Fundamental Interpersonal Relations Orientation • Latar belakang William Schutz dan Teori FIRO William C. Schutz (1925 - 9 Novembe r 2002) adalah seorang psikolog di Esalen Institute (Big Sur, California). Pada tahun 1960-an. dia menjadi presiden BConWSA International. Ia menerima gelar Ph. D. nya dari , Pada tahun 1950-an. Ia adalah bagian yang sangat berpengaruh dari grup-rekan di Universitas Chicago. Pusat Konseling yang menyertakan kontributor terkemuka nondirektif psikologi seperti Carl Rogers, Thomas Gordon, Abraham Maslow dan Elias Porter. Pada tahun 1958 Schutz memperken alkan teori hubungan interpersonalnya Fundamental Interpersonal Relations Orient ation (FIRO). Menurut teori tiga dimensinya, hubungan interpersonal dianggap pen ting dan cukup besar untuk menjelaskan interaksi manusia. Dimensinya adalah: Inc lusion , Control and Affection. Dimensi ini telah digunakan untuk menilai dinami ka kelompok. Schutz juga membuat FIRO-B, ukuran alat dengan skala yang menilai p erilaku aspek tiga dimensi. " Sebuah survei dari tujuh puluh lima yang paling ba nyak digunakan pelatihan instrumen, termasuk MBTI, selesai pada tahun 1976 oleh Pfeiffer dan Heslin, ditemukan bahwa "FIRO-B adalah yang paling umum digunakan i nstrumen dalam pelatihan." Popularitas FIRO-B yang telah hilang cahayanya oleh M BTI sebagai yang kedua menjadi banyak digunakan dalam bisnis. Dalam beberapa tah un terakhir, namun, minat FIRO telah dijemput bahkan dalam perkembangan ada teor i relative baru dari Lima Temperaments.. Di negaranegara bekas USSR, FIRO-B menj adi hanya dikenal pada dekade 2000-an, tetapi masih kewalahan oleh socionics, se buah pos-Jungian teori interpersonal kompatibilitas. 1
Schutz dari kemajuan yang teorinya FIRO menjadi FIRO-B telah yang paling jelas d alam perubahan dari skala "kasih" ke skala "terbuka" dalam "FIRO Elemen-B”. Peruba han ini dipandang sebagai yang baru dalam teorinya yaitu perilaku (behavior)yang berasal dari perasaan(feelings) ( "FIRO Elemen-M") dan konsep diri ( "FIRO Elem en-S"). Schutz meninggal karena stroke pada 9 November 2002. • Teori FIRO (Fundame ntal Interpersonal Relations Orientation) FIRO merupakan salah satu teori yang m enjelaskan tentang kebutuhan antarpribadi, yang dikemukakan oleh William Schultz (1958). Dalam teorinya, Schultz membahas dan menjelaskan secara keseluruhan dan mendalam tentang konsep-konsep dasar dari hubungan antarpribadi. Konsep Schultz , seperti diakuinya, banyak didasari oleh pemikiran-pemikiran aliran Psikoanalis is, khususnya dasar-dasar teori yang dikemukakan Sigmund Freud. Asumsi dasar teo ri FIRO adalah manusia dalam hidupnya membutuhkan manusia lain (manusia sebagai makhluk sosial). Kadang-kadang seseorang memmbutuhkan orang lain, meskipun ia se ndiri mengerti dan mengetahui bagaimana cara melakukannya sendiri untuk dirinya sendiri. Berdasarkan asumsi tersebut, Schultz mengemukakan suatu postulat yang d isebut the postulat of interpersonal needs. Postulat ini menjelaskan bahwa setia p manusia memiliki tiga kebutuhan antarpribadi yang disebut dengan inklusi, cont rol, dan afeksi. • Karakteristik kebutuhan Antarpribadi Schultz mengemukakan mengenai ciri-ciri umum atau karakteristik dari kebutuhan a ntarpribadi, yaitu: 1) Kebutuhan antarpribadi merupakan suatu tuntutan untuk men gadakan hubungan yang memuaskan antara individu dengan lingkungan manusianya. Da lam pemuasan ini tidak berarti seseorang dapat memuaskan secara berlebihan apa y ang dibutuhkan, tetapi harus disesuaikan dengan kondisi individu tersebut. Misal nya seseorang yang haus, ini tidaklah berarti kebutuhan akan air minum harus dip uaskan tanpa 2
batas, tetapi terlalu banyak minum akan menimbulkan sakit, sebaliknya telalu sed ikit minum juga akan menimbulkan sakit. Yang ideal adalah cukup minum. Sehingga metabolisme, keseimbangan tubuh cukup terjamin. Sebagaimana dengan kebutuhan bio logis tadi, maka kebutuhan antarpribadi pun mempunyai dinamika yang sama dengan kebutuhan biologis tadi. Artinya kebutuhan antarpribadi belum tentu terpuaskan a pabila diberikan dipenuhi secara berlebihan atau kekurangannya. Dalam hal ini in dividu yang saling berhubungan tersebut harus saling terpuaskan ( tidak terlalu banyak atau terlalu sedikit), agar keseimbangan hubungan yang ada tercapai.. ole h karena itu untuk mencapai keseimbangan itu muncul kebutuhan antarpribadi akan control. Yang member individu pengetahuan atas batas-batas. 2) Ketidakpuasan yan g terjadi dalam hubungan antarpribadi ini dapat secara langsung menimbulkan kesu litan seperti misalnya suatu keadaan emosi yang sakit, rasa cemas. 3) Organism a tau individu mempunyai cara-cara tertentu dalam mengatasi ketidakpuasan dari keb utuhan antarpribadinya. a. Kebutuhan Antarpribadi untuk Inklusi Kebutuhan antarp ribadi untuk inklusi didefinisikan sebagai kebutuhan untuk mengadakan serta memp ertahankan hubungan yang memuaskan dengan orang-orang lain sehubungan dengan int eraksi dan asosiasi. Pengertian akan hubungan yang memuaskan ini mencakup; menga dakan hubungan yang secara psokologis menyenangkan dengan orang lain. Dalam hal ini dapat merupakan pihak yang mulai berinisiatif untuk melakukan hubungan aatau pihak lain yang memulai dahulu. Hubungan yang menyenangkan ini juga mencakup hu bungan dengan dirinya sendiri. Dalam penjelasan Schultz, kebutuhan antarpribadi untuk inklusi mencakup dua aspek penting, yaitu: 3
1. Tingkah laku inklusi Tingkah laku inklusi ini didefinisikan sebagai tingkah l aku yang dirujukan pada tercapainya pemuasan kebutuhan inklusi. Secara umum, Sch ultz mengemukakan tentang apa yang disebut sebagai tingkah laku inklusi yaitu me rupakan keinginan untuk asosiasi, bergabung amtarmanusia, pengelompokan. Disini ia membedakan antara tingkah laku inklusi yang positif dan negatif. • Tingkah laku inklusi yang positif ciri-cirinya yaitu: (a) ada persamaan dengan orang lain (togetherness) (b) saling berhubungan (intra ksi) dengan orang lain (interact) (c) rasa menjadi satu bagian dari kelompok dim ana ia berada (belong) (d) berkelompok atau bergabung (association) • Hal yang menunjukan tingkah laku inklusi yang negatif, ciri-cirinya yaitu; (a) menyendiri (isolate) (b) menarik diri (witdrawl) (c) kesendirian (lonely) 2. Tipe inklusi (inclusion type) Sebagaimana telah disebutkan diatas, maka tipe ini oleh Schultz dibagi menjadi e mpat macam pengelompokan tipe lagi, menurut derajat terpuaskannya kebutuhan anta rpribadi seseorang. Dalam hal ini didapatkan: (a) tipe sosial : seseorang yang mendapatkan pemuasan kebutuhan antarpribadi secara ideal (b) tipe under social : tipe yang dimiliki oleh seseorang yang mengalami kekurangan dalam derajat pemuasan kebutuhan antarpribadinya. Karakteristiknya adalah selalu menghindar dari situasi antar kesempatan berkelom pok atau bergabung dengan orang lain. Ia kurang suka berhubungan atau bersama de ngan orang lain. (c) tipe over social : seseorang mengalami derajat pemuasan kebutuhan antarpribadinya cenderung berlebihan dalam hal inklusi. Ia cenderung 4
ekstravert. Ia selalu ingin menghubungi orang lain dan berharap orang lain juga menghubunginya (d) tipe inklusi yang patologis : seseorang yang mengalami pemuasan kebutuhan antarpribadi secara patologis. Jika hal ini terjadi maka orang tersebu t terbilang gagal dalam usahanya untuk berkelompok. Kebutuhan Antarpribadi Untuk Kontrol Kebutuhan antarpribadi untuk kontrol ini didefinisikan sebagai kebutuha n untuk mengedakan serta mempertahankanhubungan yang memuaskan dengan orang lain sehubungan dengan (atau memperoleh) kontrol dan kekuasaan (power). Hubungan yan g memuaskan disini mencakup pengertian suatu hubungan yang secara psikologis men yenangkan antara manusia dengan manusia lainnya dengan tujuan untuk saling mengo ntrol tingkah laku masing-masing. Dalam penjelasan Schultz, kebutuhan antarpriba di untruk kontrol mencakup dua aspek penting, yaitu: 1. Tingkah laku kontrol Tin gkah laku kontrol ini didefinisikan sebagai tingkah laku yang ditujukan pada ter capainya kebutuhan antarpribadi untuk kontrol. Schultz mengatakan bhwa tingkah l aku kontrol ini secara umum menunjukan adanya proses pengambilan keputusan di an tara orang-orang yang saling berhubungan. Artinya bahwa proses pengambilan keput usan ini menyangkut apakah seseorang itu menjadi boleh atau tidak boleh melakuka n atau mengerjakansesuatu. Untuk melakukan hal ini perlu adanya suatu kontroldan kekuasaan. Beberapa istilah yang menunjukan adanya kontrol yang positif antara lain: (a) mempengaruhi ( influence) (b) mendominasi (dominance ) (c) pimpinan (leader) (d) pengatur (ruler) Sedangkan menunjukan adanya kontrol yang negatif seperti misalnya: (a) memberontak (rebellion) 5
(b) pengikut (follower) (c) penurut (submissive) 2. Tipe kontrol (control type) Dalam tipe kontrol ini, Schultzmemberikan tempat penggolongan sebagimana penggol ongan yang dilakukan pada tipe inklusi diatas. Disebutkan, yaitu: (a) tipe kontrol yang kekurangan (deficient) disebut sebagai abdicrat ; seseorang memiliki kecenderungan untuk bersikap merendahkan diri dalam tingkah l aku antarpribadinya. Seseorang cenderung untuk selalu mengambil posisi sebagai b awahan (terlepas dari tanggungjawab untuk membuat keputusan). (b) tipe kontrol yang berlebihan (excossive) disebut authocrat ; seseorang menunjukkan kecenderungan untuk bersikap dominan terhadap orang lain d alam tingkah laku antarpribadinya. Karakteristiknya adalah seseorang selalu menc oba untuk mendominasi orang lain dan berkeras hati untuk mendudukkan dirinya dal am suatu hirarki yang tinggi. (c) tipe kontrol yang ideal disebut democrat ; seseorang akan mengalami pemuasan secara ideal dari kebutuhan antarpribadi kontr olnya. Ia mampu memberi perintah maupun diperintah oleh orang lain. Ia mampu ber tanggung jawab dan memberikan tanggung jawab kepada orang lain. (d) tipe kontrol yang patologis ; seseorang yang tidak mampu atau tidak dapat menerima kontrol dalam bentuk apapun dari orang lain. Kebutuhan Antarpribadi untuk Afeksi Kebutuhan ini didefinisika n sebagai kebutuhan untuk mengadakan serta mempertahankan hubungan yang memuaska n dengan orang lain sehubungan dengan (untuk memperoleh ) cinta, kasih sayang, s erta afeksi. Schultz menambahkan bahwa pengertian afeksi selalu menunjukan pada hubungan antara dua orangatau dua pihak (dyadic). Sebagaimana telah disebutkan t erdahulu,ketiga konsep kebutuhan antarpribadi dari Schultz ini dapat dilepaskan 6
dari kaitannya dengan penampilan tingkah laku seseorang. Untuk dapat mengetahui bagaimana sebenarnya manifesta dari ketigakebutuhan antarpribadi maka Schultz me mberikan istilah yang disebut tingkahlaku inklusi, tingkah laku kontrol, serta t ingkah laku afeksi. Dalam penjelasan Schultz, kebutuhan antarpribadi untuk afeks i mencakup dua aspek penting yaitu: 1. Tingkah laku afeksi Tingkah laku afeksi d idefinisikan sebagai tingkah laku yang ditujukan untuk tercapainya kebutuhan ant arpribadi akan afeksi. Secara umum tingkahlaku afeksi ini menunjukan adanya suat u hubungan yang intim antara dua orang dan saling melibatkan diri secara emosion al. Afeksi merupakan sutu yang timbul dari hubungan antarpribadi yang sifatnya d yadic, yang berarti hanya akan terjadi dalam hubungan antara dua orang (diadic – F rits Heider, 1958). Berbeda dengan tingkah laku kontrol atau inklusi, maka kedua ini dapat terjadi antara dua orang atau lebih. Beberapa istilah yang menunjukan hubungan afeksi yang positif misalnya: (a) cinta (love) (b) keintiman (emotionality close) (c) persahabatan (friendship ) (d) saling menyukai (likely) Hubungan afeksi yang negatif misalnya: (a) kebencian (hate) (b) dingin (cool) (c) mengambil jarak emosional (emotionali ty distance) (d) tidak menyukai (dislike) 2. Tipe afeksi (affection type) Pada tipe ini pula, Shultz memberikan 4 penggolongan yaitu: (a) tipe afeksi yang ideal disebut tipe personal; 7
seseorang yang mendapat kepuasan dalam memenuhi kebutuhan antarpribadi untuk afe ksinya. (b) tipe afeksi yang kekurangan disebut tipe underpersonal; seseorang dengan tipe ini memiliki kecenderungan untuk selalu menghindari setiap keterikatan yang sifatnya intim dan mempertahankan hubungan dengan orang lain s ecara dangkal dan berjarak. (c) tipe afeksi yang kelebihan disebut tipe over personal; seseorang yang cenderung berhubungan erat dengan orang lain dalam tingkah laku a ntarpribadinya. (d) tipe afeksi yang patologis; seseorang yaang mengaalami kesukaran dan hambatan dalam memenuhi kebutuhan antar pribadi afeksinya, besar kemungkinan akan jatuh dalam keadaan neorosis. Model FI RO 8
Kesimpulan dari ketiga tipe kebutuhan antarpribadi tersebut adalah kebutuhan ant arpribadi untuk inklusi merupakan kebutuhan untuk individu dalam kaitannya denga n interaksinya dalam sebuah kelompok sosial. Kebutuhan antarpribadi untuk kontro l bertujuan membantu individu dalam berinteraksi dengan kelompoknya dengan membe rikan sifat kontrol kepada individu serta positioning (penempatan diri) individu dalam kelompok tersebut. Dan kebutuhan antarpribadi untuk afeksi membantu indiv idu untuk berinteraksi dengan orang perorangan (personal) anggota kelompok tadi. Ada 4 postulat dalam teori FIRO: Postulat 1. Interpersonal Needs (Kebutuhan Ant arpribadi) Postulat 1 menyatakan tiga kebutuhan interpersonal dan hubungan tingk ah laku ini cukup untuk mempredeksi dan menjelaskan fenomena antarpribadi yakni inklusi, kontrol, dan afeksi. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya di atas. Postulat 2. Relational Continuity (Hubungan yang berkelanjutan) Postulat 2 hubun gan berkelanjutan menyatakan pembentukan perilaku di masa kecil berkanjang nanti nya di masa dewasa. Pada mulanya kita dapat mendeskripsikan kharakteristik kedew asaan mengharapkan untuk berkelakuan sebagai konsekuensi dari pengalaman masa ke cilnya. Umumnya postulat menyatakan bahwa perilaku dewasa dapat disamakan perila ku waktu masa kecil ketika keadaan orang tersebut dirasakan menjadi sama ke kead aan masa keci. Di lain sisi, ketika kedewasaan merasa posisi sebagai kesamaan un tuk peran keorangtuannya, prilaku dewasa akan sama dengan perilkau orang tua. Un tungnya, Schultz tidak mengidentifikasikan keadaan itu ke persepsinya sebagai ke adaan sebagai “kekanak-kanakan” atau “ keorangtuaan” Postulat 3. Compatibility (Kecocoka n) Postulat 3 menyatakan bahwa kelompok yang cocok akan lebih efektif dalam menc apai tujuan kelompok dibanding kelompok yang tidak cocok. Kecocokan, seperti dig unakan Schutz, mengacu pada satu hubungan antara dua orang atau lebih. Dua orang dikatakan cocok jika mereka bisa bekerjasama secara harmonis. 9
Jadi, definisinya tentang kecocokan mengacu pada definisi kamus tentang istilah tersebut. Namun, untuk menguji dampak postulat 3, kita perlu mengidentifikasi je nis-jenis kecocokan dan menentukan cara untuk mengukurnya. Identifikasi jenis-je nis kecocokan didasarkan pada perilaku yang diekspresikan dan perilaku yang diin ginkan dalam masing-masing dari ketiga bidang. Elemen-elemen tersebut diukur den gan enam skala Guttman (FIRO-B), yang dirancang untuk mengungkap perilaku yang d iekspresikan dan diinginkan pada masing-masing dari tiga daerah kebutuhan antar personal. Nilai kecocokan mencerminkan tiap jenis kecocokan kemudian dihitung de ngan rumus yang dikembangkan untuk tujuan ini. Jenis-jenis kecocokan Schutz (195 8) mengidentifikasi ada tiga jenis kecocokan dalam tiga daerah kebutuhan: 1. Interchange compatibility mengacu pada ekspresi emosi, kontrol atau inklusi. Kecocokan pertukaran maksimum antara dua orang terjadi ketika jumlah pe rilaku yang diekspresikan dan diinginkan oleh satu orang sama dengan orang lain; kedua orang tidak cocok jika terdapat perbedaan pada jumlah perilaku yang dieks presikan dan diinginkan. 2. Originator compatibility didasarkan pada dimensi penerimaan awal dari interaksi. Ia terjadi dalam daerah emosi ketika mereka yang ingin mengekspresika n emosi berinteraksi dengan mereka yang ingin menerima emosi. Dalam daerah kontr ol, ia terjadi ketika mereka yang ingin mendominasi orang lain berinteraksi deng an mereka yang ingin dikontrol. Dalam daerah inklusi, ia terjadi ketika mereka y ang memulai aktivitas kelompok berinteraksi dengan orang yang ingin dilibatkan d alam aktivitas tersebut. Ketidakcocokan muncul ketika komposisi kelompok menyimp ang dari situasi ideal di daerah tersebut. 3. Reciprocal compatibility mengacu pada sejauh mana tiap ekspresi inklusi, kontrol atau emosi seseorang memenuhi keinginan orang lain terkait tiap daerah k ebutuhan. Misalnya, dua orang cocok dalam daerah emosi jika 10
jumlah emosi yang diekspresikan masing-masing orang sesuai dengan jumlah emosi y ang diinginkan orang yang lain. Semakin besar perbedaan antara perilaku yang die kspresikan oleh satu orang dan jumlah yang diinginkan oleh orang lain, semakin t idak cocok keduanya. Sebaliknya, interchange compatibility meningkat bila perbed aan antara jumlah perilaku yang diekspresikan dan yang diinginkan satu orang dan jumlah perilaku yang diekspresikan dan diinginkan oleh orang lain di daerah yan g sama semakin besar. Schutz kemudian mengatakan bahwa keseluruhannya bisa dihit ung dengan menjumlahkan antar bidang. Begitu juga, keseluruhan kecocokan dalam t iap bidang kebutuhan bisa ditentukan dengan menjumlahkan antar jenis kecocokan. Terakhir, nilai kecocokan total bisa didapat dengan menjumlahkan kedua daerah ke butuhan dan jenis kecocokan. Jadi, dengan menggunakan skala FIRO-B dan rumus kec ocokan, Schutz mendapatkan 16 indeks kecocokan. Teorema Kecocokan. Schutz member ikan 9 teorema relatif terhadap postulat kecocokan. Ia memberikan bukti untuk ti ga teorema (1, 2 dan 9) dan dukungan parsial untuk tiga lainnya (3, 7, dan 8). T eorema bisa disimpulkan sebagai berikut (Beberapa teorema dirumuskan terkait sit uasi percobaan tertentu; kita ulang agar bisa dipahami tanpa mengacu pada peneli tian tertentu). 1. Jika dua pasangan memiliki tingkat kecocokan yang berbeda, an ggota dari pasangan yang lebih cocok cenderung menyukai satu sama lain untuk ber hubungan lebih lanjut. 2. Jika dua kelompok memiliki tingkat kecocokan yang berb eda, produktivitas pencapaian tujuan dari kelompok yang lebih cocok akan melebih i yang kurang cocok. 3. Jika dua kelompok memiliki tingkat kecocokan yang berbed a, kelompok yang lebih cocok akan lebih kohesif dibanding yang kurang cocok. 4. Jika satu kelompok terdiri dari dua atau lebih subkelompok yang tidak cocok, mas ing-masing anggota cenderung bekerjasama dengan anggota dari subkelompoknya lebi h dari anggota subkelompok yang berlawanan atau dengan anggota netral. 11
5. Dalam kelompok yang tidak cocok, anggota subkelompok overpersonal cenderung m enyukai satu sama lain lebih dari anggota subkelompok underpersonal. 6. Dalam ke lompok yang tidak cocok, anggota subkelompok overpersonal cenderung menganggap l ebih kompetensi orang yang mereka sukai, sementara anggota subkelompok underpers onal tidak memiliki kecenderungan ini. 7. Dalam kelompok cocok, orang diprediksi menjadi orang yang fokus (anggota penting) dan mereka yang diprediksi menjadi a nggota pendukung utama akan menganggap satu sama lain tinggi dalam hubungan “kecoc okan dengan” 8. Orang yang fokus (anggota penting) akan dipilih sebagai kelompok o leh anggota di semua kelompok. 9. Efek kecocokan pada produktivitas bervariasi s ebagai fungsi dari tingkat pertukaran dalam tiga bidang kebutuhan yang diperluka n oleh fungsi. Postulat 4. Group Development (Perkembangan Kelompok) Postulat 4 menyatakan bahwa tiap hubungan antar personal mengikuti arah pengembangan dan re solusi yang sama yaitu, bahwa perkembangan dimulai dengan kepedulian terhadap ke butuhan keterlibatan (inclusion), diikuti dengan kepedulian terhadap kontrol dan terakhir dengan emosi. Resolusi mengikuti aturan yang berkebalikan. Segera sete lah kelompok terbentuk, fase inklusi dimulai. Ketika orang dihadapkan satu sama lain, mereka menjadi peduli tentang keterlibatan dalam kelompok. Keputusan harus diambil mengenai apakah menjadi anggota kelompok, yang melibatkan pertanyaan se putar posisi seseorang dalam kelompok, pentingnya kelompok, identitas pribadi se seorang, sejauh mana komitmen terhadap kelompok dsb. Fase perkembangan kelompok ini seringkali ditunjukkan dengan banyaknya pembahasan masalah yang tidak begitu menarik setiap orang. Menurut Schutz, pembahasan seperti ini tidak bisa dihinda ri dan memenuhi fungsi kerja penting pada maslaah terkait kebutuhan keterlibatan . 12
Setelah masalah keterlibatan terselesaikan, masalah kontrol menjadi fokus. Disin i, muncul masalah pengambilan keputusan. Ini melibatkan beragam masalah terkait distribusi tanggung jawab, kekuasaan dan kontrol. Tiap orang dalam kelompok beru paya menyusun situasi untuk mencapai jumlah tanggung jawab yang tepat dalam kelo mpok. Dengan asumsi bahwa masalah kontrol terpecahkan, kelompok bergerak ke fase emosi. Disini, kelompok telah terbentuk, dan masalah tanggung jawab dan distrib usi kekuasaan terselesaikan; yang tersisa adalah masalah integrasi emosi. Pada t ahap perkembangan ini, ekspresi permusuhan, marah dan semacamnya umum terjadi. T iap anggota berupaya membangun posisi yang paling nyaman terkait pertukaran emos i. Ketiga fase ini tidak terpisah; semua jenis perilaku terjadi di semua fase. N amun, fase mewakili periode dalam sejarah kelompok dimana masalah tertentu menda pat penekanan. Berbagai fase juga bisa berulang sehingga kelompok tertentu bisa melalui fase inklusi, kontrol dan emosi beberapa kali. Ketika kelompok mendekati disintegrasi, masalah yang dihadapi pertama adalah emosi, lalu kontrol Schutz d an inkluasi (atau mungkin bisa dikatakan eksklusi / ketidakterlibatan!). menggun akan analisis perkembangan kelompok untuk mendapatkan teorema tertentu tentang k ecocokan pada berbagai tahap dalam sejarah kelompok. Secara umum, ia mengatakan bahwa anggota kelompok tertentu akan merasa sangat cocok ketika kelompok berada pada tahap yang mirip dengan kecocokan umum terbesar; yaitu, jika kelompok memil iki inclusion compatibility yang tinggi dan control dan affection compatibility rendah, anggota akan merasa paling nyaman selama fase inklusi; jika control comp atibility tinggi dan dua lainnya rendah, mereka akan merasa sangat cocok pada fa se kontrol; dan begitu seterusnya. • Aplikasi Teori FIRO dalam kehidupan Pada dasarnya setiap kita memulai hidup dala m suatu lingkungan tatanan tertentu kita pasti akan berkeinginan untuk bisa berhubungan interpersonal denga n 13
orang lain. Hal itu tidak lain karena memang kita ini adalah makhul sosial, yang pastinya selalu membutuhkan orang lain dalam hidup. Hal itu guna tak lain juga kebutuhan antarpribadi kita terpenuhi yaitu kebutuhan untuk berasosiasi, kebutuh an mengontrol perilaku kita, kebutuhan untuk akrab atau hasrat mempunyai teman. Contoh aplikasi dalam kasus. Ketika ada murid baru masuk ke kelas kita, ketika k ita masih di sekolah menengah, misalnya, dia sebagai anak baru tentu merasa atau setidaknya berkeinginan mempunyai teman, ingin diakui oleh temanteman, dan juga ingin dihargai oleh mereka yang sudah lebih dahulu ada di kelas. Kebutuhan-kebu tuhan untuk semua itu merupakan aspek pokok yang pertama kali dirasakan oleh ana k baru tadi. Selanjutnya, setelah itu semua terpenuhi, maka segala kemungkinan t erjadinya proses komunikasi bisa berlangsung, bergantung kepada keinginan dari a nak tadi atau malahan adanya keinginan dari salah seorang murid di kelas itu unt uk mengajaknya bergabung dalam bidang tertentu. Selain itu juga teori FIRO adala h salah satu yang paling banyak diterapkan teori di bidang pembangunan manusia. Ini merupakan pendekatan sederhana namun mendalam untuk lebih memahami perilaku manusia yang akan membantu untuk melakukan proses: • • • • • memperbaiki hubungan manusia menciptakan berperforma tinggi dan bersama tim memb angun kepercayaan meningkatkan kepemimpinan membangun hubungan bisnis yang lebih baik Diterapkan dalam pembangunan lokakarya dan organisasi di seluruh dunia, yang pen ting konsep-konsep Teori FIRO adalah untuk: • • • membentuk sebuah lingkungan kerja meningkatkan tanggung jawab masing-masing meni ngkatkan kesadaran diri Banyak ilmiah instrumen penilaian dan pengembangan sumber daya manusia di bidang mereka telah berakar teori FIRO. 14
• Kritik dan Evaluasi Teori yang diajukan Schutz adalah sejumlah hipotesis yang me narik tentang perilaku antar individu. Teori ini secara internal konsisten, prediksiny a bisa diuji, dan sangat sesuai dengan bukti yang ada terkait perilaku antar per sonal. Teori ini membahas tiga aspek yang berbeda dari perilaku antar personal: (1) adanya tiga kebutuhan dan perkembangan pola perilaku antar personal terkait kebutuhan tersebut (postulat 1 dan 2), (2) konsekuensi pola perilaku tersebut te rhadap kecocokan kelompok dan pengaruhnya terhadap efektivitas kelompok (postula t 3), dan (3) hubungan ketiga kebutuhan antar personal dengan perkembangan dan r esolusi kelompok (postulat 4). Bagian yang berhubungan dengan keberadaan kebutuh an dan pola perilaku terkait tidak begitu penting untuk memprediksi perilaku dal am kelompok. Pola perilaku bisa ditentukan tanpa mengacu pada pengalaman masa la lu, dan prediksi tentang perilaku dewasa tidak bisa diubah. Karena itu, bagian p ertama teori berguna untuk “menjelaskan” mengapa seseorang mencontoh perilaku terten tu, tetapi tidak bisa begitu saja digunakan untuk memperdiksi perilaku antar per sonal. Schutz bergantung pada dua jenis bukti untuk mendukung teorinya: tulisan ahli teori lain dan data percobaan. Jenis bukti ini digunakan untuk membangun “val iditas” postulat. Penelitian observasional pada hubungan orangtua-anak dan pernyat aan teoretis dari psikoanalis dikutip sebagai bukti validitas postulat 1 dan 2. Beberapa penelitian empirisnya juga dilaporkan sebagai bukti parsial untuk postu lat 2. Postulat 3 dievaluasi dengan data percobaan dari penelitiannya sendiri (S chutz, 1955, 1958). Dalam penelitian pertamanya, ia mampu menunjukkan bahwa kelo mpok yang cocok lebih efektif untuk fungsi-fungsi tertentu dibanding kelompok ya ng tidak cocok, tetapi seperti ditulis di atas, hanya tiga dari 9 teorema yang t anpa ragu didukung penelitian selanjutnya. Postulat akhir tentang perkembangan d an resolusi kelompok didukung data dari Bennis dan Shepard (1956), yang didasark an pada pengamatan terhadap kelompok yang melakukan latihan sensitivitas. 15
Sejak perumusan awal teori, beberapa penelitian melaporkan hasil yang secara umu m sejalan dengan teori ini. Schutz (1961) melaporkan satu penelitian dimana lima kelompok yang terdiri dari 14 orang dibentuk berdasarkan responnya terhadap kue sioner yang dirancang untuk mengukur perilaku relatif terhadap tiga kebutuhan an tar personal (kuesioner FIRO-B). Setelah enam kali pertemuan, tiga dari lima kel ompok mampu mengidentifikasi kelompok mereka lebih baik, satu hampir akurat, dan satu gagal. Perbedaan perilaku juga sesuai dengan pengharapan teoretis. Yalom d an Ram (1966) mengamati hubungan antara kecocokan dan keeratan pada kelompok ter api pasien rawat jalan. Mereka menemukan bahwa kelompok yang sangat cocok, terli hat dari kuesioner FIRO-B, secara signifikan lebih erat dan puas dibanding kelom pok dengan kecocokan rendah. Dua penelitian terakhir tentang kebutuhan antar per sonal pada T-group memberikan hasil yang bertolakbelakang. Dalam satu penelitian , ditemukan bahwa peserta T-group merasa paling cocok dan puas jika pelatih memi liki orientasi antar personal yang sama dengan mereka, yaitu pada kelompok yang memiliki interchange compatibility tinggi (Lundgren, 1975). Dalam penelitian ked ua, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kecocokan kebutuhan antar personal an tara anggota dan pelatih memiliki pengaruh penting pada sikap evaluatif anggota terhadap pelatih atau kelompok secara keseluruhan (Lundgren & Knight, 1977). Sat u upaya menguji prediksi FIRO pada pasangan remaja juga memberikan hasil yang ti dak signifikan (Armstrong & Roback, 1977). Namun, inklusi dan emosi dengan skala Ohio Social Acceptance (Lorber, 1970) dan kontrol dimanipulasi dengan situasi d ilema tahanan. Tidak jelas sejauh mana Armstrong dan Roback mengukur kebutuhan y ang sama seperti kuesioner FIROB. Namun, data ini tidak bisa diterima sebagai pe ndukung teori. Terakhir, perlu dicatat bahwa Schutz telah menerapkan teori pada masalah “pengembangan kesadaran manusia” (Schutz, 1967). Ia menyatakan bahwa masalah perkembangan kelompok terjadi dalam keseharian dan kegagalan memecahkan masalah terkait ketiga kebutuhan antar personal seringkali 16
menghasilkan ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan dalam hubungan keseharian antar individu. Dalam satu penerapan teori yang menarik, ia menunjukkan bagaimana indi vidu yang kesulitan dalam ketiga bidang kebutuhan antar personal bisa mengembang kan teknik untuk menghadapinya secara lebih tepat. Sumber: Shaw, Marvin E. dan P hilip R. Costanto. Theories of Social Psycology 17
Social Learning Theory • Tokoh Penemu Albert Bandura adalah orang yang menemukan teori ‘SOCIAL LEARNING THEORY.’ Ia lahir pada 4 Desember 1925, di kota kecil di utara Mundare Alberta, Kanada. Ia dididik di sekolah dasar kecil dan dalam satu sekolah tinggi, dengan sedikit sumber dal am pengajaran, namun mendapatkan tingkat keberhasilan yang luar biasa. Setelah t amat SMA, Albert Bandura bekerja pada saat musim panas untuk mengisi kekosongan di Alaska Highway di Yukon. Pada saat di Lowa, Albert Bandura bertemu dengan Vir ginia Varns. Virginia Vans adalah seorang pengajar di sekolah perawatan. Mereka kemudian menikah dan mempunyai dua anak perempuan. Albert Bandura menempuh pendi dikan kesarjanaannya di bidang psikologi klinis di Universitas Iowa dan pada tah un 1952 ia mencapai gelar Ph.D. Pada tahun 1953, dia mulai mengajar di Universit as Stanford dan di mana kini ia menjadi Profesor David Starr dalam bidang Ilmu P engetahuan Sosial. Bandura juga merupakan seorang presiden dari APA, pada tahun 1973. Albert Bandura juga pernah bekerja sebagai Ketua Jurusan Psikologi Stanfor d dan pada tahun 18
1974 dan ia terpilih menjadi Ketua American Psychological Association. Pada tahu n 1980 Bandura menerima APA s Award untuk Para Scientific Contribution. • Latar be lakang teori Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori-t eori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura mema ndang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bo nd), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara lin gkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menuru t teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan mo ral terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling ). Teori ini juga masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian rew ard dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosia l mana yang perlu dilakukan. Pada behaviorisme, dengan penekanan pada metode eks perimental, berfokus pada variabel yang dapat diamati, diukur, dan dimanipulasi, dan menghindari apa yang subyektif, internal, dan tidak bisa diakses seperti me ntal. Pada percobaan metode, prosedur standar adalah untuk memanipulasi satu var iabel, dan kemudian mengukur dampak yang lain. Semua ini masuk ke dalam teori ke pribadian yang mengatakan bahwa satu dari lingkungan menyebabkan satu aktivitas. Penelitian Bandura juga mencakup banyak masalah yang bersifat sentral untuk teo ri belajar sosial, dan lewat penelitian-penelitian itu teorinya dipertajam dan d iperluas. Bersama Richard Walters sebagai penulis kedua, Bandura menulis Adolesc ent Aggression (1959), suatu laporan terinci tentang sebuah studi lapangan diman a prinsip-prinsip belajar sosial dipakai untuk menganalisis perkembangan kepriba dian sekelompok remaja pria dari kelas menengah. Disusul dengan Social Learning and Personality Development (1963), sebuah buku dimana ia dan 19
Walters memaparkan prinsip-prinsip belajar sosial yang telah mereka kembangkan beserta evidensi atau bukti yang menjadi dasar bagi teori tersebut. P ada tahun 1969, Bandura menerbitkan Principles of behavior modification, dimana ia menguraikan penerapan teknik-teknik behavioral berdasarkan prinsip-prinsip be lajar dalam memodifikasi tingkah laku dan pada tahun 1973, Aggression: A social learning analysis. Bandura menerbitkan buku Social Learning Theory (Teori Belaja r Sosial), sebuah buku yang diubah arah mengambil psikologi pada tahun 1980-an. Dalam bukunya yang secara teoretis ambisius, Social Learning Theory (1977), ia t elah “berusaha menyajikan suatu kerangka teoretis yang terpadu untuk menganalisis pikiran dan tingkah laku manusia”. Sama seperti halnya kebanyakan pendekatan teori Social Learning terhadap kepribadian, teori Social Learning berpangkal pada dal il bahwa tingkah laku manusia sebagian besar adalah hasil pemerolehan, dan bahwa prinsip-prinsip belajar adalah cukup untuk menjelaskan bagaimana tingkah laku b erkembang dan menetap. Akan tetapi, teori-teori sebelumnya selain kurang memberi perhatian pada konteks sosial dimana tingkah laku ini muncul, juga kurang menya dari fakta bahwa banyak peristiwa belajar yang penting terjadi dengan perantaraa n orang lain. Artinya, sambil mengamati tingkah laku orang lain, individu-indivi du belajar mengimitasi atau meniru tingkah laku tersebut atau dalam hal tertentu menjadikan orang lain model/contoh bagi dirinya. Miller dan Dollard, dalam buku nya terbitan 1941, Social learning and imitation, telah mengakui peranan penting proses-proses imitatif dalam perkembangan kepribadian dan telah berusaha menjel askan beberapa jenis tingkah laku imitatif tertentu. Tetapi hanya sedikit pakar lain peneliti kepribadian mencoba memasukan gejala belajar lewat observasi ke da lam teori-teori belajar mereka, bahkan Miller dan Dollard pun jarang menyebut im itasi dalam tulisantulisan mereka yang kemudian. Bandura tidak hanya berusaha me mperbaiki kelalaian tersebut, tetapi juga memperluas analisis terhadap belajar l ewat observasi ini melampaui jenis-jenis situasi terbatas yang ditelaah oleh Mil ler dan Dollard. 20
Teori Social Learning berfokus pada teori pembelajaran yang terjadi dalam kontek s social. Teori ini menganggap bahwa orang-orang belajar dari satu sama lain, te rmasuk dalam konsep-konsep pembelajaran seperti pengamatan, peniruan, dan pencon tohan. Dalam teori ini Albert Bandura dianggap sebagai pemimpin dari pendukung t eori ini. Menurut Bandura, walaupun prinsip belajar sosial cukup menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, namun prinsip itu harus memperhatikan dua fe nomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme, yaitu; • Pertama, Bandura berpendapat manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri, sehingga mereka bukan semata-mata tidak menjadi objek pengaruh lingkun gan. Demikian juga sifat kausal yang tidak dimiliki sendiri oleh lingkungan, mel ainkan juga dimiliki oleh manusia, karena manusia dan lingkungan saling mempenga ruhi. • Kedua, Albert Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian yang melibatka n interaksi satu orang dengan orang lain. Dampak nya adalah, teori kepribadian y ang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu dipero leh dan dipelihara. Teori Belajar Sosial (Social Learing Theory) dari Bandura didasarkan pada tiga k onsep : 1. Determinis Resiprokal (reciprocal determinism): Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal-b alik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. O rang menentukan/mempengaruhi tingkahlakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Determinis resiprokal ad alah konsep yang penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi pijakan Ban dura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial memakai salingdeterminis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psikososial di berbagai tingka t kompleksitas, dari perkembangan intrapersonal 21
sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif dari organisasi dan si stem sosial. 2. Beyond Reinforcement Bandura memandang teori Skinner dan Hull te rlalu bergantung pada renforsemen. Jika setiap unit respon sosial yang kompleks harus dipilahpilah untuk direforse satu persatu, bisa jadi orang malah tidak bel ajar apapun. Menurutnya, reforsemen penting dalam menentukan apakah suatu tingka h laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu-satunya pembentuk ti ngkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kem udian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada renfors emen yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu merupakan pokok teori belajar sosial. 3. Kognisi dan Regulasi diri (Self-regulation/cognition): Teori belajar tradisional sering terhalang oleh ketidaksenangan atau ketidak mam puan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep bandura menempatkan manusi a sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaru hi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Bandura melukiskan : Teori Belajar Sosial berusaha menjelaskan tingkah laku manusia dari segi interaksi tim bal-balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkahlaku, dan faktor lingkungan. Dalam proses determinisme timbal-balik itulah terletak kesempatan ba gi manusia untuk mempengaruhi nasibnya maupun batas-batas kemampuannya untuk mem impin diri sendiri (self-direction). Konsepsi tentang cara manusia berfungsi sem acam ini tidak menempatkan orang semata-mata sebagai objek tak berdaya yang diko ntrol oleh pengaruh-pengaruh lingkungan ataupun sebagai pelaku-pelaku bebas yang dapat menjadi apa yang dipilihnya. 22
Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik (Bandura, 1977) Teori Belajar Sosial dari bandura yang paling luas diteliti adalah Efikasi Diri dan Penelitian Observasi (Penelitian Modeling). Efi kasi Diri Dua pengertian penting : 1. Efikasi diri atau efikasi ekspektasi (self effication – efficacy expectation) adalah “Persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu.“ Efikasi diri berhubungan denga n keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. 2. Ekspektasi hasil (outcome expectation): perkiraan atau estimasi diri bahwa ting kah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu. Efikasi adalah pe nilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau s alah, bias atau tidak bias mengerjakan sesuai dengan yang dipersyaratkan. Efikas i ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuat u yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai), sedang efikasi menggambarkan penil aian kemampuan diri. Contoh misalnya Seorang dokter ahli bedah, pasti mempunyai ekspektasi efikasi yang tinggi, bahwa dirinya mampu melaksanakan operasi tumor s esuai dengan standar professional. Namun ekspektasi hasilnya jadi rendah, karena hasil operasi itu sangat tergantung kepada daya tahan jantung pasien, kemurnian obat abtibiotik, sterilisasi dan infeksi, dsb. Sumber Efikasi Diri Perubahan ti ngkah laku, dalam system Albert Bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi efi kasi (efikasi diri). Efikasi diri atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat dipero leh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi emp at sumber yakni : 1. Pengalaman menguasai sesuatu prestasi (performance accompli shment), 2. Pengalaman Vikarius (vicarious experience), 3. Persuasi Sosial (Soci al Persuation) dan 4. Pembangkitan Emosi (Emotional/Psysilogical states). 23
b. Belajar Melalui Observasi Menurut Albert Bandura, kebanyakan proses belajar terj adi tanpa renforsemen yang nyata. Dalam penelitiannya, ternyata orang dapat mempelajari re spon baru dengan melihat respon orang lain, bahkan belajar tetap terjadi tanpa i kut melakukan hal yang dipelajari itu, dan model yang diamatinya juga tidak mend apat renforsemen dari tingkahlakunya. Belajar melalui observasi jauh lebih efisi en dibanding belajar melalui pengalaman langsung. Melalui observasi orang dapat memperoleh respon yang tidak terhingga banyaknya, yang mungkin diikuti dengan hu bungan dan penguatan. Peniruan (modelling) : Inti dari belajar melalui observasi adalah modelling. Pen iruan atau meniru sesungguhnya tidak tepat untuk mengganti kata modeling, karena modeling bukan sekedar menirukan atau mengulangi apa yang dilakukan orang model (oranglain), tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah laku yang teramati, menggenaralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan pr oses kognitif. Modeling tingkah laku baru : Melalui modeling orang dapat memperoleh kemampuan t ingkahlaku kognitif. baru. Ini dimungkinkan Stimuli berbentuk karena adanya mode l tingkahlaku ditransformasikan menjadi gambaran mental, dan yang lebih penting lagi ditransfo rmasikan menjadi simbol verbal yang dapat diingat kembali suatu saat nanti. Modeling Mengubah Tingkah laku lama : Ada dua dampak modeling terhadap tingkah l aku lama : pertama, tingkah laku model yang diterima secara sosial dapat memperk uat respon yang sudah dimiliki pengamat. Kedua, tingkah laku model yang tidak di terima secara sosial dapat memperkuat atau memperlemah pengamat untuk melakukan tingkah laku yang tidak diterima secara sosial, tergantung apakah tingkahlaku mo del itu diganjar atau dihukum. 24
Modeling Simbolik: Dewasa ini sebagian besar tingkahlaku berbentuk simbolik. Fil m dan televisi menyajikan contoh tingkahlaku yang tidak terhitung yang mungkin m empengaruhi pengamatnya. Sajian itu berpotensi sebagai sumber model tingkah laku . Modeling Kondisioning: Modeling dapat digabung dengan kondisioning klasik menjad i kondisioning klasik vikarius (vicarious classical conditioning). Modelilng sem acam ini banyak dipakai untuk mempelajari respon emosional. • Asumsi Asumsi dasar dari Teori belajar sosial atau disebut juga teori observatio nal learning ini adalah sebagian besar tingkah laku individu diperoleh dari hasi l belajar melalui pengamatan dan peniruan atas tingkah laku yang ditampilkan ole h individu – individu lain yang menjadi contoh nya. Albert Bandura menyatakan bahw a orang banyak belajar melalui perilaku peniruan dan mencontoh, bahkan sekalipun tanpa adanya penguat (reinforcement) yang diterima. Kita bisa meniru beberapa p erilaku hanya melalui pengamatan terhadap perilaku model, dan akibat yang ditimb ulkannya atas model tersebut. Proses belajar semacam ini disebut "observational learning" atau pembelajaran melalui pengamatan. Selama jalannya Observational Le arning, seseorang mencoba melakukan tingkah laku yang dilihatnya dan reinforceme nt/ punishment berfungsi sebagai sumber informasi bagi seseorang mengenai tingka h laku mereka. Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learni ng adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan dengan teori teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut Behaviorisme lainnya, Bandura mem andang Perilaku individu tidak semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R B ond), melainkan juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara li ngkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip dasar belajar menur ut teori ini, bahwa yang dipelajari individu terutama dalam belajar sosial dan m oral terjadi melalui peniruan (imitation) 25
dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga masih memandang penting nya conditioning. Melalui pemberian reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan. Teori belaja r sosial ini menjelaskan bagaimana kepribadian seseorang berkembang melalui pros es pengamatan, di mana orang belajar melalui observasi atau pengamatan terhadap perilaku orang lain terutama pemimpin atau orang yang dianggap mempunyai nilai l ebih dari orang lainnya. Istilah yang terkenal dalam teori belajar sosial adalah modeling (peniruan). Modeling lebih dari sekedar peniruan atau mengulangi peril aku model tetapi modeling melibatkan penambahan dan atau pengurangan tingkah lak u yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus melibatkan proses kognitif. Modelling dilakukan melalui empat proses yaitu perhatian, representas i, peniruan tingkah laku, dan motivasi dan penguatan. Perhatian dipengaruhi oleh asosiasi pengamat dengan orang yang diamati (model), sifat dari model tersebut, dan arti penting tingkah laku yang diamati. Representasi berarti tingkah laku y ang akan ditiru harus disimbolisasikan dalam ingatan. Dalam peniruan tingkah lak u, pengamat harus mempunyai kemampuan untuk menirukan perilaku dari model yang d iamati. Modeling ini akan efektif jika orang yang mengamati mempunyai motivasi y ang tinggi untuk meniru tokoh yang diamatinya. Satu konsep penting yang dikemuka kan Bandura adalah reciprocal determinism, yaitu seseorang akan bertingkah laku dalam suatu situasi yang ia pilih secara aktif. Dalam menganalisis perilaku sese orang, ada tiga komponen yang harus ditelaah yaitu individu itu sendiri (P: pers on), lingkungan (E: environment), serta perilaku si inidividu tersebut (B: behav ior). Individu akan memunculkan satu bentuk perilaku yang sama meskipun lingkung annya serupa, namun individu akan bertindak setelah ada proses kognisi atau peni laian terhadap lingkungan sebagai stimulus yang akan ditindaklanjuti. Bandura me nyatakan bahwa kognisi adalah sebagai tingkah laku perantara dimana persepsi dir i kita mempengaruhi tingkah laku. 26
Self Efficacy Peran Self Efficacy dalam Pembelajaran Sosial adalah sebuah variab le penting yang mempengaruhi apakah terjadi pembelajaran social atau tidak adala h persepsi atas kemampuan diri (self efficacy), atau penilaian orang mengenai ke mampuannya untuk menggunakan control atas tingkat kinerja mereka dan kejadian-ke jadian yang mempengaruhi kehidupannya. Menurut Bandura (1994) yang menyebutkan b ahwa “pengaruh-pengaruh pencontohan harus didesain untuk membangun self efficacy d an juga menyampaikan ilmu pengetahuan dan aturan tingkah laku” (halaman 81). Banya k kampanye komunikasi yang ditujukan pada perubahan prilaku orang tidak hanya ak an memperagakan prilaku-prilaku tetapi juga berusaha untuk menarik atau meningka tkan perasaan self efficacy anggota. Ini adalah persepsi seseorang mengenai kema mpuannya didalam menghadapi suatu situasi. 2 komponen dalam Self efficacy adalah : 1. Outcome expectations : perkiraan individu bahwa suatu outcome tertentu akan muncul dan pengetahuan mengenai apa yang harus dilakukan. 2. Efficacy expectati ons : keyakinan bahwa ia bisa melakukannya atau tidak. Ditekankan bahwa self eff icacy sangat berpengaruh dalam tingkah laku seseorang. Segala tingkah laku, bisa tingkah laku dalam bekerja, akademis, rekreasi, sosial dipengaruhi oleh self ef ficacy. Expectancy adalah variabel kognitif dalam hubungan antara stimulus dan r espon. Outcome expectancy adalah antisipasi dari hubungan yang sistematik antara kejadian-kejadian atau objek-objek dalam suatu situasi. Bentuknya adalah “jika-ma ka” antara perilaku dan hasilnya. Gagalnya suatu peristiwa mengikuti bentuk “jika-ma ka” yang ada dalam pola pikir individu, maka jika harapan dari individu terlalu ti nggi dan tidak dapat tercapai, individu tersebut akan lebih mudah mengalami gang guan karena ketidaknyamanan yang ia alami. Self Regulation 27
Self regulation adalah kemampuan individu untuk mengatur perilakunya sendiri dengan internal standard dan penilaian untuk dirinya. Konsep ini menjelaskan mengapa manusia bisa mempertahankan perilakunya walaupun tidak adanya rewards yang berasal dari lingkungan eksternal. Konsep ini tidak dapat be rjalan tanpa adanya internal standards seseorang. Internal standards adalah pemi kiran yang berasal dari pengaruh modelling sebelumnya dan juga berbagai reinforc ement yang lalu. Dengan adanya pemaknaan terhadap fenomena tertentu yang menurut nya baik atau bernilai, maka nilai-nilai tersebut menjadi patokan nilai internal individu yang bersangkutan. Semakin tinggi internal standard seseorang, semakin besar harapannya untuk mencapai nilai tersebut dan semakin besar pula kemungkin an individu tersebut mengalami gangguan-gangguan. • Aplikasi Social Learning Theory atau teori pembelajaran social dapat di aplikasi kan dalam kehidupan sehari-hari, contoh nya adalah sebagai berikut: 1. 2. Siswa seri ng belajar banyak sekali hanya dengan melihat orang lain. Menjelaskan konsekuens i dari perilaku yang dapat secara efektif meningkatkan perilaku yang sesuai dan menurunkan yang tidak pantas. Hal ini dapat melibatkan peserta didik dengan memb ahas tentang imbalan dan konsekuensi dari berbagai perilaku. 3. Menyediakan alte rnatif untuk membentuk perilaku baru untuk mengajar.Daripada menggunakan bentuk, dalam kondisi biasa model dapat mempercepat keefesiensian untuk proses belajar membentuk prilaku baru. Untuk mempromosikan keefektifan model, seorang pengajar harus memastikan bahwa ada empat syarat penting yaitu, perhatian, ingatan, alat reproduksi dan motivasi. 4. Guru dan orang tua harus tepat dalam berprilaku dan menjaga mereka untuk tidak bersikap tidak pantas. 28
5. Guru harus menekspos siswa untuk mengetahui berbagai macam bentuk model komunika si. stereotip tradisional. Teknik ini sangat penting untuk membongkar 6. Siswa harus yakin bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas sekolah. Sehingga sanga t penting untuk mengembangkan rasa percaya diri bagi siswa. Guru juga dapat memp romosikan diri dengan keberhasilan siswa dengan membangun keyakinan pada diri si swa, menerima pesan, melihat orang lain berhasil, dan pengalaman sukses mereka s endiri. 7. Guru harus membantu siswa menetapkan harapan yang realistis bagi mereka untuk me nyelesaikan akademik nya. Pada umumnya, di dalam kelas itu dimaksudkan untuk mem buat kepastian bahwa pengharapan tidak terlalu rendah. Namun, kadang-kadang tuga s di luar kemampuan siswa, akan menjadi penyakit atau masalah yang sulit diseles aikan bagi siswa. 8. Teknik Self-Regulation menyediakan metode yang efektif untuk meningkatkan perila ku siswa. Social Learning Teori juga dapat di aplikasikan pada kegiatan belajar mengajar, baik itu di sekolah maupun diluar kegiatan sekolah. Misalnya dalam con toh pada aplikasi pengajaran sekolah dasar adalah pentingnya tokoh2 otoritas unt uk dapat menjadi model yang baik bagai anak-anak didiknya (dalam hal ini menunju kkan perilaku yang baik) Bisa juga dengan mengundang orang-orang yang pantas unt uk dijadikan role model (sesuai bidang masing-masing) untuk hadir ke ruang kelas . Namun menurut Bandura, dia mengusulkan tiga macam pendekatan treatment, yakni: 1. Latihan Penguasaan (desensitisasi modeling): Mengajari klien menguasai tingk ah laku yang sebelumnya tidak bisa dilakukan (misalnya karena takut). Treatmen k onseling dimulai dengan membantu klien mencapai relaksasi yang mendalam. Kemudia n konselor meminta klien membayangkan hal yang menakutkannya secara bertahap. Mi salnya, ular, dibayangkan melihat ular mainan di etalase toko. Kalau klien dapat membayangkan kejadian itu tanpa rasa takut, mereka diminta 29
membayangkan bermain-main dengan ular mainan, kemudian melihat ular dikandang ke bun binatang, kemudian menyentuh ular, sampai akhirnya menggendong ular. Ini ada lah model desensitisasi sistemik yang pada paradigma behaviorrisme dilakukan den gan memanfaatkan variasi penguatan. Bandura memakai desensitisasi sistematik itu dalam pikiran (karena itu teknik ini terkadang disebut; modeling kognitif) tanp a memakai penguatan yang nyata. 2. Modeling terbuka (modeling partisipan): Klien melihat model nyata, biasanya diikuti dengan klien berpartisipasi dalam kegiata n model, dibantu oleh modelnya meniru tingkah laku yang dikehendaki, sampai akhi rnya mampu melakukan sendiri tanpa bantuan. 3. Modeling Simbolik: Klien melihat model dalam film, atau gambar/cerita. Kepuasan pikarious (melihat model mendapat penguatan) mendorong klien untuk mencoba/ meniru tingkah laku modelnya. • Kritik & Evaluasi Kritik terutama datang dari kelompok aliran behavioristik keras, yang memandang Bandura lebih tepat untuk dimasukan dalam kelompok aliran kognitif da n tidak diakui sebagai bagian dari behavioristik. Penyebab utamanya karena panda ngan Bandura yang kental aspek mentalnya. Sumber Hall, Calvis S. & Gardner Lindz ey. 1993. Teori-teori Sifat dan Behavioristik. Yogyakarta.: Penerbit Kanisius. R akhmat, Jalaluddin. 2003. Psikologi Komunikasi- Edisi Revisi. Bandung: Remaja Ro sdakarya. Uchjana, Onong. 1993. Ilmu Teori dan Filsafat Komunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Kritik terhadap Bandura 30
Interpersonal Deception Theory • Tokoh Penemu Tokoh dibalik Interpersonal Deception Theory adalah Judee K. Burgoo n dan David B. Buller. Kedua ilmuan komunikasi inilah yang mengemukakan dan meng embangkan teori ini. JUDEE K. BURGOON J Judee K. Burgoon, “K” kepanjangan dari Kathelene. Judee lahir pada 5 Februari 1948 d i Iowa. Saat judee sd, smp, dan sma, ia sangat menggemari aktivitas yang berbau debat dan sering sekali judee aktif dalam organisasi, seperti mengikuti young re publicans dan young democrats pada saat sma. Waktu liburan dan saat musim panasn ya sering dihabiskan judee untuk bekerja mencari uang tambahan untuk nanti kulia hnya. Akhirnya judee meneruskan jenjang kuliahnya ke Iowa State University, dan judee mendapatkan bachelor’s degree nya dengan summa cum laude di tahun 1970. Dan ini diakhirinya dengan double major di bidang pidato / debat bahasa inggris, dan double minor nya di bidang studi sosial dan pendidikan. Hal ini langsung dimanf aatkannya untuk mengajar debat dan pidato, dan mengarahkan ekstrakulikuler debat dan dram di Boone High School. Pendidikannya tidak henti sampai disitu, judee p un melanjutkan kuliahnya di Illinois State University, dan pada tahun 1972 judee mendapatkan gelar M.S. 31
nya di bidang speech communication, dan dua tahun kemudian pada 1974 judee menye lesaikan gelar doktornya di bidang komunikasi bersamaan dengan pendidikan psikol oginya di West Virginia University. Setelah tiga tahun sebagai asisten profesor dan Direktur Forensics di University of Florida, saya mengambil posisi sebagai W akil Presiden pada penelitian komunikasi untuk Louis Harris and Associates di ko ta New York. Dan pada akhirnya, tahun 1984, judee menjadi professor komunikasi p ada fakultas komunikasi di University of Arizona. Nama belakangnya, “Burgoon”, diamb il dari nama suaminya yaitu Michael Burgoon. Menikah di tahun 1974, dan dikaruni ai seorang anak perempuan yang bernama Erin Mikaela. Mereka bertiga hidup dan be rkembang di sonorant desert. DAVID B. BULLER Dr. Buller adalah seorang ahli ilmu pengetahuan senior dan pemimpin penelitian d i KB. Formerly, dia memegang jabatan di Harold simmons Chair untuk komunikasi ke sehatan di institute cooper dan pemimpin dari institute denver dan memusatkan di rinya di bidang komunikasi kesehatan. Dr. buller memperoleh gelar sarjana kepend idikan di komunikasi dari universitas Michigan dan sebuah gelar M.A dalam komuni kasi bahasa di universitas auburn. Dr. buller adalah PI dalam sejumlah study kom unikasi kesehatan, termasuk nutrisi, pencegahan kanker kulit dan pencegahan temb akau dan penghentian programprogram untuk anak remaja dan populasi remaja. Dia j uga sudah membuat program-program kebijakan untuk sekolah dan administrasi keseh atan 32
pemerintah. Di adalah penulis dari buku Sunny Days, kurikulun sekolah dasar Heal thy Ways, dia sudah menulis atau membantu menulis lebih dari 100 artikel, buku-b uku dan bab-bab buku. Penelitian Dr. buller sudah dibiayai oleh institute kanker nasional, pusat untuk penanggulangan penyakit dan pencegahan, yayasan Robert wo od Johnson, dan yayasan peneliatian kanker Amerika. • Latar Belakang Teori. Dapat dilihat dari kehidupan sehari – hari pastinya kita seb agai makhluk sosial tidak bisa lepas dari interaksi antar individu. Tentunya dalam interkasi tersebut kita sebagai individu memasang settingan diri kita sebagus – bagusnya di depan individu yang lain. Dengan kata lain, pengakuan sosial tentunya jadi yang utama saat kita sedang berinteraksi antar individu. Dalam kegiatan kita sehari – h ari tentunya kita menemui berbagai macam individu lain yang selalu berhubungan d engan kita, dan tentu intensitas kita untuk berinteraksi kepada tiap orang berbe da – beda. Ini menimbulkan pula sikap kita yang berbeda – beda pada setiap orang. Se tiap individu memiliki rasa ingin diakui di dalam kelompok maupun lingkungan sek itarnya, perasaan ini bisa diukur kuat tidaknya dari proses interaksi yang dilak ukan individu tersebut pada individu lain yang berada disekitarnya. Melalui pern yataan tersebut kadangkala individu sebagai pelaku komunikasi dua arah, menghala lkan berbagai macam cara untuk tercapainya tujuan tersebut, yaitu diakui benar, dan seolah – olah kredibel di depan lawan bicaranya. Cara yang ditempuh yang sudah sangat sering adalah dengan cara berbohong. Perspektif ilmu komunikasi, berboho ng mempunyai teori tersendiri yang membahasnya, yaitu “Interpersonal Deception The ory” atau Teori Penipuan Antar Individu. Kapan berbohong itu efektif digunakan ? b agaimana cara berbohong yang biasa dilakukan ? apa ciri – ciri pembohong ? kenapa orang harus berbohong ? ada berapa pembohong di sekitar kita ?, pertanyaan – perta nyaan tersebut akan coba dijawab dengan terbentuknya makalah ini, yang akan memb ahas tuntas tentang “Interpersonal Deception Theory” . 33
“Interpersonal Deception Theory” itu sendiri dikemukakan untuk berbagai alasan, bias anya teori ini digunakan untuk menjelaskan bagaimana orang menghindari tindakan menyakiti orang lain dengan cara berbohong, atau bisa untuk menjelaskan bagaiman a cara orang lain berbohong untuk menyerang orang lain, berpura – pura empati, men ghindari masuk kedalam konflik, dan masih banyak lagi kebiasaan seseorang yang a da kaitannya dengan memanipulasi pernyataan mereka dengan kebohongan dijelaskan oleh teori “Interpersonal Deception” ini. Tujuan dibuatnya makalah yang membahas “Inte rpersonal Deception Theory” ini adalah untuk menyadarkan kita betapa pentingnya ki ta untuk mengetahui tingkat kebohongan yang terjadi pada lingkungan dan kehidupa n kita sehari – hari. Dan di dalam makalah ini dicantumkan beberapa contoh kasus, maksudnya supaya pembaca bisa menganalisis sendiri atau bahkan belajar berkomuni kasi efektif menggunakan “Interpersonal Deception Theory”. Dan diharapkan setelah me mbaca makalah ini kita sebagai makhluk komunikasi, bisa lebih mengupgrade kemamp uan kita dalam bidang ilmu komunikasi. Demikian, semoga makalah ini bisa berguna dan menjadi panduan yang baik. Sigmund Freud mempelajari isyarat nonverbal untu k mendeteksi kebohongan sekitar seabad lalu. Freud mengamati seorang pasien yang diminta mengungkapkan perasaannya yang paling dalam. Jika mulutnya tertutup dan jarinya gemetar, ia dianggap berbohong. Pada tahun 1989, DePaulo dan Kirkendol mengembangkan Motivation Impairment Effect (MIE). MIE menyatakan bahwa semakin o rang berupaya membohongi orang lain, mereka semakin cenderung ketahuan. Namun, B urgoon dan Floyd, meninjau kembali penelitian ini dan membentuk pemikiran bahwa dalam berusaha membohong, pembohong lebih aktif dibanding yang diperkirakan keba nyakan orang. IDT dikembangkan oleh dua profesor komunikasi, David B. Buller dan Judee K. Burgoon. Sebelum penelitiannya, kebohongan tidak begitu dianggap sebag ai aktivitas komunikasi. Penelitian sebelumnya difokuskan pada perumusan prinsip -prinsip kebohongan. Prinsip-prinsip ini didapat dengan mengevaluasi kemampuan m endeteksi kebohongan oleh individu yang mengamati komunikasi 34
satu arah (unidirectional). Penelitian awal ini menemukan bahwa "meskipun manusi a jauh dari sempurna dalam upayanya mendiagnosis kebohongan, mereka cukup baik p ada fungsi-fungsi dibanding yang dihasilkan hanya dari kebetulan". Buller dan Bu rgoon mereduksi nilai penelitian yang sangat terkontrol – biasanya percobaan komun ikasi satu-arah – yang dirancang untuk mendapatkan petunjuk yang benar bahwa orang berbohong. Karena itu, IDT didasarkan pada komunikasi dua arah dan ditujukan un tuk menggambarkan kebohongan sebagai satu proses komunikasi interaktif. Paradigm a Umum Tentang Interpersonal Deception Theory (IDT) KONSEP TEORI Komunikasi Anta r Pribadi Komunikasi Kelompok Komunikasi Organisasi Komunikasi Komunikasi Massa PERSPEKTIF Cover in laws Critical System Human Action Jika dilihat dari kolom ini, Interpersonal Deception Theory menduduki kolom yang bersilangan antara konsep teori komunikasi antar pribadi, dan perspektif human action. Artinya Interpersonal Deception Theory ini jelas sekali membahas bagaima na dinamika kita ketika sedang berinteraksi dengan individu lain, hubungannya de ngan sikap kita ketika melakukan komunikasi dan sikap kita ketika kita berada pa da etika komunikasi interpersonal dengan berazaskan human action, terutama pada soal desepsi. Teori interpersonal deception ini lebih sering diasumsikan sebagai teori untuk “seni mengatakan yang tidak sebenarnya”. Teori ini berupaya menjelaskan pula pola dimana individu berhadapan dengan kebohongan baik benar terjadi, maup un sekedar perasaan pada level sadar dan bawah sadar, ketika melakukan komunikas i tatap muka. 35
Komunikasi tidak bersifat statis, ia tidak hanya dipengaruhi oleh tujuan seseora ng, tetapi juga oleh konteks interaksi yang diungkap. Perilaku pengirim dan pesa n dipengaruhi oleh perilaku dan pesan dari penerima, dan begitu sebaliknya. Sela in itu, kebohongan berbeda dari komunikasi jujur. Kebohongan yang disengaja memb utuhkan sumber kognitif yang lebih dibanding komunikasi jujur. IDT membahas kete rkaitan antara konteks komunikatif dan perilaku dan kognisi pengirim dan penerim a dalam situasi penuh kebohongan (deceptive). Buller dan Burgoon menyatakan ada tiga tipe respon yang memungkinkan untuk diberikan kepada lawan bicara kita, ket ika kita ingin menyatakan ketidakbenaran atau menutupi kejadian yang sesungguhny a. Pertama, berbohong sepenuhnya, misalkan kita berbicara “saya tadi habis mengerj akan tugas di perpustakaan”, padahal dalam kenyataannya tugas itu belum dikerjakan . Kedua, bisa dengan cara menyampaikan sebagian kebenaran, dan menutupi bagian d etailnya, misalkan, “saya ingin pergi ke pesta ulang tahun, di apartemen teman say a”, di satu sisi kita menyatakan kebenaran, yaitu pergi ke pesta ulang tahun, teta pi di satu sisi kita menutupi detailnya, yaitu di apartemen teman saya, aparteme n yang mana ? teman yang mana ? siapa ? atau bahkan pesta ulang tahunnya bukan d i apartemen, kita tidak memberi detail yang jelas dalam kalimat pernyataan ini. Ketiga, dengan cara menghindar sepenuhnya, misalkan ketika kita dihadapkan kepad a suatu pertanyaan yang kita tahu jawabannya akan mengecewakan lawan bicara kita , maka kita bisa bicara “saya mau pergi keluar sebentar” atau mungkin bisa dengan me ngalihkan penuh tema pembicarannya, “ oh ya, saya jadi ingat tentang …bla… bla… bla.. “. I tulah ketiga pendapat buller dan burgoon tentang menyembunyikan kebenaran. Teori Buller dan Burgoon memberitahukan kita tentang “frame of thingking” mereka dengan m enjelaskan fenomena, menuju konsep, proposisi, sampai pada penjelasan yang di du kung oleh fakta dan contoh kasus. 36
• Asumsi Asumsi Metateoretis 1. Asumsi ontologis: Sejauh sifat kenyataan, teori ke bohongan bersifat sangat manusiawi karena memandang berbagai kenyataan saling be rgantung pada berbagai faktor situasional pada individu yang terlibat 2. Asumsi epistemologis: Dalam hal pengetahuan, teori ini juga bersifat manusiawi. Apa yan g ditemukan dari penelitian sepenuhnya bergantung pada siapa yang mempunyai peng etahuan tentang apa yang dibicarakan. 3. Asumsi aksiologis: Teori IDT bersifat m anusiawi dalam segi nilai. Nilai dari individu yang terlibat disimpulkan dari ni lai dan pengalaman mereka sendiri. “Human beings are poor lie detectors in interactive situations. Although strategic deception often results in cognitive overload that leaks out through a deceiver’s communication, respondents usually miss these telltale signs due to a strong tr uth bias. When respondents appear doubtful, deceivers can adjust their presentat ion to allay suspicion” (Griffin (pp. A-13-14) Dari pernyataan Griffin di atas, ki ta tahu bahwa sebenarnya manusia adalah “pendeteksi” kebohongan yang buruk dalam sit uasi interaktif. Manusia memiliki ketidakawasan dalam menangkap suatu kebohongan , kadangkala manusia terlalu tertutupi akan bias kebenaran yang diciptakan oleh si pembohong. Manusia sering tidak memperhatikan isyarat – isyarat yang dikeluarka n pembohong secara tidak sengaja, bahkan mungkin terkadang mengandung kelebihan kognitif sehingga pesan yang disampaikan tidak masuk akal. 37
Perspektif Teoritis Teori Interpersonal Deception membahas kebohongan melalui le nsa teoretis komunikasi antar personal. Pada dasarnya, ia menganggap kebohongan sebagai suatu proses interaktif antara pengirim dan penerima. Berbeda dengan pen elitian tentang kebohongan sebelumnya yang memfokuskan pada pengirim dan penerim a secara terpisah, IDT memfokuskan pada sifat dyadic (dual), relational (hubunga n) dan dialogic (dialog) dari komunikasi penuh kebohongan. Perilaku antara pengi rim dan penerima bersifat dinamis, multifungsi, multidimensi dan multimodal. Kom unikasi dyadic berarti komunikasi antara dua orang. Dyad berarti sekelompok terd iri dari dua orang dimana pesan dikirim dan diterima. Komunikasi relational meng acu pada komunikasi dimana makna yang dibentuk oleh dua orang saling mengisi per an, baik pengirim dan penerima. Aktivitas dialogic mengacu pada bahasa komunikat if dari pengirim dan penerima, masing-masing mengandalkan satu sama lain dalam p ertukaran tersebut. Sebagai contohnya adalah kerangka konseling psikoterapi dan psikologis. Aktivitas dyad, relasional dan dialogis antara pasien dan ahli terap i bergantung pada komunikasi yang jujur dan terbuka jika pasien ingin sembuh dan berhasil membina hubungan yang lebih sehat. Kebohongan menggunakan kerangka teo ri yang sama karena komunikasi dari satu peserta dengan sengaja salah. Tiga Ciri Pesan Tidak Jujur & Tiga Cara Menyampaikannya 1. Pesan biasanya berupa pesan ve rbal 2. Pesan tambahan, yang mencakup aspek verbal dan non verbal yang seringkali, seakan – akan mengungkap kebenaran pesan tersebut 3. Perilaku ceroboh yang seringkali nonverbal dan membantu menunjukkan kebohongan dari si pengirim melalui apa yang disebut leakage (kebocoran). 38
Buller dan Burgoon menyatakan tiga cara strategi yang biasa digunakan untuk meny ampaikan suatu desepsi, 1. Falsification Yaitu menciptakan suatu fiksi kepada la wan bicara 2. Concealment Yaitu menyembunyikan suatu rahasia 3. Equivocation Men galihkan permasalahan Peran Superordinate dari Konteks dan Hubungan. Penjelasan IDT tentang kebohongan antar personal tergantung pada situasi dimana interaksi i tu terjadi dan hubungan antara pengirim dan penerima. 1. Kognisi dan perilaku pe ngirim dan penerima bervariasi secara sistematis, karena konteks komunikasi tida k jujur. Memiliki variasi dalam, a. akses isyarat sosial b. sifat kesegeraan (te rburu – buru) c. keterlibatan relasional d. kebutuhan percakapan e. spontanitas. 2 . Selama pertukaran informasi bohong, perilaku dan kognisi pengirim dan penerima bervariasi secara sistematis karena hubungan memiliki variasi dalam, a. keakrab an relational (termasuk keakraban informasi dan perilaku) b. valensi hubungan 39
Proposisi & Eksplanasi Faktor Prainteraksi yang Terkait dengan Aktifitas Komunik asi Seorang komunikator, individu juga melakukan pendekatan terhadap pertukaran pesan yang tidak jujur dengan mengikutsertakan faktor prainteraksinya sendiri, s eperti pengharapan, pengetahuan, tujuan atau maksud, dan kompetensi dari apa yan g dibicarakannya. IDT membenarkan bahwa faktor-faktor tersebut mempengaruhi pert ukaran pesan secara tidak jujur. Dibandingkan dengan orang yang berkata jujur, p embohong akan, (a) Terlibat dalam aktivitas strategis yang lebih besar yang dira ncang untuk mengelola informasi, perilaku dan citra (b) menampilkan isyarat kege lisahan nonstrategis (tidak terpikirkan/spontan), (c) memperlihatkan emosi negat if dan memperlihatkan bahwa dirinya sedang “ditekan” (d) atau bahkan memperlihatkan dirinya tanpa emosi (noninvolvement) dan gerak geriknya memperlihatkan penurunan kinerja bagian organ tertentu Pengaruh Karakteristik Pra-interaksi terhadap Kem ampuan Awal Deteksi dan Penampilan Suatu Kebohongan IDT membenarkan bahwa faktor prainteraksi mempengaruh kemampuan awal deteksi dan penampilan suatu kebohongan yang diciptakan si pembohong. Berikut poin – poin yang bisa dijadikan acuan terha dap pembuktiannya, 1. Interaktivitas menyebabkan : (a) aktivitas strategis yang lebih besar (informasi, perilaku dan manajemen kesan) (b) berkurangnya aktivitas nonstrategis (gelisah, emosi negatif atau ditekan, penurunan kinerja) seiring w aktu relatif terhadap konteks non-interaktif. konteks menurunkan penampilan awal kebohongan sedemikian rupa sehingga kebohongan dalam konteks yang semakin interaktif 40
2. Harapan awal komunikator dan komunikan akan kejujuran pesan, berbanding sama dengan tingkat interaktivitas dan positivitas konteks dari hubun gan yang dilakukan antara komunikator dan komunikan saat terciptanya komunikasi tersebut. 3. Sebaliknya justru pemahaman deteksi awal pembohong dan aktivitas st rategis yang terkait, berhubungan terbalik dengan pengharapan akan kejujuran (ya ng merupakan fungsi dari interaktivitas konteks dan kepositifan hubungan) 4. Tuj uan dan motivasi menurunkan penampilan perilaku strategis dan nonstrategis 5. Be gitu pengetahuan tetnang informasi, perilaku dan hubungan meningkat, pembohong t idak hanya (a) lebih memahami deteksi (b) menunjukkan manajemen informasi, (c) p erilaku dan citra yang lebih berstrategi, tetapi juga (d) lebih menunjukkan peri laku kebocoran nonstrategis 6. Pengirim yang ahli menyampaikan perilaku penuh ke jujuran dengan terlibat dalam perilaku yang lebih strategis dan menunjukkan lebi h sedikit kebocoran nonstrategis dibanding yang kurang ahli. Pembohong biasanya lebih baik dalam mendeteksi kecurigaan dibanding responden dalam mendeteksi kebo hongan. Pembohong biasanya membalas pola orang tersebut ketika mencoba berbohong . ‘Othello-error’ – spiral rekursif dari kognisi pengirim dan penerima mempengaruhi pe rilaku dan kognisi selanjutnya 41
selama interaksi. Deteksi kebohongan adalah masalah coba-coba dan tergantung pad a interaksi Efek Karakteristik Pra Interaksi dan Interaksi Awal terhadap Kognisi Penerima IDT lebih lanjut menyatakan bahwa faktor pra interaksi, disertai denga n penampilan perilaku awal, mempengaruhi kecurigaan awal penerima dan akurasi de teksi selanjutnya, yaitu 1. Penilaian awal dan selanjutnya dari penerima terhada p kredibilitas pengirim, berbanding lurus dengan (a) bias kejujuran dari penerim a (b) interaktivitas konteks (c)dan kemampuan bahasa pengirim Dan ketiga poin in i berbanding terbalik dengan penyimpangan komunikasi pengirim dari pola yang dih arapkan. 2. Keakuratan deteksi awal dan selanjutnya berbanding terbalik dengan ( a) bias kebenaran penerima (b) konteks interaktivitas (c) kemampuan bahasa pengi rim Dan ketiga poin ini mereka berbanding lurus dengan pengetahuan informasi dan perilaku, kemampuan pemahaman penerima, dan penyimpangan komunikasi dari pola y ang diharapkan si pengirim. Pola Interaksi Interatif IDT selanjutnya menggambark an proses iteratif dari isyarat kecurigaan penerima dan reaksi pengirim terhadap isyarat tersebut, yaitu, 1. Kecurigaan penerima tercermin melalui satu kombinas i perilaku strategis dan non-strategis 2. Pengirim merasakan kecurigaan, jika su dah terlihat, 42
3. Kecurigaan (yang dirasakan atau sebenarnya) meningkatkan perilaku strategis d an non strategis dari pengirim 4. Isyarat kebohongan dan kecurigaan berubah seir ing waktu 5. Proses timbal balik adalah pola adaptasi interaksi yang dominan ant ara pengirim dan penerima selama kebohongan antar personal Hasil Pasca Interaksi Terakhir, IDT menyatakan bahwa interaksi penuh kebohongan memuncak dalam serangkaian penilaian pasca-interaksi tentang kredibiltias pengir im dan kecurigaan penerima. Dengan kata lain, interaksi antara pengirim dan pene rima mempengaruhi sejauh mana kredibilitas pengirim menurut penerima dan seberap a besar kecurigaan penerima menurut pengirim. 1. Keakuratan deteksi, bias, dan p enilaian penerima terhadap kredibilitas pengirim setelah interaksi merupakan fun gsi dari (a) kognisi penerima (kecurigaan, bias) (b) kemampuan pemahaman penerim a (c) isyarat perilaku pengirim. 2. Keberhasilan kebohongan pengirim merupakan f ungsi dari kognisi pengirim (kecurigaan yang dirasakan) dan isyarat perilaku pen erima. Peran Penerima (“korban”) dalam IDT Kebanyakan orang yakin bahwa mereka bisa melihat kebohongan, tetapi IDT menganggap kebanyakan tidak. Ada berbagai hal yan g harus dilakukan pembohong secara simultan untuk memastikan apa yang mereka kat akan terasa benar, yang paling penting adalah bagaimana pembohong mengatur isyar at verbal dan nonverbalnya. Menurut IDT, semakin besar kesadaran sosial penerima , semakin baik ia mendeteksi kebohongan. Seberapa besar keberhasilan penerima ke banyakan dalam mendeteksi kebohongan? Tidak begitu berhasil sama sekali, menurut penelitian terakhir. Ini 43
mungkin dikarenakan ada kontrak sosial bahwa orang akan jujur satu sama lain dan percaya orang akan jujur terhadapnya. Jika penipu mulai melakukan pertukaran ti dak jujur dengan pernyataan yang akurat dan valid, pernyataan itu mungkin mengar ahkan penerima untuk meyakini bahwa cerita pengirim selanjutnya juga benar. Tear khir, pengirim mempersiapkan penerima untuk menerima informasinya sebagai benar, meskipun beberapa bagian dari dialognya salah. Namun, jika pengirim selalu meng gunakan taktik yang sama, penerima akan sadar, dan mungkin menyadari bahwa pengi rim sedang berbohong. Emosi yang Muncul dalam Bahasan IDT Emosi berperan penting dalam IDT, baik sebagai motivator dan hasil kebohongan. Emosi bisa menjadi “motiv ator” kebohongan, karena pengirim mengandalkan pengetahuan informasi, hubungan dan perilaku untuk mencapai tujuan, seperti kepuasan diri, terhindar dari emosi neg atif (kelakuan yang tidak wajar), atau membentuk emosi negatif untuk target kebo hongan. Motivator disini adalah pengontrol ktika terjadinya kebohongan. Emosi bi sa juga merupakan akibat dari kebohongan karena respon fisik terjadi dalam pengi rim, biasanya dalam bentuk kegelisahan dan emosi negatif. Kebocoran emosi Emosi dalam kebohongan terwujud paling jelas dalam isyarat-isyarat nonverbal. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa lebih dari 90% emosi dikomunikasikan secara nonver bal. Untungnya manusia sangat sensitif terhadap isyarat tubuh. Seringkali, komun ikasi bersifat bertentangan: orang menyampaikan satu hal secara verbal dan hal y ang berlawanan secara nonverbal. Kebocoran disini mengacu pada kejadian komunika tif dimana isyarat nonverbal mengungkap isi pesan verbal yang sebenarnya. Ekspre si wajah Ada delapan emosi dasar yang dikomunikasikan melalui ekspresi wajah: ma rah, takut, sedih, gembira, muak, ingin tahu, terkejut dan menerima. Emosi ini 44
umumnya dikenali di berbagai budaya. Ada dua “jalur” utama dimana ekspresi ini berke mbang: “jalur satu”, ada dari dalam diri, dan “jalur dua” yang tergantung pada proses so sialisasi. Budaya berbeda memiliki aturan memperlihatkan emosi yang mengatur pen ggunaan ekspresi wajah. Misalnya, orang Jepang tidak membolehkan menunjukkan emo si negatif. Terkadang, individu merasa sulit mengontrol ekspresi wajah. Wajah bi sa “membocorkan” informasi tentang apa yang mereka rasakan. Misalnya, seseorang tida k akan bisa menyembunyikan rasa enak ketika bertemu seseorang yang memiliki caca t luka yang mengerikan, atau ia akan sulit menyembunyikan rasa muak ketika mengo bati orang luka atau berhadapan dengan orang yang tidak tahu malu. Tatapan Orang menggunakan tatapan mata untuk menunjukkan ancaman, kedekatan dan keingintahuan . Tatapan mata digunakan untuk mengatur giliran dalam percakapan dan merupakan f aktor penting dalam memutuskan seberapa besar ketertarikan penerima pada apa yan g dikatakan pengirim. Penerima biasanya melihat selama 70-75%, tiap tatapan rata -rata selama 7.8 detik. Jika penerima melihat hanya 15%, mereka bisa dianggap di ngin, pesimistis, curiga, defensif, tidak dewasa, menghindar atau tidak peduli. Jika menatap lebih dari 80%, mereka bisa dianggap ramah, percaya diri, natural a tau tulus. Gerak tubuh Penggunaan gerakan tubuh adalah salah satu bentuk komunik asi budaya yang spesifik di budaya tertentu dan bisa menyebabkan kesalahpahaman dan terkadang hinaan. Misalnya, mengangkat tangan dan meremas ibu jari dan telun juk bersamaan, digunakan oleh orang Perancis dan terkadang Inggris untuk menunju kkan bahwa sesuatu itu sempurna, akan dianggap vulgar di daerah Mediterania, kar ena dianggap menunjukkan vagina. Gerak tubuh tak sadar digambarkan sebagai tinda kan menyentuh diri, seperti menyentuh wajah, menggaruk, memegang tangan, atau me naruh tangan di atau 45
dekat mulut, sering dilakukan orang ketika mengalami emosi ekstrem seperti depre si, kesenangan atau kegelisahan yang ekstrem. Salah satu contoh kebocoran terkai t gerak tubuh ada dalam penelitian Ekman dan Friesen, yang menunjukkan satu film seorang wanita yang mengalami depresi kepada sekelompok peserta penelitian. Pes erta diminta untuk menilai mood sang wanita. Mereka yang hanya ditunjukkan wajah wanita menganggap bahwa ia sedang bahagia dan gembira, sementara kelompok yang hanya melihat badannya menganggap bahwa ia sedang tegang, gugup dan terganggu. S entuhan Sentuhan bisa menjadi alat penting untuk meyakinkan dan menunjukkan pema haman. Sentuhan pada orang lain dilakukan untuk menunjukkan gairah seksual, kede katan dan pemahaman; dalam salam pertemuan dan perpisahan; sebagai aksi agresi d an untuk menekankan dominasi. Argyle menulis bahwa “nampaknya ada aturan yang jela s yang membolehkan hanya jenis sentuhan tertentu, antara orang tertentu, pada si tuasi tertentu. Kontak tubuh di luar batasan yang sempit itu tidak bisa ditoleri r”. Mereka yang menyentuh orang lain dianggap memiliki status lebih tinggi, percay a diri dan hangat, sementara mereka yang disentuh lebih rendah dalam hal-hal ter sebut. • Aplikasi Contoh kasus yang simple pada IDT misalnya, pasangan anda mengat akan bahwa dirinya adalah orang kaya padahal kenyataannya tidak, maka ia sedang melakukan Falsification . Ketika anda menyatakan keraguan tentang status ekonom inya kemudian ia menyangkal "tuduhan" anda tersebut, maka pasangan anda sedang b erupaya melakukan Equivocation . Karena penasaran anda terus mendesaknya untuk berkata jujur tetapi ia tetap menolak, itu artinya pasangan anda tengah melakuka n Concealment . Aplikasi kompleks Untuk lebih jelas dan kompleks, mari kita lih at kasus berikut, 46
Saya telah menjalin hubungan kembali dengan mantan pacar saya yang bernama Ditto , hubungan kami kembali terjalin karena kami mulai menyadari satu sama lain masi h saling membutuhkan dan mengerti akan sikap ego dalam diri masing – masing, keyak inan saya untuk kembali pada ditto karena saya dapat melihat kesungguhannya kepa da saya untuk dapat meminimize sikap ego nya yang selama ini dia tunjukkan, dan keseriusannya untuk menjalin hubungan ke jenjang pernikahan. Namun, ada hal yang masih mengganjal hingga saat ini, kedua orang tua saya masih belum mengetahui b ahwa saya telah kembali menjalin dengan Ditto lagi. Belum ada rasa keberanian ba gi saya untuk memberitahukan kepada orang tua, karena saya mengetahui pasti mere ka tidak menyetujui saya kembali menjalin dengan Ditto. Sikap orang tua saya yan g tidak menyetujui dikarenakan oleh kesalahan saya menceritakan segala sikap Dit to terhadap saya selama berpacaran sebelumnya. Tetapi saya memiliki alasan kuat untuk menerima Ditto kembali yaitu perubahan sikap dari dirinya, karena dia meny adari kekurangan dirinya. Di awal kami kembali menjalin hubungan, waktu untuk be rtemu diantara kami benar – benar sempit, sabtu dan minggu saya kuliah dan Ditto j uga sibuk dengan studi S2nya. Satu – satunya waktu kami dapat bertemu adalah setel ah pulang kerja kami bertemu untuk menghilangkan rasa kangen kami terkadang nont on atau dinner bareng. Karena ada perubahan waktu tersebut, sayapun mulai tidak ontime pulang kerja. Pada saat saya pulang dari dinner bareng Ditto tiba – tiba or ang tua saya bertanya Bapak : ”Sekarang kok pulang kantornya sering malam terus Ri n, kalau lembur kok tiap hari?”… Rina : ”Iya Pak kemarin – kemarin emang lembur terus ba nyak kerjaan, kalau tadi ngobrol dulu sama teman kantor”. ”Aduuhhh, Laperrr Mama mas ak apa pak, belum makan nih” 47
Rina berkata bahwa dia pulang malam akhir – akhir ini lembur, menurut teori Interp ersonal Deception ini Rina telah menyembunyikan kebenaran bahwa dia pulang malam akhir – akhir ini bertemu dengan Ditto bukan lembur dikantor dan dia menimbulkan fiksi baru dengan mengatakan lembur dan ngobrol dengan teman kantor. Rina, memil iki tujuan agar kedua orang tuanya tidak mengetahui dia telah memulai lagi berhu bungan dengan Ditto, karena Rina merasa kondisi orang tuanya belum siap untuk ta hu kenyataan ini. Kecurigaan Bapak tertangkap oleh Rina. Oleh karenanya Rina cep at – cepat langsung mengalihkan pembicaran dan menciptakan kondisi agar orang tuan ya khawatir bahwa anaknya kelaparan sehingga tidak melanjutkan pertanyaan yang l ebih dalam lagi, dan membiarkan anakanya menyantap makanan. Situasi tersebut men ganalogikan Teori ini, bahwa kecurigaan dari responden dapat dengan mudah di ket ahui oleh deceiver (pembohong). Kecurigaan ini berdiri diantaranya kenyataan dan fiksi. Bapak berfikir tidak mungkin lembur sampai berhari – hari atau mungkin saj a terjadi karena memang banyak pekerjaan. Pengalihan pembicaraan Rina secara ter buru – buru dan menunjukkan muka kelaparan kepada Bapak adalah upaya Rina untuk me nghindar dari pertanyaan selanjutnya agar dapat menahan dan mengontrol informasi , sehingga berdampak pada tingkah lakunya (Non Verbal). Rina langsung menanyakan menu masakan hari ini, adalah strateginya agar kebohongannya tidak diketahui ol eh Bapak. Awalnya, Rina masih ingin bercengkrama dengan orang tua, baru mandi, d an setelah itu makan, tetapi karena takut Bapak lebih curiga, planning rina ters ebut jadi tidak sesuai lagi dengan rencana awal. Sebenarnya saya ingin mengataka n kepada orang tua dari awal agar tidak membuat sebuah kebohongan tetapi saya ta hu orang tua saya pasti tidak akan merestui dan menyetujui, dan takut kalau oran g tua saya sedih dan marah. 48
Dalam teori deception ini, Rina berbohong karena ingin mempertahankan hubungan h armonis dengan orang tuanya dan Ditto. Seharusnya rina tidak melakukan kebohonga n ini terhadap kedua orang tuanya, disamping itu memang tidak dibolehkan dalam a gama. Semakin rina berbohong semakin rina merasa bersalah dan ragu akan keputusa nnya kembali kepada Ditto. Teori kebohongan juga mengungkapkan bahwa seseorang y ang melakukan kebohongan akan memiliki perasaan bersalah dan keragu – raguan untuk mengambil langkah selanjutnya. Di hari selanjutnya, Rina kembali pulang malam u ntuk nonton bersama Ditto sampai pukul 07.45. Bapak kembali bertanya dan jawaban Rina kali ini ”Iya Pak, tadi sengaja pulang malam karena mau ngerjain tugas kulia h dulu kan anak rajin…jadi kalau ada tugas mesti cepat cepat dikerjain”. IDT mengemu kakan bahwa informasi yang disampaikan oleh seorang pembohong akan berubah – ubah, tidak konsisten, dan pesannya tidak pasti. Sebelumnya Rina mengatakan pulang ma lam karena lembur, kedua Rina mengatakan pulang malam karena ngobrol dengan tema n sekantor dan terakhir nina megatakan pulang malam karena mengerjakan tugas kul iah dan memberikan penekanan ”kan anak rajin, jadi kalau ada tugas mesti cepat – cep at dikerjain.” menunjukkan kercurigaan image yang berlebihan, sehingga menimbulkan kecurigaan. Pada suatu hari kecurigaan Bapak pun mulai bertambah, dalam bathin bapak timbul perasaan ”pasti ada yang disembunyikan oleh Rina dari Bapak”. Bapak mem eriksa lemari belajar Rina dan terdapat kamera digital yang Bapak kenali bahwa i tu milik ditto setelah dicek isi foto di dalam kamera tersebut terdapat foto Dit to dan tertera tanggal Foto baru 2 (dua) hari yang lalu. Kebohongan yang terlalu banyak menurut teori ini akhirnya mengalami kebocoran. Yang berpengaruh pada pe rilaku Rina seperti cepat – cepat mengalihkan pembicaraan dan berpura pura lapar. The Truth will come out setelah kebohongan mengalami kebocoran – kebocoran. Setela h Bapak mengetahui ada 49
hubungan lagi antara anaknya Rina dengan Ditto, Rina pun mengakui kepada kedua o rang tuanya bahwa dirinya memang sudah kembali menjalin relationship bersama dit to. Rina merasa dirinya belum memberitahu keorang tua karena belum tepat waktuny a. Orang tuapun dengan segala kerelaannya merestui saya kembali bersama Ditto da ripada harus sembunyi dari mereka lagi. • Kritik DePaulo, Ansfield dan Bell memper tanyakan status teoretis dari IDT. Mereka menulis, “Kita tidak bisa menemukan pert anyaan ‘mengapa’ dalam sintesis Buller dan Burgoon. Tidak ada teka-teki menarik yang perlu dipecahkan, dan tidak pernah ada mekanisme penjelasan. Mereka menyetujui anggapan Buller dan Burgoon sebagai gambaran komprehensif dari interaksi penuh k ebohongan, tetapi menyalahkan proposisi karena tidak adanya keterkaitan dan keku atan prediktif yagn dibutuhkan untuk membenarkan teori. DePaulo dkk., juga mengk ritik IDT karena gagal membedakan antara komunikasi interaktif, yang menekankan aspek situasi dan konteks dari pertukaran komunikasi, dengan komunikasi antar pe rsonal, yang menekankan pertukaran dimana pengirim dan penerima melakukan predik si psikologis tentang perilaku satu sama lain berdasarkan pengetahuan sebelumnya tentang orang tersebut. Mereka berpendapat bahwa ambiguitas konseptual ini memb atasi kekuatan penjelasan IDT. • Sumber: David B. Buller | KLEIN BUENDEL, inc. COMMUNICATION CAPSTONE SPRING 2001 THEORY WORKBOOK Mediate.com/interpersonaldeceptiontheory:tenslessonsfornegotiators Modu l 4: Komunikasi, Media, Sumber-sumber Informasi, dan beberapa contoh Teori Komun ikasi Kontekstual (Persuasi dan Interpersonal) oleh : Drs. Pawit M. Yusup, M.S. 50
Diffusion of Innovation Tokoh Penemu Teori Everett M. Rogers (6 Maret 1931 – 21 Oktober 2004). Bernama len gkap Everett M. Rogers, pria ini dilahirkan di Carroll, Iowa pada tanggal 6 Mare t 1931. Ia dibesarkan dalam lingkungan keluarga pemilik Pinehurst Farm. Awalnya Rogers tidak memiliki ide untuk mengambil kuliah hingga gurunya mengarahkannya b eserta beberapa teman-teman sekelasnya untuk mengambil Agriculture untuk S1 dan S2-nya di Iowa State University. Selanjutnya ia sempat menjadi suka relawan di p erang Korea selama 2 tahun. Sepulangnya dari perang itu Rogers kembali lagi ke I owa State University untuk mendapatkan gelar PhD di bidang sosiologi dan statist ik pada tahun 1957. Sejarah teori : Pada tahun 1950-an, Iowa State University me nghasilkan banyak lulusan besar di bidang pertanian dan khususnya masalah sosiol ogi pedesaan. Banyak sekali inovasi pertanian yang dihasilkan seperti benih jagu ng hybrid, pupuk kimiawi, dan semprotan untuk rumput liar. Namun tidak semua pet ani mengadopsi beberapa inovasi tersebut, hanya ada beberapa petani saja yang me ngadopsinya setelah inovasi tersebut berhasil dilakukan oleh beberapa petani bar ulah inovasi tersebut menyebar secara perlahan-lahan. Hal inilah yang menjadi pe rtanyaan besar bagi Rogers hingga akhirnya menjadi inti dari disertasi Rogers di Iowa State University. Disertasinya berupa penyebaran atau difusi weed spray, i a juga melakukan wawancara langsung terhadap 200 petani tentang keputusannya unt uk keputusan mereka mengadopsi inovasi tersebut. Selain itu Rogers juga memelaja ri bagaimana difusi inovasi dari bidang-bidang lain, misalnya pada bidang pendid ikan, marketing, dan obat-obatan. Ia menemukan banyak kesamaan dalam beberapa bi dang tersebut. Hasilnya merujuk kepada S-shaped Diffusion 51
Curve yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog Prancis bernama Gabriel Tarde pad a awal abad ke-20. Kurva ini pada dasarnya menggambarkan bagaimana suatu inovasi diadopsi seseorang atau sekolompok orang dilihat dari dimensi waktu. Pada kurva ini ada dua sumbu dimana sumbu yang satu menggambarkan tingkat adopsi dan sumbu yang lainnya menggambarkan dimensi waktu. Rogers (1983) mengatakan, “Tarde’s S-shap ed diffusion curve is of current importance because “most innovations have an S-sh aped rate of adoption”. Dan sejak saat itu tingkat adopsi atau tingkat difusi menj adi fokus kajian penting dalam penelitian-penelitian sosiologi. Sumber : www.stsc.hill.af.mil/crosstalk/1999/11/paulk.asp Perkembangan berikutny a dari teori Difusi Inovasi terjadi pada tahun 1960, di mana studi atau peneliti an difusi mulai dikaitkan dengan berbagai topik yang lebih kontemporer, seperti dengan bidang pemasaran, budaya, dan sebagainya. Melalui bukunya yang berjudul D iffusion of Innovation yang kini menjadi buku legendaris, Rogers menjelaskan has il risetnya tentang difusi atau penyebaran inovasi dalam suatu sistem sosial dan pengaplikasiannya di berbagai bidang. Hal ini yang membantu beberapa negara di daerah Asia, Africa, dan Amerika Latin untuk menyebarkan inovasi dalam bidang 52
pertanian, family planning, dan beberapa perubahan sosial lainnya. Hingga mereka menjadi negara yang mandiri. Teori Di dalam buku Diffusion of Innovation, Evere tt M. Rogers mendefinisikan difusi inovasi adalah ”proses sosial yang mengomunikas ikan informasi tentang ide baru yang dipandang secara subjektif. Makna inovasi d engan demikian perlahan-lahan dikembangkan melalui sebuah proses konstruksi sosi al.” ”inovasi yang dipandang oleh penerima sebagai inovasi yang mempunyai manfaat re latif, kesesuaian, kemampuan untuk dicoba, kemampuan dapat dilihat yang jauh leb ih besar, dan tingkat kerumitan yang lebih rendahlebih cepat diadopsi daripada i novasi-inovasi lainnya.” Difusi merupakan suatu jenis khusus komunikasi yang berka itan dengan penyebaran pesan-pesan sebagai ide baru. Komunikasi didefinisikan se bagai proses dimana para pelakunya menciptakan informasi dan saling bertukar inf ormasi untuk mencapai pengertian bersama. Di dalam pesan itu terdapat ketermasaa n (newness) yang memberikan ciri khusus kepada difusi yang menyangkut ketakpasti an (uncertainty). Asumsi utama yang dapat disimpulkan dari teori ini adalah: 1. Difusi inovasi adalah proses sosial yang mengomunikasikan informasi tentang ide baru yang dipandang secara subjektif. Makna inovasi dengan demikian perlahan-lah an dikembangkan melalui sebuah proses konstruksi sosial 2. Inovasi yang dipandang oleh penerima sebagai inovasi yang mempunyai manfaat relatif, kesesuaian, kemampuan untuk dicoba, kemampuan dapat d ilihat yang jauh lebih besar, dan tingkat kerumitan yang lebih rendah akan lebih cepat diadopsi daripada inovasi-inovasi lainnya 3. Ada sedikitnya 5 tahapan dal am difusi inovasi yakni, tahap pengetahuan, persuasi, keputusan, implementasi, d an konfirmasi 53
4. Ada 5 tipe masyarakat dalam mengadopsi inovasi yakni inovator, early adopter, early majority, late majority, dan laggard. Unsur-unsur Difusi In ovasi : Dari definisi yang diberikan oleh Everett M. Rogers tersebut, ada empat unsur utama yang terjadi dalam proses difusi inovasi sebagai berikut: Inovasi In ovasi merupakan sebuah ide, praktek, atau objek yang dianggap sebagai suatu yang baru oleh seorang individu atau satu unit adopsi lain. Semua inovasi memiliki k omponen ide tetapi tak banyak yang memiliki wujud fisik, ideologi misalnya. Inov asi yang tidak memliliki wujud fisik diadopsi berupa keputusan simbolis. Sedangk an yang memiliki wujud fisik pengadopsiannya diikuti dengan keputusan tindakan. Rogers (1983) mengemukakan lima karakteristik inovasi yang dapat memengaruhi kep utusan terhadap pengadopsian suatu inovasi meliputi: a. Keunggulan relatif (rela tive advantage) Keunggulan relatif adalah derajat dimana suatu inovasi dianggap lebih baik atau unggul dari yang pernah ada sebelumnya. Hal ini dapat diukur dar i beberapa segi, seperti segi eknomi, prestise sosial, kenyamanan, kepuasan dan lain-lain. Semakin besar keunggulan relatif dirasakan oleh pengadopsi, semakin c epat inovasi tersebut dapat diadopsi. Contoh : Dalam pembelian handphone, penggu na handphone akan mencari handphone yang lebih baik dari yang ia gunakan sebelum nya. Misalnya dari penggunaan Nokia N97 berganti ke Blackberry b. Kompatibilitas (compatibility) Kompatibilitas adalah derajat dimana inovasi tersebut dianggap konsisten dengan nilai-nilai yang berlaku, pengalaman masa lalu dan kebutuhan pe ngadopsi. Sebagai contoh, jika suatu inovasi atau ide baru tertentu tidak sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku, maka 54
inovasi itu tidak dapat diadopsi dengan mudah sebagaimana halnya dengan inovasi yang sesuai (compatible). Contoh : Dalam suku Badui dalam terdapat aturan untuk tidak menggunakan teknologi dari luar, sehingga bentuk inovasi seperti alat-elek tronik tidak mereka adopsi karena tidak sesuai dengan norma sosial yang mereka m iliki c. Kerumitan (complexity) Kerumitan adalah derajat dimana inovasi dianggap sebagai suatu yang sulit untuk dipahami dan digunakan. Beberapa inovasi tertent u ada yang dengan mudah dapat dimengerti dan digunakan oleh pengadopsi dan ada p ula yang sebaliknya. Semakin mudah dipahami dan dimengerti oleh pengadopsi, maka semakin cepat suatu inovasi dapat diadopsi. Contoh : Masyarakat pengguna PC ata u notebook terbiasa dengan penggunaan Windows yang lebih mudah dibandingkan Linu x, walaupun Linux memiliki kelebihan dibandingkan Windows tetapi karena pengguna annya lebih rumit masih sedikit orang yang menggunakan Linux d. Kemampuan diujic obakan (trialability) Kemampuan untuk diujicobakan adalah derajat dimana suatu i novasi dapat diuji-coba batas tertentu. Suatu inovasi yang dapat di ujicobakan d alam seting sesungguhnya umumnya akan lebih cepat diadopsi. Jadi, agar dapat den gan cepat diadopsi, suatu inovasi sebaiknya Contoh harus mampu menunjukan (mende monstrasikan) keunggulannya. : Produk Molto Ultra Sekali Bilas cepat diterima ma syarakat karena secara langsung dapat dibandingkan dengan produk-produk sejenis lainnya. 55
e. Kemampuan diamati (observability) Kemampuan untuk diamati adalah derajat dimana hasil suatu inovasi dapat terlihat oleh orang lain. Semakin mudah seseorang melihat hasil dari suatu inovasi, sema kin besar kemungkinan orang atau sekelompok orang tersebut mengadopsi. Jadi dapa t disimpulkan bahwa semakin besar keunggulan relatif; kesesuaian (compatibility) ; kemampuan untuk diuji cobakan dan kemampuan untuk diamati serta semakin kecil kerumitannya, maka semakin cepat kemungkinan inovasi tersebut dapat diadopsi. Sa luran komunikasi Tujuan komunikasi adalah tercapainya suatu pemahaman bersama at au yang biasa disebut mutual understanding antara dua atau lebih partisipan komu nikasi terhadap suatu pesan (dalam hal ini adalah ide baru) melalui saluran komu nikasi tertentu. Dengan demikian diadopsinya suatu ide baru (inovasi) dipengaruh i oleh partisipan komunikasi dan saluran komunikasi. Saluran komunikasi dapatr d ikatakan memegang peranan penting dalam proses penyebaran inovasi, karena melalu i itulah inovasi dapat tersebar kepada anggota sistem sosial. Dalam tahap-tahap tertentu dari proses pengambilan keputusan inovasi, suatu jenis saluran komunika si tertentu juga memainkan peranan lebih penting dibandingkan dengan jenis salur an komunikasi lain. Ada dua jenis kategori saluran komunikasi yang digunakan dal am proses difusi inovasi, yakni saluran media massa dan saluran antarpribadi ata u saluran lokal dan kosmopolit. Saluran lokal adalah saluran yang berasal dari s istem sosial yang sedang diselidiki. Saluran kosmopolit adalah saluran komunikas i yang berada di luar sistem sosial yang sedang diselidiki. Media massa dapat be rupa radio, televisi, surat kabar, dan lain-lain. Kelebihan media massa adalah d apat menjangkau audiens yang banyak dengan cepat dari satu sumber. Sedangkan sal uran antarpribadi dalam proses difusi inovasi ini melibatkan upaya pertukaran in formasi tatap 56
muka antara dua atau lebih individu yang biasanya memiliki kekerabatan dekat. Ha sil penelitian berkaitan dengan saluran komunikasi menunjukan beberapa prinsip s ebagai berikut: a. Saluran komunikasi masa relatif lebih penting pada tahap peng etahuan dan saluran antar pribadi (interpersonal) relatif lebih penting pada tah ap persuasi. Hal ini disebabkan saluran komunikasi massa dapat membentuk awarene ss secara serempak dalam waktu yang dikatakan cukup singkat dibandingkan dengen efek komunikasi antarpribadi. b. c. Saluran kosmopolit lebih penting pada tahap pengetahuan Saluran media masa relatif lebih penting dibandingkan dan saluran lo kal relatif lebih penting pada tahap persuasi. dengan saluran antar pribadi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan adopter akhir (late adopter). Sesuai dengan karakteristiknya masing-masing, golongan adopter awal menyukai ide -ide baru tanpa perlu persuasi yang berlebihan sehingga media massa saja sudah c ukup membuat mereka mau mengadopsi sebuah inovasi berbeda dengan orang-orang dar i golongan adopter akhir, karakteristik mereka yang kurang menyukai risiko menye babkan komunikasi antarpribadi yang paling bekerja dengan baik. Mereka cenderung melihat atau berkaca pada orang-orang disekitar mereka yang sudah menggunakan i novasi tersebut dan apabila berhasil mereka baru mau mengikutinya. d. Saluran kosmopolit relatif lebih penting dibandingkan denan saluran lokal bagi bagi adopter awal (early adopter) dibandingkan dengan a dopter akhir (late adopter). Metode komunikasi massa seperti penggunaan iklan me mang dapat menyebarkan informasi tentang inovasi baru dengan cepat tetapi hal te rsebut tidak lantas dapat begitu saja membuat inovasi baru tersebut diadopsi ole h khalayak. Hal itu dikarenakan diadopsi tidaknya inovasi 57
baru terkait dengan masalah resiko dan ketidakpastian. Disinilah letak pentingny a komunikasi antarpribadi. Orang akan lebih percaya kepada orang yang sudah dike nalnya dan dipercayai lebih awal atau orang yang mungkin sudah berhasil mengadop si inovasi baru itu sendiri, dan juga orang yang memiliki kredibilitas untuk mem beri saran mengenai inovasi tersebut. Hal tersebut digambarkan oleh ilustrasi ku rva dibawah ini yang menggambarkan bahwa komunikasi interpersonal menjadi begitu sangat berpengaruh dari waktu ke waktu dibandingkan dengan komunikasi massa. Dari hasil penelitian, banyak disebutkan bahwa saluran komunikasi media massa ak an optimal digunakan pada tahap pengetahuan dan saluran interpersonal akan lebih optimal digunakan pada tahap persuasi. Namun pada kenyataannya, di negara yang belum maju kekuatan komunikasi interpersonal masih dinilai lebih penting dalam t ahap pengetahuan. Hal ini disebabkan karena kurangnya media massa yang dapat dij angkau masyarakat terutama di pedesaan, tingginya tingkat buta huruf penduduk, d an mungkin pula disebabkan ketidakrelevanan antara isi media dengan kebutuhan ma syarakat, misalnya terlalu banyak hiburan atau hal-hal yang sebenarnya tidak pen ting untuk diberitakan. Karena hal-hal tersebut, saluran komunikasi interpersona l terutama yang bersifat kosmopolit dinilai lebih baik dibanding saluran media m assa. Untuk mendapatkan hasil penyebaran inovasi yang optimal, yakni memperbesar tingk at adopsi suatu inovasi dapat dilakukan dengan pengaplikasian saluran komunikasi yang tepat pada situasi yang tepat. Pertama, pada tahap pengetahuan hendaknya k ita menggunakan media massa untuk menyebarluaskan informasi tentang adanya inova si tersebut. Selanjutnya digunakan saluran komunikasi interpersonal yang bersifa t persuasif dan personal pada tahap persuasi. Kurun waktu tertentu Waktu merupak an salah satu unsur penting dalam proses difusi. Dimensi waktu, dalam proses dif usi, berpengaruh dalam tiga hal, yakni: 58
a.Proses keputusan inovasi, yaitu proses mental yang terjadi dimana individu mul ai mengalami tahapan menerima informasi pertama yang membentuk sikap seseorang t erhadap inovasi sampai kepada keputusan apakah individu tersebut menerima atau m enolak inovasi, hingga tahapan implementasi dan konfirmasi berkenaan dengan inov asi tersebut. Ada beberapa tahap dalam proses keputusan inovasi ini, yakni: • • • • • b. T ahap pengetahuan pertama terhadap inovasi Tahap pembentukan sikap kepada inovasi Tahap pengambilan keputusan menerima atau menolak inovasi Tahap pelaksanaan ino vasi Tahap konfirmasi dari keputusan Waktu dapat memengaruhi difusi dalam keinov atifan individu atau unit adopsi. Keinovatifan adalah tingkatan dimana individu dikateg orikan secara relative dalam mengadopsi sebuah ide baru dibanding anggota suatu sistem sosial lainnya. Kategori tersebut antara lain adalah innovator, early ado pter, early majority, late majority, dan laggard. Klasifikasi ini dikarenakan da lam sebuah sistem, individu tidak akan secara serempak dalam suatu waktu mengado psi sebuah inovasi melainkan perlahan-lahan secara berurut. Keinovatifan inilah yang pada akhirnya menjadi indikasi yang menunjukkan perubahan tingkah laku indi vidu c.Kecepatan rata-rata adopsi ide baru dalam sebuah sistem sangat dipengaruh i oleh dimensi waktu. Kecepatan adopsi adalah kecepatan relative yang berkenaan dengan pengadopsian suatu inovasi oleh anggota suatu sistem mengadopsi suatu ino vasi dalam periode waktu tertentu. Kecepatan ini selalu diukur dengan jumlah ang gota suatu sistem yang mengadopsi inovasi dalam periode waktu tertentu. 59
Sistem Sosial Sangat penting untuk diingat bahwa proses difusi terjadi dalam sua tu sistem sosial. Sistem sosial adalah satu set unit yang saling berhubungan yan g tergabung dalam suatu upaya pemecahan masalah bersama untuk mencapai suatu tuj uan. Anggota dari suatu sistem sosial dapat berupa individu, kelompok informal, organisasi dan atau sub sistem. Proses difusi dalam kaitannya dengan sistem sosi al ini dipengaruhi oleh struktur sosial, norma sosial, peran pemimpin dan agen p erubahan, tipe keputusan inovasi dan konsekuensi inovasi. Difusi inovasi terjadi dalam suatu sistem sosial. Dalam suatu sistem sosial terdapat struktur sosial, individu atau kelompok individu, dan norma-norma tertentu. Berkaitan dengan hal ini, Rogers (1983) menyebutkan adanya empat faktor yang mempengaruhi proses kepu tusan inovasi. Keempat faktor tersebut adalah: 1) Struktur sosial (social struct ure) Struktur sosial adalah susunan suatu unit sistem yang memiliki pola tertent u. Adanya sebuah struktur dalam suatu sistem sosial memberikan suatu keteraturan dan stabilitas perilaku setiap individu dalam suatu sistem sosial tertentu. Str uktur sosial juga menunjukan hubungan antar anggota dari sistem sosial. Hal ini dapat dicontohkan seperti terlihat pada struktur oranisasi suatu perusahaan atau struktur sosial masyarakat suku tertentu. Struktur sosial dapat memfasilitasi a tau menghambat difusi inovasi dalam suatu sistem. Katz (1961) seperti dikutip ol eh Rogers menyatakan bahwa sangatlah bodoh mendifusikan suatu inovasi tanpa meng etahui struktur sosial dari adopter potensialnya, sama halnya dengan meneliti si rkulasi darah tanpa mempunyai pengetahuan yang cukup tentang struktur pembuluh n adi dan arteri. Penelitian yang dilakukan oleh Rogers dan Kincaid (1981) di Kore a menunjukan bahwa adopsi 60
suatu inovasi dipengaruhi oleh karakteristik individu itu sendiri dan juga siste m sosial dimana individu tersebut berada. 2) Norma sistem (system norms) Norma a dalah suatu pola perilaku yang dapat diterima oleh semua anggota sistem sosial y ang berfungsi sebagai panduan atau standar bagi semua anggota sistem sosial. Sis tem norma juga dapat menjadi faktor penghambat untuk menerima suatu ide baru. Ha l ini sangat berhubungan dengan derajat kesesuaian (compatibility) inovasi denan nilai atau kepercayaan masyarakat dalam suatu sistem sosial. Jadi, derajat keti dak sesuaian suatu inovasi dengan kepercayaan atau nilai-nilai yang dianut oleh individu (sekelompok masyarakat) dalam suatu sistem social berpengaruh terhadap penerimaan suatu inovasi tersebut. 3) Opinion Leaders Opinion leaders dapat dika takan sebagai orang-orang mampu berpengaruh, yakni orang-orang tertentu yang memengaruhi sikap orang lain secara informal dalam suatu sistem sosial. Dalam ke nyataannya, orang berpengaruh ini dapat menjadi pendukung inovasi atau sebalikny a, menjadi penentang. Ia (mereka) berperan sebagai model dimana perilakunya (bai k mendukung atau menentang) diikuti oleh para pengikutnya. Jadi, jelas disini ba hwa orang berpengaruh memainkan peran dalam proses keputusan inovasi. 4) Change Agent Change agent adalah suatua bagian dari sistem sosial yang berpengaruh terh adap sistem sosialnya. Mereka adalah orangorang yang mampu memengaruhi sikap ora ng lain untuk menerima sebuah inovasi. Tetapi change agent bersifat resmi atau f ormal, ia mendapat tugas dari kliennya untuk memengaruhi masyarakat yang berada dalam sistem sosialnya. 61
Change agent atau dalam bahasia Indonesia yang biasa disebut agen perubah, biasa nya merupakan orang-orang profesional yang telah mendapatkan pendidikan atau pel atihan tertentu untuk dapat memengaruhi sistem sosialnya. Di dalam buku ”Memasyara katkan Ide-ide Baru” yang ditulis oleh Rogers dan Shoemaker, fungsi utama dari cha nge agent adalah menjadi mata rantai yang menghubungkan dua sistem sosial atau l ebih. Dengan demikian, kemampuan dan keterampilan change agent berperan besar te rhadap diterima atau ditolaknya inovasi tertentu. Sebagai contoh, lemahnya penge tahuan tentang karakteristik struktur sosial, norma dan orang kunci dalam suatu sistem sosial (misal: suatu institusi pendidikan), memungkinkan ditolaknya suatu inovasi walaupun secara ilmiah inovasi tersebut terbukti lebih unggul dibanding kan dengan apa yang sedang berjalan saat itu. Ralph Linton (1963) dalam buku ”Mema syarakatkan Ide-ide Baru” melihat bahwa setiap inovasi mempunyai tiga unsur pokok yang harus diketahui oleh change agent, yakni: • • • Bentuk yang dapat diamati langsun g dalam penampilan fisik suatu inovasi Fungsi inovasi tersebut bagi cara hidup a nggota sistem Makna, yakni perspektif subyektif dan seringkali tak disadari tent ang inovasi tersebut oleh anggota sistem sosial. Karena sifatnya subyektif, unsu r makna ini lebih sulit didifusikan daripada bentuk maupun fungsinya. Terkadang kultur penerima cenderung menggabungkan makna inovasi itu dengan makna subyektif , sehingga makna aslinya hilang. 5) Heterofili dan Homofili Difusi diidentifikas i sebagai jenis komunikasi khusus yang berhubungan dengan penyebaran inovasi. Pa da teori Two-Step 62
Flow, opinion leader dan pengikutnya memiliki banyak kesamaan. Hal tersebut yang dipandang dalam riset difusi sebagai homofili. Yakni, tingkat di mana pasangan individu yang berinteraksi memiliki banyak kemiripan sosial, contohnya keyakinan , pendidikan, nilai-nilai, status sosial dan lain sebagainya. Lain halnya dengan heterofili, heterofili adalah tingkat di mana pasangan individu yang berinterak si memiliki banyak perbedaan. Persamaan dan perbedaan ini akan berpengaruh terha dap proses difusi yang terjadi. Semakin besar derajat kesamaannya maka semakin e fektif komunikasi yang terjadi untuk mendifusikan inovasi dan sebaliknya. Makin tinggi derajat perbedaannya semakin banyak kemungkinan masalah yag terjadi dan m enyebabkan suatu komunikasi tidak efektif. Oleh karenanya, dalam proses difusi i novasi, penting sekali untuk memahami betul karakteristik adopter potensialnya u ntuk memperkecil “heterophily”. Proses Difusi Inovasi Berikut adalah bagan model pro ses difusi inovasi menurut Everett M. Rogers 63
1. Tahap Pengetahuan (Knowledge) Ada beberapa sumber yang menyebutkan tahap pengetahuan sebagai tahap “Awareness”. Ta hap ini merupakan tahap penyebaran informasi tentang inovasi baru, dan saluran y ang paling efektif untuk digunakan adalah saluran media massa. Dalam tahap ini k esadaran individu akan mencari atau membentuk pengertian inovasi dan tentang bag aimana inovasi tersebut berfungsi. Rogers mengatakan ada tiga macam pengetahuan yang dicari masyarakat dalam tahapan ini, yakni: • • • 2. Kesadaran bahwa inovasi itu ada Pengetahuan akan penggunaan inovasi tersebut Pen getahuan yang mendasari bagaimana fungsi inovasi tersebut bekerja Tahap Persuasi (Persuasion) Dalam tahapan ini individu membentuk sikap atau memiliki sifat yang menyetujui a tau tidak menyetujui inovasi tersebut. Dalam tahap persuasi ini, individu akan m encari tahu lebih dalam informasi tentang inovasi baru tersebut dan keuntungan m enggunakan informasi tersebut. Yang 64
membuat tahapan ini berbeda dengan tahapa pengetahuan adalah pada tahap pengetah uan yang berlangsung adalah proses memengaruhi kognitif, sedangkan pada tahap pe rsuasi, aktifitas mental yang terjadi alah memengaruhi afektif. Pada tahapan ini seorang calon adopter akan lebih terlibat secara psikologis dengan inovasi. Kep ribadian dan normanorma sosial yang dimiliki calon adopter ini akan menentukan b agaimana ia mencari informasi, bentuk pesan yang bagaimana yang akan ia terima d an yang tidak, dan bagaimana cara ia menafsirkan makna pesan yang ia terima berk enaan dengan informasi tersebut. Sehingga pada tahapan ini seorang calon adopter akan membentuk persepsi umumnya tentang inovasi tersebut. Beberapa ciri-ciri in ovasi yang biasanya dicari pada tahapan ini adalah karekateristik inovasi yakni relative 3. advantage, compatibility, complexity, trialability, dan observability. Tahap Pengambilan Keputusan (Decision) Di tahapan ini individu te rlibat dalam aktivitas yang membawa pada suatu pilihan untuk mengadopsi inovasi tersebut atau tidak sama sekali. Adopsi adalah keputusan untuk menggunakan sepen uhnya ide baru sebagai cara tindak yang paling baik. Ada beberapa faktor yang me mpengaruhi proses keputusan inovasi, yakni: • • • • Praktik sebelumnya Perasaan akan keb utuhan Keinovatifan Norma dalam sistem sosial Proses keputusan inovasi memiliki beberapa tipe yakni: a) Otoritas adalah keputu san yang dipaksakan kepada seseorang oleh individu yang berada dalam posisi atas an b) Individual adalah keputusan dimana individu yang bersangkutan mengambil pe ranan dalam pembuatannya. Keputusan individual terbagi menjadi dua macam, yakni: 65
a. Keputusan opsional adalah keputusan yang dibuat oleh seseorang, terlepas dari keputusan yang dibuat oleh anggota sistem. b. Keputusan kolektif adalah keputus an dibuat oleh individu melalui konsesnsus dari sebuah sistem sosial c) Kontinge n adalah keputusan untuk menerima atau menolak inovasi setelah ada keputusan yan g mendahuluinya. Konsekuensi adalah perubahan yang terjadi pada individu atau su atu sistem sosial sebagai akibat dari adopsi atau penolakan terhadap inovasi . A da tiga macam konsekuensi setelah diambilnya sebuah keputusan, yakni: • Konsekuens i Dikehendaki VS Konsekuensi Tidak Dikehendaki Konsekuensi dikehendaki dan tidak dikehendaki bergantung kepada dampak-dampak inovasi dalam sistem sosial berfung si atau tidak berfungsi. Dalam kasus ini, sebuah inovasi bisa saja dikatakan ber fungsi dalam sebuah sistem sosial tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa sebenar nya inovasi tersebut tidak berfungsi bagi beberapa orang di dalm sistem sosial t ersebut Sebut saja revolusi industri di Inggris, akibat dari revolusi tersebut s esuai dengan yang dikehendaki oleh pemilik modal tetapi tidak sesuai denganapa y ang dikehendaki oleh tenaga kerja yang pada akhirnya kehilangan pekerjaaan dan m enjadi pengangguran. • Konsekuensi Langsung VS Koneskuensi Tidak Langsung Konsekue nsi yang diterima bisa disebut konsekuensi langsung atau tidak langsung bergantu ng kepada apakah perubahan-perubahan pada individu atau sistem sosial terjadi da lam respons langsung terhadap inovasi atau sebagai hasil dari urutan kedua dari konsekuensi. Terkadang efek atau hasil dari inovasi tidak berupa pengaruh langsu ng pada pengadopsi. • Konsekuensi Yang Diantisipasi VS Konsekuensi Yang Tidak Dian tisipasi 66
Tergantung kepada apakah perubahan-perubahan diketahui atau tidak oleh para angg ota sistem sosial tersebut. Contohnya pada penggunaan internet sebagai media mas sa baru di Indonesia khususnya dikalangan remaja. Umumnya, internet digunakan un tuk mendapatkan informasi yang terbaru dari segala penjuru dunia, inilah yang di sebut konsekuensi yang diantisipasi. Tetapi tanpa disadari penggunaan internet b isa disalahgunakan, misalnya untuk mengakses hal-hal yang berbau pornografi hal inilah yang disebut konsekuensi yang tidak diantisipasi. Remaja menjadi mudah me ndapatkan video atau gambar-gambar yang tidak pantas. 4. Tahap Pelaksanaan (Implementation) Tahapan ini hanya akan ada jika pada tahap sebelumnya, individu atau partisipan memilih untuk mengadopsi inovasi baru tersebut. Dalam tahap ini, individu akan m enggunakan inovasi tersebut. Jika ditahapan sebelumnya proses yang terjadi lebih kepada mental exercise yakni berpikir dan memutuskan, dalam tahap pelaksanaan i ni proses yang terjadi lebih ke arah perubahan tingkah laku sebagai bentuk dari penggunaan ide baru tersebut. 5. Tahap Konfirmasi (Confirmation) Tahap terakhir ini adalah tahapan dimana individu akan mengevaluasi dan memutusk an untuk terus menggunakan inovasi baru tersebut atau menyudahinya. Selain itu, individu akan mencari penguatan atas keputusan yang telah ia ambil sebelumnya. A pabila, individu tersebut menghentikan penggunaan inovasi tersebut hal tersebut dikarenakan oleh hal yang disebut disenchantment discontinuance dan atau replace ment discontinuance. Disenchantment discontinuance disebabkan oleh ketidakpuasan individu terhadap inovasi tersebut sedangkan replacement discontinuance disebab kan oleh adanya inovasi lain yang lebih baik. Tipe-tipe Pengadopsi Inovasi Pemba gian anggota sistem sosial ke dalam kelompok-kelompok adopter didasarkan pada ti ngkat keinovatifannya, yakni lebih awal atau lebih 67
lambatnya seseorang mengadopsi sebuah inovasi dibandingkan dengan anggota sistem sosial lainnya. Berikut adalah kurva yang menggambarkan distribusi frekwensi no rmal kategori adopter beserta persentase anggota kelompok adopter dalam sebuah s istem sosialnya. Kurva yang membentuk lonceng tersebut dihasilkan oleh sejumlah penelitian tentang difusi inovasi. Kurva lonceng tersebut menggambarkan banyakny a pengadopsi dari waktu ke waktu. Pada tahun pertama, usaha penyebaran inovasi aka n menghasilkan jumlah pengadopsi yang sedikit, pada tahun berikutnya jumlah peng adopsi akan lebih banyak dan setelash sampai pada puncaknya, sedikit demi sediki t jumlah pengadopsi akan menyusut. Sehingga jika kurva tersebut dikumulasikan ak an membentuk kurva S sesuai dengan kurva S yang sebelumnya telah disampaikan ole h Gabriel Tarde. Berikut adalah karakteristik dari berbagai macam kategori adopt er: 1. Inovator Tipe ini adalah tipe yang menemukan inovasi. Mereka mencurahkan sebagian besar h idup, energi, dan kreatifitasnya untuk mengembangkan ide baru. Selain itu orangorang yang masuk ke dalam kategori ini cenderung berminat mencari hubungan denga n orang-orang yang berada di 68
luar sistem mereka. Rogers menyebutkan karakteristik innovator sebagai berikut: a. Berani mengambil risiko b. Mampu mengatur keuangan yang kokoh agar dapat mena han kemungkinan kerugian dari inovasi yang tidak menguntungkan c. Memahami dan m ampu mengaplikasikan teknik dan pengetahuan yang kompleks d. Mampu menanggulangi ketidakpastian informasi Berikut adalah cara agar dapat bekerja dengan inovator : a. Mengundang innovator yang rajin untuk menjadi partner dalam merancang poyek b. Merekrut dan melatih mereka sebagai pendidik 2. Penerima Dini Penerima dini atau Early adopter biasanya adalah orang-orang yang berpengaruh dan lebih dulu m emiliki banyak akses karena mereka memiliki orientasi yang lebih ke dalam sistem sosial. Untuk memengaruhi penerima dini tidak memerlukan persuasi karena mereka sendiri yang selalu berusaha mencari sesuatu yang dapat memberikan mereka keunt ungan dalam kehidupan sosial atau ekonomi. Karakteristik yang dimiliki oleh earl y adopter adalah: a. Bagian yang terintegrasi dalam sistem lokal sosial b. Opinion leader yang paling berpengaruh c. Role model dari anggota lain dalam sebuah sistem sosial d. Dihargai dan disegani oleh orang-orang disekitarnya e. Sukses Untuk dapat bek erja dengan penerima dini berikut adalah hal-hal yang dapat dilakukan: a. Menawarkan secara pribadi dukungan untuk beberapa early adopter untuk mencoba inovasi baru 69
b. Memelajari percobaan inovasi tersebut secara hati-hati untuk menemukan atau membuat ide baru yang lebih sesuai, murah dan mudah dipasar kan c. d. e. Meninggikan ego mereka, misalnya dengan publisitas atau Mempromosikan mereka seb agai trendsetter Menjaga hubungan baik dengan melakukan feedback secara pemberitaan media rutin 3. Mayoritas Dini (orang–orang yang lebih dahulu selangkah lebih maju) Early majority ini adalah golongan orang yang selangkah lebih maju. Mereka biasanya o rang yang pragmatis, nyaman dengan ide yang maju, tetapi mereka tidak akan berti ndak tanpa pembuktian yang nyata tentang keuntungan yang mereka dapatkan dari se buah produk baru. Mereka adalah orang-orang yang sensitive terhadap pengorbanan dan membenci risiko untuk itu mereka mencari sesuatu yang sederhana, terjamin, c ara yang lebih baik atas apa yang telah mereka lakukan. a. Ada beberapa karakter istik mayoritas dini, yakni: b. Sering berinteraksi dengan orang-orang sekitarny a c. Jarang mendapatkan posisi sebagai opinion leader d. Sepertiganya adalah bag ian dari sistem (kategori atau tipe terbesar dalam sistem) e. Berhati-hati sebel um mengadopsi inovasi baru Untuk menarik simpati golongan ini dapat dilakukan en gan beberapa cara sebagai berikut: a. b. Menawarkan kompetisi atau sampel secara gratis untuk Menggunakan advertiser dan media yang memiliki Menurunkan biaya dan memberikan jaminan stimulus kredibilitas, dipercaya, dan yang akrab dengan golongan ini c. 70
d. e. f. Mendesain ulang untuk memaksimalkan penggunaan dan Menyederhanakan formulir apli kasi dan atau instruksi Menyediakan customer service and support yang membuatnya menjadi lebih simple profesional 4. Mayoritas Belakangan Orang-orang dari golongan ini adalah orang-o rang yang konservatif pragmatis yang sangat membenci risiko serta tidak nyaman d engan ide baru sehingga mereka belakangan mendapatkan inovasi setelah mereka men dapatkan contoh. Golongan ini lebih dipengaruhi oleh ketakutan dan golongan lagg ard. Rogers mengidentifikasi karakteristik golongan late majority sebagai beriku t: a. Berjumlah sepertiga dari suatu sistem sosial b. Mendapatkan tekanan daro o rang-orang sekitarnya c. Terdesak ekonomi d. Skeptis e. Sangat berhati-hati 5. Laggard (lapisan paling akhir) Golongan Laggard adalah golongan akhir yang memandang inovasi atau sebuah peruba han tingkah laku sebagai sesuatu yang memiliki risiko tinggi. Ada indikasi bahwa sebagian dari golongan ini bukanlah orangorang yang benar-benar skeptis, bisa j adi mereka adalah inovator, penerima dini, atau bahkan mayoritas dini yang terku rung dalam suatu sistem sosial kecil yang masih sangat terikat dengan adat atau norma setempat yang kuat. Atau munngkin karena terbatasnya sumber dan saluran ko munikasi menyebabkan seseorang terlambat mengetahui adanya sebuah inovasi dan pa da akhirnya golongan ini disebut sebagai Laggard. Ada beberapa karakteristik Lag gard, yakni: a. Tidak terpengaruh opinion leader b. Terisolasi 71
c. Berorientasi terhadap masa lalu d. Curiga terhadap inovasi e. Mempunyai masa pengambilan keputusan yang lama f. Sumber yang terbatas Untuk melakukan pendekat an dengan Laggards ada beberapa cara yang perlu diperhatikan, yakni: a. Memberik an mereka perhatian yang lebih terhadap kapan, dimana, dana bagaimana mereka mel akukan kebiasaan baru b. Memaksimalkan kedekatan mereka dengan inovasi tersebut atau berikan mereka contoh Laggard yang sukses melakukan pengadopsian inovasi te rsebut Namun ada beberapa peniliti yang menunjukan bentuk tabel distribusi yang berbeda. Moore menunjukkan adanya gap antara early adopter dengan early majority . Gap atau jarak ini menyebabkan perbedaan karektiristik yang begitu jauh antara dua golongan tersebut, yakni di fase awal karakteristiknya berorientasi pada ha l-hal yang baru atau visioner sedangkan pada fase berikutnya setelah gap mereka cenderung pragmatis tentu saja hal ini akan menjadi sebuah tantangan besar, baga imana cara memersuasi mereka untuk mengadopsi sebuah inovasi. . 72
Aplikasi Pada awalnya riset tentang difusi inovasi menggunakan bidang pertanian sebagai sampel. Yakni pada riset difusi jagung inti hibrida di Iowa. Tetapi kemu dian penerapan teori difusi inovasi ini berkembang ke berbagai macam bidang anta ra lain pendekatan pembangunan, terutama pada negara-negara berkembang seperti I ndonesia dan negara dunia ketiga lainnya. Petani dan anggota masyarakat pedesaan adalah salah satu dari sasaran dari upaya difusi inovasi. Usaha-usaha mengaplik asikan difusi inovasi pertama kali dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 1920an dan 1930-an, sekarang hal itu dicontoh oleh negara-negara berkembang lainnya. Salah satu contoh penerapan teori difusi inovasi adalah penggunaan alat kontras epsi. Pada awalnya masyarakat melakukan family planning dengan coitus interuptus atau bahkan mereka sama sekali tidak melakukan family planning. Lalu pemerintah mulai mengenalkan alat kontrasepsi dengan menggencarkan iklan layanan masyaraka t pada berbagai macam media. Hal tersebut menimbulkan awareness masyarakat terha dap adanya berbagai macam alat kontrasepsi untuk melakukan family planning, mere ka menjadi tahu bahwa alat-alat kontrasepsi dapat menekan angka kelahiran. Beber apa masyarakat yang modernist mencoba menggunakannya. Dokter dan bidan juga mula i memperkenalkan alat kontrasepsi terhadap pasiennya, peran mereka disini ada ya ng sebagai opinion leader ada pula yang dianggap sebaga change agent. Dari situ masyarakat satu per satu mulai menggunakan alat kontrasepsi untuk menekan angka kelahiran. Jadi adanya alat kontrasepsi sebagai inovasi disebarkan melalui media massa(bentuk dari komunikasi masa) dalam bentuk iklan selanjutnya change agent dan opinion leader sebagai bentuk dari komunikasi antarpribadi yang persuasif di lakukan oleh dokter, bidan atau keluarga yang telah menggunakan alat kontrasepsi lalu pada akhirnya alat kontrasepsi itu dipakai oleh masyarakat kebanyakan. Dal am hal ini tidak semua menggunakan alat kontrasepsi masih ada banyak orang yang tidak mau menggunakan alat kontrasepsi karena umumnya mereka masih terikat adat dan norma yang tidak mengizinkan adanya penekanan angka kelahiran.. 73
• Kritik-kritik Ada beberapa kritik yang dilontarkan oleh ahli-ahli komunikasi dan ahliahli sosiologi lainnya terhadap teori, antara lain: 1. Teori ini menyimpulkan terlalu sederhana sebagai representasi realitas yang kompleks. Adopter dapat dikategorikan ke dalam kategori yang berbeda untuk inovasi yang berbeda. Laggard dapat menjadi early adopter di lain kesempatan. 2. Teori ini tidak prediktif karena tidak menyediakan pengetahuan tentang seberapa baik sebuah ide baru atau produk baru bekerja sebelum melewati kurva adopsi 3. Individu cenderung mengadopsi teknologi sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing, sehingga inovasi dapat dengan mudah berubah dalam pengguna annya saat berpindah dari early adopter menuju early majority. Teori ini sama se kali tidak menyebutkan mutasi yang sering terjadi seperti hal tersebut. 4. Pengaruh dari beberapa teknologi dapat secara radikal mengubah pola difusi untuk menyusun teknologi dengan memulai persaingan atau kompetisi dalam k urva S. Teori ini tidak menyediakan petunjuk bagaimana mengatur sebuah perpindah an. 5. Adanya overadopsi Overadopsi adalah pengadopsian suatu inovasi oleh seseorang padahal menurut ahli seharusnya ia menolak inovasi tersebut. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahua n seseorang tersebut tentang inovasi tersebut. Misalnya penggunaan antibiotik se cara berlebihan, atau pada bidang pertanian penggunaan insektisida yang berlebih an. Padahal penggunaan insektisida atau antibiotic secara berlebihan dapat menim bulkan resistensi. Kadangkala, inovasi yang baik tidak seharusnya diadopsi oleh orang-orang yang tidak dapat menggunakannya secara bijak karena kurangnya penget ahuan mereka. 74
6. Eksploitasi terhadap golongan sosial yang lemah Menurut beberapa ahli, dengan adanya inovasi tidak semua perubahan sosial yang t erjadi adalah pertubahan kearah yang lebih baik. Bentuk pengaplikasian teori ini terhadap komunikasi pembangunan misalnya. Dari kasus pembangunan di negara-nega ra maju, golongan miskin tidak dapat memerbaiki kualitas hidupnya sedangkan golo ngan kaya semakin kaya, hal ini justru memerbesar gap yang ada. Selain itu dalam pengaplikasiannya terhadap bidang pertanian ada beberapa kritik mengenai teori difusi inovasi sebagai berikut: 1. A Pro-Innovation Bias Maksud dari pro-innovation bias disini adalah adanya prasa ngka berlebihan terhadap inovasi(pro-innovation). Dalam teori ini semua inovasi dianggap baik tetapi pada kenyataanya tidak selalu seperti itu. Ada kemungkinan konsekuensi negatif sebagai akibat dari inovasi tersebut. 2. Bias in Favor of Larger and Wealthier Farmers Ada bias terhadap petani yang lebi h kaya dan besar. Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang sangat mau untuk menerima ide baru sehingga semua informasi diarahkan terhadap mereka. Sedangkan yang membutuhkan bantuan diabaikan. Sama dengan pengaplikasian inovasi di bidang lain selain pertanian. Iklan sebuah inovasi biasanya lebih digembar-gemborkan d i kalangan masyarakat yang termasuk innovator, early adopter, dan early majority sedangkan yang tergolong sebagai late majority dan laggard tidak mendapatkan pe rhatian khusus. 3. Individual-Blame Bias Dalam teori ini mereka yang tidak mengadopsi teknologi lan gsung dicap sebagai “Laggard” dan disalahkan karena kurangnya respon mereka terhadap inovasi. Beberapa kritik mengatakan bahwa perusahaan, agensi pengembangan, dan badan riset seharusnya merespon kebutuhan semua petani. Begitu pula saat penerap an di 75
bidang lainnya, seharusnya golongan yang mendapat perhatian lebih dalam penyebar an inovasi adalah golongan yang termasuk kategori late majority dan laggard. Kar ena bisa saja mereka terlambat mengadopsi atau tidak mengadopsi inovasi karena k urangnya informasi mengenai inovasi tersebut. 4. Issue of equality. Dari teori ini lahir beberapa issue. Akankah inovasi menyebab kan pengangguran atau migrasi warga desa? Akankah yang kaya menjadi lebih kaya d an yang miskin menjadi lebih miskin? Apakah dampak buruk dari inovasi sudah dipe rtimbangkan? Sumber Severin, Werner Joseph dan James W. Tankard, Jr. Communication Theories: Origins, Methods, Uses. Edisi 3. New York: Longman, 1991. Ardianto, Elvinaro & E rdinaya, Lukiati Komala. Komunikasi massa : Suatu Pengantar. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004. Bungin, Burhan. Sosiologi komunikasi. Jakarta : Kencana, 2007. 76
Communication Accomodation Theory • Tokoh Howard Giles adalah salah seorang dosen komunikasi di Universitas Californ ia, Santa Barbara. Ia pertama kali menjajaki sebuah program studi yang kemudian disebut program studi komunikasi dari Inggris selama delapan tahun yang ketika i tu hanya mempelajari bagaimana berbicara dan mendengar. Kemudian, ia kembali ke rumah dan menjadi ketua psikologi di Bristol University hingga setelah itu ia be rkeja full-time untuk menjadi dosen di fakultas ini pada 1989. Giles saat ini ad alah seseorang yang berkebangsaan Amerika. Pengalamannya ini telah memberikan wa ktu yang panjang baginya dalam melakukan riset psikologi social mengenai bahasa dan komunikasi. Oleh karena itu, ia merasa bangga dapat menjadi ketua selama ham pir 8 tahun. Selain itu, ia juga telah memiliki hak istimewa dalam membimbing fi rst-rate Graduate Students berdasarkan dari apa yang telah ia pelajari. Menurutn ya, melihat keberhasilan para siswanya dalam bekarir merupakan suatu kesenangan tersendiri. Dengan latar belakangnya sebagai “Missing American High School and Col lege”, hal ini justru mampu membuatnya menjadi lebih dekat kepada setiap siswa bah kan secara personal, social, dan akademi. Ia juga dapat mengetahui lebih mengena i darimana mereka berasal. USBC Department ini – serta kampus secara keseluruhan – m enurutnya, dikhususkan untuk membangun rasa dari suatu komunitas (bukan keluarga ) dan ia merasa sangat bangga untuk menyebutnya “rumah saya sekarang”. • Latar Belakan g Teori Teori Akomodasi Komunikasi berawal pada tahun 1973, ketika Giles pertama kali memperkenalkan pemikiran mengenai model “mobilitas aksen”, yang didasarkan pad a berbagai aksen yang dapat didengar dalam situasi wawancara. Banyak dari teori dan penelitian serupa yang tetap peka terhadap berbagai akomodasi komunikasi yan g dilakukan dalam percakapan di antara kelompok budaya yang beragam, termasuk or ang lanjut usia, orang kulit berwarna, dan tunanetra (misalnya, Gallois, Callan, Johnstone, 77
1984; Gallois, Franklyn-Stokes, Giles & Coupland, 1988; Klemz, 1977; Nussbaum, P itts, Huber, Krieger, & Ohs, 2005). Teori ini dibahas dengan memerhatikan adanya keberagaman budaya. Communication profesor Howard Giles adalah seorang interact ion Specialist. Dalam program-program sarjana dan sarjana di intergroup, interge nerational, dan komunikasi antar budaya, ia meneliti konflik antara masyarakat, dengan mengacu pada bagaimana mereka melihat diri mereka sebagai anggota kelompo k sosial, dan bagaimana kontribusi mereka terhadap kesejahteraan. "Saya ingin me mbuka pikiran para pelajar pada bidang kehidupan sosial yang penting bagi mereka , yang belum pernah mereka pikirkan sebelumya. Saya berharap mereka memahami apa yang telah didiskusikan di kelas sehingga juga dapat berpengaruh pada bagaimana mereka berkomunikasi dimana saja dalam hidup mereka. " Hal inilah yang dikemuka kan oleh Giles. Giles baru menyadari bahwa ia tertarik dalam bidang komunikasi k etika bekerja di sebuah klinik medis di kotanya, Wales. "Para pasien yang saya b awa ke dokter saja hanya diharuskan untuk membuka mulut mereka dan berbicara, hi ngga saya pun dapat memprediksi bagaimana dokter akan mengambil keputusan terhad ap mereka" ujarnya. Dokter lebih aktif untuk merespon nada suara tertentu dan si kap serta memberikan waktu dan perhatian lebih kepada pasien daripada kepada ora ng lain. Suatu konsep yang cukup untuk menarik minat Giles yakni mengenai cara o rang berkomunikasi dan mengetahui dirinya dalam kaitannya dengan orang lain. • Teo ri Teori Communication Accommodation, sebelumnya dikenal sebagai Teori Speech Ac commodation, adalah teori pragmatik yang mengamati fenomena orang yang berintera ksi mengubah cara mereka berkomunikasi dalam situasi berbeda. Akomodasi komunika si menjelaskannya dengan membahas cara orang berinteraksi mempengaruhi satu sama lain. 78
• Asumsi Akomodasi dipengaruhi oleh beberapa keadaan personal, situasional dan budaya. Berikut ini merupakan identifikasi beberapa asumsi : • Persamaan dan perbe daan berbicara dan perilaku terdapat di dalam semua percakapan Banyak prinsip Te ori Akomodasi Komunikasi berpijak pada keyakinan bahwa terdapat persamaan dan pe rbedaan di antara para komunikator dalam sebuah percakapan. • Cara di mana kita me mersepsikan tuturan dan perilaku orang lain akan menentukan bagaimana kita menge valuasi sebuah percakapan Asumsi ini terletak baik pada persepsi maupun evaluasi . Akomodasi komunikasi adalah teori yang mementingkan bagaimana orang memersepsi kan dan mengevaluasi apa yang terjadi di dalam sebuah percakapan. Persepsi (perc eption) adalah proses memerhatikan dan menginterpretasikan pesan, sedangkan eval uasi (evaluation) merupakan proses menilai percakapan. Orang pertama-tama memers epsikan apa yang terjadi di dalam percakapan sebelum mereka memutuskan bagaimana mereka akan berperilaku dalam percakapan. Motivasi merupakan bagian kunci dari proses persepsi dan evaluasi dalam Teori Akomodasi Komunikasi. Maksudnya, kita m ungkin akan memersepsikan tuturan dan perilaku seseorang, tetapi tidak selalu me ngevaluasinya. Ini sering terjadi, misalnya ketika kita menyapa orang lain, terl ibat dalam bicara basa-basi, dan kemudian kembali meneruskan perjalanan kita. Ki ta biasanya tidak menghabiskan waktu untuk mengevaluasi pertemuan percakapan yan g demikian. Tetapi ketika kita memersepsikan kata-kata dan perilaku orang lain d apat juga menyebabakan kita mengevaluasi orang tersebut. Kita mungkin akan menya pa seseorang, misalnya, kemudian berbicara, tetapi kemudian terkejut ketika kita mendengar bahwa orang tersebut baru saja bercerai. Menurut Giles dan koleganya (1987) itulah saat ketika kita memutuskan proses evaluative dan komunikatif kita . Kita mungkin akan mengungkapkan kebahagiaan, kesedihan, atau dukungan kita. Ki ta melakukan ini dengan cara terlibat dalam suatu gaya komunikasi yang mengakomo dasi. 79
Bahasa dan perilaku memberikan informasi mengenai status social dan keanggotaan kelompok Asumsi ini berkaitan dengan dampak yang dimiliki bahasa terhadap orang lain. Secara khusus, bahasa memiliki kemampuan untuk mengomunikasikan status dan keanggotaan kelompok di antara para komunikator dalam sebuah percakapan. Pikirkan apa yang terjadi ketika dua orang yang berbicara dalam bahasa yang berbeda berusaha untuk berkomunikasi satu sama lain. Giles dan John Wiemann (1987) mendiskusikan situasi ini: Dalam situasi bil ingual atau bahkan bidiaklektikal, di mana etnis mayoritas dan minoritas berdamp ingan, pembelajaran bahasa kedua bersifat satu arah secara dramatis: maksudnya, sangat umum bagi kelompok yang dominan untuk mempelajari kebiasaan linguistic da ri kelompok bawahan….Sungguh bukan merupakan kebetulan bahwa secara lintas budaya perilaku bahasa apa yang “standar”, “benar”, dan “kuat” adalah perilaku bahasa aristokrasi, kelas penguasa atau kelas atas dan istitusi-institusi mereka. Bahasa yang diguna kan dalam percakapan akan cenderung merefleksikan individu dengan status social yang lebih tinggi. Selain itu, keanggotaan kelompok menjadi hal yang paling pent ing karena sebagaimana dapat ditarik dari kutipan di atas terdapat keinginan unt uk menjadi bagian dari kelompok yang “dominan”. Akomodasi bervariasi dalam hal tingk at kesesuaian, dan norma mengarahkan proses akomodasi. Asumsi ini berfokus pada norma dan isu mengenai kepantasan social. Kita telah melihat bahwa akomodasi dap at bervariasi dalam hal kepantasan social. Tentu saja terdapat saat-saat ketika mengakomodasi tidaklah pantas. Misalnya, Melanie Booth-Butterfield dan Felicia J ordan (1989) menemukan bahwa orang dari budaya yang termarginalisasi biasanya me ngharapkan untuk mengadaptasi (mengakomodasi) orang lain. Norma telah terbukti m emainkan peranan dalam teori Giles (Gallois dan Callan, 1991). Norma (norm) adal ah harapan mengenai perilaku yang dirasa seseorang harus atau tidak harus terjad i di dalam percakapan. Hubungan antara norma dan akomodasi diperjelas oleh Cynth ia Gallois dan Victor Callan (1991): 80
“Norma-norma memberikan batasan dalam tingkatan yang bervariasi…terhadap perilaku ak omodatif yang dipandang sebagai hal yang diinginkan dalam sebuah interaksi”. Konte ks Antar Generasi 1. Overaccommodation. Satu proses kesalahan komunikasi dimana setidaknya satu lawan bicara menganggap pembicara “menyimpang” dari gaya komunikasi yang diperlukan untuk menyesuaikan percakapan dengan acara tertentu. 2. Underacc ommodation. Satu proses kesalahan komunikasi dimana setidaknya satu lawan bicara menganggap pembicara berkomunikasi dengan cara (gaya atau kualitas bicara) yang merendahkan. 3. Strategi Tua ke Muda a. Overaccommodation karena kekurangan fis ik atau indera. Menganggap orang tua memiliki kekurangan tertentu, dan beradapta si melebihi level optimal b. Overaccommodation terkait ketergantungan. Ucapan ya ng mendominasi, disiplin, terlalu direktif pada orang tua. Orang muda menggunaka nnya untuk mengontrol hubungan. c. Divergensi terkait usia. Tekankan perbedaan k elompok muda. Nilai, gaya hidup yang digunakan untuk menandai perbedaan usia. d. Overaccommodation antar kelompok. Paling berpengaruh – akomodasi bukan pada orang tua sebagai individu tetapi menurut norma kelompok. 4. Strategi Muda ke Tua a. Underaccommodation untuk membela diri. Dalam bercakap nampak insular atau egosen tris. Tidak mau membahas topik yang mengancam konsep diri. b. Membatasi diri ter kait usia. Digunakan sebagai alasan untuk tidak melakukan suatu fungsi. “Ingatan s aya sudah tidak sebaik dulu” c. Stereotyping diri. Mengambil karakteristik orang t ua stereotip. Mengambil identitas kelompok orang tua dalam konteks antar kelompo k. d. Divergensi antar kelompok. Secara agresif menekankan perbedaan lintas gene rasi, seperti mengomentari gaya bicara anak muda secara negatif. Proposisi Teori Akomodasi Komunikasi diperoleh dari sebuah penelitian yang awalnya dilakukan da lam bidang ilmu lain, dalam hal ini, dalam psikologi sosial. 81
• In-Group dan Out-Group. Merefleksikan ketertarikan pada kelompok dimana kita buk an anggota dan menciptakan batasan kelompok kita dan keterpisahan dari kelompok lain. • Anggapan: Komunikator menyesuaikan gaya bicaranya (mengubah karakteristik suara – aksen, bahasa, dialek, kecepatan, volume, dll) dengan orang lain sebagai cara untuk mengekspresikan nilai, perilaku dan maksud.” (Street & Gil es, 1982). • Dampak: Persepsi individu tentang gaya bicara orang lain menentukan respon peril aku dan evaluatifnya.” (Street & Giles, 1982) Eksplanasi Untuk mendapatkan pengertian mengenai karakteristik utama dari Teori Akomodasi Komunikasi, pertama-tama akan dijelaskan apa yang dimaksud dengan kata akomodasi. Akomodasi didefinisikan sebagai kemampuan untuk menyesuaikan, memodi fikasi, atau mengatur perilaku dalam merespons orang lain. Akomodasi biasanya di lakukan secara tidak sadar. Kita cenderung memiliki naskah kognitif internal yan g kita gunakan ketika kita berbicara dengan orang lain. Kita secara naluriah men arik suatu percakapan dari dokumen yang tersimpan di dalam benak kita. Dalam per cakapan dengan gadis berusia 15 tahun, kita mungkin akan menggunakan kosakata re maja; dengan seseorang yang berusia 85 tahun kita akan berbicara lebih perlahan dan menggunakan lebih banyak mimik wajah. Ini semua dilakukan tanpa banyak pemik iran sebelumnya dan dapat terjadi secara terang-terangan maupun tertutup. Menuru t Infante, 1997. Teori Akomodasi Komunikasi (CAT) didefinisikan sebagai “Pernyataa n bahwa selama komunikasi, orang berusaha menyesuaikan gaya bicaranya dengan ora ng lain. Mereka melakukannya untuk mendapat persetujuan, meningkatkan efisiensi komunikasi dan memelihara identitas sosial yang positif dengan orang yang diajak bicara”. Dengan kata lain, bagaimana anggapan kita tentang seseorang akan tergant ung bagaimana kita bertingkah laku di dekat orang tersebut. Teori ini menjelaska n tentang terjadinya proses akomodasi (penyesuaian diri) seseorang terhadap ling kungannya guna tercapainya interaksi komunikasi yang lebih baik. Sentral konsep dari teori ini adalah untuk menjelaskan bagaimana orang yang berinteraksi saling mempengaruhi, juga tentang cara pandang sosial psikologi yang mempengaruhi kebi asaan mereka dalam berinteraksi. 82
Selain itu, teori ini juga menjelaskan cara dimana interaktan mempengaruhi satu sama lain dalam proses interaksi. Teori ini fokus pada bagaimana proses sosial m empengaruhi dinamika perilaku dalam interaksi. Psikologi sosial adalah cara dima na kita dan lainnya berperilaku dalam situasi sosial. Teori Akomodasi Komunikasi menyatakan bahwa dalam percakapan orang memiliki pilihan. Mereka mungkin mencip takan komunitas percakapan yang melibatkan penggunaan bahasa atau system nonverb al yang sama, mereka mungkin akan membedalan diri mereka dengan orang lain, atau mereka akan sangat berusaha keras untuk beradaptasi. Pilihan-pilihan ini disebu t konvergensi, divergensi, dan akomodasi berlebihan. Konvergensi: Melebur Pandan gan Proses pertama yang dihubungkan dengan Teori Akomodasi Komunikasi disebut ko rvergensi. Giles, Nikolas Coupland, dan Justin Coupland (1991) mendefinisikan ko nvergensi (convergence) sebagai “strategi di mana individu beradaptasi terhadap pe rilaku komunikatif satu sama lain”. Orang akan beradaptasi terhadap kecepatan bica ra, jeda, senyuman, tatapan mata, dan perilaku verbal dan nonverbal lainnya. Kon vergensi merupakan proses yang selektif; kita tidak selalu memilih menggunakan s trategi konvergen dengan orang lain. Ketika orang melakukan konvergensi, mereka bergantung pada persepsi mereka mengenai tuturan atau perilaku orang lainnya. Se lain persepsi mengenai komunkasi orang lain, konvergensi juga didasarkan pada ke tertarikan (Giles et al., 1987). Biasanya, ketika para komunikator saling tertar ik, mereka akan melakukan konvergensi dalam percakapan. Ketertarikan merupakan i stilah yang luas dan mencakup beberapa karakteristik lainnya seperti kesukaan, k arisma, dan kredibilitas. Giles dan Smith (1979) percaya bahwa beberapa factor m empengaruhi ketertarikan kita terhadap orang lain, misalnya, kemungkinan akan in teraksi berikutnya dengan pendengar, kemampuan pembicara untuk berkomunikasi, da n perbadaan status antara kedua komunikator. Memiliki keyakinan yang sama, kepri badian yang sama, atau berperilaku dalam cara yang sama menyebabkan orang tertar ik satu sama lain dan sangat mungkin untuk mendorong terjadinya konvergensi. Ing atlah, bahwa menemukan kesamaan terjadi seiring dengan berjalannya waktu. 83
Orang mungkin tidak akan langsung mengetahui apakah mereka tertarik satu sama la in dan apakah ini akan menuntun pada pengidentifikasian persamaan-persamaan mere ka. Dari sejarah hubungan antara komunikator juga merupakan isu penting dalam ko nvergensi. Misalnya, penelitian Richard Street (1991) mengindikasikan bahwa para dokter berbeda dalam pola konvergensi mereka dengan pasien yang baru muncul per tama kali dengan pasien yang telah datang berulang kali. Ia mengingatkan bahwa p erbedaan dalam konvergensi dapat dijelaskan dengan melihat pada peran tradisiona l dari dokter dan pasien dan juga adanya jarak waktu antara kunjungan yang satu dengan yang berikutnya. Pada pandangan pertama, konvergensi mungkin tampak sebag ai strategi akomodasi yang positif, dan biasanya memang demikian. Konvergensi da pat didasarkan pada persepsi yang bersifat stereotip. Sebagaimana disimpulkan ol eh Giles dan koleganya (1987), “Konvergensi sering kali dimediasi secara kognitif oleh stereotip kita mengenai bagaimana orang lain akan berbicara secara kategori social”. Artinya, orang akan melakukan konvergensi terhadap stereotip dibandingka n terhadap bicara dan perilaku yang sebenarnya. Terdapat beberapa implikasi yang nyata dari konvergensi yang bersifat stereotip. Contohnya, ayah gay dan ibu les bian melaporkan bahwa terlalu banyak orang−termasuk pendidik−bergantung pada stereot ip kuno mengenai homoseksual ketika mereka berkomunikasi dengan ayah dan ibu ter sebut (West dan Turner,1995). Mempelajari pengalaman budaya dari warga Afro-Amer ika, Mark orbe (1998) menemukan bahwa kaum Afro-Amerika sering kali diidentifika sikan dengan cara-cara berdasarkan stereotip. Ia menunjukkan bahwa terdapat ster eotip tidak langsung (indirect stereotyping); yaitu, stereotip ketika warga kuli t putih Amerika berbicara dengan temanteman Afro-Amerika mereka mengenai apa yan g mereka yakini sebagai “topic” AfroAmerika (olahraga, musik, dan seterusnya). Beber apa orang Afro-Amerika menyebutkan bahwa jika mereka berbicara dalam dialeg yang tidak standar, mereka secara khusus rentan terhadap reaksi stereotip. Marsha Hu ston (2004) setuju dengan hal ini. penelitiannya menunjukkan bahwa ketika mendes kripsikan diri mereka sendiri, wanita kulit putih secara khusus mengidentifikasi bicara mereka sebagai suatu yang 84
pantas dan standar, serta mendeskripsikan bicara wanita Afro-Amerika sebagai ses uatu yang tidak standar, tidak benar, dan menyimpang. Kelompok budaya lainnya ju ga telah menjadi sasaran stereotip. Edwin Vaughan (1998), misalnya, menyatakan b ahwa orang buta sering kali diajak berbicara seakanakan mereka tuli. Shobia Pais (1997) menyebutkan bahwa wanita India di Amerika Serikat sering kali dianggap a neh karena mereka memakai sari (kain yang disampirkan pada bahu dan kepala) atau salwar kameez (celana panjang). Dan Charmaine Shutiva (2004) mengeluhkan fakta bahwa budaya orang Indian Amerika sering kali disalahpersepsikan sebagai budaya yang ingin dan tidak memiliki emosi, padahal kenyataannya, budaya ini melibatkan banyak humor dan kegembiraan. Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa banyak dari k elompok budaya terus distereotipkan. Persepsi stereotip dapat mempengaruhi sejau h mana seseorang akan melakukan konvergensi. Perlu dipertimbangkan juga bahwa ev aluasi konvergensi biasanya tergantung apakah konvergensi tersebut telah dipikir kan dengan baik-baik. Jika konvergensi dipersepsikan baik, hal ini dapat memperb aiki dialog; ketika dipersepsikan jelek, hal ini dapat menghancurkan proses komu nikasi. Jika seorang komunikator berbicara atau bertindak dalam suatu gaya yang mirip dengan pendengarnya, maka konvergensi akan dianggap sebagai sesuatu yang p ositif. Tetapi jika konvergensi dilakukan untuk mempermalukan, menggoda, atau me rendahkan maka hal ini akan sangat mungkin dipandang negatif. Divergensi: Hidupl ah Perbedaan Akomodasi adalah proses yang optimal di mana dua komunikator memutu skan untuk mengaomodasi salah satu, atau tidak keduanya. Giles (1980) percaya ba hwa pembicara terkadang menonjolkan perbedaan verbal dan nonverbal di antara dir i mereka sendiri dan orang lain. Ia menyebut hal ini sebagai divergensi (diverge nce). Dalam hal ini, divergensi sangat berbeda dengan konvergensi, yakni merupak an proses disosiasi. Alih-alih menunjukkan bagaimana dua pembicara mirip dalam h al kecepatan bicara, tindak-tanduk atau postur, divergensi adalah ketika tidak t erdapat usaha untuk menunjukkan persamaan antara para pembicara. Dengan kata lai n, dua orang berbicara satu sama lain tanpa adanya kekhawatiran mengenai akomoda si satu sama lain. Divergensi belum menerima banyak perhatian dalam hal peneliti an seperti konvergensi, 85
dan karenanya pengetahuan kita mengenai proses ini terbatas pada beberapa klaim mengenai fungsinya dalam Teori Akomodasi Komunikasi. Pertama, divergensi tidak b oleh disalahartikan sebagai salah satu cara untuk tidak sepakat atau tidak membe rikan respons pada komunikator yang lain. Divergensi tidak sama dengan ketidakpe dulian. Ketika orang melakukan divergensi, mereka memutuskan untuk mendisosiasik an diri mereka dari komunikator dan percakapan tersebut. Alasan-alasan dalam div ergensi bisa bervariasi. Divergensi merupakan suatu cara bagi para anggota komun itas budaya yang berbeda untuk mempertahanlan identitas social. Giles dan kolega nya (1987) mengamati bahwa ada peristiwa di mana orang—yaitu kelompok ras atau etn is—“secara sengaja menggunakan bahasa mereka atau gaya bicara sebagai taktik simboli s untuk mempertahankan identitas, kebanggaan budaya, dan keunikan mereka”. Individ u mungkin tidak ingin melakukan konvergensi dalam rangka mempertahankan warisan budaya mereka. Misalnya, kita sedang bepergian ke Perancis; di mana pun kita ber ada, setiap orang Perancis yang kita temui akan mendorong kita untuk menggunakan Bahasa Perancis. Kita akan sangat terkejut akan hal ini hingga akhirnya kita me nyadari bahwa kita, sebagai seorang pengunjung, tidak dapat mengharapkan orang P erancis untuk melakukan konvergensi terhadap bahasa kita. Beberapa kelompok buda ya tetap terdorong untuk melakukan divergensi dalam percakapan mereka dengan ora ng lain. Dalam kajian klasik ini, tim peneliti mempelajari orang Wales yang sang at bangga akan identitas etnik mereka tetapi tidak dapat berbahasa Welsh. Saat m ereka mempelajari bahasa tersebut, para peneliti menanyakan beberapa pertanyaan dalam format bahasa inggris yang standar. Selama waktu tanya jawab, para penelit i bertanya kepada kelompok tersebut mengapa mereka ingin mempelajari bahasa Wels h karena “bahasa ini adalah bahasa yang hampir mati dengan masa depan yang suram.” P ara responden ini menyangkal tidak hanya dengan menggunakan logat Welsh yang ken tal, tetapi juga dengan kata-kata dan frase dalam bahasa Welsh. Hal yang mengesa nkan, kelompok ini dapat mengaitkan kata-kata dalam bahasa Welsh yang sulit! Kel ompok tersebut mulai melakukan divergensi dari bahasa Inggris yang sedang diguna kan untuk berbicara dengan mereka, karena adanya kebanggan etnik. 86
Alasan kedua mengapa orang melakukan divergensi berkaitan dengan kekuasaan dan p erbedaan peranan dalam percakapan. Divergensi sering kali terjadi dalam percakap an ketika terdapat perbedaan kekuasaan di antara para komunikator dan ketika ter dapat perbedaan peranan yang jelas dalam percakapan (dokter-pasien, orangtua-ana k, pewawancara-terwawancara, dan seterusnya) (Street, 1991; Street dan Giles, 19 82). Street, 1991, menyatakan bahwa “para interaktan memiliki status lebih tinggi mungkin akan berbicara dalam jangka waktu yang lebih lama, memulai hampir semua topic pembicaraan, berbicara lebih perlahan, dan mempertahankan postur tubuh yan g lebih santai dibandingkan yang kurang berkuasa.” Divergensi terjadi karena seseo rang ingin menunjukkan bahwa yang lainnya kurang berkuasa. Selain itu, divergens i cenderung terjadi karena lawan bicara dalam percakapan dipandang sebagai “anggot a dari kelompok yang tidak diinginkan, dianggap memiliki sikap-sikap yang tidak menyenangkan, atau menunjukkan penampilan yang jelek” (Street dan Giles,1982). Gil es dan koleganya (1987) menyatakan bahwa divergensi digunakan untuk mengontraska n citra dalam suatu percakapan. Christopher Jencks (1994) melihat bahwa para tun awisma merupakan bagian dari masyarakat yang diberi label tidak menarik atau vul gar. Dengan menggunakan prinsip akomodasi divergensi, seorang pria tunawisma yan g meminta uang pada seseorang di luar sebuah bioskop akan menemukan dirinya bera da dalam percakapan dengan seorang komunikator (sebut saja orang ini Pat) yang i ngin untuk melakukan divergensi agar menunjukkan perbedaan di antara keduanya. D ivergensi Pat mungkin akan terjadi dalam bentuk meningkatnya kecepatan bicara at au suara yang lebih tajam. Pat mungkin juga akan menggunakan kosakata dan pelafa lan yang secara jelas menandainya sebagai anggota kelas menengah atas. Dalam tia p kasus, divergensi dilaksanakan oleh individu yang ingin menunjukkan perbedaan status di antara keduanya. Giles dan koleganya (1987) menyimpulkan bahwa diverge nsi seperti yang dilakukan oleh Pat mungkin memiliki tujuan untuk membawa perila ku orang yang lainnya (serta penampilannya) “pada level yang dapat diterima”, dan ba hwa divergensi Pat merupakan suatu tipe pembukaan diri yang menggambarkan jenis bicara dan perilaku tertentu yang tidak dimiliki bersama oleh keduanya. Sebagaim ana sering terjadi, situasi si tunawisma dipandang sebagai masalahnya sendiri. D ivergensi 87
merupakan cara untuk lebih jauh mengomuniksikan nilai ini. sebagaimana dikemukak an oleh asumsi ketiga, yakni bahasa dan perilaku sering kali mengomunikasikan st atus. Akomodasi Berlebihan: Miskomunikasi dengan Tujuan Jane Zuengler (1991) men gamati bahwa akomodasi berlebihan (overaccomodation) adalah “label yang diberikan kepada pembicara yang dianggap pendengar telalu berlebihan”. Istilah ini diberikan kepada orang yang walaupun bertindak berdasarkan niat yang baik, malah dianggap merendahkan. Akomodasi berlebihan dapat terjadi dalam tiga bentuk: akomodasi be rlebihan sensoris, akomodasi berlebihan ketergantungan, dan akomodasi berlebihan intergroup (Zuengler, 1991). Istilah tersebut akan didefinisikan beserta contoh -contohnya. Akomodasi berlebihan sensoris (sensory overaccomodation) terjadi ket ika seorang pembicara beradaptasi secara berlebihan pada lawan bicaranya yang di anggap terbatas dalam hal tertentu. Batasan dalam hal ini merujuk pada keterbata san linguistic atau fisik. Yaitu, pembicara mungkin yakin bahwa ia peka terhadap ketidakmampuan berbahasa seseorang atau terhadap kekurangan fisik seseorang tet api terlalu berlebihan dalam melakukan akomodasi. Nikolas Coupland dan koleganya (1998) percaya bahwa akomodasi berlebihan sensoris sering kali terjadi dalam pe rcakapan antara kaum lansia dan orang lain. Misalnya, dalam penelitiannya mengen ai pasien dan penyakit Alzheimer, Heidi Hamilton (1991) merasa bahwa ia telah me remehkan tingkat kompetensi dari seorang pasien Alzheimer dan menemukan dirinya mengakomodasi secara berlebihan. Karena Hamilton percaya bahwa pasien Alzheimer umumnya merespons lebih baik pertanyaanpertanyaan mengenai apa yang ada di sini dan sekarang dibandingkan dengan masa lalu, ia membingkai percakapnnya dengan pa ra pasien dengan hal ini dalam benaknya. Ternyata, ia telah meremehkan kemampuan mental para respondennya. Hamilton percaya bahwa ia telah menghabiskan banyak w aktu wawancara mengenai lingkungan sekitar pasien Alzheimer tersebut lebih dari yang dibutuhkan. Ini membuat para pasien tampak lebih tidak kompeten dibandingka n yang sebenarnya. Jenis akomodasi berlebihan yang kedua, akomodasi berlebihan k etergantungan (dependency overaccomodation), yang terjadi ketika seorang pembica ra secara sadar atau tidak sadar menempatkan pendengar dalam peranan status yang lebih rendah, dan pendengar dibuat tampak tergantung pada pembicara. Dalam 88
akomodasi berlebihan ketergantungan, pendengar juga percaya bahwa pembicara meng endalikan percakapan untuk menunjukkan status yang lebih tinggi. Hal ini dapat d ilihat dengan mengamati perlakuan kepada beberapa populasi imigran di Amerika Se rikat. Banyak kelompok budaya termarginalkan di Amerika Serikat dan akomodasi be rlebihan ketergantungan, tampaknya, merupakan salah satu alasan pengucilan ini. misalnya, selama masa asimilasi dalam komunitas baru mereka, banyak pencari suak a dibuat merasa lebih rendah ketika bercakap-cakap dengan orang lain. Walaupun p ara pegawai negeri mungkin percaya bahwa selama berbicara dengan para pencari su aka mereka sedang melakukan apa benar (membantu para pencari suaka untuk memaham i beragai macam prosedur dan aturan yang diasosiasikan dengan dokumentasi), para pencari suaka mungkin akan merasa bahwa cukup tergantung kepada pembicara (petu gas imigrasi). Karena banyak orang asing yang baru saja datang tidak dapat berba hasa Inggris, tidak memiliki pengetahuan dasar akan nilai-nilai atau norma-norma , tidak memiliki pemahaman yang jelas akan keahlian kerja mereka (Gudykunst & Ki m, 1992; Kim, 1989), persepsi mengenai ketergantungan mereka semakin dapat dipas tikan. Selain akomodasi berlebihan sensoris dan ketergangtungan, terdapat jenis akomodasi berlebihan yang ketiga yang disebut akomodasi berlebihan intergroup (i ntergroup overaccomodation). Hal ini melibatkan para pembicara yang menempatkan pendengar ke dalam kelompok tertentu, dan gagal untuk memperlakukan tiap orang s ebagai seorang individu. Inti dari akomodasi berlebihan jenis ini adalah stereot ip, dan dapat muncul dampak yang sangat parah. Walaupun mempertahankan identitas ras dan etnis merupakan hal yang penting, identitas individual juga sama pentin gnya. Coba pikirkan ketika seorang pembicara menggunakan bahasa yang menempatkan pendengar pada suatu kelompok budaya tertentu. Pembicara mungkin merasa nyaman menyatakan bahwa, misalnya, orang Amerika keturunan Meksiko tidak pernah diberik an kesempatan untuk sukses di Amerika Serikat karena mereka terlalu sibuk mengur usi keluarga mereka. Bagi seorang Amerika keturunan Meksiko, generalisasi ini mu ngkin dipandang secara negative. Berkomunikasi dengan persepsi semacam ini di da lam benak mungkin akan menyebabkan beberapa orang Amerika keturunan Meksiko untu k mengakomodasinya secara negative. 89
Akomodasi berlebihan biasanya menyebabkan pendengar tidak setara dalam mempersep sikan diri mereka. Terdapat dampak yang serius dari akomodasi berlebihan, termas uk kehilangan motivasi untuk mempelajari bahasa lebih jauh, menghindari percakap an, dan membentuk sikap negative terhadap pembicara dan juga masyarakat (Zuengle r, 1991). Jika salah satu tujuan komunikasi adalah mencapai makna yang dimaksudk an, akomodasi berlebihan merupakan penghalang utama bagi tujuan tersebut. Contoh Kasus Ini merupakan sebuah kisah yang diungkapkan oleh seseorang yang bernama M ichael dalam kaitannya dengan praktik teori ini. “Saya bekerja di sebuah rumah jom po yang dikhususkan bagi penderita Alzheimer. Kami memiliki lebih dari seratus o rang yang menderita penyakit tersebut, yang berada pada berbagai tingkatan penya kit. Saya pernah mendengar gaya bicara terhadap bayi (baby-talk) dari para staf kepada para pasien sebelumnya, dan saya telah banyak sekali mendengarnya. Kami d ilatih dan diminta untuk tidak berbicara seperti ini dan memperlakukan semua pas ien dengan harga diri, dan dalam hal ini mencakup berbicara seperti orang dewasa . Tetapi saya telah melihat rekan kerja saya bersikap merendahkan ketika berbica ra dengan para pasien, dan sebagai balasannya, mereka juga berbicara dengan cara yang sama. Ini menyedihkan. Jika mungkin, saya berharap para staf akan mengakom odasi dengan gaya bicara yang lebih tidak merendahkan serta lebih bijaksana. Mod el T h e t h e o r y C o n t a k e s v e r g n o t e o f e n t w c e o c o m m u n ic a t io n t e e D n i cv e r g Konvergensi Konvergensi adalah konsep bahwa individu mengubah pola bicaranya dal am berbagai interaksi. Konsep ini diperluas mencakup bukan hanya pola bicara tet api juga perilaku. Misalnya, seseorang tidak hanya akan mengubah cara mereka ber bicara tetapi juga bertingkah laku dan berpakaian lebih sopan jika akan bertemu dengan orangtua pacar untuk pertama kali. Interaksi ini bisa menyebabkan seorang pria muda berpakaian 90
lebih baik dari biasanya, bertingkah laku lebih tenang dan mungkin bersikap lebi h perhatian dan berbicara lebih sopan dari kesehariannya. (Miller, 154). Individ u dalam interaksi akan melakukan konvergensi untuk tujuan menunjukkan bahwa mere ka sependapat dengan orang lain dalam interaksi (Gibbons, 2005). Divergensi Ini terjadi jika seorang individu memberi penekanan lebih pada perilaku komunikatif yang berbeda dari orang yang diajak bicara. Misalnya, orang mungkin melebihkan a ksen daerah AS selatan ketika berbicara dengan orang dari daerah Utara yang memb eri komentar positif terhadap aksen Selatan. Individu juga akan menggunakan takt ik ini untuk menunjukkan ketidaksetujuan (Gibbons, 2005). Alasan Konvergensi dan Divergensi Upaya penelitian Giles telah dijelaskan sebagai reaksi psikologis ol eh individu karena merasa ingin disukai. Orang merasa bahwa kesamaan dengan oran g lain menciptakan satu daya tarik bagi diri mereka. Terutama, orang dengan stat us lebih tinggi. Karena ingin disukai orang lain dengan posisi lebih baik mendor ong kita untuk bersikap lebih seperti mereka sehingga mengakomodasi gaya komunik asi mereka ketika berinteraksi dengannya (Miller, 155-156). Nampaknya, memenuhi pengharapan orang lain adalah faktor yang begitu mengarahkan kita pada apakah ki ta harus melakukan konvergensi. Ada saat-saat ketika orang lain berupaya mencari perbedaan dengan oran glain sehingga kita melakukan divergensi untuk memenuhi h arapan tersebut (Miller, 156). Situasi ini dan situasi dimana individu ingin men unjukkan perbedaannya karena merasa bangga atas perbedaan tersebut (seperti keba ngsaan, bahasa, dll), bisa menyebabkan orang untuk melakukan divergensi. • Aplikas i CAT in Practice 91
Contoh Akomodasi Komunikasi Ada banyak contoh dimana individu mengakomodasi atau mengubah cara mereka berbicara dalam situasi tertentu. Hampir setiap hubungan m emiliki akomodasi percakapan tertentu. • • Ketika berbicara pada anak kita menyesuai kan cara bicara kita dan juga katakata yang digunakan untuk mengakomodasi indivi du yang kita ajak bicara. Ketika berbicara dengan orang tua kita sering mengubah cara kita berinteraksi, termasuk pola bicara dan perilaku yang mungkin menunjuk kan rasa penghargaan yang lebih (McCann & Giles, 2006). • Ketika memberikan inform asi selama wawancara pekerjaan, individu akan mengakomodasi cara bicaranya terha dap situasi dan orang yang mereka ajak bicara. • • Cara orang bicara dengan bossnya akan berbeda dengan cara bicara dengan temannya. Gaya bicara dengan orangtua ber beda dengan gaya bicara dengan teman sebaya. Kegunaan untuk Masa Sekarang Giles telah mempelajari interaksi orang muda dan tu a dalam situasi bisnis menggunakan Akomodasi Komunikasi sebagai kerangka teori. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang tua cenderung kurang akomodatif dibandi ng orang muda. Meskipun ada beberapa faktor lain yang berperan, porsi konvergens i dan divergensi dari teori ini digunakan dalam memahami dan menjelaskan fenomen a ini (McCann & Giles, 2006). Pada penelitiannya, Giles juga mengamati sikap dan tindakan dalam interaksi publik dengan polisi, menggunakan teori Akomodasi. Asp ek relasional dan identitas dari teori ini membantu menunjukkan pola interaksi y ang ada antara publik dan polisi dalam berbagai situasi dimana interaksi ini ter jadi (Giles, et al., 2005). Penelitian ini mengamati pola akomodasi polisi dan p ublik. 92
• Kritik Dalam dunia komunikasi dikenal begitu banyak teori-teori komunikasi yang telah dikemukakan oleh para tokohnya. Salah satu teori komunikasi yakni Teori Ko munikasi Akomodasi (Communication Accomodation Theory). Teori ini cukup berkemba ng sehingga bisa dianggap sempurna, dan didukung penelitian dari berbagai peneli ti. Selain itu, proses inti dari teori konvergensi dan divergensi membuatnya mud ah dipahami, menandai kesederhanaan teori tersebut. Namun ada beberapa pendapat peneliti yang berbeda mengenai divergensi, yakni perbedaan dalam mengartikan div ergensi sebagai suatu ketidaksetujuan (Gibbons, 2005) atau bukan. Teori Akomodas i Komunikasi memiliki fokus pada peranan percakapan dalam kehidupan kita dan pen garuh yang dimiliki oleh komunikasi dan budaya terhadap percakapn-percakapan ter sebut. Teori ini menjabarkan beberapa poin penting berkaitan dengan peranan yang dimainkan pola komunikasi dan gaya bagi para komunikator dan bagi pesan. Untuk memahami nilai dari teori ini bagi disiplin ilmu komunikasi, teori ini dievaluas i dengan menggunakan dua criteria, yakni heurisme dan kemungkinan pengujian. Heu risme Akomodasi telah dipelajari di dalam media massa (Bell, 1991), dengan kelua rga (fox, 1999; Lin & Harwood, 2003), dengan mahasiswa keturunan Cina (Hornsey & Gallois,1998), dengan kaum lansia (Harwood, 2002), pada pekerjaan (McCroskey & Richmond, 2000), dalam wawancara (Willemyns, Gallois, Callan & Pittam, 1997), se hubungan dengan e-mail (Bunz & Campbell, 2004), dan bahkan dengan pesan-pesan ya ng ditinggalkan pada mesin penerima pesan telepon (Buzzanell, Burrell, Stafford, & Berkowitz, 1996), yang didiskusikan dalam Research Note. Tak diragukan lagi b ahwa teori ini heuristic dan memiliki nilai keilmuan yang bertahan. Kemungkinan Pengujian Kekuatan teori ini mungkin dapat menjadi cukup signifikan karena teori ini telah sedikit memunculkan kritik ilmiah. Namun, beberapa kekurangan berhubu ngan dengan kemungkinan pengujian dari konsep- konsep yang ada telah ditemukan. Singkatnya, beberapa ilmuwan menyatakan bahwa beberapa fitur utama dari teori in i mengharapkan 93
adanya penelitian lebih jauh. Judee Burgoon, Leesa Dillman, dan Lesa Stern (1993 ), misalnya, mempertanyakan bingkai konvergensi-divergensi yang dikemukakan oleh Giles. Mereka percaya bahwa percakapan terlalu kompleks untuk direduksi ke dala m proses-proses ini. Mereka juga menantang pemikiran bahwa akomodasi orang dapat dijelaskan dengan hanya dua praktik. Misalnya, apa yang terjadi jika orang mela kukan baik konvergensi mauoun divergensi dalam percakapan? Apakah terdapat konse kuensi bagi para pembicara? Atau para pendengar? Pengaruh apa, jika ada, yang di mainkan oleh ras dan etnis seseorang dalam proses yang berkesinambungan ini? ses eorang juga mungkin menanyakan apakah teori ini terlalu bergantung pada cara ber omunikasi yang rasional. Maksudnya, walaupun teori ini mengakui konflik antara k omunikator, teeori ini juga berpijak pada standar konflik yang rasional. Mungkin Anda pernah terlibat di dalam konflik yang sangat mengerikan dengan seseorang y ang tidak memiliki akal sehat. Teori ini tampaknya mengabaikan kemungkinan sisi gelap dari komunikasi. Dalam tulisan-tulisan awalnya mengenai tulisan ini, Giles menantang para peneliti untuk menerapkan Teori Akomodasi Komunikasi melintasi w aktu hidup dan dalam latar budaya yang berbeda. Sejauh ini, sarannya telah mempe rluas pemahaman kita mengenai mengapa percakapan itu begitu rumit. Melalui konve rgensi, Giles memberikan penerangan pada mengapa orang beradaptasi dengan orang lain dalam interaksi mereka. Melalui divergensi, kita dapat memahami mengapa ora ng cenderung mengabaikan strategi beradaptasi. Ia telah memelopori teori yang te lah membantu kita untuk memahami dengan lebih baik budaya dan keberagaman yang a da di sekeliling kita. Sumber West, Richard and Turner, Lynn H., “Introducing Comm unication Theory Analysis and Application, 3rd edition”. 2007. The McGraw Hill Com panies. 94
TEORI KOMUNIKASI “DRAMATURGI” • Tokoh Penemu Nama Lahir Buku Meninggal Seorang memperdalam : Erving Goffman : Ca nada, 11 Juni 1922 : The Presentation in Everyday Life (1959) : 19 November 1982 sosiolog kajian interaksionis dramatisme dan tersebut penulis, dan menyempurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumban gan terbesar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self in Everyday Life. I a mendapatkan gelar S1 dari Universitas Toronto, dan gelar Doktor dari Universit as Chicago. Ia memiliki kedekatan kajian dengan tokoh – tokoh antropologi, oleh ka rena itu ia juga dikenal sebagai tokoh etnometodologi. Ia wafat pada tahun 1982, ketika sedang mengalami masa kejayaan sebagai tokoh sosiologi dan pernah menjad i professor di jurusan sosiologi Universitas California Barkeley, serta menjadi keyua liga IVY Universitas Pennsylvania. • Latar belakang teori Seorang sosiolog i nteraksionis dan penulis, Erving Goffman, memperdalam kajian dramatisme dan meny empurnakannya dalam bukunya yang kemudian terkenal sebagai salah satu sumbangan terbesar bagi teori ilmu sosial The Presentation of Self in Everyday Life. Drama turgi merupakan seni bagaimana orang menempatkan peran sesuai dengan situasi dan kondisi dimana dia ditempatkan. Erving Goffman menggunakan bahasa dan khayalan teater untuk menggambarkan fakta subyektif dan obyektif dari interaksi sosial. 95
• Asumsi Teori dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan merupakan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologi yang man diri. Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain. Dalam dramaturgis, interaksi sosial dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Dimana manusia berperan sebagai aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri”. Konsep Konsep - konsepnya dalam pendekatan Dramaturgi ini mencakup temp at berlangsungnya interaksi sosial yang disebut dengan social establishment, tem pat mempersiapkan interaksi sosial disebut dengan back region / backstage, tempa t penyampaian ekspresi dalam interaksi sosial disebut front region, individu yan g melihat interaksi tersebut disebut audience, penampilan dari pihak-pihak yang melakukan interaksi disebut dengan team of performers, dan orang yang tidak meli hat interaksi tersebut disebut dengan outsider. Selayaknya pertunjukan drama, se orang aktor drama kehidupan juga harus mempersiapkan kelengkapan pertunjukan. Ke lengkapan ini antara lain memperhitungkan setting, kostum, penggunakan kata (dia log) dan tindakan non verbal lain, hal ini tentunya bertujuan untuk meninggalkan kesan yang baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan. Oleh Goffman, tindakan diatas disebut dalam istilah “impression management”. Konsep impr ession management ini, menunjukkan usaha individu dalam menampilkan kesan terten tu pada orang lain. Konsep expression untuk individu yang membuat pernyataan dal am interaksi. Konsep ini terbagi atas expression given untuk pernyataan yang dib erikan dan expression given off untuk pernyataan yang terlepas. Serta konsep imp ression untuk individu lain yang memperoleh kesan dalam interaksi. • Aplikasi Ada beberapa contoh kasus yang menggunakan teori Dramaturgi, antara lain : 1. Seoran g front liner hotel senantiasa berpakaian rapi menyambut tamu hotel dengan ramah , santun, bersikap formil dan perkataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat sian g, sang front liner bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan 96
bahasa gaul dengan temannya atau bersikap tidak formil lainnya (merokok, dsb). S aat front liner menyambut tamu hotel, merupakan saat front stage baginya (saat p ertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menyambut tamu hotel dan memberikan kesan baik hotel kepada tamu tersebut. Oleh karenanya, perilaku sang front liner juga adalah perilaku yang sudah digariskan skenarionya oleh pihak manajemen hotel. Sa at istirahat makan siang, front liner bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju b abak ke dua dari pertunjukan tersebut. Karenanya, skenario yang disiapkan oleh m anajemen hotel adalah bagaimana sang front liner tersebut dapat refresh untuk me njalankan perannya di babak selanjutnya. seorang front liner hotel senantiasa be rpakaian rapi menyambut tamu hotel dengan ramah, santun, bersikap formil dan per kataan yang diatur. Tetapi, saat istirahat siang, sang front liner bisa bersikap lebih santai, bersenda gurau dengan bahasa gaul dengan temannya atau bersikap t idak formil lainnya (merokok, dsb). Saat front liner menyambut tamu hotel, merup akan saat front stage baginya (saat pertunjukan). Tanggung jawabnya adalah menya mbut tamu hotel dan memberikan kesan baik hotel kepada tamu tersebut. Oleh karen anya, perilaku sang front liner juga adalah perilaku yang sudah digariskan skena rionya oleh pihak manajemen hotel. Saat istirahat makan siang, front liner bebas untuk mempersiapkan dirinya menuju babak ke dua dari pertunjukan tersebut. Kare nanya, skenario yang disiapkan oleh manajemen hotel adalah bagaimana sang front liner tersebut dapat refresh untuk menjalankan perannya di babak selanjutnya. Ka sus diatas adalah salah satu penerapan teori Dramaturgi dalam membentuk persepsi orang lain, dalam hal ini para tamu, sehingga menciptakan citra hotel yang baik . 2. Contoh kasus lainnya, dramaturgi dapat diterapkan dalam strategi kampanye, seperti yang terjadi pada pemilihan presiden yang lalu. SBY dan Megawati merupak an salah satu contoh bentuk kampanye dramaturgi yang berhasil. Sosok Megawati da lam membawa partainya PDI-P menuju tangga puncak pemenang pemilu 1999 tidak lepa s dari isu yang dihembuskan bahwa dirinya adalah pihak yang ”dizhalimi” oleh rezim O rba. Simpati pun di dapat karena memang masyarakat pada waktu itu memang sedang euphoria ”kebencian” terhadap rezim Orba. Begitu juga SBY dimana dia dulu menempatka n posisinya sebagai orang yang terdzhalimi 97
oleh rezim Megawati. Sehingga masyarakat pun merasa simpati dan terbukti dukunga n yang mengalir tidak kalah banyak, serta mengantarkannya pada posisi RI1. Kasus diatas adalah salah satu contoh lain penerapan darmaturgi dalam praktik komunik asi massa 3. Contoh berikut ini, merupakan contoh Dramaturgi yang terjadi pada masalah Gus Dur dan Cak Imin. Menurut Gus Solah, adik dari Gus Dur, dari sekian saudara itu biasanya ada tiga orang yang selalu terlibat debat keras dalam rapat keluarg a. Mereka adalah Gus Dur, Gus Solah dan Nyai Liliek Wahid. Tiga bersaudara ini s aling mempertahankan pendapat dan pendiriannya masing. Tak jarang Gus Dur walk o ut alias meninggalkan rapat keluarga dengan nada marah-marah. Tapi keesokan hari nya, Gus Dur malah mengirim Dr. Umar Wahid – adik Gus Dur yang lain – untuk menyampa ikan permintaan maaf kepada saudara-saudaranya yang lain. Intinya, Gus Dur dan s audara-saudaranya sudah terbiasa konflik, tapi setelah itu sama-sama saling mema afkan. ”Karena itu saya curiga, Cak. Jangan-jangan Gus Dur dan Cak Imin hanya konf lik di permukaan, tapi dalam acara keluarga malah tertawa-tawa. Kan Cak Imin kep onakan Gus Dur,” kata teman itu lagi kepada saya. Saya kira konflik ini memang har us dipahami dalam dua perspektif. Pertama, perspektif negatif (syuudzan). Dalam perspektif negatif konflik Gus Dur-Cak Imin adalah konflik faktual. Artinya, kon flik itu adalah fakta politik yang bersifat hitam putih. Kedua, perspektif posit if (husnudzan) yang memahami peristiwa ini sebagai pseudo - konflik. Dalam persp ektif ini konflik Gus Dur - Cak Imin adalah bagian dari ”sandiwara politik”. Dalam k ontek ini kita bisa menemukan penjelasan dalam teori Erving Goffman. Dalam persp ektif Goffman, konflik Gus Dur - Cak Imin adalah bagian dari dramaturgi politik. Goffman melukiskan kehidupan sosial dengan metafora teater yang terdiri dari fr ont stage dan back stage. • Aplikasi Pengaplikasian dramaturgi dalam kehidupan kom unikasi cukup berperan penting. Bila dalam komunikasi konvensional manusia berbi cara tentang bagaimana memaksimalkan indera verbal dan non-verbal untuk mencapai tujuan akhir komunikasi, agar orang lain mengikuti kemauan kita. Maka dalam dra maturgis, yang diperhitungkan 98
adalah konsep menyeluruh bagaimana kita menghayati peran sehingga dapat memberik an feedback sesuai yang kita mau. Perlu diingat, dramatugis mempelajari konteks dari perilaku manusia dalam mencapai tujuannya dan bukan untuk mempelajari hasil dari perilakunya tersebut. Dramaturgi memahami bahwa dalam interaksi antar manu sia ada “kesepakatan” perilaku yang disetujui yang dapat mengantarkan kepada tujuan akhir dari maksud interaksi sosial tersebut. Bermain peran merupakan salah satu alat yang dapat mengacu kepada tercapainya kesepakatan tersebut. Bukti nyata bah wa terjadi permainan peran dalam kehidupan manusia dapat dilihat pada masyarakat kita sendiri. Manusia menciptakan sebuah mekanisme tersendiri, dimana dengan pe rmainan peran tersebut ia bisa tampil sebagai sosok-sosok tertentu. Dan berupaya untuk menyampaikan pesan yang tersimpan pada peran – peran yang ditampilkannya. K onsep utama dari teori ini adalah impression management, bagaimana seseorang men ampilakan kesan yang sesuai dengan keinginan didepan public (audiences). Pengapl ikasian yang paling mudah dalam kehidupan keseharian kita adalah dengan menganal isis sesuatu yang sangat kita kenal, seperti interaksi dengan teman atau kerabat terdekat kita. Sedangkan untuk yang lebih kompleks, teori Dramaturgi ini bisa k ita terapkan dalam suatu pementasan theater, seperti yang telah diperbuat oleh A ristoteles. Teori ini juga dapat diaplikasikan untuk pencitraan suatu perusahaan . Dimana perusahaan membuat suatu scenario yang harus ditampilkan oleh para pega wainya pada saat sedang berinteraksi dengan tamu atau klien. Sehingga perusahaan akan memiliki kesan baik dimata pihak luar (public). Seperti pada contoh kasus yang terjadi pada seorang pegawai front linner suatu hotel diatas. • Kritik Setiap teori yang dikemukakan memiliki kekurangan dan kelebihannya masing – masing. Hal ini juga terjadi pada teori Dramaturgi milik Erving Goffman. Ada beberapa kritik an yang saya dapat mengenani teori ini, seperti : 1. Dramarturgi dianggap hanya dapat berlaku di institusi total Institusi total maksudnya adalah institusi yang memiliki karakter dihambakan oleh sebagian kehidupan atau keseluruhan kehidupan dari individual yang terkait dengan institusi tersebut, dimana individu ini ber laku sebagai sub-ordinat yang mana sangat 99
tergantung kepada organisasi dan orang yang berwenang atasnya. Ciri-ciri institu si total antara lain dikendalikan oleh kekuasan (hegemoni) dan memiliki hierarki yang jelas. Contohnya, sekolah asrama yang masih menganut paham pengajaran kuno (disiplin tinggi), kamp konsentrasi (barak militer), institusi pendidikan, penj ara, pusat rehabilitasi (termasuk didalamnya rumah sakit jiwa, biara, institusi pemerintah, dan lainnya. Dramaturgi dianggap dapat berperan baik pada instansiin stansi yang menuntut pengabdian tinggi dan tidak menghendaki adanya “pemberontakan”. Karena di dalam institusi-institusi ini peran-peran sosial akan lebih mudah unt uk diidentifikasi. Orang akan lebih memahami skenario semacam apa yang ingin dim ainkan. Bahkan beberapa ahli percaya bahwa teori ini harus dibuktikan dahulu seb elum diaplikasikan. 2. Menihilkan “kemasyarakatan” Teori ini juga dianggap tidak men dukung pemahaman bahwa dalam tujuan sosiologi ada satu kata yang seharusnya dipe rhitungkan, yakni kekuatan “kemasyarakatan”. Bahwa tuntutan peran individual menimbu lkan clash bila berhadapan dengan peran kemasyarakatan. Ini yang sebaiknya dapat disinkronkan. 3. Dianggap condong kepada Positifisme Dramaturgi dianggap terlalu condong kepada positifisme. Penganut paham ini menya takan adanya kesamaan antara ilmu sosial dan ilmu alam, yakni aturan. Aturan ada lah pakem yang mengatur dunia sehingga tindakan nyeleneh atau tidak dapat dijela skan secara logis merupakan hal yang tidak patut. Teori dramaturgi juga dianggap hanya dapat berlaku di institusi total, menihilkan “kemasyarakatan”, dan dianggap c ondong kepada Positifisme . Sumber Henslin, James M. Sosiologi : Dengan Pendekat an Membumi, Jilid I. 100
Labelling Theory • Tokoh Penemu Howard Becker dilahirkan dan dibesarkan di Chicago pada tahun 1928. Ia melanjutkan pendidikannya di bidang sosiologi di Universitas Chicago sebagai mahasiswa Blumer dan Hughes. Becker menerima gelar Ph.D-nya dalam bidang sosiol ogi dari Universitas Chicago pada 1951, dan mengajar dalam departeman sosiologi di Universitas Northwestern, Universitas Washington, dan Universitas California di Santa Barbara. Bagaimanapun, kebanyakan dari penelitian, tulisan, dan pengaja rannya berada di lahan lain dari sosiologi. Sebagai sarjana lulusan dan mahasisw a di Universitas Chicago, ia bekerja sebagai pianist jazz profesional. Profesorn ya, Everett C. Hughes, yang mengutama kepentingan sosiologi kerja dan profesi, a dalah orang yang di anggap penting oleh Becker. Ia adalah Hughes, ujar Becker, y ang pertama kali mendorong dia untuk melakukan studi musisi jazz sebagai kelompo k profesional. Penelitian ini dipimpin oleh Becker untuk menulis tentang obatoba tan, dan ia menolak untuk menerbitkan lebih dari satu dekade hingga 1963, ketika iklim politik di Amerika Serikat telah ditingkatkan. Ia dikenal dengan kejelasa n tentang prosanya. Kesukaan Gaya penulisan nya mengkhianati silsilah akademis n ya: pada waktu ia masih seorang siswa, sarjana sosiologi di Universitas Chicago memeluk Paham positifisme mengenai Eropa Dan Midwestern Pragmatisme. Buku Becker ‘Writing for Social Scientists: How to Start and Finish Your Thesis, Book, or Art icle’ merupakan salah satu buku terbaik dalam menasehati semua akademis bagaimana cara menulis, dan mencerminkan hukuman yang berprosa bersih dan pemikiran jernih yang tidak dapat dipisahkan. "Teori Label," ditemukan di Outsiders: Studi di So siologi dari Deviance (1963), mungkin ini paling penting dan berpengaruh bagi so siologi. Becker menjelaskan bahwa penyimpangan didasarkan pada reaksi dan tangga pan orang lain dari seorang individu untuk bertindak. Label yang menyimpang akan diterapkan apabila seorang individu lain mengamati perilaku mereka dan untuk be reaksi dengan label sebagai orang yang menyimpang. Tidak ada tindakan khusus yan g menyimpang sampai kelompok dengan status sosial yang kuat atau posisi yang kua t memberikan semacam label (Becker, 101
1963). Teoritis pendekatan ini telah dipengaruhi penyimpangan kriminologi, jenis kelamin, identitas dan seksualitas penelitian. Buku yang dihasilkan, "Outsiders " merupakan pekerjaan penting dalam penyimpangan dari sosiologi dan dasar teori label. Untuk disertasi doktor, Becker belajar Chicago schoolteachers. Dia telah menerima beberapa penghargaan berdasarkan pada masa kontribusi terhadap sosiolog i, termasuk Cooley / Mead Penghargaan dari Psikologi Sosial bagian ASA pada tahu n 1985, dan Charles H. Cooley dan George Herbert Mead penghargaan dari Masyaraka t untuk Kajian Symbolic Interaksi (di mana ia menjabat sebagai presiden 1977-78) pada tahun 1980 dan 1987, masing-masing. Dalam penelitian itu pasti mengacu pad a teori dan konsep-konsep interaksi simbolis, tetapi juga berusaha untuk menyeli diki pengaruh struktur sosial pada tindakan individu dan identitas. Dia telah me lakukan penelitian individu pengembangan identitas mereka melalui pekerjaan, di lakukan dalam wawancara mendalam dengan orang-orang yang mengidentifikasi ganja sebagai pengguna, dan telah menulis tentang implikasi dari label masyarakat seba gai bahan obat-obatan dan pengguna narkoba sebagai addicts. Selama tinggal di Sa n Fransisco, Becker secara teratur bersinggah di prancis, sebelumnya di perusaha an Alain Pessin, seorang sosiologis di Universitas Grenoble yang menulis buku pa da Becker berjudul Un sociologue en liberté. Lecture de Howard S. Becker (A sociol ogist in liberty; a reading of Howard S. Becker). Pessin meninggal pada tahun 20 05. • Asumsi Labelling Theory Sebagai kontributor untuk Pragmatisme Amerika dan ke mudian anggota Sekolah Chicago, George Herbert Mead memposisikan bahwa diri seca ra sosial dibentuk dan direkonstruksi melalui interaksi, dimana masing-masing or ang miliki keterkaitan didalam masyarakat tersebut. Masing-Masing individu menya dari bagaimana mereka dihakimi atau dinilai oleh yang lainnya, sebab Herbert tel ah mencoba banyak peran berbeda dan banyak fungsi interaksi sosial dan telah mam pu mengukur reaksi dari itu semua. Secara teoritis, hal tersebut membangun suatu konsepsi hubungan diri. Tetapi ketika orang lain mengganggu ke dalam keseharian dan hal yang menyangkut hidup individu tersebut, ini menghadirkan data objektif yang mungkin memerlukan suatu 102
evaluasi ulang yang menyangkut konsepsi tersebut tergantung pada wewenang dari p ertimbangan orang lain. Keluarga dan teman-teman dapat menilai dengan cara dan s udut pandang yang berbeda dari orang asing ataupun orang lain secara acak. Wakil individu yang lebih bersosial seperti polisi atau hakim, dapat membuat pertimba ngan yang dapat dihormati secara lebih luas oleh orang lain. Jika penyimpangan a dalah suatu kegagalan untuk dicocokkan dengan aturan yang diamati oleh kebanyaka n dari kelompok, reaksi kelompok adalah melabel seseorang seperti sedang melawan norma-norma moral atau sosial perilaku mereka. Ini adalah kekuatan kelompok: un tuk mengangkat pelanggaran atas aturan mereka sebagai penyimpangan dan memperlak ukan orang tersebut secara berbeda tergantung pada kesungguhan pelanggaran terse but. Semakin berbeda perawatan, semakin self-image individu dipengaruhi. Baik su atu pelanggaran terhadap suatu aturan ditentukan akan digambarkan dengan " boo b oo politics " yang akan tergantung pada arti moral atau ajaran lain tersebut dih adirkan. Sebagai contoh, perzinahan mungkin adalah suatu pelanggaran atas suatu aturan informal atau mungkin saja ‘criminalized’ tergantung dengan status perkawinan , kesusilaan, dan agama di dalam masyarakat tersebut. Di kebanyakan negara-negar a barat, perzinahan bukanlah suatu kejahatan. Pemasangan label seperti "pezina" mungkin memiliki beberapa konsekuensi buruk tetapi mereka tidak selalu menjengke lkan. Tetapi dalam beberapa Negara Islam, berzinah adalah suatu kejahatan dan bu kti dari aktivitas diluar perkawinan dapat menuntun kearah konsekuensi yang menj engkelkan bagi semuanya. Ada juga permasalahan dengan stereotypes. Pelanggaran a tas aturan dapat diperlakukan dengan cara yang berbeda tergantung pada faktor pr ibadi seperti umur, jenis kelamin, ras, dan lain-lain dari pelanggar hukum, atau mungkin ada faktor structural yang relevan seperti kelas sosial pelanggar, ling kungan di mana kesalahan terjadi, jam, pukul, keadaan baru-baru ini atau malam, dan lain lain. Model Labelling Theory Secara umum, Labelling theory fokus pada d ua hal, namun berbeda dengan proses yang menyimpang arti dilampirkan untuk menja di aktor dan perilaku. Pertama, sebagian besar label theorists memperdebatkan ba hwa fenomena dari "Deviance" adalah 103
interactionally yang dibuat melalui proses yang rumit reaksi audiens atau aktor yang bertindak dalam suatu situasi sosial. Elemen dasar dalam proses ini adalah seperti yang digambarkan di bawah label Bagian I dari teori. Ketika penonton men galami permasalahan sosial dan perilaku masyarakat, karakteristik dari tindakan, aktor, para penonton, dan berubah bersama konteks mempengaruhi audiens dari int erpretasi subyektif atau sebab-musabab atribusi dari sumber "masalahnya." Apakah audiens menginterpretasikan masalah sebagai ekspresi pribadi atribut dari aktor (seperti jahat atau mental disorder) atau masalah yang dikaitkan dengan keadaan berubah atau tekanan? Pribadi attributions cenderung menyebabkan reaksi eksklus if, seperti penolakan dari aktor dari kelompok konvensional, dan label sebagai a ktor yang menyimpang. Di sisi lain, berubah attributions umumnya mengakibatkan r eaksi inklusif ditujukan untuk mengubah perilaku aktor dari repot tanpa kecuali dia dari hubungan konvensional grup. Kebanyakan versi label teori juga langsung ke kedua proses sosial yang mengalir dari pengalaman pelabelan dan dikeluarkan dari kelompok hubungan konvensional. A ktor sosial yang telah diberi label sebagai penyimpang dapat mengubah grup afili asi mereka dan mulai untuk menghubungkan dengan pihak lain yang juga telah diber i label. Selain itu, pelaku mungkin mengalami perubahan dalam konsep diri sebaga i akibat dari pengalaman dan mulai label untuk mengidentifikasi dengan label men yimpang. Akibatnya ini saling bertransformasi dalam hubungan sosial dan identita s pribadi, yang mungkin menjadi berkomitmen untuk pola yang stabil secondary (or "career") deviance sekunder (atau "karir") yang merupakan produk dari label pen galaman. This sustained pattern of deviant activity, in turn, might lead back to 104
continued labeling and rejection by conventional audiences. Selanjutnya penyimpa ngan dari pola kegiatan, pada gilirannya, mungkin akan terus kembali ke pelabela n dan penolakan oleh pemirsa konvensional. • Aplikasi Labeling atau penjulukan dapat bersifat positif maupun negatif. Baik la beling positif maupun labeling negatif akan berpengaruh terhadap perilaku seseorang khu susnya anak-anak, karena seperti kita ketahui bahwa anak mempunyai perasaan yang sangat peka, terutama pada anak-anak usia sekolah dasar. “Kamu memang anak yang b aik, pintar, rajin.” Dengan kita berkata demikian secara tidak langsung kita sedan g melakukan proses labeling positif pada seorang anak. Dan tentunya hampir semua orang menginginkan labeling positif ini. Begitu pula pada diri seorang anak dan apabila hal ini disertai dengan sikap kita yang mendukung labeling tersebut yai tu bersikap selayaknya pada anak yang baik, pintar, rajin. Maka hal ini akan men umbuhkan minat dan kepercayaan diri anak. Misalnya dalam pergaulan. Sebaliknya a pabila kita menyebut seseorang dengan sebutan “bodoh” ataupun “nakal” seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, itu berarti kita sedang melakukan proses labeling negat if pada orang tersebut yang bisa menyebabkan orang tersebut merasa tidak berharg a. Terlebih apabila orang tersebut bersikap menerima label ini dan kemudian kita memperlakukannya selayaknya seseorang yang bodoh atau nakal, maka hal ini dapat membuat dia merasa bahwa dia memang seperti apa yang dikatakan orang, walaupun sebenarnya dia tidaklah seperti itu, dan akibat terburuknya ialah apabila label tersebut telah melekat pada diri anak, 105
sehingga anak secara sadar maupun tidak akan menampilkan label tersebut dalam pe rilakunya sehari-hari. Kuat atau tidaknya label ini melekat dalam diri seorang a nak tergantung dari beberapa hal, diantaranya: Labeling adalah pemberian cap. Ba ik disadari atau tidak, adakalanya beberapa orang seorang itu “bodoh”, hanya karena orang tersebut belum dapat memahami suatu pelajaran dengan satu atau dua kali pe njelasan. Atau dalam beberapa kasus lain menyebut seseorang itu ”Nakal” karena dia m elakukan suatu kesalahan yang mungkin kesalahan tersebut dilakukan hanya untuk m encari perhatian dari orang lain. Apabila hal ini terus berlangsung dan disertai dengan sikap yang mendukung perkataan tersebut, maka secara tidak langsung kita telah melakukan labeling pada orang tersebut. Labeling Positif Seorang anak di cap sebagai “anak yang baik” oleh orang tua/gurunya dan hal ini tentunya sangat bera rti bagi anak tersebut. Anak bersikap positif dengan menerima labeling ini dan l ingkungan sekitar (rumah/sekolah) mendukung labeling ini, sehingga memperlakukan nya sebagai anak yang baik. Maka anak tersebut akan berusaha bersikap seperti ap a yang di cap orang terhadap dia yaitu menjadi anak yang baik. Hal ini terjadi k arena anak merasa dihargai dan pada akhirnya labeling ini akan melekat cukup kua t dalam diri anak.Tetapi apabila dengan labeling ini anak bersikap negative deng an tidak menerima labeling tersebut ataupun lingkungan sekitar bersikap negative juga, yaitu dengan memperlakukannya sebagai anak nakal. Maka labeling ini tidak akan melekat kuat pada diri anak. • Kritik Teori Labelling, yakni teori penjuluka n dapat bersifat positif maupun negative. Teori labeling adalah teori yang menga takan bahwa seseorang menjadi menyimpang karena proses pemberian julukan, cap, e tiket, merek oleh masyarakat kepadanya. Teori penjulukan memiliki label dominan yang mengarah pada suatu keadaan yang disebut dengan Master Status. Maknanya ada lah sebuah label yang dikenakan yang biasanya terlihat sebagai karakteristik yan g lebih atau menonjol dari aspek lainnya pada orang yang bersangkutan. Teori Lab elling terkadang tidak selamanya dianggap baik. Adakalannya seseorang mendapatka n cap, atau label yang tidak diinginkan oleh dirinya. Contohnya, 106
pada saat seseorang ingin belajar, pada saat ia mencoba dan tidak bisa sehingga melakukan kesalahan dan orang lain menganggapnya bodoh maka orang tersebut akan dianggap bodoh selamanya. Kenyataanya hal tersebut belum tentu benar, mungkin sa ja orang tersebut hanya belum bisa, namun bukan berarti tidak bisa. Karena adany a pelabelan inilah banyak orang yang awalnya hanya tidak dapat melakukan, menjad i dan menanamkan pada dirinya bahwa mereka memang tidak dapat melakukannya. Pemb erian julukan dapat mengakibatkan perubahan prilaku pada seseorang. Jika hal neg ative yang di capkan pada dirinya telah melekat di masyarakat, maka ia akan meng anggap secara sadar maupun tidak sadar bahwa hal tersebut adalah benar. Sebalikn ya pun demikian, jika ia mendapatkan cap positif maka citra dalam dirinya akan b ersifat positif pula. SPEECH ACT THEORY / TEORI BERBICARA • Tokoh Penemu John R Searle J.L Austin Speech Act Theory pertama kali dikemukakan oleh J.L Austin pada tahun 1962, dan apa yang kita pikirkan sekarang mengenai teori ini seluruhnya dikembangkan oleh John R Searle. John Langshaw Austin lahir di Lancaster pada 26 Maret 1911. Pada tahun 1924 ia memasuki Sekolah Shrewsbury dengan beasiswa. Dia bekerja keras unt uk mendapatkan beasiswa klasik ke Balliol College, Oxford. Untuk itu dalam studi klasik dan linguistik tersebut Austin sekarang menambahkan filosofi. 107
Setelah mengambil kehormatan pertama, dia berhasil untuk berkompetisi di perseku tuan Semua lulusan sarjana lainnya. 1935 Austin di atas penelitian ini telah mem berikan beasiswa kepada sesama dan mengajar menjadi pengajar di Magdalen College . Pada tahun 1945, Austin melanjutkan mengajar di Oxford, dan pada 1952 ia terpi lih untuk menduduki jabatan White’s chair filosofi. Dedikasi utama Austin adalah u ntuk mengajar, dan hasilnya, ia hanya menerbitkan sangat sedikit karyanya. Dalam masa singkatnya tersebut hanya tujuh karya muncul. Dia pernah sekali berkata pa da temannya: "Saya harus memutuskan apakah pada awal saya akan menulis buku atau untuk mengajar orang cara filosofi berguna." Awal karirnya Austin menemukan seb uah filosofis teknik yang berkembang secara langsung dari-Nya dan klasik studi l inguistik. Cara kerja filosofi ini, menurutnya, dimulai dengan pemeriksaan menye luruh dari sumber linguistik yang tersedia. Ini akan menjadi hal yang biasa digu nakan dalam bahasa daripada dalam kosakata teknis. Austin tidak mengikutu pertim bangan yang mengharuskan menggunakan bahasa biasa diakhir kata dalam argumen fil isofis, tetapi dia bersikeras bahwa “itu adalah kata yang pertama.” Apapun perbedaan yang telah menjadi tetap dalam bahasa sehari-hari, hidup untuk menggunakan dan menggantikan persaingan dalam kompetisi dengan alternatif distinctions, mungkin juga akan berpikir untuk menunjuk ke arah beberapa perbedaan nyata dalam pengala man. Penyelidikan rinci dari distinctions hampir gagal untuk mendapatkan diskusi filosofis untuk memulai sebuah produktif. Austin menguraikan, "kita mempertajam kesadaran akan kata untuk Austin mengembangkan strategi untuk mempertajam perse psi kita, walaupun bukan sebagai akhir dari fenomena." Dengan kecerdasan, kebija kan, dan kesadaran, mengumpulkan dan mengklasifikasikan banyaknya kata-kata, idi om, dan metafor yang biasanya melibatkan dalam diskusi filosofis yang menarik. • Latar Belakang Teori Komunikasi terkadang menggunakan satu isyarat atau kombinas i isyarat. Biasanya komunikasi melibatkan lebih banyak ucapan dan tindakan. Sebagian besar komunikasi, dari yang biasa sampai yang terperinci terdiri dari tindakan komplex pesan atau percakapan. Untuk mempelajari tentang struktur pesan digunakan sebua h analisis yang bernama Discourse analysis atau analisis percakapan. 108
Menulis dan bahasa nonverbal bisa dianggap sebagai salah satu bagian dari percak apan, kebanyakan analisis percakapan hanya dikonsentrasikan pada percakapan yang terjadi. Beberapa ahli membagi analisis percakapan ini dalam beberapa bagian se cara umum. Pertama tekait pada organisasi percakapan, prinsip ini digunakan oleh komunikator untuk menghasilkan pengertian kata dan tipe pesan lainnya. Analisis percakapan melihat bentuk-bentuk sebenarnya cara bicara dan bahasa nonverbal da ri melihat dan mendengar, dan mereka mempelajari arti dari bentuk-bentuk yang na mpak dalam kontex. Beberapa teori melihat bagaimana struktur suatu pesan bisa me mbuat pernyataan yang koheren atau masuk akal. Sedangkan teori lainnya melihat p ola bicara antara dua orang dalam suatu percakapan. Kedua, analisis ini melihat dari tindakan; tindakan adalah cara untuk melakukan sesuatu, pada umumnya menggu nakan kata. Analisis percakapan mengasumsikan bahwa kita harus tahu bagaimana ba hasa itu digunakan, bukan hanya aturan dalam tatabahasa dalam satu kalimat saja, tetapi juga aturan untuk satuan yang lebih besar untuk dapat emandang sesuatu m enurut kegunaannya (pragmatik) dalam situasi sosial. Analisis percakapan lebih m enarik dalam bagimana seorang pembicara benarbenarmengorganisasikan pesan untuk menyelesaikan berbagai hal. Ketiga, analisis percakapan mencari sebuah prinsip y ang digunakan komunikator dari perspektif komunikator itu sendiri. Ini tidak ter kait dengan sifat psikologi yang tersembunyi atau fungsi otak, tetapi dengan mas alah percakapan seharihari. Banyak dari tujuan komunikasi kita terbagi dalam seb elum dan sesudah tingkah laku kita. Tepat bila kemampuan linguistik terkait deng an peraturan berbahasa, analisis percakapan terait dengan peraturan transaksi at au pertukaran pesan. Ada empat riset umum yang berhubungan percakapan ini. Yang pertama adalah Speech act theory, yang kedua propotional coherence theory, yang ketiga conversation analysis, dan yang terakhir adalah poststructuralist movemen t. Untuk mempelajari Speech Act Theory teori terlebih dahulu harus mengerti tent ang filosofinya dan mempelajari bahasa, teori ini sudah berkembang sejak abad ke 20. Pedoman dalam mempelajari ilmu bahasa ini pertama kali dikembangkan oleh Cha rles Morris pada tahun 1930. Charles Morris mengelompokan ilmu bahasa kedalam ti ga pembelajaran yaitu; semantik, sintaksis, dan pragmatis. Semantik mempelajari tentang hubugan antara lambang dengan artinya. Sementara sintaksis mempelajari 109
tentang tata bahasa dan menjelaskan grammar yang digunakan dalam berbahasa. Sela njutnya, pragmatik menjelaskan tentang tata cara berbahasanya. Pada awal abad ke -20, ilmu bahasa dan filosofi umumnya berpusat pada sistem formal. Didalam ilmu bahasa, semantik dan sintaksis menjadi hal yang diprioritaskan. Ilmu bahasa dala m era sekarang jarang berhubungan dengan tingkah laku, bahkan tidak pernah. Peru bahan ini terjadi pada pertengahan abad, bagaimanapun dengan perpindahan bahasa yang luar biasa dalam filosofi. Pendekatan filosofi ini mempertimbangkan penggun aan bahasa, bukan bahasa yang formal dan sistem steril. Speech act theory ini mu ncul dari pengembangan bahasa dan filosofi. Ini jelas merupakan bagian dari teor i pragmatik yang mana mencoba untuk mengatur berbagai macam permainan bahasa yan g digunakan oleh orang-orang untuk berinteraksi. Namun, Speech act theory tidak sepenuhnya terlepas dari sematik, sisntaksis, dan sema sistem tata bahasa formal dan filosofi dalam teori ini masih mencoba untuk mengetahui sistem tentang baga imana cara mempengaruhi dengan menggunakan bahasa sehingga komunikasi bisa berha sil. • Teori Dalam teori ini speech act adalah dasar standar bahasa yang digunakan untuk memunculkan makna. Secara normal Speech Act hanyalah sebuah kalimat, tapi bisa berubah menjadi sebuah kata atau ungkapan selama mengikuti aturan yang dip erlukan teori tersebut, atau memainkan gaya bahasa. Bila kita mengucapkan sebuah kata, kata tersebut bukan berarti hanya sebuah kata saja. Bilamana satu kata di tunjukan dengan satu gerakan. Gerakan tersebut mungkin saja untuk menyatakan per tanyaan, perintah, janji, atau berbagai kemungkinan lain. Dalam Speech act theor y ini sekecil apapun gerakan atau kata yang kita ucapkan dapat mengandung sebuah makna. Jika kita berkata, “Saya berjanji untuk mengembalikan hutang-hutangmu.” kita menganggap bahwa orang lain mengetahui makna kata-kata itu. Tetapi mengetahui k ata-kata itu tidaklah cukup, kita menginginkan orang lain mengetahui maksud dan tujuan kita dengan kata-kata yang kita ucapkan tersebut. Mengetahui apa yang kit a maksud untuk menyempurnakan dengan menggunakan kata-kata adalah penting. Speec h act theory didesain untuk membantu kita memahami bagaimana orang-orang melengk api atau menyempurnakan sesuatu dengan kata-kata. 110
Dalam Speech Act Theory Kapanpun kita membuat suatu pernyataan, “Aku akan membayar hutangmu.” Kita sedang melengkapi beberapa hal. Pertama, kita menghasilkan percak apan. Ini disebut utterance (ungkapan) act, yaitu suatu pengucapan kata-kata dal am kalimat dengan sederhana. yang kedua, kita menyatakan sesuatu mengenai dunia, atau menampilkan suatu propositional act. Dengan kata lain, kita mengatakan ses uatu jika kita tidak percaya bahwa itu benar, atau kita mencoba untuk meyakinkan orang lain untuk percaya. Yang ke tiga, yang paling penting dalam speechact pes pective yaitu, kita memenuhi suatu tujuan, yang mana disebut illocutional act. D imana setiap kata yang kita ucapkan pasti memiliki tujuan. The illucutional act merupakan inti dari teori ini kemudian possible accomplishment of message. Yang ke empat adalah perlocutionary act, yaitu yang didesain untuk mempunyai suatu da mpak aktual pada perilaku orang lain. Dampak ini bisa berupa menggerakan orang l ain untuk melakukan apa yang kita inginkan dalam kata-kata kita tersebut. Perbed aan-perbedaan ini lebih penting dari pada yang mereka duga. Ada perbedaan antara illocution dan perlocution. Illocution adalah suatu tindakan yang mana dalam ke prihatinan yang mendasar milik si pembicara adalah bahwa pendengar memahami the intention untuk membuat suatu janji, suatu undangan, permintaan, atau apa saja. Disini pendengar tidak melakukan tindakan apapun. Perlocution adalah suatu tinda kan yang mana si pembicara mengharapkan si pendengar tidak hanya memahami maksud tersebut tetapi juga untuk bertindak atas maksud tersebut. Dengan kata lain dal am perlocutionary ini pendengar merespon dengan tindakan. Jika kita berkata “aku h aus” dengan maksud agar orang lain mengerti bahwa kita membutuhkan sesuatu untuk m inum. Kita hanya menampilkan illocutionary act saja. Jika kita ingin supaya dia membawakan air mineral, kita mengirimkan perlocutionary act. Dalam speech act li terature, contoh ini disebut permintaan tidak langsung, dan kedua hal tersebut d isebut illocutionary dan perlocutionary. Sekarang adanya perbedaan antara propos itional dan illocutionary acts. Suatu proposisi, sebagai satu aspek dari isi per nyataan, menunjukan beberapa kualitas atau asosiasi dari suatu objek, situasi, a tau peristiwa. Contoh dari proposisi, kue itu enak, garam itu berbahaya bagi tub uh, dan nama perempuan itu adalah Martha. Contoh tersebut tak lantas membuat ses eorang langsung percaya dengan apa yang diucapkan. Proposisi dapat dievaluasi da lam terms dari truth-value (nilai kebenaran) tersebut. 111
tetapi, kita hampir selalu ingin mengkomunikasikan sesuatu lebih dari sekedar ke benaran dari suatu proposisi: kita ingin melalukan sesuatu yang lain dengan kata -kata kita. Dengan kata lain kita ingin meyakinkan seseorang dengan kata-kata ki ta itu, karena nilai kebenaran yang terkandung dalam proposisi. Dalam speech-act theory, kebenaran tidak disadari begitu penting. Malahan, pertanyaan yang nyata adalah apa yang si pembicara bermaksud untuk melakukan dengan uttering a propos ition. Bagi Searle, propositions harus selalu dilihat sebagai bagian dari kontek s yang luas, yaitu the illocution. Searle akan tertarik pada tindakan seperti be rikut: “Saya bertanya apakah kue itu enak”; “Saya memperingatkanmu bahwa garam itu ber bahaya bagi tubuh”; “Saya menyatakan bahwa nama perempuan itu adalah Martha”. Apa yang dilakukan si pembicara dengan proposisi, adalah speech-act – dalam contoh-contoh ini adalah bertanya, memperingatkan, dan menyatakan (asking, warning, stating). Makna dari speech act adalah illocutionary face-nya. Contohnya, pernyataan “Saya l apar”. Dapat terhitung sebagai permintaan jika maksud pembicara adalah supaya si p endengar menawarkan makanan. Dengan kata lain, hal itu dapat terhitung sebagai s uatu tawaran jika si pembicara bermaksud untuk mengatakan bahwa dia akan mulai m embuat makan malam atau itu mungkin secara sederhana mempunyai illocutionary for ce dari suatu pernyatan yang didesain atau dirancang hanya untuk menyampaikan in formasi dan tidak ada yang lebih. Illocutionary force hampir mirip dengan perloc utionary act, illocutionary force disini sebenarnya sebagai paksaan agar pendeng ar mau melakukan apa maksud dari perkataan kita atau melakukan illocutionary act . Kita tahu suatu maksud di samping pesan yang saat ini, berdasarkan Searle kare na kita membagi bahasa umum, adanya peraturan-peraturan, yang membantu kita mend efinisikan illocutionary force dari suatu pesan. Dalam kasus ini, kita membagi s uatu pemahaman dari apa yang dihasilkan dari itu. Searle berkata secara mendasar bahwa “mengucapkan sebuah bahasa mengikat dalam sebuah bentuk rule-governed dari sebuah perilaku”. Dua tipe penting dari aturan tersebut adalah constitutive dan re gulative. Constitutive rule secara nyata menghasilkan permainan-permainan; yang permainan tersebut dihasilkan atau dikonstitusikan oleh aturan tersebut. Dalam s peech act, constitutive rule mengatakan pada kita apa yang ditafsirkan sebagai j anji, sebagai perlawanan pada sebuah permintaan atau pada sebuah 112
perintah. Constitutive rule menetapkan keterangan perhitungan perilaku dalam int eraksi. Salah satu intensi secara luas dipahami oleh orang lain karena constitut ive rule tersebut; mereka berkata pada orang lain apa yang diharapkan sebagai se buah jenis khusus dari speech act. Beberapa tindakan illocutionary harus memilik i seperangkat dasar dari constitutive rule. Propositional content rule menspesif ikkan beberapa kondisi dari obyek yang ditunjukkan. Sebagai contoh, dalam sebuah janji, si pembicara harus mengatakan bahwa tindakan masa depan akan terselesaik an, barangkali untuk membayar kembali hutang yang ada. Preparatory rules melibat kan dugaan prekondisi dalam pembicara dan pendengar secara perlu bagi tindakan u ntuk mengambil tempat. Sincerity rule menunjuk pada pembicara untuk memaknai apa yang ia katakan. Essential rule berkata bahwa tindakan sesungguhnya diambil dar i pendengar dan pembicara untuk menunjukkan kembali apa yang terlihat menjadi di awal. Dengan kata lain kata-kata janji membangun kewajiban kontraktual diantara pembicara dan pendengar. Tipe constitutive rule ini diyakini untuk menunjukkan secara luas dari tindakan illocutionary seperti sebagai permintaan, pernyataan, bertanya, berterima kasih, beriklan, memberi peringatan, dan mengucapkan selamat . Tipe yang kedua dari aturan adalah regulative. Regulative rule memberi petunju k untuk bertindak dalam sebuah permainan. Regulative rule ini menetapkan keteran gan urutan perilaku yang seharusnya berada pada keadaan tertentu. Perilaku diket ahui dan tersedia sebelum digunakan dalam tindakan dan mengatakan pada kita baga imana menggunakan speech act untuk melakukan maksud khusus. Speech act tidak suk ses ketika kekuatan illocutionary mereka tidak dipahami dan mereka dapat mengeva luasi tingkatan pada yang mereka gunakan sebagai aturan dari speech act. Padahal proposisi dievaluasi dalam term kebenaran atau validity, speech act kemudian di evaluasi dalam term felicity atau tingkatan pada kondisi dari tindakan yang bert emu. Felicity dari janji adalah apakah essential rule bagi pengeksekusian sebuah janji telah bertemu. Tipe-tipe Speech Act Theory Speech act theory tidak terlal u mementingkan sintaksis ungkapannya, atau bahkan arti semantik dari ungkapan pe rnyataan tersebut. Justru Speech act theory lebih 113
mementingkan performa pada saat orang tersebut sedang berpidato dan efek yang di dapat penonton saat memperhatikan pidato mereka itu. Salah satu keberhasilan dar i speech act theory ini dapat memisahkan macam-macam illocutionary yang melekat pada speech act. Lima tipe speech act theory : • Assertives : merupakan ungkapan y ang mempercayakan speaker untuk mendukung kebenaran dari proposisi. Hal ini meli puti mengungkapkan, menegaskan, menyimpulkan, dan mempercayai. • Directives : illo cution yang berusaha membujuk pendengar untuk melakukan sesuatu, misalnya dengan memberi saran, memberi permintaan, memberi izin, dll. • Commisive : yang mempercayakan speaker untuk sebuah tindakan yang akan datang. M ereka terdiri dari beberapa hal seperti berjanji, bersumpah, menjamin, berkontra k, dan memberi garansi. • Expressive : Mengkomunikasikan pernyataan-pernyataan psikologis si pembicara, seperti berterima kasih, mengucapkan selamat, meminta maaf, dan mengu capkan selamat datang. • Declaratives : Memberikan pernyataan yang tegas, Sebagai contoh adalah pengangkatan, pernikahan, dan pemberhentian. Setelah mengelompokan berbagai tipe speech act, langkah selanjutnya yaitu bagaimana cara mengerti seb uah ungkapan yang istimewa dalam sebuah percakapan. Speech act theory berisikan bahwa kita peduli dengan interaksi yang berlangsung terus menerus selama penggun aan peraturannya. Aturan-aturan dalam Speech act theory terlihat lebih spesifik yang dapat membantu untuk mengartikan apa yang dikomunikasikan pada setiap kalim at dan bagaimana sebuah ungkapan atau kalimat harus digunakan dalam berinteraksi . • Aplikasi Pengaplikasian Speech Act Theory dikembangkan oleh para ahli bahasa, tetapi aplikasi ini memiliki dampak pengaruh yang besar kepada ilmu sosial dan u mat manusia. Misalnya pada bidang antropologi,pendidikan kebudayaan, edukasi, ke sastraan, etnografi, dan lain-lain. Pengaplikasian ini meliputi aspek pengembang an 114
kemampuan berbicara, dan penggunaan tata bahasa. Dalam disiplin ilmu komunikasi, speech act theory digunakan untuk menjelaskan rangkaian kalimat percakaan, seri ngkali dalam bidang konjungsi dengan metode prinsip analisis komunikasi. Contoh pengunaan Speech Act Theory ini pada Penamaan, kata sapaan, sebutan, kata ganti (untuk benda dan orang), keterangan tempat atau waktu serta hubungan antara kata -kata tersebut dengan konteks penggunaannya direfleksikan secara linguistis dala m istilah ”deixis”. Deixis berasal dari bahasa Yunani yang bermakna “menunjukkan”, di da lam bahasa Latin disebut ”demonstratio”. Dalam ”deixis” dibahas bagaimana bahasa meng-en kodifikasi dan menggramatikalisasi konteks ujaran atau suatu peristiwa ujaran. D engan demikian, interpretasi terhadap suatu ujaran sangat bergantung pada analis a setiap konteks di luar ujaran. Penerapan deixis akan lebih ”mudah” terlihat dalam face-to-face-interaction. • Kritik-Kritik Van Rees memberikan ringkasan kritikan m engenai teori ini kedalam tiga katagori. Yang membuatnya sulit menganalisis teor y ini, yaitu: 1. Feasibility/ kemungkinan yang terjadi • Sangat memungkinkan untuk menghubungkan sebuah kalimat atau ungkapan dalam system act fashion ke speech a ct. Namun apakah sebuah kalimat dapat dikategorikan secara signifikan? 2. Empric al Valadity • Meskipun speech act theory digunakan untuk ”menyamakan persepsi yang d ijelaskan oleh sumber informasi”, sebenarnya menjelaskan ungkapan itu sendiri. 3. Explanatory potential/ Keungkinan penolakan • Kritikan : Apakah speech act theory benar-benar setuju denga penggunaan percakapan yang bermacam-macam dan tidak men entu? Apakah speech act theory sebagai alat yang digunakan untuk mengerti sebuah ucapan? Sumber Infante Dominic. A, Andrew S. Rancer. Building Communication The ory, Second edition. 1993. USA: Daanna F. Womck. 115
Littlejhon, Stephen W. Theories of Human Communication, Fifth Edition. Spiral of Silence • Tokoh Penemu Nama TTL Pendidikan : Elisabeth Noelle-Neumann : Berlin, 19 Desember 1916 : - University of Göttingen (1935) Friedrich Wilhelm University University of Missouri adalah ilmuan poltik Elisabeth Noelle-Neumann Jerman. Kontribusi yang paling terkenalnya adalah menemukan sebuah teori Spiral of Silence, yang lebih terinci dalam bukunya yaitu The Spiral of Silence : Publi c Opinion - Our Social Skin. Dia mendapatkan Abitur pada tahun 1935 di universit as Göttingen. dan kemudian belajar filsafat, sejarah, jurnalisme, dan Amerika stud i di Universitas Friedrich Wilhelm, Königsberg Albertina University, dan Universit y of Missouri. Dia tinggal di Amerika Serikat dari tahun 1937 sampai 1938. Pada tahun 1940 ia menerima dia Phd dan berkonsentrasi pada penelitian opini publik d i Amerika Serikat. Pada tahun 1940 ia bekerja sebentar untuk Nazi di sebuah medi a massa koran Das Reich. . Pada tanggal 8 Juni 1941, Das Reich mempublikasikan t ulisan Noelle Neumann yang berjudul “Who Informs America? Dimana dia menyebarkan c erita yang dibuatbuat bahwa sindikat yunani menjalankan media Amerika. Dia menul is, “ Orang-orang Yahudi, didalam tulisan mereka sendiri, telah hampir dimonopoli oleh lembaga periklanan dan oleh karena itu dapat membuka dan menutup pintu-pint u gerbang pendapatan iklan yang mereka inginkan." Akhirnya dia dipecat ketika di a menukar foto yang tidak baik dari Franklin D. Roosevelt untuk mencari yang leb ih baik. Dia Kemudian bekerja untuk Frankfurter Zeitung sampai tahun 1943 karena dilarang bekerja di tempat itu. . Tahun 1947 ia dan suami pertama Erich Peter N eumann mendirikan sebuah organisasi penelitian opini publik - Institut für Demosko pie Allensbach, yang hari ini adalah salah satu yang paling dikenal dan paling b ergengsi di Jerman. 116
Dari 1964 sampai 1983 ia memegang jabatan di Johannes Gutenberg University of Ma inz. Noelle-Neumann adalah presiden dari Asosiasi Dunia untuk Penelitian Opini P ublik 1978-1980 dan bekerja sebagai tamu profesor di Universitas Chicago dari 19 78 sampai 1991. (Sumber: http://en.wikipedia.org/wiki/Elisabeth_Noelle-Neumann ) • Latar belakang teori Teori ini muncul karena adanya eksperimen yaitu eksperimen Asch (1958) dan eksperimen Hilgram (1963). Noelle mengatakan, “If public opinion arises from an interaction of individuals with their social environments, we sho uld find at work the processes which Asch and Milgramhave confirmed experimental ly. To the individual, not isolating himself is more important than his own judg ment”. • Asumsi Teori Menurut Noelle Neumann (West, Richard & Lynn H. Turner. Introd ucing Communication Theory: Analysis adn Aplication- 3rd edition. Mc Grawhill: 2 007. Hal: 445) teori Spiral kebisuan memiliki tiga asumsi mendasar, yaitu: 1. Ba hwa individu pada umumnya berusaha untuk menghindari isolasi; ketakutan akan ter isolasi. 2. Ketakutan akan terisolasi menyebabkan individu mencoba untuk menilai opini terus menerus. 3. Perilaku masyarakat yang dipengaruhi oleh penilaian opi ni publik. Konsep Teori Opini Publik Berbicara teori ini, kita tidak lepas dari apa yang namanya opini publik. Karena teori ini sangat kental dengan adanya opin i publik. Menurut saya opini publik itu adalah pendapat kelompok masyarakat atau sintesa dari pedapat dan diperoleh dari suatu diskusi sosial dari pihak-pihak y ang memiliki kaitan kepentingan. Dari opini ini, spiral ini akan terlihat mana o rang yang menganut minoritas dan mayoritas. Menurut Noelle Neumann, (West, Richa rd & Lynn H. Turner. Introducing Communication Theory: Analysis adn Aplication3rd edition. Mc Grawhill: 2007. Hal: 117
444) Dia memisahkan Opini Publik kedalam dua terminologi yang terpisah: Publik d an Opini. Publik menurutnya mewakili sisi dari sosial-psikologis individu. Artin ya, individu tidak hanya memikirkan dirinya tetapi juga memikirkan tentang hubun gan mereka dengan yang lainnya. Sedangkan opini adalah ekspresi dari sebuah tind akan. Jadi dari dua terminologi itu, Noelle Neumann mendefinisikan Opini Publik sebagai perilaku atau sikap seorang yang danyatakan di publik jika seseorang tid ak untuk mengisolasinya sendiri; pada area perdebatan dan perubahan, opini publi k adalah sikap seseorang yang dapat disampaikan tanpa membawa bahaya untuk mengi soalsi dirinya. Jadi opini publik adalah perilaku dan sikap yang dinyatakan oleh publik dalam rangka menghindari isolasi. • Aplikasi Tentunya persepsi individu bu kanlah satu-satunya kekuatan yang bekerja dalam proses ini, dan media massa meru pakan salah satu kekuatan lainnya. Apa yang menjadi pandangan yang dominan pada suatu waktu tertentu sering kali dentukan oleh media. Kekuatan lain yang bekerja dalam proses ini adalah tingkat dukungan orang-orang dalam lingkungan seseorang . Ketika orang tinggal diam, orang-orang di sekelilingnya akan melakukan hal yan g sama, dengan demikian definisi media massa atas suatu pandangan dan kurangnya dukungan yang diungkapkan atas pandangan seseorang dalam komunikasi antar pribad i, akan semakin menguat dan menghasilkan spiral kebisuan tersebut. Media massa m emainkan peran penting dalam spiral kesunyian karena media massa merupakan sumbe r yang diandalkan orang untuk menemukan distribusi opini publik. Media massa dap at berpengaruh dalam spiral kesunyian dalam tiga cara: (Severin, Warner J. & Jam es W. Tankard. Communication Theories: Origins, Methods, and Uses in The Mass Me dia. Longma:1992. Hal: 253) (1) media massa membentuk kesan tentang opini yang d ominan; (2) media massa membentuk kesan tentang opini mana yang sedang meningkat ; dan (3) media massa membentuk kesan tentang opini mana yang dapat disampaikan di muka umum tanpa menjadi tersisih. Teori ini memberikan media massa lebih bany ak kekuatan dari pada teori-teori lain. Noelle-Neumann menyatakan media massa me mpunyai dampak yang sangat kuat 118
pada opini publik tetapi dampak ini diremehkan atau tidak terdeteksi di masa lal u karena keterbatasan riset. Noelle-Neumann menunjukan bahwa tiga karakteristik komunikasi massa – kumulasi, ubikuitas, dan harmoni – bergabung unutk menghasilkan d ampak pada opini publik yang sangat kuat . 1. 2. 3. Kumulasi (cumulation) mengac u pada pembesaran tema-tema atau pesan-pesan tertentu secara perlahan-lahan dari waktu ke waktu. Ubikuitas (ubiquity) mengacu pada kehadiran media massa yang te rsebar luas. Harmoni (consonance) mengacu pada gambaran tunggal dari sebuah keja dian atau isu yang dapat berkembang dan sering kali digunakan bersama oleh surat kabar, majalah, jaringan televisi, dan media lain yang berbeda-beda. Dampak har moni adalah untuk mengatasi ekspor selektif, karena orang tidak dapat memilih pe san lain, dan untuk menyajikan kesan bahwa sebagian besar orang melihat isu deng an cara yang di sajikan media. Eksplanasi dan Proporsi Teori Berangkat dari asum si tersebut, spiral kesunyian selanjutnya menjelaskan bahwa individu pada umumny a berusaha untuk menghindari isolasi, dalam arti sendirian mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Oleh karenanya orang akan mengamati lingkungannya untuk mempelajari pandangan-pandangan mana yang bertahan dan mendapatkan dukungan dan mana yang tidak dominan atau populer, maka ia cendrung kurang berani mengekspre sikan, karena adanya ketakutan akan isolasi tersebut. Pada sebuah isu kontrovers ial, orang-orang membentuk kesan tentang distribusi opini. Mereka mencoba menent ukan apakah mereka merupakan mayoritas, dan kemudia mereka mencoba menentukan ap akah opini Publik sejalan dengan mereka. Apabila mereka merasa adalah minoritas, maka mereka cenderung untuk diam berkenaan dengan isu tersebut. Semakin mereka diam, semakin orang lain merasa bahwa sudut pandang tertentu tidak terwakili, da n mereka semakin diam. Jumlah orang yang tidak secara terbuka mengekspresikan pe ndapat yang berbeda dan perubahan dari pendapat yang berbeda kepada pendapat yan g dominan. Sebalikya, pendapat yang dominan akan menjadi semakin luas dan kuat. Semakin banyak orang merasakan kecendrungan ini dan menyesuaikan pendapatnya, ma ka satu 119
kelompok pendapat akan menjadi dominan, sementara lainnya akan menyusut. Jadi ke cendrungan seseorang untuk menyatakan pendapat dan orang lainnya menjadi dinamak an mengawali suatu proses spiral yang meningkatkan kemapanan satu pendapat sebag ai pendapat umum atau pendapat yang dominan. Teori spiral kebisuan mengacu hanya pada satu prinsip, walaupun itu merupakan salah satu yang paling penting dari k omunikasi massa. Dalam istilah umum teori spiral kebisuan ini lebih memperhatika n pengaruh antara empat elemen: komunikasi massa; komunikasi interpersonal dan r elasi sosial; ungkapan opini individu; dan persepsi individu yang ada di sekitar ’opini iklim’ mereka dalam lingkungan sosial. Teori ini mendasarkan asumsinya pada pemikiran sosial-psikologis tahun 30-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi s angat tergantung pada apa yang dipirkan oleh orang lain, atau atas apa yang oran g rasakan sebagai pendapat dari orang lain. Model Teori Sumber: Severin Warner J. dan James W. Tankard, Jr. Communication Theories: Orig in, Methods, And Uses In The Media -3 rd ed. (London: Longman 1988), hlm 253. Media massa bersama dengan jaringan hubungan antar pribadi, keduanya menjadi fak tor paling utama di dalam membentuk persepsi individu dari “iklim opini”. Penilaian menyangkut iklim pendapat umum berasal dari dua sumber: pengamatan langsung deng an individu di dalam lingkungan hidup mereka sendiri dan pengamatan tidak langsu ng melalui media massa. Jika pandangan yang 120
tertentu mendominasi di media massa, ini akan mengakibatkan penaksiran terlalu t inggi dari segi pandangan itu. MUNCUL PERDEBATAN YANG MENERPA PUBLIK Keinginan untuk Media massa memberikan opini-opini dari pedebatan yang menerpa itu dengan domina n, sesuai dengan karakteristiknya kumulasi, ubikuitas, dan harmoni. Muncul pendapat minoritas: Seseorang Orang-orang secara yang tadi ingin beropini , menjadi menahan opini mayoritas setuju dengan itu. Karena pendapat dari media terpaan pendapat dari publik yang mayoritas dan media massa massa yang berbeda d engannya. Media dikombinasikan massa dengan menyatakan dukungan opini antar yang yang berkurang, menghasilkan kesunyian, dominan, semakin spiral dengan pribadi PENDAPAT MINORITAS: KETAKUTAN AKAN TERISOLASI jumlah individu mungkin menyatakan opini yang dominan atau mungkin tidak mampu m enyatakan opini yang menyimpang yang semakin meningkat. AVANT GARDE DAN HARD CORE Orang-orang yang tidak terpengaruh oleh spiral kebisua n ini ialah orangorang yang dikenal sebagai avant garde dan hard core. Yang dima ksud dengan avant garde di sini ialah orang-orang yang merasa bahwa posisi merek a akan 121
semakin kuat. Orang yang mewakili dari avant Garde adalah intelektual, artis, da n pembaharu dari barisan depan yang membawa gagasan baru. Seorang yang avant Gar de mereka mencari tanggapan publik, walaupun itu hal yang negatif pada umumnya. Sedangkan orang-orang yang termasuk ke dalam kelompok hard core ialah mereka yan g selalu menentang, apa pun konsekuensinya. mereka bertaut pada masa lalu dan me nghormati pengasingan sebagai harga yang harus mereka bayar. (Griffin, Em. A Fir st Look At Communication Theory - 6th edition. Mc Grawhill:2007. Hal: 416) • Aplik asi Contoh yang lebih sederhananya mungkin seperti ini, kita pasti mengenal mari uana. Mariuana atau yang biasa kita sebut ganja itu berfungsi salah satunya untu k menyembuhkan. Secara medis, ganja banyak digunakan untuk mengobati glaucoma, d an terbukti efektif untuk mengobati depresi, hilangnya nafsu makan, tekanan dara h tinggi, kecemasan, migraine, dan berbagai problem menstruasi. Kita ilustrasika n dengan model teori spiral kebisuan: “Ganja digunakan untuk untuk membantu meringankan kegelisahan yang disebabkan oleh penyakit’ Ada perdebatan pada contoh kali ini. Apakah sebuah ganja menjadi sebuah yang ber manfaat atau tidak. Ketika isu ini masuk, mulailah masyarakat ingin berbicara. P endapat masyarakat pun beragam. Ada yang setuju dan tidak. Kemudian media massa merasa terpanggilkan untuk memberikan pendapatnya juga. Media massa dengan kekua tan dan karakeristikya memberikan pendapat mayoritas bahwa menurut survei ganja baik untuk kesehatan. Dengan seperti ini, kekuatan pemandang mayoritas menjadi b esar dengan bantuan dari media massa. Merasa pendapatnya akan kalah, pemandang m inoritas mulai berfikir agar mereka tidak terkucilkan dengan kekuatan opini medi a massa dan pemandang mayoritas. Di tandai dengan bentuk spiral yang semakin men gecil, opini minoritas akhirnya tidak diungkapkan agar mereka tidak terkucilkan. Akhirnya masyarakat yang berpandangan minoritas ini akan mengikuti atau “ikutikut an” dengan pendapat dari mayoritas. 122
• Evaluasi Secara ontologis, bisa dilihat bahwa teori ini termasuk kategori ilmiah . Teori ini menyatakan bahwa sudah menjadi nasib atau takdir (fate) kalau pendapat atau pand angan (yang dominan) bergantung pada suara mayoritas dari suatu kelompok. Sepert i kebanyakan teori-teori yang lain, teori ini bukan tanpa kritik. Berlakunya teo ri ini hanya situasional dan kontekstual, yakni hanya sekitar permasalahan penda pat dan pandangan pada kelompok. Sedangkan untuk ketentuan lain, seperti pendapa t tentang suatu keahlian, misalnya untuk suatu penemuan ilmiah dan keahlian lain nya, tidak didasarkan pada pendapat kelompok. Noelle Neumann menyatakan bahwa ke mauan untuk berbicara mengenai isu-isu sangat dipengaruhi oleh persepsi iklim op ini – apabila iklim opini melawan seseorang, maka orang itu akan diam. Kekuatan ya ng memotivasi untuk diam ini digambarkan ketakutan akan keterasingan. Lasorsa (1 991) mempertanyakan apakah kekuatan akan iklim opini yang bermusuhan adalah bena r-benar kuat, dan dia melaksanakan sebuah penelitian untuk menyelidiki pertanyaa n tersebut. Dia melaksanakan sebuah survei dimana dia menguji apakah keterbukaan politik dipengaruhi tidak hanya oleh persepsi iklim opini seperti yang dinyatak an oleh Noelle Neumann, tetapi juga oleh variabelvariabel lain. Variabel-variabe l lain ini meliputi usia, pendidikan, penghasilan minat dalam politik, tingkat d alam persepsi atas kemampuan diri, relevansi pribadi dengan isu, penggunaan medi a berita oleh seseorang, dan perasaan yakin seseorang dalam kebenaran pendapatny a. Hasil analisis regresi menunjukan keterbukaan dipengaruhi oleh rintangan vari abel demografi, tingkat persepsi atas kemampuan diri, perhatian pada informasi p olitik dalam media berita, dan perasaan yakin seseorang dalam posisinya, tetapi tidak dipengaruhi oleh relevansi pribadi pada isu atau penggunaan media berita s ecara umum. Lasorsa menyatakan bahwa hasil penelitiannya menunjukan bahwa dihada pan opini publik, orang tidak benar-benar selemah yang dinyatakan oleh teori Noe lle Neumann, dan terdapat kondisi-kondisi yang memungkinkan untuk memerangi spir al kesunyian. Noelle Neumann menyatakan bahwa media massa memainkan peran pentin g ketika orang berusaha untuk menentukan opini mayoritas. Rimmer dan Howard (199 0) berusaha menguji hipotesis kunci dari spiral kesunyian, yakni bahwa media mas sa digunakan untuk menilai opini mayoritas. Mereka melaksanakan sebuah survei ya ng 123
menangani opini publik berkena-an dengan polychlorinated biphenls (PCB) zat limb ah racun yang dipercaya menyebarkan kanker. Mereka mengukur penggunaan beberapa jenis media massa oleh responden, dan mereka juga mengukur seberapa akurat respo nden menganggap opini mayoritas sehubungan dengan PCB (mayoritas berpendapat bah wa komunitas hendaknya menunggu pengujian sebelum mengambil tindakan yang berken aan dengan PCB). Mereka tidak menemukan hubungan antara penggunaan media dan kem ampuan untuk memperkirakan dengan akurat pendapat mayoritas berkenaan dengan PCB . Dengan demikian, hasil-hasil ini tidak mendukung gagasan bahwa media massa mem ainkan peran utama dalam spiral kesunyian. Sumber Severin, Warner J. & James W. Tankard. Communication Theories: Origins, Methods, and Uses in The Mass Media. L ongma:1992. Griffin, Em. A First Look At Communication Theory - 6th edition. Mc Grawhill:2007. West, Richard & Lynn H. Turner. Introducing Communication Theory: Analysis adn Aplication- 3rd edition. Mc Grawhill: 2007. Teori Komunikasi Marital Teori komunikasi marital mengangkat skema hubungan dalam keluarga • Latar Belakang 124
Selama bertahun-tahun Mary Anne Fitzpatrick dan koleganya telah mengembangkan sebuah penelitian dan teori mengenai hubungan keluarga, khususnya suami dan istri. Selanjutnya penelitian dan teori yang lebih baru, Ascan Koerner dan Mary Anne Fitzpark memperluas karya ini agar mencakup seluruh anggota kelua rga. Teori yang dihasilkan memberikan beberapa istilah yang menggambarkan tipe-t ipe keluarga yang berbeda dan menjelaskan perbedaan diantara mereka. Skema hubun gan teori ini terbagi menjadi tingkatan-tingkatan dari yang umum hingga yang khu sus, termasuk pengetahua tentan hubungan sosial secara umum, pengetahuan tentang tipe-tipe hubungan, dan pengetahuan tentang hubungan khusus. Oleh karena itu, s kema keluarga mencakup apa yang diketahui tentang hubungan secara umum, tentang hubungan keluarga sebagai sebuah tipe hubungan dan hubungan antara anggota kelua rga. Skema ini terdiri atas pegetahuan tentang 1. Seberapa dekat keluarga terseb ut 2. Tingkat indiidualitas dalam keluarga 3. Faktor-faktor eksternal terhadap k eluarga misalnya teman jarak geografis pekerjaan dan masalah-masalah lain diluar keluarga Sebuah skema keluarga akan mencakup bentu orientasi atau komunikasi te rtentu. Ada dua tipe yang menonjol : 1. Orientasi percakapan (conversation orientation) 2. Orientasi kesesuaian (conf ormity orientation) Keduanya merupakan variabel, sehingga keluarga-keluarga berbeda dalam jumlah per cakapan dan kesesuaian yang dicakup oleh skema keluarga tersebut. Keluarga yang memilki skema percakapan yag tinggi senang berbicara dan sebaliknya keluarga den gan skema percakapan yang rendah tidak sering berbicara. Keluarga dengan skema k esesuaian yang tinggi cenderung dapat berjalan berdampingan dengan pemimpin kelu arga seperti orangtua, sedangkan keluarga dengan skema 125
kesesuaian yang rendah cenderung lebih bersifat individualistis. Bergam skema ak an menciptakan tipe-tipe keluarga yang berbeda. Mary Anne Fitzpatrick dan kolega nya telah mengenali empat tipe keluarga : 1. Konsesnsual 2. Pluralisitis 3. Prot ektif 4. Laissez-faire atau toleran Masing-masing keluarga ini memilik tipe-tipe orang tua tertentu yang ditentukan oelh cara-cara mereka menggunakan ruang, wak tu, dan energi mereka serta tingkatan mengungkapkan perasaan mereka, menggunakan kekuasaan dan membagi filosofi yang umum tentang pernikahan mereka. Sebuah tipe skema keluarga tertentu yang digabungkan dengan orientasi komunikasi atau kesus aian akan menghasilkan tipe pernikahan tertentu. Tipe-tipe adalah: 1. Tradisonal 2. Mandiri 3. Terpisah Setiap tipe-tipe pernikahan bekerja dengan cara yang san gat berbeda. Tipe keluarga yang pertama adalah konsensual. Tipe keluarga ini mem ilki tingkat percakapan dan kesesuaian yang tinggi. Keluarga konsensual sering b erbicara, tetapi biasanya salah satu orang tua yang membuat keputusan. Keluarga ini mengalami tekanan dalam menghargai komunikasi terbuka, sementara mereka juga menginginkan kekuasaan orang tua yang jelas. Orangtua dalam keluarga konsensual cenderung memilki orientasi pernikahan yang tradisonal. Ini berarti bahwa merek a akan lebih konvnesional dengan cara mereka penikahan 126
mamandang pernikahan serta lebih menempatkan nilai pada stabilitas dan kepastian dalam hubungan peran daripada keragaman dan spontanitas. Menurut Mary Anne Fitz patrick dan koleganya, seorang istri yang tradisional akan memakai nama suaminya , pasangan tersebut akan memiliki perasaan yang kuat tentang ketidaksetiaan dala m hubungan mereka serta mereka akan membagi banyak ruang dan waktu. Data penilit ian yang dilakukan Mary Anne Fitzpatrick menyatakan tidak ada terlalu banyak kon flik dalam pernikahan tradisional karena kekuasaan dan pengambilan keputusan dib agikan menurut norma-norma yang biasa. Pasangan tradisional sangat ekspresif ser ta memperlihatkan kebahagiaan dan kekecewaan mereka, yang mungkin menjlelaskan k enapa mereka menghargai komunikasi yang tebuka dan menghasilkan keluarga konsens ual. Tipe keluarga yang kedua yaitu plualisitis. Keluara ini memiliki banyak keb ebasan percakapan tetapi pada akhirnya setiap orang akan membuat keputusan sendi ri tentang tindakan apa yang harus diambil berdasakan pada pembicaraan tersebut. Orangtua keluarga pluralisitis cenderung digolongkan sebagai orangtua yang mand iri, karena mereka biasanya tidak kaku dalam memandang pernikahan. Kemandirian m embuat suami dan istri tidak saling bergantung dan cenderung menghasilkan anak-a nak yang berpikiran. Pernikahan yang mandiri biasanya selalu dibicarakan ulang k arena mereka tidak mengandalkan peran-peran konvensioanal. Tipe keluraga yang ke tiga adalah protektif, tipe ini cenderung rendah dalam percakapan, tetapi tinggi dalam keseuaian, akan ada banyak kepatuhan, tapi sedikit komunikasi. Orangtua t ipe ini tidak melihat perlunya menghabiskan banyak waktu untuk membicarakan sega la sesuatu, mereka juga tidak memberikan penjelasan kepada anakanaknya tentang a pa yang mereka putuskan. Orangtua memiliki pandangan pernikahan yang konvensinal tetapi mereka tidak terlalu bergantung dan tidak banyak berbagi. Tipe pasangan ini memiliki sifat waspada. Mereka banyak bertanya, tetapi hanya memberikan sedi kit nasihat. Tipe ini merupakan tipe keluarga yang laissez-failure atau toleran. Orantua dalam tipe ini cenderung memiliki orientasi yang bercampur, yang 127
berarti bahwa mereka tidak memiliki skema yang sama darimana mereka akan bekerja . Mereka mungkin merupakan kombinasi orangua yang mandiri dan terpisah. • Tokoh Mary Anne Fitzpatrick • Asumsi Sebagai sebuah teori sosiopsikologis, teori ini mendasarkan tipe-tipe keluarga p ada cara-cara angoota keluarga sebagai individu memandang keluarga itu sendiri. Mengikuti petunjuk teori psikologi dalam bidang ini Koerner dan Mary Anne Fitzpa trick mengartikan cara-cara berfikir ini sebagai skema atau lebih spesifiknya sk ema hubungan. Prilaku interpersonal telah menjadi gagasan utama dalam bidang psi kologi sosial dan banyak penelitian dalam bidang komunikasi dipengaruhi oleh tra disi ini. Karya dalam tradisi sosiopsikologis sangat bergantung pada menggolongk an serta mengkarakteristikan individu dan hubungan. Karya ini mengandalkan pengu kuran dan analisis variable sebagai cara untuk menilai seperti apa manusia dalam sebuah hubungan dan juga seperti apa hubungan itu sendiri. Di sini, kita akan m elihat pada dua pembahasan – skema keluarga dan penetrasi sosial. • Kritik Kritik yang datang untuk teori ini adalah apakah semua bentuk komunikasi dan tip e pernikahan ini positif?. Sebuah implikasi yang kuat dari teori ini adalah bahw a pola dan tipe hubungan yang berbeda penting bagi fungsi keluarga yang efektif. Teori berikut sangat membantu para ahli teori komunikasi memilkirkan bagaimana hubungan bergerak dari yang jauh menjadi dekat; juga memperluas pemahaman kita t entang keluarga dan hubungan. • Aplikasi 128
Pernikahan sekarang tidak semuanya positif. Walaupun pola keluarga yang berbeda sesuai bagai orang-orang yang berbeda, tipe keluarga campuran dan toleran mungki n cenderung tidak demikian. Interaksi Anda dengan anggota keluarga Anda dengan a nggota keluarga Anda yang lain pada suatu waktu, pertama-tama akan diarahkan ole h skema khusus Anda, selanjutnya oleh skema keluarga Anda, dan selanjutnya oleh skema umum Anda. Ketika Anda dan saudara laki-laki Anda berinteraksi, pertama-ta ma Anda akan mengandalkan pengetahuan Anda tentang hubungan ini. Jika, untuk beb erapa alasan, hal tersebut tak berhasil, Anda akan kembali lagi menggunakan peng etahuan Anda tentang bagaimana anggota keluarga harus bersikap. Jika tidak berha sil juga, Anda akan menggunakan pilihan terakhir juga dengan mengandalkan penget ahuan Anda tentang hubungan secara umum. 129
DAFTAR PUSTAKA Hall, Calvis S. & Gardner Lindzey.. Teori-teori Sifat dan Behavioristik. Yogyaka rta.: Penerbit Kanisius. 1993 Rakhmat, Jalaluddin.Psikologi Komunikasi- Edisi Re visi. Bandung: Remaja Rosdakarya. 2003 Uchjana, Onong. Ilmu Teori dan Filsafat K omunikasi. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.1993. Severin, Werner Joseph dan James W. Tankard. Jr. Communication Theories: Origins, Methods, Uses. Edisi 3. New Yo rk: Longman. 1991 Ardianto, Elvinaro & Erdinaya, Lukiati Komala. Bandung: PT Rem aja Rosdakarya. 2004. David B. Buller | KLEIN BUENDEL, inc. 130 Komunikasi massa : Suatu Pengantar.
COMMUNICATION CAPSTONE SPRING . THEORY WORKBOOK. 2001. Bungin, Burhan. Sosiologi komunikasi. Jakarta : Kencana, 2007. West, Richard and Turner, Lynn H., “Introduc ing Communication Theory Analysis and Application, 3rd edition”. The McGraw Hill C ompanies. 2007 Infante Dominic. A, Andrew S. Rancer. Building Communication Theo ry, Second edition. USA: Daanna F. Womck. 1993. Littlejhon, Stephen W. Theories of Human Communication. Fifth Edition. Griffin, Em. A First Look At Communicatio n Theory - 6th edition. Mc Grawhill:2007. Mediate.com/interpersonaldeceptiontheo ry:tenslessonsfornegotiators Modul 4: Komunikasi, Media, Sumber-sumber Informasi, dan beberapa contoh Teori Shaw, Marvin E. dan Philip R. Costanto. Theories of Social Psycology Henslin, Ja mes M. Sosiologi : Dengan Pendekatan Membumi, Jilid I. 131