnya semangat kebhinekaan yang mengarah pada disintegrasi bangsa dan pelanggaran hukum, dan pola hidup individualisme dan konsumerisme yang bertentangan dengan sikap hidup sederhana. Kebebasan dan kesenangan hidup masyarakat Barat tidak selamanya positif. Banyak kalangan remaja yang sedang mencari jati diri tergusur oleh tren-tren yang tak henti diiklankan sebagai suatu gaya hidup yang menyenangkan dan mendunia. Banyak norma-norma masyarakat pribumi di Indonesia yang terkikis dalam keseharian generasimudanya. Seharusnya masyarakat di Indonesia, maupun di negara - negara berkembang, berusaha mengevaluasi dan memberikan kritikan terhadap masuknya perusahaanperusahaan multinasional tersebut. Agar efek samping yang negatif dapat diminimalisir dan bisa dijadikan input bagi regulasi-regulasi kebijakan dalam negeri.
Global pop culture atau globalisasi budaya bukanlah tren baru. Ia muncul bersama dengan lahirnya globalisasi itu sendiri. Baik dalam politik, ekonomi, dan lain-lain. Karena aspek-aspek tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap perubahan tatanan masyarakat dan budaya suatu negara. Singkat kata dapat kita simpulkan beberapa hal yang menjadi karakteristik globalisasi sosial dan globalisasi budaya, yaitu: a. secara sosial; konsep berpakaian, tata bicara, sistem kekerabatan da stratifikasi sosial juga berubah dan bergeser ke arah yang lebih modern dibanding generasi sebelumnya. Konsep sosial yang ada dalam masyarakat juga berubah, terutama masalah tranportasi, komunikasi, dan arus informasi. b. Dalam arena budaya, proses globalisasi mencerminkan diri pada struktur sosial yang berkaitan dengan kepercayaan, nilai, simbol, dan fakta. Meninggalkan dogma-dogma kuno seperti mitos dan lain-lain, yang digantikan dengan sebuah doktrin baru yang bersifat majemuk (plural) yaitu mencari kebenaran dengan metode analisis-kritis. Dengan kata lain, dalam globalisasi sosial budaya orang lebih suka untuk menjadi orang lain dengan cara menutupi identitasnya. Hal ini dikarenakan adanya bentuk neo-liberal globalisasi dalam perwujudan universalisasi terhadap style bentuk budaya tertentu, yang cenderung untuk memperoleh hirarki sosial dan homogenisasi budaya yang sangat besar dalam skala dunia. Oleh sebab itu, budaya dan adat istiadat merupakan ciri dan faktor penting yang dimiliki oleh suatu bangsa. Jadi negaralah yang memiliki peran penting untuk melindungi nilai-nilai asli milik masyarakatnya berupa warisan nenek moyang; norma, etika, budi pekerti masyarakat yang harus selalu dijunjung tinggi.
Hal tersebut sudah menjadi tanggung jawab pemerintah, seperti memilah dan memilih situs-situs apa saja yang layak untuk disuguhkan kepada anak bangsanya, mengalokasikan dana besar untuk mengadakan festival-festival budaya guna memasyarakatkan kekayaan budaya bangsa dan mempromosikan industri wisata mereka, dan lain-lain. Secara garis besar dapat kita fahami bahwa globalisasi yang menghadirkan budaya Barat kepada negara-negara non-Barat semata-mata hanyalah bentuk baru kolonialisme atau imperialisme Barat terhadap negara "jajahannya". Bedanya kalau zaman dulu penjajahan adalah ekspansi kekuasaan dengan kekuatan tangan, tapi sekarang penjajahan tersebut menggunakan soft power. Seakan memberikan obat mujarab kepada negara-negara yang baru saja berkembang berupa opium, maka pasien akan merasakan kenikmatan dalam tiap tegukan. Tapi, apa yang terjadi tidaklah seperti dirasa dan diharapkan. Pasien pun akan mati 'cepat atau lambat' tergantung pada seberapa banyak dan besar pengaruh opium tersebut. Perlu diingat bahwa tidak semua dokter jahat dan tidak semua obat beracun. Tergantung pada ikhtiar pasien dalam menentukan kemana dan bagaimana ia harus berobat. Dalam menghadapi fenomena globalisasi, sebagai warga negara yang 'berbudaya' dan 'memiliki budaya' ada dua hal yang seyogyanya dimiliki oleh masyarakat, yaitu: mengokohkan identitas diri dan reaksi timbal balik, maksudnya adalah suatu negara tetap membentengi diri dari segala pengaruh globalisasi dengan tidak menutup semua pintu tapi menyaring dan memfilter, sehingga akan muncul timbal-balik yang fair dan equitable.
Globalisasi merupakan sarana terbaik untuk memperkenalkan budaya bangsa kita. Kita bukan hanya menjadi masyarakat yang sekedar menjadi konsumen budayabudaya seberang. Tapi, juga mampu menghadirkan dan menjunjung tinggi budaya dan nilai-nilai luhur kita kepada bangsa lain. Fenomena peng-global-an dunia harus disikapi dengan arif dan positif thinking karena globalisasi dan modernisasi sangat diperlukan dan bermanfaat bagi kemajuan. Namun tidak boleh lengah dan terlena, karena era keterbukaan dan kebebasan itu juga menimbulkan pengaruh negatif yang akan merusak budaya bangsa. Menolak globalisasi bukanlah pilihan tepat, karena itu berarti menghambat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bukankah kita tidak mau ketinggalan dalam IPTEK dengan negara lain. Akan tetapi perlu kecerdasan dalam menjaring dan menyaring efek globalisasi. Akses kemajuan teknolgi informatika dan komunikasi dapat dimanfaatkan sebagai pelestari dan pengembang nilai-nilai budaya lokal. Jatidiri daerah harus terus tertanam di jiwa masyarakat, serta harus terus meningkatkan nilainilai keagamaan. Jadi, prinsip-prinsip McDonaldisasi memang tidak selalu negatif, tetapi bisa diambil seperlunya demi kemajuan. Namun pada saat bersamaan, hidup harus dibuat berwarna agar terhindar dari jebakan irasionalitas, dehumanisasi, atau homogenisasi. Hidup terlalu indah untuk disetir dengan prinsip untung-rugi. Tips Hidup di era McDonaldisasi 1. Agama tentu pegangan utama. Dengan iman, anda tidak akan mengalami kegoyahan hidup sehari-hari, tahu mana yang harus dikerjakan dan mana yang tidak.
2. Bagi yang mampu, usahakan tidak tinggal di apartemen. Cobalah hidup di lingkungan yang bisa bersosialiasi. Kalau terpaksa hidup di lingkungan apartemen, upayakan tidak menjadi kaum asosial. 3. Daripada membeli di swalayan, mal, atau grosir raksasa, cobalah sesering mungkin belanja di pasar tradisional. Atau belilah buah dari pedagang pinggir jalan. Mahal sedikit tak mengapa, tapi anda membantu mereka dan bebas dari kekakuan ala supermarket. 4. Bersantaplah di resto Padang, atau warung pecel lele, ketimbang di resto siap saji atau resto besar lainnya. 5. Coba menulis untuk keluarga dengan pena dan layanan pos, meski e-mail memungkinkan. Upayakan telepon famili langsung, tidak lewat SMS. 6. Hindari membeli barang-barang impor yang mahal dan tak perlu. Cintai produk dalam negeri. 7. Kalau harus menonton televisi, tontonlah stasiun yang kecil atau yang menawarkan program pendidikan, bukan hiburan film. 8. Daripada membawa liburan anak-anak ke pusat permainan (game), bawalah mereka ke Kebun Raya, atau Taman Margasatwa. Cegah rutinitas sehari-hari. Bikinlah sesuatu dengan cara berbeda setiap hari, bila mungkin. Dan jika bisa dikerjakan sendiri, kerjakan, tak usah menggunakan jasa layanan komersial. Negara Indonesia, merupakan salah satu negara yang memiliki presentase tingkat konsumerisme tinggi. Hal ini merupakan salah satu dampak dari McDonalisasi. Untuk itu, diharapkan agar masyarakat Indonesia peduli dan mau mengembangkan makanan tradisional Indonesia, kesenian daerah, dll, untuk meminimalisasi dampak tersebut. Jika tidak, maka masyarakat Indonesia akan
bernasib sama seperti masyarakat di AS, yaitu menderita obesitas (kegemukan), serta banyak penyakit yang akan mendera. Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada kesalahan dalam penulisan ejaan nama, tempat, atau apapun, kami mohon maaf yang sebesar – besarnya.