EVALUASI RADIOGRAFI JANTUNG ANAK BABI (Sus scrofa) SEPSIS DENGAN TERAPI CAIRAN KOLOID ATAU KRISTALOID
ANKGIE HERRIS STIARLDI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Evaluasi Radiografi Jantung Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis dengan Terapi Cairan Koloid atau Kristaloid adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Oktober 2015 Ankgie Herris Stiarldi B04110020
ABSTRAK ANKGIE HERRIS STIARLDI. Evaluasi Radiografi Jantung Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis dengan Terapi Cairan Koloid atau Kristaloid. Dibimbing oleh HARRY SOEHARTONO dan RIKI SISWANDI. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi radiografi kardiovaskular anak babi sepsis dan diterapi menggunakan resusitasi cairan. Sebanyak 10 anak babi berusia 2-3 bulan dan 8-13 kg berat badan dibagi kedalam dua kelompok perlakuan resusitasi. Kondisi sepsis diinduksi dengan menyuntikan lipopolisakarida (LPS) dari E.coli. Resusitasi cairan diberikan setelah renjatan sepsis terjadi. Kelompok pertama diberikan koloid (modified fluid gelatin 4% / MFG 4%) dan kelompok kedua diberikan kristaloid (ringer asetat malat / RAM). Evaluasi radiografi dilakukan sebelum induksi sepsis dan setelah resusitasi cairan. Hasil yang diperoleh menunjukan pada arah pandang lateral nilai Vertebrae Heart Score (VHS) kelompok RAM meningkat dibandingkan kelompok MFG 4%. Nilai sudut jantung berkisar 46.80-49.20 dan rasio HH:HC adalah 4:5. Peningkatan nilai ini diduga jantung mengalami kompensasi edema yang ditimbulkan akibat respon infeksi sistemik pada keadaan sepsis. Pada lapang pandang dorsoventral nilai CTR meningkat baik pada kelompok MFG 4% maupun RAM. Nilai A
ABSTRACT ANKGIE HERRIS STIARLDI. Evaluation of Cardiovascular Radiography Septic Piglet and Treated with Colloid or Crystalloid Fluid. Supervised by HARRY SOEHARTONO and RIKI SISWANDI. This study was conducted to evaluate cardiopulmonary radiographic of septic piglets and treated with fluid resuscitation. As many as 10 piglets aged 2-3 months and 8-13 kgs in body weight were subjected into two resuscitation treatment groups. Septic condition was inducted by lipopolysacharide (LPS) injection from E. coli . Fluid resuscitation was imitiated after septic shock confirmed. The first group received coloid (modified fluid gelatin 4% / MFG 4%) and the second received crystalloid (ringer asetat malat / RAM). Radiographic evaluation was performed before septic induction and after fluid resuscitation. The result showed that Vertebrae Heart Score (VHS) value in RAM group was increased than MFG 4% group on lateral view. The angle heart value were ranged between 46.80-49.30, and the ratio HH:HC is 4:5. The increased value is happened because heart suspected by become edema compensation which appeared by systemic infection response in septic condition. CTR value increased in MFG 4% and RAM group on dorsoventral view. Value of A
EVALUASI RADIOGRAFI JANTUNG ANAK BABI (Sus scrofa) SEPSIS DENGAN TERAPI CAIRAN KOLOID ATAU KRISTALOID
ANKGIE HERRIS STIARLDI
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Evaluasi Radiografi Jantung Anak Babi (Sus scrofa) Sepsis dengan Terapi Cairan Koloid atau Kristaloid”. Skripsi ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi banyak pihak dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana dari Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Terima kasih penulis ucapkan kepada Drh R Harry Soehartono, MAppSc, PhD selaku pembimbing pertama dan Drh Riki Siswandi, MSi selaku dosen pembimbing kedua, serta Prof Drh Ekowati Handharyani, MSi, PhD selaku dosen pembimbing akademik penulis. Terimakasih untuk ibunda tercinta ibu Ati Rosniawati, ayahanda bapak Hery Suherna, dan adik penulis tercinta Seyla Dinda Putri atas segala doa dan kasih sayang yang tidak pernah henti-hentinya penulis rasakan. Terimakasih untuk teman-teman dalam penelitian ini, Abhi, Cerel, Cindi, Ega, Rina dan willa. Terimakasih untuk Faiz, Abang, Adam, Adi, Oge, Pakcoy, dan Aqin atas kebersamaan dan dukungannya selama di kosan “kosim” selama 3 tahun kebelakang. Terimakasih untuk Fitriatus Shaleha atas semangat dan dukungannya. Terimakasih untuk teman-teman Ganglion FKH 48 atas semangat dan kebersamaanya. Penulis menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini, sehingga perlu kritik dan saran yang bersifat membangun. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan, khususnya dibidang medik veteriner.
Bogor, Oktober 2015 Ankgie Herris Stiarldi
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
vi
DAFTAR GAMBAR
vi
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
1
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
TINJAUAN PUSTAKA
2
Sepsis
2
Cairan Koloid dan Kristaloid
3
Interpretasi Radiografi
5
Hewan Model
6
METODE
6
Waktu dan Tempat
6
Alat dan Bahan
6
Tahap Persiapan
7
Adaptasi Hewan
8
Tahapan Perlakuan
8
Teknik Interpretasi Radiologi
9
Prosedur Analisis Data
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
10
Nilai R, L, RH, LH, dan CTR
10
NIlai A < LC/2
11
Perbandingan Nilai HH:HC dan Nilai Sudut Jantung
12
Nilai Long Axis, Short Axis, dan Vertebrae Heart Score
13
SIMPULAN DAN SARAN
16
Simpulan
16
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
16
RIWAYAT HIDUP
19
DAFTAR TABEL 1
Rataan Nilai R, L, RH, LH, dan CTR
10
2
Rataan Nilai A dan LC/2
11
3
Rataan Nilai HH:HC dan sudut jantung
13
4
Rataan Nilai LA, SA, dan VHS
14
DAFTAR GAMBAR 1
Anak babi
6
2
Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian
7
3
Tahapan perlakuan
8
4
Pengukuran radiografi jantung lapang pandang DV
11
5
Pengukuran nilai A dan LC
12
6
Pengukuran nilai HH:HC
12
7
Pengukuran nilai sudut jantung
13
8
Pengukuran nilai VHS
14
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sepsis merupakan keadaan klinis yang ditandai dengan sindrom respon inflamasi sistemik (SIRS) disertai bakteri patogen (infeksi). Bakteri patogen tersebut ditemukan melalui kultur atau pewarnaan gram dari spesimen tubuh seperti darah, sputum, feses, urin, dan spesimen tubuh lainnya (Merx dan Weber 2007). Hasil penelitian Vincent et al. (2009), menunjukan 70% pasien yang sepsis menghasilkan kultur mikrobiologis positif. Sebesar 62% dari isolat positif merupakan bakteri gram negatif. Komponen toksikan dari bakteri gram negatif adalah liposakarida sebagai endotoksin. Menurut Burkovskiy (2013), komponen beracun pada bakteri gram negatif dianggap sebagai penyebab infeksi. Sepsis meningkatkan risiko kematian 15-20% pada setiap kegagalan satu organ yang menimbulkan komplikasi disfungsi organ (Martin et al. 2005). Sistem kardiovaskular adalah salah satu organ yang paling sering terpengaruh pada keadaan sepsis berat dan renjatan sepsis. Renjatan sepsis adalah gangguan sistem kardiovaskular ditandai dengan penurunan fungsi pompa jantung kiri, gambaran sirkulasi yang hiperdinamik, dan curah jantung tinggi (Priyantoro et al. 2010). Resusitasi cairan merupakan tata laksana terkini untuk sepsis yang mengoptimalkan hemodinamik dalam 6 jam pertama, dikenal sebagai early goal directed therapy. Target resusitasi cairan antara lain mempertahankan central venous pressure (CVP) 8-12 mmHg, mean arterial pressure (MAP) 65 mmHg dan saturasi vena cava cranialis (ScvO2) 70% (Nguyen dan Rivers 2005). Sampai saat ini pemilihan cairan kristaloid atau koloid sebagai cairan resusitasi yang ideal masih menjadi kontroversi. Survei kepada lebih dari 2400 dokter ICU dari European and French Intensive Care Societies, sebanyak 65% klinikus menggunakan kombinasi kristaloid dan koloid seperti ringer laktat, hydroxyethyl starch (HES), dan gelatin sebagai cairan resusitasi (Schortgen et al. 2004). Sepsis diduga menyebabkan perubahan pada regio toraks. Perubahan regio toraks terutama pada sistem kardiovaskular dapat dianalisis dengan berbagai metode diagnosa, salah satunya pada renjatan sepsis dilakukan dengan metode analisais radiografi. Kondisi jantung yang mengalami perubahan bentuk dan ukuran dapat diketahui dari hasil interpretasi radiografi.
Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian yang disusun dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
2 1. Bagaimanakah perbedaan perubahan gambaran radiografi jantung sebelum induksi sepsis dan setelah resusitasi cairan koloid (modified fluid gelatin 4%) atau kristaloid (ringer asetat malat)? 2. Apakah ada perbedaan gambaran radiografi setelah resusitasi cairan pada kelompok hewan yang menggunakan cairan koloid (modified fluid gelatin 4%) dan kristaloid (ringer asetat malat )?
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi gambaran radiografi jantung sebelum sepsis dan setelah resusitasi cairan pada kelompok model anak babi.
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu mengetahui pengaruh pemberian terapi cairan koloid (Modified fluid gelatin 4%) dan kristaloid (Ringer asetat malat) pada kejadian sepsis.
TINJAUAN PUSTAKA Sepsis
Sepsis adalah sindroma respon inflamasi sistemik klinik yang terjadi dengan etiologi mikroba yang terbukti atau dicurigai. Bukti klinisnya berupa suhu tubuh abnormal (>380C atau <360C), takikardi, asidosis metabolik. Biasanya disertai dengan alkalosis respiratorik terkompensasi dan takipneu, dan peningkatan atau penurunan jumlah sel darah putih (Runge dan Greganti 2009). Sepsis merupakan proses infeksi dan inflamasi yang kompleks. Menurut Guntur (2008) hal tersebut dapat ditandai dengan menurunnya kadar limfosit dalam sirkulasi sistemik sebagai respon terhadap faktor-faktor proinflamasi. Kelebihan produksi sitokin inflamasi akan menyebabkan aktivasi respon sistemik terutama pada paru-paru, hati, ginjal, usus, dan organ lainnya sehingga dapat terjadi apoptosis, nekrosis jaringan, multi organ dysfunction (MOD), renjatan sepsis, serta kematian. Pada sepsis terjadi kerusakan sel endotelial mikrovaskular serta pelepasan mediator inflamasi oleh sel endotel. Disfungsi endotel menyeluruh mempunyai peran penting dalam patogenesis renjatan sepsis, dengan akibat terjadinya peningkatan permeabilitas sehingga timbul edema dan kehilangan cairan yang cukup banyak ke jaringan interstisial. Hal ini menimbulkan efek hipotensi yang diperberat oleh vasodilatasi perifer akibat dilepaskannya kinin, histamin, dan peptida vasoaktif lainnya selama aktivasi kaskade inflamasi (Vincent dan Abraham 2006).
3 Sepsis yang disertai disfungsi organ atau hipoperfusi didefinisikan sebagai sepsis berat sedangkan renjatan sepsis adalah sepsis yang disertai disfungsi organ kardiovaskular (Goldstein 2005). Sepsis berat disertai dengan keterlibatan satu atau lebih gangguan sistem organ yang diawali dengan menurunnya perfusi ke jaringan sehingga mengakibatkan disfungsi sistem organ, gangguan perfusi dan sistem organ yang ditandai dengan adanya ruam kulit yang kemerahan, peningkatan waktu pengisian kapiler ≥ 3 detik, penurunan produksi urin, pengingkatan laktat serum, perubahan drastis status mental atau elektroensepalogram, penurunan jumlah trombosit, acute lung injury atau sindrom pernafasan akut dan kelainan fungsi jantung yang dibuktikan melalui pemeriksaan echocardiography (Merx dan Weber 2007). Pada renjatan sepsis dapat ditemukan tanda gangguan sirkulasi seperti penurunan kesadaran, penurunan tekanan darah, akral dingin, sianosis, perabaan nadi yang lemah, peningkatan waktu pengisian kapiler serta oliguria. Selain itu dijumpai pula gangguan respirasi seperti takipnea, asidosis metabolik serta edema paru (O’Brien et al. 2007).
Cairan Kristaloid dan Koloid
Cairan kristaloid dan koloid merupakan cairan yang sering digunakan pada terapi sepsis. Pembagian jenis ini sudah dikenal lama yang bertujuan untuk membedakan larutan melalui membran atau tidak dapat melalui membran, tetapi masih terdapat kontroversi mengenai cara penggunaannya. Beberapa ahli mengungkapkan bahwa parameter yang dapat digunakan sebagai indikator kecukupan cairan intravaskular adalah kesadaran cukup baik, denyut nadi kuat, tekanan darah stabil (sistolik dan diastolik), dan produksi urin yang cukup (Shih et al. 2008).
Koloid
Larutan koloid merupakan larutan homogen yang mengandung partikel dengan berat molekul besar yaitu > 20.000 dalton, sehingga dapat digunakan untuk mempertahankan tekanan onkotik dan volume intravaskular. Partikel dari larutan koloid tidak dapat digabungkan atau dipisahkan dengan filtrasi atau sentrifugasi. Koloid dapat dipisahkan menjadi dua kelompok yaitu: golongan protein dan non protein (semisintesis). Jenis larutan koloid bermacam-macam seperti albumin, dekstran, gelatin dan juga Hydroxyethyl starch (HES), dimana penggunaan masing-masing dari larutan tersebut memiliki keuntungan dan kerugian masing-masing (Doran C 2011). Gelatin mempunyai berat molekul 100.000 sampai dengan 120.000 dalton. Pemberian gelatin dapat menimbulkan bekuan apabila diberikan bersama-sama transfusi karena mengandung kalsium sehingga pemberiannya harus dipisahkan. Setelah pemberian intravaskular gelatin mengalami degradasi menjadi asam amino yang dapat dipertahankan volumenya sampai 2 jam dan dapat bertahan sampai 7 hari. Ekskresi gelatin melalui urin. Efek samping yang kurang disukai
4 adalah reaksi alergi meskipun efek terhadap koagulasi lebih ringan dibandingkan koloid lain (Nguyen et al. 2005). Gelatin yang digunakan dalam penelitian ini adalah modified fluid gelatin 4% Gelofusin®. Gelofusin® merupakan cairan yang sesuai dengan darah dan semua produk darah. Indikasi dari Gelofusin® antara lain pengobatan dan pencegahan untuk shock dan hypovolaemia serta mencegah terjadi hypotension selama anastesi spinal dan epidural. Kontraindikasi dari pemakaian Gelofusin® yaitu pada pasien dengan hypovolaemia, hipersensitivitas terhadap komposisi yang terdapat di dalam cairan Gelofusin®, hyperhidration, gangguan jantung, dan gangguan pembekuan darah. Komposisi/kandungan konsentrasi elektrolit dari cairan Gelofusin® antara lain sodium 154 mmol/l, klorid 120 mmol/l, osmolaritas 274 mosmol/l serta pH 7.4 ± 0.3 (Braun 2005).
Kristaloid
Larutan kristaloid merupakan larutan yang bersifat isotonis. Contoh larutan kristaloid yang sering digunakan adalah ringer laktat (RL), ringer asetat (RA), dan NaCl 0.9%. Larutan kristaloid mengandung elektrolit dalam berbagai macam komposisi. Natrium merupakan kandungan utama dalam larutan ini. Dalam penanganan sepsis, larutan kristaloid yang diberikan intravaskular hanya akan menambah volume ekstraselular saja yaitu dengan proporsi sekitar 20 % tetap di intravaskular dan sebagian besar menambah cairan interstisial. Pada penelitian ini larutan kristaloid yang digunakan adalah ringer asetat malat (RAM) Ringerfundin®. Kandungan dari larutan RAM adalah anion asetat dan malat yang dapat dimetabolisme di hati menjadi bikarbonat. Satu mol asetat akan diubah menjadi satu mol bikarbonat, sedangkan satu mol malat akan diubah menjadi dua mol bikarbonat. Malat bekerja dalam waktu lebih lama dibanding asetat, oleh karena itu kombinasi keduanya merupakan pilihan yang baik dalam resusitasi cairan (Zander 2006). Menurut Braun (2005) Ringer asetat malat adalah larutan elektrolit penuh pertama mengandung kombinasi unik dari asetat dan malat. Ringer asetat malat berisi 24 mmol/l asetat dan 5 mmol/l malat, dimana total asetat dan malat melepaskan 34 mmol/l bikarbonat. Asetat dan malat lebih disukai daripada laktat, karena metabolisme mereka tidak hanya terbatas pada hati tetapi juga dimetabolisme di seluruh jaringan. Menurut Braun (2005) kriteria larutan RAM Ringerfundin® diantaranya merupakan larutan elektrolit penuh, isotonis, berisi asetat malat bukan berisi laktat, base exces potensial yang seimbang, dan menjaga konsumsi oksigen yang rendah. Komposisi kation dari Ringerfundin antara lain Na+, K+, Mg2+, dan Ca2+, sedangkan komposisi anionnya terdiri dari Cl-, asetat, dan malat berbeda dengan ringer laktat yang komposisi anionnya terdiri dari Cl- dan laktat. Larutan kristaloid memiliki beberapa keuntungan yaitu, mudah didapat, murah, efek samping minimal, sehingga sering digunakan sebagai tata laksana yang membutuhkan cairan intravaskular (renjatan hipovolemik). Sedangkan kerugiannya adalah dengan penambahan intravaskular, sebagian besar cairan akan berpindah ke intersisial sehingga memudahkan terjadinya edema intersisial dan salah satu yang sering adalah edema paru. Dengan demikian terlihat bahwa
5 adanya edema interstisial (dalam hal ini edema paru) belum tentu menggambarkan bahwa cairan intravaskular sudah cukup. Hal inilah yang sering membuat tata laksana resusitasi cairan kehilangan pegangan apabila tidak menggunakan indikator lain sebagai parameter kecukupan cairan intravaskular (Shih et al. 2008).
Interpretasi Radiografi
Interpretasi radiografi merupakan suatu proses membaca hasil pemaparan sinar X yang berperan untuk membantu diagnosa klinis. Ada beberapa tahap yang harus diperhatikan untuk mendapatkan interpretasi yang baik dan berujung pada diagnosa yang akurat yaitu pemeriksaan anamnesa, pemeriksaan fisik, teknik radiografi yang benar, dan evaluasi radiografi (Morgan dan Wolvekomp 2004). Prosedur radiografi yang benar akan memberikan hasil radiografi yang benar sehingga memudahkan dalam pembacaan. Prosedur yang salah dapat menyebabkan radiografi tidak mempunyai nilai diagnosa sama sekali apabila radiografi tersebut tidak dapat dibaca serta informasi yang diinginkan dari radiografi hewan tidak dapat ditemukan. Selain prosedur radiografi, harus diperhatikan juga tata cara pengamatan radiografi yang benar agar tidak salah membuat suatu diagnosa. Radiografi merupakan gambaran dua dimensi dari suatu struktur atau organ yang berupa tiga dimensi sehingga perlu diimajinasikan dalam bentuk asalnya yaitu tiga dimensi. Untuk mendapatkan imajinasi tiga dimensi tersebut, pengambilan foto harus dengan posisi sudur pandang yang tepat serta diperlukan minimal dua radiografi dengan sudut pandang yang berbeda ketika pengamatan radiografi (Tayal 2004). Dalam melakukan pemeriksaan rubahan radiografi, terutama pemeriksaan pada bagian toraks, menggunakan dua arah pandang, yaitu laterolateral dan dorsoventral (DV). Arah pandang left laterolateral dapat digunakan untuk melihat perubahan pada jantung dan vaskularisasi darah (Smith 2009). Arah pandang dorsoventral sangat penting dalam pemeriksaan jantung karena pada posisi ini jantung berada dalam posisi yang lebih dekat dengan sternum dan letak jantung mendekati posisi normal dalam toraks ketika hewan berada pada posisi tubuh normal (Thrall 2002). Beberapa parameter yang dapat diambil untuk melakukan evaluasi gambar radiologi yaitu, parameter yang diukur pada arah pandang laterolateral toraks meliputi Vertebrae Heart Size (VHS). Cara pengukuran dengan metode ini yaitu dengan membandingkan ukuran besar jantung dengan vertebrae thoracic melaluli gambaran radiografi (Buchanan dan Bücheler 1995). Parameter lain yang diukur pada arah pandang left laterolateral toraks adalah height of heart (HH), height of chest (HC), dan sudut jantung. Untuk pengukuran besar jantung pada arah dorsoventral, parameter yang diukur meliputi panjang maksimum jantung, lebar maksimum jantung, dan lebar toraks (Gardner et al. 2007).
6 Hewan Model
Babi merupakan hewan yang sering dipergunakan dalam penelitian biomedik, respirasi mekanik dan hemodinamik (Gambar 1). Anatomi jantung babi mempunyai kesamaan dengan jantung manusia kecuali pada vena azygous yang memvaskularisasi sitem interkostal ke arah sinus koronarius. Sistem koroner babi menunjukan kesamaan hampir 90% dengan manusia. Dalam hal fungsi jantung babi menunjukan kesamaan dengan manusia secara hemodinamik. Oleh karena itu babi merupakan hewan model yang sangat cocok untuk penyakit kardiovaskular.
Gambar 1 Anak babi (Sus scrofa)
METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian berlangsung dari tanggal 6 Juni sampai dengan 11 Juli 2014. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Divisi Bedah dan Radiologi Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi. Pemeliharaan hewan dilakukan di kandang ruminansia kecil Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, dan Rumah Sakit Hewan Institut Pertanian Bogor.
Alat dan Bahan
Selama perlakuan digunakan seperangkat alat bedah minor, endotracheal tube, kateter intravena, laryngoscope, infus set, pompa syringe 25 ml, three way stop cock, unit mesin sinar-x stasioner dan portable (General X-ray beam®), kaset
7 film yang dilengkapi dengan intensifying screen dan film Rontgen ukuran 24 x 30 (Kodak medical X-ray, KODAK®), apron, hanger, lampu iluminator, processing machine (mesin pencuci manual), jarum jahit ½ lingkaran tipe blunt, benang jahit silk 2/0 dan polypropilen. Pengambilan data suhu tubuh dan pulsus jantung dilakukan dengan menggunakan termometer digital (AKL -20901900848 GP Care®) dan pulse oxymetry magnetek 1300 yang dipasang pada ekor hewan model. Pencucian film menggunakan larutan developer (Carestream®, KODAK CARESTREAM HEALT) dan larutan fixer (Carestream®, KODAK CARESTREAM HEALT). Induksi sepsis dilakukan dengan pemberian endotoksin Eschericia coli via intravena. Selama pemeliharaan babi diberikan pakan konsentrat dan rerumputan. Obat cacing yang diberikan adalah Oxfendazole (Vermo®, SANBE). Resusitasi cairan menggunakan cairan koloid modified fluid gelatin 4% (Gelofusine®, BBRAUN) dan cairan kristaloid ringer asetat malat (Ringerfundin®, BBRAUN) secara intravena. Anestesi dilakukan melalui syringe 3 ml dan obat bius yang terdiri dari ketamine 10% (ketamile®, Ilium) dan xylazine 2% (ilium xylazil-100®, Ilium) via intramuskular untuk induksi, dan ketamine 10% (ketamile®, Ilium) 6 ml/jam via intravena untuk maintenance. A
C
B
Gambar 2 Beberapa alat yang digunakan dalam penelitian. (A) mesin sinar X stasioner, (B) processing apparatus (alat pencuci) manual, (C) apron.
Tahap Persiapan
Hewan model yang digunakan adalah babi (Sus scrofa) jantan dan betina berumur 2 sampai 3 bulan dengan berat badan 8-13 kg. Hewan model babi (Sus scrofa) sebanyak 10 ekor yang sudah dinyatakan sehat. Babi dibagi dalam dua kelompok, yaitu 5 ekor babi untuk perlakuan pemberian cairan koloid (modified fluid gelatin 4%) dan 5 ekor babi untuk perlakuan pemberian cairan kristaloid (ringer asetat malat). Penelitian ini dilakukan dengan persetujuan kode etik dari komisi etik hewan IPB dengan nomor FRM/FKH/000-78.
8 Adaptasi Hewan
Adaptasi babi dilakukan dalam lingkungan dan pemberian pakan selama tujuh hari sebelum dilakukan operasi, untuk membiasakan dan mengurangi tingkat stres pada babi. Babi diberi pakan dan minum pada pagi dan sore hari. Kandang babi dibersihkan pada pagi dan sore hari dan didesinfeksi tiga hari sekali. Selama tujuh hari sebelum operasi, babi juga diberikan antibiotik oksitetrasiklin dengan dosis 6-11 mg/kg berat badan melalui intramuskular dan obat cacing oxfendazole 5 mg/kg berat badan secara peroral.
Tahap Perlakuan
Rontgen I
Anastesi
Induksi Endotoksin
Sepsis
Renjatan Sepsis Kelompok II
Kelompok I
Cairan Kristaloid
Cairan Koloid Renjatan Teratasi
Eutanasia
Rontgen II Gambar 3 Tahapan perlakuan
9 Perlakuan dimulai dengan pengambilan gambar radiografi dengan dua standar pandang yakni DV dan LL. Nilai kVp digunakan antara 58-64 kVp, tergantung ketebalan jaringan. Nilai mAs digunakan 1.2 mAs. Kemudian pembiusan babi menggunakan ketamin 10% dan xylazine 2%, secara intramuskular. Setelah babi terbius, babi masuk ke dalam kamar operasi dan dilakukan pemasangan probe saturasi oksigen, pemasangan infus NaCl 0.9% pada vena aurikularis, dan pemasangan endo tracheal tube. Babi diinduksikan dengan endotoksin 50 ug/kg BB melalui kateter pada vena cava cranialis, dan dilakukan pemantauan gejala sepsis yaitu demam (suhu tubuh > 39.8ºC) atau hipotermia (suhu tubuh < 38.7ºC), takikardia (frekuensi jantung >120 kali/menit), dan takipnea (frekuensi napas > 58 kali/menit). Pemantauan tanda-tanda renjatan dilihat dari penurunan tekanan darah, denyut nadi meningkat, takikardia dengan penurunan perfusi, pemanjangan waktu pengisian kapiler. Setelah tanda-tanda renjatan terlihat, yaitu penurunan tekanan darah (< 90 mmHg), pulsus meningkat, dan penurunan perfusi, dilakukan pemberian cairan MFG 4% atau RAM sebanyak 20 ml/kg BB sampai tanda renjatan stabil. Setelah semua sampel diperoleh, dan untuk mencegah semakin meluasnya sepsis, dilakukan eutanasia menggunakan kalium klorida dalam keadaan teranestesi. Kemudian dilakukan pengambilan gambar radiografi yang kedua. Tahapan perlakuan dilakukan seperti Gambar 3.
Teknik Interpretasi Radiografi
Interpretasi radiografi dilakukan penilaian lapang jantung dengan lapang pandang DV dan LL. Parameter pengukuran digunakan vertebrae heart score (VHS) yang terdiri dari SA dan LA, serta pengukuran cardiothoracic ratio (CTR) yang terdiri dari parameter nilai R, L, RH, LH, dan CTR. Parameter lain yang digunakan adalah nilai A, nilai LC, height of heart (HH), height of chest (HC), dan nilai sudut jantung.
Prosedur Analisis Data
Hasil pengukuran dinyatakan dalam rataan dan standar deviasi. Data diolah menggunakan SPSS 16 dan Microsoft Excel 2010. Perbedaan antar kelompok perlakuan diuji secara statistik menggunakan metode One Way-Analyse of Variant (ANOVA). Uji ini kemudian dilanjutkan dengan uji Tukey HSD pada selang kepercayaan 95% (α=0,05).
10
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nilai R, L, RH, LH, dan CTR
Nilai R merupakan jarak antara dinding ventrikel kanan jantung dengan dinding kanan toraks, sedangkan nilai L merupakan jarak antara dinding ventrikel kiri jantung dengan dinding kiri toraks. Data mengenai nilai R dan L dapat dilihat pada Tabel 1. Nilai kelompok babi normal merupakan nilai gambaran radiografi babi sebelum dilakukan injeksi endotoksin. Kelompok MFG 4% dan RAM mengalami penurunan nilai R yang tidak signifikan dengan kelompok babi praperlakuan. Begitu juga dengan nilai L yang mengalami penurunan yang tidak signifikan pada kelompok MFG 4%, pada kelompok RAM nilai L mengalami penurunan yang signifikan (P<0.05) dibandingkan dengan kelompok babi praperlakuan. Nilai RH merupakan jarak antara sumbu tengah jantung dengan lebar jantung di ventrikel kanan, sedangkan nilai LH merupakan jarak antara sumbu tengah jantung dengan lebar jantung di ventrikel kiri. Kelompok MFG 4% dan RAM mengalami peningkatan nilai RH dan LH yang tidak signifikan (Tabel 1). Nilai LH terlihat lebih besar dibandingkan nilai praperlakuan dan RH, hal ini dikarenakan posisi apeks dari kerucut jantung terletak di caudo ventral. Hampir 2/3 jantung terletak disebelah kiri media (Permatasari 2013). Nilai CTR merupakan perbandingan antara nilai RH dan LH dengan nilai lebar regio toraks (L+LH+RH+R). Kelompok MFG 4% dan RAM mengalami peningkatan nilai CTR yang signifikan (P<0.05) dari nilai praperlakuan (Tabel 1). Kenaikan nilai CTR pada Tabel 1 diakibatkan oleh naiknya nilai RH dan LH, serta kecenderungan turunnya nilai lebar regio toraks. Menurut penilitian yang dilakukan oleh Azni (2014), rentang nilai normal CTR anak babi adalah 0.7 – 0.8 cm. Tabel 1 Rataan nilai R, L, RH, LH, dan CTR Parameter R L RH LH CTR Keterangan:
Praperlakuan 1.31±0.26x 0.85±0.21x 2.57±0.53x 3.72±0.34x 0.74±0.03x
Kelompok Babi MFG 4% 0.72±0.54x 0.56±0.27x 3.04±0.84x 3.94±0.67x 0.84±0.05y
RAM 1.14±0.38x 0.22±0.13y 2.88±0.46x 3.98±0.21x 0.83±0.03y
Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan signifikan (P<0.05).
11
D A
C
B A
Gambar 4 Pengukuran radiografi jantung lapang pandang DV. Keterangan: (A) nilai L, (B) nilai R, (C) nilai LH, (D) nilai RH.
Nilai A < LC/2
Nilai A merupakan jarak dari lebar aorta sebelah kiri ke sumbu tengah jantung. Kedua kelompok mengalami peningkatan nilai A (Tabel 2), namun kelompok MFG 4% mengalami peningkatan yang signifikan (P<0.05) dibandingkan dengan nilai praperlakuan. Perubahan nilai A yang signifikan pada kelompok MFG 4% diduga karena terjadinya edema interstitial, perubahan ini juga diduga karena perubahan pembuluh darah aorta akibat pelebaran mediastinum kranial. Nilai LC adalah nilai yang diperoleh dari sumbu tengah jantung bagian kranial dengan dinding kiri toraks. Nilai A
Praperlakuan 1.53±0.17x 1.72±0.1x Lebih kecil
Kelompok Babi MFG 4% 1.88±0.24y 1.73±0.1x Lebih besar
RAM 1.78±0.17xy 1.69±0.11x Lebih besar
Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan signifikan (P<0.05).
12
A LC
Gambar 5 Pengukuran nilai A dan LC
Perbandingan Nilai HH:HC, dan Nilai Sudut Jantung
Nilai height of heart (HH) adalah nilai tinggi jantung yang diperoleh dari pengukuran jarak basis jantung ke dasar rongga toraks. Posisi jantung anak babi memiliki kemiripan dengan posisi jantung kucing, posisi jantung ini tidak tegak melainkan seperti tidur atau disebut double apex. Kelompok MFG 4% dan RAM mengalami peningkatan nilai HH, namun hanya kelompok RAM yang mengalami peningkatan signifikan (P<0.05) dengan kelompok nilai praperlakuan (Tabel 3).
HC
HH
Gambar 6 Pengukuran nilai HH:HC
Nilai height of chest (HC) merupakan nilai tinggi rongga toraks yang diukur dari dasar rongga toraks ke aorta descenden, yang mendekati dinding rongga toraks bagian atas. Nilai HC MFG 4% dan RAM yang diperoleh terlihat meningkat dibandingkan nilai praperlakuan, namun tidak signifikan.
13 Perbandingan nilai HH dan HC digunakan untuk mengetahui pembesaran jantung pada arah lapang pandang lateral. Kelompok MFG 4% dan RAM mengalami peningkatan nilai yang tidak signifikan dibandingkan kelompok praperlakuan atau sebelum pemberian injeksi sepsis (Tabel 3). Nilai normal HH:HC pada anak babi belum banyak dilaporkan secara ilmiah, namun Toombs dan Wildmer (1994) menyebutkan bahwa nilai HH:HC normal pada anjing adalah 2:3. Pada penelitian ini ditemukan bahwa nilai HH:HC pada anak babi adalah 4:5. Tabel 3 Rataan nilai HH:HC dan sudut jantung Parameter HH HC HH:HC Sudut Jantung Keterangan:
Praperlakuan 5.43±0.29x 6.76±0.38x 0.79±0.01x 46.8±3.64x
Kelompok Babi MFG 4% 5.8±0.28xy 7.18±0.24x 0.8±0.01x 47.4±1.34x
RAM 5.88±0.25y 7.22±0.28x 0.81±0.02x 49.2±3.89x
Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan signifikan (P<0.05).
Nilai sudut jantung dibentuk oleh sumbu LA dan dasar rongga toraks (Toombs dan Wildmer 1994). Kelompok MFG 4% dan RAM menunjukan peningkatan yang tidak signifikan dibandingkan nilai praperlakuan (Tabel 3). Hal ini mengindikasikan terjadi peninggian jantung terutama bagian jantung sebelah kiri. Terbatasnya referensi nilai sudut jantung anak babi diduga karena jarang digunakan. Penelitian ini memperoleh nilai sudut jantung yang berkisar antara 46.80 sampai 49.20.
Sudut Jantung
Gambar 7 Pengukuran sudut jantung
Nilai Long Axis, Short Axis, dan Vertebrae Heart Score
Nilai long axis (LA) merupakan nilai yang diukur dari carina sampai ujung apeks jantung, kemudian nilai tersebut dibandingkan dengan jumlah os vertebrae thorakik yang diperoleh dari tepi kranial vertebrae thorakik ke-4. Posisi carina
14 pada babi terletak jauh di caudal jantung dan tidak terlihat pada gambar radiologi, sehingga pengukuran LA dilakukan modifikasi. Seperti yang dikatakan Azni (2014) yaitu pengukuran LA dimulai dari dinding caudal aorta pada basis jantung sampai apeks jantung. Kelompok MFG 4% dan RAM mengalami perubahan yang tidak signifikan dibandingkan dengan nilai praperlakuan (Tabel 4). Nilai short axis (SA) merupakan pengukuran bagian jantung terlebar pada sumbu tegak lurus terhadap sumbu panjang (LA). Pada kelompok MFG 4% maupun RAM, keduanya mengalami peningkatan nilai yang tidak signifikan dibandingkan kelompok praperlakuan (Tabel 4). Tabel 4 Rataan nilai LA, SA, dan VHS Parameter LA SA VHS Keterangan:
Praperlakuan 5.23±0.42x 3.93±0.19x 9.16±0.53x
Kelompok Babi MFG 4% 5.06±0.36x 4.4±0.38x 9.46±0.73x
RAM 5.4±0.07x 4.28±0.38x 9.68±0.35x
Huruf superscript yang berbeda pada baris yang sama menyatakan adanya perbedaan signifikan (P<0.05).
Pengukuran jantung dengan metode VHS adalah membandingkan ukuran besar jantung dengan jumlah os vertebrae thorakik melalui gambaran radiografi. Nilai VHS diperoleh dari penjumlahan nilai SA dan LA (Buchanan dan Bücheler 1995). Kelompok MFG 4% dan RAM mengalami peningkatan nilai VHS yang tidak signifikan dibandingkan nilai praperlakuan.
LA SA
Gambar 8 Pengukuran nilai VHS Secara keseluruhan pada arah pandang DV, terjadi pembesaran jantung yang ditunjukkan dengan peningkatan nilai CTR secara signifikan. Menurut penelitian Azni (2014), nilai CTR normal pada babi usia muda adalah 0.7 sampai 0.8 sehingga jika dibandingkan, maka nilai CTR dalam penilitian ini masih dalam rentang normal. Peningkatan nilai CTR ini dipengaruhi oleh naiknya nilai lebar maksimum jantung (RH+LH) dan menurunnya nilai L dan R.
15 Penurunan nilai L yang signifikan pada kelompok RAM (Tabel 1), diduga RAM tidak mampu menahan edema yang terjadi akibat kerusakan endotelial mikrovaskular serta pelepasan mediator inflamasi oleh sel endotel yang diakibatkan oleh sepsis. Mediator inflamasi akan menimbulkan gangguan pada fungsi sel otot jantung (Priyantoro et al. 2010). Sepsis mengakibatkan terjadi kerusakan sel endotelial mikrovaskular serta pelepasan mediator inflamasi. Disfungsi endotel mengakibatkan terjadi peningkatan permeabilitas sehingga timbul edema dan kehilangan cairan yang cukup banyak ke jaringan interstisial. Pembesaran jantung diduga karena kerja jantung yang berlebihan dan terjadi kompensasi edema yang ditimbulkan oleh sepsis. Menurut Putri (2014), depresi miokardium merupakan komplikasi dini renjatan sepsis, dengan mekanisme yang diperkirakan oleh kerja langsung molekul inflamasi terhadap penurunan perfusi arteri koronaria. Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan, yang dapat memicu sindroma koronaria akut atau infark miokardium. Pada arah pandang left laterolateral terjadi peningkatan nilai HH yang signifikan pada kelompok RAM, peningkatan nilai HH mengindikasikan terjadi peninggian jantung. Peninggian disebabkan jantung bagian kiri membesar, sepsis yang menyebabkan edema diduga mengakibatkan gagal jantung sebelah kiri, sehingga jantung kiri yang berfungsi untuk mengalirkan darah ke seluruh tubuh bekerja lebih keras dan mengakibatkan hipertrofi miokardium. Pada parameter SA, LA, dan VHS terjadi peningkatan nilai yang tidak signifikan. Peningkatan nilai tersebut diduga akibat hal yang sama seperti parameter lainya. Menurut Lee et al. (2007), nilai VHS pada babi konvensional adalah 8-9v. Pemberian larutan koloid atau kristaloid merupakan salah satu cara untuk terapi sepsis dengan memperbaiki hemodinamika tubuh. Menurut Wittlinger et al. (2010), koloid bermanfaat dalam pengelolaan sepsis, dengan melemahkan hemotaksis sel darah putih melalui endothelial sel, menurunkan regulasi sel mediator inflamasi dalam darah selama sepsis, dan memperbaiki fungsi paru selama endotoksemia. Koloid juga merupakan cairan yang dapat segera mengisi cairan intravaskuler dan lebih bertahan lama dibandingkan kristaloid. Menurut Singh et al. (2009), resusitasi cairan kristaloid dapat meningkatkan kontraktilitas miokardium, dan menurunkan oksida nitrat. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukan bahwa koloid atau kristaloid tidak mampu mencegah terjadinya pembesaran jantung, nilai dari kelompok koloid atau kristaloid cenderung meningkat pada semua parameter. Menurut Carcillo dan Fields (2002), penggunaan cairan resusitasi koloid atau kristaloid belum pasti ditemukan perbaikan pada fungsi jantung. Mekanisme yang mendasari timbulnya gangguan fungsi jantung pada keadaan sepsis belum sepenuhnya dimengerti dan masih banyak pertanyaan terkait patofisiologi pada tingkat selular, namun agen proinflamasi sebagai dasar terjadinya gangguan fungsi jantung pada keadaan sepsis sangatlah kuat (Priyantoro et al. 2010).
16
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Induksi sepsis pada anak babi dapat mengakibatkan pembesaran jantung yang ditunjukan gambaran radiografi seperti, penurunan nilai L dan peningkatan nilai CTR, A, dan HH. Resusitasi cairan koloid maupun kristaloid dianggap belum mampu memperbaiki pembesaran jantung yang diakibatkan oleh sepsis dengan mengembalikan ukuran jantung pada nilai normal.
Saran
Penelitian lanjutan melakukan evaluasi radiografi kardiovaskular dengan diimbangi metode lain seperti Ultrasonografi (USG). Waktu pengambilan radiografi diperpanjang lebih dari 6 jam setelah terapi resusitasi cairan, serta induksi endotoksin menggunakan bakteri selain E.coli.
DAFTAR PUSTAKA
Azni A. 2014. Interpretasi Radiografi Jantung Anak Babi (Sus scrofa) pada Manuver Rekrutmen Cedera Paru Akut Pediatri [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Baron JF. 2000. A new hidroxyethyl starch : HES 130/0,4 transfussion alternative in transfusion medicine. Crit Care. Vol 2. No 20 Brandt S, Regueira T, Bracht H, Porta F, Djafarzadeh S, Takala J. 2009. Effect of fluid resuscitation on mortality and organ function in experimental sepsis models. Crit Care. 13:R186-96. Braun B. 2005. Gelofusin® Modified Fluid Gelatin: Clinical Facts. Germany (UK). Melsungen. Braun B. 2005. Safe and efficient fluid management. Ringerfundin® B. Braun sharing expertise: Basic scientific information. [internet]. [diunduh 2015 Agustus 17]. Tersedia pada: http://www.bbraun.com. Buchanan JW, Bücheler J. 1995. Vertebral scale system to measure canine heart size in radiographs. JAVMA 206:194-199. Burkovskiy I, Juan Zhou, Christian L. 2013. Use of Escherichia coli toxins in sepsis models. Adv Biosc and Biotech. 4:424-429 Carcillo JA, Fields AI. 2002. Clinical practice parameters for hemodynamic support of pediatric and neonatal patients in septic renjatan. Crit Care Med. 30(6): 1365-1378
17 Doran C. 2011. Hydroxyethyl starch for resucitation of trauma patient. JR Army Med Corps 153(3):154-159 Gardner A, Thompson MS, Fontenot D, Gibson N, Heard DJ. 2007. Radiographic evaluation of cardiac size in flying fox species (Pteropus rodricensis, P. hypomelanus, and P. vampyrus). Journal of Zoo and Wildlife Medicine 38 (2):192-200. Goldstein B. 2005. The Members of the International Consensus Conference on Pediatric Sepsis. International pediatric sepsis consensus conference: definitions for sepsis and organ dysfunction in pediatrics. Pediatr Crit Care Med. 6: 2-7. Guntur HA. 2008. SIRS, Sepsis dan Renjatan Sepsis (Imunologi, Diagnosis dan Penatalaksanaan). Surakarta (ID): Sebelas Maret University Pr. Hartanto WW. 2007. Terapi Cairan dan Elektrolit Perioperatif. Bagian Farmakologi Klinik dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Lee MY, Lee SH, Lee SG, Park SH, Lee CY, Kim KH, Hwang S, Lim SY, Ahn YK, Han HJ. 2007. Comparative analysis of heart functions in micro pigs and conventional pigs using echocardiography and radiography. J Vet Sci. 8(1): 7-14. Leksana E. 2009. SIRS, Sepsis, Keseimbangan Asam-Basa, Renjatan dan Terapi Cairan. Semarang (ID): CPD IDSAI Jateng-Bagian Anestesi dan Terapi Intensif FK Undip. Martin GS, Eaton S, Mealer M, Moss M. 2005. Extravascular lung water in patients with severe sepsis: a prospective cohort study. Crit Care. 9:74-82. Merx MW, Weber C. 2007. Sepsis and the Heart. Circulation. 116: 793-802. Morgan JP, Wolvekamp P. 2004. Atlas of Radiology of the Traumatized Dog and Cat. 2nd edition. Hannover (DE): Schlütersche Verlagsgesellschaft mbH. Nguyen HB, Rivers EP. 2005. The clinical practice of early goal-directed therapy in severe sepsis and septic shock. Adv Sepsis. 4:126-133. O'Brien JM, Ali NA, Aberegg SA, Abraham. 2007. Sepsis. Am J Med. 120:10 121022 Permatasari HCA. 2013. Pengaruh pemberian Loading 500 cc hidroxylethil starch 130/0,4 (6%) terhadap tekanan darah dan denyut nadi pada pasien anastesi spinal sectio cesarea [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponogoro Priyantoro K, Lardo S, Yuniadi Y. 2010. Cardiac Dysfunction due to Sepsis. J Karadiol Indones. 31:177-86. Putri HY. 2014. Faktor risiko sepsis pada pasien dewasa di RSUD Dr. Kariadi [skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponogoro Runge MS, Greganti MA. 2009. Netter’s Internal Medicine 2nd edition. Philadelphia (USA): Saunders Elsevier. P.644-9 Schortgen F, Deye N, Bochard L. 2004. Preferred plasma volume expanders for critically ill patients: result of an international survey. Intensive Care Med. 30:222-229. Singh A, Carlin BW, Shade D, Kaplan PD. 2009. The use of hypertonic saline for fluid resuscitation in sepsis. Crit care nurse Q. 32(1): 10-13. Shih CC, Chen SJ, Chen A, Wu JY, Liaw WJ, Wu CC. 2008. Therapeutic effects of hypertonic saline on peritonitis-induced septic shock with multiple organ dysfunction syndrome in rats. Crit Care Med. 36:1867-1872.
18 Smith FWK. 2009. Thoracic Radiography of Cardiac Disease. 81st Western Veterinary Conference 1:26-27. Tayal R. 2004. Radiographic Diagnosis in Pet Practice. Di dalam Chander S: Compendium of Training Pet Animal Practice. Hisar (IN): CCS Haryana Agricultural University. Thrall DE. 2002. Textbook of Veterinary Diagnostic Radiology. 4th edition. London (GB): WB Saunders Co. Toombs JP, Wildmer WR. 1994. Evaluating Canine Cardiovascular Silhouttes:Radiography Method and Normal Radiography Anatomy. Di dalam Moon M, Diplomate: Radiology in Practice. New Jersey (US): Veterinary Learning System. Vincent JL, Abraham E. 2006. The last 100 years of sepsis. Am J Respir Crit Care Med. 173:256-263. Vincent, JL, Rello J, Marshall J, Silva E, Anzueto A, Martin CD, Moreno R, Lipman J, Gomersall C, Sakr Y. 2009. EPIC II group of investigators: International study of the prevalence and outcomes of in-fection in intensive care units. JAMA. 302:2323-2329 Wittlinger M, Schla M, Conno ED, Z graggen BR, Reyes L, Booy C, Schimmer RC. 2010. The effect of hydeoxyethil (HES 130/0,42 and HES 100/0,5) on activated renal tubular ephitilial Cells. Crittical Care and Trauma. Vol.110, no.2 Zander R. 2006. Fluid Management. Bibliomed. Germany (UK). Melsungen. 1831
19
RIWAYAT
Penulis dilahirkan di Sukabumi, 12 September 1992 sebagai anak pertama dari dua bersaudara pasangan bapak Hery Suherna dan ibu Ati Rosniawati. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Sukawayana pada tahun 2005, dan melanjutkan pendidikan sekolah menegah pertama di SMPN 1 Cisolok hingga lulus pada tahun 2008. Penulis berhasil menyelesaikan penididikan sekolah menengah atas di SMAN 1 Sukabumi pada tahun 2011. Pada tahun 2011 pula penulis diterima di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui jalur SNMPTN Undangan. Selama masa perkuliahan penulis aktif diberbagai organisasi, penulis pernah menjadi pengurus Unit Kegiatan Mahasiswa LISES Gentra Kaheman pada tahun 2012-2014, penulis juga pernah menjabat sebagai wakil ketua HIMPRO Satwaliar periode 2014. Penulis pernah mengikuti beberapa kepanitiaan di FKH IPB, salah satunya, penulis pernah menjadi ketua kegiatan Mahasiswa Abdi Nusantara di Provinsi Riau pada tahun 2014.