FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI DESA TAMANSARI KABUPATEN KARAWANG TAHUN 2013
SKRIPSI Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
Disusun Oleh : ANNISA FATHMAULIDA NIM : 109101000005
PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2013 M
i
ii
iii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PRORAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESEHATAN LINGKUNGAN Annisa Fathmaulida
: 109101000005
Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kab. Karawang Tahun 2013 xv+ 140 halaman, 3 bagan, 15 tabel, 7 gambar, 7 lampiran ABSTRAK Gangguan fungsi paru dari proses masuk dan keluarnya udara ke dalam paru adalah restriksi dan obstruksi. Gangguan fungsi paru pada umumnya terjadi karena faktor individu dan faktor lingkungan. Berdasarkan hasil studi pendahuluan sebanyak 12 dari 45 pekerja pengolahan batu kapur mengalami gangguan paru seperti asma dan bronchitis. Selain itu berdasarkan hasil penelitian pengukuran kadar PM10 ambien di area pengolahan batu kapur, diperoleh kadar PM10 melebihi nilai ambang batas dengan jumlah rata-rata sebesar 514 µg/m3. Kemudian hasil uji laboratorium kadar SiO2 yang melebihi ambang batas OSHA yaitu pada batu kapur sebelum di bakar sebesar 3,46%. Tujuan penelitian ini diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari-April 2013. Jenis penelitian ini merupakan penelitian epidemiologi dengan desain cross sectional study, jumlah sampel 40 responden dan teknik pengambilan sampel adalah quota sampling. Data diperoleh dari kuesioner (data responden), pengukuran PM10 dengan SKC-EPAM 5000 dan pengukuran suhu dan kelembaban dengan WBGT Quest. Analisis uji statistik menggunakan uji t-test independen dan Chi-square dengan derajat kepercayaan 95%. Berdasarkan hasil penelitian, dari 40 responden pekerja batu kapur diperoleh sebanyak 7 orang yang didiagnosis mengalami gangguan fungsi paru. Faktor yang memiliki kemaknaan statistik terhadap gangguan fungsi paru adalah variabel umur (p:0,032). Faktor lainnya yang tidak berhubungan secara statistik adalah masa kerja (0,932) dengan rata-rata 10 tahun bekerja; status gizi (0,842) dengan 32% kurus, 47% normal; konsumsi rokok (0,285) dengan rata-rata 15 batang/hari; kadar PM10 ambien (0,783) mean 514 µg/m3; suhu (0,963) mean 32oC dan kelembaban (0,854) mean 79%. Penelitian ini diharapkan menjadi referensi studi dan kajian bagi beberapa pihak dan steakholder. Pertama pada pekerja untuk lebih mewaspadai bahaya kesehatan dan keselamatan bekerja. Kedua pada pemilik menghimbau untuk memperhatikan pekerja dari bahaya dan turut mendukung terciptanya lingkungan yang sehat dari aktivitas pengolahan batu kapur. Ketiga kepada UKK Puskesmas setempat melakukan pemantauan kesehatan dan peningkatan pengetahuan akan bahaya pada pekerja, dan pihak pemerintah daerah melakukan pemantauan kualitas udara ambien di sekitar Desa Tamansari sebagai sentra pengolahan batu kapur yang akan memiliki risiko terjadinya gangguan kesehatan pada pekerja dan masyarakat sekitar.
Kata kunci: gangguan fungsi paru, pekerja batu kapur, faktor lingkungan, faktor individu Daftar Bacaaan : 1986-2013 iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES DEPARTMENT OF PUBLIC HEALTH MAJOR OF ENVIRONMENTAL HEALTH Undergraduated Thesis, June 2013 Annisa Fathmaulida, NIM: 109101000005 Factors Associated with Impaired Lung Function in Limestone Processing Workers In Tamansari Village, Pangkalan, Karawang 2013 xv+ 140 pages , 3 diagrams, 15 tables, 7 pictures, 7 attechments
Abstract Pulmonary function impairment of the process of entry and exit of air into the lungs is a restriction and obstruction. Lung problems generally occur due to individual factors and environmental factors. Based on the results of preliminary studies as many as 19 of the 58 workers processing limestone pulmonary disorders such as asthma and bronchitis. Also based on the results of measurements of ambient PM10 levels in limestone processing area, obtained PM10 levels exceed a threshold value with the average number of 514 μg/m3. Then the SiO2 content of the laboratory test was also performed on the limestone before it is burned in excess of the OSHA limit of 3.46%. The purpose of this study knowing what factors are associated with impaired lung function in workers processing limestone. The time study was conducted in January-April 2013. This type of research is a epidemiology study with cross-sectional design, the number of samples of 40 respondents and the sampling technique was quota sampling. Data obtained from the questionnaires (data respondents), PM10 measurements with SKC-5000 EPAM and temperature and humidity measurements with WBGT Quest. Statistical analysis using independent t-test and Chi-square with degrees of 95% and alpha of 0.05. The results, from 40 respondents limestone workers earned as much as 7 people in diagnosis malfunction. Factors that have statistical significance for lung function impairment is variable age (p:0.032). Other factors did not reach statistical significance are the tenure variable (0,932) mean 10 years; nutritional status (0,842) in 32% thin,47% normal; cigarette consumption (0,285) mean15/day; ambient PM10 levels (0,783) mean 514 µg/m3; temperature (0,963) mean 32oC and humidity (0,854) mean 79%. This study is expected to be a reference for the study and review of some parties and steakholder. First the workers more aware of the dangers to health and safety work. Both of the owners are urged to pay attention to workers from hazards and contribute to the creation of a healthy environment of limestone processing activity. Third to the UKK Puskesmas Tamansari to monitor the health and increased knowledge of the dangers to workers, and government area to monitor ambient air quality around the Castle Village Tamansari as limestone processing centers that have a risk the occurrence of health workers and surrounding communities. Key Words: pulmonary function impairment, limestone processing workers, environment factors, personal factors Refferece : 1986-2013
v
CURRICULUME VITAE IDENTITAS PERSONAL Nama
: Annisa Fathmulida
Alamt Asal
: Jl. Tampomas No. 15 D Perum Karang Indah, Karang Pawitan, Karawang.
TTL
: Subang, 16 September 1991
Agama
: Islam
Golongan Darah
:O
Alamat Email
:
[email protected] RIWAYAT PENDIDIKAN
2009-2013
2007-2009
: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Program Studi Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan : SMA Negeri 3 Karawang
2003-2006
: SMP Negeri 1 Karawang
2003
: SDN Negeri Karang Pawitan 1 Karawang PENGALAMAN ORGANISASI DAN PELATIHAN
2009-2010
: Pokja Tobacco Control ISMKMI Wil. II
2010-2012
: Staff Departemen Komunikasi dan Informasi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Jakarta
2012
: Indonesian Leadership Devlopment Program 2012 oleh Rektorat Kemahasiswaan Universitas Indonesia
2012
:Training Integrated Management Systems ISO 9001:2008, ISO 14001:2004&OHSAS 18001:2007 PENGALAMAN PRAKTEK KERJA
2011-2012 2012
Pengalaman Belajar Lapangan Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Pondok Jagung Timur , Tangerang Selatan. : Orientasi Kerja di HSE PT. Yama Engineering 2012
2013
: Kerja Praktek bidang Environment di OE/HES PT. Chevron Pacific Indonesia vi
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Berkat Rahmat Allah Subhanahu wa Ta’la yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang serta dorongan yang kuat, akhirnya saya dapat menyelesaikan proposal skripsi dengan judul “ Faktor- faktor yang Berhubungan terhadap Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang Tahun 2013”. Shalawat serta salam selalu terjunjun kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang telah membawa umatnya dari dari zaman kegelapan akan iman dan pengetahuan ke zaman terang benderang akan ilmu dan pengetahun. Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan jenjang pendidikan S-1 pada Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Penyusunan skripsi ini tidak lepas saya ingin mengucapkan terima kasih yang kepada berbagai pihak, antara lain : 1. Ibu Minsarnawati,M.Kes dan bapak Dr.H.Arif Sumantri,M.Kes selalu pembimbing I dan pembimbing II atas bimbingan dan arahan dalam penelitian
ini
dan
menyempatkan
waktu
di
kesibukannya
untuk
menyempurnakan penulisan skripsi. 2. Ibu Yuli Amran,M.KM, Ibu Dewi Utami,Ph.D., dan Bpk. Ir. Untung Sryanto, M.Sc, selaku penguji sidang skripsi yang telah banyak mengarahkan untuk pengayaan materi dan informasi pada skripsi ini 3. Pihak Puskesmas Pangkalan beserta staff UKK serta Dinas Kesehatan Kab. Karawang yang mengizinkan dan mendukung penelitian ini berjalan. 4. Untuk saudara seperjuangan, jama’ah peminatan Kesehatan Lingkungan 2009 atas dukungan dan masukan penelitian; Rudi, Tari, Yudi, Ersa, Agung,
vii
Yeni, Ratna, Rahmi, Maya, Cita, Aan, Risma, Dila, Moris, Udin, Nita, Zia, Reni dan Ratna beserta adik-adik angkatan 2010&2011 Kesling. 5. Sahabat dan Saudara terdekat serta rekan-rekan seperjuangan yang telah membantu memberikan senyuman dan doa yang telah mendukung kelancaran penyusunan skripsi ini, terima kasih atas segala bantuan apapun, yaitu Sarah, Fira, Depi, Tanjung, Heni, Lulu, Fahad, Dea, Lilik, Ka Ami, Ka Egi, Vebria, Derie, Nurul, Iva dan lainnya yang tidak disebutkan satu persatu. 6. Terakhir dan terpenting untuk papah yaitu Bpk.Rindu Putra, mamah ayi, nenek Adung dan segenap keluarga yang mendukung, mendoakan dan mencurahkan kasih sayangnya dari jauh dan tidak langsung di setiap waktunya. 7. Especially for alm. Mamah yang sudah mendahului kami sekeluarga, ketidak beradaan beliau menjadi kekuatan dan motivasi terbesar dalam setiap prosesnya.
Semoga bantuan, petunjuk, bimbingan dan pengarahan yang diberikan dari berbagai pihak kepada penulis mendapat balasan dari Allah Subhanahu wa Ta’la.
Tanggerang Selatan, Juni 2013
Penulis
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN
i
ABSTRAK
ii
CURRICULUME VITAE
iv
LEMBAR PENGESAHAN
v
LEMBAR PERSETUJUAN
vi
KATA PENGANTAR
vii
DAFTAR ISI
xi
DAFTAR BAGAN
xiii
DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
1
1.2. Rumusan Masalah
6
1.3. Pertanyaan Penelitian
7
1.4. Tujuan
8
1.5. Manfaat
9
1.6. Ruang Lingkup
11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungsi Paru
12
2.2. Gangguan Fungsi Paru
13
2.3. Epidemiologi Gangguan Fungsi Paru
16
ix
2.4. Pemeriksaan Kapasitas Fungsi Paru
17
2.5. Sistem Pernapasan
18
2.6. Patofisiologi Pernapasan
21
2.7. Spirometer sebagai Alat Pengukuran Kapasitas Paru
22
2.8. Aktivitas Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur
24
2.9. Faktor Lingkungan sebagai Polutan Udara
27
2.10. Baku Mutu Udara Ambien
37
2.11. Faktor Karakteristik Individu yang Menyebabkan Gangguan Fungsi Paru
38
2.12. Faktor Meteorologi yang Mempengaruhi Konsentrasi Udara Ambien
44
2.13. Manajemen Pengendalian Risiko Kesehatan Kerja
47
2.14. Patogenesi Penyakit Berbasis Lingkungan
48
2.15. Kerangka Teori
52
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL 3.1. Kerangka Konsep
55
3.2. Hipotesis
59
3.3. Definisi Operasional
61
BAB IV METODELOGI PENELITIAN 4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian
65
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
65
4.3. Populasi dan Sampel
66 x
4.4. Metode Pengukuran Penelitian
68
4.5. Teknik Pengolahan Data
74
4.6. Analisis Data
75
BAB V HASIL PENELITIAN 5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian
5.2.
5.1.1.Desa Tamansari
77
5.1.2. Profil Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari
78
Hasil Analisis Univariat 5.2.1. Gambaran Kejadian Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari
82
5.2.2. Gambaran Faktor Karakteristik Individu Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari
83
5.2.3. Gambaran Lingkungan Udara Ambien di Pengolahan
5.2.4.
Batu Kapur di Desa Tamansari
86
Gambaran Kandungan SiO2 pada Batu Kapur
88
5.3. Hasil Analis Bivariat 5.3.1. Hubungan antara Karakteristik Individu terhadap Gangguan Fungsi Paru
93
5.3.2. Hubungan antara Faktor Lingkungan terhadap Gangguan Fungsi Paru
95
xi
BAB VI PEMBAHASAN PENELITIAN 6.1. Keterbatasan Penelitian
97
6.2. Kejadian Gangguan Fungsi Paru pada Responden
98
6.3. Hubungan Karakteristik Individu terhadap
103
6.3.1. Hubungan Usia terhadap Gangguan Fungsi Paru
104
6.3.2. Hubungan Status Gizi terhadap Gangguan Fungsi Paru
108
6.3.3. Hubungan Konsumsi Merokok terhadap Gangguan Fungsi Paru
114
6.3.4. Hubungan Masa Kerja terhadap Gangguan Fungsi Paru
119
6.4. Hubungan Faktor Lingkungan terhadap Gangguan Fungsi Paru 6.4.1. Hubungan Kadar PM10 Ambien
122
6.4.2. Hubungan Suhu terhadap Gangguan Fungsi Paru
129
6.4.3. Hubungan Kelembaban terhadap Gangguan Fungsi Paru
132
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1. Simpulan
135
7.2. Saran 7.2.1. Saran Bagi Pekerja
138
7.2.2. Saran Bagi Pemilik
139
7.2.3. Saran Bagi Pemerintah Daerah
140
7.2.4. Bagi Peneliti Selanjutnya
140
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN xii
DAFTAR BAGAN
No. Bagan
Judul Bagan
Bagan 2.1.
Klafikasi Penilaian Fungsi Paru
24
Bagan 2.2.
Kerangka Teori
54
Bagan 3.1.
Kerangka Konsep Penelitian
58
xiii
Halaman
DAFTAR TABEL
No. Tabel
Judul Tabel
Halaman
Tabel 2.1.
Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru
23
Tabel 2.2.
Kategori Indeks Masa Tubuh
43
Tabel 3.1.
Definisi Operasional
61
Tabel 4.1.
Tabel Perhitungan Sampel
67
Tabel 4.2.
Drajat Kapasitas Fungsi Paru
73
Tabel 5.1.
Distribusi Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur
82
Tabel 5.2.
Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan
83
Tabel 5.3.
Distribusi Karakteristik Individu Pekerja
84
Tabel 5.4.
Hasil Pengukuran Kualitas Udara Ambien di Area Pengolahan Batu Kapur
86
Distribusi Rata-rata Kadar Udara Ambien di Area Pengolahan Batu Kapur
87
Hasil Uji Kadar SiO2 pada Material Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013.
89
Tabel 5.5.
Tabel 5.6.
Tabel 5.7.
Distribusi Rata-rata dan Analisis Hubungan antara Karakteristik Lingkungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja
91
Tabel 5.8.
Analisis Hubungan antara Karakteristik Individu dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Batu Kapur Desa Tamansari
92
Tabel 6.1.
Distribusi Responden yang Mengalami Gangguan Fungsi Paru berdasarkan Umur
105
Tabel 6.2.
Hasil Pengukuran Udara Ambien PM10 di Lingkungan Kerja
124
xiv
DAFTAR GAMBAR
No. Gambar
Gambar 1.1.
Judul Gambar
Halaman
Kondisi Lingkungan Pengolahan Batu Kapur
5
Gambar 2.1.
Anatomi Sistem Pernapasan
20
Gambar 2.2.
Diagram Alir Proses Pengolahan Batu Kapur
26
Gambar 2.3.
Teori Simpul
50
Gambar 4.1.
SKC EPAM-5000
70
Gambar 4.2.
Peta Wilayah Desa Tamansari dan Titik Pengambilan Sampel Faktor Lingkungan
71
Distribusi Responden Penelitian
80
Gambar 5.1.
xv
BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Dengan berubahnya tingkat kesejahteraan di Indonesia, pola penyakit saat ini telah mengalami transisi epidemiologi yang ditandai dengan beralihnya penyebab kematian yang semula didominasi oleh penyakit menular bergeser ke penyakit tidak menular (non-communicable disease). Perubahan ini dapat dilihat dari hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1997 dan Survei Kesehatan Nasional Tahun 2000, dimana salah satu kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) (Kemenkes RI, 2008). Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO, 2002). Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral PPM&PL di lima rumah sakit provinsi di Indonesia yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatra Selatan pada tahun 2004, menunjukan PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).
1
2
Pada penelitian National Health Interview Survey dalam Aditama (1992) di Amerika Serikat, terdapat 7,5 juta penduduknya mengidap bronkitis kronik, lebih dari 2 juta orang menderita emfisema dan 6,5 juta orang menderita asma. Kemudian penelitian di Inggris menemukan bahwa bronkitis kronik pada kaum pria (50-64 tahun) adalah sebesar 17% dari jumlah populasi pria dan pada wanita sekitar 8%. Di Inggris ini bronkitis merupakan penyakit paling banyak menimbulkan hilangnya produktivitas. Salah satu faktor pencetus terjadinya penyakit paru tersebut adalah adanya paparan gas emisi, partikulat seperti silikat ( SiO2) pun zat toksik lain yang terjadi secara akut maupun kronik pada orang yang terpajan yang bersumber dari aktivitas transportasi, paparan asap rokok dan aktifitas industri. Aktivitas industri tersebut adalah salah satunya industri pengolahan batu kapur. Batu kapur atau limestone, adalah sedimen yang banyak mengandung organisme laut yang telah mati yang berubah menjadi kalsium karbonat (CaCO2). Agar digunakan sebagai bahan baku, batu kapur
harus dibakar
sehingga dihasilkan kapur tohor (CaO). Saat proses pembakaran ini diemisikan gas-gas hasil pembakaran seperti Particulate Matter (PM), Sulfur Dioksida (SO2) dan Nitrogen Dioksida (NO2) yang menambah beban pencemaran udara (Nukman, 2005). Gas dan partikel pencemar udara ini lah yang dapat mengenai pekerja di lingkungan sekitar pengolahan batu kapur. Demikian juga dengan SiO2 yang menurut EPA (Environmental Protection Agency) Amerika Serikat
3
dapat menimbulkan penyakit paru bila diatas ambang batas 2%. Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi paru yang berdampak pada kesehatan pekerja. Penelitian sebelumnya dalam Rizal (2011) pada pengolahan batu kapur di desa Padabeunghar Kabupaten Sukabumi. Diperoleh konsentrasi PM10 dengan kadar rata-rata 0,282 mg/m3, sekitar 32% atau 107 responden mengalami gangguan pernafasan. Dari hasil uji regresi logistik ganda menunjukan adanya hubungan antara konsentrasi PM10 udara ambien dengan gangguan saluran pernafasan. Pada penelitian kegiatan pengolahan batu kapur lainnya oleh Sucipto (2007) di Desa Karangdewa Kabupaten Tegal, hasil pengukuran Total Suspended Particulate
(TSP) didaerah pemukiman sekitar pembakaran kapur, rata-rata
sebesar 893,25 µg/m3 yang melebihi ambang batas baku mutu Kepala Gubernur Jawa Tengah yaitu 230 µg/m3. Hal ini juga menguatkan bahwa menurut Fardiaz (1992) terdapat hubungan antara ukuran partikel polutan dengan sumbernya. Partikel yang berukuran diameter diantara 1-10 mikron biasanya termasuk tanah, debu dan produk-produk pembakaran dari industri lokal. Salah satunya produk pembakaran tersebut adalah dalam proses pengolahan batu kapur. Menurut Ikhsan (2001) debu dan gas-gas yang disebabkan oleh proses pengolahan batu kapur yang berada di lingkungan kerja, akan berakibat pada
4
tenaga kerja yang terpapar debu kapur dan asap-asap pembakaran pada konsentrasi maupun ukuran yang berbeda-beda. Sedangkan dalam Material Safety Data Sheet (MSDS) Calcium Carbonate, Solid bahaya debu batu kapur yang didalamnya terkandung CaCO3 dan Silica (SiO2) memiliki bahaya kesehatan apabila terpapar dan terhirup yang dapat menyebabkan peningkatan mukosa di hidung dan sistem jalan nafas kemudian menyebabkan iritasi saluran pernafasan. Paparan yang berlebihan dengan debu dapat menyebabkan hiperkalsemia, silikosis, pneumokiosis dan dari kandungan silica memiliki sifat karsinogenik yang dapat menyebabkan kanker (Brentag Canada Inc,2007). Kemudian dijelaskan dalam Mukono (2003), efek utama pembakaran debu kapur terhadap tenaga kerja berupa gangguan fungsi paru baik bersifat akut dan kronis. Gejala yang bersifat akut misalnya iritasi saluran pernapasan, peningkatan produksi lendir, penyempitan saluran pernapasan, lepasnya silia dan lapisan sel selaput lendir serta kesulitan bernapas. Selain itu dalam EPA (2001) Amerika Serikat juga menyebutkan obstruktif paru ini dapat menimbulkan gangguan kesehatan paru yang disebut pneumoniosis. Dalam Epler (2000) penumpukan dan pergerakan debu pada saluran napas dapat menyebabkan peradangan jalan napas. Peradangan ini dapat mengakibatkan penyumbatan jalan napas, sehingga menurunkan kapasitas paru. Dampak paparan debu yang terus menerus dapat menurunkan faal paru berupa obstruktif paru (Mukono, 2003).
5
Akibat adanya gangguan-gangguan kesehatan ini dapat mempengaruhi kondisi kesehatan pekerja. Apabila kondisi kesehatan pekerja mengalami penurunan, maka dapat berpengaruh pada produktifitas kerja, mangkir jam kerja, biaya kesehatan yang harus ditanggung oleh pekerja dan angka harapan hidup yang menurun bahkan akan menimbulkan tingkat risiko yang lebih berat pada penyakit serangan jantung dan hipertensi, yang menjadi penyebab kematian nomor satu di Indonesia. Berdasarkan hasil wawancara dengan pihak kepala bidang Upaya Kesehatan Kerja (UKK) Puskesmas setempat pada bulan Oktober 2012, bahwa kegiatan pembinaan dan balai pengobatan setiap bulan dilakukan secara rutin ke kelompok Lio setempat. Dari data laporan pemeriksaan rutin bulanan tersebut sampai Oktober 2012 sebanyak 12 pekerja di diagnosis menderita asma dan 4 pekerja yang dirujuk ke Puskesmas di diagnosis bronkitis paru dari total 45 pekerja yang terdata di puskesmas, kemudian dari hasil pengamatan, rata-rata pekerja berperilaku merokok dan tidak menggunakan alat pelingung diri (APD) berupa masker dan sejenisnya.
Gambar 1.1. Kondisi Lingkungan Pengolahan Batu Kapur.
6
Selain itu, hasil observasi lapangan menghasilkan pemanfaatan bahan bakar berupa limbah karet dan bahan anorganik lainnya memicu zat-zat pencemaran semakin berbahaya, karena asap dan debu yang dihasilkan berupa asap hitam pekat. Hal ini memberikan gambaran bahwa kegiatan proses pengolahan batu kapur Desa Tamansari Pangkalan ini menjadi perlu untuk dilakukannya penelitian, karena subjek penelitian ini memiliki risiko pencemaran udara yang berbahaya bagi kesehatan pekerja dan masyarakat sekitarnya. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan hasil studi pendahuluan di lapangan pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari, dari hasil pemeriksaan kesehatan dan pengobatan pada 20 orang pekerja didapatkan 10 orang pekerja mengalami keluhan pada pernafasannya. Adapun keluhan yang dirasakan para pekerja adalah batuk berdahak kehitaman dan sesak nafas. Kemudian diperkuat dengan telaah dokumen data dari unik UKK Puskesmas Kec. Pangkalan didapatkan data pemeriksaan rutin bulanan dari September 2012 sampai Februari 2013 sebanyak 12 pekerja didiagnosis menderita asma dan 4 pekerja yang dirujuk ke Puskesmas didiagnosis bronkitis paru dari total 45 pekerja yang terdata di puskesmas.
7
Kemudian dari hasil pengamatan, rata-rata pekerja berperilaku merokok dan tidak menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) berupa masker dan sejenisnya serta bertempat tinggal berdekatan dengan aktivitas pengolahan. Penelitian kesehatan pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kabupaten Karawang ini belum ada yang melakukan penelitian sebelumnya mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru.Berdasarkan hal itu, maka perlu dilakukan penelitian secara lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja penambang dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang. 1.3.
Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana gambaran gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari? 2. Bagaimana gambaran faktor karakteristik individu (host) (umur, masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari? 3. Bagaimana gambaran faktor kondisi lingkungaan (Kadar PM10 ambien, suhu, kelembaban) dan kadar SiO2 pada kandungan batu kapur sebelum dan sesudah proses pengolahan batu kapur di wilayah pengolahan batu kapur di Desa Tamansari?
8
4. Apakah ada hubungan antara faktor karakteristik individu (host) (umur, masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari? 5. Apakah ada hubungan antara faktor kondisi lingkungaan (Kadar PM10 ambien, suhu, kelembaban) di wilayah pengolahan batu kapur di Desa Tamansari? 6. Apakah ada hubungan antara komposisi kimia batu gamping sebagai bahan baku sebelum dan sesudah dibakar dengan kondisi kesehatan pekerja ? 1.4.
Tujuan 1.4.1. Umum Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang tahun 2013. 1.4.2. Khusus 1. Diketahuinya gambaran kapasitas fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Tahun 2013. 2. Diketahuinya gambaran karakteristik pekerja (umur, masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.
9
3. Diketahuinya gambaran kondisi meteorologi (kadar ambien PM10, suhu, kelembaban) dan kadar SiO2 pada kandungan batu kapur sebelum dan sesudah proses pengolahan batu kapur . 4. Diketahuinya apakah ada hubungan antara faktor karakteristik pekerja (umur, masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok) pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari. 5. Diketahuinya apakah ada hubungan antara faktor lingkungan (kadar ambien PM10, suhu dan kelembaban) dengan gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari. 1.5.
Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Peneliti Menerapkan aplikasi teori dan keterampilan yang telah didapatkan sesuai dengan kompetensi program studi Kesehatan Masyarakat peminatan Kesehatan Lingkungan untuk diterapkan dalam menganalisis permasalahan kesehatan masyarakat dalam penelitian ini. 1.5.2. Bagi Pemilik dan Kelompok Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur Penelitian ini dapat memberikan pengetahuan kepada pekerja mengenai adanya bahaya kesehatan yang ditimbulkan dari aktifitas pekerjaannya. Penelitian ini juga dapat menjadi petimbangan pemilik “Lio” untuk melakukan penanggulangan cemaran udara yang dihasilkan serta
10
dapat memperhatikan kesehatan pekerja dan lingkungan. Dengan begitu pada pekerja yang masih berusia remaja maupun dewasa dapat menjadi motivasi untuk melakukan pencegahan dari penyakit akut maupun kronis yang lebih parah. 1.5.3. Bagi Dinas Kesehatan Kab. Karawang Penelitian ini dapat menjadi penentu kebijakan perencanaan kesehatan ditingkat daerah pada kelompok usaha informal ini, agar usaha batu kapur dapat tetap menjadi sumber pendapatan daerah yang berpotensi besar, namun tetap memperhatikan kearifan local daerah dan risiko penyakit yang timbul pada pekerja atau masyarakat sekitar sebagai upaya penanggulannya dalam melindungi masyarakat dari aktifitas tersebut. 1.5.4. Bagi Pemerintah Daerah Kabupaten Karawang Penelitian ini dapat menjadi penentu kebijakan dibidang perencaan dan pembangunan daerah di wilayah Kecamatan Pangkalan dari aktivitas penambangan dan pengolahan batu kapur yang memiliki dampak kesehatan pada masyarakat sekitar dan lingkungan serta mewujudkan kontribusi daerah dalam menentaskan target Millenium Devlopment Goals pada point Menjamin Kelestarian Lingkungan Hidup melalui memadukan prinsip pembanguan berkelanjutan serta mengembalikan sumber daya lingkungan yang hilang yaitu mineral kapur dan udara yang sehat dari aktivitas penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari.
11
1.6.
Ruang Lingkup Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran faktor-faktor yang berhubungan dengan kapasitas fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di wilayah Kelurahan Tamansari Kecamatan Pangkalan Kab. Karawang pada tahun 2013. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret s.d. April 2013. Sasaran penelitian ini adalah pekerja yang beraktivitas langsung dengan proses penambang dan pengolahan batu kapur yang berada di wilayah tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan pendekatan cross sectional study. Dalam pengumpulan data primer peneliti menggunakan alat pengukur debu ambien berjenis PM10 yaitu Environmental Particulate Air Monitor (EPAM) 5000 Primer dan pengukuran suhu, kelembaban oleh WBGT Quest Digital dari laboratorium OHS FKIK UIN Jakarta. Untuk mengetahui tingkat gejala penurunan fungsi paru menggunakan alat spirometri dari Labolatorium Klinik Westrindo Jakarta. Data-data karakteristik pekerja menggunakan kuesioner dengan metode wawancara. Data sekunder didapatkan dari Kecamatan Pangkalan dan Puskesmas Pangkalan Kab. Karawang. Untuk mengetahui kandungan SiO2 dilakukan dilaboratorium PT.CCIC Cengkareng dengan menggunakan analisa kimia.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Fungsi Paru Fungsi paru yang utama dalam Yunus (2006) adalah proses respirasi yaitu pengambilan oksigen dari udara luar yang masuk ke dalam saluran napas dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme dan karbondioksida yang terbentuk pada proses terebut dikeluarkan dari dalam darah ke udara luar. Proses respirasi di bagi ke dalam tiga tahap, yaitu: a.
Ventilasi yaitu proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar.
b.
Difusi yaitu proses berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah, serta keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli.
c.
Perfusi yaitu distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru untuk di alirkan ke seluruh tubuh. Depnakertrans 2005 dalam penelitian Rahman (2008), adapun
gangguan/kelainan fungi paru biasanya adalah : a.
Gangguan fungsi paru Restriktif
b.
Gangguan fungsi paru Obstruktif
c.
Gangguan fungsi paru campuran (Obstruktif-Restriktif) Pada penyakit paru obstruktif tertentu misalnya asma dan emfisema,
ekspirasi mengalami gangguan dan jumlah udara yang dapat dihembuskan secara paksa oleh individu, terutama secara cepat akan berkurang.
12
13
2.2. Gangguan Fungsi Paru Menurut Pearce. E (1986) dalam Yulaekah (2007) pada individu normal terjadi perubahan (nilai) fungsi paru secara fisiologis sesuai dengan perkembangan umur dan pertumbuhan parunya (lung growth). Mulai pada fase anak sampai kira – kira umur 22 – 24 tahun terjadi pertumbuhan paru sehingga pada waktu itu nilai fungsi paru semakin besar bersamaan dengan pertambahan umur. Beberapa waktu nilai fungsi parumenetap (stasioner) kemudian menurun secara gradual (pelan – pelan), biasanya umur 30 tahun sudah mulai penurunan, berikutnya nilai fungsi paru (KVP = Kapasitas Vital Paksa dan FEV1 = Volume Ekspirasi Paksa Satu Detik Pertama) mengalami penurunan rerata sekitar 20 ml tiap pertambahan satu tahun umur individu. Gangguan fungsi ventilasi paru merupakan jumlah udara yang masuk ke dalam paru akan berkurang dari normal. Gangguan fungsi ventilasi paru yang utama dalam Lauralee (2001) adalah sebagai berikut: 1. Penyakit Paru Obstruktif Menahun. Dalam Lauralee (2001) penyakit paru obstruktif menahun (PPOM, chronic obstructive pulmonary disease, COPD) adalah sekelompok penyakit paru yang ditandai oleh peningkatan resistensi saluran pernafasan akibat penyempitan saluran pernafasan bagian bawah. Penyakit paru obstruktif menahun mencakup tiga penyakit kronik (jangka panjang) yaitu asma, bronkhitis kronis dan emfisema. Pada asma, obstruksi saluran pernafasan disebabkan oleh pertama, konstriksi berlebihan saluran pernafasan halus
14
karena spasme otot polos di dinding saluran pernafasan tersebut yang diindikasi oleh alergi; kedua, penyumpatan saluran pernafasan oleh sekresi berlebihan mukus yang sangat kental; dan ketiga, penebalan dinding saluran pernapasan akibat peradangan dan edema yang diindikasi oleh histamine.
2. Emfisema Menurut Lauralee (2001) emfisema didefinisikan sebagai salah satu pelebaran normal dari ruang-ruang udara paru disertai dengan destruksi dari dindingnya. Beberapa ahli memperluas definisi ini memasukkan pelebaran ruang-ruang udara dengan atau tidak disertai destruksi dari dindingnya. Emfisema ditandai oleh kolapsnya saluran pernapasan halus dan rusaknya dinding alveolus. Keadaan ireversibel ini dapat timbul melalui dua cara, yang tersering, emfisema timbul akibat pengeluaran enzim-enzim destruktif, misalnya tripsin dari makrofag alveolus sebagai respons terhadap pajanan berulang dari asap rokok atau bahan kimiawi iritan lainnya.
3. Penyakit Paru Restriktif Penyakit paru interstisial merupakan istilah untuk semua penyakit terutama yang ditandai dengan jelas pada dinding alveolar, proses dimulai dengan peradangan interstisial terutama yang mengenai septasepta, sel imunokompeten yang aktif kemudian terkumpul di dinding alveolar yang menjadi penyabab kerusakan.
15
Akibat yang paling ditakutkan dari penyakit ini ialah penebalan fibrosis dinding alveolar, yang menimbulkan kerusakan menetap pada fungsi pernapasan dan mengacaukan arsitektur paru. Bersamaan dengan itu pembuluh darah halus menyempit dan menyebabkan hipertensi pulmonalis, pelebaran dinding alveolar dan kontraksi jaringan fibrosis dapat mengecilkan ukuran rongga udara dan paru menjadi berkurang kemampuannya, sehingga pertukaran gas mengalami gangguan. Dengan demikian penyakit paru restriktif merupakan penyebab utama paru menjadi kaku dan mengurangi kapasitas vital dan kapasitas paru.
4. Bronkitis Kronik Bronkhitis kronik adalah peradangan kronik saluran pernapasan bagian bawah, yang umumnya dicetuskan oleh pajanan berulang dari asap rokok, udara berpolusi atau alergan. Sebagai respons terhadap iritasi kronik, saluran pernapasan menyempit akibat penebalan edematosa kronik bagian dalam saluran pernapasan, disertai produksi berlebih mukus yang kental. Walaupun pengidap sering batuk karena iritasi kronik, mukus penyumbat sering tidak dapat dikeluarkan, terutama karena ekskalator mukus lumpuh oleh bahan iritan. Hal ini akan menyebabkan sering terjadi infeksi paru oleh bakteri, karena mukus yang tertimbun merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri.
16
2.3. Epidemiologi Gangguan Fungsi Paru Menurut Simpson (1998) dalam Aviandari dkk (2008) penyakit saluran napas banyak ditemukan secara luas dan berhubungan erat dengan lamanya pajanan terhadap debu tertentu. Di negara yang sedang berkembang ditemukan masih banyak orang yang bekerja pada sector informal seperti pertanian dan pertambangan non-formal, hal ini membuat problema akibat pajanan debu dilingkungan kerjanya. Kemudian dalam Loekita dkk (2003) studi epidemiologi secara cross sectional menggambarkan tingginya gejala gangguan saluran napas diantara pekerja yang terpajan langsung dengan debu dibandingkan dengan pekerja yang tidak terpajan. Gangguan paru non-spesifik akibat iritasi diperkirakan juga banyak berhubungan dengan para pekerja baik di pembakaran, karena intensitas pajanan debu berada disekitar area pabrik maka kemungkinan terjadi perbedaan prevalensi dan tingkat keparahan penyakit saluran pernapasan. Gangguan pada sistem pernapasan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Infeksi pada saluran pernapasan jauh lebih sering terjadi dibandingkan dengan infeksi pada sistem organ tubuh lain dan berkisar dari flu biasa dengan gejala-gejala serta gangguan yang relatif ringan sampai pneumonia berat.
17
Menurut Price (1995) pada tahun 1989, kira-kira 142.000 orang meninggal dunia karena kanker paru-paru menduduki peringkat pertama dari urutan kematian akibat kanker baik pada pria maupun wanita di Amerika Serikat. Angka ini terus mencuat ketingkat yang membahayakan dan prevalensinya saat ini kira-kira 25 kali lebih tinggi dibandingkan 25 tahun yang lalu. Insidens penyakit pernapasan kronik, terutama emfisema paru-paru dan bronkitis kronis semakin meningkat dan sekarang merupakan penyebab utama gangguan serta cacat kronik pada pria dan penyakit jantung. 2.4.
Pemeriksaan Kapasitas Fungsi Paru Menurut Guyton (2001) dalam Yulaekah (2007) Kapasitas fungsi paru merupakan kesanggupan atau kemampuan paru untuk atau dalam menampung udara di dalam. Kapasitas paru adalah suatu kombinasi peristiwa-peristiwa sirkulasi paru atau menyatakan dua atau lebih volume paru yaitu volume alun nafas, volume cadangan ekspirasi dan volume residu. Adapun kapasitas paru dapat di bedakan sebagai berikut: a. Kapasitas total yaitu jumlah udara yang dapat mengisi paruparu pada inspirasi sedalam-dalamnya. Dalam hal ini angka yang di dapat tergantung dari beberapa hal yaitu kondisi paru, umur, sikap, dan bentuk seseorang. b. Kapasitas vital yaitu jumlah udara yang dapat di keluarkan setelah ekspirasi maksimal (Syaifudin, 1997).
18
Menurut Lauralee (2001) Kapasitas paru dapat di bedakan empat yaitu: a. Kapasitas inspirasi b. Kapasitas residu fungsional c. Kapasitas vital d. Kapasitas paru total Dari klasifikasi atau penggolongan kapasitas paru di atas, maka yang dapat digunakan untuk pengukuran kapasitas vital paru merupakan pengukuran kemampuan menghirup udara sekuat-kuatnya hingga menghembuskannya dengan maksimal Lauralee (2001). Menurut Guyton (2001) dalam Yulaekah (2007) pengukuran kapasitas vital paru yaitu jumlah terbesar yang dapat dikeluarkan dari paru setelah inspirasi maksimum. Seringkali digunakan di klinik sebagai indeks fungsi paru. Nilai tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi mengenai kekuatan otot-otot pernafasan serta beberapa aspek fungsi pernapasan lain yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru 2.5. Sistem Pernafasan 2.5.1.
Anatomi Saluran Pernafasan Dalam Lauralee (2001) sistem pernafasan adalah saluran yang mengangkut udara antara atmosfer dan alveolus, tempat terakhir yang merupakan satu-satunya tempat pertukaran gas-gas antara udara dan darah dapat berlangsung. Saluran pernafasan berawal di saluran hidung (nasal). Saluran hidung berjalan ke tenggorokan (faring) yang berfungsi
19
sebagai saluran bersama bagi sistem pernapasan maupun sistem pencernaan. Terdapat dua saluran yang berjalan dari faring-trakea, tempat lewatnya udara ke paru. Udara dalam keadaan normal masuk ke faring melalui hidung tetapi udara juga dapat masuk melalui mulut jika hidung tersumbat. Setelah faring, laring atau kotak suara yang terletak di pintu masuk trakea, memiliki penonjolan di bagian anterior yang membentuk jakun bagi laki-laku. Pada saat pita suara udara mengalir cepat melewati pita suara yang tegang, pita suara tersebut bergetar untuk menghasilkan bermacam-macam bunyi. Setelah laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus kanan dan kiri, yang masing-masing ke paru kanan dan kiri. Di dalam setiap paru, bronkus tersebut bercabang-cabang menjadi saluran napas yang semakin sempit, pendek dan banyak seperti percabangan pohon. Cabang terkecil dikenal sebagai bronkiolus. Diujung bronkiolus terkumpul alveolus, kantung udara kecil tempat terjadinya pertukaran gas-gas antara udara dan darah.
20
Gambar 2.1. Anatomi sistem pernafasan. Sumber : Lauralee,2001, Hal.413.
2.5.2. Fisiologi Pernafasan Dalam Lauralee (2001) fungsi paru-paru yang utama adalah untuk proses respirasi, yaitu pengambilan dari udara luar masuk ke dalam saluran nafas dan terus ke dalam darah. Oksigen digunakan untuk proses metabolisme dan korbondioksida yang terbentuk pada proses tersebut dikeluarkan dari dalam darah ke udara luar. Adapun Proses respirasi dapat dibagi dalam 3 tahap utama yaitu: 1. Ventilasi adalah proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru, serta keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar. 2. Difusi adalah berpindahnya oksigen dari alveoli ke dalam darah serta keluarnya karbondioksida dari darah ke alveoli.
21
3. Perfusi adalah distribusi darah yang telah teroksigenasi di dalam paru untuk dialirkan ke seluruh tubuh. Masuk keluarnya udara dari atmosfer ke dalam paru-paru dimungkinkan oleh peristiwa mekanik pernafasan yang dikenal sebagai inspirasi dan ekspirasi. Pada masa inspirasi paru-paru berkembang sedangkan pada masa ekspirasi paru-paru menguncup. Otot terpenting dalam proses insiprasi adalah diafragma, antariga eksternal dan otot leher. Proses inspirasi adalah proses yang aktif karena dalam proses ini terjadi kontraksi otot dan mengeluarkan energi. Sedangkan ekspirasi merupakan proses yang pasif karena dihasilkan akibat relaksasinya otot-otot yang berkontraksi selama inspirasi, yaitu otot abdomen dan antariga internal.
2.6. Patofisiologi Pernafasan Ada tiga jenis kelainan fisiologis yang menimbulkan insuffiensi pernafasan yaitu (Sanusi, 1986) : 1.
Disebabkan oleh ventilasi yang tidak memadai di alveoli
2.
Berkurangnya difusi gas melalui membran pernafasan
3.
Berkurangnya transpor oksigen dari paru-paru ke jaringan. Gejala gangguan fungsi paru, seperti sesak nafas, nyeri dada dan penurunan
yang cepat dari kapasitas ventilasi pada hari pertama masuk kerja memberikan kesan bahwa debu terdapat bahan yang menyebabkan edema di bronchiolus. Pada stadium lanjut edema ini akan bersifat menetap pada setiap hari kerja.
22
Kegagalan
pernafasan
dapat
terjadi
akibat
kelainan
paru
yang
menyebabkan gangguan ventilasi atau aliran darah. Kelainan ventilasi yang biasa terjadi adalah obstruktif dan restriktif. Keadaan fungsi paru ini dapat dinilai atau diukur dengan menggunakan spirometri.
2.7. Spirometer sebagai Alat Pengukur Kapasitas Paru Spirometer adalah alat untuk mengukur volume udara yang dihirup dan dihembuskan. Alat ini terdiri dari tong berisi udara yang terapung pada sebuah wadah berisi air. Sewaktu seseorang menghirup dan menghembuskan udara keluar-masuk tong melalui sebuah selang penghubung, tong akan naik atau turun yang kemudian dicatat sebagai suatu spirogram. Pencatatan tersebut dikalibrasi ke besarannya perubahan volume dinamik. Adapun klasifikasi volume dinamik sebagai berikut: 1. Volume ekspirasi paksa dalam satu detik (forced expiratory volume, FEV1). Volume udara yang dapat diekspirasi selama satu detik pertama pada penentuan Kapasitas Vital (KV) yaitu volume maksimum udara yang dapat dikeluarkan selama satu kali bernapas setelah inspirasi maksimum. Biasanya FEV1 adalah sekitar 80%, yaitu dalam keadan normal 80% udara yang dapat dipaksa keluar dari paru-paru yang mengembang maksimum dapat dikeluarkan dalam 1 detik pertama (Ganong, 1998).
23
2. Maximum volumntary ventilation (MVV) adalah jumlah udara yang dapat dikeluarkan secara maksimum dalam 2 menit dengan bernapas cepat dan dalam secara maksimal (Ganong, 1998). Kegunaan pemeriksaan paru lebih dari sekedar untuk pengetahuan akademik. Pengukuran tersebut mendeteksi penyakit paru dengan gangguan pernapasan sebelum bekerja, kemudian secara berkala selama kerja untuk menemukan penyakit secara dini serta menentukan apakah seseorang mempunyai fungsi paru normal, restriksi, obstruksi atau campuran (mixed). Tujuan epidemiologis adalah menilai bahaya di tempat kerja dan mendapatkan standar bahaya tersebut (Lorriane, 1995).
Tabel 2.1. Klasifikasi Penilaian Fungsi Paru Nilai Normal
KVP >80%, nilai prediksi untuk semua umur
Restriksi
KVP < 80%; FEV1 > 75%
Obstruksi
KVP > 80%; FEV1 < 75%
Restriksi Obstruksi
KVP< 80%; FEV < 75%
(Mixed) Sumber : American Thoracic Society, Medical Section of The Asian Lung Association.Am. Rev Respir.
24
FEV1
75%
RESTRIKSI
NORMAL
RESTRIKSI
OBSTRUKSI
OBSTRUKSI 0
80%
KVP
Bagan 2.1. Klafikasi Penilaian Fungsi Paru
2.8.
Aktivitas Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur Batu kapur adalah batuan sedimen berjenis khusus yang terbentuk dari kerangka hewan-hewan kecil lautan. Penggunaan batu kapur sudah beragam diantaranya untuk bahan kaptan, bahan campuran bangunan, industri karet dan ban, kertas, dan lain-lain. Batuan kapur ini sangat penting artinya sebagai bahan dasar dalam industri. Batuan kapur mempunyai sifat yang istimewa, bila dipanasi akan berubah menjadi kapur yaitu kalsium oksida (CaO) dengan terjadi proses dekarbonisasi (pelepasan gas CO2) (Curtis, 2000).
2.8.1. Proses Penambangan dan Pengolahan Batu Kapur Menurut Bappedal (2006) dalam Sucipto (2007) sebelum kapur mati (kalsium karbonat) menjadi kalsium oksida (kapus hidup), terlebih dahulu
25
diawali dengan proses pengolahan batu kapur. Adapun proses pengolahan batu kapur terdiri dari beberapa tahap yaitu : a. Kegiatan Penambangan Kegiatan penambangan batu kapur biasanya menggunakan bahan peledak dinamit sederhadan dan peralatan penambangan penambangan lainnya. b. Kegiatan Pengangkutan dan Penimbunan Kegiatan ini mengangkut batu kapur dari penambangan menggunakan truk dengan kapasitas angkut 3 ton, kemudian batu kapur ditimbun ke lokasi pembakaran di dalam tungku atau tobong pembakaran. c. Kegiatan Pembakaran Kegiatan pembakaram merupakan tahapan dimana batuan kapur dibakar sampai menjadi kapur. Tungku pembakaran bias mencapai 3-5 ton. Bahan bakar yang digunakan biasanya berbeda-beda setiap kelompok, ada yang menggunakan limbah karet, limbah kayu, limbah oil sludge dan sebagainya. Lamanya proses ini bekerja kurang lebih selama 48 jam atau lamanya proses juga dipengaruhi bahan bakar yang digunakan. Kegiatan pembakaran ini menghasilkan debu dan asap yang hitam pekat. d. Kegiatan Pemadaman Batu kapur yang sudah hidup (matang) mencapai 88-90% sehingga menghasilkan kalsium oksida (CaO) dipadamkan dalam bentuk padat
26
(bongkahan) maupun bubuk (powder) apabila sudah disiram oleh air yang siap dijual. Bentuk dari CaO tergantung permintaan pasar. e. Kegiatan Pengayakan dan Finishing Produk Kapur. Batu kapur yang dipesan dalam bentuk bubuk perlu dilakukan pengayakan terlebih dahulu kemudian di masukan kedalam karung pengemasan dan siap untuk dijual.
Batu Kapur Hail Penambangan sebagai Bahan Baku
Bahan Bakar: Ban bekas, Kayu Bekas, Oli bekas, Solar.
Air
Tungku Pembakaran Kapur
Gas Buang Emisi
Kapur Matang (CaO)
Pemadaman Kapur
Pengayakan& Finishing
Gambar 2.2. Diagram Alir Proses Pengolahan Batu Kapur Sumber : Bappedal (2006) dalam Rizal (2010)
27
2.9. Faktor Lingkungan sebagai Polutan Udara 2.9.1. Gambaran Umum Pencemaran Udara Menurut Sumantri (2010), udara adalah suatu campuran gas yang terdapat pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tersebut tidak selalu konstan. Komponen yang konsentrasinya paling bervariasi adalah air dalam bentuk bentuk uap H2O dan Karbon Dioksida (CO2). Jumlah uap air yang terdapat di udara bervariasi dari cuaca dan suhu. Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan sama sekali. Beberapa gas polutan menurut Fardiaz (1992) seperti Sulfur dioksida (SO2), Hidrogen sulfida (H2S), dan Karbon Monoksida (CO) selalu dibebaskan ke udara sebagai produk sampingan dari proses-proses alami seperti aktivitas vulkanik, pembusukan sampah tanaman, kebakaran hutan, dan sebagainya. Selain itu partikel-partikel padatan atau cairan berukuran kecil dapat tersebar diudara oleh angin, letusan vulkanik atau gangguan alam lainnya. Selain disebabkan polutan alami tersebut, polusi udara disebabkan oleh aktivitas manusia. Menurut Chandra (2007), pencemaran udara adalah dimasukkannya komponen lain ke dalam udara, baik oleh kegiatan manusia secara langsung atau tidak langsung maupun akibat proses alam sehingga kualitas udara turun sampai ketingkatan tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang
28
atau tidak dapat lagi berfungsi sesuai peruntukannnya. Sedangkan menurut Wardhana (2001) pencemaran udara juga diartikan sebagai adanya bahan-bahan atau zat-zat asing di dalam udara yang menyebabkan perubahan susunan (komposisi) udara dari keadaan normalnya. Selain itu, menurut Suma’mur (1986) pencemaran udara oleh partikel dapat disebabkan oleh karena peristiwa alamiah dan dapat pula disebabkan oleh aktifitas manusia, melalui kegiatan industri dan teknologi. Partikel yang mencemari udara banyak macam dan jenisnya, tergantung pada macam dan jenis kegiatan industri dan teknologi yang ada. Menurut Soedomo (2001), dilihat secara kimiawi, banyak sekali macam bahan pencemar. Bahan pencemar yang yang menjadi perhatian adalah pencemar utama (major air pollution) yaitu golongan oksida karbon (CO, CO2), Oksida belerang (SO2 ,SO3), Oksida Nitrogen (N20, NO,NO3), senyawa hasil reaksi foto kimia, partikel (asap, debu, asbestos, H2S, NH3, H2SO4, HNO3, Hidrokarbon (CH4, C4H10), unsur radio aktif (Tritium, Radon), energi panas (suhu) dan kebisingan. Menurut Yulaekah
(2007), pencemaran udara dapat mengakibatkan
bereaksinya bahan polutan dangan organ paru dan jika hal ini berlangsung terusmenerus dapat mengakibatkan gangguan fungsi paru, yang akhirnya dapat meningkatkan kelainan faal paru obstruktif. Bahan pencemar udara yang dapat menyebabkan gangguan pada saluran pernafasan dari udara ambien antara lain
29
gas SO2, O3, NO2 dan partikel debu (0,1-10µg. Bahan-bahan tersebut dapat mempengaruhi fungsi paru yang akhirnya dapat menyebabkan terjadinya kelainan paru obstruktif. Berikut ini gambaran pencemaran partikel debu (PM10) dan asap (SO2, NO2) yang dapat berpengaruh terhadap gangguan kesehatan.
2.9.2. Gambaran Pencemaran Partikel Debu (PM 10) dan Asap (SO2, NO2) terhadap Gangguan Paru. 2.9.2.1. Paparan Debu Partikulat Meter 10 (PM 10). Menurut Slamet (2000) dalam Khumaidah (2009), debu adalah zat padat yang dihasilkan oleh manusia atau alam dan merupakan hasil dari proses pemecahan suatu bahan, berukuran 0,1-25 mikron dan termasuk kedalam golongan partikulat. Partikulat adalah zat padat/cair yang halus, dan tersuspensi diudara, misalnya embun, debu, asap, fumes dan fog. Partikulat ini dapat terdiri atas zat organik dan anorganik. Sedangkan dalam Environmetal Protection Agency (2001) debu merupakan salah satu bahan yang sering disebut sebagai partikel yang melayang di udara (Suspended Particulate Matter/SPM). Suspended particulare metter adalah partikel halus di udara yang terbentuk saat proses pembakaran bahan bakar minyak. Terutama partikulat halus yang disebut PM10. Particulat Matter 10 (PM10) adalah jenis pencemaran yang terdiri dari partikel cair dan padat yang sangat kecil berdiameter 10 mikron untuk dihirup kebagian terdalam
30
paru-paru. Diibaratkan, ukuran rambut manusia adalah 60 mikron, maka PM10 adalah 6 kali lipat dari sehelai rambut Menurut Pudjiastuti (2002) partikel debu dapat menggangu kesehatan manusia seperti timbulnya iritasi pada mata, alergi, gangguan pernapasan dan kanker paru-paru. Efek debu terhadap kesehatan sangat tergantung pada : Solubity (mudah larut), komposisi kimia, konsentrasi debu dan ukuran partikel debu Kemudian, ukuran debu
sangat
berpengaruh terhadap terjadinya
penyakit pada saluran pernapasan. Dari hasil penelitian ukuran tersebut dapat mencapai organ target sebagai berikut: a. 5-10 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian atas. b.
2-5 mikron akan tertahan oleh saluran pernapasan bagian tengah.
c.
1-3 mikron
hinggap
dipermukaan/
selaput
lendir
sehingga
menyebabkan vibrosis paru. d.
0,1-0,5 mikron melayang di permukan alveoli.
Sedangkan dalam Fardiaz (1992) partikel-partikel yang masuk dan tertinggal di dalam paru-paru mungkin berbahaya bagi kesehatan karena tiga hal penting, yaitu: a. Partikel tersebut mungkin beracun karena sifat-sifat kimia dan fisiknya.
31
b. Partikel tersebut mungkin bersifat inert (tidak beraksi) tetapi tinggal di dalam saluran pernafasan dapat menggangagu pembersihan bahan-bahan lain yang berbahaya. c. Partikel-partikel tersebut mungkin dapat membawa molekulmolekul gas yang berbahaya, baik dengan cara mengabsorbsi atau
mengadsorbsi, sehingga molekul-molekul gas tersebut
dapat mencapai dan tertinggal di bagian paru-paru yang sensitif. Karbon merupakan partikel yang umum dengan kemampuan yang baik untuk mengabsorbsi molekul-molekul gas pada permukaannya. Dalam Pope III et al (2006) partikel PM10 yang berdiameter 10 mikron memiliki tingkat kelolosan yang tinggi dari saringan pernafasan manusia dan bertahan di udara dalam waktu cukup lama. Tingkat bahaya semakin meningkat pada pagi dan malam hari karena asap bercampur dengan uap air. PM10 tidak terdeteksi oleh bulu hidung sehingga masuk ke paru-paru. Jika partikel tersebut terdeposit ke paru-paru akan menimbulkan peradangan saluran pernapasan. Menurut Church dalam Kelly et al. (1998), terjadi hubungan peningkatan gejala asma dari kunjungan rumah sakit dan kematian akibat peningkatan PM10 di udara. Serangkaian analisis time-series dari hubungan kematian sebesar 1% per hari setiap harinya dengan peningkatan konsentrasi PM10 sebesar 10mg/m.
32
Hubungan kuat diamati dengan kejadian penyakit kardiovaskular dan peningkatan konsentrasi PM10 sebesar 1,4% per 10 mg/m dan gangguan pernafasan sebesar 3,4% per 10 mg/m dengan gejala hidung berair, hidung tersumbat, sinusitis, sakit tenggorokan, batuk kering dan berdahak, sesak napas dan dada tidak sakit. Dalam Pudjiastuti (2002) gejala penyakit ini berupa sakit paru-paru, namun berbeda dengan penyakit TBC paru. Partikel debu selain memiliki dampak
terhadap kesehatan juga dapat menyebabkan gangguan sebagai
berikut: a. Gangguan estetik dan fisik seperti terganggunya pemandangan dan pelunturan warna bangunan dan pengotoran. b.
Merusak kehidupan tumbuhan yang terjadi akibat adanya penutupan pori-pori tumbuhan sehingga jalnnya fotosintesis.
c. Merubah iklim global regional maupun internasional d.
Mengganggu perhubungan/penerbangan yang akhirnya menganggu kegiatan sosial ekonomi di masyarakat
Menurut Price (1995) mekanisme penimbunan debu dalam paru ; debu diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap. Udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan
33
mokosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung dan kearah superior menuju faring dan menuju paru-paru. Kemudian, partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terus-menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat yang membentuk fibrosis. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat intertestial. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru (pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru akan menurun dan dapat mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke dalam jaringan otak, jantung dan bagian-bagian tubuh lainnya sehingga hal ini menjadi faktor risiko terjadinya serangan penyakit kardiovaskular. Hal ini dibuktikan secara studi epidemiologi dalam Pope et al. (2003) menunjukkan bahwa partikulat halus (PM) polusi udara memiliki efek yang merugikan kesehatan manusia. Meskipun banyak penelitian telah difokuskan pada titik akhir kesehatan pernapasan, ada bukti yang berkembang bahwa PM merupakan faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular. Bukti ini berasal dari
34
studi yang telah mengamati peningkatan kematian penyakit kardiovaskuler selama terjadinya polusi , asosiasi betwen perubahan harian di PM dan kematian kardiovaskular, rawat inap dan peningkatan risiko mortalitas penyakit cardiopulmonary pada dewasa yang terkait dengan perbedaan spasial dalam konsentrasi PM ambien.
2.9.2.2. Paparan Sulfur Dioksida (SO2) Dalam Soedomo (2001) SO2 terbentuk dari fungsi kandungan Sulfur dalam bahan bakar fosil. Selain itu kandungan sulfur dalam pelumas juga menjadi penyebab emisi SO2. Reaksi kimia: S2 + O2- SO2 Udara yang telah tercemar SO2 menyebabkan manusia akan mengalami gangguan pada sistem pernapasannya. Hal ini karena gas SO2 yang mudah menjadi asam tersebut menyerang selaput lendir pada hidung, tenggorokan dan saluran napas yang lain sampai ke paru-paru. Serangan gas SO2 tersebut menyebabkan iritasi pada bagian tubuh yang terkena. Daya iritasi SO2 pada setiap orang ternyata tidak sama. Ada orang yang sensitif dan sudah akan mengalami iritasi apabila terkena SO2 berkonsentrasi 1-2 ppm, namun ada pula orang yang baru akan mengalami iritasi tenggorokan apabila terkena SO2 berkonsentrasi 6 ppm.
35
Gas SO2 merupakan bahan pencemar yang berbahaya bagi anak– anak, orang tua dan orang yang menderita penyakit pernapasan kronis dan penyakit kardiovaskular. Otot saluran pernapasan dapat mengalami kejang (spasme) bila teriritasi oleh SO2 dan spasme akan lebih berat bila konsentrasi SO2 lebih tinggi sementara suhu udara rendah. Apabila waktu paparan dengan gas SO2 cukup lama maka akan terjadi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang diikuti oleh paralysis cilia (kelumpuhan sistem pernapasan), kerusakan lapisan ephitelium yang pada akhirnya diikuti oleh kematian. Pajanan jangka pendek terhadap SO2 dapat menyebabkan konstriksi saluran udara pernapasan pada penderita asma dan individu sensitif lainnya. Sedangkan pajanan kronik dapat menyebabkan penebalan selaput lendir trachea, mirip dengan bronkhitis kronik. Penebalan selaput lendir trachea tersebut dapat menyelimuti dan membuat tidak aktifnya getaran atau denyut lapisan rambut getar dari saluran pernapasan atas, yang pada keadaan normal berfungsi mengeluarkan agen infeksius dan partikel asing. SO2 merupakan senyawa yang cepat bereaksi dengan jaringan paru dan menimbulkan efek yang sangat luas karena dapat ditransportasikan sampai ke sum-sum tulang dan menimbulkan anemia aplastik. Pada konsentrasi 6-12 ppm, SO2 mudah diserap oleh selaput lendir saluran pernapasan bagian atas (tidak lebih dalam daripada larynx). Dalam
36
kadar rendah, SO2 dapat menimbulkan spasme temporer otot-otot polos pada bronchioli. Spasme ini dapat menjadi lebih hebat pada keadaan dingin. Pada konsentrasi yang lebih besar, terjadi produksi lendir di saluran pernapasan bagian atas dan apabila kadar SO2 bertambah tinggi lagi, maka akan terjadi reaksi peradangan yang hebat pada selaput lendir yang disertai dengan paralysis cilia dan kerusakan lapisan epithelium. Bila kadar SO2 (6 - 12 ppm) tetapi pemaparan terjadi berulang kali, maka iritasi selaput lendir yang berulang – ulang dapat menyebabkan terjadinya hyperplasia dan metaplasia sel-sel epitel. Metaplasia ini dicurigai dapat berubah menjadi kanker.
2.9.2.3.
Paparan NO2 terhadap Gangguan Pernafasan Selain terdapat di alam, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) berasal dari gas-gas yang dihasilkan oleh buangan kendaraan bermotor dan pusat-pusat tenaga listrik. Tidak seperti carbon dan sulfur, NO tidak terdapat dalam bahan bakar minyak, akan tetapi berasal dari udara dimana terjadi proses pembakaran dari senyawa ini. Pengaruh NO terhadap lingkungan yang utama adalah dalam pembentukan Smog. Pengaruh langsung dari NO terhadap kesehatan tidak diketahui dengan jelas, akan tetapi NO dalam kadar yang cukup tinggi dapat bereaksi dengan Hb dan mempunyai sifat yang sama dengan CO, karena dapat menghalangi fungsi normal Hb dalam darah. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa NO
37
memberikan efek menambah kelemahan terhadap infeksi bakteri paru–paru. NO dapat menyebabkan iritasi pada mata, saluran pernapasan dan pembengkakan pada paru-paru karena waktu paparan yang cukup lama pada konsentrasi 1 ppm. Absorbsi gas NO2 oleh mukosa dapat menyebabkan peradangan saluran pernapasan bagian atas dan iritasi pada mukosa mata (Soedomo, 2001). Menurut Sunu (2001), organ tubuh yang paling peka terhadap pencemaran gas NO2 adalah paru–paru. Paru–paru yang terkontaminasi oleh gas NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernapas yang dapat mengakibatkan kematian. Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya sistem pernapasan dan dapat menjadi emfisema, bila kondisinya kronis dapat berpotensi menjadi bronkhitis serta akan terjadi penimbunan NO2 dan dapat merupakan sumber karsinogenik. Sifat bahayanya terletak pada gejala yang tidak segera tampak setelah menghirup sejumlah dosis berbahaya. Gejala kerusakan paru atau pulmonary edema baru muncul setelah 72 jam. Konsentrasi 25 ppm dapat menimbulkan pulmonary edema setelah 5-48 jam (Irhamkhasani, 2002).
2.10. Baku Mutu Udara Ambien Baku mutu udara ambien (BMUA) merupakan ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau seharusnya ada dan/atau unsur
38
pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien (Permen Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 2010) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Baku Mutu Udara Ambien Nasional, menyatakan bahwa kadar debu partikel 10 mikron di udara yang memenuhi syarat adalah tidak melebihi dari 150 μg/m3. Sedangkan konsentrasi suhu dan kelembaban diatur dalam Kepmenkes RI No.1405/Menkes/SK/XI/2002 lampiran II tentang Persyaratan Penyelenggaraan Kesehatan Lingkungan Kerja Industri persyaratan suhu adalah 18-30 oC dan untuk kelembaban adalah 65%-95% di lingkungan industry.
2.11. Faktor Karakteristik Individu yang Menyebabkan Timbulnya Gangguan Fungsi Paru Selain dari paparan debu partikel dan asap dari faktor lingkungan, faktorfaktor lain yang dapat meningkatkan risiko gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kepur, berikut pejelannya : a.
Umur Faal paru tenaga kerja dipengaruhi oleh umur. Meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya gangguan saluran pernapasan pada tenaga kerja (Yunus,F, 1997). Faktor umur mempengaruhi kekenyalan paru sebagaimana jaringan lain dalam tubuh. Walaupun tidak dapat dideteksi hubungan umur dengan pemenuhan volume
39
paru tetapi rata-rata telah memberikan suatu perubahan yang besar terhadap volume paru. Hal ini sesuai dengan konsep paru yang elastisitas. Pada penelitian Yulaekah (2007), menunjukan bahwa ada hubungan yang bermakna antara paparan debu terhirup dengan gangguan fungsi paru pada kelompok umur 31-40 tahun. Sedangkan pada kelompok umur 20-30 tahun tidak ada hubungan antara paparan debu dengan gangguan fungsi paru.
b.
Jenis Kelamin Menurut Wikipedia, jenis kelamin dikaitkan pula dengan aspek gender, karena terjadi diferensiasi peran sosial yang dilekatkan pada masing-masing jenis kelamin. Berdasarkan laporan National Center for Health Statistic/NCHS (2003) dalam Sucipto (2007) jumlah wanita yang mengalami serangan asma lebih banyak daripada lelaki Selain itu dalam Sucipto (2007) penyakit paru dapat menjadi perhatian utama bagi perempuan. Jumlah perempuan yang diidentifikasi memiliki penyakit paru-paru meningkat. Lebih banyak perempuan juga meninggal akibat penyakit paru-paru. Ada 3 jenis penyakit paru-paru yang sangat umum pada wanita: asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), dan kanker paru-paru. Perempuan memiliki variabilitas nilai arus puncak ekspirasi lebih rendah daripada laki-laki menurut H.M Boezen dkk (1994) dalam Sucipto (2007). Kecenderungan bahwa asma lebih sering terjadi pada wanita dibanding pria mungkin disebabkan oleh fluktuasi kadar hormon, demikian sebuah laporan
40
yang dipresentasikan dalam pertemuan tahunan American College of Allergy, Asthma and Immunology, di Anaheim, Calif. Menurut seorang peneliti dari University of California and the Allergy & Asthma Medical Group and Research Center di San Diego, wanita berusia antara 20-50 tahun ternyata 3 kali lebih sering dibanding pria untuk dirawat di Rumah Sakit akibat asma.
c.
Masa Keja Masa kerja adalah jangka waktu orang sudah bekerja pada suatu kantor, badan dan sebagainya (KBBI, 2001). Menurut (Suma’mur, 1996) masa kerja adalah lamanya seorang tenaga kerja dalam (tahun) dalam satu lingkungan perusahaan, dihitung mulai saat bekerja sampai penelitian berlangsung. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Pada penelitian Yulaekah (2007), menunjukan bahwa pada kelompok kerja 5-10 tahun ada hubungan yang bermakna antara paparan debu terhirup dengan gangguan fungsi paru.
d.
Lama Paparan Dalam Yunus F (1997) berbagai faktor berpengaruh dalam timbulnya penyakit atau gangguan pada saluran napas akibat debu. Faktor itu antara lain adalah faktor debu yang meliputi ukuran partikel, bentuk, konsentrasi, daya larut dan sifat kimiawi dan lama paparan
41
Dalam Mengkidi (2006) lama paparan adalah waktu yang dihabiskan seseorang berada dalam lingkungan kerja dalam waktu sehari. Kemudian dalam Suma’mur (1998) menyatakan bahwa salah satu variabel potensial yang dapat menimbulkan gangguan fungsi paru adalah lamanya seseorang terpapar polutan tersebut dalam suatu lingkungan tertentu, selain itu menurut Bannet (1997) dalam Nugraheni (2004) bahwa konsentrasi debu dan lama paparan terhadap polutan berbanding lurus dengan gangguan fungsi paru. e.
Kebiasaan merokok. Kebiasan merokok dapat mempengaruhi kapasitas vital paru. Saat merokok terjadi suatu proses pembakaran tembakau dengan mengeluarkan polutan partikel padat dan gas. Asap rokok merangsang sekresi lender sedangkan nikotin akan melumpuhkan silia sehingga fungsi pembersihan jalan napas terhambat dan konsekuensinya terjadi penumpukan sekresi lendir yang menyebabkan terjadinya batuk-batuk, banyak dahak dan sesak napas menurut Ikhawn (2009) dalam Yuliani (2010). Kemudian, menyebutkan bahwa ada pengaruh antara kebiasaan merokok dengan kapasitas paru, yaitu semakin banyak jumlah batang rokok perhari yang dihisap, maka akan terjadi penurunan fungsi paru yang bersifat restruktif. Penelitian Gold et al (2005) dalam Suwondo (2013) menunjukan adanya hubungan dose respon antara kebiasaan merokok dengan dan rendahnya leval FEV1/FVC dan FEF 25-75% dengan jumlah konsumsi rokok sebanyak 10
42
batang perhari ditemukan berhubungan dengan penurunan FEF 25-75% disbanding orang yang tidak merokok.
f.
Status Gizi Status gizi secara teoritis dapat mempengaruhi daya tahan responden terhadap efek debu, sehingga pada seseorang dengan status gizi baik kemungkinan menderita penyakit pernafasan lebih kecil dari pada seseorang yang mempunyai gizi kurang (Setyakusuma, 1997). Salah satu penilaian status gizi seseorang yaitu dengan menghitung Indeks Masa Tubuh (IMT), dengan IMT akan diketahui apakah berat badan seseorang dinyatakan normal, kurus atau gemuk. Penggunaan IMT hanya untuk orang dewasa berumur lebih dari 18 tahun dan tidak dapat diterapkan pada bayi, anak, remaja, ibu hamil dan olahragawan (Almatsier, 2002). Untuk menghitung nilai IMT dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Berat Badan (Kg) IMT=
Tinggi Badan (m) x Tinggi Badan (m)
Untuk
kepentingan
Indonesia,
batas
ambang dimodifikasi
lagi
berdasarkan pengalaman klinis dan hasil penelitian di beberapa negara
43
berkembang. Pada akhirnya diambil kesimpulan, batas ambang IMT untuk Indonesia adalah sebagai berikut: Tabel 2.2. Kategori Indeks Masa Tubuh (IMT) IMT
Kategori
<18,5 Berat badan kurang/kurus 18,5-25 Berat badan normal ≥ 25 Obesitas Sumber : WHO/FAO (2003) dalam Almatsier (2002)
g.
Aktifitas Fisik
Menurut Giam (1996) dalam Mengkidi (2005) latihan fisik sangat berpengaruh terhadap sistem kembang pernapasan. Dengan latihan fisik secara teratur dapat meningkatkan pemasukan oksigen ke dalam paru. Kebiasaan berolahraga memberi manfaat dalam meningkatkan kerja dan fungsi paru, jantung dan pembuluh darah yang ditandai dengan ; denyut
nadi istirat
menurun, isi sekuncup bertambah, kapasitas vital paru bertambah, penumpukan asam laktat berkurang, meningkatkan pembulu darah kolesterol, meningkatkan HDL kolesterol dan mengurangi aterosklerosis. Secara umum semua cabang olahraga, permainan dan aktifitas fisik sedikit banyak membantu meningkatkan kebugaran fisik. Namun terdapat perbedaan dalam tingkat dan komponenkomponen kebugaran fisik yang ditingkatkan.
44
h.
Riwayat Penyakit Dalam Ganong (2002) beberapa penelitian diperoleh hasil bahwa seseorang yang mempunyai riwayat menderita penyakit paru berhubungan secara bermakna dengan terjadinya gangguan fungsi paru. Kondisi kesehatan dapat mempengaruhi nilai arus puncak ekspirasi seseorang. Kekuatan otot-otot pernapasan dapat berkurang akibat sakit, seperti asma, pasca Tb, PPOK (penyakit paru obstruktif kronik), penyakit sistemik.
2.12.
Faktor Meteorologi yang Mempengaruhi Konsentrasi Udara Ambien Menurut Achmadi (2011),
kejadian penyakit itu dipengaruhi oleh
kelompok variabel supra sistem, yaitu iklim, topografi, temporal dan suprasystem. Variabel ini dengan kata lain juga harus diperhitungkan dalam setiap analisis kejadian penyakit. Iklim menjadi salah satu peran dalam proses kejadian penyakit. Iklim harus diperhitungkan dalam setiap analisis, baik prediktor antisipatif maupun retrospektif dalam setiap kejadian penyakit. Berikut variabel yang termasuk dalam faktor meteorologi dan iklim dalam Laktin (2002)
yang dapat mempengaruhi konsentrasi udara ambien
sebagai media transmisi, yaitu diantaranya temperature, kecepatan angina, arah angina, curah hujan, kelembaban udara dan tekanan udara.
45
a. Temperatur Pergerakan mendadak lapisan udara dingin ke suatu kawasan industri dapat menimbulkan temperature tinggi. Dengan kata lain, udara dingin akan terperangkap dan titik dapat keluar dari kawasan tersebut dan cenderung menahan polutan tetap berada di lapisan permukaan bumi sehingga konsentrasi polutan di kawasan tersebut semakin lama semakin meningkat. Keadan tersebut di permukaan bumi dapat dikatakan tidak terdapat pertukaran udara sama sekali. Oleh karena itu, udara yang penuh dengan polutan dengan kondisi temperature tinggi akan dapat menimbulkan keadan lingkungan yang kritirs bagi kesehatan.
b. Kecepatan Angin Kecepatan angin dalam klimatologi adalah kecepatan angina horizontal pada ketinggian 2 meter dari permukaan tanah yang ditanami rumput. Kecepatan angin yang kuat akan membawa polutan terbang kemana-mana dan dapat mencemari udara ke wilayah lain. Alat pengukur kecepatan angin yang umum digunakan adalah anemometer.
c. Arah Angin Massa udara yang bergerak disebut angin. Angin selalu bertiup dari tempat dengan tekanan udara tinggi ke tempat yang tekanan udara rendah. Jika tidak ada gaya lain yang mempengaruhi maka angin akan bergerak secara
46
langsung, akan tetapi perputaran bumi pada sumbunya akan menimbulkan gaya yang akan mempengaruhi arah pergerakan angin. Pola arah angin ini akan menentukan kemana arah udara yang membawa sumber polutan bergerak ke suatu tempat.
d. Hujan Air hujan sebagai pelarut umum cenderung melarutkan bahan polutan yang terdapat dalam udara. Pada musim hujan pembersihan atmosfer lebih efektif karena terjadi pengendapan bahan polutan yang lebih cepat (dengan adanya gaya gravitas) dan terjadi mekanisme pembersihan bahan polutan melalui mekanisme washout atau pencucian secara alami.
e. Kelembaban Udara Kelembaban udara ditentukan oleh jumlah uap air yang terkandung di dalam udara. Dalam klimatologi untuk menunjukan kelembaban udara adalah kelembaban
relative
(relative
humidity).
Kelembaban
relative
adalah
perbandingan antara tekanan uap air actual (yang terukur) dengan tekanan uap air pada kondisi jenuh, umumnya dinyatakan dalam persen. Kelembaban udara yang relative rendah di daerah tercemar akan mengurangi efek korosif dari bahan kimia pencemar. Pada kelembaban relatif tinggi didaerah tercemar akan terjadi peningkatan efek korosif.
47
f. Jarak Rumah dengan Sumber Pencemar Pencemaran udara dipengaruhi oleh iklim dan klimatologi serta topografi, sehingga dapat diduga semakin jauh jarak dengan sumber semakin rendah konsentrasi zat pencemar. Hasil penelitian Rahman & Suryaman (2009) menyebutkan bahwa hasil TSP dan PM10 menurun jaraknya dari sumber (pengolahan kapur mulai jarak 500 meter sampai 5.000 meter.
2.13. Manajemen Pengendalian Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Menurut Soeripto (1992) penyakit akibat faktor pekerjaan bisa dihindarkan asal saja tenaga kerja mempunyai kemauan dan itikad yang baik untuk mencegahnya. Disini tenaga kerja mempunyai peranan yang penting dalam menghindarkan penyakit akibat kerja. Untuk penyakit akibat kerja yang disebabkan golongan debu, upaya pengendaliannya dapat dilakukan : a.
Substitusi yaitu mengganti bahan yang memiliki bahaya dengan bahan yang kurang berbahaya atau tidak berbahaya sama sekali.
b.
Ventilasi umum yaitu mengalirkan udara ke ruang kerja agar kadar debu yang ada dalam ruangan kerja menjadi lebih rendah dari kadar nilai ambang batas (NAB).
c.
Isolasi yaitu menutup proses, bahan atau alat kerja yang merupakan sumber debu agar tidak tersebar ke ruangan lain.
48
d.
Memodifikasi proses yaitu mengubah proses atau cara kerja sedemikian rupa agar hamburan debu yang dihasilkan berkurang.
e.
Mengadakan
pemantauan
terhadap
lingkungan
kerja
yaitu
pemantauan terhadap lingkungan kerja agar dapat diketahui apakah kadar debu yang dihasilkan sudah melampaui nilai ambang batas yang diperkenankan f.
Alat pelindung diri yaitu upaya perlindungan terhadap tenaga kerja agar terlindungi dari resiko bahaya yang dihadapi. Misalnya masker, sarung tangan, kaca mata dan pakaian pelindung.
g.
Penyuluhan kesehatan dan keselamatan kerja secara intensif agar tenaga kerja tetap waspada dalam melaksanakan pekerjaannya.
2.14. Patogenesis Penyakit Berbasis Lingkungan Pathogenesis penyakit berbasis lingkungan dapat digambarkan dalam suatu model atau paradigma. Paradigma tersebut menggambarkan hubungan interaksi antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan manusia. Hubungan interaktif tersebut sebagaimana digambarkan oleh Achmadi (2008) yaitu paradigm kesehatan lingkungan. Dengan mempelajari pathogenesis penyakit, kita dapat menentukan pada titik mana atau simpul mana kita bisa melakukan pencegahan. Tanpa memahami pathogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan, sulit melakukan pencegahan.
49
Telah disebutkan sebelumnya bahwa kejadian penyakit merupakan hasil hubungan interaktif antara manusia dan perilakunya serta komponen lingkungan yang memiliki potensi penyakit. Perilaku penduduk yang merupakan salah satu representativ budaya merupakan salah satu variable kependudukan, yaitu umur, gender, pendidikan, genetik, dan lain sebagainya. Dengan demikian, kejadian penyakit pada hakikatnya dipengaruhi oleh variable kependudukan dan variable lingkungan. Dengan kata lain pula, gangguan kesehatan merupakan resultant dari hubungan interaktif antara lingkungan dan variable kependudukan. Patogenesis penyakit dalam perspektif lingkungan dan kependudukan dapat digambarkan dalam teori Simpul oleh Achmadi (2008) pada Gambar 2.2. Dengan mengacu kepada gambaran skematik tersebut dibawah ini, maka pathogenesis atau proses kejadian penyakit berbasis lingkungan dapat diuraikan ke dalam 5 simpul, yaitu simpul 1 sebagai sumber penyakit; simpul 2 adalah komponen lingkungan yang merupakan media transmisi penyakit; simpul 3 adalah penduduk dengan berbagai variable kependudukan seperti umur, gender, pendidikan, dll; sedangkan simpul 4 adalah penduduk yang dalam keadaan sehat atau sakit setelah mengalami inteaksi atau exposure dalam komponen lingkungan yang mengandung
agen penyakit. Sedangkan simpul 5 adalah
semua variabel yang memiliki pengaruh terhadap ke-empat simpul tersebut. Sebagai contoh adalah kebijakan, iklim dan topografi lingkungan.
50
Manajemen Penyakit Manajemen Penyakit Simpul 2 Simpul 1: Sumber Penyakit (Alamiah/ Antropogenik)
Udara
Simpul 3:
Air
Jumlah3: Simpul
Vektor penyakit
Manusia
Kontak Pemajanan Jumlah Kontak Pemajanan
Sehat/ Sakit Sehat/ Sakit
Agent Penyakit Lingkungan Strategis/Politik, Iklim, Topografi, Suhu,dll.
Gambar 2.3. Teori Simpul (Achmadi, 2008).
Simpul-simpul tersebut pada dasarnya menuntun kita sebagai simpul pencegahan atau simpul manajemen. Untuk mencegah penyakit tertentu agar tidak perlu menunggu hingga simpul 4 terjadi. Dengan mengendalikan sumber penyakit, kita dapat mencegah pada proses kejadian hingga simpul 3,4 atau 5. Adapun uraian simpu-simpul sebagai berikut :
1.
Simpul 1 : Sumber Penyakit Sumber penyakit adalah titik yang mempunyai dan/atau mengadakan agen penyakit serta mengemulsikan atau meng-emisikan agen penyakit. Agent
51
penyakit adalah komponen lingkungan yang menimbulkan gangguan penyakit melalui media perantara (yang juga komponen lingkungan). Sumber penyakit dapat dikelompokan menjadi dua kelompok besar, yaitu : a.
Sumber penyakit alamiah, seperti gunung merapi dan proses pembusukan karena proses alamiah.
b.
Sumber penyakit hasil aktivitas manusia, seperti industri, rumah tangga, knalpot kendaraan dan penderita penyakit menular.
c.
Sumber penyakit dari reservoir penyakit, seperti Japanese Encephalitis, virus Dangue dan sebagainya.
2.
Simpul 2 : Media Transmisi Penyakit Media transmisi tidak memiliki potensi penyakit jika di dalamnya tidak mengandung agen penyakit. Mengacu pada gambar skematik komponen lingkungan yang dapat memindahkan agen penyakit pada hakikatnya ada lima komponen lingkungan, yaitu udara ambien, air yang dikonsunsi, tanah/pangan, binatang/vector penyakit dan manusia melalui kontak langsung.
3.
Simpul 3 : Perilaku Pemajanan Hubungan interaktif antara komponen lingkungan dengan penduduk berikut perilakunya dapat diukur dengan konsep disebut sebagai perilaku pemajanan atau behavioral exposure (Ahmadi, 1985). Perilaku pemajanan adalah jumlah kontak antara manusia dengan komponen lingkungan yang mengandung agen penyakit.
52
Apabila kesulitan mengukur besaran agen penyakit, maka diukur dengan cara tidak langsung yang disebut dengan biomarker atau tanda biologis pada tubuh. 4.
Simpul 4 : Kejadian Penyakit Kejadian penyakit merupakan outcome hubungan interaktif antara penduduk dengan lingkungan yang memiliki potensi bahaya gangguan kesehatan. Manifestasi hubungan tersebut menghasilkan penyakit pada penduduk. Ada tiga gradasi penderita penyakit, yaitu akut, subklinik dan penderita penyakit kategori samar dan masyarakat sehat yang harus dilindungi.
5.
Simpul 5 : Variabel Supra Sistem Iklim berperan dalam proses kejadian penyakit. Iklim termasuk komponen variabel supra sistem. Iklim harus di perhitungkan dalam setiap analisis, baik predictor antisipasi maupun retrospektif dalam kejadian penyakit. Contoh lain yang diperhitungkan juga adalah kebijakan mikro seperti keputusan politik yang dapat ditujukan untuk memengaruhi kondisi lingkungan strategis dalam setiap analisis kejadian penyakit. 2.15. Kerangka Teori Mengacu pada pathogenesis penyakit yang menguhungkan interaksi antara komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya penyakit dengan manusia dalam sebuah teori simpul maka berdasarkan Ikhsan (2002), Rahman dan Suryaman (2009), Pudjiastuti (2002), Soedomo (2001), dan Sunu (2001)
53
menyebutkan bahwa faktor lingkungan berupa paparan debu partikel, hasil pembakaran seperti SO2 dan NO2 melalui udara ambien menjadi pencetus gangguan fungsi paru. Sedangkan menurut Yunus F (1997), Yulaekah (2007), Suma’mur (1996), Yuliani (2010), Setyakusuma (1997), Dorce (2005), Ganong (2002) menyebutkan bahwa faktor-faktor lain dari internal yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru adalah umur, jenis kelamin, status gizi, perilaku merokok, masa kerja, lama paparan, penggunaan APD, riwayat penyakit dan aktifitas fisik atau olahraga. Selain itu menurut Laktin (2002) adanya faktorfaktor meteorologi sebagai eksternal faktor yang dapat mempengaruhi konsentrasi udara ambien dari debu partikel, SO2 dan NO2.
54
Bagan 2.2. Kerangka Teori
Manajemen Pengendalian Simpul 2 Simpul 1: Aktivitas penambangan dan pengolahan Batu Kapur
Media Transmisi Penyakit: Udara Ambien
Simpul 3:
Jumlah Kontak Pemajanan dan Faktor Host lainnya.
Gangguan Fungsi Paru
Agent
PM10, SO2, NO2 Faktor Meteorologi: Temperatur, Kelembaban, Curah Hujan, Arah angin
Sumber : Ikhsan, 2002; Rahman dan Suryaman, 2009; Pudjiastuti, 2002; Price&Wilson, 1995; Sunu , 2001; Soedomo, 2001; Yunus F, 1997; Yulaekah, 2007; Suma’mur, 1996; Yuliani, 2010; Setyakusuma,1997; Dorce, 2005; Ganong, 2002; Laktin, 2002.
BAB III KERANGKA KONSEP 3.1.
Kerangka Konsep Penelitian Kerangka konsep penelitian ini ingin mengetahui hubungan faktor lingkungan yaitu konsentrasi udara ambien akibat aktivitas pengolahan batu kapur yang menimbulkan pencemaran udara dan menjadi agent penyakit. Pencemaran udara yang berlangsung terus-menerus dapat mengakibatkan gangguan fungsi paru. Adapun bahan pencemar dari aktivitas tersebut salah satunya adalah partikel debu (PM10). Debu yang berukuran 5-10 mikron dengan kadar berbeda dapat masuk ke dalam alveoli, meskipun memiliki kapasitas yang rendah, namun apabila jumlahnya sudah terakumulasi tinggi di udara dan terhirup secara terus menerus maka partikel debu akan tertimbun dalam paru untuk terdeposit didalam alveoli. Akibat PM10 yang masuk dalam jaringan alveoli dapat menyebabkan reaksi gangguan fungsi paru yang akut dan kronik. Konsentrasi udara ambien dari PM10 tersebut sangat dipengaruhi oleh faktor meteorologi sebagai analisis prediksi terhadap terjadinya gangguan fungsi paru. Faktor meteorologi tersebut antara lain suhu, kelembaban dan arah angin. Faktor risiko lainnya yang dapat menimbulkan gangguan fungsi paru adalah faktor individu pekerja (host) yang diteliti berdasarkan keberagaman karakteristik antara lain; umur, semakin bertambahnya umur, volume paru
55
56
dan elatisitas paru akan semakin menurun, sehingga menyebabkan kapasitas vital paru menurun dan dapat mengakibatkan suplai oksigen dalam tubuh berkurang. Konsumsi merokok, efek dari ribuan zat kimia yang terkandung olah rokok memicu timbulnya keluhan saluran pernapasan dan gangguan ventilasi paru pada pekerja, karena saat merokok terjadi pembakaran tembakau yang mengeluarkan polutan partikel dan asap yang akan melumpuhkan silia sehingga pembersihan jalan napas terhambat, selain itu dapat menyebabkan iritasi dan sekresi mukus yang berlebih pada bronkus, keadaan seperti ini dan menimbulkan gangguan pernapasan. Masa kerja, semakin lama seseorang bekerja mempengaruhi jumlah expossure duration dari agent yaitu PM10 yang terhirup dari udara bebas yang terakumulasi dalam paru-parunya, apabila masa kerja mencapai 70 tahun lebih akan menimbulkan efek karsinogenik dan non karsinogenik dalam waktu 30 tahun sesuai dengan standard expossure duration untuk orang dewasa yang dapat mempengaruhi fungsi paru. Status gizi, dapat mempengaruhi imunitas dan anti bodi seseorang sehingga mudah terserang infeksi, berkurangnya kemampuan tubuh melakukan
detoksifikasi
terhadap
benda
asing
yaitu
PM10
dan
mempengaruhi reaksi efek polutan dalam paru yang dapat menimbulkan gangguan paru. Suhu atau temperatur lingkungan mempengaruhi kadar konsentrasi bahan polutan di lingkungan kerja, saat suhu lingkungan tinggi akan terjadi
57
peningkatan konsentrasi bahan polutan semakin meningkat. Keadaan tersebut juga akan tidak terjadi pertukaran udara, hal ini akan menimbulkan kondisi lingkungan kerja yang kritis dan berisiko bagi kesehatan respirasi pekerja. Kelembaban udara di lingkungan kerja akan mempengaruhi reaktifitas dari polutan pencemar yaitu debu terhadap tubuh. Kondisi yang tidak baik yaitu saat kelembaban relative rendah, hal ini akan berisiko juga jangkitnya bakteri yang berektif dengan bahan polutan yang dapat masuk ke saluran pernafasan yang mempengaruhi saluran mukus. Adapun variabel yang tidak diteliti dari faktor lingkungan adalah udara ambien SO2 dan NO2, karena keterbatasan alat pengukuran dari laboratorium. Variabel yang tidak diteliti lainnya adalah jenis kelamin, karena hampir seluruh pekerja penambang dan pengolahan batu kapur adalah laki-laki, sehingga akan bersifat homogen. Kebiasaan menggunakan APD juga tidak diteliti karena saat studi pendahuluan pekerja tidak ada yang menggunakan APD seperti masker, sehingga jika diteliti tidak ada variasinya. Variabel aktifitas fisik olahraga juga tidak dimasukan, karena hasil observasi dan pengamatan rata-rata aktivitas pekerja yang mereka prioritaskan untuk bekerja dan beristirahat saja, hal ini kan terlihat ketidak beragaman data, serta variabel lama paparan tidak diteliti karena para pekerja rata-rata bertempat tinggal di sekitar lingkungan kerja dan cenderu berada disekitar lokasi keja selama 24 jam.
58
Bagan 3.1. Kerangka Konsep Penelitian
Umur
Status Gizi
Masa Keja
Konsumsi Merokok
Kadar PM10 Udara Ambien
Suhu
Kelembaban
Gangguan Fungsi Paru
59
3.2.
Hipotesis 1. Ada hubungan antara umur terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kabupaten Karawang tahun 2013. 2. Ada hubungan antara masa bekerja terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kabupaten Karawang tahun 2013. 3. Ada hubungan antara status gizi terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kabupaten Karawang tahun 2013. 4. Ada hubungan antara konsumsi merokok terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kabupaten Karawang tahun 2013. 5. Ada hubungan antara konsentrasi PM10 di area lingkungan kerja terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kabupaten Karawang tahun 2013. 6. Ada hubungan antara suhu terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kabupaten Karawang tahun 2013.
60
7. Ada hubungan antara kelembaban terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja penambangan dan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kabupaten Karawang tahun 2013.
61
3.3. Definisi Operasional Tabel 3.1. Defisini Operasional Variable
Definisi Operasional
Cara Ukur
Alat Ukur
Hasil Ukur
Sprirometer
0. Ada, (Restriktif,
Skala Ukur
Variabel Dependen Gangguan
Hasil pengukuran ventilasi paru
Pengukuran
Fungsi Paru
yang dinilai dengan menggunakan
menggunakan
Obstruktif,
parameter
alat spirometer
Mixed) jika FEV1
Normal : KVP > 80 %,
oleh badan
> 75 % dengan
nilai prediksi untuk semua
teknis khusus.
semua nilai KVP
umur,
(RSUD
atau KVP < 80 %
Restriksi : KVP < 80 %,
Karawang/
dengan semua
FEV1 > 75,
Biomedilab)
nilai FEV1.
Obstruksi : KVP > 80 %, FEV1 < 75%.
1. Tidak ada (normal) jika FEV1 < 75 % dan KVP > 80%. (Lauralee, 2001).
Ordinal
62
Variabel Independen Umur
Usia responden yang terhitung
Kuesioner oleh
Kuesioner dan
Tahun
Rasio
sejak tanggal lahir sampai waktu
peneliti dengan
pengecekan
penelitian berlangsung
wawancara
KTP.
Kuesioner
Tahun
Rasio
Kuesioner
Batang/hari
Rasio
terpimpin Masa kerja.
Lamanya pekerja bekerja di
Pengisian
pengolahan batu kapur, yaitu
koesioner oleh
tahun di mulai bekerja sampai
peneliti dengan
waktu wawancara dilakukan
wawancra
dalam hitungan tahun.
terpimpin.
Konsumsi
Kebiasaan merokok dengan
Pengisian
Merokok
ukuran jumlah batang rokok per
koesioner oleh
hari sampai waktunya penelitian. peneliti dengan wawancra terpimpin.
63
Status Gizi
Hasil penimbangan berat badan Pengukuran
Timbangan
dan pengukuran tinggi badan, perhitungan
Digital,
dimana
Microtoice dan
datanya
digunakan IMT
sebagai pengukuran indeks masa IMT= Berat tubuh.
Interval
< 18,5 1. Normal, jika
lembar isian.
badan/Tinggi badan
0. Kurus jika IMT
IMT 18,5-25 2. Gemuk, jika
2
IMT > 25 (FAO, 2003)
Kualitas debu
Partikel padat yang dihasilkan
Pengukuran
partikulat metter
dari kegiatan pengolahan batu
menggunakan
(PM10)
kapur, mulai dari penghancuran,
alat EPAM pada
pembakaran, pembongkaran dan
2 titik berbeda
pengepakan (finishing), yang
berdasarkan
diambil berdasarkan titik
jangka waktu
aktivitasnya tersebut.
pagi, siang dan
EPAM - 5000
µg/m3
Rasio
sore dalam interval waktu satu jam pengukuran. Suhu
Drajat panas atau dingin di Tingkat suhu lingkungan kerja yang tercatat dalam satuan OC pada alat ukur.
Wbgt Quest
O
C
Rasio
64
Kelembaban
Jumlah uap air yang terkandung Tingkat didalam
campuran
air-udara kelembaban
dalam fase gas di lokasi kerja.
dalam %.
Wbgt Quest
%
Rasio
56
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Jenis dan Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan jenis penelitian epidemiologi dengan rancangan cross sectional study (potong lintang). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan risiko kejadian gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari, dimana data variabel bebas (faktor risiko) dan terikat (efek) diamati pada waktu yang sama. Studi cross sectional ialah suatu penelitian untuk mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor resiko dengan efek, dengan cara pendekatan, observasi atau pengumpulan data sekaligus pada suatu saat (point time approach). Artinya, tiap subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek pada saat pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa semua subjek penelitian diamati pada waktu yang sama. (Notoatmodjo, 2002). 4.2.
Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Lokasi penelitian ini di pengolahan batu kapur di Desa Tamansari, Kec. Pangkalan, Kab. Karawang.
65
66
4.2.2. Waktu Peneleitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga April 2013.
4.3.
Sampel Penelitian Sampel dalam penelitian ini adalah semua pekerja pengolahan batu kapur pada bagian lokasi pengumpulan batu kapur, penghancuran, pembakaran, pembongkaran tobong, pengayakan & pengemasan/finishing. Jumlah pekerja di industri batu kapur tidak diketahui secara pasti karena sifat pekerja tidak tetap. Pada penelitian ini populasi peneliti menetapkan kriteria-kriteria tertentu untuk mengambil populasi studi. Sampel adalah sebagian individu yang diteliti atau diselidiki. Sampel ditentukan berdasarkan metode non-probability sampling dengan quota sampling, yaitu suatu metode pengambilan sampel yang distratifikasikan secara proporsional, berdasarkan peneliti saja dan besaran sampel dan kriteria telah ditentukan terlebih dahulu namun tidak dipilih secara acak (Nasution, 2003), dengan kata lain sampel penelitian ini ditentukan oleh peneliti sendiri sesuai kebutuhan penelitian namun menurut pertimbangan kekriteria tertentu yang telah ditetapkan sebelumya, yaitu sampel diambil berjumlah 40 responden dengan perincian 20 responden dari titik sampel A dan 20 lainnya dari titik sampel B. Adapun kriteria sampel pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
67
a. Pekerja pada pengolahan batu kapur yaitu pada kegiatan penghancuran, pembakaran, pembongkaran dan pengepakan. b. Pekerja berusia lebih dari 20 tahun, memiliki kebiasaan merokok dan bertempat tinggal di area penelitian yaitu Desa Tamansari.
4.4.
Metode Pengukuran Penelitian 4.4.1. Instrumen Penelitian Penelitian ini menggunakan metode wawancara, pengukuran dan observasi. Adapun alat-alat untuk melakukan pengukuran kulitas lingkungan yaitu kadar suatu debu dan kondisi fungsi paru pekerja batu kapur adalah : 1.
Pengukuran kadar debu partikel menggunakan alat EPAM (Environmental Particulat Air Monitor) dari laboratorium OHS FKIK UIN Jakarta.
2.
Pengukuran temperature udara mengguanakan Wbgt Quest
3.
Pengukuran kelembaban udara menggunakan Wbgt Quest
4.
Pengukuran fungsi paru menggunakan spirometer.
5.
Pengukuran berat badan menggunakan timbangan berat badan injak standart.
6.
Pengukuran tinggi badan menggunakan microtoice
7.
Kuesioner terbuka untuk variabel umur, perilaku merokok dan masa kerja.
68
4.4.2. Teknik Sampling Kualitas Udara Ambien Teknik sampling kualitas udara dilihat lokasi pemantauannya terbagi dalam dua kategori yaitu teknik sampling udara emisi dan teknik sampling udara ambien. Untuk sampling kualitas udara ambien, teknik pengambilan sampel kualitas udara ambien saat ini terbagi dalam dua kelompok besar yaitu pemantauan kualitas udara secara aktif (konvensional) dan secara pasif. Dari sisi parameter yang akan diukur, pemantauan kualitas udara terdiri dari pemantauan gas dan partikulat (BPHLD Jabar,2009). Penelitian ini melakukan pengukuran udara ambien pada partikulat meter berukuran 10 mikron. Teknik pengumpulan PM berbeda dengan pengumpulan gas, yang perlu diperhatikan adalah ukuran diameter dari partikulat tersebut. Ukuran partikulat di dalam matrik gas/udara bervariasi dari ukuran molekul sampai ukuran lebih besar. Pada penelitian ini mengkhususkan pengukuran PM10, yaitu debu partikel yang berukuran 10 mikron menggunakan alat SKC EPAM5000. SKC EPAM-5000 adalah aplikasi monitoring kualitas udara partikel secara in situ (real time) di lingkungan maupun ruangan secara ambien. Unit dari ini mengkombinasikan antara teknik filter secara konvensional dengan metode pemantauan secara in situ (real time). Partikel debu akan tergambarkan kedalam sensor dan terdeteksi setiap detiknya. Konsentrasi debu dengan cepat akan terkalkulasi dan terlihat di layar EPAM-5000. Semua data akan tersimpan dalam memori untuk kebutuhan data selanjutnya.
69
Gambar 4.1. SKC EPAM-5000
Pengukuran EPAM memiliki tingkat sensitivitas tinggi, jenis partikel yang dapat ditangkap mulai 1µg/m3 sampai 2000 µg/m3 . Data akan tersimpan dalam interval waktu setiap 1 detik, 1 menit, 10 detik atau 30 menit, ini disesuaikan dengan kebutuhan penggunanya.
Adapun tahapan pengukuran pada penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Tahap persiapan Tahap persiapan meliputi studi literatur awal terhadao objek yang akan dibahas, dilanjutkan dengan survey lokasi studi dan persiapan alat yang digunakan 2. Penentuan titik lokasi sampling
70
Pengukuran
konsentrasi
PM10 ditempatkan
di
titik
lokasi
aktivitas
penambangan dan pengolahan batu kapur berdasarkan tahapan aktivitas pekerjaannya (sumbernya) dan titik dimana pekerja berada pada posisi bekerja berkumpul, titk lokasi ini ditentukan dari hasil survei lokasi. Adapun titik sampel pengambilan dilokasi pengolahan batu kapur yang dengan dua titik tempat sampel yang berbeda.
Gambar 4.2. Peta Wilayah Desa Tamansari dan Titik Pengambilan Sampel udara Ambien
Keterangan : :Jarak sentra pengolahan batu kapur di Desa Taman Sari (4 km2 ) : Titik lokasi pengambilan sampel udara ambien di tempat pengolahan batu kapur
71
Untuk mendapatkan data/nilai harian (24 jam) dilakukan pada salah satu interval waktu seperti dibawah ini. Masing-masing interval waktu diukur 1 (satu) jam. Interval waktu pengukuran adalah : a. Pagi : interval waktu 06.00-10.00 b. Siang : interval waktu 10.00-14.00 c. Sore : interval waktu 14.00-18.00 (Permen LH No. 12 Tahun 2010) Masing-masing pengambilan data dilakukan secara representatif dari standar pengukuran udara ambien partikulat (24 jam). Adapun waktu pengukuran selama 1 jam pada masing-masing titik dengan pencatatan setiap 1 menit sekali pada data yang tercatat oleh alat. Kemudian dilakukan pencatatan mean, median, lower dan upper data. 4.4.3. Pengukuran fungsi paru Digunakan alat spirometer elektrik dengan prosedur sebagai berikut : a. Menyiapkan spirometer lengkap dengan kertas grafik. b. Responden diminta untuk meniup selang yang ada pada spirometer. c. Responden menarik napas kuat-kuat kemudian meniup ke alat secara kuat tanpa menekan tombol grafik, sehingga dihasilkan garis vertikal yang menunjukkan besarnya Vital Capacity. d. Peniupan kedua, responden menarik napas dan meniupkan secara kuat bersama dengan tiupan tersebut disertai penekanan tombol sehingga
72
menghasilkan garis lengkung kurva yang menunjukkan FEVl (Forced Expiratory Volume In 1 Second). e. Hasil yang diperoleh dari pengukuran fungsi paru adalah membandingkan % FEV l : % KVP dengan kemungkinan hasil.
Tabel 4.2. Drajat Kapasitas Fungsi Paru Parameter Fungsi Paru FEV1 KVP (FVC)
Gangguan Fungsi Paru Ada Gangguan <75 %dengan semua nilai KVP <80 % dengan semua nilai FEV1
Tidak Ada Gangguan (Normal) 75%
80%
Sumber: Epler (1997)
4.4.4. Pengukuran Kandungan Silika pada Batu Kapur Batu kapur yang terdiri dari komponen kasium karbonat (CaCO3) dan Silika (Si) (MSDS Brentag Canada, 2007). Untuk mengetahui risiko kesehatan lainnya dari material batu kapur ini perlu dilakukan pengujian kandungan mineral dari batu kapur, khususnya parameter Silika. Silika yang sudah teroksidasi di udara menjadi silika dioksida (SiO2). Pada penelitian ini ingin mengatahui kandungan silika dari batu kapur yang belum mengalami pembakaran dan batu kapur yang sudah mengalami pembakaran. Kemudian hasil pengukuran kandungan silika di bandingkan dengan
73
standar nilai ambang batas berdasarkan standar National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH) yaitu tidak lebih dari 2%. Pengukuran kandungan SiO2 di lakukan oleh laboratorium khusus pertambangan dan mineral dengan standar ISO 11535-2010 oleh PT.CCIC Jakarta, Member of China Certification and Inspection Group.
4.5. Teknik Pengolahan Data 4.5.1. Teknik Pengolahan Data primer yang sudah terkumpul, dilakukan pengolahan data secara statistik. Pengolahan data terdiri dari beberapa tahapan yang harus dilakukan untuk dilakukan uji, analisis dan interpretasi data. Adapun tahapannya sebagai berikut : a. Editing Pengecekan
data
untuk
kelengkapan
data,
kesinambungan
data,
keseragaman data sehingga validitas data dapat terjamin. b. Coding Dilakukan untuk memudahkan dalam pengolahan data serta menjadi kerahasiaan identitas responden. c. Scoring Dilakukan untuk memberikan skor terhadap variabel yang akan dianalisis berdasarkan skor, yaitu skor 1 untuk index category (kategori indeks) dan skor 0 untuk reference category (kategori pembanding).
74
d. Cleaning Data yang dikumpulkan kemudian dilaksanakan cleaning (pembersihan) data, artinya sebelum dilakukan pengolahan, dilakukan pengecekan data agar tidak terdapat data yang tidak diperlukan.
4.6. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif analitik. Pengolahan data dilakukan menggunakan SPSS. Analisis yang digunakan adalah analisis univariat. Analisis univariat digunakan untuk melihat distribusi frekuensi variabel penelitian. Variabel tersebut meliputi konsentrasi PM10, suhu dan kelembaban serta karakteristik individu pekerja seperti umur, masa kerja, status gizi dan konsumsi merokok. 4.6.1. Analisis Univariat Hasil penelitian dilakukan secara deskriptif dengan menggunakan tabel distribusi frekuensi, mean, standard deviasi, minimum-maksimum, untuk melihat distribusi frekuensi dan prosentase variabel dependen dan variabel independen, antara faktor lingkungan (agent) yaitu konsentrasi debu PM
10,suhu
dan
kelembaban. Sedangkan fakor host yaitu distribusi jumlah pekerja yang mengalami gejala gangguan fungsi paru, umur, masa kerja, konsumsi merokok dan status gizi. Sebelumnya juga dilakukan uji normalitas data, untuk mengetahui kenormalan suatu data numerik. Jika setelah dilakukan uji normalitas data
75
terhadap variabel diperoleh nilai p ≥ 0,05 maka sebaran data berdistribusi normal dan nilai tengah yang digunakan adalah nilai rata-rata, namun jika sebaran data tidak berdistribusi normal maka nilai tengah yang digunakan adalah nilai median. Data-data ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi.
4.6.2. Analisis Bivariat Analisis bivariat untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen dengan variabel independen yang telah dianalisis serta pengaruh masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Analisis uji bivariat menggunakan uji t-test independen dan chi square dengan derajat kepercayaan 95% untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis penelitian terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkolerasi. Jika nilai P value ≤ 0,05, maka perhitungan secara statistik menunjukan bahwa adanya hubungan bermakna antara variabel dependen dengan variabel independen. Kemudian tabulasi silang dilakukan pada semua variabel yang akan dianalisis. Adapun analisis uji bivariat ini pada variabel faktor lingkungan yaitu konsentrasi PM10, suhu dan kelembaban serta variabel faktor individu pekerja yaitu umur, masa kerja, konsumsi merokok dan status gizi terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kab. Karawang tahun 2013.
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1. Gambaran Umum Wilayah Penelitian 5.1.1. Desa Tamansari Desa Taman sari merupakan salah satu desa di wilayah Kecamatan Pangkalan Kabupaten Karawang. Luas wilayah Desa Taman sari kurang lebih 5.320 m2 dengan kondisi geografis sebagian besar memiliki sumber daya alam yang sangat berpotensi secara ekonomi dan sosial yaitu dengan adanya gunung kapur, hutan negara, sungai dan pesawahan. Adapun batas wilayah Desa Tamansari sebagai berikut : Sebelah Utara : Desa Taman Mekar Sebelah Selatan : Desa Cipta Sari Sebelah Timur : Hutan Negara Sebelah Barat
: Kabupaten Bekasi
Jumlah penduduk Desa Tamansari adalah 6.203 jiwa. Tingkat pendidikan penduduk sebagian besar lulus sekolah dasar sampai sekolah menengah pertama. Mata pencaharian sebagaian besar adalah buruh penambangan dan pengolahan batu kapur yang ada diwilayah Desa Tamansari yang sudah ada sejak puluhan tahun lalu.
77
78
5.1.2. Profil Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Sejarah usaha pengolahan batu kapur di Desa Tamansari yang disebut dengan istilah “Lio” sudah ada sejak tahun 1960-an. Sumber batu kapur berasal dari gunung batu kapur yang menjadi milik negara yang menjadi batas wilayah sebelah timur desa taman sari. Kurang lebih luas pegunungan batu kapur mencapai 4.500 m2. Aktivitas pengolahan batu kapur yang ada di Tamansari adalah sekala industri non formal yang masih jauh dari kemajuan teknologi, pengelolaan lingkungan dan sumber daya manusia yang baik. Pertambangan dan pengolahan batu kapur sendiri masih menjadi aktivitas yang menjadi salah satu penyumbang pendapatan daerah Kabupaten Karawang setiap tahunnya yang didapatkan dari hasil retribusi pemilik pengolahan batu kapur. Adapun jumlah pemilik Lio yang ada di desa Tamansari adalah 18 orang, dengan jumlah total tungku Lio aktif sekitar 113 Lio. Usaha pengolahan batu kapur ini tidak hanya menjadi mata pencaharian penduduk asli Desa Tamansari namun banyak juga penduduk luar daerah Kab. Karawang seperti dari Kab. Garut dan Kab. Berebes. Masa kerja para buruh batu kapur juga cukup lama bertahan sebagai penghasilan sehari-harinya, ratarata pekerja ada yang sudah bekerja lebih dari 5-20 tahun. Para pekerja buruh yang cenderung untuk bertempat tinggal di area pembakaran batu kapur, karena aktivitas pembakaran membutuhkan waktu 48 jam dan dilakukan pemantauan
79
bahan bakar saat pembakaran. Oleh karena itu rata-rata pekerja pada bagian pembakaran bekerja selama 24 jam. Rata-rata dalam satu tungku proses produksi memerlukan tenaga kerja sekitar 7-8 orang yang bekerja bergantian mulai dari tahap penghancuran sampai pengepakkan tepung kapur memerlukan waktu kurang lebih selama empat hari. Namun, dikarenakan aktivitas pengolahan batu kapur ini masih bersifat illegal, maka jumlah pasti dari buruh tenaga yang ada di desa Tamansari ini tidak tercatat oleh petugas setempat maupun pemerintah daerah. Selain itu sifat kerja para buruh ini tidak memiliki sistem kontrak kerja dengn pemilik Lio, namun mereka cenderung untuk berpindah-pindah dari satu pemilik ke pemilik lain yang bersifat kerja borongan. Berdasarkan hasil penelitian yang diambil dari responden penelitian sebanyak 40 pekerja, rata-rata asal daerah pekerja yang banyak terlibat dalam aktivitas pengolahan batu kapur adalah warga setempat yaitu dari Kab. Karawang sebanyak 30 orang (71,4%) dan dari luar daerah Kab. Karawang sebanyak 10 orang (23,8%). Hal ini dapat dilihat pada gambar 5.
80
Gambar 5.1. Distribusi Responden berdasarkan Asal Daerah
Pada tahapan proses, pengolahan batu kapur ini menggunakan metode pembakaran sederhana yang membutuhkan lubang atau tungku pembakaran, atap dan sedikit lahan sebagai tempat penyimpanan hasil pembakaran. Selain itu, saat proses pembakaran membutuhkan komponen material dan bahan bakar. Adapun material yang digunakan masih sangat sederhana yaitu seperti kapak sebagai penghancur, katrol sumur dan ember sebagai alat pengangkut hasil pembakaran dan scope. Bahan bakar yang digunakan saat proses pembakaran adalah limbah padat seperti limbah ban, kain dan karet yang dibeli oleh pemilik dari sentra-sentra limbah padat. Tidak ada kandungan bensin atau oli yang digunakan sebagai bahan bakar. Adapun tahapan proses produksi pengolahan batu kapur dimulai dengan :
81
1. Pemecahan batu kapur 2. Pengisian batu kapur ke dalam tungku 3. Pembakaran batu kapur dengan bahan bakar limbah padat (karet, ban dan kain) selama 48 jam 4. Pemadaman kapur dengan air 5. Pembongkaran hasil pembakaran 6. Pengayakan dan pengemasan ke dalam karung siap untuk dipasarkan. Permintaan hasil pengolahan batu kapur yang hasil akhirnya menjadi semen putih dan bongkahan batu kapur yang sudah dibakar cukup tinggi. Mulai dari dalam daerah sampai luar daerah Kab. Karawang seperti Bandung, Cilegon dan Banten yang akan diolah kembali menjadi bahan campuran pembuatan besi, baja, kaca dan material lainnya. Berdasarkan hasil wawancara salah satu pemilik Lio, usaha pengolahan batu kapur ini bersifat “borongan” atau berdasarkan pesanan dari pelaku usaha kapur lain. Biasanya dalam satu minggu bisa menghasilkan produksi 13 ton/miggu dengan harga jual per kilo gram hasil olahan batu kapur Rp 350,-/ kg.
82
5.2.
Hasil Analisis Univariat 5.2.1. Gambaran Kejadian Gangguan Fungsi Paru Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 Dalam penelitian ini gangguan fungsi paru diklasifikasi berdasarkan hasil pengukuran fungsi paru menggunakan spirometri dari Laboratorium Klinik Westrindo Jakarta. Kriteria yang digunakan untuk menentukan gangguan fungsi paru yaitu kategori normal ≥ 80% dan kategori tidak normal < 80 % dari Force Vital Capacity (FVC) yaitu kapasitas fungsi paru. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data gangguan fungsi paru dari 40 responden yang menunjukan adanya gangguan sebanyak 7 orang (17,5%) dengan kategori restriksi ringan dan sedang sedangkan 33 orang (82,5%) tidak ada gangguan fungsi paru dengan kapasitas vital paksa ≥ 80%. Daftar kapasitas paru responden dan karakteristik individu ada pada lampiran 6. Hal ini tersajikan pada tabel distribusi gangguan fungsi paru pada tabel 5.1. dibawah ini : Tabel 5.1. Distribusi Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 Variabel Gangguan Fungsi Paru
Kategori Ada Gangguan Tidak Ada Gangguan
Frekuensi 7 33
Persentase 17,5 82,5
83
5.2.2. Gambaran Faktor Karakteristik Individu (Umur, Masa Kerja, Konsumsi Rokok dan Status Gizi) pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013
Data jenis pekerjaan responden penelitian diperoleh dengan cara pengisian kuesioner dengan wawancara terpimpin oleh peneliti. Distribusi jenis pekerjaan dapat dilihat pada tabel 5.2. Dari 40 responden yang bekerja pada bagian penghancuran batu kapur sebanyak 3 orang (7,5%), bagian pembakaran sebanyak 14 orang (35%), bagian pembongkaran hasil pembakaran sebanyak 18 orang (45%) dan bagian akhir yaitu pengepakkan hasil pembakaran dan pengayakan batu kapur yang sudah menjadi seperti tepung atau semen putih adalah sebanyak 5 orang (12,5%). Tabel. 5.2 Distribusi Frekuensi Jenis Pekerjaan di Pengolahan Batu Kapur Desa Taman Sari Tahun 2013 Variabel Jenis Pekerjaan Jumlah
Kategori Penghancuran Pembakaran Pembongkaran Pengepakan
Frekuensi 3 14 18 5 40
Persentase 7,5% 35 % 45 % 12,5 % 100%
Dalam penelitian ini yang menjadi variabel independen dari faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru terdiri dari faktor karakteristik individu pekerja yaitu umur, masa kerja, status gizi dan perilaku merokok. Adapun distribusi faktor-faktor karakteristik individu yang tidak
84
dikategorikan adalah umur, masa kerja dan jumlah batang konsumsi rokok perhari dapat dilihat pada tabel berikut : Tabel 5.3. Distribusi Karakteristik Individu (Umur, Masa Keja, Konsumsi Rokok dan Status Gizi) pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 No. 1. 2. 3.
4.
Variabel Umur Masa Kerja Konsumsi rokok Variabel Status Gizi
Total
Mean 37 10 13
SD 10,14 9,03 6,23
Min-Maks 19 tahun-59 tahun 0 tahun-46 tahun 1 batang-24 batang
Kategori Kurus Normal Gemuk
Frekuensi 13 24 3 40
Persentase 29,5% 54,5% 6,8% 100%
Data karakteristik individu pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari yang tidak dikategorikan adalah umur, masa kerja dan konsumsi merokok. Umur diperoleh dengan cara pengisian kuesioner oleh responden dengan menanyakan waktu kelahiran responden kemudian dicocokkan dengan KTP responden. Distribusi data dapat dilihat pada tabel 5.3. yang menggambarkan jumlah sampel responden berdasarkan umur individu dapat diketahui rata-rata usia responden adalah 37 tahun, usia pekerja termuda adalah 19 tahun dan usia pekerja sebagai responden tertua adalah 59 tahun.
85
Sedangkan, data masa kerja diperoleh dengan cara pengisian kuesioner dengan wawancara terpimpin. Satuan masa kerja dihitung dalam satuan tahun. Distribusi dapat dilihat pada tabel 5.3, menunjukan rata-rata masa kerja responden adalah 10 tahun, dengan standar deviasi 9,03. Masa kerja minimum adalah 0 tahun atau dari hasil wawancara baru 2 (dua) bulan dan masa kerja maksimum adalah 46 tahun. Selain itu, data konsumsi rokok perhari pada 40 responden yang diperoleh dari kuesioner dengan wawancara terpimpin. Satuan konsumsi rokok perhari dalam satuan batang. Distribusi dapat dilihat pada Tabel 5.3. Diperolehnya rata-rata jumlah konsumsi rokok per hari oleh responden sebanyak 13 batang/hari, dengan standar deviasi 6,23 sedangkan jumlah minimum 1 batang/hari dan jumlah maksimum konsumsi rokok 24 batang/hari. Selanjutnya, data status gizi berdasarkan perhitungan IMT dari masingmasing berat badan dan tinggi badan pekerja sebagai indikator IMT. Berdasarkan hasil kategorisasi status gizi dalam 3 kelompok yaitu kurus jika IMT < 18,5, normal jika IMT 18,5-25 dan gemuk jika IMT > 25, didapatkan kelompok status gizi kurus 13 orang (29,5%), normal sebanyak 24 orang (60%), gemuk sebanyak 3 orang (6,8%). Data tersaji dalam tabel 5.3.
86
5.2.3. Gambaran Faktor Lingkungan Udara Ambien di Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 Faktor lingkungan dari udara ambien yang diduga sebagai faktor pencetus gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan yang meliputi aktivitas penghancuran, pembakaran, pembongkaran dan pengepakan batu kapur. Dibawah ini adalah hasil pengukuran kualitas udara ambien berdasarkan jumlah responden dapat dilihat pada Tabel 5.4. sebagai berikut : Tabel 5.4. Hasil Pengukuran Kualitas Udara Ambien (PM10, Suhu dan Kelembaban ) di Area Pengolahan Batu Kapur Desa Tamansari Tahun 2013 Aktivitas Pengolahan Batu PM10 Kapur (µg/m3) Penghancuran Pembakaran 1 Pembakaran 2 Pembongkaran Pengepakan Hasil (Finishing)
177 1.437 419 260 177
Hasil Pengukuran Suhu Kelembaban (oC) (%) 33 35 36 30 33
78 71 74 87 78
Kec. Angin (m/s) 0,5-1,0 0,9-1,9 1,1-1,9 0,6-1,1 0,5-0,9
Jumlah Responden
3 9 5 18 5
Dari tabel diatas menunjukan distribusi kualitas udara ambien di lingkungan kerja pengolahan batu kapur, mulai dari kadar PM10, suhu dan kelembaban. Data kadar PM10 diperoleh dari hasil pengukuran menggunakan alat EPAM SKC-5000, pengukuran dilakukan selama 1 jam pada dua lokasi pengolahan batu kapur, pada pagi hari antara pukul 06.00-10.00, siang hari antara pukul 10.00-14.00 dan sore hari antara pukul 14.00-18.00. Waktu pengambilan sampel tersebut untuk mendapatkan
87
data representatif pengukuran selama 24 jam yaitu sesuai standar pengukuran PM10. Pengukuran suhu dan kelembaban menggunakan alat Wbgt Quest Digital berdasarkan aktivitas pengolahan batu kapur dengan jumlah total 40 responden. Distribusi frekuensi kadar debu PM10, suhu dan kelembaban lingkungan kerja dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 5.5. Distribusi Rata-rata Kadar Udara Ambien di Area Pengolahan Batu Kapur Desa Tamansari Tahun 2013 dan dibandingkan dengan NAB PP No.41 Tahun 1999 dan Kepmenkes No.405 Tahun 2002 No. 1.
Variabel Kadar PM10
2. 3.
Suhu Kelembaban
Mean 524 (µg/m3) 32,3 oC 80,3 %
SD 502,14 2,40 6,86
Min-Maks 177-1.437 (µg/m3) 30-36 oC 71-87 %
NAB 150 (µg/m3) 18-30 oC 65-95%
Ket. >NAB > NAB < NAB
Tabel 5.5. menunjukan distribusi kualitas udara ambien di lingkungan kerja pengolahan batu kapur. Dari hasil pengukuran kualitas udara ambien debu didapatkan rata-rata kadar PM10 dari seluruh 6 titik lokasi tempat pengukuran berdasarkan aktivitas kegiatannya adalah sebesar 524 µg/m3 dengan nilai standar deviasi 502,14 sedangkan kadar minimum 177 µg/m3 dan kadar maksimum 1.437µg/m3. Sedangkan rata-rata suhu di lingkungan pengolahan batu kapur dari seluruh 6 titik lokasi pengukuran berdasarkan aktivitas kegiatannya adalah sebesar 32,3 oC dengan standar deviasi sebesar 2,40, sedangkan suhu minimum 30 oC dan suhu maksimum mencapai 36
o
C. Kemudian, konsentrasi rata-rata kelembaban di
88
lingkungan pengolahan batu kapur adalah 80,3% dengan standar deviasi 6,86, sedangkan konsentrasi minimum sebesar 71% dan konsentrasi maksimum sebesar 95%. 5.2.4. Gambaran Kandungan Silika Dioksida (SiO2) dari Material Batu Kapur (Calcium Carbonate) di Desa Tamansari Pengujian kadar SiO2, diperolah dari hasil pengujian laboratorium pertambangan dan kandungan mineral oleh PT. CCIC dengan standar ISO 115352010 yang tertera pada Tabel 5.6. Pengujian pada tiga sampel batu kapur yaitu sampel pertama berupa batu kapur murni/sebelum dilakukan pembakaran, sampel kedua adalah batu kapur setelah dilakukan pembakaran secara sempurna, dimana batu yang dibakar di dasar tungku. Jenis batu kapur ini, diolah menjadi tepung kapur yang kemudian dimanfaatkan sebagai bahan baku semen, yang pengujian di beri kode satu (I). Kemudian sampel ketiga yaitu batu kapur yang sudah dibakar namun tidak sempurna karena pada saat diproses diletakan diatas tungku, batu kapur jenis ini tidak bisa dijadikan tepung kapur karena pembakarannya tidak sempurna yang dapat dijual sebagai bahan baku kaca, besi dan logam, diberi kode dua (II).
89
Tabel 5.6. Hasil Pengujian kadar SiO2 pada Material Batu Kapur dari Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 No. Sampel Batu Kapur 1. Sebelum di bakar 2. Setelah di bakar (I) 3. Setelah di bakar (II) Sumber : PT. CCIC , 2013
Parameter SiO2 SiO2 SiO2
Hasil 3,46 1,03 0,60
Satuan % % %
Dalam standar Occupational Safety and Health Administration (OSHA) dalam Material Safety Data Sheet (MSDS) Calcium Carbonate, Solid bahwa ambang batas dari Silika tidak boleh lebih dari 2%. Berdasarkan hasil pengujian SiO2 dari batu kapur yang sebelum dibakar diperoleh sebesar 3,46%, batu kapur setelah di bakar (I) sebesar 1,03% dan batu kapur setelah di bakar (II) sebesar 0,60%. Maka dapat di simpulkan jenis batu kapur yang memiliki bahaya kesehatan secara kronis atau pun akut dari adanya paparan kandungan silika yang berlebih adalah berasal dari batu kapur sebelum dibakar. Sedangkan pada batu kapur yang telah mengalami pembakaran kadarnya menurun sampai 1%, dan dapat di simpulkan bahwa batu yang telah mengalami pembakaran masih berada pada nilai ambang batas yang ditetapkan. Adapun hasil pengujian ada pada lampiran 7. Silika bebas (SiO2) yang terdapat pada debu dari bahan material yang mengandung SiO2 dapat terhirup sehingga menyebabkan penyakit silicosis yang termasuk dalam golongan pneumoconiosis. Penyakit silicosis ini sering ditemui pada pekerja-pekerja diperusahaan yang menghasilkan batu-batuan yang mengandung
90
silica bebas di dalamnya. Masa inkubasi silicosisi adalah 2-4 tahun, dan sangat tergantung dengan banyaknya debu dan kadar yang terhirup (Suma’mur, 1996). Karakteristik penyakit silicosis ini ditandai dengan batuk, produksi sputum berlebih, sesak nafas (dyspnea) ketika bekerja, mula-mula ringan kemudian bertambah berat, pengembangan paru-paru sedikit terganggu. Tingkat yang lebih parah dari silicosis dapat menimbulkan gejala demam, penurunan berat badan yang drastis, menumbuhkan bakteri yang mungkin terjadi seperti TBC, atau pada tingkat yang lebih parah lagi gejala klinis dapat terlihat hypertrofi jantung kanan menjadi tanda-tanda kegagalan jantung kanan dan pada akhirnya menyebabkan kematian karena komplikasi penyakit. Untuk mengetahui gejala yang lebih spesifik perlu dilakukan pemeriksaan foto toraks oleh sinar-X (Brenntag Canada Inc., 2007).
5.3. Analisis Bivariat Analisis uji bivariat pada variabel yang berskala rasio dilakukan uji normalitas terlebih dahulu dengan uji non-parametrik one sampel K-S, hasilnya semua variabel memiliki nilai Kolmogorov Smirnov-Z p value > 0,05 yang artinya variabel berdistribusi normal. Selanjutnya untuk uji hipotesis pada variabel umur, masa kerja, konsumsi merokok dilakukan uji T Independen sedangkan pada variabel status gizi dilakukan uji chi square. Dibawah ini adalah hasil uji statistik variabel independen yaitu umur, masa kerja, status gizi, kadar PM10 ambien, suhu dan kelembaban
91
terhadap variabel independed yaitu gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari Kab. Karawang. Tabel 5.7. Distribusi Rata-rata dan Analisis Hubungan antara Karakteristik Lingkungan (PM10 Ambien, Suhu dan Kelembaban) dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Batu Kapur Desa Tamansari Tahun 2013 No.
Variabel Independen Kadar PM10 Ambien
1.
2.
Suhu
3.
Kelembaban
Variabel Dependen Ada Gangguan Tidak Ada Gangguan Ada Gangguan Tidak Ada Gangguan Ada Gangguan Tidak Ada Gangguan
N 7
P value 0,783
33 7
0,963
Mean
SD
514 (µg/m3) 572 (µg/m3) 32 oC 32 oC
591,682 490,958
79,8% 80,3%
7,267 6,878
2,288 2,457
33 7
0,854
33
Berdasarkan hasil uji T-independen pada varibabel faktor lingkungan terhadap gangguan fungsi paru yaitu nilai p value kadar ambien PM10 adalah sebesar 0,783, variabel suhu sebesar 0,963 dan kelembaban sebesar 0,854, maka dapat disimpulkan semua nilai p value > 0,05 yang berarti secara statistik tidak memiliki hubungan kemaknaan.
92
Tabel. 5.8. Analisis Hubungan antara Karakteristik Individu Pekerja menurut (Usia, Status Gizi, Masa Kerja, Konsumsi Rokok) dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 No.
1.
2.
3.
Variabel Independen
Variabel Dependen Ada Gangguan Usia Tidak Ada Gangguan Ada Gangguan Masa Kerja Tidak Ada Gangguan Ada Konsumsi Gangguan Rokok Tidak Ada Gangguan Variabel
N 7
44 Tahun 35 Tahun 0,932 10 Tahun 10 Tahun 0,287 15 Batang/hari 13 Batang/hari Frekuensi
7 33 7 33
%
Mean
0,032
33
Ada gangguan
4.
P value
Tidak ada gangguan N %
SD 3,192 1,690
7,913 9,367
5,855 6,600
P Value
Total
Kategori
N
N
%
Status Gizi Kurus (IMT < 18,5) Normla (18,5-25) Gemuk (IMT >25)
2
15,4%
11
84,6% 13
100
4
21,1%
15
78,9% 19
100
1
12,5
7
87,5% 8
100
0,842
93
5.3.1. Hubungan antara Karakteristik Individu Pekerja dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 1. Hubungan Antara Usia dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 Rata-rata usia pada kelompok responden mengalami gangguan adalah 44 tahun dengan standar deviasi 3,192. Sedangkan pada responden tidak ada gangguan, rata-rata usia adalah 35 tahun dengan standar deviasi 1,690. Berdasarkan hasil uji statistik t- test independen antara usia dengan gangguan fungsi paru didapatkan nilai probabilitas atau pvalue yang dihasilkan adalah sebesar 0,032, artinya pada alpha 5% terdapat hubungan yang bermakna antara usia dengan gangguan fungsi paru. Hasil uji statistik tersebut tersaji dalam Tabel 5.6. 1. Hubungan Antara Status Gizi dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 Berdasarkan hasil uji cross tabs antara variabel status gizi dan gangguan fungsi paru dari pekerja sebagai responden, didapatkan responden yang mengalami gangguan fungsi paru pada kelompok status gizi kurus sebanyak 2 orang (15,4 %), normal sebanyak 4 orang (21,1%) dan status gizi gemuk sebesar 1 orang (12,5%). Kemudian berdasarkan analisis uji bivariat chi square didapatkan nilai pvalue sebesar 0,842.
Maka dapat disimpulkan pada alpha 5%
tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara status gizi dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di Desa Tamansari. Hasil uji statistik tersebut tersaji dalam Tabel 5.7.
94
2. Hubungan Antara Masa Kerja dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 Rata-rata masa kerja pada kelompok responden mengalami gangguan adalah 10 tahun dengan standar deviasi 3,192. Sedangkan pada responden tidak ada gangguan, rata-rata masa kerja adalah 10 tahun dengan standar deviasi 9,167. Berdasarkan hasil uji t- test independen antara variabel masa kerja dan gangguan fungsi paru dari pekerja sebagai responden, didapatkan nilai pvalue sebesar 0,932. Maka dapat disimpulkan pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di Desa Tamansari. Hasil uji statistik tersebut tersaji dalam Tabel 5.7. 3. Hubungan Antara Konsumsi Rokok dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 Rata-rata konsumsi rokok pada kelompok responden yang mengalami gangguan adalah 15 batang/hari dengan standar deviasi 5,85. Sedangkan pada kelompok responden yang tidak ada gangguan, rata-rata konsumsi rokok adalah 13 batang/hari dengan standar deviasi 6,60. Berdasarkan hasil uji t- test independen antara variabel konsumsi rokok dan gangguan fungsi paru dari pekerja pengolahan batu kapurberdasarkan analisis uji bivariat didapatkan nilai pvalue sebesar 0,567. Maka dapat disimpulkan pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara lama paparan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di Desa Tamansari. Hasil uji statistik tersebut tersaji dalam Tabel 5.7.
95
5.3.2. Hubungan antara Faktor Lingkungan terhadap Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013
1. Hubungan antara Kadar PM10 Udara Ambien dengan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 Rata-rata kadar PM10 pada kelompok ada gangguan adalah 514 (µg/m3) dengan standar deviasi 391,68. Sedangkan untuk responden yang tidak ada gangguan, rata-rata kadar PM10 adalah 572 (µg/m3) dengan standar deviasi 490,95. Hasil uji statistik t- test independen didapatkan hasilnya Pvalue yang didapatkan dari hasil analisis antara suhu dengan gangguan fungsi paru adalah sebesar 0,783. Hal ini berarti pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar PM10 dengan gangguan fungsi paru.
2. Hubungan antara Suhu Lingkungan Pengolahan dengan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 Rata-rata suhu pada responden yang mengalami gangguan adalah 32 oC dengan standar deviasi 2,28. Sedangkan pada responden tidak ada gangguan, rata-rata suhu sama yaitu 32 oC dengan standar deviasi 2,245. Hasil uji statistik t-test independen analisis antara suhu dengan gangguan fungsi paru di dapatkan p value sebesar 0,287. Hal ini berarti pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara suhu lingkungan dengan gangguan fungsi paru.
96
3. Hubungan antara Kelembaban Lingkungan Pengolahan dengan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 Rata-rata kelembaban pada responden ada gangguan adalah 79,8 dengan standar deviasi 7,29. Sedangkan kelembaban pada responden tidak ada gangguan adalah 80,3% dengan standar deviasi 6,87. Hasil uji statistik t-test independen analisis antara kelembaban dengan gangguan fungsi paru di dapatkan p value sebesar 0,834. Hal ini berarti pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelembaban lingkungan dengan gangguan fungsi paru.
BAB VI PEMBAHASAN 6.1. Keterbatasan Penelitian
Dalam penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian, yaitu: 1. Desain penelitian ini cross sectional study, yang mempunyai keterbatasan tidak mampu menganalisi hubungan sebab atau akibat. Hal ini dikarenakan variabel bebas dan terikat dilakukan pengukuran dalam satu waktu yang sama. Sehingga antara sebab dan akibat sulit diketahui, mana yang mendahului sebab atau akibat terlebih dahulu. 2. Pada variabel masa kerja, umur dan konsumsi merokok sebagai variabel independen penelitian terdapat kemungkinan bias informasi karena variabel ini tergantung kepada ingatan responden dan kejujuran responden. 3. Pada peneltian ini menggunakan pengukuran spirometri sebagai mendiagnosis ada atau tidaknya gangguan fungsi paru, untuk lebih memperkuat diagnosis seharusnya dilakukan pemeriksaan lanjutan seperti sinar-X. 4. Pada pengukuran kadar debu PM10 tidak dilakukan secara personal atau hanya dilakukan di lingkungan udara ambien, karena keterbatasan alat.
97
98
6.2. Kejadian Ganggu Fungsi Paru pada Responden Fungsi paru yang utama adalah proses respirasi yaitu pengambilan oksigen dari udara luar yang masuk ke dalam saluran pernafasan dan terus ke dalam darah. Salah satu fungsi paru tersebut adalah ventilasi yaitu proses keluar dan masuknya udara ke dalam paru serta keluarnya karbondioksida dari alveoli ke udara luar. Kelainan ventilasi yang termasuk dalam gangguan fungsi paru biasa terjadi adalah gangguan restriksi dan obstruksi (Yunus, 1992). Dalam Yunus (1992), restriksi adalah keterbatasan pengembangan paru yang ditandai dengan berkurangnya kapasitas volume paru, sedangkan obstruksi adalah perlambatan atau gangguan kecepatan aliran udara yang masuk atau keluar dari dalam paru. Berdasarkan hasil penelitian dengan melakukan pemeriksaan diagnosis penunjang alat spirometri untuk melihat volume dan kapasitas paru, diperoleh responden yang mengalami gangguan fungsi paru dari 40 responden adanya gangguan sebanyak 7 orang (17,5%) dengan kategori restriksi ringan dan sedang dengan nilai kapasitas vital paksa (KVP/FVC) < 80% , sedangkan 33 orang (82,5%) responden tidak ada gangguan fungsi paru dengan nilai KVP/FVC ≥ 80%. Menurut Hinshaw et al. (1980) dalam Yunus (1992) hasil pemeriksaan penunjang paru seperti spirometri dan foto toraksbertujuan untuk diagnosa kelainan dari fungsi paru, selain itu juga berguna untuk menilai perkembangan dan
99
perjalanan penyakit serta deteksi dini penyakit paru tertentu juga untuk menilai prognosis penyakit pada paru-paru. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 15 responden (37,5%) mengalami riwayat asma dengan gejala sesak nafas. Menurut Curry (1946) dalam Yunus (1992) fenomena ini disebut dengan hipereaktivitas bronkus. Hipereaktivitas bronkus ini selain terjadi pada penderita asma, ditemukan juga pada penderita fibrosis kistik, bronkiektasi dan penyakit paru obstruksi kronik. American Thoracic Society (1987) dalam Yunus (1992), asma adalah penyakit yang didasari oleh hipereaktivitas bronkus yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama pada malam menjelang dini hari. Sedangkan Menurut Deal et al. (1980) dalam Yunus (1992) pada umumnya diagnosis asma dan penyakit obstruksi kronis dapat mudah ditegakkan oleh karena penderita biasanya mempunyai gejala dan tanda yang khas, dan obstruksi kronik dapat diketahui tanda dan gejala seperti sesak napas, batuk kronik, produksi sputum, dengan riwayat pajanan gas/prtikel berbahaya, disertai dengan pemeriksaan faal paru. Namun, apabila penderita tidak dalam keadaan hiper responsif jalan nafas, pemeriksaan fisik dan spirometri dapat tidak menunjukan kelainan, sehingga diagnosis sukar ditegakan walaupun secara anamnesis menunjukan asma.
100
Dari teori tersebut peneliti berkesimpulan, bahwa dari hasil pemeriksaan kapasitas vital paksa pada 40 responden, didapatkan sebanyak 7 (17,5%) responden mengalami gangguan fungsi paru, dengan diagnosis restriksi sedang sebanyak 5 orang (11,4%) dan restriksi ringan 2 orang (4,5%). Sedangkan dari jumlah total responden tersebut, sebanyak 10 (25%) responden mengalami riwayat penyakit asma. Hal tersebut ada kecenderungan responden yang sedang tidak mengalami rangsangan hipereaktivitas bronkus oleh bahan yang bersifat alergan tidak reaktif atau yang memiliki riwayat penyakit asma tidak menunjukan adanya gangguan fungsi paru, sehingga saat pemeriksaan spirometri kapasitas vital paksa responden ≥ 80%. Penelitian ini memiliki kesamaan dengan hasil penelitian Ikhsan (2007), dimana variabel dependen didapatkan prevalensinya sedikit, yaitu didadapatkan pada pekerja pabrik semen sebanyak 18 orang (9,9%) ada kelainan klinis yang ditemukan pada subjek penelitian, dan sebanyak 164 orang (90,1%) pekerja semen ini tanpa kelainan. Kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan kelainan foto toraks, didapatkan pada 9 orang (4,9%) mengalami kelainan foto toraks, sedangkan sebanyak 173 (95,1%) tidak ditemukan kelainan foto toraks. Menurut Herzog (1980) dalam Yunus (1992) rangsangan yang menimbulkan hipereaktivitas bronkus ini dibedakan atas komponen endogen dan eksogen. Komponen endogen kemungkinan bersifat genetik dan terdapat seumur hidup. Sedangkan , komponen eksogen adalah rangsangan dari luar seperti infeksi, alergan,
101
mekanis, panas dan bahan-bahan kimia seperti sulfur dioksida, aldehid, ozon, debu partikel dan asap rokok. Sedangkan, hasil pengukuran spirometri tersebut menunjukan bahwa pekerja mengalami gangguan restriksi, yaitu gangguan yang disebabkan karena menurunkan kapasitas vital paru seseorang. Curry (1946) dalam Yunus (1992) gangguan restriksi paru ini menjadi prognosis terjadinya kelainan fibrosis, atelectasis, tumor paru dan pneumonia. Menurut Warpaji (1994) dalam Yuliani (2010) restriksi yaitu penyempitan saluran paru yang diakibatkan oleh bahan yang bersifat alergi seperti debu, spora, jamur yang mengganggu saluran pernafasan dan kerusakan jaringan paru, gejalagejalanya antara lain batuk kering, sesak nafas, kelelahan umum, banyak dahak dan lain-lain. Paparan debu mineral seperti batu bara, tembaga dan lainnya diketahui dapat menimbulkan perubahan khas dalam mekanik pernafasan dan volume paru dengan pola restriktif. Sedangkan paparan debu organik seperti jamur, bakteri, sayuran, binatang dapat menimbulkan asma dengan pola kerja obstruktif dengan pola reversible atau obstruktif. Berdasarkan jenis pekerjaannya yang ada pada lampiran 4, responden yang didiagnosis mengalami gangguan restriksi paru yaitu pada bagian penghancuran sebanyak 2 dari 3 orang, pembakaran sebanyak 4 dari 14 orang dan pembongkaran 1 dari 18 orang.
102
Pekerja yang mengalami gangguan restriksi paru pada proses penghancuran diprediksikan karena adanya paparan SiO2 dari material batu kapur yang belum melalui tahap pembakaran. Berdasarkan hasil uji laboratotium dari kadar SiO2 pada batu kapur ditunjukan dalam tabel 5.6. bahwa pada batu kapur yang belum dilakukan pembakaran mengandung SiO2 lebih tinggi dibandingkan dengan batu kapur yang sudah melalui proses pembakaran. Oleh karena itu, risiko gangguan paru pada responden pekerja dibagian penghancuran memiliki risiko terkena silicosis. Karena menurut Suma’mur (1996) silika bebas (SiO2) yang terdapat pada debu dari bahan material yang mengandung SiO2 dapat terhirup yang dapat menyebabkan penyakit silicosis yang termasuk dalam golongan pneumoconiosis. Penyakit silicosis ini sering ditemui pada pekerja-pekerja diperusahaan yang menghasilkan batubatuan yang mengandung silica bebas di dalamnya. Masa inkubasi silicosisi adalah 2-4 tahun, dan sangat tergantung dengan banyaknya debu dan kadar yang terhirup. Selain itu, hasil pengukuran udara ambien didapatkan kadar PM10 dilokasi pembakaran sampel A sebesar 1.427 µg/m3 dengan nilai rata-rata keadaan suhu 35 C dan
kelembaban 71 % serta
kecepatan angin 0,9-1,9 m/s dan lokasi
pembakaran sampel B sebagai perbandingan didapatkan kadar PM10 sebesar 419 µg/m3 dengan nilai rata-rata keadaan suhu 30 OC dan kelembaban 74% serta kecepatan angin 1,1-1,9 m/s. Berdasarkan data pengukuran udara ambien lingkungan kerja pengolahan batu kapur tersebut, didapatkan kadar PM10 yang sudah melebihi NAB parameter
103
PM10 menurut PP No.41 Tahun 1999 yaitu sebesar 150 µg/m3. Hal ini
yang
menjadi asumsi peneliti bahwa pekerja yang didiagnosis restriksi paru adalah pekerja yang beraktivitas pada bagian pembakaran, dimana faktor lingkungan yaitu udara ambien dari kadar PM10 sebagai faktor pemicu terjadinya gangguan restriksi paru. Jenis gangguan restriktif ini akan mengarah pada jenis penyakit akibat kerja yaitu golongan penyakit pneumokoniosis. 6.3. Hubungan Karakteristik Individu dengan Gangguan Fungsi Paru Menurut Suma’mur (2000) gangguan fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan bersifat kronis sebagai akibat frekuensi lamanya seseorang bekerja pada lingkungan yang memiliki kadar debu tinggi dan faktor-faktor internal yang terdapat dalam pekerja seperti jenis kelamin, usia, masa kerja, paparan debu, status gizi, kebiasaan merokok, alat pelindung diri, kebiasaan olahraga dan lama paparan. Responden dalam penelitian ini memiliki karakteristik yang beragam, yang kemudian beberapa karakteristik individu pekerja dijadikan variabel bebas penelitian, seperti usia, status gizi, konsumsi merokok, masa kerja untuk diketahui apakah ada hubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari tahun 2013. Adapun karakteristik jenis kelamin, kebiasaan olahraga, kebisaan menggunakan alat pelindung diri dan lama paparan tidak dimasukan dalam variabel peneltian akan bersifat homogen, karena semua pekerja adalah laki-laki, tidak memiliki kebiasaan berolahraga secara rutin, tidak
104
menggunakan alat pelindung diri dan memiliki keterpaparan yang sama berdasarkan keberadaan pekerja di lingkungan kerja yaitu rata-rata selama 24 jam karena pekerja tinggal di sekitar pengolahan batu kapur. Dibawah ini adalah hasil uji statistik analisis bivariat hubungan antara variabel karakteristik pekerja yaitu umur, status gizi, konsumsi merokok dan masa kerja terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari. 6.3.1. Hubungan Antara Usia dengan Gangguan Fungsi Paru Menurut Yunus (1997) faal paru dipengaruhi oleh umur. Meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah, khususnya gangguan saluran pernapasan. Faktor umur mempengaruhi elastisitas bronkus paru sebagaimana jaringan lain dalam tubuh. Walaupun tidak ditemukan hubungan antara umur dengan pemenuhan volume paru tetapi rata-rata telah memberikan suatu perubahan yang besar terhadap volume paru. Hal ini sesuai dengan konsep paru yang elastisit. Selain itu meningkatnya umur seseorang maka kerentanan terhadap penyakit akan bertambah berisiko lebih tinggi, khususnya gangguan saluran pernafasan pada tenaga kerja. Hasil penelitian rata-rata usia pekerja sebagai responden berusia 37 tahun dengan standar deviasi 10,14 dan usia minimum responden adalah 19 tahun serta usia maksimum responden adalah 59 tahun. Hasil uji statistik antara usia dengan gangguan fungsi paru didapatkan P value sebesar 0,032, artinya pada alpha 0,05
105
terdapat hubungan
bermakna antara usia dengan gangguan fungsi paru pada
pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari tahun 2013. Adapun distribusi umur responden yang mengalami gangguan fungsi paru berdasarkan umur, didapatkan bahwa kelompok responden yang mengalami gangguan fungsi paru yaitu berusia 30 tahun ke atas. Hal ini dapat di lihat pada tabel 6.1 sebagai berikut :
Tabel 6.1. Distribusi Responden yang Mengalami Gangguan Fungsi Paru berdasarkan Umur pada pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 No.Responden Kapasitas Vital Paksa Usia Status (KVP) (Tahun) 1 61,01 53 Restriksi Sedang 2 79,23 32 Restriksi Ringan 3 70,08 34 Restriksi Ringan 4 61,56 51 Restriksi Sedang 5 68,77 43 Restriksi Sedang 6 72,65 45 Restriksi Ringan 7 61,04 54 Restriksi Sedang
Dalam artikel kesehatan Mediastore.com (2008) dalam jumlah kantung udara (alveoli) pada lanjut usia akan berkurang dibanding pada saat usia dewasa. Penurunan daya tahan paru-paru karena merokok, polusi udara menjadikan lanjut usia rentan terhadap berbagai gangguan paru-paru, seperti penyakit paru obstruksi kronik dan bronkhitis. Selain itu, Guyton (2007) dalam Budiono (2007) dalam penelitian Nugraheni pada pekerja penggilingan padi menunjukan rata-rata pada umur 30-40 tahun seseorang akan mengalami penurunan fungsi paru. Pada usia 30
106
tahun ke atas rata-rata volume kapasitas paru seseorang adalah 3.000-3.500 ml akan menurun seiring bertambahnya usia, dan pada usia 50 tahun kapasitas paru akan semakin berkurang hingga dibawah 3.000 ml. Oleh karena itu, hal ini yang menjadikan umur sebagai variabel yang memiliki hubungan terhadap gangguan fungsi paru. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Mengkidi (2006) bahwa dari 44 responden yang mempunyai umur > 40 tahun terdapat 29 orang mengalami gangguan fungsi paru dan 15 orang tidak mengalami gangguan fungsi paru, dari hasil uji statistik antara usia dengan gangguan fungsi paru menunjukan adanya hubungan yang bermakna dengan nilai p value 0,015. Hal ini menunjukan umur merupakan faktor risiko untuk terjadinya gangguan fungsi paru pada karyawan. Kemudian, penelitian ini juga sejalan dengan Yuliani (2010) yaitu pada responden pekerja industri tenun di Jepara tahun 2010 didapatkan bahwa ada hubungan antara usia dengan kapasitas vitas paru dengan nilai p value sebesar 0,006. Menurut Suyono (2002) semakin meningkat usia seseorang maka semakin besar kemungkinan terjadinya penurunan fungsi paru. Kemudian menurut Efendi (1998) dalam Yuliani (2010) pada usia diatas 40 tahun organ-organ tubuh cenderung mengalami penurunan fungsi pada saluran pernafasan seperti trakea dan penurunan elastisitas bronkus yang akan berpengaruh pada fungsi dan kapasitas paru seseorang. Pada penelitian ini apabila variabel usia pekerja pengolahan batu kapur dikelompokan berdasarkan risiko usia terjadinya gangguan fungsi paru yaitu
107
kelompok usia ≥ 40 tahun sebanyak 21 orang (47%) dan kelompok usia < 40 tahun (43,2%). Dari hasil penelitian kelompok usia ≥ 40 tahun memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan fungsi paru. Selain itu didapatkan 15 orang (37,5%) pekerja dengan kelompok usia yang berisiko yaitu ≥ 40 tahun di analisis uji crosstab dengan masa kerja yang berisiko yaitu masa kerja ≥ 10 tahun. Dari hasil analisis uji menunjukan sebayak 37,5% pekerja memiliki risiko gangguan paru akibat lama paparan dari masa kerja. Usaha pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini cenderung tidak memperhatikan kelompok umur untuk bisa bekerja di pengolahan batu kapur. oleh karena itu sebaiknya pekerja yang sudah memiliki usia risiko ≥ 40 tahun untuk lebih menjaga pola aktivitas bekerja dengan memperhatikan beberapa faktor seperti gaya hidup yaitu memproporsikan waktu kerja agartidak melebihi jam kerja maksimal yaitu 8 jam kerja/hari dan memperhatikan kesehatan bekerja dengan menggunakan masker sebagai pelindung diri serta menjaga pola hidup sehat lainnya. Hal tersebut akan membantu menjaga kesehatan dan meningkatkan kualitas hidup untuk lebih produktif baik di usia tua maupun produktif. Allah swt. berfirman Q.S. Al-A’raaf : 31 :
َس ِزفٍِه ْ ُس ِزفُىا إِ َوهُ الٌَُحِّبُ ا ْلم ْ ُوَالَت “dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang yang berlebih-lebihan.”
108
Dalam Al-Qur’an dan Tafsirannya (2011), pada kosakata Al-Mufsiriin yaitu berasal dari kata asrafa-yusrifu yang dapat di artikan dengan melampaui batas atau berlebih-lebihan. Seseorang yang mengerjakan sesuatu atau menggunakan sesuatu dengan sikap yang tidak wajar dan melebihi batas yang normal, dapat dikatakan ia telah bersikap isra’f, demikian Allah swt. membolehkan manusia untuk makan dan minum sesuai dengan ukurannya dan kemudian diikuti dengan celaan terhadap orang yang makan dan minum secara berlebihan. Hal ini tentu disesuaikan dengan kondisi masing-masing orang, karena kadar tertentu. Atas dasar itu dapat dikatakan bahwa kata tersebut (isra’f) mengajarkan sikap proporsional dalam semua aspek perbuatan, khusunya dalam beraktivitas kerja yang disesuaikan dengan usia pekerja.
6.3.2. Hubungan Status Gizi dengan Gangguan Fungsi Paru Menurut Setyakusuma (1997) status gizi dapat mempengaruhi daya tahan responden terhadap efek debu, sehingga pada seseorang dengan status gizi baik kemungkinan menderita penyakit pernafasan lebih kecil dari pada seseorang yang mempunyai gizi kurang. Menurut Almeitser (2002) salah satu akibat dari kekurangan gizi dapat menurunkan sistem imunitas dan anti bodi sehingga orang mudah terangsang infeksi seperti
batuk, pilek, diare dan juga berkurangnya
kemampuan tubuh untuk melakukan detoksifikasi terhadap benda asing seperti debu yang masuk dalam tubuh. Kemudian, menurut Karim (2002) dalam Mengkidi (2006) status gizi tenaga kerja erat kaitannya dengan tingkat kesehatan tenaga
109
kerja maupun produktifitas. Status gizi yang baik akan mempengaruhi produktifitas tenaga kerja yang berarti peningkatan produktifitas perusahaan, maka status gizi memiliki pengaruh terhadap status kesehatan seseorang yang akan mempengaruhi produkstifitasnya, namun terdapat faktor lain selain status gizi yang dapat mempengaruhi kesehatan seseorang. Pada penelitian ini status gizi diperoleh dari standar indeks masa tubuh (IMT) responden, dimana berat badan dan tinggi badan sebagai indikator perhitungan yang didapatkan dengan melakukan pengukuran langsung. Hasil uji univariat diperoleh bahwa sebanyak 24 orang (54,5%) responden memiliki status gizi normal. Sedangkan dari hasil crosstab dari 7 pekerja yang mengalami gangguan fungsi paru didapatkan responden yang mengalami gangguan fungsi paru pada kelompok status gizi kurus sebanyak 2 orang (15,4 %),
normal
sebanyak 4 orang (21,1%) dan status gizi gemuk sebesar 1 orang (12,5%). Kemudian hasil analisis statistik didapatkan nilai pvalue sebesar 0,842, maka dapat disimpulkan pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara status gizi dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di Desa Tamansari. Oleh karena itu, status gizi tidak menjadi variabel yang signifikan berhubungan, karena rata-rata pekerja memilki status gizi normal. Namun, hal ini dapat menunjukan bahwa kelompok status gizi kurus, normal dan gemuk memiliki risiko untuk terjadinya gangguan restriksi. Meskipun secara statistik tidak memiliki kemaknaan yang signifikan, namun secara epidemiologi bahwa status gizi dan asupan makanan yang berhubungan
110
dengan kebutuhan energi seseorang berhubungan terhadap perkembangan anatomi dan fisiologis tubuh khususnya saluran pernafasan, yang kemudian akan mempengarhi kekuatan serta endurans masa otot pernafasan untuk memompa oksigen secara maksimal ke seluruh tubuh, mengontrol laju pernafasan dan terbentuknya juga mekanisme imunologi dalam tubuh untuk pencegahan serangan penyakit paru lainnya. Faktor risiko dari status gizi terhadap gangguan fungsi paru sejalan dengan teori menurut Sridhar (1999) dalam Budiono (2007) bahwa secara fisiologis seseorang dengan status gizi yang kurang maupun lebih dapat mengalami penurunan kapasitas vital paru yang pada akhirnya akan mempengaruhi terjadinya gangguan fungsi paru. Penelitian Benedict (1991) pada seseorang dalam keadaan starvation yaitu keadaan dimana satu atau beberapa proses keadaan kelaparan karena terus dan terus menunggu kebutuhan sumber dayanya dipenuhi, namun ternyata tubuh mengalami perubahan fisiologis yaitu berupa penurunan resting energy expenditure sebesar 20% dan dapat menurukan konsumsi O2 sebesar 18%. Penelitian ini sejalan dengan Triatmo dkk (2006) yaitu berdasarkan hasil uji statistik hubungan antara status gizi dengan gangguan fungsi paru pada pekerja mebel didapatkan nilai p value sebesar 0,537, bahwa status gizi tidak memiliki hubungan signifikan terhadap timbulnya gangguan fungsi paru. Kemudian sejalan juga dengan penelitian Yuliani (2010) yaitu berdasarkan hasil uji statistik, hubungan antara status gizi dengan kapasitas vital paru pada pekerja tenun didapatkan nilai p value 0,154, ini berarti tidak ada hubungan signifikan antara
111
status gizi dengan kapasitas vital paru. Selanjutnya sejalan juga dengan penelitian Khumaidah (2009) pada pekerja furniture, hasil penelitian menunjukan tidak ada hubungan antara status gizi pekerja dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p value 0,667. Efek negatif dari penurunan status gizi terhadap fungsi ventilasi paru ini juga diperkuat dalam penelitian Minesota oleh Keys et al (1950), kapasitas vital paru menurun rata-rata 390 ml pada keadaan kelaparan. Penurunan tersebut akan kembali normal dalam 12 minggu setelah seseorang kembali pada keadaan normal. Penelitian yang lainnya menunjukkan peningkatan risiko kematian pada penyakit tuberkulosis dan pneumonia apabila disertai keadaan kurang gizi tingkat berat. Hal ini diperkuat dari hasil perhitungan angka kebutuhan gizi (AKG) berdasarkan kebutuhan energi kalori/hari pada responden. Data ini didapatkan dari hasil wawancara terpimpin dengan menggunakan lembar food recall dalam 1x24 jam, kemudian jumlah kalori harian dihitung dengan panduan kalori makan dari software Nutrisurvei. Hasil uji statistik didapatkan bahwa sebanyak 27 orang (61,4%)
responden
berstatus
kekurangan
kebutuhan
kalori/hari
(<2000
kkalori/hari) dan sebanyak 13 orang (29,6%) berstatus memenuhi kebutuhan kalori/hari (> 2000 kkalori/hari), kemudian dari hasil crosstab antara AKG responden dengan gangguan fungsi paru didapatkan responden berkebutuhan AKG kurang (< 2000 kkalori/hari) sebanyak 5 orang (18,5%) dan responden dengan AKG (≥ 2000 kkalori/hari) sebanyak 2 orang (15,45). Dapat disimpulkan bahwa
112
status gizi tidak normal dan angka kebutuhan energi kurang memiliki risiko untuk terjadinya gangguan fungsi paru. Apabila dilihat dari karakteristik pekerja berdasarkan status sosial dan ekonomi pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini berdasarkan hasil wawancara mengenai pengeluaran bulanan didapatkan 50% pekerja mendapatkan upah dari hasil pembakaran batu kapur yang bersifat borongan diatas upah minimum regional Kab. Karawang yaitu sebesar Rp. 1.269.000, dengan upah harian rata-rata mendapat Rp. 75.000, apabila dikali hari aktif bekerja selama 20 hari atau dikurangi hari libur 10 hari maka rata-rata pekerja pengolahan batu kapur setiap bulannya mendapat pemasukan sebesar Rp. 1.500.000 setiap bulannya. Dapat disimpulkan tingkat ekonomi para pekerja tersebut bisa mencukup kebutuhan sehari-harinya, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti makanan untuk memenuhi kebutuhan energi. Namun, dari hasil hasil wawancara juga didapatkan, pengeluaran bulanan tersebut tidak hanya untuk kebutuhan primer pada makanan saja, namun memenuhi kebutuhan lainnya seperti kebutuhan keluarganya di daerah asal masing-masing dan pengeluaran pada konsumsi rokok juga oleh pekerja menjadi sebuah prioritas, karena dari proporsi kebiasaan merokok rata-rata 13 batang/hari mencapai 85% dari jumlah responden, sedangkan proporsi kebutuhan energi yang masih belum mencukupi (AKG < 2000 kkalori/hari) sebanayk 67,5% dari jumlah responden, dimana dari AKG tersebut menjadi gambaran pola konsumsi makan sehari-hari.
113
Dari proporsi antara pengeluaran bulanan yaitu rata-rata diatas UMR, AKG yang rata-rata < 2000 kkalori/hari, serta status gizi sebesar 40% tidak normal ditambah 85% pekerja mengkonsumsi rokok > 10 batang/hari. Maka, sebenarnya para pekerja pengolahan batu kapur ini memiliki tingkat ekonomi yang cukup, namun terdapat faktor sosial lainnya seperti kebisaan merokok, pengeluaran untuk keluarga menjadi faktor berkurangnya anggaran untuk memenuhi kebutuhan makan sehari-hari pada pekerja. Oleh karena itu, sebaiknya pekerja bisa mengurangi jumlah konsumsi rokok hariannya dengan menggantinya untuk membeli kebutuhan makanan pokoknya untuk memenuhi kebutuhan energi hariannya dan mulai mengkonsumsi makanan atau minuman yang mengandung energi dan kalori tinggi pada kelompok pekerja yang memiliki IMT kurus dan menjaga pola makan dan aktivitas fisik pada pekerja yang memiliki IMT gemuk. Firman Allah swt. memerintahkan kita untuk menkonsumsi makanan yang halal juga baik (Halalan Thoyyiban), sebagaimana firman Allah swt. dalam Q.S. Al-Maidah ayat 88 sebagai berikut :
حالَالً طٍَِبًا وَاتَقُىا اهللَ الَذِي أَوتُمْ ِبهِ مُؤْمِىُىن َ َُوكُلُىا ِممَا َر َس َقكُمُ اهلل “dan makanlah makanan yang halal lagi baik, dari apa yang telah di rizkikan kepada mu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepadaNya” Dalam tafsir Syaikh Nashir as-Sa’dy (2005) makanan yang halal adalah yang diproses maupun diperoleh atau sumbernya dengan cara yang halal, yaitu tidak
114
dari hasil curian, korupsi dan mendzlimi orang lain atau apabila hewan potong harus menyebut asma Allah swt. saat dilakukan pemotongan. Selain itu makanan juga harus baik, yaitu cukup bergizi, makanan yang lengkap dan seimbang porsi dengan kebutuhan aktivitas bekerja, tidak mengandung zat-zat membahayakan, alami dan tidak berlebihan. 6.3.3. Hubungan Antara Konsumsi Merokok dengan Gangguan Fungsi Paru Menurut Ikhwan (2009) dalam Yuliani (2010) kebiasan merokok dapat mempengaruhi kapasitas vital paru. Saat merokok terjadi suatu proses pembakaran tembakau dengan mengeluarkan polutan partikel padat dan gas. Asap rokok merangsang sekresi lendir sedangkan nikotin akan melumpuhkan silia sehingga fungsi pembersihan jalan napas terhambat dan konsekuensinya terjadi penumpukan sekresi lendir yang menyebabkan terjadinya batuk-batuk, banyak dahak dan sesak napas. Gejala tersebut dapat disebabkan karena paparan partikel dan gas pembakaran tembaku tersebut. Penggunaan tembakau saat ini pada populasi umum maupun pekerja terjadi kecenderungan peningkatan diseluruh dunia juga khususnya di Indonesia, karena menurut berita online yaitu Kompas.com yang diakses pada Mei 2013, pada tahun 2011 sekitar 270 milyar batang konsumsi rokok di Indonesia, angka ini terus meningkat dari tahun 1970 dimana konsumsi rokok masih sekitar 30 miliar batang, hal ini menunjukan terjadi peningkatan 7 kali lipat dalam kurun waktu 40 tahun.
115
Kebiasaan merokok ini mempunyai dampak yang buruk terhadap kesehatan terutama pada organ paru-paru dan pernafasan. Berbagai penyakit paru timbul akibat rokok antara lain kanker paru dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Penelitian Gold et al (2005) dalam Suwondo (2013) menunjukan adanya hubungan dose respon antara kebiasaan merokok dengan dan rendahnya leval FEV1/FVC dan FEF 25-75% dengan jumlah konsumsi rokok sebanyak 10 batang perhari ditemukan berhubungan dengan penurunan FEF 25-75% disbanding orang yang tidak merokok. Hasil penelitian uji statistik analisis uji T independen pada responden dengan variabel kategori konsumsi merokok dengan gangguan fungsi paru didapatkan nilai p value sebesar 0,283, maka dapat disimpulkan pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara konsumsi merokok dengan gangguan fungsi paru pada pekerja batu kapur di Desa Tamansari. Apabila nilai p value variabel kebiasaan merokok dibandingkan dengan variabel karakteristik individu yang tidak berhubungan lainnya yaitu status gizi (p=0,504), masa kerja (p=0,932), p value dari kebisaan merokok lebih kecil dari status gizi dan masa kerja, maka meskipun secara statistik tidak memiliki hubungan yang bermakna dan signifikan antara variabel kebiasaan merokok terhadap gangguan fungsi paru, mamun secara epidemiologi, proporsi semua pekerja yang terdiagnosis gangguan fungsi paru adalah pekerja yang memiliki kebiasaan mengkonsumsi rokok.
116
Berdasarkan pengelompokan variabel jumlah batang rokok/hari persentase pekerja yang memiliki karakteristik mengkonsumsi rokok ≥ 10 batang rokok/hari sebanyak 34 orang (85%) dan pekerja yang memiliki karakteristik mengkonsumsi rokok < 10 batang/hari hanya 6 orang (15%). Meskipun hanya 7 orang yang sudah terdiagnosis terkena gangguan fungsi paru, namun sebanyak 27 orang (67,5%) memiliki risiko yang sama untuk terjadinya gangguan fungsi paru. Selain itu, dari hasil analisis uji crosstab antara variabel usia berisiko yaitu ≥ 40 tahun dengan variabel konsumsi rokok ≥ 10 batang rokok/hari didapatkan sebanyak 16 responden (40%) dari total responden yang mengalami gangguan fungsi paru. Berdasarkan hal itu, asumsi peneliti bahwa prevalensi pekerja yang memiliki karakteristik mengkonsumsi rokok ≥ 10 batang/hari yang cukup tinggi dan pekerja memiliki risiko lingkungan dari aktivitas pembakaran batu kapur yang berkadar debu tinggi akan memberikan dampak kumulatif terhadap risiko timbulnya gangguan paru, karena partikel dan asap rokok seperti karbon dioksida, nitrogen dioksida, tar dan bahan kimia lainnya akan merangsang sekresi lendir dan melumpuhkan bulu-bulu silia di saluran pernafasan yang sebenarnya berfungsi sebagai penyaring udara yang masuk ke hidung sehingga mekanisme pengeluaran debu paru dapat teganggu. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Ikhsan dkk (2007) pada pekerja terpajan debu semen, didapatkan tidak memiliki hubungan yang bermakna antara variabel kebiasaan merokok dengan kelainan faal paru dengan nilai p value
117
sebesar 0,396. Kemudian sejalan juga dengan penelitian Yuliani (2010) pada pekerja yang mengkonsumsi rokok > 10 batang/hari sebanyak 60% mengalami kelainan paru restriksi, namun dari hasil uji statistik tidak ada hubungan antara kebiasaan merokok dengan gangguan kapasitas vital paru pada pekerja di industri tenun dengan nilai p value sebesar 0,682. Selain itu juga sejalan dengan penelitian Aviandari dkk (2008) bahwa tidak ada hubungan anatara variabel kebiasaan merokok dengan gangguan obstruksi paru dengan nilai p value sebesar 0,567. Meskipun secara statistik tidak memiliki hubungan, namun secara teori dari penelitian ini bahwa kebiasaan merokok menjadi faktor risiko untuk terjadinya gangguan pernafasan yaitu fungsi paru, khususnya pada proporsi responden yang memiliki kebiasaan konsumsi rokok ≥ 10 batang rokok/hari pada 24 orang (67,5%). Merokok bukanlah sebagai penyebab utamasuatu penyakit, tetapi dapat memicu terjadinya suatu penyakit. Dalam Komisi Fatwa MUI ke III menetapkan dugaan yang bersifat anni (dugaan/masih umum) merokok untuk golongan yang tidak termasuk pada anak-anak, ibu hamil dan perokok di tempat umum tidak disebut haram, melainkan makruh. Sedangkan sebagaimana Islam melarang perbuatan yang dapat membahayakan diri, salah satunya adalah merokok. Allah swt. berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 195 :
118
......… وَالَ تُلْقُىا بِأٌَْدٌِكُمْ إِلَى ال َتهُْلكَة. “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” Dalam tafsir Syaikh Nashir as-Sa’dy (2005) atas ayat tersebut, firman Allah swt..” “dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan” , menyiratkan pada dua hal: pertama, meninggalkan apa yang seharusnya diperintahkan kepada seorang hamba, jika meninggalkannya itu mengandung konsekuensi atau hampir mendekati binasanya badan atau jiwa. Kebinasaan yang termasuk disini adalah melakukan maksiat terhadap Allah swt. dan perbuatan yang dapat merugikan diri secara jasmani maupun rohani, serta berputus asa untuk bertaubat. Oleh karena itu meninggalkan sesuatu yang dapat merugikan diri sendiri khususnya pada kesehatan jasmani seperti mengkonsumsi rokok lebih baik untuk menghindari konsekuensi yang dapat mengakibatkan kerugian diri di masa yang akan datang. Pencegahan dapat dilakukan pada pekerja yang memiliki faktor risiko terkena gangguan pernafasan dan paru dengan mengkonsumsi buah maupun sayuran yang mengandung antioksida yang mudah dan murah untuk didapatkan, dari kelompok buah dapat juga mengkonsumsi jeruk, apel dan manggis, dari kelompok sayuran seperti tauge, tomat dan bahan kacang-kacangan seperti kedelai dan makanan olahan seperti tempe dan tahu. Hasil penelitian pada artikel online di Jepang tim studi di pimpin oleh Fumi Hirayana pada 300 pasien sesak nafas dan
119
340 orang sehat yang mengkonsumsi kedelai, ditemukan hasil bahwa mereka yang mengkonsumsi produk yang mengandung kedelai ada hubungannya dengan membaiknya fungsi paru dan turunnya risiko terkena sesak nafas. selain itu banyak mengkonsumsi air minum akan membantu mengeluarkan racun dan nikotin yang telah terakumulai dalam tubuh. 6.3.4. Hubungan Masa Kerja dengan Gangguan Fungsi Paru Menurut Suma’mur (1996) masa kerja adalah lamanya seorang tenaga kerja dalam (tahun) dalam satu lingkungan perusahaan, dihitung mulai saat bekerja sampai penelitian berlangsung. Semakin lama seseorang dalam bekerja maka semakin banyak dia telah terpapar bahaya yang ditimbulkan oleh lingkungan kerja tersebut. Selain itu, menurut Morgan dan Parkes dalam Faidawati (2003) dalam Budiono (2007), waktu yang dibutuhkan seseorang terpapar oleh debu untuk terjadinya fungsi paru lebih dari 10 tahun. Kemudian, penelitian Sumanto (1999) dalam Budiono (2007) menunjukan bahwa semakin lama seseorang bekerja pada lingkungan berdebu, maka dapat menurunkan kapasitas vital paru. Dimana setiap penambahan masa kerja dalam satu tahun akan terjadi penurunan kapasitas paru sebesar 35,39 ml. Diperkuat dengan peneltian Sugeng dkk (2003) dalam Yulaekah (2007) berdasarkan studi menunjukan bahwa masa kerja lebih dari 10 tahun mempunyai risiko terjadinya obstruksi paru pada pekerja industri yang berdebu.
120
Pada penelitian ini hasil analisis uji t-test independen pada variabel masa kerja terhadap gangguan fungsi paru dengan nilai p value sebesar 0,932, maka pada alpha 5% menunjukan tidak ada hubungan antara variabel masa kerja dengan gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari tahun 2013. Dari hasil crosstab antara kategori masa kerja ≥ 10 Tahun sebanyak 3 orang (16,7%) di diagnosis adanya gangguan fungsi paru dan 15 orang (83,3%) tidak mengalami gangguan fungsi paru, sedangkan pada katagori lama paparan < 10 tahun hanya terdapat 4 orang (18,2%) yang mengalamani gangguan dan 18 orang (81,8%) tidak mengalami gangguan fungsi paru. Hasil crosstab tersebut menggambarkan proporsi pekerja dengan masa kerja < 10 tahun dan masa kerja ≥ 10 sama-sama memiliki risiko terkena gangguan fungsi paru. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Yulaekah (2007) yaitu tidak adanya hubungan antara masa kerja terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja industri batu kapur dengan nilai p value sebesar 0,192. Kemudian penelitian ini sejalan dengan penelitian Aviandari (2008) yaitu tidak adanya hubungan antara masa kerja dengan riwayat asma pada pekerja pabrik gandum dengan nilai p value 0,520. Berdasarkan proporsi antara variabel masa kerja terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari tahun 2013 bahwa kategori masa kerja kerja < 10 tahun dan masa kerja ≥ 10 sama-sama memiliki risiko terkena gangguan fungsi paru, meskipun pada hasil uji statistik tidak menunjukan hubungan yang signifikan.
121
Menurut asumsi peneliti bahwa, sebanyak 33 orang (75%) responden adalah penduduk asli daerah setempat yang juga jarak rumah dengan aktivitas pembakaran batu kapur cukup berdekatan, dimana jarak antara rumah dan tempat pembakaran kurang lebih berjakar ≤ 1.000 m2, sehingga aktivitas pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini memiliki risiko paparan polutan partikel debu tinggi, karena aktivitas pengolahannnya masih sangat sederhana dan minim akan teknologi, dibuktikan dengan hasil pengukuran udara ambien PM10, rata-rata semua titik pengolahan batu kapur melebihi NAB berdasarkan PP No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Menurut asumsi peneliti variabel masa kerja ini akan terjadi bias analisis dengan lama tinggal pekerja yang berjarak ≤ 1.000 m2 dari aktivitas pengolahan batu kapur, karena menurut Rahman (2009) menyebutkan kadar TSP dari PM10 menurun jaraknya dari sumber mulai jarak 500 m samapi 5.000 m. Apabila sebanyak 75% pekerja bertempat tinggal ≤ 1000 m2 dari lingkungan kerjanya, maka akan ada risiko paparan dari lama tinggal dan jarak rumahnya. Hal ini dapat dijadikan studi lanjutan mengenai analisis risiko kesehatan lingkungan pemukimanan dari adanya aktivitas pengolan batu kapur di Desa Tamansari.
122
6.4. Hubungan Antara Faktor Lingkungan terhadap Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengolahan Batu Kapur di Desa Tamansari Tahun 2013 6.4.1. Hubungan Antara Kadar PM10 Ambien terhadap Gangguan Fungsi Paru Aktivitas pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini merupakan proses pengolahan batu kapur yang bersifat industri non formal, yaitu hasil tambang batu kapur kemudian dilakukan pemecahan menjadi bongkahan yang lebih kecil, dimana proses pembakaran selama 48 jam, pembongkaran, pemadaman, pengadukan dan pengayakan sehingga menjadi serbuk atau partikel seperti tepung atau semen. Dari aktivitas pengolahan tersebut lah menjadi sumber utama dihasilkannya polutan udara yang salah satunya adalah komponen debu berjenis particullat metter (PM) berukuran 10 mikron atau PM10. Menurut EPA (2001) Particulat Matter 10 (PM10) adalah jenis pencemaran yang terdiri dari partikel cair dan padat yang sangat kecil berdiameter 10 mikron untuk dihirup kebagian terdalam paru-paru. Diibaratkan, ukuran rambut manusia adalah 60 mikron, maka PM10 adalah 6 kali lipat dari sehelai rambut. Dalam Pope III et al. (2006) partikel PM 10 yang berdiameter 10 mikron memiliki tingkat kelolosan yang tinggi dari saringan pernafasan manusia dan bertahan di udara dalam waktu cukup lama. Tingkat bahaya semakin meningkat pada pagi dan malam hari karena asap bercampur dengan uap air. PM10 tidak terdeteksi oleh bulu hidung sehingga masuk ke paru-paru. Jika partikel tersebut terdeposit ke paru-paru akan menimbulkan peradangan saluran pernapasan.
123
Data epidemiologi dalam Sydbom et al. (2001) dalam Ikhsan dkk (2010) menunjukan hubungan antara kadar partikel dan meningkatnya morbiditi termasuk gejala respirasi, eksaserbasi alegi, asma, menurunnya fungsi paru dan perawatan pada pasien PPOK. Di Eropa dalam artikel The Air Pollution and Health menunjukan angka rawat asma dan PPOK meningkat 1,0% per 10 mg/m3 PM10. Pajanan terhadap PM memperburuk penyakit respirasi kronik dan kardiovaskular, merubah pertahanan tubuh dan merusak jaringan paru hingga menambah kemungkinan terjadinya kanker paru-paru. Menurut Price (1995) mekanisme penimbunan debu dalam paru yaitu pertama debu diinhalasi dalam bentuk partikel debu solid, atau suatu campuran dan asap. Kedua udara masuk melalui rongga hidung disaring, dihangatkan dan dilembabkan. Ketiga fungsi tersebut disebabkan karena adanya mukosa saluran pernapasan yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia, dan mengandung sel goblet. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh rambut yang terdapat pada lubang hidung, sedangkan partikel debu yang halus akan terjerat dalam lapisan mokosa. Gerakan silia mendorong lapisan mukosa ke posterior, ke rongga hidung dan kearah superior menuju faring dan menuju paru-paru. Kemudian, partikel debu yang masuk kedalam paru-paru akan membentuk fokus dan berkumpul dibagian awal saluran limfe paru. Debu ini akan difagositosis oleh magrofag. Debu yang bersifat toksik terhadap magrofag akan merangsang terbentuknya magrofag baru. Pembentukan dan destruksi magrofag yang terus-
124
menerus berperan penting dalam pembentukan jaringan ikat kolagen dan pengendapan hialin pada jaringan ikat yang membentuk fibrosis. Fibrosis ini terjadi pada parenkim paru yaitu pada dinding alveoli dan jaringan ikat intertestial. Akibat fibrosis paru akan terjadi penurunan elastisitas jaringan paru (pergeseran jaringan paru) dan menimbulkan ganggguan pengembangan paru. Bila pengerasan alveoli mencapai 10% akan terjadi penurunan elastisitas paru yang menyebabkan kapasitas vital paru menurun dan mengakibatkan menurunnya suplai oksigen ke jaringan otak, jantung dan bagianbagian tubuh lainnya sehingga ini menjadi faktor risiko terjadinya serangan penyakit kardiovaskular. Berdasarkan hal itu, pengukuran udara ambien di lingkungan aktivitas pengolahan batu kapur di Desa Tamansari perlu dilakukan sebagai penunjang hipotesis penelitian. Pengukuran udara ambien kadar debu dilakukan pada beberapa dua titik sampel (2 pemilik pembakaran) yang di ukur berdasarkan tahapan proses aktivitasnya dan waktu representatif selama 24 jam yaitu pada pagi hari, siang hari dan sore hari, masing-masing pengambilan sampel PM10 diukur selama 1 jam dan direkama setiap 10 detik yang kemudian data rata-rata disajikan pada tabel 6.1. di bawah ini :
125
No.
1. 2. 3. 4. 5.
Tabel 6.2. Hasil Pengukuran Udara Ambien PM10 di Lingkungan Kerja Pengolahan Baru Kapur Desa Tamansari Tahun 2013 Aktivitas Pengolahan Batu Kadar PM10 Jumlah Responden Kapur Ambien (µg/m3) Penghancuran 177 3 Pembakaran 1 1.437 9 Pembakaran 2 419 5 Pembongkaran 260 18 Pemadaman dan Pengayakan 177 5 (Finnishig)
Besar suatu kegiatan usaha dapat dikatakan menimbulkan pencemaran udara dapat dilihat pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.13 Tahun 1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak dan Peraturan Pemerintah No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Pada penelitian ini indikator nilai ambang batas udara ambien nasional pada parameter PM10 adalah sebesar 150 µg/m3 dari PP No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, sedangkan NAB kadar PM10 dilingkungan kerja adalah sebesar 10 mg/m3 berdasarkan Kemenakes No. 1405 Tahun 2002 Tentang Persyaratan Kesehatan Lingkungan Kerja Perkantoran dan Industri. Berdasrkan tabel 6.2. hasil pengukuran udara ambien PM10 di lingkungan pengolahan batu kapur di Desa Tamansari melebihi nilai ambang batas secara kadar udara ambien nasional, namun berdasarkan berdasarkan NAB di lingkungan industri tidak melebihi NAB yang di tetapkan. Hal ini dikarenakan aktivitas pengolahan batu kapur tidak pada suatu industri atau pabrik yang memiliki tempat khusus,
126
melainkan pengolahannya berada pada ruang terbuka dan belum dilegalitaskan secara resmi menjadi sebuah aktivitas indusrti oleh pemerintah setempat.Oleh karena itu, variebl kadar PM10 ambien tidak memiliki hubungan dengan terjadinya gangguan fungsi paru pada responden. Keberadaan kadar PM10 ambien yang ada di lingkungan pengolahan batu kapur dan area Desa Tamansari ini memiliki risiko paparan debu tidak hanya pada pekerja dan masyarakat sekitar. Pengukuran PM10 di ikuti dengan pengukuran kecepatan angin, hasil pengukuran cukup fluktuatif, mimum kecepatan mulai 0,5 sampai maksimum 1,9 m/s, artinya udara di lingkungan kerja terjadi pergerakan mengikuti arah angin yaitu ke arah timur dengan arah menjauh dari pemukiman Desa Tamansari. Berdasarkan hasil analisis uji t-test independen didapatkan P value antara PM10 dengan gangguan fungsi paru adalah sebesar 0,783. Hal ini berarti pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kadar PM10 dengan gangguan fungsi paru. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Mengkidi (2006) yaitu tidak adanya hubungan kadar TSP ambien semen dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p value sebesar 0,244. Kemudian penelitian ini sejalan dengan Ikhsan (2007) pada pekerja pabrik semen, hasil uji statistik menunjukan tidak adanya hubungan antara kadar pajanan debu dengan kelainan klinis paru dengan nilai p value 0,298. Untuk mengetahui adanya dampak paparan debu dari tempat kerja terhadap gangguan fungsi paru pada individu pekerja, banyak variabel yang harus lebih
127
spesifik di teliti, yaitu kadar debu terhirup menggunakan personal dust sampler untuk mengetahui secara spesifik jumlah paparan debu terhirup, kemudian faktor kerentanan dan imunitas serta fisiologis dari individu pekerja yang sulit untuk diukur harus melalui penelitian yang lebih medis dan kedokteran kesehatan kerja, hal ini juga menjadi keterbatasan dari penelitian pekerja batu kapur di Desa Tamansari. Secara teori diketahui bahwa debu berperan dan berhubungan terhadap gangguan pernafasan dan risiko penyakit kronik yang mematikan, namun seorang pekerja yang berada di lingkungan kerja dengan konsentrasi yang sama, durasi paparan dan karakteristik perilaku lainnya yang sama namun akan mengakibatkan kelainan klinis yang berbeda. Menurut asumsi peneliti hal ini disebabkan karena kerentanan tubuh dan fungsi organ masing-masing individu yang berbeda dan akhirnya menyebabkan status dan gangguan kesehatannya berbeda. Selain itu, paparan kadar udara ambien ini di lingkungan kerja pengolahan batu kapur ini tidak bergerak ditempat seperti dalam sebuah ruangan, tetapi pergerakan debu dan arah angin menjauh dari aktivitas pembakaran dan proses lainnya, karena sifat debu yang mudah diterbangkan oleh angin. Namun, yang dapat dicanangkan dari aktivitas pengolahan batu kapur ini sebaiknya lebih ramah lingkungan dan melindungi pekerja dan masyarakat sekitar, agar selain menjadi mata pencaharian, asset daerah juga menjadi kegiatan kearifan lokal daerah. Sebagimana dalam Firman Allah swt. dalam Q.S. Al-A’raaf : 56 :
128
.......حهَا ِ َصال ْ ِوَالَتُفْسِدُوا فًِ اْألَرْضِ َبعْدَ إ “Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik.” Dalam Al-Quran dan Tafsirnya (2011) menerangkan ayat ini Allah melarang manusia agar tidak membuat kerusakan di muka bumi. Larangan membuat kerusakan ini mencakup semua bidang, seperti pergaulan, jasmani, rohani orang lain, kehidupan dan sumber penghidupan, lingkungan dan sebaginya. Bumi ini sudah diciptakan Allah dengan segala kelengkapannya, baik di daratan, gunung, lautan dan sebagainya, yang semuanya ditujukan untuk keperluan manusia, agar dapat diolah dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan manusia, maka dapat ditegaskan adanya larang pada manusia untuk membuat kerusakan di muka bumi. Oleh karena itu, segala bentuk penciptaan yang ada di muka bumi seperti salah satunya dalam bentuk pertambangan sumber daya alam dapat diolah dan dikelola dengan sebaik-baiknya agar terciptanya keseimbangan alam dan kelestarian lingkungan. Berdasarkan hal itu, peneliti menginisiasikan untuk adanya hubungan kerja sama yang baik antara Pemda Kab. Karawang dan pemilik pengolahan batu kapur ini untuk di adakannya pelatihan pengelolaan batu kapur berwawasan lingkungan perlu segera direalisasikan dengan teknologi tepat guna dan sederhana. Menurut Soerjani dkk (1987) dalam Hadi dkk (2008) bahwa dalam pembangunan
129
berwawasan lingkungan, manusia harus berani menunjukan keterbatan dirinya dalam pengelolaan lingkungan. Dalam pengelolaan lingkungan, diperlukan adanya sentuhan keterampilan yang berbasis teknologi baik secara sederhana maupun modern. Oleh karena itu, pelatihan dan kunjungan lapangan yang dapat disediakan oleh Pemda setempat maupun lembaga lainnya baik dari akademis maupun sosial kepada kelompok usaha pengolahan batu kapur di Desa Tamansari. Selain itu, sebaiknya kepada Pemerintah Dearah Kab. Karawang khususnya pada Dinas Kesehatan, Badan Lingkungan Hidup Daerah Kab. Karawang dan lintas sektor lainnya dapat memperhatikan aktivitas pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini dengan melakukan pemantauan kualitas udara di area kerja maupun pemukiman, dan dilakukannya sosialisasi yang lebih massif terkait pentingnya penggunaan APD pada pekerja sebagai upaya pencegahan timbulnya penyakit akibat kerja yang akan berpengaruh terhadap produktifitas pekerja dan pembangunan daerah.
6.4.2. Hubungan Antara Suhu terhadap Gangguan Fungsi Paru Menurut Suharsono (1985) dalam Subaid (2002) cuaca dan iklim bukan penyebab polusi udara, tetapi keadaan atmosfer mempunyai pengaruh yang besar terhadap laju difusi (penyebaran) bahan pencemar, baik secara horizontal maupun vertikal. Faktor meteorologis yang memegang peran dalam proses penyebaran bahan pencemar di udara adalah faktor angin (kecepatan dan arah), turbulensi, stabilitas atmosfer dan inversi. Selain itu ada pula faktor-faktor
130
meteorologi sekunder yang mempengaruhi polusi udara, antara lain hujan, kabut dan radiasi surya. Maka, dapat disimpulkan bahwa faktor iklim dan meteorologi mempengaruhi konsentrasi dan kadar bahan polutan pada suatu lingkungan tertentu. Salah satunya adalah suhu atau temperatur. Dalam Ikhsan (2010) suhu yang ekstrim baik dingin maupun panas berada pada kondisi perubahan polusi udara seperti kebakaran hutan dan hujan debu, berpotensi menyebabkan penyakit respirasi baik jangka pendek maupun panjan. Penelitian di Itali oleh Atkinson et al. (2001) dalam Ikhsan (2010), selama musim panas tahun 2003, penduduk yang berusia > 65 tahun mempunyai risiko 34% kematian dan risiko penyakit respirasi. Angka kematiannya cukup tinggi pada pasien PPOK dan pada kelompok gender perempuan. Polusi udara seperti debu partikel, NO2, SO2 dan ozon dibumi dapat meningkat sebagai adaptasi terhadap suhu yang memanas. Polusi udara seperti ozon dan partikel menyebabkan meningkatnya kasus respirasi dan menurunya fungsi paru. Seperti di lingkungan kerja suatu industri atau tempat tertentu yang memiliki sumber pencemar udara, dimana konsentrasi bahan polutan akan dipengaruhi oleh konsentrasi suhu, sehingga akan berpengaruh terhadap penurunan fungsi paru dan menimbulkan risiko keluhan pernafasan terutama pada orang-orang yang berisiko. Namun berdasarkan hasil analisis statistik bivariat pada variabel suhu lingkungan kerja pada uji t-test independent diperoleh nilai p value antara suhu
131
dengan gangguan fungsi paru adalah sebesar 0,963. Hal ini berarti pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara suhu lingkungan dengan gangguan fungsi paru. Apabila dari hasil uji statistik univariat di dapatkan dengan melakukan pengukuran secara langsung, dimana waktu dan tempat disesuaikan saat pengukuran PM10 berlangsung, dari dua titik sampel di dapatkan nilai rata-rata suhu di aktivitas pengolahan batu kapur sebesar 32 oC, di peroleh suhu minimal 30 o
C dan suhu maksimal 36 oC. Berdasarkan baku mutu Kepmenkes No. 1405 Tahun
2002 NAB suhu lingkungan industri adalah antara 18-30 oC, dapat disimpulkan bahwa suhu lingkungan di aktivitas pengolahan batu kapur juga melebihi ambang batas, yang akan menjadi bahaya untuk terjadinya gangguan kesehatan lainnya. Namun, faktor suhu juga dapat dipengaruhi oleh keberadaan dan turbulensi angin. Didapatkan hasil pengukuran kecepatan angin di area sampel penelitian rata-rata kecepatan angin 1,1 m/s dengan kecepatan minimum 0,5 m/s dan kecepatan maksimum 1,9 m/s, kecepatan angina cukup kuat karena area pengolahan batu kapur berada pada ruang terbuka bukan pada suatu ruangan khusus. Keberadaan angin ini akan menurunkan suhu yang cukup tinggi di lingkungan pengolahan batu kapur sehingga meminimalisir kadar debu sebagai sumber polutan. Hal ini lah yang menjadi asumsi peneliti bahwa suhu lingkungan tidak berpengaruh terhadap kondisi kadar polutan yang berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada responden.
132
Sebagai pencegahan dalam aktivitas bekerjanya tidak mendekati area pengolahan yang bersumber panas seperti saat proses pembakaran. Sebaiknya pekerja mengkontrol jarak aktivitas kerja dengan tungku pembakaran, dimana di area proses pembakaran ini lah terdapat yang suhu tinggi. 6.4.3. Hubungan Antara Kelembaban terhadap Gangguan Fungsi Paru Sebuah studi dalam Arundel et al. (1986) ingin mengetahui efek kesehatan dari kelembaban relatif di lingkungan indoor menunjukkan bahwa kelembaban relatif dapat mempengaruhi kejadian infeksi pernapasan dan alergi. Studi eksperimental pada infeksi bakteri yang ditularkan melalui udara dan virus telah menunjukkan bahwa kelangsungan hidup atau infektivitas organisme diminimalkan dengan paparan kelembaban antara 40%-70% . Sembilan studi epidemiologi meneliti hubungan antara jumlah infeksi pernapasan dari kehadiran bekerja dan kelembaban relatif di kantor, tempat tinggal, atau sekolah. Didapatkan insiden infeksi pernafasan dengan melihat absensi harian di kantor, ditemukan kejadian infeksi pernafasan lebih rendah di antara orang yang bekerja atau tinggal di lingkungan dengan kelembaban relatif menengah rendah dibandingkan dengan orang bekerja dengan kelemababan relatif tinggi. Hal ini akan mempengaruhi perkembangbiakan organisme seperti bakteri dan jamur. Keberadaan tungau, bahan alergan dan populasi jamur secara langsung tergantung pada kelembaban relatif. Populasi tungau diminimalkan ketika kelembaban relatif di bawah 50% dan mencapai ukuran maksimal pada kelembaban
133
relatif 80%. Sebagian besar spesies jamur tidak bisa tumbuh kecuali kelembaban relatif melebihi 60%. Hasil pengukuran dan analisis pada kelembaban di lingkungan aktivitas pengolahan batu kapur, rata-rata kelembaban mencapai 80,3% dengan kelembaban minimal sebesar 71% dan kelembaban maksimal 87%. Dalam Kepmenkes No. 405 Tahun 2009 tentang NAB Faktor Fisik dan Kimia di Tempat Kerja, kelembaban di lingkungan pengolahan batu kapur masih di antara batas ambang batas yaitu 6595%. Kemudian, dari hasil analisis uji statistik t-test independent, nilai Pvalue yang didapatkan dari hasil analisis antara kelembaban dengan gangguan fungsi paru adalah sebesar 0,854. Hal ini berarti pada alpha 5% tidak terdapat hubungan yang bermakna antara kelembaban lingkungan dengan gangguan fungsi paru. Dalam artikel Healthcare Inc. (2005) kelembaban yang tinggi juga merupakan penyebab meningkatnya keluhan sesak napas. Ada beberapa kemungkinan penjelasan untuk fenomena ini. Pertama, karena kelembaban udara meningkat maka densitas atau massa jenis udara meningkat, maka udara tidak banyak terjadi aliran di udara sehingga meningkatnya saluran nafas dan mengakibatkan meningkatnya kerja pernapasan yang menyebabkan sesak napas. Penjelasan lain bahwa ketika kelembaban meningkat, maka jumlah alregan udara ikut meningkat, seperti debu, jamur bahkan tungau meningkat pada kelembaban yang tinggi.
134
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menyimpulkan bahwa kondisi kelembaban berdasarkan hasil pengukuran di lingkungan pengolahan batu kapur pada dua titik sampel didapatkan rata-rata sebesar 80,3% dengan kelembaban minimal 71% dan kelembaban maksimal 87%, maka kadar kelembaban masih berada pada kadar kelembaban relatif normal, sehingga kelembaban di lingkungan pengolahan batu kapur tidak menjadi faktor yang berhubungan langsung terhadap gangguan fungsi paru pada pekerja, karena saat penelitian dilakukan pada bulan April, dimana keberadaan cuaca tidak dalam curah hujan yang tinggi. Namun, ketika kondisi kelembaban meningkat yaitu pada saat curah hujan sedang tinggi maka hal ini perlu diwaspadai turbulensi udara yang sedikit sehingga kondisi udara, debu dan asap di sekitar pengolahan batu kapur akan meningkat, kondisi seperti ini menjadi faktor pemicu gangguan pernafasan seperti sesak nafas dan terjadinya reaksi hipereaktivitas dari bahan alergan yang meningkat pada pekerja yang memiliki riwayat penyakit asma dan gangguan pernafasan lainnya.
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1.
Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, maka dapat diambil kesimpulan penelitian sebagai berikut: 1. Gambaran pekerja pengolahan batu
kapur di Desa Tamansari Kab.
Karawang tahun 2013, didapatkan dari 40 responden penelitian yang mengalami gangguan fungsi paru sebanyak 7 orang (17,5%) dengan kategori restriksi ringan dan sedang sedangkan 33 orang (82,5%) tidak ada gangguan fungsi paru dengan kapasitas total paru ≥ 80%. 2. Gambaran faktor karakteristik individu
(usia, masa kerja, konsumsi
merokok dan status gizi) pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari adalah sebagai berikut : a. Rata-rata usia pekerja adalah 37 tahun dengan standar deviasi 10,14, usia minimum 19 tahun dan usia maksimum 59 tahun. b. Rata-rata masa kerja adalah 10 tahun dengan standar deviasi 9,03, masa kerja minimum 0 tahun dan masa kerja maksimum 46 tahun. c. Rata-rata konsumsi merokok pekerja adalah 13 batang/hari dengan standar deviasi 6,23 , konsumsi rokok minimum 1 batang/hari dan maksimum 24 batang/hari.
135
136
d. Frekuensi status gizi pekerja pada kelompok gizi kurus 13 orang (29,55), gizi normal 24 orang (54,5%) dan gizi lebih atau gemuk (3 orang (6,8%). 3. Gambaran faktor karakteristik lingkungan (PM10 ambien, suhu dan kelembaban) pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari adalah sebagai berikut : a. Rata-rata kadar PM10 berdasarkan aktivitas pengolahan yaitu pada aktivitas penghancuran adalah 177 µg/m3, pembakaran 1 adalah 1.437 µg/m3, pembakaran 2 adalah 419 µg/m3, pembongkaran 419 µg/m3 dan pengepakan hasil adalah 177 µg/m3, dapat dirata-ratakan total kadar PM10 di area pengolahan batu kapur adalah 524 µg/m3 yang melebihi NAB kadar PM10 ambien berdasarkan PP No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. b. Rata-rata suhu di lingkungan pengolahan batu kapur berdasarkan aktivitasnya yaitu penghancuran adalah adalah 35
C, pembakaran 2 adalah 36
dan pengepakan hasil adalah 33
33
C, pembakaran 1
C
C
C, dapat dirata-rata C yang melebihi NAB
faktor fisik yaitu pada 18-30 Kepmenkes No. 405 Tahun 2002.
C di lingkungan keja berdasarkan
137
c. Rata-rata
kelembaban
di
berdasarkan aktivitasnya pembakaran
1
adalah
lingkungan yaitu 71%,
pengolahan
penghancuran pembakaran
batu
adalah 2
adalah
kapur 78%, 74%,
pembongkaran 87% dan pengepakan hasil adalah 78%, dapat dirataratakan kelembaban di area pengolahan batu kapur adalah 80,3% yang tidak melebihi NAB faktor fisik yaitu pada 65-95% berdasarkan Kepmenkes No. 405 Tahun 2002. 4. Gambaran kadar kandungan SiO2 pada material batu kapur di desa Tamansari adalah : a. Sebanyak 3,46% SiO2 pada batu kapur yang belum dibakar. b. Sebanyak 1,03% SiO2 pada batu kapur yang setelah dibakar I. c. Sebanyak 0,60% SiO2 pada batu kapur yang belum dibakar II. 5. Berdasarkan
hasil
uji
statistik
bivarit
faktor-faktor
yang
berhubungan dengan gangguan fungsi paru pada pekerja pengolahan batu kapur di Desa Tamansari tahun 2013 adalah sebagai berikut : a. Ada hubungan antara faktor usia dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p value 0,032.
138
b. Tidak ada hubungan antara faktor masa kerja dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p value 0,932. c. Tidak ada hubungan antara faktor konsumsi rokok dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p value 0,287. d. Tidak ada hubungan antara faktor status gizi dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p value 0,842. e. Tidak ada hubungan antara faktor kadar PM10 ambien dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p value 0,783. f. Tidak ada hubungan antara faktor suhu dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p value 0,963. g. Tidak ada hubungan antara faktor kelembaban dengan gangguan fungsi paru dengan nilai p value 0,854.
7.2.
Saran
7.2.1. Saran Bagi Pekerja 1. Sebaiknya pekerja yang sudah memiliki risiko terkena gangguan fungsi paru yaitu pada kelompok > 40 tahun dapat menjaga pola aktivitas kerja yaitu dengan melakukan aktivitas kerja sesuai jam kerja harian yaitu maksimal 8 jam/ hari, sadar akan penggunaan pelindung diri yaitu
139
pemakaian masker saat bekerja dan memilih bagian pekerjaan yang tidak memiliki risiko tinggi yaitu sebaiknya tidak pada bagian penghancuran atau pembakaran. 2. Sebaiknya pekerja memperhatikan asupan makan sehari-hari, mengingat aktivitas pengolahan batu kapur ini banyak membutuhkan energi karen aktivitas fisik yang harus dikerjakan, seperti memecah batu dan pembakaran pada suhu yang tinggi. 3. Sebaiknya pekerja yang memiliki kebiasaan konsumsi merokok > 10 batang/hari mulai mengurangi, yaitu dengan mengganti pengeluaran rokok dengan mengkonsumsi makanan yang lebih lebih bergizi untuk memenuhi kebutuhan kalori, karena perilaku ini akan menurunkan risiko terkena gangguan par dan penyakit kronis lainnya seperti stroke, hipertensi dan serangan jantung, dimana pada kelompok usia yang masih produktif dapat meningkatkan angka harapan hidupnya. 7.2.2. Saran Bagi Pemilik 1. Pemilik pengolahan batu kapur sebaiknya memperhatikan jam kerja dengan melakukan shift jadwal kerja, karena masih ada sebagian pekerja yang bekerja selama 24 jam/hari. 2. Pemilik pengolahan sebaiknya lebih memperhatikan teknik pengolahan atau pembakaran yang lebih ramah lingkungan agar paparan debu yang
140
dihasilkan tidak menjadi sumber pencemar polusi udara di lingkungan kerja maupun ke area pemukiman warga. 3. Selain itu pemilik juga sebaiknya lebih memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan pekerjanya dengan selalu menghimbau untuk tetap menggunakan masker khususnya yang sudah disediakan pihak UKK Puskesmas setempat. 7.2.3. Saran Bagi Pemerintah Daerah Kab. Karawang 1. Sebaiknya kepada Pemerintah Dearah Kab. Karawang khususnya pada Dinas Kesehatan, Badan Lingkungan Hidup Daerah Kab. Karawang dan lintas sektor lainnya dapat memperhatikan aktivitas pengolahan batu kapur di Desa Tamansari ini dengan melakukan pemantauan kualitas udara di area kerja maupun pemukiman, serta memperhatikan teknologi tepat guna dan sederhana yang dapat diterapkan. 2. Sebaiknya dilakukannya sosialisasi yang lebih massif lagi terkait pentingnya kesehatan dan keselamatan pada pekerja agar aktivitas pengolahan batu kapur ini menjadi kearifan lokal setempat dan daerah, antara lain dengan mewajibkan para pemilik tambang dan pengolahan untuk menyediakan masker yang dipakai seluruh pekerjanya.
141
7.2.4. Bagi Peneliti Selanjutnya 1. Pengukuran kadar debu pada pekerja sebaiknya dilakukan pengukuran dengan personal dust sampler untuk mengetahui varian dan karakteristik dari masing-masing pekerja. 2. Diagnosa gangguan fungsi paru pada pekerja yang sudah diindikasi memiliki riwayat gangguan paru sebaiknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dengan sinar-X atau foto toraks.
Lampiran 1
DAFTAR RESPONDEN PENELITIAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI DESA TAMANSARI TAHUN 2013 Pelaksana : Prodi. Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jkt & PKM Pangkalan Sabtu, 6 April 2013 FEV/KVP Stat. Masa Kerja No. Nama Alamat TB BB Umur (Kapasitas Ket. Fungsi Paru Gizi/IMT (Tahun) Vital Paru) 1 KOSIM CIBIUK 159 41,5 16,4 54 83 Normal 46 2 DEDE BUNDER 158 51,5 20,6 32 121 Normal 7 3 IKANG PARUNGLAKSANA 140 45,7 23,3 45 73 Restriksi ringan 7 4 AMIN CIBIUK 167,5 50,5 18,0 35 84 Normal 25 5 SARIFUDIN CITAMAN 159 70 27,9 37 111 Normal 0 6 ENDANG SONGGONG 166 52,5 19,1 37 101 Normal 5 7 SLAMET CITAMAN 164 50,4 18,7 19 117 Normal 6 8 IDAN BOJONG 169 58,2 20,4 23 95 Normal 0 9 MEMED PANGKALAN 161,2 57,7 22,2 40 105 Normal 1 10 OTOY BEKASI 157 59 23,9 38 99 Normal 9 11 AHMAD TAMANSARI 169 57,7 20,2 42 69 Restriksi Sedang 15 12 OCEN TAMANSARI 158 66,5 26,6 40 85 Normal 8 13 ENDANG KARAWANG 163,8 49,7 18,5 51 62 Restriksi Sedang 25 14 DENI PANGKALAN 161,5 46,9 18,0 25 82 Normal 5 15 SYARIFUDIN PANGKALAN 171,9 52,6 17,8 34 70 Restriksi ringan 7 16 SARWITA PANGKALAN 158 76,3 30,6 50 108 Normal 10 17 ASEP CIBIUK 160,8 61,8 23,9 24 126 Normal 10 18 TAMAN CITAMAN 158,8 48 19 40 88 Normal 5 19 KUSNAEDI TAMANSARI 168 51,1 18,1 26 111 Normal 6 20 UDING CITAMAN 153,7 53,9 22,8 46 95 Normal 20 21 ZAITAR CITAMAN 158,3 54,6 21,8 35 104 Normal 10 22 KARLAN JATI 159 51,15 20,2 45 84 Normal 20 23 NURYANA BUNDER 160 62,9 24,6 26 122 Normal 6 24 DATIN CIBIUK 158 52,4 13 40 92 Normal 20 25 ADE CIBIUK 162,6 53,2 14 43 131 Normal 15 26 INEN CIBIUK 163,9 53,15 14,8 50 99 Normal 20 27 IWAN CITAMAN 160 45,4 17,7 23 99 Normal 3 28 FIRMAN CITAMAN 164 52,2 19,4 23 109 Normal 8 29 MARWAN CITAMAN 165 60 22 22 125,13 Normal 0 30 ENUNG PANGKALAN 156 48 19,7 45 117 Normal 15 31 APID TAMANSARI 166 63,5 23,0 53 61 Restriksi Sedang 5 32 SURYANA CITAMAN 165,9 59,4 21,6 32 79 Normal 2 33 UWANG SONGGONG 162 58 22,1 19 122 Normal 5 34 ENDA BUNDER 150 46,3 20,6 40 91 Normal 15 35 DARTO PANGKALAN 161 52,6 20,3 35 102 Normal 4 36 ASMAN PANGKALAN 166 55,45 20,1 35 125 Normal 15 37 AMAN CIBIUK 162 55,9 14,7 28 116 Normal 10 38 KOMAR BUNDER 162 48,8 18,6 51 61 Restriksi Sedang 5 39 ADANG S BUNDER 154 54,4 22,9 53 61 Restriksi Sedang 23 40 NASIM PARUNGLAKSANA 173,6 82,75 27,5 39 111 Normal 17
Lampiran 2 No Responden
Tanggal
KUESIONER PENELITIAN FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN GANGGUAN FUNGSI PARU PADA PEKERJA PENGOLAHAN BATU KAPUR DI DESA TAMAN SARI, KEC. PANGKALAN KAB. KARAWANG TAHUN 2013 Assalamualaikum Wr. Wb. Saya Annisa Fathmauldia, mahasiswi Kesehatan Masyarakat Peminatan Kesehatan Lingkungan Universitas Islam Negeri Jakarta. Saat ini saya sedang melakukan pengumpulan data mengenai keluhan kesehatan yang saudara rasakan saat bekerja, dimana pengumpulan data ini adalah sebagai salah satu bahan dalam penyusunan tugas akhir (skripsi). Sumua data dan informasi yang saudara berikan akan dijaga kerahasiannya dan kuesioner ini akan dimusnahkan apabila tidak digunakan lagi. Atas perhatian dan kerjasama saudara saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb. Form Kesediaan Responden Penelitian Apakah saudara bersedia? (lingkari pada pilihan dibawah ini) a. Ya b. Tidak Karawang, April 2013 Tanda Tangan Responden (…………………………)
Identitas Responden Nama Alamat
Asal Daerah
a. Pendudukasli Karawang b. Lainnya …. Jika bukan penduduk asli karawang sejak tahun berapa migrasi ke karawan? ……… a. Penambangan b. Pembakaran c. Pembongkaran d. Pengangkutan/pengepakan TB : ……… BB : ……… TD : ……… a. SD b. SMP c. SMA Lainnya……. Rp . ………………….
Bagian pekerjaan
Status Kesehatan
Pendidikan terakhir
Pengeluaran Bulanan Pengeluaran apa saja untuk setiap bulannya
Fasilitas MCK
a. b. c. d. a.
Sandang Pangan Papan Lain-lain ….. Pribadi b. Umum
Pertanyaan penelitian No.
Pertanyaan
Kode
A
Aktivitas Kerja
A1
Apakah anda sudah memiliki keterikatan kerja/kontrak dengan pemilik Lio?
A2
B
a.
Ya
b.
Tidak
Apakah anda merasa dilingkungan kerja ini? a.
Ya
b.
Tidak
Masa Kerja
[ ] nyaman/betah
berada [ ]
B1
Sudah berapa lama anda bekerja penambangan/pengolahan batu kapur ini
di
………. Tahun Sejak Usia berapa ? ….. tahun. B2
Berapa jam anda bekerja dalam satu hari? ……jam/hari
B3
Berapa hari anda bekerja dalam satu minggu? ……hari/minggu.
C
Jarak Rumah
C1
Apakah tempat tinggal anda dengan tempat bekerja relative : a. Dekat b. Jauh
C2
Berapa jarak tempat tinggal anda dengan lokasi pembakaran batu kapur ………. meter
C3
Ada berapa tempat pembakaran yang ada di dekat rumah anda? …….. tempat
C3
Sudah berapa lama anda tinggal di tempat tinggal yang anda tinggal saat ini? …… bulan/tahun.
D
Umur
D1
Berapakah usia anda saat ini ? Tanggal lahir…… bulan lahir…. Tahun lahir ……
E
Perilaku Merokok
E1
Apakah menurut bapak merokok dapat mengganggu kesehatan?
E2
a.
Ya
b.
Tidak
Apakah anda perokok? 0.
Ya
1.
Tidak
Jika “ya” lanjut ke pertanyaan E3, jika “tidak” langsung ke pertanyaan E6.
[ ]
[ ]
E3
Sudah berapa lama anda merokok? ……………. Minggu/bulan/tahun (Dilingkari yang perlu)
E4
Sudah sejak usia berapa tahun anda merokok? ….. tahun
E5
Berapa jumlah batang rokok yang dikonsumsi dalam.satu hari ……………batang/hari.
E6
Jika saat ini anda tidak merokok, apakah sebelumnya pernah merokok? 0.
Ya
1.
Tidak
[ ]
Jika, “ya” lanjut ke D5, jika tidak langsung ke pertanyaan F1. E7
Jika anda sudah tidak merokok saat ini, sejak kapan anda mulai berhenti merokok? ……. (hari, minggu,bulan,tahun) lalu.
F
Status Kesehatan
F1
Apakah anda merasakan keluhan gangguan kesehatan? a.
Ya
b.
Tidak
Jika “Ya” sebutkan jenis keluhan/sakit apa saja? F2
Apakah anda pernah menjalani pengobatan khusus oleh diagnosis tenaga medis? a.
Ya
b.
Tidak
[ ]
Jika “ Ya” jenis penyakit apa yang didagnosis oleh tenaga medis? …….. F4
Apakah ada pernah berobat/dirujuk ke Rumah Sakit? a.
Ya
b.
Tidak
[ ]
Jika “Ya” apa diagnosis penyakitnya ? ……….. F6
Apakah menurut anda keluhan kesehatan anda disebabkan oleh lingkungan kerja seperti adanya
[ ]
debu/asap dari pembakaran ? a.
Ya
b.
Tidak
Jika “Tidak” lanjut ke pertanyaan F7 F7
Apakah menurut anda keluhan kesehatan anda disebabkan oleh perilaku sehat anda seperti merokok, menggunakan APD saat bekerja ? a.
Ya
b.
Tidak
Hasil Pengukuran lingkungan kerja A. Debu partikulat (PM10) di Pengolahan Batu Kapur A1. Aktivitas kerja Hasil Pngukuran Pengolahan 1.Titik 1 1. Titik 1 a. Pagi : 06.00-10.00 a. ……. µg/m3– b. Siang : 10.00-1400 b. ……. µg/m3 c. Sore : 14.00-18.00 c. ……. µg/m3 0. Titik 2 a. Pagi : 06.00-10.00 b. Siang : 10.00-1400 2.Titik 2 c. Sore : 14.00-18.00 a. ……. µg/m3 a. b. ……. µg/m3 c. ……. µg/m3 a. B. Suhu Penambangan 1.Titik 1 a. …… 0C a. Pagi : 06.00-10.00 b. …… 0C b. Siang : 10.00-1400 c. Sore : 14.00-18.00 a. Pengolahan 1.Titik 1 a. …… 0C a. Pagi : 06.00-10.00 b. …… 0C b. Siang : 10.00-1400 c. …… 0C c. Sore : 14.00-18.00 0. Titik 2
a. Pagi : 06.00-10.00 b. Siang : 10.00-1400 c. Sore : 14.00-18.00
C. Kelembaban Penambangan 1.Titik 1 a. Pagi : 06.00-10.00 b. Siang : 10.00-1400 c. Sore : 14.00-18.00 a. Pengolahan a1.Titik 1 a. Pagi : 06.00-10.00 b. Siang : 10.00-1400 c. Sore : 14.00-18.00 0. Titik 2 a. Pagi : 06.00-10.00 b. Siang : 10.00-1400 c. Sore : 14.00-18.00
Kecepatan Angin : Pengolahan a1.Titik 1 a. Pagi : 06.00-10.00 b. Siang : 10.00-1400 c. Sore : 14.00-18.00 0. Titik 2 a. Pagi : 06.00-10.00 b. Siang : 10.00-1400 c. Sore : 14.00-18.00
d. …… 0C e. …… 0C f. …… 0C
a. …… % b. …… % c. …… %
a. …… % b. …… % c. …… %
d. …… % e. …… % f. …… %
Lampiran 3 DOKUMENTASI PENGUMPULAN DATA PRIMER
Dok. Pengukuran PM10 Ambien di Titik Sampel 1
Dok. Pengukuran PM10 Ambien di Titik Sampel 2
Dok. Pemeriksaan Antropometri Responden
Dok. Kondisi Asap Debu Pembakaran Batu Kapur di Desa Tamansari
Lampiran 4 Tabel 5.6. Distribusi Responden Berdasarkan Bagian Kerja dan Kondisi Lingkungan dan Gangguan Fungsi Paru NAMA BAGIAN PEKERJAAN SUHU KELEMBABAN PM10 FVC Status ITA PENGHANCURAN 33 78 177 116 Normal AMAN PENGHANCURAN 33 78 177 61 Restriksi Sedang KOMAR PENGHANCURAN 33 78 177 61 Restriksi Sedang CEBRON PEMBAKARAN 35 71 1437 92 Normal DATIM PEMBAKARAN 35 71 1437 131 Normal ADE PEMBAKARAN 35 71 1437 99 Normal INEM PEMBAKARAN 35 71 1437 99 Normal IWAN PEMBAKARAN 35 71 1437 109 Normal FIRMAN PEMBAKARAN 35 71 1437 125 Normal MARWAN PEMBAKARAN 35 71 1437 117 Normal ADANG PEMBAKARAN 35 71 1437 61 Restriksi Sedang UDIN PEMBAKARAN 35 71 1437 70 Restriksi Ringan SURYANA PEMBAKARAN 36 74 419 79 Restriksi Ringan UWANG PEMBAKARAN 36 74 419 91 Normal ENDA PEMBAKARAN 36 74 419 102 Normal DARTO PEMBAKARAN 36 74 419 125 Normal AHMAD PEMBAKARAN 30 87 260 69 Restriksi Sedang KOSIM PEMBONGKARAN 30 87 260 121 Normal IKONG PEMBONGKARAN 30 87 260 73 Restriksi Ringan DEDE PEMBONGKARAN 30 87 260 84 Normal SLAMET PEMBONGKARAN 30 87 260 111 Normal ENDANG PEMBONGKARAN 30 87 260 101 Normal DENI PEMBONGKARAN 30 87 260 117 Normal UDIN PEMBONGKARAN 30 87 260 95 Normal MEMED PEMBONGKARAN 30 87 260 105 Normal OTOY PEMBONGKARAN 30 87 260 99 Normal ASMAN PEMBONGKARAN 30 87 260 89 Normal OCEN PEMBONGKARAN 30 87 260 85 Normal SARWITA PEMBONGKARAN 30 87 260 81 Normal IDAN PEMBONGKARAN 30 87 260 82 Normal ENDANG PEMBONGKARAN 30 87 260 84 Normal NURYANA PEMBONGKARAN 30 87 260 108 Normal KARLAN PEMBONGKARAN 30 87 260 126 Normal SARIFUDINPEMBONGKARAN 30 87 260 88 Normal AMIN PEMBONGKARAN 30 87 260 111 Normal KUSNAEDIPENGEPAKAN 33 78 177 95 Normal APID PENGEPAKAN 33 78 177 104 Normal ZAITAR PENGEPAKAN 33 78 177 84 Normal ASEP PENGEPAKAN 33 78 177 122 Normal
Lampiran 5
HASIL PENGUKURAN KUALITAS UDARA AMBIEN(PM10, SUHU, KELEMBABAN) BERDASARKAN AKTIVITAS KERJA HASIL PENGUKURAN AKTIVITAS WAKTU PENGUKURAN PM10 (µg/m3) SUHU ( ͦC) KELEMBABAN (%) JUMLAH SAMPEL Penghancuran PAGI (08.15-09.15) 177 33 78 4 Pembakaran 1 PAGI (09.20-10.00) 1437 35 71 9 Pembakaran 2 SIANG (12.30-13.30) 419 36 74 5 Pembongkaran SORE (15.10-16.10) 260 30 87 17 Pengepakan Hasil PAGI (08.15-09.15) 177 33 78 5 Rata-rata 494 33 78 40
DAFTAR PUSTAKA Achmadi, U.F. 2011. Dasar-dasar Penyakit Berbasis Lingkungan, Rajawali Pers, Jakarta. Aditama, T. Yoga. 1992. Situasi dan Dampak Penyakit Paru pada Pusat Kesehatan Masyarakat. Kumpulan Rujukan Modul Respirasi 2007-2008. FKIK UIN Syarif Hidayatullah. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Almatsier. S, 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. American Thoracic Society. Standard for The Diagnosis And Care Of Patient With Chronic Obstructive Pulmonary Diseases (COPD) and Asthma. Am. Rev. Respir Dis, 1995 : 225 - 43. Anonim, Teknik Sampling Kualitas Udara, [http://www.bplhdjabar.go.id]. diakses pada 16 Januari 2013. Anonim. Al-Quran - Hikmah Al-Quran & Mutiara Hadits Surat Al -Baqarah: 194195 (Jangan Jerumuskan Dirimu Ke Dalam Kebinasaan).2005. Diakses dari [http://www.alsofwah.or.id] pada 23 Mei 2013. Anonim. Al-Qur’an dan Tafsirnya. 2011. Widya Cahaya. Perpustakaan Nasional RI : Katalog Dalam Terbitan. Jakarta. Arundel V. Sterling M et al 1986. Indirect Health Effect of Relative Humidity Indoor Enironments. Vol. 65. pp 351-361. Environment Health Perspectives. Aviandari, G., Budiiningsih S, Ikhsan, M. 2008. “Prevalensi Gangguan Obstruksi Paru dan Faktor-faktor yang Berhubungan pada Pekerja Dermaga&Silo Gandum
di
PT.X
Jakarta
2008”,
Jurnal
Respirogi
diakses
dari
(http://jurnalrespirologi/jurnal/april09/microsoft/jurnalrespirologi/graita.pdf) pada 25 Januari 2013.
Budiono, Irawan. 2007. Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Pengecatan Mobil (Studi pada Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang). Tesis. Undip. Semarang. Brenntag Canada Inc. 2010. Material Safety Data Sheet Calcium Carboate Solid. Website Accsess: http://www.brenntag.ca. Toronto. Curtis, N. 2000. Batu dan Mineral, Menyelidiki dan Memahami Geologi, Interaksara, Jakarta. Environmental Protection Agency (EPA). 2001. Air Quality Criteria for Particulate Metter, Volume 1: Secound External Review Draft. Depanjan, Majumdar, S.P.M. Prince Williams. 2008. Chalk dustfall during classroom teaching: particle size distribution and morphological characteristics.Environ Monit Assess. Epler. G.R. 1997. Environmental and Occupational Lung Disease. In : Clinical Overview Of Occupational Diseases, Return To Epler. Com. Fardiaz, S. 1992. Polusi Air dan Udara. Kanisius: Jakarta. Ganong. W.F. 1998. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review Of Medical Physiology). Terjemahan dari M. Djauhari Widjajakusumah, Edisi I7, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Guyton, AC. 2001. Buku Tesk Fisiologi Kedokteran, Alih Bahasa Adji Dharma dan Lukmanto. EGC. Jakarta. Hadi, B.S., Khotimah N., Sudarwanto. 2008. Pelatihan Pengelolaan Dapur Pembakaran Kapur (Tobong Gamping) yang Berwawasan Lingkungan di Kec. Jetis Kab. Bantul. FISE UNY. Yogyakarta. Healtcare Inc Rotech. 2005. Weather and Breathing. Volume , Issue 1. Article of Breathe Easy.
Huboyo, H S, Sutrisno E, Analisis Konsentrasi Particulate Metter 10 (PM10) pada Udara Diluar Ruangan (Studi Kasus-Stasium Tawang Semarang). Jurnal TEKNIK – Vol. 30 No. 1 Tahun 2009, ISSN 0852-1697. Ikhsan M. Yunus F. Damayanti T. Sutjahyo K. 2007. Hubungan Penggunaan Masker dengan Gambaran Klinis, Faal Paru dan Foto Toraks pada Pekerha Tepajan Debu Semen. Vol. 57. Nomor:9. Artikel Penelitian IDI. Jakarta. Ikhsan M. Wahyuni T D. 2010. Perubahan Iklim dan Kesehatan Paru. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan. Jakarta. Kelly, F.J. et al. 1998. PM10 and The Respiratory Tract: What Do We Know? Cardiovascular Research, The Rayne Institute, St. Thomas' Hospital, London SE1 7EH, United Kingdom. Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1022/Menkes/SK/XI tentang Pedoman Pengendalian Penyakit Paru Obstruksi Kronik. Khumaidah. 2009. “Analisis Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Mebel PT. Kota Jati Furnindo Desa Suwawal Kecamatan Milongggo Kabupaten Jepara”, Tesis Pascasarjana Magistert Kesehatan Lingkungan Undip, Semarang. Kusnoputranto, H. 1999. Toksikologi Lingkungan Zat Kimia dan Medan Elektromagnetik. FKM UI Jurusan Kesehatan Lingkungan, Jakarta. Keputusan Menteri Kesehatan No.1405/MenKes/SK/XI/2002 Tentang Nilai Ambang Batas Kesehatan Lingkungan Kerja Industri. Laktin, B., Dasar-dasar Klimatologi, PT. RajaGrafindo Perkasa, 2002. Lauralee.S. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem, Edisi 2, EGC, Jakarta. Loekita E, Yunus F, Sudarsono S. 2003. Hubungan antara debu tepung dengan Faal paru pada tenaga kerja Pabrik Tebung Terigu PT IB. Respir Indo 2003:.23;1120.
Lorriane. M.W, Sylvia A.P. 1999. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit. Edisi 4, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. Mengkidi,
D.
2006.
“Gangguan
Fungsi
Paru
dan
Faktor-faktor
yang
Mempengaruhinya pada Karyawan PT. Semen Tonasa Pangkep Sulawesi Selatan”, Tesis pada Pascasarjana Magistert Kesehatan Lingkungan Undip, Semaranng. Mukono, H. J. 2003. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Airlangga University Press, Surabaya. Nasution, Rozaini. 2003. Teknik Sampling. Digitized by USU Digital Library. FKM USU. Medan. Notoatmodjo. 2002. Metodelogi Penelitian Kesehatan, PT.Rineka Citra. Jakarta. Nugraheni, F.S. 2004. Analisis Faktor Risiko Kadar Debu Organik di Udara terhadap Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Industri Penggilingan Padi di Kab. Demak. Tesis. Megister Ilmu Kesehatan Lingkungan Pascasarjana UNDIP. Semarang. Nukman. A. 2005. Analisis Manajemen dan Komunikasi Risiko Kesehatan Pertambangan Kapur. Departemen Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 12 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pencemaran Udara di Daerah. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisik dan Kimia di Tempat Kerja. Pujiastuti, W. 2002. Debu Sebagai Bahan Pencemar Yang Membahayakan Kesehatan Kerja. Pusat Kesehatan Kerja. [http://www.docstoc.com], diakses pada 15 Oktober 2012. Prince, W. 1995. Patofisiologi. Edisi 4. EGC. Jakarta.
Pope, Arden C et al. 2003. Cardiovascular Mortality and Long Term Exposure to Particulate
Air
Pollution
(Epidemiological
Evidence
of
General
Pathophysiological Pathways of Disease. Brigham Young University. _________ . 2006. Journal of the air & waste management association: Health Effect of Fine Particulate Air Pollution: Lines that Connect. Department of Economics, Brigham Young University, Provo, UT, USA. Rahman, A., Suryaman, U.S. 2009. Health Risk Assessment and Management for Particulare Dusts from Traditional Limestone Mining in Sukabumi, West Java, Indonesia. In Environmental Health Specialist Association (EHSA): Bogor. Rizal M. “Pajanan PM
10
terhadap gangguan iritasi dan infeksi saluran pernafasan
(studi di Daerah Pengembangan Kapur Desa Padabeunghar Kab. Sukabumi Tahun 2011”, Skripsi pada FKM UI Jakarta: 2011. Tidak dipublikasikan. Sanusi, C. 1986. Kelainan – kelainan Sistem Pernafasan, EGC, Jakarta. Setyakusuma , Darma, et al. Pengaruh Debu Besi Terhadap Kesehatan Paru Pekerja Pabrik Baja Pt. Krakatau Stell Cilegon, Jurnal Respirologi Indonesia, Januari 1997, Vol 17, No 1,Hal .16-230 Soedomo. M. Dr. Ir. M.Sc.DEA. 2001. Kumpulan Karya Ilmiah mengenai Pencemaran Udara. Penerbit ITB. Bandung. Soemarwoto, O. 2005. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, UGM Press, Yogyakarta. Subaid M S. 2002. Pengaruh Suhu Udara, Curah Hujan, Kelembaban Udara dan Kecepatan Angin Terhadap Fluktuasi Konsentrasi Gas-gas NO2, O3 dan SO2 di Area PLTP Gunung Salak Sukabumi. Skripsi. FMIPA IPB. Bogor. Sucipto, E. 2007. “Hubungan Pemaparan Partikel Debu Pada Pengolahan Batu Kapur Terhadap Penurunan Kapasitas Fungsi Paru (Studi Kasus Di Desa Karangdawa
Kecamatan Margasari Kabupaten Tegal)”, Tesis pada Pascasarjana UNDIP Semarang. Suwondo A. Rahayu N S. Wahyuni I. 2013. Hubungan antara Kadar Debu Batubara Total dan Terhirup serta Karateristik Individu dengan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja di Lokasi Coal Yard PLTU X Jepara. Jurnal Kesmas Vol. 2 No.2 April 2013. FKM Undip. Semarang. Soeripto M. 2008. Higein Industri. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Suma’mur P.K.. 1986. Higene Perusahaan dan Keselamatan Kerja cetakan kelima, Gunung Agung, Jakarta. Sunu. P. 2001 Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. Grasindo, Jakarta. Suyono. 2002. Deteksi Dini Penyakit Akibat Kerja. EGC: Jakarta. Triatmo W., Sakundarno M., Hanani Y. 2006. Paparan Debu Kayu dan Gangguan Fungsi Paru pada Pekerja Mebel di PT. Alis Jaya Ciptatama. J.Kesling. Vol. 5 No. 2 Okt. Undip. Semarang. Undang-undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Lingkunan Hidup. Departement Of Health and Human Services. 1995. Occupational Safety and Health Guideline
for
Calcium
Carbonate.
Occupational
Safety and
Health
Administration. U.S. Wardhana, A.W. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. ANDI,Yogyakarta. Yunus. F. 1992. Uji Provokasi Bronkus. Kumpulan Rujukan Modul Respirasi 20072008. FKIK UIN Syarif Hidayatullah. Balai Penerbit FKUI. Jakarta. Yulaekah, S. 2007., Paparan Debu Terhirup Dan Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri Batu Kapur. Tesis. Pascasarjana Undip. Semarang.
Yuliani, S. dkk. 2010. Hubungan Beberapa Faktor dengan Penurunan Kapasitas Fungsi Paru pada Pekerja yang Terpapar Debu. FKM Univesitas Diponegoro. Semarang.
UJI NORMALITAS
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test jmlhbtngrokkperh statusgizi N
masakerja
ari
suhu
kelembaban
pm10
usia
40
40
40
40
40
40
40
Mean
19.9000
10.7000
13.0250
32.3250
80.3000
5.2412E2
36.7250
Std. Deviation
3.49212
9.03611
6.50242
2.40072
6.85453
5.02142E2
9.99484
Absolute
.139
.206
.338
.309
.311
.376
.108
Positive
.139
.206
.338
.309
.164
.376
.108
Negative
-.118
-.118
-.237
-.192
-.311
-.245
-.103
Kolmogorov-Smirnov Z
.876
1.302
2.135
1.952
1.966
2.375
.685
Asymp. Sig. (2-tailed)
.426
.067
.000
.001
.001
.000
.735
Normal Parameters
a
Most Extreme Differences
a. Test distribution is Normal.
UJI T- INDEPENDEN Independent Samples Test Levene's Test for Equality of Variances
F
t-test for Equality of Means
Sig.
t
df
Sig. (2-tailed)
Mean
Std. Error
95% Confidence Interval of the
Difference
Difference
Difference
Lower statusgizi
Equal variances assumed
.262
.612
Equal variances not assumed masakerja
Equal variances assumed
.040
.842
Equal variances not assumed jmlhbtngrokkperhari
Equal variances assumed
.088
.768
Equal variances not assumed suhu
Equal variances assumed
.698
.409
Equal variances not assumed kelembaban
Equal variances assumed
.082
.776
Equal variances not assumed pm10
Equal variances assumed
.755
.390
Equal variances not assumed usia
Equal variances assumed Equal variances not assumed
.322
.573
Upper
.674
38
.504
.98701
1.46342
-1.97553
3.94955
.562
7.534
.590
.98701
1.75614
-3.10664
5.08066
-.086
38
.932
-.32900
3.80893
-8.03979
7.38178
-.097
9.933
.925
-.32900
3.40657
-7.92629
7.26828
1.079
38
.287
2.91342
2.70014
-2.55273
8.37957
1.168
9.541
.271
2.91342
2.49364
-2.67923
8.50607
-.047
38
.963
-.04762
1.01203
-2.09637
2.00113
-.049
9.192
.962
-.04762
.96508
-2.22385
2.12861
-.186
38
.854
-.53680
2.88832
-6.38389
5.31030
-.179
8.440
.862
-.53680
2.99630
-7.38410
6.31051
.278
38
.783
58.72294
211.47102
-369.37775
486.82363
.245
7.849
.813
58.72294
239.40937
-495.20821
612.65410
2.225
38
.032
8.81818
3.96321
.79508
16.84128
2.441
9.696
.035
8.81818
3.61238
.73491
16.90145
CROSSTAB ANTAR VARIABEL usia2 * paparan1 Crosstabulation paparan1 >= 10 Tahun < 10 Tahun usia2
> 40 tahun Count
15
4
19
% within usia2
78.9%
21.1%
100.0%
% within paparan1
57.7%
28.6%
47.5%
% of Total
37.5%
10.0%
47.5%
11
10
21
% within usia2
52.4%
47.6%
100.0%
% within paparan1
42.3%
71.4%
52.5%
% of Total
27.5%
25.0%
52.5%
26
14
40
65.0%
35.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
65.0%
35.0%
100.0%
< 40 tahun Count
Total
Total
Count % within usia2 % within paparan1 % of Total
usia2 * rokok3 Crosstabulation rokok3 <= 10 > 10 batang/hari usia2
> 40 tahun
< 40 tahun
Count
batang/hari
Total
16
3
19
% within usia2
84.2%
15.8%
100.0%
% within rokok3
50.0%
37.5%
47.5%
% of Total
40.0%
7.5%
47.5%
16
5
21
% within usia2
76.2%
23.8%
100.0%
% within rokok3
50.0%
62.5%
52.5%
Count
% of Total Total
Count % within usia2 % within rokok3 % of Total
40.0%
12.5%
52.5%
32
8
40
80.0%
20.0%
100.0%
100.0%
100.0%
100.0%
80.0%
20.0%
100.0%
kerja3 * FEV2 Crosstabulation FEV2 Tidak Ada Ada gangguan kerja3
> 10 tahun
Count
Total
Total
2
11
13
% within kerja3
15.4%
84.6%
100.0%
% within FEV2
28.6%
33.3%
32.5%
5.0%
27.5%
32.5%
5
22
27
% within kerja3
18.5%
81.5%
100.0%
% within FEV2
71.4%
66.7%
67.5%
% of Total
12.5%
55.0%
67.5%
7
33
40
% within kerja3
17.5%
82.5%
100.0%
% within FEV2
100.0%
100.0%
100.0%
17.5%
82.5%
100.0%
% of Total < 10 tahun
Gangguan
Count
Count
% of Total
UJI STATISTIK DESKRIPTIF kalori1 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
< 2000
27
61.4
67.5
67.5
> 2000
13
29.5
32.5
100.0
Total
40
90.9
100.0
kalori1 Cumulative Frequency Valid
Percent
Valid Percent
Percent
< 2000
27
61.4
67.5
67.5
> 2000
13
29.5
32.5
100.0
Total
40
90.9
100.0
Jrkrumah2 Cumulative Frequency Valid
Valid Percent
Percent
<= 1000 m
33
75.0
82.5
82.5
> 1000 m
7
15.9
17.5
100.0
40
90.9
100.0
40
100.0
Total Total
Percent
@
ilT;"sgtkr,,/jts*,T"T#".
"-., JobNo.:
Datc :
SG 01.13 06 2 018 07 June 2013
REPORT OT ANALYSIS
Applicant Contacl
Uii Slarif
Hidayatullah JalGrta (Annisa Fathnaulida) : Ms. Annisa
:
Phole/Handphone
Email Ad&ees
:08191041051i7 I nisanisavema.4gmail.com
: Pisangan. Kertamuki, Ciputal Tangerang Selaun
ofcoods Weight/Coldition Date Receivilg DaIe ofTcsting Desciption
Sample Marking
L Tlds report
I 660 cram : 04 Jlme 2013 I 05 June 2013
Parameter
Rcsult
sio,
3.46
Unil o%
Tesr Method
$t
ISO 1rs35 - 2010
must not rcproduced e\cept with written approval from the audbrized personnel
2. This rcport is only valid 3 .
: Mineral
ifit
is signed b], autlDrized personnel.
The resulrs refer to samplcs rcceived and testcd onl\,
4. Samples tcstcd at PT. CCIC Jakarta Laboraton, For ard on behalfof
Pr. cClTakarta
W A va,rg
Y,afrua,
Ld b o ratorium C oor.li nat o r
lndonesia HO: lrenara Citicon, Jl. Letjen S. Parman Kav 72 Lantai 10 Suile E-F, Slipi- Jakarta Barat 11410,
tndonesia
Tel: (Hunling) +62 21 2S3O A911,21 2930 A922 . Fax: +62 21 2930 8933, Website: llww.ccicsg.com
Tangerang Branch: Pergudangan Bandara Benda Permai, Blok [,]/1, Benda-Tangerang 15125, Jl. Raya Perancis No. 68, tndonesia Telp: (Hunting) +62 21 5591 0851, Fax +62 21 55S1 0852
l/3
A t Lt-l!
\y
f
PT.
ccrc JAKARTA
Member of china ceiification and lnspection Gtoup
No. : Datc r Job
RN,PORT
OF ANALYSIS
Applicant Contact
Uin SyarifHidayatulla} Jakarta (Annisa Fatbmaulida) : Ms Amisa
Phone/Handphone
:081910410587
Email Addrees
0l 13 06 2 018 07 Junc 2013 SG
:
[email protected]
: Pisangan, Kertamuki. Ciputat Tanguang Selatan
ofcoods Weiglrt/Condition Date Receiving Date ofTesting Description
r
Miieral
:
1.19 Kg
: 04 Jun€ 2013 : 05 Jrme 2013
Sample Marking Sclclali Di
Bakd
Parameter
Result
SiO2
1.03
I
1 This repot must not reproduced 2. This repol1 is
o
y valid
ifitis
Unit o/o
rnt
Test Method
ISO
5l5 - 2010
except with \\,ritten approval from the aulhorized personncl.
signed b,v authorized pcrsolmel.
3. The results refcl to samplos received and tested onl],.
4. Samples tested at
PT CCIC
Jakarta Laboratori,. For and on behalf
of
PT. CClg Jakarta
\fun
/lW Yanq YuahEan
Laboratorium Coo rdi na tor
lndonesia HQ: I\,lenara Citicon, Jl. Letjen S. Parman Kav 72 Laniai 10 Suite E-F, Slipi- Jakarta Barat 11410, Tea:
lndonesia
(Hunling) +62 21 2930 8911,21 2930 8922 , Far +62 21 2930 8933, Website : www.ccicsg.com
Tangerang Branch: Pergudangan Bandara Benda Permai, Blok M/1, Benda-Tangerang 15125, Jl. Raya Perancis No. 68, lndonesia Telp: (Hunting) +62 2'1 5591 0851, Fax +62 21 5591 0852
213
@
PT. CCIG JAKARTA
Member of China Ceiification and lnspection Grcup
JobNo.:
sG 0r.13 06.2.018 07 Junc 2013
Date
REPORT OF A}IALYSIS Applicant
: Uin S\'adfHidavatullah Jatana (Annisa Fattmaulida)
Contact
r Ms. Arrnisa
Phone/ Handphone
r 08I910,110587
E1nail
:
[email protected]
Addrees
: Pisangan, Kcrtamuki, Ciputat Tangerang Selatan
Description ofGoods
: Mineral
Wcight/Cordition Date Receivi g
: l.0l Kg : 04 Junc 2013
Date of Testing
05
lune
2013
Sample Marking Sctelah
Result
Di Bzla II
sio,
060
Udr
Test Method
lso
I1535 -
l0t0
L This rcport must not reproduced e.(cept $ith *ritten approval liom thc authorized personncl. 2. This report is only valid
ifit
is signed
bl
authonzcd personnel.
3
The results refc.Io samplcs received and tested onl\
4
Samples iested al PT. CCIC Jalarta Laboralon..
For and oD behalf oa
Yang Yuar\uan
Iaboruktri
lndonesia HQ:
m Cootdmator
lndonesia
L,lenara Citicon, Jl. Letjen S. Parman Kav 72 Lantai 10 Suite E-F, Slipi- Jakana Barat 11410, Tel: (Hunting) +62 21 2930 8911,212930 a922 , Faxt +62 21 2930 8933, Websile I www.ccicsg.com
Tangerang Branch: Pergudangan Bandara Benda Permai, Blok M/1, Benda-Tangerang 15125, Jl. Raya Perancis No.68, lndonesia Telp: (Hunting) +62 21 5591 0851, Fax: +62 21 5591 0852
3/3