perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO (KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN)
SKRIPSI
Oleh : Fitri Wulandari K1207018
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO (KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN)
Oleh: Fitri Wulandari K1207018
Skripsi Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011 commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Surakarta, Mei 2011
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Amir Fuady, M. Hum. NIP 195207291980101001
Dr. Andayani, M. Pd. NIP 196010301986012001
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
PENGESAHAN Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hari
: Rabu
Tanggal
: 25 Mei 2011
Tim Penguji Skripsi: Nama Terang
Tanda Tangan
Ketua
: Dra. Raheni Suhita, M.Hum.
Sekretaris
: Budi Waluyo, S.S, M.Pd.
Anggota I
: Drs. Amir Fuady, M.Hum.
Anggota II
: Dr. Andayani, M.Pd.
................................... ................................... ................................... ..................................
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
ABSTRAK Fitri Wulandari, K 1207018. NOVEL LASKAR PELANGI KARYA ANDREA HIRATA DAN ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH KARYA WIWID PRASETYO (KAJIAN INTERTEKSTUALITAS DAN NILAI PENDIDIKAN). Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, April 2011. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: (1) struktur novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; (2) persamaan dan perbedaan struktur novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; (3) kajian intertekstualitas antara novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah; dan (4) nilai pendidikan novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas yang sebelumnya didahului dengan pendekatan struktural. Sumber data adalah novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah. Sampel dalam penelitian ini diambil dengan teknik purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik analisis dokumen. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis mengalir. Teknik validitas data yang digunakan adalah trianggulasi teori. Hasil temuan penelitian dengan kajian intertekstualitas menunjukkan bahwa kedua novel tersebut: (1) struktur kedua novel terdiri atas tema, sudut pandang, penokohan, latar, alur, dan amanat; (2) persamaan struktur kedua novel tersebut berupa tema. Kedua novel mempunyai tema yang sama yakni pendidikan. Amanat, kedua novel mengamanatkan untuk berani bercita-cita dan berusaha keras mewujudkan citacita tersebut. Terkait dengan alur, kedua novel menggunakan alur maju. Penokohan dalam kedua novel memiliki persamaan yakni pada teknik karakterisasi. Baik itu Laskar Pelangi maupun Orang Miskin Dilarang Sekolah karakter tokoh tidak selalu digambarkan secara gamblang dan terperinci tetapi dapat diketahui dari dialog antartokoh dan deskripsi pengarang secara langsung. Secara fisiologis, tokoh utama dalam kedua novel memiliki jenis kelamin yang sama yakni laki-laki (Ikal dan Faisal). Secara psikologis tercermin watak tokoh utama yaitu berkemauan keras. Perbedaan kedua novel terletak pada sudut pandang. Laskar pelangi menggunakan sudut pandang persona pertama “Aku”, sedangkan Orang Miskin Dilarang Sekolah menggunakan sudut pandang campuran. Latar cerita dalam novel Laskar Pelangi di Pulau Belitong, Sumatera Selatan, sedangkan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah berlatar di Semarang, Jawa Tengah; (3) dari hasil kajian intertekstualitas dapat disimpulkan bahwa novel Laskar Pelangi merupakan hipogram, sedangkan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah merupakan teks transformasi; dan (4) nilai pendidikan yang terkandung di dalam novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah yaitu: nilai pendidikan religius, sosial, moral, dan kebudayaan.
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
MOTTO aku ingin hidup dalam keagungan cinta, dan cahaya keindahan, karena keduanya, merupakan pengejawantahan tuhan, di situlah aku hadir, hidup, dan aku tak kan mungkin dapat diasingkan dari wilayah hidup, karena dengan amanah yang berkumandang itu aku akan hidup kekal di alam baka. (Suara Sang Guru, Kahlil Gibran)
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
PERSEMBAHAN
Karya ini kupersembahkan untuk: 1. Kedua
orang
tuaku
yang
senantiasa
mendoakanku 2. Kakak-kakakku, Ayuri, Iyiq, Hoho, dan adikku Sayang yang selalu memberikan cinta, semangat dan doa 3. Teman-temanku,
Haning,
Fajar,
Heri,
Salmah, Rumi, Hanimun, Desinta, Yunianto, Adi, Kejora, Mei, Ratih, Adit, Ervin Hariningtyas untuk bantuannya selama ini 4. Teman-teman P. BASTIND 2007
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang tak terhingga penulis panjatkan kepada Allah S.W.T. yang Maha Rahman dan Rahim yang telah melimpahkan rahmat dan KaruniaNya, sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Skripsi yang berjudul Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Kajian Intertekstualitas dan Nilai Pendidikan), disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan untuk mencapai derajat Sarjana Pendidikan pada Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan atas bimbingan dan bantuan berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulisan skripsi ini; 2. Drs. Soeparno, M.Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan izin penulisan skripsi kepada penulis; 3. Drs. Slamet Mulyono, M.Pd, selaku ketua Progam Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan kesempatan studi; 4. Drs. Amir Fuady, M.Hum dan Dr. Andayani, M.Pd selaku pembimbing I dan II yang telah sabar meluangkan pemikiran dan waktunya untuk memberikan arahan, petunjuk, dan bimbingan dalam proses penyusunan skripsi ini; 5. Para dosen Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta, Prof. Dr. Herman J. Waluyo., Dr. Nugraheni Eko Wardhani, M.Hum., Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., Dr. Budhi Setiawan, M.Pd., yang telah memberikan ilmu, motivasi, dan bimbingannya selama menempuh studi; commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
6. Drs. Yant Mujiyanto, M.Pd yang telah bersedia memberikan respons terhadap novel Orang Miskin Dilarang Sekolah; 7. Mas Wiwid Prasetyo yang telah berbagi informasi mengenai karyanya; 8. Teman-teman Mahasiswa Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia 2007. Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan dunia pendidikan, pembaca, dan pihak-pihak yang berkepentingan.
Surakarta, Mei 2011
Penulis
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
DAFTAR ISI
JUDUL ...........................................................................................................
ii
PERSETUJUAN.............................................................................................
iii
PENGESAHAN ..............................................................................................
iv
ABSTRAK ......................................................................................................
v
MOTTO .......................................................................................................
vi
PERSEMBAHAN ..........................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................
x
DAFTAR TABEL .........................................................................................
xii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
xiv
DAFTAR SINGKATAN BAB I PEDAHULUAN .................................................................................
1
A. Latar Belakang Masalah ......................................................................
1
B. Rumusan Masalah ................................................................................
5
C. Tujuan Penelitian ................................................................................
5
D. Manfaat Penelitian ...............................................................................
5
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR ........................
7
A. Tinjauan Pustaka ..................................................................................
7
1. Hakikat Novel ................................................................................
7
2. Hakikat Pendekatan Struktural .......................................................
29
3. Hakikat Kajian Intertekstualitas .....................................................
31
4. Hakikat Nilai Pendidikan ...............................................................
36
B. Penelitian yang Relevan ......................................................................
42
C. Kerangka Berpikir ................................................................................
45
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ....................................................
47
A. Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................................
47
B. Bentuk dan Pendekatan Penelitian ....................................................... commit to user C. Sumber Data .........................................................................................
48
x
48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
D. Teknik Sampling ..................................................................................
48
E. Teknik Pengumpulan Data ...................................................................
49
F. Teknik Validitas Data ..........................................................................
49
G. Teknik Analisis Data ............................................................................
49
H. Prosedur Penelitian ..............................................................................
52
BAB IV DESKRIPSI DATA DAN PEMBAHASAN .................................
53
1) Deskripsi Data ......................................................................................
53
1. Struktur Novel LP dan OMDS .......................................................
53
2. Persamaan dan perbedaan antara Novel LP dan OMDS ................
139
3. Hubungan Intertekstual antara Novel LP dan OMDS ....................
159
4. Nilai Pendidikan dalam Novel LP dan OMDS ...............................
141
2) Pembahasan Hasil Temuan Penelitian .................................................
159
3) Struktur Novel LP dan OMDS .......................................................
159
4) Persamaan dan perbedaan antara Novel LP dan OMDS ................
205
5) Hubungan Intertekstual antara Novel LP dan OMDS ...................
220
6) Nilai Pendidikan dalam Novel LP dan OMDS ...............................
211
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN .......................................
228
A. Simpulan ..............................................................................................
228
B. Implikasi ...............................................................................................
229
C. Saran.....................................................................................................
231
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian .................................................
commit to user
xii
47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Kerangka Berpikir ..........................................................................
46
Gambar 2. Skema Analisis Mengalir (Flow Model of Analysis) .....................
51
Gambar 3. Skema Plot Novel LP Karya Andrea Hirata ..................................
127
Gambar 4. Skema Plot Novel OMDS Karya Wiwid Prasetyo .........................
134
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman Lampiran 1. Sinopsis Novel LP .......................................................................
233
Lampiran 2. Sinopsis Novel OMDS ................................................................
236
Lampiran 3. Profil Andrea Hirata ....................................................................
239
Lampiran 4. Profil Wiwid Prasetyo .................................................................
245
Lampiran 5. Artikel Internet “Mengapa Harus Novel Pendidikan?” ...............
272
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
DAFTAR SINGKATAN
LP= Laskar Pelangi (Novel) OMDS= Orang Miskin Dilarang Sekolah (Novel)
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Karya sastra terdiri dari berbagai jenis, salah satunya adalah novel. Burhan Nurgiyantoro (2005: 4) menyatakan bahwa novel sebagai suatu karya fiksi yang menawarkan suatu dunia, yaitu dunia yang berisi suatu model yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang yang bersifat imajiner. Mengacu pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa novel sebagai sebuah dunia hasil rekaan pengarangnya yang dibangun oleh sebuah jalinan struktur yang ditawarkan pengarang untuk dijadikan teladan bagi pembacanya. Jakob Sumardjo dan Saini K.M (dalam Herman J. Waluyo) menyebutkan tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yaitu: plot, tema, karakter, setting, point of view, gaya, dan suasana cerita (2002: 140). Unsur-unsur inilah yang menyebabkan sebuah novel menjadi lebih hidup sehingga pembaca seolah merasakan kehidupan yang digambarkan oleh pengarang dalam suatu rangkaian peristiwa. Dengan demikian, pembaca akan
terbawa ke dalam sebuah permenungan tentang
kehidupan manusia yang ditulis pengarang. Hingga akhirnya pembaca dapat memperoleh suatu pesan dalam kehidupan nyata. Arifin (2009) menyatakan bahwa novel pada umumnya dianggap sebagai karya sastra yang bersifat menghibur. Selain itu, novel sebagai salah satu bentuk karya sastra mempunyai fungsi bermanfaat. Dikatakan menghibur karena dengan membaca novel, seseorang bisa menikmati keindahan cerita yang terkandung di dalam novel tersebut. Novel memiliki keindahan dalam alur cerita, konflik yang dibangun, dan hal lain yang dituangkan dalam tema yang beragam. Tema tersebut dapat berupa percintaan, persahabatan, kritik sosial, maupun pendidikan. Sedangkan dikatakan bermanfaat karena novel tercipta melalui permenungan yang sungguh-sungguh. Sehingga pembaca dapat mengambil nilai-nilai yang bermanfaat yang terkandung di berbagai novel, salah satunya novel LP. commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
Novel LP merupakan novel perdana dari Andrea Hirata yang memiliki banyak nilai-nilai pendidikan yang dapat dipetik. Hal ini dikarenakan novel LP menyoroti dunia pendidikan yang dikemas sangat menarik dan sarat dengan nilai kehidupan yang bermanfaat bagi pembacanya. St. Muttia A. Husain (2010) dalam karya tulisnya menyatakan bahwa membaca novel LP juga dapat menimbulkan kepedulian terhadap masyarakat di sekitarnya dengan melakukan berbagai hal untuk mengubah dan memperbaiki kehidupan. Mengacu pendapat tersebut tak heran jika dalam waktu singkat, LP menjadi bahan pembicaraan para penggemar novel. Berdasarkan uraian di atas, Fajar Aryanto (2009) dalam menyatakan bahwa dalam waktu seminggu, LP mampu terjual lebih dari satu juta eksemplar sehingga termasuk dalam best seller. Pendapat tersebut sejalan dengan Sainul Hermawan yang menyatakan bahwa novel LP menjadi novel terlaris di Indonesia serta melampaui rekor Ayat-ayat Cinta dan Saman (2009: 103). Hal ini disebabkan LP menyuguhkan sebuah cerita yang dikemas sangat menarik oleh pengarangnya. Novel ini mengisahkan semangat anak-anak kampung Gantung Kabupaten Belitong Timur yang tak mengenal menyerah dalam berjuang meraih cita-cita. Mereka adalah sekumpulan anak yang dijuluki Laskar Pelangi yang hidup serba kekurangan dan penuh keterbatasan. Akan tetapi, segala keterbatasannya itu tidak sedikitpun menyurutkan niat mereka dalam belajar dan kemauan keras merubah nasib. Isi novel LP menegaskan bahwa kemiskinan bukanlah hambatan seseorang meraih kesuksesan asalkan tetap mempunyai citacita dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai cita-citanya. Setelah kemunculan novel LP yang fenomenal ini, kontan saja dunia sastra banyak diramaikan dengan kemunculan novel-novel sejenis, yakni novel bertemakan pendidikan. Asrori S. Karni menyatakan bahwa kisah Ikal yang diceritakan dengan lincah oleh Andrea Hirata telah menginspirasi jutaan orang (2008: 1). Banyak pengarang terinspirasi untuk menulis kisah-kisah sejenis, seperti novel Perahu Kertas oleh Dewi Lestari, Negeri Lima Menara oleh A Fuadi, Ma Yan oleh Sanie B. Kuncoro, Sang Pelopor, Titian Sang Penerus, Jejak user masih banyak lagi. Salah satu Sang Perintis oleh Alang-alangcommit Timurto dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
pengarang yang juga terinspirasi dari novel LP adalah Wiwid Prasetyo. Beberapa karya Wiwid yang sudah terbit antara lain Orang Miskin Dilarang Sekolah, Sup Tujuh Samudra, Chicken Soup Asma’ul Husna, Miskin Kok Mau Sekolah…?!, Idolaku Ya Rasulullah Saw…!, Demi Cintaku pada-Mu, Aha, Aku Berhasil Kalahkan Harry Potter, The Chronicle of Kartini, dan Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu. Salah satu karya Wiwid yang menarik adalah novel yang berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah (OMDS). Novel yang terbit pertama kali pada tahun 2009 ini, kini di tahun 2011 sudah mencapai cetakan keenam dan oleh Diva Press diberikan gelar nasional best seller. Novel ini mengangkat tema yang sama dengan novel LP, yakni masalah pendidikan yang diramu dengan persahabatan, cinta, dan fenomena sosial, khususnya masalah kemiskinan. Tak kalah dengan novel LP, novel OMDS juga sarat dengan muatan nilai pendidikan. Novel OMDS menceritakan kegigihan seorang anak yang berasal dari golongan miskin yang berjuang untuk dapat mengenyam pendidikan. Novel OMDS mempunyai banyak kemiripan dengan novel LP. Wiwid (2010) mengaku terinspirasi setelah membaca novel LP hingga kemudian ia bertekad untuk membuat karya yang sejenis. Kemiripan-kemiripan antara dua novel tidak hanya ditemui pada novel LP dan OMDS saja. Dalam khazanah sastra Indonesia tidak jarang ditemui banyak karya dalam berbagai genre yang mempunyai kemiripan. Hal ini bukan berarti bahwa karya yang lahir kemudian merupakan hasil penjiplakan dari karya sebelumnya. Pradopo (dalam B. Trisman) menyatakan bahwa kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya satra yang mendahuluinya yang pernah diserap oleh sang sastrawan (2003: 81). Jadi, pada mulanya sastrawan dalam menciptakan karyanya melihat, meresapi, dan menyerap teks-teks lain yang menarik perhatiannya, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Ia menggumuli konvensi sastranya, konvensi estetiknya,
gagasan
yang
tertuang
dalam
karya
itu,
kemudian
mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri. Pengkajian terhadap dua karya sastra atau lebih tersebut sering disebut dengan pengkajian commit to user sastra dengan pendekatan intertekstualitas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Menurut A. Teeuw (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 126) karya sastra itu merupakan response pada karya sastra yang terbit sebelumnya. Intertekstualitas merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sejumlah teks, dengan cara membandingkan dan menemukan hubungan-hubungan kebermaknaan antara teks yang ditulis lebih dulu (hipogram) dengan teks sesudahnya (teks transformasi). Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk mengkaji novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas yang diawali dengan pendekatan struktural. Untuk mengetahui struktur yang terdapat dalam novel LP dan OMDS, peneliti perlu mengkaji unsur intrinsiknya yang berupa: tema, penokohan, latar, alur, sudut pandang, dan amanat. Hal ini penting dilakukan sebagai langkah awal untuk memenuhi kebutuhan makna karya sastra yang dilihat dari segi karya itu sendiri. Dengan pendekatan struktural, karya sastra dipandang sebagai sesuatu yang otonom, berdiri sendiri, bebas dari pengarang, realitas maupun pembacanya. Dalam penerapannya, pendekatan ini memahami karya sastra secara close reading (membaca karya sastra secara tertutup tanpa melihat pengarangnya dan berbagai konteks di luar karya itu sendiri). Dari hasil pendekatan struktural akan terlihat jelas struktur yang membangun novel tersebut yang kemudian dilanjutkan dengan pendekatan intertekstualitas. Dari pendekatan intertekstualitas ini akan dapat diketahui perbandingan struktur kedua novel serta persamaan, perbedaan, nilai pendidikan, dan hubungan intertekstualitas antara novel LP dan OMDS. Oleh karena itu penelitian ini berjudul “Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata dan Orang Miskin Dilarang Sekolah Karya Wiwid Prasetyo (Kajian Intertekstualitas dan Nilai Pendidikan)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat dirumuskan beberapa masalah berikut ini:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
1. Bagaimanakah struktur novel novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo? 2. Persamaan dan perbedaan apa yang terdapat dalam struktur novel LP karya Andrea Hirata dan novel OMDS karya Wiwid Prasetyo? 3. Bagaimanakah hubungan intertekstualitas antara novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo? 4. Bagaimanakah nilai pendidikan novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo?
C. Tujuan Penelitian Bertolak dari rumusan masalah di atas, tujuan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan struktur novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo. 2. Mendeskripsikan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam struktur novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo. 3. Mendeskripsikan hubungan intertekstualitas antara novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo. 4. Mendeskripsikan nilai pendidikan novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo.
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat atau kontribusi secara teoretis dan praktis. 1. Manfaat teoretis Hasil penelitian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi bidang kajian sastra yakni memperkaya masalah telaah sastra khususnya pendekatan intertekstualitas dan nilai pendidikan dalam novel. 2. Manfaat Praktis a. Bagi siswa
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
Hasil penelitian ini memberikan gambaran atau deskripsi mengenai struktur novel LP dan OMDS. Oleh karena itu, hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan wawasan mengenai struktur kedua novel sehingga dapat membantu siswa melakukan apresiasi terhadap kedua novel. b. Bagi guru Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai materi pembelajaran teori dan apresiasi sastra dalam mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di kelas XI SMA, khususnya pada Kompetensi Dasar menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/terjemahan. c. Bagi peneliti lain Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pembanding atau referen bagi peneliti lain yang akan mengadakan penelitian sastra dengan permasalahan yang serupa, yaitu mengenai kajian intertekstualitas dan nilai pendidikan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II KAJIAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A.
Tinjauan Pustaka
1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel Novel merupakan jenis karya sastra yang tergolong baru. Herman J. Waluyo (2002: 36) menyatakan “novel berasal dari bahasa latin novellas yang kemudian diturunkan menjadi novies yang berarti baru”. Perkataan baru ini dikaitkan dengan kenyataan bahwa novel merupakan jenis cerita fiksi yang muncul belakangan dibandingkan cerita pendek dan roman. Karena muncul belakangan, novel pun juga menawarkan hal-hal yang baru yang membedakan ia dengan roman dan cerpen. Apabila dalam roman dikisahkan sebagian besar dari kisah hidup manusia, maka dalam novel dikisahkan beberapa episode kehidupan manusia. Sedangkan dalam cerita pendek hanya salah satu episode kehidupan saja yang dikisahkan. Dengan begitu jelaslah perbedaan novel dengan bentuk karya sastra yang lain. Henry Guntur Tarigan (1993: 164) berpendapat “novel adalah suatu cerita dengan suatu alur yang cukup panjang, berisi satu buku atau lebih, yang mengisahkan tentang kehidupan dan bersifat imajinatif”. Mengacu pendapat tersebut, novel memang merupakan sebuah karya sastra yang bersifat imajinatif yang merupakan hasil pengimajian pengarangnya. Imajinasi pengarang kemudian dituangkan ke dalam sebuah jalinan cerita yang cukup panjang dengan banyak detail cerita. Itulah yang disebut dengan novel. Hal ini diperkuat lagi oleh Burhan Nurgiyantoro (2005: 4) yang mengungkapkan “novel sebagai suatu karya fiksi yang menawarkan suatu dunia, yaitu dunia yang berisi suatu model yang diidealkan, dunia imajiner, yang dibandingkan melalui berbagai unsur intrinsiknya, seperti peristiwa, plot, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain yang kesemuanya tentu saja bersifat imajiner”. Mengacu pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa novel to user di mana ia dibangun oleh sebuah sebagai sebuah dunia hasil rekaancommit pengarangnya,
7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
jalinan struktur yang ditawarkan pengarang untuk dijadikan teladan bagi pembacanya. Herman J. Waluyo (2002: 37) mengemukakan ciri-ciri yang ada dalam sebuah novel, yaitu adanya: (a) perubahan nasib tokoh cerita; (b) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; dan (c) biasanya tokoh utama tidak sampai mati. Senada dengan Herman J. Waluyo, Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 11) menyatakan bahwa “novel mengemukakan sesuatu secara bebas, menyajikan sesuatu secara lebih banyak, lebih rinci, lebih detail, dan lebih melibatkan berbagai permasalahan yang lebih kompleks”. Dalam hal ini berarti mencakup berbagai unsur cerita yang membangun novel itu Mengacu dua pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa novel memang berbeda dengan karya sastra yang lain. Novel cenderung menitikberatkan kompleksitas yang di dalamnya memungkinkan adanya penyajian yang panjang lebar mengenai tokoh dan segala konflik yang dialaminya. Sebagai suatu karya sastra, novel mengandung nilai-nilai moral yang berguna bagi pembacanya. Hal ini sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo (2002: 37) “novel bukan hanya alat hiburan, tetapi juga sebagai bentuk seni, yang mempelajari dan meneliti segi-segi kehidupan dan nilai baik buruk (moral) dalam kehidupan ini dan mengarahkan kepada pembaca tentang pekerti yang baik dan budi luhur”. Mengacu pendapat di atas maka novel selain menawarkan sebuah seni atau alat hiburan, novel juga mempunyai misi untuk pembacanya yakni untuk mendidik pembaca melalui kisah-kisah yang disuguhkan dalam novel. Berdasarkan beberapa pendapat para ahli tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa novel adalah jenis cerita fiksi yang tergolong baru, yang menyuguhkan suatu cerita dengan suatu alur yang cukup panjang dengan memasukkan berbagai unsur intrinsik di dalamnya, yang meliputi tema, alur, penokohan, sudut pandang, latar, dan amanat. b. Struktur Novel Suatu karya fiksi terwujud karena disusun dengan meramukan berbagai unsur di dalamnya. Zulfahnur (1996: 24) menyatakan “pengorganisasian berbagai commit to dan usermencerminkan kepribadian karya unsur sastra menjadi suatu kebulatan utuh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
fiksi yang menarik dan bermakna disebut struktur fiksi”. Maka dengan kata lain hal tersebut berlaku juga dengan novel. Novel sebagai salah satu bentuk karya sastra juga tersusun atas sebuah struktur. Ada banyak pendapat mengenai struktur sebuah novel. Jakob Sumardjo dan Saini K.M (dalam Herman J. Waluyo) menyebutkan tujuh unsur pembangun cerita rekaan, yaitu: plot, tema, karakter, setting, point of view, gaya, dan suasana cerita (2002: 140). Sementara itu Marjorie Boulton membagi cerita rekaan menjadi enam unsur, yakni: point of view, plot, character, percakapan, latar dan tempat kejadian, dan tema yang dominan (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 139). Burhan Nurgiyantoro (2005: 23) mengatakan “unsur-unsur pembangun sebuah novel secara garis besar dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik”. Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika orang membaca karya sastra. Unsur-unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur yang (secara langsung) turut serta membangun cerita. Kepaduan antarberbagai unsur intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Di lain pihak, unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra itu, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Atau, secara lebih khusus ia dapat dikatakan sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi bangun cerita sebuah karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Senada dengan Burhan Nurgiyantoro, Zulfahnur juga menyatakan bahwa sebuah karya fiksi dibangun oleh dua unsur yakni unsur ekstrinsik dan intrinsik. Unsur ekstrinsik yang meliputi permasalahan kehidupan, falsafah, cita-cita, ideide dan gagasan serta latar budaya yang menopang kisahan cerita. Sedangkan unsur intrinsik (unsur dalam dari sebuah fiksi) terdiri atas tema dan amanat, alur, perwatakan, sudut pandang, latar, dan gaya bahasa (1996: 24 – 25). Wahyudi Siswanto juga membagi unsur intrinsik atas alur, tokoh, watak, penokohan, latar, commit user (2008: 142). Zainuddin Fananie sudut pandang, gaya bahasa, amanat dantotema
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
(2000: 77) menambahkan “faktor ekstrinsik adalah segala faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra yang meliputi tradisi dan nilai-nilai, struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik, lingkungan hidup, agama dan sebagainya”. Wellek dan Warren (1990: 75 – 130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat, dan filosofis. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra (novel) dibangun atas unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik merupakan unsur yang membangun karya sastra itu sendiri, meliputi tema, penokohan, latar, sudut pandang, alur, amanat, dan gaya bahasa. Unsur ekstrinsik merupakan faktor luar yang melatarbelakangi penciptaan karya sastra yang meliputi tradisi dan nilainilai, struktur kehidupan sosial, keyakinan dan pandangan hidup, suasana politik, lingkungan hidup, agama dan sebagainya. Kedua unsur ini bersama-sama membangun sebuah struktur karya fiksi khususnya novel. Telaah struktur novel pada penelitian ini dibatasi pada unsur-unsur yang penulis rasa cukup penting yang berkaitan dengan kajian novel dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas yaitu tema, sudut pandang, penokohan, latar, alur, dan amanat. a. Tema Tema merupakan salah satu unsur dalam karya sastra. Panuti Sudjiman (1984: 50) menyatakan bahwa tema adalah gagasan, ide, atau pilihan utama yang mendasar suatu karya sastra. Sangidu (1995: 154) menyatakan “tema adalah apa yang menjadi persoalan utama di dalam sebuah karya sastra”. Sedangkan Zainuddin Fananie (2000: 84) menyatakan “tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra”. Brooks, Purser, dan Waren (dalam Henry Guntur Tarigan) mengemukakan bahwa tema adalah pandangan hidup yang tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu yang membentuk atau membangun dasar atau gagasan utama dari suatu karya sastra (1993: 125). Mengacu beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa tema merupakan gagasan dasar bagi terciptanya sebuah karya sastra. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
Sebagai sebuah gagasan dasar, tema merupakan sesuatu yang netral, belum ada sikap, belum ada kecenderungan untuk memihak. Oleh karena itu persoalan apa saja dapat dijadikan tema di dalam sebuah karya sastra. Zainuddin Fananie menyatakan bahwa karena sastra merupakan refleksi kehidupan masyarakat, maka tema yang diungkapkan dalam karya sastra bisa sangat beragam (2000: 84). Tema bisa berupa persoalan moral, etika, agama, sosial budaya, teknologi, tradisi yang terkait erat dengan masalah kehidupan. Senada dengan Zainuddin Fananie, Herman J. Waluyo (2002: 142) juga menyatakan “tema adalah masalah hakiki manusia, seperti misalnya cinta kasih, ketakutan, kebahagiaan, kesengsaraan, keterbatasan, dan sebagainya”. Mengacu pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa pesoalan apa saja dapat dijadikan sebagai tema dalam sebuah karya sastra. Di dalam sebuah cerita rekaan terdapat banyak tema. Oleh karena itu tema dapat digolongkan ke dalam beberapa kategori yang berbeda tergantung dari segi mana penggolongan itu dilakukan. Di dalam kajian teori ini, dipaparkan jenisjenis tema dipandang dari tingkat pengalaman jiwa menurut Shipley. Berikut adalah penjelasan tentang tingkatan tema menurut Shipley (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 80 – 81) yang meliputi tema tingkat fisik, tema tingkat organik, tema tingkat sosial, tema tingkat egois, dan tema tingkat devine. 1) Tema tingkat fisik. Tema ini lebih banyak mengarang dan ditujukan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada tokoh cerita bersangkutan. 2) Tema tingkat organik (kejiwaan). Tema ini menyangkut aspek kejiwaan tokoh cerita. 3) Tema tingkat sosial (makhluk sosial). Tema ini menyangkut masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, perjuangan, cinta kasih, propaganda, hubungan atasan bawahan, dan berbagai masalah dan hubungan sosial lain. 4) Tema tingkat egois (persona). Manusia sebagai makhluk individu senantiasa menuntut pengakuan hak individualitas. Tema ini antara lain mengangkat masalah martabat, egoistis, harga diri, sifat batin, misalnya jati diri atau sosok kepribadian seseorang. 5) Tema tingkat divine (manusia sebagai makhluk tingkat tinggi). Masalah yang user menonjol dalam tingkat inicommit adalahto masalah hubungan manusia dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
pencipta alam, masalah religiusitas, atau masalah yang bersifat filosofis seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan. Selain itu, Burhan Nurgiyantoro juga menggolongkan tema dari tingkat keutamannya, yaitu: tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Sedangkan tema minor bersifat mendukung atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita (2005: 82 – 83) Senada dengan Burhan Nurgiyantoro, Marjorie Boulton (dalam Herman J. Waluyo) juga menyebutkan adanya tema dominan (sentral) dan tema-tema lainnya (2002: 144). Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa di dalam sebuah karya sastra bisa mengandung banyak tema. Adanya beberapa tema dalam sebuah karya sastra justru akan menunjukkan kekayaan karya sastra tersebut. Sebagai sebuah karya imajinatif, tema dapat diungkapkan melalui berbagai cara. Menurut Zainuddin Fananie, tema dapat diungkapkan melalui dialog tokohtokohnya, melalui konflik-konflik yang dibangun, atau melalui komentar secara tidak langsung (2000: 84). Dari pendapat Zainuddin Fananie tersebut dapat dimakanai bahwa tema yang baik pada hakikatnya adalah tema yang tidak diungkapkan secara langsung dan jelas. Tema bisa disamarkan sehingga kesimpulan tentang tema yang diungkapkan pengarang harus dirumuskan sendiri oleh pembaca. Bertolak dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa tema di dalam sebuah karya sastra merupakan hal yang sangat penting. Tema merupakan gagasan utama yang membangun dan membentuk sebuah cerita dalam suatu karya sastra. Tema merupakan dasar bagi seorang pengarang untuk mengungkapkan permasalahan dalam sebuah cerita yang dapat diungkapkan baik secara langsung maupun tidak langsung. b. Sudut Pandang atau Point of View Sudut pandang atau disebut juga point of view merupakan salah satu unsur novel yang digolongkan sebagai sarana cerita. Herman J. Waluyo (2002: 184) menyatakan “sudut pandang atau point of view adalah sudut pandang dari mana pengarang bercerita”. Abrams commit (dalamto user Burhan Nurgiyantoro, 2005: 248)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
mendefinisikan sudut pandang itu sebagai cara dan atau pandangan yang dipergunakan pengarang sebagai sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa yang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi kepada pembaca. Sementara itu Booth (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2001: 249) mengemukakan bahwa sudut pandang adalah teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. Burhan Nurgiyantoro (2005: 250) memberikan pengertian tentang sudut pandang “sudut pandang adalah strategi,
teknik,
siasat,
yang
secara
sengaja
dipilih
pengarang
untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya”. Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan secara sederhana bahwa sudut pandang adalah cara pandang pengarang dalam menyajikan sebuah cerita. Pemilihan sudut pandang harus diperhatikan sungguh-sungguh oleh pengarang. Menurut Stevick (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 251) “sudut pandang mempunyai hubungan psikologis dengan pembaca”. Maksud dari pengertian di atas bahwa pembaca membutuhkan persepsi yang jelas tentang sudut pandang cerita. Pemahaman pembaca pada sudut pandang akan menentukan seberapa jauh persepsi dan penghayatan, bahkan juga penilaiannya terhadap novel yang bersangkutan Usaha pembagian sudut pandang telah dilakukan oleh banyak pakar sastra. Burhan Nurgiyantoro (2005: 256 – 266) membedakan sudut pandang menjadi tiga, yaitu sudut pandang persona ketiga “Dia”, sudut pandang persona pertama “aku”, dan sudut pandang campuran. 1) Sudut pandang persona ketiga “Dia” Sudut pandang persona ketiga “Dia” yaitu pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona ketiga, gaya “dia”, narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Hal ini akan mempermudah pembaca untuk mengenali siapa tokoh yang diceritakan atau siapa yang bertindak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
Sudut pandang ini dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu “Dia” Mahatahu dan “Dia” terbatas (“dia” pengamat). Dalam sudut pandang “Dia” Mahatahu, cerita dikisahkan dari sudut pandang “dia”, namun pengarang, narator , dapat menceritakan apa saja hal-hal yang menyangkut tokoh “dia” tersebut. Narator mampu menceritakan sesuatu baik yang bersifat fisik, dapat diindra, maupun sesuatu yang hanya terjadi dalam hati dan pikiran tokoh. Lebih dari itu, ia tak hanya mampu melapor dan menceritakan kisah tentang tokoh-tokoh saja, melainkan juga dapat mengomentari dan menilai secara bebas dengan penuh otoritas, seolah-olah tak ada satu rahasia pun rahasia tentang tokoh yang tidak diketahuinya. Sedangkan dalam sudut pandang “Dia” terbatas (“Dia” pengamat), pengarang hanya melukiskan apa yang dilihat, didengar, dialami, dipikir dan dirasakan oleh tokoh cerita, namun hanya terbatas pada seorang tokoh saja. Pengarang tidak “mengganggu” dengan memberikan komentar dan penilaian yang bersifat subjektif terhadap peristiwa, tindakan, ataupun tokoh-tokoh yang diceritakannya. Ia hanya menjadi pengamat, observer, melaporkan sesuatu yang dialami dan dijalani oleh seorang tokoh yang bertindak sebagai pusat kesadaran. 2) Sudut pandang persona pertama “aku” Sudut pandang persona pertama “aku” yaitu pengisahan cerita yang mempergunakan sudut pandang persona pertama, gaya “aku”. Posisi narator adalah ikut terlibat dalam cerita, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, mengisahkan peristiwa dan tindakan yang diketahui, didengar, dan dirasakan, serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Pembaca menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, maka pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh si “aku” tersebut. Dalam sudut pandang ini, sifat kemahatahuannya terbatas. Sudut pandang persona pertama dapat dibedakan ke dalam dua golongan berdasarkan peran dan kedudukan si “aku” dalam cerita, yakni “aku” tokoh utama dan “aku” tokoh tambahan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
3) Sudut pandang campuran Sudut pandang campuran yaitu penggunaan sudut pandang lebih dari satu teknik. Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain untuk sebuah cerita yang dituliskannya. Misalnya campuran “Aku” dan “Dia”. Penggunaan kedua sudut pandang tersebut terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak kepada pembaca. Si “aku” adalah tokoh utama protagonis, dan ini memungkinkan pengarang membeberkan berbagai pengalaman batinnya. Namun, jangkauan si “aku” terhadap tokoh lain terbatas, tak bersifat Mahatahu. Padahal, pembaca menginginkan informasi penting dari tokoh-tokoh lain, atau narator yang ingin menceritakannya kepada pembaca, terutama yang dalam kaitannya dengan tokoh “aku”. Agar hal itu dapat dilakukan, pengarang sengaja beralih ke sudut pandang yang lain yang memungkinkan memberinya kebebasan, dan teknik ini berupa “Dia” Mahatahu. Dengan demikian pembaca memperoleh cerita secara detil baik dari tokoh “aku” maupun “dia”. Hal ini juga berarti pembaca menjadi lebih tahu tentang berbagai persoalan hubungan tokoh-tokoh tersebut daripada tokoh-tokoh itu sendiri. Selain itu, Herman J. Waluyo (2002: 184 – 185) juga membagi sudut pandang menjadi tiga, yaitu teknik akuan, teknik diaan, dan teknik pengarang serba tahu. 1) Teknik akuan Teknik akuan menempatkan pengarang sebagai orang pertama dan menyebut pelakunya sebagai “aku”. Panuti Sudjiman menambahkan, pencerita akuan cepat membina keakraban antarcerita dan pembaca. Namun, ada semacam keterbatasan yang disebabkan sudut pandangnya yang bersifat sepihak (1984: 73). Pencerita akuan secara langsung dan dengan bebas dapat menyatakan sikap, pikiran, dan perasaannya sendiri kepada pembaca, tetapi tentang tokoh-tokoh lain ia hanya dapat memberikan pandangan dari pihaknya sendiri. Ia tidak dapat menduga dalam-dalam sikap dan pikiran tokoh yang lain. Sebaliknya karena ia harus membatasi penceritaan dengan cara memandang segala sesuatu dari satu sudut, ceritanya menjadi padat-padu. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
2) Teknik diaan Teknik diaan menempatkan pengarang sebagai orang ketiga dan menyebut pelaku utamanya sebagai “dia”. 3) Teknik pengarang serba tahu (omniscient narrative) Teknik pengarang serba tahu menempatkan pengarang sebagai pencerita segalanya dan memasuki sebagai peran yang bebas. Panuti Sudjiman mengibaratkan teknik ini, seolah-olah pengarang berdiri di atas segala-galanya dan dari tempatnya yang tinggi itu ia dapat mengamati segala sesuatu yang terjadi, bahkan dapat menembusi pikiran dan perasaan para tokoh (1984: 73 – 74). Dengan sudut pandang ini si pencerita dapat berkomentar dan memberikan penilaian subjektifnya terhadap apa yang dikisahkannya itu. Ketiga jenis metode ini dapat dikombinasikan oleh pengarang dalam suatu cerita rekaan dengan tujuan untuk membuat variasi cerita agar tidak membosankan. Menurut Panuti Sudjiman (1984: 72) penggunaan sudut pandang yang berbeda menghasilkan versi yang berbeda dari peristiwa atau rentetan peristiwa yang sama, dan menyajikan rincian yang berbeda dari peristiwa yang sama. Lebih lanjut ia mengungkapkan bahwa seorang pencerita harus menentukan sudut pandang; ia harus menentukan dari sudut mana (atau siapa) sebaiknya cerita itu dihidangkan. Pemilihannya itu didasarkan faktor-faktor tertentu, seperti suasana cerita, kategori, atau jenis ceritanya, serta maksud tujuan cerita. Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa penentuan sudut pandang dalam cerita rekaan menjadi sangat penting karena akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. Sudut pandang difungsikan pengarang untuk sarana penyajian tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwa dalam cerita rekaan kepada pembaca. Sudut pandang haruslah diperhitungkan kehadirannya, bentuknya, sebab pemilihan sudut pandang akan berpengaruh terhadap penyajian cerita. c. Penokohan Berbicara tentang sebuah cerita tentu tidak terlepas dari tokoh karena tokoh merupakan unsur yang penting dalam cerita. Atar Semi (1993: 36) commitdan to user mengatakan bahwa, masalah penokohan perwatakan merupakan salah satu hal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
yang kehadirannya dalam sebuah fiksi amat penting dan bahkan menentukan karena tidak mungkin ada suatu karya fiksi tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya tokoh yang bergerak yang akhirnya membentuk alur cerita. Dalam pembicaraan sebuah fiksi, sering dipergunakan istilah-istilah seperti tokoh dan penokohan, watak dan perwatakan, atau karakter dan karakterisasi secara bergantian dengan menunjuk pengertian yang hampir sama. Menurut Burhan Nurgiyantoro istilah-istilah tersebut ada yang pengertiannya menyaran pada tokoh cerita, dan pada “teknik” pengembangannya dalam sebuah cerita (2005: 164 – 165). Istilah “tokoh” menunjuk pada orangnya, pelaku cerita. Watak, perwatakan, dan karakter menunjuk pada sifat dan sikap para tokoh seperti yang ditafsirkan oleh pembaca, lebih menunjuk pada kualitas pribadi seorang tokoh. Penokohan dan karakterisasi sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Jones (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 165) menyatakan “penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita”. Mengacu pendapat
di
atas
maka
dapat
penempatan/pelukisan/penyajian
disimpulkan
tokoh-tokoh
bahwa
tertentu
penokohan dengan
adalah
watak-watak
tertentu. Watak-watak tertentu inilah yang akan menghidupkan tokoh di dalam cerita. Herman J. Waluyo (2002: 171 – 172) menyatakan bahwa pendeskripsian watak tokoh dengan tiga dimensi, yaitu dimensi fisik, dimensi psikis, dan dimensi sosiologis. 1) Dimensi fisik, artinya keadaan fisik tokohnya yang meliputi: usia (tingkat kedewasaan), jenis kelamin, keadaan tubuh (tinggi, pendek, pincang, gagah, tampan, menarik, dan sebagainya), ciri-ciri wajah (cantik, jelek, keriput, dan sebagainya , dan ciri khas yang spesifik; 2) Dimensi psikis dari tokoh melukiskan latar belakang kejiwaan, kebiasaan, sifat dan karakteristiknya, seperti misalnya mentalitas, ukuran moral, dan kecerdasan, temperamen, keinginan, dan perasaan pribadi, serta kecakapan dan keahlian khusus; 3) Dimensi sosiologis menunjukkan latar belakang kedudukan tokoh dalam masyarakat dan hubungan commitstatus to user dengan tokoh-tokoh lainnya. Misalnya sosial, pekerjaan, jabatan, peranan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
dalam masyarakat, pendidikan, pandangan hidup, kepercayaan, agama, ideologi, aktivitas sosial, organisasi, kesenangan, suku bangsa, keturunan dan sebagainya. Tokoh-tokoh cerita tidak begitu saja secara serta merta hadir kepada pembaca.
Mereka
memerlukan
sarana
penyajian
yang
memungkinkan
kehadirannya. Ada beberapa metode penyajian watak tokoh atau metode penokohan. Atar Semi (1993 : 39 – 40) menyampaikan ada dua macam cara dalam memahami tokoh atau perwatakan tokoh-tokoh yang ditampilkan yaitu secara analitik dan secara dramatik. 1) Secara analitik, yaitu pengarang langsung menceritakan karakter tokoh-tokoh dalam
cerita; 2) Secara dramatik, yaitu
pengarang tidak menceritakan secara langsung perwatakan tokoh-tokohnya, tetapi hal itu disampaikan melalui pilihan nama tokoh, melalui penggambaran fisik tokoh dan melalui dialog. Senada dengan Atar Semi, Herman J. Waluyo (2002: 164) mengatakan bahwa pada prinsipnya ada tiga cara yang digunakan pengarang untuk menampilkan tokoh-tokohnya yaitu metode analitis, metode tidak langsung, dan metode kontekstual. (1) Metode analitis: pengarang langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terinci (psikis, fisik, dan keadaan sosial); (2) Metode tidak langsung: penokohan secara dramatik ini biasanya berkenaan dengan penampilan fisik, hubungan dengan orang lain, cara hidup sehari-hari, dan sebagainya. Lukisan watak tokoh dalam metode ini tidak diberikan langsung oleh pengarang, tetapi harus disimpulkan sendiri oleh pembaca; dan (3) Metode kontekstual: metode yang menggambarkan watak tokoh melalui konteks bahasa atau bacaan yang digunakan pengarang untuk melukiskan tokoh tersebut. Dalam metode ini penggambaran watak digambarkan secara panjang lebar melalui tingkah laku dari tokoh-tokohnya Panuti Sudjiman (1984: 23 – 27) menyatakan bahwa terdapat dua cara penyajian watak tokoh yaitu metode analitis dan metode tak langsung. 1) Metode analitis, metode langsung, metode perian, atau metode diskursif yaitu metode di mana pengarang dapat memaparkan saja watak tokohnya, tetapi dapat juga menambahkan komentar tentang watak tersebut. Cara yang mekanis ini commit to user menurutnya memang sederhana dan hemat, tetapi tidak menggalakkan imajinasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
pembaca. Pembaca tidak dirangsang untuk membentuk gambarannya tentang si tokoh; 2) Metode tak langsung, metode ragaan, metode dramatik yaitu metode penyajian watak tokoh di mana pembaca dapat menyimpulkan watak tokoh dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. Ketiga metode ini pada umumnya dipakai bersama-sama dalam sebuah karya sastra, atau dua di antaranya berkombinasi, kadang-kadang dengan penggunan salah satu metode secara dominan Zainuddin Fanani (2000: 87 – 92) juga mengungkapkan bahwa ada 2 model cara mengekspresikan karakter tokoh yang dipakai pengarang yaitu melalui tampilan fisik dan secara tidak langsung. (a) Tampilan Fisik yakni pengarang menguraikan gambaran fisik tokoh, termasuk di dalamnya uraian mengenai ciriciri khusus yang dipunyai tokoh. Dalam hal ini, pengarang biasanya menguraikan pula secara rinci perilaku, latar belakang, keluarga, kehidupan tokoh pada bagian awal cerita. Model ini dalam telaah sastra sering disebut dengan istilah analitik, yaitu tokoh-tokoh cerita sudah dideskripsikan sendiri oleh pengarang; (2) Pengarang tidak secara langsung mendeskripsikan karakter tokohnya. Dalam model ini, karakter dibangun melalui kebiasaan berpikir, cara pengambilan keputusan dalam menghadapi setiap peristiwa, perjalanan karir, dan hubungannya dengan tokoh-tokoh lain, termasuk komentar dari tokoh yang satu ke tokoh yang lainnya. Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa secara garis besar ada dua cara metode penyajian watak tokoh atau metode penokohan, yaitu: 1) metode analitik, metode langsung, metode perian, atau metode diskursif yaitu pengarang langsung mendeskripsikan keadaan tokoh itu dengan terperinci (psikis, fisik, dan keadaan sosial); 2) metode dramatik, metode tak langsung, metode ragaan yaitu pengarang tidak menceritakan secara langsung perwatakan tokoh-tokohnya, tetapi pembaca dapat menyimpulkan watak tokoh dari pikiran, cakapan, dan lakuan tokoh yang disajikan pengarang, bahkan juga dari penampilan fisiknya serta dari gambaran lingkungan atau tempat tokoh. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
Tokoh-tokoh cerita dalam sebuah cerita fiksi dapat diklasifikasikan dalam beberapa jenis. Herman J. Waluyo (2002: 167 – 168) mengklasifikasikan tokoh menjadi beberapa macam, antara lain berdasarkan peranannya terhadap jalan cerita, terdapat tokoh protagonis, antagonis, dan tritagonis. 1) Tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua tokoh protagonis utama yang dibantu oleh tokoh-tokoh lainnya yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita; 2) Tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita. Biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita dan beberapa figur pembantu yang ikut menentang cerita; dan 3) Tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu baik untuk protagonis dan untuk tokoh antagonis Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 176 – 194) tokoh-tokoh dalam sebuah fiksi dapat dibedakan menjadi tokoh utama dan tokoh tambahan, tokoh protagonis dan tokoh antagonis, tokoh sederhana dan tokoh bulat, tokoh statis dan tokoh berkembang, tokoh tipikal dan tokoh netral. a) Tokoh utama dan tokoh tambahan Tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan. Tokoh tambahan adalah tokoh yang hanya dimunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam porsi penceritaan yang relatif pendek. b) Tokoh protagonis dan antagonis Tokoh protagonis adalah tokoh baik yang mendatangkan simpati para pembacanya, yang salah satu jenisnya secara popular disebut hero, tokoh yang merupakan pengejawantahan norma-norma, nilai-nilai yang ideal bagi kita. Penyebab terjadinya konflik disebut tokoh antagonis, atau tokoh jahat yaitu yang menimbulkan perasaan antipati dan benci pada pembacanya. c) Tokoh sederhana dan tokoh bulat Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu, satu sifat watak yang tertentu saja. Tokoh sederhana boleh saja melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang diformulakan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
itu. Tokoh bulat, kompleks adalah tokoh yang memiliki dan diungkapkan berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. d) Tokoh statis dan tokoh berkembang Tokoh statis adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan sebagai akibat adanya peristiwaperistiwa. Tokoh berkembang adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan dan perubahan peristiwa dan plot yang dikisahkan. Tokoh berkembang secara aktif berinteraksi dengan lingkungan sehingga akan mempengaruhi sikap, watak dan tingkah lakunya. e) Tokoh tipikal dan tokoh netral Tokoh tipikal adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya, atau sesuatu yang lain yang bersifat mewakili. Tokoh netral merupakan tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar merupakan tokoh imajiner yang hanya hidup dan berinterksi dalam dunia fiksi. Tokoh netral dihadirkan semata-mata demi cerita, atau bahkan tokoh inilah yang sebenarnya mempunyai cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan. Kehadirannya tidak berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya, seseorang yang berasal dari dunia nyata. Berdasarkan uraian mengenai penokohan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penokohan merupakan faktor yang penting di dalam sebuah cerita. Penokohan sering juga disamakan artinya dengan karakter dan perwatakan, menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita. Penokohan inilah yang sebenarnya merupakan batang dari sebuah cerita. Dalam menampilkan tokoh-tokohnya, pengarang berusaha menjadikannya seperti hidup, yang mempunyai perasaan, memiliki etika, dan keterikatan pada lingkungannya, sehingga menjadikan sebuah novel terasa hidup. d. Latar atau setting Dalam karya sastra, latar merupakan satu elemen pembentuk cerita yang sangat penting, karena elemen tersebut akan dapat menentukan situasi umum commit to(2005: user 217) mengungkapkan “latar sebuah karya. Burhan Nurgiyantoro
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
memberikan pijakan cerita secara konkret dan jelas”. Mengacu pendapat tersebut, konret dan jelas dipandang penting untuk memberikan kesan realistis kepada pembaca untuk menciptakan suasana tertentu yang seolah-olah sungguh ada dan terjadi. Maksud pernyataan tersebut adalah penggambaran seorang pengarang tentang latar tempat dan waktu dimaksudkan agar pembaca dapat memahami secara jelas tempat dan waktu terjadinya peristiwa yang digambarkan oleh pengarang. W. H. Hudson (dalam Herman J. Waluyo) menyatakan bahwa pada novel, latar membentuk suasana emosional tokoh cerita, misalnya cuaca yang ada di lingkungan tokoh memberi pengaruh terhadap perasaan tokoh cerita tersebut (2002: 198). Ia juga menyatakan bahwa latar adalah keseluruhan lingkungan cerita yang meliputi adat istiadat, kebiasaan dan pandangan hidup tokohnya serta selalu berkaitan dengan waktu, tempat penceritaan, tempat terjadinya cerita, misalnya siang, malam atau pagi, hari, bulan atau tahun, di desa, kota, atau wilayah tertentu, di pantai, gunung, danau, sungai atau lingkungan masyarakat tertentu dan sebagainya. Menurut Burhan Nurgiyantoro (2005: 227 – 235) “latar dalam novel menyangkut keterangan mengenai sosial budaya, tempat dan waktu di mana peristiwa itu terjadi”. Unsur latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu: tempat, waktu dan sosial. Ketiga unsur tersebut, walaupun masing-masing menawarkan permasalahan yang berbeda-beda dan dapat dibicarakan secara sendiri, pada kenyataannya saling berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain. 1) Latar tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan sebuah karya fiksi. Unsur tempat yang dipergunakan mungkin berupa tempattempat dengan nama tertentu, inisial tertentu mungkin lokasi tertentu tanpa nama jelas.
Penggunaan
latar
tempat
dengan
nama-nama
tertentu
haruslah
mencerminkan atau paling tidak tak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan. Masing-masing tempat tentu saja memiliki commit todengan user tempat lain. karakteristiknya sendiri yang membedakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
2) Latar waktu Latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwaperistiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional, sehingga tak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita yang lain. 3) Latar sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan. Latar sosial memang dapat secara meyakinkan menggambarkan suasana kedaerahan, local color, warna setempat daerah tertentu melalui kehidupan sosial masyarakat. Selain itu dapat pula berupa penggunaan bahasa daerah atau dialekdialek tertentu. Di samping penggunaan bahasa daerah, masalah penamaan tokoh dalam banyak hal juga berhubungan dengan latar sosial. Walaupun latar dimaksudkan untuk mengidentifikasi situasi yang tergambar dalam cerita, keberadaan elemen latar hakikatnya tidaklah hanya menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung. Zainuddin Fananie berpendapat bahwa selain menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, latar berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan masyarakat pada waktu cerita ditulis (2000: 97 – 98). Mengacu pendapat tersebut dapat dimaknai bahwa dari to user kajian mengenai latar akan dapatcommit diketahui sejauh mana kesesuaian dan korelasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
antara perilaku dan watak tokoh dengan kondisi masyarakat, situasi sosial, dan pandangan masyarakatnya. Di samping itu, kondisi wilayah, letak geografi, struktur sosial juga akan menentukan watak-watak atau karakter tokoh-tokoh tertentu. Karena itu fungsi latar dalam sebuah karya tidak bisa dilepaskan dari masalah yang lain seperti tema, tokoh, bahasa, medium sastra yang dipakai, dan persoalan-persoalan yang muncul yang kesemuanya merupakan satu bagian yang tidak terpisahkan. Hal ini diperkuat oleh Montaque dan Henshaw (dalam Herman J. Waluyo) yang menyatakan tiga fungsi latar, yaitu: mempertegas watak para pelaku, memberikan tekanan pada tema cerita, memperjelas tema yang disampaikan (2002: 198). Kenney (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 198). juga menyebutkan tiga fungsi latar, yaitu: sebagai metafora, sebagai atmosphere, dan sebagai unsur dominan yang mendukung plot dan perwatakan. 1) Sebagai metafora (setting spiritual) yang dapat dihayati pembaca setelah membaca keseluruhan dari cerita. Setting ini mendasari waktu, tempat, watak pelaku, dan peristiwa yang terjadi; 2) Sebagai atmosphere atau kreasi, yang lebih memberi kesan dan tidak hanya memberi tekanan kepada sesuatu; 3) setting sebagai unsur yang dominan yang mendukung plot dan perwatakan. Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa latar atau setting adalah keseluruhan lingkungan cerita dan peristiwa dalam suatu karya fiksi baik itu lingkungan tempat, waktu, sosial maupun segala sesuatu yang menjadi latar belakang terjadinya peristiwa. Di mana kesemuanya mempunyai peran tersendiri dalam mendukung struktur utuh cerita. e. Alur atau Plot Alur merupakan bagian penting dalam suatu fiksi. Ia adalah penghubung suatu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Siti Sundari (dalam Zainuddin Fananie, 2000: 93).) memberikan batasan mengenai alur, “alur merupakan keseluruhan rangkaian peristiwa yang terdapat dalam cerita”. Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113). mengemukakan ”plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, commit to user terjadinya peristiwa yang lain”. peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
Senada dengan Stanton, Atar Semi juga menyatakan bahwa alur adalah struktur rangkaian kejadian dalam cerita yang disusun sebagai sebuah interrelasi fungsional yang sekaligus menandai urutan bagian-bagian dalam keseluruhan fiksi (1993: 43). Alur merupakan suatu jalur tempat lewatnya rentetan peristiwa yang merupakan rangkaian pola tindak-tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat di dalamnya. Alur memegang peranan penting dalam sebuah cerita rekaan. Selain sebagai dasar bergeraknya cerita, alur yang jelas akan mempermudah pemahaman pembaca terhadap cerita yang disajikan. Mengacu beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa alur adalah keseluruhan rangkaian kejadian dan tiap kejadian itu dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (2005: 153 – 163) mengemukakan pembedaan plot yang didasarkan pada tinjauan dari kriteria urutan waktu, jumlah, kepadatan, dan isi. Berdasarkan kriteria urutan waktu, plot dibedakan menjadi dua kategori, yaitu kronologis dan tak kronologis. Kategori kronologis disebut sebagai plot lurus; maju; atau progresif, sedang kategori tak kronologis disebut sebagai plot sorot balik; mundur; flash-back; atau regresif. Alur maju atau progresif, terjadi jika cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa; alur mundur atau regresif atau flash back, alur ini terjadi jika dalam cerita tersebut dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian menuju awal cerita. Istilah plot tunggal dan subplot digunakan untuk menilik plot berdasarkan kriteria jumlah. Karya fiksi yang berplot tunggal biasanya mengembangkan sebuah cerita dengan menampilkan seorang tokoh utama protagonis sebagai hero. Namun sebuah fiksi dapat saja memiliki lebih dari satu alur cerita yang dikisahkan, atau terdapat lebih dari seorang tokoh yang dikisahkan perjalanan hidupnya, permasalahan, dan konflik yang dihadapinya. Alur semacam itu menandakan adanya sub-subplot. Burhan Nurgiyantoro (2005: 160) juga membagi alur berdasarkan to user kepadatannya menjadi dua, yaitu:commit alur padat dan alur longgar. Alur padat yaitu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
cerita disajikan secara cepat, peristiwa terjadi secara susul menyusul dengan cepat dan terjalin erat, sehingga apabila ada salah satu cerita dihilangkan, maka cerita tersebut tidak dapat dipahami hubungan sebab akibatnya. Sedangkan alur longgar adalah alur yang peristiwa demi peristiwanya berlangsung dengan lambat. Sedangkan menurut Herman J. Waluyo (2002: 153 – 156) menyatakan beberapa teknik penyusunan alur, yaitu teknik progresif, teknik umpan balik, dan teknik compound plot. Teknik progresif atau kronologis, artinya cerita berurutan dari awal hingga akhir. Teknik umpan balik atau flash back, artinya cerita yang seharusnya ada pada bagian akhir diletakkan di depan. Teknik compound plot atau alur majemuk, artinya di samping mengandung alur utama juga terdapat alur bawahan, yakni cerita tambahan yang dikisahkan pengarang untuk memberikan latar belakang dan kesinambungan. Secara teoretis plot dapat diurutkan atau dikembangkan ke dalam tahaptahap tertentu secara kronologis. Burhan Nurgiyantoro (2005: 142 – 146) membagi alur menjadi tiga tahap, yakni tahap awal, tahap tengah, dan tahap akhir. Tahap Awal, biasanya disebut sebagai tahap perkenalan. Tahap perkenalan pada umumnya berisi sejumlah informasi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap-tahap berikutnya. Fungsi pokok tahap awal (atau: pembukaan) sebuah cerita adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan. Tahap Tengah, yang dapat juga disebut sebagai tahap pertikaian, menampilkan pertentangan dan atau konflik yang sudah mulai dimunculkan pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, semakin menegangkan. Konflik yang dikisahkan dapat berupa konflik internal, konflik eksternal, konflik pertentangan yang terjadi antara tokoh-tokoh cerita. Tahap Akhir, atau dapat juga disebut sebagai tahap peleraian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Jadi bagian ini berisi bagaiman kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita. Herman J. Waluyo (2002: 147-148) membagi alur cerita menjadi tujuh bagian, yaitu Eksposisi, Inciting Moment, Rising Action, Complication, Climax, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
Falling Action, dan Denouement. Ketujuh alur cerita tersebut dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Eksposisi artinya paparan awal cerita. Pengarang mulai memperkenalkan tempat kejadian, waktu, topik dan tokoh-tokoh. Sejak eksposisi ini, pengarang sudah menunjukkan apakah ia menulis cerpen, novel atau roman. 2) Inciting Moment adalah peristiwa mulai adanya problem-problem mulai ditampilkan oleh pengarang untuk kemudian dikembangkan atau ditingkatkan. 3) Rising Action adalah penanjakan konflik, selanjutnya terus terjadi peningkatan konflik. 4) Complication adalah konflik yang semakin ruwet. 5) Climax adalah puncak penggawatan, klimaks cerita harus merupakan puncak dari seluruh cerita itu dan semua kisah/peristiwa sebelumnya ditahan untuk dapat menonjolkan saat klimaks cerita tersebut. 6) Falling Action adalah konflik yang dibangun cerita itu menurun karena telah mencapai klimaksnya. Emosi yang memuncak telah berkurang. 7) Denouement artinya penyelesaian, unsur ini dapat dipaparkan oleh pengarang dapat juga oleh pembaca, karena pembaca diharapkan mampu menafsirkan sendiri penyelesaian cerita. Lubis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 149 – 150) membagi plot menjadi lima bagian, meliputi: (1) Situation (tahap penyituasian); (2) Generating Circumstance (tahap pemunculan konflik); (3) Rising Action (tahap peningkatan konflik); (4) Climax (tahap klimaks); (5) Denouement (tahap penyelesaian). Berdasarkan beberapa pandapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa plot adalah urutan atau rangkaian kejadian dan peristiwa dalam suatu karya fiksi yang memiliki tahapan-tahapan tertentu secara kronologis untuk mencapai efek emosional dan efek artistik tertentu. Ragam plot ada berbagai macam tergantung pengarang ingin menyuguhkan cerita yang seperti apa kepada pembacanya. Kejelasan plot dapat berarti kejelasan cerita sedangkan kesederhanaan plot berarti kemudahan cerita untuk dipahami. Sebaliknya, sebuah fiksi yang rumit, komplit, dan sulit dikenali hubungan kausalitas antarperistiwanya akan sulit untuk dicerna commit to user dan dipahami oleh pembaca.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
f. Amanat Amanat suatu cerita berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis. Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto ( 1986: 10) amanat atau pesan yang dalam bahasa Inggris disebut message adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang lewat karyanya (cerpen atau novel) kepada pembaca atau pendengar. Amanat berhubungan dengan hal yang baik. Hal baik itu dapat berupa pengajaran tentang moral. Hal ini sesuai dengan pendapat Panuti Sudjiman (1984: 57) yang menyatakan “amanat adalah suatu pesan moral yang ingin disampaikan oleh pengarang”. Mengacu pendapat di atas, wujud amanat dapat berwujud katakata mutiara, nasihat, firman Tuhan sebagai petunjuk untuk memberikan nasihat dari tindakan tokoh cerita. Jadi amanat adalah pesan yang disampaikan penulis yang berupa nasihat Esten (dalam Sangidu) mengemukakan bahwa pemecahan masalah yang dihadapi dan pemberian jalan keluar di dalam sebuah karya sastra yang diberikan oleh si pengarang terhadap tema yang dikemukakan disebut amanat (1995: 154). Amanat adalah hal tersirat atau tersurat dalam suatu cerita, sebuah amanat dalam cerita meskipun ada yang diungkapkan secara terang-terangan tetapi jarang terjadi. Amanat merupakan pemecahan suatu tema. Di dalam amanat terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang. A. Teeuw (1984: 27) menyatakan “amanat berurusan dengan makna, yaitu sesuatu yang khas, umum, subjektif, sehingga harus dilakukan dengan penafsiran”. Burhan Nurgiyantoro menyamakan amanat dengan moral. “Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat, pesan, message. Bahkan, unsur amanat itu, sebenarnya, merupakan gagasan yang mendasari penulisan karya itu, gagasan yang mendasari diciptakannya karya sastra sebagai pendukung pesan. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa pesan moral yang disampaikan lewat cerita fiksi tentulah berbeda efeknya dibanding yang lewat tulisan non fiksi” (2005: 321). Sudjiman (dalam Panuti Sudjiman, 1984: 57) menyatakan bahwa amanat atau hikmah cerita dapat disajikan secara eksplisit dan implisit. mengatakan, commit to user implisit jika jalan keluar atau ajaran moral itu disiratkan dalam tingkah laku tokoh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
menjelang cerita berakhir. Eksplisit jika pengarang pada tengah atau akhir cerita menyampaikan seruan, saran, peringatan, nasihat, anjuran, larangan dan sebagainya. Amanat dapat ditangkap langsung melalui dialog antartokoh. Amanat yang disampaikan secara langsung ini mudah ditangkap. Sebaliknya, amanat kadang-kadang dapat ditangkap melalui perenungan atau pemikiran atas apa yang terjadi dalam cerita. Seorang pembaca atau pendengan sastra harus menemukan hikmah, pesan, atau ajaran di balik kejadian-kejadian atau perilaku para tokohnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang melalui karyanya. Di dalam amanat akan terlihat pandangan hidup dan cita-cita pengarang yang disajikan secara implisit dan eksplisit. Amanat berhubungan dengan hal yang baik. Amanat suatu cerita berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis, karena amanat merupakan pemecahan suatu tema.
2. Hakikat Pendekatan Struktural Abrams dalam Burhan Nurgiyantoro (2005: 36) menjelaskan “struktur karya sastra dapat diartikan sebagai susunan, penegasan dan gambaran semua bahan dan bagian yang menjadi komponennya serta secara bersama membentuk kebulatan yang indah. Mengacu pendapat tersebut setiap karya sastra mempunyai unsur pembangun yang secara bersama-sama membentuk kesatuan dan susunan yang indah sehingga dapat dinikmati oleh pembaca. Di pihak lain, Burhan Nurgiyantoro menyatakan bahwa struktur karya sastra juga menyaran pada pengertian hubungan antarunsur (intrinsik) yang bersifat timbal-balik, saling menentukan, saling mempengaruhi, yang secara bersama membentuk satu kesatuan yang utuh (2005: 36). Secara sendiri, terisolasi dari keseluruhannya, bahan, unsur, atau bagian-bagian tersebut tidak penting, bahkan tidak ada artinya. Tiap bagian akan menjadi berarti dan penting setelah ada dalam hubungannya dengan bagian-bagian yang lain, serta bagaimana sumbangannya terhadap keseluruhan wacana. Mengacu pendapat di atas bahwa struktur karya sastra baru akan bermakna apabila ada hubungannya dengan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
bagian-bagian lain hingga menjadi satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, dan saling menopang satu sama lain. Konsep dasar dari pendekatan struktural menurut Atar Semi dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Sastra yaitu: (1) karya sastra dipandang dan diperlakukan sebagai sebuah sosok yang berdiri sendiri, yang mempunyai dunianya sendiri, mempunyai rangka dan bentukya sendiri; (2) memberikan penilaian terhadap keserasian atau keharmonisan semua komponen membentuk keseluruhan struktur. Mutu karya sastra ditentukan oleh kemampuan penulis menjalin hubungan antarkomponen tersebut sehingga menjadi suatu keseluruhan yang padu dan bernilai estetik; (3) memberikan penilaian terhadap keberhasilan penulis menjalin hubungan-hubungan harmonis antara isi dan bentuk, karena jalinan isi dan bentuk merupakan hal yang amat penting dalam menentukan mutu sebuah karya sastra; (4) walaupun memberikan perhatian istimewa terhadap jalinan hubungan antara isi dan bentuk, namun pendekatan ini menghendaki adanya analisis yang objektif sehingga perlu dikaji atau diteliti setiap unsur yang terdapat dalam karya sastra tersebut; (5) pendekatan struktural berusaha berlaku adil terhadap karya satra dengan jalan hanya menganalisis karya sastra tanpa mengikutsertakan hal-hal yang berada di luar karya sastra; (6) yang dimaksud isi dalam kajian struktural adalah persoalan, pemikiran, falsafah cerita, pusat pengisahan, tema. Sedangkan yang dimaksud bentuk adalah alur (plot), bahwa sistem penulisan, dan perangkat perwajahan sebagai karya tulis; (7) peneliti boleh melakukan analisis komponen yang diinginkan (1988: 67). Pendekatan struktural atau objektif atau pendekatan formal adalah pendekatan kajian sastra yang paling popular di antara pendekatan kajian sastra yang lain. Pendekatan ini berasumsi bahwa karya sastra kreatif memiliki otonomi penuh yang harus dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri terlepas dari halhal lain yang berada di luar karya sastra itu sendiri. Burhan Nurgiyantoro (2005: 37) menyatakan “analisis struktural karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi, mengkaji, dan mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsic fiksi yang bersangkutan”. A. Teeuw dalam bukunya Sastra dan Ilmu commit to user Sastra menyatakan bahwa analisis struktural bertujuan untuk membongkar dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
memaparkan secermat, seteliti dan semendalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua analisis dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna menyeluruh (1984: 135). Senada dengan A. Teuuw, Zainuddin Fananie (2000: 112) juga mengungkapkan “pendekatan struktural adalah pendekatan yang mendasarkan pada suatu karya sastra secara keseluruhan”. Hal ini mengisyaratkan untuk melihat eksistensi karya sastra itu sendiri berdasarkan konvensi sastra yang berlaku. Konvensi yang dimaksud yaitu meliputi aspek-aspek intrinsik sastra yang meliputi kebulatan makna, tema, plot, setting, sudut pandang dan sebagainya. Untuk mengetahui kebulatan makna, maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Burhan Nurgiyantoro (2005: 37 – 38): “analisis struktural tak cukup dilakukan hanya mendata unsur tertentu sebuah karya fiksi, misalnya peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain. Namun, yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antarunsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Hal itu perlu dilakukan mengingat bahwa karya sastra merupakan sebuah struktur yang kompleks dan unik, di samping setiap karya mempunyai ciri kekompleksan dan keunikannya sendiri dan hal inilah antara lain yang membedakan antara karya yang satu dengan karya yang lain”. Jadi dapat disimpulkan bahwa pendekatan struktural adalah pendekatan yang memandang karya sastra memiliki otonomi penuh yang harus dipandang sebagai sesuatu yang berdiri sendiri terlepas dari hal-hal lain yang berada di luar karya sastra itu sendiri. Untuk mengetahui keseluruhan makna, maka unsur-unsur tersebut harus dihubungkan satu sama lain. Apakah struktur tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh, saling mengikat, dan saling menopang satu sama lain.
3. Hakikat Kajian Intertekstualitas Karya sastra tidak pernah lahir dari kekosongan budaya. Pradopo (dalam B. Trisman) menyatakan bahwa kelahiran suatu karya sastra tidak dapat dipisahkan dari keberadaan karya-karya sastra yang mendahuluinya, yang pernah diserap oleh sang sastrawan (2003: 81). Mengacu pendapat di atas dapat dimaknai bahwa karya sastra yang kemudian, harus dikaitkan dengan karya sastra yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 32
mendahuluinya. Dalam hal ini pada mulanya sastrawan dalam menciptakan karyanya melihat, meresapi, dan menyerap teks-teks lain yang menarik perhatiannya, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Ia menggumuli konvensi sastranya, konvensi estetiknya, gagasan yang tertuang dalam karya itu, kemudian mentransformasikannya ke dalam suatu karangan, karyanya sendiri. Kajian intertekstual berangkat dari asumsi bahwa kapan pun karya ditulis, ia tidak mungkin lahir dari situasi kekosongan budaya. Menurut A. Teeuw (dalam Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 126) “karya sastra itu merupakan respon pada karya sastra yang terbit sebelumnya”. Burhan Nurgiyantoro (2005: 51) memberikan contoh, misalnya sebelum para pengarang Balai Pustaka menulis novel, di masyarakat telah ada hikayat dan berbagai cerita lisan lainnya seperti pelipur lara. Sebelum para penyair Pujangga Baru menulis puisi-puisi modernnya, di masyarakat telah ada berbagai bentuk puisi lama. Kemudian, sebelum Chairil Anwar dan kawan-kawan seangkatannya menulis puisi dan prosa, di masyarakat juga telah ada puisi-puisi modern ala Pujangga Baru, begitu seterusnya. Dari sini terlihat adanya kaitan mata rantai antara penulisan karya sastra dengan unsur kesejarahannya. Nyoman
Kutha
Ratna
(2003:
184.)
memberikan
pengertian
intertekstualitas: “dalam kajian intertekstualitas, setiap teks sastra dibaca dan harus dibaca dengan latar belakang teks-teks lain; tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri; dalam arti bahwa penciptaan dan pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh, teladan, kerangka; tidak dalam arti bahwa teks baru hanya meneladani teks lain atau mematuhi kerangka yang telah diberikan lebih dulu, tetapi dalam arti bahwa dalam penyimpangan dan transformasi pun model teks yang sudah ada memainkan peranan yang penting: pemberontakan atau penyimpangan mengandaikan adanya sesuatu yang dapat diberontaki atau pun disimpangi”. Senada dengan Nyoman Kutha Ratna, Suwardi Endraswara juga menyatakan bahwa secara garis besar penelitian intertekstualitas memiliki dua fokus: pertama, meminta perhatian tentang pentingnya teks yang terdahulu (prior commit to user text). Tuntutan adanya otonomi teks sebenarnya dapat menyesatkan gagasan,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
sebuah karya memiliki arti karena dalam hal-hal tertentu telah dituliskan lebih dahulu oleh pengarang lain. Kedua, intertekstualitas akan membimbing peneliti untuk mempertimbangkan teks terdahulu sebagai penyumbang kode yang memungkinkan lahirnya berbagai efek signifikansi. Dari dua fokus ini, tampak bahwa karya sastra sebelumnya berperan dalam sebuah penciptaan. Lebih lanjut Suwardi (2003: 136) mengungkapkan bahwa pada dasarnya, baik studi interteks maupun sastra bandingan akan mencari dua hal, yaitu: (1) affinity (pertalian, kesamaan) dan atau paralelisme serta varian teks satu dengan yang lain; (2) pengaruh karya sastra satu kepada karya lain atau pengaruh sastra pada bidang lain dan sebaliknya (2003: 133). Karya sastra yang baru dipandang sebagai tulisan sisipan atau cangkokan pada kerangka karya sastra pendahulunya (Dick Hartoko dan B. Rahmanto). Karya sastra yang dijadikan kerangka bagi penulisan karya yang berikutnya disebut hipogram. Istilah tersebut sering diterjemahkan menjadi latar, yaitu dasar bagi penciptaan karya lain walaupun mungkin tidak secara eksplisit. Karya pendahulu yang melatari atau menjadi hipogram karya berikutnya inilah yang menjadi fokus penelitian intertekstualitas (1986: 67). Melalui penjajaran karya sastra yang satu dengan karya sastra yang lain yang menghipogrami, maka karya sastra yang bersangkutan dapat dipahami secara penuh. Julia Kristeva (dalam Suwardi Endraswara) mengatakan bahwa munculnya intertekstualitas sebenarnya dipengaruhi oleh hakikat teks yang di dalamnya terdapat teks lain (2003: 131). Hal ini mengisyaratkan bahwa unsur teks yang masuk ke teks lain itu dapat saja hanya setitik saja. Karya itu diprediksikan sebagai reaksi, penyerapan, atau transformasi dan karya-karya yang lain. Julia Kristeva (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 52 – 53) mengungkapkan bahwa: “tiap teks merupakan sebuah mozaik kutipan-kutipan, tiap teks merupakan penyerapan dan transformasi dari teks-teks lain. Hal itu berarti bahwa tiap teks yang lebih kemudian mengambil unsur-unsur tertentu yang dipandang baik dari teks (-teks) sebelumnya, yang kemudian diolah dalam karya sendiri berdasarkan tanggapan pengarang yang bersangkutan. Dengan demikian, walau sebuah karya sastra berupa dan mengandung unsur ambilan dari berbagai teks lain, karena telah diolah dengan pandangan dan daya kreatifitas sendiri, dengan commit konsep to user estetika dan pikiran-pikirannya,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
karya yang dihasilkan tetap mengandung dan mencerminkan sifat kepribadian penulisnya”. Senada dengan Julia Kristeva, Nyoman Kutha Ratna juga mengatakan bahwa interteks diartikan sebagai jaringan hubungan antara satu teks dengan teks yang lain (2009: 172 – 173). Teks itu sendiri secara etimologis berarti tenunan, anyaman, penggabungan, susunan, dan jalinan. Produksi makna terjadi dalam interteks, yaitu melalui proses oposisi, permutasi, dan transformasi. Penelitian dilakukan dengan cara menemukan hubungan-hubungan bermakna di antara dua teks atau lebih. Teks-teks yang dikerangkakan sebagai interteks tidak terbatas sebagai persamaan genre, interteks memberikan kemungkinan yang seluasluasnya bagi peneliti untuk menemukan hipogram. Rachmat Djoko Pradopo juga mendefinisikan bahwa intertekstual merupakan ringkasan pengetahuan yang memungkinkan teks mempunyai arti (dalam Sangidu, 1995: 151). Menurutnya, arti suatu teks tergantung pula teks-teks lain yang diserap dan yang ditransformasi. Oleh karena itu, hubungan intertekstual atau hubungan antarteks karya sastra dipandang penting untuk memperjelas maknanya sebagai karya sastra sehingga memudahkan pemahamannya, baik pemahaman makna teks maupun makna dan posisi kesejarahannya. Hubungan antarteks tersebut dapat berupa hubungan karya-karya sastra sejaman, hubungan karya-karya sastra yang mendahului, dan hubungan karya-karya sastra yang kemudian. Dengan perkataan lain, hubungan antarteks tersebut dapat berupa hubungan karya-karya sastra masa lampau, hubungan karya-karya sastra masa kini, dan hubungan karya-karya sastra masa depan. Hubungan kesejarahan ini dapat berupa penerusan tradisi atau konvensi sastra sehingga karya sastra tidak begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada karya sastra lain yang tercipta berdasarkan konvensi dan tradisi sastra suatu masyarakat yang bersangkutan. Julia Kristeva (dalam Umar Junus, 1985: 87 – 88) menjelaskan ciri-ciri intertekstualitas sebagai berikut: (1) kehadiran fisikal suatu teks dalam teks lainnya; (2) pengertian teks bukan hanya terbatas pada cerita tetapi juga mungkin berupa teks bahasa; (3) adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan commitsuatu to user perseimbangan dan pemisahan antara teks dengan teks yang telah terbit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
lebih dulu; dan (4) dalam membaca buku teks, pembaca tidak hanya membaca teks itu saja tapi harus membacanya secara berdampingan dengan teks-teks yang lainnya, sehingga interpretasi pembaca terhadap bacaannya tidak dapat dilepaskan dari teks-teks lain. Studi intertekstualitas menurut Frow (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 131) didasarkan beberapa asumsi kritis: (1) Konsep intertekstualitas menuntut peneliti untuk memahami teks tak hanya sebagai isi, melainkan juga aspek perbedaan dan sejarah teks, (2) teks tak hanya struktur yang ada, tetapi satu sama lain juga saling memburu, sehingga terjadi perulangan atau transformasi teks, (3) ketidakhadiran struktur teks dalam rentang teks yang lain namun hadir juga pada teks tertentu merupakan proses waktu yang menentukan, (4) bentuk kehadiran struktur teks merupakan rentangan dari yang eksplisit sampai yang implisit. Teks boleh saja diciptakan ke bentuk lain: di luar norma ideolog dan budaya, di luar genre, di luar gaya dan idiom, dan di luar hubungan teks-teks lain, (5) hubungan teks satu dengan yang lain boleh dalam rentang waktu lama, hubungan tersebut bisa secara abstrak, hubungan interteks juga sering terjadi penghilanganpenghilangan bagian tertentu, (6) pengaruh mediasi dalam interteks sering memengaruhi juga pada penghilangan gaya maupun norma-norma sastra, (7) dalam melakukan identifikasi interteks diperlukan proses interpretasi, (8) analisis intertekstualitas berbeda dengan melakukan kritik melainkan lebih terfokus pada konsep pengaruh. Dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa intertekstualitas merupakan salah satu sarana pemberian makna kepada sejumlah teks, dengan cara membandingkan dan menemukan hubungan-hubungan bermakna antara
teks
yang ditulis lebih dulu (hipogram) dengan teks sesudahnya (teks transformasi).
4. Hakikat Nilai Pendidikan a. Pengertian Nilai Banyak ahli mendefinisikan pengertian nilai. Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu commit user bagi kehidupan manusia. Nilai bernilai berarti sesuatu itu berharga atau to berguna
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
sebagai kualitas yang independen akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang dikenai nilai. Sifat-sifat nilai menurut Bambang Daroeso (1986) adalah: (a) Nilai itu suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia. Nilai yang bersifat abstrak tidak dapat diindra. Hal yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu. Misalnya, orang yang memiliki kejujuran. Kejujuran adalah nilai, tetapi manusia tidak bisa mengindra kejujuran itu; (b) Nilai memiliki sifat normatif, artinya nilai mengandung harapan, cita-cita, dan suatu keharusan sehingga nilai memiliki sifat ideal (das sollen). Nilai diwujudkan dalam bentuk norma sebagai landasan manusia dalam bertindak. Misalnya, nilai keadilan. Semua orang berharap dan mendapatkan dan berperilaku yang mencerminkan nilai keadilan; (c) Nilai berfungsi sebagai daya dorong/motivator dan manusia adalah pendukung nilai. Manusia bertindak berdasar dan didorong oleh nilai yang diyakininya. Misalnya, nilai ketakwaan. Adanya nilai ini menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan (http:// uzey.blogspot.com). Konsep nilai merupakan salah satu topik yang penting dalam studi sastra. Albert Memmi (dalam Rien T. Segers) mengemukakan alasan bahwa nilai yang dilekatkan pada teks sastra oleh pembaca membedakan teks-teks tersebut dari bentuk-bentuk wacana yang lain (2000: 61). Sastra sebagai produk kehidupan, mengandung nilai-nilai sosial, filsafat, religi, dan sebagainya. Nurseno juga menambahkan bahwa nilai menjadi dasar pengarang dalam mengembangkan karangannya. Nilai merupakan sesuatu yang dianggap abstrak dan dijadikan pedoman, serta prinsip- prinsip umum dalam bertindak dan bertingkah laku dalam kehidupan serta keterikatan orang terhadap nilai sangat kuat, bahkan bersifat emosional (2004: 3). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Konsep nilai menjadi penting dalam studi sastra karena nilai yang dilekatkan pada teks sastra dapat membedakan teks-teks tersebut dari bentuk-bentuk wacana yang lain. Sastra dan tata nilai merupakan dua fenomena sosial yang saling melengkapi commit to eksistensial. user dalam hakikat mereka sebagai sesuatu yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
b. Pengertian Pendidikan Secara etimologis, pendidikan berasal dari bahasa Yunani “Paedagogike” yang terdiri atas kata “Pais” yang berarti “Anak” dan kata “Ago” yang berarti “Aku membimbing”. Ngalim Purwanto menyatakan bahwa pendidikan ialah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak-anak untuk memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Hakikat pendidikan adalah mendewasakan anak didik, maka seorang pendidik haruslah orang yang dewasa, karena tidak mungkin dapat mendewasakan anak didik jika pendidiknya sendiri belum dewasa (2000: 11). H.M. Arifin (2000: 7) mengartikan pendidikan sebagai latihan mental, moral, dan fisik yang bisa menghasilkan manusia berbudaya tinggi maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab. Usaha kependidikan bagi manusia menyerupai makanan yang berfungsi memberikan vitamin bagi pertumbuhan manusia. H.A.R Tilaar (2002: 435) menyatakan bahwa hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Memanusiakan manusia atau proses humanisasi melihat manusia sebagai suatu keseluruhan di dalam eksistensinya. Proses pendidikan sebagai proses humanisasi menunjukkan bahwa pendidikan bukanlah suatu yang telah tertentu (given), tetapi merupakan suatu aksi yang berkelanjutan. Hal ini senada dengan yang diungkapkan H.M. Arifin bahwa dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan terhadap eksistensi dan perkembangan masyarakatnya, hal ini karena pendidikan merupakan proses usaha melestarikan, mengalihkan, serta mentransformasikan nilai-nilai kehidupan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus (2000: 8). Segala sesuatu yang digunakan untuk mendidik harus yang mengandung nilai didik, termasuk dalam pemilihan media. Novel sebagai suatu karya sastra, yang merupakan karya seni juga memerlukan pertimbangan dan penilaian tentang seninya (Rachmat Djoko Pradopo, 1995: 30). Sastra sebagai hasil kehidupan mengandung nilai-nilai sosial, filosofi, religi dan sebagainya. Sastra tidak lahir begitu saja, melainkan memerlukan proses yang panjang. Sastrawan dalam commit to useroleh hasrat untuk menciptakan menciptakan karyanya tidak saja didorong
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
keindahan, tetapi juga berkehendak untuk menyampaikan pikiran-pikiran, pendapat-pendapatnya, dan kesan-kesannya terhadap sesuatu yang nanti sekiranya dapat diambil manfaatnya oleh pembaca. Nyoman Kutha Ratna (2007: 155) juga menyinggung mengenai aspek fungsi karya sastra yaitu hampir sebagian besar didominasi oleh aspek etika, yang dijabarkan ke dalam berbagai dimensinya, seperti: pendidikan, pengajaran, dan berbagai perkembangan masyarakat yang bersifat positif, termasuk agama. Ciriciri pendidikan dan pengajaran dan aspek-aspek moral lainnya tentu tidak bisa dan tidak harus dikeluarkan dari hakikat karya sastra secara keseluruhan. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan merupakan proses usaha melestarikan, mengalihkan, serta mentransformasikan nilai-nilai kehidupan dalam segala aspek dan jenisnya kepada generasi penerus. Dari rumusan mengenai nilai dan pendidikan, maka dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan adalah segala sesuatu yang baik atau pun buruk yang berguna bagi kehidupan seseorang yang diperoleh melalui sebuah proses pengubahan sikap dan tata laku untuk meningkatkan kesejahteraan lahir dan batin. Nilai-nilai pendidikan dapat ditangkap manusia melalui berbagai hal diantaranya melalui pemahaman dan penikmatan sebuah karya sastra. Karya sastra digunakan sebagai media dalam mentransformasi sebuah nilai termasuk halnya nilai pendidikan. c. Macam-macam Nilai Pendidikan Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang banyak memberikan penjelasan secara jelas menngenai sistem nilai. Nilai itu mengungkapkan perbuatan apa yang dipuji dan dicela, pandangan hidup mana yang dianut dan dijauhi, dan hal apa saja yang dijunjung tinggi. Adapun nilai-nilai pendidikan dalam novel sebagai berikut: 1) Nilai Pendidikan Religius Nilai religius merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak serta bersumber pada kepercayaan atau keyakinan manusia (Uzey: 2010). Kehadiran unsur religi dalam sastra adalah sebuah keberadaan sastra itu sendiri (Burhan commit to user Nurgiyantoro, 2005: 326). Atar Semi (1993: 21) menyatakan, agama merupakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
kunci sejarah, seseorang baru memahami jiwa suatu masyarakat apabila seseorang memahami agamanya. Seseorang tidak mengerti hasil-hasil kebudayaannya, kecuali bila seseorang paham akan kepercayaan atau agama yang mengilhaminya. Religi lebih pada hati, nurani, dan pribadi manusia itu sendiri. Sri Sutjiatiningsih menyamakan religius dengan keagamaan. Menurutnya agama memberikan suatu perspektif bagi manusia untuk menafsirkan seluruh kejadian yang dialaminya setiap saat. Dalam fungsinya sebagai kerangka penafsiran terhadap kenyataan sosial yang bersifat faktual, agama dianggap sebagai suatu sistem kultural atau sistem budaya. Manusia yang mempercayai dan menghayati ajaran suatu agama akan memperoleh kerangka acuan untuk memberi makna seluruh kejadian yang dialaminya sepanjang hidup manusia. Agama juga memberikan arti atau makna tentang hakekat dari kenyataan, sekaligus mendorong manusia untuk berbuat ke arah yang seharusnya dilakukan (1999: 91). Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai agama yaitu nilai yang berhubungan dengan agama dan kepercayaan yang dianut oleh anggota masyarakat dan merupakan nilai kerohanian tertinggi serta mutlak. Nilai ini bersumber dari masing-masing ajaran agama yang menjelaskan sikap, perilaku, perbuatan, perintah, dan larangan bagi umat manusia. 2) Nilai Pendidikan Moral Moral berasal dari bahasa latin mores yang berarti adat kebiasaan. Kata mores ini mempunyai sinonim mos, moris, manner mores atau manners, morals. Dalam bahasa Indonesia, kata moral berarti akhlak (bahasa Arab) atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang baik buruk, yang diterima masyarakat umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya. Secara umum moral menyaran pada pengertian (ajaran tentang) baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya: akhlak, budi pekerti, susila (KBBI, 1994 dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 320). to user Uzey juga mendefinisikan moralcommit sebagai ajaran yang mengharuskan manusia
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
untuk mengetahui hal yang baik dan buruk. Moral didefinisikan sebagai kebiasaan baik yang diwujudkan dalam perilaku (2010). Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam cerita menurut Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro) biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya, dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya (2005: 321). Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya fiksi ditulis oleh pengarang antara lain untuk menawarkan model kehidupan yang diidealkannya. Fiksi mengandung penerapan moral dalam sikap dan tingkah laku para tokoh sesuai dengan pandangannya tentang moral. Melalui cerita, sikap, dan tingkah laku tokoh-tokoh itulah pembaca diharapkan dapat mengambil hikmah dari pesan-pesan moral yang disampaikan, yang diamanatkan. 3) Nilai Pendidikan Sosial Bondet Wrahatnala (2010) menyatakan bahwa nilai sosial adalah segala sesuatu yang dianggap baik dan benar, yang diidam-idamkan masyarakat. Agar nilai-nilai sosial itu dapat tercipta dalam masyarakat, maka perlu diciptakan norma sosial dengan sanksi-sanksi sosial. Nilai sosial merupakan penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang baik, penting, luhur, pantas, dan mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan dan kebaikan hidup bersama. Bondet Wrahatnala juga menyebutkan ciri–ciri dari nilai sosial sebagai berikut : (1) Dipelajari melalui sosialisasi; (2) Disebarkan dari individu yang satu commit warga to usermasyarakat; (3) Merupakan hasil ke individu yang lain, yang merupakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
interaksi antar warga masyarakat; (4) Mempengaruhi perkembangan diri seseorang; (5) Pengaruh dari nilai tersebut berbeda pada setiap anggota masyarakat; (6) Berbeda antara kebudayaan satu dengan kebudayaan yang lain; (7) merupakan bagian dari usaha manusia dalam memenuhi kebutuhannya; (8) cenderung berkaitan antara yang satu dengan yang lain dan membentuk kesatuan nilai. Sedangkan fungsi Nilai Sosial adalah : (a) Sebagai petunjuk arah bertindak dan bersikap; (b) Sebagai pemandu serta pengontrol sikap dan tindakan manusia; (c) Sebagai motivator. Mengacu pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan sosial adalah nilai-nilai yang dipelajari melalui sosialisasi dengan masyarakat yang berfungsi sebagai petunjuk arah bertindak dan bersikap. 4) Nilai Pendidikan Budaya Keesing sering mengartikan kebudayaan sebagai pola kehidupan masyarakat yang meliputi kegiatan dan pengaturan material dan sosial. Kebudayaan juga dianggap merupakan kekhususan suatu kelompok manusia tertentu. Dalam pengertian ini, kebudayaan diartikan sebagai pola dari perilaku (pattern of behavior) kelompok sosial tertentu (dalam Sri Sutjiatiningsih, 1999: 107). Nugroho Susanto (dalam Rosyadi, 1995: 174) menyatakan bahwa sistem nilai budaya merupakan inti kebudayaan. Sebagai intinya, ia akan mempengaruhi dan menata elemen-elemen yang berada pada struktur permukaan (surface structure) dari kehidupan manusia, yang meliputi: perilaku sebagai kesatuan gejala dan benda-benda sebagai kesatuan material. Ahli yang lain juga memberikan batasan, bahwa suatu sistem nilai budaya terdiri dari konsepsikonsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Sistem-sistem tata kelakuan manusia lain yang tingkatnya lebih konkret, seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya itu (Koentjaraningrat dalam commit to user Rosyadi, 1995: 174).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
Giddens (dalam Sri Sutjiatiningsih, 1999: 90 – 91) menyatakan bahwa nilai budaya merupakan abstraksi dari segala sesuatu yang dianggap bermakna dan bernilai tinggi dalam kehidupan suatu masyarakat. Nilai budaya itu sifatnya abstrak, berada di alam pikiran kepala-kepala manusia, nilai budaya ada dalam alam pikiran dari warga masyarakat di mana kebudayaan yang bersangkutan hidup. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa nilai pendidikan budaya adalah nilai yang bersumber pada kebudayaan manusia yang merupakan suatu kekhususan suatu kelompok manusia tertentu.
B.
Hasil Penelitian yang Relevan
Adapun penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Rasyid Manshur pada tahun 2007 dalam bentuk skripsi dengan judul “Kajian Intertekstualitas dan Nilai Edukatif Novel Alivia dan Libby Karya Langit Kresna Hariadi (Berdasarkan Pendekatan Struktural)”. Penelitian tersebut menghasilkan simpulan berupa: pertama, struktur novel Alivia dan Libby yang meliputi alur, tema, penokohan, latar, sudut pandang, gaya dan suasana cerita, sudah bagus sehingga pembaca mudah untuk memahaminya. Kedua, persamaan struktur novel Alivia dan Libby terletak pada tema, alur, sudut pandang dan gaya. Perbedaannya terletak pada penokohan, latar tempat dan suasana cerita. Ketiga, nilai pendidikan dalam novel Alivia dan Libby meliputi nilai pendidikan moral, sosial, religi dan budaya. Pendekatan penelitian yang digunakan Rasyid Manshur sama dengan penelitian ini, yakni intertekstualitas. Akan tetapi, ada beberapa perbedaan yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Rasyid Manshur. Penelitian Rasyid Manshur hanya sebatas menganalisis struktur kedua novel dan persamaan serta perbedaan struktur kedua novel. Sedangkan penelitian ini, tidak hanya berhenti mengkaji struktur kedua novel dan persamaan serta perbedaan struktur kedua novel, selain itu juga mengkaji hubungan intertekstualitas antara kedua novel, novel yang menghipogrami dan novel yang mentransformasi. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian Ririh Yuli Atminingsih pada tahun 2008 dalam bentuk skripsi dengan judul “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”. Penelitian tersebut menghasilkan simpulan berupa: pertama, dalam novel Laskar Pelangi digunakan beberapa gaya bahasa sebagai cara pengarang untuk memudahkan pembaca dalam memahami isi novel tersebut, yaitu simile, metafora, dipersonifikasi, antitesis, parifrasis, tautologi, koreksio, personifikasi, pleonasme, hiperbola, ironi, paradoks, satire, hipalase, inuoendo, metonomia, sinekdoke pars pro toto, sinekdoke totum pro parte, alusio, epitet, eponim, antonomasia, elipsis, asidenton, tautotes, anafora, epizeukis, dan pertanyaan retoris. Kedua, nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Laskar Pelangi terdiri dari tiga nilai, yaitu: nilai religious, nilai moral, dan nilai sosial. Novel yang dikaji oleh Ririh Yuli Atminingsih sama dengan penelitian ini, yakni novel Laskar Pelangi. Penelitian Ririh Yuli Atminingsih hanya menganalisis tubuh novel tersebut, sedangkan penelitian ini selain menganalisis tubuh novel, juga mengaitkannya dengan novel yang lain. Penggunaan pendekatan intertekstualitas ini akan memberikan cara pandang yang berbeda terhadap novel Laskar Pelangi. Hal ini diharapkan dapat memberikan pemaknaan yang lebih terhadap novel Laskar Pelangi dalam kaitannya dengan novel Orang Miskin Dilarang Sekolah. Penelitian yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Anne M. Downey (1994) dalam bentuk jurnal yang berjudul “"A broken and bloody hoop": the intertextuality of 'Black Elk Speaks' and Alice Walker's 'Meridian.'(Intertextualities)”. Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa novel karya Alice Walker yang berjudul Meridian yang terbit pada tahun 1976 memiliki hubungan intertekstualitas dengan novel karya John Neihardt yang berjudul Black Elk Speaks yang terbit pada tahun 1932. Kedua novel memiliki persamaan pada struktur cerita dan isi cerita. Kedua novel menceritakan mengenai tradisi spiritual masyarakat asli Amerika, yakni mengenai kisah sebuah pohon suci. Dalam novel Black Elk Speaks, Sioux adalah commit toorang user lain. Dalam novel karya Walker, orang yang mampu berbicara tentang nasib
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
Meridian adalah seorang wanita kulit hitam di Selatan yang modern, yang memiliki ketertarikan pada gundukan pemakaman India. Perbedaan antara kedua novel yaitu, pada Meridian ceritanya berkisar pada masyarakat Amerika Afrika, sedangkan pada Black Elk Speaks ceritanya berkisar pada masyarakat asli Amerika saja. Persamaan keduanya terletak pada persambungan isi budaya Amerika. Penelitian lain yang relevan dengan penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Missy Dehn Kubitschek (2004) dalam bentuk jurnal yang berjudul “Toward a new order: Shakespeare, Morrison, and Gloria Naylor's 'Mama Day.' (Toni Morrison) (Intertextualities)”. Dari hasil penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa novel Mama Day karya Gloria Naylor memiliki hubungan intertekstualitas dengan novel-novel karya William Shakespeare (Hamlet, King Lear dan The Tempest) dan penulis modern karya Toni Morrison. Kesamaannya terletak pada isi cerita, yaitu menyangkut kehidupan seorang wanita kulit hitam yang berpindah dari desa ke lingkungan perkotaan Amerika. C.
Kerangka Berpikir
Salah satu karya sastra adalah novel. Novel merupakan sebuah bangun cerita yang menampilkan sebuah dunia yang sengaja dikreasikan pengarang. Sebuah novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Sebuah novel yang bermutu, di dalamnya pasti akan terkandung nilai-nilai pendidikan yang berguna bagi kehidupan manusia, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial. Begitu pula dengan novel LP dan OMDS, kedua novel ini memberikan manfaat bagi pembaca dalam kehidupan. Manfaat yang terkandung dalam karya sastra menunjukkan bahwa karya sastra yang bermutu akan mengandung nilai didik yang berguna bagi pembaca. Novel LP karya Andrea Hirata dan novel OMDS karya Wiwid Prasetyo, kedua novel ini mengangkat tema yang sama yaitu masalah pendidikan, yaitu commit to user perjuangan kaum marginal dalam meraih pendidikan. Dapat dikatakan masalah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
pendidikan untuk kaum marginal lebih dahulu ditulis oleh Andrea Hirata dalam novelnya yang berjudul LP. Masalah pendidikan untuk orang miskin kemudian diangkat lagi oleh Wiwid Prasetyo dalam OMDS. Dengan pendekatan intertekstualitas, dimungkinkan penelitian ini dapat mengungkapkan fungsi teks-teks tersebut, sebagai teks yang melatarbelakangi penciptaan (hipogram) atau sebagai teks yang mentransformasi teks-teks yang menjadi hipogramnya (transformasi). Unsur intrinsik kedua novel dibandingkan untuk mencari persamaan dan perbedaannya. Selain itu, juga dilakukan penelitian secara cermat dan menyeluruh terhadap nilai pendidikan yang terkandung dalam kedua novel tersebut.
Novel
Laskar Pelangi
Orang Miskin Dilarang Sekolah
karya Andrea Hirata
karya Wiwid Prasetyo
Struktur Novel
Struktur Novel - Tema
- Tema
- Alur/plot
- Alur/plot
- Penokohan
- Penokohan
- Latar
- Latar
- Sudut Pandang
- Sudut Pandang
- Amanat
- Amanat
Kajian Intertekstualitas dan Nilai Pendidikan
Simpulan Gambar 1: Kerangka Berpikir commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis data dokumen berupa dua novel yaitu novel LP dan OMDS. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif kualitatif menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis. Berkaitan dengan hal tersebut penelitian ini tidak terikat atau terpancang tempat. 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian dilaksanakan selama 5 bulan, mulai dari bulan Januari 2011 sampai dengan bulan Mei 2011. Kegiatan penelitian meliputi pengajuan judul, penyusunan proposal, perizinan, analisis data, dan penyusunan laporan hasil penelitian. Sesuai dengan karakter penelitian kualitatif, waktu dan kegiatan penelitian bersifat fleksibel. N o
Waktu Jenis
Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3 4
Kegiatan
1
2
Pengajuan Judul Pembuatan Proposal
3
Perizinan
4
Pengumpul an data
5
Analisis data Penyusuna n Laporan
6
7
x x
x x x x
x x
x x x x
x x x x x x x
x x x
Ujian
x
Skripsi
8
Revisi
x x x x
Laporan
to user Tabel 2: Waktucommit dan Jenis Kegiatan Penelitian
46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
B. Bentuk dan Pendekatan Penelitian Bentuk penelitian ini adalah deskriptif kualitatif yaitu bentuk penelitian yang menekankan pada catatan dengan deskripsi kalimat yang rinci, lengkap, dan mendalam, yang menggambarkan situasi sebenarnya guna mendukung penyajian data. Data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata atau kalimat yang memiliki arti lebih bermakna dan mampu memacu timbulnya pemahaman yang lebih nyata daripada sekadar sajian angka dan frekuensi. Penelitian dengan pendekatan intertekstualitas ini merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan konvensi-konvensi kesastraan antarteks yang menjadi objek penelitian. Kajian ini didahului dengan analisis struktural guna mempermudah kajian intertekstualitas. Selain mengkaji hubungan intertekstualitas antara novel LP dan OMDS, dikaji pula nilai pendidikan yang terkandung di dalamnya.
C. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dokumen yakni novel LP karya Andrea Hirata dan novel OMDS karya Wiwid Prasetyo.
D.
Teknik Sampling (Cuplikan)
Teknik sampling berkaitan dengan pemilihan dan pembatasan sumber data yang digunakan dalam penelitian. Penelitian ini mengambil sampel dengan menggunakan purposive sampling, yaitu mengacu pada tujuan penelitian. Patton (dalam Sutopo, 2006: 64) menyatakan bahwa purposive sampling adalah pemilihan sampel yang disesuaikan dengan masalah, kebutuhan, dan kemantapan peneliti dalam memeroleh data.
E.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data pada penelitian ini adalah mencatat dokumen atau arsip (content analysis). Teknik ini dipilih karena data yang akan dianalisis berupa dokumen atau arsip yaitu novel LP dan OMDS. Content analysis adalah to useryang tersurat dalam dokumen atau peneliti bukan hanya mencatat isi commit yang penting
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
arsip, tetapi juga maknanya yang tersirat (Sutopo, 2006: 66-67). Tujuan content analysis adalah peneliti mencari kedalaman makna yang ada dalam dokumen atau arsip yang diteliti. Adapun langkah-langkah pengumpulan data sebagai berikut: (1) membaca novel LP dan OMDS berulang-ulang; (2) mencatat kata-kata atau kalimat-kalimat yang menggambarkan semua unsur struktur yang ada serta membandingkannya, dicari persamaan dan perbedaan keduanya; (3) mencatat kata-kata atau kalimat yang menggambarkan nilai pendidikan yang terkandung dalam kedua novel tersebut.
F.
Validitas Data
Data yang terkumpul diperiksa keabsahannya dengan trianggulasi. Sutopo (2006: 92) menyatakan bahwa trianggulasi merupakan cara yang paling umum digunakan bagi peningkatan validitas data dalam penelitian kualitatif. Patton (dalam Sutopo, 2006: 92) mengemukakan bahwa ada empat macam teknik trianggulasi, yaitu trianggulasi data (sumber), trianggulasi peneliti, trianggulasi metode, dan trianggulasi teori. Dalam penelitian ini digunakan trianggulasi data (sumber) dan trianggulasi teori. Trianggulasi data (sumber) adalah mengecek kebenaran data dari beberapa sumber yang berbeda untuk menggali data yang sejenis. Sedangkan trianggulasi teori adalah mengecek kebenaran data berdasarkan perspektif teori yang berbeda. Menurut Lincoln dan Guba (dalam Lexy J. Moleong, 2005: 331), berdasarkan anggapan bahwa fakta tidak dapat diperiksa derajat kepercayaannya dengan satu atau lebih teori. Untuk itu trianggulasi teori diperlukan untuk memperoleh keabsahan data. Dari perspektif teori tersebut akan diperoleh pandangan yang lebih lengkap, tidak hanya sepihak sehingga dapat dianalisis dan ditarik simpulan yang lebih utuh dan menyeluruh
G.
Teknik Analisis Data
Analisis data bertujuan menyederhanakan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasi. Teknik analisis data yang digunakan dalam commit to user (flow model of analysis), yang penelitian ini adalah teknik analisis mengalir
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
meliputi tiga komponen yaitu: 1) Reduksi data; 2) penyajian data; dan 3) penarikan simpulan (Matthew B. Miles dan A. Milles Huberman, 1992: 16-20). Ketiga komponen tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Reduksi data (data reduction) Reduksi
data
diartikan
sebagai
proses
pemilihan,
pemusatan,
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data yang muncul dari data yang diperoleh dari sumber data penelitian. Data yang terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara tidak semua diambil, namun direduksi terlebih dahulu agar data lebih sederhana. Data yang kurang mendukung dibuang sehingga data menjadi lebih fokus dan jelas. Reduksi data sudah termasuk dalam proses analisis data. Proses analisis ditunjukkan dengan adanya proses pemilahan dan pemilihan data yang penting untuk digunakan dalam penelitian. 2. Penyajian data (data display) Data yang telah direduksi atau dirangkum kemudian disusun secara teratur dan terperinci dalam beberapa bagian sesuai dengan permasalahannya. Data tersebut kemudian dijabarkan dan dibandingkan antara yang satu dan yang lain untuk dicari persamaan dan perbedaannya. Kegiatan analisis sudah termasuk dalam sajian data. Adapun langkah-langkah analisis dalam sajian data sebagai berikut: a. Data hasil reduksi yang berupa dialog atau narasi novel LP dan OMDS dikelompokkan berdasarkan strukturnya. b. Data hasil pengelompokan tersebut kemudian dijabarkan atau diuraikan dalam kelompoknya masing-masing untuk mendukung analisis struktural. c. Berdasarkan langkah (b) tersebut akan didapat deskripsi atau interpretasi mengenai struktur kedua novel. Deskripsi tersebut kemudian dibandingkan satu sama lain dengan menitikberatkan pada prinsip kajian intertekstualitas. Hal ini bertujuan untuk mendeskripsikan persamaan dan perbedaan kedua novel. 3. Verifikasi dan penarikan simpulan (conclution drawing) Tahap ini merupakan kegiatan menyusun kesimpulan dari data yang telah commit to user diperoleh sejak awal penelitian. Kesimpulan yang ditarik merupakan kesimpulan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
yang bersifat sementara. Oleh karena itu, kesimpulan yang telah dibuat, dicek kembali. Jika terdapat hal atau fakta yang masih diragukan, dilakukan pengkajian ulang terhadap data yang telah terkumpul tersebut. Langkah terakhir adalah penarikan simpulan hasil analisis terhadap novel LP dan OMDS tersebut. Kesimpulan merupakan tahap akhir atau hasil dari penelitian yang dilakukan. Ketiga langkah di atas merupakan tahap yang saling berhubungan. Tahaptahap tersebut dilakukan terus-menerus mulai dari awal penelitian, saat penelitian berlangsung, sampai dengan akhir penelitian. Adapun gambar dari model analisis mengalir sebagai berikut:
Pengumpulan Data
Reduksi Data Antisipasi
Selama
Pasca
Penyajian Data Analisis Selama
Pasca
Penarikan Kesimpulan Selama
Pasca
Gambar 3. Flow Model of Analysis (Miles dan A. Huberman, 1992: 18)
H.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan mengikuti tahap-tahap berikut ini: 1. Tahap Persiapan Pada tahap ini penulis menentukan permasalahan dan objek kajian yang berupa novel LP dan OMDS. Selain itu, dilanjutkan dengan pengajuan judul yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
disusul dengan pengajuan proposal penelitian. Setelah proposal penelitian disetujui, dilanjutkan dengan langkah berikutnya. 2. Tahap Pengumpulan Teori Tahap ini dilakukan dengan mengumpulkan teori-teori yang berhubungan dan menunjang penelitian. Teori yang telah terkumpul kemudian diseleksi dan dipilih berdasarkan kedekatan hubungan dengan permasalahan yang diangkat. Teori-teori tersebut diambil dari buku-buku mengenai kajian prosa fiksi. 3. Tahap Pengumpulan Data Data yang diambil berupa kutipan dialog atau narasi dari novel LP dan OMDS yang menunjukkan adanya gambaran unsur-unsur struktur novel. 4. Tahap Penyeleksian Data Data yang telah terkumpul kemudian diseleksi dan dipilih berdasarkan topik yang akan dianalisis. 5. Tahap Analisis Data Data yang telah dipilih kemudian dianalisis dengan teknik analisis mengalir. Data berupa unsur struktur kedua novel kemudian dibandingkan sehingga didapat persamaan dan perbedaan keduanya. Selain itu dikaji pula hubungan intertekstualitas dan nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel. 6. Tahap Penarikan Simpulan Hasil analisis yang telah diperoleh kemudian disimpulkan sehingga menjadi sebuah kesimpulan yang mewakili penelitian. 7. Tahap Penyusunan Laporan Langkah akhir adalah penulisan laporan mengenai hasil analisis dengan kajian intertekstualitas dan nilai pendidikan pada novel LP dan OMDS.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV TEMUAN PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Deskripsi Data 1. Struktur Novel LP dan OMDS a. Tema Tema merupakan ide pokok sebuah cerita. Burhan Nurgiyantoro (2005: 82 – 83) menggolongkan tema dari tingkat keutamaannya, yaitu: tema mayor dan tema minor. Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya itu. Sedangkan tema minor bersifat mendukung atau mencerminkan makna utama keseluruhan cerita 1) Novel LP Untuk menuju pada kesimpulan tentang tema novel LP terlebih dahulu dikemukakan beberapa hal setelah membaca novel tersebut, yaitu: Pengarang ingin menyampaikan tentang pendidikan, pengarang ingin memaparkan masalah kemiskinan, persahabatan , dan cinta kasih. Dalam sebuah novel dapat ditemukan tema utama dan tema-tema sampingan (kecil) yang disisipkan pengarang. Tema utama novel LP cenderung pada permasalahan yang pertama yaitu tentang pendidikan. Seperti kutipan berikut: Tak susah melukiskan sekolah kami, karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau mungkin ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan. Kami memiliki enam kelas kecil-kecil, pagi untuk SD Muhammadiyah dan sore untuk SMP Muhammadiyah (LP: 17). Penyimpulan mengenai tema pendidikan, dapat dilihat dari beberapa hal di antaranya terlihat dari kutipan di atas. Dari kutipan di atas terlihat bahwa latar yang digunakan adalah sekolah Muhammadiyah, di mana sekolah sebagai tempat berlangsungnya pendidikan formal. Di sekolah seorang anak dididik dan ditransfer berbagai macam ilmu pengetahuan. Pendidikan dalam konteks ini dapat bermakna luas. Selain pendidikan dalam arti pendidikan formal, namun pendidikan commit to user di sini juga bermakna sebagai
52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
proses pendewasaan peserta didik atau proses memanusiakan manusia. Sepeerti kutipan di bawah ini: Dalam pendidikan, tidak jarang bakat seorang siswa diketahui secara tidak sengaja. Hal ini karena pada hakikatnya pendidikan adalah sebuah proses pencarian identitas. Di dalam novel Laskar Pelangi, fenomena semacam ini juga muncul, yakni ketika Ikal dan kawan-kawan sedang mengikuti pelajaran seni suara. Saat itu secara tidak sengaja bakat Mahar di bidang seni tergali. (LP: 129). Dari kutipan di atas terlihat bahwa pendidikan berarti pencarian identitas. Dalam hal ini bakat serta potensi Mahar tergali secara tidak sengaja pada saat pelajaran seni suara. Sedangkan subtema dalam novel LP adalah kemiskinan, persahabatan dan percintaan. Novel ini menceritakan kehidupan masyarakat asli Belitong pada waktu itu yang pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Karena semua aset pulau Belitong yakni tambang timah telah dikuasai secara eksklusif oleh PN Timah. Masyarakat asli Belitong hanya menjadi karyawan rendahan dan buruh kasar saja, di mana gajinya pun terkadang untuk makan saja kurang. Tak ayal masyarakat Belitong diibaratkan sebagai tikus yang mati di lumbung padi sendiri. Perhatikan kutipan berikut: Jika dilihat dari jauh sekolah kami seolah akan tumpah karena tiang-tiang kayu yang tua sudah tak tegak menahan atap sirap yang berat. Maka sekolah kami sangat mirip gudang kopra. Konstruksi bangunan yang menyalahi prinsip arsitektur ini menyebabkan tak ada daun pintu dan jendela yang bisa dikunci karena sudah tidak simetris dengan rangka kusennya. Tapi buat apa pula dikunci? (LP: 19). Dari
kutipan
di
atas
terlihat
jelas
bagaimana kondisi
sekolah
Muhammadiyah yang hampir roboh karena tidak ada biaya untuk memperbaiki bangunan sekolah. Hal ini disebabkan karena masyarakat Melayu Belitong pada saat itu sangat miskin, sehingga tidak mampu membayar uang sekolah. Akibatnya sekolah tidak mempunyai dana untuk memperbaiki dirinya sendiri. Selain itu, kemiskinan ini pulalah yang mengharuskan Mahar bekerja sebagai pesuruh tukang parut kelapa karena ayahnya telah lama sakit-sakitan sehingga mengharuskan ia bekerja mencari nafkah untuk keluarga. Perhatikan kutipan berikut ini: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
Sejak kelas dua SD Mahar bekerja sampingan sebagai pesuruh tukang parut kelapa di sebuah toko sayur milik seorang Tionghoa miskin. Tangannya berminyak karena berjam-jam meremas ampas kelapa sehingga tampak licin, sedangkan jemari dan kukunya cacat karena disayat gigi-gigi mesin parut yang tajam dan berputar kencang. Mesin itu mengepulkan asap hitam dan harus dihidupkan dengan tenaga orang dewasa dengan cara menarik sebuah tuas berulang-ulang. Bunyi mesin itu juga merisaukan, suatu bunyi kemelaratan, kerja keras dan hidup tanpa pilihan. Ia membantu menghidupi keluarga dengan menjadi pesuruh tukang parut karena ayahnya telah lama sakit-sakitan (LP: 135). Dalam novel ini kemiskinan masyarakat Belitong dibahas dan disinggung terus menerus, tentang putus sekolah karena miskin, tak bisa makan karena miskin hingga yang paling parah tak berani bercita-cita karena miskin. Adapun subtema yang lain yaitu masalah percintaan. Diceritakan bahwa tokoh Ikal jatuh cinta ketika ia duduk di bangku SMP. Cinta itu berawal dari kegiatan membeli kapur di toko Sinar Harapan yang secara tak sengaja mempertemukannya dengan seorang wanita yang digambarkan berkuku cantik. Ia lah A Ling atau Michele Yeoh cinta pertama Ikal. Cinta pertama yang indah, mengesankan dan akan terus ia ingat hingga kelak ia dewasa (203 – 214). Aku siap menerima hukuman seberat apa pun-termasuk jikalau harus mengambil ember yang kemarin dijatuhkan Trapani di sumur horor itu. Saat itu yang ada di pikiranku hanyalah Michele Yeoh, Michele Yeoh, dan Michele Yeoh, serta detik-detik ketika cinta menyergapku tadi. Hukuman yang kejam hanya akan menambah sentimental suasana romantis di mana aku rela masuk sumur maut dunia lain sebagai pahlawan cinta pertama … Ah! Cinta … (LP: 214). Dari kutipan di atas digambarkan perasaan cinta Ikal kepada A Ling. Perasaan jatuh cinta yang membuatnya melayang-layang dan mau melakukan apapun demi cinta. Kisah cinta Ikal dan A Ling pun berlanjut. Setiap Senin ia rela mengayuh sepeda ke Toko Sinar harapan hanya untuk melihat pujaan hatinya. Tak dinyana ternyata A Ling adalah saudara A Kiong. Ia pun kemudian menitip surat dan mengirimkan puisi untuk A Ling. Kisah cinta Ikal dan A Kiong memberi warna yang berbeda dalam kisah ini. Subtema lainnya adalah persahabatan. Perhatikan kutipan berikut: Kami adalah sepuluh umpan nasib dan kami seumpama kerang-kerang commit to user halus yang melekat erat satu sama lain dihantam deburan ombak ilmu.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
Kami seperti anak-anak bebek. Tak terpisahkan dalam susah dan senang. Induknya adalah Bu Mus. Sekali lagi kulihat wajah mereka, Harun yang murah senyum, Trapani yang rupawan, Syahdan yang liliput, Kucai yang sok gengsi, Sahara yang ketus, A Kiong yang polos, dan pria kedelapanyaitu Samson- yang duduk seperti patung Ganesha (LP: 85). Diceritakan dalam novel ini sebuah jalinan persahabatan di antara sepuluh orang anak yang dijuluki Laskar Pelangi, karena kebiasaan mereka melihat pelangi secara bersama-sama. Kesepuluh anak tersebut yaitu Ikal, Lintang, Mahar, Sahara, Harun, A Kiong, Kucai, Trapani, Samson, dan Syahdan. Kesepuluh anak ini bersahabat sejak pertama masuk SD. Sebuah persahabatan yang indah. Semua individu punya karakteristik tertentu. Lintang Si jenius, Samson Si Pria perkasa, Trapani Si pria flamboyan, Kucai yang oportunis dan bermulut besar, Sahara yang temperamental, Harun Si Pria santun dan murah senyum, Mahar sang seniman, A Kiong yang sangat naif, Syahdan yang tak punya sense of fashion, serta Ikal yang memang berambut Ikal (66 – 86). Sebuah persahabatan yang indah dan tak terpisahkan. Dari uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tema pokok dalam novel LP adalah masalah pendidikan, yang diramu dengan subtema persahabatan, cinta, dan fenomena sosial yakni masalah kemiskinan. Adanya beberapa subtema merupakan sarana untuk menyangkutkan atau mengikat makna. Persoalanpersoalan tersebut saling berkait, saling mendukung dan menopang sehingga tercipta jalinan cerita yang kompleks. 2) Novel OMDS Hampir sama dengan LP, novel OMDS juga merupakan sebuah novel yang menyoroti masalah pendidikan. Menyoroti wajah pendidikan di mata orang marjinal. Mengenai perjuangan sekelompok anak yang berjuang mati-matian untuk bisa mengenyam pendidikan. Tema mayor atau tema utama dalam OMDS adalah pendidikan. Namun jika diteliti lebih dalam ternyata novel ini memiliki tema minor yang berbedabeda, namun tetap tidak terlepas dari tema utamanya yaitu pendidikan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
Pendidikan sebagai tema utama novel ini dapat dilihat dari banyaknya hal yang mengandung masalah pendidikan yang tersebar merata pada keseluruhan bab. Seperti kutipan di bawah ini: Habis gelap terbitlah terang seakan-akan mengandaikan pendidikan itu ibaratnya pelita yang akan menuntun manusia buta, bodoh, menuju cahaya ilmu yang gilang gemilang. Seperti pagi itu, selepas membuka kancing atas agar bebas gerah dan angin bisa masuk, mereka tergopoh-gopoh memasuki gerbang sekolah. Mereka bertiga memandang sebentar patung Kartini untuk menitiskan ruh semangat sekolah sebelum di Senin ini mereka memasuki dunia yang penuh gairah (OMDS: 244) Dari kutipan di atas terlihat bahwa pendidikan di sini diibaratkan ”pelita yang akan menuntun manusia buta, bodoh, menuju cahaya yang gilang gemilang”. Dan memang itulah hakikat dari pendidikan, yakni ”pendidikan sebagai latihan mental, moral, dan fisik yang mampu menghasilkan manusia berbudaya tinggi maka pendidikan berarti menumbuhkan personalitas (kepribadian) serta menanamkan rasa tanggung jawab”. Selain itu novel ini juga banyak mengambil latar di kelas 1-2 khususnya dan SD Kartini pada umumnya, di mana notabene sekolah merupakan tempat memperoleh pendidikan. Perhatian kutipan berikut: Kami berjalan kembali di ruangan kelas pertama yang kami lewati tadi. Pak Zainal masuk ke ruangan 1-2 atau kelas satu ruangan kedua, bekas kelasku dulu. Kulihat Bu Mutia masih menuliskan sesuatu di papan tulis berkapur, melihat kehadiran kami, Bu Mutia menghentiukan pekerjaannya, ia berusaha ramah kepada Pak Kepala Sekolah yang datang mendadak (OMDS: 92). Hal ini semakin memperkuat tema novel ini adalah pendidikan. Hal ini sesuai dengan pendapat Herman J. Waluyo (2006: 28) yang menyatakan bahwa latar berfungsi untuk memperjelas tema dalam novel. Sedangkan tema minor atau subtema dalam novel ini adalah kemiskinan. Kemiskinan yang senantiasa menggelayuti tokoh utama dan mewarnai setiap kisah dalam novel ini. Kemiskinan yang mengiringi perjuangan dalam meraih pendidikan. Seperti dalam kutipan berikut ini: ”Astaghfirullahal ’azhim, aku lupa, mereka bertiga memang tidak sekolah, sampai sebesar ini mereka belumto pernah commit user sekolah sekalipun. Orang tua mereka tak sanggup menyekolahkan karena tak ada biaya. Sekolah bagi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
mereka tidak penting dan membuang-buang waktu, tubuh-tubuh kecil mereka kadang diperas untuk membantu orang tua mereka, entah mengangkut kotoran, memeras susu sapi, bahkan sampai mengangkat rumput-rumput di depan moncong sapi (OMDS: 23). Dari kutipan di atas terlihat bahwa kemiskinan menjadi masalah yang pelik bagi ketiga Anak. Di satu sisi Anak Alam ingin sekolah, tapi di sisi lain orang tua mereka tidak mampu membiayai karena memang gaji mereka menjadi buruh di peternakan hanya cukup untuk makan. Begitu juga terlihat pada kutipan berikut ini: Sepagi itu, mereka sudah melakoni hidup dengan susah payah, kaki jadi kepala, kepala jadi kaki, tetapi mereka sama sekali tak mengeluh dengan nasib mereka yang selalu di bawah. Kebodohannya membuat pola pikirnya begitu pendek, setiap kali mereka menemui kesusahan, dianggapnya itu sebagai takdir dari yang di atas. Kebodohannya pula yang menyebabkan ia menganggap rezekinya sudah diatur hanya segitu-gitunya, tak pernah nambah (OMDS: 135). Kemiskinan yang sudah melekat erat di tubuh ketiga Anak Alam. Kemiskinan yang berakibat pada kebodohan, dan kebodohan yang membuat pola pikir menjadi pendek. Adapun tema minor lainnya adalah percintaan. Diceritakan bahwa tokoh Pambudi mempunyai cinta pertama dengan tokoh Kania. Seperti kutipan berikut ini: Kania, tiba-tiba nama itu yang selalu berdengung-dengung di telinga Yudi, Pambudi, dan Pepeng. Di mana pun tempat dan keadaan, nama Kania begitu enak disebut, renyah di telinga, dan nyaman di hati. Bahkan, bayang-bayang Kania hadir di mana pun mereka berada...... Rasa rindu yang membuncah itu semakin menggebu saat ia membayangkan bagaimana dengan tangkasnya Kania membela mereka. Hari pertama mereka sekolah, mereka langsung terkesan kepada Kania, mereka langsung jatuh hati kepada murid berlesung pipit dan suka mengepang rambutnya itu (OMDS: 109). Dari kutipan di atas terlihat bahwa perasaan cinta Pambudi berawal ketika Kania membela Pambudi yang sedang dicela oleh teman-teman sekelasnya. Di mana sejak kejadian itu tumbuhlah perasaan cinta itu. Perasaan cinta di antara Pambudi dan Kania, dimaknai Kania sebagai commit to user penyemangat Pambudi untuk semakin meningkatkan prestasinya dalam belajar.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
Hal ini membuktikan bahwa subtema percintaan tidak terlepas dari tema pokok yaitu mengenai pendidikan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Panuti Sudjiman (1988: 55) bahwa ”tema sampingan atau subtema berfungsi sebagai sarana untuk menyangkutkan atau mengikat makna”. Seperti kutipan percakapan antara Pambudi dan Kania di bawah ini: ”Biarlah cinta kita ada di dalam hati saja....” ”Sampai semuanya memungkinkan, kita bisa pacaran.” ”Tidak boleh ada pacaran, aku tak mau pacaran.” ”Lalu?” ”Ya, kita tumbuhkan hal-hal positif saja dari hubungan ini, seperti yang pernah aku minta padamu dahulu, kau boleh berhubungan denganku, asalkan kau bisa mengimbangiku, kau juga harus pintar, harus rajin belajar, nilai-nilai ulanganmu juga harus baik, dan yang penting, besok kau harus sekolah... ” ”Iya Kan, aku mau. Kalau ada kau, mana ada rintangan yang sulit? Semua pasti mudah dijalani.” ”Aku tak ingin gara-gara kau nilaiku jadi jelek ...” ”Tidak, aku tak akan mengganggumu.” ”Yang penting, aku tak mau setelah ini kau jadi tak terkendali, kau jadi mabuk kepayang. Aku ingin kenal Pam yang sekarang, yang jujur, yang polos, dan apa adanya.” (OMDS: 215 – 216). Dari kutipan di atas terlihat sikap Kania kepada Pambudi. Kania memacu semangat Pambudi untuk belajar giat. Perasaan cinta di antara keduanya dimaknai positif oleh Kania untuk menumbuhkan hal-hal positif dari hubungan tersebut. Selain percintaan dan masalah kemiskinan, novel ini juga bertemakan persahabatan, yakni persahabatan Faisal dengan ketika anak alam (Pambudi, Yudi, dan Pepeng). Meskipun mempunyai status sosial ekonomi yang berbeda, mereka tetap bersahabat dengan baik. Mereka rela berkorban satu sama lain dan setia kawan. Faisal yang berasal dari keluarga mampu, selalu memikirkan nasib teman-temannya dan mengusahakan pendidikan untuk teman-temannya tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa tema mayor atau tema pokok dalam novel ini adalah pendidikan. Sedangkan tema minornya yaitu kemiskinan, percintaan, dan persahabatan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
b. Sudut Pandang Pada dasarnya sudut pandang dalam karya sastra fiksi diartikan sebagai strategi,
teknik,
siasat,
yang
secara
sengaja
dipilih
pengarang
untuk
mengemukakan gagasan dan ceritanya. Sudut pandang merupakan masalah teknis yang digunakan pengarang untuk menyampaikan makna karya artistiknya untuk sampai dan berhubungan dengan pembaca. Burhan Nurgiyantoro membagi sudut pandang menjadi tiga yakni sudut pandang persona ketiga “Dia”, Sudut pandang persona pertama “Aku”, dan sudut pandang campuran (2005: 256 – 271). 1) Novel LP Berdasarkan keterangan di atas dapat dikemukakan bahwa novel LP menggunakan sudut pandang persona pertama pertama “Aku” yang berarti pengarang terlibat dalam cerita secara langsung. Pengarang adalah tokoh yang mengisahkan kesadaran dunia, menceritakan peristiwa yang dialami, dirasakan, serta sikap pengarang (tokoh) terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Hal ini tampak dalam kutipan berikut ini: Pagi itu, ketika aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas (LP: 1). Aku sendiri masih bingung. Terlalu banyak perasaan untuk ditanggung seorang anak kecil dalam waktu demikian singkat. Cemas, senang, gugup, malu, teman baru, guru baru … semuanya bercampur aduk (LP: 12). Dari kutipan di atas terlihat bahwa pengarang selalu menyebut dirinya “Aku”. “Aku” mengisahkan peristiwa yang dialami dan dirasakannya ketika hari pertama masuk sekolah. Dalam novel ini, pengarang yaitu Andrea Hirata merupakan pengisah seluruh kejadian yang terdapat dalam novel LP. Di dalam novel ini pengarang mempunyai nama tokoh “Ikal”. Perhatikan kutipan berikut ini: “Tabahkan hatimu, Ikal….., “ itulah nasihat Trapani pelan padaku. (LP: 366 – 367). Bagian lain yang juga menunjukkan bahwa si “aku” bernama Ikal tampak dalam kutipan berikut: Pak Pos tersenyum menggoda. commit Beliau to user mengeluarkan form x13. Tanda terima kiriman penting.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
“Surat ini untukmu, rambut ikal, cepat tanda tangan di sini, tak ‘kan kuhabiskan waktuku di sekolahmu ini, masih banyak kerjaan, sekarang musim bayar pajak, masih ratusan SPT pajak harus diantar, cepatlah …” Pak pos belum puas dengan godaannya. Ada gadis kecil datang ke kantor pos pagi-pagi. Mengirimimu kilat khusus dalam kota! Mungkin asap hio membuatnya sedikit linglung, pakai perangko biasa pun pasti kuantar hari ini. Ia berkeras dengan kilat khusus, begitu pentingkah urusanmu belakangan ini, ikal mayang?” (LP: 280). Berdasarkan peran, novel ini menggunakan sudut pandang orang pertama (teknik akuan) bernama Ikal, namun pada bab terakhir, tokoh aku berganti dengan tokoh yang lain yaitu Syahdan. Aku bangga duduk di sini di antara para panelis, yaitu budayawan Melayu yang selalu menimbulkan rasa iri. Sebuah benda segitiga dari plastik di depanku menyatakan eksistensiku: Syahdan Noor Aziz Bin Syaharani Noor Aziz Panelis (LP: 489). Jadi, dalam kisah ini pengarang menggunakan dua tokoh “Aku” yakni tokoh “Aku” Ikal dan tokoh “Aku” Syahdan. 2) Novel OMDS Novel OMDS gaya penceritaannya menggunakan sudut pandang campuran yakni persona pertama “Aku” dan persona ketiga “Dia” Mahatahu. Sudut pandang persona pertama yang berarti pengarang terlibat dalam cerita secara langsung. Pengarang adalah tokoh yang mengisahkan kesadaran dunia, menceritakan peristiwa yang dialami, dirasakan, serta sikap pengarang (tokoh) terhadap orang (tokoh) lain kepada pembaca. Seperti kutipan berikut ini: Aku terus meraut batang lidi hingga batangnya terlihat mengecil dan kurus, aku diam-diam geli mendengar perkataan mereka, ternyata kebodohan membuat kita gampang tertipu, gampang naik pitam, dan mudah sekali diombang-ambingkan (OMDS: 46). Dari kutipan di atas terlihat bahwa tokoh “Aku” menceritakan apa yang dipikirkannya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Ia memberikan penilaian bahwa kebodohan membuat orang mudah tertipu, mudah naik pitam, dan mudah commit to user terombang-ambing.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
Wiwid Prasetyo merupakan pengisah seluruh kejadian yang terdapat dalam novel OMDS. Di dalam novel ini Wiwid mempunyai nama tokoh “Faisal”. Perhatikan kutipan berikut ini: Napas kelegaan menghampiri kami. Aku yang berada di belakang bisa menyusul di antara mereka, terengah-engah, dan saling melepaskan lelah di sebuah reruntuhan gedung yang tak terpakai. “Dasar kamu Sal, payah… Mengambil layangan saja tidak bisa…,” ledek Pambudi. “Iya Sal, coba kalau aku yang mengambil, kita pulang dengan membawa layang-layang itu dan besok kita akan menantang Mat Karmin yang sombong itu. “Kali ini, Pepeng ikut-ikutan memarahiku (OMDS: 8). Selain menggunakan sudut pandang persona pertama, pengarang menambahkan lagi dengan teknik sudut pandang persona ketiga “Dia” Mahatahu. Dengan teknik ini narator adalah seseorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Narator bersifat mahatahu. Ia mengetahui berbagai hal tentang tokoh, peristiwa, dan tindakan. Perhatikan kutipan berikut ini: Aneh, mendengar perintah Mat Karmin, bocah itu seperti robot Jepang yang dikendalikan oleh remote control, selanjutnya ia melangkah menghampiri pintu dengan rasa perih di duburnya, berjalan tertatih-tatih seperti orang habis sunat, kemudian meninggalkan teman-temannya tanpa ekspresi. Panji hanya diam, ia membayangkan seisi langit runtuh menimpanya, masa depannya jelas suram, kesedihannya menggelegak, seluruh air di dalam tubuhnya seakan-akan menghempaskannya ke dalam jurang yang teramat dalam (OMDS: 232) Dari kutipan di atas, pengarang berusaha menembusi pikiran Panji dan lebih
dari
sepuluh
orang
yang
menjadi
korban
Mat
Karmin.
Yaitu
menggambarkan bagaimana perasaan Panji setelah disodomi Mat Karmin, dengan membayangkan seisi langit runtuh menimpanya. Pengarang menceritakan betapa sakit dan hancur perasaan Panji, masa depan yang suram, dan kepedihan tiada akhir serta rasa malu yang akan dipikulnya hingga kelak ia dewasa. Dari kutipan-kutipan di atas, dapat ditegaskan bahwa pengarang menggunakan sudut pandang campuran yakni mengkombinasikan sudut pandang persona pertama dengan teknik pengarang “Dia” Mahatahu. Hal ini sejalan commit to user dengan pernyataan Herman J Waluyo (2002: 184 – 185) yang menyatakan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
ketiga jenis metode ini (akuan, diaan, dan pengarang serba tahu) dapat dikombinasikan oleh pengarang dalam suatu cerita rekaan dengan tujuan untuk membuat variasi cerita agar tidak membosankan.
c. Penokohan Dalam penelitian ini peneliti membedakan tokoh menjadi dua macam, yaitu (a) tokoh utama, dan (b) tokoh tambahan. Penggunaan pembagian tokoh ini brtujuan untuk memudahkan dan membedakan mana tokoh yang perlu mendapat perhatian khusus dan mana yang tidak, didasarkan atas seberapa jauh keterlibatan seorang tokoh dalam jalinan cerita. 1) Novel LP Tokoh-tokoh utama dalam novel LP yaitu sebelas anggota Laskar Pelangi yakni Ikal, Lintang, Mahar, Trapani, Syahdan, Sahara, Borek, Kucai, A Kiong, Harun, dan Flo, Pak Harfan, Bu Mus, dan A Ling. Sedangkan tokoh tambahan yaitu Drs Zulfikar, ayah Ikal, ayah Lintang, ibu Ikal serta beberapa tokoh lain. Karena banyaknya tokoh, paparan hasil penelitian mengenai watak tokoh peneliti batasi hanya pada tokoh-tokoh utama saja. Tidak dipaparkannya karakter tokoh pendamping tidak akan mengurangi keutuhan isi laporan. Berikut akan dideskripsikan tokoh beserta wataknya: a) Ikal (Aku) Tokoh Ikal merupakan pencerita dalam kisah ini. Secara fisik ia digambarkan berambut ikal. Perhatikan kutipan berikut ini: Aku dan Lintang duduk sebangku karena kami sama-sama berambut ikal (LP: 13). Dari kutipan di atas terlihat bahwa tokoh tokoh Ikal memang berambut ikal sesuai dengan julukannya. Ikal juga duduk sebangku dengan Lintang yang juga sama-sama berambut Ikal. Selain berambut Ikal, Ikal juga berperawakan kecil dan kurus. Perhatikan kutipan berikut: Samson tak peduli, ia tetap menekan belahan bola tenis itu tanpa perasaan. Ini adalah adu kekuatan antara David yang kecil dan Goliath sang raksasa (LP: 81). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
Dari kutipan di atas, pengarang mencoba membandingkan besar tubuh antara Ikal dengan Samson. Samson diibaratkan seperti Goliath sang raksasa dan Ikal diibaratkan David si kecil. Ikal memiliki kegemaran dan keahlian dalam bidang olahraga bulutangkis dan dunia tulis menulis. Perhatikan kutipan berikut: Sesuai saran buku-buku psikologi praktis yang mutakhir itu aku mulai menginventarisasi bidang minat, bakat, dan kemampuanku. Dan aku tak pernah ragu akan jawabannya yaitu: aku paling piawai bermain bulutangkis dan aku punya minat yang sangat besar pada bidang tulismenulis. Kesimpulan itu aku peroleh karena aku selalu menjadi juara pertama pertandingan bulutangkis kelurahan U 19 dan pialanya berderetderet di rumahku (LP: 339). Dari kutipan di atas terlihat bahwa bakat Ikal pada bidang olahraga bulu tangkis. Hal ini terlihat dari banyaknya piala hasil memenangkan pertandingan bulu tangkis di kampungnya. Secara psikologis, tokoh Ikal digambarkan sebagai sosok yang bertekad kuat dan berkemauan keras serta tidak mudah menyerah. Seperti kutipan berikut: Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah surat pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dari sebuah Negara asing. Aku segera menyusun rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusia-siakan selain untuk belajar. Aku membaca sebanyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek di radio AM. Aku membaca buku di dalam angkutan umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian, sambil dimarahi pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri, sambil menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan aku membaca sambil membaca (LP: 458 – 459). Dari kutipan di atas memang terlihat bahwa Ikal mempunyai tekad dan kemauan yang keras. Salah satu tekadnya adalah ia ingin belajar setinggitingginya untuk menjadi orang pintar untuk menebus cita-cita Lintang yang gagal untuk mendapat pendidikan gara-gara keadaan yang mengharuskannya seperti itu. Ia bertekad untuk mendapatkan beasiswa sekolah ke luar negeri. Ia melakukan apa saja agar cita-citanya ini dapat tercapai. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
Secara sosiologis, ia digambarkan sebagai sosok yang perhatian. Peduli dan memikirkan keadaan temannya. Perhatikan kutipan berikut: Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar Pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin ini. Kuingat semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newton-ku, Adam Smith-ku, Andre Ampere-ku (LP: 431). Melalui kutipan di atas digambarkan bahwa Ikal sangat peduli dengan Lintang. Ia merupakan pengagum Lintang. Lintang merupakan anak tidak mampu, namun di tengah ketidakmampuannya ia bisa menjadi anak yang super jenius. Ia juga memikirkan nasib Lintang ketika Lintang putus sekolah karena ayahnya meninggal sehingga ia yang harus menggantikan posisinya untuk mencari nafkah menghidupi keluarga (429 – 434). b) Lintang Lintang yang bernama lengkap Lintang Samudra Basara bin Syahbani Maulana Basara, secara fisik digambarkan berperawakan kecil, berkulit hitam, kotor, bertubuh kurus, dan berambut ikal kemerahan. Perhatikan kutipan berikut ini: Aku mengenal para orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali seorang anak lelaki kecil kotor berambut keriting merah yang meronta-ronta dari pegangan ayahnya (LP: 3). Secara psikologis, ia merupakan seorang tokoh yang lucu, semarak, dan penuh vitalitas. Ia sangat tertarik dengan ilmu pengetahuan. Perhatikan kutipan berikut: Lebih dari itu, seperti dulu kesan pertama yang kutangkap darinya, ia laksana bunga meriam yang melontarkan tepung sari. Ia lucu, semarak, dan penuh vitalitas. Ia memperlihatkan bagaimana ilmu bisa menjadi begitu menarik dan ia menebarkan hawa positif sehingga kami ingin belajar keras dan berusaha menunjukkan yang terbaik (LP: 109). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Lintang mempunyai ketertarikan yang tinggi terhadap ilmu pengetahuan, bahkan sejak hari pertama masuk sekolah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
Karena ketertarikannya dengan ilmu pengetahuan, ia rela menempuh perjalanan jauh ke sekolah. Perhatikan kutipan berikut: Dapat dikatakan tak jarang Lintang mempertaruhkan nyawa demi menempuh pendidikan, namun tak sehari pun ia pernah bolos. Delapan puluh kilo meter pulang pergi ditempuhnya dengan sepeda setiap hari. Tak pernah mengeluh. Jika kegiatan sekolah berlangsung sampai sore, ia akan tiba malam hari di rumahnya (LP: 93). Dari kutipan di atas terlihat gambaran perjuangan keras Lintang untuk sampai di sekolah. Walaupun rumahnya sangat jauh 80 km pulang pergi ke sekolah, ia tetap sangat bersemangat untuk menuntut ilmu. Ia tekun belajar. Ia tak pernah membolos barang sehari pun. Ia tidak putus asa dengan kemiskinan yang membelitnya (LP: 93 – 95). Penggambaran tokoh Lintang begitu terperinci, terutama mengenai kejeniusannya Sejak hari perkenalan dulu aku sudah terkagum-kagum pada Lintang. Anak pengumpul kerang ini pintar sekali. Matanya menyala-nyala memancarkan intelegensi, keingintahuan menguasai dirinya seperti orang kesurupan. Jarinya tak pernah mengacung tanda ia bisa menjawab. Kalau melipat ia paling cepat, kalau membaca dia paling hebat. Ketika kami masih gagap menjumlahkan anka-angka genap ia sudah terampil mengalikan angka-angka ganjil. Kami baru saja bisa mencongak, dia sudah pintar membagi angka decimal, menghitung akar dan menemukan pangkat, lalu, tidak hanya menggunakan, tapi juga mampu menjelaskan hubungan keduanya dalam tabel logaritma (LP: 106). Dari kutipan di atas tergambar kejeniusan Lintang. Ia mempunyai kemampuan otakn di atas rata-rata jauh melebihi umurnya, kecerdasan hampir di segala bidang, kalkulus, linguistik, kecerdasan spasial, maupun cerdas secara eksperimenntal. Bibit genius asli yang lahir dari sebuah keluarga yang tak satu pun bisa membaca. Segala bentuk kejeniusannya diuraikan secara mendetail. Secara sosiologis, Lintang merupakan sosok yang rendah hati, tidak sombong, dan bersedia membantu teman yang kesulitan dalam memahami pelajaran dengan senang hati. Kejeniusan yang dimilikinya tidak membuatnya tinggi hati dan mabuk kepayang. Semua teman menyukai dan menyayanginya. Lintang merupakan pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pintar commit totidak userdisiplin, dan tak punya integritas. lalu bersikap seenaknya, congkak,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
Tapi Lintang sebaliknya. Ia tak pernah tinggi hati, karena ia merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habishabisnya (LP: 108). Dari kutipan di atas terlihat bahwa sebagai seorang yang jenius, Lintang tidak pernah menyombongkan kejeniusannya itu. Semua keunggulannya ini tidak menimbulkan perasaan terancam bagi sekitarnya. c) Mahar Mahar yang bernama lengkap Mahar Ahlan bin Jumadi Ahlan bin Zubair bin Awam, secara fisik ia digambarkan sebagai sosok seorang lelaki tampan berwajah manis, bertubuh ceking dan bergaya eksentrik. Mahar menunduk. Ia pemuda yang tampan, pintar berseni, tapi keras pendiriannya (LP: 349). Karakter yang menonjol dari tokoh Mahar adalah jiwa seninya yang tinggi dan sangat imajinatif dan kreatif. Perhatikan kutipan berikut: Imajinasi mahar meloncat-loncat liar amat mengesankan. Sesungguhnya, seperti Lintang, ia juga sangat cerdas, dan aku belum pernah menjumpai seseorang dengan kecerdasan dalam genre seperti ini. Ia tak pernah kehabisan ide. Kreativitasnya tak terduga, unik, tak biasa, memberontak, segar, dan menerobos. Jika Lintang memiliki level intelektualitas yang demikian tinggi maka Mahar memperlihatkan bakat seni yang tersimpan seperti persediaan amunisi kreativitas dalam lokus-lokus di kepalanya. Kapasitas estetika yang tinggi melahirkannya sebagai seniman serba bisa (LP: 139 – 140). Dari kutipan di atas, digambarkan bakat Mahar di bidang seni yang sangat menonjol. Intelegensinya di bidang seni sungguh meloncat-loncat. Di otaknya banyak tersimpan ide-ide cemerlang yang terkadang lucu dan absurd. Mahar mempunyai musikalitas yang tinggi. Ia sangat berbakat hampir di segala bidang kesenian, misalnya menggambar, menyanyi, bermusik, dan lainlain. Ia pernah bergabung dengan grup rebana, pernah menyutradarai grup teater kecil di SD Muhammadiyah, dan puncaknya ketika ada karnaval tingkat sekolah, ia dipercaya untuk menjadi pemimpin di acara karnaval tersebut, dan berhasil membawa harum sekolah Muhammadiyah dengan menjadi juara pertama (145 – 155).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
Mahar merupakan seorang seniman sejati. Ia sangat tertarik dengan dunia mistik dan segala macam yang berbau klenik. Perhatikan kutipan berikut: Mahar tertarik pada mitologi, hubungan supranatural dengan antropologi, sejarah, cerita rakyat, arkeologi, kekuatan penyembuhan, ilmu-ilmu purba, ritual dan kepercayaan berhala. Maka sedikit banyak ia menganggap dirinya seorang ilmuwan spiritual (LP: 361). Dari kutipan di atas terlihat bahwa Mahar sangat tertarik dengan dunia supranatural. Ia sangat menyukai cerita-cerita sejarah, segala ritual-ritual dan sebagainya. Oleh karena itu, untuk menampung jiwa kleniknya ini, maka ia mendirikan sebuah organisasi penggemar dunia supranatural yang dinamai Societeit de Limpai. Perhatikan kutipan berikut: Langkah awal mereka adalah membentuk sebuah organisasi rahasia para penggemar paranormal. Setelah kasak kusuk sekian lama, tak dinyana ternyata mereka mampu menemukan anggota-anggota sepaham yang sangat antusias. Mereka membentuk sebuah perkumpulan yang disebut Societeit de Limpai dan melakukan pertemuan rutin serta aktivitas perklenikan secara diam-diam (LP: 361). d) Sahara Sahara bernama lengkap N. A. Sahara Aulia Fadillah binti K. A. Muslim Ramdhani Fadillah. Ia merupakan satu-satunya perempuan dalam anggota Laskar Pelangi. Secara fisik ia digambarkan berparas cantik, bertubuh ramping dan berjilbab. Lalu ada Sahara, satu-satunya hawa di kelas kami. Dia secantik grey checked green, atau burung punai lenguak. Ia ramping, berjilbab dan sedikit lebih beruntung, bapaknya seorang Taikong (LP: 75). Secara psikologis ia digambarkan sebagai seorang yang keras kepala, temperamental, skeptis, pintar,
jujur dan penuh perhatian, terutama kepada
Harun. Sifatnya yang utama: penuh perhatian dan kepala batu. Maka tak ada yang berani bikin gara-gara dengannya karena ia tak pernah segan mencakar. Jika marah ia akan mengaum dan kedua alisnya bertemu. Sahara sangat temperamental, tapi ia pintar. Peringkatnya bersaing ketat dengan Trapani. Kebalikan dari A Kiong. Sahara sangat skeptis, susah diyakinkan, dan tak mudah dibuat terkesan (LP: 75). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
Sahara mempunyai musuh abadi, yakni A Kiong. Mereka selalu bertengkar hebat jika bertemu. Sepertinya mareka dipertemukan nasib untuk selalu berselisih. Sebaliknya, Sahara akan bersikap lembut jika berhadapan dengan Harun. Mereka memiliki kaitan emosi yang unik, seperti persahabatan tupai dan kura-kura (LP: 76 – 77). e) Trapani Trapani bernama lengkap Trapani Ihsan Jamari bin Zainuddin Ilham Jamari. Secara fisik ia adalah seorang anak laki-laki anggota Laskar Pelangi yang berwajah rembulan. Perhatikan kutipan berikut: Duduk di pojok sana adalah Trapani. Namanya diambil dari nama sebuah kota pantai di Sisilia. Nyatanya ia memang seelok kota pantai itu. Ia memesona seumpama bondol peking. Si rapi jali ini adalah maskot kelas kami. Seorang perfeksionis berwajah seindah rembulan. Ia tipe pria yang langsung disukai wanita melalui sekali pandang. Jambul, baju, celana, ikat pinggang, kaus kaki dan sepatunya selalu bersih, serasi warnanya, dan licin (LP: 74). Kutipan di atas memberikan gambaran ketampanan Trapani. Trapani bertubuh ramping, berkulit putih bersih, tinggi, rambutnya hitam lebat, bermata indah dan berwajah tampan. Nama Trapani diambil dari nama sebuah kota pantai nan elok di Sisilia. Ia berpenampilan rapi dan sangat memesona. Trapani merupakan sosok yang pintar dan pendiam. Perhatikan kutipan berikut: Trapani agak pendiam, otaknya lumayan, dan selalu menduduki peringkat ketiga (LP: 75). Trapani merupakan anak berbakti. Satu karakter yang paling menonjol darinya adalah ia sangat bergantung dengan ibunya. Ia tak mau jauh-jauh dari ibunya. Ibu adalah pusat gravitasi hidupnya. Perhatikan kutipan berikut: Meskipun rumahnya dekat dengan sekolah tapi sampai kelas tiga ia masih diantar kemput ibunya. Ibu adalah pusat gravitasi hidupnya (Lp: 74 – 75). Sifat Trapani yang serba tergantung dengan ibunya, serta tak mau lepas barang sebentar pun dari ibunya, menyebabkan Trapani menderita penyakit mother complex yang sangat ekstrem. Jika bangun tidur tidak melihat ibunya ia commit to user menjerit-jerit histeris. Ketergantungan yang kronis ini menyebabkan ibunya
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
sendiri hampir terganggu jiwanya. Hal ini menyebabkan mereka harus dirawat di Zaal batu, yakni rumah sakit jiwa di Sungai Liat (LP: 446 – 453). f) A Kiong A kiong merupakan keturunan hokian, ia seorang Kong Hu Cu. Bapaknya bernama A Liong seorang hokian kebun yang miskin. Secara fisik ia digambarkan berwajah aneh dan horor. Perhatikan kutipan berikut: Wajahnya seperti baru keluar dari bengkel ketok magic, alias menyerupai Frankenstein. Mukanya lebar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan ia hampir tak punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal setengah akibat digerogoti phyrite dan markacite dari air minum. Guru manapun yang melihat wajahnya akan tertekan jiwanya, membayangkan betapa susahnya menjejalkan ilmu ke dalam kepala alumuniumnya itu (LP: 68). Secara psikologis, ia merupakan sosok yang polos, naif, cengeng, baik hati dan ramah. Ia adalah musuh bebuyutan Sahara. Perhatikan kutipan berikut: Dia sangat naïf dan tak peduli seperti jalak kerbau. Jika kita mengatakan bahwa dunia akan kiamat besok maka ia pasti akan bergegas pulang untuk menjual satu-satunya ayam yang ia miliki, bahkan meskipun sang ayam sedang mengeram. Dunia baginya hitam putih dan hidup adalah sekeping jembatan papan lurus yang harus dititi. Namun, meskipun wajahnya horor, hatinya baik luar biasa, ia penolong dan ramah, kecuali pada Sahara (LP: 68 – 69). Permusuhannya dengan Sahara semasa kecil, ternyata menjadi berbeda ketika
dewasa.
Ternyata
ia
mencintai
Sahara
tetapi
tidak
berani
mengungkapkannya. Hampa karena cinta membuatnya menjalani hidup sebagai seorang agnostic, yaitu orang yang percaya kepada Tuhan tapi tidak memeluk agama apa pun. Hingga kemudian ia mendapat hidayah Allah, ia pun memeluk Islam, disunat dan mengucapkan syahadat disaksikan Pak Harfan dan Bu Mus. Bu Mus menganugerahkan sebuah nama untuknya: Muhammad Jundullah Gufron Nur Zaman. Kemudian ia mempunyai keberanian untuk mengungkapkan cintanya kepada Sahara. Dan ternyata Sahara mempunyai perasaan yang sama. Mereka kemudian berkeluarga dan punya anak lima (LP: 463 – 466). g) Kucai
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
Kucai bernama lengkap Mukharam Kucai Khairani, ia adalah seorang ketua kelas. Secara fisik, ia digambarkan mempunyai gangguan dengan penglihatnnya akibat kekurangan gizi yang parah semasa kecil. Perhatikan kutipan berikut: Kucai sedikit tak beruntung. Kekurangan gizi yang parah ketika kecil mungkin menyebabkan ia menderita miopi alias rabun jauh. Selain itu pandangan matanya tidak fokus, melenceng sekitar 20 derajat (LP: 69). Kucai merupakan seorang anak yang kurang pintar. Nilai-nilai ulangannya tidak pernah melampaui angka enam. Perhatikan kutipan berikut: Justru pria beraut manis manja yang duduk di depannya dan berpenampilan layaknya orang pintar serta selalu mengangguk-angguk kalau menerima pelajaran, ternyata lemot bukan main, namanya Kucai (LP: 69). Secara psikologis, Kucai digambarkan sebagai sosok yang selalu optimis, memiliki kepribadian populis, oportunis, bermulut besar, banyak teori,punya network yang luas, dan sok tahu. Jika digabungkan ia memiliki semua kualitas untuk menjadi seorang politisi (69 – 70). Dan memang benar, setelah ia dewasa ia menjadi politisi, menjadi seorang ketua fraksi di DPRD Belitong (LP: 490). h) Borek (Samson) Borek adalah salah satu anak laki-laki anggota Laskar pelangi. Kelakuan dan prestasinya rata-rata air. Borek yang sering dijuluki Samson, memiliki bentuk tubuh besar sesuai julukannya. Karakternya yang paling menonjol adalah ia sangat terobsesi memiliki tubuh besar dan kekar. Ia terobsesi terhadap usaha pembesaran otot (body buiding) dan citra cowok macho. Sejak itu Borek tidak tertarik lagi dengan hal lain dalam hidup ini selain sesuatu yang berhubungan dengan upaya membesarkan ototnya. Karena latihan keras, ia berhasil dan mendapat julukan Samson (LP: 78). Samson demikian terobsesi dengan body building dan tergila-gila dengan citra cowok macho (LP: 79). Ketika dewasa ia menjadi pekerja atau seorang kuli yang perkasa seperti cita-citanya dulu. Dan ia bekerja di toko kelontong Sinar Perkasa milik A Kiong dan Sahara (LP: 466).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
i) Syahdan Syahdan yang mempunyai nama lengkap Syahdan Noor Aziz bin Syahari Noor Aziz. Ia merupakan anak seorang nelayan miskin. Ia bekerja sebagai tukang dempul perahu. Ia digambarkan sebagai tokoh yang berpembawaan ceria, bertubuh kecil, tidak punya sense of fashion. Perhatikan kutipan berikut: Tubuh Syahdan yang kecil terlonjak-lonjak di atas batang sepeda milik Pak Harfan saat ia bersusah payah mengayuh pedal (LP: 477). Masalahnya di mata Syahdan, gedung sekolah, bagan ikan, dan gudang kopra tempat kelapa-kelapa busuk itu bersemedi adalah sama saja. Ia tidak punya sense of fashion sama sekali dan di lingkungannya tidak ada yang mengingatkan bahwa sekolah berbeda dengan keramba (LP: 68). Dari kutipan di atas digambarkan kondisi tubuh Syahdan yang kecil dan tidak memperhatikan penampilan. Akan tetapi di balik tubuhnya yang kecil, Syahdan merupakan seorang pribadi yang bertekad kuat, tak mudah putus asa dan menjadi pecundang dalam kelompoknya. Ia bercita-cita menjadi seorang aktor. Perhatikan kutipan berikut ini: Lain pula cerita Syahdan. Syahdan yang kecil, santun dan lemah lembut agaknya memang ditakdirkan untuk menjadi pecundang yang selalu menerima perintah. Jika kami membentuk tim ia pasti menjadi orang yang paling tak penting. Ia adalah seksi repot, tempat penitipan barang, pengurus konsumsi, pembersih, tukang angkat-angkat dan jika makan paling belakangan. Ia adalah kambing hitam tempat tumpahan semua kesalahan, dia tak pernah sekali pun dimintai pertimbangan jika Laskar Pelangi mengambil keputusan, lalu dalam lomba apa pun dia selalu kalah. Lebih dari itu ia sangat menyebalkan karena sangat gagap teknologi. Ia sama sekali tak bisa diandalkan untuk hal-hal berbau teknik, bahkan hanya untuk membetulkan rantai sepeda yang lepas saja ia sering tak becus. Citacitanya untuk menjadi aktor sangat tidak realistis (LP: 477 – 478). Syahdan yang dulunya sangat gagap teknologi, ternyata setelah dewasa menjelma menjadi seorang network designer dan mendapat beasiswa short course di bidang computer network di Kyoto University, Jepang.
Dan memperoleh
sertifikasi Sisco Expert Network dan menduduki posisi sebagai Information Technology Manager di sebuah perusahaan multinasional terkemuka. Namun, sedektik pun ia tak melepaskan cita-citanya untuk menjadi seorang aktor (LP: 477 commit to user – 479).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
j) Harun Harun mempunyai nama lengkap Harun Ardhli Ramadhan bin Syamsul Hazana Ramadhan. Secara fisik ia digambarkan sebagai seorang anak laki-laki yang berbadan kurus, tinggi, kaki dan langkahnya membentuk huruf x, bergigi kuning dan panjang-panjang. Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus tinggi berjalan terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat (LP: 6 – 7). Ia digambarkan memiliki keterbelakangan mental. Ia tidak bisa membaca maupun menulis. Pada waktu pembelajaran berlangsung ia malah tidur, terkadang tertawa dan bertepuk tangan tanpa alasan yang jelas, menceritakan sesuatu secara berulang-ulang. Pria jenaka sahabat kami semua yang sudah berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya (LP: 7). Harun adalah anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa (LP: 78). Karena “keistimewaaannya” ini, teman-teman terutama Sahara sangat menyayanginya. Bu Mus memperlakukan Harun layaknya anak biasa. Ia mendapat perlakuan yang sama dengan yang lain. k) Flo Flo atau Floriana merupakan anak orang kaya. Ia murid pindahan dari sekolah PN. Ia kemudian bergabung dengan anggota Laskar Pelangi dan bersekolah di sekolah Muhammadiyah. Perhatikan kutipan berikut: Dia sudah tak ingin lagi sekolah di PN dan sudah membolos dua minggu. Dia bersikeras hanya ingin sekolah di sini (LP: 353). Flo berkeinginan keras meninggalkan sekolah PN karena didorong oleh kepribadiannya yang pembosan, pemberontak dan keinginannya menjadi anggota Laskar Pelangi yang unik, terutama pada Mahar.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
Secara fisik ia digambarkan sebagai seorang remaja putri yang cantik, berpostur tinggi, berkulit putih bersih, dan berbadan kurus. Ia sangat memesona. Perhatikan kutipan berikut: Meskipun seperti laki-laki tetapi ia sesungguhnya gadis remaja yang menawan, dan kulitnya indah luar biasa (LP: 354). Karakternya yang menonjol adalah sifat tomboynya. Perhatikan kutipan berikut: Flo tak suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Mungkin karena pengaruh dari saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya lakilaki atau karena suatu ketidakseimbangan dalam kimia tubuhnya. Maka ia memotong rambut dengan model lurus pendek dan ia belajar mengubah ekspresi wajahnya agar merefleksikan seringai laki-laki. Ia bercelana jeans, kaos oblong, dan membuang anting-anting yang dibelikan ibunya (LP: 47 – 48). Kutipan di atas menggambarkan asal muasal sifat tomboy Flo, yang mungkin disebabkan karena ia merupakan anak perempuan satu-satunya dalam keluarganya, sehingga terpengaruh saudara-saudara kandungnya yang seluruhnya laki-laki. Secara sosiologis, ia digambarkan sebagai seorang pribadi yang ekstrovert, mudah bergaul, mudah beradaptasi, rendah hati, suka menolong orang lain dan rela berkorban. Perhatikan kutipan berikut: Ternyata Flo adalah pribadi yang sangat menyenangkan. Ia memiliki kemampuan beradaptasi yang luar biasa. Ia cantik dan sangat rendah hati, sehingga kami betah di dekatnya. Ia tak pernah segan menolong dan selalu rela berkorban. Terbukti bahwa di balik sifatnya keras kepala tersimpan kebaikan hati yang besar (LP: 359). Dari kutipan di atas, tokoh Flo digambarkan sebagai seorang yang mudah beradaptasi dengan lingkungan baru. Walaupun ia kaya, ia tetap mau bergaul dengan anggota Laskar Pelangi. Selain itu hampir sama dengan Mahar, ia juga mempunyai ketertarikan yang besar dengan dunia klenik, mistik, supranatural. Perhatikan kutipan berikut: Dalam kelas ia duduk sebangku dengan Mahar karena memiliki hobi yang hampir sama, yaitu mengenai hal-hal yang berbau ghaib (LP: 356). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
Mereka memang tergila-gila tapi kekasih hati mereka adalah dunia gelap mistik dan klenik (LP: 360). l) A Ling A Ling merupakan seorang gadis keturunan tionghoa. Ia merupakan anak dari pemilik toko Sinar Harapan A Miauw, tempat sekolah Muhammadiyah membeli kapur. A Ling merupakan sepupu A Kiong. Ia merupakan cinta pertama Ikal. Secara fisik ia digambarkan berparas cantik, bermata sipit, berkulit putih, berkuku cantik, berbadan ramping dan tinggi. Seperti kebanyakan ras mongoloid, tulang pipinya tidak menonjol, tapi bidang wajahnya, bangun bahunya, jenjang lehernya, potongan rambutnya, dan jatuh dagunya yang elegan menciptakan keseluruhan kesan dirinya benar-benar mirip Michelle Yeoh, bintang film Malaysia yang cantik itu (LP: 210 – 211). Karena kecantikannya inilah, Ikal menjulukinya Michelle Yeoh, yakni seorang artis cantik asal Malaysia. Ia jatuh cinta pada A Ling berawal dari pertemuannya di toko Sinar Harapan. Pertemuan dengan kuku-kuku yang cantik. Perhatikan kutipan berikut: Kadangkala aku penasaran ingin melihat bagaimana wajah pemilik kukukuku nirwana itu. Apakah wajahnya seindah kuku-kukunya? Apakah jarijari tangan kirinya seindah jari-jari tangan kanannya? (LP: 206). Kuku-kuku cantik inilah yang membuat Ikal jatuh cinta dengan A Ling. Perasaan cinta yang juga disambut baik oleh A Ling. Perasaan cinta yang mampu membuat Ikal berlama-lama di toko bobrok Sinar Harapan. Ia rela menjalankan tugas membeli kapur tulis untuk sekolah Muhammadiyah, tidak lain hanya untuk bertemu kuku-kuku cantik ini. Secara psikologis, A Ling merupakan seorang wanita yang misterius, tertutup, memiliki pendirian yang kuat, dan penuh percaya diri. Perhatikan kutipan berikut: Ia bukanlah pribadi mekanis yang mengungkapkan perasaan secara eksplisit. Ia memiliki pendirian yang kuat dan amat percaya diri. Ia model wanita yang memegang pertanggungjawaban pada setiap gabungan hurufhuruf yang meluncur dari mulutnya (LP: 338).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
Tokoh A Ling digambarkan memliki kepribadian yang tertutup dan misterius. Karena misterius inilah yang membuat Ikal semakin terkesan dengan A Ling. m) Bu Muslimah N. A. Muslimah Hafsari Hamid binti K. A. Abdul Hamid atau yang biasa dipanggil Bu Mus, merupakan salah seorang guru di sekolah Muhammadiyah. Dialah yang menjadi guru kesepuluh anggota Laskar Pelangi. Secara fisik ia digambarkan sebagai seorang guru muda yang jangkung dan berjilbab. Ibu Muslimah yang beberapa menit yang lalu sembap, gelisah, dan corengmoreng kini menjelma menjadi sekuntum Crinum Giganteum. Sebab tibatiba ia mekar sumringah dan posturnya yang jangkung persis tangkai bunga itu. Kerudungnya juga berwarna bunga Crinum, demikian pula bau bajunya (LP: 9). Secara psikologis, ia merupakan sosok yang mempunyai tekad kuat dalam hal memajukan pendidikan Islam. Ia pandai, karismatik dan memiliki pandangan jauh ke depan. Perhatikan kutipan berikut: … Beliau bertekad melanjutkan cita-cita ayahnya- K. A. Abdul Hamid, pelopor sekolah Muhammadiyah di Belitong- untuk terus mengobarkan pendidikan islam. Tekad itu memberinya kesulitan hidup yang tak terkira, karena kami kekurangan guru- lagi pula siapa yang rela diupah beras 15 kilo setiap bulan? (LP: 30). Bu Mus adalah seorang guru yang pandai, karismatik, dan memiliki pandangan jauh ke depan (LP: 30). Dari dua kutipan di atas, terlihat jelas karakter Bu Mus. Sebagai seorang guru, ia sangat lemah lembut dan sayang dengan muridnya. Ia seorang guru yang kharismatik. Murid-murid menaruh hormat kepadanya. Murid-murid juga sangat segan kepadanya. Dalam hidupnya, ia mempunyai tekad untuk terus mengobarkan pendidikan islam demi melanjutkan cita-cita ayahnya. n) Pak Harfan K. A. Harfan Efendy Noor atau biasa dipanggil Pak Harfan, merupakan kepala sekolah Muhammadiyah. Ia merupakan seorang bapak tua yang berwajah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
sabar, kumisnya tebal, cambangnya tersambung pada jenggot lebat. Perhatikan kutipan berikut: Mereka adalah seorang bapak tua berwajah sabar, Bapak K. A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah… (LP: 2). Kumisnya tebal, cambangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecoklatan yang kusam dan beruban (LP: 20). Dari kutipan di atas tergambar kondisi fisik Pak Harfan yang sudah tua, berkumis, bercambang, berjenggot, dan beruban. Sungguh mengesankan seorang bapak yang sudah tua. Karakter utama yang menonjol darinya adalah sifat sabar, bersahaja, bijak, pintar, dan berdedikasi tinggi untuk memajukan pendidikan ikhlas tanpa mengharap imbalan. Perhatikan kutipan berikut: Pak Harfan menceritakan semua itu dengan semangat perang badar sekaligus setenang embusan angin pagi. Kami terpesona pada setiap pilihan kata dan gerak lakunya yang memikat. Ada semacam pengaruh yang lembut dan baik terpancar darinya. Ia mengesankan sebagai pria yang kenyang akan pahit getir perjuangan dan kesusahan hidup, berpengetahuan seluas samudera, bijak, berani mengambil resiko, dan menikmati daya tarik dalam mencari-cari bagaimana cara menjelaskan sesuatu agar setiap orang mengerti (LP: 23). Selama puluhan tahun keluarga besar yang amat bersahaja ini berdiri pada garda depan dalam pendidikan di sana. Pak Harfan telah puluhan tahun mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan apa pun demi motif syiar Islam. Beliau menghidupi keluarga dari sebidang kebun palawija di pekarangan rumahnya (LP: 21). Dari kutipan di atas terlihat sifat Pak Harfan. Di balik tubuh tuanya tersimpan kekayaan batin yang sungguh tak ternilai. Ia merupakan seorang kepala sekolah sekaligus pengajar yang baik, lembut, penuh semangat, penuh kasih sayang kepada muridnya. Ia sangat berharga. Ia mengabdi di sekolah Muhammadiyah nyaris tanpa imbalan. Tapi hal ini tidak menyurutkan semangatnya. Justru hal ini semakin mengobarkan semangatnya untuk tetap memberikan pendidikan islam di sekolah Muhammadiyah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
2) Novel OMDS Novel OMDS memiliki penokohan yang relatif banyak yang berpengaruh terhadap jalannya cerita serta amanat yang hendak disampaikan. Adapun tokoh utama dalam novel ini adalah Faisal, ketiga Anak Alam (Pambudi, Yudi, Pepeng), Kania, Bu Mutia, Rena, Pak Cokro, Mat Karmin, Yok Bek, dan Karisma. Sedangkan tokoh tambahan dalam novel ini adalah Pak Yadi, Ki Hajar Ladunni, Ayah Pambudi (Samijan), ayah Yudi (Giatno), ayah Pepeng (Sukisno), Ibu Yudi, Pak Zainal, Candil, A Kiong, Sinyo dandy, Ustadz Muhsin, Kiai Khadis, Bang Anan, Denok, Warti, Guruh, Fajar, Anton, dan masih banyak lagi. Karena banyaknya tokoh, paparan hasil penelitian mengenai watak tokoh peneliti batasi hanya pada tokoh-tokoh utama saja. Tidak dipaparkannya karakter tokoh pendamping tidak akan mengurangi keutuhan isi laporan. Berikut akan dideskripsikan tokoh beserta wataknya: a) Faisal (Aku) Tokoh Faisal merupakan pencerita kisah ini. Tokoh Faisal yang bernama lengkap Faisal Ridowi secara fisik tidak diuraikan secara mendetail. Yang lebih diuraikan adalah keadaan psikis dan sosiologisnya. Secara psikis ia digambarkan memiliki pandangan hidup yang progresif dan berkemauan keras. Hal ini tampak pada kemauan kerasnya untuk dapat mewujudkan cita-cita. Perhatikan kutipan berikut: Tubuhku telah terbanting-banting demi cita-citaku sendiri yang terlalu kuat untuk terus sekolah, terus belajar dan mempelajari sesuatu, serta dibuat penasaran oleh buku. Itu semua demi satu keyakinan, aku akan bangkit dan meraih mimpi itu demi sebuah cita-cita yang akan kurengkuh kelak (OMDS: 239 – 240). Dari kutipan di atas tergambar tekad Faisal untuk dapat meraih cita-cita. Ia rela melakukan apa saja untuk mewujudkan cita-citanya. Segala halangan tidak menyurutkan semangatnya. Selain itu Faisal juga berjiwa pemberani. Terbukti ketika Gedong Sapi diamuk warga, ia berusaha menengahi. Ia tidak takut sedikitpun, karena ia membela kebenaran. Ia membela mati-matian nasib ketiga Anak Alam. commit to user (OMDS:154 – 155).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
Secara sosiologis, sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli dengan keadaan di sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap Anak Alam yang hidupnya sangat melarat serta tidak sekolah. Ia tidak hanya simpati, ia juga berempati, berkeinginan keras dan berjuang untuk bisa membuat Anak Alam mengenyam pendidikan, karena pendidikan adalah fondasi untuk menjalani kehidupan ini. Ia juga memperhatikan keadaan masyarakat di sekelilingnya di mana masih banyak warganya yang buta huruf, sehingga ia terjun langsung memberikan pembelajaran membaca dan menulis gratis untuk warga yang buta huru. Ia ingin menjadikan Kampung Genteng yang tadinya buta huruf menjadi Kampung Genteng yang melek huruf (OMDS: 18). Selain itu, Faisal sangat tidak suka dengan perlakuan orang kaya terhadap orang miskin. Perhatikan kutipan berikut: Ayah dari ketiganya bekerja pada Yok Bek, memelihara sapi-sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, hingga mencarikan rumput segar. Kadang yok Bek-perempuan Cina itu- berdiri dan berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya, dibentak-bentaknya ayah ketiga temanku itu dengan kasar, bahkan kadang kata-kata makian yang aku tahu, bahasa itu tabu bagi anak-anak. Dari sini aku belajar pengalaman lagi. Orang kaya bisa seenaknya memperlakukan orang miskin, sebab tubuh mereka telah dibeli untuk menuruti semua perintah (OMDS: 17). Dalam novel ini Yok Bek sebagai orang kaya suka memperlakukan pekerjanya semena-mena. Yok Bek memperlakukan orang tua ketiga Anak Alam dengan semaunya. Faisal memberikan label untuk orang kaya, yaitu “orang kaya itu biasanya bersikap sombong dan bicaranya menyakitkan hati”. Selain sifat-sifat positif Faisal di atas, ia juga mempunyai sifat negatif, yakni mencuri. Perhatikan kutipan berikut: Ah, buku ini harus aku miliki, tetapi bagaimana ya? Apakah harus kucuri? Aku mencoba bertanya ke dalam hatiku sendiri, tetapi rasa-rasanya gelap, aku benar-benar bingung. Boleh nggak ya? Jangan. Curi. Jangan. Curi. Jangan. Curi. Jangan. Curi. Jangan. Curi! Akhirnya, aku menentukan perbuatanku sambil berhitung dengan sepuluh jariku. Dan kata-kata terakhir: curi, aku konsekuen dengan kekonyolanku sendiri. Kucuri buku keterampilan itu, kuselipkan ke dalam celanaku, lalu kusamarkan dengan baju seragam yang aku keluarkan, agar terlihat longgar dan tonjolan buku commit to user itu tak nampak (OMDS: 14).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
Pada bagian awal cerita, Faisal mencuri sebuah buku yang berjudul Keterampilan Sederhana untuk Anak Usia SD dari seorang pemulung. Ia mencuri buku ini karena didorong perasaan untuk membantu ketiga Anak Alam membuat layang-layang. Ia bimbang antara mencuri dan tidak. Batinnya bergejolak antara berdosa dan tidak. Namun pada bagian akhir ia putuskan untuk mencuri buku tersebut. b) Pambudi Pambudi merupakan salah satu anggota Anak Alam. Secara fisik digambarkan bergigi kelinci dan berambut jagung. Perhatikan kutipan berikut: Si gigi kelinci alias pambudi mencoba berpikir bagaimana cara untuk mengalahkan Mat Karmin, tanpa seorang pun dari kami yang merasa terbebani (OMDS: 8). “Ya, nggak apa-apa, kita harus ke sana.” Pambudi langsung saja membuat keputusan, rambut jagungnya tersiram cahaya matahari, membuatnya semakin cokelat (OMDS: 30). Gigi kelinci dan rambut jagung inilah yang membedakan Pambudi dengan teman-teman yang lain. Secara psikologis, Pambudi digambarkan sebagai seorang pribadi yang dewasa, polos, apa adanya, keras kepala dan bertekad kuat. Sikap keras kepalanya ditunjukkan ketika ia menyatakan cintanya kepada Kania. Ia secara blak-blakan mengutarakan isi hatinya, dan bersikeras agar Kania mau menerima cintanya. Pada awalnya Kania tidak menanggapinya, tapi Pambudi tidak patah arang, ia tetap mendekati Kania, hingga akhirnya Kania mau menerima cintanya (OMDS: 213 – 216). Tekad Pambudi yang kuat ditampilkan ketika ia akan menempuh ujian semester. Ia ingin belajar, tapi catatannya kurang lengkap. Ia ingin meminjam Kania, tapi ia sadar selama ini sudah menyusahkan Kania. Ia kemudian berusaha meminjam Rena. Bukannya dipinjami catatan, ia malah dicaci maki seenaknya oleh Rena. Mendapat cacian seperti itu ia tidak marah ataupun patah arang. Ia kemudian berpikir untuk meminjam catatan pada Bu Mutia. Oleh Bu Mutia ia disambut baik dan dengan senang hati Bu Mutia meminjaminya catatan. Ia sangat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
senang, karena sebentar lagi ia bisa belajar. Ia ingin membuktikan walaupun mereka miskin, mereka tetap bisa berprestasi (OMDS: 340 – 354). Secara sosiologis, tokoh Pambudi merupakan seorang yang mempunyai jiwa pemimpin. Ia menjadi pemimpin bagi teman-temannya (Anak Alam), ia juga rela berkorban untuk temannya. Perhatikan kutipan berikut: Si gigi kelinci alias pambudi mencoba berpikir bagaimana cara untuk mengalahkan Mat Karmin, tanpa seorang pun dari kami yang merasa terbebani. Memang, kami tak pernah merasa menganggap Pambudi sebagai pemimpin kami, tetapi secara tak sadar, aku merasa segan dengan Pambudi. Ia sering kali yang banyak berkorban, selalu memutuskan sesuatu, dan memecahkan persoalan-persoalan pelik (OMDS: 8). Jiwa pemimpin Pambudi selalu muncul ketika sekumpulan anak miskin ini mengalami masalah. Pambudi, pemimpin yang tak pernah diangkat secara langsung. Teman-teman segan dengan kedewasaan Pambudi dalam menghadapi masalah. Pambudilah yang selalu berkorban untuk teman-teman yang lain. c) Yudi Tokoh Yudi mempunyai nama lengkap Wahyudi. Secara fisik, Yudi digambarkan sebagai seorang anak laki-laki yang berwajah lucu bertahi lalat, berambut ikal dan mempunyai kecacatan tubuh, yakni kulitnya albino, putih pucat seperti sapi, banyak bintik-bintik merah seperti kulit babi. Hal ini menjadi ciri khasnya, yang membedakan ia dari teman-temannya. Perhatikan kutipan berikut: “Aku mengenalmu dari kulitmu yang putih pucat seperti sapi, banyak bintik-bintik merah seperti kulit bule, dan yang paling tak bisa kulupakan adalah rambut ikalmu yang seperti sarang lebah.” (OMDS: 69). Yudi adalah seorang pribadi yang ramah, pandai bergaul, tempat berkeluh kesah, dan idenya cemerlang. Seperti kutipan berikut ini: Seandainya tidak ada Pambudi yang berjiwa leader, Pepeng yang lucu, pendiam, dan sok aksi, dan Yudi yang selain enak kalau diajak ngobrol dan kadang idenya cemerlang ini, aku tidak bakal menginjakkan kakiku ke tempat ini (OMDS: 21). Yudi merupakan seorang anak yang penurut. Ia sangat menghormati orang tuanya. Ia selalu menuruti apa yang menjadi perintah orang tuanya. Seperti misalnya ketika ia diminta ayahnya untuk berhenti sekolah. Ia pun menurut, commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
meskipun hatinya hancur karena harus memupus cita-cita yang sudah ia bangun begitu rupa. Sifat penurutnya yang lain yaitu ditunjukkan pada saat menjelang ujian semester. Ibunya menyarankan untuk bisa sukses ujian ia harus meminum segelas air yang sudah diangin-anginkan semalaman di atas genteng. Ia pun menuruti perintah ibunya karena tidak ingin membuatnya kecewa. Meskipun ia tahu bahwa yang wajib dimintai tolong adalah Allah S.W.T., bukan hal-hal takhayul seperti itu. Yudi juga merupakan seorang anak yang rajin belajar dan rajin membantu orang tua. Ayah Yudi bekerja sebagai buruh di peternakan sapi sedangkan ibunya bekerja membuat pisang goreng dan menjualnya keliling kampung. Bahkan ia juga menjual pisang goreng itu ke sekolah untuk dijual pada teman-temannya. Ia tidak malu sedikitpun. Semuanya ini ia lakukan untuk meringankan beban orang tua. d) Pepeng Tokoh Pepeng mempunyai nama lengkap Marpepeng. Secara fisik, Pepeng digambarkan sebagai seorang anak yang ceking, berambut ikal, berhidung pesek, bermata besar. Perhatikan kutipan berikut: Pepeng tersipu malu, seperti gadis kecil yang disanjung puji hingga pipinya berwarna merah, tetapi Pepeng jelas bukan gadis kecil berwajah cantik, ia adalah lelaki ceking berwajah aneh, paduan dari ikan mas koki di matanya dan jambu mete di hidungnya yang nongkrong tetapi tulang hidungnya melesak ke bawah alias pesek (OMDS: 337). Dari penggambaran keadaan fisik Pepeng di atas, tergambar keanehan wajah Pepeng. Komposisi wajah yang aneh dan secara keseluruhan wajah Pepeng digambarkan menyerupai ikan mas koki. Secara psikologis, Pepeng digambarkan sebagai sosok yang pendiam. Di antara Yudi, Pambudi, dan Faisal, ialah yang paling pendiam. Perhatikan kutipan berikut: Yudi dan pambudi tak bisa menahan tawa, mereka tak menyangka, Pepeng yang pendiam itu bisa juga marah, tadinya mereka pikir Pepeng tak menganggap aksi perkenalan di depan kelas bukan suatu pengalaman seru, tak tahunya justru anak pendiam itu yang lebih banyak memendam kebencian di dalam dadanya (OMDS: 110). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
Secara sosiologis, Pepeng merupakan sosok yang pemalu. Sifat pemalunya terlihat pada saat perkenalan memasuki sekolah baru. Perhatikan kutipan berikut: Pepeng yang pemalu ini terlihat paling gugup, tubuhnya menggigil hingga keluar keringat dingin semua. Ia benar-benar seperti seorang artis amatiran yang mengalami demam panggung, dalam hati ia bersumpah lebih mamilih memandikan sapi, menyabiti rumput di pematang, dan membersihkan kandangnya dari kotoran daripada disuruh memperkenalkan dirinya di depan kelasnya yang baru. Untuk beberapa lamanya ia hanya terdiam, semua mata tertuju pada dirinya. “Ayo, sebutkan namamu!” perintah Bu Mutia berusaha membujuk Pepeng. “Namaku jelek Bu.” Pepeng berusaha menolaknya. “Hei jangan gitu lho, jelek-jelek namamu itu kan pemberian orang tuamu, harus kau hargai itu, orang tuamu pasti punya maksud tersendiri dengan namanu.” “Aku malu Bu.”.(OMDS: 93 – 94). Dari kutipan di atas terlihat sifat pemalu Pepeng. Ia malu untuk memperkenalkan diri. Ia malu dan tidak percaya diri dengan nama Marpepeng yang disandangnya. e) Kania Kania merupakan sosok yang secara fisik cantik, tubuhnya mungil, kulitnya bersih. Rambutnya lurus dan suka dikepang dua. Perhatikan kutipan berikut: Tanpa sadar merka menoleh ke arah Kania. Wow, gadis yang cantik, cerdas, dan lihat…, kepang dua dengan pita merah hati itu terukir manis di rambutnya yang hitam. Suatu kesempurnaan yang tiada bandingannya. Kania… selain cantik, tetapi juga berhati emas, dan satu lagi ia berani menantang arus di tengah dominasi suara-suara minor tentang anak-anak alam (OMDS: 97). Kania merupakan seorang anak yang pintar dan rajin. Bahkan tidak hanya pintar, ia juga jenius, ia juara satu di sekolahnya. Selain cantik parasnya, ia juga berhati “cantik”. Teman-teman menjulukinya si bintang jatuh. Perhatikan kutipan berikut: Kania anak pandai, ia tak melewatkan sedikitpun aksara demi aksara ilmu yang tereja dalam lisan Bu Mutia. Ilmu yang diberikan Bu Mutia tak boleh sedikitpun lepas. Bu Mutia juga paham, muridnya yang satu ini luar biasa, bisa dilihat dari sorot matanya nyaris tak berkedip, dari cara dia commityang to user memandang ke papan tulis sambil tangannya tak lepas dari coretan di atas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
buku bergaris,semua menandakan si bintang jatuh itu anak yang keras kepala untuk menuntut ilmu (OMDS: 115 – 116). Kutipan di atas memberikan gambaran tentang kejeniusan Kania beserta kebaikan hatinya. Selain itu, Kania juga merupakan sosok yang mudah bergaul, bijak, selalu membela kebenaran. Ia berani membela ketiga Anak Alam ketika diolok-olok oleh teman-teman sekelas karena kemiskinan mereka. Perhatikan kutipan berikut: “Cukup… cukup… sudah… sudah… Mau miskin, mau kaya, tiap orang punya kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan.” “Hei, Kania rupanya membela mereka ya, hingga berani menentang kai.’ “Aku tak membela siapa-siapa, aku hanya membela kebenaran. Sudahlah, omongan anak-anak jangan dimasukkan hati ya, anak-anak kalau bercanda memang suka kelewatan,” kata Kania kepada anak-anak alam, mengobati rasa ragu yang selalu menggelayuti dada-dada mereka untuk kembali ke kehidupan liar mereka (OMDS: 97). Kutipan di atas memberikan gambaran tentang keberanian Kania dalam membela kebenaran. Ia membela ketiga Anak Alam yang sedang diolok-olok teman satu kelas. Ia tidak takut sedikitpun. f) Bu Mutia Bu Mutia merupakan guru kelas 1-2 di SD Kartini. Ia mempunyai nama lengkap Muzdalifah Hatta Sandyani. Secara fisik ia digambarkan berwajah cantik, berbulu mata lentik, berkacamata minus, beralis tebal, dan rambutnya selalu disanggul. Perhatikan kutipan berikut: Sejenak aku bingung dengan kata-kata itu, tetapi setelah aku tanyakan pada Bu Mutia, Muzdalifah Hatta Sandyani lengkapnya,, ibu guru dengan bulu mata lentik di balik kaca mata minus, beralis mata tebal, dan rambut yang tersanggul seperti Ibu Kartini itu hanya tersenyum penuh arti (OMDS: 60 – 61). Secara psikologis, Bu Mutia digambarkan memiliki pribadi yang sederhana, lemah lembut dan penyayang. Namun ia juga tegas ketika menghadapi sesuatu hal yang memang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Perhatikan kutipan berikut: Ibu guruku, Ibu Mutia, di kelas satu adalah sosok ibu yang tak pernah tergantikan. Beliau adalahcommit sosok topenyayang dan lemah lembut. Selama user empat puluh tahun mengabdi, sejak sekolah ini dibangun di masa awal
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
kemerdekaan, sudah berapa murid yang diajarkannya membaca. Aku bisa membaca karena Bu Mutia, aku benar-benar bangga Bu Mutia (OMDS: 89). Sikap tegas Bu Mutia ditunjukkan ketika peristiwa penerimaan rapor, yaitu pada saat ia berhadapan dengan ayah Karisma yang tetap ngotot ingin anaknya naik kelas. Padahal Bu Mutia sudah meyakinkan bahwa keputusannya untuk tidak menaikkan Karisma ke kelas selanjutnya adalah semata-mata untuk kebaikan Karisma sendiri. Tetapi ayah Karisma malah marah-marah serta memaki maki Bu Mutia dan tetap meminta untuk menaikkan anaknya. Bu Mutia yang selalu memikirkan murid-muridnya serta taat pada peraturan yang berlaku tidak mau menuruti perintah ayah Karisma. Karena jika ia tetap meloloskan permintaan ayah karisma itu berarti ia menyalahi aturan. Ia tetap tegas dan patuh pada pendiriannya. Hingga kemudian ayah Karisma sadar bahwa ialah yang salah. Ialah yang harus mengkoreksi diri, mencari sebab kenapa anaknya bisa tidak naik kelas (OMDS: 381 – 399). Sosok Bu Mutia secara sosiologis merupakan pribadi yang ramah dan menjadi guru yang bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya. Ia merupakan seorang pemandu bakat yang baik dan seorang pendidik sejati. Perhatikan kutipan berikut: Bu Mutia benar-benar seorang pemandu bakat yang luar biasa. Kau bisa melihat dari sorot matanya, ia benar-benar menginginkan mereka menjadi murid-murid luar biasa, menyanjung-nyanjung mereka, mengibarkan dan mengunggulkan bakat-bakat terpendam mereka agar nampak berkilat. Mereka merasa senang sebab Bu Mutia benar-benar seorang pendidik sejati. Ia tak hanya mengajarkan mata pelajaran, tetapi sorot matanya yang meneduhkan itu membuat mereka percaya diri (OMDS: 115). Kutipan di atas memrikan gambaran bagaimana sosok Bu Mutia yang luar biasa. Seorang guru yang berdedikasi tinggi. Ia melakukan apa saja untuk bisa membuat murid-muridnya pandai. Murid-murid sangat menyayanginya. g) Mat Karmin Mat Karmin secara fisik digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berusia sekitar 30-an. Tubuhnya bongsor, jakun dan bulu sudah tumbuh yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
berarti menandakan ia sudah dewasa. Wajahnya tirus dengan tonjolan tulang pipi dan geraham yang bergemeletukan. Perhatikan kutipan berikut: Seorang laki-laki yang dilihat dari wajahnya, usianya tak lagi muda, sekitar 30-an tahun lebih, senyum-senyum sendiri sambil tertidur di rumput perdu, tubuhnya terguncang-guncang oleh tawa yang tak bisa ditahan dari diafragma perutnya (OMDS: 227). Mat Karmin merupakan penjual mainan anak-anak di Kampung Genteng. Ia digambarkan sebagai seorang yang licik. Hal ini terlihat ketika pertandingan layang-layang. Ketika ada layang-layang putus, otomatis siapa saja boleh memilikinya asalkan dapat menangkapnya. Tetapi tidak dengan Mat Karmin. Ia tidak rela layang-layang itu jatuh ke tangan orang lain. Sehingga ia mengutus anak SMP untuk merebut layang-layang tersebut, atau bahkan merampasnya sendiri. Layang-layang itu kemudian diperbaiki dan dijualnya lagi (OMDS: 8). Mat Karmin ditemukan warga ketika masih bayi. Kemudian diangkat anak oleh salah seorang warga kampung Genteng. Namun ketika bicaranya masih cedal, orang tua angkatnya meninggal. Akhirnya ia hidup sebatang kara dan hanya berteman dengan kesunyian. Tiga tahun pertamanya dihabiskan dengan kesendirian. Ia menjadi manusia kamar, ia tumbuh menjadi pribadi yang introvert yang tak mengenal dunia luar selain kamarnya. Ia hidup damai di dalam kegelapan dan kesunyian. Lima tahun kemudian ia tumbuh menjadi remaja, tetapi ia kesulitan berbicara karena tidak pernah bergaul dengan manusia satupun. Hingga kemudian ia tertarik dengan dunia anak-anak saat melihat kegembiraan mereka bermain hujan. Mat Karmin sangat tertarik dengan dunia anak-anak yang penuh kegembiraan. Ia seperti anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, masa kecil yang kurang bahagia (OMDS: 55 – 57). Karena sering bergaul dengan anak kecil mengakibatkan ia tertarik dengan anak kecil. Belakangan diketahui bahwa ia seorang pedophilia, yakni seorang yang mengalami penyimpangan seksual pada seorang anak yang tak berdosa. Laboratorium forensik kepolisian berhasil mengungkap satu kejahatan kriminal yang dilakukan oleh seorang pedophilis. Mat Karmin begitu mengagetkan karena lelaki pendiam itu punya kecenderungan aneh. Ia tidak normal karena menyukai anak-anak kecil untuk dijadikan objek birahinya (OMDS: 235). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 86
Kutipan di atas memberikan kejelasan mengenai perilaku Mat Karmin yang aneh. di satu sisi Mat Karmin seorang yang pendiam, namun di sisi lain ia menyimpan perilaku menyimpang yang sangat merugikan orang lain, terlebih anak-anak. h) Karisma Karisma merupakan teman sekelas Anak Alam yakni kelas 1-2. Ia adalah anak orang kaya. Ayahnya adalah seorang juragan sablon yang beromzet lumayan.
Secara fisik, ia digambarkan sebagai seorang anak laki-laki yang
bertubuh kurus, berkulit hitam dan berambut jagung. Perhatikan kutipan berikut: Semua pendangan menoleh ke arah anak kecil bertubuh tipis seperti triplek, berkulit hitam, dan rambut jagungnya sangat khas sekali (MDS: 392). Karisma merupakan anak yang usil, pemalas, pemberontak, berotak tumpul, ketika diberi pelajaran tidak mau mendengarkan. Seperti kejadian saat Yudi dan Pepeng disuruh mandi di sekolah karena tubuhnya bau sebab di rumah mereka tidak sempat mandi. Karisma malah ingin ikut keluar jam pelajaran. Kemudian ia memboreh-borehi tubuhnya dengan daun kentut. Hal ini mengakibatkan tubuhnya bau. Sehingga mau tak mau ia diharuskan ikut mandi bersama Yudi dan Pepeng. Ia merasa senang sekali karena diperbolehkan tidak ikut pelajaran. Ia sangat tidak suka dengan pelajaran matematika. Pelajaran matematika merupakan momok baginya, dan ingin sekali ia menghindari mata pelajaran yang satu ini ( OMDS: 258 – 271). Karisma malas mengikuti palajaran. Malah ia juga malas untuk sekolah. Yang ada di dalam pikirannya adalah bermain game. Ketika diberi pelajaran, pikirannya selalu kemana-mana. Tidak pernah konsentrasi. Tak satu pun pelajaran masuk ke otaknya. Perhatikan kutipan berikut: Semua murid sibuk mendengarkan dengan seksama, tetapi pikiran Karisma melayang entah ke mana, walaupun matanya memandangi hurufhuruf pada buku cetak bagai serombongan semut hitam yang sedang berbaris rapi. Pikiran Karisma melayang di rumahnya, membayangkan keasyikan selepas pulang sekolah ia akan segera main video game bersama teman-temannya (OMDS: commit 285). to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
Kutipan di atas menggambarkan bagaimana bentuk kemalasan Karisma. Ia malas sekolah. Walaupun masuk sekolah pikirannya tidak pernah fokus ke pelajaran. Akibatnya pada saat kenaikan kelas, ia tidak naik kelas. Ini merupakan buah kemalasannya selama ini. i) Rena Rena merupakan teman sekelas anak alam yakni di kelas 1-2. Ia digambarkan sebagai seorang anak perempuan yang cantik, berasal dari keluarga kaya. Ia adalah anak semata wayang. Orang tuanya berprofesi sebagai dokter gigi. Mungkin karena merasa berasal dari keluarga yang kaya raya, ia hanya mau berteman dengan orang yang sederajat saja. Ia sangat tidak menyukai keberadaan Anak Alam yang notabene berasal dari keluarga tidak mampu bahkan bisa dikatakan gembel yang hidupnya di bawah kolong jembatan. Rena digambarkan sebagai seorang yang ketus, tinggi hati, asosial, pilihpilih dalam berteman, suka menghina orang lain terutama yang miskin, dan egois. Perhatikan kutipan berikut: Ia sedang di alam mimpi, setengah mengantuk hingga suara daun pintu yang berkeretan merobek alam bawah sadarnya. Rena ternyata yang keluar, menunjukkan sikap yang tak berubah, ketus dan tinggi hati, apalagi tahu siapa yang dihadapinya, anak dekil, kumuh, dan tukang cari perhatian di kelas. Ini merupakan kesempatan besar melampiaskan uneg-uneg yang dipendam dalam dadanya (OMDS: 343). Pambudi segera menyampaikan maksud kedatangannya untuk meminjam buku. Mendengar maksud kedatangan Pambudi ke sini, jangankan meminjami buku, tapi Rena malah memaki-makinya dan langsung meninggalkan Pambudi. Rena juga suka merendahkan orang lain yang derajatnya lebih rendah dari dia. Ia suka menghina Anak Alam, memaki-maki tak karuan tanpa peduli. Perhatikan kutipan berikut: “Ah, masa bodoh. Anak-anak kampung itu membuat selera belajarku turun, mataku seperti mengganjal sesuatu, hidungku seperti tidak bebas menghirup udara di kelas ini, ada bau-bau yang bikin aku sesak napas, telingaku juga nggak terbiasa mendengar bunyi-bunyi asing yang membuatku harus menutupnya. Dan itu semua disebabkan oleh kedatangan anak-anak kampung itu, anak-anak sok pintar dan tukang cari perhatian” (OMDS: 326). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
Kutipan di atas memberikan gambaran mengenai sifat Rena yang sangat tidak terpuji. Ia berasal dari keluarga kaya, sehingga ia enak saja merendahkan orang lain. j) Yok Bek Yok Bek merupakan pemilik peternakan sapi di Gedong Sapi, tempat orang tua ketiga Anak Alam bekerja dan menggantungkan hidup. Ia adalah seorang keturunan Cina. Ia digambarkan sebagai seorang perempuan tua yang sudah uzur, berusia sekitar tiga perempat abad, yaitu sekitar 75-an tahun. Tubuhnya kurus dan kulitnya sudah mulai keriput, menandakan bahwa usianya memang sudah senja. Perhatikan kutipan berikut: Wajah Yok Bek kian hari kian pucat seputih kertas, tubuh tuanya seperti pohon kayu yang meranggas, kerut-merut di wajahnya semakin nampak kusut, matanya yang tenggelam dalam cekungan rongga matanya terlihat seperti tengkorak hidup, ia terus saja menatap para pekerja setianya dengan sorot mata tajam, namun tak lagi bersinar (OMDS: 136). Seperti layaknya kebanyakan orang Cina, ia digambarkan sebagai sosok yang ulet dalam bekerja, karena sampai usianya sudah uzur ia tetap masih mengurusi peternakannya, walaupun bisa saja ia ikut anaknya dan menikmati sisa hidupnya dengan bahagia. Perhatikan kutipan berikut: Yok Bek adalah peternak sapi yang ulet, susu sapinya sudah terkenal seJawa Tengah dan selalu dipasok setiap pagi hari, ditempatkan dalam termos-termos besar dan diangkut dengan mobil bak terbuka (OMDS: 16). Yok Bek merupakan pribadi yang keras, suka memeras, pelit dan terkadang kasar terhadap pekerjanya. Sering memaki-maki pekerjanya bila pekerjaannya tidak sempurna. Perhatikan kutipan berikut: Ayah ketiganya bekerja pada Yok Bek, memelihara sapi-sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, hingga mencarikan rumput segar. Kadang Yok Bek- perempuan Cina-itu berdiri berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya, dibentak-bentaknya ayah ketiga temanku itu dengan kasar, bahkan kadang kata-kata makian yang aku tahu, bahasa itu tabu bagi anak-anak. Dari sini aku belajar pengalaman lagi. Orang kaya bisa seenaknya memperlakukan orang miskin, sebab tubuh mereka telah dibeli untuk menuruti semua perintah (OMDS: 17).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 89
Secara sosiologis, ia digambarkan sangat menjaga jarak, tertutup dan jarang bersosialisasi dengan kaum pribumi di sekitarnya. Ia hanya mau bergaul dengan kaum yang sejenis atau bahkan sederajat dengannya. Hal ini digambarkan melalui rumahnya di Gedong Sapi. Rumahnya dipagari tembok-tembok tinggi yang di sini disebut dengan ghetto-ghetto. Hanya ada satu pintu untuk akses masuk ke dalam. Itu pun selalu tertutup. Tidak seperti rumah warga pribumi yang terbuka, kalaupun berpagar hanya rendah. Orang-orang Cina memang sengaja menjaga jarak dengan kami, orang Jawa. Budaya mereka sangat tertutup, terhalang oleh tembok-tembok tinggi, ghetto-ghetto yang sengaja dibangun untuk menutup diri dari dunia luar. Apa yang mereka lakukan, orang-orang kampung tak pernah tahu, kecuali hanya para pekerja, ketiga ayah temanku itu. Aku sebagai orang luar dan hanya baru-baru ini saja bermain ke Gedong Sapi dibuat terheranheran, mengapa rumah orang-orang Cina begitu tertutup (MDS: 18). k) Pak Cokro Dalam cerita ini, Pak Cokro merupakan seorang lelaki tua, ia merupakan seorang dukun yang sangat dipercaya warga kampung Genteng untuk mengobati berbagai penyakit dan tempat berkonsultasi dengan sesuatu yang bersifat gaib. Seperti layaknya dukun kebanyakan, ia digambarkan berpenampilan nyentrik dan misterius. Kukunya panjang dan hitam, tidak pernah memakai alas kaki, giginya geripis dan berwarna hitam, dan tubuhnya berbau tak sedap. Perhatikan kutipan berikut: Dari ujung kaki dengan kuku-kuku berwarna hitam panjang dan tak beralas kaki, aku sudah tahu, pasti orang paling menjijikkan sedunia itu yang hadir, bau udang busuk santer menusuk hidungku. Pak Cokro terkekeh melihatku, deretan gigi-giginya yang geripis dan berwarna hitam arang itu membuat penampilannya semakin menjijikkan (OMDS: 175). Pak Cokro dipercaya untuk menjadi perantara dengan dunia gaib. Padahal sebenarnya ia tidak mempunyai kemampuan dalam hal itu. Ia hanya seorang lelaki tua yang bodoh, yang pekerjaannya hanya menipu dan mengakali warga dengan praktik perdukunannya itu. Hal ini diakuinya ketika ia berusaha menyembuhkan Faisal. Namun keadaan kemudian terbalik, Faisal berpura-pura kesurupan jin Belanda yang kemudian menakut-nakuti dan mengancam Pak Cokro agar tidak commit to user membohongi dan membodohi warga lagi. Ia pun bertekuk lutut di hadapan Faisal,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 90
yang dikiranya sudah dirasuki jin Belanda. Ia kemudian taubat dari praktik perdukunannya (OMDS: 171 – 179). Setelah menyadari kesalahannya selama ini, Pak Cokro bertaubat dan ingin sekolah. Ia bertekad untuk sekolah. Di sini digambarkan kegigihan dan tekad kuat Pak Cokro untuk bisa membaca dan menulis. Hingga kemudian ia telah mahir membaca dan menulis, ia bertekad untuk mengajarkan warga kampung Genteng membaca dan menulis. Cita-citanya adalah menjadikan kampung Genteng menjadi kampung yang melek huruf (OMDS: 217 – 227). d. Latar Burhan Nurgiyantoro (2005: 227 – 235) menyatakan bahwa latar dalam novel menyangkut keterangan mengenai sosial budaya, tempat dan waktu di mana peristiwa itu terjadi. Unsur latar dibedakan menjadi tiga unsur pokok, yaitu: tempat, waktu dan sosial. 1) Novel LP a) Latar Tempat Latar tempat menyaran pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan sebuah karya fiksi. Secara umum novel LP berlatar tempat di Belitong. Belitong dipaparkan sedemikian luas dan terperinci. Letak geografis, kekayaan alam dan potensi yang dimiliki, suku bangsa yang mendiami, serta kebudayaan yang melekat di Belitong. Perhatikan kutipan berikut ini: Pulau Belitong yang makmur seperti mengasingkan diri dari tanah Sumatera yang membujur dan di sana mengalir kebudayaan Melayu yang tua (LP: 41). Lingkungan hidup anggota Laskar Pelangi adalah pedesaan, yang dalam novel ini disebut sebagai kampung. Dari hasil penelitian, sepanjang cerita pengarang tidak menyebutkan nama kampung tempat tinggal anggota Laskar Pelangi. Satu-satunya kampung yang disebutkan hanyalah tempat tinggal Lintang. Keluarga Lintang berasal dari Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut (LP: 11). (1) Sekolah Muhammadiyah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 91
Sekolah Muhammadiyah merupakan tempat para tokoh cerita yakni kesepuluh anggota Laskar Pelangi bersekolah. Tempat ini merupakan tempat yang paling banyak digunakan sebagai latar cerita. Sekolah ini merupakan sekolah Islam pertama di Belitong, mungkin juga di Sumatera Selatan. Merupakan sekolah miskin, tanpa fasilitas, kondisinya sangat memprihatinkan seperti layaknya gudang kopra. Kosen pintu yang miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Perhatikan kutipan berikut: Sekolah ini adalah sekolah Islam pertama di Belitong, mungkin di Sumatera Selatan (LP: 23). Tak susah melukiskan sekolah kami karena sekolah kami adalah salah satu dari ratusan atau bahkan ribuan sekolah miskin di seantero negeri ini yang jika disenggol sedikit saja oleh kambing yang senewen ingin kawin, bisa rubuh berantakan (LP: 17). Dari kutipan di atas digambarkan keadaan sekolah Muhammadiyah. Di sekolah ini kesepuluh anggota Laskar pelangi menjalani pendidikannya dari SD hingga SMP. Sekolah ini menjadi latar yang menempati posisi penting dalan kisah ini. Sekolah sebagai tempat berlangsungnya pembelajaran bagi kesepuluh siswa miskin ini. Deskripsi yang menunjukkan cerita ini berlangsung di sekolah diperlihatkan hampir dalam setiap bab, hal tersebut terlihat melalui percakapan dalam proses pembelajaran berikut ini: Dan di siang yang panas menggelegak ini, ketika pelajaran seni suara, di salah satu sudut kumuh perguruan miskin Muhammadiyah, kami menjadi saksi bagaimana nasib menemukan bakat Mahar (LP: 129). Dari kutipan di atas digambarkan keadaan pada saat pelajaran seni suara yang berlangsung siang hari. Pada pelajaran seni suara inilah secara tidak sengaja bakat Mahar tergali. (2) Pohon Filicium Pohon filicium juga menjadi latar kesepuluh anak miskin ini dalam melakoni pendidikannya selama di perguruan Muhammadiyah. Di bawah pohon ini mereka bisa bermain, melepas lelah seusai pelajaran, mengadakan rapat, mencari inspirasi. Perhatikan kutipan berikut: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 92
Jika istirahat siang Sahara dan Harun duduk berdua di bawah pohon filicium (LP: 77). Selain digunakan untuk rapat, bermain, melepas lelah, di pohon ini pula mereka sering melihat pelangi seusai hujan reda. Perhatikan kutipan berikut: Kepentingan kami tak kalah mendesak dibanding keperluan kaum unggas, fungi, dan makhluk lainnya terhadap filicium karena dari dahan-dahannya kami dapat dengan leluasa memandang pelangi (LP: 159). Dari kutipan di atas tergambar bagaimana kegemaran mereka melihat pelangi dari pohon filicium. Oleh karena kegemaran mereka ini, Bu Mus memberikan julukan “Laskar Pelangi:. (3) Gedong Gedong merupakan sebuah kawasan eksklusif yang dihuni oleh kaum borjuis penguasa PN Timah. Di dalam kawasan ini penuh dengan fasilitas mewah dan serba lengkap. Rumah-rumahnya mewah bergaya Victorian dengan sarana dan prasarana yang superlengkap. Sangat mencolok mata jika dibandingkan dengan keadaan di luar Gedong. Perhatikan kutipan berikut: Mereka, kaum borjuis ini, bersemayam di kawasan eksklusif yang disebut Gedong. Mereka seperti orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Feodalisme Belitong adalah sesuatu yang unik, karena ia merupakan konsekuensi dari adanya budaya korporasi, bukan karena tradisi paternalistik dari silsilah, subkultur, atau privilase yang dianugerahkan oleh penguasa seperti biasa terjadi di berbagai tempat lain (LP: 42). Kemewahan yang ada di Gedong sangat berkebalikan dengan keadaan di luar Gedong. Perbedaan ini bagaikan langit dan bumi. Dari kutipan di atas, pengarang membandingkan keadaan Gedong dengan orang-orang kulit putih di wilayah selatan Amerika pada tahun 70-an. Sungguh ketimpangan yang mencolok mata. (4) Sekolah PN Sekolah PN merupakan sekolah yang berada di kawasan Gedong, dengan kualitas terbaik di seantero Belitong. Perhatikan kutipan berikut: Sekolah-sekolah ini berdiri megah di bawah naungan Aghatis tua berusia ratusan tahun dan dikelilingi pagar besi tinggi berulir melambangkan commit to user kedisiplinan dan mutu tinggi pendidikan. Sekolah PN merupakan center of
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 93
excellen atau tempat bagi semua hal yang terbaik. Sekolah ini demikian kaya raya karena didukung sepenuhnya oleh PN TImah, sebuah korporasi yang kelebihan duit. Institusi pendidikan yang sangat modern ini lebih tepat disebut percontohan bagaimana seharusnya generasi muda dibina (LP: 57). Dari kutipan di atas digambarkan sekolah PN. Sekolah ini didukung sepenuhnya oleh PN Timah. Sekolah ini berdiri megah dengan fasilitas yang super lengkap. Sebuah institusi pendidikan yang sangat modern dan hendaknya dijadikan percontohan. Yang bisa bersekolah di sini hanyalah orang-orang borjuis saja, yakni petinggi-petinggi di PN Timah. (5) Toko Sinar Harapan Toko Sinar Harapan menjadi latar ketika murid sekolah Muhammadiyah membeli kapur tulis. Tempat ini juga yang menjadi latar ketika Ikal bertemu dengan A Ling, cinta pertamanya (200 – 214). Toko Sinar harapan, pemasok kapur satu-satunya di Belitong Timur, amat jauh letaknya (LP: 195). Toko Sinar harapan terletak sangat strategis di tengah pusaran bau busuk. Ia berada di antara pedagang kaki lima, bengkel sepeda, mobil-mobil omprengan, dan pasar ikan (LP: 200). Kutipan di atas menggambarkan keadaan toko Sinar Harapan. Di toko ini setiap senin murid sekolah Muhammadiyah membeli kapur tulis. Keadaan toko ini sangat
sesak
dengan
barang-barang
yang
bertumpuk-tumpuk
sehingga
menimbulkan bau yang tidak sedap. Sehingga orang tidak akan betah berlamalama di dalam toko ini. Namun, di tengah tumpukan barang-barang dagangan ini, Ikal menemukan cinta pertamanya yakni A Ling. Ikal jatuh cinta dengan kukukuku cantik yang senantiasa menyodorkan kapur tulis kepadanya. (6) Pangkalan Punai Pangkalan Punai merupakan salah satu pantai di daerah Belitong timur yang biasa menjadi tempat rekreasi murid sekolah Muhammadiyah. Perhatikan kutipan berikut: Kami, SMP Muhammadiyah, pergi ke Pangkalan Punai. Jauhnya kira-kira 60 km, ditempuh naik sepeda. Semacam liburan murah yang asyik luar commit to user biasa (LP: 179).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 94
Setiap kali berdiri di bibir pantai aku selalu terkejut, persis seperti pasukan Alexander Agung pertama kali menemukan India. Jika laut berakhir di puluhan hektar daratan landai yang dipenuhi bebatuan sebesar rumah dan pohon-pohon rimba yang rindang merapat ke tepi paling akhir ombak pasang mengempas, maka kita akan menemukan keindahan pantai dengan cita rasa yang berbeda. Itulah kesan utama yang dapat kukatakan mengenai Pangkalan Punai (LP: 179). Dari kutipan di atas digambarkan peristiwa ketika anggota Laskar Pelangi pergi liburan dengan naik sepeda menuju Pangkalan Punai. Di tempat ini mereka biasa menghabiskan masa liburan. (7) Gunung Selumar Gunung Selumar merupakan gunung yang sering dikunjungi anggota Laskar pelangi. Perhatikan kutipan berikut: Setelah tiga jam mendaki kami tiba di puncak. Lelah, haus, dan berkeringat, tapi tampak jelas rasa puas pada setiap orang, sebuah ekspresi “telah mampu menaklukkan”. Aku menyingkir dari kegirangan temantemanku, sendirian menelusuri padang ilalang rendah di puncak gunung, memetik bunga-bunga liar. Kupandangi lagi atap rumah A Ling dan segenggam bunga liar nan cantik di dalam genggaman. Untuk inikah aku mendaki gunung setinggi ini? (LP: 291). Selain di Pangkalan Punai, anggota Laskar Pelangi juga sering mengunjungi Gunung Selumar. Gunung Selumar tidak terlalu tinggi tapi puncaknya merupakan tempat tertinggi di Belitong Timur. Dari kejauhan gunung ini tampak seperti perahu terbalik, kukuh, biru, dan samara-samar. Di sepanjang tanjakan dan turunan menyusuri bahu kiri Gunung Selumar berderet-deret rumahrumah penduduk Selinsing dan Selumar. (8) Pulau Lanun Pulau Lanun merupakan sebuah pulau terpencil di Belitong tempat seorang dukun yang melegenda berada, yakni Tuk Bayan Tula. Perhatikan kutipan berikut: “Tuk Bayan Tula tinggal di sebuah gua yang gelap, di jantung pulau Lanun. Pulau itu berbelok menyimpang dari jalur nelayan, jadi tak seorang pun akan kesana (LP: 316). Tuk Bayan Tula kembali hadir di mulut gua dalam keadaan terengahengah, compang-camping commit dan berantakan to user (LP: 420).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 95
Kutipan di atas menggambarkan peristiwa ketika anggota Sicieteit de Limpai pergi ke Pulau Lanun untuk menemui Tuk Bayan Tula. Mereka ingin meminta bantuan kepada Tuk Bayan Tula agar nilai ulangannya membaik. (9) Halaman Kelenteng Latar halaman kelenteng digunakan tempat peristiwa ketika A Ling membuat janji dengan Ikal untuk bertemu ketika sembahyang rebut. Perhatikan kutipan berikut: Aku berdiri tegak di bawah pohon seri di halaman kelenteng sambil memegangi sepedaku, menunggu.(LP: 265). Ia datang dari arah yang sama sekali tidak kuduga karena tadi ia sudah berada di dalam kelenteng memperhatikanku (LP: 268). Di halaman kelenteng ini Ikal menunggu A Ling dengan sabar. Ikal menunggu A Ling dengan hati yang berdebar-debar, Karena ini kali pertama ia membuat janji bertemu dengan A Ling pujaan hatinya. (10) Tempat Lomba Kecerdasan (Tanjong Pandan) Latar ini digunakan sebagai tempat murid sekolah Muhammadiah berlomba cerdas cermat melawan sekolah lain, yakni di kota kabupaten Tanjong Pandan. Lintang sudah membatu sejak subuh tadi. Di atas truk terbuka yang membawa kami ke ibu kota kabupaten ini, Tanjong Pandan, ia membisu seperti orang sakit gigi parah (LP: 367). Dalam sebuah ruangan berasitektur art deco, di ruangan oval yang ingarbingar, kami terpojok: aku, Sahara, dan Lintang. Kembali kami berada dalam situasi yang mempertaruhkan reputasi. Lomba kecerdasan (LP: 363). Di acara lomba kecerdasan ini, Ikal, Sahara dan Lintang mewakili sekolah Muhammadiyah untuk melawan sekolah-sekolah lain se Kabupaten. Di ajang ini mereka membuktikan diri bahwa kemiskinan yang mereka hadapi bukan menjadi penghalang untuk tetap bisa berprestasi. Lintang si jenius berhasil mengharumkan nama baik sekolah Muhammadiyah dengan membawa sekolah ini ke gerbang kemenangan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 96
(11) Zaal Batu Zaal batu merupakan nama sebuah rumah sakit jiwa yang sudah sangat tua yang letaknya di sungai Liat, Bangka. Di sinilah tempat Trapani dan ibunya dirawat. Trapani yang memang sejak kecil tidak bisa lepas dari ibunya, ternyata menderita mother complex yang ekstrem. Ia akan berteriak-teriak ketika bangun tidur tidak ada ibu disampingnya. Perhatikan kutipan berikut: Sore itu mendung ketika kami tiba di Zaal batu. Suara azan ashar bersahutsahutan lalu sepi pun mencekam. Kami memasuki gedung tua berwarna serba putih dengan plafon tinggi dan pilar-pilar. Lalu kami melewati sebuah selasar panjang berlantai ubin tua berwarna cokelat dan bermotif jajaran genjang simetris (LP: 446). Aku memutar gagang pintu dan menghambur ke dalam. Kuhampiri mereka dengan hati-hati. …. Aku ingin berteriak dan meledakkan tangis. Aku mengenal dengan baik kedua anak beranak yang malang ini. Mereka adalah Trapani dan ibunya (LP: 452 – 453). Peristiwa di atas adalah peristiwa Ikal ketika mengantar keponakannya ke rumah sakit jiwa Zaal Batu untuk melakukan penelitian mengenai suatu penyakit langka. Tak disangka-sangka, ternyata penderita yang akan menjadi objek penelitian adalah Trapani dan ibunya. Ini membuat Ikal sangat kaget. Ia tak menyangka nasib Trapani akan berakhir di rumah sakit ini. (12) Kota Bogor Selain berlatar tempat di Pulau Belitong, ada juga sebagian kecil yang berlatar tempat di kota Bogor, yakni pada waktu Ikal dewasa dan bekerja menjadi pegawai kantor pos. Perhatikan kutipan berikut ini: Setiap pulang kerja, Aku sering duduk melamun di pokok pohon randu, di pinggir lapangan Sempur. Dekat kamar kontrakanku. Menghadap kali Ciliwung aku memperotes Tuhan (LP: 441). Aku merangkak-rangkak kedinginan. Terseok-seok menuju kantor pos melewati bantaran kali Ciliwung (LP: 442). Di kota Bogor ini, Ikal menjalani masa dewasanya. Setelah lulus SMA, I pergi ke Bogor untuk melanjutkan pendidikannnya di perguruan tinggi. Setelah lulus dari perguruan tinggi dan mendapat gelar Sarjana Ekonomi, ia bekerja commit to user sebagai pegawai pos.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 97
b) Latar Waktu Burhan Nurgiyantoro (2005: 227 – 235) menyatakan bahwa latar waktu berhubungan dengan masalah “kapan” terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Masalah “kapan” tersebut biasanya dihubungkan dengan waktu faktual, waktu yang ada kaitannya atau dapat dikaitkan dengan peristiwa sejarah. Latar waktu dalam fiksi dapat menjadi dominan dan fungsional jika digarap secara teliti, terutama jika dihubungkan dengan waktu sejarah. Pengangkatan unsur sejarah ke dalam karya fiksi akan menyebabkan waktu yang diceritakan menjadi bersifat khas, tipikal, dan dapat menjadi sangat fungsional, sehingga tak dapat diganti dengan waktu yang lain tanpa mempengaruhi perkembangan cerita. Latar waktu menjadi amat koheren dengan unsur cerita yang lain. Dalam cerita ini, pengarang tidak secara eksplisit menyebut kapan (tahun) terjadinya peristiwa ini. Akan tetapi di dalam novel ini disinggung-singgung mengenai masa pemerintahan presiden Soeharto dan ada beberapa bagian yang juga menyebut tahun yakni tahun 1987 dan tahun 1991. Jadi hal ini bisa dijadikan petunjuk bahwa kisah ini diperkirakan mengambil latar waktu pada masa itu, yakni masa pemerintahan Seharto yaitu kurun waktu 1966 – 1998. Karena di kampung kami tidak ada sawah maka kapal-kapal itu memutuskan untuk membawa barang-barang penting saja, dan koran dianggap kurang penting. Maka koran-koran itu terlambat selama tiga puluh dua tahun. Kami tak tahu apa yang terjadi di Jakarta. Tapi setelah koran-koran itu tiba kami tidak kecewa meskipun telah terlambat selama itu karena ternyata sang kepala suku masih orang yang sama (LP: 277 – 278). Pada tahun 1987 harga timah dunia merosot dari 16.000 USD/metriks ton menjadi hanya 5.000 USD/metriks ton dan dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena PHK (LP: 482). Tahum 1991 perguruan Muhammadiyah ditutup (LP: 486). Selain itu, latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang dialami tokohnya. Latar waktu menggunakan senja, malam, siang, to user menjelang maghrib, subuh pagi,commit fajar, sore dan menunjuk jam serta tingkatan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 98
kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) yang menyatakan bahwa penekanan waktu lebih pada keadaan hari, misalnya pagi, siang, atau malam. Penekanan ini dapat juga berupa penunjukan waktu yang telah umum, misalnya maghrib, subuh, ataupun dengan cara penunjukan waktu pukul jam tertentu. c) Latar Sosial Latar sosial menyaran pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup kompleks. Latar sosial dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat, tradisi, keyakinan, bahasa sehari-hari, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang bersangkutan. Latar belakang sosial budaya novel LP adalah sebuah kehidupan masyarakat yang ada di Belitong, dengan kesederhanaan masyarakat dan heterogennya suku bangsa yang tinggal. Masyarakat dalam novel ini dikisahkan sebagai masyarakat yang miskin, penuh dengan keterbatasan ekonomi. Masyarakat Belitong kebanyakan berasal dari suku Melayu, Sawang, dan keturunan Cina (Hokian). Karena ada berbagai suku bangsa yang tinggal di Belitong, maka percampuran budaya tidak terhindarkan, baik itu adat istiadat/ kepercayaan, sikap hidup, dan bahasa yang dipakai. (1) Adat istiadat/Kepercayaan Adat istiadat yang menjadi latar novel LP yaitu adat istiadat Melayu dan Tionghoa. Sebuah komunitas Melayu dengan setia memelihara jenis musik atau seni tertentu yang secara sadar maupun tidak telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam kehidupannya. Perhatikan kutipan berikut: Kami orang-orang Melayu adalah pribadi-pribadi sederhana yang memperoleh kebijakan hidup dari para guru mengaji dan orang-orang tua di surau-surau sehabis salat maghrib. Kebijakan itu disarikan dari hikayat para nabi, kisah Hang Tuah, dan rima-rima gurindam. Ras kami adalah ras yang tua. Malay atau Melayu telah dikenal Albert Buffon sejak lampau ketika ia mengidentifikasi ras-ras besar Kaukasia, Negroid, dan Mongoloid. Meskipun banyak antropolog berpendapat bahwa ras Melayu Belitong tidak sama dengan ras Malay commit to user versi Buffon – dengan kata lain kami sebenarnya bukan orang Melayu – tapi kami tak membesar-besarkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 99
hal itu. Pertama karena orang-orang Belitong tak paham akan hal itu dan kedua karena kami tak memiliki semangat primordialisme. Bagi kami, orang-orang sepanjang pesisir selat Malaka sampai ke Malaysia adalah Melayu – atas dasar ketergila-gilaan mereka pada irama semenanjung, dentaman rebana, dan pantun yang sambut-menyambut – bukan atas dasar bahaa, warna kulit, kepercayaan, atau struktur bangun tulang-belulang (LP: 162 – 163). Mengenai kepercayaan, masyarakat Pulau Belitong percaya terhadap seekor burung yang disebut burung Pelintang Pulau. Menurut kepercayaan masyarakat, apabila burung Pelintang Pulau singgah di kampung mereka, maka di tengah laut sedang terjadi badai atau angin puting beliung yang ganas. Perhatikan kutipan berikut: Nama burung Pelintang Pulau selalu menarik perhatian siapa saja, di mana saja, terutama di pesisir. Sebagian orang malah menganggap burung ini semacam makhluk ghaib. Nama burung ini mampu menggetarkan nurani orang-orang pesisir, sehubungan dengan nilai-nilai mitos dan pesan yang dibawanya (LP: 183). Orang-orang melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini singgah di kampung maka pertanda di laut sedang terjadi badai hebat atau angin putting beliung. Seringkali kedatangannya membatalkan niat para nelayan yang akan melaut (LP: 183). Kepercayaan lain yang juga tumbuh di Belitong adalah tentang adanya penganut ilmu buaya. Menurut kepercayaan masyarakat Belitong, para penganut ilmu buaya apabila mati maka akan menjadi buaya. Perhatikan kutipan berikut: Saat itulah aku melihat Bodenga mendesak maju di antara pengunjung. Lalu ia bersimpuh di samping sang buaya. Wajahnya pucat pasi. Ia memberi isyarat kepada orang-orang, memohon agar berhenti mencincang binatang itu. Orang-orang mundur dan melepaskan kayu baker yang menyangga mulut buaya tersebut. Mereka paham bahwa penganut ilmu buaya percaya jika mati mereka akan menjadi buaya. Dan mereka maklum bahwa bagi Bodenga buaya ini adalah ayahnya karena salah satu kaki buaya ini bunting (LP: 92). Selain kepercayaan terhadap burung Pelintang Pulau dan ilmu buaya, masyarakat Belitong juga mempercayai adanya seorang dukun yang sakti mandraguna, yang dipercaya bisa mengabulkan permintaan apa saja dan dapat dimintai petunjuk. Dalam cerita commit ini sangtodukun user bernama Tuk Bayan Tula yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 100
hidup di pulau terpencil di Belitong yakni di pulau Lanun. Perhatikan kutipan berikut: Di tengah kepanikan tersiar kabar bahwa ada seorang sakti mandraguna yang mampu menerawang, tapi beliau tinggal jauh di sebuah Pulau Lanun yang terpencil. Ialah seorang dukun yang telah menjadi legenda, Tuk Bayan Tula, demikian namanya. Tokoh ini dianggap raja ilmu ghaib dan orang paling sakti di atas yang tersakti, biang semua keganjilan, muara semua ilmu aneh (LP: 312). Selain adat istiadat Melayu, dalam novel ini juga dihadirkan adat istiadat Tionghoa. Hal ini terlihat ketika peristiwa pertemuan Ikal dengan A Ling di halaman kelenteng dalam suasana
Kong Hu Cu, yakni pada saat upacara
sembahyang rebut. Seperti kutipan berikut ini: Meja itu diletakkan di sepan sebuah Thai Tse Ya, yaitu patung raja hantu yang dibuat dari bambu dan kertas-kertas berwarna-warni. Tinggi Thai Tse Ya mencapai 5 meter dengan diameter perut 2 meter. Ia adalah sesosok hantu raksasa yang menyeramkan. Matanya sebesar semangka dan lidahnya panjang menjuntai seperti ingin menjilati jejeran babi berminyakminyak yang dipanggang berayun di bawahnya. Thai Tse Ya tak lain adalah representasi sifat-sifat buruk dan kesialan manusia. Sepanjang sore dan malam hari, warga Tionghoa yang Kong Hu Cu tentu saja melakukan sembahyang di depan Thai Tse Ya ini (LP: 260). (2) Bahasa Novel LP mengambil setting di Indonesia. Maka tak heran ceritanya pun disampaikan dalam bahasa Indonesia. Tapi karena novel ini mengambil latar di Belitong yang diceritakan terdiri dari banyak suku yang mendiaminya, maka pengarang tak segan-segan memberikan sentuhan dialek Cina, bahasa Kek campur Melayu, dan bahasa Belanda. Perhatikan kutipan berikut ini: “Kiak-kiak!” A Miauw memanggil tak sabar, dan Bang Sad tergopoh-gopoh menghampirinya. “Magai di Manggaro masempo linna?” Orang-orang bersarung keberatan ketika mengamati harga kaus lampu petromaks. Di Manggar lebih murah kata mereka. “Kito lui ba, Ngape de Manggar harge e lebe mura?” Bang Sad menyampaikan keluhan itu pada juragannya, dalam bahasa Kek campur Melayu (LP: 202).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 101
Kata-kata seperti Kiak-kiak, Magai di Manggaro masempo linna, dan Kito lui ba, Ngape de Manggar harge e lebe mura merupakan kosa kata bahasa Kek campur Melayu. Selain itu ada juga sentuhan bahasa Belanda. Perhatikan kutipan berikut: “Tapi sekian lama bekerja di sini aku telah terlatih memadamkan sementara fungsi gendang telinga. Maka madam itu hanya kulihat bergetar-getar seperti Greta Garbo dalam film bisu hitam putih. “!!” Hardiknya sambil melengos pergi. Benarkan kataku? Kira-kira maksudnya: saya sudah komplain berapa kali masih saja keliru ! (LP: 438). (3) Kebiasaan Dilihat dari kebiasaan hidup para pelaku utama cerita dalam masyarakat Belitong, di mana masyarakat yang melingkupi para tokoh Laskar Pelangi adalah para buruh yang bekerja di tambang timah milik PN Timah. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka mayoritas sebagai buruh kasar di PN Timah, tak terkecuali orang tua anggota Laskar Pelangi. Karena orang tua mereka bekerja sebagai buruh kasar di PN Timah, maka kebiasaan dan pola hidupnya pun banyak dipengaruhi oleh aturan-aturan yang berlaku dalam perusahaan itu. Perhatikan kutipan berikut: Kawasan kampung ini dapat disebut sebagai urban atau perkotaan. Umumnya tujuh macam profesi tumpang tindih di sini: kuli PN sebagai mayoritas, penjaga toko, pegawai negeri, pengangguran, pegawai kantor desa, pedagang, dan pensiunan. Sepanjang waktu mereka hilir mudik dengan sepeda. Semuanya, para penduduk kampung, entok, ayam, dan seluruh bangunan itu tampak berdebu, tak teratur, tak berseni dan kusam (LP: 51). Keseharian orang pinggiran ini amat monoton. Pagi yang sunyi senyap mendadak sontak berantakan ketika kentor pusat PN Timah membunyikan sirine, pukul 7 kurang 10. Sirine itu memekakkan telinga dalam radius puluhan kilometer seperti peringatan serangan Jepang dalam pengeboman Pearl Harbour (LP: 51). Selain itu, anggota Laskar Pelangi juga punya kebiasaan tersendiri. Mereka punya kebiasaan unik yaitu suka menyaksikan pelangi secara beramairamai dengan memanjat pohon filicium (LP: 159 – 160). Oleh karena kebiasaan unik ini, maka Bu Mus memberi julukan kepada mereka “Laskar Pelangi”. commit to user (4) Pandangan hidup tokoh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 102
Tokoh yang peneliti angkat untuk menelusur latar tentang pandangan hidup tokohnya yaitu Ikal. Tokoh Ikal digambarkan sebagai sosok yang bertekad kuat dan berkemauan keras serta tidak mudah menyerah. Salah satu tekadnya adalah ia ingin belajar setinggi-tingginya untuk menjadi orang pintar untuk menebus cita-cita Lintang yang gagal untuk mendapat pendidikan gara-gara keadaan yang mengharuskannya seperti itu. Ia bertekad untuk mendapatkan beasiswa sekolah ke luar negeri. Ia melakukan apa saja agar cita-citanya ini dapat tercapai. Perhatikan kutipan berikut: Seminggu setelah kulemparkan naskah bulu tangkisku ke Kali Ciliwung aku membaca sebuah surat pengumuman beasiswa pendidikan lanjutan dari sebuah negara asing. Aku segera menyusun rencana C, yaitu aku ingin sekolah lagi! Kemudian setelah itu tak ada satu menit pun waktu kusiasiakan selain untuk belajar. Aku membaca sebanyak-banyaknya buku. Aku membaca buku sambil menyortir surat, sambil makan, sambil minum, sambil tiduran mendengarkan wayang golek di radio AM. Aku membaca buku di dalam angkutan umum, di dalam jamban, sambil mencuci pakaian, sambil dimarahi pelanggan, sambil disindir ketua ekspedisi, sambil upacara Korpri, sambil menimba air, atau sambil memperbaiki atap bocor. Bahkan aku membaca sambil membaca (LP: 458 – 459). Ia juga digambarkan sebagai sosok yang perhatian, peduli dan memikirkan keadaan temannya. Di dalam cerita ini ia digambarkan sangat peduli dengan Lintang. Ia merupakan pengagum Lintang. Lintang merupakan anak tidak mampu, namun di tengah ketidakmampuannya ia bisa menjadi anak yang super jenius. Ia juga memikirkan nasib Lintang ketika Lintang putus sekolah karena ayahnya meninggal sehingga ia yang harus menggantikan posisinya untuk mencari nafkah menghidupi keluarga (429 – 434). Perhatikan kutipan berikut: Kami melepas seorang sahabat genius asli didikan alam, salah seorang pejuang Laskar pelangi lapisan tertinggi. Dialah ningrat di antara kami. Dialah yang telah menorehkan prestasi paling istimewa dan pahlawan yang mengangkat derajat perguruan miskin ini. Kuingat semua jejak kecerdasannya sejak pertama kali ia memegang pensil yang salah pada hari pertama sekolah, sembilan tahun yang lalu. Aku ingat semangat persahabatan dan kejernihan buah pikirannya. Dialah Newton-ku, Adam Smith-ku, Andre Ampere-ku (LP: 431).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 103
2) Novel OMDS a) Latar Tempat Secara umum novel OMDS berlatar tempat di Semarang, Jawa Tengah. Kejadian dalam novel ini, mulai dari bab pertama sampai terakhir bertempat di Semarang. Perhatikan kutipan berikut ini: Kampung Genteng, itulah asal mula nama kampungku, entah dari mana nama itu berasal, konon menurut ayahku, kampungku itu pemasok genteng yang tiada duanya di Semarang…….. ah gelap, aku masih kecil tak tahu sejarah, hanya saja nama-nama kampung sepanjang tiga kilometer ke sebuah pasar Semarang terbesar itu, yaitu pasar Johar, menarikku untuk meneliti nama-nama kampung itu satu persatu (OMDS: 11). Dari kutipan di atas, nama-nama tempat seperti kampung Genteng dan pasar Johar cukup memperkuat bahwa latar tempat cerita dalam novel ini adalah di Semarang. Selain itu, ada beberapa tempat khusus atau spesifik yang menjadi latar cerita novel ini. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut: (1) Sekolah Dasar Kartini Sekolah ini merupakan tempat yang paling sering menjadi latar tempat dalam novel ini karena sekolah ini merupakan tempat di mana tokoh utama belajar menuntut ilmu. Perhatikan kutipan berikut: Tak heran, Yudi terkaget-kaget dengan SD Kartini, sekolah kami tak ubahnya seperti sekolah yang baru saja terkena gempa bumi. Mulai dari atapnya, engkau bisa melihat eternit yang jebol. Tembok-tembok di keempat sisinya seperti meneriakkan keprihatinan yang mendalam, retakan seperti tanah liat di musim kemarau itu menjelma lukisan abstrak yang aku bayangkan bentuknya mirip helikopter, kadang mirip sulaman rumah Spiderman. Ubin di kelas kami adalah jenis teraso yang baru mengkilat jika dipel dengan ampas kelapa, ubin itu pada mulanya berwarna abu-abu dengan busam di sana-sini akibat cairan semen kering ataupun pasir. Kotak-kotak segi empat dua puluh senti meter persegi itu dipasang sekenanya, bahkan beberapa di antaranya lapisan semen di pinggirannya terkelupas, hingga sekali waktu terlihat menganga dan bisa menyandung siswa-siswi yang tak melihat ke bawah (OMDS: 88) Dari kutipan di atas SD Kartini digambarkan sebagai sekolah sederhana dengan kondisi fisiknya yang sudah mulai rapuh, seperti eternit yang jebol, cat yang mulai mengelupas, lantai dari ubin teraso yang sebagian lapisan semen di commit to user pinggirannya terkelupas.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 104
(2) Gedong sapi Gambaran umum Gedong Sapi Gedong sapi merupakan sebuah tempat yang digunakan untuk beternak sapi. Perhatikan kutipan berikut: Aku menemui ketiga temanku itu di sebuah tempat yang disebut Gedong Sapi. Tiga ratus meter dari tempat tinggalku ke arah selatan, melewati lapangan tempat kami beradu layang-layang sebelum menuju ke temapt mereka. Dinamai Gedong Sapi, karena tempat itu adalah pusat ternak sapi (OMDS: 16). Dari kutipan di atas, letak Gedong Sapi digambarkan tiga ratus meter dari tempat tinggal Faisal yaitu di kampung Genteng, atau dapat dikatakan jauh dari perkampungan penduduk. Di dalam Gedong Sapi terdapat rumah orang Cina yaitu Yok Bek yang merupakan pemilik peternakan di Gedong Sapi. Selain rumah Yok Bek, ada juga rumah ketiga pegawai Yok Bek yakni Samijan, Sukisno, dan Giatno. Selain itu pastinya juga ada kandang-kandang sapi ternak. -Rumah Yok Bek Rumah Yok Bek digambarkan sangat megah dan tertutup tembok-tembok tinggi atau ghetto-ghetto, yang seolah memberi kesan tidak ingin bergaul dengan sekelilingnya. Perhatikan kutipan berikut ini: Rumah Yok Bek yang khas bangunan lama Kota Semarang yang berarsitektur campuran Italia dan Cina itu berdiri megah, berseberangan dengan rumah ketiga temanku yang teramat kumuh, pengap, kotor, dan sempit (OMDS: 18). Rumah Yok Bek, ketika aku berhasil mengintipnya ke dalam adalah sebuah rumah yang sejuk dari serapan batu marmer di bawahnya. Di ruang tamu itu terpajang foto, seseorang yang mirip dengan Yok Bek, foto itu dipigura yang pinggirnya bermotif kembang-kembang, kemudian di kiri kanannya ada lilin-lilin kecil berwarna merah yang menyala redup, kemudian ada dupa di depan fotonya dan berbagai alat-alat sembahyang yang tak aku ketahui namanya satu persatu. Jika kau mengitari pintunya, kau akan kecewa, sebab pintu itu tertutup rapat. Di depan pintunya ada terali besi, mirip pintu lipat yang pernah aku lihat di ruko-ruko sepanjang Mataram (OMDS: 18 – 19). Rumah Yok Bek dijadikan latar ketika ada peristiwa warga menyerbu rumah Yok Bek. Warga mengamuk membabi buta karena peringatan yang selama commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 105
ini disampaikan yakni untuk memindah peternakan sapi tersebut tidak diindahkan Yok Bek. Perhatikan kutipan berikut ini: “Alaaah… sudah, jangan banyak cingcong, sikat saja!” seru yang lain. Aku tak sempat menghindar ketika gelombang massa yang beringas kemudian merangsek maju ke arah rumah Yok Bek. Rumah Yok Bek hancur, kaca-kacanya pecah, guci keramiknya juga pecah, dan altar petilasan suaminya diobrak-abrik, fotonya dilempar ke tanah dan diinjak-injak ()MDS: 155). -Rumah Pambudi, Yudi dan Pepeng Rumah Pambudi, Yudi dan Pepeng berada di dalam kawasan Gedong Sapi, karena ayah ketiganya merupakan pekerja Yok Bek. Rumah ketiganya digambarkan kumuh, pengap, kotor, dan sempit. Sungguh berbeda dengan rumah Yok Bek yang kesemuanya serba indah dan mewah. Perhatikan kutipan berikut ini: Sejak dari pintu masuk Gedong Sapi tadi, suara kecilku sudah begitu nyaring terdengar, menyibak dedaunan, anslup ke balik dedaunan yang rimbun, lantas menggema hingga ke depan rumah Yok Bek. Mataku terus mengedarkan pandangan sekeliling, tetapi ketiga anak sialan itu tidak nampak sekali batang hidungnya, hingga aku cari-cari ke dalam rumah mereka yang kumuh dan sempit itu hanya ada ranjang dengan kasur kempet dan seprai acak-acakan, dinding-dinding gedhek itu seakan menampung kesendirianku, tetapi aku tak peduli, aku longok sampai ke bawah kolong tempat tidur, ke dapur, ke dalam gentong air, di balik rak piring, semuanya tak ada (OMDS: 22). Kutipan di atas memberikan gambaran kekumuhan rumah Pambudi, Yudi, dan Pepeng. Sebenarnya rumah mereka tidak layak huni karena sangat sempit dan pengap. Namun keadaanlah yang mengharuskan mereka tetap bertahan di tempat ini. (4) Rumah Faisal Latar rumah Faisal berisi peristiwa ketika Faisal jatuh sakit akibat dipukuli warga yang sedang menyerbu Gedong sapi. Akibatnya ia harus beristirahat sekitar seminggu di rumah. Ayahnya mengundang seorang Psikiater untuk mengecek kondisi Faisal. Tetapi kemudian warga sekitar bertanya-tanya tentang keberadaan psikiater itu, hingga akhirnya ayah Faisal memutuskan bahwa Faisal akan dirawat commit to ini: user oleh Pak Cokro. Perhatikan kutipan berikut
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 106
Suara adzan isya’ terdengar, aku berusaha meresapinya dalam hati. Dan belum juga kepalaku terasa ringan untuk kuangkat, tiba-tiba pintu kamarku terbuka, suara deritnya yang lebih mirip desekan biola yang menyayat itu membuat kepalaku kupaksa mendongak. Dari ujung kaki dengan kukukuku berwarna hitam panjang dan tak beralas kaki, aku sudah tahu, pasti orang paling menjijikkan sedunia itu yang hadir, bau udang busuk santer menusuk hidungku. Pak Cokro terkekeh… (OMDS: 175). Selain peristiwa ketika Faisal jatuh sakit dan harus dirawat di rumah, rumah Faisal juga menjadi latar ketika peristiwa Faisal sunat. Perhatikan kutipan berikut ini: Ketika sampai di rumah, tak ada pesta, tratak, atau kursi yang berjejer di jalan. Sunatanku diselenggarakan dengan cara sederhana, tak ada kemeriahan apa pun … Ibu menyambut tetangga kiri kanan yang menyumbang dari ruangan tamu yang dudah dilesehkan, kursi dan meja sudah diangkat ke luar. Ruangan tamu yang tak begitu luas itu sesak menampung para tamu yang duduk di tikar palstik (OMDS: 436). (5) Rumah Bu Mutia Latar rumah Bu Mutia berisi peristiwa ketika Pambudi meminjam catatan Bu Mutia untuk disalin di rumah, karena catatannya banyak yang tertinggal. Perhatikan kutipan berikut ini: Sebuah rumah mungil yang nomor rumahnya tertutup oleh anggrek yang menjalar hingga ke tembok-temboknya. Dari depan, rumah itu begitu rimbun karena beberapa buah pot gantung yang dipajang di luar. Tak ada identitas siapa pemilik rumah itu selain nomor rumah itu sendiri. Pambudi yakin itu rumah Bu Mutia, apalagi ia melihat sepeda motor yang parkir di dalamnya, persis seperti yang dinaiki oleh suami Bu Mutia (OMDS: 345). Bu Mutia kemudian bangkit, ia kemudian masuk ke dalam meninggalkan Pambudi duduk di ruang tamu sendirian. Rasa haus membuatnya tanpa sungkan segera meminum segelas teh yang ada di depannya. Apalagi… mumpung Bu Mutia ada di dalam, ia jadi punya kebebasan dan tanpa malu-malu menenggak teh di dalam gelas itu (OMDS: 351). Inilah kali pertama Pambudi berkunjung ke rumah Bu Mutia. Rumah Bu Mutia yang mungil dan bersih. Di rumah ini Pambudi menemui Bu Mutia untuk meminjam catatan. Bu Mutia dengan senang hati menyambut kedatangan Pambudi dan meminjamkan catatannya kepada Pambudi. commit to user (6) Pondok Baca Pak Cokro
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 107
Pondok baca Pak Cokro menjadi latar peristiwa ketika Pak Cokro mengajari warga kampung Genteng belajar membaca dan menulis. Seperti kutipan berikut ini: Sepuluh orang kepercayaannya ini melayani para pasien dengan ramah. Sebelum pasien itu dipersilakan bertemu langsung dengan Pak Cokro, ia diharuskan untuk mencelupkan kepalanya dulu dalam kolam buatan yang mendapat aliran langsung dari tendon air. Kemudian ia akan masuk ke dalam sebuah ruangan aneh, di kanan kirinya banyak terdapat poster huruf latin, huruf jawa, huruf Arab. Kemudian ada foto sepuluh orang abdi setianya yang berpose bersama dengan Pak Cokro yang duduk di tengah, kenudian sebelum memasuki ruangan yang tertutup gorden itu, ada rak besar dengan tumpukan buku-buku mujarobat cetakan lama (OMDS: 222). Pak Cokro sudah bertaubat dari dunia perdukunan, ia kemudian ikut sekolah membaca dan menulis. Hingga kemudian ia tersadar tentang arti penting bisa membaca dan menulis. Kemudian ia mencoba mengganti metode penyembuhan penyakit yang dulunya hanya membohongi masyarakat lewat praktik perdukunan, maka sekarang ia berusaha untuk menggunakan buku-buku pengobatan.dengan cara mendirikan pondok baca. Pondok baca ini didirikan dengan misi utama membantu warga yang belum bisa membaca dan menulis. (7) Rumah Mat Karmin Latar rumah Mat Karmin berisi peristiwa ketika ketiga Anak Alam dan Faisal ingin menantang Mat Karmin beradu layang-layang. Perhatikan kutipan berikut: Langkah-langkah kami semakin cepat, geliatnya meninggalkan debu-debu yang bertaburan di atas kepala, becek tanahnya menyipratkan lumpur ke kaki kami yang terbungkus celana tiga perempat, khas anak kota. Sesampai di rumah Mat Karmin, rumah itu tampak sepi-rumah warisan orang tua angkatnya yang sudah tak punya siapa-siapa lagi selain Mat Karmin (OMDS: 54 – 55). Selain itu, latar rumah Mat Karmin juga digunakan ketika ia menyodomi anak-anak tak berdosa di kampungnya. Ia melakukan perbuatan ini di kamarnya yang gelap dan pengap. Kamar Mat Karmin gelap dan pengap, hanya ada sebuah lampu meja yang setelah dipanjar terus menerus selama sembilan bulan, kini rusak dan tak bisa dinyalakan. Di sekelilingnya berserakan buku-buku sampah yang tak commit to user jelas lagi jenisnya, semua tampak kabur dan gelap. Dalam kegelapan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 108
seperti ini susah bagi Panji untuk menerka maksud tersembunyi dari Mat Karmin, yang jelas dalam suasana gelap seperti ini Panji merasa tak enak saja (OMDS: 231). Ada juga peristiwa ketika warga masyarakat murka dengan perbuatan Mat Karmin yang telah menyodomi anak-anak. Mereka lantas menghancurkan rumah tersebut dan membakarnya, serta abunya pun dilarung di kali besar Banjir Kanal. Puluhan massa yang marah mengepung rumah Mat Karmin, tetapi rumah itu telah dihancurkan rata dengan tanah, massa yang beringas dan tak punya sesuatu untuk dilampiaskan tiba-tiba menuang jerigen minyak tanah ke reruntuhan rumah yang memang sudah reot itu. Sekali menjentikkan korek api, api langsung membakar lumat papan dan kayu-kayu….. Secara beramai-ramai mereka kemudian mengarak abu itu keliling kampung sebelum dilarung di kali Banjir Kanal (OMDS: 237). (8) Kelurahan Latar kelurahan berisi peristiwa ketika Faisal mengajar membaca menulis untuk warga kampung Genteng yang masih buta huruf. Aku memenuhi janjiku untuk menjadi tentor bagi orang-orang tua yang tak pernah sekolah sehingga sulit membaca. Maka sore ini aku sudah mengayuh sepedaku ke kelurahan, kira-kira dua kilometer dari tempat tinggalku. Aku sedikit terlambat, puluhan orang tua sudah menunggu di kursi yang telah disediakan panitia, yakni di aula kelurahan yang tempatnya lumayan luas juga (OMDS: 205). (9) Gogik Ungarang (Rumah Ki Hajar Ladunni) Ki hajar Ladunni merupakan seorang penulis buku mengenai keterampilan membuat layang-layang. Faisal dan ketiga anak alam ingin belajar kepadanya, sehingga mereka pergi ke rumah Ki Hajar Ladunni, yakni di Gogik Ungaran. Deskripsi mengenai rumahnya berikut ini: Gogik adalah nama desa dari sebuah wana wisata terkenal di kaki Gunung Ungaran, yakni air terjun Semirang (OMDS: 33). Lalu terpampanglah sebuah rumah, beratap dari selonjor batang kelapa, rangkanya dari bambu, temboknya dari gedhek, lantainya dari pasir dan semen yang telah dihaluskan, bebatuan kali kecil-kecil berjajar rapi di halamannya. Rumah itu diapit oleh pohon jati tua yang tumbuh subur di belakang dan meneduhi sekitarnya, cahaya mataharu nyaris tak dapat menembus kelebatan pohon, hingga suasana gelap dalam rumah itu terasa sekali (OMDS: 38). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 109
Di rumah Ki Hajar Ladunni ini Faisal dan ketiga Anak Alam menginap setelah seharian belajar membuat layang-layang. Mereka telah mempunyai bekal yang cukup untuk membuat layang-layang serupa. Mereka tak akan melupakan peristiwa malam itu, tidur bersama orang yang mereka kagumi. b) Latar Waktu Apabila latar waktu dalam novel LP dikaitkan dengan masa pemerintahan presiden Soeharto, latar waktu dalam novel OMDS dikaitkan dengan peristiwa reformasi 1998. Seperti kutipan berikut ini: Yok Bek merasa terusik dengan tidur siangnya akibat polah anak-anak alam yang cekikikan dalam bekerja membantu ayah mereka di dalam kandang sapi. Matanya tak juga terpejam, pikirannya masih melayang ke mana-mana memikirkan nasib kehidupannya yang sungguh tragis. Tempat usahanya beternak sapi mulai diganggu warga, mereka mulai berani menganggapnya bukan tokoh penting dalam Kampung Genteng setelah reformasi 1998 (OMDS: 123). Dari kutipan di atas dapat disimpulkan bahwa latar waktu peristiwa ini yakni pada era reformasi 1998, kurun waktu 1988 sampai 1996. Selain itu, latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang dialami tokohnya. Latar waktu menggunakan senja, malam, siang, menjelang maghrib, subuh pagi, fajar, sore dan menunjuk jam serta tingkatan kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) yang menyatakan bahwa penekanan waktu lebih pada keadaan hari, misalnya pagi, siang, atau malam. Penekanan ini dapat juga berupa penunjukan waktu yang telah umum, misalnya maghrib, subuh, ataupun dengan cara penunjukan waktu pukul jam tertentu. c) Latar Sosial Berikut ini diuraikan latar sosial dalam novel OMDS yang berupa adat istiadat/kepercayaan, bahasa, kebiasaan dan pandangan hidup tokoh. (1) Adat istiadat dan Kepercayaan Adat istiadat dapat didefinisikan sebagai perilaku yang turun temurun dari generasi ke generasi sebagai warisan sehingga kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakatnya. Adapun adat istiadat yang menjadi latar novel ini yaitu commit to user adat istiadat masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dikenal sebagi masyarakat yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 110
menjunjung tinggi adab kesopanan, budi pekerti yang luhur, bertutur dan bertingkah laku yang halus, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Berikut ini penulis kutipkan bagaimana seharusnya kaum muda bagaimanapun keadaannya harus menghormati yang tua. Perhatikan kutipan berikut ini: Ketika aku berpapasan dengan murid-muridku yang rata-rata sudah beruban dan berjenggot, mereka kemudian memperlihatkan sikapnya yang mundhuk-mundhuk, dengan badan mencoba dibungkukkan sedikit sambil melewatiku. Ayah menasihatiku untuk jangan suka diperlakukan oleh murid-muridku dengan cara yang aneh seperti itu. Kata ayah, kita ini manusia dan punya kedudukan sama di mata Tuhan, hanya ketakwaan yang akan membedakannya (OMDS: 415). Kutipan di atas memberikan informasi mengenai adat istiadat orang Jawa. Meskipun yang muda lebih berilmu, tapi tetap harus menghormati yang lebih tua. Seperti yang dinasihatkan ayah Faisal kepada Faisal agar jangan suka diperlakukan mundhuk-mundhuk oleh muridnya. Karena sikap mundhuk-mundhuk layaknya diterapkan yang muda kepada yang tua. Selain berlatarkan masyarakat Jawa, pengarang juga memberikan sentuhan lain dalam novelnya, yakni pemunculan budaya orang Cina pinggiran, yang dalam novel ini digambarkan manjaga jarak dengan warga pribumi, tidak mau membaur dengan masyarakat lainnya. Perhatikan kutipan berikut ini: Aku kemudian berlari-lari ingin segera sampai ke tempat mereka kali ini. Setelah melewati tanah lapang, tembok-tembok Gedong Sapi kira-kira setinggi tiga meteran itu seakan-akan sebuah benteng Belanda, atau bisa juga ghetto-ghetto kaum Cina yang sengaja memisahkan diri dari orangorang Jawa, apalagi dari perkampungan kami yang sempit. Orang Jawa itu kan identik dengan kemiskinan, kebodohan, dan primitif, bahkan pembagian pekerjaannya pun pasti kebagian pekerjan-pekerjaan kotor, seperti ketiga temanku yang telah mengabdi kepada Yok Bek semenjak mereka masih bujang. Kesetiaan zaman feodal itu adalah kesetiaan kacung dan siap menjadi keset, atau diinjak-injak seenaknya (OMDS: 17 – 18). Yok Bek merupakan etnis cina, oleh karena itu ada juga penggambaran alat peribadatan orang Cina di rumah Yok Bek. Perhatikan kutipan berikut ini: Rumah Yok Bek, ketika aku berhasil mengintipnya ke dalam adalah sebuah rumah yang sejuk dari serapan batu marmer di bawahnya. Di ruang tamu itu terpajang foto, seseorang yang mirip dengan Yok Bek, foto itu to kembang-kembang, user dipigura yang pinggirnya commit bermotif kemudian di kiri
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 111
kanannya ada lilin-lilin kecil berwarna merah yang menyala redup, kemudian ada dupa di depan fotonya dan berbagai alat-alat sembahyang yang tak aku ketahui namanya satu persatu. Jika kau mengitari pintunya, kau akan kecewa, sebab pintu itu tertutup rapat. Di depan pintunya ada terali besi, mirip pintu lipat yang pernah aku lihat di ruko-ruko sepanjang Mataram (OMDS: 18 – 19). (2) Bahasa Novel OMDS mengambil latar tempat di Semarang, Jawa Tengah, serta pengarangnya pun juga asli orang Semarang. Maka tidak heran apabila novel ini banyak diwarnai istilah-istilah bahasa Jawa. Hampir di setiap babnya dijumpai kata-kata dalam bahasa Jawa. Seperti kutipan berikut ini: Aku nyelusup di antara tumpukan kertas hingga nyundul sampai ke atas rumah (OMDS: 14). Sejak dari pintu masuk Gedong Sapi tadi, suara kecilku sudah begitu nyaring terdengar, menyibak dedaunan, angslup ke balik dedaunan yang rimbun (OMDS: 21). Kata-kata nyelusup, nyundul, angslup menunjukkan bahwa cerita ini berlatar di pulau Jawa, karena bahasa yang dipakai banyak diwarnai kosa kata dalam bahasa Jawa. Selain dijumpai istilah dalam bahasa Jawa, di dalam novel ini juga dijumpai kata-kata dalam bahasa Cina. Istilah-istilah dalam bahasa Cina ini dipergunakan oleh tokoh Yok Bek yang notabene merupakan keturan Cina. Seperti kutipan berikut ini: “Owe perlu nyiapin tempatnya dulu, nggak bisa sekali tempo.” (OMDS: 124). “Hayya janganlah … Aku minta waktu sampai bulan Agustus.” (OMDS: 125). “Apa Engkoh pernah menyumbangkan susu-susu sapi Engkoh untuk perbaikan gizi sehari saja, agar anak-anak kampung bisa pintar?” OMDS: 125). Kata-kata seperti Owe, Hayya, Engkoh merupakan kosa kata bahasa Cina. Kata Owe sama artinya dengan saya dalam bahasa Indonesia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 112
(3) Kebiasaan Dilihat dari segi kebiasaan hidup para pelaku utama cerita dan masyarakat Jawa pada umumnya yang tidak terlepas dari keadaan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang melingkupi para tokoh adalah masyarakat marjinal, yakni kaum buruh, yang untuk bisa makan sesuap nasi harus bekerja keras setengah mati. Ayah ketiga Anak Alam setiap hari bekerja mengurus peternakan sapi milik Yok Bek. Jadi kebiasaan mereka sehari-hari hanya begitu-begitu saja, memandikan sapi, membersihkan kotoran sapi, membajak tanah, dan mencari rumput. Juga kebiasaan ketiga Anak Alam yang bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. Perhatikan kutipan berikut ini: Pagi yang cerah, ayah Pambudi, Pepeng, dan Yudi kembali bekerja seperti biasa. Pagi itu ayah Yudi, Giatno, membersihkan kandang yang dipenuhi kotoran dan membuat sapi-sapi itu jadi tak nyaman. Lalat-lalat hijau yang berpesta kotoran dan membuat sapi-sapi itu jadi tak nyaman. Lalat-lalat hijau yang berpesta kotoran di bawah tubuh sapi yang gemuk itu segera meloncat terbang dan mencari lumbung kotoran lainnya. Sementara Samijan, ayah Pambudi sibuk menggosok-gosok punggung sapi yang warnanya mulai kecoklatan karena terkena kotoran, peluhnya bercucuran hingga ia menyeka dengan tangannya yang basah, ia tampak kepayahan sekali. Sementara itu, Sukisno, ayah Pepeng sibuk membajak tanah pupuk dengan cangkulnya. Hal ini tak lain agar tanah, jerami, dan kotoran sapi bisa bercampur jadi satu menjadi pupuk yang subur (LP: 135). Selain memandikan sapi, membersihkan kotoran sapi, membajak tanah, dan mencari rumput, ketiga Anak Alam juga bekerja serabutan. Pambudi menjadi tukang loper Koran. Yudi berkeliling kampung menjual pisang goreng, dan Pepeng setiap malam diajak ayah untuk mengangkuti kelapa-kelapa dari pelabuhan ke pasar-pasar malam dengan becak sejauh 25 kilometer. (4) Pandangan Hidup Tokohnya Tokoh yang peneliti angkat untuk menelusur latar tentang pandangan hidup tokohnya yaitu Faisal, tokoh utama novel OMDS. Sebagai seorang pribadi yang sedang mempersiapkan masa depannya. Ia memiliki pandangan hidup yang progresif, berkemauan keras, dan berjiwa sosial tinggi. Hal ini tampak pada kemauan kerasnya untuk dapat mewujudkan cita-cita. Melalui pandangan hidup commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 113
tokohnya, novel ini memberikan motivasi kepada siapa saja untuk maju mengejar cita-cita dan mimpi-mimpi. Tubuhku telah terbanting-banting demi cita-citaku sendiri yang terlalu kuat untuk terus sekolah, terus belajar dan mempelajari sesuatu, serta dibuat penasaran oleh buku. Itu semua demi satu keyakinan, aku akan bangkit dan meraih mimpi itu demi sebuah cita-cita yang akan kurengkuh kelak(OMDS: 239 – 240). Sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli dengan keadaan di sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap anak alam yang hidupnya sangat melarat serta tidak sekolah. Ia tidak hanya simpati, ia juga berempati, berkeinginan keras dan berjuang untuk bisa membuat anak alam mengenyam pendidikan, karena pendidikan adalah fondasi untuk menjalani kehidupan nantinya. Ia juga memperhatikan keadaan masyarakat di sekelilingnya yang masih banyak warganya yang buta huruf, sehingga ia terjun langsung memberikan pembelajaran membaca dan menulis gratis untuk warga yang buta huruf. Ia ingin menjadikan kampung Genteng yang tadinya buta huruf menjadi kampung Genteng yang melek huruf (OMDS: 18). Selain itu, Faisal sangat tidak suka dengan perlakuan orang kaya terhadap orang miskin. Dalam novel ini Yok Bek sebagai orang kaya suka memperlakukan pekerjanya semena-mena. Ia juga memberikan label untuk orang kaya, yaitu orang kaya itu biasanya bersikap sombong dan bicaranya menyakitkan hati Ayah dari ketiganya bekerja pada Yok Bek, memelihara sapi-sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, hingga mencarikan rumput segar. Kadang yok Bek-perempuan Cina itu- berdiri dan berkacak pinggang di hadapan para pekerjanya, dibentak-bentaknya ayah ketiga temanku itu dengan kasar, bahkan kadang kata-kata makian yang aku tahu, bahasa itu tabu bagi anak-anak. Dari sini aku belajar pengalaman lagi. Orang kaya bisa seenaknya memperlakukan orang miskin, sebab tubuh mereka telah dibeli untuk menuruti semua perintah (OMDS: 17) e. Alur atau Plot Menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 113) plot adalah cerita yang berisi tentang urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya to user dihubungkan secara sebab akibat,commit peristiwa satu disebabkan atau menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 114
terjadinya peristiwa yang lainnya. Herman J. Waluyo (2002: 15 – 19) membagi alur cerita menjadi tujuh bagian, yaitu Exposition (paparan awal cerita), Inciting Moment (konflik mulai muncul), Rising Action (peningkatan konflik), Complication (konflik semakin rumit), Climax (puncak konflik), Falling Action (konflik menurun), dan Denouement. Berdasarkan pendapat tersebut, jalinan konflik yang membangun cerita dapat diuraikan sebagai berikut: 1) Novel LP Tahapan-tahapan alur dalam novel LP akan diuraikan sebagai berikut: a) Eksposition (Paparan Awal Cerita) Kisah dalam novel LP diawali dengan paparan ketika hari pertama masuk sekolah, yaitu pagi hari saat pendaftaran siswa baru di SD Muhammadiyah. Perhatikan kutipan berikut ini: Pagi itu, ketika aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas. Sebatang pohon filicium yang rindang meneduhiku. Ayahku duduk di sampingku, memeluk pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada setiap orang tua dan anak-anaknya yang berderet-deret di bangku panjang lain di depan kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD (LP: 1). Sebuah awal cerita yang cukup ringan untuk dijadikan pembuka kisah. Peristiwa hari pertama masuk sekolah merupakan peristiwa yang dialami oleh semua orang yang pernah sekolah. Semua perasaan campur aduk. Ada cemas, suka, bingung, malu, salah tingkah dan lain-lain. Pada bagian awal mulai diperkenalkan tokoh dalam novel ini yakni Pak Harfan sang kepala sekolah, Bu Mus ibu guru kelas 1, orang tua siswa, dan beberapa calon siswa. Pada bagian awal ini mulai diperkenalkan pula latar tempatnya yakni di SD Muhammadiyah yang bangunan sekolahnya sudah doyong seolah akan roboh dan kondisinya sangat memperihatinkan. b) Inciting Moment (Muncul Konflik) Pada tahap pemunculan konflik, dapat diungkapkan beberapa peristiwa yang merupakan gambaran bahwa ada suatu masalah yang mulai muncul dari setiap bagian-bagian cerita.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 115
Tahap pemunculan konflik dimulai dengan kecemasan Bu Mus dan Pak Harfan karena murid baru yang mendaftar baru sembilan orang. Padahal Depdikbud Sumsel mempersyaratkan minimal harus ada 10 murid baru, kalau tidak SD Muhammadiyah akan ditutup. Hal ini menimbulkan kecemasan bagi dua orang guru tersebut, orang tua dan kesembilan murid baru, karena ini berarti akan memupus harapan mereka. Cita-cita kandas akibat sekolah ditutup tepat ketika mereka ingin sekolah. Perhatikan kutipan berikut: Para orangtua mungkin menganggap kekurangan satu murid sebagai pertanda bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaknya didaftarkan pada para juragan saja. Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain merasa amat pedih: pedih pada orang tua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-detik terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah, dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti hanya karena kekurangan satu murid. Kami menunduk dalam-dalam (LP: 5). Pemaparan masalah lainnya yang dapat dicermati dari peristiwa dalam novel ini adalah ketika anak-anak SD Muhammadiyah Gantong mengeluh kepada Bu Mus mengapa sekolahnya tidak seperti sekolah lain. Pada kesempatan lain, karena masih kecil tentu saja, kami sering mengeluh mengapa sekolah kami tak seperti sekolah-sekolah lain. Terutama atap sekolah yang bocor dan sangat menyusahkan saat musim hujan (LP: 31). Secara implisit, munculnya masalah yang dihadapi tokoh ini sebagai akibat dari kemiskinan yang melanda masyarakat Belitong pada waktu itu. Kemiskinan yang sudah menjadi endemi. Para orang tua lebih rela menyerahkan anknya pada juragan-juragan daripada menyekolahkan anaknya yang berarti mengikatkan diri pada biaya sekolah. Gambaran kemiskinan inilah yang mengawali jalinan cerita novel LP. c) Ricing Action (Penanjakan Konflik) Penanjakan konflik terjadi ketika Pak Harfan sudah berputus asa dengan jumlah siswa yang mendaftar di SD Muhammadiyah dan bermaksud memberikan pidato terakhir sebagai perpisahan sekaligus penutupan sekolah. Pak Harfan menghampiri orang tua murid dan menyalami mereka satu commit to user persatu. Sebuah pemandangan yang pilu. Para orangtua menepuk-nepuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 116
bahunya untuk membesarkan hatinya. Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak Harfan berdiri di depan para orangtua yang wajahnya muram. Beliau bersiap-siap memberikan pidato terakhir (LP: 6). Masalah kemiskinan yang mengawali konflik dalam novel ini kemudian diuraikan lebih mendetail dalam bab-bab berikutnya. Pengarang menyoroti perbedaan keadaan ekonomi antara kaum borjuis dan masyarakat Melayu Belitong. Kaum borjuis yang tinggal di kawasan Gedong dengan segala macam fasilitas yang mewah dan serba lengkap, sangat mencolok jika dibandingkan dengan keadaan masyarakat Melayu Belitong yang serba miskin, serba tidak mampu. Jangankan untuk sekolah, untuk hanya makan saja terkadang tidak terpenuhi. Kesenjangan sosial yang sangat mencolok. Perhatikan kutipan berikut ini: Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kotapraja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitong yang termasyur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga- termasuk beberapa padang golf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong- sebuah pulau kecil- seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah. Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana berkepanjangan sejak pencerahan revolusi industri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak (LP: 50). d) Complication (Konflik Makin Rumitt) Pada tahap complication ini, konflik semakin rumit. Kemiskinan yang melanda masyarakat asli Belitong semakin menjadi-jadi. Sementara itu kekayaan warga Gedong pun juga sama menjadi-jadi. Sehingga jurang kesenjangan sosial semakin terbentang lebar. Kemiskinan juga tidak lepas melanda semua anggota Laskar Pelangi, terutama tokoh Lintang. Ia berasal dari keluarga nelayan miskin yang tinggal di pesisir di desa Tanjong Kelumpang. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 80 commit to user kilometer pulang pergi yang ditempuh dengan sepeda. Jarak sekolah yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 117
sedemikian jauh dan kondisi ekonomi orang tua menjadi permasalahan tersendiri bagi tokohnya. e) Climax (Puncak Ketegangan) Puncak ketegangan terjadi ketika Lintang putus sekolah. Lintang terpaksa putus sekolah karena ayahnya meninggal. Kematian ayahnya adalah puncak permasalahan yang akan mengubah jalan hidup Lintang. Sehingga mau tidak mau ia yang harus menggantikan posisi ayahnya mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Ia yang mempunyai cita-cita tinggi dan mempunyai motivasi belajar yang luar biasa harus takhluk di tangan nasib. Hal ini membuat duka bagi seluruh anggota Laskar Pelangi dan Bu Mus. Mereka kehilangan sosok sahabat, pemimpim, guru, seorang teman yang genius luar biasa. Seorang anak laki-laki tertua keluarga pesisir miskin yang ditinggal mati ayah, harus menanggung nafkah ibu, banyak adik, kakek-nenek, dan paman-paman yang tak berdaya, Lintang tak punya peluang sedikit pun untuk melanjutkan sekolah. Ia sekarang harus mengambil alih menanggung nafkah paling tidak empat belas orang, karena ayahnya, pria kurus berwajah lembut itu, telah mati, karena pria cemara angin itu kini telah tumbang. Jasadnya dimakamkan bersama harapan besarnya harapan besarnya terhadap anak lelaki satu-satunya dan justru kematiannya ikut membunuh cita-cita agung anaknya itu. Maka mereka berdua, orang-orang hebat dari pesisir ini, hari ini terkubur dalam ironi (LP: 430). Selain itu puncak ketegangan yang kedua adalah ketika PN Timah penguasa eksklusif tambang timah di Belitong lumpuh total. Hal ini dikarenakan pada tahun 1987 harga timah dunia merosot tajam. Sehingga dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena PHK. Pemerintah pusat yang rutin menerima royalti dan deviden miliaran rupiah tiba-tiba seperti tak pernah mengenal pulau kecil ini. Pulau Belitong yang dulu laksana jutaan ubur-ubur Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapungapung tak tentu arah, gelap, dan sendirian (LP:481 – 482). Masyarakat pribumi yang memang sudah menahankan sakit hati karena kesenjangan selama puluhan tahun menyerbu Gedong. Mereka menghancurkan rumah dan menjarah isinya. Bentangan kawat telepon digulung. Kabel listrik yang masih dialiri commit to usermenimbulkan bunga api seperti tegangan tinggi dikampak sehingga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 118
asteroid menabrak atmosfer. Kapal keruk digergaji dan menjadi besi kiloan. Sebuah dinasti yang kukuh dan congkak hancur berantakan menjadi remah-remah hanya dalam hitungan malam, seiring dengan itu, reduplah seluruh metafora yang mewakili kedigdayaan sebuah perusahaan yang telah membuat Belitong dijuluki Pulau Timah (LP: 484). f) Falling Action (Penurunan Konflik) Penurunan konflik terjadi setelah PN Timah gulung tikar. Kehancuran PN Timah membawa berkah tersendiri bagi masyarakat pribumi Belitong yang selama ini terpinggirkan. Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka suka di tanah nenek moyangnya dan menjualnya seperti menjual ubi bakar. Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan-pelan menggeliat, berputar lagi karena aktivitas para pendulang (LP: 485 – 488). Penurunan konflik yang lain adalah ketika Lintang masuk sekolah untuk berpamitan dengan teman-teman dan ibu gurunya. Ketika datang keesokan harinya, wajah Lintang tampak hampa. Aku tahu hatinya menjerit, meronta-ronta dalam putus asa karena penolakan yang hebat terhadap perpisahan ini. Sekolah, kawan-kawan, buku, dan pelajaran adalah segala-galanya baginya, itulah dunianya dan seluruh kecintaannya. ... semua hati terendam air mata melepas sang mutiara ilmu dari lingkaran pendidikan. Ketika kami satu persatu memeluknya tanda perpisahan, air matanya mengalir pelan, pelukannya erat seolah tak mau melepaskan, tubuhnya bergetar saat jiwa kecerdasannya yang agung tercabut paksa meninggalkan sekolah (LP: 433). g) Denouement (Penyelesaian) Novel LP merupakan sebuah novel yang berusaha mengangkat realitas kehidupan manusia secara nyata. Realitas kehidupan manusia sebagaimana digambarkan melalui tokoh-tokoh anggota Laskar Pelangi adalah gambaran nyata tentang kehidupan manusia. Lintang yang super genius akhirnya harus putus sekolah karena ayahnya meninggal, sehingga terpaksa ia harus menggantikan posisi ayahnya mencari nafkah untuk menghidupi ibu, adik-adik, dan saudaranya, yaitu dengan menjadi seorang sopir truk pengangkut pasir gelas (LP: 467). Hal ini merupakan realitas hidup yang banyal dialami oleh anak-anak di Indonesia. Banyak anak-anak Indonesia yang terpaksa membuang jauh-jauh keinginannya untuk menempuh pendidikan gara-gara kemiskinan commit to user yang tak henti merundungnya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 119
Akhir cerita dikisahkan mengenai kehidupan para tokoh setelah 12 tahun kemudian. Ketika itu tokoh utama telah menjadi seorang pemuda dan bekerja sebagai tukang pos di Pulau Jawa. Perhatikan kutipan berikut ini: Setiap pulang kerja aku sering duduk melamun di poko pohon randu, di pinggir lapangan Sempur, dekat kamar kontrakanku. Menghadap ke Kali Ciliwung aku memprotes Tuhan: ”Ya, Allah, bukankah dulu pernah kuminta jika aku gagal menjadi penulis dan pemain bulu tangkis maka jadikanlah aku apa saja asal bukan pegawai pos! Dan jangan beri aku pekerjaan mulai subuh... Tuhan menjawab doaku dulu persis sama dengan yang tak kuminta (LP: 441). Walaupun sudah menjadi pegawai pos dengan NIP 967275337, Ikal masih memendam obsesi untuk bisa kuliah. Ia ingin kehidupan yang dijalaninya lebih baik, dengan cara belajar setinggi-tingginya untuk membayar hutang pada sekolah Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Ling, serta Heriot dan Edensor. Maka tak lama kemudian aku telah menjadi mahasiswa. Meskipun hanya langkah kecil aku merasa telah membuat kemajuan dan sekarang aku dapat menilai hidupku dari perspektif yang sama sekali berbeda. Aku lega terutama karena aku telah membayar hutangku pada sekolah Muhammadiyah, Bu Mus, Pak Harfan, Lintang, Laskar Pelangi, A Liong, bahkan Herriot dan Edensor (LP: 462). Selain tokoh Lintang dan Ikal, di akhir cerita juga dikisahkan kehidupan para anggota Laskar Pelangi setelah dewasa. Mahar menjadi seorang penulis dan budayawan Melayu, Kucai menjadi anggota dewan, Syahdan menjadi ahli telekomunikasi, A Kiong menikah dengan Sahara dan mendirikan sebuah toko yang diberi nama Sinar Perkasa, Borek menjadi kuli panggul di toko tersebut. Trapani yang sampai dewasa masih sangat bergantung pada ibunya menderita mother complex (LP: 455 – 494). Kejadian yang menjalin plot di atas dapat digambarkan sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 120
Climax (e)
Complication (d)
Rising Action (c)
Falling Action (f)
Inciting Moment (b)
Exposition (a) Denouement (g)
Gambar 3 : Skema Plot Novel LP Karya Andrea Hirata Keterangan: (a) Perkenalan tokoh dan latar kejadian di SD Muhammadiyah pada waktu hari pertama masuk sekolah. (b) Kecemasan guru SD Muhammadiyah karena murid yang mendaftar belum lengkap 10, dan pemunculan masalah akibat kemiskinan. (c) Keputusasaan Pak Harfan akan nasib sekolah Muhammadiyah dan kesenjangan sosial
yang
semakin lebar. (d) Masalah kemiskinan yang melingkupi anggota Laskar Pelangi, terutama Lintang. (e) Lintang putus sekolah, PN Timah lumpuh. (f) Setelah PN Timah lumpuh, perekonomian Belitong menggeliat. Lintang berpamitan kepada guru dan teman-teman. (g) Kehidupan anggota Laskar Pelangi ketika dewasa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 121
2) Novel OMDS Tahapan-tahapan alur dalam novel OMDS diuraikan sebagai berikut: a) Eksposition (Paparan Awal Cerita) Cerita dalam novel OMDS dimulai dengan penceritaan kemeriahan musim layang-layang di kampung. Cerita awal berlangsung siang hari ketika sekumpulan anak-anak kampung bermain layang-layang. Permainan layang-layang yang dibagian akhirnya menimbulkan kekacauan karena layang-layang yang putus dan hinggap di kabel listrik. Anak-anak berebut meraih layang-layang dengan menggunakan galah. Tak ayal aliran listrik terputus dan sontak warga marah. Musim layang-layang telah tiba. Di kampung kami, jika musim layanglayang tiba, langit tiba-tiba penuh dengan hiasan warna-warni. Layanglayang yang terbuat dari kertas minyak dan ditarik dengan benang gelasan itu ada yang berbentuk ikan dengan mata yang bisa berkedip-kedip, ular naga, barongsai, capung, Superman, bahkan ada yang berbentuk Gatotkaca (OMDS: 5). Pada paparan awal ini, pengarang sudah coba memperkenalkan tokohtokoh yang ada dalam cerita, yaitu Faisal, Pambudi, Yudi, Pepeng, Koh A Kiong, serta Mat Karmin. Diperkenalkan pula tempat terjadinya cerita ini, yakni di Semarang lebih tepatnya di Kampung Genteng. Kampung Genteng merupakan tempat tinggal Faisal dan Gedong sapi yang merupakan tempat tinggal Anak Alam (sebutan yang diberikan Faisal untuk Pambudi, Yudi, dan Pepeng). Pengarang mulai menceritakan persahabatan mereka. Diceritakan setelah mereka berempat (Faisal, Pambudi, Yudi, dan Pepeng) kalah merebut layang-layang mereka sangat terpukul, karena niatnya untuk balas dendam ke Mat Karmin gagal. Mereka ingin membeli layang-layang tapi tidak punya uang, akhirnya mereka memutuskan untuk membuat sendiri layang-layangnya (OMDS 5 – 10). Faisal kemudian mencari buku untuk dijadikan panduan untuk membuat layang-layang. Pada saat membaca buku itu, Faisal baru sadar kalau Anak Alam tidak bisa membaca karena memang tidak sekolah. Kemudian mereka mencoba berguru kepada penulis buku itu secara langsung, yaitu Ki Hajar Ladunni yang tinggal di Gogik Ungaran. Di perjalanan mereka bertemu dengan Candil. Ia kemudian mengantar mereka ke rumah KitoHajar commit user Ladunni. Akhirnya mereka sudah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 122
sampai di rumah yang bertuliskan ”Ki Hajar Ladunni”. Karena Anak Alam tidak bisa membaca, mereka menurut saja ketika dipermainkan Candil dengan mengatakan bahwa rumah Ki Hajar Ladunni masih beberapa kilo lagi. Tapi karena Faisal bisa membaca, ia tidak terjebak dengan permainan Candil. Setelah berputar-putar cukup lama, mereka kembali ke rumah tadi, dan baru sadar kalau mereka dipermainkan. (OMDS: 25 – 50). b) Inciting Moment (Muncul Konflik) Pengalaman dibohongi ini terjadi karena mereka buta huruf, tidak bisa membaca papan nama yang ada di atas pintu. Di sini mulai disinggung-singgung ketidakbisaan anak alam dalam hal membaca, sehingga mengakibatkan mereka mudah dibohongi. Mereka tidak bisa membaca karena memang mereka tidak sekolah. Mereka tidak bisa sekolah karena memang kondisi ekonomi keluarga mereka yang tidak memungkinkan. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja terkadang masih susah. Anak alam berasal dari keluarga buruh yang teramat miskin, orang tuanya seumur hidup mengabdi pada Yok Bek, pemilik peternakan sapi di Gedong sapi. Hidup mereka serba kekurangan, rumah mereka sempit serta kumuh, sungguh berbeda dengan kondisi rumah Yok Bek (OMDS: 16 – 18). Ayah dari ketiganya bekerja pada Yok Bek, memelihara sapi-sapi itu mulai dari memerah susunya, membersihkan kotorannya, hingga mencarikan rumput segar (OMDS: 20). Faisal sangat prihatin melihat nasib ketiga sahabatnya yang sudah sebesar itu tapi belum bisa membaca menulis. Ia kemudian bertekad mengajak ketiga temannya tersebut untuk sekolah, agar tidak buta huruf lagi. Tapi sekali lagi mereka terbentur dengan masalah dana. Kemiskinan selalu menghantui kehidupan mereka. Jangankan berpikir sekolah, untuk makan saja terkadang masih susah (OMDS: 59 – 66). Faisal mempunyai tekad kuat kuat untuk mengajak ketiga temannya itu bersekolah. Sehingga ia mengusahakan berbagai cara untuk itu, salah satunya dengan menemui Pak Zainal, kepala sekolah SD Kartini untuk meminta keringanan biaya bagi ketiga temannya kemudian akhirnya anak commit tersebut.hingga to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 123
alam bisa sekolah. Keputusan untuk sekolah bukanlah tanpa resiko. Mereka harus membiayai sendiri, dengan cara sekolah sambil bekerja. Hal yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Selama ini yang mereka tahu hanyalah bekerja membantu orang tua untuk makan. Tidak terlintas sama sekali mereka harus bekerja keras untuk bisa sekolah. Karena sangat mustahil jika mengandalkan penghasilan orang tua yang hanya jadi buruh Yok Bek (OMDS: 67 – 82). Ketika mereka sudah masuk sekolah, mereka pun juga belum lepas dari hambatan. Mereka sering diejek teman-temannya yang notabene berasal dari keluarga menengah ke atas. Mereka selalu diejek karena orang tua mereka seorang pembantu yang mengabdi untuk Yok Bek. Karena mereka miskin, mereka dianggap tidak pantas untuk sekolah di SD Kartini. Ini membuat mereka bertiga minder dan sempat down. ”Iya, tapi yang jelas orang miskin seperti kalian tidak pantas sekolah di sini,” sambil berkata begitu Rena tengah asyik membolak-balik sersil Kho Ping Hoo-nya. Tanpa melihat tampang ketiga anak alam itu, kata-kata Rena telah membuat mereka menjadi minder, angan-angan melambung, cita-cita setinggi gunung, harapan memeluk rembulan dan memetik bintang di angkasa perlahan-lahan menciptakan mimpi buruk bagi mereka (OMDS: 95 – 96). c) Ricing Action (Peningkatan Konflik) Yok Bek merupakan seorang pengusaha peternakan sapi di Gedong Sapi. Ia kaya raya. Ia mempunyai tiga orang pekerja yang tak lain tak bukan adalah ayah ketiga Anak Alam itu. Tiga orang pekerja itulah yang setiap hari mengurus peternakan, mulai dari membersihkan kandang, memberi makan, memerah susu, dan membuat pupuk dari kotoran sapinya. Gedong Sapi letaknya agak jauh dari pemukiman warga agar baunya tidak mengganggu warga Kampung Genteng. Tetapi bagaimanapun juga bau itu tetap tercium juga. Hingga kemudian warga mengadu pada ketua RT agar memperingatkan Yok Bek untuk memindah peternakan sapinya. Masyarakat tidak tahan karena setiap hari mereka harus melahap bau kotoran sapi (OMDS: 123 – 127). Mendengar pengaduan masyarakat itu, Yok Bek sadar bahwa sekarang zaman sudah berubah. Sudah banyak pribumi yang bersekolah. Mereka tidak commit to user dapat dibohongi seperti dulu lagi. Sehingga ketika melihat ketiga Anak Alam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 124
sekolah, ia tidak suka dan segera memanggil orang tua mereka. Dia menyuruh ketiga orang tua itu untuk melarang Anak Alam sekolah, dengan dalih ia butuh tenaga banyak serta berjanji di kemudian hari akan menyekolahkan ketiga Anak Alam itu. Ketiga orang tua itu pun bak dicocok hidungnya, mereka menuruti apa yang diperintahkan Yok Bek. Mereka menyuruh ketiga anak mereka untuk berhenti sekolah saja. Padahal pada saat itu ketiga Anak Alam sedang semangatsemangatnya sekolah. Harapan mereka untuk sekolah pun pupus lagi. Mereka patah arang dengan cita-cita yang dibangunnya selama ini (OMDS: 128 – 140). d) Complication (Konflik Semakin Rumit) Belum habis duka anak alam karena putus sekolah, Gedong Sapi tempat orang tua mereka bekerja menggantungkan hidup, didemo warga sekitar karena peringatan yang disampaikan selama ini tidak digubris. Mereka pun bertindak anarki. Mereka merusak apa saja yang ada di rumah Yok Bek (OMDS: 143 – 15). Faisal yang mencoba melerai tindak anarki tersebut malah ikut dipukuli warga. Akibatnya ia jatuh sakit, akibat benda tumpul yang menghantam kepalanya. Ia kemudian dirawat Pak Cokro, padahal ia sangat tidak suka kepadanya. Menurutnya Pak Coro adalah seorang dukun gadungan yang kerjaannya adalah membodohi warga. Ia juga biang kerok semua kejadian demo Gedong Sapi ini. Maka bertambah marahlah Faisal (OMDS: 157 – 179). e) Climax (Puncak konflik) Kehidupan berubah drastis semenjak Gedong Sapi diamuk warga. Yok Bek menjual semua sapi-sapinya. Ia pun hidup ikut anaknya. Hal ini secara otomatis berimbas pada keluarga ketiga anak alam tersebut, yang notabene mereka selama ini hidup menggantungkan diri dan mengabdi penuh untuk Yok Bek. Duka anak alam semakin mendalam. Sudah digusur masih ditambah lagi dengan putus sekolah. Mereka sempat terkatung-katung karena tidak punya rumah. Hingga akhirnya mereka tinggal di bawah kolong jembatan. Mereka harus membanting tulang untuk bisa bertahan hidup. Di bawah jembatan hingga di bibir sungai, puluhan rumah kumuh semi permanen berjajar tak rapi. Daerah commit to itu usersengaja ditempati oleh tunawisma
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 125
yang bingung mau tinggal di mana, tetapi mereka menjadi berani tinggal dan mendirikan rumah di sana karena banyak yang mengikutinya. ”Kau tinggal di sana Peng...?” ”Iya Sal, habis mau bagaimana lagi... ? ”Sekolahmu?” ”Terpaksa berhenti, karena tak punya biaya, aku harus membantu orang tua bekerja seadanya...” ”Masih narik becak untuk mengangkuti kelapa kan, Peng?” ”Masih, tapi itu kalau malam, kalau siang hari aku menganggur, terpaksa aku jadi penjual koran di lampu lalu lintas.” (OMDS: 188). Puncaknya lagi ketika warga dihebohkan dengan perbuatan Mat Karmin yang ternyata seorang pedhopilia. Ia mencabuli anak-anak yang tengah bermain di rumahnya. Hal ini sontak mengundang kemurkaan warga untuk yang kedua kalinya setelah aksi di Gedong Sapi dulu. Mat Karmin pun digelandang ke balai desa. Rumahnya pun tak lepas dari amuk massa. Massa yang terbakar emosinya pun merusak rumah Mat Karmin. Tak cukup sampai di situ, mereka membakarnya, abunya dilarung di sungai Banjir Kanal, agar semua hal buruk dari Mat Karmin ikut lenyap (OMDS: 227 – 238). Esok paginya penduduk gempar, banyak orang tua yang merasa kehilangan anaknya, ada lebih dari sepuluh anak yang dinyatakan hilang, dan semua itu dimulai ketika mereka bermain-main ke rumah Mat Karmin. Rumah Mat Karmin digedor-gedor, penduduk yang marah tak sabar dan segera mengobrak-abrik seisi rumah, seluruh rak buku dijungkirbalikan, rumah berdinding papan itu dicincang dengan kapak dan golok. Tak hanya itu, mereka menggebrak kamar pribadi Mat Karmin yang pengap dan menemukan kejanggalan di sana, bau sperma kering dan beberapa celana dalam laki-laki. Ini semua menjadi barang bukti di kepolisian. Mat Karmin sendiri dibetot tangannya oleh beberapa anak muda, diikat tangannya ke belakang dengan tali tambang, kemudian digelandang ke balai desa dengan segenggam sesal yang tak terperi (OMDS: 233). f) Falling Action (Konflik Menurun) Setelah kejadian pengrusakan rumah Yok Bek, Faisal mencari tempat tinggal Anak Alam. Ternyataa mereka tinggal di kolong jembatan. Mereka pun kemudian berbagi cerita. Faisal sangat prihatin dengan kondisi ketiga Anak Alam tersebut. Ia prihatin dengan nasib pendidikan ketiga Anak Alam tersebut. Kemudian ia kembali menyemangati ketiganya untuk bisa kembali sekolah commit user (OMDS: 187 – 194). mewujudkan cita-cita mereka yang sempattoterputus
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 126
Mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk sekolah kembali, dengan beban dua kali lebih berat. Kalau dulu orang tua mereka masih punya penghasilan dari bekerja kepada Yok Bek, sekarang orang tua mereka tidak bekerja. Otomatis mereka harus bekerja ekstra keras untuk bisa tetap sekolah. Pambudi menjual koran, Yudhi berjualan pisang goreng, serta Pepeng yang menjadi tukang becak mengangkuti kelapa dari pasar induk ke pasar-pasar yang lebih kecil. Kembalinya mereka ke sekolah disambut hangat oleh Bu Mutia dan teman-teman sekelasnya. Mereka pun kembali bersama-sama belajar, menjalani segala suka duka sekolah sambil bekerja. Pada bagian ini diceritakan teman-teman sekelas Anak Alam yaitu Karisma yang malas, Rena yang tinggi hati, Guruh sang ketua kelas, dan lain-lain. Hingga tak terasa mereka sudah bersekolah hampir satu tahun dan sebentar lagi akan menempuh ujian kenaikan kelas. Mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian ini. Mereka ingin membuktikan bahwa di tengah kondisi yang serba sulit ini mereka masih bisa berprestasi. Di sisi lain Karisma yang malas tidak mau belajar sedikit pun. Akibatnya ketika ujian berlangsung ia tidak dapat mengerjakan. Yang lebih parah lagi Rena kepergok mencontek. g) Denouement (Penyelesaian) Perjuangan keras belajar sambil bekerja akhirnya membuahkan hasil. Anak Alam yang di tengah situasi serba sulit masih punya semangat belajar yang tinggi bisa naik ke kelas dua dengan nilai yang memuaskan. Kharisma yang kerjanya hanya bermalas-malasan tidak naik kelas. Begitu juga Rena, selama ini ia dikenal sebagai seorang siswa yang cantik, kaya, pintar, tapi karena kepergok mencontek ia jadi tidak naik kelas. Kania, yang juga berasal dari keluarga kurang mampu, berhasil meraih juara satu paralel, disusul kemudian Faisal diurutan kedua. Atas prestasinya, Faisal berkesempatan mengikuti lomba olimpiade eksakta yang akan menjadi pintu gerbang meraih golden tiket menuju ke SMP akselerasi. Benar kata pepatah ’siapa yang menanam akan mengetam’. Orang meraih sesuatu, setimpal dengan apa yang sudah diusahakan. Siapa yang menyangka, aku mendapat kenikmatan yang bertubi-tubi, selain sekolah ini. Lomba Olimpiade commit to userEksakta yang akan menjadi pintu gerbang meraih golden tiket menuju ke SMP Akselerasi, tentu ini
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 127
kesempatan emas yang tak boleh dilewatkan, kesempatan yang hanya diberikan oleh orang-orang seberuntung aku (OMDS: 439 – 430). Kejadian yang menjalin plot di atas dapat digambarkan sebagai berikut: Climax (e)
Complication (d)
Rising Action (c)
Falling Action (f)
Inciting Moment (b)
Exposition (a) Denouement (g) Gambar 4 : Skema Plot Novel OMDS Karya Wiwid Prasetyo Keterangan: (h) Perkenalan
tokoh
dan
latar
kehidupan
para
tokohnya. (i) Anak Alam tidak bisa membaca karena tidak sekolah. (j) Akhirnya
Anak
Alam
bisa
sekolah,
namun
mendapat tentangan dari Yok Bek. (k) Gedong Sapi tempat orang tua ketiga Anak Alam bekerja didemo warga. (l) Anak alam sudah tidak punya rumah lagi dan tinggal
di
kolong
jembatan.
Mat
Karmin
menyodomi anak-anak di kampung Genteng. (m) Faisal membantu Anak Alam untuk bisa sekolah lagi. Anak Alam sekolah sambil bekerja. (n) Perjuangan keras belajar sambil bekerja akhirnya berbuah manis. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 128
Plot dapat dikategorikan ke dalam beberapa jenis berdasarkan sudut tinjauan atau kriteria tertentu. Burhan Nurgiyantoro (1995: 153 – 154) membagi plot berdasarkan kriteria urutan waktu menjadi dua macam plot, yaitu alur maju (progresif) dan alur mundur (regresif atau flash back). Alur maju atau progresif, terjadi jika cerita dimulai dari awal, tengah, dan akhir terjadinya peristiwa; alur mundur atau regresif atau flash back, alur ini terjadi jika dalam cerita tersebut dimulai dari akhir cerita atau tengah cerita kemudian menuju awal cerita. Berdasarkan kriteria ini, novel LP dan OMDS beralur maju atau progresif. Karena peristiwa-peristiwa yang dikisahkan dalam novel LP dan OMDS bersifat kronologis, peristiwa yang pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang kemudian. Atau, secara runtut cerita dimulai dari tahap paparan awal, konflik mulai muncul, peningkatan konflik, konflik semakin rumit, puncak konflik, konflik menurun, dan penyelesaian. f. Amanat Amanat suatu cerita berhubungan erat dengan tema yang diangkat oleh penulis. Menurut Dick Hartoko dan B. Rahmanto (1985: 10) amanat atau pesan yang dalam bahasa Inggris Message adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang lewat karyanya (cerpen atau novel) kepada pembaca atau pendengar. 1) Novel LP Amanat yang terdapat di dalam novel LP, yaitu bahwa dalam hidup kita harus berani bermimpi, mempunyai cita-cita dan berusaha untuk mewujudkan cita-citanya itu sesulit apapun. Perhatikan kutipan berikut ini: “Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagaimanapun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita itu mampu menimbulkan prestasi-prestasi lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga memunculkan kemampuan-kemampuan besar yang tersembunyi dan keajaiban-keajaiban di luar perkiraan. Siapa pun tak pernah membayangkan sekolah kampong Muhammadiyah yang melarat dapat mengalahkan raksasa-raksasa di meja mahoni itu, tapi keinginan yang kuat, yang kami pelajari dari petuah Pak Harfan Sembilan tahun yang lalu di hari pertama kami masuk SD, agaknya terbukti.” (LP: 383 – 384). Pada bagian lain, novel LP juga memberikan amanat agar pemerintah lebih commit to user berlaku adil dan bijaksana dalam menentukan kebijakan, dan hendaknya selalu
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 129
memikirkan masyarakat yang kurang mampu, sehingga peristiwa tragis yang menimpa tokoh Lintang tidak terjadi lagi. Lintang, seorang anak super genius terpaksa harus berhenti sekolah karena keadaan ekonominya yang tidak memungkinkan. Perhatikan kutipan berikut ini: “Inilah kisah klasik tentang anak pintar dari keluarga melarat. Hari ini , hari yang membuat gamang seorang laki-laki kurus cemara angin Sembilan tahun yang lalu akhirnya terjadi juga. Lintang, sang bunga meriam ini tak ‘kan lagi melontarkan tepung sari. Hari ini aku kehilangan teman sebangku selama Sembilan tahun. Kehilangan ini terasa lebih menyakitkan melebihi kehilangan A Ling, karena kehilangan Lintang adalah kesia-siaan yang mahabesar. Ini tidak adil. Aku benci pada mereka yang berpesta pora di Gedong dan aku benci pada diriku sendiri yang tak berdaya menolong Lintang karena keluarga kami sendiri melarat dan orangtua-orangtua kami harus berjuang setiap hari untuk sekadar menyambung hidup.” (LP: 432 – 433). Karena novel ini bertema pendidikan, maka sepanjang ceritanya pun sarat dengan amanat bagi manusia dalam mengarungi kehidupan. Pelajaran dapat dipetik pada saat PN Timah sedang berjaya. Mereka meyombongkan diri seolah harta benda yang dimilikinya tak akan habis, seolah-olah mereka tak akan mati (LP: 36 – 55). Tapi kemudian Tuhan membalikkan semuanya. Harga timah dunia turun drastis dan mengakibatkan PN Timah gulung tikar (481 – 486). Di titik tertinggi komidi putar, di masa keemasan itu, penumpangnya mabuk ketinggian dan tertidur nyenyak, melanjutkan mimpi gelap yang ditiup-tiupkan kolonialis. Sejak zaman penjajahan, sebagai platform infrastruktur ekonomi, PN tidak hanya memonopoli faktor produksi terpenting tapi juga mewarisi mental bobrok feodalistis ala Belanda. Sementara seperti sering dialami oleh warga pribumi di mana pun yang sumber daya alamnya dieksploitasi habis-habisan, sebagian komunitas di Belitong juga termarginalkan dalam ketidakadilan kompensasi tanah ulayah, persamaan kesempatan, dan trickle down effects (LP: 39 – 40). Ketika berada di puncak komidi putar dulu, barangkali itu sebuah kemunafikan, seperti halnya Babylonia, sebab Tuhan menghukum keduanya dengan kehancuran berkeping-keping yang menghinakan. Ternyata untuk musnah tak harus termaktub dalam Talmud. Tak ada firasat sebelumnya, perusahaan Gulliver yang telah Berjaya ratusan tahun itu mendadak lumpuh hanya dalam hitungan malam. Maka Babel adalah inskripsi, sebuah prasasti peringatan bahwa Tuhan telah menghancurkan dekadensi di Babylonia seperti Tuhan menghancurkan kecongkakan di Belitong (LP: 481 – 482). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 130
Hal ini menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mabuk dengan harta dan kekuasaan. Hendaknya seseorang itu sadar bahwa hidup layaknya roda yang berputar, terkadang di atas terkadang di bawah. Ketika sedang di atas jangan sampai mabuk dengan ketinggian. Ketika di bawah jangan sampai menyalahkan Tuhan. Hendaknya menyikapi setiap keadaan dengan sebaik-baiknya. 2) Novel OMDS Amanat yang dapat diambil dari novel OMDS yaitu untuk berani bermimpi, berani bercita-cita, menggantungkan cita-cita setinggi langit. Karena orang yang tak punya mimpi berarti orang yang tidak punya cita-cita. Seperti kisah Faisal ketika membuat layang-layang. Ia membayangkan kalau hari ini ia membuat layang-layang, maka esok hari ia akan membuat pesawat terbang. Perhatikan kutipan berikut ini: Aku tak mengucap apa-apa, tapi aku hanya membatin dalam hati, hampir seperti Pambudi. Kali ini, aku harus bisa membuat layang-layang. Tetapi besok, aku harus bisa membuat pesawat terbang. Mungkin ini hanyalah mimpi kami, tetapi bukankah segala sesuatunya harus dimulai dari mimpi? Betapa banyak ilmuwan yang memulai ilmu pengetahuan dari sebuah mimpi. Aku yakin, suatu saat bisa keluar dari tempurung kampungku untuk mewujudkan mimpiku. Jangan takut untuk bermimpi besar, sebab orang yang tak punya mimpi berarti tak punya cita-cita! Itulah kata-kata yang menghunjam di hatiku, saat ibu guruku memacu semangatku untuk terus maju (OMDS: 10). Hal senada juga dinasihatkan ibu Yudi kepada Yudi. Perhatikan kutipan berikut: Satu hal yang masih diingat Yudi adalah perkataan ibunya yang menyesakkan dada. Ibu dilumuri pupuk kotoran sapi yang ditumpuktumpuk, dicampur dengan tanah dan jerami kering hingga Yudi bisa melihat sendiri bagaimana pohon itu tumbuh subur dengan dahan-dahan yang gemuk, batang pohon seluas bentangan tangan orang dewasa, dan cabang-cabang yang menjulang ke langit. Seperti itulah cita-cita Yudi digantung, ditambatkan, dan suatu saat dipetik. Yudi harus memusatkan pikirannya untuk menggapai tujuan terdekatnya dulu, baru kemudian melewati proses mata rantai yang teramat panjang (OMDS: 365). Selain mengajarkan untuk tidak takut bermimpi, kisah ini juga mengamanatkan untuk tidak mudah menyerah commit to user dengan keadaan. Hidup adalah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 131
perjuangan. Jadi untuk terus hidup, segala sesuatu perlu diperjuangkan, termasuk perjuangan untuk mewujudkan cita-cita. Seperti perjuangan tokoh Kania dan Pambudi untuk terus berjuang melawan kemiskinan yang menjeratnya. Perhatikan kutipan berikut ini: Sehabis kata-kata Kania yang terakhir, Pambudi tak berkata-kata lagi, entah ada perasaan sungkan, sebab lagi-lagi Kania menunjukkan keberaniannya, seakan-akan ia berkata: “Ayo Pam, siapa di antara kita yang lebih miskin, siapa yang lebih parah penderitaannnya, pasti aku Pam, pasti… Hanya saja kemiskinan tak akan membuat kita menyerah pada kehidupan, kita harus berjuang bukan untuk melepaskan kemiskinan, tetapi membiarkan kemiskinan itu mendera dan melecut mata hati kita agar terus berpacu seperti kuda terbang (OMDS: 291). Kemiskinan tak menghalangi kita untuk terus maju, engkau harus bisa membuktikan pada orang-orang kalau kita mampu. Tekad itu yang membuat Pambudi mampu menantang jalan raya, menakhlukkan rintangan yang sesungguhnya hanya sebesar biji sawi saja. Jika kita mau menguatkan tekad kita, semua masalah akan terasa mudah. Keinginan untuk terus sekolah setinggi mungkin menuntaskan cita-cita yang sepertinya sulit terwujud, dunia bukan omong kosong lagi (OMDS: 317 – 318). Selain itu, novel ini juga mengamanatkan untuk terus belajar. Menuntut ilmu sampai akhir hayat. Menuntut ilmu walau harus ke negeri Cina. Tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar. Seperti keteladanan yang ditunjukkan Pak Cokro dan orang-orang tua yang lain, yang masih gigih belajar membaca walaupun usia mereka sudah senja. Perhatikan kutipan berikut ini: Aku menatap mereka satu persatu, kulihat mereka benar-benar berharap denganku kelak mereka bisa membaca. Semangat ini yang tak pernah kutemui sewaktu aku berkumpul dengan teman-temanku di Kampung Genteng. Sehari-harinya mereka terjebak dengan virus kemalasan yang membuat cahaya di Kampung Genteng menyala remang-remang. Berbeda dengan orang-orang tua yang telah sadar, semangat mereka begitu muda, seakan-akan mereka tak akan mati sebelum mempersembahkan sesuatu yang berharga untuk anak cucu kelak (OMDS: 207). Bertolak dari analisis struktural novel LP dan OMDS di atas, dapat disimpulkan bahwa kedua novel tersebut dibangun oleh unsur-unsur yang berupa tema, sudut pandang, penokohan, laur, latar dan amanat. Unsur-unsur tersebut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 132
saling terkait dan menjalin menjadi kesatuan yang utuh dan padu yang mendukung totalitas makna.
2. Persamaan dan perbedaan antara Novel LP dan OMDS Pada kenyataannya novel LP dan OMDS memiliki persamaan pada beberapa aspek. Aspek tersebut yaitu: a. Kedua novel tersebut memiliki persamaan tema yaitu masalah pendidikan yang diramu dengan fenomena sosial, yakni persahabatan, percintaan, dan kemiskinan. b. Kedua novel tersebut menggunakan alur progresif atau alur maju. Alur kedua novel tersebut dianalisis dalam tujuh bagian yaitu eksposition, inciting moment, ricing action, complication, climax, falling action, dan denouement. Pengarang menyusun peristiwa-peristiwa yang ada berdasarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas). c. Kedua novel tersebut mempunyai amanat yang sama yaitu untuk jangan takut bermimpi dan bercita-cita serta harus berusaha keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. d. Kedua novel tersebut dalam menampilkan tokoh menggunakan metode langsung dan metode tidak langsung. Perwatakan kedua novel ditinjau dari aspek fisiologis, aspek psikologis, dan aspek sosial. Penokohan yang menjadi fokus utama penelitian ini adalah tokoh utama (Ikal dan Faisal). Ditinjau dari aspek fisiologis, tokoh utama dalam kedua novel berjenis kelamin sama yakni laki-laki. Ditinjau dari aspek psikologis tercermin watak tokoh utama dalam kedua novel yaitu berkemauan keras. Ditinjau dari aspek sosiologis, watak dari tokoh utama dalam kedua novel tersebut yaitu sama-sama punya jiwa sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama. e. Latar waktu kedua novel ini tidak disebutkan secara langsung oleh pengarangnya, tetapi dapat dianalisis dari cerita dan kutipan-kutipan yang ada di dalamnya. Kedua novel sama-sama mengambil latar waktu pada masa pemerintahan Soeharto. Kisah dalam novel LP terjadi sekitar kurun waktu user novel OMDS terjadi antara kurun tahun 1966 – 1998. Sedangkancommit kisah to dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 133
waktu 1988 – 1996. Keduanya sama-sama terjadi selama kurun waktu pemerintahan Soeharto. Novel LP dan OMDS selain memiliki persamaan, juga memiliki perbedaan. Perbedaan yang paling menonjol antara kedua novel ini terletak pada aspek sudut pandang, latar tempat dan latar sosial. a. Sudut Pandang Sudut pandang kedua novel ini mempunyai perbedaan yaitu dalam novel LP digunakan sudut pandang persona pertama sedangkan dalam OMDS digunakan sudut pandang campuran antara persona pertama dan persona ketiga “Dia” Mahatahu. b. Latar Tempat Latar tempat kedua novel ini mempunyai perbedaan yaitu dalam novel LP berlatar di Pulau Belitong, dan kota Bogor, sedangkan dalam novel OMDS latar tempatnya di kota Semarang, Jawa Tengah. c. Latar Sosial Kedua novel ini mempunyai latar tempat yang berbeda, maka secara otomatis kedua novel ini menghadirkan latar sosial yang berbeda pula. Novel LP yang notabene berlatar tempat di Belitong menghadirkan latar sosial kebudayaan Melayu. Sedangkan dalam novel OMDS yang mengambil latar di Semarang, Jawa tengah mengambil latar sosial kebudayaan Jawa.
3.
Hubungan Intertekstual antara Novel LP dan OMDS
Novel LP karya Andrea Hirata yang diterbitkan penerbit Bentang pada tahun 2008 (cetakan keduapuluh tiga) merupakan hipogram, sedangkan novel OMDS yang diterbitkan oleh Diva Press pada tahun 2010 (cetakan keenam) merupakan teks transformasi.
4.
Nilai Pendidikan dalam Novel LP dan OMDS
Ada banyak sekali nilai pendidikan yang dapat diteladani dari novel LP dan OMDS.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 134
a. Novel LP 1) Nilai Pendidikan Religius/Agama Dalam kehidupan seseorang, agama merupakan faktor sangat penting yang akan memberi warna dalam hidupnya. Bahkan agama dapat menjadi dasar bersikap bagi seseorang untuk menilai berbagai fenomena kehidupan. Dalam novel LP, Andrea Hirata menunjukkan hal itu, baik melalui tokoh Pak Harfan, Bu Muslimah, maupun tokoh-tokoh anggota Laskar Pelangi. Orang Melayu mayoritasnya beragama Islam, maka dalam novel ini banyak terkandung ajaran Islam. Seperti kutipan di bawah ini: Tempat di atas langit ketujuh, tempat kebodohan bersemayam, adalah metaphor dari suatu tempat di mana manusia tak bisa mempertanyakan zat-zat Allah. Setiap usaha mempertanyakannya hanya akan berujung dengan kesimpulan yang mempertontonkan kemahatololan sang penanya sendiri. Maka semua jangkauan akal telah berakhir di langit ketujuh tadi. Di tempat asing tersebut, barangkali Arasy, di sana kembali metafor keagungan Tuhan bertakhta. Di bawah takhta-Nya tergelar Lauhul Mahfuzh, muara dari segala cabang anak-anak sungai ilmu dan kebijakan, kitab yang telah mencatat setiap lembar daun yang akan jatuh. Ia juga menyimpan rahasia ke mana nasib akan membawa sepuluh siswa baru perguruan Muhammadiyah tahun ini. Karena takdir dan nasib termasuk dalam Zat-Nya (LP: 105). Dari kutipan di atas, dapat ditarik pelajaran bahwa Allah Maha Agung, Allah Maha Mengetahui, Allah Maha Kuasa. Allah yang menuliskan nasib makhluknya. Tidak ada satu lembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan-Nya. Manusia hanya menjalani apa yang sudah ditakdirkan. Manusia diwajibkan untuk berusaha, tetapi hasil akhirnya tetap di tangan Allah. Dalam agama Islam, banyak aturan atau etika yang harus dipatuhi. Dalam novel ini banyak dipenuhi nilai pendidikan keagamaan, diantaranya untuk selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al-Hadist. Perhatikan kutipan berikut: Ini mulai serius, Mahar tertunduk makin makin dalam. Kami diam mendengarkan dan khotbah berlanjut. Berita utama “Hiduplah hanya dari ajaran Al-Qur’an, hadist, dan sunatullah, itulah pokok-pokok tuntunan Muhammadiyah (LP: 350). Selain berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al-Hadist, agama Islam juga commit to usertepat waktu, dan seorang muslim mengajarkan untuk selalu melaksanakan sholat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 135
dianjurkan untuk diam dan menghentikan sejenak aktivitasnya ketika mendengar suara azan. Perhatikan kutipan berikut: “Sholatlah tepat waktu, biar dapat pahala lebih banyak,” demikian Bu Mus selalu menasihati kami (LP: 31). Kami diam sampai matahari membenamkan diri. Azan maghrib menggema dipantulkan tiang-tiang tinggi rumah panggung orang Melayu, sahut menyahut dari masjid ke masjid. Sang lorong waktu perlahan hilang ditelan malam. Kami diajari tak bicara ketika azan berkumandang. “Diam dan simaklah panggilan menuju kemenangan itu …,” pesan orang tua kami (LP: 162). Dalam ajaran Islam, Allah sangat membenci syirik, yaitu perbuatan yang menyekutukan Allah dengan sesuatu selain Allah. Bu Mus mengajarkan kepada siswanya untuk jangan mendekati perbuatan syirik. Perhatikan kutipan berikut: “Camkan ini anak muda, tidak ada hikmah apa pun dari kemusyrikan, yang akan kau dapat dari praktik-praktik klenik itu adalah kesesatan yang semakin lama semakin dalam karena sifat syirik yang berlapis-lapis. Iblis mengipas-ngipasimu setiap kali kaukipasi bara api kemenyan-kemenyan itu”. (LP: 352). Seorang muslim laki-laki juga disunahkan untuk memelihara jenggot. Seperti kisah Pak Harfan berikut ini. Pak Harfan sebagai penganut agama Islam mencoba untuk mengikuti sunah nabi Muhammad S.A.W., yakni memelihara jenggot. Pak Harfan, seperti halnya sekolah ini, tak susah digambarkan. Kumisnya tebal, cabangnya tersambung pada jenggot lebat berwarna kecokelatan yang kusam dan beruban. Jika kita bertanya tentang jenggotnya yang awut-awutan, beliau tidak akan repot-repot berdalih tapi segera menyodorkan sebuah buku karya Maulana Muhammad Zakariyya Al Kandhallawi Rah, R.A yang berjudul Keutamaan Memelihara Jenggot. Cukup membaca pengantarnya saja Anda akan merasa malu sudah bertanya (LP: 20 – 21). Amar Makruf Nahi Mungkar adalah sebuah ajaran agama islam yang sangat dalam maknanya. Arti umum dari ayat itu adalah “mengajak sesama pada kebenaran atau kebaikan dan menjauhi segala yang buruk dan dilarang oleh Allah SWT. Jadi sebagai manusia harus selalu berjalan, bertindak, dan bertingkah laku
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 136
sesuai dengan jalan kebenaran dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak Tuhan. Seperti kutipan berikut ini: Bagi kami Pak Harfan dan Bu Mus adalah pahlawan tanpa tanda jasa yang sesungguhnya. Merekalah mentor, penjaga, sahabat, pengajar, dan guru spiritual. Mereka yang pertama menjelaskan secara gamblang implikasi amar makruf nahi mungkar sebagai pegangan moral kami sepanjang hayat (LP: 32). 2) Nilai Pendidikan Moral Nilai moral berhubungan dengan kelakuan atau tindakan manusia. Nilai moral inilah yang lebih terkait dengan tingkah laku kehidupan kita sehari-hari (Uzey: 2010). Dalam kehidupan sehari-hari kejujuran harus selalu dijunjung tinggi. Inilah yang coba dihadirkan pengarang melalui novel ini. Novel ini mengajarkan untuk selalu berkata jujur dan tidak berkata dusta. Kejujuran harus tetap diungkapkan sepahit apa pun itu. Perhatikan kutipan berikut ini: Ketika ibuku bertanya tentang tanda itu aku berkutik, karena pelajaran Budi Pekerti Kemuhammadiyahan setiap Jumat pagi tak membolehkan aku membohongi orang tua, apalagi ibu. Maka dengan amat sangat terpaksa kutelanjangi kebodohanku sendiri (LP: 82). Manusia dalam menjalani kehidupan harus mempunyai pendirian yang teguh. Jangan sampai terombang-ambing tak tentu arah. Seseorang harus tekun, harus punya keinginan yang kuat untuk menggapai cita-cita, juga keikhlasan berkorban untuk sesama. Pak Harfan memberi kami pelajaran pertama tentang keteguhan pendirian, tentang ketekunan, tentang keinginan kuat untuk mencapai cita-cita. Beliau meyakinkan kami bahwa hidup bisa demikian bahagia dalam keterbatasan jika dimaknai dengan keikhlasan berkorban untuk sesama (LP: 24). Pelajaran moral dapat pula diambil dari tokoh Lintang. Lintang merupakan sosok yang super jenius. Namun dengan kejeniusannya itu tidak menjadikannya kalap. Ia beranggapan bahwa kepandaian bukan untuk disombongkan. Pengetahuan yang dimilikinya belum seberapa dibandingkan lautan ilmu yang terbentang sangat luas. Lintang adalah pribadi yang unik. Banyak orang merasa dirinya pintar commit totidak userdisiplin, dan tak punya integritas. lalu bersikap seenaknya, congkak,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 137
Tapi Lintang sebaliknya. Ia tak pernah tinggi hati, karena Ia merasa ilmu demikian luas untuk disombongkan dan menggali ilmu tak akan ada habishabisnya (LP: 108). Pelajaran moral dari tokoh Lintang adalah untuk selalu berani bermimpi, berangan-angan, dan bercita-cita bagaimanapun terbatasnya keadaan. Hari ini aku belajar bahwa setiap orang, bagaimana pun terbatas keadaannya, berhak memiliki cita-cita, dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita itu mampu menimbulkan prestasi-prestasi lain sebelum cita-cita sesungguhnya tercapai. Keinginan kuat itu juga memunculkan kemampuan-kemampuan besar yang tersembunyi dan keajaiban-keajaiban di luar perkiraan (LP: 383). Pelajaran moral lain dari tokoh Lintang adalah janganlah bersedih apabila tidak dapat menggapai cita-cita besar yang sudah diperjuangkan, karena paling tidak dapat mewujudkan keinginan dan membahagiakan orang-orang yang dicintai. Kutipan berikut ini mengisyaratkan kepada kita untuk tidak menyianyiakan kesempatan yang diberikan, karena kesempatan tidak datang dua kali. Dan penyesalan pasti akan datang terlambat. Jangan sedih Ikal, paling tidak aku telah memenuhi harapan ayahku agar tak jadi nelayan… “ Dan kata-kata itu semakin menghancurkan hatiku, maka sekarang aku marah, aku kecewa pada kenyataan begitu banyak anak pintar yang harus berhenti sekolah karena alasan ekonomi (LP: 472). Pak Harfan juga memberikan ajaran yang mempunyai nilai pendidikan moral yang tinggi yakni hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya dan bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Maksudnya sebagai manusia yang hidup di tengah-tengah manusia lain, harus dapat memberi sebanyak-banyaknya bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya. Lalu beliau menyampaikan sebuah prinsip yang diam-diam menyelinap jauh ke dalam dadaku serta memberi arah bagiku hingga dewasa, yaitu hiduplah untuk memberi sebanyak-banyaknya dan bukan untuk menerima sebanyak-banyaknya (LP: 24). Selain Pak Harfan, Bu Mus juga memberikan pendidikan moral kepada pembaca. Bu Mus berlaku sangat demokratis dalam pemilihan ketua kelas, karena tahu Harun tidak dapat menulis maka sebagai penggantinya ia memberi commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 138
kesempatan kepada Harun untuk menggunakan hak politiknya yaitu dengan cara lisan. Karena Harun tak bisa menulis maka jumlah kertas hanya sembilan tapi Bu Mus tetap menghargai hak asasi politiknya. Ketika Bu Mus mengalihkan pandangan kepada Harun. Harun mengeluarkan senyum khas dengan gigi-gigi panjangnya dan berteriak pasti. “Kucai … !” (LP: 73). Tokoh Kucai juga memberikan pelajaran moral, yakni untuk selalu menghormati guru. Karena guru adalah pengganti orang tua di sekolah, sehingga menghormati guru sama artinya dengan menghormati orang tua. Seperti kutipan berikut ini: Kucai selaku ketua kelas ambil bagian, suaranya menggelegar, “Melawan guru sama hukumnya dengan melawan orang tua, durhaka! Siksa dunia yang segera kauterima adalah burut! (LP: 351). Sebuah pelajaran moral yang menarik dari petikan teks di atas, bahwa setiap orang bagaimanapun terbatas keadaannya berhak memiliki cita-cita dan keinginan yang kuat untuk mencapai cita-cita. 3) Nilai Pendidikan Sosial Novel LP banyak menyoroti fenomena sosial yang terjadi di masyarakat Melayu Belitong pada waktu itu, yakni menyoroti ketimpangan sosial yang ada dalam tatanan masyarakat Belitong. Ketimpangan sosial itu tampak adanya jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Kesenjangan sosial antara sebuah komunitas masyarakat yang tinggal di Gedong yang hidup makmur, dengan masyarakat asli Melayu Belitong yang berada di bawah garis kemiskinan. Belitong dalam batas kuasa eksklusif PN Timah adalah kotapraja Konstantinopel yang makmur. PN adalah penguasa tunggal Pulau Belitong yang termasyur di seluruh negeri sebagai Pulau Timah. Nama itu tercetak di setiap buku geografi atau buku Himpunan Pengetahuan Umum pustaka wajib sekolah dasar. PN amat kaya. Ia punya jalan raya, jembatan, pelabuhan, real estate, bendungan, dok kapal, sarana telekomunikasi, air, listrik, rumah-rumah sakit, sarana olahraga- termasuk beberapa padang golf, kelengkapan sarana hiburan, dan sekolah-sekolah. PN menjadikan Belitong- sebuah pulau kecil- seumpama desa perusahaan dengan aset triliunan rupiah. Hanya beberapa jengkal di luar lingkaran tembok tersaji pemandangan kontras seperti langit dan bumi. Berlebihan jika disebut commit to user daerah kumuh tapi tak keliru jika diumpamakan kota yang dilanda gerhana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 139
berkepanjangan sejak pencerahan revolusi industri. Di sana, di luar lingkar tembok Gedong hidup komunitas Melayu Belitong yang jika belum punya enam anak belum berhenti beranak pinak (LP: 50). Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia tidak mungkin hidup sendiri. Manusia merupakan anggota masyarakat. Dalam bergaul di masyarakat, manusia harus memegang tinggi kejujuran. Karena apabila sekali pernah berbohong, maka setelahnya walaupun seseorang itu mengatakan kejujuran pasti dianggap sebagai sebuah kebohongan. Seperti kisah Mahar berikut ini: Kulihat dalam-dalam mata Mahar dan aku yakin yang baru saja dilihatnya memang burung-burung keramat itu. Ah! Beruntung sekali. Sayangnya upaya Mahar meyakinkan kami sia-sia karena reputasinya sendiri yang senang membual. Itulah susahnya jadi pembual, sekali mengajukan kebenaran hakiki di antara seribu macam dusta, orang hanya akan menganggap kebenaran itu sebagai salah satu dari buah kebohongan lainnya (LP: 186). Selain diperlukan kejujuran, dalam kehidupan sosial seseorang harus menjalin komunikasi dengan sesamanya. Dalam berkomunikasi seseorang tidak bisa terhindar dari berbagai polemik yang muncul. Novel ini mengamanatkan untuk tidak berpolemik terhadap sesuatu yang tidak dipahami dan benar-benar dikuasai, karena hal ini hanya akan memperlihatkan kebodohan. Seperti kutipan berikut ini: Sang Drs. terkulai lemas, wajahnya pucat pasi. Ia membenamkan pantatnya yang tepos di bantalan kursi seperti tulang belulangnya telah dipresto. Ia kehabisan kata-kata pintar, kacamata minusnya merosot layu di batang hidungnya yang bengkok. Ia paham bahwa berpolemik secara membabi buta dan berkomentar lebih jauh tentang sesuatu yang tak terlalu ia kuasai hanya akan memperlihatkan ketololannya sendiri di mata orang jenius seperti Lintang (LP: 382). Nilai sosial yang dapat diambil dari kisah ini yaitu rasa peduli dan solidaritas di antara tokohnya, yakni anggota Laskar Pelangi. Solidaritas ini ditunjukkan ketika anggota Laskar Pelangi ikut mencari ketika Flo hilang di hutan sekitar Gunung Selumar. Perhatikan kutipan berikut ini: Tim kami berangkat sejak pagi benar di bawah pimpinan Mahar. Kami to user bergerak ke utara, ke arah commit jalur maut sungai Buta. Belasan ladang terutama
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 140
yang dekat sungai- telah kami kunjungi dan gubuknya telah kami obrakabrik, kami juga mencari-cari di sela-sela akar bakau, tapi hasilnya nihil. Flo raib seperti ditelan bumi. Suara kami sampai parau memanggilmanggil namanya dan satu-satunya megaphone yang dibekali posko telah habis baterainya (LP: 320). 4) Nilai Pendidikan Kebudayaan Kebudayaan yang tumbuh pada suatu masyarakat berbeda satu sama lain. Setiap kelompok masyarakat membawa corak kebudayaannya masing-masing. Demikian pula corak kebudayaan yang diangkat dalam novel LP, yakni kebudayaan masyarakat Melayu Belitong. Dalam novel ini, masyarakat Melayu Belitong digambarkan mempercayai adanya seorang dukun sakti mandraguna yang hidup menyendiri di Pulau Lanun. Keberadaan dukun ini sudah melegenda di kalangan masyarakat Melayu Belitong. Ia diyakini sakti dalam hal ilmu ghaib dan segala sesuatu yang berhubungan dengan alam lain hingga dijuluki dukun siluman, dialah Tuk Bayan Tula. Berbagai cerita yang mendirikan bulu kuduk selalu dikait-kaitkan dengan tokoh siluman ini. Ada yang mengatakan beliau sengaja mengasingkan diri di pulau kecil sebelah barat sebagai tameng yang melindungi Pulau Belitong dari amukan badai. Ada yang percaya ia bisa melayang-layang ringan seperti kabut dan bersembunyi di balik sehelai ilalang. Dan yang paling menyeramkan adalah bahwa dikatakan Tuk telah menjadi manusia separuh peri (LP: 314). Karena kepercayaan yang sudah melegenda itulah maka pada suatu saat Mahar, yang memang sangat mempercayai takhayul seperti ini, tertarik untuk meminta bantuan Tuk Bayan Tula agar nilai-nilai sekolahnya membaik. Maka mereka pergi ke Pulau Lanun untuk menemui Tuk Bayan Tula. Bukan jampijampi untuk menaikkan nilai yang didapat, tetapi malah sebuah gulungan kertas yang berisi sebuah pesan. Perhatikan kutipan berikut: Lalu tak tahu siapa yang memulai tiba-tiba mereka muncul dengan satu gagasan yang paling absurd. Karena tak ingin kehilangan sekolah dan tak ingin meninggalkan hobi klenik maka mereka berusaha menggabungkan keduanya. Mahar dan Flo akan mencari jalan keluar mengatasi kemerosotan nilai sekolah melalui cara yang mereka paling mereka kuasai, yaitu melalui jalan pintas dunia ghaib perdukunan. Sebuah cara yang tidak masuk akal yang unik, lucu, dan mengandung mara bahaya (LP: 404). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 141
INILAH PESAN TUK-BAYAN-TULA UNTUK KALIAN BERDUA, KALAU INGIN LULUS UJIAN: BUKA BUKU, BELAJAR !! (LP: 424). Kutipan di atas memberikan didikan untuk tidak mempercayai segala sesuatu yang belum tentu kebenarannya, sesuatu yang tidak dapat diterima logika. Bahwa segala sesuatu tidak bisa diperoleh dengan cara yang instan, semuanya memerlukan usaha dan doa. Jika ingin pandai, maka sudah seharusnya belajar. Jika ingin kaya, maka sudah seharusnya bekerja. Selain kepercayaan terhadap dukun, masyarakat Melayu Belitong ada juga yang mempercayai adanya ilmu buaya, di mana buaya mereka sembah layaknya Tuhan. Mereka punya keyakinan bahwa setelah mati dirinya akan berubah menjadi buaya. Bodenga kini sebatang kara. Satu-satunya keluarga yang pernah diketahui orang adalah ayahnya yang buntung kaki kanannya. Orang bilang karena tumbal ilmu buaya. Ayahnya itu seorang dukun buaya terkenal. Serbuan Islam yang tak terbendung ke seantero kampung membuat orang menjauhi mereka, karena mereka menolak meninggalkan penyembahan buaya sebagai Tuhan (LP: 91). Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa budaya terkadang tidak masuk akal. Namun harus dipahami dan dimaklumi karena budaya adalah bagian dari sebuah kepercayaan dan merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Dari kutipan di atas memberi pemahaman bahwa ada sebagian masyarakat pulau Belitong yang mempercayai adanya penganut ilmu buaya, mereka mempercayai nanti ketika sudah mati akan menjadi seekor buaya. Sebagai sebuah kepercayaan, terlepas benar atau tidaknya kepercayaan itu nyatanya ada dan hidup berkembang di tengah masyarakat. Oleh karena itu harus dihormati. Orang-orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung ini singgah di kampung maka pertanda di laut sedang terjadi badai hebat atau angin puting beliung. Sering sekali kehadirannya membatalkan niat nelayan yang akan melaut. Tapi ada penjelasan logis untuk pesan ini, yaitu jika mereka memang tinggal di pulau terpencil maka badai laut akan menyapu pulau tersebut dan saat itulah mereka menghindar menuju pesisir lain (LP: 184).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 142
Kepercayaan lain yang tak kalah menarik terdapat dalam kutipan di atas. Kepercayaan masyarakat Melayu pesisir yang mempercayai adanya tentang keberadaan burung Pelintang Pulau, nyatanya sangat mempengaruhi pola kehidupannya. Orang Melayu pesisir percaya bahwa jika burung Pelintang Pulau singgah di kampung maka pertanda di laut sedang terjadi badai hebat atau angin puting beliung. Sering sekali kehadiran burung ini membatalkan niat nelayan yang akan melaut. Sehingga burung ini dianggap keramat karena keberadaannya dapat mengingatkan hal buruk yang akan terjadi di tengah laut. Rumah juga merupakan salah satu jenis kebudayaan. Setiap daerah di Indonesia mempunyai bentuk rumah yang berbeda-beda. Jawa Tengah sangat khas dengan rumah joglonya, Jawa Timur dengan rumah Limasannya, Irian Jaya dengan Honainya. Maka cerita ini pun yang notabene menjadikan pulau Belitong sebagai latar cerita juga mempunyai rumah Panggung. Di pemukiman komunitas orang Melayu Belitong rumah Panggung adalah bagian dari budaya tinggalan leluhur yang harus diikuti. Kebiasaan mendirikan rumah Panggung yang diikuti dari leluhurnya, ternyata disesuaikan dengan keadaan geografis di mana suku bangsa ini tinggal. Beranda itu sendiri merupakan bagian dari gubuk panggung dengan tiangtiang tinggi untuk berjaga-jaga jika laut pasang hingga meluap jauh ke pesisir. Adapun gubuk ini merupakan bagian dari pemukiman komunitas orang Melayu Belitong yang hidup di sepanjang pesisir, mengikuti kebiasaan leluhur mereka para penggawa dan kerabat kerajaan(LP: 98). Dalam cerita ini, pulau Belitong diceritakan didiami oleh banyak suku. Suku Sawang salah satu contohnya. Suku ini digambarkan mempunyai integritas yang tinggi, memiliki etos kerja yang tinggi, jujur, tidak usil dengan urusan orang lain, dan tak pernah berurusan dengan hukum. Sejarah menunjukkan bahwa orang-orang Sawang memiliki integritas, mereka hidup eksklusif dalam komunitasnya sendiri, tak usil dengan urusan orang lain, memiliki etos kerja tinggi, jujur, dan tak pernah berurusan dengan hukum. Lebih dari itu, mereka tak pernah lari dari utang-utangnya (LP: 164 – 165). b. Novel OMDS
commit to user 1) Nilai Pendidikan Religi/Agama
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 143
Sri Sutjiatiningsih (1999: 91) menyamakan religius dengan keagamaan. Menurutnya agama memberikan suatu perspektif bagi manusia untuk menafsirkan seluruh kejadian yang dialaminya setiap saat. Agama juga memberikan arti atau makna tentang hakikat dari kenyataan, sekaligus mendorong manusia untuk berbuat ke arah yang seharusnya dilakukan. Dalam kehidupan seseorang, agama merupakan faktor yang sangat penting yang akan memberi warna dalam hidupnya. Bahkan agama menjadi dasar bersikap bagi seseorang untuk menilai berbagai fenomena kehidupan. Dalam novel OMDS, pengarang ingin menunjukkan bahwa Allah Maha Esa, Maha Pemurah, Mahakuasa, berkehendak atas segala. Manusia hanya wajib berusaha sebaik mungkin. Allah lah yang menentukan semuanya. Seperti ketika Anak Alam dan teman-temannya menunggu hasil rapor. Perhatikan kutipan berikut ini: Anak-anak yang duduk di bawah pohon bambu itu mengangguk setuju dengan yang dikatakan fajar. Ya, mereka harus berdoa, setelah perjuangan yang panjang selama satu semester, dan diujung ikhtiar ini semua urusan wajib kita serahkan pada Allah. Tanpa diperintah pun sebetulnya mereka sudah berdoa dalam hati masing-masing, doa akan menambah keyakinan dan kebulatan tekad dengan langkah yang akan ditempuh. Doa akan membuat mereka berani untuk menghadapi tantangan sebesar apa pun di depan mereka (OMDS: 400). Kutipan di atas mengisyaratkan bahwa Allah Maha Esa. Tiada Tuhan selain Allah. Tidak boleh percaya kekuatan-kekuatan lain selain Allah (dukun, paranormal, ahli nujum dan sebagainya), karena semuanya berasal dari Allah. Selain itu kita juga diajarkan untuk selalu berusaha dan berdoa. Allah Maha Pemurah. Allah akan mengabulkan apa yang diminta makhlukNya, karena Allah Mahakuasa dan Maha Berkehendak atas makhluk ciptaan. Manusia hanya wajib berikhtiar sebaik mungkin, dalam kondisi apa pun, walaupun sepertinya tidak mungkin. Tapi Allah Kuasa. Tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Selain itu, Islam juga mengajarkan “ Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Hal ini mengisayaratkan bahwa manusia sebagai makhluk Allah diperintahkan untuk menuntut ilmu walau sampai harus ke tempat yang sangat jauh sekalipun. Karena Allah tidak menyukai kebodohan. Allah akan mengangkat commit to user derajat orang berilmu. Seperti kutipan berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 144
Semenjak peristiwa dengan Pak Cokro kemarin, sikap ayah sudah berubah padaku, apalagi aku mampu mengendalikan Pak Cokro hingga dia bertekuk lutut di hadapanku, itu membuat ayah terbengong-bengong. Aku menjadi semakin yakin, orang pintar atau berilmu kan diangkat derajatnya oleh Allah, ia akan menjadi jalan terang bagi orang-orang bodoh, karena orang bodoh itu buta dan butuh penerangan jalan, maka orang pintarlah yang akan menjadi juru penerangnya itu (OMDS: 185) Penganut agama yang taat adalah pribadi yang menghormati segala aturan agamanya. Dalam agama Islam, banyak aturan yang harus dipatuhi, misalnya ketika sholat Jumat, dianjurkan untuk datang lebih awal jika masih menginginkan pahala sebesar gunung. Karena apabila khatib berkutbah dan makmun terlambat, maka pahalanya hanya seperti shalat jamaah biasa. Perhatikan kutipan berikut ini: Bu Wiryo begitu jengkel, kalimat terakhirnya tak didengar Bang Anan. Ia langsung masuk dan menutup pintunya karena shalat jumat segera dimulai. Saat khatib berkhutbah dan muadzin sudah melakukan adzan yang kedua kalinya saat itu pintu catatan amal ditutup, malaikat sudah tak lagi berdiri di pintu, begitu khatib berkhutbah dan makmum terlambat, sudah tak ada pahala sebesar gunung lagi, makmum hanya mendapat pahala shalat jamaah biasa (OMDS: 145). 2) Nilai Pendidikan Moral Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikannya kepada pembaca. Moral dalam cerita menurut Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2005: 321) biasanya dimaksudkan sebagai suatu saran yang berhubungan dengan ajaran moral tertentu yang bersifat praktis, yang dapat diambil (dan ditafsirkan) lewat cerita yang bersangkutan oleh pembaca. Ia merupakan “petunjuk” yang sengaja diberikan oleh pengarang tentang berbagai hal yang berhubungan dengan masalah kehidupan, seperti sikap, tingkah laku, dan sopan santun pergaulan. Ia bersifat praktis sebab “petunjuk” itu dapat ditampilkan, atau ditemukan modelnya, dalam kehidupan nyata, sebagaimana model yang ditampilkan dalam cerita itu lewat sikap dan tingkah laku tokoh-tokohnya. Novel OMDS merupakan novel humanis yang di dalamnya banyak mengandung nilai-nilai pendidikan yang to berharga, commit user salah satunya nilai pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 145
moral. Novel ini menceritakan persahabatan tokoh utamanya yakni Faisal dengan ketiga Anak Alam yakni Pambudi, Yudi dan Pepeng. Ketiga Anak Alam tersebut berasal dari keluarga tidak punya, padahal di kelas 1-2 rata-rata berasal dari keluarga menengah ke atas, hingga pada suatu saat ketiga anak alam tersebut diejek oleh teman sekelas karena miskin. Kemudian Bu Mutia hadir memberikan petuah bahwa di dalam bergaul tidak boleh pilih-pilih, membeda-bedakan, tidak boleh pandang bulu. Perhatikan kutipan berikut ini: Bu Mutia hanya geleng-geleng kepala, guru yang lemah lembut perangainya itu merasa harus menerangkan sebuah akhlak yang harus mereka teladani, anak-anak kelas menengah itu harus paham kalau dalam pergaulan itu tak hanya dengan orang-orang sederajat saja, tapi juga dengan orang-orang miskin dan berasal dari orang tua yang berprofesi rendah, atau dengan model dan gaya berbeda dalam berpakaian, itu harus mereka maklumi. (OMDS: 265). Pada bagian lain, tokoh Bu Mutia juga memberikan pelajaran moral yakni untuk jangan mudah percaya pada orang lain, yaitu melalui cerita Mat Karmin. Mat Karmin yang di luarnya lugu, seperti anak kecil, ternyata di dalamnya mempunyai penyakit penyimpangan seksual yakni pedhopilia. Perhatikan kutipan berikut ini: Mat Karmin menjadi cerita tersendiri yang sarat renungan, pelajaran moral nomor tiga yang diajarkan oleh Bu Mutia ketika aku duduk di bangku kelas satu terngiang lagi, jangan mudah percaya sama orang meskipun kelihatannya orang itu baik padamu, justru di balik kebaikan itu sebetulnya tersimpan maksud tersembunyi, mungkin bisa kejahatan seperti yang dilakukan Mat Karmin pada anak-anak itu (OMDS: 238). Selain itu ada juga pelajaran moral lain yang terkandung dalam novel ini, yakni janganlah suka menyebar fitnah dan menghasut orang lain. Hal ini terlihat dari kisah ketika Pak Cokro taubat dari praktik dukunnya dan berusaha membenahi diri dengan cara membantu warga untuk bisa membaca dan menulis. Pak Cokro kemudian difitnah oleh warga yang tidak menyukainya. Perhatikan kutipan berikut: Orang-orang pembelot inilah yang yang pertama kali menyebarkan fitnah, karena otaknya yang tumpul dan tak bisa lagi diajak kompromi seperti anak sekolah yang harus belajar, ia malah mengajak orang lain commit to user menghembuskan isu tak sedap, dituduhnya Pak Cokro sedang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 146
menyebarkan aliran agama yang baru. Aliran ini bernama Islam, tetapi isinya menyimpang, aliran ini tertutup dan menggunakan dalih pengobatan untuk menutupi tujuan utamanya (OMDS: 226). Kisah ini memberikan isyarat untuk jangan suka berbicara asal saja tanpa disertai bukti. Jangan suka menghasut dan memfitnah orang lain. Karena perbuatan fitnah itu amat keji dan harus dihindari. 3) Nilai Pendidikan Sosial Brondet Wrahatnala (2010) menyatakan bahwa nilai sosial adalah segala sesuatu yang dianggap baik dan benar, yang diidam-idamkan masyarakat, merupakan penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala sesuatu yang baik, penting, luhur, pantas, dan mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan dan kebaikan hidup bersama. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari novel OMDS terutama dari segi pelajaran sosialnya. Hal ini terlihat dari pemikiran juga perilaku yang ditunjukkan tokoh Faisal. Faisal mempunyai solidaritas dan jiwa sosial yang tinggi. Ia peduli dengan sesamanya, peduli dengan nasib ketiga Anak Alam yang tidak bisa mengenyam pendidikan karena keadaan yang tidak memungkinkan. Ia bersusah payah mengusahakan agar Anak Alam bisa sekolah. Karena tanpa sekolah mereka hanya akan teronggok dalam kemiskinan dan kebodohan. Perhatikan kutipan berikut ini: “Aku tak tahu nasib mereka, yang jelas kehidupan mereka akan semakin mengenaskan, masa depan yang tak jelas, kehidupan yang suram, karena tak ada yang bisa diharapkan selain cita-citanya itu. Beberapa bulan ini mereka mulai sekolah, mereka kelihatan semangat sekali, tetapi orangorang kampung itu mengubur semangatnya dan mencampakkannya di tempat sampah. Kau bisa bayangkan sendiri bagaimana kecewanya aku, aku susah payah mengembalikan rasa percaya dirinya, aku juga menjamin pada kepala sekolah kalau anak-anak alam ini sungguh-sungguh untuk sekolah.” (OMDS: 165 – 166). Selain tokoh Faisal, ada juga tokoh pak Cokro yang juga mempunyai sifat kepedulian dengan sesama. Setelah ia pensiun dari praktik perdukunannya, ia ingin memberikan sesuatu yang berharga bagi kampungnya, ia bercita-cita untuk membuat kampung Genteng menjadi kampung melek huruf. Perhatikan kutipan commit to user berikut ini:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 147
“Ia berprinsip, tak mau mati dulu sebelum mewariskan ilmu pengobatan itu kepada sepuluh muridnya. Sebab kehidupan ini seperti orang berlari menuju garis finish, kita semua sedang menuju kematian, tetapi di dalam proses itu banyak orang yang terlena, ada yang menghabiskan waktunya dengan tidur sepanjang waktu. Bisa dibayangkan sendiri, jika sehari semalam kita tidur delapan jam, berapa tahun umur kita telah tersia-sia? (OMDS: 222) Selain itu, pengarang juga menyoroti masalah ketimpangan sosial yakni masalah kesenjangan sosial yang ada dalam tatanan masyarakat di Semarang khususnya Gedong Sapi. Kesenjangan sosial itu tampak antara kaum Cina pinggiran dengan masyarakat pribumi, yaitu antara Yok Bek dan keluarga anak alam. Perhatikan kutipan berikut ini: Rumah Yok Bek yang khas bangunan lama Kota Semarang yang berarsitektur campuran Italia dan Cina itu berdiri megah, berseberangan dengan rumah ketiga temanku yang teramat kumuh, pengap, kotor, dan sempit. Jurang kesenjangan itu sedemikian lebar, hingga aku kerap menangis sendiri menyaksikan keadaan tiga temanku yang sama sekali tidak bersedih dengan keadaannya, mereka justru tertawa-tawa, gembira, dan menatap matahari esok dengan raut muka sumringah (OMDS: 18). Kesenjangan sosial yang sudah ada ini sebaiknya jangan semakin dibiarkan menganga lebar. Yang kaya hendaknya senantiasa membantu yang kurang mampu. Yang kurang mampu hendaknya senantiasa berusaha keras agar jurang kesenjangan sosial ini tidak semakin lebar. 4) Nilai Pendidikan Kebudayaan Keesing sering mengartikan kebudayaan sebagai kekhususan suatu kelompok manusia tertentu. Dalam pengertian ini, kebudayaan diartikan sebagai pola dari perilaku (pattern of behavior) kelompok sosial tertentu (dalam Sri Sutjiatiningsih, 1999: 107). Dari pendapat Keesing di atas dapat dimaknai bahwa setiap kelompok sosial tertentu mempunyai kebudayaan tertentu pula. Cerita dalam novel OMDS mengambil latar tempat di Semarang, Jawa Tengah. Sehingga kebudayaan yang diangkat pun juga kebudayaan masyarakat Jawa yakni budaya kejawen. Masyarakat Jawa dikenal sangat kental dengan dunia mistik atau kebatinan, seperti adanya semedi, kemenyan, sesajen, kondangan, ruwatan, juga dukun. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 148
Sebagian masyarakat Jawa kuno/tradisional masih sangat percaya dengan dukun, yang diyakini sebagai “orang pintar” yang dipercaya menjadi perantara antara manusia dengan alam gaib. Sehingga dukun sering dimintai pertolongan, entah itu untuk pengobatan, ataupun mengusir roh halus. Ada dua kubu yakni kubu yang percaya dan kubu yang tidak percaya dengan hal-hal semacam ini. Di dalam novel ini ada juga bagian yang menyinggung-nyinggung masalah dukun, yakni melalui keberadaan tokoh Pak Cokro yang merupakan sesepuh atau dukun di Kampung Genteng. Perhatikan kutipan berikut ini: Sejak dulu, sampai usiaku sekarang 10 tahun, ia sudah tersohor sebagai tabib pengobatan. Ia sering kali mengobati pasien dengan air yang disemburkan dari mulutnya. Sebelumnya, ia berkumur-kumur dengan air kembang setaman, dirapalkan mantra, barulah molekul-molekul air berubah. Tetapi, bukan itu yang membuatnya heboh, konon Pak Cokro mewarisi ilmunya setelah bertapa di Gunung Srandil dan Kemukus. Hanya dengan bertapa, tanpa perlu susah payah belajar seperti anak sekolah, konon ia sudah mendapat ilmu yang selama ini dicarinya. Bagaimana mungkin tanpa belajar dan proses berlatih ia bisa mendapatkan ilmu yang canggih? Padahal, jika dibandingkan dengan Kiai Khadis atau Ustadz Muhsin saja, sebelumnya harus mondok dulu belasan tahun (OMDS: 160). Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan yang melekat dalam suatu kelompok masyarakat tidak ada yang salah. Namun sebagai masyarakat yang hidup di dalamnya seseorang harus dapat menyaring, harus berpikir rasional, tidak boleh asal percaya saja dengan sesuatu yang belum terbukti kebenarannya dan tidak dapat diterima akal sehat.
B. Pembahasan Hasil Temuan Penelitian 1. Struktur Novel LP dan OMDS Berdasarkan hasil penelitian terhadap novel LP dan OMDS, di bawah ini peneliti sajikan pembahasan terhadap temuan-temuan yang telah peneliti paparkan sebelumnya. a. Tema Menurut Zainuddin Fananie (2000: 84) tema adalah ide, gagasan, pandangan hidup pengarang yang melatarbelakangi ciptaan karya sastra. Burhan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 149
Nurgiyantoro (2005: 68) juga memiliki pendapat yang hampir sama tentang tema, yaitu tema sama-sama merupakan dasar bagi pengembangan sebuah cerita. 1) Novel LP Mengacu pada pendapat di atas, maka berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti laksanakan, tema utama novel LP adalah pendidikan. Tanda-tanda yang menunjukkan hal itu sangat banyak, baik secara eksplisit maupun implisit. Tanda-tanda eksplisit dapat ditemukan pada paparan yang ada hampir di semua bab. Paparan yang menunjukkan setting tempat terjadinya cerita yaitu di Sekolah Muhammadiyah, yakni tempat anggota Laskar Pelangi yang terdiri dari Ikal, Lintang, Mahar, Syahdan, A Kiong, Trapani, Sahara, Harun, Kucai, Borek menimba ilmu selama 9 tahun. Di sekolah Muhammadiyah ini anggota Laskar Pelangi dididik oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Selain tema pokok mengenai pendidikan, novel ini juga memiliki subtema yakni persahabatan, percintaan, fenomena sosial yakni masalah kemiskinan. Novel ini menceritakan kehidupan masyarakat Belitong pada waktu itu yang pada umumnya hidup di bawah garis kemiskinan. Karena semua aset pulau Belitong yakni tambang timah telah dikuasai secara eksklusif oleh PN Timah. Masyarakat asli Belitong hanya menjadi karyawan rendahan dan buruh kasar saja, di mana gajinya pun terkadang untuk makan saja kurang. Tak ayal masyarakat Belitong diibaratkan sebagai tikus yang mati di lumbung padi sendiri. Seperti halnya dengan masyarakat Melayu Belitong, anggota Laskar Pelangi pun juga hidup di bawah garis kemiskinan, karena orang tua mereka ratarata hanya bekerja sebagai kuli di PN Timah. Yang paling parah dari kesepuluh anggota Laskar Pelangi adalah Lintang. Ia adalah anak dari nelayan miskin yang tinggal di pesisir di daerah terpencil Tanjong Kelumpang. Bagi Lintang, pendidikan ibarat bintang di puncak langit, dia harus menyerah kepada nasib karena tragedi keluarga menimpa dirinya. Saat jiwanya bergelora untuk meraih pendidikan, saat ia telah menggantungkan cita-citanya di langit untuk menjadi matematikawan, ayahnya meninggal dunia dengan meninggalkan tanggungan yang harus dihidupi sebanyak empat belas orang. Sebagai anak tertua, ia harus commit itu. to user bertanggung jawab terhadap semua Akhirnya ia putus sekolah dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 150
menggantikan ayahnya untuk mencari nafkah menghidupi keempat belas anggota keluarganya. Adapun subtema yang lain yaitu masalah percintaan. Diceritakan bahwa tokoh Ikal jatuh cinta ketika ia duduk di bangku SMP. Cinta itu berawal dari kegiatan membeli kapur di toko Sinar Harapan yang secara tak sengaja mempertemukannya dengan seorang wanita yang digambarkan berkuku cantik. Ia lah A Ling atau Michele Yeoh cinta pertama Ikal. Cinta pertama yang indah, mengesankan dan akan terus ia ingat hingga kelak ia dewasa. Kisah cinta Ikal dan A Ling pun berlanjut. Setiap senin ia rela mengayuh sepeda ke Toko Sinar harapan hanya untuk melihat pujaan hatinya. Tak dinyana ternyata A Ling adalah saudara A Kiong. Ia pun kemudian menitip surat dan mengirimkan puisi untuk A Ling. Kisah cinta Ikal dan A Ling memberi warna yang berbeda dalam kisah ini. Subtema lainnya adalah persahabatan. Diceritakan dalam novel ini sebuah jalinan persahabatan di antara sepuluh orang anak yang dijuluki Laskar Pelangi, karena kebiasaan mereka melihat pelangi secara bersama-sama. Kesepuluh anak tersebut yaitu Ikal, Lintang, Mahar, Sahara, Harun, A Kiong, Kucai, Trapani, Samson, dan Syahdan. Kesepuluh anak ini bersahabat sejak pertama masuk SD. Sebuah persahabatan yang indah. Semua individu punya karakteristik tertentu. Lintang Si jenius, Samson Si Pria perkasa, Trapani Si pria flamboyan, Kucai yang oportunis dan bermulut besar, Sahara yang temperamental, Harun Si Pria santun dan murah senyum, Mahar sang seniman, A Kiong yang sangat naïf, Syahdan yang tak punya sense of fashion, serta Ikal yang memang berambut ikal. Sebuah persahabatan yang indah dan tak terpisahkan. Sehingga dari hasil penelitian yang peneliti lakukan dapat disimpulkan bahwa tema pokok dalam novel LP adalah masalah pendidikan, yang diramu dengan subtema persahabatan, cinta, dan fenomena sosial yakni masalah kemiskinan. Adanya beberapa subtema merupakan sarana untuk menyangkutkan atau mengikat tema. Sehingga persoalan-persoalan tersebut saling berkait, saling mendukung dan menopang sehingga tercipta jalinan cerita yang kompleks. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 151
2) Novel OMDS Sama halnya dalam novel LP, secara garis besar tema novel OMDS juga bertemakan pendidikan. Novel ini menceritakan perjuangan Anak Alam dalam memperjuangkan pendidikan. Hampir di semua bagian dalam kisah ini menceritakan masalah pendidikan. Mengenai pendaftaran siswa baru, semangat menuntut ilmu, arti penting pendidikan, dan sebagainya. Selain itu novel ini juga banyak mengambil latar di kelas 1-2 khususnya dan SD Kartini pada umumnya, di mana notabene sekolah merupakan tempat memperoleh pendidikan. Sedangkan tema minor atau subtema dalam novel ini adalah kemiskinan. Namun demikian, ketika masalah kemiskinan ini dikaitkan dengan fenomena sosial yakni status sosial ekonomi Anak Alam, persoalan menjadi amat pelik. Sebab bagi Anak Alam, pendidikan bukanlah hak asasi yang menjadi hak setiap warga Negara. Bagi mereka pendidikan adalah impian dan angan-angan yang harus diperebutkan. Agar terus bisa mengenyam pendidikan, mereka harus bermimpi lebih dulu, mengubah angan-angan menjadi konsep yang kuat dalam diri pribadi agar semangat untuk meraih pendidikan tetap membara. Jika mereka tak berani bermimpi, tak mau berangan-angan, tak mau bercita-cita, maka kesempatan itu niscaya tertutup rapat karena keputusasaan menghancurkan semangat mereka. Adapun tema minor lainnya adalah percintaan. Diceritakan bahwa tokoh Pambudi mempunyai cinta pertama dengan tokoh Kania. Cinta itu berawal ketika Kania membela Pambudi yang sedang dicela oleh teman-teman sekelasnya. Di mana sejak kejadian itu tumbuhlah perasaan cinta itu. Perasaan cinta di antara Pambudi dan Kania, dimaknai Kania sebagai penyemangat Pambudi untuk semakin meningkatkan prestasinya dalam belajar. Hal ini membuktikan bahwa subtema percintaan tidak terlepas dari tema pokok yaitu mengenai pendidikan Selain percintaan dan masalah kemiskinan, novel ini juga bertemakan persahabatan, yakni persahabatan Faisal dengan ketika anak alam (Pambudi, Yudi, dan Pepeng). Meskipun mempunyai status sosial ekonomi yang berbeda, commit to userrela berkorban satu sama lain dan mereka tetap bersahabat dengan baik. Mereka
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 152
setia kawan. Faisal yang berasal dari keluarga mampu, selalu memikirkan nasib teman-temannya dan mengusahakan pendidikan untuk teman-temannya tersebut. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tema mayor atau tema pokok dalam novel ini adalah pendidikan. Sedangkan tema minornya yaitu kemiskinan, percintaan, dan persahabatan.
b. Sudut Pandang 1) Novel LP Berdasarkan hasil penelitian yang telah peneliti lakukan, novel LP menggunakan sudut pandang persona pertama. Dalam novel ini, pengarang yaitu Andrea Hirata merupakan pengisah seluruh kejadian yang terdapat dalam novel LP. Di dalam novel ini ia mempunyai nama tokoh “Ikal”. Namun pada bagian akhir cerita, tokoh “aku” digantikan oleh tokoh Syahdan. Penggunaan sudut pandang tertentu dalam sebuah karya fiksi memang merupakan masalah pilihan. Sebagaimana pemakaian sudut pandang dua “aku” (Ikal dan Syahdan) dalam novel LP merupakan suatu penyimpangan dan pembaharuan dari sudut pandang yang sudah ada. Sebagaimana yang diungkapkan Burhan Nurgiyantoro bahwa pengarang dapat saja melakukan penyimpangan (mungkin berarti pembaharuan) terhadap penggunaan sudut pandang dari yang telah biasa dipergunakan orang. Dengan cara ini ia ingin menarik perhatian pembaca sehingga segala sesuatu yang diceritakan dapat lebih memberikan kesan (2005: 253). 2) Novel OMDS Sudut pandang yang digunakan pada novel OMDS adalah sudut pandang campuran antara persona pertama dan persona ketiga “Aku” Mahatahu. Dengan sudut pandang persona pertama, novel ini memunculkan beberapa segi positif. Pertama, dengan teknik ini pengarang bisa lebih mudah dan lebih bebas mengeksploitasi kemampuan dan karakter tokoh utamanya, karena ia tidak perlu mencari-cari sosok tokoh imajiner yang mampu membawa misi cerita. Tokoh aku dalam novel ini diwakili oleh tokoh Faisal. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 153
Selain
menggunakan
sudut
pandang
teknik
akuan,
pengarang
menambahkan lagi dengan teknik persona ketiga “Dia” Mahatahu. Dengan sudut pandang ini si pencerita dapat berkomentar dan memberikan penilaian subjektifnya terhadap apa yang dikisahkannya itu. Penggunaan kedua sudut pandang tersebut terjadi karena pengarang ingin memberikan cerita secara lebih banyak kepada pembaca. Misalnya pada saat peristiwa Mat Karmin menyodomi anak-anak di kampung Genteng. Panji merupakan salah satu dari anak-anak tersebut. Dalam menceritakan sosok Panji, pengarang mempunyai keterbatasan karena ia tidak melihat atau mendengar kejadian itu secara langsung. Maka dengan teknik “dia” mahatahu ini pengarang menjadi serbatahu tentang sosok Panji. Pengarang bisa menembusi pikiran Panji dan lebih dari sepuluh orang yang menjadi korban Mat Karmin. Yaitu menggambarkan bagaimana perasaan Panji setelah disodomi Mat Karmin, dengan membayangkan seisi langit runtuh menimpanya. Pengarang menceritakan betapa sakit dan hancur perasaan Panji, masa depan yang suram, dan kepedihan tiada akhir serta rasa malu yang akan dipikulnya hingga kelak ia dewasa. Dengan demikian pembaca memperoleh cerita secara detil. Jadi, dapat ditegaskan bahwa pengarang menggunakan sudut pandang campuran, dengan mengkombinasikan sudut pandang persona pertama dengan teknik persona ketiga “Dia” Mahatahu. Hal ini sejalan dengan pernyataan Herman J Waluyo (2002: 184 – 185) bahwa ketiga jenis metode sudut pandang (akuan, diaan, dan pengarang serba tahu) dapat dikombinasikan oleh pengarang dalam suatu cerita rekaan dengan tujuan untuk membuat variasi cerita agar tidak membosankan. c. Penokohan 1) Novel LP Dari hasil penelitian terhadap penokohan yang ada dalam novel LP, Tokoh-tokoh utama dalam novel LP yaitu sebelas anggota Laskar Pelangi yakni Ikal, Lintang, Mahar, Trapani, Syahdan, Sahara, Borek, Kucai, A Kiong, Harun, dan Flo, Pak Harfan, Bu Mus, dan A Ling. Sedangkan tokoh tambahan yaitu Drs userbeberapa tokoh lain. Zulfikar, ayah Ikal, ayah Lintang, commit ibu Ikaltoserta
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 154
a) Ikal Tokoh Ikal merupakan pencerita dalam kisah ini. Secara fisik ia digambarkan berperawakan kecil, berbadan kurus, dan berambut ikal. Ikal memiliki kegemaran dan keahlian dalam bidang olahraga bulutangkis. Ia selalu memenangkan kejuaraan bulutangkis di kampungnya. Selain itu ia juga menaruh minat yang besar pada dunia tulis menulis. Hingga pada suatu saat kegemarannya ini ia satukan yakni menjadi penulis buku olahraga khususnya olahraga bulutangkis. Ikal merupakan anak dari seorang ayah yang bekerja sebagai pegawai rendahan di PN Timah. Secara psikologis, tokoh Ikal digambarkan sebagai sosok yang bertekad kuat dan berkemauan keras serta tidak mudah menyerah. Salah satu tekadnya adalah ia ingin belajar setinggi-tingginya untuk menjadi orang pintar. Ia tidak terima dengan perlakuan orang kaya terhadap orang miskin. Oleh karena itu ia ingin menjadi seorang yang pintar dan sukses di kemudian hari. Ia juga trauma dengan kemiskinan. Ia ingin menebus cita-cita Lintang yang gagal untuk mendapat pendidikan gara-gara keadaan yang mengharuskannya seperti itu. Ia bertekad untuk mendapatkan beasiswa sekolah ke luar negeri. Ia melakukan apa saja agar cita-citanya ini dapat tercapai. Secara sosiologis, ia digambarkan sebagai sosok yang perhatian. Peduli dan memikirkan keadaan temannya. Di dalam cerita ini ia digambarkan sangat peduli dengan Lintang. Ia merupakan pengagum Lintang. Lintang merupakan anak tidak mampu, namun di tengah ketidakmampuannya ia bisa menjadi anak yang super jenius. Ia juga memikirkan nasib Lintang ketika Lintang putus sekolah karena ayahnya meninggal sehingga ia yang harus menggantikan posisinya untuk mencari nafkah menghidupi keluarga. Sikap kepeduliannya ini tidak hanya diberikan kepada Lintang saja. Ia juga peduli dengan Mahar sang seniman. Mahar selalu dianggap remeh oleh teman-temannya karena ia suka mengkhayal. Tapi Ikal tidak menganggapnya remeh, ia menghargai jiwa seniman Mahar. b) Lintang Lintang adalah teman sebangku Ikal yang luar biasa jenius. Ayahnya commit to user bekerja sebagai nelayan miskin. Sebagai seorang nelayan miskin ia tidak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 155
mempunyai perahu dan harus menanggung kehidupan 14 jiwa anggota keluarga. Keluarga Lintang tinggal di Tanjong Kelumpang, desa nun jauh di pinggir laut. Mereka hidup serba kekurangan. Lintang lah satu-satunya harapan keluarga untuk bisa keluar dari jerat kemiskinan ini. Secara fisik ia digambarkan sebagai seorang anak yang berambut keriting merah, tubuhnya kurus serta perawakannya kecil dan berbau hangus seperti karet terbakar. Ia merupakan anak kecil yang sangat aktif, lincah dan gesit. Lintang telah menunjukkan minat besar untuk bersekolah semenjak hari pertama masuk sekolah. Ia selalu aktif di kelas dan mempunyai cita-cita menjadi seorang matematikawan. Ia haus dengan ilmu pengetahuan yang begitu luas. Ia merupakan anak yang super jenius. Kejeniusannya hampir di semua bidang, baik matematika, linguistik, astronomi, dan lain-lain. Ia adalah seorang jenius asli didikan alam. Dan dengan kepolosannya ia mengembangkan ilmu menurut kemampuannya, sehingga menjadikannya seorang yang berkualitas di segala bidang. Secara psikologis sosok Lintang merupakan pribadi yang rendah hati. Meskipun ia pintar luar biasa tidak lantas ia menyombongkannya. Ia selalu rendah hati, karena menurutnya ilmu terlalu luas untuk disombongkan. Lintang dengan senang hati membagi ilmunya kepada teman-teman. Ia suka menolong temanteman yang kesusahan belajar dan memahami materi pelajaran di sekolah. Ia merupakan teladan yang baik bagi teman-temannya. Ia juga lah yang mengantarkan perguruan Muhammadiyah ke gerbang kemenangan pada saat lomba kecerdasan tingkat kabupaten. Akan tetapi segala kejeniusannya ini tidak didukung oleh keadaan. Ayahnya yang sudah tua meninggal dunia dan mengharuskannya meninggalkan bangku sekolah dan menggantikan posisi ayah mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Pada saat dewasa Lintang menjadi sopir truk di sebuah tambang pasir gelas di Belitong. c) Mahar Secara fisik Mahar digambarkan sebagai seorang pemuda yang tampan, commit to userIa bekerja sebagai tukang parut bertubuh kurus dan berpenampilan menarik.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 156
kelapa, sehingga digambarkan mempunyai jari-jari kurus yang berminyak seperti lilin dan ujung-ujung kukunya yang bertaburan bekas luka kecil sehingga seluruh kukunya hampir cacat karena kena parut. Pria tampan bertubuh kurus ini memiliki bakat dan minat besar pada seni. Bakat itu pertama kali ditemukan ketika pelajaran seni suara. Ia selalu mendapat nilai tertinggi untuk pelajaran kesenian. Kejeniusannya dalam bidang seni hampir menyamai kejeniusan Lintang di dalam ilmu eksakta. Keduanya sama-sama jenius luar biasa. Ia sangat kreatif dan inovatif. Ide-ide yang berasal darinya selalu menimbulkan inspirasi, hal-hal aneh, lucu, janggal dan bahkan sesuatu yang ganjil serta menggoda keyakinan. Sosok Mahar juga digambarkan sebagai pribadi yang menyukai klenik. Ia mempunyai pikiran yang sangat imajinatif dan terkadang tak logis. Ia menyukai cerita-cerita legenda, dukun, takhayul, semua yang berada di kawasan ghaib. Ia terkenal suka membual. Jadi ketika ia mengatakan suatu kebenaran seringkali tidak dipercaya temannya. Selain mempunyai karakter seperti tersebut di atas, Mahar juga merupakan seorang anak yang pintar dan apabila mempunyai suatu keyakinan atau pendirian ia akan memegangnya dengan teguh. Sebagai seorang seniman ia mempunyai idealisme yang tinggi. Ia tidak tergiur ketika diiming-imingi uang oleh sebuah parpol di kala itu. Ia menolak dengan tegas tawaran tersebut dan mengatakan dengan tegas bahwa seni bukan untuk politik. Ketika dewasa ia sempat menganggur menunggu nasib menyapanya karena tak bisa kemanapun lantaran ibunya yang sakit-sakitan. Akan tetapi kemudian nasib baik menyapanya dan ia diajak petinggi untuk membuat dokumentasi permainan anak tradisional setelah membaca artikel yang ia tulis di majalah. Pada akhirnya ia menjadi seorang budayawan Melayu dan berhasil meluncurkan sebuah buku tentang persahabatan. d) Sahara Sahara merupakan satu-satunya wanita di dalam kelompok Laskar Pelangi. Secara fisik ia digambarkan sebagai seorang gadis yang cantik dengan tubuh commit to user ramping dan berjilbab. Karakternya yang paling menonjol adalah sifat keras
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 157
kepalanya alias kepala batu. Ia mempunyai pendirian yang kuat. Ia tidak mudah tergoyahkan dengan iming-iming apa pun. Ia adalah gadis yang ramah, pandai dan baik pada siapa saja kecuali pada A Kiong yang semenjak mereka masuk sekolah pertama kali sudah ia basahi dengan air dari tempat minumnya. Dan ini menandai perseteruan di kemudian hari. Sebaliknya ia sangat lemah lembut jika berhadapan dengan Harun. Sahara digambarkan sebagai seorang pribadi yang temperamental, sangat skeptis, susah diyakinkan, dan tak mudah dibuat berkesan. Ia memiliki kejujuran yang luar biasa dan benar-benar menghargai kebenaran. Dalam kesehariannya ia pantang berbohong. Walaupun diancam akan dicampakkan ke dalam lautan api yang berkobar-kobar tak satu pun dusta keluar dari mulutnya. Perseteruannya dengan A Kiong di masa kecil ternyata membawa perasaan cinta di kala dewasa. Keduanya ternyata saling mencintai dan akhirnya memutuskan untuk menikah. Mereka dikaruniai 5 orang putra. Mereka mendirikan sebuah toko yang diberi nama toko Sinar Perkasa. Di toko inilah Borek bekerja menjadi kuli panggul pengangkut barang. e) Trapani Secara fisik Trapani digambarkan sebagai seorang anak yang memiliki tubuh tinggi kurus, berbahu bidang, berkulit putih bersih dan berwajah tampan. Selain itu Trapani digambarkan pula sebagai seorang lelaki yang selalu berpenampilan rapi karena baju, celana, ikat pinggang, kaus kaki, dan sepatunya selalu bersih, rapi, serasi warnanya dan licin. Rambutnya lurus pendek dan selalu disisir ke belakang. Karena ketampanannya ia diidolakan banyak wanita. Trapani adalah seorang pribadi yang pendiam. Jika angkat bicara, ia akan menggunakan kata-kata yang dipilih dengan baik. Di balik sifat pendiamnya, ia adalah anak yang pandai. Di kelasnya ia selalu menduduki peringkat ketiga. Ia bercita-cita menjadi seorang guru. Pria tampan yang pandai dan baik hati ini sangat mencintai ibunya. Apa pun yang ia lakukan harus didampingi ibunya. Ia tidak bisa terlepas dari ibunya. Ketika bersekolah pun ibunya menungguinya di sekolah. Ibu adalah pusat commit to user gravitasi hidupnya. Ia mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 158
ibunya. Ketergantungan yang sangat kronis ini mengakibatkan ia dan ibunya harus masuk rumah sakit jiwa karena ternyata setelah diteliti ia mengidap sejenis penyakit jiwa yang disebut mother complex yakni suatu ketergantungan kepada ibu yang sangat akut. f) A Kiong A Kiong adalah anak Hokian keturunan Tionghoa. Secara fisik A Kiong digambarkan berwajah buruk. Mukanya lebar dan berbentuk kotak, rambutnya serupa landak, matanya tertarik ke atas seperti sebilah pedang dan ia hampir tak punya alis. Seluruh giginya tonggos dan hanya tinggal setengah akibat digerogoti phyrite dan markacite dari air minum. Ia diibaratkan baru keluar dari bengkel ketok magic. Watak A Kiong digambarkan tidak jauh dari keadaan fisiknya. Ia sangat naif dan tak peduli pada sekitarnya. Namun di balik wajahnya yang buruk, tersimpan kebaikan hati yang luar biasa, ramah dan suka menolong. Ia lah yang menjadi perantara antara Ikal dan A Ling. Ia dengan senang hati membantu Ikal untuk bisa berkenalan dengan A Ling. A Kiong merupakan pengikut sejati Mahar sejak kelas satu. Ia terkagumkagum pada Mahar. Baginya Mahar adalah suhunya yang agung. Kebalikannya ia suka bermusuhan dengan Sahara. Mereka tidak pernah akur dan selalu bertengkar sekalipun itu masalah sepele. A Kiong beragama konghucu hingga kemudian ia menjadi seorang agnostic yakni percaya pada Tuhan tapi tak memeluk agama apapun. Walaupun selalu bertengkar dengan Sahara, ternyata ia menyimpan rasa cinta padanya, akan tetapi ia tidak mempunyai keberanian untuk mengungkapkannya. Ia kemudian masuk Islam dan memberanikan diri melamar Sahara. Dan ternyata diam-diam Sahara juga mencintainya. Akhirnya mereka berdua menikah dan mempunyai sebuah toko yang diberi nama Sinar Perkasa di mana Borek bekerja. g) Kucai Secara fisik Kucai digambarkan sebagai pria berwajah manis. Ia mempunyai kecacatan fisik pada matanya. Kekurangan gizi ketika kecil user rabun jauh. Selain rabun jauh, menyebabkan dirinya menderita commit myopiato alias
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 159
pandangan matanya juga tidak jauh, melenceng sekitar 20 derajat. Sehingga kalau ia memandang ke depan, ia terlihat memandang ke kanan 20 derajat. Walaupun mempunyai kecacatan fisik, ia mempunyai banyak kelebihan. Ia adalah seorang yang selalu optimis dan mempunyai rasa percaya diri yang tinggi. Ia adalah seorang pribadi yang populis, mempunyai network yang luas, pintar bermain kata-kata, oportunis, bermulut besar, banyak teori dan sok tahu. Sangat mewakili kualifikasi seorang politikus. Maka sejak kecil ia bercita-cita menjadi seorang politikus. Dan benar saja ketika dewasa ia menjadi ketua fraksi anggota dewan di DPRD Belitong. h) Borek (Samson) Secara fisik Borek memiliki tubuh yang tinggi besar dan kurapan. Karena berbadan besar maka oleh teman-temannya ia dijuluki Samson. Ia sangat tergilagila dengan citra pria macho. Ia sangat tertarik dengan body building. Ia akan melakukan apa saja demi mendapat bentuk tubuh yang diinginkannya itu. Sifat Borek yang tidak disukai oleh teman-temannya adalah susah diatur dan keras kepala. Ia mempunyai pendirian yang kuat. Sejak kecil ia sudah menemukan jati dirinya. Maka ketika sudah dewasa ia memilih pekerjaan sesuai jati dirinya, yakni menjadi seorang kuli panggul di toko Sinar Perkasa milik pasangan A Kiong dan Sahara. i) Syahdan Secara fisik Syahdan digambarkan bertubuh kecil, mempunyai kulit berwarna gelap, berambut keriting dan deretan giginya hitam keropos dan runcing-runcing seperti dimakan kutu. Anak nelayan yang ceria ini tak pernah menonjol. Kalau ada apa-apa dia pasti yang paling tidak diperhatikan. Prestasinya rata-rata air. Ia mempunyai kepedulian yang tinggi terhadap teman-temannya. Ia santun dan merupakan seorang pribadi yang lemah lembut. Tetapi memang sepertinya Syahdan dilahirkan untuk menjadi seorang pecundang karena bagaimana pun keadaannya dia hanya diperintah dan menjadi orang paling tidak penting. Ia memiliki cita-cita menjadi seorang aktor. Teman-teman sering commit to user mengolok-oloknya karena cita-cita Syahdan ini dianggap tidak realistis. Namun
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 160
dengan kerja kerasnya pada akhirnya ia bisa menjadi seorang aktor sungguhan walaupun hanya mendapatkan peran kecil seperti menjadi tuyul atau jin. Pada waktu masih sekolah ia merupakan anggota Laskar Pelangi yang paling gagap teknologi. Sekadar membetulkan rantai sepeda pun tak bisa. Namun setelah dewasa ia mengikuti kursus komputer dan ternyata ia sangat berbakat dalam bidang ini dan dengan cepat ia menyerap pelajaran hingga nantinya ia menjadi seorang network designer. j) Harun Secara fisik harun digambarkan sebagai pria dengan tubuh tinggi kurus dan memiliki cacat di kaki yakni mengidap polio sehingga kakinya berbentuk X. Hal ini berakibat pada saat berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang hebat. Selain memiliki kecacatan fisik, ia juga mempunyai kecacatan mental. Ia merupakan anak yang mengidap keterbelakangan mental. Usianya sudah dewasa tapi sifatnya masih seperti balita. Anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa. Harun digambarkan sebagai lelaki santun, pendiam dan murah senyum. Dalam berpakaian ia selalu rapi dengan rambut yang disisir model Chairil Anwar. Salah satu hobinya yaitu menyunyah permen asam jawa. Karena keterbelakangan mental inilah ia tidak bisa menangkap pelajaran membaca dan menulis. Harun sangat dekat dengan Sahara. Sahara dengan sabar menghadapi Harun. Ia selalu menceritakan kepada Sahara hal yang sama yakni cerita tentang kucingnya yang berbelang tiga dan melahirkan tiga anak yang masing-masing berbelang tiga pada tanggal tiga. Ia senang sekali menanyakan kepada Bu Mus kapan libur lebaran. Ia menyetor tiga buah botol kecap ketika disuruh mengumpulkan karya seni di kelas enam. k) Flo Secara fisik Flo digambarkan sebagai seorang anak perempuan cantik yang berpostur tinggi dan kurus. Kulit tubuhnya sangat bersih dan halus. Ia mempunyai bahu yang kurus dan mempunyai bola mata yang gelap coklat. Rambutnya dipotong pendek menyerupai laki-laki. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 161
Flo bernama asli Floriana, seorang anak tomboy yang berasal dari keluarga kaya raya yang tinggal di Gedong. Dia merupakan pindahan dari sekolah PN. Ia mempunyai karakter seperti laki-laki dan memang ia tak suka menerima dirinya sebagai seorang perempuan. Oleh karena itu, dalam berpakaian ia selalu ingin seperti laki-laki yakni bercelana jeans, kaos oblong, dan tidak memakai antinganting. Flo belajar mengubah ekspresi wajahnya agar menyerupai laki-laki. Sifat tomboynya ini mungkin muncul karena seluruh kakaknya adalah laki-laki. Ia mempunyai ketertarikan dengan dunia tinju-meninju. Keinginannya untuk menjadi laki-laki membuatnya mempunyai karakter yang tegas, pasti, tahu apa yang diinginkan, dan tak pernah ragu-ragu. Ia juga merupakan pribadi yang menyenangkan, rendah hati, suka menolong, dan rela berkorban. Ia juga mempunyai kemampuan beradaptasi yang luar biasa dengan teman-temannya di perguruan Muhammadiyah. Hampir sama dengan Mahar, ia juga mempunyai ketertarikan yang lebih terhadap bidang klenik. Hingga kemudian ia menjadi partner Mahar dalam hal yang
berbau
klenik.
Ia
mempunyai
keberanian
dan
keinginan
untuk
menakhlukkan dan mencari kebenaran terhadap sesuatu yang berbau ghaib. l) A Ling A Ling merupakan seorang gadis keturunan tionghoa. Ia merupakan anak dari pemilik toko Sinar Harapan A Miauw, tempat sekolah Muhammadiyah membeli kapur. A Ling merupakan sepupu A Kiong. Ia merupakan cinta pertama Ikal. Secara fisik ia digambarkan berparas cantik, bermata sipit, berkulit putih, berkuku cantik, berbadan ramping dan tinggi. Karena kecantikannya inilah, Ikal menjulukinya Michelle Yeoh, yakni seorang artis cantik asal Malaysia. Ia jatuh cinta pada A Ling berawal dari pertemuannya di toko Sinar Harapan. Pertemuan dengan kuku-kuku yang cantik. Secara psikologis, A Ling merupakan seorang wanita yang misterius, tertutup, memiliki pendirian yang kuat, dan penuh percaya diri.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 162
m) Ibu Muslimah Bernama lengkap N. A. Muslimah Hafsari Hamid binti K. A. Abdul Hamid. Dia adalah Ibunda Guru bagi Laskar Pelangi. Wanita lembut ini adalah pengajar pertama anggota Laskar Pelangi. Dalam novel ini sosok Bu Muslimah digambarkan sebagai seorang guru yang pandai, dalam pribadinya penuh karisma dan memiliki pandangan jauh ke depan. Secara fisik tokoh Bu Mus digambarkan sebagai sosok gadis muda yang memiliki wajah cantik dengan postur tubuh tinggi jangkung. Selain itu Bu Mus juga termasuk wanita yang berpenampilan sederhana, dan dalam keseharian tutur katanya religius. Bu Muslimah adalah sosok guru yang dihormati oleh murid-muridnya dan secara kepribadian beliau adalah sosok yang lembut dan sabar dalam menghadapi anak didiknya. Selain itu, Bu Mus juga sosok yang sangat demokratis dan tidak membeda-bedakan hak dari setiap siswa. n) Pak Harfan Nama lengkap K. A. Harfan Efendy Noor bin K. A. Fadillah Zein Noor. Kepala sekolah dari sekolah Muhammadiyah. Ia adalah sosok orang yang sangat baik hati dan penyabar, meski awalnya murid takut melihatnya. Secara fisik Pak Harfan digambarkan memiliki wajah yang menakutkan karena kumisnya yang panjang dan jenggotnya lebat serta buruk rupanya. Namun semua itu tertutupi oleh pemikirannya yang jernih dan kata-katanya yang indah, sehingga setiap kali bercerita siswa selalu terpana dan menunggu setiap kata yang diucapkan beliau. Kepribadian Pak Harfan adalah sosok yang lembut dan baik. Sebagai orang yang sudah kenyang akan pengalaman hidup Pak Harfan sangat pandai merangkai kata dan setiap gerak lakunya juga memikat. Secara penampilan Pak Harfan adalah tokoh yang sederhana. Tidak mementingkan kemewahan dan tampil apa adanya. Hal itu dapat dilihat dari pakaian dan beberapa aksesoris busana yang dikenakannya. 2) Novel OMDS Dari hasil penelitian terhadap penokohan yang ada dalam novel OMDS, commit to user Tokoh-tokoh utama dalam novel OMDS yaitu Faisal, ketiga Anak Alam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 163
(Pambudi, Yudi, Pepeng), Kania, Bu Mutia, Rena, Pak Cokro, Mat Karmin, Yok Bek, dan Karisma. Sedangkan tokoh tambahan dalam novel ini adalah Pak Yadi, Ki Hajar Ladunni, Ayah Pambudi (Samijan), ayah Yudi (Giatno), ayah Pepeng (Sukisno), Ibu Yudi, Pak Zainal, Candil, A Kiong, Sinyo Dandy, Ustadz Muhsin, Kiai Khadis, Bang Anan, Denok, Warti, Guruh, Fajar, Anton, serta beberapa tokoh lain. a) Faisal Tokoh Faisal merupakan pencerita kisah novel ini. Tokoh Faisal yang bernama lengkap Faisal Ridowi merupakan sosok yang digambarkan memiliki pandangan hidup yang progresif dan berkemauan keras. Ketika ia memiliki sebuah keinginan, maka ia akan berusaha dengan keras untuk mewujudkan keinginannya itu. Selain itu dia juga berjiwa pemberani. Terbukti ketika Gedong sapi diamuk warga, ia berusaha menengahi. Ia tidak takut sedikitpun, karena ia membela kebenaran. Ia membela mati-matian nasib ketiga Anak Alam. Secara sosiologis, sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli dengan keadaan di sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap Anak Alam yang hidupnya sangat melarat serta tidak sekolah. Ia tidak hanya simpati, ia juga berempati, berkeinginan keras dan berjuang untuk bisa membuat Anak Alam mengenyam pendidikan, karena pendidikan adalah fondasi untuk menjalani kehidupan ini. Ia juga memperhatikan keadaan masyarakat di sekelilingnya yang masih banyak warganya yang buta huruf, sehingga ia terjun langsung memberikan pembelajaran membaca dan menulis gratis untuk warga yang buta huruf. Ia ingin menjadikan Kampung Genteng yang tadinya buta huruf menjadi Kampung Genteng yang melek huruf. Selain itu, Faisal sangat tidak suka dengan perlakuan orang kaya terhadap orang miskin. Dalam novel ini Yok Bek sebagai orang kaya suka memperlakukan pekerjanya semena-mena. Ia juga memberikan label untuk orang kaya, yaitu orang kaya itu biasanya bersikap sombong dan bicaranya menyakitkan hati Selain sifat-sifat positif Faisal di atas, ia juga mempunyai sifat negatif, yakni mencuri. Hal ini dapat dijumpai pada bagian awal cerita ketika ia mencuri commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 164
sebuah buku yang berjudul Keterampilan Sederhana untuk Anak Usia SD dari seorang pemulung, juga mencuri buku di perpustakaan daerah. b) Pambudi Pambudi merupakan salah satu anggota Anak Alam. Secara fisik digambarkan bergigi kelinci dan berambut jagung. Secara psikologis, Pambudi digambarkan sebagai seorang pribadi yang dewasa, polos, apa adanya, keras kepala dan bertekad kuat. Sikap keras kepalanya ditunjukkan ketika ia menyatakan cintanya kepada Kania. Ia secara blak-blakan mengutarakan isi hatinya, dan bersikeras agar Kania mau menerima cintanya. Pada awalnya Kania tidak menanggapinya, tapi Pambudi tidak patah arang, ia tetap mendekati Kania, hingga akhirnya Kania mau menerima cintanya. Ini membuktikan bahwa Pambudi mempunyai sifat pantang menyerah dan keras kepala. Tekad pambudi yang kuat ditampilkan ketika ia akan menempuh ujian semester. Ia ingin belajar, tapi catatannya kurang lengkap. Ia ingin meminjam Kania, tapi ia sadar selama ini sudah menyusahkan Kania. Ia kemudian berusaha meminjam Rena. Bukannya dipinjami catatan, ia malah dicaci maki seenaknya oleh Rena. Mendapat cacian seperti itu ia tidak marah ataupun patah arang. Ia kemudian berpikir untuk meminjam catatan pada Bu Mutia. Oleh Bu Mutia ia disambut baik dan dengan senang hati Bu Mutia meminjaminya catatan. Ia sangat senang, karena sebentar lagi ia bisa belajar. Ia ingin membuktikan walaupun mereka miskin, mereka tetap bias berprestasi. Secara sosiologis, tokoh Pambudi merupakan seorang yang dewasa dan mempunyai jiwa pemimpin. Ia menjadi pemimpin bagi teman-temannya (Anak Alam). Walaupun tidak ada pengangkatan pemimimpin secara langsung, Yudi dan Pepeng sudah otomatis menjadikan Pambudi sebagai pemimpin mereka. Selain berjiwa pemimpin, ia juga rela berkorban untuk temannya. Ia tidak setengahsetengah jika menolong temannya. Karena sifatnya ini tak heran ia disukai temantemannya. c) Yudi Tokoh Yudi mempunyai nama lengkap Wahyudi. Secara fisik, Yudi commit to useryang berwajah lucu bertahi lalat, digambarkan sebagai seorang anak laki-laki
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 165
berambut ikal dan mempunyai kecacatan tubuh, yakni kulitnya albino, putih pucat seperti sapi, banyak bintik-bintik merah seperti kulit babi. Hal ini menjadi ciri khasnya, yang membedakan ia dari teman-temannya. Yudi merupakan seorang anak yang penurut. Ia sangat menghormati orang tuanya. Ia selalu menuruti apa yang menjadi perintah orang tuanya. Seperti misalnya ketika ia diminta ayahnya untuk berhenti sekolah. Ia pun menurut, meskipun hatinya hancur karena harus memupus cita-cita yang sudah ia bangun begitu rupa. Sifat penurutnya yang lain yaitu ditunjukkan pada saat menjelang ujuan semester. Ibunya menyarankan untuk bisa sukses ujian ia harus meminum segelas air yang sudah diangin-anginkan semalaman di atas genteng. Ia pun menuruti perintah ibunya karena tidak ingin membuatnya kecewa. Meskipun ia tahu bahwa yang wajib dimintai tolong adalah Allah S.W.T., bukan hal-hal takhayul seperti itu. Yudi juga merupakan seorang anak yang rajin belajar dan rajin membantu orang tua. Ayah Yudi bekerja sebagai buruh di peternakan sapi sedangkan ibunya bekerja membuat pisang goreng dan menjualnya keliling kampung. Sebagai anak yang tahu diri, ia selalu membantu ibunya menggoreng dan menjual pisang keliling kampung. Bahkan ia juga menjual pisang goreng itu ke sekolah untuk dijual pada teman-temannya. Ia tidak malu sedikitpun. Semuanya ini ia lakukan untuk meringankan beban orang tua. d) Pepeng Tokoh pepeng mempunyai nama lengkap Marpepeng. Secara fisik, Pepeng digambarkan sebagai seorang anak yang ceking, berambut ikal, berhidung pesek, bermata besar. Secara keseluruhan wajah Pepeng digambarkan aneh menyerupai ikan mas koki. Semua orang yang melihat wajahnya pasti akan tertawa terpingkalpingkal Pepeng merupakan pribadi yang lucu dan polos. Ia sering bertingkah kocak untuk menghibur teman-temannya. Dengan kepolosannya, ia sering membuat lelucon di kelas. Selain itu, Pepeng juga merupakan sosok yang pemalu. Sifat pemalunya terlihat pada saat perkenalan memasuki sekolah baru. Ia malu commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 166
untuk memperkenalkan diri. Ia malu dan tidak percaya diri dengan nama Marpepeng yang disandangnya. e) Kania Kania merupakan sosok yang secara fisik cantik, tubuhnya mungil, kulitnya bersih, rambutnya lurus dan suka dikepang dua. Kalau berpakaian selalu rapi dan bersih. Semua yang ia pakai mengesankan enak dilihat. Ditambah lagi dengan pembawaannya yang kalem dan santun. Kania merupakan seorang anak yang pintar dan rajin. Bahkan tidak hanya pintar, ia juga jenius, ia juara satu di sekolahnya. Selain cantik parasnya, ia juga berhati “cantik”. Teman-teman menjulukinya si bintang jatuh. Ia selalu baik pada teman-temannya. Meskipun ia pandai, ia tidak menyombongkan kepandaiannya itu. Ia suka membantu teman yang kesusahan mengenai materi yang disampaikan Bu Mutia. Selain itu, Kania juga merupakan sosok yang mudah bergaul, bijak, selalu membela kebenaran. Ia berani membela ketiga Anak Alam ketika diolok-olok oleh teman-teman sekelasnya karena kemiskinan mereka. Ia dengan terangterangan membela kebenaran bahwa di kelas itu kedudukan semua siswa sama yakni sebagai murid Bu Mutia. Tidak ada istilah kaya miskin. Semuanya sama. Inilah sifat Kania yang selalu bijak dan berani melawan ketidakadilan. f) Bu Mutia Bu Mutia merupakan guru kelas 1-2 di SD Kartini. Ia mempunyai nama lengkap Muzdalifah Hatta Sandyani. Secara fisik ia digambarkan berwajah cantik, berbulu mata lentik, berkacamata minus, beralis tebal, dan rambutnya selalu disanggul. Keseluruhannya mengesankan cantik dan penuh wibawa. Secara psikologis, Bu Mutia digambarkan memiliki pribadi yang sederhana, lemah lembut dan penyayang. Namun ia juga tegas ketika menghadapi sesuatu hal yang memang tidak sesuai dengan hati nuraninya. Sikap tegas Bu Mutia ditunjukkan ketika peristiwa penerimaan rapor, yaitu pada saat ia berhadapan dengan ayah Karisma yang tetap ngotot ingin anaknya naik kelas. Padahal Bu Mutia sudah meyakinkan bahwa keputusannya untuk tidak menaikkan user Karisma ke kelas selanjutnya commit adalah to semata-mata untuk kebaikan Karisma
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 167
sendiri. Tetapi ayah Karisma malah marah-marah serta memaki maki Bu Mutia dan tetap meminta untuk menaikkan anaknya. Bu Mutia yang selalu memikirkan murid-muridnya serta taat pada peraturan yang berlaku tidak mau menuruti perintah ayah Karisma. Karena jika ia tetap meloloskan permintaan ayah karisma itu berarti ia menyalahi aturan. Ia tetap tegas dan patuh pada pendiriannya. Hingga kemudian ayah karisma sadar bahwa ialah yang salah. Ialah yang harus mengkoreksi diri, mencari sebab kenapa anaknya bisa tidak naik kelas. Sosok Bu Mutia secara sosiologis merupakan pribadi yang ramah dan menjadi guru yang bisa menjadi teladan bagi murid-muridnya. Ia merupakan seorang pemandu bakat yang baik dan seorang pendidik sejati. Banyak teladan yang ia berikan untuk murid-muridnya. Semua itu karena jiwa pendidik yang sudah mengakar kuat dalam dirinya. Ia tidak hanya membelajarkan siswa agar bisa pandai, ia juga mendidik siswa, mengarahkan siswa, mengajarkan budi pekerti dan lain-lain. g) Mat Karmin Mat Karmin secara fisik digambarkan sebagai seorang laki-laki yang berusia sekitar 30-an. Tubuhnya bongsor, jakun dan bulunya sudah tumbuh yang berarti menandakan ia sudah dewasa. Wajahnya tirus dengan tonjolan tulang pipi dan geraham yang bergemeletukan . Mat Karmin merupakan penjual mainan anak-anak di Kampung Genteng. Ia digambarkan sebagai seorang yang licik. Hal ini terlihat ketika pertandingan layang-layang. Ketika ada layang-layang putus, otomatis siapa saja boleh memilikinya asalkan dapat menangkapnya. Tetapi tidak dengan Mat Karmin. Ia tidak rela layang-layang itu jatuh ke tangan orang lain. Sehingga ia mengutus anak SMP untuk merebut layang-layang tersebut, atau bahkan merampasnya sendiri. Layang-layang itu kemudian diperbaiki dan dijualnya lagi. Mat Karmin ditemukan warga ketika masih bayi. Kemudian diangkat anak oleh salah seorang warga Kampung Genteng. Namun ketika bicaranya masih cedal, orang tua angkatnya meninggal. Akhirnya ia hidup sebatang kara dan hanya berteman dengan kesunyian. Tiga tahun pertamanya dihabiskan dengan commitiatotumbuh user menjadi pribadi yang introvert kesendirian. Ia menjadi manusia kamar,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 168
yang tak mengenal dunia luar selain kamarnya. Ia hidup damai di dalam kegelapan dan kesunyian. Lima tahun kemudian ia tumbuh menjadi remaja, tetapi ia kesulitan berbicara karena tidak pernah bergaul dengan manusia satupun. Hingga kemudian ia tertarik dengan dunia anak-anak saat melihat kegembiraan mereka bermain hujan. Mat Karmin sangat tertarik dengan dunia anak-anak yang penuh kegembiraan. Ia seperti anak kecil yang terperangkap dalam tubuh orang dewasa, masa kecil yang kurang bahagia. Karena sering bergaul dengan anak kecil mengakibatkan ia tertarik dengan anak kecil. Belakangan diketahui bahwa ia seorang pedophilia, yakni seorang yang mengalami penyimpangan seksual pada seorang anak yang tak berdosa. Ia menyodomi anak-anak yang bermain di rumahnya. Hingga pada suatu saat warga mencium gelagat tidak baik darinya. Warga kemudian menangkapnya dan menyerahkan ke polisi. Rumahnya dibakar warga kampung Genteng. Abu dan sisa-sisa rumahnya di larung di sungai Banjir Kanal. h) Karisma Karisma merupakan teman sekelas anak alam yakni kelas 1-2. Ia adalah anak orang kaya. Ayahnya adalah seorang juragan sablon yang beromzet lumayan. Secara fisik, ia digambarkan sebagai seorang anak laki-laki kecil yang bertubuh kurus, berkulit hitam dan berambut jagung. Karisma merupakan anak yang usil, pemalas, pemberontak, berotak tumpul, dan ketika diberi pelajaran tidak mau mendengarkan. Seperti kejadian saat Yudi dan Pepeng disuruh mandi di sekolah karena tubuhnya bau sebab di rumah mereka tidak sempat mandi. Karisma malah ingin ikut keluar jam pelajaran. Kemudian ia memboreh-borehi tubuhnya dengan daun kentut. Hal ini mengakibatkan tubuhnya bau. Sehingga mau tak mau ia diharuskan ikut mandi bersama Yudi dan Pepeng. Ia merasa senang sekali karena diperbolehkan tidak ikut pelajaran. Ia sangat tidak suka dengan pelajaran matematika. Pelajaran matematika merupakan momok baginya, dan ingin sekali ia menghindari mata pelajaran yang satu ini. Karisma malas mengikuti palajaran. Yang lebih parah lagi ia juga malas to user untuk sekolah. Yang ada di dalamcommit pikrannya adalah bermain game. Ketika diberi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 169
pelajaran, pikirannya selalu kemana-mana. Tidak pernah konsentrasi. Tak satu pun pelajaran masuk ke otaknya. Bu Mutia sering mendapatinya melamun ketika mengikuti pelajaran di kelas. Bahkan Bu Mutia tak segan-segan memperingatkan atas sikapnya yang tidak baik itu. Karisma yang memang anak yang susah diatur tak menggubris omongan Bu Mutia. Ia tetap saja seperti itu. Hingga kemudian pada saat kenaikan kelas, ia dinyatakan tidak naik kelas. Itulah buah dari kemalasan. i) Rena Rena merupakan teman sekelas Anak Alam yakni di kelas 1-2. Ia digambarkan sebagai seorang anak perempuan yang cantik, berasal dari keluarga kaya. Ia adalah anak semata wayang. Orang tuanya berprofesi sebagai dokter gigi. Mungkin karena merasa berasal dari keluarga yang kaya raya, ia hanya mau berteman dengan orang yang sederajat saja. Ia sangat tidak menyukai keberadaan Anak Alam yang notabene berasal dari keluarga tidak mampu bahkan bisa dikatakan gembel yang hidupnya di bawah kolong jembatan. Rena digambarkan sebagai seorang yang ketus, tinggi hati, asosial, pilihpilih dalam berteman, suka menghina orang lain terutama yang miskin, dan egois. Rena juga suka merendahkan orang lain yang derajatnya lebih rendah dari dia. Ia suka menghina Anak Alam, memaki-maki tak karuan tanpa peduli j) Yok Bek Yok Bek merupakan pemilik peternakan sapi di Gedong Sapi, tempat orang tua ketiga Anak Alam bekerja dan menggantungkan hidup. Ia adalah seorang keturunan Cina. Ia digambarkan sebagai seorang perempuan tua yang sudah uzur, berusia sekitar tiga perempat abad, yaitu sekitar 75-an tahun. Tubuhnya kurus dan kulitnya sudah mulai keriput, menandakan bahwa usianya memang sudah senja. Seperti layaknya kebanyakan orang Cina, ia digambarkan sebagai sosok yang ulet dalam bekerja, karena sampai usianya sudah uzur ia tetap masih mengurusi peternakannya, walaupun bisa saja ia ikut anaknya dan menikmati sisa hidupnya dengan bahagia. Ia merupakan pribadi yang keras, suka memeras, pelit commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 170
dan terkadang kasar terhadap pekerjanya. Sering memaki-maki pekerjanya bila pekerjaannya tidak sempurna Secara sosial, ia digambarkan sangat menjaga jarak, tertutup dan jarang bersosialisasi dengan kaum pribumi di sekitarnya. Ia hanya mau bergaul dengan kaum yang sejenis atau bahkan sederajat dengannya. Hal ini digambarkan melalui rumahnya di Gedong Sapi. Rumahnya dipagari tembok-tembok tinggi yang di sini disebut dengan ghetto-ghetto. Hanya ada satu pintu untuk akses masuk ke dalam. Itu pun selalu tertutup. Tidak seperti rumah warga pribumi yang terbuka, kalaupun berpagar hanya rendah. k) Pak Cokro Dalam cerita ini, Pak Cokro merupakan seorang lelaki tua, ia merupakan seorang dukun yang sangat dipercaya warga kampung Genteng untuk mengobati berbagai penyakit dan tempat berkonsultasi dengan sesuatu yang bersifat ghaib. Seperti layaknya dukun kebanyakan, ia digambarkan berpenampilan nyentrik dan misterius. Kukunya panjang dan hitam, tidak pernah memakai alas kaki, giginya geripis dan berwarna hitam, dan tubuhnya berbau tak sedap. Pak Cokro dipercaya untuk menjadi perantara dengan dunia gaib. Padahal sebenarnya ia tidak mempunyai kemampuan dalam hal itu. Ia hanya seorang lelaki tua yang bodoh, yang pekerjaannya hanya menipu dan mengakali warga dengan praktek perdukunannya itu. Hal ini diakuinya ketika ia berusaha menyembuhkan Faisal. Namun keadaan kemudian terbalik, Faisal berpura-pura kesurupan jin Belanda yang kemudian menakut-nakuti dan mengancam Pak Cokro agar tidak membohongi dan membodohi warga lagi. Ia pun bertekuk lutut di hadapan Faisal, yang dikiranya sudah dirasuki jin Belanda. Ia kemudian taubat dari praktek perdukunannya. Setelah menyadari kesalahannya selama ini, Pak Cokro bertaubat dan ingin sekolah. Ia bertekad untuk sekolah. Di sini digambarkan kegigihan dan tekad kuat Pak Cokro untuk bisa membaca dan menulis. Hingga kemudian ia telah mahir membaca dan menulis, ia bertekad untuk mengajarkan warga Kampung Genteng membaca dan menulis. Cita-citanya adalah menjadikan kampung commithuruf. to user Genteng menjadi kampung yang melek
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 171
d. Latar atau Setting Latar cerita secara garis besar dibedakan menjadi tiga yakni latar tempat, latar waktu, dan latar sosial. 1) Novel LP a) Latar Tempat Latar tempat terjadinya kisah ini adalah di pulau Belitong, Sumatera Selatan yakni di sebuah komunitas Melayu Belitong. Berdasarkan penelitian, tidak disebutkan nama kampung tempat Ikal dan kawan-kawan bersekolah atau bertempat tinggal. Pengarang hanya menyebutkan tempat tinggal anggota Laskar pelangi di kampung yang tidak jauh dari Gedong, yakni tempat para petinggi PN Timah hidup dalam kemewahan. Satu-satunya nama tempat tinggal anggota Laskar Pelangi yang disebut oleh Pengarang adalah desa tempat tinggal Lintang, yaitu Tanjong Kelumpang. Dalam cerita ini juga dikisahkan suata kawasan yang disebut Gedong. Gedong merupakan sebuah kawasan eksklusif yang dihuni oleh kaum borjuis penguasa PN Timah. Di dalam kawasan ini penuh dengan fasilitas mewah dan serba lengkap. Rumah-rumahnya mewah bergaya Victorian dengan sarana dan prasarana yang superlengkap. Sangat mencolok mata jika dibandingkan dengan keadaan di luar Gedong. Diceritakan pula mengenai Sekolah PN. Sekolah PN merupakan sekolah yang berada di kawasan Gedong, dengan kualitas terbaik di seantero Belitong. Sekolah ini didukung sepenuhnya oleh PN Timah. Sekolah ini berdiri megah dengan fasilitas yang super lengkap. Sebuah institusi pendidikan yang sangat modern dan hendaknya dijadikan percontohan. Yang bisa bersekolah di sini hanyalah orang-orang borjuis saja, yakni petinggi-petinggi di PN Timah. Salah satu setting tempat yang mendapat porsi besar yakni Sekolah Muhammadiyah. Di sekolah ini kesepuluh anggota Laskar pelangi menjalani pendidikannya dari SD hingga SMP. Sekolah sebagai tempat berlangsungnya pembelajaran bagi kesepuluh siswa miskin ini. Dari segi fisik, bangunan sekolah Muhammadiyah kondisinya sangat menyedihkan. Sekolah ini merupakan sekolah commit to Sumatera user islam pertama di Belitong, mungkin juga di Selatan. Merupakan sekolah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 172
miskin, tanpa fasilitas, kondisinya sangat memprihatinkan seperti layaknya gudang kopra. Kosen pintu yang miring karena seluruh bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Sarana dan prasarananya pun tidak pantas disebut sebagai sebuah sekolah. Di sekolah tempat kesepuluh anggota Laskar pelangi menuntut ilmu tidak terdapat gantungan-gantungan gambar apa pun. Misalnya kalender pendidikan, papan absensi siswa, poster operasi hitung, lambang negara atau gambar presiden dan wakil presiden. Satu-satunya gambar yang menempel di dinding hanyalah gambar seorang pria berjenggot lebat, yakni Rhoma Irama. Di halaman sekolah Muhammadiyah tumbuh pohon Filicium. Di bawah pohon ini biasanya kesepuluh anggota Laskar Pelangi menghabiskan waktu di sela-sela belajarnya. Bermain, bercanda, bercerita, mengadakan diskusi, bertengkar dan lain-lain. Satu hal yang menarik, mereka biasa memanjat pohon ini untuk melihat pelangi seusai hujan turun di siang hari. Selain itu ada juga latar tempat di Toko Sinar Harapan tempat sekolah biasa membeli kapur tulis, sekaligus menjadi tempat bertemunya Ikal dengan cinta pertamanya yakni A Ling. Pulau Lanun yang merupakan tempat tinggal sang dukun sakti mandraguna yakni Tuk Bayan Tula yang dipercaya bisa menerawang kejadian yang akan terjadi maupun masa lampau. Gunung Selumar dan pantai Pangkalan Punai, tempat biasa anggota Laskar Pelangi berlibur. Halaman kelenteng yang menjadi tempat bertemunya Ikal dengan A Ling. Tempat lomba kecerdasasan yang menjadi latar ketika sekolah Muhammadiyah mengikuti perlombaan adu kecerdasan. Zaal Batu, rumah sakit jiwa di mana Trapani dan ibunya dirawat karena menderita penyakit mother complex. Bogor yang menjadi latar tempat ketika Ikal dewasa dan menjadi pegawai kantor pos. b) Latar Waktu Dalam cerita ini, pengarang tidak secara eksplisit menyebut kapan (tahun) terjadinya peristiwa. Akan tetapi di dalam novel ini disinggung-singgung mengenai masa pemerintahan presiden Soeharto dan ada beberapa bagian yang juga menyebut tahun yakni tahun 1987 dan tahun 1991. Jadi hal ini bisa dijadikan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 173
petunjuk bahwa kisah ini mengambil latar waktu pada masa itu, yakni masa pemerintahan Seharto yaitu kurun waktu 1966 – 1998. Selain itu, latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang dialami tokohnya. Latar waktu menggunakan senja, malam, siang, menjelang maghrib, subuh pagi, fajar, sore dan menunjuk jam serta tingkatan kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) yang menyatakan bahwa penekanan waktu lebih pada keadaan hari, misalnya pagi, siang, atau malam. Penekanan ini dapat juga berupa penunjukan waktu yang telah umum, misalnya maghrib, subuh, ataupun dengan cara penunjukan waktu pukul jam tertentu. c) Latar Sosial Latar sosial meliputi kepercayaan/adat istiadat, bahasa, kebiasaan, dan pandangan hidup tokoh (1) Kepercayaan/Adat Istiadat Latar belakang sosial budaya novel LP adalah sebuah kehidupan masyarakat yang ada di Belitong, dengan kesederhanaan masyarakat dan heterogennya suku bangsa yang tinggal. Masyarakat dalam novel ini dikisahkan sebagai masyarakat yang miskin, penuh dengan keterbatasan ekonomi. Masyarakat Belitong kebanyakan berasal dari suku Melayu, Sawang, dan keturunan Cina (Hokian). Karena ada berbagai suku bangsa yang tinggal di Belitong, maka percampuran budaya tidak terhindarkan, baik itu adat istiadat/ kepercayaan, sikap hidup, dan bahasa yang dipakai. Adat istiadat Melayu terlihat pada kegemaran masyarakatnya pada irama semenanjung, dentuman rebana, dan pantun yang sambut-menyambut. Mengenai kepercayaan, masyarakat Pulau Belitong percaya terhadap seekor burung yang disebut burung Pelintang Pulau. Menurut kepercayaan masyarakat ini, apabila burung Pelintang Pulau singgah di kampung mereka, maka di tengah laut sedang terjadi badai atau angin puting beliung yang ganas. Kepercayaan lain yang juga tumbuh di Belitong adalah tentang adanya penganut ilmu buaya. Menurut kepercayaan masyarakat Belitong, para penganut commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 174
ilmu buaya apabila mati maka akan menjadi buaya. Salah satu penganut ilmu ini adalah Bodengan dan ayahnya. Selain itu, masyarakat Belitong juga mempercayai adanya seorang dukun yang sakti mandraguna, yang dipercaya bisa mengabulkan permintaan apa saja dan dapat dimintai petunjuk. Dalam cerita ini sang dukun bernama Tuk Bayan Tula yang hidup di pulau terpencil di Belitong yakni di pulau Lanun. Selain adat istiadat Melayu, ada juga adat istiadat Tionghoa yang mewarnai novel ini, yaitu terlihat ketika peristiwa perjumpaan Ikal dan A Ling pada waktu upacara sembahyang rebut atau Chiong Si Ku di Kelenteng. (2) Bahasa Cerita dalam novel ini mengambil latar di Indonesia, yakni di Pulau Belitong. Pulau ini mayoritas didiami oleh suku bangsa Melayu, tetapi ada juga sebagian bangsa keturunan Tionghoa. Maka tak heran dalam novel ini selain menggunakan bahasa Indonesia, juga kental diwarnai oleh dialek Melayu, Cina, bahasa Kek campur Melayu, dan bahasa Belanda. (3) Kebiasaan Dilihat dari kebiasaan hidup para pelaku utama cerita dalam masyarakat Belitong, di mana masyarakat yang melingkupi para tokoh adalah para buruh yang bekerja di tambang timah milik PN Timah. Mereka hidup di bawah garis kemiskinan. Mereka mayoritas hidup sebagai buruh kasar di PN Timah, tak terkecuali orang tua anggota Laskar Pelangi. Karena orang tua mereka bekerja sebagai buruh kasar di PN Timah, maka kebiasaan dan pola hidupnya pun banyak dipengaruhi oleh aturan-aturan yang berlaku dalam perusahaan itu. Selain itu, anggota Laskar Pelangi juga punya kebiasaan tersendiri. Mereka punya kebiasaan unik yaitu suka menyaksikan pelangi secara beramairamai dengan memanjat pohon filicium. Oleh karena kebiasaan unik ini, maka Bu Mus memberi julukan kepada mereka “Laskar Pelangi”. (4) Pandangan Hidup Tokoh Setiap manusia tidak mungkin hidup sendiri. Manusia sebagai makhluk sosial pasti senantiasa bergaul dengan sesamanya di masyarakat. Dalam bergaulan to userseseorang memandang kehidupan itu sedikit banyak mempengaruhicommit bagaimana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 175
ini. Setidaknya begitulah yang tampak di dalam novel ini seperti dilukiskan melalui tokoh utamanya, yakni Ikal. Masyarakat yang menjadi latar cerita ini adalah masyarakat yang hidup dalam cengkeraman kemiskinan. Pendidikan bagi mereka adalah barang mewah. Banyak anak-anak yang terpaksa tidak bisa mengenyam pendidikan karena ketiadaan biaya. Seperti contohnya Lintang. Ia adalah anak super jenius yang terpaksa putus sekolah karena harus mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi pandangan hidup Ikal. Tokoh Ikal digambarkan sebagai sosok yang bertekad kuat dan berkemauan keras serta tidak mudah menyerah. Salah satu tekadnya adalah ia ingin belajar setinggi-tingginya untuk menjadi orang pintar untuk menebus citacita Lintang yang gagal untuk mendapat pendidikan gara-gara keadaan yang mengharuskannya seperti itu. Ia bertekad untuk mendapatkan beasiswa sekolah ke luar negeri. Ia melakukan apa saja agar cita-citanya ini dapat tercapai. Ia juga digambarkan sebagai sosok yang perhatian. Peduli dan memikirkan keadaan temannya. Di dalam cerita ini ia digambarkan sangat peduli dengan Lintang. Ia merupakan pengagum Lintang. Lintang merupakan anak tidak mampu, namun di tengah ketidakmampuannya ia bisa menjadi anak yang super jenius. Ia juga memikirkan nasib Lintang ketika Lintang putus sekolah karena ayahnya meninggal sehingga ia yang harus menggantikan posisinya untuk mencari nafkah menghidupi keluarga. Ia sangat menyayangkan kejadian ini. Seorang anak yang super jenius harus memupus cita-cita karena keadaan yang tidak memungkinkan. 2) Novel OMDS a) Latar Tempat Secara umum novel OMDS berlatar tempat di Semarang, Jawa Tengah. Kejadian dalam novel ini, mulai dari bab pertama sampai terakhir bertempat di Semarang. Lebih khusus lagi latar tempatnya berada di sebuah kampung di Semarang, yakni kampung Genteng, di mana sang tokoh Faisal, Mat Karmin, dan Pak Cokro tinggal. Di kampung ini pula rumah baca milik Pak Cokro didirikan. Tak jauh dari kampung Genteng terdapat tempat yang bernama Gedong Sapi, di commit to user mana Anak Alam tinggal.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 176
Cerita dalam novel ini pun mengambil latar di SD Kartini. Di sekolah inilah tokoh utama menuntut ilmu. SD Kartini digambarkan sebagai sekolah sederhana dengan kondisi fisiknya yang sudah mulai rapuh, seperti eternit yang jebol, cat yang mulai mengelupas, lantai dari ubin teraso yang sebagian lapisan semen di pinggirannya terkelupas. Selain di Kampung Genteng dan Gedong Sapi, cerita ini juga mengambil latar tempat di Gogik, Ungaran yakni sebuah daerah di bawah kaki gunung ungaran. Di Gogik ini Ki Hajar Ladunni tinggal. Di tempat ini tokoh utama belajar membuat layang-layang pada Ki Hajar Ladunni. b) Latar Waktu Latar waktu kisah dalam novel ini tidak secara langsung dijelaskan oleh pengarang. Setting waktu dalam kisah ini dikaitkan dengan peristiwa reformasi 1998, yakni setelah peristiwa reformasi terjadi. Informasi ini didapat dari kisah Yok Bek yang merasa tidak senang melihat Anak Alam bersekolah serta sikap warga Kampung Genteng yang mulai berani melawannya setelah reformasi 1998. Selain itu, latar waktu merupakan waktu kapan terjadinya peristiwaperistiwa yang dialami tokohnya. Latar waktu menggunakan senja, malam, siang, menjelang maghrib, subuh pagi, fajar, sore dan menunjuk jam serta tingkatan kelas. Hal ini sesuai dengan pendapat Burhan Nurgiyantoro (2005: 227) yang menyatakan bahwa penekanan waktu lebih pada keadaan hari, misalnya pagi, siang, atau malam. Penekanan ini dapat juga berupa penunjukan waktu yang telah umum, misalnya maghrib, subuh, ataupun dengan cara penunjukan waktu pukul jam tertentu. c) Latar Sosial (1) Adat Istiadat dan Kepercayaan Adat istiadat yang menjadi latar novel OMDS yaitu adat istiadat masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa dikenal sebagi masyarakat yang menjunjung tinggi adab kesopanan, budi pekerti yang luhur, bertutur dan bertingkah laku yang halus, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda. Selain berlatarkan masyarakat Jawa, pengarang juga memberikan sentuhan commit to user lain dalam novelnya, yakni pemunculan budaya orang Cina pinggiran yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 177
diwakili oleh tokoh Yok Bek, yang dalam novel ini digambarkan manjaga jarak dengan warga pribumi, tidak mau membaur dengan masyarakat lainnya. Masyarakat Cina yang minoritas tinggal bersama masyarakat Jawa yang mayoritas. Masyarakat Cina cenderung terkesan hanya mau bergaul dengan sesama orang Cina dan memisahkan diri dengan warga pribumi. Tidak ada sifat keterbukaan layaknya masyarakat Jawa. (2) Bahasa Novel OMDS mengambil latar tempat di Indonesia, tepatnya di Semarang, Jawa Tengah. Selain itu pengarangnya pun juga asli orang Semarang. Maka tidak heran apabila novel ini selain menggunakan bahasa Indonesia sebagai media penceritaannya, juga banyak diwarnai istilah-istilah bahasa Jawa. Hampir di setiap bab dijumpai kata-kata dalam bahasa Jawa. Selain dijumpai istilah dalam bahasa Jawa, di dalam novel ini juga dijumpai kata-kata dalam bahasa Cina. Istilah-istilah dalam bahasa Cina ini dipergunakan oleh tokoh Yok Bek yang notabene merupakan keturan Cina. (3) Kebiasaan Dilihat dari segi kebiasaan hidup para pelaku utama cerita dan masyarakat Jawa pada umumnya yang tidak terlepas dari keadaan sosial dalam kehidupan sehari-hari. Masyarakat yang melingkupi para tokoh adalah masyarakat marjinal, yakni kaum buruh, yang untuk bisa makan sesuap nasi harus bekerja keras setengah mati. Orang tua ketiga Anak Alam setiap hari bekerja sebagai buruh di peternakan sapi milik Yok Bek. Kegiatan ketiga orang tua ini adalah mengurus sapi-sapi milik Yok Bek, yaitu membersihkan kandang, memandikan sapi, mencari rumput,dan masih banyak lagi. Penghasilan dari hasil bekerja mengurus sapi ini hanya cukup untuk makan saja, sehingga biaya sekolah ketiga Anak Alam harus diusahakan sendiri. Pambudi menjual Koran, Yudi membuat dan menjual pisang goreng, sedangkan Pepeng menjadi tukang becak mengangkuti kelapa dari pelabuhan ke pasar-pasar kecil. Begitulah kebiasaan hidup mereka setiap harinya. Tidak ada hari tanpa bekerja keras. Semua ini mereka lakukan untuk bisa tetap commit to user bersekolah meraih cita-cita.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 178
(4) Pandangan Hidup Tokoh Kehidupan yang terjadi di masyarakat, keadaan sosial ekonomi, pribadi orang-orang
dekat
biasanya
dapat
mempengaruhi
bagaimana
seseorang
mamandang kehidupan ini. Setidaknya begitulah yang tampak di dalam novel ini seperti dilukiskan melalui tokoh utama novel ini, yakni Faisal. Sebagai seorang pribadi yang sedang mempersiapkan masa depannya, ia memiliki pandangan hidup yang progresif, berkemauan keras, dan berjiwa sosial tinggi. Hal ini tampak pada kemauan kerasnya untuk dapat mewujudkan cita-cita. Melalui pandangan hidup tokohnya, novel OMDS memberikan motivasi kepada siapa saja untuk maju mengejar cita-cita. Sifat Faisal yang berjiwa sosial tinggi, peka dan peduli dengan keadaan di sekitarnya ditunjukkan dengan keprihatinannya terhadap Anak Alam yang hidupnya sangat melarat serta tidak sekolah. Ia tidak hanya simpati, ia juga berempati, berkeinginan keras dan berjuang untuk bisa membuat Anak Alam mengenyam pendidikan, karena pendidikan adalah fondasi untuk menjalani kehidupan ini. Ia juga memperhatikan keadaan masyarakat di sekelilingnya yang masih banyak warganya yang buta huruf, sehingga ia terjun langsung memberikan pembelajaran membaca dan menulis gratis untuk warga yang buta huruf. Ia ingin menjadikan Kampung Genteng yang tadinya buta huruf menjadi Kampung Genteng yang melek huruf. Selain itu, Faisal sangat tidak suka dengan perlakuan orang kaya terhadap orang miskin. Dalam novel ini Yok Bek sebagai orang kaya suka memperlakukan pekerjanya semena-mena. Ia juga memberikan label untuk orang kaya, yaitu orang kaya itu biasanya bersikap sombong dan bicaranya menyakitkan hati. e. Alur 1) Novel LP Alur dalam novel LP dianalisis menjadi tujuh tahapan alur, yaitu eksposition, inciting moment, ricing action, complication, climax, falling action, denouement.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 179
a) Eksposition (Paparan Awal Cerita) Kisah dalam novel LP diawali dengan paparan ketika hari pertama masuk sekolah, yaitu pagi hari saat pendaftaran siswa baru di SD Muhammadiyah. Sebuah awal cerita yang cukup ringan untuk dijadikan pembuka kisah. Peristiwa hari pertama masuk sekolah merupakan peristiwa yang dialami oleh semua orang yang pernah sekolah. Semua perasaan campur aduk. Ada cemas, suka, bingung, malu, salah tingkah dan lain-lain. Pada bagian awal ini mulai diperkenalkan tokoh dalam novel ini yakni Pak Harfan sang kepala sekolah, Bu Mus ibu guru kelas 1, orang tua siswa, dan calon siswa. Pada bagian awal ini mulai diperkenalkan pula latar tempatnya yakni di SD Muhammadiyah yang bangunan sekolahnya sudah doyong seolah akan roboh dan kondisinya sangat memperihatinkan b) Inciting Moment (Muncul Konflik) Pada tahap pemunculan konflik, dapat diungkapkan beberapa peristiwa yang merupakan gambaran bahwa ada suatu masalah yang mulai muncul dari setiap bagian-bagian cerita. Tahap pemunculan konflik dimulai dengan kecemasan Bu Mus dan Pak Harfan karena murid baru yang mendaftar baru sembilan orang. Padahal Depdikbud Sumsel mempersyaratkan minimal harus ada 10 murid baru, kalau tidak SD Muhammadiyah akan ditutup. Hal ini menimbulkan kecemasan bagi dua orang guru tersebut, orang tua dan kesembilan murid baru, karena ini berarti akan memupus harapan mereka. Cita-cita kandas akibat sekolah ditutup tepat ketika mereka ingin sekolah Pemaparan masalah lainnya yang dapat dicermati dari peristiwa dalam novel ini adalah ketika anak-anak SD Muhammadiyah Gantong mengeluh kepada Bu Mus mengapa sekolahnya tidak seperti sekolah lain. Mereka sering mengeluhkan atap sekolah yang sering bocor ketika hujan, kondisi sekolahnya yang lebih mirip gudang kopra daripada sekolah. Secara implisit, munculnya masalah yang dihadapi tokoh ini sebagai akibat dari kemiskinan yang melanda masyarakat Belitong pada waktu itu. Kemiskinan yang sudah menjadi endemi. Para orang tua lebih rela menyerahkan commit tomenyekolahkan user anaknya pada juragan-juragan daripada anaknya yang berarti
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 180
mengikatkan diri pada biaya sekolah. Gambaran kemiskinan inilah yang mengawali jalinan cerita novel LP. c) Rising Action (Penanjakan Konflik) Penanjakan konflik terjadi ketika Pak Harfan sudah berputus asa dengan jumlah siswa yang mendaftar di SD Muhammadiyah dan bermaksud memberikan pidato terakhir sebagai perpisahan sekaligus penutupan sekolah. Penanjakan konflik yang lain yaitu masalah kemiskinan yang mengawali konflik dalam novel ini kemudian diuraikan lebih mendetail dalam bab-bab berikutnya. Pengarang menyoroti perbedaan keadaan ekonomi antara kaum borjuis dan masyarakat Melayu Belitong. Kaum borjuis yang tinggal di kawasan Gedong dengan segala macam fasilitas yang mewah dan serba lengkap, sangat mencolok jika dibandingkan dengan keadaan masyarakat Melayu Belitong yang serba miskin, serba tidak mampu. Jangankan untuk sekolah, untuk hanya sekedar makan saja terkadang tidak terpenuhi. Kesenjangan sosial yang sangat mencolok. d) Complication (Konflik Semakin Rumit) Pada tahap complication ini, konflik semakin rumit. Kemiskinan yang melanda masyarakat asli Belitong semakin menjadi-jadi. Sementara itu kekayaan warga Gedong pun juga sama menjadi-jadi. Sehingga jurang kesenjangan sosial semakin terbentang lebar. Kemiskinan juga tidak lepas melanda semua anggota Laskar Pelangi, terutama tokoh Lintang. Ia berasal dari keluarga nelayan miskin yang tinggal di pesisir di desa Tanjong Kelumpang. Jarak dari rumah ke sekolah sekitar 80 kilometer pulang pergi yang ditempuh dengan sepeda. Jarak sekolah yang sedemikian jauh dan kondisi ekonomi orang tua menjadi permasalahan tersendiri bagi tokohnya. e) Climax (Puncak Ketegangan) Puncak ketegangan terjadi ketika Lintang putus sekolah. Lintang terpaksa putus sekolah karena ayahnya meninggal. Kematian ayahnya adalah puncak permasalahan yang akan mengubah jalan hidup Lintang. Sehingga mau tidak mau commit to user ia yang harus menggantikan posisi ayahnya mencari nafkah untuk menghidupi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 181
keluarganya. Ia yang mempunyai cita-cita tinggi dan mempunyai motivasi belajar yang luar biasa harus takhluk di tangan nasib. Hal ini membuat duka bagi seluruh anggota Laskar Pelangi dan Bu Mus. Mereka kehilangan sosok sahabat, pemimpim, guru, seorang teman yang genius luar biasa. Selain itu puncak ketegangan yang kedua adalah ketika PN Timah penguasa eksklusif tambang timah di Belitong lumpuh total. Hal ini dikarenakan pada tahun 1987 harga timah dunia merosot tajam. Sehingga dalam sekejap PN Timah lumpuh. Seluruh fasilitas produksi tutup, puluhan ribu karyawan terkena PHK. Pemerintah pusat yang rutin menerima royalti dan deviden miliaran rupiah tiba-tiba seperti tak pernah mengenal pulau kecil ini. Pulai Belitong yang dulu laksana jutaan ubur-ubur Ctenopore redup laksana kapal hantu yang terapungapung tak tentu arah, gelap, dan sendirian. Masyarakat pribumi yang memang sudah menahankan sakit hati karena kesenjangan selama puluhan tahun menyerbu Gedong. Mereka menghancurkan rumah dan menjarah isinya. f) Falling Action (Penurunan konflik) Penurunan konflik terjadi setelah PN Timah gulung tikar. Kehancuran PN Timah membawa berkah tersendiri bagi masyarakat pribumi Belitong yang selama ini terpinggirkan. Sekarang mereka bebas menggali timah di mana pun mereka suka di tanah nenek moyangnya dan menjualnya seperti menjual ubi bakar. Ekonomi Belitong yang sempat lumpuh pelan-pelan menggeliat, berputar lagi karena aktivitas para pendulang. Penurunan konflik yang lain adalah ketika Lintang masuk sekolah untuk berpamitan dengan teman-teman dan ibu gurunya. Semua hanyut dalam kesedihan. Semua berat berpisah dengan Lintang si jenius. Semuanya hanya bisa bersedih, karena kondisi mereka juga sama-sama memprihatinkan. g) Denouement (Penyelesaian) Novel LP merupakan sebuah novel yang berusaha mengangkat realitas kehidupan manusia secara nyata. Realitas kehidupan manusia sebagaimana digambarkan melalui tokoh-tokoh anggota Laskar Pelangi adalah gambaran nyata commityang to user tentang kehidupan manusia. Lintang super genius akhirnya harus putus
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 182
sekolah karena ayahnya meninggal, sehingga terpaksa ia harus menggantikan posisi ayahnya mencari nafkah untuk menghidupi ibu, adik-adik, dan saudaranya, yaitu dengan menjadi seorang sopir truk pengangkut pasir gelas. Hal ini merupakan realitas hidup yang banyak dialami oleh anak-anak di Indonesia. Banyak anak-anak Indonesia yang terpaksa membuang jauh-jauh keinginannya untuk menempuh pendidikan gara-gara kemiskinan yang tak henti merundungnya. Akhir cerita dikisahkan mengenai kehidupan para tokoh setelah 12 tahun kemudian. Ketika itu tokoh utama telah menjadi seorang pemuda dan bekerja sebagai tukang pos di Pulau Jawa, yakni di kota Bogor. Selain tokoh Lintang dan Ikal, di akhir cerita juga dikisahkan kehidupan para anggota Laskar Pelangi setelah dewasa. Mahar menjadi seorang penulis dan budayawan Melayu, Kucai menjadi anggota dewan, Syahdan menjadi ahli telekomunikasi, A Kiong menikah dengan Sahara dan mendirikan sebuah toko yang diberi nama Sinar Perkasa, Borek menjadi kuli panggul di toko tersebut. Trapani yang sampai dewasa masih sangat bergantung pada ibunya menderita mother complex. Inilah akhir dari kisah dalam novel LP. Berdasarkan tahapan alur yang sudah diuraikan di atas, terlihat bahwa peristiwa yang terdapat dalam novel LP terjalin berkesinambungan. Peristiwaperistiwa dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. Oleh karena kejadian-kejadian yang dikisahkan bersifat kronologis, yang secara istilah berarti sesuai dengan urutan waktu, maka plot yang demikian disebut sebagai alur maju atau progresif. Alur progresif dalam novel LP menunjukkan kesederhanaan cara penceritaan, tidak berbelit-belit, dan mudah diikuti. 2) Novel OMDS Tahapan alur dalam novel OMDS diuraikan sebagai berikut: a) Eksposition (Paparan Awal Cerita) Cerita dalam novel OMDS dimulai dengan penceritaan kemeriahan musim layang-layang di kampung. Cerita awal berlangsung siang hari ketika sekumpulan anak-anak kampung bermain layang-layang. Permainan layang-layang yang commit to user dibagian akhirnya menimbulkan kekacauan karena layang-layang yang putus dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 183
hinggap di kabel listrik. Anak-anak berebut meraih layang-layang dengan menggunakan galah. Tak ayal aliran listrik terputus dan sontak warga marah. Pada paparan awal ini, pengarang sudah coba memperkenalkan tokohtokoh yang ada dalam cerita, yaitu Faisal, Pambudi, Yudi, Pepeng, Koh A Kiong, serta Mat Karmin. Diperkenalkan pula tempat terjadinya cerita ini, yakni di Semarang lebih tepatnya di Kampung Genteng. Kampung Genteng merupakan tempat tinggal Faisal dan Gedong sapi yang merupakan tempat tinggal Anak Alam (sebutan yang diberikan Faisal untuk Pambudi, Yudi, dan Pepeng). Pengarang mulai menceritakan persahabatan mereka. Diceritakan setelah mereka berempat (Faisal, Pambudi, Yudi, dan Pepeng) kalah merebut layang-layang mereka sangat terpukul, karena niatnya untuk balas dendam ke Mat Karmin gagal. Mereka ingin membeli layang-layang tapi tidak punya uang, akhirnya mereka memutuskan untuk membuat sendiri layang-layangnya. Faisal kemudian mencari buku untuk dijadikan panduan untuk membuat layang-layang. Pada saat membaca buku itu, Faisal baru sadar kalau Anak Alam tidak bisa membaca karena memang tidak sekolah. Kemudian mereka mencoba berguru kepada penulis buku itu secara langsung, yaitu Ki Hajar Ladunni yang tinggal di Gogik Ungaran. Di perjalanan mereka bertemu dengan Candil. Ia kemudian mengantar mereka ke rumah Ki Hajar Ladunni. Akhirnya mereka sudah sampai di rumah yang bertuliskan ”Ki Hajar Ladunni”. Karena Anak Alam tidak bisa membaca, mereka menurut saja ketika dipermainkan Candil dengan mengatakan bahwa rumah Ki Hajar Ladunni masih beberapa kilo lagi. Tapi karena Faisal bisa membaca, ia tidak terjebak dengan permainan Candil. Setelah berputar-putar cukup lama, mereka kembali ke rumah tadi, dan baru sadar kalau mereka dipermainkan. b) Inciting Moment (Muncul Konflik) Pengalaman dibohongi ini terjadi karena mereka buta huruf, tidak bisa membaca papan nama yang ada di atas pintu. Di sini mulai disinggung-singgung ketidakbisaan Anak Alam dalam hal membaca, sehingga mengakibatkan mereka mudah dibohongi. Mereka tidak bisa membaca karena memang mereka tidak commit to user sekolah. Mereka tidak bisa sekolah karena memang kondisi ekonomi keluarga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 184
mereka yang tidak memungkinkan. Jangankan untuk sekolah, untuk makan saja terkadang masih susah. Faisal sangat prihatin melihat nasib ketiga sahabatnya yang sudah sebesar itu tapi belum bisa membaca menulis. Ia kemudian bertekad mengajak ketiga temannya tersebut untuk sekolah, agar tidak buta huruf lagi. Tapi sekali lagi mereka terbentur dengan masalah dana. Kemiskinan selalu menghantui kehidupan mereka. Jangankan berpikir sekolah, untuk makan saja terkadang masih susah. Faisal mempunyai tekad kuat kuat untuk mengajak ketiga temannya itu bersekolah. Sehingga ia mengusahakan berbagai cara untuk itu, salah satunya dengan menemui Pak Zainal, kepala sekolah SD Kartini untuk meminta keringanan biaya bagi ketiga temannya tersebut.hingga kemudian akhirnya anak alam bisa sekolah. Keputusan untuk sekolah bukanlah tanpa resiko. Mereka harus membiayai sendiri, dengan cara sekolah sambil bekerja. Hal yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Selama ini yang mereka tahu hanyalah bekerja membantu orang tua untuk makan. Tidak terlintas sama sekali mereka harus bekerja keras untuk bisa sekolah. Karena sangat mustahil jika mengandalkan penghasilan orang tua yang hanya jadi buruh Yok Bek. Ketika mereka sudah masuk sekolah, mereka pun juga belum lepas dari hambatan. Mereka sering diejek teman-temannya yang notabene berasal dari keluarga menengah ke atas. Mereka selalu diejek karena orang tua mereka seorang pembantu yang mengabdi untuk Yok Bek. Karena mereka miskin, mereka dianggap tidak pantas untuk sekolah di SD Kartini. Ini membuat mereka bertiga minder. c) Rising Action (Peningkatan Konflik) Yok Bek merupakan seorang pengusaha peternakan sapi di Gedong Sapi. Ia kaya raya. Ia mempunyai tiga orang pekerja yang tak lain tak bukan adalah ayah ketiga Anak Alam itu. Tiga orang pekerja itulah yang setiap hari mengurus peternakan, mulai dari membersihkan kandang, memberi makan, memerah susu, dan membuat pupuk dari kotoran sapinya. Gedong sapi letaknya agak jauh dari pemukiman warga agar baunya tidak mengganggu warga Kampung genteng. commit user juga. Hingga kemudian warga Tetapi bagaimanapun juga bau itu tetap totercium
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 185
mengadu pada ketua RT agar memperingatkan Yok Bek untuk memindah peternakan sapinya. Masyarakat tidak tahan karena setiap hari mereka harus melahap bau kotoran sapi. Mendengar pengaduan masyarakat itu, Yok Bek sadar bahwa sekarang zaman sudah berubah. Sudah banyak pribumi yang bersekolah. Mereka tidak dapat dibohongi seperti dulu lagi. Sehingga ketika melihat ketiga Anak Alam sekolah, ia tidak suka dan segera memanggil orang tua mereka. Dia menyuruh ketiga orang tua itu untuk melarang Anak Alam sekolah, dengan dalih ia butuh tenaga banyak serta berjanji di kemudian hari akan menyekolahkan ketiga Anak Alam itu. Ketiga orang tua itu pun bak dicocok hidungnya, mereka menuruti apa yang diperintahkan Yok Bek. Mereka menyuruh ketiga anak mereka untuk berhenti sekolah saja. Padahal pada saat itu ketiga Anak Alam sedang semangatsemangatnya sekolah. Harapan mereka untuk sekolah pun pupus lagi. Mereka patah arang dengan cita-cita yang dibangunnya selama ini. d) Complication (Konflik Semakin Rumit) Pada tahap komplication ini, konflik yang ada semakin rumit. Belum habis duka anak alam karena putus sekolah, Gedong sapi tempat orang tua mereka bekerja menggantungkan hidup, didemo warga sekitar karena peringatan yang disampaikan selama ini tidak digubris. Mereka pun bertindak anarki. Mereka merusak apa saja yang ada di rumah Yok Bek. Faisal yang mencoba melerai tindak anarki tersebut malah ikut dipukuli warga. Akibatnya ia jatuh sakit, akibat benda tumpul yang menghantam kepalanya. Ia kemudian dirawat Pak Cokro, padahal ia sangat tidak suka kepadanya. Menurutnya Pak Cokro adalah seorang dukun gadungan yang kerjaannya adalah membodohi warga. Ia juga biang kerok semua kejadian demo Gedong sapi ini. Maka bertambah marahlah Faisal. e) Climax (Puncak Ketegangan) Puncak ketegangan terjadi setelah adanya kejadian demo para warga kampung Genteng. Kehidupan berubah drastis semenjak Gedong sapi diamuk warga. Yok Bek menjual semua sapi-sapinya. Ia pun hidup ikut anaknya. Hal ini commitketiga to useranak alam tersebut, yang notabene secara otomatis berimbas pada keluarga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 186
mereka selama ini hidup menggantungkan diri dan mengabdi penuh untuk Yok Bek. Duka anak alam semakin mendalam. Sudah digusur masih ditambah lagi dengan putus sekolah. Mereka sempat terkatung-katung karena tidak punya rumah. Hingga akhirnya mereka tinggal di bawah kolong jembatan. Mereka harus membanting tulang untuk bisa bertahan hidup. Puncaknya lagi ketika warga dihebohkan dengan perbuatan Mat Karmin yang ternyata seorang pedhopilia. Ia mencabuli anak-anak yang tengah bermain di rumahnya. Hal ini sontak mengundang kemurkaan warga untuk yang kedua kalinya setelah aksi di Gedong sapi dulu. Mat Karmin pun digelandang ke balai desa. Rumahnya pun tak lepas dari amuk massa. Massa yang terbakar emosinya pun merusak rumah Mat Karmin. Tak cukup sampai di situ, mereka membakarnya, abunya dilarung di sungai banjir kanal, agar semua hal buruk dari Mat Karmin ikut lenyap. f) Falling Action (Penurunan Konflik) Tahap penurunan konflik terjadi setelah kejadian pengrusakan rumah Yok Bek, yakni ketika Faisal mencari tempat tinggal Anak Alam. Ternyataa mereka tinggal di kolong jembatan. Mereka pun kemudian berbagi cerita. Faisal sangat prihatin dengan kondisi ketiga Anak Alam tersebut. Ia prihatin dengan nasib pendidikan ketiga Anak Alam tersebut. Kemudian ia kembali menyemangati ketiganya untuk bisa kembali sekolah mewujudkan cita-cita mereka yang sempat terputus. Mereka bertiga akhirnya memutuskan untuk sekolah kembali, dengan beban dua kali lebih berat. Kalau dulu orang tua mereka masih punya penghasilan dari bekerja kepada Yok Bek, sekarang orang tua mereka tidak bekerja. Otomatis mereka harus bekerja ekstra keras untuk bisa tetap sekolah. Pambudi menjual koran, Yudhi berjualan pisang goreng, serta Pepeng yang menjadi tukang becak mengangkuti kelapa dari pasar induk ke pasar-pasar yang lebih kecil. Kembalinya mereka ke sekolah disambut hangat oleh Bu Mutia dan teman-teman sekelasnya. Mereka pun kembali bersama-sama belajar, menjalani commit to user segala suka duka sekolah sambil bekerja. Pada bagian ini diceritakan teman-teman
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 187
sekelas Anak Alam yaitu Karisma yang malas, Rena yang tinggi hati, Guruh sang ketua kelas, dan lain-lain. Hingga tak terasa mereka sudah bersekolah hampir satu tahun dan sebentar lagi akan menempuh ujian kenaikan kelas. Mereka mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian ini. Mereka ingin membuktikan bahwa di tengah kondisi yang serba sulit ini mereka masih bisa berprestasi. Di sisi lain Karisma yang malas tidak mau belajar sedikit pun. Akibatnya ketika ujian berlangsung ia tidak dapat mengerjakan. Yang lebih parah lagi Rena kepergok mencontek. g) Denouement (Penyelesaian) Setelah konflik mereda, tahapan selanjutnya adalah tahap penyelesaian. Penyelesaian masalah merupakan sesuatu yang penting ada dalam karya sastra, karena seorang pembaca ingin mengetahui penyelesaian masalah dari cerita yang dibacanya. Perjuangan keras belajar sambil bekerja akhirnya membuahkan hasil. Anak Alam yang di tengah situasi serba sulit masih punya semangat belajar yang tinggi bisa naik ke kelas dua dengan nilai yang memuaskan. Kharisma yang kerjanya hanya bermalas-malasan tidak naik kelas. Begitu juga Rena, selama ini ia dikenal sebagai seorang siswa yang cantik, kaya, pintar, tapi karena kepergok mencontek ia jadi tidak naik kelas. Kania,yang juga berasal dari keluarga kurang mampu, berhasil meraih juara satu paralel, disusul kemudian Faisal diurutan kedua. Atas prestasinya, Faisal berkesempatan mengikuti lomba olimpiade eksakta yang akan menjadi pintu gerbang meraih golden ticket menuju ke SMP akselerasi. Benar kata pepatah ’siapa yang menanam akan mengetam’. Orang meraih sesuatu, setimpal dengan apa yang sudah diusahakan. Berdasarkan tahapan alur yang sudah diuraikan di atas, terlihat bahwa peristiwa yang terdapat dalam novel OMDS terjalin berkesinambungan. Peristiwaperistiwa dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh atau menyebabkan terjadinya peristiwa-peristiwa yang kemudian. Oleh karena kejadian-kejadian yang dikisahkan bersifat kronologis, yang secara istilah berarti sesuai dengan urutan waktu, maka plot yang demikian disebut sebagai plot maju commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 188
atau progresif. Plot progresif dalam novel OMDS menunjukkan kesederhanaan cara penceritaan, tidak berbelit-belit, dan mudah diikuti.
f. Amanat Amanat merupakan pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembacanya. Pesan ini merupakan makna yang terkandung dalam suatu karya yaitu makna yang disampaikan melalui cerita. Beberapa amanat baik secara eksplisit maupun implisit dapat kita ambil dari novel LP dan OMDS. 1) Novel LP Andrea Hirata melalui novel LP ingin menyampaikan amanat. Sepanjang teks novel ini banyak manfaat yang dapat dipetik oleh pembaca. Karena novel ini bertemakan pendidikan, maka sepanjang kisahnya banyak memberikan nilai didik kepada pembacanya. Salah satu amanat yang terdapat di dalam novel LP, yaitu bahwa dalam hidup harus selalu berani bermimpi, mempunyai cita-cita dan berusaha untuk mewujudkan cita-citanya itu sesulit apapun. Pada bagian lain, novel LP juga memberikan amanat agar pemerintah lebih berlaku adil dan bijaksana dalam menentukan kebijakan, dan hendaknya selalu memikirkan masyarakat yang kurang mampu, sehingga peristiwa tragis yang menimpa tokoh Lintang tidak terjadi lagi. Lintang, seorang anak super genius terpaksa harus berhenti sekolah karena keadaan ekonominya yang tidak memungkinkan. Karena novel ini bertema pendidikan, maka sepanjang ceritanya pun sarat dengan amanat bagi manusia dalam mengarungi kehidupan. Pelajaran dapat dipetik pada saat PN Timah sedang berjaya. Mereka meyombongkan diri seolah harta benda yang dimilikinya tak akan habis, seolah-olah mereka tak akan mati. Tapi kemudian Tuhan membalikkan semuanya. Harga timah dunia turun drastis dan mengakibatkan PN Timah gulung tikar. Hal ini menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mabuk dengan harta dan kekuasaan. Hendaknya selalu sadar bahwa hidup itu layaknya roda yang berputar, terkadang di atas terkadang di bawah. Ketika sedang di atas jangan sampai mabuk dengan ketinggian. Ketika di bawah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 189
jangan sampai menyalahkan Tuhan. Setiap keadaan hendaknya selalu disikapi dengan sebaik mungkin dan tidak berlebihan. 2) Novel OMDS Amanat yang dapat dipetik dari novel OMDS yaitu untuk berani bermimpi, berani bercita-cita, menggantungkan cita-cita setinggi langit. Karena orang yang tak punya mimpi berarti orang yang tidak punya cita-cita. Seperti kisah Faisal ketika membuat layang-layang. Ia membayangkan kalau hari ini ia membuat layang-layang, maka esok hari ia akan membuat pesawat terbang. Cita-cita dan mimpi-mimpi ini harus selalu dipupuk agar memacu untuk bisa lebih baik dan berusaha keras untuk mewujudkan cita-cita ini. Selain mengajarkan untuk tidak takut bermimpi, kisah ini juga mengamanatkan untuk tidak mudah menyerah dengan keadaan. Hidup adalah perjuangan. Jadi untuk terus hidup, segala sesuatu perlu diperjuangkan, termasuk perjuangan untuk mewujudkan cita-cita. Seperti perjuangan tokoh Kania dan Pambudi untuk terus berjuang melawan kemiskinan yang menjeratnya. Kemiskinan bagi Kania bukanlah sesuatu yang harus diratapi dan disesali, tetapi bagaimana caranya harus bangkit, harus berjuang mengalahkan kemiskinan itu. Tidak boleh menyerah pada nasib. Karena nasib manusia bergantung pada seberapa besar usaha yang sudah dilakukan. Hal ini diperkuat oleh Yant Mujiyanto yang menyatakan bahwa “novel OMDS mengamanatkan agar orang miskin tidak pernah berputus asa dalam memperjuangkan cita-citanya, tetap gigih dan tawakal, pantang menyerah”. Selain itu, novel ini juga mengamanatkan untuk terus belajar. Menuntut ilmu sampai akhir hayat. Menuntut ilmu walau harus ke negeri China. Tidak pernah ada kata terlambat untuk belajar. Seperti keteladanan yang ditunjukkan Pak Cokro dan orang-orang tua yang lain, yang masih gigih belajar membaca walaupun usia mereka sudah senja. Usia Pak Cokro yang sudah senja tidak menghalanginya dalam menuntut ilmu. Ia bertekad sebelum mati harus mempersembahkan yang terbaik untuk masyarakat. Ia ingin mengubah dirinya yang buta huruf menjadi melek huruf. Setelah ia melek huruf, ia berusaha keras to user membebaskan kampung Genteng commit dari kebodohan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 190
Dari hasil analisis struktural novel LP dan OMDS dapat diketahui keterjalinan unsur-unsur yang membangun novel. Suatu karya dikatakan memiliki kesatuan yang utuh apabila memiliki semua unsur dan antarunsurnya saling berjalin, padu, dan koheren. Unsur harus memiliki makna dalam kaitannya dengan unsur lain dan keseluruhannya. Untuk memperoleh makna keseluruhan dari suatu karya sastra, unsur-unsur yang ada harus dihubungkan satu dengan yang lain untuk mengetahui keterikatan atau keterkaitan antarunsur yang membangun. Novel LP dan OMDS merupakan novel Indonesia mutakhir. Keduanya disatukan oleh tema yang sama yakni masalah pendidikan. Tema merupakan gagasan dasar umum suatu cerita, yang tak mungkin hadir tanpa unsur bentuk yang menampungnya. Tema bersifat memberi koherensi dan makna terhadap unsur karya sastra yang lain, misalnya dalam novel LP dan OMDS. Dalam menyajikan tema pendidikan, pengarang menampilkan sebuah potret kehidupan sekelompok anak yang berjuang untuk memperoleh pendidikan, yaitu anggota Laskar Pelangi (dalam novel LP) dan Anak Alam (dalam novel OMDS). Tokohtokoh inilah yang bertugas sebagai pembawa dan pelaku cerita. Dengan demikian, sebenarnya, tokoh-tokoh inilah yang bertugas untuk menyampaikan tema yang dimaksudkan oleh pengarang. Amanat juga mempunyai keterkaitan yang erat dengan tema. Tema dalam karya sastra sesungguhnya merupakan suatu penafsiran atau pemikiran tentang kehidupan. Pemikiran tentang kehidupan ini akan memberikan ajaran moral atau pesan yang ingin disampaikan pengarang. Pesan inilah yang disebut dengan amanat. Seperti halnya dalam novel LP dan OMDS, pengarang mengangkat tema pendidikan. Dengan tema ini pengarang ingin mengamantkan kepada pembaca agar orang miskin jangan pernah berputus asa dalam memperjuangkan citacitanya, tetapi harus gigih dan tawakal serta pantang menyerah. Dengan begitu, amanat yang dikedepankan sangat mendukung tema yang dikembangkan. Plot, di pihak lain berkaitan erat dengan tokoh cerita. Plot pada hakikatnya adalah apa yang dilakukan oleh tokoh dan peristiwa apa saja yang terjadi dan dialami tokoh yang mampu memunculkan konflik. Dalam novel LP dikisahkan userkemiskinan. Masalah kemiskinan anggota Laskar Pelangi hidup dicommit bawah togaris
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 191
inilah yang menjadi awal munculnya konflik yang akan membawa permasalahanpermasalahan lainnya, salah satunya adalah peristiwa putus sekolah yang dialami oleh Lintang (dalam novel LP). Begitu juga dengan novel OMDS. Kemiskinan yang menghinggapi tokohnya (ketiga Anak Alam) akan membawa permasalahan yang kompleks nantinya. Tokoh dan segala peristiwa yang dialami tokoh inilah yang akan menggerakkan plot. Latar mempunyai hubungan erat dengan tema dan penokohan. Misalnya dalam novel LP dan OMDS. Tema pendidikan menampilkan latar sekolah. Tema kemiskinan akan menampilkan latar rumah yang seperti gubuk reyot yang kotor dan kusam. Jadi, tema dan latar saling berkaitan erat. Selain itu, latar juga mempunyai hubungan dengan penokohan. Latar akan mempengaruhi cara berpikir dan karakter
tokoh. Misalnya tokoh Ikal. Ikal digambarkan oleh pengarang
sebagai seorang yang memiliki tekad kuat dan pantang menyerah. Karakter pantang menyerah ini terbentuk karena adanya latar tempat tinggal Ikal yakni daerah pertambangan timah. Mayoritas warganya bekerja menjadi buruh kasar di tambang timah ini, termasuk juga orang tua Ikal. Melihat kondisi orang tua yang tidak mampu ini menimbulkan sifat pantang menyerah. Ikal tidak mau tunduk dengan nasib. Ia pantang menyerah untuk tetap menuntut ilmu demi meraih citacita merubah nasib menjadi lebih baik. Begitu pula dalam novel OMDS. Tokoh Faisal juga digambarkan bertekad kuat. Hal ini terbangun dari latar tempat ia tinggal yakni bersama orang-orang miskin dan tidak sekolah. Hal ini memacu Faisal untuk pantang menyerah memperjuangkan nasib teman-temannya (Anak Alam).
2. Persamaan dan PerbedaanNovel LP dan OMDS Setelah melalui analisis struktur, nyata sekali bahwa antara LP dan OMDS mempunyai persamaan dan perbedaan. Persamaannya itu meliputi tema, amanat, alur, penokohan, dan latar waktu. Berikut rincian persamaan kedua novel ini. a. Tema Tema utama yang melingkupi kedua novel adalah masalah pendidikan. commit topara usertokohnya yakni anggota Laskar Novel LP menggambarkan perjuangan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 192
Pelangi dalam meraih pendidikan. Sedangkan dalam novel OMDS juga menggambarkan perjuangan ketiga Anak Alam dalam meraih pendidikan. Pendidikan perlu diperjuangkan, karena tokoh dalam kedua novel sama-sama dihadapkan pada situasi yang tidak memungkinkan yakni kondisi ekonomi mereka yang tidak memungkinkan untuk memperoleh pendidikan. Sementara itu, mengenai subtema-subtema yang lain tidaklah jauh berbeda dari tema utama yang ditampilkan pengarang. Dalam kedua novel tersebut, subtema yang lain juga masih berhubungan dengan masalah pendidikan. Dalam novel LP terdapat subtema persahabatan, yakni persahabatan di antara anggota Laskar Pelangi. Juga subtema percintaan yakni percintaan antara Ikal dan A Ling. Selain itu ada juga subtema kemiskinan yakni kemiskinan masyarakat Melayu Belitong yang menjadi buruh kasar di PN Timah. Dalam novel OMDS juga dijumpai subtema yang sama. Subtema persahabatan, yakni persahabatan antara Faisal dan ketiga Anak Alam. Subtema percintaan yakni percintaan antara Pambudi dan Kania. Subtema kemiskinana yakni kemiskinan masyarakat kampung Genteng (ayah Anak Alam) yang menjadi buruh seumur hidup di sebuah peternakan sapi di Semarang. b. Amanat Amanat yang diperoleh dari kedua novel ini mempunyai persamaan yaitu untuk jangan takut bermimpi dan bercita-cita serta harus berusaha keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu bagaimana pun terbatasnya keadaan. Dari novel LP, pesan ini diperoleh dari tokoh Lintang. Ia berasal dari keluarga nelayan miskin yang tinggal di pesisir desa Tanjong Kelumpang. Jarak antara rumah ke sekolahnya delapan puluh kilometer pulang pergi yang ditempuhnya dengan bersepeda. Kemiskinan dan jarak rumah dan sekolah yang sangat jauh tidak mengendurkan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di tengah kemiskinan yang melandanya, ia tetap bersemangat dan bercita-cita menjadi matematikawan. Sedangkan dari novel OMDS, pesan ini kita peroleh dari ketika Anak Alam yakni Pambudi, Yudi, dan Pepeng. Ketiganya berasal dari keluarga miskin. Bapaknya bekerja sebagai buruh di sebuah peternakan sapi. Ketiganya tetap to user mereka belajar sambil bekerja berkemauan sekolah walaupun commit mengharuskan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 193
untuk membiayai sekolahnya. Keterbatasan tidak menghambat langkah mereka dalam menggapai mimpi-mimpi mereka. c. Alur Dilihat dari penyusunan cerita, alur yang digunakan dalam kedua novel tersebut adalah alur maju atau alur progresif. Setiap peristiwa yang terdapat dalam kedua novel terjalin berkesinambungan. Penceritaan dimulai dari tahap eksposition, inciting moment, rising action, complication, climax, falling action, dan denouement. Setiap peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa pertama diikuti oleh peristiwa selanjutnya atau menyebabkan terjadinya peristiwaperistiwa yang kemudian. Pengarang menyusun peristiwa-peristiwa yang ada berdasarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas). d. Penokohan Terkait dengan penokohan tokoh utama dalam novel LP dan OMDS, teknik karakterisasi kedua novel menggunakan teknik yang sama yaitu menggunakan metode langsung dan metode tidak langsung. Baik itu LP maupun OMDS karakter tokoh tidak selalu digambarkan secara gamblang dan terperinci tetapi dapat juga diketahui dari dialog antartokoh dan deskripsi pengarang secara langsung. Baik novel LP maupun OMDS sama-sama mengisahkan sebuah persahabatan di antara tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh utama dalam LP antara lain sepuluh anggota Laskar Pelangi (Ikal, Lintang, Mahar, Syahdan, kucai, Borek, A Kiong, Sahara, Trapani, dan Harun) serta Flo; sedangkan dalam OMDS persahabatan terjadi antara anak alam (Pambudi, Yudi, dan Pepeng) serta Faisal dan Kania. Dari deskripsi itu terlihat bahwa baik novel LP maupun OMDS samasama menceritakan sebuah jalinan persahabatan. Tokoh utama yang menjadi bahan perbandingan yaitu tokoh Ikal dan Faisal. Secara fisiologis, tokoh utama dalam kedua novel memiliki jenis kelamin yang sama yakni laki-laki (Ikal dan Faisal). Secara psikologis tercermin watak tokoh utama) yaitu berkemauan keras. Keduanya memiliki kemauan yang keras dalam bercita-cita dan mewujudkan cita-citanya itu. Keduanya tidak mudah commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 194
menyerah pada nasib. Keduanya senantiasa berusaha melakukan yang terbaik demi mewujudkan mimpi-mimpinya. Ditinjau dari aspek sosiologis, watak dari tokoh utama dalam kedua novel tersebut yaitu sama-sama punya jiwa sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Tokoh Ikal dalam novel LP digambarkan sangat menaruh perhatian dan peduli dengan keadaan Lintang. Ia sangat prihatin dengan kondisi Lintang, Lintang terpaksa putus sekolah karena perekonomian keluarganya yang tidak memungkinkan. Ikal sangat menyayangkan hal ini, karena Lintang adalah seorang yang superjenius yang harus memupus mimpinya karena keadaan. Sedangkan dalam novel OMDS tokoh Faisal sangat peduli dengan nasib ketiga Anak Alam (Pambudi, Yudi, dan Pepeng). Ia memperjuangkan nasib ketiga Anak Alam agar bisa sekolah. Karena sekolah adalah jembatan untuk bisa mewujudkan cita-cita. e. Latar Waktu Latar waktu dalam kedua novel ini mempunyai persamaan. Dalam novel LP, pengarang tidak secara eksplisit menyebut kapan (tahun) terjadinya peristiwa ini. Akan tetapi di dalam novel ini disinggung-singgung mengenai masa pemerintahan presiden Soeharto dan ada beberapa bagian yang juga menyebut tahun yakni tahun 1987 dan tahun 1991. Jadi hal ini bisa dijadikan petunjuk bahwa kisah ini mengambil latar waktu pada masa itu, yakni pada masa pemerintahan Soeharto yaitu kurun waktu 1966 – 1998. Latar waktu kisah dalam novel OMDS juga tidak secara langsung dijelaskan oleh pengarang, namun hal ini dapat dianalisis berdasarkan kutipankutipan yang terdapat dalam cerita. Setting waktu dalam kisah ini dikaitkan dengan peristiwa reformasi 1998, yakni setelah peristiwa reformasi terjadi. Jadi dapat disimpulkan bahwa latar waktu dalam kedua novel mempunyai persamaan yakni sama-sama terjadi pada era pemerintahan Soeharto, sekitar kurun waktu 1966 – 1998. Novel LP dan OMDS selain memiliki kesamaan, juga memiliki perbedaan. Perbedaan yang paling menonjol antara kedua novel ini terletak pada aspek sudut pandang, latar tempat dan latar sosial. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 195
a. Sudut Pandang Kedua novel ini menggunakan sudut pandang yang berbeda. Dalam novel LP pengarang sepenuhnya menggunakan sudut persona pertama “Aku”. Dalam sudut pandang orang pertama ini pengarang berperan sebagai tokoh utama yakni Ikal. Dengan sudut pandang ini narator adalah seseorang yang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si “aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya sendiri, Pembaca menerima apa yang diceritakan oleh si “aku”, sehingga pembaca hanya dapat melihat dan merasakan secara terbatas seperti yang dilihat dan dirasakan tokoh “aku” tersebut. Dalam hal ini Ikal sebagai pencerita mengisahkan. Sedangkan dalam novel OMDS, pengarang menggunakan sudut pandang campuran antara persona pertama dengan persona ketiga “Dia” Mahatahu. Dengan sudut pandang persona pertama ini pengarang mengisahkan peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan serta sikapnya terhadap tokoh lain kepada pembaca. Sedangkan dengan sudut pandang persona ketiga “Dia” Mahatahu, pengarang bersifat mahatahu. Ia bebas bergerak dan menceritakan apa saja dalam lingkung waktu dan tempat cerita, berpindah-pindah dari tokoh “dia” yang satu ke “dia” yang lain. Dengan kedua sudut pandang ini, Ikal bebas menceritakan apa saja, tidak hanya terbatas pada peristiwa dan tindakan, yang diketahui, dilihat, didengar, dialami, dan dirasakan saja. Hal ini menjadikan pembaca tahu keadaan “luar-dalam” masing-masing tokoh. b. Latar Tempat Latar tempat kedua novel ini mempunyai perbedaan yaitu dalam novel LP berlatar di Pulau Belitong dan kota Bogor. Sedangkan dalam novel OMDS berlatarkan kota Semarang, Jawa Tengah. c. Latar Sosial Kedua novel ini mempunyai latar tempat yang berbeda, maka secara otomatis kedua novel ini menghadirkan latar sosial yang berbeda pula. Novel LP yang notabene berlatar tempat di Belitong menghadirkan latar sosial kebudayaan Melayu. Sedangkan dalam novel OMDS yang mengambil latar di Semarang, Jawa tengah mengambil latar sosial kebudayaan Jawa. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 196
3. Hubungan Intertekstual antara Novel LP Karya Andrea Hirata dan OMDS Karya Wiwid Prasetyo Karya sastra tidak begitu saja lahir, melainkan sebelumnya sudah ada karya sastra lain yang tercipta berdasarkan konvensi budaya masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, karya sastra itu meneruskan konvensi yang sudah ada ataupun menyimpangi meskipun tidak seluruhnya. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu karya kreatif yang menghendaki adanya kebaruan, namun tentu tidak baru sama sekali karena apabila sama sekali menyimpang dari konvensi, ciptaan itu tidak akan dikenal ataupun tidak dapat dimengerti oleh masyarakatnya. Mengenai konvensi sastra yang disimpangi atau diteruskan, dapat berupa konvensi bentuk formalnya ataupun isi pikiran, masalah, dan tema yang terkandung di dalamnya. Pembicaraan hubungan intertekstual antara novel LP karya Andrea Hirata dan OMDS karya Wiwid Prasetyo adalah mengenai kesamaan tema di antara keduanya. Kedua novel sama-sama mengangkat masalah pendidikan yaitu perjuangan orang miskin dalam meraih pendidikan guna mewujudkan cita-cita mereka. Masalah perjuangan orang miskin dalam meraih pendidikan lebih dahulu diangkat dalam LP (2008) oleh Andrea Hirata. Masalah perjuangan orang miskin dalam meraih pendidikan kemudian diangkat lagi oleh Wiwid Prasetyo dalam karyanya OMDS (2010). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Wiwid Prasetyo meneruskan tema yang ditawarkan oleh Andrea Hirata, yakni mengenai pendidikan dan segala permasalahannya. Novel LP merupakan sebuah novel memoar kehidupan masa kecil Andrea Hirata. LP menceritakan kehidupan masyarakat Melayu Belitong yang hidup di bawah garis kemiskinan. Perekonomian Belitong yang pada saat itu dipegang mutlak oleh PN Timah yang tidak membagi kekayaan sedikitpun untuk masyarakat Melayu Belitong kecuali menjadi buruh kasar di perusahaan tersebut. Diceritakan kehidupan sekumpulan anak yang dijuluki Laskar Pelangi dalam upaya mewujudkan cita-cita di tengah himpitan masalah ekonomi. Dalam novel ini diceritakan berbagai macam kesulitan yang harus dihadapi demi mendapat commit user pendidikan. Hal ini diwakili oleh tokohtoLintang. Ia merupakan seorang anak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 197
miskin yang harus bekerja untuk bisa tetap sekolah. Ia harus menempuh jarak delapan puluh kilometer pulang pergi untuk dapat menikmati sekolah. Pada masa Andrea Hirata menulis LP, 4 tahun kemudian OMDS terbit yakni di tahun 2009. Begitu halnya dengan LP, novel OMDS juga merupakan sebuah novel memoar kehidupan masa kecil Wiwid Prasetyo. Wiwid Prasetyo menulis novel ini karena ia terinspirasi setelah membaca novel LP. Ia kemudian mengumpulkan remah-remah ingatan masa kecilnya, dan menulis novel serupa, yakni Novel OMDS. Apabila dalam LP digambarkan hegemoni PN Timah yang menguasai perekonomian di Belitong, maka dalam novel OMDS hegemoni perekonomian dipegang oleh seorang pemilik peternakan sapi terbesar di Semarang. Apabila dalam LP terdapat sekumpulan anak yang dijuluki Laskar Pelangi, maka dalam novel OMDS digambarkan kehidupan sekumpulan anak yang dijuluki Anak Alam di sebuah Kampung di Semarang. Ayah ketiganya bekerja sebagai buruh di peternakan sapi tersebut. Mereka harus bekerja serabutan untuk bisa sekolah, karena memang orang tua mereka tidak memungkinkan untuk membiayai sekolahnya. Mereka matia-matian memperjuangkan sekolahnya demi meraih citacita, untuk bisa keluar dari jerat kemiskinan ini. Subtema pada kedua novel adalah percintaan. Di dalam novel LP percintaan terjadi antara Ikal dan Aling. Ikal jatuh cinta pertama kali ketika kegiatan membeli kapur tulis di toko Sinar Harapan. Di sana ia melihat kuku-kuku cantik. Ia terpesona melihat keelokan kuku-kuku tersebut dan ingin melihat wajah pemilik kuku-kuku cantik itu. Ketika melihat A Ling, Ikal langsung jatuh cinta pada pandangan pertama, dan ternyata selama ini A Ling pun juga memperhatikannya. Dalam novel OMDS percintaan terjadi antara Pambudi dan Kania. Pambudi dan Kania adalah teman sekelas di SD Kartini. Pambudi jatuh cinta kepada Kania karena jiwa pemberani Kania. Kania dengan berani membela ketiga Anak Alam yang sedang diolok-olok teman sekelas. Dari peristiwa ini Pambudi menaruh simpati terhadap Kania. Pambudi mengutarakan cintanya kepada Kania, dan Kania pun tidak menolaknya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 198
Subtema yang lain adalah persahabatan. Di dalam novel LP persahabatan yang terjalin yaitu antara kesepuluh anggota Laskar Pelangi dan Flo. Diceritakan dalam novel ini sebuah jalinan persahabatan di antara sepuluh orang anak yang dijuluki Laskar Pelangi, karena kebiasaan mereka melihat pelangi secara bersamasama. Kesepuluh anak tersebut yaitu Ikal, Lintang, Mahar, Sahara, Harun, A Kiong, Kucai, Trapani, Samson, dan Syahdan. Kesepuluh anak ini bersahabat sejak pertama masuk SD. Sebuah persahabatan yang indah. Semua individu punya karakteristik tertentu. Lintang Si jenius, Samson Si Pria perkasa, Trapani Si pria flamboyan,
Kucai
yang
oportunis
dan
bermulut
besar,
Sahara
yang
temperamental, Harun Si Pria santun dan murah senyum, Mahar sang seniman, A Kiong yang sangat naif, Syahdan yang tak punya sense of fashion, serta Ikal yang memang berambut Ikal. Dalam novel OMDS persahabatan yang terjalin yakni antara ketiga Anak Alam (Pambudi, Yudi, dan Pepeng) dan Faisal. Meskipun mempunyai status sosial ekonomi yang berbeda, mereka tetap bersahabat dengan baik. Faisal yang rendah hati, mempunyai kepedulian yang tinggi, suka menolong, dan bertekad kuat. Pambudi si gigi kelinci dan berambut jagung yang mempunyai jiwa pemimpin, seorang pribadi yang dewasa, polos, apa adanya, keras kepala dan bertekad kuat. Yudi yang berwajah lucu bertahi lalat, berambut ikal dan mempunyai kecacatan tubuh, yakni kulitnya albino, putih pucat seperti sapi, banyak bintik-bintik merah seperti kulit babi. Pepeng yang berwajah aneh dan merupakan pribadi yang polos. Mereka rela berkorban satu sama lain dan setia kawan. Faisal yang berasal dari keluarga mampu, selalu memikirkan nasib temantemannya dan mengusahakan pendidikan untuk teman-temannya tersebut. Terkait dengan tokoh dan penggambarannya dalam novel LP mempunyai kesamaan dengan tokoh serta cara penggambaran tokoh dalam OMDS. Teknik karakterisasi kedua novel menggunakan teknik yang sama yaitu menggunakan metode langsung dan metode tidak langsung. Baik itu LP maupun OMDS karakter tokoh tidak selalu digambarkan secara gamblang dan terperinci tetapi dapat diketahui dari dialog antartokoh dan deskripsi pengarang secara langsung. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 199
Baik novel LP maupun OMDS sama-sama mengisahkan sebuah persahabatan di antara tokoh-tokohnya. Tokoh-tokoh utama dalam LP antara lain sepuluh anggota Laskar Pelangi (Ikal, Lintang, Mahar, Syahdan, kucai, Borek, A Kiong, Sahara, Trapani, dan Harun) serta Flo; sedangkan dalam OMDS persahabatan terjadi antara anak alam (Pambudi, Yudi, dan Pepeng) serta Faisal dan Kania. Dari deskripsi itu terlihat bahwa baik novel LP maupun OMDS samasama menceritakan sebuah jalinan persahabatan. Tokoh utama yang menjadi bahan perbandingan yaitu tokoh Ikal dan Faisal. Secara fisiologis, tokoh utama dalam kedua novel memiliki jenis kelamin yang sama yakni laki-laki (Ikal dan Faisal). Secara psikologis tercermin watak tokoh utama) yaitu berkemauan keras. Keduanya memiliki kemauan yang keras dalam bercita-cita dan mewujudkan cita-citanya itunya. Keduanya tidak mudah menyerah dengan nasib. Keduanya senantiasa berusaha melakukan yang terbaik demi mewujudkan mimpi-mimpinya. Ditinjau dari aspek sosiologis, watak dari tokoh utama dalam kedua novel tersebut yaitu sama-sama punya jiwa sosial dan kepedulian yang tinggi terhadap sesama. Tokoh Ikal dalam novel LP digambarkan sangat menaruh perhatian dan peduli dengan keadaan Lintang. Ia sangat prihatin dengan kondisi Lintang, ia terpaksa
putus
sekolah
karena
perekonomian
keluarganya
yang
tidak
memungkinkan. Ikal sangat menyayangkan hal ini, karena Lintang adalah seorang yang superjenius yang harus memupus mimpinya karena keadaan. Sedangkan dalam novel OMDS tokoh Faisal sangat peduli dengan nasib ketiga anak alam (Pambudi, Yudi, dan Pepeng). Ia memperjuangkan nasib ketiga anak alam agar bisa sekolah. Karena sekolah adalah jembatan untuk bisa mewujudkan cita-cita. Amanat yang diperoleh dari kedua novel ini mempunyai persamaan yaitu untuk jangan takut bermimpi dan bercita-cita serta harus berusaha keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu bagaimana pun terbatasnya keadaan. Dari novel LP, pesan ini diperoleh dari tokoh Lintang. Ia berasal dari keluarga nelayan miskin yang tinggal di pesisir desa Tanjong Kelumpang. Jarak antara rumah ke sekolahnya delapan puluh meter pulang pergi yang ditempuhnya dengan commit user sekolah yang sangat jauh tidak bersepeda. Kemiskinan dan jarak rumahto dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 200
mengendurkan semangatnya untuk menuntut ilmu. Di tengah kemiskinan yang melandanya, ia tetap bersemangat dan bercita-cita menjadi matematikawan. Sedangkan dari novel OMDS, pesan ini diperoleh dari ketiga Anak Alam yakni Pambudi, Yudi, dan Pepeng. Ketiganya berasal dari keluarga miskin. Bapaknya bekerja sebagai buruh di sebuah peternakan sapi. Ketiganya tetap berkemauan bersekolah walaupun hal ini mengharuskan mereka belajar sambil bekerja untuk membiayai sekolahnya. Keterbatasan tidak menghambat langkah mereka dalam menggapai mimpi. Alur novel LP dan OMDS mempunyai persamaan yaitu sama-sama menggunakan alur maju atau progresif. Plot ini dimulai dari tahap eksposition, Inciting moment, ricing action, complication, climax, dan denouement. Pengarang menyusun peristiwa-peristiwa yang ada berdasarkan hubungan sebab-akibat (kausalitas). Pradopo (dalam Suwardi Endraswara, 2003: 133) menyatakan prinsip dasar intertekstualitas: “Karya hanya dapat dipahami maknanya secara utuh dalam kaitannya dengan teks lain yang menjadi hipogram. Hipogram adalah karya sastra terdahulu yang dijadikan sandaran berkarya. Hipogram tersebut bisa sangat halus dan juga sangat kentara. Dalam kaitan ini, sastrawan yang lahir berikut adalah reseptor dan transformator karya sebelumnya. Dengan demikian, mereka selalu menciptakan karya asli, karena dalam mencipta selalu diolah dengan pandangannya sendiri, dengan horison dan atau harapannya sendiri”. Mengacu pendapat di atas, maka jelaslah sekarang bahwa LP merupakan sebuah karya hipogram, yaitu karya yang melatarbelakangi penciptaan karya selanjutnya. Sementara itu, OMDS disebut dengan karya transformasi karena mentransformasikan teks-teks yang menjadi hipogramnya.
4. Nilai Pendidikan Novel LP dan OMDS a. Novel LP 1) Nilai Pendidikan Religius/Agama Dalam novel ini nilai pendidikan agama, khususnya agama Islam sangat commit to userdan tidak menggurui pembacanya. kental. Namun penyajiannya sangat sederhana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 201
Sehingga pesan-pesan religi di dalam novel ini dapat dikembangkan atau dipakai untuk penganut semua agama. Agama Islam, begitu juga agama lainnya selalu mengajarkan bahwa Tuhan itu satu. Maka dalam Islam selalu ditekankan bahwa Allah Maha Esa. Allah Maha Agung. Allah Maha Mengetahui, Maha Kuasa. Allah yang menuliskan nasib makhluknya. Tidak ada satu lembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan-Nya. Manusia hanya menjalani apa yang sudah ditakdirkan. Manusia diwajibkan untuk berusaha, tetapi hasil akhirnya tetap di tangan Allah. Dalam agama islam, banyak aturan atau etika yang harus dipatuhi. Dalam novel ini banyak dipenuhi nilai pendidikan keagamaan, diantaranya untuk selalu berpegang teguh pada Al-Qur’an dan Al-Hadist, selalu melaksanakan solat tepat waktu, dan seorang muslim dianjurkan untuk diam dan menghentikan sejenak aktivitasnya ketika mendengar suara azan. Nilai pendidikan agama dapat diambil dari sikap Pak Harfan dalam memelihara jenggot. Dan ketika ditanya tentang jenggotnya, Pak Harfan mengatakan bahwa manusia hidup harus mempunyai pegangan, sehingga apa pun perilaku yang kita kerjakan haruslah mempunyai sebuah dasar. Pak Harfan sebagai penganut agama islam mencoba untuk mengikuti sunah Nabi Muhammad S.A.W. yakni memelihara jenggot. Karena melaksanakan sebuah sunah di dalam Islam akan mendatangkan pahala. Pak Harfan dan Bu Mus dalam pertemuan pertama pembelajaran menjelaskan secara gamblang implikasi amar makhruf nahi mungkar sebagai pegangan moral anggota Laskar Pelangi sepanjang hayat. Amar makhruf nahi mungkar adalah sebuah ajaran agama islam yang sangat dalam maknanya. Arti umum dari ayat itu adalah “mengajak sesama pada kebenaran atau kebaikan dan menjauhi segala yang buruk dan dilarang oleh Allah S.W.T.”. Implikasinya adalah bahwa kita sebagai manusia harus selalu berjalan, bertindak, dan bertingkah laku sesuai dengan jalan kebenaran dan menjauhi perbuatan-perbuatan yang tidak sesuai dengan kehendak masyarakat dan Tuhan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 202
2) Nilai Pendidikan Moral Nilai moral dalam karya sastra biasanya bertujuan untuk mendidik manusia agar mengenal nilai-nilai budi pekerti dan estetika. Nilai pendidikan moral menunjukkan peraturan-peraturan tingkah laku dan adat istiadat seorang individu atau dari suatu kelompok yang meliputi perilaku, tata karma yang menjunjung tinggi budi pekerti dan nilai susila. Demikian pula dalam novel LP karena latar penceritaannya adalah di lingkungan masyarakat maka ceritanya tentu tidak terlepas dari nilai-nilai moral yang hidup di tengah masyarakat. Seperti peristiwa ketika Ikal ditanya ibunya mengenai bekas merah di dadanya. Ikal tetap berkata jujur meskipun sangat malu untuk membongkar ketololannya yang mempercayai hasutan Borek. Selain itu ada juga tokoh Sahara yang juga patut dijadikan teladan. Sahara selalu menjunjung tinggi kejujuran. Pantang baginya untuk berkata bohong. Meskipun diancam dicampakkan ke dalam api, tidak satupun bohong keluar dari mulutnya. Hal inilah yang ingin disampaikan pengarang bahwa di dalam hidup ini harus selalu berkata jujur. Karena apabila sudah berbohong, maka selanjutnya akan berbohong lagi untuk menutupi kebohongan yang dulu. Begitu seterusnya. Pelajaran moral lain juga datang dari tokoh Lintang. Lintang merupakan sosok yang super jenius. Namun dengan kejeniusannya itu tidak menjadikannya kalap. Lintang selalu beranggapan bahwa kepandaian bukan untuk disombongkan. Pengetahuan yang dimilikinya belum seberapa dibanding lautan ilmu yang terbentang sangat luas. Di atas langit masih ada langit. Pelajaran moral dari tokoh Lintang lainnya yaitu ketika peristiwa Lintang putus sekolah. Lintang sangat bersedih dengan peristiwa ini, namun tidak menyesali usaha yang telah dilakukannya selama ini. Hal ini memberikan isyarat untuk tidak bersedih apabila seseorang tidak dapat menggapai cita-cita besar yang sudah diperjuangkan, karena paling tidak dapat mewujudkan keinginan dan membahagiakan orang-orang yang dicintai. Hal ini mengisyaratkan untuk tidak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan, karena kesempatan tidak datang dua kali. Penyesalan pasti akan datang terlambat commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 203
Pesan moral yang lain dapat dambil dari peristiwa pemilihan ketua kelas. Pemilihan ketua kelas dilaksanakan dengan cara voting. Setiap orang bebas menentukan pilihannya. Tak terkecuali Harun. Meskipun Harun mempunyai kecacatan, Bu Mus tetap memberikan kesempatan kepada Harun untuk memberikan suaranya. Hal ini memberikan pendidikan moral untuk menghargai setiap orang bagaimanapun keadaannya. Bu Mus berlaku sangat demokratis dalam pemilihan ketua kelas, karena tahu Harun tidak dapat menulis maka sebagai penggantinya memberi kesempatan kepada Harun untuk menggunakan hak politiknya yaitu dengan cara lisan. 3) Nilai Pendidikan Sosial Nilai pendidikan sosial sebuah cerita novel, dapat diambil dari hal-hal yang bersifat positif maupun negatif. Kedua hal tersebut perlu disampaikan agar pembaca memperoleh banyak teladan yang bermanfaat. Segi positif harus ditonjolkan sebagai sesuatu yang patut ditiru dan diteladani. Demikian pula segi negatif perlu dikatakan serta ditampilkan agar seseorang tidak tersesat, bila membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Seperti halnya orang belajar, maka tidak akan berusaha bertindak lebih baik apabila tidak mengetahui hal-hal jelek yang tidak pantas dilakukan. Nilai sosial yang dapat diambil dari novel ini yaitu rasa peduli dan solidaritas di antara tokohnya, yakni anggota Laskar Pelangi. Solidaritas ini ditunjukkan ketika anggota Laskar Pelangi ikut mencari ketika Flo hilang di hutan sekitar Gunung Selumar. Mereka bersusah payah mencari Flo karena didorong oleh rasa perhatian dan kepedulian terhadap teman. Manusia adalah makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial manusia tidak mungkin hidup sendiri. Manusia merupakan anggota masyarakat. Dalam bergaul di masyarakat, manusia harus memegang tinggi kejujuran. Karena apabila sekali seseorang itu pernah berbohong, maka setelahnya walaupun kita mengatakan kejujuran pasti dianggap sebagai sebuah kebohongan. Begitu juga halnya yang terjadi pada tokoh Mahar. Karena kebiasaannya membual, maka ketika Mahar mengatakan sekalipun itu sebuah kebenaran, teman-temannya yang lain tidak to user mempercayainya lagi. Jadi dapatcommit diteladani bahwa dalam hidup ini seseorang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 204
harus menjaga kepercayaan yang sudah diberikan kepadanya. Karena sekali berbohong maka seterusnya sulit untuk dipercaya. Selain diperlukan kejujuran, dalam kehidupan sosial seseorang harus menjalin komunikasi dengan sesamanya. Dalam berkomunikasi tidak dapat dihindari berbagai polemik yang muncul. Novel ini mengamanatkan untuk tidak berpolemik terhadap sesuatu yang tidak dipahami dan benar-benar dikuasai, karena hal ini hanya akan memperlihatkan kebodohan. Seperti kisah pada saat lomba kecerdasan. Drs Zulfikar menantang kecerdasan Lintang. Namun, karena Drs Zulfikar sendiri sebenarnya kurang memahami permasalahan, ia dipukul mundur oleh Lintang. Lintang mementahkan semua pendapat yang dinyatakan oleh Drs Zulfikar. 4) Nilai Pendidikan Kebudayaan Suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia. Nilai-nilai budaya yang terkandung di dalam cerita dapat diketahui melalui penelaahan terhadap karakteristik dan perilaku tokoh-tokoh dalam cerita. Nilai-nilai budaya yang berakar pada adat lokal atau adat daerah yang dimaksud dalam novel ini adalah budaya yang bernuansa pulau Belitong. Nilai budaya ini kadang berbenturan dengan nilai-nilai agama yang dipegang oleh tokohnya. Seperti adanya kepercayaan terhadap dukun yakni Tuk Bayan Tula. Masyarakat Belitong masih percaya dengan dukun. Mereka percaya bahwa Tuk Bayan Tula adalah seorang dukun sakti mandraguna yang dapat dimintai pertolongan apa saja. Maka dari itu Mahar beserta anggota Societeit de Limpai pergi ke Pulau lanun untuk menemui Tuk Bayan Tula dengan tujuan agar nilai ulangannya membaik. Bukan jampi-jampi untuk menaikkan nilai yang didapat, tetapi kekecewaan yang harus mereka telan. Hal ini memberikan pelajaran untuk tidak mempercayai segala sesuatu yang belum tentu kebenarannya, sesuatu yang tidak dapat diterima logika. Bahwa segala sesuatu tidak bisa diperoleh dengan cara yang instan, semuanya memerlukan usaha dan doa. Jika seseorang ingin pandai, maka sudah seharusnya belajar. Jika seseorang ingin kaya, maka sudah commit to user seharusnya bekerja.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 205
Selain kepercayaan terhadap dukun, masyarakat Melayu Belitong ada juga yang mempercayai adanya ilmu buaya, di mana buaya mereka sembah layaknya Tuhan. Mereka punya keyakinan bahwa setelah mati dirinya akan berubah menjadi buaya. Hal ini memngisyaratkan bahwa budaya terkadang tidak masuk akal. Namun harus dipahami dan dimaklumi karena budaya adalah bagian dari sebuah kepercayaan dan merupakan sesuatu yang tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Sebagai sebuah kepercayaan, terlepas benar atau tidaknya kepercayaan itu nyatanya ada dan hidup berkembag di tengah masyarakat. Oleh karena itu kita harus dihormati. Selain itu dalam cerita ini, pulau Belitong diceritakan didiami oleh banyak suku. Suku Sawang salah satu contohnya. Suku ini digambarkan mempunyai integritas yang tinggi, memiliki etos kerja yang tinggi, jujur, tidak usil dengan urusan orang lain, dan tak pernah berurusan dengan hukum. Karakter suku Sawang ini bisa menjadi contoh dalam menjalani kehidupan. b. Novel OMDS 1) Nilai Pendidikan Religius/Agama Nilai religius merupakan sudut pandang yang mengikat manusia dengan Tuhan. Manusia senantiasa akan membutuhkan Tuhan karena secara naluri, manusia akan selalu membutuhkan perlindungan dan pertolongan dari-Nya. Dalam kehidupan seseorang, agama merupakan faktor yang sangat penting yang akan memberi warna dalam hidupnya. Bahkan agama menjadi dasar bersikap bagi seseorang untuk menilai berbagai fenomena kehidupan. Dalam novel OMDS, pengarang ingin menunjukkan bahwa Allah Maha Esa, Maha Pemurah, Maha kuasa, berkehendak atas segala. Manusia hanya wajib berusaha sebaik mungkin. Allah lah yang menentukan semuanya. Seperti ketika Anak Alam dan temantemannya menunggu hasil rapor. Mereka sudah berusaha belajar sebaik mungkin selama satu semester, dan ketika pembagian rapor tiba, mereka menyerahkan sepenuhnya kepada Allah. Allah lah yang menentukan hasil semua usaha yang dilakukan manusia. Allah Maha Esa, Maha Pemurah, Maha kuasa, berkehendak atas segala.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 206
Selain itu, Islam juga mengajarkan “ Tuntutlah ilmu sampai ke negeri Cina”. Hal ini mengisayaratkan bahwa manusia sebagai makhluk Allah diperintahkan untuk menuntut ilmu walau tempatnya sangat jauh. Jarak tidak boleh dijadikan penghalang untuk menuntut ilmu. Karena Allah tidak menyukai kebodohan. Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Penganut agama yang taat adalah pribadi yang menghormati segala aturan agamanya. Dalam agama Islam, banyak aturan yang harus dipatuhi, misalnya ketika sholat jumat, kita dianjurkan untuk datang lebih awal jika masih menginginkan pahala sebesar gunung. Karena apabila khatib berkutbah dan makmun terlambat, maka pahalanya hanya seperti shalat jamaah biasa. Semua aturan-aturan dan perintah-perintah agama harus dipatuhi apabila seseorang ingin masuk surga. 2) Nilai Pendidikan Moral Nilai moral sering disamakan maknanya dengan nilai etika. Nilai moral atau etika merupakan suatu nilai yang menjadi ukuran pantas atau tidaknya tindakan seorang manusia dalam kehidupan sosialnya. Moral atau etika juga menyangkut baik dan buruknya, benar dan salahnya, dan pantas tidaknya perilaku. Nilai tersebut biasanya dibangun dari kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat tertentu. Berkaitan dengan penjelasan itu, novel OMDS merupakan novel humanis yang di dalamnya banyak mengandung nilai-nilai pendidikan yang berharga, salah satunya nilai pendidikan moral. Novel OMDS menceritakan persahabatan tokoh utamanya yakni Faisal dengan ketiga Anak Alam yakni Pambudi, Yudi dan Pepeng. Ketiga Anak Alam tersebut berasal dari keluarga tidak punya, padahal di kelas 1-2 rata-rata berasal dari keluarga menengah ke atas, hingga pada suatu saat ketiga Anak Alam tersebut diejek oleh teman sekelas karena miskin. Kemudian Bu Mutia hadir memberikan petuah bahwa di dalam bergaul tidak boleh pilihpilih, tidak boleh membeda-bedakan, dan tidak boleh pandang bulu. Semua manusia itu sama, yang membedakan adalah amalannya di hadapan Tuhan. Pada bagian lain, tokoh Bu Mutia juga memberikan pelajaran moral yakni commit useryaitu melalui cerita Mat Karmin. untuk jangan mudah percaya pada orangtolain,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 207
Mat Karmin yang di luarnya lugu, seperti anak kecil, ternyata di dalamnya mempunyai penyakit penyimpangan seksual yakni pedhopilia. Jadi, ketika seseorang bergaul di tengah masyarakat, janganlah asal percaya saja dengan orang lain. Hendaknya diketahui terlebih dahulu latar belakang orang itu, bagaimana sikapnya sehari-hari, bagaimana kepribadiannya, dan lain-lain. Selain itu ada juga pelajaran moral lain yang terkandung dalam novel OMDS ini, yakni janganlah suka menyebar fitnah dan menghasut orang lain. Hal ini terlihat dari kisah ketika Pak Cokro taubat dari praktik dukunnya dan berusaha membenahi diri dengan cara membantu warga untuk bisa membaca dan menulis. Pak Cokro kemudian difitnah oleh warga yang tidak menyukainya dan dituduh menyebarkan ajaran sesat pada warga. Kisah ini mengisyaratkan untuk jangan suka berbicara asal saja tanpa disertai bukti. Jangan suka menghasut dan memfitnah orang lain. Karena perbuatan fitnah itu amat keji dan harus dihindari. 3) Nilai Pendidikan Sosial Nilai pendidikan sosial yang diambil dari sebuah cerita bisa dari hal-hal yang bersifat positif ataupun negatif. Nilai sosial merupakan hikmah yang dapat diambil dari perilaku sosial dan tata cara hidup sosial. Banyak pelajaran yang dapat kita petik dari novel OMDS, terutama dari segi pelajaran sosialnya. Hal ini terlihat dari pemikiran juga perilaku yang ditunjukkan tokoh Faisal. Faisal mempunyai solidaritas dan jiwa sosial yang tinggi. Faisal peduli dengan sesamanya, peduli dengan nasib ketiga Anak Alam yang tidak bisa mengenyam pendidikan karena keadaan yang tidak memungkinkan. Faisal bersusah payah mengusahakan agar anak-anak alam bisa sekolah. Karena tanpa sekolah mereka hanya akan teronggok dalam kemiskinan dan kebodohan. Rasa solidaritas tokoh Faisal memang sangat tinggi. Hal ini diceritakan dari awal hingga akhir cerita. Selain tokoh Faisal, ada juga tokoh pak Cokro yang juga mempunyai sifat kepedulian
dengan
sesama.
Setelah
Pak
Cokro
pensiun
dari
praktik
perdukunannya, Pak Cokro ingin memberikan sesuatu yang berharga bagi kampungnya dan bercita-cita untuk membuat kampung Genteng menjadi kampung melek huruf. Didorong oleh rasa kepedulian ini, Pak Cokro berusaha commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 208
sekuat tenaga untuk membantu warga dengan cara mendirikan pondok baca dan mengajari warga Kampung Genteng membaca. Selain itu, pengarang juga menyoroti masalah ketimpangan sosial yakni masalah kesenjangan sosial yang ada dalam tatanan masyarakat di Semarang khususnya Gedong Sapi. Kesenjangan sosial itu tampak antara kaum Cina pinggiran dengan masyarakat pribumi, yaitu antara Yok Bek dan keluarga Anak Alam. Kesenjangan sosial yang sudah ada ini sebaiknya jangan semakin dibiarkan menganga lebar. Yang kaya hendaknya senantiasa membantu yang kurang mampu. Yang kurang mampu hendaknya senantiasa berusaha keras agar jurang kesenjangan sosial ini tidak semakin lebar. 4) Nilai Pendidikan Kebudayaan Cerita dalam novel OMDS mengambil latar tempat di Semarang, Jawa Tengah. Sehingga kebudayaan yang diangkat pun juga kebudayaan masyarakat Jawa yakni budaya kejawen. Masyarakat Jawa dikenal sangat kental dengan dunia mistik atau kebatinan, seperti adanya semedi, kemenyan, sesajen, kondangan, ruwatan, juga dukun. Sebagian masyarakat Jawa kuno/tradisional masih sangat percaya dengan dukun, yang diyakini sebagai “orang pintar” yang dipercaya menjadi perantara antara manusia dengan alam gaib. Sehingga dukun sering dimintai pertolongan, entah itu untuk pengobatan, mengusir roh halus, ataupun menerawang masa depann. Tokoh dukun dalam novel ini diwakili oleh tokoh Pak Cokro yang merupakan sesepuh atau dukun di Kampung Genteng. Ada dua kubu yakni kubu yang percaya dan kubu yang tidak percaya dengan hal-hal semacam ini. Terlepas benar atau tidaknya kesaktian dukun ini, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan yang melekat dalam suatu kelompok masyarakat tidak ada yang salah. Namun, sebagai masyarakat yang hidup di dalamnya harus dapat menyaring, harus berpikir rasional, jangan asal percaya saja dengan sesuatu yang tidak dapat diterima akal sehat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN
A. Simpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan, diperoleh kesimpulan sebagai berikut: Ada keterjalinan antarunsur intrinsik dalam novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah. Pada novel Laskar Pelangi, alur yang digunakan adalah alur progresif atau alur maju; tema yang diangkat adalah pendidikan yang diramu dengan kisah persahabatan, percintaan dan fenomena sosial yakni kemiskinan; penokohan berdasarkan sifat tokoh utama dalam novel tersebut digambarkan secara fisiologis, psikologis, dan sosiologis; latar tempat yang digunakan pengarang, yaitu pulau Belitong. Latar waktu yaitu pada era pemerintahan Soeharto sekitar kurun waktu 1966-1998. Latar sosialnya kebudayaan Melayu Belitong; sudut pandang yang digunakan, yaitu sudut pandang persona pertama atau (teknik akuan); amanat yang ingin disampaikan pengarang, yaitu untuk jangan takut bermimpi dan bercita-cita serta harus berusaha keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Sedangkan pada novel Orang Miskin Dilarang Sekolah, alur yang digunakan adalah alur progresif atau alur maju; tema yang diangkat adalah pendidikan yang diramu dengan kisah persahabatan, percintaan dan fenomena sosial yakni kemiskinan; penokohan berdasarkan sifat tokoh utama dalam novel tersebut digambarkan secara fisiologis, psikologis, dan sosiologis; latar tempat yang digunakan pengarang, yaitu kota Semarang, Jawa Tengah. Latar waktu yakni kurun waktu 1988-1996. latar sosialnya kebudayaan Jawa; sudut pandang yang digunakan, yaitu sudut pandang campuran, yakni persona pertama dan persona ketiga “Dia” Mahatahu; amanat yang ingin disampaikan pengarang, yaitu untuk jangan takut bermimpi dan bercita-cita serta harus berusaha keras untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Persamaan struktur novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah terletak pada tema, alur, amanat, penokohan tokoh utama, dan latar waktu. commit to user Perbedaannya terletak pada sudut pandang, latar tempat dan latar sosial. Dari
209
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 210
persamaan dan perbedaan struktur kedua novel, maka dapat diketahui bahwa novel Laskar Pelangi memberikan pengaruh terhadap terciptanya novel Orang Miskin Dilarang Sekolah. Dengan demikian, novel Laskar Pelangi karya Andrea Hirata merupakan hipogram novel Orang Miskin Dilarang Sekolah karya Wiwid Prasetyo. Dengan kata lain novel Orang Miskin Dilarang Sekolah merupakan teks transformasi dari novel Laskar Pelangi. Nilai pendidikan dalam novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah meliputi nilai pendidikan religius, nilai pendidikan moral, nilai pendidikan sosial, dan nilai pedidikan kebudayaan. Benang merah cerita dalam kedua novel ini memberikan pendidikan untuk jangan pernah berhenti berusaha, serta jangan pernah menyerah pada keadaan. Bagaimanapun susahnya keadaan, wajib berusaha dan mengusahakan ke arah yang lebih baik. Selain itu kedua novel ini juga memberikan didikan untuk berani bercita-cita dan berusaha keras mewujudkan cita-cita itu bagaimanapun keadannya.
B. Implikasi Penelitian ini merupakan kajian terhadap dua novel, yakni novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah dengan menggunakan pendekatan intertekstualitas yang sebelumnya didahului dengan pendekatan struktural. Selain itu, dikaji pula nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel. Dari hasil penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain yang relevan dan memiliki hubungan positif. Implikasi secara teoretis, bahwa dengan banyaknya penelitian sastra dengan berbagai pendekatan, kajian sastra dengan pendekatan intertekstualitas ini dapat memperkaya masalah telaah sastra. Model kajian secara struktural yang dilanjutkan dengan pendekatan intertekstualitas ini dapat menjadi acuan pengkajian sastra dengan pendekatan yang berbeda dan variabel yang berbeda pula. Implikasi secara praktis, bahwa hasil penelitian ini memiliki keterlibatan yang erat dengan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia, yakni pembelajaran to user teori dan apresiasi novel di kelascommit XI SMA. Silabus pada jenjang SMA kelas XI
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 211
mengandung Standar Kompetensi berupa memahami berbagai hikayat, novel Indonesia/terjemahan. Standar Kompetensi tersebut memuat Kompetensi Dasar berupa menjelaskan unsur-unsur intrinsik dan ekstrinsik novel Indonesia/ terjemahan. Hakikat dalam sebuah pembelajaran sastra di sekolah adalah apresiasi sastra, karena dalam apresiasi sastra siswa melaksanakan aktivitas membaca, menikmati, menghayati, memahami, serta merespon karya sastra. Melalui apresiasi sastra diharapkan siswa mampu mengapresiasi dan memberikan penghargaan yang tulus terhadap karya sastra yang ada. Semua ini dapat dicapai melalui pergulatan yang intens antara siswa dengan karya sastra yang didasari rasa suka serta obsesi mendalam terhadapnya hingga pada akhirnya siswa dapat merasakan kenikmatan estetika dan keharuan akan maknanya. Hal inilah yang menjadi tujuan akhir dalam pembelajaran sastra di sekolah, yaitu menjadikan siswa paham dan mengerti apa itu sastra serta dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan bermasyarakat. Diperlukan karya sastra yang berkualitas dan sarat nilai untuk dapat mencapai tujuan pembelajaran sastra seperti di atas. Sebuah karya sastra dikatakan bermutu apabila isi dari karya sastra tersebut lebih mengedepankan nilai-nilai kehidupan yang bermakna, memikat, menggugah, memotivasi dan menginspirasi. Karya sastra tersebut disampaikan dengan cara yang lancar, indah, dan enak dibaca. Diceritakan secara tidak langsung, tidak terang-terangan namun jernih, bersifat informatif tanpa ada kesan menggurui. Novel Laskar Pelangi dan Orang Miskin Dilarang Sekolah merupakan dua novel Indonesia mutakhir. Kedua novel relevan untuk dijadikan sebagai materi pelajaran karena tema cerita yang diangkat dalam kedua novel sangat dekat dengan dunia siswa yakni masalah pendidikan. Tokoh-tokoh yang dimunculkan pun anak-anak sekolah layaknya mereka. Cerita yang terjalin pada kedua novel dikemas ringan, mengalir dan menarik sehingga mudah dipahami oleh siswa. Bahasa yang digunakan pada kedua novel juga sederhana sehingga siswa tidak memerlukan waktu lama hanya untuk mendapatkan makna dari commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 212
kalimat yang terdapat pada kedua novel. Dengan demikian siswa akan lebih mudah menganalisis struktur kedua novel tersebut. Dari analisis struktur akan terlihat jelas struktur yang membangun kedua novel, yang meliputi tema, sudut pandang, penokohan, latar, alur, dan amanat. Dari kegiatan membaca dan menganalisis struktur kedua novel, siswa dapat mempelajari gambaran kehidupan para tokohnya. Siswa dapat mengambil pelajaran berharga dari berbagai konflik yang dialami para tokohnya juga berbagai macam karakter positif yang dimunculkan. Selain itu siswa juga dapat mengambil nilai pendidikan yang terdapat dalam kedua novel, yang meliputi nilai pendidikan religius, moral, sosial, dan kebudayaan. Nilai-nilai pendidikan ini dapat dijadikan sebagai bahan perenungan dalam menjalani kehidupan. Sebuah novel akan bernilai baik dan bermanfaat apabila ia mampu menjadi pencerah bagi pembacanya. Dalam hal ini novel dapat dijadikan sebagai bahan introspeksi diri sesuai dengan tujuan pengarang menciptakan novel tersebut. Akan tetapi, untuk menjadikan kedua novel ini sebagai materi pelajaran, guru harus jeli, teliti, dan hati-hati agar nilai-nilai yang terdapat dalam kedua novel tersebut dapat dimaknai dengan benar dan bijak. Guru harus memberikan pengantar lebih dahulu agar siswa dapat memandang kedua novel dengan tepat karena pengetahuan yang didapat oleh seseorang dapat mempengaruhi tindakan seseorang dalam menjalani hidup. Pengantar tersebut dapat berupa penjelasan mengenai nilai-nilai positif dan negatif yang terdapat dalam kedua novel. Gambaran nilai positif dapat diteladani dari sifat Ikal dalam novel Laskar Pelangi dan sifat Faisal dalam Orang Miskin Dilarang Sekolah. Tokoh Ikal patut dijadikan teladan karena sifatnya yang bertekad kuat dan berkemauan keras serta tidak mudah menyerah menggapai cita-cita. Selain itu tokoh Ikal juga mempunyai jiwa sosial tinggi. Tokoh Ikal selalu perhatian dan peduli dengan sekitarnya. Selain itu ada pula tokoh Faisal yang juga patut dijadikan panutan. Faisal merupakan sosok yang memiliki pandangan hidup yang progresif dan berkemauan keras. Ketika memiliki sebuah keinginan, maka Faisal akan berusaha dengan keras untuk mewujudkan keinginannya itu. Faisal juga berjiwa sosial to user tinggi, peka dan peduli dengancommit keadaan di sekitarnya. Dengan meneladani
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 213
berbagai macam karakter positif dari tokoh-tokoh pada kedua novel secara otomatis dapat membantu pengembangkan pendidikan karakter siswa sebagai generasi penerus bangsa. Selain gambaran positif, kedua novel ini juga memberikan gambaran yang negatif. Gambaran negatif tersebut tidak selamanya tidak memberikan kontribusi apa-apa. Jika siswa mampu mengolah dengan benar maka terdapat pelajaran hidup yang dapat dipetik. Sebuah gambaran (contoh) terlihat buruk jika ada contoh baik, dan gambaran (contoh) akan terlihat baik ketika terdapat contoh buruk. Misalnya mengenai sisi lain dari Faisal. Di satu sisi Faisal merupakan seorang anak yang baik, pekerja keras, berjiwa sosial tinggi, peka, dan peduli pada sesama. Akan tetapi, di sisi lain Faisal memiliki sifat suka mencuri. Selain itu ada pula tokoh Rena yang mempunyai sifat tinggi hati, membeda-bedakan teman, dan hanya mau bergaul dengan teman yang sederajat. Menyikapi hal ini, guru dituntut untuk jeli dan teliti dalam menggunakan kedua novel sebagai materi pelajaran. Guru harus memberi pengarahan agar siswa tidak terjebak dengan cerita dan mengira semua hal yang terdapat dalam cerita adalah baik dan patut ditiru. Selain itu, dengan membaca kedua novel siswa dapat memperoleh pengetahuan mengenai gambaran kehidupan dua budaya yang berbeda. Novel Laskar Pelangi yang sangat kental dengan budaya melayunya, serta novel Orang Miskin Dilarang Sekolah yang sangat kental dengan budaya jawanya. Dengan membaca novel Laskar Pelangi, siswa akan mendapat banyak pengetahuan tentang nama-nama ilmiah untuk beberapa tanaman dan hewan, serta belajar banyak kosakata baru, seperti antediluvium, inisiasi, agnostik, anakronisme, dan sebagainya. Dengan membaca novel Orang Miskin Dilarang Sekolah, siswa dapat belajar mengenai istilah-istilah Jawa, serta meneladani sifat dasar orang Jawa yang terkenal lembut dan halus budi pekertinya.
C. Saran Saran ditujukan kepada siswa, guru, dan peneliti lain. commit to user 1. Untuk Siswa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 214
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi siswa untuk diambil nilai positif yang patut diteladani generasi muda. Siswa dapat meneladani sikap dan watak tokoh pada kedua novel. Selain itu siswa juga dapat mengambil nilai pendidikan yang terkandung di dalam kedua novel, baik nilai pendidikan religius, nilai pendidikan sosial, nilai pendidikan moral, maupun nilai pendidikan kebudayaan. Semuanya memberikan kontribusi yang besar bagi pembentukan pribadi dan karakter generasi muda Indonesia. 2. Untuk Guru Penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan pengajaran teori dan apresiasi sastra. Sudah saatnya guru bahasa dan sastra Indonesia di sekolah berani menghadirkan novel-novel mutakhir untuk melengkapi novel-novel yang sudah ada. Agar pengetahuan siswa mengenai novel-novel Indonesia semakin bertambah. 3. Untuk Peneliti Lain Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi peneliti lain untuk rujukan penelitian berikutnya ketika menganalisis karya sastra khususnya penelitian dengan pendekatan intertekstualitas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 215
DAFTAR PUSTAKA
Asrori S. Karni. 2008. Laskar Pelangi The Phenomenon. Jakarta: Mizan Publika A. Teeuw. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: Pustaka Jaya Andrea Hirata. 2008. Laskar Pelangi. Yogyakarta: Bentang Atar Semi. 1988. Anatomi Sastra. Padang: Angkasa Raya . 1993. Metodologi Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa B. Trisman, dkk. 2003. Antologi Esai Sastra Bandingan dalam sastra Indonesia Modern. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Bondet Wrahatnala. 2010. “Nilai Sosial”, dalam http://gurumuda.com/bse/nilaisosial, diunduh tanggal 10 Januari 2011, pukul 11.05 WIB
Burhan Nurgiyantoro. 2001. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press . 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Dick Hartoko dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius Downey, Anne. M. 1994. “"A broken and bloody hoop": the intertextuality of 'Black Elk Speaks' and Alice Walker's 'Meridian.'(Intertextualities)” dalam http://find.galegroup.com, diunduh 31 Mei 2011, pukul 11.05 WIB
H. M Arifin. 2000. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: Bumi Aksara H.A.R Tilaar. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo Henry Guntur Tarigan. 1993. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa Herman J. Waluyo. 2002. Pengkajian Sastra Rekaan. Salatiga: Widya Sari Press Kubitschek, Missy Dehn. 2004. “Toward a new order: Shakespeare, Morrison, and Gloria Naylor's 'Mama Day.' (Toni Morrison)(Intertextualities)”, dalam http://find.galegroup.com, diunduh 31 Mei 2011, pukul 11.05 WIB commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 216
Milles, Mattew B dan A. Michael Huberman. 1992. Analisis Data Kualitatif (Terjemahan Tjetjep Rohendi). Jakarta: University Indonesia Press Moleong, Lexy J. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remadja Karya Ngalim Purwanto. 2000. Ilmu Pendidikan: Teoretis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya Nyoman Kutha Ratna. 2003. Paradigma Sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
. 2007. Estetika Sastra dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
. 2009. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Panuti Sudjiman. 1984. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Gramedia Rachmat Djoko Pradopo. 1995. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Rasyid Manshur. 2007. “Kajian Intertekstualitas dan Nilai Edukatif Novel Alivia dan Libby Karya Langit Kresna Hariadi (Berdasarkan Pendekatan Struktural)”. Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Pendidikan Kimia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Rina Ratih. “Pendekatan Intertekstual dalam Pengkajian Sastra” dalam Jabrohim dan Ari Wulandari (Ed). Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Hanindita Graha Widya Ririh Yuli Atminingsih. 2008. “Analisis Gaya Bahasa dan Nilai Pendidikan Novel Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata”. Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Rosyadi. 1995. Nilai-nilai Budaya dalam Naskah Kaba. Jakarta: CV Dewi Sri Sainul Hermawan. 2009. Ragam Aplikasi Kritik Cerpen dan Novel. Kalimantan: Tahura Media Sangidu. 1995. Penelitian Sastra: Pendekatan, Teori, Metode, Teknik, dan Kiat. Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti Press Segers, Rien T. 2000. Evaluasi Teks Sastra. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 217
St Muttia Ahusain. 2010. “Manfaat Nilai Moral dalam Novel Laskar Pelangi”, dalam http://simutahusain.blogspot.com, diunduh 4 Januari 2010, pukul 10.23 WIB
Sutopo. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret Suwardi Endraswara. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Widyatama Umar Junus. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Uzey. 2010. “Pengertian Nilai”, dalam http:// uzey.blogspot.com, diunduh tanggal 12 Januari 2011, pukul 17.20 WIB Wahyudi Siswanto. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Gramedia Wellek, Rene dan Austin Warren. 1990. Teori Kesusastraan (Diindonesiakan oleh Melani Budianta). Jakarta: Gramedia Wiwid Prasetyo. 2010. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Yogyakarta: Diva Press
. 2010. “Mengapa Harus Novel Pendidikan?”, dalam http://missionline.com/2010/05/04/mengapa-harus-novel-pendidikan, diunduh tanggal 10 Januari 2011, pukul 15.30 WIB
Zainuddin Fananie. 2000. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press Zulfahnur Z. F, dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 218
LAMPIRAN 1
SINOPSIS Judul Buku
: Laskar Pelangi
Pengarang
: Andrea Hirata
Jumlah halaman
: xiv + 534 hlm ; 20,5 cm
Penerbit
: PT Bentang Pustaka
Tahun Terbit
: 2008 (Cetakan Kedua Puluh Tiga)
Novel LP menceritakan kisah masa kecil anak-anak kampung dari suatu
komunitas Melayu yang sangat miskin Belitong. Anak orang-orang ‘kecil’ ini
mencoba memperbaiki masa depan dengan menempuh pendidikan dasar dan
menengah di sebuah lembaga pendidikan yang puritan. Bersebelahan dengan
sebuah lembaga pendidikan yang dikelola dan difasilitasi begitu modern pada
masanya, SD Muhammadiyah-sekolah penulis ini, tampak begitu papa
dibandingkan dengan sekolah-sekolah PN Timah (Perusahaan Negara Timah).
Mereka, para native Belitung ini tersudut dalam ironi yang sangat besar karena
kemiskinannya justru berada di tengah-tengah gemah ripah kekayaan PN Timah
yang mengeksploitasi tanah ulayat mereka.
Kesulitan terus menerus membayangi sekolah kampung itu. Sekolah yang
dibangun atas jiwa ikhlas dan kepeloporan dua orang guru, seorang kepala
sekolah yang sudah tua, Bapak Harfan Efendy Noor dan ibu guru muda, Ibu
Muslimah Hafsari, yang juga sangat miskin, berusaha mempertahankan semangat
besar pendidikan dengan terseok-seok. Sekolah yang nyaris dibubarkan oleh
pengawas sekolah Depdikbud Sumsel karena kekurangan murid itu, terselamatkan
berkat seorang anak idiot yang sepanjang masa bersekolah tak pernah
mendapatkan rapor. Sekolah yang dihidupi lewat uluran tangan para donatur di
komunitas marjinal itu begitu miskin: gedung sekolah bobrok, ruang kelas beralas
tanah, beratap bolong-bolong, berbangku seadanya, jika malam dipakai untuk
menyimpan ternak, bahkan kapur tulis sekalipun terasa mahal bagi sekolah yang commit user hanya mampu menggaji guru dan kepalatosekolahnya dengan sekian kilo beras-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 219
sehingga para guru itu terpaksa menafkahi keluarganya dengan cara lain. Sang
kepala sekolah mencangkul sebidang kebun dan sang ibu guru menerima jahitan.
Kendati demikian, keajaiban seakan terjadi setiap hari di sekolah yang dari
jauh tampak seperti bangunan yang akan roboh. Semuanya terjadi karena sejak
hari pertama kelas satu sang kepala sekolah dan sang ibu guru muda yang hanya
berijazah SKP (Sekolah Kepandaian Putri) telah berhasil mengambil hati sebelas
anak-anak kecil miskin itu.
Dari waktu ke waktu mereka berdua bahu membahu membesarkan hati
kesebelas anak-anak marjinal tadi agar percaya diri, berani berkompetisi, agar
menghargai dan menempatkan pendidikan sebagai hal yang sangat penting dalam
hidup ini. Mereka mengajari kesebelas muridnya agar tegar, tekun, tak mudah
menyerah, dan gagah berani menghadapi kesulitan sebesar apapun. Kedua guru
itu juga merupakan guru yang ulung sehingga menghasilkan seorang murid yang
sangat pintar dan mereka mampu mengasah bakat beberapa murid lainnya. Pak
Harfan dan Bu Mus juga mengajarkan cinta sesame dan mereka amat menyayangi
kesebelas muridnya. Kedua guru miskin itu member julukan kesebelas murid itu
sebagai para Laskar Pelangi.
Keajaiban terjadi ketika sekolah Muhamaddiyah, dipimpin oleh salah satu
laskar pelangi mampu menjuarai karnaval mengalahkan sekolah PN dan keajaiban
mencapai puncaknya ketika tiga orang anak anggota laskar pelangi (Ikal, Lintang,
dan Sahara) berhasil menjuarai lomba cerdas tangkas mengalahkan sekolah-
sekolah PN dan sekolah sekolah negeri. Suatu prestasi yang puluhan tahun selalu
digondol sekolah-sekolah PN.
Tak ayal,
kejadian
yang paling menyedihkan melanda
sekolah
Muhamaddiyah ketika Lintang, siswa paling jenius anggota laskar pelangi itu
harus berhenti sekolah padahal cuma tinggal satu triwulan menyelesaikan SMP. Ia
harus berhenti karena ia anak laki-laki tertua yang harus menghidupi keluarga
sebab ketika itu ayahnya meninggal dunia. Native Belitong kembali dilanda ironi
yang besar karena seorang anak jenius harus keluar sekolah karena alasan biaya
dan nafkah keluarga justru disekelilingnya PN Timah menjadi semakin kaya raya commit to user dengan mengekploitasi tanah leluhurnya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 220
Meskipun awal tahun 90-an sekolah Muhamaddiyah itu akhirnya ditutup
karena sama sekali sudah tidak bisa membiayai diri sendiri tapi semangat,
integritas, keluruhan budi, dan ketekunan yang diajarkan Pak Harfan dan Bu
Muslimah tetap hidup dalam hati para Laskar Pelangi. Akhirnya kedua guru itu
bisa berbangga karena diantara sebelas orang anggota laskar pelangi sekarang ada
yang menjadi wakil rakyat, ada yang menjadi research and development manager
di salah satu perusahaan multi nasional paling penting di negeri ini, ada yang
mendapatkan bea siswa international kemudian melakukan research di University
de Paris, Sorbonne dan lulus S2 dengan predikat with distinction dari sebuah
universitas terkemuka di Inggris. Semua itu, buah dari pendidikan akhlak dan
kecintaan intelektual yang ditanamkan oleh Bu Mus dan Pak Harfan. Kedua orang
hebat yang mungkin bahkan belum pernah keluar dari pulau mereka sendiri di
ujung paling Selatan Sumatera sana.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 221
LAMPIRAN 2
SINOPSIS Judul Buku
: Orang Miskin Dilarang Sekolah
Pengarang
: Wiwid Prasetyo
Jumlah halaman
: 450 Halaman
Penerbit
: Diva Press
Tahun Terbit
: 2010 (Cetakan Keenam)
Novel OMDS menceritakan kisah masa kecil anak-anak yang tinggal di Kampung Genteng, di Semarang. Cerita diawali dengan kisah persahabatan antara Faisal dan ketiga anak alam yakni Pambudi, Yudi dan Pepeng. Faisal dan ketiga anak alam mempunyai latar belakang yang berbeda. Faisal berasal dari keluarga cukup mampu dan ketiga anak alam berasal dari keluarga kurang mampu. Ayah ketiga anak alam hanya bekerja sebagai buruh di sebuah peternakan sapi. Walaupun berbeda status ekonomi, mereka tetap bersahabat baik. Faisal yangn duduk di kelas 2 SD merasa prihatin dengan keadaan ketiga anak alam yang meskipun sudah besar tetapi belum sekolah. Ketiga anak alam setiap harinya bekerja membantu ayah mereka, baik itu mennyabit rumput, membersihkan kandang, maupun memandikan sapi-sapi itu. Orang tua mereka tidak mampu menyekolahkan mereka karena memang keadaan ekonomi yang tidak memihak. Faisal yang mempunyai jiwa kepedulian yang tinggi ingin membantu ketiga anak alam agar bisa sekolah. Karena tanpa sekolah mereka tidak akan bisa membaca dan menulis. Dan itu berarti tidak ada kesempatan bagi mereka untuk memperbaiki keadaan hidup mereka agar jauh lebih baik. Ia pun kemudian meminta bantuan kepala sekolah agar Sekolah Dasar Kartini mau menerima ketiga anak alam. Hingga pada akhirnya ketiga anak alam pun bisa bersekolah, dengan konsekuensi bersekolah sambil bekerja. Di kelas 1-2 ketiga anak alam akhirnya bisa memperoleh pendidikan dari seorang guru yang bijaksana yakni Bu Mutia. Ketiganya kemudian menjalin commit terutama to user Kania. Kania si bintang jatuh, persahabatan dengan teman sekelasnya,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 222
seorang gadis kecil cantik nan cerdas. Pada awal bersekolah mereka sering diolokolok oleh teman sekelasnya karena mereka berasal dari keluarga buruh, sebab mayoritas siswa berasal dari keluarga meengah ke atas. Kania lah yang membela ketiganya. Hingga membuat Pambudi jatuh hati kepadanya. Faisal selain mengusahakan sekolah untuk ketiga anak alam, juga mempunyai cita-cita luhur ingin mengentaskan masyarakat kampung Genteng dari buta aksara. Dia kemudian menjadi tenaga pengajar, mengajar baca dan tulis untuk orang tua di kampungnya. Pak Cokro yang dulunya murid Faisal, setelah bisa membaca kemudian mendirikan pondok baca. Ia menularkan ilmunya kepada warga. Ia ingin mengubah kampung Genteng menjadi kampung yang melek huruf. Ayah ketiga anak alam bekerja sebagai pegawai di peternakan sapi milik seorang wanita keturunan Cina yaitu Yok Bek. Ketiganya sudah bekerja pada Yok Bek puluhan tahun. Mereka menggantungkan hidup dari ini. Mereka tinggal di sebuah kawasan yang disebut Gedong Sapi, yang letaknya beberapa ratus meter dari Kampung Genteng. Mereka hidup di sebuah petak yang sangat sempit yang sebenarnya tidak layak disebut rumah. Hal ini karena selama bekerja puluhan tahun pada Yok bek, gaji mereka begitu-begitu saja bahkan sering dipotong Yok Bek. Mereka tidak mengeluh karena mereka sudah pasrah menjalani hidup, mereka beranggapan Tuhan memang menyediakan rejeki untuk mereka hanya sedikit. Kondisi ini sangat berbeda dengan rumah Yok Bek yang sangat besar dan mewah serta lengkap dengan berbagai macam fasilitas. Sebuah kesenjangan yang teramat sangat. Bisnis peternakan sapi Yok Bek berkembang pesat. Hingga pada akhirnya warga memberikan peringatan agar Yok Bek memindah peternakannya, karena setiap hari warga sangat terganggu dengan bau kotoran sapi-sapi itu. Tetapi mendengar keluhan warga itu, Yok Bek kurang menaruh perhatian. Hingga pada akhirnya warga berdemo mendatangi rumah Yok Bek dan merusak apa saja yang ada di sana. Hal ini sangat berdampak pada keluarga ketiga anak alam. Mereka yang tidak punya tempat tinggal lagi akhirnya harus tinggal di bawah kolong jembatan, dan secara otomatis kegiatan sekolah mereka berhenti. Mereka hidup terlunta-lunta di jalanan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 223
Sementara itu di kampung Genteng juga dihebohkan dengan terungkapnya kasus sodomi yang dilakukan Mat Karmin, yang selama ini dikenal bersahabat dengan anak-anak. Ada juga peristiwa ketika beberapa warga yang memfitnah Pak Cokro mendirikan aliran sesat dengan praktek rumah bacanya. Karena kondisi hidup yang berubah drastis menyebabkan ketiga anak alam putus sekolah. Ayah ketiganya sudah tidak punya mata pencaharian, dan mereka terpaksa harus bekerja lebih keras untuk membantu menghidupi keluarga. Hingga kemudian Faisal datang dan memberi semangat agar jangan menyerah keadaan. Kondisi tidak menjadi penghalang untuk meneruskan sekolah untuk bisa meraih cita-cita mereka. Akhirnya mereka bertiga kembali sekolah, dengan beban yang berlipat-lipat. Pagi sampai siang untuk sekolah, sore dan malam untuk bekerja. Mereka bekerja keras agar bisa tetap sekolah, mereka punya keinginan kuat untuk mengubah nasib agar lebih baik lagi. Kerja keras mereka pun membuahkan hasil. Mereka bisa naik ke kelas 2 dengan nilai memuaskan, dan Faisal berhasil mendapat penghargaan sebagai juara kedua di sekolah dan mendapat penghargaan dari kepala sekolah. Ia juga diberi kesempatan untuk mengikuti Lomba Olimpiade Eksakta yang akan menjadi pintu gerbang meraih golden tiket menuju ke SMP Akselerasi. Kerja keras tidak akan sia-sia. Orang sukses selalu dimulai dengan kerja keras.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 224
LAMPIRAN 3 BIOGRAFI ANDREA HIRATA Biodata singkat
: Nama : Andrea Hirata Seman Said Harun
Tanggal lahir
: 24 Oktober
Pendidikan
: S1 Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia S2 Universite de Paris Sorbonne (Perancis) dan Sheffield Hallam University (Inggris).
Pekerjaan
: Staf PT Telkom, Bandung.
Seorang penulis yang sukses dengan novel pertamanya berjudul LASKAR PELANGI, tentunya sangat menarik untuk diketahui data dirinya. Andrea Hirata tentunya telah banyak porang yang mengenali nama ini, karena novelnya juga laris manis. Untuk itu berikut ini merupakan biografinya. Nama Andrea Hirata Seman Said Harun melejit seiring kesuksesan novel pertamanya, LASKAR PELANGI. Pria yang berulang tahun setiap 24 Oktober ini semakin terkenal kala novel pertamanya yang jadi best seller diangkat ke layar lebar oleh duo sineas Riri Riza dan Mira Lesmana. Selain LASKAR PELANGI, lulusan S1 Ekonomi Universitas Indonesia ini juga menulis SANG PEMIMPI dan EDENSOR, serta MARYAMAH KARPOV. Keempat novel tersebut tergabung dalam tetralogi. Setelah menyelesaikan studi S1 di UI, pria yang kini masih bekerja di kantor pusat PT Telkom ini mendapat beasiswa Uni Eropa untuk studi Master of Science di Université de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, United Kingdom. Tesis Andrea di bidang ekonomi telekomunikasi mendapat penghargaan dari kedua universitas tersebut dan ia lulus cum laude. Tesis itu telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia dan merupakan buku teori ekonomi telekomunikasi pertama yang ditulis oleh orang Indonesia. Buku itu telah beredar sebagai referensi Ilmiah. Penulis Indonesia yang berasal dari Pulau Belitong, Provinsi Bangka Belitung ini masih hidup melajang hingga sekarang.Status lajang yang disandang oleh Andrea commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 225
sempat memicu kabar tak sedap. Karena pada bulan November 2008, muncul pengakuan dari seorang perempuan, Roxana yang mengaku sebagai mantan istrinya. Akhirnya terungkap bahwa Andrea memang pernah menikah dengan Roxana pada 5 Juli 1998, namun telah dibatalkan pada tahun 2000. Alasan Andrea melakukan pembatalan ini karena Roxana menikah saat dirinya masih berstatus istri orang lain. Sukses dengan novel tetralogi, Andrea merambah dunia film. Novelnya yang pertama, telah diangkat ke layar lebar, dengan judul sama, LASKAR PELANGI pada 2008. Dengan menggandeng Riri Riza sebagai sutradara dan Mira Lesmana pada produser, film ini menjadi film yang paling fenomenal di 2008. Dan jelang akhir tahun 2009, Andrea bersama Miles Films dan Mizan Production kembali merilis sekuelnya, SANG PEMIMPI. (Kapanlagi.com) http://lawan.us/2010/biografi-andrea-hirata/
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 226
LAMPIRAN 4 BIOGRAFI WIWID PRASETYO Wiwid Prasetyo atau sering juga menulis dengan nama Prasmoedya Tohari, lahir pada 9 November 1981 di Semarang. Alumnus Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang, tahun 2005 ini sehari-harinya aktif di Majalah FURQON, PESANTrend, Si Dul (majalah anak-anak), serta tabloid Info Plus Semarang, baik selaku redaktur maupun reporter. Selain itu, ia juga peduli terhadap dunia pendidikan, terbukti masih menjadi pengajar di Bimbingan Belajar Smart Kids Semarang. Di sela-sela kesibukannya, ia masih menyempatkan diri untuk menulis beberapa karya dalam bentuk buku. Beberapa karyanya yang sudah terbit adalah Orang Miskin Dilarang Sekolah (DIVA Press, 200), Sup Tujuh Samudra (Bersama Badiatul Rozikin, DIVA Press, 2009), Chicken Soup Asma’ul Husna (Garailmu, 2009), dan Miskin Kok Mau Sekolah…?! (DIVA Press, 2009), Idolaku Ya Rasulullah Saw…! (DIVA Press, 2009), Demi Cintaku pada-Mu (DIVA Press, 2009), Aha, Aku Berhasil Kalahkan Harry Potter (DIVA Press, 2010), The Chronicle of Kartini (DIVA Press, 2010), dan Nak, Maafkan Ibu Tak Mampu Menyekolahkanmu (DIVA Press, 2010). Bagi
pembaca
yang
ingin
berdiskusi
atau
sekadar
menghubunginya melalui email:
[email protected]. http://blogdivapress.com/dvp/?p=143
commit to user
ngobrol,
dapat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 227
LAMPIRAN 5
Mengapa Harus Novel Pendidikan? Tanda Baca: dilarang, miskin, novel, orang, sekolah Ditulis oleh missi_holic tanggal 4 May 2010 | 6:52 artikel | 2 Komentar
oleh: wiwid prastyo* Sudah terlalu banyak pesan yang masuk ke akun saya, entah itu melalui fasilitas facebook, twitter, chat melalui yahoo messenger sampai email yang menanyakan mengapa saya harus menulis tentang novel pendidikan? Semua pertanyaan itu terkadang saya jawab dengan sekenanya atau saya jawab dengan serius, bahkan memakai landasan normatif segala—itu jika si penanyanya adalah orang punya latar belakang intelektual yang melebihi saya. Sekitar tahun 2007, saya berkenalan dengan Laskar Pelangi—hak cipta Andrea Hirata. Begitu mengesankan novel itu bagi saya, sampai-sampai membuat saya tak bisa tidur sebelum akhirnya berambisi saya harus menulis novel serupa. Akhirnya, saya kumpulkan remah-remah ingatan masa kecil, kemudian saya corat-coret dalam selembar kertas, entah itu tentang kejadian-kejadian unik, ataupun setting kehidupan tempat saya tinggal, hingga jadilah novel itu berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah[1] Betapa saya harus mengucapkan terima kasih pada kenangan masa kecil saya, karena Ia adalah resources yang sangat kaya bagi pembentukan mental karakter kita di masa depan. Tentunya, ide yang sedemikian kaya tentang masa kecil itu tak mungkin rela saya lepas begitu saja. Semua saya brainstorming-kan dalam coretan kecil yang telah tulis jauh-jauh hari dalam buku kecil yang kemana-mana selalu saya bawa. Baiklah, sebelum saya bercerita tentang bagaimana menemukan metode penulisan yang sangat mengesankan melalui novel Laskar Pelangi, sebelumnya ketika kuliah, sekitar tahun 2004-an saya juga telah menulis novel yang sangat panjang—sekitar 600 halaman tentang kehidupan religius di musholla kecil di kampungku dan segenap intrik-intrik sosial didalamnya. Hanya saja, karena waktu itu saya tidak tahu novel itu mau diarahkan kemana, apa tujuannya, bagaimana ideologi yang akan dikembangkan. Maka, ‘novel percobaan’ itu begitu mengalir ke segala arah. Novel itu selesai, tetapi kabur dan saya tidak tahu lagi apakah novel itu layak terbit atau tidak. Ideologi yang terbentuk dalam diskusi Missi—dulu namanya Diskaso (Diskusi Kamis Sore) juga mengilhami sayacommit untuk menulis to user novel berikutnya, tentang kehidupan di zaman 65-an dan geliat-geliat partai politik komunis didalamnya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 228
Hanya saja saya kehabisan energi untuk menyelesaikannya, bahkan naskah itu kemudian hilang bersamaan dengan rusaknya komputer pentium dua—satusatunya kekayaan yang diwariskan orangtua waktu itu yang sedianya untuk menulis skripsi. Apa yang patut kita renungkan melalui dua pengalaman ‘gagal’ saya di atas? Setidak-tidaknya ada dua pelajaran yang bisa kita petik. Yakni, seorang penulis harus tahu akan kemana arah tujuannya dalam menulis. Arah dan tujuan itu adalah tenaga yang mampu membuat penulis menyelesaikan karyanya. Sebab, seperti kata Gus Mus, menulis itu gampang, yang sulit adalah menyelesaikannya. Sedangkan kedua adalah perlunya prinsip-prinsip ideologi yang akan dikembangkan oleh penulis itu sendiri. Dulu saya sering bingung, akan menulis apa, saya merasakan ide yang berlimpah dari segenap kehidupan, tetapi saya sering kesulitan untuk menuliskannya, karena tidak adanya ideologi yang akan saya bangun. Andaikan saya seorang pemahat, saya melihat batu berlimpah di pegunungan, tetapi saya bingung akan memahat apa karena saya tidak mempunyai gambaran dalam pikiran, apa yang akan saya buat. Sekarang, begitu orang-orang menjuluki saya sebagai penulis novel pendidikan, maka saya harus konsen dengan penyematan itu, dan tiap kali saya memandang sebuah ide, saya kerucutkan atau saya alihkan ke tema-tema pendidikan yang luar biasa luas itu. Demikian pula ketika saya menulis Orang Miskin Dilarang Sekolah. Idenya sederhana, kenakalan bocah-bocah kecil di sebuah kampung, hanya saja karena tema besarnya adalah pendidikan, maka coba saya kerucutkan ke persoalan-persoalan pendidikan. Saya kemudian teringat dengan Laskar Pelangi tentang pertentangan Sekolah PN Timah dengan Sekolah Muhammadiyah Gantong. Saya bayangkan tengah ber-ekstase seperti Andrea Hirata pula. Saya punya teman-teman kecil yang sedari kecil sudah bekerja untuk sebuah peternakan sapi milik seorang Singkek. Hampir sama dengan Andrea, persoalan yang dibidik adalah kemiskinan. Jika Lintang putus sekolah karena harus membantu ayahnya melaut, maka, temanteman kecil saya juga memutuskan sekolah karena harus membantu ayahnya, ada yang bekerja membersihkan kotoran sapi, membersihkan kandangnya dan sebagainya. Beruntung sekali, dahulu saya pernah bergaul bersama mereka. Saya merasakan betul bagaimana mereka tinggal di sebuah rumah petak dan lebih mirip gubuk derita yang ada di kawasan kumuh bantaran sungai. Anehnya, kami tak pernah merasakan itu sebagai sebuah kesenjangan. Saya bermain layanglayang, menjadi liar gara-gara ikut memulung kabel tembaga di sekitar Barito, ikut mencuri mangga, kresen—dibuat jus kresen, hingga bermain video game di sekitar kawasan bioskop Manggala. Bahkan tak jarang ikut menjadi kleptomania saat tergiur melihat barang-barang di Supermarket. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 229
Dan, hasil akhir nasib seseorang ditentukan oleh pendidikan itu ada benarnya juga. Beberapa teman saya memang ada yang terus sekolah hingga SMA/SMK, bahkan kebanyakan ada yang bersekolah hanya sampai Sekolah Dasar, semua itu ternyata berpengaruh bagi masa depan yang dijalani sekarang ini. Mereka yang sekolah sampai SMA ini bisa bekerja dengan baik, entah itu pabrik mebel, atau tekstil. Adapun yang dahulu tidak sadar artinya sekolah, mereka ini hanya lontang-lantung di kampung. Menjadi sponsor kemaksiatan, maupun eventevent kampung yang selaras dengan minuman keras dan perjudian. Sungguh mengerikan memang, tetapi inilah kenyataan yang saya hadapi sekarang. Saya menghadapi generasi yang mundur setapak demi setapak, mereka tidak sadar untuk sekolah bukan sekedar karena alasan kemiskinan, tetapi lebih karena lingkungan permissif yang begitu menggoda mereka. Jangan dibayangkan, mereka yang putus sekolah hanya ada di desa-desa terpencil saja, di kotapun seperti itu sangat banyak. Sekolah seolah-olah menjadi ujian yang sangat berat, sebab bisa dihitung dengan jari saja mereka yang bisa lulus sampai menengah atas. Kebanyakan mereka tidak sabaran, ingin cepat-cepat bekerja, ingin-ingin cepatcepat mendapatkan uang, padahal di zaman sekarang, bukankah ijasah SMP dan SD sudah tidak berlaku lagi? Seorang pekerja kasar di pabrik-pabrik saja bukankah minimal harus SMA. Anehnya, orangtua mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa, mereka hanya bilang “Harus bagaimana lagi, di sekolahkan saja tidak mau, penginnya cepatcepat bekerja, ya sudah …” siapapun yang mendengar niscaya hanya akan mengelus dada dengan kenyataan yang ada di depan mata. Sayapun yang mendengarkan kalimat-kalimat miris itu membayangkan, beberapa dekade ke depan akan banyak sekali kita jumpai orangtua-orangtua bertubuh bongkok namun tetap bekerja menghidupi anaknya, sedangkan anaknya sendiri, karena tidak mampu bekerja—dikarenakan tidak punya ijasah, hanya bisa duduk ongkang-ongkang kaki menanti uluran sesuap nasi dari orangtuanya. Sikap ‘kasihan’ dan ketidaktegasan orangtua untuk memaksa anak mereka bersekolah, suatu saat akan menjadi bumerang bagi orangtua sendiri. Karena anak mereka tidak bisa bekerja dan menggantikan posisi orangtua dalam mencari nafkah, sampai tuapun, orangtua harus tetap mencari nafkah, ini sungguh memprihatinkan. Apalagi persaingan ke depan seperti hukum rimba saja, era pasar bebas AFTA sudah dimulai tahun ini, mereka yang tidak punya ketrampilan, ijasah, siap-siap saja gigit jari sebab pasar eropa akan menyerbu indonesia, tenaga indonesia akan digantikan tenaga-tenaga luar, pengusaha-pengusaha kecil Indonesia tidak mungkin bisa menang melawan pemodal-pemodal commit to user besar dari Eropa. Dalam keadaan demikian, jangankan mengharapkan tenaga Indonesia menjadi jongos di
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 230
negeri sendiri. Bisa-bisa mereka diusir dari negeri yang saat ini kita pijak. Dalam keadaan seperti ini, kita ini menghadapi masalah yang betul-betul klasik, yakni kesadaran bersekolah. Bagaimana mungkin kita bersaing di era pasar bebas kelak, jika sekarang saja untuk menumbuhkan kesadaran pendidikan saja sedemikian sulitnya. Saya sering berpesan kepada generasi muda di bawah saya yang sedang tekuntekunnya bersekolah, saya besarkan semangat mereka dengan membuka jalan pikiran mereka, saya nasehatkan nasehat yang benar-benar ekstrem untuk bekal mereka agar benar-benar kuat menghadapi lingkungan yang bisa melemparkan mereka ke tempat paling hina “Kamu sekolah, tidak perlu pintar-pintar, asalkan sudah lulus saja sudah cukup, sebab di masa depan yang dibutuhkan adalah selembar ijasah, ketika engkau bekerja tak akan ditanyai tentang pelajaran sekolahmu.” Nasehat yang menjerumuskan sebenarnya, tetapi kita menghadapi generasi yang mempunyai mental emoh sekolah, jadi saya pikir, nasehat inilah yang paling tepat. Akhirnya, tibalah saya menjawab pertanyaan paling sulit dari beberapa teman di facebook, twitter atau yang sering men-chat saya melalui yahoo messenger, mengapa saya harus menulis novel tentang pendidikan? Banyak orang yang menduga saya menulis novel pendidikan karena mengikuti selera pasar yang begitu larisnya novel-novel tentang pendidikan seperti Perahu Kertas oleh Dewi Lestari, Negeri Lima Menara oleh A Fuadi, Ma Yan oleh Sanie B Kuncoro, atau tetralogi Laskar pelangi milik Andrea Hirata. Bukan, bukan sesederhana itu. Saya menulis novel pendidikan karena ujud keprihatinan saya dengan lingkungan tempat saya tinggal, zaman saya kecil dulu di kampung saya, masih sering saya jumpai teman-teman yang bisa bersekolah sampai memakai celana panjang abu-abu. Sekarang ini begitu sulit menjumpainya, bahkan justru sekarang pikiran mereka benar-benar berbalik arah, akan mengejek orang yang masih sekolah, sementara teman-temannya yang putus sekolah ini sudah berbondong-bondong untuk bekerja. Belum lagi ekses-ekses yang timbul akibat ketidakterdidikan mengakibatkan mereka mudah terjerumus dalam lingkungan yang sudah tercemar oleh minumminuman keras dan mental bertaruh yang mereka punyai. Dalam keadaan seperti ini, apakah kita hanya bisa diam? Barangkali ini cara saya dalam melawan arus, bukankah kita ini Da’i yang bersenjata pena, ladang jihad kita adalah melawan kebodohan, kemiskinan yang ada di depan kita, mengapa kita tidak melawan dari sekarang? *Novelis Pendidikan Nasional Best Seller untuk Novel yang berjudul Orang Miskin Dilarang Sekolah (dimuat di majalah MISSI commit to edisi user 32)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 231
[1] Orang Miskin Dilarang Sekolah sampai sekarang telah mencapai cetakan ke IV dan oleh Diva Press disematkan nasional best seller. Hanya saja yang sempat saya heran, kenapa judul buku itu sama dengan buku milik Eko Prasetyo, hanya saja formatnya adalah seperti buku intelektual (kiri) sedangkan buku saya adalah novel bertema pendidikan (http://missi online.com/2010/05/04/mengapa-harus-novel-pendidikan/)
commit to user