DINAMIKA LEUKOSIT PADA TERAPI CAIRAN ANAK BABI (Sus scrofa) YANG DIINDUKSI SEPSIS
CINDI NABILA FITRIANI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Dinamika Leukosit pada Terapi Cairan Anak Babi (Sus scrofa) yang Diinduksi Sepsis” adalah benar karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, September 2015 Cindi Nabila Fitriani NIM B04110159
ABSTRAK Dinamika Leukosit pada Terapi Cairan Anak Babi (Sus scrofa) yang Diinduksi Sepsis. Di bawah bimbingan RIKI SISWANDI dan GUNANTI. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dinamika leukosit setelah resusitasi cairan dengan cairan koloid (modified fluid gelatin 4%/MFG 4%) dan cairan kristaloid (ringer's acetate malate/RAM) pada anak babi yang diinduksi sepsis. Sepuluh ekor anak babi (Sus scrofa) jantan atau betina berumur 2-3 bulan dan bobot badan 8-15 kg dibagi ke dalam dua kelompok. Induksi sepsis dilakukan dengan injeksi LPS (Lipopolysacaride) hingga terjadi renjatan sepsis. Pemberian perlakuan menggunakan resusitasi cairan dilakukan pada saat renjatan sepsis terjadi. Kelompok pertama menerima resusitasi cairan MFG 4% dan pada kelompok kedua menerima resusitasi cairan RAM. Sampel darah diambil melalui kateter yang dipasang pada vena cava setelah anastesi, saat sepsis, dan 3 jam setelah resusitasi cairan. Pada saat sepsis terjadi kecenderungan penurunan nilai leukosit pada kedua kelompok perlakuan. Secara umum resusitasi MFG 4% maupun RAM tidak terdapat pengaruh yang nyata terhadap nilai leukosit setelah sepsis terjadi. Kata kunci: anak babi, koloid, kristaloid, leukosit, resusitasi cairan, sepsis
ABSTRACT Leukocyte dynamics of Fluid Treatment in Piglets (Sus scrofa) with induced sepsis. Supervised by RIKI SISWANDI and GUNANTI. This study was aimed to evaluate leucocytes dynamics after fluid resuscitation with colloid (modified fluid gelatin 4%/MFG 4%) and crystalloid (ringer's acetate malate/RAM) on septic induced piglets. Ten piglets (Sus scrofa) male or female aged 2-3 months of age and 8-15 kg’s body weight were divided into two groups. Septic induction was done by LPS (Lipopolysaccaride) administration resulting septic shock to occur. Fluid resuscitation was carried out after septic shock occurrence. The first group received fluid resuscitation MFG 4% and the second group received RAM fluid resuscitation. Blood samples were collected using catheters that was placed in the vena cava after anesthesia, during sepsis, and 3 hours after fluid resuscitations. At the moment of sepsis, there was a tendency of decrease in the value of leucocytes in both treatment groups. In general, in fluid resuscitation with MFG 4% and RAM there was no significant influence on the of leukocytes after induced septic. Keywords: colloid, crystalloid, fluid resuscitation, leucocyte, piglet, sepsis
DINAMIKA LEUKOSIT PADA TERAPI CAIRAN ANAK BABI (Sus scrofa) YANG DIINDUKSI SEPSIS
CINDI NABILA FITRIANI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dimulai bulan Juni hingga Juli 2013 dengan judul Dinamika Leukosit pada Terapi Cairan Anak Babi (Sus scrofa) yang Diinduksi Sepsis. Penulis sangat menyadari bahwa penelitian ini tidak akan dapat terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Bapak (Hamim) dan Mamah (Siti Haemah) tercinta, yang senantiasa mencurahkan segala kasih sayang, cinta, dan doanya kepada penulis. Terimakasih pula kepada adikku tersayang Hilman Adi Utama yang selalu menghadirkan keceriaan, serta keluarga besar yang tak bisa disebutkan satu persatu yang senantiasa mendukung penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di FKH IPB. 2. Drh Riki Siswandi, MSi dan Dr Drh Hj Gunanti, MS selaku pembimbing yang telah bersedia meluangkan waktu dan dengan sabar hingga akhir penelitian dan penulisan skripsi ini. 3. Dr. Rismala Dewi, SpA(K) atas kerjasamanya dalam penelitian ini. 4. Dr. Dra Nastiti Kusumorini (almh) selaku dosen pembimbing akademik atas nasihat dan semangat yang telah diberikan. 5. Staf Divisi Bedah dan Radiologi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi FKH IPB: Pak Katim dan Pak Engkos yang telah membantu penulis selama penelitian. 6. Iman Pirman S.T yang selalu memberikan semangat, masukan dan kebersamaannya untuk menyelesaikan tugas akhir ini. 7. Sahabat-sahabatku Zahra, Hasna, Intan, Dewi, Dian, Yustin, Anggi, Cerel dan Mutiara yang senantiasa hadir dalam suka maupun duka terutama saat proses penyelesaian tugas akhir ini berlangsung. 8. Penghuni Wisma Murni dan keluarga Drh. Abdulgani Amri Siregar atas semangat yang telah diberikan. 9. Serta keluarga GANGLION 48 yang telah menjadi bagian dari perjuangan selama di FKH IPB. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, September 2015
Cindi Nabila Fitriani
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR PENDAHULUAN Latar Belakang Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian TINJAUAN PUSTAKA Sepsis Anak Babi (Sus scrofa) Cairan Kristaloid dan Koloid Endotoksin Leukosit METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Alat dan Bahan Tahap Persiapan Adaptasi Hewan Tahap Perlakuan Prosedur Analisis Data HASIL DAN PEMBAHASAN Jumlah Total Leukosit Jumlah Eosinofil Jumlah Neutrofil Jumlah Limfosit Jumlah Monosit Jumlah Basofil Pembahasan Umum SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA
vi vi 1 1 1 1 2 2 3 3 5 5 6 6 6 7 8 8 10 10 10 11 12 12 13 14 14 16 16 16 16
DAFTAR TABEL 1 Rataan jumlah total leukosit (x103/µL) 2 Rataan jumlah eosinofil (×103/µL) 3 Rataan jumlah neutrofil (×103/µL) 4 Rataan jumlah limfosit (×103/µL) 5 Rataan jumlah monosit (×103/µL)
11 12 12 13 13
DAFTAR GAMBAR 1 Skematik perjalanan infeksi 2 Anak babi (Sus srofa) sebagai objek penelitian 3 Jenis-jenis leukosit (A. Mononuklear B. Polimorfonuklear) 4 Alat PiCCO3 5 Tabung EDTA 6 Pengambilan sampel darah 7 Induksi endotoksin 8 Resusitasi Cairan 9 Alur pengambilan sampel darah
2 3 6 7 7 8 9 9 10
PENDAHULUAN Latar Belakang Sepsis merupakan salah satu diantara penyebab utama mortalitas yang cukup tinggi pada anak bayi. Pasien yang mengalami sepsis sebanyak 70% menghasilkan kultur mikrobiologis yang positif dan 62% dari isolat positif merupakan bakteri Gram negatif (Vincent et al. 2009). Lipopolisakarida (LPS) yang disebut sebagai endotoksin merupakan komponen beracun dari bakteri Gram negatif (Radostits et al. 2000). Sepsis menyebabkan terjadinya perubahan dalam mikrosirkulasi dan perubahan biokimia maupun karakteristik fisiologis konstituen darah. Perlambatan aliran kapiler darah merupakan akibat dari penurunan tekanan perfusi dan penyempitan arteriol lokal, perubahan viskositas, dan gangguan Reologi sel darah merah dan sel darah putih yang termasuk perubahan mikrosirkulasi (Piagnerelli et al. 2003). Penggunaan resusitasi cairan koloid maupun cairan kristaloid merupakan salah satu tujuan utama sebagai terapi awal pada kejadian sepsis. Pemilihan cairan kristaloid atau koloid sebagai cairan resusitasi yang ideal hingga saat ini belum didapatkan bukti bahwa salah satu jenis cairan tersebut lebih baik dibandingkan dari yang lain. Survei mengatakan lebih dari 2400 dokter ICU dari European and French Intensive Care Societies, 65% klinikus dilaporkan menggunakan kombinasi kristaloid dan koloid seperti Ringer laktat, hydroxyethyl starch (HES) dan gelatin sebagai cairan resusitasi (Schortgen et al. 2004). Pemeriksaan darah lengkap merupakan salah satu pemeriksaan darah yang dilakukan untuk menunjang diagnosa suatu penyakit, melihat bagaimana respon tubuh terhadap suatu penyakit, serta melihat respon terapi cairan pada pasien yang menderita suatu penyakit infeksi dengan mengetahui kondisi sel darah pasien. Pemeriksaan darah lengkap dilakukan pemeriksaan dinamika leukosit yaitu: jumlah total leukosit, jumlah eosinofil, jumlah neutrofil, jumlah limfosit, jumlah monosit, dan jumlah basofil.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dinamika leukosit setelah resusitasi cairan koloid (modified fluid gelatin 4%/MFG 4%) dan cairan kristaloid (ringer asetat malat/RAM) pada anak babi yang diinduksi sepsis.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran leukosit pada anak babi yang menderita sepsis. Penelitian ini juga diharapkan mampu mengetahui pengaruh MFG 4% dan RAM pada kejadian sepsis dengan hewan coba anak babi.
2
TINJAUAN PUSTAKA Sepsis Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks yang dapat ditandai dengan menurunnya kadar limfosit dalam sirkulasi sistemik sebagai respon terhadap faktor-faktor proinflamasi (Russel 2006). Penyebab yang sering terjadi yaitu sepsis infeksi oleh bakteri terutama bakteri Gram negatif. Bakteri yang masuk ke dalam tubuh akan mati dan mengeluarkan toksin atau endotoksin yang menjadi pemicu adanya reaksi radang. Kelebihan produksi sitokin inflamasi akan menyebabkan aktivasi respon sistemik terutama pada paru-paru, hati, ginjal, usus, dan organ lainnya sehingga dapat terjadi apoptosis, nekrosis jaringan, Multi Organ Dysfunction (MOD) dilanjutkan dengan syok septik, serta kematian (ElMenyar et al. 2012). Sepsis menyebabkan terjadinya kerusakan sel endotelial mikrovaskular serta pelepasan mediator inflamasi oleh sel endotel. Sepsis yang disertai disfungsi organ atau hipoperfusi didefinisikan sebagai sepsis berat sedangkan renjatan septik adalah sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular (Goldstein et al. 2005). Terdapat berbagai istilah yang berkaitan dengan kondisi sepsis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 1. Sepsis berat disertai dengan keterlibatan satu atau lebih gangguan sistem organ yang diawali dengan menurunnya perfusi ke jaringan sehingga mengakibatkan disfungsi sistem organ, gangguan perfusi dan sistem organ ditandai dengan adanya ruam kulit yang kemerahan, peningkatan waktu pengisian kapiler ≥ 3 detik, penurunan produksi urin, peningkatan laktat serum, perubahan drastis status mental atau elektroensepalogram, penurunan jumlah trombosit atau adanya koagulasi intravaskular diseminata, sindrom pernafasan akut dan kelainan fungsi jantung yang dibuktikan melalui pemeriksaan ekokardiografi (Merx dan Weber 2007).
Gambar 1 Skematik perjalanan infeksi Pada renjatan septik dapat ditemukan tanda gangguan sirkulasi seperti penurunan kesadaran, penurunan tekanan darah, akral dingin, sianosis, perabaan nadi yang lemah, peningkatan waktu pengisian kapiler serta oliguria. Selain itu dijumpai pula gangguan respirasi seperti takipnea, asidosis metabolik serta edema paru (O’Brien et al. 2007).
3 Anak Babi (Sus scrofa) Babi (Sus scrofa) (Gambar 2) sering dijadikan hewan model dalam penelitian bedah eksperimental untuk sejumlah penyakit infeksius yang disebabkan oleh mikroba yang relevan dengan kesehatan manusia (Gambar 2). Babi juga mempunyai hubungan yang dekat dengan manusia dalam hal anatomi, genetika dan fisiologi. Model ini mencakup model penyakit alami didasarkan pada patogen babi yang secara erat identik dengan patogen manusia, dan model infeksi eksperimental atau pengganti di mana patogen manusia dalam kondisi eksperimental diberikan kepada babi (Meurens et al. 2012).
Gambar 2 Anak babi (Sus srofa) sebagai objek penelitian Cairan Kristaloid dan Koloid Cairan kristaloid dan koloid merupakan cairan yang sering digunakan pada terapi renjatan septik. Pembagian jenis cairan ini didasarkan pada kemampuan larutan melalui membran. Cara penggunaan kedua jenis larutan plasma masih menjadi kontroversi (Schortgen et al. 2004). Kristaloid Kristaloid adalah jenis larutan yang paling umum digunakan dalam praktik kedokteran hewan. Larutan kristaloid mengandung elektrolit atau dekstros dan tidak mengandung molekul besar. Pemberian kristaloid perlu dilakukan dalam volume lebih banyak daripada volume darah yang hilang. Contoh larutan kristaloid yang sering digunakan adalah ringer laktat (RL), ringer asetat (RA), dan NaCl 0,9% (Leksana 2009). Kristaloid tidak memberikan kontribusi terhadap tekanan onkotik, tetapi mereka memberikan kontribusi terhadap tekanan osmotik. Keuntungan kristaloid adalah mudah didapat, murah, dan efek samping minimal sehingga sering digunakan sebagai tata laksana yang membutuhkan cairan intravaskular (renjatan hipovolemik). Kristaloid tidak memberikan reaksi radang terhadap pasien yang menerimanya. Kerugian dari pemakaian kristaloid adalah edema interstisial dengan efek yang paling mudah dilihat berupa edema paru-paru. Dengan demikian terlihat bahwa adanya edema interstisial (dalam hal ini edema paru) belum tentu menggambarkan bahwa cairan intravaskular sudah cukup. Hal ini sering membuat tata laksana resusitasi cairan kehilangan pegangan apabila tidak
4 menggunakan indikator lain sebagai parameter kecukupan cairan intravaskular (Shih et al. 2008). Ringer asetat malat (Ringerfundin®) adalah larutan elektrolit isotonik seimbang yang disesuaikan dengan plasma yang secara fisiologis merupakan elektrolit yang sangat penting dan mengandung 140 mmol/l sodium. Konsentrasi kalium, magnesium dan kalsium dari Ringerfundin® menyerupai yang ditemukan dalam plasma manusia, sedangkan konsentrasi klorida sedikit lebih tinggi untuk mencapai osmolaritas fisiologis. Ketidakseimbangan elektrolit dengan cepat dapat dipulihkan karena Ringerfundin® memiliki komposisi elektrolit sama dengan plasma manusia (Zadak et al. 2010). Berbeda dengan konvensional Ringer dan cairan Ringer laktat, Ringerfundin® mengandung anion metabolis asetat dan malat yang berperan sebagai prekursor bikarbonat dan akan menetralkan asidosis hiperkloremik. Ringerfundin® mempunyai beberapa ciri khas yaitu; datang sebagai larutan elektrolit penuh, merupakan larutan isotonik, mengandung asetat / malat bukan laktat, menyediakan potensi kelebihan dasar yang seimbang (BEpot), tidak meningkatkan konsumsi O2 dan kebutuhan total energi serta tidak mengakibatkan perubahan komposisi ion di serum (Zadak et al. 2010). Ringerfundin® adalah memiliki komposisi elektrolit isotonik menyerupai plasma manusia. Komposisi dari cairan tersebut adalah 1000 ml Ringerfundin® ISO B.Braun solusi untuk infus berisi : Natrium klorida 6.80 g, Kalium klorida 0.30 g, Magnesium klorida hexahydrate 0.20 g, Kalsium klorida dihidrat 0.37 g, Sodium asetat trihidrat 3.27 g, L-Malic acid 0.67 g, Konsentrasi elektrolit : mmol/l, Natrium 145.0, Kalium 4.0, Magnesium 1.0, Kalsium 2.5, Klorida 127.0, Asetat 24.0, Malat 5.0, Teoritis Osmolaritas 309 mosm/l, pH 5.1-5.9 (Braun 2009). Koloid Koloid merupakan cairan resusitasi yang banyak digunakan pada kasus syok hipovolemik akibat hemoragi. Cairan koloid disebut juga sebagai cairan pengganti plasma atau biasa disebut “plasma substitute” atau “plasma expander” (Hartanto 2007). Koloid berkontribusi terhadap tekanan onkotik, sedangkan kristaloid tidak. Koloid sering digunakan sebagai resusitasi cairan secara cepat terutama pada syok hipovolemik/hemoragik atau pada penderita dengan hipoalbuminemia berat dan kehilangan protein yang banyak (Hartanto 2007). Pengaruh utama dari koloid adalah pemberian pada ruang intravaskular, dan koloid tidak bertindak untuk mengisi kompartemen ekstravaskuler. Administrasi kristaloid selain koloid dianjurkan untuk perlindungan dari kompartemen interstitinal dan intraseluler. Kerugian yang terkait dengan administrasi koloid adalah reaksi anafilaktoid, kelebihan volume, dan pada beberapa kasus terjadi muntah dan hipotensi. Koloid harus digunakan dengan hati-hati pada hewan dengan penyakit jantung atau gangguan ginjal karena ekspansi volume vaskular tidak dapat ditoleransi pada pasien ini (Donohoe 2012). Keuntungan utama dari cairan koloid yaitu mempunyai bobot molekular yang lebih rendah dibandingkan cairan koloid yang lain. Administrasi larutan gelatin succinylated menyebabkan terjadinya peningkatan volume plasma sekitar 10% lebih rendah dari volume yang diadministrasikan (DiBartola 2012).
5 Modified fluid gelatin 4% (Gelofusine®) adalah cairan penggantian volume koloid berdasarkan 4% cairan gelatin. Komposisi dari cairan tersebut adalah 1000 ml mengandung gelatin Succinylated (Dimodifikasi gelatin cairan ) 40.00 g, Natrium klorida 7.01 g, konsentrasi elektrolit Sodium 154 mmol/l, Klorida 120 mmol/l, Teoritis osmolaritas : 274 mOsm/I, pH : 7.4 ± 0.3 (Braun 2009).
Endotoksin Escherichia coli (E. coli) merupakan mikroflora alami yang dapat ditemukan pada usus hewan maupun manusia. Escherichia coli merupakan bakteri Gram negatif yang bersifat fakultatif anaerob, tumbuh pada suhu 37 oC, dan bergerak dengan flagela peritrichous. E. coli dapat ditemukan pada air yang terkontaminasi dengan kotoran, akibat sanitasi yang buruk. Kasus sepsis pada babi yang lebih muda memiliki gejala klinis diare berair, dehidrasi, lesu, tidak adanya penambahan berat badan, dan pneumonia (Salvadori et al. 2003). Endotoksin merupakan bagian dari membran luar dari dinding sel bakteri gram negatif. Aktivitas biologis endotoksin dikaitkan dengan lipopolisakarida (LPS). Kandungan lipid A dalam lipopolisakarida bersifat beracun yang menjadikan infeksi setiap bakteri gram negatif berpotensial menyebabkan masalah medis yang serius (Black 2004).
Leukosit Darah terdiri dari bagian padatan yang terdiri dari sel-sel dan bagian cairan yang disebut plasma. Sel-sel darah terdiri atas eritrosit, leukosit, dan trombosit yang dikenal sebagai benda-benda darah. Darah memiliki fungsi sebagai pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran pencernaan menuju jaringan tubuh, penyalur oksigen dari paru-paru ke jaringan dan CO2 dari jaringan ke paruparu. Selain itu berfungsi sebagai pembawa sisa metabolisme tubuh untuk dieksresikan melalui urin (ginjal), pembawa hormon ke organ lain dalam tubuh, penyeimbang asam-basa, serta penyeimbang kandungan air tubuh dan sebagai pembekuan darah sehingga mencegah terjadinya kehilangan darah yang berlebih pada saat luka (Ganong 2003). Menurut Tizard (1982), leukosit terdiri dari dua tipe yaitu polimorfonuklear leukosit (granulosit) dan mononuklear leukosit (agranulosit). Terdapat tiga jenis leukosit granuler yaitu: neutrofil, basofil, dan eosinofil. Leukosit agranuler dibagi menjadi dua yaitu limfosit dan monosit. Leukosit tipe polimorfonuklear diproduksi oleh ekstravaskularisasi dari sumsum tulang. Neutrofil merupakan sel bundar dengan diameter 12 μm. Memiliki granula halus dan ditengahnya terdapat nukleus bersegmen yang terdiri dari 2-5 lobus. Basofil adalah sel yang jumlahnya paling sedikit di dalam darah hewan. Jumlahnya sekitar 0.5% dari leukosit darah. Basofil memiliki granula yang bersifat yang bersifat basofilik seperti hematoksilin. Eosinofil memiliki sitoplasma berlobus dua, retikulum endoplasma, mitokondria dan aparatus golgi kurang berkembang (Tizard 1982).
6 Leukosit mononuklear mempunyai sitoplasma yang tidak memiliki granul seperti pada leukosit polimorfonuklear dan hanya memiliki satu buat inti. Limfosit normal memiliki inti relatif besar, bulat sedikit cekungan pada satu sisi, kromatin inti padat, anak inti baru terlihat dengan elektron mikroskop. Monosit berjumlah 3-8% dari total leukosit normal, memiliki diameter 9-10 μm, tetapi pada sediaan darah kering diameternya mencapai 20μm, atau lebih (Tizard 1982).
Gambar 3. Jenis-jenis leukosit (A. Mononuklear B. Polimorfonuklear)
METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari tanggal 6 Juni sampai dengan tanggal 11 Juli 2014. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Bedah Divisi Bedah dan Radiologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Institut Pertanian Bogor. Pemeliharaan hewan dilakukan di kandang ruminansia kecil Unit Pengelolaan Hewan Laboratorium (UPHL) FKH IPB.
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan selama perlakuan adalah seperangkat alat bedah minor, laryngoscope, endotracheal tube, infus set, alat monitoring hemodinamik set (PiCCO2®, PULSION Medical Systems) seperti yang terlihat pada Gambar. 3, pompa syringe, three way stop cock, kateter intravena, jarum bulat tumpul, tabung EDTA, benang jahit silk dan polypropilen. Pengambilan data suhu tubuh dan pulsus jantung dilakukan dengan menggunakan termometer digital AKL -20901900848 GP Care dan pulse oxymetry magnetek 1300 yang dipasang pada pangkal ekor hewan model. Resusitasi cairan menggunakan cairan koloid modified fluid gelatin 4% (Gelofusine®, B.Braun) dan cairan kristaloid ringer asetat malat (Ringerfundin®, B.Braun). Anestesi dilakukan dengan menggunakan obat bius yang terdiri dari ketamin 10% (Ketamil®, Ilium) dan xylazine 10% (Ilium Xylazil-100®, Ilium) via intramuskular untuk induksi anestesi, isoflurane
7 (Aerrane®, Baxter) untuk anestesi tambahan, dan ketamin 10% 6 ml/jam via intravena untuk maintenance. Induksi sepsis dilakukan dengan pemberian endotoksin LPS secara intravena dan eutanasia dilakukan dengan pemberian Kalium Klorida (KCL 7.46®, Otsuka) secara intravena. Pemeriksaan darah menggunakan hematology analyzer (RT–7600S Hematology Analyzer, Rayto).
Gambar 4 Alat PiCCO3
Gambar 5 Tabung EDTA
Tahap Persiapan Anak babi (Sus scrofa) jantan atau betina sejumlah 10 ekor berumur 2-3 bulan dengan berat badan 8-13 kg diperiksa dan dinyatakan sehat secara klinis dan radiologis oleh dokter hewan. Anak babi dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama terdiri dari 5 ekor babi yang diberikan perlakuan dengan pemberian MFG 4%. Kelompok kedua diberikan perlakuan dengan pemberian RAM pada 5 ekor babi. Penelitian ini dilakukan dengan persetujuan kode etik dari komisi etik hewan IPB dengan nomor FRM/FKH/000-78.
8 Adaptasi Hewan Adaptasi anak babi dilakukan selama tujuh hari sebelum dilakukannya operasi. Adaptasi dilakukan dalam lingkungan dan pakan baru untuk membiasakan hewan dan mengurangi tingkat stres pada anak babi. Anak babi diberi pakan dan minum (ad libitum) pada pagi dan sore hari. Kandang hewan dibersihkan pada pagi dan sore hari dan disterilkan tiga hari sekali. Anak babi juga menjalani penapisan sebelum penelitian yang meliputi: pemeriksaan fisik, pemeriksaan radiologi, pemberian antibiotik Enrofloxacin (Roxine®, Sanbe Farma) dengan dosis 6-11 mg/kg berat badan melalui intramuskular dan pemberian obat cacing oxfendazole (Vermo-O®, Sanbe) 5 mg/kg berat badan secara peroral.
Tahap Perlakuan Administrasi ketamin dan xylazine sebagai induksi anestesi dilakukan secara intramuscular pada m. semimembranosus/ semitendinosus. Setelah anak babi terbius, dilakukan pemasangan saturasi oksigen probe pada pangkal ekor, jalur intravena perifer di telinga, dan pemasangan endotracheal tube untuk pemasangan alat anestesi pada saat anak babi teranestesi. Setelah itu dilakukan pemasangan kateter pada vena cava. Induksi endotoksin (Gambar 6) dilakukan secara intravena sebanyak 50 µg/kg berat badan. Sepsis dikatakan telah terjadi jika terlihat parameter yaitu demam (suhu tubuh > 39,8 ºC) atau hipotermia (suhu tubuh < 38,7 ºC), takikardia (frekuensi jantung > 120 kali/menit) dan takipnea (frekuensi napas > 58 kali/menit). Pemantauan tanda-tanda renjatan sepsis dilihat dari Extravascular Lung Water (EVLW) > 10 ml/kg, penurunan tekanan darah, denyut nadi yang meningkat, takikardia dengan penurunan perfusi, pemanjangan waktu pengisian kapiler, dan ekstremitas dingin. Setelah tanda-tanda renjatan sepsis terlihat, dilakukan pemberian RAM atau MFG 4% (Gambar 7) sebanyak 20 ml/kg bobot badan. Setelah semua sampel diperoleh, dilakukan eutanasia menggunakan kalium klorida sebanyak 20 ml.
Gambar 6 Pengambilan sampel darah
9
Gambar 7 Induksi endotoksin
Gambar 8 Resusitasi cairan Pengambilan sampel darah (Gambar 5) dilakukan melalui kateter yang dipasang pada vena cava dengan syringe 3 ml. Kemudian darah yang telah diambil dimasukkan pada tabung khusus yang mengandung antikoagulan EDTA. Sampel darah diambil pada saat setelah anastesi (penapisan), saat sepsis, dan 3 jam setelah dilakukan resusitasi cairan. Sampel darah yang diambil selanjutnya dikirim ke laboratorium komersial untuk dianalisis menggunakan hematology blood analyzer analyzer (RT–7600S Hematology Analyzer, Rayto) dengan metode otomatik optik.
10
Anastesi Pengambilan sampel darah I Induksi endotoksin Pengambilan sampel darah II
Sepsis
Renjatan sepsis
Kelompok I Cairan koloid (modified fluid gelatin 4%) )
Kelompok II Cairan kristaloid (ringer asetat malat)
3 jam setelah resusitasi cairan
Pengambilan sampel darah III
Eutanasia Gambar 9 Alur pengambilan sampel darah
Prosedur Analisis Data Data yang diperoleh dinyatakan dalam rataan dan simpangan baku. Data diolah menggunakan IBM SPSS Statistic 20 dan Microsoft Excel 2013. Data variabel dianalisis menggunakan analisis ragam One-way Analyze of Variant (ANOVA), kemudian dilanjutkan dengan uji Duncan pada selang kepercayaan 95%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Jumlah Total Leukosit Leukosit mempunyai peranan dalam pertahanan seluler dan humoral terhadap organisme asing. Leukosit dapat melakukan gerakan amuboid dan
11 melalui proses diapedesis, leukosit dapat meninggalkan kapiler dengan menerobos sel-sel endotel (Colville dan Bassert 2002). Data rataan jumlah total leukosit disajikan pada tabel 1. Rataan jumlah total leukosit saat penapisan pada kelompok babi MFG 4% adalah 18.04±3.42x103/µL dan RAM adalah 15.86±3.09x103/µL. Hasil ini menunjukkan bahwa penggunaan MFG 4% maupun RAM pada penapisan memperoleh hasil tidak adanya perbedaan nyata pada rataan jumlah total leukosit antar kelompok perlakuan maupun antar tahap pengambilan darah. Rataan jumlah total leukosit saat penapisan berada dikisaran normal. Jumlah total leukosit normal pada babi adalah 7-20x103/μL (Hanifah 2015). Tabel 1 Rataan jumlah total leukosit (x103/µL) Waktu pengambilan data
Kelompok babi MFG 4% RAM Penapisan 18.04±3.42a,x 15.86±3.09a,x Sepsis 3.46±1.72a,y 8.22±2.30b,y a,y Tiga jam setelah resusitasi cairan 3.02±1.19 3.56±1.35a,z Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Huruf superscript (x,y,z) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan data.
Jumlah Eosinofil Eosinofil merupakan leukosit yang bergranul berukuran hampir sama dengan neutrofil. Sel ini dapat memfagosit berbagai macam partikel, mikroorganisme atau kompleks antigen-antibodi terlarut, namun kurang efisien dibandingkan neutrofil. Selain itu, peran spesifik sel eosinofil ini adanya hubungan dengan alergi dan infeksi parasit (Lekstron dan Galin 2000). Hasil rataan jumlah eosinofil saat penapisan menunjukkan jumlah eosinofil berada diatas kisaran normal. Kelompok MFG 4% saat penapisan menunjukkan jumlah yang tidak berbeda nyata sebesar 0.37±0.16×103/µL, sedangkan pada RAM menunjukkan adanya perbedaan nyata sebesar 0.23±0.15×103/µL. Hanifah (2015) mengatakan bahwa jumlah eosinofil normal pada babi yaitu 00.10×103/µL. Peningkatan eosinofil ini diakibatkan oleh adanya suatu alergi dan infeksi parasit (Lekstron dan Galin 2000). Saat terjadi infeksi parasit maupun reaksi alergi, eosinofil diproduksi dan akan bermigrasi ke arah sel sasaran karena adanya rangsangan mediator yang diproduksi oleh limfosit T, mastosit, dan basofil yang disebut juga eosinophil chemotacticfactor of anaphilaxis/ECF-A (Kresno 2001). Rataan jumlah eosinofil saat sepsis pada pemberian MGF 4% maupun RAM mengalami penurunan namun tidak menunjukkan jumlah yang berbeda nyata dan berada pada kisaran normal yaitu sebesar 0.02±0.02×103/µL pada MFG 4% dan 0.07±0.08×103/µL pada RAM. Penurunan jumlah eosinofil dalam sirkulasi diduga sebagai respon sekunder terhadap stres yang disebabkan oleh infeksi bakteri akut. Hal ini menunjukkan bahwa hewan mengalami eosinopenia. Eosinopenia menurut Abidi et al. (2008) merupakan penanda diagnosis sepsis.
12 Tabel 2 Rataan jumlah eosinofil (×103/µL) Waktu pengambilan data
Kelompok babi MFG 4% RAM Penapisan 0.37±0.16a,x 0.23±0.15b,x Sepsis 0.02±0.02a,y 0.07±0.08a,y a,y Tiga jam setelah resusitasi cairan 0.02±0.03 0.02±0.03a,y Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan data.
Jumlah Neutrofil Neutrofil merupakan sel pertahanan pertama terhadap infeksi mikroorganisme dari luar. Proses pembentukan neutrofil terjadi di sumsum tulang dan dikirimkan ke pembuluh darah dalam keadaan matang yang bisa menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus bahkan dalam sirkulasi pembuluh darah. Pada saat penapisan rataan jumlah neutrofil berada dalam jumlah normal babi pada kedua kelompok. Kelompok MFG 4% saat penapisan menunjukkan jumlah yang tidak berbeda nyata sebesar 9.02±1.58×103/µL, sedangkan pada RAM menunjukkan adanya perbedaan nyata sebesar 6.17±1.53×103/µL. Jumlah neutrofil normal pada babi adalah 1.96-12x103/μL (Hanifah 2015). Sepsis mengakibatkan jumlah neutrofil mengalami penurunan yang berbeda nyata antara kedua kelompok. Tiga jam setelah resusitasi mengalami penurunan yang tidak berbeda nyata antar kedua kelompok akan tetapi pada kelompok pemberian MFG 4% mengalami penurunan secara perlahan dibandingkan RAM (Tabel 3). Tabel 3 Rataan jumlah neutrofil (×103/µL) Waktu pengambilan data
Kelompok babi MFG 4% RAM Penapisan 9.02±1.58a,x 6.17±1.53b,x Sepsis 1.27±0.91a,y 2.36±1.36a,y a,y Tiga jam setelah resusitasi cairan 1.09±0.36 1.77±1.27a,y Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan data.
Jumlah Limfosit Limfosit terdiri dari limfosit B, limfosit T, dan sel natural killer. Limfosit merupakan sel pertahanan utama dalam sistem imun tubuh. Limfosit B memiliki fungsi untuk membunuh bakteri dan membuat toksin bakteri menjadi inaktif. Limfosit T responsif terhadap reaksi alergi, transfusi, serta menolak transplantasi organ yang tidak sesuai karena sel ini memiliki fungsi menyerang virus, fungi, dan sel kanker. Sel natural killer memiliki fungsi sebagai sistem kekebalan selular nonspesifik (Tortora dan Derrickson 2006).
13 Rataan jumlah limfosit pada saat penapisan berada dalam kisaran normal anak babi pada kedua kelompok. Hanifah (2015) mengatakan bahwa jumlah limfosit normal pada anak babi yaitu 2.80-12×103/µL. Sepsis menunjukkan adanya penurunan jumlah limfosit yang berbeda nyata. Tiga jam setelah resusitasi MFG 4% mengalami penurunan jumlah limfosit yang tidak berbeda nyata (Tabel 4), sedangkan pada RAM mengalami penurunan yang berbeda nyata tetapi masih dalam kisaran normal. Tabel 4 Rataan jumlah limfosit (×103/µL) Waktu pengambilan data
Kelompok babi MFG 4% RAM Penapisan 8.65±2.07a,x 8.73±1.85a,x Sepsis 2.14±0.91a,y 4.92±2.09b,y a,y Tiga jam setelah resusitasi cairan 1.78±1.07 1.99±1.18a,z Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Huruf superscript (x,y, z) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan data.
Jumlah Monosit Monosit terbentuk di dalam sumsum tulang dan bersirkulasi dengan cepat sebelum akhirnya memasuki jaringan, kemudian monosit menjadi makrofag dan memiliki aktifitas dalam fagositosis mikroba (Lawhead dan Baker 2005). Rataan jumlah monosit pada saat penapisan yang didapatkan menunjukkan jumlah dari RAM masih dalam kisaran normal, sedangkan pada cairan MFG 4% mengalami penurunan. Jumlah normal monosit pada babi yaitu 0.14-2.00×103/µL (Hanifah 2015). Sepsis mengakibatkan penurunan jumlah monosit yang tidak berbeda nyata. Saat perlakuan tiga jam setelah resusitasi cairan terjadi penurunan yang berbeda nyata (Tabel 5). Fase akut infeksi atau peradangan juga menyebabkan penurunan jumlah monosit. Saat terdapat benda asing di dalam tubuh, neutrofil dan monosit akan dikeluarkan dari pembuluh darah untuk melakukan fagositosis. Berbeda dengan neutrofil yang memiliki cadangan di sumsum tulang, monosit tidak memiliki cadangan di sumsum tulang sehingga migrasi monosit dari pembuluh darah akan menyebabkan jumlah monosit di dalam sirkulasi mengalami penurunan (Voigt dan Swist 2011). Tabel 5 Rataan jumlah monosit (×103/µL) Waktu pengambilan data
Kelompok babi MFG 4% RAM Penapisan 0.00±0.00a,x 0.39±0.44b,x Sepsis 0.03±0.07a,x 0.31±0.17a,xy a,x Tiga jam setelah resusitasi cairan 0.09±0.07 0.08±0.09a,y Keterangan: Huruf superscript (a,b) yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar kelompok perlakuan. Huruf superscript (x,y) yang berbeda pada kolom yang sama menyatakan adanya perbedaan nyata (p<0.05) antar tahap pengambilan data.
14 Jumlah Basofil Basofil tidak ditemukan pada perlakuan karena basofil sangat jarang ditemukan di dalam peredaan darah. Penelitian ini sesuai menurut Colville dan Bassent (2002), hal ini normal terjadi karena basofil sangat jarang ditemukan di dalam peredaran darah.
Pembahasan Umum Terjadi tren penurunan jumlah total leukosit hingga dibawah batas normal pada kedua kelompok saat sepsis (Tabel 1). Penurunan leukosit ini diduga disebabkan karena induksi endotoksin ke dalam tubuh anak babi telah memicu penurunan salah satu atau sebagian besar jenis leukosit di dalam darah. Penurunan jumlah total leukosit pada banyak spesies menurut Jain (1993) berasal dari penurunan neutrofil dan/atau penurunan limfosit. Penelitian ini sejalan dengan Jain, bahwa nilai neutrofil dan limfosit mengalami penurunan. Rataan jumlah total leukosit waktu terjadi sepsis menunjukkan jumlah total leukosit mengalami penurunan hingga dibawah rataan normal, yaitu pada MFG 4% menjadi 3.46±1.72x103/µL dan pada RAM mengalami penurunan secara perlahan menjadi 8.22±2.30x103/µL. Data rataan jumlah total leukosit saat tiga jam setelah resusitasi cairan pada MFG 4% menjadi 3.02±1.19x103/µL dan pada RAM menjadi 3.56±1.35x103/µL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan MFG 4% mengalami penurunan yang berbeda nyata dibanding RAM. Secara keseluruhan, kedua kelompok perlakuan cenderung mengalami penurunan jumlah total leukosit namun tidak menunjukkan adanya berbeda nyata. Penurunan rataan jumlah total leukosit menunjukkan adanya salah satu tanda diagnosa sepsis yaitu leukositopenia. Leukositopenia mengindikasikan penarikan makrofag, neutrofil dan fibroblas menuju jaringan yang rusak pada fase proliferasi sehingga menyebabkan jumlah total leukosit di dalam sirkulasi menurun (Macfarlane et al. 2000). Saat sepsis, aktivasi dari imunitas tubuh alami khususnya sel fagosit mononuklear, bereaksi terhadap endotoksin yang dinamakan lipopolisakarida (LPS). Pada sirkulasi, LPS berikatan dengan lipopolysaccharide binding protein/LBP) (Paterson dan Webstar 2000). Dalam aliran darah, LPS akan terikat pada protein yang bersirkulasi kemudian berinteraksi dengan reseptor makrofag, limfosit, dan monosit serta sel lain pada sistem retikuloendotelial. Hal ini akan mengakibatkan pelepasan sitokin dan pengaktifan jalur komplemen dan koagulasi. Peristiwa tersebut dapat diamati secara klinis sebagai demam, leukopenia, hipoglikemia, hipotensi, syok, koagulasi intravaskuler hingga kematian karena disfungsi organ (Guntur 2007). Usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu: IFN- γ, IL-2, dan M-CSF (Macrophage Colony Stimulating Factor). Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL- 6, dan IL-10. IFN-γ merangsang makrofag mengeluarkan sitokin proinflamasi lainnya sehingga pada keadaan sepsis terjadi peningkatan kadar IL-1β dan TNF-α. Pada beberapa kajian ditemukan bahwa TNF-α dan IL-2 dapat merusak endotel pembuluh darah (Guntur 2007).
15 TNF-α merupakan molekul proinflamasi yang memiliki peranan penting pada sepsis (Riedemann et al. 2003), hal ini sesuai dengan penelitian bahwa neutrofil (Tabel 3) dan monosit (Tabel 5) mengalami penurunan pada saat sepsis. Penurunan jumlah neutrofil didalam sirkulasi dapat terjadi karena penurunan produksi sel neutrofil di dalam sumsum tulang (Feldman 2000). Selanjutnya TNFα akan mengindikasikan penarikan neutrofil dan monosit ke tempat infeksi dengan cara menginduksi sel endotelial untuk mengekspresikan molekul adhesi untuk leukosit, terutama neutrofil (Abbas et al. 2005). Penurunan jumlah leukosit ini dapat disebabkan oleh keterpaparan antigen sebagai bentuk respon imun primer, yaitu dengan cara segera memobilisasi sel-sel monosit yang ada didalam darah ke dalam jaringan untuk menjadi makrofag dan memfagositosis antigen asing. Peran utama sel sistem fogositik mononuklear ini adalah melakukan fagositosis dan menghancurkan partikel asing dan jaringan mati, dan mengolah bahan asing sedemikian rupa sehingga bahan asing itu dapat membangkitkan tanggap kebal. Fagositosis oleh makrofag merupakan proses yang sama dengan neutrofil (Tizard 1982). Rataan jumlah limfosit pada kedua kelompok perlakuan saat penapisan menunjukkan jumlah limfosit yang normal anak babi (Tabel 4). Kondisi sepsis mengakibatkan penurunan jumlah leukosit yang berbeda nyata. Penurunan jumlah limfosit diduga disebabkan oleh adanya diferensiasi limfosit menjadi sel plasma untuk menghasilkan antibodi (Tizard 1982). Menurut Jain (1993), pembentukan antibodi seringkali tidak ditunjukkan oleh tingginya jumlah limfosit di peredaran darah. Jumlah limfosit memperlihatkan tren penurunan yang mengakibatkan jumlah limfosit jauh berada di kisaran normal pada tiga jam setelah resusitasi cairan. Penurunan limfosit yang lebih besar ditunjukkan oleh kelompok cairan koloid. Penurunan kadar limfosit dalam sirkulasi sistemik sebagai respon terhadap faktor-faktor proinflamasi merupakan tanda dari suatu kejadian sepsis (Russel 2006). Hasil jumlah eosinofil yang diperoleh saat penapisan menunjukkan jumlah yang tinggi berada diatas batas normal. Tingginya jumlah eosinofil ini diduga karena adanya paparan parasit dari lingkungan. Penelitian ini sesuai menurut Jain (1993), penurunan eosinofil terjadi pada kondisi adanya paparan parasit yang merangsang adanya peningkatan produksi eosinofil dan pelepasan eosinofil dari sumsum tulang. Menurut Coles (1986), tingginya jumlah eosinofil didalam darah dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas akibat adanya infeksi parasit dan reaksi alergi. Pada kondisi sepsis, jumlah eosinofil kemudian mengalami penurunan. Mekanisme penurunan eosinofil meliputi penurunan pelepasan eosinofil dari sumsum tulang, hemolisis intravaskular, dan peningkatan migrasi ke dalam jaringan (Jain 1993). Resusitasi cairan pada kedua kelompok anak babi menunjukkan hasil jumlah total leukosit yang tidak signifikan. Resusitasi MFG 4% menunjukkan penurunan jumlah total leukosit yang lebih signifikan dibandingkan RAM. Cairan yang direkomendasikan oleh Surviving Sepsis Campaign (SSC) untuk resusitasi pada pasien sepsis adalah kristaloid (Dellinger et al. 2013). Koloid pada SSC memang tidak menjadi pilihan utama dalam resusitasi, tetapi SSC masih merekomendasikan albumin dengan konsentrasi rendah sebagai cairan resusitasi mengingat fungsi koloid yang lebih lama bertahan dalam intravaskular.
16
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan Anak babi sepsis yang diinduksi LPS E. coli mengalami leukopenia. Pada saat sepsis terjadi kecenderungan penurunan jumlah leukosit pada kedua kelompok perlakuan. Secara umum baik MFG 4% maupun RAM tidak terdapat pengaruh yang nyata terhadap dinamika leukosit.
Saran Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan perlu adanya penelitian lanjutan untuk melihat efek sepsis terhadap sel darah putih dengan menggunakan kombinasi dua cairan koloid dan cairan kristaloid dengan beberapa perbandingan pada anak babi yang mengalami sepsis. Hasil leukosit perlu dikaji ulang dengan parameter lainnya seperti radiologi, ekokardiografi, serta analisis gas darah untuk melihat pengaruh dari cairan koloid maupun cairan kristaloid pada kejadian sepsis.
DAFTAR PUSTAKA Abbas AK, Lichtman AH. 2005. Cellular and Molecular Immunology. Philadelphia (US): Elsevier Science. pp:264,433-451. Abidi K, Khoudri I, Belayachi J, Madani N, Zekraoui A, Ali A, Zeggwagh, Abouqal R. 2008. Eosinopenia is a reliable marker of sepsis on admission to medical intensive care units. Crit Care Med. 12:1-10. Black JG. 2004. Microbiology Principles and Explorations. Ed ke-6. Virginia (US): John Willey & Sons Inc. Braun B. 2009. Infusion Therapy. Hospital Care.[Internet]. [diunduh 2015 Sept 22]. Tersedia pada: http://www.bbraun.ph/cps/rde/xchg/cw-bbraun-enph/hs.xsl/products.html. Brooks GF, Butel J, Morse AS. 2003. Medical Microbiology. Singapore (SG): Mc Graw Hill Company. p:217. Coles EH. 1986. Veterinary Clinical Pathology. Ed ke-4. California (US): WB Saunders Company. Colvile T, Bassent JM. 2002. Clinical Anatomy and Physiology for Veterinary Technicians. California (US). Mosby. Dellinger RP, Levy MM, Rodhes A. 2013. Surviving Sepsis Campaign: International Guidlines for Management of severe sepsis and septic shock: 2012. Crit Care Med. 41(2):595. DiBartola SP. 2012. Fluid, Electrolyte, and Acid Base Disorders in Small Animal Practice. Missouri (US): Elsevier Saunders.
17 Donohoe C. 2012. Fluid Therapy for Veterinary Technicians and Nurses. West Sussex (UK): Wiley-Balckwell. Eckburg PB, Bik EM, Bernstein CN, Purdom E, Dethlefsen L, Sargent M, Gill SR, Nelson KE, Relman DA. 2005. Diversity of the human intestinal microbial flora. Science. 308:1635-1638. El-Menyar A, Thani HA, Zakaria ER, Zarour A, Tuma M, Abdul Rahman H, Parchani A, Peralta R, Latifi R. 2012. Multiple organ dysfuncion syndrome. I J Clinl Med. 3:722-730. Feldman BF. 2000. Veterinary Hematology. Ed ke-6. California (US): Lippincot William & Wilkins. Ganong W. 2003. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of Medical Physiology). Ed ke-14. Jakarta (ID): Buku Kedokteran EGC. Goldstein B, Giroir B, Randolph A. 2005. International pediatric sepsis consensus conference: definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 6(1):2-8. Guntur H, Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Ed ke-11. Penyakit Tropik dan Infeksi: Sepsis. Jakarta (ID): Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. pp:1840. Hanifah AM. 2015. Evaluasi Profil Leukosit Anak Babi (Sus scrofa) Selama Manuver Rekrutmen pada Model Kerusakan Paru Akut Pediatrik [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Hartanto WW. 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran. Jain NC. 1993. Essentials of Veterinary Hematology. Philadelphia (US): Lea & Febiger. Kresno SB. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Ed ke-4. Jakarta (ID): Balai Penerbit FKUI. Lawhead JB, Baker M. 2005. Introduction to Veterinary Science. Melbourne (AU): Thomson & Learning. Leksana E. 2009. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Syok dan Terapi Cairan. Semarang (ID): CPD IDSAI Jateng FK Undip. Lekstron H, Galin JI. 2000. Immunodeficiency diseases and caused by defects in phagocytes. N Engl J Med. 343:1703. Macfarlane PS, Reid R, Callander R. 2000. Pathology Ilustrated. Ed ke-5. London (UK): Churchill Livingstone. Meurens F, Summerfield A, Nauwynck H, Saif L, Gerdts V. 2012. The pig: a model for human infectious disease. Trends in Microbiology. 20:1. Merx MW, Weber C. 2007. Sepsis and the Heart. Circulation. 116:793-802. O'Brien JM, Ali NA, Aberegg SA, Abraham E. 2007. Sepsis. Am J Med. 120:10 12-1022. Paterson RL, Webster NR. 2000. Sepsis and the systemic inflammatory response syndrome. J R Coll Surg Edinb. 45:178-18. Piagnerelli M, Boudjeltia KZ, Vanhaeverbeek M, Vincent JL. 2003. Red blood cell rheology in sepsis. Intensive Care Med. 29:1052-1061. Radostits OM, Gay CC, Blood DC, Hinchcliff KW. 2000. Veterinary Medicie A Textbook of the Disease of Cattle, Sheep, Pigs, Goats, and Horses. Ed ke-9. London (UK): WB Saunders Company Ltd.
18 Riedemann NC, Guo RF, Bernacki KD, Reuben JS, Laudes IJ, Neff TA, Gao H, Speyer C, Sarma VJ, Zetoune FS, Ward PA. 2003. Regulation by C5a of Neutrophil Activation during Sepsis. Cell Press. 19:193-202. Russel JA. 2006. Review of management of sepsis. N Engl J Med. 355:699-713. Salvadori MR, Valadares GF, Leite DS, Blanco J, Yano T. 2003. Virulence factors of Escherichia coli isolated from calves with diarrhea in Brazil. Braz J Microbiol. 34:230-235. Schortgen F, Deye N, Bochard L. 2004. Preferred plasma volume expanders for critically ill patients: result of an international survey. Intensive Care Med. 30:222-229. Shih CC, Chen SJ, Chen A, Wu JY, Liaw WJ, Wu CC. 2008. Therapeutic effects of hypertonic saline on peritonitis-induced septic shock with multiple organ dysfunction syndrome in rats. Crit Care Med. 36:1867-1872. Tizard I. 1982. Veterinary Immunology and Introduction. Ed ke-3. WB Saunders Co. Diterjemahkan oleh Masduki Partodireja: Airlangga University Press. Todar K. 2008. Bacterial Endotoxin. Todar’s online Textbook of Bacteriology [internet]. [diunduh 2014 Desember 26]. Tersedia pada: http://textbookof bacteriology.net/endotoxin.html. Tortora GJ, Derrickson B. 2006. Principles of Anatomy and Physiology. Ed ke-11. Danvers (US): Biological Sciences Textbook’s Inc. Vincent JL, Rello J, Marshall J, Silva E, Anzueto A, Martin CD, Moreno R, Lipman J, Gomersall C, Sakr Y. 2009. International study of the prevalence and outcomes of infection in intensive care units. JAMA. 302:2323-2329. Voigt GL, Swist SL. 2011. Hematology Techniques and Concepts for Veterinary Technicians. Ed ke-2. New Delhi (ID): Aptara Inc. Zadak Z, Hyspler R, Hronek M, Ticha A. 2010. The energetic and metabolic effect of ringerfundin (B.Braun) infusion and comparison with plasma-lyte (Baxter) in healthy volunteers. Acta Medica. 53(3):131-137.
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 24 Maret 1993 di Depok. Penulis merupakan putri pertama dari dua bersaudara dari pasangan Bapak Hamim dan Ibu Siti Haemah. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar pada tahun 2005 di SDN 2 Gunungsindur. Pendidikan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2008 di SMPN 1 Gunungsindur dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2011 di SMA Negeri 1 Parung. Pada tahun yang sama Penulis lulus seleksi masuk Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Ujian Tulis Mandiri (UTM) dan diterima di Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis pernah menjadi asisten praktikum Ilmu Bedah Umum Veteriner 1 pada tahun ajaran 2014/2015. Penulis pernah mengikuti kegiatan Program Kreativitas Mahasiswa yang didanai oleh DIKTI sebagai ketua pada tahun 2014. Penulis juga aktif dalam beberapa organisasi. Adapun organisasi yang diikuti yaitu sebagai anggota Departemen Informasi dan Komunikasi Mahasiswa BEM FKH IPB (2012-2013), anggota Divisi Eksternal HIMPRO RUMINANSIA (2012-2015), serta anggota Sorcherry Riding Club (2011-sekarang). Penulis merupakan bagian dari rombongan Mahasiswa Abdi Nusantara FKH IPB yang bekerjasama dengan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi Riau dalam program pemberantasan rabies di Provinsi Riau pada bulan Agustus 2014. Penulis juga pernah mengikuti kegiatan magang profesi dan beberapa kepanitiaan kegiatan kampus FKH IPB.