FAKTOR EMISI DEBU JATUH DAN TOTAL SUSPENDED PARTICULATE DARI TANAH ANDOSOL UNTUK MEMPRAKIRAKAN PENURUNAN KUALITAS UDARA AMBIEN
GAMAL HAMIRESA
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Faktor Emisi Debu Jatuh dan Total Suspended Particulate dari Tanah Andosol untuk Memprakirakan Penurunan Kualitas Udara Ambien” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Gamal Hamiresa NIM P052140691
RINGKASAN GAMAL HAMIRESA. Faktor Emisi Debu Jatuh dan Total Suspended Particulate dari Tanah Andosol untuk Memprakirakan Penurunan Kualitas Udara Ambien. Dibimbing oleh ARIEF SABDO YUWONO dan SYAIFUL ANWAR. Kualitas udara ambien adalah faktor yang penting pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, namun dengan meningkatnya pembangunan fisik kota, pusat-pusat kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara ambien telah mengalami perubahan yang semakin menurun. Debu jatuh (DF) dan partikel tersuspensi total (TSP) sering digunakan untuk mengkarakterisasi kualitas udara di dekat sumber debu. Kedua parameter penting ini berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara sehingga perlu diukur sesuai dengan peraturan pemerintah Republik Indonesia (PP41 / 1999). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk (1) mengukur konsentrasi dari parameter DF dan TSP, (2) mengetahui faktor-faktor emisi yang dipengaruhi oleh kecepatan angin, kadar air tanah, persentase tutupan lahan, dan (3) menganalisis distribusi frekuensi ukuran DF. Penelitian dilakukan dari bulan September 2015 sampai Februari 2016 pada skala laboratorium terowongan uji, di mana permukaan tanah ditutupi oleh tanah Andosol yang berasal dari .Kabupaten Tanggamus di Provinsi Lampung. Metode gravimetri menggunakan Dustfall Canister digunakan untuk mengukur konsentrasi DF, sesuai dengan SNI 13-4703-1998. Pengukuran TSP dilakukan sesuai dengan SNI 19-7119.3-2005 dengan menggunakan High Volume Air Sampler. Analisis distribusi ukuran dustfall itu dilakukan dengan pengamatan langsung menggunakan mikroskop digital. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa konsentrasi DF sekitar 5 ton/ km2.bulan. Rata-rata TSP adalah sekitar 116 mg / Nm3. Kedua konsentrasi DF dan TSP yang dibangkitkan, masih lebih rendah dari ambang batas baku mutu PP 41/1999, dan berkorelasi positif dengan kecepatan angin, berkorelasi negatif dengan kadar air tanah dan persentase tutupan lahan. emisi persamaan Faktor emisi yang dipengaruhi oleh kecepatan angin, kadar air tanah dan persentase tutupan lahan telah dikembangkan dan telah siap implementasi di lapangan untuk memprakirakan penurunan kualitas udara ambien, akibat bangkitan DF dan TSP pada tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus. Distribusi ukuran DF didominasi oleh fraksi 10-100 µm. Kata kunci: Andosol, bangkitan debu jatuh, distribusi ukuran debu jatuh, faktor emisi, partikel tersuspensi total (TSP), Tanggamus.
SUMMARY GAMAL HAMIRESA. Emission Factor of Dustfall and Total Suspended Particulate from Andisol Soil for Ambient Air Quality Change Assessment. Supervised by ARIEF SABDO YUWONO and SYAIFUL ANWAR. Ambient air quality is an important factor in the lives of human and other livings, but with increasing physical development of cities, urban centres and industrial centres , the concentration of pollutants in the air increased that deteriorated the air quality. Dustfall (DF) and Total Suspended Particulate (TSP) are often used to characterize air quality near the source of the dust. These two important parameters that contribute to air quality deterioration are required to be measured in accordance with government regulation of the Republic of Indonesia (PP41/1999). The purposes of the study were to (1) measure the concentration of both DF and TSP, (2) determine the emission factors that were affected by wind speed, soil moisture content, land cover percentage, and (3) analyse the frequency distribution of DF size. The study was conducted in September 2015 until February 2016 in a laboratory scale tunnel where the soil surface was covered by Andisol soil originated from Tanggamus Municipality in Lampung Province. The gravimetric method using dustfall canister was used to measure the concentration of DF according to SNI 13-4703-1998. Measurement of TSP was carried out according to SNI 19-7119.3-2005 by using High Volume Air Sampler. Analysis of the size distribution of the dustfall was carried out by direct observation using a digital microscope. The research results showed that concentration of DF about 5 tons/ km2.month. Average TSP was about 116 µg/ Nm3. Both of concentration of DF and TSP generation was lower than the quality standard limit of PP 41/1999, and was positively correlated with wind speed, negatively correlated with soil moisture content and the percentage of land cover. The developed emission factor equations as affected by wind speed, soil moisture content and land cover percentage are at this point ready for field implementation to predict the ambient air quality change due to the DF and TSP generation by Andisol from Tanggamus. Dustfall size was dominated by fraction of 10-100 µm. Keywords: Andisol, dustfall generation, dustfall size distribution, emission factor, Tanggamus, total suspended particulate (TSP)
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
FAKTOR EMISI DEBU JATUH DAN TOTAL SUSPENDED PARTICULATE DARI TANAH ANDOSOL UNTUK MEMPRAKIRAKAN PENURUNAN KUALITAS UDARA
GAMAL HAMIRESA
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Erizal, MAgr
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah dengan judul “Faktor Emisi Debu Jatuh dan Total Suspended Particulate dari Tanah Andosol untuk Memprakirakan Penurunan Kualitas Udara Ambien” dapat diselesaikan. Penelitian dilaksanakan sejak bulan September 2015 sampai bulan Februari 2016. Terima kasih disampaikan kepada Bapak Dr Ir Arief Sabdo Yuwono, MSc dan Bapak Dr Ir Syaiful Anwar, MSc selaku komisi pembimbing yang telah banyak memberi arahan dan nasehat dalam penulisan tesis ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr Ir Erizal, MAgr selaku penguji luar komisi dan Dr Ir Yanuar Jarwadi Purwanto, MS selaku penguji wakil program studi saat pelaksanaan ujian sidang atas segala arahan dan saran perbaikan yang diberikan kepada penulis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada istri (Ety Herwati), anakanak dan menantu (Hegia, Sugeng, Reswari, Syahwira), cucu-cucu (Abang dan Au), serta seluruh keluarga besar, atas segala doa, kasih sayangnya, serta kesabarannya. Karya ilmiah ini jauh dari sempurna, tetapi diharapkan karya ilmiah ini tetap memberikan informasi dan pengetahuan yang bermanfaat bagi akademisi khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Bogor, Agustus 2016 Gamal Hamiresa
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian
xii xii xii 1 1 2 3 3 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Udara Debu Jatuh (Dustfall) dan TSP (Total Suspended Particulate) Emisi dan faktor emisi Karakteristik Tanah Andosol
4 4 6 8 10
3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Kerangka Penelitian Penyiapan Bahan Uji, Pengendalian Kadar Air Tanah, Kecepatan Angin dan Media Tutupan Lahan Pengukuran Debu Jatuh dan TSP Penyusunan Faktor Emisi Pengukuran Distribusi Ukuran Partikel
12 12 12 13 13 14 15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Debu Jatuh dan Korelasinya dengan Kecepatan Angin, Kadar Air Tanah serta Persentase Tutupan Lahan TSP dan Korelasinya dengan Kecepatan Angin, Kadar Air Tanah serta Persentase Tutupan Lahan Pendugaan Bangkitan Debu Jatuh dan TSP Analisis Distribusi Ukuran Partikel Debu Jatuh
15
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
20 20 21
DAFTAR PUSTAKA
22
LAMPIRAN
27
RIWAYAT HIDUP
32
15 17 18 20
DAFTAR TABEL 1. 2. 3.
4.
Hasil pengukuran debu jatuh (DF) pada 3 tingkat kecepatan angin (W) dan kadar air tanah (S) Hasil pengukuran TSP pada 3 tingkat kecepatan angin (W) dan kadar air tanah (S). Nilai koefisien determinasi (R2) dalam hubungan antara garis kecenderungan dengan bangkitan DF dan TSP pada masing-masing kecepatan angin (W), kadar air tanah (S) dan tutupan lahan (L) Nilai P, Korelasi Pearson (R), koefisien determinasi (R2), dan kontribusi relatif (C) dari bangkitan DF dan TSP terhadap kecepatan angin (W), kadar air tanah (S) dan tutupan Lahan (L)
16 17
19
19
DAFTAR GAMBAR 1. 2. 3. 4. 5.
Bagan alir kerangka penelitian Skema percobaan pengukuran debu jatuh dan TSP dalam tunnel. Hasil bangkitan DF pada tiga variasi (a) kecepatan angin; (b) kadar air; (c) tutupan lahan Hasil bangkitan TSP pada tiga variasi (a) kecepatan angin; (b) kadar air; (c) tutupan lahan Distribusi ukuran partikel debu jatuh tanah Andosol di 3 titik canister
12 14 16 18 20
DAFTAR LAMPIRAN 1. 2. 3. 4. 5. 6.
7.
8.
Peta jenis tanah di pulau Sumatra (Sumber : FAO Unesco Soil Map of South Easth Asia, 1964) Peta Jenis Tanah Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung (Sumber : Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-IPB) Gambar kondisi lokasi pengambilan contoh tanah Andosol di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung Gambar alat pengoperasian Terowongan Uji (Tunnel) Gambar alat, bahan dan perangkat lunak pengukuran DF, TSP dan distribusi ukuran partikel Data bangkitan DF pada variasi tutupan lahan berdasarkan pengukuran sebenarnya dan dibandingkan dengan perhitungan menggunakan Faktor Emisi. Data bangkitan TSP pada variasi tutupan lahan berdasarkan pengukuran sebenarnya dan dibandingkan dengan perhitungan menggunakan Faktor Emisi. Contoh gambar hasil pengamatan distribusi ukuran partikel DF dibawah miroskop
28 29 29 30 30
31
31 31
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kualitas udara ambien adalah faktor yang penting pada kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, namun dengan meningkatnya pembangunan fisik kota, pusat-pusat kota dan pusat-pusat industri, kualitas udara ambien telah mengalami perubahan yang semakin menurun (Almuhanna 2015; Lu et al. 2015; Zhao & Shi 2012). Menurut PP 41 Tahun 1999, pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya zat, energi dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Zhao & Shi (2012) menyatakan bahwa semakin meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar fosil (minyak) menyebabkan udara di sekitar (udara ambien) menjadi makin tercemar oleh gas-gas buangan hasil pembakaran. Pada kegiatan pengelolaan lingkungan hidup, khususnya pengelolaan kualitas udara ambien adalah sangat penting untuk menentukan konsentrasi zat pencemar di dalam udara ambien (Zhang et al. 2014; Wang et al. 2015). Apabila semakin banyak kandungan zat pencemar dalam udara ambien maka akan mengindikasikan bahwa kualitas udara ambien semakin menurun. Demikian sebaliknya semakin sedikitnya zat pencemar tersebut di dalam udara ambien, menandakan bahwa kualitas udara ambien semakin meningkat. Kesimpulan ini tentunya didapat dengan melakukan pengukuran-pengukuran terhadap polutan udara, serta menurut Chen & Chu (2015) melakukan suatu prakiraan dampak dengan menggunakan model matematika. Debu jatuh (dustfall, DF) dan partikel tersuspensi total (total suspended particulate, TSP) merupakan dua parameter penting dalam kualitas udara ambien (udara luar ruang/outdoor). Keberadaan dan efek kedua parameter yang bersangkut paut dengan “debu” ini terhadap kualitas udara ambien pada suatu lokasi identik dengan kondisi kualitas udara ambien di lokasi tersebut (Andrić et al. 2013; Hahnenberger & Nicoll 2014). Efeknya bagi kesehatan manusia antara lain adalah penyakit batuk, sakit tenggorokan, bronkhitis akut dan kronik, asma, pneumonia, kanker paru dan bahkan kematian. Debu jatuh dan TSP merupakan parameter- parameter penyebab infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) (Yuwono et al. 2014; Zhang et al. 2010; Lu et al. 2015; Almuhanna 2015). Penelitian Winckelmans et al. (2015) menunjukkan bahwa pada tingkat di luar batas standar kualitas udara ambien, paparan partikulat dapat mengurangi berat lahir pralahir dan polusi udara dapat juga meningkatkan risiko bayi yang kecil untuk usia kehamilan, tidak hanya di kalangan bayi yang lahir cukup bulan, tetapi lebih luas lagi di kalangan bayi yang lahir antara 32 dan 36 minggu kehamilan. Dinamika atmosfer adalah faktor utama yang perlu dipertimbangkan dalam masalah pencemaran udara (Soedomo 2001; Yunfei et al. 2010; Andrić et al. 2013; Hahnenberger & Nicoll 2014). Sedangkan menurut McTainsh & Strong (2007), dengan adanya pola pergerakan angin, debu dapat berdampak secara lokal maupun global terhadap ekosistem. Hal ini juga sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah (Kellogg & Griffin 2006; Laurent et al. 2006; Feng et al. 2008). Demikian
2 juga Pardyjak et al. (2008) pada penelitiannya juga mengungkapkan bahwa difusi atmosfir kecepatan angin dan turbulensi sangat mempengaruhi transportasi dan deposisi debu udara. Mahowald et al. (2014) menyatakan bahwa tingginya bangkitan debu ke udara ambien dipengaruhi oleh empat hal yaitu (1) angin yang kuat, (2) tanah yang kering, (3) vegetasi yang jarang atau berjarak jauh satu dengan lainnya, dan (4) saltating particles atau partikel tanah yang terdistribusi oleh angin. Untuk memprakirakan kualitas udara ambien khususnya kandungan DF dan TSP, apakah menurun ataupun meningkat, diperlukan data bangkitan (generation) serta faktor emisi DF dan TSP dari permukaan tanah yang terkoreksi dengan kondisi lingkungan dan iklim setempat. Ketiadaan mengenai data bangkitan dan faktor emisi ini mengakibatkan prakiraan dan verifikasi penilaian terhadap parameter kualitas udara ambien khususnya untuk bangkitan DF dan TSP tidak mempunyai acuan yang sesuai dengan kondisi khas Indonesia.(Yuwono et al. 2014) Rochimawati et al. (2014) menyatakan bahwa saat ini untuk sementara waktu, ketika menaksir bangkitan DF dan TSP dalam udara ambien di Indonesia digunakan sebuah persamaan empiris dari Niemeier yang berasal dari California (USA) yang tidak sesuai dengan kondisi di Indonesia. Ketidaksesuaian ini antara lain dipandang dari aspek jenis tanah, kondisi iklim dan cuaca serta aktifitas manusia di atas lahan yang menjadi penyebab timbulnya DF dan TSP tersebut. Prakiraan bangkitan DF dan TSP dari sepuluh jenis tanah (Aluvial/ Entisol/ Inceptisol, Latosol/ Oxisol, Ultisol/ Podsolik Merah Kuning, Andosol/ Andisol dan Grumusol/ Vertisol) di Pulau Jawa telah diteliti oleh Amaliah et al. (2014), Rochimawati et al. (2014), dan Yuwono et al. (2014). Bangkitan dan faktor emisi DF dan TSP untuk permukaan lahan dengan contoh tanah dari pulau Sumatra sedang diteliti saat ini. Atas dasar tersebut di atas, penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data bangkitan dan faktor emisi untuk parameter DF dan TSP di atas permukaan lahan dengan jenis tanah Andosol. Lokasi yang dipilih pada penelitian ini adalah di pulau Sumatra yaitu di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung.
Perumusan Masalah Yuwono et al. (2014) dan Amaliah et al. (2014) menyatakan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh para pemangku kepentingan ketika melaksanakan pengelolaan kualitas udara ambien di Indonesia dewasa ini adalah saat menentukan konsentrasi DF dan TSP dalam udara ambien di suatu lokasi, sebagai akibat adanya berbagai macam kegiatan manusia, seperti pertambangan, transportasi, pembukaan lahan, pembangunan kawasan perumahan, konversi lahan, pengolahan tanah, dan penggundulan hutan. Permasalahan ini timbul karena ketiadaan data mengenai besarnya bangkitan DF dan TSP yang berasal dari permukaan lahan yang ada di Indonesia serta sebagai akibat dari bermacammacam kegiatan manusia. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh data bangkitan dan faktor emisi untuk parameter DF dan TSP di atas permukaan tanah dengan jenis Andosol berasal dari pulau Sumatra yaitu dari Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung.
3 Pengendalian bangkitan DF dan TSP dapat dilakukan dengan efektif dan efisien jika telah diketahui besarnya pengaruh faktor-faktor kecepatan angin, kadar air tanah (Fecan et al. 1999; Wang et al. 2015) dan persentase tutupan lahan terhadap bangkitannya. Carvalho & Freitas (2011) menyatakan bahwa strategi pengelolaan kualitas udara harus mempertimbangkan kontribusi relatif dari berbagai sumber polusi udara, yaitu sumber-sumber alam & antropogenik. Pertanyaan penelitian yang muncul dari perumusan masalah di atas diantaranya adalah : 1. Bagaimana korelasi antara kecepatan angin, kadar air tanah, serta % tutupan lahan terhadap bangkitan DF dan TSP pada tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus, sesuai dengan Mahowald et al. (2014) bahwa angin yang kuat, tanah yang kering, vegetasi yang jarang, akan mempengaruhi jumlah debu yang terdistribusi di udara ambien 2. Bagaimana faktor emisi DF dan TSP dapat digunakan untuk pengelolaan kualitas udara. Model faktor emisi yang dimaksud adalah berdasarkan kecepatan angin, kadar air air tanah, dan persentase tutupan lahan, untuk tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus 3. Bagaimana karakteristik fisik DF yang dibangkitkan, dengan cakupannya yaitu sejauh mana debu jatuh dapat teremisikan pada ukuran yang membahayakan dan bagaimana distribusi ukuran partikel DF di udara ambien, bersumber dari tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 1. Mengukur bangkitan DF dan TSP dalam udara ambien pada skala laboratorium dengan berbagai tingkat kecepatan angin, kadar air tanah dan persentase tutupan lahan, untuk jenis tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus. 2. Menyusun faktor emisi bangkitan DF dan TSP berdasarkan kecepatan angin, kadar air tanah dan persentase tutupan lahan, untuk jenis tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus. 3. Menganalisis karakteristik fisik berupa distribusi ukuran partikel DF untuk jenis tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus.
Manfaat Penelitian Manfaat hasil penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Sebagai acuan untuk pengendalian pencemaran udara dengan cara mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi bangkitan TSP dan debu jatuh. 2. Sebagai dasar untuk menetapkan aturan terhadap suatu kegiatan yang berpotensi menimbulkan bangkitan debu jatuh dan TSP yang tinggi. 3. Bahan pendukung untuk penelitian selanjutnya
4
Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian adalah : 1. Penelitian ini menggunakan contoh uji tanah jenis Andosol, yang berasal dari beberapa wilayah di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung. 2. Penelitian ini dibatasi pada pengaruh kecepatan angin, kadar air tanah serta persentase tutupan lahan terhadap bangkitan DF dan TSP.
2 TINJAUAN PUSTAKA Pencemaran Udara Pencemaran udara adalah bertambahnya bahan atau substrat fisik atau kimia ke dalam lingkungan udara normal, yang sampai di suatu titik konsentrasi dapat dideteksi oleh manusia (yang dapat dihitung dan diukur) serta dapat memberikan efek pada manusia, binatang, vegetasi dan material (Sharratt dan Auvermann 2014). Pencemaran udara juga adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang pada suatu titik konsentrasi akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer dan mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya (Lu et al. 2015). Jenis parameter pencemar udara menurut Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999, meliputi Sulfur dioksida (SO2), Karbon monoksida (CO), Nitrogen dioksida (NO2), Oksidan (O3), Hidrokarbon (HC), PM10 , PM2.5, TSP, Pb (Timah Hitam), dan debu jatuh. Narayanachari et al. (2014) mengemukakan bahwa penyebaran pencemaran di udara akibat suatu sumber emisi secara fisis akan berlangsung selama belum tercapainya kesetimbangan mekanik. Proses ini dikenal dengan nama proses difusi. Selanjutnya Hahnenberger & Nicoll (2014) menjelaskan bahwa penyebaran polutan di udara juga dipengaruhi oleh faktor meteorologi yakni angin dan kestabilan udara. Angin ini menyebabkan terjadinya proses adveksi yaitu gerakan massa udara secara horizontal berupa badai debu. Besar badai debu-skala regional dapat menurunkan visibilitas dan kualitas udara ambien. Sedangkan kestabilan udara (gradien suhu secara vertikal) yang besar pada udara perkotaan, mengakibatkan konsentrasi polutan terbawa ke ketinggian dan dengan demikian konsentrasi berkurang di daerah permukaan kota urban. Kaitan dengan beberapa penelitian yang pernah dilakukan tentang hubungan pencemaran udara dengan faktor meteorologi antara lain: Sissakian et al. (2013) menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya peningkatan debu dan badai debu regional adalah adanya perubahan drastis pada curah hujan tahunan dan suhu, selain itu penyebab lainnya seperti kesalahan rancangan awal, kesalahan pada pengelolaan air, juga lahan pertanian yang ditinggalkan. Kemudian Sissakian et al. (2013) juga menjelaskan bahwa pada dasarnya badai angin yang membawa pasir di udara, membentuk awan relatif rendah dekat tanah. Badai pasir khas hanya mencapai ketinggian hingga 15 m, mengandung partikel pasir dengan ukuran ratarata antara (0.15-0.30) mm, memiliki kecepatan angin melebihi 14 Km/jam dan berlangsung selama kecepatan angin bertahan. Ketika angin mencapai kecepatan kritis, pasir mulai menggulung maju sepanjang permukaan tanah. Untuk
5 kecepatan angin lebih tinggi, partikel pasir di pasir badai bergerak dengan "saltation". Ketika antara satu butir saltating bertabrakan dengan yang lain, dampaknya dapat mengangkat partikel ke udara. Setelah mencapai maksimal ketinggian, partikel-partikel ini akan tertarik turun oleh kekuatan gravitasi dan kecepatan angin horisontal dan seterusnya kemudian proses berulang kembali. Akpinar et al. (2009) dan Istantinova et al. (2013) menyimpulkan bahwa kecepatan angin dan kelembaban terbukti berbanding terbalik terhadap konsentrasi SO2, yaitu semakin tinggi kecepatan angin dan kelembaban maka semakin rendah konsentrasi SO2 di udara. Sedangkan untuk peubah (variabel) suhu udara, didapatkan hasil bahwa suhu udara berbanding lurus terhadap konsentrasi SO2, yaitu semakin tinggi suhu maka konsentrasi SO2 dalam udara ambien juga semakin tinggi. Dari penelitiannya Andrić et al. (2013) menyimpulkan bahwa polutan CO dan NO2 signifikan berkorelasi dengan satu sama lain dan ada hubungan yang penting antara perubahan parameter meteorologi di lapisan atmosfir. Juga Arifiyanti et al. (2013) menyimpulkan bahwa dari hasil analisis regresi, didapatkan bahwa besar konsentrasi CO memiliki hubungan yang signifikan dengan kelembaban, suhu dan kecepatan angin. Konsentrasi CO memiliki hubungan yang positif dan cukup kuat dengan kelembaban. Sebaliknya, suhu memiliki hubungan negatif dan cukup kuat terhadap konsentrasi CO dan kecepatan angin memiliki hubungan negatif dan kuat terhadap konsentrasi CO. Al Katheeri et al. (2012) menerangkan bahwa pada variasi musiman, konsentrasi tertinggi NO2 dan SO2 dicatat selama musim dingin untuk wilyah Uni Emirat Arab sedangkan kecepatan angin tidak banyak mempengaruhi konsentrasi polutan gas dan dianggap sebagai konsentrasi pada tingkat latar belakang daerah. Untuk di Indonesia Limbong et al. (2013) menyimpulkan bahwa hubungan antara peubah kelembaban udara dengan konsentrasi NO2 adalah sangat kuat dan korelasi negatif (-) serta hubungan tidak signifikan. Untuk suhu udara dengan konsentrasi NO2 hubungannya adalah sangat kuat dan korelasi positif (+) dan signifikan. Arah dan kecepatan angin dengan konsentrasi NO2 hubungan kedua peubah tersebut cukup, korelasi negatif (-) serta sifat hubungannya signifikan. Penelitian Yunfei et al. (2010) menyimpulkan bahwa selama rentang waktu yang panjang (1951-2006) East Asian Monsoon (EAM) saling berhubungan dengan dust weather frequency (DWF). Pada suatu periode, EAM memiliki beberapa dampak yang mempengaruhi DWF hal ini terkait dengan suhu udara permukaan dan curah hujan selama periode tersebut, pada skala interannual sesuai dengan kondisi daerah sumber pasir-debu. Sebuah East Asian winter monsoon (EAWM) yang kuat ataupun lemah mungkin dapat maju (mendesak) terjadinya DWF, dan begitu sebaliknya untuk East Asian summer monsoon (EASM). Demikian juga Puc & Bosiacka (2011) menjelaskan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara konsentrasi serbuk sari dan kehadiran polutan udara di atmosfer seperti ozon, sulfur oksida, nitrogen oksida, dan partikel-partikel di udara dan terkait secara signifikan dengan efek parameter cuaca.
6 Debu Jatuh (Dustfall) dan TSP (Total Suspended Particulate) Menurut definisi Micovic et al. (2010), debu jatuh (dustfall) adalah merupakan partikel kasar padat dan cair, dengan diameter aerodinamis > 10µm, yang dikumpulkan melalui pengendapan gravitasi dalam wadah mulut terbuka untuk jangka waktu yang ditetapkan dalam berat per satuan luas waktu. Debu jatuh juga bisa merujuk pada bentuk aerosol dengan diameter sama atau lebih besar dari PM10 dan memiliki kemampuan untuk menetap setelah penghentian sementara di udara (Gorham 2002). Menurut Hai et al. (2007), debu jatuh secara alamiah dihasilkan oleh tanah kering yang terbawa oleh angin maupun muntahan letusan gunung berapi. Debu tersebut jatuh akibat pengaruh gravitasi maupun karena terikat oleh air hujan. Debu jatuh ini dapat berasal dari badai debu (dust storm) maupun debu biasa (non dust storm). Badai debu (dust storm) adalah angin kuat yang menyebabkan debu terbang ke udara dan bergerak, sedangkan non dust storm adalah keadaan dimana debu yang terdapat pada cuaca baik dengan kondisi angin yang normal. Amaliah (2014) menerangkan bahwa bangkitan debu jatuh mempunyai perbedaan yang besar ketika kondisi meteorologi, permukaan tanah dan jenis tanah berbeda. Berdasarkan penelitian Laurent et al. (2006) , konsentrasi debu jatuh sangat tergantung pada kecepatan angin, kekasaran permukaan, dan stabilitas atmosfer. Debu jatuh yang dihasilkan dari permukaan tanah karena tererosi oleh angin setempat paling rentan terjadi pada daerah kering dan semi kering dengan kondisi permukaan tanah yang halus dan kering, tanpa vegetasi dan angin kencang (Fecan et al. 1999 ). Koren dan Kaufman (2004) menerangkan bahwa pola pergerakan angin, debu dapat berdampak secara lokal maupun global terhadap ekosistem. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kadar air tanah setempat. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa tanah berpasir merupakan sumber debu yang dapat mengganggu kesehatan. Kecepatan angin minimum diperlukan untuk dapat mengangkat partikel-partikel dari permukaan tanah sehingga menghasilkan debu jatuh yang bergantung pada ukuran partikelnya. Tanah dengan ukuran partikel lebih kasar memerlukan kecepatan angin lebih tinggi untuk dapat membawa partikel-partikel tersebut. Selanjutnya Washington et al. (2003) menjelaskan karena adanya variasi temporal maka udara ambien pada daerah yang dekat dengan sumber akan mengandung konsentrasi debu tertinggi daripada daerah yang berada lebih jauh dari sumbernya. Debu total suspended particulate (TSP) merupakan partikel dengan diameter kurang dari 100 µm. Beberapa karakteristik yang dimiliki partikel atau partikulat antara lain adalah ukuran, distribusi ukuran, bentuk kepadatan, kelengketan, sifat korosif, reaktivitas dan toksisitas. Dari beberapa karakteristik tersebut, ukuran partikel dianggap menjadi parameter penting yang perlu diketahui.(Rochimawati 2014). Dijelaskan juga dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 dan dalam SNI 19-7119.3-2005, bahwa TSP adalah fraksi padatan dari udara yang dihisap melalui filter menggunakan pompa vakum dengan laju alir 1.13-1.70 m3/menit sehingga partikel tersuspensi yang berukuran 0.1 µm sampai 100 µm menempel di filter (efisiensi 99.95% untuk partikel berukuran 0.3 µm). Effisiensi menempelnya partikel berukuran lebih besar dari 20 µm akan berkurang sesuai dengan kenaikkan ukuran partikel, sudut arah angin
7 posisi atap sampler, dan kenaikkan kecepatan. Jumlah partikel yang terakumulasi pada filter dianalisis secara gravimetri. TSP kemudian dinyatakan sebagai bobot partikulat yang terkumpul per satuan volume contoh uji yang diambil (µg/Nm3). Partikulat di atmosfer dapat menyebabkan berubahnya radiasi matahari yang dapat diserap oleh permukaan bumi (Kaufman et al. 2002). Partikulat juga dapat mengurangi intensitas radiasi matahari sehingga mempengaruhi proses fotosintesis dan menghambat pertumbuhan tanaman. Pada beberapa orang yang sensitif, partikel tersuspensi dapat mengakibatkan penyakit asma dan penyakit pernapasan lainnya. Selain itu, aerosol partikel tersuspensi dapat bertindak sebagai inti kondensasi awan dan mempengaruhi produktivitas hujan (Levin et al. 1996). Secara alamiah DF dan TSP dapat dihasilkan dari tanah kering yang terbawa oleh angin. Kecepatan angin dapat mengakibatkan terangkatnya partikel-partikel halus dari permukaan tanah sehingga menghasilkan debu. Penelitian Liu et al. (2004) menunjukkan bahwa konsentrasi debu jatuh meningkat dengan meningkatnya erosi tanah akibat angin. Almuhanna (2015) pada penelitian tentang debu jatuh akibat badai debu di Oasis Al-Ahsa di Arab Saudi menyatakan bahwa sebuah mikrofotograf dari debu jatuh yang tertangkap oleh mikroskop stereo dissection menunjukkan bahwa partikel debu memiliki berbagai warna dan ukuran, dan terlihat kandungan serat dan puing-puing vegetatif. Zhang et al. (2010) membuat kesimpulan bahwa pada kurun waktu penelitian dari tahun 1980 ke tahun 2000-an, konsentrasi TSP, dan intensitas debu jatuh memiliki perubahan tata ruang yang sama. TSP memiliki dampak kuat pada kualitas udara ambien di kota-kota utara dan pedalaman Cina dibandingkan dengan kota-kota selatan dan pesisir. Umumnya, pasir dan badai debu menjadi faktor penyebab utama yang mempengaruhi variabilitas temporal dan distribusi spasial DF dan TSP di Cina. Hasil penelitian Zhang et al. (2014) yang dilakukan selama musim panas tahun 2010 di lokasi pedesaan Qinghai Lake Cina menyimpulkan bahwa kandungan kimiawi TSP dan PM2.5, memiliki kandungan aerosol ber massa rendah. Anion SO42- dan kation Ca2+ adalah ion utama yang sering dijumpai. Adapun Ca, Fe, dan K adalah unsur utama yang kerap ditemukan. Tingkat konsentrasi ion dan unsur yang terdeteksi pada sampel TSP dan PM2.5 menunjukkan bahwa udara dipengaruhi oleh sumber-sumber antropogenik di Qinghai Lake. Zhao & Shi (2012), yang telah mengambil Shanghai-Nanjing sebagai subjek penelitian mendapatkan fakta kesimpulan bahwa hubungan antara konsentrasi TSP, suhu dan tekanan atmosfer udara ternyata memiliki korelasi yang lemah. Sebagai upaya pengelolaan kualitas udara ambien debu partikulat setidaknya dapat diarahkan kepada empat faktor yang mempengaruhi bangkitan debu ke udara ambien, yaitu merujuk kepada Mahowald et al. (2014), faktor tersebut yaitu: (1) angin yang kuat, (2) tanah yang kering, (3) vegetasi yang jarang atau berjarak jauh satu dengan lainnya, dan (4) partikel tanah yang terdistribusi oleh fluida (saltating particles). Selanjutnya Mahowald et al. (2014) menjelaskan bahwa partikulat di atmosfer dapat dibersihkan dengan adanya pengendapan secara gravitasi (deposisi kering) maupun dengan pembersihan melalui curah hujan (pembilasan, deposisi basah).
8 Wang et al. (2015) juga menjelaskan bahwa penyiraman dapat mengurangi potensi emisi debu yang tertiup angin dari jalan beraspal yang diuji dengan 5099% pada kecepatan angin yang berbeda. Penyiraman adalah efektif untuk mengurangi emisi debu buronan dari permukaan kering bila diterapkan di tempat yang tepat dan pada jumlah yang tepat. Efektivitas penekan debu lainnya yang dapat bertahan lebih lama atau lebih hemat biaya, seperti stabilisator polimer dan surfaktan, dapat dievaluasi dengan metode yang digunakan. . Emisi dan faktor emisi Kristensson et al. (2004). menyatakan bahwa sampai saat ini kendaraan bermotor masih menjadi kontributor utama dalam hal pencemaran udara di berbagai daerah perkotaan. Untuk dapat mengidentifikasi, sejauh mana lalu lintas atau kendaraan yang berbeda jenis itu berkontribusi terhadap polusi kota maka diperlukan informasi rinci dari emisi. Faktor emisi dapat digunakan untuk tujuan ini dan pengertian faktor emisi disini adalah sebagai jumlah spesies yang dipancarkan per km kendaraan per volume bahan bakar yang dikonsumsi. Kemudian Kristensson et al. (2004) menandaskan bahwa ada tiga cara untuk mendapatkan faktor emisi, yaitu: (1) melalui pengukuran terowongan jalan; (2) melalui pengukuran pemodelan dispersi ‘’inversi’’ jalan-ngarai; dan (3) melalui pengukuran model kotak massa konservasi jalan terbuka. Roy et al. (2010) menambahkan bahwa faktor emisi dapat digunakan untuk mengukur debu yang dihasilkan oleh peledakan pada tahap perencanaan atau operasi penambangan. Oleh karena itu faktor emisi adalah merupakan instrumen yang berguna untuk penyusunan rencana pengelolaan lingkungan Sebelum bekerja dengan polusi udara akibat pertambangan batubara permukaan sebagian waktu akan berkaitan dengan pemantauan dan analisis debu yang akan dihasilkan oleh operasi pertambangan. Pengkajian dampak lingkungan (AMDAL), rencana pengelolaan dan pemantuan lingkungan (RKL dan RPL) merupakan persyaratan hukum untuk pelaksanaan proyek-proyek pertambangan baru atau untuk perluasan proyek operasi. Untuk tujuan kuantifikasi, nilai emisi debu peledakan adalah diperlukan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengembangkan faktor emisi untuk peledakan Penelitian Ghose (2003) menjelaskan bahwa permasalahan polusi udara terutama di daerah pertambangan batubara adalah dikarenakan oleh debu. Untuk penilaian dampak terhadap lingkungan udara, kuantifikasi emisi debu sangat penting. Persamaan prakiraan dapat memberikan estimasi yang baik mengenai pembentukan debu di tambang opencast. Data yang dikumpulkan dapat disesuaikan dan dimasukkan untuk memvalidasi model evaluasi. Data faktor emisi yang dikembangkan dapat dimanfaatkan untuk memprakirakan dan menilai bangkitan debu akibat aktivitas pertambangan batubara. Penelitian tersebut memiliki makna yang sangat besar di bidang perlindungan lingkungan dan dampak yang mungkin banyak ditemui. Setelah sejumlah bangkitan debu dapat diperkirakan, dampak terhadap lingkungan udara akibat kegiatan proyek dapat dinilai dengan tepat dan strategi pengendalian pencemaran udara dapat dikembangkan untuk mempertahankan secara tepat keseimbangan antara pembangunan berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan. Dapat disimpulkan
9 bahwa penelitiannya memberikan semacam wawasan ilmiah mendasar dalam kuantifikasi emisi debu akibat aktivitas pertambangan batubara. US Environmental Protection Agency juga telah memperkenalkan “Kompilasi Faktor Emisi Polutan Udara” (AP-42). Faktor emisi dan inventaris emisi adalah instrumen dasar untuk pengelolaan kualitas udara ambien. Prakiraan emisi adalah penting untuk mengembangkan strategi pengendalian emisi, menentukan penerapan perizinan dan program pengendalian, memastikan efek sumber dan strategi mitigasi yang tepat. Faktor emisi adalah nilai representatif yang menghubungkan kuantitas suatu polutan yang dilepas ke atmosfer dengan kegiatan yang berhubungan dengan pelepasan polutan. Faktor-faktor ini biasanya dinyatakan sebagai bobot polutan dengan satuan berat dibagi volume, jarak, atau durasi aktivitas yang memancarkan polutan (misalnya, kilogram partikel yang dipancarkan per megagram batubara terbakar). Faktor-faktor tersebut akan memberikan prakiraan emisi dari berbagai sumber polusi udara. Pada kebanyakan kasus, faktor-faktor ini hanyalah rata-rata dari semua data kualitas yang tersedia, dan umumnya dianggap sebagai perwakilan dari rata-rata jangka panjang untuk semua fasilitas yang masuk dalam kategori sumber (yaitu, rata-rata populasi). (US EPA 2015). Niemeier & Shafizadeh (2004) menjelaskan bahwa sumber emisi secara umum dibagi ke dalam dua kategori yaitu: sumber diam (stasioner source), dan sumber bergerak (mobile source). MENLH (2007) juga menyebutkan bahwa dengan pola pengelompokan yang lain, sumber-sumber emisi dari suatu rencana kegiatan dapat saja terdiri dari sumber titik (point source), sumber ruang (volume source), sumber area (area source), dan sumber garis (line source). Salah satu contoh sumber titik yang banyak terdapat dalam suatu rencana kegiatan adalah cerobong (stack). Banyak komponen kegiatan mengeluarkan emisi yang tergolong sebagai emisi liar (fugitive emission) karena polutan-polutan tersebut akan langsung terlepas ke udara tanpa melalui sistem penangkapan polutan dan pelepasan terkendali di suatu titik, seperti halnya cerobong atau ventilasi udara. MENLH (2013) dan US EPA (2015) memberikan persamaan umum untuk estimasi emisi yaitu : E = R x FE x (100 – C)/100 ………………………………………… (1) dimana:
E = emisi (berat polutan), R = tingkat aktivitas (jumlah materi yang diproses) FE = faktor emisi (berat per jumlah materi yang diproses), dengan asumsi tanpa pengendalian , C = efisiensi peralatan pengendali (%), jika tidak terpasang peralatan pengendali maka C=0
Persamaan di atas akan menjadi: E = R x FE, jika menggunakan faktor emisi yang telah mempertimbangkan efek pengendalian. MENLH (2013) telah menjelaskan bahwa emisi sumber area umumnya sulit dihitung melalui pengukuran aktivitas secara langsung. Untuk itu, digunakan faktor emisi yang didasarkan pada peubah penentu yang dapat dikaitkan dengan emisi, misalnya penduduk atau tenaga kerja di dalam industri.
10 Saat ini, Indonesia belum memiliki dokumen/publikasi yang memuat faktorfaktor emisi yang berlaku nasional. Beberapa publikasi di luar negeri yang memuat referensi faktor-faktor emisi untuk berbagai fasilitas dan kategori industri berdasarkan tingkat aktivitas di negara dimana faktor emisi tersebut disusun diantaranya selain U.S. EPA AP-42 adalah: EMEP/CORINAIR, dan IPCC. Adopsi faktor-faktor emisi dari publikasi tersebut sebaiknya dilakukan secara berhati-hati karena adanya perbedaan kondisi/karakteristik pengoperasian. (MENLH 2013). Namun meskipun demikian dalam kaitan pendugaan dampak bangkitan debu jatuh dan TSP untuk wilayah pulau Jawa penelitian Yuwono et al. (2014) telah berhasil membuat suatu persamaan faktor emisi yang saat ini sudah siap untuk implementasi lapangan dengan cara hanya memasukkan kadar air tanah dan kecepatan angin lokal. Karakteristik Tanah Andosol Tanah di daerah pegunungan vulkanik dicirikan oleh warna tanah hitam atau gelap karena tingginya kandungan bahan organik, gembur, ringan dan licin jika dipirid dengan jari tangan. Tanah dengan sifat-sifat demikian disebut tanah Andosol. Istilah Andosol berasal dari bahasa Jepang yang berarti tanah hitam (An = hitam; do = tanah). (BBSDLP 2014). Di Jepang tanah hitam yang berkembang dari abu vulkanik diberi nama Kurobokudo atau black fluffy soils (Shindo & Honma 1998). “Ando soils” pertama kali diperkenalkan pada tahun 1947 dalam pemetaan tanah tinjau (reconnaissance) di Jepang oleh ahli-ahli tanah dari Amerika (Shoji et al. 1993; Katou & Kozai 2010; Rennert et al. 2014). Andosol hanya dijumpai pada bahan vulkanik yang tidak padu, pada ketinggian 750 sampai 3.000 m di atas permukaan laut (m dpl). Andosol dijumpai pada daerah beriklim tropika basah dengan curah hujan antara 2,500-7,000 mm tahun-1 dengan suhu yang sejuk (suhu rata-rata < 22oC). Didefinisikan juga bahwa tanah Andosol sebagai tanah yang mempunyai horison A molik, atau A umbrik dan mungkin juga terdapat di atas horison B kambik; atau horison A okhrik dan horison B kambik; tidak mempunyai horison diagnostik lain (kecuali jika tertimbun oleh 50 cm atau lebih bahan baru); pada kedalaman sampai 35 cm atau lebih mempunyai satu atau kedua-duanya dari: (a) bulk density (pada kandungan air 1/3 bar) dari fraksi tanah halus (kurang dari 2 mm) kurang dari 0.85 g cm-3 dan kompleks pertukaran didominasi oleh bahan amorf, (b) 60% atau lebih adalah abu vulkanik vitrik, abu atau bahan piroklastik vitrik yang lain dalam fraksi debu, pasir dan kerikil. (FAO/UNESCO 1997; Mahowald et al. 2014; Rennert et al. 2014; BBSDLP 2014). Tanah Andosol menampilkan berbagai karakteristik kimia yang mencerminkan pengaruh dari bahan induk dan tingkat pelapukannya. Bahan organik tanah, aluminium, besi dan silika aktif adalah unsur-unsur yang paling menonjol mengatur reaksi kimia pada tanah Andosol. Di Indonesia tanah Andosol mempunyai kandungan Al paling tinggi dibandingkan dengan kandungan Fe dan Si. Dilihat dari sifat bahan induknya, tanah Andosol yang berkembang dari bahan induk masam (liparit) mempunyai kandungan Al paling tinggi, sedangkan tanah yang berkembang dari bahan induk basa (basalt) mempunyai nilai Al paling rendah. Hal tersebut menyebabkan mengapa tanah Andosol mempunyai retensi
11 yang tinggi terhadap fosfat dan tanah Andosol yang berasal dari bahan induk liparit mempunyai retensi P yang paling tinggi. Demikian juga halnya dengan pH tanah, tanah Andosol di Indonesia memiliki kisaran pH yang cukup lebar yaitu antara 3.4 sampai 6.7 dengan rata-rata 5.4. Namun kisaran pH antara 4.5 sampai 5.5 merupakan kisaran pH yang paling banyak sedangkan yang kedua terbanyak adalah pada kisaran pH antara 5.5 sampai 6.5. Tanah Andosol yang bersifat masam berasal dari daerah bercurah hujan tinggi dan mempunyai bahan induk bersifat liparitik, yaitu dari dataran tinggi Toba di Sumatera Utara. Tanah Andosol yang mempunyai pH lebih dari 6.5 berasal dari daerah beriklim kering yaitu dari Nusa Tengggara Timur dan dari daerah yang mempunyai bahan induk basaltik. (Shoji et al. 1993; Ranst et al. 2008; Wakindiki & Omondi 2012; Mahowald et al. 2014; Rennert et al. 2014; BBSDLP 2014) Sifat fisika tanah Andosol memiliki sifat yang khas dan berkaitan erat dengan tingginya kandungan alofan. Alofan merupakan salah satu bahan bentuk non kristalin terpenting yang berkontribusi pada bobot isi (bulk density) yang rendah dari tanah Andosol melalui pengembangan struktur tanah berpori. Mineral ini memiliki banyak lubang-lubang yang memungkinkan keluar masuknya molekul-molekul air. Tanah Andosol selain memiliki kandungan bahan organik yang tinggi, bobot isi rendah, daya menahan air tinggi, total porositas tinggi, tetapi juga tanah ini bersifat gembur dengan konsistensi kurang plastis dan tidak lekat. Tanah ini bila basah bersifat berminyak (greasy) dan menyemir (smeary). Selain itu tanah Andosol juga mempunyai sifat kering tak balik (irreversible). Penyebabnya adalah akibat dari adanya: (1) liat silikat amorf yang memiliki nilai ZPC (zero point of charge) lebih besar daripada mineral-mineral kristalin biasa dan (2) adanya oksida-oksida terhidrat yang menyebabkan presipitasi kembali (coprecipitation). Dikemukakan juga bahwa sifat fisika penting lainnya dari Andosol adalah struktur tanahnya. Struktur tanah Andosol terdiri atas makrostruktur dan mikrostuktur. Makrostruktur dijumpai pada horizon A yang dicirikan oleh struktur granular yang khas, yang terbentuk oleh proses yang disebut mountain granulation. Struktur ini berlainan dengan struktur granular tanah-tanah lainnya karena satuan-satuan strukturnya sangat resisten terhadap daya rusak air hujan. Kerena ketahanannya ini dan terasa seperti pasir pada musim kering, maka unitunit struktur tersebut disebut pasir semu (pseudo-sand) (Shoji et al. 1993; Ranst et al. 2008; Ranst et al. 2008; Katou & Kozai 2010; Wakindiki & Omondi 2012; BBSDLP 2014) Bobot isi tanah Andosol di Indonesia sangat bervariasi, yaitu berkisar dari 0.37 sampai 0.90 g cm-3. Rendahnya bobot isi tanah Andosol ini tidak terlepas dari pengaruh kandungan mineral amorf yang dominan. Pada tanah Andosol yang didominasi oleh mineral amorf, jumlah pori mikro cukup banyak terutama pori intra dan inter partikel dari alofan. Tanah Andosol yang mempunyai bobot isi paling tinggi adalah tanah Andosol dari Gunung Soputan, Sulawesi Utara. Tingginya berat isi tanah tersebut karena kandungan pasirnya yang cukup tinggi yaitu mencapai 84% dan kandungan C-organik yang hanya 1.24% . Sifat tanah Andosol yang khas inilah yang membuat mereka rentan terhadap proses erosi, baik erosi angin maupun erosi air dan cryoturbation (Shoji et al. 1993; Ranst et al. 2008; Vilmundardóttir et al. 2010; Wakindiki & Omondi 2012; BBSDLP 2014).
12
3 METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Kampus IPB Dramaga, Bogor dengan contoh uji tanah yang diperoleh dari Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung yaitu pada wilayah-wilayah yang berjenis tanah Andosol. Lampiran 1 memperlihatkan peta jenis tanah di pulau Sumatra, lampiran 2 memperlihatkan peta jenis tanah untuk Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Kondisi lokasi pengambilan contoh tanah Andosol di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung digambarkan pada lampiran 3. Lokasi pengambilan contoh uji tanah Andosol di Kabupaten Tanggamus ini berada di lokasi pertanian dan perkebunan sehingga masih memiliki tutupan vegetasi yang cukup baik. Waktu penelitian dilaksanakan dari September 2015 sampai dengan Februari 2016.
Kerangka Penelitian Kerangka penelitian yang dilaksanakan untuk mencapai tujuan penelitian melalui beberapa tahap yang mencakup pengumpulan data awal; pengukuran konsentrasi DF dan TSP pada skala laboratorium disertai pengendalian kecepatan angin, kadar air serta persentase tutupan lahan; pengukuran distribusi ukuran partikel dengan menggunakan mikroskop digital yang dilengkapi dengan kamera; dan penyusunan faktor emisi. Tahap awal, yaitu pengukuran awal dan pengukuran laboratorium selalu diikuti dengan pengukuran suhu dan kelembaban udara, guna memasukkan pengaruh kedua parameter tersebut. Tahap berikutnya penyusunan faktor emisi serta analisis dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Excel dan Minitab 16. Bagan alir penelitian disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Bagan alir kerangka penelitian
13
Penyiapan Bahan Uji, Pengendalian Kadar Air Tanah, Kecepatan Angin dan Media Tutupan Lahan Bahan uji yang digunakan adalah bahan tanah terganggu (disturbed) jenis tanah Andosol yang berasal dari Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung. Sesuai hasil analisis Laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Faperta IPB, tanah Andosol yang digunakan ini memiliki kelas tekstur lom berpasir, nilai C-organik tanah 2.46 % dan nilai pH tanah 5.42. Penyiapan diawali dengan membuat satu variasi kadar air tanah (KAT) untuk pengamatan hari pertama dengan % tertinggi, yaitu dengan cara tanah disiram dengan sejumlah air yang terukur, kemudian diaduk agar KAT merata. Penambahan air dihentikan bila KAT telah mencapai nilai % yang diinginkan atau % yang tertinggi. Saat pengadukan, bagian tanah yang telah diaduk tidak boleh diinjak kembali, hal ini untuk menjaga supaya tidak terjadi perubahan nilai densitas pada tanah. Variasi KAT ini diukur dan dikendalikan agar tetap berada dalam selang kadar air tanah 17-44 %. Tanah kemudian ditebar di dalam tunnel secara merata dengan ketinggian ± 3 cm. Pengamatan hari berikutnya dilakukan dengan cara yang sama untuk KAT dengan % sedang dan hari ketiga untuk KAT dengan % rendah, sehingga selama pengamatan tiga hari pertama telah dibuat tiga variasi kadar air yang berbeda (tinggi, sedang, rendah). Pengaturan variasi KAT tiga hari pertama ini dengan cara yang sama diulangi kembali pada pengamatan tiga hari kedua dan pengamatan tiga hari ketiga. Variasi kecepatan angin menggunakan pengaturan kecepatan yang sudah terpasang pada kipas. Pengamatan tiga hari pertama, dilaksanakan pada kecepatan angin tingkat ke 1. Pengamatan tiga hari kedua dengan cara yang sama dilaksanakan pada kecepatan angin tingkat ke 2. Dan pengamatan tiga hari ketiga dengan cara yang sama dilaksanakan pada kecepatan angin tingkat ke 3. Persentase tutupan lahan disimulasikan dengan menggunakan jenis tanaman padi huma dengan tinggi tanaman ± 15 cm yang ditempatkan pada 4 buah nampan berdimensi 80 cm x 60 cm, masing-masing nampan bernilai 10 % tutupan. Tutupan lahan yang disimulasikan adalah 10 %, 20 %, 30 % dan 40 % dilaksanakan dari hari ke 10 sampai hari ke 13, dengan menggunakan kecepatan angin tingkat ke 1 dan KAT dengan nilai % terendah. Pengukuran Debu Jatuh dan TSP Skema terowongan (tunnel) uji disajikan pada gambar 2, Tipe tunnel adalah tipe jalur terbuka dengan ukuran standard sesuai kebutuhan penelitian (Yuwono et al. 2014). Pada lampiran 4 dan lampiran 5 memperlihat alat, bahan serta perangkat lunak yang digunakan selama pelaksanaan penelitian ini. Bangkitan DF diukur sesuai dengan ketentuan dalam SNI 13-4703-1998 tentang Penentuan Kadar Debu di Udara dengan Penangkap Debu Jatuh. Alat dan bahan yang digunakan untuk mengukur konsentrasi DF adalah dustfall canister Model AS-2011-1, filter Whatman #41 (ø 47mm), neraca analitik OHAUS, dan Universal Oven UNB 400 Memmert. Bangkitan TSP diukur sesuai dengan ketentuan SNI 19-7119.3-2005 tentang Cara Uji Partikel Tersuspensi Total menggunakan peralatan high volume air sampler (HVAS) dengan metoda gravimetri. Udara ambien terhisap dengan
14 menggunakan High Volume Air Sampler [STAPLEX; TFIA-2] selama satu jam. Filtrat yang diperoleh kemudian disimpan dalam ruang stabilisasi dalam kondisi kelembaban relatif dan suhu terkendali sebelum dilakukan penimbangan. Konsentrasi partikel tersuspensi di udara ambien di terowongan dihitung dengan mempertimbangkan waktu pemaparan, laju volumetrik aliran udara dari HVAS dan perbedaan massa antara filter dan filtrat. Pengamatan pada skala laboratorium terowongan uji dilakukan selama tiga belas hari. Setiap hari pengamatan melakukan kegiatan yaitu (1) pengambilan data KAT dan kecepatan angin pada lokasi pengamatan sebanyak 6 kali pengambilan data (pagi dan sore) dan dengan ulangan sebanyak 4 kali setiap pengambilan data; (2) pengambilan data bangkitan debu jatuh sebanyak 3 kali ulangan pada waktu yang bersamaan, dengan waktu pengukuran sekitar 12 jam; (3) pengambilan data TSP sebanyak 1 kali di pagi hari selama 1 jam.
Gambar 2 Skema percobaan pengukuran debu jatuh dan TSP dalam tunnel.
Penyusunan Faktor Emisi Mengacu pada Amaliah et al. (2014) dan Rochimawati et al. (2014), teknik analisis data yang digunakan pada penelitian ini adalah teknik Korelasi Pearson. Selain itu digunakan juga teknik pemilihan model garis kecenderungan (trendline) berupa diagram untuk membantu memprediksi arah bangkitan DF dan TSP. Tahap penyusunan faktor emisi meliputi (1) mengukur dan mengumpulkan data DF, TSP, kecepatan angin, kadar air dan % tutupan lahan; (2) mengkorelasikan antara data DF dan TSP masing-masing dengan data kecepatan angin, kadar air dan % tutupan lahan dalam bentuk diagram; (3) membuat beberapa alternatif persamaan garis kecenderungan dari data korelasi pada diagram; (4) melakukan pemilihan model matematika terbaik dengan cara menentukan persamaan yang memiliki koefisien determinasi (R2) relative tertinggi; dan (5) menyusun faktor emisi berdasarkan persamaan garis kecenderungan yang dipilih (Mahowald et al. 2014); McTainsh & Strong 2007). Chen & Chu (2015) menyatakan bahwa persen kontribusi relatif dapat dipertimbangkan pada proses penyusunan faktor emisi.
15 Pengukuran Distribusi Ukuran Partikel Pengukuran distribusi ukuran partikel bangkitan DF pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop digital model MD 3000 Binokuler yang dilengkapi dengan kamera digital. Pengamatan dilakukan dengan menempatkan sampel DF pada kaca spesimen di bawah lensa mikroskop. Pemandangan dalam mikroskop diproyeksikan ke layar pantau pada laptop, selanjutnya gambar proyeksi disimpan secara digital sebagai file gambar. Pengukuran dilakukan pada file yang sudah disimpan dengan menggunakan perangkat lunak Corel Photo Paint. Partikel debu diukur pada satuan µm. Distribusi ukuran partikel bisa diketahui dengan cara mengelompokkan partikel debu berdasarkan ukuran yang sama (Azmi et al. 2015).
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Debu Jatuh dan Korelasinya dengan Kecepatan Angin, Kadar Air Tanah serta Persentase Tutupan Lahan Hasil pengukuran bangkitan DF pada variasi kecepatan angin dan kadar air tanah diperlihatkan pada Tabel 1. Hasil pengukuran bangkitan DF pada variasi tutupan lahan diperlihatkan pada Lampiran 6. Dari data yang dihasilkan terdapat hubungan nyata antara bangkitan DF, kecepatan angin, dan kadar air tanah. Amaliah et al. (2014) menyatakan bahwa korelasi antara bangkitan DF dan kecepatan angin serta korelasi antara bangkitan DF dan kadar air tanah pada pengukuran di lapangan tanah adalah kuadratik. Hubungan kuadratik ini menunjukkan bahwa peningkatan kadar air tanah dan atau penurunan kecepatan angin sampai batas tertentu tidak akan berpengaruh signifikan terhadap penurunan bangkitan DF yang terbentuk (Kellogg dan Griffin 2006; Laurent et al. 2006 ; Hai et al. 2007; Feng et al. 2008). Kecepatan angin 2-5 km/j mempengaruhi 20% (R2 = 45%), dan kadar air tanah 18-33% mempengaruhi 37% (R2 = 83%) terhadap bangkitan DF pada pengukuran di atas tanah Andosol. Gambar 3 memperlihatkan adanya korelasi antara bangkitan DF, kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan dengan nilai P yang dihasilkan kurang dari α (0.05). Korelasi Pearson yang dihasilkan menunjukkan bahwa bangkitan DF berkorelasi negatif dengan kadar air tanah (R = -0.93) dan persentase tutupan lahan (R = -1.00), dan berkorelasi positif dengan kecepatan angin (R = 0.67). Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa bila dihitung secara rata-rata konsentrasi DF dalam udara ambien dari permukaan tanah Andosol pada 3 canister, pada 3 tingkat kecepatan angin adalah sekitar 5 ton/km2.bulan. Konsentrasi DF tertinggi adalah 6 ton/km2.bulan, sedangkan yang terendah adalah 4 ton/km2.bulan. Seluruh bangkitan DF dari tanah Andosol dalam penelitian ini masih jauh dibawah baku mutu DF sesuai PP 41/1999, yaitu 10 ton/km2.bulan untuk pemukiman dan 20 ton/km2.bulan untuk industri.
16 Tabel 1 Hasil pengukuran debu jatuh (DF) pada 3 tingkat kecepatan angin (W) dan kadar air tanah (S) W (km/j) S (%) DF (ton/km2.bulan) Hari ke Hasil Rataan Hasil Rataan Hasil Rataan 1.6 1.9 33.1 31.9 3.9 4.4 1 2.0 32.0 4.6 2 2.2 30.5 4.7 3 3.1 3.7 32.7 26.7 4.1 5.0 4 3.7 26.6 5.1 5 4.1 20.8 5.7 6 4.3 4.6 30.5 23.9 4.5 5.0 7 4.7 23.5 5.0 8 4.8 17.9 5.6 9
6
45 20
93 -
83 37
(a)
5 4
y = 3.7e0.07x R² = 0.45 (Exp)
3
DF (ton/km2.bulan)
2 3 4 5 Variasi kecepatan angin (km/j)
(c)
6 5
6
7
-
-
(b) y = 8.7e-0.02x R² = 0.83 (Exp)
6 5 4 3 15
20 25 30 35 Variasi kadar air tanah (%)
y = 6.3e-1.4x R² = 1.00 (Exp)
4 3 0
Gambar 3
93 -
DF (ton/km2.bulan)
DF (ton/km2.bulan)
R2 (%) C (%)
10 20 30 40 Variasi tutupan lahan (%)
Hasil bangkitan DF pada tiga variasi (a) kecepatan angin; (b) kadar air; (c) tutupan lahan
17 TSP dan Korelasinya dengan Kecepatan Angin, Kadar Air Tanah serta Persentase Tutupan Lahan Hasil pengukuran Total Suspended Particulate (TSP) di laboratorium menunjukkan bahwa rata-rata konsentrasi TSP dalam udara ambien dari permukaan tanah Andosol pada 3 tingkat kecepatan angin adalah sekitar 116 µg/Nm3. Konsentrasi TSP tertinggi terjadi pada kecepatan angin tingkat ke-3 yaitu dengan nilai 140 µg/Nm3. Bangkitan terendah terjadi pada kecepatan angin tingkat ke-1, yaitu sekitar 92 µg/Nm3. Tabel 2, Gambar 4(a) dan Gambar 4(b) menunjukkan bahwa kecepatan angin dan kadar air tanah dapat mempengaruhi peningkatan bangkitan TSP dari lahan Andosol. Semua bangkitan TSP dalam penelitian ini masih di bawah baku mutu TSP 230 µg/Nm3 sesuai PP 41/1999. Tabel 2 juga menunjukkan bahwa dengan perhitungan korelasi Pearson (R), kecepatan angin 3-5 km/j mempengaruhi sebesar 28 % (R2 = 62 %), dan kadar air tanah 21- 44% mempengaruhi sebesar 26 % (R2 = 56 %) terhadap konsentrasi TSP pada pengukuran di atas tanah Andosol. Tabel 2 Hari ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 R2 (%) C (%)
Hasil pengukuran TSP pada 3 tingkat kecepatan angin (W) dan kadar air tanah (S). W (km/j) S (%) TSP (µg/Nm3) Hasil 3.4 3.6 3.9 4.0 4.2 4.3 3.9 4.2 4.9 62 28
Rataan Hasil Rataan Hasil 3.6 33.9 92.3 37.4 108.7 32.4 113.9 31.8 4.2 32.1 94.2 38.4 120.4 32.9 140.5 25.0 4.3 32.2 112.4 43.9 130.9 31.1 21.4 131.8 99 -
56 26
88 -
-
Rataan 105.0
118.4
125.0
-
Wakindiki & Omondi (2012) menyatakan bahwa bahan organik mempengaruhi sifat-sifat tanah baik secara fisika, kimia maupun mineralogi, tetapi masih sedikit informasi tentang hubungan bahan organik dengan pola pergerakan dan penyimpanan air dalam tanah Andosol. Oleh karena itu dugaan sementara adalah kandungan bahan organik dapat juga mempengaruhi pelepasan bangkitan TSP, sehingga dapat mengakibatkan ketidak-konsistenan nilai R2 pada penelitian ini. Feng et al. (2007) mengungkapkan bahwa konsentrasi rata-rata TSP secara spasial adalah tinggi pada musim semi dan musim dingin, sebaliknya rendah pada musim panas. Pernyatan ini dapat menjelaskan bahwa lemahnya nilai R2 TSP yaitu 62% terhadap kecepatan angin dan 56% terhadap kadar air diakibatkan karena suhu udara daerah tropis yang relatif panas. Oleh karena itu perlu
18
150 140 130 120 110 100 90
(a)
y = 121.1ln(x) - 52.5 R² = 0.62 (Log)
150 140 130 120 110 100 90
(b)
y = -56.7ln(x) + 312.6 R² = 0.56 (Log)
4 5 6 Variasi kecepatan angin (km/j)
15
95
y = -6.8ln(x) + 75.8 R² = 1.00 (Log)
TSP (µg/Nm3)
3
TSP (µg/Nm3)
TSP (µg/Nm3)
dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan antara kadar TSP dan suhu udara di daerah tropis. Hasil pengukuran bangkitan TSP pada variasi tutupan lahan diperlihatkan pada Lampiran 7. Pada Gambar 4(c) menunjukkan hubungan antara bangkitan TSP dan persentase tutupan lahan pada pengukuran di terowongan uji. Perhitungan ini menghasilkan korelasi Pearson (R) -1.00 yang menunjukkan adanya kenaikan persentasi bangkitan TSP apabila persentase tutupan lahan menurun.
(c)
90 85 80 0
Gambar 4
25 35 45 55 Variasi kadar air tanah (%)
10 20 30 40 Variasi tutupan lahan (%)
Hasil bangkitan TSP pada tiga variasi angin; (b) kadar air; (c) tutupan lahan
(a) kecepatan
Pendugaan Bangkitan Debu Jatuh dan TSP Tabel 3 menunjukkan bahwa nilai koefisien determinasi (R2) terbaik untuk bangkitan DF adalah persamaan secara eksponensial. sedangkan R2 terbaik untuk bangkitan TSP adalah garis kecenderungan pada persamaan secara logaritmik, Dengan demikian, model matematika faktor emisi untuk bangkitan DF adalah persamaan eksponensial. dan untuk bangkitan TSP adalah persamaan logaritmik. Tabel 4 memperlihatkan nilai kemungkinan hubungan antara bangkitan DF dan TSP demgan peubah kecepatan angin, kadar air tanah dan tutupan lahan adalah < 0.05 artinya hubungan memiliki korelasi yang kuat. Peubah bebas memberikan pengaruh dari sedang sampai sangat kuat terhadap peubah terikat. Hubungan antara kadar air tanah dan tutupan lahan dengan bangkitan DF dan TSP memperlihatkan korelasi negatif. Penggabungan nilai kontribusi relatif dari ketiga peubah bebas pada masing masing bangkitan DF dan bangkitan TSP adalah memberikan jumlah 1 (satu). Kontribusi relatif ini berfungsi sebagai faktor pengali didalam persamaan faktor emisi yang akan disusun.
19 Tabel 3 Nilai koefisien determinasi (R2) dalam hubungan antara garis kecenderungan dengan bangkitan DF dan TSP pada masing-masing kecepatan angin (W), kadar air tanah (S) dan tutupan lahan (L) Hubungan Garis DF (ton/km2.bulan) TSP (µg/Nm3) Kecenderungan W (km/j) S (%) L (%) W (km/j) S (%) L (%) Eksponensial 0.449 0.831 0.996 0.590 0.514 0.957 Linier 0.447 0.858 0.996 0.600 0.538 0.951 Logaritmik 0.443 0.831 0.962 0.619 0.556 0.997 Power 0.448 0.799 0.940 0.611 0.530 0.998 Tabel 4 Nilai P, Korelasi Pearson (R), koefisien determinasi (R2), dan kontribusi relatif (C) dari bangkitan DF dan TSP terhadap kecepatan angin (W), kadar air tanah (S) dan tutupan Lahan (L) DF (ton/km2.bulan) TSP (µg/Nm3) W (km/j) S (%) L (%) W (km/j) S (%) L (%) P 0.05 0.00 0.00 P 0.01 0.02 0.02 R 0.67 -0.93 -1.00 R 0.77 -0.73 -0.98 2 2 R 0.45 0.83 1.00 R 0.62 0.56 1.00 C 0.20 0.36 0.44 C 0.28 0.26 0.46 Berdasarkan nilai koefisien determinasi terbaik (R2) pada Tabel 3, nilai kontribusi relatif pada Tabel 4 dan persamaan garis kecenderungan pada Gambar 3 dan 4, dilakukan penggabungan peubah kecepatan angin, kadar air tanah dan tutupan lahan baik untuk parameter DF maupun TSP. Setiap peubah bebas dikalikan dengan masing masing nilai kontribusi relatif. Dari proses penggabungan 3 peubah bebas diperoleh persamaan faktor emisi. Hasil faktor emisi DF dan TSP yang diperoleh, dirumuskan dalam persamaan sebagai berikut : eAds DF = (3.7e0.07W)*0.20+(8.7e-0.02S)*0.36+(6.3e-1.4L)*0.44 ..........……….... (2) eAdsTSP = (121.1ln(W)-52.5)*0.28 +(-56.7ln(S)+312.6)*0.26 +(-6.8ln(L)+75.8)*0.46 ..........................................………….…….. (3) Dimana eAdsDF adalah Faktor emisi DF dalam ton/km2.bulan, eAdsTSP adalah Faktor emisi TSP dalam (µg/Nm3), W adalah kecepatan angin dalam km/j, S kadar air dalam %, L adalah tutupan lahan dalam %. Hasil perhitungan bangkitan DF dengan menggunakan faktor emisi diperlihatkan pada Lampiran 6, sedangkan hasil perhitungan TSP menggunakan faktor emisi diperlihatkan pada Lampiran 7. Pada Lampiran 6, hasil Chi-Square perhitungan adalah 0.227 lebih rendah dibanding Chi-Square tabel yaitu 0.798. Dengan demikian Faktor Emisi DF dapat dinyatakan valid dengan tingkat signifikan 0.15. Selanjutnya pada Lampiran 7, hasil Chi-Square perhitungan adalah 0.784, nilai ini lebih rendah diibanding Chi-Square tabel yaitu 0.798. Dengan demikian Faktor Emisi TSP juga dinyatakan valid dengan tingkat signifikan 0.15.
20 Analisis Distribusi Ukuran Partikel Debu Jatuh
Fraksi Partikel (%)
Tanah Andosol dari Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung didominasi oleh DF yang berukuran 10-100 µm dan dibuktikan oleh analisis pada 3 canister yang terpasang. Semua canister tidak mendapat DF yang berukuran 0-2.5 µm yang berpotensi sebagai PM2.5. Distribusi ukuran partikel DF yang dihasilkan oleh tanah Andosol ini disajikan pada Gambar 5. Berdasarkan distribusi ukuran partikelnya, DF yang berukuran < 10 µm lebih banyak terendapkan pada canister 1 (paling jauh dari blower), sementara partikel > 10 µm paling banyak diendapkan pada canister No.3 yang lebih dekat dengan blower. Gambar 5 juga menunjukkan bahwa PM10 juga diendapkan pada semua canister yang terpasang. Lampiran 8 memperlihatkan contoh gambar partikel yang teramati pada pengamatan distribusi ukuran partikel DF dibawah mikroskop. 100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
5.3
8.9
5.9
72.5
70.3
75.7
22.1
20.9 0.0 C-2 : 4.5 m
18.4 0.0 C-3 : 3.25 m
0.0 C-1 : 5.75 m
0-2.5 µm Gambar 5
2.5-10 µm
10-100 µm
100 - 500 µm
Distribusi ukuran partikel debu jatuh tanah Andosol di 3 titik canister
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Simpulan dari hasil penelitian ini : 1. Penelitian ini memperlihatkan bahwa konsentrasi DF rata-rata sekitar 5 ton/km2.bulan. Konsentrasi DF tertinggi adalah 6 ton/km2.bulan sedangkan yang terendah adalah 4 ton/km2.bulan. Rata-rata konsentrasi TSP sekitar 116 µg/Nm3. Konsentrasi TSP tertinggi 140 µg/Nm3. Bangkitan TSP terendah 92 µg/Nm3. Seluruh bangkitan DF dan TSP dari tanah Andosol dalam penelitian ini masih dibawah baku mutu sesuai PP 41/ 1999. Emisi DF dan TSP dari tanah Andosol dipengaruhi oleh kecepatan angin, kadar air tanah dan tutupan lahan. 2. Faktor emisi bangkitan DF dan TSP dari tanah Andosol dipengaruhi oleh kecepatan angin, kadar air tanah dan tutupan lahan.
21
3.
Faktor emisi DF adalah eAds DF = (3.7e0.07W)*0.20+(8.7e-0.02S)*0.36+(6.3e-1.4L)*0.44 ………….. (2) dan faktor emisi TSP adalah eAdsTSP = (121.1ln(W)-52.5)*0.28 +(-56.7ln(S)+312.6)*0.26 +(-6.8ln(L)+75.8)*0.46. …………………………………… (3) Dari hasil pengamatan distribusi ukuran partikel, DF belum teremisikan pada ukuran yang berbahaya (0-2.5µm) dan distribusi ukurannya didominasi oleh DF yang berukuran 10-100 µm.
Saran 1.
2.
3.
Untuk menmyempurnakan aplikasi dilapangan, faktor emisi yang diperoleh dari penelitian ini perlu dilanjutkan dengan penelitian uji coba dan validasi faktor emisi di lapangan. Perlu dilakukan penelitian lanjutan yang mengkaji hubungan bahan organik dengan pola pergerakan dan penyimpanan air dalam tanah Andosol, yang dapat mempengaruhi pelepasan bangkitan DF dan TSP ke udara. Perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan antara bangkitan DF dan TSP dengan suhu udara di daerah tropis
22
DAFTAR PUSTAKA Akpinar EK, Akpinar S, Öztop HF. 2009. Statistical analysis of meteorological factor and air pollutiom at winter months in Elazig, Turkey. Journal of Urban and Environmental Engineering (JUEE). 3(1): 7-16. Al Katheeri E, Al Jallad F, Al Omar M. 2012. Assessment of gaseous and particulate pollutants in the ambient air in Al Mirfa City, United Arab Emirates. Journal of Environmental Protection. 3: 640-647. doi: 10.4236/jep.2012.37077. Almuhanna EA. 2015. Dustfall associated with dust storms in the Al-Ahsa Oasis of Saudi Arabia. Open Journal of Air Pollution. 4: 65-75. doi: 10.4236/ojap.2015.42007. Amaliah L, Yuwono AS, Mulyanto B. 2014.Prediction of dustfall generation over an Andisol and Entisol soil and negative impact to human health. Scholars Journal of Engineering and Technology (SJET). 2(3B): 426-431. Amaliah L. 2014. Analisis Bangkitan Debu Jatuh Udara Ambien Dari Lima Jenis Tanah Utama di Pulau Jawa. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Andrić EK, Radanović T, Topalović I, Marković B, Sakač N. 2013. Temporal variations in concentrations of ozone, nitrogen dioxide, and carbon monoxide at Osijek, Croatia. Advances in Meteorology. 2013(3): 18-25. doi: 10.1155/2013/469786 Arifiyanti F, Sudarno, Handayani DS. 2013. Pengaruh kelembaban, suhu, arah dan kecepatan angin terhadap konsentrasi karbon monoksida (CO) dengan membandingkan dua volume sumber pencemar di area pabrik dan di persimpangan jalan (Studi Kasus: PT. Inti General Yaja Steel dan Persimpangan Jrakah). Jurnal Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro. 2(1): 40-49 . Azmi A, Yuwono AS, Erizal, Kurniawan A, Mulyanto B. 2015. Analysis of Dustfall Generation from Regosol Soil in Java Island, Indonesia. ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences. 10: 8184-8191. [BBSDLP] Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2014. Tanah Andosol di Indonesia Karakteristik, Potensi, Kendala, dan Pengelolaannya untuk Pertanian. Bogor (ID). BBSDLPLitbang-Kementerian Pertanian RI. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia - SNI 134703-1998: Penentuan kadar debu di udara dengan penangkap debu jatuh (Dust fall collector). Jakarta (ID). BSN. [BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1998. Standar Nasional Indonesia - SNI 197119.3-2005: Udara ambien – Bagian 3: Cara uji partikel tersuspensi total menggunakan peralatan high volume air sampler (HVAS) dengan metoda gravimetri. Jakarta (ID). BSN. Carvalho AOM, Freitas MDC. 2011. Source of trace elements in fine and coarse particulate matter in a sub-urban and industrial area of the western european coast. J Environmental Science. 4: 184-191.
23 Chen M, Chu W. 2015. Photocatalytic degradation and decomposition mechanism of fluoroquinolones norfloxacin over bismuth tungstate: experiment and mathematic model. Applied Catalysis B:Environmental. 168(20): 175-182. doi:10.1016/j.apcatb.2014.12.023. [FAO/UNESCO] Food and Agricultural Organization of the United Nations/ United Nations Educational. Scientific and Cultural Organization. 1997. Soil Map of The Worlds. Rome(IT). FAO-UNESCO. Fecan F, Marticorena B, Bergametti G. 1999. Parametrization of the increase of the aeolian erosion threshold wind friction velocity due to soil moisture for arid and semi-arid areas. Annales Geophysicae. 17: 149-157. Feng JL, Zhu LP, Ju JT, Zhou LP, Zhen XL, Zhang W, Gao SP. 2008. Heavy dustfall in Beijing, on April 16-17, 2006: Geochemical properties and indications of the dust provenance. Geochemical Journal. 42: 221-236 Feng Y, Xue Y, Chen X, Wu J, Zhu T, Bai Z, Fu S, Gu C. 2007. Source Apportionment of Ambient Total Suspended Particulates and Coarse Particulate Matter in Urban Areas of Jiaozuo, China. Journal of the Air and Waste Management Association. 57: 561-575. Ghose MK. 2003. Emission factors for the quantification of dust in Indian coal mines. Journal of Scientific & Industrial Research. 63: 763-768. Gorham R. 2002. Air Pollution From Ground Transportation; An assessment of Causes, Strategies and Tactics, and Proposed Actions For The International Community. United Nations. Hahnenberger M, Nicoll K. 2014. Geomorphic and land cover identification of dust sources in the eastern Great Basin of Utah, USA. Geomorphology. 204(54): 657-672. doi:10.1016/j.geomorph.2013.09.013. Hai C, Yuan C, Liu G, Li X, Zhang F, Zhang X. 2007. Research on the component of dust fall in Hohhot in comparison with surface soil components in different lands of inner Mongolia Plateau. Water, Air, and Solid Pollution. 190: 27-34 Istantinova DB, Hadiwidodo M, Handayani DS. 2013. Pengaruh kecepatan angin kelembaban dan suhu udara terhadap konsentrasi gas pencemar sulfur dioksida (SO2) dalam udara ambien di sekitar PT. Inti General Yaja Steel Semarang. Jurnal Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro. 2(1): 30-39. Katou H, Kozai N. 2010. Anion adsorption and transport in an unsaturated highhumic Andosol. Makalah. Dalam: 19th World Congress of Soil Science, Soil Solutions for a Changing World di Brisbane, Australia, 1-6 Agustus. Kaufman YJ, Tanre D, Boucher O. 2002. A Satellite View of Aerosols in the Climate System. Nature. 419(6903): 215-223. Kellogg CA, Griffin DW. 2006. Aerobiology and the global transport of desert dust. Trendst in Ecology and Evolution. 21(11): 638-644. doi:10.1016/j.tree.2006.07.004. Koren I, Kaufman YJ. 2004. Direct wind measurements of Saharan Dust Events from Terra and Aqua Satellites. Geophysical Research Letters. 31(6): 80-84. Kristensson A, Johansson C, Westerholme R, Swietlicki E. 2004. Real-world traffic emission factors of gases and particles measured in a road tunnel in Stockholm, Sweden. Atmospheric Environment. 38: 657-673
24 Laurent B, Marticorena B, Bergametti G, Mei F. 2006. Modeling Mineral Dust Emissions From Chinese and Mongolian Deserts. Global and Planetary Change. 52(7): 121-141. doi:10.1016/j.gloplacha.2006.02.012 Levin Z, Ganor E, Gladstein V. 1996. The effects of desert particles coated with sulfate on rain formation in the Eastern Mediterranean. Journal of Applied Meteorology. 35 (9): 1511-1523. Limbong GH, Hadiwidodo M, Sudarno. 2013. Pengaruh kelembaban suhu, arah dan kecepatan angin terhadap konsentrasi nitrogen dioksida (NO2) dengan membandingkan 2 volume sumber pencemar di area pabrik dan di persimpangan jalan (studi kasus: PT. Inti General Yaja Steel dan persimpangan jrakah), Jurnal Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro. 2(1): 50-59. Liu LY, Shi PJ, Gao SY, Zou XY, Erdon H, Yan P, Li XY, Ta WQ, Wang JH, Zhang CL. 2004. Dustfall in China’s Western Loess Plateau as influenced by dust storm and Haze Events. Atmospheric Environment. 38: 1699-1703. Lu F, Zhou L, YanXu, Zheng T, Guo Y, Wellenius GA, Bassig BA, Chen X, Wang H, Zheng X. 2015. Short-term effects of air pollution on daily mortality and years of life lost in Nanjing, China. Science of the Total Environment. 536(15): 123-129. doi:10.1016/j.scitotenv.2015.07.048 Mahowald N, Albani N, Kok JF, Engelstaeder S, Scanza R, Ward DS, Flanner MG. 2014. The size distribution of desert dust aerosols and its impact on the Earth system. Journal Aeolian Research. 15: 53-71. McTainsh G, Strong C. 2007. The role of aeolian dust in ecosystems. Geomorphology. 89(4): 39–54. doi:10.1016/j.geomorph.2006.07.028. [MENLH] Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Kualitas Udara: Memprakirakan Dampak Lingkungan. Jakarta (ID). Deputi Bidang Tata Lingkungan - Kementerian Negara Lingkungan Hidup. [MENLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2013. Pedoman Penyusunan Inventarisasi Emisi Pencemar Udara di Perkotaan. Jakarta (ID). Deputi Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan-Kementerian Lingkungan Hidup. Micovic V, Alebic-Juretic A, Matkovic N, Crvelin G. 2010. Dustfall measurement in Primorsko-Goranska County, 1975-2008. Arh Hig Rada Toksikol. 2010(61): 37-43. doi: 10.2478/10004-1254-61-2010-1952 Narayanachari KL, Suresha CM, Prasad MS, Pandurangappa C. 2014. Time dependent advection diffusion model of air pollutants with removal mechanisms. International Journal of Environmental Sciences. 5(1): 34-50. doi: 10.6088/ijes.2014050100004. Niemeier DA, Shafizadeh K. 2004. Air Quality Analysis of MDT Transportation Improvements, Cost-Effectiveness Analysis of the MACI Program. Helena MT (US). Montana Department of Transportation. Pardyjak ER, Speckart SO, Yin F, Veranth JM. 2008. Near source deposition of vehicle generated fugitive dust on vegetation and buildings: Model development and theory. Atmospheric Environment. 42(4): 6442-6452. doi: 10.1016/j.atmosenv.2008.04.024.
25 Pemerintah Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Jakarta (ID): Sekretaris Negara. Puc M, Bosiacka B. 2011. Effects of meteorological factors and air pollution on urban pollen concentrations. Polish J of Environental Study. 20(3): 611-618 Ranst EV, Utami SR, Verdoodt A, Qafoku NP. 2008. Mineralogy of a perudic Andosol in central Java, Indonesia. Geoderma. 144: 379-386 Rennert T, Eusterhues K, Hiradate S, Breitzke H, Buntkowsky G, Totsche KU, Mansfeld T. 2014. Characterisation of Andosols from Laacher See tephra by wet-chemical and spectroscopic techniques (FTIR,27Al-,29Si-NMR). Chemical Geology. 363: 13-21 Rochimawati NR, Yuwono AS, Saptomo SK. 2014. Prediction and Modelling of Total Suspended Particulate Generation on Ultisol and Andisol Soil, ARPN Journal of Science and Technology. 4(6): 329-333. Rochimawati NR. 2014. Pendugaan Bangkitan Konsentrasi Total Supended Particulate (TSP) Di Udara Ambien Dari Permukaan Tanah. [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Roy S, Adhikari GR, Singh TN. 2010. Development of emission factors for quantification of blasting dust at surface coal mines. Journal of Environmental Protection. 1: 346-361. doi:10.4236/jep.2010.14041. Sharratt B, Auvermann B. 2014. Dust Pollution from Agriculture. Encyclopedia of Agriculture and Food Systems. 2: 487-504. doi: 10.1016/B978-0-44452512-3.00089-9. Shindo H, Honma H. 1998. Comparison of humus composition of charred Susuki (Eulalia, Miscanthus sinensis) plants before and after HN03 treatment. Soil Sci. Plant Nutr. 44(4): 675-678. Shoji S, Dahlgren R, Nanzyo M. 1993. Volcanic Ash Soils Genesis, Properties and Utilization. Amsterdam-London -New York-Tokyo. Elsevier. Sissakian VK, Al-Ansari N, Knutsson S. 2013. Sand and dust storm events in Iraq. Natural Science. 5(10): 1084-1094. doi: org/10.4236/ns.2013.510133. Soedomo M. 2001. Pencemaran Udara. Bandung (ID): ITB. [US EPA] United State Environmental Protection Agency. 2015. Emissions Factors & AP 42, Compilation of Air Pollutant Emission Factors [internet]. [diacu 2015 Juli 29]. Tersedia pada:http://www.epa.gov/ttn/chief/ap42/index. Vilmundardóttir OK, Magnússon B, Gísladóttir G, Thorsteinsson Th. 2010. Shoreline erosion and aeolian deposition along a recently formed hydroelectric reservoir, Blöndulón, Iceland. Geomorphology. 114: 542–555 Wakindiki IIC, Omondi MO. 2012. Water movement and retention in a mollic andosol mixed with raw mature chickpea residue. African Journal of Agricultural Research. 7(17): 2664-2668. Wang X, Chowa JC, Kohla SD, Yatavelli LNR, Percy KE, Legge AH, Watson JG. 2015. Wind erosion potential for fugitive dust sources in the Athabasca Oil Sands-region.--Aeolian-Research.-18(11):-121-134. doi:10.1016/j.aeolia. 2015.07.004.
26 Winckelmans E, Cox B, Martens E, Fierens F, Nemery B, Nawrot TS. 2015. Fetal growth and maternal exposure to particulate air pollution-More marked effects at lower exposure and modification by gestational duration. Environmental-Research.-140(60):--611-618. doi:10.1016/j.envres. 2015.05.015 Yunfei W, Renjian Z, Zhiwei H, Zhaomei Z. 2010. Relationship between East Asian monsoon and dust weather frequency over Beijing. Advances In Atmospheric Sciences. 27( 6): 1389-1398. Yuwono AS. Amaliah L, Rochimawati NR, Kurniawan A, Mulyanto B. 2014. Determination of emission factor for soil borne dustfall and suspended particulate in ambient air. ARPN Journal of Engineering and Applied Science. 9(9): 1417-1422. Zhang N, Cao J, Liu S, Zhao Z, Xu H, Xiao S. 2014. Chemical composition and sources of PM2.5 and TSP collected at Qinghai Lake during summertime. Atmospheric Research. 138: 213-222 Zhang XX, Shi PJ, Liu LY, Tang Y, Cao HW, Zhang XN, Hu X, Guo LL, Lue YL, Qu ZQ et al. 2010. Ambient TSP concentration and dustfall in major cities of China: Spatial distribution and temporal variability. Atmospheric Environment. 44: 1641-1648. Zhao Y, Shi D. 2012. Analysis of Total Suspended Particulates pollution along Shanghai-Nanjing Expressway. Open Journal of Air Pollution. 1: 31-36
27
LAMPIRAN
28 Lampiran 1
Peta jenis tanah di pulau Sumatra (Sumber : FAO Unesco Soil Map of South Easth Asia, 1964)
29 Lampiran 2
Peta Jenis Tanah Kabupaten Tanggamus Provinsi Lampung (Sumber : Pusat Penelitian Lingkungan Hidup-IPB)
Lampiran 3
Gambar kondisi lokasi pengambilan contoh tanah Andosol di Kabupaten Tanggamus, Provinsi Lampung
30 Lampiran 4
Gambar alat pengoperasian Terowongan Uji (Tunnel)
Lampiran 5
Gambar alat, bahan dan perangkat lunak pengukuran DF, TSP dan distribusi ukuran partikel
31 Lampiran 6
Data bangkitan DF pada variasi tutupan lahan berdasarkan pengukuran sebenarnya dan dibandingkan dengan perhitungan menggunakan Faktor Emisi.
DF (ton/km2.bulan) Pengukuran Perhitungan dengan Sebenarnya Faktor Emisi 10 3.0 17.6 5.4 5.5 10 11 2.6 23.0 20 4.8 5.0 12 2.9 30.3 30 4.1 4.4 13 2.8 21.5 40 3.6 4.5 Catatan : (1) Chi-Square Perhitungan 0.227; (2) Chi-Square Tabel 0.798; (3) Tingkat Signifikan 0.15
Hari ke
W (km/jam)
Lampiran 7
S (%)
L (%)
Data bangkitan TSP pada variasi tutupan lahan berdasarkan pengukuran sebenarnya dan dibandingkan dengan perhitungan menggunakan Faktor Emisi.
TSP (µg/Nm3) Pengukuran Perhitungan dengan Sebenarnya Faktor Emisi 10 2.5 22.3 91.5 93.4 10 11 2.4 25.8 20 86.9 88.1 12 2.8 40.5 30 83.7 85.4 13 2.7 25.1 40 82.2 90.2 Catatan: (1) Chi-Square Perhitungan 0.784; (2) Chi-Square Tabel 0.798; (3) Tingkat Signifikan 0.15
Hari ke
W (km/jam)
Lampiran 8
S (%)
L (%)
Contoh gambar hasil pengamatan distribusi ukuran partikel DF dibawah miroskop
32
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Cianjur (Jawa Barat) pada tanggal 23 Februari 1963. Pendidikan SLTA ditempuh di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Bogor (SMANSA Bogor), lulus tahun 1982. Setelah menamatkan pendidikan SLTA, penulis melanjutkan pendidikan Program Diploma dan selesai pada tahun 1986 di Akademi Kimia Analisis Bogor. Selanjutnya pada tahun 2008 penulis menyelesaikan pendidikan S1 di Program Studi Pendidikan Kimia di program pendidikan jarak jauh Universitas Terbuka. Pada tahun 2014 penulis melanjutkan pendidikan Pascasarjana Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Institut Pertanian Bogor (IPB). Sejak tahun 1989-sekarang, penulis bekerja di Laboratorium Lingkungan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup Institut Pertanian Bogor (Laboratorium Lingkungan PPLH-IPB). Periode tahun 20092014 penulis menjabat sebagai Kepala Laboratorium di PPLH-IPB dan berhasil membawa Laboratorium PPLH-IPB untuk memperoleh Sertifikat Akreditasi dari Komite Akreditasi Nasional (KAN) dengan nomor LPK: LP 517 IDN. Selain itu, sejak tahun 1999-sekarang penulis dipercaya menjadi pengajar dan koordinator mata kuliah Instrumentasi Lingkungan di Program Diploma IPB untuk program keahlian Teknik dan Manajemen Lingkungan. Tahun 1995-1997, penulis terlibat dalam penyusunan Dokumen Sistim Pemantauan Lingkungan dan Sistim Tanggap Darurat Lingkungan di area kerja Unocal (Chevron) Geothemal Gunung Salak, dengan posisi sebagai teknisi lingkungan. Karya ilmiah penulis yang berjudul “Emission Factor of Dustfall and TSP from Andisol Soil for Ambient Air Quality Change Assessment” telah lolos penelaahan awal oleh pengelola jurnal ilmiah internasional (terindeks Scopus) di ARPN Journal of Engineering and Applied Sciences (JEAS).