Kajian Utama
Menimbang Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia Pasca-Soeharto
Syamsuddin Haris
E
mpat orang Presiden, BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono, berturut-turut telah menggantikan Soeharto yang lengser pada 21 Mei 1998. Satu dekade reformasi telah terlampaui, namun tuntutan reformasi bagi tegaknya pemerintahan yang adil, demokratis, serta bebas dari korupsi cenderung masih terhenti di persimpangan kepentingan para elite politik. Betapa tidak, ketika pemilu-pemilu kian bebas, demokratis, dan langsung, kebobrokan moral para penyelenggara negara sedikit demi sedikit terungkap pula. Tak terbayangkan betapa luasnya kaki gunung es kebobrokan itu jika sebagian besar di antaranya bisa diungkap secara publik.
Adi Suryadi Culla: Doktor Ilmu Politik Universitas Indonesia (UI) dan dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar.
Tidak mengherankan jika semangat memberantas korupsi seolah-olah saling berkejaran dengan temuan kasus-kasus korupsi, suap, dan penyalahgunaan kekuasaan di semua tingkat dan cabang pemerintahan, eksekutif, legislatif, dan lembaga yudikatif. Beberapa tahun lalu kita dikejutkan oleh “korupsi berjamaah” para anggota DPRD di tingkat kabupaten, kota, dan propinsi. Puluhan orang di 7
Syamsuddin Haris: Menimbang Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia Pasca-Soeharto
antaranya telah dihukum dan menghuni hotel prodeo. Beberapa waktu terakhir kita lebih terkejut lagi karena ternyata kasus korupsi dan suap juga menjalar pada sejumlah wakil rakyat di DPR Senayan, serta para jaksa di Kejaksaan Agung yang seharusnya menjadi alat negara terdepan bagi penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Pada saat yang sama ironisnya, begitu banyak tokoh dari berbagai kalangan mulai dari mantan tentara, aktivis, politisi, seniman, akademisi, artis, dan pengusaha berebut tiket menjadi kepala daerah dan bahkan kepala negara. Miliaran rupiah digelontorkan untuk mempromosikan diri demi berhala baru yang bernama “popularitas”, padahal uang sebanyak itu mungkin bisa menyelamatkan hidup puluhan ribu rakyat kita yang hidupnya terhimpit kemiskinan. Di sisi lain, meningkatnya jumlah partai seolah-olah berbanding lurus dengan membengkaknya tingkat pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Uang dalam jumlah puluhan atau ratusan miliar rupiah bisa diduga turut menyangga lahirnya banyak partai baru. Tak terbayangkan bagaimana masa depan negeri ini jika motif utama 34 partai peserta Pemilu 2009 hanya sekadar merebut kekuasaan (bagi partai baru) dan mempertahankannya (bagi partai yang tengah berkuasa). Lalu apa yang salah pada Republik ini? Masih adakah peluang bagi optimisme?
8
Faktor Krisis Moralitas dan Kepemimpinan Pendangkalan Pemahaman terhadap Politik Pertama-tama harus diakui bahwa demokratisasi pasca-Orde Baru meskipun masih bersifat prosedural telah meningkat secara signifikan, ditandai antara lain reformasi konstitusi, pemilu yang demokratis, dan bahkan pemilihan langsung bagi presiden dan kepala-kepala daerah. Akan tetapi bersamaan dengan itu pemahaman terhadap politik, partai politik, pemilu, demokrasi, dan esensi pemerintahan itu sendiri sesungguhnya mengalami pendangkalan yang luar biasa selama satu dekade terakhir. Pendangkalan pemahaman terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan politik tersebut meluas sedemikian rupa di semua tingkat, baik negara-masyarakat, maupun elitemassa. Politik cenderung tidak lagi dilihat sebagai kebebasan untuk memproduksi kebajikan dan keutamaan bagi kehidupan kolektif, tetapi lebih dipandang sebagai kesempatan yang disediakan oleh hak dasar yang melekat pada setiap manusia bebas. Politik akhirnya menjadi sangat konkrit, yakni seolah-olah hanya kekuasaan itu sendiri, sehingga tidak menjadi penting apakah kekuasaan itu bermanfaat bagi kolektifitas atau justru menjadi monster yang berpotensi menghancurkan kolektifitas seperti Leviathan-nya Thomas
Jurnal Politika Vol. 5 No. 1 Tahun 2009
Hobbes. Dalam bahasa Hannah Arendt, politik semata-mata dilihat sebagai relasi hak, padahal hak hanyalah salah satu manifestasi dari kebebasan atau politik 1. Dalam bahasa Caporaso dan Levine2, politik semestinya tidak semata-mata berkaitan dengan soal “who gets what, when, and how” seperti dikatakan oleh Laswell (1936), atau sekadar masalah “the patterns of power, rule, and authority” sebagaimana dirumuskan oleh Dahl (1956), melainkan juga persoalan bagaimana segenap aktivitas tersebut berhubungan dengan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Pemahaman terhadap partai politik mengalami pendangkalan yang sama. Secara historis kita sebenarnya sempat mengalami periode ketika elite terdidik dalam jumlah terbatas membentuk partai-partai dalam rangka mengabdi bagi kolektifitas bangsa. Namun semuanya berubah ketika kaum aristokrat tak sudi menanggalkan hak-hak privilege mereka, kemudian tentara memasuki gelanggang politik yang bukan domainnya, dan akhirnya liberalismekapitalisme melalui Bank Dunia, IMF, IGGI, dan para ekonom-teknokrat
1
Eddie Sius Riyadi, “Politik sebagai Relasi Kebebasan: Menilik Teori Tindakan dan Konsep Kebebasan Politik Hannah Arendt”, dalam Bagus Takwin, et al, Kembalinya Politik, Jakarta: Perhimpunan Pendidikan Demokrasi, Juli 2008. 2
James A. Caporaso dan David P. Levine, Theories of Political Economy, Cambridge UK: Cambridge University Press, 1992, terutama hal. 7-32.
Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia
memfasilitasi munculnya para Leviathan baru atas nama jalan pintas menuju modernitas dan kemakmuran. Berakhirnya rejim Leviathan Soeharto ternyata tidak mengubah cara pandang terhadap politik menjadi lebih baik. Rejim otoriter Soeharto justru mewariskan pendangkalan pemahaman terhadap politik, sehingga transisi politik yang dialami Indonesia pada hakikatnya lebih merupakan pertukaran kekuasaan di antara para Leviathan produk Orde Baru ketimbang suatu transformasi menuju kedaulatan rakyat. Setelah 1998, rakyat memang “berdaulat”, tetapi lebih sebagai “massa” ketimbang sebagai warga negara 3. Maka, kedaulatan rakyat pasca-Soeharto pun lebih tampak di jalan-jalan, di luar gedung parlemen, di depan Istana Negara, dan di luar pagar gedung bundar Kejaksaan Agung, ketimbang di dalam sidangsidang DPR dan DPRD, sidang-sidang kabinet, atau di lembaga peradilan. Seperti juga pada era Soeharto, rakyat kita dewasa ini masih diperlakukan sebagai “massa mengambang” yang didekati dan diiming-imingi harapan baru menjelang pemilu atau pilkada. Dalam kaitan ini tidak mengherankan jika para elite partai-partai 3
Fenomena kedaulatan “massa“ ini akhirnya dimanfaatkan dan disalahgunakan oleh organisasiorganisasi kekerasan, entah atas nama agama, etnik, atau mayoritas, untuk menghancurkan pluralitas yang menjadi benang merah identitas keindonesiaan. 9
Syamsuddin Haris: Menimbang Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia Pasca-Soeharto
yang menjamur pasca-Soeharto memang tidak memiliki proposal yang genuine mengenai reformasi itu sendiri, termasuk bagaimana seharusnya bangsa ini ditata ulang dalam rangka mewujudkan cita-cita keadilan, demokrasi, dan kesejahteraan. Para elite partai adalah penumpang gelap kereta reformasi yang agendanya disodorkan oleh para mahasiswa demonstran, aktivis gerakan prodemokrasi, dan akademisi. Maka tidak mengherankan jika yang terjadi kemudian adalah akumulasi pendangkalan berpolitik yang tak berujung. Akibatnya, partai-partai politik yang seharusnya menjadi tempat mengabdi, mendidik, dan mencerdaskan bangsa kita, dewasa ini justru berkembang menjadi tempat untuk mencari nafkah dalam pengertian yang sepenuh-penuhnya. Dalam ungkapan yang dikemukakan Bung Hatta, “partai dijadikan tujuan dan negara menjadi alatnya”.4 Ideologi partai pun demikian, cenderung didistorsikan sekadar sebagai “visi dan misi” normatif tanpa kejelasan argumentatif mengapa suatu program lebih dipilih ketimbang yang lain. Maka asas atau ideologi pun berhenti menjadi dokumen tertulis sebagai prasyarat kelengkapan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga partai-partai yang diharuskan oleh undang-undang. Akibatnya, dalam realitas politik di parlemen, 4
Mohammad Hatta, Demokrasi Kita, Djakarta: Pustaka Antara PT, 1966, hal. 15. 10
kita tidak bisa membedakan antara partai yang mengaku “nasionalis”, “Islam”, “Pancasila”, dan seterusnya. Keharusan bagi para wakil rakyat mengontrol pemerintah cenderung didistorsikan sekadar sebagai “hak interpelasi” atau “hak angket”5. Maka muncullah euforia untuk mengusulkan hak interpelasi dan hak angket, kendati pada akhirnya lebih menjadi “panggung politik” bagi para politisi partai di DPR untuk mengaktualisasikan diri sebagai wakil rakyat yang “kritis” ketimbang benar-benar mempersoalkan kebijakan pemeringah yang belum berpihak kepentingan rakyat, atau menawarkan alternatif kebijakan sebagai solusinya. Sementara itu di sisi lain, keseriusan pemerintah bekerja untuk rakyat didistorsikan sebagai rapatrapat kabinet yang makin sering dan bahkan tidak mengenal waktu, tempat, dan jarak, sehingga seolaholah intensitas rapat kabinet yang tinggi menunjukkan bahwa pemerintah bekerja serius untuk rakyat6. 5
Selama era Presiden Yudhoyono, paling kurang ada 14 usulan penggunaan hak interpelasi dan delapan usulan penggunaan hak angket, kendati hanya empat hak interpelasi dan dua hak angket yang akhirnya menjadi hak DPR secara institusi. 6
Seorang mantan menteri Kabinet Indonesia Bersatu menginformasikan kepada penulis bahwa Presiden Yudhoyono “hobinya rapat”, sehingga acapkali rapat kabinet berlangsung tiga kali dalam seminggu. Namun ironisnya, menurut yang bersangkutan, rapat-rapat kabinet yang begitu sering hanya membahas dan memperdebatkan suatu isu kebijakan tanpa eksekusi atau pengambilan keputusan, sehingga banyak persoalan akhirnya mengambang dan tertunda penyelesaiannya.
Jurnal Politika Vol. 5 No. 1 Tahun 2009
Maka berbagai instansi pemerintah pun berlomba mengiklankan program instansi atau departemennya, seolah-olah dengan berbagai iklan tersebut telah bekerja untuk rakyat, padahal dalam realitasnya hanya sekadar proyek yang makin menyuburkan korupsi di kalangan birokrasi.
Kegagalan Kepemimpinan Akumulasi pendangkalan pemahaman terhadap politik tersebut berdampak pada terjadinya krisis etika dan kepemimpinan sangat serius di semua tingkat, negara dan masyarakat, di pusat dan daerah. Lembaga-lembaga parlemen di tingkat nasional dan daerah yang semestinya menjadi mitra pemerintah dalam mewujudkan cita-cita keadilan dan kesejahteraan rakyat justru berkembang menjadi kelompok-kelompok penekan yang tak jarang memaksakan kehendaknya atas nama rakyat atau atas nama demokrasi itu. Kasus suap atau korupsi miliaran rupiah dana Bank Indonesia yang diduga melibatkan semua anggota Komisi IX DPR 1999-2004 mencerminkan hal ini. Komisi-komisi di parlemen akhirnya menjadi semacam “kelompok penekan” bagi mitra kerja mereka di pemerintahan. Ironisnya, secara fisik gedunggedung parlemen bahkan dibangun dan didesain sedemikian rupa sehingga benar-benar terisolasi dari denyut suara rakyat, sumber mandat, kedaulatan dan legitimasi yang seharusnya
Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia
disantuni dan dihormati. Gedung DPR Senayan misalnya, bahkan dibentengi oleh pagar setinggi empat meter agar rakyat selaku pemberi mandat tidak bisa menjangkaunya. Akibatnya, persidangan dan rapat-rapat parlemen pun yang secara formal dinyatakan terbuka untuk umum pada akhirnya hanya menjadi arena negosiasi dan pertukaran kepentingan di antara para politisi partai itu sendiri. Realitas ini berbeda jauh dengan apa yang dibayangkan oleh HOS Tjokroaminoto tentang “parlemen sejati” pada awal 1920-an atau tuntutan GAPI tentang Indonesia Berparlemen pada periode akhir 1930-an. Juga bertolak belakang dengan bayangan Bung Karno bahwa, “Dalam perwakilan nanti ada perjuangan sehebathebatnya. Tidak ada satu staat yang hidup betul-betul hidup, jikalau di dalam badan perwakilannya tidak seakan-akan bergolak mendidih kawah candradimuka, kalau tidak ada perjuangan faham di dalamnya”7. Kegagalan kepemimpinan juga dapat dilihat dalam performance partai-partai politik. Hal itu antara lain tercermin dari kecenderungan para elite partai meraih dukungan dengan memanipulasi identitas kultural dan primordial. Hampir belum pernah ada upaya para pemimpin partai untuk mendidik rakyat supaya mendukung mereka secara rasional
7
Muhamad Yamin, Naskah Persiapan Undangundang Dasar 1945, jilid pertama, Djakarta: Jajasan Prapantja, 1959, hal. 75. 11
Syamsuddin Haris: Menimbang Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia Pasca-Soeharto
berdasarkan prinsip pertukaran dukungan (yang diberikan rakyat) dengan pelayanan publik (yang diberikan elite sebagai kompensasinya). Di sisi lain sebagian partai-partai terperangkap ke dalam kepemimpinan yang cenderung oligarkis, sehingga komitmen terhadap segenap proses demokratis acapkali berhenti sebagai jargon yang bahkan tidak terwujud dalam kehidupan internal partai. Fenomena PDI Perjuangan di bawah kepemimpinan Megawati Soekarnoputeri dan PKB yang dipimpin Abdurrahman Wahid, di mana partai hampir identik dengan sang pemimpin atau ketua umum, adalah contoh konkrit melembaganya kepemimpinan oligarkis dalam partai-partai. Ironisnya kepemimpinan partai yang oligarkis tetap melembaga kendati pada saat yang sama pemilu-pemilu pascaSoeharto mengarah pada pemilihan yang bersifat langsung8. Realitas lembaga-lembaga peradilan tak jauh berbeda. Hukum yang semestinya diciptakan untuk menegakkan keadilan, dewasa ini cenderung dikhianati oleh para jaksa, hakim, dan polisi untuk memburu rente dalam rangka kepentingan pribadi dan kelompok. Kasus jaksa Urip misalnya, hanyalah puncak dari gu-
8
Syamsuddin Haris, ed., Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Lihat juga tentang oligarki partai, Daniel Dhakidae, “Partai-partai Politik, Demokrasi, dan Oligarki”, dalam Partai-partai Politik Indonesia: Ideologi dan Program 2004-2009, Jakarta: Penerbit Kompas, 2004, hal. 3-20. 12
nung es kebobrokan lembaga peradilan. Berbagai aturan dan hukum positif pun didesain sedemikian rupa agar bisa disiasati dan dipermainkan oleh unsur-unsur penegak hukum. Maka, mungkin hanya terjadi di negeri kita ketika Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan surat keputusan untuk memperpanjang masa jabatannya sendiri dan ditandatangani sendiri pula. Juga, barangkali hanya terjadi di Indonesia sebagian koruptor pengemplang dana BLBI yang seharusnya diburu, ditangkap, dan dijebloskan ke hotel prodeo alias penjara, justru “diundang” ke Istana Negara. Kegagalan kepemimpinan juga dapat dilihat pada ketidakmampuan pemerintah, partai-partai dan parlemen dalam melakukan reformasi atas birokrasi negara, baik birokrasi pemerintahan sipil maupun militer. Dalam konteks birokrasi sipil, pemerintah, partai-partai dan parlemen justru terperangkap ke dalam rutinitas birokrasi melembagakan korupsi. Sedangkan dalam konteks reformasi hubungan sipil-militer, partai-partai, parlemen dan semua pemerintah pasca-Soeharto justru membiarkan TNI merumuskan sendiri peranan barunya melalui reformasi internal TNI sejak 1998 tanpa acuan visi dan supervisi dari kepemimpinan otoritas sipil. Sebagai dampak dari absennya etika politik, para elite politik yang dihasilkan pemilu-pemilu kita juga abai terhadap urgensi etika ber-
Jurnal Politika Vol. 5 No. 1 Tahun 2009
demokrasi. Ketiadaan etika berdemokrasi juga dapat disaksikan pada episode proyek “Poros Tengah” menghadang terpilihnya Megawati dan mengusung Abdurrahman Wahid sebagai calon presiden pada Sidang Umum MPR 1999, dan pencopotan kembali atas Presiden Wahid pada 20019. Jika etika berdemokrasi itu ada pada para politisi partai hasil Pemilu 1999, maka Megawati sebagai pemimpin partai pemenang pemilu semestinya diberikan kesempatan pertama untuk menjadi presiden. Secara spesifik, kepemimpinan presiden-presiden pasca-Soeharto, hampir tidak seorang pun yang menjanjikan. Kepemimpinan Presiden Yudhoyono misalnya, terperangkap pada politik pencitraan, yakni (1) pencitraan tentang keseriusan Presiden sebelum memutuskan suatu kebijakan10; (2) pencitraan bahwa pemerintah sungguh-sungguh bekerja keras 11; dan (3) pencitraan bahwa 9
Syamsuddin Haris, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2007. 10
Politik pencitraan yang dilakukan Presiden Yudhoyono telah tampak dalam prosesi penyusunan Kabinet Indonesia Bersatu yang hendak menggambarkan betapa cermat, hati-hati, dan seriusnya Yudhoyono memilih para calon menteri. Setiap calon menteri yang diundang ke kediamannya di Puri Cikeas, Bogor, diminta memberikan pandangan tentang isu tertentu sebagai bagian dari proses fit and proper test yang harus dilalui. Kentalnya suasana prosesi atau upacara pencitraan juga tampak pada perombakan kabinet terbatas pertama (2005) dan kedua (2007), karena esensi reshuffle ternyata hanya pergeseran posisi menteri yang berasal dari partai politik. 11
Untuk menunjukkan keseriusan pemerintah bekerja, intensitas rapat kabinet seringkali tidak
Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia
kebijakan pemerintah berpihak kepada rakyat. Potensi kelemahan kepemimpinan Yudhoyono seperti ini sebenarnya jauh-jauh hari telah dianalisis oleh Agus Takwin dan Niniek L. Karim, yakni (1) terlalu banyak pertimbangan sehingga lambat mengambil keputusan; (2) terkesan ragu-ragu karena menunggu banyak masukan dari pihak lain sebelum membuat keputusan; (3) dapat menimbulkan kesan berpura-pura dan tidak menampilkan yang sebenarnya 12 . Kecenderungan lamban karena terlalu banyak pertimbangan, serta sikap ragu-ragu Presiden Yudhoyono tampak jelas ketika keputusan peme-rintah untuk menaikkan harga BBM memerlukan 11 (sebelas) kali rapat kabinet13, sehingga mem-
mengenal tempat, waktu, dan bahkan jarak. Dari segi tempat, untuk pertama kalinya rapat kabinet berpindah-pindah dari kantor departemen yang satu ke kementerian lainnya, bahkan dari bandara yang satu ke bandara lainnya. Dari segi waktu, rapat-rapat kabinet acapkali dilakukan pada hari-hari libur, bahkan juga pada malam hari ketika presiden, wapres, dan para menteri seharusnya beristirahat. Sedangkan dari segi jarak, putera Pacitan kelahiran 9 September 1949 tersebut melakukan rapat kabinet jarak jauh secara teleconference dari Amerika Serikat yang akhirnya memicu usulan interpelasi DPR. 12
Bagus Takwin dan Niniek L. Karim dalam Sang Kandidat: Analisis Psikologi Politik Lima Kandidat Presiden dan Wakil Presiden RI Pemilu 2004, Jakarta: Penerbit Kompas, 2004, hal. 246. 13
Bahwa keputusan kenaikan harga BBM membutuhkan sebelas kali rapat kabinet diceritakan oleh seorang pejabat tinggi pemerintahan yang juga seorang pembantu terdekat Presiden Yudhoyono dalam suatu diskusi informal tanggal 9 Juli 2008 di Jakarta. Akibatnya, keputusan yang semestinya sudah diambil pada tanggal 5 Mei 2008 diundur hingga tanggal 24 Mei 2008—yakni saat mulai berlakunya harga baru BBM. 13
Syamsuddin Haris: Menimbang Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia Pasca-Soeharto
buka peluang bagi para spekulan BBM memanfaatkan situasi ketidakpastian yang akhirnya berdampak pada kesulitan yang dihadapi rakyat. Dalam situasi demikian maka tak mengherankan apabila pemaksaan kehendak, premanisme, dan anarki menjadi satu-satunya pilihan bagi massa rakyat yang tidak berdaya dan tidak percaya terhadap para wakilnya di parlemen, serta juga tidak percaya terhadap hukum, pemerintah dan negara. Ironisnya, anarki massa yang makin merajalela itu dewasa ini bahkan dapat disaksikan secara live melalui tayangan stasiun-stasiun televisi kita, seolah-olah merupakan tontonan dan hiburan yang tak perlu dicari solusi atau jalan keluarnya oleh para elite politik di semua tingkat pemerintahan dan masyarakat, termasuk lembaga-lembaga legislatif dan yudikatif, serta juga organisasiorganisasi sosial, agama, kemasyarakatan, dan perguruan tinggi. Setidak-tidaknya untuk sebagian, fenomena korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di tingkat elite, serta anarki di tingkat massa, bisa dibaca sebagai produk dari krisis etika dan kegagalan kepemimpinan –terutama kepemimpinan otoritas sipil yang dihasilkan melalui pemilu demokratis pascaSoeharto.
Faktor Inkonsistensi Sistemik Meskipun reformasi konstitusi telah dilakukan, namun sulit dibantah bahwa dalam realitasnya perubahan 14
yang dilakukan oleh MPR atas UUD 1945 tersebut cenderung bersifat tambal sulam. Dalam konteks substansi hasil amandemen, di satu pihak hendak dibangun sistem pemerintahan presidensial yang kuat, stabil, dan efektif, namun di sisi lain obsesi besar tersebut tidak didukung oleh struktur perwakilan bicameral yang kuat pula. Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang semestinya merupakan salah satu “kamar” dari sistem perwakilan dua-kamar, bahkan tak jelas karena kekuasaan dan hak-haknya yang sangat terbatas. Sebaliknya, para politisi selaku penyusun konstitusi justru makin memperkuat posisi, kedudukan, kekuasaan, dan hak-hak DPR melebihi yang seharusnya dimiliki oleh parlemen dalam skema sistem presidensial. Pengangkatan pejabat publik, mulai anggota komisi-komisi negara, para hakim agung, pimpinan KPK, pimpinan BPK, dan pimpinan BI, kini menjadi otoritas DPR, sehingga fungsi Presiden sekadar mengusulkan nama-nama dan kemudian mensahkan melalui surat keputusan Presiden (Keppres). Selain itu, UUD 1945 hasil amandemen tidak melembagakan berlakunya mekanisme checks and balances di antara cabang-cabang kekuasaan pemerintahan utama, yakni lembaga eksekutif-legislatif pada khususnya dan eksekutiflegislatif-yudikatif pada umumnya. Di satu pihak, suatu UU dapat tetap berlaku apabila dalam waktu 30 hari
Jurnal Politika Vol. 5 No. 1 Tahun 2009
tidak disahkan oleh Presiden, namun di pihak lain Presiden tidak memiliki semacam hak veto untuk menolak UU yang telah disetujui DPR. Padahal tegaknya prinsip checks and balances bersifat mutlak karena menjadi salah satu fondasi utama bagi stabilitas dan efektifitas sistem pemerintahan presidensiil. Urgensi prinsip checks and balances itu diabaikan pula oleh konstitusi hasil amandemen dalam hal relasi DPR sebagai representasi rakyat dan DPD sebagai representasi wilayah. Substansi hasil amandemen yang juga tidak koheren dan inkonsisten dengan kebutuhan pembentukan sistem presidensial yang kuat dan efektif adalah kedudukan dan kelembagaan MPR. Institusi MPR yang semestinya merupakan sidang gabungan (joint session) antara DPR dan DPD justru menjadi lembaga permanen dengan kepemimpinan permanen pula. Akibat kekacauan konstitusional tersebut maka tidak mengherankan jika kita menyaksikan peristiwa politik yang “aneh tetapi nyata” yakni ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono harus menyampaikan pidato kenegaraan secara terpisah, masing-masing di depan Sidang Paripurna DPR dan Sidang Paripurna DPD, padahal kedua Dewan tersebut merupakan satu kesatuan parlemen. Dampak kekacauan konstitusional itu pula yang menjelaskan munculnya konflik kelembagaan segitiga antara MK, KY, dan MA beberapa waktu yang lalu.
Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia
Reformasi kelembagaan yang cenderung tambal-sulam dan mengabaikan koherensi dan konsistensi juga tercermin dalam UU Bidang Politik dalam rangka Pemilu 2004 serta juga UU Politik untuk Pemilu 2009. Secara teoritis, pilihan atas sistem pemilu seharusnya merupakan konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem perwakilan, sedangkan pilihan atas sistem kepartaian adalah konsekuensi logis dari pilihan terhadap sistem pemilu14. Namun dalam realitasnya kita mempertahankan sistem proporsional (proportional representation system) untuk pemilu legislatif, suatu pilihan politik sebenarnya tidak tepat karena sistem proporsional merupakan basis bagi terbentuknya sistem multipartai. Padahal, seperti dikemukakan Mainwaring, perpaduan sistem presidensial dan sistem multipartai merupakan kombinasi yang sulit dan berpotensi menghasilkan deadlock dan immobilism dalam relasi Presiden dan Parlemen15. Problematiknya, pada masa pasca-Soeharto, baik sebelum Pemilu 1999 maupun Pemilu 2004, hampir tak pernah ada perdebatan serius me-
14
Arbi Sanit, “Koherensi Perundang-undangan Politik”, Makalah untuk bahan diskusi, 2006. 15
Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The Difficult Combination”, dalam Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, 1993, hal. 198-228; juga, Mainwaring, “Presidensialisme di Amerika Latin”, dalam Lijphart, ed., Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1995, hal. 117-123. 15
Syamsuddin Haris: Menimbang Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia Pasca-Soeharto
ngapa sistem proporsional menjadi pilihan ketika desain konstitusi sebelum amandemen, apalagi sesudahnya, cenderung pada sistem presidensial ketimbang sistem parlementer. Bahkan hampir tidak pernah ada perdebatan, apakah pilihan sistem proporsional dianggap cocok dalam konteks sistem presidensial. Sebaliknya, juga hampir tidak pernah ada perdebatan mengapa MPR akhirnya bersepakat untuk memperkuat sistem presidensial padahal sebelum amandemen konstitusi berlangsung telah terbentuk sistem multipartai dengan tingkat fragmentasi tinggi seperti tercermin dalam DPR dan MPR hasil Pemilu 1999 16. Inkonsistensi berikutnya tampak dalam pembentukan kabinet presidensial dalam skema koalisi parlementer, sehingga dalam berhadapan DPR –seperti tampak dalam respons terhadap usul hak interpelasi dan hak angket ataupun pengangkatan pejabat publik yang seharusnya menjadi otoritas Presiden dalam skema presidensial—Yudhoyono justru terpenjara oleh koalisi partai pendukung pemerintah yang mbalelo di 16
Baik disertasi Denny Indrayana yang kemudian diterbitkan menjadi buku, Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran, Bandung: Mizan, 2007, maupun disertasi Valina Singka Subekti yang juga menjadi buku, Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, Jakarta: Rajawali Press, 2008, mengatakan bahwa memang tidak ada perdebatan di MPR mengapa fraksi-fraksi Majelis bersepakat untuk mempertahankan dan mempertegas sistem presidensial. 16
Senayan. Di satu pihak ada obsesi memperkuat presidensialisme, tetapi di lain pihak sistem kepartaian, sistem pemilu, dan sistem perwakilan tidak didesain dalam kerangka yang sama. Koalisi partai yang semu akhirnya menjadi beban bagi efektifitas pemerintahan karena “gangguan” DPR terhadap pemerintah justru turut didukung oleh partai-partai pendukung pemerintah.
Faktor Kegagalan Sipil Realitas politik kontemporer dewasa ini tak bisa dipisahkan dari faktor kegagalan sipil mengkonsolidasikan diri menjelang dan pasca-lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998. Setelah mengalami sistem otoriter yang panjang selama hampir 40 tahun di bawah Demokrasi Terpimpin (19591965) dan Orde Baru (1966-1998), momentum reformasi pada 1998 semestinya merupakan kesempatan emas bagi bangsa Indonesia untuk menata kembali kehidupan politik, sosial-budaya, ekonomi, dan hukum ke arah yang lebih baik. Namun kesempatan emas yang tak akan pernah datang dua kali tersebut, ternyata tidak dimanfaatkan secara maksimal oleh seluruh elemen bangsa kita. Harapan besar akan terjadinya perubahan secara mendasar dan signifikan, sehingga suatu Indonesia baru bisa disambut dengan suka cita, akhirnya tidak kunjung datang. Setelah satu dekade reformasi bahkan
Jurnal Politika Vol. 5 No. 1 Tahun 2009
tak begitu jelas ke mana arah bangsa kita hendak menuju. Mungkin yang cukup jelas adalah bahwa bangsa kita dewasa ini masih dikenal sebagai salah satu negara terkorup di Asia bahkan dunia. Yang juga agak jelas, anarki dan premanisme politik terjadi di mana-mana, entah atas nama rakyat, mayoritas, agama, etnisitas, dan bahkan atas nama hukum dan demokrasi itu sendiri. Apabila pengalaman dramatis pada momentum reformasi 19981999 dikaji kembali, sebagian faktornya berakar pada setting reformasi yang memang tidak menjanjikan berlangsungnya perubahan politik secara mendasar dan signifikan. Pengalaman banyak negara yang mengalami transisi demokrasi sejak paroh kedua 1970-an menunjukkan bahwa keberhasilan membangun suatu demokrasi yang terkonsolidasi tak bisa dipisahkan dari beragam variabel yang saling terkait satu sama lain, di antaranya adalah faktor pola atau model transisi yang dialami, kultur kekuasaan, sejarah politik, tradisi konsensual antarelite politik, dan tentu saja perkembangan sosialekonomi setiap negara. Faktor-faktor tersebut berbeda pada setiap negara, sehingga seperti pernah dikemukakan baik oleh O’Donnell dan Schmitter17, Huntington18, maupun
Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia
Diamond19, hampir tidak ada suatu pola yang sama dalam pengalaman transisi demokrasi yang dialami banyak negara di Amerika Latin, Eropa Selatan dan Timur, serta Asia sejak pertengahan 1970-an. Dalam konteks Indonesia, pola transisi yang dialami mendekati salah satu model dalam perspektif teoritis Alfred Stepan 20, yakni perubahan yang disebabkan oleh tekanan oposisi di luar rejim otoriter. Namun demikian tekanan terhadap rejim Soeharto itu terutama muncul dari gelombang gerakan mahasiswa, dan bukan dari oposisi yang terlembaga melalui partai-partai politik. Mahasiswa dan massa rakyat yang menyuarakan aspirasi mengenai mendesaknya reformasi yang bersifat menyeluruh melalui berbagai aksi demonstrasi yang menyebar hampir di semua kota perguruan tinggi di Indonesia 21 , adalah aktor utama di balik tumbangnya rejim Soeharto. Berkaitan dengan faktor kejatuhan Soeharto ini, Emmerson mengemukakan empat 18
Samuel P. Huntington, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1995. 19
Larry Diamond, Developing Democracy: Toward Consolidation, Baltimore and London: The Johns Hopkins University Press, 1999. 20
Alfred Stepan, “Berbagai Jalur Menuju Demokratisasi: Sejumlah Pertimbangan Teoritis dan Komparatif”, dalam O’Donnell, et. al., Transisi Menuju Demokrasi: Tinjauan Berbagai Perspektif, Jakarta: LP3ES, 1993, hal. 104-143. 21
17
Karya Guillermo O’Donnell, et. al., Transitions from Authoritarian Rule, Baltimore: The John Hopkins University Press, 1986, diterjemahkan menjadi Transisi Menuju Demokrasi, empat jilid, Jakarta: LP3ES, 1993.
Tesis bahwa Soeharto mundur karena tekanan dan desakan mahasiswa dan massa rakyat, antara lain dianut Denny JA, Democratization From Below, Protest Events and Regime Change in Indonesia 1997-1998, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006. 17
Syamsuddin Haris: Menimbang Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia Pasca-Soeharto
hipotesis yang saling berkaitan yaitu (1) Soeharto mundur karena inisiatif dirinya sendiri tanpa tekanan dari siapa pun; (2) Soeharto mundur karena tekanan dan desakan mahasiswa dan massa rakyat; (3) Soeharto mundur karena perpecahan elite, terutama penolakan 14 orang menteri untuk bergabung kembali dengannya; dan (4) Soeharto mundur karena tekanan dari Amerika Serikat melalui IMF22. Terlepas dari perdebatan tentang perspektif teoritis mana yang lebih tepat untuk menilai faktor atau variabel-variabel di balik kejatuhan Soeharto, yang jelas model transisi yang terjadi di Indonesia pasca-Orde Baru lebih karena tekanan dan desakan kekuatan oposisi yang tidak terlembaga. Partai-partai politik relatif tidak mengambil bagian secara signifikan dalam proses kejatuhan Soeharto dan transisi menuju demokrasi. Apabila didasarkan pada perspektif teoritis Alfred Stepan, model atau pola transisi semacam ini mengandung kelemahan dan berpotensi menghasilkan perubahan yang tidak mendasar23. Seperti dapat disaksikan pada periode krusial 1998-1999, para elite oposisi tidak pernah bisa bersatu, 22
Donald K. Emmerson, “Krismon dan Lengser: Kemelut Tahun 1997-1998”, dalam Emmerson, ed., Indonesia Beyond Soeharto: Negara, Ekonomi, Masyarakat, Transisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan The Asia Foundation, 2001, hal. 521-613 23
Stepan, “Berbagai Jalur Menuju Demokratisasi”, op cit. 18
menyamakan agenda dan platform politik, dan menegosiasikan agenda dan platform itu dengan kelompok status quo. Tidak mengherankan jika Deklarasi Ciganjur (1998) yang memperte-mukan Abdurrahman, Amien, Megawati, dan Sri Sultan Hamengku Buwono X –yang diprakarsai aktivis mahasiswa Bandung dan Jakarta—sangat mengecewakan kelompok prodemokrasi yang menghendaki “reformasi total”. Dalam pandangan kelompok prodemokrasi, Deklarasi Ciganjur dianggap terlalu kompromistis karena masih memperkenankan militer duduk di parlemen dalam enam tahun ke depan. Jadi, problematik besar dalam pola transisi politik yang dialami Indonesia pasca-Orde Baru adalah (1) relatif tidak adanya kekuatan oposisi yang terlembaga sebagai alternatif bagi kekuatan status quo yang berpusat pada militer, Golkar dan para kroni Soeharto pada periode pasca-Orde Baru; (2) terpolarisasinya kekuatan reformasi, sehingga tidak terjadi konsolidasi yang diperlukan untuk mendukung perubahan secara signifikan; dan (3) tiadanya konsensus minimum di antara kalangan oposisi sendiri, terutama mengenai arah, visi, platform politik dan atau format perubahan politik pasca-Soeharto. Pada tingkat yang sangat umum dan normatif, sebagian besar elite politik barangkali memang sepakat bahwa pemerintahan otoriter perlu disudahi dan sistem demokrasi harus dijemput. Namun sejak awal reformasi, para
Jurnal Politika Vol. 5 No. 1 Tahun 2009
politisi sipil tersebut tidak pernah sepakat mengenai visi dan platform politik ke depan serta detailnya. Format dan detail perubahan baru diperdebatkan ketika mereka dihadapkan pada tuntutan publik untuk berubah secara mendasar di satu pihak, dan tarik-menarik kepentingan partai serta perangkap status quo kekuasaan di lain pihak. Ketiadaan agenda dan platform politik yang jelas serta absennya konsensus minimum inilah yang bisa menjelaskan mengapa kubu oposisi akhirnya terpecah belah ke dalam tiga kelompok, yakni (1) kekuatankekuatan status quo yang berpusat di tubuh militer, Golkar, dan kroni Soeharto; (2) kelompok reformis moderat yang didominasi para pemimpin partai-partai baru; dan (3) kelompok re-formis radikal yang berpusat pada sebagian kelompok gerakan mahasiswa dan LSM24. Pada gilirannya, realitas polarisasi ini pula tampaknya turut mempengaruhi perkembangan institusionalisasi demokrasi yang cenderung tambal-sulam setelah Pemilu 1999.
Merajut Optimisme dan Agenda ke Depan Lalu masih adakah harapan serta ruang bagi optimisme? Kalau kita mau jujur sebenarnya masih cukup banyak harapan yang bisa dirajut di balik carut-marut aneka persoalan bangsa selama satu dekade terakhir.
Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia
Pertama, secara historis bangsa ini pernah melahirkan para pemimpin politik yang benar-benar memiliki komitmen untuk mengabdi bagi keindonesiaan, bukan sekadar “mengambil” seperti para politisi partai dewasa ini. Sebelum merdeka, Bung Karno, Bung Hatta, HOS Tjokroaminoto, dan Tjipto Mangunkusumo misalnya, memberi keteladanan bagi kita bahwa partai adalah tempat mengabdi bagi Ibu Pertiwi. Keteladanan serupa dicontohkan oleh banyak pemimpin partai sesudah merdeka seperti Mohammad Natsir, Sjahrir, dan J. Kasimo. Pada umumnya para pemimpin bangsa yang juga pernah menjadi pemimpin-pemimpin partai tersebut rela hidup menderita demi komitmen ideologis mengangkat harkat bangsa dan masyarakatnya. Realitas historis ini tentu bisa menjadi aset untuk merajut harapan bahwa pemimpin-pemimpin serupa sebenarnya dapat dilahirkan bangsa ini di masa depan. Meskipun komitmen untuk melahirkan pemimpin yang berkarakter itu dewasa ini cenderung hanya dimiliki oleh berbagai elemen civil society dan akademisi, komitmen serupa dapat ditularkan pada elemen political society jika kita –elemen civil society—memiliki strategi alternatif yang cerdas dalam mengelola relasi dengan political society, sehingga potensi aset yang bersifat historis tersebut bisa diaktualisasikan dalam realitas politik kontemporer. 19
Syamsuddin Haris: Menimbang Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia Pasca-Soeharto
Kedua, harus diakui bahwa meskipun konflik komunal pernah mengguncang beberapa wilayah seperti Sambas di Kalbar, Kalteng, Maluku, dan Poso di Sulteng, kemudian beberapa daerah diwarnai konflik pilkada, bencana alam datang bertubi-tubi, dan korupsi yang tidak berkurang, ada pertumbuhan ekonomi di atas enam persen pertahun. Artinya, sebenarnya terbuka peluang yang besar bagi negara ini untuk mensejahterakan rakyat apabila berbagai distorsi di balik carut-marut persoalan bangsa secara berangsur bisa dikurangi. Ketiga, konflik-konflik komunal seperti di Sambas, Kalteng, Maluku, dan Poso, relatif tidak bersumber pada perbedaan pada pandangan politik atau ideologi tertentu, melainkan lebih pada persoalan struktur ekonomi antara komunitas lokal dan masyarakat pendatang yang akhirnya memicu munculnya sentimen komunal. Itu artinya, terbuka peluang bagi tegaknya demokrasi atas dasar pluralitas. Sementara itu di sisi lain, meskipun Perda syariah cukup marak di beberapa daerah pasca-Soeharto, belum ada indikasi yang signifikan bahwa hal itu mengancam “kebhinekaan di dalam persatuan” yang menjadi identitas bangsa kita. Sedangkan kekerasan atas nama agama, sejauh ini relatif tidak memperoleh dukungan populer di Tanah Air. Keempat, meskipun demokrasi yang dihasilkan Pemilu 1999 dan 2004 masih bersifat prosedural, 20
beberapa studi menggarisbawahi bahwa institusionalisasi demokrasi di Indonesia selama satu dekade terakhir relatif lebih menjanjikan ketimbang misalnya Filipina dan Thailand. Apabila konsep institusionalisasi sistem kepartaian didasarkan pada tingkat “stabilitas kompetisi antarpartai” (stability of interparty competition) seperti diajukan oleh Mainwaring dan Torcal, maka sebagian besar partai politik di Indonesia lebih terinstitusionalisasi ketimbang sebagian besar partai di dua negara Asia Tenggara tersebut25. Penilaian serupa dikemukakan oleh Marcus Mietzner yang mengatakan bahwa daya tahan partai-partai di Indonesia relatif lebih lama, bukan hanya dibandingkan dengan partaipartai di Thailand dan Filipina, melainkan juga jika dibandingkan partai-partai di Korea Selatan26. Kelima, kendati gagal mengkonsolidasikan diri, berbagai elemen civil society memiliki komitmen yang luar biasa bagi terbentuknya kepemimpinan berkarakter, pemerintahan
24
Syamsuddin Haris, “Konflik Elite Sipil dan Dilema Konsolidasi Demokrasi Pasca-Orde Baru”, dalam Maruto MD dan Anwari WMK, ed., Reformasi Politik dan Kekuatan Masyarakat, Jakarta: LP3ES, 2002, hal. 3-21. 25
Andreas Ufen, “Political Party and Party Institutionalization in Southeast Asia: Lessons for Democratic Consolidation in Indonesia, the Philippines and Thailand“, dalam The Pacific Review, Vol. 21, 3 Juli 2008, hal. 327-350. 26
Marcus Mietzner, “Stable but unpopular: Indonesians have a love-hate relationship with their political parties”, dalam Inside Indonesia 92, AprilJuni 2008.
Jurnal Politika Vol. 5 No. 1 Tahun 2009
yang bersih, serta demokrasi substansial yang terkonsolidasi27. Masa depan demokrasi di Indonesia tidak sematamata berada di tangan para politisi partai-partai politik, militer ataupun birokrasi. Pengalaman selama satu dekade reformasi menunjukkan bahwa komitmen terhadap perubahan menuju demokrasi yang berkualitas lebih tampak pada berbagai elemen civil society ketimbang elite partai, militer dan birokrasi. Peran dan keterlibatan berbagai elemen civil society dalam peralihan kekuasaan dari rejim otoriter ke era reformasi pada 1998 di satu pihak, dan komitmen yang besar terhadap demokratisasi di lain pihak, barangkali merupakan faktor penting di balik argumen ini. Karena itu proses konsolidasi demokrasi pun hanya mungkin diwujudkan dengan meningkatkan, memperkuat, dan memperluas peran dan keterlibatan berbagai elemen civil society dalam kehidupan politik nasional. Namun demikian, peningkatan, penguatan, dan perluasan kontribusi berbagai komponen civil society sendiri hanya bisa berlangsung apabila kalangan LSM, pers, dan akademisi membenahi diri pula melalui redefinisi serta reaktualisasi peran dan keterlibatan mereka.
27
Mungkin di sini perlu segera diberi catatan bahwa meskipun kebebasan pers turut menyangga demokratisasi, namun pers acapkali terperangkap sebagai instrumen kapital ketimbang sebagai benteng bagi tegaknya kedaulatan rakyat.
Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia
Dalam konteks penguatan dan peningkatan kualitas demokrasi misalnya, berbagai elemen civil society tampaknya perlumengubah strategi dari pengembangan kapasitas elite sipil dalam pemerintahan ke orientasi pemberdayaan, penguatan, dan penyadaran rakyat sebagai warga negara yang memiliki hak-hak sipil dan politik dalam kehidupan kolektif. Metode pengembangan kapasitas elite politik sipil perlu diimbangi dengan pembekalan dan pelatihan bagi kelompok-kelompok masyarakat akar-rumput sebagai komunitas warga negara yang memiliki ruang publik sendiri, sehingga elemen civil society memiliki bargaining position dalam berhadapan dengan elemen political society di eksekutif dan legislatif. Warga negara yang semakin sadar akan hak-hak sipil dan politik inilah kemudian yang diharapkan bisa “mendidik” elite politik sipil di partai, parlemen dan birokrasi, sehingga lebih memiliki komitmen etis dan bertanggung jawab. Mengingat keberadaan partaipartai merupakan fondasi bagi demokrasi yang terkonsolidasi, maka agenda penguatan otonomi relatif bagi political society tampaknya perlu mengarah pada identifikasi basis politik dan ideologis yang jelas bagi partai-partai. Hal ini diperlukan bukan saja untuk menjembatani kesenjangan antara aspirasi konstituen dengan perilaku para wakil dan elite partai, melainkan juga dalam rangka pembelajaran kepemilikan komitmen 21
Syamsuddin Haris: Menimbang Satu Dekade Demokratisasi di Indonesia Pasca-Soeharto
etis dan tanggung jawab bagi mereka. Identifikasi dan pembentukan basis politik dan ideologis bagi partaipartai diperlukan agar perjuangan para politisi tidak berhenti sebagai perebutan kekuasaan belaka, tetapi juga memiliki nilai tambah bagi kehidupan kolektif. Oleh karena itu meskipun perilaku dan kinerja partai-partai politik sejauh ini mengecewakan publik, namun berbagai elemen civil society tetap perlu mengembangkan kerjasama dan kemitraan dengan partaipartai sebagai bagian dari upaya konsolidasi demokrasi. Seperti dikemukakan Diamond, melembagakan kepercayaan terhadap lembaga-lembaga demokrasi seperti partai-partai dan parlemen, merupakan bagian tak terpisahkan dari legitimasi demo-
22
krasi, dan dengan demikian memungkinkan pula berlangsungnya konsolidasi demokrasi. Membangun kerjasama dan kemitraan dengan partaipartai politik bagi elemen civil society juga diperlukan untuk menghindari kemungkinan manipulasi militer terhadap stigma kegagalan atau ketidakmampuan sipil. Apalagi, seperti dikemukakan Diamond, demokrasi yang terkonsolidasi mensyaratkan penolakan kehadiran militer ataupun aktor lain yang tidak memiliki akuntabilitas terhadap para pemilih. Jadi, konsolidasi dan kerjasama antarkekuatan politik sipil, yang mencakup elemen civil society dan political society, jelas merupakan kata kunci bagi demokrasi yang lebih prospektif bagi Indonesia pasca-Soeharto.**