BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Secondary Traumatic Stress Istilah secondary traumatic stress mengacu pada pengalaman kondisi psikologis negatif yang biasanya dihasilkan dari hubungan yang intens dan dekat dengan mereka yang mengalami trauma (Motta, 2008). Mereka yang mengalami
trauma
sekunder
tidak
mengalami
langsung
kejadian
traumatisnya tapi mendapatkannya karena seringnya berhubungan dengan korban trauma. (Figley, McCann & Pearlman, dalam Motta 2008). Sederhananya secondary traumatic stress dapat dikatakan sebagai “efek yang yang menular” dari korban trauma (individu yang mengalami trauma) kepada individu yang memiliki kedekatan dengan korban trauma. Mendengar sesuatu atau menyaksikan suatu kejadian trauma dan usaha untuk mengidentifikasi mereka yang sedang mengalami trauma juga dapat menghasilkan trauma sekunder, terutama jika pengalaman – pengalaman itu membangkitkan ketakutan pada saksi (Motta, 2008). Pada awal perkembangannya fenomena STS memiliki banyak nama. Figley (1993) sendiri menyebut fenomena ini sebagai secondary victimization, co-victimization (Hartsough & Myers dalam Figley, 1993), dan secondary survivor (Remer & Elliot dalam Figley, 1993). Setelah penelitian mengenai fenomena STS ini banyak dilakukan, saat ini ada beberapa istilah yang terkait dengan trauma sekunder dan sering
7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
digunakan dengan kurang tepat. Walau mirip akan tetapi definisinya berbeda. Menurut Rothschild & Rand (dalam Newel & MacNeil, 2010) ada tiga istilah yang sering dikutip dalam berbagai literatur yang membahas mengenai reaksi psikologis negatif pada pekerja sosial yaitu: vicarious traumatization (VT), secondary traumatic stress (STS), and compassion fatigue (CF). Walau memiliki kemiripan akan tetapi ketiga hal tersebut memiliki perbedaan yang signifikan. VT didefinisikan sebagai proses perubahan kognitif yang dihasilkan dari hubungan empati dengan korban trauma (Pearlman dalam Newel & MacNeil, 2010). STS memiliki hubungan dengan perilaku alamiah dan sebuah konsekuensi serta emosi yang dihasilkan dari hasil mengetahui kejadian trauma yang dialami oleh orang lain (atau klien) dan stres dihasilkan dari hasil membantu atau berniat untuk membantu orang yang mengalami trauma atau korban (atau klien) (Figley, dalam Newell dan MacNeil, 2010). 2.1.1.
Perbedaan PTSD dengan STS Figley (1995) mengatakan bahwa gejala secondary traumatic stress sangat mirip dengan gejala dari post traumatic stress disorder (PTSD),
perbedaannya
adalah
secondary
traumatic
stress
didapatkan dari orang lain (korban trauma) sementara post traumatic stress disorder dialami langsung. Newell dan MacNeil (2010) mengatakan bahwa seluruh gejala PTSD dapat saja muncul pada trauma sekunder, seperti pikiran yang
8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
terganggu,
kenangan
traumatis,
atau
mimpi
buruk
yang
berhubungan dengan trauma klien, insomnia, mudah marah atau ledakan marah, kelelahan, kesulitan berkonsentrasi, menghindari klien dan permasalahannya, dan menjadi sangat berhati – hati atau waspada pada setiap stimulus atau hal apapun yang berkaitan dengan trauma klien. Figley (1995) malah menyarankan bahwa PTSD seharusnya primary traumatic stress disorder. Figley (1995) telah menyusun perbedaan kriteria diagnosis antara primary stress traumatic disorder (PTSD) dengan secondary stress traumatic disorder (STS). Primer (Primary)
Sekunder (Secondary)
A. Pemicu Stress
A. Pemicu Stress
Mengalami kejadian yang tidak
Mengalami kejadian yang tidak
pernah terpikir dan diinginkan
pernah terpikir dan diinginkan
terjadi
terjadi
oleh
manusia
yang
oleh
manusia
yang
menakutkan bagi hampir semua
menakutkan bagi hampir semua
manusia, seperti:
manusia, seperti:
1. Ancaman yang serius
1. Ancaman yang serius kepada
2. Lingkungan
yang
berubah
drastis
korban trauma 2. Lingkungan
korban
yang berubah drastis
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
trauna
B. Mengalami Kembali Kejadian B. Mengalami Kembali Kejadian Traumatis
Traumatis
1. Ingatan tentang kejadian
1. Ingatan tentang kejadian yang dialami korban trauma
2. Mimpi tentang kejadian 3. Mendadak mengalami kembali
2. Mimpi tentang kejadian yang dialami korban trauma
kejadiannya 4. Kesulitan mengingat kembali
3. Mendadak mengalami kembali kejadiannya
kejadiannya
yang
dialami
korban trauma 4. Kesulitan mengingat kembali kejadiannya
yang
dialami
korban trauma C. Penghindaran/Lupa Ingatan 1. Berusaha
menghindari
pikiran/perasaan
(yang
C. Penghindaran/Lupa Ingatan 1. Berusaha
menghindari
pikiran/perasaan
(yang
berhubungan dengan kejadian
berhubungan dengan kejadian
trauma)
trauma)
2. Berusaha
menghindari
kegiatan/situasi
(yang
2. Berusaha
menghindari
kegiatan/situasi
(yang
berhubungan dengan kejadian
berhubungan dengan kejadian
trauma)
trauma) 3. Amnesia Psikogenik
3. Amnesia Psikogenik
10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
4. Kurang berminat beraktivitas
4. Kurang berminat beraktivitas
5. Mengasingkan diri dari orang
5. Mengasingkan diri dari orang
lain
lain
6. Berkurangnya affect
6. Berkurangnya affect
7. Merasa tidak memiliki masa
7. Merasa tidak memiliki masa
depan
depan
D. Gairah yang Menetap (Persistent D. Gairah
yang
Menetap
Arousal)
(Persistent Arousal)
1. Sulit tidur / sering terbangun
1. Sulit tidur / sering terbangun
2. Mudah
2. Mudah
marah
atau
dapat
marah
atau
dapat
meledak-ledak
meledak-ledak
3. Sulit berkonsentrasi
3. Sulit berkonsentrasi
4. Waspada yang berlebihan
4. Waspada yang berlebihan
5. Mudah terkejut
5. Mudah terkejut
6. Reaktivitas fisiologis terhadap
6. Reaktivitas fisiologis terhadap
stimulus
stimulus
Gejala yang berlangsung kurang dari satu bulan dapat dikatakan sebagai normal, akut, krisis, berhubungan dengan reaksi. Mereka yang tidak menampakkan gejalanya sampai 6 bulan atau lebih semenjak kejadian disebut sebagai PTSD atau STSD yang tertunda.
11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.1.2.
Rentan terkena Secondary Traumatic Stress Figley menyatakan (1993) secara sederhananya mereka yang berempati dan bertemu langsung dengan korban trauma dapat mengalami secondary traumatic stress. Akan tetapi untuk kalangan profesional tentu ada faktor tertentu yang dapat membuat profesional terkena STS. Menurut Figley ada 4 faktor mengapa praktisi profesional dapat terkena STS. Pertama empati merupakan sumber utama bagi pekerja trauma untuk menolong mereka yang trauma. Empati merupakan hal yang penting dalam memetakan suatu masalah dan merencanakan proses terapi., karena perspektif dari klien (termasuk anggota keluarga korban) harus dipertimbangkan. Dan proses berempati kepada korban trauma dapat membantu kita dalam memahami proses terjadinya trauma pada korban, akan tetapi dalam proses ini, kita juga dapat menjadi trauma juga. Kedua banyak dari pekerja trauma yang memiliki pengalaman traumatik dalam hidupnya. Terapis yang memfokuskan pada trauma sudah pasti menangani menangani banyak variasi dari kasus trauma, sehingga tidak terelakkan lagi terapis ini akan menemui klien yang memiliki kasus trauma yang sama dengan yang mereka alami. Hal ini dapat membahayakan karena terapis dapat menggeneralisasi pengalamannya dan solusinya kepada korban, terlebih jika promosi berlebihan mengenai solusinya. Padahal masalah yang klien hadapi
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
belum tentu sama dan solusi yang diberikan belum tentu cocok untuk klien. Ketiga trauma pada pekerja sosial yang tidak terselesaikan dapat muncul kembali oleh kejadian trauma yang dialami oleh korban trauma dimana kejadian traumanya memiliki kesamaan. Pekerja trauma yang memiliki trauma, mungkin saja belum terselesaikan dengan baik sehingga trauma yang dimiliki dapat terpicu kembali oleh kasus trauma klien. Keempat trauma pada anak dapat memprovokatif terapis. Petugas kegawatdaruratan (polisi, pemadam kebakaran, dsb) paling rentan terkena STS saat berhadapan dengan anak anak yang kesakitan. 2.2. The Professional of Quality Life The professional of quality life berawal dari Compassion Fatigue Self Test yang diperkenalkan oleh Figley pada 1995 (Stamm & Hudnall, 2006). Seiring perjalannya tes tersebut mengalami banyak modifikasi hingga setelah dievaluasi akhirnya tes tersebut diberikan nama baru yaitu The Professional of Quality Life atau ProQOL (Stamm, 2010). ProQOL memiliki 3 dimensi. Dimensi yang mewakili aspek positif dalam pekerjaan adalah compassion satisfaction dan dua dimensi mewakili aspek negatif yaitu secondary traumatic stress yang ditandai dengan rasa takut dan burnout yang ditandai dengan kurangnya efikasi.
13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.2.1.
Compassion Satisfaction Compassion
satisfaction
adalah
kesenangan
yang
didapatkan dari melakukan pekerjaan dengan baik. Misalnya, Anda mungkin merasa senang untuk membantu orang lain dengan kemampuan yang Anda miliki. Anda mungkin merasa positif tentang rekan kerja Anda atau kemampuan Anda untuk berkontribusi pada lingkungan kerja atau bahkan di lingkungan sosial masyarakat (Stamm, 2010). Stamm (dalam Sodeke-Gregson dkk, 2013) compassion satisfaction terdiri dari 3 elemen ;
Tingkat kepuasan yang didapatkan dari bekerja
Seberapa baik seseorang merasakan bahwa mereka melakukan pekerjaannya, hal ini berkaitan dengan tingkat kompetensi dan kontrol dimana terapis dapat merasa bahwa kliennya terkena traumatis yang berlebihan
Tingkat dukungan yang positif, dengan aspek dukungan sosial strukturan dan fungsional menjadi sangat penting.
14
http://digilib.mercubuana.ac.id/
2.2.2.
Secondary Traumatic Stress Menurut Stamm (2005), secondary traumatic stress adalah paparan sekunder dari orang – orang yang mengalami kejadian trauma esktrim. Indikasi dari STS termasuk ketakutan, kesulitan tidur, bayangan pikiran yang mengganggu, menghindari mengingat sesuatu pengalaman traumatis seseorang.
2.2.3.
Burnout Menurut Stamm (2005), burnout merupakan perasaan keputusasaan dan kesulitan dalam menangani pekerjaan atau melakukan pekerjaan secara efektif. Perasaan ini muncul secara bertahap. Hal ini dapat tercermin dari usaha yang kita lakukan dalam pekerjaan tidak membuahkan hasil, beban kerja yang sangat tinggi dan lingkungan pekerjaan yang tidak mendukung.
2.3. Kerangka Pemikiran Polisi yang bertugas di UPPA memiliki resiko terkena secondary trauma stress. Hal ini disebabkan oleh korban anak dan perempuan yag seringkali datang dengan kondisi trauma. Jadi menghadapi korban traumatis merupakan hal yang tidak dapat dihindari oleh petugas polisi UPPA. Menurut Newell dan MacNeil (2010), jika setiap hari atau sering berhubungan dengan orang yang memiliki permasalahan kronis dapat menyebabkan secondary trauma stress. Selain itu polisi juga rentan mengalami stress akibat beban
15
http://digilib.mercubuana.ac.id/
pekerjaan sehingga berpotensi mengalami burnout (Kadiv Humas Polri, 2016 & Maslach dan Jackson dalam Figley, 1995). Akan tetapi masih ada polisi yang menjalani pekerjaannya dengan baik bahkan
mengganggap
pekerjaannya
sebagai
ibadah
karena
sudah
kewajibannya untuk menolong orang lain. Bahkan ada pula polisi yang merasa senang karena apa yang ia lakukan dapat membantu orang lain. Perasaan senang dapat membantu orang lain dengan kemampuan yang kita miliki disebut compassion satisfaction. Menurut Stamm (2010) burnout dan secondary traumatic stress adalah aspek negatif dari ProQOL yang akan timbul jika kita menolong orang lain dan compassion satisfaction adalah aspek positif dari ProQOL yang timbul jika kita menolong orang lain. Penelitian sebelumnya menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara aspek negatif ProQOL (burnout) dengan aspek negatif ProQOL (secondary traumatic stress) dan aspek positif ProQOL (compassion satisfaction) dengan aspek negatif ProQOL (secondary traumatic stress). Akan tetapi ProQOL tidak mengukur secondary traumatic stress secara spesifik. Untuk melihat bagaimana hubungan professional quality of life dengan secondary traumatic stress pada petugas polisi unit perlindungan anak dan perempuan di Polda Metro Jaya dan Jajarannya.
16
http://digilib.mercubuana.ac.id/
ProQOL
Secondary Traumatic Stress
X
Y
Bagan 2.1 Kerangka Berpikir 2.4. Hipotesis 2.4.1.
Hipotesis Alternatif (Ha)
Ha1 Terdapat hubungan yang signifikan antara ProQOL (burnout) dengan secondary traumatic stress pada petugas polisi perlindungan perempuan dan anak di Polda Metro Jaya dan Jajarannya. Ha2
Terdapat
hubungan
yang
signifikan
antara
ProQOL
(compassion satisfaction) dengan secondary traumatic stress pada petugas polisi perlindungan perempuan dan anak di Polda Metro Jaya dan Jajarannya. Ha3 Terdapat hubungan yang signifikan antara ProQOL (secondary traumatic stress) dengan secondary traumatic stress pada petugas polisi perlindungan perempuan dan anak di Polda Metro Jaya dan Jajarannya.
17
http://digilib.mercubuana.ac.id/