FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU SPLIT PT. INDONESIA PUTRA PRATAMA CILEGON TAHUN 2015
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
DISUSUN OLEH: NABILA DEWI ICHSANI 1111101000067
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2015
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Skripsi, Desember 2015 Nabila Dewi Ichsani, NIM: 1111101000067 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 xvii + 89 halaman, 19 tabel, 14 gambar, 1 bagan, 5 lampiran ABSTRAK Penurunan kapasitas vital paru (KVP) dapat berupa restriksi, obstruksi atau keduanya (gabungan restriksi dan obstruksi). Sejumlah faktor baik faktor non-pekerjaan dan lingkungan kerja dapat memengaruhi turunnya KVP. Debu merupakan salah satu faktor di lingkungan kerja yang dapat mengakibatkan penurunan KVP pada pekerja seperti pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. Penelitian dilakukan pada JuniOktober 2015. Faktor-faktor yang diteliti adalah kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu udara, kelembaban udara, masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker. Sampel penelitian ini sebanyak 24 pekerja. Metode penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian berupa spirometer, EPAM 5000, thermohygrometer digital, kuesioner dan lembar observasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pekerja yang mengalami penurunan KVP sebanyak 20,8%. Berdasarkan hasil uji statistik diketahui variabel yang berhubungan dengan KVP adalah variabel penggunaan masker (Pvalue = 0,01). Untuk menurunkan risiko penurunan KVP pada pekerja pengolahan batu split, disarankan agar pekerja segera meninggalkan lingkungan kerja apabila pekerjaan telah selesai, menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja, dan melakukan olahraga secara rutin. Daftar bacaan : 85 (1978 – 2015) Kata kunci : pekerja pengolahan batu split, kapasitas vital paru, paparan debu
ii
STATE ISLAMIC UNIVERSITY OF SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE STUDY PROGRAM OF PUBLIC HEALTH DEPARTEMENT OF ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduate Thesis, December 2015 Nabila Dewi Ichsani, NIM: 1111101000067 Factors Associated to Worker’s Vital Capacity at Split Stone Processing PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon 2015 xvii + 89 pages, 19 tables, 14 pictures, 1 schema, 5 attachments ABSTRACT The decrease level of vital capacity can be restriction, obstruction or both of them. Some factors, like non jobs and environment can lead the decrease level of vital capacity. Dust is one of environment factors which can causes the decrease level of worker’s vital capacity like all split stone workers at PT. Indonesia Putra Pratama. The goals of this research is knowing all factors that have associated with vital capacity in split stone processing workers of PT. Putra Pratama Indonesia Cilegon 2015. The research was conducted on June-October 2015. The factors of this research are dust level of PM1,0, and PM2,5, temperature, jumidity, work period, exposure period and mask utilization. The total sample of this research are 24 workers. The method of this research was cross sectional. Data was collected by using research instruments such as spirometers, EPAM 5000, digital thermohygrometer, questionnaires and observation sheets. The results showed the percentage of workers that had the decrease level of vital capacity are 20,8%. Based on the results of statistical test, the variable that known as associated with vital capacity is mask utilization (Pvalue = 0,01). To reduce the decrease level of stone split worker’s vital capacity, it is recommended that workers are leave the workplace right after the job is done, use mask at work site all the time and have some workout or exercise.
References Keywords
: 85 (1978 – 2015) : split stone processing workers, vital capacity, dust exposure
iii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
IDENTITAS PRIBADI Nama
: Nabila Dewi Ichsani
Tempat dan Tanggal Lahir
: Jakarta, 26 Maret 1994
Alamat Asal
: Jalan Haji Djiran No. 11 RT 003 RW 001 Kelurahan Pinang, Tangerang
Alamat Sekarang
: Jl. Kertamukti Gang Buni (Lap. Rohama) No. 88E RT. 005/09, Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten.
Agama
: Islam
No. Telp
: 082123187858
Email
:
[email protected]
RIWAYAT PENDIDIKAN 2011- 2015
: Peminatan Kesehatan Lingkungan, Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2008-2011
: SMA Budi Luhur Tangerang
2005-2008
: SMP Budi Luhur Tangerang
1999-2005
: SDN Pinang 3 Tangerang
vi
PENGALAMAN ORGANISASI 2010-2011
: Pengurus OSIS (Organisasi Siswa Intra Sekolah) SMA Budi Luhur Tangerang
2013-2014
: Anggota Environmental Health Student Association (ENVIHSA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
PENGALAMAN KERJA 1. Pengalaman Belajar Lapangan (PBL) di Puskesmas Ciputat Timur, Tangerang Selatan 2. Pengalaman Orientasi Kerja di RS Antam Medika Pulo Gadung 3. Pengalaman Orientasi Kerja di Kantor Kesehatan Pelabuhan Kelas I Soekarno Hatta
vii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim “Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu” Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah dan nikmat yang berlimpah, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Kondisi Lingkungan Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015”. Sholawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW, semoga kita semua mendapatkan syafaatnya di akhirat nanti. Aamiin. Penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan terimakasih kepada : 1. Bapak Dr. H. Arif Sumantri, SKM, M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ibu Fajar Ariyanti, SKM, M.Kes selaku Kepala Program Studi Kesehatan Masyarakat. 3. Ibu Dr. Ela Laelasari, SKM, M.Kes dan Bapak dr. Yuli Prapanca Satar, MARS selaku Dosen Pembimbing I dan II atas segala dukungan, saran, kritik, semangat, dan kepercayaannya yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini. 4. Dosen-dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat dan Peminatan Kesehatan Lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan ilmu yang bermanfaat. 5. Keluarga yang selalu memberikan dukungan, nasehat serta doa demi kelancaran penyusunan skripsi ini. Ayah, Mama, Uda Yopie, Abang Reno, Uni Ratih, Uda Bayu, Kak Ira dan Bang Ijal. Terima kasih banyak! 6. PT. Indonesia Putra Pratama yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian disana. Pak Cui, Pak Narno dan para staf yang telah membantu penelitian ini.
viii
7. Teman-teman seperjuangan kesling 2011 (Efri, Onoy, Fia, Lifi, Mba Feela, Shela, Ika, Ikoh, Rahmatika, Sarjeng, Awal, Eka, Pewe, Rois, Almen dan Hari) dan terutama untuk Ayu, Betti, Niken, Tika, Cepol, Caca, dan Inu yang telah membantu selama proses penyusunan skripsi. 8. Kak Ami yang telah membantu dalam pengambilan data di lapangan. 9. Para alien, Erin, Kiki dan Kadek, sahabat tersayang yang selalu memberi semangat dan tidak berhenti mengingatkan untuk menyelesaikan skripsi ini. 10. Terakhir, Ilham Eka Praditya atas semangat, dorongan, saran, perhatian dan kesabarannya dalam menghadapi keluh kesah penulis selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih kurang dari sempurna. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran perbaikan dari pembaca. “Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatu”
Jakarta, November 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ..................................................................................... i ABSTRAK .............................................................................................................. ii HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................... iv HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. v DAFTAR RIWAYAT HIDUP ............................................................................... vi KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii DAFTAR ISI ........................................................................................................... x DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiv DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi DAFTAR BAGAN ............................................................................................. xvii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 1.1
Latar Belakang ............................................................................................ 1
1.2
Rumusan Masalah ....................................................................................... 7
1.3
Pertanyaan Penelitian .................................................................................. 8
1.4
Tujuan ......................................................................................................... 9
1.4.1 Umum ......................................................................................................... 9 1.4.2 Khusus ........................................................................................................ 9 1.5
Manfaat Penelitan...................................................................................... 11
1.5.1 Bagi Perusahaan ........................................................................................ 12 1.5.2 Bagi Pekerja .............................................................................................. 11 1.5.3 Bagi Peneliti .............................................................................................. 11 1.6
Ruang Lingkup .......................................................................................... 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................................... 12 2.1
Kapasitas Vital Paru .................................................................................. 12
2.1.1 Pengukuran Kapasitas Paru ....................................................................... 14 2.2
Pencemaran Udara .................................................................................... 17
2.3
Batu Split................................................................................................... 19
2.4
Debu .......................................................................................................... 20
2.4.1 Sifat-Sifat Debu ......................................................................................... 21 2.4.2 Mekanisme Penimbunan Debu dalam Paru-Paru...................................... 22 x
2.4.3 Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Pengendapan Partikel Debu di Paru ....................................................................................................... 26 2.4.4 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kadar Debu PM1,0 dan PM2,5 ............ 26 2.5
Faktor Karakteristik Individu Yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru . 28
2.5.1 Masa Kerja ................................................................................................ 28 2.5.2 Lama Paparan ............................................................................................ 29 2.5.3 Riwayat Penyakit ...................................................................................... 30 2.5.4 Riwayat Pekerjaan ..................................................................................... 30 2.5.5 Penggunaan Masker .................................................................................. 31 2.5.6 Kebiasaan Merokok .................................................................................. 32 2.5.7 Kebiasaan Olahraga .................................................................................. 33 2.6
Kondisi Lingkungan Yang Memengaruhi Pemajanan Debu .................... 33
2.7
Pencegahan Terhadap Gangguan Kesehatan dan Daya Kerja .................. 37
2.8
Kerangka Teori.......................................................................................... 40
BAB III KERANGKA KONSEP ......................................................................... 42 3.1
Kerangka Konsep ...................................................................................... 42
3.2
Definisi Operasional.................................................................................. 44
3.3
Hipotesis.................................................................................................... 46
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ............................................................. 47 4.1
Desain Studi .............................................................................................. 47
4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................................... 47
4.2.1 Lokasi Penelitian ....................................................................................... 47 4.2.2 Waktu Penelitian ....................................................................................... 47 4.3
Populasi dan Sampel Penelitian ................................................................ 47
4.4
Kriteria Inklusi dan Eksklusi ..................................................................... 49
4.4.1.Kriteria Inklusi .......................................................................................... 49 4.4.2.Kriteria Eksklusi........................................................................................ 49 4.5
Instrumen Penelitian.................................................................................. 49
4.6
Sumber Data .............................................................................................. 50
4.7
Pengumpulan Data .................................................................................... 50
4.8
Pengolahan Data........................................................................................ 52
4.9
Analisis Data ............................................................................................. 54
xi
BAB V HASIL PENELITIAN ............................................................................. 55 5.1
Gambaran Umum PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon.......................... 55
5.1.1 Visi dan Misi PT. Indonesia Putra Pratama .............................................. 55 5.1.2 Gambaran Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon ...................................................................................................... 56 5.2
Analisis Univariat...................................................................................... 60
5.2.1 Gambaran Kapasitas Vital Paru (KVP) Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 60 5.2.2 Gambaran Kadar Debu PM1,0 Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 61 5.2.3 Gambaran Kadar Debu PM2,5 Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 61 5.2.4 Gambaran Suhu Udara Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indon56esia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ...................................... 62 5.2.5 Gambaran Kelembaban Udara Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 63 5.2.6 Gambaran Masa Kerja Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................................... 63 5.2.7 Gambaran Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 64 5.2.8 Gambaran Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 64 5.3
Analisis Bivariat ........................................................................................ 65
5.3.1 Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 65 5.3.2 Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 65 5.3.3 Hubungan Lama Paparan Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ................................... 66 5.3.4 Hubungan Penggunaan Masker Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 67 BAB VI PEMBAHASAN ..................................................................................... 68
xii
6.1
Keterbatasan Penelitian ............................................................................. 68
6.2
Kapasitas Vital Paru .................................................................................. 68
6.3
Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 72
6.4
Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................................... 77
6.5
Hubungan Lama Paparan Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ................................... 80
6.6
Hubungan Penggunaan Masker Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .......................... 83
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 86 7.1
Simpulan ................................................................................................... 86
7.2
Saran .......................................................................................................... 87
7.2.1 Bagi Pekerja .............................................................................................. 87 7.2.2 Bagi Perusahaan ........................................................................................ 88 7.2.3 Bagi Penelitian Selanjutnya ...................................................................... 89 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Klasifikasi Penilaian Kapasitas Paru..................................................... 15 Tabel 2.2 Komposisi Kimia Andesit ..................................................................... 20 Tabel 2.3 Nilai Ambang Batas .............................................................................. 28 Tabel 2.4 Jenis dan Gambar Masker ..................................................................... 32 Tabel 2.5 Jenis dan Gambar Nozzle ...................................................................... 39 Tabel 3.1 Definisi Operasional ............................................................................. 44 Tabel 5.1 Tipe Batu Hasil Produksi Hasil PT. Indonesia Putra Pratama .............. 57 Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ................... 60 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM1,0 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .................... 61 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM2,5 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .................... 62 Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Suhu Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015 ............................. 62 Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Kelembaban Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 .................... 63 Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ............................... 64 Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ............................... 64 Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ..................... 65 Tabel 5.10 Hubungan Kadar Debu PM1,0 dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ...................... 65 Tabel 5.11 Hubungan Masa Kerja dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ............................ 66 Tabel 5.12Hubungan Lama Paparan dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ............................. 66
xiv
Tabel 5.13Hubungan Penggunaan Masker dan KVP pada pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 ......... 67
xv
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru...................................... 22 Gambar 2.2 Single-strap dust masks ..................................................................... 32 Gambar 2.3 Masker debu ...................................................................................... 32 Gambar 2.4 Respirator setangah wajah ................................................................. 32 Gambar 2.5 Respirator seluruh wajah ................................................................... 32 Gambar 2.6 Solid-cone nozzle ............................................................................... 39 Gambar 2.7 Hollow-cone nozzle ........................................................................... 39 Gambar 2.8 Flat-spray nozzle ............................................................................... 39 Gambar 2.9 Fogging nozzle .................................................................................. 39 Gambar 2.10 Kerangka Teori ................................................................................ 41 Gambar 3.1 Kerangka Konsep ............................................................................. 42 Gambar 5.1Penyiraman Pada Proses Pemecahan Batu ........................................ 59 Gambar 5.2 flat-spray nozzles ............................................................................. 60 Gambar 5.3 wet dust suppression systems ........................................................... 60
xvi
DAFTAR BAGAN
Bagan 5.1Proses Pengolahan Batu Split di PT. Indonesia Putra Pratama ............ 58
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Sektor pertambangan merupakan salah satu sektor yang memegang
peranan
penting
dalam
menunjang
pembangunan
nasional.
Indonesia
mempunyai potensi berbagai jenis bahan tambang yang cukup melimpah salah satunya adalah batuan bahan konstruksi dan industri. Pendayagunaan secara bijak segala jenis bahan tambang dapat meningkatkan pendapatan dan perekonomian nasional ataupun daerah (Kusuma, 2012). Pembangunan yang berwawasan lingkungan telah diterima sebagai suatu prinsip Pembangunan Nasional dengan berbagai peraturan pelaksanaannya. Walaupun demikian, dalam prakteknya mekanisme yang ditetapkan belum berjalan sebagaimana yang diharapkan. Isu tentang pencemaran sering dijumpai di media massa akibat dan dampak dari suatu kegiatan (Sucipto, 2007). Kapasitas vital paru (KVP) adalah total jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum. Kapasitas vital paru didapatkan dari penambahan tidak volume (TV), volume cadangan inspirasi (VCI) dan volume cadangan ekspirasi (Tarwoto, 2009). Pengukuran KVP dapat memberikan informasi menegani besarnya penyimpangan atau penurunan nilai yang dapat menentukan paru seseorang dalam keadaan normal atau tidak (PDPI, 2013). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2008, penurunan KVP dapat berupa restriksi yaitu terjadinya keterbatasan ekspansi paru (West, 2003), obstruksi yaitu penyempitan
1
2
jalus pernapasan (PDPI, 2013), atau bisa keduanya (gabungan restriksi dan obstruksi). Kapasitas paru akan berkurang pada penyakit paru-paru, penyakit jantung (yang menimbulkan kongesti paru) dan kelemahan otot pernapasan (Pearce, 2008). Menurut Gill (2003), fungsi paru dapat dipengaruhi akibat sejumlah faktor non-pekerjaan antara lain usia, kelamin, ukuran paru, ras, tinggi badan, dan kebiasaan merokok. Beberapa hasil penelitian juga membuktikan bahwa ada beberapa faktor yang berhubungan dengan KVP. Penelitian yang dilakukan oleh Anugrah (2014), menjelaskan bahwa terdapat hubungan antara masa kerja dan kapasitas vital paru pada pekerja penggilingan divisi batu putih di PT. Sinar Utama Karya. Hal ini dapat terjadi karena semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut mempunyai risiko yang besar mengalami penurunan kapasitas vital paru (Tamuntuan, 2013). Faktor lainnya adalah lama paparan. Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Asna (2013), ditemukan bahwa adanya hubungan antara lama paparan dengan penurunan kapasitas vital paru. Hal ini membuktikan bahwa lama paparan berpengaruh negatif bagi seseorang yang bekerja karena semakin lama terpapar, bahaya yang ditimbulkan oleh tempat kerja dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernapasan. Berdasarkan penelitian Ningrum (2009), diketahui bahwa penggunaan masker berhubungan dengan terjadi gangguan fungsi paru (KVP di bawah normal) pada pekerja unit II pengolahan NPK di industri PT. Petrokimia Gresik. Masker berfungsi untuk mengurangi polutan yang masuk lewat rongga
3
pernafasan. Masker yang ideal adalah masker yang mampu meminimalkan udara kotor yang masuk ke tubuh dan tidak mengganggu pernapasan (Mukono, 2003). Lingkungan kerja juga dapat memengaruhi kapasitas vital paru. Lingkungan kerja sering dijumpai penuh dengan debu, uap, gas, dan lainnya yang merupakan hasil dari proses industri dan dapat menyebabkan pencemaran udara sehingga mengganggu kesehatan pekerja terutama kesehatan paru. Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup No. 02/MENKLH/1988, pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Debu sebagai salah satu zat pencemar merupakan partikel benda padat yang terjadi karena proses mekanis dan merupakan hasil sampingan dari proses industri yang menggunakan bahan baku batuan seperti halnya pengolahan batu split yang dilakukan oleh PT. Indonesia Putra Pratama. Debu industri yang terdapat dalam udara terbagi dua, yaitu pertama deposit particulate matter atau partikel debu yang hanya berada sementara di udara, dan akan segera mengendap karena daya tarik bumi. Kedua adalah suspended particulate matter atau debu yang tetap berada di udara dan tidak mudah mengendap (Sintorini, 2002). Adapun proses pengolahan batu oleh PT. Indonesia Putra Pratama adalah pemecahan, baik primer maupun sekunder, penyortiran, dan pengiriman. Proses pengolahan batu split tersebut khususnya proses pemecahan berpotensi
4
meningkatkan kadar debu sehingga menurunkan kualitas udara di lingkungan kerja dan dapat berdampak terhadap kesehatan paru pekerja. Debu termasuk ke dalam substansi yang bersifat toksik (racun). Menurut WHO (1993), debu menyebabkan refleks batuk atau spasme laring (penghentian bernapas). Apabila debu menembus ke dalam paru, dapat mengakibatkan bronkitis toksis, edema paru atau pneumonitis. Hasil penelitian secara medis menunjukkan bahwa partikel debu yang berukuran 0,1 – 5 µm dapat tetap berada dalam alveolis sebagai debu respirabel, sedangkan partikel yang berukuran lebih besar akan tertahan membran mukosa dari hidung, tenggorokan, trakhea, dan bronkus yang selanjutnya akan dikeluarkan melalui mekanisme kerja jantung (Riyadina, 1996). Dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan penumpukan debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan seperti penurunan kapasitas paru yang disebut obstruksi dan pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas vital paru. Partikel debu dapat menimbulkan penurunan kapasitas vital paru, sehingga akan mengurangi penggunaan optimal alat pernapasan untuk mengambil oksigen pada proses respirasi (Sukarman, 1978). Di Indonesia, angka sakit mencapai 70% dari pekerja yang sering terpapar debu. Sebagian besar penyakit paru akibat kerja mempunyai akibat serius yaitu terjadinya penurunan kapasitas paru, dengan gejala utama yaitu sesak napas (Hesti, 2012). Hasil pemeriksaan kapasitas paru yang dilakukan di balai HIPERKES dan Kesehatan Kerja Sulawesi selatan pada tahun 1999
5
terhadap 200 tenaga kerja di 8 perusahaan, diperoleh hasil sebesar 45% responden yang mengalami restriktif, 1% responden yang mengalami obstruktif dan 1% responden yang mengalami Combination (gabungan antara restriktif dan obstruktif) (Sirait, 2010). Tingginya angkat sakit akibat terpapar debu dapat terjadi karena minim pelayanan kesehatan bagi pekerja. Menurut WHO, akses terhadap pelayanan kesehatan kerja yang memadai di negara berkembang hanya mencakup 5–10% pekerja sedangkan di negara industri 20–50% pekerja, dimana mayoritas pekerja di negara-negara Asia belum memiliki sistem yang baik untuk menjamin hak pekerjanya, terutama mengenai perlindungan penyakit akibat kerja, padahal pekerja sebagai sumber daya manusia memegang peranan utama dalam proses pembangunan industri sehingga peranan sumber daya manusia perlu mendapat perhatian khusus baik kemampuan, keselamatan, maupun kesehatan kerjanya (Hesti, 2012). Selain terpapar oleh debu, kondisi lingkungan pada pengolahan batu split seperti kelembaban dan suhu udara juga berdampak terhadap kapasitas vital paru pekerja. Kelembaban udara bergantung pada berapa banyak uap air (dalam %) yang terkandung di udara. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara dan merupakan penyebab meningkatnya keluhan sesak napas yang merupakan gejala utama terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran (Suma’mur, 1996).
6
Ketika pekerja berada dan menghirup udara panas juga dapat memperburuk
gangguan
pernapasan
seperti
PPOK
dan
meningkatkan
peradangan saluran napas. Paparan panas dapat memicu respon pernapasan seperti terjadinya bronkospasme karena menghirup udara panas sehingga menyebabkan kesulitan bernapas dan sesak napas. Menghirup udara panas juga dapat memperburuk infeksi pernapasan, beberapa di antaranya dapat disebabkan oleh serbuk sari atau jamur (Healthcommunities, 2013). Penjelasan mengenai kelembaban dan suhu didukung penelitian yang dilakukan oleh Sinurat (2013), yang menjelaskan bahwa adanya hubungan antara kelembaban udara dan kapasitas vital paru pada pekerja Di PTP Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Wijaya (2012) juga menyatakan bahwa adanya hubungan antara suhu udara dengan kelainan faal paru (KVP dibawah normal) pada pekerja penggilingan padi. Dari studi pendahuluan menggunakan spirometri yang dilakukan pada 10 pekerja PT. Indonesia Putra Pratama di Cilegon, diketahui bahwa pekerja yang mengalami restriksi ringan sebanyak 2 orang atau sebesar 20%, pekerja yang mengalami obstruksi dan restriksi ringan (combination) sebanyak 1 orang atau sebesar 10% dan pekerja 2 orang pekerja atau sebesar 20% mengalami keluhan sesak napas dan batuk yang merupakan gejala utama terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Hasil pengamatan di lapangan pun menunjukkan rata-rata pekerja tidak menggunakan masker saat berada di lokasi pengolahan batu. Berdasarkan hasil pengukuran debu di lapangan yang dilakukan selama 1 jam, didapatkan dua jenis ukuran partikel debu yakni ukuran 1 mikron dan 2,5
7
mikron. Adapun kadar debu di udara didapatkan hasil sebesar 2,513 mg/m3 untuk partikel debu berukuran 1 mikron dan 6,526 mg/m3 untuk partikel debu berukuran 2,5 mikron. Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja, partikel debu berukuran 1 dan 2,5 mikron telah melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan yaitu sebesar 2 mg/m3. Dari fakta-fakta yang telah dijelaskan maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama, sehingga diharapkan dengan adanya penelitian ini dapat dilakukan tindakan preventif untuk mencegah terjadinya penyakit akibat kerja dan akibat hubungan kerja pada pekerja pengolahan batu. 1.2
Rumusan Masalah Penurunan nilai KVP dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor seperti
masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker. Selain itu, lingkungan kerja juga berpengaruh terhadap penurunan KVP yang disebabkan oleh kadar debu, suhu dan kelembaban. Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 10 pekerja, terdapat 5 pekerja yang mengalami restriksi ringan, obstruksi dan combination serta, keluhan sesak nafas serta batuk yang merupakan gejala utama terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Hasil pengukuran debu di lapangan yang dilakukan selama 1 jam, didapatkan dua jenis ukuran partikel debu yakni ukuran 1 mikron dan 2,5 mikron. Adapun kadar debu di udara didapatkan hasil sebesar 2,513 mg/m3 untuk
8
partikel debu berukuran 1 mikron dan 6,526 mg/m3 untuk partikel debu berukuran 2,5 mikron sehingga menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja, partikel debu berukuran 1 dan 2,5 mikron telah melebihi nilai ambang batas yang telah ditentukan yaitu sebesar 2 mg/m3 Dari fakta-fakta yang telah dijelaskan maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama. 1.3
Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015? 2. Bagaimana gambaran kadar debu PM1,0 pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015? 3. Bagaimana gambaran kadar debu PM2,5 pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015? 4. Bagaimana gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015? 5. Bagaimana gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015? 6. Bagaimana gambaran masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015? 7. Bagaimana gambaran lama paparan pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015?
9
8. Bagaimana gambaran penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015? 9. Apakah ada hubungan antara kadar debu PM1,0 dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015? 10. Apakah ada hubungan antara masa kerja dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015? 11. Apakah ada hubungan antara lama paparan dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015? 12. Apakah ada hubungan antara penggunaan masker dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015? 1.4
Tujuan
1.4.1 Umum Mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. 1.4.2 Khusus 1. Mengetahui gambaran kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. 2. Mengetahui gambaran kadar debu PM1,0 pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
10
3. Mengetahui gambaran kadar debu PM2,5 pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. 4. Mengetahui gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. 5. Mengetahui gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. 6. Mengetahui gambaran masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. 7. Mengetahui gambaran lama paparan pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. 8. Mengetahui gambaran penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu split di PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. 9. Mengetahui hubungan antara kadar debu PM1,0 dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. 10. Mengetahui hubungan antara masa kerja dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. 11. Mengetahui hubungan antara lama paparan dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. 12. Mengetahui hubungan antara penggunaan masker dan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
11
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Perusahaan Penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan pemilik perusahaan untuk melakukan penanggulangan cemaran udara yang dihasilkan selama proses pengolahan dan dapat memperhatikan kesehatan pekerja dan lingkungan. 1.5.2 Bagi Pekerja Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada pekerja mengenai bahaya kesehatan yang ditimbulkan dari aktivitas pekerjaannya. 1.5.3 Bagi peneliti Aplikasi teori dan keterampilan ilmu kesehatan masyarakat dan mengembangkan ilmu Kesehatan Lingkungan serta dapat dijadikan bahan acuan untuk penelitian selanjutnya. 1.6
Ruang Lingkup Penelitian ini tertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan
dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. Sasaran penelitian ini adalah pekerja yang beraktivitas langsung dengan proses pengolahan batu split yang berada di wilayah tersebut dengan jumlah sampel sebanyak 24 orang. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain studi cross sectional. Dalam pengumpulan data, peneliti menggunakan kuesioner dan lembar observasi untuk mengetahui data karakteristik pekerja. Alat-alat yang digunakan adalah spirometer untuk mengetahui kapasitas vital paru, alat pengukur suhu dan kelembaban udara, yaitu thermohygrometer digital HTC-2 dari laboratorium HEN FKIK UIN Jakarta, alat pengukur debu yaitu Environmental Particulate Air Monitor (EPAM) 5000 Primer dari laboratorium OHS FKIK UIN Jakarta.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Kapasitas Vital Paru Paru-paru mempunyai fungsi untuk melakukan pertukaran gas oksigen dan
karbon dioksida. Oksigen yang bersenyawa dengan karbon dan hidrogen dari jaringan, memungkinkan setiap sel melangsungkan proses metabolisme dan hasil proses yang berupa karbon dioksida dapat dikeluarkan dari dalam tubuh (Pearce, 2008). Kapasitas vital paru adalah total jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum. Kapasitas vital paru didapatkan dari penambahan tidak volume (TV), volume cadangan inspirasi (VCI) dan volume cadangan ekspirasi. Jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan seseorang setelah mengisi paru secara maksimum dan dikeluarkan sebanyakbanyaknya adalah 4.600 ml (Tarwoto, 2009). Pengukuran KVP dapat memberikan informasi yang berguna mengenai kekuatan otot-otot pernapasan dan aspek fungsi paru lainnya. Besarnya penyimpangan atau penurunan nilai yang di dapat dari pemerikasaan dapat menentukan paru seseorang dalam keadaan normal atau tidak (PDPI, 2013). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.25/MEN/XII/2008 Tentang Pedoman Diagnosis Dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan Dan Penyakit Akibat Kerja, penurunan kapasitas vital paru mengakibatkan:
12
13
1. Restriksi Restriksi adalah gangguan pengembangan paru oleh sebab apapun. Paru menjadi kaku, daya tarik ke dalam lebih kuat sehingga dinding dada mengecil, iga menyempit dan volume paru mengecil. Volume statis paru mengecil yaitu KV (kapasitas vital), KPT (kapasitas paru total), VR (volume residu), VCE (volume cadangan ekspirasi) dan KRF (kapasitas residu fungsional). Sebagai parameter pada spirometri diukur KV yang nilainya <80% nilai prediksi (Normal 80-120% sedangkan bila nilainya > 120% disebut over/hiperinflasi). VEP1/KVP nilainya masih di atas 75%. (PDPI, 2013). Menurut West (2003), restriksi adalah keterbatasan ekspansi paru, baik karena perubahan pada perenkim paru maupun karena penyakit pada pleura, dinding dada, atau alat neuromuscular. Tanda-tandanya adalah penurunan kapasitas vital dan volume paru istirahat yang kecil, tetapi resistensi jalan napas (berhubungan dengan volume paru) tidak meningkat. 2. Obstruksi Obstruksi adalah gangguan paru yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. Obstruksi terdiri atas bronkitis kronis dan emfisema atau gabungan keduanya. Obstruksi saluran napas bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas (PDPI, 2013).
14
2.1.1 Pengukuran Kapasitas Paru Pengukuran kapasitas paru berguna untuk mengevaluasi kemampuan paru, menentukan adanya gangguan dan derajat gangguan fungsi paru (Djojodibroto, 2009). Menurut National Heart Lung Blood Institute, tes yang dilakukan pada paru digunakan untuk mengukur: 1. Banyaknya udara yang dapat masuk ke dalam paru 2. Banyak dan cepatnya udara yang dapat dikeluarkan dari paru 3. Kondisi paru dalam mengirimkan oksigen ke dalam darah 4. Kekuatan otot-otot pernapasan Pengukuran kapasitas paru terdiri dari berbagai macam metode. Berikut adalah metode pengukuran yang sering digunakan untuk mengukur kapasitas paru: 1. Spirometri Spirometri merupakan tes fungsi paru yang umum digunakan serta berguna untuk mengetahui volume paru, kapasitas paru dan kecepatan aliran udara (Giuliodori, 2004). Spirometri digunakan untuk menentukan fungsi paru, mendeteksi penyakit paru, mengevaluasi gangguan pernapasan, dan melakukan pengawasan terhadap penyakit paru terkait pekerjaan (McCarthy, 2015). Cara pemakaian spirometri yaitu pasien diminta untuk melakukan inspirasi maksimal kemudian lakukan ekspirasi maksimal ke dalam pipa yang tersambung dengan spirometer. Pengukuran dilakukan berulang hingga beberapa kali sampai didapatkan hasil yang sesuai (National Jewish Health, 2013).
15
Dalam pengukuran kapasitas paru dengan menggunakan spirometri, fungsi respirasi yang diukur adalah: a. Kapasitas vital paksa (KVP) (forced vital capcity, FCV) yaitu jumlah total udara yang dapat dengan paksa diekspirasikan dari paru. b. Volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (VEP1) (forced expiratory volume in 1 second, FEV1) yaitu jumlah udara yang dapat dengan paksa diekspirasikan dalam satu detik (Francis, 2011). Adapun klasifikasi penilaian kapasitas paru adalah sebagai berikut: Tabel 2.1 Klasifikasi Penilaian Kapasitas Paru Restriksi (KVP % atau KVP/prediksi %)
Obstruksi (VEP1/ KVP) % atau VEP1 % (VEP1/ prediksi) Normal > 80 % > 75 % Ringan 60-79 % 60-74 % Sedang 30-59 % 30-59 % Berat < 30 % < 30 % Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.25/MEN/XII/2008. 2. Plethysmography paru Plethysmography paru adalah tes yang digunakan untuk mengukur banyaknya udara yang dapat disimpan dalam paru-paru. Plethysmography paru membantu penyedia pelayanan kesehatan untuk menilai pasien dengan penyakit paru yang sering dikaitkan dengan kapasitas total paru. Pengukuran plethymosgraphy
didasarkan
pada
prinsip
Hukum
Boyle
yang
menggambarkan hubungan antara tekanan dan volume gas. Cara pemakaian plethysmography paru yaitu pasien dimasukkan ke dalam ruang kedap udara dengan posisi berdiri atau duduk. Klip akan dipasangkan ke hidung pasien agar udara tidak masuk ke dalam lubang hidung. Pasien diminta
16
untuk bernapas melalui corong saat corong terbuka dan tertutup. Terjadinya pergerakan dada saat bernapas akan merubah tekanan dan jumlah udara dalam ruang dan corong. Dari perubahan ini, didapatkan hasil yang akurat tentang jumlah udara di paru atau kapasitas total paru (Stang, 2014). 3. Peak Flow Meter Peak Flow Meter adalah instrumen kecil yang mudah digunakan, berfungsi untuk mengetahui seberapa baik paru-paru seseorang bekerja. Hal ini dilakukan dengan mengukur aliran puncak ekspirasi untuk mengetahui seberapa cepat pasien mengeluarkan udara setalah inspirasi maksimal. Peak Flow Meter digunakan untuk membantu mengindentifikasi pola kerja paru dan memberikan informasi untuk tindakan pencegahan terhadap asma. Pengukuran peak flow meter dilakukan dengan cara pasien diminta untuk melakukan inspirasi maksimal dalam keadaan berdiri atau duduk secara tegak, kemudian udara dikeluarkan dengan ekspirasi maksimal ke dalam pipa. Ulangi proses hingga 2 -3 kali lalu pilih nilai tertinggi dari hasil pengukuran dan catat pada lembar pengukuran. Pengukuran ini sebaiknya dilakukan secara rutin untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada paru-paru pasien (National Jewish Health, 2012). Berdasarkan metode pengukuran yang telah dijelaskan, spirometri dipilih sebagai metode pengukuran kapasitas paru pada penelitian ini. Alasan pemilihan spirometri yaitu alat mudah dioperasikan dan hasil pengukuran cepat diketahui serta biaya operasional yang relatif murah.
17
2.2
Pencemaran Udara Udara merupakan campuran beberapa macam gas yang perbandingannya
tidak tetap, tergantung pada keadaan suhu udara, tekanan udara dan lingkungan sekitarnya. Sebagian besar udara dalam lapisan troposfer selalu berputar-putar dan terus bergerak, menjadi panas oleh sinar matahari, kemudian bergerak lagi diganti oleh udara dingin yang akan menjadi panas kembali, begitu seterusnya. Proses fisik tersebut menyebabkan terjadinya pergerakan udara dalam lapisan troposfer, dan merupakan faktor utama untuk mendeteksi iklim dan cuaca di permukaan bumi. Di samping itu pergerakan udara tersebut juga dapat mendistribusikan bahan kimia pencemar dalam lapisan troposfer (Mengkidi, 2006). Bila udara bersih bergerak di atas permukaan bumi, udara tersebut akan membawa sejumlah bahan kimia yang dihasilkan oleh proses alamiah dan aktifitas manusia. Sekali bahan kimia pencemar masuk ke dalam lapisan troposfer, bahan pencemar tersebut bercampur dengan udara dan terbawa secara vertikal dan horizontal serta bereaksi secara kimiawi dengan bahan lainnya di dalam atmosfer. Dalam mengikuti gerakan udara, polutan tersebut menyebar, tetapi polutan yang dapat tahan lama akan terbawa dalam jarak yang jauh dan jatuh ke permukaan bumi menjadi partikel-partikel padat dan larut dalam butiran-butiran air serta mengembun jatuh ke permukaan bumi (Mengkidi,2006). Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup Nomor: KEP-02/MENKLH/I/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan, pencemaran udara adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke udara dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas udara turun
18
sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa setiap pembebasan bahan atau zat di udara dikatakan mencemari udara apabila berpotensi mengganggu stabilitas udara dan melewati nilai ambang batas yang telah ditetapkan. Menurut Sumantri (2010), pencemaran udara dapat ditimbulkan oleh sumber-sumber alami maupun kegiatan manusia yang dapat berupa gangguan fisik seperti polusi suara, panas, radiasi atau polusi cahaya. Pengertian ini sejalan dengan yang diungkapkan Yulaekah (2007) bahwa pencemaran udara luar ruang berasal dari proses – proses alam (letusan gunung berapi, kebakaran hutan) serta akibat kegiatan manusia, meliputi sumber bergerak (transportasi) dan tidak bergerak (industri, limbah rumah tangga). Secara umum penyebab pencemaran udara ada 2 macam, yaitu: 1. Karena faktor internal (secara alamiah), seperti: a. Debu yang beterbangan akibat tiupan angin. b. Abu (debu) yang dikeluarkan dari letusan gunung berapi berikut gasgas vulkanik. c. Proses pembusukan sampah organik, dll. 2. Karena faktor eksternal (karena ulah manusia), seperti: a. Hasil pembakaran bahan bakar fosil. b. Debu/serbuk dari kegiatan industri. c. Pemakaian zat-zat kimia yang disemprotkan ke udara
19
2.3
Batu Split Batu split merupakan hasil pemecahan batu andesit yaitu batuan primer/
vulkanis karena proses pembentukannya yang terjadi akibat pembekuan lava yang dihasilkan oleh letusan gunung berapi. Batu andesit termasuk golongan batuan effusif, memiliki kualitas yang tinggi dengan volume beratnya 2,2 – 2,7 gr/cm3 dan kuat tekannya 600 – 2400 kg/cm3 (Mardianingsih, 2000). Batu andesit merupakan batuan sub-alkalik peralihan yang mengandung SiO2 berkisar antara 57 – 63 % dan Na2O + K2O berkisar 5%. Batuan peralihan juga memiliki kandungan CaO yang lebih tinggi dibandingkan batuan asam (Huraiová dan Ondrejka, 2013). Mineral-mineral penyusun andesit yang utama terdiri dari plagioclase feldspar dan juga terdapat mineral pyroxene (clinopyroxene dan orthopyroxene) dan hornblende dalam jumlah yang kecil (Nouval, 2009). Komposisi kimia dalam batuan andesit terdiri dari unsur-unsur, silikat, alumunium, besi, kalsium, magnesium, natrium, kalium, titanium, mangan, dan fosfor. Presentase kandungan unsur-unsur tersebut sangat berbeda di beberapa tempat. Sebagai contoh, berikut adalah komposisi kimia andesit di Šiatorská Bukovinka, Republik Slowakia:
20
Tabel 2.2 Komposisi Kimia Andesit Senyawa
Komposisi (%)
Silika krtistal (kwarsa) 61,62 Titanium dioksida 0,56 Alumunium oksida 17,65 Ferri oksida 6,43 Ferro oksida 0,00 Mangan oksida 0,15 Magnesium oksida 2,03 Kalsium oksida 6,09 Dinatrium oksida 3,18 Kalium oksida 2,03 Fosfor pentaoksida 0,18 Sumber : Huraiová dan Ondrejka, Department of Mineralogy and Petrology, Comenius University of Bratislava, Slovakia (2013). 2.4
Debu Debu
adalah
bagian
padat
yang
dihasilkan
oleh
penanganan,
penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan bahan-bahan organik dan inorganik seperti batu, batu bara, bijih besi, dll (Nedved, 1991). Debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter/ SPM) dengan ukuran 1 mikron sampai dengan 500 mikron. Dalam kasus pencemaran udara, debu sering dijadikan salah satu indikator pencemaran yang digunakan untuk menunjukan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Partikel debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang layang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan (Pudjiastuti, 2002). EPA (2015) membagi ukuran debu menjadi dua kategori, yaitu:
21
1. Inhalable Dust Inhalable dust adalah debu yang dapat masuk kedalam tubuh akan tetapi terperangkap atau tertahan di hidung, tenggorokan atau sistem pernapasan bagian atas. Inhalable dust memiliki ukuran diameter lebih dari 2,5 mikron hingga 10 mikron. 2. Respirable Dust Respirable dust (debu terhirup) atau sering disebut fine particles adalah debu dengan diameter berukuran kurang dari sama dengan 2,5 mikron yang dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem pernapasan bagian atas dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam. 2.4.1 Sifat-Sifat Debu Sifat-sifat debu tidak berflokulasi kecuali oleh gaya tarik elektris, tidak berdifusi dan turun karena tarikan gaya tarik bumi. Debu di atmosfer lingkungan keja biasanya berasal dari bahan baku atau hasil produksi (Depkes RI, 1994). Sifat-sifat debu adalah sebagai berikut (Pudjiastuti, 2002): 1. Mengendap Debu cenderung mengendap karena gaya gravitasi bumi namun karena ukurannya relatif kecil debu dapat berada di udara. 2. Permukaan cenderung selalu bersih Permukaan debu yang cenderung selalu bersih disebabkan karena adanya lapisan air sangat tipis yang selalu melapisi permukaan debu.
22
3. Menggumpal Debu bersifat menggumpal karena permukaan debu yang selalu basah sehingga memungkinkan debu menempel satu sama lain dan membentuk gumpalan. 4. Listrik statis (elektrostatik) Debu dapatt menarik partikel lain yang berlawanan sehingga mempercepat terjadinya proses penggumpalan karena adanya partikel yang masuk ke dalam debu. 5. Opsis Opsis adalah debu yang dapat memancarkan sinar pada ruangan gelap. 2.4.2 Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru-Paru Berikut ini adalah mekanisme penimbunan debu dalam paru-paru yang dijelaskan pada gambar 2.1 dibawah ini: Gambar 2.1 Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru Debu Industri
Inhalasi
Penimbunan dalam paru
Penurunan KVP
Debu yang dihasilkan dari kegiatan industri seperti penanganan, penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan bahan-bahan organik dan inorganik dapat menyebabkan timbulnya gangguan pada sistem pernapasan. Ukuran debu sangat berpengaruh terhadap terjadinya penyakit pada saluran pernapasan. Inhalasi adalah satu-satunya jalur paparan yang memiliki hubungan dengan efek langsung partikel debu dengan kesehatan manusia (WHO, 2000). Dengan menarik napas, udara yang mengandung debu masuk ke dalam paru-paru.
23
Dari hasil penelitian, debu-debu berukuran di antara 5-10 mikron akan ditahan oleh bagian pernapasan bagian atas sedangkan debu ukuran 3-5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernapasan. Partikel-partikel yang besarnya 1-3 mikron merupakan ukuran paling berbahaya karena akan ditempatkan langsung ke permukaan alveoli paru-paru (Pudjiastuti, 2002). Debu-debu yang ukuran partikelnya kurang dari 0,1 mikron bermassa terlalu kecil sehingga tidak hinggap di permukaan alveoli atau selaput lendir dikarenakan adanya gerakan Brown yang menyebabkan debu bergerak keluar dari alveoli (Suma’mur, 1996). Beberapa mekanisme dapat dikemukakan sebagai sebab hinggap dan tertimbunnya debu dalam paru-paru. Menurut WHO (1997), terdapat lima mekanisme penimbunan yaitu sedimentasi, inersia impaksi, difusi (hanya untuk partiker yang sangat kecil < 0,5 m), intersepsi dan pengendapan elektrostatis. Sedimentasi dan impaksi adalah mekanisme terpenting yang berhubungan dengan penimbunan debu di dalam paru. Sedimentasi adalah penimbunan yang terjadi karena kecepatan udara pernapasan sangat rendah pada bronchi dan bronchioli sehingga gaya tarik bumi dapat bekerja terhadap partikel-pertikel debu dan menimbunkannya. Sedangkan impaksi atau inertia atau kelambanan dari partikel-partikel debu yang bergerak, yaitu pada waktu udara membelok ketika melalui jalan pernapasan yang tidak lurus, maka partikel-partikel debu yang bermassa cukup besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara, melainkan terus lurus dan akhirnya menimbun pada selaput lendir (Suma’mur, 1996). Menurut Price (1995), mekanisme penimbunan debu dalam paru bermula dari debu diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan
24
asap. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan mukosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung dan kearah superior menuju faring. Partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terusmenerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat intertestial (Price, 1995). Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru (pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya (Price, 1995). Mukono (2003) menjelaskan paparan debu terhadap saluran pernapasan dapat menyebabkan terjadinya iritasi pada saluran pernapasan. Hal ini dapat menyebabkan pergerakan silia menjadi lambat, bahkan dapat terhenti sehingga
25
tidak dapat membersihkan saluran pernapasan. Akibat iritasi terjadi pula peningkatan produksi lendir, pembengkakan saluran pernapasan dan merangsang pertumbuhan sel sehingga dapat menyebabkan penyempitan saluran pernapasan. Selain itu, dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan penumpukan debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan seperti penurunan kapasitas paru yang disebut obstruksi dan pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas vital paru. Partikel debu dapat menimbulkan penurunan kapasitas vital paru, sehingga akan mengurangi penggunaan optimal alat pernapasan untuk mengambil oksigen pada proses respirasi (Sukarman, 1978). Penimbunan partikel akan merusak epitel dan pergerakan sel fagosit di dekat tempat penimbunan atau dapat menstimulasi sekresi cairan. Partikel yang tertimbun dapat berdifusi ke dalam dan melalui permukaan cairan dan sel dan dengan cepat diangkut oleh aliran darah ke seluruh tubuh (ILO). EPA juga menjelaskan adanya hubungan partikel debu terutama respirable dust dengan serangkaian masalah kesehatan yang signifikan yaitu: 1. Memperberat asma 2. Gejala pernapasan akut, termasuk memperberat batuk dan kesulitan atau sakit ketika bernapas 3. Bronkitis kronis 4. Penurunan fungsi paru yang diawali dengan sesak napas
26
2.4.3 Faktor Yang Memengaruhi Terjadinya Penimbunan Partikel Debu Di Paru WHO (2000) menjelaskan bahwa penimbunan partikel di paru-paru ditentukan oleh karakteristik partikel, anatomi saluran pernapasan, volume tidal dan pola pernapasan. Di antara karakteristik partikel yang paling mempengaruhi adalah ukuran, bentuk, muatan listrik, kepadatan dan higroskopisitas. Ukuran paru-paru, pola cabang saluran napas, diameter saluran napas, dan panjang, frekuensi, kedalaman dan laju aliran juga mempengaruhi pengendapan partikel. Begitu menimbun di paru-paru, sebagian besar partikel dikeluarkan oleh berbagai mekanisme clearance. Partikel yang tidak dapat larut yang menimbun pada saluran udara bersilia umumnya dibersihkan dari saluran pernapasan oleh aktivitas mukosiliar dalam 24-48 jam. Clearance pada paru dapat terjadi melalui aksi makrofag alveolar atau mekanisme alternatif. Makrofag alveolar merupakan sel fagositik dan dapat bermigrasi. Partikel debu akan dibawa oleh makrofag ke pembuluh limfa atau bronkiolus dan akhirnya dikeluarkan oleh eskalator mukosiliaris (Mukono, 2003). Penyerapan penimbunan partikel oleh makrofag dapat berlangsung cepat, tetapi untuk menghilangkan makrofag dari paru-paru membutuhkan waktu beberapa minggu. Secara keseluruhan, partikel yang mengendap di paru dapat dibersihkan namun dalam jangka waktu yang berbeda-beda, baik dalam hitungan minggu, bulan bahkan tahun. 2.4.4 Nilai Ambang Batas (NAB) untuk Kadar Debu PM1,0 dan PM2,5 NAB adalah kadar yang dapat diterima oleh tubuh pekerja dengan tidak menunjukkan penyakit atau kelainan dalam pekerjaan sehari-hari dalam kurun waktu 8 jam perhari dan 40 jam perminggu (Suma’mur, 1996). Paparan debu
27
yang melebihi NAB akan meningkatkan risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Hal ini juga berlaku pada paparan dengan kadar debu rendah apabila lama paparan terjadi dalam waktu yang lama sehingga dapat menyebabkan penurunan kapasitas vital paru. Respirable dust (debu terhirup) atau sering disebut fine particles yang merupakan debu dengan diameter berukuran kurang dari sama dengan 2,5 mikron yang dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem pernapasan bagian atas dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam. Respirable dust dapat menyebabkan berbagai masalah kesehatan seperti memperberat asma dan gejala pernapasan akut, termasuk memperberat batuk dan kesulitan atau sakit ketika bernapas, bronkitis kronis, dan penurunan fungsi paru yang diawali dengan sesak napas. Berdasarkan komposisi kimia yang terdapat pada batu split mengacu pada tabel 2.2 maka, didapatkan nilai ambang batas menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja sebagai berikut:
28
No 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Tabel 2.3 Nilai Ambang Batas Senyawa NAB (mg/m3) Silika kristal (kwarsa) 0,1 Alumunium oksida 10 Kalsium oksida 2 Ferri oksida 5 Magnesium oksida 10 Fosfor pentaoksida 0,85
Berdasarkan tabel 2.3, peneliti menggunakan NAB kalsium oksida sebesar 2 mg/m3. Hal ini dikarenakan respirabel partikulat tidak boleh melampaui 2 mg/m3. 2.5
Faktor Karakteristik Individu Yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru
2.5.1 Masa Kerja Masa kerja adalah semua perhitungan jumlah tahun masa kerja dalam periode kerja, semakin lama masa kerja seseorang kemungkinan besar orang tersebut mempunyai resiko yang besar mengalami penurunan kapasitas vital paru (Tamuntuan, 2013). Dalam penelitian Anugrah (2014), diketahui bahwa masa kerja dapat mempengaruhi kapasitas vital paru pada pekerja. Apabila kondisi paru terpapar dengan berbagai komponen pencemar, fungsi fisiologis paru sebagai organ utama pernapasan akan mengalami beberapa gangguan sebagai akibat dari pemaparan secara terus menerus dari berbagai komponen pencemar. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Dalam lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan menurunkan kapasitas fungsi paru pada karyawan (Suma’mur, 1996). Semakin lama seseorang bekerja pada tempat yang mengandung debu akan semakin tinggi resiko terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan
29
saluran pernafasan. Debu yang terhirup dalam konsentrasi dan jangka waktu yang cukup lama akan membahayakan. Akibat penghirupan debu, yang langsung dirasakan adalah sesak, bersin, dan batuk karena adanya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan debu untuk beberapa tahun pada kadar yang rendah tetapi diatas batas limit paparan menunjukkan efek toksik yang jelas. Tetapi hal ini tergantung pada pertahanan tubuh dari masing-masing pekerja (Sirait, 2010). Khumaidah (2009) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru seperti obstruksi saluran pernapasan pada pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun. 2.5.2 Lama Paparan Lama paparan adalah waktu yang dihabiskan seseorang berada dalam lingkungan kerja dalam waktu sehari (Mengkidi, 2006). Lamanya seseorang bekerja pada umumnya berkisar 6 – 8 jam dalam sehari, apabila waktu kerja diperpanjang maka akan menimbulkan ketidakefisienan yang tinggi bahkan menimbulkan penyakit diakibatkan lamanya seseorang terpapar polutan seperti debu yang berada di lingkungan kerja. Bila pekerja terpapar cukup lama oleh debu yang diatas NAB kemungkinan besar akan timbul gangguan saluran pernapasan (Suma’mur, 1996). Namun, menurut Harrington dan Gill (2003), penurunan kapasitas paru tidak hanya disebabkan oleh faktor pekerjaan maupun lingkungan kerja, namun ada sejumlah faktor non-pekerjaan yang dapat menjadi faktor yang mempengaruhi, yaitu lain usia, kelamin, ukuran paru, ras, tinggi badan, dan kebiasaan merokok.
30
Berdasarkan penelitan yang dilakukan oleh Asna (2013), ditemukan bahwa adanya hubungan antara lama paparan dengan penurunan kapasitas vital paru. Hal ini membuktikan bahwa lama paparan berpengaruh negatif bagi seseorang yang bekerja karena semakin lama terpapar, bahaya yang ditimbulkan oleh tempat kerja dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernapasan. Mengkidi (2006) juga menjelaskan, lama paparan berkaitan dengan jumlah jam kerja yang dihabiskan pekerja di area kerja. Semakin lama pekerja menghabiskan waktu untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula paparan debu di terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru juga akan lebih besar, tetapi hal itu juga tergantung dari konsentrasi debu yang ada di area kerja dan mekanisme clearance dari masing-masing individu, kadar partikel debu dan kerentanan individu 2.5.3 Riwayat Penyakit Guyton & Hall dalam Anugrah (2014) menyatakan bahwa keadaan seperti tuberkulosis, emfisema, asma, kanker paru dan pleuritis fibrosa semuanya dapat menurunkan kapasitas vital paru. Riwayat penyakit meliputi antara lain permulaan timbul gejala-gejala, gejala sewaktu penyakit dini, perkembangan penyakit selanjutnya, hubungan dengan pekerjaan, dll (Suma’mur, 1996). 2.5.4 Riwayat Pekerjaan Riwayat kerja dapat digunakan untuk mengetahui adanya kemungkinan bahwa salah satu faktor di tempat kerja atau dalam pekerjaan dapat mengakibatkan penyakit seperti adanya debu yang dihasilkan oleh penanganan, penghancuran, penggerindaan, tumbukan cepat dan peledakan (Suma’mur, 1996). Riwayat pekerjaan dapat menggambarkan apakah pekerja pernah terpapar
31
dengan pekerjaan berdebu, hobi, pekerjaan pertama, pekerjaan pada musimmusim tertentu, dll (Ikhsan, 2002). 2.5.5 Penggunaan Masker Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat, peralatan dan lingkungan kerja sangat perlu diutamakan (Suma’mur, 1996). Alat pelindung diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja dari bahaya di tempat kerja (Nedved, 1991). Sebagai usaha terakhir dalam usaha melindungi tenaga kerja, APD haruslah enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap bahaya (Nedved, 1991). Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Pekerja yang taat menggunakan masker saat bekerja akan meminimalkan jumlah paparan partikel yang dapat terhirup (Budiono, 2007). Suma’mur (1996) menjelaskan, penggunaan alat pelindung diri masker berkaitan dengan banyaknya partikulat yang tertimbun di dalam organ paru akibat pencemaran yang dapat mengurangi kemampuan fungsi paru, dengan menggunakan alat pelindung diri masker maka dapat mencegah menumpuknya partikulat pencemar dalam organ paru sehingga akan mengurangi terjadinya penurunan fungsi paru. Adapun masker yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah (OSHA, 2007):
32
No.
1.
2.
3.
4.
Tabel 2.4 Jenis dan Gambar Masker Jenis Masker Single-strap dust masks, tidak dapat digunakan untuk melindung dari bahaya lingkungan. Namun, dapat digunakan untuk melindungi dari serbuk sari atau allergen lainnya.
Approved filtering facepieces (masker debu), dapat digunakan untuk debu, uap, asap pengelasan, dll.
Respirator setengah wajah, dapat digunakan untuk perlindungan terhadap sebagian besar uap, gas asam, debu atau asap pengelasan. Cartridge / filter harus sesuai kontaminan dan diganti secara berkala. Respirator seluruh wajah, lebih protektif dari respirator setengah wajah. Dapat digunakan untuk perlindungan terhadap sebagian besar uap, gas asam, debu atau asap pengelasan. Pelindung wajah untuk melindungi wajah dan mata dari iritasi dan kontaminan. Cartridge / filter harus sesuai kontaminan dan diganti secara berkala.
Gambar
Gambar 2.2 Single-strap dust masks Sumber: www.osha.gov
Gambar 2.3 Masker debu Sumber: www.osha.gov
Gambar 2.4 Respirator setangah wajah Sumber: www.osha.gov
Gambar 2.5 Respirator seluruh wajah Sumber: www.osha.gov
2.5.6 Kebiasaan Merokok Merokok adalah salah satu faktor yang mempengaruhi fungsi paru, salah satunya adalah kapasitas vital paru. Merokok dapat menyebabkan perubahan struktur dan fungsi saluran pernapasan dan jaringan paru-paru. Pada saluran napas besar, sel mukosa membesar dan kelenjar mukus bertambah banyak. Pada saluran pernapasan kecil, terjadi radang ringan hingga penyempitan akibat bertambahnya sel penumpukan lendir. Pada jaringan paru terjadi peningkatan jumlah sel radang dan kerusakan alveoli. Akibat perubahan anatomi saluran
33
napas, pada perokok akan timbul perubahan fungsi paru-paru dan segala macam perubahan klinisnya (Depkes RI, 2003). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mengkidi (2006), menyatakan bahwa ada hubungan yang bermakana antara kebiasaan merokok dengan gangguan fungsi paru pada seluruh pekerja di PT. Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan. Hasil ini sejalan dengan hasil penelitian Prasetyo (2010) yang menjelaskan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kebiasaan merokok dengan penurunan kapasitas vital paru. Berdasarkan penelitian Bajentri AL, dkk (2003), membuktikan bahwa merokok dengan jangka waktu 2-5 tahun dengan rata-rata 10 batang per hari terdapat hasil yang signifikan terhadap penurunan fungsi paru salah satunya adalah kapasitas vital paru dan cenderung menyebabkan penyempitan pada saluran udara. 2.5.7 Kebiasaan Olahraga Adanya hubungan timbal balik antara kapasitas paru dan olahraga. Gangguan pada paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga sebaliknya olahraga yang teratur dapat meningkatkan kapasitas paru (Sahab, 1997). Olahraga dapat meningkatkan aliran darah melalui paru-paru sehingga menyebabkan oksigen dapat berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume yang lebih besar atau maksimum (Prasetyo, 2010). 2.6
Kondisi Lingkungan Yang Memengaruhi Kapasitas Vital Paru Variabel kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi pemajanan debu
adalah sebagai berikut:
34
1. Suhu Udara Suhu yang menurun pada permukaan bumi dapat menyebabkan peningkatan kelembaban udara relatif sehingga akan meningkatkan efek korosif bahan pencemar di daerah yang udaranya tercemar. Pada suhu yang meningkat akan meningkat pula kecepatan reaksi suatu bahan kimia (Mukono, 2003). Pernyataan ini sesuai dengan Permenkes (2012) yang menjelaskan bahwa suhu udara yang lebih tinggi dapat meningkatkan pembentukan polutan udara. Selain berpengaruh terhadap polutan, suhu juga memengaruhi paru. Ikhsan, dkk (2010) menjelaskan bahwa suhu yang ekstrim baik dingin maupun panas saat terjadinya perubahan polusi udara, perubahan alergen dan hujan debu berpotensi menyebabkan penyakit respirasi baik jangka pendek maupun jangka panjang. Menurut Donaldson dkk (1999), penurunan fungsi paru-paru dapat disebabkan oleh peningkatan peradangan saluran napas ketika suhu rendah. Suhu lingkungan rendah dapat bertindak secara langsung melalui aktivasi sitokin untuk menginduksi perubahan inflamasi (peradangan) saluran napas. Faktor mekanik juga dapat terlibat sebagai suhu dingin yang akan menyebabkan peningkatan vasokonstriksi dan perpindahan perifer darah pusat sehingga dapat mengurangi kapasitas paru-paru. Penelitian ini telah menunjukkan bahwa lingkungan yang dingin dikaitkan dengan penurunan nilai spirometri. Penurunan fungsi paru akan semakin memburuk selama cuaca dingin dan dapat menyebabkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
35
Suhu tinggi juga dapat memperburuk sistem pernapasan. Menurut Healthcommunities (2013), menghirup udara panas dapat memperburuk gangguan pernapasan seperti PPOK dan meningkatkan peradangan saluran napas. Paparan panas dapat memicu respon pernapasan seperti terjadinya bronkospasme karena menghirup udara panas sehingga menyebabkan kesulitan bernapas dan sesak napas. Menghirup udara panas juga dapat memperburuk infeksi pernafasan, beberapa di antaranya dapat disebabkan oleh serbuk sari atau jamur. Para peneliti menunjukkan bahwa gangguan termoregulasi juga mungkin memainkan peran parsial dalam menanggapi respon panas pada pernapasan Ketika tubuh tidak dapat mendinginkan diri, hasilnya adalah hipertermia, yang mencakup berbagai penyakit panas seperti heat stress, heat exhaustion dan heat stroke. Hipertermia dapat menyebabkan denyut jantung yang cepat dan meningkatkan aliran darah ke kulit. Akibatnya tubuh menuntut lebih banyak oksigen karena bekerja untuk tetap dingin yang dapat menyebabkan penurunan kapasitas paru-paru. Hal ini dapat mengakibatkan pernapasan abnormal cepat atau dalam yang disebut hiperpnea (Healthcommunities, 2013). Namun, apabila seseorang tinggal di daerah dengan suhu rata-rata tinggi respon termoregulasi orang tsb dapat menyesuaikan diri dengan cuaca panas. Hal ini disebabkan karena kemampuan tubuh untuk termogulasi membaik dengan paparan panas berulang, sedangkan orang-orang tidak terbiasa dengan suhu tinggi akan sulit beradaptasi sehingga dapat mengalami gangguan pernapasan (Healthcommunities, 2013).
36
2. Kelembaban Udara Kelembaban udara menyatakan banyaknya uap air di dalam udara. Dalam klimatologi untuk menunjukkan kelembaban udara adalah kelembaban relatif. Kelembaban relatif adalah tekanan parsial dari uap air dalam udara dibagi dengan tekanan uap air pada suhu yang sama, dinyatakan sebagai persentase (Young, 2002). Menurut Mukono (2003), kelembaban udara relatif rendah (<60%) di daerah tercemar SO2, akan mengurangi efek korosif dari bahan kimia tsb. Pada kelembaban relatif lebih atau sama dengan 80% di daerah tercemar SO2, akan terjadi peningkatan efek korosif SO2 tsb. Udara yang lembab menyebabkan bahan pencemar berbentuk partikel dapat berikatan dengan air di udara sehingga membentuk partikel yang berukuran lebih besar. Partikel tersebut mudah mengendap. Kelembaban yang tinggi di lingkungan kerja secara tidak langsung dapat menghambat sirkulasi udara. Kelembaban udara yang relatif rendah yaitu kurang dari 20% dapat menyebabkan kekeringan selaput lendir membran. Sedangkan kelembaban yang tinggi dapat meningkatkan pertumbuhan mikroorganisme dan pelepasan formaldehid dari material bangunan (Suma’mur, 1996). Menurut Heatlhcare Inc. (2005), kelembaban tinggi merupakan penyebab meningkatnya keluhan sesak napas yang merupakan gejala terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Ada beberapa kemungkinan penjelasan untuk fenomena ini. Pertama, karena kelembaban udara meningkat maka densitas atau massa jenis udara meningkat dan menggangu sirkulasi udara atau menyebabkan sedikitnya aliran yang terjadi di udara. Hal ini kemudian mengakibatkan peningkatan saluran dan kerja napas sehingga menimbulkan
37
sesak napas sehingga dapat menurunkan kapasitas vital paru. Penjelasan lainnya adalah ketika kelembaban udara meningkat maka jumlah alergen udara ikut meningkat sehingga dapat mempengaruhi sistem pernapasan. Menurut Suma’mur (1996) kelembaban lingkungan kerja yang tidak memberikan pengaruh kepada kesehatan pekerja berkisar antara 40%-60%. 2.7
Pencegahan Terhadap Gangguan Kesehatan dan Daya Kerja Menurut Suma’mur (1996), gangguan kesehatan dan daya tahan kerja
akibat berbagai faktor pekerjaan bisa dihindari apabila pekerja dan pimpinan perusahaan ada kemauan baik untuk mencegahnya. Tentu perundang-undangan tidak akan ada faedahnya apabila pimpinan perusahaan tidak melaksanakan ketetapan perundang-undangan yang berlaku dan juga para pekerja tidak mengambil peranan penting dalam menghindarkan gangguan tersebut: Cara-cara mencegah gangguan tersebut adalah: 1. Substitusi, yaitu mengganti bahan berbahaya dengan bahan yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali. 2. Ventilasi umum, yaitu mengalirkan udara berdasarkan perhitungan dalam ruang kerja agar kadar dari bahan-bahan berbahaya seperti debu menjadi lebih rendah dari kadar nilai ambang batas (NAB). 3. Isolasi, yaitu megisolasi operasi atau proses yang merupakan sumber debu agar tidak tersebar. 4. Alat pelindung diri, yaitu upaya perlindungan kepada pekerja agar terlindung dari risiko dan bahaya kerja seperti terpapar debu. Misalnya: masker, kacamata, sarung tangan, sepatu, topi, dll.
38
5. Pemeriksaan kesehatan sebelum kerja, yaitu pemeriksaan kesehatan kepada calon pekerja untuk mengetahui cocok atau tidaknya pekerjaan yang diberikan baik secara fisik maupun mentalnya. 6. Pemeriksaan kesehatan berkala, digunakan sebagai evaluasi untuk mengetahui debu di lingkungan kerja yang dapat menimbulkan gangguan/kelainan pada pekerja atau tidak. 7. Pengarahan sebelum kerja, agar pekerja mengetahui dan menaati peraturan sehingga lebih berhati-hati dalam bekerja. 8. Pendidikan tentang kesehatan dan keselamatan kepada pekerja secara kontinu, agar pekerja tetap waspada dalam menjalankan pekerjaannya. Setelah semua usaha pencegahan dilakukan secara maksimal, dan jika masih terdapat debu dari proses tersebut, maka barulah dilakukan pengendalian atau pengontrolan terhadap debu tersebut. HSP (2011) menjelaskan beberapa teknik pengendalian yang dapat dilakukan adalah seperti 1. Dust collection systems, yaitu menggunakan prinsip ventilasi untuk menangkap debu dari sumbernya. Debu disedot dari udara dengan menggunakan pompa dan dialirkan kedalam dust collector, kemudian udara bersih dialirkan keluar. 2. Wet Dust Suppression Systems, yaitu dengan menggunakan cairan untuk membasahi bahan yang dapat menghasilkan debu tersebut sehingga bahan tersebut tidak cenderung menghasilkan debu. Cairan yang banyak digunakan adalah air atau bahan kimia yang dapat mengikat debu. 3. Airborne Dust Capture Through Water Sprays, yaitu menyemprot debudebu yang timbul pada saat proses dengan menggunakan air atau bahan
39
kimia pengikat. Semprotan harus membentuk partikel cairan yang kecil (droplet) sehingga bisa menyebar di udara dan mengikat debu yang berterbangan sehingga debu dapat mengendap atau turun ke bawah. Pada pengendalian yang menggunakan cairan atau melakukan penyiraman pada sumber debu, penggunaan nozzle sangat penting untuk mengoptimalkan proses penyiraman. Berikut adalah jenis nozzle menurut OSHA (1987):
No.
1.
2.
3.
Tabel 2.5 Jenis dan Gambar Nozzle Jenis Nozzle Solid-cone nozzle, menghasilkan daya semprot dengan kecepatan tinggi ketika nozzle terletak jauh dari lokasi pengontrolan debu
Hollow-cone nozzle, menghasilkan daya semprot dalam bentuk cincin melingkat. Nozzle ini berguna untuk proses yang menghasilkan debu yang tersebar luas.
Gambar
Gambar 2.6 Solid-cone nozzle Sumber: www.osha.gov
Gambar 2.7 Hollow-cone nozzle Sumber: www.osha.gov
Flat-spray nozzle, menghasilkan butiran relatif besar. Nozzle ini biasa digunakan pada wet dust suppression systems. Gambar 2.8 Flat-spray nozzle Sumber: www.osha.gov
4.
Fogging nozzle, menghasilkan uap yang sangat halus. Nozzle ini biasa digunakan pada airborne dust control systems. Gambar 2.9 Fogging nozzle Sumber: www.osha.gov
40
2.8
Kerangka Teori Kerangka teori diperoleh dari hasil modifikasi berbagai sumber.
Pudjiastuti (2002), Suma’mur (1996), Price (1995), Mukono (2003), dan Sukarman (1978) menyatakan bahwa debu dapat tertimbun dalam paru-paru dan berpengaruh terhadap kapasitas vital paru. Untuk faktor karakteristik individu diketahui bahwa masa kerja (Suma’mur (1996) dan Sirait (2010)), lama paparan (Mengkidi, 2006), penggunaan masker (Budiono (2007) dan Suma’mur (1996)), riwayat peyakit dan riwayat pekerjaan (Suma’mur, 1996), kebiasaan merokok (Depkes RI, 2003), dan kebiasaan olahraga (Sahab, 1997) juga memengaruhi terjadinya penurunan kapasitas vital paru. Kondisi lingkungan yang dapat memengaruhi pemajanan debu yaitu suhu udara (Donaldson (1999) dan Healthcommunitties (2013)), kelembaban udara (Heatlhcare Inc. (2005) dan Suma’mur (1996)).Berdasarkan hasil dari modifikasi tersebut dapat digambarkan sebuah kerangka teori sebagai berikut:
41
Kondisi lingkungan: 1. Kelembaban udara1,2 2. Suhu udara2,3 Kadar debu PM1,0 dan
Kapasitas vital paru
PM2,54,3,5,6,7 Karakteristik individu: 1. Masa kerja5,9 2. Lama paparan10 3. Riwayat penyakit5 4. Riwayat pekerjaan5 5. Penggunaan masker5, 11 6.
Kebiasaan merokok12
7. Kebiasaan olahraga13 Gambar 2.10 Kerangka Teori Sumber : 1Donaldson (1999), 2Healthcommunitties (2013), 3Heatlhcare Inc. (2005), 4Pudjiastuti (2002), 5Suma’mur (1996), 6Price (1995), 7Mukono (2003), 8Sukarman (1978), 9Sirait (2010), 12
Depkes RI (2003), 13Sahab (1997).
10
Mengkidi (2006),
11
Budiono (2007),
BAB III KERANGKA KONSEP
3.1
Kerangka Konsep
Kondisi lingkungan: 1. Suhu udara 2. Kelembaban udara 3. Kadar debu PM1,0 dan PM2,5
Kapasitas vital paru
Karakteristik individu: 1. Masa kerja 2. Lama paparan 3. Penggunaan masker Gambar 3.1 Kerangka Konsep Dalam kerangka konsep penelitian ini, peneliti ingin mengetahui kondisi lingkungan yang berhubungan dengan kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015. Pada penelitian ini yang menjadi variabel independen adalah kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu udara, kelembaban udara, masa kerja, lama paparan, dan penggunaan masker, sedangkan variabel dependennya adalah kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split. Variabel yang tidak diteliti adalah kebiasaan merokok karena merokok otomatis menurunkan kapasitas vital paru, kebiasaan olahraga karena seluruh pekerja rutin melakukan olahraga setiap seminggu sekali sehingga akan bersifat homegen, riwayat pekerjaan karena sudah terwakili oleh masa kerja
42
43
dimana sebagian pekerja baru mulai pertama kali bekerja sehingga tidak memiliki riwayat pekerjaan, riwayat penyakit karena sudah dilakukan screening terlebih dahulu kepada pekerja yang akan menjadi sampel sebab seseorang yang mengalami penyakit saluran pernapasan secara otomatis menurunkan nilai KVP.
44
3.2
Definisi Operasional Tabel 3.1 Definisi Operasional
No.
Variabel
Definisi
1.
Kapasitas vital paru
Total jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum
2.
Kadar debu Partikel padat berukuran PM1,0 1,0 mikron yang dihasilkan dari kegiatan pengolahan baru split
3.
Kadar debu Partikel padat berukuran PM2,5 2,5 mikron yang dihasilkan dari kegiatan pengolahan baru split
4.
Suhu udara
Cara ukur
Alat ukur
Hasil ukur
Pengukuran menggunakan alat spirometer oleh badan teknis khusus dan kuesioner
Spirometer
Pengukuran menggunakan alat EPAM pada 3 lokasi pengolahan selama 45 menit berdasarkan interval waktu
EPAM-5000
1. Tidak normal (adanya Restriktif, Obstruktif, Mixed) 2. Normal (Permenaker No. 25/MEN/XII/2008) 1. Tidak memenuhi syarat NAB (> 2 mg/m3) 2. Memenuhi syarat 3 NAB (≤ 2 mg/m ) (Permenaker No. 13/MEN/X/2011) mg/m3
Pengukuran EPAM-5000 menggunakan alat EPAM pada 3 lokasi pengolahan selama 45 menit berdasarkan interval waktu Derajat panas atau dingin Pengukuran Thermohygro di lingkungan kerja menggunakan alat meter digital thermohygrometer HTC-2 digital
o
C
Skala ukur Ordinal
Ordinal
Rasio
Rasio
45
5.
Kelembaban udara
6.
Masa kerja
7.
Lama paparan
8.
Penggunaan masker
Derajat basah udara berbentuk gas di lingkungan kerja yang dinyatakan dalam persen (%) Lamanya pekerja bekerja, yaitu mulai bekerja sampai saat wawancara dilakukan. Lamanya seseorang berada di lingkungan kerja dalam sehari Penggunaan bahan penutup hidung berupa masker sebagai alat pelindung diri dari debu terhirup.
Pengukuran Thermohygro menggunakan alat meter digital thermohygrometer HTC-2 digital Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Kuesioner
Observasi
Lembar observasi
%
1. > 5 tahun 2. ≤ 5 tahun (Khumaidah, 2009) 1. > 8 jam/hari 2. ≤ 8 jam/hari (UU No. 13 Tahun 2003) 1. Tidak menggunakan 2. Menggunakan
Rasio
Ordinal
Ordinal
Ordinal
46
3.3 1.
Hipotesis Adanya hubungan antara kadar debu PM1,0 terhadap kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
2.
Adanya hubungan antara masa kerja terhadap kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
3.
Adanya hubungan antara lama paparan terhadap kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
4.
Adanya hubungan antara penggunaan masker terhadap kapasitas vital paru pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015.
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1
Desain studi Penelitian ini menggunakan desain studi cross sectional yaitu suatu
penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor risiko dengan efek melalui pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach) (Notoatmodjo, 2010). Artinya, data yang menyangkut variabel bebas dan variabel terikat akan dikumpulkan dalam waktu yang bersamaan. Variabel bebas yang diteliti adalah kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu udara, kelembaban udara, masa kerja, lama paparan, dan penggunaan masker sedangkan variabel terikat yang diteliti yaitu kapasitas vital paru pada pekerja tambang batu split. 4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini di pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon. 4.2.2 Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada Juni-Oktober 2015. 4.3
Populasi dan Sampel Penelitian Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas subyek atau obyek
dengan kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulan, sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi (Sangadji, Etta Mamang,
47
48
2010). Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pekerja pengolahan batu PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon sebanyak 62 pekerja. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah total populasi yang merupakan teknik penentuan sampel dimana seluruh anggota populasi digunakan sebagai sampel sehingga didapatkan sampel sebesar 24 pekerja berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Dibawah ini adalah perhitungan kekuatan uji yang dihitung berdasarkan rumus uji hipotesis beda dua proporsi: [
⁄ √
√
]
Keterangan: n
: Jumlah besar sampel = 24 sampel
P1
: Proporsi pada variabel kadar debu total dengan gangguan fungsi paru sebesar 0,654 dari penelitian terdahulu (Budiono, 2007)
P2
: Proporsi pada variabel kadar debu total dengan gangguan fungsi paru sebesar 0,211 dari penelitian terdahulu (Budiono, 2007)
Q1
: 1-P1
Q2
: 1-P2
P
: Rata-rata proporsi [
Q
: 1-P ⁄
]
: Derajat kemaknaan, α pada dua sisi (two tail) yaitu sebesar 5% = 1,96 : Kekuatan uji 1-β, didapatkan hasil yaitu 88,55% Berdasarkan perhitungan uji hipotesis beda dua proporsi, didapatkan
kekuatan uji 1-β sebesar 88,55%.
49
4.4
Kriteria Inklusi dan Eksklusi
4.4.1. Kriteria Inklusi Kriteria inklusi adalah syarat yang harus dipenuhi responden agar dapat menjadi sampel penelitian. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah 1. Pekerja dalam keadaan sehat dan terbebas dari penyakit pernapasan dan paru seperti asma, emfisema, bronkitis, pneumonia, alergi saluran pernapasan, dll. 2. Pekerja tidak merokok atau merokok namun tidak melebihi jangka waktu 5 tahun. 4.4.2. Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi adalah mengeluarkan responden yang memenuhi kriteria inklusi dari penelitian karena alasan tertentu. Kriteria eksklusi pada penelitian ini adalah pekerja menolak berpartisipasi dalam penelitian. 4.5
Instrumen Penelitian Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah
spirometer, EPAM-5000, thermohygrometer digital HTC-2, dan kuesioner. 1. Spirometer digunakan untuk mengukur fungsi paru pekerja. 2. EPAM-5000 untuk mengukur kadar debu di lingkungan pekerja. 3. Thermohygrometer digital untuk mengukur kelembaban dan suhu udara di lingkungan pekerja. 4. Kuesioner digunakan untuk mendapatkan data pribadi pekerja. 5. Lembar observasi digunakan untuk mendapatkan data penggunaan masker pada pekerja.
50
4.5
Sumber Data Data yang dikumpulkan bersumber dari data primer yang diperoleh dari
hasil pengukuran terhadap variabel yang akan diteliti langsung. Data primer yang dikumpulkan adalah kapasitas vital paru, kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu, kelembaban, masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker. 4.6
Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan merupakan data primer yang diperoleh langsung
melalui: 1. Pengukuran kapasitas vital paru Pengukuran kapasitas vital paru pada pekerja dilakukan dengan menggunakan alat spirometer. Adapun cara pengukuran kapasitas paru adalah sebagai berikut: a. Hidupkan spirometer dengan menekan tombol ON b. Lakukan kalibrasi untuk menjamin validitas hasil pengukuran c. Masukan nama dan data pekerja (tanggal lahir, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan ras). d. Tekan tombol START untuk memulai pengukuran e. Pekerja diminta untuk melakukan inspirasi maksimal kemudian lakukan ekspirasi maksimal ke dalam spirometer f. Tekan tombol STOP untuk menghentikan pengukuran g. Hasil pengukuran dapat dilihat dari spirogram yang telah di cetak (BTL-08 Spiro Instruction Manual) 2. Pengukuran kadar debu PM1,0 dan PM2,5 di lingkungan kerja Pengukuran debu dilakukan dengan menggunakan EPAM-5000 yaitu monitor partikulat portabel berbasis mikroprosesor yang menggunakan
51
hamburan cahaya untuk mengukur konsentrasi partikel dan memberikan langsung real-time penentuan dan rekaman data konsentrasi partikel udara dalam miligram per meter kubik (mg/m3). Pengukuran kadar debu dilakukan di tiga lokasi pengolahan batu split. Untuk pengambilan sampel debu dilakukan secara representatif dari standar pengukuran yang ditetapkan oleh NIOSH Manual of Analytical Methods (NMAM) tahun 1998 yaitu 45 menit – 8 jam. Waktu pengukuran dilakukan selama 45 menit pada setiap interval waktu pengukuran sebagai berikut: a. Siang
: 10.00 – 14.00
b. Sore
: 14.00 – 18.00
c. Malam
: 18.00 – 22.00
(Permen LH No. 12 Tahun 2010) Langkah pengukuran dengan menggunakan EPAM-5000 adalah sebagai berikut: a. Menekan tombol ON/OFF untuk menyalakan monitor EPAM b. Mengecek kondisi baterai c. Melakukan kalibrasi dengan menggunakan Flow Audit Meter atau tes laju alir udara dengan menunjukkan hasik 4 Lpm d. Melakukan pengaturan alat untuk waktu, alarm, ukuran partikulat, dll. e. Melakukan manual zero f. Menekan tombol Run untuk pengambilan sampling g. Hasil pengukuran dapat dilihat di monitor
52
(Standar Operasional Prosedur, Laboratorium HOC FKIK UIN Jakarta) 3. Pengukuran suhu dan kelembaban udara di lingkungan kerja Pengukuran suhu dan kelembaban udara dilakukan dengan menggunakan alat thermohygrometer digital. Adapun cara pengukuran suhu dan kelembaban udara adalah sebagai berikut: a. Masukan baterai dan alat akan hidup secara otomatis b. Letakkan alat pada lokasi pengukuran dengan keadaan berdiri c. Alat akan otomatis mengukur suhu dan kelembaban udara di lokasi pengukuran d. Tunggu kurang lebih 10 menit hingga pengukuran konstan e. Hasil pengukuran dapat dilihat di monitor 4. Kuesioner Kuesioner mencakup daftar pertanyaan untuk memperoleh data pendukung dari pekerja. 5. Lembar observasi Lembar observasi berupa lembar checklist untuk memperoleh data penggunaan masker pada pekerja. 4.6
Pengolahan Data Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam mengolah data primer dari
variabel dependen dan variabel independen adalah sebagai berikut: 1. Data Editing Penyuntingan data terlebih dahulu setelah data terkumpul untuk memastikan kelengkapan data hasil pengukuran debu, kelembaban, suhu,
53
hasil pemeriksaan spirometri, kuesioner dan lembar observasi sehingga apabila data belum lengkap dapat ditelusuri kembali kepada responden yang bersangkutan. 2. Data Coding Proses pengklasifikasian data melalui tahap coding sesuai dengan tujuan dikumpulkannya data sehingga mempermudah proses pengolahan data selanjutnya. Data yang akan di coding yaitu: a. Kapasitas vital paru: data responden yang memiliki kapasitas vital paru yang tidak normal diberi kode (1) dan normal diberi kode (2). b. Kadar debu PM1,0: kadar debu yang tidak memenuhi syarat NAB (> 2 mg/m3) diberi kode (1) dan memenuhi syarat NAB (≤ 2 mg/m3) diberi kode (2). c. Masa kerja: data repsponden yang > 5 tahun diberi kode (1) dan ≤ 5 tahun diberi kode (2). d. Lama paparan: data responden yang > 8 jam diberi kode (1) dan ≤ 8 jam diberi kode (2). e. Penggunaan masker: data observasi pekerja yang tidak menggunakan masker diberi kode (1) dan menggunakan masker yang diberi kode (2). 3. Data Entry Memasukkan data dari masing-masing responden yang sudah berbentuk kode pada tiap variabel ke software statistik yang digunakan untuk selanjutnya dilakukan analisis data. 4. Data Cleaning
54
Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk melihat tidak adanya kesalahan atau ketidaklengkapan pada data sehingga data dapat di olah dan di analisis. 4.7
Analisis Data 1. Analisis Univariat Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan presentasi dari tiap variabel. Variabel dependen pada penelitian ini yaitu kapasitas vital paru, sedangkan variabel independen pada penelitian ini adalah adalah lama paparan, masa kerja, suhu udara, kelembaban udara, penggunaan masker, kadar debu PM1,0 dan PM2,5. 2. Analisis Bivariat Digunakan untuk melihat hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dalam penelitian. Analisis bivariat ini menggunakan uji chi square. Uji chi square digunakan untuk melihat hubungan antara kadar debu PM1,0, masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker dengan kapasitas vital paru. Jika nilai p<0,05 maka dinyatakan terdapat hubungan yang signifikan antara variabel tersebut.
BAB V HASIL
5.1
Gambaran Umum PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon PT. Indonesia Putra Pratama didirikan tanggal 9 November 2005
berdasarkan akte notaris Sumpayo, SH dan telah diratifikasi oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia nomor C-006682HT.01.01 tahun 2006. Sebagai aktivator dan kontributor dalam membangun infrastruktur dan ekonomi Indonesia, PT. IPP fokus kepada penambangan batu andesit kelas C dan memiliki izin usaha pertambangan (IUP) nomor 540/Kep.28/IUP/BPTPM/2012 dengan lokasi pertambangan di Desa Margasari, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten Bojonegoro-Cilegon, Provinsi Banten. Kebutuhan akan batu split yang semakin meningkat sebagai bahan baku pembangunan seperti pembangunan pelabuhan, bandara, gedung, rumah, kantor, jalan dan lainnya mendorong perusahaan untuk meningkatkan produksi hingga 1.000.000 m3 baru split per tahun dengan memperhatikan kualitas batu sesuai dengan standar kualitas nasional yang telah ditetapkan. Lokasi pertambangan di Desa Margasari, Kecamatan Pulo Ampel, Kabupaten Bojonegoro-Cilegon, Provinsi Banten dengan luas sekitar 152 hektar. 5.1.1 Visi dan Misi PT. Indonesia Putra Pratama 1. Visi Membangun dan mewujudkan infrastuktur dan fasilitas yang berguna untuk bangsa dan negara. (Realizing and development useful facilities and intrastructure for nation and state). 2. Misi
55
56
Menjadi perusahaan pertambangan dan pengolahan serta penyedia agregat dengan mengandalkan bahan batu konstruksi yang memenuhi syarat untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam pembangunan bangsa. (Becoming cruscher plant, quarry and aggregate supplier company with relied on qualified construction raw material in order to participate and play active role in nation development). 5.1.2 Gambaran Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1980, batu andesit termasuk ke dalam golongan bahan galian C atau dikenal dengan bahan galian industri yaitu semua jenis bahan galian yang biasanya dipakai sebagai bahan baku oeh perusahaan industri dan pembuatan bangunan-bangunan konstruksi. PT. Indonesia Putra Pratama memiliki tiga lokasi pengolahan (plant) dengan masing-masing luas sebesar 800 m3, 1.000 m3, dan 1.200 m3 yang dapat memroduksi batu split sekitar 3.000 m3 per hari. Adapun proses pengolahan batu split di PT. Indonesia Putra Pratama adalah sebagai berikut: Material awal berupa bongkahan batu andesit/ boldes dengan ukuran relatif besar dimasukkan ke dalam suatu corong yang kemudian batu dialirkan ke pemecahan primer dengan menggunakan conveyor belt. Pada pemecahan primer, batu dipecah menjadi batu dengan ukuran yang lebih kecil menggunakan alat jaw crusher. Setelah dipecah, batu dialirkan kembali menggunakan conveyor belt ke pemecahan sekunder. Pada proses ini, batu kembali dipecah menggunakan jaw crusher sehingga menghasilkan batu berukuran
kecil.
Selanjutnya,
dilakukan
proses
penyortiran
dengan
menggunakan mesin pengayak sehingga dihasilkan batu dengan berbagai tipe.
57
Tipe batu yang dihasilkan oleh PT. Indonesia Putra Pratama adalah sebagai berikut: Tabel 5.1 Tipe Batu Hasil Produksi PT. Indonesia Putra Pratama Tipe Batu Ukuran Batu Abu batu 0 -5 mm Screening 1.1 6 -12 mm Split 1.2 13 – 23 mm Split 2.3 24 – 31 mm Split 3.5 32 – 50 mm Split 5.7 51 – 70 mm Base Coarse A/B tergantung permintaan Bolder stone 100 mm Sirdam Ex crusher Setelah proses pemecahan selesai, batu split dikirim kepada pelanggan tanpa proses pengemasan dengan menggunakan kapal/ tongkang.
58
Bagan 5.1 Proses Pengolahan Batu Split di PT. Indonesia Putra Pratama Proses Pengolahan
Material awal
Keterangan
Material dasar adalah batu andesit/ boldes
Pemecahan primer
Batu dipecah menggunakan jaw crusher
Pemecahan sekunder
Batu dipecah lagi menjadi ukuran lebih kecil menggunakan jaw crusher
Penyortiran
Batu disortir menggunakan mesin pengayak
Batu split dengan berbagai ukuran Hasil batu
Pengiriman batu split ke pelanggan Pengiriman
Adapun proses yang banyak menghasilkan debu adalah proses pemecahan batu, baik pemecahan primer dan sekunder. Debu yang dihasilkan dari proses pengolahan ini merupakan debu yang melayang di udara (suspended particulate matter). Hal ini terjadi karena adanya proses pengolahan yang menjadikan batu menjadi abu batu dengan ukuran 0-5 mm. Debu yang dihasilkan dari proses pengolahan tentu berbahaya bagi pekerja. Oleh karena itu, PT. Indonesia Putra Pratama melakukan pengendalian berupa wet dust suppression systems dengan
59
kategori plain water sprays yaitu dengan menggunakan air untuk membasahi bahan yang dapat menghasilkan debu sehingga bahan tersebut cenderung tidak menghasilkan debu. Batu
pada proses
pemecahan dibasahi
menggunakan air untuk
meminimalisir debu yang dihasilkan. Penyiraman ini dilakukan pada proses pemecahan batu, baik pemecahan primer dan sekunder, yang berlangsung selama proses pemecahan berjalan. Berdasarkan penuturan pekerja dilapangan, penyiraman yang dilakukan cukup efektif untuk meminimaliris debu yang ada dibandingkan ketika tidak dilakukan penyiraman. Hal ini dikaitkan dengan berkurangnya keluhan batuk dan sesak napas yang dialami pekerja saat dilakukannya penyiraman dibandingkan dengan tidak dilakukannya penyiraman.
Gambar 5.1 Penyiraman Pada Proses Pemecahan Batu Namun, dari hasil pengamatan diketahui bahwa penyiraman yang dilakukan belum optimal dikarenakan tidak adanya nozzle pada ujung selang yang digunakan untuk penyiraman. Nozzle sangat penting pada sistem penyiraman. Nozzle yang biasa digunakan pada wet dust suppression systems adalah flat-spray nozzles karena dapat menghasilkan butiran air lebih besar
60
sehingga penyiraman lebih optimal. Oleh karena itu, perusahaan disarankan untuk menggunakan nozzle pada ujung selang yang digunakan untuk melakukan penyiraman sehingga penyiraman lebih optimal dan dapat lebih meminimalisir debu yang dihasilkan.
Gambar 5.2 flat-spray nozzles Sumber: www.osha.gov 5.2
Gambar 5.3 wet dust suppression systems Sumber: www.osha.gov
Analisis Univariat
5.2.1 Gambaran Kapasitas Vital Paru (KVP) Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Kapasitas vital paru pada pekerja dalam penelitian ini diketahui melalui hasil pengukuran spirometri dari Laboratorium Biomed Cilegon. Berikut ini adalah gambaran pengukuran kapasitas vital paru pekerja PT. Indonesia Putra Pratama: Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Kapasitas Vital Paru Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Kapasitas Vital Paru Jumlah Presentase (%) Tidak normal 5 20,8 Normal 19 79,2 Total 24 100 Berdasarkan tabel 5.2 diperoleh hasil distribusi kapasitas vital paru dari 24 pekerja pengolahan batu split yang memiliki KVP tidak normal sebanyak 5 pekerja (20,8%).
61
5.2.2 Gambaran Kadar Debu PM1,0 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Kadar debu PM1,0 diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di area pengolahan batu split. Area pengolahan terdiri dari tiga tempat, yaitu plant 1, plant 2 dan plant 3. Pengukuran kadar debu PM1,0 dilakukan selama 45 menit dengan menggunakan interval waktu, yaitu siang (10.00-14.00), sore (14.0018.00) dan malam (18.00-22.00). Berikut ini adalah gambaran kadar debu PM1,0 pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama: Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM1,0 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015 Kadar Debu PM1,0 Tidak memenuhi syarat NAB (> 2 mg/m3) Memenuhi syarat NAB (≤ 2 mg/m3)
Jumlah
Presentase (%)
17
70,8
7
29,2
24
100
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa 17 pekerja (70,8) dari 24 pekerja pengolahan batu split berada pada lingkungan kerja dengan kadar debu yang tidak memenuhi NAB. 5.2.3 Gambaran Kadar Debu PM2,5 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Kadar debu PM2,5 diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di area pengolahan batu split. Area pengolahan terdiri dari tiga tempat, yaitu plant 1, plant 2 dan plant 3. Pengukuran kadar debu PM1,0 dilakukan selama 45 menit dengan menggunakan interval waktu, yaitu siang (10.00-14.00), sore (14.0018.00) dan malam (18.00-22.00). Berikut ini adalah gambaran kadar debu PM2,5 pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama:
62
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Kadar Debu PM2,5 Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015 Kadar debu Area pengolahan Jumlah Pekerja Persentase (%) PM2,5 (mg/m3) Plant 1 2,76 9 37,5 Plant 2 2,67 7 29,2 Plant 3 2,16 8 33,3 Tabel 5.4 menunjukkan bahwa kadar debu PM2,5 yang ada di plant 1, 2 dan 3 sudah melebihi syarat NAB sehingga berisiko untuk menurunkan kapasitas vital paru. Kadar debu PM2,5 yang paling tinggi berada pada plant 1 dan pekerja yang terpapar debu paling banyak juga berada pada plant 1. Pengukuran kadar debu PM2,5 menunjukkan hasil yang homogen sehingga variabel kelembaban udara tidak dapat di analisis lebih lanjut. 5.2.4 Gambaran Suhu Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Suhu udara diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di area pengolahan batu split dengan menggunakan alat thermohygrometer. Berikut ini adalah gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama: Tabel 5.5 Distribusi Frekuensi Suhu Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015 Area pengolahan Suhu Udara (oC) Jumlah Pekerja Persentase (%) Plant 1 36,3 9 37,5 Plant 2 34,3 7 29,2 Plant 3 34,7 8 33,3 Tabel 5.5 menunjukkan bahwa suhu udara di plant 1, 2 dan 3 sudah melebihi syarat kesehatan yang ditentukan sehingga berisiko menurunkan kapasitas vital paru. suhu udara paling tinggi berada pada plant 1 dan pekerja paling banyak terpapar suhu tinggi juga berada di plant 1. Pengukuran suhu udara
63
menunjukkan hasil yang homogen sehingga variabel kelembaban udara tidak dapat di analisis lebih lanjut. 5.2.5 Gambaran Kelembaban Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Kelembaban udara diperoleh dari pengukuran yang dilakukan di area pengolahan batu split dengan menggunakan alat thermohygrometer. Berikut ini adalah gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama: Tabel 5.6 Distribusi Frekuensi Kelembaban Udara Pada Proses Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Thaun 2015 Kelembaban Area pengolahan Jumlah Pekerja Persentase (%) Udara (%) Plant 1 57 9 37,5 Plant 2 55 7 29,2 Plant 3 60 8 33,3 Tabel 5.6 menunjukkan bahwa kelembaban udara pada plant 1, 2 dan 3 relatif rendah sehingga tidak berisiko untuk menurunkan kapasitas vital paru. Pengukuran kelembaban udara menunjukkan hasil yang homogen sehingga variabel kelembaban udara tidak dapat di analisis lebih lanjut. 5.2.6 Gambaran Masa Kerja Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 dikategorikan menjadi lebih dari 5 tahun dan kurang dari 5 tahun. Berikut ini adalah gambaran masa kerja pada pekerja pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015:
64
Tabel 5.7 Distribusi Frekuensi Masa Kerja Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Masa Kerja Jumlah Presentase (%) > 5 tahun 7 29,2 ≤ 5 tahun 17 70,8 Total 24 100 Tabel 5.7 menunjukkan 7 pekerja (29,2) memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun. 5.2.7 Gambaran Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Lama paparan pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 dikategorikan menjadi kurang dari 8 jam dan lebih dari 8 jam. Berikut ini adalah gambaran lama paparan pada pekerja pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015: Tabel 5.8 Distribusi Frekuensi Lama Paparan Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Lama Paparan
n
Persentase (%)
> 8 jam ≤ 8 jam Total
21 3 24
87,5 12,5 100
Tabel 5.8 menunjukkan, 21 pekerja (87,5%) dari 24 pekerja pengolahan batu split terpapar lebih dari 8 jam. 5.2.8 Gambaran Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 dikategorikan menjadi menggunakan dan tidak menggunakan. Berikut adalah gambaran penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015:
65
Tabel 5.9 Distribusi Frekuensi Penggunaan Masker Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Penggunaan Masker n Persentase (%) Tidak Menggunakan 11 45,8 Menggunakan 13 54,2 Total 24 100 Tabel 5.9 menunjukkan 11 pekerja (45,8%) dari 24 pekerja pengolahan batu split tidak menggunakan masker. 5.3
Analisis Bivariat
5.3.1 Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Untuk mengetahui hubungan antara kadar debu PM1,0 di area pengolahan batu split dengan KVP dilakukan analisis uji statistik chi square dengan hasil sebagai berikut: Tabel 5.10 Hubungan Kadar Debu PM1,0 dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 KVP Total Kadar Debu PM1,0 Tidak Normal Normal Pvalue n % n % N % Tidak memenuhi syarat NAB (> 2 3 17,6 14 82,4 17 100 mg/m3) 0,61 Memenuhi syarat 2 28,6 5 71,4 7 100 NAB (≤ 2 mg/m3) Total 5 20,8 19 79,2 24 100 Tabel 5.10 menunjukkan bahwa 3 pekerja (17,6%) yang terpapar debu melebihi NAB memiliki KVP tidak normal. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0,61 yaitu lebih dari 0,05 sehingga dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar debu PM1,0 dengan KVP.
66
5.3.2 Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Untuk mengetahui hubungan antara masa kerja dengan KVP dilakukan analisis menggunakan uji chi square dengan hasil sebagai berikut:
Tabel 5.11 Hubungan Masa Kerja dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 KVP Total Masa Kerja Tidak Normal Normal Pvalue n % n % N % > 5 tahun 3 42,9 4 57,1 7 100 ≤ 5 tahun 2 11,8 15 88,2 17 100 0,13 Total 5 20,8 19 79,2 24 100 Tabel 5.11 menunjukkan bahwa 3 pekerja (42,9%) yang memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun memiliki KVP tidak normal. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0,13 yaitu lebih dari 0,05 sehingga tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan KVP. 5.3.3 Hubungan Lama Paparan dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Untuk mengetahui hubungan antara lama paparan dengan KVP dilakukan analisis menggunakan uji chi square dengan hasil sebagai berikut: Tabel 5.12 Hubungan Lama Paparan dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 KVP Total Lama Paparan Tidak Normal Normal Pvalue n % n % N % > 8 jam 5 23,8 16 76,2 21 100 ≤ 8 jam 0 0 3 100 3 100 1 Total 5 20,8 19 79,2 24 100 Tabel 5.14 menunjukkan sebanyak 5 pekerja (23,8%) dari 24 pekerja terpapar lebih dari 8 jam dan memiliki KVP tidak normal. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 1 yaitu lebih dari 0,05 sehingga dapat
67
dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama paparan dengan KVP. 5.3.4 Hubungan Penggunaan Masker dan KVP pada pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Hubungan antara penggunaan masker dengan KVP diketahui dengan melakukan analisis uji statistik chi square. Berikut ini adalah hasil analisis statistik yang telah dilakukan: Tabel 5.13 Hubungan Penggunaan Masker dan KVP pada pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 KVP Total Penggunaan Tidak Normal Pvalue OR 95% CI Masker Normal n % N % n % Tidak 5 45,5 6 54,5 11 100 Menggunakan 1,090,01 22,85 Menggunakan 0 0 13 100 13 100 478,83 Total 5 20,8 19 79,2 24 100 Berdasarkan tabel 5.15, sebanyak 5 pekerja (45,5) tidak menggunakan masker dan memiliki KVP tidak normal. Berdasarkan hasil uji statistik didapatkan nilai p sebesar 0,01 yaitu kurang dari 0,05. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara penggunaan masker dengan KVP. Dari hasil analisis diperoleh juga nilai OR=22,85, artinya pekerja yang tidak menggunakan masker berisiko 22,85 kali memiliki KVP tidak normal dibandingkan pekerja yang menggunakan masker. 95% CI yang didapatkan sebesar 1,09-478,83. Rentang 95% CI yang lebar terjadi dikarenakan jumlah sampel pada penelitian sedikit.
BAB VI PEMBAHASAN
6.1
Keterbatasan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti memiliki beberapa keterbatasan yaitu:
1. Pengukuran kondisi lingkungan (kadar debu, suhu, dan kelembaban) tidak dilakukan pada pagi hari. Hal ini terkait dengan jam kerja pada perusahaan yang tidak memungkinkan peneliti untuk melakukan pengukuran di pagi hari. 2. Terjadinya hujan saat pengukuran kadar debu sehingga mempengaruhi kadar debu yang diukur. Hujan cenderung melarutkan bahan polutan yang terdapat dalam udara sehingga dapat membersihkan atmosfer karena polutan mengendap lebih cepat. 3. Peneliti tidak meneliti kesesuaian jenis masker yang digunakan oleh pekerja saat berada dilingkungan kerja sehingga keefektifan penggunaan masker tidak dapat diteliti lebih lanjut. 6.2
Kapasitas Vital Paru Paru-paru mempunyai fungsi untuk melakukan pertukaran gas oksigen dan
karbon dioksida. Oksigen yang bersenyawa dengan karbon dan hidrogen dari jaringan, memungkinkan setiap sel melangsungkan proses metabolisme dan hasil proses yang berupa karbon dioksida dapat dikeluarkan dari dalam tubuh (Pearce, 2008). Kapasitas vital paru adalah total jumlah udara maksimum yang dapat dikeluarkan dengan kuat setelah inspirasi maksimum. Kapasitas vital paru didapatkan dari penambahan tidal volume (TV), volume cadangan inspirasi (VCI) dan volume cadangan ekspirasi (Tarwoto, 2009). Pengukuran KVP dapat 68
69
memberikan informasi yang berguna mengenai kekuatan otot-otot pernapasan dan aspek fungsi paru lainnya. Besarnya penyimpangan atau penurunan nilai yang di dapat dari pemeriksaan dapat menentukan paru seseorang dalam keadaan normal atau tidak (PDPI, 2013). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 24 orang pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama terdapat 20,8% pekerja memiliki KVP tidak normal dan sebanyak 79,2% pekerja memiliki KVP normal. Standar yang digunakan untuk menentukan tidak normalnya KVP ditentukan dari adanya restriksi, obstruksi atau campuran restriksi dan obstruksi pada paru. Hal ini sejalan dengan penelitian Agustanti (2003) yang menunjukkan bahwa kapasitas fungsi paru normal (72,42%) lebih banyak dibandingkan kapasitas fungsi paru tidak normal (27,59%) pada pekerja industri peleburan timah hitam di lingkungan industri kecil di Bugangan Baru Semarang. Selain itu, hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Aryuni dan Russeng (2014) yang menjelaskan bahwa pekerja di bagian Cement Mill PT.Semen Bosowa Maros memiliki kapasitas paru normal yaitu 63,6% lebih besar dibandingkan pekerja dengan kapasitas paru tidak normal sebanyak 36,4%. Hasil pengukuran yang didapatkan tidak bisa mendiagnosis penyakit yang berhubungan dengan paru, namun hasil tersebut dapat menjadi acuan untuk menjaga kesehatan terkait KVP. Hasil yang diperoleh dapat menjadi saran bagi pekerja untuk mulai menjaga kesehatan diri. Pada penelitian ini penurunan KVP dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor yang terkait dengan penurunan KVP antara lain
70
kadar debu PM1,0 dan PM2,5, suhu udara, kelembaban udara, masa kerja, lama paparan dan penggunaan masker dengan penjelasan dibawah ini. Hasil pengukuran kadar debu PM2,5, suhu udara dan kelembaban udara pada plant 1, 2 dan 3 hampir sama. Kadar debu PM2,5 dan suhu udara memiliki nilai tertinggi pada plant 1 dan kelembaban udara tertinggi berada di plant 3. Diketahui juga faktor yang berisiko menurunkan KVP yaitu kadar debu PM1,0 dengan hasil sebanyak 17 pekerja (70,8%) terpapar debu dengan NAB yang tidak memenuhi syarat. Faktor lainnya adalah banyaknya pekerja yang memiliki paparan lebih dari 8 jam dan berdasarkan hasil observasi, masih adanya pekerja yang tidak menggunakan masker saat berada di lingkungna kerja. Berdasarkan hasil pengukuran, dapat diketahui bahwa plant 1 memiliki kadar debu paling tinggi dibandingkan plant lainnya. Hal ini dapat disebabkan karena plant 1 memiliki suhu udara paling tinggi sebesar 36,3 oC dibandingkan suhu udara pada plant lainnya sehingga memepengaruhi kadar debu yang ada. Simaela (2000) menjelaskan bahwa semakin tinggi suhu udara, maka potensi debu untuk berada di udara semakin besar pula. Jenis debu yang ada di lokasi pengolahan batu split adalah SPM (Suspended Partikulate Matter) atau partikel debu yang melayang dan tetap berada di udara sehingga dengan tingginya suhu udara maka akan berbanding lurus dengan tinggi kadar debu di udara. Tidak adanya pohon di plant 1 juga menjadi penyebab tingginya kadar debu di plant tsb dibandingkan dengan plant 2 dan plant 3 karena masih terdapat pohon di sekitar plantnya. Konsentrasi debu dalam suatu lingkungan tergantung pada
jumlah
pohon.
Semakin
banyak
pohon,
maka
semakin
rendah
konsentrasinya. Hal ini disebabkan karena debu terserap dan terjerap secara
71
intensif oleh jumlah pohon yang banyak. Konsentrasi debu di bawah tajuk pohon lebih rendah daripada konsentrasi debu di luar tajuk pohon pada lingkungan yang jumlah pohonnya banyak. Sebaliknya konsentrasi debu tertinggi pada lingkungan dengan sedikit pohon terdapat di tempat pohon tersebut berada (Nurjazuli, 2010). Kecepatan angin juga dapat menjadi penyebab tingginya kadar debu. Pada plant 1, kecepatan angin cukup kencang dibandingkan dua plant lainnya. Hal ini dapat menjadikan debu-debu yang bersifat SPM (Suspended Partikulate Matter) atau partikel debu melayang yang ada di lokasi pengolahan batu split akan tetap berada di udara dalam waktu yang relatif lama. Gambaran suhu udara pada plant selama proses pengolahan batu split cenderung memiliki suhu yang tinggi. Suhu tinggi dapat terjadi karena penelitian berada pada musim peralihan antara musim kemarau dan musim hujan sehingga suhu udara masih cenderung tinggi. Dari hasil pengukuran suhu udara, diketahui terdapat perbedaan suhu di tiap plant. Menurut Ahrens (2008) variasi suhu udara dipengaruhi oleh ketinggian suatu tempat. Pada plant 2 dan plant 3 memiliki suhu udara yang lebih rendah dibandingkan plant 1. Hal ini dikarenakan lokasi pengolahan plant 1 lebih rendah dibandingkan dua plant lainnya sehingga memengaruhi suhu udara walaupun perbedaannya relatif kecil. Selain perbedaan ketinggian, pohon juga dapat memengaruhi suhu udara. Diketahui bahwa suhu udara plant 1 lebih tinggi dibandingkan plant lainnya. Tidak adanya pohon di sekitar plant 1 dapat menjadi penyebab tingginya suhu udara di plant tsb. Menurut NCSU, pohon dapat mengurangi suhu udara dengan menghalangi sinar matahari. Pendinginan lebih lanjut terjadi ketika air menguap dari permukaan daun dengan cara konversi air menjadi uap melalui proses kimia
72
untuk menghilangkan energi panas dari udara. Keadaan suhu yang tinggi, tentunya akan berkaitan dengan keadaan kelembaban di lokasi pengolahan batu split. Tingkatan suhu yang tinggi menjadikan keadaan kelembaban menjadi berkurang, begitu pun sebaliknya. Berdasarkan hasil observasi, diketahui masih banyaknya pekerja yang tidak menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja. Hal ini dapat menyebabkan penurunan KVP karena pekerja terpapar debu dalam waktu paparan yang lama tanpa perlindungan. Dari penuturan pekerja, alasan pekerja tidak menggunakan masker karena keengganan dari pekerja untuk mengunakan masker meskipun sudah diimbau oleh perusahaan untuk menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja. Selain itu, menurut pekerja masker yang disediakan kurang nyaman untuk dipakai dan mengganggu komunikasi antar pekerja. 6.3
Hubungan Kadar Debu PM1,0 Dan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Dalam kasus pencemaran udara, debu sering dijadikan salah satu indikator
pencemaran yang digunakan untuk menunjukan tingkat bahaya baik terhadap lingkungan maupun terhadap kesehatan dan keselamatan kerja. Partikel debu akan berada di udara dalam waktu yang relatif lama dalam keadaan melayang layang di udara kemudian masuk ke dalam tubuh manusia melalui pernapasan (Pudjiastuti, 2002). Debu berukuran 1 mikron yang diukur pada penelitian ini termasuk kedalam debu respirabel yaitu debu dengan diameter berukuran kurang dari sama dengan 2,5 mikron yang dapat masuk kedalam hidung sampai pada sistem pernapasan bagian atas dan masuk kedalam paru-paru bagian dalam (EPA, 2015).
73
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja, NAB kadar debu di lingkungan industri sebesar 2 mg/m3. Berdasarkan analisis univariat, didapatkan hasil bahwa 17 pekerja (70,8%) berada di lingkungan kerja dengan kadar debu tidak memenuhi syarat NAB dan 7 pekerja (29,2%) berada di lingkungan kerja dengan kadar debu memenuhi syarat NAB. Adapun jumlah pekerja dengan paparan debu tidak memenuhi syarat NAB dan KVP tidak normal
sebanyak 3 pekerja (17,6%)
sedangkan yang memiliki KVP normal sebanyak 14 pekerja (82,4%). Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan nilai p sebesar 0,61 yaitu lebih dari 0,05 sehingga dapat diartikan bahwa tidak ada hubungan hubungan yang signifikan antara kadar debu PM1,0 dengan KVP. Hasil penelitian ini didukung penelitian oleh Caesar (2011) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara paparan debu dengan kapasitas vital paru pada pekerja bagian produksi kawasan industri peleburan logam Pesarean Tegal. Selain itu, penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Syahriany (2002) yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara kadar debu dengan gangguan paru (KVP dibawah normal) pada pekerja unit produksi tablet industri farmasi x. Menurut Pudjiastuti (2002), partikel-partikel yang besarnya 1 sampai 3 mikron merupakan ukuran paling berbahaya karena akan ditempatkan langsung ke permukaan alveoli paru-paru. Penimbunan partikel akan merusak epitel dan pergerakan sel fagosit di dekat tempat penimbunan atau dapat menstimulasi sekresi cairan. Partikel yang tertimbun dapat berdifusi ke dalam dan melalui
74
permukaan cairan dan sel dan dengan cepat diangkut oleh aliran darah ke seluruh tubuh (ILO). Menurut Price (1995), penimbunan debu dalam paru bermula dari debu diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan mukosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung dan kearah superior menuju faring. Partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terusmenerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat tersebut. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat intertestial (Price, 1995). Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru (pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya (Price, 1995).
75
Berdasarkan paparan debu yang diterima, diketahui bahwa 2 pekerja (28,6%) yang terpapar debu dengan NAB memenuhi syarat memiliki KPV tidak normal. Hal ini dapat terjadi karena pekerja tersebut memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun. Khumaidah (2009) menjelaskan bahwa masa kerja mempunyai kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru salah satunya obstruksi saluran pernapasan pada pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun sehingga tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar debu PM1,0 dan KVP. Pekerja yang memiliki KVP tidak normal namun terpapar debu dengan NAB memenuhi syarat juga diketahui tidak menggunakan masker saat berada dilingkungan kerja. Penggunaan masker berkaitan dengan banyaknya partikulat yang tertimbun di dalam organ paru akibat pencemaran yang dapat mengurangi kemampuan fungsi paru, dengan menggunakan alat pelindung diri masker maka dapat mencegah menumpuknya partikulat pencemar dalam organ paru sehingga akan mengurangi terjadinya penurunan fungsi paru (Suma’mur, 1996). Berdasarkan penjelasan diatas, walaupun kadar debu masih memenuhi NAB masih terdapat pekerja yang memiliki KVP tidak normal. Maka dari itu, sebaiknya pekerja segera meninggalkan lingkungan kerja apabila pekerjaan telah selesai dan selalu menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja. Bagi perusahaan sebaiknya menyediakan masker debu seperti masker N95 karena dapat menyaring partikel debu halus di udara hingga ukuran 0,1 mikron sehingga lebih efektif menahan debu yang dapat terhirup oleh pekerja dan melakukan pengawasan terkait penggunaan masker pada pekerja.
76
Selain itu, pekerja yang terpapar debu dengan NAB memenuhi syarat juga memiliki paparan lebih dari 8 jam sehingga semakin lama pekerja menghabiskan waktu untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula paparan debu di terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal) juga akan lebih besar. Selain itu, kadar debu yang sudah melebihi NAB pun akan sangat berbahaya bagi kesehatan paru pekerja. Dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan penumpukan debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan seperti penurunan kapasitas paru yang disebut obstruksi dan pneumoconiosis. Salah satu bentuk kelainan paru yang bersifat menetap adalah berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas vital paru. Partikel debu dapat menimbulkan penurunan kapasitas vital paru, sehingga akan mengurangi penggunaan optimal alat pernapasan untuk mengambil oksigen pada proses respirasi (Sukarman, 1978). Maka dari itu, perlu dilakukan suatu pengendalian pada kadar debu yang sudah melebihi NAB. Dari hasil observasi dilapangan, sudah terdapat pengendalian terhadap debu yang dihasilkan selama proses pengolahan. Pengendalian yang diterapkan berupa wet dust suppression systems dengan kategori plain water sprays yaitu dengan menggunakan air untuk membasahi bahan yang dapat menghasilkan debu sehingga bahan tersebut cenderung tidak menghasilkan debu. Batu pada proses pemecahan dibasahi menggunakan air untuk meminimalisir debu yang dihasilkan. Penyiraman ini dilakukan pada proses pemecahan batu, baik pemecahan primer dan sekunder, yang berlangsung selama proses pemecahan berjalan.
77
Berdasarkan observasi lebih lanjut diketahui bahwa penyiraman yang dilakukan belum optimal dikarenakan tidak adanya nozzle pada ujung selang yang digunakan untuk penyiraman. Nozzle sangat penting pada sistem penyiraman. Nozzle yang biasa digunakan pada wet dust suppression systems adalah flat-spray nozzles karena dapat menghasilkan butiran air lebih besar sehingga penyiraman lebih optimal. Oleh karena itu, perusahaan disarankan untuk menggunakan nozzle pada ujung selang yang digunakan untuk melakukan penyiraman sehingga penyiraman lebih optimal dan dapat lebih meminimalisir debu yang dihasilkan. Tidak adanya hubungan antara kadar debu PM1,0 dengan KVP dapat terjadi karena adanya mekanisme clearance pada paru. WHO (2000) menjelaskan ketika partikel debu mengendap di paru-paru, sebagian besar partikel dikeluarkan oleh berbagai mekanisme clearance. Partikel debu yang mengendap pada saluran udara bersilia umumnya dibersihkan dari saluran pernapasan oleh aktivitas mukosiliar dalam 24-48 jam. Clearance pada paru dapat terjadi melalui aksi makrofag alveolar. Makrofag alveolar merupakan sel fagositik dan dapat bermigrasi. Partikel debu akan dibawa oleh makrofag ke pembuluh limfa atau bronkiolus dan akhirnya dikeluarkan oleh eskalator mukosiliaris (Mukono, 2003). 6.4
Hubungan Masa Kerja Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Masa kerja adalah semua perhitungan jumlah tahun masa kerja dalam
periode kerja. Semakin lama masa kerja seseorang, kemungkinan orang tersebut mempunyai resiko terkena penyakit paru juga semakin besar (Tamuntuan, 2013). Apabila kondisi paru terpapar dengan berbagai komponen pencemar, fungsi fisiologis paru sebagai organ utama pernapasan akan mengalami beberapa
78
gangguan sebagai akibat dari pemaparan secara terus menerus dari berbagai komponen pencemar (Anugrah, 2014). Berdasarkan analisis univariat diketahui bahwa 7 pekerja (29,2%) dari 24 pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun dengan 3 pekerja (42,9%) memiliki KVP tidak normal sedangkan 4 pekerja (57,1%) memiliki KVP normal. Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan nilai p sebesar 0,13 yaitu lebih dari 0,05 sehingga tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan KVP. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Ilhaq dan Kawatu (2014) yang menemukan hasil yaitu tidak ada hubungan antara masa kerja dengan kapasitas vital paru pada penambang emas di wilayah pertambangan rakyat Tatelu Kecamatan Dimembe. Penelitian lain yang dilakukan oleh Yulaekah (2007) pada pekerja industri batu kapur menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara masa kerja dengan gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal). Khumaidah
(2009)
menjelaskan
bahwa
masa
kerja
mempunyai
kecenderungan sebagai faktor risiko terjadinya penurunan kapasitas vital paru salah satunya obstruksi saluran pernapasan pada pekerja industri yang berdebu sejak mulai mempunyai masa kerja 5 tahun. Adapun terdapat 2 pekerja (11,8%) pekerja yang memiliki masa kerja kurang dari 5 tahun namun memiliki KVP tidak normal. Hal ini dapat terjadi karena paparan debu pada pekerja telah melebihi NAB. Dampak paparan debu yang terus menerus mengakibatkan penumpukan debu yang tinggi di paru yang menyebabkan kelainan dan kerusakan yang bersifat menetap yaitu berkurangnya elastisitas paru yang ditandai dengan penurunan pada kapasitas vital paru (Sukarman, 1978).
79
Selain itu, diketahui pula 2 pekerja tsb tidak menggunakan masker saat berada dilingkungan kerja dan memiliki waktu kerja lebih dari 8 jam sehingga terpapar debu lebih dari 8 jam. Tidak adanya perlindungan terhadap debu dengan lama paparan yang lama sehingga semakin lama pekerja menghabiskan waktu untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula paparan debu di terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal) juga akan lebih besar. Adanya pekerja yang memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun dan mempunyai KVP normal terjadi karena pekerja tsb menggunakan masker selama berada di lingkungan kerja walaupun juga terpapar debu yang melebihi NAB. Berdasarkan penjelasan diatas, untuk mencegah terjadinya penurunan kapasitas vital paru, sebaiknya pekerja selalu menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja untuk melindungi diri dari potensi paparan debu dan perusahaan sebaiknya melakukan pengawasan yang intensif terhadap pekerja mengenai penggunaan masker selama bekerja. Menurut Suma’mur (1996), semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Dalam lingkungan kerja yang berdebu, masa kerja dapat mempengaruhi dan menurunkan kapasitas fungsi paru pada karyawan. Semakin lama seseorang bekerja pada tempat yang mengandung debu akan semakin tinggi resiko terkena gangguan kesehatan, terutama gangguan saluran pernafasan. Debu yang terhirup dalam konsentrasi dan jangka waktu yang cukup lama akan membahayakan. Akibat penghirupan debu, yang langsung dirasakan adalah sesak, bersin, dan batuk karena adanya gangguan pada saluran pernapasan. Paparan debu untuk
80
beberapa tahun pada kadar yang rendah tetapi diatas batas limit paparan menunjukkan efek toksik yang jelas. Tetapi hal ini tergantung pada pertahanan tubuh dari masing-masing pekerja (Sirait, 2010). 6.5
Hubungan Lama Paparan Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Lama paparan adalah waktu yang dihabiskan seseorang berada dalam
lingkungan kerja dalam waktu sehari (Mengkidi, 2006). Lamanya seseorang bekerja pada umumnya berkisar 6 – 8 jam dalam sehari, apabila waktu kerja diperpanjang maka akan menimbulkan ketidakefisienan yang tinggi bahkan menimbulkan penyakit diakibatkan lamanya seseorang terpapar polutan seperti debu yang berada di lingkungan kerja (Suma’mur, 1996). Menurut UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan dijelaskan bahwa waktu kerja yang diperbolehkan untuk pekerja yaitu 8 jam/hari. Pada kenyataannya masih banyak ditemukan pekerja yang terpapar lebih dari 8 jam/hari. Hal ini didukung oleh penelitian Hamzah (2013) yang mengemukakan bahwa sebagian besar pekerja tambang kapur tradisional di Kelurahan Buliide, Kecamatan Kota Barat (94,3%) terpapar lebih dari 8 jam/hari. Selain itu, hasil penelitian ini juga didukung oleh penelitian Irjayanti dan Nurjazuli (2012), yang menyatakan bahwa 90% pekerja mebel kayu di Kota Jayapura terpapar lebih dari 8 jam/hari. Berdasarkan analisis univariat diketahui bahwa pekerja yang terpapar lebih dari 8 jam/hari lebih banyak jumlahnya (87,5%) dibanding dengan pekerja yang terpapar kurang dari 8 jam/hari (12,5%). Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan nilai p sebesar 1 yaitu lebih dari 0,05 sehingga dapat dinyatakan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara lama paparan dengan KVP. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
81
Mengkidi (2006) yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan antara lama paparan dengan gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal) pada karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan. Penelitian lain yang mendukung adalah penelitian yang dilakukan oleh Rantung dan Umboh (2013) pada tenaga kerja mebel di CV. Mariska dan CV. Mercusuar Desa Leilem Kecamatan Sonder Kabupaten Minahasa yaitu tidak adanya hubungan antara lama paparan dengan gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal). Menurut Asna (2013), lama paparan berpengaruh negatif bagi seseorang yang bekerja karena semakin lama terpapar, bahaya yang ditimbulkan oleh tempat kerja dapat mempengaruhi kesehatan terutama saluran pernapasan. Mengkidi (2006) juga menjelaskan, lama paparan berkaitan dengan jumlah jam kerja yang dihabiskan pekerja di area kerja. Semakin lama pekerja menghabiskan waktu untuk bekerja di area kerjanya, maka semakin lama pula paparan debu di terimanya, sehingga untuk terjadinya gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal) juga akan lebih besar, tetapi hal itu juga tergantung dari konsentrasi debu yang ada di area kerja dan mekanisme clearance dari masing-masing individu, kadar partikel debu dan kerentanan individu. Tidak adanya hubungan antara dua variabel ini dapat dijelaskan karena lamanya waktu kerja tidak berarti bahwa paparannya juga semakin besar. Hasil pengukuran di lapangan menunjukkan, meskipun memiliki waktu kerja relatif sama, antara pekerja satu dengan pekerja lainnya mempunyai dosis paparan debu yang berbeda sesuai dengan lokasi pekerja tersebut bekerja. Hal ini disebabkan karena pengukuran debu yang dilakukan pada penelitian ini berfokus pada pengukuran debu lingkungan bukan pengukuran debu pada pekerja. Tidak adanya
82
hubungan juga dikaitkan dengan penggunaan masker pada pekerja. Diketahui bahwa 11 pekerja (52,4%) dari 21 pekerja yang memiliki paparan lebih dari 8 jam menggunakan masker. Maka dari itu, paparan debu dapat diminimalisir dengan adanya penggunaan masker pada pekerja. Dari penjelasan diatas, pekerja disarankan untuk menggunakan masker selama berada di lingkungan karena seringnya pekerja terpapar debu. Sedangkan perusahaan sebaiknya melakukan upaya promosi kesehatan dengan mengadakan penyuluhan mengenai bahaya kerja yang berhubungan dengan kesehatan paru bagi pekerja dan melakukan pemeriksaan kesehatan berkala secara periodik dilakukan untuk memantau perkembangan kesehatan pekerja selama bekerja di perusahaan. Adanya kebiasaan olahraga pada pekerja juga dapat menjadi faktor tidak berhubungannya lama paparan dengan KVP pekerja. Olahraga yang dilakukan oleh pekerja adalah futsal yang menurut teori merupakan olahraga dengan tingkat kebugaran sangat baik (Guam, 1996). Menurut Sahab (1997), terdapat hubungan timbal balik antara kapasitas paru dan olahraga. Gangguan pada paru dapat mempengaruhi kemampuan olahraga sebaliknya olahraga yang teratur dapat meningkatkan kapasitas paru. Olahraga dapat meningkatkan aliran darah melalui paru-paru sehingga menyebabkan oksigen dapat berdifusi ke dalam kapiler paru dengan volume yang lebih besar atau maksimum (Prasetyo, 2010). Maka dari itu, pekerja sebaiknya melakukan olahraga secara rutin untuk menjaga kebugaran badan dan meningkatkan kapasitas paru. Selain itu, banyaknya pekerja yang tidak mempunyai kebiasaan merokok juga menjadi salah satu faktor normalnya kapasitas vital paru pekerja. Hal ini
83
sejalan dengan Harrington dan Gill (2003), yang menjelaskan bahwa penurunan kapasitas paru tidak hanya disebabkan oleh faktor pekerjaan maupun lingkungan kerja, namun ada sejumlah faktor non-pekerjaan yang dapat menjadi faktor yang mempengaruhi, salah satunya adalah kebiasaan merokok. 6.6
Hubungan Penggunaan Masker Dan KVP Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015 Perlindungan tenaga kerja melalui usaha-usaha teknis pengamanan tempat,
peralatan dan lingkungan kerja sangat perlu diutamakan (Suma’mur, 1996). Alat pelindung diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja dari bahaya di tempat kerja (Nedved, 1991). Pekerja yang aktivitas pekerjaannya banyak terpapar oleh partikel debu memerlukan alat pelindung diri berupa masker untuk mereduksi jumlah partikel yang kemungkinan dapat terhirup. Pekerja yang taat menggunakan masker saat bekerja akan meminimalkan jumlah paparan partikel yang dapat terhirup (Budiono, 2007). Berdasarkan
analisis
univariat
diketahui
bahwa
pekerja
yang
menggunakan masker lebih banyak jumlahnya (54,2%) dibanding dengan pekerja yang tidak menggunakan masker (45,8%). Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan nilai p sebesar 0,01 yaitu kurang dari 0,05 sehingga dapat dikatakan adanya hubungan yang signifikan antara penggunaan masker dengan KVP. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nugroho (2012) yang menyatakan bahwa adanya hubungan penggunaan masker dengan gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal) pada pekerja di PT. KS. Selain itu penelitian ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cahyana (2012) pada pekerja tambang batubara PT. Indominco Mandiri Kalimantan Timur yaitu adanya
84
hubungan penggunaan masker dengan gangguan fungsi paru (KVP dibawah normal). Menurut Suma’mur (1996), penggunaan alat pelindung diri masker berkaitan dengan banyaknya partikulat yang tertimbun di dalam organ paru akibat pencemaran
yang dapat
mengurangi
kemampuan
fungsi
paru,
dengan
menggunakan alat pelindung diri masker maka dapat mencegah menumpuknya partikulat pencemar dalam organ paru sehingga akan mengurangi terjadinya penurunan fungsi paru. Nedved (1991) menjelaskan bahwa APD haruslah enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif terhadap bahaya. Berdasarkan hasil observasi di lapangan, masih banyaknya pekerja yang tidak menggunakan masker saat bekerja terjadi karena keengganan dari pekerja untuk mengunakan
masker
meskipun
sudah
diimbau
oleh
perusahaan
untuk
menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja. Selain itu, menurut pekerja masker yang disediakan kurang nyaman untuk dipakai dan mengganggu komunikasi antar pekerja. Oleh karena itu, sebaiknya perusahaan melakukan pengawasan terhadap pekerja mengenai penggunaan masker selama bekerja. Berdasarkan teori, APD harus diperiksa, dibersihkan dan dirawat oleh pekerja secara berkala sehingga dapat dibuang, diganti dan /atau didekontaminasi jika dianggap perlu. Elemen dasar dari setiap program manajemen untuk APD harus di evaluasi secara mendalam mengenai peralatan yang dibutuhkan untuk melindungi pekerja terhadap bahaya di tempat kerja. Evaluasi harus digunakan untuk menetapkan prosedur operasi standar untuk personil, kemudian melatih pekerja pada keterbatasan pelindung dari APD, dan pada penggunaan dan
85
pemeliharaan yang tepat. Menggunakan APD membutuhkan kesadaran bahaya dan pelatihan pada bagian pengguna. Pekerja harus menyadari bahwa peralatan tidak menghilangkan bahaya. Jika peralatan gagal, paparan akan terjadi. Untuk mengurangi kemungkinan kegagalan, peralatan harus dipasang dengan benar dan dipelihara dalam kondisi bersih dan berguna (OSHA, 2015). Untuk melakukan kegiatan pengawasan (inspeksi, penggantian, dll) diperlukan seseorang untuk melakukan kegiatan tersebut. PT. Indonesia Putra Pratama belum mempunyai pekerja yang bertugas untuk mengawasi penggunaan APD terutama masker. Maka dari itu, perusahaan perlu menunjuk pekerja sebagai penanggung jawab atau pengawas terhadap penggunaan masker dan APD lainnya dengan
sebelumnya
memberikan
pelatihan
mengenai
penggunaan
dan
pemeliharaan yang baik dan benar sehingga masker atau APD lainnya digunakan dengan tepat dan meminimalisir pekerja dari bahaya kerja. Pada penelitian ini, peneliti tidak meneliti tentang kesesuaian jenis masker yang digunakan pekerja saat berada di lingkungan kerja. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kesesuaian jenis masker yang digunakan di lingkungan kerja karena bisa jadi efektifitas masker sangat berpengaruh terhadap jenis masker yang digunakan.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1
Simpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan pada pekerja pengolahan batu
split PT. Indonesia Putra Pratama, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Gambaran KVP pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang memiliki KVP tidak normal sebanyak 5 pekerja (20,8%) dan 19 pekerja (79,2%) memiliki KVP normal. 2. Gambaran kadar debu PM1,0 pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang tidak memenuhi NAB sebanyak 17 pekerja (70,8%) dan 7 pekerja (29,2%) memenuhi NAB. 3. Gambaran kadar debu PM2,5 pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 memiliki rata-rata sebesar 2,53 mg/m3 dengan nilai terendah sebesar 2,42 mg/m3 dan nilai tertinggi sebesar 2,65 mg/m3. 4. Gambaran suhu udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 memiliki nilai terendah sebesar 34,3 oC dan nilai tertinggi sebesar 36,3 oC. 5. Gambaran kelembaban udara pada proses pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 memiliki nilai terendah sebesar 55% dan nilai tertinggi sebesar 60%.
86
87
6. Gambaran masa kerja pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang memiliki masa kerja lebih dari 5 tahun sebesar 7 pekerja (29,2%) dan 17 pekerja (70,9%) memiliki masa kerja kurang dari 5 tahun. 7. Gambaran lama paparan pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang terpapar lebih dari 8 jam sebanyak 21 pekerja (87,5%) dan 3 pekerja (12,5%) terpapar kurang dari 8 jam. 8. Gambaran penggunaan masker pada pekerja pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon tahun 2015 yang menggunakan masker sebanyak 13 pekerja (54,2%) dan 11 pekerja (45,8%) tidak menggunakan masker. 9. Tidak ada hubungan yang signifikan antara kadar debu PM1,0 dan KVP pekerja. Hasil uji chi square didapatkan nilai p=0,61 (p>0,05). 10. Tidak ada hubungan yang signifikan antara masa kerja dan KVP pekerja. Hasil uji mann-whitney didapatkan nilai p=0,13 (p>0,05). 11. Tidak ada hubungan yang signifikan antara lama paparan dan KVP pekerja. Hasil uji chi square didapatkan nilai p=1 (p>0,05). 12. Ada hubungan yang signifikan antara penggunaan masker dan KVP pekerja. Hasil uji chi square didapatkan nilai p=0,01 (p<0,05). 7.2
Saran
7.2.1 Bagi Perusahaan 1. Menggunakan nozzle pada ujung selang yang digunakan untuk melakukan penyiraman.
Nozzle yang biasa digunakan pada wet dust suppression
systems adalah flat-spray nozzles karena dapat menghasilkan butiran air
88
lebih besar sehingga penyiraman lebih optimal dan dapat lebih meminimalisir debu yang dihasilkan. 2. Melakukan upaya promosi kesehatan dengan mengadakan penyuluhan mengenai bahaya kerja yang berhubungan dengan kesehatan paru bagi pekerja untuk meminimalisir terjadinya penurunan KVP pada pekerja. 3. Melakukan pemeriksaan kesehatan berkala (periodical examination) khususnya
pemeriksaan
paru
secara
periodik
untuk
memantau
perkembangan kesehatan pekerja selama bekerja di perusahaan. 4. Menunjuk pekerja sebagai penanggung jawab atau pengawas terhadap penggunaan masker dan APD lainnya dan sebelumnya diberikan pelatihan pada pekerja mengenai penggunaan dan pemeliharaan yang baik dan benar sehingga masker atau APD lainnya digunakan dengan tepat dan meminimalisir pekerja dari bahaya kerja. 5. Melakukan pengawasan yang intensif terhadap pekerja mengenai penggunaan masker selama bekerja. 6. Meskipun perusahaan telah menyediakan masker bagi pekerja namun sebaiknya perusahaan menyediakan masker debu seperti masker N95. Masker jenis ini dapat menyaring partikel debu halus di udara hingga ukuran 0,1 mikron sehingga lebih efektif menahan debu yang dapat terhirup oleh pekerja. 7.2.2 Bagi Pekerja 1. Untuk meminimalisir paparan debu, pekerja diharapkan untuk segera meninggalkan lingkungan kerja apabila pekerjaan telah selesai.
89
2. Pekerja selalu menggunakan masker saat berada di lingkungan kerja untuk meminimalisir terjadinya paparan debu atau lainnya yang berbahaya bagi kesehatan pekerja. 3. Melakukan olahraga secara rutin untuk menjaga kebugaran badan dan meningkatkan kapasitas paru. 7.2.3 Bagi penelitian selanjutnya 1. Meneliti lebih lanjut mengenai kesesuaian jenis masker yang digunakan di lingkungan kerja.
DAFTAR PUSTAKA
Aditama, Tjandra Yoga. Hastuti, Tri. 2002. Kesehatan Dan Keselamatan Kerja. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Agustansi, Lilis. 2003. Hubungan Antara Tingkat Pemaparan Partikel Debu Udara Dengan Kapasitas Fungsi Paru (Studi Pada Pekerja Industri Oeleburan Timah Hitam Di Lingkungan Industri Kecil Bugangan Baru Semarang). Semarang: Universitas Diponegoro. Ahrens, C. Donald. 2008. Essentials of Meteorology: An Invitation to the Atmosphere. USA : Thomson Higher Education. Anugrah, Yuma. 2014. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Penggilingan Divisi Batu Putih Di PT. Sinar Utama Karya. Semarang: Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang. Anurogo, Dito, Ari Wulandari. 2012. 45 Penyakit yang Banyak Ditemukan di Masyarakat. Yogyakarta: ANDI. Aryuni, Sri, dkk. 2014. Hubungan Kadar Debu Dengan Kapasitas Paru Pada Tenaga Kerja Di Bagian Cement Mill Pt.Semen Bosowa Maros. Makassar: Universitas Hasanuddin. Asna, Alfiyan Sayyidah. 2013. Hubungan Antara Lama Paparan Kadar Debu Batu Bara Dengan Penurunan Kapasitas Fungsi Paru Pada Tenaga Kerja Di Unit Boiler Batu Bara PT. Indo Acidatama Tbk. Kemiri, Kebakkramat, Karanganyar. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta. Bajentri AL, Veeranna N, Dixit PD, Kulkarni SB. 2003. Effect of 2-5 years of tobacco smoking on ventilatory function tests. J Indian Med Assoc. Feb 2003;101(2):96-7, 108. Budiono, Irwan, 2007. Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Pengecatan Mobil (Studi Pada Bengkel Pengecatan Mobil Di Kota Semarang). Semarang: Universitas Diponegoro. Caesar, David Laksamana. 2011. Hubungan Paparan Debu dengan Kapasitas Vital Paru pada Pekerja Bagian Produksi Kawasan Industri Peleburan Logam Pesarean Tegal. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Cahyana, Asrina, dkk. 2012. Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Tambang Batubara Pt. Indominco Mandiri Kalimantan Timur Tahun 2012. Makassar: Bagian Kesehatan dan Keselamatan Kerja FKM Universitas Hasanuddin. Depkes RI. 2003. Modul Pelatihan Bagi Fasilitator Kesehatan Kerja. Jakarta. Djojodibroto, Darmanto. 2009. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC. Donaldson, G.C. dkk. 1999. Effect of temperature on lung function and symptoms in chronic obstructive pulmonary disease. Eur Respir J 1999; 13: 844±849.
Printed in UK ± all rights reserved. Opyright ERS Journals Ltd 1999 European Respiratory Journal #ISSN 0903-1936 Enviromental Protection Agency (EPA). 1997. Health Effects of Particulate Matter. Diakses tanggal 31 Agustus dari http://www.epa.gov/region07/air/quality/pmhealth.htm jam 09:45 WIB. Environmental Protection Agency (EPA). 2015. Particulate Matters (PM). Diakses tanggal 24 November 2015 dari http://www3.epa.gov/airquality/particlepollution/index.html jam 01:28 WIB.Fardiaz, Srikandi. 1992. Polusi Air dan Udara. Yogyakarta: Kanisius. Francis, Caia. 2011. Perawatan Respirasi. Jakarta: Erlangga. Giuliodori, Mauricio J., dkk. 2004. Simple, Inexpensive Model Spirometer For Understanding Ventilation Volumes. Advan in Physiol Edu 28:33, 2004. doi:10.1152/advan.00034.2003 Hamzah, Sutamin. 2013. Pengaruh Paparan Debu Dan Masa Kerja Terhadap Kapasitas Paru Pekerja Tambang Kapur Tradisional Di Kelurahan Buliide, Kecamatan Kota Barat Tahun 2013. Gorontalo: Jurusan Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan dan Keolahragaan, Universitas Negeri Gorontalo. Harrington, J.M, and F.S. Gill. 2003. Buku Saku Kesehatan Kerja. Jakarta: EGC. Hastono, Sutanto Priyo, Luknis Sabri. 2010. Statistik Kesehatan. Jakarta: Rajawali Pers. Hasty, Karbella Kuantanades. 2011. Hubungan Lingkungan Tempat Kerja Dan Karakteristik Pekerja Terhadap Kapasitas Vital Paru (KVP) Pada Pekerja Bagian Plant PT. Sibelco Lautan Minerals Jakarta Tahun 2011. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Healthcommunities. 2013. Warm Weather & Respiratory Problems. Diakses tanggal 22 Desember 2015 dari http://www.healthcommunities.com/evaluating-lung-problems/warmweather-respiratory-illness.shtml jam 15:48 WIB. Health
Safety Protection (HSP). 2011. Mengenal Debu (Dust) dan Pengendaliannya (Dust Control). Diakses tanggal 24 November 2015 dari http://healthsafetyprotection.com/mengenal-debu-dust-danpengendaliannya-dust-control/ jam 01:26 WIB.
Hesti, Leli. 2012. Penyakit Akibat Kerja. Diakses tanggal 12 Oktober 2014 jam 21.17 dari http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2012/08/11/penyakitakibat-kerja-485112.html Huraiová, Monika dan Ondrejka, Martin. 2013. Andesite. Department of Mineralogy and Petrology, Comenius University of Bratislava, Slovakia. Diakses tanggal 30 Agustus 2015 dari http://www.atlashornin.sk/en/record/62/andesite jam 20:58 WIB.
Ikhsan, Mukhtar. 2002. Penatalaksanaan Penyakit Paru Akibat Kerja. Jakarta: UI Press. Ikhsan M, dkk. 2010. Perubahan Iklim dan Kesehatan Paru. departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI – RS Persahabatan, Jakarta. J Respir Indo Vol. 30, No. 4 Oktober 2010 Ilhaq, Angriani J, Kawatu, Paul A., dkk. 2014. Hubungan Antara Umur, Masa Kerja, Dan Status Gizi Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Penambang Emas Di Wilayah Pertambangan Rakyat Tatelu Kecamatan Dimembe. Manado: Universitas Sam Ratulangi. International Labour Office (ILO). Encyclopaedia of Occupational Health and Safety. Diakses tanggal 1 Desember 2015 dari http://www.ilocis.org/documents/chpt10e.htm jam 16:08 WIB. Irjayanti, Apriyana, dkk. 2012. Hubungan Kadar Debu Terhirup (Respirable) Dengan Kapasitas Vital Paksa Paru Pada Pekerja Mebel Kayu di Kota Jayapura. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia Vol. 11 No. 2 / Oktober 2012. Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Jakarta: Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1405/MENKES/SK/XI/2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran Dan Industri Keputusan Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup Nomor: KEP02/MENKLH/I/1988 Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan Kusuma, Adang P. 2012. Menambang Tanpa Merusak Lingkungan. Badan Geologi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Laboratorium HOC. 2013. Standar Operasional Pemakaian Environmental Particulate Monitor. Jakarta: FKIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. McCarthy, Kevin, dkk.2015. Pulmonary Function Testing. Medscape. Diakses tanggal 31 Agustus dari http://emedicine.medscape.com/article/303239overview jam 00:29 WIB. Mengkidi, Nurjazuli, dan Sulistiyani. 2006. Gangguan Fungsi Paru dan FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Pada Karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Volume 5. Nomor 2. Oktober 2006. Semarang. Mukono, H.J. 2003. Pencemaran Udara Dan Pengaruhnya Terhadap Gangguan Saluran Pernapasan. Surabaya: Airlangga University Press. National Heart Lung Blood Institute. What Are Lung Function Tests?. USA: Department Of Health and Human Services. Diakses tanggal 30 Agustus 2015 dari http://www.nhlbi.nih.gov/health/health-topics/topics/lft jam 23.18 WIB.
National Jewish Health. 2012. General Tools – Peak Flow Meter. Diakses dari http://www.nationaljewish.org/healthinfo/conditions/asthma/lifestylemanagement/tools/peak-flow-meter tanggal 31 Agustus jam 01.45 WIB. National Jewish Health. 2013. Spirometry Testing (Lung Function Testing). Diakses dari http://www.nationaljewish.org/programs/tests/pulmonaryphysiology/pulmonary-function/spirometry/ tanggal 31 Agustus 2015 jam 00:16 WIB. Nasar, I Made, dkk. 2010. Buku Ajar Patologi II (Khusus) Edisi Ke-1. Jakarta: CV. Sagung Seto. NC State University. Trees of Strength. College of agriculture & life sciences, department of horticultural science. Diakses dari https://www.ncsu.edu/project/treesofstrength/benefits.htm tanggal 6 Januari 2016 jam 12.44 WIB. Nedved, Milos. 1991. Keselamatan Kerja Bidang Kimia dan Pengendalian Bahaya Besar. Jakarta: ILO. Ningrum, Prehatin Trirahayu. 2009. Hubungan Antara Perilaku Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Unit II Pengolahan NPK Di Industri PT. Petrokimia Gresik. Jember: Universitas Jember. Jurnal Ikesma Volume 8 Nomor 1 Maret 2012 Notoatmodjo, Soekidjo. 2010. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nouval, Naafiakra. 2009. Andesit. Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta diakses tanggal 30 Agustus 2015 dari http://petrolab-upn.tripod.com/Andesit.htm jam 20:25 WIB. Nugroho, Antonius Sardjanto Setyo. 2012. Hubungan Konsentrasi Debu Total Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Di PT. KS Tahun 2010. Depok: Universitas Indonesia. Nurjazuli dkk. 2010. Analisis Perbedaan Kapasitas Fungsi Paru Pada Pedangang Kaki Lima Berdasarkan Kadar Debu Tatal Di Jalan Nasional Kota Semarang. Semarang: Universitas Diponegoro. J Kesehat Masy Indones Vol 6 No 1 Th 2010 Occupational Safety and Health Administration (OSHA). 2007. Respirator. Diakses tanggal 6 Desember 2015 dari https://www.osha.gov/Publications/3280-10N-05-english-06-27-2007.html jam 19:16 WIB. Occupational Safety and Health Administration (OSHA). 1987. Dust Control Handbook For Minerals Processing. Martin Marietta Corporation. Martin Marietta Laboratories Contract No. J0235005. Diakses dari https://www.osha.gov/dsg/topics/silicacrystalline/dust/dust_control_handb ook.html Occupational Safety and Health Administration (OSHA). 2015. Hazard Prevention and Control. Diaskes dari https://www.osha.gov/SLTC/etools/safetyhealth/comp3.html#Personal%2
0Protective%20Equipment%20%28PPE%29 tanggal 6 Januari 2016 jam 13.34 WIB. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara Di Daerah Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika Dan Faktor Kimia Di Tempat Kerja. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.25/MEN/XII/2008 Tentang Pedoman Diagnosis Dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan Dan Penyakit Akibat Kerja Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2013. Gangguan Faal Paru. Diakses tanggal 29 Januari 2015 dari www.klikparu.com jam 17:00 WIB. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2013. Nilai Normal Faal Paru Indonesia. Diakses tanggal 26 Agustus 2015 dari www.klikparu.com Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2013. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Diakses tanggal 29 Januari 2015 dari www.klikparu.com Prasetyo, Dian Rawar. 2010. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Bengkel Las Di Pisangan Ciputat Tahun 2010. Jakarta: Universitas Syarif Hidayatullah. Price, S. A. and Wilson, L. McCarty., 1995. Fisiologi proses-proses penyakit. Alih bahasa Peter Anugrah. EGC. Jakarta. Rantung, Fernando, Umboh, Jootje M.L, dkk. 2013. Hubungan Lama Paparan Debu Kayu Dan Kebiasaan Merokok Dengan Gangguan Fungsi Paru Pada Tenaga Kerja Mebel di CV. Mariska Dan CV. Mercusuar Desa Leilem Kecamatan Sonder Kabupaten Minahasa. Manado: Universitas Sam Ratulangi. Riyadina, Woro. 1996. Efek Biologis Dari Paparan Debu. Pusat Penelitian Penyakit Tidak Menular, Badan Litbang Kesehatan, Depkes RI. Sangadji, Etta Mamang. 2010. Metodologi Penelitian – Pendekatan Praktis dalam Penelitian. Yogyakarta: ANDI. Setiawan, Aris, dkk. 2009. Fisiologi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa Kebidanan. Jakarta: CV. Trans Info Media Setyaningsih, Yuliani, dkk. 2010. Analisis Potensi Bahaya dan Upaya Pengendalian Risiko Bahaya Pada Pekerja Pemecah Batu. Semarang: Staf Pengajar Bagian K3 Fakultas Kesehatan Masyarakat UNDIP. Media Kesehat. Masy. Indones., Vol. 9 No. 1, April 2010. Simaela, Steven L. 2000. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Maksimal Paru Pekerja Perusahaan Pemecah Batu Pada PT. P Di Daerah Bogor Jawa Barat Tahun 2000. Jakarta: Universitas Indonesia. Sintorini M, 2002, Hubungan Antara Kadar PM10 Udara Ambien Dengan Kejadian Gejala Penyakit Saluran Pernafasan, Thesis, PS-UI,Jakarta
Sinurat, Ridwan. 2013. Pengaruh Karakteristik Pekerja Dan Paparan Debu Serta Kondisi Fisik Lingkungan Kerja Terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja Di PTP Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013. Medan: Universitas Sumateran Utara. Sirait, Manna. 2010. Hubungan Karakteristik Pekerja Dengan Faal Paru Di Kilang Padi Kecamatan Porsea Tahun 2010. Medan: Universitas Sumatera Utara. Sirait, Ridwan. 2013. Pengaruh Karakteristik Pekerja Dan Paparan Debu Serta Kondisi Fisik Lingkungan Kerja Terhadap Kapasitas Vital Paru Pekerja Di PTP Nusantara III (Persero) PKS Rambutan Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2013. Medan: Universitas Sumateran Utara. Stang, Debra. 2014. Lung plethysmography. Diakses tanggal 30 Agustus 2015 dari http://www.healthline.com/health/lung-plethysmography#Overview1 jam 23:48 WIB. Sucipto, Edy. 2007. Hubungan Pemaparan Partikel Debu Pada Pengolahan Batu Kapur Terhadap Penurunan Kapasitas Fungsi Paru. Semarang: Universitas Diponegoro. Sukarman. 1978. Kapasitas Pernafasan untuk Evaluasi Faal Paru. Surabaya: Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Suma’mur, P.K. 1991. Hygiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta: Haji Masagung Syahriany, Yetti. 2002. Hubungan Kadar Debu Dan Karakteriktik Pekerja Dengan Gangguan Paru Pekerja Pada Unit Produksi Tablet Industri Farmasi X Tahun 2002. Medan: Universitas Sumatera Utara. Tamuntuan, Marianti L., dkk. 2013. Hubungan Antara Masa Kerja Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Di Bagian Pengecatan Mobil Di CV. Kombos Manado. Bidang Minat Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sam Ratulangi Manado. Tarwoto, dkk. 2009. Anatomi dan Fisiologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: TIM. Undang-Undang Republik Ketenagakerjaan
Indonesia
Nomor
13
Tahun
2003
Tentang
West, John B. 2003. Patofisiologi Paru Esensial, Ed. 6. Alih bahasa, Cindy H. Nasrani; editor edisi bahasa Indonesia, Husny Muttaqin, Andrea Rubiana, Yoavita. Jakarta: EGC. World Heatlh Organization. 1993. Deteksi dini penyakit akibat kerja. Penerbit buku kedokteran EGC . 2000. Air Quality Guidelines - Second Edition. WHO Regional Office for Europe, Copenhagen, Denmark. . 1997. Hazard Prevention and Control in the Work Environment: Airborne Dust WHO/SDE/OEH/99.14 Young, Hugh D, dkk. 2002. Fisika Universitas. Jakarta: Erlangga.
Yulaekah, Siti. 2007. Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur (Studi Di Desa Mrisi Kecamatan Tanggungharjo Kabupaten Grobogan). Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
No. Respoden
Tanggal
KUESIONER PENELITIAN Kondisi Lingkungan Yang Berhubungan Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Pengolahan Batu Split PT. Indonesia Putra Pratama Cilegon Tahun 2015
Assalamualaikum. Wr. Wb. Saya Nabila Dewi Ichsani, mahasiswi Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Saat ini saya sedang melakukan pengumpulan data sebagai salah satu bahan dalam penyusunan tugas akhir (skripsi). Semua data dan informasi yang saudara berikan akan dijaga kerahasiaannya dan kuesioner ini akan dimusnahkan apabila tidak digunakan lagi. Atas perhatian dan kerjasama saudara, saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb. Form Kesediaan Responden Penelitian Apakah saudara bersedia? (beri tanda silang (Х) pada pilihan dibawah ini) a. Ya b. Tidak
Cilegon, Oktober 2015 Tanda Tangan Responden
( …………………………. )
A.
Karakteristik Responden
A1
Nama
A2
Umur
A3
Tempat dan Tanggal Lahir
A4
No. Telp/ HP
B.
Masa Kerja
(Diisi oleh peneliti)
B1
Sudah berapa lama anda bekerja di penambangan batu ini ……… tahun. Sejak usia berapa? ……… tahun.
C.
Lama Paparan
C1
Berapa jam anda bekerja dalam satu hari? 1. Lebih dari 8 jam 2. Kurang dari 8 jam
C2
Berapa hari anda bekerja dalam satu minggu? ……… hari/minggu
[ ]
LEMBAR OBSERVASI PENGGUNAAN MASKER
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Nama pekerja
Pemakaian masker Pakai Tidak pakai
LAMPIRAN HASIL PEMERIKSAAN KAPASITAS VITAL PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU SPLIT PT. INDONESIA PUTRA PRATAMA No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24.
Pekerja Pekerja -1 Pekerja -2 Pekerja -3 Pekerja -4 Pekerja -5 Pekerja -6 Pekerja -7 Pekerja -8 Pekerja -9 Pekerja -10 Pekerja -11 Pekerja -12 Pekerja -13 Pekerja -14 Pekerja -15 Pekerja -16 Pekerja -17 Pekerja -18 Pekerja -19 Pekerja -20 Pekerja -21 Pekerja -22 Pekerja -23 Pekerja -24
Kapasitas vital paru Restiriksi Obstruksi-restriksi Normal Restriksi Restriksi Restriksi Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal Normal
LAMPIRAN OUTPUT SPSS
UJI NORMALITAS Tes Shapiro-wilk Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
KVP
24
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent 24
100.0%
Descriptives Statistic KVP
Std. Error
Mean
1.17
95% Confidence Interval for Lower Bound
1.01
Mean
Upper Bound
.078
1.33
5% Trimmed Mean
1.13
Median
1.00
Variance
.145
Std. Deviation
.381
Minimum
1
Maximum
2
Range
1
Interquartile Range
0
Skewness
1.910
.472
Kurtosis
1.792
.918
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic KVP
.503
df
Shapiro-Wilk
Sig. 24
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Uji normalitas setelah di transform
Statistic .454
df
Sig. 24
.000
Case Processing Summary Cases Valid N
Missing
Percent
trans_KVP
24
N
Total
Percent
100.0%
0
N
.0%
Percent 24
100.0%
Descriptives Statistic trans_KVP
Mean
Std. Error
.0502
95% Confidence Interval for Mean
Lower Bound
.0018
Upper Bound
.0986
5% Trimmed Mean
.0390
Median
.0000
Variance
.02339
.013
Std. Deviation
.11460
Minimum
.00
Maximum
.30
Range
.30
Interquartile Range
.00
Skewness
1.910
.472
Kurtosis
1.792
.918
Tests of Normality a
Kolmogorov-Smirnov Statistic trans_KVP
df
.503
Shapiro-Wilk
Sig. 24
.000
a. Lilliefors Significance Correction
Selanjutnya menggunakan uji mann-whitney
Statistic .454
df
Sig. 24
.000
ANALISIS UNIVARIAT 1. Gambaran Kapasitas Vital Paru KVP Cumulative Frequency Valid
tidak normal
Percent
Valid Percent
Percent
5
20.8
20.8
20.8
normal
19
79.2
79.2
100.0
Total
24
100.0
100.0
2. Gambaran Lama Paparan lama_paparan Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
> 8 jam
21
87.5
87.5
87.5
< 8 jam
3
12.5
12.5
100.0
24
100.0
100.0
Total
3. Gambaran Pemakaian Masker masker Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
tidak pakai
11
45.8
45.8
45.8
pakai
13
54.2
54.2
100.0
Total
24
100.0
100.0
4. Gambaran Masa Kerja masa_kerja Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
> 5 tahun
7
29.2
29.2
29.2
< 5 tahun
17
70.8
70.8
100.0
Total
24
100.0
100.0
5. Gambaran Kadar Debu PM1,0 debu_PM1 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
>2
17
70.8
70.8
70.8
<2
7
29.2
29.2
100.0
24
100.0
100.0
Total
6. Gambaran Kadar Debu PM2,5 Statistics ave N
ave1
max2
Valid
3
3
3
Missing
0
0
0
Mean
2.75533
2.67000
9.62467
Median
2.13400
1.82500
9.89200
a
a
Mode Std. Deviation
1.394
1.687
6.887
a
1.756452E 1.584597E 2.614272E 0
0
0
Minimum
1.394
1.687
6.887
Maximum
4.738
4.498
12.095
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
Descriptives Statistic ave
Mean
2.75533
95% Confidence Interval for Lower Bound Mean
Std. Error
Upper Bound
5% Trimmed Mean
1.014088
-1.60794 7.11860 .
Median
2.13400
Variance
3.085
Std. Deviation
1.756452E 0
Minimum
1.394
Maximum
4.738
Range
3.344
Interquartile Range
.
Skewness Kurtosis ave1
Mean 95% Confidence Interval for Lower Bound Mean
Upper Bound
5% Trimmed Mean
1.393
1.225
.
.
2.67000
.914868
-1.26636 6.60636 .
Median
1.82500
Variance
2.511
Std. Deviation
1.584597E 0
Minimum
1.687
Maximum
4.498
Range
2.811
Interquartile Range
.
Skewness Kurtosis ave2
Mean 95% Confidence Interval for Lower Bound Mean
Upper Bound
1.717
1.225
.
.
2.15967
.417318
.36409 3.95524
5% Trimmed Mean
.
Median
2.33600
Variance
.522
Std. Deviation
.722816
Minimum
1.365
Maximum
2.778
Range
1.413
Interquartile Range
.
Skewness
-1.032
1.225
.
.
Kurtosis
Statistics ave_25 N
Valid
3
Missing
0
Mean
2.52833
Median
2.67000
Mode
2.160
Std. Deviation
a
.321805
Minimum
2.160
Maximum
2.755
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
Descriptives Statistic ave_25
Mean 95% Confidence Interval for Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation Minimum
Std. Error
2.52833 Lower Bound
1.72893
Upper Bound
3.32774 . 2.67000 .104 .321805 2.160
.185794
Maximum
2.755
Range
.595
Interquartile Range
.
Skewness Kurtosis
-1.597
1.225
.
.
Lokasi Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
plant 1
9
37.5
37.5
37.5
plant 2
7
29.2
29.2
66.7
plant 3
8
33.3
33.3
100.0
24
100.0
100.0
Total
debu_PM2_5 Cumulative Frequency Valid
Valid Percent
Percent
2.16
8
33.3
33.3
33.3
2.67
7
29.2
29.2
62.5
2.755
9
37.5
37.5
100.0
Total
24
100.0
100.0
7. Gambaran Suhu Udara Statistics rata2_suhu N
Percent
Valid
3
Missing
0
Mean
35.100
Median
34.700
Mode
34.3
Std. Deviation
1.0583
Minimum
34.3
Maximum
36.3
a
Statistics rata2_suhu N
Valid
3
Missing
0
Mean
35.100
Median
34.700
Mode
34.3
Std. Deviation
1.0583
Minimum
34.3
Maximum
36.3
a
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown Descriptives Statistic rata2_suhu
Mean 95% Confidence Interval for Mean 5% Trimmed Mean Median Variance Std. Deviation
Std. Error
35.100 Lower Bound
32.471
Upper Bound
37.729 . 34.700 1.120 1.0583
Minimum
34.3
Maximum
36.3
Range Interquartile Range Skewness Kurtosis
.6110
2.0 . 1.458
1.225
.
.
lokasi Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
plant 1
9
37.5
37.5
37.5
plant 2
7
29.2
29.2
66.7
plant 3
8
33.3
33.3
100.0
24
100.0
100.0
Total
Suhu Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
34.3
7
29.2
29.2
29.2
34.7
8
33.3
33.3
62.5
36.3
9
37.5
37.5
100.0
Total
24
100.0
100.0
8. Gambaran Kelembaban Udara Statistics rata2_kelembaban N
Valid
3
Missing
0
Mean
57.33
Median
57.00
Mode Std. Deviation
55
a
2.517
Minimum
55
Maximum
60
a. Multiple modes exist. The smallest value is shown
Descriptives Statistic rata2_kelembaban
Std. Error
Mean
57.33
95% Confidence Interval for Lower Bound
51.08
Mean
Upper Bound
63.58
5% Trimmed Mean
.
Median
57.00
Variance
6.333
Std. Deviation
2.517
Minimum
55
Maximum
60
Range
5
Interquartile Range
.
Skewness
.586
1.225
.
.
Kurtosis
lokasi Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
plant 1
9
37.5
37.5
37.5
plant 2
7
29.2
29.2
66.7
plant 3
8
33.3
33.3
100.0
24
100.0
100.0
Total
lokasi Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
plant 1
9
37.5
37.5
37.5
plant 2
7
29.2
29.2
66.7
plant 3
8
33.3
33.3
100.0
24
100.0
100.0
Total
1.453
ANALISIS BIVARIAT 1. Hubungan Kadar Debu PM1,0 dengan KVP debu_PM1 * KVP Crosstabulation KVP tidak normal debu_PM1
>2
Count % within debu_PM1
<2
Count % within debu_PM1
Total
Count % within debu_PM1
normal
Total
3
14
17
17.6%
82.4%
100.0%
2
5
7
28.6%
71.4%
100.0%
5
19
24
20.8%
79.2%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.549
.002
1
.963
.344
1
.558
.359 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.608 .344
1
.558
24
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.46. b. Computed only for a 2x2 table
.462
2. Hubungan Masa Kerja dengan KVP masa_kerja * KVP Crosstabulation KVP tidak normal masa_kerja
> 5 tahun
Count % within masa_kerja
< 5 tahun
Total
4
7
42.9%
57.1%
100.0%
2
15
17
11.8%
88.2%
100.0%
5
19
24
20.8%
79.2%
100.0%
Count % within masa_kerja
Total
3
Count % within masa_kerja
normal
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.088
1.327
1
.249
2.688
1
.101
2.906 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
.126
Linear-by-Linear Association
2.785
b
N of Valid Cases
1
.126
.095
24
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 1.46. b. Computed only for a 2x2 table
3. Hubungan Lama Paparan dengan KVP lama_paparan * KVP Crosstabulation KVP tidak normal lama_paparan
> 8 jam
Count % within lama_paparan
< 8 jam
Count % within lama_paparan
Total
Count % within lama_paparan
normal
Total
5
16
21
23.8%
76.2%
100.0%
0
3
3
.0%
100.0%
100.0%
5
19
24
20.8%
79.2%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
df a
1
.342
.036
1
.849
1.511
1
.219
.902 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test
1.000
Linear-by-Linear Association
.865
b
N of Valid Cases
1
.479
.352
24
a. 3 cells (75.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .63. b. Computed only for a 2x2 table
4. Hubungan Penggunaan Masker dengan KVP masker * KVP Crosstabulation KVP tidak normal masker
tidak pakai
Count % within masker
pakai
Count % within masker
Total
Count % within masker
normal
Total
5
6
11
45.5%
54.5%
100.0%
0
13
13
.0%
100.0%
100.0%
5
19
24
20.8%
79.2%
100.0%
Chi-Square Tests
Value Pearson Chi-Square Continuity Correction
df
Likelihood Ratio
Exact Sig. (2-
Exact Sig. (1-
sided)
sided)
sided)
a
1
.006
4.963
1
.026
9.405
1
.002
7.464 b
Asymp. Sig. (2-
Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association b
N of Valid Cases
.011 7.153
1
.007
24
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.29. b. Computed only for a 2x2 table
.011
Perhitungan OR dan 95% CI dilakukan dengan menggunakan software yang diakses dari https://www.medcalc.org/calc/odds_ratio.php
LAMPIRAN FOTO
Kondisi debu di area pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama
Pengukuran debu di area pengolahan batu split PT. Indonesia Putra Pratama