FAKTOR PENENTU KINERJA PENYULUH PERTANIAN DI KOTA TIDORE KEPULAUAN PROVINSI MALUKU UTARA
IBRAHIM HAMZAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini menyatakan bahwa tesis Faktor Penentu Kinerja Penyuluh Pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara adalah karya saya dengan arahan dari komisis pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Oktober 2011
Ibrahim Hamzah NRP. I351090021
ABSTRACT IBRAHIM HAMZAH. Performance Determinants of Agricultural Extension in the City Tidore Islands North Maluku province. Under direction of SUMARDJO and SOENARMO J. HATMODJOSOEWITO. The role of agricultural extension agent from 1978 until the 1980's showed an important role in the development of national economy. In the 1990's the perceived role of the instructor began to decline, both in quantity and quality (performance level). The condition is occurring nationwide, including in the City Tidore Islands North Maluku province. Therefore we need a study that aims to analyze the factors thought to affect the performance of extension workers and formulating appropriate counseling strategies based on the implementation of the determinants of performance extension. Data collection conducted in mid-May through June 2011 thousands through census methods. The study population was defined as many as 56 people 67 people from the extension of existing civil servants. The results showed a correlation factor of age, period of employment, training, instructor perceptions of the tasks / jobs, media utilization, reward systems, active community participation, support supervision monitoring, planning, implementation, and evaluation of extension programs, applying principles of adult learning, and communication skills real contact with the performance of agricultural extension. The analysis showed a factor of training, perceptions of job/task, use of the media, community participation, and implementation of extension programs have real impact on the performance of agricultural extension. The average performance of extension agents were the category of being, where the extension is not optimal in planning, implementing and evaluating activities properly instructed. This is caused by a lack of creativity, initiative, and the ability of trainers to build cooperation and communication with the target extension. The implementation of agricultural extension that is not optimal in the City Tidore Islands affected several determinants of performance of extension, namely: (1) lack of competence in aspects of the implementation of extension programs. (2) lack of extension agents utilize the available media, (3) perception of extension agents to the task / job, (4) the intensity of training, and (5) active participation of the community. Key words: Characteristics, competencies, performance of trainers and extension strategies
RINGKASAN IBRAHIM HAMZAH. Faktor Penentu Kinerja Penyuluh Pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Dibimbing oleh SUMARDJO dan SOENARMO J. HATMODJOSOEWITO. Pembangunan Pertanian hingga saat ini mempunyai peran sentral sebagai tulang punggung pembangunan perekonomian nasional. Peran penting sektor pertanian tersebut tidak terlepas dari peran penyuluhan pertanian sebagai bagian yang terpenting dari pembangunan pertanian secara umum. Setelah tahun 1990 peran penyuluh pertanian dari tahun ke tahun terus menunjukkan penurunan yang cukup signifikan, baik dari segi jumlah maupun tingkat kinerja yang dicapai. Bergulirnya era reformasi dan otonomi daerah, kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah dinilai merosot sampai ke titik nadir Margono Slamet (2001). Kinerja penyuluh pertanian di seluruh wilayah Indonesia hingga saat ini masih rendah. Mencermati kondisi tersebut, pada tahun 2005 pemerintah mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian (RPP) telah ditindaklanjuti dengan terbitnya UndangUndang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Dari dimensi organisasi atau kelembagaan, lembaga penyuluhan harus independen sebagaimana amanat undang-undang nomor 16 Tahun 2006. Sedangkan dari dimensi personil, upaya mengatasi kekurangan penyuluh pertanian terus dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan memiliki hubungan terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara, serta merumuskan strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Penelitian ini dirancang melalui metode sensus. Pengumpulan data dilaksanakan pada pertengahan bulan Mei sampai bulan Juni 2011, di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Lokasi penelitian dipilih secara sengaja (purposive), dengan pertimbangan bahwa; (1) Kota Tidore adalah salah satu dari 9 Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara yang telah membentuk kelembagaan penyuluhan sesuai UndangUndang Nomor 16 Tahun 2006, (2) Jumlah dan distribusi penyuluh di Kota Tidore Kepulauan tersebar merata, dan (3) dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di Provinsi Maluku Utara, lokasi penelitian ini memiliki kualifikasi penyuluh yang lengkap sesuai komoditas/subsektor. Populasi penelitian adalah seluruh penyuluh pertanian PNS yang memiliki lokasi tugas/wilayah binaan. Untuk melihat pengaruh maupun hubungan antar peubah terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian digunakan uji statistik regresi dan korelasi Pearson. Rendahnya kinerja penyuluh pertanian disebabkan oleh rendahnya aspek kompetensi perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian program penyuluhan, pemanfaatan media, kompetensi penerapan prinsip belajar orang dewasa, persepsi penyuluh terhadap pekerjaan atau tugas, dukungan penghargaan, masa kerja penyuluh, umur, kompetensi berkomunikasi, dukungan supervisi dan monitoring, partisipasi aktif masyarakat dan intensitas pelatihan.
Karakteristik internal, eksternal dan kompetensi menentukan rendahnya kinerja penyuluh pertanian secara berturut-turut dari yang paling menentukan yaitu, (1) kompetensi pelaksanaan program penyuluhan, (2) pemanfaatan media, (3) persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan, (4) pelatihan, dan (5) partisipasi aktif masyarakat. Data penelitian untuk karakteristik internal menunjukan umur penyuluh 45 persen tergolong muda, masa kerja penyuluh 50 persen tergolong masih baru, intensitas pelatihan 71 persen tergolong sedang/ jarang, dan persepsi penyuluh terhadap pekerjaan/tugas 82 persen tergolong tinggi. Karakteristik eksternal menunjukkan faktor dukungan penghargaan terhadap penyuluh berprestasi 63 persen dalam kategori sedang (jarang diberikan), partisipasi aktif masayarakat 52 persen tergolong tinggi, dan dukungan supervisi monitoring 43 persen dalam kategori sedang (jarang dilakukan). Sedangkan semua aspek-aspek kompetensi penyuluh rata-rata berada dalam kategori sedang, kecuali kompetensi pada aspek perencanaan program penyuluhan 71 persen dalam kategori tinggi. Nilai koefisien determinan (R Square) dari pengaruh faktor karakteristik internal, eksternal, dan kompetensi penyuluh terhadap kinerja penyuluh pertanian adalah 0,547 atau 54,7 persen. Artinya pengaruh langsung faktor-faktor tersebut secara bersama-sama terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian adalah sebesar 54,7 persen. Adapun sisanya yaitu 46,3 persen dijelaskan oleh faktor-fakor lain diluar model. Untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan, maka diperlukan strategi-strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat melalui upaya peningkatan terhadap tiga aspek penting yaitu; (1) peningkatan peran organisasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian; (2) peningkatan jenjang karier dan kesejahteraan penyuluh pertanian, dan (3) peningkatan peran lembaga pendukung penyuluhan pertanian.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
FAKTOR PENENTU KINERJA PENYULUH PERTANIAN di KOTA TIDORE KEPULAUAN PROVINSI MALUKU UTARA
IBRAHIM HAMZAH
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. H. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc
Tesis
: Faktor Penentu Kinerja Penyuluh Pertanian Di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara
Nama
: Ibrahim Hamzah
NRP
: I351090021
Menyetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS Ketua
Dr. Soenarmo J. Hatmodjosoewito, M.Ed Anggota
Mengetahui Ketua Program Studi/Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian: 3 Oktober 2011
Tanggal Lulus:
KATA PENGANTAR Puji dan syukur
penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah
dengan judul “Faktor Penentu Kinerja
Penyuluh Pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara” dapat diselesaikan. Tesis ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar magister sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Mencermati kinerja penyuluh yang terus menurun setelah era kejayaannya, maka pada tahun 2005 pemerintah mencanangkan program Revitalisasi Penyuluhan Pertanian (RPP). Program ini mendapat payung hukum yang kuat dengan
terbitnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem
Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Namun demikian implementasi operasionalisasi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tersebut, masih dihadapkan pada berbagai permasalahan seperti; beragamnya bentuk dan tingkat eselonering kelembagaan penyuluhan, (2) terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga penyuluh pertanian, (3) programa penyuluhan pertanian belum disusun secara partisipastif. (4) terbatasnya sarana dan prasarana penyuluhan pertanian, dan (5) rendahnya dukungan pemerintah daerah (Sumardjo dkk, 2010). Berdasarkan pada kondisi tersebut, serta berasumsi bahwa pengaruh faktor situasional terhadap kinerja penyuluh pertanian di masing-masing daerah adalah berbeda, maka diperlukan suatu penelitian untuk mengetahui aspek-aspek apa saja yang menentukan tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Akhirnya semoga penelitian ini bermanfaat bagi semua pihak dalam memberikan solusi terhadap peningkatan kinerja penyuluh pertanian.
Bogor, Oktober 2011
Penulis
UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Faktor Penentu Kinerja
Penyuluh Pertanian di Kota Tidore
Kepulauan Provinsi Maluku Utara” . Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada : (1) Prof. Dr. Ir. Sumardjo, MS,
selaku ketua komisi pembimbing, (2) Dr.
Soenarmo J. Hatmodjosoewito, M.Ed, selaku anggota komisi pembimbing, yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan mulai dari proses perencanaan penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Dr. Ir. Siti Amanah, M.Sc selaku Ketua Program Studi dan Bapak Dr. Prabowo Tjitropranoto, M.Sc selaku penguji luar komisi atas segala saran dan pendapatnya. seluruh mahasiswa pascasarjana Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, khususnya rekan-rekan angkatan 2009. Ucapan terima penulis sampaikan kepada Walikota Kota Tidore Kepulauan beserta jajarannya yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan pada program magister di Institut Pertanian Bogor. Seluruh penyuluh dan petani responden atas sumbangsihnya dalam memperlancar jalannya penelitian. Akhirnya, ungkapan rasa syukur dan terima kasih untuk orang tua tercinta H. Hamzah M. Said (Dja) dan Hj. Tidjia A. Konoras (Djia) serta dukungan penuh seluruh keluarga yang tidak putus-putusnya mengiringi penulis dengan materi dan do’a. Untuk isteri tercinta (Katia Matsary) dan ketiga anak-anaku yang tersayang (Ika, Ayu dan Irul), terima kasih atas do’a dan kesabarannya demi keberhasilan papa, semoga Allah SWT mengangkat derajat kita semua. Amin.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tafamutu Kota Ternate pada tanggal 6 Pebruari 1972, sebagai anak ke delapan dari Sembilan bersaudara dari ayah H. Hamzah M. Said dan ibu Hj. Tidjia A. Konoras. Penulis telah menikah dengan Katia Matsary dan telah dikaruniai tiga orang anak, masing-masing: Rizka Fajri, Nurhidayati dan Khairulasmi. Pendidikan Dasar ditempuh di SD Negeri Tafamutu Kota Ternate, sedangkan pendidikan lanjutan tingkat pertama dan lanjutan atas diselesaikan masing-masing
di SMP Negeri 1 dan SMA Negeri 1 Tidore Kota Tidore
Kepulauan. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Agronomi pada Fakultas Pertanian Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1998. Kesempatan penulis untuk menempuh pendidikan pascasarjana di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) diperoleh pada tahun 2009 atas biaya pendidikan dari Pemerintah Daerah Kota Tidore Kepulauan. Penulis mulai bekerja sebagai pegawai negeri sipil tahun 2001 pada Kantor Informasi dan Penyuluhan Pertanian (KIPP) Kabupaten Halmahera Tengah. Pada tahun 2004 penulis diangkat dalam jabatan struktural sebagai Kepala Seksi Perkebunan pada Dinas Kelautan dan Pertanian Kota Tidore Kepulauan. Pada tahun 2007 penulis dipercayakan untuk menduduki jabatan sebagai Kepala Sub Bagian Tata Usaha pada Kantor Informasi dan Penyuluhan Pertanian dan pada tahun 2008 – 2009 dalam jabatan yang sama pada Kantor Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (KPKP). Selama dalam masa studi pada program pascasarjana, penulis berstatus sebagai staf biasa pada Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (BP4K) Kota Tidore Kepulauan.
DAFTAR ISI Hal KATA PENGANTAR .......................................................................................
xiii
DAFTAR ISI .....................................................................................................
xix
DAFTAR TABEL .............................................................................................
xxiii
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
xxv
DAFTAR LAMPIRAN......................................................................................
xxvii
PENDAHULUAN Latar Belakang .........................................................................................
1
Masalah penelitian ....................................................................................
5
Tujuan Penelitian......................................................................................
5
Manfaat Penelitian ....................................................................................
6
TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Kebijakan Penyuluhan Pertanian............................................
7
Penyuluh Pertanian ...................................................................................
10
Karakteristik Internal Penyuluh.................................................................
11
Karakteristik Ekaternal Penyuluh..............................................................
16
Kompetensi Penyuluh Pertanian................................................................
20
Kinerja Penyuluh Pertanian.......................................................................
28
Strategi Penyuluh Pertanian ......................................................................
31
KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Pemikiran .................................................................................
33
Hipotesis...................................................................................................
34
METODE PENELITIAN Rangcangan dan Lokasi Penelitian............................................................
37
Populasi dan sampel Penelitian .................................................................
37
Jenis dan Teknik Pengumpulan Data.........................................................
38
Validitas dan Realibilitas ..........................................................................
39
Definisi Istilah ..........................................................................................
41
Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ........................................
42
Karakteristik Internal (X1) ................................................................
42
Karakteristik Eksternal (X2)..............................................................
44
Kompetensi Penyuluh (X3) ...............................................................
45
Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian (Y)............................................
46
Analisis Data ...........................................................................................
47
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Gambaran Wilayah Penelitian ..................................................................
49
Distribusi Kelompok Tani ........................................................................
51
Distribusi Penyuluh Pertanian ..................................................................
52
KINERJA PENYULUH PERTANIAN DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Hubungan antara sub Karakteristik Internal dengan Kinerja Penyuluh Pertanian ..................................................................................................
57
Hubungan antara sub Karakteristik Eksternal dengan Kinerja Penyuluh Pertanian ..................................................................................................
60
Hubungan antara sub Kompetensi dengan Kinerja Penyuluh Pertanian.....
64
Pengaruh sub-sub Karakteristik Internal terhadap Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian..................................................................................
69
Pengaruh sub-sub Karakteristik Eksternal terhadap Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian..................................................................................
72
Pengaruh sub-sub Kompetensi terhadap Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian ..................................................................................................
74
Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian .........................................................
75
STRATEGI PENYELENGGARAAN PENYULUHAN Pelaksanaan Program Penyuluhan ............................................................
81
Pemanfaatan Media Penyuluhan...............................................................
82
Persepsi Penyuluh terhadap Tugas/ Pekerjaan...........................................
83
Intensitas Pelatihan Penyuluh ...................................................................
83
Partisipasi Aktif Masyarakat.....................................................................
84
Strategi Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian........................................
85
Peningkatan Peran Organisasi Penyelengaraan Penyuluhan................
87
Peningkatan Peran Jenjang Karier dan Kesejahteraan Penyuluh .........
89
Peningkatan Peran Kelembagaan Pendukung Penyuluhan ..................
90
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...............................................................................................
93
Saran.........................................................................................................
94
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Hal 1. Hasil uji validitas instrumen Karakteristik Internal, Eksternal, Kompetensi Penyuluh, dan Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian.......................................
40
2. Hasil uji reliabilitas instrument karakteristik internal, eksternal, kompetensi penyuluh, dan tingkat kinerja penyuluh pertanian..........................................
41
3. Gambaran Umum Wilayah Penelitian...........................................................
49
4. Jumlah Curah Hujan dan Hari Hujan di Wilayah Penelitian Tahun 2010.......
51
5. Jumlah Kelompok Tani-Nelayan di Wilayah Kerja BP4K Tahun 2010 .........
52
6. Jumlah dan Sebaran Penyuluh Pertanian di Kota Tidore Kepulauan..............
53
7. Rasio antara Jumlah Petani, Luas Wilayah Binaan, Jumlah Kantor BP3K dan Jumlah BOP dengan Jumlah Penyuluh ...................................................
53
8. Distribusi Penyuluh Pertanian Berdasarkan Karakteristik Internal.................
56
9. Koefisien korelasi antara aspek-aspek karakteristik internal dengan aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian ........................................................
58
10. Distribusi Penyuluh Pertanian Berdasarkan Karakteristik Eksternal .............
61
11. Koefisien korelasi antara aspek-aspek karakteristik eksternal dengan aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian......................................................
62
12. Distribusi Penyuluh Pertanian Berdasarkan Kompetensi Penyuluh...............
65
13. Distribusi Kompetensi penyuluh Berdasarkan Penilaian Petani....................
67
14. Koefisien korelasi antara aspek-aspek kompetensi penyuluh dengan aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian......................................................
68
15. Koefisien regresi pengaruh karakteristik internal terhadap kinerja penyuluh pertanian.....................................................................................................
70
16. Koefisien regresi pengaruh karakteristik eksternal terhadap kinerja penyuluh pertanian.....................................................................................................
72
17. Koefisien regresi pengaruh kompetensi penyuluh terhadap kinerja penyuluh pertanian.....................................................................................................
75
18. Distribusi Penyuluh Pertanian Berdasarkan Tingkat Kinerja Penyuluh.........
77
19. Koefisien regresi pengaruh karakteristik internal, eksternal, dan kompetensi penyuluh terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian ................................
81
DAFTAR GAMBAR Hal 1. Alur Kerangka Berpikir ................................................................................
36
2. Koefisien regresi aspek-aspek yang berpengaruh terhadap Tingkat Kinerja Penyuluh.......................................................................................................
80
DAFTAR LAMPIRAN Hal 1. Hasil Analisis Korelasi Pearson ....................................................................
101
2. Hasil Analisis Regresi Pearson .....................................................................
105
PENDAHULUAN Latar Belakang Pembangunan Pertanian hingga saat ini mempunyai peran sentral sebagai tulang punggung pembangunan perekonomian nasional. Peran penting sektor pertanian tersebut tidak terlepas dari peran penyuluhan pertanian sebagai bagian yang terpenting dari pembangunan pertanian secara umum. Pada era pelaksanaan Bimas, peran penyuluh pertanian di Indonesia sangat dirasakan manfaatnya yang ditunjukan melalui proyek penyuluhan pertanian tanaman pangan (Nation Food Crops Extension Project) dan dilanjutkan dengan NAEP (National Agricultural Extension Project) tahun 1978, hingga pada tahun 1984 pemerintah Republik Indonesia meraih masa kejayaannya dengan memperoleh penghargaan FAO atas keberhasilannya mencapai swasembada beras (Mardikanto, 2009). Kejayaan penyuluhan pertanian tersebut hanya mampu bertahan dalam beberapa tahun saja, karena memasuki tahun 1990-an pamor penyuluhan pertanian yang dikelola oleh pemerintah (Departemen Pertanian) dirasakan semakin menurun (Margono Slamet, 2001). Peran penyuluh pertanian dari tahun ke tahun terus menunjukkan penurunan yang cukup signifikan, baik dari segi jumlah maupun tingkat kinerja yang dicapai. Bergulirnya era reformasi semakin memperburuk citra penyuluhan pertanian yang diikuti oleh terus menurunnya kinerja para penyuluh pertanian secara nasional termasuk di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Kondisi ini diperparah lagi dengan pemberlakuan otonomi daerah melalui Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004. Margono Slamet (2001) menyatakan bahwa, selama masa reformasi kegiatan penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh pemerintah dinilai merosot sampai ke titik nadir. Dampak negatif yang ditimbulkan di era otonomi daerah adalah banyak penyuluh pertanian yang memenuhi syarat kepangkatan lebih memilih beralih status dari pejabat fungsional ke struktural, sehingga penyuluh pertanian secara kuantitas maupun kualitas terus mengalami penurunan.
2
Jumlah penyuluh yang terus menurun dan kelembagaan penyuluhan yang belum
stabil
tersebut menyebabkan
kinerja penyuluh
maupun
kondisi
penyelenggaraan penyuluhan secara keseluruhan, termasuk di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara pun terus mengalami penurunan. Kenyataan ini diakui oleh Menteri Pertanian Republik Indonesia (Sinar Harapan, 2008) dikutip dari http://blog-husni.blogspot.com, bahwa kinerja penyuluh pertanian di seluruh wilayah Indonesia hingga saat ini masih rendah. Pada tahun 1999 jumlah penyuluh pertanian dari semula berjumlah 37.636 orang menjadi 33.659 orang pada tahun 2001 dan sampai akhir tahun 2009 jumlah penyuluh pertanian berkurang drastis menjadi 25.708 orang (Departemen Pertanian, 2010). Di Privinsi Maluku Utara jumlah penyuluh pertanian sampai dengan akhir tahun 2010 tercatat sebanyak 370 orang penyuluh PNS, 269 orang THL-TBPP, 41 orang penyuluh swadaya dan 51 orang penyuluh kontrak daerah. Jumlah ini tersebar secara tidak merata di sembilan Kabupaten/Kota yang ada provinsi Maluku Utara. Jumlah penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan sebanyak 67 orang penyuluh PNS, 38 orang THL-TBPP, dan 2 orang penyuluh kontrak daerah. Mencermati kondisi tersebut, pada tahun 2005 pemerintah mencanangkan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) dan Revitalisasi Penyuluhan Pertanian (RPP). Program RPP ini mendapat payung hukum yang kuat dengan terbitnya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K). Program revitalisasi di fokuskan pada beberapa sub program yaitu penataan kelembagaan penyuluhan pertanian, peningkatan kuantitas dan kualitas penyuluh pertanian, peningkatan kelembagaan dan kepemimpinan petani, peningkatan sistem penyelenggaraan penyuluhan pertanian, dan pengembangan kerjasama antara sistem penyuluhan pertanian dan agribisnis (Sumardjo et al, 2010). Dalam perspektif yang melihat pertanian secara menyeluruh dalam satu kesatuan,
maka program diharapkan berimplikasi pada dimensi kualifikasi
personil dan organisasi penyuluhan. Dalam dimensi organisasi, kelembagaan penyuluhan harus independen terhadap kepentingan sempit dan target-target
3
keproyekan sebagaimana amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006. Sedangkan pada dimensi personil, diperlukan upaya-upaya peningkatan kualitas kuantitas penyuluh pertanian. Implementasi operasionalisasi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tersebut masih dihadapkan pada berbagai permasalahan diantaranya; (1) beragamnya bentuk dan tingkat eselonering kelembagaan penyuluhan ditingkat provinsi dan kabupaten/kota, (2) terbatasnya kuantitas dan kualitas tenaga penyuluh pertanian, (3) programa penyuluhan pertanian belum disusun secara partisipastif antara pelaku utama, pelaku usaha, dan penyuluh pertanian, (4) terbatasnya sarana dan prasarana penyuluhan pertanian, dan (5) masih banyak Pemerintah Daerah yang belum memberikan perhatian secara khusus terhadap penyediaan pembiayaan penyuluhan pertanian. Departemen Pertanian, 2009 (Sumardjo et al, 2010). Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut diharapkan respon baik dari
pemerintah
daerah
untuk
membangun
sistem
penyuluhan
dan
penyelenggaraan penyuluhan yang terintegrasi. Untuk mencapai hal ini, perlu adanya sosialisasi secara luas kepada seluruh pemangku kepentingan untuk membangun
kesamaan
persepsi
dalam
operasionalisasinya
sehingga
penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan produktif, efektif dan efisien di setiap tingkatan dalam satu kelembagaan yang kuat, didukung oleh sumberdaya yang memadai dan penyuluh yang profesional. Kondisi penyelenggaran penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan dirasakan menurun sejak keputusan pemerintah menyerahkan status kepegawaian penyuluh dari sebelumnya sebagai pegawai pusat menjadi pegawai daerah. Dampak negatif dari keputusan pemerintah tersebut adalah menurunnya kegiatankegiatan penyuluhan yang didanai melalui anggaran daerah, karena kurang nya perhatian pemerintah daerah terhadap sector ini secara khusus. Kondisi tersebut yang kemudian menimbulkan sikap apatis pemerintah daerah terhadap kegiatankegiatan penyuluhan, dimana penyuluh belum dilihat sebagai suatu asset penting tetapi lebih dipandang sebagai sector tidak memberikan kontribusi terhadap pendapatan asli daerah dan sebaliknya hanya dianggap membebani anggaran pemerintah daerah.
4
Menurunnya kinerja penyuluh tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor situasional di daerah, seperti; bentuk dan tingkat eselonoring kelembagaan, pengelolaan administasi kepegawaian, pembayaran tunjangan fungsional, dan kebijakan-kebijakan organisasi lainnya yang berdampak pada menurunnya kompetensi dan motivasi kerja para penyuluh. Fakta di lapangan menunjukkan kelembagaan penyuluhan di Kota Tidore Kepulauan sesuai Undangundang Nomor 16 Tahun 2006 baru diperdakan pada tahun 2010. Artinya, sekian lama penyuluh harus bertahan dengan ketidakpastian status kelembagaan dan anggaran yang serba terbatas. Dalam bidang administrasi kepegawaian dan keuangan, penyesuaian jabatan fungsional dengan jenjang kepangkatan penyuluh menjadi terhambat. Kenyataan seperti ini menyebabkan sekian lama penyuluh tidak memperoleh pembayaran tunjangan fungsional sesuai dengan jenjang kepangkatan terakhir penyuluh. Beberapa faktor-faktor situasional dari sekian banyak faktor yang ada tersebut, secara langsung maupun tidak langsung ikut mempengaruhi menurunnya kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan. Dalam upaya mengatasi permasalahan tersebut, diharapkan respon baik pemerintah daerah untuk membangun sistem penyuluhan dan penyelenggaraan penyuluhan yang terintegrasi. Untuk mencapai hal tersebut, perlu adanya sosialisasi secara luas kepada seluruh pemangku kepentingan untuk membangun kesamaan
persepsi
dalam
operasionalisasinya
sehingga
penyelenggaraan
penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan produktif, efektif dan efisien di setiap tingkatan dalam satu kelembagaan yang kuat didukung oleh sumberdaya yang memadai dan penyuluh yang profesional. Di era otonomi daerah, pemerintah daerah memiliki keleluasaan dalam perumusan permasalahan manajemen penyuluhan pertanian, kebutuhan serta tujuan
pembangunan
pertanian,
dan
dalam
melakukan
pengawasan
pelaksanaannya di lapangan. Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi ini diharapkan akan mampu menjamin efisiensi dan efektivitas pelaksanaan penyuluhan pertanian, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kesejahteraan masyarakat pertanian.
5
Fakta-fakta yang menunjukkan rendahnya kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan yaitu (1) rata-rata penyuluh hanya membina satu kelompok tani, (2) motivasi kerja menurun karena rendahnya kompetensi yang dimiliki, (3) materi penyuluhan yang dibuat tidak sesuai lagi dengan kebutuhan petani, (4) hasil kegiatan pelatihan tidak bisa diimplementasikan, (5) tidak mampu meningkatkan kelas kemampuan kelompok tani, (6) menurunnya motivasi untuk pengembangan diri dan interaksi sosial, (7) lemahnya kemampuan dalam pengelolaan agribisnis, (8) lemahnya kemampuan berinovasi, dan (10) rendahnya tingkat kerjasama. Berdasarkan pada kondisi kinerja penyuluh dan berbagai permasalahan operasionalisasi penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan tersebut, maka diperlukan suatu penelitian dan pengkajian lebih mendalam, untuk mengetahui faktor-faktor situasional manakah yang mempengaruhi tingkat kinerja penyuluh pertanian saat ini, dan menjadi penentu dalam merumuskan strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat di Kota Tidore Kepulauan. Masalah Penelitian Menurunnya kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan yang terjadi
karena
pengaruh-pengaruh
situasional
dalam
pengelolaan
dan
penyelenggaraan penyuluhan, maka berdasarkan pemikiran tersebut dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 1. Faktor-faktor manakah yang menentukan tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. 2. Bagaimanakah strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat untuk diterapkan di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi dan memiliki hubungan terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara
6
2. Merumuskan strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut : 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususunya yang berkaitan dengan peningkatan kinerja penyuluh pertanian. 2. Secara praktis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi pemikiran bagi pengambil kebijakan dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan khususnya dan umumnya.
Provinsi Maluku Utara pada
TINJAUAN PUSTAKA Sejarah dan Kebijakan Penyuluhan Pertanian Istilah penyuluhan pertama kali dipublikasikan oleh James Stuart (1867-1868) dari Trinity College (Cambrigde) pada saat memberikan ceramah kepada perkumpulan wanita dan pekerja pria di Inggris Utara. Pada Tahun 1873 Secara resmi sistem penyuluhan diterapkan di Cambridge, kemudian diikuti Universitas London (1876) dan Universitas Oxfor (1878) dan menjelang tahun 1880 gerakan penyuluhan mulai melebarkan sayapnya ke luar kampus (van den Ban & Hawkins, 1999). Di Indonesia kegiatan penyuluhan pertanian mulai dikembangkan sejak tahun 1905 bersamaan dengan dibukanya Departemen Pertanian (Department van Landbouw) oleh pemerintah Hindia Belanda, institusi yang bentuk tersebut antara lain memiliki tugas melakukan kegiatan penyuluhan pertanian, sedang pelaksanaannya dilakukan oleh pejabat Pangreh Praja (PP). Pada tahun 1910 dibentuk Dinas Penyuluhan Pertanian (Landbouw Voorlichting Dienst), tetapi baru benar-benar berperan sebagai lembaga penyuluhan pertanian yang mandiri sejak diubah menjadi Dinas Pertanian Propinsi terlepas dari PP pada tahun 1918 (Mardikanto, 1993). Di masa kemerdekaan, kegiatan penyuluhan telah dimulai dengan dibentuknya Balai
Pendidikan Masyarakat Desa (BPMD) kemudian dilanjutkan
dengan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) dengan metode Latihan dan Kunjungan (Mardikanto, 2009). Penyuluh sebagai ujung tombak pembangunan pertanian di era Bimas telah memberikan kontribusi yang nyata dalam meningkatkan produksi pertanian khususnya produksi padi, sehingga pada tahun 1984 pemerintah Republik Indonesia memperoleh penghargaan dari FAO sebagai Negara yang berhasil mencapai swasembada beras (Suprapto, 2009). Memasuki dasawarsa 1990-an semakin dirasakan menurunnya peran penyuluhan
pertanian di Indonesia
yang dikelola pemerintah (Departemen
Pertanian). Hal ini terjadi karena selain terjadi perubahan struktur organisasi penyuluhan, juga semakin banyak pihak-pihak yang melakukan penyuluhan pertanian (perguruan tinggi, swasta, LSM dll) serta semakin beragamnya sumber-sumber informasi/inovasi yang mudah diakses oleh petani. Pada tahun 1995 terjadi perubahan struktur kelembagaan penyuluhan pertanian melalui SKB Mendagri-Mentan tentang pembentukan Balai Informasi
8 Penyuluhan Pertanian (BIPP) di setiap Kabupaten. Namun demikian, kinerja kelembagaan ini pun banyak menuai kritik karena dianggap kurang berkoordinasi dengan dinas-dinas teknis terkait Mardikanto (2009). Kondisi seperti ini semakin diperburuk dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dimana peran penyuluh pertanian dalam mendukung program pembangunan pertanian mengalami penurunan yang sangat drastis (Suprapto, 2009). Mencermati kondisi seperti ini, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang Revitalisasi Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK) yang dicanangkan pada Tanggal 15 Juni 2005 di Purwakarta oleh Presiden Republik Indonesia, hingga pada tahun 2006 berhasil disahkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan sebagai landasan
kebijakan,
program,
kelembagaan,
ketenagaan, penyelenggaraan,
pembiayaan, dan pengawasan penyuluhan pertanian (Warya, 2008). Padmowihardjo (2001) berpendapat bahwa penyuluhan pertanian sebagai metode pendidikan orang dewasa (andragogi) terdapat falsafah untuk membuat saling “asah-asih-asuh” dalam suatu interaksi warga belajar, penyuluh sebagai fasilitator dan motivator yang mampu mendorong petani untuk mandiri dan berswadaya. Penyuluh dan sasaran mengembangkan hubungan saling timbal balik dan membantu dalam kegiatan penyuluhan. Penyuluhan Pertanian adalah suatu usaha pendidikan non formal untuk keluarga-keluarga yang bergerak di bidang pertanian, yang cara, bahan dan sarananya disesuaikan dengan keadaan, kebutuhan dan kepentingan, baik dari sasaran, waktu maupun keadaan sehingga kemampuan mereka untuk beradaptasi terhadap perubahan yang dapat meningkatkan kesejahteraannya dapat dipercepat (Sumardjo, 1999). Dalam konteks komunikasi dan inovasi, penyuluhan menurut Leeuwis (2004) adalah serangkaian intervensi komunikatif yang ditanamkan, yang diartikan antara lain untuk membangun dan/atau mendorong inovasi yang seharusnya membantu menyelesaikan situasi problematis (biasanya multi-aktor). Sumardjo (1999) mengatakan bahwa penyuluhan merupakan suatu intervensi komunikasi yang diselenggarakan oleh suatu lembaga untuk menimbulkan (induce) perubahan kualitas perilaku secara sukarela (voluntare change) bagi kesejahteraan masyarakat. Menurut Margono Slamet (Sumardjo, 1999) bahwa, seorang penyuluh harus menghayati dan berpegang pada falsafah dasar penyuluhan yaitu : (1) penyuluhan adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi, dan (3)
9 penyuluhan adalah proses kontinyu. Dalam hal ini terkandung makna filosofi yaitu membantu orang agar orang tersebut mampu menolong dirinya sendiri
melalui
pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya (help people to help themselves through education means to improve their level of living). Oleh Karena itu penyuluhan pertanian sebagai upaya membantu masyarakat agar mereka dapat membantu dirinya dan meningkatkan harkatnya sebagai manusia (Warya, 2008). Nasution (2004) menyatakan, penyuluhan pertanian adalah usaha membantu petani agar senantiasa meningkatkan efisiensi usaha tani. Dalam pengertian “membantu” masyarakat agar dapat membantu dirinya tersebut terkandung pokokpokok pikiran sebagai berikut; (1) penyuluhan pertanian harus mengacu pada kebutuhan sasaran yang akan dibantu, dan bukannya sasaran harus menuruti keinginan penyuluh pertanian, (2) penyuluhan pertanian mengarah kepada terciptanya kemandirian, bukan membuat sasaran semakin menggantungkan diri kepada penyuluh pertanian, (3) penyuluhan pertanian harus mengacu kepada perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan sasaran, dan bukan lebih mengutamakan target-target fisik yang sering kali tidak banyak manfaatnya bagi perbaikan kualitas hidup sasarannya. Penyuluhan sebagai proses pendidikan, demokrasi dan kontinyu menurut Sumardjo (1999) memiliki makna bahwa, (1) penyuluh harus dapat membawa perubahan manusia dalam aspek-aspek perilaku, baik kognitif, afektif maupun psikomotoriknya, (2) penyuluh harus mampu mengembangkan suasana bebas, untuk mengembangkan
kemampuan
masyarakat
dalam
hal
berfikir,
berdiskusi,
menyelesaikan masalahnya, merencanakan dan bertindak bersama-sama dibawah bimbingan orang-orang diantara mereka, sehingga berlaku penyelesaian dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka, dan (3) penyuluhan harus dimulai dari keadaan petani kearah tujuan yang mereka kehendaki, berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan yang senantiasa berkembang, yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan. Sumardjo (1999), bahwa kebijakan sistem penyuluhan yang dominan dengan kepentingan pusat, ternyata berdampak kurang efektif dalam pemberdayaan masyarakat. Sebaliknya, fakta menunjukkan bahwa sistem penyuluhan yang partisipatif dan adanya konvergensi kepentingan masyarakat dan pemerintah ternyata berdampak memberdayakan. Banyak praktek-praktek penyuluhan yang menyimpang dari filosofi penyuluhan (secara non partisipatif). Akibatnya penyuluhan tidak berfungsi memberdayakan bahkan sebaliknya cenderung memperdaya masyarakat. Praktek penyuluhan yang menyimpang tersebut disebabkan karena penyuluhan
10 dilaksanakan oleh orang-orang yang sebenarnya kurang memiliki kompetensi profesional penyuluh (Sumardjo, 2010). Margono
Slamet
(Mardikanto,
1993),
bahwa
pentingnya
kebijakan
desentralisasi penyuluhan pertanian adalah untuk menggantikan sistem penyuluhan yang bersifat regulatif sentralistis ke arah sistem penyuluhan yang fasilitatif partisipatif. Selanjutnya menurut Margono Slamet (2001), bahwa penyelenggaraan penyuluhan pertanian perlu lebih profesional, yang antara lain memerlukan reorientasi : (1) dari pendekatan instansi ke pengembangan kualitas kinerja individu penyuluh; (2) dari pendekatan top down ke bottom up; (3) dari hierarkhi kerja vertikal ke horizontal; (4) dari pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis; dan (5) dari sistem kerja linier ke sistem kerja jaringan. Penyuluh Pertanian Berdasarkan Undang undang Nomor 16 Tahun 2006, penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, atau penyuluh kehutanan, baik penyuluh PNS, swasta maupun swadaya yang selanjutnya disebut penyuluh adalah perorangan warga Negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Sedangkan Penyuluh pertanian sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan Bersama Mendagri-Mentan Nomor : 54
Tahun
1996
dan
Nomor
:
301/Kpts/LP.120/4/96
Tentang
Pedoman
Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian, bahwa Penyuluh Pertanian adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas melakukan kegiatan penyuluhan pertanian secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian. Berkaitan dengan penyuluhan sebagai pendidikan non-formal di bidang pertanian, penyuluh pertanian tidak lain sebagai aparatur pertanian yang berfungsi sebagai pendidik non formal pada masyarakat petani-nelayan/pedesaan. Menurut Abbas (1999) bahwa penyuluh pertanian dapat menampilkan dirinya sebagai penasehat, komunikator dan motivator dalam rangka proses alih ilmu dan teknologi, pembinaan ketrampilan serta pembentukan sikap yang sesuai dengan nilai-nilai dasar dan kebutuhan dinamik yang membangun. Peranan dari penyuluh pertanian sebagai fasilitator, motivator dan sebagai pendukung gerak usaha petani merupakan titik sentral dalam memberikan penyuluhan kepada petani – nelayan akan pentingnya berusaha tani dengan memperhatikan kelestarian dari sumber daya alam. Kesalahan dalam memberikan penyuluhan kepada petani – nelayan akan menimbulkan dampak negatif dan merusak lingkungan.
11 Penyuluh sebagai motivator berperan mendorong petani mandiri melakukan perubahan dengan menggunakan ide baru untuk memperbaiki taraf hidupnya. Penyuluh adalah seorang professional garis depan yang berinisiatif melakukan perubahan, membantu masyarakat sasaran melaksanakan aktivitas usahataninya, memperkenalkan dan menyebarkan ide-ide baru, mendorong partisipasi dan mendukung kepentingan masyarakat sasaran Martinez (Mardikanto, 2009). Proses penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan baik dan benar apabila didukung dengan tenaga penyuluh yang profesional, kelembagaan penyuluh yang handal, materi penyuluhan yang terus-menerus mengalir, sistem penyelenggaraan penyuluhan yang benar serta metode penyuluhan yang tepat dan manajemen penyuluhan yang polivalen (Warya, 2008). Menurut Rogers dan Shoemaker (1971) bahwa, penyuluh berperan dalam berbagai hal yakni: (1) mengembangkan kebutuhan untuk berubah, (2) membina hubungan untuk perubahan, (3) mengidentifikasi dan menganalisa masalah, (4) menumbuhkan rencana perubahan pada sasaran, (5) merencanakan rencana perubahan,
dan
(6)
menstabilkan
perubahan
sehingga
sasaran
mampu
mengembangkan dirinya. Karakteristik Internal Penyuluh Sumardjo (1999) membagi faktor internal seperti : tingkat kekosmopolitan, pengalaman bekerja sebagai penyuluh, motivasi, persepsi, kesehatan dan karakteristik sosial ekonomi. Samson (Rakhmat, 2001) mengemukakan bahwa karakteristik individu merupakan sifat yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya. Padmowiharjo (2000) menyebutkan beberapa faktor kararakteristik individu yang mempengaruhi proses belajar yaitu : umur, jenis kelamin, kesehatan, sikap mental, kematangan mental, kematangan fisik, dan bakat. Spencer dan Spencer (1993) mengatakan bahwa karakteristik individu yang dapat membentuk kompetensi dan menciptakan kinerja yang baik adalah: (1) motif individu, (2) ciri-ciri fisik, (3) konsep diri, (4) pengetahuan, dan (5) kemampuan teknis. Rogers dan Shoemaker (1971) menegaskan bahwa sifat-sifat penting (karakteristik personal) agen pembaharu yang berperan dalam adopsi inovasi adalah : (1) kredibilitas, yang merujuk pada kompetensi, tingkat kepercayaan, dan kedinamisan agen pembaharu yang dirasakan oleh masyarakat sasaran, (2) kedekatan
12 hubungan dan rasa memiliki antara agen pembaharu masyarakat sasaran, (3) sifat-sifat pribadi yang dimiliki seperti kecerdasan, rasa empati, komitmen, tingkat perhatian pada petani, kemampuan komunikasi, keyakinan dan orientasinya pada pembangunan. Klausmeier dan Goodwin (Huda, 2010) menyatakan bahwa umur merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi efisiensi belajar, karena akan berpengaruh terhadap minatnya pada macam pekerjaan tertentu sehingga umur seseorang juga akan berpengaruh terhadap motivasinya untuk belajar. de Cecco (Mardikanto, 1993) mengatakan bahwa umur akan berpengaruh kepada tingkat kematangan seseorang (baik kematangan fisik maupun emosional) yang sangat menentukan kesiapannya untuk belajar. Selaras dengan hal tersebut, Vacca dan Walker (Mardikanto, 2009) mengemukakan bahwa sesuai dengan bertambahnya umur, seseorang akan menumpuk pengalaman-pengalamannya yang merupakan semberdaya yang sangat berguna bagi kesiapannya untuk belajar lebih lanjut. Masa kerja berkaitan erat dengan pengalaman kerja. Pengalaman adalah segala sesuatu yang muncul dalam riwayat hidup seseorang. Pengalaman seseorang menentukan perkembangan keterampilan, kemampuan, dan kompetensi. Pengalaman seseorang bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Pengalaman seseorang dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang bekerja dalam bidang yang dijalani (Bandura, 1986). Menurut Padmowihardjo (1994) pengalaman adalah suatu kepemilikian pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengaturan pengalaman yang dimiliki seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses belajar. Pengalaman kerja merupakan penentu yang lebih besar terhadap perilaku seseorang. Gagne (1967) mengatakan bahwa, pengalaman adalah akumulasi dari proses
belajar
yang
dialami
seseorang,
kemudian
menjadi
pertimbangan-
pertimbangan baginya dalam menerima ide-ide baru. Pengalaman kerja menyediakan tidak hanya pengetahuan tetapi juga kegiatan praktek langsung dalam bidangnya. Padmowihardjo (1994) menambahkan bahwa pengalaman baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan, akan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami keberhasilan dalam proses belajar, maka dia akan memiliki perasaan optimis akan keberhasilan dimasa mendatang. Sebaliknya seseorang yang pernah mengalami
13 pengalaman yang mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk dapat berhasil. Secara sederhana mengatakan bahwa, hakekat pendidikan adalah untuk meningkatkan kemampuan manusia agar dapat mempertahankan bahkan memperbaiki mutu keberadaannya agar menjadi semakin baik. Gilley dan Eggland (1989) menjelaskan bahwa, konsep behavioristik dari kinerja manusia dan konsep pendidikan menjadi dasar bagi pengembangan sumberdaya manusia. Orientasi ini menekankan pada pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi organisasi. Margono Slamet, 1992 (Bahua, 2010), bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan ketrampilan, efisien bekerja dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik dan lebih menguntungkan. Sejalan dengan pendapat tersebut, Bahua (2010) menyatakan bahwa pendidikan formal yang diikuti penyuluh dapat mempengaruhi kinerja penyuluh, karena dengan pendidikan formal seorang penyuluh dapat meningkatkan kinerjanya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Pelatihan menurut American Society for Tranning and Development sebagaimana dikutip oleh Mugniesyah (2005) menyatakan bahwa pelatihan dan pengembangan merupakan aspek integral dalam area sumberdaya manusia. Hickerson dan Middleton (1975) mendefenisikan pelatihan adalah suatu proses belajar, tujuannya untuk mengubah kompetensi kerja seseorang sehingga berprestasi lebih baik dalam melaksanakan pekerjaannya. Menurut Padmowihardjo (2004), pendidikan dan latihan (diklat) adalah proses belajar yang dirancang untuk mengubah kompetensi kerja seseorang sehingga dia dapat berprestasi lebih baik dalam jabatannya. Pelatihan dilaksanakan sebagai usaha untuk memperlancar proses belajar seseorang, sehingga bertambah kompetensinya melalui peningkatan pengetahuan, ketrampilan dan sikapnya dalam bidang tertentu guna menunjang pelaksanaan tugasnya (Bahua, 2010). Selanjutnya Padmowihardjo (2004) menyatakan bahwa ada tiga kondisi yang memungkinkan seseorang memerlukan pelatihan yakni; (1) bila seseorang tidak dapat mengerjakan pekerjaan atau tugas sehari-hari, baik seluruhnya maupun sebagian, (2) bila seseorang mendapat tambahan tugas baru yang sebagian atau sama sekali asing baginya, dan (3) bila seseorang ditempatkan dalam jabatan yang baru yang memerlukan pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang baru.
14 Motivasi adalah dorongan atau kekuatan yang menyebabkan seseorang berperilaku tertentu, yang ada kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan, keinginan, ataupun minat. Padmowihardjo (1994) motivasi merupakan usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan berbuat atau melakukan tindakan. Bandura (1986) menjelaskan bahwa motivasi belajar merupakan gabungan antara pendekatan behavioral yang menekankan pada outcomes dari perilaku (motivasi ekstrinsik) dengan pendekatan kognitif yang melihat dampak belajar pada keyakinan seseorang (motivasi intrinsik). Motivasi internal, yaitu komitmen tinggi dan tanggungjawab terhadap pekerjaan, adalah merupakan faktor pendorong utama bagi penyuluh untuk tetap memiliki komitmen dalam mencari informasi untuk menyelesaikan berbagai masalah peternak (Hubeis, 2008). Motivasi kognitif dalam mencari informasi merupakan unsur penting yang memotivasi penyuluh untuk selalu memperbaiki kinerjanya (Suryantini, 2003), Menurut Woolfolk, 1993 ( Huda, 2010 ) seseorang akan terus bekerja sampai tujuannya tercapai. Jika sumber motivasi tersebut tidak ada, maka motivasi untuk bekerja mencapai tujuan tersebut tidak akan ada. Dengan demikian, motivasi terkait dengan kebutuhan atau harapan untuk mencapai tujuan tertentu. Secara umum, motivasi diartikan sebagai hal-hal yang mendasari kenapa seorang penyuluh pertanian mau melakukan atau berprofesi sebagai seorang penyuluh pertanian. Setiap individu cenderung melakukan sesuatu karena dilatarbelakangi oleh tingkat motivasinya. Tingkat motivasi sangat dipengaruhi oleh motif yang berlandaskan pada sejauhmana kebutuhannya dapat terpenuhi. Jadi seorang penyuluh pertanian yang mempunyai motivasi yang tinggi akan berdampak pada kinerja yang tinggi pula dalam menjalankan tugas-tugas yang dibebankan oleh lembaga atau organisasinya. Kenaikan pangkat sering terhambat dan pola karir yang tidak jelas dapat mengurangi motivasi dan kinerja para penyuluh pertanian untuk bekerja lebih baik dan seringkali menyebabkan frustasi (Margono Slamet, 2010). Persepsi adalah proses yang berkaitan dengan petunjuk inderawi dan pengalaman masa lampau yang relevan untuk memberi gambaran terstruktur dan bermakna pada suatu situasi tertentu. Sangadji (2010) mengatakan bahwa setiap orang memiliki perbedaan dalam hal kebutuhan, motif dan minat sehingga persepsi tentang sesuatupun berbeda menurut kebutuhan, motif, minat dan latar belakang masingmasing. Oleh karena itu, diperlukan pengertian dan pemahaman yang jelas tentang
15 persepsi seseorang terhadap obyek yang dipersepsikannya. Hasil penelitian Hubeis (2008) mengemukakan bahwa, antara pekerjaan dan produktivitas kerja penyuluh bernilai positif. Artinya semakin tinggi sikap positif dan komitmen penyuluh terhadap pekerjaan maka produktivitas kerjanya pun akan semakin tinggi. Leeuwis (2004) mengemukakan bahwa persepsi dan pengetahuan sangat terkait dengan konsep informasi. Persepsi memberitahu seseorang tentang pernyataan tertentu, yang merupakan informasi. Berkaitan dengan persepsi sorang penyuluh terhadap tugasnya, bahwa penyuluh yang memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang tugas serta manfaat yang diperoleh dari tugas tersebut, maka mereka akan melaksanakan tugas tersebut dengan sebaik-baiknya. Peran media massa seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan internet sangat penting dalam meyampaikan informasi kepada masyarakat. Media tersebut selain untuk sumber informasi, juga untuk menyampaikan gagasan, pendapat dan perasaan kepada orang lain (van den Ban dan Hawkins, 1999). Dengan media pertukaran interpersonal lebih langsung untuk sinkronisasi diantara pihak-pihak yang berkomunikasi dapat terjadi, yakni media dimana pengirim dan penerima dapat dengan mudah berubah peran (Leeuwis, 2004). Dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan sangat diperlukan berbagai sumberdaya, termasuk media massa. Media masa diperlukan karena dapat menimbulkan suasana yang kondusif bagi pembangunan dan dapat memotivasi masyarakat serta menggerakan warga masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam pembangunan (Amri Jahi, 2008). Padmowihardjo (1994) hubungan interpersonal merupakan kebutuhan setiap individu, karena pada dasarnya manusia memiliki naluriah untuk berkelompok dengan manusia lainnya. Melalui interaksi dengan individu lain seseorang akan dapat berkembang untuk menunjukan eksistensi dirinya. Margono Slamet (2010) mengatakan bahwa, dalam kegiatan penyuluhan, seorang penyuluh harus mengadakan hubungan dengan orang lain sehingga tercipta komunikasi yang baik, dimana komunikasi yang baik adalah komunikasi yang dapat menimbulkan hubungan timbal balik (feedback). Menurutnya beberapa kemampuan yang harus dimiliki seseorang dalam membangun hubungan dengan orang lain yakni; (1) kemampuan berinteraksi, (2) kapasitas untuk percaya pada orang lain, (3) bersahabat, (4) demokratis atau menghargai pendapat orang lain, (5) modern/terbuka untuk hal-hal yang baru, (6) tidak berprasangka, (7) bertoleransi.
16 Pengertian kelompok menurut Johnson & Johnson (Margono Slamet dan Sumardjo, 2010) bahwa sebuah kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to face interaction), yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama. Kelompok tani, menurut Departemen Pertanian (1980) sebagaimana dikutip oleh Mardikanto (1993) diartikan sebagai kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas petani dewasa (pria/wanita) maupun petani taruna (pemuda/i), yang terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang Kontak tani. Menurut Margono Slamet (2001) bahwa salah salah satu kelemahan penyelenggaraan penyuluhan yang muncul pada periode 1986-1991 jumlah kelompok binaan penyuluh yang semula sekitar 16 kelompok dengan luas wilayah kerja penyuluh meliputi tiga sampai empat Desa. Karena jangkauan geografis dan sosiologisnya makin luas, maka jumlah kelompok menjadi menurun sekitar 5 - 8 kelompok saja yang dapat "dibina" secara relatif intensif oleh penyuluh pertanian lapangan (PPL). Artinya tingkat kinerja penyuluh pertanian dikatakan baik apabila penyuluh tersebut mampu membina lima sampai delapan kelompok tani dalam satu wilayah kerja. Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang karakteristik internal tersebut, maka dapat disintesakan/ disimpulkan bahwa karakteristik internal penyuluh merupakan sifat-sifat yang dimiliki seorang penyuluh pertanian yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya, dengan faktor-faktor karakteristik meliputi; umur, masa kerja, pendidikan formal, pelatihan, Motivasi, persepsi terhadap tugas, pemanfaatan media, hubungan interpersonal, dan jumlah kelompok yang dibina. Karakteristik Eksternal Penyuluh Sumardjo (1999) mengatakan selain faktor internal, faktor eksternal juga mempengaruhi kesiapan penyuluh dalam mendukung pertanian yang berkelanjutan. Menurutnya, faktor eksternal tersebut meliputi; dukungan kelembagaan penyuluhan,
17 sistem nilai, sarana informasi/inovasi terjangkau, potensi lahan dan dukungan lembaga pelayanan. Banyak pengamat dan penyuluh pertanian berpendapat, bahwa pada periode 1991-1996 terjadi stagnasi atau kemunduran penyelenggaraan penyuluhan pertannian, bahkan sebagian mengatakan sebagai kehancuran penyuluhan pertanian (Margono Slamet, 2001). Menurutnya bahwa administrasi kepegawaian pada masa ini dikelola secara terpisah oleh masing-masing subsektor, yang menyebabkan perbedaan perlakuan sesama penyuluh dalam karirnya. Sistem manajemen organisasi yang mendukung karyawan seperti adanya administrasi yang baik dan rapi, tunjangan finansial yang mendukung, sistem reward yang jelas, promosi jabatan, sistem penggajian yang adil, serta sistem pendidikan dan pelatihan yang terus berkesinambungan akan menimbulkan profesionalisme yang tinggi bagi seorang karyawan dalam mengoptimalkan kinerjanya (Wibowo, 2007). Miles, 1975 (http://h0404055.wordpress.com), menegaskan bahwa dari aspek organisasi, permasalahan menajemen yang dihadapi penyuluh adalah adanya perubahan kebijakan mengenai penyelenggaraan penyuluhan, sistem pembinaan dan profesionalisme penyuluh melalui butir tugas pokok dengan angka kreditnya, restrukturisasi kelembagaan, fasilitas kerja maupun dana operasional. Salah satu faktor penting yang mempengaruhi tingkat kinerja seorang penyuluh adalah sejauh mana kegiatan penyuluhan yang dijalankannya ditunjang dengan ketersediaan sarana/prasarana yang memadai. Margono Slamet, (2001) berpendapat bahwa melemahnya kemampuan penyuluh selain disebabkan oleh faktor pengkotakan dalam kelembagaan penyuluhan, juga disebabkan oleh kurangnya fasilitas penyuluh untuk menjangkau petani. Sedangkan Mardikanto (2009) mengemukakan bahwa upaya-upaya perubahan usaha tani yang disampaikan oleh penyuluh kepada petani sangat bergantung pada ketersediaan sarana produksi dan peralatan (baru) dalam bentuk jumlah, mutu dan waktu yang tepat. Jika sarana ini tersedia, maka keberhasilan penyuluh akan tercapai. van den Ban dan Hawkins (1999) berpendapat bahwa ketidaktersedianya sarana penunjang untuk kegiatan penyuluhan menimbulkan masalah bagi seorang penyuluh yang kehilangan kepercayaan dari petani karena dianggap tidak mampu menyediakan sarana yang mereka butuhkan. Persoalan keterbatasan fasilitas kerja menurut Sherren, 2005 (Hubeis, 2008) merupakan salah satu faktor yang
18 mempengaruhi etos kerja seorang pekerja. Penyuluh sebagai pekerja lapangan memang seharusnya memerlukan bantuan fasilitas kerja yang memadai. Untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di lapangan (Suprapto, 2009) perlu dukungan dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya khususnya dalam pembiayaan, sarana dan prasarana. Dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, maka keberadaan dan peran aktif penyuluh akan semakin terlihat di lapangan. Penyuluh pertanian akan siap melaksanakan apa yang diperintahkan pimpinan, namun mereka juga mengharapkan pemimpin dapat membantu mempromosikannya. van den Ban dan Hawkins (1999), mengemukakan bahwa penting memberikan penghargaan kepada penyuluh yang berhasil melakukan tugasnya dengan baik, karena seorang penyuluh yang melihat rekannya memperoleh promosi karena berhasil melaksanakan tugas akan cenderung untuk melakukan hal yang sama. Sistem manajemen organisasi yang mendukung karyawan seperti adanya administrasi yang baik dan rapi, tunjangan finansial yang mendukung, sistem reward yang jelas, promosi jabatan, sistem penggajian yang adil, serta sistem pendidikan dan pelatihan yang terus berkesinambungan akan menimbulkan profesionalisme yang tinggi bagi seorang karyawan dalam mengoptimalkan kinerjanya (Wibowo, 2007). Lingkungan kerja yang aman, tertib dan terkendali memberi ketenteraman bagi penyuluh pada saat bertugas, siang hari atau malam hari. Penyuluh pertanian umumnya tidak mengenal waktu kerja, dan siap membantu kelompok binaan kapan saja diperlukan, karena hal tersebut sangat berkaitan dengan minat mereka. Artinya semakin tinggi minat penyuluh dalam bertugas dan diikuti dengan lingkungan kerja yang aman dan tentram, maka produktivitas kerjanya juga semakin tinggi (Hubeis, 2008). Unsur lingkungan yang mempengaruhi kinerja penyuluh adalah bagaimana suasana kerja yang mempengaruhi diri seorang penyuluh pertanian dalam melakukan pekerjaannya. Lingkungan organisasi (organisasi penyuluhan pertanian) dan wilayah tempat penyuluh pertanian bekerja adalah dua aspek yang mempengaruhi kinerja seorang penyuluh pertanian (Wibowo, 2007). Lingkungan kerja yang memiliki gaya kepemimpinan yang partisipatif dan demokratis juga sangat mempengaruhi kinerja staf/karyawan. van den Ban dan Hawkins (1999) mengemukakan bahwa tingkat kinerja seorang penyuluh akan sangat bergantung pada karakteristik pimpinan suatu organisasi penyuluhan. Gaya
19 kepemimpinan yang partisipatif akan mampu mendorong kinerja staf/penyuluh demi tercapainya sasaran organisasi. Gaya kepemimpinan menurut Margono Slamet (2010), adalah kepemimpinan yang tidak statis, tetapi fleksibel yang mengalir seperti air yang mengikuti situasi permukaan. Gaya kepemimpinan yang diharapkan penyuluh selama 30 tahun terakhir mempunyai kecenderungan yang kuat berkembangnya gaya kepemimpinan yang lebih demokratis (van den Ban dan Hawkins, 1999). Wilayah kerja penyuluhan pertanian, pada umumnya tidak cukup memiliki pelayanan sosial yang memadai. Karena itu, seringkali sulit untuk mengangkat penyuluh-penyuluh yang andal yang mau ditugaskan di wilayah yang sulit untuk jangka waktu yang lama. Konsekuensinya adalah, kita akan berhadapan dengan sejumlah besar penyuluh dengan kualifikasi rendah, atau menggunakan sedikit penyuluh yang andal (Mardikanto, 1993). Tjitropranoto (2005) menjelaskan, bahwa kegiatan penyuluhan pertanian perlu memperhitungkan perbedaan lingkungan sumberdaya alam dan iklim pada lokasi petani tersebut berada. Kondisi lokasi tugas yang berbeda berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi kegiatan penyuluhan. Penyuluh yang bertugas di wilayah dataran rendah dan sedang akan lebih mudah dan cepat melakukan pembinaan pada petani, dibandingkan dengan yang bertugas di wilayah dataran tinggi. Dengan demikian keterjangkauan daerah tempat bekerja akan berpengaruh pada kinerja penyuluh pertanian. Partisipasi sebagaimana dikemukakan oleh Bank Dunia (Leeuwis, 2004) adalah suatu proses dimana pemangku kepentingan mempengaruhi dan berbagai kontrol terhadap inisiatif pembangunan dan keputusan serta sumberdaya yang mempengaruhi. Pengertian ini mengandung makna mempengaruhi dan berbagi tentang inisiatif, keputusan dan sumberdaya. Margono Slamet, 1992; 2003 (Sumardjo, 2010) mengemukakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah berarti pengerahan tenaga rakyat secara sukarela, tetapi justru yang lebih penting adalah tergeraknya kesadaran rakyat untuk mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan memperbaiki kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Kinerja seorang penyuluh dikatakan baik apabila keberadaan dan kegiatan atau program yang disampaikannya selalu mendapat dukungan dan partisipasi aktif seluruh masyarakat. Hal ini sejalan dengan pendapat Sumardjo (2010), bahwa apabila rakyat telah mau bertindak kearah perbaikan kehidupan diri, keluarga dan
20 masyarakatnya barulah dapat dikatakan bahwa rakyat telah berpartisipasi dalam pembangunan. Karena kegiatan penyuluhan relatif masih dilakukan dan dibiayai oleh pemerintah, maka kegiatan pembinaan dan pengawasan penyuluhan pertanian sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah. Menurut Margono Slamet (2010), kegiatan supervisi dan monitoring bukan berorientasi pada pemberian sanksi/penghukuman, tetapi lebih pada kombinasi antara pengawasan dan pembinaan. Menurut van den Ban dan Hawkins (1999) evaluasi merupakan alat manajemen yang berorientasi pada tindakan dan proses. Hasil evaluasi sangat dibutuhkan dalam memperbaiki kegiatan sekarang dan yang akan datang seperti dalam perencanaan, program, pengambilan keputusan, dan pelaksanaan program untuk merancang kebijakan penyuluhan selanjutnya. Hasil penelitian Jamal (http://blog-husni.blogspot.com/2010/07/), bahwa tingkat kinerja penyuluh pertanian terendah di Provinsi Jambi adalah pada aspek evaluasi dan pelaporan. Menurutnya bahwa lemahnya kegiatan perencanaan serta evaluasi dan pelaporan penyuluhan tidak disebabkan oleh faktor penyuluh semata tetapi juga berkaitan erat dengan lemahnya pembinaan dan supervisi terhadap kedua kegiatan tersebut oleh atasan sebagai pejabat pembina. Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang karakteristik eksternal tersebut, maka dapat disintesakan/ disimpulkan bahwa karakteristik eksternal penyuluh merupakan faktor-faktor di luar diri seorang penyuluh yang dinilai mempengaruhi produktivitas kerja, yang meliputi; dukungan administrasi, ketepatan kebijakan organisasi, ketersediaan sarana dan prasarana, dukungan sistem penghargaan, kondisi lingkungan kerja, keterjangkauan daerah tempat bekerja, tingkat partisipasi aktif masyarakat, dan dukungan supervisi dan monitoring. Kompetensi Penyuluh Pertanian Spencer dan Spencer (1993) mendefenisikan kompetensi sebagai segala bentuk motif, sikap, keterampilan, pengetahuan, perilaku atau karakteristik pribadi lain yang penting untuk melaksanakan pekerjaan atau membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior. Selanjutnya Spencer dan Spencer menjelaskan bahwa ada lima tipe kompetensi yaitu pengetahuan, keterampilan, konsep diri, sikap, dan motif.
21 Kompetensi
pengetahuan
dan
keterampilan
tergolong
lebih
mudah
dikembangkan dibandingkan dengan konsep diri, sikap, dan motif yang tergolong lebih tersembunyi dan merupakan pusat bagi personal seseorang. Mengacu pada pendapat tersebut, Mulyasa (2002) menyebutkan bahwa kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, sikap dan nilai, serta keterampilan yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Menurut Spencer dan Spencer (1993) bahwa kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang, yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam suatu pekerjaan atau situasi tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja (hasil kerja) seseorang dalam situasi dan peran yang beragam. Dengan demikian, tingkat kompetensi seseorang dapat digunakan untuk memprediksi bahwa seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik atau tidak. Dalam bidang pendidikan, Mulyasa (2002) menyebutkan bahwa kompetensi yang harus dikuasai oleh pelajar perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai, sebagai wujud hasil belajar pelajar yang mengacu pada pengalaman langsung. Dengan demikian, dalam pembelajaran yang dirancang berdasarkan kompetensi, penilaian tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan yang bersifat subjektif. Di bidang penyuluhan, kompetensi digunakan sebagai dasar perubahan keorganisasian dan peningkatan kinerja. Sumardjo (2006)
menyebutkan bahwa,
kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental sesuai dengan unjuk kerja (kinerja) yang ditetapkan. Puspadi (2002) menyimpulkan konsep kompetensi menurut Boyatzis (1982), bahwa kompetensi kerja adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kinerja yang prima. Sedangkan Gilley dan Eggland (1989) mengatakan kompetensi sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang, sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan perannya. Oleh karena penyuluhan adalah pembelajaran orang dewasa, maka dalam konteks penyuluhan, dimensi kompetensi penyuluh dalam penelitian ini mengacu kompetensi tugas/profesi penyuluh pertanian. Berkaitan dengan pengembangan kapital manusia dalam konteks penyuluhan menurut Sumardjo (2010), bahwa human kapital penyuluh setidaknya meliputi kompetensi-kompetensi (1) personal, (2) sosial, (3) andragogik, dan (4) komunikasi inovatif. Kompetensi personal adalah kesesuaian sifat bawaan dan kepribadian
22 penyuluh yang tercermin dalam kemampuan membawakan diri, kepemimpinan, kesantunan, motif berprestasi, kepedulian, disiplin, terpercaya, tanggung jawab, dan ciri kepribadian penyuluh lainnya. Kompetensi sosial menyangkut kemampuan berinteraksi/berhubungan sosial, melayani, bermitra, bekerjasama dan bersinergi, mengembangkan kesetiakawanan, kohesif dan mampu saling percaya mempercayai. Kompetensi andragogik menyangkut kemampuan metodik dan teknik pembelajaran/mengembangkan pengalaman belajar untuk mempengaruhi dan merubah pengetahuan/wawasan, ketrampilan/tindakkan dan sikap (minat) sasaran penyuluhan, mmembangkitkan kebutuhan belajar/berubah, menyadari tanggung jawab dan
kebutuhan sasaran penyuluhan. Sedangkan kompetensi komunikasi
inovasi menyangkut reaktualisasi diri, penguasaan teknologi informasi, kemampuan berempati,
kemampuan
komunikasi
partisipatif/konvergensi,
menggali
dan
mengembangkan pembaharuan, serta kewiraswastaan (enterpreneurship). Kementrian Pertanian merinci kompetensi kerja penyuluh pertanian menjadi tiga bagian yaitu; kompetensi umum, kompetensi inti dan kompetensi khusus. (1) kompetensi umum adalah kompetensi yang berlaku untuk semua level penyuluh pertanian,
terdiri
atas
materi
mengaktualisasikan
nilai-nilai
kehidupan,
mengorganisasikan pekerjaan, melakukan komunikasi dialogis, membangun jejaring kerja dan mengorganisasikan masyarakat, (2) kompetensi inti, mencakup kompetensi bagi Penyuluh level fasilitataor, supervisor dan advisor. Kompetensi yang diperlukan bagi level fasilitator antara lain merencanakan, melaksanakan, mengevaluasi dan mengembangkan penyuluhan pertanian. Kompetensi inti yang diperlukan bagi penyuluh pertanian advisor antara lain menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan dan mengevaluasi penyuluhan pertanian. Sedangkan bagi penyuluh pertanian advisor kompetensi inti yang diperlukan adalah menyiapkan, melaksanakan, mengevaluasi dan melaporkan penyuluhan pertanian serta mengembangkan penyuluhan pertanian, (3) kompetensi khusus, mencakup kompetensi pilihan pada sub sistem agribisnis yang dipilih. Pada penyuluh fasilitator harus memilih satu sub sistem agribisnis dan satu unit kompetensi pada sub sistem agribisnis yang telah dipilih tersebut. Penyuluh supervisor harus memilih 2 subsistem agribisnis dan 1 unit kompetensi pada subsistem agribisnis tersebut. Sedangkan pada penyuluh advisor harus memilih 3 komoditas agribisnis dan satu unit kompetensi untuk setiap jenis agribisnis yang dipilih tersebut.
23 Unsur-unsur yang penting dalam kompetensi merencanakan penyuluhan meliputi
kemampuan
mengidentifikasi
potensi
wilayah
dan
agroekosistem,
kemampuan identifikasi kebutuhan petani, dan kemampuan menyusun rencana kerja penyuluhan. Bagi seorang penyuluh pertanian, identifikasi potensi wilayah dan agroekosistem tentang sebuah tempat dimana penyuluhan diadakan adalah sangat penting dan mendasar karena berdasarkan data tentang potensi wilayah dan agroekosistem itulah, penyuluh pertanian kemudian dapat menyusun materi penyuluhannya dan metode yang akan digunakannya. Potensi wilayah merupakan semua sumberdaya yang tersedia, yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang ada dalam upaya mencapai tujuan. Potensi wilayah bisa berupa fisik seperti lahan dan sumber air, dan berupa non fisik seperti minat dan pengetahuan petani. Dari data tentang potensi wilayah dan agroekosistem, penyuluh akan menemukan berbagai hal tentang keadaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana yang tersedia atau tidak tersedia, karakteristik
budaya
dan
norma
setempat,
keadaan
topografi
tanah
dan
penggunaannya, keadaan iklim dan curah hujan, dan sebagainya (Departemen Pertanian, 2002) Data tentang potensi wilayah dan agroekosistem ini bisa dikumpulkan oleh seorang penyuluh pertanian baik berupa data primer yakni hasil pengamatan, wawancara kepada pihak-pihak yang berkompeten, maupun hasil pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber seperti monografi desa, dokumendokumen tertulis dari Kabupaten/kecamatan/Desa, Badan Pusat Statistik dan lainlain. Data potensi wilayah dan agroekosistem yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis sebagai masukan. Mardikanto (2009), mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan penyuluhan, seorang penyuluh mutlak harus mengenal potensi wilayah kerja, karena dengan mengenal dan memahami potensi wilayah akan dapat membantu penyuluh dalam memahami : (1) keadaan masyarakat yang menjadi sasaran penyuluhan, (2) keadaan lingkungan fisik dan sosial masyarakat sasaran, (3) masalah-masalah yang pernah, sedang, dan akan dihadapi dalam melaksanakan penyuluhan, (4) kendala-kendala yang akan dihadapi dalam melaksanakan penyuluhan, dan (5) faktor-faktor pendukung dan pelancar kegiatan penyuluhan yang akan dilaksanakannya. Dalam kaitannya dengan pemahaman potensi wilayah, Margono Slamet (1978) mengemukakan bahwa penyuluh perlu lebih memusatkan kepada kebutuhan
24 pertanian dan petani setempat, ekosistem daerah kerja, ciri-ciri lahan dan iklim di daerah setempat harus dikuasai serta informasi-informasi yang disediakan harus sesuai dengan wilayah setempat. Dalam merencanakan kegiatan penyuluhan, seorang penyuluh harus memperhatikan atau mengetahui kebutuhan petani agar program penyuluhan yang diberikan sesuai. Untuk itu, penyuluh perlu melakukan identifikasi terlebih dahulu tentang hal-hal apa saja yang dibutuhkan petani. Informasi yang diperoleh kemudian dianalisis sehingga penyuluh dapat mengetahui dengan pasti kebutuhan petani baik felt need maupun real need. Selanjutnya, Margono Slamet (1978)
menekankan bahwa kebutuhan atau
kepentingan petani harus selalu menjadi titik pusat perhatian penyuluhan pertanian. Penyuluh harus lebih mendekatkan diri dengan petani. Penyuluh harus benar-benar mampu mengidentifikasi dan menetapkan kebutuhan petani serta menuangkan dalam program-program penyuluhan untuk dipecahkan melalui kerjasama sejati dengan petani. Rencana kerja penyuluh pertanian adalah jadwal kegiatan yang disusun oleh para penyuluh pertanian berdasarkan program penyuluhan pertanian setempat yang mencantumkan hal-hal yang perlu disiapkan dalam berinteraksi dengan petaninelayan.
Program/rencana
kerja
penyuluhan
pertanian
yang
baik
adalah
program/rencana kerja yang dibuat berdasarkan fakta, data, potensi wilayah yang akurat dan benar. Margono Slamet dan Asngari (Huda, 2010), bahwa sebelum menetapkan rencana kerja penyuluhan, penyuluh sebaiknya mengkaji semua potensi dan sumberdaya dengan menggunakan analisis SWOT. Ketajaman dalam membuat analisis rencana kerja penyuluhan akan sangat bermanfaat dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Salah satu tugas penyuluh dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan adalah pengembangan swadaya dan swakarsa petani-nelayan. Dalam pengembangan swadaya dan swakarya petani-nelayan, seorang penyuluh pertanian dituntut untuk mampu : (1) menumbuhkan organisasi petani nelayan berupa pengembangan dan pembinaan kelompok tani-nelayan dan mengembangkan dan membina kelompok asosiasi; (2) meningkatkan kemampuan kelompok tani nelayan dari kelompok pemula menjadi kelompok lanjut, dari lanjut menjadi madya dan dari madya ke kelompok utama; (3) melakukan penilaian perlombaan pertanian; (4) memandu kegiatan swadaya pertanian berupa karyawisata/widyawisata, kursus tani, sekolah lapang, dan demonstrasi (baik demonstrasi plot, demonstrasi farm maupun demonstrasi area).
25 Pembentukan, pembinaan dan pengembangan kelompok tani-nelayan sangat penting guna mempersatukan para petani dalam satu wadah kerjasama yang bisa memberikan keuntungan bagi penyelesaian masalah yang dihadapi. Penyuluh pertanian sebagai “guru” dan sahabat petani menanamkan motivasi bagaimana mengembangkan wadah kelompok sebagai media kerjasama dan wahana terciptanya solidaritas di antara petani. Seorang penyuluh pertanian harus memiliki kemampuan dalam melakukan evaluasi kegiatan penyuluhan dan melaporkannya secara sistematis kepada pihak yang berwewenang atau atasannya. Evaluasi adalah membuat penilaian menyeluruh dengan membandingkan antara kinerja yang dipersyaratkan dari suatu program berdasarkan standar dan tujuan yang diinginkan dengan kenyataan pencapaian ketika program itu dilaksanakan. Hasil evaluasi akan melahirkan suatu penilaian apakah tujuan program tercapai, apakah ada masalah dalam menjalankan program dan bagaimana rekomendasi pemecahan masalah dan lain-lain (Boyle, 1981). Hal yang sama berlaku pada evaluasi kegiatan penyuluhan. Dalam evaluasi penyuluhan, terdapat prinsip-prinsip yang menjadi landasan dilaksanakannya evaluasi tersebut. Menurut Margono Slamet (2010), bahwa prinsip-prinsip evaluasi dalam penyuluhan antara lain : (a) evaluasi harus berdasarkan fakta; (b) evaluasi penyuluhan adalah bagian integral dari proses pendidikan atau keseluruhan program penyuluhan; (c) evaluasi hanya dapat dilakukan dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan dari program penyuluhan yang bersangkutan; (d) evaluasi menggunakan alat pengukuran yang berbeda; (e) evaluasi penyuluhan dilakukan baik terhadap metode penyuluhan yang digunakan maupun terhadap hasil kegiatan penyuluhan; (f) evaluasi perlu untuk mengukur baik hasil kualitatif maupun hasil kuantitatif yang dicapai dari suatu kegiatan penyuluhan; (g) evaluasi mencakup enam hal pokok yang perlu dipertimbangkan dengan teliti, yakni : tujuan program penyuluhan, metode/kegiatan yang digunakan, pengumpulan, analisa, dan interpretasi data, membandingkan hasil yang dicapai dengan yang diharapkan, pengambilan keputusan, dan penggunaan hasil evaluasi untuk menyusun program penyuluhan selanjutnya; dan (h) evaluasi harus dijiwai oleh prinsip mencari kebenaran. Menurut Hubeis (2007) penyuluhan adalah proses pembelajaran (pendidikan nonformal) yang ditujukan untuk petani dan keluarganya dalam pencapaian tujuan pembangunan. Sedangkan Clar et al, 1984 (Nasution, 2004) mengemukakan bahwa penyuluhan merupakan jenis pendidikan pemecahan masalah (problem solving) yang
26 berorientasi pada tindakan yang mengajarkan sesuatu, mendemonstrasikan dan memotivasi, tapi tidak melakukan pengaturan (regulating) dan juga melaksanakan program yang nonedukatif. Penyuluhan adalah pendidikan luar sekolah (nonformal) yang diberikan kepada petani dan keluarganya dengan maksud agar mereka mampu, sanggup dan berswadaya
memperbaiki
atau
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakat
disekelilingnya (Soekartawi, 2005). Dalam pembelajaran orang dewasa, kegiatan penyuluhan yang diberikan lebih mengacu pada pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan petani dan keluarganya. Seorang penyuluh harus memahami dengan baik tujuan dari kegiatan penyuluhan tersebut. Untuk itu, penyuluh harus memiliki kemampuan yang baik tentang pembelajaran orang dewasa (andragogik). Sumardjo (1999) mengatakan bahwa Kompetensi andragogik menyangkut kemampuan metodik dan teknik pembelajaran/mengembangkan pengalaman belajar untuk mempengaruhi dan merubah pengetahuan/wawasan, ketrampilan/tindakan dan sikap (minat) sasaran penyuluhan, membangkitkan kebutuhan belajar, menyadari tanggung jawab dan kebutuhan sasaran penyuluhan. Konsep atau tujuan dari penyuluhan adalah meningkatkan pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan petani dan keluarganya agar mereka tahu, mau, dan mampu mengubah perilakunya ke arah yang lebih baik. Dengan kata lain, penyuluhan bertujuan untuk membantu petani dan keluarganya agar mereka mampu menolong dirinya sendiri. Untuk itu, penyuluhan merupakan proses pendidikan yang berkelanjutan. Dalam pendidikan orang dewasa, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan agar kegiatan penyuluhan dapat berjalan dengan baik yaitu : partisipasi, kemitraan, dan pemberdayaan (Amri Jahi et al, 2006). Dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran, seorang penyuluh harus mampu menerapkan empat prinsip belajar orang dewasa yakni (1) kesiapan (readiness), dimana warga belajar secara fisik dan mental siap menerima pelajaran, (2) hubungan (Assosiation) yakni suatu prinsip belajar yg menghubungkan pengalaman belajar dengan pelajaran, sehingga penyuluh harus menyadari latar belakang warga belajar, (3) Akibat (Effect) yakni prinsip belajar yang memperhatikan kepuasan dan kekecewaan warga belajar dalam belajar, dan (4) latihan (Practice) yakni penggunaan alat indera (Hubeis et al, 2009). Kegiatan penyuluhan adalah kegiatan berkomunikasi. Sebagai komunikator yang profesional, penyuluh pertanian pertama tama harus mengetahui, menguasai dan
27 mendalami informasi (pesan) yang akan disampaikan kepada masyarakat sasaran. Ia harus memiliki pengetahuan yang luas tentang informasi pembangunan, ilmu, teknologi yang akan disampaikan kepada masyarakat sasaran. Kompetensi ini harus dilengkapi dengan kemampuan tentang cara, metode, dan teknik menyampaikannya sehingga mencapai hasil yang maksimal. Seorang penyuluh seharusnya menguasai konsep komunikasi dan cara-cara berkomunikasi. Komunikasi dalam penyuluhan adalah suatu alat untuk menimbulkan perubahan di dalam penyuluhan (Sumardjo, 1999). Secara umum komunikasi diartikan sebagai suatu proses penyampaian pesan dari sumber ke penerima (Berlo, 1958). Dalam prakteknya komunikasi tidak hanya sebatas pada pesan yang telah disampaikan atau diterima oleh penerima pesan, akan tetapi diharapkan penerima dapat memberikan tanggapannya kepada kepada sumber atau pengirim pesan untuk kemudian untuk kemudian proses komunikasi terus berlangsung (Mardikanto, 2009). Sumardjo (1999) mengutip pernyataan (Margono Slamet, 1992; Roling, 1983; dan Asngari, 1996), bahwa penyuluhan dengan pendekatan komunikasi konvergen (interactive) dirancang sedemikian rupa, bersifat dialogis dan humanis (menghargai harkat martabat atau hak asasi manusia) sasaran, sehingga kondusif bagi berkembangnya kemampuan (pengetahuan, sikap dan ketrampilan) mereka sejalan dengan perubahan lingkungan sosial dan fisik kehidupannya. Komunikasi dinilai efektif bila informasi yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh komunikator berkaitan erat dengan makna informasi yang ditangkap dan dipahami oleh komunikan (Tubbs and Moss, 1996). Ada empat unsur dasar efektif tidaknya suatu komunikasi menurut Berlo (Hubeis et al, 2007) yakni; sumber pesan, saluran pembawa pesan, isi pesan (inovasi) dan penerima pesan. Sumardjo (1999) mengatakan bahwa kompetensi komunikasi inovasi menyangkut reaktualisasi diri, penguasaan teknologi informasi, kemampuan berempati,
kemampuan
komunikasi
partisipatif/konvergensi,
menggali
dan
mengembangkan pembaharuan, serta kewiraswastaan (enterpreneurship). Dengan demikian kompetensi berkomunikasi adalah kemampuan seorang penyuluh pertanian dalam memahami serta menerapkan proses komunikasi menjadi bagian penting dari metode penyuluhan pertanian (Soekartawi, 2005). Komunikator yang kompeten akan mampu memberikan informasi secara efektif sehingga menimbulkan pemahaman, kesenangan serta mempengaruhi sikap dan tindakan dari penerima informasi (Tubbs and Moss, 1996).
28 Sumardjo (2010), bahwa kompetensi bekerjasama merupakan salah satu ciri dari kompetensi sosial yakni kemampuan seorang penyuluh pertanian untuk menjalin hubungan/bekerjasama dan bersinergi dengan sasaran penyuluhan. Lebih jelas menurutnya, seseorang yang mandiri dicirikan memiliki kemampuan internal untuk bekerjasama atau berinteraksi dengan pihak lain secara interdependent, sinergis dan berkelanjutan dalam koridor nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama secara bermartabat. Oleh karena itu seorang penyuluh seharusnya menguasai konsep bekerjasama dan teknik-teknik bekerjasama. Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang kompetensi penyuluh tersebut, maka disintesakan/ disimpulkan bahwa kompetensi penyuluh adalah kemampuan-kemampuan fungsional yang dimiliki seorang penyuluh yang dapat menciptakan kinerja yang baik. Dalam penelitian ini kompetensi fungsional dimaksud meliputi; perencanaan program penyuluhan, pelaksanaan program penyuluhan, evaluasi dan pelaporan program penyuluhan, penerapan metode belajar orang dewasa, komunikasi, dan kemampuan kerjasama. Kinerja Penyuluh Pertanian Disahkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan di sisi lain memberikan kepastian hukum tentang peran penyuluhan di berbagai bidang (pertanian, perikanan dan kehutanan), tetapi di sisi lain juga menyisakan
permasalahan mendasar seperti
penyiapan sumberdaya manusia penyuluh. Sumberdaya Manusia yang handal akan mampu meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat. Sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yaitu menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam menghadapi persaingan global yang selama ini terabaikan. Dalam kaitan itu ada dua hal yang penting yang menyangkut kondisi sumberdaya manusia pertanian di daerah yang perlu mendapatkan perhatian yaitu sumberdaya petugas dan sumberdaya petani. Kedua sumberdaya tersebut merupakan pelaku dan pelaksana yang mensukseskan program pembangunan pertanian. Penyuluh adalah salah satu unsur penting yang diakui peranannya dalam memajukan pertanian di Indonesia. Penyuluh yang siap dan memiliki kemampuan dengan sendirinya berpengaruh pada kinerjanya (Marius et al, 2006). Kinerja adalah
29 prestasi yang dicapai karyawan dalam melaksanakan suatu pekerjaan dalam suatu organisasi. Agar dapat memberikan umpan balik bagi karyawan maupun organisasi, maka perlu dilakukan penilaian atas prestasi tersebut (Handoko, 2001). Kinerja seorang penyuluh dapat dilihat dari dua sudut pandang; pertama bahwa kinerja merupakan fungsi dari karakteristik individu, karakteristik tersebut merupakan variabel penting yang mempengaruhi perilaku seseorang termasuk penyuluh pertanian; Kedua bahwa kinerja penyuluh pertanian merupakan pengaruhpengaruh
dari
situasional
diantaranya
terjadi
perbedaan
pengelolaan
dan
penyelenggaraan penyuluhan pertanian disetiap kabupaten yang menyangkut beragamnya aspek kelembagaan, ketenagaan, program penyelenggaraan dan pembiayaan (Amri Jahi et al, 2006) Menurut Gomes (2001) bahwa kinerja seseorang dapat diukur dari : (a) Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan, (b) Quality of work, yaitu kualitas kerja yang dicapai berdasarkan syaratsyarat kesesuaian dan kesiapannya, (c) Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan ketrampilannya, (d) Creativeness, yaitu keaslian gagasangagasan yang dimunculkan dan tindakan-tindakan untuk menyelesaikan persoalanpersoalan yang timbul, (e) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain (sesama anggota organisasi), (f) Dependability, yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian kerja, (g) Initiative, yaitu semangat untuk melaksanakan tugas-tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya, dan (h) Personal qualities, yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramahtamahan, dan integritas pribadi. Kinerja adalah hasil dari suatu perkerjaan yang dapat dilihat atau yang dapat dirasakan. Kinerja bisa diukur melalui standar kompetensi kerja dan indikator keberhasilan yang dicapai seseorang dalam suatu jabatan/pekerjaan tersebut (Padmowihardjo, 2010). Kinerja seseorang ditentukan oleh kemampuan ketiga aspek perilaku yaitu kognitif, afektif dan psikomotor. Selama antara kinerja yang dimiliki petugas dengan kinerja yang dituntut oleh jabatannya terdapat kesenjangan, petugas tersebut tidak dapat berprestasi dengan baik dalam menyelesaikan tugas pokoknya. Kesenjangan kinerja adalah perbedaan kinerja yang dimiliki petugas saat ini dengan yang diharapkan oleh organisasi atau tuntutan pekerjaan (Hickerson dan Middleton, 1975).
30 Pekerjaan (jobs) tidak lain sebagai rangkaian dari sejumlah tugas spesifik yang dikerjakan petugas, dimana rincian tugas pekerjaan satu dan lainnya sangat luas dan bervariasi. Agar seseorang dapat melaksanakan pekerjaannya dengan baik diperlukan adanya pengetahuan, sikap mental dan ketrampilan yang berkaitan dengan pekerjaan tersebut. Dengan demikian kinerja (performance) petugas menunjuk kepada tingkat seseorang mampu melaksanakan tugas-tugasnya berkaitan dengan perkerjaannya. Seseorang dikatakan memiliki kinerja yang bagus bila berkaitan dan memenuhi standar tertentu (Hickerson dan Middleton, 1975). Arnold dan Feldman (1986) mengemukakan sebuah model yang menyebutkan bahwa kinerja dalam suatu organisasi merupakan fungsi dari motivasi, kemampuan, persepsi, ciri-ciri personality, sistem organiasasi (struktur organisasi, kepemimpinan, sistem imbalan) dan sumberdaya (fasilitas fisik). Dari model tersebut faktor motivasi dan kemampuan merupakan faktor penting dalam menentukan kinerja kerja individu dalam organisasi. Sedangkan dari aspek individu menurut Hickerson dan Middleton (1975) secara spesifik menjelaskan bahwa ada tiga kondisi yang menyebabkan timbulnya kesenjangan (diskrepansi) kinerja petugas, yakni; (1) tidak mengetahui bagaimana mengerjakan keseluruhan atau sebagian dari job’s (pekerjaannya), (2) mempunyai tugas baru (new tasks) dalam mengerjakan pekerjaannya yang membutuhkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap baru serta (3) memperoleh pekerjaan yang sama sekali baru sehingga diperlukan pengetahuan, ketrampilan dan sikap baru. Ketiga aspek perilaku yang dikembangkan dalam rangka memperbaiki kinerja kerja petugas dapat dilakukan melalui pelatihan, baik pelatihan kognitif, afektif maupun psikomotor. Bila kesenjangan yang berkaitan dengan pekerjaan petugas dalam rangka jabatannya didalam suatu organisasi telah diidentifikasi akan diketahui permasalahan nyata dari kinerja yang selanjutnya dilakukan upaya peningkatan kemampuan berbagai aspek tersebut dalam menunjang pekerjaan petugas (Hickerson dan Middleton, 1975). Menurut Berlo dkk, (1958) ada empat kualifikasi yang harus dimiliki setiap penyuluh pertanian untuk meningkatkan kinerjanya, yaitu: (1) kemampuan untuk berkomunikasi yaitu kemampuan dan keterampilan penyuluh untuk berempati dan berinteraksi dengan masyarakat sasarannya, (2) sikap penyuluh antara lain sikap menghayati dan bangga terhadap profesinya, sikap bahwa inovasi yang disampaikan benar-benar merupakan kebutuhan nyata sasarannya, dan sikap menyukai dan
31 mencintai sasarannya dalam artian selalu siap memberi bantuan dan melaksanakan kegiatan-kegiatan demi adanya perubahan-perubahan pada sasaran, (3) kemampuan pengetahuan penyuluh, yang terdiri dari isi, fungsi, manfaat serta nilai-nilai yang terkandung dalam inovasi yang disampaikan, latar belakang keadaan sasaran dan (4) karakteristik sosial budaya penyuluh. Departemen Pertanian (2009), merinci standar kinerja seorang penyuluh dapat diukur berdasarkan 9 (sembilan) indikator keberhasilan yakni; (1) tersusunnya programa penyuluhan pertanian, (2) Tersusunnya recana kerja tahunan penyuluh pertanian, (3) Tersusunnya data peta wilayah untuk pengembangan teknologi spesifik lokasi, (4) Terdesiminasinya informasi teknologi pertanian secara merata, (5) Tumbuh kembangnya keberdayaan dan kemandirian pelaku utama dan pelaku usaha, (6) Terwujudnya kemitraan pelaku utama dan pelaku usaha yang menguntungkan, (7) Terwujudnya akses pelaku utama dan pelaku usaha ke lembaga keuangan, informasi, dan sarana produksi, (8) Meningkatnya produktivitas agribisnis komoditas unggulan di wilayahnya, dan (9) Meningkatnya pendapatan dan kesejahteraan pelaku utama. Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang kinerja penyuluh tersebut, maka disintesakan/ disimpulkan bahwa kinerja penyuluh hasil kerja yang dicapai seorang penyuluh sesuai dengan tugas pokok dan fungsi penyuluh. Dalam penenlitian ini tingkat kinerja penyuluh yang diukur meliputi; tingkat kinerja dalam perencanaan penyuluhan,
pelaksanaan
penyuluhan,
pengevaluasian
penyuluhan,
inisiatif,
kreativitas, kerjasama (mitra kerja), dan kinerja dalam membangun komunikasi. Strategi Penyuluhan Pertanian Desain strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian adalah langkahlangkah atau tindakan tertentu yang dilaksanakan demi tercapainya suatu tujuan atau sasaran yang dikehendaki (Mardikanto, 2009). Penetapan strategi penyuluhan pertanian yang dijalankan selama ini terlihat adanya kelemahan, karena penetapan strategi hanya memusatkan pada kegiatannya untuk menyuluh pelaku utama yaitu petani dan keluarganya. Padahal, keberhasilan penyuluhan seringkali ditentukan oleh kualitas penyuluh, dukungan banyak pihak dan persepsi pimpinan wilayah selaku penguasa tunggal sebagai administrator pemerintahan dan pembangunan. Roling (Sumardjo, 1999) mendefenisikan penyuluhan sebagai suatu intervensi komunikasi oleh suatu lembaga untuk menimbulkan perubahan perilaku. Sebagai suatu bentuk intervensi (intervention), maka penyuluhan merupakan suatu upaya
32 sistematis melalui penerapan strategi dengan mengkondisikan sumberdaya bagi berlangsungnya proses sosial, perubahan orientasi sehingga mengarahkan proses pada dorongan terjadinya perubahan yang dikehendaki bersama. Berdasarkan konsep intervensi sebagai penerapan strategi, maka penyuluhan adalah sesuatu yang dipikirkan, direncanakan, diprogramkan, dirancang secara sistematis, dan diarahkan pada suatu tujuan dan aktivitas yang disengaja (Sumardjo, 1999). Pemilihan strategi penyuluhan pertanian yang efektif perlu dirancang sesuai dengan kebutuhan, khususnya yang berkaitan dengan tingkat adopsi yang sudah ditunjukan oleh masyarakat. Berkaitan dengan strategi penyuluhan van den Ban dan Hawkins (1999), menawarkan adanya tiga strategi yang dapat dipilih yakni; rekayasa sosial, pemasaran sosial dan partisipasi sosial. Namun demikian pemilihan strategi yang tepat (Mardikanto, 2009) sangat tergantung pada motivasi penyuluh serta kondisi kelompok sasaran.
33 KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN Kerangka Pemikiran Kegiatan penyuluhan pertanian adalah kegiatan terencana dan berkelanjutan yang harus diorganisasikan dengan baik. Pengorganisasian penyuluhan pertanian dilakukan dengan tujuan mengefisienkan pelaksanaan kewenangan, tugas dan fungsi, manajemen dan pengelolaan sumberdaya. Organisasi atau kelembagaan penyuluhan pertanian sangat mempengaruhi kompetensi dan tingkat kinerja penyuluh pertanian. Secara konseptual Samson (Rahmat, 2001) mengemukakan bahwa karakteristik individu merupakan sifat yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya. Kaitan dengan kinerja penyuluh (Padmowihardjo, 2000) bahwa karakteristik individu mempengaruhi proses belajar seseorang sehingga (Spencer dan Spencer, 1993) dapat membentuk kompetensi dan menciptakan kinerja yang baik. Proses penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan baik dan benar apabila didukung dengan tenaga penyuluh yang profesional, kelembagaan penyuluh yang handal, materi penyuluhan yang terus-menerus mengalir, sistem penyelenggaraan penyuluhan yang benar serta metode penyuluhan yang tepat dan manajemen penyuluhan yang polivalen (Warya, 2008). Rusmono (2011), bahwa permasalahan yang dihadapi dalam penyediaan dan pemanfaatan sumberdaya penyuluhan pertanian sebagai berikut; (1)
Sulitnya
mendapatkan informasi dan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan spesifik lokalita karena terbatasnya kemampuan penyuluh pertanian untuk mengakses sumber-sumber informasi dan teknologi. Kondisi ini menyebabkan kurang berkembangnya pengetahuan, kemampuan dan wawasan penyuluh pertanian untuk menyediakan materi penyuluhan yang dibutuhkan petani; (2)
Terbatasnya sarana dan prasarana
yang dimiliki penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Hal ini menyebabkan rendahnya mobilitas penyuluh pertanian dan kurang optimalnya pelayanan terhadap petani; (3) Pembiayaan penyuluhan pertanian yang bersumber dari Pemerintah, Provinsi dan Kabupaten/Kota baik melalui dana dekonsentrasi, dana alokasi umum (DAU), dan APBN maupun kontribusi dari petani dan swasta masih sangat terbatas. Pasca diberlakukannya otonomi daerah telah terjadi perubahan yang mendasar terhadap pembinaan penyuluh pertanian, sebagaimana dikemukakan oleh Menteri
34 Pertanian Republik Indonesia (Sinar Harapan, 2008) dikutip dari http://bloghusni.blogspot.com, yang semula dilaksanakan oleh pusat bergeser ke daerah. Salah satu dampak negatif dari kebijakan ini adalah cenderung semakin terbatasnya sarana dan dana yang dapat dialokasikan untuk menunjang kegiatan penyuluh pertanian di lapangan sehingga menurunkan kinerja para penyuluh. Dengan terbentuknya kelembagaan penyuluhan sesuai dengan amanat UndangUndang Nomor 16 Tahun 2006, maka peranan penyuluh pertanian
dalam
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya menjadi bertambah. Hal ini tentu membutuhkan tenaga-tenaga penyuluh yang memiliki kompetensi dan kinerja baik, sementara disisi lain kualitas sumberdaya yang dimiliki penyuluh pertanian khususnya di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara saat ini masih tergolong rendah. Rendahnya kompetensi tersebut menyebabkan kinerja penyelenggaraan penyuluhan pertanian menjadi tidak optimal. Sumardjo (2010) berpendapat bahwa dalam konteks penyuluhan yang perlu dikembangkan dari penyuluh sebagai
kapital manusia (human capital) meliputi
kompetensi-kompetensi personal, sosial, andragogik, dan komunikasi inovatif. Penyuluh yang memiliki
kompetensi-kompetensi tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kinerjanya sesuai dengan tuntutan tugasnya sebagai penyuluh. Beberapa hasil penelitian disertasi
(Sumardjo, 2010) telah menunjukkan bahwa
tingkat kinerja penyuluh pertanian sangat dipengaruhi oleh karakteristik internal dan eksternal penyuluh serta rendahnya kompetensi penyuluh. Kinerja penyuluh di Kota Tidore Kepulauan pun menunjukkan fakta yang sama,
sehingga
berdampak
negatif
terhadap
pembangunan
pertanian
dan
perekonomian daerah. Oleh karena itu bertolak dari pemikiran yang ada, maka diperlukan suatu penelitian terhadap kinerja penyuluh pertanian yang ada di Kota Tidore Kepulauan untuk mengetahui faktor karakteristik internal, eksternal dan kompetensi manakah sebagai faktor penentu kinerja penyuluh pertanian, untuk selanjutnya digunakan sebagai dasar dalam perumusan strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dijelaskan, dapat dirumuskan hipotesis kerja penelitian sebagai berikut :
35 (1) Terdapat hubungan nyata antara faktor karakteristik internal, eksternal dan kompetensi penyuluh dengan kinerja penyuluh pertanian. (2) Karakteristik internal, eksternal dan kompetensi penyuluh berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh pertanian.
36
Karakteristik Internal Penyuluh (X1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Umur Masa Kerja Pendidikan Pelatihan Motivasi Persepsi terhadap Tugas Pemanfaatan Media Hubungan Interpersonal Jumlah Kelompok Binaan
Kompetensi Tugas Penyuluh Pertanian (X3) 1. Pengelolaan program penyuluhan 2. Pengelolaan kegiatan penyuluhan 3. Pengelolaan evaluasi penyuluhan 4. Penguasaan dan penerapan prinsip belajar orang dewasa 5. Berkomunikasi 6. Bekerjasama
Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian (Y) 1. Kemampuan dalam merencanakan 2. Kemampuan dalam melaksanakan 3. Kemampuan dalam mengevaluasi 4. Inisiatif 5. Kreativitas 6. Kerjasama 7. Komunikasi
Karakteristik Eksternal Penyuluh (X2) 1. Dukungan Administrasi 2. Ketepatan Kebijakan Organisasi 3. Ketersediaan Sarana dan Prasarana 4. Dukungan Sistem Penghargaan 5. Kondisi Lingkungan Kerja 6. Keterjangkauan Daerah Tempat Bekerja 7. Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat 8. Dukungan Pembinaan dan Supervisi
Gambar 1 Alur Kerangka Berpikir Penelitian
METODE PENELITIAN Rancangan dan Lokasi Penelitian Penelitian
ini
dirancang
berbentuk
survei
yang
dengan
penjelasan
(eksplanatory research), yaitu menjelaskan pengaruh dan hubungan antara peubahpeubah penelitian melalui pengujian hipotesis yang dirumuskan (Singarimbun dan Effendi, 1989) yang dilakukan terhadap populasi penyuluh dengan menggunakan instrumen angket dalam bentuk pertanyaan tertutup dan teknik wawancara dengan pengolahan kuantitatif yang dijelaskan secara kualitatif. Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), kombinasi pendekatan kuantitatif dalam penelitian survey dilakukan sebagai upaya untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti. Data diambil dari sampel dengan tujuan untuk mendapatkan generalisasi dari observasi yang dilakukan, sehingga perlu dipertimbangkan teknik pengambilan sampel dan pengumpulan data secara benar. Penelitian ini dilaksanakan di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Penentuan lokasi penelitian dipilih secara sengaja “purpose sampling” berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu (Singarimbun dan Effendi, 1989). penelitian dilaksanakan pada bulan pertengahan bulan Mei samapai bulan Juni 2011. Alasan memilih Kota Tidore Kepulauan sebagai lokasi penelitian yakni; (1) Kota Tidore adalah salah satu dari 9 Kabupaten/Kota di Provinsi Maluku Utara yang telah membentuk kelembagaan penyuluhan sesuai Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006, (2) Jumlah dan distribusi penyuluh di Kota Tidore Kepulauan tersebar merata, dan (3) dibandingkan dengan Kabupaten/Kota lain di Provinsi Maluku Utara, lokasi penelitian ini memiliki kualifikasi penyuluh yang lengkap sesuai komoditas/subsektor (penyuluh tanaman pangan/hortikultura, penyuluh peternakan, penyuluh perkebunan, penyuluh perikanan dan penyuluh kehutanan). Populasi Penelitian Populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat-syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian yang menurut sifatnya terbagi menjadi populasi homogen dan populasi heterogen, sedangkan sampel
38
adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri-ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti (Riduwan, 2009). Untuk mengumpulkan data faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian digunakan instrumen angket/kuesioner dengan pertanyaan tertutup dan wawancara mendalam. Unit analisis dari penelitian ini adalah penyuluh pertanian PNS di Kota Tidore sebagai populasi terjangkau dari populasi target yang ada di provinsi Maluku Utara Jumlah populasi yang menjadi dasar dalam penentuan responden adalah 67 orang yang berstatus sebagai penyuluh PNS. Terkait dengan penggunaan metode sensus, maka populasi yang ditetapkan sebagai
responden dalam penelitian ini
meliputi penyuluh PNS yang memiliki wilayah kerja sebanyak 56 orang. Untuk mengukur kompetensi penyuluh pertanian selain responden dari penyuluh juga diambil 30 orang petani sebagai respoden yang meliputi 10 orang dari petani binaan penyuluh yang tinggi kinerjanya, 10 orang dari petani binaan penyuluh yang kinerjanya sedang dan 10 orang dari petani binaan penyuluh yang kinerjanya rendah menurut pengamatan peneliti. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner terhadap responden terpilih dan menggali berbagai informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber (informan) di dalam pelaksanaan penelitian sebagai data kualitatifnya. Informasi yang dipilih terdiri dari; para pemegang jabatan eselon II dan III lingkup pertanian, perikanan, dan kehutanan. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber data yang relevan dengan penelitian melalui penelusuran berbagai kepustakaan dan dokumen, antara lain: (1) laporan tahunan instansi lintas sektor, (2) Kota Tidore Kepulauan dalam Angka), dan (3) hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan serta informasi lainnya yang relevan dengan tujuan penelitian ini.
39
Validitas dan Reliabilitas Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner yang berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah yang dikaji. Validitas instrument adalah tingkat kesesuaian antara konsep dengan hasil pengukuran dari konsep yang bersangkutan. Kesesuaian ditentukan dengan mengadakan perbandingan antara konsep nominal dengan defenisi operasional. Validitas daftar pertanyaan diperlukan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Menurut Ancok (Singarimbun dan Effendi, 1989) bahwa alat ukur dikatakan sahih (valid) bila alat ukur tersebut dapat menukur obyek yang sebenarnya ingin diukur. Terdapat beberapa cara untuk mengukur kesahihan atau keabsahan suatu alat ukur yang dipakai, yaitu (1) validitas konstruk : artinya peneliti menyusun tolak ukur operasional dari kerangka suatu konsep yang akan diukur, (2) Validitas isi : yakni alat ukur tersebut mewakili aspek kerangka konsep, dan (3) validitas eksternal : yaitu alat ukur baru yang akan digunakan tidak berbeda hasilnya jika dibandingkan dengan alat ukur yang sudah valid. Pengujian validitas instrumen dalam penelitian ini digunakan cara validitas konstruk, yakni menyusun tolok ukur operasional dari kerangka suatu konsep dengan cara pemahaman atau logika atas dasar pengetahuan ilmiah yang isi kuesionernya disesuaikan dengan konsep dan teori yang telah dikemukakan oleh para ahli. Disamping itu, melakukan konsultasi dengan pihak yang dianggap menguasai materi daftar kuesioner yang digunakan. Pengujian alat ukur dilaksanakan terhadap 30 orang responden penyuluh pertanian diluar populasi penelitian yang mempunyai karakteristik dan kondisi yang hampir sama dengan penyuluh responden pada penelitian ini. Hasil uji instrumen pada sub-sub peubah karakteristik internal (X1), karakteristik eksternal (X2), kompetensi penyuluh ( X3), dan tingkat kinerja penyuluh pertanian (Y), menunjukkan nilai koefisien sangat signifikan. Artinya, istrumen dapat digunakan untuk melaksanakan penelitian. Besarnya nilai rata-rata koefisien per sub peubah bebas (X) dan sub peubah terikat (Y) disajikan pada Tabel 1. Reliabilitas adalah indeks yang menunjukan tingkat konsistensi suatu alat ukur, sehingga dapat dipercaya atau diandalkan. Suatu alat ukur dikatakan mempunyai tingkat keterandalan tinggi (reliable) apabila alat ukur tersebut digunakan dua kali atau
40
lebih untuk mengukur gejala yang sama mempunyai hasil pengukuran relatif konsisten (Singarimbun dan Effendi, 1989). Tabel 1 Hasil uji validitas instrumen karakteristik internal, eksternal, kompetensi penyuluh, dan tingkat kinerja penyuluh pertanian. Peubah/Sub-sub Peubah Karakteristik Internal (X1) Pelatihan (X1.4) Motivasi (X1.5) Persepsi penyuluh terhdp tugas (X1.6) Pemanfaatan media (X1.7) Hubungan interpersonal (X1.8) Karakteristik Eksternal (X2) Dukungan administrasi (X2.1) Ketepatan kebijakan (X2.2) Ketersediaan sarana/prasarana (X2.3) Sistem Penghargaan (X2.4) Lingkungan kerja (X2.5) Jangkauan lokasi tugas (X2.6) Partisipasi aktif masyarakat (X2.7) Supervisi dan Monitoring (X2.8) Kompetensi Penyuluh (X3) Perencanaan program peny (X3.1) Pelaksanaan program peny (X3.2) Pengevaluasian program peny (X3.3) Penerapan prinsip BOD (X3.4) Komunikasi (X3.5) Kerjasama (X3.6) Tingkat Kinerja Penyuluh (Y) Perencanaan program peny (Y1) Pelaksanaan program peny (Y2) Pengevaluasian program peny (Y3) Inisiatif (Y4) Kreativitas (Y5) Kerjasama (Y6) Komunikasi (Y7)
Jumlah Instrumen
Koefisien Rata-rata
Keterangan
3 4 6 2 4
0.877** 0.515** 0.471** 0.870** 0.537**
Valid Valid Valid Valid Valid
2 2 4 4 3 2 2 3
0.918** 0.467** 0.514** 0.555** 0.636** 0.765** 0.885** 0.749**
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
10 6 7 5 4 3
0.485** 0.546** 0.419** 0.437** 0.567** 0.529**
Valid Valid Valid Valid Valid Valid
6 7 4 3 4 3 4
0.561** 0.424** 0.610** 0.686** 0.583** 0.674** 0.557**
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Pengujian reliabilitas alat ukur dalam penelitian ini menggunakan rumus koefisien alpha, yaitu : k α=
Vi 1-
k–1
Vt
41
Dimana : α k Vi Vt
: Reliabilitas alat ukur : Banyaknya butir pertanyaan : Jumlah varians butir pertanyaan : Varians total Tabel 2. Hasil uji reliabilitas instrument karakteristik internal, eksternal, kompetensi penyuluh, dan tingkat kinerja penyuluh pertanian No
Peubah penelitian
Koefisien Cronbach (α)
1
Karakteristik Internal Penyuluh (X1)
0.638
2
Karakteristik Eksternal Penyuluh (X2)
0.831
3
Kompetensi Penyuluh (X3)
0.701
4
Tingkat Kinerja Penyuluh (Y)
0.770
Nilai cronbach alpha pada Tabel 2, menunjukkan karakteristik internal (X1) sebesar 0.290, karakteristik eksternal (X2) sebesar 0.831, kompetensi penyuluh (X3) sebesar 0.701 dan tingkat kinerja penyuluh pertanian (Y) sebesar 0.770 . Besarnya nilai cronbach alpha tersebut berarti instrumen yang digunakan sebagai alat ukur sudah reliabel, sehingga dapat digunakan untuk melaksanakan penelitian. Definisi Istilah 1. Penyuluhan adalah proses pembelajaran bagi pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, dan sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktivitas, efisiensi usaha, pendapatan dan kesejahteraannya, serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian fungsi lingkungan hidup (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006). 2. Penyuluh adalah perorangan warga negara Indonesia yang tugasnya melakukan kegiatan penyuluhan (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006). 3. Penyuluh pegawai negeri sipil adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat berwenang pada
42
satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan dan kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan (Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006). 4. Karakteristik individu adalah ciri-ciri yang dimiliki seseorang yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya (Rahmat, 2001) 5. Kompetensi adalah kemampuan-kemampuan fungsional yang dimiliki seorang penyuluh sehingga yang bersangkutan mampu menyelesaikan perannya (Gilley dan Eggland, 1989). 6. Kinerja adalah hasil dari suatu pekerjaan yang dapat dilihat atau yang dapat dirasakan secara kognitif, afektif maupun psikomotorik (Padmowihardjo, 2010). 7. Strategi adalah sesuatu tindakan yang di pikirkan, diprogramkan, direncanakan, dirancang secara sistematis, dan diarahkan pada suatu tujuan dan aktivitas yang disengaja (Sumardjo, 1999) Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah Menurut Singarimbun dan Effendi (1989)
bahwa pengukuran merupakan
penunjukan angka pada peubah menurut aturan yang telah ditentukan. Berdasarkan pengertian tersebut maka definisi operasional, indikator, dan pengukuran terhadap peubah yang telah ditetapkan dalam penelitian ini meliputi karakteristik internal (X1), karakteristik eksternal (X2), kompetensi penyuluh pertanian (X3) dan tingkat kinerja penyuluh pertanian (Y), dengan masing-masing sub peubah sebagai berikut : Karakteristik internal (X1) 1. Umur (X1.1), adalah usia responden pada saat penelitian dilakukan. Pengukuran dalam jumlah tahun usia responden sejak ia dilahirkan sampai tahun penelitian dilakukan. Data hasil penelitian yang diperoleh bahwa umur penyuluh responden berkisar antara 25
hingga 51 tahun. Dalam penelitian umur responden ini
diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) muda (25 – 34), (2) sedang (35 – 44), dan (3) tua (45 – 54). 2. Masa Kerja (X1.2). adalah lamanya penyuluh bekerja, pengukuran dalam tahun sejak penyuluh yang bersangkutan mulai bekerja sampai saat wawancara di lakukan dalam satuan tahun. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) baru (3 - 12), (2) sedang (13 - 22), dan (3) lama (23 - 32).
43
3. Pendidikan Formal (X1.3). adalah pendidikan formal tertinggi diikuti penyuluh. Pengukuran dengan menghitung lamanya tahun responden mengikuti pendidikan formal (yang sederajat). Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (12 - 13), (2) sedang (14 - 15), dan (3) tinggi (16 - 17). 4. Pelatihan (X1.4). adalah pendidikan nonformal yang diikuti penyuluh. Pengukuran dilakukan dengan melihat frekuensi penyuluh yang bersangkutan dalam mengikuti pelatihan dan tingkat kesesuaian materi pelatihan. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (3 - 5), (2) sedang (6 - 8), dan (3) tinggi (9 - 11). 5. Motivasi (X1.5). adalah besarnya dorongan responden, baik secara intrinsik maupun ekstrinsik untuk bekerja sebagai penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat motivasi responden dalam bekerja. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (4 – 7), (2) sedang (8 - 11), dan (3) tinggi (12 - 15). 6. Persepsi terhadap pekerjaan/tugas (X1.6). adalah kesan, tanggapan atau pandangan penyuluh terhadap pepekerjaan/tugas yang diembannya. Di ukur dari tingkat persepsi
responden
terhadap
pekerjaan/tugas.
Data
hasil
pengukuran
diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (6 - 10), (2) sedang (11 - 15), dan (3), tinggi (16 - 20). 7. Pemanfaatan media (X1.7). adalah jumlah dan tingkat kemanfaatan media yang dimanfaatkan penyuluh berkaitan dengan bidang tugas. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat
pemanfaatan media oleh penyuluh. Data hasil pengukuran
diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (2 - 3), (2) sedang (4 - 5), dan (3) tinggi (6 - 7). 8. Hubungan Interpersonal (X1.8). adalah hubungan keakraban yang terjalin dalam organisasi. Pengukuran dilakukan terhadap hubungan penyuluh dengan pimpinan dan stakeholder. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) jauh (4 - 7), (2) kurang dekat (8 - 11), dan (3) dekat (12 - 15). 9. Jumlah kelompok binaan (X1.9). adalah banyak kelompok tani yang dibina penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap jumlah kelompok tani yang dibina penyuluh. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) sedikit (1 - 2), (2) sedang (3 - 4), dan (3) banyak (5 - 6).
44
Karakteristik Eksternal (X2) 1. Dukungan administrasi (X2.1). adalah pengelolaan administrasi dalam organisasi (kelembagaan penyuluhan) yang dirasakan penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap administrasi yang mendukung tugas-tugas penyuluh. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) tidak mendukung (2 - 3), (2) mendukung (4 - 5), dan (3) sangat mendukung (6 - 7). 2. Ketepatan kebijakan organisasi (X2.2). adalah adanya kebijakan-kebijakan dalam organisasi (kelembagaan penyuluhan) yang dirasakan penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap ketepatan kebijakan yang dikeluarkan oleh kelembagaan penyuluhan dalam mendukung tugas-tugas penyuluh. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) tidak tepat (2 - 3), (2) tepat (4 - 5), dan (3) sangat tepat (6 - 7). 3. Ketersediaan sarana dan prasarana (X2.3). adalah dukungan sarana dan prasarana terhadap tugas penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap ketersediaan sarana dan prasarana oleh kelembagaan penyuluhan dalam mendukung tugas-tugas penyuluh. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) tidak tersedia (3 - 5), (2) tersedia (6 - 8), dan (3) sangat tersedia (9 - 11). 4. Dukungan sistem penghargaan (X2.4). adalah pengakuan atau penghargaan yang diterima penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap penghargaan yang di berikan oleh pemerintah daerah. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) tidak pernah (3 - 5), (2) jarang (6 - 8), dan (3) sering (9 - 11). 5. Kondisi lingkungan kerja (X2.5). adalah lingkungan kerja organisasi yang mendukung tugas penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh penyuluh. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) tidak nyaman (3 - 5), (2) nyaman (6 - 8), dan (3) sangat nyaman (9 - 11). 6. Keterjangkauan daerah tempat bekerja (X2.6). adalah keterjangkauan penyuluh terhadap lokasi tempat bekerja. Pengukuran dilakukan terhadap jarak yang harus ditempuh oleh penyuluh. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) jauh (2 - 3), (2) sedang (4 - 5), dan (3) dekat (6 - 7). 7. Tingkat partisipasi aktif masyarakat (X2.7). adalah tingkat partisipasi masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat keterlibatan
45
masyarakat dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh penyuluh. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (2 - 3), (2) sedang (4 - 5), dan (3) tinggi (6 - 7). 8. Dukungan supervisi dan monitoring (X2.8). adalah
bentuk pembinaan dan
pengawasan kelembagaan penyuluhan terhadap kegiatan penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap frekuensi supervisi dan monitoring oleh instansi pembina. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) tidak pernah (3 - 5), (2) jarang (6 - 8), dan (3) sering (9 - 11). Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3) 1. Perencanaan program penyuluhan (X3.1), adalah. kemampuan penyuluh dalam merencanakan kegiatan penyuluhan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kemampuan penyuluh dalam membuat programa, rencana kerja identifikasi potensi wilayah. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) Tidak kompeten (≤ 7), (2) Kurang kompeten (7 - 12), dan (3) Sangat kompeten (≥ 12). 2. Pelaksanaan program penyuluhan (X3.2). adalah kemampuan penyuluh dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kemampuan penyuluh melaksanakan kegiatan penyuluhan. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) Tidak kompeten (5 - 8), (2) Kurang kompeten (9 - 12), dan (3) Sangat Kompeten (13 - 16). 3. Pengevaluasian program penyuluhan (X3.3) adalah kemampuan penyuluh dalam mengevaluasi kegiatan penyuluhan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kemampuan penyuluh dalam mengevaluasi kegiatan penyuluhan. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) Tidak kompeten (6 - 11), (2) Kurang kompeten (12 - 16), dan (3) Sangat kompeten (17 - 22). 4. Kemampuan menerapkan prinsip belajar orang dewasa (X3.4). adalah kemampuan penyuluh menerapkan metode belajar orang dewasa ke dalam kegiatan penyuluhan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kemampuan penyuluh dalam menerapkan prinsip belajar orang dewasa. Data hasil pengukuran selanjutnya diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) Tidak kompeten (4 - 7), (2) Kurang kompeten (8 - 11), dan (3) Sangat kompeten (12 - 15).
46
5. Kemampuan berkomunikasi (X3.6) adalah kemampuan yang dimiliki penyuluh dalam berkomunikasi dengan masyarakat. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat komunikasi penyuluh secara konvergen. Data hasil pengukuran selanjutnya diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) Tidak kompeten (4 - 7), (2) Kurang kompeten (8 - 11), dan (3) Sangat kompeten (12 - 15). 6. Kemampuan berkerjasama (X3.5). adalah kemampuan yang dimiliki penyuluh untuk membangun kerjasama dengan pihak lain. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kerjasama penyuluh selama bertugas. Data hasil pengukuran selanjutnya diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) Tidak kompeten (2 - 3), (2) Kurang kompeten (4 - 5), dan (3) Sangat kompeten (6 - 7). Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian (Y) 1. Perencanaan program (Y1). adalah hasil pekerjaan penyuluh dalam merencanakan kegiatan penyuluhan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kinerja yang dicapai penyuluh. Data hasil pengukuran tingkat kinerja diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (6 - 10), (2) sedang (11 - 15), dan (3) tinggi (16 – 20). 2. Pelaksanaan program (Y2). adalah hasil pekerjaan penyuluh dalam pelaksanaan kegiatan penyuluhan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kinerja yang dicapai penyuluh. Data hasil pengukuran tingkat kinerja diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (6 - 10), (2) sedang (11 - 15), dan (3) tinggi (16 – 20). 3. Pengevaluasian program (Y3). adalah hasil pekerjaan penyuluh dalam mengevaluasi kegiatan penyuluhan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kinerja yang dicapai penyuluh. Data hasil pengukuran tingkat kinerja diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (4 - 7), (2) sedang (8 - 11), dan (3) tinggi (12 – 15). 4. Inisiatif (Y4). adalah kemampuan berinisiatif penyuluh dalam melaksanakan tugas. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kinerja yang dicapai penyuluh dalam merespon masalah atau tugas-tugas baru dan tanggung jawab. Data hasil pengukuran tingkat kinerja diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (3 - 5), (2) sedang (6 - 8), dan (3) tinggi (9 - 11) 5. Kreativitas (Y5). adalah kemampuan kreativitas yang ditunjukan penyuluh dalam kegiatan penyuluhan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kinerja yang dicapai
47
penyuluh dalam menggunakan gagasan-gagasan baru. Data hasil pengukuran tingkat kinerja diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (4 - 7), (2) sedang (8 - 11), dan (3) tinggi (12 - 15). 6. Kerjasama (Y6). adalah kemampuan penyuluh membangun kerjasama dengan pihak lain. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kinerja yang dicapai penyuluh membangun kemitraan usaha untuk kelompok binaan. Data hasil pengukuran tingkat kinerja diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : (1) rendah (3 - 5), (2) sedang (6 - 8), dan (3) tinggi (9 - 11). 7. Komunikasi (Y7). adalah kemampuan penyuluh membangun komunikasi dengan masyarakat. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kinerja yang dicapai penyuluh membangun komunikasi secara konvergen. Data hasil pengukuran tingkat kinerja diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu : rendah (4 - 7), (2) sedang (8 - 11), dan (3) tinggi (12 - 15). Penentuan selang interval untuk mengukur hasil penelitian diperoleh melalui persamaan secara matematis menurut Nazir (2005; hal. 380) sebagai berikut : R I= k
Di mana : k = jumlah kelas interval I = besar interval kelas R= range
Analisis Data Data hasil survei di lapangan diberikan skor sesuai dengan metode skoring yang ditetapkan serta dikategorikan berdasarkan skala interval. Data kemudian dianalisis sesuai dengan kebutuhan penelitian untuk mengetahui pengaruh peubahpeubah independen terhadap peubah dependen serta menjelaskan tingkat hubungan yang mungkin terjadi antar variabel yang diamati (Singarimbun dan Effendi, 1989). Untuk mendiskripsikan peubah karakteristik internal penyuluh, karakterisktik eksternal penyuluh, kompetensi tugas penyuluh dan tingkat kinerja penyuluh maka masing-masing peubah diklasifikasikan ke dalam tiga kategori berdasarkan skala interval. Hasil skoring data penelitian yang telah ditabulasi selanjutnya dianalisis menggunakan uji statistik model Pearson, selain itu juga dilakukan analisis kualitatif
48
deskriptif terhadap beberapa pengamatan dan catatan selama proses pengumpulan data serta laporan-laporan di daerah penelitian. Untuk mengetahui pengaruh sub-sub karakteristik internal, eksternal, dan kompetensi penyuluh terhadap tingkat kinerja penyuluh, maka dilakukan analisis regresi. Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara aspek-aspek karakteristik internal, eksternal dan kompetensi penyuluh dengan aspek-aspek tingkat kinerja penyuluh, maka data dianalisis menggunakan uji korelasi. Seluruh data dianalisis dengan menggunakan program SPSS versi 15.
GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Wilayah Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara pada pertengahan bulan Mei s/d Juni 2011, dengan tujuan untuk; (1) menganalisis faktor-faktor karakteristik internal dan eksternal serta kompetensi yang menentukan tingkat kinerja penyuluh pertanian, dan (2) merumuskan strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Kota Tidore Kepulauan terdiri dari delapan kecamatan (Kecamatan Tidore, Kecamatan Tidore Timur, Kecamatan Tidore Utara, Kecamatan Tidore Selatan, Kecamatan Oba, Kecamatan Oba Utara, Kecamatan Oba Tengah dan Kecamatan Oba Selatan dengan memiliki 72 desa/kelurahan. Wilayah Kota Tidore Kepulauan memiliki luas daratan 1.550,37 km2 dengan jumlah penduduk 90.038 jiwa dengan tingkat kepadatan adalah 58 jiwa per km2 , dimana tingkat kepadatan tertinggi berada di pulau Tidore sebesar 512 jiwa per km2 (sensus 2010). Secara ringkas, sejumlah informasi yang berkaitan dengan wilayah penelitian di Kota Tidore Kepulauan disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Gambaran umum wilayah penelitian Karakteristik Wilayah Kecamatan
Tidore
Jumlah Penduduk 18.475
Luas Wilayah (Km2) 36,08
Jumlah Desa/kel 11
Tidore Timur
Tosa
7.657
34,0
4
Tidore Utara
Rum
14.573
37,64
12
Togowai
13.131
42,40
8
Payahe
10.337
403,67
9
Sofifi
13.331
376,0
9
Oba Tengah
Akelamo
7.659
424,0
12
Oba Selatan
Lifofa
4.892
196,58
7
Tidore
Tidore Selatan Oba Oba Utara
Ibu Kota
Sumber : BPS Kota Tidore Kepulauan 2010
50 Secara astronomis wilayah Kota Tidore Kepulauan terletak diantara 00 – 200 Lintang Utara hingga 00 – 500 Lintang Selatan dan pada posisi 1270 10’ – 1270 45’ Bujur Timur. Seluruh kawasan di Daerah ini dikelilingi oleh lautan dan mempunyai batas-batas sebagai berikut : Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Barat, Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Timur dan Halmahera Tengah, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Halmahera Selatan dan Sebelah Barat berbatasan dengan Kota Ternate. Ciri tanah yang beraneka ragam ini dapat diklasifikasi karena adanya faktorfaktor perbedaan tinggi dan kemiringan pada permukaan tanah atau lereng. Jenis tanah di Kota Tidore Kepulauan ini antara lain : latosol, alluvial pantai dan lembah, rogosol, podsol coklat kelabu, podsol merah, kuning dan tanah kompleks, maka Daerah Kota Tidore Kepulauan dapat digolongkan pada 6 (Enam) klasifikasi konsepsi Wilayah Tanah Usaha (WTU) yaitu : 1. Wilayah Tanah Usaha I.a dan b
dengan ketinggian 7 m sampai 25 m dari
permukaan laut dengan berlereng 3 sampai dengan 15 persen bisa disebut dataran datar sampai landai merupakan daerah yang paling sesuai untuk ketinggian penduduk berupa pemukiman, pertanian tanaman pangan maupun perkebunan. 2. Wilayah Tanah Usaha I.c dengan ketinggian 25 m sampai 100 m dari permukaan laut dengan berlereng 15 sampai dengan 25 persen 3. Wilayah Tanah Usaha I.d dengan ketinggian 100 m sampai 500 m dari permukaan laut dengan berlereng 25 sampai dengan 40 persen 4. Wilayah Tanah Usaha II dengan ketinggian 500 m sampai 750 m dari permukaan laut dengan berlereng agak curam dan berbukit-bukit antara Daerah beriklim Tropis (panas) dan beriklim sedang. 5. Wilayah Tanah Usaha II
dengan ketinggian 570 m sampai 1000 m dari
permukaan laut. Tanah ini tidak boleh diusahakan, sebaiknya ditetapkan sebaga kawasan hutan lindung. 6. Wilayah Lindung mempunyai ketinggian diatas 1000. Daerah ini merupakan daerah yang dilindungi atau kawasan Hutan Lindung. Pada masing-masing pengelompokan wilayah pengembangan terdapat pusatpusat pertumbuhan
dengan tingkat perkembangan yang berbeda. Dengan
pengelompokan wilayah yang demikian akan lebih menjamin percepatan laju
51 pertumbuhan
pembangunan serta kegiatan antar wilayah
pengembangan dapat
diintegrasikan secara lebih berdaya guna dan berhasil guna. Tabel 4 Distribusi curah hujan dan hari hujan tahun 2010 di wilayah penelitian No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Bulan Januari Pebruari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober Nopember Desember Total
Curah Hujan (mm) 57,1 91,1 26,1 107,1 57,3 64,6 107,9 68,7 40,3 42,8 10,5 119,3 792,8
Hari Hujan 11 9 3 14 15 15 17 13 10 7 8 17 137
Sumber : BPS Kota Tidore Kepulauan 2011
Kota Tidore Kepulauan merupakan Daerah Kepulauan yang beriklim Tropis dimana iklimnya sangat dipengaruhi oleh lau (Angin Laut). Curah hujan rata-rata 66,06 mm per bulan dengan jumlah hari hujan 11 hari (Tabel 4). Daerah ini mempunyai dua musim yakni musim utara, barat dan musim timur atau musim selatan dengan diselingi dua kali masa peralihan atau musim percobaan. Bila menggunakan klasifikasi Schmidt F.H dan H.H.A. Ferguson maka berdasarkan data curah hujan setiap stasiun di Daerah Kota Tidore Kepulauan mempunyai tipe iklim A atau tipe sangat basah.
Distribusi Kelompok Tani Jumlah kelompoktani-nelayan aktif di wilayah Kota Tidore Kepulauan yang dibina Penyuluh Pertanian berdasarkan data kunjungan penyuluh ke petani nelayan pada tahun 2010 sebanyak 248 kelompok (Tabel 5). Jika dibandingkan dengan jumlah penyuluh yang terdapat di Kota Tidore Kepulauan, maka jumlah kelompok tani yang dibina penyuluh adalah rata-rata empat kelompok per penyuluh.
52 Distribusi Penyuluh Pertanian Secara umum, jumlah penyuluh PNS di Kota Tidore Kepulauan adalah 67 orang (Tabel 6) . Jumlah penyuluh tersebut tergolong masih kurang sesuai dengan jumlah desa/kelurahan yang menjadi binaan penyuluh, terutama untuk penyuluh petrnakan dan perikanan. Tabel 5 Jumlah kelompok tani di wilayah kerja BP4K tahun 2010 No
Kecamatan
Kelas Kelompok
Jumlah Kelompok TaniNelayan 36
Pemula
Lanjut
33
3
1
Tidore
2
Tidore Timur
12
9
3
3
Tidore Utara
33
30
3
4
Tidore Selatan
42
39
3
5
Oba
53
33
20
6
Oba Utara
15
14
4
7
Oba Tengah
36
36
-
8
Oba Selatan
21
18
3
Madya
Utama
Sumber : Bapeluh Kota Tidore Kepulauan Tahun 2011
Kekurangan jumlah penyuluh PNS tersebut ditutupi dengan adanya program Tenaga Harian Lepas – Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian
(THL-TBPP) dari
Kementrian Pertanian. Jumlah penyuluh kontrak (THL-TBPP) di Kota Tidore Kepulauan sampai dengan Desember 2010 tercatat sebanyak 37 orang. Berdasarkan jumlah penyuluh PNS dan THL-TBPP tersebut jika disebarkan secara merata di seluruh desa/kelurahan yang ada, maka target Revitalisasi Penyuluhan Pertanian satu desa satu penyuluh di Kota Tidore Kepulauan telah tercapai. Fakta di lapangan menunjukkan terdapat ketidakseimbangan antara jumlah penyuluh di delapan kecamatan tersebut, dimana jumlah penyuluh yang ditempatkan di Pulau Tidore dengan potensi pertanian yang semakin terbatas lebih banyak, jika dibandingkan dengan jumlah penyuluh yang ditempatkan pada 4 Kecamatan yang ada di daratan Halmahera dengan jangkauan wilayah yang luas dan potensi pertanian yang cukup besar.
53 Tabel 6 Distribusi penyuluh pertanian di wilayah penelitian Karakteristik Wilayah Kecamatan
Jumlah Desa/kel
Tidore
11
Jumlah Penyuluh PNS 9
Jumlah THL-TBPP 6
Kebutuhan Ideal Penyuluh 9
Tidore Timur
4
22
4
7
Tidore Utara
12
12
7
12
Tidore Selatan
8
6
5
8
Oba
9
6
1
16
Oba Utara
9
3
4
9
Oba Tengah
12
4
5
18
Oba Selatan
7
3
3
9
Sumber : Bapeluh Kota Tidore Kepulauan tahun 2010
Berdasarkan data distribusi (Lihat kembali Tabel 6), kecamatan-kecamatan di pulau Tidore memiliki jumlah penyuluh lebih banyak dibandingkan dengan empat kecamatan yang ada di daratan Halmahera (Kecamatan Oba, Oba Utara, Oba Tengah dan Oba Selatan). Hal ini mengakibatkan terjadi ketidakseimbangan antara penyuluh yang berada di empat kecamatan di Pulau Tidore dan empat kecamatan di daratan Halmahera, baik dari segi jumlah maupun luas wilayah yang harus dibina. Tabel 7 Rasio antara jumlah penyuluh dengan jumlah petani, luas wilayah binaan, jumlah BP3K dan jumlah BOP Jumlah
Karakteristik
Penyuluh
Jumlah petani (orang)
5456*
Luas wilayah binaan (km2)
188.19
Jumlah BP3K (unit) Jumlah BOP (Rp)
6 250.000
Rasio 1 : 97
56
1 : 3,36 1:9 1 : 250.000
Keterangan : * berdasarkan jumlah kelompok tani
Berdasarkan data jumlah kelompok tani yang mencapai 248 kelompok aktif dengan asumsi bahwa setiap kelompok memiliki jumlah anggota rata-rata 22 orang, maka jumlah petani aktif yang dibina mencapai 5456 (Tabel 5 dan 6). Berdasarkan perhitungan tersebut, maka rasio antara jumlah petani dan penyuluh yang tersedia adalah 1 : 97. Artinya satu orang penyuluh membina sebanyak 97 orang petani atau sekitar 2 kelompok.
54 Perbandingan luas wilayah dengan jumlah penyuluh adalah 1 : 3,36 atau satu orang penyuluh membawahi luas wilayah binaan sebesar 3,36 km2. Perbandingan jumlah penyuluh dengan BP3K adalah 1 : 9. Artinya 1 unit BP3K membawahi 9 (sembilan) orang penyuluh. tetapi pada kenyataannya ada BP3K yang membina lebih dari jumlah tersebut. Perbandingan jumlah biaya operasional (BOP) penyuluh adalah 1 : 250.000. Artinya setiap penyuluh memperoleh BOP sebesar Rp.250.000.-/bulan. (Lihat kembali Tabel 7).
55
KINERJA PENYULUH DAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA Hubungan aspek-aspek Karakteristik Internal dengan Kinerja Penyuluh Beberapa karakteristik internal yaitu pemanfaatan media, persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan, masa kerja, umur, dan pelatihan berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian. Nilai koefisien korelasi yang ditunjukkan masing-masing faktor tersebut secara berturut-turut yakni; pemanfaatan media sebesar 0.508 p-value (0.000 ), persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan sebesar 0.495 p-value ( 0.000), masa kerja sebesar 0.355 p-value (0.007 ), umur 0.343 p-value ( 0.010), dan pelatihan sebesar 0.266 p-value (0.048) < alpha 5 % maka tolak Ho. Artinya, model signifikan atau berkorelasi nyata. Hasil tersebut menunjukkan aspek-aspek tersebut berhubungan erat dengan peningkatan kinerja penyuluh pertanian, terutama aspek pemanfaatan media-media penyuluhan, yang menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi. (dapat dilihat pada Tabel 9). Pendidikan formal, motivasi penyuluh, hubungan interpersonal, dan jumlah kelompok binaan secara umum tidak berkorelasi nyata dengan kinerja penyuluh. Pendidikan formal justru menunjukkan korelasi negatif dengan kinerja penyuluh pada aspek komunikasi. Artinya tingginya tingkat pendidikan yang tidak dibarengi dengan pengetahuan/ ketrampilan berkomunikasi dapat menurunkan kinerja penyuluh pada aspek tersebut. Tidak tampaknya hubungan nyata antara faktor pendidikan formal dan motivasi penyuluh
dengan kinerja penyuluh tersebut diduga karena kualifikasi
pendidikan dan pengetahuan yang dimiliki penyuluh masih sebatas pada pengetahuan teknis semata, mengingat sebagian besar penyuluh (penyuluh baru) bukan berasal dari lulusan/ perguruan tinggi jurusan penyuluhan atau sekolah-sekolah pertanian seperti STPP dan sejenisnya. Dampak dari permasalahan tersebut adalah menurunnya motivasi kerja bagi penyuluh-penyuluh yang masih baru karena pengetahuan yang dimiliki tidak sebanding dengan tuntutan tugas yang dihadapi. Sedangkan pada penyuluh berusia tua lebih disebabkan oleh faktor rendahnya pendidikan dan kejenuhan, terutama yang sudah bekerja diatas 20 tahun. Jumlah kelompok binaan menunjukkan tidak berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh, akan tetapi berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pada aspek kerjasama. Artinya, semakin banyak jumlah kelompok tani yang dibina seorang
56 penyuluh, semakin baik tingkat kerjasamanya dengan sasaran penyuluhan. Data penelitian (Lihat Tabel 8), menunjukkan rata-rata penyuluh (71 persen) membina kurang dari lima kelompok tani, hal tersebut mencerminkan kinerja penyuluh dalam dimensi ini masih berada pada kategori sedang. Margono Slamet (2001) berpendapat, bahwa tingkat kinerja penyuluh pertanian dikatakan baik apabila penyuluh tersebut mampu membina lima sampai delapan kelompok tani dalam satu wilayah kerja. Tabel 8. Sebaran penyuluh pertanian berdasarkan karakteristik internal (X1) Sub Peubah
Selang Interval
Median
25 – 34 Umur (X1.1)
35 – 44
38 (Sedang)
45 – 54 3 – 12 Masa Kerja (X1.2)
13 – 22 23 – 32 12 – 13
Pendidikan (X1.3)
14 – 15 16 – 17 3–5
Pelatihan (X1.4)
6–8 9 – 11 4–7
Motivasi (X1.5)
8 – 11 12 – 15 6 – 10
Persepsi Terhadap Tugas (X1.6)
11 – 15 16 – 20 2–3
Pemanfaatan Media (X1.7)
4–5 6-7 4–7
Hub. Interpersonal (X1.8)
8 – 11 12 – 15 1–2
Jlh. Kelompok Binaan (X1.9) Keterangan : N = 56
3–4 5–6
9 (Baru) 16 (Tinggi) 7 (Sedang) 9 (sedang) 17 (Tinggi) 4 (sedang) 11 (kurang dekat) 3 (sedang)
Kategori
Jumlah*
Persen
Muda
25
45
Sedang
10
18
Tua
21
37
Baru
28
50
Sedang
13
23
Lama Rendah
15
27
10
18
Sedang
8
14
Tinggi
38
68
Rendah
10
18
Sedang
40
71
Tinggi
6
11
Rendah
11
19
Sedang
42
76
Tinggi
3
3
Rendah
2
4
Sedang
8
14
Tinggi
46
82
Rendah
12
21
Sedang
32
57
Tinggi
16
22
Jauh
1
2
34
64
Dekat
19
34
Sedikit
16
29
Sedang
40
71
Banyak
0
0
Kurang Dekat
57 Faktor umur dan masa kerja yang berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh, terutama pada dimensi perencanaan program, kreativitas dan komunikasi menunjukkan bahwa semakin tua umur dan lamanya seorang penyuluh bekerja, maka semakin baik tingkat kreativitas dalam merencanakan program penyuluhan dan lebih mudah membangun komunikasi dengan sasaran penyuluhan. Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat de Cecco (Mardikanto, 1993) bahwa semakin baik kematangan fisik dan emosional seiring dengan bertambahnya umur seseorang, semakin baik kesiapan untuk belajar. Tabel 9 Koefisien korelasi antara aspek-aspek karakteristik internal dengan aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian Koefisien Korelasi dengan Kinerja Penyuluh
Peubah Kinerja Peubah Internal
Kinerja penyul uh (Y)
Perenca naan (Y1)
Pelaksa naan (Y2)
Pengev aluasia n (Y3)
Umur 0.343** 0.303* 0.237 0.130 (X1.1) Masa kerja 0.355** 0.292* 0.237 0.178 (X1.2) Pendidikan formal -0.219 -0.243 -0.150 -0.159 (X1.3) Pelatihan 0.266* 0.166 0.105 -0.002 (X1.4) Motivasi 0.009 0.124 -0.003 -0.018 (X1.5) Persepsi 0.495** 0.371** 0.406** 0.218 (X1.6) Pemanfaatan 0.508** 0.504** 0.482** 0.262 Media (X1.7) Hub Interpersonal 0.244 0.202 0.317* 0.207 (X1.8) Jumlah Kelompok 0.161 0.089 0.162 0.139 Binaan (X1.9) Keterangan : **) nyata pada α = 0.01 *) nyata pada α = 0.05
Inisiatif (Y4)
Kreativ itas (Y5)
Kerjasa ma (Y6)
Komunik asi (Y7)
-0.064
0.366*
0.261
0.466**
-0.012
0.383*
0.259
0.429**
0.040
-0.124
-0.072
-0.348**
0.191
0.231
0.467**
0.294*
0.060
-0.067
-0.153
0.010
0.304*
0.457**
0.427**
0.264*
0.287*
0.288*
0.159
0.426**
0.082
0.169
0.124
0.025
0.026
0.036
0.356**
0.043
Hubungan nyata umur dan masa kerja dengan kinerja penyuluh juga disebabkan karena penyuluh-penyuluh yang berusia muda dan berpendidikan sarjana tersebut rata-rata direkrut dari tenaga harian lepas-tenaga bantu penyuluh pertanian (THL-TBPP) yang telah memiliki cukup komitmen dengan pekerjaan sebagai penyuluh. Sebaliknya pada penyuluh berusia tua, maka hal tersebut lebih disebabkan oleh kematangan usia dan pengalaman kerja yang telah dimiliki, sehingga mereka lebih kreatif dalam membangun kerjasama untuk merencanakan program penyuluhan yang lebih partisipatif. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Dahama dan Bhatnagar (1980), bahwa semakin lama seseorang bekerja semakin baik pula
58 pengalamannya sehingga akan memberikan kontribusi terhadap minat dan harapannya untuk belajar lebih banyak, termasuk memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia. Pemanfaatan media adalah bentuk motivasi diri seseorang secara kognitif dalam mencari informasi. Penyuluh yang mampu memanfaatkan media, baik cetak maupun elektronik dengan baik sama halnya dengan berupaya untuk memperbaiki kualitas kerja (kinerjanya). Faktor pemanfaatan media berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh, terutama pada aspek perencanaan program penyuluhan, pelaksanaan program penyuluhan, inisiatif penyuluh dalam menyelesaikan masalah, kreativitas terhadap tugas-tugas baru yang diberikan, dan aspek komunikasi penyuluh dengan sasaran secara konvergen. Hasil analisis tersebut sesuai dengan pengamatan di lapangan, dimana program penyebaran media informasi (Sinar Tani) oleh pusat penyuluhan pertanian dirasakan sangat membantu penyuluh dalam melaksanakan tugas, dimana data penelitian (Lihat kembali Tabel 8), menunjukkan pemanfaatan media termasuk dalam kategori sedang/ jarang (57 persen). Tingginya nilai korelasi antara pemanfaatan media dengan kinerja penyuluh tersebut secara teoritis memperkuat pendapat Suryantini (2003), bahwa motivasi kognitif dalam mencari informasi merupakan unsur penting yang memotivasi penyuluh untuk selalu memperbaiki kinerjanya. Artinya, semakin sering penyuluh memanfaatkan media penyuluhan, semakin banyak pula informasi yang diperoleh sebagai solusi dalam menyelesaikan masalah petani terutama informasi-informasi yang berkaitan dengan teknologi baru. Persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan pada Tabel 9, menunjukkan hubungan nyata dengan semua aspek kinerja penyuluh kecuali kinerja pada aspek pengevaluasian program penyuluhan. Persepsi penyuluh terhadap pekerjaannya semakin meningkat seiring dengan bertambah usia penyuluh dalam lingkup pekerjaan tersebut. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 8) menunjukkan usia penyuluh di Kota Tidore Kepulauan berkisar antara 25 – 51 tahun, dengan rata-rata adalah 35 tahun, artinya penyuluh masih tergolong usia produktif dan memiliki kesempatan belajar lebih banyak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hubeis (2008), bahwa semakin tinggi sikap positif dan komitmen penyuluh terhadap pekerjaan maka produktivitas kerjanya pun semakin tinggi. Hubungan nyata karakteristik internal dengan kinerja penyuluh pertanian juga tampak pada faktor pelatihan. Artinya, faktor pelatihan berhubungan erat dengan
59 kinerja penyuluh pertanian, terutama kinerja penyuluh pada aspek kerjasama dan komunikasi. Data penelitian menunjukkan 71 persen penyuluh yang mengakui jarang mengikuti pelatihan, terutama kepada penyuluh-penyuluh baru. Fakta ini didukung dengan data penenlitian, dimana 50 persen penyuluh memiliki masa kerja kurang dari 13 tahun, sehingga peluang mereka mengikuti beragam pelatihan belum banyak (terlihat pada Tabel 9). Selain itu, minimnya anggaran yang dikelola institusi penyuluhan diduga sebagai penyebab minimnya intensitas penyuluhan yang diikuti penyuluh. Minimnya intensitas pelatihan tersebut secara langsung akan berdampak pada kompetensi penyuluh, sehingga motivasi untuk melaksanakan tugas pun menurun. Hasil penelitian (Lihat kembali Tabel 8) menunjukkan hanya 3 persen penyuluh bermotivasi tinggi. Fakta tersebut yang diduga menjadi salah satu penyebab faktor tersebut tidak berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh. Pada beberapa aspek kinerja justru memiliki nilai negatif (lihat kembali Tabel 9). Fakta lain yang menjadi penyebab adalah motivasi awal ketika melamar pekerjaan sebagai calon pegawai negeri sipil. Hasil pengamatan dan wawancara mendalam di lapangan terhadap beberapa responden diketahui, bahwa pada mulanya motivasi para penyuluh baru adalah menjadi pegawai negeri sipil, apapun profesi dan seperti apa tugasnya bukan menjadi masalah. Namun demikian, setelah penyuluh ditempatkan di lokasi-lokasi tugas yang jauh dari akses informasi dan transportasi, maka motivasinya dalam bekerja pun mulai menurun dan akibatnya mereka tidak lagi disiplin melaksanakan tugas sebagaimana yang diharapkan. Secara eksternal rendahnya motivasi penyuluh tersebut dikarenakan kebijakan-kebijakan organisasi yang tidak sejalan dengan keinginan dan kebutuhan penyuluh sebagaimana pendapat Margono Slamet (2010), bahwa kebijakan kenaikan pangkat dan pola karier yang tidak jelas akan berpengaruh pada motivasi penyuluh. Hasil penelitian Hubeis (2008), bahwa motivasi kerja penyuluh akan berdampak positif terhadap kinerja penyuluh, sehingga kenyataan di lapangan yang menunjukkan motivasi penyuluh di Kota Tidore Kepulauan yang berdampak baik pada kinerja hanya ditemukan pada penyuluh-penyuluh yang ditempatkan pada lokasi tugas yang mudah dijangkau, serta penyuluh yang memperoleh perhatian dan keuntungan secara sepihak oleh pimpinan.
60 Kebijakan-kebijakan organisasi yang menimbulkan pro kontra di kalangan penyuluh berdampak secara tidak langsung pada hubungan interpersonal antara penyuluh dengan pimpinan maupun dengan sesama rekan penyuluh. Hasil penelitian (Lihat kembali Tabel 8) menunjukkan 64 persen penyuluh mengakui hubungannya dengan pimpinan tidak harmonis (kurang dekat). Secara umum faktor ini menunjukkan hubungan, akan tetapi keeratan hubungannya tidak nyata, kecuali dengan kinerja penyuluh pada aspek pelaksanaan program penyuluhan. Artinya, tinggi rendahnya kinerja penyuluh pada aspek-aspek selain pelaksanaan program tidak berhubungan erat dengan hubungan interpersonal. Hubungan interpersonal antara penyuluh dengan pimpinan maupun dengan sesama penyuluh berjalan baik, ternyata hal tersebut dapat memperlancar pelaksanaan tugas penyuluh. Hubungan aspek-aspek Karakteristik Eksternal dengan Kinerja Penyuluh Beberapa karakteristik eksternal yaitu sistem penghargaan terhadap penyuluh berprestasi, partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan penyuluhan, dan dukungan supervisi monitoring berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh. Berdasarkan hasil uji korelasi memiliki nilai koefisien berturut-turut sistem penghargaan sebesar 0.357 p-value (0.007), dukungan supervisi monitoring sebesar 0.314 p-value (0.019), dan partisipasi aktif masyarakat sebesar 0.306 p-value (0.022) < alpha 5 % maka tolak Ho. Artinya, model signifikan atau berkorelasi nyata dengan kinerja penyuluh. Hasil tersebut menunjukkan bahwa, aspek-aspek tersebut berhubungan erat dengan kinerja penyuluh pertanian, terutama aspek penghargaan menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi (LihatTabel 11). Dukungan sistem penghargaan berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh Artinya, upaya penghargaan (reward) dan sanksi (punishment) yang merupakan bagian dari mekanisme sistem penghargaan yang diterima oleh seorang penyuluh berdampak meningkatkan kinerja penyuluh, terutama kinerja pada aspek perencanaan dan pelaksanaan program penyuluhan, kreativitas penyuluh dalam menyelesaikan masalah petani dan aspek berkomunikasi secara konvergen dengan sasaran penyuluhan. Hasil tersebut sejalan dengan pernyataan van den Bann dan Hawkins (1999) bahwa sangat penting memberikan penghargaan kepada penyuluh yang berhasil melakukan tugasnya dengan baik, karena seorang penyuluh yang melihat rekannya memperoleh promosi karena berhasil melaksanakan tugas akan cenderung untuk melakukan hal yang sama.
61
Tabel 10 Sebaran penyuluh pertanian berdasarkan karakteristik eksternal (X2) Sub Peubah
Selang Interval
Median
2–3 Dukungan Administrasi (X2.1)
4–5 6–7
5 (kurang mendukung)
2–3 Ketepatan Kebijakan Organisasi (X2.2)
Ketersediaan Sarana dan Prasarana (X2.3) Dukungan Terhadap Sistem Penghargaan (X2.4) Kondisi Lingkungan Kerja (X2.5) Keterjangkauan Daerah Tempat Bekerja (X2.6) Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat (X2.7) Dukungan Terhadap Supervisi dan Monitoring (X2.8)
4–5
4 (kurang tepat)
Kategori
Jumlah*
Persen
Tidak mendukung Kurang mendukung Sangat mendukung Tidak tepat
9
16
22
39
25
45
11
20
Kurang tepat
32
57
13
23
8
15
6–7 3–5
8
Sangat tepat Tidak tersedia
6–8
(Sangat
Kurang tersedia
36
64
9 – 11
tersedia)
Sangat tersedia
12
21
Tidak Pernah
13
22
Jarang
35
63
8
14
9
16
3–5 6–8 9 – 11
7 (jarang)
3–5
7
Sering Tidak Nyaman
6–8
(kurang
Kurang Nyaman
31
55
9 – 11
nyaman)
Sangat Nyaman
16
29
Jauh
6
11
Sedang
17
30
Dekat
33
59
Rendah
1
2
Sedang
26
46
Tinggi
29
52
Tidak Pernah
9
16
Jarang
24
43
Sering
23
41
2–3 4–5
6 (Dekat)
6–7 2–3 4–5 6–7 3–5 6–8 9 – 11
6 (Tinggi) 7,5 (jarang)
Keterangan : N = 56
Pemberian penghargaan yang bermakna memotivasi menjadi faktor pendorong bagi penyuluh dalam melaksanakan tugas, sebagaimana pendapat (Margono Slamet, 2010) bahwa kebijakan kenaikan pangkat dan pola karier yang tidak jelas dan sesuai dengan keinginan penyuluh dapat menurunkan motivasi penyuluh. Data penelitian pada Tabel 10, menunjukkan bahwa 63 persen penyuluh mengakui kurangnya perhatian pemerintah daerah dalam memberikan penghargaan (reward) ketika seorang penyuluh berprestasi. Hal tersebut berkaitan dengan proses evaluasi, dimana tidak adanya koordinasi di jajaran pemerintah daerah (BKD dan BP4K) dalam upaya
62 membangkitkan motivasi melalui pemberian penghargaan (reward) kepada penyuluh yang berprestasi atau hukuman (punishment) bagi penyuluh yang tidak disiplin. Hubungan nyata pada faktor partisipasi aktif masyarakat sejalan dengan data hasil penelitian (pada Tabel 10), sebanyak 52 persen penyuluh mengakui partisipasi masyarakat terhadap pelaksanaan kegiatan penyuluhan berada dalam kategori tinggi. Tingginya partisipasi masyarakat tersebut menurut Margono Slamet (Mardikanto, 2009) disebabkan oleh 3 (tiga) unsur pokok yakni; (1) adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi, (2) adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi, dan (3) adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. Tentang hal ini, Mardikanto (2009) memberikan pengertian bahwa kesempatan yang diberikan sering menjadi faktor pendorong tumbuhnya kemauan, dan kemauan akan sangat menentukan kemampuannya. Tabel 10 Koefisien korelasi antara aspek-aspek karakteristik eksternal dengan aspek-aspek kinerja penyuluh pertanian Koefisien Korelasi dengan Kinerja Penyuluh
Peubah Kinerja Peubah Eksternal
Kinerja penyul uh (Y)
Perenca naan (Y1)
Pelaksa naan (Y2)
Pengeval uasian (Y3)
Dukungan Adm. 0.205 0.118 0.127 0.091 (X2.1) Kebijakan 0.059 -0.071 -0.033 0.150 Organisasi (X2.2) Sarana Prasarana 0.137 0.019 0.087 0.152 (X2.3) Penghargaan 0.357** 0.347** 0.284* 0.082 (X2.4) Lingkungan Kerja 0.169 0.028 0.074 0.149 (X2.5) Jangkauan lokasi -0.004 0.012 -0.026 0.094 (X2.6) Partisipasi Masy. 0.306* 0.230 0.303* 0.253 (X2.7) Supervisi 0.314* 0.209 0.134 0.139 Monitorig (X2.8) Keterangan : **) nyata pada α = 0.01 *) nyata pada α = 0.05
Inisiatif (Y4)
Kreativ itas (Y5)
Kerjasa ma (Y6)
Komun ikasi (Y7)
0.007
0.243
0.103
0.381**
0.021
0.119
-0.117
0.327*
0.098
0.229
0.028
0.095
0.063
0.347**
0.130
0.470**
0.082
0.266*
0.082
0.227
-0.045
0.080
-0.063
0.113
0.182
0.271*
-0.035
0.244
0.136
0.392**
0.131
0.470**
Hasil penelitian ini memperkuat pendapat Sumardjo (1999), bahwa semakin cerdas kehidupan rakyat, maka semakin tinggi partisipasi masyarakatnya dalam pembangunan, dan proses penyuluhan merupakan upaya nyata dalam mewujudkan kecerdasan tersebut. Bentuk partisipasi masyarakat yang sangat dirasakan sebagaimana yang diakui oleh penyuluh adalah, terutama pada tahapan pelaksanaan penyusunan programa penyuluhan tingkat Desa dan Kecamatan.
63 Faktor dukungan administrasi, ketepatan kebijakan, ketersediaan sarana dan prasarana, lingkungan kerja, dan jangkauan lokasi tugas secara keseluruhan tidak berkorelasi positif dengan kinerja penyuluh. Namun demikian beberapa dari faktor tersebut berkorelasi positif dengan aspek-aspek kinerja penyuluh yang lain. Dukungan administrasi dan ketepatan kebijakan organisasi tampak berkorelasi positif dengan kinerja penyuluh pada aspek komunikasi (Lihat kembali Tabel 11). Artinya, pengelolaan adminsitrasi dan kebijakan-kebijakan organisasi yang tepat dalam mendukung kegiatan penyuluh dapat meningkatkan kinerja penyuluh dalam membangun komunikasi secara konvergen dengan sasaran penyuluhan. Ketersediaan sarana dan parasarana seperti kantor BP3K dengan fasilitas pendukung berupa lahan pengkajian di 6 kecamatan dari 8 kecamatan yang ada, menunjukkan faktor tersebut mempunyai hubungan dengan semua aspek kinerja penyuluh, walaupun hubungannya tidak signifikan. Hasil analisis tersebut sejalan dengan fakta di lapangan yang disajikan pada data penelitian (Lihat kembali Tabel 10), yang menunjukkan 64 persen penyuluh mengakui masih terdapat kekurangan sarana dan prasarana dalam mendukung kegiatan penyuluh. Lingkungan kerja yang mendukung proses belajar seorang penyuluh dapat meningkatkan produktivitas penyuluh. Secara umum hasil analisis menunjukkan faktor lingkungan kerja tidak berkorelasi positif dengan kinerja penyuluh, akan tetapi menunjukkan korelasi positif dengan kinerja penyuluh pada aspek kreativitas penyuluh Artinya, lingkungan kerja yang nyaman dan mendukung penyuluh dalam melakukan proses belajar berdampak meningkatkan kreativitas penyuluh. Data hasil penelitian (Lihat kembali Tabel 10) rata-rata penyuluh mengakui lingkungan kerja penyuluh, terutama dalam organisasi tergolong kurang nyaman. Ketidaknyamanan tersebut diduga berkaitan dengan kebijakan-kebijakan organisasi (pimpinan) yang
terkesan merugikan penyuluh dan menimbulkan pro
kontra dikalangan penyuluh. Dalam konteks penyuluhan sebagai sistem pendidikan orang dewasa dengan falsafah saling “asah-asih-asuh” (Padmowiharjo, 2001), seharusnya institusi penyuluhan harus mampu menciptakan kondisi tersebut sebagai suatu interaksi antar penyuluh sebagai fasilitator motivator dan masyarakat sasaran sebagai warga belajar. Faktor lain yang menunjukkan hubungan nyata dengan kinerja penyuluh adalah dukungan supervisi dan monitoring. Hubungan nyata yang ditunjukkan faktor tersebut, terutama dengan kinerja penyuluh pada aspek kreativitas penyuluh dalam
64 menyelesaikan masalah yang dihadapi dan aspek komunikasi penyuluh dengan sasaran penyuluhan secara konvergen. Artinya, semakin sering pejabat pembina melakukan kegiatan supervisi dan monitoring, semakin meningkat pula kreativitas dan tingkat komunikasi yang terbangun antara penyuluh dengan pimpinan, maupun dengan sasaran penyuluhan. Data penelitian pada Tabel 10, menunjukkan sebanyak 43 persen penyuluh mengakui kurangnya kegiatan supervisi dan monitoring yang dilakukan oleh institusi BP4K selaku instansi pembina. Fakta tersebut menunjukkan bahwa lemahnya pola pembinaan maupun penerapan disiplin terhadap penyuluh yang lalai dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan, terutama terhadap penyuluh-penyuluh baru yang memerlukan perhatian lebih ekstra. Artinya, selain pentingnya rutinitas kegiatan supervisi dan monitoring, namun yang lebih penting lagi adalah tindak lanjut dari kegiatan supervisi dan monitoring tersebut. Perbaikan kinerja akan bisa terjadi manakala penyuluh merasa hasil kerja dinilai dan ditindak lanjuti, sebagaimana pendapat Margono Slamet (2010), bahwa kegiatan supervisi dan monitoring sematamata bukan berorientasi pada pemberian sanksi atau penghukuman, tetapi lebih kepada kombinasi antara pengawasan dan pembinaan. Hubungan aspek-aspek Kompetensi penyuluh dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Beberapa faktor kompetensi penyuluh seperti perencanaan, pelaksanaan, dan pengevaluasian program penyuluhan, kemampuan menerapkan prinsip belajar orang dewasa, serta kemampuan berkomunikasi secara konvergen berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh (Lihat Tabel 14). Koefisien korelasi berturut-turut yaitu; kompetensi perencanaan sebesar 0.583 p-value (0.000), pelaksanaan sebesar 0.563 pvalue (0.000), pengevaluasian sebesar 0.537 p-value (0.000), penerapan prinsip belajar orang dewasa sebesar 0.503 p-value (0.000), dan kompetensi berkomunikasi sebesar 0.322 p-value (0.004) < alpha 5 % maka tolak Ho. Artinya, model signifikan atau berkorelasi nyata. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa aspek-aspek tersebut berhubungan erat dengan kinerja penyuluh, terutama aspek kompetensi penyuluh dalam perencanaan, pelaksanaan menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi. Hubungan nyata yang ditunjukkan faktor-faktor tersebut tampak pada hampir semua aspek kinerja, sehingga dapat dikatakan bahwa tingkat kinerja penyuluh
65 pertanian di Kota Tidore Kepulauan sangat bergantung pada tinggi rendahnya kompetensi yang dimiliki. Hasil penelitian (Lihat Tabel 12 dan 13) menunjukkan kompetensi rata-rata penyuluh tergolong kurang kompeten, kecuali kompetensi dalam perencanaan program penyuluhan tergolong sangat kompeten. Tabel 12 Sebaran penyuluh pertanian berdasarkan kompetensi penyuluh (X3)
Sub Peubah
Selang Interval
Median
≤7 Perencanaan program penyuluhan (X3.1)
7 – 12
15 (Tinggi)
≥ 12 5–8 Pelaksanaan program penyuluhan (X3.2)
9 – 12
11 (sedang)
13 – 16 6 – 11 Pengevaluasian program penyuluhan (X3.3) Penguasaan dan penerapan prinsip belajar orang dewasa (X3.4)
12 – 16
14 (sedang)
17 – 22 4–7 8 – 11
8 (sedang)
12 – 15 4–7
Kemampuan berkomunikasi (X3.5)
8 – 11
10 (sedang)
12 – 15 2–3 Kemampuan bekerjasama (X3.6)
4–5
4 (sedang)
6–7
Kategori
Jumlah*
Persen
Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten
1
3
15
26
40
71
10
17
25
45
21
38
9
16
38
68
9
16
11
20
41
73
4
7
16
29
26
46
14
25
13
24
23
41
20
35
Keterangan : N = 56
Kenyataan tersebut diduga berkaitan dengan tingkat pendidikan dan kualifikasi pendidikan penyuluh. Fakta menunjukkan bahwa banyak penyuluh baru yang direkrut melalui CPNS daerah pada formasi penyuluh adalah para lulusan/ sarjana pertanian umum, sehingga kompetensi-kompetensi dalam bidang penyuluhan
66 sama sekali tidak dimiliki. Sebaliknya pada penyuluh berusia tua yang berasal dari sekolah-sekolah pertaian (SPP/SPMA) cenderung pasrah dan tidak berupaya meningkatkan pengetahuannya ke jenjang pedidikan lebih tinggi. Berdasarkan hasil analisis (Tabel 14) dari kelima faktor yang mempunyai hubungan nyata tersebut, kompetensi penyuluh dalam perencanaan program yang menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi dengan kinerja penyuluh, terutama dengan kinerja penyuluh pada aspek perencanaan program penyuluhan. Artinya, semakin tinggi kemampuan perencanaan yang dimiliki seorang penyuluh, semakin baik kinerjanya dalam perencanaan program penyuluhan. Hasil analisis yang menunjukkan perbedaan hubungan nyata tampak pada kompetensi penyuluh pada aspek perencanaan dan aspek komunikasi. Disatu sisi kompetensi berkomunikasi tidak menunjukkan korelasi posistif/ nyata dengan kinerja penyuluh dalam perencanaan program penyuluhan, tetapi disisi lain kinerja penyuluh pada aspek komunikasi berkorelasi positif/ sangat nyata denga kompetensi penyuluh pada aspek perencanaan program. Artinya, semakin kompeten penyuluh merencakan program penyuluhan, menunjukkan semakin baik tingkat komunikasi penyuluh tersebut dengan sasaran penyuluhan. Sebaliknya, tinggi rendahnya kompetensi seorang penyuluh dalam berkomunikasi, tidak berhubungan secara langsung dengan kinerja penyuluh dalam merencanakan program penyuluhan. Faktor kompetensi penyuluh pada aspek pelaksanaan program penyuluhan berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pada semua aspek (Lihat Tabel 14). Artinya,
semakin
kompeten
penyuluh
melaksanakan
program
penyuluhan,
menunjukkan semakin baik kinerjanya dalam berbagai aspek, terutama kinerja penyuluh pada aspek perencanaan program penyuluhan Data penelitian pada Tabel 12, menunjukkan 48 persen kompetensi penyuluh pertanian dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan tergolong kurang kompeten. Artinya, hanya 38 persen penyuluh yang sangat kompeten dalam melaksanakan penyuluhan dengan baik sesuai dengan rencana kerja dan programa penyuluhan yang telah disusun. Penyuluh yang mengalami kesulitan dalam melakukan atau mengaplikasikan program/kegiatan yang telah direncanakan lebih disebabkan oleh faktor-faktor diluar kemampuan dirinya, baik yang berkaitan dengan pengamanan program-program pemerintah, kebijakan-kebijakan institusi yang kurang berpihak ke penyuluh, maupun ketidaktersediaan sarana-prasarana penunjang. Sumardjo (1999), berpendapat bahwa selama ini kompetensi yang dimiliki penyuluh lebih banyak diperuntukan untuk
67 mengawal program-program pemerintah, dengan demikian kompetensi untuk melakukan
kegiatan-kegiatan
sebagaimana yang telah direncanakan kurang
dimanfaatkan. Tabel 13 Sebaran kompetensi penyuluh pertanian berdasarkan penilaian petani Sub Peubah Perencanaan program penyuluhan (X3.1) Pelaksanaan program penyuluhan (X3.2) Pengevaluasian program penyuluhan (X3.3) Penguasaan dan penerapan prinsip belajar orang dewasa (X3.4) Kemampuan berkomunikasi (X3.5) Kemampuan bekerjasama (X3.6)
Selang Interval 5-8 9-12 13-16 4-7 8-11 12-15 4-7 8-11 12-15 2-3 4-5 6-7 4-7 8-11 12-15 3-5 6-8 9-11
Median 12 (sedang) 10 (sedang) 10 (sedang) 5 (sedang) 10 (sedang) 6 (sedang)
Kategori
Jumlah*
Persen
Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten Tidak Kompeten Kurang Kompeten Sangat Kompeten
6 14 10 6 16 8 9 15 6 6 14 10 7 16 7 7 22 1
20 47 33 20 53 27 30 50 20 20 47 33 23 54 23 23 74 3
Keterangan : n = 30
Evaluasi kegiatan merupakan kemampuan seorang penyuluh untuk menilai kemajuan kerja yang telah dicapai. Penyuluh yang memiliki kinerja baik adalah penyuluh yang selalu melakukan evaluasi terhadap kegiatan atau pekerjaan yang telah dilaksanakan. Hasil analisis korelasi menunjukkan pelaksanaan program, penerapan prinsip belajar orang dewasa dan komunikasi berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh pada aspek pengevaluasian program. Artinya, semakin baik seorang penyuluh melakukan evaluasi kegiatan penyuluhan, berhubungan erat dengan kompetensi penyuluh pada aspek-aspek tersebut. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 12), menunjukkan kompetensi penyuluh pada aspek pengevaluasian tergolong kurang kompeten (68 persen). Angka ini tidak terlampau buruk karena masih terdapat 41 persen penyuluh yang memiliki kompetensi tinggi. Selain itu hasil pengukuran tersebut juga sesuai dengan hasil analisis yang berhubungan nyata terhadap hampir semua aspek kinerja penyuluh, kecuali kinerja dalam mengevaluasi (Tabel 12).
68 Tabel 14 Koefisien korelasi antara aspek-aspek kompetensi dengan aspekaspek kinerja penyuluh pertanian Peubah Kinerja
Koefisien Korelasi dengan Kinerja Penyuluh
Kinerja Perenca Pelaksa Pengeva Peubah penyulu naan naan luasian Kompetensi h (Y) (Y1) (Y2) (Y3) Perencanaan 0.583** 0.582** 0.428** 0.248 Program (X3.1) Pelaksanaan 0.563** 0.495** 0.377** 0.303* Program (X3.2) Pengevaluasian 0.537** 0.469** 0.448** 0.208 Program (X3.3) Penerapan prinsip belajar orang 0.503** 0.381** 0.385** 0.383** dewasa (X3.4) Berkomunikasi 0.322* 0.204 0.252 0.328* (X3.5) Bekerjasama (X3.8) 0.083 0.139 0.041 -0.188 Keterangan : **) nyata pada α = 0.01 *) nyata pada α = 0.05
Inisiatif( Y4)
Kreativi tas (Y5)
Kerjasa ma (Y6)
Komunika si (Y7)
0.289*
0.361*
0.366*
0.547**
0.384**
0.319*
0.466**
0.471**
0.346**
0.346**
0.353**
0.472**
0.298*
0.428**
0.266*
0.328*
0.213
0.237
0.165
0.203
0.106
-0.035
0.123
-0.043
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa kompetensi penyuluh pada aspek pengevaluasian program penyuluhan merupakan faktor penting dalam menentukan tingkat kinerja seorang penyuluh. Penyuluh yang sering melakukan evaluasi berarti penyuluh tersebut akan mampu mempertahankan prestasi kerjanya atau memperbaiki hasil kerja sebelumnya sehingga menjadi lebih baik. Hal ini sesuai dengan salah satu prinsip evaluasi yang dikemukakan oleh Margono Slamet (2010), bahwa evaluasi sangat diperlukan untuk mengukur hasil kerja, baik secara kualitatif maupun kuantitatif yang dicapai dari suatu kegiatan penyuluhan. Penyuluhan adalah suatu proses pendidikan nonformal yang bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan sikap petani. Dalam pembelajaran orang dewasa, kegiatan penyuluhan lebih mengacu pada pemecahan masalah (problem solving) yang dihadapi dalam kehidupan petani dan keluarganya. Hasil penelitian (Lihat kembali Tabel 12), menunjukkan bahwa sebanyak 73 persen kompetensi penyuluh pada aspek penguasaan dan penerapan prinsip belajar orang dewasa masih tergolong kurang kompeten, hanya 7 persen yang telah menguasai dan menerapkan prinsip belajar orang dewasa dengan baik. Sejalan dengan kenyataan tersebut, hasil analisis (Tabel 14) juga menunjukkan hubungan nyata antara kompetensi penyuluh dalam penerapan prinsip belajar orang dewasa dengan kinerja penyuluh pada semua aspek. Akan tetapi keeratan hubungan paling tinggi tampak pada kinerja penyuluh dalam aspek kreativitas. Artinya, semakin
69 tinggi kemampuan penerapan metode prinsip belajar orang dewasa, maka semakin baik kreativitas penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. Keberhasilan penyuluh juga dapat diukur dari kemampuan penyuluh membangun kerjasama dengan pihak lain sebagai sasaran penyuluhan. Sumardjo (2010) berpendapat bahwa kompetensi kerjasama merupakan salah satu ciri dari kompetensi sosial, maka penyuluh yang mandiri dicirikan oleh kemampuan internal untuk bekerjasama atau berinteraksi dengan pihak lain secara interdependent, sinergis dan berkelanjutan dalam koridor nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama secara bermartabat. Data hasil penelitian
menunjukkan 41 persen kompetensi penyuluh
pada aspek kerjasama tergolong kurang kompeten. Fakta tersebut menunjukkan bahwa, rata-rata penyuluh belum dapat membangun kemitraan usaha dengan pihak lain (lihat kembali Tabel 12). Pengaruh aspek-aspek Karakteristik Internal terhadap Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Beberapa karakteristik internal yaitu intensitas pelatihan, persepsi terhadap pekerjaan/tugas dan pemanfaatan media penyuluhan untuk menyelesaikan masalah petani menunjukkan nilai koefisien sebesar 0.499 p-value (0.000), 0.312 p-value (0.008), dan 0.301 p-value (0.012) < alpha 5 % maka tolak Ho. Artinya, model signifikan atau berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluhan. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa setiap peningkatan satu satuan aspek-aspek tersebut dapat meningkatkan kinerja penyuluh pertanian secara berturut-turut yaitu; pemanfaatan media sebesar 0.499 satuan, persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan sebesar 0.312 satuan, dan intensitas pelatihan sebesar 0.301 satuan (Lihat Tabel 15). Pengaruh nyata faktor pemanfaatan media menunjukkan bahwa semakin sering penyuluh memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia, semakin tinggi pula kinerja yang dicapai seorang penyuluh. Fakta di lapangan menunjukkan (Lihat kembali Tabel 8), rata-rata penyuluh memanfaatkan media penyuluhan (Tabloid Sinar Tani) berada dalam kategori sedang atau jarang. Selain tidak adanya dorongan penyuluh untuk belajar, kenyataan tersebut juga menunjukkan oleh tidak adanya upaya dari institusi penyuluhan (BP4K) untuk meningkatkan kompetensi penyuluh melalui penyediaan materi-materi penyuluhan yang sesuai dengan spesifik lokasi.
70 Tabel 15 Koefisien regresi pengaruh karakteristik internal terhadap kinerja penyuluh pertanian Peubah Karakteristik Internal (X1) Umur (X1.1) Masa Kerja (X1.2) Pendidikan Formal (X1.3) Pelatihan (X1.4) Motivasi (X1.5) Persepsi terhadap pekerjaan (X1.6) Pemanfaatan Media (X1.7) Hubungan Interpersonal (X1.8) Jumlah Kelompok Binaan (X1.9) Keterangan: **) nyata pada α = 0.01
Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Koefisien Regresi Probability (p-value) 0.232 0.524 -0.084 0.817 -0.074 0.577 0.312* 0.012 -0.007 0.949 0.301* 0.008 0.449** 0.000 0.093 0.409 0.109 0.332 *) nyata pada α = 0.05
Pengaruh nyata aspek pelatihan terhadap kinerja penyuluh pertanian (Tabel 15) tersebut menunjukkan bahwa aspek pelatihan merupakan aspek integral penting dalam area pengembangan sumberdaya manusia yang mempengaruhi secara langsung terhadap tinggi rendahnya kinerja penyuluh pertanian. Data penelitian lapangan (Lihat kembali Tabel 8) yang menunjukkan 71 persen penyuluh mengakui jarang dipanggil mengikuti pelatihan, dan hanya 11 persen penyuluh yang sering mengikuti pelatihan. Fakta tersebut menunjukkan bahwa minimnya anggaran yang dikelola institusi penyuluhan menyebabkan minimnya intensitas pelatihan yang dilaksanakan oleh institusi tersebut. Akibatnya, motivasi kerja penyuluh menurun karena kompetensi sebagian besar penyuluh, terutama penyuluh-penyuluh baru terhadap kompetensikompetensi fungsional masih tergolong kurang. Fakta di lapangan menunjukkan selama ini penyelenggaraan kegiatan-kegiatan pelatihan penyuluh oleh institusi penyuluhan, maupun oleh lembaga-lembaga diklat lain kurang mampu menyediakan kurikulum yang sungguh-sungguh berisikan kompetensi yang dibutuhan, dan kondisi tersebut sudah berlangsung sejak lama, baik sebelum otonomi daerah maupun sampai saat sekarang. Kondisi yang lebih memperihatinkan lagi adalah pemerintah daerah cenderung membatasi kegiatan pelatihan penyuluhan dengan alasan kekurangan anggaran. Penyelenggaraan pelatihan hanya sebagai kegiatan rutin tahunan bagi penyuluh dan hanya dikemas dalam suatu paradigma kewajiban yakni memenuhi tuntutan angka kredit untuk proses kenaikan pangkat, sehingga belum menjadikan pelatihan sebagai paradigma kebutuhan. Jika terpaksa dilaksanakan, maka jumlah pelatihan dan penganggarannya pun sangat sedikit, sehingga instansi pelaksana tidak dapat maksimal dalam menjalankan kegiatan pelatihan tersebut (Marius et al, 2006).
71 Pengaruh nyata juga tampak pada aspek persepsi penyuluh terhadap kinerja penyuluh pertanian. Artinya, faktor ini memberikan pengaruh secara langsung terhadap tinggi rendahnya kinerja penyuluh. Hasil analisi tersebut sejalan dengan data penelitian (Lihat kembali Tabel 8) yang menunjukkan persepsi penyuluh tergolong tinggi (82 persen). Fakta tersebut bermakna bahwa secara psikologis, hampir semua penyuluh pertanian menyatakan bangga menjadi seorang penyuluh yang oleh banyak pihak diapresiasikan sebagai ujung tombak pembangunan pertanian. Secara sosial ada perasaan nyaman dan aman dalam membangun hubungan sosial, sehingga mereka merasa memiliki relasi sosial dengan kelompok tani maupun dengan tokoh-tokoh masyarakat. Aspek umur, hubungan interpersonal, dan jumlah kelompok binaan masih menunjukkan pengaruh terhadap kinerja penyuluh pertanian, akan tetapi pengaruhnya tidak nyata. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 8), menunjukkan 45 persen penyuluh berusia muda, hubungan interpersonal penyuluh dengan pimpinan tergolong kurang dekat (bermasalah), dan jumlah kelompok yang dibina tergolong kurang (ratarata 2 kelompok). Hasil analisis maupun fakta di lapangan tersebut member gambaran bahwa semakin bertambah usia penyuluh, dan semakin baik hubungan yang terjalin antara penyuluh dengan pimpinan, serta semakin banyak kelompok tani yang dibina, maka semakin baik pula kinerja penyuluh yang bersangkutan. Pengaruh tidak nyata yang tampak pada aspek pendidikan formal, diduga berkaitan dengan kualifikasi pendidikan yang dimiliki penyuluh, terutama penyuluhpenyuluh baru. Fakta di lapangan menunjukkan sebagian besar
(89 persen)
kualifikasi pendidikan penyuluh-penyuluh baru tersebut bukan dari lulusan perguruan tinggi/ jurusan/ sekolah-sekolah penyuluhan. sehingga pengetahuan mereka dibidang penyuluhan pun sangat terbatas. Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan, bahwa jangankan untuk melaksanakan tugas, memahami penyuluhan secara filosofi saja sudah sulit, sehingga metode-metode penyuluhan tidak dapat diterapkan secara optimal. Faktor lain yang diduga menjadi penyebab dari tidak berpengaruhnya pendidikan formal terhadap kinerja penyuluh adalah banyak penyuluh-penyuluh tua yang berpendidikan sarjana dan berpangkat tinggi, memilih beralih status atau dipromosikan oleh pengambil kebijakan untuk menduduki jabatan-jabatan struktural. Sebaliknya, yang berpendidikan rendah dan memiliki masa kerja lama cenderung
72 pasrah dan tidak lagi termotivasi untuk meningkatkan kompetensi dan kinerjanya. Hasil penelitian tersebut memperkuat penelitian Marius, et al (2006) Karakteristik internal lain yang tidak menunjukkan pengaruh nyata adalah karakteristik internal pada aspek motivasi kerja penyuluh. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 8) menunjukkan penyuluh yang memiliki motivasi tinggi hanya 3 persen. Motivasi yang masih tergolong rendah tersebut, secara eksternal disebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan dan keinginan penyuluh, baik berupa perlengkapan penunjang tugas, maupun kebutuhan-kebutuhan yang terkait dengan kesejahteraan penyuluh seperti; faktor imbalan jasa berupa gaji, biaya operasional penyuluh (BOP) dan fasilitas lainnya. Hal tersebut menimbulkan perasaan jenuh untuk melakukan pekerjaan serupa dari hari ke hari. Pengaruh aspek-aspek Karakteristik Eksternal terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Beberapa karakteristik eksternal yaitu sistem penghargaan, kondisi lingkungan kerja, dan dukungan supervisi dan monitoring menunjukkan nilai koefisien 0.206 pvalue (0.251), 0.301 p-value (0.100), dan 0.051 p-value (0.801) > alpha 10 % maka tidak tolak Ho. Artinya, model tidak signifikan atau tidak berpengaruh nyata. Sebaliknya, hanya aspek partisipasi aktif masyarakat yang menunjukkan pengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh dengan nilai koefisien sebesar 0.284. p-value (0.082) < alpha 10 % maka tolak Ho. Artinya, model siginifikan atau berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh. Hasil tersebut menunjukkan bahwa, setiap peningkatan satu satuan aspek partisipasi masyarakat dapat meningkatkan kinerja penyuluh pertanian sebesar 0.284 satuan (Tabel 16). Tabel 16 Koefisien regresi pengaruh karakteristik eksternal terhadap kinerja penyuluh pertanian Peubah Karakteristik Eksternal (X2) Dukungan Adm. (X2.1) Kebijakan Organisasi (X2.2) Sarana Prasarana (X2.3) Penghargaan (X2.4) Lingkungan Kerja (X2.5) Jangkauan lokasi (X2.6) Partisipasi Masy. (X2.7) Supervisi Monitorig (X2.8) Keterangan: **) nyata pada α = 0.01
Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Koefisien Regresi Probability (p-value) -0.030 0.881 -0.203 0.221 -0.072 0.633 0.206 0.251 0.051 0.801 -0.185 0.204 0.284* 0.082 0.301 0.100 *) nyata pada α = 0.05
73 Salah satu aspek karakteristik eksternal (Tabel 16), yang berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh adalah aspek partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatankegiatan penyuluhan. Pengaruh positif aspek tersebut tercermin dari sikap hidup masyarakat yang sudah menjadi kultur/ budaya masyarakat di Kota Tidore Kepulauan yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kerjasama, sehingga penyuluh tidak mengalami kesulitan dalam melaksanakan tugas. Data hasil penelitian di lapangan yang menunjukkan 52 persen penyuluh mengakui partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan pertanian tergolong tinggi (Lihat kembali Tabel 10). Kehadiran seorang penyuluh di suatu wilayah kerja selalu mendapat respon positif dari masyarakat setempat. Sikap positif yang ditunjukkan masyarakat tersebut akan berpengaruh pada meningkatnya kinerja penyuluh yang bersangkutan. Hasil tersebut sejalan dengan pendapat Sumardjo (2010), bahwa kegiatan penyuluhan dikatakan berhasil manakala program yang disampaikan penyuluh mendapat dukungan dan partisipasi aktif seluruh masyarakat, yang tercermin dari tindakan masyarakat ke arah perbaikan kehidupan diri dan keluarga. Sistem penghargaan, kondisi lingkungan kerja, serta dukungan supervisi dan monitoring merupakan aspek eksternal lain yang berpengaruh, tetapi tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa selama ini komponen-komponen penghargaan sebagaimana digambarkan Wibowo (2007) seperti; tunjangan fungsional, sistem reward, promosi jabatan dan sistem penggajian belum dijalankan dengan baik oleh pemerintah daerah (Badan Kepegawaian Daerah), terutama penyesuaian jabatan fungsional dengan jenjang kepangkatan penyuluh, sehingga tidak terjadi perubahan/ penyesuaian tunjangan fungsional. Kenyataan tersebut menyebabkan secara finansial maupun sistem penggajian penyuluh merasa dirugikan. Kondisi lingkungan kerja (Tabel 16) juga menunjukan pengaruh terhadap kinerja penyuluh, akan tetapi pengaruhnya tidak nyata. Data hasil penelitian (Lihat kembali Tabel 10) menunjukkan sebagian besar penyuluh mengakui kondisi lingkungan kerja di kantor BP4K tidak kondusif dalam mendukung tugas-tugas penyuluh. Kenyataan tersebut disebabkan karena hubungan interpersonal antara penyuluh dengan pimpinan maupun antar penyuluh kurang harmonis. Kaitannya dengan hasil analisis pada Tabel 16 tersebut, memberikan makna bahwa tinggi rendahnya kinerja penyuluh pertanian tidak secara langsung dipengaruhi kenyaman atau ketidaknyamanan lingkungan kerja dalam organisasi.
74 Supervisi dan monitoring merupakan salah satu aspek penting sebagai bentuk pembinaan dan penegakan disiplin. Fakta di lapangan menunjukkan, selain jarang dilakukan kegiatan supervisi monitoring oleh institusi penyuluhan, pada sisi lain hasil supervisi dan monitoring tidak pernah ditindaklanjuti. Tidak adanya upaya tindak lanjut dari hasil-hasil supervisi dan monitoring, menunjukkan bahwa, institusi penyuluhan melaksanakan kegiatan supervisi maupun monitoring terkesan hanya mengejar target realisasi anggaran, tanpa ada indikator supervisi yang jelas. Kondisi tersebut menyebabkan fungsi pembinaan dan pengawasan yang menjadi tujuan kegiatan sebagaimana dikemukakan oleh Margono Slamet (2010) tentang tujuan supervisi dan monitoring yang berorientasi pembinaan tidak berjalan. Fakta-fakta tersebut diduga sebagai penyebab tidak berpengaruhnya kegiatan supervisi dan monitoring secara langsung terhadap kinerja penyuluh pertanian. Pengaruh aspek-aspek Kompetensi Penyuluh terhadap Kinerja Penyuluh Pertanian Beberapa aspek kompetensi penyuluh yaitu kompetensi dalam perencanaan dan pengevaluasian program penyuluhan, penerapan prinsip belajar orang dewasa, kemampuan berkomunikasi, serta kemampuan bekerjasama berpengaruh terhadap kinerja penyuluh, akan tetapi tidak menunjukkan pengaruh positif/ nyata. Salah satu aspek kompetensi yang berpengaruh nyata adalah kompetensi penyuluh pada aspek pelaksanaan program penyuluhan. Hasil analisis menunjukkan nilai koefisien kompetensi pelekasanaan program penyuluhan sebesar 0.275 p-value (0.072) < alpha 10 % maka tolak Ho. Artinya, model signifikan atau berpengaruh nyata terhadap kinerja penyuluh. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa, setiap peningkatan satu satuan kompetensi pada aspek tersebut dapat meningkatkan kinerja penyuluh pertanian sebesar 0.275 satuan. Data penelitian menunjukkan 48 persen kompetensi penyuluh dalam pelaksanaan program dalam kategori sedang atau baik. Fakta penelitian sesuai dengan kenyataan di lapangan, bahwa kemampuan rata-rata penyuluh mengaplikasikan kegiatan
di
lapangan
lebih
mudah
dibandingkan
dengan
merencanakan,
mengevaluasi, menerapkan metode belajar orang dewasa, berkomunikasi dan kemampuannya dalam membangun kerjasama.
75 Tabel 17 Koefisien regresi pengaruh kompetensi penyuluh terhadap kinerja penyuluh pertanian Peubah Kompetensi Penyuluh (X1) Perencanaan Program (X3.1) Pelaksanaan Program (X3.2) Pengevaluasian Program (X3.3) Penerapan prinsip belajar orang dewasa (X3.4) Berkomunikasi (X3.5) Bekerjasama (X3.8)
Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Koefisien Regresi Probability (p-value) 0.225 0.140 0.275* 0.072 0.098 0.524 0.168
0.216
0.128 0.078
0.269 0.467
Keterangan: **) nyata pada α = 0.01 *) nyata pada α = 0.05
Tidak nyatanya pengaruh sebagian besar aspek-aspek kompetensi pada (Lihat Tabel 17), menunjukkan bahwa selama ini kompetensi-kompetensi yang dimiliki penyuluh lebih mengarah kepada kompetensi-kompetensi teknis dibandingkan kompetensi fungsional dibidang penyuluhan. Fakta yang terjadi adalah kegiatankegiatan penyuluh diperuntukkan untuk melaksanakan program-program secara teknis dan target-target keproyekan sebagaimana yang dikritisi oleh Sumardjo (1999), bahwa selama ini kompetensi penyuluh diperuntukan untuk mengawal programprogram pemerintah. Dengan demikian kompetensi untuk melakukan kegiatankegiatan sebagaimana yang telah direncanakan kurang dimanfaatkan. Kenyataan tersebut tentunya tidak sejalan dengan filosofi penyuluhan dalam konteks “membantu” yakni penyuluhan pertanian harus mengacu kepada perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan sasaran, dan bukan lebih mengutamakan targettarget fisik yang sering kali tidak banyak manfaatnya bagi perbaikan kualitas hidup sasarannya. Penyuluh pertanian sering kali terjebak pada tataran fisik kegiatan, dibandingkan memerankan fungsi penyuluh sebagai fasilitator pemberdayaan yang menjadi tujuan penyuluhan pertanian yakni perubahan perilaku sasaran penyuluhan. Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Kinerja penyuluh dalam merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program/kegiatan penyuluhan, memiliki inisiatif pada saat menghadapi masalah, kreatif terhadap tugas-tugas baru, membangun kerjasama dengan pihak lain, dan membangun komunikasi secara konvergen dengan sasaran penyuluhan masih tergolong sedang (Tabel 18).
76 Hasil analisis korelasi menunjukkan kinerja penyuluh pertanian berturut-turut berhubungan nyata dengan aspek-aspek karakteristik internal yaitu; intensitas penyuluh memanfatkan media-media yang tersedia, persepsi positif penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan, lamanya masa kerja penyuluh, umur penyuluh, dan intensitas pelatihan. Artinya, aspek-aspek tersebut berhubungan erat dengan kinerja penyuluh, terutama aspek pemanfataan media menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi (Lihat kembali Tabel 9). Tingkat kinerja penyuluh juga menunjukkan hubungan nyata dengan aspekaspek eksternal yaitu; aspek dukungan penghargaan kepada penyuluh berprestasi, tingkat partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatan penyuluhan, serta aspek dukungan supervisi dan monitoring institusi penyuluhan terhadap kegiatan penyuluh. Artinya, aspek-aspek tersebut berhubungan erat dengan kinerja penyuluh pertanian, terutama aspek dukungan penghargaan menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi (Lihat kembali Tabel 11). Aspek-aspek kompetensi penyuluh yang menunjukkan hubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian yaitu; kompetensi perencanaan, pelaksanaan, pengevaluasian program penyuluhan, penerapan prinsip belajar orang dewasa, dan aspek
komepetensi
komunikasi.
Artinya,
aspek-aspek
kompetensi
tersebut
berhubungan erat dengan kinerja penyuluh, terutama aspek perencanaan yang menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi (Lihat kembali Tabel 14). Aspek-aspek karakteristik internal, eksternal, dan kompetensi penyuluh yang menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi dengan kinerja penyuluh pertanian berturut-turut yaitu; aspek perencanaan program penyuluhan, pemanfaatan mediamedia penyuluhan yang tersedia, dan aspek dukungan penghargaan kepada penyuluh berprestasi. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 12), menunjukkan kompetensi penyuluh pada aspek perencanaan program penyuluhan 71 persen tergolong tinggi atau sangat kompeten. Fakta tersebut menunjukkan bahwa rata-rata penyuluh sangat kompeten dalam perencanaan program penyuluhan seperti; identifikasi potensi wilayah, penyusunan programa, dan rencana kerja tahunan. Sesuai hasil pengamatan di lapangan rata-rata penyuluh memiliki data monografi desa yang merupakan output dari kegiatan identifikasi potensi wilayah tersebut. Penyuluh pertanian di wilayah penelitian juga memiliki programa penyuluhan desa. Namun demikian, fakta menunjukkan programa yang disusun tersebut belum mencerminkan programa yang partisipatif, sebagaimana yang
77 dilaporkan Sumardjo et al (2010) tentang permasalahan implementasi operasionalisasi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006. Secara eksternal kondisi tersebut disebabkan oleh minimnya anggaran yang dikelola institusi penyuluhan, sehingga menyulitkan penyuluh untuk menghimpun stakeholder terkait di wilayah binaannya untuk bersama-sama dalam kegiatan penyusunan programa tersebut. Tabel 18. Sebaran penyuluh pertanian berdasarkan tingkat kinerja (Y) Sub Peubah
Selang Interval
Kategori
Jumlah*
Persen
Rendah
6
11
Sedang
23
41
16 – 20
Tinggi
27
48
6 – 10
Rendah
9
16
Sedang
37
66
Tinggi
10
18
Rendah
18
32
Sedang
37
66
Tinggi
1
2
Rendah
12
21
Sedang
35
63
Tinggi
9
16
Rendah
10
18
Sedang
43
77
Tinggi
3
5
Rendah
10
18
Sedang
42
75
Tinggi
4
7
Rendah
2
4
Sedang
46
82
Tinggi
8
14
Median
6 – 10 Perencanaan Program (Y1)
Pelaksanaan Program (Y2)
Pengevaluasian Program (Y3)
11 – 15
11 – 15 16 – 20 4–7 8 – 11 12 – 15 3–5
Inisiatif (Y4)
6–8 9 – 11 4–7
Kreativitas (Y5)
8 – 11 12 – 15 3–5
Kerjasama (Y6)
6–8 9 – 11 4–7
Komunikasi (Y7)
8 – 11 12 – 15
15 (sedang)
13 (sedang) 8 (sedang) 7 (sedang) 9 (sedang) 7 (sedang) 10 (sedang)
Keterangan : N = 56
Hasil pengamatan di lapangan juga menunjukkan rata-rata penyuluh melaksanakan tugas berdasarkan rencana kerja tahunan yang telah dibuat, terutama kegiatan-kegiatan kunjungan ke lapangan dan kegiatan demplot penyuluh. Untuk kegiatan demontrasi plot atau demonstrasi cara, para penyuluh terkendala dengan
78 masalah pembiayaan. Kedua jenis kegiatan tersebut jarang dilakukan atau hanya satu kali dalam setahun, itu pun dilakukan secara bersama-sama di lahan-lahan pengkajian BP3K, sehingga kurang berdampak langsung kepada petani. Pemanfaatan media juga merupakan salah satu aspek karakteristik internal yang menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi dengan kinerja penyuluh. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 8), menunjukkan intensitas penyuluh dalam memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia tergolong sedang (57 persen) yakni dalam kategori jarang. Kondisi tersebut menunjukkan rendahnya motivasi penyuluh dalam memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia (Tabloid Sinar Tani) dalam menyelesaikan masalah petani. Padahal media-media tersebut tersedia berbagai sumber informasi dan teknologi yang berguna bagi penyuluh sebagai upaya meningkatkan kompetensi. Secara eksternal, kondisi tersebut disebabkan oleh kurangnya perhatian organisasi terhadap upaya peningkatan kompetensi penyuluh. Rendahnya intensitas pelatihan dan identifikasi kebutuhan petani dan kompetensikompetensi yang dibutuhkan penyuluh, diduga ikut mempengaruhi rendahnya motivasi penyuluh memanfaatkan media. Aspek lain yang menunjukkan keeratan hubungan paling tinggi adalah aspek dukungan penghargaan terhadap penyuluh yang berprestasi. Data penelitian (Lihat kembali Tabel 10), menunjukkan dukungan pemerintah daerah terhadap aspek penghargaan hanya sebesar 25 persen. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan kenyataan di lapangan, dimana pemerintah daerah jarang sekali atau bahkan belum pernah memberikan penghargaan kepada penyuluh-penyuluh yang berhasil di wilayah kerjanya. Fakta sebaliknya menunjukkan bahwa, terhadap pegawai fungsional lain seperti guru dan tenaga kesehatan sering mendapat penghargaan dari pemerintah daerah. Fakta-fakta
tersebut
menunjukkan
koordinasi
antara
antara
Badan
Kepegawaian Daerah (BKD) dan institusi penyuluhan selama ini tidak berjalan, sehingga pemberian penghargaan (reward) bagi penyuluh yang berhasil dan pemberian sanksi (punishment) bagi penyuluh yang tidak disiplin tidak pernah diterapkan. Penyuluh yang melihat rekannya memperoleh promosi karena berhasil melaksanakan tugas akan cenderung untuk melakukan hal yang sama, sebagaimana pendapat van den Bann dan Hawkins (1999) tentang pentingnya pemberian penghargaan kepada penyuluh.
79 Nilai koefisien determinan (R square) dari pengaruh aspek-aspek karakteristik internal, eksternal, dan kompetensi penyuluh terhadap kinerja penyuluh pertanian adalah 0,547 atau 54,7 persen. Artinya pengaruh langsung faktor-faktor tersebut secara bersama-sama terhadap kinerja penyuluh pertanian adalah sebesar 54,7 persen. Adapun sisanya yaitu 46,3 persen dijelaskan/ dipengaruhi oleh faktor-fakor lain diluar model. Aspek-aspek yang berpengaruh dan menunjukkan besarnya pengaruh langsung secara sendiri-sendiri (parsial) terhadap kinerja penyuluh pertanian, sebagaimana disajikan pada Gambar 2. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa,
tingkat kinerja penyuluh
pertanian di Kota Tidore Kepulauan dapat diperbaiki dengan meningkatkan kompetensi penyuluh khususnya pada aspek pelaksanaan program penyuluhan, meningkatkan intensitas penyuluh dalam memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia, meningkatkan persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaannya, meningkatkan
intensitas
pelatihan
dengan
kurikulum
yang
sesuai
dengan
kebutuhansasaran, dan meningkatkan partisipasi aktif masyarakat dalam kegiatankegiatan penyuluhan. Berdasarkan data penelitian dan hasil pengamatan di lapangan disimpulkan bahwa, kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan. Kondisi kinerja tersebut apabila diukur berdasarkan Standar Komptensi Kerja Nasional (SKKNI), maka penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan yang memenuhi SKKNI hanya berjumlah tiga orang, yakni satu orang penyuluh pada level supervisor dan dua orang penyuluh pada level advisor. Sesuai pengamatan di lapangan, ketiga orang penyuluh tersebut sudah dipanggil mengikuti pendidikan dan pelatihan profesi untuk memperoleh sertifikasi profesi penyuluh pertanian. Penyuluh yang memperoleh sertifakat SKKNI tentunya berdampak pada peningkatan kesejahteraan penyuluh yang bersangkutan, harapan ke depannya adalah ketiga orang penyuluh tersebut diharapkan menjadi sumber motivasi bagi rekan-rekan penyuluh lainnya. Dengan meningkatnya kesejahteraan penyuluh, maka produktivitas dan hasil kerjanya pun meningkat.
80
Kompetensi pelaksanaan program penyuluhan (X3.2) 0,563 Pemanfaatan media (X1.7) 0.470 Persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan (X1.6)
R2 = 0,547
0,359 Tingkat kinerja penyuluh (Y) 0,328
Pelatihan (X1.4) 0,306 Tingkat partisipasi aktif masyarakat (X2.7)
Gambar 2 Koefisien regresi aspek-aspek yang berpengaruh nyata terhadap tingkat kinerja penyuluh
81
STRATEGI PENYELENGGARAAN PENYULUHAN PERTANIAN Penyelenggaraan penyuluhan pertanian di Kota Tidore Kepulauan dipengaruhi secara berturut-turut dari yang paling penting atau dominan dari faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh yaitu; (1) kompetensi penyuluh pada aspek pelaksanaan
program
penyuluhan,
(2)
intensitas
pemanfaatan
media-media
penyuluhan, (3) persepsi posistif penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan, (4) intensitas pelatihan penyuluhan, dan (5) partisipasi aktif masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan penyuluhan. Tabel 19 Koefisien regresi pengaruh karakteristik internal, eksternal, dan kompetensi penyuluh terhadap tingkat kinerja penyuluh pertanian Sub Peubah Pelaksanaan Program (X3.2) Pemanfaatan Media (X1.7) Persepsi terhadap Pekerjaan (X1.6) Pelatihan (X1.4) Partisipasi Aktif Masyarakat (X2.7)
Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian Koefisien Regresi Probability (p-value) 0.563** 0.000 0.470** 0.000 0.359**
0.001
0.328**
0.002
0.306*
0.022
Keterangan: **) nyata pada α = 0.01 *) nyata pada α = 0.05
Kompetensi Pelaksanaan Program Penyuluhan Pelaksanaan program penyuluhan berdasarkan indikator Kementrian Pertanian adalah sejauh mana penyuluh mampu menyediakan materi-materi penyuluhan yang sesuai dengan kebutuhan petani, menerapkan berbagai metode penyuluhan sesuai keadaan petani, meningkatkan kelas kemampuan kelompok tani, membangun kemitraan usaha dengan stakeholder terkait, dan menumbuhkan swadaya petani secara mandiri. Kompetensi penyuluh dalam pelaksanaan program penyuluhan sesuai data penelitian tergolong kurang kompeten (Lihat kembali Tabel 12). Kondisi sebagaimana telah digambarkan tersebut, tidak hanya dipengaruhi oleh terbatasnya kompetensi penyuluh, tetapi secara eksternal dipengaruhi juga oleh kebijakan-kebijakan pemerintah. Fakta menunjukkan selama ini penyuluh dijadikan alat pemerintah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang bersifat top down dan terkesan menutupi ruang gerak penyuluh dalam melaksanakan tugas dilapangan. Sumardjo (1999), menyatakan selama ini kompetensi yang dimiliki penyuluh lebih
82 banyak diperuntukan untuk mengawal program-program pemerintah, dengan demikian kompetensi untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagaimana yang telah direncanakan kurang dimanfaatkan. Penyuluhan pertanian harus mengacu kepada perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan sasaran, dan tidak mengutamakan target-target fisik yang sering kali tidak banyak manfaatnya bagi perbaikan kualitas hidup sasarannya. Dalam pengertian lain penyuluh harus di beri kewenangan seluas luasnya dalam melaksanakan tugas, sebagaimana pendapat Sumardjo (1999) penyuluh harus mampu mengembangkan suasana bebas, untuk mengembangkan kemampuan masyarakat dalam hal berfikir dan berdiskusi untuk menyelesaikan masalahnya. Pemanfaatan Media Penyuluhan Intensitas penyuluh dalam memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia merupakan bagian terpenting dari suatu upaya untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja penyuluh. Data penelitian menunjukkan intensitas penyuluh memanfaatkan media hanya sebesar 22 persen, sebaliknya sekitar 78 persen tergolong jarang memanfaatkan media tersebut. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan fakta di lapangan yang menunjukkan media-media tersebut hanya menjadi pajangan di lemarilemari perpustakaan. Rendahnya frekuensi pelatihan termasuk salah satu penyebab secara ektsernal lain yang ikut mempengaruhi minat penyuluh memanfaatkan media cetak/elektronik sebagai upaya memotivasi diri untuk meningkatkan pengetahuan dan kompetensi penyuluh.
Secara kognitif intensitas pelatihan kompetensi dapat meningkatkan
motivasi sesorang penyuluh dalam mencari informasi. Penyuluh yang mampu memanfaatkan media baik cetak/ elektronik dengan baik, sama halnya dengan berupaya memperbaiki kualitas kerjanya (kinerja). Hasil analisis (Lihat kembali Tabel 17) yang menunjukkan pengaruh nyata aspek pemanfaatan media terhadap kinerja penyuluh. Artinya, rendahnya penyuluh memanfaatkan media-media penyuluhan yang tersedia, menyebabkan menurunnya kinerja penyuluh pertanian. Tersedianya sarana perpustakaan yang memadai merupakan salah satu kekuatan yang harus dimaksimalkan, sehingga penyuluh lebih tertarik untuk memanfaatkannya. Agar kondisi tersebut dapat tercipta, maka penyuluh harus diarahkan pada pembuatan materi-materi penyuluhan yang berkaitan dengan potensi-potensi
83 sumberdaya alam yang menjadi unggulan di wilayah kerja. Dengan demikian penyuluh akan selalu tergerak minatnya untuk membaca dan selalu memanfaatkan media-media yang telah disediakan. Langkah tersebut perlu ditempuh karena data penelitian (Lihat kembali Tabel 9) menunjukkan rata-rata penyuluh jarang memanfaatkan media-media penyuluhan (Tabloid Sinar Tani) sebagai sumber informasi dan teknologi yang dibutuhkan petani. Persepsi Penyuluh terhadap Tugas/Pekerjaan Hasil penelitian menunjukkan 82 persen persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan tergolong tinggi (Lihat kembali Tabel 9). Artinya, secara psikologi sebagian besar penyuluh menyatakan bangga menjadi seorang penyuluh yang oleh banyak pihak diapresiasikan sebagai ujung tombak pembangunan pertanian. Secara sosial ada perasaan nyaman dan aman dalam membangun hubungan sosial, dimana penyuluh merasa memiliki relasi sosial dengan kelompok tani maupun dengan tokohtokoh masyarakat. Fakta di lapangan menunjukkan tingginya persepsi penyuluh tersebut, ternyata tidak
berbanding
lurus
dengan
kinerja
yang
dihasilkan.
Fakta
tersebut
menggambarkan bahwa persepsi positif penyuluh tidak diimbangi dengan kompetensi yang dimiliki, terutama kompetensi-kompetensi fungsional dibidang penyuluhan. Penyuluh perlu dibekali dengan nilai-nilai dasar filosofi penyuluhan yaitu; penyuluhan sebagai proses pendidikan, demokrasi, dan kontinyu (Sumardjo, 2010). Penyuluh yang telah memahami filosofi penyuluhan sebagai proses pendidikan, demokrasi, dan kontinyu (Sumardjo, 2010) akan mampu meningkatkan motivasi seorang penyuluh dalam melaksanakan tugas. Penyuluhan sebagai proses pendidikan bertujuan meningkatkan kemampuan petani secara kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Intensitas Pelatihan Data penelitian menunjukkan sebagian besar (71 persen) penyuluh mengakui jarang dipanggil mengikuti pelatihan, baik yang dilaksanakan oleh kantor BP4K maupun oleh lembaga-lembaga diklat lain. Minimnya anggaran yang dikelola institusi penyuluhan berdampak pada kuantitas dan kualitas pelatihan. Dalam satu tahun anggaran yang tersedia di institusi penyuluhan hanya melaksanakan satu kali kegiatan kegiatan pelatihan, selebihnya merupakan kegiatan forum-forum penyuluhan biasa yang bersifat koordinasi antar instansi teknis lingkup pertanian.
84 Fakta di lapangan menunjukkan selama ini pelatihan cenderung kurang mampu menyediakan kurikulum yang sungguh-sungguh berisikan kompetensi yang dibutuhkan penyuluh maupun petani. Penyelenggaraan pelatihan selama ini hanya sebagai kegiatan rutin tahunan bagi penyuluh, sehingga ketika penyuluh kembali ke lapangan pengetahuan yang pelajari saat pelatihan hilang kembali dan penyuluh terpaksa mencari sumber informasi lain untuk memecahkan masalah yang mereka hadapi. Pelaksanaan pendidikan dan latihan hanya dikemas dalam suatu paradigma kewajiban bagi penyuluh agar memperoleh angka kredit untuk proses kenaikan pangkat dan belum menjadikannya sebagai paradigma kebutuhan. Pemerintah daerah cenderung membatasi kegiatan pelatihan penyuluhan dengan alasan kekurangan dana. Akibatnya, kegiatan pelatihan yang dilaksanakan oleh institusi penyuluhan terkesan asal-asalan dan belum menjadikan pelatihan sebagai suatu paradigma kebutuhan. Hal tersebut menyebabkan pelaksanaan pelatihan tidak dasarkan atas kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan penyuluh maupun petani. Setiap kali dilakukan pelatihan semua penyuluh dipanggil sebagai peserta, padahal belum tentu antara penyuluh yang satu dan lainnya membutuhkan kompetensi yang sama dalam waktu yang bersamaan. Tidak adanya pemisahan kelas belajar sesuai dengan kompetensi yang dibutuhkan, menyebabkan hasil pelatihan tidak memberikan dampak terhadap peserta pelatihan. Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat Data penelitian (Lihat kembali Tabel 10), menunjukkan aspek partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan persen tergolong tinggi. Hasil penelitian memberikan gambaran bahwa aspek tersebut memberikan pengaruh secara langsung terhadap tingkat kinerja penyuluh. Fakta penelitian tersebut sejalan dengan hasil analisis yang menunjukkan aspek ini masih rendah sehingga mempengaruhi kinerja penyuluh. Nilai koefisien aspek partisipasi aktif masyarakat sebesar 0.306. Artinya, besarnya pengaruh aspek tersebut terhadap kinerja penyuluh sebesar 30.6 persen Kondisi tersebut masih perlu ditingkatkan, karena keberhasilan suatu program pembangunan sangat bergantung pada seberapa besar sikap proaktif masyarakat terhadap kegiatan tersebut. Sumardjo (2010) mengatakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah dalam bentuk pengerahan tenaga rakyat secara sukarela, tetapi justru lebih penting adalah tergeraknya kesadaran rakyat untuk mau memanfaatkan kesempatan-
85 kesemapatan memperbaiki kualitas kehidupan diri. Upaya membangun kesadaran masyarakat tersebut, maka kegiatan penyuluhan harus sesuai dengan prinsip-prinsip penyuluhan dalam arti yang sebenarnya, yang partisipatif, dialogis, konvergen dan demokratis, sehingga memberdayakan dan bukannya praktek-praktek penyuluhan yang bersifat top down, linier dan bertentangan dengan filosofi pembangunan kapital manusia (Sumardjo, 1999) Margono Slamet (2001), bahwa pentingnya kebijakan desentralisasi penyuluhan pertanian adalah untuk menggantikan sistem penyuluhan yang bersifat regulatif sentralistis ke arah sistem penyuluhan yang fasilitatif partisipatif. Menurutnya penyelenggaraan penyuluhan pertanian perlu lebih profesional, yang antara lain memerlukan reorientasi : (1) dari pendekatan instansi ke pengembangan kualitas kinerja individu penyuluh; (2) dari pendekatan top down ke bottom up; (3) dari hierarkhi kerja vertikal ke horizontal; (4) dari pendekatan instruktif ke partisipatif dan dialogis; dan (5) dari sistem kerja linier ke sistem kerja jaringan. Untuk lebih memaksimalkan aspek partisipasi masyarakat yang sudah tergolong baik tersebut, maka upaya-upaya ke arah proses penyadaran masyarakat dari seorang penyuluh perlu terus dilakukan. Masyarakat yang semakin sadar akan potensi yang dimilikinya lebih cenderung dalam melakukan kegiatan-kegiatan positif ke arah perbaikan kualitas hidupnya yang lebih baik. Strategi Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian Penetapan strategi penyuluhan pertanian yang dijalankan selama ini terlihat adanya kelemahan, karena penetapan strategi hanya memusatkan pada kegiatannya untuk menyuluh pelaku utama yaitu petani dan keluarganya. Padahal, keberhasilan penyuluhan seringkali ditentukan oleh kualitas penyuluh, dukungan banyak pihak dan komitmen politik pemerintah pusat, serta dukungan penuh pemerintah daerah selaku penguasa tunggal sebagai administrator pemerintahan dan pembangunan. Leagens dan Loomis, 1980 (Sumardjo, 1999) mengatakan bahwa strategi penyuluhan yang digunakan selama ini lebih bersifat interpersonal, namun orientasinya untuk mencapai target yang ditetapkan secara top down. Berdasarkan fakta-fakta penelitian dan hasil analisis serta hasil pengamatan di lapangan yang menunjukkan kinerja penyuluh pertanian tergolong rendah, maka diperlukan perhatian lebih serius dari pemerintah daerah (BP4K), untuk memperbaiki
86 kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan, melalui rumusan strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat. Seiring dengan terus bergulirnya era reformasi dan otonomi daerah, maka penyelenggaraan penyuluhan pertanian pun terus mengalami banyak perubahan yang cukup signifikan. Pelaksanaan penyuluhan yang mengacu pada teknologi anjuran secara nasional maupun regional berangsur-angsur ditinggalkan dan diganti dengan teknologi anjuran yang spesifik lokasi. Penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang mengacu kepada pemerintah pusat telah diserahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah, sehingga praktis seluruh perangkat keras dan lunak dalam mendukung penyelenggaraan penyuluhan pertanian seperti; penyusunan programa penyuluhan pertanian, penyiapan anggaran, penyediaan sarana dan prasarana pendukung penyuluhan, pembinaan kelompok tani, dan beberapa kewenangan lainnya menjadi beban dan tanggung jawab pemerintah daerah. Fakta menunjukkan sampai saat ini kewenangan yang diberikan pemerintah pusat belum berjalan secara baik, bahkan beberapa diantaranya tidak berjalan. Akibatnya, dijumpai banyak penyuluh yang meninggalkan wilayah kerja, karena tugas-tugas penyuluh lebih banyak berkaitan dengan tugas-tugas kantor, bahkan pemanfaatan tenaga penyuluh lebih banyak digunakan untuk menyelesaikan pekerjaan diluar tugas pokoknya sebagai penyuluh. Oleh karena itu, diperlukan strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian ke depan agar menjadi lebih baik. Penyelenggaraan penyuluhan harus melibatkan seluruh stakeholder terkait seperti; lembaga penelitian (BPTP), perguruan tinggi, swasta maupun pihak-pihak lain yang peduli dengan penyelenggaraan penyuluhan. Penyelenggaraan
penyuluhan ke
depan harus menyesuaikan
dengan
permintaan dan kebutuhan sasaran penyuluhan. Dengan demikian sasaran akan melakukan reorientasi masalah yang bersifat teknis ke masalah yang bersifat ekonomi produktif, reorientasi dari usaha untuk memenuhi kubutuhan bahan pangan ke usaha komiditi yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan mempunyai peluang pasar. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa, penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak dapat dilakukan secara parsial, tetapi harus melibatkan semua aspek yang berpengaruh langsung terhadap pelaksanaan penyuluhan pertanian. Untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan, maka diperlukan strategi-strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat
87 melalui upaya peningkatan terhadap tiga aspek penting yaitu; (1) peningkatan peran organisasi
penyelenggaraan
penyuluhan
pertanian;
(2)
jenjang
karier
dan
kesejahteraan penyuluh pertanian, dan (3) peningkatan peran lembaga pendukung penyuluhan pertanian. Gambaran tentang kondisi ketiga aspek tersebut dapat dibaca pada bab kinerja penyuluh dan faktor yang mempengaruhi. Peningkatan Peran Organisasi Penyuluhan Pertanian Peningkatan
peran
organisasi
penyelenggaraan
penyuluhan
pertanian
bertujuan untuk meningkatkan kompetensi penyuluh dalam melaksanakan program penyuluhan dan perbaikan menajemen pelatihan. Upaya tersebut mencakup perbaikan visi dan misi organisasi penyuluhan pertanian, pemberdayaan kelembagaan penyuluhan pertanian, pemberdayaan personil penyuluh, pemberdayaan kelompok tani, serta peningkatan kerjasama antara sistem penyuluhan pertanian dan agribisnis. Selama ini visi dan misi organisasi penyuluhan pertanian cenderung mengikuti kebijakan pembangunan pertanian yang menekankan pada peningkatan produksi pangan nasional (swasembada pangan nasional). Hal tersebut berdampak pada kegiatan penyuluhan yang lebih berorientasi pada kebijakan top down yang menekankan pada pencapaian target-target fisik keproyekan (Sumardjo, 2010), tetapi kurang mengembangkan penyuluhan kearah kemandirian petani dalam mengelola usahataninya, sehingga perilaku petani dalam menerapkan inovasi cenderung tergantung pada anjuran, arahan dan dorongan aparat pertanian. Visi dan misi organisasi penyuluhan pertanian seperti ini tentunya menyimpang dari falsafah dasar penyuluhan pertanian, yakni menolong orang-orang untuk menolong dirinya sendiri, melalui suatu upaya pendidikan untuk memperbaiki tingkat hidup mereka (to help people them selves through educational means to improve their level of living), sehingga visi penyuluhan pertanian perlu diperbaharui dan dipertegas ke arah pengembangan kemandirian petani dengan pendekatan dari bawah (bottom-up) dan desentralisasi penyuluhan (Margono Slamet 2001). Visi dan misi penyuluhan harus diarahkan pada upaya pemberdayaan petani dalam konteks meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan hidup petani melalui proses yang lebih humanis. Visi dan misi harus mengacu pada konsep penyuluhan yang sebenarnya yakni, penyuluhan pertanian adalah sistem pendidikan non formal di bidang pertanian untuk petani-nelayan dan keluarganya serta anggota masyarakat. Dengan mengacu pada definisi penyuluhan tersebut maka dalam penyelenggaraan
88 penyuluhan diperlukan adanya kesetaraan gender (gender mainstreaming). Hal ini perlu dilakukan karena pembangunan pertanian berkelanjutan mengisyaratkan adanya kesetaraan jender baik dalam keluarga maupun masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan rendahnya kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan berhubungan erat dengan tingkat kompetensi yang dimiliki penyuluh. Aspek-aspek kompetensi penyuluh yang diteliti dalam penelitian ini, seluruhnya masih tergolong sedang atau kurang kompeten. Peran organisasi dalam merancang strategi untuk meningkatkan kompetensi penyuluh ke depan adalah melalui kegiatan pelatihan. Dalam beberapa penelitian menunjukkan bahwa proses pelatihan berbanding lurus dengan peningkatan kompetensi (Padmowihardjo, 2010). Rendahnya kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan juga disebabkan oleh faktor umur dan masa kerja. Hasil penenlitian yang menunjukkan 45 persen penyuluh berusia muda, sehingga dari segi pengalaman kerja sebagai penyuluh tersebut masih minim. Hal ini terutama dialami oleh penyuluh-penyuluh baru yang berpendidikan sarjana pertanian umum, sehingga kompetensi mereka dalam bidang penyuluhan pun sangat terbatas. Sedangkan pada penyuluh yang berusia tua dan berpendidikan rendah sudah merasa jenuh dan cenderung pasrah dengan kompetensi yang dimiliki saat ini. Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah meningkatkan kompetensi fungsional penyuluh-penyuluh tersebut melalui kegiatankegiatan pelatihan, terutama terhadap penyuluh-penyuluh baru yang masih produktif. Pelaksanaan pendidikan dan pelatihan selama ini kurang didasarkan pada pemenuhan kebutuhan penyuluh pertanian. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan anggaran pelatihan dan kompetensi serta kemampuan instruktur pelatihan. Kondisi tersebut membutuhkan peran organisasi secara maksimal untuk penyelenggaraan pelatihan, yakni dengan mengembangkan sistem menajemen dan jenjang pelatihan bagi penyuluh pertanian yang lebih selaras dengan kebutuhan kerja penyuluh dan kebutuhan petani di lapangan. Peningkatan intensitas kurikulum pelatihan dapat dikembangkan melalui upaya berikut: (1) meningkatkan wawasan dan keterampilan instruktur pelatihan dan penyuluh melalui pola kemitraan partisipatif dengan berbagai lembaga/ instansi terkait di lingkup pemerintahan, perguruan tinggi, LSM, dan tokoh masyarakat petani (KTNA), (2) materi pelatihan selain mencakup aspek komoditas dan teknologi, perlu disenergikan juga dengan materi pelatihan tentang metode penelitian dan metode penyusunan programa secara partisipatif dan berperspektif jender.
89 Hasil penenlitian juga menunjukkan bahwa rendahnya kinerja penyuluh juga ada hubungannya dengan aspek internal seperti dukungan penghargaan dan supervisi monitoring. Kedua aspek tersebut sesuai pengakuan penyuluh masih tergolong kurang, sehingga diperlukan perhatian serius dari organisasi. Peran organisasi terhadap kedua aspek tersebut dapat dilakukan melalui (1) meningkatkan koordinasi dengan Badan Kepegawaian Daerah terkait dalam rangka pemberian penghargaan kepada penyuluh yang berkinerja baik dan pemberian sanksi bagi penyuluh yang lalai atau tidak disiplin menjalankan tugas. Penghargaan yang diberikan dapat dilakukanbertepatan dengan peringatan hari-hari besar nasional maupun pada agendaagenda penting lainnya di daerah seperti pada peringatan HUT Kota Tidore Kepulauan. Peningkatan Jenjang Karier dan Kesejahteraan Penyuluh Strategi peningkatan jenjang karier dan kesejahteraan penyuluh diperlukan untuk meningkatkan kinerja penyuluh melalui peningkatan intensitas penyuluh dalam memanfaatkan media penyuluhan sebagai sumber informasi dan teknologi dan peningkatan persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan. Fakta di lapangan menunjukkan selama ini kemampuan teknis dan independensi (kebebasan bertindak) penyuluh pertanian semakin terbatas, sehingga kurang sesuai lagi dengan kebutuhan petani dan pengembangan penyuluhan interaktif yang menekankan pada upaya pemberdayaan masyarakat tani. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan penyuluh kurang mampu menjalankan tugasnya secara rutin karena faktor luas cakupan wilayah binaan penyuluh, keterbatasan honor (insentif), dan rendahnya dana operasional penyuluh (BOP). Upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut ditempuh melalui penambahan biaya operasional dari APBD, atau upaya memperoleh insentif dari bank pemberi kredit sebagai reward atas keberhasilannya dalam pendampingan terhadap kelompok tani yang mengelola program dana bergulir. Mengingat jenjang karir dan insentif bagi penyuluh pertanian masih belum mampu menjadi faktor pendorong yang dapat memotivasi bagi tercapainya kinerja penyuluh pertanian yang baik, tercermin antara lain oleh adanya penyuluh pertanian yang bekerja di luar lingkup penyuluhan seperti berbisnis, menjadi aparat desa atau guru. Upaya untuk mengatasi pendapatan penyuluh yang memang belum memadai tersebut, dapat dilakukan dengan cara mengembangkan sistem karier penyuluh
90 pertanian agar dapat lebih menjanjikan, misalnya dengan kegiatan sertifikasi profesi penyuluh. Peningkatan jenjang karier penyuluh secara teratur dan tepat waktu akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan penyuluh. Kenyataan yang selama dialami oleh penyuluh adalah masalah Inpassing bagi penyuluh-penyuluh baru dan keterlambatan SK kenaikan pangkat regular dengan penyesuaian tunjangan jabatan fungsional. Kondisi tersebut secara tindak langsung sangat mengganggu aktivitas penyuluh di lapangan. Di satu sisi pemerintah daerah menginginkan kinerja penyuluh meningkat, tetapi disisi yang lain kesejahteraan penyuluh tidak diperhatikan. Sertifikasi profesi penyuluh pertanian menjadi suatu keharusan karena di dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (SP3K) disebutkan bahwa penyuluh pertanian adalah suatu profesi. Secara umum sertifikasi penyuluh pertanian bertujuan untuk meningkatkan mutu dan proses penyuluhan pertanian serta meningkatkan profesionalisme penyuluh pertanian. Sertifikasi penyuluh pertanian sangat penting karena mempunyai manfaat dalam melindungi profesi penyuluh pertanian dari praktek-praktek yang tidak kompeten yang dapat merusak citra penyuluh pertanian dan melindungi masyarakat dari praktek-praktek penyuluhan pertanian yang tidak bertanggungjawab serta menjamin mutu penyelenggaraaan penyuluhan pertanian. Sebagai sebuah profesi maka penyuluh pertanian harus mempunyai suatu standard kompetensi sebagaimana dengan profesi lainya. Jumlah penyuluh PNS di Kota Tidore Kepulauan saat ini berjumlah 67 orang yang tersebar di 72 wilayah binaan (desa/kelurahan). Dari jumlah tersebut baru 3 orang penyuluh (4 persen) yang memiliki kinerja tinggi berdasarkan standar kompetensi kerja nasional Indonesia (SKKNI). Terhadap ketiganya Kementrian Pertanian melalui lembaga sertifikasi telah diikutkan pada kegiatan pelatihan seleksi sertifikasi profesi penyuluh pertanian. Peningkatan Peran Kelembagaan Pendukung Penyuluhan Peningkatan peran kelembagaan pendukung penyuluh yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam kegiatan-kegiatan penyuluhan. Hakekat dasar penyuluhan pertanian adalah peningkatan kualitas sumberdaya petani dan
91 nelayan dengan cara mengembangkan situasi belajar yang kondusif dalam pengembangan kemandirian petani dalam berusahatani. Seperti daerah lainnya di Indonesia, kegiatan penyuluhan pertanian di Kota Tidore kepulauan juga masih menempatkan petani sebagai objek pelaksanaan program-program pemerintah yang ditetapkan dari atas (top down). Sehubungan dengan itu, strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian ke depan harus dikembangkan untuk memandirikan petani melalui : (1) keberpihakan terhadap kepentingan petani sebagai isu sentral dan komitmen keseluruhan penyelenggaraan penyuluhan pertanian dengan menempatkan petani sebagai subyek sasaran dengan orientasi
pada
humanisasi
petani
dan
keluarganya
yang
berfokus
pada
penumbuhkembangan kemandirian petani dalam berusahatani dan berbisnis; (2)kebijakan sektoral program penyuluhan pertanian diarahkan pada farmer participation dengan dukungan kelembagaan desa yang dapat menumbuhkembangkan kemandirian petani; (3) mekanisme komunikasi penyuluhan yang bersifat linear (searah) dan top-down ke komunikasi interaktif dan dialogis, sehingga terjadi konvergensi antara petani dan pemerintah yang sekaligus dapat mewujudkan aliran informasi yang simultan dan sinergis. Penyelenggaran penyuluhan pertanian yang lebih banyak menekankan aspek produksi dan kurang menyentuh sub sistem agribisnis lainnya sehingga tidak dapat memunculkan keterpaduan pengembangan inovasi yang akhirnya berdampak pada stagnasi inovasi. Dalam hal kelembagaan kelompok tani, kuatnya intervensi pihak luar dalam pembentukan kelompok tani menyebabkan kelompok tani kurang dinamis dan tidak mengakar pada masyarakat tani. Oleh karena itu, strategi penyelenggaraan penyuluhan yang tepat dalam pengembangan kelompok tani sebaiknya diarahkan untuk membentuk wadah bersama bagi petani melalui upaya-upaya antara lain : (1) pembentukan kelompok tani yang dikembangkan dan ditumbuhkan berdasarkan minat petani dan memperhatikan kategori usia dan jender; (2) pembinaan kelompok tani ditekankan pada pengembangan kemampuan individu anggota kelompok tani di dalam mengelola usahatani yang berorientasi bisnis dan pengembangan kemampuan dalam membina kehidupan berorganisasi dan berkelompok. Hasil penelitian menunjukkan rendahnya kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan berhubungan erat dengan aspek partisipasi masyarakat terhadap kegiatan-kegiatan penyuluhan. Artinya, tingkat partisipasi masyarakat sangat
92 menentukan kinerja penyuluh. Secara sosial budaya/ kultur, sikap ramah masyarakat dalam menerima kehadiran seorang penyuluh mungkin masih baik, akan tetapi jika kehadirannya hanya untuk mengeksploitasi hak-hak masyarakat yang berkaitan dengan pengamanan-pengamanan program pemerintah yang ditetapkan secara top down, justru membuat masyarakat semakin jauh dari penyuluh. Strategi ke depan yang harus dilakukan seorang penyuluh dalam meningkatkan peran masyarakat (kelompok tani) adalah pemerintah harus memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk berusaha. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan program pembangunan pertanian. Minimnya anggaran yang dikelola institusi penyuluhan menyebabkan kegiatan penyusunan programa penyuluhan selama ini hanya bisa dilakukan di tingkat Kota. Seharusnya kegiatan tersebut harus dilakukan secara bertahap dan dimulai dari tingkat wilayah kerja penyuluh, sehingga keterlibatan masyarakat (kelompok tani) bisa lebih besar.
93
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1.
Berdasarkan hasil korelasi dan regresi antara karakteristik internal, eksternal dan kompetensi penyuluh maupun data dan hasil pengamatan terhadap kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan, sebagai berikut: a. Rendahnya kinerja penyuluh pertanian disebabkan oleh rendahnya aspek kompetensi
perencanaan,
pelaksanaan,
dan
pengevaluasian
program
penyuluhan, pemanfaatan media, kompetensi penerapan prinsip belajar orang dewasa, persepsi penyuluh terhadap pekerjaan atau tugas, dukungan penghargaan,
masa kerja penyuluh, umur, kompetensi berkomunikasi,
dukungan supervisi dan monitoring, partisipasi aktif masyarakat dan intensitas pelatihan. b. Karakteristik internal, eksternal dan kompetensi menentukan rendahnya kinerja penyuluh pertanian secara berturut-turut dari yang paling menentukan yaitu, (1) kompetensi pelaksanaan program penyuluhan, (2) pemanfaatan media, (3) persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan, (4) pelatihan, dan (5) partisipasi aktif masyarakat. c. Selain faktor penentu yang menunjukkan pengaruh positif terhadap kinerja penyuluh pertanian terdapat faktor penting lain yang perlu diperhatikan yaitu; umur yang beragam dan faktor masa kerja yang merata. 2.
Strategi penyelenggaran penyuluhan yang tepat di Kota Tidore Kepulauan adalah (1) meningkatkan kemampuan kelompok tani melalui peningkatan kompetensi penyuluh dalam pelaksanaan program/kegiatan penyuluhan, (2) meningkatkan kesadaran penyuluh dalam memanfaatkan media penyuluhan melalui pembuatan materi-materi penyuluhan, (3) meningkatkan persepsi penyuluh terhadap tugas/ pekerjaan
melalui
peningkatan
kompetensi-kompetensi
fungsional,
(4)
meningkatkan kualitas pelatihan melalui penerapan sistem meanajemen pelatihan secara baik, dan (4) meningkatkan partisipasi aktif masyarakat melalui kegatankegiatan penyuluhan secara partisipatif, demokratis dan kontinyu.
94 Saran 1. Untuk memaksimalkan dan meningkatkan faktor-faktor penentu kinerja penyuluh pertanian, diperlukan adanya komitmen politik dan dukungan anggaran yang memadai dari pemerintah pusat maupun daerah. 2. Dalam upaya mengatasi kekurangan 35 persen penyuluh berusia tua yang akan memasuki masa pensiun dalam kurun waktu 5 sampai 10 tahun ke depan, maka seyogyanya penerimaan CPNS daerah formasi penyuluh dapat diprioritaskan pada Tenaga Harian Lepas-Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THL-TBPP), karena mereka telah memiliki komitmen yang tinggi dalam bekerja sebagai penyuluh pertanian. 3. Dalam upaya meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di Kota Tidore Kepulauan, maka diperlukan strategi penyelenggaraan penyuluhan pertanian yang tepat yakni meningkatkan faktor-faktor penentu kinerja melalui peningkatan terhadap: (1) peran organisasi penyelenggaraan penyuluhan, (2) jenjang karier dan kesejahteraan penyuluh, dan (3) peran kelembagaan pendukung penyuluhan.
95 DAFTAR PUSTAKA Abbas Samsuddin 1999. Sembilan Puluh Tahun Penyuluhan Pertanian di Indonesia. Jakarta. BPLPP-Departemen Pertanian. Bandura A, 1986. Social Foundations of Thought and Action. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall Arnold, H.J dan D.C. Feldman, 1986. Organizational Behavior. New York. McGraw-Hill Book Company. Bahua M. Ikbal, 2010. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya Pada Perilaku Petani Jagung di Provinsi Gorontalo. Disertasi – Doktor. Bogor. Sekolah Pascasarjana-IPB. David K. Berlo, 1958. The Process of Communication; An Introduction to Theor and Practice. New York. Michigan State University. Gilley W. Jerry dan Steven A. Eggland, 1989. Principles of human Resource Development. Addision – Wesley Publishing Company Inc. Massachussetts. Gomes, F. Cardoso, 2001. Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta. Andi offset. Hickerson F.J dan John Middleton, 1975. Helping People Learn : A Module for Training Trainers. Honolulu-Hawai. East-West Comunnication Institut. Hubeis Vitalaya S. Aida, Priono M, Sedyaningsih Sri, Ace Sriati, Arifah Bintari, Rusli Yanis, Mientarti. 2007. Komunikasi Inovasi. Edisi 2. Jakarta. Penerbit Universitas Terbuka. Hubeis Vitalaya S. Aida. 2008. Motivasi, Kepuasan dan Produktivitas Kerja Penyuluh Lapangan Peternakan. Media Peternakan, April 2008, hlm. 71-80. Vol. 31 No.1. Terakreditasi SK Dikti No: 56/DIKTI/Kep/2005. Huda Nurul, 2010. Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian Lulusan Pendidikan Jarak Jauh Universitas Terbuka. Disertasi – Doktor. Bogor. Sekolah Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor. Jahi Amri dan Ani Leilani, 2006. Kinerja Penyuluh Pertanian di Beberapa Kabupaten, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan . Vol. 2 No.2 Jahi Amri, 2008. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Jakarta. PT. Gramedia Leeuwis Cees, 2004. Communication for Rural Innovation. Rethinking Agricultural Extension. Third Edition. Netherlands. Blackwell Science Ltd Publishing Company.
96 Marius J.A, Sumardjo, Slamet Margono, Pang S Asngari. 2006. Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Penyuluh Terhadap Kompetensi Penyuluh di Nusa Tenggara Timur. Jurnal Penyuluhan. Edisi September.ISSN-2664. Vol.3 No. Bogor. Institut Pertanian Bogor Mardikanto Totok, 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta. Universitas Sebelas Maret (UNS) Press. ____________, 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta. Lembaga Pengembangan Pendidikan (LPP) UNS dan UPT Penerbitan dan Pencetakan UNS (UNS Press). Mosher A.T, 1978. An Introduction to Agricultural Extension. New York. Agricultural Development Council a290 Avenue of the Americas. Mulyasa, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung. Remaja Rosdakarya. Nazir Moh, 2005. Metode Penelitian. Bogor. Ghalia Indonesia Nasution Zulkarimen, 2004. Komunikasi Pembangunan. Pengenalan Teori dan Penerapannya. Edisi Revisi. Penerbit : Jakarta. PT Raja Grafindo Persada Padmowiharjo Soedijanto, 1994. Psikologi Belajar Mengajar. Materi Pokok. Jakarta. Universitas Terbuka. ______________, 2000. Laporan Pengkajian Pemberdayaan dan Kelembagaan Penyuluh Pertanian Lapangan. Jakarta. P.T. Amurwa Pranata Consultants. ______________, 2001. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Pembangunan Sistem Usaha Agribisnis. Jakarta. Departemen Pertanian. ______________, 2004. Menajemen dan Perencanaan Pelatihan. Jakarta. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia - Departemen Pertanian. Puspadi Ketut, 2002. Rekonstruksi Sistem Penyuluhan Pertanian. Disertasi Doktor. Bogor. Sekolah Pascasarjana - Institut Pertanian Bogor. Rakhmat Jalaluddin. 2001. Psikologi Komunikasi. Bandung. Remaja Rosdakarya Riduwan, 2009. Pengantar Statistika Sosial. Bandung. Penerbit Alfabeta Bandung. Rogers Everestdan Shoemaker, 1971. Communication of Inovation; A Cross Cultural Approach. New York. The Free Press Rusmono Momon, 2011. Reformulasi Kurikulum Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Berbasis Kebutuhan Pengguna dan Peluang Pengembangan Profesi. Makalah Disampaikan Pada Seminar dan Lokakarya Penyuluhan Pembangunan. Jakarta. Pusbangluhtan-Kementrian Pertanian.
97 Sangadji Muhammad Nur, 2010. Partisisipasi Masyarakat Dalam Pengelolaan Taman Nasional Dengan Pola Kemitraan di Kepulauan Togean – Sulawesi Tengah. Disertasi – Doktor. Bogor Sekolah Pascasarjana-Institut Pertanian Bogor. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16, 2006. Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta. Departemen Pertanian Singarimbun. M dan Effendi S, 1989. Metode Penelitian Survei. Jakarta. LP3ES Slamet Margono, 1978. Menata Sistem Penyuluhan Pertanian Menuju Pertanian Modern. Tim 12. Jakarta. Departemen Pertanian. ___________, 2001. Menata Sistem Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah. http://margonoipb.files.wordpress.com/2009/03/menata-sistem-penyuluhanpertanian.doc. Diakses pada tanggal 2 Januari 2011 ___________, 2010. Teori Organisasi. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Slamet Margono dan Sumardjo, 2010. Teori Kelompok. Bogor. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Soekartawi, 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Penerbit : Jakarta. Universitas Indonesia (UI Press) Spencer, Lyle, M. Jr. dan Signe M. Spencer. 1993. Competence at Work. New York: John Wiley & Sons, Inc Stewart L. Tubbs dan Sylvia Moss, 1996. Human Communication. Edisi Terjemahan. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya Offset Sumardjo, 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani (Kasus di Provinsi Jawa Barat). Disertasi Doktor. Bogor. Sekolah Pascasarjana – Institut Pertanian Bogor. ________, 2006. Pemikiran Tentang Kompetensi Penyuluh Pertanian. Makalah disampaikan dalam Forum Komisi Penyuluhan Pertanian. Jakarta. Departemen Pertanian ________, 2010. Penyuluhan Menuju Pengembangan Kapital Manusia dan Kapital Sosial Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Orasi Ilmiah Guru Besar Dalam Rangka Dies Natalis IPB ke-47. Bogor. Institut Pertanian Bogor Sumardjo, Baga M Lukman, dan Mulyandari S.H. Retno. 2010. Cyber Extension. Peluang dan Tantangan Dalam Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Bogor. IPB Press. Suprapto Ato, 2009. Peran Penyuluh dalam Mendukung Program utama Eselon I Departemen Pertanian. Makalah Disampaikan Pada Sosialisasi APBN Tahun 2009. Jakarta. Departemen Pertanian.
98
Suryantini, H. 2003. Kebutuhan Informasi dan Motivasi Kognitif Penyuluh Pertanian serta Hubungannya Dengan Penggunaan Sumber Informasi. Jurnal Perpustakaan Pertanian 12:33-43. Tjitropranoto Prabowo, 2005. Penyuluhan Pertanian. Masa Kini dan Masa Depan. Dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Diedit oleh Ida Yustina dan Adjat Sudrajat. Bogor. IPB Press. Van den Ban A.W dan Hawkins H.S, 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta. Penerbit kanisius, Warya Adang, 2008. Makalah Seminar Sehari pada Kegiatan Mimbar Sarasehan Petani se Kota Tidore Kepulauan. Jakarta. Pusbangluhtan–Departemen Pertanian. Wibowo. 2007. Manajemen Kinerja. Jakarta. Raja Grafindo ________, 2009. Laporan Tahunan. Ternate - Maluku Utara. Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
Badan Koordinasi
________, 2010. Laporan Tahunan Badan Pelaksana Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Kota Tidore Kepulauan Tahun 2010. Tidore. BP4K–Kota Tidore Kepulauan. _________, 2011. Kota Tidore Dalam Angka. Kerjasama Badan Pusat Statistik dan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Tidore. BPS _________, 2009. Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya. Peraturan Bersama Mentan-BKN Nomor: 54/Permentan/OT.210/11/2008 dan Nomor : 23 A Tahun 2008. Jakarta. BPSDM-Departemen Pertanian. ____________, 2009. Pedoman Kerja Penyuluh Pertanian. Jakarta. BPSDM – Departemen Pertanian. ____________, 2010. Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta . Pusbangluhtan – Departemen Pertanian.
Acuan Situs Web http://agribisnis.blogspot.com/2009/12/peranan-penyuluh-pertanian.html. Peranan Penyuluhan Pertanian. Diakses pada Tanggal 13 April 2010 http://h0404055.wordpress.com/2010/04/02/penyuluhan-di-indonesia/html. Kelembagaan Penyuluhan Pertanian. Diakses pada tanggal 13 April 2010 http://blog-husni.blogspot.com/2010/07/kinerja-penyuluh-pertanian-lapangan-di.html Kinerja Penyuluh Pertanian Lapangan di Provinsi Jambi. Diakses pada tanggal 31 Januari 2011
99
http://www.penyuluhpertanian.com/pelaksanaan-sertifikasi-penyuluhpertanian Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). Pusbangluhtan Kementrian Pertanian. Diakses pada tanggal 5 Oktober 2011
101
Lampiran 1 : HASIL ANALISIS KORELASI
Korelasi X1, X2 dan X3 dengan Y Umur Masa Kerja Pendidikan Pelatihan Motivasi Persepsi Media Interpersonal Kel. Binaan Dukungan Administrasi Ketepatan Kebijakan Organisasi Ketersediaan Sarana dan Prasarana Dukungan Terhadap Sistem Penghargaan Kondisi Lingkungan Kerja Keterjangkauan Daerah Tempat Bekerja Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat Dukungan Supervisi dan Monitoring Perencanaan Program Penyuluhan
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
KINERJA Keterangan .343** .010 Significant .355** .007 Significant -.219 .105 Tidak Significant .266* .048 Significant .009 .950 Tidak Significant .495** .000 Significant .508** .000 Significant .244 .070 Tidak Significant .161 .236 Tidak Significant .205 .130 Tidak Significant .059 .667 Tidak Significant .137 .313 Tidak Significant ** .357 .007 Significant .169 .214 Tidak Significant -.004 .978 Tidak Significant .306* .022 Significant * .314 .019 Significant .583** .000 Significant
102 Pelaksanaan Program Penyuluhan Pengevaluasian Program Penyuluhan Penguasaan dan Penerapan Prinsip Belajar Orang Dewasa Kemampuan Berkomunikasi Kemampuan Bekerjasama
Umur
Masa Kerja
Pendidikan
Pelatihan
Motivasi
Persepsi
Pearson Correlation p-value
Significant Significant Significant Significant Tidak Significant
Korelasi aspek-aspek X1 dengan aspek-aspek Y Perencan Pelaksan Pengeval Tingkat aan aan uasian Tingkat Kreativi Program Program Program Inisiatif tas * ** ,303 ,237 ,130 -,064 ,366 ,023
,078
*
,237
,339
Tingkat Bekerjas ama ,261
Tingkat Komunikas i ** ,466 ,000
,641
,006
,052
,178
-,012
**
,259
Pearson Correlation p-value
,292
,029
,079
,190
,932
,004
,054
Pearson Correlation p-value
-,243
-,150
-,159
,040
-,124
-,072
,071
,271
,242
,768
,363
,597 **
Pearson Correlation p-value Pearson Correlation p-value Pearson Correlation p-value
Media
Pearson Correlation p-value
Interperson al
Pearson Correlation p-value
Kel. Binaan
.563** .000 .537** .000 .503** .000 .322* .016 .038 .779
Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed) Pearson Correlation Sig. (2-tailed)
Pearson Correlation p-value
,383
**
,001 -,348
**
,009
,105
-,002
,191
,231
,223
,443
,991
,158
,087
,000
,028
,124
-,003
-,018
,060
-,067
-,153
,010
,362
,980
,895
,661
,623
,259
,942
**
**
,218
,304
*
**
**
,005
,002
,107
,023
,000
,001
**
**
,262
*
*
,159
,504
,406
,482
,287
,457
,288
,427
,294
*
,166
,371
,467
,429
,264
*
,049 ,426
**
,000
,000
,051
,032
,032
,241
,001
,202
,317
*
,207
,082
,169
,124
,025
,136
,017
,127
,546
,214
,361
,857
**
,043
,007
,755
,089
,162
,139
,026
,036
,513
,232
,307
,851
,791
,356
103
Korelasi aspek-aspek X2 dengan aspek-aspek Y
Dukungan Administrasi Ketepatan Kebijakan Organisasi Ketersediaan Sarana dan Prasarana Dukungan Terhadap Sistem Penghargaan Kondisi Lingkungan Kerja Keterjangkauan Daerah Tempat Bekerja Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat Dukungan Supervisi dan Monitoring
Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed)
Perencan aan Program ,118
Pelaksan aan Program ,127
Pengeval uasian Program ,091
Tingkat Inisiatif ,007
Tingkat Kreativi tas ,243
Tingkat Bekerjasa ma ,103
Tingkat Komunik asi ** ,381
,387
,350
,504
,961
,072
,449
,004
-,071
-,033
,150
,021
,119
-,117
,327
,604
,808
,268
,877
,384
,389
,014
,019
,087
,152
,098
,229
,028
,095
,891
,523
,262
,473
,090
,839
,484
*
,082
,063
**
,130
,009
,034
,548
,643
,009
,341
,000
,028
,074
,149
,082
,266
*
,082
,227
,836
,586
,275
,549
,047
,548
,093
,012
-,026
-,094
-,045
,080
-,063
,113
,928
,847
,492
,740
,556
,645
,408
,230
,303
*
,253
,182
,271
*
-,035
,244
,088
,023
,060
,179
,043
,800
,070
,209
,134
,139
,136
**
,131
,121
,324
,306
,319
,003
,335
,347
**
,284
,347
,392
,470
,470
*
**
**
,000
104
Perencanaan Program Penyuluhan Pelaksanaan Program Penyuluhan Pengevaluasian Program Penyuluhan Penguasaan dan Penerapan Prinsip Belajar Orang Dewasa Kemampuan Berkomunikasi Kemampuan Bekerjasama
Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed) Pearson Correlation Sig. (2tailed)
Korelasi aspek-aspek X3 dengan aspek-aspek Y Perencana Pelaksan Pengeval Tingkat an aan uasian Tingkat Kreativi Program Program Program Inisiatif tas ** ** * ** ,582 ,428 ,248 ,289 ,361 ,000 ,495
**
,000 ,469
**
,000 ,381
**
,001 ,377
**
,065 ,303
*
,004
,023
**
,208
,001
,124
,448
,385
**
,383
**
,031 ,384
**
,004 ,346
**
,009 ,298
*
,006 ,319
*
,017 ,346
**
,009 ,428
**
Tingkat Bekerjas ama ** ,386
Tingkat Komunik asi ** ,547
,003
,000
,466
**
,000 ,353
**
,008 ,266
*
,471
**
,000 ,472
**
,000 ,328
*
,004
,003
,004
,026
,001
,047
,014
,204
,252
,328
*
,213
,237
,165
,203
,131
,061
,014
,115
,079
,224
,134
,139
,041
-,188
,106
-,035
,123
-,043
,307
,765
,166
,438
,800
,368
,753
105
Lampiran 2 : HASIL ANALISIS REGRESI REGRESI X1 TERHADAP KINERJA Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error 7.902
21.700
.242
.377
Masa Kerja
-.079
Pendidikan
Coefficients Beta
Sig. .364
.717
.232
.642
.524
.338
-.084
-.233
.817
-.371
.662
-.074
-.561
.577
Pelatihan
1.645
.633
.312
2.600
.012
Motivasi
-.041
.632
-.007
-.065
.949
Persepsi
1.541
.554
.301
2.779
.008
Media
3.360
.798
.449
4.212
.000
.685
.822
.093
.833
.409
1.084
1.107
.109
.980
.332
Umur
Interpersonal Kel. Binaan a. Dependent Variable: KINERJA
Regresi Faktor-faktor X1 yang berpengaruh terhadap Y Descriptive Statistics Mean
Std. Deviation
N
KINERJA
71.1071
9.09681
56
Pelatihan
6.5357
1.72642
56
Persepsi
16.6786
1.77976
56
4.3750
1.21450
56
Media
T
106
b
Model Summary
Model
R
1
.710
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
R Square a
.504
.475
Durbin-Watson
6.58994
1.888
a. Predictors: (Constant), Media, Pelatihan, Persepsi b. Dependent Variable: KINERJA
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
2293.139
3
764.380
Residual
2258.218
52
43.427
Total
4551.357
55
F
Sig.
17.601
.000
a
a. Predictors: (Constant), Media, Pelatihan, Persepsi b. Dependent Variable: KINERJA
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B
Std. Error
(Constant)
13.815
9.046
Pelatihan
1.730
.524
Persepsi
1.834
Media
3.521
a. Dependent Variable: KINERJA
Coefficients Beta
t
Sig. 1.527
.133
.328
3.299
.002
.519
.359
3.532
.001
.771
.470
4.569
.000
107
REGRESI X2 TERHADAP KINERJA Descriptive Statistics Mean KINERJA
Std. Deviation
N
71.1071
9.09681
56
Dukungan Administrasi
4.8929
1.30284
56
Ketepatan Kebijakan Organisasi
4.3929
1.24577
56
Ketersediaan Sarana dan Prasarana
9.1071
2.05982
56
Dukungan Terhadap Sistem
9.5536
1.59453
56
Kondisi Lingkungan Kerja
6.9821
1.80395
56
Keterjangkauan Daerah Tempat
5.1786
1.09722
56
Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat
5.1429
.96160
56
Dukungan Supervisi dan Monitoring
7.2857
1.89463
56
Penghargaan
Bekerja
b
Model Summary
Model 1
R .486
R Square a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.236
.106
Durbin-Watson
8.60012
1.872
a. Predictors: (Constant), Dukungan Supervisi dan Monitoring, Ketersediaan Sarana dan Prasarana, Keterjangkauan Daerah Tempat Bekerja, Ketepatan Kebijakan Organisasi, Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat, Dukungan Administrasi, Dukungan Terhadap Sistem Penghargaan, Kondisi Lingkungan Kerja b. Dependent Variable: KINERJA
108
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
1075.141
8
134.393
Residual
3476.216
47
73.962
Total
4551.357
55
F
Sig.
1.817
.098
a
a. Predictors: (Constant), Dukungan Supervisi dan Monitoring, Ketersediaan Sarana dan Prasarana, Keterjangkauan Daerah Tempat Bekerja, Ketepatan Kebijakan Organisasi, Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat, Dukungan Administrasi, Dukungan Terhadap Sistem Penghargaan, Kondisi Lingkungan Kerja b. Dependent Variable: KINERJA
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Dukungan Administrasi Ketepatan Kebijakan
Std. Error 52.120
9.073
-.206
1.366
-1.486
Coefficients Beta
t
Sig.
5.745
.000
-.030
-.151
.881
1.197
-.203
-1.241
.221
-.319
.664
-.072
-.481
.633
1.174
1.010
.206
1.163
.251
.258
1.017
.051
.254
.801
-1.536
1.191
-.185
-1.289
.204
2.688
1.513
.284
1.777
.082
1.446
.861
.301
1.679
.100
Organisasi Ketersediaan Sarana dan Prasarana Dukungan Terhadap Sistem Penghargaan Kondisi Lingkungan Kerja Keterjangkauan Daerah Tempat Bekerja Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat Dukungan Supervisi dan Monitoring a. Dependent Variable: KINERJA
109
Regresi Faktor-faktor X2 yang berpengaruh terhadap Y Descriptive Statistics Mean KINERJA
Std. Deviation
N
71.1071
9.09681
56
5.1429
.96160
56
Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat
b
Model Summary
Model
R
1
.306
R Square a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.094
.077
Durbin-Watson
8.74075
1.675
a. Predictors: (Constant), Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat b. Dependent Variable: KINERJA
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares Regression
df
Mean Square
425.722
1
425.722
Residual
4125.635
54
76.401
Total
4551.357
55
F
Sig.
5.572
.022
a
a. Predictors: (Constant), Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat b. Dependent Variable: KINERJA
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat
a. Dependent Variable: KINERJA
Std. Error 56.228
6.411
2.893
1.226
Coefficients Beta
t
.306
Sig. 8.771
.000
2.361
.022
110
REGRESI X3 TERHADAP KINERJA Descriptive Statistics Mean
Std. Deviation
N
KINERJA
71.1071
9.09681
56
Perencanaan Program Penyuluhan
22.5179
4.00450
56
Pelaksanaan Program Penyuluhan
13.2500
2.99241
56
Pengevaluasian Program
15.2857
2.83943
56
10.8036
2.15254
56
Kemampuan Berkomunikasi
8.9821
2.55479
56
Kemampuan Bekerjasama
7.2143
1.60357
56
Penyuluhan Penguasaan dan Penerapan Prinsip Belajar Orang Dewasa
b
Model Summary
Model
R
1
.684
R Square a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.467
.402
Durbin-Watson
7.03331
2.015
a. Predictors: (Constant), Kemampuan Bekerjasama, Perencanaan Program Penyuluhan, Kemampuan Berkomunikasi, Penguasaan dan Penerapan Prinsip Belajar Orang Dewasa, Pelaksanaan Program Penyuluhan, Pengevaluasian Program Penyuluhan b. Dependent Variable: KINERJA
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
2127.449
6
354.575
Residual
2423.908
49
49.468
Total
4551.357
55
F 7.168
a. Predictors: (Constant), Kemampuan Bekerjasama, Perencanaan Program Penyuluhan, Kemampuan Berkomunikasi, Penguasaan dan Penerapan Prinsip Belajar Orang Dewasa, Pelaksanaan Program Penyuluhan, Pengevaluasian Program Penyuluhan b. Dependent Variable: KINERJA
Sig. .000
a
111
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Std. Error 7.702
.511
.341
.836
Beta
t
Sig. 3.733
.000
.225
1.499
.140
.455
.275
1.837
.072
.315
.491
.098
.642
.524
.710
.566
.168
1.255
.216
Kemampuan Berkomunikasi
.456
.408
.128
1.117
.269
Kemampuan Bekerjasama
.442
.603
.078
.733
.467
Perencanaan Program
28.750
Coefficients
Penyuluhan Pelaksanaan Program Penyuluhan Pengevaluasian Program Penyuluhan Penguasaan dan Penerapan Prinsip Belajar Orang Dewasa
a. Dependent Variable: KINERJA
112
Regresi Faktor-faktor X3 yang berpengaruh terhadap Y Descriptive Statistics Mean
Std. Deviation
N
KINERJA
71.1071
9.09681
56
Pelaksanaan Program
13.2500
2.99241
56
Penyuluhan
b
Model Summary
Model
R
1
.563
R Square a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.317
.304
Durbin-Watson
7.58913
1.782
a. Predictors: (Constant), Pelaksanaan Program Penyuluhan b. Dependent Variable: KINERJA
b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
1441.231
1
1441.231
Residual
3110.126
54
57.595
Total
4551.357
55
F
Sig.
25.024
.000
a
a. Predictors: (Constant), Pelaksanaan Program Penyuluhan b. Dependent Variable: KINERJA Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant) Pelaksanaan Program Penyuluhan
a. Dependent Variable: KINERJA
Std. Error 48.441
4.643
1.711
.342
Coefficients Beta
t
.563
Sig.
10.433
.000
5.002
.000
113
Regresi secara Bersama-sama antara X1, X2, dan X3 terhadap Y Descriptive Statistics Mean
Std. Deviation
N
Y
68.21
8.976
56
X3
60.29
9.291
56
X1
46.59
3.907
56
X2
47.86
7.445
56 b
Model Summary
Model
R
1
.739
R Square a
Adjusted R
Std. Error of the
Square
Estimate
.547
.521
Durbin-Watson
6.215
1.837
a. Predictors: (Constant), X2, X1, X3 b. Dependent Variable: Y
R0 square 54.7% ,kergaman yang mampu dijelaskan oleh faktor2 dalam model sebesar 54.7% sedangkan sisanya dijelaskan oleh faktor lain diluar model. b
ANOVA Model 1
Sum of Squares
df
Mean Square
Regression
2423.080
3
807.693
Residual
2008.348
52
38.622
Total
4431.429
55
a. Predictors: (Constant), X2, X1, X3 b. Dependent Variable: Y
F 20.913
Sig. .000
a
114 H0 : Model tidak significant H1 : Model Significant Nilai-p(0.000)
Coefficients
a
Standardized Unstandardized Coefficients Model 1
B (Constant)
Coefficients
Std. Error -.536
11.112
X1
.864
.290
X2
.105
X3
.389
Beta
Collinearity Statistics t
Sig.
Tolerance
VIF
-.048
.962
.376
2.978
.004
.547
1.829
.118
.087
.890
.378
.903
1.108
.126
.403
3.079
.003
.509
1.965
a. Dependent Variable: Y
Persamaan Regresi : Y = -0.536 + 0.864 X1 + 0.105 X2 + 0.389 X3 Pengaruh Peubah Bebas terhadap Y 1. Pengaruh X1 terhadap Y Nilai-p(0.003) < alpha 5% maka artinya X1 berpengaruh nyata terhadap Y. 2. Pengaruh X2 terhadap Y Nilai-p(0.378) > alpha 5% maka artinya X2 tidak berpengaruh nyata terhadap Y. 3. Pengaruh X3 terhadap Y Nilai-p(0.003) < alpha 5% maka artinya X3 berpengaruh nyata terhadap Y.
115
Charts Sisaan terlihat mendekati garis lurus, maka dapat dikatakan residual menyebar normal Scatterplot
Dependent Variable: Y
Regression Standardized Predicted Value
3
2
1
0
-1
-2
-3 -3
-2
-1
0
1
2
3
Regression Studentized Residual
Normal P-P Plot of Regression Standardized Residual Expected Cum Prob
Dependent Variable: Y
Prob 1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
0.0 0.0
0.2
0.4
0.6
Observed Cum Prob
Prob
0.8
1.0
116 Dari sebaran data residual diatas menyebar acak dan tidak membentuk suatu pola maka dapat dikatakan sudah Homoskedastisitas.
117