Sekretariat Negara Republik Indonesia
Evolusi Demokratis Pengorganisasian Urusan Pemerintahan dan Lembaga-Lembaga Non-Kementerian Kamis, 15 Januari 2009
Margarito Kamis
Dosen Fakultas Hukum Universitas Khairun Ternate, dan Mantan Staf Khusus Menteri Sekertaris Negara
Pendahuluan   Kecuali frasa kesejahteraan dan keadilan, tidak diperoleh satu kalimat, seumum apapun dalam konstitusi-konstitusi modern yang memerinci urusan pemerintahan. Apa saja yang menjadi urusan pemerintahan dan apakah semua urusan pemerintahan harus diorganisasikan? Bagaimana bentuk pengorganisasiannya? Apa kriterianya, baik dari dilihat dari segi konstitusi maupun manajemen pemerintahan? Apakah pengorganisasian urusan pemerintahan selalu harus diwujudkan dengan membentuk sejumlah departemen atau kementerian? Kapan urusan pemerintahan harus diorganisasikan, apa pertimbangannya dan bagaimana memilih bentuk organisasinya?
  Jangkauan urusan pemerintahan tidak sepenuhnya dapat dikenali dengan, misalnya hanya bertumpu pada teks-teks UUD. Bukan karena teks-teks UUD selalu menggunakan bahasa yang sangat umum dan abstrak, yang memerlukan interpretasi, melainkan sejatinya, urusan pemerintahan bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Urusan pemerintahan, pada dirinya merupakan sesuatu hal yang bersifat elastis, berkembang terus, sekaligus dapat pula menyusut, seiring dengan kematangan negara tersebut.
  Postur ideologis sebuah negara; demokratis liberal atau sosialis, adalah akar lain yang menentukan postur urusan pemerintahan diorganisasikan. Membiarkan atau mengatur suatu masalah yang selalu dialami dan diperlukan oleh masyarakat, selalu memiliki akar dan merupakan konsekuensi ideologis. Membiarkan pasar bekerja sendiri sesuai dengan hukum pasar yang ada di dalamnya, atau sebaliknya mengatur pasar tersebut, tentu merupakan konsekuensikonsekuensi idiologis. Perspektif ini, karena bernada filosofis, memiliki alur cerita yang melintas jauh dalam tradisi pemikiran hukum, ekonomi, dan politik Eropa modern.
Urusan Pemerintahan
  Sejarah Eropa, betapapun banyak sisi-sisi positifnya, sebelum berubah menjadi modern adalah sebuah sejarah tentang betapa rakusnya kleptokrat, gemilangnya feodalisme dan luasnya despotisme. Kerajaan memiliki kewajiban konstitusional untuk mengurus kehidupan rakyat? Tidak. Tidak ada kewajiban konstitusional dari raja atau kerajaan. Negara adalah saya – D’tate et’s moi – itulah sebuah ungkapan sangat terkenal dari Louise ke-14 di Perancis. Di ba Mesir, Fir’aun mengatakan lebih dahsyat – Saya adalah Tuhan.
  Tidak ada kehidupan privat maupun publik, kecuali setelah terbentuknya Negara Kota – city state Yunani Kuno, tetapi tidak di Romawi. Walaupun pada akhirnya, setelah abad 17, Romawi mencatat sejarah sebagai sebuah negara yang menandai awal mula berkembangnya hukum privat. Jauh sebelumnya, tidak ada warga negara. Yang ada adalah warga kerajaan. Warga kerajaan adalah milik kerajaan. Teritori kerajaan adalah milik raja – imperium – yang mematrikan kuasa raja atas segala hal ihwal di dalamnya. Tidak ada harta milik warga. Yang ada adalah harta kerajaan – dominium – yang, atas belas kasih raja, dapat dikelola oleh warga tertentu. Dominium adalah sumber keuangan kerajaan. Siapapun yang mengerjakan tanah kerajaan, dengan sendiri terposisikan sebagai sumber pendanaan penyelenggaraan urusan-urusan kerajaan, termasuk keperluan istana. Mereka yang mengerjakan tanah-tanah kerajaan, karena menjadi penyumbang dalam penyelenggaraan kerajaan termasuk istana, mereka sering dipanggil oleh kerajaan untuk membicarakan hal-hal yang direncanakan oleh kerajaan. Umumnya menyangkut pembiayaan kerajaan. Misalnya, biaya perang. Disebabkan pembicaraan ini berlangsung di tempat yang telah ditetapkan, dihadiri oleh mereka dan utusan kerajaan, maka http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 10 February, 2017, 01:58
Sekretariat Negara Republik Indonesia
disebutlah senatum - dewan.    Tidak banyak orang yang mengerjakan tanah-tanah milik kerajaan, dank arena tidak banyak pula orang yang hadir dalam senatum. Keuntungan sosial mereka dalam lingkungan sosial kerajaan adalah mereka, sebagaimana telah disebutkan di atas, dapat ikut duduk dalam senatum untuk membicarakan keperluan kerajaan. Umumnya mereka tinggal di enklave-enklave, layaknya kota di Batavia pada awal abad ke-17. Sebagaimana Batavia di abad ke-17, para tuan tanah – baron – ini diberi hak untuk memiliki budak. Budak, bukan manusia dalam arti seutuhnya. Mereka adalah barang yang dapat diperjualbelikan. Karena itu, mereka tidak memiliki hak – apa yang kini dikenal dengan hak politik misalnya – dalam lingkungan sosial kerajaan itu.Â
  Pada masa ini tidak ada ruang, apalagi argumen untuk merumuskan urusan pemerintahan. Karena sesuai hakikatnya, urusan pemerintahan tidak lain adalah usaha-usaha untuk menyejahterakan warga negara. Apa yang mau diurus? Bukankah semua warga di dalam kerajaan adalah barang, dan tidak punya hak, apapun namanya? Walaupun di Cina Kuno, di bawah kaisar Hsiao Hsuan yang memerintah dari tahun 74 sampai 48 SM. Pemerintahannya mencapai puncak kejayaan dalam pemerintahan dan peradaban Han. Pemerintahannya dikelola dengan sebaik-baiknya, ditujukan bagi kesejahteraan rakyat.
  Memasuki abad ke-10, fenomena dominasi kerajaan di Eropa perlahan-lahan menuai perlawanan. Perang demi perang, mulai merebak pada tahun 970, dan terus menerus berlangsung hingga 1215. Perlahan-lahan muncul pemikiran untuk mereduksi kerajaan. Seiring dengan itu, terbenihlah gagasan yang menghendaki agar kerajaan mengakui adanya hak yang melekat pada para tuan tanah. Berabad-abad kemudian, gagasan direspons oleh kerajaan, tumbuh dan berkembang dengan bobot ideologis.
  Setelah lama melintasi waktu, hak-hak individu menjadi simpul legitimasi utama munculnya konsep warga negara. Sebagai sebuah konsep civilization warga negara adalah konsep politik yang menandai bahwa warga satu teritori memiliki hak untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan urusan kerajaan. Perubahan dari budak menjadi warga negara, itulah simpul dan landasan utama munculnya konsep kesejahteraan rakyat. Berabad-abad kemudian, sekurangkurangnya setelah Revolusi Inggris, Amerika dan Perancis, kesejahteraan rakyat menjadi unsur utama atau pondasi konstitusional utama pembentukan konstitusi dan negara. Ringkasnya, pengakuan terhadap hak individu itulah yang menjadi simpul utama, atau elemen konstitusional utama lahirnya urusan pemerintahan. Â
  Kesejahteraan rakyat yang telah menjadi pondasi konstitusional pembentukan konstitusi dan negara, betapapun mulianya hasrat itu, ternyata terartikulasi secara berbeda. Walaupun harus diakui bahwa perbedaan artikulasi, juga merupakan hasil tertinggi yang dicapai oleh bangsa dan negara yang bersangkutan dalam membaca konteks sosial, politik dan ekonomi mereka pada saat pembentukan negara dan konstitusinya.
  Pilihan terhadap peran negara pada masa yang akan datang, menjadi akar sulitnya menentukan spektrum urusan pemerintahan. Negara minimal, atau negara penjaga malam, tentu berbeda dengan negara kesejahteraan. Mana di antara kutub logika tersebut yang dipilih, merupakan hasil kristalisasi terhadap perspektif-perspektif yang saling berpengaruh. Immanuel Kant, Filosof berkebangsaan Jerman, yang dikenal karena pemikirannya mengenai banyak hal, terutama negara misalnya, adalah salah satu ilmuan yang memandang remeh negara yang terlalu banyak mengurus. Baginya, cukuplah negara menjamin dan memastikan bahwa warga negaranya aman dalam bernegara. Biarkan warga negara mengurus dirinya, dan kehidupannya sendiri.
  Namun, mencatatkan saja Emmanuel Kant sebagai pesohor satu-satunya dalam khasanah pemikiran hukum, tidak hanya mengabaikan sejarah, melainkan memandulkan usaha untuk menemukan simpul-simpul keragaman pemikiran mengenai negara. Hegel, seorang filosof, yang pikiran-pikirannya turut mempengaruhi gagasan-gagasan Supomo, salah seorang anggota PPKI pada saat membentuk UUD 1945, berpandangan lain dari Emmanuel Kant. Kalau Kant membiarkan warga negara mengurusi diri dan kehidupannya sendiri, maka Hegel justru menghendaki negara harus http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 10 February, 2017, 01:58
Sekretariat Negara Republik Indonesia
mengurus kehidupan masyarakat. Mana di antara kedua pemikiran yang mempengaruhi perkembangan bernegara di Jerman, faktanya adalah Jerman tumbuh menjadi negara kesejahteraan yang cukup sukses. Â
  Ihwal membiarkan saja warga negara mengurus kehidupan mereka sendiri, dan negara hanya mengambil porsi menjamin keamanan – menciptakan tertib sosial – melalui hukum dan pranata sosial lainnya, dalam batas tertentu juga merupakan sebuah fenomena khas Inggris pada periode-periode paling awal. Tampaknya hal ini disebabkan pragmatisme yang menjadi ciri dalam liberalisme Inggris. Satu hal yang sulit dihindari adalah kristalisasi fenomena sosial yang menandai Revolusi Inggris 1688 adalah bahwa revolusi itu dirangsang oleh satu hasrat agung - “menghentikan absolutisme raja―. Tidak ditemukan fenomena yang menandai adanya hasrat lain, misalnya tentang bagaimana seharusnya negara mengambil peran dalam mengurus kehidupan masyarakat.
  Konstitusionalisme pragmatis itu, kalaupun tidak dapat ditandai sebagai faktor utama, harus diakui bahwa pragmatisme itulah akar dari evolusi pemerintahan dan tumbuhnya urusan pemerintahan di Inggris sesudah Revolusi 1688. Kita harus mengatakan evolusi, bukan revolusi, karena sejarahnya pertumbuhan pemerintahan Inggris memang panjang. Diawali dengan perjuangan untuk melembagakan penghargaan terhadap hak individu pada tahun 1215 - kini ditandai sebagai awal pelembagaan gagasan hak asasi manusia - perlahan-lahan tumbuh, diwarnai dengan perjuangan merebut pengakuan terhadap eksistensi parlemen yang mencapai hasil minimal pada pertengahan awal ke-14, diikuti dengan pertumbuhan antagonistik pada tahun 1623-1654 - fase keributan hebat antara pihak yang pro-dominasi kerajaan, dan pihak yang hendak mereduksi dominasi kerajaan – hingga akhirnya atau mempercepat terjadinya revolusi pada tahun 1688. Walaupun revolusi 1688 hanya memiliki makna sebagai pengakhiran aboslutisme raja. Pembentukan organ sekaligus tata pemerintahan Inggris modern yang sesungguhnya baru terjadi pada abad ke-18.
  John Locke harus diakui sebagai pemikir terdepan yang berperan dalam menyebarkan gagasan konstitusionalisme, yang memicu terjadinya Revolusi Inggris. Gusar, sekaligus merindukan pengakuan terhadap eksistensi individu sebagai mahluk teragung yang diciptakan oleh Tuhan, sehingga mengantarkan dirinya di panggung pemikiran hak asasi manusia sebagai peletak dasar hak asasi manusia, bahkan ada yang menganggap dirinya sebagai bapak hak asasi manusia, sekaligus sebagai bapak pembagian kekuasaan, sama sekali tidak berbicara, apalagi berbicara secara spesifik mengenai peranan negara. Satu-satunya elemen terpenting dalam gagasan pembagian kekuasaannya – distribution of power – adalah memastikan berakhirnya absolutisme. Pembagian kekuasaan hanyalah metode pemecahannya. Metode ini berbeda dengan pendahulunya, Thomas Hobes, karena di ujung teorinya, Hobes tetap menempatkan orang kuat untuk memastikan terciptanya tertib sosial, sebagai metode pencegahan terhadap potensi pertempuran antarsesama anggota masyarakat.
  Perspektif-perspektif mereka, dalam kadar tertentu, mengilhami Adam Smith, ekonom ternama yang dikenal luas dengan teori The Whealt of Nation-nya. Ringkasnya, bertolak dari asumsi filosofisnya bahwa kebebasan individu adalah segala-galanya, maka Smith menolak campur tangan negara dalam kehidupan masyarakat, khususnya ekonomi. Baginya Smith pengakuan terhadap hak individu merupakan prasyarat kemajuan dalam bidang ekonomi. Kebebasan mendorong terjadinya persaingan. Persaingan akan melahirkan kemajuan. Karena itu biarkan saja manusia berkompetisi. Fenomena tersebut diyakini tidak akan berubah menjadi fenomena Thomas Hobes; saling menerkam. Sebab alam persaingan memiliki elannya sendiri. Elannya terletak pada kekuatan tersembunyi. Kekuatan inilah yang akan mengoreksi sendiri anomali-anomali yang terjadi dalam aktifitas itu. Karena itu negara tidak usah ikut-ikutan mengatur. Teori Smith memang menuai banyak kritik, walaupun bukan tanpa pendukung hingga saat ini. Terlepas dari kontroversinya, berkat pengakuan terhadap hak dan kebebasan individu, lahirlah masyarakat industri pada abad ke-19. Namun menarik, karena: (1) Roscou Pound, sosiolog yang amat terpelajar ini justru menandai masyarakat industri sebagai satu lingkungan sosial yang memerlukan peran negara untuk turut campur tangan dalam mengatur kehidupan sosial kemasyarakatan. Negara tidak boleh membiarkan segala sesuatunya berjalan menurut hukum Smith; (2) Diferensialisasi masyarakat mengakibatkan tangan tersembunyi tidak dapat eksis sebagaimana dibayangkan Smith. Padahal tugas utama negara adalah menyejahterakan masyarakat. Pound akhirnya menandai abad ini, 19, juga sebagai abad munculnya negara kesejahteraan.Â
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 10 February, 2017, 01:58
Sekretariat Negara Republik Indonesia
Pengorganisasian Urusan Pemerintahan   Tidak ada praktik yang mengagumkan dalam soal pengorganisasian urusan pemerintahan di masa lalu, yang dapat dijadikan rujukan, kecuali praktik di Amerika Serikat. Berawal pada akhir abad ke 19, atau segera setelah George Washington terpilih menjadi Presiden, terbentuklah sejumlah departemen. Departemen Keuangan, menandai urusan pemerintahan di bidang keuangan, Departemen Pertahanan yang terdiri atas Angkatan Laut dan Udara, mengurusi urusan pemerintahan di bidang pertahanan, udara dan laut. Kecuali Menteri Pertahanan, Kepala Staf Angkatan Laut dan Udara tidak menjadi anggota kabinet. Inilah kementerian yang terbentuk pada periode awal pemerintahan Amerika Serikat.
  Perkembangan demi perkembangan kemasyarakatan yang berlangsung di kemudian hari, memerlukan respons pemerintah. Respons diberikan secara gradual. Uraian berikut ini menunjukkan bahwa respon pemerintah dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan kompleksitas dari masalah-masalah yang ditimbulkan. The Departemen of Justice dibentuk pada tahun 1789. Dari tahun 1789 hingga tahun 1870, Jaksa agung menjadi anggota kabinet. Setelah tahun 1870, Jaksa Agung tidak lagi menjadi anggota kabinet. The Departemen of Treasury dibentuk tahun 1789. The Departemen of Interior (1849), The Departemen of Agriculture (1862), The Departemen of Commerce (1903) mengurus urusan perdagangan dan tenaga kerja, The Departemen of Labour (1913), The Departemen of Transportation (1913), The Departemen of Education (1979) mengurusi pendidikan termasuk kesejahteraan rakyat, The Departemen of Energy (1977) The Departemen of Healt, Human Service, and Education (1953). Pada tahun 1979, urusan pendidikan dipecah dari Departemen Kesehatan dan Pelayanan Masyarakat menjadi Departemen tersendiri. Terakhir adalah pembentukan The Departemen of Veterans Affair (1988).
  Sekedar contoh, di dalam The Departemen of Commerce misalnya, yang berfungsi menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam mempromosi perdagangan nasional di tingkat internasional, pertumbuhan ekonomi dan teknologi. Di departemen ini terdapat The National Bureau of Standart, The National Oceanic and Atmospheric Administration, termasuk The National Weather Service dan The Patent and Trade Mark Officed. Badan-badan ini merupakan bagian dari Departemen Perdagangan
  Begitulah Amerika Serikat mengorganisir urusan-urusan pemerintahan. Satu hal yang terlihat jelas adalah rampingnya kementerian di Amerika Serikat. Pertanyaannya, apakah rampingnya kementerian merupakan indikator sederhananya urusan pemerintahan? Tidak. Sekurang-kurangnya terdapat dua hal yang harus dipertimbangkan dengan matang. Pertama, sebelum menjadi Federasi 1787, Amerika berubah dari Konfederasi menjadi Federasi. Negara-negara telah menikmati kekuasaan pemerintahan, layaknya sebuah negara. Karena pengalaman inilah, maka peleburannya ke dalam federasi, dilakukan dengan syarat. Syaratnya adalah mempertahankan semua keistimewaan yang pernah dinikmati dalam konfederasi. Hasrat ini diperjuangkan mati-matian oleh kaum republik pada saat membentuk UUD. Usaha mereka berhasil. Lahirlah konstruksi konstitusional, yang menggariskan bahwa kecuali urusan luar negeri dalam arti luas, semua urusan pemerintahan harus habis diurusi di tingkat negara bagian. Pemerintah Federal cukup mengurusi urusan pemerintahan yang tersisa, atau yang tidak diurusi oleh pemerintah negara bagian.
  Kedua, pertumbuhan pengorganisasian urusan pemerintahan yang diwujudkan dengan pembentukan kementerian, juga menandai bahwa dari waktu ke waktu, permasalahan-permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan bernegara, memerlukan penanganan yang lebih sistimatis, dan terencana. Ketiga, urusan pemerintahan bukan sesuatu yang bersifat statis. Akan terlihat pada uraian selanjutnya bahwa dari waktu ke waktu spektrum urusan pemerintahan semakin berkembang, dan direspons dengan cara yang berbeda. Mereka membentuk komisi – commission – atau badan – board â untuk menangani urusan-urusan tersebut.Â
  Lahirlah apa yang dikenal dengan badan-badan pemerintahan – administrative agency – yang secara spesifik menguru urusan-urusan pemerintahan yang bersifat spesifik. Badan-badan pemerintahan – administrative agency – diberi nama – nomenklatur secara berbeda. Komisi, Badan, Agency atau Biro adalah nomenklatur dari lembaga-lembaga tersebut. Lembaga pemerintahan independen pertama adalah Interstate Commerce Commission. Badan ini dibentuk pada tahun 1887, tiga tahun sebelum dikeluarkan The Shermant Antitrus Act 1890. Lahirnya Interstate Commerce Commission ini, menandai era baru peran negara. Dalam khasanah hukum konstitusi, tahun 1887 ditandai sebagai era awal terbentuknya administrartive state di dunia, menggantikan era negara jaga malam, versi paham liberal klasik.
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 10 February, 2017, 01:58
Sekretariat Negara Republik Indonesia
  Terilhami oleh pembentukan Komisi Perdagangan antarnegara bagian pada tahun 1887, di kemudian hari muncul badan serupa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan yang berbeda. Berikut ini adalah badan dimaksud. The Federal Communication Comission, The Federal Reverse System, The Federal Trade Commission, The General Accounting Office, The General Service Administration, The National Aeroneutic and Space Administration, The National Foundation on the The Arts and The Humanities, The National Labour Relations Board, The National Science Foundation, Central Intellegence Agency, Federal Bureau Investigation, The Office of National Drugs Control Policy, The Securities and Exchange Commission, dan lain sebagainya.Â
  Di antara sejumlah ciri yang melekat dan menjadi sifat lembaga-lembaga pemerintahan di atas adalah kewenangannya. Sebagaimana kementerian, board, commission, agency dan bureau diberi kewenangan untuk membuat regulasi, melaksanakan dan menyelesaikan setiap sengketa atau persoalan yang timbul sebagai akibat dari pelanggaran atas rules yang dikeluarkannya oleh mereka. Kewenangan mereka diperoleh dengan didelegasikan oleh kongres melalui undang-undang.Â
  Umumnya, pertimbangan yang digunakan oleh kongres dalam membentuk badan-badan di atas adalah, (i) menghindarkan penetrasi politik dalam pengelolaan urusan-urusan pemerintahan yang bersifat spesifik; (ii) karena urusan-urusan tersebut bersifat spesifik, maka harus diurusi oleh badan pemerintahan yang bersifat spesifik pula; (iii) urusan-urusan yang bersifat spesifik akan terabaikan kalau diserahkan kepada kementerian.Â
  Kewenangan dari badan-badan ini diberi melalui undang-undang, dikenal dengan delegasi kewenangan. Konsekuensi konstitusional dari pendelegasian kewenangan tersebut adalah pembatasan terhadap kewenangan presiden, dalam tiga hal. Pertama, pengangkatan dan pemberhentian komisioner. Presiden tidak dapat mengangkat atau memberhentikan para komisioner, di luar prosedur yang ditentukan dalam UU. Karena kewenangan dalam bidang legislative power yang didelegasikan oleh kongres, presiden atau kekuasaan apapun tidak dapat ikut mencampuri pengelolaan urusan pemerintahan yang ditangani oleh mereka. Kedua, badan-badan ini tidak berada di bawah presiden, dan tidak bertanggung jawab kepada presiden.
  Ketiga, gabungan kedua konsekuensi di atas melahirkan konsekuensi ketiga, yaitu badan-badan ini adalah organ independen dalam tatanan ketatanegaraan. Tidak berada di bawah presiden, apalagi bertanggung jawab kepada Presiden. Karena sifatnya itu – independent – badan ini berwenang membuat aturan sendiri untuk melaksanakan urusanurusan yang menjadi core-nya, melaksanakan dan menyelesaikan sendiri setiap persoalan yang terjadi. Disitulah letak sifat dan kekuatan konstitusional badan ini. Hal itu tidak berarti bahwa tidak ada pertanggungjawaban dari badan ini. Namun prosedur pertanggungjawabannya dilakukan berdasarkan prosedur yang diatur dalam undang-undang pembentukannya.
Mengokohkan Sifat Konstitusional Lembaga Non- Kementerian   Berbeda dengan Amerika Serikat yang memerlukan waktu hampir satu abad untuk sampai pada kebutuhan membentuk badan administratif – administrative agency – sejarah ketatanegaraan Indonesia mencatat, badan pemerintahan non-kementerian telah tercipta pada usia berpemerintahan yang begitu singkat. Perdana Menteri Juanda, pada masa pemerintahannya yang pertama – kabinet karya I – figur pertama pembentuk badan ini. Badan yang dimaksud adalah “Depernas.― Walaupun dibarengi dengan pertimbangan politik yang sangat kuat, ruh badan ini adalah memantapkan pelaksanaan pembangunan. Hakikatnya tidak lain dari pengoganisasian penyelenggaraan urusan pemerintahan untuk dilaksanakan secara terencana dan terprogram.
  Apabila pembentukan kementerian atau departemen harus dipandang sepenuhnya sebagai perwujudan penyelenggaraan urusan pemerintahan secara organis, maka periode pemerintahan Presiden Soekarno adalah periode paling dramatis dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia. Segera setelah terbentuknya kabinet pertama tanggal 18 Februari 1960, yang terdiri atas 43 kementerian, pada akhirnya terus mengalami penambahan. Dari 43 berubah menjadi 47 kementerian pada Kabinet Karya yang ketiga, tak termasuk lembaga-lembaga lain yang status pimpinannya http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 10 February, 2017, 01:58
Sekretariat Negara Republik Indonesia
disetarakan dengan menteri. Jumlah ini berkembang lagi menjadi 51 pada Kabinet Karya yang keempat, sebelum akhirnya berkembang lagi menjadi 61, di luar empat kementerian tanpa portofolio pada Kabinet Dwikora (1963-1964). Setelah disempurnakan pada tahun 1966, jumlah kementerian bertambah menjadi 82, di luar pejabat-pejabat yang berkedudukan setingkat Menteri. Kalau ditambah dengan mereka, maka jumlah keseluruhannya adalah 100 kementerian. Kementerian ini pun berubah lagi setelah Kabinet Dwikora yang telah disempurnakan itu, mengalami penyempurnaan untuk yang kedua kalinya.Â
  Apakah besaran kabinet di atas menunjukan besaran dan luasnya jangkauan urusan pemerintahan yang harus diselenggarakan oleh pemerintah? Sulit untuk memastikannya, walaupun tidak sulit untuk menilainya sebagai cara presiden merespon situasi politik yang hendak dikelolanya. Sebab kabinet tersebut mengalami penyederhanaan yang sangat fundamental segera setelah pemerintahan dipimpin oleh Jenderal Soeharto, dalam kapasitasnya sebagai pemegang Supersemar. Kabinet Soeharto, disebut Kabinet Ampera, hanya diisi dengan 29 Kementerian, dan menyusut menjadi 23. Jumlah ini tetap dipertahankan pada masa pemerintahannya sebagai presiden setelah Presiden Soekarno diberhentikan. Kabinetnya disebut kabinet Pembangunan I, dengan jumlah kementerian yang sama.
  Kalau Presiden Soekarno menggunakan kompartemen untuk mengkategorisasi departemen, maka Presiden Soeharto menggunakan Kementerian portofolio dan non- portofolio. Kementerian non-portofolio disebut dengan kementerian negara. Pada Kabinet Pembangunan Tiga, muncul Kementerian Koordinator, yaitu Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan, Menteri Negara Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan & Industri merangkap Ketua Bappenas, dan Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat.
  Era Presiden Soeharto juga diwarnai dengan adanya sejumlah badan, yang di Amerika Serikat disebut administrative agency – menandai melembaganya pemikiran tentang Administrative State di Indonesia. Badan-badan dimaksud, antara lain, Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (KKBN), Badan Koordinasi Penanam Modal, (BKPM), Badan Antariksa Nasional, (BAN), dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Sesudah era pemerintahannya, atau dalam era pemerintahan Abdurrahman Wahid dan seterusnya bermunculan berbagai badan administratif. Dari namanya terdapat perbedaan dengan lembaga-lembaga yang terbentuk pada masa pemerintahan Soeharto.
  Komisi Hukum Nasional, Komisi Judisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemilihan Umum, adalah sedikit di antara sekian banyak komisi yang terbentuk setelah Pemerintahan Soeharto. Kecuali itu, dibentuk badan administratif baru. Misalnya, Intelijen Negara (BIN), dan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh (BRR), dan Badan Narkotika Nasional (BNN). Namun berbeda dengan konstitusi Amerika dan Perancis misalnya, namun sama dengan konstitusi Philipines, Thailand, dan Afrika Selatan, Komisi Pemilihan Umum dan Komisi Judisial disebutkan secara tegas dalam UUD 1945. Di luar itu tidak. Sebagian di antara yang tidak disebutkan dalam UUD, dibentuk berdasarkan UU, dan sebagiannya lagi dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden.
  Apa yang harus dilakukan dalam menghadapi begitu banyak badan administratif ini. Pilihannya adalah menata kembali badan-badan ini. Masalahnya adalah apa yang harus dijadikan spektrum penataannya. Bukan soal nama atau kategorisasinya, misalnya mengkategorisasi badan-badan tersebut menjadi Lembaga Pemerintahan non-Departemen (LPND) sebagaimana telah biasa digunakan selama ini. Apapun nama dan kategorinya; Badan, Komisi atau Lembaga, semuanya merupakan badan administratif dalam spektrum konstitusionalisme. Menurut saya yang harus dijadikan fokus perhatian dalam derap penataan adalah penegasan terhadap sifat konstitusional dan fungsinya.
Penutup   Munculnya negara kesejahteraan sejak abad ke-19, telah menjadi kecenderungan global pada satu abad terakhir. Semua negara bergerak ke arah ini. Mereka meninggalkan konstitusionalisme klasik yang cuma menjadikan negara sebagai penjamin ketertiban sosial. Silih bergantinya permasalahan kemanusiaan yang terus melilit bangsa-bangsa di dunia, ambil misalnya HIV Aids, lingkungan hidup, kelangkaan energi, kemiskinan, dan lainnya, memaksa negaranegara di dunia untuk terus bergerak masuk ke dalam urusan kesejahteraan rakyat. http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 10 February, 2017, 01:58
Sekretariat Negara Republik Indonesia
  Kita memerlukan langkah penataan yang tepat, bukan karena jumlahnya yang terbilang banyak, melainkan karena dua hal. Pertama, badan atau lembaga itu, sering disebut LPND, atau dalam kajian hukum tata negara Amerika Serikat dan Inggris disebut auxelary organ, untuk dibedakan dengan main state organ, juga mengelola urusan pemerintahan. Hanya sifatnya spesifik. Kedua, karena menyelenggarakan urusan pemerintahan, maka sifat hukum kelembagaannya – organnya – harus diperkokoh. Undang-Undang Kementerian Negara yang telah disahkan beberapa waktu lalu, jelas memesankan sebuah langkah penataan yang perlu segera diambil. Walaupun tidak tegas, namun undang-undang tersebut, sekali lagi, secara intrinsik menegaskan fungsi lembaga-lembaga ini. Fungsinya adalah menyelenggarakan sebagian urusan pemerintahan yang tidak diurusi oleh kementerian, tetapi dipandang perlu untuk diurus oleh organ khusus. Di atas semua uraian yang telah dikemukakan, kehadiran UU Kementerian seolah menegaskan bahwa jalan telah terbentang luas untuk memulai langkah penataan; sekarang, bukan nanti.[]
http://www.setneg.go.id
www.setneg.go.id
DiHasilkan: 10 February, 2017, 01:58