EVALUASI RADIOGRAFI PULMONUM PADA ANAK BABI (Sus scrofa) SEPSIS YANGIBERI EMULSI LIPID PARENTERAL
MELI RAHMAWATI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Radiografi Pulmonum pada Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis yang Diberi Emulsi Lipid Parenteral adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2016 Meli Rahmawati NIM B04120026
ABSTRAK MELI RAHMAWATI. Evaluasi Radiografi Pulmonum pada Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis yang Diberi Emulsi Lipid Parenteral. Dibimbing oleh GUNANTI dan SOESATYORATIH. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi gambaran radiografi paru meliputi dilatasi vena pulmonalis, peribronchial pattern, cotton like density, dan lobar sign dengan anak babi sebagai hewan model pada kasus sepsis. Sepuluh anak babi (Sus scrofa) berumur 2 sampai 3 bulan dengan bobot badan 7 sampai 8 kg dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama merupakan kelompok babi yang diberi emulsi lipid kedelai (LPD) sedangkan kelompok kedua tanpa pemberian emulsi lipid kedelai (NLPD). Analisis data menggunakan metode skoring. Hasil menunjukkan perubahan pola radiografi ditemukan pada kedua kelompok perlakuan pascaresusitasi. Dilatasi vena pulmonalis ditemukan pada semua individu kelompok. Peribronchial pattern ditemukan pada semua individu kelompok baik pada standar pandang laterolateral (LL) maupun dorsoventral (DV). Cotton like density dengan standar pandang LL pada kelompok NLPD dan LPD ditemukan secara berturut-turut 2/5 dan 1/5, sedangkan pada standar pandang DV ditemukan hasil yang sama antar kelompok perlakuan. Gambaran radiografi lobar sign memiliki persentase temuan hasil sama pada kedua kelompok perlakuan. Evaluasi radiografi paru menunjukkan edema pulmonum akibat sepsis. Gambaran radiografi kelompok NLPD dan LPD menunjukkan persentase hasil yang hampir sama. Pemberian emulsi lipid kedelai pada babi sepsis belum dapat memperbaiki kondisi paru. Kata kunci: emulsi lipid, radiografi paru, sepsis, Sus scrofa.
ABSTRACT MELI RAHMAWATI. Pulmonary Radiography Evaluation on Piglets (Sus scrofa) Sepsis which Treated Soybean Lipid Emulsion. Supervised GUNANTI and SOESATYORATIH. This study aimed to evaluate pulmonary radiographic pattern include dilatation of the pulmonary veins, peribronchial pattern, cotton like density, and lobar sign using piglets as an animal model in the case of sepsis. The research used 10 piglets aged 2-3 months and 7-8 kgs body weight were separated into two groups. The first group (LPD) treated by soybean lipid emulsion parenteral route and the second group (NLPD) without the administration of soybean lipid emulsion. Analysis of data using the scoring method on the data pre and post resuscitation between two groups. Results showed radiographic pattern were found in both treatment groups post resuscitation. Dilatation of the pulmonary veins are found in all individuals. Peribronchial pattern found in all individuals between two groups, either on the laterolateral recumbency (LL) and dorsoventral (DV) views. On laterolateral recumbency (LL), cotton like density was found 2/5 individuals in the group NLPD and 1/5 individuals in the group LPD, while in the dorsoventral (DV) views cotton like density found the same result between NLPD and LPD groups. The result between LPD and NLPD groups showed not different based on percentage of lobar sign radioghrapic. Pulmonary radiographic evaluation showed pulmonary edema due to sepsis. Pulmonary radiographic evaluation between LPD and NLPD groups showed the changes of radiography are same. The parenteral route of lipid administration in sepsis piglet can yet be improving lung condition. Keyword: lipid emulsion, pulmonary radiography, sepsis, Sus scrofa.
EVALUASI RADIOGRAFI PULMONUM PADA ANAK BABI (Sus scrofa) SEPSIS YANG DIBERI EMULSI LIPID PARENTERAL
MELI RAHMAWATI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang telah memberikan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Radiografi Pulmonum pada Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis yang Diberi Emulsi Lipid Parenteral”. Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret sampai Juli 2015 di Laboratorium Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Gunanti, MS selaku pembimbing pertama dan Drh Rr Soesatyoratih, MSi selaku pembimbing kedua, atas bimbingan dan arahan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Kosasih dan Pak Katim selaku petugas laboran di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Dimas dan Menthia sebagai rekan penelitian dan keluarga besar Astrocyte 49. Selain itu penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta ayah Miltoni Heri Pandiangan dan ibu Rina Lisdarina, juga kaka dan adik tercinta Alni dan Haris, serta keluarga besar kosan Doi Lovers yang senantiasa memberikan motivasi dan doa. Diharapkan karya ilmiah ini dapat memberi manfaat dan menambah wawasan bagi banyak pihak. Adanya kritik dan saran diharapkan dapat membantu penyempurnaan karya tulis ini.
Bogor, Agustus 2016 Meli Rahmawati
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Sepsis
2
Anak Babi (Sus scrofa)
3
Emulsi Lipid Parenteral
3
Radiografi Paru
4
Interpretasi Radiografi
4
METODE
6
Waktu dan Tempat Penelitian
6
Bahan dan Alat Penelitian
6
Tahap persiapan
7
Tahap pelaksanaan
7
Analisis Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Dilatasi vena pulmonalis
8 8
Peribronchial pattern
10
Cotton like density
11
Lobar sign
12
SIMPULAN DAN SARAN
13
Simpulan
13
Saran
14
DAFTAR PUSTAKA
14
RIWAYAT HIDUP
16
DAFTAR TABEL 1 Gambaran dilatasi vena pulmonalis 2 Gambaran peribronchial pattern 3 Gambaran cotton like density 4 Gambaran lobar sign
9 11 12 13
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Skema paru-paru babi Skema dilatasi pulmonalis Skema kejadian peribronchial pattern Skema kejadian cotton like density Skema kejadian lobar sign Tahapan Pelaksanaan Kejadian dilatasi vena pulmonalis (panah merah) Kejadian peribronchial pattern Kejadian cotton like density Kejadian lobar sign
3 4 5 5 6 8 10 11 12 13
PENDAHULUAN Latar Belakang Sepsis merupakan suatu respon klinis yang terjadi karena adanya rangsangan dari mikroorganisme (Leksana 2013). Mikroorganisme masuk dan menginfeksi bagian dalam tubuh, terbatas pada bagian tubuh tertentu atau menyebar pada seluruh peredaran darah (Buchori dan Prihatini 2006). Tingkat kematian tertinggi di rumah sakit salah satunya diakibatkan oleh sepsis. Sepsis termasuk dalam 10 penyebab kematian tertinggi di Amerika Serikat (Wheeler 2007). Negara berkembang memiliki angka kejadian sepsis cukup tinggi yaitu sekitar 1,8-18 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian sebesar 12-68%, sedangkan di negara maju angka kejadian sepsis berkisar antara 3 per 1000 kelahiran hidup dengan angka kematian 10,3%. Prevalensi sepsis di Indonesia belum tercatat dengan baik (Nugroho dan Musrichan 2012). Morbiditas dan mortalitas sepsis dapat diturunkan dengan Early Goal Directed Therapy (EGDT). Early Goal Directed Therapy merupakan tindakan resusitasi cairan untuk memperbaiki kondisi pasien dalam keadaan sepsis berat atau syok septik (Silviana et al. 2015). Menurut Calder et al. (2010) pemberian nutrisi secara parenteral dibutuhkan untuk menyalurkan nutrisi bagi pasien kritis. Nutrisi parenteral (NP) merupakan salah satu alternatif yang dapat menunjang kebutuhan nutrisi. Nutrisi Parenteral diberikan ketika pemberian nutrisi secara oral/enteral tidak dapat diberikan (Hendarto dan Nasar 2002). Lipid merupakan sumber energi yang memiliki kandungan kalori yang cukup tinggi. Lipid dapat digunakan sebagai sumber utama untuk mencegah atau mengoreksi penurunan asupan energi (Calder et al. 2010). Babi merupakan mamalia yang memiliki struktur anatomi dan fisiologi menyerupai manusia (Swindle et al. 2012). Paru babi terdiri atas dua lobus di kiri dan empat lobus di kanan. Anatomi paru tersebut mirip dengan manusia sehingga dapat digunakan sebagai model untuk studi sistem pernafasan (Rogers et al. 2008). Sepsis menyebabkan terjadinya gangguan pada fungsi paru salah satunya adalah sindrom pernafasan akut (acute lung injury) (Susanto dan Sari 2012). Secara radiografi kondisi paru yang mengalami perubahan dapat diketahui apabila adanya perubahan pola vaskular, pola interstitial, pola alveolar dan edema pulmonum. Radiografi regio toraks diambil dengan dua standar pandang yang berbeda yaitu dorsoventral (DV) dan laterolateral recumbency (LL). Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, masalah penelitian dapat dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1 Apakah pemberian lipid parenteral dapat memperbaiki kondisi paru ? 2 Apakah terdapat perubahan gambaran radiografi paru pasca pemberian lipid parenteral ?
2
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi gambaran radiografi paru meliputi dilatasi vena pulmonalis, peribronchial pattern, cotton like density, dan lobar sign dengan anak babi sebagai hewan model pada kasus sepsis.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai pengaruh pemberian emulsi lipid parenteral terhadap gambaran radiografi paru anak babi yang diinduksi sepsis. Emulsi lipid parenteral yang digunakan adalah soybean lipid.
TINJAUAN PUSTAKA Sepsis Sepsis merupakan sindrom respon sistemik terhadap infeksi berat mikroorganisme yang ditandai dengan adanya disfungsi organ. Kaskade imunologi yang mengakibatkan respon sepsis dapat diinisiasi oleh cedera jaringan, reperfusi iskemia, infeksi bakteri, cendawan maupun endotoxin yang dihasilkan oleh bakteri. Tanggapan sepsis dimulai dengan infeksi yang masuk ke dalam pembuluh darah sehingga menyebabkan terjadinya penyebaran dan proliferasi secara lokal. Infeksi mikroorganisme juga dapat disertai dengan pelepasan berbagai metabolit mikroba yang bersifat toksin ke dalam aliran darah (Nugroho 2012). Menurut Purnomosidi (2015) pemantauan gejala sepsis berupa demam (suhu tubuh > 39.80C), hipotermi (suhu tubuh < 38.70C), takikardi (frekuensi jantung > 120/menit), dan takipnea (frekuensi nafas > 58 kali/menit). Sepsis terdiri atas tiga bentuk yaitu sepsis tanpa penyulit, sepsis berat dan renjatan sepsis. Sepsis tanpa penyulit (komplikasi) diakibatkan oleh influenza atau infeksi virus lain dan gastroenteritis. Sepsis berat terjadi apabila terdapat gabungan satu atau lebih organ penting (vital) seperti jantung, paru, ginjal atau hati. Renjatan sepsis terjadi apabila tidak adanya respon terhadap pengobatan standar (pemberian cairan) dan menyebabkan masalah dari organ vitalnya (Buchori dan Prihatini 2006). Spesimen tubuh seperti darah, sputum, feses, urin dan spesimen tubuh lainnya dapat dilakukan kultur atau pewarnaan gram untuk mendeteksi adanya sepsis. Fokus infeksi seperti luka dengan discharge purulen atau adanya udara bebas pada rongga abdomen ketika operasi, yang berasal dari saluran pencernaan dapat juga digunakan untuk mendeteksi adanya sepsis (Priyantoro et al. 2010).
3 Anak Babi (Sus scrofa) Babi merupakan hewan yang sering dijadikan model dalam sebuah penelitian karena memiliki struktur anatomi dan fisiologi yang dapat dianalogikan dengan manusia. Hampir 90% sistem koroner babi memiliki kesamaan dengan manusia (Swindle et al. 2012). Menurut Rogers et al. (2008) paru babi memiliki dua lobus di kiri dan empat lobus di kanan. Paru kiri terdiri atas lobus apikal dan lobus diafragma. Paru kanan terdiri atas lobus apikal, lobus tengah, lobus diafragma dan lobus aksesorius (Gambar 1). Sistem pencernaan dan komposisi tubuh babi (lemak) belum sempurna saat kelahiran karena babi memiliki usia kebuntingan lebih pendek dari manusia yaitu sekitar 115 hari. Babi dapat tumbuh cepat dilihat dari adaptasi pertumbuhan usus dan perubahan fungsional parameter seperti aktivitas enzim pencernaan, penyerapan nutrisi dan fungsi kekebalan tubuh (Puiman dan Stoll 2008).
Gambar 1 Skema paru-paru babi
Emulsi Lipid Parenteral Malnutrisi merupakan suatu kondisi yang umum terjadi pada pasien kritis dan berhubungan dengan kondisi fisiologis yang kurang stabil (Caresta et al. 2007). Pemberian nutrisi dibutuhkan untuk memenuhi kekurangan energi dalam tubuh baik enteral maupun parenteral. Lipid merupakan sumber energi yang memiliki kandungan kalori yang cukup tinggi dibandingkan asam amino ataupun dekstros monohidrat. Soybean lipid merupakan sumber energi yang pertama kali digunakan dan dapat mengurangi efek buruk dari asupan dektrosa tinggi. Emulsi lipid yang berasal dari kedelai dapat mengurangi dampak stres dan diferensial efek oksidatif imunitas yang diperantarai sel dan inflamasi (Calder et al. 2010).
4 Radiografi Paru Kontras radiografi normal paru merupakan keseimbangan antara ruang berisi udara dan pembuluh darah paru. Struktur paru seperti dinding bronkial dan intersisium paru normal tidak dapat terlihat secara jelas karena bentuknya yang kecil. Opasitas paru sering berubah ketika paru mengalami penyakit. Dalam kedokteran hewan, peningkatan opasitas paru merupakan temuan signifikan tetapi tidak spesifik untuk penyebab penyakit. Pengenalan pola peningkatan opasitas dan tanda-tanda radiografi lainnya dapat digunakan untuk mengidentifikasi temuan secara spesifik. Salah satu tanda penting adalah ukuran dari paru tersebut. Peningkatan ukuran paru digambarkan sebagai suatu yang meluas (Winegardner et al. 2008).
Interpretasi Radiografi Interpretasi radiografi merupakan suatu proses menerjemahkan hasil pemaparan sinar-X. Standar pandang yang digunakan pada regio toraks yaitu latero lateral (LL) dan dorsoventral (DV)/ventrodorsal (VD). Radiografi (rontgen) merupakan gambaran dua dimensi dari subjek tiga dimensi. Interpretasi radiografi paru meliputi perubahan pada pola vaskular berupa dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan lobar sign (O’Grady dan O’Sullivan 2004).
Dilatasi Vena Pulmonalis Arteri dan vena pulmonalis merupakan pembuluh darah yang tampak pada ruang toraks (Gambar 2). Dilatasi vena pulmonalis ditandai dengan dua perubahan secara radiografi yaitu ukuran vena lebih besar dari arteri dan vena pulmonalis bagian kranial lobus paru lebih besar 75% dari lebar 1/3 proksimal tulang rusuk keempat (O’Grady dan O’Sullivan 2004).
Gambar 2 Skema sisi lateral menunjukan sistem pembuluh darah paru. Panah berwarna merah menunjukkan letak dilatasi pulmonalis (modifikasi dari O’Grady dan O’Sullivan 2004).
5
Peribronchial pattern Kejadian peribronchial pattern secara radiografi tampak adanya penebalan dinding bronkiolus yang lebih radioopak (Gambar 3). Peribronchial pattern berbentuk seperti “donat” dengan garis tepi lebih radioopak dan bagian tengah radiolusen (O’Grady dan O’Sullivan 2004).
Gambar 3 Skema kejadian peribronchial pattern yang ditunjukkan oleh panah merah (modifikasi dari O’Grady dan O’Sullivan 2004). Cotton like density Cotton like density merupakan cairan yang berasal dari kapiler yang terakumulasi dalam ruang intertitial perivaskular dan peribronchial sehingga secara gambaran radiografi akan terlihat seperti kapas (O’Grady dan O’Sullivan 2004) (Gambar 4).
Gambar 4 Skema kejadian cotton like density ditunjukkan oleh panah merah (modifikasi dari O’Grady dan O’Sullivan 2004).
6 Lobar sign Secara radiografi lobar sign ditunjukkan dengan garis radioopak berdekatan dengan daerah radiolusen pada lobus paru yang mengalami edema (Gambar 5). Paru yang terisi dengan cairan akan tampak berwarna lebih radioopak (O’Grady dan O’Sullivan 2004).
Gambar 5 Skema kejadian lobar sign. Panah merah menunjukkan lobus paru tampak lebih radioopak. (modifikasi dari O’Grady dan O’Sullivan 2004).
METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini berlangsung dari bulan Maret sampai Juli 2015. Penelitian dilakukan di Laboratorium Bedah Divisi Bedah dan Radiologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi. Pemeliharaan hewan dilakukan di Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium (UPHL) Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Xylazine 2% (Ilium Xylazil®, Troy Laboratories), Ketamin 10% (Ketamil®, Troy Laboratories), propofol 10 mg/mL (Lipuro®, B BRAUN Medical Inc.), dopamin 50 mg/mL, dobutamin 50 mg/mL, emulsi lipid kedelai 20% (Intralipid 20®), LPS E. coli 5 µg/kg BB, alcohol swab, hidrokortison (solu cortef®), heparin, larutan infus NaCl 0.9%, larutan ringer laktat, larutan glukosa 5%. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin sinar X (Diagnostic X-Ray Unit VR-1020, MA Medical Corporation, NakanodaiJapan), film rontgen ukuran 24x30 cm (Fuji film Medical X-Ray Film), kaset dengan intensifying screen, apron lapis Pb 0.5 mm, pasien monitoring, alat bedah minor, benang jahit silk ukuran 3/0, laryngoscope, endotracheal tube
7 (ETT), infus set, infution pump, Abocatch no 18, certovix duo 513 ped, triway, hair dryer (panasonic), illuminator, hanger/frame, marker, processing machine (mesin pencucian) manual, grid dengan perbandingan 1:8, gunting, hipafix, timbangan, kateter pulsiocath, resusitator, jarum bulat-tumpul, plester coklat, dan kamera. Tahap persiapan Babi jantan maupun betina berjumlah 10 ekor, berumur 2 sampai 3 bulan dengan bobot badan 7 sampai 8 kg dikandangkan dan dipelihara selama beberapa hari. Pakan dan pembersihan kandang dilakukan sebanyak 2 kali sehari. Pakan yang diberikan berupa pellet yang dicampur dengan dedak sebanyak 5 kg per hari. Selain pemberian pakan, anak babi yang dikandangkan juga diberi suplemen zat besi dengan dosis 2 mg/kg bobot badan dan antelmentik (oxfendazol) peroral dengan dosis 5 mg/kg bobot badan, serta pemberian antibiotik intramuskular dengan dosis 6-11 mg/kg bobot badan selama satu minggu. Pemeliharaan dan pemberian obat dimaksudkan untuk proses adaptasi babi dan mengurangi tingkat stres babi. Tahap pelaksanaan Babi yang telah dipelihara di kandang dilakukan pemindahan menuju laboratorium. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan fisik babi, pengukuran bobot dan panjang babi, dan pengecekan kelengkapan persiapan prabedah. Babi ditimbang dan dibius dengan dosis yang telah ditentukan. Pembiusan dilakukan secara intramuskular pada musculus semimembranosus et tendinosus dengan kombinasi Ketamil® (ketamin 10%) dan Ilium Xylazil® (xylazine 2%). Setelah babi terbius, dilakukan pengambilan gambar radiografi menggunakan standar pandang laterolateral. Nilai kVp dan mAs yang digunakan adalah 64 kVp dan 1,2 mAs berdasarkan tebal jaringan, dengan rumus : kVp = (2 x tebal jaringan) + FFD + grid factor. Babi dibagi menjadi dua kelompok perlakuan, kelompok pertama merupakan kelompok babi yang diberi emulsi lipid kedelai (LPD) sedangkan kelompok kedua tanpa pemberian emulsi lipid kedelai (NLPD). Babi dimasukkan ke ruang operasi, probe saturasi oksigen dipasang pada pangkal ekor, infus NaCl 0,9% dipasang pada vena aurikularis, serta pemasangan akses vena cava superior dan arteri femoralis menggunakan kateter picco. Setelah itu, dilakukan induksi endotoksin LPS E. coli 5 µg/kg BB melalui kateter yang terpasang pada vena cava, pemantauan gejala sepsis berupa demam (suhu tubuh > 39.80C), hipotermia (suhu tubuh < 38.70C), takikardia (frekuensi jantung > 120/menit), dan takipnea (frekuensi nafas > 58 kali/menit) (Purnomosidi 2015). Pemantau renjatan (syok sepsis) berupa penurunan tekanan darah, peningkatan denyut nadi, takikardia dengan peningkatan perfusi, pemanjangan waktu pengisian kapiler, dan penurunan suhu ekstremitas (Nur 2009). Selanjutnya dilakukan pemberian obat dan pengukuran tanda vital melalui pasien monitoring. Setelah pengobatan selesai dilakukan pengambilan radiografi kedua sebagai data pascaresusitasi dengan
8 posisi radiografi laterolateral dan dorsoventral. Tahap pelaksanaan penelitian dapat dilihat pada Gambar 6. Anestesi Pengambilan Gambar I Lipid
Non Lipid Induksi Endotoksin Sepsis
Shock Sepsis Pengobatan Pengambilan Gambar II Gambar 6 Tahapan Pelaksanaan Analisis Data Data penelitian yang didapat berupa hasil kualitatif menggunakan metode skoring. Nilai “0/5” berarti bahwa tidak ditemukan adanya perubahan pola pada semua gambaran radiografi individu. Nilai “1/5” berarti bahwa ditemukan adanya perubahan pola radiografi pada satu individu, nilai “2/5” pada dua individu, nilai “3/5” pada tiga individu, nilai “4/5” pada empat individu dan nilai “5/5” ditemukan pada semua individu.
HASIL DAN PEMBAHASAN Dilatasi vena pulmonalis Dilatasi vena pulmonalis terjadi apabila vena pulmonalis berukuran lebih besar dari arteri pulmonalis secara radiografi. Arteri dan vena pulmonalis memiliki ukuran yang sama pada kondisi normal (O’Grady dan O’Sullivan 2004). Hasil menunjukkan adanya perbedaan ukuran antar waktu pengambilan gambar pada kedua kelompok perlakuan (Tabel 1). Dilatasi vena pulmonalis ditemukan pada kedua kelompok NLPD dan LPD pasca resusitasi. Kejadian dilatasi vena pulmonalis (Gambar 7) pada kedua
9 kelompok mencapai 100%. Nilai tersebut menunjukkan bahwa dilatasi vena pulmonalis terjadi pada semua individu kelompok. Gangguan sirkulasi seperti takikardia, takipnea, vasodilatasi perifer, demam atau hipotermi hingga kolaps sirkulasi merupakan tanda awal sepsis pada sistem kardiovaskular akibat invasi mikroba pada aliran darah (Oematan et al. 2009). Sebagai respon terhadap masuknya benda asing, tubuh akan mengaktifkan sitokin yang dihasilkan oleh makrofag. TNF-α dan interleukin IL-1 merupakan mediator inflamasi (sitokin) pertama yang dilepaskan. Pelepasan sitokin menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah dan meningkatkan permeabilitas vaskuler (Leksana 2013). Dilatasi vena pulmonalis dapat disebabkan oleh kegagalan jantung. Jantung kehilangan kemampuan untuk memompa cukup darah ke seluruh tubuh ketika mengalami kegagalan jantung. Ventrikel kiri, atrium kiri dan vena pulmonalis mengalami peningkatan tekanan sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah. Volume yang tinggi pada vena pulmonalis mengakibatkan terjadinya pembesaran pada vena pulmonalis (O’Grady dan O’Sullivan 2004). Menurut William (2014) ventrikel kiri yang mengalami gangguan relaksasi menyebabkan peningkatan tekanan pada daerah ventrikel. Darah yang terakumulasi akan dikembalikan ke atrium sehingga terjadi peningkatan tekanan pada atrium, vena pulmonalis dan kapiler pulmonalis. Peningkatan ukuran vena pulmonalis dapat disebabkan juga oleh penyempitan katup mitral. Katup mitral yang menyempit mengakibatkan aliran darah dari atrium ke ventrikel kiri terhambat sehingga pengosongan atrium tidak optimal. Darah yang masih tersisa pada atrium mengakibatkan aliran darah dari paru menuju jantung mengalami hambatan dan menyebabkan peningkatan tekanan pada paru sehingga vena pulmonalis mengalami pembesaran (Baumgartner et al. 2009). Dilatasi vena pulmonalis merupakan manifestasi awal gangguan klinis pada sistem kardiovaskular secara radiografi (O’Grady dan O’Sullivan 2004). Emulsi lipid merupakan sumber asam lemak esensial dan sumber nutrisi berkalori tinggi (Hendarto dan Nasar 2002). Lipid yang berlebihan mengakibatkan terjadinya hipertrigliseridemia, penurunan leukosit dan fungsi trombosit, terganggunya fungsi paru, dan gangguan metabolik lainnya (Caresta et al. 2007). Tabel 1 Gambaran dilatasi vena pulmonalis pada paru anak babi sepsis yang diberi emulsi lipid parenteral Radiografi
SP
Prasepsis Pascaresusitasi
LL LL
Kelompok perlakuan NLPD LPD 0/5 0/5 5/5 5/5
Keterangan : SP = Standar pandang, LL = Latero lateral, NLPD = Non lipid, LPD = Lipid
10
Gambar 7 Kejadian dilatasi vena pulmonalis (panah merah) Peribronchial pattern Peribronchial pattern merupakan kelanjutan dari dilatasi vena pulmonalis berupa perubahan patologis pola interstitial. Radiografi muncul sebagai lingkaran radioopak dengan pusat radiolusen menyerupai bentuk “donat” (O’Grady dan O’Sullivan 2004). Hasil menunjukkan adanya perbedaan antar waktu pengambilan gambar pada kedua kelompok (Tabel 2). Temuan klinis berupa peribronchial pattern ditemukan pada kedua kelompok pascaresusitasi dengan temuan mencapai 100%. Nilai ini menandakan temuan klinis peribronchial pattern terjadi pada semua individu kelompok. Radiografi berbentuk donat ditemukan pada kedua SP dan lebih jelas terlihat pada standar pandang laterolateral (Gambar 8). Radiografi pascaresusitasi tidak dapat terbaca semua (*), hal ini disebabkan karena pola vaskular yang tidak jelas dan radiografi paru yang terlihat lebih radioopak akibat adanya akumulasi cairan. Sepsis menyebabkan perubahan biokimia dan seluler yang menimbulkan inflamasi sistemik dan disfungsi organ (Kleinpell et al. 2006). Reaksi inflamasi menimbulkan kebocoran kapiler, mengakibatkan terjadinya akumulasi cairan interstitial, hilangnya protein, dan edema jaringan. Pelepasan sitokin menyebabkan perubahan pada endotel pembuluh darah, sehingga endotel menjadi berkontraksi dan mengakibatkan peregangan selsel endotel (Leksana 2013). Edema paru kardiogenik atau edema volume overload disebabkan karena peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler paru sehingga filtrasi cairan transvaskular mengalami peningkatan. Tekanan hidrostatik yang meningkat berhubungan dengan meningkatnya tekanan vena pulmonalis akibat peningkatan tekanan ventrikel dan atrium kiri. Peningkatan tekanan ventrikel kiri menyebabkan edema di kapiler dan intersisium paru (Irawaty 2010). Tekanan tinggi pada kapiler paru mengakibatkan kebocoran cairan ke dalam interstitium paru. Cairan akan memenuhi dinding dalam maupun luar bronkiolus akibat dari akumulasi cairan yang merembes. Kontras radiografi dinding akan menjadi lebih radioopak dan lumen lebih radiolusen karena masih terisi udara (O’Grady dan O’Sullivan 2004).
11 Tabel 2 Gambaran peribronchial pattern pada paru anak babi sepsis yang diberi emulsi lipid parenteral Radiografi
SP
Prasepsis
LL DV LL DV
Pascaresusitasi
Kelompok perlakuan NLPD LPD 0/5 0/5 0/5 0/5 5/5 5/5 5/5 4/4*
Keterangan : SP = Standar Pandang, LL = Laterolateral, DV = Dorsoventral, NLPD = Non lipid, LPD = Lipid, (*) = Ditemukan pada individu tertentu
A
B
Gambar 8 Kejadian peribronchial pattern ditunjukkan oleh panah merah pada standar pandang laterolateral (A) dan dorsoventral (B) Cotton like density Gambaran cotton like density secara radiografi terlihat lebih radioopak dan berbentuk seperti kapas. Hasil menunjukkan terdapat perbedaan antar kelompok perlakuan dan antar waktu pengambilan radiografi (Tabel 3). Cotton like density ditemukan pada kedua kelompok perlakuan pascaresusitasi (Gambar 9). Kelompok NLPD menunjukkan temuan pada individu yang lebih banyak dibandingkan dengan kelompok LPD. Cotton like density merupakan suatu istilah di x-ray yang menggambarkan proses kemunculan penyakit. Infiltrasi cairan pada parenkim paru yang berasal dari kapiler mengakibatkan akumulasi cairan di ruang interstitial perivaskular dan peribronchial. Akumulasi cairan tersebut secara radiografi akan terlihat seperti gumpalan kapas akibat dari peningkatan opasitas di beberapa daerah paru. Cotton like density dapat ditemukan pada individu yang mengalami osteoma paru, infiltrasi jamur, dan abses paru (O’Grady dan O’Sullivan 2004).
12 Tabel 3 Gambaran cotton like density pada paru anak babi sepsis yang diberi emulsi lipid parenteral
Radiografi
SP
Prasepsis
LL DV LL DV
Pascaresusitasi
Kelompok perlakuan NLPD LPD 0/5 0/5 0/5 0/5 2/5 1/5 4/5 4/5
Keterangan : SP = Standar pandang, LL = Laterolateral, DV = Dorsoventral, NLPD = Non lipid, LPD = Lipid
A
B
Gambar 9 Kejadian cotton like density ditunjukkan dengan lingkaran merah pada standar pandang laterolateral (A) dan dorsoventral (B) Lobar sign Lobar sign secara radiografi ditandai dengan adanya garis radioopak yang berdekatan dengan daerah radiolusen. Lobar sign menggambarkan lobus paru yang mengalami edema dengan gambaran radiografi tampak lebih radioopak. Hasil menunjukkan adanya perbedaan antar waktu pengambilan radiografi pada kedua kelompok (Tabel 4). Gambaran radiografi lobar sign (Gambar 10) ditemukan pada kedua kelompok pascaresusitasi dengan persentase hasil yang sama. Lipopolisakarida (LPS) merupakan komponen membran sel bakteri gram negatif yang menimbulkan terjadinya gangguan hemodinamik dan menghasilkan syok septik. LPS mengakibatkan pelepasan mediator inflamasi yang menyebabkan gangguan pada endotel dan supplay darah ke otot jantung (Priyantoro et al. 2010). Edema paru didefinisikan sebagai akumulasi cairan abnormal di dalam kompartemen ekstravaskuler paru. Edema paru terbagi menjadi dua yaitu edema paru kardiogenik dan non kardiogenik. Kerusakan epitel alveoli menyebabkan terjadinya gangguan transport ion dan permeabilitas mikrokapiler alveoli. Reabsorpsi cairan edema tergantung pada transport aktif natrium dan klorida melewati barrier epitel alveolar. Transpor ion transepitelial yang terganggu akan menunjukkan penurunan perbaikan edema paru. Permeabilitas mikrokapiler alveoli yang meningkat mengakibatkan
13 masuknya cairan yang banyak mengandung protein ke dalam alveolar (Jatu dan Lusiana 2015). Emulsi lipid mengandung asam lemak tak jenuh ganda PUFA yang dapat mengurangi dampak inflamasi. Namun, pemberian lipid yang berlebihan dapat menyebabkan peningkatan stres oksidatif. Tingkat infeksi dan peroksidasi lipid yang mengalami peningkatan terjadi karena reaktive oxygen spesies (ROS) berikatan dengan ikatan rangkap lipid tak jenuh (PUFA) memproduksi peroksida lipid yang tidak stabil sehingga mengakibatkan kematian sel. ROS merupakan respon imun alami yang dapat mencegah kerusakan yang berlebihan pada inang (Calder et al. 2010). Tabel 4 Gambaran lobar sign pada paru anak babi sepsis yang diberi emulsi lipid parenteral Radiografi
SP
Prasepsis
LL DV LL DV
Pascaresusitasi
Kelompok perlakuan NLPD LPD 0/5 0/5 0/5 0/5 2/5 2/5 5/5 5/5
Keterangan : SP = Standar pandang, LL = Laterolateral, DV = Dorsoventral, NLPD = Non Lipid, LPD = Lipid
A
B
Gambar 10 Kejadian lobar sign ditunjukkan oleh panah merah pada standar pandang laterolateral (A) dan dorsoventral (B)
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Gambaran radiografi berupa dilatasi vena pulmonalis, peribronchial pattern, cotton like density dan lobar sign ditemukan pada radiografi paru pascaresusitasi. Kelompok babi yang diberi lipid ataupun babi tanpa diberi lipid parenteral menunjukkan kondisi paru yang hampir sama. Pemberian
14 emulsi lipid secara parenteral pada babi sepsis belum dapat memperbaiki kondisi paru. Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pemberian emulsi lipid parenteral terhadap pasien sepsis dengan memperhatikan asupan nutrisi lainnya untuk mengetahui efektifitas nutrisi terhadap persembuhan sepsis.
DAFTAR PUSTAKA Baumgartner H, Hung J, Bermejo J, Chambers JB, Evangelista A, Griffin BP, Lung B, Otto CM, Pellikka PA, Quinones M. 2009. Echocardiographic assessment of valve stenosis: EAE/ASE recommendations for clinical practice. European Journal of Echocardiography. 10:1-25. Buchori, Prihatini. 2006. Diagnosis sepsis menggunakan procalcitonin. Indonesian Journal of Clinical Phatology and Medical Laboratory. 12(3):131-137. Calder PC, Jensen GL, Koletzko BV, Singer P,Wanten GJA. 2010. Lipid emulsions in parenteral nutrition of intensive care patients: current thinking and future directions. Intens Care Med. 36:735-749. Caresta E, Pierro A, Chowdhury M, Peters MJ, Piastra M, Eaton S. 2007. Oxidation of intravenous lipid in infants and children with systemic inflammatory response syndrome and sepsis. Pediatr Res. 61(2):228232. Hendarto A, Nasar SS. 2002. Aspek praktis nutrisi parenteral pada anak. Sari Pediatri. 3(4):227-234. Irawaty M. 2010. Penatalaksanaan edema paru pada kasus vsd dan sepsis vap. Anestesia dan Critical Care. 28(2):52-62. Jatu A, Lusiana SU. 2015. Peranan epitel alveoli pada edema paru nonkardiogenik. CDK-227. 42(4):271-274. Kleinpell RM, Graves BT, Ackerman MH. 2006. Incidence, pathogenesis, and management of sepsis an overview. AACN Adv Crit Care. 17(4):385-393. Leksana E. 2013. Sistemic inflammatory response syndrome. CDK. 40(1):711. Maeder M, Fehr T, Rickli H, Ammann P. 2006. Sepsis-associated myocardial dysfunction. Chest. 129(5):1349-1366. Napitupulu HH. 2010. Sepsis. Anestesia dan Critical Care. 28(3):50-58. Nugroho RBA, Musrichan M. 2012. Hubungan faktor risiko terjadinya acinetobacter sp mdro terhadap kematian penderita sepsis di picu rumah sakit dr Kariadi Semarang [skripsi]. Diponegoro (ID). Universitas Diponegoro. Nugroho RH. 2012. Apoptosis in sepsis. Acta Interna. 2(1):33-43.
15 Nur TS. 2009. Profil dan pola resistensi bakteri dari kultur darah terhadap sefalosporin generasi tiga di laboratorium mikrobiologi klinik FKUI tahun 2001-2006 [skripsi]. Jakarta (ID): Universitas Indonesia. Priyantoro K, Lardo S, Yuniadi Y. 2010. Gangguan fungsi jantung pada keadaan sepsis. Jurnal Kardiologi Indonesia. 31(3):177-186. Puiman P, Stoll B. 2008. Animal models to study neonatal nutrition in humans. Current Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic Care. 11:601-606. Purnomosidi MA. 2015. Indeks eritrosit pada resusitasi cairan anak babi (Sus scrofa) yang diinduksi sepsis [skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Rogers CS, Abraham WM, Brogden KA, Fisher JT, Meyerholz DK, Namati E, Ostedgaard LS, Prather RS, Zabner J, Welsh MJ et al. 2008. The porcine lung as a potential model for cystic fibrosis. Am J PhysiolLung C. 295:240-263. Silviana M, Tavianto D, Kadarsah RK. 2015. Keberhasilan early goaldirected therapy dan faktor pengganggu pada pasien sepsis berat di instalasi gawat darurat rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung yang akan menjalani pembedahan. JAP. 3(2):131-138. Susanto YS, Sari FR. 2012. Penggunaan ventilasi mekanis invasif pada acute respiratory distress syndrome (ards). J Respir Indo. 32(1):44-52. Swindle MM, Makin A, Herron AJ, Clubb Jr FJ, Frazier KS. 2012. Swine as models in biomedical research and toxicology testing. Vet Pathol. 49(2):344-356. Oematan Y, Manoppo JIC, Runtunuwu AL. 2009. Peran inflamasi dalam patofisiologi sepsis dan syok septik pada anak. JBM. 1(3):166-173. O’Grady MR, O’Sulivan ML. 2004. Clinical Radiology Concepts. Veterinary Medical Education [Internet]. [diunduh 2016 Maret 07]. Tersedia pada: http://www.vetgo.com. Wheeler AP. 2007. Recent developments in the diagnosis and management of severe sepsis. Chest. 132(6):1967-1976. William. 2014. Patofisiologi dan patogenesis kardiomiopati. Jurnal Kedokteran Meditek. 20(52). Winegardner K, Scrivani PV, Gleed RD. 2008. Lung expansion in the diagnosis of lung disease. Compendium.
16
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 14 Agustus 1994 dari ayah yang bernama Miltoni Heri Pandiangan dan ibu yang bernama Rina Lisdarina. Penulis merupakan putri kedua dari tiga bersaudara. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN 1 Cikalong pada tahun 2000-2006, kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 2 Banjaran tahun 2006-2009. Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Pangalengan dan lulus pada tahun 2012. Pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Selama perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kepanitian dan aktif dalam Himpunan Profesi Ornithologi dan Unggas (2013-2016). Penulis pernah tercatat sebagai Asisten Praktikum Mata Kuliah Mikrobiologi medis (2015 dan 2016). Penulis pernah mengikuti magang di Koperasi Peternakan Bandung Selatan (KPBS) Pangalengan dan Kebun binatang Gembiraloka Yogyakarta (2014). Penulis juga pernah mengikuti kegiatan pengambilan sampel darah dalam rangka Pengabdian Masyarakat di Provinsi Banten (2015) dan Pelatihan Pemeriksaan Hewan Kurban yang dilaksanakan setiap tahun oleh FKH IPB.