Misi forum adalah menegakkan demokrasi, keadilan sosial dan pemberdayaan kaum intlektual santri. Serta berperan sebagai think tank, melakukan kajian strategis terhadap perkembangan sosial-politik; membentuk pendapat umum; melakukan mobilisasi sumberdaya
[ Musykilat dalam NU ]
Daftar Isi www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
Forum
Nahdliyyin untuk Kajian Strategis adalah wadah pengabdian yang dibentuk sebagai wujud antisipatif terhadap perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara pasca Orde Baru.
Sifat forum ini non struktural dengan organisasi/lembaga lain, independen, terbuka dan longgar, berwatak intlektual. Tujuan forum mendayagunakan, mengaktualkan dan mengkonsolidasi potensi kaum intlektual Nahdliyyin sehingga menjadi kekuatan riil dan bermanfaat bagi kepentingan agama, nusa dan bangsa. Mendorong proses dinamis kehidupan demokrasi demi terciptanya struktur kehidupan masyarakat yang berkeadilan sosial untuk memperkuat posisi masyarakat bawah. Ikut mendorong peningkatan peran kualitatif jam'iah Nahdlatul Ulama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di dalam proses perubahan, dalam rangka pencapaian tujuan NU. 1
[ Musykilat dalam NU ]
Musykilat dalam NU
Pengantar Oleh M. Said Budairy
•
Khittah NU Perlu Ditafsir Ulang 2
Oleh Moh. Yusuf Hasyim •
NU, Gus Dur dan Megawati
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
Oleh Salahuddin Wahid •
Gus Dur di antara Dua Partai [ Musykilat dalam NU] Oleh M. Ishom Hadzik
•
Catatan Untuk Salahuddin Wahid
Pengantar
Paling Mendesak Reformasi Internal NU Sendiri Demokrasi Berimplikasi Sekularisasi
Oleh M. Said Budairy
Oleh Amsar A Dulmanan •
Negara Demokrasi Tidak Mesti Negara Sekuler Oleh Salahuddin Wahid
•
Departemen Agama Tak Diperlukan ? Oleh Salahuddin Wahid
•
Anggota NU DR. Said Aqiel Siradj Oleh Irfan Zidny, MA
•
Fatamorgana dalam Realisasi Program NU Oleh M. Said Budairy
•
Perkuat Keimanan Islam Oleh Luthfi Basori
Para penulis 3
Komite Hijaz yang telah dibentuk sehubungan terjadinya perubahan penguasa di tanah Arab, bermaksud menyelenggarakan rapat di Surabaya. Ketika akan menyusun surat undangan untuk rapat tersebut terjadi dialog antara KH. Wahab Hasbullah dengan Kyai Abdul Halim (Leumunding), mempersoalkan tujuan Komite Hijaz yang akan dicantumkan dalam surat undangan tersebut. Kyai Wahab menjawab: "Tentu, syarat tujuan nomer satu untuk menuntut kemerdekaan. Ummat Islam menuju ke jalan itu. Ummat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka". Selain obsesinya tentang negeri merdeka agar ummat Islam leluasa menjalankan syari'at agama mereka, Kyai Wahab juga merasakan ada tantangan dari kalangan intern ummat Islam sendiri. Kyai Wahab menjelaskan kepada Kyai Halim selanjutnya: 4
"Saya sudah sepuluh tahun lamanya memikirkan membela para ulama yang diejek sana-sini, beramalnya diserang sini-sana. Kalau satu kali ini luput, pilih satu antara dua yang patut. Masuk organisasi merombak terus atau pulang memelihara pondok (pesantren) yang khusus." Rapat Komite Hijaz berlangsung pada tanggal 31 Januari l926, yang kemudian ditetapkan sebagai hari lahirnya Nahdlatul Ulama. Dalam rapat itu disepakati mengirimkan delegasi ke Hijaz, atas nama organisasi/jam'iah Nahdlatul Ulama. Usia jam'iah NU sekarang menjelang 73 tahun. Sesudah berakhirnya pemerintahan orde baru, Rois Syuriah PBNU K.H. Mustofa Bisri (Rembang), mengatakan bahwa di tengah kancah reformasi sekarang ini langkah paling mendesak yang harus ditempuh oleh NU adalah mereformasi diri sendiri. Sebab, NU sekarang ini belum menjam'iah, tapi masih dalam kondisi berjama'ah (Kompas, 22/6). Gus Mus punya otoritas untuk mengemukakan pendapatnya itu, karena ia salah seorang rois dari badan yang merupakan pimpinan tertinggi dan berfungsi sebagai pembina, pengendali, pengawas dan penentu kebijaksanaan NU. Karenanya tentulah tahu persis kondisi NU yang punya banyak persoalan dewasa ini. Buku kecil ini, maka bertajuk "Musykilat dalam NU", memuat tulisan-tulisan yang menggambarkan kepelikan dan kesulitankesulitan yang sedang berkecamuk di dalam NU. Menyangkut hal-hal sangat mendasar yang dapat menggoyahkan sendi-sendi pijakan berdirinya NU. Sekaligus memberikan indikasi kuat tentang penting dan mendesaknya dilakukan reformasi internal NU.
5
Tulisan KH Yusuf Hasyim mengungkap posisi NU sebagai jam'iah diniah Islamiah terhadap peluang bagi lahirnya partai politik. Ungkapan itu berkaitan dengan hasil pengamatannya, oleh PBNU keputusan muktamar dipatuhi sebagian dan dilanggar sebagian. Contohnya, disebutkan bahwa PKB adalah satusatunya wadah penyalur aspirasi politik warga NU. Dan itu resmi tercatat dalam risalah rapat pleno PBNU. Sedangkan muktamar menetapkan, bahwa NU tidak mempunyai ikatan organisatoris dalam bentuk apapun dengan organisasi kekuatan sosial politik yang manapun juga. Disebutkan juga, NU tidak akan menentang organisasi sosial politik yang manapun juga dan tidak akan menjadi partai politik sendiri.Ini mesti diartikan, bahwa NU harus mengatur jarak yang sama dengan PKB, Partai SUNI, Partai Nahdlatul Ummat, bahkan partai yang manapun sebab saat ini pun banyak warga NU berperanan aktif di PPP, di Golkar dan sebagainya. Kalau mau berubah, kenapa tidak sekalian saja meninjau keputusan muktamar melalui muktamar dipercepat dan mengubah sehingga dapat menetapkan NU menjadi partai politik, seperti pada tahun l952 dalam muktamar Palembang. Tulisan Salahuddin Wahid "NU, Gus Dur dan Megawati", (Republika, 9 Juli l998), mengungkap musykilat yang lain. Dilengkapi tulisan M. Ishom Hadzik "Gus Dur di antara Dua Partai". Lalu tulisan Amsar A. Dulmanan "Demokrasi Berimplikasi Sekularisasi" (Republika, 30 Juli l998), yang mengundang minat Salahuddin menurunkan tulisan lagi "Negara Demokrasi tak Mesti Negara Sekuler" (Republika, 10 Agustus l998). Tulisan-tulisan tersebut mempermasalahkan pemikiran politik ketua umum PBNU. Benarkah ia menentang formalisasi ketentuan syari'ah melalui peraturan perundangan negara, walaupun sebatas yang berkaitan erat dengan sah tidaknya 6
perilaku keagamaan ummat Islam. Jika benar, inilah salah satu dari musykilat yang sangat mendasar dalam NU. Benarkah pemikiran politik Gus Dur itu sekuler?. Sekularisme adalah paham atau pandangan filsafat yang berpendirian bahwa moralitas tidak perlu didasarkan pada ajaran agama. Sekuler maknanya bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau kerohanian. Jawaban atas berbagai pertanyaan dan dugaan yang dimaksud sebenarnya sudah ada sejak lama. Mungkin karena tidak ada sikap dan tindakan organisasi yang tegas dan jelas merespon penyimpangan-penyimpangan itu, maka warga masih terus bertanya-tanya. Awal 90-an Gus Dur berkunjung ke Amerika Serikat. Di antara acaranya memberikan seminar di Universitas Cornell tentang "Islam dan Politik di Indonesia", berlangsung pada Kamis 12 April l992. Dalam seminar itu Gus Dur menyatakan bahwa, " NU akan selalu menghindari formalisasi ajaran Islam didalam peraturan perundangan-undangan negara. Setiap upaya untuk memformalkan ajaran Islam kedalam peraturan perundangundangan negara akan bersifat diskriminatif terhadap kelompok yang lain. Contohnya adalah gagasan undang-undang zakat yang memungkinkan warganegara Islam memperoleh potongan pajak atas sejumlah zakat yang telah dibayarkan. "Kalau orang Islam boleh dapat potongan, bagaimana dengan penganut agama lain?," katanya sambil menambahkan, "dalam suatu negara harus hanya ada satu hukum yang tidak membedakan agama, ras dan keyakinan politik rakyatnya". Pada kesempatan lain, menjelang diselenggarakannya Muktamar NU XXIX, Nopember l994 di Cipasung, Tasikmalaya, Gus Dur singgah di Tokyo dari AS. Di ibukota Jepang itu ia telah 7
disediakan forum oleh Nakamura, profesor Jepang yang tekun menjadi pemerhati NU. Forumnya berupa sebuah pertemuan dengan sejumlah orang Indonesia. Dalam ceramahnya Gus Dur mengungkapkan pendirian yang berkembang di kalangan NU dan pendirian pribadi dia. Dia menyatakan, "cukup besar kalangan Islam yang menghendaki Islam menjadi penggerak pemerintahan (primemover). Karena itu (Islam) harus memiliki kedudukan yang lebih utama dibanding dengan agama-agama lain. Ini tercermin umpamanya di dalam sikap sebagian warga/pimpinan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Majelis Ulama (MUI), demikian pula dengan beberapa pernyataan yang dikemukakan para pemimpin Islam dari bermacam-macam organisasi termasuk juga pemimpin-pemimpin NU". Gus Dur menjelaskan, " bentuk dari sikap itu ialah Islam, karena mewakili mayoritas, harus memperoleh perlakuan tersendiri oleh negara, harus memperoleh perhatian berlebih. Nahdlatul Ulama dalam hal ini terpecah dua. Ada yang menganggap itu wajar. Tetapi orang-orang seperti saya menganggap tidak wajar." "Kalau kita bicara demokrasi lalu hanya memikirkan jumlah warga terbanyak itu muslim lalu Islam yang diutamakan, ya tidak demokratis lagi." Menurut Abdurrahman, hal-hal yang merupakan pembeda diantara sesama warga negara tidak boleh dijadikan pertimbangan untuk melebihkan. Ini akan membawa konsekuensi sikap atau pandangan untuk menganggap kedudukan semua agama itu sama di muka undang-undang. Terlepas dari pandangan teologis masing-masing, tentu tiap agama menganggap dirinya paling benar yang lain salah. Itu wajar-wajar saja, kata dia. Dapat difahami karena pandangannya itu Gus Dur pernah menyatakan keheranannya kenapa pemerintah (Departemen Agama) ikut campur dalam menentukan siapa yang dibenarkan menjadi jagal penyembelihan binatang di tempat-tempat 8
penyembelihan umum binatang ternak. Ketika memberikan kuliah umum di depan civitas akademika Universitas Kristen Petra Surabaya (Harian Surya Juni l995), Abdurrahman ditanya, "apa dasarnya pemerintah mengatur jagal penyembelihan binatang kok harus orang beragama Islam ?".
tempat kediamannya. Menugasi atau mendukung Said Aqiel Siradj, katib Syuriah PBNU berkhotbah di gereja-gereja. Dia pula yang "menciptakan" salam baru yang diperkenalkan di hadapan para pastor, termasuk Mgr. Carlos Filipe Xemenes Belo, para pendeta dan pemeluk-pemeluk agama lain.
"Peraturan tentang jagal itu jelas diskriminatif", ujar Gus Dur. Dia menjelaskan, "dalam fiqih hanya disebutkan, yang penting dalam menyembelih binatang disebut nama Tuhan. Di sana tidak dijelaskan apakah jagal harus beragama Islam apakah tidak." Dia menambahkan, "di Timur Tengah saja, tidak ada orang yang ribut-ribut soal jagal. Di sana sudah biasa yang menyembelih orang Yahudi kemudian yang makan dagingnya orang Islam".
Sikap dan perilaku terakhir Said Aqiel itu mengundang Moh. Irfan Zidny menurunkan tulisan bertajuk "Anggota NU Dr. Said Aqiel Siradj". Berisi kisah tentang kesaksian dia yang ikut hadir dalam acara itu dan tuntutannya agar Said Aqiel dijatuhi sanksi organisatoris. Sementara itu Luthfi Basori menulis "Perkuat Keimanan Islam", ungkapan kegalauan pikirannya menyaksikan pencampur adukan peribadatan agama-agama yang justru dipelopori oleh pemimpin NU.
Pada bagian lain Abdurrahman menerima pertanyaan soal kawin campur antar agama yang bertentangan dengan UU Perkawinan tahun l974 (termasuk kawin antara muslimat dengan pria non Islam).
Kegalauan pikiran warga NU yang terungkap melalui tulisantulisan tersebut hanya bagian sangat kecil saja yang dapat terlihat. Kegalauan semacam itu menjangkau kalangan pengurus NU sendiri, para aktifis dan warga NU lainnya.
Menjawab pertanyaan itu Gus Dur langsung memberikan "jalan keluar". Dia bilang, "sekarang 'kan sudah banyak yang menikah melalui Kantor Catatan Sipil. Mereka bisa melakukan kawin lari ke negara lain. Mereka bisa ke Singapura dan melakukan pernikahan di Kantor Catatan Sipil di sana. Kemudian datang lagi ke sini untuk mencatatkan kembali ke Kantor Catatan Sipil tentang pernikahan di luar negeri itu."
Hukum Islam telah melembaga di Nusantara, bahkan semenjak zaman kerajaan-kerajaan Islam dahulu. Yang terpenting adalah hukum keluarga mengenai perkawinan, waris dan lain-lain yang berkaitan dengan itu.
Pernyataan-pernyataan atau kegiatan pentingnya Gus Dur belakangan ini tentu dilakukan sejalan dengan sikap dan pandangannya itu. Langsung atau, karena kondisi fisiknya, menugaskan kepada seseorang. Seperti, mendeklarasikan Partai Kebangkitan Bangsa sekaligus menyatakan secara pribadi akan bergabung dengan Megawati. Menghadirkan pemimpin/rohaniwan berbagai agama secara khusus untuk melaksanakan ibadah bersama berupa "memanjatkan doa" di 9
Suatu lembaga penghulu pada zaman Belanda telah berdiri untuk keperluan itu. Pemerintah Belanda pada tahun l882 membuat peraturan mengenai wilayah dan komposisi priesterraad (pengadilan agama) dan pada tahun l931 memperbaharui lembaga itu dengan sebutan pengadilan penghulu yang kekuasaannya dibatasi hanya mengenai perkawinan. Setelah pembentukan Kementerian Agama tanggal 3 Januari l946 soalsoal keagamaan kemudian menjadi tanggung jawab kementerian ini. Peraturan Menteri Agama No. 4 tahun l952 tentang wali hakim 10
untuk luar Jawa dan Madura antara lain menetapkan wewenang tentang penunjukan (pengangkatan) kadi-kadi nikah (pegawai pencatat nikah) oleh kepala kantor urusan agama kabupaten. Berangkat dari keinginan menguji ketepatan peraturan itu kemudian berlangsung 3 kali konperensi alim ulama seluruh Indonesia, tahun l952, l953 dan l954. Dari konperensi alim ulama dengan menteri agama dicapai keputusan:
1. Presiden sebagai Kepala Negara, serta alat-alat negara sebagai mana dimaksud dalam UUD seperti Kabinet, Parlemen dan sebagainya adalah Waliyyul Amri Dlaruri bi Syaukah. 2. Waliyyul Amri Dharuri wajib ditaati oleh rakyat dalam hal-hal yang tidak menyalahi Syari'at Islam. 3. Tauliyah Wali Hakim dari Presiden kepada Menteri Agama dan seterusnya kepada siapa saja yang ditunjuk termasuk juga Tauliah Wali Hakim yang menurut kebiasaan yang hidup di tempat-tempat yang ditunjuk oleh Ahlul Halli wal Aqdi, adalah sah. Untuk menjalankan akad nikah Wali Hakim, sesuai dengan UU tentang Pencatatan Perkawinan, Talaq dan Ruju' harus ada surat peresmian lebih dahulu dari pemerintah. 4. Atas dasar semua di atas maka nyatalah bahwa Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun l952 tentang Wali Hakim untuk luar Jawa dan Madura adalah sah. Konperensi-konperensi alim ulama itu diselenggarakan semasa Menteri Agama RI dipangku oleh K.H. Masykur (NU), dilanjutkan oleh K.H. Faqih Usman (Muhammadiah). Didirikannya Departemen Agama dalam pemerintahan Indonesia punya kaitan dengan proses yang panjang, saat para pendiri negara Indonesia akan menetapkan dasar negara. Tulisan Salahuddin "Departemen Agama Tidak Diperlukan?" 11
memperjelas posisi sebenarnya departemen tersebut. Departemen pemerintahan yang akan menjadi sasaran pertama untuk dibubarkan jika Said Aqiel berkuasa. Terlalu menyederhanakan persoalan dalam tulisan Amsar A Dulmanan yang menyebutkan bahwa, "Negara sekuler adalah negara yang tidak berdasar agama, sedangkan Pancasila bukan agama tetapi sekuler, karena itu negara Indonesia adalah negara sekuler...". Penafsiran demikian a historis. Pancasila memang bukan agama. Tetapi itulah titik temu yang merubah Piagam Jakarta dengan penghapusan 7 kata sesudah keTuhanan "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya", menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama Pancasila. Dalam Memoir-nya Bung Hatta menulis, "Pada waktu itu kami dapat menginsyafi, bahwa semangat Piagam Jakarta tidak lenyap dengan = menghilangkan perkataan 'ke-Tuhanan 'dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dan mengganti dengan 'ke-Tuhanan Yang Maha Esa'. Dalam negara Indonesia yang kemudian memakai semboyan Bhineka Tunggal Ika, tiap-tiap peraturan dalam kerangka Syari'ah Islam, yang hanya mengenai orang Islam dapat dimajukan sebagai rencana UU ke DPR, yang setelah diterima DPR mengikat ummat Islam Indonesia. Dengan cara begitu lambat laun terdapat bagi ummat Islam Indonesia suatu sistim Syari'ah Islam yang teratur dalam UU, berdasarkan Qur'an dan Hadith, yang sesuai pula dengan keperluan masyarakat Islam sekarang." Formalisasi hukum Islam semacam itu termasuk yang dianggap tidak wajar, bersifat diskriminatif dan ditolak oleh Gus Dur. Ia sadari tidak seperti itu pendirian umumnya para pimpinan dan ulama NU. Bahkan juga sikap resmi organisasi NU yang tercermin dalam keputusan Muktamar ke 28 NU di Yogyakarta, yang mendesak agar RUU Peradilan Agama segera disahkan 12
menjadi UU. Namun yang terjadi memang sangat ironis. Muktamar itu pula yang secara aklamasi memilih Gus Dur kembali sebagai ketua umum. Dan Gus Dur juga menerima amanat muktamar tersebut, sambil tetap berpegang pada pendiriannya sendiri; artinya tak akan melaksanakan amanat tersebut.
Jadi benar, bagi NU yang terpenting pada era reformasi sekarang ini adalah melakukan reformasi diri sendiri. Penerbitan buku ini dimaksudkan sebagai sumbangsih untuk mendukung pelaksanaan pendapat tersebut.
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
Pengantar panjang ini membawa kita kepada kesimpulan, memang telah terjadi banyak musykilat dalam tubuh NU. Telah terjadi pergeseran kepemimpinan dari majelis Syuriah kepada pribadi ketua umum Tanfidziah. Pemikiran politik Gus Dur berkaitan dengan cara mencapai tujuan jam'iah, yaitu berlakunya syari'at Islam dalam masyarakat di dalam wadah negara RI, bertolak belakang dengan pandangan dan pendirian jam'iah. Gus Dur menentang formalisasi syari'at dalam perundang-undangan, jam'iah justru menghendaki. Belum terhitung lagi pandangan dan sikap keagamaannya. Mayoritas warga NU tidak dapat memahami terjadinya pencampur bauran peribadatan berbagai agama, seperti penyelenggaraan acara khusus "doa bersama". Dan lain-lain. Akhirnya, patut dicermati program NU amanat Muktamar Cipasung tahun l994. Berapa banyak telah dijabarkan dalam bentuk rencana aksi/kegiatan. Berapa sebenarnya yang sudah dan yang belum dilaksanakan. Muktamar NU berikutnya tinggal belasan bulan lagi. Tulisan "Fatamorgana dalam Realisasi Program NU" memberikan gambaran bagaimana program-program besar dalam rangka kembali ke khittah dilaksanakan. Contohnya di bidang pengembangan ekonomi warga, salah satu dari 4 garapan besar kembali ke khittah. Prakteknya tidak berlanjut setelah diberitakan besar-besaran oleh media massa bersumber dari koperensi pers Gus Dur atau kegiatan yang bersifat kosmetik.
13
[ Musykilat dalam NU]
Khitthah NU Perlu Ditafsir Ulang Oleh Moh. Yusuf Hasyim
Setelah Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatannya pada akhir Mei 1998, kehidupan di Indonesia, terutama kehidupan politik, berubah dengan cepat dan sering sekali tidak terduga. Salah satu perubahan yang mendasar ialah dibukanya kemungkinan untuk mendirikan partai politik baru, perubahan beberapa UU yang berkaitan dengan kehidupan politik dan dipercepatnya pemilu. Berbagai pihak segera mendirikan partai termasuk warga NU. Upaya warga NU untuk mendirikan partai baru ternyata menarik untuk disimak. Yang sudah resmi dinyatakan berdirinya ada dua yaitu Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (Partai SUNI). Partai SUNI didirikan oleh Abu Hasan dkk, yang ternyata tidak begitu banyak mendapat sambutan dari warga NU. PKB dideklarasikan oleh beberapa 14
pengurus teras NU dan didalam risalah rapat pleno PBNU Juli 1998 dinyatakan sebagai satu-satunya wadah penyaluran aspirasi politik bagi warga NU. Ternyata masih cukup banyak warga NU yang merasa belum tertampung aspirasinya oleh kedua partai itu dan akan mendirikan partai ketiga dilingkungan NU yaitu Partai Nahdlatul Ummat (Partai NU).
kegiatan (organisasi) serta dalam setiap pengambilan keputusan. 2. Landasan tersebut adalah faham ahlussunnah wal jama'ah yang diterapkan menurut kondisi kemasyarakatan di Indonesia, meliputi dasar-dasar amal keagamaan maupun kemasyarakatan. 3. Khitthah Nahdlatul Ulama juga digali dari intisari perjalanan sejarah khidmahnya dari masa ke masa.
Wajar jika timbul pertanyaan kenapa tidak cukup satu partai untuk warga NU ?. Berdirinya beberapa partai itu apakah tidak menimbulkan perpecahan didalam tubuh NU ?. Memang akan lebih baik apabila hanya terdapat satu partai saja bagi warga NU. Hal itu akan dapat terwujud apabila jam'iyah NU berubah menjadi partai. Tidak berlebihan untuk mengatakan bahwa warga NU yang berada di PPP, Golkar dan PDI akan masuk menjadi warga partai apabila NU berubah menjadi Partai Nahdlatul Ulama.Tetapi keinginan untuk merubah NU menjadi partai tidak mendapat tanggapan yang positip dari PBNU dengan argumentasi hal itu bertentangan dengan Khitthah NU. Apakah benar bahwa perubahan itu tidak sesuai dan bertentangan dengan Khitthah NU? Kalau benar demikian halnya, apakah tindakan merubah NU menjadi partai pada muktamar NU di Palembang (1952) dapat disebut juga bertentangan dengan khitthah NU ?
Dibagian lain dari keputusan itu juga ditegaskan bahwa Nahdlatul Ulama sebagai jam'iah secara organisatoris tidak terikat dengan organisasi politik dan kemasyarakatan manapun juga. Konsekwensi logis dari Keputusan Muktamar itu adalah terputusnya hubungan (historis) antara NU dengan PPP, dan terwujudnya kebebasan bagi warga NU untuk menggunakan hak-hak politiknya, diantaranya menjadi anggota atau aktifis ketiga orpol yang ada. Maka posisi dan jarak NU terhadap semua orpol yang ada adalah sama. Sebagai contoh, saat ini ketua umum PP Muslimat NU menjadi anggota DPP Golkar dan menjadi anggota DPR dari FKP, sedangkan ketua I PP Muslimat NU menjadi anggota DPR dari FPP. Sementara itu, ketua III PP Muslimat NU menjadi salah satu ketua DPP PKB. Mengacu kepada alinea diatas bahwa posisi dan jarak NU terhadap semua orpol yang ada itu adalah sama, maka pernyataan didalam risalah rapat pleno PBNU bahwa PKB adalah satu-satunya wadah penyaluran aspirasi politik bagi warga NU, adalah bertentangan dengan keputusan muktamar NU Situbondo dan Yogyakarta. Dan pernyataan itu juga bersikap tidak fair atau tidak adil terhadap warga NU yang menjadi aktifis ketiga orpol yang ada.
Pertanyaan itu makin mengusik kita kalau diingat bahwa para anggota PBNU saat itu -KHA Wahab Chasbullah (Rais Aam), KH Bisri Syansuri (Wakil Rais Aam)- adalah para tokoh yang mendirikan dan membina NU sejak awal berdirinya sehingga sangat mengetahui apakah yang dimaksud dengan khitthah NU 1926. Demikian pula halnya dengan tokoh PBNU lainnya yang terlibat dalam langkah menjadikan NU partai politik, seperti para ketua KHA Wahid Hasyim, KH Masykur, KHM Dahlan. Batasan dan pengertian Muktamar NU 1984 di Situbondo merumuskam batasan dan pengertian tentang Khittah sbb : 1. Khitthah NU adalah landasan berfikir, bersikap dan bertingkah-laku bagi warga NU dalam semua tindak dan 15
Kita tentunya memahami bahwa cukup banyak jasa mereka bagi perjuangan ummat Islam termasuk NU didalamnya. Pernyataan didalam risalah rapat pleno PBNU itu dapat diibaratkan sebagai "air susu dibalas dengan air tuba" terhadap warga NU yang menjadi aktifis PPP, Golkar dan PDI. Bagaimana pernyataan semacam itu dapat tercantum didalam risalah rapat pleno PBNU karena menurut beberapa pihak yang hadir dalam rapat pleno tersebut, tidak dilakukan pembahasan pernyataan semacam itu. Apakah telah terjadi pemutarbalikan fakta oleh beberapa oknum didalam
16
PBNU.
yang dipercepat (karena waktunya sangat mendesak).
Lepas dari dibicarakan atau tidaknya masalah itu didalam rapat pleno PBNU, yang jelas sikap semacam itu tidak pada tempatnya diambil oleh PBNU karena PKB tidak punya kaitan organisatoris apapun dengan Jam'iyah NU dan secara formal sama posisinya dengan PPP ataupun Golkar dan PDI.
Penafsiran kembali terhadap khitttah itu tidak boleh menjadi monopoli PBNU, karena hal itu berarti pemasungan terhadap hak warga NU. Kalau PBNU berpendapat bahwa merubah NU menjadi partai akan lebih banyak madharatnya dibanding manfa'atnya, maka PBNU harus bisa menjelaskan dan meyakinkan hal itu kepada warga NU melalui muktamar. Kalau tidak bisa meyakinkan dengan baik, maka keputusan harus diserahkan kepada para peserta muktamar. Alasan kesulitan teknis untuk menyelenggarakan muktamar terasa sebagai alasan yang tidak relevan.
Penafsiran kembali khitthah Menurut hemat saya Khitthah NU tidak berubah dari 1926 sampai sekarang. Yang berubah adalah penafsirannya, sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi NU. Kita tahu telah dilakukan beberapa kali penafsiran terhadap Khitthah NU secara kontekstual sesuai dengan ruang dan waktu tertentu. Tahun 1952 NU berubah dari jam'iyah menjadi partai karena ada tuntutan keadaan untuk melakukannya dan ternyata tindakan itu adalah langkah yang tepat. Tahun 1984 NU mengalami himpitan secara politis dan harus berusaha untuk menempatkan dirinya pada posisi yang tepat. Langkah kembali ke Khittah 1926, yang membebaskan NU dari ikatan politik dengan salah satu orsospol ternyata telah membuat posisi NU secara politis lebih menguntungkan. Bahwa akhirnya NU tidak bisa sepenuhnya memanfaatkan posisi itu adalah soal lain. Tetapi yang penting untuk dicatat ialah adanya kebutuhan bagi NU untuk menafsirkan kembali khitthah-nya sesuai situasi dan kondisi saat itu. Kita tidak bisa membantah bahwa situasi kehidupan berbangsa dan bernegara pada saat ini sangat jauh berbeda dengan tahun 1984. Perubahan mendasar terjadi didalam kehidupan politik yang menimbulkan tuntutan untuk melakukan penafsiran ulang terhadap Khitthah NU. Tidak ada alasan untuk menolak dilakukannya penafsiran kembali terhadap Khitthah NU sesuai dengan konteks situasi mutakhir.
Saya tidak tahu apakah penolakan merubah jam'iyah NU menjadi partai itu adala keputusan resmi dalam rapat pleno PBNU atau bukan. Selentingan terdengar bahwa cukup banyak anggota PBNU yang sebenarnya setuju dengan gagasan menjadikan NU sebuah partai. Sekarang terpulang kepada para anggota PBNU yang sadar akan bahaya disintegrasi internal NU bersama PW dan PCNU merenungkan kembali usulan penyelenggaraan muktamar NU yang dipercepat, guna membahas penafsiran kembali terhadap khitthah dalanm kaitan kehidupan bernegara pada saat ini. Sekali lagi perlu digaris-bawahi bahwa merubah kembali NU menjadi partai politik tidak melanggar khitthah. Yang berhak menafsirkan adalah warga NU melalui Muktamar. Jangan hak itu dipasung karena tindakan itu tidak sesuai dengan prinsip-prinsip berorganisasi yang telah lama dianut oleh NU.
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
Timbul pertanyaan, siapa yang berhak melakukan penafsiran itu ? Menurut saya yang berhak menafsirkan ialah seluruh warga NU melalui muktamar [ Musykilat dalam NU] 17
18
konsep pemikiran politik yang mendasar?
NU, Gus Dur dan Megawati
***
Oleh Salahuddin Wahid
Kompas edisi 7 Juli l998 memberitakan bahwa Wakil Katib Aam Syuriah PBNU Said Aqiel Siradj telah menegaskan keputusan Gus Dur untuk bergabung dngan Megawati. Dukungan itu dalam kapasitas pribadi bukan sebagai Ketua Umum PBNU. Menurut Said Aqiel, dengan demikian sikap NU tetap berpegang pada khittah. Kalau ada warga NU yang ingin mengikuti langkah Gus Dur mendukung Megawati, juga tidak ada persoalan sebab dukungan itu juga dukungan secara pribadi. Menjawab pertanyaan pers apakah dukungan itu untuk membentuk partai atau sekedar dukungan moral, Said Aqiel menjawab bahwa "sulit untuk mengatakan itu, tapi yang jelas Gus Dur akan bergabung dengan Mega". Selanjutnya Said Aqiel mengatakan bahwa nantinya NU akan mempunyai partai sendiri tetapi pribadi Gus Dur akan bergabung dengan partainya Megawati. Ummat NU silahkan memilih partai warga NU atau memilih Gus Dur. Artinya, kalau partainya Megawati menang berarti juga kemenangan warga NU, dan demikian pula sebaliknya. Menurutnya, kita tidak usah membedakan antara NU dengan Megawati, sebab sejak dulu adalah Islam yang nasionalis dan Megawati adalah nasionalis yang muslim. Menjawab pertanyaan apa target Gus Dur dalam dukung mendukung itu, Said Aqiel menjawab bahwa "tentunya ada, agar ada single majority di DPR dengan cara yang manis. Tidak seperti sekarang, hal tersebut dicapai dengan cara yang tidak manis." Saya yakin banyak orang bertanya-tanya tentang langkah politik Gus Dur ini, apakah ini hanya sekedar taktik untuk kepentingan sesaat atau berdasarkan
19
Warga NU harus bersikap kritis terhadap langkah politik Gus Dur tersebut, baik itu berupa taktik sesaat apalagi kalau bersifat pemikiran konseptual yang mendasar. Kalau bersifat taktik, yang jelas akan membingungkan warga NU dan sedikit banyak akan menimbulkan konflik intern. Tidak benar pendapat Said Aqiel tidak akan timbul konflik intern, karena masalahnya cukup serius. Warga NU harus mengingatkan Gus Dur bahwa langkah itu akan menimbulkan dampak yang berat di kalangan NU. Pernyataan mempersilahkan warga NU untuk memilih mana yang disukai, partai warga NU atau ikut Gus Dur (bersama Megawati) adalah pernyataan yang terlampau menyederhanakan masalah. Kita bukan sedang memilih baju, mobil atau barang lain, tetapi sedang memilih sesuatu yang sangat banyak mempengaruhi kehidupan kita di masa depan. Kalau memang NU dan Megawati (baca kelompok Nasionalis) itu sama, kenapa tidak dari dulu bergabung dalam satu partai? Walaupun banyak persamaan dalam tujuannya, tetapi keduanya mempunyai perbedaan yang bersifat prinsip. Di dalam peta politik Indonesia, Megawati dan kelompoknya dikenal sebagai kelompok Nasionalis-sekuler, sedangkan NU termasuk dalam kelompok Nasionalis-Islam. Untuk dapat memberi gambaran yang tepat dan mudah dicerna tentang perbedaan kelompok Nasionalis-sekuler dengan Nasionalis-Islam, saya akan mengambil kasus pembahasan RUU perkawinan pada tahun l973. RUU Perkawinan diajukan oleh Pemerintah - yang waktu itu dikuasai oleh kelompok Nasionalis-Sekuler - sebagai salah satu upaya untuk menumbuhkan kehidupan sekuler. Waktu itu DPR beranggotakan 460 orang dengan rincian FPP: 94 orang, FKP: 236 orang, FDI: 30 orang dan FABRI 100 orang. FPP (58 orang dari NU) menentng RUU itu karena banyak pasalnya mengandung ketentuan yang bertentangan dengan syari'at Islam. Peran NU dalam menentang ketentuan yang anti syai'at Islam sangat menentukan, dengan figur utamanya ialah Rais Aam PBNU (waktu itu) K.H. Bisri Syansuri (kakek Gus Dur dari pihak ibu). Berkat perjuangan gigih seluruh ummat Islam, para 20
anggota DPR dari FPP dan juga sikap penuh pengertian dari Presiden (saat itu) Soeharto akhirnya pasal-pasal yang bertentangan dengan syari'at Islam dapat diganti dengan ketentuan yang sesuai syari'at Islam. Upaya menentang masuknya syari'at Islam ke dalam Undang-undang telah juga mereka lakukan dalam pembahasan RUU Pendidikan (l989) dan RUU Peradilan Agama (l990). Jadi perbedaan prinsip antara Nasionalis-sekuler dengan Nasionalis Islam adalah tentang masuknya syari'at Islam ke dalam hukum positif atau peraturan perundangan. Mereka menolak hal itu dengan tegas. Hal itu dapat dilihat dalam argumentasi mereka. Salah satu contoh adalah argumentasi Franz Magnis Suseno yaitu: "Apabila mau melihat-lihat ke arah negara-negara yang menjadikan salah satu negara agama atau di mana salah satu agama sangat berpengaruh, kita menyaksikan satu hal yang jelas, yaitu bahwa gejolakgejolak yang ditimbulkan oleh golongan ekstremis dan fundamentalis dalam agama itu tidak berkurang malah justru bertambah. Diberi telunjuk mau memegang seluruh tangan." (Harian Pelita, 30/6/1989). Adalah sesuatu yang menarik bahwa Magnis Suseno telah berubah sikap dalam menilai kalangan Islam seperti dapat dilihat dalam pernyataannya menanggapi polemik sekitar pernyataan Muchtar Pakpahan tentang fundamentalis Islam. Menanggapi hal itu, dia menilai tidak ada fundamental Islam. " Yang muncul adalah kebangkitan Islam secara kritis," katanya seperti di kutip oleh Majalah Ummat. Menurut pandangan penulis, pendapat Magnis Suseno itu di kalagan NasionalisSekuler bukanlah pendapat mayoritas. Apa pun yang terjadi, mereka akan tetap menentang masuknya syariat Islam ke dalam UU. Penulis yakin bahwa hal itu akan tetap mereka perjuangkan dan dengan lebih keras apabila mereka bisa menguasai DPR atau menjadi "Single Majority" bersama kelompok lain. Seandainya mereka menyatakan bahwa mereka sudah tidak lagi mempersoalkan hal itu, sebaiknya kelompok Nsionalis Islam -termasuk warga NU- tidak mudah mempercayainya begitu saja. Perubahan Sikap
21
Adalah sesuatu yang wajar kalau orang lalu bertanya apakah Gus Dur memang bersikap sama dengan kaum Nasionalis - sekuler dalam menentang masuknya syariat Islam kedalam UU negara Repoblik Indonesia. Kalau sama, bagaimana sikap mayoritas warga NU, bagaimana sikap PBNU? Tidak mudah untuk menjawab pertayaan ini. Berbagai pemikiran Gus Dur dalam pernyataan, pidato, wawancara, ataupun ceramahnya, memberikan indikasi berbeda-beda. Pemikirannya itu sendiri melalui proses yang berkembang dalam waktu lebih dari 25 th tentunya sedikit banyak akan mengalami perubahan bahkan bertentangan, tetapi tetap akan dapat ditengarai adanya benang merah di dalamnya. Douglas E Ramage telah melakukan kajian terhadap tulisan Gus Dur dan wawancara langsung dengannya. Dia menulis dalam Tradisionalisme Radikal bahwa pemikiran politik Gus Dur di dasarkan pada visi politik yang demokratis, sekuler, dan nasionalis. Salah satu keyakinan intinya adalah bila Indonesia benar-benar akan menjadi "civil society" yang demokratis, aspirasi politik masyarakat tidak boleh disalurkan melalui agama (hal. 194). Selanjutnya juga ditulis bahwa Gus Dur menolak UU Peradilan Agama yang memperjelas dan menegaskan kembali independensi peradilan agama dan kesamaannya dengan peradilan sipil serta UU Peradilan (1989) yang menetapkan bahwa pengajaran agama itu wajib di semua sekolah umum (hal. 205 cataan kaki). Perlu dikemukakan bahwa muktamar NU di Krapayak mendukung ke dua Undang Undang tersebut. Wawancara lain dengan Ramage menunjukkan bahwa bagi Gus Dur dan Nasionalis-Sekuler lainnya, setidaknya ada kesepakatan bersama dengan ABRI bahwa Indonesia harus menjadi masyarakat sekuler (hal. 217). Gus Dur dalam artikelnya di Media Indonesia (1994 yang berjudul "Gerakan Islam dan Wawasan Kebangsaan" mengemukakan bahwa "yang paling mendasar adalah pembentukan antar klaim mereka untuk tetap setia kepada UUD 1945, sedangkan pada saat yang sama menginginkan legalisasi ajaran agama sebanyak mungkin. Jelas ini merupakan sikap kontradiktif, karena pada dasarnya jaminan UUD 1945 bagi kebebasan beragama, berpikir, dan berpendapat, 22
persamaan di muka hukum hanya akan tercapai manakala negara tidak mencampuri urusan agama dan keyakinan warganya. Kecenderungan melegalisasikan ajaran agama betapa minimnya sekalipun, selalu akan membuat mereka yang berada di luar lingkup perundangan itu sendiri menjadi warga negara kelas dua -suatu hal yang bertentangan dengan bunyi pasal-pasal UUD 1945 sendiri."
Warga NU - dan juga (terutama) PBNU - harus melakukan klarifikasi terhadap Gus Dur apakah memang benar ia menentang legalisasi ajaran agama Islam tetapi warga NU dan PBNU harus siap menerima kemungkinan bahwa memang Gus Dur menentang legalisasi ajaran Islam. Kalau memang demikian, bagaimana sikap warga dan PBNU? Kesemuanya harus dilakukan dengan hati tenang dan kepala dingin, tidak perlu emosional.
Alenia di atas menunjukkan bahwa Gus Dur tidak setuju masuknya ketentuan syariat Islam ke dalam peraturan perundangan (melegalisasikan ajaran Islam) karena dianggapnya bertentangan dengan bunyi pasal-pasal UUD 1945 yaitu pasal 27 ayat 1 yangberbunyi : "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum." Jadi kalau ada Undang-undang yang berlaku hanya untuk satu golongan agama maka golongan agama lain tidak sama kedudukannya di depan Undang-undang itu.
Mengenai sikap dan wawasan kebangsaan warga NU --khususnya generasi mudanya dan para pimpinan dari organisasi otonom NU, mantan anggota PBNU serta aktifis di lingkungan NU-- sebenarnya tidak perlu terlalu dirisaukan. Banyak dari mereka menginginkan partai terbuka murni, tetapi tetap mempertahankan NU sebagai komponen terbesar tetapi mereka juga menginginkan ketentuan syariat Islam tetap dimasukkan ke dalam undangundang, minimal mempertahankan yang sudah ada.
Pendukung legalisasi ajaran Islam mengambil pasal 29 ayat 2 UUD 1945 untuk membuat Undang-undang yang berlaku hanya untuk ummat Islam. Prof. Ismail Sunny menulis : "Penafsiran sistematis pasal 27 ayat 1 (yang menjamin kesamaan kedudukan di dalam hukum adalah "lex generalis" sedangkan pasal 29 ayat 2 (yang menjamin kemerdekaan untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu) adalah " lex spesialis".
Seperti arus utama gerakan Islam Mutakhir, mereka juga sudah tidak menginginkan adanya negara Islam di Indonesia. Mereka menganggap negara pancasila --yang bukan negara agama dan bukan negara sekuler-- adalah bentuk yang paling ideal bagi Indonesia. Dan itu, tidak harus menghilangkan ketentuan syariat Islam dari undang-undang. Mereka sepakat untuk membatasi legalisasi ajaran Islam sampai batas tertentu yang wajar, mungkin hanya sampai pada hukum kekeluargaan. Mereka jelas menentang hukuman potong tangan, hukuman pancung, hukuman rajam, dan lain-lain --yang terasa tidak tepat diterapkan di Indonesia.
Pemikiran Gus Dur yang memberi kesan bahwa dia tidak menentang legalisasi ajaran Islam salah satunya adalah artikel dalam Majalah Prisma edisi Agustus 1975 berjudul "Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan". Melihat tahun dibuatnya artikel itu (1975) dengan artikel di Media Indonesia (1994), mungkin dapat disimpulkan bahwa semula memang Gus Dur mendukung legalisasi ajaran Islam, tetapi kemudian berbalik menentang pikiran tersebut. Apakah memang benar demikian halnya, tentunya Gus Dur yang mengetahui.
Ummat Islam tentunya ingin memper-tahankan suasana dan iklim politik yang mendukung tumbuh dan berkembangnya kehidupan beragama di Indonesia. Mereka tidak menginginkan kembalinya keadaan pada tahun 1970-an, ketika kehidupan beragama sangat di tekan dan dikekang. Mereka juga tidak menginginkan keadaan di Turki bisa terjadi di Indonesia, suatu negara sekuler dengan mayoritas penduduk beragama Islam yang menghalang-halangi kehidupan beragama dari warga negaranya. dan hal itu bukan tidak mungkin terjadi kalau kelompok Nasionalis-Sekuler muncul sebagai kekuatan politik yang berarti.
Klarifikasi Menurut penulis, NU terlalu besar hanya untuk menjadi mendukung Kelompok 23
24
Megawati yang notabene bervisi politik tidak sama dengan NU. NU juga terlalu besar untuk pantas khawatir menerima bergabungnya kelompok non-NU, non-Islam, kalangan keturunan (Cina, Arab, Eropa, dan lain-lain) ke dalam partai terbuka murni yang mungkin akan bisa menjadi ladang persemaian menuju masyarakat dan negara Indonesia baru yang kita cita-citakan. Suatu masyarakat madani yang beradab dan sejahtera, suatu negara yang demokratis, berkeadilan, menghormati hah-hak warganya tanpa memandang agama, suku, ras, dan golongan.
PBNU, Abdurrahaman Wahid alias Gus Dur, menarik untuk dibaca dalam kerangka memahami manuver Gus Dur akhir-akhir ini. Tulisan bertajuk NU, Gus Dur dan Megawati yang dimuat Republika edisi 9 Juli itu, menjelaskan bagaimana sebetulnya pandangan Gus Dur terhadap formalisasi (dalam tulisan Salahuddin disebut legalisasi) ajaran Islam di Indonesia, sekaligus dimana posisi Gus Dur di tengah euforia politik sejumlah tokoh NU yang sedang "ngebet" membentuk partai baru.
NU bisa melakukan peran yang berarti dalam menuju masyarakat yang kita cita-citakan itu, tanpa harus mendukung siapa pun termasuk Megawati. Warga NU harus yakin bahwa NU mempunyai potensi untuk melakukan peran tersebut asalkan warga NU percaya diri, bersatu, kompak, dan mengutamakan kepentingan NU secara keseluruhan di atas kepentingan kelompoknya masing-masing.
Gus Dur, boleh jadi memang dilahirkan sebagai tokoh yang sulit dipahami ummatnya. Begitu seringnya dia membuat bingung warga NU yang awam, sehingga sekelompok anak muda NU di Yogyakarta merasa perlu menerbitkan sebuah buku yang diberi judul Tabayun Gus Dur (LKiS, 1998). Tabayun dalam bahasa santri lazim di terjemahkan sebagai klarifikasi. Kini -di tengah kondisi kesehatannya yang belum pulih, lagi-lagi ia melontarkan pernyataan kontrofersial, yakni tekadnya untuk bergabung dengan Ketua Umum PDI versi Munas, Megawati Soekarnoputri.
Mungkin penulis agak berlebihan kalau mengatakan bahwa hanya NU-lah saat ini yang mempunyai potensi itu, dan waktunyapun hanya saat ini. Mudah-mudahan Allah s.w.t. memberi petunjuk kepada para pemimpin dan warga NU untuk bisa memilih jalan terbaik. Amin.
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
[ Musykilat dalam NU]
Jauh sebelumnya, Ketua Litbang PDI, Kwik Kian Gie, sudah melontarkan kemungkinan tersebut (Jawa Pos, 28/5). Lalu beragam tanggapan muncul. Mahrus Irsyam, misalnya, menilai pernyataan Gus Dur merupakan bukti bahwa NU memang tidak sektarian (Jawa Pos, 29/6). Penilaian yang sama muncul dari Jalaluddin Rakhmat. Lebih dari itu, "Gus Dur, tampaknya, telah menjadi simbul dan kekuatan bagi terciptanya rekonsiliasi nasional," Ujar Kang Jalal seperti di kutip Jawa Pos (6/7). Sementara Fachry Ali, memprediksikan konsentrasi warga nahdliyyin akan terpecah jika Gus Dur akan mendukung partainya Mbak Mega (Surabaya Post 28/6). Rekonstruksi Pemikiran
Gus Dur di antara Dua Partai M. Ishom Hadzik Tulisan Salahuddin Wahid, ketua Kelompok Kerja Forum Nahdliyyin untuk Kegiatan Strategis - yang kebetulan adik Ketua Umum 25
Seperti ditulis Salahuddin, jika benar Gus Dur beraliansi dengan Megawati bisa dipastikan bakal muncul koflik internal di tubuh NU. Pandangan Salahuddin cukup beralasan. Tanpa bergabung dengan Mega pun konflik internal itu sudah muncul sejak gagasan pembentukan 26
partai warga NU dicetuskan. Perdebatan paling alot dalam pertemuan para penggagas partai di Rembang, 6 Juni 1998, misalnya, terkait dengan sifat terbuka atau tertutupnya partai. Sebagian menghendaki partai terbuka -- tanpa embelembel Islam, yang bisa menampung aspirasi segenap komponen bangsa, tanpa membedakan agama, ras, suku maupun golongan. Tapi kelompok lain ngotot dengan partai tertutup yang khusus mewadahi ummat Islam, lebih spesifik lagi warga NU. Akhirnya, ditemukan kompromi bahwa yang akan dibentuk adalah partai "terbuka". Terbuka dalam tanda kutip berarti memberi peluang kepada seluruh warga masyarakat untuk ikut, tetapi yang berhak tampil cuma kader-kader NU. Dengan konsep yang mendua itu, jelas sulit mengharapkan orang di luar NU mau bergabung. Ilustrasi di atas, membuktikan bahwa pemikiran Gus Dur yang bukan hanya membangsa, melainkan juga kosmopolit dan cenderung sekuler, belum cukup tersosialisasi, apalagi terinternalisasi, di kalangan warga NU. Padahal, itu sudah belasan tahun diupayakan oleh Gus Dur dan sekelompok intelektual muda NU. Paradigma pemikiran yang ditawarkan Gus Dur, sebetulnya, sejalan dengan watak dasar NU. Paham ahlu as sunnah wa al jama'ah yang menjunjung tinggi sikapsikap tawassuth (moderat), tawazun (proporsional) dan tasamuh (toleran), plus tatanan sosial-politik-ekonomi yang didasarkan pada prinsip-prinsip adalah (keadilan), syuro (permusyawaratan) dan musawah (persamaan), merupakan modal dasar yang penting untuk membangun wawasan kebangsaan. Dan NU, sejak dulu di kenal sebagai ormas yang lebih mengedepankan wawasan kebangsaan ketimbang ikatan primordial sempit. Wacana kenegaraan yang dominan pada Muktamar NU di Banjarmasin tahun 1935 misalnya, lebih mengarah pada kesepakatan untuk membentuk dar al salam (negara perdamaian) ketimbang dar 27
al Islam (negara islam). Konsensus ini merupakan terobosan yang cerdas untuk menghargai eksistensi kelompok minoritas, kendati fatwa mufti Hadlramaut, Muhammad Shalih Al Rais, ketika itu lebih mengarah pada pembentukan negara Islam. Penghargaan terhadap eksistensi minoritas itu, mendorong NU lebih toleran dalam menyikapi kepentingan komponen bangsa yang lain. Masalahnya, mengapa paradigma pemikiran yang disodorkan Gus Dur belum sepenuhnya diterima oleh warga NU ? Pertanyaan ini sulit dijawab. Tapi yang jelas dari situ terlihat bahwa Gus Dur sebenarnya telah gagal membumikan pemikiran-pemikirannya di kalangan warga NU sendiri. Barangkali, memang diperlukan rekonstruksi terhadap paradigma pemikiran yang ditawarkan Gus Dur, agar kaum nahdliyyin lebih intens terlibat dalam pergumulan intelektual mengenai berbagai masalah kenegaraan dan kebangsaan yang menjadi concern NU. Tapi, apa itu mungkin sementara mereka harus berjuang keras mengatasi kesulitan ekonomi ? Formalisasi Agama Kegagalan Gus Dur membumikan pemikiran-pemikirannya di kalangan warga NU, plus dinamika politik pasca reformasi yang membuka peluang bagi kebangkitan politik aliran dan fragmentasi politik ummat Islam, telah meniscayakan set back terhadap upaya membangun wawasan kebangsaan. Persoalan usang yang seharusnya sudah selesai, yakni relasi agama-negara, kembali mencuat. Gejala ke arah itu, terlihat dari ambivalensi partai yag bakal dibentuk warga NU. Tarik ulur mengenai terbuka atau tertutupnya partai, menunjukkan bahwa kecenderungan untuk menjadi sebuah entitas yang eksklusif, masih belum hilang. Boleh jadi, reasoning Gus Dur untuk bergabung dengam kelompok Megawatiyang oleh Salahuddin dikategorikan sebagai Nasionalis-Sekuler, adalah untuk menciptakan single majority di parlemen yang bisa 28
membendung kecenderungan tersebut, sekaligus kemungkinan terjadinya set back. Kecemasan Gus Dur bahwa dukungan terhadap partai agama bakal melahirkan formalisasi ajaran agama dan mengancam integrasi nasional, sebetulnya amat berlebihan. Aneh tapi nyata, sementara fenomena Islamophobia sedikit banyak sudah lenyap dari pikiran banyak tokoh nasional-sekuler, Gus Dur justru masih menyimpan kecurigaan. Bahkan tak segan menuding ICMI misalnya, sebagai kelompok Islam sektarian. Suatu tudingan yang sama sekali tak berdasar. Karena seperti diungkapkan Mochtar Pabottingi, terbentuknya ICMI dan aksesyang mereka miliki ke pusat kekuasaan, bukan bertolak dari niat memojokkan NU, melainkan karena memang begitulah maunya kekuasaan. Lagi pula, keberadaan mereka di pusat kekuasaan , cuma sekedar "ornamen penghijau" yang tak cukup signifikan untuk menjadikan Islam sebagai "pemberi warna tunggal" seperti dicemaskan Gus Dur. Jadi, akomodasi negara terhadap sebagian kecil ajaran Islamyang oleh Salahuddin dicontohkan dengan UU Perkawinan, UU Pendidikan dan UU Peradilan Agama, merupakan hal yang lumrah dan tak perlu dicurigai berlebihan sebagai formalisasi ajaran Islam, yang berimplikasi serius terhadap integrasi nasional. Jika diamati lebih jeli, proses akomodasi itu merupakan konsekuensi logis dari adanya transformasi pemikiran dan perilaku politik generasi baru ummat Islam. Transformasi intelektual dan aktivitas politik yang mereka alami, telah mengubah orientasi ummat yang semula legalistik-formalistik atau skripturalistik meminjam istilah Clifford Geertz, menjadi lebih substansialistik. Orientasi terakhir ini mengandung potensi integratif, yang bukan hanya tidak berlawanan, tetapi justru mendukung konstruk negarabangsa yang berdasarkan Pancasila.
salah satu motor penggerak transformasi intlektual dan aktivitas politik dengan paradigma baru, masih menggunakan frame lama untuk mencurigai kebangkitan Islam politik. Padahal, akomodasi negara terhadap mainstream Islam politik, merupakan sebuah keharusan untuk menghindari ketegangan di satu sisi, sekaligus memperkuat lagitimasi negara di mata ummat di sisi lain. Pendeknya, seperti dikatakan Bahtiyar Effendi, tanpa adanya transformasi pemikiran dan aktivitas politik ke arah yang lebih substansialistik dan integratif, mustahil ada langkah-langkah akomodatif negara terhadap Islam. Kendala Koalisi Mengenai rencana Gus Dur membentuk dua partai, yakni partai warga NU dan partai nasionalis bersama Megawati-seperti dilaporkan Liputan 6 SCTV (27/6), tampaknya dilatarbelakangi keinginan melakukan eksperimen politik untuk mengantisipasi perkembangan pascareformasi. Keinginan itu, agaknya bakal bergulir menjadi kenyataan."Sebagai Ketua NU, saya akan mendirikan partai baru untuk orang NU. Sebagai warga negara Indonesia, saya akan mendirikan partai lain bersama Megawati." ujar Gus Dur seperti dikutip Surabaya Post (28/6). Megawati sendiri hingga kini belum menentukan sikap terhadap rencana Gus Dur. Malah seperti diberitahukan harian Surya (29/6), Megawati menegaskan tak akan meninggalkan PDI. Jadi, berbeda dengan partai yang didirikan warga NU PKB, partai bikinan Gus Dur Megawati belum jelas kapan dan bagaimana realisasinya. Memang, partai NU dengan PNI -unsur paling dominan dalam PDI Megawati, dimasa Orde Lama pernah menjalin perkawanan erat melalui poros Nasakom gagasan presiden Soekarno. Persoalannya sekarang, bisakah partai NU yang berbasis Islam dan PDI Megawati yang sekuler disatukan dalam sebuah koalisi? Rasanya, itu tidak mungkin. Kendati Gus Dur dan mbak Mega memiliki visi yang kurang lebih sama
Maka, adalah ironi yang paradoks jika Gus Dur yang merupakan 29
30
belum tentu pendukung masing-masing juga demikian. Apalagi, bila dicermati, kebanyakan tokoh penggagas partai bagi warga NU adalah mereka yang gagal di kancah politik. Ibarat rumah, mereka telah tergusur dari "rumah" yang dibangun dan dihuni secara kolektif bersama kelompok lain, baik di zaman Masyumi maupun di era PPP. Pengalaman mengecewakan itu, tak mudah mereka hapuskan dan membuat mereka berpikir sekian kali untuk menjalin koalisi dengan partai lain, termasuk dengan PDI-nya Megawati. Dan jangan lupa, para pendukung PDI Megawati belum tentu mau menerima orang-orang NU dengan tangan terbuka. Lihat saja hasil polling yang dilakukan Litbang PDI. Megawati mendapat dukungan terbesar untuk menjadi presiden, sementara Gus Dur menempati posisi sedikit diatas juru kunci. Itu menunjukkan, banyak orang cuma menginginkan dukungan NU, tapi mereka sendiri keberatan untuk mendudukung NU. Dari gambaran di atas, sudah bisa di perkirakan bahwa keinginan Gus Dur untuk membangun single majority melalui koalisi partai NU dan PDI Megawati -seperti ditegaskan Said Aqiel Siradj di Kompas (7/7), akan banyak mengalami kendala, baik secara struktural, kultural maupun psikologis. Gendala-gendala ini, jelas melahirkan kondisi yang rawan perpecahan. Tapi, seandainya berbagai hambatan tersebut bisa diatasi, tak mustahil mereka punya masa depan yang sangat prospektif. Cuma, untuk itu Gus Dur harus terjun langsung sementara kondisi fisiknya sudah sangat tidak memungkinkan. Bagi mreka yang mengedepankan kepentingan pragmatis, basis massa NU yang besar mungkin cuma dilihat sebagai modal membangun kekuatan politik, atau bahkan tumpukan kartu suara. Tapi mereka yang benar punya concern terhadap ummat, akan lebih melihat warga NU sebagai jutaan orang yang perlu ditingkatkan taraf pendidikan, ekonomi dan kesejahteraannya. 31
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
[ Musykilat dalam NU]
Catatan Untuk Salahuddin Wahid
Demokrasi Berimplikasi Sekularisasi Oleh Amsar A Dulmanan Demokrasi dapat dipahami dalam berbgai pengertian bisa dipandang sebagai antitesis dari sistem monarkhi. Ia bisa diletakkan juga sebagai antitesis sistem teokrasi; atau sekaligus sebagai antitesis dari keduanya. Karena dalam sistem demokratis pemegang kedaulatan bukan raja dan bukan tuhan, melainkan rakyat, maka rakyatlah yang menentukan arah pemerintahan dan negara. Sistem itu dipilih agar persoalan politik dan kenegaraan bisa dibicarakan bisa dibicarakan, direncanakan, dan dipertanggungjawabkan secara empirik dan rasional berdasarkan keputusan yang murni manusiawi, sehingga bisa dikontrol secara manusiawi pula. Karena itu demokrasi membawa implikasi sekularisasi politik. Tulisan ini mencoba menanggapi tulisan Saudara Salahuddin Wahid di Republika edisi 9 Juli l998, yang berusaha membahas masa depan politik Nahdlatul Ulama dengan menggunakan stigma ideologis tahun l950-an sebagai cara analisis; dan yang bertitik tolak dari perseteruan antara kelompok nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Dengan dalih itu ia mengajak mendirikan partai yang beridentitas Islam dan berusaha menerapkan legislasi Islam. Sebaliknya ia mengecam kemungkinan terjdinya koalisi antara NU (yang Islam) dengan kelompok Megawati yang nasionalis (sekuler), dengan alasan aspirasinya berbeda. Ini merupakan pandangan khas bagi penganut politik identitas (keagamaan), karena berusaha keras menerapkan syari'at Islam dalam sistem 32
pemerintahan. Masyarakat Indonesia --dan NU ada di dalamnya -- menerima bentuk negara ini sebagai nation state (negara bangsa) yang bersatu berdasarkan ikatan kebangsaan, bukan etnis dan bukan pula agama. Karena itu akhirnya ditetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Negara sekuler adalah negara yang tidak berdasarkan agama sementara Pancasila bukanlah agama, tetapi sekuler, karena itu negara Indonesia adalah negara sekuler. Tetapi kenyataan ini diperhalus dan diperkabur menjadi tanggung: buan agama, tidak juga sekuler. Lebih lanjut dalam sebuah negara bangsa, hubungan antara rakyat dengan pemerintah dan negara bukan berdasarkan ummat atau kelompok, melainkan berbasis pada asas kewarganegaraan yang bersifat individual. Implikasinya adalah jaminan hak dan kewajiban seseorang bukan karena mayoritasnya, tetapi semata-mata sebagai warga negara yang sama haknya. Karena itu setelah kembali ke Khittah l926 , NU menyerahan aktivitas politik warganya sebagai stelsel individual, artinya NU secara kelembagaan merasa tidak pantas mendikte rakyat dalam menentukan pilihan politiknya. Karena warga negara punya ha individu yang tidak boleh diintervensi siapapun. Hak individu ini yang sekarang hendak dirampas lagi oleh para aktivis partai, dengan dalih kekompakan NU. Perkembangan NU belakangan terutama di kalangan mudanya, baik dalam gerakan pemikiran maupun gerakan sosial di alam yang plural ini telah membawa mereka pada pemikiran yang lebih empirik. Dalam situasi plural kita memang tidak bisa memaksakan Islam sebagai acuan tunggal, karena itu harus dicari acuan yang bisa dipakai bersama. Sebuah gerakan tidak lagi ditunjukkan hanya untuk kalangan Islam - apalagi NU - tetapi berdasarkan cita-cita demokrasi untuk menegakkan harkat kemanusiaa, (ukhuwah basyariah) tanpa memandang etnis, agama dan kebangsaan. Hal itu menyiratkan terjadinya sekularisasi di kalangan NU. Memang hal itu tampak sekali; banyak kalangan NU -- terutama di kalangan mudanya yang dengan tegas menolak agama dijadikan sebagai landasan politik dan dengan tegas menghendaki tatanan politik yang sekuler. Alasan pertama, karena hal itu mendistorsi maqqasidu syari'ah (cita-cita syari'at) Islam sebagai 33
pelindung masyarakat. Kedua, oleh rezim diktator, syari'at Islam dapat dijadikan alat menindas rakyat. Ketiga, hal itu akan mendiskriminasi kelompok non Islam sebagai warga kelas dua -- ini akan mengancam terjadinya disintegrasi. Sebagai contoh, ketika didirikan Generasi Muda Islam (Gemuis) yang disponsori rezim ketika terjadi kekacauan politik tahun l996 yang lalu, kalangan muda NU tidak bergabung ke sana, malah bersama mahasiswa sekuler mendirikan Forum Kebangsaan Indonesia, yang lebih bersifat kritis dan suportif terhadap kelompok Megawati. Sehingga selama ini gerakan generasi muda NU dikategorikan sebagai kelompok sekuler (Greg Fealy l998). Sikap tersebut buan sekedar pilihan taktis, melainkan telah menjadi semacam ideologi pemikiran kalangan muda NU. Hal itu bisa ditelusuri melalui referensi yang mereka baca dan dijadikan sebagai ideologi gerakan. Mereka lebih tergerak untuk mempelajari karya-karya Mahmud Thaha dan Abdullahi An-Naim, tokoh pluralis Sudan yang menentang keras islamisasi pemerintahan (the Second Message of Islam, l988), yang akhirnya dihukum mati, dan bukannya memilih Hassan Turabi sebagai penggerak islamisasi di Sudan. Demikian juga mereka lebih tertarik gagasan Hassan hanafi (kiri Islam) ketimbang pemikiran Islam fundamentalis seperti Hassan Al Banna atau Sayid Qutub dan seterusnya. Ketika Abdurrahman Wahid, Said Aqiel atau Masdar, mengatakan bahwa tidak ada negara Islam, maka tersirat di dalamnya bahwa sistem negara sekuler yang dikehendaki, karena itu mereka bisa dengan rileks mengatakan bisa bergabung dengan kelompok manapun. Apalagi Gus Dur berulangkali menegaskan bahwa melegislasi ajaran agama akan membuat mereka yang berada di luar lingkup agama tersebut sebagai warga kelas dua. Karena itu ia menentang segala macam bentuk legalisasi ajaran Islam. Lain lagi sikap yang diambil Masdar. Karena wilayahnya gerakan sosial dan pemikiran, maka ia dengan tegas mengatakan bahwa sumber pemikiran bukanlah Hadis sahih atau doktrin yang lain, melainkan maslahat mursalah (realitas empirik). Pemikiran model itu berkembang cukup luas di kalangan NU, melalui
34
berbagai halqah yang gencar diselenggarakan.
dukungan
Adanya pandangan seperti itu menjadi tidak aneh bila kalangan NU sangat getol mendukung Megawati yang digusur saat itu. Demikian juga NU mendukung kalangan non-Islam yang tertindas, misalnya membela kaum Kong Hu Cu yang dilanggar hak agama dan status pernikahannya. Juga kegigihan Said Aqiel dalam membela Romo Sandiawan, seorang pastor yang diadili karena melakukan tugas pastoral, yakni membela tokoh PRD yang tertindas. Gus Dur sendiri aktif bersama Romo Sandi dalam tim relawan korban peristiwa 27 Juli. Kerjasama semacam itu berlanjut ketika gerakan reformasi marak: ketika kelompok lain lagi giat membangun posko kemanusiaan bersama kelompok relawan Katolik untuk menolong korban kerusuhan.
Kalau NU membuat partai, sumberdaya NU dalam menangani pengembangan pendidikan pesantren dan urusan kemasyarakatan, akan terserap ke sana. Ketika NU kembali ke Khittah pada tahun l984, puluhan pesantren yang terlantar karena dirtinggal main politik -- bisa dihidupkan kembali. Bila sekarang mereka terseret dalam bidang politik, rintisan itu akan terbengkalai lagi. Apalagi politik sekarang hanya dipandang sebagai sarana meraih kekuasaan kaum elite semata, bukan untuk memperjuangkan idealisme, maka gerakan pemberdayuaan civil society yang dilakukan NU selama ini akan tercampak mandek.
Argumen "Islam kalah dan ditindas" yang dipakai Salahuddin Wahid sebenarnya tidak populer di kalangan NU, terutama di kalangan mudanya. Sebab orang tahu bahwa ketika rezim Soeharto berkuasa, semua kekuatan politik yang berbasis massa dihancurkan: PKI, PNI, NU dan termasuk kelompok agama lainnya. Pendeknya semua kekuasaan diambil alih; tidak perduli agama, ideologi dan etnisnya. Jadi tidak hanya Islam. Kalau Islam menjadi korban terbesar, itu memang benar, karena Islam mayoritas sehingga paling menderita. Memang ada kelompo etinis yang diuntungkan, tetapi bukan semata karena agama atau etnis mereka. Walhasil sebenarnya kedaulatan rakyatlah yang ditindas selama rezim orde baru, bukan hanya Islam. Karena itu, demokrasi yang perlu diperjuangkan untuk semuanya. Bagi kalangan NU yang ingin menerapkan Islam secara formal, memang pendirian partai salah satu cara. Begitu pula mereka yang berambisi untuk berkuasa. Tetapi mereka yang ingin Islam berkembang secara substansial melalui jalur kulturl, apalagi tidak berambisi untuk berkuasa, maka pendirian partai tidak penting. Sebab mereka selama ini telah bisa berbuat banyak, dengan melakukan pendidikan politik dan meningkatkan kesadaran rakyat, tanpa partai -seperti dilakukan Gus Dur, Masdar atau MM Billah, dan banyak lagi. Bagi mereka, komitmen utamanya adalah rakyat Indonesia, sementara NU hanyalah bagian darinya, karena itu tidak perlu merasa iba atau eman-eman memberi
35
kepada
siapa pun
yang
punya komitmen
kerakyatan.
Tidak perlu heran kalau Gus Dur dan warga NU mendukung Megawati atau partai mana saja yang punya komitmen demokrasi dan kerakyatan, walaupun dikatakan PDI pernah mendukung RUU Perkawinan, tentang sekularisasi hukum dan pendidikan, serta tentang aliran kepercayaan. Sebab Golkar yang selama ini merancang hal-hal tersebut akhirnya juga banyak didukung oleh orang-orang NU tanpa banyak tantangan. Di sana ada Slamet Effendi Yusuf, Aisyah Wahid Hasyim, dan banyak lagi. Padahal jelas, Golkar bukan partai Islam. Dalam situasi plural aspirasi kebangsaan jauh lebih aspiratif bagi seluruh elemen bangsa, karena di sini tidak memandang perbedaan agama, ideologi, dan suku. Sebagai warga negara, semuanya memiliki hak dan status yang sama. Kalaupun mereka memperoleh posisi, bukan by privelege karena agama, ideologi atau etnisnya, tapi semata by choice: dipilih karena keahliannya dan representasinya, selain itu juga mempunyai integritas moral yang meyakinkan sehingga layak dipilih dan diajak berkoalisi, karena adanya ikatan idealisme yang sama.
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
36
[ Musykilat dalam NU]
Negara Demokrasi Tidak Mesti Negara Sekuler Oleh Salahuddin Wahid Harian Republika 30-7-98 memuat tulisan saudara Amsar A Dulmanan berjudul "Demokrasi Berimplikasi Sekularisasi" untuk menanggapi tulisan penulis (NU, Gus Dur dan Megawati- Republika 9 Juli 1998). Reaksi penulis menanggapi tulisan itu mendua. Pertama, terlepas dari isi tulisan, penulis berterima kasih dan menghargai tanggapan saudara Amsar, yang mencerminkan bahwa saudara Amsar adalah seorang yang perduli terhadap masa depan NU dan berani menyatakan sikapnya secara terbuka. Tetapi penulis juga sedih karena tanggapan dari PBNU -tertulis maupun lisan- yang disampaikan secara langsung kepada penulis belum ada. Sejauh penulis tahu, sampai saat ini belum dilakukan tabayyun (klarifikasi) kepada Gus Dur ataupun Said Agiel Siraj tentang sinyalemen bawa mereka berdua mempunyai visi politik sekuler, yang berarti bertentangan dengan AD/ART NU. Tulisan Sdr. Amsar itu memberikan gambaran bahwa visi politik sekuler telah cukup banyak pengikutnya dikalangan NU terutama generasi muda. Hal itu tentunya tidak lepas dari pengaruh Gus Dur yang memang sangat inspiratif. Gus Dur telah membangunkan generasi muda NU untuk berani berpikir kreatif. Kita harus berterima kasih dan memberikan penghormatan kepada Gus Dur untuk hal itu, tetapi tidak harus membuat kita kehilangan daya kritis dan mengikuti apa saja yang dikatakan Gus Dur walaupun itu salah. Dikotomi yang tidak tepat Saudara Amsar berpikir secara dikotomis, mempertentangkan suatu hal dengan hal lain, tetapi penerapannya kurang tepat. Demokrasi dipandang sebagai antithese dari sistem monarkhi atau antithese dari sistem 37
theokrasi. Rasanya kita semua sepakat untuk tidak menginginkan sistem theokrasi dan sistem monarkhi. Tetapi ditempat lain kita lihat adanya negara monarkhi-konstitusional yang demokratis, dan juga negara republik (bahkan republik demokrasi) sekuler yang tidak demokratis. Jadi negara demokrasi tidak mesti negara sekuler, negara sekuler belum tentu demokratis. Menurut Amsar : "negara sekuler adalah negara yang tidak berdasarkan agama, sementara Pancasila bukan agama tetapi sekuler, karena itu negara Indonesia adalah negara sekuler. Kenyataan ini diperhalus dan diperkabur menjadi tanggung : bukan negara agama dan bukan negara sekuler". Kalau kita mengambil negara Islam sebagai these dan negara sekuler sebagai antithese, maka menurut penulis synthese-nya adalah negara pancasila yang berkeTuhanan atau sesuatu yang "bukan negara agama bukan negara sekuler". Kita akan paham bahwa ini bukan omong kosong, tetapi sesuatu yang benarbenar ada asal kita tidak berpikir a-priori. Membaca risalah sidang BPUPKI dan PPKI akan membuat kita bisa mengetahui proses pembahasan dasar negara yang sangat sulit dan musykil, yang penyelesaiannya hanya bisa dicapai dengan pengorbanan ummat Islam untuk bersedia menghilangkan tujuh kata "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluknya" dari dalam Pambukaan UUD 1945. Kalau kedua belah pihak kukuh pada pendirian masing-masing maka proklamasi kemerdekaan negara kesatuan RI tidak akan pernah terlaksana. Setelah melalui proses yang melelahkan selama beberapa tahun, Konstituante belum berhasil mencapai kesepakatan tentang dasar negara RI walaupun sudah dalam posisi untuk mencapai kata sepakat dalam waktu 2-3 bulan (Buyung Nasution-1995). Tetapi terlanjur ditentukan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 untuk kembali ke UUD 1945 dengan ketentuan "dijiwai oleh Piagam Jakarta" Presiden Soekarno -aktor utama dalam persidangan BPUPKI dan PPKI khususnya dalam Panitia Sembilan- tentunya memahami sepenuhnya apa yang dilakukannya dengan mencantumkan ketentuan "dijiwai oleh Piagam Jakarta". Hal ini bagi penulis adalah salah satu bukti dari visi dan sikap kenegarawanan Bung Karno 38
yang bisa melihat jauh kedepan. Sudah bisa diduga bahwa akan terjadi perbedaan penafsiran terhadap ketentuan "dijiwai oleh Piagam Jakarta". Terlalu panjang dan terlalu berteletele kalau kita harus menguraikan semuanya itu. Penulis hanya ingin mengemukakan kesimpulan bahwa di Indonesia wujud dari kemungkinan implementasi bentuk dasar negara ada empat yaitu : negara Islam, negara sekuler, negara Piagam Jakarta dan negara berkeTuhanan. Yang belum pernah terwujud (exist) adalah negara Islam. Negara sekuler pernah terwujud yaitu mulai 17 Agustus 1945 sampai awal Januari 1946 ketika diputuskan untuk membentuk Departemen Agama. Pembentukan Departemen bagi penulis adalah titik temu dari negara dengan agama, tetapi bagi kalangan yang berpikir dengan paradigma Barat hal itu ditafsirkan sebagai campurtangan negara terhadap kehidupan agama. Mulai awal 1946 sampai dengan saat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 penulis sebut sebagai bentuk negara semi-sekuler. Masa setelah Dekrit Presiden sampai 1973 penulis sebut sebagai masa negara Piagam Jakarta (de-yure) yang dalam realitas politik tidak pernah terwujud. Pada tahun 1973 kelompok nasionalis-sekuler melakukan langkah strategis untuk mewujudkan negara sekuler dengan mengajukan RUU Perkawinan yang banyak mengandung ketentuan yang bertentangan dengan syari'at Islam. Berkat perjuangan FPP yang minoritas (94 anggota dari 460 anggota) dipimpin oleh KH Bisri Syansuri dengan juru-bicara diantaranya Ny. Asmah Syahruni -keduanya tokoh NU- maka ketentuan syari'at Islam berhasil dimasukkan kedalam UU itu. Hal itu menandai mulainya bentuk negara Pancasila yang berkeTuhanan. Dalam hal ini kita tidak boleh melupakan peranan Pak Harto seburuk apapun pandangan kita terhadapnya saat ini- yang memerintahkan FABRI untuk membantu FPP sehingga tersusunlah UU Perkawinan seperti yang kita kenal dan kita pergunakan sekarang. Peranan Pak Harto dalam masalah UU Perkawinan ini juga menunjukkan visi dan sikap kenegarawanannya yang menonjol. Kita mengakui adanya ekses seperti yang dikemukakan saudara Amsar (kalangan Kong Hu Chu yang dilanggar hak agama dan status 39
pernikahannya. Penulis menghargai sikap Gus Dur yang membela mereka. Tetapi jangan sampai adanya ekses itu membuat kita menghapuskan UU yang mengatur pernikahan dan perkawinan yang sudah sesuai dengan syari'at Islam. Bentuk yang kita jalani mulai 1973 sampai kini penulis sebut sebagai negara berkeTuhanan atau "bukan negara agama dan bukan negara sekuler". Dan itu benar-benar terwujud walaupun harus diakui terdapat ekses. Kalau saat ini negara sedang kacau balau, hal itu tidak ada kaitannya dengan dasar negara, tetapi karena penyelenggaraan pemerintahan yang korup, otoriter dan menginjak-injak hukum. Apakah Pancasila itu sekuler? Saudara Amsar berpendapat bahwa Pancasila itu bersifat sekuler. Tentunya banyak pihak juga berpendapat serupa. Tetapi yang berpendapat sebaliknya juga banyak. Muktamar NU Situbondo menetapkan suatu deklarasi tentang Pancasila yang salah satu butirnya berbunyi : "Sila Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar Negara Republik Indonesia menurut pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang menjiwai sila-sila yang lain, mencerminkan tauhid menurut pengertian keimanan dalam Islam". Hal itu menurut pendapat penulis menyiratkan bahwa NU berpendapat Pancasila itu tidak bersifat sekuler. Akan lebih baik apabila kita mencoba membaca kembali risalah sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945 -yang sekarang dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila- ketika Bung Karno menyampaikan pidatonya tentang usulan dasar negara, yang sangat baik dan mendapat sambutan luar biasa dari para anggota BPUPKI. Bung Karno mengusulkan dasar negara berupa lima sila dengan urutan : 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan, 3. Mufakat atau demokrasi, 4. Kesejahteraan sosial dan 5. KeTuhanan Yang Maha Esa. Melalui pembahasan dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI telah diadakan perubahan terhadap urutan dari sila yang diusulkan semula oleh Bung Karno. 40
Perubahan terhadap urutan tentunya bukan tanpa arti dan menunjukkan prioritas dari sila-sila itu. Seperti diketahui, sila pertama dari Pancasila yang kita kenal sekarang dan resmi dipakai ialah KeTuhanan Yang Maha Esa. Banyak pihak menilai bahwa hal itu menunjukkan bahwa Pancasila itu tidak bersifat sekuler termasuk beberapa tokoh dari kalangan Kristen seperti Victor Tanya, Arnold Mononutu. Pancasila bersifat terbuka dan selalu dapat ditafsirkan oleh siapa saja sesuai dengan konteks ruang dan waktu. Yang harus dihindarkan ialah suatu kalangan memaksakan penafsiran mereka terhadap pihak lain, secara langsung atau tidak, misalnya kalau kalangan yang menafsirkan bahwa Pancasila itu tidak bersifat sekuler dikenai tuduhan bahwa kalangan itu bermaksud mendirikan negara Islam. Kalau penafsiran terhadap Pancasila bisa beragam, maka penafsiran terhadap apa yang disebut negara Pancasila itu bisa beragam dan bisa mempunyai dinamika tersendiri. Realitas politik selama 25 tahun terakhir menunjukkan telah terwujudnya negara Pancasila yang berkeTuhanan yang menerima legalisasi ajaran Islam secara terbatas, yang telah diterima oleh sebagian besar rakyat Indonesia -dengan catatan masih ada beberapa ekses. Langkah untuk merubah keadaan ini, baik merubahnya menjadi negara sekuler -yaitu menghapuskan UU yang mengandung ketentuan syari'at Islam- akan ditentang kalangan nasionalisIslam. Sebaliknya, memberlakukan Piagam Jakarta, akan mendapat tentangan keras dari kalangan nasionalis-sekuler maupun kalangan nasionalis-Islam yang moderat. Perbedaan antara negara berkeTuhanan dengan negara Piagam Jakarta ialah adanya pembatasan legalisasi syari'at Islam pada negara berkeTuhanan. Noda politik Amsar mengatakan bahwa penulis menggunakan noda atau cacat (terjemahan dari stigma) politik tahun 1950-an sebagai cara analisis untuk membahas masa depan politik NU -(nasionalis)Islam- yang akan digandengkan (oleh Gus Dur, Said Agiel Siraj, Matori) dengan kelompok Megawati yang nasionalis (sekuler). Penulis tidak menggunakan istilah Islam dan nasionalis, sebab 41
terkesan kelompok Islam tidak nasionalis, tetapi menggunakan istilah nasionalis-Islam dan nasionalis-sekuler atau Islam dan sekuler. Penulis menganggap dikotomi Islam dengan sekuler -dalam arti menentang legislasi ajaran Islam- bukanlah sesuatu noda politik atau cacat politik. Kalau kita mau belajar dari sejarah bangsa, kita akan mengetahui bahwa masalah itu memang masalah klasik -semenjak sebelum Proklamasi- yang mendasar dan amat rumit. Pasal 5 Anggaran Dasar NU berbunyi : Tujuan NU adalah berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah wal Jama'ah dan menganut salah satu madzhab empat ditengah-tengah kehidupan, didalam wadah negara kesatuan Rep. Indonesia yang berasaskan Pancasila dan UUD 1945. Rumusan itu jelas menunjukkan NU menghendaki berlakunya ajaran Islam dalam wadah negara RI, yang berarti dlm bentuk UU. Selain itu Pesan-pesan Muktamar NU ke-28 (1989) mengungkapkan bahwa Muktamar mengharapkan RUU Peradilan Agama segera disahkan menjadi Undang-undang. Kita tahu bahwa RUU itu telah disahkan menjadi UU. Jadi jelas bahwa NU mendukung legalisasi ajaran Islam. Karena itu didalam NU, penganut paham sekuler-lah yang mempunyai noda atau cacat politik. Dalam realitas politik Indonesia sampai 1015 tahun mendatang- masalah sekuler masih akan tetap menjadi salah satu issue sentral. Kalau banyak tokoh NU -Slamet Effendi Yusuf, Aisyah Hamid Baidlowi, Mujib Rohmat, Mustafa Zuhad- aktip didalam Golkar, hal itu tidak terlepas dari persaingan Islam dengan sekuler. Mereka tidak ingin Golkar diselewengkan untuk mewujudkan masyarakat sekuler seperti tahun 1970an 1980-an. Kalau kalangan Islam menginginkan legalisasi ajaran Islam, bukan berarti harus ditafsirkan bahwa mereka tidak mempunyai jiwa, semangat dan wawasan kebangsaan, tetapi memperjuangkan hak konstitusional sesuai UUD 1945 pasal 29 ayat 2. Di Indonesia, kebangsaan dan keislaman adalah dua sisi dari satu mata uang 42
yang sama, tidak dapat dipisahkan satu dari lainnya. Pesan-pesan Muktamar NU ke 28 mengungkapkan bahwa : "ukhuwwah dapat dijabarkan menjadi ukhuwwah Islamiyah, ukhuwwah Wathoniyyah dan ukhuwwah basyariyah". Tentunya ketiga ukhuwwah itu saling melengkapi tidak berdiri sendiri dan tidak saling bertentangan. Pada bulan Oktober 1945 , ketika pemerintah secara de-facto belum ada (exist), PBNU dibawah Rais Akbar KH Hasyim Asy'ari menyatakan Resolusi Jihad yang mewajibkan ummat Islam untuk memperjuangkan kemerdekaan dan membela tanah air sebagai perjuangan dijalan Allah. Terbukti resolusi itu sangat membantu perjuangan bangsa dan negara. Atas jasanya kepada negara KH Hasyim Asy'ari dan KH Wahid Hasyim dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Dan KH Hasyim Asy'ari serta tokoh NU lainnya seperti KH Wahab Hasbullah dan KH Wahid Hasyim sangat menginginkan masuknya ketentuan syari'at Islam kedalam UU. Bagaimana mungkin tokoh pejuang kebangsaan seperti mereka dapat dianggap tidak mempunyai jiwa, semangat dan wawasan kebangsaan, hanya karena menginginkan legislasi ajaran Islam? Apa hak dari para pemimpin dan generasi masa kini -yang tidak pernah ikut berjuang mendirikan negara RIuntuk memberi penilaian seperti itu ?. Selanjutnya Amsar mengemukakan bahwa karena RI adalah negarabangsa yang bersatu berdasarkan kebangsaan, bukan berdasarkan etnis dan agama, maka kesimpulan akhirnya adalah bahwa negara RI harus negara sekuler. Ditegaskan, banyak warga NU terutama kalangan mudanya menolak agama dijadikan landasan politik serta menghendaki tatanan politik sekuler. Alasan untuk itu ada 3 buah yaitu : 1. hal itu mendistorsi cita-cita syari'at Islam sebagai pelindung masyarakat; 2. oleh rezim diktator, syari'at Islam bisa dijadikan alat untuk menindas rakyat; 3. akan mendiskriminasi kelompok nonIslam sebagai warganegara kelas dua yang selanjutnya akan mengancam terjadinya dis-integrasi. Karena negara RI sudah 25 tahun merupakan negara berkeTuhanan bukan negara sekuler, mari kita kaji apakah yang dikemukakan oleh saudara Amsar dan kawan-kawan itu benar adanya. Penulis melihat 43
UU Perkawinan itu justru melindungi ummat Islam yang ingin menikah sesuai dengan syari'at Islam dan mengikuti UU. Kalau UU Perkawinan berisi ketentuan yang bertentangan dengan syari'at Islam seperti yang diajukan oleh kelompok nasionalis-sekuler, maka yang akan terjadi ialah kalau kita mengikuti syari'at Islam maka perkawinan itu tidak sah didepan UU, sebaliknya kalau sah secara UU maka perkawinan itu bertentangan dengan syari'at Islam alias tidak sah didepan agama. Berarti anak hasil perkawinan itu adalah anak diluar pernikahan secara Islam. Kita memasukkan syari'at Islam kedalam UU tidak dengan maksud untuk menginginkan berdirinya rezim diktator. Rezim diktator itu bisa terjadi dimana saja, bahkan dinegara yang tidak mengakui agama. Jadi tidak ada hubungan antara legislasi ajaran Islam dengan kediktatoran. Sekarang kita coba melihat kenyataan -dengan mengesampingkan ekses yang sudah disepakati untuk dihilangkan- dimasyarakat, apakah warganegara yang tidak beragama Islam dirugikan dengan adanya UU Perkawinan itu? Pernyataan bahwa UU itu akan memicu terjadinya dis-integrasi bangsa adalah pernyataan yang sangat dilebih-lebihkan. Kita semua menyampaikan simpati dan dukungan moral kepada Megawati dkk yang telah mendapat perlakuan tidak adil dan tidak demokratis dari (sekelompok pejabat) pemerintah. Tetapi tentunya hal itu tidak mengharuskan kita untuk mempunyai pandangan politik yang sepenuhnya sama dengan mereka. Memang cukup banyak persamaan diantara kedua kelompok itu, tetapi ada satu perbedaan mendasar yaitu masalah legalisasi ajaran Islam dan kecenderungan untuk menciptakan masyarakat sekuler. Kehidupan masyarakat bangsa Turki -yang mayoritas penduduknya beragama Islamdapat dijadikan contoh konkrit dari masyarakat sekuler yang mempersulit berkembangnya kehidupan keagamaan. Penentangan yang keras dari PDI terhadap legalisasi ajaran Islam dalam pembahasan RUU Perkawinan, RUU Peradilan Agama dll, dapat menjadi bahan renungan tentang kebenaran dari sinyalemen penulis. PDI-lah satu-satunya fraksi yang menentang UU PA. Tentunya penulis menghargai hak seseorang atau suatu kelompok didalam 44
NU untuk mempunyai pandangan politik sekuler, tetapi tidak boleh dibiarkan adanya pribadi pengurus NU mempunyai pandangan politik sekuler dan mengatas-namakan NU serta membawa NU kearah pandangan semacam itu. Harus ditingkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan penyimpangan terhadap cita-cita para pendiri NU dan manipulasi kekuatan NU untuk mendukung kelompok sekuler oleh sekelompok orang didalam NU, karena gejalanya sudah jelas terlihat. Pertanyaannya : siapa yang harus melakukan dan bagaimana caranya meningkatkan kewaspadaan itu .
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
[ Musykilat dalam NU]
hanyalah upaya Said Aqiel untuk menarik perhatian atau mencari sensasi. Tapi seorang kawan mengatakan bahwa itu bukan pertama kali dilontarkan Aqiel. Bahkan beberapa kawan lain menganggapnya sebagai pelecehan terhadap ulama. Banyak warga NU sendiri merasa tersinggung mendengar ucapan itu. Kalau saya tidak keliru, Gus Dur juga pernah melontarkan gagasan serupa. Saya ridak tahu apakah Said Aqiel mengikuti pendapat Gus Dur ataukah itu gagasannya sendiri. Yang jelas, kalangan non Islam dan nasionalis-sekuler sangat senang apabila Depag dibubarkan. Sekali lagi saya tidak tahu apakan ini sesuatu yang sifatnya kebetulan ataukah ada sesuatu dibaliknya. Pertanyaan itu wajar diajukan kalau kita mengacu kepada visi politik Said Aqiel yang menyatakan akan bergabung dengan koalisi Mega-Gus Dur. Kalau gagasan Said Aqiel dkk.memang sebuah sikap politik yang didasari kesamaan pandangan dengan kelompok nasionalis-sekuler, kita perlu mengingatkan Said Aqiel dkk., apabila hal sudah dipertimbangkan masakmasak akibatnya? Kalau hanya bersifat kegenitan untuk memperoleh sensasi, sebaiknya itu tidak diteruskan karena akan membingungkn masyarakat termasuk warga NU. ***
Departemen Agama Tak Diperlukan ? Pada 16 Juli l998, Tim 5 PBNU telah mengadakan dialog interaktif II dengan tema "Membangun Kebhinekaan dalam Kesatuan Bangsa". Wakil Katib Aam PBNU Syuriah Dr. Said Aqiel Siraj, salah seorang kepercayaan Gus Dur, saat itu menjadi salah seorang pembicaa yang menarik perhatian peserta dialog karena terkadang mengemukakan pandangan kritis, sensasional bahkan kontroversial.
M. Hisyam, seorang peneliti LIPI, dalam tulisannya yang berjudul "Departemen Agama, Konvergensi Hubungan Agama Negara", menguraikan bahwa dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan pada 15 Juli l945, tokoh nasionalis Moh. Yamin mengusulkan pembentukan departemen agama. Namun usul itu ditolak karena karena hanya didukung oleh hanya enam dari 27 orang anggota panitia. Di situ terlihat bahwa kebanyakan anggota. Panitia menganut teori Barat yang lazim dipakai di mana-mana: agama harus dipisahkan dari negara.
Misalnya, ketika ada seorang peserta yang mengusulkan Aqiel menjadi Menteri Agama kalau nanti partainya menang, Aqiel menanggapi bahwa bila hal itu terjadi langkah pertama yang dia lakukan adalah membubarkan Departemen Agama (Depag). Saya menganggap lontaran pendapat itu
Oleh karena itu, ketika kabinet pertama dibentuk pada awal September l945, jabatan menter agama belum diadakan. Demikian pula dalam kabinet kedua (Novempeber l945). Baru pada 3 Januari l946, atas usul BP KNIP, kementerian agama diputuskan untuk dibentuk dan pada Maret l946
Oleh Salahuddin Wahid
45
46
dengan H.M. Rasjidi sebagai menteri agama pertamanya. Namun muncul pertanyaan, kenapa BP KNIP mengusulkan pembentukan kementerian agama itu? Pengalaman kabinet pertama tanpa kementerian agama ternyata merepotkan. Banyak masalah timbul karena urusan agama ditangani oleh banyak instansi. Dirasakan sekali perlunya penyatuan masalah sejenis dalam satu departemen. Meskipun alasannya tidak semata-mata teknis tetapi juga mengandung muatan politis, pada akhirnya depag dirasakan sebagai sebuah keniscayaa. Kelompok non-Islam dan nasionalis-sekuler tentunya melihat berdirinya depag sebagai satu konsesi terhadap ummat Islam. Taufik Abdullah telah menulis kata pengantar yang menarik untuk buku Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik (editor: Azyumardi Azra dan Saiful Umam). Menurut dia, profil para menag lebih "meyakinkan" dari golongan (mantan) menteri-menteri yang lain, apalagi kalau dibandingkan para menteri teknis. Mereka adalah individu yang utuh pada dirinya dan layak menjadi menteri. Mereka mempunyai kelebihannya sendiri dan telah berhasil menjawab tuntutan tugas sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi. Bahwa ada beberapa di antara mereka yang lebih menonjol, itu merupakan sesuatu yang wajar. Selanjutny Taufik menulis, karena menag pertama sampai ketiga sangat disibukkan oleh masalah perjuangan bangsa untuk mempertahankan kemerdekaan, maka tokoh NU-lah, yakni Wahid Hasyim, yang sesungguhnya menjadi founding father depag. Beliaulah peletak dasardasar yang kokoh bagi berfungsi dan berperannya depag. Hal ini tidak lepas dari kesempatan yang diperolehnya untuk menjadi menag beberapa kali.
Kafrawi, KH Masykur, KH Wahid Hasyim, KH M. Ilyas, KH Wahib Wahab, KH Saifuddin Zuhri, KH M. Dahlan, dan Prof.Dr. Quraish Shihab. Dari seluruh gambaran itu dapat disimpulkan bahwalangkah depag sebagai bagian dari pemerintah RI tidak dapat dipisahkan dan selalu mengikuti dinamika sejarah negara kita. KH Wahid Hasyim mengatakan bahwa tugas depag adalah menyelenggarakan kehidupankeagamaan tiap-tiap agama yang berhubungan dengan negara serta hubungan antar golongan agama dan golongan agama lainnya. Tentunya implementasi dari tugas ini akan mengikuti dinamika kehidupan bangsa dan negara kita. Kalau kita mengambil mentah-mentah teori Barat yang sekuler, yang memisahkan secara tajam antara negara dengan agama,seperti terjadi pada awal kemerdekaan sampai Januari l946, maka gagasan pembubaran depag merupakan solusi yang paling tepat. Nnamun rakyat Indonesia telah sepakat untuk mengambil Pancasila sebagai dasar negara yang merupakan jalan tengah. Negara kita bukan negara berdasarkan agama (apa pun) dan bukan pula negara sekuler. Kalau dirasakan depag kurang baik dan kurang tepat dalam menjalankan peran dan fungsinya, misalnya banyak terjadi koncoisme dan KKN di dalamnya, itu tidak berarti lembaganya harus dibubarkan. Yang harus dilakukan adalah memperbaiki dan membenahi masalah yang ada supaya departemen agama dapat berperan dengan baik untuk kepentingan bangsa, kepentingan semua agama, serta kepentingan semua kelompok di dalam suatu agama.
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
Karena tulisan ini dibuat untuk menanggapi gagasan Said Aqiel tentang pembubaran depag, ada baiknya dikemukakan bahwa banyak tokoh NU yang telah menjadi menteri di departemen tersebut (delapan dari 16). Mereka telah berperanan dengan baik dalam membentuk, mengarahkan dan mewarnai perjalanan departemen agama. Kedelapan tokoh NU itu adalah KH Fathurrahman [ Musykilat dalam NU] 47
48
Anggota NU DR. Said Aqiel Siradj Oleh Irfan Zidny, MA Hari Kamis, tanggal 16/7/l998, telah diselenggarakan acara Dialog Interaktif dengan tema "Membangun Kebhinekaan dalam Kesatuan Bangsa", bertempat di Hotel Atlet Century Park, Senayan, Jakarta. Penyelenggaranya Tim 5 PBNU bekerjasama dengan Yayasan Persemaian Persahabatan. Selain sambutan tertulis Gus Dur selaku Ketua Umum PBNU, pada sesi pertama dialog tersebut pembicaranya adalah Mgr. Carlos Filipe Xemenes Belo, Said Aqiel Siradj, Hartojo Wignjowijoto, Pastor Mudji Sutrisno dan Budi Soetrisno. Pemandunya seorang wanita bernama Debra Yatim. Sesi kedua pemandunya Pratiwi Sudarmono dengan pembicara-pembicara Agum Gumelar, Pendeta Isaac Saujay dan Harry Tjan Silalahi. Pembacaan doa penutup oleh K.H. Sullam Samsun. Peserta dialog berjumlah sekitar 200 - 300 orang jenis latar belakangnya sangat beragam. Yaitu beberapa orang pastor, pendeta, tokoh-tokoh kristen-katolik WNI keturunan Cina, aktifis politik, kalangan generasi muda, para mantan menteri (Subroto, Sarwono Kusumaatmadja), anggota DPR-RI dan sebagainya. Mengutip ucapan Gus Dur ketika mempersiapkan dialog tersebut, pembicara Hartoyo Wignyowijoto mengatakan bahwa forum dialog itu forum dialog KKN, kepanjangannya Kristen, Katolik dan NU. Di forum yang hadirinnya beragam seperti itu, dicover wartawan dalam dan luar negeri serta stasiun televisi, Saudara DR. Said Aqiel Siradj berulangkali membuat kejutan. Antara lain sebagai berikut: 1. Said Aqiel membuka pembicaraannya dengan mengucapkan salam sekaligus memberi komentar sebagai berikut: "Salam sejahtera buat kita semua, Assalamu alaikum w.w. Saya dulukan salam yang kristen karena Yesus lebih dulu dari pada Muhammad". 49
2. Said Aqiel bercerita, bahwa dia menerima hadiah kitab Injil berbahasa Arab dari sebuah gereja di Mesir. Ia kemudian membaca suatu ayat dalam Injil berbahasa Arab tersebut dengan lagu seperti membaca Alqur'an, kemudian ia komentari isinya sama persis Alquran. 3. Said Aqiel secara eksplisit mengemukakan pendiriannya, agar Departemen Agama Republik Indonesia dibubarkan. 4. Ketika menerima pertanyaan dari salah seorang peserta diskusi, apakah NU sebagai organisasi telah mengeluarkan pernyataan sikapnya terhadap peristiwa penjarahan, pembakaran dan pemerkosaan yang terjadi pada tanggal 13-14 Mei l998 Said Aqiel menjawab, belum. Karena dirinya hanya seorang Katib Syuriah, sedangkan pejabat tertinggi di Syuriah adalah Rois Aam, ia menyatakan akan mengusulkan kepada Rais Aam. Hanya saja, kata Said Aqiel berkomentar dengan nada sinis, " Rais aamnya mangga-mangga wae". Diajak menyumbang emas kepada penguasa mau juga. 5. Said Aqiel melecehkan para kiai yang berulangkali pergi haji. Dia sebut para kiai yang seperti itulah yang selalu berusaha dekat dengan penguasa, agar tiap tahun dapat pergi haji. Biasanya hajinya "haji abubakar", haji atas budi baik Golkar. Haji apa itu? 6. Pelecehan terhadap kiai yang tidak kalah hebatnya dilakukan Said Aqiel dengan mensitir cerita perseteruan antara kiai dan anjing. Perseteruan itu ditengahi melalui dialog antara kiai-anjing-Tuhan. Kesimpulan dari dialog tersebut menggambarkan kedudukan anjing lebih terhormat dari pada kiai. 7. Said Aqiel menyatakan keberatannya dengan penggunaan istilah Ukhuwah Islamiah sebagai salah satu tri ukhuwah yang dikembangkan oleh NU (Hasil keputusan Munas NU di Cilacap). Alasan dia istilah itu tidak terdapat di dalam Alquran. Yang benar menurut dia adalah Ukhuwah Imaniah. Masih banyak hal-hal yang menjadi urusan intern NU, intern ummat Islam, yang dikecam/dihujat oleh Said Aqiel di forum dialog tersebut. Sehubungan dengan tidak hanya sekali ini saja Said Aqiel Siradj yang jabatannya adalah Katib Syuriah PBNU melontarkan ucapan-ucapan atau tulisan kontroversial yang menyebabkan kebingungan ummat, bahkan menimbulkan 50
perpecahan, maka saya selaku anggota pleno PBNU mengusulkan agar dilakukan tindakan organisatoris atas Said Aqiel Siradj. Tindakan organisatoris tersebut berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam AD/ART NU. Said Aqiel Siradj tentulah anggota NU, sehingga ia dapat menjabat sebagai Katib Syuriah PBNU. Dan sebagai anggota NU dia terikat oleh ketentuan-ketentuan di dalam AD/ART NU. Anggaran Rumah Tangga NU (ART-NU) menetapkan ketentuan tentang Kewajiban Anggota NU. Antara lain mengharuskan anggota NU tunduk dan taat kepada jam'iyah NU. Harus mendukung dan membantu segala langkah NU serta bertanggung jawab atas segala sesuatu yang diamanatkan kepadanya. Memupuk dan memelihara ukhuwah Islamiah dan persatuan nasional. Harus berusaha sungguh-sungguh melaksanakan keputusan-keputusan NU.
Saifuddin Zuhri, KHM Dahlan, Prof.DR. Quraish Shihab. Bahkan K.H. Wahid Hasyim dianggap sebagai pendiri sesungguhnya Departemen Agama RI. Penggunaan istilah Ukhuwah Islamiah adalah keputusan Munas NU di Cilacap. Dia juga menodai dan mencemarkan nama NU dengan cara melecehkan Rais Aam Nahdlatul Ulama. Dan sebagainya.) Atas dasar itu semua dan masih dapat diperkaya lagi dengan langsung mendengarkan rekaman pembicaraan Said Aqiel di forum dialog itu, saya mengusulkan melalui Rois Aam PBNU kepada rapat pleno PBNU agar Saudara Said Aqiel Siradj dipecat sebagai anggota NU. Dengan sendirinya juga gugur dari jabatannya sebagai Katib Syuriah PBNU. Pembahasan usul saya tersebut belum terlaksana tuntas di dalam rapat pleno PBNU tanggal 24 Juli l998 itu. Masalahnya akan dibawa ke dalam rapat khususi PB Syuriah NU terlebih dahulu.
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
ART-NU juga memberi ketentuan tentang pemberhentian keanggotaan. Seseorang berhenti dari keanggotaan NU karena permintaan sendiri. Pemberhentian anggota bisa juga terjadi karena yang bersangkutan dipecat. Alasan pemecatan karena dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagai anggota atau melakukan perbuatan yang mencemarkan dan menodai nama Nahdlatul Ulama, baik ditinjau dari segi syara', kemaslahatan umum maupun organisasi. Prosedur pemecatan disebutkan antara lain, PBNU mempunyai wewenang memecat seorang anggota secara langsung, sebagai keputusan sidang pleno PBNU. Anggota yang dipecat langsung oleh PBNU dapat membela diri dalam Konperensi Besar atau Muktamar NU. Said Aqil Sirod telah dengan sengaja tidak memenuhi kewajibannya sebagai anggota NU antara lain berkaitan dengan keharusan berusaha sungguh-sungguh melaksanakan keputusan NU. (Adanya Departemen Agama atas persetujuan, dukungan bahkan sebagian oleh inisiatif NU; 8 dari 16 orang yang pernah menjabat Menteri Agama adalah dari NU yaitu K.H. Fathurrahman Kafrawi, K.H. Masykur, K.H. Wahid Hasyim, KHM Ilyas, KH Wahib Wahab, KH 51
[ Musykilat dalam NU]
Perkuat Keimanan Islam Oleh Luthfi Basori Sinkritisme adalah faham yang gerakannya berupa upaya mempersatukan agama-agama yang ada di dunia. Ensiklopedia Britannica menjelaskan, "religious syncretism is the fusion of diverse religious beliefs and practices". Penganut sinkritisme bekerja melalui cara selalu mencari titik temu dari perbedaan-perbedaan ajaran yang ada pada setiap agama. Baik perbedaan 52
yang menyangkut prinsip dasar beraqidah maupun perbedaan yang bersifat furu' (khilafiah amaliah) atau perbedaan cara pengamalan suatu ajaran dalam bermadzhab. Gerakan ini memberikan pemahaman, bahwa pada dasarnya semua agama adalah sama. Semua agama mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan. Berupaya mengajak ummat seluruh dunia bersatu dalam setiap langkah, berusaha melakukan pendekatan satu sama lain dan lebih menjunjung tinggi ikatan kemanusiaan, dari pada kebersamaan seagama. Mereka bergerak di hampir semua sektor kehidupan, baik politik, ekonomi, kebudayaan maupun agama. Tujuan mereka menjadikan dunia suatu wadah besar dengan keyakinan yang sama yaitu "kemanusiaan". Cara pendekatan yang dilakukan, secara langsung maupun tidak langsung, dengan menanamkan keragu-raguan kepada setiap penganut agama atas keyakinannya terhadap ajaran yang mereka anut. Mereka mengajak penganut agama tersebut untuk mengosongkan pikiran sebelum menerima faham baru yang dihasilkan dari penyatuan ajaran agama-agama sesuai dengan pemahaman mereka. Yaitu menukil beberapa ajaran dari tiap-tiap agama yang berbeda, yang mereka anggap baik dan bisa mempersatukan ummat beragama seluruh dunia dalam satu wadah. Gerakan yang berlandaskan sinkritisme ini sudah sejak lama berkembang. Adakalanya terbatas pada pemersatuan agama-agama samawiah. Ada juga yang secara menyeluruh, termasuk upaya mempersatukan sekte-sekte yang berkembang dalam setiap agama. Sebagai contoh, pendapat dua orang tokoh (yang dikutip dalam al Raddu ala al Manthiqiyyin karangan Ibnu Taimiyyah halaman 282 cetaklan II/1396 H), Ibnu Sab'in dan Ibnu Hud at Talmasani beranggapan, bahwa orang yang paling mulia adalah yang mengajak semua ummat beragama bersatu secara menyeluruh dalam satu wadah. Dan apabila sudah terjalin persatuan di anatara 53
ummat beragama, maka tidaklah membahayakan bagi seseorang yang mengamalkan ajaran Islam, Nasrani dan Yahudi dalam waktu yang bersamaan. Pada akhir abad ke 18 Djamaluddin al Afghani ikut memarakkan gerakan penyatuan agama-agama samwiyah. Ia antara lain berucap: "Sesungguhnya tiga agama yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam mempunyai dasar dan tujuan yang sama. Apabila salah satu di antara ketiganya punya kekurangan di dalam penterapan ajaran kebaikan, maka dapat disempurnakan oleh yang lainnya. Karena itu saya berharap agar penganut tiga agama tersebut bersatu padu (al A'mal al Kamilah, karangan Djamaluddin al Afghani-Muhammad Imarah hal. 69). Dalam kaitan itu seorang pendeta Inggris bernama Ishaq Taylor menyambut baik. Bahkan berusaha mengadakan pendekatan antar agama untuk menemukan satu ajaran yang bisa mempersatukan ummat Islam dan ummat Nasrani. Di Mesir, pada tahun 1919 M terjadi upaya penyatuan Islam dan Nasrani di bawah pimpinan Sa'ad Zaghlul, hingga terjadi pula pembauran lambang Bulan Sabit dan Salib sebagai lambang persatuan. (al Islam wa al Hadlarah al Arabiyah hal. 81 karangan Muhammad Rasyid Ridla). Para modernis Islam yang ikut memarakkan gerakan sinkritisme diantaranya : 1. Dr. Abdul Aziz Kamil : "Kami di Timur Tengah mengimani keEsaan Allah, baik lewat satu agama maupun lewat agama lain. Saya katakan dengan tegas bahwa Islam, Nasrani dan Yahudi adalah sama. Bahkan dalam pengertian trinitas Nasrani berakhir pada keEsaan Tuhan. Inilah yang dinamakan wilayah Tauhid (ke-Esaan Tuhan). Hanya saja gambaran dan penafsiran secara filsafat yang berbeda". (al Islam wa al Ashr karangan Abdul Aziz Kamil). 2. Dr. Rifa'ah at Thahthawi berpendapat bahwa manusia tidaklah dibagi menjadi "mukmin dan kafir". Yang benar dibagi menjadi "modern dan primitif" -(Ghozwun min ad Dakhil hal. 64 karangan Dr. Muhammad Imarah). 54
3. Dr. Hasan Hanafi dengan terang-terangan menyatakan bahwa hakikat agama itu tidak ada. Yang ada hanyah peninggalan dari kaum tertentu yang lahir dari zaman tertentu, sehingga memungkinkan untuk berkembang di masa-masa tertentu/ berikutnya. (at Turats wa at Tajdid hal. 22, karangan Hasan Hanafi). Di Indonesia, sejenis kegiatan yang dikhawatirkan dapat mengarah atau paling tidak menimbulkan kesan cendrung synkristis, akhir-akhir ini sering terjadi. Antara lain yang dilakukan oleh Dr. Said Aqiel Siradj. Gerakan Dr. Said Aqiel bukan hanya terbatas pada perkataan atau pemikiran semata. Ia, misalnya, tampil di atas mimbar dalam acara misa di Gereja Katolik Aloyius Gonzaga Surabaya (Harian Surya, Minggu1 Maret 1998). Di samping itu banyak pertemuan dilakukan Said Aqiel dengan tokoh-tokoh non muslim dalam acara-acara khusus. Diantaranya dalam seminar nasional "Khong Hu Cu, Sabtu 15 Nopember 1997. Said Aqiel mengatakan: "Di Indonesia Islam sudah paling besar, mayoritas, terwakili, mau nuntut apalagi. Tinggal dulur-dulur, misan-misan (saudara-saudara) kita yang masih belum punya hak ini harus kita perjuangkan, kenapa dibedakan ?". Dukungan moril Said Aqiel ini membuat Tjhie Tjay Ing, Ketua Dewan Rohaniawan Majelis Tinggi Agama Khong Hu Cu Indonesia (Matakin) tidak bisa menahan haru. Terakhir, dalam suatu acara diskusi di Jakarta, dia menciptakan paduan salam yang biasa digunakan ummat Kristen dengan ummat Islam, sehingga diucapkannya: "Salam sejahtera bagi kita semua, Assalamu alaikum warohmatullahi wabarakatuh. Saya dahulukan yang Kristen karena Yesus lebih dulu dari Muhammad".
tahun. Bayangkan, lima kali dua belas, kan sudah 60 kali," ujar Gus Dur sambil tertawa. Di samping sering berbicara di lingkungan Kristen, khususnya PGI, Gus Dur juga sering muncul di lingkungan Katolik. "Malah frekwensinya mungkin lebih tinggi," ujarnya. Ini dikarenakan menurut Gus Dur, ia biasa diundang PGI hanya di acara-acara yang bersifat formal yang tentunya frekwensinya tidak terlalu tinggi. Sedangkan di lingkungan Katolik, di seminar-seminar kecilpun Gus Dur diundang, "ya semacam sarasehan." (Jawa Pos, Kamis 26 Oktober 1980.) Dalam artikel yang berjudul "Bukti Pendangkalan Agama" yang dimuat di Jawa Pos disebutkan, " Gus Dur juga mengemuka-kan, selama ini ada pihak yang salah mengartikan satu ayat al Qur'an yang menyatakan, ummat Islam bersifat sopan santun kepada sesama saudara agama, tetapi bersifat keras kepada orang kafir. Kata "kafir" mereka menafsirkan non-Islam, itu keliru. Padahal kata "kafir" itu dapat diartikan orang tidak beragama." (Jawa Pos, Senin 20 Januari 1979). Pendapat KH. Abd Rahman Wahid bahwa orang-orang "kafir" diartikan sebagai mereka yang tidak beragama, tidak jauh berbeda dengan pendapat Dr. Muhammad Imarah maupun Rifa'ah at Thahthawi. Agar tidak larut dalam situasi semacam itu, sudah seharusnya ummat Islam memperkuat keimanan Islam dengan mengingat kembali dan berpegang teguh pada firman-firman Allah, diantaranya:
"Hampir disetiap acara yang diadakan PGI, Gus Dur selalu diundang untuk berbicara. Bahkan pada 1975 - 1980 ia mendapat kehormatan berceramah di lingkungan Gereja Kristen Jawi Wetan Malang. Setiap bulan selama 5
1. dalam al Qur'an surat Ali Imran ayat 19 yang artinya, "Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah agama Islam". 2. pada ayat 85 Allah SWT juga menerangkan yang artinya : "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasukorang-orang yang rugi" 3. meragukan kesempurnaan agama Islam berhadapan dengan surat al Maidah ayat 3, yang artinya "Pada hari ini , telah Ku-sempurnakan
55
56
Lama sebelum itu, di era 1975-an Gus Dur sudah mendahului melakukan kegiatan yang kemudian disiarkan oleh suratkabar sebagai berikut:
untuk kamu (Muhammad) agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridlai Islam menjadi agamamu" 4. surat an Nisa' ayat 115, Allah berfirman yang artinya "Dan barang siapa yang menentang Rasul (Muhammad) sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburukburuk tempat kembali" 5. Agama Islam tidak mungkin disejajarkan dengan agama-agama lain, sebab Allah telah membatalkan agama-agama lain tersebut dengan datangnya Islam. Firman Allah surat Saba' ayat 28 yang artinya, "Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" 6. dalam surat at Taubah Allah juga berfirman yang artinya, "Dialah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al Qur'an) dan agama yang benar, untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai." Semoga Allah SWT melindungi ummat Islam dari pengaruh-pengaruh yang dapat menyebabkan kekafiran. Dan semoga Allah SWT menumbuhkan ketegaran ummat Islam untuk selalu mengatakan kebenaran sekalipun itu pahit dirasakan.
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
[ Musykilat dalam NU]
Perkuat Keimanan Islam 57
Oleh Luthfi Basori Sinkritisme adalah faham yang gerakannya berupa upaya mempersatukan agama-agama yang ada di dunia. Ensiklopedia Britannica menjelaskan, "religious syncretism is the fusion of diverse religious beliefs and practices". Penganut sinkritisme bekerja melalui cara selalu mencari titik temu dari perbedaan-perbedaan ajaran yang ada pada setiap agama. Baik perbedaan yang menyangkut prinsip dasar beraqidah maupun perbedaan yang bersifat furu' (khilafiah amaliah) atau perbedaan cara pengamalan suatu ajaran dalam bermadzhab. Gerakan ini memberikan pemahaman, bahwa pada dasarnya semua agama adalah sama. Semua agama mengajak kepada kebaikan dan melarang kejahatan. Berupaya mengajak ummat seluruh dunia bersatu dalam setiap langkah, berusaha melakukan pendekatan satu sama lain dan lebih menjunjung tinggi ikatan kemanusiaan, dari pada kebersamaan seagama. Mereka bergerak di hampir semua sektor kehidupan, baik politik, ekonomi, kebudayaan maupun agama. Tujuan mereka menjadikan dunia suatu wadah besar dengan keyakinan yang sama yaitu "kemanusiaan". Cara pendekatan yang dilakukan, secara langsung maupun tidak langsung, dengan menanamkan keragu-raguan kepada setiap penganut agama atas keyakinannya terhadap ajaran yang mereka anut. Mereka mengajak penganut agama tersebut untuk mengosongkan pikiran sebelum menerima faham baru yang dihasilkan dari penyatuan ajaran agama-agama sesuai dengan pemahaman mereka. Yaitu menukil beberapa ajaran dari tiap-tiap agama yang berbeda, yang mereka anggap baik dan bisa mempersatukan ummat beragama seluruh dunia dalam satu wadah. Gerakan yang berlandaskan sinkritisme ini sudah sejak lama berkembang. Adakalanya terbatas pada pemersatuan agama-agama samawiah. Ada juga 58
yang secara menyeluruh, termasuk upaya mempersatukan sekte-sekte yang berkembang dalam setiap agama. Sebagai contoh, pendapat dua orang tokoh (yang dikutip dalam al Raddu ala al Manthiqiyyin karangan Ibnu Taimiyyah halaman 282 cetaklan II/1396 H), Ibnu Sab'in dan Ibnu Hud at Talmasani beranggapan, bahwa orang yang paling mulia adalah yang mengajak semua ummat beragama bersatu secara menyeluruh dalam satu wadah. Dan apabila sudah terjalin persatuan di anatara ummat beragama, maka tidaklah membahayakan bagi seseorang yang mengamalkan ajaran Islam, Nasrani dan Yahudi dalam waktu yang bersamaan. Pada akhir abad ke 18 Djamaluddin al Afghani ikut memarakkan gerakan penyatuan agama-agama samwiyah. Ia antara lain berucap: "Sesungguhnya tiga agama yaitu Yahudi, Nasrani dan Islam mempunyai dasar dan tujuan yang sama. Apabila salah satu di antara ketiganya punya kekurangan di dalam penterapan ajaran kebaikan, maka dapat disempurnakan oleh yang lainnya. Karena itu saya berharap agar penganut tiga agama tersebut bersatu padu (al A'mal al Kamilah, karangan Djamaluddin al Afghani-Muhammad Imarah hal. 69). Dalam kaitan itu seorang pendeta Inggris bernama Ishaq Taylor menyambut baik. Bahkan berusaha mengadakan pendekatan antar agama untuk menemukan satu ajaran yang bisa mempersatukan ummat Islam dan ummat Nasrani. Di Mesir, pada tahun 1919 M terjadi upaya penyatuan Islam dan Nasrani di bawah pimpinan Sa'ad Zaghlul, hingga terjadi pula pembauran lambang Bulan Sabit dan Salib sebagai lambang persatuan. (al Islam wa al Hadlarah al Arabiyah hal. 81 karangan Muhammad Rasyid Ridla). Para modernis Islam yang ikut memarakkan gerakan sinkritisme diantaranya : 1. Dr. Abdul Aziz Kamil : "Kami di Timur Tengah mengimani keEsaan Allah, baik lewat satu agama maupun lewat agama lain. Saya 59
katakan dengan tegas bahwa Islam, Nasrani dan Yahudi adalah sama. Bahkan dalam pengertian trinitas Nasrani berakhir pada keEsaan Tuhan. Inilah yang dinamakan wilayah Tauhid (ke-Esaan Tuhan). Hanya saja gambaran dan penafsiran secara filsafat yang berbeda". (al Islam wa al Ashr karangan Abdul Aziz Kamil). 2. Dr. Rifa'ah at Thahthawi berpendapat bahwa manusia tidaklah dibagi menjadi "mukmin dan kafir". Yang benar dibagi menjadi "modern dan primitif" -(Ghozwun min ad Dakhil hal. 64 karangan Dr. Muhammad Imarah). 3. Dr. Hasan Hanafi dengan terang-terangan menyatakan bahwa hakikat agama itu tidak ada. Yang ada hanyah peninggalan dari kaum tertentu yang lahir dari zaman tertentu, sehingga memungkinkan untuk berkembang di masa-masa tertentu/ berikutnya. (at Turats wa at Tajdid hal. 22, karangan Hasan Hanafi). Di Indonesia, sejenis kegiatan yang dikhawatirkan dapat mengarah atau paling tidak menimbulkan kesan cendrung synkristis, akhir-akhir ini sering terjadi. Antara lain yang dilakukan oleh Dr. Said Aqiel Siradj. Gerakan Dr. Said Aqiel bukan hanya terbatas pada perkataan atau pemikiran semata. Ia, misalnya, tampil di atas mimbar dalam acara misa di Gereja Katolik Aloyius Gonzaga Surabaya (Harian Surya, Minggu1 Maret 1998). Di samping itu banyak pertemuan dilakukan Said Aqiel dengan tokoh-tokoh non muslim dalam acara-acara khusus. Diantaranya dalam seminar nasional "Khong Hu Cu, Sabtu 15 Nopember 1997. Said Aqiel mengatakan: "Di Indonesia Islam sudah paling besar, mayoritas, terwakili, mau nuntut apalagi. Tinggal dulur-dulur, misan-misan (saudara-saudara) kita yang masih belum punya hak ini harus kita perjuangkan, kenapa dibedakan ?". Dukungan moril Said Aqiel ini membuat Tjhie Tjay Ing, Ketua Dewan Rohaniawan Majelis Tinggi Agama Khong Hu Cu Indonesia (Matakin) tidak bisa menahan haru. Terakhir, dalam suatu acara diskusi di Jakarta, dia menciptakan paduan salam yang biasa digunakan ummat Kristen dengan ummat Islam, sehingga diucapkannya: "Salam sejahtera bagi kita semua, Assalamu alaikum 60
warohmatullahi wabarakatuh. Saya dahulukan yang Kristen karena Yesus lebih dulu dari Muhammad". Lama sebelum itu, di era 1975-an Gus Dur sudah mendahului melakukan kegiatan yang kemudian disiarkan oleh suratkabar sebagai berikut: "Hampir disetiap acara yang diadakan PGI, Gus Dur selalu diundang untuk berbicara. Bahkan pada 1975 - 1980 ia mendapat kehormatan berceramah di lingkungan Gereja Kristen Jawi Wetan Malang. Setiap bulan selama 5 tahun. Bayangkan, lima kali dua belas, kan sudah 60 kali," ujar Gus Dur sambil tertawa. Di samping sering berbicara di lingkungan Kristen, khususnya PGI, Gus Dur juga sering muncul di lingkungan Katolik. "Malah frekwensinya mungkin lebih tinggi," ujarnya. Ini dikarenakan menurut Gus Dur, ia biasa diundang PGI hanya di acara-acara yang bersifat formal yang tentunya frekwensinya tidak terlalu tinggi. Sedangkan di lingkungan Katolik, di seminar-seminar kecilpun Gus Dur diundang, "ya semacam sarasehan." (Jawa Pos, Kamis 26 Oktober 1980.) Dalam artikel yang berjudul "Bukti Pendangkalan Agama" yang dimuat di Jawa Pos disebutkan, " Gus Dur juga mengemuka-kan, selama ini ada pihak yang salah mengartikan satu ayat al Qur'an yang menyatakan, ummat Islam bersifat sopan santun kepada sesama saudara agama, tetapi bersifat keras kepada orang kafir. Kata "kafir" mereka menafsirkan non-Islam, itu keliru. Padahal kata "kafir" itu dapat diartikan orang tidak beragama." (Jawa Pos, Senin 20 Januari 1979). Pendapat KH. Abd Rahman Wahid bahwa orang-orang "kafir" diartikan sebagai mereka yang tidak beragama, tidak jauh berbeda dengan pendapat Dr. Muhammad Imarah maupun Rifa'ah at Thahthawi.
pada firman-firman Allah, diantaranya: 1. dalam al Qur'an surat Ali Imran ayat 19 yang artinya, "Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah agama Islam". 2. pada ayat 85 Allah SWT juga menerangkan yang artinya : "Barang siapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasukorang-orang yang rugi" 3. meragukan kesempurnaan agama Islam berhadapan dengan surat al Maidah ayat 3, yang artinya "Pada hari ini , telah Ku-sempurnakan untuk kamu (Muhammad) agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Ku-ridlai Islam menjadi agamamu" 4. surat an Nisa' ayat 115, Allah berfirman yang artinya "Dan barang siapa yang menentang Rasul (Muhammad) sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. Kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam jahannam dan jahannam itu seburukburuk tempat kembali" 5. Agama Islam tidak mungkin disejajarkan dengan agama-agama lain, sebab Allah telah membatalkan agama-agama lain tersebut dengan datangnya Islam. Firman Allah surat Saba' ayat 28 yang artinya, "Dan Kami tidak mengutus kamu (Muhammad) melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" 6. dalam surat at Taubah Allah juga berfirman yang artinya, "Dialah yang telah mengutus rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al Qur'an) dan agama yang benar, untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai." Semoga Allah SWT melindungi ummat Islam dari pengaruh-pengaruh yang dapat menyebabkan kekafiran. Dan semoga Allah SWT menumbuhkan ketegaran ummat Islam untuk selalu mengatakan kebenaran sekalipun itu pahit dirasakan.
Agar tidak larut dalam situasi semacam itu, sudah seharusnya ummat Islam memperkuat keimanan Islam dengan mengingat kembali dan berpegang teguh www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
61
62
[ Musykilat dalam NU]
Catatan tentang Para Penulis: 1. Moh. Yusuf Hasyim, Pengasuh Pesantren Tebuireng, Jombang. Mantan : anggota DPR-GR/MPRS, anggota DPR-RI/MPR-RI . Sekarang anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Mantan: ketua PBNU, Rois Syuriah PBNU, terakhir mengundurkan diri sebagai Mustasyar PBNU penetapan formatur hasil muktamar NU di Cipasung, Tasikmalaya. Menetap di Jakarta dan Jombang. 2. Salahuddin Wahid, arsitek alumnus ITB, aktifis PMII tahun 60-an. 3. Anggota Dewan Penasehat ICMI Pusat, anggota MPRRI, ketua kelompok kerja Forum Nahdliyyin untuk Kajian Strategis, menetap di Jakarta. 4. Ishom Hadzik, sarjana hukum, mantan anggota pengurus Syuriah PWNU Jawa Timur, pengasuh pesantren Al Masturiyyah, anggota FPP di DPRD Kabupaten Jombang, anggota pengurus RMI (Rabithah Ma'ahidil Islamiah), menetap di Jombang. 5. Amsar A Dulmanan, aktifis PMII, ketua koordinator forum komunikasi generasi muda NU, tinggal di Jakarta. 6. Moh. Irfan Zidny, alumnus Universitas Bagdad, Iraq. Salah seorang 7. redaktur harian Terbit, pengajar dalam berbagai Majelis Ta'lim, ketua 8. Lajnah Falakiah PBNU, tinggal di Jakarta. 9. Luthfi Basori, pengajar pada Pesantren Ilmu Alqur'an, 63
Singosari, 10. Malang. Alumnus Ma'had As Sayyid Muhammad Alwi Al-Maliki, Makkah, menetap di Singosari. 11. M. Said Budairy, mantan : anggota PBNU, Direktur Lakpesdam PBNU, sekretaris Tim Tujuh Penyusun Pokok-pokok Pikiran Kembali ke Khittah NU, anggota DPR-GR/MPRS dan MPR-RI. Sekarang menjabat sekretaris Komisi Ukhuwah Islamiah MUI Pusat, tinggal di Jakarta.
www.muslims.net/KMNU - Copyright © KMNU Cairo - Egypt
64