perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI PABRIK GULA BUMN DAN SWASTA DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR DENGAN METODE DEA (DATA ENVELOPMENT ANALYSIS) TAHUN 2008
Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta
Diajukan oleh : IKA SETIAWAN F 0105063
FAKULTAS EKONOMI UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010 commit to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI PABRIK GULA BUMN DAN SWASTA DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR DENGAN METODE DEA (DATA ENVELOPMENT ANALYSIS) TAHUN 2008 Ika Setiawan NIM. F0105063 Penelitian ini bertujuan untuk mengukur efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis pabrik gula BUMN dengan Swasta dengan mengambil sampel di wilayah Jawa tengah dan Jawa Timur. Dalam mengukur efisiensi produksi pabrik gula digunakan metode Data Envelopment Analysis (DEA) dimana jumlah tebu giling, jumlah bahan bakar, jumlah tenaga kerja tetap dan jumlah tenaga kerja sementara sebagai input sedangkan produksi pabrik gula sebagai output untuk menghitung efisiensi teknis dan untuk menghitung efisiensi penerimaan ditambahkan biaya tebu giling, biaya bahan bakar, biaya tenaga kerja tetap dan biaya tenaga kerja sementara untuk input sedangkan untu output ditambahkan harga produksi pabrik gula. Data yang tersedia merupakan data sekunder dimana diambil 9 pabrik gula di Jawa Tengah dan 7 pabrik gula di Jawa Timur. Berdasarkan analisis dapat disimpulkan bahwa dari 16 jumlah sampel pabrik gula yang ada di Jawa Tengah dan Jawa Timur ternyata ada 10 pabrik gula yang belum efisien. Pabrik gula yang belum efisien antara lain : PG Godang Baru 80,45 %, PG Tasikmadu 83,30 %, PG Sragi 86,62 %, PG Sudhono 89,61 %, PG Rendeng 92,65 %, PG Purwodadi 92,90 %, PG Candi Baru 94,49 %, PG Rejoagung 95,00 %, PG Semboro 95,14 % dan PG Pangka 96,15 %. Pabrik gula yang efisien yaitu PG Jatibarang, PG Jatiroto, PG Mojo, PG Pagottan, PG Sumberharjo dan PG Trangkil. Sedangkan hasil rata-rata efisiensi teknis dan ekonomis diperoleh hasil bahwa pabrik gula di Jawa Timur lebih efisien dibandingkan pabrik gula di Jawa Tengah dengan tingkat efisiensi sebesar 95,30% untuk rata-rata efisiensi teknis Jawa Timur dan Jawa Tengah 93,24% sedangkan untuk efisiensi ekonomis Jawa Timur sebesar 97,65% dan Jawa Tengah 96,61% dan dari hasil rata-rata efisiensi teknis dan ekonomis diperoleh hasil bahwa pabrik gula Swasta lebih efisien jika dibandingkan dengan pabril gula BUMN dengan tingkat efisiensi teknis 96,49% untuk pabrik gula Swasta dan 93,60% untuk pabrik gula BUMN dan tingkat efisiensi ekonomis pabrik gula Swasta sebesar 98,24% dan 96,79% untuk pabrik gula BUMN. Penyebab inefisiensi pabrik gula tersebut bersumber dari input (jumlah tebu giling, jumlah bahan bakar, jumlah tenaga kerja tetap dan jumlah tenaga kerja sementara), yaitu pada pengalokasian input tidak sesuai dengan kebutuhan dan output (produksi pabrik gula), yaitu dalam pencapaian output yang tidak sesuai dengan pemakain input. Saran yang diajukan bagi pabrik gula yang belum efisien adalah mengurangi pemborosan dari sisi input, yaitu misalnya dengan cara menggunakan jumlah bahan bakar dan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhan dan mengalihkan kepemilikan PG BUMN kepada petani tebu melalui APTRI kemudian dibentuk pabrik gula mini untuk menjamin kebutuhan bahan baku. Kata Kunci : Pabrik Gula, Efisiensi, DEA.
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul:
ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI PABRIK GULA BUMN DAN SWASTA DI JAWA TENGAH DAN JAWA TIMUR DENGAN METODE DEA (DATA ENVELOPMENT ANALYSIS) TAHUN 2008
Surakarta, 24 November 2009 Disetujui dan diterima oleh Pembimbing
(DR. Drs. Guntur Riyanto, M.Si) NIP. 19580927 198601 1 001
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN
Telah disetujui dan diterima dengan baik oleh tim Penguji Skripsi Jurusan Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta, guna melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Surakarta,
Januari 2010
Tim Penguji Skipsi
Drs Mugi Raharjo, M.Si NIP. 19491227 198203 1 002
Sebagai Ketua
(.................................. )
DR. Drs. Guntur Riyanto, M.Si NIP. 19580927 198601 1 001
Sebagai Pembimbing
(.................................. )
DR. Drs. AM Susilo, M.Sc NIP. 19590328 198803 1 001
SebagaiAnggota
(...................................)
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Hidup akan lebih bermanfaat jika kita bisa berbagi” (Penulis) “Selalu ada jalan keluar untuk setiap masalah” (Penulis) “Whole world seems so wonderful to me eventhough im blind and cannot see the sunrise” (Endah N Rhesa) “Langit Terbuka Luas, Mengapa Tidak Pikiranmu Pikiranku” (Pure Saturday)
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan untuk : -
Allah SWT
dan dihadiahkan kepada : -
Bapak dan Ibu atas Doanya
-
Adikku Lia dan Rayi
-
Agnita Doti Wijayaningtyas
-
Keluarga besar di Plukaran dan Gribig
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala
kasihNya
dan
memberikan segala
kemudahan
kepada
penulis
dalam
menyelesaikan skripsi ini. Adapun penulisan ini sebagai syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Ekonomi jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tidak lupa saya ucapkan terimakasih kepada Bapak dan ibu yang selalu membimbing dan memberi dukungan kepada penulis. Dalam penulisan skripsi ini tentunya banyak kendala yang dihadapi oleh penulis, namun demikian tidak menjadi halangan dalam menyelasaikannya sebab dibalik kerja keras penulis dalam menyelesaikan tulisan ini banyak pihak-pihak yang membantu dan selalu mendukung. Oleh karena itu dengan segala ketulusan dan kerendahan hati penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1.
Dr. Drs. Guntur Riyanto M.Si, selaku pembimbing yang dengan arif dan bijak
telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing dan memberikan masukan yang berarti dalam penyusunan skripsi ini. 2.
Bapak Dr. Bambang Sutopo, M.Com., Akt., selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang secara langsung maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis selama menuntut ilmu di Fakultas Ekonomi UNS. 3.
Drs. Kresno Sarosa Pribadi, M.Si selaku Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan.
4.
Izza Mafruhah, SE, M.Si selaku Sekretaris Jurusan Ekonomi Pembangunan.
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
5.
digilib.uns.ac.id
Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret
Surakarta beserta seluruh staff dan karyawan yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan pelayanan kepada penulis. 6.
Seluruh Staff dan Karyawan P3GI, Dinas Perkebunan Jawa Tengah dan Dinas
Perkebunan Jawa Timur yang telah banyak membantu penulis dalam mengumpulkan data yang sangat berguna dalam penyusunan skripsi. 7.
Keluarga yang senantiasa selalu mendoakan, memberi dorongan dan bimbingan
kepada penulis. 8.
Teman-teman EX HMJ PB yang tersisa di akhir perjuangan, edy eday + nasta, aan
blek + dll, andi odang, inug hambar, ferdian thok, jablay, ilyas pokil semoga masih ada tempat bermain di kemudian hari. 9.
Teman-teman EP gege, gesha, nea, agnes, bagus, bekty, iwan, rofina, kiki, mbak
ira, mbak nikmah, om joko, om boi, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. 10.
Teman-teman EP Angkatan 2004, 2005, 2006, 2007, 2008 dan teman-teman
BAPEMANIA terima kasih atas dukungannya. 11.
Keluarga besar solomo ninok, adit, wili dan kawan-kawan lainnya.
12.
Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu baik secara langsung
maupun tidak atas bantuannya kepada penulis hingga terselesaikannya penelitian ini.
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Dalam penulisan skripsi ini pastilah masih ada kekurangan. Oleh karena itu segala saran dan kritik sangat diharapkan agar tulisan ini dapat lebih baik lagi. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca dan bermanfaat bagi peneliti selanjutnya yang akan menulis tentang bidang yang serupa.
Surakarta, 22 November 2009
Penulis
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ABSTRAK..................................................................i ABSTRAK .....................................................................................................ii LEMBAR PERSETUJUAN ..........................................................................iii LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................iv MOTO ............................................................................................................v PERSEMBAHAN ..........................................................................................vi KATA PENGANTAR ...................................................................................vii DAFTAR ISI..................................................................................................x DAFTAR TABEL..........................................................................................xiii DAFTAR GAMBAR .....................................................................................xv DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................xvi BAB I Pendahuluan .......................................................................................1 A. Latar Belakang ..........................................................................................1 B. Perumusan Masalah ..................................................................................7 C. Tujuan Penelitian ......................................................................................7 D. Manfaat Penelitian ....................................................................................7 BAB II Tinjauan Pustaka ..............................................................................8 A. Teori Produksi ...........................................................................................8 1. Pengertian Produksi .......................................................................8 2. Produksi Jangka Panjang ...............................................................9
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Produksi Dengan Satu Input Variabel ...........................................10 4. Produksi Dengan Dua Atau Semua Variabel .................................17 B. Teori Efisiensi ...........................................................................................23 1. Ukuran-Ukuran Orientasi Input .....................................................24 2. Ukuran-Ukuran Orientasi Output ..................................................27 C. Penelitian Sebelumnya ..............................................................................33 D. Kerangka Pemikiran..................................................................................38 E. Keterbatasan Penelitian .............................................................................39 F. Hipotesis ....................................................................................................40 BAB III Metode Penelitian ...........................................................................41 A. Ruang Lingkup Penelitian.........................................................................41 B. Jenis, Sumber, dan Tekonik Pengumpulan Data .......................................41 C. Definisi dan Operasioal Variabel ..............................................................41 D. Metode Analisis Data ................................................................................43 BAB IV Pembahasan ....................................................................................51 A. Gambaran Umum Obyek Penelitian .........................................................51 1. Sejarah Industri Gula Nasional ......................................................51 2. Kebijakan Industri Gula di Indonesia ............................................63 B. Analisis Data Dengan Metode DEA .........................................................75 1. Analisis Peer Pabrik Gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara BUMN dengan Swasta ........................................................78
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Analisis Deskriptif Efisiensi Teknis dan Efisiensi Ekonomis Rata-rata di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara BUMN dengan Swasta................................................................................85 BAB V Kesimpulan ......................................................................................87 A. Kesimpulan ...............................................................................................87 B. Saran ..........................................................................................................88 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................89 LAMPIRAN
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Perkembangan Areal, Produksi dan Produktivitas Tebu di Propinsi Jawa Timur Tahun 2001 – 2007 ..................................................................5 Tabel 1.2 Perkembangan Areal, Produksi dan Produktivitas Tebu di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2001 – 2007 ..................................................................6 Tabel 4.1 Perkembangan Produksi dan Produktifitas Gula Indonesia ......…63 Tabel 4.2 Data Tahun Berdiri dan Kapasitas Giling Pabrik Gula .................74 Tabel 4.3 Data Produksi, Jumlah Tenaga Kerja dan Penerimaan Gula ........76 Tabel 4.4 Data Biaya Tebu Digiling, Biaya Bahan Bakar, Biaya Tenaga Kerja Tetap, Biaya Tenaga Kerja Sementara dan Harga Gula ......................77 Tabel 4.5 Hasil Olahan DEA .......................................................................78 Tabel 4.6 Hasil Olahan DEA PG Gondang Baru ..........................................79 Tabel 4.7 Hasil Olahan DEA PG Tasikmadu................................................80 Tabel 4.8 Hasil Olahan DEA PG Sragi .........................................................80 Tabel 4.9 Hasil Olahan DEA PG Sudhono ...................................................81 Tabel 4.10 Hasil Olahan DEA PG Rendeng .................................................81 Tabel 4.11 Hasil Olahan DEA PG Purwodadi ..............................................82 Tabel 4.12 Hasil Olahan DEA PG Candi Baru .............................................83 Tabel 4.13 Hasil Olahan DEA PG Rejoagung ..............................................83
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.14 Hasil Olahan DEA PG Semboro .................................................84 Tabel 4.15 Hasil Olahan DEA PG Pangka....................................................84 Tabel 4.16 Hasil Perhitungan Efisiensi Teknis dan Efisiensi Ekonomis Jawa Tengah dan Jawa Timur ........................................................................85 Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Efisiensi Teknis dan Efisiensi Ekonomis BUMN dan Swasta ........................................................................................86
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Proses Produksi ........................................................................8 Gambar 2.2 Kurva Total Product, Marginal Product, Average Product ......12 Gambar 2.3 Garis Batas Produksi dan Efisiensi Teknis ..............................14 Gambar 2.4 Produktifitas, Efisiensi Teknis dan Skala Ekonomi ................15 Gambar 2.5 Perubahan Teknis Diantara Dua Periode .................................16 Gambar 2.6 Kurva Isoquant .........................................................................18 Gambar 2.7 Kurva Isocost ............................................................................20 Gambar 2.8 Kurva Keseimbangan Konsumen .............................................22 Gambar 2.9 Efisiensi Teknik dan Alokatif...................................................25 Gambar 2.10 Ukuran Orientasi Out-put Efisiensi Teknis ............................28 Gambar 2.11 Efisiensi Teknis dan Alokatif Dari Orientasi Output .............29 Gambar 2.12 Kerangka Pemikiran ...............................................................38
commit to user
xv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT ANALYSIS OF SUGAR FACTORY PRODUCTION EFFICIENCY AND PRIVATE IN SOEs (STATE OWN CORPORATION) CENTRAL JAVA AND METHOD WITH EAST JAVA DEA (DATA ENVELOPMENT ANALYSIS) YEAR 2008 Ika Setiawan NIM. F0105063
Sugar industry in Indonesia has experienced the glory era of the 1930s where there are 179 units operating sugar mills with a yield of 12% and productivity crystal reached 15 tons / ha. Decrease in acreage is the reason the reduction in the number of sugar factories and the low yield resulted in declining productivity of rock crystal. So this study aims to measure the efficiency of state-owned sugar mills in private by taking samples in the central Java and East Java, where these areas contribute greatly in sugar production in Indonesia. In measuring the efficiency of the sugar factory production methods used Data Envelopment Analysis (DEA) where the amount of sugarcane milled, the amount of fuel, the number of permanent workers and temporary employment as production inputs while the output of sugar factories to calculate technical efficiency and to calculate the added revenue efficiency milled sugarcane costs, fuel costs, labor costs fixed and temporary labor costs for inputs and the outputs added untu factory price of sugar production. The available data is secondary data which was taken 9 sugar factories in Central Java and 7 sugar factories in East Java. Based on the analysis can be concluded that the number of samples from 16 existing sugar factories in Central Java and East Java, there were 10 sugar mills that have not been efficient. Sugar mill that has not been efficient, among others: PG New GODANG 80.45%, 83.30% TASIKMADU PG, PG Sragi 86.62%, 89.61% Sudhono PG, PG Rendeng 92.65%, 92.90% PG Purwodadi , PG Candi Baru 94.49%, 95.00% Rejoagung PG, PG Semboro 95.14% and 96.15% Pangka PG. Efficient sugar mills namely Jatibarang PG, PG Jatiroto, PG Mojo, Pagottan PG, PG and PG Trangkil Sumberharjo. While the average results of technical and economic efficiency obtained results indicate that sugar factories in East Java is more efficient than a sugar factory in Central Java with an efficiency of 95.30% for the average technical efficiency of East Java and Central Java to 93.24% whereas East Java economic efficiency of 97.65% and 96.61% in Central Java and the average results of the technical and economic efficiency obtained results that the private sugar mills more efficient than state-owned sugar pabril with the technical efficiency level of 96.49% for plant Private sugar and 93.60% for state-owned sugar factories and the level of economic efficiency of private sugar factories for 98.24% and 96.79% for state-owned sugar factories. The cause of the inefficiency of the sugar factory comes from the input (amount of sugarcane milled, the amount of fuel, the number of permanent workers and temporary employment), namely the allocation does not match the input and output requirements (production of sugar mills), namely the achievement of outputs that are not accordance with the usage of inputs. Suggestions proposed for the sugar factories are not efficient Reducing waste commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
from the input side, for example by using fuel as the amount in accordance with the needs, not too much to use fixed labor and labor because it would increase labor costs themselves and Transferring ownership PG SOEs to sugarcane farmers through APTRI then formed a mini sugar factories to ensure the raw material needs. Keywords: Sugar Factory, Efficiency, DEA.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Usaha tebu di Jawa merupakan peninggalan sistem perkebunan jaman kolonial di mana tanah-tanah sawah milik petani dalam sebuah desa disewa selama 15-16 bulan secara bergiliran dengan desa-desa lain dalam wilayah kerja pabrik gula (Mubyarto, 1984:91). Jaman kemerdekaan membawa suasana kebebasan bagi petani dalam hubungan persewaan tanah dengan pabrik-pabrik gula. Perkembangan penduduk yang pesat pada giliranya memberikan tekanan pada keperluaan penggunaan tanah untuk tanaman padi, maka tanaman tebu mulai terdesak. Sejak tahun 1958 pabrik gula semuanya menjadi milik negara, namun suasana hubungan tetap diwarnai oleh hubungan yang tidak harmonis. Pertentangan
kepentingan
lebih
menonjol
daripada
kerjasama
saling
menguntungkan. Pemerintah daerah setempat menjadi penengah dalam proses tawar-menawar tingkat sewa tanah, sampai akhirnya pemerintah menganggap perlu menghapuskan sama sekali sistem sewa tanah ini dan menggantikan dengan sistem TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi), dimana petani yang tergabung dalam kelompok tani menanami sendiri tanahnya dengan tebu dan pabrik gula menggiling tebu petani. Perbedaan yang menonjol antara sistem TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) dengan sistem sewa yang berlaku sebelumnya adalah, bahwa dalam sistem TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) lebih banyak lagi pihak
commit to user 1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang terlibat, masing-masing dengan kepentingannya sendiri. Peranan sektor swasta dalam sistem TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) makin penting, yaitu dalam pengangkutan, pemasaran gula bagian petani dan pemberian jasa pada umumnya dalam produksi dan pemasaran. Peranan pemerintah pun juga bertambah besar yaitu dalam rangka penyampaian dan penerangan berbagai peraturan pemerintah mengenai penyelenggaraan TRI (Tebu Rakyat Intensifikasi) (Mubyarto, 1984:92). Indonesia mengalami era kejayaan industri gula pada tahun 1930-an. Pabrik gula yang beroperasi adalah 179 unit, produktifitas sekitar 14,8 persen dan rendemen mencapai sekitar 2,4 juta ton dengan produksi puncak mencapai 3 juta ton (Sudana dalam Wayan R Susila dan Bonar M Sinaga, 2005:2). Pemerintah sudah saatnya menaruh perhatian lebih kepada industri gula di Indonesia yang merupakan industri strategis untuk dikembangkan guna menanggulangi kerawanan pangan apalagi pada tahun 2002 target swasembada gula pernah dicanangkan untuk tercapai pada tahun 2007 melihat dari kenyataan tersebut. Pencapaian swasembada gula konsumsi atau gula putih diundur menjadi tahun menjadi 2009 (Bustanul Arifin, 2008:1), pengunduran target swasembada gula menunjukkan bahwa kebijakan yang sudah diberlakukan belum efektif untuk mendorong produktifitas gula. Kebijakan impor gula yang dilakukan pemerintah dengan alasan menjaga ketersediaan stock akhirnya berakibat pada anjloknya harga gula di pasaran yang merugikan petani sehingga banyak lahan tebu yang kemudian berlaih fungsi ke tanaman palawija yang dinilai petani lebih menguntungkan. Areal tebu di Pulau Jawa terdiri dari lahan sawah 40% dan lahan tegalan 60%. Tebu tidak mampu
commit to user 2
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bersaing dengan tanaman alternatif (khususnya tanaman pangan), maka sejak akhir tahun 80-an tanaman tebu telah tersingkir dari lahan sawah berpengairan teknis. Tanaman tebu di Pulau Jawa sebagian besar berada di lahan sawah tadah hujan dan tegalan, sementara di Luar Jawa berada di lahan kering (tegalan) merupakan akibat dari ketidakmampuan tanaman tebu bersaing (Kurnia Suci dan A Husni, 2006:14). Penurunan drastis harga raw sugar di Bursa Berjangka New York dari 18,93 cents/1b pada Februari 2006 menjadi 11,05 cents/ 1b pada Juni 2007 memberikan gambaran tidak baik tentang harga gula dalam beberapa waktu mendatang, gambaran tentang murahnya harga diperkuat tingginya stok awal 2007/2008 yang meningkat hampir 12,0 juta ton dari 64,555 juta ton menjadi 76,447 juta ton dibanding tahun sebelumnya (IKAGI dalam MID Kongres, 2007:6). Kondisi melimpah stock gula nasional menghadapkan industri gula nasional persoalan sulit tentang persaingan masuknya raw sugar ke dalam negeri. Persoalan industri gula nasional ditambah dengan persoalan gula rafinasi yang sebenarnya diperuntukkan untuk industri makanan dan minuman berskala besar belakangan masuk ke pasar industri pengolahan makanan dan minuman berskala kecil atau rumah tangga (Suara Karya, 7 Januari 2008). Persoalan gula rafinasi menunjukkan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pemerintah masih memberikan celah kepada penyalahgunaan gula rafinasi. Persoalan gula rafinasi membutuhkan kebijakan proteksi dan pembenahan internal dengan meningkatkan produksi sehingga dapat bersaing di pasar internasional harus dilakukan dengan proses produksi yang lebih efisien guna meningkatkan rendemen.
commit to user 3
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penurunan produksi, produktifitas dan rendemen tebu Indonesia saat ini sangat mengkhawatirkan, sehingga ketergantungan terhadap gual impor tidak dapat terbantahkan (Bustanul Arifin, 2004:170), namun efisiensi produksi dan peningkatan produktifitas dapat menjadi solusi dari ketergantungan gula impor. Salah satu cara melakukan efisiensi produksi adalah dengan mengalihkan proses karbonatasi ke sulfitasi dengan tujuan menekan biaya proses pengolahan dan dapat menurunkan harga pokok produksi. Proses pengolahan memiliki pengaruh besar pada hasil rendemen selain kualitas tebu itu sendiri, menurunnya produksi gula banyak disebabkan karena rendahnya rendemen pabrik gula nasional. Krisis di industri gula terus berlangsung menyebabkan petani akan lebih memilih menanam komoditi lain yang lebih menguntungkan yang berakibat pada pasokan tebu ke pabrik gula berkurang, sedangkan kebutuhan gula Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat sejalan dengan pertambahan penduduk dan kesejahteraan masyarakat, berkembangnya industri makanan dan minuman juga turut memberikan kontribusi pada peningkatan konsumsi gula karena cukup banyak industri makanan dan minuman yang menggunakan gula sebagai salah satu bahan bakunya. Konsumsi gula nasional dari tahun 1983 sampai dengan 2002 meningkat dengan tingkat pertumbuhan rata-rata sebesar 2,88% per tahun padahal diketahui bersama bahwa selama tahun 1993 sampai dengan 1999 produksi gula mengalami penurunan yang cukup signifikan yaitu rata-rata sebesar 1,90 % per tahun karena penurunan luas areal pertanaman serta terdistorsinya gula dalam negeri akibat harga gula internasional yang cenderung menurun (Masyhuri, 2005:37). Kondisi permintaan gula yang tinggi merupakan potensi untuk
commit to user 4
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
meningkatkan produksi, namun kondisi lahan yang semakin sempit dan rendemen yang rendah merupakan hambatan yang harus diatasi agar petani lebih memilih untuk menanam tebu dibandingkan dengan komoditas pertanian lain. Kelemahan
utama
industri
gula
di
Indonesia
saat
ini
adalah
terkonsentrasinya PG (Pabrik Gula) di Pulau Jawa, sehingga tidak mampu bersaing dengan komoditas tanaman pangan yang mendapat perhatian dan proteksi yang lebih besar dari pemerintah. Penurunan produksi dan produktivitas tebu, khususnya di sentra produksi tebu di Jawa sebagai dampak adanya pergeseran pengusahaan tebu dari lahan sawah ke lahan kering (Soentoro dalam Mewa Ariani dkk, 2006:2), terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang merupakan sentra tanaman tebu di Indonesia. Perkembangannya kondisi di Jawa Timur lebih baik daripada di Jawa Tengah yang luas lahan dan produksinya berada dibawah Jawa Timur. Tabel 1.1 menunjukkan perkembangan luas areal, produksi dan produktifitas di provinsi Jawa Timur. Tabel 1.1 Perkembangan Areal, Produksi dan Produktivitas Tebu di Propinsi Jawa Timur Tahun 2001 – 2007 Tahun Giling 2001 2002 2003
Areal (Ha) 146.678,02 162.132,63 148.816,80
Produksi Tebu (Ton) 11.257.946,10 12.632.845,10 11.088.893,49
Produktivitas (Ton/Ha) 76,46 77,64 70,00
Rendemen (%) 6,27 6,60 6,88
2004
150.291,56
12.664.271,25
81,33
6,82
2005
169.834,60
15.506.118,96
87,50
6,48
2006 175.403,70 14.986.333,73 92,42 2007 194.459,35 17.404.657,20 87,37 Sumber: Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, 2009
7,27 6,84
commit to user 5
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 1.2 Perkembangan Areal, Produksi dan Produktivitas Tebu di Propinsi Jawa Tengah Tahun 2001 – 2007 Tahun Giling 2001 2002 2003
Areal (Ha) 34.149,84 40.595,90 34.645,11
Produksi Tebu (Ton) 2.096.406,10 2.559.135,30 2.136.695,70
Produktivitas (Ton/Ha) 61,92 63,83 62,96
Rendemen (%) 6,18 6,34 6,87
2004 2005
37.112,45 41.645,85
2.470.684,00 2.763.671,30
67,69 68,64
6,88 6,81
2006 42.577,22 2.814.843,50 66,12 2007 47.430,88 3.162.111,30 66,99 Sumber: Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, 2009
7,00 6,63
Tabel 1.1 dan tabel 1.2 menunjukkan bahwa luas areal lahan di Jawa Timur lebih luas dibandingkan di Jawa Tengah yang berdampak pada produktivitas di Jawa Timur lebih tinggi daripada di Jawa Tengah bahkan pada tahun 2007 di Jawa Timur dengan luas areal 194.459,35 Ha dapat mencapai produksi sebesar 17.404.657,20 ton sedangkan di Jawa Tengah hanya 3.162.111,30 ton dari luas areal 47.430,88 Ha. Melihat perbandingan luas areal dan produktivitas lahan Jawa Timur lebih unggul daripada Jawa Tengah maka penelitian ini bertujuan untuk melihat efisiensi Pabrik Gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
commit to user 6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Perumusan Masalah Luas areal tanaman tebu, produksi tebu dan produktivitas tebu di Jawa Timur lebih unggul daripada di Jawa Tengah tetapi rendemen tidak jauh berbeda, jadi pabrik gula memiliki peran dalam proses produksi, maka dari itu penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah Pabrik Gula Swasta lebih efisien dibandingkan Pabrik Gula BUMN? 2. Apakah Pabrik Gula di Jawa Timur lebih efisien dibandingkan di Jawa Tengah?.
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan
permasalahan
penelitian
seperti
telah
diungkapkan
sebelumnya, maka tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah : 1. Untuk mengukur efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis Pabrik Gula BUMN dan Swasta. 2. Untuk mengukur efisiensi teknis, alokatif dan ekonomis Pabrik Gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
D. Manfaat Penelitian Dengan melaksanakan penelitian ini, diharapakan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut : 1. Menambah khasanah wawasan ilmu ekonomi. 2. Untuk mengetahui keputusan manajerial yang dapat diambil bagi pabrik gula yang belum efisien.
commit to user 7
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Produksi 1. Pengertian Produksi Produksi adalah suatu kegiatan yang mengubah input menjadi output (Sugiarto, 2002:202). Kegiatan produksi dinyatakan dengan dalam fungsi produksi dalam ekonomi. Fungsi produksi menunjukkan jumlah maksimum output yang dapat dihasilkan dari pemakaian sejumlah input dengan menggunakan teknologi tertentu. Gambar 2.1 menunjukkan proses produksi. Gambar 2.1 Proses Produksi Input (kapital, tenaga kerja, tanah, sumber alam, keahlian) keusahawanan) Sumber: Sugiarto, 2002 :202
Fungsi produksi (dengan teknologi tertentu)
Output (Barang atau jasa)
Secara matematis, fungsi produksi dapat dituliskan sebagai berikut : Q = f (L, K, X, E) Dimana : Q
= Output
L, K, X, E
= Input (Tenaga kerja, kapital, bahan baku, keahlian keusahawan).
Hubungan antara input dan output cukup komplek karena beberapa input atau faktor produksi secara bersama-sama mempengaruhi output
commit to user 8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
(Faried, 1991:211). Analisis sementara dianggap bahwa faktor-faktor produksi lain yang digunakan kecuali tenaga kerja tetap konstan kuantitasnya, sehingga dapat diketahui secara lebih jelas bagaimana pengaruh suatu faktor produksi terhadap kuantitas produksi. Hal ini dapat dituliskan sebagai berikut : Q = f (L, K , X , E) Tanda bar menyatakan bahwa faktor-faktor produksi tersebut konstan tidak berubah sehingga secara lebih sederhana dapat dituliskan sebagai berikut: Q = f (L) Artinya bahwa kuantitas yang diproduksi dipengaruhi oleh banyaknya tenaga kerja yang digunakan saja, bila salah satu faktor produksi merupakan faktor yang dapat diubah (variabel input) untuk menghasilkan sejumlah output, sedangkan faktor produksi lain dianggap tetap (fixed input) maka kegiatan produksi perusahaan dikatakan berada dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang, semua faktor produksi merupakan faktor variabel yang dapat diubah (variabel input). 2. Produksi jangka panjang Konsep produksi jangka panjang mengacu pada periode waktu produksi, dimana semua input dalam proses produksi merupakan input variabel, tidak ada input tetap (Vincent, 1999:207). Dalam produksi jangka panjang, perusahaan mempunyai lebih banyak kesempatan untuk merubah
commit to user 9
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pemakaian input yang tadinya tidak dapat diubah. (Sugiarto, 2002:214). Input yang tadinya merupakan input tetap maka dalam jangka panjang dapat diubah menjadi input variabel. Fungsi produksi jangka panjang dapat dituliskan sebagai berikut : Q = f (K, L) Dimana : Q = Output (fungsi dari perubahan L dan Pemakaian K tetap) K = kapital (input variabel) L = tenaga kerja (input variabel) Dalam produksi jangka panjang perusahaan dapat melakukan penyesuaian terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di pasar (Sugiarto, 2002:204). Jumlah alat-alat produksi dapat ditambah, pengunaan mesin-mesin dapat dirombak dan ditingkatkan efisiensinya, jenis-jenis komoditas baru dapat dihasilkan. 3. Produksi Dengan Satu Input Variabel Teori produksi yang sederhana menggambarkan hubungan antara tingkat produksi suatu komoditas dengan satu faktor produksi yang variabel. Hubungan antara tingkat produksi suatu komoditas dengan satu faktor produksi yang variabel terdapat faktor produksi tetap yang jumlahnya tidak berubah. Perusahaan menekankan pada hubungan antara jumlah karyawan dengan jumlah produksi kita misalkan dalam kasus ini. Menggunakan fungsi produksi tersebut dapat diketahui hubungan antara Total Product (Q), Marginal product (MP), dan Average Product (AP).
commit to user 10
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Total Product (TP) merupakan jumlah produksi total yang dihasilkan oleh suatu proses produksi. Biasa dilambangkan dengan TP atau Q. Marginal Product (MP) merupakan perubahan produksi yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan satu satuan faktor produkasi variabel, misal faktor produksi variabel merupakan tenaga kerja maka marginal productnya dikenal dengan marginal product of labour (MPL). Dalam penghitungannya dapat menggunakan formula : MPL =
DQ DL
Average Product (AP) menunjukkan besarnya rata-rata produksi yang dihasilkan oleh setiap penggunaan faktor produksi variabel. Jika L merupakan tenaga kerja yang digunakan, maka Average Productnya disebut sebagai Average Product of labour (APL) dimana formulasinya adalah : APL =
Gambar
Q L
2.2 Kurva Total Product, Marjinal Product, Average Product
menunjukkan tahap-tahap produksi:
commit to user 11
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.2 Kurva Total Product, Marjinal Product, Average Product Q
49 40
I
II
TP
III
18 0
2
4
8
L
Q
I
13
II
III
10
MPL 0
2
4
APL
8
Sumber : Sugiarto, 2002 : 209
L
Berdasarkan kurva tersebut secara matematis menunjukkan bahwa Q maksimum akan dicapai pada saat Q’ (turunan pertama fungsi Q) = 0. MPL maksimum akan dicapai pada saat MPL’ = 0, dan APL maksimum dicapai pada saat APL’ = 0. Pada saat APL mencapai maksimum, MPL berpotongan dengan APL. Hal ini disebabkan karena pola dari marginal product. Berdasarkan gambar terlihat bahwa pada saat MPL naik maka APL juga naik. Saat MPL menurun, maka APL akan naik selama nilai MPL>APL. Saat MPL terus turun dan nilai MPL<APL maka APL akan menurun, karena pola seperti inilah maka MPL memotong APL pada saat APL maksimal. Berdasarkan contoh, ini terjadi pada saat L = 4 orang.
commit to user 12
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Saat AP mencapai maksimum, akan tercapai kondisi Efisiensi Teknis. Kaitannya dengan konsep efisiensi teknis ini suatu tingkat pemakaian faktor produksi dikatakan lebih efisien dari tingkat pemakaian yang lain apabila dapat memberikan AP yang lebih besar. Di sisi lain seringkali perusahaan lebih memfokuskan perhatian pada konsep Efisiensi ekonomis dibandingkan efisiensi teknis. Berdasarkan hal ini efisiensi ekonomis tercapai pada saat pemakaian faktor produksi tersebut menghasilkan keuntungan
yang
maksimum. Dalam Coelli (2005:3) pada gambar 2.3 untuk menggambarkan konsep yang layak mengatur produksi yang merupakan himpunan semua kombinasi input-output yang layak. Himpunan terdiri dari semua titik perbatasan antara produksi OF' dan sumbu-x (termasuk batas ini). Titik produksi sepanjang perbatasan menentukan sub himpunan efisien produksi layak ditetapkan. Keuntungan utama dari himpunan representasi dari teknologi produksi dibuat jelas ketika kita membahas multi input-output produksi dan penggunaan fungsi jarak pada bab selanjutnya. Gambar garis batas produksi dan efisiensi teknis dapat dilihat pada Gambar 2.3 Garis Batas Produksi dan Efisiensi Teknis
commit to user 13
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.3 Garis Batas Produksi dan Efisiensi Teknis
Sumber: Coelli, 2005 : 4
Untuk menggambarkan perbedaan antara efisiensi teknis dan produktivitas menggunakan gambar 2.4. dalam gambar ini, menggunakan sinar melalui titik asal untuk mengukur produktivitas di titik data tertentu. Kemiringan sinar ini adalah y/x dengan demikian memberikan ukuran produktivitas. Jika perusahaan beroperasi pada titik A untuk pindah ke efisien secara teknis pada titik B. Namun dengan bergerak ke titik C sinar bersinggungan dengan perbatasan produksi dengan demikian menentukan titik maksimum yang mungkin produktivitas. Gerakan yang terakhir adalah contoh dari mengeksploitasi skala ekonomi. Titik C adalah titik (secara teknis) skala optimal. Beroperasi pada titik lain di perbatasan produksi menghasilkan produktivitas yang lebih rendah. Gambar produktifitas, efisiensi teknis dan skala ekonomi dapat dilihat pada Gambar 2.4 Produktifitas, Efisiensi Teknis dan Skala Ekonomi
commit to user 14
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.4 Produktifitas, Efisiensi Teknis dan Skala Ekonomi
Sumber: Coelli, 2005 : 5
Dari pembahasan di atas tidak termasuk komponen waktu. Ketika seseorang mempertimbangkan perbandingan produktivitas melalui waktu. Sumber tambahan perubahan produktivitas, yang disebut perubahan teknis, adalah mungkin. yang melibatkan kemajuan teknologi yang dapat diwakili pergeseran ke atas perbatasan produksi. Ini menggambarkan gambar 2.5 oleh gerakan batas produksi dari 0F0 'dalam periode 0 sampai 0F1' dalam periode 1. Pada periode 1, semua perusahaan secara teknis dapat menghasilkan lebih banyak output untuk tiap tingkat masukan relatif terhadap apa yang mungkin dalam periode 0. Contoh perubahan teknis adalah pemasangan boiler baru untuk listrik tenaga batubara yang memperluas potensi produktivitas tumbuh melampaui batas sebelumnya.
commit to user 15
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar perubahan teknis diantara dua periode dapat dilihat pada Gambar 2.5 Perubahan Teknis Diantara Dua Periode
Gambar 2.5 Perubahan Teknis Diantara Dua Periode
Sumber: Coelli, 2005 : 6
Ketika kita mengamati bahwa suatu perusahaan telah meningkatkan produktivitas dari tahun ke tahun berikutnya. Perlu perbaikan dari peningkatan efisiensi sendiri, tetapi mungkin saja karena perubahan teknis atau eksploitasi skala ekonomi dari beberapa kombinasi dari ketiga faktor. Sampai titik ini diskusi telah melibatkan semua besaran fisik dan hubungan teknis. Kita belum membahas masalah-masalah seperti biaya atau keuntungan. Jika informasi harga yang tersedia dan asumsi perilaku seperti minimalisasi biaya atau maksimisasi laba adalah ukuran kinerja yang tepat maka dapat disusun dengan memasukkan informasi ini. Dalam kasus-kasus seperti itu mungkin untuk mempertimbangkan efisiensi alokatif. Di samping efisiensi
commit to user 16
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
teknis. Efisiensi alokatif dalam seleksi input memilih melibatkan campuran input (misalnya tenaga kerja dan modal) yang menghasilkan jumlah output yang diberikan pada biaya minimum (diberi harga input yang berlaku). Efisiensi alokatif dan teknis digabungkan untuk memberikan ukuran efisiensi ekonomi secara keseluruhan. 4. Produksi Dengan Dua (semua) Input Variabel Berdasarkan analisis dengan dua (semua) input variabel dimisalkan bahwa terdapat dua jenis faktor produksi yang dapat diubah jumlahnya, misalnya tenaga kerja dan modal. a. Kurva Produksi Sama (Isoquant) Kurva isoquant adalah suatu kurva atau tempat kedudukan titiktitik kombinasi yang menunjukkan semua kombinasi input yang mungkin secara fisik mampu menghasilkan kuantitas output yang sama.(Vincent, 1999:207). Karakteristik dari kurva isoquant adalah : 1) Kurva isoquant merupakan fungsi kontinu, serta kurva-kurva isoquant tidak saling berpotongan. 2) Semua kombinasi rasional dari input sumber daya yang menghasilkan output yang sama, terletak pada satu kurva isoquant yang memiliki slope negatif dan berbentuk cembung (convex). 3) Kurva isoquant Q2 yang menempati kedudukan lebih tinggi, terletak di atas atau disebelah kanan dari kurva isoquant Q1, menunjukkan bahwa kombinasi input pada kurva isoquant Q2 itu mampu menghasilkan
commit to user 17
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kuantitas output yang lebih tinggi daripada kombinasi input pada kurva isoquant Q1 (Q2>Q1). Gambar kurva Isoquant dapat dilihat pada Gambar 2.6 Kurva Isoquant Gambar 2.6 Kurva Isoquant
Sumber : Sadono, 2005:20 Berdasarkan kurva Isoquant tersebut titik A menunjukkan gabungan antara tenaga kerja dan modal, bahwa dengan menggunakan 1 unit tenaga kerja dan 6 unit modal dapat menghasilkan produksi yang diinginkan yaitu sebanyak 1000 unit. Titik B menunjukkan bahwa dengan mengurangi 6 unit modal dan menambah tenaga kerja menjadi 2 unit dapat menghasilkan output sebanyak 2000 unit. Pada titik C terlihat bahwa dengan menambah tenaga kerja menjadi 3 unit dan mengurangi modal menjadi 2 unit, dapat dihasilkan output sebanyak 3000 unit. Titik D menunjukkan bahwa yang diperlukan untuk menghasilkan output sebanyak 4000 unit, diperlukan 6 tenaga kerja dan mengurangi modal menjadi 1 unit.
commit to user 18
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Kurva tersebut merupakan gambar dari kurva isoquant atau kurva produksi sama, yaitu kurva tersebut menggambarkan tenaga kerja dan modal yang akan menghasilkan tingkat produksi tertentu. Semakin jauh dari titik 0 letaknya kurva, maka semakin tinggi tingkat produksi yang ditunjukan (Sadono,2005:200). b. Kurva Garis Biaya Sama (Isocost) Penghematan biaya produksi dalam proses produksi dan sekaligus memaksimumkan keuntungan, perusahaan harus meminimumkan biaya produksi. Analisis mengenai peminimuman biaya produksi dilakukan dengan membuat garis biaya sama atau isocost (Sadono,2005:201). Kurva isocost adalah Kurva yang menunjukkan kombinasi faktor produksi yang dapat dibeli dengan tingkat pengeluaran uang tertentu. Pengeluaran uang untuk membeli faktor-faktor produksi merupakan biaya total (TC) (Faried, 1991: 237). Pembuatan kurva isocost memerlukan data harga faktor-faktor produksi yang digunakan dan jumlah uang yang tersedia untuk membeli faktor-faktor produksi. Misal, upah tenaga kerja adalah Rp 10.000 dan biaya modal per unit Rp 20.000, sedangkan uang yang tersedia adalah Rp 80.000. Kurva isocost dapat dilihat pada gambar 2.7 Kurva Isocost seperti berikut di bawah ini :
commit to user 19
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.7 Kurva Isocost
Sumber : Sadono, 2005 :201 Garis TC pada gambar menunjukkan gabungan antara tenaga kerja dan modal yang dapat diperoleh dengan menggunakan Rp 80.000 apabila upah tenaga kerja dan biaya modal per unit adalah sebesar Rp 10.000 dan Rp 20.000. uang tersebut apabila digunakan untuk memperoleh ”modal” saja maka akan diperoleh 80.000/20.000 = 4 unit, dan kalau digunakan untuk memperoleh tenaga kerja saja akan memperoleh 80.000/10.000 = 8 unit, dan seterusnya. Titik A pada TC menunjukkan dana sebanyak Rp 80.000 dapat digunakan untuk memperoleh 2 unit modal dan 4 unit pekerja. Garis isocost yang lain ditunjukkan TC1, TC2, dan TC3, garis-garis tersebut menunjukkan garis biaya yang sama apabila jumlah uang yang tersedia adalah Rp 100.000, Rp 120.000, dan Rp 140.000. c. Keseimbangan Produsen Keseimbangan produsen diartikan sebagai tingkat output maksimal yang dapat dihasilkan dengan sejumlah biaya tertentu atau jumlah dana minimal yang diperlukan untuk menghasilkan sejumlah output tertentu.
commit to user 20
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Produsen dapat meminimumkan biaya produksi untuk menghasilkan sejumlah output tertentu dengan memilih kombinasi input dimana slope dari isoquant sama dengan isocost (Sugiarto, 2002:233). 1) Memaksimumkan Produksi Contoh umtuk memaksimalkan produksi, misal biaya yang dibelanjakan untuk membeli per unit modal adalah Rp 15.000, upah tenaga kerja adalah Rp 10.000, dan biaya yang disediakan oleh produsen adala Rp 300.000. dengan uang sebanyak Rp 300.000 produsen dapat sekiranya membeli satu jenis faktor produksi saja memperleh 20 unit modal dan 30 unit tenaga kerja. Berdasarkan gambar 2.4 terdapat 5 titik yang terletak pada berbagai kurva produksi sama yang merupakan titik perpotongan atau titik persinggungan dengan garis TC2 yaitu A, B, C, D, dan E. Dari kelima titik ini, titik E terletak di kurva produksi sama yang paling tinggi, yaitu kurva produksi sama pada tingkat produksi sebanyak 2500 unit. Ini berarti gabungan yang diwujudkan oleh titik E akan memaksimumkan jumlah produksi yang dapat dibiayai oleg uang sebanyak Rp 300.000. gabungan tersebut terdiri dari 12 unit modal dan 12 unit tenaga kerja. Gambar 2.8 menunjukkan Kurva keseimbangan produsen.
commit to user 21
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.8 Kurva Keseimbangan Produsen
Sumber : Sugiarto, 2002 2) Meminimumkan Biaya Analisis mengenai persoalan dalam meminimumkan biaya produksi dapat dibuat dengan pemisalan pemisalan mengenai tingkat produksi yang ingin dicapai. Gambaran dari analisis meminimumkan biaya misalnya, produsen ingin memproduksi sebanyak 1500 unit. berdasarkan gambar 2.5 keinginan ini digambarkan oleh kurva produksi sama IQ. Berdasarkan gambar 2.5 dilihat bahwa kurva tersebut dipotong atau disinggung oleh garis-garis biaya di 5 titik, yaitu titik A, B, Q, R, dan P. Titik-titik ini menggambarkan gabungan antara tenaga kerja dan modal yang dapat digunakan untuk menghasilkan produksi sebanyak yang diinginkan. Gabunan-gabungan tersebut yang biayanya paling minimum adalah gabungan yang ditunjukan oleh titik yang terletak pada garis biaya sama (isocost)
commit to user 22
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
yang paling rendah. Titik P adalah pada garis biaya sama (yang menyinggung kurva produksi sama IQ) yang paling rendah, yaitu garis TC. Dengan demikian titik ini menggambarkan gabungan tenaga kerja dan modal yang akan membutuhkan biaya yang paling minimum untuk menghasilkan 1500 unit. Faktor produksi ini terdiri dari 9 tenaga kerja dan 8 unit modal, dan baya yang dikeluarkan adalah Rp 210.000. B. Teori Efisiensi Efisiensi adalah ukuran yang menunjukkan bagaimana baiknya sumbersumber daya ekonomi dalam proses produksi untuk menghasilkan output. Dalam ekonomi manajerial berkaitan dengan konsep efisiensi produksi, ada dua macam efisiensi, yaitu : efisiensi teknik (technical efficiency) dan efisiensi ekonomis (economic efficiency) (Vincent, 1999:190). Efisiensi teknik mengacu pada tingkat output maksimum yang secara teknik produksi dapat dicapai dari penggunaan kombinasi input tertentu dalam proses produksi itu. Efisiensi ekonomis mengacu pada kombinasi penggunaan input yang secara ekonomis mampu menghasilkan output tertentu dengan biaya yang seminimum mungkin pada tingkat harga input yang berlaku saat itu. Efisiensi sangat diperlukan dalam perusahaan demi kelangsungan perusahaan. Perusahaan dalam proses produksi dapat menggunakan satu input variabel ataupun dengan dua atau lebih input variabel dalam penciptaan efisiensi. Farrell (1957) dalam Guntur Riyanto (2009:21) mengajukan bahwa efisiensi sebuah firma terdiri dari dua komponen efisiensi teknis, yang mencerminkan kemampuan sebuah firma untuk memperoleh output maksimal
commit to user 23
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dari rangkaian input tertentu, dan efisiensi alokatif, yang mencerminkan kemampuan sebuah firma untuk menggunakan input dalam proporsi optimal, mengingat adanya harga respektif dan teknologi produksi. Dua ukuran tersebut selanjutnya digabungkan untuk memberikan sebuah ukuran total efisiensi ekonomi.
1. Ukuran-Ukuran Orientasi Input Coelli (2005:52) Efisiensi teknis (TE) sebuah firma biasanya diukur oleh rasio itu. TE = OQ / OP Sebuah nilai nol dan satu diambil, dan memberikan sebuah indikator tingkat efisiensi teknis firma itu. Nilai satu mengimplikasikan bahwa firma secara teknis adalah efisien. Misalnya, titik Q secara teknis adalah efisien sebab ini terletak pada isoquant efisien. Gambar 2.9 berikut ini menunjukkan Efisiensi Teknik dan Alokatif
commit to user 24
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.9 Efisiensi Teknik dan Alokatif. xyq S P
A
Q
R Q’ S’ 0
A’
xyq
Sumber : Coelli (2005: 52)
Berdasarkan Coelli (2005:53), ukuran orientasi-input efisiensi teknis sebuah firma dapat diungkapkan dalam istilah fungsi -input di(x,q) sebagai berikut: TE = 1/di(x,q) Firma yang dipertimbangkan secara teknis juga efisien jika ini terletak di batasannya, sejauh kasus TE = 1 dan d1(x,q) sama dengan 1. Keberadaan informasi harga input, tidak mustahil untuk mengukur efisiensi biaya firma yang
dipertimbangkan
merepresentasikan
menjadi
vektor
harga
penyebabnya. input
dan
Anggaplah
bahwa
w
anggaplah
bahwa
x
merepresentasikan vektor terobservasi input yang digunakan terkait dengan titik P. Anggaplah bahwa x dan x* merepresentasikan vektor input yang terkait dengan titik Q yang secara teknis adalah efisien dan vektor input
commit to user 25
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
minimalisasi-biaya di Q’. Jadi, efisiensi biaya suatu firma didefinisikan sebagai rasio biaya-biaya input yang terkait dengan vektor input, x dan x*, yang terkait dengan titik P dan Q’.
CE =
w1 x* = OR / OP w1 x
Apabila rasio harga input, yang direpresentasikan oleh kemiringan garis isocost maka ukuran-ukuran efisiensi alokatif dan efisiensi teknis dapat dikalkulasi dengan menggunakan garis isocost. Hal tersebut disajikan oleh Coelli (2005: 53):
AE =
w1 x* OR = w1 x OP
w1x OQ TE = = wx OP Berdasarkan observasi yang dilakukan, persamaan menunjukkan bahwa RQ merepresentasikan reduksi dalam biaya produksi yang akan terjadi jika produksinya terjadi di titik Q’ yang secara alokatif (dan teknis) adalah efisien, bukan titik Q’ yang secara alokatif (dan teknis) adalah inefisien. Mengingat adanya ukuran efisiensi teknis, total efisiensi biaya menyeluruh (CE) dapat diungkapkan sebagai suatu produk ukuran efisiensi teknis dan alokatif Coelli (2005: 53): CE = TE x AE = ( OQ/OP ) x (OR/OQ)=(OR/OP) Perhatikan juga semua ukuran efisiensi ini yang dibatasi oleh nol dan satu. Ilustrasi grafik terhadap ukuran-ukuran efisiensi di atas menggunakan
commit to user 26
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
teknologi constant returns to scale. Penggunaan constant returns to scale dan dua variabel input akan memunculkan kemudahan untuk menggambarkan grafik yang diperlukan dalam dua dimensi. 2. Ukuran-Ukuran Orientasi Output Coelli (2005: 54) perbedaan antara ukuran-ukuran orientasi output dan input dapat diilustrasikan dengan menggunakan contoh sederhana yang meliputi satu input, x dan satu output, q. Hal ini diilustrasikan dalam : TE = OQ / OP Dimana teknologi penurunan pendapatan terhadap skala, yang direpresentasikan oleh f(x), dan firma inefisien yang beroperasi di titik P. Ukuran orientasi-input TE Farrell adalah sama dengan rasio AB/AP, sedangkan ukuran orientasi-output TE-nya direpresentasikan oleh CP/CD. Ukuran-ukuran orientasi-output dan input adalah ukuran-ukuran yang sama dalam efisiensi teknis ketika constant returns to scale eksis (Fare dan Lovell, 1978). Kasus constant returns to scale (CRS) diilustrasikan dalam TE = OQ / OP dimana dalam melakukan
observasi
AB/AP=CP/CD, untuk firma
inefisien yang beroperasi di titik P. Gambar 2.10 sebagai berikut menunjukkan Orientasi Output Efisiensi teknis
commit to user 27
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.10 Ukuran Orientasi Out-put Efisiensi Teknis (a) NIRTS (a) CRTS q
q
f (x) D f (x) B
A
0
D
P
B
A
C
0
x
P
C
x
Sumber : Coelli (2005: 55) Ukuran-ukuran
orientasi
output
diilustrasikan
dengan
mempertimbangkan kasus di mana produksinya meliputi dua output (q1 dan q2)
dan
input
tunggal
(x),
jika
mempertimbangkan
CRS,
dapat
merepresentasikan teknologi itu dengan kurva kemungkinan produksi unit dalam dua dimensi. Contoh ini diilustrasikan dalam TE = 1/di(x,q), di mana kurva ZZ’ adalah kurva kemungkinan produksi unit dan titik A sesuai dengan firma inefisien. Perhatikan bahwa firma inefisien yang beroperasi di titik A terletak di bawah kurva itu, sebab ZZ’ merepresentasikan ikatan atas kemungkinan produksi. Gambar 2.11 menunjukkan Efisiensi Teknis dan Alokatif Dari Orientasi Output
commit to user 28
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Gambar 2.11 Efisiensi Teknis dan Alokatif Dari Orientasi Output D C Z B
B’
A
D’ 0
Z’
q1/x1
Sumber : Coelli (2005: 55) Ukuran-ukuran efisiensi orientasi-output ( Fare, Grosskopf dan Lovell, 1985, 1994) didefinisikan sebagai berikut. Dalam T ( x,q ) = q – f ( x ) = 0, AB merepresentasikan inefisiensi teknis, yang merupakan jumlah output yang dapat ditingkatkan tanpa membutuhkan input ekstra. Dengan demikian, sebuah ukuran efisiensi teknis orientasi-output adalah rasio: TE = OA/OB = d0(x,q) Dimana d0(x,Q) adalah fungsi output pada vektor input x yang diobservasi dan vektor output q yang diobservasi. Sekarang, efisiensi pendapatan dapat didefinisikan untuk vektor harga output p yang diobservasi dan direpresentasikan oleh garis DD’. Jika q, q, dan q* merepresentasikan vektor output firma yang diobservasi, yang terkait dengan titik A, vektor produksi yang secara efisien-teknis terkait dengan B dan vektor efisien
commit to user 29
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
pendapatan yang terkait dengan titik B’, maka firma itu didefinisikan sebagai berikut:
p1q OB RE = 1 * = OC pq Jika
informasi
tentang
harga
dimiliki,
maka
akan
dapat
menggambarkan garis isorevenue, DD’, dan mendefinisikan ukuran-ukuran efisiensi alokatif dan teknis sebagaimana di bawah ini:
TE =
pq OA = pq OB
Teknik Efisiensi ini memiliki interpretasi peningkatan-pendapatan (sama dengan interpretasi pengurangan-biaya inefisiensi alokatif dalam kasus orientasi-input). Selain itu menurut Coelli (2005: 56) mendefinisikan efisiensi pendapatan menyeluruh sebagai produk dua ukuran. RE= (OA/OC)=OA/OB)x(OB/OC) = TExAE Dengan melihat bahwa semua tiga ukuran dibatasi oleh nol dan satu, juga mengobservasi bahwa ukuran efisiensi teknis orientasi-output adalah sama dengan fungsi output. Sebelum menyimpulkan pembahasan ini, diperlihatkan tiga poin tentang ukuran-ukuran efisiensi yang didefinisikan. Pertama, efisiensi teknis diukur sepanjang sinar dari sumber poin produksi yang diobservasi. Dengan demikian, ukuran-ukuran tersebut mempertahankan proporsi relatif input (atau output) tetap konstan. Salah satu keuntungan ukuran-ukuran efisiensi radial
commit to user 30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
tersebut yakni invarian unit. Dengan demikian perubahan unit-unit pengukuran (misalnya, pengukuran kuantitas tenaga kerja dalam hari orang kerja ) tidak mengubah nilai ukuran efisiensi. Ukuran non-radial, seperti terpendek dari titik produksi pada permukaan produksi, secara intuitif nampaknya menarik perhatian, namun ukuran semacam itu tidak invarian terhadap unit-unit pengukuran. Dalam kasus ini, perubahan unit-unit pengukuran dapat menyebabkan identifikasi titik “terdekat” yang berbeda. Kedua, setelah mendiskusikan efisiensi alokatif dari perspektif minimalisasi-biaya dan dari perspektif maksimalisasi-pendapatan, namun bukan dari perspektif maksimalisasi-profit (di mana minimalisasi biaya dan maksimalisasi pendapatan dipertimbangkan). Maksimalisasi profit dapat diakomodir dengan sejumlah cara. Kesulitan utama terkait dengan seleksi orientasi untuk mengukur efisiensi teknis (input, output atau keduanya). Salah satu saran dipresentasikan dalam penelitian Fare, Grosskopf, dan Lovell (1994) sejauh DEA digunakan untuk mengukur efisiensi profit sepanjang dengan sebuah ukuran hiperbola efisiensi teknis (yang mempertimbangkan perluasan simultan output dan kontraksi input). Konsep ini memerlukan penggunaan fungsi-fungsi
direksional yang secara teknis melebihi ruang
lingkup bahasan, fungsi ini dikenalkan oleh Chamber, Chung, dan Fare (1996). Berdasarkan Balk (1998) untuk ilustrasi tentang bagaimana fungsifungsi direksional dapat digunakan dalam menghadapi efisiensi profit dan perubahan produktivitas. Perbedaan antara dua ukuran itu selanjutnya diinterpretasikan sebagai efisiensi alokatif. Sebuah pendekatan alternatif
commit to user 31
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ditunjukkan oleh Kumbhakar (1987) dalam kerangka batas stokhastic, dan meliputi dekomposisi efisiensi profit ke dalam tiga komponen efisiensi inputalokatif, efisiensi output-alokatif, dan efisiensi teknis orientasi-input. Tidak ada metodologi efisiensi profit tertentu yang secara luas digunakan. Referensi yang ditunjukkan di atas memberikan landasan bagi siapapun yang berkeinginan untuk mengeksplorasi isu ini. Mengulangi observasi, bahwa ukuran-ukuran efisiensi teknis orientasiinput dan output, yang didiskusikan dalam Shepard (1970) dan Fare serta Primont (1995). Observasi ini adalah sangat penting ketika akan digunakan untuk mendiskusikan penggunaan metode-metode DEA dalam menghitung indeks-indeks Malmquist perubahan TFP. Efisiensi ekonomi terdiri atas efisiensi teknis dan efisiensi alokasi. Efisiensi teknis adalah kombinasi antara kapasitas dan kemampuan unit ekonomi untuk memproduksi sampai tingkat output maksimum dari jumlah input dan teknologi. Efisiensi alokasi adalah kemampuan dan kesediaan unit ekonomi untuk beroperasi pada tingkat nilai produk marjinal sama dengan biaya marjinal, MVP=MC (Samsubar Saleh, 2000). Ada tiga kegunaan mengukur efisiensi. Pertama, sebagai tolak ukur untuk memperoleh efisiensi relatif, mempermudah perbandingan antara unit ekonomi satu dengan lainnya. Kedua, apabila terdapat variasi tingkat efisiensi dari beberapa unit ekonomi yang ada maka dapat dilakukan penelitian untuk menjawab faktor-faktor apa yang menentukan perbedaan tingkat efisiensi. Dengan demikian dapat dicari solusi yang tepat. Ketiga, informasi mengenai
commit to user 32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
efisiensi memiliki implikasi kebijakan karena pengambil kebijakan dapat menentukan kebijakan yang tepat (Samsubar Saleh, 2000).
C. Penelitian Sebelumnya 1. Victor Siagian (2002) Pada penelitian yang berjudul Efisiensi Unit-unit Kegiatan Ekonomi Industri Gula yang Menggunakan Proses Karbonatasi di Indonesia. Variabel yang dipakai dalam penelitian ini adalah variabel input yaitu jumlah tebu giling, biaya tebu giling, jumlah bahan bakar, biaya bahan bakar, jumlah tenaga kerja, biaya tenaga kerja, biaya management dan biaya penyusutan dan variabel outputnya adalah produksi gula, penerimaan gula, produksi tetes dan penerimaan tetes. Analisis efisiensi menggunakan metode Data Envelopment Analyzis (DEA) Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa
tiga
pabrik
yang
menggunakan prose karbonatasi yang memiliki tingkat efisiensi yang rendah yaitu Tasik Madu 80,5 %, Gondang Baru 79,7% dan Rejoagung Baru 81,8% dan terdapat dua pabrik gula yang menggunakan proses karbonatasi yang memiliki tingkat skor efisiensi paling tinggi yaitu Sweet Indo Lampung dan Indo Lampung Perkasa, pabrik-pabrik gula yang efisiensi relatifnya masih rendah dapat ditingkatkan efisiensinya melalui multiplier input dari pabrik acuannya dan pabrik-pabrik gula yang nilai efisiensinya rendah, memiliki alokasi dan penggunaan seluruh input yang
commit to user 33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
belum optimal. Saran untuk hasil kesimpulan diatas adalah realokasi penggunaan input untuk pabrik-pabrik gula yang belum efisien agar segera dilakukan dan institusi yang terkait dengan pengelolaan industri gula segera menindaklanjut upaya peningkatan efisiensi pabrik-pabrik gula di Indonesia, khususnya pabrik-pabrik gula yang menggunakan proses karbonatasi. 2. Agunan P Samosir (2005) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kelayakan
penggabungan Pelindo 1 dan Pelindo 2 menjadi Pelindo kawasan barat, maka terlebih dahulu dianalisis efisiensi melalui Data Envelopment Analysis (DEA). Tujuan metode DEA adalah mengetahui seberapa besar kinerja masing-masing cabang yang ada di masing-masing Pelindo. Setelah diketahui efisiensi relatifnya, selanjutnya penilaian aspek manajerial dengan menggunakan konsiderasi nilai weakness, nilai timbang dan nilai kinerja. Semakin positif nilai yang dihasilkan, maka semakin layak perusahaan tersebut untuk digabung atau dimerger. Dari 16 sampel cabang pelabuhan di Wilayah Pelindo I yang di analisis, ternyata terdapat 9 pelabuhan yang memiliki tingkat efisiensi keuangan relatif rendah (≤ 75%) yaitu pelabuhan Malahayati, Kuala Langsa, Selat Panjang, Rengat, Gunung Sitoli, Bengkalis, Dumai, Tanjung Asahan, dan Sibolga. Sedangkan 7 pelabuhan cabang lainnya, memiliki tingkat efisiensi keuangan relatif tinggi yaitu pelabuhan Lhokseumawe, UTPK Belawan, Tanjung Balai Karimun, Belawan, Tembilahan, Tanjung Pinang, dan
commit to user 34
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pekan Baru. Dengan hasil analisis terhadap merger menunjukkan nilai negatif, sebelum rencana tersebut dilaksanakan sebaiknya dilakukan perbaikan/pembenahan terhadap aspek-aspek yang menyumbangkan nilai kinerja negatif, seperti: Keuangan, Pengusahaan, dan Operasional Pelabuhan. Perlunya peningkatan kinerja keuangan terutama menyangkut likuiditas dan solvabilitas melalui penurunan proporsi deviden dari pendapatan yang diperoleh serta memperkecil nilai bed debt. Program ini dibutuhkan paling tidak untuk jangka waktu 3 tahun agar masing-masing BUMN berkesempatan untuk memperbaiki kinerja keuangannya. Perlunya penyehatan pelabuhan-pelabuhan cabang yang secara ekonomis masih defisit/merugi. Perlu dipertimbangkan bahwa mekanisme merger antara PT (Persero) Pelabuhan Indonesia I dan PT (Persero) Pelabuhan Indonesia II jika benar-benar dilaksanakan, dipilih cara merger “peleburan” atau yang juga dikenal sebagai “konsolidasi”. Perlu juga dipertimbangkan bentuk-bentuk penggabungan melalui mekanisme lain selain merger yakni seperti holding. 3. Budi Sudaryanto (2006) Tujuan
penelitian
ini
adalah
untuk
menganalisis
kinerja
pengelolaan TPI di Kabupaten Pati dan Rembang. Data input-ouput dikumpulkan secara crossection dari 6 TPI yang dipilih melalui metode purposive sampling yaitu TPI Bajomulyo, Banyutowo, Puncel untuk Kabupaten Pati dan TPI Tasik Agung, Karanganyar dan Tanjungsari untuk Kabupaten Rembang. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini
commit to user 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah dengan menggunakan pendekatan DEA (Data Envelopment Analysis) untuk mengukur skor efisiensi dari masing-masing TPI yang diamati. Efisiensi teknis dari kinerja TPI telah diukur melalui constant return to scale (CCR) dengan maksimisasi Output. Software Banxia Frontier Analysis (BFA) telah dipakai untuk menganalisis data . Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan bahwa dari 6 TPI yang diamati ada 2 TPI yang belum efisien dibandingkan dengan TPI lain yaitu TPI Banyutowo dan TPI Puncel. Untuk menigkatkan Kinerja Pengelolaan TPI yang belum efisien maka perlu mengubah pengelolaan TPI melalui penggunaan input dan ouputnya sesuai dengan kebutuhan dan mengacu pada
TPI Bajomulyo,
Karanganyar
dan
Tanjungsari.
Studi
ini
menyarankan untuk ditingkatkannya pengawasan dalam pengelolaan TPI agar
mampu
meningkatkan
volume
produksinya
dengan
tetap
memperhatikan penggunaan inputnya secara efisien. 4. Ihwan Susila dan Muzakar Isa (2007) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengukur efisiensi teknis industri mebel, dan menganalisis dari efisiensi teknis industri mebel di Serenan Klaten berdasarkan masukan, modal, pemilik pendidikan, pemilik pengalaman, dan tenaga kerja. Penelitian ini dilaksanakan di Serenan Klaten, pusat industri furnitur, pada Januari 2006. Populasi dalam penelitian ini adalah semua industri mebel di Serenan Klaten sebesar 465 unit. Ukuran sampel adalah 93 unit industri, yang merupakan 20% dari total penduduk. Sampling teknik yang digunakan dalam penelitian ini
commit to user 36
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
adalah random sampling. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan wawancara dengan pemilik industri mebel. Analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis DEA. Menurut hasil analisis DEA nilai menunjukkan tingkat efisiensi teknis 68,69, itu menjelaskan industri mebel di Serenan Klaten belum belum efisien. Dari 93 industri di sana adalah 32 unit industri (34,41%) tidak efisien dan 61 unit industri (65,59%) efisien. Hasil dari DEA pengukuran menunjukkan bahwa penyebab utama industri furnitur tidak efisien terutama berasal dari modal, pendidikan, bahan masukan, tenaga kerja dan pengalaman pemilik. Modal adalah variabel yang paling efisien daripada variable yang lain 5. Ngatindriatun dan Heriiana Ikasari (2009) Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis efisiensi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia setelah diberlakukannya otonomi kampus. Data sampel yang digunakan 25 perguruan tinggi negeri diambil dari Evaluasi Program Studi Berbasis Evaluasi Diri (EPSBED) dengan variabel input jumlah dosen, jumlah mahasiswa S1, jumlah mahasiswa S2 dan S3 sedangkan variabel otuput meliputi jumlah lulusan S1 serta jumlah lulusan S2 dan S3. Metode yang dipakai menggunakan metode DEA (data envelopment analysis). Kesimpulan dari penelitian ini adalah beberapa perguruan tinggi negeri di Indonesia sudah efisien selama lima tahun berturut-turut (dari tahun 2002-2006) antara lain: Universitas Andalas, Universitas Gajah Mada, Universitas Sumatera Utara dan Institut Teknologi Bandung.
commit to user 37
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
D. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran dari penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Gambar 2.12 Kerangka Pemikiran
commit to user 38
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Keterangan : Berdasarkan gambar diatas efisiensi adalah ukuran yang menunjukkan bagaimana baiknya sumber-sumber daya ekonomi dalam proses produksi untuk menghasilkan output. Sumber daya ekonomi merupakan input antara lain jumlah tebu digiling, biaya tebu digiling, jumlah bahan bakar, biaya bahan bakar, jumlah tenaga kerja tetap, biaya tenaga kerja tetap, jumlah tenaga kerja sementara dan biaya tenaga kerja sementara, sedangkan output antara lain produsi pabrik gula dan harga produksi pabrik gula. Efisiensi pabrik gula dapat diketahui dengan mengamati input dan output yaitu produksi gula selama satu musim giling dengan menggunakan metode DEA (Data Envelopment Analysis).
E. Keterbatasan Penelitian Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan antara lain: 1. Penelitian ini menggunakan analisis program DEA dengan tidak melakukan verifikasi statistik, diharapkan penelitian selanjutnya melakukan
verifikasi
statistik
terhadap
variable-variabel
yang
digunakan. 2. Penelitian ini mengambil sampel 7 Pabrik Gula di Jawa Timur, diharapkan
penelitian
selanjutnya
dapat
lebih
banyak
dalam
pengambilan sampel dengan memperhatikan kriteria tertentu.
commit to user 39
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
F. Hipotesis Berdasarkan penggabungan sejumlah input yang menghasilkan sejumlah output untuk mencapai efisiensi, diduga bahwa perbandingan antara faktor input seperti jumlah tebu giling, biaya tebu giling, jumlah bahan bakar, biaya bahan bakar, jumlah tenaga kerja, biaya tenaga kerja, biaya management dan biaya penyusutan dengan faktor output seperti produksi gula, penerimaan gula, produksi tetes, produksi pupuk dan penerimaan pupuk berpengaruh terhadap tingkat efisiensi pabrik gula. Karena belum teruji kebenarannya maka diambil suatu hipotesis. Kemudian diuji secara empiris untuk membuktikan kebenarannya. Adapun hipotesis yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Diduga Pabrik Gula Swasta lebih efisien dibandingkan Pabrik Gula BUMN. 2. Diduga Pabrik Gula di Jawa Timur lebih efisien dibandingkan Pabrik Gula di Jawa Tengah.
commit to user 40
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III METODE PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini mencoba untuk menganalisis efisiensi pabrik gula swasta dan BUMN di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Penelitian ini bersifat kuantitatif dengan data sekunder, mengambil data dari 9 pabrik gula di Jawa Tengah dan 7 pabrik gula di Jawa Timur. B. Jenis, Sumber dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dimana data tersebut diperoleh dengan cara mengambil 9 pabrik gula di wilayah Jawa Tengah dan 7 pabrik gula di wilayah Jawa Timur. Data ini diambil dari sumber antara lain : 1. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Tengah . 2. Dinas Perkebunan Propinsi Jawa Timur. 3. Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI). C. Definisi Operasional Variabel 1. Input . a. Jumlah Tebu Giling Jumlah tebu giling merupakan jumlah tebu yang digiling dalam satu musim tanam dalam satuan ton.
commit to user 41
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Biaya Tebu Giling Biaya tebu giling merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai tebu yang digiling dari tanam hingga panen tebu dan dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp). c. Jumlah Bahan Bakar Jumlah bahan bakar merupakan jumlah bahan bakar yang digunakan dalam pengolahan gula dan dinyatakan dalam satuan kilogram d. Biaya Bahan Bakar Biaya bahan bakar merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai kebutuhan bahan bakar dalam pengolahan gula, dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp). e. Jumlah Tenaga Kerja Tetap Jumlah tenaga kerja tetap merupakan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam kegiatan operasional pabrik gula, dinyatakan dalam jumlah hari orang kerja (HOK). f. Biaya Tenaga Kerja Tetap Biaya tenaga kerja tetap merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja yang digunakan dalam operasional pabrik gula dan dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp). g. Jumlah Tenaga Kerja Sementara Jumlah tenaga kerja sementara merupakan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dalam kegiatan operasional pabrik gula selama musim giling, dinyatakan dalam jumlah hari orang kerja (HOK).
commit to user 42
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
h. Biaya Tenaga Kerja Sementara Biaya tenaga kerja sementara merupakan biaya yang dikeluarkan untuk membayar tenaga kerja yang digunakan dalam operasional pabrik gula selama musim giling dan dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp). 2. Output a. Produksi Pabrik Gula Produksi pabrik gula merupakan proses tebu yang telah diolah menjadi gula dan tetes yang dinyatakan dalam satuan ton. b. Harga Produksi Pabrik Gula Harga produksi pabrik gula merupakan penerimaan dari hasil produksi gula dan tetes yang dinyatakan dalam satuan rupiah (Rp). D. Metode Analisis Data 1. Konsep Dasar Data Envelopment Analysis (DEA) Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan prosedur yang dirancang secara khusus untuk mengukur efisiensi relatif suatu Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) yang menggunakan banyak input dan banyak output dimana penggabungan input dan output tersebut tidak mungkin dilakukan. Efisiensi relatif suatu Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) adalah efisiensi suatu Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) dibanding dengan Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) lain dalam sampel (sekelompok UKE yang saling diperbandingkan) yang menggunakan jenis input dan output yang sama. Dalam Data Envelopment Analysis (DEA), efisiensi relatif Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) didefinisikan sebagai rasio dari total output tertimbang
commit to user 43
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibagi total input tertimbangnya. Inti dari Data Envelopment Analysis (DEA) adalah menentukan bobot atau timbangan untuk setiap input dan output Unit Kegiatan Ekonomi (UKE). Bobot tersebut memiliki sifat : (1)tidak bernilai negatif, (2) bersifat universal, artinya setiap Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) dalam sampel harus dapat menggunakan seperangkat bobot yang sama untuk mengevaluasi rasionya (total weighted ouput / total weighted input) dan rasio tersebut tidak boleh labih dari 1 (total weighted output / total weighted input ≤ 1). Data Envelopment Analysis (DEA) untuk suatu Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) dapat diformulasikan sebagai program linier fraksional, yang solusinya dapat diperoleh jika model tersebut ditransformasikan ke dalam program linier dengan bobot dari input dan output Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) tersebut sebagai variabel keputusan (decision variables).
Metode simplek dapat
digunakan untuk menyelesaikan model yang sudah ditransformasikan ke dalam program linier. 2. Nilai Manajerial DEA DEA memiliki beberapa nilai manajerial, antara lain : a. DEA menghasilkan efisiensi untuk setiap Unit Kegiatan Ekonomi (UKE), relatif terhadap Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) yang lain dalam sample. Angka efisiensi ini memungkinkan seorang analis untuk mengenali Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) yang paling membutuhkan perhatian dan merencanakan tindakan perbaikan bagi Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) yang tidak/kurang efisien.
commit to user 44
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Jika suatu Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) kurang efisien (efisiensi < 100%), Data Envelopment Analysis (DEA) menunjukkan sejumlah Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) yang memiliki efisiensi sempurna (efficiency reference set, efisiensi = 100%) dan seperangkat angka pengganda (multipliers) yang dapat digunakan oleh manajer untuk menyusun strategi perbaikan. Informasi tersebut memungkinkan seorang analis membuat Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) hipotetis yang menggunakan input yang lebih sedikit dan menghasilkan output paling tidak sama atau lebih banyak dibandingkan Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) yang tidak efisien, sehingga UKE hipotetis tersebut akan memiliki efisiensi yang sempurna jika menggunakan bobot input dan bobot output dari UKE yang tidak efisien. Pendekatan tersebut memberi arah strategi bagi manajer untuk meningkatkan efisiensi suatu UKE yang tidak efisien melalui pengenalan terhadap input yang terlalu banyak digunakan serta output yang produksinya terlalu rendah. Sehingga seorang manajer tidak hanya mengetahui UKE yang tidak efisien, tetapi ia juga mengetahui berapa tingkat input dan output yang harus disesuiakan agar dapat memiliki efisiensi yang tinggi. c. Data Envelopment Analysis (DEA) menyediakan matrik efisiensi silang. Efisiensi silang UKE A terhadap UKE B merupakan rasio dari output tertimbang dibagi input tertimbang yang dihitung
commit to user 45
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dengan menggunakan tingkat input dan output UKE A dan bobot input dan output B. Analisis efisiensi silang dapat membantu seorang manajer untuk mengenali UKE yang efisien tetapi menggunakan kombinasi input dan menghasilkan kombinasi output yang sangat berbeda dengan UKE yang lain. UKE tersebut sering disebut sebagai maverick (menyimpang, unik). 3. Kelebihan dan Keterbatasan Data Envelopment Analysis (DEA) Kelebihan dari Metode Data Envelopment Analysis (DEA) dibandingkan dengan alat analisis yang lain antara lain : a. Data Envelopment Analysis (DEA) dapat mengukur tingkat efisiensi relatif dengan menggunakan banyak input dan banyak output. b. Tidak butuh asumsi hubungan fungsional antara variabel input dan output. c. DMU (Decision Making Unit) dibandingkan secara langsung dengan sesamanya. d. Input dan output dapat memiliki satuan pengukuran yang berbeda. Menghitung efisiensi relatif memiliki banyak kelebihan dibandingkan analisa rasio parsial dan analisa regresi, tetapi Data Envelopment Analysis (DEA) memiliki beberapa keterbatasan, yaitu: a. Data Envelopment Analysis (DEA) mensyaratkan semua input dan output harus spesifik dan dapat diukur (demikian pula dengan analisis rasio dan regresi). Kesalahan dalam memasukkan input dan output yang valid akan memberikan hasil yang bias. Kesalahan tersebut dapat mengakibatkan
commit to user 46
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) yang pada kenyatannya tidak efisien menjadi nampak efisien, dan sebaliknya. b. Data Envelopment Analysis (DEA) berasumsi bahwa setiap unit input atau output identik dengan unit lain dalam tipe yang sama. Tanpa mampu mengenali perbedaan-perbedaan tersebut, Data Envelopment Analysis (DEA) akan memberi hasil yang bias. Masalah ini terkandung pada data basenya, bukan pada teknik DEA-nya. Masalah ini tidak hanya relevan untuk DEA, tetapi juga menyangkut semua teknik untuk mengukur efisiensi. c. Berdasarkan bentuk dasarnya Data Envelopment Analysis (DEA) berasumsi adanya constant return to scale (CRTS). Constant return to scale menyatakan bahwa perubahan proporsional pada semua tingkat input akan menghasilkan perubahan proporsional yang sama pada tingkat output. Constant return to scale menyatakan bahwa perubahan proporsional pada semua tingkat input akan menghasilkan perubahan proporsional yang sama pada tingkat output merupkan asumsi yang penting, sebab asumsi ini memungkinkan semua Unit Kegiatan Ekonomi (UKE) diukur dan dibandingkan terhadap unit isoquant, walaupun pada kenyataannya hal tersebut tidak selalu (jarang) terjadi. d. Bobot input dan output yang dihasilkan oleh Data Envelopment Analysis (DEA) tidak dapat ditafsirkan dalam nilai ekonomi, meskipun koefisien tersebut memiliki formulasi matematik yang sama. Data Envelopment Analysis (DEA) tidak dapat ditafsirkan dalam nilai ekonomi, meskipun koefisien tersebut memiliki formulasi matematik yang sama bukan
commit to user 47
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
merupakan kendala yang serius, sebab DEA bertujuan mengukur efisiensi teknis relatif. 4. Formulasi Data Envelopment Analysis (DEA) Penggunaan Data Envelopment Analysis (DEA) untuk mengukur efisiensi relatif sejumlah Unit Kegiatan Ekonomi dengan menggunakan 2 jenis input dan menghasilkan satu jenis output dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan grafis, akan tetapi apabila sejumlah UKE menggunakan dua jenis atau lebih input dan dan menghasilkan dua jenis atau lebih output maka perlu menggunakan teknik Linear Programing, sebab pendekatan grafis tidak dapat diterapkan. Formula Data Envelopment Analysis (DEA) dengan menggunakan teknik Linear Programing. Efisiensi sejumlah UKE dibandingkan, dimisalkan n, setiap UKE menggunakan m jenis input untuk menghasilkan s jenis output. Misal, Xij > 0 merupakan jumlah input i yang digunakan oleh UKE j; dan misalkan, Yrj > 0 merupakan jumlah output r yang dihasilkan oleh UKE j. variabel keputusan (decision Variabel) dari kasus tersebut adalah bobot yang harus diberikan pada setiap input dan output oleh UKE k. Misal, vik adalah bobot diberikan pada input i oleh UKE k, dan urk adalah bobot yang diberikan pada output r oleh UKE k. sehingga vik dan urk merupakan variabel keputusan, yaitu variabel yang nilainya akan ditentukan melalui iterasi program linier. Kita kemudian memformulasikan sejumlah n program linier fraksional (fractional linear programs), satu formulasi program linier untuk setiap UKE di dalam sampel. Fungsi tujuan (objective
commit to user 48
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
function) dari setiap program linier fraksional tersebut adalah rasio dari output tertimbang total (total weighted output) dari UKE k dibagi dengan input tertimbang totalnya. Formulasi fungsi tujuan tersebut adalah sebagai berikut : s
åu Maksimumkan Zk =
r =1 m
åv i =1
rk
.Yrk ……………………………………...(1)
ik
. X ik
Kriteria universalitas mensyaratkan DMU k untuk memilih bobot dengan batasan atau kendala bahwa tidak ada UKE lain yang akan memiliki efisiensi lebih besar dari 1 atau 100% jika UKE lain tersebut menggunakan bobot yang dipilih oleh UKE k. sehingga formulasi selanjutnya adalah :
s
åu r =1 m
åv i =1
rk
ik
.Yrj
≤ 1 ; j = 1,...,n…………………………………………….(2) . X ij
Bobot yang dipilih tidak boleh bernilai negatif :
Urk ≥ 0 ; i = 1,...,s................................................................................(3) Vik ≥ 0 ; r = 1,...,m...............................................................................(4)
commit to user 49
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Program linier fraksional kemudian ditransformasikan ke dalam program linier biasa (ordinary linear programs), dan metode simplek dapat digunakan untuk menyelesaikannya. Transformasi program linier, yang kita sebut dengan Data Envelopment Analysis (DEA), adalah sebagai berikut : s
(DEA) maksimumkan Zk =
åu r =1
rk
.Yrk ................................................(5)
Dengan batasan/kendala : s
m
r =1
i =1
[pkj] å u rk .Yrj - å vik . X ij £ 0; j = 1,..., n ........................................... (6) m
[qk] å vik . X ik = 1 .............................................................................. (7) i =1
Urk ≥ 0; r = 1,...,s Vrk ≥ 0; i = 1,...,m .............................................................................. (8)
commit to user 50
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian 1. Sejarah Industri Gula Nasional Perkembangan sejarah gula Indonesia mengalami pasang surut seiring dengan perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Menurut Dewan Gula Indonesia (DGI) dalam Guntur Riyanto, 2009 secara garis besar perkembangan industri gula di Indonesia dapat dibagi menjadi 5 periode yaitu: a. Periode sebelum 1930 b. Periode 1930-1957 c. Periode 1957-1975 d. Periode1975-1998 e. Periode 1998 sampai dengan saat ini Berdasarkan perkembangan sejarah gula Indonesia, berikut ini penjelasan sejarah gula Indonesia: a. Periode sebelum tahun 1930 Industri gula di Indonesia mulai diusahakan sejak sebelum abad 16 oleh penduduk keturunan Cina. Industri
gula Indonesia
berkembang setelah dikuasai bangsa Belanda. Pada abad 19 muncul penyakit sereh yang menghancurkan semua jenis tebu sehingga mengancam eksistensi industri gula di Indonesia. Masalah tersebut baru
commit to user 51
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dapat diatasi pada akhir tahun 20-an setelah Het Profestation Oost Java (POJ, sekarang Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia) pada tahun 1927 berhasil menemukan varietas tebu POJ 2878. Industri gula indonesia bangkit dan maju pesat Setelah terlepas dari masa sulit tersebut, dan mencapai puncaknya pada tahun 1930 dengan tingkat produksi 3 juta ton sehingga menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor gula terbesar kedua setelah Cuba. Pada dekade 1930-an tebu hanya dibudidayakan di lahan sawah beririgrasi di Jawa oleh pengusaha swasta dengan total areal 200.000 Ha. Usahatani tebu dilakukan melalui pemaksaan oleh pemerintah kolonial pada periode ini, sehingga luasan, teknologi, jadwal tanam dan jadwal panen sudah tidak dapat tepat waktu lagi. Pabrik
gula
mendapatkan pasokan bahan baku yang cukup sepanjang musim. Produktivitas tebu mencapai 140 ton per hektar pada periode sebelum 1930, dan produktivitas hablurnya mencapai 18 ton per Ha, jauh lebih tinggi pada periode ini yang hanya mencapai 78 ton per Ha tebu dan 6 ton per hektar hablur dan mengalami penurunan secara terus menerus sampai sekarang. Periode yang tajam terjadi sejak tahun 1940 (Simatupang et al, 1999 dalam Guntur Riyanto, 2009). b. Periode 1930-1957 Periode 1930-1957 industri gula Indonesia menghadapi banyak masalah antara lain: resesi dunia atau malaise pada awal tahun 30-an, masa penjajahan Jepang yang diikuti perang kemerdekaan pada awal 40-
commit to user 52
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
an, sehingga industri gula Indonesia kembali mengalami kemunduran. Semua aset industri gula Indonesia diambil alih oleh pemerintah penjajahan Jepang masa pendudukan. Semua aset industri gula yang diambil Jepang tersebut diserahkan kembali ke pemerintah Belanda Setelah Indonesia merdeka. Tahun 1957 pemerintah Republik Indonesia menasionalisasikan semua aset perusahaan asing di Indonesia termasuk Pabrik Gula (PG) milik bangsa Belanda. Sejak saat itu pengelolaan Pabrik Gula di Indonesia ditangani oleh bangsa Indonesia. Tahun 1930. Rendemen gula dapat rata-rata mencapai 11,32 persen, produktivitas tebu 130,63 ton per hektar dan produktivitas hablur mencapai 14,79 ton per hektar. Tahun 1955 produktivitas tebu tinggal 100,54 ton per hektar, produktivitas hablur 11,23 dan rendemen masih mencapai 11,17 (Bahari, 1989, DGI, 2004 dalam Guntur Riyanto, 2009). Tren peningkatan produktivitas tebu dan hablur pada periode sebelumnya, pada periode ini mengalami kemunduran yang sangat tajam dari 130,63 ton per Ha pada tahun 1930 tinggal menjadi 100,54 ton per hektar tahun 1955. c. Periode 1957-1975 Pada periode ini industri gula Indonesia mulai bangkit lagi dan pengelolaannya ditangani oleh perusahaan negara perkebunan. Pada masa itu tata niaga gula dikuasai oleh pemerintah, sedangkan usahatani tebu sepenuhnya dikendalikan oleh Pabrik Gula. Lahan untuk pembudidayaan tebu diperoleh Pabrik Gula dengan cara menyewa lahan sawah milik petani, karena itu periode ini juga disebut sebagai periode sistem sewa.
commit to user 53
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada periode ini, kebutuhan gula dan pangan, khususnya beras, di dalam negeri meningkat tajam akibat meningkatnya jumlah penduduk dan kesejahteraan masyarakat sebagai dampak keberhasilan pembangunan. Pada awal tahun 1970-an dilakukan pengembangan budidaya tebu dilahan kering (tegalan) di Jawa dan mulai dirintis proyek pengembangan industri gula di luar Jawa, sebagai upaya memenuhi kebutuhan gula yang terus meningkat, Pada tahun 1975, rendemen gula dapat rata-rata mencapai 10,51 persen, produktivitas tebu 93,99 ton per hektar dan produktivitas hablur mencapai 9,76 ton per hektar. Periode 1975 usahatani tebu di Jawa sudah mulai menunjukkan penurunan baik dari produktivitas tebu, hablur maupun rendemen tebu. Penurunan baik dari produktivitas tebu, hablur maupun rendemen tebu mudah dipahami mengingat mulai peride ini mulai digalakkan usahatani tebu lahan kering, dimana terjadi trade off dengan usahatani padi yang harus lebih digalakkan. d. Periode 1975-1998 Pada awal periode terjadi perubahan yang mendasar dalam usaha tani tebu di Indonesia, yaitu dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden (INPRES) No 9 tahun 1975. Berdasarkan inpres tersebut sistem manajemen usaha tani tebu berubah dari sistem sewa menjadi sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), sedang pemasaran dan tata niaga gula dilakukan oleh Badan Urusan Logistik (BULOG) dengan harga dasar gula ditetapkan oleh pemerintah. Pada periode ini peran pemerintah sangat
commit to user 54
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
besar, baik dalam penetapan kebijakan usaha tani tebu rakyat yang menyangkut aspek produksi maupun pemasaran. Periode ini juga dilakukan rehabilitasi pabrik gula di Jawa dan mulai dilakukan pembangunan pabrik gula baru di dalam pengembangan industri gula di luar Jawa. Pemerintah mengambil kebijakan usaha perluasan areal sekaligus peningkatan produktifitas tebu bidang produksi. Kebijakan ini ditempuh melalui Inpres Nomor 9 Tahun 1975, yakni program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI). Tujuan kebijakan ini pada dsarnya mengaitkan aspek produksi gula dengan bahan bakunya (tebu) dalam rangka menjamin pasokan tebu bagi pabrik gula, yang didukung oleh penyediaan sarana produksi bagi petani melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Kebijakan ini berakibat pada luas areal terus meningkat, sehingga pasokan tebu bagi pabrik gula lebih terjamin, namun target produktivitas gula dari kebijakan ini tidak tercapai. Produktivitas hablur masih rendah yakni 3.45 ton/ha (lahan kering) dan 5.30 ton/ha setara gula, dibandingkan dengan target sasaran 6 ton/ha untuk lahan kering dan 10 ton/ha untuk lahan sawah. Kebijakan dalam bidang produksi ini ternyata kurang didukung oleh kebijakan pada tingkat pabrik gula. Kondisi beberapa pabrik gula yang sudah tua, menuntut biaya pemeliharaan yang tinggi sehingga memungkinkan terjadinya inefisiensi. Inefisiensi ini seringkali dialihkan ke petani karena siat monopsoninya, yakni melalui eksploitasi mutu ataupun waktu tebang yang mengakibatkan rendahnya rendemen tebu.
commit to user 55
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada dekade tahun 1970 meskipun dilakukan rehabilitasi pabrik gula ternyata tidak berhasil meningkatkan produktivitas gula atau rendemen tebu disebabkan antara lain (1) konflik yang berkepanjangan antara petani tebu dan pengelola pabrik gula, (2) peralihan yang sangat cepat dari tebu lahan sawah ke lahan kering, (3) pada tahun-tahun terakhir terjadi ekonomi biaya tinggi baik di usahatani tebu, pabrik gula dan distribusi gula kepada konsumen, (4) terjadi ketegaran kebijakan dan perencanaan, dan (5) terjadinya kolusi dalam industri gula (menghambat TRI dan meluasnya TRB) (Delima, 1995; Dradjad, 1995 dalam Guntur Riyanto, 2009). Rosegrant (1987) menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 19771985 luas areal panen tebu meningkat 7.12% pertahun sebaliknya produktivitas tebu justru menurun sebesar 4.02% dan berdasarkan data P3G, pada kurun waktu 1985-1996 terjadi peningkatan luas areal tebu di Jawa sebesar 1.24% dan Luar Jawa sebesar 11.13 % per tahun; penurunan produktivitasnya di Jawa sebesar -0.53% dan di Luar Jawa sebesar -0.50% per tahun. Aspek pabrik gula juga terjadi penurunan efisiensi teknis apabila dilihat dari indikator angka pol hilang (Djoyosubroto, 1995). Ada kecenderungan bahwa meningkatnya biaya produksi gula sehingga menurunkan daya saing di pasar dunia. Akibatnya sumber daya domestik yang digunakan menjadi lebih besar dari pada harga devisa yang bisa dihemat (Rasahan, 1985, Rosegrant, 1987; Hafasah, 1989). Ditinjau dari perkembangan harga, harga gula di Indonesia jauh lebih tinggi
commit to user 56
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dibandingkan dengan harga gula impor. Pada tahun 1993 dengan menggunakan nilai tukar Rp. 2030/US$ harga eceran gula Indonesia per kg sebesar Rp. 1303 dengan harga gula impor hanya sebesar Rp. 834. Tingginya harga gula eceran di Indonesia disebabkan adanya kebijakan pemerintah untuk melindungi produsen di Indonesia. Dradjad (1995) mengestimasi bahwa tingkat proteksi rata-rata pada gula domestik diperkirakan sebesar 56%, sedangkan Todd (1997) menyebutkan bahwa di Indonesia, poteksi untuk industri rafinasi baru sebesar 45%. Tingginya tingkat proteksi ini akan membawa permasalahn yang sangat serius terhadap pergaulan Indonesia pada era liberalisasi perdagangan. Hasibuan (1993) menjelaskan bahwa ekonomi biaya tinggi disebabkan oleh kejadian ekonomi maupun non ekonomi, seperti deviasi dari kebijakan, efek samping dari suatu kebijakan dan juga karena sosiokultural yang berakar dalam masyarakat. Berdasarkan pertumbuhan industri gula domestik periode tahun 1985
–
1996
dapat
dijelaskan
bahwa
kecenderungan
rata-rata
pertumbuhan pertahun menunjukkan terjadinya kenaikan luas areal tebu di Jawa (1.24%) dan Luar Jawa (11.13%), sehingga produksi tebu mengalami kenaikan baik di Jawa (0.70%) maupun di Luar Jawa (10.56%). Kecepatan pertumbuhan areal yang tidak disertai perbaikan teknologi ternyata menyebabkan turunnya rendemen di Jawa (-1.62%), sedangkan di luar Jawa mengalami kenaikan dalam jumlah yang amat kecil (0.24%). Dengan demikian produksi gula di Jawa cenderung
commit to user 57
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
menurun (-0.92%), terjadi kenaikan di Luar Jawa (10.38 %) dan hanya mampu menaikkan produksi domestik sebesar (0.73%). Meningkatnya produksi gula domestik ini ternyata tidak mampu mengimbangi meningkatnya
permintaan
gula
domestik
(4.85%),
ditambah
kecenderungan menurunnya harga impor (-4.93%) sehingga impor gu;a mengalami kenaikan (42.53%). Dapat dijelaskan bahwa industri gula di Jawa sedang mengalami kemerosotan dan pertumbuhan yang lamban di Luar Jawa. Kecenderungan meningkatnya impor gula dengan harga impor yang cenderung menurun, hanya akan menguntungkan konsumen tetapi menjadi ancaman bagi industri gula domestik. Jadi industri gula domestik sedang mengalami ancaman dari faktor internal berupa menurunnya efisiensi dan sekaligus ancaman dari faktor eksternal utamanya berupa tekanan harga impor. Berdasarkan kebijakan tataniaga gula pasir produk dalam negeri, semenjak dikeluarkannya Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 122/KP/III/1981, tentang tataniaga gula pasir produksi dalam negeri, pemerintah memulai Bulog bertindak sebagai pembeli tunggal seluruh gula pasir produksi pabrik gula milik negara maupun swasta, untuk menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir sebagai salah satu kebutuhan pokok masyarakat. Pengadaan tebu setara gula oleh Kelompok Tani tebu disetorkan kepada pabrik gula oleh KUD yang memperoleh kredit pengadaan dari bank pemerintah. Untuk melindungi kepentingan konsumen maka ditetapkan harga setempat oleh Kepala
commit to user 58
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Bulog. Sebagai pembeli tunggal, Bulog sekaligus menjadi distributor tunggal penyaluran gula kepada masyarakat. Akibatnya biaya distribusi menjadi beban konsumen dan menyebabkan tingginya harga gula di pedagang pengecer. e. Periode 1998 – sekarang Pada tahun 1998 INPRES No 9 tahun 1975 dicabut dengan INPRES No 5 1997 jo No 5 TAHUN 1998 dan BULOG tidak lagi menangani tata niaga gula sesuai keppres No 19 tahun 1998. Sejak saat itu industri gula Indonesia memasuki era perdagangan bebas sehingga harga dan tata niaga gula sepenuhnya diserahkan kepada mekanisme pasar. Kondisi demikian menuntut industri gula Indonesia mempunyai produktivitas yang tinggi dan efisien agar mampu bersaing dengan gula di luar negeri. Keragaan industri gula Indonesia dalam beberapa tahun terakhir sangat memprihatinkan. Hal ini dapat
dilihat
dari penurunan
produktivitas lahan. Pada tahun 1930 rata-rata produktivitas di Jawa pernah dicapai 15,0 ton gula/Ha, tahun 2001 hanya mencapai 5,0 ton gula/ Ha dan tahun 2006 mencapai peningkatan sehingga dapat mencapai ratarata produktivitas hablur sebesar 5,94. Total produksi gula di Jawa dalam kurun waktu 7 tahun terakhir (1995-2006) telah mengalami penurunan sekitar 35%. Penurunan tersebut berdampak signifikan terhadap produksi gula nasional karena Jawa menghasilkan sekitar 70% dari total produksi gula nasional.
commit to user 59
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Penurunan produksi gula tersebut di atas disebabkan oleh berkurangnya luas areal tebu di lahan sawah dan terjadinya pergeseran areal pertanaman tebu ke lahan tegalan. Penurunan luas tebu di lahan sawah tersebut akibat persaingan dengan komoditas pertanian lain, utamanya tanaman padi. Pergeseran lahan tebu ke tegalan tanpa diikuti penerapan teknis budidaya baku serta kurang didukung dana yang cukup mempercepat penurunan produksi. Kondisi demikian menyebabkan proporsi luas tanaman keprasan (ratoon crop) terhadap tanaman pertama (plant crop) dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Jumlah modal kerja yang berasal dari kredit bank untuk usahatani tebu tidak mencukupi dan pencairan sering terlambat. Masalah modal kerja menyebabkan pengelolaan tanaman tebu tidak optimal sehingga produksi dan mutu tebu menurun, yang pada gilirannya menyebabkan sebagian besar pabrik gula di Jawa beroperasi di bawah kapasitas dan menurunnya efisiensi pabrik. Keadaan tersebut telah menyebabkan 11 pabrik gula tidak mampu bertahan dan harus ditutup. Produktivitas rendah juga merupakan masalah utama bagi sebagian besar PG di luar Jawa terutama milik Badan Usaha Milik Negara, yang selama 5 tahun terakhir rata-rata dicapai 3,5 ton gula/Ha. Produktivitas pada pabrik gula milik Badan Usaha Milik Negara disebabkan antara lain: kurang optimalnya penerapan teknik budidaya, kesesuaian varietas, keterbatasan dana dan sarana pendukung seperti jalan, irigasi, rendahnya efiensi pabrik, dan kurangnya kewenangan atau
commit to user 60
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
fleksibilitas sistem menejemen (birokrasi) pada unit produksi (PG) dalam pengambilan keputusan, terutama terkait dengan hal-hal yang bersifat teknis dan perlu penanganan segera. Sebaliknya, di PG-PG milik swasta masalah tersebut relatif kurang menonjol dan dapat dikendalikan dengan baik dengan produktivitas 7,0 ton gula/Ha. Kondisi usaha menjadi kurang kondusif akibat kebijakan tata niaga gula
(tarif
dan
pengendalian
impor)
yang
kurang
mendukung
pengembangan industri gula nasional. Implikasi beberapa kebijakan lain pada tingkat makro, seperti: kebijakan perdagangan, suku bunga, penyediaan kredit dan sebagainya, dan pada tingkat mikro terutama minimnya reinvestasi perusahaan gula, telah menyebabkan agribisnis pergulaan nasional dalam situasi yang sulit dan semakin terpuruk. Peluang pengembangan usaha di sektor ini masih terbuka lebar, yang diindikasikan dengan tingkat kesenjangan (gap) antara demand dan suply (produksi) gula dalam negeri yang cukup lebar dan diperkirakan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Tingkat kesenjangan antara produksi dan kebutuhan gula nasional pada tahun 1995 masih berkisar 524 ribu ton dan pada akhir tahun 2005 mencapai 1,2 juta ton dari kebutuhan sebesar 3 juta ton. Negara produsen lainnya yang sekaligus sebagai importir gula dalam usaha mempertahankan industri gulanya, melakukan proteksi berupa penetapan tariff barrier dan kuota. Negara produsen yang mengekspor gula selain melakukan proteksi juga membatasi suplai gula di
commit to user 61
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dalam negeri dan melakukan monopoli perdagangan, serta subsidi ekspor. Kebijakan tersebut menjadikan industri gula domestik resisten terhadap perubahan terhadap harga gula yang fluktuatif dan menyebabkan pasar dunia terdistorsi dimana harga gula menjadi lebih rendah daripada ratarata biaya produksi. Keragaman industri gula dunia dan beberapa tahun terakhir menunjukkan rata-rata biaya produksi menurun dan harga gula mendekati rata-rata biaya produksi. Ini berarti secara umum efisiensi industri gula dunia mengalami peningkatan, sedangkan keragaman industri gula Indonesia menunjukkan fenomena yang sebaliknya. Industri gula Indonesia akan gulung tikar apanbila kondisi tersebut terus berlanjut dan tidak ada penanganan diperkirakan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Keragaman beberapa kebun di wilayah kerja pabrik gula baik di Jawa maupun di luar Jawa, seperti: Pangka, Watutulis, Ngadiredjo, Jatirotodan Sudono, Gunung Madu Plantation, Gula Putih Mataram, Swett Indo Lampung dan pabrik gula Indo Lampung Perkasa menunjukkan produtivitas yang cukup tinggi, ini memberikan keyakinan apabila usaha tani tebu ditangani secara baik, kinerja industri gula nasional dapat ditingkatkan. Industri gula nasional yang merupakan pilar dan penggerak ekonomi, utamanya sebagai penyedia kebutuhan gula dalam negeri serta lapangan kerja yang memanfaatkan sumberdaya lokal perlu dipertahankan keberadaanya. Pada bulan Oktober 2001 di Bandung dan bulan Maret
commit to user 62
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2002 di Bandar Lampung, para pelaku industri gula menyepakati dan menetapkan Program Akselerasi Peningkatan Produktivitas Gula Nasional sebagai langkah strategis yang akan diimplementasikan mula tahun 2002 sampai dengan 2007.
2. Kebijakan Industri Gula di Indonesia Tiga permasalahan utama yang dihadapi Indonesia berkaitan dengan agribisnis pergulaan. Pertama, produktivitas gula yang cenderung terus turun yang disebabkan antara lain karena penerapan teknologi on farm dan efisiensi pabrik gula rendah. Kedua, impor gula yang semakin meningkat. Masalah produktifitas disebabkan antara lain, karena harga gula di pasar internasional tidak menggambarkan tingkat efisiensi produksi yang sebenarnya, karena dijual di bawah ongkos produksinya, kebijakan boarder measure yang sifatnya ad-hoc dan banyaknya gula impor ilegal. Ketiga, harga gula di pasar domestik tidak stabil yang disebabkan oleh sistem distribusi yang kurang efisien (Sudi Mardianto et al, 2005).
commit to user 63
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.1 Perkembangan Produksi dan Produktifitas Gula Indonesia
Sumber: Mardianto, et al (2005), Dewan Gula Indonesia (2009)
Persoalan lain yang berkaitan dengan usahatani tebu adalah masih dominannya tanaman keprasan atau ratoon yang frekuensinya sudah melampaui rekomendasi teknis. Kondisi pertanaman
yang demikian
membawa konsekuensi aspek teknis yang serius, yaitu:
commit to user 64
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
a) Pertanaman tebu masih didominasi varietas lama karena rehabilitas tanaman dengan menanam varietas unggul baru terhambat. b) Tanaman tebu menjadi kurang terpelihara dengan baik sehingga tanaman mudah terserang hama dan penyakit, seperti RSD (ratoon stunting disease) dan PLA (penyakit luka api) c) Kualitas tebu yang dihasilkan relative rendah dibandingkan dengan kondisi normal. Penurunan areal tebu di wilayah-wilayah kerja pabrik gula yang tidak dapat dikompensasi oleh kenaikan produktivitas tebu menyebabkan ketersediaan bahan baku tebu kian terbatas itu diperebutkan oleh banyak Pabrik Gula. Bahkan, ada 2 Pabrik Gula yang berada dalam satu PT Perkebunan Nusantara yang sama memperebutkan bahan baku tebu. Sebagian besar (53 %) pabrik gula di Jawa didominasi oelh pabrik gula dengan kapasitas giling kecil (<3000 TCD), 44 % berkapasitas giling 3000-6000 TCD dan hanya 3 % yang berkapasitas giling diatas 6.000 TCD. Sekitar 68 % dari jumlah PG yang ada telah berumur lebih dari 75 tahun (umumnya berskala kecil) serta kurang mendapat perawatan secara memadai. Kondisi ini menyebabkan tingkat efisiensi yang rendah (dilihat dari cost/kg gula yang dihasilkan). Biaya produksi gula per ton pada Pabrik Gula berskala kecil jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Pabrik Gula berskala besar atau bermesin relatif baru (Sawit et al, 2003 dalam Sudi Mardianto et al, 2005). Pabrik gula di Jawa umumnya, usahatani tebu dikelola petani sedangkan Pabrik Gula dikelola oleh perusahaan gula. Keduanya bermitra,
commit to user 65
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
dimana petani sebagai pemasok bahan baku tebu dan PG mengolah tebu menjadi gula dalam suatu system bagi hasil. Dalam hubungan kemitraan itu, kegiatan produksi gula sesungguhnya terbagi menjadi dua bagian yaitu: petani menghasilkan gula dalam bentuk sukrosa dalam batang tebu dan mentransformasikan ke dalam bentuk kristal. Hubungan produksi yang demikian itu mengandung potensi konflik kepentingan, terutama pada saat pengaturan pembagian hasil. Pada masa program Tebu Rakyat Intensifikasi, hubungan kemitraan tersebut diatur dalam suatu ketetapan Kepala Badan Pengendali Bimas, termasuk batasan-batasan wilayah kerja Pabrik Gula setelah program Tebu Rakyat Intensifikasi diakhiri, hubungan kemitraan itu secara bertahap berubah menjadi lebih longgar dan mengarah ke hubungan bisnis sehingga makin tumbuh perdagangan tebu natar wilayah kerja Pabrik Gula dan derajat persaingan antar Pabrik Gula, terutama yang perusahaan induknya berbeda, dalam memperoleh bahan baku (Mubyarto, 1984; Mubyarto dan Daryanti, 1991 dalam Sudi Mardianto et al, 2005). Hingga tingkat tertentu sifat monopsoni hubungan antara Pabrik Gula dan petani tetap ada karena mobilisasi tebu antar wilayah secara teknis ekonomis dibatasi ruang dan waktu musim giling dan kapasitas Pabrik Gula. Hal ini juga merupakan salah satu sumber konflik petani dengan Pabrik Gula, termasuk masalah perlindungan petani dari ketidakefisienan yang mungkin terjadi pada Pabrik Gula yang menjadi mitra mereka. Upaya untuk mengatasi potensi konflik antara petani dengan pabrik gula telah mendorong perkembangan kelembagaan dan pemberdayaan petani yang cukup signifikan. Selama 22
commit to user 66
perpustakaan.uns.ac.id
tahun
masa
digilib.uns.ac.id
Tebu
Rakyat
Intensifikasi,
kelembagaan
petani
yang
dikembangkan hanya kelompok-kelompok tani hamparan yang lebih banyak dibentuk untuk kepentingan KUD yang berfungsi sebagai penyalur paket kredit dengan mendapat fee. Namun selama lima tahun pasca Tebu Rakyat Intensifikasi, kelembagaan petani berkembang bukan hanya kelompok usahatani yang makin mandiri tetapi juga berkembang APTR (Asosiasi Petani Tebu Rakyat) yang berfungsi sebagai lembaga advokasi petani dan KPTR (Koperasi Petani Tebu Rakyat) yang sangat berperan dalam kegiatan ekonomi kelompok tani (Sudi Mardianto et al, 2005). Dalam pengembangan industri gula nasinonal pemerintah telah menerapkan beberapa instrument kebijakan yang diarahkan untuk mendorong perkembangan industri gula Indonesia. Kebijakan tersebut mempunyai dimensi cukup luas yang mencakup input, produksi, distribusi dan harga. Kebijakan yang paling signifikan di antara berbagai kebijakan produksi dan input adalah kebijakan TRI yang tertuang dalam Inpers No 9/1975 tanggal 22 April 1975. Tujuan Inpers ini adalah untuk meningkatkan produksi gula nasional dan pendapatan petani tebu. Penerbitan kebijakan ini sebagai respon atas adanya defisit penyediaan gula semakin besar sebagai akibat konsumsi gula yang terus meningkat, karena perekonomian nasional tumbuh cukup pesat yang disertai dengan peningkatan jumlah penduduk. Bersamaan dengan itu, harga gula di pasar internasional melambung tinggi. Esensi dari kebijakan tersebut adalah membuat petani menjadi manajer pada lahannya sendiri dengan dukungan pemerintah melalui kredit bimas, bimbingan teknis,
commit to user 67
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
perbaikan sistem pemasaran dengan melibatkan KUD dan menciptakan suatu hubungan kerjasama antara petani tebu dan pabrik gula (Soentoro et al, 1999 dalam Sudi Mardianto et al, 2005). Pada awal tahun 1990-an kinerja pergulaan nasional terus menurun, baik dari segi areal, produktifitas maupun produksi. Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah mengeluarkan Inpers No 5/1997 yang bertujuan untuk mengoptimalkan sinergi dan peran tebu rakyat, perusahaan perkebunan dan koperasi
dalam
pengembangan
industri
gula.
Inpers
tersebut
juga
mempertegas peran Menteri Pertanian dalam pengembangan industri gula, baik melalui penyediaan bibit dan bimbingan teknis, peningkatan peran lembaga penelitian maupun menghilangkan berbagai pungutan yang tidak ada kaitannya dengan pembangunan tebu rakyat (Sudana et al, 2000 dalam Sudi Mardianto et al, 2005). Namun Inpers tersebut dicabut dengan Inpers No 5/1998 yang membebaskan petani menanam komoditas yang paling menguntungkan sesuai dengan UU No 12 Tahun 1996. Kebijakan produksi yang cukup signifikan pada tahun 2003/2004 adalah pengembangan program akselerasi peningkatan produksi dan produktifitas
gula
nasional.
Pemerintah
mencanangkan
tercapainya
swasembada gula pada tahun 2007 dengan produksi tiga juta ton dan produktifitas rata-rata 8 ton gula/ha. Esensi program diarahkan pada kegiatan pokok pembongkaran tanaman ratoon dengan penggunaan varietas tebu unggul baru dan penyediaan bibit bermutu. Pada tahap awal, sasaran stimulasi diarahkan untuk petani tebu rakyat di jawa dimana pada tahun 2003 diberikan
commit to user 68
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
bantuan rehabilitasi tanaman ratoon seluas 17.360 ha dengan pembuatan kebun bibit seluas 3.818 ha. Disamping kebjakan produksi dan input, pemerintah mengeluarkan kebijakan distribusi dan perdagangan gula guna menjaga stabilitas pasokan dan harga gula di pasar domestik. Bahkan dari segi intensitas, kebijakan distribusi dan perdagangan jauh lebih intensif dibandingkan dengan kebijakan produksi dan input. Secara garis besar, dinamika kebijakan distribusi dan perdagangan dapat dibagi menjadi empat tahapan utama yaitu kebijakan era isolasi (1980-1997), era perdagangan bebas (1997-1999), era transisi (19992002) dan era proteksi dan promosi (2003-sekarang). Pada era isolasi, Keppres No 43/1971 merupakan salah satu contoh intervensi pemerintah dalam pemasaran gula. Keppres tersebut pada dasarnya member wewenang kepada BULOG untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. Agar lebih efektif, Keppres tersebut didukung oleh Surat Mensekneg No B.136/APBNSekneg/3/74 yang menjelaskan mengenai keppres tersebut. Pada periode 1970-1980, jumlah stok gula yang dikuasai BULOG berkisar 50-80 persen stok total. Ketika program TRI mulai dijalankan dan bagian gula petani menjadi semakin besar maka stok dan penwaran gula di luar BULOG meningkat. Oleh karena itu sejak tahun 1980 BULOG membeli semua produksi gula dalam negeri dan menyalurkannya ke pasar (Amang, 1993, dalam Sudi Mardianto et al, 2005). Kebijakan selanjutnya pada era ini adalah Kepmenkeu No 342/KMK.011/1987 mengenai harga gula. Instrument utama kebijakan tersebut adalah penetapan harga
commit to user 69
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
provenue dan harga jual gula yang dikelola oleh BULOG. Tujuannya adalah untuk stabilisasi harga gula di pasar domestik, peningkatan penerimaan pemerintah, terjangkaunya gula oleh masyarakat serta menjamin pendapatan petani tebu dan pabrik gula (Sudana et al, 2000 dalam Sudi Mardianto et al, 2005). Kebijakan ini betujuan ganda namun antara tujuan ada yang bertentangan seperti peningkatan pendapatan petani versus harga yang terjangkau dan peningkatan penerimaan pemerintah. “Era perdagangan bebas” terjadi ketika krisis ekonomi mulai melanda Indonesia yang ditandai dengan dihapuskannya sekat isolasi pasar domestik. Dalam upaya peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi member monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas strategis, termasuk gula. Implikasi terbesar dari kebijakan ini adalah impor gula terbuka lebar karena pada saat itu tarif impor gula terbuka lebar karena pada saat itu tarif impor gula adalah nol persen. Saat itu adalah era membanjirnya gula impor di pasar Indonesia. Ketika krisis ekonomi mulai berkurang pada tahun 1999, harga gula di dalam negeri justru menurun secara signifikan. Penurunan tersebut disebabkan oleh terus menurunnya harga gula dunia, menguatnya nilai tukar rupiah dan tidak adanya tarif impor. Situasi tersebut merupakan awal dimulainya kebijakan yang bersifat transisi. Untuk melindungi produsen, pada “Era Transisi” ini pemerintah mengeluarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No 282/KPTS-IV/1999 yang kembali menetepkan harga proveneu gula sebesar Rp 2.500 per kg. Kebijakan
commit to user 70
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ini ternyata tidak efektif karena tidak didukung oleh rencana tindak lanjut yang jelas, misalnya pemerintah tidak mempunyai dana dalam jumlah yang memadai. Badan Usaha Milik Negara perkebunan yang mengelola gula juga tidak mempunyai dana cukup untuk melaksanakan kebijakan tersebut. Harga gula petani tetap mengalami ketidakpastian sebagai akibatnya (Sudi Mardianto et al, 2005). Pemecahan masalah tersebut, pemerintah melalui Departemen Perindustrian dan Perdagangan mengeluarkan Keputusan Menteri No 364/MPP/Kep/8/1999. Instrument utama kebijakan tersebut adalah pembatasan jumlah importir dengan hanya mengijinkan importir produsen. Pemerintah dapat membatasi dan mengendalikan volume impor dengan kebijakan ini di samping memiliki data yang lebih valid mengenai volume impor dan stok, dengan demikian harga gula dalam negeri dan harga gula di tingkat petani dapat ditingkatkan. Kebijakan importir-produsen tersebut ternyata kurang efektif, baik untuk mengangkat harga gula pasar domestik maupun volume impor. Walaupun tidak ada data pendukung yang memadai, kegagalan tersebut terutama disebabkan oleh stok gula dalam negeri yang sudah terlalu banyak dan adanya gula impor ilegal. Situasi ini membuat harga gula domestik tetap rendah. Oleh karena itu, desakan petani dan pabrik gula terhadap pemerintah untuk melindungi industri gula dalam negeri semakin kuat (Dewan Gula Nasional, 1999 dalam Sudi Mardianto et al, 2005). Menanggapi tekanan ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan tarif impor melalui
Keputusan
Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
No
230/MPP/Kep/6/1999 yang memberlakukan tarif impor gula sebesar 20
commit to user 71
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
persen untuk raw sugar dan 25 persen untuk white sugar. Walaupun masih menimbulkan kontroversi, kebijakan tarif impor ini secara bertahap mengangkat gula di pasar domestik. Tekanan terus menerus yang dihadapi industri gula domestik serta meningkatnya kesadaran bahwa Negara lain melakukan proteksi yang cukup intensif, mendorong pemerintah mengembangkan kebijakan yang dikenal sebagai “Era Kebijakan Proteksi dan Promosi”. Kebijakan ini pada dasarnya dimaksudkan untuk menciptakan medan persaingan yang lebih adil bagi industri gula dalam negeri. Pada pertengahan tahun 2002, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan untuk mengendalikan impor dengan membatasi importir hanya menjadi importir produsen (IP) dan importir terdaftar (IT) dan membatasi volume gula impor. Gula yang diimpor oleh importir-produsen ditujukan untuk memenuhi kebutuhan industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Bahan baku dari Pabrik Gula minimal 75 persen berasal dari petani untuk menjadi importir terdaftar,. Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No 643/MPP/Kep/9/2002 tanggal 23 September 2002. Esensi lainnya yang penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3.100/kg. Kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan harga di dalam negeri sehingga produksi gula nasional menjadi lebih kompetitif untuk merangsang petani menanam tebu (Sudi Mardianto et al, 2005).
commit to user 72
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pada tanggal 17 September 2004, kebijakan tata niaga impor direvisi untuk mempertegas atau memperkuat dari esensi kebijakan menjadi Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan 522/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula. Importir Terdaftar (IT) gula yang mendapatkan ijin impor tidak boleh mengalihkan impor gulanya ke perusahaan lain, namun boleh bekerja sama. Pemerintah menetapkan kualitas gula (gula rafinasi, gula putih dan gula mentah) yang boleh diimpor oleh importir produsen. Industri gula hanya dapat tumbuh berkembang dan berkelanjutan bila ditopang oleh tiga pilar yang kokoh, berimbang dan terintegrasi
yaitu
usahatani
tebu,
pabrik
gula
dan
penelitian
dan
pengembangan. Penelitian ini mencoba menganalisis, pertama efisiensi teknis dari pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur kemudian efisiensi teknis antara pabrik gula swasta dengan BUMN dan yang kedua adalah efisiensi alokatif dari pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur juga pabrik gula swasta dengan BUMN sehingga dapat diperoleh efisiensi teknis dari pabrik gula BUMN dan Swasta di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dengan mengambil sampel Pabrik Gula BUMN di Jawa Tengah yaitu PG JATIBARANG, PG PANGKA, PG SUMBERHARJO, PG SRAGI, PG RENDENG, PG MOJO, PG TASIKMADU dan PG GONDANG BARU sedangkan untuk swasta adalah PG TRANGKIL dan Pabrik Gula BUMN di Jawa Timur yaitu PG JATIROTO, PG PAGOTTAN, PG PURWODADI, PG SEMBORO dan PG
commit to user 73
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
SUDHONO sedangkan untuk pabrik gula swasta adalah PG REJOAGUNG dan PG CANDI BARU. Tabel 4.2 Data Tahun Berdiri dan Kapasitas Giling Pabrik Gula PABRIK GULA
TAHUN BERDIRI
KAPASITAS GILING (ton/hari) PG JATIBARANG 1842 1800 PG PANGKA 1832 1650 PG SUMBERHARJO 1911 1830 PG SRAGI 1926 3050 PG RENDENG 1840 2450 PG MOJO 1883 2350 PG TASIKMADU 1871 3200 PG GONDANG BARU 1860 1330 PG TRANGKIL 1835 4500 PG REJOAGUNG 1894 5000 PG JATIROTO 1905 7000 PG PAGOTTAN 1930 2378 PG PURWODADI 1832 2000 PG SEMBORO 1921 5000 PG SUDHONO 1924 2400 PG CANDI BARU 1911 2200 Sumber: Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, 2009 Berdasarkan 16 pabrik gula yang tertua adalah PG PANGKA dan PG PURWODADI 177 tahun sedangkan yang termuda adalah PG PAGOTTAN 79 tahun dan untuk pabrik gula yang memiliki kapasitas giling terbesar adalah PG JATIROTO 7000 ton/hari dan yang terkecil adalah PG GONDANG BARU 1330 ton/hari tetapi secara rata-rata usia pabrik gula di Jawa Timur lebih muda daripada di Jawa Tengah dan untuk kapasitas giling lebih tinggi pabrik gula di Jawa Timur yang mampu menggiling rata-rata sekitar 3600 ton/ hari dibandingkan pabrik gula di Jawa Tengah yang hanya 2400 ton/ hari.
commit to user 74
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
B. Analisis Data Dengan Metode DEA Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diperoleh dari data realisasi produksi tebu di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dimana diambil 9 Pabrik Gula di Jawa Tengah dan 7 Pabrik Gula di Jawa Timur. Data yang diambil berdasarkan variabel yang akan digunakan dalam pengukuran antara lain: Efisiensi Teknis a. Variabel input : 1) Jumlah Tebu Digiling (JTG) 2) Jumlah Bahan Bakar (JBB) 3) Jumlah Tenaga Kerja Tetap (JTT) 4) Jumlah Tenaga Kerja Sementara (JTS) b. Variabel output : 1) Produksi Pabrik Gula (PPG) Efisiensi Pendapatan (Revenue) a. Variabel input 1) Jumlah Tebu Digiling (JTG) 2) Biaya Tebu Digiling (BTG) 3) Jumlah Bahan Bakar (JBB) 4) Biaya Bahan Bakar (BBB) 5) Jumlah Tenaga Kerja Tetap (JTT) 6) Biaya Tenaga Kerja Tetap (BTT) 7) Jumlah Tenaga Kerja Sementara (JTS) 8) Biaya Tenaga Kerja Sementara (BTS)
commit to user 75
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Variabel output 1) Produksi Pabrik Gula (PPG) 2) Harga Produksi Pabrik Gula (HPPG) Data yang digunakan dalam menganalisis efisiensi produksi pabrik gula tersaji dalam tabel berikut: Tabel 4.3 Data Produksi, Jumlah Tenaga Kerja dan Penerimaan Gula Per Bulan
Sumber: Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, 2009, Dinas Perebunan Jawa Tengah, 2009, Dinas Perkebunan Jawa Timur, 2009
commit to user 76
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.4 Data Biaya Tebu Digiling, Biaya Bahan Bakar, Biaya Tenaga Keja Tetap, Biaya Tenaga Kerja Sementara dan Harga Gula
Sumber: Sumber: Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia, 2009, Dinas Perebunan Jawa Tengah, 2009, Dinas Perkebunan Jawa Timur, 2009
Hasil pengolahan data dengan menggunakan software Warwick DEA diperoleh 6 pabrik gula efisien sedangkan 10 pabrik gula belum efisien, ini dapat dilihat pada tabel 4.5 di bawah ini
commit to user 77
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.5 Hasil Olahan DEA
Sumber: Hasil Olahan DEA, 2009
Berdasarkan tabel diatas, Pabrik Gula yang sudah efisien secara teknis antara lain Jatibarang, Jatiroto, Mojo, Pagottan, Sumberharjo dan Trangkil sedangkan yang belum efisien secara teknis antara lain Gondang Baru, Tasikmadu, Sragi, Sudhono, Rendeng, Purwodadi, Candi Baru, Rejoagung, Semboro dan Pangka. Sedangkan secara alokatif semua Pabrik Gula sudah samasama efisien.
1. Analisis Peer Pabrik Gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara BUMN dengan Swasta Berdasarkan analisis peer unit ini, akan dianalisis efisiensi teknis untuk masing-masing Pabrik Gula sehingga dapat diketahui berapa banyak
commit to user 78
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Pabrik Gula yang belum efisien untuk mengurangi input agar menjadi efisien seperti pada Pabrik Gula yang menjadi rujukan. Tabel dibawah ini akan menunjukkan target penurunan input agar Pabrik Gula menjadi efisien dengan mencontoh Pabrik Gula yang lain. a. PG Gondang Baru PG Gondang Baru merupakan pabrik gula BUMN di Jawa Tengah yang dalam analisis ini paling tidak efisien secara teknis dalam efisiensi produksi pabrik gula dengan angka 80,45 %. Pabrik Gula ini untuk mencapai efisiensi secara teknis harus mengurangi jumlah bahan bakar 10114,5 liter, jumlah tenaga kerja tetap 1747,8 HOK, jumlah tenaga kerja sementara 12024.3 HOK dengan jumlah tebu yang digiling 33494,1 dan rujukan PG Jatibarang dan PG Sumberharjo. Tabel 4.6 Hasil Olahan DEA Variable Actual Target JTG 41633.7 33494.1 JBB 20000.0 9885.5 JTT 8940.0 7192.2 JTS 23640.0 11615.7 PPG 3583.0 3583.0 Sumber: Hasil Olahan DEA
To Gain 19.6% 50.6% 19.6% 50.9% 0.0%
Achieved 80.4% 49.4% 80.4% 49.1% 100.0%
b. PG Tasikmadu PG Tasikmadu merupakan pabrik gula BUMN yang tidak efisien dengan angka 83,30 %. Pabrik Gula ini untuk mencapai efisiensi secara teknis harus mengurangi jumlah bahan bakar 70444,9 liter, jumlah tenaga kerja tetap 2424,1 HOK, jumlah tenaga kerja sementara 12789 HOK dan
commit to user 79
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
jumlah tebu yang digiling 71076,4 ton dan rujukan PG Jatibarang dan PG Mojo. Tabel 4.7 Hasil Olahan DEA Variable Actual Target JTG 85320.8 71076.4 JBB 98809.5 28364.6 JTT 14520.0 12095.9 JTS 33600.0 20811.0 PPG 7444.2 7444.2 Sumber: Hasil Olahan DEA
To Gain 16.7% 71.3% 16.7% 38.1% 0.0%
Achieved 83.3% 28.7% 83.3% 61.9% 100.0%
c. PG Sragi PG Sragi merupakan pabrik gula BUMN yang tidak efisien dengan angka 86,62 %. Pabrik Gula ini untuk mencapai efisiensi secara teknis harus mengurangi jumlah bahan bakar 201679,1 liter, jumlah tenaga kerja tetap 21478,1 HOK, jumlah tenaga kerja sementara 10003,3 HOK dengan jumlah tebu yang digiling 77988,6 ton dan rujukan PG Jatibarang dan PG Mojo. Tabel 4.8 Hasil Olahan DEA Variable Actual Target JTG 90037.5 77988.6 JBB 230242.8 28563.7 JTT 16050.0 13902.2 JTS 33450.0 23446.7 PPG 8201.2 8201.2 Sumber: Hasil Olahan DE
To Gain 13.4% 87.6% 13.4% 29.9% 0.0%
Achieved 86.6% 12.4% 86.6% 70.1% 100.0%
d. PG Sudhono PG Sudhono merupakan pabrik gula BUMN yang tidak efisien dengan angka 89,61 %. Pabrik Gula ini untuk mencapai efisiensi secara
commit to user 80
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
teknis harus mengurangi jumlah bahan bakar 13309,6 liter, jumlah tenaga kerja tetap 1091,4 HOK, jumlah tenaga kerja sementara 6561,8 HOK dengan jumlah tebu yang digiling 66034,4 ton dengan rujukan PG Jatibarang dan PG Mojo. Tabel 4.9 Hasil Olahan DEA Variable Actual Target JTG 73694.2 66034.4 JBB 47093.6 33784.0 JTT 10500.0 9408.6 JTS 24120.0 17558.2 PPG 6820.3 6820.3 Sumber: Hasil Olahan DEA
To Gain 10.4% 28.3% 10.4% 27.2% 0.0%
Achieved 89.6% 71.7% 89.6% 72.8% 100.0%
e. PG Rendeng PG Rendeng merupakan pabrik gula BUMN yang tidak efisien dengan angka 92,65 %. Pabrik Gula ini untuk mencapai efisiensi secara teknis harus mengurangi jumlah bahan bakar 33697,8 liter, jumlah tenaga kerja tetap 659,1 HOK, jumlah tenaga kerja sementara 10884,3 HOK dengan jumlah tebu yang digiling 70435,3 ton dan rujukan PG Mojo dan PG Jatiroto. Tabel 4.10 Hasil Olahan DEA Variable Actual Target JTG 76021.4 70435.3 JBB 61697.7 28009.9 JTT 8970.0 8310.9 JTS 27450.0 16565.7 PPG 6994.7 6994.7 Sumber: Hasil Olahan DEA
To Gain 7.3% 54.6% 7.3% 39.7% 0.0%
Achieved 92.7% 45.4% 92.7% 60.3% 100.0%
commit to user 81
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
f. PG Purwodadi PG Purwodadi merupakan pabrik gula BUMN yang tidak efisien dengan angka 92,90 %. Pabrik Gula ini untuk mencapai efisiensi secara teknis harus mengurangi jumlah bahan bakar 2931,9 liter, jumlah tenaga kerja tetap 766,4 HOK, jumlah tenaga kerja sementara 6311,8 HOK dengan jumlah tebu yang digiling 61587,4 ton dan rujukan PG Jatibarang dan PG Mojo. Tabel 4.11 Hasil Olahan DEA Variable Actual Target JTG 66291.3 61587.4 JBB 29327.3 26395.4 JTT 10800.0 10033.6 JTS 23910.0 17598.2 PPG 6427.0 6427.0 Sumber: Hasil Olahan DEA
To Gain 7.1% 10.0% 7.1% 26.4% 0.0%
Achieved 92.9% 90.0% 92.9% 73.6% 100.0%
g. PG Candi Baru PG Candi baru merupakan pabrik gula Swasta yang tidak efisien dengan angka 94,49 %. Pabrik Gula ini untuk mencapai efisiensi secara teknis harus mengurangi jumlah bahan bakar 1404 liter, jumlah tenaga kerja tetap 631,2 HOK, jumlah tenaga sementara 5615 HOK dengan jumlah tebu yang digiling 67660 ton dan rujukan PG Jatibarang, PG Mojo dan PG Pagottan.
commit to user 82
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Tabel 4.12 Hasil Olahan DEA Variable Actual Target JTG 71603.9 67660.0 JBB 25490.9 24086.9 JTT 11460.0 10828.8 JTS 25890.0 20275.0 PPG 6982.1 6982.1 Sumber: Hasil Olahan DEA
To Gain 5.5% 5.5% 5.5% 21.7% 0.0%
Achieved 94.5% 94.5% 94.5% 78.3% 100.0%
h. PG Rejoagung PG Rejoagung merupakan pabrik gula Swasta yang tidak efisien dengan angka 95,00 %. Pabrik Gula ini untuk mencapai efisiensi secara teknis harus mengurangi jumlah bahan bakar 64144,2 liter, jumlah tenaga kerja tetap 759,7 HOK, jumlah tenaga kerja sementara 1751,7 HOK dengan jumlah tebu yang digiling 133242,7 ton dan rujukan PG Mojo dan PG Jatiroto. Tabel 4.13 Hasil Olahan DEA Variable Actual Target JTG 140261.8 133242.7 JBB 95743.0 31598.8 JTT 15180.0 14420.3 JTS 30960.0 29208.3 PPG 12827.1 12827.1 Sumber: Hasil Olahan DEA
To Gain 5.0% 67.0% 5.0% 5.7% 0.0%
Achieved 95.0% 33.0% 95.0% 94.3% 100.0%
i. PG Semboro PG Semboro merupakan pabrik gula BUMN yang tidak efisien dengan angka 95,14 %. Pabrik Gula ini untuk mencapai efisiensi secara teknis harus mengurangi jumlah bahan bakar 70699,9 liter, jumlah tenaga
commit to user 83
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
kerja tetap 768,4 HOK, jumlah tenaga kerja sementara 1587,3 HOK dengan jumlah tebu yang digiling 143636 ton dan rujukan PG Jatiroto. Tabel 4.14 Hasil Olahan DEA Variable Actual Target JTG 155624.7 143636.0 JBB 96487.3 25787.4 JTT 15810.0 15041.6 JTS 32250.0 30662.7 PPG 13671.0 13671.0 Sumber: Hasil Olahan DEA
To Gain 7.7% 73.3% 4.9% 4.9% 0.0%
Achieved 92.3% 26.7% 95.1% 95.1% 100.0%
j. PG Pangka PG Pangka merupakan pabrik gula BUMN yang tidak efisien dengan angka 96,15 %. Pabrik Gula ini untuk mencapai efisiensi secara teknis harus mengurangi jumlah bahan bakar 573,4 liter, jumlah tenaga kerja tetap 397,6 HOK, jumlah tenaga kerja sementara 10825,7 HOK dan rujukan PG Jatibarang, PG Mojo dan PG Pagottan. Tabel 4.15 Hasil Olahan DEA Variable Actual Target JTG 53096.9 51051.1 JBB 14883.7 14310.3 JTT 10320.0 9922.4 JTS 27180.0 16354.3 PPG 5399.0 5399.0 Sumber: Hasil Olahan DEA
To Gain 3.9% 3.9% 3.9% 39.8% 0.0%
Achieved 96.1% 96.1% 96.1% 60.2% 100.0%
commit to user 84
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Analisis Deskriptif Efisiensi Teknis dan Efisiensi Ekonomis Rata-rata di Jawa Tengah dan Jawa Timur antara BUMN dengan Swasta.
a. Efisiensi Teknis dan Efisiensi Ekonomis Jawa Tengah dan Jawa Timur Pabrik Gula di daerah Jawa Timur lebih efisien baik teknis dan ekonomis secara rata-rata dibandingkan dengan Jawa Tengah. Rata-rata efisiensi teknis Jawa Tengah 93,24 % dibandingkan dengan Jawa Timur yang lebih efisien dengan 95,30 % dan secara ekonomis Jawa Tengah 96,61 % dibandingkan Jawa Timur dengan 97,65 %. Secara teknis dan ekonomis Pabrik Gula di Jawa Timur lebih efisien dikarenakan tenaga kerja jumlahnya lebih efisien penggunaanya daripada di Jawa Tengah selain itu mesin-mesin dan peralatan yang digunakan lebih muda usianya dibandingkan di Jawa Tengah dan luas lahan di Jawa Timur yang lebih luas daripada di Jawa Tengah membuat pasokan bahan baku lebih tinggi di Jawa Timur daripada Jawa Tengah dan bibit yang digunakan di Jawa Timur lebih baik daripada di Jawa Tengah juga bibit tebu yang ada di Jawa Timur lebih baik daripada di Jawa Tengah karena memiliki masa panen yang lebih cepat. Tabel 4.16 Hasil Perhitungan Efisiensi Teknis dan Efisiensi Ekonomis EFISIENSI TEKNIS
EFISIENSI EKONOMIS
JAWA TENGAH
93,24 %
96,61 %
JAWA TIMUR
95,30 %
97,65 %
Sumber: Hasil Perhitungan Efisiensi Teknis dan Efisiensi Ekonomis,2009
commit to user 85
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Efisiensi Teknis dan Efisiensi Ekonomis BUMN dan Swasta Pabrik Gula Swasta lebih efisien dibandingkan. Rata-rata efisiensi teknis BUMN 93,60 % lebih rendah jika dibandingkan Pabrik Gula Swasta dengan 96,49 % sedangkan efisiensi ekonomis Pabrik Gula BUMN 96,79 % juga lebih rendah daripada Pabrik Gula Swasta yang 98,24 %. Hal itu disebabkan antara lain karena pasokan bahan baku dari milik petani dan milik Pabrik Gula sendiri antara Pabrik Gula Swasta lebih besar daripada Pabrik Gula BUMN karena Pabrik Gula Swasta mengelola lahan sendiri baik itu dengan sewa lahan atau kepemilikan lahan sehingga kondisi pasokan bahan baku lebih terjamin kualitasnya dibandingkan jika lahan itu milik petani. Selain itu produksi kristal lebih tinggi Pabrik Gula Swasta daripada Pabrik Gula BUMN karena jumlah tebu yang digiling lebih banyak Pabrik Gula Swasta dibandingkan BUMN walaupun hasil rendemen tidak jauh berbeda. Tabel 4.17 Hasil Perhitungan Efisiensi Teknis dan Efisiensi Ekonomis EFISIENSI TEKNIS
EFISIENSI EKONOMIS
BUMN
93,60 %
96,79 %
SWASTA
96,49 %
98,24 %
Sumber: Hasil Perhitungan Efisiensi Teknis dan Efisiensi Ekonomis,2009
commit to user 86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB V KESIMPULAN
A. Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian adalah 1. Dari hasil rata-rata efisiensi teknis dan ekonomis diperoleh hasil bahwa pabrik gula Swasta lebih efisien jika dibandingkan dengan pabrik gula BUMN dengan tingkat efisiensi teknis 96,49% untuk pabrik gula Swasta dan 93,60% untuk pabrik gula BUMN dan tingkat efisiensi ekonomis pabrik gula Swasta sebesar 98,24% dan 96,79% untuk pabrik gula BUMN. 2. Dari hasil rata-rata efisiensi teknis dan ekonomis diperoleh hasil bahwa pabrik gula di Jawa Timur lebih efisien dibandingkan pabrik gula di Jawa Tengah dengan tingkat efisiensi sebesar 95,30% untuk rata-rata efisiensi teknis Jawa Timur dan Jawa Tengah 93,24% sedangkan untuk efisiensi ekonomis Jawa Timur sebesar 97,65% dan Jawa Tengah 96,61%. 3. Hasil perhitungan menggunakan DEA menunjukkan bahwa dari 16 pabrik gula BUMN dan Swasta di Jawa Tengah dan Jawa Timur terdapat 10 pabrik gula yang belum efisien yaitu PG Godang Baru 80,45 %, PG Tasikmadu 83,30 %, PG Sragi 86,62 %, PG Sudhono 89,61 %, PG Rendeng 92,65 %, PG Purwodadi 92,90 %, PG Candi Baru 94,49 %, PG Rejoagung 95,00 %, PG Semboro 95,14 % dan PG Pangka 96,15 %. Pabrik gula yang efisien yaitu PG
commit to user 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Jatibarang, PG Jatiroto, PG Mojo, PG Pagottan, PG Sumberharjo dan PG Trangkil. 4. Inefisiensi yang terjadi pada pabrik gula dalam penelitian ini bersumber pada input yang digunakan yaitu jumah tebu digiling, jumlah bahan bakar, jumlah tenaga kerja tetap dan jumlah tenaga kerja sementara. 5. Pabrik gula ternyata juga ikut memberikan sumbangan terhadap inefisiensi produksi gula. B. Saran Berdasarkan hasil analisis maka saran yang dapat diberikan dalam mengambil kebijakan oleh pabrik gula dalam mencapai efisiensi, antara lain : 1. Memberi kepercayaan petani tebu melalui APTRI untuk mendirikan pabrik gula mini sebagai alternatif pembanding pabrik gula BUMN 2. Bagi pabrik gula di Jawa Tengah disarankan menurangi pemborosan dari sisi input antara lain jumlah bahan bakar, jumlah tenga kerja tetap dan jumlah tenaga kerja sementara.
commit to user 88