FALSAFAH BAHASA TANPA MAKNA DAN TANPA … BAHASA
FAUZIAH Fakultas Sastra Jurusan Sastra Arab Universitas Sumatera Utara Kertas kerja ini merupakan suatu percubaan untuk memberikan kritikan terhadap semua teori bahasa yang mencoba sama ada dalam bentuk 'kuat' atau 'lemah', untuk tidak menggunakannya dengan teori makna, Teori-teori sedemikian dapat ditemui sejak kebelakangan ini dalam falsafah , dan bertambah kekerapannya selama dekade terakhir ini. Ia biasanya dibina dengan tujuan untuk mengatasi paradoks hubungan antara bahasa dengan reality. Bagaimanapun di sini kami akan mencuba menunjukkan bahawa usaha yang sedemikian menjadikan hubungan yang dipersoalkan lebih paradoks. Memang sesuai bagi ahli falsafah untuk mencari penjelasan yang canggih, tetapi mereka tidak harus lupa akan syarat utama bahwa komunikasi bahasa tidak dapat dielakkan didasari pertentanganan antara bahasa pengguna-pengguna dengan reality, dan bahwa reality memainkan peranan yang utama. Apa yang kita telah saksikan dalam dekad terakhir ini ialah sesuatu seperti euphoria antirealis yang mengiringi sebilangan teori bahasa yang keterlaluan yang akibat keterlaluannya, hilang gambaran jelas fungsi bahasa. Dalam mencari permulaan pergerakan ini ke arah falsafah bahasa tanpa makna kita mungkin melihat pada falsafah 'awal' dan 'lewat' Wittgenstein. Dalam Tractatus kita menemukan satu dari pada contoh-contoh terbaik teori bahasa yang mengambil kira
reality (lihat Witgenstein, 1922 : 4, 0 1 : "The proposition is a
picture of reality") dan memperkatakan fakta yang berkaitan dengan banyaknya (bahwa hubungan antara bahasa dengan reality mempunyai cirri Abbildung; bahwa "manusia
mempunyai
keupayaan
membina
bahasa
tanpa
mempunyai
idea
bagaimana dan apakah setiap perkataan itu bermaksud". (Wittgenstein, 1922:4. 002),
dan
sebagainya).
Sebaliknya
Philosophica
Investigations
mencuba
menggantikan teori-teori awal ini dengan suatu teolri permainan bahasa yang diketahui umum yang menurutnya perkataan atau proposisi menerima maknanya karena permainan bahasa yang ia digunakan dan bukannya karena objek yang dirujuk. Permainan bahasa itu pula menerima maknanya hanya apabila digunakan,
2001 Digitized by USU digital library
1
atau lebih umum dinyatakan dalam suatu system, oleh seb itu, seperti yang Wittgenstein katakan kepada Waismann: "Saya dapat mencari sesuatu hanya dalam system tertentu; tetapi tidak mencari system tersebut". (Waismann, 1967 :32). Kemudian teori-teori sedemikian diperkembang oleh kedua-dua aliran selepas perang yang paling berpengaruh dalam falsafah analitik bahasa: teori tindakan pertuturan John Austin, John Searle, dan Paul Grice dan aliran pragmatisme logical Willard Quine dan Donald Davidson. Dalam tulisan ini tentunya saya tidak akan menganalisis usaha semua ahli fikir, setiap mereka mempunyai teori bahasa yang asal. Objek kritikan di dalam tulisan ini akan dibataskan pada Donald Davidson, dan lebih
persis lagi
–perkembangan kemudian dalam falsafah bahasanya (lihat
Davidson, 1986). Kritikan ini bukan untuk tujuan eksegetik, tetapi dengan niat untuk membuktikan bahwa falsafah bahasa tanpa makna merupakan impian yang tidak mungkin. Seperti Quine, Davidson bermula lebih dua puluh lima tahun yang lalu, dengan mengecam apa yang dinamakan 'dogma ketiga empirisme', yaitu dualisme antara 'skema konseptual' dengan 'kandungan empiris' (Davidson, 1973 -74). Pertimbangan teoritis sedemikian mendorong Davidson untuk mempercayai bahwa proposisi adalah benar atau palsu bukan karena "ia sepadan dengan reality" (Iihat Metaphysics - Aristotle, 1051b, 5 - 20), tetapi karena ia berpadu dengan semua proposisi lain. Teori ini sudah tentu tidak menjamin bahwa apa yang dipercayai adalah benar, tetapi bahwa bagian terbesar kepercayaan dalam jumlah jaringan kepercayaan yang koheren adalah benar (Davidson, 1983:424). Untuk mengisi kesenjangan ini
Davidson menerima "andaian" dalam menyokong kebenaran
kepercayaan, mengikut "prinsip ihsan Quine. Dalam usahanya untuk mengatasi dogmatisme dan ketidaklayakan teori bahasa dua - alam yang lazim, Davidson selanjutnya mengajukan suatu teori 'mengayun' bahasa yang aneh yang menolak bukan saja teori makna, tetapi bahasa itu sendiri, sebagai tidak berguna untuk menjelaskan fungsi sebenar komunikasi ujaran, sekurang-kurangnya dalam arti yang biasa. Beliau mengatakan bahwa tidak ada bahasa dalam arti kata suatu teori a priori yang melaluinya untuk kita berkomunikasi. Jika kita mau bercakap tentang teori dalam proses komunikasi sekalipun, lebih baik untuk merujuk keoada dua teori 'eori' yang lebih bersifat
2001 Digitized by USU digital library
2
kemahiran
amorfik
atau
kecenderungan
dari
pada
seperti
skema
a
priori
sebagaimana bahasa biasanya dikonsepsikan. Teori pertama ialah kemahiran yang kita gunakan dalam berkomunikasi. Ia seperti kesadaran semata-mata bahwa kita akan berhasil dalam proses berkomunikasi berikut kerena keberhasilan terdahulu kita dalam situasi yang serupa bukannya suatu pengetahuan terperinci a priori tentang apa yang akan kita lakukan secara konkrit dalam proses ini. Dengan perkataan lain tindakan bercakap memahami padanan dengan model penjelasan Augustine: apabila tidak ada siapapun yang akan bertanya, dan kita tahu kita akan berkomunikasi tanpa masalah. Tetapi apabila mereka memerlukan kita untuk menjelaskan apa yang kita akan lakukan dalam tindakan komunikasi ini, apa pengetahuan a priori kita tentangnya, akhirnya kita tidak boleh berbuat banyak. Kita boleh menyebut satu per satu perbendaharaan kata bahasa yang ingin kita tuturkan jika kita mempunyai ingatan yang baik, dan jika kita mendapatkan nilai yang baik dalam
sekolah
Bagaimanapun
tatabahasa pada
-
detik
aturan
tatabahasanya,
tindakan
komunikasi
tetapi
hanya
.(pertuturan),
itu 'teori'
saja. ini
mengaktualisasikan dan diubah menjadi satu teori kedua atau teori 'detik' yang kini merupakan
yang
satu
dan
sama
bagi
kedua-dua
pengkomunikasi.
Kini
kecenderungan bertukar menjadi tindakan sebenarnya, kemahiran yang mugkin menjadi satu hakikat bahasa yang sebenarnya. Komunikasi direalisasikan dalam pengayunan ini antara dua 'teori' awal dengan teori 'detik' sepenuhnya. Apa yang menarik bagi kita dalam masalah ini ialah hakikat penyatuan dua 'teori' awal, kemahiran atau kecenderungan. Persoalan yang timbul ialah bagaimanakah mungkin kedua-dua kemahiran ini, yang tidak satu pun agen pertuturan mempunyai pengetahuan sebenarnya, dapat bersatu pada detik pertuturan, dapat menjadi yang satu dan sama. Apakah yang menjadi asas-asas identity ini ?. Untuk menjawab persoalan ini, marilah kita secara dogmatic memberikan suatu cadangan eksegetik. Teori bahasa Davidson dikembangkan hanya sebagai daripada usaha yang lebih umum untuk menyelesaikan salah satu dari pada masalah paling anigmatik dalam epistemology: Bagaimana kita mengenali dan bagaimana kita mengungkapkan arti-arti yang semata-mata baharu bagi kita. Masalah ini diajukan dalam bentuk soalan- soalan estetik (dalam arti umum perkataan ini), yang berhubungan
dengan
fenomena
seperti:
Pemahaman
jenaka,
perumpamaan,
metafora, yang dinamakan 'malapropisme' (permainan kata-kata), dan sebagainya. Frasa-frasa yang mengenali trop sedemikian melibatkan arti yang tidak diliputi
2001 Digitized by USU digital library
3
makna kesusastraan masing-masing.Dan apa yang menghubungkan pada manamana tindakan komunikasi lazim yang lain ialah kedua-dua penyatuan du 'teori' awal bergabung dalam satu teori 'detik'. Persetujuan direalisasikan melalui "kepintaran, nasib, dan kebijaksanaan" (dan kita boleh tambahkan kecerdasan, intuisi, dan kesesuaian berfikir). Untuk memahami ide Davidson ini dengan lebih baik mari kita lihat dengan lebih dekat lagi metaforanya. Menurut teori ini "metafora bermaksud apa yang perkataan yang mengungkapkannya bermaksud". Oleh sebab itu, kalimat-kalimat yang dalam satu metafora muncul adalah benar dalam arti harfiah yang lazim. Davidson menentang pemahaman ini pada teori matafora yang cukup diketahui oleh Max Black, yang menurutnya melewati arti harfiah masing-masing, metafora mempunyai arti kedua yang satu lagi, yang sebenarnya memberikan pengetahuan yang terlalu baharu yang menjadikan metafora itu amat perlu dalam estetik dan dalam sains. Apa yang menarik dalam metafora (dan dalam trop lain) bukannya arti bergandanya, tetapi hakikat bahwa adalah tidak sukar untuk pentafsir memahami penutur dengan cara penutur itu ingin difahami. Hal ini ada kemungkinan karena adanya perbezaan antara apa yang penutur ingin katakan apabila dia menyebut frasa dengan apa yang pentafsir fahami apabila dia mendengar frasa, pada satu pihak, dan arti terkongsi tunggal prasa itu, pada pihak yang lain. Oleh karena itu, apa yang diperlukan dalam metafora ialah 'suatu keberhasilan artistik' berdasarkan penyatuan dua teori awal penutur dan pentafsir direalisasikan. Untuk memerikan semua itu dengan perkataan lain, metafora senantiasa ada satu arti saja, namun sifatnya itu taksa, dan ketaksaan ini disebabkan 'teori' (awal) pribadi yang berbeda pada agen-agen penutur. Ciri ini sajalah yang membedakan metafora dari pada frasa 'berbilang'
yang
lain.
Ia
menyebabkan
keadaan
teragak-agak
dalam
proses
pentafsiran dan keadaan teragak-agak ini berterusan walaupun apabila kita telah menerima suatu tafsiran tertentu. Dengan cara ini metafora mendorong kita untuk membuat suatu seri perbandingan , ayunan antara tafsiran yang berlainan, dan ini merangsangkan wawasan kita dan menjadikan ia berguna untuk kognisi kita. Dengan itu, bersama-sama Austin, Searle, dan Grice, Davidson percaya bahwa metafora "berfungsi" bukan karena apa maknanya, tetapi karena apa yang dilakukannya.
2001 Digitized by USU digital library
4
Tetapi sebagai tambahan kepada afiniti implisitnya bagi Grice dan Searle, teori Davidson ini sangat rapat dengan estetik Wittgenstein. Menurut Davidson, metafora, dengan segala keanehan fungsinya, adalah serupa dengan jenaka, mimpi, dan sebagainya, selagi ia mendorong kita untuk menilai sesuatu fakta yang diberikan bukan melalui kenyataan atau pemeriannya, tetapi melalui apa yang ditunjukkan yan tetapi tidak dapat dikatakan , melalui sesuatu gambar. Seperti yang beliau katakan: "Perkataan merupakan mata uang yang salah untuk menukarkannya dengan gambar". (Davidson, 1984:263). Dan di sini, membandingkannya dengan kenyataan Wittgenstein: "Perikan aroma kopi. Mengapakah ia tidak dapat dilakukan ? (1953:610), atau malah: "Apabila kita tidak dapat bercakap, kita harus diam". (Wittgenstein, 1922:7). Untuk menilai teori bahasa tanpa bahasa Davidson, kita mesti mula-mula meningatkan diri kita bahwa apa yang sebenarnya dilakukan ialah bermain silap mata
yang
terkenal
dari
pada
sejarah
falsafah
yang
matlamatnya
untuk
menyelesaikan dualisme paradoks antara bentuk dengan kandungan. Oleh sebab itu dengan cara yang sama yang Davidson mencuba untuk mengabaikan mana-mana teori a priori, Kant mencuba untuk membuktikan bahwa bentuk a priori dan kandungannya tidak dapat wujud berasingan sebenarnya, tetapi wujud pada saat pertemuannya dalam pengalaman. Atau, lihatlah pada contoh teori pengetahuan yang diajukan dua tahun yang lalu. Ahli falsafah Israel Eddy Zemach percaya bahwa makna dalam fikiran kita dan tempatnya dalam fungsi sebenar pemikiran dapat dijelaskan dengan lebih baik berdasarkan analogi sokongan emas bagi nota bank. Untuk mengambil bahagian dalam pertukaran uang kita tidak sentiasa mempunyai sokongan emas ini dalam minda. Penetauan tentangnya saja, dan kepercayaan kewujudannya sudah cukup untuk tujuan ini. Dengan cara yang serupa, kita biasanya menggunakan bahasa tanpa sembarangan dengan kesadaran langsung makna
proposisi
mengetahuinya
yang
dari
kita
pada
ujarkan
cubaan
atau
lampau
tafsirkan. kita
untuk
Kita
tahu
bahwa
kita
menunjukkannya,
dan
pengetahuan ini cukup untuk pelaksanaan bahasa (Zemach, 1987). Kita dapat merumuskan bahwa teori bahasa Davidson tanpa makna dan tanpa Bahasa mempunyai suatu cirri falsafah yang jelas dan keadaan ini mencadangkan kepada kita jenis penemuan yang dapat dibuat dari padanya. Dan walaupun tidak
2001 Digitized by USU digital library
5
ada persetujuan di kalangan falsafah sehubungan dengan persoalan tentang apa sebarang jenis penyiasatan falsafah dapat diberikan kepada kita, kita dapat menunjukkan beberapa pendapat yang umumnya dihormati berkenaan hal ini, katakan Wittgenstein dan Waismann, yang menurut mereka falsafah tidak dapat menemui fakta yang baru, ia hanya dapat memberikan nafas baru pada hakikat yang sudah diketahui oleh kita semua. Oleh sebab itu, apa yang kita harapkan untuk melakukan dalam falsafah bahasa bukannya untuk mencari sesuatu prinsip baru, yang mengatasi prinsip hubungan antara bahasa dengan reality, yang antara lain, dikenal pasti dengan meluas oleh akal budi. Kita hanya dapat masuk semakin dalam ke dalam pertentangan ini, mendapat sudut-sudut pandangan yang dari padanya kita melihat interaksi ini dengan lebih jelas dan dengan lebih terperinci (Waismann, 1956; Milkov, 1988). Harus diakui bahwa teori bahasa Davidson mencuba, pada prinsipnya untuk melakukan ini. Apa yang saya bantah, ialah bahwa dengan berbuat demikian, Davidson lupa akan sifat semula jadi sebarang teori bahasa yang mungkin,bahwa ia mesti didasar pada pertentangan bahasa-realiti. Oleh sebab itu, dia telah terjatuh dalam suatu jenis relativisme yang digunakan oleh golongan ekstremis seperti Rorty sebagai bukti ketaktekalan apa yang dinamakan 'masalah cermin' (Rorty, 1979: 259 -265) yang saya percaya merupakan peristiwa paling memalukan dalam falsafah baru. Rujukan. Davidson, Donald, 1973 -1974. "On the Very Idea of Conceptual Scheme". Proceedings of the American Philosophical Assaciation 47.1 -17. Davidson, Donald, 1983. "A Coherence Theory of Truth and Knowledge". Kant oder Hegel? Disunting oleh Dieter Heinrich, 423 -440. Stuttgart: Klett-Cotta. Davidson, Donald, 1984. Inquiries into the Truth and Interpretation. Oxford: Clarendon Press. Le Pore, Ernst (ed.), 1986. Truth and Interpretation: Perspectives on the philosophy of Donald Davidson. Oxford: Basil Blackwell.
2001 Digitized by USU digital library
6
Milkov, Nikolay, 1988. The Infinity Regress Argument and the True Method in Philosophy. (Manuskrip).
Rorty, Richard, 1979. Philosophy and the Mirror Nature. Princeton, N.J.: Princeton Univ. Press. Waismann,
Friedrich,
1956.
"How
I
See
Philosophy".
Contemporary
British
Philosophy,Third Series disunting oleh H. Lewis, 442 -497. Oxford: Basil Blacwell. Waismann, Friedrich, 1967. Ludwing Wittgenstein und der Wiener Kreis. Oxford: Basil Blackwell. Wittgenstein, Ludwig, 1922. Tractatus Logico_Philosophicus. Diterjemahkan oleh F.P. Ramsey & C.K. Ogden. London: Routledge & Kegan Paul. Wittgenstein, Ludwig, 1953. Philosophical Investigations. Oxford: Blackwell. Zemach, Eddy, 1987. "Interpretation, the Sun and the Moon". Revue lnternationale de Philosophie 41.433 -451.
2001 Digitized by USU digital library
7