ANALISIS BANGKITAN DEBU JATUH DARI TANAH REGOSOL DI PULAU JAWA
ASIYAH AZMI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Bangkitan Debu Jatuh dari Tanah Regosol di Pulau Jawa adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2015
Asiyah Azmi F451140136
RINGKASAN ASIYAH AZMI. Analisis Bangkitan Debu Jatuh dari Tanah Regosol di Pulau Jawa. Dibimbing oleh ARIEF SABDO YUWONO dan ERIZAL. Debu jatuh (dustfall) merupakan salah satu parameter kualiatas udara ambien yang ditetapkan dalam PP No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Tingginya bangkitan debu ke udara ambien dipengaruhi oleh empat hal, yaitu angin yang kencang, tanah yang kering, vegetasi yang jarang dan partikel tanah yang dapat terdistribusi oleh angin. Pengendalian bangkitan debu jatuh dapat dilakukan dengan efektif dan efisien jika telah diketahui besarnya pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap bangkitannya. Tujuan penelitian ini adalah memperoleh korelasi antara kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan terhadap bangkitan debu jatuh, mendeskripsikan pengaruh tiga faktor tersebut terhadap bangkitan debu jatuh, dan menganalisis karakteristik fisik (bentuk dan distribusi frekuensi ukuran debu jatuh). Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai Mei 2015. Penelitian dilakukan terhadap tiga contoh uji tanah regosol yaitu tanah regosol yang berasal dari Kecamatan Gunung Sindur Kab. Bogor, Pelabuhan Ratu Kab. Sukabumi, dan Pantai Parangkusumo Kab. Bantul. Pengukuran bangkitan debu jatuh dilakukan dalam skala laboratorium menggunakan tiga jenis tanah regosol. Alat dan bahan yang digunakan untuk mengukur konsentrasi debu jatuh adalah dustfall canister, filter whatman 41, neraca analitik OHAUS, dan oven. Persyaratan umum dalam melakukan pengukuran debu jatuh mengikuti ketentuan dalam SNI 13-4703-1998 tentang Penentuan Kadar Debu di Udara dengan Penangkap Debu Jatuh. Analisis juga dilakukan terhadap tekstur tanah dan distribusi frekuensi ukuran partikel debu jatuh. Analisis tekstur tanah dilakukan dengan metode ASTM. Prosedur analisis dilakukan berdasarkan tahapan yang ditetapkan oleh Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. Analisis distribusi frekuensi ukuran partikel dilakukan dengan cara menangkap debu jatuh diatas sebuah piringan transparan. Debu tersebut dibiarkan menempel secara pasif diatas piringan transparan untuk mengambil pendekatan bahwa debu yang tertangkap merupakan debu jatuh. Piringan beserta debu jatuh yang menempel tersebut dianalisis menggunakan scanning electron microscope (SEM) agar dapat mendeskripsikan morfologi dan distribusi frekuensi ukuran partikel debu jatuh dari jenis tanah tertentu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa kecepatan angin berkorelasi positif dengan bangkitan debu jatuh, sedangkan kadar air tanah dan tutupan lahan berkorelasi negatif dengan bangkitan debu jatuh. Hubungan antara faktor-faktor tersebut dengan bangkitan debu jatuh digambarkan dengan persamaan polinomial berganda. Nilai R-sq antara konsentrasi debu jatuh hasil pengukuran dan konsentrasi debu jatuh hasil perhitungan menggunakan model persamaan polinomial pada tanah regosol, di Kec. Gunung Sindur, Pantai Pelabuhan Ratu, dan Gumuk Pasir Parangkusumo, yaitu berturut-turut sebesar 0.86; 0.95 dan 0.99. Distribusi frekuensi ukuran debu jatuh jenis tanah regosol dari tiga lokasi berbeda didominasi oleh ukuran 10 – 100 µm. Kata kunci: debu jatuh, regosol, regresi berganda, ukuran partikel
SUMMARY ASIYAH AZMI. Analysis of Dustfall Generation from Regosol Soil in Java Island. Supervised by ARIEF SABDO YUWONO and ERIZAL. Dustfall is one of ambient air quality parameters according to PP 41/1999 about Air Pollution Control. High generation of dust into the ambient air is affected by four things: strong wind, dry soil, sparse vegetation, and saltating particles. Dustfall pollution in open field can be controlled effectively and efficiently if the influence of wind speed, soil moisture and land cover to dustfall generation are known. This research aims to obtain correlation between wind speed, soil moisture, and land cover factors on dustfall generation, to describe the influence of these factors on dustfall generation, and to analyze the physical properties of dustfall (dustfall particle’s shape and size frequency distribution). This study was carried out in February until May 2015. The study was conducted with regosol soil samples from three different locations, i.e. Gunung Sindur Sub-District, Pelabuhan Ratu beach and Parangkusumo Sand Dunes. The measurement of dustfall generation was conducted in a laboratory scale using regosol soil from three locations as land cover. Tools and materials used for measuring the concentration of dustfall were dustfall canister, filter Whatman #41, OHAUS analytical balance, and oven. The requirements in measuring dustfall concentration set by Indonesian Standard namely SNI 13-4703-1998 about Determination of Dust Generation in the Air with Dustfall Catcher. Analysis were also conducted on soil texture and physical characteristics of dustfall, i.e. shape and size frequency distribution. Soil texture analysis was conducted using ASTM method. The analysis procedure was based on the steps set by the Centre of Agricultural Land Resources Research and Development. Analysis of particle size frequency distribution was performed by capturing dustfall on a transparent disc. The dust was attached passively on transparent disc to take the approach that the dust which caught on transparent disc was dustfall. Then, the disc with the attached dustfall was analyzed using a scanning electron microscope (SEM) to describe the morphology and particle size frequency distribution of dustfall from a different regosol soil type. Based on the research results, wind speed known to be positively correlated with dustfall generation, while the soil moisture and land cover was negatively correlated with dustfall generation. The relationship between dustfall generation, wind speed, soil moisture content and land cover were described with multiple polynomial equation. R-sq value of dustfall from measurement result and calculations using polynomial equation model on regosol soil, in the Gunung Sindur Sub-District, Pelabuhan Ratu beach and Parangkusumo Sand Dunes were 0.86; 0.95 and 0.99, respectively. The size frequency distribution of dustfall particles from regosol soil in each sampling locations were dominated by particulate size of 10 - 100 µm. Key words: dustfall, multiple regression, particulate size, regosol
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
ANALISIS BANGKITAN DEBU JATUH DARI TANAH REGOSOL DI PULAU JAWA
ASIYAH AZMI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknik Sipil dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr Ir Hefni Effendi, M.Phil
PRAKATA Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan mulai Februari - Mei 2015 ini adalah Analisis Bangkitan Debu Jatuh dari Tanah Regosol di Pulau Jawa. Terima kasih diucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Arief Sabdo Yuwono, M.Sc dan Dr.Ir. Erizal, M.Agr selaku komisi pembimbing yang telah memberikan saran dan masukan terhadap penelitian dan penyusunan karya ilmiah. Terima kasih juga diucapkan kepada orang-orang yang telah membantu penelitian ini yaitu kedua orang tua Ir. Nurrohman dan Dr. Ir. Nyimas Popi Indriani, M.Si serta teman seperjuangan Muhammad Ihsan, S.T. yang telah mendukung baik secara materil maupun tenaga sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah ini jauh dari sempurna, tetapi diharapkan karya ilmiah ini tetap bermanfaat bagi akademisi khususnya dan bagi pembaca umumnya.
Bogor, Agustus 2015
Asiyah Azmi
DAFTAR ISI 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Perumusan Masalah 1.3 Tujuan Penelitian 1.4 Manfaat Penelitian 1.5 Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara 2.2 Debu Jatuh (Dustfall) 2.3 Tanah Regosol di Pulau Jawa 2.4 Alat Optik untuk Mendeskripsikan Sifat Fisik 3 METODOLOGI 3.1 Kerangka Penelitian 3.2 Analisis Tekstur Tanah 3.3 Pengukuran Debu Jatuh 3.4 Analisis Korelasi dan Regresi 3.5 Pengukuran Distribusi Frekuensi Ukuran dan Bentuk Partikel 4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Tekstur Tanah 4.2 Analisis Bangkitan Debu Jatuh Tanah Regosol di Laboratorium 4.3 Analisis Distribusi Frekuensi Ukuran dan Bentuk Partikel Debu Jatuh 5 KESIMPULAN DAFTAR PUSTAKA
1 1 1 2 2 3 3 3 4 6 6 8 8 11 11 12 13 13 13 14 17 19 20
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7
8 9
Skema Scanning electron microscope Lokasi pengambilan tanah regosol di Pulau Jawa Skema umun penelitian analisis bangkitan debu jatuh dari tiga tanah regosol yang berasal dari tiga lokasi di Pulau Jawa Skema pengamatan pada pengambilan data skala laboratorium Skema pengukuran debu jatuh Persen kumulatif ukuran partikel tanah regosol di tiga lokasi penelitian Hubungan antara konsentrasi debu jatuh hasil pengukuran dan konsentrasi debu jatuh hasil perhitungan dengan model persamaan polinomial untuk Kec. Gunung Sindur (a); Pantai Pelabuhan Ratu (b); Gumuk Pasir Parangkusumo (c) Distribusi frekuensi ukuran debu jatuh jenis tanah regosol dari tiga lokasi berbeda Bentuk debu jatuh yang dihasilkan dari tanah regosol dari Kec. Gunung Sindur (a); Pantai Pelabuhan Ratu (b) dan Gumuk Pasir Parangkusumo (c)
7 8 9 10 11 13
17 18
19
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5
Sistem partikulat dan hubungannya dengan sebutan yang umum Tekstur tanah jenis regosol dari tiga lokasi yang digunakan dalam penelitian (pengelompokan fraksi bedasarkan USDA) Hasil pengukuran bangkitan debu jatuh tanah regosol di laboratorium Hasil uji korelasi Pearson dengan menggunakan software Minitab 14 Konstanta yang digunakan dalam persamaan polinomial untuk tanah regosol dari tiga lokasi
5 14 14 15 16
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
Peta eksplorasi tanah wilayah Jawa dan Madura pada tahun 1960 oleh Soil Research Institute Gambar 3 dimensi tunnel simulasi bangkitan debu jatuh Denah, potongan memanjang, dan potongan melintang tunnel
23 24 25
1
1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Partikulat di udara bebas berbentuk aerosol, yang didefinisikan sebagai bentuk sederhana dari partikulat padat maupun cairan yang tersuspensi dalam gas (Godish 2004). Konsentrasi debu dalam jumlah besar dapat berbahaya bagi kesehatan, menyebabkan permasalahan kesehatan seperti asma dan iritasi pada paru-paru (Saviour 2012). Debu jatuh (dustfall) merupakan salah satu parameter kualiatas udara ambien yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara. Mahowald et al. (2014) menyatakan tingginya bangkitan debu ke udara ambien dipengaruhi oleh empat hal yaitu (1) angin yang kuat, (2) tanah yang kering, (3) vegetasi yang jarang atau berjarak jauh satu dengan lainnya, dan (4) saltating particles atau partikel tanah yang terdistribusi oleh angin. Oleh karena itu, secara umum bangkitan debu jatuh dipengaruhi oleh kecepatan dan arah angin, kadar air tanah, jenis tanah, dan vegetasi. Amaliah et al. (2014) menyebutkan bahwa bangkitan debu jatuh berkorelasi positif dengan kecepatan angin dan berkorelasi negatif dengan kadar air tanah dan persentase tutupan lahan. Regosol merupakan penamaan untuk salah satu jenis tanah yang diklasifikasikan oleh FAO (Food and Agriculture Organization), sedangkan dalam taksonomi USDA (United State Departement of Agriculture) regosol dapat disamakan dengan entisol atau inceptisol. Regosol merupakan tanah muda gembur, dan mudah tererosi (PPPTA 2004; FAO 2014). Hal tersebut menunjukkan bahwa regosol merupakan jenis tanah yang mudah terdistribusikan oleh fluida baik air maupun udara. Penelitian sebelumnya yang telah dilakukan oleh Yuwono et al. (2014) telah mendeskripsikan hubungan antara bangkitan debu jatuh dan total partikulat tersuspensi dengan kecepatan angin dan kadar air tanah pada tanah ultisol dan oxisol. Penelitian lainnya oleh Amaliah et al. (2014) mendeskripsikan hubungan antara bangkitan debu jatuh dengan kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan pada tanah andisol, entisol, ultisol. Sampai saat ini belum ada kajian yang menganalisis bangkitan debu jatuh dari tanah regosol di Indonesia. Pengendalian bangkitan debu jatuh dapat dilakukan dengan efektif dan efisien jika telah diketahui besarnya pengaruh faktor-faktor tersebut diatas terhadap bangkitannya. Carvalho dan Freitas (2011) menyatakan bahwa strategi pengelolaan kualitas udara harus mempertimbangkan kontribusi relatif dari berbagai sumber polusi udara, yaitu sumber-sumber alam dan antropogenik
1.2 Perumusan Masalah Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis kontribusi faktor kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan terhadap bangkitan debu jatuh pada tanah regosol. Pesisir pantai merupakan lahan terbuka yang terbentuk secara alami akibat perpindahan tanah oleh air dan angin. Selain pembentukan secara alami, lahan terbuka bisa terbentuk akibat kegiatan manusia. Saat ini banyak
2
sekali kegiatan penambangan pasir yang dibuka untuk memenuhi kebutuhan pembangunan di Indonesia. Kegiatan penambangan pasir dan pembukaan lahan menimbulkan dampak lingkungan terutama bangkitan debu ke udara (Saviour 2012). Gumuk Pasir Parangkusumo dikenal sebagai gurun pasir terluas di Pulau Jawa dan terbentuk secara alami disebabkan terdistribusi oleh air dan udara. Pesisir Pantai Pelabuhan Ratu adalah contoh lain hamparan tanah regosol yang terbentuk secara alami di daerah pantai. Wilayah Kabupaten Sukabumi memiliki luasan tanah regosol yang cukup luas dibandingkan wilayah lainnya di Jawa Barat (berdasarkan peta eksplorasi tanah pada Lampiran 1). Berbeda dengan Gumuk Pasir Parangkusumo dan Pantai Pelabuhan Ratu, tanah dari Kecamatan Gunung Sindur merupakan contoh hamparan tanah yang dibuat oleh manusia karena kegiatan pembukaan lahan dan penambangan pasir. Kecamatan Gunung Sindur dikenal sebagai pusat penjualan pasir baik dari daerah Kecamatan Gunung Sindur maupun dari daerah lain di sekitarnya serta memiliki isu lokal tentang pencemaran udara. Oleh karena itu dalam penelitian ini permasalahan yang akan dibahas adalah: 1. Korelasi antara kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan terhadap bangkitan debu jatuh dari tiga tanah regosol yang berasal dari tiga lokasi di Pulau Jawa. 2. Pengaruh kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan terhadap bangkitan debu jatuh dari tiga tanah regosol yang berasal dari tiga lokasi di Pulau Jawa. 3. Karakteristik fisik debu jatuh dari tiga tanah regosol yang berasal dari tiga lokasi di Pulau Jawa berupa bentuk dan distribusi frekuensi ukuran debu jauhnya.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Memperoleh korelasi antara kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan terhadap bangkitan debu jatuh dari tanah regosol yang berasal dari tiga lokasi di Pulau Jawa. 2. Mendeskripsikan pengaruh kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan terhadap bangkitan debu jatuh dari tiga tanah regosol yang berasal dari tiga lokasi di Pulau Jawa. 3. Menganalisis karakteristik fisik debu jatuh dari tiga tanah regosol yang berasal dari tiga lokasi di Pulau Jawa berupa bentuk dan distribusi frekuensi ukuran debu jatuhnya.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Sebagai acuan untuk pengendalian pencemaran udara dengan cara mengendalikan faktor-faktor yang mempengaruhi bangkitan debu jatuh.
3
2. Sebagai dasar untuk menetapkan aturan terhadap suatu kegiatan yang berpotensi menimbulkan bangkitan debu jatuh yang tinggi. 3. Bahan pendukung untuk penelitian selanjutnya yang sejenis.
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini mengambil contoh uji tanah dengan tekstur yang didominasi oleh fraksi pasir. Contoh uji ini diambil dari pasir di Kecamatan Gunung Sindur Kabupaten Bogor, pesisir pantai Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi, dan pesisir pantai Parangkusumo Kabupaten Bantul. 2. Penelitian ini dibatasi pada pengaruh kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan terhadap bangkitan debu jatuh, serta analisis karakteristik fisik berupa bentuk dan distribusi frekuensi ukuran partikel debu jatuh.
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara Pencemaran lingkungan hidup menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 adalah masuk atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. Pengertian pencemaran udara berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 1 ayat 1 adalah masuknya atau dimasukannya zat, energi, dari komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan manusia sehingga mutu udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya. Sumber pencemaran utama secara umum dapat dikelompokkan menjadi dua sumber yaitu (Godish 2004): a. Sumber Alamiah Pencemaran udara yang berasal dari sumber alamiah ini berasal dari kejadian-kejadian atau aktivitas alam yang tidak dapat diduga sebelumnya, seperti letusan gunung berapi, keluarnya gas beracun akibat gempa bumi, dan lain-lain. Debu berukuran kurang dari 10 mikron juga dapat berasal dari Gurun Sahara dan letusan gunung berapi (Lanzafame et al. 2014) b. Sumber Antropogenik Kegiatan manusia dapat mengubah lingkungan hidup yang antara lain disebabkan oleh perkembangan budaya, penggunaan ilmu dan teknologi, serta diiringi oleh pola konsumsi yang berlebihan. Beberapa aktivitas manusia yang dapat menimbulkan pencemaran udara antara lain aktivitas transportasi, pembangkit listrik, proses pembakaran tidak sempurna,
4
pembakaran bahan bakar baik industri maupun domestik, serta kegiatan industri pertambangan (Godish 2004). WHO (2005) menyatakan bahwa sumber pencemaran udara dikelompokkan kedalam tiga kelompok besar yaitu sumber titik (point source), garis (line source), dan sumber pencemar udara campuran (compound area source). Sumber sebuah titik berasal dari sumber individual menetap dan dibatasi oleh luas wilayah kurang dari 1 x 1 km2 termasuk didalamnya industri dan rumah tangga. Sumber pencemar udara yang termasuk dalam klasifikasi ini meliputi asap pabrik, instalasi pembangkit listrik, asap dapur, pembakaran sampah rumah tangga dan lain sebagainya. Sumber garis adalah sumber pencemar udara yang tidak menetap seperti gas buang kendaraan bermotor, pesawat udara, kereta api, dan kegiatankegiatan lain yang menghasilkan gas emisi dengan lokasi berpindah-pindah. Sumber pencemar udara campuran adalah sumber pencemaran yang berasal dari sumber titik tetap maupun garis seperti bandara, terminal, pelabuhan, dan kawasan industri.
2.2 Debu Jatuh (Dustfall) Debu jatuh (dustfall) merupakan salah satu parameter udara ambien dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Debu jatuh adalah debu yang jatuh ke permukaan bumi secara gravitasi ataupun yang jatuh bersamaan dengan hujan (Sonia 2014). Berdasarkan ukuranya, debu jatuh merupakan partikel dengan diameter aerodinamik 100-1000 µm (Zhao dan Shi 2012). Debu jatuh yang dimaksud dalam PP 41/1999 ini diartikan sebagai debu yang berada di udara ambien yang dikumpulkan atau ditangkap secara pasif dengan penangkap debu jatuh selama waktu tertentu, kemudian disaring dan jumlah debu totalnya ditentukan secara gravimetri. Debu yang terkumpul adalah padatan yang berukuran lebih besar dari 10 µm yang terdapat dalam udara ambien dan dinyatakan dalam ton/km2.bulan. 2.2.1 Bentuk dan Distribusi Ukuran Partikel Debu Debu dengan ukuran yang lebih besar dan lebih rapat dapat jatuh ke permukaan bumi hanya dalam beberapa menit sedangkan debu yang lebih kecil dan lebih tidak rapat terus melayang di atmosfer dalam beberapa hari sampai beberapa minggu (Godish 2004). Partikel debu bervariasi dalam bentuknya mulai dari bulat dan kristal kubus sampai berbagai macam bentuk yang tidak biasa morfologinya. Sebagian patikel debu berbentuk datar dan berlapis serta sebagian lainnya berbentuk bulat. Debu dapat terbentuk satu per satu atau membentuk agregat yang pada akhirnya muncul sebagai satu partikel kompak. Beberapa dicirikan sebagai gumpalan kecil dan yang lainnya berbentuk rantai. Permukaannya juga bervariasi, sebagian halus dan sebagian lainnya tidak rata dan berongga (Godish 2004). Bentuk debu bisa sangat kompleks dengan tepi tajam dan permukaan kasar, sangat jarang ditemukan debu dengan bentuk bentuk bulat sempurna. Diameter
5
aerodinamis dari partikel debu menggambarkan sedimentasi serta karakteristik deposisi dan efek kesehatan (Kruell et al. 2013). Tabel 1 Sistem partikulat dan hubungannya dengan sebutan yang umum Tipe Sistem Partikulat
Hidrosol
Aerosol
Bubuk (Powder)
Padat (Solid)
Cair (Liquid)
Gas
Lainnya (atau gas)
Spons (Sponge)
Busa (Foam)
-
-
-
Sistem
Fase Berkelanjutan (Continuous phase)
Fase Partikel
Gas
Cair (Liquid)
Gel
Emulsi
Kabut (Mist) Semprot (Spray) Asap (Fog) Hujan
Padat (Solid)
Logam campuran (Alloy)
Sedimen (Slumy Suspension)
Asap (Fume) Debu (Dust) Salju (Snow)
Fase tunggal Fase majemuk (tepung)
Sumber: Godish (2004)
2.2.2 Transportasi dan Pengendapan Debu di Udara Kecepatan pengendapan partikel debu berkurang seiring dengan semakin besarnya perubahan dari bentuk spiral, dengan kata lain partikel debu berbentuk flat dapat berpindah dengan jarak yang lebih jauh dibandingkan dengan partikel debu yang berbentuk spiral (Formenti et al. 2011). Ukuran partikel debu akan mempengaruhi kemampuannya dalam mengendap. Partikel debu yang berukuran lebih besar dari 100 µm (termasuk debu kamar dan pasir kasar) dapat mengendap dengan cepat. Partikel debu ukuran medium dalam kisaran 1 µm sampai 100 µm mengendap perlahan-lahan (misalnya serbuk sari, abu terbang, debu batu bara, dan pasir halus). Partikel debu yang berukuran kecil atau kurang dari 1 µm (misalnya jelaga dan asap tembakau) jatuh sangat lambat (Kruell et al. 2013). Sharma dan Srinivas (2009) menyatakan konsentrasi debu di udara sangat tinggi saat musim semi dan turun drastis saat musim hujan disebabkan oleh efek pencucian oleh hujan. Timbulan debu ke udara ambien dan pengendapannya juga dipengaruhi oleh vegetasi, kecepatan angin dan faktor lingkungan seperti kelembaban relatif udara. Jenis vegetasi penutup lahan dan angin musiman adalah kontrol yang paling dominan dalam pengendalian timbulan debu pada daratan di tenggara Utah (Flagg et al. 2014).
6
2.3 Tanah Regosol di Pulau Jawa Regosol merupakan nama tanah berdsarkan sistem klasifikasi yang dibuat oleh FAO/UNESCO pada tahun 1974. Penamaan regosol juga digunakan dalam sistem klasifikasi tanah di Indonesia oleh Pusat Penelitian Tanah (PPT)-Bogor pada tahun 1982. Berdasarkan taxonomi tanah USDA tahun 1975, regosol dikategorikan sebagai Entisol atau Inceptisol. FAO (2014) menyebutkan bahwa regosol merupakan tanah muda yang berkembang dari bahan induk lepas (unconsolidated) yang bukan dari bahan endapan alluvial dengan perkembangan tanah lemah atau tanpa perkembangan tanah. Regosol banyak ditemukan pada lahan tererosi maupun pada daerah sedimentasi, khusunya di daerah gersang dan setengah gersang di pegunungan. Regosol mencakup sekitar 260 juta ha di seluruh permukaan bumi terutama di daerah kering di Amerika Tengah, Afrika Utara, Timur Tengah, dan Australia. Sekitar 50 juta ha regosol terbentuk di daerah tropis kering dan sekitar 36 juta ha di daerah pegunungan. Kebanyakan regosol memiliki luasan daerah yang terbatas, sehingga dalam kebanyakan peta klasifikasi tanah akan terlihat dalam skala peta yang kecil. Regosol didefinisikan sebagai tanah yang bertekstur kasar dengan tidak dijumpai horizon penciri lain kecuali okrik yaitu horizon tanah yang mengandung sedikit bahan organik. Tekstur tanah ditentukan berdasarkan perbandingan butir-butir pasir (sand), debu (silt), dan liat (clay). Butir-butir pasir berukuran 50 µm – 2 mm, butir debu berukuran 2-50µm, dan butir-butir liat berukuran lebih kecil dari 2µm (PPPTA 2004). Tanah pasir merupakan tanah muda (baru) yang dalam klasifikasi FAO termasuk dalam ordo regosol (Brady 1974 dalam Fardani 2012). Jenis tanah regosol merupakan jenis tanah yang mendominasi di kawasan pantai Parangkusumo di Kabupaten Bantul (Budiyanto 2011) dan di bagian selatan Kabupaten Sukabumi yaitu daerah pesisir pantai Pelabuhan Ratu (Dokumen RPJM Kabupaten Sukabumi tahun 2010-2015 dalam Andriono 2012).
2.4 Alat Optik untuk Mendeskripsikan Sifat Fisik Karin et al. (2013) menginvestigasi struktur nano partikel primer jelaga, dan telah ditandai dengan menggunakan scanning electron microscope (SEM) dan mikroskop elektron transmisi (TEM) untuk memahaminya secara rinci. Secara skematik SEM dapat dilihat seperti pada Gambar 1. Respati (2008) memaparkan cara kerja SEM yaitu sinar dari lampu dipancarkan pada lensa kondensor. Sebelum masuk pada lensa kondensor ada pengatur dari pancaran sinar elektron yang ditembakkan. Sinar yang melewati lensa kondensor diteruskan oleh lensa objektif yang dapat diatur posisinya. Sinar yang melewati lensa objektif diteruskan pada spesimen yang diatur miring, spesimen ini disinari oleh x-ray detector kemudian gambar yang dihasilkan diteruskan ke layar monitor. Salah satu alat yang bisa digunakan untuk menganalisis distribusi frekuensi ukuran partikel adalah dynamic light scattering. Foerter-barth dan Teipel (2007) menyebutkan prinsip kerja dynamic light scattering dalam menganalisis distribusi ukuran partikel adalah dengan memanfaatkan fluktuasi intensitas cahaya yang tersebar akibat gerak brown pada benda yang memiliki rentang ukuran submikron.
7
Rentang ukuran partikel yang terukur oleh dynamic light scattering adalah 5nm sampai 3µm, ukuran yang lebih kecil dari 5µm adalah batas paling atas partikel yang terukur (tergantung berat jenis partikel).
Sumber: Khan dan Bruce E (2002) dalam Respati (2008)
Gambar 1 Skema scanning electron microscope
8
3 METODOLOGI 3.1 Kerangka Penelitian Analisis yang dilakukan mencakup analisis bangkitan debu jatuh dan kerakteristik fisik debu jatuh, yaitu bentuk dan distribusi ukurannya. Tanah regosol yang digunakan sebagai contoh uji adalah tanah yang berasal dari Kecamatan Gunung Sindur Kab. Bogor, Pelabuhan Ratu Kab. Sukabumi, dan Pantai Parangkusumo Kab. Bantul. Lokasi pengambilan tanah regosol dapat dilihat seperti pada Gambar 2. Adapun peta eksplorasi yang menggambarkan sebaran jenis tanah di Pulau Jawa ditampilkan seperti pada Lampiran 1. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai Mei 2015. Skema penelitian secara umum ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 2 Lokasi pengambilan tanah regosol di Pulau Jawa Penelitian mengenai analisis bangkitan debu jatuh pada tanah regosol ini dilakukan pada skala laboratorium di Kecamatan Dramaga menggunakan tiga jenis tanah regosol di Pulau Jawa. Pengukuran bangkitan debu dilakukan pada sebuah tunnel dengan ukuran panjang dan lebar yaitu 771 cm dan 74 cm serta tinggi 243 cm. Secara lebih rinci gambar 3 dimensi, denah, potongan memanjang, dan potongan melintang tunnel dapat dilihat pada Lampiran 2 dan lampiran 3. Dalam satu (1) hari pengukuran dilakukan pengambilan data sebagai berikut: 1. Konsentrasi debu jatuh sebanyak 3 kali ulangan pada waktu yang bersamaan, dengan waktu pengukuran sekitar 8 jam. 2. Kadar air tanah dan kecepatan angin pada lokasi pengamatan sebanyak 3 kali pengambilan data (pagi dan sore) dengan ulangan sebanyak 3 kali setiap pengambilan data.
9
3. Persen tutupan lahan pada lokasi pengamatan. Pengukuran pada skala laboratorium dilakukan dalam tiga belas (13) hari pengamatan. Skema pengamatan yang dilakukan pada skala laboratorium disajikan pada Gambar 4.
Mulai Ide Penelitian Perumusan Masalah Studi Literatur Pengumpulan Data: Kecepatan angin Kadar air tanah Tutupan lahan Konsentrasi dustfall SEM dan PSA
Data
Analisis korelasi antara kecepatan angin, kadar air tanah, persentase tutupan lahan dengan bangkitan debu jatuh
Deskripasi pengaruh kecepatan angin dengan bangkitan debu jatuh
Deskripasi pengaruh kadar air tanah dengan bangkitan debu jatuh
Analisis distribusi frekuensi ukuran partikel debu jatuh setiap contoh uji tanah
Deskripasi pengaruh persentase tutupan lahan dengan bangkitan debu jatuh
Bentuk korelasi dan deskripsi pengaruh kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan terhadap bangkitan debu jatuh serta distribusi frekuensi ukuran partikel debu jatuh
Selesai
Gambar 3 Skema umun penelitian analisis bangkitan debu jatuh dari tiga tanah regosol yang berasal dari tiga lokasi di Pulau Jawa
10
Persentase tutupan lahan
Variasi kecepatan angin ke-
Variasi kadar air tanah ke-
Hari ke-
1
1
2
2
3
3
1
4
2
5
3
6
1
7
2
8
3
9
4
10
4
11
30%
4
12
40%
4
13
Jenis Tanah ke- 1; 2; Dan 3
1
0%
2
3
10% 20% 1
Keterangan *Variasi kecepatan angin *Variasi kadar air tanah
: (1) Avg 0.7 m/s ; (2) Avg 0.9 m/s ; (3) Avg 1.1m/s : (1) >35% ; (2) 30-35% ; (3) <30% ; (4) 20-35% (tergantung jenis tanah) *Tutupan lahan yang digunakan dalam simulasi ini adalah padi dengan tinggi ± 15 cm. Jumlah 0%, 10%, 20%, 30%, dan 40% adalah luasan tutupan lahan terhadap luasan hamparan tanah
Gambar 4 Skema pengamatan pada pengambilan data skala laboratorium Pada saat pengukuran debu jatuh dengan simulasi di dalam tunnel ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya adalah: 1. Tanah ditempatkan di dalam tunnel secara merata dengan ketinggian ± 5 cm. Setiap pengkondisian kadar air tanah, tanah disiran dengan air, kemuadian diaduk agar kadar air tanahnya merata. Saat pengadukan, bagian tanah yang telah diaduk tidak diinjak kembali untuk menjaga kondisi tanah tidak mampat.
11
2. Dustfall canister ditempatkan secara sejajar pada sisi yang berbeda dengan kipas. 3. Tutupan lahan berupa padi ditempatkan diantara dustfall canister dan kipas dengan jarak antar tutupan lahan yang relatif sama. 4. Penempatan dustfall canister, tutupan lahan dan kipas di dalam tunnel dapat dilihat seperti pada Lampiran 2.
3.2 Analisis Tekstur Tanah Analisis tekstur tanah dilakukan dengan metode ASTM dengan alat utama yang digunakan adalah hidrometer. Hidrometer yang digunakan dalam analisis tekstur tanah ini adalah model ASTM 151. Analisis tekstur tanah ini akan menghasilkan persentasi fraksi liat, debu, dan pasir dari tanah yang dianalisis. Prosedur analisis dilakukan berdasarkan tahapan yang ditetapkan oleh Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBLSLP 2006).
3.3 Pengukuran Debu Jatuh Pengukuran konsentrasi debu jatuh dilakukan dengan menggunakan alat Dustfall Canister dan dilakukan selama 8 jam pada masing-masing lokasi. Skema pengukuran dapat dilihat seperti pada Gambar 5. Persyaratan umum dalam melakukan pengukuran debu jatuh mengikuti ketentuan dalam SNI 13-4703-1998 tentang penentuan kadar debu di udara dengan penangkap jebu jatuh. Konsentrasi debu jatuh dihitung menggunakan persamaan 1. Filter Whatman 41, diameter 47 mm, dioven selama 2-3 jam, dengan suhu 105°C
Filter disimpan dalam desikator selama 24 jam.
Filter ditimbang dan dicatat sebagai berat awal (w1)
Dustfall canister diambil kembali setelah dioperasikan kurang lebih 8 jam
Dustfall canister diletakkan pada lokasi pengamatan dengan ketentuan sesuai dengan SNI
Filter dimasukkan kedalam dustfall canister sesuai pada dudukannya
Filter yang telah dipakai dioven selama 2-3 jam dan disimpan di desikator selama 24 jam
Filter ditimbang kembali sebagai berat akhir (w2). W = w2 – w1
Konsentrasi debu jatuh dihitung berdasarkan persamaan 1
Gambar 5 Skema pengukuran debu jatuh
12
(1) Keterangan C W T A
: konsentrasi debu jatuh (gram m-2 bulan-1) : berat dustfall (gram) : waktu pengukuran (hari) : luas permukaan corong penangkap debu jatuh (m2)
3.4 Analisis Korelasi dan Regresi Terdapat beberapa teknik korelasi yang biasa dipakai untuk analisis data, diantaranya adalah korelasi Pearson, korelasi Sprearman, dan korelasi kontingensi. Korelasi Pearson adalah teknik korelasi yang digunakan untuk mengukur keeratan antara dua variabel yang datanya berbentuk interval atau rasio. Berbeda dengan Spearman dan kontingensi yang merupakan teknik korelasi untuk mengukur keeratan dua variabel yang datanya berbentuk ordinal dan nomina (Hasan 2001). Berdasarkan keterangan diatas serta mengacu pada Amaliah (2014) data yang telah diperoleh dianalisis korelasinya antara bangkitan debu jatuh dengan kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan menggunakan teknik korelasi Pearson, kemudian analisis dilanjutkan dengan analisis regresi untuk memprediksi perubahan nilai varibel terikat (x) jika nilai variabel bebas (y) diubah (Sugiyono 2011 dalam Rochimawati 2014). Koefisien korelasi Pearson dihitung dengan menggunakan persamaan 2. Nilai r yang dihitung merupakan nilai yang digunakan dalam mengambil keputusan setelah dibandingkan dengan nilai r pada tabel korelasi Pearson. Apabila nilai r hitung lebih besar daripada harga r tabel, maka terdapat korelasi yang signifikan antara kedua variabel. n
r n
Keterangan rxy X Y N
-
-
(2) n
-
: korelasi antara bariabel X dengan Y : variabel terikat : variabel bebas : jumlah pasangan
Analisis juga dapat dilakukan dengan bantuan perangkat lunak Minitab 14 for Windows. Nilai P pada hasil perhitungan menggunakan Minitab 14 for windows merupakan nilai untuk mengambil keputusan. Apabila nilai P kurang dari α ang telah ditentukan ( . 5) artinya terdapat hubungan antara variabel yang dianalisis, apabila nilai P lebih besar dari α artin a tidak ada hubungan antara variabel yang dianalisis. Analisis regresi merupakan analisis lanjutan setelah mendapatkan koefisien korelasi pearson. Analisi regresi hanya dapat dilakukan jika terdapat hubungan yang signifikan antara dua atau lebih variabel yang dianalisis (Amaliah 2014). Hasil analisis regresi ini dapat digunakan sebagai model untuk meramalkan (prediction) dan pengecekan ketelitian data.
13
3.5 Pengukuran Distribusi Frekuensi Ukuran dan Bentuk Partikel Analisis distribusi frekuensi ukuran partikel dilakukan dengan cara menangkap debu diatas sebuah piringan transparan berdiameter 47mm. Debu tersebut dibiarkan menempel secara pasif diatas piringan transparan untuk mengambil pendekatan bahwa debu yang tertangkap merupakan debu jatuh. Kemudian piringan beserta debu jatuh yang menempel tersebut dianalisis menggunakan mikroskop optik atau scanning electron microscope (SEM) agar dapat mendeskripsikan morfologi bangkitan debu jatuhnya. Analisis distribusi frekuensi ukuran partikel dilakukan juga dengan cara manual yaitu dengan menghitung jumlah partikel dengan ukuran yang sama dari hasil analisis menggunakan SEM.
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Analisis Tekstur Tanah Hasil pengukuran tekstur tanah di laboratorium menunjukkan bahwa tanah regosol yang berasal dari Kecamatan Gunung Sindur, Pesisir Pantai Pelabuhan Ratu, dan Gumuk Pasir Parangkusumo didominasi oleh fraksi pasir yaitu berturutturut 88%, 98%, dan 99% (pengelompokan fraksi berdasarkan USDA dan FAO). Persentase kumulatif diameter partikel tanah disajikan pada Gambar 6. Fraksi pasir yang mendominasi tanah regosol dari Gumuk Pasir Parangkusumo adalah pasir halus (diameter 0.1 - 0.25 mm), sedangkan fraksi pasir dari Pesisir Pantai Pelabuhan Ratu didominasi oleh fraksi pasir sedang (diameter 0.25 - 0.5 mm). Tanah regosol dari Kec. Gunung Sindur memiliki fraksi tekstur tanah yang relatif lebih merata dengan fraksi terbesar adalah pasir halus. Persentase fraksi partikel tanah pada ketiga jenis tanah tersebut disajikan pada Tabel 2. Berdasarkan segitiga tekstur (USDA) ketiga contoh uji tanah yang digunakan merupakan tanah dengan tekstur pasir. 100
persen kumulatif (%)
80 60 Gunung Sindur 40
Pelabuhan Ratu
20
Parangkusumo
0 0.001
0.01
0.1
1
10
diameter (mm)
Gambar 6 Persen kumulatif ukuran partikel tanah regosol di tiga lokasi penelitian
14
Tabel 2 Tekstur tanah jenis regosol dari tiga lokasi yang digunakan dalam penelitian (pengelompokan fraksi bedasarkan USDA) Fraksi (USDA) Liat Debu Pasir sangat halus Pasir halus Pasir sedang Pasir kasar Pasir sangat kasar
Diameter (µm) <2 2 - 50 50 - 100 100 - 250 250 - 500 500 - 1000 1000 - 2000
Persentase fraksi partikel Kec. Gunung Pantai Gumuk Pasir Sindur Pelabuhan Ratu Parangkusumo 4.00 0.80 0.46 8.00 0.85 0.64 12.00 0.10 2.40 23.50 18.75 55.00 22.50 54.50 38.00 18.00 21.50 3.50 12.00 3.50 0.00
4.2 Analisis Bangkitan Debu Jatuh Tanah Regosol di Laboratorium Hasil pengukuran bangkitan debu jatuh di laboratorium dengan variasi kecepatan angin, kadar air tanah, dan tutupan lahan menunjukkan bahwa tanah regosol yang berasal dari Gumuk Pasir Parangkusumo memiliki bangkitan debu jatuh yang paling besar dibandingkan dengan dua tanah regosol lainnya. Dilihat dari fraksi tekstur tanahnya, tanah regosol yang berasal dari Gumuk Pasir Parangkusumo memiliki fraksi pasir yang lebih besar, kemudian diikuti oleh tanah regosol dari Pantai Pelabuhan Ratu dan tanah regosol dari Kecamatan Gunung Sindur. Hal tersebut menunjukkan bahwa, semakin banyak fraksi pasir (partikel yang lebih besar) pada suatu jenis tanah tertentu, semakin besar bangkitan debu jatuhnya, seadangkan partikel yang lebih kecil akan mengendap pada jarak yang lebih jauh. Partikulat berukuran kecil (PM10 dan PM2.5) membutuhkan waktu harian sampai dengan tahunan untuk mengendap dan dapat menempuh jarak lebih dari 1000 km dalam atmosfer yang tenang, tetapi dapat dicuci oleh hujan dengan sangat cepat (Kruell et al. 2013). Data hasil pengukuran bangkitan debu jatuh tanah regosol di laboratorium disajikan seperti pada Tabel 3. Tabel 3 Hasil pengukuran bangkitan debu jatuh tanah regosol di laboratorium Kecepatan angin (km/jam)
Kadar air tanah (%)
Tutupan lahan (%)
Kec. Gunung Sindur
2.4 - 3.2
28.3 - 37.6
0 – 40
7.6 - 21.2
Pantai Pelabuhan Ratu
2.4 - 3.7
21.6 - 37.1
0 – 40
8.5 - 45.0
Gumuk Pasir Parangkusumo
2.4 - 3.7
22.6 - 37.8
0 – 40
11.0 - 65.1
Lokasi asal tanah
Debu jatuh (ton/km2/bulan)
Uji korelasi Pearson menggunakan Minitab 14 menunjukkan bahwa kecepatan angin berkorelasi positif dengan bangkitan debu jatuh, sedangkan kadar air tanah dan tutupan lahan berkorelasi negatif dengan bangkitan debu jatuh (Tabel 4). Tutupan lahan berupa vegetasi, secara langsung akan mengurangi tingkat erosi angin karena tanaman mampu menghilangkan gaya geser angin di permukaan tanah dengan cara mengurangi momentum angin dan menahan partikel yang terbang pada permukaan tanaman (Okin et al. 2006; Floyd dan Gill 2011). Selain tutupan lahan, karakteristik permukaan tanah juga mempengaruhi timbulan
15
debu ke udara ambien. Tanah yang lebih lembab akan mendukung tanah menjadi lebih kompak strukturnya sehingga memiliki ambang batas erosi yang lebih tinggi (Ravi dan D’Odorico 5), artin a memerlukan kecepatan angin ang lebih besar untuk menerbangkan partikel pada tanah yang basah dibandingkan dengan tanah yang kering. Kecepatan angin dan kadar air tanah tidak menunjukkan korelasi yang tegas terhadap bangkitan debu jatuh pada tanah regosol dari Kecamatan Gunung Sindur dan Pantai Pelabuhan Ratu yang ditunjukkan dengan P-value yang lebih besar dari α ( . 5). Berbeda dengan tanah regosol dari Gumuk Pasir Parangkusumo, kecepatan angin berkorelasi secara signifikan dengan bangkitan debu jatuh (Pvalue = 0). Kadar air tanah dan tutupan lahan pada tanah regosol dari Gumuk Pasir Parangkusumo tidak berkorelasi secara signifikan (P-value > 0.05). Hasil analisis pada Tabel 4 menunjukkan nilai signifikansi yang berbeda pada setiap jenis tanah regosol dengan kecepatan angin, kadar air tanah dan tutupan lahan yang sama. Hal ini disebabkan oleh waktu pelaksanaan penelitian pada ketiga tanah yang tidak sama. Pada saat waktu pelaksanaan yang tidak sama tersebut, terdapat perbedaan kondisi lingkungan mikro seperti kelembaban relatif udara. Jumlah debu atau partikel di udara pada ketinggian atmosfer di bawah 1 km berkorelasi positif dengan kelembaban relatif udara (Jie dan Congguo 2011). Tabel 4
Hasil uji korelasi Pearson dengan menggunakan software Minitab 14 Gumuk Pasir Kec. Gunung Pantai Pelabuhan Parangkusum Sindur Ratu o Debu jatuh dan kecepatan angin koefisien Pearson 0.058 0.518 0.856 nilai-P 0.85 0.07 0 Debu jatuh dan kadar air tanah koefisien Pearson -0.286 -0.094 -0.217 nilai-P 0.34 0.76 0.48 Debu jatuh dan tutupan lahan koefisien Pearson -0.787 -0.642 -0.406 nilai-P 0 0.02 0.17 Hubungan antara kecepatan angin, kadar air tanah, dan tutupan lahan dengan bangkitan debu jatuh dapat digambarkan dengan persamaan regresi polinomial berganda (multiple polynomial regression). Regresi polinomial berganda adalah regresi polinomial yang dilakukan dengan satu variabel terikat dan dua atau lebih variabel bebas. Regresi polinomial berganda sering disebut juga dengan multivariate polynomial regression yang digunakan untuk memprediksi satu nilai yang dipengaruhi oleh lebih dari satu variabel yang berkontribusi, variabel-variabel tersebut kemungkinan berkaitan dan dapat dikonversi menjadi sebuah variabel bebas yang dapat digunakan untuk estimasi regresi yang lebih baik (Sinha 2013). Persamaan polinomial berganda ordo 2 dengan 3 variabel bebas dan 1 variabel terikat mengikuti pola seperti pada Persamaan 2.
16
Y = aX12 + bX1 X2 + cX1 X3 + dX22 + eX2 X3 + fX32 + gX1 + hX2 + iX3 + j
(2)
Keterangan : Y = bangkitan debu jatuh (ton/km2.bulan) X1 = kecepatan angin (km/jam) X2 = kadar air tanah (%) X3 = tutupan lahan (%) a, d, f = quadratic effect parameters b, c, e = interaction effect parameters g, h, i = linear effect parameters j = nilai konstanta Nilai konstanta a sampai j didapatkan dengan trial and error menggunakan add-in solver pada MS. Excel 2007. Solver dijalankan untuk menemukan konstanta dengan nilai RMSE (root mean square error) terkecil dan nilai R-sq mendekati 1 antara model dari persamaan polinomial dan perhitungan di laboratorium. Proses yang dijalankan menghasilkan nilai konstanta a sampai j seperti yang disajikan pada Tabel 5. Perbandingan nilai debu jatuh berdasarkan pengukuran dan berdasarkan persamaan polinomial yang dibentuk dapat dilihat pada Gambar 7. Tabel 5
a b c d e f g h i j R-sq RMSE
Konstanta yang digunakan dalam persamaan polinomial untuk tanah regosol dari tiga lokasi Kec. Gunung Sindur -10 2 -46 0 3 -16 1 1 9 5 0.86 1.3
Pantai Pelabuhan Ratu 32 -1 812 0 5 -116 -166 -2 -2299 286 0.95 2.1
Gumuk Pasir Parangkusumo 7 -1 -738 0 119 -1007 21 -5 -2030 23 0.99 1.4
Persamaan polinomial berganda seperti persamaan 1 dan konstanta yang digunakan seperti pada Tabel 5, dapat mendeskripsikan hubungan antara kecepatan angin, kadar air tanah, dan persentase tutupan lahan dengan konsentrasi debu jatuh. Hal tersebut ditunjukkan dengan R-sq antara konsentrasi debu jatuh hasil pengukuran dan konsentrasi debu jatuh hasil perhitungan menggunakan model persamaan polinomial pada tanah regosol di Kec. Gunung Sindur, Pantai Pelabuhan Ratu, dan Gumuk Pasir Parangkusumo, yaitu berturut-turut sebesar 0.86; 0.95 dan 0.99. Nilai R-sq 0.86 artinya 86% model yang digunakan dapat menjelaskan konsentrasi debu jatuh dari tanah regosol di Kec. Gunung Sindur,
17
30
y = 0.86x + 2.2425 R² = 0.8607
20
10
0 0
10
20
30
Debu jatuh hasil perhitungan model
Debu jatuh hasil perhitungan model
begitupun dengan R-sq 0.95 pada tanah regosol di Pantai Pelabuhan Ratu dan Rsq 0.99 pada tanah regosol di Gumuk Pasir Parangkusumo. 60 y = 0.9226x + 2.0487 R² = 0.9518 40
20
0 0
Debu jatuh hasil perhitungan model
Debu jatuh hasil pengukuran (a)
20
40
60
Debu jatuh hasil pengukuran (b)
80 y = 0.9907x + 0.2617 R² = 0.9907
60 40
20 0
0
20
40
60
80
Debu jatuh hasil pengukuran (c)
Gambar 7 Hubungan antara konsentrasi debu jatuh hasil pengukuran dan konsentrasi debu jatuh hasil perhitungan dengan model persamaan polinomial untuk Kec. Gunung Sindur (a); Pantai Pelabuhan Ratu (b); Gumuk Pasir Parangkusumo (c)
4.3 Analisis Distribusi Frekuensi Ukuran dan Bentuk Partikel Debu Jatuh Tanah regosol dari Kec. Gunung Sindur, Pantai Pelabuhan Ratu, dan Gumuk Pasir Parangkusumo didominasi oleh debu jatuh yang berukuran 10 - 100 µm dan tidak terdapat debu jatuh yang berukuran 0 - 2.5 µm. Distribusi frekuensi ukuran debu jatuh yang dihasilkan oleh tanah regosol dari Kec. Gunung Sindur, Pantai Pelabuhan Ratu, dan Gumuk Pasir Parangkusumo dapat dilihat pada Gambar 8. Berdasarkan distribusi frekuensi ukurannya, debu jatuh dari Gumuk
18
Pasir Parangkusumo yang berukuran 100 - 500 µm lebih banyak dibandingkan dengan tanah regosol dari dua lokasi lainnya. Hal ini disebabkan oleh fraksi pembentuk tanah Gumuk Pasir Parangkusumo didominasi oleh fraksi pasir kasar (100 – 250 µm) dan pasir sedang (250 - 500 µm). Pengamatan bentuk debu jatuh dari jenis tanah regosol yang berasal dari tiga lokasi berbeda menggunakan scanning electron microscope (SEM) menghasilkan bentuk relatif serupa, terutama pada tanah yang berasal dari Pantai Pelabuhan Ratu dan Gumuk Pasir Parangkusumo. Perbedaan kecil terlihat pada debu jatuh yang berasal dari Kec. Gunung Sindur yang terlihat menempel antar partikelnya. Hal ini disebabkan karena tanah regosol yang berasal dari Kec. Gunung Sindur memiliki fraksi liat yang lebih besar dibandingkan dengan tanah dari dua lokasi lainnya. PPPTA (2004) menyebutkan bahwa fraksi tanah liat adalah fraksi yang mempunyai kemampuan ikatan, sedangkan fraksi pasir dan debu tidak. Hasil pengamatan menggunakan SEM dapat dilihat pada Gambar 9.
Persentase partikulat (%)
100 90 80 70 60 50 40
30 20 10 0
Kec. Gunung Sindur Pantai Pelabuhan Ratu Gumuk Pasir Parangkusumo
0 - 2.5 0 0 0
2.5 - 10 10 - 100 4 94 10 90 0 77 Ukuran partikulat (µm)
100 - 500 2 0 23
Gambar 8 Distribusi frekuensi ukuran debu jatuh jenis tanah regosol dari tiga lokasi berbeda Distribusi ukuran, komposisi, dan bentuk debu di udara akan mempengaruhi dampak debu tersebut terhadap lingkungannya (Formenti et al. 2011). Ukuran partikel debu jatuh yang tidak lebih kecil dari 2.5 µm dan 10 µm pada jenis tanah regosol dari Gumuk Pasir Parangkusumo memungkinkan tidak terikatnya racun pada bangkitan debu jatuh. Cazier et al. (2011) menyebutkan bahwa PM2.5 memiliki luas permukaan yang besar, sehingga racun, termasuk hidrokarbon polisiklik aromatik (PAH) dan logam berat dapat diserap ke permukaannya. Organ seperti paru-paru dan jantung, sel-sel dan DNA dapat rusak oleh racun ini. Masih et al. (2010) menyatakan bahwa, total PAH menempel pada debu yang berukuran kurang dari 10 µm.
19
(a)
Gambar 9
(b)
(c) Bentuk debu jatuh yang dihasilkan dari tanah regosol dari Kec. Gunung Sindur (a); Pantai Pelabuhan Ratu (b) dan Gumuk Pasir Parangkusumo (c)
5 KESIMPULAN DAN SARAN Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui bahwa kecepatan angin berkorelasi positif dengan bangkitan debu jatuh, sedangkan kadar air tanah dan tutupan lahan berkorelasi negatif dengan bangkitan debu jatuh. Hubungan antara kecepatan angin, kadar air tanah dan tutupan lahan dengan bangkitan debu jatuh digambarkan dengan persamaan polinomial berganda. Nilai R-sq antara konsentrasi debu jatuh hasil pengukuran dan konsentrasi debu jatuh hasil perhitungan menggunakan model persamaan polinomial pada tanah regosol, di Kec. Gunung Sindur, Pantai Pelabuhan Ratu, dan Gumuk Pasir Parangkusumo, yaitu berturut-turut sebesar 0.86; 0.95 dan 0.99. Distribusi frekuensi ukuran debu jatuh jenis tanah regosol dari tiga lokasi berbeda didominasi oleh ukuran 10 – 100 µm, yaitu 94% pada tanah regosol Kec. Gunung Sindur, 90% pada tanah regosol Pantai Pelabuhan Ratu, dan 77% pada tanah regosol Gumuk Pasir Parangkusumo.
20
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, sebaiknya dilakukan pula penelitian lanjutan yang menganalisis karakteristik kimia debu jatuh tanah regosol. Penelitian lanjutan juga dapat dilakukan dengan menganalisis faktorfaktor lingkungan lain seperti kelembaban udara dan suhu udara terhadap bangkitan debu jatuh. Analisis juga perlu dilanjutkan dengan analisis total partikulat tersuspensi (TSP) pada tanah regosol di pulau jawa.
DAFTAR PUSTAKA Amaliah L, Yuwono AS, Mulyanto B. 2014. Prediction of dustfall generation over an andisol and entisol soil and negative impact to human health. Journal of Engineering and Technology. 2(3B):426-431. Andriono B. 2012. Wilayah rentan tanah longsor di sepanjang jalur Ci Tarik, DA Ci Tarik Kabupaten Sukabumi [Skripsi]. Depok (ID): Universitas Indonesia. [BBLSLP] Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian. 2006. Sifat fisik tanah dan metode analisisnya. Jakarta(ID): Departemen Pertanian. Budiyanto G. 2011. Teknologi konservasi lanskap gumuk pasir pantai parangtritis bantul DIY. Jurnal Lanskap Indonesia. 3:97-101. Carvalho AOM, Freitas MDC. 2011. Source of trace elements in fine and coarse particulate matter in a sub-urban and industrial area of the western european coast. J Environmental Science. 4:184 - 191. Cazier F, Dewaele D, Delbende A, Nouali H, Garcon G, Verdin A, Courcot D, Bouhsina S, Shirali P. 2011. Sampling analysis and characterization of particle in the atmosphere of rural, urban, and industrial areas. J Environmental Science. 4:218-227. [FAO] Food and Agriculture Organization of The United Nations. 2014. World reference base for soil resource 2014 : International soil classification system for naming soils and creating legends for soil maps. Rome. E-ISBN 978-92-5-1008370-3. Fardani S. 2012. Pengaruh proporsi penambahan kompos BioPA dan mulsa jerami terhadap serapan hara Na, Mg serta kandungan klorofil tanaman kacang hijau (Phaseolus raditus L.) yang ditanam di kawasan Pantai Pandansari Bantul [Skripsi]. Yogyakarta (ID): Universitas Negeri Yogyakarta. Flagg CB, Neff JC, Reynolds RL, Belnap J. 2014. Spatial and temporal patterns of dust emission (2004-2012) in semi-arid landscape, southeastern Utah, USA. Journal of Aeolian Research. 15:31-43. Floyd KW, Gill TE. 2011. The Association of land cover with aeolian sediment production at Jornada Basin, New Mexico. Journal of Aeolian Research. 3:55-66. Foerter-barthU, Teipel U. 2007. Characterization of particles by means of laser light diffraction and dynamic light scattering. Jourmal of Mineral Processing. 13:C1-1 – C1-8.
21
Formenti P, Schutz L, Balkanski Y, Desboeufs K, Ebert M, Kandler K,Petzold A, Scheuvens D, Weinbruch S, Zhang D. 2011. Recent progress in understanding physical and chemical properties of african and asian mineral dust. Journal of Atmosphere Chemical Physics. 11:82318256.doi:10.5194/acp-11-8231-2011. Godish T. 2004. Air Quality 4th ed. Indiana (US): Lewis Publishers. Hasan I. 2001. Pokok-pokok materi statistik 2. Jakarta (ID): Bumi Aksara. Jie Z, Congguo T. 2011. Vertical distribution shapes of dust aerosol and the relation with atmospheric condition. Procedia of Environmental Science. 11:960-969. Karin P, Songsaengchan Y, Laosuwan S, Charoenphonphanich C, Chollacoop N, Katsunori H. 2013. Nanostructure investigation of particle emission by using tem image processing method. Journal of Energy. 34:757-766. Kruell W, Schultze T, Tobea R, Willms I. 2013. Analysis of dust properties to solve the complex problem of non-fire sensitivity testing of optical smoke detectors. Journal of Engineering. 62:859-867. Lanzafame R, Scandura PF, Famoso F, Monforte P, Oliveri C. 2014. Air quality data for Catania: analysis and investigation case study 2010-2011. Journal of Energy. 45:681-600. Mahowald N, Albani S, Kok JF, Engelstaeder S, Scanza R, Ward DS, Flanner MG. 2014. The size distribution of desert dust aerosols and its impact on earth system. Journal of Aeolian Research. 15:53-71. Masih A, Saini R, Singhvi R, Taneja A. 2010. Concentration, source, and exposure profiles of polycyclic aromatic hydrocarbons (PAHs) in particulate matter (PM10) in the north central part of India. J Environ Monit Assess. 163:421-431. Okin GS, Gillette DA, Herrick JE. 2006. Multi-scale controls on and consequence of aeolian processes in landscape change in arid and semi-arid environments. Journal of Arid Environments. 65:253-275. [PPPTA] Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. 2004. Teknologi konservasi tanah pada lahan kering berlereng. Jakarta (ID): Departemen Pertanian. Ravi S, D’Odorico P. 5. field-scale analysis of the dependence of wind erosion threshold velocity on air humidity. J Geophys Res Lett. 32:2-5. Respati SMB. 2008. Macam-macam mikroskop dan cara penggunaan. Jurnal Ilmiah Momentum. 4:42-44. ISSN 0216-7395. Rochimawati NR, Yuwono AS, Saptomo SK. 2014. Prediction and modelling of total suspended particulate generation on ultisol and andisol soil. Journal of Science and Technology. 4:329-333. Saviour MN. 2012. Environmental impact of soil and sand mining: A riview. Jounal of Science and Evironment. 1:125-134. Sharma SG, Srinivas MSN. 2009. Study of chemical composition and morphology of airborne particles in Chandigarh, India using EDXRF and SEM techniques. J Environ Monit Assess. 150:417-425.
22
Sinha P. 2013. Multivariate polynomial regression in data mining: methodology, problems and solutions. International Journal of Scientific & Engineering Research. 4:962-965. Sonia E, Huboyo HS, Setibudi J. Analysis concentration of nitrate (NO 3) in dustfall in the residential and roadside. Jurnal Teknik Lingkungan Universitas Diponegoro [Internet]. [diunduh 2015 Jan 18]; Vol 3: No 4. Tersedia pada: http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/tlingkungan/article/ download/7130/6897. [WHO] World Health Organization. 2005. Air Quality Guidelines for Particulate Matter, Ozone, Nitrogen Dioxide, and Sulfur Dioxide Update Global 2005: Summary of Risk Assessment, WHO Regional Office for Europe, Copenhagen, Denmark. Zhao Y, Shi D. 2012. Analysis of total suspended particulates pollution along Shanghai-Nanjing Expressway. Journal of Air Pollution. 1:31-36.
Lampiran 1 Peta eksplorasi tanah wilayah Jawa dan Madura pada tahun 1960 oleh Soil Research Institute
23
Lampiran 2 Gambar tiga dimensi (3D) tunnel simulasi bangkitan debu jatuh
24
25
26
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 16 Juli 1993 dari ayah Nurrohman dan ibu Nyimas Popi Indriani. Penulis adalah anak kedua dari enam bersaudara. Penulis lulus dari SMA Negeri 22 Bandung pada tahun 2010 dan pada tahun yang sama penulis berhasil melewati seleksi masuk Institut Pertanian Bogor dan diterima di Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis pernah menjadi asisten praktikum Analisis Struktur pada tahun 2013. Penulis juga pernah aktif sebagai sekretaris umum Unit Kegiatan Mahasiswa Panahan pada tahun 2011/2012 dan Bendahara Departemen Komunikasi dan Informasi di Himpunan Mahasiswa Teknik Sipil dan Lingkungan IPB pada tahun 2012 dan 2013. Pada Juni-Agustus 2013 penulis melaksanakan paraktek lapangan di P ntam (Persero) bk dengan judul “Kegiatan Penambangan Unit Bisnis Pertambangan Emas (UBEP) PT Antam (Persero) bk”. Pada Juli 2013 penulis mendaftar sebagai peserta program sinergi S1-S2 dan memulai aktivitas perkuliahan Program Magister Sains Mayor Teknik Sipil dan Lingkungan IPB pada September 2013. Penulis dinyatakan lulus sarjana pada Juni 2014 dan secara resmi terdaftar sebagai mahasiswa pascasarjana IPB pada tahun yang sama. Penulis telah melaksanakan seminar pada Juli 2015 dan ujian tertutup pada gustus 15 dengan judul penelitian “ nalisis Bangkitan Debu Jatuh dari anah Regosol di Pulau Jawa”.