KINERJA PENYULUH PERTANIAN DI KABUPATEN PIDIE PROVINSI ACEH
MUJIBURRAHMAD
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Mujiburrahmad NRP I351120021
RINGKASAN MUJIBURRAHMAD. Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Dibimbing oleh PUDJI MULJONO dan DWI SADONO. Kondisi penyuluhan selama dekade terakhir ini banyak mengalami kemunduran, kemandulan dan stagnasi. Hal ini terjadi secara nasional dan kondisi tersebut juga terjadi di Kabupaten Pidie sehingga maju mundurnya penyuluh sangat bergantung dari apresiasi dari pemegang kebijakan di masing-masing daerah dalam memahami tugas dan fungsi strategis penyuluhan pertanian dalam membangun sistem dan usaha agribisnis. Berbagai program dan hasil yang telah dicapai tersebut tentunya tidak terlepas dari peran penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam membina petani. Pada pelaksanaannya program penyuluhan, tugas dan tanggung jawab penyuluh pertanian jelas, sehingga mereka berupaya menciptakan kinerja yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi tingkat kinerja penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugasnya, serta menganalisis faktor–faktor yang berhubungan dengan kinerja penyuluh pertanian. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sensus dan menggunakan paradigma kuantitatif. Penelitian dilakukan di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Pengumpulan data dilaksanakan dari bulan Februari 2014 sampai dengan April 2014 dengan menggunakan kuisioner, wawancara, pengamatan dan studi literatur. Populasi dalam penelitian ini adalah 47 orang, dengan rincian 34 orang penyuluh tanaman pangan serta 13 orang penyuluh tanaman holtikultura. Terkait dengan penggunaan teknik pengambilan sampel secara sensus, maka jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 47 orang. Data yang diperoleh ditabulasi dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan uji korelasi rank Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie secara keseluruhan hasil kinerjanya berada dalam kategori rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya beberapa aspek kinerja yaitu: evaluasi dan pelaporan, pengembangan penyuluhan pertanian, pengembangan profesi termasuk dan penunjang tugas penyuluh pertanian. Faktor karakteristik internal penyuluh pertanian yang berhubungan dengan kinerja penyuluh adalah: masa kerja, dan jumlah kelompok binaan, sedangkan yang tidak berhubungan adalah: umur, tingkat pendidikan formal, motivasi kerja dan pemanfaatan media. Faktor eksternal karakteristik petani yang berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh adalah: dukungan administrasi dan kondisi lingkungan kerja, sedangkan yang tidak berhubungan nyata adalah: ketersediaan prasarana dan sarana, keterjangkuan daerah tempat bekerja dan tingkat partisipasi aktif petani. Faktor kompetensi tugas penyuluh yang berhubungan dengan kinerja penyuluh pertanian adalah: penerapan prinsip belajar orang dewasa, kemampuan berkomunikasi dan kemampuan bekerjasama, sedangkan pengelolaan program penyuluhan dan pengelolaan kegiatan penyuluhan tidak berhubungan nyata. Key words: penyuluh pertanian, kinerja, karakteristik, kompetensi
SUMMARY MUJIBURRAHMAD. Performance of Agricultural Extension in Pidie District Aceh Province. Supervised by PUDJI MULJONO and DWI SADONO. Illumination conditions during the last decade many setbacks, sterility and stagnation. This happens nationally and these conditions also occur in Pidie district so that reciprocation of extension is very dependent on the appreciation of the policy holder in each region in understanding the duties and functions of agricultural extension in developing strategic and agribusiness system. Various programs and the results achieved must not be separated from the role of agricultural extension workers in carrying out their duties and responsibilities in fostering farmer. In the implementation of extension programs, duties and responsibilities clearly agricultural extension, so they strive to create a good performance. This study aimed to identify the level of performance of agricultural extension in carrying out their duties, and to analyze factors associated with the performance of agricultural extension. The method used in the census and data collection is to use quantitative paradigm. The study was conducted in Pidie District of Aceh Province. The data collection was carried out from February 2014 to April 2014 using questionnaires, interviews, observation and study of literature. The population in this study was 47, with details of the extension 34 food crops and 13 extension horticulture crops. Associated with the use of sampling techniques in the census, the number of respondents in this study were as many as 47 people. The data obtained were tabulated and analyzed by using the Spearman rank correlation test. The results showed that the level of performance of agricultural extension in Pidie district overall performance results are in the low category. This is due to lower some aspects of performance, namely: evaluation and reporting, development of agricultural extension, and supporting professional development including agricultural extension task. Internal characteristics of agricultural extension factors related to the performance of extension are: years of service, and the number of auxiliaries, whereas unrelated are: age, level of formal education, motivation and use of media. External factors related to the characteristics of real farmers with extension performance are: administrative support and working conditions, while not significantly correlated are: the availability of facilities and infrastructure, affordability of the area where the work and the level of active participation of farmers. Extension task competence factors related to the performance of agricultural extension are: the application of adult learning principles, communication skills and ability to work together, while the counseling program management and management of extension activities are not related. Key words: agricultural extension, performance, characteristics, competencies
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.
KINERJA PENYULUH PERTANIAN DI KABUPATEN PIDIE PROVINSI ACEH
MUJIBURRAHMAD
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tesis : Prof Dr Ir Aida Vitayala S Hubeis Penguji Program Studi
: Prof Dr Ir Sumardjo MS
Judul Tesis : Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh Nama : Mujiburrahmad NIM : I351120021
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Dr Ir Pudji Muljono, MSi Ketua
Dr Ir Dwi Sadono, MSi Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
Dekan Sekolah Pascasarjana IPB
Prof Dr Ir Sumardjo, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 23 Juli 2014
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah Kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Pudji Muljono, MSi dan Dr Ir Dwi Sadono, MSi selaku pembimbing yang tak mengenal lelah, kesabaran yang luar biasa dan saran yang hebat serta segala kemudahan yang diperoleh penulis selama penelitian dan penulisan tesis ini. Terimakasih kepada Bapak Prof Dr Ir Sumardjo, MS selaku ketua program studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Ibu Prof Dr Ir Aida Vitayala S Hubeis selaku dosen penguji pada ujian tesis, dan juga seluruh dosen pada program studi PPN IPB. Terimakasih juga penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, atas Beasiswa BPPS yang diberikan. Ucapan terimakasih juga disampaikan kepada seluruh responden, informan, dan narasumber lainnya khususnya yang ada di Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BPPKP) Kabupaten Pidie dan di instansi Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Pidie. Ungkapan terima kasih kepada sahabat seperjuangan angkatan 2012 PPN, Bang Firmansyah (P’Men), Aan Hermawan, Ismi, Nurul, Rindi, Mbak Annisa, Mbak Lina, Delki, Dek Isni, Bang Muhib, Enik, dan Azwar atas dukungan dan kebersamaan selama ini. Akhirnya, ungkapan rasa syukur dan terima kasih untuk orang tua tercinta ayah (Alm) Musa Thaib dan ibu Nyak Maneh yang telah bersusah payah melahirkan, merawat, membesarkan, dan mendidik penulis sehingga bisa menempuh pendidikan tinggi hingga seperti sekarang ini, serta dukungan penuh seluruh keluarga yang tidak putus-putusnya mengiringi penulis dengan materi dan do’a. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Bogor, Agustus 2014 Mujiburrahmad
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vi
PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian
1 1 4 6 6
TINJAUAN PUSTAKA Penyuluhan Pertanian Penyuluh Pertanian Karakteristik Internal Penyuluh Karakteristik Eksternal Penyuluh Kompetensi Penyuluh Pertanian Kinerja Penyuluh Pertanian Tugas Penyuluh Pertanian Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian
6 6 8 10 12 14 19 20 22
METODE Rancangan dan Lokasi Penelitian Populasi dan Responden Penelitian Data dan Instrumenasi Validitas dan Reliabilitas Instrumen Analisis Data Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah
25 25 25 25 26 28 28
HASIL DAN PEMBAHASAN Wilayah Penelitian Karakteristik Internal Penyuluh Karakteristik Eksternal Penyuluh Kompetensi Penyuluh Pertanian Kinerja Penyuluh Pertanian Hubungan Karakteristik Internal Penyuluh dengan Kinerja Penyuluh Hubungan Karakteristik Eksternal Penyuluh dengan Kinerja Penyuluh Hubungan Karakteristik Kompetensi dengan Kinerja Penyuluh
31 31 35 40 45 47 53 56 59
SIMPULAN DAN SARAN
62
DAFTAR PUSTAKA
63
LAMPIRAN
68
DAFTAR TABEL 1 2 3
Sebaran mata pencaharian penduduk di Kabupaten Pidie Kondisi pengairan lahan persawahan di Kabupaten Pidie Sasaran luas tanam, panen, produktivitas dan produksi komoditas pertanian tanaman pangan di Kabupaten Pidie 4 Distribusi penyuluh pertanian berdasarkan kecamatan dan kekurangan penyuluh 5 Rasio antara jumlah penyuluh dengan petani, luas wilayah binaan, jumlah BPP dan jumlah BOP 6 Karakteristik internal penyuluh di Kabupaten Pidie tahun 2014 7 Karakteristik eksternal penyuluh di Kabupaten Pidie tahun 2014 8 Kompetesi penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie tahun 2014 9 Tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie tahun 2014 10 Hubungan karakteristik internal dengan kinerja penyuluh pertanian 11 Hubungan karakteristik eksternal dengan kinerja penyuluh pertanian 12 Hubungan kompetensi tugas dengan kinerja penyuluh pertanian
32 32 33 34 35 36 41 45 48 54 57 60
DAFTAR GAMBAR 1
Kerangka berpikir operasional kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh
24
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Lokasi penelitian Hasil analisis korelasi Dokumentasi penelitian
68 69 72
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang Sektor pertanian hingga kini masih memiliki peranan yang strategis dalam pembangunan nasional, baik bagi pertumbuhan ekonomi maupun pemerataan pembangunan. Peran strategis sektor pertanian bagi pertumbuhan ekonomi antara lain: penyedia pangan bagi penduduk Indonesia, penghasil devisa negara melalui ekspor, penyedia bahan baku industri, peningkatan kesempatan kerja dan usaha, peningkatan PDB, pengentasan kemiskinan dan perbaikan SDM pertanian melalui kegiatan penyuluhan pertanian. Sesuai dengan visi pembangunan pertanian adalah terwujudnya pertanian tangguh untuk pemantapan ketahanan pangan, peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian serta peningkatan kesejahteraan petani. Untuk mewujudkan ketahanan pangan suatu wilayah, diperlukan kebijakan pemerintah yang lebih berpihak kepada petani agar seluruh rangkaian proses produksi pertanian dapat berjalan dengan optimal melalui pencapaian produksi dan stabilitas (kepastian) harga yang menempatkan petani pada posisi tawar yang menguntungkan. Pencapaian tersebut dapat terlaksana bila didukung juga oleh kondisi sumberdaya manusia petani dan aparatur yang berkualitas (Departemen Pertanian 2012). Penyuluhan pertanian di Indonesia saat ini mendapatkan payung hukum dalam pembangunan pertanian sejak diterbitkannya Undang Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (UU SP3K). Lahirnya UU ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk mewujudkan revitalisasi pertanian, dimana pertanian dipandang secara luas yang meliputi pertanian, perikanan dan kehutanan. UU SP3K tersebut dapat digunakan oleh pemerintah pusat maupun daerah dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian di Indonesia. Konsekuensinya adalah pembenahan pelaksanaan penyuluhan pertanian di Indonesia. Pembenahan tersebut meliputi aspek kelembagaan, aspek sumberdaya manusia, baik penyuluh maupun petani, disamping aspek lainnya. Dalam hal kelembagaan, pada setiap tingkatan (pusat, propinsi, kabupaten, dan kecamatan) telah dirancang bentuk-bentuk kelembagaan dengan fungsi dan tugasnya masing-masing. Sejalan dengan itu Leeuwis (2009) menyatakan bahwa sampai saat ini, penyuluhan terutama dilihat sebagai suatu fungsi, sangat penting dalam membantu perkembangan pengetahuan dan alih tekhnologi diantara para petani dan peneliti, atau diantara para petani itu sendiri. Undang-undang No. 16 Tahun 2006 disebutkan bahwa pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan yang berkelanjutan merupakan suatu keharusan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan, dan bahan baku industri, memperluas lapangan kerja dan berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya petani, pekebun, peternak, nelayan, pembudidaya ikan, pengolah ikan, dan masyarakat di dalam dan di sekitar kawasan hutan untuk mengentaskan masyarakat dari kemiskinan khususnya di pedesaan, meningkatkan pendapatan nasional serta menjaga kelestarian lingkungan. Hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan peran sektor pertanian, perikanan, dan kehutanan adalah dengan
2 cara meningkatkan sumberdaya manusia yang berkualitas, andal, serta berkemampuan manajerial, kewirausahaan, dan organisasi bisnis sehingga pelaku pembangunan pertanian, perikanan, dan kehutanan mampu membangun usaha dari hulu sampai dengan hilir yang berdaya saing tinggi dan mampu berperan serta dalam melestarikan hutan dan lingkungan hidup sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Penyuluh dapat didefinisikan sebagai seseorang yang atas nama pemerintah atau lembaga penyuluhan berkewajiban untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sasaran untuk menghadapi inovasi. Lebih lanjut UU No. 16 Tahun 2006 menyebutkan penyuluh adalah perorangan, WNI bisa Pegawai Negeri Sipil, penyuluh swasta dan penyuluh swadaya. Permen PAN No. 2 Tahun 2008 menegaskan Penyuluh Pertanian adalah Jabatan Fungsional yang memiliki ruang lingkup tugas, tanggung jawab dan wewenang penyuluhan pertanian yang diduduki oleh Pegawai Negeri Sipil yang diberi hak serta kewajiban secara penuh oleh pejabat yang berwenang. Penyuluh pegawai negeri sipil yang selanjutnya disebut penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan. Penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan oleh pelaku utama (petani) dan atau warga masyarakat sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkatan administrasi pemerintah (Departemen Pertanian 2012). Kinerja penyuluh pertanian yang baik merupakan dambaan setiap stakeholder pertanian. Petani yang terbelenggu kemiskinan merupakan ciri bahwa penyuluhan pertanian masih perlu untuk terus meningkatkan perannya dalam rangka membantu petani memecahkan masalah mereka sendiri terutama dalam aspek usahatani. Menurut Herbenu (2007) kinerja penyuluh pertanian merupakan capaian hasil kerja penyuluh dalam melaksanakan tugas–tugas yang dibebankan kepadanya, didasarkan atas kemampuan, pengalaman dan kesungguhan serta penggunaan waktu. Kinerja penyuluh akan baik bila penyuluh telah melaksanakan unsur–unsur yang terdiri dari kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas menyiapkan kegiatan penyuluhan, kedisiplinan dan kreativitas dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan, kerjasama dengan petani dan pihak yang terkait dalam pengembangan usahatani, kepemimpinan yang menjadi panutan, kepribadian yang baik, jujur dan objektif dalam membina petani, serta tanggungjawab terhadap tugas. Undang-Undang No. 16 Tahun 2006 mencantumkan bahwa penyuluh pertanian harus mempunyai kemampuan, keterampilan dan semangat kerja untuk memajukan pertanian di Indonesia. Namun dalam kenyataannya tidak semua penyuluh mempunyai kemampuan, ketrampilan dan semangat kerja seperti yang tercantum dalam undang-undang. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kinerja, antara lain: kepemimpinan, motivasi, lingkungan kerja, insentif, budaya kerja, komunikasi, pemberian gizi pegawai, pelatihan dan masih banyak yang lainnya. Semua faktor itu pasti berpengaruh ada yang dominan dan ada juga yang tidak. Hal ini bisa dipahami karena masing masing individu penyuluh mempunyai
3 latar belakang pendidikan, pengalaman, motivasi, kemampuan dasar, dan hal lainnya yang berbeda, yang pada akhirnya berpengaruh pada kinerja mereka. Oleh karena itu kehadiran seorang pemimpin yang mampu memotivasi, menyamakan persepsi, menyatukan visi dan misi, sangat dibutuhkan. Pada masa orde baru, penyuluhan pertanian dicitrakan sebagai alat pemerintah dalam membantu pemerintah menciptakan swasembada pangan dengan pendekatan peningkatan produksi usahatani oleh petani. Penyuluhan pertanian saat itu sangat diperhatikan dan dinilai sukses mengantarkan swasembada pangan. Selanjutnya, pada masa orde reformasi, penyuluhan pertanian mengalami masa yang suram terutama dengan perubahan kelembagaan penyuluhan itu sendiri dengan keluarnya undang-undang pemerintahan daerah tentang otonomi daerah yang secara langsung berdampak pada kinerja penyuluh pertanian. Keberhasilan penyuluhan pertanian di masa orde baru cenderung menggunakan pendekatan dipaksa, terpaksa dan biasa. Petani dipaksa untuk menerima teknologi tertentu, sehingga petani terpaksa melakukannya, dan kemudian petani menjadi biasa melakukannya, yang pada akhirnya petani akan meningkat kemampuannya sehingga dapat meningkatkan produktivitas usahataninya. Dalam era reformasi dan otonomi sekarang ini, pendekatan dari atas tentunya sudah tidak relevan lagi karena yang diinginkan adalah petani dan keluarganya mengelola usahataninya dengan penuh kesadaran, bukan terpaksa, serta mampu melakukan pilihan-pilihan yang tepat dari alternatif yang ada, yang ditawarkan penyuluh pertanian dan pihak-pihak lain. Dengan pilihannya itu maka petani menjadi yakin bahwa dia akan dapat mengelola usahataninya dengan produktif, efisien dan menguntungkan serta berdaya saing tinggi. Dalam melakukan pilihan inilah, petani mendapatkan bantuan dari penyuluh pertanian dan pihak lain yang berkepentingan dalam bentuk hubungan kemitraan sehingga tidak terjadi pemaksaan. Penyuluh pertanian merupakan ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan masyarakat khususnya petani dalam kedudukan tersebut sudah seharusnya penyuluh memiliki berbagai peran yang dapat menunjang tugas dan fungsinya dalam memajukan petani. Hal tersebut terutama karena masalah yang dihadapi di lapangan tidak saja menyangkut persoalan usahatani semata, melainkan berbagai persoalan, baik masalah sosial, budaya, tingkat pengetahuan, maupun kepercayaan masyarakat petani. Oleh karena itu, penyuluh dituntut untuk menggunakan pendekatan yang beragam dalam membantu menyelesaikan persoalan petani. Namun demikian, kenyataan yang terjadi pada saat ini menunjukkan bahwa pada tiga darsawarsa terakhir ini kondisi penyuluhan pertanian berada pada posisi yang cukup memprihatinkan. Mereka diharapkan sebagai ujung tombak pembaharuan teknologi produksi pertanian, ternyata tombak yang dimiliki tumpul dan belum pantas disebut tombak pembaharuan. Mereka diharapkan dapat mengatasi permasalahan teknologi pertanian dan manajemen produksi petani, akan tetapi kenyataannya mereka mempunyai permasalahan internal organisasi yang kurang mendukung peran mulia yang dipikulkan kepada mereka. Upaya mengatasi permasalahan tersebut diharapkan respon baik dari pemerintah daerah untuk membangun sistem penyuluhan dan penyelenggaraan penyuluhan yang terintegrasi. Untuk mencapai hal ini, perlu adanya sosialisasi secara luas kepada seluruh pemangku kepentingan untuk membangun kesamaan
4 persepsi dalam operasionalisasinya sehingga penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan produktif, efektif dan efesien di setiap tingkatan dalam satu kelembagaan yang kuat. Berkaitan dengan pembangunan pertanian masa depan, peran penyuluh dalam pembangunan pertanian dewasa ini kian diperlukan dan menempati posisi yang srategis dan menentukan bagi keberhasilan pembangunan. Penyuluh sebagai patner sekaligus konsultan petani dituntut mampu memberikan: (a) kondisi kondusif sehingga berbagai kegiatan penyuluhan sebagai proses pembelajaran petani berjalan optimal, (b) menjawab tuntutan dan tantangan dalam berbagai hal, dan (c) menggali dan meningkatkan kemampuan petani dalam memenuhi kebutuhan petani sesuai amanah UU No.16/2006. Berbagai program dan hasil yang telah dicapai tersebut tentunya tidak terlepas dari peran penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dalam membina petani. Pada pelaksanaannya program penyuluhan, tugas dan tanggung jawab penyuluh pertanian jelas, sehingga mereka berupaya menciptakan kinerja yang baik. Berdasarkan latar belakang di atas, maka menjadi penting dilakukan penelitian tentang kinerja penyuluh pertanian dengan adanya perubahan kelembagaan penyuluhan yang sesuai dengan amanah UU No.16/2006.
Perumusan Masalah Salah satu Kabupaten di Provinsi Aceh yang usaha sektor pertaniannya berpeluang dan potensial untuk dikembangkan adalah Kabupaten Pidie. Menurut data BPS Pidie (2012), wilayah Kabupetan Pidie didominasi oleh lahan pertanian yang luasnya mencakup sekitar 22 persen dari luas total lahan yang ada. Kabupaten Pidie memiliki potensi pertanian yang cukup tinggi. Sektor ini menjadi sektor unggulan sebagai kontributor terbesar terhadap perekonomian Pidie di tahun 2012. Hal ini ditandai dengan kontribusi sektor pertanian terhadap PDRB yang mencapai 59.25 persen pada tahun 2012 dengan nilai nominal mencapai Rp2 781. Sektor dengan kontribusi terbesar kedua adalah sektor jasajasa, dengan kontribusi sebesar 15.50 persen. Sektor dengan kontribusi terkecil terhadap pembentukan PDRB Kabupaten Pidie adalah listrik, gas dan air bersih yakni hanya 0.35 persen (BPS Pidie 2012). Jumlah kecamatan di Kabupaten Pidie sebanyak 23 kecamatan, jumlah mukim sebanyak 94 mukim dan jumlah desa ada 730 desa, jumlah penyuluh Kabupaten Pidie adalah 111 orang, 57 orang di antaranya sebagai Tenaga Harian Lepas (THL) dan 54 orang sebagai penyuluh pegawai negeri sipil. Mata pencaharian masyarakat di Kabupaten Pidie sekitar 62.45 persen atau 98.140 jiwa penduduknya bermata pencaharian di bidang pertanian yang mempunyai potensi besar untuk pembangunan pertanian. Potensi lahannya pun ada, tapi kenyataannya jumlah penyuluh pertanian masih jauh dari ideal (BPS Pidie 2012). Kondisi penyuluhan selama dekade terakhir ini banyak mengalami kemunduran, kemandulan dan stagnasi. Hal ini terjadi secara nasional dan kondisi tersebut juga terjadi di Kabupaten Pidie sehingga maju mundurnya penyuluh sangat bergantung dari apresiasi dari pemegang kebijakan di masing-masing daerah dalam memahami tugas dan fungsi strategis penyuluhan pertanian dalam membangun sistem dan usaha agribisnis. Permasalahan tentang kondisi tenaga
5 penyuluh pertanian pada saat ini adalah sebagai berikut: (1) Berdasarkan UU Nomor 16 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2007 setiap desa harus mempunyai penyuluh pertanian paling tidak satu orang penyuluh. Banyak alih tugas penyuluh pertanian ke jabatan lain yang tidak sesuai dengan kompetensi penyuluh pertanian. Kondisi ini menyebabkan berkurangnya tenaga penyuluh pertanian yang mengakibatkan tidak sebandingnya jumlah tenaga penyuluh pertanian dengan jumlah petani/kelompoktani yang harus dilayani. Kondisi tersebut juga menyebabkan banyak penyuluh pertanian yang frustasi karena ditempatkan pada jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensinya. (2) Penyuluh pertanian swakarsa dan swasta belum berkembang dengan baik, karena pembinaannya belum terprogram dan belum didukung oleh peraturan perundang-undangan. Kondisi ini menyebabkan belum optimalnya peran serta petani dan swasta dalam penyelenggaraan penyuluhan pertanian. (3) Peningkatan kompetensi penyuluh pertanian, terutama melalui diklat, sudah jarang dilakukan. Hal ini menyebabkan rendahnya kemampuan penyuluh dalam menjalankan tugasnya dan menurunnya kredibilitas mereka di mata petani. (4) Pembiayaan penyuluhan pertanian yang bersumber dari pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota baik melalui dana dekonsentrasi, Dana Alokasi Umum (DAU), dan APBD maupun kontribusi dari petani dan swasta masih sangat terbatas. Kondisi ini menyebabkan penyelenggaraan penyuluhan pertanian tidak optimal, yang pada gilirannya akan menghambat pelaksanaan program pembangunan pertanian. (5) Terbatasnya sarana dan prasarana yang dimiliki penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Kondisi ini akan menyebabkan rendahnya mobilitas penyuluh pertanian dan kurang optimalnya pelayanan terhadap petani. Dari uraian di atas, timbul suatu pertanyaan, bagaimanakah kinerja penyuluh pertanian saat ini di Kabupaten Pidie. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka perlu dilakukan telaah mendalam tentang hal tersebut. Secara khusus masalah yang ditelaah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana tingkat kinerja Penyuluh Pertanian di Kabupaten Pidie dalam melaksanakan tugas–tugasnya? 2. Faktor–faktor apa yang berhubungan dengan kinerja penyuluh pertanian?
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengindentifikasi tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie dalam melaksanakan tugas-tugasnya. 2. Menganalisis faktor–faktor yang berhubungan dengan kinerja penyuluh pertanian.
6 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis sebagai berikut : 1. Secara teoritis penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu penyuluhan pembangunan, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan kinerja penyuluh pertanian sehingga dapat dijadikan acuan bagi peneliti lain untuk penelitian lebih lanjut. 2. Secara praktis penelitian ini diharapkan diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan sebagai acuan bagi instansi teknis pusat dan daerah yang menangani pembinaan penyuluhan pertanian dalam menyusun kebijakan guna perbaikan sistem penyuluhan pertanian selanjutnya, khususnya di Kabupaten Pidie.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Penyuluhan Pertanian Jika melihat dari sejarah, penyuluhan itu berawal dari suatu sistem pertukaran informasi mengenai pertanian (agricultural information exchange) yang dengan tujuan untuk meningkatkan hasil pertanian. Hal ini sudah dilakukan oleh Mesir kuno, Mesopotamia, dan Yunani (Leeuwis 2004). Dalam bahasa Inggris, istilah penyuluhan menggunakan istilah extention. Penggunaan istilah ini berawal dari university extension atau extension of the university yang merupakan kegiatan staf pengajar dari universitas untuk menyebarkan informasi dan ilmu pengetahuan tentang pertanian kepada masyarakat non-universitas (Leeuwis 2004). Penggunaan extension akhirnya lebih lazim digunakan terutama untuk penyuluhan pertanian (agricultural extension). Penggunaannya berkembang ke bidang-bidang lain keluarlah istilah Extension Education, Development Communication atau Development Extension (Penyuluhan Pembangunan) (Hafsah 2009). Kartasapoetra (1991) menyatakan bahwa: “Penyuluhan pertanian adalah suatu usaha atau upaya untuk mengubah perilaku petani dan keluarganya, agar mereka mengetahui dan mempunyai kemauan serta mampu memecahkan masalahnya sendiri dalam usaha atau kegiatan-kegiatan meningkatkan hasil usahanya dan tingkat kehidupannya”. Di Indonesia istilah “penyuluhan”, berasal dari akar kata “suluh” yang berarti obor (torch). Istilah ini sejalan dengan istilah yang digunakan di Belanda yaitu voorlichting, yang berarti “menerangi jalan di depan agar orang dapat menemukan jalannya sendiri”, sama seperti fungsi obor. Atau dengan kata lain, penyuluhan adalah upaya untuk membantu orang menemukan jalan keluar atas persoalan yang dihadapi (enlightenment) (Leeuwis 2004). Konsep enlightenment inilah yang mengawali pengertian penyuluhan, dimana digambarkan bahwa ada seseorang yang secara akademik memadai memberikan pencerahan kepada orang-orang awam agar mereka bisa melihat
7 jalan yang lebih baik untuk diri mereka sendiri. Pengertian seperti ini, jelas-jelas menunjukkan dimensi pendidikan (edukasi) dari penyuluhan, walau masih bersifat paternalistik dimana seorang penyuluh datang sebagai orang yang mengajarkan sesuatu yang baru kepada peserta penyuluhan, sedangkan peserta penyuluhan hanya bersifat pasif mendengarkan dan berusaha memahami (Leeuwis 2004). Van den Ban dan Hawkins (1999) mengatakan bahwa: Penyuluhan merupakan keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar dengan tujuan membantu sesamanya memberikan pendapat sehingga bisa membuat keputusan yang benar. Mengenai pengertian penyuluhan penulis setuju dengan pendapat Slamet (2003), sebagai berikut: “Suatu pendidikan yang bersifat non formal yang bertujuan untuk membantu masyarakat/petani merubah perilakunya dalam hal pengetahuan, keterampilan dan sikap agar mereka dapat memecahkan masalah yang dihadapinya guna mencapai kehidupan yang lebih baik”. Tujuan utama dari penyuluhan pertanian adalah mempengaruhi para petani dan keluarganya agar berubah perilakunya sesuai dengan yang diinginkan, yaitu perbaikan mutu hidup dari para keluarga tani. Penyuluh pertanian yang efektif adalah yang dapat menimbulkan perubahan informasi atau perolehan informasi baru kepada petani, memperbaiki kemampuan atau memberi kemampuan dan kebiasaan baru petani dalam upaya memperoleh sesuatu yang mereka kehendaki. Undang–undang No.16 Tahun 2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan, dan kehutanan merumuskan bahwa: “Penyuluhan pertanian adalah proses pembelajaran bagi para pelaku utama serta pelaku usaha agar mereka mau dan mampu menolong dan mengorganisasikan dirinya dalam mengakses informasi pasar, teknologi, permodalan, sumberdaya lainnya, sebagai upaya untuk meningkatkan produktifitas, efisiensi usaha, pendapatan, dan kesejahteraannya serta meningkatkan kesadaran dalam pelestarian lingkungan hidup”. Mardikanto (2009) menyatakan, penyuluhan sebagai proses pendidikan atau proses belajar diartikan bahwa, kegiatan penyebarluasan informasi dan penjelasan yang diberikan dapat merangsang terjadinya proses perubahan perilaku yang dilakukan melalui proses pendidikan atau kegiatan belajar. Artinya, perubahan perilaku yang terjadi/dilakukan oleh sasaran tersebut berlangsung melalui proses belajar.
Penyuluh Pertanian Undang–undang Nomor 16 Tahun 2006, penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, atau penyuluh kehutanan, baik penyuluh PNS, swasta maupun swadaya yang selanjutnya disebut penyuluh adalah perorangan warga Negara Indonesia yang melakukan kegiatan penyuluhan. Penyuluh pegawai negeri sipil yang selanjutnya disebut penyuluh PNS adalah pegawai negeri sipil yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang pada satuan organisasi lingkup pertanian, perikanan, atau kehutanan untuk melakukan kegiatan penyuluhan. Penyelenggaraan penyuluhan dapat dilaksanakan
8 oleh pelaku utama (petani) dan atau warga masyarakat sebagai mitra pemerintah dan pemerintah daerah, baik secara sendiri-sendiri maupun bekerja sama, yang dilaksanakan secara terintegrasi dengan programa pada tiap-tiap tingkatan administrasi pemerintah (Departemen Pertanian 2012). Peranan dari penyuluh pertanian sebagai fasilitator, motivator dan sebagai pendukung gerak usaha petani merupakan titik sentral dalam memberikan penyuluhan kepada petani akan pentingnya berusahatani dengan memperhatikan kelestarian dari sumberdaya alam. Kesalahan dalam memberikan penyuluhan kepada petani akan menimbulkan dampak negatif dan merusak lingkungan. Penyuluh sebagai motivator berperan mendorong petani mandiri melakukan perubahan dengan menggunakan ide baru untuk memperbaiki taraf hidupnya. Penyuluh adalah seorang profesional yang bergerak di garis depan yang berinisiatif melakukan perubahan, membantu masyarakat sasaran melaksanakan aktivitas usahataninya, memperkenalkan dan menyebarkan ide–ide baru, mendorong partisipasi dan mendukung kepentingan masyarakat sasaran (Mardikanto 2009). Penyuluh pertanian lebih luas dan lebih jauh dari sekedar kegiatan penerangan. Penyuluh melibatkan proses komunikasi umpan balik dan ada evaluasi terhadap perubahan perilaku yang dicapai pada diri sasaran (Slamet 2000). Proses penyelenggaraan penyuluhan pertanian dapat berjalan dengan baik dan benar apabila didukung dengan tenaga penyuluh yang profesional, kelembagaan penyuluh yang handal, materi penyuluhan yang terusmenerus mengalir, sistem penyelenggaraan penyuluhan yang benar serta metode penyuluhan yang tepat dan manajemen penyuluhan yang polivalen (Warya 2008). Penyuluhan pertanian sebagai suatu proses pembelajaran seharusnya menjadi jembatan bagi pelaku utama dan usaha pertanian dari tidak tahu menjadi tahu terhadap suatu inovasi. Rogers dan Shoemaker (1985) mendefinisikan inovasi sebagai gagasan, tindakan atau barang yang dianggap baru oleh seseorang. Dikatakannya ada empat unsur penting dalam proses penyebaran (difusi) suatu inovasi yaitu: (1) inovasi: (2) yang dikomunikasikan melalui saluran tertentu: (3) dalam jangka waktu tertentu: kepada (4) anggota suatu sistem sosial. Di dalam mengkomunikasikan suatu inovasi ke dalam suatu sistem sosial itulah dibutuhkan agen pembaharu. Fungsi utama agen pembaharu adalah menjadi mata rantai penghubung antara dua sistem sosial atau lebih. Penyuluh pertanian sebagai salah satu komponen agen pembaharu merupakan penghubung mata rantai antara petani dengan lembaga lain yang terkait dengan aktivitas usahatani. Agen pembaharu berperan sebagai tangan-tangan lembaga pembaharu, yakni instansi pemerintah atau organisasi yang bertujuan untuk mengadakan perubahan di masyarakat ke arah kemajuan. Mardikanto (1993) menyatakan bahwa semula peran utama penyuluh adalah menyampaikan inovasi dan mempengaruhi sasaran penyuluhan melalui teknik dan metode tertentu sehingga mereka sadar dan mampu mengadopsi inovasi yang disampaikan. Namun sesuai dengan perubahan kondisi maka peran penyuluh pertanian mengalami pergeseran meliputi: penyampai inovasi, mempengaruhi keputusan sasaran, menjadi jembatan penghubung antara pemerintah dan lembaga penyuluhan dengan petani, serta menggerakkan masyarakat agar mau berubah. Padmowiharjo (2001) mempertegas bahwa peran penyuluhan hendaknya memberikan penekanan pada aspek pendidikan, bukan pelayanan, dalam program
9 pembangunan masyarakat. Pendidikan membantu masyarakat bagaimana mengerjakan sesuatu bagi mereka sendiri, sedangkan pelayanan adalah mengerjakan sesuatu untuk masyarakat. Pendidikan menjadikan masyarakat percaya diri, pelayanan menjadikan masyarakat tergantung pada orang lain. Rogers dan Shoemaker (1985) menyatakan ada tujuh peran agen pembaharu dalam memperkenalkan inovasi kepada kliennya: a. Membangkitkan kebutuhan untuk berubah. Ini berarti agen pembaharu berperan sebagai katalisator bagi kebutuhan kliennya. Dalam memulai proses perubahan agen pembaharu dapat mengemukan alternatif baru dalam mengatasi permasalahan yang ada. Bila perlu dapat juga mendramatisir permasalahan sehingga kliennya merasa yakin bahwa inovasi yang disodorkan memang betul-betul mampu memecahkan masalah mereka. b. Mengadakan hubungan untuk perubahan. Begitu kebutuhan untuk berubah telah tumbuh maka agen pembaharu harus membuka hubungan secara fisik dan sosial dengan kliennya, sebelum mereka diminta menerima inovasi yang dipromosikan. c. Mendiagnosa masalah. Agen pembaharu harus mampu menganalisis kebutuhan kliennya untuk menyatakan bahwa cara-cara yang sekarang digunakan kliennya sudah tidak mampu lagi mengatasi masalah yang ada, untuk itu secara psikologis ia harus terjun ke dalam situasi klien agar dapat melihat dunia klien menurut pandangan klien itu sendiri. d. Mendorong atau menciptakan motivasi untuk berubah pada diri klien. Agen pembaharu harus membangkitkan motivasi untuk mengadakan perubahan serta menimbulkan dorongan untuk menerima, atau setidak-tidaknya menaruh minat, terhadap inovasi yang ditawarkan. e. Merencanakan tindakan pembaharuan. Agen pembaharuan hendaknya berusaha mempromosikan pelaksanaan yang disarankannya. Klien diharapkan tidak hanya menyetujui atau menaruh minat terhadap inovasi tetapi termasuk merencanakan tindakan dalam pelaksanaan pembaharuan. f. Memelihara program pembaharuan dan mencegahnya dari kemacetan. Agen pembaharu diharapkan dapat memberikan berbagai informasi penunjang agar klien tetap merasa aman dan terasa segar melaksanakan pembaharuan. g. Mencapai hubungan terminal. Tujuan akhir dari tugas agen pembaharu adalah berkembangnya perilaku “memperbarui diri sendiri” pada kliennya. Untuk itu agen pembaharu harus berusaha agar kliennya dapat mengembangkan diri sehingga dapat berperan sebagai agen pembaharu, paling tidak untuk dirinya sendiri. Seorang penyuluh sesungguhnya adalah sebagai agen perubahan (change agent). Menurut Lippit et al. (1958) ada lima peran agen perubahan di dalam proses perubahan pada suatu masyarakat yaitu: a. Melakukan mediasi dan mendorong hubungan baru di dalam sistem klien. Agen perubahan hendaklah mampu mendorong terciptanya hubungan baru antar bagian yang ada di dalam sistem dan mereorganisasi hubungan lama. Hubungan baru yang lebih kondusif ini diperlukan untuk memungkinkan adanya perubahan di dalam masyarakat. b. Menunjukkan pengetahuan keahlian dalam prosedur. Agen perubahan harus mampu meyakinkan kliennya bahwa prosedur perubahan yang ia tawarkan betul-betul dapat digunakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Agen
10 perubahan dapat melakukan hal ini dengan memperkenalkan pengalamannya sehingga memungkinkan kliennya dapat menggali sendiri pengetahuan dan pengalaman yang ada di lingkungan mereka. c. Mendorong kekuatan dari dalam. Perubahan di dalam masyarakat sering menimbulkan konflik yang dapat menggagalkan proses perubahan itu. Oleh karenanya harus didorong munculnya kekuatan dari dalam sistem yang ada agar dapat menciptakan suasana yang kondusif untuk perubahan. d. Menyediakan lingkungan khusus. Ada kalanya klien tidak bisa mengembangkan dirinya dalam lingkungan yang ada, oleh karena itu harus diciptakan lingkungan khusus yang memungkinkan mereka dapat belajar misalnya membentuk kelompok diskusi atau mengunjungi tempat tertentu. e. Memberikan dukungan selama proses perubahan. Proses sering membutuhkan waktu yang panjang dan kompleks, oleh karena itu agen perubahan harus memberikan dukungan agar kliennya merasa yakin bahwa perubahan yang dilakukan merupakan suatu hal yang dapat terlaksana.
Karakteristik Internal Penyuluh Sumardjo (1999) membagi faktor internal penyuluh seperti: tingkat kekosmopolitan, pengalaman bekerja sebagai penyuluh, motivasi, persepsi, kesehatan dan karakteristik sosial ekonomi. Padmowiharjo (2000) menyebutkan beberapa faktor kararakteristik individu yang mempengaruhi proses belajar yaitu: umur, jenis kelamin, kesehatan, sikap mental, kematangan mental, kematangan fisik, dan bakat. Spencer dan Spencer (1993) mengatakan bahwa karakteristik individu yang dapat membentuk kompetensi dan menciptakan kinerja yang baik adalah: (1) motif individu, (2) ciri-ciri fisik, (3) konsep diri, (4) pengetahuan, dan (5) kemampuan teknis. Rogers dan Shoemaker (1985) menegaskan bahwa sifatsifat penting (karakteristik personal) agen pembaharu yang berperan dalam adopsi inovasi adalah: (1) kredibilitas, yang merujuk pada kompetensi, tingkat kepercayaan, dan kedinamisan agen pembaharu yang dirasakan oleh masyarakat sasaran, (2) kedekatan hubungan dan rasa memiliki antara agen pembaharu masyarakat sasaran, (3) sifat-sifat pribadi yang dimiliki seperti kecerdasan, rasa empati, komitmen, tingkat perhatian pada petani, kemampuan komunikasi, keyakinan dan orientasinya pada pembangunan. Huda (2010) menyatakan bahwa umur merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi efisiensi belajar, karena akan berpengaruh terhadap minatnya pada macam pekerjaan tertentu sehingga umur seseorang juga akan berpengaruh terhadap motivasinya untuk belajar. Mardikanto (1993) mengatakan bahwa umur akan berpengaruh kepada tingkat kematangan seseorang (baik kematangan fisik maupun emosional) yang sangat menentukan kesiapannya untuk belajar. Selaras dengan hal tersebut Mardikanto (2009) mengemukakan bahwa sesuai dengan bertambahnya umur, seseorang akan menumpuk pengalaman-pengalamannya yang merupakan semberdaya yang sangat berguna bagi kesiapannya untuk belajar lebih lanjut.
11 Masa kerja berkaitan erat dengan pengalaman kerja. Pengalaman adalah segala sesuatu yang muncul dalam riwayat hidup seseorang. Pengalaman seseorang menentukan perkembangan keterampilan, kemampuan, dan kompetensi. Pengalaman seseorang bertambah seiring dengan bertambahnya usia. Pengalaman seseorang dapat diukur secara kuantitatif berdasarkan jumlah tahun seseorang bekerja dalam bidang yang dijalani (Bandura 1986). Menurut Padmowiharjo (2004) pengalaman adalah suatu kepemilikian pengetahuan yang dialami seseorang dalam kurun waktu yang tidak ditentukan. Pengaturan pengalaman yang dimiliki seseorang sebagai hasil belajar selama hidupnya dapat digambarkan dalam otak manusia. Seseorang akan berusaha menghubungkan hal yang dipelajari dengan pengalaman yang dimiliki dalam proses belajar. Pengalaman kerja merupakan penentu yang lebih besar terhadap perilaku seseorang. Gagne (1967) mengatakan bahwa, pengalaman adalah akumulasi dari proses belajar yang dialami seseorang, kemudian menjadi pertimbangan-pertimbangan baginya dalam menerima ide-ide baru. Pengalaman kerja menyediakan tidak hanya pengetahuan tetapi juga kegiatan praktek langsung dalam bidangnya. Padmowiharjo (1994) menambahkan bahwa pengalaman baik yang menyenangkan maupun yang mengecewakan, akan berpengaruh pada proses belajar seseorang. Seseorang yang pernah mengalami keberhasilan dalam proses belajar, maka dia akan memiliki perasaan optimis akan keberhasilan dimasa mendatang. Sebaliknya seseorang yang pernah mengalami pengalaman yang mengecewakan, maka dia telah memiliki perasaan pesimis untuk dapat berhasil. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa, hakekat pendidikan adalah untuk meningkatkan kemampuan manusia agar dapat mempertahankan bahkan memperbaiki mutu keberadaannya agar menjadi semakin baik. Gilley dan Eggland (1989) menjelaskan bahwa, konsep behavioristik dari kinerja manusia dan konsep pendidikan menjadi dasar bagi pengembangan sumberdaya manusia. Orientasi ini menekankan pada pentingnya pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi organisasi. Slamet (2003) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang, semakin tinggi pula pengetahuan, sikap dan keterampilan, efisien bekerja dan semakin banyak tahu cara-cara dan teknik bekerja yang lebih baik dan lebih menguntungkan. Sejalan dengan pendapat tersebut. Bahua (2010) menyatakan bahwa pendidikan formal yang diikuti penyuluh dapat mempengaruhi kinerja penyuluh, karena dengan pendidikan formal seorang penyuluh dapat meningkatkan kinerjanya sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya. Peran media massa seperti surat kabar, majalah, radio, televisi dan internet sangat penting dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Media tersebut selain untuk sumber informasi, juga untuk menyampaikan gagasan, pendapat dan perasaan kepada orang lain (Van den Ban dan Hawkins 1999). Dengan media pertukaran interpersonal lebih langsung untuk sinkronisasi diantara pihak-pihak yang berkomunikasi dapat terjadi, yakni media dimana pengirim dan penerima dapat dengan mudah berubah peran (Leeuwis 2004). Dalam pelaksanaan pembangunan pedesaan sangat diperlukan berbagai sumberdaya, termasuk media massa. Media masa diperlukan karena dapat menimbulkan suasana yang kondusif bagi pembangunan dan dapat memotivasi
12 masyarakat serta menggerakan warga masyarakat desa untuk berpartisipasi dalam pembangunan (Jahi 2008). Pengertian kelompok menurut Slamet dan Sumardjo (2010) bahwa sebuah kelompok adalah dua individu atau lebih yang berinteraksi tatap muka (face to face interaction), yang masing-masing menyadari keanggotaannya dalam kelompok, masing-masing menyadari keberadaan orang lain yang juga anggota kelompok, dan masing-masing menyadari saling ketergantungan secara positif dalam mencapai tujuan bersama. Kelompok tani, menurut Mardikanto (1993) diartikan sebagai kumpulan orang-orang tani atau petani, yang terdiri atas petani dewasa (pria/wanita) maupun petani taruna (pemuda/i), yang terikat secara informal dalam suatu wilayah kelompok atas dasar keserasian dan kebutuhan bersama serta berada di lingkungan pengaruh dan pimpinan seorang kontak tani. Menurut Slamet (2001) bahwa salah salah satu kelemahan penyelenggaraan penyuluhan yang muncul pada periode 1986-1991 jumlah kelompok binaan penyuluh yang semula sekitar 16 kelompok dengan luas wilayah kerja penyuluh meliputi tiga sampai empat desa karena jangkauan geografis dan sosiologisnya makin, maka hanya sekitar 5–8 kelompok saja yang dapat "dibina" secara relatif intensif oleh penyuluh pertanian lapangan (PPL). Artinya tingkat kinerja penyuluh pertanian dikatakan baik apabila penyuluh tersebut mampu membina lima sampai delapan kelompok tani dalam satu wilayah kerja. Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang karakteristik internal tersebut, maka dapat disintesakan/disimpulkan bahwa karakteristik internal penyuluh merupakan sifatsifat yang dimiliki seorang penyuluh pertanian yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungannya, dengan faktor-faktor karakteristik meliputi: umur, masa kerja, pendidikan formal, pemanfaatan media, dan jumlah kelompok yang dibina.
Karakteristik Eksternal Penyuluh Sumardjo (1999) mengatakan selain faktor internal, faktor eksternal juga mempengaruhi kesiapan penyuluh dalam mendukung pertanian yang berkelanjutan. Menurutnya, faktor eksternal tersebut meliputi: dukungan kelembagaan penyuluhan, sistem nilai, sarana informasi/inovasi terjangkau, potensi lahan dan dukungan lembaga pelayanan. Banyak pengamat dan penyuluh pertanian berpendapat, bahwa pada periode 1991-1996 terjadi stagnasi atau kemunduran penyelenggaraan penyuluhan pertanian, bahkan sebagian mengatakan sebagai kehancuran penyuluhan pertanian. Menurut Slamet (2001) bahwa administrasi kepegawaian pada masa ini dikelola secara terpisah oleh masing-masing subsektor, yang menyebabkan perbedaan perlakuan sesama penyuluh dalam karirnya. Sistem manajemen organisasi yang mendukung karyawan seperti adanya administrasi yang baik dan rapi, tunjangan finansial yang mendukung, sistem reward yang jelas, promosi jabatan, sistem penggajian yang adil, serta sistem pendidikan dan pelatihan yang terus berkesinambungan akan menimbulkan profesionalisme yang tinggi bagi seorang karyawan dalam mengoptimalkan kinerjanya (Wibowo 2007). Slamet (2001) berpendapat bahwa melemahnya kemampuan penyuluh selain disebabkan oleh faktor pengkotakan dalam kelembagaan penyuluhan, juga
13 disebabkan oleh kurangnya fasilitas penyuluh untuk menjangkau petani. Mardikanto (2009) mengemukakan bahwa upaya-upaya perubahan usahatani yang disampaikan oleh penyuluh kepada petani sangat bergantung pada ketersediaan sarana produksi dan peralatan (baru) dalam bentuk jumlah, mutu dan waktu yang tepat. Jika sarana ini tersedia, maka keberhasilan penyuluh akan tercapai. Van den Ban dan Hawkins (1999) berpendapat bahwa ketidaktersedianya sarana penunjang untuk kegiatan penyuluhan menimbulkan masalah bagi seorang penyuluh yang kehilangan kepercayaan dari petani karena dianggap tidak mampu menyediakan sarana yang mereka butuhkan. Persoalan keterbatasan fasilitas kerja menurut Hubeis (2008) merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi etos kerja seorang pekerja. Penyuluh sebagai pekerja lapangan memang seharusnya memerlukan bantuan fasilitas kerja yang memadai. Untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian di lapangan perlu dukungan dan partisipasi aktif dari pemerintah daerah dan pemangku kepentingan lainnya khususnya dalam pembiayaan, sarana dan prasarana, dengan ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai, maka keberadaan dan peran aktif penyuluh akan semakin terlihat di lapangan. Lingkungan kerja yang aman, tertib dan terkendali memberi ketentraman bagi penyuluh pada saat bertugas, siang hari atau malam hari. Penyuluh pertanian umumnya tidak mengenal waktu kerja, dan siap membantu kelompok binaan kapan saja diperlukan, karena hal tersebut sangat berkaitan dengan minat mereka. Artinya semakin tinggi minat penyuluh dalam bertugas dan diikuti dengan lingkungan kerja yang aman dan tentram, maka produktivitas kerjanya juga semakin tinggi (Hubeis 2008). Unsur lingkungan yang mempengaruhi kinerja penyuluh adalah bagaimana suasana kerja yang mempengaruhi diri seorang penyuluh pertanian dalam melakukan pekerjaannya. Lingkungan organisasi (organisasi penyuluhan pertanian) dan wilayah tempat penyuluh pertanian bekerja adalah dua aspek yang mempengaruhi kinerja seorang penyuluh pertanian (Wibowo 2007). Lingkungan kerja yang memiliki gaya kepemimpinan yang partisipatif dan demokratis juga sangat mempengaruhi kinerja staf/karyawan. Van den Ban dan Hawkins (1999) mengemukakan bahwa tingkat kinerja seorang penyuluh akan sangat bergantung pada karakteristik pimpinan suatu organisasi penyuluhan. Gaya kepemimpinan yang partisipatif akan mampu mendorong kinerja staf/penyuluh demi tercapainya sasaran organisasi. Gaya kepemimpinan menurut Margono Slamet (2010), adalah kepemimpinan yang tidak statis, tetapi fleksibel yang mengalir seperti air yang mengikuti situasi permukaan. Gaya kepemimpinan yang diharapkan penyuluh selama 30 tahun terakhir mempunyai kecenderungan yang kuat berkembangnya gaya kepemimpinan yang lebih demokratis (Van den Ban dan Hawkins 1999). Wilayah kerja penyuluhan pertanian, pada umumnya tidak cukup memiliki pelayanan sosial yang memadai. Karena itu, seringkali sulit untuk mengangkat penyuluh-penyuluh yang andal yang mau ditugaskan di wilayah yang sulit untuk jangka waktu yang lama. Konsekuensinya adalah kita akan berhadapan dengan sejumlah besar penyuluh dengan kualifikasi rendah, atau menggunakan sedikit penyuluh yang andal (Mardikanto 1993). Tjiptropranoto (2003) menjelaskan, bahwa kegiatan penyuluhan pertanian perlu memperhitungkan perbedaan lingkungan sumberdaya alam dan iklim pada lokasi petani tersebut berada. Kondisi lokasi tugas yang berbeda berpengaruh pada efektivitas dan efisiensi
14 kegiatan penyuluhan. Penyuluh yang bertugas di wilayah dataran rendah dan sedang akan lebih mudah dan cepat melakukan pembinaan pada petani, dibandingkan dengan yang bertugas di wilayah dataran tinggi, dengan demikian keterjangkauan daerah tempat bekerja akan berpengaruh pada kinerja penyuluh pertanian. Partisipasi sebagaimana dikemukakan oleh Bank Dunia (Leeuwis 2004) adalah suatu proses dimana pemangku kepentingan mempengaruhi dan berbagai kontrol terhadap inisiatif pembangunan dan keputusan serta sumberdaya yang mempengaruhi. Pengertian ini mengandung makna mempengaruhi dan berbagi tentang inisiatif, keputusan dan sumberdaya. Sumardjo (2010) mengemukakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah berarti pengerahan tenaga rakyat secara sukarela, tetapi justru yang lebih penting adalah tergeraknya kesadaran rakyat untuk mau memanfaatkan kesempatan-kesempatan memperbaiki kualitas kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya. Kinerja seorang penyuluh dikatakan baik apabila keberadaan dan kegiatan atau program yang disampaikannya selalu mendapat dukungan dan partisipasi aktif seluruh masyarakat artinya bahwa apabila rakyat telah mau bertindak kearah perbaikan kehidupan diri, keluarga dan masyarakatnya barulah dapat dikatakan bahwa rakyat telah berpartisipasi dalam pembangunan. Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang karakteristik eksternal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik eksternal penyuluh merupakan faktor-faktor di luar diri seorang penyuluh yang dinilai berhubungan dengan kinerja penyuluh pertanian, yang meliputi: dukungan administrasi, ketersediaan sarana dan prasarana, kondisi lingkungan kerja, keterjangkauan daerah tempat bekerja, dan tingkat partisipasi aktif masyarakat.
Kompetensi Penyuluh Pertanian Spencer dan Spencer (1993) mendefinisikan kompetensi sebagai segala bentuk motif, sikap, keterampilan, pengetahuan, perilaku atau karakteristik pribadi lain yang penting untuk melaksanakan pekerjaan atau membedakan antara kinerja rata-rata dengan kinerja superior. Selanjutnya Spencer dan Spencer menjelaskan bahwa ada lima tipe kompetensi yaitu pengetahuan, keterampilan, konsep diri, sikap, dan motif. Kompetensi pengetahuan dan keterampilan tergolong lebih mudah dikembangkan dibandingkan dengan konsep diri, sikap, dan motif yang tergolong lebih tersembunyi dan merupakan pusat bagi personal seseorang. Mengacu pada pendapat tersebut, Mulyasa (2002) menyebutkan bahwa kompetensi merupakan perpaduan dari pengetahuan, sikap dan nilai, serta keterampilan yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Menurut Spencer dan Spencer (1993) bahwa kompetensi merupakan karakteristik mendasar seseorang, yang menentukan terhadap hasil kerja yang terbaik dan efektif sesuai dengan kriteria yang ditentukan dalam suatu pekerjaan atau situasi tertentu. Kompetensi menentukan perilaku dan kinerja (hasil kerja) seseorang dalam situasi dan peran yang beragam, dengan demikian, tingkat kompetensi seseorang dapat digunakan untuk memprediksi bahwa seseorang akan mampu menyelesaikan pekerjaannya dengan baik atau tidak, dalam bidang
15 pendidikan Mulyasa (2002) menyebutkan bahwa kompetensi yang harus dikuasai oleh pelajar perlu dinyatakan sedemikian rupa agar dapat dinilai, sebagai wujud hasil belajar yang mengacu pada pengalaman langsung, dengan demikian dalam pembelajaran yang dirancang berdasarkan kompetensi, penilaian tidak dilakukan berdasarkan pertimbangan yang bersifat subjektif. Penerapannya di bidang penyuluhan, kompetensi digunakan sebagai dasar perubahan keorganisasian dan peningkatan kinerja. Sumardjo (2010) menyebutkan bahwa, kompetensi merupakan kemampuan dan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan, yang didasari oleh pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental sesuai dengan petunjuk kerja (kinerja) yang ditetapkan. Puspadi (2002) bahwa kompetensi kerja adalah segala sesuatu pada individu yang menyebabkan kinerja yang prima. Sedangkan Gilley dan Eggland (1989) mengatakan kompetensi sebagai kemampuan yang dimiliki seseorang, sehingga yang bersangkutan dapat menyelesaikan perannya, oleh karena penyuluhan adalah pembelajaran orang dewasa, maka dalam konteks penyuluhan dimensi kompetensi penyuluh dalam penelitian ini mengacu kompetensi tugas/profesi penyuluh pertanian. Berkaitan dengan pengembangan kapital manusia dalam konteks penyuluhan menurut Sumardjo (2010), bahwa human kapital penyuluh setidaknya meliputi kompetensi-kompetensi (1) personal,(2) sosial,(3) andragogik, dan (4) komunikasi inovatif. Kompetensi personal adalah kesesuaian sifat bawaan dan kepribadian penyuluh yang tercermin dalam kemampuan membawakan diri, kepemimpinan, kesantunan, motif berprestasi, kepedulian, disiplin, terpercaya, tanggung jawab, dan ciri kepribadian penyuluh lainnya. Kompetensi sosial menyangkut kemampuan berinteraksi/berhubungan sosial, melayani, bermitra, bekerjasama dan bersinergi, mengembangkan kesetiakawanan, kohesif dan mampu saling percaya mempercayai. Kompetensi andragogik menyangkut kemampuan metodik dan teknik pembelajaran/mengembangkan pengalaman belajar untuk mempengaruhi dan merubah pengetahuan/wawasan, keterampilan/tindakan dan sikap (minat) sasaran penyuluhan, membangkitkan kebutuhan belajar/berubah, menyadari tanggung jawab dan kebutuhan sasaran penyuluhan, sedangkan kompetensi komunikasi inovasi menyangkut reaktualisasi diri, penguasaan teknologi informasi, kemampuan berempati, kemampuan komunikasi partisipatif/konvergensi, menggali dan mengembangkan pembaharuan, serta kewiraswastaan (enterpreneurship). Unsur-unsur yang penting dalam kompetensi merencanakan penyuluhan meliputi kemampuan mengidentifikasi potensi wilayah dan agroekosistem, kemampuan identifikasi kebutuhan petani, dan kemampuan menyusun rencana kerja penyuluhan. Bagi seorang penyuluh pertanian, identifikasi potensi wilayah dan agroekosistem tentang sebuah tempat dimana penyuluhan diadakan adalah sangat penting dan mendasar karena berdasarkan data tentang potensi wilayah dan agroekosistem itulah, penyuluh pertanian kemudian dapat menyusun materi penyuluhannya dan metode yang akan digunakannya. Potensi wilayah merupakan semua sumberdaya yang tersedia, yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah yang ada dalam upaya mencapai tujuan. Potensi wilayah bisa berupa fisik seperti lahan dan sumber air, dan berupa non fisik seperti minat dan pengetahuan petani, dari data tentang potensi wilayah dan
16 agroekosistem penyuluh akan menemukan berbagai hal tentang keadaan sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sarana dan prasarana yang tersedia atau tidak tersedia, karakteristik budaya dan norma setempat, keadaan topografi tanah dan penggunaannya, keadaan iklim dan curah hujan, dan sebagainya. Data tentang potensi wilayah dan agroekosistem ini bisa dikumpulkan oleh seorang penyuluh pertanian baik berupa data primer yakni hasil pengamatan, wawancara kepada pihak-pihak yang berkompeten, maupun hasil pengumpulan data sekunder dari berbagai sumber seperti monografi desa, dokumen-dokumen tertulis dari kabupaten/kecamatan/desa, badan pusat statistik dan lain-lain. Data potensi wilayah dan agroekosistem yang telah dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis sebagai masukan. Mardikanto (2009), mengemukakan bahwa dalam pelaksanaan penyuluhan, seorang penyuluh mutlak harus mengenal potensi wilayah kerja, karena dengan mengenal dan memahami potensi wilayah akan dapat membantu penyuluh dalam memahami: (1) keadaan masyarakat yang menjadi sasaran penyuluhan, (2) keadaan lingkungan fisik dan sosial masyarakat sasaran,(3) masalah-masalah yang pernah, sedang, dan akan dihadapi dalam melaksanakan penyuluhan, (4) kendala-kendala yang akan dihadapi dalam melaksanakan penyuluhan, dan (5) faktor-faktor pendukung dan pelancar kegiatan penyuluhan yang akan dilaksanakannya. Dalam kaitannya dengan pemahaman potensi wilayah, Slamet (2003) mengemukakan bahwa penyuluh perlu lebih memusatkan kepada kebutuhan pertanian dan petani setempat, ekosistem daerah kerja, ciri-ciri lahan dan iklim di daerah setempat harus dikuasai serta informasi-informasi yang disediakan harus sesuai dengan wilayah setempat. Dalam merencanakan kegiatan penyuluhan, seorang penyuluh harus memperhatikan atau mengetahui kebutuhan petani agar program penyuluhan yang diberikan sesuai, untuk itu, penyuluh perlu melakukan identifikasi terlebih dahulu tentang hal-hal apa saja yang dibutuhkan petani. Informasi yang diperoleh kemudian dianalisis sehingga penyuluh dapat mengetahui dengan pasti kebutuhan petani baik felt need maupun real need. Selanjutnya, Slamet (2003) menekankan bahwa kebutuhan atau kepentingan petani harus selalu menjadi titik pusat perhatian penyuluhan pertanian. Penyuluh harus lebih mendekatkan diri dengan petani. Penyuluh harus benar-benar mampu mengidentifikasi dan menetapkan kebutuhan petani serta menuangkan dalam program-program penyuluhan untuk dipecahkan melalui kerjasama sejati dengan petani. Rencana kerja penyuluh pertanian adalah jadwal kegiatan yang disusun oleh para penyuluh pertanian berdasarkan program penyuluhan pertanian setempat yang mencantumkan hal-hal yang perlu disiapkan dalam berinteraksi dengan petani nelayan. Program/rencana kerja penyuluhan pertanian yang baik adalah program/rencana kerja yang dibuat berdasarkan fakta, data, potensi wilayah yang akurat dan benar. Menurut Huda (2010) bahwa sebelum menetapkan rencana kerja penyuluhan, penyuluh sebaiknya mengkaji semua potensi dan sumberdaya dengan menggunakan analisis SWOT. Ketajaman dalam membuat analisis rencana kerja penyuluhan akan sangat bermanfaat dalam memecahkan masalah yang dihadapi oleh klien. Salah satu tugas penyuluh dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan adalah pengembangan swadaya dan swakarsa petani. Dalam pengembangan swadaya dan swakarya petani, seorang penyuluh pertanian dituntut untuk mampu: (1) menumbuhkan organisasi petani berupa pengembangan dan pembinaan
17 kelompok tani dan mengembangkan dan membina kelompok asosiasi: (2) meningkatkan kemampuan kelompok tani dari kelompok pemula menjadi kelompok lanjut, dari lanjut menjadi madya dan dari madya ke kelompok utama: (3) melakukan penilaian perlombaan pertanian: (4) memandu kegiatan swadaya pertanian berupa karyawisata/widyawisata, kursus tani, sekolah lapang, dan demonstrasi (baik demonstrasi plot, demonstrasi farm maupun demonstrasi area). Kegiatan penyuluhan adalah kegiatan berkomunikasi. Sebagai komunikator yang profesional, penyuluh pertanian pertama-tama harus mengetahui, menguasai dan mendalami informasi (pesan) yang akan disampaikan kepada masyarakat sasaran. Penyuluh harus memiliki pengetahuan yang luas tentang informasi pembangunan, ilmu, teknologi yang akan disampaikan kepada masyarakat sasaran. Kompetensi ini harus dilengkapi dengan kemampuan tentang cara, metode, dan teknik menyampaikannya sehingga mencapai hasil yang maksimal. Seorang penyuluh seharusnya menguasai konsep komunikasi dan cara-cara berkomunikasi. Menurut Hubeis (2008) penyuluhan adalah proses pembelajaran (pendidikan nonformal) yang ditujukan untuk petani dan keluarganya dalam pencapaian tujuan pembangunan. Menurut Nasution (2004) mengemukakan bahwa penyuluhan merupakan jenis pendidikan pemecahan masalah (problem solving) yang berorientasi pada tindakan yang mengajarkan sesuatu, mendemonstrasikan dan memotivasi, tapi tidak melakukan pengaturan (regulating) dan juga melaksanakan program yang nonedukatif. Penyuluhan adalah pendidikan luar sekolah (nonformal) yang diberikan kepada petani dan keluarganya dengan maksud agar mereka mampu, sanggup dan berswadaya memperbaiki atau meningkatkan kesejahteraan masyarakat disekelilingnya (Soekartawi 2005). Dalam pembelajaran orang dewasa, kegiatan penyuluhan yang diberikan lebih mengacu pada pemecahan masalah yang dihadapi dalam kehidupan petani dan keluarganya. Seorang penyuluh harus memahami dengan baik tujuan dari kegiatan penyuluhan tersebut. Untuk itu, penyuluh harus memiliki kemampuan yang baik tentang pembelajaran orang dewasa (andragogik). Sumardjo (1999) mengatakan bahwa kompetensi andragogik menyangkut kemampuan metodik dan teknik pembelajaran/mengembangkan pengalaman belajar untuk mempengaruhi dan merubah pengetahuan/wawasan, keterampilan/tindakan dan sikap (minat) sasaran penyuluhan, membangkitkan kebutuhan belajar, menyadari tanggung jawab dan kebutuhan sasaran penyuluhan. Konsep atau tujuan dari penyuluhan adalah meningkatkan pengetahuan, sikap mental, dan keterampilan petani dan keluarganya agar mereka tahu, mau, dan mampu mengubah perilakunya ke arah yang lebih baik dengan kata lain penyuluhan bertujuan untuk membantu petani dan keluarganya agar mereka mampu menolong dirinya sendiri. Penyuluhan merupakan proses pendidikan yang berkelanjutan, dalam pendidikan orang dewasa, ada beberapa prinsip yang perlu diperhatikan agar kegiatan penyuluhan dapat berjalan dengan baik yaitu: partisipasi, kemitraan, dan pemberdayaan (Jahi 2008). Dalam kaitannya dengan kegiatan pembelajaran, seorang penyuluh harus mampu menerapkan empat prinsip belajar orang dewasa yakni: (1) kesiapan (readiness), dimana warga belajar secara fisik dan mental siap menerima pelajaran, (2) hubungan (Assosiation) yakni suatu prinsip belajar yg
18 menghubungkan pengalaman belajar dengan pelajaran, sehingga penyuluh harus menyadari latar belakang warga belajar, (3) Akibat (Effect) yakni prinsip belajar yang memperhatikan kepuasan dan kekecewaan warga belajar dalam belajar, dan (4) latihan (Practice) yakni penggunaan alat indera (Hubeis 2008). Kegiatan penyuluhan adalah kegiatan berkomunikasi, sebagai komunikator yang professional penyuluh pertanian pertama-tama harus mengetahui, menguasai dan mendalami informasi (pesan) yang akan disampaikan kepada masyarakat sasaran. Penyuluh harus memiliki pengetahuan yang luas tentang informasi pembangunan, ilmu, teknologi yang akan disampaikan kepada masyarakat sasaran. Kompetensi ini harus dilengkapi dengan kemampuan tentang cara, metode, dan teknik menyampaikannya sehingga mencapai hasil yang maksimal. Seorang penyuluh seharusnya menguasai konsep komunikasi dan cara-cara berkomunikasi. Komunikasi dalam penyuluhan adalah suatu alat untuk menimbulkan perubahan di dalam penyuluhan. Secara umum komunikasi diartikan sebagai suatu proses penyampaian pesan dari sumber ke penerima, dalam prakteknya komunikasi tidak hanya sebatas pada pesan yang telah disampaikan atau diterima oleh penerima pesan, akan tetapi diharapkan penerima dapat memberikan tanggapannya kepada kepada sumber atau pengirim pesan untuk kemudian untuk kemudian proses komunikasi terus berlangsung (Mardikanto 2009). Sumardjo (1999) menyatakan bahwa penyuluhan dengan pendekatan komunikasi konvergen (interactive) dirancang sedemikian rupa, bersifat dialogis dan humanis (menghargai harkat martabat atau hak asasi manusia) sasaran, sehingga kondusif bagi berkembangnya kemampuan (pengetahuan, sikap dan keterampilan) mereka sejalan dengan perubahan lingkungan sosial dan fisik kehidupannya. Komunikasi dinilai efektif bila informasi yang disampaikan dan yang dimaksudkan oleh komunikator berkaitan erat dengan makna informasi yang ditangkap dan dipahami oleh komunikan. Ada empat unsur dasar efektif tidaknya suatu komunikasi menurut Berlo (Hubeis et al 2007) yakni: sumber pesan, saluran pembawa pesan, isi pesan (inovasi) dan penerima pesan. Sumardjo (1999) mengatakan bahwa kompetensi komunikasi inovasi menyangkut reaktualisasi diri, penguasaan teknologi informasi, kemampuan berempati, kemampuan komunikasi partisipatif/konvergensi, menggali dan mengembangkan pembaharuan, serta kewiraswastaan (entrepreneurship). Dengan demikian kompetensi berkomunikasi adalah kemampuan seorang penyuluh pertanian dalam memahami serta menerapkan proses komunikasi menjadi bagian penting dari metode penyuluhan pertanian (Soekartawi 2005). Komunikator yang kompeten akan mampu memberikan informasi secara efektif sehingga menimbulkan pemahaman, kesenangan serta mempengaruhi sikap dan tindakan dari penerima informasi. Sumardjo (2010), bahwa kompetensi bekerjasama merupakan salah satu ciri dari kompetensi sosial yakni kemampuan seorang penyuluh pertanian untuk menjalin hubungan/bekerjasama dan bersinergi dengan sasaran penyuluhan. Lebih jelas menurutnya, seseorang yang mandiri dicirikan memiliki kemampuan internal untuk bekerjasama atau berinteraksi dengan pihak lain secara interdependent, sinergis dan berkelanjutan dalam koridor nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama secara bermartabat, oleh karena itu seorang penyuluh seharusnya menguasai konsep bekerjasama dan teknik-teknik bekerjasama.
19 Berdasarkan pada berbagai pendapat dan teori tentang kompetensi penyuluh tersebut, maka disintesakan/ disimpulkan bahwa kompetensi penyuluh adalah kemampuan-kemampuan fungsional yang dimiliki seorang penyuluh yang dapat menciptakan kinerja yang baik dalam penelitian ini kompetensi fungsional dimaksud meliputi: pengelolaan program penyuluhan, pengelolaan kegiatan penyuluhan, penguasaan dan penerapan prinsip pembelajaran orang desawa, komunikasi, dan kemampuan kerjasama.
Kinerja Penyuluh Pertanian Disahkannya Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan di sisi lain memberikan kepastian hukum tentang peran penyuluhan di berbagai bidang (pertanian, perikanan dan kehutanan), tetapi di sisi lain juga menyisakan permasalahan mendasar seperti penyiapan sumberdaya manusia penyuluh. Sumberdaya Manusia yang handal akan mampu meningkatkan kinerja pelayanan kepada masyarakat. Sumberdaya manusia merupakan salah satu faktor kunci dalam reformasi ekonomi, yaitu menciptakan sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki keterampilan serta berdaya saing tinggi dalam menghadapi persaingan global yang selama ini terabaikan. Dalam kaitan itu ada dua hal yang penting yang menyangkut kondisi sumberdaya manusia pertanian di daerah yang perlu mendapatkan perhatian yaitu sumberdaya petugas dan sumberdaya petani. Kedua sumberdaya tersebut merupakan pelaku dan pelaksana yang mensukseskan program pembangunan pertanian. Rivai (2006) menyatakan penilaian prestasi adalah merupakan hasil kerja karyawan dalam lingkup tanggungjawabnya. Prakteknya, istilah penilaian kinerja (performance appraisal) dan evaluasi kerja (performance evaluation) dapat digunakan secara bergantian atau bersamaan karena pada dasarnya mempunyai maksud yang sama. Selanjutnya, instrumen penilaian kinerja dapat digunakan untuk mereview kinerja, peringkat kinerja, penilaian kinerja, penilaian karyawan dan sekaligus evaluasi karyawan sehingga dapat diketahui mana karyawan yang mampu melaksanakan pekerjaan secara baik, efisien, dan produktif sesuai dengan tujuan perusahaan. Hasibuan (2001) menyatakan bahwa kinerja (prestasi kerja) adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas–tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Kinerja seorang penyuluh dapat dilihat dari dua sudut pandang: pertama bahwa kinerja merupakan fungsi dari karakteristik individu, karakteristik tersebut merupakan variabel penting yang mempengaruhi perilaku seseorang termasuk penyuluh pertanian; kedua bahwa kinerja penyuluh pertanian merupakan pengaruh situasional diantaranya terjadi perbedaan pengelolaan dan penyelenggaraan penyuluhan pertanian di setiap Kabupaten yang menyangkut beragamnya aspek kelembagaan, ketenagaan, program penyelenggaraan dan pembiayaan (Jahi 2008). Menurut Herbenu (2007) kinerja penyuluh pertanian merupakan capaian hasil kerja penyuluh dalam melaksanakan tugas–tugas yang dibebankan
20 kepadanya, didasarkan atas kemampuan, pengalaman dan kesungguhan serta penggunaan waktu. Kinerja penyuluh akan baik bila penyuluh telah melaksanakan unsur–unsur yang terdiri dari kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas menyiapkan kegiatan penyuluhan, kedisiplinan dan kreativitas dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan, kerjasama dengan petani dan pihak yang terkait dalam pengembangan usahatani, kepemimpinan yang menjadi panutan, kepribadian yang baik, jujur dan objektif dalam membina petani, serta tanggungjawab terhadap tugas. Menurut Gomes (2001) bahwa kinerja seseorang dapat diukur dari: (1) Quantity of work, yaitu jumlah kerja yang dilakukan dalam suatu periode waktu yang ditentukan, (2) Quality of work, yaitu kualitas kerja dicapai berdasarkan syarat–syarat kesesuaian dan kesiapannya, (3) Job knowledge, yaitu luasnya pengetahuan mengenai pekerjaan dan keterampilannya, (4) Creativeness, yaitu keaslian gagasan–gagasan yang dimunculkan dan tindakan–tindakan untuk menyelesaikan persoalan–persoalan yang timbul, (5) Cooperation, yaitu kesediaan untuk bekerjasama dengan orang lain (sesama anggota organisasi), (6) Dependability, yaitu kesadaran dan dapat dipercaya dalam hal kehadiran dan penyelesaian pekerjaan, (7) Initiative, yaitu semangat untuk melaksanakan tugas– tugas baru dan dalam memperbesar tanggungjawabnya, dan (8) Personal qualities, yaitu menyangkut kepribadian, kepemimpinan, keramah–tamahan, dan integritas pribadi. Kinerja adalah hasil dari suatu pekerjaan yang dapat dilihat atau yang dapat dirasakan. Kinerja bisa diukur melalui standar kompetensi kerja dan indikator keberhasilan yang dicapai seseorang dalam suatu jabatan/pekerjaan tersebut (Padmowiharjo 2004). Kinerja seseorang ditentukan oleh kemampuan ketiga aspek perilaku yaitu kognitif, efektif dan psikomotor. Selama kinerja yang dimiliki petugas dengan kinerja yang dituntut oleh jabatannya terdapat kesenjangan, petugas tersebut tidak dapat berprestasi dengan baik dalam menyelesaikan tugas pokoknya. Kesenjangan kinerja adalah perbedaan kinerja yang dimiliki petugas pada saat ini dengan yang diharapkan oleh organisasi atau tuntutan pekerjaan (Hickerson dan Middleton 1975). Bernadin dan Russel dalam Sulistiyani dan Rosidah (2003) menjelaskan bahwa kinerja merupakan catatan outcome yang dhasilkan dari fungsi pegawai tertentu atau kegiatan yang dilakukan selama periode waktu tertentu. Gibson (1996) menyatakan kinerja adalah hasil yang diinginkan dari perilaku dan kinerja individu adalah dasar kinerja organisasi. Murdijanto (2001) menyatakan bahwa kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau kelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing–masing dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Tugas Penyuluh Pertanian Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tidak menjelaskan secara eksplisit mengenai tugas seorang penyuluh. Undang-undang tersebut hanya menyebutkan tugas lembaga-lembaga yang secara langsung menangani sistem penyuluhan dari
21 tingkat pusat sampai ke desa. Tugas seorang penyuluh pertanian tercermin dari kegiatan penyuluh yang digariskan pada Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/02/Menpan/2/2008 tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya. Berdasarkan keputusan tersebut kegiatan penyuluh pertanian dibedakan berdasarkan kelompok penyuluh yaitu penyuluh terampil dan ahli. Secara garis besar kegiatan penyuluh adalah: 1. Mengikuti pendidikan, meliputi: a) Pendidikan sekolah dan memperoleh ijazah/gelar b) Pendidikan dan pelatihan kedinasan dan memperoleh Surat Tanda Tamat Pendidikan dan Pelatihan (STTPP) atau sertifikat c) Pendidikan dan pelatihan prajabatan 2. Persiapan penyuluhan pertanian: a) Identifikasi potensi wilayah b) Memandu penyusunan rencana usaha petani c) Penyusunan programa penyuluhan pertanian (tim) d) Penyusunan rencana kerja tahunan penyuluh pertanian 3. Pelaksanaan penyuluhan pertanian: a) Penyusunan materi b) Perencanaan dan penerapan metode penyuluhan pertanian c) Menumbuhkan/mengembangkan kelembagaan petani 4. Evaluasi dan pelaporan: a) Evaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian b) Evaluasi dampak pelaksanaan penyuluhan pertanian 5. Pengembangan penyuluhan pertanian a) Penyusunan pedoman/juklak/juknis penyuluhan pertanian b) Kajian kebijakan pengembanganpenyuluhan pertanian c) Pengembangan metode/sistem kerja penyuluhan pertanian 6. Pengembangan profesi: a) Pembuatan karya tulis ilmiah di bidang pertanian b) Penerjemahan/penyaduran buku dan bahan-bahan di bidang pertanian c) Pemberian konsultasi di bidang pertanian yang bersifat konsep kepada institusi dan/atau perorangan 7. Penunjang tugas penyuluh pertanian: a) Peran serta dalam seminar/lokakarya/konferensi b) Keanggotaan dalam tim penilai jabatan fungsional penyuluh pertanian c) Keanggotaan dalam dewan redaksi penerbitan di bidang pertanian d) Perolehan penghargaan/tanda jasa e) Pengajaran/pelatihan pada pendidikan dan pelatihan f) Keanggotaan dalam organisasi profesi g) Perolehan gelar kesarjanaan lainnya
22 Kerangka Berpikir dan Hipotesis Penelitian
Kerangka Berpikir Upaya perbaikan taraf dan kesejahteraan masyarakat ditempuh melalui kegiatan pembangunan di segala bidang kehidupan, dari waktu ke waktu terus didorong, bahkan dipacu dengan berbagai terobosan. Demikian pula usaha peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat petani di pedesaan membutuhkan srategi pembangunan pertanian yang terpadu dan berkesinambungan. Sektor pertanian memberikan kontribusi yang cukup nyata terhadap pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pangan. Program pengembangan sektor pertanian yang dilakukan melalui penerapan berbagai program pemerintah, mempunyai tujuan dan strategi tertentu. Salah satu srategi yang tepat dan bahkan diandalkan dalam rangka mempercepat laju pengembangan sektor pertanian khususnya dalam meningkatkan kemampuan petani untuk mengelola usahataninya adalah dengan srategi penyuluh pertanian. Membangun pertanian dibutuhkan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas. Tersediannya SDM berkualitas merupakan modal utama bagi daerah untuk menjadi pelaku, penggerak pembangunan di daerah, karena itu untuk membangun pertanian kita harus membangun sumberdaya manusia yang handal. Sumberdaya manusia yang perlu dibangun diantarannya adalah SDM masyarakat pertanian (petani, nelayan, pengusaha pertanian dan pedagang pertanian), agar kemampuan dan kompetensi kerja masyarakat pertanian dapat meningkat, karena merekalah yang langsung melaksanakan segala kegiatan usaha pertanian di lahan usahanya. Hal ini hanya dapat dibangun melalui proses belajar dan mengajar dengan mengembangkan sistem pendidikan non formal diluar sekolah secara efektif dan efisien di antaranya adalah melalui penyuluhan pertanian, masyarakat tani dibekali dengan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengenalan paket teknologi dan inovasi baru di bidang pertanian dengan sapta usahanya, penanaman nilai-nilai atau prinsip agribisnis, mengkreasi sumberdaya manusia dengan konsep dasar filosofi rajin, kooperatif, inovatif, kreatif dan sebagainya. Hal yang lebih penting lagi adalah mengubah sikap dan perilaku masyarakat tani agar mereka tahu dan mau menerapkan informasi anjuran yang dibawa dan disampaikan oleh penyuluh pertanian. Tujuan penyuluhan pertanian adalah untuk menghasilkan sumberdaya manusia pelaku pembangunan pertanian yang berkompeten sehingga mampu mengembangkan usaha pertanian yang tangguh, bertani lebih baik (better farming), berusaha tani lebih menguntungkan (better bussines), hidup lebih sejahtera (better living) dan lingkungan lebih sehat. Seorang penyuluh pertanian diharapkan mampu menggerakkan masyarakat, memberdayakan petani, pengusaha pertanian dan pedagang pertanian, serta pendampingan petani untuk: (1) Membantu menganalisis situasi-situasi yang sedang mereka hadapi dan melakukan perkiraan ke depan; (2) Membantu mereka menemukan masalah; (3) Membantu mereka memperoleh pengetahuan informasi guna memecahkan masalah; (4) Membantu mereka mengambil keputusan; dan (5) Membantu mereka menghitung besarnya resiko atas keputusan yang diambilnya, untuk bisa mencapai
23 hal tersebut maka setiap penyuluh dituntut untuk memiliki kinerja penyuluhan yang baik. Pasca diberlakukannya otonomi daerah telah terjadi perubahan yang mendasar terhadap pembinaan penyuluhan pertanian, yang semula dilaksanakan oleh pusat bergeser ke daerah. Lahirnya otonomi daerah juga memunculkan perubahan-perubahan yang tidak sedikit di dalam kelembagaan penyuluhan pertanian yang ada di Kabupaten Pidie, adanya perubahan kelembagaan penyuluhan di era otonomi daerah apakah berpengaruh terhadap kinerja penyuluh? Atas dasar pemikiran yang diuraikan di atas, maka diperlukan suatu penelitian kinerja penyuluh pertanian yang ada di Kabupaten Pidie untuk mengetahui kinerja penyuluh dan faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja penyuluh. Dengan demikian diharapkan akan mendapatkan informasi untuk memperoleh gambaran prioritas srategi pengembangan peran penyuluh pertanian yang lebih baik guna menunjang kualitas pelaksanaan kegiatan penyuluhan pertanian di Kabupaten Pidie khususnya dan di Provinsi Aceh umumnya. Menurut Slamet (2001), Sumardjo (2010), Hubeis (2008), Rogers dan Shoemaker (1985) tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kinerja penyuluh dapat dikelompokkan menjadi faktor internal (X1), faktor eksternal (X2) dan kompetensi penyuluh (X3). Faktor internal (X1) yang diduga berhubungan dengan kinerja penyuluh dalam penelitian ini adalah: umur (X1.1), masa kerja (X1.2), pendidikan formal (X1.3), motivasi (X1.4), pemanfaatan media (X1.5) dan jumlah kelompok binaan (X1.6). Faktor eksternal (X2) yang diduga berhubungan dengan kinerja penyuluh dalam penelitian ini adalah: dukungan administrasi (X2.1), ketersediaan prasarana dan sarana (X2.2), kondisi lingkungan kerja (X2.3), keterjangkauan daerah tempat bekerja (X2.4) dan tingkat partisipasi aktif masyarakat (X2.5). Konteks penyuluhan yang perlu dikembangkan dari penyuluh sebagai kapital manusia (human capital) meliputi kompetensi–kompetensi personal, sosial, andragogi, dan komunikasi inovatif. Penyuluh yang memiliki kompetensi–kompetensi tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerjanya sesuai dengan tuntutan tugasnya sebagai penyuluh. Faktor kompetensi penyuluh (X3) yang diduga berhubungan dengan kinerja penyuluh dalam penelitian ini adalah: pengelolaan program penyuluhan (X3.1), pengelolaan kegiatan penyuluhan (X3.2), penerapan prinsip belajar orang dewasa (X3.3), kemampuan berkomunikasi (X3.4) dan kemampuan bekerjasama (X3.5). Faktor kinerja penyuluh pertanian (Y) dalam penelitian ini terdiri atas: persiapan penyuluhan pertanian (Y.1), pelaksanaan penyuluhan pertanian (Y.2), evaluasi dan pelaporan (Y.3) pengembangan penyuluhan pertanian (Y.4), pengembangan profesi (Y.5) dan penunjang tugas penyuluh pertanian (Y.6). Tingkat kinerja ditetapkan sampai bagaimana capaian tugas pokok penyuluhan telah dilaksanakan oleh penyuluh pertanian sesuai dengan surat keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor: Per/02/Menpan/2/2008 terhadap kinerja yang telah dimiliki oleh penyuluh pertanian seperti tercantum bagan pada Gambar 1.
24
Karakteristik Internal Penyuluh (X1) X1.1 Umur X1.2 Masa kerja X1.3 Tingkat pendidikan formal X1.4 Motivasi kerja X1.5 Pemanfaatan media X1.6 Jumlah kelompok binaan Tingkat Kinerja Penyuluh (Y) Y1.1 Persiapan penyuluhan pertanian Y1.2 Pelaksanaan penyuluhan pertanian Y1.3 Evaluasi dan pelaporan Y1.4 Pengembangan penyuluhan pertanian Y1.5 Pengembangan profesi Y1.6 Penunjang tugas penyuluh pertanian
Karakteristik Eksternal Penyuluh (X2) X2.1 Dukungan administrasi X2.2 Ketersediaan prasarana dan sarana X2.3 Kondisi lingkungan kerja X2.4 Keterjangkauan daerah tempat bekerja X2.5 Tingkat partisipasi aktif petani Kompetensi Tugas Penyuluh Pertanian (X3) X3.1 Pengelolaan program penyuluhan X3.2 Pengelolaan kegiatan penyuluhan X3.3 Penerapan prinsip belajar orang dewasa X3.4 Kemampuan berkomunikasi X3.5 Kemampuan bekerjasama
Gambar 1 Kerangka berpikir operasional di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh
kinerja
penyuluh
pertanian
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka berpikir yang telah dijelaskan, dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut: 1. Terdapat hubungan nyata antara faktor karakteristik internal penyuluh (umur, masa kerja, pendidikan formal, motivasi, pemanfaatan media, dan jumlah kelompok binaan) dengan kinerja penyuluh pertanian. 2. Terdapat hubungan nyata antara faktor karakteristik eksternal penyuluh (dukungan administrasi, ketersediaan prasarana dan sarana, kondisi lingkungan kerja, keterjangkauan daerah tempat bekerja, dan tingkat partisipasi aktif masyarakat) dengan kinerja penyuluh pertanian.
25 3. Terdapat hubungan nyata antara faktor kompetensi penyuluh (pengelolaan progam penyuluhan, pengelolaan kegiatan penyuluhan, penguasaan dan penerapan prinsip belajar orang dewasa, berkomunikasi, dan bekerjasama) dengan kinerja penyuluh pertanian.
3 METODE
Rancangan dan Lokasi Penelitian Metode yang digunakan dalam pengumpulan data adalah sensus dan menggunakan paradigma kuantitatif. Di samping itu, penjelasan secara deskriptif dan kuantitatif dilakukan dalam penelitian ini guna memperoleh informasi sebanyak mungkin sehingga dapat mendukung dan memberi makna data kuantitatif yakni melalui cara pengamatan dan wawancara mendalam. Wawancara mendalam dilakukan pada sejumlah informan kunci, untuk melengkapi data dan informasi yang tidak diperoleh melalui metode sensus. Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Pidie Provinsi Aceh. Dipilihnya wilayah tersebut sebagai lokasi studi dikarenakan beberapa alasan: 1. Kabupaten Pidie merupakan kabupaten yang telah diakui keberhasilannya dalam pencapaian produksi pertanian, salah satunya produksi beras yang menjadikan Kabupaten Pidie sebagai salah satu lumbung beras di Provinsi Aceh. 2. Kabupaten Pidie mempunyai jumlah areal lahan pertanian terbesar kedua di Provinsi Aceh, namun jumlah penyuluh tidak sebanding dengan jumlah areal yang ada di Kabupaten Pidie. 3. Perubahan kelembagaan penyuluh yang sekarang berdasarkan UU No. 16 Tahun 2006. 4. Adanya relevansi masalah yang akan diteliti di Kabupaten Pidie. 5. Akses ke daerah penelitian yang mudah dijangkau oleh peneliti sehingga bisa lebih efisien (waktu dan biaya) serta dimilikinya pengalaman empirik di wilayah tersebut, karena merupakan tempat domisili peneliti.
Populasi dan Responden Penelitian Populasi merupakan objek atau subjek yang berada pada suatu wilayah dan memenuhi syarat–syarat tertentu berkaitan dengan masalah penelitian yang menurut sifatnya terbagi menjadi populasi homongen dan populasi heterogen, sedangkan sampel adalah bagian dari populasi yang mempunyai ciri–ciri atau keadaan tertentu yang akan diteliti (Riduwan 2009). Populasi penelitian ini adalah Penyuluh Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bertugas melakukan kegiatan penyuluhan pada bidang Tanaman Pangan dan Holtikultura di Kabupaten Pidie. Terkait dengan penggunaan metode sensus, maka ditetapkan jumlah responden dalam penelitian ini adalah sebanyak 47 orang.
26 Data dan Instrumenasi Data Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner terhadap responden terpilih dan menggali berbagai informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber (informan) di dalam pelaksanaan penelitian sebagai data kualitatifnya. Informan yang dipilih terdiri dari: petani binaan, para pemegang jabatan Eselon II, III dan IV di lingkup penyuluh. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber data yang relevan dengan penelitian melalui penelurusan berbagai kepustakaan dan dokumen, antara lain: (1) laporan tahunan instansi lintas sektor, (2) Kabupaten Pidie dalam angka dan (3) hasil–hasil penelitian yang pernah dilakukan serta informasi lainnya yang relevan dengan tujuan penelitian ini. Instrumenasi Instrumenasi merupakan keragaman alat yang digunakan dalam pengumpulan dan penelitian. Mekanisme pengumpulan data penelitian dilakukan secara langsung dengan cara antara lain melakukan teknik wawancara melalui kuisioner, observasi dan wawancara mendalam ke responden. Kuisioner yang digunakan telah disusun secara terstruktur sehingga dapat diketahui informasi dari variabel-variabel penelitian.
Validitas dan Reliabilitas Instrumen Validitas Instrumen Instrumen atau alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuisioner yang berisi daftar pertanyaan yang berhubungan dengan peubah yang dikaji. Validitas instrumen adalah tingkat kesesuaian antara konsep dengan hasil pengukuran dari konsep yang bersangkutan. Kesesuaian ditentukan dengan mengadakan perbandingan antara konsep nominal dengan defenisi operasional. Validitas daftar pertanyaan diperlukan untuk mendapatkan data yang sesuai dengan tujuan penelitian. Suatu alat ukur dapat dikatakan valid (sahih) apabila alat ukur itu dapat mengukur sesuatu yang sebenarnya ingin diukur (Singarimbun dan Effendi 2006). Daftar pertanyaan/kuisioner yang digunakan sebagai instrumen pengukuran, maka kuisioner yang disusun harus mengukur apa yang ingin diukur. Dalam penelitian ini jenis validitas yang digunakan adalah valitidas isi (content validity, yaitu suatu alat ukur yang ditentukan dengan memasukkan semua aspek yang dianggap sebagai aspek kerangka konsep yang akan diukur, untuk mendapatkan daftar pertanyaan/kuisioner yang mempunyai validitas tinggi, maka daftar pertanyaan/kuisioner disusun dengan cara: (a) definisi operasional variabel yang akan diukur; (b) studi literatur (pustaka) sebagai referensi (acuan); (c) konsultasi dengan pembimbing (ahli); (d) uji coba instrumen di lapangan; (e) mempersiapkan format tabulasi jawaban; (f) menghitung korelasi antara setiap item jawaban dengan total skor menggunakan teknik korelasi product moment;
27 dan (g) membandingkan angka korelasi hasil perhitungan dengan angka kritis pada tabel korelasi nilai r pada tingkat kepercayaan tertentu. Rumus teknik korelasi product moment adalah sebagai berikut: N [(ΣXY) – (ΣXΣY) r= √[N (ΣX² – (ΣX)²] [N (ΣY²) – (ΣY)²]
Keterangan: r : Koefisien korelasi ∑Xi : Jumlah skor item ∑Yi : Jumlah skor total N : Jumlah responden
Pertanyaan sebagai alat ukur dinyatakan valid apabila nilai r hasil hitung lebih besar daripada nilai r tabel, sedangkan bila lebih kecil maka perlu ada perbaikan atau pertanyaan pada butir tersebut dihilangkan dari kuisioner. Uji coba instumen dilakukan di Kecamatan Leuwiliang dan Kecamatan Cibungbulang Kabupaten Bogor, yaitu dengan mengambil 30 responden penyuluh pertanian yang mempunyai karakteristik dan kondisi yang hampir sama dengan penyuluh responden pada penelitian ini. Hasil kuisioner kemudiaan dianalisis dengan menggunakan korelasi product momen. Berdasarkan hasil analisis nilai korelasi (r-hitung) dalam uji validitas variabel karakteristik internal (X1), karakteristik eksternal (X2), dan kompetensi tugas penyuluh (X3) dalam penelitian ini berkisar antara 0.483 sampai dengan 0.953 sedangkan untuk hasil analisis nilai korelasi (r-hitung) dalam uji validitas variabel tingkat kinerja penyuluh pertanian (Y) dalam penelitian ini berkisar antara 0.305 sampai dengan 0.931. Menurut Babbie (1998), bila koefisien korelasi antara suatu indikator dengan skor total seluruh indikator positif dan lebih besar dari 0.3 (r >0.3), maka instrumen tersebut sudah valid (Validitas Kriteria), dengan demikian instrumen yang digunakan dalam penelitian ini sudah valid. Hasil uji instrumen pada sub-sub peubah karakteristik internal (X1), karakteristik eksternal (X2), kompetensi tugas penyuluh (X3) dan tingkat kinerja penyuluh pertanian (Y) menunjukkan nilai koefisien sangat signifikan. Artinya, instrumen dapat digunakan untuk melaksanakan penelitian.
Reliabilitas Instrumen Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan tingkat konsistensi suatu alat ukur, sehingga dapat dipercaya atau dapat diandalkan, apabila alat itu dipakai dua kali atau lebih untuk mengukur gejala yang sama dengan hasil pengukuran yang konsisten (Singarimbun dan Effendi 2006). Dengan kata lain, reliabilitas menunjukkan adanya suatu konsistensi alat ukur dalam mengukur gejala yang sama dalam waktu yang berbeda. Reliabilitas instrumen diuji dalam menggunakan metode cronbach alpha dengan rumus: Keterangan: α : Koefisien cronbach alpha n ∑Vi α= [1n : Jumlah item n-1 Vi : Varians skor tiap-tiap item Vt ∑Vi : Jumlah varians skor tiap-tiap item Vt : Varians total
]
28 Alat ukur dinilai cukup reliabel apabila nilai koefisien cronbach alpha (α) lebih besar dari kisaran 0.5–1.0. Hasil analisis menunjukkan nilai koefisien cronbach alpha (α) pada penelitian ini berkisar antara 0.723–0.976. Hasil ini menunjukkan bahwa kuisioner pada penelitian ini sudah reliabel.
Analisis Data Data yang telah terkumpul diolah melalui tahapan editing, coding, dan tabulasi dengan interval yang dihasilkan pada masing-masing hasil pengukuran. Data yang diperoleh, diolah dan dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Untuk melihat hubungan antar variabel digunakan uji statistik “Rank Spearman Correllation (rs)”. Rumus yang digunakan adalah sebagai berikut:
rs = 1 -
N 6 ∑ di² i=1 N³ - N
Keterangan: rs : Koefisien korelasi Rank Spearman di : Perbedaan antara rangking N : Banyaknya sampel
Pengujian hipotesis menggunakan statistik non parametrik untuk mengukur hubungan karakteristik internal penyuluh, karakterisktik eksternal penyuluh dan kompetensi tugas penyuluh dengan tingkat kinerja penyuluh. Pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan analisis uji korelasi Rank Spearman (Siegel 1992) dan untuk memudahkan pengolahan data digunakan program SPSS (Statistical Package for the Social Science).
Definisi Operasional dan Pengukuran Peubah Menurut Singarimbun dan Effendi (2006) bahwa pengukuran merupakan penunjukkan angka pada peubah menurut aturan yang telah ditentukan. Berdasarkan pengertian tersebut maka defenisi operasional, indikator dan pengukuran terhadap peubah yang telah ditetapkan dalam penelitian ini meliputi karakteristik internal (X1), karakteristik eksternal (X2), kompetensi penyuluh pertanian (X3) dan tingkat kinerja penyuluh pertanian (Y), dengan masing–masing sub peubah sebagai berikut:
Karakteristik Internal (X1) 1. Umur (X1.1), adalah usia responden pada saat penelitian dilakukan. Pengukurannya dalam jumlah tahun usia responden sejak ia dilahirkan sampai tahun penelitian dilakukan. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Dalam penelitian umur responden ini diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) muda ( 43) , (2) sedang (44-49) dan (3) tua ( 50). 2. Masa kerja (X1.2), adalah lamanya penyuluh bekerja, pengukurannya dalam tahun sejak penyuluh yang bersangkutan mulai bekerja sampai saat wawancara dilakukan dalam satu tahun. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil
29
3.
4.
5.
6.
pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) sedikit (< 12 tahun), sedang (13-24 tahun) dan (3) banyak (> 25 tahun). Tingkat Pendidikan Formal (X1.3), adalah jenjang ilmu tertinggi yang pernah diikuti oleh penyuluh. Pengukuran dengan menghitung jenjang terakhir responden mengikuti pendidikan formal (yang sederajat). Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) rendah (SLTA), (2) sedang (Diploma) dan tinggi (S1, D4, S2 dan S3). Motivasi Kerja (X1.4), adalah besarnya kecendrungan dorongan responden, baik secara intrinsik maupun ekstrinsik untuk bekerja sebagai penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat motivasi responden dalam bekerja. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) rendah (15-30), (2) sedang (31-38) dan (3) tinggi (39-45). Tingkat Pemanfaatan media (X1.5), adalah jumlah penggunaan media penyuluh berkaitan dengan bidang tugas. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat pemanfaatan media oleh penyuluh. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran jumlah diklasifikasikan dalam 3 kategori yaitu: (1) Jarang ( 2), (2) kadang-kadang (3-4) dan (3) sering ( 5). Jumlah Kelompok Binaaan (X1.6), adalah banyaknya kumpulan petani yang dibina oleh penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap jumlah kelompok binaan yang dibina penyuluh. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) sedikit (2), (2) sedang (3-4) dan (3) banyak ( 5).
Karakteristik Eksternal (X2) 1. Dukungan administrasi (X2.1), adalah pengelolaan dalam organisasi (kelembagaan penyuluhan) yang dirasakan penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap administrasi yang mendukung tugas–tugas penyuluh. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) tidak baik (5–10), (2) kurang baik (11–13) dan (3) baik (14–15). 2. Ketersediaan sarana dan prasarana (X2.2), adalah dukungan alat dan peralatan terhadap tugas penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap ketersediaan sarana dan prasarana terhadap tugas penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap ketersediaan sarana dan prasarana oleh kelembagaan penyuluhan dalam mendukung tugas–tugas penyuluh. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) tidak tersedia ( 2), (2) kurang tersedia (3-4) dan (3) tersedia ( 5). 3. Kondisi lingkungan kerja (X2.3), adalah keadaan dalam bekerja organisasi yang mendukung tugas penyuluh. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kenyamanan yang dirasakan oleh penyuluh. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) tidak nyaman (9-18), (2) kurang nyaman (19–23) dan nyaman (24-27). 4. Keterjangkauan daerah tempat bekerja (X2.4), adalah jarak penyuluh terhadap lokasi tempat bekerja. Pengukuran dilakukan terhadap jarak tempat tinggal penyuluh dengan tempat kerja yang harus ditempuh oleh penyuluh. Setiap item
30 pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) dekat Dekat ( 2), (2) sedang (3-8) dan (3) jauh ( 9). 5. Tingkat partisipasi aktif masyarakat (X2.5), adalah keikutsertaan masyarakat terhadap kegiatan penyuluhan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat keterlibatan masyarakat dalam kegiatan yang dilaksanakan oleh penyuluh. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) rendah (4-8), (2) sedang (9-10) dan (3) tinggi (11-12).
Kompetensi Penyuluh Pertanian (X3) 1. Pengelolaan program penyuluhan (X3.1), adalah kemampuan penyuluh dalam menyusun kegiatan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kemampuan penyuluh dalam membuat programa, rencana kerja indentifikasi potensi wilayah. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) tidak kompeten (5-10), (2) kurang kompeten (11-13) dan (3) kompeten (14-15). 2. Pengelolaan kegiatan penyuluhan (X3.2), adalah kemampuan penyuluh dalam melakukan kegiatan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kemampuan penyuluh melaksanakan kegiatan penyuluhan. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) tidak kompeten (6-12), (2) kurang kompeten (13-15) dan (3) kompeten (16-18). 3. Kemampuan menerapkan prinsip belajar orang dewasa (X3.4), adalah skil penyuluh dalam menggunakan metode yang tidak menggurui ke dalam kegiatan penyuluhan. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kemampuan penyuluh dalam menerapkan prinsip belajar orang dewasa. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran selanjutnya diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) tidak kompeten (4-8), (2) kurang kompeten (9-10) dan (3) kompeten (11-12). 4. Kemampuan berkomunikasi (X3.4), adalah skil yang dimiliki penyuluh dalam bersosialisasi dengan masyarakat. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat komunikasi penyuluh secara konvergen. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran selanjutnya diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) tidak kompeten (4-8), (2) kurang kompeten (9-10) dan (3) kompeten (11-12). 5. Kemampuan berkerjasama (X3.5), adalah skil yang dimiliki penyuluh untuk membangun hubungan dengan pihak lain. Pengukuran dilakukan terhadap tingkat kerjasama penyuluh selama bertugas. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran selanjutnya diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) tidak kompeten (4-8), (2) kurang kompeten (9-10) dan (3) kompeten (11-12). Tingkat Kinerja Penyuluh Pertanian (Y) 1. Persiapan penyuluhan pertanian (Y1) adalah hasil kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh sebelum kegiatan dilakukan. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran tingkat kinerja diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) rendah (5-10), (2) sedang (11-13) dan tinggi (14-15).
31 2. Pelaksanaan penyuluhan pertanian (Y2) adalah hasil pekerjaan penyuluh dalam melakukan kegiatan. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran tingkat kinerja di klasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) rendah (11-22), (2) sedang (23-28) dan (3) tinggi (29-33). 3. Evaluasi dan pelaporan (Y3) adalah hasil pekerjaan penyuluh dalam mengevaluasi dan menyusun laporan hasil kegiatan penyuluhan. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran tingkat kinerja diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) rendah (4-8) (2) sedang (9-10) dan (3) tinggi (11-12). 4. Pengembangan penyuluhan pertanian (Y4) adalah hasil pekerjaan penyuluh dalam penyusunan pedoman/petunjuk pelaksanaan/petunjuk teknis kegiatan. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran tingkat kinerja diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) rendah (7-14), (2) sedang (15-18) dan (3) tinggi (19-21). 5. Pengembangan profesi (Y5) adalah hasil kagiatan yang dilakukan oleh penyuluh untuk menunjang keahlian dan menambah wawasan penyuluh. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran tingkat kinerja diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) rendah (4-8), (2) sedang (9-10) dan (3) tinggi (11-12). 6. Penunjang tugas penyuluh pertanian (Y6) adalah hasil pekerjaan yang dilakukan oleh responden untuk memperoleh nilai tambah dalam menunjang karirnya sebagai penyuluh. Setiap item pertanyaan diberi skor 1-3. Data hasil pengukuran tingkat kinerja diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) rendah (7-14), (2) sedang (15-18) dan (3) tinggi (19-21). 7. Total hasil kinerja penyuluh pertanian dalam penelitian ini adalah keseluruhan hasil kerja responden. Data hasil pengukuran total kinerja penyuluh pertanian diklasifikasikan dalam 3 kategori, yaitu: (1) rendah (38-76), (2) sedang (77-95) dan (3) tinggi (96-114).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Wilayah Penelitian Lokasi penelitian terletak di Kabupaten Pidie dan berada dalam wilayah Provinsi Aceh yang terletak di perairan pantai sebelah timur Provinsi Aceh. Daerah Kabupaten Pidie terletak pada posisi 04.30º-4.60º Lintang Utara dan 95.75º-96.20º Bujur Timur. Luas wilayah Kabupaten Pidie adalah 3.562,14 Km², Panjang Pantai 80 Km, Luas Lautan Teritorial 12 Mil 1.332 Km², Luas Laut ZEE 200 Mil 22.200 Km². Penduduk dan Mata Pencaharian Penduduk di Kabupaten Pidie berdasarkan data BPS Kab. Pidie tahun 2013 berjumlah 373.234 jiwa, terdiri dari 179.095 laki-laki dan 194.139 perempuan. Kepadatan penduduk di Kabupaten Pidie sebesar 104 Org /Km2. Pada umumnya penduduk Kabupaten Pidie bermata pencaharian di sektor pertanian juga ada yang
32 bergerak di sektor perdagangan, jasa dan konstruksi. Untuk lebih jelasnya sebaran mata pencaharian penduduk dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Sebaran mata pencaharian penduduk di Kabupaten Pidie No Jenis Mata pencaharian % 1. Pertanian 58.44 2. Perikanan 18.03 3. Perikanan Laut 3.97 4. Disperindagkop 6.32 5. Pedagang 2.89 6. Jasa angkutan 2.03 7. Buruh Pabrik 0.28 8. Perkebunan 5.00 9. Lain – lain 3.04 Sumber: Bappeda Kab. Pidie (2013) Luas lahan persawahan di Kabupaten Pidie adalah 29.369 Ha. Kondisi pengairan lahan persawahan di Kabupaten Pidie pada umumnya masih menggunakan pengairan setengah tehnis, tetapi ada juga yang menggunakan pengairan tehnis, pengairan sederhana PU, pengairan non PU, tadah hujan dan telantar. Kondisi pengairan lahan persawahan yang ada di wilayah Kabupaten Pidie dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Kondisi pengairan lahan persawahan di Kabupaten Pidie No Kondisi Pengairan Luas Lahan (Ha) 1. Pengairan tehnis 4.137 2. Pengairan setengah tehnis 15.821 3. Pengairan sederhana PU 4.155 4. Pengairan non PU 1.241 5. Tadah Hujan 3.806 6. Pasang surut 7. Telantar 209 Jumlah 29.369 Sumber: Distannak Kab. Pidie (2013) Luas tanam, panen, produktivitas dan produksi komoditas pertanian tanaman pangan di Kabupaten Pidie pada umunya didominasi oleh komoditas padi, tetapi ada juga komoditas lain yaitu kedele, cabe merah, jagung, kacang tanah, tomat dan bawang merah. Luas tanam, panen, produktivitas dan produksi komoditas pertanian tanaman pangan di Kabupaten Pidie secara rinci dapat dilihat pada Tabel 3.
33 Tabel 3 Sasaran luas tanam, panen, produktivitas dan produksi komoditas pertanian tanaman pangan Kabupaten Pidie Luas Luas Panen Produktivi Produksi Tanam (Ha) (Ha) tas No Komoditas ( Ton ) (Kw/Ha ) 1. Padi 38.658 40.073 7.22 292.913 2. Kedele 1.670 1.623 2.5 3.978 3. Jagung 514 357 4 1.457 4. Kacang tanah 379 407 2.8 1.103 5. Cabe merah 520 1.097 5.7 6.209 6. Bawang merah 131 135 8.2 1.120 7. Tomat 175 155 4.1 636 Sumber: Dinas pertanian tanaman pangan Kabupaten Pidie (2013) Distribusi Kelompok Tani Gabungan Kelompok Tani (GAPOKTAN) yang ada di Kabupaten Pidie berjumlah 730, dan untuk Kelompok Tani (POKTAN) terdiri dari kelas pemula sebanyak 630 kelompok, kelas lanjut sebanyak 1.395 kelompok, kelas madya sebanyak 509 kelompok dan di Kabupaten Pidie sampai dengan penelitian dilakukan belum ada kelompok kelas utama. Jumlah anggota kelompok tani secara keseluruhan di Kabupaten Pidie berjumlah 60.848 Orang. Jumlah anggota kelompok tani tersebut tersebar di 23 kecamatan yang ada di Kabupaten Pidie. Distribusi Penyuluh Pertanian Secara umum, jumlah penyuluh PNS di Kabupaten Pidie adalah 54 orang. Jumlah penyuluh tersebut tergolong masih kurang sesuai dengan jumlah desa/ kelurahan yang menjadi binaan penyuluh, terutama untuk penyuluh peternakan dan perikanan. Kekurangan jumlah penyuluh PNS tersebut ditutupi dengan adanya program Tenaga Harian Lepas–Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian (THLTBPP) dari Kementrian Pertanian. Jumlah penyuluh kontrak (THL-TBPP) di Kabupaten Pidie sampai dengan Desember 2013 tercatat sebanyak 57 orang. Berdasarkan jumlah penyuluh PNS dan THL-TBPP tersebut jika disebarkan secara merata di seluruh desa/kelurahan yang ada, maka target revitalisasi penyuluhan pertanian satu desa satu penyuluh di Kabupaten Pidie belum tercapai. Distribusi penyuluh pertanian di wilayah penelitian dapat dilihat pada Tabel 4. Sementara itu untuk kelembagaan penyuluhan sebagai pendukung dan penggerak dalam melaksanakan kegiatan penyuluhan pertanian, di Kabupaten Pidie seperti Balai Penyuluh Pertanian (BPP) terdapat 23 buah. Balai penyuluh pertanian yang dikelola untuk melancarkan pelaksanaan penyuluhan di bagi atas wilayah binaan atau disebut juga dengan Wilayah Kerja Penyuluh Pertanian (WKPP). Penilaian angka kredit Penyuluh Pertanian berdasarkan peraturan MENPAN/No-02/MENPAN/2/2008 dibedakan untuk pusat, provinsi, kabupaten/ kota penyuluh pertanian tersebut bertugas. Bagi penyuluh kehutanan berpedoman Keputusan Menteri Kehutanan RI. Nomor: 272/Kpts.11/2003, tentang petunjuk teknis jabatan fungsional, penyuluh kehutanan dan angka kreditnya. Kemudian
34 untuk penyuluh perikanan berpedoman pada keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan dan Kepala Badan Kepegawaian Negara No. PB.01/Men/2009 dan No.14 Tahun 2009 tentang petunjuk pelaksanaan jabatan fungsional penyuluh perikanan dalam angka kreditnya. Rasio antara jumlah penyuluh dengan jumlah petani, luas wilayah binaan, jumlah BPP dan jumlah BOP dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 4 Distribusi penyuluh pertanian berdasarkan kecamatan dan kekurangan penyuluh No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
Kecamatan Batee Delima Geumpang Glumpang Baro Glumpang Tiga Grong – Grong Indra Jaya Kembang Tanjong Kota Sigli Mane Mila Muara Tiga Mutiara Mutiara Timur Padang Tiji Peukan Baro Pidie Sakti Simpang Tiga Tangse Tiro/Truseb Titeu Keumala
Jumlah Desa 28 44 5 21 34 15 49 45 15 4 20 18 29 48 64 48 64 49 52 28 19 13 18
Jumlah Penyuluh PNS 1 1 1 1 4 3 4 2 2 1 3 1 2 2 5 2 5 2 4 1 1 1 5
Jumlah THLTBPP 4 2 2 3 2 2 1 2 3 2 3 4 2 3 2 3 4 2 2 2 3 2 2
Kekurangan Penyuluh* 25 40 4 21 34 15 45 45 15 3 20 18 29 48 64 48 64 49 51 28 18 10 15
Sumber: BPPKP Kabupaten Pidie Tahun 2013 Keterangan: * Berdasarkan UU No.16/2006 dan PP No.41/2007 setiap desa harus mempunyai paling tidak satu orang penyuluh
35
Tabel 5
Rasio antara jumlah penyuluh dengan jumlah petani, luas wilayah binaan, jumlah BPP dan jumlah BOP Jumlah Karakteristik Jumlah Rasio Penyuluh Jumlah Petani (orang) 60.848* 111 1 : 548 2 3.562,14 111 1 : 32 Luas Wilayah Binaan (km )
Jumlah BPP(unit) 23 Jumlah BOP (Rp) 250.000 Keterangan: * Berdasarkan jumlah kelompok tani
111 111
1:5 1 : 250.000
Berdasarkan data jumlah kelompok tani yang mencapai 2.354 kelompok aktif dengan jumlah petani aktif yang dibina mencapai 60.848. Berdasarkan hal tersebut, maka rasio antara jumlah petani dan penyuluh yang tersedia adalah 1 : 548. Artinya satu orang penyuluh membina 548 orang petani atau sekitar 27 kelompok. Perbandingan luas wilayah dengan jumlah penyuluh adalah 1 : 32 atau satu orang penyuluh membawahi luas wilayah binaan sebesar 32 Km2. Perbandingan jumlah penyuluh dengan BPP adalah 1 : 5. Artinya 1 unit BPP membawahi 5 (lima) orang penyuluh, tetapi pada kenyataannya ada BPP yang membina lebih dari jumlah tersebut. Perbandingan jumlah biaya operasional (BOP) penyuluh adalah 1 : 250.000. Artinya setiap penyuluh memperoleh BOP sebesar Rp.250.000.-/bulan (lihat kembali Tabel 5).
Karakteristik Internal Penyuluh Hasil pengamatan terhadap karakteristik internal penyuluh yang terdiri atas: (1) umur, (2) masa kerja, (3) tingkat pendidikan formal, (4) motivasi kerja, (5) pemanfaatan media, dan (6) jumlah kelompok binaan, disajikan pada Tabel 6. Umur Umur yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah lamanya hidup penyuluh yang dihitung dalam tahun sejak penyuluh dilahirkan sampai dengan saat penelitian dilakukan. Karakter umur dibagi dalam tiga kategori yakni: muda, sedang dan tua. Kategori muda adalah umur 43 tahun, sedang berkisar 44-49, sedangkan kategori tua adalah umur 50. Hasil penelitian mengenai umur penyuluh pertanian menunjukkan 38 persen umur penyuluh responden berkisar antara 50 tahun, 34 persen umur penyuluh responden berkisar antara 44-49 tahun dan 28 persen umur penyuluh responden berumur muda. Umur penyuluh responden terendah adalah 28 tahun dan umur yang tertinggi penyuluh responden adalah 62 tahun yang secara rinci terdapat pada Tabel 6. Dari hasil penelitian didapat bahwa mayoritas penyuluh pertanian yang ada di Kabupaten Pidie memiliki umur yang tua. Hal ini menunjukkan bahwa penyuluh di Kabupaten Pidie sudah tidak produktif lagi dalam melakukan
36 tugas sebagai penyuluh pertanian dan akan sulit untuk menyerap pengetahuan baru, sehingga akan menurun kemampuannya dalam melaksanakan tugas pokoknya. Tabel 6 Karakteristik internal penyuluh di Kabupaten Pidie, tahun 2014
No. 1.
2.
3.
4.
5.
6.
Variabel Umur a. Muda b. Sedang c. Tua Masa Kerja a. Rendah b. Sedang c. Tinggi Tingkat Pendidikan Formal a. Rendah b. Sedang c. Tinggi Motivasi Kerja a. Rendah b. Sedang c. Tinggi Tingkat Pemanfaatan Media (1) Tingkat Pemanfaatan Media Televisi dan Radio a. Jarang b. Kadang-kadang c. Sering (2) Tingkat Pemanfaatan Media Cetak a. Jarang b. Kadang-kadang c. Sering Jumlah Kelompok Binaan a. Sedikit b. Sedang c. Banyak
Jumlah
%
13 16 18
28 34 38
15 15 17
32 32 36
2 1 44
4 2 94
5 6 36
11 13 77
5 22 20
11 47 43
5 12 30
11 26 63
3 19 25
6 40 53
Masa Kerja Masa kerja yang dimaksud adalah jumlah tahun dan bulan penyuluh pertanian bekerja sejak diterbitkan surat keputusan sebagai penyuluh PNS sampai dengan penelitian ini dilaksakan. Masa kerja penyuluh responden dibagi ke dalam tiga kategori yakni: rendah, sedang dan tinggi. Kategori rendah yaitu masa kerja
37 12 tahun, sedang dengan masa kerja 13-24 tahun, sedangkan kategori tinggi yaitu masa kerja 25 tahun. Masa kerja menunjukkan lama penyuluh menduduki jabatan fungsional sebagai penyuluh pertanian. Masa kerja sebagai salah satu faktor penting karena semakin lama masa kerja, penyuluh akan semakin menguasai bidang pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sehingga akan semakin matang dan berpengalaman dalam melaksanakan fungsi tugasnya. Pengalaman kerja membuat para pekerja lebih produktif dan bersamaan dengan kemampuan kerja menentukan kinerja kerja. Hasil penelitian di lapangan memberikan gambaran, bahwa dari 47 penyuluh pertanian sebanyak 36% memiliki masa kerja tinggi, 32 persen dengan masa kerja sedang, dan selebihnya 32% memiliki masa kerja rendah. Hasil ini memberikan indikasi bahwa semakin lama seorang penyuluh bertugas di suatu wilayah maka terdapat kecenderungan kinerja penyuluh yang dilaksanakannya relatif lebih tinggi. Hasil wawancara dan pengamatan dengan penyuluh responden menunjukkan bahwa dari 33 orang penyuluh responden (70%) memiliki pengalaman dalam melakukan usaha yang berkaitan dengan bidang pertanian dan sampai saat ini masih melakukan usaha tersebut. Sebanyak 5 orang (11%) dari 47 penyuluh responden pernah melakukan usaha yang berkaitan dengan bidang pertanian sedangkan sisanya 9 orang (19%) tidak pernah melakukan usaha yang berkaitan dengan bidang pertanian dengan berbagai macam alasan. Pengalaman penyuluh dalam melakukan usaha yang berkaitan dengan bidang pertanian akan berdampak terhadap tugasnya sebagai penyuluh pertanian. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Fatchiya (2010) pengalaman usaha yang dimiliki seseorang dapat berhubungan dengan kemampuan dalam menjalankan usahanya, karena selama masa menjalankan usaha orang tersebut akan mengalami proses pembelajaran dan cara mengatasi permasalahan yang dihadapi.
Tingkat Pendidikan Formal Salah satu perbaikan dalam jabatan fungsional penyuluh pertanian berdasarkan peraturan baru Permen PAN No. 2/2008 mengikuti pendidikan dan memperoleh gelar/ijazah. Kemampuan seorang pegawai menyelesaikan suatu pekerjaan seringkali tergantung kepada tingkat pengetahuan, keterampilan dan keahlian yang dimiliki sesuai dengan tugas pekerjaan yang diemban. Dalam setiap organisasi melalui analisa jabatan yang dituangkan dalam rumusan rincian jabatan ditetapkan syarat-syarat minimal yang harus dipenuhi oleh pegawai yang akan mengisi jabatan-jabatan tersebut termasuk di dalamnya syarat pendidikan. Pendidikan meningkatkan keterampilan-keterampilan “human capital” yang membuat pekerja lebih produktif dalam pekerjaannya dan lebih adaptif terhadap perubahan-perubahan teknis. Pendidikan merupakan sarana untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan. Pada umumnya seseorang yang berpendidikan lebih baik dan berpengetahuan teknis yang lebih banyak, akan lebih mudah dan mampu berkomunikasi dengan baik. Semakin tinggi pendidikan formal, akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk menerima, menyaring dan menerapkan inovasi yang dikenalkan kepadanya. Pendidikan formal sangat penting bagi seseorang untuk mengembangkan kapasitas dirinya, karena dengan mengenyam pendidikan
38 formal yang lebih tinggi, pengalaman belajar dan wawasan pengetahuan yang diperoleh juga akan meningkat. Menurut Mardikanto (1993), pendidikan penyuluh akan sangat mempengaruhi kemampuan atau penguasaan materi yang diberikan, kemampuan mengembangkan ide, mengorganisasikan masyarakat sasaran serta kemampuan untuk menumbuhkan, menggerakakan dan memelihara partisipasi masyarakat. Tingkat pendidikan formal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah jenjang pendidikan formal terakhir penyuluh yang telah diselesaikan dengan memperoleh ijazah hingga dilaksanakan interview. Tingkat pendidikan formal dibagi dalam tiga kategori yakni: rendah ialah SLTA, kategori sedang dengan jenjang D3 dan D4,S1,S2 dan S3 termasuk kategori tinggi. Dari 47 responden sebanyak 44 orang berpendidikan tinggi, 1 orang penyuluh berpendidikan sedang dan 2 orang responden yang berpendidikan rendah. Pada saat peneliti melakukan pengumpulan data di lapang, sebanyak 23 orang penyuluh baru saja menyelesaikan program sarjana di berbagai universitas yang ada di Provinsi Aceh, tetapi sebagian besar penyuluh tersebut menyelesaikan pendidikan sarjananya di universitas swasta yang ada di Kabupaten Pidie. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan dengan penyuluh responden, rata-rata mereka menyadari bahwa sejalan dengan paradigma penyuluhan yang baru dan untuk mengimbangi dinamika perkembangan masyarakat sasaran sangat diperlukan peningkatan kemampuan (pengetahuan, sikap, ketrampilan) penyuluh baik melalui pendidikan formal maupun pelatihan. Namun demikian sebagian dari penyuluh pertanian mengaku untuk melanjutkan lagi pendidikan sebenarnya memberatkan bagi penyuluh pertanian terutama yang telah berumur 50 tahun ke atas, karena berbagai pertimbangan yaitu: (1) beberapa penyuluh dalam usia tersebut sudah dihadapkan oleh kebutuhan keluarga dalam hal membiayai anak di bangku kuliah, (2) dari segi umur sudah tidak mendukung terhadap kemampuan belajar, dan (3) golongan (kepangkatan) penyuluh sudah mencapai batas maksimal sehingga perolehan ijazah/sertifikat sudah tidak berarti terhadap peningkatan jenjang kepangkatan, dan (4) kurang tersedianya bantuan beasiswa untuk penyuluh yang ingin melanjutkan pendidikan. Motivasi Kerja Motivasi kerja yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah dorongan yang timbul dari dalam diri penyuluh atau akibat pengaruh dari luar sehingga menimbulkan semangat kerja dalam melaksanakan tugas pokok sebagai penyuluh. Motivasi kerja dibagi ke dalam tiga kategori yaitu rendah, sedang dan tinggi. Dari 47 responden 77 persen penyuluh memiliki motivasi kerja tinggi, 13 persen penyuluh dengan motivasi kerja cukup atau sedang dan sebanyak 11 persen penyuluh memiliki motivasi kerja rendah. Pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penyuluh memiliki kebanggan dan rasa kebersamaan manakala BPP dikembangkan sebagai sentra manajemen penyuluh pertanian dan penyuluh berhasrat untuk mengembangkan dirinya kearah yang professional. Hasil pengamatan dan wawancara mendalam di lapangan terhadap responden mengenai motivasi apa yang menarik sehingga menjadi seorang penyuluh diketahui beberapa alasan yang melandasi responden menjadi penyuluh, diantaranya, menjadi seorang penyuluh adalah sebuah pekerjaan yang mulia, karena memberikan ilmu yang bermanfaat bagi petani. Motivasi para penyuluh
39 baru pada mulanya adalah menjadi pegawai negeri sipil, apapun profesi dan seperti apa tugasnya bukan menjadi masalah. Namun demikian, setelah penyuluh ditempatkan di lokasi-lokasi tugas yang jauh dari akses informasi dan transportasi, maka motivasinya dalam bekerja pun mulai menurun dan akibatnya mereka tidak lagi disiplin melaksanakan tugas sebagaimana yang diharapkan.
Tingkat Pemanfaatan Media Tingkat pemanfatan media yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tingkat upaya penyuluh dalam memperoleh informasi melalui berbagai media komunikasi. Data penelitian menunjukkan tingkat pemanfaatan media televisi dan radio dari 47 responden 20 orang (43%) termasuk sering memanfaatkan media televisi dan radio, 21 orang (47%) termasuk dalam kategori kadang-kadang memanfaatkan media televisi dan radio dan 5 orang (11%) jarang memanfaatkan media televisi dan radio untuk mendapatkan informasi. Hasil ini menunjukkan penyuluh tidak sepenuhnya memanfaatkan media televisi dan radio. Hasil wawancara di lapangan ditemukan informasi dari penyuluh responden bahwa siaran televisi dan radio kurang menyediakan informasi tentang pertanian hal ini di duga menjadi penyebabkan kurangnya penyuluh untuk memanfaatkan media televisi dan radio. Untuk hasil penelitian terhadap tingkat pemanfaatan media cetak baik koran pertanian, koran umum, majalah pertanian, majalah bisnis dan majalah umum diperoleh sebanyak 63 persen responden termasuk sering memanfaatkan media cetak baik koran pertanian, koran umum, majalah pertanian, majalah bisnis dan majalah umum, 26 persen kadang-kadang responden yang memanfaatkan media cetak baik koran pertanian, koran umum, majalah pertanian, majalah bisnis dan majalah umum, dan 11 persen jarang memanfaatkan media cetak baik koran pertanian, koran umum, majalah pertanian, majalah bisnis dan majalah umum. Hasil pengamatan dan wawancara di lapangan di ketahui program penyebaran media informasi (Sinar Tani) oleh pusat penyuluhan pertanian dirasakan sangat membantu penyuluh dalam melaksanakan tugasnya karena dengan membaca sinar tani penyuluh memperoleh tambahan ilmu dan inovasi yang baru. Hasil pengamatan dan wawancara dengan penyuluh reponden tentang pemanfataan media internet sebanyak 34 orang (72%) penyuluh tidak pernah memanfaatkan media internet untuk mengakses informasi yang diperlukan, 6 orang (13%) termasuk dalam kategori sedang dalam menggunakan internet, dan 7 orang (15%) termasuk dalam ketegori banyak dalam hal memanfaatkan media internet untuk mencari informasi dalam mendukung pekerjaannya sebagai seorang penyuluh baik jenis informasi berita pertanian/umum, bisnis/usaha, hiburan dan membuka email. Berdasarkan hasil wawancara mendalam dengan responden yang tidak memanfaatkan media internet diketahui penyebabnya adalah sebagai berikut: (1) Penyuluh responden tidak bisa mengoperasikan komputer/laptop sehingga untuk mengakses internet tidak bisa dilakukan, (2) tidak ada jaringan internet di BPP, dan (3) kurangnya pelatihan tentang pemanfataan media internet. Jumlah Kelompok Binaan Jumlah kelompok binaan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah banyaknya kelompok binaan yang dibina oleh penyuluh. Jumlah kelompok
40 banaan dibagi ke dalam tiga kategori yaitu sedikit ( 2) , sedang (3-4) dan banyak ( 5). Data penelitian menunjukkan, bahwa dari 47 penyuluh responden sebanyak 53 persen penyuluh termasuk dalam kategori banyak karena penyuluh tersebut membina lebih dari lima kelompok tani, 40 persen penyuluh termasuk dalam kategori sedang karena hanya membina tiga sampai empat kelompok tani, dan 6 persen penyuluh responden termasuk ke dalam kategori sedikit karena hanya membina kurang dari dua kelompok tani. Berdasarkan amanah UU Nomor 16 Tahun 2006 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 tahun 2007 setiap desa seharusnya mempunyai penyuluh pertanian paling tidak satu orang penyuluh. Hasil pengamatan dan wawancara dengan responden ditemukan bahwa penyuluh membina lebih dari lima kelompok tani untuk setiap desa. Hal ini disebabkan oleh kurangnya tenaga penyuluh pertanian yang ada di Kabupaten Pidie sehingga penyuluh yang ada harus membawahi/membina lebih dari satu kelompok tani. Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa implementasi UU Nomor 16 Tahun 2006 belum berjalan secara optimal di Kabupaten Pidie. Hasil wawancara dan pengamatan di lapang dengan penyuluh responden diketahui rata-rata kunjungan penyuluh ke kelompok tani dalam satu minggu yaitu 3 kali. Penyuluh mempunyai waktu kerja 5 hari, 2 hari dikantor dan 3 hari untuk kunjungan lapangan (kelompok tani). Ketika kunjungan berlangsung tidak ada persiapan khusus untuk materi (bahan diskusi) yang akan diberikan kepada kelompok tani, biasanya hal itu berhubungan erat dengan keadaan lapangan yang dikunjungi oleh penyuluh. Misalnya ketika musim tanam padi penyuluh memberikan cara pengairan yang benar, pemupukan, pola tanam dan lain sebagainya. Dalam satu musim tanam biasanya penyuluhan satu kali melakukan percontohan/demonstrasi pada kelompok tani dengan alasan anggarannya terbatas dari BPP kecamatan. Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) kecamatan hanya menganggarkan anggaran untuk percontohan/demontrasi dalam setahun hanya satu kali, jika ada penyuluh yang ingin melakukan percontohan/demontrasi lebih dari satu kali, biasanya anggaranya mereka ambil dari BOP mereka masingmasing. Dalam hal penilaian kelompok tani, responden menyatakan sampai dengan saat wawancara berlangsung belum pernah melakukan penilaian terhadap kemampuan kelompok tani. Dalam tugas pokoknya sebagai penyuluh, seharusnya penyuluh melakukan penilaian terhadap kelompok tani minimal setahun sekali. salah satu manfaat dari penilaian kelompok yang di lakukan oleh penyuluh adalah untuk menaikan kelas kelompok tani di wilayah kerja penyuluh tersebut.
Karakteristik Eksternal Penyuluh Hasil pengamatan terhadap karakteristik eksternal penyuluh yang terdiri atas: (1) dukungan administrasi, (2) ketersediaan prasarana dan sarana, (3) kondisi lingkungan kerja, (4) keterjangkauan daerah tempat bekerja, dan (5) tingkat partisipasi aktif petani, disajikan pada Tabel 7.
41 Tabel 7 Karakteristik eksternal penyuluh di Kabupaten Pidie, tahun 2014 No. Variabel 1. Dukungan Administrasi a. Tidak Baik b. Kurang Baik c. Baik 2. Ketersediaan Sarana dan Prasarana a. Tidak Tersedia b. Kurang Tersedia c. Tersedia 3. Kondisi Lingkungan Kerja a. Tidak Nyaman b. Kurang Nyaman c. Nyaman 4. Keterjangkaun Daerah Tempat Bekerja a. Dekat b. Sedang c. Jauh 5. Tingkat Partisipasi Aktif Masyarakat a. Rendah b. Sedang c. Tinggi
Jumlah
%
7 11 29
15 23 62
6 3 38
13 6 81
2 7 38
4 15 81
13 25 9
28 53 19
15 14 18
32 30 38
Dukungan Administrasi Dukungan admintrasi yang dimaksud adalah pengelolaan administrasi dalam organisasi (kelembagaan penyuluhan) yang dirasakan penyuluh. Dukungan administrasi dibagi ke dalam tiga kategori yakni: tidak baik, kurang baik, dan baik. kategori tidak baik 5-10, kurang baik 11-13, sedangkan kategori baik 14-15. Data hasil penelitian menunjukkan, bahwa dari 47 responden sebanyak 62 persen penyuluh merasa dukungan administrasi berkategori baik, 23 persen berkategori kurang baik, dan 15 persen penyuluh merasa pengelolaan administrasi dalam organisasi (kelembagaan penyuluhan) berkategori tidak baik. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan ditemukan beberapa dukungan administrasi yang ada di BPP Kecamatan sudah dilaksanakan dengan baik hal ini selaras dengan hasil penelitian bahwa 62 persen penyuluh merasa dukungan administrasi berkategori baik. Hasil wawancara dan penelitian dengan responden ditemukan dukungan administrasi yang dinilai sudah baik diberikan oleh BPP kecamatan masingmasing tempat mereka bekerja yaitu: (1) pengelolaan administrasi kelembagaan penyuluhan untuk mendukung pelaksanaan tugas-tugas penyuluh, (2) dukungan sistem administrasi perkantoran seperti surat-menyurat atau sistem pelaporan, (3) dukungan dalam hal memperoleh angka kredit penyuluh, (4) sistem penilaian angka kredit penyuluh, dan (5) pemberian tunjangan jabatan fungsional penyuluh pertanian. Dukungan adminitrasi yang baik yang di berikan oleh setiap BPP kecamatan akan memberikan dampak yang baik terhadap kinerja penyuluh pertanian.
42 Ketersediaan Sarana dan Prasarana Ketersediaan sarana dan prasarana merupakan pemenuhan akan kebutuhan penunjang kegiatan penyuluhan serta kesesuaian antara jumlah yang tersedia dengan kebutuhan penyuluh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesesuian antara jumlah sarana yang tersedia dengan kebutuhan penyuluh, sebanyak 81 persen penyuluh menilai tersedianya sarana dan prasarana, 6 persen penyuluh menilai kurang tersedia sarana dan prasarana, dan 13 persen penyuluh menilai tidak tersedia sarana dan prasarana terutama untuk kendaraan bermotor yang hanya tersedia 2 unit untuk setiap BPP kecamatan (digunakan oleh koordinator BPP kecamatan penyuluhan dan penyuluh senior yang ada BPP kecamatan). Ketersediaan sarana dan prasaran yang diperlukan meliputi sarana seperti komputer, OHP, LCD, dan perlengkapan operasional lainnya serta prasana fisik seperti gedung BPP dan kendaraan bermotor yang diperlukan penyuluh dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Penyuluh sangat menyesalkan ketidaktersediaan sarana dan prasarana, ditambah lagi ada kecendrungan sarana yang ada semakin dikurangi keberadaannya seperti tidak ada lagi biaya perjalanan, padahal wilayah kerjanya di daerah-daerah desa terpencil yang membutuhkan biaya perjalanan yang besar. Hasil pengamatan dan wawancara di lapang menunjukkan bahwa keberadaan dan kesinambungan sarana dan prasarana di BPP secara umum kurang memadai, hal ini telah dirasakan penyuluh semenjak berubah-ubahnya wadah (kelembagaan) penyuluhan disamping terjadinya konflik, tsunami yang terjadi di Kabupaten Pidie dan terjadinya pemekaran beberapa BPP yang semula mencakup lebih dari satu wilayah kecamatan menjadi satu BPP di setiap kecamatan. Fasilitas kerja yang tidak tersedia dikantor BPP seperti telepon, faximile, komputer, internet dan ATK sehingga menghambat tugas seorang penyuluh. Internet menjadi hal yang sangat penting untuk saat ini bagi penyuluh, karena dengan adanya internet semua informasi dapat di akses dan pada akhirnya sangat mendukung dalam pelaksanaan tugas seorang penyuluh. Fasilitas pendukung lainnya dirasa oleh penyuluh responden masih kurang seperti alat-alat peraga, sepeda motor dan demplot area, sedangkan dari 15 BPP kecamatan yang ada di Kabupaten Pidie semuanya tidak dilengkapi oleh fasilitas perabotan (kursi,meja,lemari) dan perpustakaan. Demikian halnya dengan kantor BPP kecamatan, belum semua kecamatan mempunyai kantor BPP (masih menumpang di kantor camat). Hasil pengamatan di lapang ditemukan ada beberapa kantor BPP yang baru di bangun dengan Tahun 2013 dan baru diresmikan awal Tahun 2014 kondisinya sudah rusak dan tidak terawat (pintu hilang, kosen hilang, dan jendela pecah). Menurut penyuluh, bangunan kantor itu penting sekali terutama untuk pertemuan baik dengan petani maupun dengan sesama penyuluh. Mengenai lokasi BPP sebagian sudah cukup mudah di akses oleh petani di masing-masing wilayah karena letaknya cukup strategis (di pinggir jalan raya, dapat dilalui kendaraan bermotor dan berada di lingkungan petani), namun sebagian BPP juga sulit dijangkau oleh petani karena wilayahnya terlalu luas, sulitnya transportasi umum dan kondisi jalan yang rusak. Bahkan ada juga BPP yang tidak terlalu jauh dari jalan raya, namun karena tidak adanya petunjuk sehingga kantor tersebut sulit ditemukan.
43 Hasil wawancara juga ditemukan ada penggunaan beberapa fasilitas pribadi untuk memperlancar pelaksanaan tugas sebagai penyuluh diantaranya HP, komputer/laptob, ATK dan sepeda motor. Beberapa penyuluh mempunyai alasan tersendiri untuk menggunakan fasilitas pribadi untuk memperlancar pelaksanaan tugas sebagai penyuluh diantaranya: (1) keterbatasan fasilitas yang dimiliki oleh dinas, dan (2) untuk proses kelancaran pelaksanaan tugas penyuluhan. Sarana dan prasarana penyuluhan adalah perangkat yang diperlukan untuk memperlancar kegiatan penyuluhan. Oleh karena itu keberhasilan pelaksanaan penyuluhan perlu ditunjang dengan adanya sarana dan prasarana yang memadai baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
Kondisi Lingkungan Kerja Kondisi lingkungan kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah lingkungan kerja organisasi yang mendukung tugas penyuluh. Kondisi lingkungan kerja dibagi atas tiga kategori yaitu: tidak nyaman, kurang nyaman dan nyaman. Data hasil penelitian menunjukkan 81 persen penyuluh merasa nyaman dengan kondisi lingkungan tempat penyuluh bekerja, 15 persen penyuluh responden merasa kurang nyaman dengan kondisi lingkungan kerja, dan 4 persen penyuluh responden merasa tidak nyaman dengan kondisi lingkungan kerja. Hasil pengamatan dan wawancara di lapangan ditemukan bahwa penyuluh sudah merasa nyaman dengan kondisi lingkungan kerja saat ini, hal ini selaras dengan hasil penelitian sebanyak 81 persen penyuluh merasa nyaman dengan kondisi lingkungan tempat penyuluh bekerja. Kondisi lingkungan kerja yang dinilai sudah nyaman oleh penyuluh yaitu: (1) tempat penyuluh bekerja, (2) solidaritas sesama penyuluh pertanian, (3) dukungan yang diberikan oleh teman kerja, (4) dukungan yang diberikan oleh pimpinan, (5) kebebasan dalam menentukan metode dan teknik penyuluhan yang akan digunakan dalam pelaksanaan tugas, (6) kewenangan yang diberikan pimpinan untuk memecahkan masalah yang terjadi berkaitan dengan pekerjaan, (7) kemampuan pimpinan mengembangkan karir penyuluh, (8) kemampuan pimpinan dalam menciptakan hubungan kerja, (9) kemampuan pimpinan selalu berupaya untuk mendiskusikan masalah dalam pekerjaan, dan (10) kemampuan pimpinan mengajak berkomunikasi dalam menyelesaikan pekerjaan. Kondisi lingkungan kerja yang baik akan berdampak pada hasil kinerja penyuluh, karena penyuluh merasa aman,nyaman dan dihargai di lingkungannya bekerja.
Keterjangkuan Daerah Tempat Bekerja Keterjangkuan daerah tempat bekerja dalam penelitian ini adalah jarak penyuluh dengan lokasi tempat bekerja. Jarak ini dibagi kedalam 3 kategori yaitu: dekat dengan skor 2, sedang dengan skor 3-8, dan jauh dengan skor 9. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dari 47 penyuluh responden sebanyak 28 persen penyuluh bertempat tinggal dekat dengan lokasi tempat penyuluh bekerja, 53 persen jarak tempat tinggal penyuluh dengan tempat kerja penyuluh berada dalam berkategori sedang, dan selebihnya 19 persen penyuluh berada jauh dengan lokasi tempat bekerja.
44 Hasil wawancara dan pengamatan di lapang menunjukkan semua penyuluh yang jadi responden menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi untuk pergi ke BPP dan kunjungan ke kelompok tani. Dalam seminggu rata-rata penyuluh 5 kali mengujungi tempatnya bekerja. Lama waktu rata-rata penyuluh untuk menuju tempat bekerja yaitu 21 menit. Ada sebagian penyuluh yang jarak tempat tinggalnya dengan lokasi tempatnya bekerja cukup berat dilalui karena berbukit-bukit dan bergunung-gunung, sehingga memerlukan waktu tempuh yang lama. Hasil pengamatan di lapangan (BPP kecamatan) ditemukan penyuluh yang tempat tinggalnya jauh dari tempat kerjanya berpengaruh terhadap kehadiran mereka, hal ini dibuktikan dengan kosongnya tanda kehadiran penyuluh (absen).
Tingkat Partisipasi Aktif Petani Partisipasi aktif petani masuk kategori tinggi (38%), lebih rinci terdapat pada Tabel 7. Tingginya partisipasi masyarakat tersebut menurut Slamet (2010) disebabkan oleh 3 (tiga) unsur pokok yakni; (1) adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi, (2) adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi, dan (3) adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. Tentang hal ini, Mardikanto (2009) memberikan pengertian bahwa kesempatan yang diberikan sering menjadi faktor pendorong tumbuhnya kemauan, dan kemauan akan sangat menentukan kemampuannya. Semakin cerdas kehidupan rakyat, maka semakin tinggi partisipasi masyarakatnya dalam pembangunan, dan proses penyuluhan merupakan upaya nyata dalam mewujudkan kecerdasan tersebut. Bentuk partisipasi masyarakat yang sangat dirasakan sebagaimana yang diakui oleh penyuluh adalah, terutama pada tahapan pelaksanaan penyusunan programa penyuluhan tingkat desa dan kecamatan. Sumardjo (2010) mengatakan bahwa partisipasi rakyat dalam pembangunan bukanlah dalam bentuk pengerahan tenaga rakyat secara sukarela, tetapi justru lebih penting adalah tergeraknya kesadaran rakyat untuk mau memanfaatkan kesempatan memperbaiki kualitas kehidupan diri. Upaya membangun kesadaran masyarakat tersebut, maka kegiatan penyuluhan harus sesuai dengan prinsipprinsip penyuluhan dalam arti yang sebenarnya, yang partisipatif, dialogis, konvergen dan demokratis, sehingga memberdayakan dan bukannya praktekpraktek penyuluhan yang bersifat top down, linier dan bertentangan dengan filosofi pembangunan kapital manusia. Strategi ke depan yang harus dilakukan seorang penyuluh dalam meningkatkan peran masyarakat (kelompok tani) adalah pemerintah harus memberikan keleluasaan kepada masyarakat untuk berusaha. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka masyarakat harus dilibatkan dalam proses perencanaan program pembangunan pertanian. Minimnya anggaran yang dikelola institusi penyuluhan menyebabkan kegiatan penyusunan programa penyuluhan selama ini hanya bisa dilakukan di tingkat kota. Seharusnya kegiatan tersebut harus dilakukan secara bertahap dan dimulai dari tingkat wilayah kerja penyuluh, sehingga keterlibatan masyarakat (kelompok tani) bisa lebih besar. Untuk lebih memaksimalkan aspek partisipasi masyarakat yang sudah tergolong baik tersebut, maka upaya-upaya ke arah proses penyadaran masyarakat dari seorang penyuluh perlu terus dilakukan. Masyarakat yang semakin sadar akan potensi yang
45 dimilikinya lebih cenderung dalam melakukan kegiatan-kegiatan positif ke arah perbaikan kualitas hidupnya yang lebih baik.
Kompetensi Penyuluh Pertanian Hasil pengamatan terhadap kompetensi penyuluh yang terdiri atas: (1) pengelolaan program penyuluhan, (2) pengelolaan kegiatan penyuluhan, (3) penerapan prinsip belajar orang dewasa, (4) kemampuan berkomunikasi, dan (5) kemampuan bekerjasama, disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Kompetensi penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie, tahun 2014 No. 1.
2.
3.
4.
5.
Variabel Pengelolaan Program Penyuluhan a. Tidak Kompeten b. Kurang Kompeten c. Kompeten Pengelolaan Kegiatan Penyuluhan a. Tidak Kompeten b. Kurang Kompeten c. Kompeten Kemampuan Menerapkan Prinsip Belajar Orang Dewasa a. Tidak Kompeten b. Kurang Kompeten c. Kompeten Kemampuan Berkomunikasi a. Tidak Kompeten b. Kurang Kompeten c. Kompeten Kemampuan Bekerjasama a. Tidak Kompeten b. Kurang Kompeten c. Kompeten
Jumlah
%
8 22 17
17 47 36
14 14 19
30 30 40
20 6 21
43 13 45
17 13 17
36 28 36
33 13 1
70 28 2
Pengelolaan Program Penyuluhan Hasil penelitian menunjukkan, bahwa dari 47 penyuluh responden sebanyak 36 persen penyuluh mempunyai kemampuan dalam menyusun kegiatan penyuluhan atau kompeten dalam pengelolaan program penyuluhan, 47 persen kurang kompeten, dan 17 persen tidak kompeten dalam pengelolaan program penyuluhan, dengan demikian hasil penelitian mengungkapkan bahwa mayoritas penyuluh responden berada dalam kategori kurang kompeten dalam melakukan Pengelolaan program penyuluhan. Hasil pengamatan dan wawancara dengan penyuluh responden ditemukan beberapa faktor penyebab kurang kompetennya penyuluh dalam mengelola program penyuluhan yaitu: (1) kurangnya kemampuan penyuluh dalam menilai sumberdaya yang ada di wilayah binaannya, (2) kurangnya kemampuan penyuluh
46 dalam mengumpulkan dan mengelola data faktor penentu program penyuluhan, (3) kurangnya kemampuan penyuluh dalam mengindentifikasi kebutuhan petani binaannya, (4) kurangya kemampuan penyuluh dalam mengindentifikasi hal-hal yang menyebabkan tujuan program yang telah direncanakan tidak tercapai, (5) kurangnya kemampuan penyuluh dalam menerjemahkan kebutuhan-kebutuhan petani, organisasi dan pemerintah sehingga program yang disusun tidak tepat sasaran, dan (6) kurangnya kemampuan penyuluh dalam mengindentifikasi aspirasi petani dan kelompok tani sehingga menyebabkan terjadinya salah sasaran program yang telah ditetapkan.
Pengelolaan Kegiatan Penyuluhan Hasil penelitan menunjukkan bahwa sebanyak 40 persen penyuluh responden berkompeten dalam melakukan kegiatan penyuluhan atau dalam pengelolaan kegiatan penyuluhan, 30 persen penyuluh responde kurang kompeten dalam pengelolaan kegiatan penyuluhan, sedangkan 30 persen penyuluh responden tidak kompeten dalam pengelolaan kegiatan penyuluhan, dengan demikian hasil penelitian mengungkapkan bahwa mayoritas penyuluh responden berada dalam kategori berkompeten dalam melakukan pengelolaan kegiatan penyuluhan. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan ditemukan rata-rata penyuluh sudah mampu dalam mengelola kegiatan penyuluhan, hal ini dibuktikan dengan kemampuan penyuluh dalam mengelola beberapa kegiatan penyuluhan diantaranya: (1) kemampuan penyuluh dalam melakukan demontrasi plot, dan (2) kemampuan penyuluh dalam memberi keteladanan dalam memimpin program.
Kemampuan Menerapkan Prinsip Belajar Orang Dewasa Hasil penelitian menunjukkan 45 persen penyuluh responden kompeten dalam menerapkan metode belajar orang dewasa ke dalam kegiatan penyuluhan, 13 persen penyuluh responden kurang kompeten dalam menerapkan prinsip belajar orang desawa, dan 43 persen penyuluh persen tidak kompeten dalam menerapkan metode belajar orang dewasa ke dalam kegiatan penyuluhan. Dengan demikian hasil penelitian mengungkapkan bahwa mayoritas penyuluh responden berada dalam kategori kompeten dalam kemampuan menerapkan metode belajar orang dewasa ke dalam kegiatan penyuluhan. Hasil wawancara dengan penyuluh responden ditemukan hasil penyuluh responden sudah mampu menerapkan prinsip belajar orang dewasa, hal ini dibuktikan dengan: (1) penyuluh responden sudah mampu menggunakan prinsip pendidikan orang dewasa dalam kegiatan penyuluhan, (2) penyuluh responden sudah mampu menggunakan pendekatan pendidikan orang dewasa dalam mengajar/memfasilitasi kursus petani, (3) penyuluh mampu dalam menjelaskan pengetahuan dan informasi baru usahatani dengan tidak menggurui, dan (4) penyuluh mampu penyuluh menganggap petani sebagai rekan kerja.
47 Kemampuan Berkomunikasi Kemampuan berkomunikasi yang dimasudkan dalam penelitian ini ialah kemampuan yang dimiliki oleh penyuluh dalam bersosialisasi dengan masyarakat/ petani. Kemampuan berkomunikasi dibagi ke dalam tiga kategori yaitu: tidak kompeten, kurang kompeten, dan kompeten. Adapun hasil penelitian di lapangan menunjukkan sebanyak 36 persen penyuluh responden tidak kompenten dalam bersosialisasi dengan masyarakat/ petani, 28 persen penyuluh responden kurang kompeten dalam berkomunikasi dengan masyarakat/petani, dan selebihnya 36 persen penyuluh responden kompeten dalam bersosialisasi atau berkomunikasi dengan masyarakat. Dengan demikian hasil penelitian mengungkapkan bahwa mayoritas penyuluh responden berada dalam kategori seimbang antara tidak kompeten dan kompeten dalam bersosialisasi (berkomunikasi) dengan masyarakat/petani. Berdasarkan hasil wawancara dengan penyuluh ditemukan faktor yang menyebabkan kurangnya kemampuan penyuluh dalam berkomunikasi yaitu: (1) kurangnya kemampuan penyuluh dalam melakukan hubungan yang akrab dengan petani, (2) kurangnya kemampuan penyuluh dalam menciptakan hubungan (kontak sosial) dan memelihara hubungan yang baik dengan tokoh masyarakat, (3) kurangnya kemampuan penyuluh dalam berkomunikasi dengan masyarakat dalam kegiatan penyuluh, dan (4) kurangnya kemampuan penyuluh berkomunikasi dengan menggunakan media.
Kemampuan Bekerjasama Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 47 penyuluh responden sebanyak 70 persen penyuluh tidak kompeten dalam membangun hubungan dengan pihak lain selam bertugas sebagai penyuluh, 28 persen penyuluh responden kurang kompeten dalam bekerjasama, dan selebihnya 2 persen penyuluh responden kompeten dalam membangun hubungan dengan pihak lain selam bertugas sebagai penyuluh atau mempunyai kemampuan bekerjasama. Dengan demikian hasil penelitian mengungkapkan bahwa mayoritas penyuluh responden berada dalam kategori tidak kompeten dalam kemampuan bekerjasama dengan pihak lain selama bertugas sebagai penyuluh. Faktor-faktor yang diduga menyebabkan rendahnya kemampuan penyuluh dalam bekerjasama yaitu: (1) kurangnya kemampuan penyuluh dalam menjalin kerjasama dengan petani, (2) kurangnya kemampuan dalam mempromosikan kegiatan petani kepada lembaga pemasaran, (3) kurangnya kemampuan dalam membantu petani dalam melakukan kerjasama dengan pemberi kredit, dan (4) kurangnya kemampuan dalam bekerjasama dengan instansi pendukung pertanian (pemerintah & swasta).
Kinerja Penyuluh Pertanian Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing kearah pencapaian tujuan yang ditetapkan (Hasibuan 2001). Indikator kinerja dalam penelitian ini berdasarkan Peraturan Menteri
48 Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: Per/02/Menpan/2/2008 tentang jabatan fungsional penyuluh dan angka kreditnya. Indikator kinerja penyuluh dalam melaksanakan tugas seorang penyuluh yaitu: (1) persiapan penyuluhan pertanian, (2) pelaksanaan penyuluhan pertanian, (3) evaluasi dan pelaporan, (4) pengembangan penyuluhan pertanian, (5) pengembangan profesi, dan (6) penunjang tugas penyuluh pertanian. Tingkat kinerja penyuluh pertanian dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie, tahun 2014 No. Variabel Jumlah % 1. Persiapan Penyuluh Pertanian a. Rendah 6 13 b. Sedang 31 66 c. Tinggi 10 21 2. Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian a. Rendah 10 21 b. Sedang 20 43 c. Tinggi 17 36 3. Evaluasi dan Pelaporan a. Rendah 27 57 b. Sedang 8 17 c. Tinggi 12 26 4. Pengembangan Penyuluhan Pertanian a. Rendah 27 57 b. Sedang 9 19 c. Tinggi 11 23 5. Pengembangan Profesi a. Rendah 40 85 b. Sedang 2 4 c. Tinggi 5 11 6. Penunjang Tugas Penyuluh Pertanian a. Rendah 35 74 b. Sedang 9 19 c. Tinggi 3 6 7. Total Hasil Kinerja a. Rendah 23 49 b. Sedang 18 38 c. Tinggi 6 13 Persiapan Penyuluhan Pertanian Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 47 penyuluh sebanyak 21 persen penyuluh tinggi dalam melakukan persiapan penyuluhan pertanian, 66 persen penyuluh responden dengan frekuensi sedang, dan 13 persen peyuluh rendah dalam melakukan persiapan penyuluhan pertanian, dengan demikian hasil
49 penelitian mengungkapkan bahwa mayoritas penyuluh responden berada dalam kategori sedang dalam persiapan penyuluhan pertanian. Tingkat kinerja penyuluh pertanian pada tingkat persiapan penyuluhan pertanian masuk dalam kategori sedang, hal ini selaras dengan hasil pengamatan dan wawancara di lapangan yang menemukan, bahwa penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie dalam melaksanakan tugas sebagai penyuluh pertanian pada tingkat persiapan penyuluhan pertanian masih kurang memahami beberapa kegiatan-kegiatan dari persiapan penyuluhan pertanian. Kegiatan pelaksanaan indentifikasi potensi wilayah, dan dalam memandu penyusunan rencana usaha petani (RUK,RKK, RKD, RPKD/PPP), penyuluh responden sudah mengerti akan langkah-langkah yang harus dilakukan dan juga sudah memahami akan pentingnya perlibatan petani masyarakat dalam pelaksanaannya. Ada beberapa temuan dari hasil wawancara dan pengamatan di lapangan terhadap kegiatan menyusun programa penyuluhan pertanian, dan menyusun rencana kerja tahunan. Hasil temuan menunjukkan, bahwa dalam pelaksanaannya penyuluh responden sering kali menyusun ulang programa dan menyusun rencana kerja tahunan tahun lalu untuk usulan tahun berikutnya, tanpa melakukan evaluasi dari program tersebut dan tanpa mempertimbangkan apakah program tersebut tepat sasaran atau tidak. Kegiatan penyuluh responden dalam menyusun materi penyuluhan yang berbentuk flipchart/photo dan poster rata-rata penyuluh responden tidak bisa merancang/menyusun materi penyuluhan dalam bentuk flipchart/photo dan poster, ada beberapa faktor yang penyebab hal tersebut bisa terjadi diantaranya: (1) kurangnya pelatihan mengenai cara merancang flipchart/photo dan poster, (2) kurangnya pemahaman/pengetahuan cara merancang flipchart/photo dan poster, dan (3) kurangnya pemahaman akan pentingnya flipchart/photo dan poster. Kegiatan persiapan penyuluhan pertanian yang dilakukan oleh penyuluh dalam menyusun materi penyuluhan dalam bentuk kartu kilat rata-rata penyuluh penyuluh tidak bisa melaksanakan pekerjaan tersebut.
Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian Hasil penelitian mengenai pelaksanaan penyuluhan pertanian menunjukkan bahwa sebanyak 36 persen penyuluh tinggi dalam melakukan pelaksanaan penyuluhan pertanian, 43 persen penyuluh responden mempunyai frekuensi sedang dalam melakukan pelaksanaan penyuluhan pertanian, dan 21 persen penyuluh responden rendah dalam melakukan pelaksanaan penyuluhan pertanian, dengan demikian hasil penelitian menunjukkan bahwa penyuluh berada dalam kategori sedang cendrung tinggi dalam melakukan pelaksanaan penyuluhan pertanian. Hasil pengamatan dan wawancara di lapangan ditemukan kegiatan–kegiatan dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian ada yang sudah dilakukan dengan baik, kurang baik, dan tidak pernah dilakukan. Beberapa kegiatan dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian yang sudah baik dilakukan oleh penyuluh sehingga berdampak pada kinerja penyuluh yaitu: (1) menyusun materi penyuluhan, (2) penerapan metode penyuluhan pertanian, (3) menumbuhkan/mengembangkan kelembagaan petani, (4) melakukan kunjungan tatap muka pada petani perorangan, (5) melakukan kunjungan tatap
50 muka pada petani secara missal, (6) melakukan kunjungan tatap muka pada petani dan kelompok tani, dan (7) mamandu pelaksanaan demontrasi usaha tani melalui demontrasi plot/fram/area. Kegiatan dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian yang kurang baik dilakukan oleh penyuluh responden yaitu: (1) melaksanakan temu lapang/temu tugas/temu teknis/temu karya/temu usaha, (2) melaksanakan materi penyuluhan pertanian dalam bentuk flipchart/peta singkat/photo dan poster, dan (3) melaksanakan materi penyuluhan pertanian dalam bentuk flipchart/peta singkat/photo dan poster. Selebihnya ada dua kegiatan dalam pelaksanaan penyuluhan pertanian yang tidak pernah dilaksanakan oleh penyuluh pertanian yang ada di Kabupaten Pidie, yaitu: (1) melakukan penilaian prestasi petani/kelompok tani, dan (2) melaksanakan ujicoba konsep pengembangan metode penyuluhan pertanian. Kegiatan penilaian prestasi petani/kelompok tani berdasarkan hasil wawancara dengan penyuluh responden diperoleh informasi bahwa kegiatan penilaian prestasi petani/kelompok tani sudah lama tidak pernah dilakukan, terakhir kali dilakukan sebelum berlakunya UU SP3K (sebelum tahun 2006). Penilaian prestasi petani/kelompok tani sebelum berlakunya UU SP3K tiap tahun dilaksanakan dengan sistem penilaian menggunakan angket yang telah dibuat. Kegunaan dari penilaian prestasi kelompok adalah untuk menaikan kelas kelompok, dan juga untuk memberikan penghargaan kepada petani/kelompok tani yang berprestasi dalam pengembangan usaha pertaniannya. Beberapa alasan terkait dengan tidak dilakukan penilaian prestasi petani/kelompok yaitu: (a) tidak tersedianya anggaran untuk kegiatan tersebut, (b) tidak adanya program kegiatan untuk melakukan penilaian prestasi petani/kelompok tani baik dari BPPKP Kabupaten Pidie maupun Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan Provinsi Aceh, dan (c) kurangnya perhatian dan kepedulian pemerintah daerah maupun provinsi dalam memberikan penghargaan kepada petani/kelompok tani yang berhasil memajukan usahanya.
Evaluasi dan Pelaporan Hasil penelitian mengenai evaluasi dan pelaporan menunjukkan bahwa dari 47 penyuluh responden sebanyak 57 persen penyuluh responden rendah dalam menyusun evaluasi dan pelaporan, 17 persen penyuluh responden mempunyai frekuensi sedang dalam menyusun evaluasi dan pelaporan, dan selebihnya 26 persen penyuluh tinggi dalam menyusun evaluasi dan pelaporan. Dengan demikian hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas penyuluh responden berada dalam kategori rendah dalam mengevaluasi dan menyusun laporan hasil kegiatan penyuluhan. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan ditemukan laporan yang disusun oleh penyuluh hanyalah laporan bulanan yang berisi kegiatan anjangsana yang dilaksanakan oleh penyuluh. Laporan ini dibuat sebagai salah satu bahan untuk pengusulan BOP. Laporan yang berkaitan dengan hasil pelaksanaan penyuluhan secara keseluruhan tidak ditemukan. Penyampaian laporan bulanan kegiatan penyuluh kepada kepala BPP atau koordinator penyuluh disertai dengan beberapa jenis laporan lainnya seperti laporan intensifikasi, harga komoditas pertanian serta laporan kegiatan tertentu yang dilaksanakan di wilayah kerja penyuluh. Tidak ditemui adanya penyuluh yang menyusun evaluasi terhadap
51 pelaksanaan maupun dampak kegiatan penyuluhan. Ketiadaan evaluasi ini erat kaitannya dengan tidak adanya kebijakan yang mengharuskan penyuluh untuk menyusun evaluasi. Disamping itu dasar pelaksanaan evaluasi adalah sasaran yang telah ditetapkan di dalam rencana kerja. Pada penelitian ini ditemui bahwa sebagian besar penyuluh responden belum menyusun RKTP secara baik sehingga akan menjadi kendala dilaksanakannya evaluasi secara baik. Dengan tidak dilaksanakan evaluasi ini maka penilaian terhadap efektivitas kerja penyuluh menjadi relatif sulit, yang seterusnya berdampak negatif terhadap proses penyusunan rencana penyelenggaraan penyuluhan selanjutnya. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan juga ditemukan rata-rata penyuluh kurang dalam melakukan beberapa kegiatan evaluasi dan pelaporan sehingga hal ini akan berdampak pada rendahnya kinerja penyuluh, kegiatan tersebut adalah: (1) kegiatan evaluasi dampak pelaksanaan penyuluh pertanian, (2) kegiatan mengumpulkan dan mengolah data evaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian tingkat kecamatan. Ada beberapa kegiatan evaluasi dan pelaporan yang jarang dilakukan oleh penyuluh di Kabupaten Pidie yaitu: (1) kegiatan mengumpulkan dan mengolah data evaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian tingkat kabupaten, (2) kegiatan mengumpulkan dan mengolah data evaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian tingkat kabupaten, dan (3) kegiatan mengumpulkan dan mengolah data evaluasi pelaksanaan penyuluhan pertanian tingkat provinsi.
Pengembangan Penyuluhan Pertanian Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 47 penyuluh sebanyak 57 persen penyuluh rendah dalam melakukan pengembangan penyuluhan pertanian, 19 persen penyuluh responden dengan frekuensi sedang, dan selebihnya 23 persen penyuluh tinggi dalam melakukan pengembangan penyuluhan pertanian. Dengan demikian hasil penelitian mengungkapkan bahwa mayoritas penyuluh responden berada dalam kategori rendah dalam penyusunan pedoman/petunjuk pelaksanaan/ petunjuk teknis penyuluhan pertanian. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan ditemukan rata-rata penyuluh kurang baik dalam melakukan beberapa kegiatan pengembangan penyuluhan pertanian sehingga hal ini akan berdampak pada rendahnya kinerja penyuluh, kegiatan tersebut adalah: (1) kegiatan penyusunan pedoman/petunjuk teknis penyuluhan pertanian, (2) kegiatan penyuluh yang mengkaji kebijakan pengembangan penyuluhan pertanian, (3) kegiatan penyuluh yang mengembangkan metode/sistem kerja penyuluhan pertanian, dan (4) kegiatan penyuluh yang menumbuhkan kelompok tani. Kegiatan penyuluh yang jarang dilakukan oleh penyuluh dalam pengembangan penyuluhan pertanian diantaranya: (1) kegiatan dalam mengembangkan kelompok tani, (2) kegiatan dalam mengembangkan korporasi/ koperasi petani, dan (3) kegiatan dalam menumbuhkan kemitraan usaha kelompok tani dengan pelaku usaha. Pengembangan Profesi Hasil penelitian mengenai pengembangan profesi penyuluh pertanian menunjukkan bahwa sebanyak 85 persen penyuluh responden rendah dalam
52 melakukan pengembangan profesi penyuluh pertanian, 4 persen penyuluh responden mempunyai frekuensi sedang dalam melakukan pengembangan profesi penyuluh pertanian, dan selebihnya 11 persen penyuluh tinggi dalam melakukan pengembangan profesi penyuluh pertanian. Dengan demikian hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas penyuluh responden berada dalam kategori rendah dalam hasil kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh untuk menunjang keahlian dan menambah wawasan penyuluh. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan ditemukan ada beberapa kegiatan pengembangan profesi yang pelaksanaannya sedikit dilakukan sehingga akan berdampak pada rendahnya kinerja, kegiatan tersebut adalah: (1) kegiatan penyuluh dalam membuat karya tulis ilmiah di bidang penyuluhan pertanian, (2) kegiatan penyuluh dalam melakukan penerjemahan/penyaduran buku-buku dan bahan-bahan lain di bidang penyuluhan pertanian, dan (3) kegiatan penyuluh responden yang memberi konsultasi di bidang pertanian yang bersifat konsep kepada institusi atau perorangan. Ada beberapa kegiatan pengembangan profesi yang jarang dilakukan sehingga akan berdampak pada rendahnya kinerja, kegiatan tersebut adalah: (1) kegiatan penyuluh responden yang menjadi pramuwicara dalam perencanaan dan pelaksanaan pameran, dan (2) kegiatan penyuluh dalam mengajar kursus tani. Tupoksi pelaksanaan program pengembangan profesi hanya dilakukan oleh penyuluh madya. Berdasarkan wawancara dan pengamatan di lapangan penyuluh yang ada di Kabupaten Pidie rata-rata penyuluh pertama dan muda sehingga hal ini bisa berdampak pada rendahnya kinerja penyuluh di Kabupaten Pidie.
Penunjang Tugas Penyuluh Pertanian Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 47 penyuluh responden sebanyak 74 persen penyuluh rendah dalam melakukan kegiatan penunjang tugas penyuluh pertanian, 19 persen penyuluh responden dengan frekuensi sedang, dan selebihnya 6 persen penyuluh tinggi dalam melakukan kegiatan penunjang tugas penyuluh pertanian. Dengan demikian hasil penelitian mengungkapkan bahwa mayoritas penyuluh responden berada dalam kategori rendah dalam hasil kegiatan yang dilakukan oleh penyuluh untuk memperoleh nilai tambah dalam menunjang karirnya sebagai penyuluh. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan ditemukan ada beberapa faktor penyebab rendahnya kinerja penyuluh pertanian pada penunjang tugas penyuluhan pertanian yaitu: (1) kurangnya peran penyuluh dalam kegiatan seminar, lokakarya atau koferensi, (2) kurangnya penyuluh yang terlibat dalam keanggotaan tim penilai jabatan fungsional penyuluh pertanian, (3) kurangnya penyuluh responden yang terlibat dalam keanggotaan dewan redaksi penerbitan di bidang pertanian, (4) kurangnya penyuluh yang memperoleh penghargaan/tanda jasa, (5) kurangnya penyuluh responden dalam keikutsertaan pengajaran/pelatihan pada pendidikan dan pelatihan, (6) kurangnya penyuluh yang ikut dalam keanggotaan organisasi profesi, dan (7) kurangnya penyuluh yang ikut dalam kegiatan memperoleh gelar kesarjanaan lainnya.
53 Total Kinerja Penyuluh Pertanian Total kinerja penyuluh pertanian dalam penelitian ini adalah keseluruhan hasil kerja seorang penyuluh pertanian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 47 penyuluh responden sebanyak 49 persen penyuluh pertanian total kinerjanya berkategori rendah, 38 persen penyuluh responden dengan frekuensi sedang dan selebihnya 13 persen penyuluh berkategori tinggi untuk keseluruhan kinerjanya. Dengan demikian hasil penelitian mengungkapkan bahwa mayoritas penyuluh pertanian yang ada di Kabupaten Pidie berada dalam kategori rendah cendrung sedang untuk hasil keseluruhan kinerjanya.
Hubungan Karakteristik Internal Penyuluh dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Faktor internal penyuluh pertanian yang diteliti adalah umur, masa kerja, tingkat pendidikan formal, motivasi kerja, pemanfaatan media dan jumlah kelompok binaan. Hasil penelitian mengenai hubungan setiap karakteristik internal dengan kinerja penyuluh pertanian disajikan pada Tabel 10. Tabel 10 Hubungan karakteristik internal dengan kinerja penyuluh pertanian Faktor Internal Penyuluh Umur
Koefisien Korelasi dengan Kinerja Penyuluh Pelaks Evaluasi Pengem Pengem Penun anaan dan bangan bangan Jang Pelaporan Profesi -0.052 0.087 0.042 0.160 0.249 0.134 Persi apan
Total Kinerja 0,106
Masa Kerja 0.016
0.139
0.129
0.239
0.368*
0.271
0,217
Tingkat Pendidikan Formal
0.084
0.141
-0.081
-0.048
0.110
0.248
0,137
Motivasi Kerja
0.138
0.217
0.150
0.165
-0.043
0.123
0,200
Pemanfaata 0.191 n Media
0.129
0.251
0.136
0.161
0.001
0,162
-0.045 -0.127
-0.189
-0.146
-0.413**
-0.335*
-0,225
Jumlah Kelompok Binaan
Keterangan: ** Terdapat hubungan sangat nyata pada taraf α = 0.01 * Terdapat hubungan nyata pada taraf α = 0.05
Hubungan Umur dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Hasil pengamatan dan penelitian menunjukkan bahwa umur penyuluh di Kabupaten Pidie 38% dalam kategori tua, walaupun umur responden sudah
54 berkategori tua namun tidak terdapat hubungan dengan kinerja penyuluh. Hal ini berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman sebagaimana terlihat dalam Tabel 10. Hasil penelitian ini mendukung penelitian Bahua (2010) yang menyimpulkan bahwa karakteristik penyuluh berupa umur tidak ada hubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian. Penelitian Hamzah (2011) dan Suhanda (2000) juga mendukung hal ini tetapi bertentangan dengan pendapat Schamerhorn et al. (1997) dan Muliady (2009) yang menyatakan bahwa umur seseorang berhubungan dengan kinerja orang tersebut.
Hubungan Masa Kerja dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Hasil analisis korelasi rank Spearman terhadap masa kerja penyuluh pertanian menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang nyata dengan kinerja penyuluh pertanian pada dimensi pengembangan profesi (nilai koefisien korelasi rank Spearman=0.368). Hubungan antara masa kerja dengan kinerja penyuluh pada dimensi pengembangan profesi menunjukkan nilai positif berarti semakin lama masa kerja penyuluh pertanian dalam melaksanakan tugas-tugasnya justru semakin baik kinerja penyuluh dalam mengembangkan profesinya sebagai seorang penyuluh. Hasil wawancara dan pengamatan di lapangan ditemukan penyuluh memiliki pengalaman yang berkaitan dengan bidang tugasnya dan sampai saat ini penyuluh masih melakukan hal tersebut. Pengalaman penyuluh tersebut akan berdampak terhadap tugasnya sebagai penyuluh pertanian. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Fatchiya (2010) pengalaman usaha yang dimiliki seseorang dapat berhubungan dengan kemampuan dalam menjalankan usahanya, karena selama masa menjalankan usaha orang tersebut akan mengalami proses pembelajaran dan cara mengatasi permasalahan yang dihadapi. Kondisi tersebut sejalan dengan pendapat Mardikanto (2009), bahwa semakin lama seseorang bekerja semakin baik pula pengalamannya sehingga akan memberikan kontribusi terhadap minat dan harapannya untuk belajar lebih banyak, termasuk dalam menunjang profesinya sebagai penyuluh pertanian. Asayehegn et al. (2012) menyatakan pengalaman kerja memiliki peran penting dalam memahami permasalahan yang dihadapi petani dan berpengaruh dalam pengembangan profesinya sebagai seorang penyuluh. Temuan penelitian ini sama dengan temuan Suhanda (2008) dan Bahua (2010) akan tetapi berbeda dengan temuan Handayati (2002), Muliady (2009) dan Hamzah (2011) yang menyimpulkan bahwa masa kerja penyuluh tidak ada hubungannya dengan kinerja penyuluh.
Hubungan Tingkat Pendidikan Formal dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Pendidikan merupakan proses seseorang dalam memperoleh kemampuan dan kepercayaan diri yang tentu akan sangat mempengaruhi perilakunya dalam organisasi (Schamerhorn et al. 1997). Tingkat pendidikan formal penyuluh yang beragam tentu akan sangat berhubungan terhadap pemahaman penyuluh terhadap kinerja penyuluh, untuk mengetahui hubungan antara karakteristik pendidikan penyuluh pertanian dengan pengetahuan ketahanan pangan dapat dilihat pada Tabel 10.
55 Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat pendidikan formal dengan kinerja penyuluh pertanian. Hal ini berkaitan dengan kualifikasi pendidikan yang dimiliki penyuluh, terutama penyulu baru. Fakta di lapangan menunjukkan sebagian besar kualifikasi pendidikan penyuluh-penyuluh baru tersebut bukan dari lulusan perguruan tinggi/jurusan/sekolah-sekolah penyuluhan, sehingga pengetahuan mereka dibidang penyuluhan pun sangat terbatas. Hasil pengamatan di lapangan sebanyak 44 orang penyuluh sudah berpendidikan tinggi, namun walaupun pendidikannya sudah tinggi tidak menjamin dalam peningkatan kinerja. Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukkan, bahwa jangankan untuk melaksanakan tugas, memahami penyuluhan secara filosofi saja sudah sulit, sehingga metode-metode penyuluhan tidak dapat diterapkan secara optimal. Faktor lain yang diduga menjadi penyebab dari tidak berpengaruhnya pendidikan formal terhadap kinerja penyuluh adalah banyak penyuluh-penyuluh yang berpendidikan rendah dan memiliki masa kerja lama cenderung pasrah dan tidak lagi termotivasi untuk meningkatkan kompetensi dan kinerjanya. Fakta tersebut yang diduga menjadi salah satu penyebab faktor tersebut tidak berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Suhanda (2008) dan Sapar (2011) tetapi bertentangan dengan pendapat Hamzah (2011) dan Handayati (2002) yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan formal berhubungan dengan kinerja penyuluh.
Hubungan Motivasi Kerja dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Hasil analisis korelasi rank Spearman terhadap motivasi kerja penyuluh pertanian menunjukkan bahwa motivasi kerja tidak terdapat hubungan yang nyata dengan kinerja penyuluh. Hasil pengamatan dan wawancara mendalam di lapangan terhadap beberapa responden diketahui, bahwa pada mulanya motivasi para penyuluh baru adalah menjadi pegawai negeri sipil, apa pun profesi dan seperti apa tugasnya bukan menjadi masalah. Namun demikian, setelah penyuluh ditempatkan di lokasi-lokasi tugas yang jauh dari akses informasi dan transportasi, maka motivasinya dalam bekerja pun mulai menurun dan akibatnya mereka tidak lagi disiplin melaksanakan tugas sebagaimana yang diharapkan. Fakta tersebut yang diduga menjadi salah satu penyebab faktor tersebut tidak berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Hamzah (2011) yang menyimpulkan bahwa motivasi kerja tidak terdapat hubungan yang nyata dengan kinerja penyuluh. Penelitian Handayati (2002) juga mendukung hal ini, akan tetapi berbeda dengan pendapat Muliady (2009), Effendy (2009), Bahua (2010) dan penelitian di bidang KB (Puspita (2010) yang menyatakan bahwa motivasi kerja responden berhubungan dengan kinerja responden tersebut.
Hubungan Pemanfaatan Media dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Hasil penelitian menunjukkan bahwa media massa dapat mempercepat proses perubahan tetapi jarang dapat mewujudkan perubahan dalam perilaku. Sangat disadari tidak ada seorangpun yang mampu membaca semua penerbitan
56 sehingga selektif dalam memilih media, pada penelitian menunjukkan bahwa dasar pemilihan media cetak terletak pada kegunaan yang diharapkan misalnya untuk mengetahui apa yang sedang terjadi di sekelilingnya. Untuk mengetahui hubungan pemanfaatan media dengan kinerja penyuluh pertanian dapat dilihat pada Tabel 10. Berdasarkan uji korelasi rank Spearman diketahui bahwa pemanfaatan media sebagai sumber informasi bagi penyuluh, tidak mempunyai hubungan yang nyata dengan kinerja penyuluh. Hal ini diduga karena sebagian besar media yang dimanfaatkan oleh penyuluh tidak ada yang mengulas masalah yang berhubungan dengan tupoksi penyuluh, sehingga walaupun penyuluh rajin memanfaatkan media tidak semakin meningkatkan kinerja penyuluh. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Muliady (2009), Sapar (2011) tetapi bertentangan dengan pendapat Hamzah (2011) dan Handayati (2002) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan pemanfaatan media dengan kinerja penyuluh.
Hubungan Jumlah Kelompok Binaan dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Jumlah kelompok binaan berhubungan sangat nyata dengan kinerja penyuluh pertanian pada peubah pengembangan profesi dan penunjang tugas penyuluhan pertanian. Hubungan antara kelompok binaan dengan kinerja penyuluh pada peubah pengembangan profesi dan penunjang tugas penyuluhan pertanian menunjukkan hubungan negatif berarti semakin banyak jumlah kelompok binaan penyuluh justru menghambat/menurunkan kinerja penyuluh dalam hal pengembangan profesi sebagai penyuluh juga dalam hal penunjang tugas penyuluhan pertanian. Hasil wawancara, pengamatan dilapang diperoleh informasi bahwa untuk satu penyuluh responden rata-rata membina enam kelompok binaan di wilayah kerjanya masing-masing. Besarnya jumlah kelompok binaan yang dibina oleh seorang penyuluh dapat menyita waktu penyuluh sehingga mempengaruhi kinerja penyuluh pada kegiatan pengembangan profesi dan penunjang tugas penyuluh pertanian. Fakta tersebut yang diduga menjadi salah satu penyebab faktor tersebut berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh. Temuan ini sama dengan temuan Sapar (2011), Bahua (2010), Muliady (2009), Effendy (2009), dan berbeda dengan temuan Hamzah (2011) dan Suhanda (2008) yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan jumlah kelompok binaan dengan kinerja penyuluh.
Hubungan Karakteristik Eksternal Penyuluh dengan Kinerja Penyuluh Pertanian
Faktor eksternal yang diteliti terdiri dari: dukungan adminitrasi, ketersediaan prasarana dan sarana, kondisi lingkungan kerja, keterjangkuan daerah tempat bekerja dan tingkat partisipasi aktif petani. Hasil penelitian mengenai hubungan setiap karakteristik ekternal dengan kinerja penyuluh pertanian disajikan pada Tabel 11.
57 Tabel 11 Hubungan karakteristik eksternal dengan kinerja penyuluh pertanian Faktor Eksternal Penyuluh Dukungan Administrasi
Koefisien Korelasi dengan Kinerja Penyuluh Persiap Pelaksa Evaluasi Pengemba Pengemb Penunjang Total an naan dan ngan angan Tugas Kinerja Pelaporan Profesi 0.402** 0.516** 0.526** 0.435** 0.252 0.285 0,515**
Ketersediaan 0.035 Prasarana dan Sarana Kondisi Lingkungan Kerja
0.275
0.353* 0.389**
0.210
0.281
0.113
0.183
0,252
0.376**
0.383**
0.293*
0.287
0,423**
Keterjangkau 0.169 an Daerah Tempat Bekerja
0.173
0.245
0.120
0.034
0.198
0,161
Tingkat Partisipasi Aktif Petani
0.048
0.134
0.080
0.015
-0.039
0,106
0.127
Keterangan: ** Terdapat hubungan sangat nyata pada taraf α = 0.01 * Terdapat hubungan nyata pada taraf α = 0.05
Hubungan Dukungan Administrasi dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Berdasarkan hasil uji korelasi pada karakteristik eksternal pada peubah dukungan administrasi terdapat hubungan sangat nyata dengan kinerja penyuluh pertanian pada peubah persiapan penyuluhan pertanian, pelaksanaan penyuluhan pertanian, evaluasi dan pelaporan, dan pengembangan penyuluhan pertanian. Hubungan peubah tersebut menunjukkan hubungan yang positif yang artinya pengelolaan adminstrasi dan kebijakan-kebijakan organisasi yang tepat dalam mendukung kegiatan penyuluh dapat meningkatkan kinerja penyuluh dalam hal persiapan penyuluhan pertanian, pelaksanaan penyuluhan pertanian dan evaluasi penyuluhan pertanian. Hasil wawancara dengan responden mengatakan bahwa walaupun dukungan adminitrasi sudah baik tetapi untuk pengembangan profesi dan penunjang tugas penyuluh pertanian yang tidak terdapat hubungan dengan kinerja penyuluh pertanian, hal ini di duga untuk pengembangan profesi dan penunjang tugas penyuluh pertanian responden tidak dilakukan dengan baik kegiatan tersebut. Hasil wawancara juga ditemukan bahwa mereka tidak melakukan kegiatan tersebut dengan alasan bahwa ketika mereka melakukan kegiatan tersebut maka kinerja mereka akan baik dan mereka akan di pindahkan dari BPP Kecamatan ke BPKP Kabupaten yang tentu saja mereka harus dihadapkan dengan disiplin kerja. Hasil ini sesuai dengan pendapat Hamzah (2011), bahwa pengelolaan adminstrasi dan kebijakan-kebijakan organisasi yang tepat dalam mendukung kegiatan penyuluh dapat meningkatkan kinerja penyuluh dalam membangun komunikasi secara konvergen dengan sasaran penyuluhan serta Wibowo (2007)
58 sistem manajemen organisasi yang mendukung karyawan seperti adanya administrasi yang baik dan rapi, tunjangan finansial yang mendukung, serta sistem pendidikan dan pelatihan yang terus berkesinambungan akan menimbulkan profesionalisme yang tinggi bagi seorang karyawan dalam mengoptimalkan kinerjanya. Hubungan Prasarana dan Sarana dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman sebagaimana terlihat dalam Tabel 11, diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara prasarana dan sarana dengan kinerja penyuluh pertanian. Hasil analisis tersebut sejalan dengan fakta di lapangan, yang menunjukkan penyuluh mengakui tersedianya sarana dan prasarana (81%) dalam mendukung kegiatan penyuluh. Fakta tersebut yang diduga menjadi salah satu penyebab faktor tersebut tidak berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Hamzah (2011) yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara prasarana dan sarana dengan kinerja penyuluh pertanian. Penelitian Suhanda (2008) juga mendukung hal ini dan berbeda dengan temuan Sapar (2011), Bahua (2010), Muliady (2009), dan Leilani (2006) yang menyatakan bahwa ketersediaan prasarana dan sarana berhubungan dengan kinerja penyuluh. Hubungan Karakteristik Kondisi Lingkungan Kerja dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman pada kondisi lingkungan kerja penyuluh terdapat hubungan nyata dengan kinerja penyuluh pertanian pada peubah persiapan penyuluhan pertanian, pelaksanaan penyuluhan pertanian, evaluasi dan pelaporan, pengembangan penyuluhan pertanian dan peubah pengembangan profesi. Apabila kondisi lingkungan kerja yang aman, tertib dan terkendali memberi ketenteraman bagi penyuluh pada saat bertugas, siang atau malam hari. Temuan ini sejalan dengan penelitian Hubeis (2008) semakin tinggi minat penyuluh dalam bertugas dan diikuti dengan lingkungan kerja yang aman dan tentram, maka produktivitas kerjanya juga semakin tinggi, serta hasil penelitian Hamzah (2011), bahwa kondisi lingkungan kerja yang mendukung proses belajar seorang penyuluh dapat meningkatkan produktivitas penyuluh. Sezgin et al. (2010) juga menyatakan bahwa kondisi lingkungan kerja dapat mempengaruhi efektivitas penyuluh pertanian. Temuan ini berbeda dengan temuan Sapar (2011), dan Suhanda (2008) yang menemukan bahwa kondisi lingkungan kerja penyuluh tidak berhubungan dengan kinerja penyuluh. Hubungan Keterjangkauan Daerah Tempat Bekerja dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman sebagaimana terlihat dalam Tabel 11, diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara keterjangkauan daerah tempat bekerja dengan kinerja penyuluh pertanian. Hal ini berarti jarak penyuluh dengan lokasi tempatnya bekerja tidak ditemukan hubungan. Fakta
59 dilapangan menunjukkan bahwa jarak tempat bekerja penyuluh rata-rata (53%) berada dalam kategori sedang yaitu jaraknya 3-8 km dari tempat penyuluh tinggal. Dengan demikian tidak diperoleh jaminan bahwa seorang penyuluh yang bertempat tinggal di wilayah kerjanya dengan jarak sedang diikuti dengan peningkatan kinerja yang dilaksanakannya. Fakta tersebut yang diduga menjadi salah satu penyebab faktor keterjangkauan daerah tempat bekerja tidak berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh. Temuan ini sama dengan temuan Hamzah (2011), Sapar (2011), Suhanda (2008) dan berbeda dengan temuan Bahua (2010) dan Leilani (2006) yang menyatakan bahwa jarak tempat bekerja penyuluh tidak berhubungan dengan kinerja penyuluh. Hubungan Tingkat Partisipasi Aktif Petani dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman sebagaimana terlihat dalam Tabel 11, diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat partisipasi aktif petani dengan kinerja penyuluh pertanian. Berdasarkan wawancara dan pengamatan partisipasi aktif petani masuk kategori tinggi (38%). Tingginya partisipasi masyarakat tersebut menurut Slamet (2010) disebabkan oleh 3 (tiga) unsur pokok yakni; (1) adanya kesempatan yang diberikan kepada masyarakat untuk berpartisipasi, (2) adanya kemauan masyarakat untuk berpartisipasi, dan (3) adanya kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi. Fakta tersebut yang diduga menjadi salah satu penyebab faktor tersebut tidak berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Sapar (2011) yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara tingkat partisipasi aktif petani dengan kinerja penyuluh pertanian. Penelitian Suhanda (2008) juga mendukung hal ini dan berbeda dengan temuan Hamzah (2011) dan Effendi (2009) yang menyimpulkan bahwa partisipasi aktif petani berhubungan dengan kinerja penyuluh.
Hubungan Kompetensi Tugas Penyuluh dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Kompetensi tugas penyuluh yang diteliti adalah pengelolaan program penyuluhan, pengelolaan kegiatan penyuluhan, penerapan prinsip belajar orang dewasa, kemampuan berkomunikasi dan kemampuan bekerjasama. Hasil penelitian mengenai hubungan setiap kompetensi tugas penyuluh dengan kinerja penyuluh pertanian disajikan pada Tabel 12.
Hubungan Kompetensi Pengelolaan Program Penyuluhan dengan Kinerja Penyuluh Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman sebagaimana terlihat dalam Tabel 12, diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara kompetensi pengelolaan program penyuluh pertanian dengan kinerja penyuluh pertanian.
60 Tidak adanya hubungan kompetensi pengelolaan program penyuluhan dengan kinerja penyuluh pertanian menunjukkan bahwa selama ini kompetensi yang dimiliki penyuluh lebih mengarah kepada kompetensi teknis dibandingkan kompetensi fungsional di bidang penyuluhan. Fakta yang terjadi adalah kegiatankegiatan penyuluh diperuntukkan untuk melaksanakan program-program secara teknis dan target-target keproyekan sebagaimana yang dikritisi oleh Sumardjo (1999), bahwa selama ini kompetensi penyuluh diperuntukan untuk mengawal program-program pemerintah, dengan demikian kompetensi untuk melakukan kegiatan-kegiatan sebagaimana yang telah direncanakan kurang dimanfaatkan. Kenyataan tersebut tentunya tidak sejalan dengan filosofi penyuluhan dalam konteks “membantu” yakni penyuluhan pertanian harus mengacu kepada perbaikan kualitas hidup dan kesejahteraan sasaran, dan bukan lebih mengutamakan target-target fisik yang sering kali tidak banyak manfaatnya bagi perbaikan kualitas hidup sasarannya. Penyuluh pertanian sering kali terjebak pada tataran fisik kegiatan, dibandingkan memerankan fungsi penyuluh sebagai fasilitator pemberdayaan yang menjadi tujuan penyuluhan pertanian yakni perubahan perilaku sasaran penyuluhan. Fakta tersebut yang diduga menjadi salah satu penyebab faktor tersebut tidak berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Bahua (2010) yang menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara kompetensi pengelolaan program penyuluh pertanian dengan kinerja penyuluh pertanian. Penelitian Leilani (2010) juga mendukung hal ini dan bertentangan dengan temuan Hamzah (2011) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara pengelolaan program penyuluhan dengan hasil kinerja penyuluh. Tabel 12 Hubungan kompetensi tugas penyuluh dengan kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie Koefisien Korelasi dengan Kinerja Penyuluh Faktor Kompetensi Penyuluh Pengelolaan program penyuluhan
Persiapan Pelaksana Evaluasi Pengem Pengemb an dan bangan angan Pelaporan Profesi 0.165 0.164 0.147 0.271 0.178
Penunja Total ng Kinerja Tugas -0.068 0,194
Pengelolaan kegiatan penyuluhan
0.101
0.154
0.167
0.248
0.271
-0.035
0,196
Penerapan prinsip belajar orang dewasa
0.285
0.417**
0.438**
0.455**
0.469**
0.180
0,466**
Kemampuan berkomunikasi
0.357*
0.509**
0.467**
0.501**
0.515**
0.236
0,518**
Kemampuan bekerjasama
0.091
0.322*
0.285
0.255
0.442**
0.351*
0,361*
Keterangan: ** Terdapat hubungan sangat nyata pada taraf α = 0.01 * Terdapat hubungan nyata pada taraf α = 0.05
61 Hubungan Kompetensi Pengelolaan Kegiatan Penyuluhan dengan Kinerja Pertanian Berdasarkan hasil uji korelasi rank Spearman sebagaimana terlihat dalam Tabel 12, diketahui bahwa tidak ada hubungan yang nyata antara kompetensi pengelolaan kegiatan penyuluh pertanian dengan kinerja penyuluh pertanian. Fakta di lapangan menujukkan bahwa rata-tata (40%) penyuluh mampu mengelola kegiatan penyuluhan. Fakta tersebut yang diduga menjadi salah satu penyebab faktor kompetensi pengelolaan kegiatan penyuluhan tidak berhubungan nyata dengan kinerja penyuluh. Temuan ini sama dengan temuan Bahua (2010), Sapar (2011), dan berbeda dengan temuan Hamzah (2011) dan Effendi (2009) yang menyimpulkan bahwa kompetensi pengelolaan kegiatan penyuluhan berhubungan dengan kinerja penyuluh.
Hubungan Kompetensi Penerapan Prinsip Belajar Orang Dewasa dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Berdasarkan hasil uji korelasi pada kompetensi tugas penyuluh pertanian pada peubah penerapan prinsip belajar orang dewasa terdapat hubungan positif nyata dengan kinerja penyuluh pertanian pada peubah pelaksanaan penyuluhan pertanian, evaluasi dan pelaporan, pengembangan penyuluhan pertanian dengan dan pengembangan profesi. Hubungan peubah tersebut menunjukkan hubungan yang positif yang artinya semakin tinggi penerapan prinsip belajar orang dewasa pada petani maka semakin baik tingkat kinerja penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. Sejalan dengan kenyataan tersebut, hasil penelitian Hamzah (2011) menunjukkan hubungan nyata antara kompetensi penyuluh dalam penerapan prinsip belajar orang dewasa dengan kinerja penyuluh pada semua aspek tugas seorang penyuluh. Artinya, semakin tinggi kemampuan penerapan metode prinsip belajar orang dewasa, maka semakin baik tingkat kinerja penyuluh dalam melaksanakan tugasnya. Penelitian Sapar (2011) juga mendukung hal ini dan bertentangan dengan temuan Bahua (2010) yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara kompetensi penerapan prinsip belajar orang dewasa dengan kinerja penyuluh.
Hubungan Kompetensi Kemampuan Berkomunikasi dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Faktor kompetensi penyuluh pada aspek kemampuan berkomunikasi terdapat hubungan positif nyata dengan kinerja penyuluh pertanian dalam aspek persiapan penyuluhan pertanian, pelaksanaan penyuluhan pertanian, evaluasi dan pelaporan, pengembangan penyuluhan pertanian, dan pengembangan profesi. Hubungan peubah tersebut menunjukkan hubungan yang positif yang artinya semakin baik tingkat kemampuan komunikasi penyuluh maka semakin baik kinerja penyuluh pertanian. Mardikanto (2009) komunikasi dalam penyuluhan adalah suatu alat untuk menimbulkan perubahan didalam penyuluhan termasuk untuk meningkatkan kinerja penyuluh pertanian.
62 Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Sapar (2011) yang menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang nyata antara kompetensi kemampuan berkomunikasi penyuluh pertanian dengan kinerja penyuluh pertanian. Penelitian Leilani (2010) Bahua (2010) juga mendukung hal ini dan berbeda dengan temuan Hamzah (2011), dan Suhanda (2008) yang menyimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan kompetensi kemampuan berkomunikasi dengan produktivitas kinerja penyuluh.
Hubungan Kompetensi Kemampuan Bekerjasama dengan Kinerja Penyuluh Pertanian Faktor kompetensi tugas penyuluh lainnya yang berhubungan dengan tingkat kinerja penyuluh adalah kemampuan bekerjasama. Kemampuan bekerjasama berhubungan positif nyata dengan tingkat kinerja penyuluh pada aspek pelaksanaan penyuluhan pertanian, pengembangan profesi dan penunjang tugas penyuluh pertanian. Hubungan peubah tersebut menunjukkan hubungan yang positif yang artinya semakin baik tingkat kemampuan bekerjasama maka semakin baik tingkat kinerja penyuluh pertanian. Sumardjo (2010) berpendapat bahwa kompetensi kerjasama merupakan salah satu ciri dari kompetensi sosial, maka penyuluh yang mandiri dicirikan oleh kemampuan internal untuk bekerjasama atau berinteraksi dengan pihak lain secara interdependent, sinergis dan berkelanjutan dalam koridor nilai-nilai sosial yang dijunjung bersama secara bermartabat. Penelitian ini sama dengan temuan Sapar (2011), Effendi (2009) dan berbeda dengan temuan Hamzah (2011) dan Bahua (2010) yang menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan antara kompetensi kemampuan bekerjasama dengan kinerja penyuluh pertanian.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan (1)
(2)
Tingkat kinerja penyuluh pertanian di Kabupaten Pidie secara keseluruhan hasil kinerjanya berada dalam kategori rendah. Hal ini disebabkan oleh rendahnya beberapa aspek kinerja yaitu: evaluasi dan pelaporan, pengembangan penyuluhan pertanian, pengembangan profesi dan penunjang tugas penyuluh pertanian. Faktor karakteristik internal penyuluh pertanian yang berhubungan dengan kinerja penyuluh adalah: masa kerja, dan jumlah kelompok binaan, sedangkan yang tidak berhubungan adalah: umur, tingkat pendidikan formal, motivasi kerja dan pemanfaatan media. Faktor eksternal karakteristik petani yang berhubungan dengan kinerja penyuluh adalah: dukungan administrasi dan kondisi lingkungan kerja, sedangkan yang tidak berhubungan adalah: ketersedian prasarana dan sarana, keterjangkuan daerah tempat bekerja dan tingkat partisipasi aktif petani. Faktor kompetensi tugas penyuluh yang berhubungan dengan kinerja penyuluh pertanian adalah: penerapan prinsip belajar orang dewasa, kemampuan berkomunikasi
63 dan kemampuan bekerjasama, sedangkan pengelolaan program penyuluhan dan pengelolaan kegiatan penyuluhan tidak berhubungan.
Saran Berkaitan dengan upaya untuk meningkatkan kinerja penyuluh menuju penyuluh yang professional, disarankan hal-hal sebagai berikut: 1. Untuk memaksimalkan dan meningkatkan faktor-faktor penentu kinerja penyuluh pertanian, diperlukan adanya pelatihan yang materinya disesuaikan dengan kebutuhan penyuluh. 2. Kondisi kerja (berupa sistem penghargaan, penyediaan sarana dan prasarana yang diperlukan oleh penyuluh pertanian, pembuatan dan penyebaran media secara rutin, peningkatan dana operasional penyuluh pertanian, pemantapan kelembagaan dan manajemen penyuluhan) yang kondusif dan mampu memenuhi harapan, kebutuhan dan keinginan penyuluh pertanian hal itu perlu dikembangkan secara proporsional sehingga menggairahkan dan memberikan kepuasaan kepada penyuluh dalam pelaksanaan tugasnya. 3. Perlu penelitian lebih lanjut dengan beberapa karakeristik lain yang diduga berhubungan dengan kinerja penyuluh pertanian.
DAFTAR PUSTAKA Ancok D. 1997. Teknik Penyusunan Skala Pengukuran. Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM. Arnold, HJ, Danield CF. 1986. Individual in Organizations. New York: McGraw Hill. Series in Management. Asayehegn K, Weldegebrial G, Kaske D. 2012. Effectiveness of development agents’ performances in agricultural technology dissemination: The case of Southern Nations Nationalities and Peoples Regional State (SNNPRS), Ethiopia. Journal of Agricultural Extension and Rural Development Vol. 4(17) : 446-455. Asngari PS. 2008. Peranan Agen Pembaruan/Penyuluh Dalam Usaha Memberdayakan (Empowerment) Sumberdaya Manusia Pengelola Agribisnis, Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap Ilmu Sosial Ekonomi. Fakultas Peternakan IPB. Bogor: Syndex Plus. Babbie E. 1998. The Practice of Social Research 8th Edition. Belmont, CA: Wadsworth. Badan Pusat Statistik Pidie. 2012. Kabupaten Pidie dalam Angka. Kabupaten Pidie: Nanggroe Aceh Darussalam. Bahua MI. 2010. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya pada Perilaku Petani Jagung di Provinsi Gorontalo [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bandura A. 1986. Social Foundations of Thought and Action. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall
64 Bansir M. 2008. Analisis Pengaruh Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluhan Pertanian di Kabupaten Bulungan Kalimantan Timur.[Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Berlo DK. 1961. The Process Of Communication. New York: Holt Rhinerhard and Winstone,Inc. Cokroaminoto HOS. 2007. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Individu [Internet]. [diunduh 2013 Maret 13]. Tersedia pada http://cokroaminoto.wordpress.com/. [Deptan] Departemen Pertanian. 2012. Pedoman Penyusunan dan Pelaksanaan Program Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Departemen Pertaniaan. Effendy L. 2009. Kinerja Petani Pemandu dalam Pengembangan PHT dan Dampaknya pada Perilaku Petani di Jawa Barat [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Fatchiya A. 2010. Tingkat Kapasitas Pembudidaya Ikan dalam Mengelola Usaha Akuakultur secara Berkelanjutan. Jurnal Penyuluhan Volume 6 No.1. ISSN 1858-2664: IPB bogor. Freire P. 1981. Education for Critical Consciousness. New York: Continum. Gagne RM. 1967. The Conditions od Learning. New York: Holt Gilley W, Eggland AE. 1989. Principles of human Resource Development. Massachussetts: Addision Wesley Publishing Company Inc. Gomes FC. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Hafsah MJ. 2009. Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah. Jakarta: PT Pustaka Sinar Harapan. Hamzah. 2011. Faktor Penentu Kinerja Penyuluh Pertanian di Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Handayati P. 2002. Kinerja Penyuluh Kehutanan Dalam Pelaksanaan Tugas Pokoknya: Kasus di Kabupaten Cinjur [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Hasibuan M. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia: Pengertian Dasar, Pengertian, dan Masalah. Jakarta: PT. Toko Gunung Agung Herbenu PC. 2007. Pengembangan Sumberdaya Petugas Penyuluh Lapangan PPL Pertanian Guna Menghadapi Persaingan dan Meraih Peluang Kerja. Jurnal Ilmu – Ilmu Pertanian . 3(1):1-11 Hickerson FJ, Middleton J. 1975. Helping People Learn : A Module for Training Trainers. Honolulu-Hawai: East-West Comunnication Institut. Hubeis AVS, Priono M, Sedyaningsih S, Ace S, Bintari A ,Yanis R, Mintarti. 2007. Komunikasi Inovasi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Universitas Terbuka. Hubeis AVS. 2008. Motivasi, Kepuasan dan Produktivitas Kerja Penyuluh Lapangan Peternakan. Jurnal Media Peternakan. 31(1):71-80 Huda N. 2010. Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian Lulusan Pendidikan Jarak Jauh Universitas Terbuka. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Istiningsih. 2008. Kinerja Penyuluh Pertanian Kabupaten Kulon Progo, Gunung Kidul, Sleman dan Bantul di Era Otonomi Daerah. Jurnal ilmu-ilmu pertanian. 4(1):20-37
65 Jahi A. 2008. Komunikasi Massa dan Pembangunan Pedesaan di Negara-Negara Dunia Ketiga: Suatu Pengantar. Jakarta: PT. Gramedia Kartasapoetra AG. 1991. Teknologi Penyuluhan Pertanian. Jakarta: Bina. Aksara. Leilani A. 2010. Kinerja Penyuluh Pertanian di Beberapa Kabupaten, Provinsi Jawa Barat. Jurnal Penyuluhan. 2(2):99-106 Leeuwis C. 2004. Communication for Rural Innovation, Rethinking Agricultural Extension. Oxford: Blackwell Publishing. Leeuwis C . 2009. Komunikasi untuk Inovasi Pedesaan. Yogyakarta: Kanisius Lippit R, Watson J, Westley B. 1958. The Dynamic of Planned Change Harcourt. New York: Brace and World Inc. Mardikanto T. 1993. Penyuluhan Pembangunan Pertanian. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS dan UNS Press. Mardikanto T. 2009. Sistem Penyuluhan Pertanian. Surakarta: Lembaga Pengembangan Pendidikan UNS dan UNS Press. Marliati. 2008. Faktor–faktor Penentu Peningkatan Kinerja Penyuluh Pertanian Dalam Memberdayakan Petani (Kasus di Kabupaten Kampar Provinsi Riau) [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Muliady TR. 2009. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya pada Perilaku Petani Padi di Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Mulyasa. 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep, Karakteristik, dan Implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Munder AH. 1972. Agricultural Extension: A Reference Manual. Food and Agricultural Organization of The United Nations, Rome. Murdijanto. 2001. Manajemen Sumberdaya Manusia. Bandung: Bina Atmaja Mustika S. 2009. Keragaan Penyuluhan Pertanian dalam Upaya Mendukung Pembangunan Ketahanan Pangan di Kabupaten Lampung Barat. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Nasution Z. 2004. Komunikasi Pembangunan. Pengenalan Teori dan Penerapannya. Edisi Revisi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada Nazir M. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia. Padmowiharjo S. 1994. Psikologi Belajar Mengajar. Materi Pokok. Jakarta: Universitas Terbuka. Padmowiharjo S. 2000. Laporan Pengkajian Pemberdayaan dan Kelembagaan Penyuluh Pertanian Lapangan. Jakarta: P.T. Amurwa Pranata Consultants. Padmowiharjo S. 2001. Penyelenggaraan Penyuluhan Pertanian dalam Pembangunan Sistem Usaha Agribisnis. Jakarta: Departemen Pertanian. Padmowiharjo S. 2004. Menajemen dan Perencanaan Pelatihan. Jakarta: Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia - Departemen Pertanian. [KEMENPAN] Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : Per/02/Menpan/2/2008 Tentang Jabatan Fungsional Penyuluh Pertanian dan Angka Kreditnya. Puspadi K. 2002. Rekonstruksi Sistem Penyuluhan Pertanian. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Purba J. 2004. Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai Kantor Pelayanan Pajak Binjai. Jurnal Manjemen dan Bisnis. 4 (2):97-106. Reijntjes C, Bartus H, Water B. 1992. Pertanian Masa Depan. Yogyakarta: Kanisius.
66 [Republik Indonesia] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan. Riduwan. 2009. Metode dan Teknik Menyusun Proposal Penelitian. Bandung: Alphabets. Rivai V. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan Dari Teori ke Praktik. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Rogers EN, Shoemaker F. 1985. Communication of Inovation; A Cross Cultural Approach. New York: The Free Press. Rohmani SA. 2001. Kinerja Penyuluh Petanian Dalam Pelaksanaan Tugas [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Rusmono M. 2011. Reformulasi Kurikulum Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan Berbasis Kebutuhan Pengguna dan Peluang Pengembangan Profesi. Makalah Disampaikan Pada Seminar dan Lokakarya Penyuluhan Pembangunan. Jakarta. Pusbangluhtan-Kementrian Pertanian. Samsuddin U. 1987. Dasar-Dasar Penyuluhan dan Modernisasi Pertanian. Bandung: Binacipta. Sapar. 2011. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Penyuluh Pertanian dan Dampaknya pada Kompetensi Petani Kakao di Empat Wilayah Sulawesi Selatan. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sarker MA, Itohara Y. 2009. Persepsi Petani tentang Layanan Penyuluhan dan Penyuluh Lapang: Kasus Program Penyuluhan Pertanian Organik oleh PROSHIKA. American Journal of Agricultural and Biological Sciences 4 (4): 332-337. Sastraatmadja E. 1986. Penyuluhan Pertanian. Alumni: Bandung. Schamerhorn J. 1997. Managing Organozational Behavior. Canada: jhon Willey & Sons,Inc. Sekretariat Negara R.I. 2006. Undang-undang No. 16 Tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Jakarta: Sekretariat Negara RI. Setiana L. 2005. Teknik Penyuluhan dan Pemberdayaan Masyarakat. Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia. Sezgin AE, Kaya ET, Atsan T. 2010. Factors influencing agricultural extension staff effectiveness in public institutions in Erzurum, Turkey. African Journal of Business Management Vol. 4(18): 4106-4109. Siegel LJ, Senna JJ. 1992. Juvenile Delinquency: Theory, Practice and Law. Singarimbun M, Sofian E. 2006. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3S. Indonesia. Slamet M. 2000. Perspektif Ilmu Penyuluhan Pembangunan Menyongsong Era Tinggal Landas. Makalah dalam Aida Vitayala dkk: Penyuluhan Pembangunan di Indonesia Menyongsong Abad 21. Jakarta: Pustaka Pembangunan Swadaya Nusantara. Slamet M. 2001. Menata Sistem Penyuluhan Pertanian di Era Otonomi Daerah. [Internet]. [diunduh 2013 Maret 13] Tersedia pada http://margonoipb.files.wordpress.com/2009/03/menata-sistem penyuluhanpertanian.doc. Slamet M. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Penyunting: Ida Yustina dan Ajat Sudrajat. Bogor: IPB Press.
67 Slamet M. 2010. Teori Organisasi. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Soekartawi. 2005. Prinsip Dasar Komunikasi Pertanian. Jakarta: Universitas Indonesia UI Press Spencer LM, Spencer SM. 1993. Competence Work: Model for Superior Performance. John Wiley and Sons, Inc Suhanda NS. 2008. Hubungan Karakteristik dengan Kinerja Penyuluh Pertanian di Provinsi Jawa Barat. [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Suhardiyono, 1992. Penyuluhan Petunjuk Bagi Penyuluh Pertanian. Jakarta: Erlangga. Sulistiyani, Rosidah. 2003. Manajemen Sumberdaya Manusia. Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu. Sumardjo. 1999. Transformasi Model Penyuluhan Pertanian Menuju Pengembangan Kemandirian Petani (Kasus di Provinsi Jawa Barat). [Disertasi]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Sumardjo. 2010. Penyuluhan Menuju Pengembangan Kapital Manusia dan Kapital Sosial Dalam Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat. Orasi Ilmiah Guru Besar Dalam Rangka Dies Natalis IPB ke-47. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sumardjo. 2010. Teori Kelompok. Bogor: Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Suprapto A. 2005. Revitalisasi Penyuluhan Pertanian. Makalah disampaikan dalam Rapat Kerja Nasional Pusbangdiktan 2005. Ciawi: PMPSDMP Tjitropranoto P. 2003. Penyuluhan Pertanian: Masa Kini dan Masa. Depan. Diedit oleh Ida Yustina dan Adjat Sudrajat, Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan. Bogor: IPB Press Warya A. 2008. Makalah Seminar Sehari pada Kegiatan Mimbar Sarasehan Petani. Jakarta: Pusbangluhtan–Departemen Pertanian. Wibowo. 2007. Manajemen Kinerja. Jakarta: Raja Grafindo Van den Ban AW, Hawkins HS. 1999. Penyuluhan Pertanian. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Zahid A. 1997. Hubungan Karakteristik Peternak Sapi Perah dengan Sikap dan Perilaku Aktual dalam Pengelolaan Limbah Peternakan. [Tesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
68 Lampiran 1 Lokasi Penelitian
LOKASI PENELITIAN
69 Lampiran 2 Hasil Analisis Korelasi Hubungan aspek-aspek X1 dengan aspek-aspek Y Persiap Pelaksan Evaluasi Pengemban Pengemb Penunjang Karakteristik Internal an aan dan gan angan tugas Penyuluh penyul penyuluh pelaporan penyuluhan Profesi penyuluh uhan an Pearson -0,052 0,087 0,042 0,160 0,249 0,134 Correlation Umur Sig. (20,729 0,560 0,781 0,283 0,091 0,370 tailed) Correlation 0,016 0,139 0,129 0,239 0,368* 0,271 Coefficient Masa kerja Sig. (20,917 0,352 0,388 0,106 0,011 0,065 tailed) Correlation 0,084 0,141 -0,081 -0,048 0,110 0,248 Tingkat Coefficient pendidikan Sig. (2formal 0,573 0,344 0,588 0,749 0,461 0,092 tailed) Correlation 0,138 0,217 0,150 0,165 -0,043 0,123 Coefficient Motivasi kerja Sig. (20,355 0,143 0,313 0,267 0,774 0,412 tailed) Correlation 0,191 0,129 0,251 0,136 0,161 0,001 Pemanfaata Coefficient n media Sig. (20,198 0,388 0,088 0,362 0,280 0,996 tailed) Correlation -0,045 -0,127 -0,189 -0,146 -0,413** -0,335* Jumlah Coefficient kelompok Sig. (2binaan 0,766 0,394 0,204 0,327 0,004 0,021 tailed)
70 Hubungan aspek-aspek X2 dengan aspek-aspek Y Karakteristik Eksternal Penyuluh
Persiapan Pelaksa Evaluasi penyuluh naan dan an penyulu pelaporan han
Correlation 0,402** Dukungan Coefficient administrasi Sig. (2-tailed) 0,005
0,516** 0,526**
Pengemb Pengem Penunj angan bangan ang penyuluh Profesi tugas an
0,435**
0,252 0,285
0,000
0,000
0,002
0,088 0,052
0,035
0,275
0,210
0,281
0,113 0,183
Sig. (2-tailed)
0,817
0,061
0,156
0,056
0,451 0,219
Correlation Kondisi lingkungan Coefficient kerja Sig. (2-tailed)
0,353*
0,383**
0,293* 0,287
Ketersediaan Correlation prasarana Coefficient dan sarana
Keterjangka Correlation uan daerah Coefficient tempat bekerja Sig. (2-tailed) Correlation Tingkat partisipasi Coefficient aktif petani Sig. (2-tailed)
0,389** 0,376**
0,015
0,007
0,009
0,008
0,046 0,050
0,169
0,173
0,245
0,120
0,034 0,198
0,257
0,245
0,096
0,423
0,821 0,183
0,127
0,048
0,134
0,080
0,015 -0,039
0,395
0,748
0,369
0,594
0,919 0,795
71 Hubungan aspek-aspek X3 dengan aspek-aspek Y Persiap Pelaksanaan Evaluasi Pengemb Pengemba an penyuluhan dan angan ngan Kompetensi Tugas penyul pelaporan penyuluh Profesi Penyuluh uhan an Correlation Pengelolaan Coefficient program Sig. (2penyuluhan tailed) Correlation Pengelolaan Coefficient kegiatan Sig. (2penyuluhan tailed) Penerapan Correlation Coefficient prinsip orang Sig. (2dewasa tailed) Correlation Kemampuan Coefficient berkomunika Sig. (2si tailed) Correlation Kemampuan Coefficient bekerjasama Sig. (2tailed)
Penunj ang tugas penyul uh
0,165
0,164
0,147
0,271
0,178
-0,068
0,268
0,270
0,326
0,066
0,230
0,652
0,101
0,154
0,167
0,248
0,271
-0,035
0,499
0,301
0,261
0,092
0,065
0,815
0,285
0,417**
0,438**
0,455**
0,469**
0,180
0,052
0,004
0,002
0,001
0,001
0,225
0,357*
0,509**
0,467**
0,501**
0,515**
0,236
0,014
0,000
0,001
0,000
0,000
0,110
0,091
0,322*
0,285
0,255
0,442**
0,351*
0,543
0,027
0,052
0,084
0,002
0,016
72 Lampiran 3 Dokumentasi Penelitian No Aktivitas 1 Photo Bersama dengan Penyuluh Pertanian Kecamatan Mila (Bapak Jalaluddin).
2
Photo Bersama dengan Penyuluh Pertanian Kecamatan Padang Tiji (Bapak Mujni, Ibu Husna dan Ibu Dewi Kusmalasari).
3
Photo Bersama Penyuluh PNS, THL dan Tenaga Honorer yang ada di BPP Kec. Keumala
Photo Kegiatan
73 No
Aktivitas
4
Kantor BPP Kec. Keumala dibangun pada Tahun 2013.
5
Kantor BPP Kec. Mutiara Timur yang dibangun pada Tahun 2013.
6
Masih Kurangnya Fasilitas Pendukung (kursi) sebagai salah satu faktor untuk Meningkatka n Kinerja Penyuluh
Photo Kegiatan
74
No 7
8
9
Aktivitas Demplot Uji Adaptasi Penangkaran Benih Bawang Merah kerjasama Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Aceh dengan BPP Kec. Sakti Penyuluh BPP Kec. Peukan Baro Mencoba Menanam Bawang Merah dengan berbagai Perlakuan di Demplot Percobaan Milik BPP Setempat. Rapat Sosialiasi dengan Ketua Kelompok Tani di Kantor BPP Kec. Mutiara Timur.
Photo Kegiatan
75 RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Kabupaten Aceh Pidie, Provinsi Aceh pada tanggal 28 Oktober 1988, merupakan putra pertama dari enam bersaudara, dari Ayah (Alm) Musa Thaib dan Ibu Nyak Maneh. Pendidikan sarjana ditempuh penulis pada tahun 2006 di Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi Pertanian Universitas Syiah Kuala dan lulus pada Tahun 2010. Tahun 2012 penulis mendapatkan kesempatan melanjutkan program Master di Program Studi Penyuluhan Pembangunan (PPN), Fakultas Ekologi Manusia pada Sekolah Pascasarjana IPB, dengan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS) Kementerian Pendidikan Nasional dan lulus pada Tahun 2014.