III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi Kabupaten Garut Provinsi Jawa Barat sebagai daerah penelitian yang terletak pada 6°56'49''-7°45'00'' Lintang Selatan dan 107°25'8''-108°7'30'' Bujur Timur. Secara Administrasi Kabupaten Garut mempunyai 42 kecamatan, 21 kelurahan dan 403 desa. Dalam penelitian ini persiapan dan pengolahan citra dilakukan di Bagian Penginderaan Jauh dan Informasi Spasial, Departeman Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Pengolahan data sebelum kerja lapangan dilaksanakan mulai bulan Juni 2011 sampai bulan Februari 2012, sedangkan kerja lapang dan wawancara dilaksanakan pada akhir Februari 2012. Untuk pengolahan data akhir dilaksanakan setelah kerja lapang sampai bulan Mei 2012.
Gambar 7. Lokasi Penelitian
15
3.2 Jenis dan Sumber Data Untuk menunjang penelitian ini diperlukan beberapa jenis data primer dan sekunder seperti tersaji pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut: Tabel 1. Jenis dan Sumber Data Primer No Jenis Data Primer 1 ASTER GDEM
Sumber Data www.gdem.aster.ersdac.or.jp
2
Citra Landsat path/row: 121/65,122/65 di akuisisi tahun 2008
USGS.glovis.gov
3
Data Hasil Pengamatan Penggunaan Lahan Tahun 2012 dan Kejadian Longsor
Wawancara dan pengamatan langsung di lokasi
Tabel 2. Jenis dan Sumber Data Sekunder No Jenis Data Sekunder
Sumber Data Pusat Penelitian dan dan Pengembangan Geologi tahun 1992
1
Peta Geologi Lembar Garut Pemeumpeuk Skala 1:100.000
2
Peta Tanah Tinjau Jawa Barat Skala 1:250.000
PUSLITANAK tahun 1993
3
Data Curah Hujan
Data Landsystem (RePPProT 1987)
4
Peta Dasar Rupa Bumi Indonesia (RBI) Skala 1 : 25.000
Bakorsurtanal tahun 2000
5
Data Titik Longsoran Tahun 2000-2011 Kabupaten Garut
www.Garutkab.go.id
3.3 Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan untuk penelitian lapangan antara lain adalah Abney Level, GPS Garmin 60Csx, dan Camera Digital. Sementara itu perangkat lunak yang digunakan adalah Erdas Imagine 9.1, ArcView GIS 3.3, ArcGIS 9.3, Global Mapper 9, Microsoft Office Word, dan Microsoft Office Excell. 3.4 Metode Penelitian Penelitian secara umum dilakukan melalui 3 tahap, yaitu: (1) tahap persiapan, (2) tahap pengecekan lapangan, dan (3) tahap pengolahan data.
16
3.4.1 Tahap Persiapan Tahapan ini meliputi pekerjaan pengumpulan data dan pengolahan data awal. Pengumpulan data diawali dengan pencarian literatur yang terkait dengan tema penelitian. Hal ini diperlukan untuk mengetahui beberapa metode dan perkembangan akhir dari metode-metode yang digunakan terkait dengan tema longsor. Setelah menentukan rencana daerah penelitian dan topik penelitian, maka dilakukan pembuatan proposal penelitian. Selanjutnya setelah proposal disetujui maka dilakukan pengumpulan data yang terkait dengan daerah penelitian dan topik penelitian. a.
Tahap Pengumpulan Data Pada dasarnya pengumpulan data dapat dipilahkan menjadi dua, yaitu
pengumpulan data sekunder dan data primer. Data sekunder yang dikumpulkan meliputi : peta jenis tanah, peta geologi, peta curah hujan, peta administrasi, peta topografi, dan data kejadian longsor yang didapat dari Pemerintah Kabupaten Garut. Untuk data primer yang dikumpulkan meliputi : Citra Landsat (tahun 2008), data ASTER GDEM, dan data hasil observasi lapang. Citra Landsat digunakan untuk interpretasi penutupan/penggunaan lahan, Citra ASTER GDEM untuk membuat peta kemiringan lereng dan elevasi, sedangkan observasi lapangan untuk menentukan titik-titik longsor di lapangan dan wawancara dengan penduduk agar dapat diketahui lebih jauh tentang longsor di daerah penelitian (lokasi, frekuensi). b.
Tahap Pengolahan Data Awal Proses pengolahan data awal meliputi (a) interpretasi citra secara visual
untuk pemetaan penggunaan lahan dan (b) pembuatan peta kemiringan lereng serta elevasi daerah penelitian. Beberapa tahapan yang harus dilakukan sebelum melakukan interpretasi citra untuk penggunaan lahan adalah: (1) penggabungan band (layer stacking), (2) pembuatan mosaik citra, (3) pemotongan citra (cropping), (4) koreksi geometrik, dan (5) interpretasi citra secara visual.
17
Berikut diuraikan secara singkat beberapa langkah tersebut di atas dengan menggunakan software ERDAS Imagine v 8.6 : 1.
Penggabungan band (layer stacking) Proses penggabungan kanal (band) Citra Landsat dilakukan terhadap
semua kanal yang ada, kecuali band 6 (inframerah termal) karena kanal ini tidak digunakan untuk identifikasi penggunaan lahan. Adapun kombinasi kanal yang akan digunakan dalam penelitian adalah kanal 542 (true color composit). Kombinasi kanal ini dipilih karena kombinasi tersebut menurut Lillesand dan Kiefer (1997) dapat membedakan antara vegetasi, jalan, tanah kosong, dan badan air secara jelas, sehingga kombinasi kanal ini dianggap sebagai kombinasi yang baik untuk melakukan interpretasi penggunaan lahan. 2.
Penggabungan citra (mosaic) Proses menggabungkan citra adalah menggabungkan 2 scene atau lebih
dari citra yang berurutan (lokasi dan akusisi) ke dalam 1 (satu) file untuk memperoleh citra yang utuh (bersambung). Hal ini disebabkan daerah penelitian terliput dalam 2 scene citra Landsat yang berurutan. 3.
Koreksi geometrik Koreksi geometrik dilakukan untuk menentukan titik-titik koordinat pada
citra agar menjadi sama dengan koordinat sesungguhnya di permukaan bumi. Koreksi dilakukan dengan metode GCP (Ground Check Point), yaitu memberikan minimal empat titik acuan pada image yang dikoreksi dengan image acuan sampai titik-titik koordinat pada citra yang pertama mempunyai koordinat yang sama dengan titik-titik acuan pada yang citra kedua. 4. Pemotongan citra (subset image) Pemotongan citra dilakukan untuk memperoleh cakupan citra Landsat sesuai dengan batas daerah penelitian, yaitu wilayah administrasi Kabupaten Garut. Pemotongan citra dilakukan dengan menggunakan software ERDAS Imagine v 8.6. 5. Interpretasi visual Interpretasi citra visual bermaksud untuk melakukan kajian terhadap citra dalam bentuk melakukan identifikasi terhadap obyek-obyek pada citra dan menilai
18
maknanya. Dalam penelitian ini kunci interpretasi yang digunakan mengacu pada Sutanto (1986), yaitu meliputi warna, bentuk, rona, ukuran, tekstur, bayangan, pola, situs, dan asosiasi. Adapun untuk pemetaan kemiringan lereng dan elevasi digunakan citra GDEM dengan menggunakan software Global Mapper v. 9.0. Penentuan kelas lereng diawali dengan mengkonversi data kontur digital ke dalam bentuk tiga dimensi (TIN), kemudian hasil dari tahap ini dikonversi ke dalam bentuk grid, dan selanjutnya dapat dilakukan klasifikasi kelas lereng. Dalam penelitian ini kelas lereng dibagi menjadi 6 kelas mengacu pada klasifikasi Van Zuidam (1983) untuk analisis terrain, yaitu: (a) 0-3%, (b) 3-8%, (c) 8-15%, (d) 15-25%, (e) 25-45%, dan (f) >45%. Hasil dari proses ini kemudian dikonversi menjadi bentuk vector (.shp) agar dapat digunakan untuk analisis SIG terkait dengan data spasial yang lain. 3.4.2 Observasi Lapang Sebelum melakukan observasi lapangan untuk pengumpulan data, hal yang perlu dilakukan adalah membuat peta kerja serta penentuan titik-titik observasi lapangan. Titik-titik ini ditentukan dengan pertimbangan aksesibilitas, lokasi yang mewakili setiap penggunaan lahan, dan sesuai dengan informasi data titik-titik longsor dari Pemda Kabupaten Garut (Bappeda Kabupaten Garut). Tujuan observasi lapangan adalah untuk pengecekan hasil interpretasi, pengambilan data
lapangan (titik
longsor,
kemiringan
lereng,
elevasi,
pengambilan foto), dan mencatat hal-hal lain yang terkait dengan kejadian longsor, seperti wawancara dengan penduduk lokal untuk mengetahui lokasilokasi longsor lain serta frekuensi longsor di setiap titik yang ditemukan. Pengukuran kemiringan lereng dilakukan dengan alat abney level, sedangkan GPS (Garmin 60Csx) digunakan untuk menentukan titik-titik longsor (koordinat geografis) serta mengetahui elevasinya. Hasil dari observasi lapangan kemudian digunakan untuk mengkoreksi peta penggunaan lahan hasil interpretasi atau melakukan reinterpretasi jika ditemukan salah interpretasi atau perubahan penggunaan lahan dan data yang lain digunakan untuk analisis lebih lanjut yang akan diuraikan pada halaman berikut ini (pengolahan data).
19
3.4.3 Tahap Pengolahan Data Tahap pengolahan data meliputi pemetaan titik-titik longsor, analisis penyebab longsor, pemetaan bahaya longsor, dan pemetaan resiko a.
Pemetaan titik-titik longsor Pemetaan titik-titik longsor ini dilakukan dengan software ArcGis v 9.3
dengan metode tumpang tindih (overlay), yaitu antara data titik-titik longsor hasil pengecekan lapang dengan peta administrasi wilayah Kabupaten Garut, atau dengan data DEM wilayah Kabupaten Garut. Dari hasil analisis ini diperoleh sebaran titik-titik longsor di daerah penelitian, baik dilihat dari kondisi topografinya (DEM) maupun dari wilayah administrasi (kecamatan), sehingga selanjutnya dapat dipelajari pola persebaran yang terbentuk di seluruh daerah penelitian terkait dengan topografi maupun wilayah administrasinya serta kaitannya dengan parameter-parameter yang lain. b.
Analisis penyebab longsor Untuk melakukan analisis penyebab longsor, dalam penelitian ini
digunakan beberapa parameter biogeofisik, yaitu Kemiringan Lereng, Elevasi, Formasi Geologi, Jenis Tanah, Curah Hujan, dan Penggunaan Lahan. Parameterparameter ini merupakan beberapa parameter penting yang dianggap banyak berpengaruh terhadap kejadian longsor jika mengacu pada penelitian-penelitian sebelumnya, seperti dari Alhasanah (2006) dan PUSLITANAK (2004). Dalam Alhasanah (2006) parameter longsor yang digunakan meliputi : morfologi permukaan bumi, litologi, geologi, penggunaan lahan, curah hujan, dan kegempaan, sedangkan menurut PUSLITANAK (2004) parameter longsor meliputi : kemiringan lereng, jenis tanah, tekstur tanah, kedalaman tanah, permeabilitas, formasi geologi, curah hujan, dan penggunaan lahan. Untuk mengetahui penyebab longsor yang dominan di daerah penelitian, dalam penelitian ini dilakukan analisis tumpang tindih (overlay) dengan software ArcGis v. 9.3 antara persebaran titik-titik longsor dan frekuensi kejadian longsor terhadap masing-masing parameter tersebut di atas. Frekuensi ini dihitung berdasarkan jumlah kejadian pada titik kejadian yang (relatif) sama selama sekitar 10 tahun, yaitu dari tahun 2001 sampai dengan 2012. Selanjutnya untuk mengetahui penyebab longsor ini dilakukan juga analisis terhadap kerapatan titik
20
longsor dan kerapatan frekuensi longsor yang dihitung berdasarkan jumlah titik longsor dan frekuensi kejadian terhadap luasan masing-masing kelas pada parameter biogeofisik seperti tersebut di atas. Satuan luasan yang digunakan untuk menghitung nilai kerapatan adalah 100 km². Hal ini dilakukan untuk menghindari banyaknya digit angka di bawah nol. c.
Penetapan kelas bahaya longsor Bahaya longsor adalah suatu kondisi dimana proses longsor dapat terjadi
dalam waktu dekat, bisa dalam hitungan harian, mingguan, bulanan, atau tahunan, sehingga mengindikasikan bahwa proses longsor dapat terjadi sewaktu-waktu dikarenakan oleh sifat biogeofisik yang dimiliki yang dapat mengancam jiwa manusia atau menimbulkan kerugian yang lain. Penilaian bahaya longsor dalam penelitian ini bersifat parametrik, dimana pada setiap parameter dikelaskan menjadi beberapa kelas yang menggambarkan besarnya kontribusi terhadap proses longsor. Adapun setiap kelas yang telah dibuat, dari kelas sangat rendah hingga kelas sangat tinggi, masing-masing diberi skor dari 1 hingga 5. Dalam penelitian ini bahaya longsor direpresentasikan sebagai penjumlahan skor dari masing-masing parameter pada suatu wilayah tertentu. Dengan demikian formulasi bahaya longsor dirumuskan sebagai berikut : Rumus KBL = L + E + G + T + L + CH Keterangan : KBL = Kelas Bahaya Longsor L = Lereng E = Elevasi G = Geologi T = Tanah L = Lahan CH = Curah Hujan Untuk skor dari masing-masing kelas setiap parameter disajikan pada Tabel 3, dimana skor 1 mencerminkan kontribusi yang sangat kecil terhadap proses longsor sebaliknya untuk skor 5 mempunyai kontribusi yang sangat besar terhadap proses terjadinya longsor. Untuk mengetahui kelas bahaya longsor berdasarkan formulasi di atas, maka diperlukan klasifikasi bahaya longsor yang didasarkan pada kelas interval Kelas interval dirumuskan sebagai berikut :
21
Interval Kelas Bahaya Longsor = Nilai tertinggi – Nilai terendah Jumlah Kelas Dalam Penelitian ini kelas bahaya longsor selanjutnya dibagi menjadi lima, yaitu kelas bahaya sangat rendah, rendah, menengah, tinggi, dan sangat tinggi. Bedasarkan ketentuan-ketentuan ini dan nilai skor yang telah ditentukan dalam Tabel 3, maka besarnya kelas interval adalah : Interval Kelas Bahaya Longsor = 30-6 = 4,8 atau setara 5 5 Berdasarkan nilai interval tersebut, selanjutnya dapat dibuat klasifikasi bahaya longsor yang didasarkan pada besarnya nilai yang diperoleh dan hasilnya disajikan pada Tabel 3.
Tabel 21. Parameter Longsor Berdasarkan Faktor Biogeofisik No Variabel
1
2
3
Kelas Lereng
Curah hujan mm/tahun
Jenis Batuan
Kriteria
Skor
Keterangan
0-8%
1
Sangat Rendah
8-15%
2
Rendah
15-25%
3
Menengah
25-45%
4
Tinggi
>45%
5
Sangat Tinggi
1500-2000
1
Sangat Rendah
2000-2500
2
Rendah
2500-3000
3
Menengah
3000-3500
4
Tinggi
3500-4000
5
Sangat Tinggi
Batuan Aluvial
1
Sangat Rendah
Batuan Kapur
2
Rendah
Batuan sediment
3
Menengah
Batuan Vulkanik
4
Tinggi
22
4
Jenis Tanah
Batuan sediment dan Batuan Vulkanik
5
Sangat Tinggi
Aluvial
1
Sangat Rendah
Latosol dan Renzina
2
Rendah
Regosol dan Litosol
3
Menengah
Andosol dan Regosol
4
Tinggi Sangat Tinggi
5
6
Elevasi
Penggunaan Lahan
Podsolik dan Regosol
5
< 1000m
1
Sangat Rendah
1000-1500m
2
Rendah
1500-2000m
3
Menengah
2000-2500m
4
Tinggi
> 2500m
5
Sangat Tinggi
Perairan,Perkebunan 1 dan Sawah
Sangat Rendah
Semak belukar dan Lahan Terbuka
2
Rendah
Hutan dan Pemukiman
3
Menengah
Ladang
4
Tinggi
Kebun Campuran
5
Sangat Tinggi
23
Tabel 4. Klasifikasi Kelas Bahaya Longsor Kelas Bahaya Interval
Keterangan
1
6-10
Sangat rendah
2
11-15
Rendah
3
16-20
Menengah
4
21-25
Tinggi
5
26-30
Sangat Tinggi
e.
Penetapan kelas resiko longsor Resiko longsor adalah suatu konsekuensi yang dapat diterima oleh
manusia atau obyek yang lain akibat adanya suatu proses longsor di suatu tempat. Pada umumnya proses longsor ini menghasilkan suatu kerugian baik berupa kerugian jiwa maupun harta benda/properti. Berdasarkan pemahaman ini, maka resiko longsor dapat dicerminkan dari besarnya nilai bahaya longsor dan besarnya nilai jiwa manusia dan properti. Namun demikian dalam penelitian ini untuk nilai jiwa manusia belum diperhitungkan karena keterbatasan data yang ada. Nilai properti selanjutnya dirumuskan sebagai berikut: Nilai Properti = Skor Penggunaan Lahan + Skor Infrastruktur Dalam penelitian ini properti dibagi menjadi 2 variabel, yaitu variabel penggunaan lahan dan variabel infrastruktur. Selanjutnya masing-masing variabel dibagi menjadi 5 kelas, dimana masing-masing kelas diberi skor 1 hingga 5 (Tabel 5). Jumlah kelas properti ini disamakan dengan jumlah kelas bahaya longsor agar memudahkan dalam mengklasifikasi resiko longsor. Adapun formula untuk mencari kelas interval sama dengan rumusan untuk mencari kelas interval pada bahaya longsor. Nilai properti yang digunakan untuk menilai resiko longsor adalah kombinasi dari kedua variabel tersebut, yaitu dalam bentuk penjumlahan sehingga berdasarkan penjumlahan kombinasi tersebut diperoleh nilai properti terendah
24
sebesar 1 dan nilai tertinggi sebesar 12. Dengan demikian besarnya kelas interval properti dapat ditentukan sebagai berikut : Kelas Interval Properti = 12 - 1 = 2,2 atau setara 2 5 Berdasarkan kelas interval tersebut, maka selanjutnya dapat dilakukan klasifikasi properti seperti disajikan pada Tabel 5. Tabel 5. Nilai Properti Kabupaten Garut No
1
2
Variabel
Kriteria
Penggunaan Lahan
Lahan Terbuka, Perairan, dan Semak Belukar Hutan Ladang ,Perkebunan, dan Kebun Campuran Sawah Pemukiman
Infrastruktur
2
Tingkat Resiko Sangat Rendah Rendah
3
Menengah
4 5
Tinggi Sangat Tinggi Sangat Rendah Rendah Menengah Tinggi Sangat Tinggi
Skor 1
Sungai
1
Jalur Kereta Api Jalan Kabupaten Jalan Provinsi Jalan Negara
2 3 4 5
Tabel 6. Klasifikasi Kelas Properti Kelas Properti Interval
Keterangan
1
1-2
Sangat rendah
2
3-4
Rendah
3
5-6
Menengah
4
7-9
Tinggi
5
10-12
Sangat Tinggi
25
Berdasarkan klasifikasi bahaya longsor (Tabel 4) dan klasifikasi properti (Tabel 6), maka selanjutnya dapat dinilai besarnya resiko longsor berdasarkan rumusan sebagai berikut : Resiko Longsor = Bahaya Longsor + Nilai Properti Adapun klasifikasi resiko dibuat berdasarkan kelas interval yang diperoleh, yaitu sebesar 1.5 seperti perhitungan di bawah ini, dan hasilnya disajikan pada Tabel 7. Interval Kelas Resiko Longsor = 10 - 2 =1,6 atau setara 1,5 5 Tabel 7. Klasifikasi Kelas Resiko Longsor Kelas Resiko Interval
Keterangan
1
2-3,5
Sangat rendah
2
3,6-5,1
Rendah
3
5,2-6,9
Menengah
4
7-8,5
Tinggi
5
8,6-10
Sangat Tinggi
Input Data
MozaickingCitra landsat 2008
Peta Dasar Rupa Bumi Indonesia
Daerah Longsor 2000-2011
ASTER GDEM
TIN
Interpretasi Citra
Penggunaan Lahan Sementara 2008
Peta Geologi Lembar Garut dan Pemeungpeuk
Peta Elevasi Sementara
Peta Admistrasi Garut
Peta Tanah Jawa Barat Digital
Peta Titik Longsor
Peta Lereng Sementara
Data Curah Hujan Repprot Jawa Barat
Cek Lapang
Peta Lereng
Penggunaan Lahan 2012
Titik Longsor 2000-2012
Peta Elevasi
Peta Administrasi
Analisis Laboratorium
Titik Longsor 2000-2012
Peta Lereng Garut
Peta Administrasi
Titik Longsor
Overlay
Sebaran Titik Longsor
Peta Elevasi
Peta Tanah
Peta Lereng Peta Elevasi
Peta Geologi Garut
Titik Longsor
Peta Curah Hujan Peta Geologi Peta Penggunaan Lahan Peta Jenis Tanah
Peta Curah Hujan
Penggunaan Lahan 2012
Peta Administrasi
Peta Lereng Peta Elevasi Peta Curah Hujan Peta Geologi Peta Penggunaan Lahan Peta Jenis Tanah
Penggunaan Lahan 2012
Peta Infrastruktur
Skoring
Overlay Overlay
Skoring Peta Properti
Mendeskripsikan distribusi Spasial titik longsor
Kerapatan Longsor dengan faktor Biofisik
Overlay
Peta Bahaya Longsor Peta titik-titik longsor Kabupaten Garut
Menganalisis penyebab bahaya longsor Kabupaten Garut
Faktor Penyebab Dominan Longsor
Gambar 8. Diagram Alir Penelitian
Overlay Peta Resiko Longsor