Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - i
PROSIDING EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BPK MANOKWARI TAHUN 2013
“PERAN PENELITIAN INTEGRATIF DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI TANAH PAPUA” Manokwari, 23 Oktober 2013
Editor: Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP Dr. Henry S. Innah
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari
Manokwari, 2013 Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - i
ii – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
PROSIDING EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN KEHUTANAN BPK MANOKWARI TAHUN 2013
“PERAN PENELITIAN INTEGRATIF DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI TANAH PAPUA” Manokwari, 23 Oktober 2013
Terbit Tahun 2014
Penanggung Jawab:
Ir. Harisetijono, M.Sc (Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari)
Editor:
Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP Dr. Henry S. Innah
Sekretariat:
Ir. Edwin Lodewiyk Yoroh (Kepala Seksi Data Informasi dan Sarana Prasarana Penelitian) Yobo Endra Prananta, S.Si, M.Eng Muthmainnah Syarifuddin, S.Hut Melky Benyamin Panie, S.Hut Wahyuni Munasri, A.Md
Diterbitkan dan dicetak oleh:
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kementerian Kehutanan Jl. Inamberi Susweni PO BOX 159 Manokwari 98313-Provinsi Papua Barat Telepon : 0986-213437, 213440, Fax : 0986-213441 Website : http://www.balithutmanokwari.com Dicetak dengan Pembiayaan DIPA BPK Manokwari Tahun 2014
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - iii
iv – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
Balai
Penelitian
Kehutanan
Manokwari
(BPKM)
telah
berhasil
menyelenggarakan kegiatan Ekpose Hasil-hasil Penelitian pada tanggal 23 Oktober 2013 di Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari sebagai salah satu Unit Pelaksana Tugas (UPT) Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan mempunyai tugas pokok melaksanakan penelitian dan menyebarluaskan hasil penelitian di wilayah kerjanya sesuai dengan peraturan dan perundangan yang berlaku. Untuk menyebarluaskan hasil penelitian, maka pada tahun 2013 BPK Manokwari melaksanakan Ekpose dengan tema “PERAN PENELITIAN INTEGRATIF DALAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI TANAH PAPUA”. Dalam ekpose tersebut dipaparkan makalah utama dan makalah penunjang. Melalui ekpose hasil-hasil penelitian ini diharapkan tercipta sinergitas program dan tukar menukar informasi antar stakeholders khususnya di wilayah kerja BPK Manokwari yang meliputi Provinsi Papua dan Papua Barat. Penerbitan prosiding ini tidak terlepas dari bantuan dan kerjasama semua pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggitingginya kepada semua pihak atas partisipasi, saran dan pemikiran yang diberikan. Semoga prosiding ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.
Manokwari, 27 Desember 2013 Kepala Balai,
Ir. Harisetijono, M.Sc NIP. 19610329 198703 1 001
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - v
vi – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
DAFTAR ISI
Kata pengantar
v
Daftar Isi
vii
Daftar Lampiran
ix
Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat
xi
Rumusan Eskpose
xv
Makalah Utama: 1. Pengelolaan hutan dalam kontribusi Pendapatan Asli Daerah dan kemiskinan masyarakat sekitar hutan di Papua
1
2. Pemanfaatan kayu Papua kurang dikenal melalui pendekatan sifat dasar kayu
11
3. Pertumbuhan sagu (Metroxylon Spp) di demplot Koyani-Manokwari
19
4. Status pemanfatan dan pengelolaan Labi-labi Moncong Babi di Papua
25
5. Penentuan rotasi pemangkasan tunas pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Melaleuca cajuputi sub sp. cajuputi Powell)
41
6. Kuantifikasi empulur sagu untuk bioetanol di beberapa wilayah sebaran
61
Makalah Penunjang 1. Optimalisasi pemanfaatan nipah di Papua melalui produk-produk ekonomis
77
2. Ekosistem mangrove: peranan, permasalahan dan pendekatan bagi konservasi berkelanjutan 3. Faktor dan stakeholder penting dalam membentuk kelembagaan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) model di Tanah Papua 4. “Dari celah eksistensi Masyarakat Adat”, Belajar di Teluk Bruyadori - Papua
85 97 113
5. Penafsiran kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di Distrik Menyambow, Pegunungan Arfak Kabupaten Manokwari, Papua Barat 6. Habitat, populasi dan pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi di Asmat
121
7. Distribusi jenis-jenis pohon endemik di daerah Teminabuan – Ayamaru
153
139
Slide Presentase Keynote Speechs 1. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat (Kebutuhan Penelitian Kehutanan (Research Needs) di Tanah Papua) 2. Deputi V UP4B (Hutan, Sumberdaya Alam, dan Lingkungan dalam upaya P4B)
163
3. Kabag Program dan Kerja Sama Badan Litbang Kehutanan (Kebijakan Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Sebagai Kerangka Penelitian Integratif)
185
171
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - vii
viii – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
DAFTAR LAMPIRAN
Notulensi
207
Jadwal Acara
211
Susunan Panitia
213
Daftar Peserta
214
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - ix
x – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
SAMBUTAN KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI PAPUA BARAT PADA ACARA PEMBUKAAN EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BPK MANOKWARI TANGGAL 23 OKTOBER 2013 DI SWISSBELL HOTEL MANOKWARI
Assalamu'alaikum Wr. Wb. Salam Sejahtera Untuk Kita Semua. Yang saya hormati :
Kepala Badan Litbang Kehutanan atau yang mewakili Rektor Universitas Negeri Papua Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat Kepala Dinas Kehutanan dan Kepala SKPD Provinsi/Kabupaten/Kota se Provinsi Papua dan Papua Barat Para Kepala UPT Kementerian Kehutanan Provinsi Papua dan Papua Barat; Para Ketua Lembaga Swadaya Masyarakat dan Organisasi kemasyarakatan di Papua Barat; Tokoh Masyarakat, akademisi, insan pers, stakeholders, mitra usaha, peserta ekspose dan hadirin yang berbahagia. Pada kesempatan yang berbahagia ini, marilah kita panjatkan syukur kehadirat Tuhan YME karena atas berkat rahmat dan ridho-Nya, kita semua masih dikaruniai kekuatan lahir dan batin, tuntunan dan perlindungan, utamanya kesehatan dan kesempatan, sehingga kita dapat bersama-sama hadir dalam acara “Ekspose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan (BPK) Manokwari Tahun 2013“ . Kami menyambut baik dan gembira dilaksanakannya Ekspose Hasil-Hasil Penelitian ini, yang tentu mengacu pada Penelitian Integratif Badan Litbang Kehutanan. Harapan kami, kegiatan ini perlu untuk terus dikembangkan, dengan diiringi doa dan harapan, semoga mendapat karunia dan berkat dari Tuhan YME, sehingga pada akhirnya akan diperoleh manfaat dan sumbangsih dalam pembangunan kehutanan di Tanah Papua.
Hadirin yang saya hormati,
Pemilihan tema ekspose kali ini yaitu “Peran Penelitian Integratif Dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua“ sangat relevan dengan upaya
pemerintah untuk mengatasi fenomena degradasi sumberdaya hutan yang semakin memprihatinkan, akibat maraknya kerusakan hutan dimana-mana. Tentu, dukungan IPTEK Kehutanan tidak dapat disangsikan lagi memiliki posisi yang sangat strategis. Selama empat dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi sumbangsih devisa yang signifikan bagi pembangunan ekonomi nasional, menyediakan lapangan kerja dan tempat dimana lebih dari 15 juta orang menggantungkan hidupnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan yang diikuti maraknya penebangan liar, telah menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi dan sosial antara lain meningkatnya laju degradasi hutan. Dari catatan Greenpeace tanggal 15 Februari 2013, sekitar 300 ribu hektar hutan Papua rusak tiap tahun, dan perkebunan kelapa sawit berskala raksasa menyumbang kerusakan terbesar. Permasalahan ini bila tidak diatasi, bukan mustahil hutan Papua bakal musnah beberapa tahun kemudian. Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - xi
Lebih dari itu, dengan mengacu pada data Badan Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Provinsi Papua, paling tidak isu lingkungan di Tanah Papua mencakup: degradasi hutan dan lahan, sistem pengelolaan Sumber Daya yang belum optimal, ilegal logging dan illegal fishing, alternatif pendanaan lingkungan, penerapan pengarusutamaan (mainstreaming) isu lingkungan global ke dalam pola pembangunan nasional dan daerah, harmonisasi peraturan perundangan lingkungan hidup, dan kesadaran masyarakat yang rendah dalam pemeliharaan lingkungan. Dengan demikian maka, persoalan lingkungan di Tanah Papua sudah barang tentu kompleks. Disisi yang lain, Tanah Papua memiliki kekayaan alam dan biodiversitas yang menakjubkan, sekaligus keragaman budaya atau kelompok etnis yang tinggi. Potensi ini memberikan harapan dan tantangan yang sangat menarik dalam pembangunan kehutanan Papua ke depan.
Hadirin yang saya hormati,
Guna tetap menjaga serta meningkatkan keberlanjutan pembangunan kehutanan, dalam kurun 2010-2014 Kementerian Kehutanan menetapkan 8 (delapan) kebijakan prioritas pembangunan sektor kehutanan, meliputi: a. Pemantapan Kawasan Hutan. b. Rehabilitasi Hutan dan Peningkatan Daya Dukung DAS. c. Pengamanan Hutan dan Pengendalian Kebakaran Hutan. d. Konservasi Keanekaragaman Hayati. e. Revitalisasi Pemanfaatan Hutan dan Industri Kehutanan. f. Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan. g. Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Kehutanan. h. Penguatan Kelembagaan Kehutanan. Delapan kebijakan prioritas ini kemudian dituangkan ke dalam 7 program, yang terdiri dari 4 jenis program teknis kehutanan dan 3 jenis program dukungan administratif. Salah satu Program tersebut adalah Program Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kehutanan
Hadirin yang saya hormati,
Apabila memperhatikan Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan tahun 2010-2025, terdapat 5 tema utama penelitian kehutanan yaitu: Lansekap hutan, Pengelolaan hutan (baik Hutan alam, Hutan Tanaman, Pengelolaan DAS, Biodiversitas, dan Hasil Hutan Bukan Kayu), Perubahan iklim, Pengolahan hasil hutan, dan Kebijakan. Lima Tema utama penelitian ini kemudian diturunkan kedalam 25 Rencana Penelitian Integratif Badan Litbang Kehutanan. Rencana Penelitian Kehutanan atau RPI merupakan Rencana aksi kegiatan penelitian yang berlaku selama lima tahun yang dikoordinir oleh Seorang Peneliti dari Pusat Litbang Kehutanan. RPI merupakan disain penelitian yang kompak yang diharapkan memperhatikan pula isu-isu lokal. Sehubungan dengan itu, maka Ekspose hasil-hasil penelitian kali ini tentu bertujuan untuk : memperkenalkan, menyebarluaskan dan mempromosikan hasil-hasil penelitian (BPK) Manokwari kepada pengguna; mendekatkan IPTEK hasil litbang kehutanan kepada para pengguna dengan harapan agar IPTEK yang dihasilkan dapat diketahui, diterapkan secara berdaya guna dan berhasil guna bagi para pemangku kepentingan; serta mendorong terjalinnya interaksi dan kerjasama kemitraan, baik antar komunitas IPTEK, maupun dengan pengambil kebijakan, kalangan dunia usaha, dan kelompok masyarakat, memberikan kontribusi dalam menjawab kebutuhan IPTEK kehutanan dan xii – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
dalam upaya penyelesaian masalah-masalah kehutanan yang ada, serta mendorong percepatan pencapaian tujuan pembangunan kehutanan daerah. Kegiatan Ekspose ini diharapkan akan mempererat sinergitas dalam upaya pelestarian hutan dan harapan kedepan tidak terbatas pada kegiatan ekspose saja, tapi dapat dilanjutkan dengan kerjasama dibidang lainnya sehingga dapat bersinergi, yang hasilnya dapat disumbangsihkan untuk kesejahteraan masyarakat di Tanah Papua.
Hadirin yang saya hormati,
Kami sangat berharap agar ada tindak lanjut yang lebih operasional setelah selesainya ekspose ini, sehingga ada dukungan yang kongkrit terhadap pelaksanaan program pembangunan sektor Kehutanan di Papua. Selanjutnya kami berharap pula agar semua yang hadir di sini dapat berperan aktif dalam Ekspose selama satu hari ini, baik dalam hal menyerap informasi hasil-hasil penelitian maupun dalam memberikan umpan balik. Saya juga sangat senang dan berterimakasih kepada semua pihak, khususnya Kepala Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat yang berpatisipasi memberikan materi pada ekspose kali ini. Kesempatan ini adalah penting, karena dapat pula membuka wawasan kita semua, agar implementasi IPTEK kehutanan menjadi lebih efektif dilaksanakan di Tanah Papua.
Hadirin yang berbahagia,
Akhirnya, sambutan ini saya sudahi sampai disini, dengan diiringi penghargaan dan ucapan terima kasih atas perhatian dan partisipasi kita sekalian. Untuk itu, pada kesempatan ini pula, dengan mengucapkan dengan menucapkan Puji dan Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, saya nyatakan Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Tahun 2013 dibuka dengan resmi……… Selamat mengikuti ekspose, semoga Tuhan YME melimpahkan rahmat dan taufikya kepada kita semua, Amin.
Sekian dan terima kasih. KEPALA DINAS KEHUTANAN PROV PAPUA BARAT
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - xiii
xiv – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
RUMUSAN EKSPOSE HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI Manokwari, 23 Oktober 2013 Setelah mendengar dan memperhatikan arahan Sekretaris Badan Litbang Kehutanan dan pemaparan para narasumber, kemudian dilanjutkan diskusi yang berkembang dalam Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Tahun 2013, dihasilkan rumusan sebagai berikut : 1. Hasil-hasil Penelitian dan Pengembangan Kehutanan diperlukan untuk menunjang Visi dan Misi Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua. Litbang Kehutanan merupakan salah satu pilar utama untuk menghasilkan rekomendasi terkait pembangunan kehutanan, yang mengakomodasi Isu Global dan Lokal di Papua, sehingga Litbang yang terintegratif dan didukung semua stakeholder akan lebih berhasil guna. 2. Agar percepatan pembangunan di Tanah Papua benar-benar menghasilkan peningkatan kesejahteraan rakyat Papua dalam jangka panjang, maka upaya-upaya percepatan pembangunan tersebut, khususnya yang memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya hutan, haruslah diawasi secara ketat sehingga tidak memberikan dampak negatif yang signifikan bagi lingkungan dan membawa manfaat langsung bagi masyarakat setempat dan pemerintah daerah. Litbang Kehutanan dapat berfungsi secara signifikan dalam memberikan masukan terkait pelaksanaan pengawasan dimaksud. 3. Walaupun penelitian dan pengembangan merupakan komponen penting dalam menciptakan kegiatan-kegiatan pembangunan yang lebih inovatif, lebih hemat sumberdaya dan lebih mampu memberikan hasil yang lebih besar, alokasi anggaran pemerintah untuk keperluan litbang masih sangat kecil. Untuk itu, kegiatan penelitian kedepan, khususnya di Tanah Papua, harus lebih integratif, yang dicirikan dengan hal-hal berikut ini: Mendukung program-program prioritas pemerintah daerah; Memanfaatkan peluang-peluang sumberdana setempat – baik yang berasal dari pemerintah daerah maupun dengan swasta; Bermitra dengan para stakeholder strategis dengan terus membangun komunikasi dan jaringan kerjasama yang lebih baik dan efektif. 4. Badan Litbang Kehutanan perlu untuk memetakan penelitian ke dalam 3 kelompok: yaitu penelitian dasar, penelitian yang bersifat urgen/perlu dan yang sudah siap diimplementasi sebagai suatu paket IPTEK. Selain itu, perlu pula dilakukan penelitian-penelitian yang mengevaluasi efektivitas regulasi dan yang mampu meningkatkan efektivitas kebijakan publik agar program-program pembangunan kehutanan di Papua dapat memberikan hasil yang lebih baik dan bersifat jangka panjang – baik bagi masyarakat adat, investor maupun pemerintah daerah. 5. Buku IPTEK yang diluncurkan, merupakan bagian dari rekonstruksi etnologi masyarakat Papua yang telah diramu dengan ilmu pengetahuan modern sehingga buku ini bisa menjadi referensi bagi para ilmuwan dan praktisi, sekaligus dapat Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - xv
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
dijadikan dasar dalam mengambil kebijakan oleh pemerintah, khususnya sektor kehutanan. Isu antara hutan dan kemiskinan harus disikapi dengan pendekatan perbaikan regulasi dan terobosan pemberdayaan ekonomi untuk masyarakay sekitar hutan. Pendekatan dengan pengarusutamaan KPH adalah salah satu strategi Akses masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan harus dibangun secara bersamaan, dari aspek kebijakan yang berpihak kepada masyarakat dan perubahan pola pikir masyarakat adat sendiri melalui pendampingan yang efektif. Potensi sumberdaya alam hutan di Papua sangat tinggi, sehingga pengelolaan harus komprehensif dengan melibatkan masyarakat adat mulai dari perencanaan sampai kepada evaluasi Kontribusi Sektor kehutanan jangan hanya dilihat dari PSDH dan DR saja, tetapi dapat dilihat dari aspek lain seperti PBB. Dengan demikian kontribusi dari pengusahaan hutan lebih realistis. Perlu kewenangan yang jelas dari instansi pemerintah yang menangani sagu. Dengan demikian kinerja program dengan instansi terkait pengelolaan sagu akan semakin optimal. Pengelolaan HHBK seperti Labi-labi mocong babi dapat dilakukan dengan pendekatan kuota dengan memperhatikan kelestarian polulasi, keberpihakan pada masyarakat lokal, dan potensi pemasukan daerah. Teknik Penangkaran labi-labi, juga dapat menjadi perhatian selanjutnya. Model yang dapat diperhatikan terkait rotasi pemangkasan tunas optimum kayu putih, adalah 7 bulan dihitung dari saat pemangkasan sebelumnya, untuk kayu putih di Jawa. Untuk itu perlu penelitian model pemangkasan untuk kayu putih yang ada di Papua. Empulur sagu yang berpotensi menghasilkan bioethanol perlu dikembangkan dengan lebih komprehensif. Untuk itu perlu diketahui potensi bioethanol menurut jenis-jenis sagu. Manokwari, 23 Oktober 2013 TIM PERUMUS Ketua: Dr. Agus Sumule Anggota: 1. Ir. Max J. Tokede, MS 2. Ir. Thomas Nifinluri, M.Sc 3. Manerep Siregar, SP, MSi 4. Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP 5. Dr. Henry S. Innah
xvi – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
PENGELOLAAN HUTAN DALAM KONTRIBUSI PENDAPATAN ASLI DAERAH DAN KEMISKINAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN DI PAPUA Relawan Kuswandi1) dan Harisetijono1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia
RINGKASAN Pengelolaan hutan di Tanah Papua yang telah berlangsung lebih dari tiga dekade diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi di daerah dan peningkatan taraf hidup bagi masyarakat sekitar hutan. Apakah peran pengelolaan hutan terhadap peningkatan perekonomian daerah dan masyaratakat sekitar hutan sudah sesuai dengan harapan? Kenyataannya tingkat masyarakat miskin terbesar terdapat di sekitar hutan. Kontribusi pengelolaan hutan (sektor kehutanan) terhadap penerimaan daerah dan masyarakat sekitar hutan pada tulisan ini dibatasi pada kewajiban yang harus dipenuhi oleh HPH/IUPHHK yaitu PSDH dan DR untuk penerimaan daerah dan kompensasi hak ulayat sesuai dengan SK Gubernur Papua No. 184 Tahun 2004 tentang standar kompensasi hak ulayat. Besarnya kontribusi pengelolaan hutan terhadap penerimaan daerah untuk Provinsi Papua dari tahun 2007 – 2011 sebesar Rp. 229.660.929.823.00 untuk PSDH, sedangkan untuk DR sebesar Rp. 137.444.525.513.00 dan $ 3.723.685.18 Sedangkan untuk Provinsi Papua Barat dari tahun 2009 – 2011 sebesar Rp. 156.045.483.677.00 untuk PSDH dan DR sebesar Rp. 82.288.218.408,00. Dalam penggunaan dana tersebut tidak semuanya ditujukan untuk pembangunan sektor kehutanan. Kontribusi pengelolaan hutan terhadap perekonomian daerah yang tidak dapat dihitung dengan bentuk dana adalah pembukaan daerah terisolir dalam bentuk jaringan jalan yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Berdasarkan data, rata-rata besarnya kontribusi pengelolaan hutan terhadap masyarakat sekitar hutan dalam bentuk kompensasi hak ulayat untuk Provinsi Papua sejak tahun 2007 – 2011 sebesar Rp. 15.582.387.814,00 dan untuk Provinsi Papua Barat dari tahun 2009 – 2011 sebesar Rp. 21.575.526.600,00. Dana tersebut belum termasuk bantuan langsung yang diberikan oleh unit pengelola kepada masyarakat sekitar hutan. Namun besarnya dana yang diterima masyarakat sekitar hutan tidak serta merta meningkatkan perekonomian (taraf hidup) masyarakat sekitar hutan. Tingkat kemiskinan masyarakat masih didominasi oleh masyarakat sekitar hutan. Dengan demikian ada yang salah dalam pengelolaannya. Oleh sebab itu mari kita pikirkan bersama bagaimana cara memanfaatkan atau mengelolaa sumber daya yang ada bagi kepentingan masyarakat sekitar hutan.
I. PENDAHULUAN Pengelolaan hutan di Tanah Papua telah berlangsung selama tiga dekade dimana dalam pelaksanaannya telah mengalami pasang surut baik dalam jumlah unit pengelolaan maupun produksinya. Usaha pemanfaatan hasil hutan tersebut bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan potensi serta produktivitas sumber daya hutan dalam rangka memenuhi kebutuhan hasil hutan untuk pembangunan masyarakat, 1 industri dan ekspor, meningkatkan pendapatan dan Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 1
devisa, memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha, menunjang dan mendorong pembangunan daerah serta pembangunan 2 sektor lainnya, dengan tetap memperhatikan asas kelestarian. Namun apakah peran pengelolaan hutan terhadap peningkatan perekonomian daerah dan masyaratakat sekitar hutan sudah sesuai dengan harapan? Hal ini terlihat dari tingkat kemiskinan masyarakat sekitar hutan yang cukup tinggi yaitu sebesar 37% (Statistik Papua, 2012). Peran atau kontribusi usaha pemanfaatan hasil hutan (IUPHHK) terhadap pembangunan
daerah
dapat
berupa
kontribusi
langsung
dalam
bentuk
Penerimaan Asli Daerah (PAD) dan yang tidak langsung antara lain adalah terbukanya isolasi daerah dan
lapangan kerja. Dalam konteks kajian ini
kontribusi IUPHHK terhadap PAD hanya dibatasi pada Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR), walaupun banyak kewajiban lain sesuai dengan perundangan yang berlaku. Sedangkan untuk peningkatan perekonomian masyarakat hanya pada besaran dana kompensasi yang dibayarkan oleh IUPHHK kepada masyarakat pemilik hak ulayat yang notabene bermukim di sekitar hutan. Tujuan dari makalah ini adalah melihat besarnya kontribusi atau peran IUPHHK dalam peningkatan perekonomian daerah dan pengaruhnya terhadap masyarakat sekitar hutan. II. PERKEMBANGAN PENGELOLAAN HUTAN DI PAPUA Pengelolaan hutan di Papua yang telah berlangsung sampai saat ini mengalami pasang surut baik dalam jumlah unit pengelolaan maupun produksinya. Berdasarkan data sampai saat ini telah terjadi penurunan
jumlah
IUPHHK yang masih aktif secara signifikan. Di Provinsi Papua dari 25 IUPHHK yang memiliki ijin hanya 15 IUPHHK yang masih aktif (BP2HP XVII, 2010), sedang di Papua Barat IUPHHK yang masih aktif sebanyak 16 dari 26 IUPHHK (BP2HP XVIII, 2012). Demikian pula produksi kayu bulat mengalami penurunan yang cukup signifikan dimana rata-rata presentase produksi kayu bulat berkisar antara 36.2% - 60% dari kuota Jatah Produksi Tahunan (JPT) Provinsi Papua dan Papua Barat. Target dan Realisasi produksi kayu bulat dari tahun 2007 – 2012 untuk provinsi Papua dan Papua Barat dapat dilihat pada Tabel 1.
2 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Tabel 1. Target dan realisasi produksi kayu bulat Provinsi Papua dan Papua Barat dari tahun 2007-2012 Provinsi Papua Tahun
Target (m3)*
Realisasi (m3)
Provinsi Papua Barat Presentase (%)
Target (m3)*
Realisasi (m3) -**
Presentase (%)
2007 1.421.000 519.834,51 36.6 1.511.351 2008 1.230.000 563.448,23 45.8 1.435.000 247.207,67 17.2 2009 1.225.000 815.233,31 66.5 1.200.000 682.050,33 56.8 2010 1.225.000 1.010.412,01 82.5 1.225.000 546.435,44 44.6 2011 1.225.000 767.723,15 62.7 1.260.000 555.560,89 44.1 2012 1.225.000 -** 1.200.000 332.597,16 27.7 Rata-rata 1.258.500 735.330,24 60.0 1.305.225.2 472.770,30 36.2 *) Kuota JPT Nasional; **) data tidak tersedia Sumber : SK Dirjen BPK (2006, 2007, 2008, 2009, 2010, 2011); PB2HP wil. 17 (2010); BP2HP wil 18 (2012)
Dari Tabel 1 diatas menunjukan bahwa realisasi produksi kayu bulat masih rendah bila dibandingkan dengan kuota JPT, dimana rata-rata persentase realisasi produksi kayu bulat sebesar 60% untuk provinsi Papua dan 36.2% untuk Provinsi Papua Barat. Rendahnya realisasi produksi kayu bulat diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara lain : a.
Potensi tegakan tidak sesuai dengan JPT/AAC (Annual Allowable Cut) yang diberikan pada setiap IUPHHK sehingga berdampak pada besarnya realisasi tebangan.
b.
Tidak semua IUPHHK yang aktif melakukan penebangan semua jenis kayu sesuai dengan JPT yang diberikan. Pada beberapa IUPHHK hanya menebang satu jenis saja yaitu merbau (Intsia sp).
c.
Penentuan kuota JPT nasional tidak berdasarkan pada IUPHHK yang aktif melakukan kegiatan tetapi berdasarkan pada IUPHHK yang memperoleh ijin konsesi.
d.
Adanya larangan ekspor log antar pulau sehingga berdampak pada IUPHHK yang belum mempunyai pengolahan kayu.
e.
Adanya kendala dalam proses perpanjangan IUPHHK sehingga terjadinya stagnasi dalam kegiatannya sambil menunggu keluarnya ijin perpanjangan.
f.
Adanya konflik antara IUPHHK dengan masyarakat pemilik hak ulayat dan 3 faktor internal (manajemen) pada IUPHHK yang bersangkutan. Jenis merbau merupakan jenis yang paling banyak di produksi oleh
IUPHHK terutama di Provinsi Papua Barat. Rata-rata persentase produksi kayu bulat jenis merbau dibandingkan dengan jenis lainnya dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 3
Tabel 2. Rata-rata persentase produksi kayu bulat jenis merbau dibandingkan dengan jenis lainnya di Provinsi Papua dan Papua Barat. Tahun 2007 2008 2009 2010 2011 Rata-rata
Merbau 172.676,59 164.998,94 230.412,87 291.244,75 138.764,09 199.619,45
Provinsi Papua Jenis Lainnya 347.157,92 398.449,29 584.820,44 719.167,26 628.959,06 535.710,79
Persentase 49.74 41.41 39.40 40.50 22.06 37.26
Merbau
548.289,77 294.790,54 241.350,06 361.476,79
Provinsi Papua Barat Jenis Lainnya Persentase
133.760,56 251.644,90 314.210,83 233.205,43
409.90 117.15 76.81 155.00
Sumber : BP2HP wil 17 (2010); Dinas Kehutanan Prov. Papua Barat (2011)
Dari Tabel 2 menunjukkan bahwa tingkat produksi jenis merbau sangat tinggi terutama di Provinsi Papua Barat. Rata-rata persentase produksi jenis merbau dibandingkan dengan jenis lainnya sebesar 37.26% di Provinsi Papua, sedangkan di Papua Barat sebesar 155%. Tingginya produksi jenis merbau akan berakibat pada kelestarian jenis tersebut apabila tidak dilakukan tindakan silvikultur seperti pengayaan pada areal bekas tebangan. III. KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN TERHADAP PENERIMAAN ASLI DAERAH Dampak dari pemanfaatan hasil hutan sebagai implementasi dari pengelolaan hutan bagi daerah diharapkan mampu meningkatkan pendapatan dan devisa, menunjang dan mendorong pembangunan baik sektor kehutanan maupun sektor lainnya. Berdasarkan peraturan dan perundangan yang berlaku, terdapat 6 macam pungutan yang dikenakan kepada pengusaha IUPHHK dari sektor kehutanan sebagai sumber pendapatan baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Namun dalam konteks ini hanya dibatasi pada pungutan PSDH dan DR sebagai sumber pendapatan dalam rangka menunjang pembangunan. PSDH adalah nilai hasil hutan yang menjadi bagian pemerintah sebagai pemilik sumberdaya. Nilai ini ditentukan harga jual dan jumlah/volume hasil hutan yang dijual. Dana Reboisasi (DR), pada awalnya bernama Dana Jaminan Reboisasi (DJR). Pungutan ini dikenakan terhadap setiap m3 kayu yang diambil oleh HPH/IUPHHK sebagai dana jaminan reboisasi. Namun perkembangan selanjutnya pada tahun 1989 pungutan berubah menjadi Dana Reboisasi (DR), dengan ketentuan HPH/IUPHHK
wajib melakukan penanaman pengayaan di
areal HPH/IUPHHK dan tetap membayar DR. Dana Reboisasi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2002 merupakan dana untuk reboisasi dan rehabilitasi hutan serta kegiatan pendukungnya yang dipungut dari
4 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Pemegang IUPHHK. Namun dalam implementasinya, dana tersebut tidak digunakan untuk pembangunan sektor kehutanan. Besaran pembagian PSDH dan DR antara pemerintah pusat dan daerah ditentukan
berdasarkan
Undang-undang
No.
33
tahun
2004
tentang
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah. Bagi Pemerintah Daerah (Papua dan Papua Barat) dengan besarnya kuota JPT seharusnya sektor kehutanan dapat menjadi salah satu tumpuan sumber pendapatan daerah. Namun kenyataannya kontribusi sektor kehutanan terhadap PAD masih sangat kecil yaitu sebesar
6.7 % (Pawitno, 2003).
Kecilnya
kontribusi sektor kehutanan terhadap PAD disebabkan perhitungannya hanya pada industri hulu (log) sedangkan produk hasil industri hilir tidak masuk dalam sektor kehutanan tapi dalam sektor industri. Berdasarkan persentase bagi hasil antara pemerintah pusat dan pemda selama kurun waktu 2007 – 2012, maka besarnya penerimaan PSDH dan DR sebagai PAD dari sub sektor kehutanan untuk Provinsi Papua dan Papua Barat dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini. Tabel 3. Penerimaan PSDH dan DR sebagai PAD dari sub sektor kehutanan Provinsi Papua dan Papua Barat dari tahun 2007 – 2012. Tahun
PSDH 38,705,268,084 36,453,202,628 44,755,181,724 61,592,224,957 48,155,052,430
Provinsi Papua Provinsi Papua Barat DR Jumlah PSDH DR Jumlah 26,469,096,314 65,174,364,398 23,761,052,544 60,214,255,172 38,079,043,679 82,834,225,403 69,860,495,270 31,274,406,504 101,134,901,774 43,413,984,448 105,006,209,405 46,860,007,728 26,062,261,092 72,922,268,820 35,510,829,937 83,665,882,367 39,324,980,678 24,891,550,812 64,216,531,490 40,229,273,309 18,763,050,680 58,992,323,989
2007 2008 2009 2010 2011 2012 Rata45,932,185,965 33,446,801,384 79,378,987,349 49,068,689,246 25,247,817,272 rata Sumber : Dinas Kehutanan dan Konservasi Prov. Papua (2011); BP2HP wil 18 (2012)
74,316,506,518
Besarnya penerimaan PSDH dan DR tergantung dari realisasi produksi kayu bulat masing-masing IUPHHK. Rata-rata persentase produksi kayu bulat sebesar 60% untuk Provinsi Papua sedang Provinsi Papua Barat sebesar 36%. Oleh sebab itu penerimaan PAD masih dapat ditingkatkan apabila realisasi produksi sesuai dengan kuota JPT yang telah ditentukan. Kontribusi pengelolaan hutan sebetulnya tidak hanya pada penerimaan PAD saja tetapi masih banyak kontribusinya dalam peningkatan perekonomian daerah. Penyediaan lapangan pekerjaan dan pembukaan daerah terpencil dengan adanya transportasi baik darat dan laut merupakan kontribusi yang tidak kalah pentingnya dalam pembangunan daerah. Fakta menunjukkan bahwa Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 5
banyak jalan bekas IUPHHK dijadikan jalan penghubung untuk membuka isolasi daerah. IV. KONTRIBUSI PENGELOLAAN HUTAN TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT SEKITAR HUTAN Di
Papua
peran
HPH/IUPHHK
untuk
meningkatkan
masyarakat sekitar areal kerja dilakukan dengan
kesejahteraan
program pembinaan
masyarakat desa (PMDH). Namun sejak dikeluarkannya SK Gubernur Papua No.50 tahun 2001 dan di perbaharui dengan SK Gubernur Papua No. 184 Tahun 2004 tentang standar kompensasi dimana pengusaha hutan diwajibkan membayar kompensasi hak ulayat atas hilangnya sumber pangan masyarakat, maka terdapat dua kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang ijin HPH/IUPHHK.
Satuan biaya kompensasi dikelompokkan menurut jenis kayu,
yaitu Rp. 100.000/m3 untuk kayu indah, Rp. 50.000/m3 untuk kayu merbau, Rp. 10.000/m3 kayu non merbau dan Rp. 3.000/m3 kayu bakau.
Pemberian
kompensasi dilakukan berdasarkan hasil tebangan pada RKT berjalan dimana masyarakat tersebut merupakan pemilik hak ulayat pada RKT tersebut. Dengan adanya dua kewajiban yang harus dilakukan oleh pemegang ijin HPH/HTI maka, pihak perusahaan merasakan tingginya beban yang harus di keluarkan, belum lagi harga yang tak terduga akibat tidak konsistennya masyarakat adat dalam pembagian kompensasi hak ulayat.
Oleh karena itu
sejak dicabutnya SK Menhut No. 523/Kpts-II/1997 dan diberlakukannya Kepmen 4795/Kpts-II/2002 dan 177/Kpts-II/2003 maka, beban perusahaan berkurang yang pada akhirnya memberi pengaruh pada bentuk pembinaan masyarakat sudah semakin tidak tampak karena seluruh biaya pemberdayaan telah tergabung dalam satuan kompensasi. Namun demikian, bantuan lain masih tetap diberikan oleh pengelola IUPHHK dalam bentuk program SFCM. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah seberapa jauhkah penerimaan masyarakat dari kompensasi hak ulayat terhadap peningkatan perekonomian masyarakat? Apakah semakin meningkat atau kembali seperti kondisi semula setelah tidak menerima kompensasi hak ulayat? Besarnya kompensasi yang diterima oleh masyarakat pemilik hak ulayat dalam kurun waktu 2007 – 2011 di Provinsi Papua dan Papua Barat dapat dilihat pada tabel 4.
6 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Tabel 4. Besarnya pembayaran kompensasi hak ulayat oleh IUPHHK di Provinsi Papua dan Papua Barat sejak dalam kurun waktu 2007 – 2011. Tahun
Provinsi Papua (Rp)
Provinsi Papua Barat (Rp)
2007 2008 2009 2010 2011 Jumlah Rata-rata
12.999.542.500 12.469.200.400 17.575.861.400 21.998.000.000 12.869.334.770 77,911,939,070 15.582.387.814
28.910.832.500 20.605.236.000 15.210.511.300 64,726,579,800 21.575.526.600
Berdasarkan Tabel 4 nampak adanya perbedaan pembayaran kompensasi hak ulayat oleh masyarakat pemilik di Provinsi Papua dan Papua Barat. Hal ini disebabkan terdapat perbedaan produksi kayu bulat yang menjadi acuan dalam besarnya pembayaran kompensasi hak ulayat dimana produksi kayu bulat di Provinsi Papua Barat didominasi oleh jenis merbau yang merupakan jenis dengan nilai kompensasi kedua tertinggi setelah jenis kayu mewah. Dari hasil perhitungan penerimaan kompensasi hak ulayat tersebut, sebetulnya pendapatan masyarakat tersebut cukup besar belum termasuk pendapatan lain dari aktivitas mata pencaharian yang dilakukannya sehari-hari. Dari beberapa informasi, besarnya penerimaan kompensasi berkisar setiap pemilik hak ulayat antara Rp. 300.000.000,00 sampai diatas 1 milyar rupiah. Hasil penelitian yang telah dilakukan pada masyarakat sekitar hutan di beberapa areal HPH/IUPHHK menyebutkan bahwa tingkat pendapatan masyarakat sekitar hutan berkisar antara Rp. 894.850,- - Rp. 4.883.500,- /tahun atau Rp. 74.570,- Rp. 406.598,-/bulan (Irma Yeni, 2006). Rendahnya pendapatan penduduk tersebut tidak serta merta membuat mereka tidak dapat hidup.
Hal ini
disebabkan perhitungan pendapatan hanya pada uang tunai yang di terima tiap bulannya melalui penjualan hasil usaha tani maupun jasa yang dikeluarkan. Sedangkan hasil usaha tani yang dimakan langsung, dan jasa yang digunakan tetapi tidak mendapatkan uang tunai tidak di hitung. Selain itu penerimaan dari kompensasi hak ulayat tidak termasuk dalam komponen penerimaan. Oleh karena itu
walaupun jumlah pendapatan rendah, namun penduduk di desa
contoh mampu mencukupi kebutuhan bulanannya selama hasil kebunnya dapat dimakan (tidak musim kemarau). Apabila pendapatan dari kompensasi hak ulayat digunakan sebagai modal usaha
untuk
peningkatan
perekonomian
masyarakat,
maka
pendapatan
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 7
masyarakat sekitar hutan pemilik hak ulayat akan semakin tinggi. Alternaif lain yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan menginvestasikan sebagian penerimaan kompensasi dalam bentuk tabungan atau di investasikan sebagai saham pada HPH/IUPHHK yang beroperasi pada areal hak ulayatnya. Diharapkan dengan adanya investasi tersebut masyarakat pemilik hak ulayat tidak hanya mendapatkan nilai tambah dari keuntungan yang diperoleh oleh pihak HPH/IUPHHK setiap tahunnya, tetapi dapat terlibat langsung dalam pengelolaan hutan sebagai pemilik saham atau pemilik modal. Penerimaan yang diperoleh dari kompensasi hak ulayat umumnya digunakan
untuk
kebutuhan
konsumtif
sehingga
tingkat
perokonomian
masyarakat tidak berubah. Padahal pembayaran kompensasi dilakukan tidak untuk selama masa konsesi tetapi setiap tahun tergantung sesuai kepemilikan hak ulayat dimana tebangan dilakukan. Dari hasil penelitian menunjukan bahwa 90% penerimaan kompensasi dimanfaatan untuk kebutuhan sehari-hari atau bersifat
konsumtif.
Sedangkan
pemanfaatan
dalam
upaya
peningkatan
perekonomiannya hanya dilakukan oleh sebagian kecil masyarakat pada beberapa wilayah yang dekat dengan daerah perkotaan (Irma Yeni, 2006). Oleh sebab
itu
persepsi
keberadaan
HPH/IUPHHK
terhadap
peningkatan
perekonomian masyarakat sekitar hutan selalu negatif. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam peningkatan perekonomian disebabkan beberapa kendala sebagai berikut : 1. Rendahnya fasilitas pendidikan pada kampung yang berada di sekitar hutan alam produksi secara langsung memberi dampak pada rendahnya tingkat pendidikan penduduk kampung tersebut.
Sehingga membutuhkan waktu
yang lama agar dapat memacu kemandirian penduduk setempat. 2. Letak kampung yang terisolasi secara geografis membuat perekonomian penduduk menjadi lemah, sebagai akibat tidak terbukanya pasar dan biaya transportasi yang cukup tinggi. 3. Sifat komunalisme masyarakat yang tinggi, sehingga kurang mengenal uang. 4. Sifat masyarakat yang fitalis dan bergantung sepenuhnya pada alam. 5. Budaya meramu dan budaya cepat puas, menyebabkan penduduk hanya melakukan kegiatan ekonominya untuk kebutuhan makan saja. 6. Rendahnya
pengetahuan
terhadap
manajemen
pengelolaan
keuangan
keluarga sehingga pemanfaatan dana kompensasi hanya terbatas untuk pemenuhan kebutuhan konsumtif. 8 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
7. Kurangnya peran pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Oleh sebab itu maka perlu adanya terobosan untuk peningkatan perekonomian masyarakat sekitar hutan terutama dalam pengelolaan dana kompensasi hak ulayat. Peran pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sangat penting dalam rangka pemanfaatan sumber dana dari kompensasi sumberdaya hutan yang berkeadilan dalam rangka peningkatan perekonomian masyarakat sekitar hutan. Jangan sampai konotasi negative pengelolaan kehutanan “Hutan habis, masyarakat sekitar hutan tetap miskin” akan tetap menjadi isu yang merugikan bagi pengelolaan hutan selanjutnya. V. PENUTUP Pengelolaan hutan di Papua yang telah berlangsung selama ini berperan dalam peningkatan perekonomian bagi pemerintah dan masyarakat. terhadap penerimaan PAD melalui PSDH dan DR tergantung dari
Kontribusi
produksi kayu
yang dihasilkan oleh IUPHHK. Namun dalam implementasinya, dana tersebut tidak digunakan seluruhnya untuk pembangunan sektor kehutanan. Selain itu kontribusi pengelolaan hutan terhadap perekonomian daerah yang tidak dapat dihitung dengan bentuk dana adalah pembukaan daerah terisolir dalam bentuk jaringan jalan yang saat ini banyak dimanfaatkan oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Kompensasi hak ulayat atas pengelolaan sumber daya hutan yang harus dibayarkan oleh pemegang HPH/IUPHHK kepada pemilik ulayat seyogyanya dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar hutan sebagai pemilik hak ulayat. Namun kenyataaannya hanya memberikan manfaat sesaat dan tidak untuk selanjutnya. Untuk itu perlu adanya peran pemerintah daerah dalam membina masyarakat sekitar hutan, khususnya dalam bentuk aturan dan kebijakan tetang pemanfaatan kompensasi hak ulayat.
Akankah kompensasi
hanya akan menjadi sekedar pelepas dahaga sesaat bagi masyarakat sekitar hutan yang notabene kaya
potensi sumberdaya hutan? Jangan menjadikan
slogan HPH/IUPHHK pergi atau kompensasi habis, masyarakat pemilik hak ulayat gigit jari.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 9
DAFTAR PUSTAKA Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XVII. 2010. Statistik Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVII Jayapura. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVII Jayapura. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi XVIII. 2012. Statistik Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVIII Manokwari. Balai Pemantauan Pemanfaatan Hutan Produksi Wilayah XVIII Manokwari. Irma Yeni, 2006. Kajian Pola-Pola Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan di Papua. Laporan Kegiatan. BPK-Papua dan Maluku, Manokwari. (Tidak diterbitkan) Pawitno 2003. Kontribusi Subsektor Kehutanan terhadap Pendapatan Daerah di Papua. [skripsi]. Manokwari : Fakultas Kehutanan, Universitas Negeri Papua Manokwari.
10 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
PEMANFAATAN KAYU PAPUA KURANG DIKENAL MELALUI PENDEKATAN SIFAT DASAR KAYU Freddy Jontara Hutapea1) dan Marinus Rumawak1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia
RINGKASAN Kayu merupakan sumber daya alam yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Kebutuhan akan kayu cenderung semakin meningkat dan menyebabkan ketersediaan kayu yang selama ini telah dikenal luas dalam dunia perdagangan semakin berkurang. Solusi yang ditawarkan untuk menjawab persoalan ini adalah melalui pemanfaatan kayu yang kurang dikenal. Papua dengan luasan hutan dan keanekaragaman yang sangat tinggi memiliki peluang yang cukup tinggi untuk menyediakan kayu tersebut. Persoalan lain yang timbul adalah minimnya data dan informasi mengenai sifat dasar kayu kurang dikenal tersebut. Oleh karena itu, penelitian terhadap sifat dasar jenis kayu kurang dikenal mutlak sangat dibutuhkan. Hasil pengujian terhadap sifat dasar empat jenis kayu Papua, menunjukkan bahwa Litsea ledermannii dapat digunakan sebagai bahan baku untuk konstruksi sedang, kayu lapis, papan, dinding, rangka pintu dan jendela, alat olahraga, serta moulding. Diospyros pilosanthera dapat digunakan sebagai bahan baku meubel, patung ukiran, kerajinan tangan serta vinir mewah. Tetrameles nudiflora dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan panel kayu dan kerajinan, dan juga sebagai bahan baku pulp. Rhus taitensis dapat digunakan sebagai bahan baku untuk konstruksi ringan, pertukangan, kayu lapis, dan juga sebagai bahan baku pulp. Kata Kunci: Sifat dasar, kayu kurang dikenal, Litsea ledermannii, Diospyros pilosanthera, Litsea ledermannii, Rhus taitensis.
I. PENDAHULUAN Kayu merupakan sumber daya alam yang memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Di Indonesia terdapat sekitar 4.000 jenis kayu, dan 400 jenis diantaranya merupakan jenis yang telah dimanfaatkan (Anonim, 1952
dalam Sihati dkk, 2004), dan 260 jenis diantaranya telah ditetapkan sebagai kayu perdagangan (Wikipedia, 2013). Selama ini penggunaan kayu lebih cenderung kepada jenis komersil dan kebutuhan akan kayu tersebut terus meningkat setiap tahunnya dimana saat ini mencapai ± 50 juta m3/tahun (Suara Rakyat, 2013), sehingga menyebabkan terjadinya eksploitasi yang berlebihan yang tidak diimbangi dengan permudaan. Saat ini hutan sudah tidak mampu lagi menyuplai kebutuhan kayu tersebut. Salah satu solusi yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan ini adalah dengan pemanfaatan jenis kayu yang kurang dikenal (lesser known Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 11
species). Papua dengan luasan hutan mencapai ± 30 juta hektar (Greenpeace Indonesia, 2011) dan dengan kekayaan tumbuhan berkayu tingkat pohon yang tinggi (2.323 spesies) (Whitemore, Tantra, dan Sutisna, 1997 dalam Lekitoo, 2012) diharapkan dapat menjadi salah satu wilayah yang dapat menjawab tantangan tersebut. Kendala yang dihadapi dalam pemanfaatan jenis yang kurang dikenal ini, terutama jenis kayu yang berasal dari Papua adalah minimnya informasi mengenai sifat dasar dari kayu-kayu tersebut, sehingga pemanfaatannya sering tidak optimal karena sering dicampurkannya jenis kayu yang mempunyai kualitas rendah dengan kayu yang mempunyai kualitas baik dalam berbagai tujuan (Muslich dkk, 2011). Oleh sebab itu, diperlukan adanya suatu usaha terlebih dahulu untuk mengumpulkan dan meneliti sifat dasar dari berbagai jenis kayu di Papua sebelum dimanfaatkan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai pentingnya sifat dasar dalam upaya optimalisasi kayu-kayu yang selama ini kurang dikenal dalam dunia perdagangan. II. SIFAT DASAR KAYU Sifat dasar kayu memegang peranan yang cukup penting dalam kegiatan optimalisasi jenis kayu yang selama ini belum termanfaatkan. Frank Lloyd Wright pernah mengatakan bahwa kita bisa memanfaatkan kayu secara bijaksana apabila kita mengerti tentang kayu. Kayu memiliki beberapa sifat sekaligus yang tidak dapat ditiru oleh bahanbahan lain (Dumanauw, 1990). Setiap jenis pohon memiliki sifat yang berbedabeda, oleh sebab itu jenis kayu yang dihasilkan juga memiliki sifat yang berbeda pula (Pandit dan Ramdan, 2002). Perbedaan ini dapat terjadi antar jenis pohon atau dalam jenis yang sama dan bahkan dapat terjadi perbedaan sifat dalam satu batang pohon yang sama (Pandit dan Ramdan, 2002). Sifat yang dimaksud adalah sifat yang berhubungan dengan sifat anatomi, sifat
fisik,
sifat
mekanik
dan
sifat
kimia
(Dumanauw,
1990).
Dalam
perkembangannya, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan melalui Rencana Penelitian Integratif (RPI) 2010-2014, sifat dasar yang diteliti berkembang dan mencakup berbagai sifat seperti: sifat Anatomi, sifat fisis dan mekanis, sifat pengerjaan dan pemesinan, sifat keawetan kayu 12 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
(terhadap rayap tanah, rayap kayu kering, jamur, dan marine borer), sifat keterawetan kayu, sifat pengkaratan kayu, sifat kimia dan nilai kalor, sifat pengolahan untuk pulp dan kertas, dan sifat venir dan kayu lapis. Imam wahyudi dalam diskusi litbang anatomi kayu Indonesia di Bogor pada tanggal 3-4 Juni 2013 mengatakan bahwa beberapa persyaratan bahan baku kayu untuk tujuan penggunaan tertentu adalah sebagai berikut: a. Kayu untuk pertukangan adalah kayu yang mampu memikul beban (struktural); secara umum diperlukan kayu dengan BJ yang cukup tinggi (>0,70); memiliki keawetan alami yang baik (kelas awet II); berserat lurus; corak, warna, dan tekstur tidak menjadi pertimbangan. Sortimen gergajian dengan BJ lebih rendah ditujukan untuk penggunaan lain yang tidak mementingkan kekuatan. Jenis kayu yang biasa digunakan adalah keruing, kapur (kamper), bangkirai, ulin, merbau, meranti batu, puspa, rasamala, pasang, nyatoh, medang, sengon, dan lain sebagainya. b. Kayu untuk bahan baku kayu lapis dan kayu lamina membutuhkan kayu yang mudah dikupas atau disayat untuk dijadikan vinir; pada umumnya kayu dengan BJ 0,50-0,75 lebih disukai; memiliki kelas awet yang cukup awet (awet III); bentuk batang yang silindris hingga sedikit taper; tidak memiliki banyak mata kayu dan bagian kayu reaksi; berserat lurus dan memiliki kerekatan yang baik (tidak berminyak). Kayu-kayu yang memiliki mutu yang lebih rendah( banyak mata kayu, batang taper, bengkok, dan lain sebagainya) dapat dijadikan sebagai bahan baku papan partikel. Jenis-jenis kayu yang biasa digunakan adalah berbagai jenis meranti (Shorea spp), kapur (kamper), medang, merbau, terentang, sengon, jabon, dan lain sebagainya. c. Kayu untuk bahan baku pulp dan kertas adalah kayu-kayu yang berserat panjang, nilai bilangan runklenya rendah (< 0,25), berkadar lignin rendah, ekstraktif rendah, tapi memiliki kandungan serat yang cukup (BJ 0,55-0,65 lebih disukai). Beberapa jenis kayu yang biasa digunakan adalah pinus, agathis, jamuju, mangium, sengon, bakau, gmelina, perupuk, dan kayu-kayu lain yang berwarna terang. d. Kayu untuk bahan baku meubel dan furniture adalah kayu yang memiliki corak menarik (dekoratif); bertekstur sedang-halus; kekuatan dan kekerasannya sedang (BJ 0,55-0,75 lebih disukai); keawetan alami yang cukup tinggi (kelas awet II-III); sifat keterakatan dan finishing-nya baik (tidak banyak mengandung minyak) dan stabil. Jenis-jenis kayu yang biasa digunakan Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 13
adalah: jati, mahoni, pasang, ramin, merbau, karet, sungkai, mindi, suren, saninten, agathis, dan lain sebagainya. e. Kayu untuk bahan baku patung atau barang kerajinan adalah kayu yang memiliki corak yang menarik (dekoratif); bertekstur sangat halus-halus; awet (kelas awet II lebih disukai); kekuatan dan kekerasannya sedang (BJ 0,550,75) dan stabil. Persyaratan kayu sebagai bahan baku patung dan barang kerajinan adalah sama dengan persyaratan kayu untuk meubel dan furniture. Jenis-jenis kayu yang biasa digunakan adalah jati, mahoni, eboni, suren, sonokeling, sonokembang, pulai, jelutung, ramin, dan lain sebagainya. f. Kayu untuk sumber energi termasuk kayu bakar adalah kayu-kayu yang memiliki heating value yang tinggi seperti lamtoro dan kaliandra, dan lain sebagainya. III. SIFAT DASAR BEBERAPA KAYU PAPUA 1. Litsea ledermannii Teschner. Kayu ini memiliki kayu teras yang berwarna coklat muda kekuningan dan kayu gubal berwarna putih jerami, dengan corak polos kadang pada bidang tangensial beralur bergantian warna gelap dan muda. Kayu ini memiliki tekstur yang agak agak halus dan merata, arah serat yang lurus hingga berpadu, permukaan kayunya mengkilap, kesan rabanya licin, dengan tingkat kekerasan yang agak keras. Kayu ini tidak memiliki bau yang khas. Kayu ini memiliki lingkar tumbuh yang tidak jelas, dengan pembuluh baur, dengan diameter pembuluh 100-200 mikron, dan ditemukan adanya sel minyak yang bergabung dengan jarijari dan parenkim aksial (Rulliaty dkk, 2010).
L. ledermannii merupakan kayu ringan (Dumanauw, 1990) dengan berat jenis 0,50 (0,45-0,58), dan kelas kuat III-IV (Oey, 1990). Kayu ini memiliki kelas awet V terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) dan rayap kayu kering (Cryptotermes cynocephalus Light), dan kelas awet IV untuk penggerek laut. Sifat pemesinan kayu ini berada pada kelas II untuk pengetaman, pembentukan, dan pengampelasan, sedangkan pemboran dan pembubutan tergolong kelas III. Sifat keterawetan kayu ini termasuk dalam kriteria sedang dengan tingkat penetrasi yang mencapai 83% dan retensi bahan pengawet sebesar 6,75 Kg/m3. Analisis sifat kimia menunjukkan bahwa kayu ini memiliki kadar holoselulosa sebesar 52,67%, pentosan 17,71%, lignin 28,73%, 14 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
kadar air 11,96%, silika 0,138%, dan abu 1,43%. Kadar zat ekstraktif terlarut dalam air dingin 6,19%, dalam air panas 7,78%, dalam NaOH 1% 24,70%, dan alkohol benzene 6,22% (Rulliaty dkk, 2010). 2. Diospyros pilosanthera Blanco. Kayu ini memiliki kayu teras yang berwarna hitam keunguan yang mudah dibedakan dengan kayu gubalnya dengan tebal 10-15 cm dan berwarna merah muda agak kecoklatan. Kayu ini memiliki corak yang sedikit beralur pada bidang tangensial karena perbedaan warna kayu teras dan kayu gubal, tekstur yang halus dan merata, dengan arah serat yang berpadu, agak mengkilap, licin, keras, dan tidak memiliki bau khusus. Kayu ini memiliki lingkar tumbuh yang tidak jelas, dengan pembuluh semi tata lingkar yang terkadang tidak jelas dan nampak baur, diameter pembuluh sekitar 50-100 mikron. Kayu ini memiliki saluran interseluler traumatik (Rulliaty dkk, 2011).
D. pilosanthera merupakan kayu berat (Dumanauw,1990) dengan berat jenis 0,85, dan kelas kuat II (Oey, 1990). Kayu ini memiliki kelas awet I terhadap rayap tanah C. Curvignathus, rayap kayu kering C. Cynocephalus, dan penggerek laut. Qualitas pemesinan kayu ini yang meliputi pengetaman, pembentukan, pengampelasan, pemboran, dan pembubutan tergolong sangat baik (kelas I). Sifat keterawetan kayu ini tergolong kayu yang susah untuk diawetkan (penetrasi 55%, dan retensi 3,7 Kg/m3. Analisis sifat kimia menunjukkan bahwa kayu ini memiliki kadar holoselulosa sekitar 53,57%, lignin 32,53%, pentosan 16,08%, kadar air 11,32%, kadar silika 0,207% dan abu 0,55%. Kadar zat ekstraktif terlarut dalam air dingin 2,13%, dalam air panas 5,51%, dalam NaOH 1% 16,12%, dan dalam alkohol benzene 3,62% (Rulliaty dkk, 2011). 3. Tetrameles nudiflora R. Br Kayu ini memiliki warna putih krem (kuning muda) dimana perbedaan antara kayu gubal dan kayu teras tidak jelas, lingkaran tahun tidak jelas, dengan tekstur yang agak kasar, dan tingkat kekerasan yang agak lunak, arah serat yang lurus, dan kayu agak kusam. Kayu ini memiliki lingkar tumbuh yang tidak jelas, dengan pembuluh baur, soliter, dan berganda radial. Panjang rata-rata serat 1600 mikron, diameter 42,50 mikron, dan tebal dinding 7,64 mikron (Hutapea dkk, 2012).
T. nudiflora merupakan kayu ringan (Dumanauw, 1990) dengan berat jenis 0,28 dan kelas kuat V. Kayu ini memiliki kelas awet V terhadap rayap tanah Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 15
C. curvignathus dan kelas awet IV terhadap rayap kayu kering C. Cynocephalus dan binatang laut. Sifat pemesinan kayu ini yang meliputi pengetaman, pembentukan, pemboran, dan pembubutan berada pada kelas III sedangkan pengampelasan berada pada kelas II. Kayu ini merupakan kayu yang mudah untuk diawetkan (penetrasi 100%, retensi 18,16 Kg/m3). Analisis sifat kimia menunjukkan bahwa kayu ini memiliki kadar selulosa 54,05%, lignin 29,36%, pentosan 12,15%, kadar abu 1,78%, silika 0,080%, kelarutan dalam air dingin 1,73%, dalam air panas 4,15%, dalam NaOH 1% 11,21%, dalam alkohol benzene 5,87% (Hutapea dkk, 2012). 4. Rhus taitensis Guill Kayu ini memiliki warna yang coklat kemerahan dimana perbedaan antara kayu gubal dan kayu terasnya jelas, dengan tekstur yang agak kasar, permukaan kayu
agak
mengkilap,
kayunya
agak
keras
dan
memiliki
serat
yang
bergelombang. Kayu ini memiliki lingkar tumbuh yang jelas, dengan pembuluh baur, soliter. Panjang rata-rata serat 1.440 mikron, diameter 26,45 mikron, tebal dinding 6,78 mikron, dan ditemukan adanya Kristal prismatik dalam parenkim aksial berbilik (Hutapea dkk, 2012).
R. taitensis merupakan kayu yang tergolong agak berat (Dumanauw, 1990) dengan berat jenis 0,67 dan kelas kuat III (Oey, 1990). Kayu ini memiliki kelas awet IV terhadap rayap tanah C. curvignathus dan binatang laut dan kelas awet II terhadap rayap kayu kering C. cynocephalus. Sifat pemesinan kayu ini yang meliputi pengetaman, pembentukan, pengampelasan, pemboran, dan pembubutan berada pada kelas II. Kayu ini memiliki keleas keterawetan yang sedang (penetrasi 70,9%, retensi 4,28 Kg/m3). Analisis sifat kimia menunjukkan bahwa kayu ini memiliki kadar selulosa 50,03%, lignin 22,44%, pentosan 16,27%, kadar abu 0,83%, kadar silika 0,221%, kelarutan dalam air dingin 5,65%, dalam air panas 7,12%, dalam NaOH 1% 21,37%, dan dalam alkohol benzene 6,01 % (Hutapea dkk, 2012).
16 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
IV. REKOMENDASI PEMANFAATAN KAYU Berdasarkan tinjauan terhadap beberapa sifat dasar kayu penting yang diperoleh dari pengujian terhadap kayu-kayu diatas, maka rekomendasi terhadap penggunaan kayu-kayu tersebut adalah sebagai berikut: 1.
L. ledermannii dapat digunakan untuk konstruksi sedang, kayu lapis, papan dinding, rangka pintu dan jendela, alat olahraga, serta moulding (Rulliaty dkk, 2011).
2.
D. pilosanthera dapat digunakan untuk meubel, patung ukiran, kerajinan tangan serta vinir mewah (Rulliaty dkk, 2011).
3.
T. nudiflora dapat digunakan sebagai bahan pembuatan panel kayu dan kerajinan, dan juga sebagai bahan baku pulp (Hutapea dkk, 2012).
4.
R. taitensis dapat digunakan sebagai bahan konstruksi yang tidak terlalu berat, bahan baku kayu lapis, pertukangan, dan bahan baku pulp (Hutapea dkk, 2012). V. KESIMPULAN Papua memliki potensi yang sangat besar dalam hal penyediaan kayu
karena Papua memiliki keragaman jenis yang sangat tinggi. Sifat dasar kayu memiliki peran yang sangat besar dalam rangka pemanfaatan kayu ke arah yang lebih optimal, sesuai dengan sifat yang dimilikinya. Dari tinjauan terhadap sifat dasarnya, keempat jenis kayu dapat digunakan untuk berbagai tujuan tertentu seperti konstruksi ringan, bahan baku meubel dan kerajinan, alat olahraga, dan lain-lain. Penelitian pengembangan terhadap jenis-jenis kayu ini tidak menutup kemungkinan akan menambah manfaat kayu ini. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan banyak terimakasih terhadap Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan (Pustekolah) Bogor, Drs. Moch. Muslich, M.Sc, Dra. Sri Rulliaty, M.Sc, Andianto, Nurwati Hadjib,
Abdurrachman,
Eliazer
Ergor
(Alm),
Balai
Penelitian
Kehutanan
Manokwari yang mendanai kegiatan penelitian ini, dan juga kepada segenap teknisi/laboran, dan juga peneliti/pakar yang banyak memberi masukan dalam menyelesaikan kegiatan penelitian sifat dasar kayu Papua ini.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 17
DAFTAR PUSTAKA Dumanauw, J. F. 1990. Mengenal Kayu. Kanisius. Semarang. Greenpeace Indonesia. 2011. Hutan Surga Papua yang Semakin Terancam. http://www.greenpeace.org/seasia/id/blog/hutan-surga-papua-yangsemakin-terancam/blog/36462/. Diakses tanggal 10 September 2013. Hutapea, F.J.,M. Rumawak, dan E. Ergor. 2012. Sifat Dasar Dua Jenis Kayu Papua. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Tidak diterbitkan. Lekitoo, K. 2012. Kekayaan, Pelestarian, dan Pemanfaatan Jenis Flora di Tanah Papua. Prosiding Seminar dan Pameran Hasil-Hasil Penelitian tanggal 2324 Oktober 2012 di Manado. Hlm 155-178. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Muslich, M., N. Hadjib, dan S. Rulliaty. 2011. Manfaat Pohon Ki Kendal (Ehretia acuminatissima R. Br). Buletin Hasil Hutan 17(1): 1-7. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Oey, D.S. 1990. Berat Jenis Dari Jenis-Jenis Kayu Indonesia Dan Pengertian Beratnya Kayu Untuk Keperluan Praktek. Pengumuman. Nr.13. Pusat Penelitian Dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. Pandit, I.K.N. dan H. Ramdan. 2002. Anatomi Kayu: Pengantar Sifat Kayu Sebagai Bahan Baku. Yayasan Penerbit. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rulliaty, S. dkk. 2011. Sifat Dasar dan Kegunaan Kayu Papua. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan. Bogor. Tidak diterbitkan. Sihati, S., Djarwanto. & Hudiansyah. 2004. Ketahanan Lima Jenis Kayu Terhadap Beberapa Jamur Perusak Kayu. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 22(4): 239246. Suara
Rakyat. 2013. Hutan dan Pembangunan Peradaban. http://www.suratrakyat.com/article/F0B7q7tGw3KI____hutan-danpembangunan-peradaban. Diakses tanggal 10 September 2013.
Wikipedia. 2013. Daftar Kayu di Indonesia. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kayu_di_Indonesia. Diakses tanggal 10 September 2013.
18 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
PERTUMBUHAN SAGU (Metroxylon Spp) DI DEMPLOT KOYANIMANOKWARI Batseba A. Suripatty1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia
Ringkasan Budidaya yang meliputi pemilihan, pengambilan dan persiapan anakan, penanaman dan pemeliharaan serta panen sangat penting dalam menjamin kesinambungan bahan baku khususnya industri pengolahan sagu untuk biofuel. Pengembangan sagu berskala industri sebaiknya tanpa merugikan masyarakat di sekitar hutan yang memanfaatkan sagu sebagai bahan makanan. Pembudidaya sagu yang baik memberikan jaminan keberhasilan tanaman sagu sebagai pemasok bahan baku industri pengolahan sagu. Dengan demikian kebutuhan tepung sagu baik kuantitas maupun kualitasnya dimasa yang akan datang tidak mengandalkan dari tegakan alam. Tujuan penelitian adalah mendapatkan teknik budidaya beberapa varietas sagu dari beberapaa lokasi untuk cadangan bahan baku biofuel. Penelitian dilakukan bulan Juli 2013 di SP 6, Prafi Distrik Masni Kabupaten Manokwari. Jumlah pelepah anakan sagu (Metroxylon sp) yang paling tinggi adalah jenis sagu sub spesies Antar 8, Noiin. Tinggi anakan sagu (Metroxylon sp) yang sangat tinggi adalah jenis Makbon dan Hawar adalah 172 cm. Keliling anakan sagu (Metroxylon sp) keliling yang sangat tinggi adalah sub spesies Hawar adalah 51 cm. Kata kunci : Demplot, Metroxylon spp, potensial, biofuel
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sagu (Metroxylon spp) yang tumbuh di tempat berawa dapat mencapai tinggi rata-rata 12,5 meter (Herman, 1984), demikian juga hasil tepung basah (kg /batang) untuk setiap jenis sagu cukup pada beberapa provinsi bervariasi dari 300 kg/batang – 700 kg/batang (Soekarto dan Wijandi, 1983). Budidaya yang meliputi pemilihan, pengambilan dan persiapan anakan, penanaman dan pemeliharaan serta panen
sangat penting dalam menjamin
kesinambungan bahan baku khususnya industri pengolahan sagu untuk biofuel. Pengembangan sagu berskala industri sebaiknya tanpa merugikan masyarakat di sekitar hutan yang memanfaatkan sagu sebagai bahan makanan. Pembudidaya sagu yang baik memberikan jaminan keberhasilan tanaman sagu sebagai pemasok bahan baku industri pengolahan sagu. Dengan demikian kebutuhan tepung sagu baik kuantitas maupun kualitasnya dimasa yang akan datang tidak mengandalkan dari tegakan alam. Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 19
Budidaya sagu untuk tujuan peneyediaan bahan baku biofuel memerlukan tindakan silvikultur yang tepat agar kuantitas dan kualitas tepung sagu untuk biofuel dapat tercapai. Salah satu komponen utama dalam peningkatan kualitas tepung sagu untuk biofuel adalah karbohidrat (KH), artinya tindakan silvikultur dalam
rangka
meningkatkan
kadar
KH
sagu
melalui
pemupukan
dan
pemeliharaan pohon induk sangat diperlukan. Sehubungan dengan itu, maka penelitian budidaya sagu melalui demplot budidaya
sagu
merupakan
langkah
yang
penting
untuk
meningkatkan
produktivitas kawasan hutan sagu di Papua dan Papua Barat. B. Tujuan Tujuan penelitian adalah mendapatkan pertumbuhan beberapa varietas sagu untuk cadangan bahan baku biofuel. II. METODOLOGI a. Waktu dan Lokasi Penelitian Waktu penelitian dilakukan bulan Juli 2013 di Satuan Pemukiman (SP) 6 Koyani Distrik Masni Kabupaten Manokwari.
Pengukuran dilakukan terhadap
tanaman sagu yang berumur 4 tahun. b. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah tanaman sagu sub spesies Antar, Hawar, Noiin, Huwor,
Makbom, dan di Yeriran
(menggunakan bahasa daerah
Sereweng). Alat yang digunakan mistar ukur, kaliper dan alat tulis. c. Prosedur Penelitian Tanaman sagu yang ada yaitu sub spesies Antar, Hawar, Noiin, Huwor, Makbom, dan di Yeriran berumur 3 tahun 7 bulan, yang ditanam secara jalur dengan jarak tanam adalah 8 m x 8 m. Pengukuran
sagu sub spesies Antar,
Hawar, Noiin, Huwor, Makbom, dan di Yeriran yaitu dengan mengukur tinggi, diameter jumlah pelepah masing-masing sagu sub spesies, data tersebut di susun secara tabulasi kemudian dirata-ratakan. d. Rancangan Penelitian Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), sagu sub spesies terdiri dari 6 sub spesies terdiri dari 4 jalur, setiap jalur terdiri dari 10 tanaman, jalur pengamatan merupakan ulangan sehinga dibutuhkan 240 anakan. 20 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
e. Analisa Data Analisis data menggunakan Analisis Ragam (ANOVA). Untuk mengetahui pengaruh perlakuan dilanjutkan dengan Uji BNJ. Variabel yang diukur adalah pertambahan tinggi, diameter dan jumlah pelepah yang disusun secara tabulasi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil 1. Tinggi Tinggi rata-rata sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor, Makbom dan Yeriran. berdasarkan jenis seperti pada Gambar 1. Tinggi 6.5
7 6 5 4 3 2 1 0
5.5
5.5 4
Antar
Gambar 1.
Hawar
Noiin
5 4
Huwor
Makbom
Yeriran
Tinggi sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor, Makbom dan Yeriran
Dari Gambar 1 diatas nampak bahwa tinggi anakan sagu sub spesies yang sangat tinggi berturut-turut adalah jenis Antar adalah 6.5 m, Hawar dan Huwor masing-masing adalah 5,5 m, Noiin dan Makbom masing-masing adalah 4 m, Yeriran adalah 5 m.
2. Diameter Diameter rata-rata sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor, Makbom dan Yeriran seperti pada Gambar 2.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 21
Diameter 80 60
55
60
55 45
44
47
Makbom
Yeriran
40 20 0 Antar
Gambar 2.
Hawar
Noiin
Huwor
Diameter sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor, Makbom dan Yeriran
Sagu sub spesies sangat
tinggi berturut-turut adalah sagu sub spesies
jenis Antar adalah 60 cm, Hawar dan Huwor masing-masing adalah 55 cm, Noiin 45 cm, Makbom adalah 44 cm dan Yeriran adalah 47 cm.
3. Jumlah Pelepah Jumlah pelepah
rata-rata sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin,
Huwor, Makbom dan Yeriran seperti pada Gambar 3. Jumlah Pelepah 20 19
12
15
14 12
11
11
10 5 0 Antar
Gambar 3.
Hawar
Huwor
Noiin Makbom Yeriran
Jumlah pelepah sagu sub spesies jenis Antar, Hawar, Noiin, Huwor, Makbom dan Yeriran (Metroxylon spp).
Dari Gambar 3 diatas nampak bahwa
sagu sub spesies
yang jumlah
pelepah paling tinggi berturut-turut adalah sagu sub spesies jenis Antar adalah 19, Hawar dan Huwor masing-masing adalah 12, Noiin adalah dan Makbom masing-masing adalah 11, dan Yeriran adalah 14 .
22 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
b. Pembahasan Dari hasil secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa sagu sub spesies yang ditanam berumur 3 tahun 7 bulan memberikan hasil rata-rata yaitu untuk pertumbuhan tinggi sagu sub spesies terlihat bahwa jenis Antar lebih tinggi yaitu 6,5 m, dari sub spesies Hawar dan Huwor masing-masing adalah 5,5 m, Yeriran 5 m dan Noiin dan Makbom adalah 4 m. Hasil pertumbuhan diameter sagu sub spesies terlihat bahwa jenis Antar
adalah 60 cm, Hawar dan Huwor adalah
masing-masing adalah 55 cm, lebih tinggi dari sagu sub spesies Noiin 45 cm, Makbom 44 cm dan Yeriran 47 cm. Sedangkan untuk pertumbuhan jumlah pelepah sagu sub spesies terlihat bahwa jenis Antar lebih tinggi yaitu 6,5 m, dari sub spesies Hawar dan Huwor masing-masing adalah 5,5 m, Yeriran 5 m dan Noiin dan Makbom adalah 4 m. Variabel pengamatan seperti tinggi, diameter dan jumlah pelepah untuk masing-masing sagu sub spesies masih cukup tinggi namun hasilnya juga berbeda. Variabel tinggi masih memberikan hasil yang lebih besar dari diameter untuk semua jenis sagu sub spesies yang ada. Hal ini sesuai dengan pendapat Baker (1950) bahwa pada awal pertumbuhan, pertambahan tinggi lebih cepat dari pada pertambahan diameter. Selain itu untuk umur semai, pancang dan tiang pertumbuhan tinggi suatu jenis tanaman lebih cepat dari pada diameter. Selain itu diameter batang tanaman ditentukan oleh sifat atau bentuk kerapatan tegakan, sifat genetis, jarak antara tanaman, umur tanaman, pemeliharaan lingkungan dan sistim pengelolaan. Pertumbuhan tinggi dan diameter pohon tergantung pula pada faktorfaktor seperti lokasi, unsur hara tanah, umur tanaman, kelembaban tanah, intensitas cahaya, tajuk, dan sifat dari pohon itu sendiri serta kemampuan melakukan fotosintesa. Hal ini diduga karena, anakan yang digunakan sudah siap untuk dipindahkan kelapangan dan pada saat penanaman terjadi musim hujan
sehingga
ketersediaan
air
tanah
yang
ada
sangat
mendukung
pertumbuhan sagu untuk dapat bertahan hidup. Selain itu jenis tanah yang ada pada lokasi penanaman termasuk lembab sampai berawa sehingga pada saat musim hujan tanah tergenang air.
Hal lain juga yang mendukung pertumbuhan
sagu tersebut dapat tumbuh juga dengan baik karena lokasi penanaman dalam keadaan terbuka, sehingga proses fotosintesa dapat berjalan dengan baik. Hal
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 23
lain juga yang mendukung pertumbuhan sagu dengan baik adalah cara penanaman yang benar jadi bibit sudah siap baru dipindahkan ke lapangan. IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI a. Kesimpulan Pertumbuhan sagu sub spesies Antar pada demplot yang ada memberikan hasil pertumbuhan yang sangat tinggi untuk tingggi, diameter dan jumlah pelepah, karena pemeliharaan yang secara rutin dan memberikan ruang tumbuh untuk tanaman sagu (Metroxylon sp) tersebut. b. Rekomendasi Perlu pemeliharaan yang rutin sehingga tidak memberikan pertumbuhan kepada gulma yang akan tumbuh mengganggu tanaman sagu sub spesies Antar, Hawar, Noiin, Huwor, Makbom dan Yeriran yang ada di demplot . DAFTAR PUSTAKA Baker, F. S. 1950. Principles of Silvikulture, Mc Graw Hill Book Company Inc., NeW York. Herman, D. 1984. Mengenal lebih dekat sagu sebagai sumber bahan pangan. Majalah kehutanan Indonesia No.2. Herlina E., Rumbino A. Dan Manusawai J. (2001). Teknik Pembibitan dan Penanaman Sagu (Metroxylon sagu) Oleh Penduduk Air Besar dan Desa Kanantare kecamatan Fak-fak Kabupaten fak-fak. Fakultas Kehutanan. UNIPA, Manokwari Snedecor, G. W. Dan G.W. Cochran. 1983. Statistical methods Oxford dan IBH Publishing Co., Calcuta Bombay, New delhi Soekarto, S. T dan S. Wijandi. 1983. Prospek Pengembangan Sagu sebagai Sumber Pangan di Indonesia. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta. Rostiwati T., N. Mindawati, M. Suharti dan Pratiwi. 1989. Teknik Penanaman Sagu. Puslitbang Bogor.
24 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
STATUS PEMANFATAN DAN PENGELOLAAN LABI-LABI MONCONG BABI DI PAPUA Richard Gatot Nugroho Triantoro1), Yohannes Wibisono1), Titiek Setyawati2), Mirza Dikari Kusrini3), Lilik Budi Prasetyo3) 1)
Balai Penelitian Kehutanan ManokwariJl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia Email :
[email protected] 2)
Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dan Konservasi Alam Jl. Gunung Batu, Bogor, Indonesia
3)
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan & Ekowisata Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor Jl. Raya Darmaga, Bogor, Indonesia
PENDAHULUAN Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) merupakan salah satu jenis kura-kura air tawar yang sebarannya di Indonesia hanya mencakup wilayah Papua bagian Selatan.
Bentuk hidungnya yang menyerupai hidung babi
menjadikan satwa ini mempunyai keunikan tersendiri. Di Indonesia, jenis labilabi moncong babi dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978, dikuatkan pula oleh PP No. 7 Tahun 1999 (Noerdjito dan Maryanto, 2001), dan belum diberikan kuota pemanfaatan walau masuk dalam Apendiks 2 CITES (Dirjen PHKA, 2007, 2008; Kemenhut, 2010, 2011, 2012). Sebagai satwa dengan keunikan tersendiri, permintaan untuk pasar perdagangan sangat tinggi karena nilai ekonominya cukup tinggi.
Selain
dipasarkan sebagai hewan peliharaan (pet), daging labi-labi juga dikonsumsi dan digunakan sebagai obat serta bahan kosmetik. Dampak tingginya permintaan pasar perdagangan dan tanpa didukung oleh upaya pengembangbiakan melalui penangkaran, mengakibatkan eksploitasi labi-labi moncong babi dari alam terus terjadi tanpa mempertimbangkan lagi status perlindungan, proses pemanenan, dan intensitas pemanenan. Pemanenan labi-labi moncong babi dari alam untuk konsumsi perdagangan terus terjadi setiap tahun di musim peneluran, dan perdagangan ilegalnya juga ditemui pada tempat penjualan satwa di dalam dan luar negeri seperti di Jakarta (Shepherd dan Nijman, 2007; Daniel, 2011) dan Singapura (Goh dan O‟Riordan, 2007). Pemanenan dan perdagangan ilegal memberikan tekanan dan ancaman terhadap populasi labi-labi moncong babi di alam.
Tekanan dan ancaman
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 25
menjadi lebih kompleks dengan adanya pemekaran wilayah. Khususnya di Papua Barat (Indonesia) dan Papua New Guinea, tekanan pada labi-labi moncong babi telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir, terutama karena pertumbuhan populasi manusia, kecenderungan yang lebih besar bagi pembangunan desadesa di tepi sungai setelah penghentian perang suku dan pengenalan teknologi baru (Alvarenga, 2010). Upaya melindungi satwa warisan dunia ini dari kepunahan, harus dilakukan dengan cepat dengan mengedepankan peran masyarakat lokal di sekitarnya sebagai mitra. Pemanenan telur dan induk sebagai dampak ikutannya yang dilakukan intensif dalam beberapa tahun terakhir, dapat menyebabkan penurunan populasi yang apabila tidak diantisipasi berujung pada kepunahan jenis di alam.
Oleh karenanya perlu dilakukan pengelolaan yang dapat
mengakomodir berbagai pihak agar fungsi perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan dapat berjalan bersama, dan menghindari terjadinya konflik. STATUS PEMANFAATAN Kabupaten Asmat merupakan pemekaran kabupaten dari Kabupaten Merauke di Papua bagian Selatan. Populasi labi-labi moncong babi di wilayah ini cukup baik yang indikatornya terlihat dari adanya pemanenan telur labi-labi moncong babi (secara illegal) di musim peneluran secara berkesinambungan. Setiap tahun telur labi-labi moncong babi di wilayah Asmat di eksploitasi dan intensitas pemanenan semakin tinggi dalam 5 tahun terakhir ini.
Hasil
pengamatan Triantoro (2012) menunjukkan bahwa intensitas pemanenan telur sangat tinggi (100%), yakni seluruh sarang yang ditemui dibongkar dan seluruh telur dalam sarang alami diambil. Total telur yang di panen dalam satu musim peneluran (3-4 bulan/tahun) oleh para pengumpul sulit diperoleh karena adanya keterbatasan dalam hal keterbukaan informasi. Pengambilan data langsung di lapangan juga mengalami keterbatasan dalam hal lamanya waktu di lapangan, tidak adanya pemukiman di sepanjang sungai, keterbatasan pendidikan pada masyarakat lokal, dan aksesibilitas ke seluruh pasir peneluran.
Terlepas dari
kendala yang dihadapi, jumlah telur yang diperoleh dari beberapa pengumpul di setiap musim peneluran tergambar pada tabel 1 di bawah ini.
26 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Tabel 1. Total pemanenan telur labi-labi moncong babi dari beberapa pengumpul pada beberapa sungai di Kabupaten Asmat Lokasi Sungai Vriendschap Sungai Catarina Sungai Jerep
Tahun Panen 2010 2011
Jumlah Pengumpul 6 5
Jumlah Telur 20.650 26.550
2012
1
5.800
400
2011 2012 2011 2012
2 1 1 1
5.300 2.200 1.050 320
265 110 53 16
Jumlah Sarang
Lama pengumpulan
1.032 1.327
2 – 5 bulan 2 minggu 2 – 4 bulan 2 minggu Minggu ke 3 Agustus s/d 10 November 2 – 5 bulan 1 minggu 3 bulan 1 minggu 1 bulan s/d 15 November
Sebagai pembanding, jumlah sarang yang berhasil terdata tahun 2009 selama 1 bulan 4 hari sebanyak 14.400 butir telur dari 720 sarang (Triantoro dan Rumawak, 2010) dan tahun 2011 selama 18 hari sebanyak 2.780 butir telur dari 132 sarang (Triantoro, 2012).
Perbedaan antara hasil pendataan langsung
dengan hasil pemanenan telur oleh pengumpul, terlihat sangat jauh berbeda. Perbedaan disebabkan oleh : 1) pengumpul mengumpulkan telur dalam rentang musim peneluran (3 - 4 bulan), 2)
pengumpul mendapat setoran dari
pengumpul lain, dan 3) pengumpul mempunyai ketersediaan sarana prasarana untuk mengakses seluruh wilayah lokasi peneluran.
Jumlah telur dan sarang
yang dapat dipanen setiap harinya di musim peneluran, disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Kepadatan jumlah telur dan sarang harian dalam rentang waktu pemanenan di Sungai Vriendschap, Kabupaten Asmat Tahun 2010
Pengumpul
Σ Hari
Σ (telur/sarang)/hari
Σ telur
20650
164
125.9
(butir)
Σ sarang
1032
164
6.3
(sarang)
Σ telur
26550
134
198.1
(butir)
Σ sarang
1327
134
9.9
(sarang)
Σ telur
5800
54
107.4
(butir)
Σ sarang
400
54
7.4
(sarang)
Σ telur
14400
Tahun 2009 34 423.5
(butir)
Σ sarang
720
34
21.2
(sarang)
2780 132
18 18
154.4 7.3
(butir) (sarang)
Tahun 2011
Tahun 2012
Pendataan langsung
Tahun 2011 Σ telur Σ sarang
Kepadatan
sarang
harian
terlihat
diperolehnya sarang setiap harinya.
cukup
baik
(Tabel
2)
dengan
Hasil penelitian Triantoro (2012)
menemukan bahwa kepadatan sarang yakni 0,23/ha untuk setiap luasan pasir tanpa adanya vegetasi, sedangkan pada pasir bervegetasi diperoleh kepadatan Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 27
sarang 2,76/ha.
Selanjutnya pada setiap 1 Km panjang pasir diperoleh
kepadatan sarang 0,75 sarang/Km pada pasir tanpa adanya vegetasi, sedangkan pada pasir bervegetasi diperoleh kepadatan sarang sebesar 9 sarang/Km. SEBARAN SARANG DAN NILAI EKONOMI LABI-LABI MONCONG BABI Pola sebaran sarang labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap adalah mengelompok (aggregate dispersion) dimana pemilihan habitat bersarang berada pada pasir peneluran di wilayah adat Obokain (Triantoro, 2012).
Sebaran
kelompok terjadi ketika individu cenderung tertarik ke (atau lebih mungkin bertahan dalam) bagian tertentu dari lingkungan, atau ketika kehadiran satu individu menarik atau memunculkan lainnya mendekat ke lingkungan tersebut (Begon et al., 2006).
Sarang yang berkelompok terjadi sebagai akibat dari
komunikasi sosial diantara induk betina yang melakukan aktifitas peneluran. Keberhasilan induk sebelumnya dalam bersarang dapat menarik induk lainnya untuk bersarang pula.
Interaksi sosial diantara individu-individu mungkin
menjadi gambaran biasa dari kehidupan, terutama bagi individu yang hidup dalam kelompok atau menduduki wilayah yang berbatasan atau dapat terjadi sekali sehari, seminggu sekali, dan bahkan hanya setahun sekali selama musim reproduksi pada kepadatan spesies rendah (Vitt dan Caldwell, 2009). Tingkah laku bersarang labi-labi moncong babi yang bersifat mengelompok pada satu sisi menjadi salah satu faktor penentu bagi peletakan dan keberhasilan persarangan, sementara di sisi lain dapat memudahkan hilangnya sarang akibat pemanenan oleh manusia dan rusaknya sarang akibat pemangsaan satwa lainnya seperti babi hutan (Sus sp.) dan biawak (Varanus sp.).
Pola sebaran sarang yang
mengelompok, secara tidak langsung turut memberikan kemudahan bagi manusia untuk memanen telur-telur karena waktu yang dibutuhkan lebih cepat dan biaya operasional lebih kecil. Reptil besar sangat rentan terhadap pemusnahan oleh manusia karena dapat digunakan sebagai makanan, memiliki kulit yang berharga, relatif mudah untuk diburu, dan memiliki sejarah kehidupan yang membuat sulit masyarakat untuk mempertahankan pemanenan terhadap satwa besar terus-menerus (Vitt dan Caldwell, 2009). Intensitas pemanfaatan telur labi-labi moncong babi yang sangat tinggi di Sungai Vriendschap menjadi ancaman tersendiri bagi pelestarian populasinya di alam.
Di Sungai Kikori (PNG), intensitas pemanfaatan yang
sangat tinggi menyebabkan penurunan kualitas telur dalam rentang tahun 2003 28 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
– 2006 (Georges et al., 2008b) dan penurunan populasi secara substansial dalam tiga dekade terakhir yang terindikasi dari kombinasi permintaan dan harga pasar, tingkat pemanenan yang sangat tinggi oleh manusia, dan penurunan yang nyata dalam ukuran induk betina yang dipanen (Eisemberg et al., 2011). Nilai ekonomi yang dihasilkan dari perdagangan labi-labi moncong babi sangat tinggi bagi masyarakat lokal belum mengenyam pendidikan. Dampaknya adalah masyarakat belum berhenti melakukan pemanenan sebelum populasi di alam habis atau permintaan pasar terhadap jenis ini menurun. Kemungkinan kedua sulit untuk diharapkan karena permintaan pasar tidak pernah berhenti sebelum sumberdaya habis, sementara melarang masyarakat lokal untuk tidak melakukan pemanenan sumberdaya yang telah memberi mereka nilai ekonomi secara langsung, hanya menciptakan konflik-konflik baru. Ketika sumberdaya yang dieksploitasi mulai berkurang, harga ikut meningkat dan menciptakan insentif besar untuk eksploitasi berlebihan, menyebabkan sumberdaya menjadi langka dan bahkan punah (Indrawan et al., 2007). Gambaran nilai ekonomi yang beredar di lokasi pemanenan dapat dilihat dari perhitungan sederhana jumlah telur yang dapat dihasilkan dalam satu musim peneluran. Hasil penelitian selama 18 hari tahun 2012 (Triantoro, 2012), diperoleh jumlah sarang sebanyak 132 sarang, jumlah telur rata-rata tiap sarang adalah 20 butir, harga jual rata-rata tukik di Vriendschap adalah Rp 17.500 dan harga jual rata-rata tukik di luar Vriendschap adalah Rp 40.000. Dengan asumsi 1) setiap 18 hari (3 minggu) jumlah sarang yang dipanen adalah tetap sebanyak 132 sarang, 2) puncak musim peneluran selama 3 (tiga) bulan (12 minggu) antara September dan November (jumlah 528 sarang), 3) dari 528 sarang diperoleh 10.560 butir telur, dan 4) semua telur menetas menjadi tukik. Berdasarkan asumsi tersebut maka nilai ekonomi yang beredar di wilayah Vriendschap sebanyak Rp 184.800.000 dan di luar wilayah Vriendschap sebanyak 422.400.000. Nilai asumsi tersebut dapat berubah sejalan dengan banyaknya telur atau sarang yang dapat di panen setiap tahunnya, naiknya harga jual tukik dan keberhasilan tetas tukik. PENGELOLAAN LABI-LABI MONCONG BABI DI SUNGAI VRIENDSCHAP Habitat merupakan fungsi penting bagi satwa liar sebagai tempat perlindungan, mencari makan, melakukan perkawinan, aktifitas bertelur dan pergerakan dalam mendukung tumbuh dan berkembangnya populasi. Populasi yang baik ditandai dengan stabilnya populasi di alam bahkan cenderung Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 29
meningkat sampai batas kemampuan daya dukung habitatnya. Semakin tinggi populasi semakin tinggi pula persaingan dalam memperoleh fungsi dari habitat sehingga menimbulkan persaingan dalam satu jenis atau antar jenis. Untuk mengatur keseimbangan habitat dan populasi satwa liar di alam, dibutuhkan pengelolaan terhadap kawasan dengan baik.
Sistem pengelolaan yang
terencana, tersusun dan termonitoring dengan baik dapat mendukung konservasi satwa liar di alam. Pasal 5 Undang-undang (UU) No. 5 tahun 1990 menjelaskan kegiatan
konservasi
dilakukan
melalui
kegiatan
1)
perlindungan
sistem
penyangga kehidupan, 2) pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya, dan 3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan Vriendschap adalah suatu wilayah yang terdiri dari Sungai Vriendschap sebagai sungai utama serta alur-alur sungai dan rawa yang sangat banyak. Panjang Sungai Vriendschap ± 110 km yang dimulai dari bagian hulu (pertemuan dengan muara Sungai Baliem dan Sungai Seng) sampai ke bagian hilir atau muara yang bertemu dengan muara Sungai Catarina. Aksesibilitas ke wilayah Sungai Vriendschap cukup terbuka yang dapat dijangkau dari Kabupaten Asmat dan Yahukimo, namun frekuensinya lebih tinggi dari Kabupaten Asmat. Wilayah ini bukan merupakan kawasan konservasi tetapi didalamnya terdapat beberapa jenis reptil yang mempunyai nilai ekonomi dan sebagai sumber makanan
bagi
masyarakat
lokal,
diantaranya
Buaya
(Crocodilus
cf
novaeguineae), Kura-kura Dada Merah (Emydura subglobosa), Labi-labi Irian (Pelochelys bibroni) dan Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta) (Triantoro dan Rumawak, 2010). Diantara keempat jenis tersebut, buaya dan labi-labi moncong babi merupakan jenis yang dilindungi berdasarkan peraturan perundangan di Indonesia. Keduanya dilindungi berdasarkan SK Mentan No. 327/Kpts/Um/5/1978 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 7 tahun 1999 (Noerdjito dan Maryanto, 2001). Beberapa tahun terakhir ini, Sungai Vriendschap menjadi suatu tempat tujuan perburuan satwa liar dari jenis labi-labi moncong babi dengan intensitas pemanfaatan sangat tinggi (100%) (Triantoro, 2012). Tingkat eksploitasi (perburuan) yang sangat tinggi (di Indonesia dan PNG) sebagai sumber pakan dan sebagai pemasok bagi industri hewan peliharaan internasional dilaporkan pula oleh Georges et al. (2008a) dan IUCN (2010). Pemanfaatan berlebihan tanpa memperhitungkan umur produksi induk dan laju pertumbuhan di alam 30 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
dapat
menyebabkan
kepunahan jenis.
terjadinya
penurunan
populasi
dan
mempercepat
Kemusnahan jenis adalah suatu peristiwa alami tetapi
pelanggaran yang dilakukan oleh manusia seringkali mempercepat proses kepunahan jenis (Alikodra 2010). Eksploitasi telur dan penjualan tukik labi-labi moncong babi saat ini bertolak belakang dengan kuota pengambilan tumbuhan alam dan penangkapan satwa liar yang termasuk Appendix CITES tahun 2007 dan 2008 (Dirjen PHKA 2007, 2008) dan kuota ekspor Appendix II dari jenis tumbuhan dan satwa liar asal Indonesia tahun 2010 – 2012 (Kemenhut 2010, 2011, 2012), terutama ijin penangkapan dari alam dan ekspor perdagangan labilabi moncong babi yang sampai saat ini belum diberikan.
Dapat disimpulkan
bahwa penangkapan dan perdagangan terhadap labi-labi moncong babi bersifat illegal. Beberapa penangkapan dalam upaya menggagalkan perdagangan illegal (penyelundupan) satwa ini telah dilakukan seperti yang tertera pada Tabel 3 berikut. Tabel 3 Kasus-kasus penggagalan perdagangan illegal labi-labi moncong babi di Indonesia No
Penangkapan
1. 2.
Tanggal 14-03-2005 12-02-2009
3. 4. 5. 6. 7. 8.
09-03-2010 06-01-2011 25-01-2011 26-01-2012 06-02-2012 06-03-2012
Jumlah (ekor) 7.275 12.247 464 744 500 1.495 690 1.882
Instansi
Sumber
BKSDA Jawa Timur SPORC dan KSDA wilayah Timika
Tempointeraktif.com (2005) Sawabi-Kompas.com (2009); Kemenhut-Dephut.go.id MeraukePos.com (2010) Suara Pembaharuan (2011) Arifin-Okezone.com (2011) USS-BBKSDA Papua (2012) USS-BBKSDA Papua (2012) USS-BBKSDA Papua (2012)
Stasiun Karantina Ikan Merauke KSDA wilayah Merauke Polrestabes Surabaya KSDA wilayah Merauke KSDA wilayah Merauke KSDA wilayah Jayapura
Membendung maraknya pemanfaatan illegal labi-labi moncong babi di alam, dibutuhkan komitmen yang kuat dalam pelaksanaannya karena luasnya wilayah Sungai Vriendschap dengan banyaknya alur atau anak sungai. Upaya yang sudah dilakukan sampai sejauh ini oleh Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Papua selaku institusi pengelola, masih berupa patroli pengamanan di musim peneluran.
Patroli yang dilakukan belum memberikan
hasil optimal terhadap berkurangnya pemanenan maupun perdagangan illegal. Beberapa faktor yang mempengaruhi belum optimalnya patroli pengamanan meliputi : 1. Patroli tidak dapat dilakukan secara terus menerus. Celah diantara waktu patroli pertama dengan jadwal patrol berikutnya dapat dimanfaatkan oleh para pencari telur. Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 31
2. Patroli dilakukan menggunakan speed boat. Kemampuan speed boat untuk kegiatan patroli di Sungai Vriendschap tidak optimal karena hanya dapat memasuki Sungai Vriendschap dengan mesin 40 PK dalam kondisi permukaan air sungai meningkat akibat hujan (banjir) dan tidak dapat menjangkau aluralur sungai yang sangat banyak. 3. Patroli hanya dapat dilakukan pada sungai utama. Informasi kegiatan patroli biasanya sudah diketahui oleh para pencari telur sehingga sebelum tim patroli sampai di lokasi, para pencari sudah pergi meninggalkan lokasi perburuan. 4. Patroli membutuhkan biaya yang cukup besar. Biaya yang dibutuhkan untuk sekali melakukan patroli ke wilayah Vriendschap cukup tinggi (biaya bahan bakar minyak dan biaya operasional di lokasi).
Apabila dalam sebulan
dilakukan patroli 2 (dua) kali maka selama 4 (empat) bulan (musim peneluran) dibutuhkan minimal 8 (delapan) kali kegiatan patroli rutin. 5. Hukuman sulit diberlakukan kepada para pencari telur lokal; yang secara adat merupakan pemilik ulayat.
Pencari telur didominasi oleh penduduk lokal
walau terdapat pula penduduk bukan lokal.
Para pencari telur telah
mengetahui bahwa jenis Labi-labi moncong babi merupakan jenis yang dilindungi
dan
sanksi
memperdagangkannya.
dapat
diberikan
apabila
ditemukan
Pemanfaatan telur yang kemudian dijual dalam
bentuk tukik telah memberikan nilai ekonomi langsung kepada masyarakat lokal. Pelarangan pemanfaatan saat ini tanpa adanya solusi hanya memberikan antipati terhadap petugas dan menciptakan konflik dengan institusi terkait. 6. Banyaknya akses jalur bagi para pencari, pengumpul dan pedagang.
Tim
patroli mengalami kesulitan dalam menutup ruang gerak pencari, pengumpul dan pedagang telur atau tukik karena banyaknya alur sungai yang dapat digunakan untuk bersembunyi atau membawa hasil pemanenan. Kegiatan patroli dilakukan untuk menjaga satwa liar yang dilindungi berdasarkan peraturan perundangan di Indonesia dari pemanfaatan yang tidak bertanggungjawab. Petugas mempunyai persepsi bahwa pemanfaatan satwa dilindungi adalah melanggar hukum dan perlu dilakukan tindakan sanksi secara bertahap.
Namun
keefektifan
kegiatan
patroli
ke
depannya
dapat
dipertimbangkan kembali karena setelah menggunakan biaya yang tinggi, pembinaan dan sanksi yang diberikan kepada para pencari telur masih sulit 32 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
dilakukan.
Keterbatasan penindakan dapat disebabkan 3 prinsip yaitu : 1)
wilayah Sungai Vriendschap bukan merupakan wilayah konservasi, 2) labi-labi moncong babi sudah sejak lama telah dimanfaatkan sebagai sumber makanan bagi masyarakat lokal, dan 3) hak masyarakat lokal atas pemanfaatan di wilayah adat mereka.
Sanksi dapat diberikan apabila dasar pengenaan sanksi jelas
dimana masyarakat dapat memanfaatkan sumberdaya mereka tetapi melanggar aturan yang telah disepakati bersama. Biaya yang hendaknya digunakan untuk patroli dapat di kelola untuk mendapatkan pengelolaan yang berpihak kepada masyarakat lokal, dengan memperhatikan fungsi perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan sumber daya alam. Secara budaya, masyarakat lokal telah memanfaatkan labi-labi moncong babi sebagai sumber makanan.
Pemanfaatan yang bersifat tradisional (sub
sistence) juga mempunyai pengaruh sangat kecil bagi penurunan populasi di alam.
Akan tetapi tingginya permintaan pasar perdagangan satwa dan nilai
ekonomi dari satwa liar khususnya labi-labi moncong babi, telah merubah pola pemanfaatan masyarakat lokal dari sub sistence menjadi intensif terutama terhadap telur-telurnya. Keseluruhan telur pada semua sarang yang ditemukan dipanen dan tidak dikonsumsi karena lebih bernilai ekonomi apabila ditetaskan dan dijual dalam bentuk tukik, sementara induk dimanfaatkan sebagai sumber pakan selama berada di lokasi pencarian. Mengantisipasi tingkat pemanenan yang tinggi di alam dan perdagangan ilegal terhadap telur maupun tukik, maka alternatif pengelolaan ke depannya dapat dilakukan dalam dua bentuk yaitu: 1. Pengelolaan Berbasis Kawasan Pengelolaan kawasan dapat dilakukan dengan menetapkan seluruh atau sebagian wilayah di Sungai Vriendschap sebagai kawasan konservasi. Sistem pengelolaan yang menetapkan seluruh wilayah sebagai kawasan konservasi rentan terhadap konflik antara institusi pengelola sumber daya alam dengan masyarakat lokal karena masyarakat sebagai pemegang wilayah ulayat mempunyai kesempatan yang kecil untuk mendapatkan insentif dari keberadaan satwa bernilai ekonomi. Sistem pengelolaan yang menetapkan sebagian wilayah sebagai kawasan konservasi juga dapat memicu konflik antara masyarakat lokal dengan institusi, dan diantara masyarakat lokal itu sendiri, karena masyarakat yang wilayahnya menjadi kawasan konservasi lebih sulit mendapatkan insentif dibandingkan yang tidak digunakan sebagai Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 33
kawasan konservasi. Konsekuensi pengelolaan berbasis kawasan juga memberikan tugas dan tanggungjawab bagi institusi pengelola untuk selalu berada di wilayah pemanenan selama musim peneluran. Dibutuhkan personil yang cukup, sarana prasarana, dan biaya operasional tinggi untuk menutup ruang gerak para pencari telur dari alur-alur sungai yang begitu banyak. 2. Pengelolaan Berbasis Jenis Pengelolaan berbasis jenis adalah memberikan ruang dan peluang insentif bagi masyarakat lokal untuk memanfaatkan jenis satwa liar sebagai sumber ekonomi dengan kesadaran atas pemanfaatan yang berkelanjutan karena masyarakat lokal diberikan kewenangan untuk memanfaatkan jenis satwa liar di wilayah adatnya secara legal dan terkontrol (terbatas). Syarat yang harus diikuti dalam memperoleh ijin memperdagangkan satwa liar yang dilindungi adalah berasal diambil dari garis keturunan kedua (F2). Kondisi tersebut sulit dilakukan mengingat labi-labi sendiri merupakan kelompok reptil yang dalam tahapan perkembangan hidup membutuhkan waktu yang lama dalam mencapai usia matang reproduksi, apalagi sampai mendapatkan garis keturunan kedua.
Upaya penangkaran dapat dilakukan, namun hasilnya
belum dapat diperdagangkan dalam waktu yang dekat.
Mengantisipasi
tingginya intensitas pemanfaatan dari alam dan kekuatiran terjadinya penurunan populasi secara drastis di alam, maka upaya pengelolaan dalam bentuk pemanfaatan telur dari alam dan memperdagangkan tukik (anakan kura-kura atau labi-labi) menjadi solusinya saat ini.
Pemanfaatan dapat
dilakukan dengan sistem “kuota” pemanfaatan telur kepada seluruh masyarakat lokal secara merata untuk memberikan rasa keadilan. Bantuan pihak pengelola dalam memberikan penyuluhan dan pemahaman konservasi kepada masyarakat lokal (edukasi) sangat dibutuhkan di awal pembentukan pola pemanfaatan terkait pembatasan panen, pemanfaatan berkelanjutan, perlindungan jenis dipanen dan jenis lainnya yang dilindungi dan terancam di alam, dan adanya kemungkinan penghentian pemanenan akibat penurunan populasi.
Monitoring dan pengawasan perdagangan secara ketat pada
pengumpul dan monitoring populasi di alam perlu diwujudkan dan dilaksanakan dengan tanggungjawab untuk menjamin kestabilan populasi di alam. Para pakar di bidangnya dapat dimintai bantuan dan pendapatnya
34 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
terkait peningkatan dan penurunan populasi, kondisi fisik habitat hidup dan peneluran, kesehatan, dan metode untuk mengatasi permasalahan. Pengelolaan merupakan jembatan yang menghubungkan perbedaan persepsi antara masyarakat lokal dengan institusi pengelola. Terkait pengelolaan terhadap labi-labi moncong babi, pengelolaan jenis lebih memungkinkan dilakukan dengan pertimbangan-pertimbangan di atas. Konsekuensi dari pengelolaan jenis (pemanfaatan) adalah monitoring pemanenan dari alam harus berjalan dan terkontrol dengan baik, bukan sekedar retorika di atas kertas. Luasnya kawasan, minimnya tenaga dan keterbatasan biaya, tidak dapat dijadikan dasar sebagai alasan pemanenan dan perdagangan illegal di lokasi pemanenan maupun di lokasi pengumpulan terus terjadi.
Pengelolaan untuk
menjamin kelangsungan hidup jenis langka dan terancam adalah tugas utama yang umum dari pelestarian alam, dan pelestarian populasi jenis mungkin menghendaki strategi yang berbeda dari strategi yang cocok bagi perlindungan ekosistem (MacKinnon et al., 1993).
Pemberian kuota terhadap pemanfaatan
telur atau tukik merupakan tindakan pemberdayaan dan memberikan asas manfaat bagi masyarakat lokal atau adat dan negara. Masyarakat lokal harus mendapat “prioritas utama” dalam pemanfaatan sumberdaya alamnya dengan bertindak sebagai mitra institusi pengelola. Jumlah kuota yang diberikan belum dapat diakomodir, namun sisi positif yang diharapkan dengan adanya pemberian kuota adalah: 1. Masyarakat lokal mendapat insentif kesejahteraan secara legal 2. Telur tidak dipanen seluruhnya dari sarang alami atau sebagian hasil tetasan (tukik) dapat dilepas kembali ke alam 3. Menyelamatkan sarang atau telur dari kerusakan akibat faktor alam dan pemangsa alami 4. Monitoring pemanenan maupun penjualan dapat lebih mudah pada masyarakat lokal yang menjadi pengumpul resmi 5. Monitoring perburuan dan perdagangan dari alam harus dilaksanakan setiap tahun pada pengumpul, dan monitoring populasi di alam harus di lakukan pada tahun keempat (3 tahun sejak pemanenan pertama), dan selanjutnya setiap 2 (dua) tahun sekali. Monitoring harus dilakukan secara ketat untuk mengetahui apakah populasi meningkat, menurun atau stabil. 6. Perdagangan illegal dapat di tekan atau diminimalkan 7. Negara dan pemerintah daerah mendapat devisa dari penjualan satwa liar Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 35
8. Meminimalkan konflik, membangun kemitraan dan sinergisitas antara institusi pengelola dengan masyarakat lokal Labi-labi moncong babi merupakan satwa yang dilindungi namun bukan berarti pemberian kuota tidak dapat diberikan.
Khusus kasus di Papua, jenis
buaya muara (Crocodylus novaeguineae) yang dilindungi diperbolehkan kuota tangkap dan ekspor untuk pemanfaatan kulitnya dan Crocodylus porosus yang diperbolehkan kuota tangkap untuk pembesaran (Dirjen PHKA, 2007, 2008; Kemenhut, 2010, 2011), sedangkan kuota ekspor untuk kulit C. porosus diperbolehkan kembali pada tahun 2012 (Kemenhut, 2012). Indonesia sendiri termasuk Negara yang belum mengembangkan secara profesional potensipotensi satwa liarnya, baik untuk diekspor, rekreasi berburu, ataupun untuk atraksi-atraksi di taman nasional (Alikodra, 2010). Suatu jenis tumbuhan dan satwa wajib ditetapkan dalam golongan yang dilindungi apabila telah memenuhi kriteria 1) mempunyai populasi yang kecil, 2) adanya penurunan yang tajam pada jumlah individu di alam, 3) daerah penyebaran yang endemik (PP No 7 Tahun 1999), dan 4) tumbuhan dan satwa dalam bahaya kepunahan (UU No. 5 Tahun 1990). Pemberian kuota merupakan salah satu sistem pengelolaan satwa liar yang
bertujuan
memanfaatkan
sumberdaya
alam
sebagai
1)
sumber
pemberdayaan ekonomi bagi perseorangan atau badan usaha milik bersama dan 2) sebagai sumber devisa bagi Negara, dengan mempertimbangkan kelestarian jenis di alam. Pasal 2, 3 dan 23 dari UU no.41 tahun 1999 menjelaskan bahwa peyelenggaraan dan pemanfaatan kehutanan harus berasaskan manfaat dan lestari dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan. Kuota terhadap labi-labi moncong babi harus diimbangi dengan pengelolaan yang baik dari Dirjen PHKA (BBKSDA Papua) sebagai mandat pengelolaan terhadap satwa dan tumbuhan dilindungi dari alam.
Insentif yang diperoleh masyarakat dari
sumberdaya alam yang dimiliki, secara tidak langsung memberikan fungsi pengawetan terhadap labi-labi moncong babi dan pengawasan di habitat alami dapat dilakukan secara sadar dan sukarela karena adanya rasa memiliki. Tugas BBKSDA Papua juga secara tidak langsung menjadi lebih mudah dalam mengontrol pemanfaatan di lapangan dan monitoring populasi.
Tercapainya
kerjasama pengelolaan sumberdaya alam antara institusi pengelola dengan masyarakat lokal merupakan tindakan nyata terhadap UU No. 41 Tahun 1999 pasal 60 dimana 1) pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan 36 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
pengawasan kehutanan, dan 2) masyarakat dan atau perorangan berperan serta dalam pengawasan kehutanan. Paradigma pengelolaan dengan melarang pemanfaatan sudah saatnya diubah menjadi mitra dengan masyarakat demi kesejahteraan, terutama masyarakat yang terpencil dan mempunyai tanggungjawab bersama terhadap satwa liar atau ekosistemnya. Secara umum, hubungan terbaik antara penduduk asli dan pengelola terjadi apabila penduduk asli melihat bahwa kawasan yang dilindungi membantu memelihara budaya mereka dan memberi manfaat nyata (misalnya kesempatan kerja dan penghasilan) (MacKinnon, 1993).
Konvensi
Ramsar (2008) menegaskan pula pentingnya manajemen pengelolaan terkait mata pencaharian masyarakat pada wilayah lahan basah yang mencakup : 1. Tindakan untuk memelihara manfaat yang diberikan oleh lahan basah untuk pembangunan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat, terutama yang tidak mampu. 2. Penggunaan secara bijak manajemen dan pengembalian lahan basah harus membantu terciptanya peluang untuk meningkatkan mata pencaharian masyarakat, khususnya masyarakat yang bergantung pada lahan basah, masyarakat pinggiran dan rentan. 3. Manajemen lahan basah yang berkesinambungan harus didukung oleh pengetahuan lokal (indigeneous) dan tradisional, tanggapan dari identitas alami yang berhubungan dengan lahan basah, pengurusan yang dilakukan melalui insentif ekonomis dan diversifikasi berdasarkan dukungan untuk mata pencaharian. Mengelola spesies agar dapat terus dimanfaatkan dan sekaligus menjaga populasinya di alam tidaklah semudah membalikkan tangan, sedikit kesalahan mungkin menciptakan peluang percepatan penurunan populasi.
Pelaksanan
monitoring yang ketat dalam komersialisasi satwa liar menjadi kunci kelestarian populasi spesies di alam.
Monitoring yang dilakukan sebatas retorika di atas
kertas ikut mendukung satwa liar menuju penurunan populasi di alam dan mempercepat jurang menuju kepunahan.
Komersialisasi satwa liar memiliki
potensi efek samping negatif dan fokus pada satu kelompok spesies telah mengakibatkan pengabaian spesies terancam punah, terutama yang memiliki distribusi kecil dan demografi kurang fleksibel, seperti Crocodylus sinensis dan
Crocodylus mindorensis (Vitt dan Caldwell, 2009). Selanjutnya, komersialisasi satu kelompok spesies menciptakan pasar untuk semua jenis dan menjadi ancaman serius bagi spesies langka. Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 37
KESIMPULAN Menyikapi kondisi labi-labi moncong babi saat ini, terlihat adanya benturan dua kepentingan antara status perlindungan dan pemanfaatan (illegal) yang sangat tinggi.
Pengelolaan yang dapat dilakukan saat ini untuk mencegah
pemanfaatan telur secara illegal adalah dengan memberikan ruang bagi pemanfaatan terbatas (kuota) terhadap telur (tukik) labi-labi moncong babi. Pemberian kuota harus mempertimbangkan status populasi, keberpihakan kepada masyarakat ulayat, dan hilangnya pemasukan daerah dan Negara dari sumberdaya alam akibat perdagangan liar. informasi,
hak
utama
sebagai
pemasuk
perdagangan, dan mitra konservasi di alam.
Masyarakat lokal harus diberikan dari
alam
untuk
kepentingan
Monitoring pemanfaatan harus
dilakukan secara ketat setiap tahun dan monitoring populasi di alam wajib dilaksanakan setelah 3 tahun pertama, dan setiap 2 tahun berikutnya dengan mengikutsertakan pakar di bidangnya. Pemasuk dari alam dan pengumpul besar (nantinya), mempunyai kewajiban bersama melepaskan sebagian tukik hasil tetasan ke alam untuk kelangsungan generasi labi-labi moncong babi di alam. Pemasok atau pengumpul besar juga mempunyai kewajiban melakukan penangkaran agar mengurangi tingkat ketergantungan ke depannya terhadap sumberdaya dari alam. DAFTAR PUSTAKA Alikodra HS. 2010. Teknik Pengelolaan Satwa Liar Dalam Rangka Mempertahankan Keanekaragaman Hayati Indonesia. Bogor. PT. Penerbit IPB Press. Alvarenga CCED. 2010. Nesting Ecology, Harvest and Conservation of the Pignosed Turtle (Carettochelys insculpta) in the Kikori Region, Papua New Guinea [disertasi]. Canberra : Institute for Applied Ecology University of Canberra Australia. [Anonim]. 9 Maret 2010. 464 Kura-kura Moncong Babi Disita di Bandara Mopah. MeraukePos.com [Anonim]. 6 Januari 2011. Penyelundupan 744 Kura-kura Moncong Babi Digagalkan. Suara Pembaruan.com Arifin N. 25 Januari 2011. Polisi Gagalkan Penyelundupan Kura-Kura Moncong Babi. Okezone.com Begon M, Towsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individuals to Ecosystem. 4th edition. United Kingdom. Blackwell Publising. [Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode 38 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1. Departemen Kehutanan. [Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1. Departemen Kehutanan. Eisemberg CC, Rose M, Yaru B, Georges A. 2011. Demonstrating Decline of an Iconic Species Under Sustained Indigenous Harvest – The Pig-nosed Turtle (Carettochelys insculpta) in Papua New Guinea. Biological Conservation 144 : 2282 – 2288. Georges A, Doody JS, Eisemberg C, Alacs EA, Rose M. 2008a. Carettochelys insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Di dalam : Rhodin AGJ, Pritchard PCH, Van Dijk PP, Saumure RA, Buhlmann KA, Iverson JB, editors. Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoise : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No. 5, pp. 009.1 – 009.17. Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b. Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta. Wildlife Research 35 : 700 – 711. Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. (revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Ed ke-2
IUCN.
2010.4.
2010. IUCN Red List of Threatened <www.iucnredlist.org>. [01 April 2011].
Species.
Version
[Kemenhut]. 6 Maret 2009. SPORC dan Polisi Timika Sita 12.247 Ekor Kura-Kura Moncong Babi, SPORC Anoa Sulawesi Tangkap 31 Penangkap Ikan di TN Bunaken [Siaran Pers]. Dephut.go.id [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February 2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January 2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to 31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia. Kementerian Kehutanan. Konvensi Ramsar. 2008. Deklarasi Changwon Untuk Kesejahteraan Manusia dan Lahan Basah. Korea. MacKinnon J, MacKinnon K, Child G, Thorsel J. 1993. Pengelolaan Kawasan yang Dilindungi di Daerah Tropika. Amir HH, alih bahasa. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Terjemahan dari : Managing Protected Areas in the Tropics. Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 39
Noerdjito M, Maryanto, I. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundangundangan Indonesia. Cibinong. Puslit Biologi – LIPI, The Nature Conservancy dan USAID. [PP] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1999 : Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Jakarta. Raharjo IJ. 14 Maret 2005. Tempointeraktif.com
Penyelundupan Kura-kura Papua Digagalkan.
Sawabi IGN. 10 Maret 2009. Kompas.com
12.247 Kura-kura Moncong Babi Disita.
Triantoro RGN, Rumawak ZL. 2010. Populasi dan Habitat Labi-Labi Moncong Babi Carettochelys insculpta Ramsay (1886) Di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat [laporan]. Manokwari. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Triantoro 2012. Ekologi Peneluran Dan Intensitas Pemanfaatan Labi-labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta Ramsay 1886) Di Sungai Vriendschap Kabupaten Asmat, Papua [Tesis]. Bogor. Institut Pertanian Bogor. [UU] Undang-undang Republik Nomor 5 Tahun 1990 : Tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. [UU] Undang-undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 : Tentang Kehutanan. Jakarta. [USS] Unit Sidik SPORC. 2012. Unit Register Kasus SPORC Brigade Kanguru Provinsi Papua Bulan Juli 2012 [laporan]. Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Papua. Kementerian Kehutanan. Vitt LJ, Caldwell JP. 2009. Herpetology. An Introductory Biology of Amphibians and Reptiles. Third Edition. Oklahoma. Elsevier Academic Press.
40 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
PENENTUAN ROTASI PEMANGKASAN TUNAS PADA HUTAN TANAMAN KAYU PUTIH (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi Powell) Pudja Mardi Utomo1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia
RINGKASAN Penelitian tentang model pertumbuhan dan hasil beberapa jenis tegakan hutan tanaman sudah banyak dilakukan. Namun, hingga saat ini belum ada studi di Indonesia yang menggunakan model pertumbuhan dan hasil atau model produksi daun kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) sistem pemanenan pangkas tunas. Padahal informasi seperti itu sangat dibutuhkan oleh pengelola hutan khususnya kelas perusahaan kayu putih dalam menentukan rotasi pemangkasan yang tepat untuk meningkatkan produktivitasnya. Mengingat sampai saat ini masih kekurangan pasokan minyak kayu putih dimana Indonesia masih mengimpor 2/3 kebutuhan nasional minyak kayu putih. Tujuan penelitian adalah mengetahui model produksi daun kayu putih atau bentuk persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih dalam satu periode pemangkasan dan memperoleh jangka waktu untuk satu siklus (rotasi) optimum pemanenan daun berdasarkan persamaan tersebut. Cara pengambilan data adalah survey, yaitu: pengamatan langsung di lapangan melalui pengukuran plotplot ukur sementara (PUS). PUS dengan ukuran (25 x 25) m diletakkan tersebar merata pada Petak KU II pada umur tunas 1 bulan sampai dengan 12 bulan, sehingga diperlukan plot ukur untuk pembuatan model dalam satu daur panen dibuat sebanyak 36 buah. Model produksi daun kayu putih terbaik dalam satu daur panen adalah MorganMercer-Flodin (MMF). Persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih yang dipungut dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam satu rotasi panen berbentuk sigmoid, dengan bentuk penduga persamaan sebagai berikut: 98%).
Y = (-1,9398*43,1035+115,5357*A2,1950) / (43,1035+A2,1950)
(R2 =
Berdasarkan persamaan matematika untuk kurva produksi daun tersebut tersebut di atas, dapat diketahui bahwa rotasi pemangkasan tunas adalah 7 bulan dihitung dari saat pemangkasan sebelumnya. Kata kunci : Persamaan matematik daun, kayu putih, rotasi
PENDAHULUAN A. Pendahuluan Kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) salah satu jenis dari famili Myrtaceae dan tergolong keluarga Melaleuca, yang menghasilkan minyak atsiri yang dikenal sebagai minyak kayu putih. Dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama Gelam, tetapi nama tersebut jarang digunakan.
Jenis ini merupakan
sumber bahan baku industri minyak kayu putih di Indonesia. Hutan tanaman jenis ini yang terpusat di Pulau Jawa sudah diketahui dan dibudidayakan secara Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 41
komersial dan mempunyai luasan lebih dari 24.000 ha, dengan produksi minyak tahunan mencapai 300 ton (Rimbawanto, et al.. 2009). Tanaman kayu putih yang ada di P. Jawa, yaitu Melaleuca cajuputi subsp.
cajuputi diduga berasal dari benih yang didatangkan oleh penjajah Belanda dari Pulau Buru pada abad 18 (Gunn, et al. 1996). Minyak kayu putih yang didapat hasil penyulingan dari jenis tanaman tersebut dikelola oleh Perum Perhutani. Selain itu di luar Jawa juga terdapat industri rumah tangga penyulingan yang berada di Maluku yang diusahakan oleh rakyat dan menggantungkan sumber daunnya pada tegakan alam yang tersebar di P. Buru, P. Seram, P. Ambon , P. Aru dan P. Tanimbar. Potensi tanaman kayu putih di Jawa cukup besar, diperkirakan Perum Perhutani mengelola sekitar 24.000 ha jenis ini dan memiliki 10 pabrik pengolahan minyak kayu putih (PMKP). Kapasitas terpasang pabrik total kesepuluh PMKP tersebut sebesar 53.760 ton daun kayu putih per tahun. Tanaman jenis ini di Pulau Jawa sudah dibudidayakan secara komersial dengan produksi minyak mencapai 300 ton/tahun (Rimbawanto, et al. 2009). Potensi dan kapasitas pabrik yang besar ini belum bisa dimanfaatkan dengan maksimal`dimana Indonesia hingga saat ini masih kekurangan pasokan minyak kayu putih. Indonesia masih mengimpor 2/3 kebutuhan nasional minyak kayu putih karena Perum Perhutani hanya mampu menyediakan kurang dari sepertiganya saja (Perum Perhutani, 2010). Dilihat dari segi kualitas tegakan tanaman kayu putih dan rendemen minyak juga masih rendah. Untuk mencapai tujuan tersebut antara lain dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu rekayasa genetika dalam pembuatan tanaman, manipulasi tempat tumbuh dan rekayasa pengelolaan hutan. Rekayasa genetika atau pemuliaan tanaman bertujuan untuk memperoleh bibit tanaman kayu putih unggul, yaitu tanaman yang mempunyai produksi daun tinggi, kadar sineol tinggi, rendemen minyak kayu putih tinggi dan keunggulan lainnya. Melalui rangkaian kegiatan pemuliaan yang dilakukan oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta dan CSIRO Forestry and Forest Product Australia sejak tahun 1995 telah diperoleh hasil yang cukup memuaskan.
Hasil seleksi famili dari uji keturunan yang dilakukan
mendapatkan rendemen minyak sebesar 2%
yang lebih tinggi dibandingkan
dengan tegakan biasa antara 0,6-1,0% (Susanto et al., 2003). 42 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Cara kedua adalah melalui manipulasi tempat tumbuh tanaman kayu putih, seperti pengolahan tanah, pemupukan, perlindungan terhadap gulma, penambahan bahan organik sekaligus pemulsaan dengan afval daun kayu putih dari pabrik, tumpangsari dan sebagainya. Sambil menunggu hasil kedua cara di atas, cara ketiga, yaitu meningkatkan produktivitas hutan secara keseluruhan melalui rekayasa pengelolaan hutan kayu putih. Guna mencapai tujuan pengusahaan yang ditetapkan, diperlukan strategi pengelolaan yang baik, yakni strategi
pengelolaan yang
memadukan
pengetahuan
biologi
jenis yang
diusahakan dengan pertimbangan ekonomi dan teknik pengelolaan yang lazim dilakukan pada hutan tanaman. Penentuan strategi pengelolaan tegakan hutan yang
demikian
itu
dipermudah
dengan
adanya
konsep-konsep
tujuan
pengusahaan hutan produksi yang dapat dikuantifikasikan, diprediksi dan diterjemahkan dalam struktur tegakan hutan. Fenomena dinamika pertumbuhan tegakan selalu dihadapi pihak pengelola dalam pengelolaan tegakan. Dinamika pertumbuhan tegakan tidak selalu memenuhi harapan-harapan pengusahaan. Praktek-praktek pengelolaan tegakan di Indonesia selama ini masih dikategorikan belum intensif.
Beragamnya
kegunaan jenis pohon menyebabkan beragamnya pula tujuan pengusahaan. Pengaturan tegakan hutan yang diusahakan untuk menyediakan bahan baku kertas tidak seketat jika ditujukan untuk penyediaan bahan baku industri kayu pertukangan.
Demikian juga dengan pengaturan tegakan hutan untuk
penyediaan bahan baku minyak atsiri hanya diarahkan untuk mencapai volume biomassa daun yang maksimum, sedangkan ukuran pohon tidak menjadi faktor pertimbangan utama. Dengan demikian dalam praktek pengelolaan tegakan perlu memperhatikan tujuan pengusahaan dan melibatkan kegiatan pengaturan dinamika pertumbuhan tegakan. Penelitian tentang model pertumbuhan dan hasil beberapa jenis tegakan hutan tanaman sudah banyak dilakukan.
Namun, hingga saat ini belum ada
studi di Indonesia yang menggunakan model pertumbuhan dan hasil atau model produksi daun kayu putih (Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi) sistem pemanenan pangkas tunas. Padahal informasi seperti itu sangat dibutuhkan oleh pengelola hutan khususnya kelas perusahaan kayu putih. Selama ini praktek pengelolaan hutan tanaman kayu putih di Jawa dilakukan dengan sistem pangkas tunas, dimana pohon kayu putih pada semua kelas umur dipangkas tunasnya setelah berumur 6 bulan ke atas dengan asumsi Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 43
pada umur tersebut kualitas dan rendemen minyak kayu putih sudah layak. Pengaturan hasilnya belum memperhatikan model pertumbuhan dan hasil tunas, secara umum hanya berdasarkan luas total tanaman kayu putih dibagi 10, yang merupakan jumlah bulan dalam setahun dikurangi 2 bulan untuk perbaikan dan perawatan alat penyulingan. Konsep pengaturan hasil berdasarkan pendugaan hasil sebaiknya dilakukan berdasarkan pada data dan informasi akhir dari sumberdaya serta pendugaan nilai maksimum pemanenan lestari (Vanclay, 1995) Permasalahan yang ada dalam penyusunan rencana pengelolaan hutan khususnya pada hutan tanaman kayu putih adalah belum ditemukan cara yang tepat terutama kaitannya dengan pengaturan hasil. Salah satu hal penting dalam menyusun pengaturan hasil adalah informasi pertumbuhan dan hasil yang dapat digunakan untuk bahan pertimbangan dalam meningkatkan produktivitas daun kayu putih. Sehubungan dengan informasi tentang pertumbuhan dan hasil tanaman kayu putih belum tersedia, maka perlu dilakukan pembuatan model produksi daun kayu putih. Melalui cara tersebut diharapkan diperoleh produktivitas daun kayu putih tinggi dan kualitas minyak kayu putih yang baik. B. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Tujuan umum adalah mengetahui model produksi daun kayu putih sistem pangkas
tunas pada hutan tanaman kayu putih. Sedangkan tujuan khusus
adalah: 1. Mengetahui bentuk persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih dalam satu periode pemangkasan. 2. Memperoleh jangka waktu untuk satu siklus (rotasi) optimum pemanenan daun berdasarkan persamaan tersebut. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian adalah: 1. Pada aspek pengelolaan hutan, akan berperan pada bentuk pengelolaan hutan yang sesuai dengan karakteristik pertumbuhan tanaman kayu putih.
44 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
2. Membantu Perum Perhutani dalam menentukan saat yang tepat dalam memanen dan saat tepat mengganti tanaman baru serta menjamin terwujudnya produksi daun kayu putih secara berkelanjutan. METODOLOGI A. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di wilayah Bagian Kesatuan Hutan (BKPH) Sukun, Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. BKPH Sukun termasuk Bagian Hutan Ponorogo Timur, Kesatuan Pemangkuan Hutan Madiun merupakan Kelas Perusahaan Kayu Putih terletak di sebelah Barat Daya Gunung Wilis.
Secara administratif termasuk wilayah
Kecamatan Pulung, Siman, Mlarak dan Jenangan, Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur. Pengambilan data tegakan sampai dengan analisis minyak kayu putih dilakukan pada bulan Juni sampai dengan Desember 2011. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar di bawah ini.
BKPH Sukun Ponorogo
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di Ponorogo, Jawa Timur
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 45
B. Jenis dan Cara pengumpulan Data Jenis Data Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder.
Data
primer adalah data yang diperoleh secara langsung di lapangan melalui pengukuran plot-plot ukur yang dibuat pada areal kerja BKPH Sukun, KPH Madiun, Perum Perhutani Unit II Jawa Timur. Data sekunder berupa keadaan umum daerah penelitian dan data pendukung lainnya dari kantor lingkup Perum Perhutani. Data primer dalam penelitian ini diperoleh dari hasil pengukuran pohon-pohon dalam plot-plot ukur sementara (PUS) pada Petak kerja BKPH Sukun. Data pengukuran produksi daun kayu putih satu kali pemanenan tunas diperoleh dari hasil pengukuran pohon-pohon dalam plot-plot ukur sementara (PUS) yang mempunyai umur tunas 1 bulan sampai dengan 12 bulan dan diletakkan tersebar pada Petak 5a dan Petak 6 BKPH Sukun. Pada masing-masing umur tunas dibuat 3 PUS berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 25 m x 25 m. Seluruh pohon dalam PUS diukur dan dicatat berat biomassanya. Petak 5a dan 6 merupakan petak tegakan tanaman kayu putih KU II tahun tanam 2006 dengan luas masing-masing 83,7 ha dan 44,0 ha. Cara Pengumpulan Data Pengambilan data pohon contoh untuk pembuatan model produksi daun adalah hasil pengukuran PUS pada petak tanaman kayu putih kelompok umur (KU) II dan mempunyai umur tunas 1 bulan sampai dengan 12 bulan. Tegakan tanaman pada KU II dipilih sebagai lokasi penempatan plot-plot contoh dengan alasan antara lain kerapatan tegakan > 95% dan kondisi lahan relatif seragam. Hal ini bisa meminimalisir keragaman akibat perbedaan tempat tumbuh. PUS diletakkan menyebar ke seluruh petak sesuai dengan umur tunasnya.
Pada
masing-masing umur tunas tegakan tanaman kayu putih dibuat 3 PUS. Pada penelitian ini umur tunas yang diamati adalah umur 1 s.d 12 bulan, maka banyaknya PUS untuk pembuatan model produksi daun dalam satu daur pemanenan adalah 36 buah atau setiap umur tunas diulang 3 kali, Pohon yang ada dalam PUS seluruhnya diukur untuk memperoleh data yang representatif. Data yang diperoleh dari PUS berupa biomassa (Semua bagian pohon yang 46 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
dipangkas) dan berat DKP (Campuran antara daun dan ranting dengan diameter <0,5 cm) semua pohon. Analisis Data Analisis data yang akan dilakukan adalah analisis terhadap model regresi non-linear yang diperoleh untuk model produksi daun pada satu daur panen dan regresi linear pada satu daur silvikultur. Model yang sering digunakan dalam fenomena-fenomena biologi antara lain:
fungsi
Logistic,
Gompertz,
Von-Bartalanffy,
Negative
exponential,
Monomolekuler, Log-logistic, Richard‟s, Weibull, Chapman-Richards, MorganMercer-Flodin, Polinomial, Kuadratik dan lain-lain, maka model yang akan diuji di dalam penelitian adalah beberapa model baik yang berasimtot maupun yang tidak berasimtot.
Kurva dibuat berdasarkan metode kurva panduan (guide
curve) yang dianalaisis berdasarkan regresi non linier dan regresi linear. Sehubungan teori model khusus untuk kayu putih belum ada, maka pada penelitian ini digunakan beberapa model persamaan di atas, yang merupakan persamaan regresi non-linear, dimana lazimnya pertumbuhan benda-benda hidup adalah non-linear. Alasan penggunaan model-model persamaan ini adalah model ini cocok digunakan untuk mengukur sebuah fenomena pertumbuhan yang berbentuk sigmoid sepanjang waktu pertumbuhan (fase lengkap pertumbuhan). Model-model ini cocok digunakan karena pada penelitian ini diamati dan diukur tegakan tanaman kayu putih dalam rentang waktu yang lengkap. Dimana untuk model produksi daun dalam satu periode panen diukur umur tunas 1 bulan sampai dengan umur tunas 12 bulan. Dalam penelitian ini pembentukan model pertumbuhan tegakan dilakukan dengan menggunakan beberapa model yang cocok untuk organisma tingkat tinggi yang mempunyai fase pertumbuhan lengkap dan dipilih model terbaik. Tahapan prosedur analisis adalah seperti yang dilakukan Suhendang (1990), sebagai berikut: 1. Eksplorasi data 2. Pembentukan model fungsi hasil tegakan 3. Pemilihan model fungsi hasil tegakan 4. Uji keabsahan model.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 47
HASIL DAN PEMBAHASAN Pertumbuhan tegakan merupakan proses pertambahan dari suatu besaran tegakan dalam periode tertentu. Besaran pertumbuhan tegakan atau riap dalam penelitian ini dilihat dari parameter produksi tunas.
Pertumbuhan dan hasil
dapat mengandung dua arti apabila dilihat dari periode waktu yang dipakai dalam perhitungannya, yaitu tingkat dan laju. Pertumbuhan dan hasil dalam arti total menunjukan jumlah sampai periode waktu tertentu, sedangkan dalam arti laju menunjukan jumlah untuk setiap periode waktu tertentu, biasanya dinyatakan untuk setiap tahun. Laju pertumbuhan tegakan kayu putih disebut sebagai riap tegakan dalam memproduksi tunas dalam bentuk biomassa setiap tahun (kg/ha/tahun), sedangkan banyaknya biomassa maksimal yang dapat dipanen per periode (tahun) disebut sebagai hasil. Oleh karena itu, dinamika pertumbuhan tegakan kayu putih dapat diduga dengan menggunakan suatu model matematis hubungan antara parameter pertumbuhan berupa produksi biomassa dan umurnya. Model matematis yang dibangun akan dapat digunakan untuk memproyeksikan hasil tegakan pada periode panen optimal dan saat kapan pengantian tanaman dilakukan. Model matematis tersebut dapat digambarkan dalam bentuk kurva, yaitu kurva pertumbuhan dan kurva laju pertumbuhan (riap) produksi biomassa. Kurva pertumbuhan
produksi
biomassa
adalah
kurva
model
matematik
yang
menggambarkan pertumbuhan tunas dalam tegakan kayu putih ditinjau dari aspek perkembangan dimensi produksi biomassa pohon-pohon dalam tegakan mulai bertunas sampai saat dipanen. Kurva laju pertumbuhan merupakan hasil turunan pertama kurva pertumbuhan. Untuk membangun model pertumbuhan di atas maka dilakukan pengukuran pada PUS berdasarkan umur tunas untuk model produkasi dalam satu daur panen. Hasil Pengukuran Hasil pengukuran dimensi tegakan berupa produksi biomassa dan DKP di lapangan pada plot-plot ukur sementara (PUS) setiap umur tunas disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1 terlihat bahwa pada umur tunas 1 sampai dengan 3 bulan biomassa seluruhnya berupa DKP karena cabang dan ranting ukurannya masih < 0,5 cm. Berat per pohon merupakan hasil pembagian dari berat per plot ukur
48 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
dibagi dengan jumlah pohon dalam plot. Berat per hektar diperoleh dari konversi berat per plot ke hektar, dimana dari luas plot 625 m2 atau 0,0625 ha. Dari hasil pengukuran PUS umur tunas 4 sampai dengan 12 bulan baik laju produksi biomassa maupun produksi DKP mempunyai kecenderungan laju yang sama. Pada umur tunas 4 bulan mempunyai laju pertumbuhan tercepat, dimana dari 1785 kg/ha menjadi 4061 k/ha dan selanjutnya laju bersifat linear sampai umur 9 bulan dan umur tunas 10 sampai 12 bulan laju mulai stabil. Demikian pula yang terjadi pada produksi biomassa per pohon juga terus meningkat seiring dengan bertambahnya umur tunas, walaupun terjadi penurunan pada umur tunas 12 bulan. Berbeda dengan produksi DKP, produksi cabang meningkat tajam mulai terjadi pada umur tunas 7 bulan, yaitu dari 1008 kg/ha menjadi 1992 kg/ha dan terjadi peningkatan lagi pada umur tunas 10 bulan. Tabel 1. Hasil pengukuran biomassa, cabang dan DKP per hektar tanaman kayu putih umur tunas 1 s/d 12 bulan Umur tunas (bulan)
Jumlah PUS
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3 3
Jumlah pohon per hektar
Kerapatan (%)
1.578 1.589 1.584 1.584 1.595 1.584 1.578 1.589 1.584 1.573 1.589 1.584
0,99 0,99 0,99 0.99 1,00 0,99 0,99 0,99 0,99 0,98 0,99 0,99
Berat per hektar (kg/ha) Cabang
Total biomassa 132,91 561,44 1.785,28 4.395,52 5.290,03 5.740,80 7.312,75 7.720,80 8.177,28 9.501,07 10.132,11 9.389,55
0,00 0,00 0,00 334,24 874,35 1.008,37 1.992,37 2.253,01 2.608,11 3.659,84 3.722,29 3.681,39
DKP 132,91 561,44 1.785,28 4.061,28 4.415,68 4.732,43 5.319,25 5.467,79 5.569,17 5.841,23 6.409,81 5.708,16
Model produksi daun Data biomassa untuk menyusun model produksi daun kayu putih dalam satu rotasi pangkas dibagi dalam 12 umur tunas dan masing-masing umur tunas dibuat plot ukur sebanyak 3 buah.
Ukuran plot ukur adalah 25m x 25m,
diperoleh dari hasil kajian penentuan luas optimum plot ukur sebelum dilakukan penelitian. Penentuan luas optimum plot ukur dilakukan dengan membuat petak contoh masing-masing seluas 1 hektar pada tegakan tanaman kayu putih KU II, KU III dan KU V. Penentuan letak plot ukur dan pengumpulan data dilakukan di Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 49
areal yang mempunyai karakteristik yang sama untuk mengurangi terjadinya keragaman akibat faktor tempat tumbuh, umur tegakan dan varietas tanaman. Rekapitulasi rata-rata hasil pengukuran biomassa pada plot ukur tanaman kayu umur tunas 1 bulan s/d 12 bulan, perhitungan berat biomassa per pohon dan per hektar
untuk penentuan model produksi daun dalam satu kali panen yang
dilakukan di tegakan tanaman kayu putih BKPH Sukun disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rekapitulasi hasil pengukuran biomassa tunas Sukun No
Umur Tunas (bulan)
Berat Biomassa Per Plot Ukur (kg) Biomassa 8,31
1
1
2
2
35,09
3
3
111,58
4
4
5
5
6
Cabang 0 0
DKP 8,31
Berat Biomassa Per Pohon (kg) Biomassa Cabang 0,08 0
kayu putih di BKPH Berat Biomassa Per Hektar (kg)
DKP 0,08
Biomassa 132,91
Cabang 0
DKP 132,91
35,09
0,35
0
0,35
561,44
0
561,44
0
111,58
1,13
0
1,13
1.785,28
0
1.785,28
274,72
20,89
253,83
2,78
0,21
2,57
4.395,52
334,24
4.061,28
330,63
54,65
275,98
3,32
0,55
2,77
5.290,02
874,35
4.415,68
6
358,80
63,02
295,78
3,62
0,64
2,99
5.740,80
1.008,37 4.732,43
7
7
457,05
124,52
332,45
4,63
1,26
3,37
7.312,74
1.992,37 5.319,25
8
8
482,55
140,81
341,74
4,86
1,42
3,44
7.720,80
2.253,01 5.467,79
9
9
511,08
163,01
348,07
5,16
1,65
3,52
8.177,28
2.608,11 5.569,17
10
10
593,82
228,74
365,08
6,04
2,33
3,71
9.501,06
3.659,84 5.841,23
11
11
633,26
232,64
400,61
6,37
2,34
4,03
10.132,11 3.722,29 6.409,81
12
12
586,85
230,09
356,76
5,93
2,32
3,60
9.389,54
3.681,39 5.708,16
Pemilihan model persamaan Berdasarkan hasil eksplorasi dan penelaahan model-model persamaan matematis untuk fenomena biologi dan organisme tingkat tinggi dari berbagai pustaka diperoleh beberapa persamaan yang cocok untuk menyusun model persamaan produksi daun sistem pemanenan pangkas tunas. Model tersebut adalah model Gompertz, Logistic, Log-logistic,
Morgan-Mercer-Flodin dan
Chapman-Richards. Dari kelima model tersebut ternyata dua model yang dipilih pada tulisan ini juga cocok digunakan untuk menggukur sebuah fenomena pertumbuhan yang menunjukan sebuah bentuk sigmoid sepanjang waktu. Model tersebut adalah logistik dan model MMF (Moran-Mercer-Flodin).
Alasan
persamaan ini dipilih adalah kedua persamaan ini cocok digunakan untuk fenomena-fenomena biologi dengan pertumbuhan berbentuk sigmoid, tepat untuk makhluk hidup tingkat tinggi yang mempunyai fase (stage) yang lengkap,
50 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
yaitu mulai fase muda (juvenile stage), fase dewasa (adolescent stage), fase masak (mature stage) sampai fase tua (senescent stage). Karakteristik dari kurva pertumbuhan pada umumnya mempunyai titik belok dan asimtot, model ini mampu mengistimasi parameter asimtot, parameter akselerasi pertumbuhan dan parameter bentuk dari pertumbuhan. Sehubungan model produksi daun kayu putih sampai saat ini belum ada dan pertumbuhan tunas sendiri termasuk pada fase mana, maka penggunaan kedua model ini untuk penyusunan model produksi daun kayu putih sistem pemanenan tunas adalah tepat. Dari hasil pengukuran biomassa dan DKP yang telah direkap pada Tabel 2 dan dimasukkan pada model yang dipilih diperoleh nilai-nilai konstanta yang disajikan pada Tabel 3, sedangkan persamaan yang diperoleh adalah persamaan Model Logistik dan persamaan Model Morgan-Mercer-Flodin. Tabel 3. Nilai konstanta, Se dan R2 persamaan model MMF dan Logistik a
b
c
d
Se
R2
9527.0257
21.9574
0.61251
-
0,69
0,97
-1.9398
43.1035
115.5357 2.1950
0,53
0,98
Persamaan Model Logistik Model MMF
Uji statistik dan pemilihan model terbaik Hasil uji keterandalan model berdasarkan pada besarnya koefisien determinasi (R2), koefisien determinasi terkoreksi (R2Adj), Biass, khi-kuadrat, RMSE, Se dan S2.
Dari tabel di atas terlihat bahwa persamaan model MMF dan
Logistik memberikan arti bahwa model persamaan yang dihasilkan di atas handal dan dapat digunakan untuk menggambarkan kurva produksi daun kayu putih. Dilihat dari nilai-nilai yang tidak berbeda,maka kedua model ini dapat digunakan. Namun demikian pada tulisan ini hanya akan dipakai salah satu model saja, yaitu model MMF. Kurva produksi daun Hasil persamaan matematis di atas setelah dilukis dalam bentuk kurva disajikan pada Gambar 2. Pada kedua gambar tersebut terlihat bahwa model MMF kurvanya ada kecenderungan naik walapun tidak tajam, berdasarkan Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 51
kecenderungan ini, model MMF cocok digunakan pada penyusunan model produksi.
Keadaan ini sesuai dengan keadaan di lapangan dan sifat biologi,
dimana tanaman kayu putih masih punya potensi meningkat pada umur tunas setelah 12 bulan. Selanjutnya hubungan antar umur tegakan dan produksi biomassa maupun DKP dimodelkan dengan model pertumbuhan non linear Morgan-MercerFlodin.
Model ini cocok digunakan untuk menggukur sebuah fenomena
pertumbuhan yang menunjukan sebuah bentuk sigmoid sepanjang waktu.
Gambar 2.
Kurva hubungan antara produksi biomassa dan umur tunas model Morgan-Mercer-Flodin
Kurva laju pertumbuhan Kurva Curent Monthly Increment (CMI) merupakan turunan pertama dari kurva pertumbuhan. CMI menunjukkan pertumbuhan tanaman atau tunas setiap bulan, sedangkan MMI menunjukkan pertumbuhan rata-rata dalam waktu tertentu, yang dihitung berdasarkan data terakhir dibagi dengan umur. Akumulasi pertumbuhan, CMI dan MMI digambarkan dalam bentuk grafik untuk menentukan daur tanaman.
Daur tanaman sebaiknya ditentukan pada saat
kurva MMI bertemu atau berpotongan dengan CMI. Pada Tabel 4 dan Gambar 3 CMI biomassa tinggi terjadi pada umur tunas 4 bulan yaitu, 1426,71 kg/ha/bulan. MMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat selanjutnya
riap
turun
landai
dengan bertambahnya
umur.
52 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
MMI
pada
pertumbuhan tunas kayu putih setelah umur 5 bulan sangat stabil.
Namun
demikian, dari tabel tersebut diketahui pertumbuhan berat biomassa per hektar kumulatif tunas meningkat dengan bertambahnya umur tunas. Hasil perhitungan riap bulanan berjalan dan riap rata-rata bulanan baik biomassa maupun DKP dapat dilihat pada di bawah ini. Hal yang sama CMI DKP tinggi terjadi pada umur 4 bulan (1567,18 kg/ha/bulan). CMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat secara eksponensial dan selanjutnya riap turun secara tajam sampai umur 7 bulan. Pada umur tunas 8 bulan CMI turun landai dengan bertambahnya umur. MMI pada tunas kayu putih mulai umur 5 bulan pertumbuhan menurun secara linear, seperti yang telah dibahas di sebelumnya mulai umur 6 bulan produksi DKP stabil tetapi produksi cabang dan ranting masih meningkat walaupun tidak tajam. Tabel 4. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) tanaman kayu putih berdasarkan model MMF. Umur tunas (bulan)
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Berat data lapangan Total biomassa (kg) 0 132,96 560,8 1.785,28 4.395,52 5.290,08 5.740,80 7.255,20 7652,8 7.834,88 9.444,48 10.132,16 9.389,6
Cabang (kg) 0 0 0 0 328,16 808,96 639,84 1.951,84 2.336,96 2.411,84 3.613,44 3.722,24 3.681,44
Berat data model
DKP (kg) 0 132,96 560,80 1.785,28 4.067,36 4.481,12 5.100,96 5.303,36 5.315,84 5.423,04 5.831,04 6.409,92 5.708,16
Total biomass a (kg) 0 75,17 927,25 2.205,25 3.631,96 4.987,85 6.163,28 7.132,26 7.911,39 8.531,83 9.025,50 9.419,94 9.737,27
DKP (kg) 0 75,17 927,25 2.205,25 3.631,96 4.987,85 6.163,28 7.132,26 7.911,39 8.531,83 9.025,50 9.419,94 9.737,27
Riap bulan berjalan (CMI) Total biomass a DKP (kg) (kg) 0 0 75,00 75,17 852,08 545,54 1.278,00 1.437,85 1.426,71 1.567,18 1.355,89 1.019,10 1.175,43 544,06 968,98 283,15 779,13 152,78 620,44 86,74 493,67 51,77 394,44 32,32 317,33 20,99
bata-rata bulanan (MMI) Total biomass a DKP (kg) (kg) 0 0 75,17 50,34 463,63 297,94 735,08 677,91 907,99 900,23 997,57 924,00 1.027,21 860,68 1.018,89 778,18 988,92 700,00 947,98 631,86 902,55 573,85 856,36 524,62 811,44 482,65
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 53
Gambar 3a. Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) biomassa
Gambar 3b.
Riap bulan berjalan (CMI) dan riap rata-rata bulanan (MMI) DKP tanaman kayu putih berdasarkan model MMF.
Penentuan daur optimum produksi daun dalam satu daur panen Pada kasus ini kurva CMI biomassa berpotongan dengan kurva MMI terjadi pada umur tunas 7 bulan, sehingga penentuan titik umur tunas optimum bisa ditentukan berdasarkan perpotongan kurva sampai akhir daur panen. Lebih 54 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
lanjut, apabila berdasarkan produksi DKP, maka periode optimum menjadi lebih lebar menjadi 7 bulan. Oleh karena itu, untuk menentukan daur optimum diperlukan parameter lain seperti: kadar minyak (rendemen), kualitas minyak (kadar sineol) atau parameter lain yang terkait dengan industri minyak kayu putih.
Gambar 4a. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode optimum produksi total biomassa
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 55
Gambar 4b. Kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI, MMI dan periode optimum produksi DKP Dari Tabel 4. dan Gambar 4a di atas dapat diketahui bahwa rata-rata produksi daun segar terus meningkat dari umur tunas 1 bulan s/d umur tunas 11 bulan kemudian menurun pada umur tunas 12 bulan.
Pertumbuhan dengan
peningkatan tajam terjadi sampai umur tunas 4 bulan, umur tunas 7 s/d 11 bulan produksi stabil, yaitu: 7313 s/d 10.132 kg/ha dan pada umur tunas 12 bulan menurun. Hal ini dapat diartikan bahwa umur tunas 7 bulan dapat dilakukan mulai pemangkasan karena produksi daun mulai stabil. Produksi biomassa baik pada tegakan maupun individu pohon meningkat seiring dengan meningkatnya umur tunas. Namun demikian pada umur tunas 12 bulan terjadi penurunan produksi biomassa. Penurunan pada umur 12 bulan merupakan fenomena alami yang terjadi pada pertumbuhan tunas kayu putih, dimana pada umur tersebut terjadi pemangkasan tunas alami (natural pruning) dan perontokan daun tua. Keadaan ini ditunjang pada saat pengambilan data terjadi puncak musim kemarau. Untuk mengetahui berapa besar biomassa yang hilang karena rontok dan saat kapan terjadinya hal terjebut perlu kajian lebih lanjut. Pertanyaan lain adalah apakah setelah tunas berumur 12 bulan atau lebih terjadi kecenderungan penurunan atau justru terjadi kenaikan produksi perlu penelitian lebih lanjut. Namun demikian, berdasarkan pengamatan dari sisa tanaman kayu putih yang tidak 56 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
sempat dipangkas pada periode sebelumnya, produksi biomassa menunjukkan kencenderungan naik pada umur tunas 24 bulan dan 36 bulan. Apabila perhitungan didasarkan pada kurva pertumbuhan tunas kayu putih, CMI dan MMI produksi DKP, maka umur tunas optimum adalah 5 bulan karena pada umur tersebut terjadi perpotongan kurva CMI dan MMI maksimum. CMI sampai umur tunas 4 bulan meningkat secara eksponensial dan selanjutnya riap turun secara linear sampai umur 8 bulan. Pada umur tunas 9 bulan CMI turun mendekati nol dengan bertambahnya umur. MMI pada tunas kayu putih mulai umur 5 bulan pertumbuhan mendatar sampai umur 12 bulan. Dari uraian di atas, berdasarkan kurva produksi total biomassa saat pemangkasan berikutnya adalah 7 bulan dari pemangkasan sebelumnya. Sedang berdasarkan kurva produksi DKP saat pemangkasan optimum adalah 5 bulan. Namun demikian, pada umur tersebut berdasarkan pengalaman di lapangan daun masih muda dan dikawatirkan rendemen dan kadar sineolnya masih rendah. Selain itu, sampai umur tunas 8 bulan masih terjadi peningkatan walaupun tidak tajam. Oleh karena itu, berdasarkan kurva ini umur pemangkasan tunas sebaiknya dilakukan pada umur tunas 9 bulan karena pada bulan berikutnya laju pertumbuhan sampai umur tunas 12 bulan mendekati nol. Setelah saat pemangkasan optimum diketahui, langkah selanjutnya adalah menentukan saat kapan umur tunas mempunyai rendemen dan kualitas minyak yang tinggi. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan 1. Persamaan matematika untuk kurva pertumbuhan daun tegakan kayu putih yang dipungut dengan sistem pemanenan pangkas tunas dalam satu rotasi panen berbentuk sigmoid, dengan bentuk penduga persamaan sebagai berikut: Y = (-1,9398*43,1035+115,5357*A2,1950) / (43,1035+A2,1950) (R2 = 98%). 2. Berdasarkan persamaan matematika untuk kurva produksi daun tersebut pada angka 1, dapat diketahui bahwa rotasi pemangkasan tunas adalah 7 bulan dihitung dari saat pemangkasan sebelumnya.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 57
Saran Ketelitian dan ketepatan persamaan untuk penduga model pertumbuhan daun kayu putih sangat tergantung kepada ketelitian dan kecukupan data yang dipergunakan untuk menduga model tersebut. Untuk mendapatkan data dengan kualitas seperti itu, diperlukan adanya petak ukur permanen- PUP (permanent
sample plot-PSP). Untuk keperluan ini, maka disarankan pada lokasi penelitian perlu dibuat PUP untuk memperoleh data pertumbuhan tegakan dari waktu ke waktu, sehingga akan dapat diperoleh data pertumbuhan yang teliti dan lengkap. DAFTAR PUSTAKA Alder, D. 1980. Forest Volume Estimation and Yield Prediction. FAO. Rome. Bettinger P, Boston K, Siry J.P, Grebner D.L. 2009. Planning. Academic Press – Elsevier.
Forest Management and
Brophy, J.J, Doran, J.C. 1996. Essential oils of tropical asteromyrtus in Melaleuca species: In search of interesting oils with commercial potential, ACIAR Monograph No. 40. Budiadi, Y. Kanazawa, H.T. Ishii, MS Sabarnurnin, P.Suryanto. 2005. Productivity of Kayu Putih (Melaleuca leucadendron LINN) tree plantation managed in non-timber forest production system in Java, Indonesia. Agroforestry System (2005) 64: 143-155. Colbert J.J, M. Schuckers , D. Fekedulegn. 2003. Comparing model for growth and management of forest tracts. CAB International. Modeling Forest Systems. 335- 346. Craven, L.A. , Barlow, B.A. 1997. New taxa and new combination in Melaleuca (Myrtaceae). Novon. 7(2): 113-119. Daniel, T.W., J.A. Helm , F.S. Baker. 1979. McGraw-Hill Companies, Inc. New York.
Principles of Silviculture.
The
Davis, T.W. 1966. Forest Management: Regulation and Valuation. McGraw-Hill Book Company, New York. 519p Davis, L.S., K.N. Johnson, P.S. Bettinger, T.E. Howard.. 2001. Forest Management: To Sustain Ecological, Economic, and Social Value: Fourth Edition. . McGraw-Hill Book Company, New York. Davis, L.S., K.N. Johnson. 1987. Forest Management. Third Edition. McGraw-Hill Book Company, New York. Doran, J.C. 1999. Cajuput Oil. In Southwell, I , Lowe, R.(eds.) Tea Tree: the Genus Melaleuca (Medical and Aromatic Plant: Industrial Profiles). Harwood Academic Publisher, pp 221-233. Doran, J.C, Turbull, J.W. 1997. Australian Trees and Shrubs: Species for Land Rehabilitation and Farm Planting in the Tropic. ACIAR Monograph No. 24. Australian Centre for International Agriculturean Research. Canberra. Draper N.R., H. Smith, 1981. Applied Regression Analisys. Jhon Wiley and Sons, New York. 58 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Fekedulegn, D., Mairitin, P Mac S, Jim J.C. 1999. Parameter estimation of nonlinear growth models in forestry. Silva Fennica 33 (4) 327-336 Fries, J. 1974. Growth model for tree and stand simulation. IUFRO Working Party S4, 01 – 4. Proceedings of Meeting 1973. Skogshogskolan Royak College of Forestry, Stockholm. Gunn, B., McDonald, M, Lea D. 1996. Seed and Leaf Colelections of Melalleuca cajuputil Powell in Indonesia and Nothern Australia. Australian Tree Seed Centre, CSIRO Forest and Forest Product, Canberra, ACT. Kasmudjo. 1992. Hasil minyak kayu putih harus diambil secara bertahap. Duta Rimba 17 (14). Jakarta. Khamis, A., Z. Ismail,K. Haron, A.T. Muhammed. 2005. Nonlinear growth models for modeling oil palm yield growth. Journal of Mathematics and Statistics 1 (3): 225-233 Morgan, P.H, L.P. Mercer, N.W. Flodin. 1975. General model for nutrional response of higher organisms, Proc.Nat.Acad.Sci. USA. 72:4327-4331. [Perum Perhutani]. 2010. Pebruari 2010]
Cayuput Oil. http://www.perhutaniproducts.com [2
Prodan, M. 1968. Forest Biometrics, Translation in Engilsh by S.H. Gardier. Pergamon Press, Oxford. Ricards, F.J. 1959. A flexible growth fuction for empirical use. Journal of Experimental Botany 10: 290-300. Rimbawanto, A, NK Kartikawati, L. Baskorowati, M, Susanto, Prastyono. 2009. Status terkini pemuliaan Melaleuca cajuputi. Prosiding Hasil-hasil Penelitian Hal. 148-157. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. . Yogyakarta. Suhendang, E. 1990. Hubungan antara dimensi tegakan hutan tanaman dengan faktor tempat tumbuh dan tindakan silvikultur pada hutan tanaman Pinus Merkusii Jungh. Et De Vriese di Pulau Jawa. Disertasi Doktor pada. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan. Susanto, M. A. Rimbawanto, Prastyono, N.K. Kartikawati. 2008. Peningkatan genetika pada pemuliaan Melaleuca cajuputi subsp. cajuputi. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan 2(2): 231- 241. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Susanto, M, J.C. Doran, R. Arnold, A. Rimbawanto. 2003. Genetic variation in growth and oil characteristcs of Melaleuca cajuputi subsp. cajupti and Potential for Genetic Improvement. Journal of Tropical Forest Science 15(3): 469-482. Vanclay, J.K. 1994. Growth model for tropical forest. CAB International, Wilingford, UK. 380p. Vanclay, J.K. 1995. Growth model for tropical forest: A synthesis of models and methods, Forest Science 41 (1): 7 – 42. Wiroatmodjo, P. 1984. Model perhitungan pertumbuhan dan hasil kayu bulat tanaman Pinus merkusii di Jawa. Disertasi Doktor pada Fakultas Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Tidak Diterbitkan.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 59
60 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
KUANTIFIKASI EMPULUR SAGU UNTUK BIOETANOL DI BEBERAPA WILAYAH SEBARAN Batseba A. Suripatty1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia
RINGKASAN Sagu (Metroxylon spp) sebagai salah satu tumbuhan asli Indonesia penghasil karbohidrat yang cukup tinggi dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lainnya. Sagu dapat dimanfaatkan sebagai energy mix atau sebagai pencampur premium dan pertamax (E..) atau dalam kondisi mesin tertentu dapat digunakan secara penuh (E100). Tempat tumbuh dan keragaman genetik sagu sangat bervariasi. Sagu tumbuh di lahan gambut, rawa, payau atau lahan yang sering tergenang air dan variasi genetik sagu di Papua merupakan yang terbesar di dunia. Variasi genetik jenis ini berasal dari banyaknya jenis dan tipe sagu, penampilan morfologi, produktivitas pati, kandungan bahan kimia serta percepatan waktu produksi sagu. Secara alami ke lima jenis sagu (molat, tuni, ihur, makanaru dan duri rotan) yang selama ini dikenal baik oleh masyarakat sekitar hutan sagu maupun para pakar sagu tersebar pada satu hamparan sehingga memungkinkan terjadinya penyerbukan antar jenis ( inter species). Oleh karena itu dikenal banyak sekali jenis dan tipe sagu berdasarkan kombinasi sifat-sifat dari kelima sagu tersebut. Balai Penelitian Tanaman Kelapa dan Palma Lain (BALITKA), Manado juga telah berhasil mengidentifikasi ± 20 tipe sagu di desa Kehiran, Sentani, Irian Jaya yang diberi nama berdasarkan nama setempat, dan dari tipe-tipe sagu tersebut terdapat enam tipe sagu yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber karbohidrat ditinjau dari produksi patinya. Salah satu tipe yang memiliki karakter spesifik yang empulurnya dapat langsung dimakan tanpa harus diolah patinya adalah Rondo (berduri) dengan produksi pati 127,0 kg per pohon. Apabila mengacu pada target pemenuhan bioetanol dari periode 2005 – 2025 yang meningkat dari tahun ke tahun (ESDM, 2008), maka variasi keragaman genetik yang berimplikasi pada keragaman kandungan patinya, merupakan peluang untuk melakukan seleksi jenis/tipe melalui program pemuliaan tanaman agar dapat dihasilkan tanaman sagu berproduktivitas pati tinggi dengan daur yang pendek. Bioetanol dari sagu dapat diolah dari bahan baku empulur (pati dan serat). Oleh karena itu untuk tujuan tersebut di atas, maka diperlukan data dasar secara ilmiah tentang potensi produksi empulur sagu Masak Tebang (MT) per luasan lahan produktif, dominasi dan karakteristik jenis/tipe sagu pada satu aksesi, variasi/keragaman empulur dalam satu tipe sagu (intra species) dan dikaitkan dengan variasi rendemen, kandungan pati dan serat untuk etanol. Kata kunci: bioetanol, empulur , sagu (Metroxylon spp), pati, produksi, variasi
I. PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Sagu (Metroxylon spp.) secara alami tersebar hampir di setiap pulau atau
kepulauan di Indonesia dengan luasan terbesar terpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Tempat tumbuh dan keragaman genetik sagu sangat bervariasi. Berdasarkan Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 61
hasil eksplorasi dan identifikasi jenis-jenis sagu di desa Kehiran, Jayapura, Irian Jaya ditemukan 20 jenis sagu (nama lokal), dan dari 20 jenis sagu ini 9 sagu merupakan sagu yang berduri sedang 11 lainnya merupakan sagu tidak berduri (Allorerung et al., 1994).
Hasil eksplorasi plasma nutfah sagu di Pulau Seram,
Maluku diperoleh 5 jenis sagu yaitu tuni, ihur, makanaro, duri rotan dan molat (Miftahorrachman et al., 1996). Hasil survai yang dilakukan oleh Widjono et al (2000), telah diketahui 61 jenis dan tipe sagu yang tersebar di Jayapura (35 jenis), Manokwari (14 jenis), Merauke (3 jenis) dan Sorong (9 jenis) dari sagu berduri dan sagu tidak berduri. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP), Papua telah mengoleksi 74 aksesi (lokasi koleksi sagu) dari 42 jenis dan tipe sagu yang berasal dari Kabupaten Jayapura, Merauke, Manokwari dan Sorong yang telah tumbuh dan beradaptasi dengan baik. Berdasarkan lokasi sebaran alaminya setiap pohon sagu menghasilkan rendemen pati sagu yang berbeda. Efisiensi produksi akan lebih tinggi pada lahan-lahan yang tidak tergenang. Hal ini sesuai pula dengan berat kering pati pada satu contoh yang berasal dari lahan tidak tergenang 13,89 gram, lahan tergenang sementara 9,59 gram dan lahan tergenang tetap 10,93 gram, namun kadar pati pada lahan tergenang tetap lebih rendah (79,17%) dari kedua lahan lainnya (Sitaniapessy, 1996). Sementara dari hasil survai Balai Penelitian Kelapa dan Palma Lain (BALITKA) mengidentifikasi produktivitas pati per pohon dari beberapa tipe sagu yaitu Osonghulu (sagu tidak berduri) dengan produksi pati per pohon sebesar 207,5 kg; Ebesung (sagu berduri) 207,0 kg, Yebha (tidak berduri) 191,5 kg; Polo (tidak berduri) 176 kg; Wanni (tidak berduri) 160,5 kg; dan Yaghalobe (berduri) 155,5 kg. Populasi tanaman sagu di Indonesia diperkirakan terbesar didunia, luas areal sagu potensial sekitar 1,2 juta ha dan 90% diantaranya tumbuh di Provinsi Papua dan Maluku. Namun dari luasan hutan sagu alam tersebut, hanya 40 % merupakan
areal
penghasil
pati produktif dengan
produktivitas pati
7
ton/ha/tahun atau setara dengan etanol 3,5 KL/ha/tahun. Walaupun sagu merupakan komoditas pangan masyarakat lokal di Papua, yang dalam posisi ini sering dipertentangkan apabila digunakan sebagai bahan baku energi alternatif, namun karena berdasarkan perkiraan potensi produksi sagu tersebut jauh
lebih besar dibanding konsumsi pati sagu sebagai bahan
pangan dalam negeri (hanya 210 ton per tahun atau 4-5 % dari potensi produksi 62 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
sagu), maka pemanfaatan sagu untuk pengembangan bioetanol tidak akan menjadi masalah (Sumaryono , 2007) . Produksi sagu yang utama adalah karbohidrat dalam bentuk polisakarida yaitu pati disamping bahan lain yang berbentuk serat dari empulur batang sagu. Secara teoritis pati dapat di hidrolisa untuk menghasilkan gula sederhana atau glukosa secara sempurna, maka konversi pati ke glukosa bobot/bobot akan melebihi 100% (106 – 109%).
Molekul pati yang terhidrolisa akan bereaksi
dengan air pada rantai C yang terlepas hingga berat molekulnya bertambah. Perkembangan menunjukkan upaya untuk menghidrolisa serat dan bahan berkayu sebagai bahan baku penghasil bioetanol atau bentuk lain dari energi yang terbaharukan terus berkembang. Pembuatan etanol dicanangkan pada dua macam bahan baku yaitu pati sagu dan serat sagu. Pemisahan pati dan serat dilakukan melalui tahapan: 1) Pemisahan empulur dari kulit batang, 2) Pemarutan empulur, 3) Pemisahan pati sagu dan serat dengan saringan berputar dan aliran air. Empulur batang sagu segar terdiri dari pati, serat dan air, dengan perbandingan sebagai berikut, pati 27 – 31%, serat 20 – 24% dan air 45-53%. Secara teoritis tidak hanya pati yang dapat dihidrolisa untuk menghasilkan glukosa, selulosa dan hemiselulosa juga dapat dihidrolisa untuk menghasilkan gula pereduksi. Untuk bioetanol berbasis empulur (pati dan serat) sagu, dilakukan proses melalui langkah a) Hidrolisa bahan menjadi oligosacharida; b) Hidrolisa oligosacharida menjadi gula; c) konversi gula menjadi etanol; d) pemurnian etanol (penghilangan kadar air) sampai mencapai produk bioetanol. Setelah penebangan, batang sagu dipotong berupa tual dengan panjang sekitar 1,2 m. belahan tual diparut atau digiling melalui press ulir agar terjadi campuran pati dan serat sehalus mungkin tapi masih mudah melakukan pemisahan antara pati dan serat. Bagian pati akan mengendap di bagian bawah air, yang selanjutnya langsung diproses dijadikan oligosacharida. Bagian serat yang tersisa pada saringan dikumpulkan dan langsung diproses dijadikan oligosacharida. Pada kegiatan ini tidak diperlukan proses pengeringan baik untuk pati sagu maupun pengeringan bagian serat, sehingga tahapan kegiatannya lebih singkat dan menghemat dari segi tenaga, waktu dan biaya. Proses produksi bioetanol dari pati sagu melalui dua tahap utama, yaitu, proses hidrolisa pati menjadi gula dan proses fermentasi gula untuk menghasilkan alkohol atau bioetanol. Untuk mendapatkan kualitas etanol yang Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 63
diharapkan, dilakukan beberapa tahapan proses lanjutan, sehingga bioetanol yang dihasilkan dapat digunakan baik sebagai bahan bakar maupun sebagai bahan kimia untuk berbagai keperluan. Dibandingkan dengan granula pati jagung, granula pati beras, maka granula pati gandum dan pati sagu sangat resisten terhadap aktivitas enzim glukoamilase yang dihasilkan Rhizopus sp. dan Penicillin brunneum. Untuk meningkatkan respon granula pati sagu terhadap reaksi enzim, pada granula pati sagu
yang
dihasilkan,
sebelum
proses
pengering
diberikan
perlakukan
peningkatan suhu di bawah suhu gelatinisasi, yaitu hingga suhu 60oC pada pH 2.0 selama 1-2jam. Perlakuan ini efektif dalam meningkatkan kemampuan enzim glukoamilase untuk menghidrolisa pati sagu menjadi glukosa, granula pati dapat terhidrolisa sempurna setelah 48 jam reaksi enzim (Haska and Ohta, 1991). Meskipun
identifikasi
tingkat
keragaman
genetik
melalui
genetika
molekuler juga sudah mulai dilakukan di Indonesia dan Thailand (Ehara et al., 1996; Boonsermsuk et al., 1996), namun penajaman keragaman genetis tersebut perlu dilakukan untuk tujuan sagu sebagai penyedia bioetanol di kawasan hutan Papua di masa datang. Identifikasi potensi dan keragaman empulur di dalam jenis/tipe (intra species) atau di antara jenis/tipe sagu (inter species) tersebut berupa
data
karakteristik
morfologis,
fisiologis,
genetis,
terkait
dengan
kuantifikasi potensi dan keragaman kuantitas dan kualitas empulurnya pada beberapa aksesi di kawasan hutan alam sagu potensial Papua. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan dari kegiatan ini adalah: 1. Mendapatkan data karakteristik morfologis, fisiologis, genetis, terkait dengan kuantifikasi potensi pohon (BMT dan MT) dan keragaman kuantitas serta kualitas empulurnya pada beberapa aksesi di kawasan hutan alam sagu potensial Papua 2. Membuat rekomendasi pengembangan sagu tentang Pembangunan Hutan Tanaman Sagu di Papua dan Papua Barat
64 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
II. METODOLOGI
A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian di kampung Sereweng, Distrik POM, Kabupaten Yapen Utara
Provinsi Papua.
Kegiatan ini dilakukan pada bulan Maret – Desember
tahun 2012. B.
Bahan dan Alat
Bahan dan alat yang digunakan adalah
Penduduk desa /responden yang memiliki hutan sagu di Jayapura Sereweng (Yapen Utara) Provinsi Papua.
Hutan sagu, kamera, chain saw, parang, mesin parut, kain, air, timbangan, tally sheet.
C. Prosedur Kerja 1.
Eksplorasi Keragaman Rendemen Empulur dalam satu jenis/tipe sagu (inter species) di Kawasan Hutan Sagu Sereweng Distrik POM, Kabupaten Yapen Utara. Penelitian ini menggunakan metode survei berdasarkan luasan populasi pohon
sagu
dengan
sifat/morfologi
duri
yang
dominan.
Eksplorasi
keragaman kandungan empulur dalam satu jenisi/tipe sagu dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: - Pendekatan dengan masyarakat lokal di sekitar hutan sagu. - Seleksi jenis/tipe berdasarkan sifat = sifat/karakter morfologi duri dilakukan terhadap jenis sagu asal aksesi tersebut (Sereweng). - Pemilihan pohon model berdasarkan morfologi duri tersebut ditunjang juga oleh informasi masyarakat lokal tentang kedekatan ciri-ciri (panjang, jarak antar duri dan warna) duri di antara ke 10 jenis/tipe di atas. - Pengambilan sampel pohon model yang mewakili kandungan empulur sagu dilakukan pada 3 – 4 pohon sagu Masak Tebang (MT) per tipe sagu (inter species) pada setiap aksesi - Pemisahan pati dengan serat dilakukan secara tradisional dan kemudian dilakukan pencatatan terhadap kuantitas (bobot pati, bobot serat, Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 65
rendemen pati) dan kualitas (warna dan kekerasan pati serta periode fermentasi). - Setelah dilakukan pencatatan terhadap kuantitas dan kualitas empulur, sampel pati dan empulur tersebut dikemas dengan daun sagu segar untuk keperluan analisa bioetanol di laboratorium. 2.
Indentifikasi Kualitas Empulur Jenis/Tipe Sagu Sebagai Bahan Baku Bioetanol dari Kawasan Hutan Sagu di kampung Sereweng, Distrik Pom, kabupaten Yapen Utara Analisis kandungan empulur (pati dan serat) sampel pohon dalam satu jenis/tipe sagu pada aksesi yang ada.
Sampel sagu diambil dalam
batang pohon di bagi 5 (lima) bagian, setiap bagian dipotong melingkar batang dengan ukuran masing-masing 15 cm dan ditimbang. Setiap bagian diambil 1/8 untuk di timbang, kemudian empulur di blender dan disaring, kemudian
pati diambil dan dimasukkan ke dalam botol untuk kemudian
dikirim ke Bogor dan selanjutnya dianalisa. Produksi sagu yang utama adalah karbohidrat dalam bentuk polisakarida yaitu pati disamping bahan lain yang berbentuk serat dari empulur batang sagu. Secara teoritis pati dapat dihidrolisa untuk menghasilkan gula sederhana atau glukosa secara sempurna, maka konversi pati ke glukosa bobot/bobot akan melebihi 100% (106 – 109%). Molekul pati yang terhidrolisa akan bereaksi dengan air pada rantai C yang terlepas hingga berat molekulnya bertambah. Pembuatan etanol dari sagu menggunakan cara hidrolisis asam (Demirbas. 2005). Dalam metode hidrolisis asam, bahan baku dilarutkan dalam larutan asam (1% and 3%) dengan rasio larutan asam dan bahan baku 12 : 1 dan 15 : 1, dan suhu 150 dan 180oC. Selanjutnya, ethanol yang dihasilkan dipisahkan dari campuran tersebut. Ethanol yang dihasilkan dihitung rendemen dan sifat-sifatnya. D. Analisa Data 1. Eksplorasi Keragaman Rendemen Empulur dalam satu jenis/tipe sagu (inter
species)
dilakukan pengumpulan secara tabulasi dan diolah data analisa
varian.
66 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
2. Analisa kualitas sebagai bahan baku etanol dilakukan pengumpulan data secara tabulasi dan diolah menggunakan analisa varian. III. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Hasil 1.
Eksplorasi Keragaman Rendemen Empulur dalam satu jenis/tipe sagu (inter species) di Kawasan Hutan Sagu Sereweng Distrik POM, Kabupaten Yapen Utara Sagu sub spesies Hawar
Sagu sub spesies Kuraw 120 120
100
100 80 60
97
80 99 60
81
78
72
68
79
75 58
70
40
55
40
23
20
35
32
28
T
U
26
24
20
69
0
P
0
P
T
U
Berat empulur
P
T
U
P
T
U
T
U
Berat empulur
Berat Ampas Berat Tepung
P
T
U
P
Berat Ampas Berat Tepung
Sagu sub spesies Makbom 90 80
82
77
70
63
60
63
50 40
40
37
30 20
24
25
T
U
12
10 0
P
T
U
Berat empulur
P
T
U
P
Berat Ampas Berat Tepung
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 67
Untuk sagu sub spesies Kuraw mempunyai diamater pangkal 50 cm, tengah 55 cm dan ujung 65 cm, dengan tinggi 9 meter, mempunyai total berat empulur 230 kg, berat ampas 193 kg dan berat tepung 61 kg. Untuk sagu sub spesies Hawar mempunyai diameter pangkal pohon 40 cm, tengah 50 cm, dan bagian ujung 60 cm. Dengan tinggi 9,6 meter, mempunyai total berat empulur 201 kg, berat ampas 204 kg, berat tepung 37,5 kg. Untuk sagu sub spesies makbom diamater pangkal pohon 50 cm, tengah 55 cm, dan ujung 65 cm. Dengan tinggi 9 meter, mempunyai total berat empulur 188,5, berat ampas 172 kg dan berat tepung 58 kg. Dari grafik di atas telihat bahwa berat empulur, berat ampas dan berat tepung untuk
sagu sub spesies Kuraw, Hawar dan Makbom untuk masing-
masing bagian pangkal, tengah dan ujung terdapat perbedaan.
2. Indentifikasi Kualitas Empulur Jenis/Tipe Sagu Sebagai Bahan Baku Bioetanol dari Kawasan Hutan Sagu di kampung Sereweng, Distrik Pom, kabupaten Yapen Utara Sagu sub spesies Kuraw Kadar air 10 9 8 7 6 5 4 3 2 1 0
9,1
Kadar abu 0.8
8,3 7,9 9,0
0.6
0.7 0.7
0.6
0.5
0,5
0.4
II
III IV
0.2
0.1
0.1
91,5
91.5
0
II III IV V
I
II III IV V
Amilosa 35
100 98
98,6
99,3 99,2
99,4
32.4
30 25
96
26,1
23,9
94
90,5
90,2 90,2
92,2
92
90
15 10
89.5
90
5
89
88
0
I
II
III
IV
V
26,2 20,1
20
91
0,3
0,2
Kadar Pati 92,5
92
0,4
0.3
0.2
I
93 92.5
0,3
0,2
0,5
0.4
0
V
0.7
0.5 0,4
0.3
Karbohidrat
90.5
0.8
0.7
7,3
I
Kadar Serat Kasar
I
II III IV V
I
II III IV V
68 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Amilopektin 80 79 78 77 76 75 74 73 72 71 70 69
79.1 9
75.3 2
74.7 5 72.9 1
I
72.9 1
II III IV V
Untuk sampel
pertama terlihat berat tepung 122,1 gram mempunyai
kadar air 9,12 %, kadar abu 0,70 %, kadar serat kasar 1,44 %, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,18 %, Kadar Pati 98,56 %, amilosa 26,11 % dan Amilopektin 72,45 %. Untuk sampel ke dua terlihat berat tepung 278,0 gram mempunyai kadar air 8,32 %, kadar abu 0,35 %, kadar serat kasar 0,73%, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 91,33 %, Kadar Pati 99,27 %, amilosa 23,95 % dan Amilopektin 75,32 %. Untuk sampel ke tiga terlihat berat tepung 294,3 gram mempunyai kadar air 7,99 %, kadar abu 0,52 %, kadar serat kasar 1,13%, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 91,49 %, Kadar Pati 98,87 %, amilosa 19,01 % dan Amilopektin 79,87 %. Untuk sampel ke empat terlihat berat tepung 204,1 gram mempunyai kadar air 7,99 %, kadar abu 0,52 %, kadar serat kasar 1,13%, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 91,49 %, Kadar Pati 98,87 %, amilosa 19,01 % dan Amilopektin 79,87 %. Untuk sampel ke lima terlihat berat tepung 261,5 gram mempunyai kadar air 7,28 %, kadar abu 0,26 %, kadar serat kasar 0,64 %, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 92,46 %, Kadar Pati 99,36 %, amilosa 20,16 % dan Amilopektin 79,19 %.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 69
Sagu sub spesies Hawar Kadar air 14 11,7
12
10,3
9,7
10
9,0
7,5
8 6 4 2 0
I
II
III
IV
V
0.5 0.45 0,43 0.4 0.35 0.3 0.25 0,25 0,26 0,22 0.2 0,16 0.15 0.1 0.05 0
99,5
99,6
99.5 90,5
I
99.3
89,5
99.2 88.1
99,2 99,1
99.1
II III IV V
99,1
5
86
98.8
0
II III IV V
24,8
18,8
10
98.9
I
26,2
15
87
II III IV V
27,3
20
99
I
0.41
32.4
30 25
99.4
89 88
0.39
35
99.6 90,2
0,8 0,7
Amilose
99.7 92,2
91
0,9
Kadar Pati
93 92
1 0.9 0.8 0.7 0.6 0.5 0.4 0.3 0.2 0.1 0
I II III IV V
Karbohidrat
90
Kadar Serat Kasar
Kadar abu
I
II III IV V
Amilopektin 90 80 70
80,8 71,9
72,9
74,7
66,7
60 50 40 30 20 10 0
I
II III IV V
Untuk sampel
pertama terlihat berat tepung 132,9 gram mempunyai
kadar air 10,27 %, kadar abu 0,22 %, kadar serat kasar 0,72 %, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 89,51 %, Kadar Pati 99,28 %, amilosa 27,32 % dan Amilopektin 71,96 %. Untuk sampel kedua terlihat berat tepung 148,8 gram mempunyai kadar air 7,51 %, kadar abu 0,25 %, kadar serat kasar 0,93 %, kadar lemak dan kadar 70 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
protein tidak terdeksi, karbohidrat 92,24 %, Kadar Pati 99,07 %, amilosa 32,40 % dan Amilopektin 66,67 %. Untuk sampel ketiga terlihat berat tepung 368,6 gram mempunyai kadar air 9,66 %, kadar abu 0,16 %, kadar serat kasar 0,39 %, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,18 %, Kadar Pati 99,61 %, amilosa 18,79 % dan Amilopektin 80,82 %. Untuk sampel
keempat
terlihat berat tepung 253,5 gram mempunyai
kadar air 9,04 %, kadar abu 0,43 %, kadar serat kasar 0,84 %, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,53 %, Kadar Pati 99,16 %, amilosa 26,25 % dan Amilopektin 72,91 %. Untuk sampel kelima terlihat berat tepung 480,2 gram mempunyai kadar air 11,68 %, kadar abu 0,22 %, kadar serat kasar 0,41 %, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 88,10 %, Kadar Pati 99,59 %, amilosa 24,81 % dan Amilopektin 74,78 %.
Sagu sub spesies Makbom
Kadar air
Kadar Abu
10.5
Kadar Serat Kasar
0.3
1.2
0,3 10,1
10 9,6
9.5
0.25
0,2
0,2
0.2
9,4
0.15 9
0,2
8,9 8.8
1
0,9 0.8
0.8 0,1
0.6
0.1
0.4
8.5
0.05
0.2
8
0
I II III IV V
1,1
0,9
0,4
0
I II III IV V
I
II
III IV V
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 71
91.5
90.5
90,9 90,7 90,4
99,5
25 99.2
99.2 89,6
99
24,7
23.3
20 99,0
99,0
29, 9
28,6
30
99.4
90,1
90
35
99.6
91
Amilose
Kadar pati
Karbohidrat
98,9
15
12,3
10
89.5
98.8
89
98.6
I II III IV V
5 0
I II III IV V
I
II III IV V
Amilopektin 100 80 60
86, 74, 6 75, 7 71, 70, 7 2 0
40 20 0
I II III IV V
Untuk sampel
pertama terlihat berat tepung 265,8 gram mempunyai
kadar air 9,65 %, kadar abu 0,22 %, kadar serat kasar 0,98 %, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,13 %, Kadar Pati 99,02 %, amilosa 99,02 % dan Amilopektin 74,75 %. Untuk sampel kedua terlihat berat tepung 313,5 gram mempunyai kadar air 9,42 %, kadar abu 0,12 %, kadar serat kasar 0,47 %, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,46 %, Kadar Pati 99,53 %, amilosa 28,29 % dan Amilopektin 71,24 %. Untuk sampel ketiga terlihat berat tepung 400,8 gram mempunyai kadar air 8,80 %, kadar abu 0,28 %, kadar serat kasar 1,06 %, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,92 %, Kadar Pati 98,94 %, amilosa 12,32 % dan Amilopektin 86,62 %. Untuk sampel
keempat
terlihat berat tepung 390,0 gram mempunyai
kadar air 8,97 %, kadar abu 0,25 %, kadar serat kasar 0,80 %, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 90,78 %, Kadar Pati 99,20 %, amilosa 29,19 % dan Amilopektin 70,01 %. Untuk sampel
kelima terlihat rata-rat berat tepung 387,0 gram
mempunyai kadar air 10,11 %, kadar abu 0,22 %, kadar serat kasar 0,93 %, 72 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, karbohidrat 89,67 %, Kadar Pati 99,07 %, amilosa 23,30 % dan Amilopektin 75,77 %.
b. Pembahasan Dari hasil analisis yang diperoleh terlihat bahwa kadar air untuk jenis sagu Kuraw lebih rendah dari sagu Hawar dan sagu Makbon, kadar lemak dan kadar protein tidak terdeksi, sedangkan untuk analisa kadar abu, kadar serat kasar, karbohidrat, kadar pati, kadar amilose dan kadar amilopektin mempunyai hasil yang hampir sama antara sagu sub spesies Kuraw, sagu sub spesies Hawar dan sagu sub spesies
Makbom. Perbandingan komposisi kadar amilosa dan
amilopektin akan mempengaruhi sifat pati. Semakin tinggi kadar amilosa maka pati bersifat kurang kering, kurang lekat dan mudah menyerap air (higroskopis). Data yang ada juga menunjukan bahwa walaupun pengambilan sampel satu sampai lima
dari satu jenis pohon, terlihat juga bahwa masih terdapat
perbedaan antara masing-masing sampel. Sampel karbohidrat yang ada untuk masing-masing jenis sagu yang dianalisa menunjukan hasil persentase yang cukup tinggi yaitu untuk sagu sub spesies Kuraw diatas 90 %, sedangkan untuk sagu sub Hawar dan Makbom diatas 80 %, sehingga dapat dikatakan jenis sagu yang dianalisa dapat juga dijadikan sebagai bahan cadangan bioetanol, karena nilai karbohidrat dan pati sangat tinggi. IV. KESIMPULAN DAN SARAN a. Kesimpulan 1.
Produksi sagu yang terbanyak adalah pada jenis sagu Noiin pada bagian ujung.
2. Jenis sagu yang dianalisa mempunyai nilai karbohidrat dan pati yang sangat tinggi sehingga dapat digunakan sebagai bahan penghasil bioetanol. b. Saran Untuk mendapatkan data mengenai jenis sagu yang lain maka
perlu
tambahan dana untuk melakukan kegiatan penelitian ini kedepan, karena sagu yang digunakan sebagai sampel penelitian harus dibeli untuk diolah dan dilakukan analisa lanjutan. Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 73
DAFTAR PUSTAKA Allorerung, D. 1993. Sumberdaya sagu dalam pembangunan daerah Irian jaya. Warta Litbang Pertanian. Bogor. Hlm. 4 - 7. Boonsermsuk, S., T. Anay, K. Hasegawa and S. Hisajima . 1996. Trial and determination of molecular biological variation of sago palm (Mtroxylon spp) in Thailand. Proceedings of Sixth International Sago Symposium “Sago: The Future Source of Food and Feed. Pekanbaru 9-12 December 1996. Riau. Hlm. 7 – 25. Demirbas, A., 2005. Bioethanol from Cellulosic Materials:A Renewable Motor Fuel from Biomass. Energy Sources, 21:'iTl-'i'yi, 2005 Departemen Energi Dan Sumber Daya Mineral, 2008. Kemajuan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (BBN). Dep. ESDM. Jakarta. Ehara, T. Hattory, S. Susanto, H.M.H. Bintoro, J. Wattimena and I.P. Siwa. 1996. Rapd Haska, N. and Ohta, Y. 1991. Pretreatment effects on hydrolysis of sago starch granules by raw starch-digesting amylase from Penicillium brunneum. In Towards Greater Advancement of the Sago Industry in the „90s. Proceeding of the Fourth International Sago Symposium held August 6-9, 1990. Kuching, Sarawak, Malaysia. pp. 166-172. Miftahorrahman., H. Novarianto. dan D. Allolerung. 1996. Identificatin of sago species and rehabilitation to increase productivity of sago (Metroxylon sp) in Irian Jaya. Proceedings of Sixth International Sago Symposium “Sago: The Future Source of Food and Feed. Pekanbaru 9-12 December 1996. Riau. pp. 79 – 95. Rostiwai, T., Y Lisnawati., S. Bustomi., B. Leksono., D. Wahyono., S. Pradjadinata., R. Bogidarmanti., D. Djaenudin., E. Sumadiwangsa. dan N. Haska. 2009. Sagu (Metroxylon spp) sebagai sumber energi bioetanol potensial. Badan Litbang Kehutanan, Jakarta. (in press). Sitaniapessy, P. M. 1996. Sagu: suatu tinjauan ekologi. Prosiding Simposium Nasional Sagu III, Pekanbaru, 27 – 28 Februari 1996. Riau. Hlm.57 – 69. Sumaryono. 2007. Tanaman sagu sebagai sumber energi alternative. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian, vol. 29, no. 4. Hlm. 3 – 4. Wiyono, B. dan T. Silitonga. 1988. Potensi sagu dan turuannnya sebagai bahan baku industri. Jurnal Penelitian dan Pengembangan kehutanan, vol. IV, no. 1. Hlm. 1 - 8. Jong, F. S. 1995. Research for the development of sago palm (Metroxylon sagu Rottb.) cultivation in Sarawak, Malaysia. Thesis. 135 pp.
74 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
MAKALAH PENUNJANG
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 75
76 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
OPTIMALISASI PEMANFAATAN NIPAH DI PAPUA MELALUI PRODUK-PRODUK EKONOMIS Freddy Jontara Hutapea1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia
RINGKASAN Nipah (Nypa fruticans) merupakan salah satu sumber daya potensial untuk dikembangkan di tanah Papua. Sejak dahulu masyarakat telah berinteraksi dengan nipah yang berada disekitar mereka. Situasi yang terlihat dimasyarakat adalah keberadaan hutan nipah disekitar mereka belum mampu mengangkat taraf hidup atau perekonomian mereka. Saat ini nipah dimanfaatkan hanya sebagai bahan baku pembuatan minuman lokal “bobo”, yang memiliki benturan terhadap peraturan daerah yang melarang peredaran minuman keras. Minimnya pengatahuan untuk mengolah nipah menjadi produk-produk ekonomis menjadi penghalang dalam optimalisasi pemanfaatan nipah di masyarakat. Melalui studi literatur yang dilakukan, nipah dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bioetanol, gula nipah, sumber bahan pangan, serta produkproduk lainnya seperti kerajinan tangan. Peran serta pemerintah dalam upaya optimalisasi nipah ini mutlak diperlukan seperti penyediaan modal, pembinaan terhadap masyarakat, dan membantu penyediaan pasar. Kata kunci: Nipah, sumber daya, potensial, masyarakat, pemerintah
I. PENDAHULUAN Nipah merupakan salah satu jenis tumbuhan yang terdapat di hutan mangrove. Pada umumnya kehidupan nipah terdapat pada zona terakhir dari pembagian zonasi mangrove (Macnae & Kalk, 1962 dalam Moeljopawiro, 1996). Hutan mangrove merupakan sumberdaya alam yang mempunyai potensi ganda yaitu potensi ekologis dan ekonomis. Potensi ekologis ditekankan kepada kemampuannya dalam mendukung eksistensi lingkungan yang berguna untuk menunjang kelestarian biota akuatik (Odum & Heald, 1972 dalam Moeljopawiro, 1996), sedangkan potensi ekonomis ditunjukkan dengan kemampuannya dalam menghasilkan produk yang langsung dapat diukur dengan materi. Salah satu produk dari hutan mangrove yang memiliki aspek ekonomis adalah nipah. Hasil seminar yang dilakukan oleh BPDAS Remu Ransiki Manokwari menempatkan nipah menjadi salah satu HHBK andalan Papua Barat. Berbagai literatur mengatakan bahwa nipah sudah dimanfaatkan sejak dahulu. Daun nipah yang telah tua banyak dimanfaatkan secara tradisional untuk membuat atap, daun muda digunakan membuat dinding rumah, dan lain sebagainya, namun fakta yang ditemukan dilapangan menunjukkan bahwa Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 77
aktivitas masyarakat di Papua dalam memanfaatkan nipah masih sangat terbatas. Masyarakat di tiga tempat yang ditemukan di lapangan (Tandia, Serui, dan Bintuni) mengelola nipah hanya pada pembuatan minuman lokal, yang secara hukum tidak aman bagi masyarakat karena adanya perda yang melarang peredaran minuman keras. Pengetahuan masyarakat untuk mengembangkan dan mengelola nipah menjadi produk lain juga masih sangat minim. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi mengenai produkproduk ekonomis yang dapat dikembangkan dari nipah sehingga dapat diterapkan dalam masyarakat Papua dan Papua Barat. II. DESKRIPSI NIPAH Nipah adalah salah satu pohon anggota famili arecaceae (palem) yang umumnya tumbuh di daerah rawa yang berarir payau atau daerah pasang surut di daerah pantai. Batang nipah banyak menjalar di tanah, membentuk rimpang yang terendam oleh lumpur, hanya roset daunnya yang muncul di atas tanah, sehingga nipah terlihat seolah-olah tidak memiliki batang. Nipah memiliki akar serabut yang dapat memiliki panjang hingga 13 m. Daun-daun majemuk menyirip khas palma muncul dari rimpang nipah, tegak atau hampir tegak, menjulang hingga 9 m di atas tanah. Panjang tangkainya berkisar antara 1-1,5 m, dengan kulit yang mengkilap dan keras. Tangkai nipah berwarna hijau pada yang muda dan berangsur menjadi cokelat sampai cokelat tua sesuai perkembangan umurnya. Bagian dalam nipah lunak seperti gabus. Anak daun berbentuk pita memanjang dan meruncing di bagian ujung, memiliki tulang daun yang di sebut lidi (seperti pada daun kelapa). Panjang anak daun dapat mencapai 100 cm dan lebar daun berkisar antara 4-7 cm. Daun nipah yang sudah tua memiliki daun berwarna hijau, sedangkan yang masih muda berwarna kuning, menyerupai janur kelapa. Tiap ental anak daun mencapai 25-100 helai. (Wikipedia, 2011). Sistematika nipah adalah sebagai berikut: Kingdom Divisi Sub Divisi Kelas Ordo Famili Genus Species
: : : : : : : :
Plantae Spermatophyta Angiospermae Monocotyledonae Arecaceae Arecaceae (Palmae) Nypah Nypa fruticans Wurmb. (Baharuddin dan Taskirawati, 2009).
78 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Nipah banyak dikenal dengan nama lain seperti: daon, daonan, nipah, bhunjok, lipa, buyuk (Sunda, Jawa, Bali), bhunyok (Madura), bobo (Manado, Ternate, Tidore), boboro (Halmahera), palean, palenei, pelene, pulene, puleanu, pulenu, puleno, pureno, parinan, parenga (Seram, Ambon, dan sekitarnya) (Wikipedia, 2011). III. PRODUK POTENSIAL DARI NIPAH Nipah merupakan produk yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia serta Papua Barat dan Papua tentunya. Baharuddin dan Taskirawati (2009) mengatakan bahwa luas hutan nipah di Indonesia diperkirakan sekitar 700.000 Ha atau 10% dari luas daerah pasang surut yang luasnya sekitar 7 juta ha, dengan populasi nipah yang diperkirakan sekitar 8.000 pohon/ha. Sebagai salah satu HHBK andalan Papua Barat, tentunya HHBK ini diharapkan
dapat
mengangkat
taraf
perekonomian
masyarakat
melalui
pengembangan nipah menjadi produk-produk yang ekonomis. Beberapa produk yang dapat dikembangkan dari nipah yang bermanfaat secara ekonomis adalah sebagai berikut: 1.
Bioetanol Isu pengembangan bahan bakar nabati seperti bioetanol menjadi
pendorong pengembangan tanaman nipah untuk menghasilkan bioetanol. Nipah merupakan tanaman yang sangat potensial untuk dijadikan penghasil bioetanol karena dapat menghasilkan 5-7 kali lebih banyak energi dibandingkan tanaman lain. Bioetanol dari nipah dihasilkan dengan cara merombak gula yang terdapat pada nira nipah menjadi etanol melalui proses fermentasi. Baharuddin dan Taskirawati (2009) mengatakan kandungan alkohol dalam nira dapat mencapai 6-7%. Wikipedia (2011) mengatakan bahwa etanol yang dapat dihasilkan oleh nipah adalah sekitar 11.000 liter/ha/tahun, jauh lebih unggul bila dibandingkan kelapa sawit 5.000 liter/ha/tahun. Beberapa daerah di Indonesia telah mengembangkan bioetanol dari nipah ini. Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir telah mengembangkan bioetanol dari nipah ini untuk pemberdayaan masyarakat setempat. Melalui pembelajaran otodidak
dan
konsultasi
dari
berbagai
pihak
Bapermas
telah
berhasil
mengembangkan teknologi tepat guna untuk memproduksi bioetanol dari nipah (Gambar 1). Bapermas menganggarkan 50 juta rupiah pada tahun 2010 untuk Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 79
menstimulasi pemuda-pemuda setempat yang banyak putus sekolah dan menganggur untuk memproduksi nira nipah. Selanjutnya nira nipah yang dihasilkan ditampung (dibeli) oleh pemda. Contoh kasus ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan perekonomian masyarakat, dan dapat menyerap tenaga kerja yang akan mengurangi angka pengangguran. Pemerintah Papua dan Papua Barat bisa mengikuti langkah yang dilakukan oleh pemerintah daerah Rokan Hilir, agar masyarakat dapat merasakan manfaat nipah yang ada ditengah-tengah mereka.
Gambar 1. Peralatan produksi bioetanol nipah Bapermas Rokan Hilir. 2.
Gula Nipah Komponen utama yang terdapat dalam nira selain air adalah karbohidrat
dalam bentuk sukrosa, sedangkan komponen lainnya adalah protein, lemak, vitamin, dan mineral, tetapi dalam jumlah yang relatif kecil. Komposisi tersebut menyebabkan nira dapat menghasilkan beberapa produk seperti aneka macam pemanis, minuman ringan (tuak, anggur, nata), asam cuka, dan alkohol (Baharuddin dan Taskirawati, 2009). Hasil penelitian Pusat Penelitian dan Perkebunan Gula Indonesia melaporkan bahwa dari sekitar 0,5-1,5 liter/hari/malai mempunyai rendemen gula merah sebesar 15%. Berdasarkan hasil analisis laboratorium, nira segar memiliki komposisi: Brix 15-17%; sukrosa 13-15%; gula reduksi 0,2-0,5% dan abu 0,3-0,7 % (Al Rasyid, 2001 dalam Daryono dkk, 2010). Sementara itu, 80 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Purseglove (1972) dalam Islamy (2012) mengatakan bahwa nipah dapat disadap tiap hari selama 2-3 bulan dengan kadar gula yang tinggi (17%). Hasil penelitian Johnson (1975) dalam Moeljopawiro (1996) menunjukkan bahwa potensi gula merah di Malaysia yang dapat dihasilkan dari nipah adalah sebesar 20,3 ton/ha/tahun, sedangkan di Sumatera mencapai 22,4 ton/ha/tahun. Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa nipah memiliki potensi yang sangat besar untuk dikembangkan, dan beberapa daerah di Indonesia telah mulai mengembangkan nipah sebagai bahan baku gula di Indonesia. Pemkab Kepulauan Meranti telah menargetkan swasembada gula melalui kebun nipah seluas 35.000 ha, dan hal ini optimis dapat diwujudkan setelah penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemkab dengan pihak investor PT. First Flower. Mereka memberdayakan masyarakat melalui optimalisasi peran masyarakat dalam mengelola perkebunan, yang diikuti dengan pembinaan dari perusahaan melalui pengelolaan perkebunan, dan memberikan pembibitan unggul (HalloRiau, 2013). 3.
Bahan Pangan lainnya Nipah juga memiliki potensi yang tinggi untuk dikembangkan sebagai
bahan pangan. Subandono dkk (2011) mengatakan bahwa kadar karbohidrat yang terdapat dalam nipah adalah 56,4 gr/100 gr (cukup tinggi) sehingga berpotensi sebagai pengganti makanan pokok (beras, jagung, dan sagu). Salah satu produk pangan yang dapat dihasilkan oleh nipah adalah tepung nipah. Tepung nipah dapat dihasilkan dengan cara mengolah buah nipah yang sudah tua. Proses pembuatan tepung nipah meliputi pemisahan daging dari tempurung, pembersihan kulit ari, penumbukan (diblender), pengeringan, dan pengayakan. Kadar lemak (nabati) kasar tepung nipah paling rendah (0,08%) dibandingkan dengan beras, jagung, dan lain-lain. Serat kasar yang dikandung tepung nipah cukup baik (22,1%) setara dengan bungkil kelapa (22,3%). Kandungan beta-N, Kalsium (Ca), Posfor (P) dan karbohidrat cukup baik. Tepung nipah mengandung serat yang cukup tinggi dengan kandungan lemak dan kalori yang rendah yang berpotensi untuk dijadikan sebagai makanan bagi orang diet (Subandono dkk, 2011). Beberapa bahan pangan lain yang dapat dikembangkan dari nipah adalah nata, manisan, makanan kaleng (Daryono dkk, 2010), minuman es buah nipah, kolak buah nipah (Mrabawani, 2010), dan lain sebagainya Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 81
IV. PRODUK LAINNYA Selain pengembangan nipah untuk bioetanol, gula nipah, dan bahan pangan, nipah juga merupakan sumberdaya yang potensial untuk dikembangkan menjadi produk lain seperti kerajinan tangan. Beberapa
masyarakat
yang
tinggal
berdekatan
dengan
nipah
memanfaatkan nipah untuk menambah penghasilan mereka melalui kerajinan tangan. Seperti misalnya, Maya warga Samarinda, memanfaatkan nipah dengan menganyam daunnya dan menjualnya Rp. 700,00/lembar. Dalam satu hari Maya dapat menghasilkan 100 lembar anyaman daun nipah. Kehidupannya bergantung pada anyaman nipah ini (Anggiat, 2011). Demikian juga dengan Musnaini, warga Palembang, yang membuat kerajinan tangan dari nipah berupa kerajinan tampah dan keranjang berbahan dasar lidi dan daun nipah. Hasil dari kerajinan tangan ini dapat mencukupi kebutuhannya beserta lima orang anaknya (Tribun Sumsel, 2012). V. PERAN PEMERINTAH Peran pemerintah setempat dalam rangka meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pemanfaatan sumberdaya alam yang ada di sekitar masyarakat sangat dibutuhkan. Beberapa peran yang mutlak sangat diperlukan adalah: pembinaan masyarakat, pemberian modal pinjaman lunak kepada masyarakat, dan menyediakan pasar. VI. KESIMPULAN Nipah merupakan sumber daya yang potensial untuk dikembangkan menjadi produk-produk ekonomis seperti bioetanol, gula nipah, sumber pangan seperti tepung nipah, dan menjadi barang kerajinan.
82 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
DAFTAR PUSTAKA Anggiat, R. 2011. Pengerajin Anyaman Daun Nipah. http://www.sapos.co.id/ index.php/berita/detail/rubrik/18/18025. Diakses tanggal 26 Februari 2013. Baharuddin, I. Taskirawati. 2009. Hasil Hutan Bukan Kayu. Buku Ajar. Universitas Hasanuddin. Tidak diterbitkan. Daryono, H., A. Subiakto., & T. E. Komar. 2010. Pengembangan Sumber Benih Unggul Nipah (Nypa fruticans Wurmb.) Penghasil Nira yang Produktif Sebagai Sumber Bioetanol. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Bogor. Tidak diterbitkan. HalloRiau. 2013. Meranti Targetkan Swasembada Gula Nipah. http:// www.halloriau.com/read-meranti-23683-2012-04-27-meranti-targetkanswasembada-gula-nipah.html. Diakses tanggal 22 Februari 2013. Islamy, R. A. 2012. Pembuatan Gula dari Nira Pohon Nipah (Nypa fruticans) Secara Tradisional. http://dhariyan.blogspot.com/2012/10/pembuatangula-dari-nira-pohon-nipah.html. Diakses tanggal 22 Februari 2013. Moeljopawiro, S., E. Poedjirahajoe, & R. Pratiwi. 1996. Manfaat dan Potensi Nipah (Nypa fruticans Wurmb.) di Daerah Sungsang, Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Ilmiah Nasional dalam Rangka Lustrum VIII Fakultas Biologi Universitas Gadjah Mada, tanggal 18-20 September 1995 di Yogyakarta. Hlm. 347-353. Fakultas Biologi UGM. Yogyakarta. Mrabawani. 2010. Nipah Juga Bermanfaat. http://titanih.multiply.com/ journal/item/8?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem. Diakses tanggal 26 Februari 2013. Subandono, E., N. M. Heryanto & E. Karlina.2011. Potensi Nipah (Nypa fruticans (Thunb.) Wurmb.) sebagai Sumber Pangan dari Hutan Mangrove. Buletin Plasma Nuftah, 17(1): 54-60. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. Tribun
Sumsel. 2012. Dua Puluh Tahun Berjualan Keranjang Nipah. http://sumsel.tribunnews.com/2012/06/13/dua-puluh-tahun-berjualankeranjang-nipah. Diakses tanggal 26 Februari 2013.
Wikipedia. 2011. Nipah. http://id.wikipedia.org/wiki/Nipah. Diakses tanggal 12 Mei 2011.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 83
84 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
EKOSISTEM MANGROVE: PERANAN, PERMASALAHAN DAN PENDEKATAN BAGI KONSERVASI BERKELANJUTAN Hadi Warsito1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia
I. PENDAHULUAN Ekosistem hutan mangrove dikenal sebagai ekosistem yang paling dinamis dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. Hal ini secara ekologis adalah logis, karena dua ekosistem yang secara fisik berbeda, berinteraksi secara kompleks sebagai pencirinya dan secara alami selalu dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Oleh karena itu ekosistem hutan mangrove mempunyai arti dan fungsi yang strategis baik ditinjau dari segi ekologis maupun sosial ekonomi dan budaya. Ekosistem hutan bakau di Indonesia tersebar di 22 provinsi dengan pemusatan lokasi di
Papua, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Riau dan
Sumatera Selatan Luas hutan mangrove di Papua menurun dari angka 2.943.000 hektar pada tahun 1982 menjadi 1.382.000 hektar pada tahun 1993. Luas hutan mangrove secara keseluruhan di Indonesia pada tahun 1982 adalah 5.209.543 hektar dan pada tahun 1993 menjadi 2.496.185 hektar (Mulyana, 1999). Peranan mangrove sangat penting, baik secara ekonomi dan ekologi sebagai sumber daya alam dan perlindungan dengan lingkungan dan antara aspek tersebut tidak dapat dipisahkan tanpa menyebabkan bahaya ke suatu areal. Mangrove adalah sumber bahan bakar kayu, tiang dan atap. Formasi mangrove berkontribusi pada jaring makanan laut meliputi produksi serasahnya, dan beberapa jenis komersial penting dari fauna laut diketahui menghabiskan paling tidak sebagian dari siklus hidupnya di mangrove. Oleh karena itu, mangrove tidak hanya dianggap sebagai hutan, tetapi juga sebagai penghasil makanan dalam bentuk kepiting, ikan dan udang.
Banyak dari organisme ini
kemudian ditangkap jauh dari daerah mangrove, dan ini merupakan masalah khusus bagi pengelolaan lahan (Christensen, 2003). Hilangnya/rusaknya mangrove ini menimbulkan berbagai permasalahan terutama abrasi yang terjadi hampir di seluruh Pantai Utara Jawa, Pantai Timur maupun Barat Sumatera dan pantai Sulawesi Selatan. Abrasi ini mengakibatkan Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 85
beberapa desa terpaksa direlokasi ke daerah yang lebih aman dan juga menyebabkan lahan usaha masyarakat seperti tambak ikan banyak yang hilang menjadi lautan. Selain itu, faktor penting lainnya yang adalah adanya aktifitas manusia yang berada sekitar kawasan mangrove yang dapat mengakibatkan kerusakan (Supriharyono, 2007). Ekosistem mangrove merupakan sumberdaya alam yang memberikan banyak keuntungan bagi manusia, berjasa untuk produktivitasnya yang tinggi serta kemampuannya memelihara alam. Mangrove banyak memberikan fungsi ekologis dan karena itulah mangrove menjadi salah satu produsen utama perikanan laut. Untuk konservasi hutan mangrove dan sempadan pantai, Pemerintah RI telah menerbitkan Keppres No. 32 tahun 1990 dalam Anwar dan Gunawan (2006). Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan kelestarian fungsi pantai, sedangkan kawasan hutan mangrove adalah kawasan pesisir laut yang merupakan habitat hutan mangrove yang berfungsi memberikan perlindungan kepada kehidupan pantai dan lautan. Sempadan pantai berupa jalur hijau adalah selebar 100 m dari pasang tertinggi kearah daratan. II. PERANAN MANGROVE Fungsi ekosistem mangrove mencakup fungsi fisik (menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut/abrasi, intrusi air laut, mempercepat perluasan lahan, dan mengolah bahan limbah), fungsi biologis (tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota) dan fungsi ekonomi (sumber bahan bakar, pertambakan, tempat pembuatan garam, bahan bangunan dll. Sementara itu, Kusmana (1997) menyatakan bahwa hutan mangrove berfungsi sebagai: 1) Penghalang terhadap erosi pantai dan gempuran ombak yang kuat; 2) Pengolah limbah organik; 3) Tempat mencari makan, memijah dan bertelur berbagai biota laut; 4) Habitat berbagai jenis margasatwa; 5) Penghasil kayu dan non kayu; 6) Potensi ekoturisme. 86 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Naamin (1990) dalam Anwar dan Gunawan (2006) , makanan, obatobatan & minuman, gula alkohol, asam cuka, perikanan, pertanian, pakan ternak, pupuk, produksi kertas & tanin dll. Menurut Wada (1999) dalam Kuswandi dkk. (2002), bahwa 80% dari ikan komersial yang tertangkap di perairan lepas/dan pantai ternyata mempunyai hubungan erat dengan rantai makanan yang terdapat dalam ekosistem mangrove. Hal ini membuktikan bahwa kawasan mangrove telah menjadi kawasan tempat breeding & nurturing bagi ikan-ikan dan beberapa biota laut lainnya. Hutan mangrove juga berfungsi sebagai habitat satwa liar, penahan angin laut, penahan sedimen yang terangkut dari bagian hulu dan sumber nutrisi biota laut. Siklus dekomposer dari tumbuhan mangrove dapat menghasilkan subtrat yang menjadi rantai dalam penyediaan sumber pakan yang akhirnya diperlukan oleh satwa. Mann (1982), melaporkan bahwa daun-daun mangrove mempunyai kadar protein hanya sekitar 6,1%, namun dalam kurun waktu sekitar 12 bulan, kandungan proteinnya dapat mencapai 22%. Proses penguraian akan lebih cepat bila serasah daun tersebut jatuh ke air, dalam kurun waktu enam bulan kandungan proteinnya dapat meningkat dari 5% menjadi 21% (Odum dan Health, 1975). Proses dekomposer tersebut mempengaruhi keberadaan jenis hewanhewan pemakan detritus pada umumnya didominasi oleh invertebrata, terutama crustacea dan beberapa spesies ikan yang disinyalir sebagai destrivorus (pemakan destritus). Macne (1968), hewan yang hidup diperairan mangrove dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu burrowing spesies (hidupnya meliang) dan epifauna (di atas subrat). Hewan peliang didominasi oleh crustacea, bivalva dan satu genus ikan, sedangkan untuk epifauna meliputi gastropoda dan beberapa kepiting, terutama dari genera Sesarma dan Uca yang paling melimpah. Daya dukung hutan mangrove bukan hanya sebagai tempat berlindung dan berkembang biak, namun ketersediaan sumber pakan dari jenis–jenis destrivorus yang relatif mudah diperoleh dari kawasan hutan mangrove karena cukup melimpah keberadaanya. Suburnya dalam ekosistem hutan mangrove sering menjadi tempat pemijahan (spawing ground), pengasuhan (nursery
ground) dan mencari makan (feeding ground) dari beberapa jenis ikan atau hewan–hewan air tertentu. Sehingga di dalam hutan mangrove terdapat sejumlah hewan-hewan air, disamping hewan-hewan seperti kepiting, moluska Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 87
dan invertebrata lainnya yang hidup dikawasan tersebut. Demikian pula pada jenis udang-udangan dan ikan yang keberadaanya di hutan mangrove dipengaruhi oleh arus pasang surut. Kemelimpahan sumber pakan yang ada di hutan mangrove ini, yang dapat membuat beberapa jenis burung menjadikan kawasan hutan mangrove sebagai sumber pakan atau mencari makan (feeding
ground), sehingga keberadaan hutan mangrove sangat diperlukan dan dapat mendukung kelangsungan hidup beberapa jenis burung yang dikawasan hutan mangrove tersebut. Kebijakan pemerintah dalam menggalakkan komoditi ekspor udang, telah turut andil dalam merubah sistem pertambakan yang ada dalam wilayah kawasan hutan. Empang parit yang semula digarap oleh penggarap tambak petani setempat, berangsur beralih “kepemilikannya” ke pemilik modal, serta merubah menjadi tambak intensif yang tidak berhutan lagi (Bratamihardja, 1991). Ketentuan jalur hijau dengan lebar 130 x nilai rata-rata perbedaan pasang tertinggi dan terendah tahunan (Keppres No. 32/1990) berangsur terabaikan. Padahal, hasil penelitian Martosubroto dan Naamin (1979) dalam Dit. Bina Pesisir (2004) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara luasan kawasan mangrove dengan produksi perikanan budidaya. Semakin meningkatnya luasan kawasan mangrove maka produksi perikanan pun turut meningkat dengan membentuk persamaan Y = 0,06 + 0,15 X; Y merupakan produksi tangkapan dalam ton/th, sedangkan X merupakan luasan mangrove dalam ha. Venkataramani (2004) dalam Gunawan dan C. Anwar (2005) menyatakan bahwa hutan mangrove yang lebat berfungsi seperti tembok alami. Dibuktikan di desa Moawo (Nias) penduduk selamat dari terjangan tsunami karena daerah ini terdapat hutan mangrove yang lebarnya 200-300 m dan dengan kerapatan pohon berdiameter > 20 cm sangat lebat. Hutan mangrove mengurangi dampak tsunami melalui dua cara, yaitu: kecepatan air berkurang karena pergesekan dengan hutan mangrove yang lebat, dan volume air dari gelombang tsunami yang sampai ke daratan menjadi sedikit karena air tersebar ke banyak saluran (kanal) yang terdapat di ekosistem mangrove. Dibandingkan dengan ekosistem hutan lain, ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa sifat kekhususan dipandang dari kepentingan keberadaan dan peranannya dalam ekosistem Sumber Daya Alam (SDA), yaitu : a. Letak hutan mangrove terbatas pada tempat-tempat tertentu dan dengan luas yang terbatas pula. 88 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
b. Peranan ekologis dari ekosistem hutan mangrove bersifat khas, berbeda dengan peran ekosistem hutan lainnya. c. Hutan mangrove memiliki potensi hasil yang bernilai ekonomis tinggi. Berlandaskan pada kenyataan tersebut, diperlukan adanya keseimbangan dalam memandang manfaat bagi lingkungan dari hutan mangrove dalam keadaannya yang asli dengan manfaat ekonomisnya. Dalam hal ini tujuan utama pengelolaan ekosistem mangrove adalah sebagai berikut : a. Mengoptimalkan manfaat produksi dan manfaat ekologis dari ekosistem mangrove dengan menggunakan pendekatan ekosistem berdasarkan prinsip kelestarian hasil dan fungsi ekosistem yang bersangkutan. b. Merehabilitasi hutan mangrove yang rusak. c. Membangun dan memperkuat kerangka kelembagaan beserta iptek yang kondusif bagi penyelenggaraan pengelolaan mangrove secara baik. Seperti
yang
telah
dikemukakan
sebelumnya,
khususnya
peranan
mangrove dalam Sumber Daya Alam (SDA), peranan lain yang bersifat umum dalam ekosistem mangrove dapat dicontohkan dalam pemanfaatan mangrove, baik langsung maupun tidak langsung antara lain: A. Arang dan Kayu Bakar Arang mangrove memiliki kualitas yang baik setelah arang kayu oak dari Jepang dan arang onshyu dari Cina. Pengusahaan arang mangrove di Indonesia sudah dilakukan sejak ratusan tahun lalu, antara lain di Aceh, Riau,
dan
Kalimantan Barat. Pada tahun 1998 produksi arang mangrove sekitar 330.000 ton yang sebagian besar diekspor dengan negara tujuan Jepang dan Taiwan melalui Singapura. Harga ekspor arang mangrove sekitar US$ 1.000/10
ton,
sedangkan harga lokal antara Rp 400,- - Rp 700,-/kg. Jumlah ekspor arang mangrove tahun 1993 mencapai 83.000.000 kg dengan nilai US$ 13.000.000 (Inoue et al., 1999). Jenis Rhizophoraceae seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza merupakan kayu bakar berkualitas baik karena menghasilkan panas yang tinggi dan awet. Harga jual kayu bakar di pasar desa Rp 13.000,/m3 yang cukup untuk memasak selama sebulan sekeluarga dengan tiga orang anak. Kayu bakar mangrove sangat efisien, dengan diameter 8 cm dan panjang 50 cm cukup untuk sekali memasak untuk 5 orang. Kayu bakar menjadi sangat penting bagi masyarakat terutama dari golongan miskin ketika harga bahan bakar minyak melambung tinggi (Inoue et al ., 1999) Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 89
B. Bahan Bangunan Kayu mangrove seperti R. apiculata, R. Mucronata, dan B. gymnorrhiza sangat cocok digunakan untuk tiang atau kaso dalam konstruksi rumah karena batangnya lurus dan dapat bertahan sampai 50 tahun. Pada tahun 1990-an dengan diameter 10-13 cm, panjang 4,9-5,5 m dan 6,1 m, satu tiang mencapai harga Rp 7.000,- sampai Rp 9.000,-. Kayu ini diperoleh dari hasil penjarangan (Inoue et al., 1999). C. Bahan Baku
Chip jenis Rhizophoraceae sangat cocok untuk bahan baku chip. Pada tahun 1998 jumlah produksi chip mangrove kurang lebih 250.000 ton yang sebagian besar diekspor ke Korea dan Jepang. Areal produksinya tersebar di Riau, Aceh, Lampung, Kalimantan, dan Papua. Harga chip di pasar internasional kurang lebih US$ 40/ton (Inoue et al., 1999). D. Tanin Tanin merupakan ekstrak kulit dari jenis-jenis R. apiculata, R. Mucronata, dan Xylocarpus granatum digunakan untuk menyamak kulit pada industri sepatu, tas, dan lain-lain. Tanin juga dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan lem untuk kayu lapis. Di Jepang tanin mangrove digunakan sebagai bahan pencelup dengan harga 2-10 ribu yen (Inoue et al., 1999). E. Nipah Nipah (Nypa fruticans) memiliki arti ekonomi yang sangat penting bagi masyarakat sekitar hutan mangrove. Daun nipah dianyam menjadi atap rumah yang dapat bertahan sampai 5 tahun (Inoue et al., 1999). Pembuatan atap nipah memberikan sumbangan ekonomi yang cukup penting bagi rumah tangga nelayan dan merupakan pekerjaan ibu rumah tangga dan anak-anaknya di waktu senggang. Menurut hasil penelitian Gunawan (2000) hutan mangrove di Luwu Timur menopang kehidupan 1.475 keluarga pengrajin atap nipah dengan hasil 460 ton pada tahun 1999.
90 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
F. Obat-obatan Beberapa jenis mangrove dapat digunakan sebagai obat tradisional. Air rebusan R. apiculata dapat digunakan sebagai astrigent. Kulit
R. mucronata
dapat digunakan untuk menghentikan pendarahan. Air rebusan Ceriops tagal dapat digunakan sebagai antiseptik luka, sedangkan air rebusan Acanthus
illicifolius dapat digunakan untuk obat diabetes (Inoue et al., 1999). G. Perikanan dan Rehabilitasi Mangrove Sudah diulas di depan bahwa pembuatan 1 ha tambak ikan pada hutan mangrove alam akan menghasilkan ikan/udang sebanyak 287 kg/tahun, namun dengan hilangnya setiap 1 ha hutan mangrove akan mengakibatkan kerugian 480 kg ikan dan udang di lepas pantai per tahunnya (Turner, 1977). Dari sini tampak bahwa keberadaan hutan mangrove sangat penting bagi produktivitas perikanan pada perairan bebas. Dalam mengakomodasi kebutuhan lahan dan lapangan pekerjaan, hutan mangrove dapat dikelola dengan model silvofishery atau wanamina yang dikaitkan dengan program rehabilitasi pantai dan pesisisr. Kegiatan silvofishery berupa empang parit pada kawasan hutan mangrove, terutama di areal Perum Perhutani telah dimulai sejak tahun 1978. Empang parit ini pada dasarnya adalah semacam tumpangsari pada hutan jati, dimana ikan dan udang sebagai pengganti tanaman palawija, dengan jangka waktu 3-5 tahun masa kontrak (Wirjodarmodjo dan Hamzah, 1984). Semula, empang parit ini hanya berupa parit selebar 4 m yang disisihkan dari tepi areal kegiatan reboisasi hutan mangrove, sehingga keluasannya mencapai 10-15% dari total area garapan. Jarak tanam 3 m x 2 m, dengan harapan 4-5 tahun pada akhir kontrak, tajuk tanaman sudah saling menutup (Wirdarmodjo dan Hamzah, 1984; Perum Perhutani Jawa Barat, 1984). Sejak tahun 1990 dibuat sistem pola terpisah (komplangan) dengan 20% areal untuk budidaya ikan dan 80% areal untuk hutan dengan pasang surut bebas. Dari sistem silvofishery semacam ini dengan pemeliharaan bandeng dan udang liar dapat dihasilkan keuntungan sebesar Rp 5.122.000,-/ha/tahun untuk 2 kali panen setiap tahun (Perum Perhutani, 1995). Dalam membandingkan pola silvofishery di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, pola komplangan menunjukkan perbandingan relatif lebih baik daripada pola empang parit, baik dalam hal produktivitas perairan maupun pertumbuhan mutlak, kelangsungan hidup maupun biomassa bandeng yang dipelihara pada Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 91
masing-masing pola (Sumedi dan Mulyadhi, 1996). Selisih pertumbuhan mutlaknya hanya 9,6 g sedangkan biomassanya 7,1 kg/m3. Hasil ini berbeda dengan penelitian Poedjirahajoe (2000) yang mengemukakan bahwa justru pola empang parit menghasilkan bandeng pada usia 3 bulan dengan berat rata-rata 1 kg lebih berat dibandingkan dengan pola komplangan. Namun demikian, kedua sistem ini turut membantu dalam meningkatkan income petani petambak. Masyarakat yang terlibat dalam pengelolaan mangrove dengan sistem ini cukup besar. Data dari KPH Purwakarta menunjukkan bahwa dari luas areal mangrove seluas 14.535 ha dapat melibatkan sebanyak 4.342 KK dalam kegiatan silvofoshery (Perhutani Purwakarta, 2005). Data dari Badan Litbang Pertanian (1986) dalam Anwar (2005) menggambarkan bahwa kontribusi dari usaha budidaya tambak dengan luas total 208.000 ha dapat menghasilkan 129.279 ton ikan dan udang yang apabila ditaksir, nilainya melebihi dari Rp 138 milyar. Kegiatan ini pun dilaporkan dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 117.034 KK yang sudah barang tentu dapat memberikan penghasilan yang lebih baik bagi petani kecil. III. PERMASALAHAN Dalam rangka pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove, dibutuhkan peran serta semua pihak yang terkait, apakah itu dinas pemerintah, lembaga perguruan tinggi, masyarakat lokal, LSM, pencinta alam dan lain-lain. Namun yang perlu diperhatikan adalah keberpihakan berbagai pihak tersebut kepada masyarakat yang selama ini terpinggirkan dalam menentukan kebijakan terhadap hutan mangrove tersebut.
Padahal dalam realitanya, masyarakat yang lebih
dahulu terkena dampak langsung dari kegiatan-kegiatan yang dilakukan di kawasan hutan mangrove.
Untuk itu perlu kiranya menjadikan masyarakat
sebagai penggerak utama atau berpartisipasi aktif dalam hal pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove.
Namun itu bukan hal yang mudah dilakukan,
karena sebelumnya harus ditanamkan terlebih dahulu kepada masyarakat akan pentingnya keberadaan hutan mangrove yang ada di sekitar mereka. Umumnya masyarakat selama ini tidak melakukan kegiatan rehabilitasi atau penanaman mangrove adalah karena : a. Tidak mengetahui cara menanam b. Lokasi yang jauh c. Tidak mempunyai bibit 92 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
d. Beranggapan akan tumbuh sendiri, dan lain-lain. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana merubah perilaku manusia dalam rangka pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove itu sendiri. Perilaku manusia yang negatif dalam kehidupan sehari-hari akan sangat berpengaruh terhadap kelestarian dari sumberdaya alam yang ada di sekitarnya. Jadi sekarang yang perlu ditumbuh kembangkan adalah bagaimana membentuk perilaku masyarakat menjadi positif dan akrab dengan lingkungannya serta aktif menjaga nilai kelestarian alam tersebut. Dan kenyataannya sekarang adalah bagaimana menggabungkan antara kelestarian hutan mangrove tersebut dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat.
Jadi setiap yang diambil dalam pelestarian dan
pengelolaan hutan mangrove, maka diharapkan agar juga dapat mengatasi atau menyentuh terhadap masalah sosial ekonomi masyarakat yang ada. IV. PENDEKATAN KONSERVASI Beberapa pendekatan yang diperlukan dalam kegiatan konservasi sumber daya alam mengenai ekosistem mangrove yang dapat dilakukan. Setidaknya ada dua hal yang kemungkinan dapat dilakukan dan mesti diperhatikan dalam usaha pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove, yaitu: 1. Kualitas Sumberdaya Manusia Salah satu permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat pesisir pantai adalah dikarenakan masih rendahnya tingkat pendidikan.
Namun dalam hal
pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove ini, maka perlu dilakukan upaya peningkatan kualitas SDM yang berupa: a. Pelatihan dengan materi tentang; Manfaat dan fungsi hutan mangrove, Pengenalan jenis-jenis tumbuhan mangrove, Kegunaan masing-masing jenis, Teknik pemilihan bibit, Teknik pembibitan, Teknik penanaman dan Teknik pemeliharaan. b. Penyuluhan tentang peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya hutan mangrove di Indonesia. c. Pembentukan
Kelompok
Swadaya
Masyarakat
(KSM)
dalam
rangka
menjalankan program pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat didalamnya.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 93
d. Mengembangkan mata pencaharian alternatif agar anggota masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari keberadaan hutan mangrove dapat beralih sehingga tekanan terhadap mangrove dapat dikurangi, misalnya dengan menjalankan kegiatan pengolahan hasil perikanan atau pertanian. Dalam hal ini perlu kerjasama yang erat antara dinas terkait dengan LSM yang ada. 2. Peningkatan Peran Serta Masyarakat Melalui Pengelolaan yang Berbasis Masyarakat Strategi penting yang sedang berkembang saat ini dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam adalah dengan pengelolaan berbasis masyarakat. Dimana strategi ini mengandung arti, bahwa masyarakatlah yang terlibat langsung dalam mengelola sumberdaya alamnya. Mengelola disini berarti masyarakat
ikut
memikirkan,
merencanakan,
melaksanakan,
mengawasi/
memonitor dan mengevaluasi segala sesuatunya. Namun untuk melaksanakan atau menerapkan strategi ini bukan hal yang mudah, karena ada beberapa syarat yang harus dipenuhi didalamnya, yaitu : a. Masyarakat harus diberikan hak dan kewajiban resmi. b. Pengakuan atas hukum adat dan hak ulayat. c. Pembatasan yang jelas terhadap obyek pengelolaan. d. Ide dan persepsi masyarakat harus menyatu. e. Disesuaikan dengan kemampuan masyarakat. Ada
beberapa
jenis
kegiatan
dilapangan
yang
diharapkan
dapat
dilaksanakan bersama masyarakat berupa: a. Pemilihan/pengumpulan benih atau buah b. Pengumpulan media tanah c. Pengisian media tanah kedalam wadah polybag d. Pembuatan bedeng persemaian dan penyemaian e. Pengadaan ajir dan pagar berkawat f. Pengajiran dan penanaman bibit g. Pemagaran dan pemasangan papan tanda h. Pemeliharaan dan penyulaman. Kegiatan-kegiatan
yang
melibatkan
secara
langsung
masyarakat,
diharapkan dapat sebagai pendekatan yang dapat menyadarkan masyarakat akan pentingnya sumberdaya alam yang dimiliki. Sebagaimana ekosistem 94 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
mangrove yang berada dengan dengan mereka selalu terjaga dan lestari dalam pengelolaanya. V. KESIMPULAN 1. Ekosistem hutan mangrove dikenal sebagai ekosistem yang paling dinamis dan sangat rentan terhadap perubahan lingkungan di sekitarnya. 2. Peranan mangrove sangat penting, baik secara ekonomi dan ekologi sebagai sumber daya alam dan perlindungan dengan lingkungan dan antara aspek tersebut tidak dapat dipisahkan tanpa menyebabkan bahaya ke suatu areal. 3. Untuk itu perlu kiranya menjadikan masyarakat sebagai penggerak utama atau berpartisipasi aktif dalam hal pelestarian dan pengelolaan hutan mangrove. 4. Strategi penting yang sedang berkembang saat ini dalam rangka pengelolaan sumberdaya alam adalah dengan pengelolaan berbasis masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Anwar, C. 2005. Wanamina, Alternatif Pengelolaan Kawasan Mangrove Berbasis Masyarakat. Prosiding Ekspose Hasil Penelitian Pemanfaatan Jasa Hutan dan Non Kayu Berbasis Masyarakat sebagai Solusi Peningkatan Produktivitas dan Pelestarian Hutan, Cisarua, 12 Desember 2003: 21-26. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor Prosiding Ekspose HasilHasil Penelitian, 2007 Bratamihardja, H. M. 1991. Pengelolaan Hutan Payau di Pantai Utara Pulau Jawa. Prosidings Seminar IV, Ekosistem Mangrove, Bandar Lampung, 7-9 Agustus 1990: 59-63. Program MAB Indonesia – LIPI. Jakarta Christensen Bo. Mangroves what are they worth. http://www.fao.org/documents/ show_cdr.asp.htm download 20 September 2011. Direktorat Jenderal Bina Pesisir. 2004. Pedoman Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Ditjen Pesisir dan Pulau Kecil, DKP. Jakarta Gunawan, H. 2000. Desentralisasi : Ancaman dan Harapan Bagi Masyarakat Adat (Studi Kasus Masyarakat Adat Cerekang di Kabupaten Luwu Timur, Provinsi Sulawesi Selatan). CIFOR. Bogor. Gunawan, H. dan C. Anwar. 2005. Kajian Pemanfaatan Mangrove dengan Pendekatan Silvofishery . Laporan Tahunan. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor (tidak diterbitkan). Inoue, Y., O. Hadiyati, H.M.A. Affendi , K.R. Sudarma dan I.N. Budiana. 1999. Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Departemen Kehutanan dan Perkebunan dan JICA. Jakarta. Kusmana, C. 1997. Ekologi dan Sumberdaya Ekosistem Mangrove. Bogor Jurusan Mangemen Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 95
Kuswandi, R.; R. Bawole; E. Batorinding. 2002. Dampak Eksploitasi Mangrove Terhadap Kualitas Ekosistem Perairan Estuari pada Areal HPH PT. Bintuni Utama Murni Wood Industries (BUMWI) di Babo, Manokwari. Buletin Penelitian Kehutanan, Visi dan Misi BPK Manokwari. Vol.VII.No.1.Tahun 2000. Manokwari Mulyana, R., 1999, Kajian Dinamika Pengelolaan Sumberdaya Pesisir: Studi Kasus Kecamatan Kepulauan Seribu, Jakarta, Tesis Magister Program Studi Pembangunan ITB, Bandung Odum, W.E., and E.J. Heald. 1975. The respon of mangrove to man-induced environmental stress., pp: 52-62. In Furguson wood, E.J and R.E. Johannes (eds.) Tropical marine pollution. Amsterdam Perhutani Purwakarta. 2005. Renstra Pengelolaan Hutan Lindung Mangrove KPH Purwakarta, Perhutani KPH Purwakarta, Purwakarta. Poedjirahajoe, E. 2000. Pengaruh Pola Sylvofishery terhadap Pertambahan Berat Ikan Bandeng (Canos canos Forskal) di Kawasan Mangrove Pantai Utara Kabupaten Brebes. Jurnal Konservasi Kehutanan, Vol. 2, Agustus 2000: 109-124, UGM, Yogyakarta. Sumedi, N. dan D. Mulyadhi. 1996. Kajian Sylvofishery pada Hutan Mangrove di Kabupaten Sinjai Provinsi Sulawesi Selatan. Bulletin Penelitian Kehutanan No. 1 th 1996. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang, Makassar. Supriharyono. 2007. Konservasi Ekosistem Sumber Daya Hayati di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Wirjodarmodjo, H. dan Z. Hamzah. 1982. Beberapa Pengalaman Perum Perhutani dalam Pengelolaan Hutan Mangrove. Prosiding Seminar II: Ekosistem Mangrove: 29-40. LIPI, Balai Penelitian Hutan, Perum Perhutani, Biotrop, Dit. Bina Program Kehutanan, Jakarta.
96 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
FAKTOR DAN STAKEHOLDER PENTING DALAM MEMBENTUK KELEMBAGAAN KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) MODEL DI TANAH PAPUA Irma Yeny1), Baharinawati1), Yoel Tandirerung1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia
RINGKASAN
Prasyarat pembangunan KPH merupakan indikator keberhasilan pembangunan KPH. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi keberhasilan pembentukan kelembagaan organisasi KPHP Model di Papua? Berdasarkan faktor-faktor tersebut dan kepentingan stakholders, siapa aktor yang paling berperan dalam pembentukan kelembagaan KPH di Papua. Penelitian bertujuan menganalisa faktor keberhasilan pembangunan KPH di Papua. Sasaran adalah teridentifikasinya: 1) Faktor-faktor prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam pembangunan kelembagaan KPH Model di Papua. 2)Parapihak (stakeholders) penting dalam pembentukan kelembagaan KPH Model di Papua. Metode yang dilakukan adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Pegumpulan data dilakukan melalui fokus grup diskusi (FGD) dan wawancara dengan responden kunci (Key Respondent Interview) dengan menggunakan acuan daftar pertanyaan. Luaran adalah faktor-faktor penting dan faktor dalam merancang kelembagaan unit KPHP Model di tingkat tapak menuju tata kelola hutan yang lebih baik. Data dan informasi yang terkumpul selanjutnya diolah secara kualitatif deskriptif. Dari hasil penelitian diketahui faktor-faktor yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan Kelembagaan KPHP Model diketahui terdapat 3 unsur utama yaitu : 1) Kebijakan, 2) Sumberdaya manusia, 3) Pendanaan. Berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh, maka stakeholder yang berperan merupakan kelompok sponsor yaitu pejabat pada top organisasi yang bertanggungjawab memimpin jalannya perubahan; menjamin komitmen publik dan politik dan memecahkan masalah dalam pembangunan/penyempurnaan kelembagaan. Kata kunci: Kelembagaan KPH Model, parapihak
I. PENDAHULUAN A. Latarbelakang Hutan Papua merupakan salah satu the Global Tropical Wilderness Areas selain hutan tropis Amazone dan Hutan Tropis Kongo, juga the larger tropical
rain forest ecosistem paling lengkap dan sangat unik terbentang dari pesisir pantai sampai alpin.
Hutan Papua termasuk the world tropical bioderversity
hotspots karena memiliki tingkat keanekaragaman hayati endemik sangat tinggi. Hutan Papua juga menjadi benteng terakhir hutan tropis Indonesia dalam mengendalikan perubahan lingkungan dan iklim Indonesia dan bahkan dunia dan Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 97
juga menjadi paru-paru oksigen terakhir bagi kehidupan makluk hidup dimuka bumi ini. Saat ini hutan Papua sudah mengalami degradasi lahan mencapai 0,13 juta hektar per tahun.
Degradasi disebabkan oleh 3 (tiga) faktor yaitu
pembalakan legal, konversi ke penggunaan non hutan dan pembalakan illegal. Pembalakan legal merupakan ancaman terbesar lajunya degradasi di Papua. Pietsau
Amafnini
(2009),
menyatakan
bahwa
persoalan
yang
dihadapi
masyarakat adat Papua selama ini merupakan efek dari hadirnya perusahaanperusahaan yang hanya mengejar keuntungan, tetapi tidak memperhatikan kelestarian hasil. Kondisi ini jika terus berlangsung maka akan terjadi kerusakan hutan seperti yang terjadi di pulau-pulau besar di Indonesia. Untuk memastikan agar pengelolaan hutan di Papua tidak mengulang sejarah kehancuran hutan alam sebagaimana wilayah-wilayah lain di Indonesia (Sulawesi, Sumatera dan Kalimantan) maka pembangunan KPH menjadi program prioritas pembanguanan kehutanan di Papua (Kayoi, 2008). Dalam mengimplementasikan prioritas program tersebut pada wilayah Papua telah ditetapkan 56 (lima puluh enam) unit kesatuan pengelolaan hutan (KPH) yang terdiri dari 31 unit KPHP dan 25 unit KPHL yang tersebar di wilayah 25 administrasi pemerintah kabupaten/kota.
Sementara Provinsi Papua Barat
telah ditetapkan 21 (dua puluh satu) unit kesatuan pengelolaan hutan (KPH) yang terdiri dari 16 unit KPHP dan 5 unit KPHL yang tersebar di 10 wilayah adminstrasi pemerintah/kota.
Dalam perkembangan lebih lanjut dan sejalan
dengan kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah telah ditetapkan 1 (satu) unit KPH model pada setiap wilayah provinsi. KPH model yang telah disepakati adalah unit KPH Kepulauan Yapen sebagai KPH Model Provinsi Papua dan unit KPH sorong sebagai KPH Model di Provinsi Papua Barat.
Dengan telah
ditetapkan 72 unit KPH dan 2 KPHP Model di Papua maka pembangunan KPH selayaknya sudah mulai dikembangkan menuju situasi dan kondisi aktual organisasi KPH di tingkat tapak. Pembangunan kelembagaan KPH tersebut harus dibangun
sesuai
dengan
kemampuan
unit
kelola
untuk
melaksanakan
pengelolaan hutan yang berbasis sumberdaya hutan, termasuk mengembangkan kepentingan para pihak, mengembangkan investasi, penyediaan informasi lebih lengkap tentang sumberdaya alam dan permasalahannya sebagai landasan penetapan manajemen pengelolaan, serta terlaksananya implementasi peraturan perundangan. 98 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Berdasarkan
prasyarat
tersebut
maka
kemampuan
dan
tingkat
kepentingan pengelola hutan dalam menyusun suatu bentuk kelembagaan KPH Model perlu diamati lebih mendalam. Tulisan ini mencoba mendeskripsikan faktor dan stakeholder penting berdasarkan tingkat kemampuan dan kepentingan yang harus dipertimbangkan dalam pembentukan kelembagaan KPH Model di Papua. B. Tujuan penelitian Penelitian
bertujuan
menganalisa
faktor
prioritas
keberhasilan
pembangunan KPH Model di Papua. Sasaran adalah teridentifikasinya : 1. Faktor-faktor prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam pembangunan kelembagaan KPH Model di Papua. 2. Parapihak (stakeholders) penting dalam pembentukan kelembagaan
KPH
Model di Papua. II. METODOLOGI A. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Juni-september 2010 bertempat pada Provinsi Papua (KPHP Model Yapen) dan Papua Barat (KPHP Model Sorong).
KPHP Model Kepulauan Yapen, Kab. Yapen Waropen (105.866,09 Ha)
KPHP Model Sorong, Kab. Sorong (222.014,25 Ha)
Gambar 1. Lokasi Penelitian
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 99
B. Metode Penelitian Metode yang dilakukan adalah metode deskriptif dengan teknik survei. Data primer diperoleh melalui fokus grup diskusi (FGD) dan wawancara dengan responden kunci (Key Respondent Interview) dengan menggunakan acuan daftar pertanyaan
terkait
faktor-faktor
penentu
keberhasilan
dan
parapihak
(stakeholders) yang perlu dipertimbangkan dalam kelembagaan KPH. Kelembagaan yang ingin didekati dalam penelitian ini adalah analisis kelembagaan dari sudut organisasi tanpa melihat secara spesifik tentang aturan main dalam kelembagaan. Responden
merupakan
orang
yang
dianggap
memahami
konsep
pembangunan KPH di Papua dan merupakan keterwakilan dari instansi terkait (BPKH, Dinas Kehutanan Provinsi/kabupaten dan tokoh masyarakat yang berada pada unit KPH, LSM dan pakar). Data sekunder diperoleh dari berbagai dokumen berupa rancangan dan rencana aksi pembanguanan KPH Region Papua. Data sekunder dikumpulkan meliputi kondisi hutan dan sosial ekonomi masyarakat pada wilayah unit KPH serta rancangan pembangunan KPH Model (rancangan pengelolaan kawasan dan implementasinya). C. Analisis Data Data dianalisis berdasarkan tujuan penelitian yang ingin dicapai. Untuk tujuan pertama yaitu faktor-faktor prioritas yang perlu dipertimbangkan dalam pembangunan kelembagaan KPH Model maka dilakukan analisis deskriptif sedangkan untuk tujuan stakeholder penting dilakukan analisis stakeholder berdasarkan tingkat kepentingan
dan pengaruh stakeholder pada kegiatan
pembentukan kelembagaan KPH Model di Papua. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Pembentukan KPH di Papua dalam proses pembentukan kelembagaan pengelola unit KPH.
Sebagai wujud riil pengelolaan di tingkat tapak saat ini
sedang dipersiapkan kelembagaan maupun kebijakan KPHP Model di Papua dan Papua Barat. Berdasarkan kemampuan dan tingkat kepentingan pengelola hutan di Papua terdapat faktor-faktor yang menjadi prioritas dalam pembangunan 100 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
kelembagaan KPH di Papua maka sub bab berikutnya akan mendeskripsikan faktor prioritas pembangunan kelembagaan KPHP Model dan para pihak yang berperan dalam pembentukan kelembagaan. 1. Faktor-faktor
penting
yang
perlu
dipertimbangkan
dalam
pembangunan kelembagaan KPH di Papua. Hasil diskusi dengan responden menunjukkan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan pembentukan kelembagaan KPH di Papua antara lain : a. Kebijakan Secara umum kebijakan merupakan cara dan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah pembangunan tertentu atau untuk mencapai tujuan pembangunan tertentu dengan mengeluarkan keputusan, strategi, perencanaan maupun implementasinya di lapangan dengan menggunakan instrumen tertentu (Tony Djogo, 2003).
Salah satu persoalan yang mendasar dari upaya
pembentukan kelembagaan KPHP Model adalah sangat terbatas dasar hukum yang dapat menjalankan perencanaan dan strategi yang telah disusun dalam dokumen rancangbangun KPHP Model. Dalam
membentuk
kelembagaan
KPH
ditingkat
provinsi
maupun
kabupaten dibutuhkan dasar hukum baik dalam bentuk peraturan daerah maupun peraturan gubernur/peraturan bupati. Kebijakan pendukung yang telah ada saat ini untuk pembentukan kelembagaan KPH Model yaitu peraturan bupati Sorong No. 31 tahun 2008 tentang pembentukan susunan organisasi dan tata kerja dinas daerah di kabupaten Sorong dan Peraturan bupati Sorong No. 431 tahun 2008 tentang penjabaran uraian dan fungsi dihut kabupaten Sorong. Peraturan bupati nomor 4 tahun 2008 tentang pembentukan organisasi, setda dan sekwan DPRD, Dinas-dinas dan lembaga teknis daerah kabupaten kepulauan Yapen. Didalam Peraturan bupati menyebutkan susunan organisasi dinas-dinas lembaga teknis daerah dapat mengakomodir UPTD yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada dibawah kepala dinas atau setara dengan eselon III. Sebagai tindak lanjut dari Peraturan bupati tersebut saat ini sedang di proses Peraturan Bupati tentang kelembagaan KPH Model Yapen dan Sorong Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 101
dalam bentuk UPTD oleh bagian Hukum dan organisasi pada pemerintah daerah setempat sehingga masih membutuhkan waktu dalam penerbitan payung hukum kelembagaan yang menjadi dasar pelaksanaan pengelolaan KPH. b. Sumberdaya Manusia Organisasi KPH tidak terlepas dari suatu manajemen yang dikelola oleh sumberdaya manusia yang profesional. Permasalahan lainnya dalam membentuk organisasi KPHP Model sebagai bagian dari kelembagaan adalah kebutuhan sumberdaya manusia.
Berdasarkan struktur organisasi pada KPH Model yang
telah dituangkan dalam dokumen rancang bangun KPHP Model maka kebutuhan sumberdaya manusia berdasarkan kompetensinya tertuang dalam tabel 1. Tabel 1.
No
Kebutuhan SDM berdasarkan Kopetensi serta ketersediaannya pada Dinas Kehutanan di tingkat Kabupaten.
Jabatan
1.
KKPH
2.
Ka.Bag T.U
3.
Kasubbag Keuangan/ Perencanaan Umum/ Keuangan
4.
KBKPH
5.
Kepala seksi (pemantapan dan peredaran HH/perlindungan dan pengamanan hutan/penataan dan pembinaan hutan/pemberday aan masyarakat
Kualifikasi
Kebutuhan
Pangkat Min III d Pendidikan Kehutanan Min 10 thn berkompetensi di bid. Kehutanan Pangkat Min III c Pendidikan S1 Ekonomi/Manaj/D3 Tata usaha Min 8 thn berkompetensi di bid. Tata usaha Pangkat Min III b Pendidikan S1 Ekonomi/Manaj/D3 Tata usaha Min 6 thn berkompetensi di bid. Tata usaha Pangkat Min III b Pendidikan S1 Kehutanan Min 6 thn berkompetensi di bid. Kehutanan Pangkat Min III b Pendidikan S1 kehutanan Min 6 thn berkompetensi di bid. kehutanan
Ketersediaan
1
Dinhut Sorong 2
Dinhut Yapen 1
1
3
1
3
3
3
1 s/d 3
9
1
1 s/d 4
0
0
102 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ketersediaan No
Jabatan
6.
kepala resort
7.
Mandor
8.
Kepala Kelompok Kerja kelompok kerja
9.
Kualifikasi
Kebutuhan
Pangkat Min III a Pendidikan S1 Kehutanan/D3 Kehutanan Min 4 thn berkompetensi di bid. kehutanan SKMA/SLTA pengalaman kerja 3 tahun memiliki kompetensi di bidangnya membantu mandor
1 s/d 3
Dinhut Sorong 8
Dinhut Yapen 4
4
2
tenaga non skill tenaga kontrak atau tenaga kerja masyarakat lokal binaan KPH
Tabel 1. menunjukkan kebutuhan dan ketersediaan SDM sesuai dengan kompetensi yang disusun dalam rancang bangun KPH Model maka kehutanan
kabupaten
Sorong
mempunyai
surplus
sumberdaya
dinas manusia
sementara dinas kehutanan Kabupaten Kepulauan Yapen masih kekurangan sumberdaya manusia sesuai kompetensi. Untuk mengatasi hal tersebut responden mengharapkan dapat dilakukan perbantuan sumberdaya manusia dari Dinas Kehutanan Provinsi setempat maupun dengan peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan sehingga dapat mengatasi permasalahan kompetensi SDM yang ada. c. Pedanaan Prinsip penyusunan organisasi perangkat daerah mempertimbangkan (1) Kewenangan pemerintah yang dimiliki daerah (2) Karakteristik potensi dan kebutuhan daerah (3) Kemampuan keuangan daerah (4) Ketersediaan sumber daya manusia (5) Pengembangan pola kerja sama antar daerah (Publik. PustakaNet, 2008).
Terkait dengan pembentukan kelembagaan KPHP model
sebagai perangkat daerah (UPTD) maka kemampuan keuangan daerah juga merupakan masalah yang harus dipertimbangkan dalam menjalankan organisasi tersebut. Dalam menjalankan pemerintahan daerah, sumber dana yang digunakan meliputi pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan lain-lain pendapatan yang sah.
Dalam hal ini potensi daerah diharapkan mampu menyokong Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 103
ketersediaan pendapatan dearah. Sementara disisi lain UU No. 22/1999 tentang pemerintahan daerah mengamanatkan sebagian kewenangan publik di serahkan kepada pemerintah daerah.
Impilkasi dari undang-undang tersebut adalah
peningkatan kebutuhan anggaran dalam menjalankan fungsi-fungsi yang diberikan. Kondisi ini menyebabkan anggaran pendapatan daerah lebih kecil dari fungsi dan beban tugas yang diamanatkan dalam Undang-undang tersebut. Berdasarkan statistik Kabupaten Kepulauan Yapen penggunaan anggaran pendapatan daerah mencapai 80 % untuk kebutuhan rutin berupa belanja tidak langsung. Kondisi ini menyebabkan banyak program pembangunan di daerah termasuk pembentukan KPH belum memperoleh dukungan dana yang optimal sehingga terkesan lambat.
Hal tersebut diperberat lagi dengan kurangnya
partisipasi dunia usaha dalam mendukung pengelolaan hutan.
2. Para Pihak yang perlu dipertimbangkan dalam kelembagaan KPH Dalam dokumen rancang bangun KPHP Model Yapen telah disusun pembagian peran dalam merealisasikan rencana aksi pembentukan KPH Model. Berdasarkan analisis terhadap kekuatan,kelemahan,peluang dan ancaman maka telah ditetapkan 20 strategi yang dapat diambil sebagai alternatif untuk pencapaian tujuan pembangunan KPH Model Kepulauan Yapen.
Dari ke dua
puluh strategi tersebut terdapat 11 (sebelas) strategi yang dianggap prioritas dalam pencapaian tujuan pembangunan KPH Model antara lain: a.
Menjaga komitmen Dinas Kehutanan, dan dukungan masyarakat setempat.
b.
Membangun komitmen antara para pihak untuk membangun kesepahaman yang berkaitan dengan upaya-upaya pembangunan KPH
c.
Meningkatkan kerjasama antara dinas kehutanan dengan masyarakat dan mengakomodir keinginan masyarakat kedalam kebijakan pengelolaan hutan.
d.
Mensosialisasikan Peraturan perundangan kepada para pihak yang berkaitan dengan KPH, pengelolaan hutan bersama masyarakat dan kawasan hutan.
e.
Melakukan pembinaan terhadap staf dinas kehutanan yang berkaitan dengan pengelolaan kawasan hutan.
f.
Mengalokasikan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan pada unit KPH.
g.
Membentuk kelembagaan masyarakat dan pemerintah, serta mengumpulkan data tentang kebutuhan, presepsi serta sosial budaya masyarakat.
h.
Melakukan kegiatan Tataguna lahan di dalam unit KPH
104 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
i.
Melakukan kegiatan pemetaan partisipatif terhadap kepemilikan lahan masyarakat dan kawasan hutan.
j.
Melakukan
pemberdayaan
masyarakat
dengan
melibatkan
seluruh
stakeholder. k.
Melakukan penataan batas dan rekonstruksi kawasan hutan Beberapa pihak yang berkepentingan serta strategi yang harus dilakukan
tertuang dalam Tabel 2. Tabel 2. Pembagian Peran Rencana Aksi Pembentukan KPH Model Yapen. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
Pihak Berkepentingan
Peran
Departemen Kehutanan Gubernur Provinsi Papua Bupati Kabupaten Kepulauan Yapen Dishut Kabupaten Yapen Bappeda Kabupaten Kep. Yapen BPKH Wilayah II Papua BPDAS Memberamo Papua Dinas Kehutanan Provinsi Papua Dinas Pariwisata Kab.Kep Yapen BPKD Kabupaten Kepulan Yapen Dinas Pertanian/perkebunan Dinas Perikanan Kab. Kepulauan Yapen Dinas Kimpraswil Distrik-distrik Masyarakat kampung NGO, Tokoh Masyarakat Akademisi/Pakar bidang kehutanan Disperindag, Koperasi dan badan usaha lainnya
strategi : 2,4,5,7 Strategi : 2 Strategi : 2,3,4,7,11 Strategi : 10,11 Strategi : 1,2,3,4,5,6,7,8,9 Strategi : 2,3,4,10 Strategi : 2,3,4,6,7 Strategi : 2,4,6,10 Strategi : 2,3,4,6,10,11 Strategi : 2,5 Strategi : 2,5,10 Strategi : 2, 10 Strategi : 2,10 Strategi : 1,2,3,10,11 Strategi : 1,2,3,8,9,10 Strategi : 1,2,3,8,9, 10 Strategi : 2,3,4,10 Strategi : 2,10
Sumber : Dokumen Rancang bangun KPH Model Yapen
Pembagian peran dan strategi pada Tabel 2. menunjukkan bahwa
stakeholder yang sangat berperan dalam strategi nomor tujuh yaitu membentuk kelembagaan masyarakat dan pemerintah serta mengumpulkan data tentang kebutuhan, persepsi serta sosial budaya masyarakat
adalah Kementerian
kehutanan, Bupati kepulauan Yapen, BAPPEDA Kepulauan Yapen, BPDAS Memberamo. Berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh maka stakeholder tersebut merupakan kelompok sponsor yaitu pejabat pada top organisasi yang bertanggungjawab memimpin jalannya perubahan; menjamin komitmen publik dan politik dan memecahkan masalah dalam pembangunan/penyempurnaan kelembagaan.
Dalam
dokumen
rancang
bangun
peran
masing-masing
stakeholder dalam pembentukan kelembagaan belum disebutkan secara jelas
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 105
sehingga sampai saat ini stakeholder yang telah banyak mengambil peran adalah Dinas Kehutanan Kepulaun Yapen. Pada dokumen rancang bangun KPH Model Sorong menyebutkan kebijakan strategis dalam rangka pembangunan KPHP Model Register sorong antara lain :
1. Pembentukan kelembagaan KPHP Model 2. Pemantapan kawasan KPHP Model 3. Pemantapan Rancangan pengelolaan kawasan KPHP Model 4. Pembangunan sarana dan prasarana pendukung kegiatan KPHP Model 5. Pengembangan sumberdaya manusia. Terkait dengan strategi kebijakan pembentukan kelembagaan KPHP Model salah satu program yang harus dilakukan adalah legislasi UPTD sebagai institusi pengelola KPHP Model Register II Sorong. Program ini meliputi kegiatan pokok yaitu : 1. Menyusun struktur organisasi KPH Model Register II Sorong, 2. Menetapkan personalia pada unit-unit organisasi. 3. Merumuskan Tupoksi masing-masing unit organisasi 4. Penerbitan Perbup tentang Kelembagaan UPTD KPHP Register II Sorong. Berdasarkan pembagian peran yang dilakukan pada dokumen rancang bangun serta sejalan dengan kebijakan strategis dan program tersebut maka pihak yang paling berperan dalam pembentukan kelembagaan KPHP Model Sorong adalah Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong bersama biro hukum dan kelembagaan pada Pemerintah Daerah Kabupaten Sorong. B. Pembahasan Kelembagaan merupakan suatu tatanan dan pola hubungan antara anggota masyarakat atau organisasi yang saling mengikat yang dapat menentukan bentuk hubungan antar manusia atau antara organisasi yang diwadahi dalam suatu organisasi atau jaringan dan ditentukan oleh faktor-faktor pembatas dan pengikat berupa norma, kode etik aturan formal maupun informal untuk pengendalian perilaku sosial serta insentif untuk bekerjasama dan mencapai tujuan bersama (Tony djogo, 2003).
106 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Dari hasil penelitian diketahui faktor-faktor pembatas yang harus dipertimbangkan dalam pembangunan Kelembagaan KPHP Model diketahui terdapat 3 unsur utama yaitu : 1. Kebijakan 2. Sumberdaya manusia 3. Pendanaan Berdasarkan faktor tersebut maka diperlukan cara dan tindakan untuk mengakomodir faktor prioritas dalam pembangunan kelembagaan KPHP Model tersebut.
Salah
satu
faktor
yang
mendasar
dari
upaya
pembentukan
kelembagaan KPHP Model adalah sangat terbatas payung hukum yang dapat menjalankan perencanaan dan strategi yang telah disusun dalam dokumen rancangbangun KPHP Model. PP No. 41 Tahun 2007, pasal 14 ayat 6 menyebutkan dinas daerah dapat membentuk unit pelayanan teknis daerah untuk melaksanakan sebagian kegiatan teknis operasional dan/atau kegiatan teknis penunjang yang mempunyai wilayah kerja satu atau beberapa kecamatan.
Struktur organisasi yang dapat dibentuk
adalah seperti Gambar 2.
Kepala Dinas
Kabid. A
Kabid. B
Kabid. C
UPTD/KKPH
Gambar 2. Struktur organisasi UPTD berdasarkan PP No. 41 Tahun 2007. Tugas dan tanggungjawab Kepala UPTD/KKPH adalah menyusun dan melaksanakan program/kegiatan terkait pengelolaan hutan.
Mekanisme kerja
kepala KPH adalah bertanggungjawab terhadap kepala dinas.
Sehingga
dibutuhkan KKPH minimal III d atau eselon III/IVa. KKPH dibantu beberapa staf yang jumlah dan kompetensinya disesuaikan dengan kebutuhan, dengan kualifikasi memiliki kemampuan dan pengusaan keilmuan di bidang kehutanan. Adanya dasar hukum pendukung baik dalam bentuk PP No. 41 Tahun 2007
maupun Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah
Daerah, maka setiap daerah diberikan kewenangan untuk mengatur daerahnya sendiri sesuai dengan kondisi wilayahnya masing. Dampak diberlakukannya Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 107
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 serta Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000, tentang Otonomi dan Kewenangan Daerah,
cukup luas
terhadap
penataan kelembagaan maupun penataan personil, dimana kewenangan sepenuhnya diberikan kepada daerah. Sesuai dengan kewenangannya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.
Berdasarkan kewenangan tersebut
maka diperlukan kinerja pemerintah daerah dalam penyusunan norma, standar, prosedur dan ktriteria kelembagaan KPHP Model. Faktor kedua yang harus dipertimbangkan adalah sumberdaya manusia. Organisasi yang merupakan bagian dari kelembagaan terdiri dari berbagai elemen yang salah satunya adalah sumber daya manusia sebagai sumberdaya organisasi. Terkait dengan sumberdaya organisasi perlu diingat bahwa semua itu tidaklah tersedia secara berlimpah. Ada keterbatasan yang mengakibatkan pemanfaatannya harus dilakukan secara cermat. Proses manajemen yang baik harus bisa memanfaatkan keterbatasan tersebut demi tercapainya tujuan organisasi (Pujangkoro, 2004). Jika mengacu pada standar kompetensi struktur KPH yang dibutuhkan maka diperlukan upaya dalam mencukupi kebutuhan sumberdaya manusia dalam struktur organisasi yang telah direncanakan.
Yudhi (2008) menyebutkan
terdapat dua cara penyediaan SDM yaitu secara internal dan eksternal. Persediaan/supply internal bisa berasal dari karyawan yang telah ada yang dapat dipromosikan, ditransfer, atau didemosi untuk mengisi lowongan. Supply eksternal berasal dari luar atau mereka yang tidak sedang bekerja di organisasi tersebut dan siap direkrut oleh organisasi yang membutuhkan.
Lebih lanjut
dikatakan kebutuhan organisasi harus di bandingkan dengan penyediaan tenaga kerja yang ada.
Tidak hanya sekedar menghitung jumlah karyawan. Harus
dilakukan audit tenaga kerja yang sudah ada untuk mengetahui kemampuan pekerja yang ada.
Informasi ini menjadi dasar estimasi tentatif mengenai
lowongan-lowongan yang dapat diisi oleh karyawan yang ada. Pada
kebutuhan
kompetensi
(pendidikan,
lama
bekerja
dan
pangkat/golongan) maka terlihat keterbatasan sdm pada dinas kehutanan di tingkat kabupaten. Agar dapat me-manage sdm yang ada, maka unsur lama bekerja dan pangkat dan golongan sebaiknya tidak menjadi prasyarat utama dalam memenuhi kebutuhan sdm pada struktur organisasi KPH namun pertimbangan kemampuan pekerja meliputi usaha dan tanggungjawab menjadi 108 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
dasar estimasi tentatif mengisi lowongan yang dapat diisi oleh sdm yang telah ada.
Struktur organisasi KPH Model di Papua telah disusun dalam rancang
bangun KPHP model seperti Gambar 3.
Gambar 3. Struktur Organisasi KPHP Model berdasarkan dokumen rancang bangun KPHP Model Sorong. Berdasarkan Gambar 3. maka untuk struktur organisasi KPHP Model Sorong yang terdiri dari 3 (tiga) DAS merupakan yaitu DAS Beraur, DAS Warsamson, DAS Karabra sehingga dibutuhkan 4 (empat) orang sumberdaya manusia
dibidang
ekonomi/manajemen/tata
usaha.
Sumberdaya
manusia
tersebut akan mendukung kepala tata usaha. Selanjutnya SDM yang memiliki kemampuan pengelolaan hutan khususnya budidaya, manajemen dan konservasi hutan baik sarjana maupun diploma dibutuhkan lebih dari dua puluh satu orang yang menempati jabatan mulai dari KBKPH, Kepala seksi dan kepala resort. Sedangkan untuk struktur organisasi KPHP Model Yapen yang memiliki 1 (satu) DAS yaitu DAS Yapen dalam dibutuhkan 4 (empat) orang sumberdaya manusia dibidang ekonomi/manajemen/tata usaha dan membutuhkan SDM yang memiliki kemampuan pengelolaan hutan khususnya budidaya, manajemen dan konservasi hutan baik sarjana maupun diploma dibutuhkan lebih dari delapan Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 109
orang yang menempati jabatan mulai dari KBKPH, Kepala seksi dan kepala
resort. Untuk memenuhi kebutuhan sumberdaya manusia tersebut dapat di peroleh melalui pembukaan lapangan kerja bagi lulusan fakultas kehutanan unipa dan sekolah menengah atas kejuruan kehutanan yang berada di Kabupaten Manokwari.
Ketersedian sumberdaya manusia tersebut terlihat dari setiap
tahunnya Unipa menghasilkan 92 alumni kehutanan.
Sedangkan di SMK
Kehutanan dapat menyediakan sdm kehutanan sekitar 30 alumni tiap tahunnya. Namun
untuk
memenuhi
kebutuhan
tenaga
berdasarkan
pangkat
dan
pengalaman kerja maka ketersediaan SDM teknis pada dinas kehutanan provinsi dan kabupaten diharapkan mampu mengisinya. Faktor ketiga yaitu keterbatasan sumber pembiayaan daerah juga menjadi salah satu faktor lambatnya pembangunan KPH di Papua. Implikasi finansial dari desentralisasi pengelolaan hutan adalah pada peningkatan kebutuhan anggaran untuk bisa menjalankan fungsi-fungsi yang diberikan tersebut. Untuk itu, UU No.25/1999 berupaya mengatur agar dalam menjalankan program desentralisasi juga tercapai keseimbangan yang memadai antara beban fungsi dan sumberdaya finansial yang dimiliki daerah. Lewat pengaturan keseimbangan fiskal yang baru maka akan terjadi perimbangan keuangan yang baru, baik dalam dimensi vertikal (antar tingkatan pemerintahan) maupun horizontal (antar pemerintah daerah di tingkat yang sama). Dalam konteks inilah maka peran dana perimbangan (khususnya Dana Alokasi Umum - DAU) menjadi sangat sentral dalam upaya menyeimbangkan perbedaan potensi dan kebutuhan antar daerah (dimensi horizontal) dan menyeimbangkan perbedaan sumberdaya dan beban fungsi antar tingkat pemerintahan (dimensi vertikal). Sejalan dengan hal tersebut maka perlu diatur sumber pendanaan dan mekanismenya dalam menjalankan unit KPHP Model di Papua. Di lain pihak saat ini telah disusun strategi untuk segera mewudkan pra kondisi dan pengorganisasiaan kawasan sehingga diperoleh kemantapan status dan batas kawasan terbabas dari konflik, disamping membentuk institusi pengelola yang memiliki legitimasi hukum. Strategi tersebut antara lain : 1. Percepatan legislasi UPTD sebagai institusi pengelola KPHP Model Register II kabupaten sorong. 2. Sosialisasi intensif kepada stakeholder tentang model pengelolaan hutan dengan wadah KPH. 110 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
3. Memprioritaskan kegiatan pada unit-unit kelola potensial yang ada pada areal kerja KPHP model. 4. Mengintensifkan pengembangan SDM pengelola KPHP. 5. Optimalisasi pembentukan unit-unit usaha jasa lingkungan dan hutan kemasyarakatan. 6. Optimalisasi usaha produksi kayu dan non kayu. 7. Optimaslisasi implementasi TPII/SILIN dalam peningkatan produktivitas LOA 8. Mengupayakan sumber-sumber pembiyaan di luar APBN dan APBD Strategi yang disusun tersebut selain membutuhkan sumber dana juga menuntut
peran
para
pihak
untuk
menjalankannya.
Karsudi
(2010)
menyebutkan, berdasarkan tingkat kepentingan dan pengaruh maka terdapat 3 kelompok yaitu : 1. Kelompok sponsor yaitu, pejabat pada top organisasi yang bertanggungjawab memimpin jalannya perubahan; menjamin komitmen publik dan politik dan memecahkan masalah-masalah dalam pembangunan atau penyempurnaan kelembagaan. 2. Kelompok pelaku perubahan yaitu, individu (atau kelompok) yang mengelola implementasi program-program perubahan. 3. Partisipan perubahan yaitu, setiap orang atau kelompok yang dipengaruhi secara positif (diuntungkan) maupun secara negatif (dirugikan) oleh perubahan dengan tingkat keterlibatan yang sangat bervariasi tergantung dari
interest, kedekatan lokasi dan sebagainya. Pada tahap pembentukan kelembagaan pengelola di tingkat tapak (KPHP Model) maka saat ini peran kelompok sponsor di daearah seperti Dinas kehutanan kabupaten setempat, dinas kehutanan provinsi setempat, BPKH dan Bupati dan Gubernur sangat penting untuk mendorong keberhasilan pengelolaan hutan di Papua. IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI Berdasarkan hasil penelitian diketahui kelembagaan KPH Model di Papua telah dirancang sesuai dengan kapasitas sumberdaya di tingkat tapak dan telah mempertimbangkan berbagai faktor kebutuhan entitas lokal dan faktor prioritas keberhasilan pembangunan KPH di Papua. Dalam menerjemahkan faktor-faktor tersebut maka hasil analisis peran menunjukkan pada tahap pembentukan kelembagaan pengelola di tingkat tapak Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 111
(KPHP Model) peran kelompok sponsor di daearah seperti Dinas kehutanan Kabupaten setempat, dinas kehutanan provinsi setempat, BPKH dan Bupati dan Gubernur sangat penting untuk mendorong keberhasilan pengelolaan hutan di Papua. Berdasarkan
kesimpulan
tersebut
maka
penyempurnaan
konsep
kelembagaan KPH di Papua mengacu pada hal-hal tersebut : 1. Factor kunci keberhasilan pembangunan KPH di Papua bertumpu pada kebijakan, sumberdaya manusia dan pendanaan. Kebijakan merupakan faktor utama yang berpengaruh dalam pencapain tujuan KPH baik di Provinsi Papua dan Papua Barat, maka untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan Kebijakan yang kelembagaan secara utuh yaitu sumberdaya manusia, aturan dan pendanaan sebagai upaya melengkapi peraturan perundangan terkait pembangunan KPH di Papua dan Papua Barat. 2. Struktur organisasi KPH Model di Papua telah dirancang sesuai dengan kepentingan pengelolaan hutan.
Namun kapasitas (kompetensi dan
ketersediaan) sumberdaya di tingkat tapak masih perlu ditingkatkan sehingga mampu memenuhi kebutuhan SDM pada setiap struktur organisasi KPH yang dibentuk. DAFTAR PUSTAKA Karsudi, 2010. Strategi Pengembangan Ekowisata dalam Kerangka Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Kabupaten Kepulauan Yapen Provinsi Papua. Kayoi, 2008. Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua. Materi Eskpose Hasilhasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Tidak diterbitkan. Pietsau Amafnini, 2009. Kerusakan Hutan di Papua. Blog Pitsau. Akses pebruari 2010. Pujangkoro, S.A 2004. Analisis Jabatan (Job Analysis). e-USU Depository. Universitas Sumatera Utara . Pustaka Net, 2008. Analisis pembentukan Kelembagaan perangkat daerah. Suatu Studi Kasus pada Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral di Provinsi Bengkulu. Tesis Administrasi Publik. PustakaNet.wordpress.com. akses 10 November 2010. Tony Djogo, Sunaryo, Didik Suharjito dan Martua SiraitTony Djogo, 2003. Bahan ajar Kelembagaan dan Kebijakan dalam Pengembangan Agroforestri. Word Agroforestry Centre (ICRAF). Yudhi, 2008. Perencanaan Sumberdaya Manusia. Blog Yudhi.akses 10 Nov 2010.
112 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
“DARI CELAH EKSISTENSI MASYARAKAT ADAT”, BELAJAR DI TELUK BRUYADORI - PAPUA Henry S. Innah1), Sarah Yuliana1), dan Laban Mandibodibo1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia
PENDAHULUAN Ruang penelitian sangat terbuka lebar ketika obyek penelitian mengambil tempat di Tanah Papua. Ruang tersebut semakin mengasyikkan ketika subjek penelitian yang merupakan masyarakat adat Papua diketahui memiliki diversitas yang tinggi. Jika merujuk pada tulisan Lewis (2009), dikemukakan bahwa jumlah bahasa di Papua adalah 276. Ini dapat menjadi suatu indikator bahwa kelompok masyarakat adat di Papua memiliki keunikan dan keragaman budayanya masingmasing. Dengan julukan sebagai wilayah dengan formasi ekosistem terlengkap di dunia, Tanah Papua dihuni oleh suku-suku yang menyebar dan menempati ekosistemnya mulai dari pantai hingga dataran tingginya. Lahan atau tanah, merupakan „mama‟ atau ibu kandung bagi masyarakat asli Papua. Konsep lahan juga mencakup sumber daya yang terkandung di dalam dan di atas tanah. Dengan demikian, apabila diterjemahkan lebih detil, maka lahan kemudian mencakup hutan, tanah pertanian, penggembalaan, perairan, tambang dan mineral, dan dapat menjadi sumber untuk penghidupan masyarakat. Pertanyaan mendasar yang perlu dijawab adalah, bagaimana seyogyanya eksistensi masyarakat adat dengan lahannya dipahami? Dan bagaimana seyogyanya regulasi menjangkau keinginan masyarakat adat terkait penggunaan lahannya?. Kondisi ini menjadi penting sejak Keputusan Mahkamah Konstitusi nomor: MK 35/PUU-X/20121, keberadaan hutan adat akhirnya diakui dan mesti dikeluarkan dari hutan negara. Keputusan MK ini, telah membuahkan banyak pekerjaan rumah, yang berarah pada pengakuan hak masyarakat adat, tidak terkecuali yang ada di Tanah Papua. Keputusan MK juga telah menghapuskan hak negara atas kawasan hutan adat, yang sesungguhnya merupakan counter
1
http://www.forestpeoples.org/sites/fpp/files/news/2013/05/putusan_sidang_35%20PUU%202012-Kehutanantelah%20ucap%2016%20Mei%202013.pdf
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 113
atas hegemoni melalui UU 41/1999 tentang Kehutanan. Sebenarnya -secara hukum, hak masyarakat adat di Papua atas lahan dan hutannya, telah diakui dan dieksplisitkan dengan tegas melalui UU 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Tulisan ini mencoba mengungkapkan kondisi yang terjadi di Teluk Bruyadori di Pulau Numfor Papua. SEJAUH MEMANDANG Dalam Lokakarya Land Tenure dan Hutan Papua tahun 20092, ditegaskan kembali oleh AMAN3 bahwa Masyarakat Adat adalah: Sekelompok masyarakat yang hidup berdasarkan asal usul leluhur dalam suatu wilayah geografis tertentu, memiliki sistem nilai dan sosial budaya yang khas, berdaulat atas tanah dan kekayaan alamnya serta mengatur dan mengurus keberlanjutan kehidupannya dengan hukum dan kelembagaan adat
Berdasarkan kondisi ekosistem yang ada, melalui Forum Kerja Sama Lembaga Swadaya Masyarakat Papua, telah ditetapkan 7 Wilayah Adat Papua antara lain: (1) Mamta meliputi pantai utara, (2) Saireri meliputi wilayah kepulauan di bagian utara dan daratan tengah, (3) Domberay meliputi Kepala Burung, (4) Bomberay meliputi sebagian Kepala Burung dan Bagian Barat, (5) La-Pago meliputi Pegunungan Tengah Bagian Timur, (6) Me-Pago meliputi Pegunungan Tengah sampai wilayah Enarotali , dan (7) Ha-Anim meliputi bagian selatan (Gambar 1).
Gambar 1. Wilayah Adat Papua
2
http://mrpapua.wordpress.com/2009/11/11/kelompok-kerja-adat-mrp-lokakarya-land-tenure-dan-hutanpapua-hotel-sentani-indah-17-18-juli-2009/ accessed 5 September 2011 3 Aliansi Masyarakat Adat Nusantara
114 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Tujuh Wilayah Adat yang dikemukakan ini akan lebih menarik lagi apabila dapat dirinci ke dalam wilayah-wilayah terkecil menurut kelompok yang eksis. Untuk memudahkan, penulis akan fokus pada Etnis Byak yang bermukim di Kabupaten Biak – Numfor dan Kabupaten Supiori. Pada wilayah ini ada Dewan Adat Biak (Kankain-Kakara Biak/KKB) yang berkedudukan di Kota Biak, merupakan representasi dari eksistensi masyarakat adat Biak secara keseluruhan. Secara tegas, KKB ada untuk mengawal hak dasar masyarakat adat Papua secara umum dan masyarakat Biak secara khusus (struktur lihat Gambar 2).
Gambar 2. Struktur Pemerintahan Adat yang eksis di Biak Wilayah pemerintahan adat terkecil di Biak adalah mnu/kampung. Di tiap wilayah (Numfor dan Biak), beberapa mnu berada dalam suatu lembaga sup fyor atau sup Mnuk, yang mana sub fyor/sub Mnuk ini berfungsi sebagai tempat penyelesaikan persengketaan apabila di tingkat mnu tidak mampu lagi di selesaikan. Pimpinan (mananwir) Sup fyor dan Bar, biasanya dipilih dari mananwir (kepala) mnu yang dianggap mampu oleh masyarakat atau beberapa
mananwir mnu. Kemampuan menguasai adat setempat adalah syarat utama dari penentuan menjadi mananwir sup fyor (Sumiarni et al. 2008). Di dalam wilayah pemerintahan mnu, terdapat beberapa keret utama yang mendiami wilayah Mnu dimaksud. Keret-keret ini biasanya terdiri dari keret kecil (sim) yang biasa diibaratkan dengan buah jeruk yang memiliki ruas/ruangan masing-masing. Pada waktu lalu, dengan adanya rumah adat Biak (Runsram), Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 115
maka akan jelas terlihat bahwa di setiap kamar rumah tersebut, akan terdapat sub keret yang merupakan keluarga-keluarga hasil ikatan perkawinan dengan keret lainnya. Keret memilki wilayah/lahan untuk dikelola bersama seluruh anggota keluarganya. Pada waktu lampau, keret-keret utama memiliki wilayah territorial yang cukup luas, namun seiring dengan perkembangan penduduk dan kebutuhan lahan, maka pembagian-pembagian lahan kepada anggota keluarga merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Bahkan, potensi pendudukan lahan oleh keret lain dengan berbagai alasan kerap terjadi, sehingga tidak jarang menimbulkan konflik. Saat ini, beberapa keret harus memperjelas eksistensi mereka pada lahan-lahan tertentu dengan pemancangan papan nama batas hak ulayat. Bagian ini kemudian memperjelas gambaran bahwa kelembagaan masyarakat adat terkecil di Biak-Numfor yang berperan penting dalam distribusi dan pemanfaatan lahan adalah kelompok Keret. Selanjutnya adalah memastikan siapa saja yang ditunjuk oleh anggota kelompok keret sebagai pemimpin kelompok. Istilah lokal ialah mananwir/manseren. Komunikasi dengan keret memiliki legitimasi ketika dilakukan dengan pemimpin-pemimpin keret (Innah et al. 2013). MEMBONGKAR SEJARAH Menelusuri kelompok masyarakat adat dan wilayah teritorinya, hanya dapat dilakukan dengan baik ketika memperoleh informasi langsung dari kelompok masyarakat adat sendiri. Ceritera para tokoh adat atau pemimpinpemimpin lokal yang representatif dapat dirangkai untuk menemukenali struktur kelembagaan dan wilayah teritori, disamping kunjungan lapangan yang tidak dapat dianggap sepele. Sebagai contoh kasus, dalam suatu kunjungan penelitian ke wilayah Teluk Bruyadori – Pulau Numfor, terungkap bahwa berdirinya kampung Bawey melalui proses sejarah panjang. Kampung Bawei pada awalnya dimiliki oleh tiga marga besar yaitu Mambraku-Mambrasar, Rumaseb, dan Wanma yang merupakan orang Byak. Sebelumnya, Kampung Bawei lama di temukan oleh Mambrasar yang merupakan orang asli di Pulau Biak. Keluarga Mambrasar menyeberangi laut dan berlayar ke Pulau Numfor, dan tiba pertama kali di wilayah Yemberuwo (saat ini merupakan lokasi Bandara Pulau Numfor-Biak). Karena berselisih dengan penduduk yang lebih dahulu mendiami daerah Yemberuwo, Keluarga Mambrasar kemudian pindah ke daerah di sebelah timur yang disebut Andei. 116 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Wilayah Andei telah lebih dahulu didiami oleh Marga Baransano. Karena ada sedikit perselisihan, keluarga Mambrasar kemudian berpindah ke Syoribo (sebelah barat Andei). Pada saat kaum keluarga Mambrasar memasuki hutan sekitar Syoribo untuk berladang, Mambrasar memutuskan untuk mendayung perahu ke daerah timur hingga selatan, hingga menjumpai Teluk yang sangat indah. Setelah mengintari Teluk tersebut (Teluk Bruyadori), Mambrasar melihar melimpahnya buah Aibon (Bruguiera sp.) yang juga merupakan makanan orang Biak di sekitar Teluk. Mambrasar kemudian menemukan lokasi (Kampung Lama Bawei) sebagai tempat yang sangat cocok bagi keluarga Mambrasar untuk bermukim. Keluarga Mambrasar berhasil menempati lokasi dimaksud, dan terhindar dari musibah kelaparan yang melanda Pulau Numfor pada masa tersebut. Dari Bawei, keluarga-keluarga Mambrasar menyebar dan menempati beberapa tempat yang saat ini telah menjadi kampung-kampung di sekitar Teluk Bruyadori.
Gambar 3. Marga sekitar Kampung Bawei Pulau Numfor – Biak (dimodifikasi dari Galis, 1970) Karena wilayah Kampung Lama semakin padat dengan penduduk, diputuskan untuk pindah ke sebelah daratan (Kampung Bawei Baru), walaupun Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 117
beberapa rumah berlabuh dan bekas-bekas rumah masih jelas terlihat. Seiring dengan perkembangan penduduk dan pemekaran Distrik, Kampung Bawei memperoleh kesempatan untuk menikmati kegiatan pembangunan sarana pemukiman melalui program-program Rencana Strategis Pembangunan Kampung (RESPEK). Menurut adat, batas Kampung Bawei sebagai berikut: Sebelah utara: Kampung Manggari (aliran sungai dengan kamumi (mata air); Sebelah timur: Kampung Dafi; Sebelah Selatan: Kampung Sandaw (Aliran sungai dengan
kamumi (mata air) sebagai batas alam); Sebelah Barat: Numfor Barat (pertengahan Pulau Numfor/titik tertinggi). Secara administratif, Kampung Bawei resmi dibentuk seiring dengan pemekaran 3 kecamatan Baru di wilayah Distrik Numfor Timur yaitu Distrik Poiru, Distrik Bruyadori, dan Distrik Orkeri pada tanggal 5 Maret 2009 (lihat BPS 2010) Struktur
pemerintahan
apabila
disandingkan
dengan
struktur
pemerintahan adat menunjukkan terjadinya komunikasi intens antara para pejabat kepala kampung. Pihak Gereja tidak terlepas dari struktur yang ada, karena masyatakat Kampung Bawei memahami serta mengakui bahwa “tiga tungku” yang terdiri dari pemerintah, adat, dan gereja perlu berjalan beriringan untuk memperkuat eksistensi kelembagaan yang ada (Gambar 4). KEPALA DISTRIK POIRU: ANGGRIS MANSBAWAR
KEPALA KAMPUNG BAWEI: YANCE SADA
DUSUN I: MATHIAS YEMBISE DUSUN 2: FESTUS MAYOR DUSUN 3: YUNUS RAYAR DUSUN 4: TERA RUMASEB
MANANWIR MNU: ABERATUS MAYOR
SEKKAM BAWEI: ARIUS BINUWASEB
KELOMPOK MARGA I:
KELOMPOK MARGA 2:
KELOMPOK MARGA 3:
MAMBRAKU MAMBRASAR
RUMASEB
WANMA RUMBIAK
KELOMPOK MARGA 4:
KELOMPOK MARGA 5:
KELOMPOK MARGA 6:
SANADI ORISU DIMARA MIRINO BOKORPIOPER SUKAN YEMBISE
RAYAR KAPISA MANGSOMBRAP OPUR SADA RUMBINDOS
BINNUASEF MAYOR
Gereja Kristen Injili (GKI) + GPKI Jemaat Kampung Bawey Data Primer: 2012
Gambar 4. Struktur “tiga tungku” di Kampung Bawei Pulau Numfor – Biak
118 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
LANGKAH PENENTU Marga-marga besar memiliki batas wilayah/teritori yang disepakati menurut kesepakatan setempat dan diketahui oleh pemerintah setempat. Legitimasi pemerintah setempat tinggi karena dijabat oleh warga setempat, ini merupakan salah satu kunci sinergi yang sementara berjalan di Bawei. Kesamaan identitas dalam aparat lembaga pemerintahan dan adat dapat menjadi faktor peningkat sinergitas yang ada.
Identitas kolektif patut diperhatikan, karena
merupakan suatu pertautan antara individu dan sistem budayanya, atau bagaimana perasaan individu terlibat dengan individu lain dalam kelompok yang sama dalam suatu upaya terkait perubahan sosial (lihat Ashmore et al. 2004, Eccles 2009). Pertanyan-pertanyaan berikut misalnya: bagaimana pembangunan fasilitas umum dapat dilakukan, bagaimana pemanfaatan hutan atau teluk sebagai sumber daya milik bersama dan seterusnya, maka jawaban kemudian dengan mudah akan diperoleh ketika dapat menempatkan para “mananwir” sebagai tokoh kunci dan difasilitasi oleh “pemerintah” dan “lembaga gereja”. Alokasi pemanfaatan lahan sudah bisa diketahui apabila para “mananwir” bersepakat. Kembali kepada persoalan awal, bagaimana eksistensi masyarakat adat dan lahannya serta bagaimana eksistensi regulasi berpadu? Dari uraian di atas, dengan jelas kita akan menemukan bahwa semua lahan di Numfor telah dibagi habis ke dalam wilayah teritori marga setempat. Oleh karena itu sepertinya tidak ada celah untuk mengatakan hutan milik negara menurut perspektif masyarakat. Selanjutnya, fasilitasi aktor lokal oleh pemerintah diperlukan agar aktor lokal dapat mensinergikan diri dengan regulasi yang ada. Aktor-aktor yang merupakan mananwir keret mesti memiliki visi bersama untuk pengelolaan sumber daya hutan dan lahan mereka. PENUTUP Dari proses dan ceritera sejarah memperlihatkan bagaimana kepemilikan lahan bersifat dinamis, serta terkait erat dengan tekanan penduduk dan peluangpeluang ekonomi. Perubahan ini tidak mesti selalu dikumandangkan, namun termanifestasi dalam praktek sehari-hari. Efek kebijakan dan regulasi nasional terkait pemanfaatan lahan dan hutan dapat saja memberikan legitimasi untuk melakukan proses-proses pemindahtanganan lahan secara administratif/legal Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 119
formal, tentu saja dengan mengakui eksistensi masyarakat adat setempat. Oleh sebab itu sistem kepemilikan lahan masyarakat adat yang selalu ter-updated akan membantu proses perubahan dan menguatkan kebijakan dan aturan tentang lahan yang berbasis kearifan setempat. DAFTAR BACAAN: Ashmore RD, Deaux K, McLaughlin-Volpe T. 2004. An organizing framework for collective identity: articulation and significance of multidimensionality. Psychological Bulletin 130(1):80–114. http://dx.doi.org/10.1037/00332909.130.1.80. [BPS] Badan Pusat Statistik Biak-Numfor. 2010. Biak Numfor Dalam Angka 2009. Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Biak Numfor. Eccles J. 2009. Who am I and what am I going to do with my life? Personal and collective identities as motivators of action. Educational psychologist. http://dx.doi.org/10.1080/00461520902832368. Galis KW. 1970. Land Tenure in The Biak-Numfor Area. In Ploeg A. (eds). Land tenure in West Irian. New Research Unit-ANU: 1-12 Guinea Research Unit, The Australian National University, Number 38 Innah HS, Suharjito D, Dharmawan AH, Darusman D. 2013. Collective Action Typologies and Reforestation in Indigenous Community of Biak-Papua. Journal Manajemen Hutan Tropika XIX (1):11-23. DOI: 10.7226/jtfm.19.1.11 Lewis MP. 2009. Ethnologue: Languages of the World, Sixteenth edition. Dallas, Tex.: SIL International. Online version: http://www.ethnologue.com/. Mansoben J. 2003. Sistem politik tradisional etnis Byak: Kajian tentang pemerintahan tradisional. Jurnal Antropologi Papua 1(3):1-31. Roembiak MDE. 2002. Status penggunaan dan pemilikan tanah dalam pengetahuan budaya dan hukum adat orang Byak. Jurnal Antropologi Papua 1(2):17-23. Sumiarni E, Sundari E, Retnowati A, Hartono Y. 2008. Eksistensi Hukum Adat Byak-Numfor Provinsi Papua. Laporan Penelitian Tim Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Pemda Papua dan Pemda Biak Numfor.
120 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
PENAFSIRAN KERENTANAN MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DI DISTRIK MENYAMBOW, PEGUNUNGAN ARFAK KABUPATEN MANOKWARI, PAPUA BARAT Susan T. Salosa1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia
RINGKASAN Perubahan iklim secara global (global climate change) turut berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat di dunia. Ada komunitas yang tahan terhadap perubahan iklim dan ada pula yang rentan terhadap perubahan iklim. Tingkat kerentanan (Vulnerability) ini ditafsir berdasarkan kombinasi fungsi dari exposure, sensitivity dan adaptive capacity terhadap perubahan iklim. Penelitian dilakukan pada ekosistem pegunungan yang berlokasi di kampung Apui dan Memangker distrik Menyambow, daerah pegunungan Arfak. Kondisi kampung berada di ketinggian di atas 1500 mdpl dan pemukiman yang berada pada daerah lereng menunjukkan fenomena alam dan sosial yang khas pegunungan Arfak. Penelitian dilakukan dengan metode deskriptif dengan teknik wawancara semi struktural guna menggali informasi sosial, ekonomi dan budaya dalam upaya untuk menafsirkan kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim yang terjadi. Termasuk juga pengumpulan data mengenai kondisi biofisik wilayah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bila terjadi perubahan iklim yang ekstrim di wilayah pegunungan Arfak seperti peningkatan suhu dan peningkatan curah hujan maka masyarakat setempat cukup rentan karena tingkat sensitifitasnya adalah agak sensitif ke sensitif dari segi sosial, ekonomi maupun biofisik yang ada. Kehidupan yang umumnya bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber mata pencaharian utama akan terpengaruh. Kondisi pemukiman dan kebun di daerah yang miring tentu akan rentan terhadap erosi, tanah longsor maupun banjir. Kata kunci: Perubahan iklim, Kerentanan (Vulnerability), pegunungan Arfak
I. LATAR BELAKANG Perubahan iklim (climate change) dan emisi karbon secara global berakibat pada perubahan suhu pada permukaan bumi. Isu perubahan iklim sebenarnya bukan isu yang baru, akan tetapi menjadi sangat terkenal ketika terjadi bencana alam secara besar-besaran melanda seluruh bagian bumi ini. Perubahan suhu secara umum naik 0,7°C selama beberapa abad terakhir dan dapat berubah menjadi 1,4 dan 5,8°C dalam jangka waktu 100 tahun ke depan (Locateli, 2010), tetapi pada daerah yang mempunyai empat musim, musim salju menjadi terasa lebih dingin. Perubahan iklim dapat menyebabkan timbulnya perubahan pada sumber-sumber daya di alam yang bergantung pada iklim seperti sistem hidrologi, pertumbuhan dan perkembangan makhluk hidup (Strange & Thorsen, 2008). Selain itu, ketersediaan air akan juga mengalami perubahan oleh karena Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 121
kondisi cuaca yang berubah. Perubahan musim berpengaruh pada prediksi waktu tanam, juga perubahan prediksi waktu untuk melaut bagi nelayan. Adanya perubahan iklim, menjadikan berbagai sumber pangan potensial mengalami perubahan dalam proses perkembangbiakan sehingga berpengaruh
produksi
(Handoko dkk, 2008). Kondisi ini tampak pada beberapa pangan strategis seperti padi, jagung, kacang kedelei, tebu dll yang telah menurun hasil produksinya. Dampak perubahan iklim akan berbeda dari satu tempat ke tempat lainnya. Dengan demikian, tingkat kerentanan makhluk hidup termasuk masyarakat yang hidup di sekitar hutan, juga berbeda menurut wilayah. Perubahan iklim merupakan perubahan yang konsisten, bergerak perlahan namun pasti dan tidak dapat dihindari. Masyarakat desa umumnya bergantung pada sumber-sumber daya alam seperti memancing, beternak, sumber pendapatan, makanan, obat-obatan, penggunaan beberapa jenis tumbuhan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari (Carmenza et al, 2005). Diduga bahwa masyarakat desa dan masyarakat miskin merupakan masyarakat yang rentan terhadap perubahan iklim karena banyak aktifitas yang dilakukan di luar rumah yang beresiko terjadi banjir, kebakaran hutan dan lain-lain. Juga, banyak unsur penting dalam kehidupan manusia dan masyarakat yang sangat dipengaruhi oleh iklim, bagaimana keadaan hakiki mereka ketika perubahan iklim ini berdampak pada ketersediaan jenis pangan atau ketersediaan air atau unsur penting lainnya. Bagaimana mereka dapat bertahan terhadap perubahan ini bahkan dapat beradaptasi dalam mempertahankan kehidupan mereka. Rumusan Masalah Papua dengan luas 40.803.132Ha, 79,21% diantaranya yakni 32.317.594 Ha adalah hutan. Hutan yang ada mengalami degradasi dan deforestasi yang diperkirakan mencapai 143.680 Ha/tahun atau 0.14 juta Ha/tahun (Kapissa, 2008). Penurunan kuantita dan kualitas hutan ini umumnya terjadi karena eksploitasi hutan yang berlebihan sehingga dengan pelarangan ekspor kayu bulat ke luar negeri dan tata guna lahan yang baik diharapkan dapat menghentikan pengrusakkan lebih lanjut. Tingkat degradasi hutan yang tinggi mempengaruhi kondisi iklim secara global. Perubahan iklim global ini mulai terasa secara lokal dengan meningkatnya suhu udara dan menurunnya debit air. Di Papua, gejala perubahan cuaca ini 122 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
telah ditunjukkan dengan mulai berkurangnya salju abadi di puncak gunung Jaya Wijaya sejak beberapa tahun lalu (Alidia dkk, 2008). Penelitian tahun 2010 akan dilakukan pada daerah Manokwari, Provinsi Papua Barat. Daerah pegunungan Arfak seperti Menyambow dan Anggi mulai mengalami perubahan suhu secara mikro seperti yang disampaikan oleh masyarakat. Perubahan ini diperkirakan terjadi karena pembukaan hutan akibat pembuatan jalan dan persiapan untuk daerah pemekaran. Penilaian akan dilakukan terhadap tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim. Isu pokok yang akan dipelajari lebih lanjut dalam penelitian ini yakni perubahan iklim dan kemampuan masyarakat untuk beradaptasi dengan perubahan iklim menurut pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya. Tingkat adaptasi masyarakat tercermin dari pola hidup mereka. Dan bagaimana masyarakat menyikapi perubahan iklim yang terjadi dengan dan/ tanpa pengetahuan mengenai perubahan iklim global. Kesiapan pihak pemerintah daerah dalam menanggapi perubahan iklim, apakah telah terakomodir di dalam perundangan-perundangan di daerah. Hipotesis Objektif dari penelitian ini dituangkan dalam bentuk hipotesis sebagai berikut: a. Masyarakat rentan terhadap perubahan iklim. b. Ada upaya penyesuaian terhadap perubahan iklim yang terjadi Tujuan Tujuan
yang
ingin
dicapai
dari
perjalanan
penelitian
ini
adalah
terkumpulnya data dan informasi mengenai kondisi sosial, ekonomi dan budaya untuk menafsirkan tingkat kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim. II. METODE PENELITIAN a. Lokasi Penelitian Penelitian bertempat di daerah pegunungan Arfak, kampung Apui dan kampung Memangker, distrik Menyambow. Kedua kampung ini dipilih karena berada pada ketinggian di atas 1500 mdpl sesuai prasyarat untuk penelitian ekosistem pegunungan. Penelitian berlangsung dari bulan Mei - November 2010. Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 123
Gambar 1. Peta lokasi Penelitian (Laksono, 2001) b. Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan untuk penelitian ini adalah qiusioner, alat tulis menulis, alat perekam (tape recorder), dan alat dokumentasi (kamera) serta bahan penunjang penelitian lainnya. c. Proses Penelitian Penelitian dilakukan dengan metode survei, pengamatan langsung di lapangan dan dengan menggunakan teknik wawancara. Wawancara dilakukan dengan
menggunakan
pertanyaan
terbuka
(open-ended
question)
dan
pertanyaan semi terstruktur khusus untuk warga masyarakat. Responden penelitian adalah informan kunci yang meliputi kepala suku, tokoh adat dan tokoh masyarakat, serta kepala keluarga. Wawancara dengan informan kunci dimaksudkan untuk memperoleh gambaran mengenai keadaan umum masyarakat, pola interaksi masyarakat dengan hutan termasuk introduksi dan pemikiran dari luar yang telah masuk dan mempengaruhi kehidupan. Sedangkan wawancara dengan para kepala keluarga
meliputi aspek-aspek di
bawah ini : a. Aspek sosioekonomi: pendapatan rumah tangga, jejaring sosial dan akses ke informasi 124 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
b. Biofisik: kondisi topografi wilayah, kondisi lingkungan dan tutupan lahan. Aspek-aspek tersebut di atas dapat dirinci sebagai berikut: 1. Exposure: - Data curah hujan dari Badan Meteorologi dan Geofisika untuk jangka waktu 10 (sepuluh) tahun - Debit air pada sungai yang terbesar atau danau 2. Sensitivity - Aspek sosioekonomi seperti jumlah Penduduk, mata pencaharian, pendapatan rumah tangga. - Sumber air: ketersediaan air bersih, udara bersih. - Sumber pangan: ketersediaan sumber pangan yang bergizi - Riwayat bencana baik secara ekosistem maupun dalam masyarakat: data mengenai erosi, banjir, kelaparan atau penyakit. 3. Adaptive Capacity - Pengetahuan lokal masyarakat dalam memanfaatkan hutan dan menjaga kelestariannya: alternatif-alternatif yang dipilih untuk beradaptasi dengan perubahan iklim. Dari wawancara akan tampak tingkat kerentanan yang terjadi diantara masyarakat, bila ada beberapa faktor kerentanan yang menonjol, maka akan dilanjutkan dengan fokus diskusi untuk mendapatkan faktor kerentanan yang paling utama. d. Analisis Data Tingkat kerentanan (vulnerability) itu dinilai menurut fungsi sebagai berikut:
V=f(E,S,AC) V= Vulnerability E= Exposure S= Sensitivity AC=Adaptive Capacity Data yang dikumpulkan kemudian akan dianalisis secara tabulasi.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 125
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Di
kawasan
pegunungan
Arfak
terdapat
tiga
suku
yakni
suku
Hatam/Moule, Soughb dan Meyakh. Wilayah kampung lain yang juga merupakan Suku Hatam adalah Kampung Mbenti, Anggra, Apui, Demaisi, dan Memangker. Masyarakat Hatam yang terdiri dari beberapa kampung ini dipimpin oleh seorang kepala suku.
Susunan kepemimpinan dalammasyarakat pegunungan Arfak
adalah sebagai berikut:
Andigpoy/Adhesut (Kepala Suku)
Pinjoinding/Sutkoiji (Penasehat)
Nekei (Hakim)
Pinjoindig/Lusutmos (perantara)
Gambar 2. Susunan Kepemimpinan dalam masyarakat Arfak (Hastanti & Yeny, 2010) Kawasan pegunungan Arfak tidak terlepas dari kegiatan pembangunan yang saat ini sedang berlangsung. Sejalan dengan pemekaran wilayah yang terjadi di Papua barat, di distrik Menyambow dibangun sarana fisik, seperti jalan raya. Kampung-kampung yang berada jauh dari jalan kemudian pindah ke daerah tepi jalan. Kecamatan Menyambow telah dimekarkan menjadi 50 kampung. Jumlah kampung ini sangat tinggi dibandingkan 28 distrik lainnya. Perbandingan jumlah kampung beberapa distrik di wilayah kabupaten Manokwari dapat dilihat pada grafik di bawah ini:
126 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
60 Sururei
50
Anggi
40
Taige
30
Menyambouw Catubouw
20
Testega
10
Anggi Gida
0
Hingk
Jumlah kampung/distrik
Grafik 1. Jumlah kampung pada beberapa distrik di wilayah kabupaten Manokwari Sedangkan
jumlah
penduduk
pada
beberapa
distrik
di
wilayah
pegunungan Arfak dapat dilihat pada grafik di bawah ini: 7000
Sururei
6000
Anggi
5000
Taige
4000
Menyambouw
3000
Catubouw
2000
Testega
1000
Anggi Gida
0 Jumlah Penduduk/distrik(2007)
Hingk
Grafik 2. Jumlah penduduk beberapa distrik di kabupaten Manokwari tahun 2007 (BPS, 2008) Distrik Menyambow memiliki jumlah penduduk yang sangat tinggi bila dibandingkan dengan distrik-distrik lainnya. Namun jumlah ini sesungguhnya menurun dari jumlah penduduk periode tahun 2003 dan 2004 yakni 10.815 jiwa dan 11.417 jiwa. a. Kehidupan Masyarakat di distrik Menyambow Masyarakat Menyambow adalah masyarakat Hatam yang tersebar pada beberapa kampung ini dipimpin oleh seorang kepala suku besar Hatam. Namun di tiap-tiap wilayah kampung terdapat satu orang kepala urusan adat atau orang yang dituakan untuk mengambil keputusan yang menyangkut adat. Suku Hatam dikenal dengan pola kehidupan masyarakat pegunungan yang hidup dengan bertani, meramu dan berburu. Mereka juga hidup pada rumah Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 127
dengan model panggung yang disebut juga rumah kaki seribu. Rumah ini terdiri dari tujuh dasar atau lantai yakni dari bawah ke atas; ninghimma, ngimabaha,
siraga, bitaua, buhmnewa, tindangan dan ijcowa. Tujuh lantai ini melambangkan legenda asal-usul orang Arfak. Ada dua ruang utama dalam rumah kaki seribu yakni ruang perempuan (ngimsi) dan ruang laki-laki (ngimdi). Dalam masyarakat, perbedaan kepemilikan barang antara anggota masyarakat yang petani saja dengan yang lainnya adalah dalam bentuk rumah dan kepemilikan barang elektronik. Rata-rata masyarakat Hatam menghuni rumah kaki seribu. Namun beberapa keluarga memiliki rumah permanen (beton) dan rumah papan serta peralatan elektronik seperti televisi, genset, radio, hp dll. Hubungan kekerabatan yang sangat dekat serta jumlah pasangan muda yang menikah di usia yang sangat muda mengakibatkan pasangan-pasangan ini umumnya masih hidup bersama dengan orang tua. Ada juga keluarga lain yang masih memiliki hubungan darah namun telah menjanda/menduda atau melajang yang hidup bersama kerabat. Dengan demikian dalam satu rumah dapat terdiri dari dua keluarga atau lebih. b. Pemanfaatan dan pengelolaan lahan dan hutan menurut masyarakat adat Arfak, Konsep igya ser hanjob: Igya ser hanjob berasal dari bahasa hatam, igya berarti berdiri, ser artinya menjaga dan hanjob berarti batas. Jadi igya ser hanjob artinya berdiri menjaga batas. Batas di sini bukan saja berarti batas kawasan, tetapi batas dalam segala aspek kehidupan masyarakat pegunungan Arfak. Dalam bahasa Moule, igya ser hanjob juga berarti mastogow hanjob. a. Bahamti
Bahamti dicirikan dengan pohon-pohon yang berukuran besar dan berlumut. Kawasan ini merupakan hutan primer yang tidak boleh ditebang oleh manusia. Dengan demikian aktifitas berkebun tidak boleh ada di kawasan ini. Akan tetapi untuk alasan tertentu seperti kekurangan bahan dinding rumah yang sudah tidak ditemui di kawasan lain, dapat diambil di tempat ini dengan ijin dari
andigpoy. b. Nimahamti
Nimahamti adalah kawasan penyangga karena terdapat pada areal yang sangat berat topografinya. Masyarakat diperbolehkan untuk berburu dan meramu
128 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
di tempat ini juga mereka dapat mengumpulkan rotan (Calamus sp) dan kulit kayu, akan tetapi tidak bisa untuk berkebun mengingat kondisi yang terjal serta suhunya yang sangat dingin. Kawasan ini sangat lembab dan lumutnya pun sangat tebal. Kegiatan pemanfaatan hasil hutan masih sangat terbatas dan tergantung ijin dari Andigpoy. Pelanggaran terhadap aturan-aturan tersebut memperoleh sanksi yang diputuskan oleh nekei melalui sidang adat.
c. Susti Susti merupakan kawasan yang dapat dimanfaatkan secara bebas baik untuk berkebun, berburu dan meramu. Kawasan ini umumnya adalah kawasan kebun berpindah (gilir balik) yang dibiarkan menjadi hutan kembali (hutan sekunder).
Semua anggota masyarakat dapat memanfaatkan kawasan ini
termasuk perempuan dan anak-anak. Untuk orang-orang yang berpindah tempat tinggal (merantau) ke kota untuk sekolah atau kerja, kepemilikan atas lahan pertanian di kampung dapat tetap bertahan bila ada kerabat atau keluarga yang menjaga tanah tersebut di kampung. Namun bila sama sekali tidak ada keluarga dekat yang menjaga dan perantauan di atas 5 (lima) tahun maka dipandang bahwa orang tersebut telah pindah dan lahan di kampung dapat dipakai oleh orang lain. c. Kegiatan berkebun Lahan pertanian yang diusahakan adalah lahan yang berada dalam batas wilayah adat dan batas marga, klan atau keluarga. Masyarakat tidak diperkenankan untuk berada atau melewati batas tanah miliknya. Sistem pengolahan tanah adalah sistem berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam batas wilayah tanahnya. Tanah tersebut diolah setelah dibiarkan selama beberapa tahun untuk tumbuh kembali. Menurut Professor San Afri Awang (pers.comm.), sistem perladangan seperti ini lebih tepat disebut sebagai sistem perladangan
bergilir
karena
masyarakat
menurut
kearifan
tradisionalnya
berladang pada lokasi dan tempat yang telah disepakati pada waktu tertentu secara bergantian. Sistem rotasi pertanian dilakukan oleh masyarakat bervariasi dari satu hingga tiga tahun yakni di daerah reshim, mukti, ampiabei, dan hubim. Dalam
sistem
pengolahan
hutan,
sistem
kepemilikkan
sangat
mempengaruhi kegiatan yakni kepemilikan dalam adat, kampung, marga, klan dll. Pelanggaran terhadap batas wilayah akan ditandai dengan pembayaran denda. Ini termasuk pelanggaran batas saat berburu, tidak boleh melewati batas Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 129
yang sudah ditetapkan. Denda yang diberikan adalah berupa kain timor, babi, dan uang. Dan jumlahnya ditentukan oleh pihak yang menuntut. Urutan kegiatan berkebun dimulai dari kegiatan pembersihan semak belukar dan tumbuhan bawah, diikuti dengan pemotongan dahan-dahan pohon yang rendah dan selanjutnya pohon-pohon dimatikan dengan peneresan sehingga dapat dijadikan kayu bakar. Kegiatan penebangan lebih banyak dilakukan oleh kaum pria sedangkan kaum wanita mengambil bagian saat membakar dan menanam. Setiap jenis tanaman memiliki musim tanam yang berbeda misalnya untuk kebun kentang, penebangan akan dimulai pada bulan mei dan akan dibakar yang dilanjutkan dengan penanaman. Penentuan musim tanam biasanya didasarkan pada peredaran matahari seperti terbitnya matahari di gunung kalinggut untuk musim kemarau dan musim hujan bila matahari terbit di gunung iwom. Namun sejalan dengan adanya perubahan dalam musim hujan dan panas maka masyarakat biasanya mulai membakar kebun setelah panas yang cukup lama, misalnya 2 (dua) minggu. Pemanenan disesuaikan dengan tingkat kebutuhan dan kesediaan dana untuk membayar angkutan untuk ke pasar. Sementara itu kegiatan pemanenan hasil hutan tidak dilakukan sesering ke kebun karena yang menjadi tumpuan kehidupan masyarakat adalah dari kebun. Masyarakat berkebun di wilayah susti. Para wanita mengunjungi hutan pada musim-musim tertentu, seperti musim buah dan musim jamur. Sedangkan di luar musim-musim tersebut, hutan lebih banyak dikunjungi oleh para pria untuk tujuan mengambil kayu, bahan obat dan berburu. d. Perubahan Iklim di Menyambow Masyarakat telah merasakan bahwa suhu udara di Menyambow sudah berubah menjadi lebih hangat. Mereka menduga bahwa perubahan iklim mikro itu terjadi sebagai akibat dari pembuatan jalan ke distrik-distrik terpencil. Namun bila diamati dengan baik, di pegunungan Arfak belum ada imigrasi bahkan di beberapa kampung tampak bahwa nama kepala keluarga tercantum pada daftar warga kampung, namun keluarga tersebut bermukim di kota. Penggunaan lahan masih tetap berdasarkan keluarga yang ada dan wilayah susti dapat dikatakan relatif masih memadai untuk pertanian. Jadi ekologi masih relatif utuh kecuali bagian jalan dan pemukiman maka diduga bahwa perubahan yang terjadi saat ini merupakan efek dari perubahan iklim global (global climate
change). Perubahan yang tetap terjadi walaupun kondisi daerah tersebut relatif 130 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
aman. Minimnya data mengenai kondisi udara, suhu, curah hujan di lokasi penelitian menimbulkan kesulitan dalam menentukan penyebab kondisi ini secara pasti. e. Tafsiran kerentanan terhadap perubahan iklim Indikator kerentanan masyarakat pegunungan Arfak terhadap perubahan iklim ditunjukkan oleh faktor-faktor yang sensitif terhadap perubahan iklim yakni sosial dan budaya, ekonomi, ekologi, dan hidrologi. Yang kemudian dinyatakan dengan nilai sangat sensitif (4), sensitif (3), kurang sensitif (2), tidak sensitif (1). Indikator-indikator tersebut dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Indikator Sensitifitas Masyarakat terhadap Perubahan Iklim di Pegunungan Arfak Kriteria I.
Sosial dan budaya
Aspek-aspek -
Kepadatan penduduk
1
-
Pendidikan
3
-
Pengetahuan adaptif
2
-
Kelembagaan
2
-
Budaya
4
Total
12
Rata-rata II.
Ekonomi
Mata pencaharian
3
-
Pendapatan
4
-
Sumber-sumber ekonomi Jumlah tanggungan
4
Total
15
Rata-rata
Ekologi
2,4 (agak sensitif)
-
-
III.
Kategori nilai
4
3,75 (Sensitif sampai sangat sensitif)
-
Degradasi hutan
2
-
Deforestasi
2
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 131
Kriteria
Aspek-aspek -
Tumbuhan introduksi
3
Total
8
Rata-rata
IV.
Hidrologi
Kategori nilai
2,67 (kurang sensitif sampai sensitif) 1
-
Berkurangnya sumbersumber air Berkurangnya debit air
-
Air bersih
2
Total
4
-
Rata-rata TOTAL I,II,III,IV RATA-RATA I,II,III,IV
1
1,33 (tidak sensitif) 10,15 2,5 (kurang sensitif sampai sensitif)
Dari tabel di atas tampak bahwa secara keseluruhan daerah pegunungan Arfak ada dalam kategori antara kurang sensitif dan sensitif. Faktor ekonomi ada dalam kategori sensitif sampai sangat sensitif karena mata pencaharian masyarakat umumnya bertani dengan jenis yang relatif sama. Pendapatan dari hasil pertanian pun masih sangat rendah. Kehidupan masyarakat di pegunungan Arfak hidup umumnya dari pertanian dengan menanam tanaman yang sesuai hidup pada suhu yang rendah yakni antara 14-22°C seperti tanaman daun bawang, kol, sawi, strawberry, labu, markisa, tomat dan ubi-ubian. Itu adalah sumber kehidupan mereka. Keberadaan uang kontan (cash) hanya dapat diperoleh bila masyarakat dapat menjual ke pasar. Namun hasil yang diperoleh hampir sebesar ongkos angkutan yang dipakai ke pasar. Barang-barang umumnya dijual dengan kiloan dalam karung karena masyarakat menghendaki uang kontan secepatnya untuk membayar ongkos angkutan. Pendapatan rumah tangga dapat dikatakan rendah hanya dapat digunakan untuk membeli sembilan bahan pokok (sembako) dalam jumlah yang minim. Tidak ada pendapatan lain kecuali PNS dan guru jemaat (pelayan di gereja) yang masih memiliki tambahan penghasilan. 132 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Adanya ketergantungan yang erat terhadap pertanian tentu saja akan rentan bila terjadi perubahan iklim yang ekstrim mempengaruhi kehidupan tumbuhan yang ada. Sampai saat ini hasil pertanian masih memadai dan cukup dikonsumsi
serta
dijual.
Namun
bila
terjadi
panas
yang
ekstrim
dan
mempengaruhi tanaman yang ditanam di kebun maka tentu saja ini akan berakibat terhadap pendapatan dan kehidupan masyarakat. Perlu dipikirkan mengenai alternatif tanaman yang tahan kepada suhu yang lebih tinggi karena jenis-jenis yang ada masih merupakan jenis tanaman pada suhu tinggi serta jenis yang sesuai dengan biofisik setempat. Jenis ubi-ubian seperti singkong dan ubi jalar serta pisang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk berbuah yakni selama 5 bulan dan 12 bulan. Adanya kehadiran jenis-jenis tumbuhan lain di kebun dan lahan pertanian mereka yang sebelumnya tidak ada seperti rumput kota, tanaman sejenis sirih hutan (amuan - Piper sp.), bunga ungu (lepsau mbre). Tumbuhan-tumbuhan ini dapat tumbuh dengan cepat dan akarnya kuat sehingga menyulitkan dalam pembersihan. Masyarakat banyak yang merantau ke kota untuk bersekolah terutama generasi muda. BPS, 2008, menyebutkan bahwa penduduk Menyambow tampak menurun yakni 2003 (10.815 jiwa), 2004 (11.417 jiwa), 2005 (5.566 jiwa), 2006 (6.021 jiwa), dan 2007 (6.367 jiwa) diduga karena ada urbanisasi dan pembentukan distrik baru. Banyak juga yang pindah ke daerah Warmare, Prafi kampung Umbui. Ketika tinggal lama di kota, ada yang kembali ke kampung namun ada pula yang tidak atau jarang kembali dengan alasan tidak tahan dengan udara dingin. Mereka lebih betah di kota karena lebih ramai, dekat ke pasar untuk menjual hasil kebun dan tidak dingin. Sementara itu, masyarakat di Menyambow mengatakan bahwa suhu sekarang ini lebih hangat dari suhu udara sebelumnya. Diperkirakan bahwa tahun 1990-an, suhu udara di malam hari adalah sekitar 10°C. Dengan akses jalan yang baik maka daerah yang sebelumnya hanya dapat dicapai dengan jalan kaki selama ± 6 (enam) jam dari Warmare, kini dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 2 jam. Daerah pegunungan Arfak terutama distrik Menyambow merupakan distrik dengan jumlah kampung terbanyak yakni 103 kampung. Daerah ini direncanakan akan menjadi daerah dengan fokus pengembangan pertanian. Sementara itu, kebutuhan akan pembangunan akan mendorong perluasan daerah susti untuk pembangunan dengan menebang Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 133
bahamti. Kampung yang berada di daerah lereng-lereng yang terjal tentu akan menyulitkan dalam pengembangan wilayah. Dari penelitian, diperoleh informasi bahwa kondisi di pegunungan mulai tampak perubahan karena pembangunan. Jaringan jalan ke daerah yang terpencil mulai dibangun yang ditandai dengan pembukaan jalan dan pengerasan jalan. Pembukaan jalan dan pemukiman secara langsung berakibat pada penebangan
pohon
dan
pembukaan
lahan.
Jalan
yang
dibuat
untuk
menghubungkan kabupaten Manokwari dengan distrik-distrik di pegunungan Arfak seperti distrik Menyambow dan distrik Anggi. Pada saat sekarang ini masyarakat yang menempati desa dan membangun rumah belum padat namun bila jumlah penduduk dan pemukiman bertambah maka akan berakibat pada berkurangnya bahamti, kerusakan pada ekologi dan longsornya tanah. Masyarakat di Menyambow menyatakan bahwa keadaan sekarang daerah Menyambow
sudah
mulai
berubah
lebih
maju.
Jalan
yang
ada telah
menghantarkan kendaraan datang ke wilayah yang selama ini hanya dapat dijangkau dengan jalan kaki. Masyarakat dapat melihat kendaraan yang lalu lalang tepat di depan rumah mereka. Perkembangan
yang
ada
di
daerah
Menyambow
dirasakan
turut
berpengaruh kepada perubahan alam dan temperatur di daerah tersebut. Suhu udara sekarang di Menyambow dalam sehari berkisar antara 14-23°C, dirasakan lebih hangat dibandingkan dengan sebelumnya yakni sekitar tahun 1990-an
4
yang diperkirakan ± 10°C di waktu malam. Masyarakat sebelumnya memerlukan kayu bakar yang banyak untuk membakar tungku perapian yang berfungsi sebagai penghangat di dalam rumah ketika tidur namun sekarang tidak demikian lagi. Kayu bakar hanya diambil tiga hari sekali untuk penghangat. Masyarakat mulai mendirikan rumah permanen dan semi permanen dan rumah kaki seribu berubah menjadi dapur. Konstruksi rumah kaki seribu dengan dua tungku api di sisi kiri kanan rumah, dengan jendela yang sangat kecil memungkinkan rumah menjadi hangat karena udara panas yang berasal dari perapian di dalam rumah tidak keluar sehingga dalam menghangatkan penghuni rumah. Namun karena udara sudah tidak sedingin dulu maka kebutuhan akan penghangat dari tungku api sudah mulai berkurang. Di beberapa rumah, tungku api berada di luar rumah
4
Informasi lisan dari sopir angkutan umum ke wilayah pegunungan Arfak
134 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
ataupun di dapur, bukan di dalam rumah induk. Selain itu ada masyarakat mau mengikuti kemajuan yang ada yakni kebutuhan akan rumah tembok yang selama ini hanya ada di kota. Masyarakat juga diberikan bantuan rumah batu sebagai bantuan sosial bagi anggota masyarakat. Masyarakat menyatakan tentang kehadiran dari nyamuk. Masyarakat katakan bahwa “nyamuk datang dibawa oleh mobil ranger ”. Nyamuk dikatakan 5
adalah binatang dari kota, yang sebelumnya tidak ada di Menyambow. Nyamuk cocok hidup pada daerah yang panas karena nyamuk memiliki reseptor panas yang sangat baik. Selain itu, nyamuk yang berasal dari hutan menjadi kuat sayap-sayapnya ketika hutan dibuka dan mereka terkena panas langsung (Media Indonesia, 2010). Di Manokwari, penyakit Malaria klinis, menduduki peringkat tertinggi 34.628 atau sekitar 25% dari jenis-jenis penyakit yang dilaporkan lebih banyak diderita masyarakat (BPS, 2008). Di Menyambow, setelah diadakan pemeriksaan cepat menggunakan rapid diagnostic test (RDT)
tampak bahwa
penderita malaria positif cukup tinggi dibandingkan malaria klinis. Pihak Dinas Kesehatan kabupaten Manokwari baik sendiri maupun bekerja sama dengan
Global Fund dan UNICEF telah memberikan pengobatan maupun bantuan kelambu6. Untuk akses ke informasi, gelombang radio (RRI) relatif dapat diterima dengan baik di distrik Menyambow. Jaringan telekomunikasi lainnya seperti sinyal telkomsel,
hanya
dapat
diterima
di
tempat-tempat
tertentu
di
distrik
Menyambow. Jumlah hari hujan di tahun 2000-2009 bervariasi dalam satu bulan yaitu antara 4-26 hari. Pada tahun 2006-2010, jumlah hari hujan menurun pada bulan juli hingga November. Rata-rata hujan per bulan dalam 10 tahun menunjukkan bahwa curah hujan tinggi pada bulan Januari hingga Maret sedangkan curah hujan mulai menurun pada bulan April hingga November (Badan Meteorologi dan Geofisika Kabupaten Manokwari, 2010). Masyarakat mulai menebang dan membakar kebun pada saat curah hujan rendah yakni pada bulan Mei-Juni dan mulai menanam setelah itu. Suhu rata-rata udara di Manokwari berkisar antara 26-28°C. Temperatur udara di Menyambow pun pada saat ini juga mulai berubah yakni menjadi lebih
5 6
Mobil semi truck yang biasa beroperasi pada medan yang berat di Papua Informasi dari Dinas Kesehatan Kabupaten Manokwari
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 135
hangat. Tentu saja kondisi ini tidak lepas dari pengaruh perubahan iklim global mengingat tidak terlalu banyak perubahan pada kondisi alam di sana kecuali hutan yang dibuka untuk jalan. Kelembaban udara berkisar antara 74-88%. Kelembaban relatif lebih rendah pada bulan April-Juli 2009. Pada bulan-bulan tersebut memang telah terjadi penurunan dalam jumlah hari hujan dan intensitas air hujan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan agar dapat mengurangi tingkat sensitifitas masyarakat terhadap perubahan iklim dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Sensitifitas Masyarakat terhadap Perubahan Iklim Sensitifitas - Sosial
Tindakan - Diperlukan penyuluhan mengenai perubahan iklim dan cara mengantisipasi sesuai dengan kondisi wilayah Penyuluhan tentang penggunaan bahan yang hemat energi
- Ekonomi
- Urbanisasi - Degradasi Hutan - Deforestasi
- SKPD yang bertugas: Bapedalda, Dinas Kehutanan, Pertanian dan Kesehatan. Mengajarkan alternatif sumber pendapatan yang lain misalnya dari pengembangan buah-buahan, dan bunga-bunga. Daerah ini banyak ditumbuhi jenis-jenis buah-buahan dan bunga-bunga yang tidak tumbuh di daerah lain di Papua seperti strawberry, markisa, gladiol, kana, dll. berdagang dll - Dinas Pertanian, Dinas Koperasi - Perlu perencanaan wilayah yang sesuai, - penciptaan lapangan pekerjaan - ada pasar transit (pasar antar kampung/distrik) - Perlu perencanaan tata ruang dan wilayah yang jelas - Perlu perencanaan tata ruang dan wilayah yang jelas
- Jenis baru - Perlu identifikasi jenis lokal dan konservasi terhadap Jenis tanaman lain jenis lokal yang sebelumnya tidak ditemui di pegunungan Arfak - Kehilangan jenis - Perlu identifikasi jenis lokal dan konservasi terhadap tumbuhan jenis lokal - Satwa berkurang - Perlu ada larangan perburuan satwa menggunakan senjata mesin - Hidrologi - Melindungi sumber-sumber air - Melindungi hutan agar debit air tetap terjaga - Mengurangi pembukaan lahan di dekat sumber air (mata air) agar air tidak bercampur dengan tanah dan tidak jernih.
136 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Tabel 2 menunjukkan bahwa masyarakat di pegunungan Arfak rentan terhadap perubahan iklim sehingga
diperlukan upaya adaptasi. Adaptasi
dilakukan secara perlahan-lahan mulai dari pembuatan rumah yang sesuai dengan kondisi udara sekarang ini, penggunaan kayu bakar yang mulai dalam jumlah yang terbatas, penggunaan kelambu dan obat nyamuk dll. IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan 1. Distrik Menyambow merupakan distrik yang masuk dalam kategori kurang sensitif ke sensitif. Faktor-faktor yang sensitif adalah kondisi sosial ekonomi masyarakat dan ekologi. Ekonomi masyarakat yang relatif lemah. Masyarakat umumnya hanya petani yang menggantungkan hidup dari bertani. Jumlah pendapatan per bulannya tidak menentu. Kondisi Biofisik dan ekologinya sensitif karena berpotensi untuk penebangan dan pemekaran wilayah. Pemukiman dan tempat berkebun yang berlokasi di tempat yang miring dan berbahaya, sangat rentan terhadap erosi dan banjir. 2. Upaya adaptasi yang dilakukan berjalan perlahan-lahan sebagai respon terhadap perubahan yang terjadi. B. Rekomendasi: 1. Perlunya pemerintah memberi penjelasan atau penyuluhan mengenai perubahan iklim global dan pengaruhnya. 2. Pemerintah dan parapihak bekerja sama untuk menggali potensi lain yang terdapat di pegunungan Arfak serta memberikan pelatihan seperti latihan pertukangan, menjahit dll.
Para pria bisa membangun rumah kaki seribu,
membuat peralatan makan seperti piring dan alu, tentu saja mereka punya kemampuan pertukangan sedikit, sedangkan para wanita biasa menjahit tikar, membuat noken dari kulit kayu atau benang sehingga dapat dikembangkan lebih lanjut. Dengan demikian masyarakat dapat memiliki alternatif pekerjaan yang lain. 3. Perlu perencanaan tata ruang dan wilayah yang tepat untuk memberikan ruang bagi pengembangan wilayah pemukiman dan lahan berusaha/bertani bagi masyarakat. Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 137
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2008. Perubahan Iklim, Sebab, Dampak dan Tanggapan pada Pertanian Asia. Issue paper: Analisa, Advokasi dan Tindakan! API (Alliansi Petani Indonesia). Asian Farmers‟ Association for Sustainaible Rural Development. Vol 1, No. 1. Oktober 2008. Anonimous. 2010. Upaya Departemen Kehutanan dalam Adaptasi Perubahan Iklim.Direktorat Jenderal Perlindungan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Aliadi, A. Dkk. 2008. Perubahan Iklim, Hutan dan REDD: Peluang atau Tantangan. CSO Network on Forestry Governance and Climate Change, The Partnership for Governance Reform. Bogor. Hastanti, B. W., & Yeny, I. Strategi Pengelolaan Cagar Alam Pegunungan Arfak menurut Kearifan Lokal Masyarakat Arfak di Manokwari, Papua Barat. Info Sosial Ekonomi Vol. 9. No. 1, Maret th. 2009, 19-36. BPS. 2008. Kabupaten Manokwari Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Manokwari. Gleick, P. H. 1989. Climate Change, Hydrology, and Water Resources, Rev. Geophys., 27(3), 329–344. Hamlet, A. F., & Lettenmaier D. P. 1999. Effects of climate change on hydrology and water resources in the Columbia River basin. Journal of the American Water Resources Association ISSN 1093-474X . CODEN JWRAF5. 1999, vol. 35, no 6 (372 p.) (34 ref.), pp. 1597-1623 Handoko, I., Sugiarto, Y., & Syaukat, Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah Kebijakan Independen dalam Bidang Perdagangan dan Pembangunan. Seameo Biotrop for Kemitraan (Partnership). Bogor. Kapissa, N. 2008. Balai Pementapan Kawasan Hutan Wilayah X Papua: Integrasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Dalam Kebijakan Pengelolaan Hutan berkelanjutan di Papua. Makalah Dalam Seminar Forum Komunikasi Multi Pihak di Tanah Papua-Swiss_Bellhotel, 28 Juli 2008. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Kayoi, M. 2008. Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat: Strategi dan Kebijakan Pembangunan Kehutanan di Papua Barat. Makalah Dalam Seminar Forum Komunikasi Multi Pihak di Tanah Papua-Swiss_Belhotel, 28 Juli 2008. Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Laksono, P. M. Dkk. 2001. Igya Ser Hanjob Masyarakat Arfak dan Konsep Konservasi. Studi Antropologi Ekologi di Pegunungan Arfak, Irian Jaya. Pusat studi Asia Pasifik Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Yayasan Bina Lestari Bumi Cenderawasih dan Yayasan Keanekaragaman Hayati. Yogyakarta. Media Indonesia. 2010. Hutan Terbuka, Nyamuk Malaria Masuk Kota Partnership. 2008. Supporting Indonesia in Climate Change Mitigation & Adaptasi. Bogor. (http://www.beritadaerah.com/artikel.php?pg=artikel_papua&id=7998&sub=Arti kel&page=1). Februari 2010. 138 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
HABITAT, POPULASI DAN PEMANFAATAN LABI-LABI MONCONG BABI DI ASMAT Richard Gatot Nugroho Triantoro1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia Email:
[email protected]
ABSTRAK Labi-labi moncong babi (Carettochelys insculpta Ramsay) merupakan spesies dengan penyebaran terbatas yaitu meliputi Papua bagian Selatan (Indonesia), Papua New Guinea bagian Selatan dan Australia bagian Utara. Satwa ini mempunyai nilai ekonomi tinggi dan secara budaya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai sumber pakan. Perburuan telur dan perdagangan illegal yang tinggi dalam beberapa tahun terakhir dapat menyebabkan populasinya menurun dengan cepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui habitat, populasi dan pemanfaatan labi-labi moncong babi di alam menggunakan metode survei dengan teknik observasi. Hasil penelitian didapatkan populasi jejak sebanyak 1059 ekor dan populasi sarang sebanyak 720 buah. Habitat perkembangan hidup meliputi rawa permanen dan sungai, sedangkan habitat peneluran dilakukan di pasir. Induk dan telur dimanfaatkan sebagai sumber pakan oleh masyarakat lokal. Tercatat 24 kelompok pemburu telur di sepanjang sungai Vriendschap. Asumsi setiap kelompok dapat memanen minimal 7 ember (7 x 800 butir = 5.600 butir) maka telur yang di panen dari sungai Vriendschap sebanyak 134.400 butir. Tidak ditemukan kearifan pada masyarakat lokal bagi konservasi labi-labi moncong babi. Kata kunci : Labi-Labi Moncong Babi, Habitat, Populasi, Pemanfaatan.
PENDAHULUAN Labi-labi moncong babi sering pula disebut kura-kura moncong babi merupakan salah satu jenis reptil yang hidup di air tawar. Dalam dunia ilmiah dikenal dengan nama Carettochelys insculpta Ramsay (1886).
Penyebaran
hewan ini di dunia meliputi Papua bagian Selatan (Indonesia), Papua New Guinea bagian Selatan dan Australia bagian Utara. Sebagian besar aktifitas hidupnya dihabiskan di air baik itu untuk bermain, mencari makan, beristirahat dan kawin, sementara aktifitas bertelur dilakukan di pasir. Di Indonesia, labi-labi mocong babi dilindungi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 327/Kpts/Um/5/1978 dan dikuatkan pula dengan PP No. 7 Tahun 1999 (Noerdjito dan Maryanto, 2001). Berdasarkan red
data book IUCN, labi-labi mocong babi digolongkan dalam kelompok vurnerable yang artinya jenis yang terancam kepunahan akibat sebaran populasinya yang terbatas, sementara dalam CITES (Convention International Trade in Endangerd Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 139
Species of Wild Flora and Fauna) masuk dalam Appendiks II (ATTWG, 2000). Walaupun sudah dimasukkan dalam Appendiks II CITES, namun kuota perdagangan terhadap reptil ini di Indonesia belum ada disebabkan statusnya masih dilindungi.
Dari kuota pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan
Satwa Liar yang termasuk Appendix CITES untuk periode tahun 2007 – 2008 (Dirjen PHKA 2007, 2008) dan periode 2009 – 2012 (Kemenhut 2010, 2011, 2012), belum ditemukan adanya kuota perdagangan untuk jenis labi-labi mocong babi. Pada budaya masyarakat lokal di Selatan Papua, labi-labi mocong babi telah lama dimanfaatkan sebagai sumber pakan hewani.
Induknya ditangkap
dan dimanfaatkan dagingnya sedangkan telurnya diambil dari sarang peneluran untuk kemudian dikonsumsi. Dari sisi perdagangan, labi-labi merupakan salah satu jenis hewan yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Selain dipasarkan sebagai hewan peliharaan (pet), labi-labi juga dipasarkan untuk dikonsumsi dagingnya karena mengandung gizi yang tinggi dan dimungkinkan dapat digunakan sebagai obat, bahan baku industri dan kosmetik. Tahun 1999, harga jual labi-labi dari jenis Trionyx sinensis Taiwanese, berumur satu tahun adalah 12 dolar AS per ekor, sedangkan tahun 2001 harga beli untuk ukuran yang sama sudah mencapai 20 dolar AS (Thaiholland, 2001 dalam Amri dan Khairuman, 2002). Harga tukik labi-labi mocong babi tahun 1999 sekitar Rp 10.000 -15.000 per tukik di Senggo dan Atsy, di mana telur diinkubasi, sekitar Rp 30.000 per tukik setelah transportasi sampai Merauke, dan Rp 60,000-70,000 di Surabaya (Maturbongs, 1999).
Harga tersebut cenderung semakin meningkat seiring
permintaan pasar yang semakin tinggi namun tidak dapat dipenuhi dari usaha penangkaran. Tingginya permintaan labi-labi atau kura-kura menyebabkan para petani atau penangkar kewalahan untuk memenuhinya yang berdampak pada tingginya perburuan dari alam dan perdagangan illegal. Samedi dan Iskandar (2000) mencatat perdagangan ilegal Carettochelys insculpta dari Merauke dan Timika, Papua, ke Makasar (Ujung Pandang) (Sulawesi), Jakarta dan Surabaya (Jawa) dan Denpasar (Bali), dan seterusnya diekspor ke China dan Singapura. Akibat tingginya perburuan dapat mengakibatkan penurunan populasi secara cepat di alam dan berakibat hilangnya spesies. Kemungkinan kearah hilangnya spesies bisa saja menjadi kenyataan yang tergambarkan dari suatu lokakarya di Pnom Penh pada awal bulan Desember 1999, disimpulkan bahwa 60% kura-kura 140 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
air tawar Asia kini terancam punah, 15 jenis di Indonesia kini berada dalam keadaan kritis (Iskandar, 2000). Akibat perburuan telur yang berlebihan dan adanya perdagangan liar terhadap tukik, timbul kekuatiran terjadinya penurunan populasi labi-labi moncong babi secara cepat di alam (Papua-Indonesia), sementara disisi lain informasi habitat dan populasinya di alam belum banyak diketahui. Oleh sebab itu penelitian ini sangat penting dilakukan yang bertujuan untuk mengetahui habitat dan populasi labi-labi moncong babi di alam dan pemanfaatannya pada masyarakat lokal. METODOLOGI PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi pengamatan peneluran dilakukan pada Sungai Vriendschap yang meliputi wilayah Obokain, Indama, dan Sumo.
Jenis tumbuhan didata pada
muara sungai Vriendschap, rawa terdapat pasir peneluran, rawa tanpa pasir peneluran, dan muara sungai Baliem (hulu Sungai Vriendschap).
Pendataan
peneluran dilakukan dalam rentang waktu 15 Oktober – 19 November 2009, sedangkan pendataan jenis vegetasi dilakukan 26 Juli - 2 Agustus 2010. Lokasi penelitian di Sungai Vriendschap disajikan pada Gambar 1. Timika Yahukimo
Sungai Vriendschap Asmat
Gambar 1.
Lokasi penelitian labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap, Asmat Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 141
B. Peralatan Penelitian Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi meteran (3 m), termometer batang, digital caliper, timbangan (5 kg), timbangan gantung (per) (22 kg), kamera digital, tallysheet dan alat tulis menulis. C. Metode Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini metode survei dengan teknik observasi. Data yang dikumpulkan meliputi jumlah jejak dan sarang, habitat, dan pemanfaatan induk maupun telur pada masyarakat lokal. Pendataan jejak dan sarang dimulai pada jam 05.00, sedangkan pendataan habitat dilakukan setelah pendataan jejak dan sarang.
Pemanfaatan induk dan telur labi-labi
moncong babi dilakukan dalam bentuk Forum Discussion Group (FDG) dengan masyarakat setempat di waktu senggang (sore hari) D. Analisa Data Data yang diperoleh kemudian di analisis secara deskriptif. Hasil analisis disampaikan dalam bentuk tabel maupun grafik. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Populasi Sarang Populasi jejak labi-labi yang naik ke pasir selama 4 (empat) minggu (15 Oktober – 19 November 2009) adalah sebanyak 1059 ekor dengan rata-rata jejak per hari adalah 38 ekor, sedangkan populasi sarang labi-labi sebanyak 720 ekor dengan rata-rata jumlah sarang per hari adalah 26 sarang. Pengamatan pada minggu 1 (15 – 21 Oktober 2009) diperoleh jumlah jejak sebanyak 72 ekor dan jumlah sarang sebanyak 6 sarang.
Pada minggu ke 2, 3 dan 4, diperoleh
masing-masing jumlah jejak labi-labi sebanyak 312, 300 dan 375 sedangkan jumlah sarang diperoleh masing-masing sebanyak 227, 235 dan 252. Adapun jumlah jejak dan sarang labi-labi moncong babi dalam kurun waktu 4 (empat) minggu disajikan pada gambar 2.
142 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
400 375
350 312
300
300
250 235
227
200
252
jejak sarang
150 100 72
50
6
0 15-22 oct 09
Gambar 2.
22-29 oct 09
30 oct - 8 nov 09
10-19 nov 09
Jumlah jejak dan sarang labi-labi moncong babi dalam kurun waktu 4 minggu di Sungai Vriendschap, Asmat
Selama 4 (empat) minggu terlihat bahwa jumlah sarang cukup tinggi. Populasi tersebut hanya menggambarkan populasi pada area Obokain, Indama dan Sumo, namun tidak menggambarkan populasi pada wilayah Bor (sungai) dan Bor (rawa).
Jumlah jejak dan sarang labi-labi moncong babi pada minggu
pertama terlihat sangat berbeda dengan jejak dan sarang pada minggu kedua, ketiga dan keempat. Pada minggu pertama labi-labi yang ingin bersarang masih dipengaruhi kondisi sungai yang banjir dan pasir yang basah akibat luapan sungai atau terkena hujan. Proses turunnya permukaan sungai dan keringnya pasir terjadi berangsur-angsur sehingga proses peneluran (sarang) meningkat pada minggu kedua sampai ke empat.
Peningkatan jumlah persarangan dari
minggu pertama ke minggu kedua, selain akibat membaiknya cuaca (minim hujan), diduga dipengaruhi pula oleh keberadaan jumlah kelompok pengumpul. Pada akhir minggu pertama, beberapa kelompok sudah meninggalkan tepian sungai karena kehabisan persediaan bahan makanan dan kondisi cuaca yang tidak berangsur cerah.
Kondisi tersebut menyebabkan gangguan terhadap
aktifitas peneluran labi-labi dan ancaman keberadaan sarang menjadi berkurang yang berdampak pada meningkatnya jumlah sarang. 2. Habitat Habitat hidup labi-labi moncong babi di sungai Vriendschap meliputi rawa dan sungai utama Vriendschap termasuk hulu, cabang atau anak sungai. Induk Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 143
labi-labi moncong babi juga ditemukan pada daerah muara sungai yang tidak didapati pasir peneluran.
Di Papua New Guinea, labi-labi moncong babi
mendiami sungai (termasuk muara dan sungai delta), laguna rumput, rawa, danau, dan cekungan berair dari dataran rendah dibagian selatan (Georges et
al., 2008a).
Rawa merupakan habitat yang ideal bagi perkembangan hidup
karena tidak berarus, bening dan terdapat sumber makanan yang cukup, sementara sungai lebih cocok bagi labi-labi dewasa karena mempunyai arus yang cukup kuat. Habitat rawa permanen dan sungai dapat dilihat pada Gambar 2.
1
Keterangan : (1) rawa di Vriendschap; (2) sungai Vriendschap Gambar 2. Rawa dan sungai sebagai habitat hidup labi-labi moncong babi Selain labi-labi moncong babi yang melakukan aktifitas hidupnya di rawa, jenis reptil lain yang terdapat didalamnya meliputi labi-labi Irian (Pelochelys
bibroni), kura-kura dada merah (Emydura subglobosa) dan ular karung (Acrochordus arafurae), sedangkan pada sungai terdapat buaya muara (Crocodylus porosus) dan labi-labi Irian (Pelochelys bibroni). Adapun jenis reptil lainnya dapat disajikan pada Gambar 3 dibawah ini.
1
2
3
4
Keterangan : 1. Acrochordus arafurae; 2. Emydura subglobosa; 3. Pelochelys bibroni; 4. Crocodylus porosus 144 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
2
Gambar 3.
Jenis reptil lain yang hidup bersama labi-labi moncong babi di rawa dan Sungai Vriendschap.
Pasir peneluran labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap terdiri atas pasir halus sampai pasir kasar yang bercampur dengan bebatuan kecil. Secara umum habitat bertelur labi-labi moncong babi adalah tempat berpasir yang terdapat pada tepi sungai maupun rawa. Pasir terlihat sangat lebar dan luas pada saat sungai mulai surut. Pada beberapa pasir peneluran, permukaan pasir saat masih basah tertutup oleh lapisan liat tipis. Jejak labi-labi moncong babi saat sedang bergerak mencari tempat bertelur berbentuk seperti jejak traktor yang kosong pada bagian tengah dan bagian luar seperti di aduk. Pergerakan di pasir tidak selalu diakhiri dengan membuat sarang karena apabila tidak merasa nyaman membuat sarang maka labi-labi akan berputar-putar saja dan kembali ke sungai. Adapun pasir peneluran dan jejak labi-labi moncong babi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4.
Pasir peneluran dan jejak labi-labi moncong babi
Jenis vegetasi yang terdapat di sekitar muara sungai Baliem dan hulu sungai Vriendschap meliputi Casuarina rumphiana, Duabanga moluccana Blume,
Anthocephalus chinensis, Campnosperma auriculata, Ficus globosa, Ficus variegata, Premna corymbosa, Dysoxylum mollissimum, Timonius timons, Canarium indicum, Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol., Calamus sp. Blume dan Koorthalsia sp. Vegetasi pada rawa peneluran meliputi Intsia bijuga ok., Heritiera littoralis, Campnosperma auriculata, Trevesia sundaica Miquel, Hibiscus tiliaceus L., Elaeocarpus sphaericus K., Gymnacranthera
paniculata, Myristica fatua Houtt, Schefflera lucescens, Alstonia sp., Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol. dan Freycinetia funicularis Mar, Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 145
sedangkan jenis vegetasi permanen sebagai tempat perkembangan hidup meliputi Alstonia cf macrophylla, Myristica fatua, Gymnacranthera paniculata,
Hibiscus tiliaceus, Campnosperma auriculata, Gluta renghas, Evodia gonwichii, Anthocephalus cadamba, Canarium indicum, Artocarpus elasticus, Artocarpus communis, Ficus benjamina, Intsia bijuga OK., Cryptocaria sp, Sterculia parkinsonii, Sterculia shilinglawii, Inocarpus sp., Heritiera littoralis, Syzygium verstegii, Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol., Freycinetia funicularis Mar., Hydriastele costata, Rophaloblaste ladermanii
dan Caryota
rumphiana. 3. Pemanfaatan (Etnozoologi) Pemanfaatan labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap terbagi atas 2 golongan yaitu masyarakat lokal (asli Papua) dan masyarakat dari luar (non lokal).
Pemanfaatan oleh masyarakat lokal cukup tinggi karena pemanfaatan
selain dilakukan terhadap telurnya, juga dilakukan terhadap induknya. Tingkat eksploitasi di Indonesia dan PNG sangat tinggi sebagai sumber pakan dan sebagai pemasuk bagi industri hewan peliharaan internasional akibat dari permintaan penggemar satwa terhadap penampilan satwa unik ini (Georges et al. 2008a). Pemanfaatan telur labi-labi moncong babi oleh masyarakat lokal sebagai bahan makanan, juga di jual kepada pencari telur dari luar (masyarakat non lokal).
Cara menjualnya adalah dengan sistem barter dimana 1 set perahu
beserta mesin katintingnya ditukar dengan telur sebanyak 7 ember (berisi ± 800 butir). Apabila masyarakat lokal telah menerima barteran maka masyarakat non lokal dapat mengambil telur langsung di alam atau telur dikumpulkan oleh masyarakat lokal dan diserahkan kepada masyarakat non lokal. Pemanenan induk biasanya dilakukan di musim peneluran saat labi-labi naik untuk bertelur (masih ditepi pasir), di atas pasir sebelum bertelur atau di atas pasir sehabis bertelur. Hal ini menyebabkan pemanfaatan induk labi-labi saat musim peneluran sangatlah tinggi. Pengambilan induk labi-labi dari alam tidak ada batasan sama sekali dimana seberapa banyak individu atau induk yang dijumpai semuanya diambil.
Pemanenan induk oleh masyarakat lokal ini
merupakan dampak dari intensitas pemanenan telur labi-labi moncong babi yang tinggi di alam. Tanpa disadari perlahan tetapi pasti populasi labi-labi moncong babi akan turun dengan cepat dalam beberapa tahun kedepan. Di Sungai Kikori (PNG), terdapat penurunan kualitas telur dalam rentang tahun 2003 – 2006 146 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
akibat intensitas pemanfaatan yang sangat tinggi (Georges et al. 2008b). Indrawan et al. (2007) menyampaikan bahwa pemanfaatan berlebihan terhadap spesies tumbuhan dan satwa seringkali menunjukkan pola dimana penduduk lokal dikerahkan untuk mendapatkan dan menjual sumber daya, dan ketika sumber daya yang dieksploitasi mulai berkurang, harga ikut meningkat dan menciptakan insentif besar untuk eksploitasi berlebihan, sumber daya tersebut menjadi langka dan bahkan punah. Sebelum masyarakat lokal ikut mencari telur labi-labi untuk dijual, budaya pemanfaatan terhadap telur dan daging sudah ada namun dalam kapasitas terbatas (seperlunya).
Namun saat ini dengan waktu berhari-hari di lokasi
pengumpulan (Vriendschap) dan kebutuhan akan ketersediaan bahan makanan harus terus ada, maka peningkatan konsumsi daging labi-labi moncong babi akan ikut meningkat pula sementara konsumsi telur berkurang (dijual).
Pada
pengumpul masyarakat non lokal, pemanfaatan hanya berupa telur labi-labi moncong babi yang rusak.
Konsumsi daging labi-labi moncong babi oleh
masyarakat non lokal juga dilakukan tetapi dalam jumlah terbatas (saat menginginkan adanya variasi makanan). Lamanya pengumpulan telur di lokasi (pencapaian target) sulit ditentukan karena semua bergantung kepada kondisi cuaca.
Apabila cuaca cerah dalam beberapa hari berturut-turut maka sungai
mulai surut, pasir muncul, dan induk dapat bertelur sehingga target pengumpulan telur bisa lebih cepat, tetapi apabila sungai banjir maka para pencari akan menunggu di lokasi sampai sungai surut atau bahan makanan sudah tidak mencukupi untuk bertahan. Pemanenan telur dan sisa-sisa kerapas induk yang dikonsumsi disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5.
Sisa-sisa kerapas induk dan ember penampungan telur labi-labi moncong babi Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 147
Tingginya nilai ekonomi dari labi-labi moncong babi terlihat dari tingginya pemanenan telur saat pengamatan tahun 2009 yang terdiri atas 24 kelompok masyarakat (lokal dan non lokal) di sepanjang sungai Vriendschap yang mencari telur (Triantoro, 2009). Triantoro (2009) mendapati nilai jual tukik di Distrik Atsy (Asmat) mencapai Rp 25.000 – 30.000 per ekor, sementara di Singapura (Goh dan O‟Riordan, 2007) mendapati harga jual labi-labi moncong babi mencapai 100 $ Singapura untuk labi-labi moncong babi dengan ukuran kerapas 5 – 10 cm. Apabila diasumsikan setiap kelompok dapat memanen minimal 7 ember (7 x 800 butir = 5.600 butir) maka untuk tahun 2009 telur yang di panen dari tiga wilayah di sungai Vriendschap lebih dari 134.400 butir (24 kelompok x 5.600 butir). Hasil pemanenan telur dari alam ditetaskan oleh pengumpul dan dijual keluar Papua. Sementara pemanenan induk labi-labi moncong babi dilakukan dalam jumlah tak terbatas, apabila yang ditemukan 5 ekor atau 20 ekor atau 50 ekor sekalipun pasti ditangkap. Konsumsi induk biasanya 1 ekor untuk 1 keluarga tanpa melihat jumlah anggota keluarga. Induk yang belum di masak akan dikandangkan dan dimasak saat ingin dimakan. Awalnya pemanenan telur labi-labi moncong babi mulai muncul sekitar tahun 1996. Namun pemanenan saat itu hanya dilakukan oleh masyarakat non lokal dan masyarakat lokal tidak mendapat nilai ekonomi dari keberadaan telur labi-labi moncong babi.
Maturbongs (1999) khusus menyatakan bahwa
masyarakat setempat nyaris tidak memperoleh manfaat dari pemanenan telur. Pengumpul dari luar mengorganisir penduduk setempat untuk melaksanakan pemanenan telur, dengan bayaran Rp 10.000 (USD 1,12) per hari, dimana yang Rp 6.000 dikurangi untuk dua kali makan harian, Rp 1.000 untuk kopi dan Rp 2.000 untuk rokok, meninggalkan laba bersih sebesar Rp 1.000 (USD 0,11) per hari sebagai upah selama pemanenan sumber daya alam masyarakat. Masyarakat lokal mulai mendapat nilai ekonomi dari telur labi-labi sejak sekitar tahun 2001 dengan harga dihitung per butirnya sedangkan nilai barter telur dengan perahu dimulai tahun 2006 terhadap 1 orang dan kemudian mulai tahun 2008 sampai sekarang diikuti oleh beberapa kelompok masyarakat. Dari segi budaya, dahulu labi-labi digunakan sebagai mas kawin dimana labi-labi merupakan hantaran kepada pihak perempuan dengan jumlahnya sesuai permintaan pihak perempuan.
Saat ini budaya tersebut sudah tidak berlaku
karena semuanya lebih dihargai dengan uang. Legenda masyarakat terhadap labi-labi moncong babi juga ada dimana dikisahkan labi-labi moncong babi 148 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
merupakan hasil kutukan seorang suami yang marah akibat istrinya berzinah dengan laki-laki lain.
Kutukan kepada kedua manusia itu yang dimunculkan
dalam bentuk labi-labi moncong babi jantan dan betina.
Namun legenda ini
sudah hampir hilang dan tidak ada dampaknya sama sekali bagi konservasi labilabi moncong babi. KESIMPULAN Populasi di Sungai Vriendschap masih baik, namun pemanenan terhadap telur yang tidak mengindahkan aspek kelestarian dapat berdampak pada penurunan populasi secara cepat di alam.
Status perlindungan yang melekat
pada labi-labi moncong babi juga tidak serta merta membuat satwa ini aman dari perburuan di alam dan perdagangan. Tidak adanya sistem sasi atau kearifan lokal pada budaya pada masyarakat Asmat (sekitar Sungai Vriendschap), yang secara adat berkontribusi dalam menunjang konservasi jenis labi-labi moncong babi di alam. PENUTUP Labi-labi moncong babi merupakan satwa dilindungi namun mempunyai nilai ekonomi yang tinggi.
Disisi lain, labi-labi moncong babi merupakan aset
daerah maupun nasional yang dapat dijadikan sumber daya bagi peningkatan ekonomi masyarakat dan sumber pendapatan bagi pembangunan. Namun yang terjadi
selama
ini
adalah
pemanfaatannya
memperhitungkan aspek kelestarian di alam.
bersifat
illegal
dan
tidak
Daerah maupun negara tidak
mendapatkan nilai lebih (keuntungan) atas salah satu aset sumber daya hayati ini.
Pemanfaatan secara lestari dengan mengikuti aturan-aturan yang telah
ditentukan dan kontrol yang kuat terhadap pemanfaatannya kiranya dapat memberikan nilai lebih bagi pemanfaatan labi-labi moncong babi kedepannya, regenerasi jenis terus berlangsung dan perdagangan illegal dapat ditekan seminimal mungkin. Pengelolaannya harus bersifat terpadu dengan melakukan pendekatan
lansekap
dimana
pengelolaannya
tidak
dibatasi
oleh
batas
administrasi wilayah dan melibatkan semua komponen di daerah (Pemda) dan nasional (Kementerian Kehutanan).
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 149
DAFTAR PUSTAKA Amri, K dan Khairuman, 2002. Labi-labi : Komoditas Perikanan Multimanfaat. PT. AgroMedia Pustaka. Depok. [ATTWG] Asian Turtle Trade Working Group, 2000. Carettochelys insculpta. In: IUCN 2010. IUCN Red List of Threatened Species. Version 2010.4. <www.iucnredlist.org>. Downloaded on 14 November 2010. [Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2007. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode Tahun 2007. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.33/IV-KKH/2007 tanggal 26 Februari 2007. Lampiran 1. [Dirjen] Direktur Jenderal PHKA. 2008. Kuota Pengambilan Tumbuhan Alam dan Penangkapan Satwa Liar yang Termasuk Appendix CITES Untuk Periode Tahun 2008. Surat Keputusan Dirjen PHKA No. SK.06/IV-KKH/2008 tanggal 18 Januari 2008. Lampiran 1. Georges, A., J. S. Doody, C. Eisemberg, E. A. Alacs dan M. Rose. 2008a. Carettochelys insculpta Ramsay 1886 – Pig-Nosed Turtle, Fly River Turtle. Conservation Biology of Freshwater Turtles and Tortoises : A Compilation Project of the IUCN/SSC Tortoise and Freshwater Turtle Specialist Group. Chelonian Research Monographs No. 5. Chelonian Research Foundation. Georges A, Alacs E, Pauza M, Kinginapi F, Ona A, Eisemberg C. 2008b. Freshwater Turtles of the Kikori Drainage, Papua New Guinea, with Special Reference to the Pig-Nosed Turtle, Carettochelys insculpta. Wildlife Research 35 : 700 – 711. Goh TY, O‟Riordan RM. 2007. Are Tortoises and Freshwater Turtles Still Traded Illegally as Pets in Singapore? Oryx Vol 41 No 1 (Short communication). Indrawan M, Primack RB, Supriatna J. 2007. Biologi Konservasi. (revisi). Jakarta. Yayasan Obor Indonesia.
Ed ke-2
Iskandar, D. T. 2000. Kura-kura dan Buaya Indonesia dan Papua Nugini. PALMedia Citra. Bandung. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2010. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 8 February 2010 to 31 December 2010. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2011. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January 2011 to 31 December 2011. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia. [Kemenhut] Kementerian Kehutanan. 2012. Export Quota of Appendix-II Species of Indonesia Wild Fauna and Flora For The Period of 1 January to 31 December 2012. Director of Biodiversity Conservation. CITES Management Authority of Indonesia. Maturbongs, J. A. 1999. Trade Monitoring of Pig Nosed Turtle (Carettochelys insculpta) from Vriendschap River, District of Suator, Merauke Regency, Irian Jaya. Report, WWF Sahul Bioregion, Jayapura in : Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), page 4-5. Thirdteenth 150 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Meeting of the Conference of the Parties. October 2004.
Bangkok (Thailand) 2 – 14
Noerdjito, M. dan I. Maryanto. 2001. Jenis-jenis Hayati yang Dilindungi Perundang-Undangan Indonesia. Bidang Zoologi (Museum Zoologicum Bogoriense). Puslit Biologi – LIPI, The Nature Conservancy dan USAID. Cibinong. Samedi and D. T. Iskandar. 2000. Freshwater Turtle and Tortoise Conservation Utilization in Indonesia. Chelonian Research Monographs, 2:106–111 in : Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), page 4-5. Thirdteenth Meeting of the Conference of the Parties. Bangkok (Thailand) 2 – 14 October 2004.
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 151
152 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
DISTRIBUSI JENIS-JENIS POHON ENDEMIK DI DAERAH TEMINABUAN – AYAMARU Batseba A. Suripatty1) dan Luther Rumawak1) 1)
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Jl. Inamberi - Susweni, Manokwari, Indonesia
ABSTRACT Irian Jaya tropical rain forest has possess more than 600 species of trees, when it kwon only 70 specieses. Those specises has more profit, but still rely on availability of potention on nature did, but not yet seek conservation about it. This research purpose to got information about distributing and habbits of plants (trees) from Teminabuan – Ayamaru endemic species from low land until high land. This research has did on December 2005 in Teminabuan – Ayamaru district, with using descriptive method and research technique. Teminabuan forest until Kambuaya divide by height : Wayahkya – Wersar 0 metre altitude above of sea level has 14 trees species, Keyen 100 metres altitude above of sea level has 56 trees species, Senguwer – Waigo 200 metres altitude above of sea level has 61 trees species, Waigo – Moswaren 300 metres altitude above of sea level has 101 trees species, Moswaren – Athabu 400 metres altitude above of sea level has 45 trees species and Kambufatem – Kambuaya 500 metres altitude above of sea level has 16 trees species. Keywords : Distribution, trees species, endemic
RINGKASAN Hutan hujan tropis di Irian Jaya memiliki lebih dari 600 jenis pohon, dimana baru dikenal 70 jenis. Jenis-jenis tersebut mempunyai banyak manfaat, tapi masih mengandalkan ketersediaan potensi alam yang ada, sehingga belum banyak diupayakan tentang pelestariannya. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang jenis-jenis flora jenis pohon (habitat dan penyebaran) dari jenis endemik di Teminabuan – Ayamaru mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2005 di daerah Teminabuan – Ayamaru, menggunakan metode deskriptif dengan teknik survey. Hutan Teminabuan sampai Kambuaya dibagi berdasarkan ketinggian adalah sebagai berikut : Wayahkya – Wersar pada ketinggian 0 meter dari permukaan laut terdapat 14 jenis pohon, Keyen ketinggian 100 meter dari permukaan laut terdapat 56 jenis pohon, Senguwer – Waigo ketinggian 200 meter dari permukaan laut terdapat 61 jenis pohon, Waigo – Moswaren ketinggian 300 meter dari permukaan laut terdapat 101 jenis pohon, Moswaren – Athabu ketinggian 400 meter dari permukaan laut terdapat 45 jenis pohon dan Kambufatem - Kambuaya ketinggian 500 meter dari permukaan laut terdapat 16 jenis pohon. Kata kunci : Distribusi, Jenis pohon, Endemik
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 153
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hutan hujan tropis di Irian Jaya memiliki lebih dari 600 jenis pohon, dimana baru dikenal 70 jenis. Jenis-jenis tersebut mempunyai manfaat ekonomi, ekologi, ilmu pengetahuan alam, kebudayaan dan kesehatan.
Berdasarkan
manfaat tersebut beberapa jenis diantaranya telah dieksploitasi untuk tujuan kayu bangunan, bahan makanan, obat-obatan, kosmetika, industri rumah tangga, energi dan lain-lain. Pemanfaatan tersebut masih mengandalkan ketersediaan potensi alam, sehingga belum banyak diupayakan tentang pelestariannya. Pemikiran tentang kelestarian potensi tersebut hendaknya dimulai dengan mempersiapkan landasan ilmiah yang menyangkut semua aspek. Dengan demikian rencana pengelolaan dalam jangka panjang menjadi mantap, artinya tidak mengorbankan salah atau aspek terkait. Beberapa aspek ilmiah terkait adalah sifat taksonomi, ekologis dan potensi. Sifat taksonomi berkaitan dengan klasifikasi tumbuhan dalam suku dan marga, sehingga mempermudah dalam pengenalannya secara dendrologi. Sifat ekologi berkaitan dengan habitat (tanah, ketinggian dan asosiasi), iklim dam sebaran. Sedangkan potensi berkaitan dengan jumlah populasi per satuan luas ( m3 atau individu per ha ). Dengan mengetahui sifat ekologi serta potensi akan mempermudah dalam rencana penataan kawasan pengembangannya serta penataan eksploitasi dan pelestariannya. Permasalahan yang dihadapi saat ini adalah belum banyaknya informasi tentang jenis-jenis pohon,
khususnya yang endemik Papua. Oleh karena itu
perlu kajian untuk mendapatkan informasi dimaksud dengan diarahkan pada eksplorasi taksonomi. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang jenis-jenis flora jenis pohon (habitat dan penyebaran) dari jenis endemik di Teminabuan – Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan mulai dari dataran rendah sampai dataran tinggi.
154 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
II. METODE PENELITIAN A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2005 di daerah Teminabuan – Ayamaru, Kabupaten Sorong Selatan. B. Bahan dan Alat Bahan dan alat yang digunakan pada penelitian ini adalah tripleks, tali plastik, alkohol, kapas, Kompas, Altimeter, gunting, kuas, cutter, pH tanah, dan alat tulis. C. Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan Metode deskriptif dengan teknik survei. Penentuan
titik-titik
pengamatan
dilakukan
secara
Purposif
(sengaja).
Pengumpulan data taksonomi pohon dilakukan dengan cara membuat jalur pengamatan kurang lebih 200 meter.
Pengamatan pohon berdasarkan
ketinggian tempat, jenis-jenis tersebut kemudian diberi nama latin, famili dan nama daerah. III. HASIL PENELITIAN
Dari hasil pengamatan jenis pada berbagai ketinggian diperoleh hasil seperti pada tabel 1, 2, 3, 4, 5, 6. A. Lokasi:
WAYAHKYA – WERSAR
Ketinggian
: 0 meter dari permukaan laut
Tabel 1. Nama jenis pohon Wayahkya-Wersar. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Pohon
(latin dan daerah) dan famili yang ditemukan di
Avicennia marina Avicennia officinalis Rhizophora mucronata Rhizophora apiculata Sonneratia alba Bruguiera gymnorhiza Bruguiera parviflora
Famili
Avicenniaceae Avicenniaceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae Sonneratiaceae Rhizophoraceae Rhizophoraceae
Nama Daerah Kaas Kado Hiye Tumbot Naginom Geninnin Mekkai
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 155
No. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
Jenis Pohon
Bruguiera sexangula Xylocarpus granatum Heritiera litolaris Ceriops tagal Ceriops decandra Inocarpus fagifer Xylocarpus moluccensis
B. Lokasi :
Famili
Rhizophoraceae Meliaceae Sterculiaceae Rhizophoraceae Rhizoporaceae Fabaceae Meliaceae
Nama Daerah Nggenen Tfliak Kokar Tumbot Serombegienie Kado Tfliak
KEYEN
Ketinggian : 100 meter dari permukaan laut Tabel 2. Nama jenis pohon (Latin dan Daerah) dan famili untuk lokasi Keyen No. 1. 2. 3. 4. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35.
Jenis Pohon Baringtonia lanterbachii Drypetes globosa Drypetes maritima Spathiostemon javensis Pimelodendron amboinicum Canarium indicum Amoora acuculata Artocarpus altilis Endospermum moluccana Homalium foetidum Ficus Glandulifera Octomeles sumatrana Intsia palembanica Pometia pinnata Ficus nodosa Litsea firma Sloanea papuana Myristica hollrungii Macaranga mappa Palaquium amboinensis Timonius grassiflolius Toona sureni Sizygium versteegii Dracontomelum edule Polyalthia foorbesii Pygeum parviflorum Celtis latifolia Gymnacranthera paniculata Vatica ressak Pterygota horsfieldii Pometia coreaceae Eugenia anomala Myristica sulcata Metrosideros nigrovioidis
Famili Lecithydaceae Euphorbiaceae Ebenaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Burseraceae Meliaceae Moraceae Euphorbiaceae Flacourticeae Moraceae Datiscaceae Fabaceae Sapindaceae Moraceae Lauraceae Elaeocarpaceae Myristicaceae Euphorbiaceae Sapotaceae Rubiaceae Meliaceae Myrtaceae Anacardiaceae Annonaceae Rosaceae Ulmaceae Myristicaceae Dipterocarpaceae Sterculiaceae Sapindaceae Myrtaceae Myristicaceae Myrtaceae
Nama Daerah Salah Apis Watot Siosher Yonon Anye Hafta Migein Seraida Maja Ndawaan Arba Ndilen Medak Daun Barang Bremit Kaudanan Miet Asi Mai Sir Kokek Mban Lakof Bin Hafrah Kragiet Janggu Sohar Kuntian Mgan/Mangaan Mbadon Sanggor Kefak
156 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
No. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56.
Jenis Pohon Flacourtia sp Elaeocarpus sphaericus Ilex ledermani Antiaris toxicaria Haplolobus floribunda Maniltoa purijuga Lansium domesticum Flindersia amboinensis Aglaia argentea Hoersfieldia sylvestris Ficus benjamina Urandra brasii Buchanania macrocarpa Tristania obojata Campnosperma macrophylla Koordersiodendron pinnatum Spondias dulcis Chisocheton divergens Garcinia dulcis Pterocymbium splendens Teysmaniadendron bogoriense
C. Lokasi
:
Famili Flacourtiaceae Elaeocarpaceae Aguitifoliaceae Moraceae Burceraceae Caesalpiniaceae Meliaceae Rutaceae Meliaceae Myristicaceae Moraceae Icacinaceae Anacardiaceae Myrtaceae Anacardiaceae
Nama Daerah Aroro Trafu Syala Maai Orofok Kapak Lugun Wokoitomos Alat Menggok Jihin Pakek Korgier Samee Ketukar
Anacardiaceae
Wossogoh
Anacardiaceae Meliaceae Clusiaceae Sterculiaceae Verbenaceae
Heris Anggas Smo Sielie Mbriang kofis
SENGUWER – WAIGO
Ketinggian : 200 meter dari permukaan laut Tabel 3. Nama jenis pohon (Latin dan Daerah) dan famili untuk lokasi Senguwer – Waigo. No. Jenis Pohon 1. Ficus copiosa 2. Sloanea papuana 3. Boerlagiodendron 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.
novoguinensis Toona sureni Pometia pinnata Litsea tuberculata Aglaia argentea Myristica sulcata Artocarpus altilis Mallotus philippinnensis Celtis latifolia Garcinia dulcis Tetrameles nudiflora Timonius timon Canarium indicum
Famili
Moraceae Elaeocarpaceae Acaliaceae Meliaceae Sapindaceae Lauraceae Meliaceae Myristicaceae Moraceae Euphorbiaceae Ulmaceae Clusiaceae Dastiscaceae Rubiaceae Burseraceae
Nama Daerah Kemediri Bremit Fohoh
Sir Medek Barang Alet Songgor Frak Kemakok Kragiek Smo Armbau/Tkie Fangges Sumgui Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 157
No. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59.
Jenis Pohon
Intsia bijuga Pygeum parviflorum Tristania obojata Haplolobus floribunda Pimelodendron amboinicum Drypetes globosa Cananga odorata Gironniera subaegualis Eugenia anomala Antiaris toxicaria Biscofia javanica Palaquium lobianum Callophyllum sp. Agalia spectabilis Intsia palembanica Pterygota horsfieldii Canarium rigium Campnosperma macrophylla Syzigium versteegii Octomeles sumatrana Amora acuculata Dracontomellon edule Maniltoa splurijuga Buchanania macrocarpa Ficus nodosa Metrosideros nigrovirisdris Elaeocarpus agustifolia Gnetum gnemon Mastixiodendron pachyclados Litsea ledermanii Planchonella amboinensis Homalium foetida Vatica ressak Horsfieldia silvestris Diospyros maritima Teysmaniadendron bogoranse Melia sp. Terminalia auriculata Urandra brasii Sterculia macrophylla Praenea papuana Disoxyllum sp. Palaquium amboinensis Cyathocalyx asmanthus
Famili
Fabaceae Rosaceae Myrtaceae Burseraceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Annonaceae Ulmaceae Myrtaceae Moraceae Euphorbiaceae Sapotaceae Clusiaceae Meliaceae Fabaceae Sterculiaceae Burseraceae Anacardiaceae Myrtaceae Datiscaceae Meliacea Anacardiaceae Fabaceae Anacardiaceae Moraceae Myrtaceae Elaeocarpaceae Gnetaceae Rubiaceae
Nama Daerah Dilen Sruyam Semee Orofok Yowon Wajem Ngorro Kafimmis Mbadan Maai Fares More Towar Komirin Ndilen Kuntien Anye Ketukar Kokek Mban Arba Saa Lakof Kafak Kogier Daun Kefar Trafu Amlas Sara
Lauraceae Sapotaceae Flacourtiaceae Dipterocarpaceae Myristicaceae Ebenaceae Verbenaceae
Lodiwab Mbuwok Maja Johar Menggok Watot Mriang Kofik
Meliaceae Combretaceae Icacinaceae Sterculiaceae Sapotaceae Meliaceae Sapotaceae Dunonaceae
Asi Sara Pakek Suwak Bon Wige Nat Ngaamgon
158 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
D. Lokasi
:
WAIGO – MOSWAREN
Ketinggian
:
300 meter dari permukaan laut
Tabel 4. Nama jenis pohon (Latin dan Daerah) dan famili lokasi Waigo – Moswaren No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42.
Jenis Pohon
Celtis latifolia Spathiostemon javensis Maniltoa spullrijuga Melia sp. Palaquium amboinensis Flacourtia sp. Eugenia anomala Ilex ledermanii Pongamia sp. Heritiera sylvatica Sloanea papuana Drypetes globosa Urandra brasii Amoora cuculata Pimelodendron amboinicum Hoersfieldia sylvestris Myristica fatua Aglaia argentea Inocarpus fagifer Mastixiodendron pachyclados Canarium indica Haplolobus floribunda Elmerillia papuana Pygeum parviflora Aglaia spectabilis Artocarpus altilis Pometia pinnata Myristica holrungii Anizoptera polyandra Cryptocarya palmerensis Pometia acuminata Octomeles sumatrana Canarium indica Litsea tuberculata Dracontomellon edule Buchanania macrocarpa Flindersia amboinensis Ficus nodasa Trihadinia philippinensis Hernandia ovigera Beiscmedia philippinensis Tristania obojota
ulmaceae Euphorbiaceae Fabaceae Meliaceae Sapotaceae Flacourtiaceae Myrtaceae Aquitifoliaceae Fabaceae Sterculiaceae Theaceae Euphorbiaceae Icacinaceae Meliaceae Euphorbiaceae Myristicaceae Myristicaceae Meliaceae Fabaceae Rubiaceae
Famili
Nama Daerah Muu Syoh Ser Afak Antas E Fuf Ntonros Sajagoog Ntorros Mawe Nat Gabon Hafrah Afam Asi Afamka Kaat Sapa Taa Tate Hantoha
Burseraceae Burseraceae Magnoliaceae Rosaceae Meliaceae Moraceae Sapindaceae Myristicaceae Dipterocarpaceae Lauraceae Sapindaceae Datiscaceae Burseraceae Lauraceae Anacardiaceae Anacardiaceae Flindersiaceae Moraceae Flacourtiaceae Hernandiacea Lauraceae Myrtaceae
Kwan Iji Arkek Surwiam Sohara Nawe Sah Akoem Afam Meai Sitam Kma Armbau Jisnum Barang Vuu Antas II Fohoh Antiwit Wajam Yomos Krer Kosna
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 159
No. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49. 50. 51. 52. 53. 54. 55. 56. 60. 61. 62. 63. 64. 65. 66. 67. 68. 69. 70. 71. 72. 73. 74. 75. 76.
Jenis Pohon
Planchonella kayensis Syzigium verstegii Alstonia scholaris Pterygota hoersfieldii Gironniera subaegualis Gymnacranthera paniculata Litsea firma Vitex cofassus Xanthophyllum sp. Pterocarpus indicus Praenea unyiato Dacusucarpus wallichianus Sterculia macrophylla Spondias dulcis Ilex ladermanii Diospyros maritima Caralia brachiata Planchonella microcarpus Polyalthia foorbesii Myristica hokrugil Syzigium polyanthum Mallotus philippinensis Toona sureni Endospermum moluccana Glochidion sp. Leviera sp. Maniltoa plurijuga Terminalia longespicata Himanthandra sp. Beiscmedia sp.
Campnosperma brevipetiolata
E. Lokasi
:
Famili
Sapotaceae Myrtaceae Apocynaceae Sterculiaceae Ulmaceae Myristicaceae Lauraceae Verbenaceae polygaliaceae Fabaceae Sapotaceae Podocarpaceae Sterculiaceae Anacardiaceae Aquitifolinceae Ebenaceae Rhizophoraceae sapotaceae Annonaceae Myristicaceae Myrtaceae Euphorbiaceae Meliaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Monimiaceae Fabaceae Combretaceae Himancendraceae Lauraceae Anacardiaceae
Nama Daerah Sigis Sayoh Suwe Suwia Saragmit Kaf Wansura Krien Nat Atapser Asuriam Ara Tkie Swa Herist Kwenkik Gosafe Hamnat Sigis Sokais Akum Akku Sunnat Rata, Ukyau Hba Ntorros Woi afak Somof Tamaa Sim Rasam
MOSWAREN – ATHABU
Ketinggian
: 400 meter dari permukaan laut
Tabel 5. Nama jenis pohon (latin dan Daerah ) dan famili untuk lokasi Moswaren - Athabu No. Jenis Pohon Famili Nama Daerah 1. Myristica fatua Myristicaceae Sapa 2. Melia exelsa Myristicaceae Antas I 3. Spathiostemon javensis Euphorbiaceae Syohser 4. Ilex ledermanii Aquitifolianceae Kwankek 5. Diospyros maritima Ebenaceae Kalsaff 6. Planchonella kayensis Sapotaceae Sigis 7. Caralia brachiata Rhizophoraceae Nat 8. Planchonella microcarpus Sapotaceae Sigis 9. Polyalthia foorbesii Annonaceae Sokais 160 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
No. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45.
Jenis Pohon
Myristica hokrugil Horsfieldia sylvestris Aglaia argentea Litsea tuberculata Pimeliodendron amboinicum Palaquium amboinensis Pometia pinnata Aglaia spectabilis Haplolobus floribunda Sizygium polyanthum Syzygium verstegii Amoora cuculata Pometia coreaceae Malotus philippinnensis Draconthomellon edule Canarium indica Trichadenia philippinnensis Toona sureni Endospermum moluccana Tristania obojata Urandra brasii Glochidion sp. Leviera sp. Maniltoa plurijuga Dacusucarpus wallachianus Terminalia longespicata Litsea firma Sterculia Macrophylla Spondias dulcis Himanthandra sp. Beischmedia sp. Campnosperma brevipetiolata Mastixiodendron pachyclados Gluta renghas Semecarpus papuana Koordersiodendron pinnatium
Famili
Myristicaceae Myristicaceae Meliaceae Lauraceae Euphorbiaceae Sapotaceae Sapindaceae Meliaceae Bursecaceae Myrtaceae Myrtaceae Meliaceae Sapindaceae Euphorbiaceae Anacardiaceae Burseraceae Flacourtiaceae Meliaceae Euphorbiaceae Myristicacea Icacinaceae Euphorbiaceae Monimiaceae Fabaceae Podocarpaceae Combretaceae Lauraceae Sterculiaceae Anacardiaceae Himancendraceae Lauraceae Anacardiaceae
Nama Daerah Akum Menggok Saa Vuu Afamka Nat Sah Komirin Iji Akku Sayoh Asi Kma Sunnat Lakof Ngwam Wajam Sur Hba Semee Afak Ntorros Woi Afak Ara Btion Somof Sur Swa Herist Sirin Sim Rasam
Rubiaceae Anacardiaceae Anacardiaceae Anacardiaceae
Hantoa Ara Hewi Fiqum Mokues
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 161
F. Lokasi : KAMBUFATEM – KAMBUAYA Ketinggian : 500 meter dari permukaan laut Tabel 6. Nama jenis pohon (Latin dan Daerah) dan Famili untuk lokasi Kambufatem – Kambuaya No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 11. 12. 13. 14.
Jenis Pohon
Tristania obojata Euodia elleryana Lithocarpus rivofilosus Macaranga aleuritoides Octamyrtus sp. Shizomeria katastega Alphitonia sp. Leviera sp. Ficus sp Mallotus sp Timonius timon Rhodamia Astronia Glochidion Dionsia sp
Famili
Myrtaceae Rutaceae Fagaceae Euphorbiaceae Myrtaceae Cunoniaceae Rhamnaeaae Monimiaceae Moraceae Euphorbiaceae Rubiaceae Myrtaceae Melastomaceae Euphorbiaceae Verbenaceae
Nama Daerah Kosna Sitam Armo Syah Sesaro Sohara Ramboh Woi Agiar Wajam Siejag hftak Samak Fak Kasi paran Wofuur
IV. KESIMPULAN 1. Daerah-daerah yang terdapat pada lokasi
penelitian dari Teminabuan –
Kambuaya dapat dibedakan dengan jelas berdasarkan ketinggian dari permukaan laut. 2. Pada lokasi penelitian jenis-jenis pohon yang terdapat berbeda dengan jumlah yang tidak seragam berdasarkan ketinggian. DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 1976. Mengenal Jenis Kayu Irian Jaya. Dinas Kehutanan Provinsi Irian Jaya. Jayapura. Ding Hou, 1960. Thymeleaceae. Flora Malesiana I. 6:1-48. Heyne, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Departemen Kehutanan. Jakarta.
II.
Pengantar
Kehutanan
Petocz, 1987. Konservasi Alam dan Pembangunan Irian Jaya. Pustaka Grafitipers. Jakarta. Soemono S. Ir. MS., 1988. Mengenal Dunia Tumbuhan. Faperta UNCEN. Manokwari. (tidak diterbitkan).
162 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Slide Presentase Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 163
164 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 165
166 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 167
168 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 169
170 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Slide Presentase Deputi V UP4B
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 171
172 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 173
174 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 175
176 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 177
178 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 179
180 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 181
182 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 183
184 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Slide Presentase Kabag Program dan Kerja Sama Badan Litbang Kehutanan
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 185
186 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 187
188 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 189
190 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 191
192 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 193
194 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 195
196 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 197
198 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 199
200 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 201
202 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 203
204 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 205
LAMPIRAN
206 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
NOTULENSI EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BPK MANOKWARI TANGGAL 23 OKTOBER 2013
KEYNOTE SPEECH
Pertanyaan : 1. Pak Max Tokede: Bagaimana kepastian dan jaminan hukum tercapainya tujuan percepatan pembangunan Papua ? 2. Pak Elim Kalua:
Selama 20 pembangunan kehutanan, masyarakat sekitar
hutan dinyatakan tetap dalam kondisi kemiskinan. Bagaimana peran UP4B dalam hal ini terutama dalam mendorong kinerja pembagunan oleh instansiinstansi lain, karena walaupun telah masuk investasi besar di Papua, toh masyarakat Papua tetap miskin.
Jawaban 1. Pak Son Diamar : UP4B telah berusaha mendorong pembangunan berbagai infrastruktur misalanya jalan, maka digandeng instansi PU, TNI. Bidang pendidikan pemberian beasiswa kepada putra asli Papua untuk belajar di luar Papua, melalui instansi Diknas. Bidang ekonomi dengan pemantauan dan pengendalian para pimpinan instansi agar tidak terjadi pelanggaran. Sedangkan di bidang politik, usaha perubahan otsus pasal demi pasal terutama
pengaturan
pembangunan
harus
berada
di
daerah
(Gubernur/Bupaai) sebagai wakil pemerintah pusat. 2. Pak Runaweri : Tanggungjawab pembangunan adalah milik bersama, bukan pemerintah saja. Tugas pemerintah adalah membuat kebijakan yang memihak rakyat. Mendorong kepemilikan saham rakyat dalam pengelolaan hutan. Mempertahankan hutan dari alih fungsi untuk penggunaan lain. 3. Pak Thomas : sebenarnaya tidak ada negara kaya atau negara miskin semua tergantung pada tata kelolanya. SESI I
Pertanyaan 1. Pak Agus Sumule : Perlu satu pendekatan untuk mengatasi kemiskinan masyarakat sekitar hutan yang difasilitasi oleh Kadishut. Diharapkan pengelolaan kayu lokal diberikan pada masyarakat adat. Berapapun produksi hasil hutan, jika perkampungan di sekitar hutan kondisi fisiknya tidak berubah, Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 207
maka masyarakat tetap dianggap miskin. Diharapkan perusahaan IUPHHK memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk ikut mengelola hutan, seperti melalui pembangunan penggergajian, sawmill dan lain-lain untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat. Kekurangan energi terutama listrik bagaimana bisa bersumber dari hutan, sebagai contoh listrik yang dihasilkan dari hutan di Korindo. 2. Pak Estiko : Untuk Pak Kuswandi, bagaimana jika analisis ekonomi yang dipakai bukan hanya berdasarkan sumber dana PSDH dan DR saja, karena kontribusi IUPHHK untuk negara bukan itu saja masih ada restribusi berupa pajak dan lain-lain, termasuk bantuan sosial yang diberikan kepada masyarakat. Untuk Bu Betty, saat ini sagu sedang naik daun. Ijin pengelolaannya
telah
dikeluarkan
oleh
bupati
Jayapura,
Nabire
dan
Mamberamo Raya, namun bagi orang awam sagu tetap dianggap sebagai komoditas perkebunan. 3. Bu Garsetiasih : Makalah tidak sesuai dengan sasaran. Sasaran yang seharusnya untuk mengetahui kuantitas dan kualitas, tidak nampak dalam tulisan, hanya data pertumbuhan yang dimunculkan. 4. Pak Benny Halatu : Pada tahun 1988-1990 belum ada pasar Merbau, Merbau mulai marak pada tahun 2000an. Banyak sekali persoalan kehutanan seperti yang dikemukakan UP4B tadi, pembangunan selalu mencari lahan. Sentralisasi harus diarahkan pada desentralisasi. Masalah kemiskinan harus dicarikan solusi tanpa menyalahkan masing-masing institusi. Kegagalan TPTI, harus dicariikan jalan keluarnya, salah satunya melaui KPH, sehingga dapat menjawab permasalahan pembangunan kehutanan.
Jawaban. 1. Bu Betty : data itu sudah ada dan siap dimasukkan, agar segera dapat dicetak dalam proseding. 2. Pak Freddy : Papua kaya akan sumber energi, kajian tersebut dapat berlangsung tergantung pada anggaran yang turun. 3. Pak Kuswandi : restribusi yang lain belum ada datanya, restribusi yang tersedia datanya adalah ijin pengusahaan, DR dan PSDH, tetapi besarnya tidak kelihatan. Sebenarnya masyarakat sekitar hutan tidak miskin, hanya kemampuan mengelola hutan yang belum ada. Pengelola kayu sebagian besar adalah pendatang, sedangkan pemilik ulayat hanya meminta kompensasi. 208 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Interupsi Pak Max : judulnya luas namun sempit bukan ekonomi daerah tapi PAD. Kebutuhan yang dibebankan bukan untuk masyarakat melainkan untuk kebutuhan industri lokal. Menurut Kadishut : JPT tidak berlaku lagi di pusat, namun di daerah masih diberlakukan. Menurut Sekbadan, harus hati-hati menganalisis manfaat ekonomi perusahaan IUPHHK, karena bila salah analisa bisa membubarkan IUPHHK yang menjadi andalan ekonomi kehutanan. Prilaku masyarakat juga perlu dikaji, karena gaya hidup masyarakat menunjukkan kegagalan pengelolaan keuangan. Selanjutnya swasembada beras bukan swasembada pangan, diharapkan bukan swasembada beras saja tapi juga swasembada pangan untuk menunjukkan ketahanan pangan. Kriteria tanah marginal untuk sawah, tapi dikatakan cocok untuk real estate karena sengaja dikelola salah. Data jenis kayu selalu berubah sama dengan data banyaknya pulau yang ada di Indonesia. Diharapkan Kadishut dapat memfasilitasi pembuatan kebun koleksi jenis. SESI II
Pertanyaan-pertanyaan 1. Pak Max : untuk penulisan abstraks, penulisan nama Botani harus memperhatikan kaidah ilmiah. Untuk Bu Betty penulisan abstraks tidak mencantumkan hasil penelitian, sehingga tulisan seperti proposal, bukan publikasi atau makalah. Untuk Pak Gatot Pemanenan pada labi-labi moncong babi dikatakan 100% telur apa hubungannya dengan pengelolaan berbasis jenis. 2. Bu Mariana Takandjanji : prihatin dengan kondisi labi-labi moncong babi yang sudah termasuk dalam Apendik II CITES. Pemanfaatan oleh masyarakat sangat tinggi, sehingga merupakan ancaman serius. Bagaimana BPK Manokwari
menyikapi hal tersebut, sedangkan penangkaran amat sulit
dilakukan karena pertumbuhannya sangat lambat. 3. Pak Luther : Tanggapan untuk Bu Betty, ada kelemahan untuk penyebutan nama daerah Sagu, karena setiap daerah memiliki nama yang berbeda, sehingga perlu diperhatikan dalam penyebutan nama daerah. Untuk Pak Pudja Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 209
di Merauke juga tumbuh jenis kayu putih alam yang menarik untuk dikaji. Ada baiknya dilakukan penelitian juga di Merauke untuk memperbadingkan dengan kayu putih di Jawa.
Jawaban : 1. Pak Gatot : Maksud pengelolaan berbasis jenis adalah labi-labi yang dikelola adalah dari tukik dan diistilahkan penangkaran alami dan pelepasan ke alam. Penangkaran untuk Papua belum ada penangkaran seperti juga rusa yang hanya dibesarkan bukan ditangkarkan. Masih diperlukan data biologi maupun ekologi, misalnya labi-labi lebih suka memilih bersarang pada tanah berpasir dengan vegetasi. Gerakan labi-labi dalam air hanya bisa dipantau dengan radiometri yang harganya sangat mahal, sementara anggaran penelitian yang ada sangat terbatas. Dalam sekali bertelur labi-labi menghasilkan telur sekitar 20 butir, dengan persentase pemanfaatan masyarakat lebih besar daripada telur yang ditetaskan. Apalagi keberhasilan penetasan telur amat sulit, karena adaptasi yang susah dan banyaknya predator. 2. Pak Pudja : terimakasih tanggapannya, memang terdapat perbedaan antara spesies kayu putih yang ditanam di Jawa dan kayu putih yang tumbuh alami di Merauke, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut. 3. Bu Betty : Sagu telah ditetapkan nama ilmiahnya yaitu Metroxylon spp, dengan varietas jenis yang banyak namun masih memakai nama daerah.
210 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
JADWAL ACARA Waktu 08.30–09.00 09.00–09.30
Kegiatan
09.30–09.40
Registrasi peserta Pembukaan (MC) : Doa Lagu Indonesia Raya Sambutan sekaligus Pembukaan Lagu Tanah Papua Laporan Pelaksanaan Ekspose
09.40–10.00 10.00–10.45
Rehat Kopi Keynote Speech
1. Kebutuhan Penelitian Kehutanan (Reseach Needs) di Tanah Papua
Metode Plenary
Plenary
Plenary
Keterangan OC OC Pendoa Dirijen Kadis Kehutanan Prov. Papua Barat Dirigen Ir. Harisetijono, M.Sc Moderator : Dr. Agus Sumule
(Kepala Dinas Kehutanan Prov. Papua Barat) 2. Hutan, Sumberdaya Alam, dan Lingkungan dalam upaya P4B (Deputi V UNIT Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat / UP4B)
3. Kebijakan Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Sebagai Kerangka Penelitian Integratif
(Kepala Bagian Program dan Kerjasama Badan Litbang Kehutanan) 11.00–11.30 Diskusi 11.30–12.00 Soft Launching Buku Paparan Ir. Max J Tokede, 1. Buku Rediversifikasi Pangan Ringkas MS Papua Jidil 2 an 2. Buku Bongkah Aksi Kolektif untuk Menanam 12.00–13.00 ISHOMA 13.00–14.15 THEMA: Sistem Pengelolaan Hutan Plenary Moderator : Ir. Thomas 13.00-13.05 Arahan Nifinluri, M.Sc 13.05-13.15 Pengelolaan Hutan dalam Kontribusinya pada Ekonomi Daerah dan Kemiskinan Masyarakat Sekitar Hutan di Papua (Ir. Relawan Kuswandi, M.Sc) Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 211
Waktu
Kegiatan
Metode
Keterangan
13.15-13.25 Pertumbuhan Varietas Sagu (Metroxylon Spp) di Demplot 13.25-13.35
13.35-14.15 14.15-15.30 14.15-14.20 14.20-14.30
14.30-14.40
14.40-14.50 14.50-15.30 15.30-15.45 15.45-16.00 16.00-selesai
Masni Manokwari (Ir. Batseba Suripatty, MSc) Pemanfaatan Kayu di Papua melalui Pendekatan Sifat Dasar Kayu (Freddy Jontara Hutapea, S.Hut) Diskusi THEMA: Hasil Hutan Bukan Kayu Arahan Status Pemanfaatan dan Pengelolaan Labi-labi Moncong Babi di Papua (Richard Gatot Nugroho Triantoro, S.Hut, MSi) Penentuan Rotasi Pemangkasan pada Hutan Tanaman Kayu Putih (Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MSi) Kajian Empulur Sagu untuk Bioethanol (Ir. Batseba Suripatty, MSc) Diskusi Rehat kopi Pembacaan Rumusan Penutupan
Plenary
Moderator : Mnerep Siregar, S.Hut, M.Si
Tim Perumus
212 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
SUSUNAN PANITIA EKSPOSE HASIL PENELITIAN PADA BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI TAHUN ANGGARAN 2013 SK KPA BPK Manokwari Nomor: SK. 46 /VIII/BPKM/DIPA/2013 Tanggal: 18 Juli 2013
Penanggung Jawab: Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Ketua Sekretaris Bendahara
: Ir. Edwin Lodewijk Yoroh : Dr. Henry S. Innah, S.Hut, MT : Sulastri
SEKSI MATERI: Koordinator : Dr. Ir. Pudja Mardi Utomo, MP Anggota : Ir. Relawan Kuswandi, MSc Richard Gatot Nugroho Triantoro, S.Hut, M.Si Susan T. Salosa, S.Hut, MA SEKSI ACARA DAN PERSIDANGAN: Koordinator : Baharinawati WH.,S.Sos.,M.Sc Anggota : Ifa Zanty Wahyuni, S.Hut Gidzon Mandacan Yakob Wamaer SEKSI DOKUMENTASI DAN DEKORASI: Koordinator : Julanda Noya, S.Hut Anggota : Sarah Yuliana, S.Hut., M.App. Sc Melky B Panie, S.Hut SEKSI KONSUMSI: Koordinator : Ir. Regina R. Maai Anggota : Dwi Korani Supatmini SEKSI AKOMODASI DAN TRANSPORTASI: Koordinator : Khuswantoro Akhadi, S.Hut, M.Ap Anggota : Arif Hasan, SE Yan H. Baransano Yakob Lutlutur SEKSI PERLENGKAPAN: Koordinator : Jufri Thaib, SE Anggota : Naris Arifin, SE Laban Mandibodibo Obed Dogopia SEKSI KESEKRETARIATAN: Koordinator : Freddy Jontara H, S.Hut Anggota : Solichin, SH Muthmainnah Syarifuddin, S.Hut Freddy Sutadji Simon Patollong, SE
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 213
DAFTAR PESERTA KEGIATAN EKPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANOKWARI
Aston Niu Hotel, Tanggal 29 November 2011
NO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
NAMA
INSTANSI
A. Ardi Abdul Solichin Ahmad Syihabi Apner Marar Ayati B. A. Hallatu Baharinawati Wilhan Hastanti Batseba A. Suripatty BE. Susanto Christian Moai Daud Bano Demianus Aska Ditha Aryanti Dody Rahmansyah Donatus Awujani Donatus Marani Dwi Korani Edwin Lodewiyk Yoroh Eko Suwarno Elim Kalua Esie Mega Wangi Estiko Tri Ezrom Batorinding Ferry Manufandi Fitryanti Pakiding Frank Lambori Freddy J. Hutapea Fredikus Sutaji Garsetiasih Gidzon Mandacan Harisetijono Hendrik Runaweri Hendy K. Hermadi Indah Maria Ratna N. Indun Isyunanjo Inseren D. Marisan
BBTNTC PERDU Manokwari SMK Kehutanan BPK Manokwari BKSDA Dinas Kehutanan Kabupaten Sorong BPK Manokwari BPK Manokwari BP2HP Wilayah XVIII BP2HP Wilayah XVIII Dinas Kehutanan Masyarakat GM UNIPA BPK Manokwari BBTNTC UNIPA BPK Manokwari BPK Manokwari BP2HP Wilayah XVIII BLK Manokwari BBTNTC Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat BPK Manokwari Yalhimo Manokwari UNIPA BBTNTC BPK Manokwari BPK Manokwari Puskonser Bogor BPK Manokwari BPK Manokwari Kadishut BP2HP Wilayah XVIII BBTNTC UNIPA BP2HP Wilayah XVIII Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat
214 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
NO 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79
NAMA
INSTANSI
Isak H. Ainusi Ishak Silamba J. BakArbessy J.J. Kesaulija Johan A. Rumawak Jufri Thaib Julanda Noya Junus Tambing Ketut Arta L. Rumawak Laban Mandibodibo Lidia Tesa M. Ronsumbre M. Siregar Mamat R. Marga T. Maria I. Arim, SP, M.Sc Mariana T. Marie Elen Tohitoe, S.Hut Markones Karubaba Max J. Tokede Meidy Utomo Melky B. Panie Moh. Tabakore Mohamad Saleh, S.Hut, M.Si Naris Arifin Nithaniel M.H Benu Obed Degopia Oto Djuari Pdt. Edy Kirihio Pieter Wamaer Pudja Mardi Utomo Regina Rusmina Maai Relawan Kuswandi Richard Gatot Nugroho Rika Razali Rini Purwanti Sahrul Salmon Kasi Samsul Rahman Sarah Yuliana Sarina Maai
Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat UNIPA Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat Dinas Kehutanan Provinsi Papua Barat BPK Manokwari BPK Manokwari BPK Manokwari BPK Manokwari KASDIM 1703 Manokwari BPK Manokwari BPK Manokwari BBTNTC Polsek Bandara BBTNTC BPKH SMK Kehutanan UNIPA Puskonser Bogor SMK Kehutanan Dinas Kehutanan Kabupaten Papua Barat UNIPA BKSDA BPK Manokwari BPK Manokwari BPDAS Remu Ransiki BPK Manokwari BPK Manokwari BPK Manokwari BPKH XVII Masyarakat GM Zekbet CII-TNC-WME BPK Manokwari BPK Manokwari BPK Manokwari BPK Manokwari BP2HP Wilayah XVIII BBTNTC BPDAS Remu Ransiki BPKH BBTNTC BPK Manokwari BPK Manokwari
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 215
NO
NAMA
80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100
Simon Patollong Son Diamar Sulastri Sumule Sunardi Supanto Supatmini Susan T. Salosa Triadi Gumilar Trijoko Mulyono Wilson Palelingan Yacob Wamaer Yafet Ayok Yahya Sayori Yakob Lutlutur Yenni Salosa Yermias Mandacan Yoel Tandirerung Yoslianto Yusup H. Hashari Yusup Komendi
INSTANSI BPK Manokwari UP4B Deputi V BPK Manokwari UNIPA BPK Manokwari BPK Manokwari BPK Manokwari BPK Manokwari BPKH XVII Setbadan Litbang UNIPA BPK Manokwari Dinas Kehutanan Dinas Kehutanan Kabupaten Manokwari BPK Manokwari UNIPA Kampung Ayambori BPK Manokwari BBTNTC BPKH BPK Manokwari
216 – “Peran Penelitian Integratif dalam Pembangunan Kehutanan di Tanah Papua”
Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manokwari Tahun 2013 - 217