1
MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN MELALUI PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS VII SLB/CYPCM BOYOLALI TAHUN 2009
Skripsi
Sri Asdati X.5107604
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN DAN KEGURUAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan dan membangun sumber daya manusia yang handal, termasuk anak-anak berkelainan juga diberikan kesempatan dan pelayanan semaksimal mungkin untuk meraih citacita. Pada dasarnya hak anak adalah hak asasi manusia yang harus dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh Negara. Sangat jelas bahwa setiap anak mempunyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan termasuk anak tunagrahita. Hal tersebut menegaskan bahwa pendidikan perlu diberikan, pendidikan yang diberikan disekolah antara lain bahasa Indonesia. Namun kenyataan bahwa kemampuan siswa Tunagrahita dalam menguasai kompetensi belum menunjukkan gejala yang maksimal dan masih perlu sekali adanya pembelajaran khusus. Khususnya anak Tunagrahita menunjukkan kondisi anak yang berbeda dengan anak normal pada umumnya. Keadaan anak Tunagrahita dapat merupakan awal dari permasalahan dalam kehidupan sehari-hari, salah satu kompetensi penting yang dibutuhkan siswa adalah trampil berbahasa. Banyak bahkan hampir semua siswa tunagrahita mengalami kesulitan dalam komunikasi untuk berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, hal ini dapat diketahui dari percakapan sehari-hari dan Tanya jawab yang diberikan oleh guru. Secara umum mereka belum menunjukkan kompetensi berbicara yang baik. Untuk memenuhi tuntutan terhadap perlunya kemampuan berbicara, dengan komunikasi berbahasa Indonesia bagi anak tunagrahita, maka sesuai dengan kurikulum bahasa Indonesia SMPLB tunagrahita ringan tahun 2004 standard kompetensi yang ditargetkan adalah siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa Indonesia dengan baik dan benar, baik secara lisan maupun tertulis, minimal peserta didik menggambar pengetahuan, ketrampilan berbahasa dan sikap positif terhadap sastra dan bahasa Indonesia untuk memahami dan merespon situasi lokal, reginal dan nasional.
3
Namun kondisi yang ada masih jauh dari tujuan pembelajaran tersebut. Saya mengajar di SLB YPCM Boyolali jenjang SMPLB kelas VII bidang studi bahasa Indonesia, memang letak sekolah ditengah-tengah kota akan tetapi anak didik sebagian besar dari wilayah pelosok pedesaan yang mengalmi tunagrahita ringan. Dikelas guru mengajar dengan banyak permasahan yang terjadi, rata-rata mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Kesulitan ini disebabkan oleh kurangnya ujaran-ujaran yang didapat mereka pada lingkungan sehari-hari, mereka tidak mampu memberikan respon yang semestinya, ketika ada orang lain berbicara kepadanya. Anak didik tidak mampu memberikan respon kepada lawan bicara yang berbicara, misal apa kamu sudah belajar bahasa Indonesia ? siswa hanya akan menjawab ya atau bahkan diam saja, respon yang diharapkan adalah “ya saya sudah belajar”, saya disini merupakan unsur penting pembicaraan tidak akan berlanjut bila siswa tidak memiliki kompetensi berbahasa seperti tersebut diatas. Hal ini sering diabaikan oleh guru sehingga siswa banyak yang tidak tahu apa yang seharusnya diucapkan bila ada orang yang mengajak bicara. Guru hanya mengajarkan bahasa tradisional seadanya saja yang tidak memberikan makna dan tidak memungkinkan siswa melakukan pembicaraan dalam bahasa Indonesia, maka siswa hanya mampu dalam ranah kognitif saja. Standar kompetensi dan kompetensi dasar tersebut ditetapkan dengan tujuan mengembalikan pengajaran bahasa Indonesia kepada kemampuan berkomunikasi atau kemampuan berbahasa. Kemampuan berbahasa adalah kecakapan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi yaitu menyampaikan pesan dari seseorang kepada orang lain, dari pembicara atau penulis kepada pendengar atau pembaca. Disamping itu pada standar kompetensi dan kompetensi dasar 2006 menyiratkan pendekatan komunikatif yang digunakan dalam pengajaran bahasa Indonesia. Bahasa diajarkan untuk keperluan berkomunikasi, sesuai dengan komunikasi dengan konteks. Mengingat pentingnya permasalahan yang dihadapi anak tunagrahita tersebut guru merasa tergerak untuk mencari pemecahannya guru mencoba
4
menerapkan suatu strategi pembelajaran yang menyenangkan sekaligus melatih anak tunagrahita memberikan respon yang benar bila ada orang yang mengajak bicara. Dalam penelitian ini akan dikaji tentang MENINGKATKAN KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN MELALUI PENDEKATAN KOMUNIKATIF DALAM PENGAJARAN BAHASA INDONESIA BAGI ANAK TUNAGRAHITA RINGAN KELAS VII DI SLB/C - YPCM BOYOLALI.
B.
Perumusan masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut : “Apakah dengan melalui pendekatan komunikatif dapat meningkatkan kemampuan komunikasi dalan pengajaran bahasa Indonesia bagi anak tunagrahita ringan kelas VII di SLB/C YPCM Boyolali tahun ajaran 2009. “
C.
Tujuan Penelitian
a. Penulis ingin meningkatkan pengucapan dan intonasi dengan benar dalam komunikasi lisan. b. Penulis ingin meningkatkan kelancaran siswa dalam memberikan respon kepada guru atau teman yang mengajaknya bicara dengan bahasa Indonesia. c. Penulis ingin menciptakan suasana kelas yang aktif dan responsive.
D.
Manfaat penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberi manfaat sebagai berikut : 1.
Manfaat teoritis a.
Dapat memberikan wawasan pengetahuan mengenai pendekatan komunikatif meningkatkan komunikasi lisan anak tunagrahita ringan untuk lembaga Pendidikan Luar Biasa.
5
2.
Manfaat praktis a.
Bagi guru : 1)
Dapat memperbaiki kinerjanya dengan mengembangkan strategi mengajar bahasa Indonesia sesuai dengan karakteristik anak tunagrahita ringan.
b.
Bagi Siswa : 1)
Dapat mengatasi kesulitan dalam melakukan komunikasi lisan pada pengajaran bahasa Indonesia.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Tinjauan tentang anak tunagrahita
a. Pengertian Anak Tunagrahita Ringan Istilah anak berkelainan mental subnormal dalam referensi disebut pula dengan terbelakang mental, lemah ingatan, fibleminded, mental sub normal, tunagrahita. Semua makna dari istilah tersebut adalah sama, yakni menunjukkan kepada seorang yang memiliki kecerdasan mental dibawah normal. Anak tunagrahita ringan adalah salah satu golongan anak tunagrahita yang taraf kecacatanya masih ringan, serta masih mempunyai kemampuan untuk dididik secara sederhana hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Munzayanah (2000:200) yang menyatakan bahwa: ”Anak tunagrahita ringan atau anak mampu didik ialah mereka yang masih mempunyai kemungkinan memperleh pendidikan dalam bidang membaca, menulis, dan menghitung pada suatu tingkat tertentu disekolah khusus. Biasanya untuk kelompok ini dapat mencapai tingkat tertentu, setingkat dengan kelas IV Sekolah Dasar, serta dapat mempelajari ketrampilan-ketrampilan yang sederhana”. Pendapat tersebut di atas senada dengan pendapat S.A. Bratanata (1997:5) yang menyatakan bahwa ”Anak tunagrahita ringan adalah anak yang masih mempunyai kemungkinan memperoleh pendidikan akademis sampai kelas dasara empat atau lima dan dapat mempelajari ketrampilan-ketrampilan sederhana”. Menurut American Asosiation on Mental Deficiency (AAMD) dan PP No.72 tahun 1991 tentang anak berkebutuhan khusus yang dikutip oleh Moh. Amin (1995:22) menyatakan bahwa ”Anak tunagrahita adalah mereka yang mempunyai IQ antara 50-70 sehingga mengalami hambatan dalam kecerdasan dan adaptasi sosialnya, namun mereka mempunyai kemampuan untuk berkembang dalam bidang pelajaran akademik, penyesuaian sosial, dan kemampuan bekerja”.
7
Emi Dasiemi (1997:138) memberikan batasan anak tunagrahita ringan atau debil yaitu anak yang mempunyai IQ antara 50/55 70/75, kurang mampu mencari nafkah sendiri, namun masih mampu menerima pendidikan dan latihan meskipun terbatas. Dari pengertian diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa anak tunagrahita ringan adalah anak yang mempunyai intelektual atau kecerdasan mental antara 50/55 - 70/75 dan mengalami hambatan dalam kecerdasan dan adaptasi sosialnya. Tetapi masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan dalam bidang akademis yang sederhana seperti membaca, menulis dan berhitung.
b. Klasifikasi Anak Tunagrahita Berbagai cara digunakan oleh para ahli dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita berikut ini akan diuraikan klasifikasi menurut tinjauan profesi dokter, pekerja sosial, psikolog & pedagogik. Seorang dokter dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada type kelainan fisik, seperti tipe Mongoloid, microcephalon, cretinisan dan lain-lain. Menurut Sutjihati Soemantri (2005 : 106) yang menggunakan test Stanford Binet dan Skala West Chter (WISC) mengklasifikasikan anak sebagai berikut : 1)
Tunagrahita ringan atau debil
IQ 63-52 atau 69-55
2)
Tunagrahita sedang atau imbesil
IQ 51-36 atau 54-50.
3)
Tunagrahita berat atau idiot
IQ 31-30 atau 39-25.
Seorang psikolog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita mengarah pada aspek mental intelegensinya, indikasinya dapat dilihat pada angka hasil test kecerdasan, seperti : IQ
0 – 25
dikategorikan idiot
IQ
25 – 50
dikategorikan imbisil
IQ
50 – 75
dikategorikan debil (moron)
Seorang Pedagog dalam mengklasifikasikan anak tunagrahita didasarkan pada penilaian program pendidikan yang disajikan pada anak.
8
Dari penilaian tersebut dapat dikelompokkan menjadi anak tunagrahita mampu didik, anak tunagrahita mampu latih, dan anak tunagrahita mampu rawat. Anak tunagrahita mampu didik (debil) adalah anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pada program sekolah biasa, tetapi ia masih memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan melalui pendidikan walaupun hasilnya tidak maksimal. Kemampuan yang dapat dikembangkan pada anak tunagrahita mampu didik antara lain : 1) Membaca, menulis, mengeja dan berhitung. 2) Menyesuaikan diri dan tidak menggantungkan diri pada orang lain. 3) Ketrampilan yang sederhana untuk kepentingan kerja dikemudian hari. Kesimpulannya anak tunagrahita mampu didik berarti anak tunagrahita yang dapat dididik secara minimal dalam bidang-bidang akademis, sosial dan pekerjaan. Anak tunagrahita mampu latih (imbisil) adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sedemikian rendahnya sehingga tidak mungkin untuk memiliki program yang diperuntukkan bagi anak tunagrahita mampu didik. Oleh karena itu, beberapa kemampuan anak tunagrahita mampu latih yang perlu diberdayakan, yaitu : 1) Belajar mengurus dirisendiri, misalnya makan, pakaian, tidur atau mandi sendiri. 2) Belajar menyesuaikan dilingkungan rumah atau sekitarnya. 3) Mempelajari kegunaan ekonomi dirumah, dibengkel kerja atau dilembaga khusus. Kesimpulannya : Untuk mengurus diri sendiri melalui aktifitas kehidupan sehari-hari serta melakukan fungsi sosial kemasyarakatan menurut kemampuannya. Anak tunagrahita mampu rawat atau idiot adalah anak tunagrahita yang memiliki kecerdasan sangat rendah sehingga ia tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang
9
lain, dengan kata lain anak tunagrahita mampu rawat adalah anak tunagrahita yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya karena anak tersebut tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang.
c. Karakteristik Anak Tunagrahita Secara fisik anak tunagrahita ringan tidak berbeda dengan anak normal pada umumnya tetapi secara pisikis berbeda, menurut Eceptional Children Fith edition, P.485-486, 1996 mengatakan bahwa anak tunagrahita mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1) Lamban dalam mempelajari hasil-hasil yang baru, mempunyai kesulitan dalam mempelajari pengetahuan abstrak atau yang berkaitan, dan selalu cepat lupa apa yang ia pelajari tanpa latihan yang terus menerus. 2) Kesulitan dalam menggeneralisasi dan mempelajari hal-hal yang baru. 3) Kemampuan bicaranya sangat kurang bagi anak tunagrahita berat. 4) Cacat fisik perkembangan gerak, kebanyakan anak dengan tunagrahita berat mempunyai keterbatasan dalam gerak fisik, ada yang tidak dapat berjalan, tidak dapat berdiri atau bangun tanpa bantuan. Mereka lambat dalam mengerjakan tugas-tugas yang sangat sederhana, sulit menjangkau sesuatu, dan mendongakkan kepala. 5) Kurang dalam kemampuan menolong diri sendiri, sebagian anak tunagrahita berat sangat sulit untuk mengurus diri sendiri, seperti pakaian, makan dan mengurus kebersihan diri. Mereka selalu memerlukan latihan khusus untuk mempelajari kemampuan dasar. 6) Tingkah laku dan komunikasi yang tidak lazim anak tunagrahita ringan dapat bermain bersama dengan anak reguler, tetapi anak yang mempunyai tunagrahita berat tidak melakukan hal tersebut. Hal ini mungkin disebabkan kesulitan bagi anak tunagrahita dalam memberikan perhatian terhadap lawan main. 7) Tingkah laku kurang wajar yang terus menerus banyak anak tunagrahita berat bertingkah laku tanpa tujuan yang jelas. Kegiatan mereka seperti ritual, misalnya : memutar-mutar jari didepan wajahnya dan melakukan
10
hal-hal yang membahayakan diri sendiri, misalnya : menggigit diri sendiri, membentu-benturkan kepala, dll. Menurut Moh. Amin (1995 : 37) karakteristik anak tunagrahita ringan antara lain sebagai berikut : 1. Banyak yang lancar berbicara tapi kurang perbendaharaan kata. 2. Mengalami kesukaran berpikir abstrak. 3. Dapat mengikuti pelajaran akademik baik disekolah biasa maupun disekolah khusus. 4. Pada umumnya umur 16 tahun baru dapat mencapai umur kecerdasan yang sama dengan anak umur 12 tahun. Berdasarkan beberapa pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa secara umum anak tunagrahita ringan mempunyai karakteristik sebagai berikut : 1. Kondisi fisik anak tunagrahita ringan meliputi : bentuk kepala, mata, hidung dan bentuk tubuh tidak jauh berbeda dengan anak normal pada umumnya. 2. Kondisi psikis anak tunagrahita ringan meliputi : kemampuan berpikir rendah, perhatian dan ingatannya lemah sehingga mengalami kesulitan untuk mengerjakan tugas-tugas yang melibatkan fungsi mental dan intelektualnya, kurang memiliki perbendaharaan kata, sehingga kurang mampu berpikir abstrak. 3. Kondisi sosial anak tunagrahita ringan tidak dapat atau kurang dapat bersosialisasi dengan baik dalam lingkungannya.
d. Sebab-sebab Anak Tunagrahita Tunagrahita dapat disebabkan beberapa faktor. Para ahli dari berbagai ilmu telah berusaha membagi faktor-faktor penyebab tunagrahita menjadi beberapa kelompok strauss (Moh. Amin, 1995 : 63), mengelompokkan faktorfaktor penyebab menjadi dua gugus yaitu : 1) Faktor endogen yang berasal dari keturunan. 2) Eksogen seperti firus yang menyerang otak, benturan, radiasi dan lainlain yang tidak bisa diturunkan.
11
Menurut Triman Prasadio yang dikutip oleh Munzayanah (2000:14) bahwa penyebab retardasi mental digolongkan menjadi dua kelompok yaitu : 1) Kelompok biomedik (a) Pre Natal (b) Infeksi pada ibu waktu mengandung, gangguan metabolisme, iradiasi sewaktu kehamilan umur dua sampai enam minggu, kelainan kromosom, malnutrisi. (c) Natal. (d) Anoxia, Asphysia, Prematuritas dan post maturitas, kerusakan otak. (e) Post Natal (f) Malnutrisi, infeksi, trauma. 2) Kelompok sosiokultura psikologi dan lingkungan Munzayanah (2000 : 16) mengatakan bahwa tunagrahita dapat disebabkan oleh faktor : (a) Luka otak (b) Gangguan fisiologik (c) Keturunan (d) Pengaruh kultur atau lingkungan. Dengan
demikian
dapat
disimpulkan
bahwa
tunagrahita
dapat
disebabkan oleh beberapa faktor yaitu : 1) Genetik (a) Kerusakan atau kelainan biokimiawi. (b) Abnormalitas kromosoma (cromosomal abnormalities) (c) Anak tunagrahita yang lahir disebabkan oleh faktor ini pada umumnya adalah sindroma down atau sindroma mongol atau mongolism dengan IQ 20 s/d 60, dan rata-rata mereka memiliki IQ 30-50. 2) Pada masa sebelum kelahiran (Pre-natal) (a) Infeksi robella atau cacar. (b) Faktor resus atau Rh.
12
3) Pada saat kelahiran (Peri-natal) Retardasi mental (tunagrahita) yang disebabkan oleh kejadian yang terjadi pada saat kelahiran kelahiran, sesak nafas atau asphixia dan lahir prematur. 4) Pada saat setelah lahir (post-natal) Penyakit-penyakit akibat infeksi misalnya : miningitis (peradangan pada selaput otak) problema nutrisi yaitu kekurangan gizi misalnya : kekurangan protein yang diderita bagi bayi dan awal masa kanakkanak dapat menyebabkan tunagrahita. 5) Faktor sosio / kultural Sosio kultural atau sosial budaya lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan intelektual manusia. 6) Gangguan metabolisme / nutrisi (a) Gangguan pada metabolisme atau animo yaitu gangguan pada enzym phenylketonuria. (b) Gangguan metabolisme saccharide dalam hati, limpa kecil dan otak. (c) Gangguan pada tiroid yang dikenal karena definisi yodium.
e. Dampak Anak Tunagrahita Penyandang tunagrahita suatu keadaan individu dengan kondisi mental yang rendah, mereka mengalami keterlambatan dan keterbelakangan ke dalam segala aspek, sehingga tidak mampu memperkembangkan diri sesuai dengan tuntutan lingkungan. Penyandang tunagrahita tidak mudah untuk mengiternalkan rangsangan, lambat pada fungsi motoriknya, lambat dalam kemampuan berbahasa dan bersosialisasi (Mumpuniarti, 2000:29-39) ditinjau dari segi : a) Fisiologis Penyandang
tunagrahita
kurang
mampu
mengkoordinasikan
geraknya, bahkan pada tunagrahita taraf berat baru mampu berjalan diusia 5 tahun ada juga yang tidak dapat berjalan sama sekali, mereka kurang
13
mampu melakukan gerak yang terarah dan kurang mampu menjaga kesehatan. b) Psikologis Timbul berkaitan dengan kemampuan jiwa lainnya karena keadaan mental yang rendah, menghambat proses kejiwaan dalam tanggapan terhadap rangsang (stimulus). Hambatan terletak pada persepsi menghubungkan antara rangsang dengan situasi lain, memperkaitkan dan mengingat sehingga hambatanhambatan proses kejiwaan itu menyebabkan tidak dapat terpenuhinya kebutuhan psikologinya secara mandiri sehingga harus perlu dukungan kuat dari pihak orang lain. c) Sosiologis Kehadiran anak tunagrahita dikeluarganya menyebabkan beberapa perubahan
dikeluarganya,
keadaan
tersebut
merupakan
musibah,
kesedihan, dan beban yang berat dengan reaksi yang bermacam-macam misalnya : kecewa, shock, marah, depresi, merasa bersalah, bingung yang dapat mempengaruhi hubungan antara anggota keluarga tidak akan kembali seperti semula. Anak tunagrahita yang kurang mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan sosialnya dapat menimbulkan respon yang negatif akan berdampak anak tersebut dijahui atau ditolak oleh lingkungan sosial dan akan ada jurang pemisah dalam berkomunikasi antara anak tunagrahita kurang
mampu
menangkap
pesan
verbal
yang
diberikan
oleh
lingkungannya.
f. Pekembangan Bahasa Anak Tunagrahita Perkembangan bahasa dan perkembangan kognisi keduanya mempunyai hubungan timbal balik bahasa merupakan simbol yang dihasilkan alat ucap manusia (Keraf 1987-14) . Perkembangan bahasa anak tunagrahita terbatas pada kosakata yang sederhana yang sering digunakan anak dalam kenyataan sehari-hari. Kosakata tersebut mampu dimiliki anak tunagrahita karena berkaitan dengan pengalaman yang kongkrit dalam hidupnya.
14
Mereka tidak mampu menyusun kalimat majemuk, karena rangkaian kalimat majemuk lebih menggambarkan situasi yang komplek. Kalimat yang biasa mereka gunakan terbatas kalimat yang sederhana dan berkomunikasi dengan mereka harus bersifat sederhana dan berkaitan dengan situasi seharihari (Mumpuniarti 1992 : 29-39). Untuk pengembangan bahasa dan bicara pada anak tunagrahita, ada kemungkinan guru mengalami kesulitan sebab diantara mereka mengalami beberapa kelainan bicara antara lain kelalaian artikulasi, arus ujar, nada suara atau afasia sensoris dan afasia motoris. Untuk itu dalam pengembangan bahasa dan bicara anak tunagrahita agar dapat maksimal tentunya perlu upaya strategi khususnya yang dipahami oleh guru. Dalam uraian diatas telah diketengahkan secara singkat tampak adanya reaksi dari lingkungan anak tunagrahita umumnya dari bahasa ibu si anak. Telah diketengahkan juga bahwa sifat dan corak reaksi lingkungan itu sedikit banyak terpengaruh oleh bagaimana cara anak mengungkapkan rangkaian bunyi itu.
2. Tinjauan Tentang Kemampuan Komunikasi
a. Pengertian Kemampuan Komunikasi Pengertian
kemampuan menurut Depdikbud (1990:522) adalah
kesanggupan, kecakapan, kekuatan. Menurut Onong Uchjana Effendy (1990:3) menyatakan bahwa komunikasi dalam pengertian umum dapat dilihat dari dua segi, yaitu : 1) Secara etimologis istilah komunikasi berasal dari bahasa Latin communication dan perkataan ini bersumber pada kata communis. Arti Communis disini adalah sama. Dalam arti kata sama makna, yaitu sama makna mengenai suatu hal. Jadi komunikasi berlangsung apabila antara orang-orang yang terlibat terdapat kesamaan makna mengenai suatu hal yang dikomunikasikan. 2) Secara terminologis sendiri, komunikasi berarti proses penyampaian suatu pernyataan oleh seseorang kepada orang lain.
15
Sedangkan menurut John Austin yang dikutip oleh Henry Guntur Tarigan (1990:145) mengatakan bahwa ”Komunikasi adalah serangkaian tindak berkomunikatif atau tindak ujar yang dipakai secara bersistem untuk menyelesaikan tujuan-tujuan tertentu”. Dari
pendapat
diatas
dapat
disimpulkan
bahwa
kemampuan
komunikasi adalah kecakapan atau kesanggupan penyampaian pesan, gagasan, atau pikiran kepada orang lain dengan tujuan orang lain tersebut memahami apa yang dimaksudkan dengan baik, secara langsung atau tidak langsung.
b. Proses Komunikasi Seseorang yang ingin menyampaikan suatu pesan kepada orang lain yang dilakukan sedemikian rupa, sehingga menimbulkan dampak tertentu kepada orang yang menerima pesan. Menurut Onong Uchjana Effendy (1990:11) proses komunikasi terbagi menjadi 2 tahap: 1) Proses Komunikasi secara primer Adalah proses penyampaian pikiran atau perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan lambang ( simbol ) sebagai media. Lambang sebagai media primer dalam proses komunikasi adalah bahasa, isyarat, gambar, warna, dan lain sebagainya secara langsung mampu menerjemahkan pikiran
atau perasaan komunikator kepada
komunikan. Media primer atau lambang yang banyak di gunakan adalah bahasa akan tetapi tidak semua orang pandai mencari kata-kata tepat dan lengkap
yang
dapat
mencerminkan
pikiran
dan
perasaan
dan
sesungguhnya. Selain itu, perkataan belum tentu mengadung makna sama bagi semua orang. 2) Proses Komunikasi secara sekunder Adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah memakai lambang sebagai media pertama. Seorang komunikator menggunakan media kedua dalam melancarkan komunikasinya karena komunikasi sebagai sasaranya berada di tempat yang relatif jauh atau
16
jumlahnya banyak. Surat, telepon, surat kabar,majalah radio, televisi,film adalah media kedua yang sering di gunakan dalam komunikasi. Komunikasi dalam penelitian ini termasuk dalam proses komunikasi primer yang mana proses penyampaian pikiran, pesan, kepada orang lain menggunakan bahasa untuk maksud Komunikasi. Pesan yang disampaikan komunikan biasanya panduan pikiran dan perasaan, dapat berupa ide, informasi, kehidupan, keyakinan, imbauan, anjuran dan sebagainya.
c. Klasifikasi Komunikasi Manusia adalah makluk sosial yang selalu hidup bersama dalam suatu kelompok. Dalam kelompok itu mereka berkomunikasi satu sama lain. Menurut Djago Tarigan (1992:138) ada dua jenis komunikasi yang mereka guinakan, yakni : a) Komunikasi verbal. Sarana dalam komunikasi ini adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. b) Komunikasi non verbal. Sarana dalam komunikasi ini bukan bahasa, seperti gerak-gerik tubuh dan anggota tubuh manusia, bunyi bel, bendera, warna, gambar dan lain-lain. Berdasarkan tingkatan yang melibatkan jumlah peserta komunikasi paling sedikit hingga komunikasi yang melibatkan jumlah peserta paling banyak, menurut Onong Uchjana Effendy (1990:72) mengemukakan klasifikasi komunikasi adalah sebagai berikut : 1) Komunikasi intra pribadi Adalah komunikasi dengan diri sendiri, baik kita sadari maupun tidak. Contohnya : berpikir. 2) Komunikasi antar pribadi Adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka, yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi yang lain secara langsung baik verbal maupun non verbal, Contohnya suami-istri, gurumurid.
17
3) Komunikasi kelompok Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berkomunikasi satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut. Komunikasi kelompok dengan sendirinya melibatkan komunikasi antar pribadi. Contohnya keluarga, tetangga. 4) Komunikasi publik Adalah komunikasi antara seorang pembicara dengan sejumlah besar orang (khalayak) yang tidak bisa dikenali satu persatu. Contoh : pidato, ceramah, atau kuliah. 5) Komunikasi organisasi Komunikasi yang terjadi dalam suatu organisasi, bersifat formal juga informal dan berulang dalam suatu jaringan yang lebih besar daripada komunikasi kelompok. 6) Komunikasi massa Adalah komunikasi yang menggunakan media masa, baik cetak, (surat kabar, majalah) atau elektronik (radio televisi) yang dikelola oleh suatu lembaga atau orang yang dilembagakan yang ditujukan pada sejumlah orang yang tersebar ditempat.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa komunikasi yang menggunakan bahasa lisan termasuk komunikasi verbal. Komunikasi verbal termasuk dalam klasifikasi komunikasi antar pribadi. Dimana orang yang menyampaikan pesan secara tatap muka, orang yang menerima pesan tersebut dapat menangkap reaksi secara langsung sehingga pesan dapat diterima dengan baik. Dalam proses komunikasi antar pribadi yang melibatkan dua orang dalam
situasi
komunikasi,
komunikasi
menjadi
suatu
pesan,
lalu
menyampaikannya kepada komunikan (sender), dan komunikasi menyimak pesan tersebut. Sampai disitu komunikasi menjadi encoder dan komunikasi menjadi jecoder. Akan tetapi karena komunikasi antar pribadi itu bersifat dialogis, maka ketika komonikan memberikan jawaban, ia kini menjadi
18
enconder dan komunikator menjadi decoder. Disamping itu dalam komunikasi antar pribadi, karena situasinya tatap muka tanggapan komunikasi segera dapat diketahui. Komunikasi secara lisan menentukan pembicara (sender) berbicara (encoder), menyimak (decoder), dan penyimak (receiver). Dengan demikian untuk dapat berkomunikasi secara lisan diperlukan ketrampilan berbicara.
3. Tinjauan Tentang Pengajaran Bahasa Indonesia di SLB-C
a. Pengertian Pengajaran Bahasa Indonesia Menurut Suyanto dalam (Metodologi Pengajaran Pendidikan Agama Islam, 2001:1) menyatakan bahwa ”Pengajaran artinya proses penyajian bahan oleh seseorang kepada orang lain dengan tujuan agar orang lain itu menerima, menguasai dan mengembangkan bahan itu”. Pendapat lain dikembangkan oleh A. Soedomo Hadi (2005:11) menyatakan bahwa ”Pengajaran (Instruction) adalah semua kegiatan yang secara langsung dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan khusus pengajaran, antara lain menentukan entry-behavior siswa, menyusun rencana pelajaran, memberikan informasi (mengajar) yang efektif, bertanya kepada siswa, melakukan evaluasi formatif dan sumatif dan sebagainya”. Sedangkan menurut Oemar Hamalik (2003:7) menyatakan bahwa ”yang dimaksud dengan instructian dalam hal ini adalah a good-directed teaching process whick ismore or less pre-planned”. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengajaran adalah semua kegiatan yang mempunyai tujuan untuk mendidik dan melatih ketrampilan yang dimiliki siswa. Menurut Soepomo Poedjosoedarmo (2001 :169) menyatakan bahwa ”Bahasa ialah sistem simbul lesan yang arbitraries, dimana anggota masyarakat saling berkomunikasi”. Menurut Mustakim (1994 :2) menyatakan bahwa ”Bahasa secara teknis adalah seperangkat ujaran yang bermakna dihasilkan oleh alat ucap manusia, sedangkan secara praktis bahasa merupakan alat komunikasi antar anggota
19
masyarakat yang berupa sistem lambang bunyi yang bermakna, yang dihasilkan oleh alat ucap manusia”. Jadi bahasa merupakan alat komunikasi yang diekspresikan dalam bentuk bicara yang bermakna sehingga antar anggota masyarakat dapat saling berkomunikasi atau saling berhubungan. Dari pengertian pengajaran dan bahasa yang telah dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa pengajaran bahasa adalah cara mengajarkan sistem lambang bunyi yang dihasilkan alat-alat ucap yang telah disepakati besama sebagai alat komunikasi untuk mengungkapkan perasaan atau pikiran. Disini yang diajarkan adalah bahasa Indonesia. Jadi pengajaran bahasas Indonesia adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk mendidik dan melatih kemampuan bahasa Indonesia para siswa.
b. Tujuan Pengajaran Bahasa Indonesia Pengajaran bahasa memang merupakan bidang pengajaran yang cukup kompleks, banyak masalah yang tetap terbuka dan belum terjawab. Salah satu permaalahan yang cukup penting adalah cara mengembangkan kemampuan berbahasa kepada para siswa, sehingga mereka dapat menggunakan bahasa itu dalam berbagai fungsinya. Pertanyaan itu menurut Akhadiah Sabarti, dkk (1991:10) menyatakan bahwa ”Tujuan akhir pengajaran bahasa ialah kemampuan menggunakan bahasa itu untuk berbagai keperluan. Dengan kata lain titik berat pengajaran bahasa terletak pada ketrampilan berbahasa yang sekaligus menyangkut aspek kebahasaan, pemahaman, penggunaan”. Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006:66) maka pelajaran bahasa Indonesia SLB tunagrahita ringan bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut: 1)
Berkomunikasi secara efektif dan efisien sesuai dengan etika yang berlaku, baik secara lisan maupun tulisan.
2)
Menghargai dan bangga menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan dan bahasa Negara.
20
3)
Memahami bahasa Indonesia dan menggunakannyadengan tepat dan kreatif untuk berbagai tujuan.
4)
Menggunakan bahasa Indonesia untuk meningkatkan kemampuan intelektual, serta kematangan emosional, dan sosial.
5)
Menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk keperluan wawasan, memperhalus budi pekerti serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan berbahasa.
6)
Menghargai dan membanggakan sartra Indonesia sebagai khasanah budaya dan intelektual manusia Indonesia.
Keseluruhan butir tersebut menunjukkan tujuan pengajaran Bahasa Indonesia di SLB-C mencakup tujuan-tujuan pada aspek kebahasaan, pemahaman, penggunaan dan menyiratkan pendekatan komunikatif yang digunakan dalam proses belajar mengajar. Selain itu tujuan tersebut jelas tergambar, bahwa fungsi pengajaran bahasa Indonesia di SLB-C ialah sebagai wadah untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi bahasa itu, terutama sebagai alat komunikasi. Dari penjelasan-penjelasan diatas dapat dikatakan bahwa dalam pengjaran bahasa Indonesia seorang guru harus memperhatikan beberapa hal yang berhubungan dengan fungsi pengajaran bahasa Indonesia yaitu kemampuan dasar anak, pembentukan sikap anak, dan yang lebih penting pengajaran bahasa Indonesia dengan memperhatikan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi.
c. Pengertian Berbicara Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005 : 114) disebutkan bahwa ”Makna kata berbicara adalah berkata, bercakap, berbahasa; melahirkan pendapat (dengan perkataan, tulisan dan sebagainya)”. Menurut Akhadia Sabarti, dkk (1991 :153) mengemukakan bahwa ”Berbicara adalah ketrampilan menyampaikan pesan melalui bahasa lisan”. Apabila isi pesan itu dapat diketahui oleh penerima pesan, maka akan terjadi
21
komunikasi antar pemberi pesan dan penerima pesan. Komunikasi itu pada akhirnya akan menimbulkan pengertian atau pemahaman terhadap isi pesan bagi penerimanya. Dari pendapat-pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah penyampaian maksud ide, pikiran, isi hati seseorang kepada orang lain dengan menggunakan bahasa lisan sehingga maksud tersebut dipahami oleh orang lain. Berbicara adalah ketrampilan menyampaikan peasan melalui bahasa lisan. Kegiatan berbicara selalu diikuti oleh kegiatan menyimak. Bila menyimak dapat memahami pesan yang disampaikan oleh pembicara, maka terjadi komunikasi yang tepat.
d. Faktor-faktor yang mempengaruhi Berbicara Berbicara adalah bagian dari komunikasi lisan. Menurut Djago Tarigan (1992 :132) dalam setiap kegiatan berbicara selalu terlibat sejumlah faktor seperti : 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Pembicara Pembicaraan Penyimak Media Sarana (penunjang) Komunikasi Jika dipandang dari segi bahasa, menyimak dan berbicara dikategorikan
sebagai ketrampilan berbahasa lisan. Dari segi komunikasi, menyimak dan berbicara diklasifikasikan sebagai komunikasi lisan. Melalui berbicara orang menyampaikan informasi melalui ujaran kepada orang lain. Kegiatan berbicara selalu diikuti oleh kegiatan menyimak, atau kegiatan menyimak pasti ada didalam kegiatan berbicara. Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan kesulitan dalam berbicara seperti halnya kesulitan dalam menyimak, disebabkan oleh beberapa faktor, salah satu faktor yang menimbulkan kesulitan dalam berbicara adalah yang datang dari teman
22
berbicara. Seperti kita ketahui, dalam setiap kegiatan berbicara teman bicara menafsirkan makna pembicaraan agar komunikasi dapat berlangsung terus sampai tujuan pembicaraan tercapai. Apabila teman bicara tidak dapat menangkap makna pembicaraan, maka komunikasi terputus dengan kata lain tujuan komunikasi tidak tercapai. Kemampuan berbicara merupakan kemampuan yang penting didalam setiap belajar berbahasa. Kemampuan berbicara akan mempengaruhi kemampuan berbahasa yang lain. Oleh karena itu Imam Syafiie,dkk (1981:18) mengatakan bahwa ”Salah satu prinsip utama pengajaran Bahasa Indonesia adalah pertama-tama mengajarkan anak-anak berbicara, barulah membaca dan menulis” Pengajaran berbahasa harus selalu mengingat prinsip diatas, walaupun tidak berarti pengajaran bahasa itu hanya mengajarkan hal-hal yang bersifat penguiasaan audio lingual saja. Namun kenyataan apabila murid-murid menguasai konstruksi dasar dari bahasa dalam bahasa lisan, maka akan lebih mudah mendapat kemajuan dalam ketrampilan berbahasa yang alin. Berkaitan dengn ketrampilan dalam bahasa yakni ketrampilan berbicara, pengajar hendaknya memperhatikan beberapa ketrampilan yang diperlukan agar siswa dapat berbicara dengan baik. Menurut Djago Tarigan (1992 : 145) ketrampilan-ketrampilan berbicara siswa harus dibina oleh guru melalui latihan antara lain : 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8)
Pengucapan Pelafalan Pengontrolan suara Pengendalian diri Pengontrolan gerak-gerik tubuh Pemilihan kata, kalimat dan pelafalannya. Pemakaian bahasa yang baik Pengorganisasian ide.
Imam Syafiie, dkk (1981:19) mengelompokkan ketrampilan tersebut kedalam empat kemampuan yang sangat penting dengan mempengaruhi ketrampilan berbicara seseorang yaitu :
23
1)
Kemampuan menggunakan informasi, tekanan, nada panjang dan pelafalan.
2)
Kemampuan menggunakan kosakata, dalam arti mampu memilih kata yang tepat serta mampu mengucapkan kata-kata itu dengan betul.
3)
Kemampuan menyusun kalimat
4)
Kemampuan berbicara lancar.
Menurut Tomkins dan Hoskisson (1995:120) yang dikutip oleh Ahmad Rofi’uddin
dan
Darmiyati
Zuhdi
(2001:8)
mengemukakan
proses
pembelajaran berbicara dengan berbagai jenis kegiatan, yaitu : 1)
Percakapan, langkah-langkahnya: a)
Memulai percakapan seorang murid secara sukarela atau dengan ditunjuk guru membuka pembicaraan.
b)
Menjaga kelangsungan percakapan Apabila terjadi perbedaan selama mengadakan percakapan murid-murid harus dapat mengatasinya dengan baik sehingga tidak terjadi pertengkaran.
c)
Mengakhiri percakapan Murid-murid seharusnya sudah dapat mencapai suatu persetujuan, sudah menjawab semua pertanyaan atau sudah melaksanakan tugas dengan baik.
2)
3)
Berbicara estetik (mendongeng), langkah-langkahnya : a)
Memilih cerita yang menarik
b)
Menyiapkan diri untuk bercerita
c)
Menambahkan barang-barang yang diperlukan
d)
Bercerita atau mendongeng.
Berbicara untuk menyampaikan informasi atau mempengaruhi a)
Melaporkan informasi secara lisan
b)
Melakukan wawancara
c)
Berdebat
24
4)
Kegiatan dramatik Memiliki kekuatan sebagai teknik pembelajaran bahasa karena melibatkan murid-murid dan kegiatan berfikir logis dan kreatif.
e. Metode Pengajaran Berbicara Menurut Djago Tarigan (1992 :229) metode pengajaran berbicara ada bermacam-macam antara lain metode: 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10) 11) 12) 13) 14) 15) 16) 17) 18) 19)
Ulang ucap Lihat ucapkan Menirukan Menjawab pertanyaan Bertanya Pertanyaan menggali Melanjutkan cerita Menceritakan kembali Percakapan Parafrase Reka cerita gambar Bercerita Memberi petunjuk Melaporkan Bermain peran Wawancara Diskusi Bertelepon Dramatisasi
Metode pengajaran berbicara berfungsi sebagai sarana mewujudkan pengalaman yang telah dirancang menjadi kenyataan dalam pelaksanaan pengajaran pokok bahasan tertentu. Metode pengajaran yang baik selalu memenuhi kriteria. Kriteria itu berkaitan dengan tujuan, bahan, pembinaan ketrampilan proses, dan pengalaman belajar.
25
Menurut Djago Tarigan (1992 :229) kriteria yang harus dipenuhi oleh metode pengajaran berbicara, antara lain : 1)
Relevan dengan tujuan pengajaran
2)
Memudahkan siswa memahami materi pelajaran
3)
Mengembangkan butir-butir ketrampilan proses
4)
Dapat mewujudkan pengalaman belajar yang telah dirancang
5)
Merangsang siswa untuk belajar
6)
Mengembangkan penampilan siswa
7)
Mengembangkan kreativitas siswa
8)
Tidak menuntut peralatan yang rumit
9)
Mudah dilaksanakan
10) Menciptakan suasana belajar yang menyenangkan.
f. Kemampuan Berbicara Anak Tunagrahita Kemampuan berbicara sebagian dari anak tunagrahita memang terlihat terbelakang dalam bidang berbicara. Kosakata sedikit, menggunakan kata dan setruktur kata atau kalimat sederhana, tetapi cukup dipahami maksudnya. Menurut Dipdikbud (1983 :21) ”Kelemahan anak tunagrahita dalam bidang berbicara, bukan karena kelemahan fisik melainkan karena pada segi mental intelektualnya”. Kemampuan mental yang rendah ini, akan mempengaruhi anak-anak tunagrahita dalam mengadakan komunikasi secara lisan, terlihat pada pengubahan pesan menjadi kode. Selain itu kekurangan dalam memahami simbul yang abstrak juga mempengaruhi perbendaharaan kata. Untuk menambahnya perlu banyak rangsangan dari luar. Hal ini dapat dilakukan oleh orang tua anak dan guru dengan mengajak anak berbicara sambil ditunjukkan kongkritnya, sehingga maksud pesan, ungkapan perasaan dan atau pikiran yang abstrak dan dinyatakan secara verbal dapat diserap oleh anak.
26
4. Tinjauan Tentang Pendekatan Komunikatif
a. Pengertian Pendekatan Komunikatif Pendekatan Komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam komunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa. Didalam konsep pendekatan komunikatif yang membedakan komponen bahasa menjadi dua bagian, yaitu kompetensi dan performasi atau unjuk kerja ”(http://www. geocities. Com/no vvant/inisiai 3 sem 2
/ Inisiasi Pembelajaran Bahasa
Indonesia SD.3.pdf diakses pada tanggal 16 Pebruari 2009. Kompetensi komunikatif itu adalah keterkaitan dan interelasi antara kompetensi gramatikal atau pengetahuan kaidah-kaidah bahasa dengan kompetensi sosiolinguistik atau aturan-aturan tentang penggunaan bahasa yang sesuai dengan kultur masyarakat. Kompetensi komunikatif hendaknya dibedakan dengan performan komunikatif karena performan komunikatip mengacu pada realisasi kompetensi kebahasaan beserta komunikasinya dalam pemroduksian secara aktual dengan pemahaman terhadap tuturan-tuturan. Oleh karena itu seseorang yang dikatakan memiliki kompetensi dan performansi bahasa yang dipelajarinya, baik dalam produksian (bicara dan menulis atau mengarang) maupun dalam pemahaman (membaca dan menyimak atau mendengarkan). Menurut Muchlisoh, dkk (1995 : 14) mengemukakan perlu diketahui bahwa pendekatan komunikatif dalam mengajar bahasa ini tidak memberikan resep bagaimana seharusnya seseorang guru mengajar bahasa (metode mengajar) tetap lebih berhubungan dengan penyusunan program belajar mengajar dalam silabus GBPP dan bahan pengajarannya. Berdasarkan pendapat diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai materi pengajaran komunikatif yakni berdasarkan fungsi komunikatif yaitu tujuan tang inginm dicapai siswa dalam belajar bahasa serta tindak bahasa yang diperlukan. Bahan pelajaran disusun atas dasar fungsi berbahasa dengan memberikan tekanan pada berbagai cara pengungkapan bahasa sesuai dengan situasi dan konteks. Hadirnya pendekatan komunikatif adalaha untuk
27
memenuhi kebutuhan siswa agar mampu berkomunikasi. Kemampuian komunikasi ini berarti terampil berbahasa. Adapun maksud pendekatan komunikatif dalam penelitian ini adalah pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa, khususnya bahasa Indonesia. Orientasi belajar mengajar bahasa Indonesia berdasarkan tugas dan fungsi berkomunikasi ini disebut pendekatan komunikatif. Jadi, kegiatan belajar mengajar bahasa Indonesia menitik beratkan pada ketrampilan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi.
b. Karakteristik Pendekatan Komunikatif Agar
dapat
melaksanakan
kegiatan
belajar
mengajar
dengan
komunikatif, maka setiap guru hendaknya memahami karakteristik pendekatan komunikatif, seperti yang dikemukakan oleh Muchlisoh, dkk (1995 : 16) sebagai berikut : 1)
Kegiatan komunikasi yang disajikan betul-betul diperlukan siswa. Kalau siswa bertanya tentang sesuatu tetapi sudah tahu jawabannya maka ini bukan komunikasi, sebab tidak ada kesenjangan informasi. Jadi terdapat kekosongan informasi.
2)
Untuk mendorong siswa mau belajar, hendaknya guru memberikan kegiatan belajar yang bermakna.
3)
Materi dari kurikulum komunikatif dipersiapkan setelah diadakan suatu analisis mengenai kebutuhan berbahasa.
4)
Penekanan pendekatan komunikatif ialah pada pelayanan individu siswa. Oleh karena itu, penyajian materi dan kegiatan belajar harus berorientasi pada siswa.
5)
Peran guru ialah sebagai pelayan, ia menjadi fasilitator, mativator bagi perkembangan individu siswa. Guru tidak lagi dibenarkan selalu menguasai materi dan kelas, karena yang dipentingkan ialah bagaimana siswa dapat dibimbing untuk dapat kominikasi yang wajar.
6)
Materi instruksional berperan menunjang komunikasi siswa secara aktif. Materi ini terdiri atas tiga macam, yaitu materi yang berdsarkan teks
28
(buku-buku pelajaran), materi berdasar tugas, dan materi berdasarkan otentik atau realita. Menurut Sabarti Akhadiah, dkk (1991 :144) karakteristik pendekatan komunikasi sebagai berikut : 1)
Siswa sentris : pengajaran didasarkan pada minat, kebutuhan dan lingkungan siswa.
2)
Penekanan pengajaran : pengejaran ditekankan pada bahasa lisan tanpa mengabaikan bahasa tulis, kegiatan berbahasa menyimak dan berbicara sangat diperhatikan tanpa melupakan kegiatan berbahasa membaca dan menulis.
3)
Dalam pengajaran : bahan pengajaran ragam bahasa yang relevan dengan tuntutan komunikasi yang diperlukan siswa.
4)
Tujuan
pengajaran
:
pengajaran
menumbuhkan
ketrampilan
berkomunikasi. 5)
Sikap terhadap kesalahan berbahasa : kesalahan berbahasa diterima sebagai suatu kesalahan yang wajar terjadi dalam proses belajar bahasa.
6)
Sikap terhadap ragam bahasa : semua ragam bahasa dihargai, tidak melebih-lebihkan ragam baku.
c. Kegiatan Belajar Mengajar dengan Pendekatan Komunikatif Mengingat kemampuan menggunakan bahasa untuk berkomunikasi pada anak didik sangat berpengaruh oleh berbahasa yang kita sajikan, maka guru dalam proses belajar mengajar dapat menggunakan peluang tersebut untuk mengembangkan bahasa peserta didik seluas-luasnya. Guru harus berusaha memberikan keasyikan mendengarkan dan memotivasi anak tunagrahita ringan untuk memberikan pertanyaan, tanggapan, jawaban atau meneruskan kalimat-kalimat sesuai dengan bentuk yang dikuasai atau telah diajarkan sebelumnya. Dengan begitu segaligus dapat melatih ketrampilan berbicara, dan melalui latihan yang berulang-ulang anak memiliki pengalaman berbicara. Apabila yang terjadi demikian, maka ketrampilan menyimak (dekoding) dan berbicara (encoding) dapat diajarkan atau dilatih melalui kegiatan belajarmengajar.
29
Proses belajar-mengajar dengan pendekatan komunikatif adalah belajarmengajar yang rirancang sedemikian rupa sehingga siswa dapat menemukan kesalahan-kesalahan berbahasa dengan komunikasi yang dimiliki siswa sendiri. Siswa diberi kesempatan untuk langsung terlibat dalam kegiatankegiatan atau pengalaman-pengalaman berkomunikasi yang baik berbeda dengan yang terjadi dilingkungannya. Memahami bahwa penekanan pengajaran pada bahasa lisan tanpa mengabaikan bahasa tulisan, kegiatan berbahasa menyimak dan berbicara merupakan ciri dalam kegiatan pendekatan komunikatif, maka kedua kegiatan berbahasa tersebut tidak dapat dipisahkan. Proses belajar-mengajar dengan pendekatan komunikatif setidak-tidaknya harus ditandai adanya keterlibatan siswa untuk melakukan kedua kegiatan secara terpadu. Peran guru bergeser apabila proses belajar-mengajar bahasa Indonesia dengan pendekatan komunikatif terjadi. Guru bukan sebagai penguasa materi dan kelas, tetapi mempunyai peran sebagai pelayan, motivator, fasilitator perkembangan siswa. Guru terutama berperan dalam menyampaikan kalimat dalam latihan, karena selama latihan siswa sebaiknya tidak membuka buku mereka, dan dalam mengatur lalu lintas pembicaraan. Setelah kalimat disampaikan, ia memberi kesempatan seorang siswa memberi tanggapan atau jawaban atau bertanya tentang informasi dalam kalimat tersebut. Bila isi jawaban siswa tidak sesuai dengan kalimat yang diberikan, ia meminta siswa lain menjawab atau menanggapi. Bila telah sesuai ia dapat memberikan kesempatan pada siswa lain untuk memberikan jawaban, tanggapan atau pertanyaan atau kalimat temannya tadi bila latihan itu menuntut seperti itu. Bila sorang siswa memberi jawaban yang telah sesuai, tetapi tata bahasanya salah, ia dapat meminta siswa lain untuk memberi jawaban dengan isi yang sama tetapi dengan tata bahasa yang benar. Bila tidak ada lagi siswa yang memberi jawaban yang lain, ia dapat meneruskan dengan kalimat berikutnya. Dengan bentu latihan seperti itu, suasana kelas akan aktif komunikatoif. Siswa selalu aktif menunjukkan pemahaman atas bentuk yang diajarkan, dan mempergunakan bentuk tersebut dalam komunikasi yang wajar.
30
A. Kerangka Berpikir
Kerangka Berpikir adalah merupakan anggapan dasar tentang suatu masalah yang menjadi dasar berpikir dan bertindak dalam melaksanakan penelitian. Dalam hal ini peneliti mengemukakan kerangka berpikir adalah ketunagrahitaan. Disekolah anak tunagrahita mendapat pelajaran bahasa Indonesia. Disekolah tersebut anak tunagrahita secara sengaja belajar bahasa. Secara praktis dari belajar bahasa diharapkan anak tunagrahita mendapatkan kemampuan menggunakan bahasa untuk komunikasi. Mengingat fungsi bahasa tersebut diatas, kurikulum SMLB-C hendaknya menitik beratkan pada fungsinya sebagai alat komunikasi, sehingga diharapkan setelah belajar bahasa Indonesia, anak tunagrahita mampu menggunakan bahasa Indonesia dengan tepat dan kreatif untuk macam-macam tujuan, keperluan dan keadaan. Guru-guru SLB-C dalam mengadakan kegiatan belajar mengajar senantiasa beradaptasi pada kurikulum yang berlaku yaitu Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar 2006 sehingga guru-guru SLB-C harus melaksanakan proses belajar-mengajar Indonesia yang dapat meningkatkan kemampuan komunikasi anak tunagrahita. Kegiatan
belajar-mengajar
bahasa
Indonesia
dengan
pendekatan
komunikatif berorientasi pada fungsi bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Guru berperan sebagai pelayan, motivator dan fasilitas serta mengatur lalu-lintas pembicaraan. Sebelum anak tunagrahita berkomunikasi secara tertulis, terlebih dahulu anak tunagrahita diharapkan mempunyai kemampuan komunikasi lisan, sehingga dapat menggunakan dalam kehidupan sehari-hari dilingkungan sekitarnya. Ketrampilan yang diperlukan dalam kecakapan komunikasi lisan adalah ketrampilan menyimak dan ketrampilan berbicara. Dalam upaya meningkatkan komunikasi tersebut tidak lepas dari peran guru untuk pembelajaran bahasa Indonesia yang sesuai dengan prinsip pembelajaran aktif, inovatif kreatif dan menyenangkan (PAIKEM).
31
Hasil suatu survey seperti yang diungkapkan pada bagian pendahuluan diatas menunjukkan bahwa selama ini pengajaran bahasa Indonesia di sekolah hanya ditekankan pada ketrampilan membaca dan menulis, sehingga masih kurang sekali perhatian terhadap kemampuan siswa tunagrahita untuk berkomunikasi . Berdasarkan realitas tersebut maka melalui perhatian ini siswa perlu ditingkatkan kemamapuan mereka dalam komunikasi lisan melalui beberapa upaya ataupun metode-metode tertentu. Kerangka pemikiran dalam penelitian tindakan kelas ini dapat digambarkan sebagai berikut. PENGAJARAN BAHASA INDONESIA
ANAK TUNAGRAHITA RINGAN
SEBELUM MENGGUNAKAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF
SETELAH MENGGUNAKAN PENDEKATAN KOMUNIKATIF
KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN RENDAH
KEMAMPUAN KOMUNIKASI LISAN TINGGI
B.
Perumusan Hipotesis
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, penulis mengajukan hipotesis sebagai berikut : ”Melalui pendekatan komunikatif dapat meningkatkan kemampuan komunikasi lisan dalam pengajaran bahasa Indonesia bagi anak tunagrahita ringan kelas VII di SLB/C YPCM Boyolali tahun 2009”.
32
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat Dan Waktu Penelitian 1. Tempat Penelitian Tempat penelitian adalah tempat dimana suatu penelitian dilakukan sehingga akan didapatkan data obyek penelitian. Penelitian dilakukan di SLBC YPCM Boyolali. Sedangkan kelas yang di teliti adalah kelas VII SMPLB. 2. Waktu Penelitian Waktu penelitian ini berlangsung pada semester II tahun ajaran 2008/2009 selama empat bulan yaitu sejak bulan Februari sampai dengan Juni 2009. Adapun kegiatan penelitian adalah dapat digambarkan sebagai berikut: JADWAL PENELITIAN N o 1.
WAKTU Kegiatan 1 Penulisan Proposal
2. Persetujuan Prop oleh pembimbing 3. Perijinan Penulisan skripsi 4. Penulisan Bab I, II, III 5. Persetujuan Bab I, II, III 6. Perijinan Penelitian 7. Pelaksanaan Penelitian 8. Penulisan Bab IV dan V 9. Persetujuan Bab IV dan V 10 Persetujuan Total Skripsi
Februari 2 3 4
1
Meret 2 3
4
1
April 2 3
4
1
Mei 2 3
4
1
Juni 2 3
4
33
B. Subyek Penelitian Subyek penelitian tindakan ini adalah siswa kelasVII Tunagrahita SMPLB YPCM Boyolalidengan jumlah 6 (enam) anak,terdiri dari 3 laki-laki dan 3 perempuan, mereka mayoritas dari keluarga yang sosial ekonomi orang tuanya menengah kebawah, sehingga vasilitas dan sarana belajarnya kurang tersedia. Yang dapat menyebabkan terganggunya kemampuan belajar secara maksimal.
C. Data Dan Sumber Data Data yang dikumpulkan berupa informasi tentang kemampuan berkomunikasi lisan anak tunagrahita ringan kelas VII yang meliputi : 1. Nilai ulangan harian bahasa Indonesia sebalum mendapatkan tindakan . 2. Nilai ulangan Bahasa Indonesia setelah mendapatkan tindakan perbaikan pembelajaran komunikasi lisan (siklus I, siklus II dan kelanjutannya) 3. Arsip administrasi yang berupa kurikulum Bahasa Indonesia SMPLB yang digambarkan. Data penelitian dikumpulkan melalui evaluasi setelah perbaikan pembelajaran komunikasi lisan pada Bahasa Indonesia, melalui sumber data tertulis yang akan dijadikan obyek penelitian diperoleh dari : 1) Buku laporan guru kepada wali murid (rapor) digunakan untuk mengetahui kemampuan komunkasi siswa dalam belajar bahasa Indonesia. 2) Data nilai hasil semester. 3) Buku induk untuk mengetahui data awal siswa. Seluruh dokumen di atas digunakan untuk membantu peneliti dalam melakukan identifikasi guna menentukan anak-anak yang memiliki kemampuan komunikasi lisan rendah dalam pengajaran bahasa Indonesia yang akan dijadikan obyek penelitian. D. Teknik Pengumpulan Data Sesuai dengan bentuk penelitian juga sumber data yang dimanfaatkan,maka teknik yang digunakan untuk menumpulkan data meliputi :
34
1. Test Dalam
penelitian
menggunakan
tes
bertujuan
untuk mengetahui
sejauhmana kemampuan komunikasi lisan pada anak tuna grahita ringan kelas VII SLB-C YPCM Boyolali, Sebelum dan sesudah menggunakan pendekatan komunikatif dalam proses belajar mengajar Bahasa Indonesia.: Tes disusun untuk mengetahui kemampuan bahasa siswa, yaitu diantaranya tes kemampuan komunikasi lisan aktif atau pasif dengan kriteria penilaian (B) baik , (C) cukup, dan (K) kurang. Dengan kategori B apabila nilai mencapai angka 80 – 100 kemudian C apabila nilai mencapai angka 60 –79 dan K apabila nilai mencapai angka 0 - 59 Hasil ini sebagai dasar dalam menentukan berbagai tindakan dalam pembelajaran. Tes disusun untuk mengetahui perubahan kemampuan komunikasi lisan siswa, melalui pendekatan komunikatif sebelum dan sesudah dilakukan tindakan penelitian. Untuk mengetahui peningkatan perolehan atau hasil komunikasi lisan yang meningkat,maka tingkat kesukaran soal harus lebih tinggi pada test akhir. 2. Observasi Observasi merupakan metode pengumpulan data dengan cara mengamati obyek tertentu secara langsung. Suharsimi Arikunto (1993:27) mendefinisikan observasi sebagai suatu teknik yang dilakukan dengan mengadakan pengamatan kepada siswa secara teliti serta pencatatan secara sistematik. Teknik observasi yang di gunakan dalam penelitian ini adalah mengamati sikap dan tingkah laku anak dalam komunikasi lisan sebelum dan sesudah penelitian yang mungkin dapat mempengaruhi kemampuan komunikasi serta mengamati gejala yang secara langsung memungkinkan pencatatan sesuatu gejala. 3. Dokumentasi Teknik dokumentasi digunakan untuk mengumpulkan data sekunder, melalui dokumen yang ada. Menurut Suharsimi Arikunto (1998 : 236), metode dokumentasi yang mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda, dan sebagainya. Dokumen dalam penelitian disini untuk memperoleh
35
data pribadi anak tentang kemampuan komunikasi lisan. Sesuai dengan penelitian agar memiliki data yang kuat. Adapun data tersebut meliputi kegiatan guru dan siswa pada waktu pembelajaran komunikasi lisan di dalam kelas, siswa yang dijadikan obyek penelitian.
E. Validitas data Dalam pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas ini, teknik yang digunakan adalah Trianggulasi. Trianggulasi adalah pemeriksaan validitas data dengan memanfaatkan sarana diluar data itu untuk keperluan pengecekan atau perbandingan data itu (Sarwiji Suwandi. 2008:122) teknik trianggulasi berupa trianggulasi sumber data dan trianggulasi metode pengumpulan data. Untuk mengetahui kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran dengan menerapkan kemampuan komunikasi lisan. 1. Memberikan test untuk mengetahui pengucapan kalimat siswa, dan selanjutnya menganalisis hasil pengucapan kalimat untuk mengidentifikasi kesalahan yang masih mereka ucapkan. 2. Nilai harian bahasa Indonesia dapat divalidasi melalui beberapa sumber yaitu diperoleh dari siswa, guru, dan mitra kolaburasi.
F. Teknik analisis data Data kualitatif menggunakan analisis data diskriftif komparative yaiu membandingkan kondisi kemampuan awal siswa dengan kemampuan setelah pelaksanaan siklus I dan
setelah pelaksanaan siklius II. Data kualitatif
menggunakan teknik analisis kritis dengan kriteria penilaian Baik (B), Cukup (C), dan Kurang (K). Predikat Baik apabila nilai
80 - 100
Predikat Cukup apabila nilai
60 - 79
Predikat Kurang apabila nilai
0 - 59
36
G. Prosedur Penelitian Penelitian tindakan kelas dilaksanakan berdasarkan
pada perencanaan
yang telah disusun dengan menggunakn siklus yaitu direncanakan 2 (dua) siklus, yang setiap siklus ada 4 kegiatan antara lain: 1)
Perencanaan
2)
Pelaksanaan
3)
Observasi
4)
Analisis dan refleksi. Pelaksanaan penelitian oleh penulis sendiri, yang kebetulan sebagai guru
kelas. Adapun prosedur penelitian tindakan kelas siklus I dan II dapat digambarkan sebagai berikut : Siklus 1 Dilaksanakan dengan penekanan pada pengucapan dan intonasi. a. Tahap perencanaan : 1)
Menyusun silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan materi Buku sumber, lembar observasi, dan lembar soal
2)
Merancang skenario pembelajaran
3)
Membuat media pembelajaran
4)
Menyusun instrument test
b. Tahap pelaksanaan : 1)
Memberikan umpan yang mudah tentang cerita di pasar malam
2)
Menirukan ucapan dan intonasi
3)
Membetulkan ucapan dan intonasi
4)
Memperagakan cerita layaknya penjual dan pembeli di pasar malam yang sedang berkomunikasi lisan. Guru membuat persiapan-persiapan materi yang sesuai untuk mengamati
pengucapan
ujaran-ujaran,
intonasi,
dan
kelancaran
siswa
dalam
berkomunikasi lisan. Selain itu disiapkan pula gambar-gambar dan cerita untuk merangsang anak agar mau berkomunikasi lisan. Siswa disiapkan materi pertanyaan kemudian materi ungkapan yang mudah ditirukan siswa, kegiatan akan berlangsung selama 2 (dua) jam pelajaran yaitu 2 x 40 menit dilaksanakan 3x pertemuan.
37
Apabila pada tahap ini dapat berjalan baik guru akan melanjutkan dengan siklus II (kedua) yaitu melatih mengungkapkan jawaban dari pertanyaan setelah di pancing dengan gambar-gambar yang bersifat komunikatif. Adapun tahap pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut: Guru/peneliti mengajar di kelas VII (tujuh) tunagrahita ringan seperti biasa sesuai jadwal bahasa Indonesia selama 2x40 menit. 1. Langkah ke 1 membaca cerita pendek “Pasar Malam” 2. Langkah ke 2 memahami cerita secara bersama-sama. 3. Langkah ke 3 guru melatih siswa dengan teknik komunikasi bebas dan komunikatif. Siswa belajar sebagai mana seorang berkomunikasi di pasar malam sebagai seorang penjual dan pembeli, memerankan saat penjual menawarkan dagangannya kepada pembeli dan bagaimana seharusnya pembeli memberi respon. 4. Langkah ke 4 guru mengucapkan ujaran-ujaran yang telah dipersiapkan dalam kecepatan kecil atau lamban, siswa menirukan secara classical sambil guru membetulkan ucapan-ucapan serta intonasi yang kurang tepat. Sedangkan ujaran-ujaran yang didengar siswa mudah ditirukan. 5. Langkah ke 5 guru memberikan umpan dan siswa memberikan respon atau sebaliknya. 6. Langkah ke 6 kelas dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok A dan B kelompok A memberi umpan dan kelompok B memberi respon dan sebaliknya. 7. Langkah ke 7 siswa berkomunikasi lisan secara berpasangan. c. Observasi / Pengamatan : Pengumpulan data dan informasi dari beberapa sumber untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan tindakan. Data keberhasilan komunikasi lisan, pengucapan maupun intonasi diperoleh dari Observasi dan hasil nilai test akhir siswa. Selama proses belajar berlangsung oleh kolaborasi.
38
d. Refleksi : 1)
Mengulas secara kritis tentang perubahan yang terjadi pada siswa berdasarkan hasil test setelah mendapatkan tindakan perbaikan pembelajaran.
2)
Mengulas secara kritis tentang perubahan yang terjadi pada suasana kelas dan guru berdasarkan Observasi guru mitra kolaborasi selama proses perbaikan pembelajaran.
3)
Merumuskan hasil dengan membandingkan kondisi sebelum dan sesudah mendapatkan tindakan perbaikan pembelajaran siklus I, untuk ditindak lanjuti denagn langkah-langkah penyempurnaan pada siklus II.
Siklus II Dilaksanakan dengan penekanan pada kelancaran komunikasi lisan a. Tahap perencanaan : 1)
Menyusun silabus, Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), materi Buku sumber, lembar Observasi, dan lembar soal
2)
Merancang skenario pembelajaran
3)
Membuat media pembelajaran
4)
Menyusun instrumen test
b. Tahap pelaksanaan : 1)
Memberikan umpan yang mudah tentang cerita
2)
Menirukan ucapan dan intonasi
3)
Membetulkan ucapan dan intonasi
4)
Memperagakan cerita layaknya penjual dan pembeli yang sedang berkomunikasi lisan Menyiapkan tempat dengan kursi siswa posisi berpasangan, kemudian
posisi berkelompok Pada siklus kedua dilaksanakan pada bulan April 2009 berlangsung selama 2 (dua) jam pelajaran yaitu 2 x 40 menit berlangsung 3 x pertemuan fokusnya adalah melatih siswa untuk dapat berkomunikasi lisan dengan lancar. Guru membuat persiapan-persiapan materi yang sesuai untuk mengamati pengucapan
ujaran-ujaran,
intonasi,
dan
kelancaran
siswa
dalam
39
berkomunikasi lisan. Selain itu disiapkan pula gambar-gambar dan cerita untuk merangsang anak agar mau berkomunikasi lisan. Siswa disiapkan materi pertanyaan
kemudian
materi
ungkapan
yang
mudah
ditirukan
siswa,mengungkapkan jawaban dari pertanyaan setelah di pancing dengan gambar-gambar yang bersifat komunikatif. Adapun pelaksanaan penelitian adalah sebagai berikut: Guru mengajar di kelas VII (tujuh) tunagrahita ringan seperti biasa sesuai jadwal bahasa Indonesia selam 2 x 40 menit. 1)
Langkah pertama guru melatih siswa dengan teknik komunikasi bebas dan komunikatif. Siswa belajar sebagai mana seorang berkomunikasi di pasar malam sebagai seorang penjual dan pembeli, memerankan saat penjual menawarkan dagangannya kepada pembeli dan bagaimana seharusnya pembeli memberi respon ingin membeli dagangan itu.
2)
Langkah
kedua
guru
mengucapkan
ujaran-ujaran
yang
telah
dipersiapkan dalam kecepatan kecil atau lamban, siswa menirukan secara classical sambil guru membetulkan ucapan-ucapan serta intonasi yang kurang tepat. Sedankan ujaran-ujaran yang didengar siswa mudah ditirukan. 3)
Langkah ketiga guru memberikan umpan dan siswa memberikan respon atau sebaliknya.
4)
Langkah keempat kelas dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok A dan B kelompok A memberi umpan dan kelkompok B memberi respon dan sebaliknya.
5)
Langkah kelima siswa diminta bernyanyi secara kelompok saling memberi unpan dan respon.
6)
Langkah keenam siswa berkomunikasi lisan secara berpasangan dengan diperlihatkan gambar untuk merangsang siswa dalam berkomunikasi
c. Observasi / Pengamatan Pada saat pelaksanaan penelitian itu guru melakukan pengamatan mengenai fenomena yang terjadi pada setiap pertemuan dengan melakukan observasi, pada waktu penelitian guru dibantu oleh rekan guru (mitra
40
kolaborasi) untuk dapat membantu
mengetahui keberhasilan pelaksanaan
tindakan penelitian. Data keberhasilan pengucapan dan intonasi diperoleh dari observasi sedangkan data keberhasilan dalam kelancaran mengungkapkan kalimat diperoleh dari hasil test lisan. Guru juga melakukan wawancara dengan siswa mengenai kegiatan yang dilakukan selama penelitian, bagi mereka merupakan kegiatan yang
membosankan apa menyenangkan atau bahkan sangat
menyenangkan. Guru/peneliti mewawancarai siswa satu persatu dan menulis hasilnya dari siswa tentang hal yang menarik baginya dan yang ia senangi selama pelaksanaan tindakan kelas ini untuk pengumpulan data menjadi bahan pengukuran agar dapat menentukan langkah yang tepat untuk kelanjutannya. d. Refleksi 1) Menganalisis hasil kerja siswa, hasil observasi, hasil wawancara dan perubahan yang terjkadi pada siswa berdasarkan hasil test setelah mendapatkan tindakan perbaikan pembelajaran. 2) Mengulas secara kritis tentang perubahan yang terjadi pada suasana kelas dan guru berdasarkan observasi guru mitra kolaborasi selama proses perbaikan pembelajaran. 3) Merumuskan hasil dengan membandingkan dengan membandingkan kondisi
sebelum
dan
sesudah
mendapatkan
tindakan
perbaikan
pembelajaran Siklus I dan Siklus II untuk ditindak lanjuti dengan langkahlangkah penyempurnaan pada penelitian selanjutnya.
41
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Diskripsi Lokasi Penelitian 1. Lokasi Penelitian Tempat penelitian berlokasi di SLB/C YPCM Boyolali yaitu di Jln.Merapi nomor 38 Boyolali. Penelitian dilaksanakan di kelas VII anak tunagrahita ringan tahun 2009. penelitian ini dilaksanakan berdasarkan pertimbangan prestasi pengajaran bahasa Indonesia khususnya kemampuan komunikasi lisan. Waktu penelitian berlangsung pada semester II tahun ajaran 2008/2009, yaitu sejak bulan februari sampai dengan juni 2009.
2. Subyek Penelitian Penelitian pengambilan populasi seluruh siswa kelas VII SMPLB yang berjumlah 6 anak tuna grahita ringan yang rata-rata mereka mengalami kesulitan dalam berkomunikasi lisan: Tabel 1 . Daftar responden siswa kelas VII SLB/C YPCM Boyolali No
Nama Siswa
Jenis Kelamin
1.
DS
Laki – laki
2.
I
Perempuan
3.
RA
Laki – laki
4.
RH
Perempuan
5.
VP
Perempuan
6.
W
Perempuan
3. Keadaan Personil Pada tahun 2008/2009 SLB/C YPCM dipimpin oleh seorang kepala sekolah yang dibantu oleh 10 orang guru berstatus PNS dan 2 orang guru berstatus wiyata bhakti dan ada lagi guru dari yayasan yang mengampu ketrampilan salon serta satu orang penjaga.
42
SLB/C YPCM Boyolali mengelola siswa sejumlah 45 siswa yang terdiri dari kelas TKLB s/d SMPLB yang terdiri dari siswa tunagrahita dan tunarungu wicara namun ada yang mengalami autis. Karena masih kurangnya tenaga pengajar maka penanganan siswa dibentuk rombongan belajar terutama yang kelas lanjutan sehingga guru harus belajar sungguh-sungguh mengarahkan kemampuan demi tertanganinya anak yang mengalami bermacam-macam kelainan.
B. Diskripsi Permasalahan Penelitian Penelitian dilaksanakan di SLB YPCM Boyolali dengan alasan penulis kebetulan sebagai guru yang mengajar di sekolah ini, sehingga dengan beberapa pertimbangan banyak hal yang menguntungkan antara lain dalam mengadakan penelitian penulis tidak harus meninggalkan tugas mengajar, disamping itu tidak memerlukan transport ketempat penelitian. Di sekolah ini pula banyak siswa yang berasal dari keluarga Broken, orang tua cerai, juga banyak anak yang ditinggalkan kedua orang tua dititipkan pada saudara atau neneknya jadi dengan adanya hal tersebut sudah barang tentu kurang perhatian terhadap belajar anak. Di sekolah ini banyak saya jumpai anak-anak tunagrahita ringan yang mengalami kesulitan dalam komunikasi lisan, sehingga penulis tergerak untuk meneliti hal-hal yang dapat meningkatkan kompetensi siswa tunagrahita dalam komunikasi lisan.
C. Diskripsi Kondisi Awal Siswa Tempat penelitian dilakukan di SLB/C YPCM Boyolali dengan mengambil sempel sebanyak 6 (enam) siswa yaitu siswa tunagrahita ringan kelas VII tahun ajaran 2008/2009. Prosedur penelitian yang dilakukan dengan tanpa memberikan test awal (pretest) karena peneliti adalah sebagai guru kelas VII tersebut yang sudah barang tentu mengetahui kemampuan awal yang dimiliki semua siswanya. Baru setelah dilakukan tindakan perbaikan siswa diberikan tes akhir untuk mengetahui kemampuan akhir. Dari hasil perbandingan kemampuan awal dan
43
kemampuan akhir inilah yang dijadikan dasar untuk mengetahui kemampuan siswa setelah diberikan tindakan. Tabel 2. Data perolehan nilai kondisi awal sebelum diberikan tindakan siklus I dan II Bagian
I
II
III
Indikator
No soal Inisial Nama 1 DS I RA RH VP W 2 0 2 2 2 0 2 3 2 0 2 2 0 2 4 0 0 2 0 0 2 Memahami informasi 5 2 2 0 2 2 0 Menarik Kesimpulan 6 2 0 2 0 0 0 7 0 0 2 2 0 2 8 0 0 2 0 2 2 9 2 0 2 2 2 0 10 2 2 2 2 0 2 11 2 2 0 2 2 2 12 2 2 0 0 2 0 Memahami pesan dalam cerita 13 0 0 2 0 0 2 14 2 2 2 2 2 0 15 2 0 2 0 0 2 16 2 1 3 3 0 3 17 2 1 2 0 2 2 18 1 2 0 1 0 2 19 2 1 2 0 2 0 20 0 0 2 0 0 2 Menggunakan kata-kata 21 1 1 3 2 1 0 22 0 0 2 0 2 1 23 3 0 3 2 0 3 24 2 1 1 3 0 2 25 2 2 0 2 3 3 Menggunakan ucapan dan 1 3 0 5 4 3 5 intonasi 2 5 4 5 3 0 2 Menyusun kalimat 3 5 5 5 0 0 5 Kelancaran berbicara 4 4 0 5 4 5 2 Jumlah Nilai 50 30 60 40 30 50 Keterangan Kurang Kurang Cukup Kurang Kurang Kurang
KETERANGAN :
B = baik
nilai
80 - 100
C = cukup
nilai
60 - 79
D = kurang
nilai
0 - 59
44
1. Tindakan siklus I Tindakan siklus 1 dilaksanakan dalam 3 kali pertemuan ( 3 x 80 menit ) selama 3 minggu pada bulan April 2009. Tahapan-tahapan yang dilaksanakan pada siklus 1:
Tabel 3. Prosedur penelitian siklus I Tindakan Siklus I
Prosedur penelitian a. Menentukan permasalahan Penulis mengajar SLB/C YPCM Boyolali jenjang SMPLB kelas VII tunagrahita ringan, dikelas saya mengajar bidang study bahasa Indonesia, menemukan bahwa siswa tidak mau atau tidak dapat merepon ujaran-ujaran dari guru, kalau ditanya kadang jawaban hanya ya atau tidak tahu bahkan kadang diam saja, mereka tidak tahu apa yang harus diucapkan. Siswa dalam kelas tersebut tidak dapat mengungkapkan karena kompetensi yang dibubuhkan untuk memberikan memberikan respon itu kurang.
b. Perencanaan Berdasarkan hasil obserfasi terhadap proses pembelajaran bahasa Indonesia ditentukan prestasi belajar sebelum tindakan dilihat dari data kondisi awal siswa memang sebagian besar siswa mempunyai kemampuan berkomunikasi lisan sangat rendah, mereka pasif berbicara dan tidak memiliki kompetensi berbicara lancar. Selajutnya saya mencari hal-hal yang menjadi pendorong minat siswa dalam berkomunikatif, ternyata siswa-siswa tersebut lebih suka belajar dengan cara komunikatif yang bebas dan nyaman Pada saat ini saya memilih teknik pendekatan komunikatif yang diharap dapat menjawab permasalahan tersebut, saya membuat materi
45
yang sesuai untuk mengamati pengucapan, intonasi dan kelancaran siswa dalam berkomunikasi lisan dengan bahasa Indonesia juga saya siapkan gambar-gambar
dan
cerita
untuk
memancing
anak
agar
mau
berkomunikasi. Langkah-langkah yang dilaksanakan dalam perencanaan tindakan adalah sebagai berikut : 1)
Guru menyiapkan silabus bahasa Indonesia.
2)
Guru menyiapkan RPP yang sesuai.
3)
Guru menyiapkan alat peraga berupa kalimat dan gambar
4)
Membuat
instrument
untuk
untuk
mengamati
kemampuan
pengucapan dan intonasi serta kelancaran komunikasi. 5)
Gura menyiapkan instrument observasi yang akan digunakan teman sejawat (mitra kolaburasi) dalam melakukan obsevasi.
6)
Guru menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran pada siklus I yang semua akan terlampir dengan lengkap.
c. Pelaksanaan tindakan 1)
Pertemuan 1 Pertemuan ke I pelaksanaan dengan penekanan pada pengucapanpengucapan dan intonasi. Kegiatan diawali dengan salam, Do’a dan apersepsi yang berupa tanya jawab tentang lingkungan sekitar yang menyenangkan, setelah sampai lingkungan tentang pasar malam siswa diarahkan kegiatan selanjutnya, yaitu: (1)
Membaca secara bersama-sama cerita pasar malam dibimbing guru (peneliti)
(2)
Siswa membaca bersama tanpa dibimbing
(3)
Siswa dan guru membahas bacaan sambil guru memberi umpan kepada siswa dengan beberapa pertanyaan agar siswa berusaha merespon.
(4)
Peneliti menunjukkan beberapa gambar penjual pakaian, penjual makanan, penjual bunga yang sedang berjualan di
46
pasar malamdan kartu kalimat ungkapan siswa memerankan sebagai penjual yang sedang menawarkan dagangannya dan (5)
Guru
memerankan
seorang pembeli
dengan
beberapa
ungkapan layaknya seorang penjual dan pembeli yang sedang transaksi tawar menawar agar situasi kelas aktif dan responsif. (6)
Kegiatan diulang-ulang hingga siswa ada peningkatan dan mau berkomunikasi lisan.
(7)
Guru membetulkan ucapan-ucapan siswa yang masih salah dengan kecepatan kecil sehingga mudah ditirukan siswa.
(8)
Akhir pelajaran siswa diberikan gambar satu macam setiap siswa sebagai pengingat untukk dipraktekkan dirumah atau boleh sama temannya saling memberi umpan dan merespon.
(9) 2)
Kegiatan akhir dengan Do’a penutup dan salam.
Pertemuan 2 Materi yang disampaikan adalah: penekanan pada kelancaran berkomunikasi lisan. Kegiatan diawali dengan salam dan do’a bersama, kemudian dilanjutkan dengan apersepsi berupa materi yang telah lalu. (1)
Siswa membaca bersama guru tentang bacaan yang disajikan guru yaitu pasar malam bersama gambar-gambar berupa orang-orang berjualan. Jika siswa tetap masih pasif tidak mau merespon pertanyaan yang diungkapkan guru, maka guru mengekspresikan ujaran-ujaran tertentu sesuai gambar agar situasi menarik perhatian siswa.
(2)
Siswa menirukan apa yang telah diekspresikan guru secara berulang-ulang dengan kecepatan rendah sambil guru membetulkan ungkapan-ungkapan siswa yang masih salah, kemudian dengan kecepatan normal dan diucapkan secara klasikal.
(3)
Guru memberikan pancingan / umpan agar siswa mau merespon dengan ungkapan secara klasikal, selanjutnya siswa dibagi
2
kelompok
secara
kelompok
siswa
saling
47
berkomunikasi lisan dengan kelompok 1 memberikan umpan dan kelompok 2 memberi respon dan sebaliknya, setelah berjalan lancar baru secara berpasangan siswa melakukan transaksi layaknya penjual dan pembeli dipasar malam sesuai gambar yang disajikan guru. (4)
Dengan bimbingan guru siswa menyanyikan lagu “sedang apa” secara kelompok yaitu kelompok A bertanya dan kelompok B menjawab dan setelah itu melakukan hal yang sebaliknya.
(5) 3)
Kegiatan diakhiri do’a bersama dan salam.
Pertemuan 3 Materi yang disampaikan adalah mengulang materi pertemuan 1 dan 2 penekanan pada pengucapan dan intonasi serta kelancaran komunikasi dan intonasi serta kelancaran komunikasi lisan. Kegiatan diawali dengan salam dan do’a bersama kemudian diberikan opersepsi yang berupa tanya jawab tentang materi yang lalu agar siswa ingat dan diarahkan pada materi yang lalu agar siswa ingat dan diarahkan pada materi yang akan dilaksanakan. a. Penekanan pada pengucapan dan intonasi 1) Guru dan siswa membahas isi bacaan sambil guru memberi umpan dengan beberapa pertanyaan agar siswa merespon. 2) Siswa memerankan sebagai seorang penjual yang sedang menawarkan dagangannya sesuai dengan gambar yang ditunju, yang ditunjukkan guru. 3) Guru memerankan sebagai pembeli yang sedang transaksi sehingga situasi kelas menjadi aktif dan responsif. 4) Guru membetulkan ungkapan-ungkapan siswa yang masih salah. b. Penekanan pada kelancaran komunikasi lisan 1) Guru mengekspresikan dengan beberapa pancingan agar siswa merespon secara klasikal tentang layaknya penjual dan pembeli.
48
2) Siswa dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok I dan kelompok II. Kelompok I memberi umpan dan kelompok II merespon dan sebaliknya, setelah berjalan lancar dirubah dengan berpasangan siswa melakukan komunikasi secara berpasangan A dan B, C dengan D, E dengan F mereka saling memberi umpan dan merespon layaknya di pasar malam. 3) Terakhir siswa menyanyikan lagu “Sedang Apa” secara kelompok, yaitu kelompok A bertanya dengan kelompok B, kemudian kelompok B menjawab dan kebalikannya. 4) Untuk mengetahui keberhasilan tindakan, maka guru mengadakan tes akhir 1 tentang materi yang telah diajarkan 3 kali pertemuan. 5) Kegiatan diakhiri dengan doa dan salam.
d. Melaksanakan Observasi Pada tahapan ini guru mengumpulkan data dan pemantauan bersama mitra kolaborasi yaitu mengamati siswa pada waktu pembelajaran komunikasi secara langsung sehingga dapat diketahui apakah siswa sudah ada peningkatan dalam hal komunikasi. Observasi siswa dilakukan untuk memperoleh data mengenai keaktifan, konsentrasi, dan inisiatif. Hasil observasi tiap pertemuan Siklus I dapat diuraikan sebagai berikut:
tidak tidak ya tidak tidak ya
tidak tidak tidak tidak tidak tidak
Prestasi
tidak tidak tidak tidak tidak tidak
Keaktifan
Keaktifan
tidak tidak tidak tidak tidak tidak
Pertemuan ke III Konsentrasi
Konsentrasi
ya tidak ya tidak tidak tidak
Inisiatif
Inisiatif
DS I RAS RH VP W
Pertemuan ke II
Keaktifan
1 2 3 4 5 6
Pertemuan ke I Konsentrasi
No
Nama Siswa
Tabel 3.1. Hasil Observasi Siswa pada siklus I
tidak ya tidak tidak tidak tidak tidak tidak tidak ya tidak tidak tidak ya tidak tidak tidak ya tidak tidak tidak ya tidak tidak
49
Tabel 3.2. Hasil observasi guru yang mengajar Kegiatan Aspek yang diamati Awal Persiapan Apersepsi Suasana kelas Inti Sesuai dengan skenario Interaksi guru Penggunaan media Penguasaan materi Akhir Penilaian Kesimpulan
Penilaian I Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak
Penilaian II Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak
Penilaian III Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak Ya / Tidak
Kesimpulan Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik Baik
Data yang sudah diperoleh melalui observasi dikumpulkan untuk dianalisis berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan selama proses tindakan oleh guru dan observer mendiskusikan tentang kondisi beberapa siswa yang dijadikan obyek penelitian tersebut. Ternyata semua siswa memberikan penilaian yang positif terhadap model ini meskipun pada awalnya siswa sangat pasif untuk menirukan ujaran-ujaran yang diucapkan oleh guru. Untuk mengantisipasi hal ini maka dilakukan banyak cara antara lain menulis ujaran-ujaran di papan tulis dan siswa disuruh membaca kaliamat dengan berulang-ulang serta menunjukkan gambar yang sesuai. Ternyata sangat membantu siswa apabila guru memberi contoh dengan mengekspresikan sesuai dengan ucapan dan intonasi. e. Refleksi 1) Pertemuan ke 1 Hampir semua siswa (83.4%) mengalami kesulitan dalam melakukan komunikasi lisan mereka belum bias memberikan respon atas umpan yang diberikan oleh guru. Sebagian besar dari mereka belum bias menjawab sama sekali. Pada waktu memberikan umpan harus mengulang-ulang pernyataan atau pertanyaanya. 2) Pertemuan ke 2 50% dari siswa masih mengalami kesulitan dalam berkomunikasi tetapi lagu atau intonasi berbicara sudah ada yang lebih baik. Mereka masih ragu-ragu dalam memberikan tanggapan atas umpan yang diberikan, mereka memerlukan waktu agak untuk memberikan respon.
50
3) Pertemuan 3 Pada pertemuan terakhir ini sebagian siswa (66.7%) sudah memiliki kemampuan memberi respon dalam focus pengucapan dan intonasi dengan benar mereka melakukan lebih nyaman, senang, rilex dan spontan dalam berkomunikasi lisan. Dalam pelaksanaan penelitian pada siklus I ini tentu saja terdapat kendala atau hambatan. Hambatan-hambatan tersebut sangat wajar terjadi pada sebuah pembelajaran yang baru misalnya mengalami hambatan pada waktu memahami makna ungkapan kemudian siswa terlihat malu-malu saat untuk menirukan dan mengekspresikan. Hal tersebut diatasi oleh guru dengan memberikan makna ungkapan yang terlebih dahulu dan memberi contoh ungkapan-ungkapan baik dengan ekspresi yang mudah ditirukan ternyata solusi tersebut dapat diterima oleh siswa. Untuk memperjelas gambaran data tersebut. Maka penulis memberikan data perolehan nilai dari tindakan siklus I, sebagai berikut :
51
Tabel 3.3. Tabel data perolehan nilai dari tindakan siklus I
Bagian
I
II
III
Indikator
No soal Inisial Nama 1 DS I RA RH VP W 2 0 2 2 2 0 2 3 2 0 2 0 2 2 4 2 0 2 0 0 0 Memahami informasi 5 0 2 0 2 2 2 Menarik Kesimpulan 6 2 0 2 2 0 0 7 2 2 2 2 0 2 8 0 0 2 2 2 0 9 2 0 2 0 2 2 10 0 2 2 2 2 2 11 2 2 2 2 0 2 12 2 2 0 0 2 0 Memahami pesan dalam cerita 13 0 2 2 0 2 2 14 2 2 2 2 2 2 15 2 0 2 2 0 2 16 1 1 3 3 0 3 17 2 0 3 1 2 2 18 2 2 2 1 0 2 19 2 1 3 1 2 0 20 1 1 2 2 1 2 Menggunakan kata-kata 21 0 2 3 2 1 1 22 0 0 2 1 2 1 23 2 2 3 2 0 0 24 2 1 1 3 2 2 25 3 2 2 2 3 3 Menggunakan ucapan dan 1 3 1 6 5 3 4 intonasi 2 4 4 5 3 1 2 Menyusun kalimat 3 5 5 6 2 2 5 Kelancaran berbicara 4 5 2 5 4 5 3 Jumlah Nilai 50 40 70 50 40 50 Keterangan Kurang Kurang Cukup Kurang Kurang Kurang Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan perkembangan jumlah siswa yang mampu memberikan respon secara benar yang dinilai dari 2 aspek, yaitu: a.
Pengucapan dan intonasi
b.
Kelancaran dalam memberikan respon
52
Adapun grafik dari 2 aspek tersebut adalah : 1) Grafik I Perkembangan siswa dalam pengucapan dan intonasi siklus 1 6
jumlah siswa
5 4 benar
3
salah
2 1 0 pertemuan 1
pertemuan 2
pertemuan 3
Keterangan: Pertemuan 1 -
Benar : RA
-
Salah : DS, I, RH, VP, W
Pertemuan 2 -
Benar : RA, W
-
Salah : DS, I, RH, VP
Pertemuan 3 -
Benar : RA, W, DS, RH
-
Salah : I, VP
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah siswa yang menggunakan ucapan dan intonasi secara benar berangsur-angsur meningkat dari pertemuan pertama ke pertemuan selanjutnya. Sedangkan jumlah siswa yang menggunakan ucapan dan notasi secara salah berangsur-angsur berkurang dari pertemuan pertama ke pertemuan selanjutnya. 2) Grafik II Perkembangan siswa dalam kelancaran dalam memberikan respon
53
6
jumlah siswa
5 4 lancar
3
tidak lancar
2 1 0 pertemuan 1
pertemuan 2
pertemuan 3
Keterangan: Pertemuan 1 - Lancar : RA - Tidak lancar : DS, I, RH, VP, W Pertemuan 2 - Lancar : RA, W, RH - Tidak lancar : DS, I, VP Pertemuan 3 - Lancar : RA, W, DS, RH - Tidak lancar : I, VP Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa jumlah siswa yang melakukan komunikasi lisan secara lancar berangsur-angsur meningkat dari perteman pertama ke pertemuan selanjutnya. Sedangkan jumlah siswa yang melakukan komunikasi tidak lancar berangsur-angsur berkurang dari pertemuan pertama ke pertemuan selanjutnya.
2. Tindakan Siklus II Tindakan siklus II dilaksanakan selama 3 minggu atau 3 kai pertemuan, yaitu 3x80 menit pada bulan Mei 2009. Tahapan-tahapan yang dilaksanakan pada siklus 1:
54
Tabel 4. Prosedur penelitian siklus II Tindakan Siklus II
Prosedur penelitian a. Perencanaan Berdasarkan hasil evaluasi dan rfeleksi tindakan pada siklus I dapat diketahui bahwa belum adanya peningkatan prestasi belajar yang cukup signifikan dari indicator yang ditetapkan. Oleh karena itu guru memberikan tambahan berupa media gambar dan kartu kalimat yang lebih menarik. Adapun persiapan yang yang dilaksanakan oleh peneliti adalah sebagai beikut : (1) Guru menyiapkan silabus Bahasa Indonesia (2) Guru menyiapkan RPP yang sesuai (3) Guru menyiapkan alat peraga berupa kalimat dan gambar (4) Guru menyiapkan instrumenet observasi yang akan digunakan teman sejawat (mitra kolaborasi) dalam melakukan observasi. (5) Guru menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran pada siklus I yang semua akan terlampir dengan lengkap.
1) Pertemuan 1 Pelaksanaan dengan penekanan pada pengucapan dan intonasi. Kegiatan diawali dengan salam dan doa kemudian dilanjutkan kegiatan: (1) Tanya jawab tentang pasar malam agar siswa berusaha merespon. Sebagian siswa (66.7%) siswa masih merasa kesulitan untuk merespon pertanyaan manakala ditanya dengan waktu lama mereka menjawab. (2) Guru menunjukkan gambar yang disertai kartu kalimat dan merencanakan layaknya seorang penjual yang menawarkan dagangannya sesuai dengan gambar. (3) Kegiatan yang sama diulang-ulang dengan berganti-ganti gambar barang yang biasa dijual di pasar malam. Misalnya ada gambar penjual baju, penjual bunga, penjual makanan, dan lain-lain. (4) Guru membetulkan ucapan-ucapan siswa yang masih salah dengan kecepatan normal. Siswa menirukan dengan diulang-ulang.
55
(5) Akhir pelajaran siswa mempraktekkan dengan layaknya penjual dan pembeli dengan cara berkelompok. Masing-masing kelompok 3 anak. (6) Kegiatan diakhiri dengan doa dan salam.
2) Pertemuan 2 Materi yang disampaikan adalah penekanan pada kelancaran berkomunikasi lisan. (1) Kegiatan diawali dengan salam dan do’a bersama, kemudian dilanjutkan dengan apersepsi berupa materi yang telah lalu. (2) Siswa membaca bersama guru tentang bacaan yang disajikan guru yaitu pasar malam bersama gambar-gambar berupa orang-orang berjualan. Jika siswa tetap masih pasif tidak mau merespon pertanyaan yang diungkapkan guru, maka guru mengekspresikan ujaran-ujaran tertentu sesuai gambar agar situasi menarik perhatian siswa. (3) Siswa menirukan apa yang telah diekspresikan guru secara berulangulang dengan kecepatan rendah sambil guru membetulkan ungkapanungkapan siswa yang masih salah, kemudian dengan kecepatan normal dan diucapkan secara klasikal. (4) Guru memberikan pancingan / umpan agar siswa mau merespon dengan ungkapan secara klasikal, selanjutnya siswa dibagi 2 kelompok secara kelompok siswa saling berkomunikasi lisan dengan kelompok 1 memberikan umpan dan kelompok 2 memberi respon dan sebaliknya, setelah berjalan lancar baru secara berpasangan siswa melakukan transaksi layaknya penjual dan pembeli dipasar malam sesuai gambar yang disajikan guru. (5) Dengan bimbingan guru siswa menyanyikan lagu “sedang apa” secara kelompok yaitu kelompok A bertanya dan kelompok B menjawab dan setelah itu melakukan hal yang sebaliknya. (6) Kegiatan diakhiri do’a bersama dan salam.
3) Pertemuan 3 Materi yang disampaikan adalah mengulang materi pertemuan 1 dan 2
56
penekanan pada pengucapan dan intonasi serta kelancaran komunikasi dan intonasi serta kelancaran komunikasi lisan. Kegiatan diawali dengan salam dan do’a bersama kemudian diberikan opersepsi yang berupa tanya jawab tentang materi yang lalu agar siswa ingat dan diarahkan pada materi yang lalu agar siswa ingat dan diarahkan pada materi yang akan dilaksanakan. a. Penekanan pada pengucapan dan intonasi 1) Guru dan siswa membahas isi bacaan sambil guru memberi umpan dengan beberapa pertanyaan agar siswa merespon. 2) Siswa memerankan sebagai seorang penjual yang sedang menawarkan dagangannya sesuai dengan gambar yang ditunju, yang ditunjukkan guru. 3) Guru memerankan sebagai pembeli yang sedang transaksi sehingga situasi kelas menjadi aktif dan responsif. 4) Guru membetulkan ungkapan-ungkapan siswa yang masih salah. b. Penekanan pada kelancaran komunikasi lisan 1) Guru mengekspresikan dengan beberapa pancingan agar siswa merespon secara klasikal tentang layaknya penjual dan pembeli. 2) Siswa dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok I dan kelompok II. Kelompok I memberi umpan dan kelompok II merespon dan sebaliknya, setelah berjalan lancar dirubah dengan berpasangan siswa melakukan komunikasi secara berpasangan A dan B, C dengan D, E dengan F mereka saling memberi umpan dan merespon layaknya di pasar malam. 3) Terakhir siswa menyanyikan lagu “Sedang Apa” secara kelompok, yaitu kelompok A bertanya dengan kelompok B, kemudian kelompok B menjawab dan kebalikannya. 4) Untuk mengetahui keberhasilan tindakan, maka guru mengadakan tes akhir 2 untuk mengetahui sejauh mana peningkatan prestasi belajar selama pemberian tindakan. Kegiatan diakhiri setelah tes akhir 2 berakhir. 5) Kegiatan diakhiri dengan doa dan salam.
57
b. Observasi Guru dan mitra kolaborasi dan teman sejawat melaksanakan observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan cermat pada masing-masing siswa untuk tiap pertemuan. Observasi ditujukan pada kegiatan guru/peneliti dalam melakukan pembelajaran juga kepada siswa pada waktu pembelajaran berlangsung, yaitu mencata kondisi konsentrasi, keaktifan dan prestasi. Data keseluruhan yang diperoleh dalam kegiatan ini termasuk pencatatan hasil tes akan dijadikan bahan untuk menganalisa perkembangan prestasi yang berhubungan dari tiap-tiap siklus yang telah dilaksanakan. Adapun hasil observasi tiap-tiap pertemuan pada siklus ke II dapat diuraikan sebagai berikut: Tabel 4.1. Hasil observasi siswa siklus II
Inisiatif
Konsentrasi
Keaktifan
Prestasi
Inisiatif
Keaktifan
ya ya ya ya Tidak ya ya ya ya ya ya ya ya ya Tidak ya ya ya
Pertemuan ke III
Keaktifan
DS I RAS RH VP W
Pertemuan ke II Konsentrasi
1 2 3 4 5 6
Konsentrasi
No
Nama Siswa
Pertemuan ke I
ya ya ya ya ya ya
ya ya ya ya ya ya
ya ya ya ya ya ya
ya ya ya ya ya ya
ya ya ya ya ya ya
ya ya ya ya ya ya
Tabel 4.2. Hasil observasi guru yang mengajar Kegiatan Aspek yang diamati Penilaian I Ya / Tidak Awal Persiapan Ya / Tidak Apersepsi Ya / Tidak Suasana kelas Inti Sesuai dengan skenario Ya / Tidak Ya / Tidak Interaksi guru Ya / Tidak Penggunaan media Ya / Tidak Penguasaan materi Ya / Tidak Akhir Penilaian Ya / Tidak Kesimpulan
Penilaian II Penilaian III Kesimpulan Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
Ya / Tidak
58
c. Refleksi Hasil analisis data dan observasi terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan alat peraga gambar penjual pakaian, penjualan makanan, penjual bunga masing-masing pasar malam juga kartu kalimat. Pelaksanaan pada siklus II dapat digunakan untuk melihat perkembangan kondisi masing-masing siswa. Hasil refleksi pada siklus II adalah sebagai berikut : 1) Pertemuan I Pada pertemuan pertama sebagian siswa (66.7%) sudah mempunyai kemampuan memberi respon dalam focus pengucapan dan intonasi dengan benar sebab hanya mengulang pertemuan pada siklus I. mereka berkali-kali tanpa disuruh melihat gambar dan mengungkapkan sendiri, tetapi ada pula sebagian siswa yang pasif walaupun diberi beberapa umpan. 2) Pertemuan II Sebagian besar (83.3%) sudah memepunyai kemampuan untuk berkomunikasi lisan walaupun dengan pancingan yang sangat lambat dan memerlukan waktu lama, sambil mengingat-ingat ucapan dan intonasi yang benar. 3) Pertemuan III Pada pertemuan ke III sebagian besar siswa sudah tidak kelihatan jelas peningkatannya. Mereka mengucapkan dengan agak cepat jika dibandingkan dengan pertemuan ke 2. mereka juga mengontraskan antara pengucapan intonasi dan kelancaran berkomunikasi lisan dengan teman sebangku atau berpasang-pasangan. Pada akhir siklus II ini, guru memperoleh kenyataan bahwa beberapa siswa yang pada awalnya gagap dan malu juga tidak mau merespon pertanyaan, mereka sudah dapat menguasai keadaan. Pada pertemuan terakhir, dapat diperoleh data bahwa sebagian besar siswa dapat mengucapkan intonasi yang benar dan mempunyai kemampuan untuk merespon pertanyaan atau pernyataan lebih aktif untuk memperjelas gambaran data tersebut. Penulis memberikan data perolehan nilai dari tindakan siklus II, sebagai berikut :
59
Tabel 4.3. Data perolehan nilai dari tindakan siklus II Bagian
I
II
III
Indikator
No soal 1 DS I 2 0 2 3 2 2 4 2 0 Memahami informasi 5 0 2 Menarik Kesimpulan 6 2 2 7 2 2 8 2 0 9 2 0 10 0 2 11 2 2 12 2 2 Memahami pesan dalam cerita 13 0 2 14 2 2 15 2 2 16 2 2 17 3 3 18 2 2 19 2 1 20 1 2 Menggunakan kata-kata 21 2 2 22 3 3 23 2 2 24 2 3 25 3 2 Menggunakan ucapan dan 1 3 3 intonasi 2 4 4 Menyusun kalimat 3 5 5 Kelancaran berbicara 4 6 4 Jumlah Nilai 60 60 Keterangan Cukup Cukup
Inisial Nama RA RH VP W 2 2 2 2 2 0 2 2 2 2 0 2 2 2 2 2 2 2 0 2 2 2 0 2 2 2 2 0 2 2 2 2 2 0 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2 0 2 2 2 2 2 2 2 2 0 2 3 3 1 3 3 1 3 3 2 2 2 2 3 3 2 2 2 2 1 2 3 3 1 3 2 1 2 2 3 2 1 2 3 3 2 3 3 2 3 3 7 5 3 4 6 3 2 4 6 4 2 6 6 4 5 5 80 60 50 70 Baik Cukup Kurang Cukup
Berikut ini adalah grafik yang menunjukkan perkembangan jumlah siswa yang mampu memberikan respon secara benar, yang dinilai dari 2 aspek yaitu : a) Pengucapan dan intonasi b) Kelancaran dalam memberikan respon
60
Adapun grafik dari 2 aspek tersebut adalah : (1) Grafik III Perkembangan siswa dalam pengucapan dan intonasi siklus II 6
jumlah siswa
5 4 benar
3
salah
2 1 0 pertemuan 1
pertemuan 2
pertemuan 3
Keterangan: Pertemuan 1 - Benar : RA, W, RH, DS - Salah : I, VP Pertemuan 2 - Benar : RA, W, RH, DS, I - Salah : VP Pertemuan 3 - Benar : RA, W, DS, RH, I - Salah : VP Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa pada pertemuan pertama jumlah siswa yang pengucapan dan intonasi secara benar tidak mengalami peningkatan, namun pertemuan berikutnya berangsurangsur meningkat menjadi 83.3% (2) Grafik IV Perkembangan siswa dalam kelancaran memberi respon
61
6
jumlah siswa
5 4 lancar
3
tidak lancar
2 1 0 pertemuan 1
pertemuan 2
pertemuan 3
Pertemuan 1 -
Lancar : RA, W, RH
-
Tidak lancar : DS, I, VP
Pertemuan 2 -
Lancar : RA, W, RH, DS
-
Tidak lancar : I, VP
Pertemuan 3 -
Lancar : RA, W, DS, RH, I
-
Tidak lancar : VP
Dengan melihat grafik diatas dapat disimpulkan bahwa pada pertemuan pertama terjadi penurunan dalam memberikan respon, mungkin karena siswa ada pengontrasan antara pengucapan dan intonasi secara bersama-sama dengan kelancaran atau kecepatan memberikan respon. Namun demikian pada akhir siklus II ini siswa dapat lebih menguasai keadaan. Sehingga pada pertemuan ke II dan ke III, diperoleh data bahwa sebagian besar siswa (83.3%) sudah dapat mengucapkan dengan intonasi yang benar dan mereka lancar dalam merespon pernyataan orang lain. Hasil dari pengamatan sebelum dan sesudah siklus I dan siklus II dapat dilihat pada grafik berikut: (1) Grafik V Hasil belajar siswa sebelum dan sesudah siklus I dan siklus II
62
90 80 70
Danar Susilo
60
Iftita’yah
50
Rizki
40
Rina Hastuti
30
Vira Praja Wahyuningsih
20 10 0 Nilai awal
Siklus I
Siklus II
Dari grafik diatas dapat disimpulkan bahwa nilai prestasi awal sebelum diberikan tindakan tertinggi 60 dan nilai terendah 30. Nilai setelah tindakan siklus I tertinggi 70 dan nilai terendah 40. Nilai setelah tindakan siklus II tertinggi 80 dan terendah 50.
63
D.
Pembahasan Hasil Penelitian
Melalui hasil penelitian dan pembahasan perbandingan kondisi awal sikluis I dan siklus II. 1.
Kondisi awal yaitu : pembelajaran komunikasi lisan dalam pengajaran bahasa Indonesia sebelum menggunakan pendekatan komunikatif. a.
Situasi pembelajaran Hampir semua siswa tunagrahita ringan kelas VII mengalami kesulitan dalam komunikasi lisan pada pengajaran bahasa Indonesia, mereka pasif dalam merespon pembicaraan lawan bicara dan sulit dalam pengucapan maupun intonasi, mereka sulit dalam konsentrasi.
b.
Hasil belajar Nilai awal prestasi sebelum diberikan tindakan yaitu tertinggi 60 dan terendah 30 rata-rata nilai hanya mencapai 43,33
2.
Tindakan siklus I Pembelajaran
komunikasi
lisan
setelah
menggunakan
pendekatan
komunikatif dalam pengajaran bahasa Indonesia. a.
Situasi pembelajaran Ditinjau dari konsentrasi dan keaktifan sudah ada peningkatan mulai dari pertemuan ke I dan selanjutnya, jumlah siswa yang menggunakan ucapan dan intonasi secara benar berangsur-angsur meningkat sedangkan jumlah siswa yang menggunakan ucapan dan intonasi secara salah berangsur-angsur berkurang. Begitu juga yang melakukan komunikasi lisan secara lancar berangsur-angsur meningkat mulai dari pertemuan ke I dan selanjutnya, sedangkan jumlah siswa yang melakukan komunikasi tidak lancar berangsur-angsur berkurang.
b.
Hasil belajar Prestasi yang dicapai pada tes akhir I atau pada siklus I nilai tertinggi 70 dan nilai terendah 40 nilai rata-rata meningkat menjadi 50.
3.
Tindakan siklus II Pembelajaran
komunikasi
lisan
sesudah
menggunakan
pendekatan
komunikatif dengan ditambah sebagian lagi gambar yang lebih menarik.
64
a.
Situasi pembelajaran Keadaan kelas meningkat lebih aktif dan responsive, konsentrasi siswa mudah terarah pada lawan bicata, dalam pengucapan dan intonasi mengalami peningkatan yaiitu pada pertemuan ke 2 dan ke 3 dari 66,7% menjadi 83,3%. Perkembangan dalam kelancaran merespon pada siklus II pertemuan 2 dan ke 3 sebagian besar siswa sudah dapat mengucapkan dan intonasi dengan benar dan mereka sebagian besar lancar merespon pertanyaan atau pernyataan dari orang lain
b.
Hasil belajar Prestasi yang dicapai pada tes akhir II siklus II nilai tertinggi 80 dan nilai terendah 50 nilai rata-rata meningkat menjadi 63,33
Refleksi : Dilihat dari kondisi awal hingga akhir tindakan siklus I dan II dapat kita simpulkan ada peningkatan konsentrasi dan keaktifan siswa setelah tidakan siklus I dan II terdapat peningkatan ucapan dan intonasi serta kelancaran dalam berkomunikasi lisan. Yang sebelumnya hasil belajar hanya rata-rata 43,33 setelah diberi tindakan siklus I dan siklus II meningkat menjadi rata-rata 63,33. Data yang diperoleh dari hasil observasi proses pembelajaran menunjukkan bahwa hasil belajar komunikasi lisan dengan menggunakan pendekatan komunikatif suasana kelas lebih aktif dan responsif, siswa bertambah konsentrasi dan tampak lebih akrab antara siswa yang satu dengan yang lain, juga kepada guru. Dari pemantauan guru mitra kolaborasi mengatakan dengan menggunakan metode pendekatan komunikatif dapat mengaktifkan siswa dalam belajar sehingga prestasi siswa dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya komunikasi lisan meningkat.
65
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
B. Simpulan Sesuai hasil analisis dan permasalahan yang ada tentang pengunaan pendekatan komunikatif untuk meningkatkan kemampuan komunikasi lisan dalam pengajaran anak tunagrahita ringan kelas VII SLB/C YPCM Boyolali dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Penelitian berhasil meningkatkan kemampuan komunikasi lisan dlam pembelajaran bahasa Indonesia dengan indikator meningkatnya pengucapan dan intonasi serta kelancaran memberikan pertanyaan kepada siswa sehingga suasana kelas menjadi efektif dan responsive. 2. Siswa yang mengalami kesulitan dalam pengucapan dan intonasi serta memberikan respon berangsur-angsur berkurang dari setiap pertemuan yanag diadakan. 3. Meskipun penelitian hasilnya positif namun ada kendala yaitu kelas menjadi gaduh sehingga mengganggu kelas lain yang jaraknya berdekatan.
C. Saran Adapun saran yang dapat disampaikan adalah sebagai berikut : 1. Siswa agar lebih serius lagi untuk mengikuti aktivitas belajar mengajar bahasa Indonesia dengan pendekatan komunikatif, karena dengan kemampuan komunikasi yang baik dapat dijadikan bekal hidup untuk masyarakat. 2. Siswa yang behasil berjumlah 5 siswa, tetap diberikan tugas baik di sekolah maupun di rumah untuk mnegamati percakapan yang terjadi di sekitar mereka, agar mereka mudah menirukan atau berkomunikasi secara optimal menyimak dan berbicara. Siswa yang belum berhasil agar membiasakan pengucapan dan intonasi secara benar, orang tua selalu melatih penekanan pada pemberian umpan agar anak memberikan respon.
66
3. Untuk mengatasi suasana gaduh yang mengganggu kelas bersebelahan maka sebaiknya pihak sekolah menyediakan ruang khusus bahasa Indonesia yang terpisah dari lokal yang lain.
67
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Rofi’uddin dan Darmiyati Zuhdi. 2001. Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di kelas tinggi ; Universitas Negeri Malang. A Soedomo Hadi. 2005. Pengelolaan kelas. Surakarta: Universitas Negeri Surakarta. Badan Standar Nasional Pendidikan. 2006. Standart Kompetensi dan konpensasi dasar, Jakarta : Depdiknas Dirjen Manajement Pendidikan Dasar Menengah Direktorat Pembinaan SLB. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1993. Pedoman Guru Bahasa Indonesia. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Djago Tarigan. 1992. Pendidikan Bahasa Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Emi Dasiemi. 1997. Psikiatri Umum. Surakarta: Depdikbud Universitas Negeri Surakarta. Moh. Amin. 1995. Orto pedagogik Anak Tunagrahita III. Bandung : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Moleong, L.J. 1990. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rodakarya Mumpuniarti. 2000. Penanganan Anak Tunagrahita. Yogyakarta : Universitas Negeri Yogyakarta. Mulyono Abdurrahman. 1995. Pendidikan Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Jakarta. Muchlisoh. 1995. Pendidikan Bahasa Indonesia III. Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Dirjen Dikti. Mulyani Sumantri dan Johan Permana. 2001. Strategi Belajar Mengajar. Bandung : CV Maulana. Munzayanah, 2000. Anak Tunagrahita. Surakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Mustakim, 1994. Membina Kemampuan Berbahasa. Jakarta : Rajawali Press. Onang Uchjana Effendy. 1990. Ilmu Komunikasi. Bandung : Remaja Rosdakarya.
68
Syafiie dkk. 1981. Kemampuan Berbahasa Indonesia murid kelas VI SD yang Berbahasa Ibu Bahasa Madura mendengarkan dan berbicara. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Sabarti Akhadiah, dkk. 1991. Bahasa Indonesia III. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sarwiji Suwandi. 2008. Penelitian Tindakan Kelas. Surakarta : Pendidikan dan Penelitian Profesi Guru. Soepomo Poedjosoedarmo. 2001. Filasafat Bahasa. Surakarta: Muhammadiyah University Press. Suharsimi Arikunto. 1993. Prosedur Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. ,1998. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. Sutjihati Sumantri, 2005. Psikologi Anak Luar Biasa. Surakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Suyanto. 2001. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Semarang: Bumi Aksara. Tim Penyusun Kamus Pusat. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional. Tomkins, Hoskisson. 1995. Language Arts: Content and Teaching Strategies. Edisi ketiga. Columbus, O.H.: Prentice Hall Inc.. http://www.geocities.com/novvant/inisiai6sem5/InisiasiPembelajaranBahasaIndon esiaSD6.pdf
69