Kode/Nama Rumpun Ilmu : 113/Biologi
PENELITIAN FUNDAMENTAL
ANALISIS MIKROBIOLOGIS BAKTERI ANAEROBIK SEBAGAI INDIKATOR PENCEMARAN PADA MUARA TUKAD BULELENG, DI PERAIRAN KAMPUNG TINGGI,KABUPATEN BULELENG
Ketua Prof.Dr. Ni Putu Ristiati,M.Pd. Anggota Dra.Frieda Nurlita,M.Pd. Drs.Sanusi Mulyadiharja,M.Pd.
Dibiayai dari dana DIPA UNDIKSHA Singaraja Dengan SPK No : 51/UN48.14/PL/2014 Tanggal : 5 Desember 2013
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA DESEMBER 2014
HALAMAN PENGESAHAN JUDUL PENELITIAN
: Analisis Mikrobiologis Bakteri Anaerobik Sebagai Indikator Pencemaran Pada Muara Tukad Buleleng, di Perairan Kampung Tinggi, Kabupaten Buleleng.
KODE/RUMPUN ILMU : 113/BIOLOGI Ketua Peneliti a. Nama Lengkap : Prof.Dr. Ni Putu Ristiati,M.Pd. b. NIDN : 0004015001 c. Jabatan Fungsional : Guru Besar d. Program Studi : Pendidikan Biologi e. No. HP : 08123803946 f. Alamat surel (e-mail) :
[email protected] Anggota Peneliti (1) a. Nama Lengkap : Drs.Sanusi Mulyadiharja,M.Pd. b. NIDN : 0007045802 c. Perguruan Tinggi : Undiksha Anggota Peneliti (2) a. Nama Lengkap : Dra.Frieda Nurlita,M.Pd. b. NIDN : 0007065208 c. Perguruan Tinggi : Undiksha LAMA PENELITIAN KESELURUHAN : 2 (dua) tahun PENELITIAN TAHUN KE : pertama BIAYA PENELITIAN KESELURUHAN : Rp.70.000.000 (tujuhpuluh juta rupiah) BIAYA TAHUN BERJALAN : Diusulkan ke Dikti Rp.31.250.000 (tigapuluhsatu juta duaratus limapuluh ribu rupiah) Mengetahui Dekan FMIPA Universitas Pendidikan Ganesha, Prof.Dr.Ida Bagus Putu Arnyana,M.Si NIP 195812311986011005
Singaraja, Desember 2014 Ketua Peneliti, Prof.Dr. Ni Putu Ristiati, M.Pd. NIP 19500104198003 2 001
Menyetujui Ketua Lembaga Penelitian Prof. Dr.AAI. Ngurah Marhaeni, M.A NIP 196403261990032002
ANALISIS MIKROBIOLOGIS BAKTERI ANAEROBIK SEBAGAI INDIKATOR PENCEMARAN PADA MUARA TUKAD BULELENG, DI PERAIRAN KAMPUNG TINGGI, KABUPATEN BULELENG ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui : (a) distribusi bakteri anaerobik pada muara sungai Buleleng di perairan Pantai Kampung Tinggi, (b) di stasiun manakah distribusi bakteri anaerobik tertinggi dijumpai. Penelitian ini menggunakan rancangan randomized-postest-only control group design. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji anava pada taraf signifikansi 5%. Hasil penelitian menunjukkan (1) jumlah koloni bakteri yang terdapat di stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 dari Muara Tukad Buleleng berbeda dikarenakan adanya pengaruh intensitas kontak air laut dan tingkat pencemaran yang berbeda. Uji Anava menunjukkan nilai signifikasi sebesar 0,00 < 0,05. (2) Jumlah koloni yang paling banyak ditemukan adalah sebanyak 7,98 x 1012 /gram tanah yang didapatkan dari pengambilan sampel di stasiun 3..Belum ditemukannya bakteri anaerob seperti Clostridium perfringens. Bakteri yang ditemukan termasuk Famili Enterobacteriaceae yang tergolong bakteri anaerob fakultatif. Berdasarkan identifikasi bakteri didapatkan 6 genus bakteri yang semuanya tergolong kedalam Famili Enterobacteriaceae seperti :: Enterobacter, Shigella, Proteus, Citrobacter, Serratia, Escherichia. Kata kunci : bakteri anaerobik, indikator pencemaran, pantai Kampung Tinggi.
PRAKATA
Puji Syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, berkat rahmatNYA kami dapat menyelesaikan laporan penelitian ini dengan judul “Analisis Mikrobiologis Bakteri Anaerobik Sebagai Indikator Pencemaran Pada Muara Tukad Buleleng, di Perairan Kampung Tinggi, Kabupaten Buleleng”. tepat waktu dan sesuai dengan yang diharapkan. Kami menyadari bahwa terselesaikannya penelitian ini merupakan usaha bersama dari banyak pihak. Maka dalam kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak terutama I Wayan Selamet Sucita S.Pd yang telah membantu penelitian ini. Semoga penelitian ini bermanfaat. Singaraja, Desember 2014
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN RINGKASAN PRAKATA DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
Halaman i ii iii iv v vi
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang 1.2 Rumusan Masalah BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan tentang Tukad Buleleng 2.2 Pencemaran perairan sungai 2.3 Tinjauan mikroorganisme yang hidup di air 2.4 faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme Perairan 2.5 Tinjauan bakteri patogen penyebab infeksi pada manusia 2.6 Penelitian yang relevan BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1 Tujuan Penelitian 3.2 Manfaat Penelitian BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Jenis penelitian 4.2 Rancangan penelitian 4.3 Variabel penelitian 4.4 Populasi dan sampel 4.5 Instrumen penelitian 4.6 Metode pengumpulan data 4.7 Metode analisis data BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1 Hasil Penelitian 5.2 Uji prasyarat analisis anava 5.3 Pembahasan BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan 6.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
1 5 7 7 7 8 9 10 20 23 23 23 24 24 24 24 25 26 26 34 36 36 41 42 48 48 49 50 53
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Jumlah koloni bakteri pada masing-masing stasiun
Halaman 36
Tabel 5.2 Hasil pengamatan makroskopis koloni bakteri
38
Tabel 5.3 Hasil pewarnaan
39
Tabel 5.4 Hasil uji biokimia
40
DAFTAR GAMBAR Gambar 5.1 Grafik hubungan jumlah koloni bakteri dengan lokasi
38
BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar belakang Senyawa dan ion yang bukan oksigen dapat digunakan sebagai oksidan akhir dalam pernafasan. Kemampuan untuk pernafasan anaerobik ini merupakan sifat mikroba yang sering dijumpai. Akseptor electron yang cocok antara lain nitrat, sulfat, dan karbon dioksida. Clostridium perfringens secara luas dapat ditemukan dalam tanah dan merupakan flora normal dari saluran usus manusia dan hewan ternak seperti sapi, kambing, domba, babi maupun hewan liar. Bakteri ini dapat tumbuh cepat pada makanan yang telah dimasak dan menghasilkan enterotoksin yang dapat mengakibatkan diare. Mekanisme kerja enterotoksin klostridia mirip enterotoksin E.coli: merangsang adenilat siklase pada usus halus menyebabkan pada saat yang sama peningkatan konsentrasi cAMP, hipersekresi air dan khlorida, dan pengurangan absorpsi natrium. Penyakit yang ditimbulkannya tergolong foodborne disease. Sayuran dan buah-buahan akan terkontaminasi melalui tanah. Makanan asal hewan (daging dan olahannya) akan terkontaminasi melalui proses pemotongan dengan spora dari lingkungan atau dari saluran usus hewan yang dipotong. Ketahanan spora bakteri ini terhadap panas bervariasi di antara strain. Secara garis besar spora dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu spora yang tahan panas (90oC, selama 15 menit sampai 145 menit) dan spora yang tidak tahan panas (90oC, 3 sampai 5 menit). Tanah sebagai tempat hidup
makhluk hidup sangat diharapkan dapat
memberikan kelangsungan hidup yang baik. Tetapi kenyataannya dengan kemajuan teknologi justru terjadi pencemaran tanah. Umumnya pencemaran tanah berakibat pula pada pencemaran air. Air buangan industri yang masuk dalam lingkungan perairan akan dapat menimbulkan pencemaran yang lebih hebat pada lingkungan tersebut dibandingkan dengan air buangan dari rumah. Besarnya akibat zat pencemar terutama tergantung kepada : 1) toksisitas zat pencemar; 2) konsentrasi zat pencemar; 3) lamanya waktu bersentuhan antara larutan pencemar dan organisme; 4) volume air penerima zat pencemar.
Menurut Unus Suriawiria (2003), air merupakan substrat yang paling parah akibat polusi. Pencaharian sumber-sumber baru dan pemurnian kembali air buangan mengalami hambatan. Salah satu akibat di antaranya adalah semakin meluas dan memadatnya wabah polusi. Apalagi untuk negara-negara yang sangat padat penduduknya seperti Indonesia. Untuk negara yang padat penduduknya penyebab pencemaran air tersebut umumnya berasal dari buangan domestik (rumah-rumah), sedang negara yang industri dan teknologinya sudah maju penyebab pencemaran itu umumnya berupa buangan non-domestik. Selain itu air dapat merupakan media penyebab penyakit infeksi gastroenteritis, apalagi bila terjadi banjir. Air yang berasal dari jamban dapat meluap sampai ke jalan-jalan dan masuk ke rumah-rumah sambil membawa dan menyebarkan segala yang terdapat didalamnya termasuk mikroba penyebab foodborne disease. Pada tahun 2002 telah dilaporkan bahwa setiap tahun di AS terdapat 76 juta orang menderita foodborne disease, 325.000 orang harus masuk rumah sakit dan 5.000 orang meninggal dunia setiap tahun akibat mengkonsumsi makanan yang telah terkontaminasi (CDC, 2003). Dilaporkan juga bahwa di negara sedang berkembang, makanan dan air yang terkontaminasi telah membunuh hampir 20 juta anak setiap tahun, yang mana jumlah ini belum termasuk orang dewasanya. Tukad Buleleng merupakan salah satu dari 87 sungai yang terdapat di Kabupaten Buleleng. Berdasarkan Status Lingkungan Hidup Kabupaten Buleleng (SLHKB, 2010), Tukad Buleleng memiliki panjang sejauh 11 km yang bermuara di perairan pantai Kampung Tinggi. Sungai ini tercatat memiliki debit maksimal rata-rata per tahunnya sebesar 1.371.000 (m3/tahun). Secara fisik kondisi Tukad Buleleng sudah tercemar dan kotor, berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Buleleng pencemaran paling parah terjadi di bagian hilir sungai. Hal ini disebabkan karena bagian hilir sungai berada di kawasan pemukiman penduduk yang padat, dan faktor lainnya yaitu aliran sungai di hilir yang berdekatan dengan muara cenderung lebih lambat sehingga bahan-bahan pencemar yang kemungkinan berasal dari bagian hulu dan tengah sungai tertumpuk pada bagian hilir dekat muara sebelum ke laut. Selain itu diamati pula bahwa pencemaran bahan-bahan organik dan mikrobiologis pada sungai-sungai di
Kabupaten Buleleng sangat berkaitan dengan pola tata guna lahan, pengaliran limbah domestik secara langsung ke perairan maupun aktivitas manusia langsung di sungai (SLHKB, 2010). Namun kenyataan ini tidak berpengaruh terhadap aktivitas dan kegiatan masyarakat yang berada di wilayah hilir sungai. Sebagian besar masyarakat masih ada yang memanfaatkan sumber daya air yang ada di derah hilir dan muara untuk kebutuhan sehari-hari seperti tempat mandi, mencuci, dan memanfaatkan air untuk memasak dan dikonsumsi langsung melalui sumur galian di sekitar muara sungai. Selain itu daerah pantai yang merupakan muara dari Tukad Buleleng banyak dijadikan sebagai tempat rekreasi karena berada di tempat yang strategis karena dekat dengan bekas pelabuhan. Hal ini tentu sangat berbahaya bagi kesehatan masyarakat yang secara langsung memanfatkan kondisi air yang sudah tercemar oleh limbah-limbah yang masuk ke perairan Tukad Buleleng. Di samping itu pencemaran ini juga tentu akan berdampak buruk terhadap daerah rekreasi karena dapat menimbulkan bau yang tidak sedap sehingga mengurangi minat masyarakat untuk berkunjung dan memanfaatkan wilayah tersebut sebagai daerah untuk melakukan rekreasi. Sebagian besar makhluk hidup baik itu multiseluler (bersel banyak) maupun uniseluler (bersel satu) habitatnya berada di daerah daratan dan perairan. Pencemaran air dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti adanya limbah buangan baik itu dari limbah industri, limbah rumah tangga, maupun limbah organik dari pertanian. Air merupakan substrat yang paling tercemar akibat polusi. Pencaharian sumber-sumber baru dan pemurnian kembali air buangan mengalami hambatan. Salah satu akibat di antaranya adalah semakin meluas dan memadatnya wabah polusi. Apalagi untuk negara-negara yang sangat padat penduduknya seperti Indonesia. Untuk negara yang padat penduduknya penyebab pencemaran air tersebut umumnya berasal dari buangan domestik (rumah tangga), sedangkan negara yang industri dan teknologinya sudah maju penyebab pencemaran itu umumnya berupa buangan non-domestik. Selain itu air dapat merupakan media penyebab penyakit infeksi gastroenteritis, apalagi bila terjadi banjir. Air yang berasal dari jamban dapat meluap sampai ke jalan-jalan dan masuk ke rumah-
rumah sambil membawa dan menyebarkan segala yang terdapat di dalamnya termasuk mikroba penyebab foodborne disease. Air dan tanah merupakan habitat yang baik untuk mikroorganisme biologis seperti bakteri, baik itu yang sudah menjadi flora normal maupun bakteri patogen yang dapat menyebabkan infeksi/penyakit pada manusia. Seiring dengan pencemaran yang semakin meningkat, hal itu juga mempengaruhi keberadaan bakteri patogen untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Foodborne disease adalah penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan atau minuman yang tercemar. Foodborne disease disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme atau mikroba patogen yang mengkontaminasi makanan, jadi terdapat bermacammacam infeksi foodborne disease. Tercemarnya perairan oleh mikroba penyebab foodborne disease terbukti dengan masih banyaknya penyakit-penyakit di masyarakat seperti tipus, diare, dan penyakit-penyakit lain yang diduga disebabkan karena adanya kontaminasi mikroba dengan makanan dan minuman yang dikonsumsi sehari-hari. Makanan dan minuman yang dikonsumsi seharihari dapat terkontaminasi dengan mikroba melalui berbagai perantara. Sayuran dan buah-buahan akan terkontaminasi melalui tanah. Makanan asal hewan (daging dan olahannya) akan terkontaminasi melalui proses pemotongan dengan spora dari lingkungan atau dari saluran usus hewan yang dipotong. Sedangkan air dapat terkontaminasi melalui tanah yang sudah tercemar oleh lingkungan sekitarnya, terutama pada masyarakat yang mengkonsumsi air dari sumur galian. Air minum untuk sebagian besar daerah tempat tinggal dan kota diperoleh dari sumber permukaan seperti sungai, kali, dan danau. Persediaan air alamiah semacam itu, terutama kali dan sungai, kemungkinan besar tercemar oleh sampah domestik, pertanian dan industri. Banyak penduduk kota tidak menyadari bahwa air yang mereka pakai telah digunakan sebelumnya (Pelczar, 1988). Air meskipun sumber daya alam yang dapat diperbaharui, tetapi air akan dapat dengan mudah terkontaminasi oleh adanya aktivitas manusia dan alam. Air banyak digunakan oleh manusia untuk tujuan yang bermacam-macam sehingga dengan sangat mudah dapat tercemar (Darmono, 2001)
Muara Tukad Buleleng di perairan Pantai Kampung Tinggi merupakan daerah pemukiman yang padat penduduknya serta muara sungai yang membelah kota Singaraja. Sepanjang bantaran sungai merupakan hunian yang sangat padat, aktivitas penduduk sangat tinggi sehingga kemungkinan terjadi pencemaran oleh limbah domestik sangat besar. Pencemaran yang terjadi di bagian hilir telah terjadi di semua badan muara dari Tukad Buleleng, tetapi bila diperhatikan kondisi muara yang berhubungan langsung dengan daerah pantai tidak sepenuhnya merata mendapatkan kontak langsung dengan air laut dan tentu memiliki dampak tersendiri terhadap distribusi sebaran bakteriologis. Pada umumnya golongan bakteri yang dapat tumbuh di daerah yang mendapat kontak dengan air laut sebagian besar bersifat nutrifikan (memanfaatkan nutrisi dari ion-ion di lingkungan sekitarnya) sedangkan di daerah yang sudah tidak mendapatkan kontak air laut bakteri yang tumbuh cenderung bersifat metanogenik (bakteri yang bersifat sensitif dan dapat menghasilkan gas metan yang hanya hidup di air tawar). Oleh karena itu, maka perlu dilakukan analisis bakteriologis di dasar muara Tukad Buleleng berdasarkan lokasi yang berbeda. Perairan Pantai Kampung Tinggi merupakan daerah pemukiman yang padat penduduknya serta muara sungai yang membelah kota Singaraja. Sepanjang bantaran sungai merupakan hunian yang sangat padat, aktivitas penduduk sangat tinggi sehingga kemungkinan terjadi pencemaran oleh limbah domestik sangat besar. Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan analisis bakteri anaerobik pada perairan di pantai Kampung Tinggi. 1.1 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka dalam penelitian ini akan dikaji beberapa permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakan distribusi bakteri anaerobik pada muara sungai Buleleng di perairan Pantai Kampung Tinggi? 2. Di lokasi Pantai Kampung Tinggi manakah distribusi bakteri anaerobik tertinggi dijumpai ?
1.2 Luaran Penelitian Diharapkan hasil penelitian ini menemukan bakteri anaerob seperti Clostridium perfringens di muara sungai Buleleng dan kemudian membandingkan penemuan ini pada tiga lokasi yang berbeda. Kecamatan Buleleng merupakan daerah endemik untuk terjangkitnya diare, sampai saat ini penyebab utama yang sudah diidentifikasi adalah Salmonella typhi maupun Salmonella patratyphi. Hal ini disebabkan masyarakat belum menyadari pentingnya hidup sehat sehingga sanitasi lingkungan dan hygienis perseorangan masih belum merupakan pola hidup. Jawetz (1996) menyatakan banyak jenis klostridia penghasil toksin dapat menimbulkan infeksi invasif (termasuk mionekrosis dan gangren gas) bila masuk ke dalam jaringan yang rusak. Kira-kira 30 spesies kolostridia dapat menimbulkannya, tetapi penyebab paling sering dalam penyakit invasif adalah Clostridium perfringens (90%). Suatu enterotoksin yang dihasilkan Clostridium perfringens merupakan penyebab umum keracunan makanan. Penemuan Clostridium perfringens akan membantu dan memotivasi masyarakat sekitar sungai Buleleng untuk hidup sehat dan menyadari selain tipus masih ada penyebab diare lain yang disebabkan oleh bakteri Clostridium perfringens.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Tentang Tukad Buleleng Berdasarkan Status Lingkungan Hidup Kabupaten Buleleng (2010), Tukad Buleleng merupakan salah satu dari 87 sungai yang terdapat di Kabupaten Buleleng. Tukad Buleleng memiliki panjang sejauh 11 km yang bermuara di perairan Kampung Tinggi. Sungai ini dicatat memiliki debit maksimal rata-rata per tahunnya sebesar 1.371.000 (m3/tahun). Berdasarkan
Status
Lingkungan
Hidup Kabupaten Buleleng (2010), telah dilakukan penelitian di beberapa sungai di Kabupaten Buleleng dan salah satunya adalah Tukad Buleleng. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Buleleng, pada sungaisungai yang dilakukan pemantauan, kualitas air di bagian tengah cenderung lebih baik dibandingkan bagian hilir yang tercermin dari nilai-nilai parameter yang diamati. Hal ini disebabkan oleh: (1) bagian hilir dari sungai terdapat pemukiman penduduk yang padat sehingga berpotensi terjadi pencemaran yang lebih besar, dan (2) aliran sungai di hilir yang berdekatan dengan muara cenderung lebih lambat sehingga bahan-bahan pencemar yang kemungkinan berasal dari bagian hulu dan tengah sungai tertumpuk pada bagian hilir dekat muara sebelum ke laut. Selain itu diamati pula bahwa pencemaran bahan organik dan mikrobiologis pada sungai-sungai di Kabupaten Buleleng sangat berkaitan dengan pola tata guna lahan, pengaliran limbah domestik secara langsung ke perairan maupun aktivitas manusia langsung di sungai. 2.2 Pencemaran Perairan Sungai Pencemaran air adalah suatu perubahan keadaan di suatu tempat penampungan air seperti danau, sungai, lautan, dan air tanah akibat aktivitas manusia (Ningsih., tt,.9). Adanya bencana alam seperti tanah longsor, gempa bumi, dan gunung meletus juga dapat menyebabkan perubahan besar terhadap kualitas air tetapi hal ini tidak dianggap sebagai pencemaran. Pencemaran air diakibatkan oleh masuknya bahan pencemar (polutan) yang dapat berupa gas, bahan-bahan terlarut
dari partikulat. Pencemaran memasuki badan air dengan berbagai cara, misalnya melalui atmosfer, tanah, limpasan (run off) pertanian, limbah domestik, dan perkotaan, serta pembuangan limbah industry (Effendi, 2003). Pada perairan dapat terjadi pencemaran. Pencemaran air mengacu pada penurunan kualitas air. Batasan dari pencemaran itu sendiri secara umum dilihat dari kegunaan air tersebut, seberapa jauh air tersebut menyimpang dari keadaan normal, dampak air tersebut untuk kesehatan, dan dampaknya terhadap kesehatan lingkungan. Dilihat dari kesehatan dan lingkungan, pencemaran adalah substansi biologi, kimia, dan fisik yang membahayakan bagi kehidupan makhluk hidup. Yang termasuk bahan pencemar air adalah logam berat, lumpur, isotop perunut radioaktif, panas, bakteri koliform fekal, fosfor, nitrogen, sodium, dan sisa bahan yang lainnya serta bakteri patogen dan virus. 2.3 Tinjauan Mikroorganisme Yang Hidup di Air Air menyediakan habitat bagi berbagai jenis mikroorganisme. Di antara bakteri yang paling umum ditemukan dalam air alami ialah bakteri belerang, bakteri besi, bentuk spiral yang hidup bebas, jenis-jenis yang berpigmen dan tidak berpigmen tertentu serta beberapa pembentuk spora. Lingkungan perairan dibagi menjadi dua yaitu air tawar dan air laut. Lingkungan air tawar terdiri atas danau, kolam, dan sungai. Sedangkan air laut terdiri atas semua lautan dan pertemuan antara air laut dengan air tawar. Tentu saja kedua lingkungan perairan ini memiliki jenis mikroorganisme yang berbeda, akan tetapi kenyataan yang benar-benar penting untuk diingat tentang flora air adalah mikroorganisme patogen tidak menyusun bagian flora normal di daerah manapun, oleh karena itu air hanya berbahaya jika terkontaminasi dari sumber luar tertentu. Sumber kontaminasi air yang bertanggung jawab terhadap penyebaran penyakit infeksi yang paling sering adalah tinja (Volk and Wheeler, 1990). Bakteri yang banyak ditemui di daerah-daerah yang tercemar hasil buangan rumah tangga dan kaya akan nutrient organik meliputi bakteri coli, streptococcus feses, dan spesies-spesies dari genus Bacillus, Proteus, Clostridium, Sphaerotilus, Beggiota, Thiothrix, dan Thiobacillus.
2.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pertumbuhan Mikroorganisme Perairan Menurut Budiyanto (2004) pertumbuhan mikroorganisme perairan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya. 1) Suhu Suhu air permukaan berkisar sekitar 300-400C di daerah ekuator. Sebagian besar lingkungan air asin mempunyai suhu di bawah 50C sehingga banyak ditemukan bakteri psikrofilik. Padas umber air panas ditemukan mikroorganisme dengan suhu optimum 700-720C, seperti Thermophilus aquaticus. Penelitian menunjukkan adanya mikroorganisme di daerah geothermal di Lautan Pasifik. Mikroorganisme di lingkungan ini tahan terhadap suhu 2500C dan tekanan 265 atm. 2) Cahaya Kehidupan mikroorganisme dalam lingkungan air tergantung pada mikroorganisme fotosintetik. Biasanya kelompok algae terdapat pada permukaan air karena cahaya dapat menembus lapisan ini. Dan kelompok organisme yang merupakan konsumen akan berada di lapis bawah untuk bisa memanfaatkan oksigen yang dihasilkan oleh algae. 3) Tekanan hidrostatik Tekanan hidrostatik antara air permukaan dengan air di lautan yang dalam sangat berbeda. Tekanan ini dipengaruhi oleh keseimbangan kimiawi dan mengakibatkan penurunan pH air laut. Selain itu tekanan hidrostatik juga mempengaruhi titik didih air, sehingga tetap mempertahankan air dalam keadaan terlarut dalam keadaan suhu panas dan tekanan tinggi. Tekanan akan meninkat seiring bertambahnya kedalaman. Untuk stiap 10 m, maka peningkatan tekanan sebesar 1 atm. 4) Salinitas Air laut memiliki konsentrasi garam tinggi. Garam utama dalam air adalah klorida, sulfat, karbonat, kalium, kalsium, dan magnesium. Konsentrasi ini biasanya lebih rendah dekat permukaan sungai dan laut (muara). Biasanya
mikroorganisme di laut bersifat halofilik dan mampu tumbuh pada konsentrasi garam 2,5-4%. 5) Kekeruhan Bahan terlarut yang menyebabkan kekeruhan diantarnya adalah 1) partikel mineral yang berasal dari darat, 2) detritus seperti selulosa, hemiselulosa dan khitin, 3) mikroorganisme terlarut. Turbiditas mempengaruhi penetrasi cahaya, kemampuan penetrasi ini nantinya mempengaruhi wilayah fotosintetik. Bahan atau partikel yang berfungsi sebagai substrat untuk pelekatan atau sebagai substrat yang dimetabolismekan. 6) pH Mikroorganisme aquatik dapat ditumbuhkan pada pH 6,5-8,5. Untuk mikroorganisme laut, pH optimum sekitar 7,2-7,6. Mikroorganisme yang hidup di danau atau di sungai memiliki kisaran pH yang luas. 7) Bahan organik dan anorganik Bahan
kimia
yang
terdapat
dalam
air
mempengaruhi
jenis
mikroorganisme. Nitrat dan fosfat merupakan bahan organik yang berperan
dalam
pertumbuhan
mikroorganisme.
Senyawa
organik
diperlukan untuk pertumbuhan bakteri saprofit dan fungi. Hg dan logam berat lainnya dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme tetapi pada beberapa jenis ada yang resisten terhadap logam berat. contohnya Pseudomonas dan Sthapylococcus dapat menggunakan Hg sehingga mengurangi efek racun dari logam berat ini. 2.5 Tinjauan Bakteri Patogen Penyebab Infeksi Pada Manusia Infeksi atau gangguan serangan yang diakibatkan oleh mikroorganisme (bakteri) dapat terjadi mealalui berbagai media atau perantara. Beberapa contoh perantara bakteri patogen yang dapat menyerang manusia diantaranya seperti bakteri yang memasuki tubuh melalui saluran pernapasan, patogen yang memasuki tubuh melalui saluran pencernaan, memlalui saluran genitouriner (saluran kelamin), melalui kulit lewat gigitan hewan, infeksi oleh jamur, dan infeksi oleh mikroorganisme patogen lainnya.
Mengenai
dampak
pencemaran
perairan
seperti
sungai,
tentu
kemungkinan terbesarnya terjadi infeksi adalah melalui saluran pencernaan. Hal ini diasumsikan karena banyak masyarakat di sekitar pinggiran sungai memeanfaatkan air yang sudah tentu tercemar sebagai bahan sehari-hari untuk kelangsungan hidupnya. Contohnya, mereka memanfaatkan air untuk mencuci, memasak, bahkan air dikonsumsi langsung walaupun itu diperoleh dengan cara membuat sumur galian. Karena kita sudah tau bakteri dapat hidup dimana-mana bahkan di dalam tanah yang tidak terdapat oksigen sedikitpun dan ini ditunjang oleh pencemaran yang terjadi disekitar sungai tempat tinggal mereka. Berikut merupakan beberapa contoh jenis-jenis bakteri patogen yang dapat menimbulkan infeksi pada tubuh manusia. 1) Escherchia coli Escherchia coli adalah bagian flora normal saluran usus dan tergolong ke dalam bakteri anaerob fakultatif. E.coli bertahun-tahun dicurigai sebagai penyebab diare sedang sampai gawat yang kadang-kadang timbul pada manusia dan hewan. Walaupun hal ini sukar dibuktikan, kini telah ditetapkan bahwa berbagai galur E.coli mungkin menyebabkan diare dengan salah satu dari dua mekanisme: (1) dengan produksi enterotoksin yang secara tidak langsung menyebabkan kehilangan cairan, dan (2) dengan invasi yang sebenarnya lapisan epithelium dinding usus, yang menyebabkan peradangan dan kehilangan cairan. E.coli memproduksi enterotoksin yang disebut E.coli enterotoksigen, memproduksi salah satu atau kedua toksin yang berbeda. Satu adalah toksin yang mantap panas yang disebut ST dan yang lain adalah toksin yang labil panas yang disebut LT. Kedua toksin ini menyebabkan diare (Volk and Wheeler, 1990). 2) Salmonella Salah satu spesies pada genus Salmonella diantaranya adalah Salmonella thypi, juga merupakan salah satu golongan bakteri anaerob fakultatif yang berasal dari anggota marga Salmonella. Kelompok ini adalah kelompok batang gram negatif yang besar sekali yang dapat dibedakan dari flora normal usus dengan cara kriteria biokimia dan antigen.
Bakteri ini dapat menyebabkan demam yang sering kita kenal dengan nama demam tifus. Demam enterik klasik adalah demam tifus yang menginfeksi 400 sampai 500 orang setiap tahun di Amerika Serikat. Sesudah masa inkubasi 1 sampai 3 minggu setelah masuknya organisme, terjadi peradangan pada usus kecil, diikuti oleh invasi simpul limfa di daerah tersebut. Dari sistem limfa, organisme itu memasuki darah dan menginfeksi berbagai organ dan jaringan, meliputi hati, ginjal, limfa, dan sumsum tulang, kandung empedu, dan kadangkadang jantung. Pembesaran limpa adalah khas, dan pembiakan organisme pada kulit menimbulkan bercak-bercak ros, terutama pada abdomen. Gejala mungkin juga meliputi sakit kepala, kehilangan nafsu makan, sakit pada abdomen, lemaf saraf, dan demam yang terus menerus. Jenis lain Salmonella juga menyebabkan demam enterik, tetapi biasanya demam “paratipus” lebih ringan daripada yang disebabkan oleh S. typhi (Volk and Wheeler, 1990). 3) Shigella Anggota-anggota Shigella adalah patogen yang menyebabkan disentri basiler, tergolong anaerob fakultatif. Marga ini dibagi dibagi menjadi empat jenis anak kelompok diantaranya S. dysenteriae, S. flexneri, S. boydii, dan S. sonnei. Manusia merupakan satu-satunya inang alami untuk shigella. Manusia menjadi terinfeksi setelah menelan makanan atau minuman yang telah terkontaminasi. Shigella tetap terlokalisasi dalam usus dan akibat shigellosis yang melemahkan sebagian besar disebabkan oleh kehilangan cairan dan elektrolit. Shigella dysenteriae (kadang-kadang disebut basil Shiga) mengekskresi neurotoksin dan enterotoksin yang kuat. Neurotoksin diciri oleh kelumpuhan dan kematian yang ditimbulkan apabila diinjeksikan ke dalam hewan percobaan seperti kelinci. Enterotoksin S. dysenteriae kelihatannya tidak merangsang sintesis cAMP, dan mekanisme kerjanya tidak diketahui. Suatu toksin yang sama atau identik dengan toksin Shiga telah dilaporkan diproduksi oleh S. flexneri dan S. sonnei tetapi dalam jumlah yang lauh lebih kecil daripada toksin pada S. dysenteriae.
S.sonnei adalah jenis yang paling diisolasi di Amerika Serikat. Infeksi pada orang dewasa biasanya ringan dan terbatas sendiri dank arena itu tidak secara rutin diobati dengan antibiotika. Akan tetapi, S. sonnei dapat menyebabkan diare yang hebat pada bayi yang baru dilahirkan. S. flexneri jarang dijumpai di Amerika Serikat tetapi merupakan jenis yang paling menonjol dijumpai pada bangsa-bangsa yang sedang berkembang. Begitu pula dengan S boydii dan S. dysenteriae jarang dijumpai di Amerika Serikat (Volk and Wheeler, 1990). 4) Clostridium Genus ini termasuk dalam bakteri gram positive dan tergolong ke dalam bakteri anaerob obligat yang tidak membutuhkan oksigen dalam hidupnya. Terdapat beberapa spesies yang kita kenal yang termasuk di dalamnya seperti C. botulinum, C. tetani. C. perfringens, dan masih banyak spesies-spesies lainnya. Beberapa tahun belakangan telah banyak diberitakan terjadi infeksi pada saluran pencernaan akibat terinfeksi makanan yang telah terkontaminasi bakteri dari genus Clostridium. C. botulinum adalah jasad etiologi peracunan makanan yang sangat fatal yang biasanya terjadi setelah menelan eksotoksin yang terbentuk sebelumnya yang dihasilkan oleh organisme ini sewaktu tumbuh dalam makanan. C. botulinum tersebar dalam tanah, pada dasar danau, dan pada vegetasi yang membusuk, begitu banyak makanan, sayuran, dan daging terkontaminasi dengan organisme ini. Endospora C. botulinum sangat resisten terhadap panas dan bertahan terhadap suhu air mendidih selama beberapa jam, Jadi, botulisme pada manusia biasanya terjadi dealam makanan yang kurang memadi disterilkannya dan ditempatkan dalam lingkungan anaerob yang di sana spora bertahan hidup dapat bersemi dan memproduksi toksin (Volk and Wheeler, 1990). Bakteri anaerobik seperti Clostridium perfringens merupakan bakteri berbentuk basil, anaerobik, Gram positif yang membentuk spora. Tempat hidup alamiah adalah tanah atau saluran usus hewan dan manusia. Organisme ini menghasilkan koloni yang seluruh pinggirnya besar dan meninggi. Clostridium perfringens merupakan 60-90% penyebab myonekrosis clostridial. Ada lima tipe Clostridium perfringens yaitu tipe A, B, C, D, dan E, sebagiannya memproduksi
empat toksin utama. Clostridium perfringens tipe A merupakan organisme utama penyebab penyakit pada manusia seperti myonekrosis clostridial, luka infeksi yang kurang parah dan keracunan makanan. Clostridium perfringens merupakan flora normal pada saluran cerna dan dapat menyebabkan penyakit dari binatang domestik. Tipe-tipe ini tidak permanen mendiami tanah.
Bakteri anaerobik
seperti Clostridium perfringens merupakan bakteri berbentuk basil, anaerobik, Gram positif yang membentuk spora. Tempat hidup alamiah adalah tanah atau saluran usus hewan dan manusia. Organisme ini menghasilkan koloni yang seluruh pinggirnya besar dan meninggi (Jawetz,1996).Clostridium perfringens biasanya nampak pendek, menggembung, gram positif, panjang 2-4 mm, lebar 11,5 mm, panjang Clostridium perfringens akan bervariasi untuk tahap-tahap pertumbuhan
walaupun
nutrisi
dan
komposisi
ion
mediumnya
baik,
pertumbuhannya cepat, tampak selalu coccoid atau cubical, bentuknya lebih panjang pada kultur yang tua, Clostridium perfringens bersifat non motil juga tidak memproduksi spora pada medium biasa, tetapi pada medium yang khusus dapat ditunjukkan adanya pembentukan spora. Kapsulnya dapat diamati secara pemeriksaan langsung dari hapusan spesimen luka, tetapi tidak umum dari kultur. Clostridium perfringens adalah aerotoleran anaerobik (khususnya ketika ditumbuhkan dalam blood agar plate), dapat hidup terus dan tumbuh dalam tekanan oksigen yang dapat menghambat organisme anaerobik lainnya. Beberapa strain memproduksi superoxide dismutase. Clostridium perfringens dapat tumbuh baik pada pH dari 5,5 – 8 dan pada suhu 20-500C, meskipun pada umumnya tumbuh pada suhu 370C, suhu 450C adalah suhu optimal untuk banyak strain dan dapat mengurangi waktu generasi lebih pendek (10 menit). Koloni yang terbentuk pada blood agar plate setelah inkubasi 24 jam adalah sirkuler, halus, diameter 2-4 mm, ukuran koloni akan meningkat pada pertambahan umur, tepinya seringkali tidak rata (tidak simetri), bergerombol (swarmming). Kecepatan tumbuh bakteri ini pada chopped meat medium pada 450C dapat digunakan untuk mengisolasi Clostridium perfringens dari bakteri campuran karena bakteri ini akan cepat tumbuh dari organisme lain selama 4-6 jam inkubasi. Terapi panas (80-1000C) pada kultur campuran akan membantu untuk isolasi dari banyak spesies klostridial
yaitu sporanya, tetapi metode ini tidak direkomendasikan untuk Clostridium perfringens klinik, dari morganisme ini biasanya mengandung spora yang resisten terhadap panas. Ada beberapa cara pengamatan karakteristik dan identifikasi Clostridium perfringens pada choppep meat glucose medium, Clostridium perfringens tumbuh banyak (abundant growth) dengan membentuk gas. Pada blood agar plate bakteri ini bersifat hemolisa dan membentuk presipitasi pada medium yang mengandung serum atau kuning telur. Pada milk medium akan terjadi “stormy fermentation” (Brock, 2003). Setelah masa inkubasi pada kelinci, domba, sapi atau human blood agar, koloni beberapa strain bakteri ini menunjukkan adanya “target hemolysis” yang terdiri dari zona complete hemolysis akibat dari a-toksin dan incomplete hemolysis akibat dari b-toksin/ double zona hemolysis ini (complete dan partial hemolysis) akan rusak pada inkubasi yang lama sekali. Kekeruhan pada serum manusia tersebut disebabkan oleh pertumbuhan organisme. Reaksi ini disebut Nagler reaction, ini disebabkan oleh b-toksin (lesitininase) yang dapat dihambat oleh antitoksin Clostridium perfringens. Kekeruhan ini disebabkan oleh toksin yang mudah diamati pada medium kuning telur. Medium ini dapat langsung diinokulasi spesimen dari luka untuk mengidentifikasi Clostridium perfringens dari klostridia lainnya yang mampu membentuk lesitinase. Reaksi ini tidak khusus pada Clostridium perfringens, karena lesitinase ini juga diproduksi oleh klostridia lainnya. Pada medium susu, Clostridium perfringens mengakibatkan stormy fermentasi, dimana terjadi fermentasi laktosa dari susu yang menyababkan produksi sejumlah aasam dan menyebabkan koagulasi protein sehingga menyebabkan rusaknya susu dan terbentuknya gas. Aktivitas pada medium susu dapat digunakan untuk identifikasi bakteri ini, tetapi tidak digunakan untuk diagnostik karena reaksi ini juga disebabkan oleh sejumlah spesies klostridial. Semua toksin Clostridium perfringens adalah eksotoksin (Budiyanto, 2002). Substansi larut ini bersifat tidak mematikan, seperti kolagenase, Dnase, hialuronidase. Pada umumnya penentuan serotipe dengan menggunakan somatikAg tidak praktis, walaupun sejumlah besar dari tipe serologi tetap ada. Satu penerapan untuk studi epidemiologis timbulnya keracunan makanan dihubungkan
dengan serotipe yang tahan pemanasan (1000C selama 1 jam) seperti Clostridium perfringens tipe A, yang ternyata dapat di isolasi dari feses pasien yang dicurigai berasal dari makanan. Patogenitas : A-toksin dapat menyebabkan myonekrosis klostridial yang dapat mematikan, demonekrotik dan mempunyai aktivitas hemolisa. Lesitinase yang diaktifkan oleh ion kalsium dan magnesium dapat menguraikan lesitin menjadi phosphorycholine dan diglyserida, menghidrolisa sphingomyelin. Titrasi a-toksin dapat dilakukan dengan menggunakan tes lethal secara in vivo dan in vitro, tergantung kepada aktivitas enzimatik yang melawan substrat yang mengandung lesithin seperti emulsi kuning telur, serum manusia atau eritrosit dari binatang tertentu. A-toksin merupakan antigen utama. Proteksi dan terapi pada binatang tergantung ada titer antitoksin. Pada aksi in vivo, lesitin yang terkandung pada kompleks lipoprotein di membran sel atau miotokondria menjadi rusak sehingga menyababkan kebocoran. Hal ini akan menyebabkan lisisnya eritrosit, rusaknya jaringan dan edema. Clostridium perfringens merupakan flora normal pada saluran cerna manusia dan binatang dan banyak sekali terdapat di tanah dalam bentu vegetatif atau spora (Kusnadi, 2003). Infeksi bisa disebabkan oleh infeksi klostridial dari dalam maupun luar tubuh. Pada luka sumber infeksinya biasanya dari tanah yang masuk ke dalam jaringan, kejadian dari kontaminasi dari infeksi tergantung pada banyaknya Clostridium perfringens di tanah yang bervariasi pada lokasi geografi. Infeksi endogen mulai dari saluran cerna. Satu dari faktor predisposisi yang penting untuk terjadinya myonekrosis klostridial adalah luka yang dalam dan terkoyak atau luka dari otot dengan disertai kerusakan vaskuler. Jika terjadi ischemia dan nekrosis dalam otot, maka luka yang tidak parah seperti pada injeksi intramuskuler dari penyebab vasakontriksi (misal epinefrin) sudah menjadi faktor predisposisi. Kebutuhan dasar dari luka dengan ischemia atau nekrosis adalah kondisi anaerobik yang dibutuhkan klosridia. Hal ini membutuhkan penurunan tekanan oksigen dan penurunan oksidasi dan reduksi. Klostridia tidak dapat memulai infeksi pada jaringan yang sehat dimana potensial oksidasi dan reduksi adalah normal. Prinsip tipe infeksi terjadi selama periode luka masif dari otot yang terkontaminasi dengan tanah, baju, bagian logam. Pada bebrapa
kejadian,
kecepatanevakuasi
danpemeliharaan
kesehatan
dapat
menurunkan secara drastis kejadian myonekrosis klostridial. Penurunan suplai darah, batuk dan adanya organisme fakultatif pada luka juga merupakan faktor predisposisi infeksi klostridia. Ketika Clostridium perfringens masuk ke dalam jaringan, kebutuhan utamanya untuk memulai infeksi dalah penurunan potensial oksidasi-reduksi. Pada lokasi tersebut penurunan tekanan oksigen merupakan oksidasi tidak sempurna dari piruvat, penimbunan asam laktat yang menyebabkan penurunan pH. Kombinasi dari turunnya potensial oksidasi-reduksi dan penurunan pH menyebabkan aktifnya enzim proteolisis yang menyebabkan autolisis jaringan. Proliferasi bakteri ini diikuti dengan dengan produksi toksin yang dapat larut. Toksin ini berdifusi pada sisi awal pertumbuhan dan melekat pada jaringan yang sehat dan mengelilingi jaringan. Pada tahap berikutnya jaringan tersebut akan dirusak oleh toksin yang akan mempermudah penyebaran infeksi ke dalam daerah nekrosis yang baru. Cairan edema yang diproduksi oleh aksi dari toksin klostridial dan enzim pada jaringan serta penimbunan gas akan meningkatkan tekanan dalam otot sehingga dapat merusak sirkulasi dan ini akan menurunkan potensial oksidasi-reduksi serta pH, yang akan menyediakan area baru dalam otot yang cocok untuk pertumbuhan klostridial. Infeksi pada luka oleh Clostridium perfringens dapat dibagi dalam tiga kategori berdasarkan peningkatan parahnya : (1) kontaminasi pada luka yang sederhana; (2) Cellulitis anaerobik, dan (3) myonekrosis klostridial. Tipe khusus dari luka infeksi jaringan lunak adalah infeksi uterine dan septikemia klostridial. Gejala-gejala dariketiga kategori tersebut adalah overlap dan infeksi berkembang dari cellulitis ke nekrosis klostridial. Cellulitis anaerobik merupakan bentuk yang serius dari infeki pada luka, dimana klostridia yang menginfeksi jaringan selalu parah atau menyebabkan nekrosis yang disebabkan oleh ischemia atau luka langsung. Organisme ini menyebar di jaringan subkutaneus dan tidak menyebar pada jaringan yang sehat. pertumbuhan Clostridium perfringens di dalam jaringan yang nekrosis dan mampu memproduksi gas, infeksinya lebih ringan dibandingkan dengan myonekrosis klostridial. Kecermatan dalam membedakan infeksi ini dengan
myonekrosis klostridial adalah perlu untuk menghindarkan tingkat pmbedahan yang tiadak perlu dilakukan pada cellulitia anaerobik. Myonekrosis klostridial ditandai dengan infeksi anaerobik pada otot yang mana organismenya invasif dan berhubungan dengan toxemia, ektensif lokal edem, pembentukan gas, kerusakan jaringan masif dan kematian pada kasus yang tidak diberikan terapi. Massa inkubasinga 12-48 jam setelah infeksi, dengan gejala-gejala awal adalah sakit pada daerah yang rawan yang akan semakin parah pada penyebaran infeksi, edea lokal, muncul eksudat. Jika tidak diobati, proses infeksi akan meningkat dengan cepat ditandai dengan peningkatan toxemia, perluasan infeksi, peningkatan gas dan eksudat. Perubahan warna akan terjadi pada kulit (menjadi hitam), juga terjadi nekrosis pada sebagian besar otot dan juga terjadi hemolisis intravaskular yang dapat menyebabkan hemoglobinemia, hemoglobinuria dan kegagalan renal. Kematian akan cepat terjadi pada kasus yang tidak di terapi. Infeksi uterin merupakan tipe khusus dari myonekrosis klostridial pada uterus. Sumber Clostridium perfringens yang menginfeksi bisa dari luar maupun dalam tubuh. Banyak kasus pengguguran yang dilakukan oleh tenaga nonmedik dapat menyebabkan infeksi puerperal (infeksi baru melahirkan). Pada uterin myonekrosis, septikemia dan hemolisa intravaskular adalah umum dan menyebabkan kegagalan renal. Penyakit ini punya tingkat mortalitas yang tinggi. Septikemia klostridial merupakan penyakit karena invasi Clostridium perfringens melalui aliran darah. Bakteri ini berpindah dari saluran cerna penderita yang berubah sebagai akibat logis dari proses patogenitas. Septikemia juga akan diikuti pembedahan gastrointestinal. Diagnosis dan terapi yang cepat sangat diperlukan karena kematian kemungkinan terjadi pada kasus yang tidak di terapi kurang dari 24 jam setelah adanya gejala. Beberapa strain Clostridium perfringens menghasilkan enterotoksin yang kuat, terutama bila tumbuh dalam masakan daging. Kerja enterotoksin Clostridium perfringens meliputi hipersekresi yang nyata dalam jejenum dan ileum serta disertai kehilangan cairan dan elektrolit pada diare. Mekanisme pastinya belum diketahui (Jawetz, 1996), tetapi tidak melibatkan perangsangan adenil siklase atau guanil siklase. Bila lebih dari 108 sel vegetatif termakan dan
bersprulasi dalam usus terbentuk enterotoksin. Enterotoksin merupakan suatu protein (berat molekul 35.000) yang tampaknya identik dengan komponen pembungkus spora, berbeda dengan toksin klostridia lainnya, menyebabkan diare hebat dalam 6-18 jam. Spora klostridia mencapai jaringan melalui kontaminasi pada daerah-daerah yang terluka (tanah, feses) atau dari saluran usus. Spora berkembang biak pada keadaan potensial reduksi-oksidasi rendah; sel-sel vegetatif berkembang biak meragikan karbohidrat yang terdapat dalam jaringan dan membentuk gas. Peregangan jaringan dan gangguan aliran darah, bersama-sama dengan sekresi toksin yang menyebabkan nekrosis dan enzim hialuronidase, mempercepat penyebaran infeksi. Nekrosis jaringan bertambah luas, memberi kesempatan untuk peningkatan pertumbuhan bakteri, anemia hemolitik, dan akhirnya toksemia berat dan kematian. Pada gangren gas (mionekrosis klostridia), infeksi campuran selalu ditemukan. Selain klostridia toksigenik, klostridia proteolitik dan berbagai kokus dan organisme gram negatif biasanya juga ditemukan. Clostridium perfringens terdapat dalam saluran kelamin dari 5 % wanita. Bakterimia klostridia sering terjadi pada penderita neoplasma. Di New Guinea, Clostridium perfringens tipe C menyebabkan enteritis nekrotis yang sangat mematikan pada anak-anak. Imunisasi dengan toksoid tipe C bermanfaat sebagai pencegahan. Dari luka yang terkontaminasi, infeksi menyebar dalam 1-3 hari dan menimbulkan krepitasi pada jaringan subkutis dan otot, sekret yang berbau, nekrosis progresif yang cepat menyebar, demam, hemolisis, toksemia, syok, dan kematian. Sebelum ada pengobatan spesifik, ampuatsi dini adalah satu-satunya pengobatan, kadangkadang infeksi hanya mengakibatkan selulitis atau fasciitis anaerob. Keracunan makanan karena Clostridium perfringens biasanya terjadi setelah memakan sejumlah klostridia yang tumbuh dalam makanan daging yang dihangatkan. Toksin terbentuk bila organisme bersporulasi dalam usus; permulaan diare biasanya tanpa muntah atau demam adalah 6-18 jam. Penyakit ini biasanya berlangsung selama 1-2 hari. Menurut Mims dkk. (2004) Clostridium perfringens menyebabkan gangren gas. Sekurang-kurangnya ada 12 antigen dapat larut yang berbeda, banyak diantaranya toksin. Semua jenis Clostridium perfringens
menghasilkan toksin alfa, suatu eksotoksin yang dapat menyebabkan nekrosis dan hemolisis, berupa suatu lesitinase. Toksin lainnya mempunyai aktivitas yang beragam, termasuk nekrosis jaringan dan hemolisis. Clostridium perfringens terdapat disemua lingkungan. Gangren gas terjadi bila luka pada jaringan lunak terkontaminasi oleh bakteri ini, seperti yang terjadi pada trauma, aborsi sepsis, dan luka perang. Bakteremia akibat Clostridium perfringens dengan cepat berakibat fatal. Penyakit ini juga dapat memperlihatkan gejala ringan. Sekali infeksi dimulai, organisme ini membuat toksin yang menyebabkan nekrosis; CO2 dan H2 terkumpul dalam jaringan dan secara klinik dapat dideteksi sebagai gas. Terjadi edema dan gangguan sirkulasi; ini membantu penyebaran infeksi anaerob. Pengobatan dilakukan dengan menghilangkan infeksi melalui pembedahan dan pemberian penisilin G. Clostridium perfringens sering menyebabkan keracunan makanan (tetapi lebih jarang dibandingkan dengan Staphylococcus aureus). Penyakit ini disebabkan oleh enterotoksin yang dihasilkan dan dilepaskan selama sporulasi. Masa inkubasi untuk nyeri perut, mual dan diare akut adalah 8-24 jam. Sifat-sifat basil anaerobik adalah ketidakmampuannya untuk menggunakan oksigen sebagai akseptor hidrogen terakhir. Mikroba ini tidak mempunyai sitokrom dan sitokrom oksidase dan tidak dapat memecahkan hidrogen peroksida sebab mikroba tersebut tidak mempunyai katalase dan peroksidase. Oleh karena itu diduga bahwa hidrogen peroksida cenderung tertimbun sampai konsentrasi toksik bila terdapat oksigen (CDC,2002) Biakan klostridia hanya tumbuh pada keadaan anaerob, dapat dilakukan dengan : 1. Lempeng agar atau tabung biakan diletakkan dalam botol kedap udara dari mana udara telah dibuang dan diganti dengan dengan nitrogen dengan CO2 10%, atau oksigen dapat dibuang dengan cara lain. 2. Perbenihan cair diletakkan dalam tabung reaksi yang mengandung jaringan hewan segar (misalnya cincangan daging segar), agar-agar 0,1 % dan zat pereduksi seperti tioglikolat. Pertumbuhan akan terjadi dari dasar ke atas sampai 15 mm dari permukaan yang berhubungan dengan udara.
2.6 Penelitian yang Relevan 1) Penelitian Sandra Tilaar tahun 2014, dalam Jurnal Ilmiah Platax Vol. 2:(1) tentang Analisis Pencemaran Logam Berat di Muara Sungai Tondano dan Muara Sungai Sario Manado Sulawesi Utara. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan di Muara Sungai Tondano yang terlihat kotor disebabkan karena daerah tersebut dekat dengan pemukiman penduduk dan pasar tradisional, sehingga sampah di mana-mana. Di perairan Muara Sungai Sario yang secara visual masih lebih bersih dibandingkan dengan perairan muara Sungai Tondano, walaupun dekat dengan pemukiman penduduk dan merupakan daerah reklamasi. Namun ternyata perairan tersebut telah terdeteksi adanya polutan patogen. Dien (1999) dari hasil penelitiannya menemukan adanya bakteri Escherichia coli pada perairan tersebut. Dalam penelitiannya didapat juga bakteri jenis lain di tempat yang sama. Bakteribakteri tersebut yaitu Aeromonas, Staphylococcus, Salmonella, Shigella, Clostridia dan Campylobacter. 2) Penelitian Tresia Tururaja dan Rina Mogea, dalam jurnal Ilmu Kelautan 2010. vol. 15 (1) 47 – 52 tentang Bakteri Coliform di Perairan Teluk Doreri Manokwari Aspek Pencemaran Laut dan Identifikasi Spesies. Dimana disana terdapat tiga muara sungai diantaranya Sungai Sanggeng, Sungai Wosi, dan Sungai Andai yang sudah tercemar karena padatnya aktivitas masyarakat karena dekat dengan pemukman dan pasar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jumlah total bakteri pencemaran di perairan Teluk Doreri cukup tinggi yaitu Eschericia coli (460-2400 MPN/100 ml), dan coliform (2400 MPN/100ml) baik pada saat pasang maupun surut. Hasil Identifikasi biokimia bakteri enterobacteriaceae di perairan Teluk Doreri meliputi E.Coli, Enterobacter aerogenous, dan E. freundii. 3) Penelitian Bambang Priadie, dkk tahun 2011, dalam Kolokium Hasil Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air tentang Isolasi dan Identifikasi Bakteri Dari Perairan Tercemar Untuk Menunjang Upaya Bioremediasi Badan Air . Dalam hasil penelitian ini kondisi perairan sungai sudah dikatakan tercemar oleh limbah pertanian, industry, dan rumah tangga.
Hali ini terbukti dari didapatkannya bakteri patogen yang diambil dari sampel lumpur dan air yang diidentifikasi terdapat genus bakteri patogen seperti Bacillus, Enterobacteria, dan Actinomyces. 4) Penelitian Concetta Gugliandolo et al tahun 2008, dalam New Microbiologica Vol. 32 (72-87) tentang Water quality and ecological statusof the Alcantara River estuary (Italy). Hasil penelitian ini telah terjadi pencemaran di muara Sungai Alcantara karena telah tercemar oleh bakteri patogen dari genus E.coli, Aeromonas, Vibrio. Hal ini dikarenakan Sungai Alcantara telah tercemar oleh limbah pabrik, dan rumah tangga yang sangat tinggi. 5) Penelitian P. Kumarasamy et al tahun 2009, dalam Research Journal of Microbiology, 4: 540-549 tentang Enumeration and Identification of Pathogenic Pollution Indicators in Cauvery River, South India. Telah dilakukan penelitian di muara sungai yang tercemar dalam musim yang berbeda yaitu musim panas, musim hujan, musim semi, dan musim dingin. Dari penelitian yang telah dilakukan tersebut ditemukan konsentrasi bakteri coliform paling tinggi di musim hujan karena tingkat pencemaran meningkat di musim hujan. Dari hasil analisis bakteriologi ditemukan beberapa genus bakteri pathogen seperti E. coli, Pseudomonas, Shigella, dan Salmonella.
BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 3.1 Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mengetahui : 1. distribusi bakteri anaerobik pada muara sungai Buleleng di perairan di Pantai Kampung Tinggi. 2. distribusi bakteri anaerobik paling tinggi di antara tiga lokasi yang berbeda. 3.2 Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah : 1. didapatkan distribusi bakteri anaerobik pada muara tukad Buleleng di perairan pantai Kampung Tinggi 2. mengetahui distribusi bakteri anaerobik paling tinggi diantara tiga lokasi yang berbeda di perairan Kampung Tinggi Hasil penelitian diharapkan dapat diterapkan untuk memecahkan masalah kesehatan yang merupakan masalah endemik di sekitar Kampung Tinggi. Faktor lingkungan yang mempengaruhi populasi bakteri adalah kadar anaerobiosis, suhu, nutrisi, dan pH. Banyak mikroorganisme bersifat aerob obligat, secara khusus memerlukan oksigen sebagai penerima hidrogen; beberapa bersifat fakultatif, bisa hidup secara aerob, atau anaerob; dan anaerob obligat, memerlukan zat yang bukan oksigen sebagai penerima hidrogen dan sangat peka terhadap hambatan oleh oksigen. Permasalahan bakteri anaerob obligat adalah peniadaan oksigen. Banyak cara untuk mencapai keadaan ini : zat pereduksi seperti natrium tioglikolat dapat ditambahkan pada medium cair; tabung agar-agar dapat ditutup dengan selapis petrolatum dan parafin; atau medium dapat diletakkan dalam suatu tempat penyimpanan yang bebas oksigen karena oksigen telah diisap keluar atau karena oksigen diikat secara kimia, atau organisme dapat ditumbuhkan di dalam anaerobic jar.
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1
Jenis Penelitian Jenis penelitian adalah penelitian eksploratif deskriptif. Penelitian ini
dilakukan untuk mengetahui perbedaan jumlah koloni bakteri yang diambil dari tiga stasiun yang berbeda di muara Tukad Buleleng. 4.2
Rancangan penelitian Rancangan dalam penelitian ini merupakan eksperimen sungguhan (True
experimental). Dikatakan eksperimen sungguhan karena memenuhi tiga prinsip pokok seperti replikasi, randomisasi, dan adanya kontrol atau perlakuan banding (Bakta, 1997). Rancangan penelitian eksperimen yang digunakan adalah : The Randomized Posttest- Only Control Group Design (Sastroasmoro, 2002).Pada rancangan ini diasumsikan bahwa di dalam suatu populasi tertentu, tiap unit populasi adalah homogen artinya semua karakteristik antar unit populasi adalah sama. Pengukuran awal tidak dilakukan karena dianggap sama untuk semua kelompok yang berasal dari satu populasi. Berdasarkan asumsi tersebut maka digunakan rancangan eksperimen tanpa ada pengukuran awal (pretest), tetapi hanya postest saja. 4.3
Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Variabel bebas Variabel bebas dalam penelitian ini adalah tanah yang diambil dari tiga lokasi/stasiun pada muara Tukad Buleleng. 2. Variabel terikat Variabel terikat dalam penelitian ini adalah jumlah koloni bakteri. 3. Variabel kontrol Variabel kontrol dalam penelitian ini adalah keadaan di Laboratorium yang bisa dikontrol seperti : (1) suhu, (2) kelembaban, (3) cahaya.
4.4
Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah bakteri yang terdapat pada tanah di muara Tukad Buleleng yang berakhir di perairan pantai Kampung Tinggi, Singaraja. 2. Sampel Sampel dari penelitian ini adalah cuplikan bakteri yang diambil dari tanah pada muara Tukad Buleleng. Teknik pengambilan sampel secara simple sistematic random sampling. Perlakuan dalam penelitian ini yaitu stasiun 1, 2, dan 3. Jumlah ulangan 9 kali berdasarkan (T-1)(R1) ≥ 15 (Rochiman, 1989) dimana T = perlakuan dan R = replikasi. Jadi, satu unit percobaan terdiri dari 9 petri dish yang berisi medium untuk menumbuhkan bakteri. Dengan demikian jumlah seluruh unit percobaan menjadi 27 unit. Adapun desain pengambilan sampel dapat dilihat pada gambar 4.2 berikut. Pantai Muara Tukad Buleleng Stasiun 1 X Y Stasiun 2
Stasiun 3
Gambar 4.2 Desain pengambilan sampel Gambar 4.2 Bagan Pengambilan Sampel Keterangan:
: Sampel X
: Jarak antara titik sampel yaitu sebesar 1 meter
Y
: Jarak antara stasiun di muara Tukad Buleleng sebesar 15 meter
4.5
Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan berupa alat yang digunakan untuk penelitian.
Berikut adalah daftar alat yang digunakan dalam penelitian beserta fungsinya. 4.5.1 Alat Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat-alat yang sudah valid dan standar yang ada di Laboratorium Mikrobiologi Jurusan Pendidikan Biologi Undiksha. Hal ini bertujuan agar tidak terjadi kesalahan dalam proses penelitian. Adapun alat-alat yang digunakan dalam penelitian diantaranya: wadah sampel, Ekman grab, pipet tetes,tabung reaksi, cawan petri, tabung durham, timbangan, gelas ukur, penangas air, Erlenmeyer, autoclave, objek glass, colony counter, cover glass, mikroskop, incubator, lampu Bunsen, batang pengaduk, jarum inokulasi. 4.5.2 Bahan Bahan yang diperlukan antara lain : tanah sampel, KOH, biru metilen, aquades, alcohol 70% dan 95 %, kertas`saring, nutrient agar, Kristal violet, spritus, nutrient broth, lugol, maltose, lactose broth, safranin, sukrosa, larutan hijau malakit, laktosa, α naptol, fenol merah, glukosa, agar pati, karbol fuksin, pepton, TSIA, gelatin, MVRP. 4.5.3 Instrumen Tabulasi Data Data yang telah terkumpul pada akhir penelitian berupa jumlah koloni, hasil uji makroskopis, mikroskopis, dan biokimia akan ditabulasi pada tabel kerja. 4.6 Metode Pengumpulan Data Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, dilakukan tahapan-tahapan yang meliputi tahap persiapan, tahap pelaksanaan, dan tahap observasi. 4.6.1 Tahap Persiapan Langkah-langkah yang dilaksanakan pada tahap persiapan adalah sebagai berikut.
1. Studi pendahuluan ke lokasi penelitian dan menentukan tempat pengambilan data untuk mengambil sampel tanah di dasar muara Tukad Buleleng. 2. Menetapkan jadwal pengambilan sampel. 3. Sterilisasi alat, dilakukan dengan tahap-tahap sebagai berikut a) Cawan petri, tabung reaksi, dan alat-alat yang akan digunakan dalam penelitian dicuci bersih dan dikeringkan. b) Alat-alat yang sudah bersih kemudian disterilisasi secara kimia dengan menggunakan kapas yang sudah dibasahi dengan alkohol 70% c) Setelah itu alat-alat kemudian dibungkus menggunakan kertas HVS untuk selanjutnya akan disterilisasi di dalam autoclaf. d) Autoclaf diisi dengan aquades sesuai dengan volumenya kemudian ditutup rapat-rapat, kunci penutup dikencangkan dan dipanaskan hingga mencapai titik sterilisasi yaitu pada suhu 1200 C dan tekanan 15 Atm. e) Tunggu proses sterilisasi selama 15-20 menit, lalu alat dimatikan dan klep penutup dibuka untuk mengambil alat-alat. 4. Tahap pembuatan media Cara kerja pembuatan media Nutrient agar. a) Menyiapkan medium Nutrient agar (NA) dengan formula sebagi berikut Beef extract 3 gram, Bacto pepton 5 gram, Agar powder 15 gram, Aquades 1.000 ml. b) Memasukkan medium NA tersebut ke dalam labu Erlenmeyer 1000 ml, lalu dipanaskan di atas penangas air sampai mendidih dan larutan menjadi homogen. Setelah homogen media dimasukkan ke autoclaf untuk disterilisasi baru kemudian dituangkan ke dalam cawan petri yang sudah disterilisasi. 4.6.2 Tahap Pelaksanaan Tahapan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah sesuai dengan langkah kerja berikut ini. 1. Tahap Pengambilan Sampel Waktu pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari karena kondisi muara yang surut untuk mempermudah pengambilan sampel tanah (lumpur) di
dasar muara. Pengambilan sampel pada tanah/lumpur di muara Tukad Buleleng menggunakan alat Ekman grab, lalu sampel tanah yang telah diambil sesuai dengan lokasi/stasiun dimasukkan ke dalam wadah botol. Bahan lalu segera di bawa ke laboratorium untuk dibiakkan dan diuji. Bahan dibiakkan pada media Nutrien agar dan diinkubasi. 2. Tahap Pengenceran Sebelum dibiakkan dalam media Nutrient agar, terlebih dahulu dilakukan pengenceran sampel. Pengenceran ini bertujuan agar koloni bakteri tidak terlalu rapat sehingga sulit untuk dihitung dan juga tidak terlalu jarang sehingga terlalu mudah untuk dihitung. Berdasarkan uji pendahuluan yang telah dilakukan sebelumnya, digunakan pengenceran 10-10 karena pada tingkat pengenceran ini didapatkan sebaran koloni yang merata. Adapun tahapan dari pengenceran adalah sebagai berikut. a) Menyiapkan tabung reaksi yang sudah steril sebanyak 10 buah b) Memasukkan 9 ml aquades ke dalam satu tabung reaksi pertama. c) Mengambil 1 gram tanah sampel dan mencampurkannya ke dalam tabung reaksi pertama yang sudah berisi aquades sebanyak 9 ml. Tabung pertama tersebut merupakan larutan dengan pengenceran 10-1 d) Memasukkan 9 ml aquades ke dalam tabung reaksi kedua. e) Selanjutnya 1 ml sampel diambil dari tabung yang pertama (pengenceran 10-1) dan dicampurkan ke dalam tabung reaksi yang kedua yang telah diisi aquades sebanyak 9 ml sehingga diperoleh pengenceran 10-2. Hal ini dilakukan berulang sampai mendapat pengenceran 10-10 3. Tahap Pembiakan Bakteri Sampel yang sudah mengalami tahap pengenceran kemudian ditumbuhkan dalam media Nutrient agar, dengan langkah-langkah sebagai berikut. a) Cawan Petri yang sudah steril dibuka dan diletakkan melingkari lampu Bunsen di dalam laminar air flow dengan cawan petri setengah terbuka. b) Setelah uap air habis, media Nutrient agar dituangkan dalam Cawan Petri lalu didinginkan tetapi tidak sampai padat karena menggunakan tekhnik agar tuang.
c) Sampel yang sudah diencerkan diambil dengan mengunakan pipet tetes lalu diteteskan pada NA yang semi padat kemudiang digoyang membentuk angka delapan agar menyebar secara merata. d) Setelah itu cawan petri ditutup, lalu sebelum dibungkus posisi cawan petri dibalik sehingga media dan biakan bakteri berada di atas untuk mencegah uap air menetes pada media. e) Cawan Petri yang sudah dibugkus kemudian diinkubasi di dalam inkubator selama 1 x 24 jam pada suhu 250C . 4. Tahap Identifikasi Bakteri Untuk mengetahui genus bakteri maka dilakukan identifikasi. Isolat yang sudah murni selanjutnya diidentifikasi secara makroskopis, mikroskopis, dan biokimia. Identifikasi makroskopis dilakukan melalui pengamatan bentuk dan tipe koloni bakteri. Identifikasi mikroskopis dilakukan dengan pewarnaan gram, spora, kapsul, dan tahan asam. Identifikasi biokimia dilakukan menggunakan serangkaian uji fermentasi gula, uji hidrolisa pati dan gelatin, uji motilitas, uji katalase, uji methyl red, uji voges-proskeuer, dan uji H2S/TSIA (Triple Sugar Iron Agar). Adapun langkah kerja masing-masing identifikasi tersebut adalah. 1. Uji Makroskopis Identifikasi makroskopis bisa dilakukan melalui pengamatan bentuk, pinggiran koloni, warna koloni, dan sudut elevasi. 2. Uji Mikroskopis a) Pewarnaan gram Pewarnaan gram merupakan cara pewarnaan diferensial, dimana dengan cara ini bakteri dapat dibedakan menjadi dua group yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri tersebut termasuk gram positif apabila berwarna biru – ungu dan bakteri gram negatif apabila berwarna merah
setelah
dilakukan
pewarnaan
(Mulyadiharja,
1999).
Tahap
pelaksanaannya adalah preparat ulas yang sudah difikasi diatas bunsen diberikan pewarnaan kristal violet selama 1 menit, kemudian bilas dengan air menggunakan pipet tetes. Setelah itu preparat juga diberikan iodin dan didiamkan selama 1 menit, setelah 1 menit preparat ditetesi alkohol 95% dan
biarkan selama 30 detik, kemudian dibilas kembali dengan air. Tahap terakhir adalah preparat ditetesi dengan zat warna safranin dan dibiarkan selama 20 detik, kemudian dibilas lagi dengan air dan keringkan menggunakan kertas penngisap. Setelah kering preparat diberi minyak emersi, kemudian diamati dengan menggunakan mikroskop. b) Pewarnaan spora Preparat ulas dari biakan yang akan diuji ditutup dengan sepotong kertas saring dan diberikan larutan hijau malakit. Preparat kemudian dipanaskan diatas cawan petri yang berisi air mendidih sehingga zat warna akan melekat dengan endospora. Kertas saring kemudian dibuang dan preparat dicuci dengan air, selanjutnya diberi zat warna safranin sebagai zat warna tanding selama 60 detik (tanpa pemanasan). Preparat kemudian dicuci dengan air dan diperiksa menggunakan mikroskop dengan pembesaran 1000 kali. Hasil pengamatan berupa warna, morfologi, dan ada tidaknya spora atau sel vegetative dalam bakteri (warna hijau menunjukkan spora, sedangkan warna merah menunjukkan sel vegetative). c) Pewarnaan kapsul Preparat ulas yang telah difikasi kemudian ditetesi dengan asam asetat glasial dan dibiarkan selama 10 detik. Kemudian membilas larutan tersebut dengan karbol fuksin. Setelah itu membilas kembali preparat tersebut dengan garam fisiologis, selanjutnya preparat dikeringkan dan diamati menggunakan mikroskop. Apabila bakteri yang diuji memilki kapsul maka akan terlihat daerah bening yang terdapat disekitar tubuh bakteri. d) Pewarnaan tahan asam Preparat ulas ditutup dengan kertas saring, kemudian ditambahkan larutan karbol fuksin, dipanaskan selama 5 menit sehingga terlihat sebagian uap (tetapi preparat tidak boleh sampai mengering). Setelah preparat dingin kertas saring dibuang, lalu preparat dicuci dengan air, dicuci dengan alkohol selama 20 detik dandicuci kembali dengan air untuk menghentikan pemucatan. Preparat diberikan larutan biru metilan selama satu menit untuk dicuci kembali dengan air dan dikeringkan dengan kertas saring, selanjutnya
diamati melalui mikroskop. Hasil pengamatan berupa warna, morfologi bakteri dan sifat tahan asam bakteri (warna merah menunjukkan bakteri tahan asam, sedangkan warna biru menunjukkan bakteri tidak tahan asam). 3. Identifikasi Biokimia Untuk identifikasi secara biokimia dilakukan uji sebagai berikut. a) Uji fermentasi gula Biakan diinokulasi ke medium gula yang telah disiapkan dalam tabung reaksi yang sudah berisi tabung Durcham dan diinkubasi pada suhu 310 C selama 24 jam. Medium gula yang digunakan meliputi glukosa, laktosa, maltosa, dan sukrosa. Indikator yang digunakan adalah perubahan ada tidaknya gelembung CO2 dalam tabung Durcham b) Uji hidrolisa Biakan diinokulasi ke media agar pati (starch agar) dan gelatin kemudian diinkubasi pada suhu 310 C selama 24 jam. Pada agar pati, seluruh permukaan digenangi dengan lugol dan gelatin dimasukkan ke dalam ruangan 40 C selama 30 menit. Hasil pengamatan pada pati adalah adanya area jernih di sekitar pertumbuhan organisme (uji positif). Hasil pengamatan pada gelatin tetap cair (uji positif). c) Uji motilitas Biakan diinokulasi pada media cair (Nutrient broth) yang diteteskan di atas preparat gantung. Bakteri diambil dari biakan murni dengan menggunakan jarum ose kemudian disuspensikan pada media Nutrient broth dan diamati pergerakan yang dilakukan bakteri. Hasil pengamatan berupa adanya gerakan yang dilakukan oleh bakteri tersebut.
d) Uji katalase Biakan diinokulasi pada cawan petri, diinkubasi pada suhu 310 C selama 24 jam dan diteteskan H2O2 3% sebanyak 2-3 tetes. Hasil pengamatan gelembung-gelembung O2 (uji positif). e) Uji Voges-Proskauer
Biakan diinokulasi pada kaldu MR-VP (Mrthyl Red-Voges Proskauer), diinkubasi pada suhu 310 C selama 5 x 24 jam dan ditambahkan 5 tetes larutan KOH 40% dan 10 tetes larutan alpha-napthol. Tabung selanjutnya
dikocok
sedikit
sampai
kaldu
terlihat
berbuih
(untuk
meningkatkan aerasi sehingga terjadi peningkatan oksidasi 2,3-butanodiol menjadi asetoin dan memperjelas hasil reaksi). Hasil reaksi dapat dilihat dalam waktu 30 menit berupa warna kaldu setelah penambahan reagen (uji positif ditunjukkan oleh warna merah, sedangkan uji negatif ditunjukkan oleh tidak adanya perubahan warna). f) Uji Methyl Red Biakan diinokulasi pada kaldu MR-VP (Mrthyl Red-Voges Proskauer), diinkubasi pada suhu 350 C selama 110 jam dan ditambahkan 5 tetes reagens methyl red. Hasil pengamatan berupa warna kaldu setelah penambahan methyl red (uji positif ditunjukkan oleh warna merah, sedangkan uji negatif ditunjukkan oleh warna kuning atau jingga). g) Uji H2S Biakan diinokulasi pada cawan petri menggunakan media Triple Sugar Iron Agar (TSIA) dengan cara digoreskan kemudian diinkubasi pada suhu 310 C selama 24 jam. Hasil pengamatan berupa perubahan warna media dari merah menjadi kuning, dan tumbuhnya koloni berwarna hitam di sekitar tusukan (uji positif). 4.6.3 Tahap Observasi a) Data Utama Tahap penghitungan koloni Setelah dilakukan inkubasi selama 24 jam, dilakukan pengamatan terhadap koloni yang menyebar pada petri dish. Kriteria koloni tersebut homogen adalah koloni yang terdapat di dalam masing-masing petri dish menyebar secara merata. Setelah itu dilakukan penghitungan jumlah koloni yang terdapat pada masing masing petri dish dengan menggunakan colony counter. b) Data Penunjang
Identifikasi bakteri Identifikasi terhadap jenis bakteri yang terdapat pada muara Tukad Buleleng, pengamatan dilakukan sesuai dengan kriteria uji pada masing – masing uji yang dilakukan. Hasil pengamatan diperoleh kemudian dicatat. 4.7
Metode Analisis Data Data yang diperoleh dalam penelitian ini terdiri dari data kualitatif dan
kuantitatif. Sehingga digunakan dua teknik analisis data yaitu analisis deskriptif untuk data kualitatif dan analisis statistik untuk data kuantitatif. 4.7.1
Data Utama (kuantitatif) Data jumlah koloni yang ditemukan pada masing-masing tempat
pengambilan sampel dianalisis menggunakan uji statistik yaitu dengan uji analisis varian (ANAVA). Digunakan ANAVA satu arah karena dalam penelitian ini akan diuji hubungan perbedaan parameter variabel bebas terhadap variabel terikat, dengan variabel bebasnya adalah tiga stasiun/lokasi pengambilan sampel tanah di dasar muara sungai dan variabel terikatnya adalah distribusi kandungan bakteri anaerobik yang dilihat dari jumlah koloni bakteri yang tumbuh. Jika nilai signifikasi yang diperoleh > 0,05, maka artinya tidak ada perbedaan jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada setiap sampel yang diambil. Sedangkan jika nilai signifikasi yang diperoleh ≤ 0,05, artinya ada perbedaan jumlah koloni bakteri yang tumbuh pada setiap sampel yang diambil. Namun, sebelum dianalisis dengan ANAVA, data yang diperoleh harus diuji terlebih dahulu normalitas dan homogenitasnya. 1) Uji Normalitas Uji normalitas digunakan untuk mengetahui data berdistribusi normal atau tidak, sehingga dapat dilanjutkan dengan uji selanjutnya. Uji normalitas dilakukan dengan mengguanakan statistik Kolmogorovsmirnov test. Data memiliki berdistribusi normal jika angka signifikansi yang dihasilkan > 0.05, sebaliknya jika angka signifikansi yang diperoleh ≤ 0,05 maka data dianggap tidak berdistribusi normal. 2) Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan dengan Levine test. Uji ini dilakukan untuk mengetahui kehomogenan atau kesamaan dua varian. Kriteria pengujian data memiliki varian yang sama (homogen) jika angka signifikasi yang > 0,05. Dan apabila angka signifikasi yang diperoleh ≤ 0,05 maka data tersebut tidak homogen. Jika data yang diperoleh telah berdistribusi normal dan homogeny, maka dilakukan analisis menggunakan ANAVA. Apabila setelah uji ANAVA diperoleh angka signifikasi < 0,05 itu artinya Ho ditolak sedangkan H1 diterima, yang artinya ada perbedaan jumlah koloni dalam setiap perbedaan lokasi pengambilan sampel di dasar muara Tukad Buleleng. Apabila terdapat perbedaan yang bermakna apakah signifikan atau tidak signifikan maka diperlukan uji lanjut yaitu menggunakan uji Post Hoc. Apabila pada uji Post Hoc diperoleh nilai signifikan < 0,05 menunjukkan data tersebut memang berbeda bermakna dan signifikan tetapi apabila nilai signifikasinya > 0,05 maka data tersebut berbeda bermakna tetapi tidak signifikan. Apabila data yang diperoleh ternyata tidak berdistribusi normal maka dilanjutkan ke uji non parametrik. Uji non parametrik digunakan untuk menganalisis data yang berbentuk nominal dan ordinal dan tidak dilandasi persyaratan data harus berdistribusi normal (Sugiyono, 2007). Berbeda dengan statistic parametrik, yang memiliki asumsi sampel harus dipilih dari populasi yang dianggap atau diketahui berdistribusi normal, hal tersebut tidak berlaku pada uji non parametrik. Uji non parametrik tidak merumuskan kondisi atau asumsi populasi dari mana sampel dipilih. Sehingga statistik ini sering disebut statistic bebas distribusi (distribution free statistic) (Trihendradi, 2005). Jenis uji non parametrik yang digunakan adalah Uji Kruskal Wallis karena uji ini merupakan alternative uji lain dari ANAVA parametrik bila anggapan yang diperlukan bagi ANAVA tidak terpenuhi. 4.7.2
Data Penunjang (kualitatif) Data mengenai jenis dan karakteristik dari bakteri yang mencemari
muara Tukad Buleleng dilihat dari pewarnaan gram, spora, kapsul, tahan asam dan hasil identifikasi dari uji secara biokimia yang didapatkan dari penelitian ini
dianalisis secara deskriptif. Hasil pengamatan ini untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada pembahasan hasil penelitian.
BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 5.1
Hasil Penelitian Hasil penelitian dibedakan menjadi dua macam yaitu data utama dan data
penunjang sebagai berikut. 5.1.1 Penyajian Data Utama Data utama dalam penelitian ini adalah jumlah koloni bakteri yang terdapat di muara Tukad Buleleng yang tersaji dalam tabel 5.1 Tabel 5.1 Jumlah Koloni Bakteri pada Masing-Masing Stasiun Pengambilan Data STASIUN
STASIUN 1
SUB STASIUN 1 2 3 4 5 6 7 8 9
TOTAL
STASIUN 2
1 2 3 4 5 6 7 8 9
Total
STASIUN 3
1 2 3 4 5 6
JUMLAH 52 33 21 35 97 70 41 39 55 443 46 38 63 31 43 89 57 38 57 462 91 95 80 77 124 88
7 8 9
90 66 87 798
Total
Dari hasil penghitungan diperoleh jumlah koloni paling banyak terdapat pada stasiun 3 yang dimana letaknya paling jauh dari bibir pantai, kemudian stasiun 2 yang letaknya di tengah-tengah, dan yang paling sedikit adalah di stasiun 1 yang paling dekat dengan bibir pantai. Untuk lebih jelasnya hasil ini juga dapat disajikan dalam bentuk grafik sebagai berikut.
800
Jumlah Koloni
700 600 500 400 300 200 100 0
Stasiun 1
Stasiun 2 Stasiun 3 Jumlah Stasiun
Gambar 5.1 Grafik Hubungan Jumlah Koloni Bakteri dengan Lokasi Pengambilan Data. 5.1.2 Penyajian Data Penunjang Data penunjang yang diperoleh dari penelitian ini adalah identifikasi bakteri sampai pada genus melalui uji makroskopis, uji mikroskopis, dan uji biokimia yang telah dilakukan. Tabel 5.2 Hasil Pengamatan Makroskopis Koloni Bakteri Isolat
Bentuk
Warna
Tepian
Sudut Elevasi
A B
Putih Kuning
Bergelombang Cembung Bergelombang Cembung
Putih
Bergelombang Gunung
D
Kompleks Bulat dengan tepi bergerigi Menyebar tidak beraturan Bulat
Putih
Umbolat
E
Bulat
F
Bulat
Merah muda Hijau
Tidak beraturan Halus Halus
Cembung
C
Cembung
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan secara makroskopis, telah disajikan dalam tabel 5.2 dan didapatkan beberapa bentuk koloni jika diamati dari atas diantaranya bentuk kompleks, bulat dengan tepi bergerigi, menyebar tidak beraturan, dan berbentuk bulat. Dari warnanya ada yang berwarna putih, kuning, merah muda dan hijau. Jika dilihat dari tepiannya ada yang bergelombang, halus, dan tidak beraturan Sedangkan dilihat dari bentuk permukaannya (penonjolan) ada yang cembung, berbentuk gunung, dan umbolat. Tabel 5.3 Hasil Pewarnaan Isolat
Bentuk
A B C D E F
Basil Basil Basil Basil Basil Basil
Gram Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif
Pewarnaan Kapsul Spora -
Tahan asam Tahan asam Tahan asam Tahan asam Tahan asam Tahan asam Tahan asam
Berdasarkan hasil pengamatan yang telah disajikan di tabel 5.3, dapat dilihat bahwa semua bakteri yang diamati masing-masing memiliki karakteristik yang sama diantaranya berbentuk batang (basil), tergolong bakteri gram negatif karena saat dilakukan uji pewarnaan semua sel bakteri berwarna merah. Selain itu semua bakteri juga tidak membentuk kapsul dan negatif terhadap uji spora yang telah dilakukan. Untuk pewarnaan tahan asam semua menunjukkan reaksi positif, yang artinya semua bakteri saat diuji memperlihatkan sifat tahan asam yang ditunjukkan dengan timbulnya warna merah.
Tabel 5.4 Hasil Uji Biokimia Uji Biokimia A Laktosa Glukosa Maltosa Sukrosa Hidrolisa pati Hidrolisa gelatin Katalase Motilitas Kebutuhan oksigen Voges Preskauer Methyl Red H2 S
+ + + + + + + ++ -
B + + + + + ++ -
Isolat Bakteri Hasil Isolasi C D E + + + + + + + + + + + + + + + ++++ + + -
F + + + + + + ++ -
Dari tabel 5.4 dapat dilihat bahwa dari semua bakteri yang telah diuji secara biokimia menunjukkan perbedaan yang beragam. Dari uji gula diantaranya glukosa, laktosa, maltose, dan sukrosa menunjukkan perbedaan karena dari keenam jenis bakteri ada yang menunjukkan reaksi positif maupun negatif. Persamaan hanya ditunjukkan dari hasil uji kebutuhan oksigen dan uji H2S. Dimana untuk uji kebutuhan oksigen semua bakteri menunjukkan bahwa semua teramati dapat tumbuh pada media yang dapat maupun tidak terdapat kandungan oksigen atau dapat dikatakan semua bakteri yang termati tergolong ke dalam bakteri anaerob fakultatif. Sedangkan untuk uji H2S semua menunjukkan reaksi yang sama-sama negatif.
4.2 Uji Prasyarat Analisis ANOVA Sebelum dianalisis dengan menggunakan varians satu arah, terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat yang terdiri dari uji normalitas dan uji homogenitas karena data didapat harus berdistribusi normal dan homogen.
5.2.1 Uji Normalitas Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan statistik KolmogorovSmirnov Test dengan SPSS versi 16. Kriteria pengujian data memiliki sebaran normal jika angka signifikansi yang dihasilkan > 0,05. Namun jika angka signiikansi yang diperoleh ≤ 0,05, maka data tersebut tidak berdistribusi normal. Adapun hasil uji normalitas disajikan pada tabel 4.5 sebagai berikut Berdasarkan atas uji normalitas menunjukkan bahwa dari ketiga stasiun tempat pengambilan sampel koloni bakteri masing-masing stasiun memiliki nilai signifikasi > 0,05, yaitu stasiun 1 memiliki nilai signifikasi sebesar 0,200, stasiun 2 sebesar 0,200, dan stasiun 3 memiliki nilai signifikasi sebesar 0,168. Jadi dapat dikatakan data tersebut sudah berdistribusi normal. 5.2.2 Uji Homogenitas Uji homogenitas digunakan untuk menguji kehomogenan suatu data. Uji homogenitas yang dianalisis menggunakan program SPSS versi 16 for windows menggunakan statistik Levene Test. Dalam pengujian ini data dikatakan memiliki varian yang sama (homogen) jika angka signifikansi yang diperoleh > 0,05. Dengan demikian jika angka signifikansi yang diperoleh ≤ 0,05, maka data tersebut tidak homogeny (Usman dan Purnomo, 2008). Berdasarkan hasil uji homogenitas jumlah koloni yang diperoleh terlihat bahwa nilai signifikansi yang diperoleh > 0.05 yaitu sebesar 0,475. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa data yang diperoleh berasal dari populasi yang homogeny. 5.2.3 Hasil Uji ANAVA Dari hasil uji Anava menunjukkan bahwa dari ketiga kelompok stasiun (staiun 1,2, dan 3) memiliki rata-rata yang berbeda, hal ini dibuktikan dari nilai signifikansi yang diperoleh < 0.05, yaitu sebesar 0,000. Dimana dari hasil ini menunjukkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima, dengan kata lain hipotesis telah diterima yaitu ada perbedaan jumlah koloni bakteri dari tiga lokasi/stasiun yang berbeda. 5.2.4 Uji Lanjut (Post Hoc)
Setelah melakukan uji hipotesis dengan uji Anava yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan jumlah koloni bakteri pada masing-masing stasiun, selanjutnya perlu dilakukan uji lanjut (Post Hoc) untuk mengetahui perbedaan yang signifikan dari masing-masing stasiun. Ketentuan dari uji ini adalah jika taraf signifikansi pada uji Post Hoc < 0,05 maka terdapat perbedaan yang signifikan pada masing-masing stasiun. Sedangkan jika taraf signifikansinya menunjukkan hasil yang > 0,05 maka dapat dikatakan tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada masing-masing stasiun. Dari data perbedaan taraf signifikansi antar stasiun pengambilan sampel dapat dijelaskan bahwa perbedaan yang tidak signifikan hanya terdapt antara stasiun 1 dan stasiun 2. Kenyataan ini dibuktikan dengan diperolehnya nilai signifikansi diatas 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan antara koloni bakteri di stasiun 1 dengan stasiun 2 ternyata berbeda dan tidak signifikan. Sedangkan antara stasiun 1 dengan 3 dan stasiun 2 dengan 3 berbeda dan signifikan yang ditunjukkan dengan nilai signifikansi < 0,05. 5.3
Pembahasan
5.3.1 Perbedaan Jumlah Koloni Bakteri Dari Tiga Stasiun Yang Berbeda di Muara Tukad Buleleng Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di lapangan, diperoleh data nyata bahwa adanya perbedaan jumlah koloni bakteri dari tiga stasiun/lokasi tempat pengambilan sampel di muara Tukad Buleleng. Hal ini juga sudah dibuktikan dari hasil uji Anava yang menunjukkan bahwa memang terjadi perbedaan jumlah koloni bakteri antara stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3. Pada stasiun 1 yang lokasinya berada paling dekat dengan pantai jumlah koloni bakteri yang diperoleh adalah 4,43 x 1012 koloni /gram tanah, untuk stasiun 2 yang lokasinya berada di tengah-tengah muara jumlahnya 4,62 x 1012 koloni /gram tanah, sedangkan di stasiun 3 yang letaknya paling jauh dengan pantai diperoleh koloni bakteri yang jumlahnya 7,98 x 1012 koloni /gram tanah. Perbedaan jumlah koloni yang paling signifikan dan jumlahnya paling banyak terdapat di stasiun 3 karena pada lokasi ini adalah lokasi yang paling dekat dengan pemukiman penduduk yang sangat padat. Tentu adanya kontak langsung
dengan aktifitas masyarakat seperti membuang sampah ke sungai, aliran got dan pembuangan limbah yang langsung di bagian ini akan sangat berdampak terhadap pertumbuhan bakteri. Selain itu aliran air di lokasi ini juga tidak lancar karena adanya penumpukan sampah baik itu organik maupun anorganik terjadi disana. Hal ini menyebabkan jumlah koloni paling banyak terdapat di stasiun 3. Nutrisi merupakan salah satu faktor lingkungan yang mempengaruhi jumlah bakteri (Satrawijaya, 2000) Pada stasiun 1 dan stasiun 2 perbedaan jumlah koloni bakteri tidak terlalu jauh dan tingkat pencemarannya pun sama. Pada kedua lokasi ini terjadi penurunan jumlah koloni karena sebagian besar sudah mendapat kontak dengan air laut, sehingga tidak semua bakteri akan dapat tumbuh dan berkembang dengan baik di sana. Di samping itu di lokasi ini aliran air juga tidak terlalu terhambat karena dapat bertukar oleh adanya gelombang dari air pantai. Karena dengan debit air yang tinggi akan mempercepat hanyutnya polutan-polutan yang masuk ke dalam air (Sudarmadji, 1998). Air yang mengalir akan dapat melakukan pemurnian secara alami (natural self purification) sehingga air yang mengalir akan mampu untuk mempertahankan kualitas air itu sendiri (Hammer, 1996). Hal ini yang menyebabkan jumlah koloni di stasiun 1 dan stasiun 2 lebih sedikit dibandingkan dengan stasiun 3. 5.3.2 Jumlah Koloni Terbanyak yang Diperoleh Dari hasil pengamatan jumlah koloni yang paling banyak ditemukan adalah 7,98 x 1012 per gram tanah yang didapatkan dari pengambilan sampel di stasiun 3. Lokasi ini memiliki jumlah paling banyak dibandingkan dengan dua lokasi lainnya di stasiun 1 sebanyak 4,43 x 10
12
dan stasiun 2 sebanyak 4,62 x
1012. Stasiun 3 memiliki jumlah koloni paling banyak karena lokasi ini merupakan sumber pencemaran yang terjadi dikarenakan adanya kontak langsung dengan aktifitas masyarakat seperti pembuangan sampah ke sungai, aliran got dan pembuangan limbah yang langsung jatuh di lokasi ini. Selain itu aliran air di lokasi ini juga tidak lancar karena adanya penumpukan sampah baik itu organik maupun anorganik terjadi di sana.
Bila dilihat dari uji Post Hoc pada tabel 5.8 terlihat ada beda nyata antara jumlah bakteri yang terdapat di stasiun 1 dengan stasiun 3, begitu pula antara jumlah bakteri yang terdapat di stasiun 2 dengan stasiun 3 yang dilihat dari nilai signifikansi masing-masing sebesar 0,000 yang berarti < 0,05. Hanya antara stasiun 1 dan stasiun 2 yang menunjukkan angka signifikansi > 0.05 yaitu sebesar 0,816, yang menunjukkan perbedaan antara koloni bakteri di stasiun 1 dan stasiun 2 ternyata berbeda dan tidak signifikan. Perbedaan jumlah koloni bakteri juga dapat dilihat jelas pada grafik 5.1. 5.3.3 Genus Bakteri yang Diisolasi dari Dasar Muara Tukad Buleleng Bakteri yang diisolasi dari dasar muara Tukad Buleleng yang sudah tercemar oleh limbah pertanian, industri, dan rumah tangga baik itu yang berasal dari muara maupun yang terbawa dari hulu sungai, dibiakkan dalam media padat Nutien Agar. Bakteri yang dibiakkan ini kemudian diamati secara makroskopis, diuji secara mikroskopis (pewarnaan), dan uji biokimia. Hasil uji yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel 5.2, tabel 5.3, dan tabel 5.4. Dari hasil pengamatan yang dilakukan didapatkan 6 genus bakteri dari sampel tanah yang diambil di dasar muara Tukad Buleleng. Keenam koloni ini ditandai dengan huruf A sampai F, kemudian berdasarkan serangkaian hasil uji mikroskopis dan biokimia lalu disesuaikan karakteristiknya berdasarkan sumber menurut Holt (1994). Adapun genus bakteri yang ditemukan adalah sebagai berikut. a) Bakteri A Bakteri ini memiliki ciri-ciri diantaranya berbentuk basil. Ketika dilakukan uji pewarnaan gram pengamatan terakhir warnanya merah yang menunjukkan bahwa bakteri ini tergolong bakteri gram negatif. Untuk pewarnaan kapsul negatif, karena bakteri ini tidak menghasilkan zona bening saat dilakukan pewarnaan kapsul. Saat dilakukan uji pewarnaan spora bakteri ini menunjukkan reaksi negatif karena tidak terlihat warna hijau pada sel bakteri maupun di sekitar sel bakteri. Kemudian saat dilakukan serangkaian uji biokimia bakteri ini bersifat motil, mampu menghidrolisa gelatin, tidak memproduksi H2S dan bereaksi positif
terhadap Voges Proskauer, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat di tabel 4.4. Berdasarkan ciri-ciri tersebut bakteri A memilki kemiripan dengan Genus Enterobacter, sehingga kemungkinan bakteri ini masuk ke dalam Genus Enterobacter. b) Bakteri B Bakteri ini memiliki ciri-ciri diantaranya berbentuk basil. Ketika dilakukan uji pewarnaan gram pengamatan terakhir warnanya merah yang menunjukkan bahwa bakteri ini tergolong bakteri gram negatif. Untuk pewarnaan kapsul negatif, karena bakteri ini tidak menghasilkan zona bening saat dilakukan pewarnaan kapsul. Saat dilakukan uji pewarnaan spora bakteri ini menunjukkan reaksi negatif karena tidak terlihat warna hijau pada sel bakteri maupun di sekitar sel bakteri. Kemudian saat dilakukan serangkaian uji biokimia bakteri ini bersifat nonmotil dan merupakan bakteri anaerob fakultatif, tidak mampu menghidrolisa gelatin, tidak memproduksi H2S dan bereaksi negatif terhadap Voges Proskauer, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat di tabel 4.4. Berdasarkan ciri-ciri tersebut bakteri B memilki kemiripan dengan Genus Shigella, sehingga kemungkinan bakteri ini masuk ke dalam Genus Shigella. c) Bakteri C Bakteri ini memiliki ciri-ciri diantaranya berbentuk batang dan tergolong bakteri gram negatif, hal ini dibuktikan dari hasil akhir setelah pewarnaan gram yang warnanya merah. Untuk pewarnaa spora negatif karena bakteri ini tidak membentuk warna hijau di sekitar sel nya. Untuk pewarnaan kapsul negatif karena bakteri ini tidak membentuk zona bening di sekitar sel. Setelah dilakukan serangkaian uji biokimia bakteri ini positif terhadap uji katalase karena mampu menghasilkan buih setelah ditetesi H2O2. Bereaksi positif terhadap Methyl red yang ditandai dengan adanya perubahan warna menjadi merah setelah ditetesi reagen Methyl red. Bereaksi negatif terhadap Voges Proskauer dan H2S. Berdasarkan ciri-ciri tersebut bakteri C memiliki kemiripan dengan Genus Proteus sehingga kemungkinan bakteri ini masuk ke dalam Genus Proteus.
d) Bakteri D Bakteri ini memiliki ciri-ciri diantaranya berbentuk basil, pada saat pewarnaan gram bakteri tergolong gram negatif karena berwarna merah. Tidak membentuk spora karena tidak terbentuk warna hijau di sekitar sel setelah dilakukan pewarnaan spora. Pewarnaan kapsul negatif, kemudian bakteri ini bersifat motil dan merupakan bakteri anaerob fakultatif. Positif terhadap uji katalase karena menghasilkan buih ketika ditetesi H2O2. Bakteri ini bereaksi positif terhadap Methyl Red dan negatif terhadap uji Voges Proskauer. Tidak memproduksi H2S dan menghidrolisa gelatin. Berdasarkan ciri-ciri tersebut bakteri D memiliki kemiripan dengan Genus Citrobacter sehingga kemungkinana bakteri ini masuk ke dalam Genus Citrobacter. e) Bakteri E Bakteri ini memiliki ciri-ciri diantaranya berbentuk basil, pada saat pewarnaan gram bakteri tergolong gram negatif karena berwarna merah. Tidak membentuk spora karena tidak terbentuk warna hijau di sekitar sel setelah dilakukan pewarnaan spora. Pewarnaan kapsul negatif, kemudian bakteri ini bersifat motil dan merupakan bakteri anaerob fakultatif. Positif terhadap uji katalase karena menghasilkan buih ketika ditetesi H2O2.. Positif terhadap uji Voges Proskauer, hal ini bisa terlihat dari adanya warna merah setelah ditetesi reagen KOH dan alfa-naftol. Mampu menghidrolisa gelatin dan tidak memproduksi H2S. Berdasarkan ciri-ciri tersebut bakteri E memiliki kemiripan dengan Genus Serratia sehingga kemungkinana bakteri ini masuk ke dalam Genus Serratia. f) Bakteri F Bakteri F memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Berbentuk batang dan merupakan bakteri gram negatif. Bersifat gram negatif bisa dilihat dari hasil pewarnaan gram yang menunjukkan warna merah. Bakteri ini negatif terhadap uji spora dan tidak membentuk kapsul bisa dilihat dari terbentuknya zona bening di luar sel bakteri dengan latar belakang yang berwarna setelah dilakukan pewarnaan kapsul. Bakteri ini motil serta positif terhadap uji katalase. Positif terhadap uji Methyl Red dan negatif terhadap uji Voges Proskauer. Bakteri ini juga tidak
menghasilkan H2S. Berdasarkan ciri-ciri tersebut bakteri F memiliki kemiripan dengan Genus Escherichia sehingga kemungkinana bakteri ini masuk ke dalam Genus Escherichia. Dari hasil isolasi dan identifikasi bakteri sampai tingkat genus didapatkan kelompok bakteri koliform seperti Escherichia dan Enterobacter yang merupakan bakteri yang dipakai sebagai indikator adanya polusi kotoran dan salinitasi yang tidak baik dari suatu lingkungan. Pencemaran ini terjadi terjadi disebabkan oleh pembuangan limbah, kotoran ternak, maupun sisa-sisa makanan baik dari pertanian maupun rumah tangga ke daerah perairan sungai. Selain bakteri koliform juga ditemukan genus bakteri yang bersifat pathogen seperti Shigella, Citrobacter, Proteus, dan Serratia. Keberadaan bakteri ini disebabkan karena adanya kontaminasi perairan dengan kotoran hewan-hewan karena kelompok bakteri ini merupakan reservoir di saluran pencernaan banyak hewan (Volk and Wheeler, 1990). Hasil uji biokimia menunjukkan tidak didapatkan spesies bakteri anaerob coli Enterobacteriaceae. Enterobacteriaceae merupakan kelompok bakteri batang gram negatif yang heterogen, yang habitat alaminya adalah saluran usus manusia dan hewan. Famili ini mencakup banyak genus seperti Shigella , Escherichia , Enterobacter , Proteus , Serratia, Citrobacter . Beberapa organisme enterik, misalnya Escherichia coli merupakan bagian flora normal dan kadang-kadang menyebabkan penyakit, sementara Shigella selalu bersifat pathogen bagi manusia. Enterobacteriaceae adalah anaerob fakultatif, meragikan sejumlah besar karbohidrat,memiliki struktur antigen yang kompleks, dan menghasilkan berbagai jenis toksin dan factor virulensi yang lain. Citrobacter secara khas bersifat sitrat positif, dan sangat lambat meragikan laktosa. Ada dua hal yang menyebabkan mengapa bakteri anaerob belum ditemukan di muara tukad Buleleng : 1) karena peralatan di laboratorium Mikrobiologi belum berhasil mengidentifikasi bakteri anaerob; 2) media untuk pertumbuhan bagi bakteri anaerob tidak sesuai dengan karakteristik pertumbuhan bakteri tersebut.
BAB VI PENUTUP 6.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat disimpulkan tiga hal berikut. 1. Jumlah koloni bakteri yang terdapat di stasiun 1, stasiun 2, dan stasiun 3 dari Muara Tukad Buleleng berbeda dikarenakan adanya pengaruh intensitas kontak air laut dan tingkat pencemaran
yang berbeda.
Kenyataan ini dapat dilihat dari data statistik Uji Anava yang menunjukkan nilai signifikasi sebesar 0,000 yang < 0,05. 2. Jumlah koloni yang paling banyak ditemukan adalah sebanyak 7,98 x 1012 /gram tanah yang didapatkan dari pengambilan sampel di stasiun 3. Hal ini disebabkan karena di lokasi tersebut merupakan sumber pencemaran karena dekat dengan pemukiman penduduk dan jauh dari kontak air laut. 3. Belum ditemukannya bakteri anaerob seperti Clostridium perfringens. Bakteri yang ditemukan tergolong kedalam bakteri anaeob fakultatif dari famili Enterobacteriaceae seperti Shigella , Escherichia. 4. Berdasarkan identifikasi bakteri yang dilakuan, didapatkan 6 genus bakteri yang teramati diantaranya: Enterobacter, Shigella, Proteus, Citrobacter, Serratia, Escherichia. 6.2 Saran Dari penelitian yang telah dilakukan, dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut. 1. Perlu penelitian lebih lanjut dengan menggunakan peralatan dan media yang sesuai untuk pertumbuhan bakteri anaerob. 2. Dari hasil pengamatan banyak ditemukan bakteri-bakteri yang bersifat koliform. Oleh karena itu dengan membaca penelitian ini masyarakat dapat sadar untuk menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan
tempat tinggal mereka secara umum dan untuk masyarakat yang tinggal di sekitaran muara Tukad Buleleng secara khusus dengan tidak membuang sampah dan limbah secara sembarangan. 3. Pemerintah Kabupaten Buleleng hendaknya menyediakan sarana dan prasarana yang lebih lengkap untuk mengatasi masalah pencemaran yang sudah terjadi seperti menyediakan tempat pembuangan sampah yang cukup, membuat saluran penyaluran limbah agar tidak mencemari perairan sungai. Pencemaran ini akan berdampak terhadap menurunnya kunjungan dan minat masyarakat untuk memanfaatkan daerah ini sebagai kawasan wisata dan rekreasi.
DAFTAR PUSTAKA Alberts, B., Bray, D., Lewis, L., Haff, M., Roberts, K., Watson, J.D. 2000. Molecular Biology of The Cell. Second edition. New York :Garland Publishing Inc. Anonym. ----. Buku Data Status Lingkungan Hidup Kabupaten Buleleng Tahun 2010. http://datin.menlh.go.id/assets/berkas/SLHD_2010/Buleleng-bukuSLHD-data.pdf. (Diakses 11 Maret 2014). Bakta, I .M. 1997. Metodologi Penelitian. Program Pasca Sarjana. Program Studi Ergonomi & Faal Olahraga. Denpasar : UNUD. Benson, H.J. 2002. Microbiological Applications : A Laboratory Manual in General Microbiolog. St.Louis : McGraw-Hill. Brock, T. D., Madigan, M. T., Martinko, J. 2003. Biology of Microorganisms. New York : Prentice Hall. Budiyanto, M.A.K. 2002. Mikrobiologi Terapan. Malang : Penerbit Universitas Muhamadiyah Malang. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran (Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam). Jakarta: Universitas Indonesia. Davidson, M.W. 2005. Bacteria cell structure. The Florida State University. (Diakses 5 Mei 2005). http://micro.magnet.fsu.edu/cells/bacteriacell.html. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Yogyakarta: Kanisius Gugliandolo, C., Lentini, V., Fera, M T., Camera, E L. and Maugeri, T L. 2008. Water quality and ecological statusof the Alcantara River estuary (Italy). New Microbiologica Vol. 32 (72-87) Holde, V.M. 2000. Biochemistry. Third edition. San Franscisco : Addison Wesley Company. Holt, G J, Krieg N R, Sneth P H A, Staley J T, Williams S T. 1994, Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. USA Jawetz, E., Melnick, J., Adelberg, E. 2004. Medical Microbiology. Third edition. New York : Published by Appleton & Lange. Kusnadi, Peristiwati, Syulasmi, A., Purwianingsih, W., Rochintaniawati, D. 2003.
Mikrobiologi. Jakarta : Techinical Cooperation Project for Development of Science and Mathematics Teaching for Primary and Secondary Education in Indonesia (IMSTEP). Kumarasamy, P., Vinesh, S., Jamer R A., Muthukumar, K. and Rajendran, A. 2009. Enumeration and Identification of Pathogenic Pollution Indicators in Cauvery River, South India. Research Journal of Microbiology, 4: 540-549 Kunarso dan Nuchsin. 2000. Distribusi Bakteri Dalam Perairan Muara Sungai Mamberamo, Irian Jaya. Tersedia pada http://elib.pdii.lipi.go.id/katalog/index.php/searchkatalog/downloadDataby Id/2012/2013.pdf (diakses 11 Maret 2014). Mckee, T., Mckee, J. R. 2003. Biochemistry. Boston : McGraw-Hill. Mims,C., Dockrell, H.M., Goering, R.V., Roitt, I., Wakelin,D., Zuckerman, M. 2004. Medical Microbiology. Third Edition. New York : Mosby. Moat, A.G., Foster, J.W., Spector,M.P.2002. Microbial Physiology.fourth edition. New York : Wiley-Liss. Murray, R.K., Granner , D. K., Mayes, P. A., Rodwell ,V. W.2003. Biokimia Harper. Edisi 25. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Mulyadiharja, S. 1999. Lembar Kerja Mahasiswa. Singaraja: Program Studi Pendidikan Biologi Juru Ningsih M I. tanpa tahun. Pencemaran. Bandung: Pringgandani. Priadie B, Rinjani R R, Arifin Z M. 2011. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Dari Perairan Tercemar Untuk Menunjang Upaya Bioremediasi Badan Air. Tersedia pada http://litbang.bantenprov.go.id/2012/wpcontent/uploads/gravity_forms/2855336defab0d375485eefed157f13ab9/2012/10/Bambang P_BLKMakalahBakteri-dari-Perairan-Tercemar.pdf (diakses 11 Maret 2014) Ristiati, N P. 2000. Pengantar Mikrobiologi Umum. Jakarta: Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Ruyitno, P. dan Thayib, S.S. 1994. Kualitas Perairan Muara Sungai Bengawan Solo Ditinjau Dari Aspek Bakteriologinya. Makalah Penunjang Seminar Pemantauan Pencemaran Laut Sastrawijaya. 2000. Pencemaran Lingkungan. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Sugiyono. 2007. Statistik Nonparametrik Untuk Penelitian. Bandung: CV Alfabeta Suriawira, U. 2003. Mikrobiologi Air. Bandung: Alumni Bandung Stryer, L. 2000. Biokimia, Volume 1,2 dan 3. Edisi 4. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Tilaar, S. 2014. Analisis Pencemaran Logam Berat di Muara Sungai Tondano dan Muara Sungai Sario Manado Sulawesi Utara. Jurnal Ilmiah Platax Vol. 2:(1) Trihendri, C. 2005. Step by Step SPSS 13 (Analisis data statistik). Yogyakarta: Andi Offset. Tururaja, T. dan Mogea, R. 2010. Bakteri Coliform di Perairan Teluk Doreri Manokwari Aspek Pencemaran Laut dan Identifikasi Spesies. Jurnal Ilmu Kelautan. vol. 15 (1) 47 – 52 Todar, K. 2002. Bacteriology 330 Lecture Topics : Staphylococcus, University of Wisconsin Departement of Bacteriology. (Diakses 10 Maret 2002). http://www.bact.wisc.edu/Bact330/ lecturestaph. _____. 2004. Structure and function of prokaryotic cells. University of WisconsinMadison Departenet of Bacteriology. (Diakses 15 Mei 2004). http://textbookofbacteriology.net/structure.html Walsh, C. 2000.Molecular Mechanisms that confer antibacterial drug resistence. Nature. 406 : 678-685. Warsa, U.C.1994. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi revisi. Jakarta : Binarupa Aksara. Weaver, R. F. 2002.Molecular Biology .Second edition. Boston : McGraw-Hill.