BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Trauma toraks 2.1.1. Defenisi Trauma toraks merupakan trauma yang mengenai dinding toraks dan atau organ intra toraks, baik karena trauma tumpul maupun oleh karena trauma tajam. Memahami kinematis dari trauma akan meningkatkan kemampuan deteksi dan identifikasi awal atas trauma sehingga penanganannya dapat dilakukan dengan segera (Kukuh, 2002; David, 2005). Secara anatomis rongga toraks di bagian bawah berbatasan dengan rongga abdomen yang dibatasi oleh diafragma, dan batas atas dengan bawah leher dapat diraba incisura jugularis. Otot-otot yang melapisi dinding dada yaitu: m.latissimus dorsi, m.trapezius,
m.rhomboideus
mayor
dan
minor,
m.serratus
anterior,
dan
m.intercostalis. Tulang dinding dada terdiri dari sternum, vertebra torakalis, iga dan skapula. Organ yang terletak di dalam rongga toraks : paru-paru dan jalan nafas, esofagus, jantung, pembuluh darah besar, saraf dan sistem limfatik (Kukuh, 2002).
2.1.2. Epidemiologi Trauma toraks semakin meningkat sesuai dengan kemajuan transportasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat. Data yang akurat mengenai trauma toraks di Indonesia belum pernah diteliti.
5
Universitas Sumatera Utara
Di Bagian Bedah FKUI/RSUPNCM pada tahun 1981 didapatkan 20% dari pasien trauma mengenai trauma toraks. Di Amerika didapatkan 180.000 kematian pertahun karena trauma. 25% diantaranya karena trauma toraks langsung. Di Australia, 45% dari trauma tumpul mengenai rongga toraks. Dengan adanya trauma pada toraks akan meningkatkan angka mortalitas pada pasien dengan trauma. Pneumotoraks, hematotoraks, kontusio paru dan flail chest dapat meningkatkan kematian : 38%,42%,56% dan 69%
(Eggiimann, 2005; Jean,
2005).
2.1.3. Etiologi Trauma pada toraks dapat dibagi 2 yaitu oleh karena trauma tumpul dan trauma tajam. Penyebab trauma toraks tersering adalah oleh karena kecelakaan kendaraan bermotor (63-78%). Dalam
trauma akibat kecelakaan, ada lima jenis
tabrakan (impact) yang berbeda, yaitu depan, samping, belakang, berputar dan terguling. Oleh karena itu harus dipertimbangkan untuk mendapatkan riwayat yang lengkap karena setiap orang memiliki pola trauma yang berbeda. Penyebab trauma toraks oleh karena trauma tajam dibedakan menjadi 3, berdasarkan tingkat energinya yaitu: trauma tusuk atau tembak dengan energi rendah, berenergi sedang dengan kecepatan kurang dari 1500 kaki per detik (seperti pistol) dan trauma toraks oleh karena proyektil berenergi tinggi (senjata militer) dengan kecepatan melebihi 3000 kaki per detik. Penyebab trauma toraks yang lain oleh karena adanya tekanan yang berlebihan pada paru-paru bisa menimbulkan pecah atau pneumotoraks (seperti pada scuba) (David.A, 2005; Sjamsoehidajat, 2003).
Universitas Sumatera Utara
2.1.4. Gangguan anatomi dan fisiologi akibat trauma toraks Akibat trauma daripada toraks, ada tiga komponen biomekanika yang dapat menerangkan terjadinya luka yaitu kompresi, peregangan dan stres. Kompresi terjadi ketika jaringan kulit yang terbentuk tertekan, peregangan terjadi ketika jaringan kulit terpisah dan stres merupakan tempat benturan pada jaringan kulit yang bergerak berhubungan dengan jaringan kulit yang tidak bergerak. Kerusakan anatomi yang terjadi akibat trauma dapat ringan sampai berat tergantung besar kecilnya gaya penyebab terjadinya trauma. Kerusakan anatomi yang ringan berupa jejas pada dinding toraks, fraktur kosta simpel. Sedangkan kerusakan anatomi yang lebih berat berupa fraktur kosta multiple dengan komplikasi, pneumotoraks, hematotoraks dan kontusio paru. Trauma yang lebih berat menyebabkan perobekan pembuluh darah besar dan trauma langsung pada jantung (ATLS, 2004; Kukuh, 2002). Akibat kerusakan anatomi dinding toraks dan organ didalamnya dapat menganggu fungsi fisiologi dari sistem pernafasan dan sistem kardiovaskuler. Gangguan sistem pernafasan dan kardiovaskuler dapat ringan sampai berat tergantung kerusakan anatominya. Gangguan faal pernafasan dapat berupa gangguan fungsi ventilasi, difusi gas, perfusi dan gangguan mekanik/alat pernafasan. Salah satu penyebab kematian pada trauma toraks adalah gangguan faal jantung dan pembuluh darah (ATLS, 2004; Kukuh, 2002; David.A, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.1.5. Torakostomi Torakostomi merupakan suatu tindakan membuat lubang pada dinding dada di daerah interkostal V di anterior garis mid aksila pada sisi toraks yang patologis, kemudian dipasang tube elastik dan difiksasi, untuk mengeluarkan cairan, darah atau udara dari kavum pleura, baik secara aktif maupun pasif. Tindakan ini dikerjakan untuk
menangani
kasus-kasus
pasien
dengan
efusi
pleura,
hematotoraks,
pneumotoraks, silotoraks, post operasi torakostomi dan empiema. Bailey (2006), mendapatkan 54% indikasi pemasangan toraks tube pada pasien trauma oleh karena pneumotoraks, 20% oleh karena hematotoraks, 18% oleh karena efusi pleura, 2% oleh karena fraktur kosta multipel dan 6% oleh karena berbagai sebab (Bailey, 2006; Jaber, 2005). Pada pemasangan chest tube dapat timbul komplikasi. Komplikasi yang tersering berupa perdarahan dan hemotoraks yang bersumber dari robeknya arteri interkostal, perforasi organ viseral (seperti: paru-paru, jantung, diafragma, atau organ intra abdomen), perforasi struktur pembuluh darah besar seperti aorta atau vena subklavia, neuralgia interkostal oleh karena trauma pada neurovaskuler, subkutaneus empisema, reekspansi oedem pulmonary, infeksi luka insisi, pneumonia dan empiema. Disamping itu dapat timbul sumbatan berulang pada chest tube oleh karena bekuan darah, pus atau debris, atau posisi tube yang tidak benar sehingga fungsi drainase tidak efektif. Bailey dkk (2006), mendapatkan komplikasi mayor berupa empiema post torakostomi sebesar 2%.
Universitas Sumatera Utara
Etoch dkk (1995) mendapatkan 16% komplikasi post torakostomi, dan 1,5% berkembang menjadi empiema. Nichols dkk (1994) melakukan evaluasi tentang perlunya pemberian antibiotika untuk mengurangi rata-rata komplikasi infeksi post torakostomi (Bailey, 2006; Jaber, 2005; Olgac, 2006).
Gambar 1 : Lokasi Pemasangan Chest Tube
Gambar 2 : Pasien Post Torakostomi
Torakostomi dikerjakan di kamar operasi atau UGD dengan setting steril. Dengan menggunakan Povidon Iodin 10 % sebagai desinfektan dan Lidocain 2 %
Universitas Sumatera Utara
untuk lokal anestesi. Chest tube yang dipakai biasanya berukuran 24 - 32 Fr. disesuaikan dengan besar badan pasien. Chest tube dipasang pada interkostal 5 atau 6, di depan garis mid-aksila pada sisi yang patologis. Kemudian difiksasi dengan Silk no : 0 dan dihubungkan dengan mesin WSD. Posisi dan pengembangan paru dievaluasi dengan kontrol rontgen toraks (David, 2005; Jaber, 2005). Setelah pemasangan chest tube perlu dilakukan chest fisioterapi dan perawatan luka torakostomi. Chest fisioterapi bertujuan untuk mempercepat tercapainya pengembangan dari paru-paru. Dan perawatan luka bertujuan untuk mencegah infeksi pada luka torakostomi (Bailey, 2006).
2.2. Mikrobiologi biofilm 2.2.1 Defenisi Defenisi biofilm telah berkembang sejak 25 tahun yang lalu. Marshall (1976) mencatat keterlibatan dari fibril polimer ekstraseluler yang sangat halus yang membawa bakteri ke permukaannya. Costerton melakukan observasi pada komunitas bakteri pada sistem akuatik yang ditemukan terperangkap dalam matrik glikokalik yang didapati pada polisakarida dan matrik ini ditemukan dapat memediasi penempelan atau proses adesi. Costerton mengatakan bahwa biofilm terdiri dari sel tunggal dan mikrokoloni, dimana semuanya terperangkap dalam matrik eksopolimer anion (Costerton, 1999; Cowan, 1991).
Universitas Sumatera Utara
Definisi baru dari biofilm merupakan suatu lapisan tipis bakteri yang menempel pada permukaan matriks yang lembab dan lengket seperti mukosa dan alatalat yang dipasang di dalam tubuh, yang menyebabkan bakteri resisten terhadap proses fagositosis sel darah putih dan efek antibiotika (Donlan, 2002). 2.2.2. Epidemiologi Biofilm merupakan masalah besar dan tidak memiliki predominansi lokasi geografis, jenis kelamin, ras dan etnis dunia. Akan tetapi, terdapat hubungan yang kuat antara infeksi biofilm dengan pemakaian alat yang dimasukan ke dalam tubuh. Protese katup jantung memiliki resiko paling tinggi untuk terkena infeksi, diikuti oleh kateter urin dan terakhir implan gigi, sedangkan khusus tentang biofilm pada chest tube belum ada publikasinya. Enam puluh lima persen infeksi yang terjadi di negara berkembang merupakan akibat dari biofilm yang resisten terhadap antimikrobial (Costerton, 1999; Habash, 1999). Sebuah penelitian menemukan bahwa, 95% dari pasien dengan infeksi saluran kencing terjadi akibat pemasangan kateter urin, 87% infeksi hematogen terjadi akibat pemakaian vaskular kateter, dan 87% pasien dengan pneumonia terjadi akibat ventilasi mekanik (Habash, 1999).
2.2.3. Patogenesis Biofilm merupakan substansi menyerupai perekat yang secara permanen memfiksasi mikroorganisme pada permukaan padat dan sulit dieradikasi dengan menggunakan
antimikrobial.
Mikroorganisme
pada
biofilm
berbeda
dengan
Universitas Sumatera Utara
mikroorganisme yang bergerak bebas karena mikroorganisme biofilm tidak bisa dieradikasi
dengan
mudah
seperti
mikroorganisme
yang
bergerak
bebas.
Seluruh implan buatan pada tubuh manusia akan mengalami resiko untuk infeksi biofilm. Fiksasi mikroorganisme pada peralatan medis memiliki hubungan yang kuat dengan media pertumbuhan, permukaan, serta mikroorganisme yang berkaitan (Costerton, 2001; Donlan, 2002).
Gambar 3 : Menunjukkan proses pembentukan Biofilm
Gambar 3. Menunjukkan lima proses perkembangan daripada biofilm. Fase 1 perlengketan awal dari sel terhadap permukaan alat, fase 2 produksi dari pada EPS, fase 3 pertumbuhan awal dari arsitektur biofilm, fase 4 terjadi maturasi dari arsitektur biofilm, fase 5 menunjukkan penyebaran dari sel biofilm (Donlan, 2002).
Universitas Sumatera Utara
Biofilm tersusun dari substansi polimer tambahan / Extra Polymeric Substance (EPS) dan sel-sel mikrobial. Komponen EPS meliputi 50-90% dari biofilm. Biofilm memiliki hidrasi yang baik karena dapat mengikat air dalam jumlah besar melalui ikatan hidrogen. EPS dapat bersifat baik hidrofobik maupun seimbang antara hidrofobik dan hidrofilik. Mikroorganisme yang berbeda akan menghasilkan kuantitas EPS yang berbeda dimana kuantitas EPS ini akan bertambah besar seiring dengan usia biofilm. Perkembangan bakteri yang lambat akan menginduksi pembentukan EPS. EPS memegang peranan penting di dalam resistensi biofilm terhadap terapi antimikrobial (Donlan, 2002; Habash, 1999). Biofilm bersifat heterogen (lebih dari satu macam koloni bakteri), terdiri dari koloni-koloni bakteri kecil yang dilapisi oleh media EPS dan terpisah dari koloni lainnya oleh ruang kosong atau saluran air. Aliran cairan di dalam saluran tersebut memberikan nutrisi, gizi dan zat antimikrobial. Struktur biofilm berubah secara terusmenerus akibat perubahan eksternal maupun internal. Arsitektur biofilm juga dapat dipengaruhi oleh interaksi fragmen bagian nonmikrobial host (misalnya eritrosit, fibrin, atau platelet) dengan lingkungan sekitar. Fibrin yang terbentuk dari biofilm melindungi biofilm dari leukosit host. Perlekatan bakteri yang berkepanjangan pada akhirnya akan menyebabkan pembentukan beberapa lapis bakteri pada permukaan (Donlan, 2002; Habash, 1999). Sinyal antar sel berperan di dalam fiksasi dan pemisahan sel dari biofilm.
Universitas Sumatera Utara
Pada mikroorganisme dengan tingkat kepadatan tinggi, sinyal antar sel menjadi sangat kuat dimana hal ini akan menstimulasi diferensiasi biofilm (Habash, 1999). Biofilm dapat menyebar dengan cara melepaskan sel yang baru terbentuk dari sel-sel yang sedang berkembang. Pelepasan ini dapat terjadi akibat faktor nutrisi, tingkat kepadatan, atau efek aliran pada permukaan alat. Alasan mengapa sel-sel yang baru terbentuk terlepas dari biofilm adalah karena penurunan sifat hidrofobik biofilm, dimana sifat ini akan meningkat seiring dengan usia sel pada biofilm. Organisme dengan penurunan jumlah alginate akan terlepas dengan sendirinya (Donlan, 2002; Habash, 1999). Ada tiga mekanisme pelepasan biofilm secara fisik. Yang pertama adalah pelepasan sebagian kecil dari biofilm secara konstan, pelepasan secara luas dan mendadak, dan pelepasan akibat gesekan cairan pada permukaan biofilm. Laju pelepasan biofilm tergantung dari ketebalan dan gesekan pada daerah kontak biofilm dengan aliran cairan. Pelepasan secara luas dan mendadak terjadi akibat kurangnya nutrisi atau oksigen. Pelepasan biofilm dapat terjadi secara spesifik pada spesies mikroorganisme tertentu. Metode ini memberikan kesempatan kepada sel-sel pada biofilm untuk berpindah tempat dari daerah dengan nutrisi yang rendah menuju daerah lain yang dapat menunjang pertumbuhan biofilm dengan lebih baik. Metode pelepasan ini akan mempengaruhi gambaran fenotipe mikroorganisme yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
Biofilm yang yang terlepas secara luas dan mendadak memiliki sifat resistensi antimikrobial, dimana sel-sel selalu dilepaskan secara konstan dalam jumlah kecil dan menjadi organisme (Donlan, 2002; Habash, 1999). Terdapat
empat
sifat
biofilm
yang
memiliki
dampak
besar
pada
perkembangan penyakit infeksi. Yang pertama, pelepasan sel atau biofilm dapat menyebabkan infeksi sistemik atau saluran kemih atau dapat menyebabkan pembentukan emboli (berhubungan dengan platelet, fibrin, dan eritrosit). Kedua, selsel pada biofilm memiliki kemampuan untuk mentransfer plasmid untuk resistensi. Hal ini merupakan penyebab utama mengapa biofilm resisten terhadap sebagian besar antimikroba dan desinfektan. Ke tiga adalah pembentukan endotoksin oleh bakteri gram negatif. Endotoksin terbentuk pada saat bakteri mati dan materi intraselulernya terlepas keluar. Bakteri gram negatif pada biofilm dapat membentuk endotoksin yang dapat melewati membran dialisis pada pasien-pasien yang menjalani hemodialisis. Hal ini tentu menjadi masalah. Yang ke empat adalah resistensi biofilm terhadap sistem imunitas host karena EPS yang dihasilkan oleh bakteri akan menghambat aktivitas fagositik makrofag. Bakteri yang melepaskan diri dari biofilm juga memiliki resistensi terhadap oksigen aktif yang dihasilkan oleh leukosit polimorfonuklear. Perjalanan alamiah penyembuhan luka akan mengalami hambatan oleh aktivitas mikroorganisme biofilm. Akan
muncul
daerah
merupakan tempat
ideal
nekrosis
serta
denaturasi
bagi
proliferasi
bakteri
protein
pada
luka
dan pembentukan
yang biofilm
(Donlan, 2002; Habash, 1999).
Universitas Sumatera Utara