”MINAMI SULAWESI NO MAKASARUZOKU NO KEKKON SHIKI” KERTAS KARYA
Dikerjakan
O L E H
ONI UTAMI DAMANIK NIM : 042230449
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM
PENDIDIKAN
NON-GELAR
BUDAYA MEDAN
2007
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
SASTRA
”MINAMI SULAWESI NO MAKASARUZOKU NO KEKKON SHIKI” KERTAS KARYA Dikerjakan O L E H ONI UTAMI DAMANIK NIM : 042230449 Dosen Pembimbing
Dosen Pembaca
Drs. Nandi. S Nip. 131 763 366
Adriana Hasibuan, SS., M.Hum 131 662 152
Kertas karya ini diajukan kepada Panitia Ujian Program Pendidikan Non- Gelar Fakultas Sastra USU Medan Untuk melengkapi salah satu syarat ujian Diploma III Dalam Bidang Studi Bahasa Jepang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS SASTRA PROGRAM
PENDIDIKAN
NON-GELAR
BUDAYA MEDAN
2007 Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
SASTRA
Disetujui Oleh :
Program Diploma Sastra dan Budaya Fakultas sastra Universitas Sumatera Utara Medan
Program Studi D3 Bahasa Jepang Ketua
Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum Nip 131 662 152 Medan,
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
September 2007
PENGESAHAN
Diterima oleh : Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara medan, untuk melengkapi salah satu syarat Ujian Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang
Pada
:
Tanggal
:
Hari
:
Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara
Dekan,
Drs. Syaifuddin, M.A., Ph.D. NIP 132 098 531
Panitia No.
Nama
Tanda Tangan
1....................................
(..........................)
2....................................
(..........................)
3....................................
(..........................)
4....................................
(..........................)
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR...........................................................................
i
DAFTAR ISI..........................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................
1
1.1. Latar Belakang ................................................................................
1
1.2. Tujuan Penulisan.............................................................................
1
1.3. Ruang Lingkup................................................................................
1
1.4. Metode Penulisan ............................................................................
2
BAB II GAMBARAN UMUM SULAWESI SELATAN ...................
3
2.1. Lokasi dan Lingkungan Alam.........................................................
3
2.2. Penduduk.........................................................................................
3
2.3. Sistem Religi ...................................................................................
4
BAB III UPACARA PERKAWINAN SUKU MAKASAR di SULAWESI SELATAN........................................................
5
3.1. Adat Sebelum Perkawinan ..............................................................
5
3.1.1. Perkawinan Ideal dan Pembatasan Jodoh .............................
5
3.1.2. Bentuk-bentuk Perkawinan ...................................................
7
3.1.3. Syarat-syarat Perkawinan......................................................
7
3.1.4. Umur Kawin..........................................................................
7
3.2. Upacara Perkawinan .......................................................................
8
3.2.1. Upacara Sebelum perkawinan...............................................
9
3.2.2. Upacara Perkawinan .............................................................
10
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...............................................
14
4.2. Kesimpulan .....................................................................................
14
4.3. Saran ...............................................................................................
14
DAFTAR PUSTAKA
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah SWT, atas berkat rahmat dan hidayahnyalah penulis dapat menyelesaikan Kertas Karya yang berjudul “Upacara Perkawinan Suku Makasar di Sulawesi Selatan”. Kertas karya ini diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan penyelesaian Program Diploma DIII Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara Medan. Dalam penulisan kertas karya ini, penulis menyadari bahwa ada kekurangan dan kelemahan baik dari segi penyajian kalimat, penguraian materi, dan pembahasan masalah. Oleh karena itu segala saran dan kritik dari semua pihak yang membaca karya ilmiah ini penulis menerima dengan senang hati demi kesempurnaannya. Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak Drs. Syaifuddin, MA., Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. 2. Ibu Adriana Hasibuan, S.S., M.Hum, selaku Ketua Jurusan Program DIII Bahasa Jepang Fakultas Sastra universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Drs. Nandi. S, selaku Dosen Pembimbing yang telah banyak membantu dalam penyelesaian kertas karya ini. 4. Ibu Adriana Hasibuan S.S., M.Hum, selaku Dosen pembaca 5. Bapak Drs. Amin Sihombing, selaku Dosen Wali. 6. Seluruh Staff Pengajar Jurusan Bahasa Jepang Fakultas Sastra Universitas Smatera Utara. 7. Teristimewa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Ayahanda A. Damanik, dan Mama H. Gultom tercinta. 8. Terima kasih kepada my sister: Kak Nani, Kak Nety, Kak Ena, Kak Rini and my brother Wawan. 9. Terima kasih kepada teman-teman di Program DIII Bahasa Jepang FS USU stambuk ’04, teristimewa untuk Weny, Putri, Dewi, dan yang lainnya yang tak bisa disebutkan satu persatu.
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
10. Terima kasih kepada Fajar yang telah banyak membantu mengantar Oni.
Akhir kata penulis mengharapkan semoga kertas karya ini berguna bagi kita semua, demi memperluas cakrawala pemikiran kita di masa depan
Medan, September 2007 Penulis
Oni Utami Damanik 042203049
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Perkawinan merupakan sebuah cara untuk membina sebuah keluarga. Melalui perkawinan dan insan yang berlainan jenis akan bersatu dalam sebuah ikatan yang bernama rumah tanga. Dalam kebudayaan dunia proses perkawinan hampir tak dapat dipisahkan dari upacara perkawinan. Setiap suku bangsa di dunia mempunyai upavara perkawinan yang berbeda tergantung adat istiadatnya masing-masing. Di Indonesia, terdapat upacara perkawinan yang berbeda. Karena Indonesia merupakan sebuah Negara yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa, maka wajar saja jika ada perbedaan dalam setiap pacara yang adadi tiap daerah. Seperti upacara perkawinan Suku Makasar yang ada di Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan. Dalam tulisan ini penulis ingin membahas tentang ”Upacara Perkawinan Suku Makasar”. Penulis merasa tertarik karena upacara perkawinan merupakan sebuah warisan kebudayaan yang ada di Indonesia pada umumnya dan di Makasar pada khususnya.
1.2.
Tujuan Penulisan Penulisan kertas karya yang berjudul ”Upacara Perkawinan suku Makasar
di Sulawesi Selatan” ini bertujuan untuk : 1. Agar penulis dan pembaca mengetahui proses upacara perkawinan suku Makasar di Sulawesi Selatan. 2. Menginventarisir salah satu nilai kebudayaan yang ada di Sulawesi Selatan pada khususnya dan di Indonesia pada Umumnya.
1.3
Batasan masalah Sulawesi Selatan sebagai sebuah provinsi mempunyai empat buah suku
yang dominan. Keempat suku itu adalah 1. Suku Makasar yang mendiami daerah kabupaten Gowa 2. Suku Bugis yang mendiami daerah kabupaten Wjo. 3. Suku Mandar yang mendiami daerah kabupaten Polewali Mamasa.
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
4. Suku Toraja yang mendiami daerah kabupaten Tana toraja. Dalam penulisan kertas karya ini penulis hanya membatasi pembahasan pada suku Makasar yang mendiami daerah kabupaten Gowa.
1.4
Metode Penulisan Dalam penulisan kertas karya ini penulis menggunakan metode studi
perpustakaan di mana penulis menghimpun data-data yang ada dari berbagai macam refrensi yang telah lebih dulu membahas tentang upacara perkawinan terutama yang berhubungan dengan upacara perkawinan suku Makasar.
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
BAB II GAMBARAN UMUM SULAWESI SELATAN
2.1
Lokasi dan Lingkungan Alam Kabupaten Gowa terletak di sebelah selatan Kotamadya Ujung Pandang.
Ibukota Kabupaten Gowa adalah Sungguminasa terletak kurang lebih sebelas daerah Kotamdya Unjung Pandang, Kabupaten Bone, Kabupaten Takalar, kabupaten Jeneponto, Kabupaten Bantaeng, dan Kabupaten Sinjai. Luas daerah ini adalah 195.877 km2 yang terdiri dari delapan buah kecamatan yaitu : 1. Kecamatan Somba Opu 2. Kecamatan Palangga 3. Kecamatan Bajeng 4. Kecamatan Bontonompo 5. Kecamatan Tinggimoncong 6. Kecamatan Bontomarannu 7. Kecamatan Tompobulu 8. Kecamatan Parangloe
Kecamatan-kecamatan tersebut seluruhnya terdiri dari 48 buah desa.
2.2
Penduduk Kabupaten Gowa didiami oleh suku Makasar sebagai penduduk asli dan
umumnya adalah penganut agama Islam. Menurut sensus penduduk tahun 2004 penduduk kabupaten gowa sebanyak 653.384 jiwa, juga terdapat penduduk asing sebanyak 243 jiwa. Selain penduduk asli, juga terdapat suku-suku yang lain seperti suku Bugis, suku mandar, suku Toraja, Suku Jawa dan sebagainya. Selain agama Islam penduduk kabupaten Gowa ada juga yang beragma kristen protestan, Katolik dan Budha.
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
2.3.
Sistem religi Pada umumnya penduduk Maksar adalah penganut agama Islam yang taat.
Tetapi dalam kehidupan sehari-hari dapat juga dijumpai ”Kassipali” atau larangan-larangan dan perbuatan-perbuatan yang berbau magis. Dalam kebudayaan suku Makasar masih dapat dijumpai pemakaianpemakaian jimat. Kemudian sistem pengetahuan masyarakat suku Makasar pun sangat dekat hubungannya dengan kepercayaan seperti penentuan adanya hari atau bulan baik dan buruk. Masyarakat suku Makasar juga mengenal pengetahuan tentang pengobatan yang menggunakan ramuan dari akar-akaran, daun-daunan dan sebagainya.
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
BAB III UPACARA PERKAWINAN SUKU MAKASAR DI SULAWESI SELATAN
3.1
Adat sebelum Perkawinan Dalam kehidupan suku Makasar ada ungkapan yang berbunyi ”Tenapa
Namgunnase’re tau punna nasi tutuk ulunna salanganna” yang berarti seseorang belum sempurna jikalau kepalanya belum berhubungan dengan bahunya. Arti dari ungkapan itu adalah manusia, menurut suku Makasar, baru dapat dikatakan sempurna jika mengikat sebuah hubungan rumahtangga. Begitu tingginya makna perkawinan menurut masyarakat suku Makasar hingga diibaratkan suami sebagai kepala dan isteri sebagai bahu. Perkawinan mempunyai arti penting karena perkawinan adalah suatu cara untuk melanjutkan keturunan yang didasari dengan cinta kasih. Perkawinan juga membina hubungan yang erat antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain, antara suku dengan suku yang lain, dan bangsa dengan bangsa yang lain.
3.1.1. Perkawinan Ideal dan Pembatasan Jodoh Proses perkawinan dengan berbagai macam pelaksanaanya didalam masyarakat merupakan hal yang mendapat perhatian yang sangat penting di dalam keluarga. Oleh sebab itu maka sewajarnyalah seseorang yang akan memilih jodoh dan orangtua yang memilihkan jodoh untuk anaknya mempertimbangkan masakmasak tentang pasangan anaknya. Pertimbangan itu bertujuan agar sang anak memperoleh kehidupan berkeluarga yang bahagia. Pertimbangan lain dalam mencari jodoh adalah masalah kesepadanan (dalam
bahasa
Makasar
”Kasiratangang”.
Dalam
kedudukan
sosial,
kasiratanggang adalah hubungan yang sejajar dan sepadan yang tidak akan menimbulkan masalah baru di dalam masyarakat. Dalam pandangan suku Makasar perkawinan yang ideal adalah perkawinan dalam lingkungan kerabat utamanya dalam kerabat yang berada dalam garis orizontal sebagai berikut :
1. Perkawinan antara Sampo Sikali (sepupu sekali) hubungan perkawinan ini
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
disebut siallenang baji’na (perjodohan yang paling baik) 2. Perkawinan antara Sampo Pinruang (sepupu dua kali) hubungan perkawinan
ini disebut Nipassikaluki
3. Perkawinan antara Sampo Pintalung (sepupu tiga kali) dan seterusnya. Hubungan perkawian ini disebut Nipakamani Bellaya (yang jauh didekatkan)
Dalam adat Makasar perkawinan kerabat yang berada dalam lingkungan garis kekerabatan secara vertikal pun diperbolehkan. Tetapi
ini bukanlah
merupakan suatu perkawinan yang ideal. Perkawinan antara paman dan kemenakan, perkawinan antara bibi dan kemenakan bukanlah sebuah perkawinan yang ideal karena adanya hubungan vertikal ke atas dan ke bawah. Ada juga perkawinan yang disebut dengan salimarak. Salimarak merupakan sebuah perkawinan yang tidak wajar karena salimarak adalah hubungan perkawinan yang terjadi dalam lingkungan kekerabatan yang masih mempunyai pertalian darah yang sangat dekat. Dalam istilah antropolgi Salimarak disebut ”incest”. Perkawinan itu dilarang apabila terjadi dengan : - Ibu Kandung - Bapak kandung - Ibu dari ibu kandung (nenek) - Bapak dari bapak kandung (kakek) - Anak laki-laki atau perempuan - Saudara baik laki-laki maupun perempuan - Saudara dari ibu - Anak saudara - Cucu saudara - Ibu tiri - Bapak tiri - Mertua (Dari istri atau saudara) - Menantu (suami dari istri atau anak)
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
Pada zaman dahulu apabila terjadi perkawinan dalam golongan yang disebut di atas, pelakunya dihukum Niladung. Keduanya ditenggelamkan ke dalam air dengan tubuh diikat ke batu yang besar agar tenggelam.
3.1.2. Bentuk-bentuk Perkawinan a. Perkawinan dengan Peminangan Bentuk perkawinan dengan peminangan ini berlaku umum bagi seluruh anggota masyarakat. Cara perkawinan melalui peminangan merupakan suatu cara adat untuk menjamin terciptanya sebuah keluarga yang diterima umum dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat. b. Perkawinan dengan “Annayala” Annyala berarti berbuat salah. Dalam hal ini berbuat salah terhadap adat perkawinan yang diwujudkan dengan kawin lari. Sebab umum terjadinya annyala adalah karena yang bersangkutan tidak dapat melakukan syarat-syarat perkawinan menurut adat. Dan jalan keluar baginya adalah melakukan perkawinanperkawinan di luar tata cara perkawinan perkawinan adat dengan cara annyala.
3.1.3. Syarat-syarat Kawin Persyaratan bagi orang yang akan menikah lebih banyak dikenakan kepada pihak laki-laki. Seorang laki-laki yang akan menikah selain persiapan yang berupa materi, ia harus pula melengkapi diri dengan pengetahuan-pengetahuan tentang hubungan kerumahtanggaan. Seorang lelaki sedapat mungkin dapat menjaga keselamatan keluarga yang akan dibangunnya sehingga dapat meenjauhkan rumah tangga mereka dari berbagai masalah. Ada baiknya seorang lelaki yang akan berumahtangga
belajar
dari
pengalaman
orang-orang
yang
keadaan
rumahtangganya sejahtera.
3.1.4. Umur Kawin Dalam pandangan masyarakat suku Makasar usia yang ideal untuk kawin kawin atau yang disebut dengan kabaji ’ bajikanna ni pabbunting (sebaik-baiknya dinikahkan) untuk anak perempuan antara 14-1 tahun, sedangkan untuk anak laki-
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
laki kurang lebih 17 tahun. Namun dewasa ini dengan adanya undang-undang perkawinan maka usia perkawinan sudah ditentukan.
3.2.Upacara Perkawinan 3.2.1. Upacara Sebelum Kawin Sebelum upacara perkawinan dilaksanakan terlebih dahulu dilakukan acara peminangan. Ada beberapa fase yang dilalui dalam acara peminangan. Dimulai dengan Accini’rorong artinya melihat atau mencari jalan sebagai penyelidik. Usaha semacam ini dilakukan untuk mengetahuai secara rahasia tentang kemungkinan pihak laki-laki mengajukan pada gadis yang dipilihnya. Usaha penyelidikan juga bermaksud untuk mengetahui tentang sifat-sifat, tingkah laku, budi bahasa dan sebagainya dari si gadis. Jika utusan dari pihak laki-laki diterima oleh pihak perempuan maka terjadilah pembicaraan tentang maksud kedatangan dari pihak keluarga laki-laki kepada keluarga perempuan. Pihak keluarga perempuan pun mendengar dan mempertimbangkan kemauan dari pihak laki-laki. Apabila maksud lamaran dari pihak laki-laki diterima, maka diadakanlah acara ”Mange Asuro”. ”Mange Asuro” berarti pergi meminang. Setelah hari peminangan ditentukan pada saat” Accini rorong”, pihak perempuan menunggu kedatangan pihak laki-laki. Jumalah utusan pada saat ”Mange Asuro” lebih banyak dari ”Accining rorong”. Dalam pertemuan ini sebagai pembuka acara, salah seorang anggota utusan membuka sirih pinang yang dibawanya sebagai tanda perundingan dengan resmi akan dimulai. Pimpinan utusan kemudian menyampaikan salam hormat dari orangtua pihak laki-laki dan kemudian menyampaikan maksud kedatangannya. Maka terjadilah perundingan. Apabila terjadi kesepakatan antara pihak laki-laki dan perempuan maka hal-hal yang berhubungan dengan pelaksanaan perkawinan dapat ditentukan atau disebut juga ”Appa’nasa”. Pada acara ”Appa’nasa” yang menjadi topik pembicaraan adalah :
a. Sunrang
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
Sunrang ialah pemberian dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang dikawininya. Sunrang dapat berupa uang maupun barang. b. Do E’ balanja Do’E balanja juga berarti uang belanja. Besarnya uang belanja ini tergantung dari kesepakatan kedua belah pihak. Selain uang belanja ada juga yang disebut dengan ”cingkara” yaitu pemberian hadiah dari keduabelah pihak kepada bakal menantu masing-masing. Biasanya hadiah itu berupa perhiasan emas. ”Cingkara” akan mejadi harta bawaan bagi kedua orang suami istri.
3.2.1.1. Upacara Appanai Leko Caddi (menaikkan sirih kecil) Pihak laki-laki yang sedang mengundang sanak keluarganya kemudian pergi bersama-sama ke rumah pihak keluarga perempuan untuk mengantarkan ”loko caddi” (sirih kecil). Pihak perempuan pun mengundang sanak keluarganya untuk bersama-sama menantikan tamunya dalam rangka peresmian waktu perkawinan. Selain keluarga keduabelah pihak hadir pula dalam acara ini penghulu adat untuk menyaksikan peresmian tersebut. ” Leko caddi” dibawa oleh pihak laki-laki. Yang membawa leko caddi terdiri dari laki-laki dan perempuan yang berpakaian adat lengkap. Biasanya acara loke caddi sering digandengkan dengan membawa ” Cincing Passikok” (cincin pengikat) dan uang belanja. Setelah fase-fase peminangan dilalui dan kedua belah pihak telah sepakat tentang penentuan waktu perkawinan, maka dimulailah acara ”Abbarita” (penyampaian berita). Pada acara ini keluarga dari kedua belah pihak lalu mendatangi seluruh sanak saudara dan memberitahukan rencana perkawinan yang akan dilaksanakan.
3.2.1.2. Upacara Appanai Leko Lompo (upacara menaikkan sirih besar) Tujuh atau tiga hari sebelum hari perkawinan ”leko lompo” (sirih besar) diantarkan dari rumah pihak laki-laki ke rumah pihak perempuan. Dalam acara ini barang yang diantar adalah : a. Sirih pinang lengkap. Terdiri dari daun sirih beberapa ikat, pinang, tembakau, gambir, dan kapur secukupnya.
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
b. Gula merah beberapa biji, beberapa tandan kelapa, beberapa tandan pisang, beberapa buah nanas, jeruk dan , beberapa jenis buah-buahan lain yang dibawa dalam usungan anyaman bambu yang berbentuk segi empat. c. Berbagai macam kue tradisional seperti lobo, kue bugis, kue lapis dan bermacam kue lainnya. Setiap usungan dibawa oleh seorng yang berpakaian adat. Yang besar dan berat dibawa oleh laki-laki dan yang ringan biasanya dibawa oleh perempuan. Arak-arakan sirih pinang ini di meriahkan oleh bunyi-bunyian yang terdiri dari gandrang, gong, dan pui-pui. Dewasa ini di samping bunyi-bunyian tersebut dimeriahkan pula oleh musik. Setibanya di rumah pengantin perempuan, seseorang sebagai pemimpin pihak laki-laki menyerahkan secara resmi segala antara yang diterima pihak perempuan. Selanjutnya ditentukanlah waktu kedatangan pihak laki-laki untuk menikahi pihak perempuan secara resmi. Selesai dijamu, pihak keluarga laki-laki minta diri. Sebelum pihak lakilaki pulang, pihak perempuan menyerahkan antara balasan isinya adalah perlengkapan untuk pengantin laki-laki sebagai imbalan barang yang telah diterimanya. Tiga hari sebelum upacara perkawinan calon mempelai laki-laki atau perempuan melakukan upacara ”abarumbung” (mandi uap). Upacara ini bertujuan agar pengantin mempunyai kondisi fisik yang prima pada saat upacara perkawinan. Selain mandi uap, kedua calom pengantin melakukan upacara ”akkorongtigi” yaitu memberi warna merah pada kuku calon pengantin dengan ramuan daun pacar.
3.2.2. Upacara Perkawinan Pengantin laki-laki yang telah didandani dan dilengkapi dengan pakaian pengantin diarak kerumah pengantin wanita. Arak-arakan disebut dengan ”Naik kalenna”. Pengiring arak-arakan terdiri dari orang-orang yang dianggap terkemuka. Ikut pula dalam arak-arakan pemuda dan pemudi yang belum menikah.
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
Dahulu pengantin dan pengapitnya di usung dan diiringi dengan segala alat kehormatan menurut adat seperti payung tinggi, tombak pusaka, dan lebih dimeriahkan dengan bunyi-bunyian gendrang, gong dan sebagainya. Dibawa juga mas kawin (sunrang) yang sudah tertentu dimasukkan ke dalam kampu yang dibungkus kain putih dan dibawa oleh orang tua yang berpakaian adat. Isi kampu disebut dengan ”loro sunrang” yang terdiri dari beras segemgam, kunyit setangkai, sumbel supaya banyak anak, jahe, pala, kemiri, dan kayu manis. Menjelang rumah pengantin perempuan arak-arakan disambut dengan pihak keluarga perempuan yang telah berpakaian adat. Rumah pengantin juga dimeriahkan dengan bunyi-bunyian yang serupa. Setelah sampai dimuka tangga dan pada saat bunyi ganrang tunrung pakanjara (pukulan gendang yang sangat bersemangat) selesai, keluarlah seorang perempuan yang agak tua didepan pintu lalu memanggil pengantin dengan susunan kata tertentu yang disebut dengan pak kiyo’ bunting sambil menghamburkan beras. Setelah selesai pengucapan Pak kiyo’bunting, maka naiklah pengantin lakilaki dan penggiringnya kemudian dipersilahkan duduk ditempat yang disediakan. Di rumah pengantin wanita telah hadir imam atau khadi serta sanak keluarga pengantin perempuan yang telah menanti kehadiran pengantin laki-laki. Lalu dilangsungkanlah acara ijab kabul (janji pernikahan) oleh wali pengantin perempuan dan pengantin laki-laki. Sesaat setelah janji pernikahan diucapkan, diadakanlah pertemuan antara pengantin laki-laki menuju kamar pengantin perempun yang diantar orang-orang tertentu yang dianggap bertuah dalam kehidupan berumah tangga. Di pintu kamar biasanya pengantin tidak dapat masuk karena dihalangi oleh petugas pintu dan baru dapat diloloskan setelah memberi uang berupa tebusan yang disebut penyunke pakkebu . Apabila penganti laki-laki berasal dari daerah lain, iapun membayar tebusan yang disebut dengan pallawa pa’rasangang (penghalang negeri). Sementara sang pengantin laki-laki menuju kamar pengantin perempuan, tukang rias pengantin memakaikan alat-alat yang mengandung hikmah tertentu kepada pengantin perempuan.
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
Upacara-Upacara sesudah Akad Nikah Pengantin laki-laki dan beberapa penggiringnya menginap semalam atau tiga malam di rumah pengantin perempuan. Keesokan harinya menjelang tengah hari diadakanlah upacara mandi yang disebut dengan aje’neje’ne’. Pada saat ini pengantin dan seluruh orang yang berada di dalam rumah bermain siram-siraman tanpa memperhatikan basahnya seluruh pakaian dan seluruh isi rumah. Setelah pengantin laki-laki bermalam di rumah pengantin perempuan maka diaraklah sepasang pengantin baru itu kerumah pengantin laki-laki yang disebut dengan nilekka. Sewaktu arak-arakan tiba di muka tangga rumah pengantin laki-laki turunlah kerabat dekat atau ibu pengantin untuk menjemput menantunya (pengantin perempuan) dan diajaklah pengantin naik. Sesampainya di dalam rumah lalu pengantin didudukkan pada tempat yang telah disediakan di mana tamu-tamu berdatangan untuk menyaksikan pasangan pengantin yang sedang berbahagia. Semalam atau beberapa malam pengantin perempuan di rumah mertuanya, ia memohon diri untuk kembali ke rumahnya. Pengantin perempuan lalu menyerahkan lipak (sarung tenun) kepada pihak kerabat pengantin laki-laki. Setelah pengantin kembali ke rumahnya maka diadakanlah acara makan bersama yang disebut dengan nipak bajikang. Makanan yang disungguhkan diantaranya adalah songkolokna palopo yaitu ketan yang dimasak kemudian ditaruh sedikit serikaya. Makanan ini bermakna supaya kehidupan rumah tangga pengantin kelak manis, rukun, dan damai. Upacar nipak bajikang ini diadakan karena dulu antara pengantin laki-laki dan perempuan tidak saling mengenal maka dalam acara inilah pengantin mulai dapat mengenal pasangannya lebih jauh. Dengan berakhirnya acara nipak bajikang maka berakhir pulalah upacara perkawinan secara resmi. 3.3.
Adat Sesudah Perkawinan Sesudah melakukan perkawinan ada kecenderungan pasangan yang telah
menikah untuk menetap di wilayah atau rumah yang baru. Meskipun kadang kerabat dari pihak masing-masing berusaha agar pengantin tinggal bersama
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
mereka sebagai tanda kecintaan. Tetapi biasanya para pengantin baru berusaha untuk menghidupi keluarga baru mereka. Dalam hubungan adat menetap sesudah kawin pada masyarakat Makasar juga tidak dapat dipisahkan dari sistem kekerabatan mereka. Pengantin baru kemudian memfokuskan diri untuk membangun prinsipprinsip rumah tangga yang berarti akan membangun, memelihara, dan melindungi kehormatan keluarga. Lalu terjadilah pembagian kewajiban dan pembagian kerja antara suami dan istri. Suami sebagai kepala rumah tangga berkewajiban untuk mencari nafkah sedangkan istri berkewajiban menyelenggarakan urusan runah tangga meladeni dan memelihara suami dan anak.
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN 4.1. Kesimpulan Dari pembahasan penulis tentang upacara perkawinan suku Makasar di sulawesi Selatan maka dapat diambil kesimpulan : 1. Upacara perkawinan suku Makasar yang meliputi adat sebelum perkawinan dan upacara perkawinan mempunyai ciri khas sendiri yang tidak di jumpai pada suku lain di Indonesia. 2. Karena penduduk suku Makasar pada umumnya memeluk agama islam maka nuansa Isalm sangat kental dalam pelaksanaan perkawinan, perceraian, dan pembagian warisan.
4.2. Saran Melalui kertas karya ini penulis menyarankan kepada pembaca agar memandang perkawinan sebagai sesuatu yang sakral. Perkawinan melibatkan unsur masyarakat, agama, dan adat. Dengan menjaga ikatan perkawinan berarti ikut menjaga nilai-nilai yang ada di dalam masyarakat, agama dan adat.
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009
DAFTAR PUSTAKA
Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Sulawesi Selatan/proyek penelitian dan pencatatan Budaya Daerah, Sulawesi Selatan : Departemen Pendidikan dan kebudayaan. Taruguchi Goro; Kamus Standar Bahasa Indonesia Jepang Zubeirsyah., Lubis, Nurhayati. 1995. Bahasa Indonesia dan Teknik Penyusunan Karangan Ilmiah. Medan : USU Press
www. Makasar Kota. Com
Oni Utami Damanik : Minami Sulawesi No Makasaruzoku No Kekkon Shiki, 2007 USU e-Repository © 2009