Kedudukan Sastra Dalam Pendidikan Ramlan Damanik Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Pengantar Kedudukan susastra dalam pendidikan haruslah jelas. Kepentingan kita yang utama dalam bidang pendidikan sastra adalah memikirkan di dalam cara yang rasional tentang tempat yang seharusnya diduduki oleh pengajaran sastra di dalam kurikulum pendidkan (sekolah) pada masyarakat Indonesia yang sedang berkembang menuju masyarakat Indonesia modern. Lebih khusus lagi adalah menjawab pertanyaan: "Jenis pelajaran sastra apakah yang seharusnya kita sediakan untuk anak-anak didik kita?" Tentu saja jika karya sastra dipandang atau ternyata tidak berguna dalam menafsirkan dan tidak berguna jika dikaitkan dengan dunia kenyataan, maka tidak ada alasan yang baik bagi kita untuk membuang banyak waktu untuknya, baik bagi kepentingan masyarakat yang sedang berkembang maupun bagi masyarakat lainnya, primitif ataupun maju. Meskipun begitu jika dapat ditunjukkan/dibuktikan bahwa karya sastra, atau bahkan suatu seleksi tertentu terhadapnya, dapat mempunyai relevansi terhadap problemba kenyataan (sosial), maka bila harus memandangnya (sastra) sebagai suatu fenomena yang banyak artinya dan penting. Dalam kaitan inilah kita berpikir bahwa studi sastra (pendidikan dan pengajaran) itu dapat mengambil peranan panting di dalam masyarakat yang sedang berkemban (Indonesia), yang dalam kenyataannya berhadapan dengan masalah-masalah realistis yang bandal. Jadi kita harus berpikir bahwa pendidikan dan pengajaran sastra harus mempunyai kaitan dengan pertanyaan apakah kebutuhan-kebutuhan masyarakat kita yang sedang membangun, sedang berkembang menuju ke kemajuan ? Pertanyaan tersebut tentu mengundang banyak diskusi lisan maupun polemik tulisan. Di dunia luar (Eropa Barat Daratan, Inggris, Canada, dan Amerika Serikat) hal itu memang telah terjadi, yang rekamannya tentu bermanfaat bagi kita. Dalam hubungan ini telah disimpulkan dengan enak daripadanya dengan mengatakan bahwa "kesejahteraan dan kemajuan bagi masyarakat yang sedang berkembang harus didasarkan pada dua hal: individual (perseorangan) dan kolektif. Bahwa masyarakat yang sedang berkembang akan dapat mencapai tujuannya hanya jika tiap individu anggota masyarakat tersebut mempunyai ketrampilan-ketrampilan, pengetahuan, dan kualitas-kualitas kekhususan pribadi yang diperlukan untuk menjawab permasalahan sosial, teknologi, dan kesempatan-kesempatan dalam dunia modern" . Akan tetapi individu-individu hanya akan dapat menempatkan kualitaskualitas itu sepenuhnya berguna jika masyarakat tempat mereka hidup dan bekerja di dalamnya mempunyai kualitas-kualitas keselarasan efisiensi, dan kelenturan (fleksibelitas). Beberapa di antara kualitas-kualitas ini dapat diajarkan dengan sangat cepat dan tetap (terus-menerus) misalnya reparasi sepeda motor/oli mobil; lain-lainnya lebih kompleks, misalnya menaikkan pendapatan nasional, yang tidak hanya bergantung pada teknik-teknik khusus, tetapi pada energi, imajinasi, dan integritas, terutama mengenai nilai-nilai dan kepercayaan yang tersembunyi atau mengendap, dan dari kepentingan-kepentingan individual, terutama bagi mereka yang memiliki posisi tanggung jawab atau wewenang untuk itu.
e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
1
Dalam kenyataannya kita harus akui dengan jujur bahwa beberapa dari keinginan-keinginan tersebut dapat dihasilkan sendiri oleh lembaga- lembaga pendidikan (sekolah, perguruan tinggi, institut keguruan, politeknik, dan sebagainya). Lembaga-lembaga lain seperti jurnalistik, penulis/pengarang, lembagalembaga kesenian, pesantren juga mengerjakan hal-hal yang berpengaruh ke arah itu. Sungguhpun demikian telah menjadi keyakinan kita bahwa lembaga-lembaga pendidikanlah tempat masyarakat kita mencoba untuk mendefenisikan tujuantujuannya; dan oleh sebab itu sekolah-sekolah dan perguruan tinggi termasuk IKIP harus berorientasi ke arah apa yang dianggap berguna bagi masyarakat. Permasalahan sekarang adalah "bagaimanakah peranan studi sastra dapat berperan secara maksimal pada seluruh lapangan pendidikan ?". Menurut Moody (1971: 7 -13) ada saran atau langkah yang harus ditempuh bila ingin tercapai maksud di atas. Keempat saran atau langkah tersebut sebagai berikut. 1. Ketrampilan Ketrampilan-ketrampilan dalam pendidikan dan pengajaran sastra berkaitan erat dengan pendidikan dan pengajaran bahasa. Ketrampilan berbahasa (language art) itu mempunyai empat tipe (1) menyimak/mendengarkan, (2) berbicara, (3) membaca, dan (4) menulis. Ketercakupan" sastra di dalam kurikulum menolong untuk melatih para siswa di dalam ketrampilan membaca, dan tentunya juga di dalam menyimak/mendengarkan sastra yang dibacakan dengan suara nyaring oleh gurunya, atau dari rekaman atau tape recorder, dan melalui diskusi-diskusi yang selalu dirangsang oleh sastra di dalam kelas. Para siswa berbicara ketika mereka membaca puisi, dan ketika mereka berperan aktif di dalam diskusi-diskusi sastra. Di dalam lingkup pendidikan dan pengajarannya, sastra dapat memberikan sejumlah hal yang menarik untuk kesempatan- kesempatan menulis: esei, kritik, dan penulisan kreatif. 2. Pengetahuan Sastra tentu saja tidak memusatkan perhatian pada suatu bidang khusus pengetahuan, seperti ilmu kimia atau sejarah. Tetapi kita dapat mengatakan dengan beberapa alasan Irasional bahwa sastra berkaitan dengan semua segi tentang manusia dan dunia di dalam keseluruhannya. Tentu saja setiap karya sastra adalah mengenai sesuatu (berbicara tentang sesuatu), bahkan sering mengenai banyak hal; dan semakin banyak orang membacanya, maka semakin baiklah isi pengetahuan dan moral orang yang bersangkutan. Tidak mungkin rasanya orang yang berkecimpung dan menggemari sastra lalu menjadi orang yang tidak tertib dan bejat moralnya. Sastra justru mengarahkan kita semua untuk menjadi semakin tertib dalam hidup, cerdas, lembut hati, dan tajam perasaan. Tentu saja pengetahuan merupakan suatu konsep yang kompleks; kita dapat menganalisisnya, dan ada sejumlah cara yang diperoleh dari sastra. Misalnya saja fakta-fakta yang secara aktual tiba-tiba ditemukan dan diterangkan di dalam karya sastra; juga ada fakta-fakta yang mendorong kita untuk dapat memahami situasisituasi khusus atau persoalan-persoalan yang muncul di dalam sastra. Cepat atau lambat para siswa atau mahasiswa akan sampai pada kesadaran yang semakin meningkat bahwa fakta-fakta yang terpisah secara sendiri-sendiri lebih kurang penting daripada cara-cara fakta-fakta itu didukung dan dijelaskan satu sama lain. Yang terpenting dari semua kesadaran itu adalah kesadaran yang cepat atau lambat dari fakta-fakta yang diketahui berharga, tidak hanya fakta-fakta mengenai sesuatu tetapi fakta mengenai hidup. Fakta-fakta mengenai hiudp itu mencakup tidak hanya jawaban-jawaban tentang pertanyaan-pertanyaan seperti: "Apa dan siapa?" dan "Siapa mengerjakan apa?", tetapi juga semua jawaban terhadap pertanyaan seperti: Apakah hakikat manusia? Apakah yang dapat
e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
2
diharapkan dari manusia? Mengapa manusia mengerjakan apa yang mereka kerjakan? Bagaimana meraka bekerjasama? Apa yang mereka peroleh dari kerjasama? Apakah tujuan hidup diriku sendiri? Sementara itu akan menjadi tolol sekali untuk menghakimi bahwa sastra mempunyai jawaban terhadap semua pertanyaan tersebut, bahkan hanya sedikit sekali yang dapat dijawab oleh sastra. Barangkali yang terpenting adalah bahwa sastra dapat merangsang siswa atau mahasiswa untuk mengajukan pertanyaanpertanyaan yang relevan, sedemikian rupa sehingga mereka lebih mendekati kesampaiannya pada suatu pemahaman yang benar terhadap persoalan-persoalan hidup dan kemasyarakatan, baik dengan membaca sastra atau dengan metodemetode penyelidikan lainnya. Suatu jenis pengetahuan yang khusus yang didukung oleh setiap masyarakat adalah pengetahuan yang berkaitan dengan kebudayaannya sendiri. kata "kebudayaan'" sekarang telah digunakan secara mengambang, boros dengan arti, makna dan maksud yang berbeda-beda implikasinya. Maka di sini digunakan kata kebudayaan untuk menandai apa yang dengan jelas bersifat khas pada suatu masyarakat ( di Indonesia, termasuk organisasinya, lembaga-lembaga, hukumhukum, kebiasaan-kebiasaan, pekerjaan, permainan, seni refleksi hidup keagamaan dan sebagainya di dalam suatu totalitas). Di dalam setiap sistem pendidikan penting sekali untuk memberikan kesempatan kepada setiap individu (subyek didik) suatu wawasan pemahaman terhadap kebudayaannya sendiri, karena hal ini akan memberikan kepada subyek didik itu kebanggaan, kepercayaan pada diri sendiri, dan rasa ikut memiliki (sense of belonging). Beberapa di antara pengetahuan ini diteruskan di dalam keluarga, dan di tempat-tempat pengabdian misalnya di lingkungan mesjid, pesantren, padepokan, gereja, dan di berbagai ragam bagian dari kurikulum sekolah. Meskipun begitu, sastra seringkali dapat mengisi hal-hal yang positif dalam setiap kesenjangan sosial dan mencairkannya ke dalam suatu gambaran atau lukisan yang bermakna. Puisi W.S. Rendra "Aminah" (Empat Kumpulan Sajak, 1961) dan "Maria Zaitun" (Nyanyian Angsa, pita rekaman) merupakan contoh mengenai betapa sulitnya wanita yang telah sesat jalan hidupnya untuk bertobat dan dapat diterima kembali oleh masyarakat lingkungannya yang normal; tetapi melalui teknik sastra dengan tahapan-tahapan konflik, ketegangan, dan katarsis telah memperoleh penyelesaian yang dapat menjernihkan jiwa dan perasaan pembaca yang peka terhadap konvensi bahasa (wacana) sastra dan kaya akan penghayatan hidup mengenai konflik-konflik sosial. Struktur kedua puisi tersebut adalah naratif yang mencerminkan struktur perjalanan hidup manusia yang terikat pada ruang dan waktu, serta yang di luar kuasa dirinya. 1.AMINAH ………………………………………………………………… Maka seolah sudah ditenungkan ketika sepupunya menengoknya ke kola ia jumpai Aminah jauh dari mimpinya. Hidup di gang gelap dan lembab tiada lagi ia bunga tapi cendawan. Biru pelupuk matanya mendukung khayal yang lumutan. Wajahnya bagai topeng yang kaku kerna perawannya telah dikalahkan.
e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
3
Maka sepupunya meratap pada ibunya : - Laknat telah tumpah di alas kepala pamili kita. Bunga bangkai telah tumbuh di halaman. Belukar telah tumbuh antara padi-padian Kalau kita minum adalah tuba di air. Kalau kita makan adalah duri di nasi. Kerna ada antara pamili kita telah jadi perempuan jalang ! .......................................... la tahu apa yang bakal dikatakan tetangga la tahu apa yang bisa terduga. la tahu tak seorang pun akan berkata : "Berilah jalan padanya orang yang naik dari pelimbahan. Sekali salah ia langkahkan kakinya dan ia tertangkap bagai ikan dalam bubu. Berilah jalan pada kambing hitam kerna ia telah dahaga padang hijau. Berilah jalan pada semangat hilang kerna ia telah dahaga sinar terang. 2. NYANYIAN ANGSA ................................................... Jam tiga siang. Matahari terus menyala. Dan angin tetap tak ada. Maria Zaitun bersijingkat di alas jalan yang terbakar. Tiba-tiba ketika nyebrang jalan ia kepleset kotoran anjing. la tak jatuh tapi meleleh ke kakinya. Seperti sapi tengah melahirkan ia berjalan sambil mengangkang. Di dekat pasar ia berhenti Pandangnya berkunang-kunang. Napasnya pendek-pendek. la merasa lapar Orang-orang pergi menghindar. Lalu ia berjalan ke belakang suatu restoran. Dari tong sampah ia kumpulkan sisa makanan. Kemudian ia bungkus hati-hati dengan daun pisang Lalu berjalan menuju ke luar kota. (Malaekat penjaga firdaus wajahnya dingin dan dengki dengan pedang yang menyala menuding kepadaku. Yang Mulya, dengarkanlah aku.
e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
4
Maria Zaitun namaku. Pelacur lemah, gemetar ketakutan). """"""""""""""""""""""""""" (W.S. Rendra) Sekarang kita hidup semakin menuju ke satu dunia, suatu 'global village' (menurut sebutan orang manca), yang tetap dipandang benar tanpa memperdulikan ragam pembagian yang bersifat politis. Komunikasi yang semakin bertambah baik pada zaman ini terus-menerus membantu kita semua untuk mengembangkan suatu kebudayaan internasional, dan salah satu tugas pendidikan adalah untuk menyadarkan dan membiasakan kita dengan rentangan paling luas hasil-hasil upaya manusia tanpa menghancurkan kebanggaan di dalam kebudayaan asli kita. Misalnya saja seorang bangsa Eropa yang terpelajar secara nalar yang biasa dapat diharapkan mengetahui segala sesuatu tentang hasil-hasil teknologi Amerika Serikat, seni patung Afrika Barat, musik dan seni tari Rusia, agama-agama besar di belahan Timur; seorang bangsa Afrika atau Asia dapat diharapkan mengetahui segala sesuatu tentang kesusastraan Amerika, kesenian negara-negara Mediterania, lembaga-lembaga politik negeri Inggris (Britania), organisasi sosial negeri Cina, dan sebagainya. Demikianlah, pendidikan dan pengajaran sastra jika ditangani dengan bijaksana akan membawa kita dan anak-anak didik ke dalam kontak dengan beberapa pikiran-pikiran dan kepribadian-kepribadian besar dunia, para pendidik dan pemikir besar dari berbagai zaman. Ya, kita memang dapat mengurus hidup kita tanpa pengetahuan tentang hal-hal dan orang-orang seperti itu, tetapi setelah menghayatinya kita tidak ingin hidup tanpa hal-hal dan mereka itu. Tanpa mengenal keseluruhan lapangan kebudayaan manusia, kita sering sulit mengerti tentang apa yang dikatakan dan ditulis oleh orang lain. Sebaliknya longokan sekejap saja terhadap sepotong wacana biasa (misalnya selembar surat kabar atau majalah internasional) dengan cepat menunjukkan kepada kita bagaimana orang terpelajar dapat merujuk ke suatu latar belakang kebudayaan yang luas sebagai suatu unsur yang panting di dalam berpikir dan berkomunikasi, yang mengandung aspek pikir dan rasa di dalam kadar perimbangan yang relatif. 3. Pengembangan/Kemajuan Kita tidak dapat berkepanjangan memikirkan pendidikan hanya di dalam pengertian-pengertian yang abstrak dan umum, seperti ketrampilan dan pengetahuan, karena setiap guru harus menyadari bahwa tiap siswa adalah seorang manusia dengan kepribadiannya yang khusus, kemampuan-kemampuannya sendiri, masalah-masalah sendiri, jalur perkembangannya sendiri. Oleh sebab itu penting untuk melihat keseluruhan pendidikan sebagai suatu proses perkembangan di dalam individu dengan segala sifatnya. Jadi setiap individu merupakan suatu kesatuan yang kompleks. Karena itu kita dapat melihat di dalam diri individu bagian-bagian yang berbeda-beda. Beberapa di antara bagian-bagian yang berbeda-beda dalam diri individu tersebut suatu saat dapat terkebelakang atau terlalu maju. Meskipun begitu unsurunsur kepribadian tersebut semuanya harus dikembangkan secara selaras jika individu yang bersangkutan ingin menyadari potensinya sepenuhnya dan membuatnya berperan paling berguna dalam pergaulan generasinya. Unsur-unsur kepribadian yang harus dilatih di dalam proses pendidikan adalah : penginderaan (sensory; sensorimotor), intelektual, sikap (affective), kesosialan, dan rasa keagamaan serta kehalusan budi (refinement). Untuk masing-masing unsur kepribadian ini sastra dapat memberikan bahan-bahan dan dorongan yang sesuai. Dengan kata lain, sastra merupakan pokok ajaran yang sangat baik untuk
e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
5
memberikan kesempatan dalam pengembangan semua unsur kepribadian tersebut dalam hubungan satu sama lain secara terpadu, yang sangat mendekati tujuan pendidikan yang sempurna. Pengembangan kepribadian melalui pendidikan dan pengajaran sastra itu berdasarkan pendapat Moody (1971 :9) dapat dijabarkan sebagai berikut. a. Penginderaan (Sensory) Dalam pengembangan aspek ini, studi sastra dapat digunakan untuk memperluas jangkauan persepsi dari semua unsur penginderaan klasik yaitu penglihatan, pendengaran, pengecapan, pembauan, perabaan, sentuhan, pembebanan (rasa tertindih sesuatu barang/barang). Kebanyakan para penulis/sastrawan adalah orang-orang yang mempunyai kepekaan dan kehalusan perasaan, yang telah melihat sebagai suatu keharusan untuk menyampaikan pemahamannya tentang perjuangan kemanusiaan. Dengan mengikuti pandangan-pandangan dan menafsirkan kata-kata yang mereka pakai dan ciptakan secara unik, para siswa atau mahasiswa akan memperoleh kesempatan untuk mengenal suatu rentangan persepsi dan perbedaan-perbedaan halus tataran pengertian (nuansa dalam level makna), yang selalu bertambah luas, misalnya antara kata-kata: kuning dan keemasan, nyaring dan lengking, diam dan tenang, harum dan semerbak, dan nuansa-nuansa lain yang luas. Lebih jauh jika kita sekarang berkenalan dengan istilah sensorimotor, maka kita juga berpikir tentang sejumlah perbedaan mengenai aktivitas jasmani yaitu mengenai tubuh manusia yang dapat dilatih untuk berekspresi; maka pada aspek ini terlihat pula bahwa sastra, terutama pada bidang sastra drama dan teater, dapat memberikan sumbangan yang bersifat dasar bagi pengertian dan variasi gaya komunikasi rasa dan pikiran manusia dalam empat lema dasar hubungan, manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan dirinya sendiri (Burton, 1961 : 3). b. Kecerdasan, Intelek (intellect) Latihan intelek seringkali hanya digunakan untuk ilmu pengetahuan lain selain sastra (non-literary subject) misalnya matematika dan IPA. Pandangan ini harus ditentang keras. Memang benar bahwa matematika dan IPA merupakan ilmu pengetahuan yang memerlukan pengontrolan yang ketat, prosedural, dan penuh dengan logika namun bukan berarti sastra tidak melakukan seperti yang dilakukan oleh kedua cabang ilmu tersebut. Pada masa sekarang ini kebutuhan dasar, baik bagi masyarakat yang sedang berkembang maupun masyarakat maju, penerapan metode yang logis dan regional telah diterapkan pada bidang-bidang non-sains dan dalam dunia sastra, yang bila dibina dengan baik akan memberikan bantuan yang sangat berguna bagi perkembangan penelitian terhadap sastra. Pengoperasian bidang-bidang kegiatan regional, sebagai lawan dari alternatif-alternatif seperti aktivitas menduga dan mengira-ngira, dorongan perasaan, kebiasaan, kelaziman, dapat juga dengan baik dijelaskan dan dipraktekkan di dalam studi sastra. Proses-proses logika itu sebenarnya bergantung pada hal-hal seperti persepsi yang akurat, penafsiran bahasa yang tepat, pengelompokkan dan pengklasifikasian data, penarikan kesimpulan induktif dan deduktif, berbagai jenis dugaan (judgemen), dan formulasi arus kegiatan/tingkah laku yang sesuai den tepat misalnya pada cerita fiksi (novel, cerpen, drama). Sebenarnya tidak ada siswa atau mahasiswa sejak memasuki bangku SMP atau SMA diharapkan dapat menghadapi tanggung jawab yang berat tersebut. Namun sejak dini guru dan dosen sastra dapat mendorong sikap menghargai fakta, membedakan di antara apa yang pasti dan apa yang bersifat perkiraan, membangun
e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
6
bukti-bukti contoh untuk suatu pendapat atau pandangan, mengenai tipuantipuan/siasat dari metode berargumentasi, dan sebagainya. Gagasan mengenai disiplin intelektual dan akademik seringkali dijumpai secara tiba-tiba ketika menghadapi persoalan/permasalahan yang dalam keluasan lingkupnya studi sastra dapat membangun atau menyusun disiplinnya sendiri. Apa yang dimaksud dengan disiplin itu sebenarnya bukanlah suatu institusi yang menciptakan sesuatu yang menimbulkan rasa tidak senang, rasa terikat, atau terbebani hal-hal yang rumit; ia sebenarnya berkaitan dengan belajar untuk mengerjakan sesuatu yang sesuai dengan seperangkat aturan yang sudah mapan (a body of well established rules) atau baku. Demikianlah suatu sistem pendidikan harus berkemampuan memberikan kesempatan untuk kemerdekaan berekspresi, mengeksplorasi permasalahan fakta, dan berinisiatif; namun terdapat sisi lain dalam kehidupan manusia yang hanya memberikan ruang kecil dan sempit bagi kebebasan aktivitas, dan di sinilah kita semua harus belajar untuk bekerja, melakukan sesuatu di dalam keterbatasanketerbatasan tertentu yang sering tampak menyesakkan atau menciutkan kesempatan-kesempatan tersebut. Maka seluruh sejarah dan masa depan keturunan manusia jadinya bergantung pada kemampuan manusia itu sendiri untuk mengatasi faktor - faktor degil di dalam lingkungannya dan di dalam dirinya sendiri. Jadi sejak dahulu bentukbentuk disiplin pendidikan yang paling bernilai adalah yang telah menghajatkan para siswa atau mahasiswa untuk belajar memecahkan masalah bagaimana memperoleh 'kebenaran-kebenaran' , dan yang memungkinkannya untuk dapat menguji atau peringkat keberhasilannya. Misalnya di dalam matematika, keadaannya mudah sekali untuk memeriksa kembali apakah suatu perhitungan, kalkulasi telah dilaksanakan dengan benar? Di dalam studi bahasa- terutama bahasa-bahasa klasik, seperti bahasa Latin dan bahasa Arab, kaidah-kaidahnya telah secara final diformulasikan maka mudah sekali untuk menentukan apakah suatu terjemahan telah dikerjakan sesuai dengan aturan-aturan atau kaidah-kaidah itu. Di dalam disiplin seperti teknik permesinan, ada sejumlah tahapan pengujian (intermediate testing) untuk meyakinkan bahwa lalu lintas melewati suatu jembatan yang baru tidak akan membahayakan atau membuat ambruk jembatan itu. Lalu bagaimanakah kedudukan studi sastra dalam hubungannya dengan konsep disiplin ilmu? Apakah ia merupakan subyek yang boleh sesuka hati kita apakan saja? Kita baca sesuka hati kita, kita pikirkan sesuai keinginan kita, dan kita katakan sesuai dengan kemauan kita? Ataukah sastra itu memiliki disiplin tersendiri? Hal ini tentu bergantung pada para ahli di dalam mengembangkan dan membangun kajian sastra menurut mode dan teknik keilmuan. c. Perasaan Adab berperasaan, ataupun latihan-latihan emosi, biasanya lebih sering diasosiasikan orang dengan studi sastra dan barangkali memerlukan sedikit pembelaan. Namun orang-orang yang mempercayainya, tidak selalu dapat menjelaskan apa yang mereka maksud dengan perasaan yang berkaitan dengan sastra itu. Sementara itu banyak sekali fenomena di dalam hidup manusia ini yang dapat dikaitkan dengan prosedur-prosedur rasional. Misalnya: Apakah saya akan pergi dengan kereta api atau dengan bus? Apakah hal ini akan saya kerjakan sekarang atau besok? Sebaliknya juga banyak hal-hal yang berciri intelektual ternyata memerlukan responsi emosional. Misalnya ketika melihat seorang dewasa memukul anak kecil pasti akan menimbulkan emosi (kemarahan atau kecemasan) dalam diri kita, tetapi bila melihat ombak memukul pantai karang walau berulang kali malah menimbulkan
e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
7
perasaan yang indah dan menakjubkan; dan kita akan mengatakan kepada orang yang tidak memiliki perasaan seperti di atas dengan sebutan 'orang yang tipis rasa kemanusiaannya'. Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan 'emosi' itu tidaklah mudah untuk diterangkan. Meskipun emosi-emosi itu asal-usulnya dapat dikatakan dari naluri-naluri dasar manusia, sementara institusi-institusi manusia semakin bertambah kompleks, dan erat hubungannya dengan kebudayaan dan naluri-naluri itu menjadi menyatu dengan kekhususan masing-masing kebudayaan. Misalnya melihat seorang bayi, pasti akan selalu mendatangkan perhatian dan kasih sayang. Akan tetapi musik "degung" Pasundan, lagu "uyon-uyon" Jawa, lagu "dangdut" Melayu, ataupun konser "Missa Solemnis' karya Beethoven mungkin saja membosankan bagi seorang bangsa Afrika terpelajar, sedangkan lukisan tubuh (tattoo) seorang penduduk bangsa' Polinesia bisa tampak jelek sekali di mata orang Eropa Barat. Dalam beberapa hal kita dapat mengatakan bahwa manusia "harus mempunyai beberapa perasaan" , adakalanya pula kita dapat mengatakan bahwa "'perasaan-perasaan itu memerlukan pengontrolan". Sesungguhnya perasaanperasaan itu memang merupakan suatu unsur yang sangat kompleks dan rumit di dalam perilaku manusia. Dalam lingkup yang luas, setiap masyarakat berkepentingan dengan terlatihnya perasaan bagi anggota-anggotanya; membujuk, mendorong, dan menggerakkan masyarakat untuk menyukai apa yang seharusnya mereka sukai (dalam lingkup kewajiban-kewajiban moral dan hak asasinya), dan mencegah mereka dari menyukai apa yang secara moral dan secara hukum tidak seharusnya disukai. Sementara ada suatu perjanjian umum yang sadar mengenai apa yang harus disukai atau yang tidak harus disukai, namun tidaklah selalu mudah dalam segala hal secara absolut didefenisikan misalnya adalah tidak benar untuk membunuh manusia, tetapi adakah salah untuk melatih manusia menjadi tentara? Mengenai apa yang harus atau tidak seharusnya disukai, yang barangkali merefleksikan beberapa saja keruwetan-keruwetan moral yang istimewa dari kegawatan-kegawatan kemanusian (human predicament). Agaknya hal yang paling pasti dapat kita katakan dalam hubungan ini adalah bahwa sastra pasti memberikan kepada kita suatu cakupan situasi dan kegawatankegawatan yang luas yang seakan-akan menstimulasi beberapa jenis responsi emosional; dan juga bahwa dalam keseluruhannya penulis-penulis sastra lazim menyajikan situasi-situasi itu dalam cara-cara yang memungkinkan kita untuk mengeksplorasi, mengkajinya dalam-dalam perasaan-perasaan kita di dalam suatu cara kemanusiaan yang layak. d. Kesadaran Sosial Sebenarnyalah apabila kita katakan bahwa proses kedewasaan manusia itu berjalan perlahan-lahan. Seorang bayi yang baru saja dilahirkan tentu belum mempunyai konsepsi tentang dunia selain dari kebutuhan-kebutuhannya yang bersifat naluriah, dan semua aktivitasnya mengarah langsung pada kepuasan kebutuhan egosentrisnya. Proses pertumbuhan kedewasaan bagi tiap individu adalah suatu perjalanan yang panjang, terutama jika dikaitkan dengan pengenalan, pengakuan, penghargaan, dan apresiasi terhadap orang lain; dan tentu saja ini biasanya merupakan suatu proses yang sangat menyusahkan, melibatkan konflik, benturan, dan berbagai jenis perselisihan. Seorang terpelajar yang berpendidikan sukses adalah seseorang yang telah mengupayakan tercapainya suatu sikap penghargaan atau respek terhadap orang lain dalam lingkup pergaulan dunia, yang mencakup pertama-tama keluarganya sendiri, teman-teman, tetangganya, dan suku bangsanya; namun kemudian di balik itu semua, di sisi lain semua suku bangsa, rumpun, dan ras manusia yang lain di dunia haruslah menjadi pertimbangan wawasannya. Suatu sikap yang matang dalam kedewasaan didasarkan sikap saling
e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
8
mengerti dan saling berkecenderungan, saling membutuhkan, dan mengekspresikannya dalam sikap tenggang rasa dan solidaritas yang tinggi. Agar berdaya guna dan berhasil guna, pengertian ini harus merangkum atau mencakup semua aspek cara-cara orang lain, yang mencakup pekerjaan mereka, perilaku mereka, kebiasaan-kebiasaan mereka, agama mereka, dan sebagainya. Pengertian yang berdaya guna dan berhasil guna mengenai orang lain hanya bisa didasarkan pada pengertian dan apresiasi terhadap diri sendiri dan terhadap kebudayaan sendiri. Kesiap-siagaan kebanyakan anggota masyarakat yang sedang berkembang pada bagian awal dari abad ini memandang hina semua tradisi mereka sendiri hanya untuk mengejar westernisasi. Misalnya mengabaikan semua hasil pelestarian dan pengembangan hasil kebudayaan sendiri dan kembali ke "hukum merumputi padang", hanya karena mengejar modernisasi tanpa berpijak pada kepribadian sendiri. Adakah keadaan demikian terjadi juga di Indonesia? Beberapa bidang bahasan (subjects) di dalam kurikulum umum, kita berpikir tentang sejarah, geografi, dan ilmu-ilmu sosial; yang memberikan pendidikan yang berguna di dalam kesadaran sosial. Tetapi di sini pulalah sumber-sumber sastra merupakan suplemen yang sangat berguna, berharga pada semua lini. Sebagian besar penulis-penulis imajinatif misalnya, adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan besar untuk mengidentifikasikan diri dengan orang lain dalam hal mereka ini menempatkan diri mereka ke dalam posisi-posisi orang lain, untuk melihat ke dalam pusat atau inti masalah; dan seorang guru atau dosen sastra dalam membuat seleksi yang adil dan bijaksana dapat mengerjakan banyak hal untuk menolong siswa atau mahasiswanya dalam memahami orang lain dan di dalam proses kemanusiaan mereka juga. Dalam hal ini barangkali berguna bagi kita membuat pembelaan untuk meyakinkan bahwa sastra difungsikan untuk menghasilkan kesadaran secara komprehensif terhadap orang lain. Penulis-penulis sastra modern, termasuk penulispenulis sastra Indonesia, telah banyak berbuat untuk merangsang minat dan simpati pada masalah-masalah kegagalan, ketidakberuntungan, ketertindasan, ketidakberhasilan, pengucilan, rasa hina dan sakit hati, yaitu mereka yang memerlukan sarana protes. e. Kesadaran Religius Di tanah air kita, kita bersyukur bahwa masalah ini senantiasa menjadi topik di tengah-tengah kesibukan bangsa yang sedang membangun. Hal ini berarti bahwa masyarakat kita dapat memahami dan mengatur kehidupan sehari-hari di dalam kesadaran pikiran dan perilaku yang didasarkan pada sistem-sistem kepercayaan yang mendasarinya. Mungkin saja hal in disikapi atau dipikirkan dalam beberapa ragam cara, mencakup konsep-konsep religius yang ortodoks, atau doktrin-doktrin filosofis isinya. Adalah benar sekali bahwa baik suka atau tidak, apakah kita tahu betul atau tidak, segala pikiran dan perbuatan kita secara rutin didasarkan pada bebera asumsi positif; dan semua kecerdasan manusia pada abad ini, termasuk manusia Indonesia, akan selalu didasarkan pada pragmatisme kehidupan mereka yang lebih baik daripada di atas landasan rohaniah atau spiritual yang rapuh. Dalam hal tersebut di atas, yang perlu kita ditambahkan dan diharapkan adalah bahwa para guru dan dosen sastralah yang harus mampu melihat kebutuhan eksplorasi terhadap pertanyaan-pertanyaan hidup yang bersifat fundamental akan mendapatkan bahan-bahan yang amat banyak di dalam dunia sastra, termasuk sastra Indonesia dan daerah karena sebagian besar penulis imajinatif telah benarbenar tertarik pada masalah tersebut. Meskipun demikian para siswa atau mahasiswa tidak harus berasumsi bahwa setiap penulis selalu mempunyai atau menguasai "seluruh kebenaran, dan tidak ada yang lain kecuali kebenaran". Beberapa penulis menyatakan dengan bernafsu sekali
e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
9
atas dasar kepercayaan atau keyakinan tertentu yang lainnya lebih terpusat perhatiannya pada sikap melawan dan menginginkan pembaharuan. Oleh karena itu selalu diperlukan latihan-latihan kritis mengenai setiap ucapan khusus atau pernyataan-pernyataan khusus pengarang atau penulis. 4. Pendidikan Sastra dan Watak Orang yang berpendidikan baik mungkin telah mempunyai banyak ketrampilan, akumulasi pengetahuan, dan mengalami semua lingkaran perkembangan individual, akan tetapi toh tidak banyak bermanfaat baik bagi dirinya sendiri maupun bagi orang lain segolongannya atau sefahamnya. Masalah lain lagi yang diperlukan adalah yang biasanya menunjuk pada konsep 'karakter/watak'. Sebagaimana guru-guru dan dosen-dosen sastra kita harus sadar akan asumsiasumsi yang gegabah mengenai orang yang telah banyak membaca buku-buku sastra adalah orang yang 'baik', sedangkan orang yang tidak melakukannya dipandang 'jelek'. Jelaslah bahwa seseorang itu akhirnya tampak baik atau jelek ditentukan oleh faktor-faktor yang sangat dalam tersimpan di dalam kepribadiannya sendiri, dan dalam hal ini jelas tidak pernah ada jaminan bahwa setiap tipe pendidikan akan menghasilkan sesuatu yang mutlak baik. Tidak ada bentuk pendidikan manusia yang dapat secara absolut menentukan apakah seseorang itu dapat berhasil atau tidak, melainkan hanya "mencari cara untuk membentuk manusia", itu saja. Sungguhpun demikian ada dua pertanyaan yang dapat dikemukakan yang dapat dibuat untuk menilai pendidikan pembelajaran sastra dalam hubungannya dengan pembentukan watak atau pribadi seseorang. Pertama belajaran sastra tampaknya berfungsi mengembangkan perasaan yang tajam terhadap nilai-nilai pada subject yang mencapai keintiman terhadap sastra. Lebih dari sebagian besar jenis-jenis pembelajaran sastra mengenalkan kita dengan seluruh rentangan kehidupan manusia: kebahagiaan, keberhasilan, kenikamatan, kegembiraan, cinta kasih, kemerdekaan, persahabatan, dan penghargaan terhadap diri sendiri atau sadar diri; rakus, serakah, kalah, putus asa, pesimis, apatis, masa bodoh, benci, disintegrasi, dan kematian. Pribadi yang telah dan selalu membaca sejumlah karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang baik mengenai apa yang berharga dan apa yang tidak berharga. Kemungkinan umum adalah juga bahwa ia akan mampu melihat kompleksitas hidup, dengan pengertian yang lebih besar, wawasan yang lebih luas, toleransi dan simpati yang lebih besar. Hal-hal ini semua merupakan kualitas yang ikut diperlukan pada masyarakat yang sedang berkembang sebagaimana hal itu diperlukan di manamana, pernyataan pandangan kedua yang dapat dikerjakan untuk kemungkinankemungkinan latihan pembentukan watak dalam belajar sastra adalah bahwa kemungkinan-kemungkinan studi tersebut dapat berperan menunjang pengembangan kualitas-kualitas pribadi yang sangat kompleks itu yang mencakup hal-hal misalnya kekerasan dan ketabahan hati, kekuatan dalam mengatasi masalah, imajinatif dan kreatif. Begitulah sastra sebagaimana kita lihat menyajikan lapangan pengalaman yang hampir tak terbatas. Di dalam beberapa jenis belajar, para siswa atau mahasiswa segera mempelajari apa yang seharusnya diharapkan dan metodemetode yang seharusnya digunakan untuk memecahkan beragam-ragam masalah. Sastra yang pada hakikatnya bersifat beragam, menghadapkan siswa atau mahasiswa pada berbagai kesempatan yang berkaitan dengan arus pengalaman yang segar dan tak terbatas serta tak pernah berakhir. Oleh karena itu sastra merupakan suatu persiapan yang cemerlang bagi hidup di hari kemudian, terutama pada level-level yang lebih profesional di mana orang-orang terpelajar harus siap mengambil peran, mengevaluasi dan membuat keputusan-keputusan mengenai rentangan permasalahan yang amat luas lingkupnya.
e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
10
DAFTAR BACAAN Burton, Dwight L. 1964. Literature Study In The High Schools. London: Halt, Rinehard York and Winston Inc. Moody, H.L.B. 1971. The Teaching Of Literature In Developing Countries. London: Longman York Group Ltd. Beberapa majalah HORISON.
e-USU Repository © 2004 Universitas Sumatera Utara
11