INTERPRETASI RADIOGRAFI TORAKS BABI DOMESTIK (Sus domestica) PADA TINDAKAN AUTOTRANSFUSI PRAOPERATIF, INTRAOPERATIF SEDERHANA DAN INTRAOPERATIF DENGAN PENCUCIAN
MADE DWI TANAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul Interpretasi Radiografi Toraks Babi Domestik (Sus domestica) pada Tindakan Autotransfusi Praoperatif, Intraoperatif Sederhana dan Intraoperatif dengan Pencucian adalah karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2013 Made Dwi Tanaya B04080016
ABSTRAK MADE DWI TANAYA, Interpretasi Radiografi Toraks Babi Domestik (Sus domestica) pada Tindakan Autotransfusi Praoperatif, Intraoperatif Sederhana dan Intraoperatif dengan Pencucian. Dibimbing oleh Gunanti dan Riki Siswandi. Studi ini dilakukan untuk menganalisis dampak pada tindakan autotransfusi darah sebelum operasi (kelompok I/AP), autotransfusi darah intraoperatif sederhana (kelompok II/AIS) dan autotransfusi darah intraoperatif dengan pencucian menggunakan alat cell saver. Sembilan babi domestik (AP ± 16,8 kg; AIS ± 21,5 kg; AIP ± 28,5 kg) ditetapkan ke dalam tiga kelompok perlakuan. Autotransfusi dilakukan setelah perdarahan 30% dengan melakukan splenectomi untuk menginduksi trauma abdominal. Interpretasi gambaran radiografi digunakan untuk menganalisis dampak perlakuan. Kelainan patologi yang ditemukan adalah adanya Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Pada radiogram, kelainan tersebut ditandai dengan terjadinya perubahan patologis pola vaskular berupa dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema pulmonum. Prevalensi kelainan patologi paling besar ditemukan pada kelompok AIS (dilatasi vena pulmonalis = 1/3; peribronchial pattern = 3/3; cotton like density = 1/3; edema pulmonum = 1/3) saat post torakotomi. Kata kunci: ARDS, autotransfusi, babi domestik, radiografi toraks.
ABSTRACT MADE DWI TANAYA, Thorax Radiography Interpretation of the Domestic Pig (Sus domestica) on the Preoperative, Simple Filtred Intraoperative, and Cell Saver Intraoperative Blood Autotransfusion. Guided by Gunanti and Riki Siswandi. The study was conducted to analyze impact on the preoperative blood autotransfusion (group I/AP), simple filtred intraoperative blood autotransfusion (group II/AIS), and cell saver intraoperative blood autotransfusion (group III/AIP). Nine domestic pigs (AP 16.8 kg; AIS 21.5 kg; AIP 28.5 kg) were assigned into three treatment groups. Autotransfusion was conducted after bleeding has reached 30% by splenectomy for inducing abdominal trauma. Analysis of this study conducted through interpretation of the radiographic images. The presence of Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) was discovered as pathology abnormalities. Based on the radiogram, that abnormalities characterized by the occurrence of pathological changes the pattern of vascular dilating pulmonary vein, interstitial pattern as peribronchial pattern, alveolar pattern of cotton like density and pulmonary edema. The most of prevalence pathology abnormalities was discovered in the group AIS (dilation of the vena pulmonalis = 1/3; peribronchial pattern = 3/3; cotton like density = 1/3; pulmonary edema = 1/3) when the post torakotomi has occured. Keywords: ARDS, autotransfusi, domestic swine, thorax radiography.
INTERPRETASI RADIOGRAFI TORAKS BABI DOMESTIK (Sus domestica) PADA TINDAKAN AUTOTRANSFUSI PRAOPERATIF, INTRAOPERATIF SEDERHANA DAN INTRAOPERATIF DENGAN PENCUCIAN
MADE DWI TANAYA
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi : Interpretasi Radiografi Toraks Babi Domestik (Sus domestica) pada Tindakan Autotransfusi Praoperatif, Intraoperatif Sederhana dan Intraoperatif dengan Pencucian Nama : Made Dwi Tanaya NIM : B04080016
Disetujui oleh
Dr drh Gunanti, M.S Pembimbing I
drh Riki Siswandi Pembimbing II
Diketahui oleh
drh Agus Setiyono, MS, Ph. D, APVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Interpretasi Radiografi Toraks Babi Domestik (Sus domestica) pada Tindakan Autotransfusi Praoperatif, Intraoperatif Sederhana dan Intraoperatif dengan Pencucian”. Skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi banyak pihak dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini berlangsung dari bulan Mei 2011 sampai Juni 2011 di Laboratorium Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. drh. Gunanti, M.S selaku pembimbing pertama dan drh. Riki Siswandi selaku pembimbing kedua, atas bimbingan dan arahan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Katim dan Kosasih selaku petugas laboran di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Titus Ardhi Prasetya, Anita Rahmayanti, Khansaa Mirajziana, Ambar Hanum Melati Ramadhani dan Yayuk Sri Rahayu Puspitawati sebagai rekan sepenelitian dan keluarga besar FKH IPB angkatan 45. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua tercinta, keluarga besar kontrakan Mahayana dan Ida Ayu Amarilia Dewi Murni yang senantiasa memberikan motivasi dan doa. Penulis menyadari ketidaksempurnaan penulisan karya ilmiah ini, sehingga diharapkan adanya saran dan kritik dari pembaca untuk memperlancar dan memperoleh hasil penelitian selanjutnya yang lebih baik.
Bogor, Januari 2013 Made Dwi Tanaya
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
x
DAFTAR GAMBAR
x
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
3
Tujuan Penelitian
3
Manfaat Penelitian
3
Hipotesis Penelitian
3
METODE
4
Tempat dan Waktu
4
Alat dan Bahan
4
Metode Penelitian
4
Tahap Persiapan
4
Tahap Pelaksanaan
5
Teknik Interpretasi Radiografi
5
Analisis Data
8
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pembahasan SIMPULAN DAN SARAN
8 8 11 15
Simpulan
15
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
16
RIWAYAT HIDUP
18
DAFTAR TABEL 1 Temuan kelainan pada masing-masing kelompok perlakuan
9
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Alur penelitian dan perlakuan bedah terhadap babi AP, AIS dan AIP Skema sisi lateral sistem pembuluh darah paru Skema kejadian peribronchial pattern Skema bentuk tampilan peribronchial pattern Radiografi kejadian cotton like density pada posisi lateral Skema bentuk tampilan edema pulmonum Ukuran vena pulmonalis mengalami dilatasi Kejadian peribronchial pattern Kejadian cotton like density Kejadian edema pulmonum
5 6 6 7 7 8 9 10 10 11
PENDAHULUAN Latar Belakang Trauma merupakan penyebab kematian utama pada manusia usia di bawah 40 tahun. Tingginya angka kematian akibat trauma pada usia dibawah 40 tahun ditemukan pula di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia (Ruslan 2010). Komplikasi pembedahan pada kasus trauma pada abdomen dapat berupa peritonitis atau pun adanya hemodinamik yang tidak stabil. Pada pasien dengan indikasi hemodinamik yang tidak stabil sering disebabkan adanya perdarahan intraabdomen. Berdasarkan alasan tersebut dibutuhkan transfusi darah untuk mengembalikan keseimbangan hemodinamik (McClelland 2007). Saat ini biasanya transfusi darah dengan darah pengganti sering menggunakan darah homolog. Darah homolog adalah darah yang berasal dari donor atau berasal dari bank darah dan bukan berasal dari darah individu itu sendiri. Permasalahan yang ditemui dari penggunaan darah homolog adalah besarnya biaya penapisan darah donor. Tujuan penapisan darah tersebut untuk mencegah risiko terjadinya infeksi dari donor terhadap resipien. Masalah lain yang dapat ditemukan adalah adanya reaksi imunologis antara antigen darah donor dengan antibodi darah resipien ataupun sebaliknya (Widjanarko 2002). Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk mengatasi ketersediaan darah tersebut adalah penggantian secara homolog darah yang mengalami ekstravasasi pada pasien trauma dengan melakukan transfusi autolog. Transfusi autolog adalah transfusi darah yang berasal dari individu yang sama atau disebut juga autotransfusi. Pasien dengan trauma abdomen umumnya memerlukan darah sebanyak 1,5 sampai 2 liter yang diperlukan dalam waktu singkat. Oleh karena itu diperlukan ketersediaan darah yang sangat cepat antara lain melalui transfusi autolog. Keuntungan yang paling besar dari autotransfusi pasien trauma adalah ketersediaan darah autolog dalam waktu yang relatif singkat (Widjanarko 2002). Autotransfusi intraoperatif sederhana berupa pengambilan, penampungan, dan penyaringan, serta transfusi kembali darah tanpa alat khusus sehingga efisien dalam segi fasilitas, waktu, dan biaya (Widjanarko 2002). Autotransfusi dengan cara pencucian dilakukan menggunakan alat cell saver. Darah yang diambil dari lapangan operasi dengan menggunakan alat ini dipisahkan antara komponen sel darah merah yang akan ditransfusikan kembali dengan plasma dan sebagian besar lekosit serta debris. Tindakan ini dilakukan karena dianggap bahwa pengambilan darah dari lapangan operasi merupakan tindakan traumatis yang akan menimbulkan pengaktifan lekosit pada tingkatan yang lebih besar sehingga akan timbul reaksi inflamasi yang besar pula (Krohn et al.1999). Dalam dunia kedokteran negara maju, autotransfusi intraoperatif sederhana saat ini telah digantikan oleh autotransfusi sel darah merah dengan pencucian. Hal yang serupa juga dapat ditemukan dari kajian pustaka yang membahas autotransfusi intraoperatif dengan pencucian sel darah merah. Hal ini sejalan dengan pemikiran dan laporan kasus bahwa autotransfusi intraoperatif sederhana akan memiliki risiko terjadinya gangguan respirasi maupun efek samping lainnya. Laporan kasus yang adapun terbatas pada penggunaan autotransfusi sederhana
2 pada operasi coronary artery bypass grafting (CABG) atau ortopedi, terutama hip dan spine surgery. Terdapat beberapa laporan kasus autotransfusi pada pasien trauma, namun metoda autotransfusi yang digunakan adalah autotransfusi intraoperatif dengan pencucian (Dry et al. 1999 dan Alotti et al. 2000). Efek samping lain dari autotransfusi yang dapat terjadi adalah reaksi inflamasi pada paru dalam bentuk Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) dan gagal ginjal akut. Dalam terjadinya ARDS, sitokin memiliki peranan yang cukup besar. Informasi tentang seberapa besar pengaruh autotransfusi intraoperatif sederhana dan peranan sitokin terhadap reaksi inflamasi pada paru dan jantung sampai saat ini masih sangat terbatas (Krohn et al.1999). Berdasarkan alasan tersebut diperlukan suatu telaah autotransfusi intraoperatif sederhana pada pasien trauma. Autotransfusi dengan pencucian dan autotransfusi intraoperatif sederhana mempunyai prosedur yang sama, akan tetapi autotransfusi intraoperatif sederhana relatif memiliki prosedur yang lebih mudah dalam pelaksanaan, pengambilan, penyimpanan dan cara autotransfusi pada pasien. Autotransfusi dengan pencucian lebih banyak dilaksanakan di negara-negara maju, akan tetapi di negara-negara berkembang yang memiliki sarana dan prasarana transfusi yang relatif terbatas diharapkan dengan autotransfusi intraoperatif sederhana dapat menjadi solusi dan menekan kemungkinan efek samping yang ditimbulkan dibandingkan dengan autotransfusi pencucian. Keuntungan lainnya adalah tidak adanya reaksi imunologis (Limas dan Hanafi 2010). Berdasarkan uraian diatas autotransfusi intraoperatif sederhana kemungkinan dapat menjadi jawaban bagi kebutuhan akan darah pada pasien trauma abdomen yang menjalani operasi laparotomi. Pada saat ini yang masih direkomendasikan untuk autotransfusi pada perdarahan intraperitoneal akibat trauma abdomen adalah autotransfusi intraoperatif dengan pencucian. Akan tetapi sebagaimana diuraikan diatas penggunaan autotransfusi intraoperatif dengan pencucian relatif sulit dilaksanakan di Indonesia oleh karena terbatasnya alat-alat yang diperlukan serta biaya yang relatif sangat mahal. Tema sentral yang dikemukakan adalah adanya perbedaan antara autotransfusi berupa autotransfusi intraoperatif dengan cara pencucian yang dianut saat ini dengan autotransfusi intraoperatif sederhana. Hal ini berkaitan dengan mengingat kebutuhan akan darah untuk pasien-pasien trauma abdomen yang dapat mencapai jumlah yang cukup banyak yang kadangkala tidak didukung adanya darah donor yang cukup. Namun demikian tindakan autotransfusi intraoperatif sederhana masih memerlukan penelaahan lebih lanjut untuk mengetahui apakah ada pengaruhnya terhadap mortalitas dan morbiditas. Untuk hal ini diperlukan suatu parameter yang dapat dipercaya untuk memprediksi kemungkinan timbulnya efek samping yang tidak diinginkan, terutama pada paru sebagai salah satu organ yang paling pertama akan mengalami pengaruh efek samping autotransfusi. Interpretasi radiologi sebagai suatu parameter risiko terjadinya efek samping autotransfusi masih harus diuji. Dengan demikian, pengambilan gambaran radiologi sebagai suatu parameter risiko terjadinya efek samping harus dilakukan. Penelitian ini menggunakan hewan model babi domestic. Alasan penggunaan hewan ini karena babi merupakan mamalia dengan struktur anatomi yang tidak jauh berbeda dengan manusia. Ukuran babi dapat dipilih sehingga akan memberi kemudahan dalam melakukan proses autotransfusi, baik sewaktu
3 pengambilan darah dari pembuluh darah, pengambilan darah dari rongga abdomen, maupun proses transfusi kembali. Penelitian terhadap babi juga sering dilakukan dan merupakan hewan ternak yang umum dijumpai sehingga pemeliharaan serta pelaksanaan suatu tindakan dengan mudah dapat dilakukan oleh seorang dokter hewan.
Perumusan Masalah Dengan latar belakang di atas, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah bagaimanakah perbedaan perubahan gambaran radiografi paru setelah tindakan autotransfusi intraoperatif sederhana dan autotransfusi dengan pencucian dibandingkan dengan autotransfusi praoperatif menggunakan darah simpan sebagai kontrol.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kelainan pada paru yang timbul pada tindakan autotransfusi praoperatif, intraoperatif sederhana dan autotransfusi dengan pencucian terhadap keadaan patologi anatomi paru melalui intepretasi gambaran radiografi dengan pengambilan gambar radiografi pada daerah toraks. Untilisasi analisis gambaran radiografi sebagai salah satu metode diagnosa awal pada tindakan autotransfusi intraoperatif sederhana dan autotransfusi dengan pencucian terhadap keadaan patologi paru dan organ pada rongga toraks lainnya. Apabila terdapat perbedaan keadaan patologi paru dan organ pada rongga toraks lainnya antara ketiga tindakan, maka hal ini dapat menjadi pertimbangan pada keamanan autotransfusi intraoperatif sederhana.
Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini akan menyumbangkan pengetahuan akan efek autotransfusi praoperatif, intraoperatif sederhana dan intraoperatif dengan pencucian terhadap perbedaan keadaan patologi anatomi paru antara ketiga tindakan tersebut. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan pertimbangan untuk menggunakan autotransfusi sederhana sebagai solusi untuk mengatasi perdarahan intraperitoneal karena trauma limpa.
Hipotesis Penelitian Tindakan autotransfusi intraoperatif sederhana dan autotransfusi dengan pencucian dapat menimbulkan efek samping kelainan pada paru sehingga mempengaruhi gambaran radiografi pada daerah toraks.
4
METODE Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan pada bulan Mei 2011 dan berakhir bulan Juni 2011. Penelitian bertempat di Laboratorium Bagian Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor, Dramaga, Bogor.
Alat dan Bahan Penelitian dilakukan terhadap hewan model yaitu babi lokal Indonesia (Sus domestica) sebanyak 9 ekor dengan rata-rata bobot badan kelompok AP ±16,8 kg; AIS ±21,5 kg; AIP ±28,5 kg, berjenis kelamin jantan, dan berumur 3-6 bulan. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung tentang efek autotransfusi pada hewan babi sebagai model untuk manusia. Penelitian dilakukan menggunakan alat unit mesin Sinar-X stasioner (General X-ray Beam), kaset film yang dilengkapi dengan intensifying screen dan film Röntgen ukuran 24 x 30 produksi Fujifilm, apron, hanger, lampu iluminator, alat cell saver (Haemonetics Cell Saver® 5, THE Blood Management Company), seperangkat alat bedah mayor, seperangkat alat anestesi inhalasi, obat bius ketamin 10% (Ilium ketamil®-100, Troy), xylazin 10% (Ilium xylazil®-100, Troy), dan zoletil 5% (zoletil®, Virbac), ETT (Endo Tracheal Tube), alat suction (Asahiilca®), benang jahit bahan silk dan catgut ukuran 3/0, jarum segitiga dan bulat, alat infus (Infusion Pump OT-701, JMS), kateter kupu-kupu (IV-catheter), termometer, stetoskop, spoit, kapas/tampon, plester, alat cukur, alkohol 70%, dan obat cacing oxfendazole 5 mg/kg (Verm-O®, Sanbe).
Metode Penelitian Tahap persiapan Babi dikelompokan ke dalam tiga kelompok yaitu kontrol (kelompok AP) dengan transfusi menggunakan darah simpan, kelompok dengan perlakuan autotransfusi intraoperatif sederhana (kelompok AIS) dan autotransfusi dengan pencucian (kelompok AIP). Masing–masing kelompok terdiri dari tiga ekor babi. Hewan ditempatkan dalam kandang kelompok berukuran 4x3 meter. Pakan berupa pelet diberikan setiap pagi dan sore setelah dilakukan pemeriksaan fisik. Babi kelompok AP dengan darah yang akan diautotransfusikan diekstravasasi 14 hari sebelumnya. Darah disimpan dalam kantung darah CPDA (Citrate, Phosphate, Dextrose, dan Adenin), kemudian dimasukkan dalam lemari es. Kelompok AP menggunakan dosis obat bius induksi dengan KX-maksimal, yaitu ketamin 15 mg/kg, dan xylazyn 2 mg/kg. Babi kelompok AIS diberi perlakuan autotransfusi dengan menggunakan darah hasil penyaringan secara manual. Kelompok AIS menggunakan dosis obat bius induksi dengan ZKX, yaitu ketamin 1 mg/25 kg, dan xylazyn 1 mg/25 kg, dan zoletil 1 mg/25 kg. Babi
5 kelompok AIP diberi perlakuan autotransfusi dengan menggunakan darah hasil pencucian alat cell saver. Kelompok AIP menggunakan dosis obat bius induksi dengan KX-minimal, yaitu ketamin 10 mg/kg, dan xylazyn 1 mg/kg. Autotransfusi dilakukan setelah terjadi pendarahan 30% dengan melakukan splenektomi. Darah tersebut merupakan 30% volume darah babi (61-68 ml/kg).
Tahap Pelaksanaan Sebelum perlakuan babi terlebih dahulu dibius. Sesaat setelah babi terbius dilakukan pengambilan gambar radiografi dengan menggunakan dua standar pandang yakni ventro dorsal dan latero lateral. Nilai kVp yang digunakan antara 66-74 kVp, tergantung ketebalan jaringan yang akan ditembus oleh sinar-X. Nilai mAs yang digunakan adalah 2,5 mAs. Waktu yang ditempuh dalam penelitian selama satu bulan. Pada H-14, kelompok babi AP diambil darah sebanyak 30% total darah untuk disimpan, namun tidak pada kelompok AIS dan AIP karena akan diambil langsung pada saat splenektomi. Kemudian pada hari H0, masing-masing kelompok dilakukan splenektomi hingga mengalami pendarahan 30% lalu diautotransfusi. Dua hari berikutnya dilakukan torakotomi dan pada hari ketujuh setelah operasi adalah panen. Torakotomi dilakukan untuk pengambilan jaringan paru yang akan dimanfaatkan dalam analisis efek samping autotransfusi. Setiap kelompok perlakuan (kelompok AP, AIS, dan AIP) dilakukan tiga kali ulangan. Pengambilan gambar radiografi dilakukan empat kali dalam satu kali rangkaian perlakuan. Pengambilan pertama dilakukan saat babi terbius sempurna sebelum autotransfusi (H0). Babi terbius sempurna dengan ciri-ciri babi tertidur dan belum diberi perlakuan apapun. Pengambilan kedua dilakukan sesaat sebelum operasi torakotomi yaitu dua hari setelah babi mengalami pendarahan 30% dan telah dilakukan splenektomi (H+2). Pengambilan gambar kedua dilakukan untuk mengamati dampak awal dari autotransfusi. Pengambilan gambar radiografi ketiga dilakukan setelah operasi torakotomi (H+2‟) dan tujuh hari setelah autotransfusi dilakukan pengambilan gambar keempat (H+7). Thoracotomy (kelompok AP,AIS,AIP)
Adaptasi, pemeliharan, pemberian obat cacing (kelompok AP,AIS,AIP) Post transfusi
H-14 - 14
H
Teranestesi sempurna
Pengambilan darah simpan 30% total darah (kelompok AP)
H0
H
Awal recovery
Pendarahan 30% (kelompok AP,AIS,AIP)
H+2 H +2 H+2’
H+7
Post Thoracotomy Panen (kelompok (kelompok AP,AIS,AIP) AP,AIS,AIP)
Gambar 1 Alur penelitian dan perlakuan bedah terhadap babi AP, AIS, dan AIP
Teknik Interpretasi Radiografi Evaluasi radiografi dan interpretasi radiografi dilakukan pada foto Röntgen yang terkumpul dengan bantuan lampu iluminator. Interpretasi yang dilakukan
6 berupa penilaian lapang paru secara radiografi. Penilaian lapang paru secara radiografi untuk melihat perubahan pada radiogram paru yang meliputi perubahan pola vaskular berupa dilatasi pada vena pulmonal, pola interstitial berupa peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema pulmonum (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Kejadian dilatasi vena pulmonalis akan terlihat secara radiografi yaitu ukuran vena akan tampak lebih besar dari pada arteri yang ditunjukkan anak panah berwarna kuning. Vena pulmonalis pada lobus paru kranial lebih besar 75% dari lebar 1/3 proksimal tulang rusuk ke 4 yang ditunjukkan pada Gambar 2 (O'Sullivan dan O'Grady 2004). A
B
Gambar 2 Skema sisi lateral sistem pembuluh darah paru. Anak panah berwarna kuning merupakan letak dilatasi vena pulmonalis (A) dan T4 adalah vertebral thorachalis ke 4 (B) (modifikasi dari O'Sullivan dan O'Grady 2004) Kejadian peribronchial pattern secara radiografi maka akan terlihat adanya penebalan pada dinding bronkiolus yang lebih radioopak. Pada penampang melintang peribronchial pattern terlihat berbentuk „donat‟ dengan garis lebih radioopak dan bagian tengah yang radiolusen pada Gambar 3. Pada potongan longitudinal maka akan terlihat dua garis paralel yang radioopak seperti jalan kereta api pada Gambar 3 dan Gambar 4 (O'Sullivan dan O'Grady 2004). A
B
Gambar 3 Skema kejadian peribronchial pattern. Penampang melintang (A) dan posisi lateral (B). Peribronchial pattern ditujukkan oleh kepala panah hitam (modifikasi dari O'Sullivan dan O'Grady 2004)
7
Gambar 4
Skema bentuk tampilan peribronchial pattern yang terlihat pada gambar radiografi, bentuk donat dan jalan kereta (O'Sullivan dan O'Grady 2004)
Cotton like density disebabkan karena lanjutan dari kejadian edema alveolar (air bronchogram) yaitu cairan yang berasal dari kapiler terakumulasi dalam ruang interstisial perivascular dan peribronchial sehingga secara radiografi akan terlihat seperti kapas (Gambar 5).
Gambar 5
Radiografi kejadian cotton like density pada posisi lateral yang di tandai dengan lingkaran elips berwarna hitam (modifikasi dari O'Sullivan dan O'Grady 2004)
Secara radiografi edema pulmonum ditunjukkan oleh adanya garis radioopak berdekatan dengan daerah radiolusen pada lobus paru yang mengalami edema. Paru yang terisi dengan cairan (edema pulmonum) akan tampak lobus paru berwarna lebih radioopak (Gambar 6).
8
Gambar 6 Skema bentuk tampilan edema pulmonum. Lobus paru menjadi lebih radioopak (tanda panah berwarna merah). Gambaran radiografi seperti ini diistilahkan sebagai „lobar signs‟ (modifikasi dari O'Sullivan dan O'Grady 2004) Interpretasi gambar radiografi dilakukan dengan menggunakan bantuan lampu iluminator. Hasil foto Röntgen yang terkumpul selanjutnya dilakukan dokumentasi dengan mengambil foto hasil foto Röntgen menggunakan camera single lens reflect (SLR) tipe Canon® dan juga menggunakan program Photoshop CS4 Portable ®.
Analisis Data Hasil penelitian yang didapat berupa data kualitatif menggunakan metode skoring. Tanda “ - “ menyatakan tidak adanya temuan klinis pada gambaran radiografi. Nilai “1/3” menyatakan adanya temuan klinis pada satu individu dari tiga individu dalam masing – masing kelompok, nilai “2/3” pada dua individu dan nilai “3/3” apabila temuan klinis ditemukan pada semua individu kelompok.
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Hasil analisis gambaran radiografi menunjukkan adanya pengaruh dari tindakan autotransfusi terhadap gambaran radiografi pada daerah toraks. Pada radiogram, perubahan patologis yang ditemukan meliputi perubahan patologis pola vaskular berupa dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema pulmonum.
9 Tabel 1 Temuan kelainan pada masing-masing kelompok perlakuan Kelainan Patologis
1
2
3
Kelompok Perlakuan AIS 4 1 2 3 4 1
-
-
-
1/3
SP
AP
-
1/3
1/3
-
-
4
VD 1/3 1/3 1/3 LL 2/3 1/3 2/3 3/3 2/3 1/3 VD Peribronchial Pattern 2/3 1/3 2/3 3/3 2/3 1/3 LL 1/3 1/3 VD Cotton Like Density 1/3 1/3 LL 1/3 1/3 1/3 1/3 1/3 VD Edema Pulmonum 1/3 1/3 1/3 1/3 1/3 LL 1: waktu babi terbius sempurna sebelum autotransfusi (H0), 2: waktu sebelum torakotomi (H+2), 3: waktu setelah torakotomi (H+2‟), 4: waktu panen (H+7). SP: standar pandang. Tanda “ - ” : tidak adanya temuan klinis pada gambaran radiografi. Nilai “1/3” menyatakan prevalensi temuan klinis pada satu individu dari tiga individu dalam masing – masing kelompok, nilai “2/3” pada dua individu dan nilai “3/3” apabila temuan klinis ditemukan pada semua individu kelompok.
Dilatasi Vena Pulmonalis
-
AIP 2 3 -
Berdasarkan data pada Tabel 1, dilatasi pada vena pulmonalis terjadi pada kelompok AP dan AIS. Dilatasi vena pulmonalis teramati pada waktu pengambilan gambar radiografi setelah torakotomi (H+2‟) dan H+7 (kelompok AIS). Sebelum mengalami dilatasi, ukuran vena pulmonalis adalah 4 mm dan setelah mengalami dilatasi menjadi 5 mm. Pada kelompok AP, dilatasi vena pulmonalis hanya teramati pada saat H+7. Kejadian yang serupa tidak ditemukan pada kelompok AIP. B
A
AP
AP
VP
Gambar 7
VP
Arteri dan vena pulmonalis memiliki ukuran yang sama dalam keadaan normal (A). Ukuran vena pulmonalis pada kelompok AIS saat setelah torakotomi mengalami dilatasi sehingga ukuranya lebih besar dari arteri pulmonalis (B). AP: arteri pulmonalis, VP: vena pulmonalis
Kejadian peribronchial pattern ditemukan pada hampir semua kelompok perlakuan. Kejadian ini pada kelompok AP ditemukan setelah torakotomi dan H+7. Kelompok AIS menunjukkan kejadian peribronchial pattern yang luar biasa. Setelah torakotomi, kejadian peribronchial pattern ditemukan pada semua
10 individu. Peribronchial pattern pada kelompoak AIP hanya ditemukan saat sebelum torakotomi pada satu individu dalam kelompok. . A
B
Gambar 8 Kejadian peribronchial pattern pada kelompok AIS saat sebelum torakotomi. Secara radiografi akan terlihat pola berbentuk lingkaran radioopak dengan pusat radiolusen menyerupain bentuk „donat‟ (panah berwarna merah). A: standar pandang ventro dorsal. B: standar pandang latero lateral Kejadian cotton like density hanya ditemukan pada kelompok AIS ketika sebelum torakotomi. Kejadian yang serupa tidak ditemukan pada kelompok AP dan AIP dari semua waktu pengambilan gambar radiografi. A
Gambar 9
B
Kejadian cotton like density pada kelompok AIS saat sebelum torakotomi yang ditunjukkan oleh lingkaran berwarna kuning. Daerah sekitaran kapiler paru akan tampak masa radioopak menyerupai kapas. A: standar pandang ventro dorsal. B: standar pandang latero lateral
11 Kejadian edema pulmonum ditemukan pada kelompok AP dan AIS. Edema pulmonum pada kelompok AP ditemukan saat sebelum torakotomi dan setelah torakotomi yang terlihat pada standar pandang latero lateral (LL) dan ventro dorsal (VD). Hal yang hampir sama juga ditemukan pada kelompok AIS. Kejadian edema pulmonum pada kelompok AIS ditemukan saat sebelum torakotomi, setelah torakotomi dan H+7. Pada kelompok AIP kejadian edema pulmonun tidak ditemukan. A
B
Gambar 10 Kejadian edema pulmonum pada kelompok AIS saat panen (H+7) yang ditandai dengan lobus paru berwarna lebih radioopak karena adanya akumulasi cairan pada lobus tersebut. Gambaran radiografi seperti ini diistilahkan dengan lobar signs (garis putus – putus berwarna kuning). A: standar pandang ventro dorsal. B: standar pandang latero lateral
Pembahasan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) memiliki patofisiologi yang kompleks dan multipel. Terdapat 3 komponen yang terpisah, yakni stimulus yang menginisiasi atau sebagai penyebab ARDS, respons pasien terhadap stimulus ini, serta peranan iatrogenik yang menyebabkan semakin lanjutnya penyakit. Stimulus awal akan mengaktifkan suatu efek berantai dengan efek paling awal adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler alveolus dan paru (Danielson et al. 2008). Cairan dengan kandungan tinggi protein akan memasuki alveolus, diikuti neutrofil dan makrofag teraktivasi dan suatu reaksi berantai inflamasi dimulai. Reaksi berantai ini akan melepaskan Interleukin, Tumor Necrosis Factor (TNF) dan mediator inflamasi lain. Neutrofil melepaskan oksidan, leukotrin dan protease (Limas dan Hanafi 2010). Pada trauma abdominal darah yang diambil dari rongga abdomen akan mengalami penurunan hematokrit sebanyak 29-42% tergantung dari cara pengambilannya. Selain itu ditemukan pula kerusakan sel yang tercermin dari peningkatan Laktat Dehidrogenase (LDH) yang mencapai nilai 3890 hingga 4880 U/L (nilai normal >232 U/L) (Limas dan Hanafi 2010).
12 Menurut Baigrie et al. (1991) dan Schroeder et al. (2007), penurunan hematokrit dan peningkatan Laktat Dehidrogenase (LDH) dapat dijadikan parameter untuk menunjukkan adanya lisis sel yang cukup berarti. Lisis sel yang terjadi berupa lisis sel leukosit dan eritrosit. Lisis sel leukosit yang merupakan selsel proinflamasi yang akan menyebabkan pelepasan mediator inflamasi seperti sitokin dan mediator lainnya. Sitokin yang umum ditemukan dalam proses inflamasi akibat autotransfusi adalah IL-1, IL-6, dan Tumor Necrosis Factor- (TNF-). IL-1 merupakan sitokin yang paling pertama muncul dalam peredaran darah setelah terjadinya suatu rangsangan yang menimbulkan inflamasi. TNF- muncul dalam peredaran darah 30 menit setelah trauma dan perdarahan. Kadar TNF- dalam peredaran dan akan kembali menuju normal setelah 24 jam. IL-6 akan meningkat 2 jam setelah trauma, dan nilainya tetap di atas normal hingga lebih 24 jam setelah terjadinya perdarahan (Faist 2004). Proses pencucian darah juga dilaporkan dapat menurunkan kualitas darah yang akan ditransfusikan kembali. Selama proses pencucian, terdapat beberapa komponen darah yang mengendap pada mangkuk sentrifuge dan akan memicu aktivasi platelet dan pelepasan mediator imflamasi (Heath 1995). Hadirnya mediator inflamasi ini dalam sirkulasi darah kemungkinan sebagai penyebab kelainan yang teramati dari gambaran radiografi. Pada radiogram, perubahan yang ditemukan meliputi perubahan patologis pola vaskular berupa dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema pulmonum (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Dari literatur yang ada, belum dapat dijelaskan secara pasti urutan tahapan kejadian patologis yang teramati. Ketika hewan pengalami perdarahan akibat induksi trauma abdominal kemungkinan sebagai pemicu terjadinya gagal jantung. Darah yang keluar dalam jumlah banyak mengakibatkan jumlah yang tersirkulasikan dalam tubuh menjadi berkurang. Hal ini kemungkinan berdampak pada suplai oksigen dan nutrisi ke sel termasuk sel jantung menjadi berkurang (Wintrobe 2011). Hewan yang mengalami kekurangan darah akan menyebabkan stres jantung melalui takikardia dan hipertofi ventrikel kiri yang dapat menyebabkan sel jantung mengalami apoptosis dan memperburuk gagal jantung (Manolis et al. 2005). Awal dari manifestasi gangguan pada sistem kardiovaskular secara radiografi akan teramati adanya dilatasi vena pulmonalis. Pada dilatasi vena pulmonalis secara radiografi akan terlihat ukuran vena tampak lebih besar dari pada arteri. Dalam keadaan normal, vena dan arteri pulmonalis memiliki ukuran yang sama (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Pada studi lain yang dilakukan oleh Bryk tahun 1970, kasus dilatasi vena pulmonalis ditemukan pada pasien yang mengalami kelainan jantung pada ventrikel kiri. Akibat gagal jantung pada ventrikel kiri mengakibatkan pemompaan darah oleh ventrikel tidak maksimal. Ketika ventrikel memompa darah akan ada darah yang masih tersisa sebagian dan pengosongan ventrikel tidak terjadi secara sempurna. Hal ini akan mengakibatkan bendungan pada sistem vena. Darah yang terbendung menyebabkan volume darah pada vena semakin tinggi. Volume darah yang tinggi akan menyebabkan pembesaran dinding vena. Secara radiografi akan terlihat vena pulmonalis mengalami pembesaran atau dilatasi (O'Sullivan dan O'Grady 2004).
13 Peningkatan ukuran vena pulmonalis ditemukan juga pada pasien yang mengalami penyempitan pada katup mitral. Dampak dari katup mitral yang menyempit mengakibatkan aliran darah ke ventrikel kiri menjadi tertahan dan pengosongan atrium kiri tidak optimal. Darah yang masih tersisa pada atrium kiri menyebabkan pembendungan darah dari paru menuju jantung. Darah yang terbendung berdampak pula pada peningkatan tekanan intravaskular dan pembesaran pembuluh darah dalam hal ini adalah vena pulmonalis (Baumgartner et al. 2009). Dari penelitian lain yang dilakukan oleh Takase et al. (2004), kejadian dilatasi vena pulmonalis ditemukan pada pasien yang mengalami gagal jantung dan gangguan ritme jantung (atrial fibrillation). Hadirnya faktor lain yang mengakibatkan kerusakan dan peregangan vena pulmonalis juga berperan pada dilatasi vena pulmonalis (Medi et al. 2007). Kelanjutan dari dilatasi vena pulmonalis akan ditemukan pula perubahan patologis pola interstitial berupa peribronchial pattern. Pada kejadian peribronchial pattern secara radiografi maka akan terlihat pola berbentuk lingkaran radioopak dengan pusat radiolusen menyerupai bentuk „donat‟ (Gambar 8) (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Hadirnya peradangan paru akan berdampak pada peningkatan permeabilitas kapiler. Peningkatan permeabilitas dinding kapiler akan menyebabkan cairan dalam vaskular berdifusi ke interstisial alveolar dan membentuk peribronchial pattern (Kuday dan Hanci 1990). Kelanjutan dari terbentuknya peribronchial pattern, cairan yang terakumulasi akan merembes turun baik di dalam maupun di luar bronkiolus. Dinding bronkiolus tersier tidak dapat terdeteksi karena tidak memiliki cincin kartilaginosa akibat akumulasi cairan tadi. Namun, setelah dinding dalam dan luar bronkiolus tercakup oleh cairan, kontras radiografi dinding akan menjadi lebih radioopak dan kontras lumen lebih radiolusen karena masih diisi dengan udara. Sebagai akibatnya, pada penampang bronkiolus akan muncul sebagai lingkaran radioopak dengan pusat radiolusen („donat‟) seperti pada Gambar 8. Pada penampang melintang peribronchial pattern terlihat berbentuk „donat‟ dengan garis lebih radioopak dan bagian tengah yang radiolusen. Pada potongan longitudinal maka akan tampak dua garis pararel yang radioopak seperti jalan kereta api (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Menyadari bahwa peribronchial pattern adalah istilah untuk sebuah pola radiografi berupa cairan pada lapisan dalam atau luar dari bronkiolus yang membentuk pola „donat‟ (berdasarkan penampang) atau jalur kereta api (jika memotong longitudinal). Cairan yang bertanggungjawab untuk kejadian peribronchial pattern dapat disebabkan oleh semua cairan baik edema, perdarahan, produksi lendir berlebih dan lain sebagainya. Oleh karena itu, keberadaan peribronchial pattern tidak dapat menyimpulkan bahwa hewan mengalami edema paru. Peneguhan diagnosa dapat dilakukan dengan mengamati tanda – tanda lain berupa pembesaran atrium kiri, pembesaran vena pulmonum, adanya peribronchial pattern itu sendiri atau temuan lain seperti air bronchograms (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler juga berperan pada terbentuknya peribronchial pattern. Gagal jantung mengakibatkan hewan mengalami penurunan dalam kemampuan memompa darah keseluruh tubuh. Apabila gagal
14 jantung terjadi pada jantung sebelah kiri akan berdampak pada ketidakmampuan jantung memompa darah yang kembali ke jantung dari paru (Benton 2012). Darah dari paru akan terbendung sehingga terjadi peningkatan tekanan hidrostatik darah pada pembuluh balik. Peningkatan tekanan hidrostatik menyebabkan cairan darah (plasma) bocor/keluar dari vaskular ke interstitium paru dan terkumpul sepanjang percabangan arteri, bronkus dan vena. Hal ini yang menyebabkan terbentuknya peribronchial pattern dan siluet dari margin arteri dan vena paru (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Bentuk lanjut dari adanya rembesan cairan pada bronkiolus akan menyebabkan kejadian cotton like density yaitu cairan yang berasal dari kapiler terakumulasi dalam ruang interstisial perivascular dan peribronchial sehingga secara radiografi akan terlihat seperti kapas (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Aktivasi sel proinflamasi yang terjadi dikarenakan adanya trauma terhadap komponen darah. Trauma ini terjadi sewaktu proses autotransfusi yang mengakibatkan terjadinya lisis sel, maupun akibat dari perdarahan yang diakibatkan oleh trauma yang diterima pasien (Limas dan Hanafi 2010). Stimulus awal dari aktivasi sel proinflamasi akan mengaktifkan suatu efek berantai dengan efek paling awal adalah peningkatan permeabilitas pembuluh darah kapiler alveolus dan paru. Cairan dengan kandungan tinggi protein akan memasuki alveolus, diikuti neutrofil dan makrofag teraktivasi, dan suatu reaksi berantai inflamasi dimulai (Danielson et al. 2008). Istilah cotton like density digunakan tidak eksklusif untuk suatu kondisi penyakit, melainkan untuk menggambarkan proses kemunculan penyakit. Hal ini terjadi ketika susunan dan pola parenkima paru mengalami infiltrasi sel atau cairan (cairan dapat berupa eksudat ataupun cairan dari perdarahan). Gambaran radiografi akan tampak sebagai wilayah diskrit yang relatif keburaman dengan perbatasan diskrit maupun non-diskrit. Gambaran cotton like density biasanya akan tampak lebih radioopak dengan perbatasan „berbulu‟. Cotton like density juga dapat ditemukan pada individu dengan keadaan paru osteoma, infiltrasi jamur dan daerah paru yang mengalami abses (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Tahapan yang lebih lanjut dari akumulasi cairan dalam ruang interstisial perivascular dan peribronchial adalah terjadinya edema pulmonum (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Edema pulmonum adalah suatu keadaan abnormal dengan adanya akumulasi cairan di dalam komponen ekstravaskular dari paru. Jumlah relatif cairan intravaskular dan ekstravaskural di dalam paru sebagian besar dikontrol oleh permeabilitas dan tekanan onkotik dari dinding membran vaskular (Gluecker et al. 1999). Secara radiografi edema pulmonum ditunjukkan oleh adanya garis radioopak yang berdekatan dengan daerah radiolusen pada lobus paru yang mengalami edema. Lobus paru yang mengalami edema juga akan tampak lebih radioopak (Gambar 10) (O'Sullivan dan O'Grady 2004). Menurut Perina (2003), edema pulmonum dapat dibedakan menjadi dua kategori yakni cadiogenic dan noncardiogenic. Edema pulmonum tipe noncardiogenic disebut juga sebagai sindrom pernapasan akut atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Edema pulmonum tipe cadiogenic terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik kapiler. Sebaliknya, kelainan yang menyebabkan edema pulmonum tipe noncardiogenic adalah meningkatnya permeabilitas dinding kapiler paru untuk protein sehingga terjadi penumpukan cairan yang kaya protein di alveolar.
15 Dengan terjadinya pelepasan sitokin, maka kapiler akan mengalami permeabilitas lebih tinggi agar sel darah putih dapat masuk ke dalam jaringan. Ketika jumlah sitokin semakin banyak, maka kapiler dalam paru akan melewatkan cairan berlebih ke dalam alveoli. Cairan ini akan menghalangi terjadinya pertukaran oksigen dalam paru (Danielson et al. 2008). Pada penelitian lain oleh Perina (2003) juga menyatakan penyebab edema pulmonum tipe noncardiogenic sangat beragam baik proses patologi secara langsung maupun tidak langsung. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan perlukaan paru dan alveolar secara langsung diduga sebagai salah satu faktor pemicu. Proses tidak langsung dapat terjadi secara hematogenous dengan adanya pengiriman mediator inflamasi. Mekanisme tidak langsung hasil dari respon peradangan yang berlebihan dapat mempengaruhi kerusakan organ tubuh lainya. Respon peradangan dapat dijelaskan melalui tiga tahapan. Tahap pertama yakni tahap presipitating yang menyebabkan berbagai mediator inflamasi dan sitokin dirilis. Tahap kedua adalah fase amplifikasi, yaitu neutrofil diaktifkan dan diasingkan di organ target (dalam hal ini paru). Fase ketiga adalah fase cidera, yaitu sel yang diasingkan melepaskan oksigen reaktif metabolis sehingga menyebabkan kerusakan sel. Dalam keadaan normal, cairan mengalir dari sistem kapiler ruang interstisial dan kembali ke sirkulasi sistemik melalui sistem limpatik paru. Ketika kapiler menghasilkan cairan ke dalam ruang interstisial melebihi penyerapan limpatik maka akan terjadi edema pulmonum. Kelainan pada permeabilitas kapiler dan gangguan penyerapan oleh sistem limpatik yang menyebabkan terjadinya edema pulmonum. Kejadian ini merupakan kelanjutan dari paru yang mengalami peradangan akibat hadirnya mediator inflamasi tersebut (Perina 2003).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Gambaran radiografi daerah toraks menunjukkan adanya temuan sindrom pernapasan akut atau Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). Perubahan patologis yang terjadi merupakan pengaruh dari aktivasi sel proinflamasi yang terjadi dikarenakan adanya trauma terhadap komponen darah. Trauma ini terjadi sewaktu proses autotransfusi yang mengakibatkan terjadinya lisis sel, maupun akibat dari perdarahan yang disebabkan oleh trauma yang diterima pasien. Pada radiogram, perubahan patologis yang ditemukan meliputi perubahan patologis pola vaskular berupa dilatasi vena pulmonalis, pola interstitial berupa peribronchial pattern, pola alveolar berupa cotton like density dan edema pulmonum. Secara keseluruhan prevalensi kelainan paling besar ditemukan pada kelompok AIS saat setelah torakotomi.
16 Saran Perlu dilakukan pengkajian lebih lanjut terhadap keamanan metode autotransfusi sederhana karena adanya temuan Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) pada hewan model yang digunakan. Penelitian lebih lanjut perlu dilakukan untuk menganalisis ukuran jantung secara radiografi dan penggunaan hewan model yang lebih banyak dengan berat badan yang seragam. Biopsi paru dan analisis kadar sitokin dalam darah perlu dilakukan untuk mendukung temuan kelainan paru pada radiogram.
DAFTAR PUSTAKA Ruslan B. 2010. Korban Tewas Selama Arus Mudik 128 Jiwa. Antara News. Hukum. [Internet]. [diunduh 2011 Sep 9]. Tersedia pada: http//www. antaranews.com/berita/1283985157/korban-tewas-selama-arus-mudik-128jiwa. Alotti N, Varro M, Gombocz K, Simon J, Wrana G, Kecskes G. 2000. Adult respiratory distress syndrome after open heart surgery. Orvosi Hetilap Journal. 141(10):493-6. Baigrie RJ, Lamont PM, Dallman M, Morris PJ. 1991. The release of interleukin1 beta (IL-1) precedes that of interleukin 6 (IL-6) in patients undergoing major surgery. Lymphokine Cytokine Res. 10(4):253-6. Baumgartner H, Hung J, Bermejo J, Chambers JB, Evangelista A. 2009. Echocardiographic Assessment of Valvee Stenosis: EAE/ASE Recommendations for Clinical Practice. Jurnal of the American Society of Echocardiography. 22:1-23 Benton T. 2012. Cardiovascular Disease: Hypertension, Congestive Heart Failure and Angina. New Mexico (MX): UNM School of Medicine. Bryk D. 1970. Dilated Right Pulmonary Vein in Mitral Insuffiency. Chest Radiography. 58:24-27. Danielson C, Benjamin RJ, Mangano MM, Mills CJ, Waxman DA. 2008. Pulmonary pathology of rapidly fatal transfusion-related acute lung injury reveals minimal evidence of diffuse alveolar damage or alveolar granulocyte infiltration. Transfusion. 48(11):2401-8. Dry SM, Bechard KM, Milford EL, Churchill WH, Benjamin RJ. 1999. The pathology of transfusion-related acute lung injury. American Journal of Clinical Pathology. 112(2):216-21. Faist E, Angele M, Wichmann M. 2004. Trauma 5th ed. Moore EE, editor. New York (US): Mc Graw Hill. Gluecker T, Capasso P, Scbnyder P, Gudincbet F, Scballer MD, Revelly JP, Cbiolero R, Vock P, Wicky S. 1999. Clinical and Radiologic Features of Pulmonary Edema. Radiographics. 19:1507-1531. Heath MKJ. 1995. Acute Respiratory Distress Syndrome following Autotransfusion with the BiosurgeTM Autotransfuser. Journal of the Royal Medical Corps. 141:105-106.
17 Krohn CD, Reikeras O, Mollnes TE. 1999. Complement activation and increased systemic and pulmonary vascular resistance indices during infusion of postoperatively drained untreated blood. British Journal of Anaesthesia. 82(1):47-51. Kuday C, Hanci M. 1990. Adult respiratory distress syndrome due to central nervous system lesion. Turkish Neurosurgery. 1:109-113 Limas PI, Hanafi B. 2010. Difference in Quality of Blood Harvested By Skimming And By Suctioning From A Blood Formed Into A Pool, In Relation To Autotransfusion. Pertemuan Ilmiah Tahunan Perhimpunan Ahli Bedah Indonesia (PABI). Manolis AS, Tzeis S, Triantafyllou K, Michaelidis J, Pyrros I, Sakellaris N, Kranidis A, Melita H. 2005. Erythropoietin in heart failure and uther cardiovascular diseases: hematopoietic and pleiotropic effects. Cardiovascular & Haematological Disorders. 5:355-375. Medi C, Hankey GJ, Freedman SB. 2007. Atrial fibrillation. Medical Journal of Australia. 186:197-202. McClelland DBL. 2007. Handbook of transfusion medicine. 4th ed. London: Stationery Office. O'Sullivan ML, O'Grady MR. 2004. Clinical Evaluation of Heart Disease. VetGo. [Internet]. [diunduh 2012 Agu 3]. Tersedia pada: http://vetgo.com/cardio/ concepts/concsect.php?sectionkey=2§ion=Clinical%20Evaluation%20o f%20Heart%20Disease. Perina DG. 2003. Noncardiogenic pulmonary edema. Emergency Medicine Clinics of North America. 21:385-393. Schroeder S, von Spiegel T, Stuber F, Hoeft A, Preusse CJ, Welz A. 2007. Interleukin-6 enhancement after direct autologous retransfusion of shed thoracic blood does not influence haemodynamic stability following coronary artery bypass grafting. Thorac Cardiovasc Surg. 55(2):68-72. Takase B, Nagata M, Matsui T, Kihara T, Kameyama A, Hamabe A, Noya K, Satomura K, Ishihari M, Kurita A, Ohsuzu F. 2004. Pulmonary vein dimensions and variation of branching pattern in patients with paroxymal atrial fibrillation using magnetic resonance angiography. Japanese Heart Journal. 45:81-92. Widjanarko HG, editor. 2002. Autotransfusi pada pengelolaan kehamilan ektopik terganggu (pengalaman selama 14 tahun). Di dalam: Simposium Autotransfusi sebagai alternatif pilihan mengatasi perdarahan intraoperatif; 2002 Jul 20; Bandung, Indonesia. Wintrobe MM. 2011. The cardiovascular system in anemia wwith a note on the particular abnormalities in sickles cell anemia. The American society of Hematology. 1:121-128
18
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Denpasar pada tanggal 27 Januari 1990 dari ayah yang bernama Drs. Made Tisna dan ibu yang bernama Ni Wayan Sukesti. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Penulis memulai jenjang pendidikan formal di SDN 1 Kamasan pada tahun 1996-2002, kemudian melanjutkan pendidikan di SMPN 1 Semarapura tahun 2002-2005. Pendidikan menengah atas ditempuh penulis di SMAN 1 Semarapura dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui Jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB). Selama masa perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kepanitiaan dan organisasi kemahasiswaan, seperti UKM Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma (2008-sekarang), dan aktif dalam Himpunan Profesi Satwaliar FKH IPB (2009sekarang). Penulis pernah tercatat sebagai Asisten Praktikum Mata Kuliah Ilmu Bedah Khusus Veteriner I dan Radiologi Veteriner.