11
III. METODE PENELITIAN
3.1.
Tempat dan Waktu Penelitian Lokasi penelitian di wilayah Kecamatan Babakan Madang dan
Klapanunggal. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. Analisis citra dan data dilakukan di Bagian Perencanaan Pengembangan Wilayah, Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Februari 2011 sampai Desember 2011.
Gambar 1. Lokasi Penelitian
3.2.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah : (1)
Citra ALOS AVNIR 2009, peta RTRW Kabupaten Bogor tahun 2000-2010 skala 1:100.000, peta lahan kritis tahun 2009 skala 1:100.000, peta administrasi skala 1:25.000, peta lereng skala 1:250.000, peta curah hujan skala 1:250.000, dan peta tanah tinjau skala 1:250.000, data Potensi Desa Kecamatan Babakan Madang dan Klapanunggal.
12
Peralatan yang digunakan dalam penelitian, (1)
Untuk pengamatan karakteristik lahan kritis : Bor tanah, abney level, Global Position System (GPS), pisau, dan kamera digital.
(2)
Untuk analisis statistik dan spasial: Seperangkat komputer yang di lengkapi software Arc View GIS 3.3, dan Statistica 8.0.
3.3.
Metode Penelitian Penelitian ini dibagi menjadi empat tahap kegiatan, (1) identifikasi
kesesuaian alokasi ruang, (2) identifikasi variabel penciri tingkat kekritisan lahan, (3) menguji ketepatan klasifikasi DRLKT menggunakan kriteria modifikasi, dan (4) analisis keterkaitan penyimpangan alokasi ruang dengan tingkat kekritisan lahan. Diagram alir penelitian disajikan pada Gambar 2.
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3 Tahap 4
Gambar 2. Diagram Alir Penelitian
13
3.3.1. Identifikasi Kesesuaian Alokasi Ruang Identifikasi kesesuaian alokasi ruang terhadap penggunaan lahan dilakukan klasifikasi penggunaan lahan dari citra ALOS AVNIR tahun 2009 untuk mendapatkan peta penggunaan lahan. Kemudian peta penggunaan lahan yang dihasilkan di overlay dengan peta rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor tahun 2000-2010, sehingga dihasilkan peta penyimpangan alokasi ruang dengan penggunaan lahan. Tahapan klasifikasi penggunaan lahan meliputi: (1) koreksi geometrik dan (2) interpretasi visual penggunaan lahan.
1)
Koreksi Geometrik Koreksi geometrik merupakan koreksi posisi citra akibat kesalahan
geometrik. Koreksi geometrik dilakukan pada citra dengan cara menentukan titiktitik ikat atau Ground Control Point (GCP) yang mudah ditentukan seperti percabangan sungai atau perpotongan jalan, yang dibuat merata pada seluruh citra. Sistem koordinat yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem koordinat bujur-lintang (Latitude-Longitude). Akurasi koreksi geometrik di ukur dengan nilai RMS (Root Mean Square) error. Semakin kecil RMS error maka ketepatan titik GCP semakin tinggi. Perhitungan RMS error menggunakan persamaan berikut (Jensen, 1996) :
x dan y = koordinat citra asli (input) X dan Y = koordinat citra keluaran (output)
2)
Interpretasi Penggunaan Lahan Interpretasi penggunaan lahan dilakukan secara visual dengan mengamati
berbagai kenampakan obyek menggunakan warna asli (true color) dan dengan menggunakan unsur-unsur interpretasi citra, yaitu rona, warna, ukuran, bentuk, tekstur, pola, bayangan, situs, dan asosiasi. Obyek–obyek yang diamati kemudian dikelaskan dalam salah satu penggunaan lahan sebagai berikut: hutan, kebun
14
campuran, semak, rumput, pemukiman, jalan dan emplasmen, sawah, tegalan, badan air, galian c, dan industri. Penarikan batas penggunaan atau penutupan lahan dilakukan secara langsung melalui digitasi layar (on-screen digitizing) yaitu melakukan digitasi pada monitor komputer secara langsung. Proses ini dilakukan dengan software Arcview 3.2 beserta ekstensi Arcview image Analysis 1.1.
3.3.2. Membuat Peta Kerja, untuk Mendapatkan Data Keterkaitan Penyimpangan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Lahan Peta kerja sebagai dasar pengumpulan data untuk mengetahui keterkaitan penyimpangan alokasi ruang dengan tingkat kekritisan lahan dibuat dengan cara overlay antara peta penyimpangan alokasi ruang dengan peta lahan kritis. Jumlah titik pengamatan 48 titik, terdiri dari 31 titik pengamatan pada kawasan yang satuan penggunaannya menyimpang di berbagai tingkat kekritisan lahan dan 17 titik pada kawasan yang penggunaannya tidak menyimpang sehingga dianggap sebagai kontrol. Pengamatan variabel lahan kritis dilakukan pada penggunaan lahan tegalan, sawah, hutan, dan kebun campuran. Sedangkan pada penggunaan lahan pemukiman, industri dan galian-C tidak memungkinkan pengamatan/pengukuran variabel lahan kritis, sehingga hanya mengambil foto. Untuk mendapatkan variabel penciri tingkat kekritisan lahan, selain 48 titik pengamatan, juga diamati 30 titik pengamatan tambahan. Dengan bertambahnya 30 titik pengamatan tersebut diharapkan variabel penciri kelas kekritisan lahan hasil analisis statistik lebih mendekati kondisi di lapang. Tiga puluh titik pengamatan tersebut ditentukan berdasarkan jumlah tiap kategori kelas kekritisan lahan di dua kecamatan, masing – masing kelas kekritisan lahan diamati 3 titik pengamatan. Variabel lahan kritis yang diamati : kedalaman efektif, lereng, batuan di permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi dan tutupan vegetasi. Variabel tersebut merupakan modifikasi dari kriteria lahan kritis DRLKT tahun 2004 dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslittanak) tahun 1997. Variabel Lahan Kritis DRLKT, Puslittanak, dan Modifikasi tersaji pada Tabel 4. Cara pengumpulan data fisik lebih lengkap terdapat pada Tabel 5
15
Tabel 4. Variabel Lahan Kritis DRLKT, Puslittanak, dan Modifikasi 1) 2) 3) 4) 5)
DRLKT Produktivitas Lereng Erosi Batu – batuan Manajemen
Puslittanak 1) 2) 3) 4) 5)
Penutupan vegetasi Tingkat torehan Kerapatan drainase Penggunaan lahan Kedalaman efektif
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Modifikasi Kedalaman efektif Lereng Batuan permukaan Drainase Singkapan batuan Erosi Tindakan konservasi Tutupan vegetasi
Sumber : Peraturan Direktur Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial Nomor : SK.167/V-SET/2004 dan Karmelia (2004)
Tabel 5. Cara Pengumpulan Data Fisik Lingkungan No
1 2 3
4
5 6
Jenis Variabel
Cara Pengumpulan
Pengamatan di lapang menggunakan bor Kedalaman tanah. Pengeboran dilakukan sampai efektif tanah kedalaman maksimal 120 cm atau sampai kedalaman batuan atau padas. Lereng Diukur dengan abney Level di lapang Batuan Diamati dilapang berdasarkan persentase permukaan batuan di permukaan tanah Diamati di lapang berdasarkan tingkat drainase tanah : a) Cepat : tanah bertekstur kasar (berpasir), air cepat meresap kedalam tanah, tidak ada karatan. b) Baik : tekstur tanah diantara berpasir Drainase dan berliat, air mudah meresap kedalam tanah, dan tidak pernah jenuh air. c) Lambat : tanah bertekstur halus (berliat) air lambat meresap kedalam tanah (tergenang air), terdapat karatan berwarna keabu-abuan. Singkapan Diamati dilapang berdasarkan persentase batuan singkapan–singkapan batuan Erosi
7
Tindakan Konservasi
8
Tutupan vegetasi
Diamati dilapang berdasarkan tererosi (erosi parit dan alur) atau tidak tererosi Diamati berdasarkan ada atau tidak adanya bangunan konservasi di lapangan. Bangunan konservasi yang diamati meliputi teras bangku dan guludan. Diamati dilapang berdasarkan persentase tutupan vegetasi di atas permukaan tanah.
Keterangan/ Satuan cm % %
1 = drainase cepat dan baik 0 = drainase lambat
% 1 = tererosi 0 = tidak tererosi 1 = tidak ada 0 = ada %
16
3.3.3. Identifikasi Variabel Penciri Tingkat Kekritisan Lahan Untuk mengidentifikasi variabel penciri tingkat kekritisan lahan, data kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi, dan tutupan vegetasi di analisis diskriminan. Dengan persamaan umum fungsi diskrminan (Johnson dan Wichern, 2002) :
Zjk = a + W1*X1k + W2X2k +...+ Wn*Xnk Dimana : Zjk
= Nilai diskriminan Z dari fungsi diskriminan j untuk obyek k
a
= Intersep
Wi
= Koefisien diskrimian untuk variabel independen ke-i
Xik
= Nilai variabel ke-i untuk obyek ke-k
Untuk menjamin tidak terjadinya redundansi (multikolinearitas) antar variabel digunakan metode analisis diskriminan bertatar. Dalam analisis diskriminan dengan prosedur bertatar (stepwise), model penciri ditetapkan tahap demi tahap. Dalam setiap tahap, variabel kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi, dan tutupan vegetasi
dievaluasi, sehingga diperoleh variabel yang berkontribusi terbesar
dalam membedakan tingkat kekritisan lahan.
3.3.4. Menguji Tingkat Ketepatan Klasifikasi DRLKT dengan Kriteria Modifikasi DRLKT dan Puslittanak. Tingkat ketepatan klasifikasi DRLKT di uji dengan menggunakan variabel fisik lahan kritis hasil modifikasi dari kriteria lahan kritis DRLKT dan Puslittanak. Variabel fisik lahan kritis tersebut meliputi kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi, dan tutupan vegetasi, yang kemudian di analisis diskriminan dimana keluarannya berupa matrik klasifikasi dan peluang prosterior.
17
3.3.5. Analisis Keterkaitan Penyimpangan Alokasi Ruang dengan Tingkat Kekritisan Dalam menganalisis keeratan hubungan antara tingkat kekritisan lahan dengan penyimpangan penggunaan lahan dan variabel fisik lahan yang ada di wilayah penelitian, maka dilakukan analisis korelasi. Data yang digunakan meliputi luas masing – masing tingkat kekritisan lahan, luas penyimpangan alokasi ruang, serta data variabel fisik lahan kritis yang meliputi kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, drainase, singkapan batuan, erosi, tindakan konservasi, dan tutupan vegetasi. Analisis korelasi memanfaatkan persamaan berikut :
Dimana = Koefisien Korelasi Pearson x1
= Luas dan tingkat kekritisan lahan
x2
= Luas penyimpangan penggunaan lahan dan nilai variabel fisik lahan
Dimana
rs = Koefisien korelasi rank spearman tx = Banyaknya observasi sama pada variabel X untuk rank tertentu ty = Banyaknya observasi sama pada variabel Y untuk rank tertentu di = Perbedaan rank X dan rank Y pada observasi ke-i i = Observasi ke-i, untuk i = 1, 2, …, n
18
Analisis korelasi dalam penelitian ini meliputi korelasi Person dan korelasi Rank Spearman. Dalam melihat hubungan tingkat kekritisan lahan dengan penyimpangan penggunaan lahan maka dilakukan korelasi Person karena data berskala interval atau rasio. Untuk melihat hubungan tingkat kekritisan dengan variabel fisik lahan yang meliputi kedalaman efektif, lereng, batuan permukaan, singkapan batuan, dan tutupan vegetasi menggunakan analisis korelasi Person karena data berskala interval atau rasio. Sedangkan untuk melihat hubungan tingkat kekritisan lahan dengan variabel fisik lahan yang meliputi drainase, erosi, dan tindakan konservasi menggunakan analisis korelasi Spearman karena data berskala ordinal. Interpretasi nilai r (koefisien korelasi) disajikan pada Tabel 6 (Usman dan Akbar, 2006)
Tabel 6. Interpretasi nilai r Interval nilai (koefisien)
Derajat hubungan
0
Tidak berkorelasi
0.01 – 0.20
Sangat lemah
0.21 – 0.40
Lemah
0.41 – 0.60
Sedang
0.61 – 0.80
Kuat
0.81 – 0.99
Sangat Kuat
1
Berkorelasi sempurna