PROSIDING EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN
BALAI PENELITIAN KEHUTANAN MANAD0
Manado, 2011
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Balai Penelitian Kehutanan Manado ISBN 978-602-98144-8-4
i
PROSIDING EKSPOSE HASIL-HASIL PENELITIAN “HUTAN LESTARI UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT” Manado, 2011 Terbit Tahun 2012
Foto Sampul oleh:
Kristian Mairi dan Arif Irawan
Desain:
Lulus Turbianti
Diterbitkan oleh:
Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Manado Telp. 0431-3666683 Email:
[email protected] Website: www.bpk-manado.litbang.dephut.go.id Dicetak oleh:
Balai Penelitian Kehutanan Manado
KATA PENGANTAR
ii
Hutan lestari dan masyarakat sejahtera merupakan impian semua pihak, atas dasar itulah Balai Penelitian Kehutanan Manado selaku institusi penelitian menggelar Ekspose dengan tema “Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat”. Ekspose perdana Balai Penelitian Kehutanan Manado memuat paparan peneliti dari sisi tanaman sejenis, eksplorasi hutan alam, penyelamatan satwa langka, dan contoh peranan langsung hutan untuk masyarakat sekitarnya. Penyelenggaraan ekspose ini merupakan perwujudan salah satu fungsi BPK Manado yakni pelayanan data dan informasi ilmu pengetahuan dan teknologi hasil-hasil penelitian kepada masyarakat pengguna.Tujuan akhir yang hendak dicapai adalah dapat meningkatkan dan menjawab kebutuhan pengguna. Dimana penelitian di masa yang akan datang menjadi sebuah solusi permasalahan yang ada . Prosiding ini memuat 10 judul materi yang dibahas dan 6 materi penunjang serta rumusan seminar berdasarkan hasil diskusi. Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terimakasih kepada penyaji materi, panitia penyelenggara, moderator, peserta serta semua pihak yang telah membantu penyelenggaraan kegiatan ekspose. Semoga prosiding ini bermanfaat.
Manado, Juli 2012 Kepala BPK Manado
Dr.Ir. Mahfudz, MP
iii
TIM PENYUNTING Koordinator
:
Ir. Eva Betty Sinaga, MP
Ketua
:
Ir. La Ode Asir, M.Si.
Anggota
:
Kristian Mairi, S.Hut, M.Sc. Julianus Kinho, S.Hut. Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut.
Sekretariat
:
Lulus Turbianti, S.Hut. Farid Fahmi, S.Kom.
iv
DAFTAR ISI Kata Pengantar ..................................................................................... Daftar Isi ............................................................................................... Laporan Ketua Panitia .......................................................................... Sambutan Kepala Badan Litbang ......................................................... Rumusan...............................................................................................
iii v viii xi xiv
Strategi Rehabilitasi Lahan dan Sistem Kelembagaan Dalam Pengendalian Banjir dan Longsor Di Daerah Tangkapan Air Limboto La Ode Asir .............................................................................................
1-20
Pola Insentif Efektif dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan Kristian Mairi ......................................................................................... 21-40 Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam Menjaga Kelestarian Hutan di Sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Lis Nurrani ............................................................................................. 41-60 Studi Keragaman Jenis Cempaka Berdasarkan Karakteristik Morfologi di Sulawesi Utara Julianus Kinho dan Arif Irawan ................................................................ 61-78 Identifikasi Keberadaan Tegakan Cempaka (Magnolia Elegans (Blume.) H. Keng) di Hutan Lindung Lolombulan sebagai Sumber Benih Potensial Arif Irawan dan Jafred E. Halawane ......................................................... 79-92 Potensi dan Strategi Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Jenis Pohon di Cagar Alam Tangkoko sebagai Sumber Plasma Nutfah Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari ...................................... 93-114
v
Teknik Budidaya Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (ROXB.) Havil) Hanif Nurul Hidayah ............................................................................... 115-120 Identifikasi Sumber Pakan Alami Anoa (Bubalus spp.) Di Suaka Marga Satwa Nantu Diah Irawati Dwi Arini............................................................................. 121-142 Peluang Konservasi Ex Situ Burung Sampiri (Eos histrio) Melalui Penangkaran Anita Mayasari dan Ady Suryawan .......................................................... 143-154 Arboretum BPK Manado “Sebuah Bentuk Konservasi Ex Situ di Kawasan Wallacea Sumarno N. Patandi................................................................................ 155-166 Struktur dan Komposisi Vegetasi Habitat Eboni (Diospyros spp.) pada Hutan Dataran Rendah Di Cagar Alam Tangkoko Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati ................................. 167-180
Potensi dan Sebaran Nyatoh (Palaquium obtusifolium Burck) Di Sulawesi Utara Ady Suryawan, Julianus Kinho dan Anita Mayasari ................................... 181-188 Karakteristik Tingkat Degradasi Sub DAS Biyonga Di Provinsi Gorontalo Supratman Tabba ................................................................................... 189-216 Penghitungan Emisi dan Serapan CO2 Tahun 2000-2009 Pada Sektor Berbasis Lahan di Sulawesi Utara Nurlita Indah Wahyuni............................................................................ 217-226
vi
Kearifan Suku Togutil dalam Konservasi Taman Nasional Aketajawe di Wilayah Hutan Tayawi Provinsi Sulawesi Utara Lis Nurrani dan Supratman Tabba ........................................................... 227-244 Uji Daya Kecambah dan Pertumbuhan Awal Semai Acacia mangium 40 Famili berasal dari 10 Famili Terbaik 4 Kebun Benih Semai F2 Sub Line Sugeng Pudjiono..................................................................................... 245-257 Variasi Pertumbuhan Beberapa Klon Jati pada Dua Jarak Tanam di RPH Banaran BPKH Playen Gunung Kidul Mahfudz dan Soni Anggoro ................................................................... 257-270 Peranan Penelitian dan Pengembangan Dalam Mendukung Pengelolaan Merbau Mahfudz dan Sugeng Pudjiono ................................................................. 271-290
Teknologi Pengembangan Hutan Rakyat (Pembibitan untuk Mendukung Pengembangan Hutan Rakyat) Mahfudz, Hamdan AA, dan Sugeng Pudjiono .......................................... 291-301
vii
LAPORAN KETUA PANITIA Ekspose Hasil-Hasil Penelitian “Membangun Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat” Manado, 2011
Selamat pagi, Assalau’alaikum Wr. Wb. Yang saya hormati:
Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara Bapak Hj. Armusi (PT. Sarana Tani) Bapak Ir. Linus Sisman (PT. Silva Tropikakultura) Bapak Hilman Manan Kepala Desa Mengkang Para Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten/Kota se-Provinsi Sulawesi Utara Kepala UPT Kementerian Kehutanan se-Provinsi Sulawesi Utara Para akademisi, peneliti, Lembaga Swadaya Masyarakat dan peserta seminar yang berbahagia. Dasar Pelaksanaan 1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 41 Tahun 1999 tentang Undang-Undang Pokok Kehutanan; 2. Undang-Undang RI Nomor: 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi; 3. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 40/Menhut-III/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kehutanan; 4. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2011 tentang struktur Organisasi dan Tata Kerja Balai Penelitian Kehutanan Manado; 5. Surat pengesahan DIPA Balai Penelitian Kehutanan Manado Nomor: 0322/029-07.01/27/2011;
viii
6. Keputusan Kepala Balai Penelitian Kehutanan Manado Nomor: SK. /VIII/BPKMND-1/2011 tentang Penetapan Panitia Kegiatan Ekspose Balai Penelitian Kehutanan Manado. Tema Tema yang diangkat dalam pertemuan ini adalah ”Membangun Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat” Tujuan Menginformasikan hasil-hasil penelitian BPK Manado agar dapat diketahui dan dikembangkan serta dipergunakan oleh pengguna. Hasil yang diharapkan Terjalin interaksi dan kerjasama antara pengguna dengan Balai Penelitian Kehutanan Manado dalam pemanfaatan dan peningkatan kualitas hasilhasil litbang. Manfaat 1. Hasil-hasil Litbang dapat dijadikan bahan acuan dalam pembangunan Kehutanan. 2. Meningkatkan peluang pemasaran hasil Litbang pada skala komersial. Materi Informasi dan data berbagai hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh BPK Manado dan institusi terkait. Dalam kesempatan ini akan dipresentasikan 10 makalah utama dan akan dilanjutkan dengan diskusi. Pembiayaan Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado dilaksanakan dengan dana yang dialokasikan melalui DIPA BPK Manado Tahun 2011.
ix
Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan Ekspose dilaksanakan pada tanggal 27 Desember 2011, yang bertempat di Ruang Serba Guna Balai Penelitian Kehutanan Manado. Peserta Peserta yang diundang terdiri dari UPT Kementerian Kehutanan di Provinsi Sulawesi Utara, Dinas Kehutanan Provinsi, Bakorluh Provinsi, Bakorluh Kab. Minahasa Utara,
Universitas Samratulangi, Kalangan Industri, Dinas
Kehutanan Kab. Halmahera Barat, Media dan Kelompok Masyarakat lainnya dengan jumlah peserta ± 50 orang. Akhirnya kami sampaikan terimakasih kepada segenap panitia dan rekanrekan kerja Balai Penelitian Kehutanan Manado atas dukungan dan kerjasamanya dalam mensukseskan kegiatan ini. Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada Bapak Kepala Dinas Kehutanan, Entrepreneur bidang kehutanan, Bapak Kepala Desa Mengkang dan tamu undangan atas kehadiran dalam Ekspose BPK Manado Tahun 2011. Kami harap Bapak/Ibu sekalian dapat mengikuti acara hingga selesai. Pada kesempatan berikutnya, kami mohon agar Bapak Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara berkenan memberikan sambutan sekaligus membuka secara resmi
Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai
Penelitian Kehutanan manado. Demikian Laporan kami, atas perhatiannya diucapkan terimakasih. Ketua
Ir. Eva Betty Sinaga, MP
x
SAMBUTAN KEPALA DINAS KEHUTANAN SULAWESI UTARA Ekpose Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado ““Membangun Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat” Manado, 27 Desember 2012
Bapak dan Ibu para undangan yang saya hormati. Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas perkenanNya sehingga kita dapat hadir dalam acara Ekspose Hasilhasil Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manado. Para hadirin yang berbahagia, Sesuai dengan tema yang dipilih, semoga apa yang disajikan dalam ekspose ini bisa dirasakan manfaatnya secara langsung oleh masyarakat di 3 wilayah kerja BPK Manado yaitu Sulawesi Utara, Gorontalo dan Maluku Utara. Terutama pemecahan masalah kehutanan dari segi ilmu pengetahuan dan teknologi. Pengelolaan hutan harus dilaksanakan secara terpadu, agar manfaat hutan dapat dirasakan oleh semua pihak. Perlu adanya kolaborasi untuk mewujudkan pembangunan hutan yang lestari untuk kesejahteraan masyarakat. Paradigma pembangunan kehutanan di orde baru adalah eksploitasi hutan alam untuk pemenuhan pendapatan daerah. Paradigma tersebut sudah berubah. Tindakan yang harus dilaksanakan saat ini adalah memperbaiki kondisi hutan yang rusak dan mempertahankan hutan yang masih utuh. Selain itu masyarakat perlu memiliki akses untuk ikut serta dalam pengelolaan hutan. Saat ini di Sulawesi Utara telah dicanangkan areal seluas 48 Ha yang dialokasikan untuk hutan rakyat. Di samping itu, telah ada pula hutan kemasyarakatan dan hutan desa. Ada potensi sumberdaya hutan yang cukup baik dan bisa dikembangkan untuk ekowisata dan jasa lingkungan. Semoga BPK Manado bisa menemukan formulasi yang tepat yang berkontribusi dalam pengelolaan hutan.
xi
Kerusakan hutan tidak hanya disebabkan oleh oknum kehutanan, tapi juga oleh pihak-pikah lain misalnya dari sektor pertambangan yang hal ini terkait langsung dengan pemerintah kabupaten. Kebanyakan ijin pertambangan diberikan pada kawasan hutan produksi yg dapat dikonversi. Memang dilihat dari statusnya, kawasan ini dapat dikonversi untuk penggunaan lainnya. Namun diharapkan para pengambil kebijakan tidak dengan mudah memberikan ijin kepada investor. Hampir 53% kawasan propinsi Sulawesi Utara berupa hutan. Peranan hutan sangatlah penting, namun saat ini 35% kawasan hutan berada dalam kondisi rusak. Beberapa upaya yang bisa dilakukan antara lain adalah rehabilitasi hutan dan lahan, pengamanan kawasan hutan, pembangunan kebun bibit rakyat serta pembagian bibit gratis untuk masyarakat. Dinas Kehutanan telah menandatangani MoU dengan salah satu perusahaan besar di Sulawesi Utara, bekerja sama dalam menggerakkan masyarakat agar mau menanam pohon secara swadaya. Di dalam kerja sama tersebut, Dinas Kehutanan menyediakan bibit gratis untuk masyarakat. Selain itu dibentuk pula tim pembina dan penggerak rehabilitasi hutan dan lahan. Dalam hal keamanan sumberdaya hutan, telah dibentuk tim terpadu pengamanan hasil hutan dan kawasan hutan bekerja sama dengan Polisi dan TNI. Satu tim terdiri dari 4 orang Polisi Kehutanan, 2 orang anggota TNI dan 2 orang anggota Polri. Pada tahun 2011, diperoleh 50 m3 kayu hasil operasi yang hasilnya dilelang dan disetor sebagai pendapatan negara. Pada tahun 2012 ini, akan dibangun Taman Hutan Raya di Gunung Tumpa, di mana 70% arealnya termasuk wilayah Manado dan 30% lagi termasuk wilayah Kabupaten Minahasa Utara. Pembangunan tahura ini dialokasikan dari DAK Dinas Kehutanan Sulawesi Utara, Pemerintah Daerah Manado dan Pemerintah Daerah Minahasa Utara. Hal ini merupakan salah satu wujud komitmen Dinas Kehutanan untuk mewujudkan visi Manado sebagai Kota Model Ekowisata dan visi Kabupaten Minahasa Utara sebagai kabupaten terdepan dalam pariwisata.
xii
Yang kita perlukan saat ini adalah kerja keras dan kerja cerdas untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Sekian dan dengan ini saya menyatakan bahwa ekspose ini secara resmi dibuka.
Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Utara
Ir. Herry Rotinsulu
xiii
RUMUSAN Ekspose Hasil-hasil Penelitian BPK Manado dengan tema “Membangun Hutan Lestari untuk Kesejahteraan Masyarakat”, dilaksanakan tanggan 9 Februari 2012 di Gedung Serbaguna Balai Penelitian Kehutanan Manado. Berdasarkan sambutan Kepala Dinas Kehutanan Sulawesi Utara, pemaparan materi keynote speech tentang Enterpreneur di Bidang Kehutanan, pemaparan dari para peneliti serta diskusi yang berkembang dari peserta ekspose, maka hasil ekspose dapat dirumuskan sebagai berikut: 1.
2. 3.
4.
5.
Pengelolaan hutan harus dilaksanakan secara terpadu dan perlu ada kolaborasi oleh para pihak dalam mewujudkan pembangunan hutan lestari untuk menyejahterakan masyarakat. Perubahan paradigma pembangunan kehutanan Indonesia membuka peluang bisnis di bidang kehutanan oleh masyarakat. Usaha pelestarian hutan dengan cara memberdayakan masyarakat sekitar hutan dapat dilaksanakan melalui pola insentif yang manfaatnya dapat dirasakan langsung oleh masyarakat. Penelitian tentang keanekaragaman hayati terutama jenis endemik dan unggulan hendaknya tidak hanya sebatas eksplorasi, namun juga meliputi teknik budidaya yang mudah dipraktekkan oleh masyarakat. Konservasi flora dan fauna secara ek situ merupakan salah satu strategi konservasi keanekaragaman hayati.
Tim Perumus
xiv
Strategi Rehabilitasi Lahan dan Sistem……. La Ode Asir
STRATEGI REHABILITASI LAHAN DAN SISTEM KELEMBAGAAN DALAM PENGENDALIAN BANJIR DAN LONGSOR DI DAERAH TANGKAPAN AIR LIMBOTO La ode Asir Balai Penelitian Kehutanan Manado d/a : Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Mapanget Kota Manado E- mail :
[email protected] /
[email protected]
RINGKASAN Perubahan penutupan lahan di beberapa wilayah daerah tangkapan air (DTA) Danau Limboto disebabkan tekanan masyarakat di areal hulu hingga hilir yang telah melakukan upaya usaha tani pada lereng-lereng yang curam dan tidak menerapkan kaidah konservasi tanah yang baik. Sehingga kejadian banjir yang berulang setiap tahunnya di beberapa daerah Provinsi Gorontalo mengakibatkan ribuan hektar lahan sawah, jagung, hortikultura di kota dan kabupaten terendam akibat musim hujan. Berdasarkan SK.328/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, DAS Limboto dikategorikan sebagai salah satu dari 108 DAS prioritas di Indonesia, dengan isu utamanya adalah degradasi lahan yang sangat kritis menyebabkan pendangkalan Danau Limboto. Isu lain berupa non fisik adalah program pemerintah tentang pengelolaan DAS masih bersifat parsial, masing-masing institusi yang memiliki kepentingan saling tumpang tindih, konflik kepentingan, kurang membangun sistim kordinasi lintas sektor, rendahnya pendidikan masyarakat, dan rendahnya pendapatan sehingga penerapan teknologi konservasi tanah dan air menjadi sulit untuk dapat dilaksanakan. Oleh sebab itu upaya untuk mengatasinya harus merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kegiatan pembangunan yang menyeluruh dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan analisis permasalahan di DAS Limboto, maka perlu dilakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta mendukung terbentuknya suatu lembaga koordinasi yang dapat mengatasi berbagai permasalahan dalam mewujudkan sistem tata air dan kelestarian Danau Limboto. Kata kunci : Konservasi tanah, banjir, degradasi lahan, parsial, rehabilitasi, koordinasi
1
I. PENDAHULUAN Selain faktor alam, aktivitas masyarakat petani di daerah hulu sangat berperan sebagai penyebab timbulnya lahan-lahan kritis. Pada umumnya mereka memiliki pengetahuan yang rendah dan pendapatan yang rendah. Usaha pengelolaan lahan yang dilakukan dengan teknik dan input yang terbatas, mengakibatkan banyak lahan hutan menjadi lahan pertanian yang berdampak pada penurunan kualitas sistem hidrologi DAS, utamanya pada daerah hulu (upper catchment) dimana akan terjadi daur air yang tidak seimbang, erosi, banjir, longsor dan perubahan iklim yang dapat mempengaruhi stabilitas suatu wilayah secara luas. Masalah lain adalah bermukimnya manusia dan melakukan berbagai kegiatan di kawasan yang berupa dataran banjir (flood plain) suatu sungai. Tanggal 19 Juni 2010, Danau Limboto meluap yang menyebabkan sedikitnya 262 rumah di kawasan bantaran Danau Limboto, Kel. Lekobalo, Kec. Kota Barat, Gorontalo terendam sedalam 1,5 meter dan 1.236 warganya mengungsi, (http://www.antaranews.com/, Rabu, 23 Juni 2010). Selanjutnya kejadian banjir bandang tanggal 13 September 2011 di Desa Masiaga Kec. Bone, Kab. Bone Bolango, Prov. Gorontalo DAS Bone Pantai mengakibatkan 2059 ha lahan sawah, jagung, hortikultura di kota dan kabupaten terendam akibat guyuran hujan mengguyur Gorontalo. Pada kondisi lain daerah-daerah yang mengalami banjir pada umumnya memiliki tanah subur serta menyimpan berbagai potensi dan kemudahan sehingga mempunyai daya tarik yang tinggi untuk dibudidayakan. Oleh karena itu, kota-kota besar serta pusat-pusat perdagangan dan kegiatan-kegiatan penting lainnya seperti kawasan industri, pariwisata, prasarana perhubungan dan sebagainya sebagian besar tumbuh dan berkembang di kawasan ini. Sebagai contoh, di Jepang sebanyak 49% jumlah penduduk dan 75% properti terletak di dataran banjir yang luasnya 10% luas daratan; sedangkan sisanya 51% jumlah penduduk dan hanya 25% properti yang berada di luar dataran banjir yang luasnya 90% luas daratan. Hampir seluruh kota-kota besar di Indonesia juga berada di dataran banjir (Tabel 1).
2 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Strategi Rehabilitasi Lahan dan Sistem……. La Ode Asir
Tabel 1. Kota-kota yang sebagian/ seluruhnya berada di dataran banjir No
Kota
Sungai Kanal,Tanjungan,Angke,Pesanggrahan,Grogol,Krukut,
1
Jakarta
Cideng,Ciliwung,Cipinang,Sunter,Buaran,Jatikramat,Cak
2
Semarang
Kali Garang / Kali semarang
3
Bandung Selatan
Sungai Citarum Hulu
4
Surabaya
Kali Brantas
5
Palembang
Sungai Musi
6
Padang
Batang Arau, Batang Kuranji, Batang Air Dingin
7
Pekanbaru
Sungai Siak
9
Jambi
Sungai Batanghari
10
Medan
Sungai Belawan, Deli, Babura, Percut, Kera
11
Banda Aceh
Krueng Aceh
12
Pontianak
Sungai Kapuas
13
Banjarmasin
Sungai Barito
14
Samarinda
Sungai Mahakam
15
Makassar
Sungai Jeneberang
16
Gorontalo
Sungai Bone, Bolango.
ung
Sumber : Dirjen Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum.
Masalah banjir berdampak sangat luas terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat, sehinga memerlukan upaya yang terpadu dalam penanganannya.
Hal
ini
terkait
dengan
paradigma
baru
dalam
pembangunan dan penyelenggaraan otonomi daerah. Apalagi krisis ekonomi serta berbagai permasalahan yang ada semakin meningkat sejalan kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan penyempurnaan terhadap kebijakan, strategi dan upaya penanganan masalah banjir yang ada, baik yang menyangkut aspek teknis maupun nonteknis. Berdasarkan SK.328/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009, daerah aliran sungai (DAS) Limboto dikategorikan sebagai salah satu dari 108 DAS Prioritas di Indonesia. Isu utama yang dialami DAS Limboto adalah degradasi lahan yang sangat kritis yang menyebabkan pendangkalan Danau Limboto. Kondisi daerah tangkapan air (catchment area) di kawasan hulu
3
(upper watershed), Danau Limboto ini telah banyak terjadi penggundulan hutan, dan praktek-praktek pengolahan tanah yang tidak sesuai dengan kaidah yang benar. Salah satu akibat yang ditimbulkan adalah terjadinya fluktuasi debit yang ekstrim yaitu pada musim hujan, air berlimpah, namun saat musim kemarau terjadi kekurangan air. Perbedaan debit air yang ada di sungai pada musim hujan dan pada musim kemarau itu menunjukkan kualitas lingkungan di DAS ini sudah sangat terganggu. II.
PERMASALAHAN DI DAS LIMBOTO
A. Pendangkalan dan Penurunan Kualitas Air Danau Permasalahan biofisik utama yang terjadi di Danau Limboto seperti digambarkan dalam matrik adalah sebagai berikut: Lahan 1.Pembakaran hutan, penebangan liar, peladangan berpindah, perambahan hutan termasuk pencurian kayu. 2. Tebal solum yang tipis dengan tingkat kelerengan yang curam (banyak tanah granit terbuka) menjadikan tanah mudah erosi dan longsor. 3. Sistem pengolahan lahan serta kawasan tidak menerapkan kaidah konservasi dan masih bersifat tradisional. 4. Pembukaan lahan dengan tanaman semusim. 5. Belum adanya batas dan aturan jalur hijau sepanjang DAS
1. Penguasaan jaring apung dan lahan sekitar pesisir bukan oleh masyarakat setempat namun juga oleh para oknum pejabat. 2. Tingginya angka ketergantungan ekonomi pada kawasan danau berakibat rebutan kapling lahan pada tepian Danau Limboto 3. Erosi tebing sungai yang tinggi 4. Pendangkalan Danau Limboto 5. Kualitas air danau menurun 6. Produktifitas perikanan menurun 7. Pertumbuhan eceng gondok
1. Penataan pemukiman penduduk yang tidak teratur 2. Tingginya laju pemukiman di bantaran sungai dan masyarakat yang bermukim di pesisir danau semakin masuk ke areal kawasan danau dan terjadi Okupasi tanah timbul di kawasan Danau Limboto oleh masyarakat 3. Tingginya angka eksploitasi kawasan berakibat penataan ruang yang semrawut. 4. Pemukiman masyarakat peladang sekitar bantaran sungai. 5. Masalah sanitasi lingkungan. Ternak (sapi) yang digembalakan membuang kotoran disembarang tempat, sangat mengganggu
Luar Kawasan Hutan
Dalam Kawasan Hutan
Tubuh Air 1. Erosi tebing sungai yang tinggi
4 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Strategi Rehabilitasi Lahan dan Sistem……. La Ode Asir yang sangat tinggi karena eutrofikasi yang berlebih di Danau Limboto 8. Perilaku yang menjadikan sungai sebagai Tempat Pembuangan sampah.
jika dekat kawasan pemukiman 6. Banjir, terutama di wilayah sekitar Danau Limboto.
Permasalahan fisik lainnya adalah kualitas air danau menunjukkan beban pencemaran organik yang tinggi dari sumber aliran yang melalui kawasan perkotaan, seperti terlihat pada kandungan oksigen terlarut di Sungai Alo 0,77 mg/l, Sungai Biyonga 0,94 mg/l, dan kandungan total nitrogennya adalah 2,69 mg/l, sementara total fosfornya 1,44 mg/l. Akibat eutrofikasi berbagai tanaman pengganggu tumbuh subur yang banyak menyerap air dan dapat mempercepat pendangkalan danau. Masukan bahan organik dan hara ini menyebabkan kondisi perairan danau menjadi subur, seperti terlihat dari hasil perhitungan Indeks Status Kesuburan yang menunjukkan perairan Danau Limboto termasuk kedalam kategori perairan eutrofik ke hypereutrofik. Hal ini sejalan dengan fakta di lapangan dimana tampak tumbuhan air dan fitoplankton sangat melimpah di Danau Limboto (LIPI, 2007) dalam Balihristi,(2009).
Gambar 1. Status trofik di Danau Limboto
Tingkat cemaran organik yang tinggi juga terindikasi dari kelimpahan biota benthik, khususnya dari kelas tubificidae yang tinggi di dasar perairan
5
danau. Kawasan pemukiman juga berkembang di lingkungan sekitar danau, bahkan di beberapa bagian tepian danau, pemukiman penduduk secara langsung bersentuhan dengan badan air danau (LIPI, 2007) dalam Balihristi, (2009). Meskipun demikian masalah pencemaran ini perlu mendapat perhatian khusus karena terdeteksinya kandungan logam merkuri dalam konsentrasi yang tinggi di badan perairan danau tersebut.
Gambar 2. Nilai indeks kimia Kirchoff di Danau Limboto
B. Banjir Menurut BPDAS Bone Bolango (2010), bahwa telah terjadi pendangkalan danau setinggi 46,66 cm/tahun dan penyempitan danau sebesar 66,66 Ha dan terjadi penurunan muka air normal danau sebesar kurang
lebih
1,75
cm/tahun.
Penurunan
daya
tampung
danau,
menyebabkan terjadi banjir. Banjir terjadi setiap tahun di wilayah hilir selama tiga tahun terakhir dengan curah hujan yang relatif sama antara 1700-2000 mm/tahun. Hasil analisis spasial menunjukan bahwa ratio limpasan permukan terhadap curah hujan di DAS Limboto, 29 % dalam kondisi sangat buruk (lebih dari 75 % CH menjadi limpasan). Sekitar 61,27 % dalam kondisi buruk (nilai rasio 50 – 75 %). Daerah–daerah dengan kondisi sangat buruk ini berpotensi banjir atau terjadi genangan jika terjadi hujan. Dari gambar 3 terlihat bahwa daerah DAS Limboto dalam kondisi sangat buruk terutama berada sekitar daerah cekungan Limboto. Fisiografi daerah tersebut sangat datar dengan tutupan lahan lebih dominan pertanian lahan kering dan
6 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Strategi Rehabilitasi Lahan dan Sistem……. La Ode Asir
sawah. Ditambah lagi dengan muka air tanah yang dangkal sehingga laju infiltrasi relatif rendah. Tabel 2 menunjukan bahwa kondisi sangat buruk lebih banyak berasal dari Sub DAS Alo (1.288 Ha) dan Marissa (1.654 Ha). Kondisi buruk paling banyak terdapat di Sub DAS Pulubala (9.665 Ha) dan Molamahu (8.990 Ha). Tabel 2. Luas kelas rasio run off terhadap CH di setiap Sub DAS Kelas Rasio Limpasan Terhadap CH Sub DAS*
0 - 25 %
25 - 50 %
50 - 75 %
75 - 100 %
Total
(Ha)
(%)
(Ha)
(%)
(Ha)
(%)
(Ha)
(%)
(Ha)
0
0,00
2.207
19,58
7.776
68,99
1,.288
11,43
11.270
236
1,56
6.271
41,52
7.782
51,52
816
5,40
15.104
Bulota
0
0,00
3.801
42,64
3.880
43,52
1.234
13,84
8.915
Marisa
0
0,00
2.800
37,14
3.085
40,92
1.654
21,94
7.539
Molamahu
8
0,07
3.792
29,63
8.990
70,25
7
0,06
12.797
Payunga
189
4,06
1.805
38,88
2.649
57,04
1
0,02
4.644
Pilolalenga
368
8,10
1.081
23,84
1.973
43,49
1.115
24,57
4.537
Pone
0
0,00
1.094
35,11
1.365
43,79
658
21,10
3.117
Pulubala
0
0,00
559
5,18
9.665
89,58
565
5,24
10.789
Tabongo
47
1,70
237
8,50
2.427
86,93
80
2,87
2.792
0
0,00
582
36,80
965
61,00
35
2,21
1.583
0
0,00
397
14,00
2.085
73,63
350
12,37
2.832
848
0,99
24,628
28,66
52.641
61,27
7.803
9,08
85.919
Alo Batulayar Biyonga
Talumelito Tuladenggi Grand Total
Ket: *) Tidak termasuk wilayah danau, Sumber : BPDAS Bone-Bolango,2007.
7
Gambar 3. Peta sebaran rasio limpasan terhadap curah hujan (hasil analisis) dan banjir bandang di Bone Bolango September 2011. (BPDAS Bone-Bolango, 2011).
Perbedaan elevasi yang relatif rendah antara outlet Danau Limboto dengan outlet Sungai Topudu yang bertemu dengan Sungai Bolango (0,98 m) atau pun pertemuan antara Sungai Bolango dan Sungai Bone (1 m) sangat berpotensi terjadi arus balik jika terjadi debit aliran yang tinggi di Sungai Bone dan Sungai Bolango serta terjadi pasang di Teluk Tomini. Air dari DTA Sungai Bolango akan masuk ke Danau Limboto dan air dari DTA Danau Limboto tidak bisa keluar, akibatnya banjir akan menggenangi cekungan Limboto semakin luas.
C. Erosi Laju pendangkalan danau akibat erosi dari lahan dan tebing-tebing sungai yang terbawa oleh aliran sungai ke danau ini sangat besar. Pada tahun 1932, rata-rata kedalaman Danau Limboto 30 meter dengan luas 7.000 Ha. Pada tahun 1955 kedalaman danau menurun menjadi 16 meter. Dalam tempo 30 tahun, (tahun 1961) rata-rata kedalaman Danau Limboto telah berkurang menjadi 10 meter dan luasnya menyusut menjadi 4.250 Ha. Pada tahun 1990 – 2008 kedalaman Danau Limboto rata-rata 2,5 meter dan luas yang tersisa 3.000 Ha. Jika kita hitung, maka tingkat penyusutan danau rata-rata mencapai 65,89 hektar/tahun. Kalau tidak ada upaya untuk mempertahankan kondisi yang memprihatinkan ini, maka diperkirakan
8 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Strategi Rehabilitasi Lahan dan Sistem……. La Ode Asir
pada tahun 2025 Danau Limboto lenyap dari muka bumi Gorontalo. Pendangkalan ini selain dipicu oleh erosi sungai dan lahan, juga disebabkan oleh para nelayan yang selama bertahun-tahun membangun perangkap ikan yang menggunakan gundukan tanah dari darat serta batang-batang pohon. Hasil erosi tebing sungai banyak sekali ditemukan di lapangan, seperti gambar 4 di bawah ini.
Gambar 4. Hasil erosi tebing sungai di bagian hulu sub DAS Biyonga
Hasil Analisis spasial menunjukan bahwa sekitar 8,54 juta ton/tahun hasil sedimen masuk ke Danau Limboto. Hasil sedimen dari Sub DAS Alo, Molamahu dan Pulubala masuk ke cekungan limboto sebagai bagian dari Sub DAS Batulayar, sekitar 3,8 juta ton/tahun. Sub DAS bagian Utara yang berkontribusi sedimen ke Danau Limboto adalah Pone, Marisa, Biyonga, Talumelito dan Tuladenggi. Sedangkan dari selatan adalah Pilolalenga, Payunga dan Tabongo. Mengendap di danau sekitar 5,95 juta ton/tahun dan sisanya melayang ke Sungai Topudu dan bermuara di Teluk Tomini Hasil sedimen yang diberikan setiap sub DAS tersaji dalam Tabel 3. Tabel 3. Hasil sedimen di setiap sub DAS di DAS Limboto Luas No
Sub DAS
DAS (ha)
Hasil erosi
SDR
(juta ton/th)
(%)
Hasil Sedimen (Juta ton/th)
%
1
Alo
11.270
7,67
26,21
2,01
17,7
2
Batulayar
15.104
5,55
25,27
1,40
12,3
8.915
8,42
26,99
2,27
20,0
Biyonga 3
Bulota
9
Luas No
Sub DAS
DAS (ha)
4
Marisa
5
Molamahu
6
Hasil erosi
SDR
(juta ton/th)
(%)
Hasil Sedimen (Juta ton/th)
%
7.539
4,24
27,56
1,17
10,3
12.797
4,57
25,79
1,18
10,4
Payunga
4.644
2,18
29,28
0,64
5,6
7
Pilolalenga
4.537
1,51
29,36
0,44
3,9
8
Pone
3.117
1,19
30,78
0,37
3,2
9
Pulubala
10.789
2,30
26,35
0,61
5,3
10
Tabongo
2.792
1,17
31,20
0,36
3,2
11
Talumelito
1.583
1,34
33,50
0,45
4,0
12
Tuladenggi
2.832
1,53
31,15
0,48
4,2
85.919
41,68
11,38
100,0
Total
Sumber : BPDAS Bone-Bolango, 2007
Berdasarkan kelas erosi, wilayah DAS Limboto lebih didominasi oleh kelas sangat berat (29,28 %). Daerah ini memiliki tingkat erosi lebih dari 480 ton/ha/tahun. Paling banyak berada di Sub DAS Alo (4.513 ha), Biyonga Bulota (4.215 ha) dan Marisa (3.147 ha). Sekitar 19,59 % lahan DAS Limboto termasuk kategori berat (erosi lahan 180 – 480 Ton/ha/Tahun). Kategori ini paling banyak berasal dari Sub DAS Batulayar (4.032 ha). Peta kelas erosi di DAS Limboto dapat dilihat pada Gambar 5. Rekapitulasi luas kelas erosi tersaji tabel di bawah ini.
10 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Tabel 4. Kelas erosi di setiap sub DAS di DAS Limboto Kelas Erosi Lahan Sub DAS
Sangat Ringan (Ha)
(%)
Ringan (Ha)
Sedang
Berat
Sangat Berat
Total
(%)
(Ha)
(%)
(Ha)
(%)
(Ha)
(%)
(Ha)
Alo
1.370
12,16
458
4,06
1.691
15,00
3.239
28,74
4.513
40,04
11.270
Batulayar
2.410
15,96
2.142
14.18
3.576
23,67
4.032
26,69
2.945
19,50
15.104
Biyonga Bulota
3.073
34,46
654
7,34
353
3,96
620
6,96
4.215
47,28
8.915
Marisa
2.698
35,79
302
4,01
507
6,72
885
11,74
3.147
41,74
7.539
Molamahu
4.002
31,27
1.806
14,11
1.758
13,74
2.421
18,92
2.811
21,96
12.797
690
14,85
586
12,62
785
16,91
686
14,78
1.897
40,84
4.644
1.497
33,00
305
6,71
1.011
22,28
654
14,43
1.070
23,58
4.537
Pone
958
30,75
54
1,73
566
18,17
802
25,72
737
23,64
3.117
Pulubala
748
6,93
1.547
14,34
5.191
48,12
2.468
22,87
836
7,75
10.789
Tabongo
184
6,59
102
3,64
965
34,58
460
16,48
1.081
38,72
2.792
Talumelito
110
6,93
320
20,21
106
6,69
173
10,96
874
55,21
1.583
Tuladenggi
603
2,28
792
27,95
8
0,30
394
13,89
1.036
36,57
2.832
18.342
21,35
9.066
10,55
16.517
19,22
16.834
19,59
25.160
29,28
85.919
Payunga Pilolalenga
Total
Sumber : BPDAS Bone Bolango, 2007
11
12 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Strategi Rehabilitasi Lahan dan Sistem……. La Ode Asir
Gambar 5. Sebaran kelas erosi di DAS Limboto (BPDAS, 2010)
Laju kerusakan lahan yang demikian pesatnya akhir-akhir ini menimbulkan pengaruh yang cukup signifikan sehingga luas hutan lindung mengalami penyusutan. Dibeberapa tempat di dalam kawasan hutan lindung banyak ditemukan kegiatan pertanian misalnya tanaman palawija, tanaman kelapa, kemiri dll. Luas lahan pertanian pada areal DTA Limboto telah mencapai 40,58%, selain itu perladangan liar dan penggembalaan liar masih terus berlangsung. Bekas penanaman jagung yang menimbulkan lahan kritis seperti pada gambar 6.
13
Gambar 6. Lahan Kritis bekas lahan pertanian di Sub DAS Biyonga bagian hulu.
Berdasarkan klasifikasi hutan, sebagian besar daerah tangkapan air hujan pada DAS Limboto ternyata telah lama dilegalisasi menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang telah mendorong secara formal eksploitasi hutan secara besar-besaran sementara luas hutan di DAS Limboto hanya 14.893 hektar (16,37 % dari luas DAS) jauh di bawah persyaratan minimum (30 %). Kerusakan hutan memperbesar tingkat erosi tanah dan menyebabkan lahan-lahan yang ada menjadi kritis. Berdasarkan RTL-RLKT DAS Limboto (2004), tingkat erosi di DAS Limboto mencapai angka 9.902.588,12 ton/tahun atau rata-rata 108,81 ton/ha/tahun. Sedimentasi di Danau Limboto sebesar 0,438 mm/tahun. Luas lahan kritis mencapai angka 26.097 hektar lahan kritis terdiri dari 12.573 hektar lahan kritis di dalam kawasan hutan dan 13.524 hektar di luar kawasan hutan. Kendala non fisik yang terjadi di banyak daerah di Indonesia termasuk di Gorontalo adalah belum ada Peraturan Pemerintah mengenai pembagian kewenangan dibidang kehutanan dengan dasar Undang-undang No. 22 Tahun 1999 namun telah dilaksanakan wewenang atas pengurusan hutan. Pengusahaan hutan dalam rangka otonomi diartikan bahwa setiap hutan dengan segala fungsinya (produksi, lindung dan konservasi) dapat menghasilkan uang dengan tetap berwawasan lingkungan dan tanpa merubah banyak fungsi hutan. Akan tetapi, sayang sekali yang pertama dilakukan adalah pengeluaran ijin pemanfaatan hasil hutan tanpa terlebih
14 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Strategi Rehabilitasi Lahan dan Sistem……. La Ode Asir
dulu merancang program kehutanan menyeluruh
sebagai panduan
pengeluaran ijin tersebut.
D. Permasalahan Non Fisik Beberapa permasalahan non fisik yang di temukan di DAS Limboto adalah sebagai berikut : 1. Program pemerintah tentang pengelolaan DAS masih bersifat parsial, masing-masing institusi yang memiliki kepentingan saling tumpang tindih, konflik kepentingan, kurang membangun sistem koordinasi lintas sektor. 2. Rendahnya pendidikan masyarakat, dan rendahnya pendapatan sehingga penerapan teknologi konservasi tanah dan air menjadi sulit untuk dapat dilaksanakan. 3. Peran kelembagaan masyarakat tingkat desa dan kecamatan rendah. 4. Rendahnya
koordinasi
tingkat
aparatur
berwenang
dalam
melaksanakan pengawasan maupun penegakan hukum bagi yang melakukan perilaku menyimpang dalam merusak hutan/kawasan. 5. Tingkat kesadaran masyarakat kurang terhadap lingkungan. 6. Kurangnya peran serta seluruh pihak dalam mendorong gerakan konservasi, perlindungan, pengawasan, dan sebagainya. 7. Kurangnya koordinasi antar sektor/lintas sektor pemerintah.
E.
Strategi Pengelolaan DAS Limboto Dalam mengatasi permasalahan utama DAS Limboto, sesuai dengan
analisis kondisi yang ada, maka perlu dibangun strategi untuk mengatasi permasalahan tersebut dengan melakukan upaya rehabilitasi hutan dan lahan serta mewujudkan terbentuknya suatu lembaga koordinasi yang dapat menghimpun seluruh stakeholder terkait dalam mempertahankan umur Danau Limboto. Strategi untuk pencapaian tujuan dalam pengelolaan DAS Limboto berbasis kelembagaan maupun rehabilitasi hutan dan lahan, yaitu : Merumuskan faktor penting dalam pengelolaan secara terpadu di DAS Limboto, meliputi:
15
- Kebijakan dan regulasi ditingkat stakeholder terkait, yang berwawasan lingkungan sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat. - Dukungan finansial baik dari APBN, APBD ataupun dari sumber lain untuk menjamin keberlangsungan program kegiatan konservasi dan rehabilitasi sumber daya air dan lahan baik bersifat fisik dan non fisik. Merumuskan aturan kelembagaan - Terbentuknya lembaga yang bersifat lintas sektoral dan berperan sebagai koordinator stakeholder yang ada dalam catchment area DAS Limboto dengan meningkatkan kapasitas kelembagaan dan kapasitas sumberdaya manusia sehingga dapat berperan lebih optimal secara terpadu. - Melalui lembaga ini dapat mengkoordinir stakeholder yang ada dalam DAS Limboto untuk metetapkan aturan main bagi seluruh stakeholder yang berkepentingan dengan ekosistem DAS Limboto agar dapat berperan lebih jelas, masing-masing faham dengan tugas-tugasnya dalam mewujudkan sistem pengelolaan DAS yang berkelanjutan. Merumuskan instrumen pengelolaan DAS Limboto, meliputi : - Penilaian sumber daya air dan lahan sebagai alat untuk memahami antara sumber daya yang ada dengan tingkat kebutuhannya - Perencanaan pengelolaan DAS terpadu yang mengkombinasikan rencana tata ruang wilayah (RTRW), pengelolaan dan penilaian resiko lingkungan, ekonomi dan sosial dengan partisipasi masyarakat dalam menentukan arah pembangunan. - Peningkatan efesiensi penggunaan air di setiap stakeholder melalui pengelolaan permintaan dan pemasokan air lebih optimal. - Instrumen perubahan perilaku sosial melalui perumusan kurikulum pendidikan yang berbasiskan pengelolaan DAS sehingga muncul kesadaran dari masyarakat sendiri untuk menjaga ekosistem DAS agar tetap lestari. - Instrumen Ekonomi, menjadikan DAS memiliki nilai secara ekonomi melalui mekanisme jasa lingkungan dan memberlakukan subsidi, incentive dan punishment.
16 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Strategi Rehabilitasi Lahan dan Sistem……. La Ode Asir
- Instrumen regulasi untuk mengontrol kualitas air, distribusi jumlah air, perencanaan penggunaan lahan dan perlindungan lingkungan sehingga memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi semua pihak. - Resolusi konflik melaui manajemen konflik dan kebiasaan membangun konsensus untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang ada. - Pertukaran data dan informasi antar stakeholder melalui satu sistem manajemen informasi yang berifat terbuka. Strategi pencapaian tujuan berbasiskan kegiatan RHL yang digunakan di kawasan daerah tangkap air Danau Limboto, dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu kegiatan vegetatif, sipil teknis berbasis lahan dan sipil teknis berbasis alur sungai. Penjelasan terhadap ketiga jenis kegiatan tersebut adalah sebagai berikut: - Kegiatan vegetatif, melakukan penanaman kembali lahan-lahan kosong dengan tanaman lokal yang spesifik maupun jenis tanaman yang diadopsi dalam rangka meningkatkan daya resapan air hujan ke dalam tanah sehingga jumlah air yang menjadi limpasan permukaan dapat ditekan hingga pada jumlah yang diinginkan. Kegiatan ini dapat dilakukan jika tersedia lahan yang masih sesuai untuk dilakukan penanaman. Termasuk dalam jenis kegiatan ini adalah penanaman vegetasi jenis kayu-kayuan yang memliki perakaran cukup baik sebagai peresapan air, melalui kegiatan penghijauan dan reboisasi, agroforestry dan pengkayaan jenis rumput, pembuatan alur hijau dengan jarak sesuai dengan aturan di kanan-kiri sungai. - Kegiatan sipil teknis berbasis lahan, merupakan kegiatan untuk meresapkan air hujan ke dalam tanah dan menampung air hujan di atas permukaan tanah sebelum menjadi limpasan permukaan yang masuk ke dalam aliran/sungai melalui bangunan-bangunan sipil teknis. Kegiatan ini bertujuan untuk meresapkan air hujan sampai dengan jumlah yang telah ditentukan. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pembuatan sumur resapan di kawasan pemukiman, pembuatan teras gulud, parit buntu/rorak, biopori dan embung.
17
- Kegiatan sipil teknis berbasis alur sungai terutama di bagian hulu; merupakan kegiatan untuk menahan/menampung air di badan air untuk waktu tertentu sehingga sedimen dan air mempunyai waktu untuk meresap, dan mengatur kebutuhan air sesuai dengan kebutuhan air untuk kebutuhan masyarakat dengan cara membuat bendung, gully plug, dam penahan, dan dam pengendali. Selain menahan/menampung air, kegiatan ini juga dapat memperpanjang waktu tempuh aliran sehingga dapat menurunkan debit puncak dari suatu sungai sehingga air tidak sampai dalam waktu yang bersamaan ke tempat di bagian hilir. Ketiga kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut merupakan suatu bentuk kegiatan yang saling berurutan dengan logika sebagai berikut: jika kegiatan vegetasi sudah tidak mampu lagi menurunkan debit limpasan sampai dengan tingkat yang diinginkan, maka akan diterapkan kegiatan sipil teknis berbasis lahan sehingga prioritas di lahan-lahan kritis harus ada upaya kegiatan sipil teknis. Selanjutnya jika debit limpasan tidak dapat diresapkan atau ditahan di lahan maka kegiatan sipil teknis berbasis alur sungai di ordo sungai pertama, diterapkan untuk mengurangi debit puncak dari aliran. Ketiga jenis kegiatan tersebut harus disertai dengan kegiatan yang bersifat non biofisik yang mencakup aspek kelembagaan, penyuluhan, pemberdayaan dan pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan dan pembiyaannya. Penetapan lokasi areal berbagai bentuk rehabilitasi lahan seperti kegiatan vegetasi tetap, penghijauan, agroforestry, teras gulud, strip rumput, rorak, dam penahan, dam pengendali, gully plug, dan embung dilakukan melalui identifikasi lokasi yang memungkinkan dengan mengacu pada Pedoman Teknis Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/GERHAN) yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan tahun 2007.
18 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Strategi Rehabilitasi Lahan dan Sistem……. La Ode Asir
III. KESIMPULAN Kondisi DAS Limboto demikian menghawatirkan, sehingga perlu dilakukan upaya aksi dari berbagai pihak secara serius dalam mengatasi permasalahan yang ada. Permasalahan lahan kritis, erosi, banjir, pada daerah tangkapan air Limboto yang menyebabkan pendangkalan Danau Limboto hanya dapat diatasi dengan adanya kesamaan persepsi dan kerjasama institusi yang berada di hulu maupun di hilir, sehingga diperlukan adanya suatu lembaga yang dapat mengkoordinir secara terpadu dalam mewujudkan kelestarian Danau Limboto. Pendekatan kepada lembaga masyarakat melalui penyuluhan yang intensif dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat sehingga mereka dapat dilibatkan dalam menyusun rencana, melaksanakan, dan mengevaluasi seluruh upaya rehabilitasi
lahan.
Dalam
menentukan
arah
pembangunan
yang
berwawasan lingkungan di daerah tangkapan air Limboto maka perencanaan pengelolaan DAS terpadu yang mengkombinasikan rencana tata ruang wilayah (RTRW), pengelolaan dan penilaian resiko lingkungan, ekonomi dan sosial dengan partisipasi masyarakat perlu segera diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, 1995. Hidrologi dan Pengelolaan DAS. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. BPDAS Bone Bolango. 2007. Rencana Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan DAS (RTK-RHL DAS) Wilayah Kerja BPDAS Bone Bolango. Buku II (Data Numerik) BP DAS Bone Bolango, 2010. Penyusunan Pengelolaan DAS Limboto Terpadu. Gorontalo Fahmuddin Agus Dkk, 2007. Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007. Jakarta. Irma Kusmawati (2006). Pendugaan erosi dan sedimentasi dengan menggunakan Model Geowepp (Studi Kasus DAS Limboto, Propinsi Gorontalo); tesis. Bandung: Institut Teknologi Bandung Program Studi Teknik Sumber Daya Air.
19
Pusat Pengelolaan Lingkungan Hidup Sumapapua, 2005. Ekositem Daerah Aliran Sungai Limboto. Makassar.
20 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Pola Insentif Efektif dalam Rangka……. Kristian Mairi
POLA INSENTIF EFEKTIF DALAM RANGKA PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI SEKITAR HUTAN Kristian Mairi Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget Manado 95119 Telp. (0431) 3666683, e-mail :
[email protected]
RINGKASAN Sampai saat ini kemiskinan dan keterbelakangan merupakan potret masyarakat desa di Indonesia khususnya yang berada di sekitar hutan. Padahal konsep pembangunan berkelanjutan telah dilakukan selama lebih dari setengah abad. Berdasarkan pengalaman penelitian di lapang, akar masalah kurang berhasilnya pembangunan di desa yang dilakukan selama ini adalah karena masyarakat sebagai target pembangunan tidak merasa memiliki hasil pembangunan tersebut sehingga cenderung acuh tak acuh pasca kegiatan. Padahal aset yang telah dibangun seharusnya dipelihara dan terus dikembangkan masyarakat desa secara mandiri untuk kemajuan masyarakat itu sendiri. Untuk itu maka dipandang perlu untuk merancang dan mengimplementasikan konsep pembangunan yang membumi, yang diharapkan dan dicintai oleh masyarakat itu sendiri. Konsep yang telah diujicobakan adalah konsep social engineering (rekayasa sosial) yaitu bagaimana seni merancang kegiatan di bidang kehutanan yang dapat mengatasi masalahmasalah sosial khususnya kemiskinan. Strategi yang diterapkan adalah memenuhi kebutuhan dasar masyarakat desa yang sumberdayanya berasal atau berhubungan dengan keberadaan hutan. Salah satu sumberdaya hutan yang logis dan mudah dimengerti oleh masyarakat desa dalam rangka pemenuhan kebutuhan dasar adalah hasil air dari hutan. Contohnya misalnya pemanfaatan air di sungai untuk pengembangan mikrohidro elektrik (Kapasitas 10 – 30 KWH). Listrik merupakan salah satu kebutuhan vital dan mendasar bagi masyarakat dewasa ini. Contoh lain adalah pemanfaatan mata air untuk kebutuhan air bersih rumah tangga, irigasi dll. Dengan adanya hubungan/link fungsional yang nyata dan jelas manfaatnya antara eksistensi hutan dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat maka secara otomatis masyarakat akan menjaga dan melestarikan hutan tersebut karena telah tercipta saling ketergantungan antara hutan dan kebutuhan dasar masyarakat desa.
21
Bila sudah tercipta kondisi demikian maka kegiatan penanaman pohon untuk rehabilitasi hutan dan lahan akan lebih berhasil. Disamping itu masyarakat akan melakukan penjagaan secara swakarsa terhadap ancaman penebangan liar. Dengan demikian maka kegiatan lain seperti social forestry, dinamisasi kelompok tani dll, akan terimplementasi dengan baik Kata Kunci : Pemberdayaan, Mikrohidro Elektrik, Kelembagaan, Partisipasi
I. PENDAHULUAN Sampai dengan saat ini kerusakan hutan yang terjadi seringkali menjadi ”tertuduh utama” dari terjadinya berbagai gangguan dalam sistem DAS seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi hutan di berbagai daerah yang berada di hulu DAS dari hari ke hari semakin merosot baik dalam luas maupun kualitasnya. Berbagai masalah gangguan hutan seperti perambahan hutan, dan penebangan liar nampak terlihat di berbagai kawasan hutan. Perambahan hutan merupakan masalah klasik yang terjadi khususnya pada kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan masyarakat. Perambahan untuk memenuhi kebutuhan lahan terutama dipicu oleh rendahnya pendapatan masyarakat.
Pada masyarakat yang umumnya
berpendidikan rendah, meningkatkan luas lahan garapan adalah cara yang paling mudah dilakukan untuk meningkatkan pendapatan. Disamping perambahan hutan, gangguan terhadap hutan yang paling nyata adalah penebangan/pencurian kayu. Pada kawasan hutan yang berbatasan langsung dengan masyarakat, penebangan liar merupakan gangguan yang umum terjadi. Manfaat ekonomis langsung dari hutan yang mudah dimengerti, dipahami, dan langsung dirasakan adalah kayu. Kayu yang diambil pada umumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pribadi seperti bahan bangunan dan kayu bakar. Tetapi tidak jarang pula pencurian kayu dilakukan untuk maksud dijual. Salah satu penyebab utama yang ditengarai sebagai pemicu terjadinya tekanan masyarakat terhadap hutan adalah kemiskinan dan minimnya tingkat kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap upaya pelestarian fungsi hutan. Kemiskinan merupakan potret umum masyarakat 22 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Pola Insentif Efektif dalam Rangka……. Kristian Mairi
di bagian hulu di sekitar hutan. Aksesibilitas yang rendah, akses ke sumbersumber perekonomian yang terbatas, dan pendidikan serta modal finansial yang pas-pasan merupakan karakteristik yang tergambar jelas. Dengan tingkat pendidikan dan pengetahuan yang rata-rata rendah, masyarakat terlihat sukar untuk menghindarkan diri dari ketergantungan sumber pendapatannya dari hutan dan lahan. Salah satu upaya yang diyakini efektif dalam rangka mengatasi masalah tersebut adalah dengan pemberdayaan masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan hutan. Pada kenyatannya dilapangan pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kehutanan masih lemah karena belum didukung oleh kelembagaan masyarakat yang kuat antara lain pengetahuan dan ketrampilan yang rendah, sistem pengorganisasian yang belum sempurna, kesulitan memperoleh modal dan akses pemasaran yang belum memadai. Padahal aspek kelembagaan mempunyai peranan sangat besar bagi kesuksesan pembangunan, hingga dapat dikatakan bahwa kegagalan pembangunan umumnya dikarenakan lemahnya kelembagaan yang ada termasuk di sektor kehutanan. Dalam rangka mewujudkan masyarakat mandiri sebagai pelaku pembangunan kehutanan dimasa yang akan datang sebagaimana semangat dalam program Social Forestry maka hal yang sangat urgen dilakukan adalah membangun, memperkuat dan mengembangkan kelembagaan masyarakat yang terkait dengan pembangunan kehutanan. Proses pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan upaya bagaimana
masyarakat
itu
dapat
mengenal
dan
merefleksikan
permasalahannya sendiri, potensi diri dan lingkungannya serta memotivasi dalam mengembangkan potensi tersebut secara proporsional dengan cara/metode partisipatif. II.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI MASA LALU Sesungguhnya proses pemberdayan masyarakat di sekitar hutan
dalam rangka pengelolaan hutan dan lahan di Indonesia sudah dimulai sejak lama yang implementasinya dalam bentuk penghijauan, reboisasi dan rehabilitasi lahan kritis diberbagai Daerah Aliran Sungai (DAS) sejak tahun 23
PELITA I (1970-an). Semua program tersebut dimaksudkan supaya nilai-nilai pengelolaan hutan dan lahan dapat melembaga di masyarakat. Dari segi keproyekan sudah ribuan hektar lahan yang sudah direboisasi, dihijaukan dan direhabilitasi. Demikian juga pembinaan masyarakat, sudah ribuan orang dilatih dan disuluhkan nilai-nilai pengelolaan hutan dan lahan. Namun demikian isu dan permasalahan yang berkaitan dengan kelestarian hutan dan lahan masih saja menjadi isu atau problematik yang menarik untuk dibicarakan dan memerlukan penanganan tersendiri. Fenomena kerusakan hutan dan lahan dalam satuan DAS seperti kekeringan, banjir, erosi dan sedimentasi masih saja terjadi bahkan kecenderungannya meningkat. Data terakhir menunjukkan bahwa laju kerusakan hutan sebesar 1,6 juta ha/tahun jauh melebihi kemampuan untuk merehabilitasinya yang hanya sekitar 900.000 s/d 1,2 juta ha/tahun. Dari beberpa laporan menunjukkan bahwa: 1. tingkat partisipasi masyarakat dalam pengelolan hutan dan lahan masih rendah 2. banyak proyek-proyek yang keberhasilannya sulit dipertahankan 3. kebijakan antar pemerintah atau NGO sering tidak sejalan (conflik of interest) 4. intervensi masyarakat terhadap lahan semakin ganas karena telah mamasuki zona lindung. Padahal undang-undang telah menegaskan bahwa setiap masyarakat atau lembaga yang mengelolah atau memanfaatkan sumberdaya alam diwajibkan untuk memelihara dan melakukan kegiatan konservasi tanah dan air. Dari fenomena itu dapat ditarik kesimpulan bahwa pengelolaan hutan dan lahan Indonesia belum melembaga dalam kehidupan masyarakat. Masih banyak pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak menerapkan konsep-konsep pengelolaan hutan lestari. Indikasi ini menunjukkan bahwa penerapan nilai-nilai pengelolaan hutan lestari masih rendah, belum diikuti oleh partisipasi masyarakat. Mengapa demikian? Salah satu penyebabnya adalah strategi yang dilaksanakan selama ini kurang melibatkan masyarakat. Keterlibatan mereka dalam pengelolaan hutan menjadi terbatas bahkan di berbagai 24 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Pola Insentif Efektif dalam Rangka……. Kristian Mairi
lokasi menjadi hilang. Hal ini membuat masyarakat merasa asing terhadap lingkungan yang selama puluhan tahun digelutinya, bahkan di beberapa tempat kegiatan mereka di hutan dianggap ilegal. Lebih jauh lagi, rasa memiliki mereka terhadap hutan di sekelilingnya menghilang. Di berbagai daerah di Indonesia banyak terjadi konflik antara masyarakat dengan pihak swasta (HPH) dan BUMN (Perhutani, Inhutani), dan antara masyarakat dengan pemerintah berkaitan dengan pemanfaatan dan pemilikan hutan. Dampak dari keadaan ini adalah kerusakan hutan yang tak terkendali disamping itu kesejahteraan masyarakat juga tidak kunjung membaik. Disamping itu paradigma yang berkembang dimasa lalu adalah bahwa problema pengelolaan hutan dan lahan bukanlah problema masyarakat akan tetapi merupakan problema pemerintah. Karena kegiatan yang dilakukan bersifat top down dan instruksional serta kurang memperhatikan
faktor-faktor
yang
mendorong
terjadinya
proses
pelembagaan baik dari aspek teknologi maupun dari aspek organisasi dan nilai yang menyertainya. Teknologi yang diintrodusir biasanya merupakan paket yang ditentukan dari pusat, demikian juga dalam penentuan organisasi kelompok tani peserta kegiatan proyek tertentu. Untuk dapat mewujudkan kesejahteraan masyarakat sekaligus melindungi dan atau memperbaiki kondisi hutan yang telah rusak, oleh pemerintah sekarang ini lebih menekankan bentuk keterlibatan masyarakat secara luas dalam pengelolaan hutan dengan menjadikan mereka sebagai partner. Sehingga pada tahun 2003, berlokasi di Kalimantan Tengah, Pemerintah Indonesia c.q Departemen Kehutanan mencanangkan program nasional Social Forestry. Program ini diharapkan dapat mengurangi kerusakan hutan dan menjaga kelestarian hutan itu sendiri serta memberikan penghasilan dan sumber pangan bagi masyarakat setempat. Sebagai pilot percontohan telah dipilih 11 lokasi Social Forestry di seluruh Indonesia. Kesebelas lokasi tersebut mewakili berbagai tipe peruntukan hutan. Social Forestry atau Perhutanan Sosial dapat didefinisikan sebagai suatu sistem pengelolaan hutan dimana masyarakat lokal berpartisipasi
25
aktif
didalamnya
untuk
mensejahterakan
mereka
dan
sekaligus
melestarikan atau memperbaiki hutan di sekelilingnya. Dalam program Social Forestry ini, masyarakat akan dilibatkan dalam pengelolaan hutan dari perencanaan, pemanfaatan, dan pemasarannya. Masyarakat juga diberi hak untuk mengelola kawasan hutan dengan batasan-batasan tertentu. Menurut versi Departemen Kehutanan, Social Forestry meliputi 3 aspek yaitu aspek kelola kawasan, kelola kelembagaan dan kelola usaha/bisnis. Adanya aspek ‘kelola kelembagaan’ menunjukkan bahwa kelembagaan merupakan salah satu kunci penting keberhasilan pengelolaan hutan. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa kelembagaan ditingkat masyarakat sangat lemah karena banyak kelembagaan yang merupakan bentukan dari luar untuk penyaluran atau mendapatkan proyek. Karenanya banyak program, proyek ataupun bantuan dari luar yang bermaksud untuk membangun masyarakat desa berakhir dengan kegagalan. Sebagai contoh, IDT (Inpres Desa Tertinggal), PPPK (Proyek Pembangunan Kecamatan), Program Pembangunan Masyarakat Desa Hutan, PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri, dan sebagainya. Dengan pengalaman tersebut, dalam pelaksanaan Social Forestry, perencanaan yang matang dan keterlibatan berbagai pihak sejak awal merupakan bagian penting dalam mengawali program ini. Pemerintah pusat menyediakan banyak dana untuk pembuatan Rencana Teknis Social Forestry (RTSF). Dalam pembuatan RTSF, pemerintah pusat tidak lagi memakai jasa konsultan namun dilakukan oleh masyarakat sendiri bersama instansi pemerintah daerah terkait, Perguruan Tinggi, dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Mereka diberi pelatihan oleh tenaga ahli dari pusat dan didampingi dalam pelaksanaan pembuatan RTSF. Kelompok-kelompok dibentuk, merencanakan kegiatan yang mereka minati sesuai dengan kemampuan mereka dan nantinya akan melaksanakan kegiatan yang mereka rencanakan tersebut. Dikarenakan keterbatasan tenaga dari Pemerintah Pusat maka dipersiapkan tenaga-tenaga pendamping lokal untuk melanjutkan kegiatan lapangan.
26 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Pola Insentif Efektif dalam Rangka……. Kristian Mairi
III. TEKNIK PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Pada tahap awal yang terpenting dilakukan adalah membangun fondasi sosial karena fondasi sosial merupakan kunci utama terhadap penumbuhan dan pembinaan masyarakat terhadap aspek-aspek yang lain. Oleh karena itu pendampingan sosial sebaiknya lebih dahulu dilakukan sebelum kegiatan pendampingan yang lain dalam rangka pemberdayan kelompok yang mandiri dalam mengelola sumberdaya hutan. Dalam proses pemberdayaan juga terjadi proses belajar bersama dan berusaha
bersama
memecahkan
masalah-masalah
yang
dihadapi
masyarakat. Berikut ini adalah proses pendampingan yang dapat dilakukan dalam rangka pemberdayaan masyarakat yang mandiri: a. Membangun Kedekatan Kedekatan antara pendamping dengan masyarakat sangat diperlukan dalam melakukan pendampingan. Hal ini dapat dipelajari dari pengalaman kegagalan dalam pembinaan masyarakat pedesaan yang pada umumnya gagal karena petugas hanya berkunjung beberapa saat saja bilamana ada kepentingan kemudian meninggalkan desa dan masyarakatnya. Oleh karena itu membangun kedekatan adalah sangat penting, dan berarti para pendamping harus tinggal bersama-sama masyarakat. b. Membangun Pertemanan Dalam tahap ini terjadi proses keakraban antara masyarakat dengan pemdamping. Hal ini bisa terjadi karena pendamping hidup bersama-sama masyarakat. Mewujudkan pertemanan bukanlah hal yang mudah, oleh karena itu baik pendamping maupun masyarakat harus memahami prinsipprinsip pertemanan. Prinsip-prinsip yang dikembangkan oleh P3AE-UI dkk. dalam pendampingan masyarakat antara lain adalah kesetaraan, demokrasi dan keadilan. Kesetaraan artinya semua individu mempunyai status atau derajat yang sama, tidak membeda-bedakan antara pendamping dengan masyarakat maupun antar individu di dalam masyarakat. Demokrasi artinya semua mempunyai hak yang sama, hak untuk mengemukanan pendapat, mengungkapkan permasalahan dan menyampaikan keinginan. Sedangkan
27
keadilan artinya mereka mempunyai kewajiban dan hak yang sama dalam memecahkan masalah dan mewujudkan keinginan bersama. Suatu
hal
yang
sangat
perlu
ditumbuhkembangkan
dalam
pertemanan adalah rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi. Senasib sepenanggungan karena mereka mempunyai permasalahan dan keinginan yang sama. Saling menjaga, saling menghormati dan saling memberi toleransi kerena pada dasarnya mereka terdiri dari individuindividu yang berbeda. c. Membangun Kepercayaan Kepercayaan tidak dapat dibangun hanya dengan janji-janji belaka. Akan tetapi kepercayaan dapat dibangun dengan cara menunjukan kenyataan bahwa apa yang diucapkan itulah yang kemudian dilakukan. Untuk itu dalam melakukan pendampingan hendaknya menghindari ucapan janji-janji, dan mengutamakan upaya berbuat bersama antara pendamping dan masyarakat. Membangun kepercayaan adalah sangat penting karena rasa saling percaya merupakan pilar utama dari semua interaksi antar individu maupun kelompok dalam masyarakat. Dengan rasa saling percaya kita dapat menciptakan kedekatan, keterbukaan, kerjasama, kelompok dan kelembagaan. d. Membangun Keterbukaan Keterbukaan diperlukan dalam mengungkapkan masalah yang dihadapi, keinginan yang diharapkan, potensi yang dimiliki dan kelemahan serta kekurangan yang ada. Keterbukaan ini tidak akan dapat dilakukan apabila sebelumnya tidak ada kedekatan dan rasa saling percaya. Perlu disadari bahwa didalam pendampingan terkandung kegiatan identifikasi masalah dan potensi yang terdapat didalam masyarakat. Melalui membangun keterbukaan inilah sebenarnya proses identifikasi tersebut berjalan dan mengalir dengan sendirinya. Berdasarkan hasil identifikasi masalah dan potensi yang diungkapkan oleh masyarakat dengan cara keterbukaan tadi, kemudian pendamping bersama-sama masyarakat dapat menarik kesimpulan bahwa sebenarnya mereka memiliki masalah yang
28 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Pola Insentif Efektif dalam Rangka……. Kristian Mairi
sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut. e. Membangun Kerjasama Masing-masing individu dalam masyarakat pada tahap ini sudah mengetahui bahwa mereka memiliki masalah yang sama, keinginan yang sama pula, dan juga memiliki potensi yang dapat diberdayakan untuk mencapai keinginan bersama tersebut. Akan tetapi potensi yang mereka miliki tidak mungkin dapat diberdayakan untuk memecahkan masalah dan mencapai keinginan apabila potensi tersebut masih terpecah-pecah pada masing-masing individu. Pada tahap inilah saatnya seluruh masyarakat bersama-sama pendamping
memikirkan
perlunya
membangun
kerjasama.
Dalam
membangun kerjasama ini mereka secara lebih nyata dituntut memahami dan melaksanakan prinsip-prinsip kesetaraan, demokrasi, keadilan, dan pertemanan yang meliputi rasa saling senasib sepenanggungan, saling menjaga antara sesama teman, saling menghormati dan saling memberi toleransi. Setelah masyarakat memahami, mau dan mampu bekerjasama, maka kegiatan-kegiatan bermusyawarah mulai dapat dilakukan. Pertemuanpertemuan untuk membahas masalah dan keinginan dalam pengelolaan kebun garapan di kawasan hutan dapat dijadwalkan secara berkala. Kemudian bagaimana melakukan kerjasama menggarap kebun dan bagaimana melakukan langkah-langkah untuk mendapatkan kepastian jaminan atas status pengelolaan lahan garapannya tersebut. f. Membangun Kelompok Kerjasama dengan berbagai aktivitasnya merupakan proses yang dinamis, oleh karena itu diperlukan wadah yang dapat menampung dinamika kerjasama tersebut. Pada status yang demikian perlu dibentuk kelompok sebagai wujud atau wadah dari interaksi atau kerjasama yang sudah dan sedang dibangun. Pembentukan kelompok-kelompok tersebut dimaksudkan agar kerjasama diantara anggota kelompok akan menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam pembentukan kelompok disamping
29
mempertimbangkan prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, juga mempertimbangkan kesatuan lokasi garapan dan kesatuan lokasi tempat tinggal. g. Membangun Kelembagaan Kelembagaan merupakan kelanjutan dari kelompok yang telah dilengkapi dengan pranata-pranata atau aturan-aturan yang dibuat dan disepakati oleh anggota kelompok. Di samping itu kelompok yang sudah melembaga juga memiliki struktur kepengurusan sesuai dengan aturanaturan yang telah disepakati para anggotanya. Dengan demikian mekanisme kerja kelompok menjadi lebih sistematis dan terpimpin. Suatu hal yang perlu dipahami dan ditekankan bahwa peran kepengurusan didalam membangun kelembagaan adalah mewakili, memfasilitasi dan melaksanakan kesepakatan atau kerjasama yang diputuskan oleh seluruh anggota kelompok. Kelembagaan
masyarakat
dalam
kaitannya
dengan
upaya
pengelolaan lahan garapan di dalam kawasan hutan, bukan hanya sekedar bertujuan memenuhi persyaratan untuk mendapatkan kepastian jaminan dari pemerintah. Akan tetapi dalam membangun kelembagaan yang lebih penting adalah bagaimana mencapai kemandirian masyarakat dalam upaya pengelolaan hutan secara lestari dan menjadikan masyarakat lebih sejahtera. Seluruh proses pendampingan masyarakat seperti telah diuraikan di atas sebaiknya dilakukan dengan konsep belajar bersama dan mengikuti arus perkembangan yang diinginkan masyarakat. Belajar bersama artinya baik pendamping maupun masyarakat dalam kegiatan ini tidak ada yang merasa lebih pintar, lebih tahu atau lebih mampu dari pada yang lain. Akan tetapi mereka sama-sama menyadari bahwa pendamping harus belajar dari masyarakat karena kenyataannya masyarakatlah yang lebih tahu tentang diri mereka sendiri, demikian juga masyarakat belajar dari pendamping karena kenyataannya pendamping lebih banyak mengetahui kebijakankebijakan pemerintah tentang ketentuan-ketentuan pengelolaan hutan oleh masyarakat. Demikian juga tentang hal-hal yang lain menyangkut
30 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Pola Insentif Efektif dalam Rangka……. Kristian Mairi
pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan, mereka saling belajar. Sedangkan mengikuti arus keinginan masyarakat pengertiannya adalah bahwa proses pendampingan yang dilakukan tidak membuat target-target tertentu yang dibatasi oleh waktu ataupun hasil yang harus dicapai dengan cara setengah dipaksakan. Karena praktek pendampingan yang dibatasi oleh waktu dan setengah dipaksakan banyak mengalami kegagalan, sebagaimana kebiasaan yang terjadi pada berbagai proyek pada masa lalu. IV. PENGALAMAN LAPANGAN POLA INSENTIF EFEKTIF Pengertian insentif menurut Hani Handoko yang dikutip oleh Anwar Prabu Mangkunegara (2000 : 89) sebagai berikut: “Insentif adalah untuk meningkatkan motivasi karyawan dalam upaya mencapai tujuan-tujuan organisasi”. Malayu P. Hasibuan (2000 : 116) mendefinisikan insentif sebagai “Tambahan balas jasa yang diberikan kepada karyawan tertentu yang prestasinya diatas prestasi standar”. Dengan demikian maka insentif dapat bermakna sebagai suatu upaya untuk merangsang atau pun meotivasi orang agar mau melakukan sesuatu yang lebih baik dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Terkait dengan pola insentif dalam rangka pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan maka pola-pola insentif yang pernah dilakukan dan diujicoba di lapangan adalah: a)
Pemberian upah harian kerja (HOK),
Gambar 1. Pola insentif HOK untuk rehabilitasi hutan dan lahan
31
b) Instalasi air bersih untuk rumah penduduk,
Gambar 2. Instalasi air bersih bagi penduduk di sekitar hutan
c) Bantuan ternak bergulir,
Gambar 3. Ternak sapi dan babi sebagai bantuan bergulir
32 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Pola Insentif Efektif dalam Rangka……. Kristian Mairi
d) Kredit usaha tani, e) Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH)
Gambar 4. Komponen PLTMH
Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan bahwa metode insentif yang paling disukai oleh masyarakat adalah pemberian HOK dalam setiap tahapan kegiatan. Hal ini disebabkan oleh tiga alasan utama yaitu bahwa dengan pemberian HOK maka masyarakat langsung dapat menerima uang cash jadi langsung manfaatnya: -
Bersifat langsung (unsur kepastian)
-
Bersifat individual
-
Alat tukar universal Namun kelemahan dari metode ini adalah bahwa setelah
kegiatan/proyek selesai dan tidak ada lagi upah harian yang diperoleh masyarakat maka kegiatan tersebut terbengkalai dengan demikian kegiatan/proyek tidak berkelanjutan lagi sehingga bisa gagal khususnya terkait dengan penananam sampai pemeliharaan pohon. Terkait dengan ke empat metode insentif diatas maka yang paling efektif agar kegiatan itu berkelanjutan dan dampak ikutannya (teori efek
33
domino) yang paling besar adalah pembangunan PLTMH untuk masyarakat di sekitar hutan sesuai dengan kondisi spesifik lokasi/desa. 1. PLTMH Salah satu metode insentif yang paling efektif dalam rangka pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan adalah pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH). Hal ini dipandang sangat efektif dengan pertimbangan kondisi riil sebagai berikut: 1. Desa disekitar hutan umumnya terpencil sehingga sulit terjangkau oleh jaringan PLN (Perusahaan Listrik Negara). 2. Sampai sekarang bangsa kita masih mengalami devisit energi listrik. Dengan demikian PLTMH bisa sebagai solusi alternatif. 3. Energi listrik saat ini telah menjadi kebutuhan vital bagi masyarakat umum dan pemicu berkembangnya suatu daerah. 4. PLTMH merupakan teknologi sederhana yang ramah lingkungan. 5. Ada kegiatan rutin masyarakat yang bisa membuat kelembagaan lokal tetap eksis dan efektif (pemeliharaan alat dan saluran air, iuran bulanan dan penanaman pohon swadaya). Selain hal tersebut di atas PLTMH sangat mendukung terciptanya kondisi lingkungan yang lebih baik khususnya kelestarian hutan karena ada hubungan langsung antara keberadaan PLTMH dengan fungsi hutan sebagai penghasil air yang kontinu. PLTMH memanfaatkan sumberdaya air DAS (Daerah Aliran Sungai) yang melimpah di daerah hulu sehingga sangat tepat untuk dijadikan entri point untuk mendorong masyarakat melakukan pengamanan dan rehabilitasi hutan secara swadaya. Pembangunan PLTMH selain memberikan manfaat nyata dan langsung bagi masyarakat desa juga sebagai
pendorong
meningkatnya
kesejahteraan
masyarakat
serta
partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga kelestarian hutan sebagai penghasil/pengatur tata air DAS. Pemanfaatan air sungai yang berasal dari hutan untuk air irigasi maupun sumber tenaga listrik alternatif bagi masyarakat yang ada di sekitar hutan merupakan salah satu kegiatan yang dapat menjawab permasalahan hubungan antara hutan dan masyarakat. Dengan adanya manfaat yang
34 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Pola Insentif Efektif dalam Rangka……. Kristian Mairi
dapat dilihat dan dirasakan secara langsung ini, diharapkan masyarakat akan berupaya menjaga keberadaan hutan demi kontinuitas hasil air sebagai sumber utama energi listrik mereka. Disamping untuk kepentingan pembangunan kehutanan, energi listrik alternatif ini juga dapat digunakan untuk mengatasi krisis listrik yang saat ini banyak terjadi di berbagai daerah di Sulawesi Utara.
Manfaat yang diharapkan dari kegiatan ini adalah
kelestarian hutan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Gambar 5. Konsep pengembangan PLTMH untuk masyarakat pedesaan
Konsep yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah bahwa melalui pembangunan PLTMH yang nantinya akan dikelolah sendiri oleh masyarakat setempat maka mereka akan menyadari sendiri bahwa untuk menggerakkan turbin harus ada air yang mamadai dan kontinu sepanjang tahun. Sumber air yang memadai dan kontinu adalah dari hutan yang mengalir melalui sungai. Sungai dibendung, kemudian dialirkan melalui saluran untuk diluncurkan dari ketinggian tertentu untuk memutar turbin sehingga listrik bisa menyala dengan biaya yang sangat murah. Dengan
35
konsep ini maka diharapkan dalam melakukan rehabilitasi hutan dan lahan secara swadaya akan lebih mudah dan lebih
berhasil karena telah
terbentuk link (hubungan) yang saling terkait erat antara kelestarian hutan dengan PLTMH. Hasil ujicoba metode insentif PLTMH yang pernah dilakukan yaitu di tiga desa sbb: 1. Desa Pakala, Tana Toraja (tahun 2006), kapasitas 10 KW, dimanfaatkan oleh 53 KK, dengan daya rata-rata tiap rumah tangga 120 watt, iuran bulanan kelompok Rp. 10.000 per bulan.
Gambar 6. Pengembangan PLTMH di Desa Pakala, Tana Toraja
36 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Pola Insentif Efektif dalam Rangka……. Kristian Mairi
2. Desa Pomoman (tahun 2010) kapasitas 60 KW, dimanfaatkan oleh 43 KK SISTEM PLTMH : Sistem PLTMH merupakan integrasi dari beberapa bagian yaitu Bendungan dan Intake, saluran terbuka, bak penenang, instalasi kabel, rumah alat dan pipa pesat
Gambar 7. Sistem PLTMH dengan kapasitas daya output 10 KW
3. Desa Mengkang, Bolmong (Tahun 2011) kapasitas 10 KW, dimanfaatkan oleh 40 KK
Gambar 8. Pengembangan PLTMH di Desa Mengkang, Bolmong 37
V.
IMPLIKASI PEMBANGUNAN PLTMH Pola insentif bagi masyarakat yang bermukim di sekitar kawasan
hutan
dengan
pembangunan
PLTMH
sangat
strategis
untuk
mengembangkan dan mendorong kegiatan pembangunan masyarakat. Keberadaan PLTMH dikemudian hari bukan sekedar memenuhi kebutuhan pelistrikan desa, tetapi berpotensi untuk mendorong kegiatan ekonomi produktif melalui program “Community & Business Development Services”. Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dari hasil ujicoba pembangunan PLTMH di tiga lokasi yang berbeda maka outcome yang diperoleh adalah sebagai berikut: -
Masyarakat desa terpencil khususnya yang berada di sekitar hutan dapat menikmati listrik murah yang selama ini mereka idam-idamkan.
-
Ada transfer teknologi sederhana yang aplikatif yang bisa merangsang masyarakat untuk bisa lebih kreatif.
-
PLTMH dapat merangsang kegiatan kreatif lainnya di desa untuk bisa mendatangkan income.
-
Semangat dan waktu belajar anak sekolah bertambah rata-rata 2 jam per malam.
-
Kesadaran dan persepsi masyarakat akan fungsi hutan sebagai penghasil air meningkat (memelihara persemaian dan melakukan penanam pohon secara swadaya).
-
Partisipasi dan semangat gotong-royong meningkat.
-
Kelembagaan lokal terbentuk dan berfungsi (pengurus terbentuk, dana kelompok kontinu, aturan telah disepakti, ada kegiatan rutin) .
-
Hal yang sangat penting diperhatikan dalam penerapan PLTMH sebagai insentif RHL di lapangan agar kebehasilannya lebih tinggi adalah: Adanya kepastian kesepakatan/komitmen dengan masyarakat dalam hal jenis kegiatan, mekanisme insentif, manfaat, dan peran masing-masing sehingga ada kepecayaan (trust) Ada kompensasi langsung yang dirasakan masyarakat secara kolektif bila menjaga dan memelihara hutan seperti air bersih dan atau PLTMH gratis atau pembangunan infrastruktur sejenisnya
38 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Pola Insentif Efektif dalam Rangka……. Kristian Mairi
Poses pendampingan kelembagaan lokal terus-menerus dilakukan walaupun kegiatan pembangunan fisik selesai sampai masyarakat dianggap bisa mengelola secara mandiri investasi/insentif tsb. VI. PENUTUP 1. Keterlibatan
masyarakat
sebagai
pelaku
pembangunan
dalam
pengelolaan hutan dalam setiap tahapan kegiatan merupakan suatu keharusan dan kebutuhan yang sudah saatnya untuk dilembagakan dengan pendekatan partisipatif. 2. Pemberdayaan masyarakat harus dilakukan secara komprehensif tidak hanya berupa peningkatan pengetahuan, sikap dan keterampilan namun juga disertai fasilitasi dan pengembangan peluang dan kebijakan agar masyarakat lebih terakselerasi untuk berpartisipasi. 3. Partisipasi masyarakat perlu ditumbuhkembangkan sedemikian rupa sehingga yang terbangun bukan lagi pola mobilisasi masyarakat berdasarkan insentif material tetapi partisipasi interaktif yang menempatkan kehendak dan pertimbangan masyarakat sebagai pendorong utama 4. Untuk mewujudkan pemberdayaan dan partisipasi tersebut maka perlu ditempuh dengan pendekatan pendayagunaan potensi masyarakat lokal. Dengan demikian kegiatan apapun yang dikembangkan akan memiliki kesesuaian (compatibility) yang tinggi dengan kondisi masyarakat
setempat
sehingga
memungkinkan
berkembangnya
partisipasi masyarakat dengan kualifikasi objektif (reliable), didukung semua pihak (acceptable), bisa dilaksanakan dengan sumberdaya yang tersedia
(axecutable)
terukur
(measurable)
dan
berkelanjutan
(sustainable) 5. Keberadaan PLTMH selain memberikan nilai tambah untuk penerangan juga mendorong kegiatan ekonomi produktif masyarakat sehingga PLTMH memiliki nilai strategis sebagai “entry point” kegiatan berbasis community and business development services. Untuk itu PLTMH sangat tepat sebagai salah satu metode insentif RHL (rehabilitasi hutan dan lahan) di bidang kehutanan/lingkungan hidup 39
DAFTAR PUSTAKA Donie. S, dkk., 2003. Perencanaan Pengelolaan DAS Dalam Otonomi Daerah. Makalah Lokakarya Perencanaan Pengelolan DAS di Era Otonomi Daerah. BP2TPDASIBB. Surakarta. Gani. A, 1994. Pengembangan Sistem Pendidikan Pertanian Dalam Rangka Meningkatkan kualiatas Sumberdaya Manusia Pertanian. Prosiding Lokakarya Nasional. PERHEPI. Jakarta. Leibo. J, 1996. SU:SOSIOLOGI PEDESAAN. Mencari Suatu strategi Pembangunan Masyarakat Desa Berparadigma Ganda. Penerbit Andi Offset, Yoyakarta. Mairi. K, dkk., 2003. Strategi Pemberdayaan Kelembagaan Masyarakat Dalam Rangka Pelestarian Danau Tondano. Jurnal Sosial Ekonomi. Volume 4 Nomor 3, Tahun 2003. P3SEK. Bogor. Mubyarto., 1989. Pengantar Ekonomi Pertanian. LP3ES. Jakarta. RLPS, 2000. Pedoman Penyelenggaraan Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah Daerah Aliran Sungai. Dirjen RRL, Departemen Kehutanan. Jakarta. Sudibyo dan Sudayatna, 2002. Pemberdayaan Masyarakat Pedesaan. Materi Pelatihan Pengelolaan Hutan Mangrove Secara Lestari, diselenggarakan oleh Mangrove Information Centre Project, Kerjasama JICA dan Departemen Kehutanan di Bali, September 2002. Pusat Diklat Kehutanan, Bogor. Soekanto,S., 1990. Sosiologi : Suatu Pengantar. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Todaro, M.P., 1978. Economic Development in The Third World. Longmen Inc. New York.
40 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam……. Lis Nurrani
PARTISIPASI MASYARAKAT MENGKANG DALAM MENJAGA KELESTARIAN HUTAN DISEKITAR TAMAN NASIONAL BOGANI NANI WARTABONE Lis Nurrani Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya adipura Kel. Kima Atas Kec Mapanget Kota Manado Tlp : (0431) 3666683 Email : bpk
[email protected]
RINGKASAN Kelestarian suatu kawasan konservasi sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial masyarakat yang ada disekitarnya, namun realita yang ada bahwa kecenderungan kerusakan hutan senantiasa dikaitkan dengan aktifitas masyarakat. Fakta ini terjadi dihampir semua kawasan konservasi yang ada di Indonesia, hal ini terjadi karena tingginya tingkat ketergantungan masyarakat terhadap hutan dan minimnya peluang kerja. Mengkang merupakan salah satu desa yang berbatasan dengan kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dimana masyarakatnya masih cenderung melakukan aktivitas dalam kawasan hutan. Meski terbilang masyarakat pra sejahtera namun melalui partisipasi dan beberapa tindakan turut membantu melestarikan kawasan hutan. Fakta yang teridentifikasi antara lain pengembangan hutan rakyat kemiri, pembuatan media persemaian, reboisasi kawasan dan larangan penebangan serta pembukaan lahan disepanjang aliran sungai. Kesadaran tersebut lahir karena adanya pembangkit listrik tenaga mikrohidro berdaya 10.000 watt yang menerangi ± 60 rumah, kelestarian hutan amat penting guna mempertahankan ketersedian pasokan listrik di desa mengkang. Kata Kunci : Partisipasi, Masyarakat, Mengkang, TN. Bogani Nani Wartabone
I. PENDAHULUAN Hutan merupakan salah satu sumberdaya alam yang memiliki nilai ekonomi, ekologi dan sosial yang tinggi. Hutan juga berfungsi sebagai sistem penyangga kehidupan sehingga kelestariannya perlu dijaga dan dipertahankan dengan pengelolaan hutan yang tepat (Dephut, 2003). Kelestarian hutan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan ekonomi
41
masyarakat disekitarnya. Hal ini merupakan fakta dan realita yang terjadi pada kawasan yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk. Seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, yang menyatakan bahwa selain berfungsi sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa, kawasan pelestarian alam juga dapat dimanfaatkan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Keseimbangan antara ekologi,
ekonomi dan
sosial masyarakat merupakan tujuan utama dari adanya pengelolaan kawasan konservasi saat ini. Keberhasilan pengelolaan kawasan konservasi ditentukan oleh partisipasi aktif dari beberapa stakeholders. Partisipasi merupakan suatu bentuk khusus dari kegiatan interaksi dan komunikasi yang berkaitan dengan pembagian kewenangan, tanggung jawab, dan manfaat (Verhangen, 1979 dalam Soebiyanto, 1993). Partisipasi tidak terjadi dengan sendirinya, namun memerlukan dorongan dan rangsangan. Menurut Kartasubrata (1986) agar masyarakat berpartisipasi perlu adanya kesempatan, kemauan, kemampuan dan bimbingan. Kesempatan untuk berpartisipasi hendaknya diberikan oleh pemerintah kepada masyarakat tidak hanya pada saat pelaksanaannya saja, namun juga mulai dari pengambilan keputusan, perencanaan, hingga evaluasi hasil-hasil yang dicapai. Sehingga masyarakat memiliki tanggung jawab lebih terhadap kesuksesan pengelolaan kawasan. Sebagai suatu kawasan konservasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone
(TNBNW)
bukan
hanya
berfungsi
sebagai
pelestari
keanekaragaman hayati namun juga sebagai penyangga kehidupan, terutama manfaat yang dirasakan langsung oleh masyarakat sekitar kawasan. Sebagian besar kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk. Terdapat sekitar 149 desa penyangga TNBNW dengan jumlah penduduk ± 234.629 jiwa. Desadesa tersebut secara administratif terbagi ke dalam 18 kecamatan dan 3 wilayah kabupaten, yaitu Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Bolaang Mongondow Utara dan Kabupaten Bone Bolango dengan jarak dan kondisi sosial yang berbeda (TNBNW, 2009). 42 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam……. Lis Nurrani
Desa Mengkang merupakan salah satu desa yang berbatasan langsung dengan zona penyangga Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Secara administratif Desa Mengkang masuk dalam wilayah Kecamatan Lolayan, Kabupaten Bolaang Mongondow, sedangkan secara pengelolaan masuk dalam wilayah Seksi Pengelolaan Taman Nasional II Doloduo. Mengkang adalah salah satu desa yang terbilang sukses dalam menjaga dan meminimalkan kerusakan kawasan. Peran masyarakat dan dukungan pemerintah desa merupakan faktor kunci keberhasilan dalam melestarikan wilayah penyangga (buffer zone) taman nasional. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengidentifikasi tindakan nyata masyarakat Desa Mengkang dalam menjaga kelestarian hutan serta mendeskripsikan fakta sebagai implementasi kerjasama dengan pihak pengelola Taman Nasional dalam pelestarian kawasan. Diharapkan informasi ini dapat menjadi acuan dalam pengelolaan kawasan berbasis masyarakat di wilayah lain yang memiliki potensi dan karakteristik permasalahan serupa. II.
BAHAN DAN METODE
A. Waktu dan Lokasi Penelitian dilaksanakan pada bulan Desember tahun 2010 di Desa Mengkang Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow yang merupakan desa penyangga dalam SPTN II Doloduo. B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan adalah masyarakat Desa Mengkang, Tokoh masyarakat, Aparat Desa dan Pengelola Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Sedangkan alat yang digunakan adalah voice recorder, daftar kuesioner, alat tulus menulis, peta kerja, GPS dan kamera. C. Prosedur penelitian Metode yang digunakan untuk pengumpulan data adalah dengan wawancara, melalui daftar kuesioner, observasi dan studi literatur. Penarikan sampel masyarakat desa yang dijadikan responden secara purposive random sampling, dipilih 30 KK sebagai responden. Penggalian
43
informasi terhadap tokoh masyarakat, aparat desa dan pengelola Taman Nasional Bogani Nani Wartabone juga melalui wawancara. Untuk mengetahui struktur dan komposisi pola tanam/pemanfaatan lahan yang diterapkan oleh masyarakat digambarkan melalui sketsa dengan ukuran 20 x 50 m. D. Analisis Data Data dan informasi hasil pengamatan dikompilasi dalam bentuk tabel frekuensi, kemudian dideskripsikan dan diinterpretasikan menggunakan analisis deskriptif untuk menggambarkan bentuk-bentuk partisipasi yang dilakukan oleh masyarakat Desa Mengkang dalam menjaga kelestarian kawasan hutan di sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Tinjauan Umum Masyarakat Mengkang
1.
Kondisi Umum Desa Mengkang Desa Mengkang secara de facto dan de yure diakui oleh pemerintah
Kabupaten Bolaang Mongondow pada tahun 2006 dengan luas wilayah 494,5 ha. Sebelumnya wilayah ini merupakan lokasi perkebunan milik masyarakat dan menjadi bagian dari Desa Mopusi Kecamatan Lolayan. Aktivitas masyarakat yang tinggi dan potensi wilayah yang besar untuk dikembangkan dalam meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat, merupakan salah satu alasan pemerintah daerah memberikan kesempatan kepada desa ini untuk mandiri dalam hal tata kelola pemerintahannya. Aksesibilitas menuju desa ini membutuhkan waktu ± 1 jam 30 menit perjalanan darat dengan kendaraan bermotor roda empat dari kantor Balai TNBNW dan berjarak ± 15 km dari ibu kota Kecamatan Lolayan. Akses kendaraan umum masih jarang, mengingat lokasi desa yang sulit terjangkau. Salah satu penyebab sulitnya akses menuju desa ini adalah adanya dua sungai yang membatasi, apalagi masih minimnya fasilitas jembatan yang menjadi penghubung antar
desa. Hambatan terbesar
adalah ketika musim penghujan tiba, Desa Mekang akan terisolir dari desa
44 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam……. Lis Nurrani
lainnya akibat luapan sungai karena satu-satunya aksesibilitas menuju desa ini hanya dengan melalui sungai tersebut.
Gambar 1. Kondisi umum Desa Mengkang
Penduduk Desa Mengkang merupakan suku asli Mongondow, dengan jumlah penduduk ± 193 jiwa yang terbagi kedalam 55 kepala keluarga. Mata pencaharian penduduk sebagian besar sebagai petani dan buruh tani. Kondisi inilah yang menjadi sebab sangat bergantungnya masyarakat pada ketersediaan lahan dan potensi alam yang tersedia. Berdasarkan data potensi pola penggunaan lahan Desa Mengkang didominasi oleh perkebunan. Secara rinci penggunaan lahan pada Desa Mengkang disajikan pada Tabel 1.
45
Tabel 1. Pembagian luas wilayah menurut penggunaan lahan No.
Luas
Penggunaan
Jumlah (ha)
Prosentase (%)
1
Pemukiman penduduk
3
0,61
2
Persawahan
38
7,68
3
Perkebunan
450
91
4
Kuburan
0,5
0,10
5
Pekarangan
1
0,20
6
Perkantoran
1
0,20
7
Prasarana umum lainnya
1
0,20
494,5
100
Total luas Sumber : Daftar potensi desa tahun 2009
Prasarana umum yang dimaksud pada Tabel 1 adalah fasilitas bangunan sekolah, meski terbilang baru namun desa ini telah memiliki Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Satu Atap (SD dan SMP Satap).
Hal
ini
sangat
membantu
perkembangan
pendidikan
masyarakatnya, mengingat wilayah desa yang masih terisolir dari desa lainnya. Bangunan edukatif ini sangat bermanfaat bagi generasi Desa Mengkang dalam memperoleh pendidikan tanpa adanya kekhawatiran akan hambatan jarak tempuh dan cuaca. 2. Karakteristik Responden Pendidikan berperan penting dalam membentuk sikap atau pandangan masyarakat terhadap pengelolaan hutan secara arif dan bijaksana. Tingkat pendidikan ini tentunya sangat berpengaruh dalam hal penyerapan informasi dan tingkat pengetahuan serta kesadaran responden akan keikutsertaan dalam menjaga kelestarian hutan. Secara umum tingkat pendidikan responden masih rendah, sebanyak 50 % responden hanya menyelesaikan pendidikan sampai tingkat SD, 40 % SMP, 6,67 %, SMA dan tidak ada yang lanjut hingga ke perguruan tinggi (Nurrani et al, 2010). Rendahnya tingkat pendidikan responden di desa ini disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah karena kondisi
46 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam……. Lis Nurrani
perekonomian yang umumnya berpenghasilan rendah, aksesibilitas yang rendah serta minimnya sarana pendidikan. Kesempatan memperoleh pekerjaan dan tingkat kemampuan memanfaatkan potensi yang dimiliki responden untuk memenuhi kebutuhan hidup dipengaruhi oleh tingkat pendidikan. Pendidikan juga mempengaruhi tingkat penguasaan dan penerapan teknologi dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Berdasarkan hasil wawancara dan observasi lapangan menunjukkan bahwa kondisi lahan mempengaruhi taraf kehidupan responden, mayoritas mata pencaharian masyarakat adalah sebagai petani dan buruh tani. Lahan yang diusahakan merupakan areal pertanian yang terdiri dari sawah (7,86 %) dan perkebunan (91 %). Pola tanam yang diterapkan merupakan kombinasi berbagai tanaman tahunan seperti kelapa (Cocos nucifera), coklat (Cocoa spp.), kopi dan kemiri (Aleurites mollucana). Di sela-sela tanaman tahunan masyarakat juga membudidayakan tanaman semusim seperti jagung (Zea mays), kedelai dan kacang panjang. Dalam mengolah lahan, masyarakat Desa Mengkang masih menggunakan pola pertanian tradisional, baik teknik pengolahan maupun peralatan pendukung. Minimnya pengetahuan tentang pola-pola usaha tani seperti pola tanam, pengolahan hasil pasca panen dan pemasaran produk, berimplikasi pada tingkat pendapatan masyarakat. Hasil penelitian terhadap responden menunjukkan bahwa petani di Desa Mengkang rata-rata tingkat pendapatan masyarakatnya masih rendah. Pendapatan rata-rata kepala keluarga secara rinci disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Tingkat pendapatan petani di Desa Mengkang No.
Rata-rata pendapatan (Rp/Bln/KK)
Jumlah (%)
1.
< Rp. 500.000,00
33
2.
Antara Rp. 500.00,00 – Rp. 1.000.000,00
37
3.
> Rp. 1.000.000,00
30
Jumlah total
100
Analisis tabel diatas menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata tiap kepala keluarga dalam per bulan terbilang kecil jika dibandingkan dengan 47
Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk wilayah Sulawesi Utara yaitu sebesar Rp.1.000.000,- (Kompas, 2011). Sebanyak 70 % masyarakat Desa Mengkang yang hidup dengan tingkat pendapatannya dibawah UMP, hal ini mengindikasikan tingkat kesejahteraan masyarakat masih rendah. Sinergi berbagai pihak antara lain pemerintah pusat dan daerah, pengelola taman nasional serta masyarakat merupakan solusi untuk menciptakan kondisi perekonomian masyarakat yang lebih baik. Melalui pemanfaatan hasil hutan berbasis lingkungan ataupun pengelolaan jasa hutan untuk kepentingan
ekowisata.
Kolaborasi
antara
berbagai
pihak
sangat
diharapkan guna terlaksananya program ini secara kondusif. B. PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PELESTARIAN KAWASAN 1. Peraturan Desa Mengenai Pemungutan Hasil Hutan Mengkang sebagai salah satu desa yang berbatasan langsung dengan kawasan Taman Nasional merasakan adanya ketergantungan yang besar terhadap
keberadaan
hutan.
Masyarakat
menyadari
bahwa
keberlangsungan hidupnya dipengaruhi oleh eksistensi hutan, sehingga jika hutan rusak/hilang maka terganggu pulalah kebutuhan hidup mereka. Kesadaran ini bukan muncul begitu saja, tetapi melalui proses diskusi dan musyawarah yang pada akhirnya sampailah pada suatu kesimpulan bahwa jika
ingin
mempertahankan
keberlangsungan
hidup
maka
harus
mempertahankan kelestarian hutan yang ada. Langkah awal yang diambil masyarakat Desa Mengkang bersamasama dengan aparat adalah melakukan kesepakatan bersama dalam hal pengaturan pemungutan hasil hutan disekitar kawasan taman nasional. Kesepakatan ini dimulai pada tahun 2008 dan dituangkan dalam Peraturan Desa (Perdes) yang secara kolektif mewadahi aspirasi dan kebutuhan warga. Mengingat pentingnya kelestarian hutan sehingga masyarakat berpendapat
bahwa
perlu
dikeluarkannya
aturan
spesifik
terkait
pengelolaan sumber daya alam. Perdes No. 4 Bulan Juni tahun 2011 tentang lingkungan merupakan hasil musyawarah dan kesepakatan bersama demi menjaga kelestarian hutan untuk kepentingan masyarakat desa. 48 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam……. Lis Nurrani
Perdes mengatur mengenai pemanfaatan hasil hutan, dimana masyarakat yang bisa mengambil kayu terbatas hanya untuk kepentingan pribadi dalam hal renovasi rumah dan tidak untuk diperjualbelikan. Pengelolaan kawasan untuk pemungutan hasil hutan oleh masyarakat diatur melalui pemberian hak pemanfaatan untuk kayu bakar maupun hasil hutan bukan kayu. Hak pemanfaatan ini dapat diberikan hanya pada kawasan-kawasan yang masuk dalam zona pemanfaatan. Tentu dengan adanya komitmen bersama antara pengelola taman nasional dan masyarakat mengenai sistem dan jumlah hasil hutan yang dapat dimanfaatkan. Dimana pemanfaatan dan jumlahnya tetap mengacu pada sistem azas pengelolaan hutan lestari, yaitu pengambilan kayu bakar hanya pada pohon-pohon yang sudah mati. Pemerintah desa juga melarang melakukan penebangan dan membuka lahan pertanian baru disepanjang aliran sungai. Jarak yang tidak diperkenankan yaitu 100-200 meter dari pinggir sungai. Hal ini dilakukan agar debit air sungai senantiasa stabil guna kepentingan pembangkit listrik tenaga mikrohidro dan ketersedian air bersih secara kontinyu. Kepala Desa (Sangadi) Mengkang merupakan salah satu tokoh utama yang sangat berperan dan berjasa dibalik lestarinya kawasan hutan disekitar TNBNWB. Sangadi adalah istilah baku untuk sebutan bagi pimpinan desa dalam sistem tata pemerintahan di wilayah Bolaang Mongondow Raya. Sangadi Mengkang berperan aktif sebagai mediator antara masyarakat dengan pihak pengelola Taman Nasional kaitannya dalam program pemberdayaan masyarakat sekitar hutan. Tidak hanya itu, Sangadi juga menjadi motivator bagi masyarakat desa yang senantiasa menganjurkan agar hutan tidak dirusak karena banyak manfaat yang akan diperoleh bila hutan lestari. Suatu kenyataan yang sangat sulit ditemukan pada era modern saat ini, dimana para pemimpin cenderung lebih sibuk memperkaya diri dari pada mengurusi rakyatnya. Budaya patuh masyarakat terhadap segala aturan pemerintah setempat juga berpengaruh signifikan terhadap usaha melestarikan hutan di sekitar TNBNWB. Pengetahuan yang dilakukan oleh masyarakat Mengkang merupakan salah satu usaha yang patut dicontoh dan mendapat 49
apresiasi positif. Tindakan tersebut bagian dari implementasi pengetahuan dibidang kehutanan yang dimanifestasikan oleh sebagian dari jutaan masyarakat di negeri ini. 2. Pola Tanam Kebun Campuran Salah satu partisipasi masyarakat Mengkang dalam ikut serta menjaga kelestarian hutan adalah melalui sistem pola tanam kebun campuran yang diterapkannya. Kombinasi antara tanaman perkebunan yang memiliki nilai ekonomis dengan tanaman Multi Purposive Trees Spesific (MPTS) dan tanaman kehutanan merupakan salah satu upaya dari masyarakat untuk tetap menjaga kestabilan tanah dan fungsi hutan sebagai penahan erosi permukaan. Beberapa tanaman kehutanan yang mulai ditanam bersama-sama di kebun masyarakat adalah nantu (Palaqium sp), mahoni (Switenia mahagony) dan cempaka (Elmerrelia ovalis). Jenis-jenis tersebut merupakan tanaman yang sering dimanfaatkan masyarakat Mengkang khususnya dan masyarakat Sulawesi Utara umumnya sebagai bahan baku bangunan, pertukangan, perkakas dan lain sebagainya. Selain memiliki fungsi ekologis kombinasi pola tanam ini juga memiliki nilai ekonomis, yang diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat.
50 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam……. Lis Nurrani
20
Tinggi Pohon (m)
Du
Ki
10 n e 0
Ki
mt Ki
Ki
ka
mt
k p
10
K a
n e
20 50
ka
rb
k p
ka
ck
30
Du
ck
40
Panjang petak (m)
Ket: Ne (Nangka), Kp (Kopi), Ki (Kemiri), Ka (Kelapa) Ck (Cokelat), Mt (Matoa), Du (Durian), Rb (Rambutan)
Gambar 2. Pola kebun campuran yang diterapkan masyarakat
3. Pengkayaan Tanaman Faktor yang sering kali menjadi hambatan dalam pengelolaan hutan secara lestari adalah konflik kepentingan antara pihak taman nasional dengan pemerintah daerah maupun antara pengelola dengan masyarakat sekitar yang notabene berada paling dekat dengan kawasan. Koordinasi dengan Pemda setempat penting guna menyamakan persepsi antara kepentingan pusat dan daerah selaku pelaksana otonomi dan untuk mengetahui batasan antara kewenangan pemerintah pusat dan daerah agar tidak terjadi ketimpangan-ketimpangan dalam pengelolaannya. Kendala lain berasal dari asumsi masyarakat yang merasa bahwa Institusi Taman Nasional senantiasa melakukan pembatasan akses untuk masuk kedalam hutan, padahal hutan merupakan tempat mereka menggantungkan hidup. Penyelesaian konflik dalam pengelolaan kawasan taman nasional harus diawali dengan kesepahaman para pemangku kepentingan bahwa kelestarian hutan merupakan kepentingan bersama, melalui kerjasama
51
yang saling menguntungkan terutama antara masyarakat dengan pengelola kawasan taman nasional. Bentuk partisipasi lainnya adalah keikutsertaan masyarakat desa dalam program pengkayaan tanaman yang dilakukan oleh TNBNW. Kegiatan yang dilakukan adalah penyediaan bibit tanaman (persemaian), penanaman hingga pemeliharaan. Pengkayaan dilakukan pada kawasan taman nasional yang telah beralih fungsi, baik menjadi hutan sekunder maupun yang telah dibuka masyarakat menjadi kawasan pertanian lahan kering. Total luas kawasan yang dilakukan pengkayaan tanaman di Desa Mengkang mencapai 300 ha yang terdiri dari 12 petak, dengan luasan tiap petak sebesar 25 ha yang dikerjakan oleh 12 kelompok, tiap kelompok terdiri dari 10 orang (Balai TNBNW, 2010). Jenis tanaman yang dibudidayakan adalah cempaka (Elmerillia ovalis), nyatoh (Palaquium obivatum), kemiri (Aleurites moluccana) dan matoa (Pometia pinnata).
Gambar 3. Persemaian masyarakat Mengkang dalam rangka pengkayaan kawasan TNBNW
4. Pengembangan Hutan Rakyat Kemiri Kemiri (Aleurites moluccana) merupakan tumbuhan serbaguna yang telah banyak dikenal dan umumnya dimanfaatkan sebagai penyedap
52 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam……. Lis Nurrani
masakan oleh masyarakat luas terutama buahnya. Kemiri adalah tumbuhan asli daratan Indonesia, namun dibeberapa tempat jenis ini dapat ditemukan seperti : di Asia Tenggara, Polinesia, Asia Selatan, dan Brazil. Pada beberapa tempat seperti Sulawesi Selatan dan Gorontalo, kemiri telah menjadi komoditi
unggulan
dan
tumbuh
menjadi
produk
utama
dalam
menggerakkan perekonomian masyarakat setempat. Pada awalnya tanaman kemiri di Desa Mengkang hanya merupakan salah satu tanaman MPTS campuran di kebun masyarakat, namun dewasa ini mulai dibudidayakan secara intensif. Tanaman ini dipilih karena memiliki ragam manfaat yang tinggi selain digunakan sebagai bumbu masak, buah kemiri juga dapat diolah menjadi minyak melalui proses ekstraksi. Limbah tempurung kemiri dapat diolah menjadi arang antara lain arang briket, arang aktif maupun destilat arang yang sangat bermanfaat dan memiliki nilai ekonomis tinggi. Pohon Kemiri memiliki manfaat lain untuk perlindungan konservasi tanah dan air sebagai pencegah erosi, meminimalkan aliran permukaan (run off), penangkap air hujan, penyumbang oksigen, peneduh, menciptakan iklim mikro dan mempercepat siklus kesuburan tanah. Pada bidang teknologi hasil hutan kayu kemiri dapat digunakan sebagai bahan pembuatan meubel dan batang korek api, ranting dan cabangnya sebagai kayu bakar, daun dan kulit batang dapat dimanfaatkan sebagai obat tradisional, buah untuk bumbu masak dan banyak lagi manfaat lainnya (Darmawan, 2006). Penanaman tanaman kemiri merupakan program pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang dilaksanakan oleh Balai TNBNW bekerjasama
dengan
masyarakat
Desa
Mengkang
dalam
rangka
mewujudkan kesejahteraan dan peningkatan taraf hidup masyarakat. Guna mendukung keterlibatan masyarakat Balai TNBNW memberikan beberapa pelatihan
dan
monitoring
secara
kontinyu,
diantaranya
dengan
mengirimkan aparat desa dan petani untuk melakukan studi banding. Studi banding diarahkan ke Kawasan Pegunungan Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan salah satu sentra hutan rakyat tanaman kemiri potensial di Indonesia. Program lainnya 53
adalah bantuan pengadaan alat/mesin pemecah kemiri sebanyak dua unit pada tahun 2010 untuk memudahkan masyarakat dalam proses penanganan pasca panen buah kemiri. Melalui kegiatan tersebut diharapkan adanya transfer ilmu dan teknologi dalam mengelola tanaman Kemiri. Dengan demikian, peningkatan produksi kemiri pada Desa Mengkang sangat diharapkan dan kedepannya akan menjadi salah satu desa sentra penghasil kemiri di Provinsi Sulawesi Utara. 5. Menjaga Keberlangsungan Pasokan Listrik Manfaat langsung yang dirasakan oleh masyarakat Desa Mengkang selain hasil hutan kayu dan non kayu adalah terbukanya lapangan kerja, ketersediaan udara, air bersih serta pasokan listrik non PLN. Letak geografis Mengkang yang dikelilingi oleh tiga sungai dan mata air yang mengalir sepanjang tahun, memberikan berbagai kemudahan desa ini dalam hal pemenuhan kebutuhan air bersih. Melalui swadaya masyarakat air bersih dialirkan dari sumber mata air melalui pipa ke tiap-tiap rumah. Debit air sungai yang besar
dan mengalir sepanjang tahun
dimanfaatkan masyarakat sebagai tenaga untuk memutar turbin generator pembangkit listrik, sehingga yang tadinya listrik PLN tidak dapat masuk karena lokasi desa yang sulit dijangkau dapat digantikan dengan pembangkit listrik lain melalui swadaya masyarakat dan bantuan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat - Lingkungan Mandiri Pedesaan (PNPM-LMP) sejak tahun 2005. Pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH) berdaya 10.000 watt menerangi ± 60 rumah dengan jatah masing-masing rumah 150 watt untuk penerangan di malam hari, sholat jum’at dan saat ada hajatan besar di desa. Adanya pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang cara kerjanya bergantung pada kestabilan debit air sungai, membangkitkan kesadaran masyarakat akan pentingnya hutan dan menjaga kelestarian hutan. Hal ini ditunjukkan dengan adanya larangan melakukan penebangan dan pembukaan lahan pertanian baru disepanjang aliran sungai. Sebab jika hutan rusak akan mengurangi debit sungai yang nantinya akan berimplikasi pada putusnya pasokan listrik desa. Masyarakat dengan sukarela ikut 54 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam……. Lis Nurrani
berpartisipasi dalam menjaga kelestarian hutan terutama di sepanjang daerah aliran sungai, kontribusi ini merupakan kerjasama saling menguntungkan antara masyarakat dengan TNBNW. Konsep mikrohidro sangat tepat diterapkan pada desa-desa yang berbatasan langsung dengan hutan konservasi yang tidak terjangkau aliran listrik PLN. Hal ini bisa dijadikan program pemberdayaan khusus dengan masyarakat yang saling menguntungkan bersama pihak pengelola kawasan konservasi. Tentunya program ini tidak berlaku umum untuk semua desa karena syarat utama pengembangan desa mandiri Mikrohidro adalah tersedianya air sungai yang mengalir sepanjang tahun dan adanya beda tinggi (head) pada aliran sungai.
Gambar 4. Generator pembangkit PLTMH di Desa Mengkang
6. Pengembangan Wisata Alam Air Terjun Dan Bumi Perkemahan Selain keanekaragaman hayati flora dan fauna, hutan juga memiliki potensi jasa hutan, kekayaan yang dimiliki oleh kawasan TNBNW khususnya keunikan panorama alam sangat potensial untuk dikembangkan sebagai wisata alam. Dalam kawasan TNBNW terdapat air terjun (Water fall) yang
55
indah dan menarik untuk dijadikan sebagai sarana objek wisata alam. Akses menuju ke lokasi tersebut dapat ditempuh dengan berjalan kaki dari Desa Mengkang selama ± 3 jam dengan jarak ± 6 km, air terjun merupakan salah satu daya tarik desa ini. Meski membutuhkan waktu cukup lama untuk sampai ke lokasi air terjun tersebut tapi perjalanan akan terasa menyenangkan karena sepanjang jalan pengunjung akan disuguhkan dengan panorama alam flora di sepanjang aliran sungai dan udara sejuk. Air terjun Mengkang memiliki ketinggian ± 30 meter dan memiliki debit air yang relatif stabil. Bentang alam yang ada di sekitar air terjun ini juga sering digunakan untuk wisata alam lainnya seperti camping dan out bond. Bila dikelola dengan baik, potensi ini dapat mendatangkan manfaat bagi kelestarian kawasan hutan dan pengembangan penelitian, pendidikan dan pelatihan di kawasan TNBNWB. Untuk pengelolaanya dapat memanfaatkan jasa masyarakat sekitar sekaligus menjadikan sarana mata pencaharian bagi mereka. Sehingga secara tidak langsung melalui kegiatan tersebut kelestarian hutan akan tetap terjaga, minimal untuk mengalihkan aktifitas negatif masyarakat dalam kawasan hutan. Kedepannya diharapkan akan timbul kesadaran masyarakat jika hutan rusak maka air akan hilang. Bila kondisi tersebut terjadi berarti mata pencaharian juga hilang, sehingga nantinya masyarakat sendiri yang akan berusaha menjaga kelestarian kawasan hutan Taman Nasional.
56 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam……. Lis Nurrani
Foto : A. Setyawan
Gambar 5. Air Terjun Mengkang
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan Fakta yang teridentifikasi yaitu sebuah desa yang berada dipinggiran
kawasan hutan tidak selalu terpinggirkan dan terpuruk dari sisi kesejahteraan, meski aksesibilitasnya sulit. Kolaborasi antara masyarakat dengan aparat desa dan pemerintah dalam hal ini pengelola Taman Nasional telah mensinergikan antara kepentingan kelestarian kawasan dan pemenuhan ekonomi masyarakat. Kemauan dan kerjasama masyarakat menjadi faktor penting kesuksesan, inilah yang terjadi pada Mengkang sebuah desa kecil yang berada didekat kawasan (buffer zone) Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Kemandirian dalam memenuhi pasokan listrik dan kemandirian dalam mengelola lahan menjadi penyokong utama kesejahteraan masyarakat desa ini. Hal ini didukung oleh potensi alam yang dapat
dikembangkan
untuk
lebih
meningkatkan
kesejahteraan
masyarakatnya.
57
B. Saran 1. Masyarakat yang sadar hukum dan sadar lingkungan merupakan modal utama suksesnya pembangunan hutan bersama masyarakat, oleh karena itu perlu dijaga dan dibina agar partisipasinya semakin aktif. 2. Pengelolaan secara arif dan bijaksana sangat diharapkan guna keberlangsungan sumber daya alam yang tersedia sehingga nantinya masyarakat dapat menikmati hasil secara berkelanjutan (Sustainable). DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. Upah Minimum Propinsi Sulawesi Utara jadi 1 juta. http://www. regional.kompas.com. diakses tanggal 24 Mei 2011. . 2012. Mengkang Terang Tak Berharap PLN. Berita Terkini. http://www.manadopost.co.id. Diakses tanggal 9 Januari 2012. . 2009. Daftar Isian Potensi Desa/Kelurahan Mengkang Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara. Kotamobagu. Aziz, N.A. 2006. Partisipasi Masyarakat dalam Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) : Kasus di Desa Sirnagalih dan Pamalayan, Kecamatan Bayongbong serta Desa Margaluyu dan Ciburial, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut. (Skripsi). Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. 2010. Buku Informasi Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Kementerian Kehutanan. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Kotamobagu. Departemen Kehutanan. 2003. Buku Indikasi Kawasan Hutan dan Lahan Yang Perlu Dilakukan Rehabilitasi Hutan. http://www.dephut.go.id. diakses pada bulan Juni 2005. Darmawan, S. 2005. Ragam Manfaat Kemiri. Makalah Utama pada Gelar dan Dialog Teknologi. Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang.
58 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam……. Lis Nurrani
Kartasubrata, J. 1986. Aspirasi Rakyat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Hutan di Jawa. (Disertasi). Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nurrani, L., A. Irawan., S.N. Patandi, R. Mamonto. 2010. Pola Pemanfaatan Lahan di Dalam Kawasan Taman Nasional Aketajawed Lolobata dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Kementerian Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Laporan Hasil Penelitian (tidak dipublikasikan). Manado. Soebiyanto, FX. 1993. Partisipasi Petani dalam Penyuluhan untuk Peningkatan Produktivitas Usahatani Tanaman Padi (Kasus di Kabupaten Klaten Jawa Tengah). (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.
59
60 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
STUDI KERAGAMAN JENIS CEMPAKA BERDASARKAN KARAKTERISTIK MORFOLOGI DI SULAWESI UTARA Julianus Kinho dan Arif Irawan Balai Penelitian Kehutanan Manado JL. Raya Adipura, Kel.Kima Atas, Kec.Mapanget, Manado Telp. (0431) 3666683, e-mail :
[email protected] ;
[email protected]
RINGKASAN Kayu cempaka merupakan salah satu jenis kayu komersil primadona di Sulawesi Utara. Jenis kayu ini merupakan unsur kayu yang wajib ada pada sebuah rumah adat Minahasa dan tidak tergantikan oleh jenis kayu lainnya. Kayu cempaka juga banyak digunakan sebagai bahan pembuatan meubel, interior ruangan, alat musik, kerajinan tangan, perahu, panel, alat olahraga, dan plywood. Berdasarkan hasil studi awal diketahui terdapat keragaman jenis cempaka yang terdapat di Sulawesi Utara. Data dan informasi tentang pengenalan jenis kayu cempaka yang tersebar di provinsi ini masih sangat terbatas. Pengenalan jenis kayu cempaka berdasarkan penggunaan nama lokal menjadi lebih rumit karena inkonsistensi nama suatu jenis pada beberapa daerah di Sulawesi Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun yaitu pada tahun 2008 hingga 2011 dengan melakukan eksplorasi pada beberapa lokasi yang meliputi Kab. Minahasa Utara, Kab. Minahasa, Kota Tomohon, Kab. Minahasa Selatan, Kab. Minahasa Tenggara, Kota Kotamobagu, Kab. Bolaang Mongondow. Identifikasi jenis dilakukan di Herbarium Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Bogor. Hasil studi menunjukan bahwa diketahui terdapat 6 (enam) jenis kayu cempaka di Sulawesi Utara yang berasal dari 3 genus yaitu Elmerrillia, Magnolia, dan Michelia. Jenis-jenis tersebut adalah Elmerrillia celebica Dandy, Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy, Elmerrillia tsiampacca (L.) Dandy, Magnolia elegans (Blume.) H.Keng, Magnolia candollei (Blume) H.Keng, dan Michelia champaca L. Kata Kunci : Cempaka, Keragaman, Sulawesi Utara
61
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kayu cempaka merupakan salah satu jenis kayu komersil primadona di Sulawesi Utara. Permintaan terhadap kayu cempaka terus meningkat dari waktu ke waktu sehingga keberadaanya di habitat alam semakin berkurang dan terancam, sebagai akibat eksploitasi terhadap jenis kayu ini yang berlangsung terus-menerus. Kayu cempaka di Sulawesi Utara banyak digunakan sebagai bahan meubel, bahan konstruksi rumah (papan, balok, lantai, kusen, pintu dan jendela). Kayu cempaka merupakan unsur yang wajib ada, pada sebuah rumah tradisional atau rumah panggung dan tidak tergantikan oleh jenis kayu lainnya pada beberapa daerah di Minahasa, Sulawesi Utara. Hal ini dikarenakan kayu ini memiliki nilai historis serta nilai prestise lebih bagi pemiliknya. Kayu cempaka di Indonesia diperdagangkan dalam kategori Michelia spp., dan Magnolia spp. (Langi, 2007). Cempaka termasuk dalam kelompok kayu indah berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 707/KptsV/1997 tentang Penyempurnaan Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 574/KPTS-IV/1997, tentang Pengelompokan Jenis Kayu sebagai Dasar Pengenaan Iuran Kehutanan. Cempaka di Indonesia dikenal dengan beberapa nama daerah seperti minjaran (Sumatera), arimot (Biak), cempaka hutan kasar (Sulawesi), uru (Toraja), cempaka, wasian, adow, dan ta’as (Sulawesi Utara). (Langi, 2007) Pengenalan jenis pohon atau identifikasi merupakan hal yang sangat mendasar dalam mengelompokkan jenis pohon. Hal ini berkaitan erat dengan pemanfaatan dan pelestarian terhadap suatu jenis pohon. Untuk melakukan identifikasi terhadap jenis pohon secara langsung di lapangan diperlukan beberapa teknik khusus. Salah satu teknik yang dapat digunakan dengan mudah yaitu dengan mengetahui ciri-ciri morfologi atau karakteristik dari suatu jenis. Pengenalan jenis kayu cempaka berdasarkan penggunaan nama lokal menjadi lebih rumit karena inkonsistensi nama suatu jenis pada beberapa daerah di Sulawesi Utara. Data dan informasi tentang pengenalan jenis kayu cempaka di Sulawesi Utara masih sangat terbatas, oleh karena itu
62 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
dipandang perlu untuk melakukan identifikasi jenis kayu cempaka di Sulawesi Utara. B.
Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keragaman jenis cempaka
di Sulawesi Utara, berdasarkan karakteristik morfologinya. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengenalan jenis kayu cempaka berdasarkan karakteristik morfologinya, sehingga dapat mempermudah dalam pengelompokan jenis kayu. II.
METODE PENELITIAN
A.
Tempat dan Waktu Penelitian ini dilaksanakan selama 3 (tiga) tahun (2008 -2011). Lokasi
penelitian dilaksanakan di 7 (tujuh) Kabupaten/Kota di Sulawesi Utara yaitu Talawaan, Sawangan, Wusa, Warisa (Kab. Minahasa Utara), Rumengkor, Eris, Remboken, Ranolombot, Teperetan, Paleloan, Riniair, (Kab. Minahasa), Rurukan, Kinilow, Kakaskasen (Kota. Tomohon), Tombasian, Motoling dan Tareran (Kab. Minahasa Selatan), Ratahan, Tombatu (Kab. Minahasa Tenggara), Singsingon, Bakan (Kota. Kotamobagu), Pinogaluman (Kab. Bolaang Mongondow). B.
Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu gunting stek, parang,
kompas, GPS, peta Sulawesi Utara, meteran, kaliper tali rafia, alat tulis, sasak bambu dan oven. Bahan yang digunakan yaitu kertas koran, plastik trash bag, plastik clip, label spesimen. C.
Teknik Pengambilan Data Pengumpulan data dilakukan dengan cara eksplorasi. Pengambilan
data dilakukan berdasarkan hasil pengamatan secara langsung di lapangan. Setiap Sampel dibuatkan spesimen herbariumnya. Spesimen herbarium selanjutnya diidentifikasi lebih lanjut di Herbarium Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi, Badan Litbang Kehutanan Bogor. Studi literatur digunakan untuk melengkapi data hasil eksplorasi yang dilakukan dengan cara
63
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
melakukan penelusuran terhadap hasil-hasil penelitian ilmiah, jurnal serta laporan-laporan yang relevan. D.
Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dan ditampilkan dalam
bentuk deskripsi jenis. III.
HASIL DAN PEMBAHASAN Cempaka merupakan sebutan untuk beberapa jenis tumbuhan
berbunga (angiospermae) dari Ordo Magnoliales, famili Magnoliaceae. Beberapa jenis tumbuhan dari famili Magnoliaceae masih termasuk tumbuhan purba. Fosil tumbuhan dari kelompok ini dan yang masih hidup, asal-usulnya dapat ditelusuri hingga 95 juta tahun yang lalu. Fosil tumbuhan dari famili ini masih dapat dijumpai di Artic, Greenland, North America and Europe (Meijer, 1968; Adam J.H., dkk 2002). Dalam biosistematik, cempaka dimasukkan takson suku Magnoliaceae yang relatif primitif (Cronquist, 1981 dalam Adnyana, 1998). Bunga primitif Angiospermae mirip suatu rujung atau strobilus yang tersusun atas satu poros tengah yang memanjang dengan bagian-bagian bunga tersusun spiral dan terpisah, memiliki perianthium, biseksual, aktinomoefik dan jumlah karpel dan stamen banyak (Loveless, 1983). Morfoklin atau kecenderungan perubahan secara evolusi dari struktur bunga yang primitif menjadi bunga yang maju (advanced) adalah sebagai berikut : (a) bagian-bagian bunga yang tersusun spiral menjadi melingkar (siklis), (b) bagian-bagian bunga yang banyak dan tidak tentu menjadi jumlahnya sedikit dan tertentu, (c) bagian bunga yang tersusun terpisah menjadi bersatu, (d) apokarp menjadi sinkarp, (e) bakal buah superous menjadi inferus, (f) bunga biseksual menjadi uniseksual, (g) simetri bunga aktinomorfik menjadi zigomorfik, (h) kuntum bunga menjadi inflorensencia (perbungaan), (i) serbuk sari monokolpat menjadi trikolpat. A.
Karakter Primitif Bunga dan Trakea (pembuluh Kayu) Susunan bagian-bagian bunga termasuk hemisiklis, karena tepal
tersusun dalam lingkaran sedangkan stamen dan pistil tersusun spiral. Berdasarkan morfologi bunga dan struktur trakea (pembuluh kayu), maka
64 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
cempaka merupakan tumbuhan yang relatif primitif. Ciri atau karakter yang mendukung adalah (1) jumlah bagian-bagian bunga tidak tentu, (2) jumlah stamen dan pistil banyak dan tersusun spiral, (3) tipe stamen laminar dan polen monokolpat, (4) ginesium spokarp dan ovarium superior, (5) komponen pembuluh kayu memiliki ujung runcing dengan penoktahan pembuluh kayu dan papan perforasi skalariform, (6) memiliki reseptakulum yang panjang. Karakter yang ini sesuai dengan Bold et al. (1987).
Keterangan : A = Tahap tiga stipula
(a) tepal
B = Tahap dua stipula C = Tahap satu stipula D = Tahap tanpa stipula
(b) psitil (c) stamen (d) stipula bagian dalam (e) stipula bagian tengah
(Sumber : Adnyana, 1998)
(f) stipula bagian luar
Gambar 1. Morfologi perkembangan bunga cempaka
B.
BEBERAPA JENIS KAYU CEMPAKA DI SULAWESI UTARA Di Sulawesi Utara terdapat 5 (lima) dari 12 (dua belas) genus
cempaka yang ada di dunia yaitu Elmerrillia, Magnolia,
Manglietia,
Talauma dan Michelia. Cempaka di Sulawesi Utara dapat dijumpai pada hutan dataran rendah sampai hutan pegunungan pada ketinggian 1000 m dpl. Beberapa jenis kayu cempaka yang terdapat di Sulawesi Utara yaitu :
65
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
1. Elmerrillia celebica Dandy. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado pada tahun 2009 di Kawasan Cagar Alam Gunung Ambang terdapat jenis cempaka yang sudah sangat jarang dijumpai yaitu Elmerrillia celebica Dandy. Informasi yang berhasil dihimpun menurut masyarakat lokal, jenis cempaka ini biasanya disebut dengan nama Ta’as. Elmerrillia celebica juga ditemukan di kawasan hutan rakyat di daerah Kecamatan Tareran, Kabupaten Minahasa Selatan. Jenis cempaka ini memiliki ciri morfologi daun lebih kecil serta memiliki tipe pohon yang lebih lurus dan tinggi jika dibandingkan dengan jenis cempaka yang umum dibudidayakan masyarakat. Selain itu cempaka jenis ini memiliki ciri unik yang mudah dikenali yaitu memiliki warna daun kecoklatan. Secara umum ciri khas bentuk daun Elmerrillia celebica Dandy. adalah berbentuk lanset dengan permukaan daun berwarna hijau tua, permukaan daun muda berwarna hijau dengan bulu-bulu halus berwarna coklat yang tersebar merata. Belakang daun berbulu coklat halus, jika diamati dari kejauhan seperti memiliki daun yang berwarna kecoklatan. Letak antar daun saling bersilangan, bentuk ujung daunnya melancip, dasar daun membulat, dan pinggiran daun rata. Ciri morfologi lainnya adalah pepagan berwarna kuning dengan bau khas yang harum karena mengandung minyak atsiri. Buah berbentuk buni, dengan buah masak berwarna merah. Pohon cempaka jenis ini dapat tumbuh hingga mencapai 20 m dengan diameter 40-50 cm. Batang coklat bertotol putih, kulit batang berkelupas. Jenis ini tumbuh pada ketinggian 700 mdpl di Kawasan Cagar Alam Gunung Ambang dan 600 mdpl di daerah Kecamatan Tareran. Penyebaran cempaka jenis ini di Sulawesi Utara meliputi Cagar Alam Gunung Ambang (Bolaang Mongondow) dan sebagian lokasi hutan rakyat di Tareran.
66 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
Bentuk Daun
Permukaan batang (kulit)
Gambar 1. Elmerrillia celebica Dandy.
2.
Elmerrillia ovalis (Miq.) Dandy. Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy., atau yang lebih dikenal oleh
masyarakat di Sulawesi Utara dengan nama “Wasian” merupakan salah satu jenis yang banyak diminati masyarakat sebagai bahan pembuatan rumah adat woloan. Cempaka jenis ini memiliki perawakan sedang sampai besar. Tinggi pohon sekitar 15-20 m, dengan diameter batang 20-50 cm. Permukaan batang pada tumbuhan muda (tingkat pancang dan tingkat tiang) mulus, berwarna hitam keabu-abuan dengan bercak-bercak putih yang hampir tersebar merata pada seluruh bagian permukaan batang. Daun tunggal, duduk daun bersilang, pangkal daun runcing, ujung daun runcing, permukaan daun muda berbulu halus berwarna keperakan, permukaan daun muda licin, berwarna hijau, belakang daun berwarna keputihan seperti lapisan lilin (lignin), panjang tangkai daun 2-3 cm, panjang daun 21-42 cm, lebar daun 4,5-11 cm, tepi daun rata. Buah Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy., memiliki bentuk yang sangat mirip dengan jenis Elmerrillia celebica Dandy. yaitu berbentuk buni. Perbedaanya adalah ukuran buah cempaka jenis ini adalah cenderung labih panjang. Rata-rata panjang buahnya 5,4 – 7,3 cm dengan diameter sekitar 1,2 - 2 cm. Jumlah dalam
67
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
satu tangkai buah berkisar antara 50 – 80 biji. Elmerrilia ovalis tersebar luas di daerah Minahasa. Hasil pengamatan dilapangan menunjukan bahwa cempaka jenis ini melimpah di Desa Suluun, Kabupaten Minahasa Selatan dan sebagian di Wilayah Bolaang Mongondow.
Keterangan : (A) Permukaan daun; (B) Belakang daun; (C) Permukaan batang; (D) Bentuk Buah
Gambar 2. Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy
3.
Elmerrillia tsiampacca (L.) Dandy subsp. tsiampacca Cempaka jenis ini umumnya memiliki tinggi 20-30 m dengan
diameter, tinggi bebas cabang 4-6 m, tinggi tajuk 7-8 m, tidak bergetah, pepagan dalam berwarna coklat kekuningan, keras dan berpasir, batang tidak berbanir, silindris dan berlentisel, daun tunggal, letak daun selangseling, permukaan daun hijau tua, licin mengkilap, daun muda hijau kecoklatan, ujung daun runcing, pangkal daun runcing, tepi daun rata, panjang daun 7-25 cm, lebar daun 5-7 cm, panjang tangkai daun 2-3 cm.
68 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
Buah bulat telur, permukaan buah bersisik, ukuran buah 3x5 cm, biji hitam dilindungi oleh kulit aril berwarna oranye kemerahan. Musim berbuah pada bulan Nopember. Jenis ini tumbuh pada ketinggian 600-700 m dpl di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang. Penyebarannya di Sulawesi Utara : CA. Gunung Ambang (Bolaang Mongondow) Permukaan batang
Daun
Buah
Gambar 3. Elmerrillia tsiampacca (L.) Dandy subsp. tsiampacca
4.
Magnolia elegans (Blume.) H.Keng Magnolia elegans (Blume.) H.Keng., yang juga memiliki nama
sinonim Aromadendron elegans Blume., Manglietia oortii Korth., Talauma elegans (Blume.) Miq., biasa dikenal masyarakat dengan nama lokal cempaka. Kayu jenis ini merupakan jenis yang juga banyak diminati sebagai bahan pembuatan rumah adat woloan. Kayunya termasuk kelas kuat II dengan kelas awet IV. Pohon-pohon dari jenis ini pada umumnya memiliki tinggi sekitar 20-25 m, dengan bebas cabang 5-6 m, tinggi tajuk 4-5 m, dengan diameter 30-35 cm. Ciri khas dari jenis ini yaitu bergetah bening kekuningan, agak lengket, pepagan keras berwarna coklat tua kemerahan, pepagan dalam berwarna kuning, tekstur batang silindris, kulit batang berlekah, bentuk tajuk bulat, daun tunggal berstipula, letak daun bersilangan, permukaan daun licin, belakang daun licin mengkilap, bentuk dasar daun melancip, tepi daun rata, pangkal daun meruncing, kadangkadang membulat, ujung daun meruncing, bunga keluar dari ketiak daun, berwarna putih kekuningan. Musim berbunga pada bulan Nopember dan musim berbuah pada bulan Desember-Januari. Cempaka jenis ini tumbuh
69
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
pada ketinggian 600 mdpl di kawasan Cagar Alam Gunung Ambang. Penyebaran cempaka jenis ini di Sulawesi Utara meliputi CA. Tangkoko (Bitung); Gunung Klabat, Talawaan, Sawangan, (Minahasa Utara); Rumengkor, Tombasian, Tandengan, Kombi, Remboken, Kawangkoan (Minahasa); Rurukan, Tombulu, Gunung Masarang, Kakaskasen, Tinoor (Tomohon);
Amurang,
Tumpaan,
Motoling,
Tanawangko,
Gunung
Lolombulan (Minahasa Selatan); Tombatu (Minahasa Tenggara); Gunung Ambang (Bolaang Mongondow). Magnolia merupakan salah satu genus yang besar dengan jumlah sekitar 210 jenis. Penyebaran genus Magnolia meliputi Amerika Utara, Amerika Tengah, India Barat, Asia Tenggara dan Asia Timur serta beberapa jenis dapat ditemukan di Amerika Selatan. Genus Magnolia banyak ditemukan sebagai tanaman ornamental di beberapa negara Eropa, Amerika Utara, Australia dan New Zealand.
Daun dan bunga
Permukaan batang
Buah
Biji
Gambar 4. Magnolia elegans (Blume.) H.Keng.
70 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
5. Magnolia candollei (Blume) H.Keng Cempaka yang juga memiliki nama sinonim Magnolia liliifera (L.) Baill. var. liliifera ini umumnya memiliki perawakan sedang hingga besar, dengan tinggi dapat mencapai 5-12 m dengan diameter batang 15-20 cm. Batang mulus, berlentisel, coklat kehitaman, bercorak putih. Daun tunggal, duduk daun selang-seling, panjang daun 29 cm, lebar daun 9,5 cm dan panjang tangkai daun 1-2 cm, permukaan daun licin, mengkilap, pangkal daun meruncing, ujung daun meruncing, tepi daun rata, tulang daun timbul pada belakang daun. Buah terdapat pada ujung tangkai, buah tunggal, panjang tangkai buah 1 cm, permukaan buah berduri tidak tajam, berbentuk seperti cakar burung elang, panjang duri 2-3 cm, panjang buah 8-9 cm, berbentuk jantung, berdiameter 6,5-7 cm. Pepagan dalam kuning, tidak bergetah, memiliki bau khas yang harum. Musim berbuah pada bulan Juli. Cempaka jenis ini tumbuh pada ketinggian 500-800 m dpl di Kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Penyebarannya diketahui berada di Kawasan India utara Bagian Timur, Kepulauan Andaman, Kamboja, Thailand sampai ke Malaysia. Di Indonesia jenis cempaka ini terdapat di daerah Kalimantan dan Sulawesi.
Daun dan bunga
Buah
Permukaan batang
Biji Gambar 5. Magnolia candollei (Blume) H.Keng
71
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
Salah satu jenis cempaka yang dapat ditemukan pada hutan-hutan di Pegunungan Jawa sampai pada ketinggian 1800 m dpl yaitu Magnolia candollei. Penyebaran alami cempaka jenis ini meliputi India Utara, Kepulauan Andaman, Kamboja, Thailand dan Malesia. (Andez H. Rozak). 6. Michelia champaca L. Marga Michelia memiliki sekitar 30 spesies, bahkan disebutkan terdiri dari 50 spesies dalam pustaka lainnya, dengan pohon yang selalu hijau (evergreen trees) yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis di Asia Selatan dan Asia Tenggara (Anonim, 2010). Beberapa pustaka menyebutkan bahwa penyebaran M. champaca meliputi India, Myanmar, Cina, Bangladesh, Thailand, Vietnam, Malaysia dan Indoensia (Sosef, et al.,1998; Clifford, 2010). Penyebarannya di Indonesia meliputi Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Kepulauan Sunda Kecil (Sosef, et al.,1998; Buharman et al.,2002). Di Sumatera Selatan cempaka jenis ini merupakan jenis pohon penghasil kayu penting yang bernilai ekonomis (Lukman, 2011). M. champaca merupakan jenis pohon yang berukuran sedang sampai besar dengan tinggi hingga 50 m, batang lurus, silindris dengan diameter hingga 200 cm, kulit batang halus berwarna putih kelabu dengan tajuk agak jarang dan melebar. Berbunga dan berbuah sepanjang tahun dengan penyerbukan dilakukan oleh kumbang dan serangga lainnya (Buharman et.al., 2002; Cliford dan Kobayashi, 2010). Buah masak berwarna merah. Percabangan melingkar, daun tunggal, bentuk dasar daun elips, duduk daun bersilangan, percabangan tunas baru muncul dari ketiak daun, permukaan daun muda berbulu, daun tua tidak berbulu. Daun muda berbulu halus sampai pada tangkai daun, pangkal daun meruncing, ujung daun runcing (acute), tepi daun rata, pertulangan daun menyirip. Bunga soliter dan aksiler. Perigonium berwarna kuning tersusun dari 12-17 tepal yang terpisah satu sama lainnya. Andresium terdiri dari 47-53 stamen yang tersusun spiral pada bagian basal sumbu bunga. Stamen bertipe lamear dengan antera melekat pada bagian adaksial dengan filament yang tidak tampak jelas. Serbuk sari monokolpat. Ginesium apokarp yang terdiri dari 40-51 pistil, setiap pistil merupakan unikarkel dan unilokularis. Plasentasi marginal dan
72 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
ovarium superior. Pistil tersusun spiral pada ginofor. Gambar bagian-bagian bunga M. champaca ditampilkan pada gambar 6.
Keterangan : (a) Kuncup bunga (b) Penampang longitudinal pistil (c) Stamen bagian adaxial (d) Perigonium dan stamen telah gugur (e) Bunga, sebagian tepal dilepas (St)=stipula (Ps)=Pistil sederhana (apokarp) (Bs)=Berkas stamen (Bt)=Berkas tepal
(Sumber : Adnyana, 1998)
Gambar 6. Bagian-bagian bunga cempaka (Michelia champaca L.)
Secara ekologis M. champaca tumbuh tersebar di hutan hujan dataran rendah hingga pegunungan sampai ketinggian 2.100 mdpl, dengan suhu maksimum 35-400C dan suhu minimum 3-100C (Sosef et.al., 1998). M. champaca memiliki beberapa nama daerah di Indonesia seperti cempaka kuning, cempaka koneng, campaga, jeumpa, kepaka, sampakak, bambang atau medang bambang (Indriani, 2010; Lukman, 211). Cempaka jenis ini tumbuh pada ketinggian 921 mdpl di kawasan wisata Watu Pinabetengan, Kawangkoan. Penyebarannya di Sulawesi Utara : meliputi Manado; Tomohon dan Kawangkoan (Minahasa).
73
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
Keterangan : (A) Bentuk daun (b) Permukaan batang (c) Bunga
(A) Bentuk daun
Gambar 7. Michelia champaca L.
(B) Bentuk permukaan batang;
(C) Bentuk bunga Berdasarkan uraian jenis Cempaka yang ditemukan tersebut, hasil rekapitulasi ciri morfologi masing-masing jenis dapat dilihat pada tabel 1.
74 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Studi Keragaman Jenis Cempaka….. Julianus Kinho dan Arif Irawan
Tabel 1. Perbandingan karakter morfologi jenis-jenis cempaka yang ditemukan di Sulawesi Utara Jenis Cempaka Karakter Morfologi
Elmerrillia
Elmerrilia
Elmerrillia
Magnolia
Magnolia
celebica
ovalis (Miq.)
tsiampacca
elegans
candollei (Blume)
Dandy.
Dandy.
(L.) Dandy.
(Blume.) H.Keng
H.Keng
Michelia champaca L.
Batang coklat
Batang
Batang tidak
Batang silindris,
Batang mulus,
Batang lurus,
bertotol putih,
berwarna
bergetah,
kulit batang
berlentisel,
silindris dengan
kulit batang
hitam keabu-
pepagan
berlekah,
berwarna coklat
diameter hingga 200
terkelupas
abuan dengan
dalam
pepagan keras
kehitaman dengan
cm, kulit batang
bercak-bercak
berwarna
berwarna coklat
corak putih
halus berwarna
putih yang
coklat
tua kemerahan
tersebar
kekuningan,
merata
tidak
Bentuk Batang
putih kelabu
berbanir, silindris dan berlentisel Daun
Berbentuk
Pangkal dan
Pangkal dan
Permukaan
Permukaan daun
Permukaan daun
lansat,
ujung daun
ujung daun
daun licin,
licin, mengkilap,
muda berbulu, daun
permukaan
meruncing,
meruncing,
belakang daun
pangkal daun
tua tidak berbulu. 75
berwarna hijau
permukaan
tepi daun
licin mengkilap,
meruncing, ujung
Daun muda berbulu
tua, belakang
daun muda
rata,
bentuk dasar
daun meruncing,
halus sampai pada
daun berbulu
berbulu halus
permukaan
daun melancip,
tulang daun
tangkai daun,
coklat
halus,
berwarna
daun hijau
tepi daun rata,
timbul pada
pangkal daun
ujung
daun
keperakan
tua, licin
pangkal daun
belakang daun
meruncing, ujung
lancip,
dasar
mengkilap
meruncing
daun runcing
membulat,
(acute), tepi daun
dan pinggiran
rata, pertulangan
rata
daun menyirip.
Berbentuk
Berbentuk
Berbentuk
Bebentuk bulat
Berbentuk bulat,
Buah soliter dan
buni
buni
bulat telur,
berwarna hijau
permukaan buah
aksiler. Buah masak
pemukaan
kecoklatan
berduri tidak
Buah
buah
tajam, berbentuk
bersisik.
seperti cakar burung elang
76 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Studi Keragaman Jenis Cempaka……. Julianus Kinho dan Arif Irawan
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil studi keragaman jenis cempaka di Sulawesi Utara berdasarkan karakteristik morfologinya, diketahui terdapat 6 (enam) jenis cempaka yang berasal dari 3 (tiga) genus yaitu Elmerrillia, Magnolia, dan Michelia. Jenis-jenis tersebut adalah Elmerrillia celebica Dandy., Elmerrilia ovalis (Miq.) Dandy., Elmerrillia tsiampacca (L.) Dandy., Magnolia elegans (Blume.) H.Keng, Magnolia candollei (Blume) H.Keng dan Michelia champaca L. DAFTAR PUSTAKA Adnyana, P.B. 1998. Studi Tentang Morfologi Perkembangan Bunga dan Struktur Kayu Cempaka (Michelia champaca L.) Adam J.H. and Abdul Manap M., 2002. A Preliminary Study on the Diversity of Magnoliaceae from Mt. Kinabalu Area in Sabah, Malaysia. Proceedings of the Regional Symposium on Environment and Natural Resources 0-11 th April 2002, Hotel Renaissance Kuala Lumpur, Malaysia. Vol 1: 445-449 Anonim, 2010. Michelia champaca. http://www.worldagroforestry.org/treedb2/AFTPDES/Michelia_cha mpaca.pdf. Diakses 27 Januari 2012. Clifford,P. Dan K. Kobayashi. 2010. Non-invasive Landscape Plants with Fragrant Flowers. Ornamental and Flowers. Feb. 2010 OF-46. College of Tropical Agriculture and Human Resources. University of Hawai’i. Manoa. Cronguist, A.1981. An Integrated System of Clasification of Flowering Plant. New York : Columbia Univ. Press Indriani, D.V. 2010. Michelia champaca. http:/www.toiusd.multiply.com/journal/item/167/Michelia_champ aca. Diakses 27 Januari 2012.
77
Langi,Y.A.R. 2007. Model Penduga Biomassa Dan Karbon Pada Tegakan Hutan Rakyat Cempaka (Elmerrillia ovalis) dan Wasian (Elmerrrillia celebica) di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Thesis Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor Lemmens,R.H.M.J.,Soerianegara,I., and Wong,W.C. (Editors). 1995. Plant resources of south East Asia No.5 (2). Timber Trees: Minor Commercial Timber. Prossea Foundation, Bogor, Indonesia. Loveless, A.R. 1983. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropis 2. Terjemahan. Jakarta : Gramedia. Lukman, A.H. 2011. Sebaran, Potensi dan Penggelolaan Michelia champaca L. Prosiding Lokakarya Nasional Status Konservasi dan Formulasi Strategi Konservasi Jenis-Jenis Pohon Yang Terancam Punah (Ulin, Eboni dan Michelia). Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Badan Litbang Kehutanan Bekerjasama dengan ITTO. CV. Biografika Bogor Meijer, W. 1968. Botanical Bulletin Herbarium, Forest Department, Sandakan, Sabah,East Malaysia No. 11: 2-19. Nooteboom, H.P. 1985. Notes on the Magnoliaceae with a revision of Pachylarnax and Elmerrillia and the Malesian species of Manglietia and Michelia. Blumea 31: 65-121. Nooteboom, H.P. 1987. Notes on the Magnoliaceae II. Revision of Magnolia section Maingola (Malesian species) Aromadendron and Blumiana. Blumea 32: 343-382. Sosef, M.S.M, L.T Hong dan S. Prawirohatmodjo. 1998. Plant Resources of South-East Asia. No. 5 (3). Timber trees: Lesser-known timbers. Backhuys Publisher. Leiden. Tjitrosoepomo,G. 2007. Morfologi Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
78 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Keberadaan Tegakan Cempaka……. Arif Irawan dan Jafred E. Halawane
IDENTIFIKASI KEBERADAAN TEGAKAN CEMPAKA (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng) DI HUTAN LINDUNG LOLOMBULAN SEBAGAI SUMBER BENIH POTENSIAL Arif Irawan dan Jafred E. Halawane Balai Penelitian Kehutanan Manado Jalan Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email :
[email protected]
RINGKASAN Kayu Cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng) merupakan kayu primadona bagi masyarakat Sulawesi Utara. Kayu ini digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan rumah adat khas Minahasa. Selain peruntukan tersebut, kayu ini juga memiliki kegunaan lain yaitu sebagai kayu pertukangan yang cukup strategis. Berkaitan dengan hal tersebut, eksploitasi jenis cempaka yang berlebihan menyebabkan kelangkaannya di alam karena tidak diimbangi dengan tindakan budidaya (pembangunan hutan tanaman). Dalam pembagunan hutan tanaman yang berkualitas harus didukung dengan penggunaan benih yang berkualitas. Minimnya keberadaan sumber benih berkualitas harus segera diatasi dengan pembangunan sumber benih (jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang). Hutan lindung Lolombulan merupakan kawasan dengan tegakan cempaka yang menyimpan potensi sebagai penyedia sumber benih berkualitas untuk menjamin keberadaan cempaka di masa depan. Inventarisasi tegakan cempaka di Hutan Lindung Lolombulan dilakukan menggunakan sistem jalur pada luasan 6,25 ha. Dari hasil rekapitulasi yang dilakukan secara sensus diketahui jumlah pohon yang berdiameter > 20 cm ditemukan sebanyak 67 pohon. Rata-rata diameter tegakan cempaka tersebut adalah sebesar 46,26 cm serta rata-rata tinggi total dan tinggi bebas cabangnya adalah 19,9 m dan 12,16 m. Secara umum tegakan cempaka di kawasan Hutan Lindung Lolombulan tumbuh dengan normal dan tidak terserang hama dan penyakit, aksesibilitas menuju lokasi tegakan cempaka relatif mudah, status lahan yang pasti dan aman secara hukum sehingga layak dijadikan sebagai sumber benih. Kata kunci: Cempaka, Langka, Hutan Tanaman, Sumber Benih, Hutan Lindung Lolombulan.
79
I. PENDAHULUAN Preferensi masyarakat Sulawesi Utara terhadap kayu cempaka sangatlah tinggi sejak dahulu. Hal ini terkait erat dengan warisan budaya masyarakat Minahasa dalam hal pembuatan rumah adat yang lebih dikenal dengan sebutan “Rumah Woloan”. Bahan baku utama yang digunakan pada rumah adat ini adalah kayu cempaka (Magnolia elegance). Rumah woloan masih diminati dan diproduksi hingga saat ini, bahkan terus mengalami peningkatan karena tidak hanya melayani permintaan pasar lokal dan nasional seperti Minahasa dan sekitarnya, dan beberapa daerah di Indonesia, namun telah berkembang memasuki pasar mancanegara seperti Jepang, Arab Saudi, Uni Emirat Arab serta beberapa negara di Eropa, Australia, dan Amerika Serikat. Penggunaan kayu cempaka selain sebagai bahan baku pembuatan rumah adat Minahasa, juga memiliki peruntukan lain sebagai kayu pertukangan yang cukup strategis. Manfaat tersebut antara lain digunakan sebagai bahan pembuatan mebel, interior ruangan, alat musik, kerajinan tangan, perahu, panel, alat olahraga, dan plywood. Potensi
pemanfaatan
kayu
cempaka
yang
cukup
tinggi
mengakibatkan permintaan dan eksploitasi terhadap jenis kayu ini terus mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Selama ini, untuk memenuhi kebutuhan kayu cempaka, sebagian besar masih mengandalkan hutan alam. Eksploitasi yang terlalu berlebihan dengan tidak diimbagi oleh tindakan budidaya mengakibatkan ketersediaan jenis kayu cempaka di alam terus mengalami penurunan dan semakin langka. Mengantisipasi permasalahan ini, usaha peningkatan keberadaan kayu cempaka perlu dan terus digalakan melalui berbagai kegiatan seperti perlindungan terhadap tegakan alam yang masih
tersisa
pembangunan
hutan
tanaman
untuk
menghindari
ketergantungan terhadap tegakan alam dalam pemenuhan kebutuhan kayu cempaka. Untuk mewujudkan hal ini maka salah satu faktor pendukung yang harus dipenuhi adalah ketersediaan benih berkualitas sehingga tegakan yang dihasilkan adalah tegakan yang berkualitas, baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
80 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Keberadaan Tegakan Cempaka……. Arif Irawan dan Jafred E. Halawane
Untuk mengetahui tingkat kualitas suatu benih dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu kualitas genetik, kualitas fisik dan kualitas fisiologi (Sadjad, 1993). Kualitas genetik benih dapat diartikan sebagai benih murni dari spesies tertentu yang menunjukkan identitas genetik atau asal-usul dari tanaman induknya. Kualitas fisik benih merupakan penampilan benih secara prima bila dilihat secara fisik (misalnya : ukuran, bersih dari campuran benih lain, biji gulma dan dari kontaminan lainnya). Sedangkan kualitas fisiologis benih adalah kemampuan daya hidup benih yang mencakup daya kecambah dan kekuatan tumbuh benih.Produk benih yang berkualitas hanya dapat diperoleh dari sumber benih yang dikelola dengan baik. Minimnya sumber benih bermutu dan sulitnya menjaga serta melidungi tegakan cempaka pada hutan alam menyebabkan diperlukannya pekerjaan ekstra dan strategi khusus. Salah satu strategi yang dapat diterapkan untuk menjawab hal ini adalah dengan menjadikan atau mengkonversi tegakan alam cempaka yang masih ada sebagai tegakan benih sehingga nilai kayu yang menjadi penyebab kesulitan dalam melindungi tegakan dapat di alihkan pada nilai benih, dengan demikian kebutuhan benih dapat terpenuhi, perlindungan terhadap tegakan alam juga dapat diperoleh. II. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada salah satu areal di Hutan Lindung Lolombulan yang secara administratif berada di Desa Malola 1, Kecamatan Kumelembuai. Pengamatan menggunakan sistem jalur pada plot seluas ± 6,25 ha. Pembuatan plot diawali dengan membuat batas luarnya ditandai dengan rintisan selebar ± 1 m. Pencatatan terhadap potensi tegakan cempaka dilakukan secara sensus terhadap tegakan yang berdiameter > 20 cm (tingkat pohon). Parameter yang diukur adalah diameter batang, tinggi pohon total, tinggi bebas cabang, tingkat kelurusan batang, bentuk permukaan batang, dan tingkat kesehatan pohon. Pengumpulan data dilakukan pada bulan Agustus 2011. Selanjutnya data yang telah didapat diolah dan ditampilkan secara deskriptif.
81
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sekilas Tentang Cempaka Beberapa jenis cempaka dari Famili Magnoliaceae telah dikenal dan biasa dimanfaatkan
masyarakat Sulawesi Utara. Diantara jenis-jenis
tersebut yang paling dikenal dan sering dimanfaatkan adalah jenis kayu cempaka (Magnolia elegans (Blume.)H.Keng) dan wasian (Elmerellia ovalis). Kedua jenis cempaka ini memiliki habitat yang hampir sama. Cempaka yang banyak tumbuh alami pada kawasan hutan dataran rendah hingga hutan pegunungan dengan ketinggian 400 hingga 2000 mdpl. Cempaka merupakan kayu dengan tipe pertumbuhan menengah yang merupakan jenis kayu primadona bagi masyarakat. Kayu ini memiliki warna kayu yang berwarna putih kecoklatan, buah bulat lonjong (buah matang berwarna kuning kecoklatan), daun berbentuk meruncing dan sedikit membulat. Kualitas kayu cempaka termasuk dalam kayu dengan kelas awet II dan kelas kuat III, berat jenis 0,41 – 0,61, kerapatan kayu 400 – 500 kg/m3 (hasil studi ini dalam kisaran umur 10 – 15 tahun dengan diameter 30 – 50 cm) (Langi,2007). Beberapa daerah di Sulawesi yang teridentifikasi menjadi tempat habitat cempaka antara lain pada kawasankawasan hutan di Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Khusus di Sulawesi Utara, tegakan ini banyak ditemukan di daerah Minahasa, Minahasa Selatan hingga sebagian daerah Bolaang Mongondow. Sebagian besar ditemukan di hutan masyarakat sebagai tanaman selingan dengan tanaman musiman. Keberadaan tegakan cempaka di hutan-hutan konservasi milik negara sudah semakin jarang, hal ini karena desakan eksploitasi ilegal yang sulit dikendalikan hingga saat ini. Musim bunga dan buah cempaka umumnya terjadi sekitar bulan September hingga Desember. Sifat biji cempaka adalah rekalsitran, sehingga hanya mampu hidup dalam kadar air yang cukup tinggi (36-90 %). Biji cempaka sangat disukai hewan semut, sehingga tidak mengherankan persen tumbuhnya di alam sangatlah rendah. Biji cempaka berukuran kecil, benih yang baik (telah masak) berwarna coklat kehitaman. Masa berkecambah cempaka di bedeng tabur tidaklah merata. Secara umum diperkirakan dua minggu setelah ditabur, benih sudah mulai berkecambah. 82 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Keberadaan Tegakan Cempaka……. Arif Irawan dan Jafred E. Halawane
Selanjutnya setelah keluar dua helai daun, bibit sudah mulai harus segera disapih. Jumlah 1 kg biji Cempaka diperkirakan sekitar 10.000 – 12.000 butir. B. Struktur dan Sebaran Tegakan Cempaka di Hutan Lindung Lolombulan Luas kawasan Hutan Lindung Lolombulan diketahui sekitar 1200 ha. Kawasan hutan ini secara administrasi berada di Kabupaten Minahasa Selatan yang tersebar pada beberapa Kecamatan, yaitu Kecamatan Sinonsayang, Tenga, Kumelembuai dan Motoling. Keberadaan populasi tegakan cempaka di kawasan Hutan Lindung Lolombulan diketahui dengan jumlah yang masih cukup banyak, bahkan dibeberapa titik memiliki kerapatan yang cukup tinggi. Berdasarkan hasil rekapitulasi diketahui potensi cempaka (tingkat pohon) yang dapat dijadikan sumber benih adalah sebanyak 67 pohon.
Gambar 1. Pohon cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng) di Hutan Lindung Lolombulan
Hasil perhitungan rata-rata diameter tegakan cempaka yang terinventarisir diketahui sebesar 46,26 cm. Sebaran kelas diameter keseluruhan pohon cempaka yang tercatat di Kawasan Hutan Lindung Lolombulan dapat dilihat pada gambar 2. Letak masing-masing tegakan
83
pohon cempaka di dalam plot cukup menyebar, tidak terfokus pada titik tertentu dan berbentuk tidak teratur. Hal ini disebabkan tegakan yang ada terbentuk secara alami tanpa campur tangan manusia atau bukan merupakan hutan tanaman. Tegakan cempaka pada plot contoh diketahui berasosiasi baik dengan vegetasi disekelilingnya. Beberapa jenis vegetasi tersebut adalah Octomeles Sumatrana, Tetrameles nudiflora, Quercussp., Conosium balsamiferum Willd, dan Myristica ellipta Wall.
Gambar 2. Jumlah tegakan cempaka di Hutan Lindung Lolombulan berdasarkan kelas diameternya
Berdasarkan gambar 2, diketahui jumlah tegakan cempaka paling dominan adalah tegakan yang memiliki diameter pada kelas interval 30 - 40 cm dan 51-60 cm dengan jumlah 17 pohon. Sedangkan Jumlah diameter terkecil berada pada kelas 20-30 cm yaitu 8 (delapan) pohon. Diameter terbesar yang tecatat adalah sebesar 110,14 cm. Secara umum kondisi tegakan cempaka yang tercatat tergolong memiliki tingkat kelurusan dan kesilindrisan batang yang cukup baik. Sedangkan tinggi total dan tinggi bebas cabang rata-rata diketahui sebesar 19,9 m dan 12,16 m. Jumlah pohon dengan tinggi total yang paling dominan adalah pada kelas interval tinggi 20-24 m yaitu sebanyak 26 pohon. Sedangkan pada sebaran tinggi bebas cabang didominasi pada interval 10-14 m yaitu 30 pohon. Selain jumlah pohon yang tercatat, terdapat pula beberapa pohon cempaka pada 84 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Keberadaan Tegakan Cempaka……. Arif Irawan dan Jafred E. Halawane
tingkatan tiang dan semai, walaupun dengan jumlah yang tidak melimpah. Keberadaan cempaka pada tingkatan ini mengindikasikan bahwa regenerasi cempaka di Kawasan Hutan Lindung Lolombulan tergolong cukup baik atau dengan kata lain tegakan yang terdegradasi secara alami akan segera tergantikan oleh tegakan dibawahnya. C. Potensi tegakan Cempaka Hutan Lindung Lolombulan Sebagai Sumber Benih Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No: P.1/Menhut-II/2009 (revisi) tentang Penyelenggaraan Perbenihan Tanaman Hutan, sumber benih terbagi atas: 1. Kebun Benih Teridentifikasi (Identified seed stand) Tegakan benih teridentifikasi adalah suatu tegakan alam atau tanaman dengan kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat teridentifikasi dengan tepat. Tegakan ini dibangun dengan tidak direncanakan sebagai sumber benih. Asal-usul benihnya biasanya tidak diketahui. Tegakan yang diidentifikasi umumya tegakan yang sudah tua, maka penjarangan pada tegakan ini hanya dilakukan seperlunya dengan intensitas yang rendah. 2. Kebun Benih Terseleksi (Selected seed stand) Tegakan benih terseleksi adalah tegakan alam atau tanaman yang memiliki fenotipe di atas rata-rata untuk karakter yang penting seperti batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan. Tegakan ini mirip dengan tegakan benih teridentifikasi. Perbedaan utamanya adalah fenotipe tegakan yang lebih baik. 3. Areal Produksi Benih (Seed production area) Suatu
tegakan
yang
dipilih
dan
direkomendasikan
untuk
memproduksi bahan reproduktif berdasarkan kriteria fenotipe. Tegakan terpilih karena sebagian besar pohon-pohonnya memiliki karakter dengan fenotipe unggul seperti pertumbuhannya cepat, kualitas batang baik, tahan terhadap penyakit, sedangkan tingkat pengendalian genetik dari suatu karakter dan diferensiasi genetik terhadap populasi lain pada umumnya tidak diketahui. Faktor lain yang dijadikan pertimbangan adalah ukuran
85
populasi, kerapatan awal dari populasi, jalur isolasi sekeliling populasi, aksesibilitas dan kemungkinan untuk melakukan perlindungan hutan. 4. Tegakan Benih Provenansi (Provenance seed stand) Tegakan benih provenans merupakan keturunan campuran dari banyak pohon induk dari suatu populasi tunggal. Dalam pembangunan tegakan ini tidak memerlukan rancangan percobaan sehingga berbeda dengan uji provenans. Tegakan benih provenans harus diisolasi dengan tegakan lainnya agar tidak terjadi persilangan.Tujuan utama pembangunan tegakan benih provenans adalah untuk konservasi genetik secara exsitu. Tegakan benih provenans dari provenans unggul yang sudah menghasilkan buah
dapat
dimanfaatkan
sebagai
sumber
benih
untuk
materi
pembangunan hutan tanaman. 5. Kebun Benih Semai (Seedling seed orchard) Kebun benih semai dibangun untuk membentuk suatu populasi yang bertujuan untuk menghasilkan benih unggul. Pembangunan kebun benih semai tidak terpisah dari kegiatan uji lapang, selalu dikombinasikan dengan uji keturunan dari pohon induk tunggal. Kombinasi dari tujuan yang berbeda tersebut dikenal dengan istilah kebun benih semai uji keturunan. Tanaman uji keturunan dikonversi menjadi suatu kebun benih setelah dilakukan satu atau beberapa kali penjarangan selektif. Benih secara langsung diunduh dari kebun benih untuk membangun hutan tanaman komersial. 6. Kebun Benih Klon (Clonal seed orhcard) Kebun benih klon dibangun untuk menghasilkan benih dalam jumlah yang banyak dari pohon-pohon yang bergenotipe unggul yang jumlahnya terbatas. Pohon-phon bergenotipe unggul dikloning dan beberapa copynya dikumpulkan di dalam suatu populasi. Perbanyakan vegetatif yang digunakan untuk membangun kebun benih klon umunya adalah teknik sambungan. Pada tahap awal, pohon-pohon terpilih selalu dikumpulkan di dalam suatu clonal garden, multiplication garden atau clonal archive. Kebun benih klon dirancang untuk memaksimalkan jumlah dan proporsi keturunan hasil penyerbukan silang antar dua klon yang ada di kebun benih.
86 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Keberadaan Tegakan Cempaka……. Arif Irawan dan Jafred E. Halawane
Pentingnya isolasi spasial dari populasi lain dengan jenis yang sama sangat tergantung pada sistem aliran gennya, yakni efisiensi dari pembawa serbuk sari. 7. Kebun Pangkas (Hedge orchard) Kebun pangkas adalah pertanaman yang dibangun untuk tujuan khusus sebagai penghasil bahan stek. Kebun pangkas dikelola secara intensif
dengan
pemangkasan,
perundukan,
pemupukan
untuk
meningkatkan produksi bahan stek. Kebun pangkas dibangun dari benih atau dari bahan vegetatif yang dikumpulkan dari pohon plus. Pembangunan kebun pangkas dilakukan dalam suatu areal tertentu yang akan dimanfaatkan sebagai penghasil stek pucuk. Selain itu dapat dibangun dalam ukuran mini dalam pot-pot di persemaian untuk diperbanyak dengan teknik stek mini. Klasifikasi terhadap sumber benih tersebut didasarkan atas kualitas genetik dari benih yang dihasilkan, sedangkan kualitas benih dari masingmasing sumber benih ditentukan berdasarkan perlakuan dan seleksi yang telah diterapkan pada tegakan dimaksud,( Laksono, 2010). Dikemukakan pula bahwa dalam hal penyediaan sumber benih dapat dilakukan sesuai dengan status sumber benih dari jenis yang akan dikembangkan. Apabila sumber benih dari suatu jenis belum tersedia, maka penyediaan sumber benih dapat dilakukan dalam jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang. Sedangkan apabila sumber benih dari suatu jenis sudah tersedia pada klasifikasi sumber benih tertentu, maka yang dapat dilakukan adalah peningkatan kualitas sumber benih pada klasifikasi yang lebih tinggi sehingga diperoleh sumber benih dengan kualitas genetik yang diinginkan. Berkaitan dengan tegakan cempaka pada hutan lindung Lolombulan yang akan dijadikan sebagai sumber benih, maka kegiatan tersebut digolongkan dalam kegiatan jangka pendek (tegakan benih teridentifikasi), hal ini disebabkan karena status dari sumber benih tersebut yang belum tersedia dan baru dijadikan sebagai suber benih. Berdasarkan Peraturan Dirjen RLPS Nomor P.03/VPTH/2007 tentang Pedoman Sertifikasi Sumber Benih Tanaman Hutan, lokasi untuk dapat
87
ditunjuk sebagai sumber benih harus memenuhi beberapa kriteria persyaratan diantaranya aksesibilitas, pembungaan/pembuahan, tingkat keamanan lokasi, kesehatan tegakan, batas areal dan pengelolaan yang jelas. Lokasi sumber benih secara umum harus mudah dijangkau dan didatangi, sehingga memudahkan untuk pemeliharaan sumber benih, pengunduhan buahnya serta mempercepat waktu pengangkutan. Lokasi sumber benih yang memiliki aksesibilitas yang baik akan meringankan biaya pemeliharaan, pengumpulan serta lebih menjamin mutu benih. Lokasi tegakan cempaka di Hutan Lindung Lolombulan memiliki akses jalan yang relatif mudah. Walaupun berjarak agak jauh dari pemukiman desa Malola I yaitu sekitar 3-4 km, namun dapat ditempuh dengan alat transportasi darat (kendaraan roda dua atau roda empat). Hal ini dikarenakan disekitar areal tegakan cempaka tersebut juga merupakan salah satu lokasi sentral ekonomi masyarakat Desa Malola 1 dan sekitarnya yaitu daerah pembuatan “Cap Tikus”. Cap tikus adalah minuman beralkohol khas Minahasa yang sudah sangat membudaya di Sulawesi Utara. Jalan menuju lokasi tegakan cempaka di kawasan hutan lindung Lolombulan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Akses jalan menuju lokasi sumber benih cempaka di Hutan Lindung Lolombulan
88 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Keberadaan Tegakan Cempaka……. Arif Irawan dan Jafred E. Halawane
Tegakan cempaka pada lokasi ini diperkirakan telah mengalami beberapa kali masa berbuah dan diketahui musim berbunga terjadi sekitar bulan Agustus – September dan musim berbuah pada bulan Oktober – November. Hasil produksi benih pada lokasi ini belum diketahui, karena selama ini masyarakat atau pihak terkait lainnya belum memanfaatkan secara khusus materi genetik yang berasal dari tegakan tersebut. Tingkat keamanan lokasi relatif masih terjaga. Hal ini disebabkan karena kesadaran masyarakat untuk menjaga keberadaan hutan yang terdapat disekitar mereka sangatlah tinggi. Terlepas dari statusnya sebagai hutan lindung, masyarakat sekitar hutan khususnya di Desa Malola I masih mengaggap bahwa lokasi tegakan cempaka tersebut merupakan hutan adat, sehingga hukum adat berlaku dengan tujuan untuk menjaga kelestarian keberadaan sumber daya alam yang ada didalamnya. Hal ini ditandai dengan dibentuknya petugas penjaga hutan yang telah terbagi berdasarkan masing-masing wilayah desa. Berdasarkan hasil wawancara dengan masyarakat, secara umum warga desa juga sangat menyadari akan fungsi hutan bagi kehidupan mereka, utamanya adalah dalam menjaga keberadaan sumber air yang telah mereka gunakan sehari-hari. Pengamatan di lapangan menunjukan bahwa tegakan cempaka pada kawasan hutan Lindung Lolombulan secara umum tumbuh dengan normal dan tidak terserang hama dan penyakit. Kemungkinan tegakan cempaka di lokasi ini untuk terserang hama dan penyakit pun sangat kecil karena tegakan yang ada adalah merupakan tegakan campuran. Berkaitan dengan status dan keamanan lokasi secara hukum maka tegakan cempaka pada kawasan hutan lindung Lolombulan merupakan kawasan konservasi dibawah pengelolaan Dinas Minahasa Selatan. Sehingga status kepemilikannya jelas dan dapat terjamin keberlanjutan serta keberadaannya dari adanya
gangguan
pihak pihak yang tidak
bertanggungjawab. Berdasarkan uraian di atas, hal-hal yang telah disyaratkan sebagai lokasi sumber benih telah dapat terpenuhi. Selanjutnya untuk mendapatkan legalitas tegakan cempaka di Hutan Lindung Lolombulan sebagai lokasi sumber benih dari penerbit sertifikasi (Balai Perbenihan Tanaman Hutan
89
Sulawesi), maka areal tersebut telah diusulkan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manado selaku penggagas dan Dinas Kehutanan Kabupaten Minahasa Selatan sebagai penanggungjawab lokasi sebagai calon sumber benih cempaka. Hasil peninjauan dan penilaian tim sertifikasi dari Balai Perbenihan Tanaman Hutan dinyatakan lokasi tersebut layak mendapatkan sertifikasi sebagai sumber benih dengan klasifikasi teridentifikasi. Dari hasil sertifikasi ini diharapkan pemanfaatan terhadap keberadaan tegakan cempaka di lokasi Hutan Lindung Lolombulan dapat dimaksimalkan, sehingga permasalahan tersedianya benih berkualitas di Sulawesi Utara akan segera teratasi. IV. KESIMPULAN Kayu cempaka (Magnolia elegans (Blume.) H.Keng) merupakan kayu yang memiliki potensi strategis dan bernilai ekonomi tinggi bagi masyarakat Sulawesi Utara. Keberadaannya di alam sudah sangat memprihatinkan akibat eksploitasi yang berlebihan karena tanpa diimbangi upaya budidaya. Perlunya pembangunan hutan tanaman cempaka untuk mengurangi ketergantungan terhadap tegakan alam demi kelestarian jenis cempaka. Minimnya ketersediaan sumber benih cempaka berkualitas untuk mendukung pembangunan hutan tanaman cempaka merupakan kendala yang harus dijawab lewat pembangunan sumber benih, baik dalam jangka pendek, menengah maupun panjang. Hasil inventarisasi menunjukan bahwa tegakan cempaka di Kawasan Hutan Lindung Lolombulan sangat berpotensi untuk dimanfaatkan sebagai sumber benih. Sertifikasi sebagai lokasi sumber benih dengan kriteria teridentifikasi terhadap tegakan tersebut telah terbit dan diharapkan dapat dimanfaatkan untuk mengatasi tersedianya benih cempaka berkualitas di Sulawesi Utara. DAFTAR PUSTAKA BPTH Jawa dan Madura, 2006. Manual Seleksi Pohon Plus. Balai Perbenihan Tanaman Hutan Jawa dan Madura, Sumedang. Laksono, 2010. Teknik Penunjukan dan Pembangunan Sumber benih. Materi diskusi pemuliaan sumber benih tanaman hutan yang
90 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Keberadaan Tegakan Cempaka……. Arif Irawan dan Jafred E. Halawane
diselenggarakan oleh Balai Besar Penelitian Dipterocarpa (BBPD) Samarinda. (Tidak dipublikasikan) Langi, Y.A.R, 2007. Model Penduga Biomassa dan Karbon Pada Tegakan Hutan Rakyat Cempaka (Elmerrillia ovalis) dan Wasian (Elmerrrillia celebica) di Kabupaten Minahasa Sulawesi Utara. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor. (Tidak diterbitkan). Ratnaningrum, Y.W.N. & Wibisono, M.G. 2002 Pembangunan Sumber Benih Jenis Kayu Unggulan Setempat di Sulawei Utara. Jurnal lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat 7 (15-16). Universitas Gajah Mada. Peraturan Dirjen RLPS Nomor P.03/VPTH/2007 tentang Pedoman Sertifikasi Sumber Benih Tanaman Hutan Properti Kompas.com. 2011. Rumah Kayu Rakitan Diminati Timur Tengah Website http://properti.kompas.com/index.php/read/2011/05/18/1741228 /Rumah.Kayu.Rakitan.Diminati.Timur.Tengah Sadjad, S. 1993. Dari Benih Kepada Benih. PT Garsindo. Jakarta. Soerianegara, I, 1978. Pemuliaan Pohon. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor
91
92 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Potensi dan Strategi Pengelolaan….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
POTENSI DAN STRATEGI PENGELOLAAN KEANEKARAGAMAN HAYATI JENIS POHON DI CAGAR ALAM TANGKOKO SEBAGAI SUMBER PLASMA NUTFAH Ady Suryawan, Julianus Kinho dan Anita Mayasari Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget, Manado
[email protected]
RINGKASAN Indonesia memiliki keanekaragaman hayati tertinggi kedua di dunia, diantaranya terdapat 3000 jenis pohon. Namun dari ribuan jenis pohon yang ada hanya sebagian kecil yang telah dimanfaatkan kayunya. Cagar Alam (CA) Tangkoko merupakan salah satu kawasan konservasi yang ada di Sulawesi Utara menyimpan berbagai jenis pohon yang belum termanfaatkan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi beberapa jenis pohon yang belum banyak dimanfaatkan. Metode yang digunakan adalah metode jelajah dan perjumpaan setiap obyek vegetasi pohon yang ada dan studi literatur. Hasil perjumpaan diketahui bahwa CA. Tangkoko memiliki 147 jenis yang tergolong dalam 102 marga dan 47 suku. Berbagai literatur menunjukan bahwa potensi jenis pohon yang ada digolongkan menjadi lima yaitu sebagai bahan baku obat-obatan, bahan konstruksi alternatif, bahan makanan, bahan pulp dan bahan kosmetik. Prinsip pengelolaan yang terpadu adalah perlindungan, penelitian dan pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk domestikasi dan penangkaran dilakukan secara berkesinambungan bersama masyarakat. Kata Kunci : Potensi, Tangkoko, Strategi, Keanekaragaman Hayati, Flora.
I. PENDAHULUAN Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia telah menempatkan pada negara dengan keanekaragaman hayati terkaya kedua di dunia. Salah satu keanekaragaman hayati tersebut adalah terdapatnya 3.000 jenis pohon yang tumbuh di berbagai ekosistem (Supriatna, 2008). Secara ekonomi, setiap pohon akan menghasilkan kayu, buah, bahan ekstraktif dan beberapa manfaat lainnya. Pemanfaatan kayu sudah dilakukan sejak zaman pra sejarah sebagai kayu bakar. Menurut Dumanauw (1990) kayu
93
merupakan bahan mentah yang mudah diproses untuk menjadi barang sesuai kebutuhan dan perkembangan teknologi karena memiliki beberapa sifat sekaligus dan tidak ada zat lain yang menyerupai kayu. Keanekaragaman jenis pohon ini merupakan potensi yang harus digali lebih lanjut karena tidak menutup kemungkinan jenis-jenis yang selama ini kurang dimanfaatkan ternyata memiliki potensi yang jauh lebih tinggi. Keanekaragaman jenis tumbuhan masih dapat dijumpai di dalam kawasan konservasi. Ekosistem penyusun Cagar Alam Tangkoko antara lain ekosistem hutan pantai, ekosistem hutan dataran rendah, ekosistem dataran tinggi dan ekosistem hutan lumut. Dari keempat ekosistem ini, masing-masing memiliki komposisi jenis pohon yang berbeda-beda. Pada beberapa kawasan konservasi di Indonesia, usaha pelestarian jenis, ekosistem dan habitat justru mendapat tekanan dari berbagai pihak, sehingga sering kali luasan kawasan konservasi yang masih tertutupi hutan akan lebih sempit dibanding luas kawasan konservasi. Menurut Supriatna (2008) mengerutnya wilayah konservasi terjadi karena deforestasi dan pemanfaatan wilayah yang kurang memperhatikan aspek tata ruang. Sedangkan menurut Colchester (2009) faktor penyebabnya adalah kebijakan penentuan batas wilayah dilakukan diatas kertas, tidak ada pelibatan masyarakat sekitar hutan dalam rangkaian pengelolaannya, sehingga ada sebagian masyarakat yang merasa terusir dan terputus mata pencahariaannya.
Berdasarkan
data
IUCN
tahun
1985,
kawasan
perlindungan di seluruh dunia sekitar 70% merupakan kawasan yang sudah berpenghuni. Faktor alam juga berpengaruh terhadap rusaknya ekosistem seperti tsunami, gunung meletus, banjir dan lainnya. Bila kerusakan ekosistem terus terjadi maka bukan tidak mungkin jenis-jenis hayati tertentu akan mengalami kepunahan khususnya jenis endemik pada ekosistem pulaupulau kecil. Supriatna (2011) menyebutkan bahwa sampai pada tahun 2004 sedikitnya ada 77 jenis tumbuhan endemik Indonesia dan 383 jenis yang terancam punah, sedangkan menurut IUCN di Indonesia ada 113 jenis tumbuhan berstatus kritis, 67 jenis terancam dan 203 rentan.
94 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Potensi dan Strategi Pengelolaan….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
Penyebab laju erosi keanekaragaman hayati yang lain adalah tingkat konsumsi manusia dan kemajuan teknologi yang semakin canggih mampu mengeksploitasi alam lebih besar. Namun kemajuan teknologi bukanlah hal yang harus ditakuti akan tetapi merupakan tantangan kita bersama bagaimana mengelola keanekaragaman hayati yang kita miliki untuk kemajuan bersama dan pemanfaatan yang bersinambungan. Tulisan ini bertujuan untuk memberikan informasi jenis-jenis pohon yang ada di CA Tangkoko dan beberapa jenis potensial untuk dikembangkan lebih lanjut. Harapannya dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengelolaan keanekaragaman hayati khususnya di CA Tangkoko. Penulisan dilakukan berdasar hasil-hasil penelitian di CA Tangkoko menggunakan metode perjumpaan dan studi literatur. II. KEANEKARAGAMAN JENIS FLORA DI CAGAR ALAM TANGKOKO Cagar Alam Tangkoko ditetapkan sejak tahun 1919 oleh pemerintah Kolonial Belanda melalui Besluit Van den Governeur Nederlands Indie (GB) No.6 Stbl.90 dengan luas 4.446 Ha. Hasil survey dengan metode jelajah dan perjumpaan diketahui bahwa CA Tangkoko memiliki 147 jenis pohon yang tergolong dalam 102 marga dan 47 suku yang tersaji dalam Tabel 1. Hasil indeks nilai penting menurut Kinho et all (2010) CA Tangkoko didominasi oleh Cananga odorata dengan nilai INP 40,36 % merupakan suku Annonaceae dan Alstonia scholaris 17,49% dari suku Apocynaceae, sedangkan indeks Shanon memiliki nilai 3.36 menunjukan eksosistem yang stabil. Table 1. Jenis-jenis flora yang ada di CA. Tangkoko No
Famili
Nama Jenis
1
Actinidaceae
Saurauia christilla, Saurauia euryolepis
2
Alangiaceae
Alangium sp.
Jumlah Jenis 2 1
95
No
Famili
Nama Jenis
Jumlah Jenis 6
3
Anacardiaceae
Buchanania arborescens Bl., Buchanania sp²., Dracontomelon dao Merr.et Rolfe., Dracontomelon mangiferum Bl., Koordersiodendron pinnatum Merr., Spondias dulcis Forst.,
4
Annonaceae
17
5
Apocynaceae
Cananga odorata Hook. f. et Th., Mitrephora sp., Polyalthia glauca Boerl., Polyalthia lateriflora King., Polyalthia rumphii Merr., Polyalthia sp. Popowia hirta Miq., Saccopetalum horsfieldii Blume. Alstonia scholaris R. Br., Alstonia sumatrana, Ochrosi acuminata Trimen.,
6
Araliaceae
Polyscias nodosa (Bl.) Seem.
19
7
Bignoniaceae
Spathodea campanulata P. Beauv.
1
8
Burseraceae
5
9
Combretaceae
Canarium asperum Benth., Canarium vrieseanum Engl., Canarium hirsutum Willd., Garuga floribunda Decne., Santiria laevigata Blume., Terminalia celebica Exell., Terminalia catappa.
10
Celastraceae
Euonymus javanicus Bl. Siphonodon celastrinew Griff.,
2
11
Clusiaceae
5
12
Capparaceae
Calophyllum saulattri (Burm.) Bl., Garcinia daedalanthera Pierre., Garcinia dulcis Kurz., Garcinia parfifolia Pierre., Garcinia tetranda Capparis micracantha, Crateva nurlava
96 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
18
2
1
Potensi dan Strategi Pengelolaan….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
Nama Jenis
Jumlah Jenis 1
No
Famili
13
Datiscaceae
Tetrameles nudiflora R.Br.
14
Dilleniaceae
Dillenia ochreata T.et B.
1
15
Ebenaceae
Diospyros cauliflora Blume., Diospyros ebenum Koen., Diospyros hebecarpa Cunn. Ex Benth., Diospyros khortalsiana Hiern., Diospyros malabarica (Desr.) Kostel., Diospyros maritima Blume., Diospyros minahassae
8
16
Euphorbiaceae
11
17
Flacourtiaceae
Acalypha caturus Bl., Antidesma celebicum Miq., Drypetes longifolia (Blume) Pax.et.Hoffm., Drypetes neglecta (Koord.) Pax et Hoffm., Glochidion philipicum Airy Shaw., Glochidion celebicum, Macaranga mappa (L.) Muell.Arg., Macaranga tanarius (L.) Muell. Arg., Mallotus collumnaris, Mallotus ricinoides Muell.Arg., Melanolepis celebicum, Macaranga mappa (L.) Muell.Arg., Macaranga tanarius (L.) Muell. Arg., Mallotus collumnaris, Mallotus ricinoides Muell.Arg., Melanolepis multiglandulosa Rich.f.et Zoll.multiglandulosa Rich.f.et Zoll. Homalium celebicum Koord., Homalium foetidum Benth., Flacourtia inermis Roxb
18
Gnetaceae
Gnetum gnemon L.
1
3
97
No
Famili
Nama Jenis
Jumlah Jenis 2
19
Hypericaceae
Cratoxylum celebicum Bl., Cratoxylum sp.
20
Lauraceae
6
21
Lechytidaceae
Actinodaphne areolata Blume. ,Cryptocarya bicolor Merr., Cryptocarya celebica Kosterm., Cryptocarya sp., Litsea albagara Vidas., Lindera sp. Planchonia valida Bl., Baringtonia acutangula Gaertn.
22
Leeaceae
Leea aculeata Bl., Leea angulata Korth., Leea indica (Burm. f.) Merr., Leea rubra Bl., Leea sp.
4
23
Leguminosae
Erythrina subumbrans (Hassk.) Merr., Saraca dectinata Miq.
2
24
Lythraceae
Lagerstroemia ovalifolia T.et B.
1
25
Magnoliaceae
Talauma candollei Bl.
1
26
Melastomataceae
Memecylon gibbosum Bakh.f
1
27
Meliaceae
Aglaia korthalsii Miq., Aglaia macrocarpa (Miq.) Pannel, Aglaia sexipetala Griff. Aglaia sp²., Chisocheton kingii Kooders., Artocarpus dadah Miq., Ficus forstenii Miq., Ficus minahassae (Teysm. et Vr.) Miq., Ficus nodosa T.et.B , Ficus pubinervis Bl., Ficus septica Burm. F., Ficus tenucuspidata Corner., Ficus variegata Bl., Paratrophis philippinensis F.N. Vill.
7
28
Moraceae
98 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
2
4
Potensi dan Strategi Pengelolaan….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
No
Famili
29
Myristicaceae
30 31
Myrsinaceae Myrtaceae
32 33 34
Nyctaginaceae Oxalidaceae Piperaceae
35 36
Rhamnaceae Rosaceae
37
Rubiaceae
38
Rutaceae
39
Sapindaceae
40
Sterculiaceae
Nama Jenis Gymnacranthera forbesii (King.) Warb., Gymnacranthera paniculata Warb., Horsfieldia braceata, Horsfieldia globularis Warb., Knema cinerea (Poir.) Warb., Knema tomentella (Miq.) Warb. Ardisia sp. Eugenia acuminatisima, Eugenia sp., Kjellbergiodendron celebicum Merr., Syzygium paucipunctata K.et.V.
Jumlah Jenis
5
1 6
Pisonia umbellifera (Forst.) Seem. Averrhoa blimbi L. Piper aduncum Linn. Zizypus angustifolius (Miq.) Hatusima Maranthes corymbosa Bl., Prunus arborea (Bl.) Kalkman.
1 1 1 1
Antochepalus sp., Ixora sp., Morinda bracteata Roxb., Neonauclea sp., Randia oppositifolia Kds., Tricalysia minahassae Comb.Nov., Euodia minahassae., Lunasia amara Blanco., Melicope sp., Zanthoxylum sp.
4
Alectryon ferrugineum (Blume.) Radlk., Elattostachys sipiliana., Harpullia arborea (Blanco.) Radlk., Leucosyke capitelata, Meliosma pinnata (Roxb.) Walp.
5
3
4
1
99
No
Famili
41
Sterculiaceae
42 43
Sonneratiaceae Sapotaceae
44 45 46
Thymelaceae Ulmaceae Urticaceae
47
Verbenaceae
Nama Jenis Heritiera arufurensis Kosterm., Kleinhovia hospita L., Pterocymbium javanicum R.Br., Pterospermum celebicum Miq., Sterculia comosa Wall., Sterculia insularis R.Br. Duabanga moluccana Bl. Palaquium obtusifolium Burck. Phaleria capitata Trema orientalis (L.) Bl. Dendrocnide microstigma (Gaud.ex Wedd.) Chew, Pipturus argentus., Villebrunea rubescens Bl. Clerodendron minahasa., Geunsia sp., Vitex quinata F.N.Vill., Vitex cofasus
Jumlah Jenis 6
1 1 1 1 3
4
Sebanyak 47 tujuh suku yang ada di CA Tangkoko, suku Euphorbiaceae merupakan suku dengan jumlah jenis tertinggi yaitu 11 jenis dan 7 marga. Menurut Whitmore 1995 dalam Djawarningsih (2007) dan Suryawan et all (2011) suku Euphorbiaceae merupakan suku dengan jumlah jenis terbanyak keempat dari lima suku tumbuhan berpembuluh di kawasan Malesia yaitu ada 1354 jenis dari 91 marga. Suku yang memiliki jumlah anggota jenis terbanyak kedua yaitu suku Moraceae dan Annonaceae masing - masing ada 7 jenis. Moraceae atau ficus-ficusan dicirikan dengan adanya getah putih dari kulitnya, sehingga mudah untuk dikenali. Setiap suku terdiri dari beberapa marga dan jenis. Namun Suku Ebenaceae yang ada di CA Tangkoko hanya memiliki satu jenis marga Diospyros atau eboni yang terdiri dari 8 jenis. Eboni pernah menjadi salah satu jenis primadona ekspor asli dari Sulawesi. Diospyros cukup menarik untuk dikaji karena beberapa referensi seperti Holtus dan Lam 1942,
100 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Potensi dan Strategi Pengelolaan….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
Clayton et all 1991, Lee et all 1998,1999, 2000 dan 2001 serta Djamaludin 1999 dalam Kinho et all. (2010) mengatakan bahwa di CA Tangkoko terdapat sepuluh jenis Diospyros atau eboni. Jenis tersebut antara lain Diospyros celebica, Diospyros buxifolia, Diospyros hebecarpa, Diospyros javanica,
Diospros
korthalsiana,
Diospyros
macrophylla,
Diospyros
maritime, Diospyros minahassae, Diospyros rumphii dan Diospyros sp. Namun hasil perjumpaan yang dilakukan dalam penelitian ini hanya mendapat delapan jenis dan tiga diantaranya belum pernah dilaporkan seperti D. cauliflora Blume, D. ebenum Koen, dan D. malabarica (Desr.) Kostel. Selain adanya 3 jenis baru, jenis yang tidak dijumpai dalam kegiatan ini adalah D. celebica, D. javanica dan D. buxifolia. Keanekaragaman yang menarik lainnya adalah bahwa kondisi ekosistem dalam kawasan terbentang dari pantai hingga puncak gunung Tangkoko dalam keadaan stabil dan unik. Di sekitar hutan pantai akan banyak didapati pohon dengan ukuran relatif pendek namun perakarannya sangat kuat seperti B. acutangula Gaertn. Jenis ini sangat kuat terhadap tekanan angin sehingga mampu menjadi barier. Pada ekosistem lebih kedalam akan banyak dijumpai pohon dengan ukuran besar dan bentuk yang megah seperti D. neglecta, D. pilosanthera, C. odorata, A. scholaris, B. arborescens, H. celebicum, P. obtusifolium, S. celastrinew dan S. campunulata, pada daerah puncak terdapat ekosistem hutan lumut yang sangat menarik karena setiap batang, cabang sampai daun pohon terselimuti lumut tebal sehingga membentuk suatu bangunan yang indah. III. POTENSI PEMANFAATAN JENIS-JENIS POHON DI CA TANGKOKO Potensi pemanfaatan beberapa jenis pohon antara lain sebagai berikut: 1) Sebagai tanaman obat
2) Beberapa jenis telah populer
dimanfaatkan buahnya sebagai bahan makanan 3) Beberapa jenis lainnya telah dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik 4) Sebagai bahan konstruksi, dan 5) Sebagai bahan baku pulp. Potensi tersebut tersaji dalam Tabel 2 di bawah ini.
101
Tabel 2. Jenis pohon dan potensi pemanfaatannya No 1
Potensi Pemanfaatan Obat-obatan
Jenis Pohon
Famili
Piper aduncum L
Piperaceae
Keterangan Kulit kayu, daun muda sebagi obat mata merah
Melanolepsis
Euphorbiaceae
multiglandulosa
Daun muda sebagai obat sakit kepala
Terminalia catappa L.
Combretaceae
Kulit kayu sebagai obat muntaber
Vitex quinata
Verbenaceae
Kulit kayu sebagai
Alstonia scholaris
Apocynaceae
obat penyakit
Garuga floribunda
Burseraceae
dalam, sakit pinggang dan habis tenaga
Ficus septica Burm f.
Moraceae
Akar sebagi obat penyakit gula.
2
Bahan
Canarium
hirsutum
Burseraceae
Populer sebagai
makanan dan
Willd
buah-buahan
Canarium asperum
Burseraceae
oleh masyarakat
Tricalysia
Rubiaceae
Sulawesi Utara
Gnetaceae
Bahan sayuran
bahan baku kue
minahassae Comb.Nov Gnetum gnemon Dracontomelon
dao
Anacardiaceae
Merr.et Rolfe
Sumber buah
Garcinia parviflora
Clusiaceae
Spondias dulcis
Anacardiaceae
Diospyros malabarica
Ebenaceae
102 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Potensi dan Strategi Pengelolaan……. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
No 3
Potensi Pemanfaatan Kosmetik
Jenis Pohon Cananga odorata
Famili Annonaceae
Hook. f. et Th.
Keterangan Bunga sebagai bahan baku minyak atsiri Ylang-ylang
Horsfieldia braceata
Myristicaceae
Kulit biji atau fuli
Gymnacranthera
Myristicaceae
dapat dimanfaatkan
paniculata Warb. Knema cinerea (Poir.)
Myristicaceae
kosmetik.
Warb. 4
sebagai bahan
Knema orientalis
Myristicaceae
Bahan
Drypetes neglecta
Euphorbiaceae
Di jumpai dengan
Konstruksi
Diospyros
Ebeneaceae
diameter 50 –
Alternatif
pilosanthera Bl
120 cm
Alstonia scholaris
Apocynaceae
Cananga odorata
Annonaceae
Hook. f. et Th. Dracontomelon dao
Anacardiaceae
Merr.et Rolfe Homalium foetidum
Flacourtiaceae
Benth. Koordersiodendron
Anacardiaceae
pinnatum Merr. Spathodea
Bignoniaceae
campanulata Canarium hirsutum
Burseraceae
Willd Vitex quinata F.N.Vill
Verbenaceae
Litsea sp.
Lauraceae
Santiria sp. 5
Pulp
Spathodea campanulata
Bignoniaceae
Mudah tumbuh diberbagai tempat hanya melalui batang/stek
103
1. Potensi Bahan Obat Keanekaragaman hayati Indonesia menyimpan potensi besar untuk dikembangkan sebagai bahan baku obat-obatan. Menurut Iwan 2011 dalam Vivanews (2011) mengatakan bahwa bahan baku obat dari produk dalam negeri belum dioptimalkan sebagai contohnya antibiotik masih terus diimpor. Hal ini berakibat pada kebijakan perdagangan obat, menurut Sudjarwadi 2011 dalam Kompas (2011) sebanyak 96 % bahan baku obat di Indonesia masih diimpor, terutama dari China. Penentuan beberapa jenis pohon sebagai bahan obat didasarkan pada informasi masyarakat setempat. Menurut Kinho et all. (2011), diketahui ada 7 jenis pohon dan beberapa jenis perdu serta liana yang ada di CA Tangkoko berkhasiat sebagai obat. Jenis-jenis pada Tabel 2 diatas telah menjadi bagian dari kearifan lokal masyarakat sebagai tumbuhan obat alami. Bagian-bagian dari tumbuhan tersebut biasanya direbus atau ditumbuk dan dicampur dengan jenis lainnya. Kearifan budaya masyarakat Minahasa juga menggunakan tumbuhan herbal sebagai bahan obat. Penelitian Kinho et all. (2011) diketahui beberapa jenis yang memiliki zat anti toksik atau anti kanker antara lain daun Lingkube (Dischidia imbricate), daun Yantan (Blumea chinensis) dan daun Kuhung-kuhung (Crotalaria striata). Kemungkinan jenis-jenis tersebut juga ada di CA Tangkoko. Melanolepsis
multiglandulosa
merupakan
jenis
dari
suku
Euphorbiaceae yang dimanfaatkan sebagai obat sakit kepala. Beberapa jenis yang lain dari suku Euphorbiaceae memiliki potensi yang cukup tinggi sebagai bahan obat sebagaimana laporan Agusta dan Chairul, 1995 dalam Djarwaningsih (2007), yang mengatakan bahwa jenis Codiaeum variegatum, Macaranga triloba, Drypetes longifolia dan Glochidion arborescens berpotensi sebagai anti virus HIV. Kemudian Mallotus paniculatus (Lam.) Mull. Arg. var. paniculatus air dari akar yang direbus dapat diminumkan untuk ibu-ibu sesudah proses melahirkan, daunnya sebagai obat demam; sedangkan indumentum daun mudanya dapat sebagai obat oles penis sesudah disunat. Beberapa jenis yang telah dilakukan penelitian secara farmakologi dan hasilnya cukup signifikan dengan pemanfaatannya secara empirik
adalah:
Acalypha
indica,
104 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Aleurites
moluccana,
Euphorbia
Potensi dan Strategi Pengelolaan……. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
antiquorum, E. heterophylla, Phyllanthus niruri dan Sauropus androgynus. Akar Acalypha indica dapat menurunkan kadar asam urat darah pada tikus putih jantan setara dengan alopurinol dosis 36 mg/200 gbb atau 200 mg untuk manusia (Azizahwati et al, 2005 dalam Djarwiningsih 2007). Suku Moraceae memiliki keragaman jenis yang cukup banyak diantaranya ficus-ficusan. Jenis ficus yang telah dimanfaatkan adalah F. septica yang digunakan masyarakat sebagai obat penyakit gula. Jenis Ficus yang telah ditemukan potensinya sebagai obat-obatan salah satunya adalah Artocarpus cumini, menurut Djunaedi dan Suzery (2004) memiliki potensi sebagai bahan kimia dan pemanfaatan bunganya oleh masyarakat sebagai bahan obat sakit gigi. 2. Bahan Makanan Masyarakat Sulawesi Utara sangat familiar dengan berbagai jenis makanan berbahan baku kenari (Canarium hirsutum Wild dan Canarium asperum) dan pakoba (Tricalysia minahassae Comb.Nov). Buah kenari banyak dijadikan tepung sebagai bahan pembuatan kue. Sedangkan pakoba banyak dimanfaatkan untuk membuat manisan. Produk ini sangat mudah kita jumpai di Sulawesi Utara. Bagian dari Gnetum gnemon dapat dimanfaatkan antara lain daun dan kulit buah sebagai bahan sayuran sedangkan bijinya dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan emping atau keripik. Menurut Uji (2005) sayur Gnetum gnemon dapat dicampur dengan makanan balita dan dipercaya dapat meningkatkan kecerdasan. Jenis-jenis pohon penghasil buah yang ada di CA Tangkoko merupakan sumber pakan bagi Macaca nigra atau Yaki dan berbagai burung. Sedikitnya ada 14 suku jenis pohon yang menjadi sumber pakan Yaki antara lain Anacardiaceae, Annonaceae, Apocynaceae, Burseraceae, Combretaceae,
Ebenaceae,
Euphorbiaceae,
Gnetaceae,
Guttiferae,
Lauraceae, Leeaceae, Moraceae, Myrtaceae, Verbenaceae. Menurut Uji (2005) jenis-jenis pohon dari suku Anacardiaceae dan Clusiaceae merupakan jenis-jenis yang cukup penting sebagai sumber plasma nutfah
105
buah-buahan. Beberapa jenis yang tercantum dalam Tabel 2 memiliki rasa yang cukup enak dan daging buah yang tebal. 3. Kosmetik Indonesia merupakan penghasil bahan bahan kosmetik yang cukup besar di pasar internasional. Menurut Ernest (1987) Indonesia memiliki sekitar 40 jenis dari 70 macam tanaman penghasil minyak atsiri di dunia. Indonesia terkenal dengan minyak kenanga, akar wangi, nilam, cendana, cengkeh, sereh wangi dan pala. Namun budidaya dan industri ini hanya terpusat dibeberapa daerah saja. Sulawesi Utara belum begitu banyak dikembangkan hanya minyak kayu lawang yang telah banyak dikembangkan oleh masyarakat dalam skala kecil. Kenanga (Cananga odorata) dan beberapa jenis pala hutan (Famili Miristicaea) sangat mudah dijumpai di kawasan CA Tangkoko, sehingga saat memasuki kawasan akan mudah menjumpai aroma wangi bunga kenanga. Kenanga lebih dikenal dengan minyak Ylang-ylang memiliki kegunaan antara lain sebagai bahan pewangi, anteseptik, penyedap, dan penetralisir. Berbagai jenis pala selain sebagai penyedap makanan juga menjadi bahan kosmetik dengan memanfaatkan kulit bijinya (Fuli). Fuli merupakan selimut biji yang berbentuk anyaman disebut sebagai bunga pala dan setalah kering banyak di ekspor ke luar negeri sebagai bahan kosmetik (Menristek, 2000). Jenis pala yang ada di CA Tangkoko merupakan jenis yang produksinya kurang banyak. Namun tidak menutup kemungkinan memiliki potensi khusus karena penelitian tentang beberapa jenis pala yang ada di Sulawesi Utara pada umumnya masih relatif sedikit. 4. Pulp Pulp merupakan hasil pemisahan serat sellulosa dan lignin dari suatu tumbuhan. Pohon merupakan salah satu tumbuhan penghasil sellulosa dan berpotensi tinggi untuk menghasilkan dalam jumlah masal. Pengembangan hutan tanaman industri pulp menggunakan jenis kayu yang cepat tumbuh sehingga volume sellulosa yang dihasilkan akan lebih banyak dalam waktu yang singkat seperti Acacia mangium.
106 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Potensi dan Strategi Pengelolaan……. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
Spatudea (S. campanulata) merupakan jenis yang mudah tumbuh distribusi areanya sangat luas, memiliki pertumbuhan yang cepat, tinggi mencapai
35
m,
memiliki
biji
mencapai
125.000/kg,
mudah
dikembangbiakan secara vegetatif, dapat menjadi hiasan pemandangan, dan peneduh (Anonim. 2011). Karena sifat-sifat mudah tumbuh dan memiliki sebaran wilayah yang sangat luas, maka perkembangbiakannya akan mudah untuk dilakukan. Namun sampai saat ini informasi tentang sifat-sifat kayunya masih sangat minim. 5. Bahan Konstruksi Alternatif Kayu sebagai bahan konstruksi memiliki syarat-syarat tertentu agar didapatkan suatu bangunan yang sesuai dengan tujuannya. Beberapa syarat yang harus dipenuhi menurut Surjokusumo 1982 dalam Abdurachman & Hadjib (2006) antara lain kerapatan, kembang susut, kekuatan dan keawetannya. Kualitas kayu sendiri dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan. Menurut Baker et all (1998) tempat tumbuh mempengaruhi laju pertumbuhan pohon sehingga pada akhirnya berat jenis dan sifat lainnya akan bervariasi. CA Tangkoko merupakan ekosistem hutan primer dan sebagai kecil hutan sekunder dengan kondisi iklim tipe B dengan curah hujan 2.279 cm/tahun, sehingga suhu dan kelembaban selalu terjaga. Hal ini menjadikan beberapa jenis pohon mengalami pertumbuhan yang optimal. Sebelas jenis yang terdapat di Tabel 2 adalah jenis dengan diameter diatas 50 cm dengan kelimpahan yang cukup banyak. Hasil wawancara masyarakat setempat memanfaatkan kayu Vitex quinata dan Dracontomelon dao sebagai bahan baku pembuatan kapal. Khusus untuk Diospyros pilosanthera yang dijumpai memiliki diameter antara 30 dilakukan pengujian sifat fisika mekanikanya diperoleh berat jenis rata-rata 0,608 dengan kisaran antara 0,548 sampai 0,667, MOE (Modulus of Elasticity) sebesar 132.230 kg/cm2 dan MOR (Modulus of Repture) sebesar 1.025,57 kg/cm2. Nilai-nilai ini menurut Den Berger 1923 dalam Idris (2008) termasuk dalam kelas kuat II. Namun dilihat dari nilai MOR, D. pilosanthera mendekati kelas kuat I karena kisaran kelas kuat satu
107
memiliki MOR diatas 1.100 kg/cm2. Bila dibandingkan dengan jati (Tectona grandis) dengan berat jenis 0,67 dan MOR 1.031 kg/cm2, D. pilosanthera memiliki bj lebih rendah namun sifat – sifat hampir menyamai jati. IV. STRATEGI PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA Cagar Alam Tangkoko merupakan kawasan konservasi mendapat perlindungan melalui peraturan pemerintah. Perlindungan dilakukan terhadap setiap jenis flora dan fauna serta ekosistem yang ada. Namun dengan melihat potensi yang tinggi, perlu dilakukan pengelolaan secara holistik
dan
berkelanjutan.
Prinsip
dan
strategi
pengelolaan
keanekaragaman hayati menurut Supriatna (2008) ada tiga yaitu : Save atau perlindungan dapat dijabarkan suatu usaha pengelolaan, legislasi, perjanjian internasional dan sebagainya. Perlindungan ini meliputi konservasi genetik, spesies dan ekosistem. Menurut Indrawan dkk (2007), konservasi genetik adalah usaha pelestarian dalam tingkat gen dalam satu jenis. Hal ini penting karena setiap individu dalam satu jenis memiliki sifat yang berbeda, sehingga di beberapa negara maju pengembangan jenis tanaman dilakukan berbasis gen. Konservasi spesies adalah usaha pengawetan jenis-jenis flora dan fauna yang ada sedangkan konservasi ekosistem adalah upaya mengamankan suatu areal habitat yang membentuk ekosistem sehingga tidak terjadi gangguan. Hal ini dilakukan karena ekosistem tersebut memiliki nilai penting. Study atau penelitian dapat meliputi penelitian dasar seperti keragaman spesies, habitat, komunitas, ekosistem, perilaku dan ekologi spesies. Menurut Supriatna (2008) penelitian yang dilakukan hendaknya mampu mendorong agar pemanfaatan sumberdaya hayati dapat lestari dan berlanjut sesuai dengan cita-cita manusia. Penelitian yang mendukung upaya
pelestarian
adalah
penelitian
etnobiologi,
bioteknologi,
bioprospecting, carrying capacity, dampak ekowisata, bahkan sampai bagaimana kita dapat memanen biota secara lestari. Penelitian lainnya berfokus pada pendalaman materi biologi konservasi, pola fragmentasi
108 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Potensi dan Strategi Pengelolaan……. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
hutan, metapopulasi spesies yang langka, keystone atau spesies kunci, restorasi hutan, laut dan bekas tambang. Use atau pemanfaatan direncanakan untuk program-program manfaat bagi masyarakat, berbagai komoditi perdagangan, wisata dan jasa. Pendekatan ini lebih bersifat holistik atau menyeluruh, dengan harapan perlindungan terhadap spesies mampu dilakukan dan tidak meninggalkan aspek manfaat. Pemanfaatan dapat dilakukan dengan domestikasi dimulai dari jenis yang prioritas yaitu jenis yang telah diketahui pemanfaatannya, endemik, dan status terancam punah. Pemanfaatan sumber plasma nutfah diizinkan sesuai dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1990 yang menyebutkan bahwa di Cagar Alam dapat dilakukan kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan yang menunjang budidaya. Kegiatan yang menunjang budidaya adalah dapat dilaksanakan dalam bentuk penggunaan plasma nutfah yang ada di kawasan untuk menunjang pemuliaan jenis dan penangkaran. Plasma nutfah adalah unsur-unsur gen yang menentukan sifat kebakaan suatu jenis. Dalam
dunia satwa menurut
Supriatna (2008)
pemanfatan
biodiversity satwa di Indonesia adalah penangkaran, sedikitnya ada 31 perusahaan penangkaran dan telah berhasil membudidayakan dan telah menjadi komoditi. Sejak tahun 1984 sebanyak 12 spesies telah berhasil dikembangkan termasuk buaya, ikan arwana (Kalimantan dan Papua), beberapa jenis primata khususnya monyet ekor panjang dan beruk, 33 penangkaran bersifat restocking seperti anoa (Sulawesi), rusa, kijang, banteng, badak, jalak Bali dan berbagai jenis penyu. Hasil teknologi penangkaran ada yang diorentasikan menjadi komoditi seperti buaya, ikan arwana, primata, reptil, dan monyet. Teknologi penangkaran sangat penting secara ekonomis memiliki potensi untuk ekspor dan bagi satwa yang memerlukan perhatian khusus (langka). Dunia flora memiliki daya tahan yang lebih tinggi terhadap kepunahan dibanding dengan satwa. Budaya medis kekinian adalah telah meninggalkan bahan obat-obatan sintetis dan kembali ke alam khususnya flora atau nabati. Bukan tidak mungkin dari 147 jenis pohon yang ada
109
memiliki potensi yang tidak pernah terfikirkan sebelumnya. Sehingga pada saat ini hal yang paling utama dilakukan adalah upaya penyelamatan plasma nutfah yang ada serta penelitian hasil hasil hutan dan domestikasinya. Usaha domestikasi tumbuh-tumbuhan telah dilakukan oleh Taman Nasional Merubetiri bersama masyarakat. Kegiatan bersama masyarakat atau social forestry dalam pengelolaan keanekaraman hayati kawasan konservasi telah banyak berkontribusi bagi kesejahteraan masyarakat dan meningkatkan perlindungan kawasan (Subaktini, 2006). V. KESIMPULAN Pokok pokok tulisan ini disimpulkan antara lain 1. Jenis-jenis yang ada dapat dimanfaatkan plasma nutfahnya lebih lanjut antara lain dalam bidang: a. Obat-obatan, (P. aduncum, M. multiglandulosa, T. catappa, A. scholaris, G. floribunda dan F. septic) b. Bahan baku konstruksi, (D. neglecta, D. pilosanthera, A. scholaris, C. odorata, D. dao, H. foetidum, K. pinnatum, S. campunulata,V. quinata, Liitsea sp. dan Santiria sp) c. Bahan makanan, (C.hirsutum, C. asperum, T. minahassae, d. Bahan pulp, (S, campunulata) dan e. Bahan baku kosmetik (C. odorata, H. bracheata, G. panniculata, K. cinnerea dan K. orientalis. 2. Pengelolaan keanekaragaman ini dapat dilakukan dengan pendekatan yang bersifat holistik yaitu upaya konservasi, penelitian dan pemanfaatan secara berkesinambungan sumber plasma nutfah dengan tidak meninggalkan sifat-sifat asli genetik. Rekomendasi bagi pengelola adalah masih banyak kegiatan yang potensial untuk dilakukan di CA Tangkoko sebagai upaya pengelolaan yang lestari, yang ada melalui domestikasi, penangkaran dan perlindungan plasma nutfah yang ada.
110 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Potensi dan Strategi Pengelolaan……. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2011. A tree species reference and selection guide, Spathodea campanulata. http://www.worldagroforestrycentre.org/sea/products/afdbases/af /asp/SpeciesInfo.asp?SpID=1539. Diakses pada tanggal 27 Januari 2012. Abdurachman & Hadjib, N. 2006. Pemanfaatan Kayu Hutan Rakyat Untuk Komponen Bangunan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan Halaman 130 – 148. Baker, F.S., Theodore W.D., Jhon.A.H., 1992. Prinsip-prinsip Silvikultur edisi ke dua. Gadjah Mada Press. Yogyakarta Colchester, M. 2009. Menyelamatkan Alam: Penduduk Asli Kawasan Perlindungan dan Konservasi Keanekaragaman Hayati. Uruguay. World Rainforest Movement International Secretariat. Djawarningsih, T. (2007). Jenis-Jenis Euphorbiaceae (Jarak-Jarakan) Yang Berpotensi Sebagai Obat Tradisional. Puslit Biologi-LIPI. Cibinong. Djunaedi, M.C. dan Suzery, M. 2004. Isolal triterpenoid dari bunga artoearpus communis (familia' Moraceae). Jurnal Alchemy. LIPI. Bogor. Diakses dari http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/31041519.pdf tanggal 24 januari 2012. Dumanauw, J. F.. 1990. Mengenal Kayu.Yogyakarta: Kanisius Ernest, G. 1987. Tanaman Minyak Atsiri Jilid I. Jakarta. UI-Press. Terjemahan. Indrawan, M., Primak, R.B., dan Supratna, J. 2007. Biologi Konservasi. Ed Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Idris, et all. 2008. Handbook of Selected Indonesian Wood Species. Puslitbang Hasil Hutan. Bogor. Kinho, J., et all. 2010. Laporan Hasil Penelitian:Kajian Habitat Dan Populasi Jenis-Jenis Eboni (Diospyros spp.) pada Kawasan Konservasi di C.A.
111
Tangkoko, T.N. Bogani Nani Wartabone dan T.N. Aketajawe Lolobata. Manado: Balai Penelitian Kehutanan Manado (tidak diterbitkan) Kinho, J., Arini. D.W., Nuranni, L.. 2011. Laporan Hasil Penelitian Program Insentif Menristek : Kajian Potensi Tumbuhan Hutan Sebagai Obat Anti Kanker. Manado :Balai Penelitian Kehutanan Manado. Kinho, J. et all. 2010. Domestikasi Tumbuhan Obat Tradisional di Sulawesi Utara. Laporan Hasil Penelitian. Balai Penelitian Kehutanan Manado Kompas, 2011. Ketergantungan Bahan Baku Obat Impor Dikikis. Lusia Kus Anna | Kamis, 1 Desember 2011 diakses dari http://health.kompas.com/read/2011/12/01/ 06300049/Ketergantungan.Bahan.Baku.Obat.Impor.Dikikis diakses tanggal 14 januari 2012 Martawijaya, dkk. 1981. Atlas Kayu Indonesia. Jilid I. Kerjasama Balai Penelitian Hutan dan Balai Penelitian Hasil Hutan . Bogor. Menristek, 2000. Pala (Myristica fragans haitt). Jakarta : Deputi Mendegristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyarakatan Ilmu pengetahuan dan Teknologi. Diakses dari http://www.warintek.ristek.go.id/pertanian/pala.pdf diakses tanggal 14 januari 2012 Subaktini, D. 2006. Analisis Sosial Ekonomi Masyarakat Di Zona Rehabilitasi Taman Nasional Meru Betiri, Jember, Jawa Timur. Forum Geografi, Vol. 20, No. 1, Juli : 55 – 67 Supriatna, J. 2008. Menyelamatkan Alam Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia , J. 2011. Seminar Nasional “Konservasi dan Pengelolaan Sumber Hayati Serta Pembelajarannya Menuju Pembangunan Indonesia yang Berkarakter”. Understanding Indonesia’s Biodiversity: Toward the Development of Better Conservation Biology. Yogyakarta: UNY Suryawan, A., Kinho, J. dan Mayasari, A. 2012. Keragaman Jenis dan Potensi Suku Euphorbiaceae di Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Buku Panduan International Forestry Research. Bogor. 112 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Potensi dan Strategi Pengelolaan……. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
Uji, T. 2005. Keanekaragaman dan Potensi Flora di Cagar Alam Muara Kendawangan, Kalimantan Barat. Biodiversitas. Volume 4. No. 1. Hal. 112-117. Vivanews. 2011. UGM: 96 Persen Bahan Baku Obat adalah Impor. Rabu, 30 November 2011 Di Akses Dari http://teknologi.vivanews.com /news/read/268492-ugm--96-persen-bahan-baku-obat-adalah-impor diakses tanggal 13 januari 2012
113
114 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Teknik Budidaya Jabon Merah……. Hanif Nurul Hidayah
TEKNIK BUDIDAYA JABON MERAH (Anthocephalus macrophyllus (ROXB.) Havil) Hanif Nurul Hidayah Balai Penelitian Kehutanan Manado Jalan Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email :
[email protected]
RINGKASAN Jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (ROXB). Havil), atau yang lebih dikenal dengan nama daerah Karumama (Sulawesi Utara) dan Samana (Maluku) ini merupakan salah satu kayu unggulan dari Indonesia Timur khususnya di daerah Sulawesi, Maluku dan Papua. Perkembangannya yang cukup bagus membuat kayu ini sangat diminati oleh masyarakat. Jabon merah memiliki produktivitas yang 3 cukup tinggi, pertambahan volume kayunya bisa mencapai 20-25 m /ha/tahun selama 6-8 tahun pertama. Kualitas kayu jabon merah berada pada kelas kuat III dan kelas awet IV-V. Karenanya banyak masyarakat memanfaatkan kayu cepat tumbuh ini sebagai bahan baku furniture, kayu lapis dan bahkan sebagai kayu konstruksi. Dengan didukung teknik silvikultur yang tepat, keberadaan kayu jabon merah saat ini diharapkan bisa memenuhi kebutuhan kayu nasional dan meningkatkan nilai ekspor kayu Indonesia. Tulisan ini merupakan tulisan tentang teknik silvikultur jabon merah yang meliputi aspek perbenihan, pembibitan, pemeliharaan bibit, hingga penanaman di lapangan yang dirangkum dari beberapa sumber, dan diharapkan dapat menjadi pedoman dan informasi awal untuk melakukan budidaya dan konservasi jenis jabon. Kata kunci: Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (ROXB). Havil), Teknik Budidaya, Silvikultur
I. PENDAHULUAN Jabon merah (Anthocephalus macrophyllus (ROXB).Havil) merupakan jenis kayu yang memiliki pertumbuhan sangat cepat dan bisa tumbuh dengan baik di hutan tropis pada ketinggian 10 – 1000 mdpl. Jabon merah merupakan jenis tanaman pionir yang mampu tumbuh pada jenis-jenis tanah lempung, podsolid coklat dan aluvial lembab.
115
Jabon merah termasuk dalam famili Rubiaceae dan memiliki banyak nama daerah. Di Sulawesi Utara kayu ini dikenal dengan nama Karumama, dan di Maluku Utara dikenal dengan nama Samama. Penyebaran jabon merah meliputi wilayah Sulawesi, Maluku dan Papua. Kayu ini menjadi unggulan produk industri dan memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan jenis kayu keras lainnya termasuk bila dibandingkan dengan sengon. Jabon merah memiliki bentuk batang yang silindris, lurus dan hampir tanpa cabang. Sebagai bahan baku industri perkayuan, jabon merah ini memiliki banyak keunggulan, antara lain memiliki tekstur halus dan arah serat yang lurus. Kayu jabon merah termasuk dalam kelas awet IV-V dan kelas kuat III sehingga banyak dimanfaatkan sebagai bahan baku industri plywood ataupun furniture. Perbanyakan bibit jabon merah ini tergolong mudah, namun tetap memerlukan ketelatenan yang tinggi. Teknik silvikultur yang tepat terhadap jabon merah diharapkan mampu menjadi solusi yang tepat dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat ataupun industri akan kayu yang berkualitas tinggi. II. MATERI GENETIK JABON Jabon merah mulai memasuki musim berbunga pada bulan Januari Juni dan akan memasuki masa masak buah bulan Maret-Juni. Pemanenan buah yang akan dimanfaatkan bijinya sebagai sumber benih dipilih dari buah yang sudah masak fisiologis. Buah yang sudah tua akan memiliki tingkat keberhasilan yang tinggi di persemaian. Ciri-ciri buah jabon merah yang sudah masak antara lain memiliki kulit buah berwarna kuning dengan rambut-rambut pada permukaan buah yang sudah mulai mengering kadang-kadang sampai rontok. Ukuran biji jabon sangat kecil, bisa mencapai 26.182.000 butir per kg atau 23.707.000 per liternya (Mansur dkk, 2010). Biji jabon merah dapat diperoleh dengan cara mengekstrasi buahnya. Ada 2 (dua) cara ekstraksi yang sering dilakukan untuk memperoleh bijinya, yaitu ekstraksi kering dan ekstraksi basah. Biji-biji yang telah dihasilkan bisa disimpan dalam plastik, di lemari pendingin untuk mempertahankan viabilitasnya. Biji jabon yang
116 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Teknik Budidaya Jabon Merah……. Hanif Nurul Hidayah
disimpan dengan kondisi tersebut bisa bertahan sampai 1-2 tahun dengan daya kecambah 300-1200 kecambah per 0,1 gram benih. III. PERSEMAIAN Menyemaikan biji jabon bukanlah hal yang mudah, media semai harus disiapkan secara matang dan dipastikan steril untuk menghindari serangan hama penyakit terutama jamur. Media semai yang dipakai bisa berasal dari pasir yang sudah disemprot fungisida dan disiram air sampai keadaan jenuh. Kemudian biji baru ditabur, media semai harus dalam keadaan lembab tetapi tidak boleh berlebihan air supaya biji tidak busuk. Biji jabon yang disemai akan mulai berkecambah setelah 7-15 hari dan akan mulai merata setelah 30 hari penaburan. Pemeliharaan pada masa ini dilakukan dengan penyiraman menggunakan air biasa setiap harinya dan menggunakan air dicampur dengan fungisida pada setiap minggunya. Pemindahan bibit jabon ke polybag dapat dilakukan pada saat bibit sudah setinggi 3-5 cm atau saat daun sudah selebar kuku kelingking. Bibit yang sudah dipindah ke polybag ditata pada bedeng sapih dengan intensitas naungan 65% dan dikurangi intensitasnya secara berkala sampai bibit berumur 4-5 bulan atau setinggi ± 30 cm. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi etiolasi pada bibit. Media sapih yang biasa digunakan adalah campuran tanah:pasir:pupuk kompos sebanyak 7:2:1. Tidak jauh berbeda dengan masa perkecambahan, bibit yang sudah disapih juga memerlukan pemeliharaan, yaitu dengan cara penyiraman menggunakan air setiap harinya dan campuran air dengan fungisida setiap minggunya. Pemupukan dengan menggunakan pupuk NPK juga diperlukan ketika bibit sudah mulai berumur 2 minggu sampai 3 bulan penyapihan. IV. PENANAMAN Bibit jabon siap tanam ketika batangnya cukup berkayu dan mencapai tinggi 25 – 30 cm. sebelum melakukan penanaman, persiapan lahan perlu dilakukan untuk memberikan ruang tumbuh maksimal bagi bibit tanaman. Persiapan lahan ini secara umum meliputi kegiatan pembersihan lahan, pengolahan tanah dan pembuatan lubang tanam ukuran 30 cm x 30 cm x 30 cm. Penanaman di lapangan paling bagus jika dilakukan pada
117
musim penghujan disaat frekuensi curah hujan cukup tinggi. Waktu terbaik untuk menanam pohon yaitu pagi hari jam 07.00 – 10.00 dan sore hari jam 15.00 – 17.00. Pengaturan jarak tanam juga diperlukan, hal ini disesuaikan dengan tujuan penanaman dan kondisi tanah. Tujuan penanaman untuk kayu pulp bisa menggunakan jarak tanam 2 m x 2 m atau 3 m x 2 m. Jika kayu diperuntukkan sebagai penghasil kayu pertukangan bisa digunakan jarak tanam 3 m x 3 m. Sistem tumpang sari atau agroforestry juga bisa diterapkan dalam penanaman jabon, dan biasanya menggunakan jarak tanam 5 m x 5 m, 6 m x 3 m, atau bahkan 10 m x 10 m. Penanaman jabon pada tanah yang subur biasanya dibuat dengan jarak tanam yang lebih lebar, karena bibit akan sangat cepat pertumbuhannya sehingga diperlukan penjarangan yang tidak komersial. Sedangkan pada tanah yang kurus, penanaman dilakukan dengan menggunakan jarak tanam yang rapat sehingga tanah cepat tertutup dan erosi dapat dikurangi sehingga kesuburan tanah tidak semakin menipis. V. PEMELIHARAAN Penanaman pohon akan sia-sia jika tidak dibarengi adanya pemeliharaan. Pemeliharaan tanaman di lapangan dapat dilakukan dengan penyulaman, pendangiran, penyiangan, pemangkasan, penyiraman dan pemupukan. Pada tanaman jabon, diawal penanaman perlu juga dilakukan penyemprotan pestisida setiap 1 – 2 minggu dengan dosis 0,5 liter untuk larutan 500 liter air per hektar sampai umur 3 – 4 bulan. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari serangan ulat pada daun mudanya. Penyulaman pada tanaman jabon dilakukan satu bulan setelah penanaman, yaitu pada tanaman yang mati atau tidak sehat. Untuk mengetahui tanaman perlu disulam atau tidak dapat dilakukan dengan cara melukai kulit batang dekat pangkal batang. Jika masih berwarna hijau, berarti bibit masih bisa bertahan hidup, namun jika sudah kering atau busuk berarti bibit benar-benar perlu diganti. Penyulaman baik dilakukan pada saat menjelang hujan atau pada pagi hari untuk mempermudah pertumbuhan bibit yang baru disulam. Bibit baru yang digunakan untuk
118 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Teknik Budidaya Jabon Merah……. Hanif Nurul Hidayah
sulaman sebaiknya sehat dan memiliki umur yang sama dengan bibit yang diganti. Kegiatan penyiangan diperlukan untuk menghilangkan gulma yang tumbuh disekitar tanaman. Penyiangan pada tanaman jabon, dilakukan sampai umur ± 1 tahun, yakni ketika tinggi pohon sudah melebihi tinggi gulma. Penggunaan herbisida untuk menyiangi gulma pada tanaman jabon perlu hati-hati dan diperlukan uji coba lebih dulu terhadap dosis pemakaiannya, karena tanaman jabon sangat sensitif terhadap penggunaan herbisida. Untuk mendapatkan jabon dengan kualitas kayu yang baik, diperlukan juga pemangkasan untuk meminimalkan cabang dan mata kayu. Meskipun jabon termasuk jenis tanaman yang memiliki kemampuan self pruning, namun biasanya dalam hal-hal tertentu pemangkasan perlu dipercepat misalnya pada tegakan jabon yang ditanam dengan pola agroforestry. Hal penting yang harus dilakukan dalam pemeliharaan tanaman jabon adalah pemupukan dan penyiraman. Pada tanaman jabon, penyiraman akan membantu meningkatkan produktifitasnya terutama pada musim kemarau. Sedangkan pemupukan sendiri bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan tanaman. Pemupukan bisa dilakukan dengan menggunakan pupuk kandang dan NPK yang diberikan pada awal penanaman. Pada jabon umur 6 bulan bisa diberikan pupuk urea dengan dosis 50 g per tanaman, dan dapat ditingkatkan menjadi 80 g per tanaman pada tahun ketiga (Mansur dkk, 2010). Dalam pertumbuhan tanaman jabon tidak akan lepas dari serangan hama penyakit, untuk itulah pengendalian hama penyakit harus dilakukan sejak dini. Hama yang sering menyerang tanaman jabon merah antara lain serangga, rayap, bekicot dan semut, sedangkan untuk penyakit yang sering menyerang adalah dumping off yang disebabkan oleh cendawan Fusarium spp., Rhizoctonia spp., dan Pythium spp.
119
VI. PENUTUP Kayu jabon merah atau samama merupakan kayu unggulan yang banyak diburu masyarakat akhir-akhir ini. Tanpa adanya budidaya dan konservasi yang benar terhadap kayu ini akan menimbulkan kerusakan dan kelangkaan pada jenis jabon merah. Pola budidaya jabon merah ini dapat diterapkan pada hutan tanaman industri ataupun hutan tanaman rakyat yang bisa diaplikasikan dengan sistem tumpang sari atau agroforestry. Jabon merah adalah salah satu jenis kayu pertukangan yang digadang bisa menjadi pengganti kayu sengon yang dewasa ini banyak terserang penyakit karat tumor sehingga banyak mengalami kegagalan dalam budidayanya. Jenis kayu ini juga diharapkan dapat menjadi alternatif untuk mengatasi pembalakan liar dan dapat memenuhi kebutuhan kayu nasional serta meningkatkan nilai ekspor kayu Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Anonym. 2011. Jawaban Atas Pertanyaan dari Jabon. http://jabon.web.id/tag/jabon-merah. Diakses tanggal 3 Januari 2012. Halawane J.E., Hanif N.H., J.Kinho. 2011. Prospek Pengembangan Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (Robx.) Havil), Solusi Kebutuhan Kayu Masa Depan. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. Jaya, Purnomo. 2010. Emas Hijau Bernama Jabon. Cemerlang Publishing. Yogyakarta. Mansur, I., dan F.D. Tuheteru. 2010. Kayu Jabon. Penebar Swadaya. Jakarta Martawijaya A., Iding K., Y.I. Mandang, Soewanda A.P, dan Kosasi K. 1989.Atlas Kayu Indonesia Jilid II.Badan Litbang Kehutanan Indonesia. Bogor. Windi Artaji. 2011. Agroforestry - Jabon Merah Samama (Anthocephalus macrophylla). http://ekonomi.kompasiana.com/agrobisnis/2011/11/29/agrofores try-jabon-merah-samama-anthocephalus-macrophylla. Diakses tanggal 23 November 2011.
120 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Sumber Pakan Alami……. Diah Irawati Dwi Arini dan Yermias Kafiar
IDENTIFIKASI SUMBER PAKAN ALAMI ANOA (Bubalus spp.) DI SUAKA MARGA SATWA NANTU Diah Irawati Dwi Arini dan Yermias Kafiar Balai Penelitian Kehutanan Manado Jalan Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas, Kec. Mapanget Manado Telp : (0431) 3666683, e-mail :
[email protected]
RINGKASAN Di Sulawesi, populasi anoa saat ini diperkirakan tidak kurang dari 2.500 individu dewasa dengan laju penurunan populasi selama kurang lebih 14 tahun mencapai 20% dan akan terus mengalami peningkatan jika tidak ditangani secara tepat dan cepat. Upaya untuk mendomestikasi anoa telah dilakukan sejak lama, namun belum berhasil secara maksimal. Salah satu kegiatan yang dilakukan untuk mendukung upaya tersebut adalah kegiatan uji coba pakan serta analisis kandungan nutrisi pakan terutama untuk jenis pakan yang berasal dari habitat alaminya. Di beberapa lokasi di Sulawesi yaitu Tenggara dan Buton, Selatan, dan Tengah, penelitian pakan alami anoa ini telah berkembang namun khusus di Sulawesi Bagian Utara dan Gorontalo, kegiatan ini masih sangat minim dilakukan. Tujuan dari penelitian ini adalah mengumpulkan informasi terkait dengan pakan anoa di alam khususnya di Suaka Margasatwa Nantu. Sumber informasi diperoleh melalui masyarakat setempat dan bekas renggutan pakan anoa di lokasi penelitian. Metode eksplorasi digunakan pada dua blok pengamatan yaitu Adudu dan Hatibi. Sebanyak 30 jenis tumbuhan teridentifikasi sebagai pakan Anoa yang terbagi dalam 23 famili. Famili zingiberaceae memiliki jumlah jenis paling tinggi sebanyak tiga jenis. Jenis tumbuhan tingkat herba mendominasi habitus tumbuhan pakan yaitu sebanyak 15 jenis. Daun merupakan bagian yang paling banyak dimakan yaitu sebanyak 21 jenis. Hasil analisis kandungan nutrisi pakan yang dilakukan di Laboratorium Nutrisi Ternak UNSRAT Manado pada jenis pakan yaitu Elatostema sp. mengandung 12,84%lemak kasar, 16,79% protein, 8,17% abu dan 35,81% serat kasar sedangkan jenis Alpinia mutica mengandung 84,61% kadar abu, 17,67% lemak kasar, 26,47% protein, 26,11% abu dan 24,34% serat kasar. Kata kunci : Nantu, Hatibi, Adudu, Pakan, Anoa
121
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anoa merupakan satwa endemik Sulawesi yang keberadaannya kini mulai diambang kepunahan. Populasi anoa di alam diperkirakan tidak kurang dari 2.500 individu dewasa dengan laju penurunan selama kurang lebih 14-18 tahun hampir mencapai 20% (www.iucnredlist.org, 2011). Satwa ini tersebar di seluruh daratan Sulawesi hingga Pulau Buton. Jumlah spesies anoa hingga saat ini masih diperdebatkan oleh para ahli taksonomi. Ada yang berpendapat bahwa terdapat dua spesies anoa yaitu dataran rendah (Bubalus depressicornis) dan anoa gunung (Bubalus quarlesi), (Harper, 1945; Groves 1969; Honacki et al, 1982; Corbet & Hill, 1992; Wilson dan Reeder, 1993). Namun ada juga yang berpendapat bahwa anoa hanya satu spesies dengan dua atau tiga sub spesies yaitu Bubalus depressicornis depressicornis, Bubalus depressicornis quarlesi, Bubalus depressicornis fergusoni (Dolan 1965; Fradrich 1973; Weise, 1979) Sedangkan Nawangsari dan Hidayat (1996) menyatakan ada kemungkinan lebih dari dua spesies anoa Sulawesi berdasarkan analisis jumlah kromosom terhadap sembilan anoa dari kebun binatang dan lima anoa dari Sulawesi Tengah. Namun klasifikasi yang banyak dianut hingga saat ini adalah anoa dataran rendah atau Bubalus depressicornis (H. Smith 1827) dan anoa dataran tinggi atau Bubalus quarlesi (Ouwens, 1910) (Dephut, 2010). Perbedaan kedua spesies ini berdasarkan pada karakteristik morfologi dan habitat. Secara morfologi, tubuh Anoa mirip dengan kerbau, bentuk kepala menyerupai kepala sapi (Bos), kaki dan kuku menyerupai banteng (Bos sondaicus). Pada kaki bagian depan (metacarpal) berwarna putih atau mirip sapi bali namun mempunyai garis hitam ke bawah. Tanduk mengarah ke belakang menyerupai penampang yang bagian dasarnya tidak bulat seperti tanduk sapi melainkan menyerupai bangun segitiga seperti tanduk kerbau. Perbedaan bentuk tanduk, lebih sering digunakan sebagai pembeda kedua spesies tersebut. Anoa dataran rendah memiliki tanduk berbentuk bulat, tekstur kasar dan pada bagian pangkal berbentuk segitiga yang pipih dan terdapat “wrinkeld”. Sedangkan anoa dataran tinggi tanduk berbentuk kerucut yang rata dan ditandai dengan tidak adanya “wrinkeld” 122 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Sumber Pakan Alami……. Diah Irawati Dwi Arini dan Yermias Kafiar
Berbagai upaya telah dilakukan untuk melestarikan anoa melalui kegiatan penangkaran dengan harapan satwa ini nantinya akan dapat dibudidayakan menjadi hewan ternak. Studi mengenai pakan anoa di penangkaran telah dilakukan oleh beberapa instansi penelitian seperti di Palu (Sulawesi Tengah), Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan. Sedangkan untuk informasi mengenai jenis pakan anoa khusus di wilayah Sulawesi Utara dan Gorontalo masih sangat terbatas, sementara di setiap wilayah memiliki kondisi iklim yang berbeda-beda dan tentunya akan berpengaruh pada setiap jenis-jenis vegetasi yang tumbuh. Informasi mengenai pakan sangat penting yang diperlukan dalam usaha budidaya. Baik jenis, jumlah yang diberikan serta kandungan nutrisi dalam pakan akan sangat mempengaruhi pertumbuhan hewan ternak yang akan dibudidayakan. anoa termasuk dalam hewan ruminansia yang menyukai pakan buah serta pucuk daun (browser), sedikit rumputrumputan (grazer). Hal ini mengindikasikan bahwa Anoa memiliki toleransi terhadap variasi jenis pakan dan menjadi suatu keuntungan bagi anoa, pertama kecukupan guna keperluan energi dan nutrien segera terpenuhi, kedua akan memudahkan pencarian pakan serta yang ketiga kemampuan toleransi ini menjadi unsur penunjang bila nantinya akan ditargetkan sebagai hewan budidaya penghasil daging, ketika populasi anoa mendukung (Basri & Rukmi, 2008). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai jenis pakan anoa di alam khusunya di wilayah Gorontalo dan untuk mengetahui kandungan nutrisi pada bersumber dari alam.
beberapa jenis pakan anoa yang
Sehingga hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
menjadi informasi mengenai pakan anoa di alam khususnya di wilayah Gorontalo. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian dilaksanakan selama kurang lebih tiga bulan yaitu pada bulan Oktober hingga Desember 2011 yang berlokasi di Suaka Margasatwa Nantu Gorontalo dengan mengambil dua blok penelitian yang mewakili
123
yaitu Blok Adudu dan Blok Hatibi (Gambar 1), untuk pengambilan data di lapangan, sedangkan untuk analisis kandungan nutrisi beberapa pakan Anoa dilakukan di Laboratorium Ilmu Pakan dan Nutrisi Ternak Universitas Sam Ratulangi Manado.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian di SM. Nantu
B. Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dan menjadi obyek dalam peneltian ini terdiri atas jenis-jenis pakan Anoa di SM. Nantu. Peralatan yang digunakan adalah kompas, kamera digital, pita meter, flagging tape, tali rafia, Global Positioning System (GPS), plastik spesimen, dan alkohol 70%, lembar isian data (tallysheet) serta alat tulis menulis. C. Prosedur Penelitian Informasi tentang jenis pakan anoa di alam diperoleh dari beberapa sumber yaitu dari masyarakat yang sering berburu di hutan dan berdasarkan bekas renggutan, sobekan atau patahan vegetasi tertentu yang dikuatkan dengan ditemukannya jejak anoa di sekitar daerah tersebut. Pengambilan data pakan tersebut dilakukan dengan menggunakan metode eksplorasi. Selain jenis dan bagian yang dimakan, sebanyak kurang lebih 1
124 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Sumber Pakan Alami……. Diah Irawati Dwi Arini dan Yermias Kafiar
Kg pakan basah diambil untuk kegiatan analisis nutrisi pakan dan beberapa bagian lengkap masing-masing vegetasi seperti daun, buah, batang untuk kegiatan identfikasi jenis. Kegiatan analisis pakan dilakukan dengan terlebih dulu melakukan pengeringan jenis-jenis pakan yang telah dikumpulkan. Pengeringan dilakukan secara kering udara selama beberapa hari sampai kadar air yang tertinggal hanya berkisar 1% dan kemudian dilakukan penimbangan. Setelah
pengeringan,
bahan
pakan
tersebut
dihaluskan
dengan
menggunakan blender dan diuji kandungan nutrisinya meliputi kandungan kadar air, lemak, protein dan abu melalui analisis proksimat di Laboratorium Pakan dan Nutrisi Ternak Universitas Sam Ratulangi Manado. Sedangkan untuk identifikasi jenis tumbuhan pakan contoh spesimen pakan dikirim ke Herbarium Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi Bogor. D. Analisis Data Analisis data dilakukan secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk grafik dan tabel. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Deskripsi Lokasi Penelitian Suaka Margasatwa Nantu ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No : 537/Kpts-II/1999 pada tanggal 22 Juli 1999 dengan luas sebesar ± 31.215 ha yang merupakan gabungan beberapa kelompok hutan yaitu hutan lindung (13.500 ha), hutan produksi terbatas (14.830 ha), hutan produksi (1.695 ha) dan hutan produksi yang dapat dikonversi (1.190 ha) (BKSDA Sulut, 2002). Sebagian besar kawasan SM. Nantu merupakan daerah dataran rendah dan sebagian lagi memiliki topografi yang berbukit-bukit dengan ketinggian maksimum 1.500 m dpl dengan jenis tanah dominan di SM. Nantu adalah adalah Inceptisol dan Ultisol. Batuan induk yang dijumpai di wilayah DAS Paguyaman adalah batuan aluvium atau endapan bahan halus dan kasar yang berasal dari koral, batuan sedimen dan batuan malihan, batu liat, batu debu, batu gamping koral, batu granit dan batu granodiorit
125
(Dunggio, 2005). SM. Nantu terdapat sungai utama yaitu Sungai Paguyaman yang bermuara di teluk paguyaman. Terdapat sungai lainnya, seperti Sungai Nantu di sebelah selatan dan Sungai Tamilo di sebelah barat. Secara geografis, SM. Nantu terletak pada 1220 08’ 00” – 1220 23’ 00” Bujur Timur dan 000 57’ 00” – 000 46’ 00” Lintang Utara. Kawasan SM. Nantu terletak dalam Sub DAS Nantu, DAS Paguyaman dan secara administratif SM. Nantu mencakup berbatasan dengan Gunung Minatimu dan Gunung Olibiahi Kec Sumalata di Sebelah Utara. Sebelah Selatan Sungai Nantu dan Dusun Tangga Kec. Wonosari, Sebelah Barat Sungai, Dusun Batudaa dan Desa Pangahu Kecamatan Asparaga. Sebagai satu kawasan pelestarian alam, SM. Nantu memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Berbagai jenis flora fauna khas Sulawesi menjadi penghuni di wilayah ini. Jenis flora yang banyak di jumpai diantaranya pangi (Pangium edule), linggua (Pterocarpus indicus), nantu (Palaquium sp.), bayur (Pterospermum sp.), leda (Eucalyptus deglupta) dan sebagainya. Berbagai jenis satwa juga dapat dijumpai seperti babirusa (Babyrousa babyrussa), Anoa (Bubalus sp.), babi hutan sulawesi (Sus celebensis), rusa (Cervus timorensis), monyet hitam Gorontalo (Macaca heckii),
tangkasi
(Tarsius
spectrum),
kakatua
hijau
(Tanygnatus
sumatranus), kumkum hijau (Ducula aenea) dan sebagainya (Lee et al., 2001). Penelitian identifikasi jenis pakan anoa di alam dibatasi pada kawasan SM. Nantu bagian selatan dengan luas lokasi sebesar 3.300 ha yang mencakup dua blok pengamatan yaitu Blok Hatibi dan Blok Adudu. Dari hasil pengolahan peta kontur wilayah lokasi penelitian, menghasilkan kelas ketinggian dan kelas kemiringan lereng dominan yaitu 0-200 m dpl pada kelas ketinggian dan 25-45% untuk kelas kemiringan lereng (Tabel 1 dan Tabel 2).
126 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Sumber Pakan Alami……. Diah Irawati Dwi Arini dan Yermias Kafiar
Tabel 1.
Luas
lokasi
penelitian
di
Suaka
Margasatwa
Nantu
berdasarkan kelas ketinggian No.
Kelas Ketinggian (m
Luas (Ha)
Luas (%)
dpl) 1
0 – 200
1319
39.97
2
200 – 400
1001
30.33
3
400 – 600
531
16.09
4
600 – 800
419
12.70
5
> 800
30
0.91
3300
100
Jumlah Tabel 2.
Luas
lokasi
penelitian
di
Suaka
Margasatwa
Nantu
berdasarkan kelas kemiringan lereng Kelas kemiringan
Luas
Luas
lereng (%)
(Ha)
(%)
1.
0–8
542
16.42
Datar
2.
8 – 15
275
8.33
Landai
3.
15 – 25
615
18.64
Curam
4.
25 – 45
1142
34.61
Agak curam
5.
> 45
726
22.00
Sangat curam
516
100
-
No.
Jumlah
Keterangan
Blok Adudu merupakan habitat utama khususnya bagi satwa endemik Sulawesi yaitu babirusa, di lokasi ini terdapat kolam garam atau saltlick. Kolam Adudu (1200 m2) merupakan satu-satunya kolam garam yang tersisa dari tiga kolam garam yang saat ini sudah beralih fungsinya di era tahun 90an yaitu Nooti (400 m2) dan Lantolo (20 m2). Kolam garam ini memiliki arti penting bagi satwaliar khususnya babi rusa, Anoa dan monyet hitam khas Gorontalo (Macaca heckii) terutama untuk memenuhi kebutuhan mineral dan membantu dalam proses metabolisme di dalam tubuhnya (Clayton, 1996). Topografi di blok Adudu relatif datar dengan ketinggian berkisar antara 0 – 200 m dpl dan secara umum dikategorikan ke dalam tipe
127
ekosistem hutan hujan dataran rendah. Lokasinya yang tepat bersebelahan dengan sungai Nantu ini memiliki kondisi alam yang masih
terjaga
keasliannya. Jenis-jenis tegakan yang dominan di wilayah blok adudu diantaranya Anacardiaceae, Datiscaceae, Annonnaceae dan sebagian dari suku Dipterocarpaceae. Beberapa jenis tumbuhan bawah yang banyak dijumpai diantaranya Liquala flabelum, Caryota mitis, Cycas rumphii dan Livistona rotundifolia. Akses menuju blok Adudu cukup mudah, karena hanya membutuhkan waktu kurang lebih 30 menit dari desa terdekat yaitu Desa Tangga dengan berjalan kaki dan menyeberang Sungai Nantu yang memiliki lebar badan sungai ± 10 - 15 meter dengan substrat dasar pasir dan berbatu. Kondisi alam Blok Hatibi yang berada di ketinggian, lebih didominasi oleh topografi bergelombang. Akses menuju blok Hatibi dapat dicapai dengan masuk ke kawasan melalui Desa Pangahu Kecamatan Asparaga selama kurang lebih dua belas jam perjalanan. Di lokasi ini, dapat dijumpai hamparan pohon “Seho” atau Pigafetta elata Becc, sejenis palem dari famili Arecaceae. Yuzammi dan Hidayat (2002) menjelaskan bahwa tumbuhan ini merupakan salah satu jenis palem endemik Sulawesi. Ciri khasanya adalah batangnya yang bergaris-garis putih. Berwarna hijau jika masih muda dan menjadi coklat jika sudah tua. Menurut informasi masyarakat setempat, satwa-satwa seperti anoa, babi hutan dan babi rusa sering dijumpai di tempat ini. B. Jenis-Jenis Tumbuhan Pakan Alami Anoa Penelitian terkait dengan pakan anoa di alam telah dilakukan di beberapa lokasi dengan berbagai macam variasi jenis tumbuhan. Seperti penelitian Tikupudang et al., (1994) yang mengidentifikasi jenis pakan anoa dataran tinggi di kawasan CA. Faruhumpenai Sulawesi Selatan sebanyak 25 jenis, Tikupudang dan Gunawan (1996), berlokasi di Hutan Kambuno Katena Sulawesi Selatan mengidentifikasi pakan anoa pegunungan sebanyak 42 jenis. Berdasarkan penelitian Mustari (2003) di Sulawesi Tenggara mengidentifikasi jenis pakan anoa sebanyak 33 jenis.
128 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Sumber Pakan Alami……. Diah Irawati Dwi Arini dan Yermias Kafiar
Sedangkan di wilayah Sulawesi Utara, berdasarkan penelitian Syam (1978) di CA. Tangkoko Batuangus, baik anoa dataran rendah maupun anoa dataran tinggi mencari makan di tiga areal vegetasi yaitu di areal hutan hujan tropis, areal kawah Gunung Tangkoko dan areal hutan sekunder. Jenis-jenis yang dimakan diantaranya buah pakoba (Eugenia sp.), coro (Ficus sp.), nantu (Palaquium obtusifolium), beringin (Ficus spp.), kedondong hutan (Spondias sp.) dan buah rao (Dracontomelon dao), selain itu juga anoa sering ditemukan memakan umbut dan daun rotan muda, umbut dan daun pisang-pisangan, pucuk woka, rebung dan daun bambu hutan, kulit batang melinjo, rumput pisau dan jenis paku-pakuan hutan. Dari hasil identifikasi di lapangan diperoleh sebanyak 30 jenis tumbuhan pakan anoa yang dapat dikelompokkan ke dalam 20 famili dan 1 tidak diketahui. Terdiri dari berbagai macam bagian yang dimakan seperti daun, pucuk daun, batang bahkan keseluruhan bagian tumbuhan. Famili Zingiberaceae dan Arecaceae merupakan famili yang memiliki jumlah jenis terbanyak sebanyak tiga jenis. Data jenis tumbuhan pakan anoa disajikan selengkapnya dalam Tabel 3. Jenis-jenistumbuhan pakan anoa dan bagian yang dimakan Di Blok Hatibi dan Adudu SM. Nantu
Table 3.
No
Jenis-jenis tumbuhan pakan anoa dan bagian yang dimakan di Blok Hatibi dan Adudu SM. Nantu
Nama Jenis
1
Bulahu
2
Ulupahu
3
Molotembe
4
Seho
5
Rotan
6
Tombito
7
Molonggoile
Nama Ilmiah
Famili
Habitus
Saurauia spadisea Blume Saurauria bracteosa DC. Aglaonema latius v.A.v.R Pigafetta elata Becc. Calamus sp.
Actinidiaceae
Semak
Bagian yang dimakan Daun
Actinidiaceae
Pohon
Daun
Araceae
Herba
Daun
Arecaceae
Semak
Arecaceae
Semak
Daun, batang Pucuk daun
Licuala ferruginea Griff Radermachera sp.
Arecaceae
Semak
Bignoniaceae
Herba
Batang, daun Daun
129
No
Nama Jenis
8
Aingala’a
9
Nama Ilmiah
Famili
Habitus
Bagian yang dimakan Daun
Fagaceae
Pohon
Bunga Putih
Castanopsis argentea (Blume) A.Dc Cyrtanda sp.
Gesneriaceae
Herba
10
Ngerani
Hyptis capitata L
Lamiacea
Herba
11
Cempaka
Magnoliaceae
Pohon
12
Wubudu
Maranthaceae
Herba
Daun
13
Daun Nasi
Maranthaceae
Herba
Daun
14
Pisang
Talauma candolei Blume Donax caniformis K. Schum. Phrynium pubinerve Blume Musa sp.
Semua bagian Semua bagian Daun
Musaceae
Semak
15
Duhuduhua
Myristicaceae
Pohon
16 17 18 19
Lomuli Ponta Rumput Buluh
Myristica fatua Houtt. Pandanus sp. Bambusa sp.
Pandanaceae Pandanaceae Poaceae Poaceae
Semak Semak Herba Herba
20
Mantulangi
Polypodiaceae
Herba
21
Pa’u
Polypodiaceae
Herba
Daun
22
Delungkahe
Blechnum orientale Blume Pteris umbraculifera Mett Rubus fraxinifolius Poir.
Pucuk daun Pucuk daun Daun Daun Daun Pucuk daun Daun
Rosaceae
Herba
Daun
23
Bulalu gambele
Rubiaceae
Semak
Daun
24
Pangi
Salicaceae
Pohon
Daun
25
Bumbuhangi Ulupahu (Rofu) Atemenga merah
Simaroubacac eae Urticaceae
Pohon
26
Uncaria appendiculata Benth. Pangium edule Reinw. Picrasma javanica Blume. Elatostema sp.
Semak
Pucuk daun Daun
Achasma walang Val
Zingiberaceae
Herba
Daun
27
130 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Sumber Pakan Alami……. Diah Irawati Dwi Arini dan Yermias Kafiar
No
Nama Jenis
28 29
Atemenga putih Goraka hutan
30
Paku
Nama Ilmiah
Famili
Habitus
Alpinia sp.
Zingiberaceae
Herba
Alpinia mutica Roxb. -
Zingiberaceae
Herba Herba
Bagian yang dimakan Daun Daun, batang Pucuk daun
Menurut Pujianingsih et al. (2004), di habitat aslinya, anoa lebih menyukai vegetasi dari jenis palem, paku, semak, perdu dan pepohonan muda. Bagian yang dimakan terdiri atas daun, pucuk, anakan/tunas, semak dan umbut dari pucuk batang tumbuhan. Jahidin (2003) menjelaskan bahwa dalam mencari makanannya anoa akan berjalan lambat dan mengambil tumbuhan yang mudah dijangkau menggunakan mulutnya. Tempat yang memiliki karakteristik penutupan lahan tidak begitu rapat dan ditumbuhi oleh pohon-pohon atau perdu dengan daun dan pucuk yang muda atau memiliki buah yang telah masak adalah tempat yang paling disukai anoa. Perbandingan jumlah jenis tumbuhan pakan anoa di SM. Nantu berdasarkan famili disajikan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Jenis tumbuhan pakan berdasarkan famili
131
Di lokasi penelitian, pakan anoa dapat dibedakan menjadi tiga bagian yaitu herba, semak dan pohon. Sebanyak 15 jenis masuk dalam kelompok herba, 9 jenis kelompok semak dan 6 jenis dalam kelompok pohon. Sedangkan berdasarkan bagian yang dimakan dapat dibedakan menjadi daun, pucuk daun, batang dan semua bagian. Bagian yang paling diminati oleh anoa adalah bagian daun yaitu sebanyak 19 jenis seperti Phrynium pubinerve Blume (daun nasi), Elatostema sp. (rofu), Pangium edule Reinw (pangi) dan sebagainya. Elatostema sp. atau dikenal dengan nama lokal rofu atau tepu adalah jenis pakan yang hampir di semua daerah teridentifikasi sebagai pakan anoa. Jenis ini sangat disukai oleh anoa, tinggi tumbuhan yang mencapai kurang lebih 35 cm ini banyak ditemukan tumbuh tidak jauh dari sungai dan tumbuh baik di tempat dengan kelembaban tinggi. Ketersediaannya di alam pun melimpah terutama di musim hujan, membentuk satu rumpun yang sangat luas dan menyemak di kaki gunung dan dataran rendah. Sedangkan untuk bagian pucuk daun ditemukan sebanyak 6 jenis seperti Bambusa sp. (buluh), Licuala ferruginea Griff (tombito) dan sebagainya. Di blok pengamatan Adudu, jejak anoa banyak dijumpai di sekitar tegakan bambu yang ternyata berdasarkan penelitian Mustari (2003) daun muda dari bambu atau bambu yang masih muda merupakan makanan yang paling digemari oleh satwa ini. Bagian tumbuhan yang dimakan oleh anoa sebagian besar adalah daun terutama daun muda atau pucuk daun. Selain bagian daun dan pucuk daun, ternyata anoa juga menyukai pakan alternatif lainnya seperti bagian batang yang terdiri atas kulit batang atau bagian dalam dengan terlebih dahulu membuka kulit batangnya seperti jenis Pigafetta elata Becc (seho) dan beberapa jenis anakan rotan. Menurut masyarakat setempat seho (Pigafetta elata Becc) merupakan salah satu jenis makanan yang sangat disukai oleh anoa. Di SM. Nantu, jenis vegetasi ini banyak dijumpai tumbuh di Muara Hatibi dengan membentuk suatu rumpun yang cukup luas. Seho termasuk pohon palem besar berbatang tunggal yang tingginya dapat mencapai 15-20 meter. Daun besar, berbentuk kipas, bulat menjari dengan diameter 2-3,5 meter terkumpul di 132 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Sumber Pakan Alami……. Diah Irawati Dwi Arini dan Yermias Kafiar
ujung batang, bertangkai panjang hingga mencapai tujuh meter, memiliki alur yang dalam serta berduri di tepinya. Bekas pelepah daun pada batang membentuk pola spiral (Wikipedia, 2010). Bagian yang dimakan oleh anoa adalah bagian batang yang ternyata memiliki kandungan pati yang cukup tinggi. Di daerah lain, jenis ini dipakai untuk makanan ternak namun tidak jarang dikonsumsi sendiri oleh masyarakat di Papua jika masa paceklik datang. Jenis Alpinia mutica Roxb (Goraka hutan) merupakan jenis yang paling banyak dijumpai memiliki bekas-bekas sobekan atau tarikan oleh anoa. Pada jenis ini Anoa sangat menyukai bagian dalam atau batang yang masih muda. Jenis yang masuk dalam famili Zingiberaceae atau ginger family, banyak ditemukan di pinggiran sungai dan pada daerah dataran rendah, pada musim hujan, ketersediaan cukup melimpah. (Skinner, 2000 dalam Pujianingsih 2004). Sedangkan minat anoa untuk memakan semua bagian tumbuhan ditemukan pada 2 jenis tumbuhan dan biasanya sebagian besar merupakan jenis-jenis tumbuhan bawah seperti Cyrtanda sp. dan Hyptis capitata. Jenis Cyrtanda sp., termasuk jenis tumbuhan yang dapat beradaptasi dengan baik pada semua musim, tersebar di hutan dataran rendah maupun dataran tinggi. Daun berbentuk agak lebar dengan permukaan halus dan lembut. Walaupun dapat mencapai tinggi hingga 2 meter, namun anoa mengkonsumsi bagian pucuk hingga batang yang masih muda. Spesies Cyrtanda memiliki bentuk yang cukup bervariasi dengan ciri khusus berupa tangkai bunga yang berbentuk seperti kelopak daun yang menempel pada dahannya yang berwarna putih (Bramley, 2002 dalam Pujianingsih et al, 2004). Sedikit berbeda dengan hasil di atas, menurut hasil penelitian Basri dan Rukmi (2008), anoa di penangkaran Palu-Sulawesi Tengah ternyata lebih menyukai buah-buahan seperti ficus dibandingkan jenis pakan yang lain. Hal ini diduga terkait dengan tingkat efisiensi rumen anoa dalam mencerna pakan yang dikonsumsi untuk memperoleh nutrien yang diperlukan. Jenis ruminansia lainnya seperti kambing atau domba, rumennya lebih efisien jika mencerna pucuk, daun-daunan dan rumput
133
muda, sapi dan kerbau lebih menyukai hijauan kasar dibandingkan pucuk daun dan rumput muda, dan berbeda dengan anoa, rumen akan lebih efisien dengan memakan buah-buahan dibandingkan pucuk daun, rumput maupun hijauan kasar lainnya. Dari hasil diatas terdapat variasi berbagai jenis makanan dan bagian yang dimakan, sehingga dapat disimpulkan bahwa anoa merupakan satwa yang memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi terutama dalam hal pakan. Dan kemampuan inilah yang sebetulnya membuat anoa lebih mudah untuk didomestikasi atau ditangkarkan. Beberapa jenis tumbuhan pakan anoa yang ditemukan di SM. Nantu disajikan dalam Gambar 3.
Pigafetta elata Becc
Elatostema sp.
Cyrtanda sp.
Myristica fatua Houtt
Pangium edule Reinw.
Rubus fraxinifolius Poir.
Donax caniformis K. Schum
Hyptis capitata L
Uncaria appendiculata Benth.
Picrasma javanica Blume.
Gambar 3. Berbagai jenis pakan anoa di SM. Nantu 134 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Sumber Pakan Alami……. Diah Irawati Dwi Arini dan Yermias Kafiar
C. Kandungan Nutrisi Pakan Alami Anoa Kandungan nutrisi pakan ternak dapat diuji dengan sebuah cara yang dikenal dengan “Analisis Proksimat” yaitu suatu metoda analisis kimia untuk mengidentifikasi kandungan nutrisi seperti protein, karbohidrat, lemak dan serat pada suatu zat makanan dari bahan pakan atau pangan. Analisis proksimat memiliki manfaat sebagai penilaian kualitas pakan atau bahan pangan terutama pada standar zat makanan yang seharusnya terkandung di dalamnya. Selain itu manfaat dari analisis proksimat adalah dasar untuk formulasi ransum dan bagian dari prosedur untuk uji kecernaan. Zat gizi sangat diperlukan oleh hewan untuk pertumbuhan, produksi, reproduksi, dan hidup pokok. Beberapa hasil penelitian, terkait dengan pakan anoa di habitat alaminya menunjukkan bahwa anoa memiliki variasi makanan yang cukup tinggi baik jenis tumbuhan dikotil maupun monokotil, seperti tumbuhan bawah berupa herba, beberapa jenis paku, liana, perdu, rumput, tumbuhan air sampai tumbuhan berhabitus pohon. Tercatat sebanyak 129 jenis tumbuhan menjadi sumber makanan anoa di Tanjung Peropa, jumlah ini adalah jumlah minimal karena akan terus bertambah apabila dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan jenis tumbuhan yang positif dimakan oleh satwa tersebut (Mustari, 2003). Anoa memiliki kecerdikan dalam memilih bagian-bagian tertentu dari tumbuhan yang mengandung nilai gizi tinggi. Contohnya anakan rotan (Calamus sp.) atau Aplina mutica yang hanya memakan umbutnya (bagian yang lunak) yang diambil dengan cara mengupas terlebih dahulu bagian kulit batangnya. Ternyata bagian tersebut memiliki kandungan serat yang rendah namun memiliki kadar protein yang cukup tinggi (Tikupudang et al, 1995). Demikian pula dengan daun-daunan, anoa lebih senang memakan bagian pucuk karena memiliki kadar lignin yang rendah sehingga mudah dicerna. Dalam penelitian penentuan kebutuhan pakan anoa dataran tinggi di SM. Tanjung Peropa, diperoleh bahwa rataaan konsumsi makan anoa 7,5 kg setiap hari atau 9,24% dari berat badan anoa (Mustari, 2003). Basri dan Rukmi (2008) merekomendasikan bahwa, jenis pakan anoa hendaknya memiliki kandungan tanin yang rendah. Kandungan tanin yang
135
tinggi biasanya terdapat pada pucuk daun. Tingginya kandungan tanin akan sangat berpengaruh terhadap proses pencernan serat kasar dan akan menghambat aktivitas bakteri di dalam rumen. Dalam hal ini, pengetahuan mengenai kandungan nutrisi atau zat-zat yang terkandung di dalam pakan menjadi sesuatu yang penting untuk diketahui dan perlu dikaji. Analisis terhadap kandungan nutrisi pakan anoa yang dilakukan terhadap pakan asal SM. Nantu yang dilakukan berdasarkan bahan kering, bertujuan untuk memberikan informasi tambahan mengenai kandungan kimia jenis-jenis pakan anoa khususnya di wilayah Sulawesi Utara. Hasil analisis kimiawi hanya dilakukan pada dua jenis tumbuhan pakan yang merupakan jenis yang paling disukai anoa, Hasil analisis proksimat untuk dua jenis pakan anoa di SM. Nantu disajikan dalam Tabel 4. Tabel 4.
Hasil analisis proksimat terhadap beberapa jenis pakan anoa Hasil Analisis (%)
Bagian No
Jenis
yang di
Lemak
Protein
Abu
Batang
-
12,84
16,79
8,17
35,81
Daun
84,61
17,67
26,47
26,11
24,34
makan 1. 2.
Kunyit hutan (Alpinia mutica) Rofu (Elatostema sp.)
Serat
Air
Kasar
Protein Protein
bagi
hewan
merupakan
zat
yang
paling
banyak
mempengaruhi jumlah energi yang terbuang via urine (Parakkasi, 1999). Kandungan protein khususnya bagi hewan ternak setidaknya memiliki kandungan protein 20% atau lebih (Tilman et al., 1984 dalam Tikupudang et al, 1995), dari tabel dapat kandungan protein jenis Alpinia mutica hutan lebih rendah dibandingkan dengan jenis Elatostema sp. dengan nilai masing-masing 16,79% dan 26,11%. Protein sangat diperlukan oleh tubuh sebagai sumber energi dan pembawa vitamin yang larut di dalamnya seperti vitamin A,D,E dan K. Sedangkan kandungan protein untuk jenis Elatostema sp. di Palu Sulawesi Tengah menunjukkan angka 10,50%. (Pujianingsih et al., 2004).
136 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Sumber Pakan Alami……. Diah Irawati Dwi Arini dan Yermias Kafiar
Lemak Kasar Lemak memegang peranan yang sangat penting bagi tubuh satwa terutama bagi satwa yang bereproduksi tinggi. Di dalam tubuh hewan protein dipergunakan untuk membangun jaringan tubuh, hormon dan enzim-enzim. Terkadang makanan ternak perlu diberikan tambahan lemak agar makanan menjadi lebih efisien (Tilman et al., 1984 dalam Tikupudang et al, 1995). Hasil analisis terhadap kandungan lemak menunjukkan bahwa jenis tumbuhan rofu atau Elatostema sp. memiliki kandungan lemak paling tinggi sebesar 17,676% dibandingkan dengan jenis kunyit hutan yaitu 12,84%. sedangkan hasil uji kandungan lemak kasar di Palu Elatostema sp. menghasilkan angka 2,14% (Pujianingsih et al., 2004). Air Air merupakan salah satu unsur nutrisi yang penting bagi masa pertumbuhan, masa laktasi dan pada saat suhu udara panas. Cairan tersebut selain biasa diperoleh dari air minum, juga didapatkan dari hijauhijauan dan rumput. Dari hasil analisis di atas jenis pakan anoa yang memiliki kadar air hanya pada jenis Elatostema sp. yaitu sebesar 84,61% lebih tinggi jika dibandingkan dengan hasil analisis kandungan pakan untuk jenis yang sama di Palu hanya 12,68% (Pujianingsih et al., 2004). Menurut Parakkasi (1999), air sangat penting bagi kehidupan hewan yaitu hampir 2/3 bagian dari massa hewan adalah air. Setidaknya ada empat fungsi utama air bagi hewan diantaranya sebagai komponen jaringan, merupakan media fisik atau mekanik yang mengantar zat makanan dari saluran pencernaan ke dalam jaringan tertentu, mengatur fungsi osmosis dalam sel dan air sebagai pereaksi (reagent). Abu Abu adalah zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu bahan organik. Penentuan kadar abu biasanya memiliki hubungan dengan mineral di suatu bahan. Dari tabel analisis di atas menunjukkan bahwa kadar abu tertinggi dimiliki oleh rofu Elatostema sp. yaitu sebesar 26,112%, sedangkan kandungan kadar abu yang dimilki jenis kunyit hutan sebesar 8,17%.
137
Serat Kasar Lubis (1952) dalam Tikupudang et al., (1995) menjelaskan bahwa, kandungan serat kasar yang terlalu tinggi dapat mengganggu pencernaan zat-zat lainnya. Semakin tinggi kandungan serat kasar, semakin sukar dicerna dan semakin rendah energi yang dihasilkan. Kandungan serat kasar yang baik bagi satwa adalah kurang dari 18%. Dari hasil analisis terhadap dua pakan anoa di SM. Nantu, jenis rofu memiliki kadar serat kasar sebesar 24,34%, nilai ini mendekati kadar abu pada jenis yang sama asal palu yaitu 23,66% (Pujianingsih et al., 2004) dan lebih rendah jika dibandingkan jenis kunyit hutan yaitu sebesar 35,81%. IV. KESIMPULAN dan SARAN A. Kesimpulan 1. Diidentifikasi sebanyak 30 jenis pakan anoa di SM. Nantu yang terdiri atas 23 famili. Famili Zingiberaceae atau jahe-jahean merupakan pakan anoa yang memiliki jumlah jenis terbanyak yaitu Achasma walang Val., Alpinia sp., dan Alpinia mutica Roxb. 2. Berdasarkan
habitusnya,
pakan
anoa
di
SM.
Nantu
dapat
dikelompokkan ke dalam tiga habitus yaitu herba, semak dan pohon. Jumlah jenis tumbuhan pakan untuk masing-masing tingkatan adalah 15 jenis herba, 9 jenis semak dan 6 jenis pohon. 3. Berdasarkan bagian yang dimakan diketahui 21 jenis adalah daun, 6 jenis pucuk daun, dan 3 jenis adalah bagian batang dan semua bagian tumbuhan. 4. Analisis proksimat terhadap dua jenis tumbuhan pakan menghasilkan jenis tumbuhan rofu (Elatostema sp.) memiliki kandungan air 84,61%, lemak 17,67%, Protein 26,47%, Abu 26,11% dan serat kasar 24,34% sedangkan untuk jenis kunyit hutan mengandung lemak 12,84%, protein 16,79%, abu 8,17% dan serat kasar 35,81%.
138 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Sumber Pakan Alami……. Diah Irawati Dwi Arini dan Yermias Kafiar
B. Saran 1. Penelitian lanjutan terkait dengan kandungan nutrisi pakan terhadap jenis-jenis lainnya perlu dilakukan seperti uji tanin terhadap jenis-jenis pakan anoa di alam. 2. Sebagian besar vegetasi pakan alami anoa dari SM. Nantu memiliki karakteristik dapat tumbuh secara baik di lokasi hutan dataran rendah maupun dataran tinggi sehingga perlu dilakukan upaya budidaya yang dapat diimbangi dengan teknologi budidaya yang tepat. DAFTAR PUSTAKA Basri, M & Rukmi, 2011. Jenis dan Kandungan Tanin Pakan Satwa Anoa (Bubalus sp.). Media Peternakan 4 (1): 30-34. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. BKSDA Sulut, 2002. Rencana Pengelolaan Suaka Margasatwa Nantu Kabupaten Gorontalo Propinsi Gorontalo. Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Utara. Manado. Clyton, L.M. 1996. Conservation Biology of the babirusa (Babyrousa babyrussa) in Sulawesi Indonesia. Disertation. Wolfson College University of Oxford. United Kingdom. (Unpublished). Departemen Kehutanan. 2010. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Anoa (Bubalus depressicornis dan Bubalus quarlesi) 2010-2020. Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam, Direktorat Konservasi Keanekaragaman Hayati, Departemen Kehutanan. Jakarta. Dunggio, I. 2005. Zonasi pengembangan wisata di Suaka Margasatwa Nantu Provinsi Gorontalo. Tesis. Sekolah Pasca Sarjana, IPB. Bogor. (Tidak diterbitkan). IUCN. 2011. Bubalus depressicornis and Bubalus quarlessi status. Website :http//www.iucnredlist.com. Diakses tanggal 9 Januari 2012. Jahidin. 2003. Populasi dan Perilaku Anoa Pegunungan (Bubalus (Anoa) quarlesi Ouwens.) di Taman Nasional Lore Lindu. Tesis. Program Pasca Sarjana, IPB. Bogor. (Tidak diterbitkan).
139
Lee, R.J, Riley J, Merrill R, Manoppo, R.P. 2001. Keanekaragaman Hayati dan Konservasi di Sulawesi Utara. WCS-IP dan NRM. Jakarta. Mustari, A.H. 2003. Ecology and conservation of lowland Anoa (Bubalus depressicornis) in Sulawesi, Indonesia. Disertation. University of New England. England. (Unpublished). Parakkasi, 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Perss. Jakarta. Pujianingsih, R.I., B. Sukamto., dan E. Labiro. Identifikasi dan Teknologi Pengolahan Pakan Hijauan Dalam Upaya Penangkaran Anoa. Laporan Akhir Kegiatan. Fakultas Peternakan. Universitas Diponegoro. Semarang. Syam, A. 1978. Pengamatan Habitat dan Populasi Anoa (Anoa depressicornis H.Smith) di Cagar Alam Gunung Tangkoko Batuangus Sulawesi Utara. Lembaga Penelitian Hutan. Bogor. Tikupadang, H., H. Gunawan & M. Sila. 1994. Habitat dan Populasi Anoa Dataran Tinggi (Bubalus quarlessi K. Mackinnon) di Cagar Alam Faruhumpenai Di Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Jurnal Penelitian Kehutanan 8(9):27-37. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Ujung Pandang. Tikupudang, H & H. Gunawan. 1996. Kajian Habitat dan Populasi Anoa Pegunungan (Bubalus quarlesi) di Hutan Kambuno Katena Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Buletin Penelitian Kehutanan 1(1): 24-43. Balai Penelitian Ujung Pandang. Ujung Pandang. Yuzammi and Syamsul Hidayat, 2002. Flora Sulawesi. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, LIPI. Wikipedia. 2010. Gebang (Corypa utan). Website :http//www.Wikipedia.com.Diakses tanggal 1Desember 2010. , 2012. Uncaria appendiculata. Website:http://florafnq.wordpress. com/page/7/. Diakses tanggal 10 Januari 2012.
140 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Identifikasi Sumber Pakan Alami……. Diah Irawati Dwi Arini dan Yermias Kafiar
, 2012. Picrasma javanica. Website:http://www.virboga.de/Picrasma_ javanica.htm. Diakses tanggal 10 Januari 2012. , 2012. Cyrtandra sp. Website:http://www.botany.hawaii.edu/faculty/carr/ cyrtandra.htm. Diakses tanggal 10 Januari 2012. , 2012. Myristica fatua. Website:http://www.botany.hawaii.edu/faculty/carr/ cyrtandra.htm. Diakses tanggal 10 Januari 2012. , 2012. Rubus fraxinifolius. Website:http://131.230.176.4/imgs/pso/r/ Rosaceae_Rubus_fraxinifolius_31683.html. Diakses tanggal 10 Januari 2012. , 2012. Hyptis capitata. http://www.hear.org/pier/imagepages/singles/hycapp1 .htm. Diakses tanggal 10 Januari 2012.
141
142 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peluang Konservasi Ex Situ……. Anita Mayasari dan Ady Suryawan
PELUANG KONSERVASI EX SITU BURUNG SAMPIRI (Eos histrio) MELALUI PENANGKARAN Anita Mayasari dan Ady Suryawan Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kelurahan Kima Atas Kecamatan Kima Atas Manado Sulawesi Utara Telp. (0431) 3666683
[email protected];
[email protected]
RINGKASAN Kawasan Wallacea memiliki keanekaragaman hayati dan tingkat endemisitas yang tinggi. Salah satu kawasan Wallacae yang memiliki endemisitas avifauna tinggi adalah sub kawasan Sulawesi. Namun jenis-jenis yang ada masih sedikit diidentifikasi dan beberapa diantaranya termasuk paling terancam punah di dunia. Nuri talaud (Eos histrio) atau sampiri adalah salah satu jenis burung endemik Talaud dan sejak tahun 1994 sudah masuk dalam kategori terancam punah. Penyebab utamanya adalah perdagangan liar dan rusaknya habitat asli. Upaya konservasi telah dilakukan pemerintah melalui beberapa kebijakan, namun belum mampu memperbaiki status burung sampiri. Upaya yang mungkin dikembangkan adalah konservasi ex situ melalui penangkaran untuk menyelamatkan sumberdaya genetik dan populasi jenis satwa burung dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya. Sampiri telah terdaftar dalam Apendix I CITES, sehingga kegiatan pengembangan penangkaran harus segera dilakukan. Hasil-hasil penelitian, khususnya penangkaran jenis burung paruh bengkok yang telah berhasil, berpeluang untuk diterapkan dalam pengembangan teknologi penangkaran Sampiri. Kata Kunci : Ex Situ, Penangkaran, Eos histrio, Nuri Talaud, Wallacea.
I. PENDAHULUAN Keanekaragaman
hayati
kawasan
Wallacea
memiliki
tingkat
endemisitas burung yang tinggi. Kawasan Wallacea terdiri dari tiga sub kawasan utama: sub kawasan Sulawesi; sub kawasan Maluku; dan sub kawasan Nusa Tenggara. Ironisnya burung-burung di kawasan Wallacea adalah yang paling sedikit diidentifikasi, Beberapa diantaranya termasuk kedalam jenis yang paling terancam punah di dunia (Collar dkk 1994 dalam Coates dan Bishop, 2000). Sedangkan Sub kawasan Sulawesi merupakan
143
kawasan dengan avifauna yang terkaya dan paling tinggi endemisitasnya di kawasan Wallacea, bahkan dari wilayah daratan lain di muka bumi (Supriatna, 2008). Nuri Talaud (Eos histro) merupakan salah satu jenis avifauna endemik Wallacea khususnya Sulawesi Utara yang mengalami ancaman kepunahan. Hal ini sesuai dengan laporan Lambert (1997) bahwa salah satu jenis burung yang terancam punah di Sulawesi Utara adalah nuri talaud (Eos histrio). Laporan BKSDA Sulut (2005) menyatakan bahwa penyebab utama meningkatnya status menjadi terancam punah adalah adanya perdagangan dan rusaknya habitat . Tulisan ini mengangkat pentingnya dan peluang konservasi E. histrio secara ex situ, sebagai upaya penyelamatan dari kepunahan jenis. Selain itu sebagai tindak lanjut adanya peraturan kemenhut No. 57 tahun 2008 yang memasukkan E. histrio dalam satwa prioritas utama konservasi. II. KONDISI DAN PELUANG KONSERVASI SAMPIRI A. Ekologi, Distribusi dan Status Sampiri 1. Ekologi Sampiri Nuri talaud (E. histrio) atau lebih dikenal dengan nama lokal Sampiri merupakan burung endemik Sulawesi Utara, termasuk dalam keluarga Psittacidae yang berukuran sedang. Burung nuri talaud memiliki warna dominan merah dan biru, berparuh kuning dan mata berwarna merah. Biru keunguan pada bagian mahkota/kepala depan. Biru pada mata, telinga dan melebar hingga belakang kepala leher hingga punggung. Garis biru juga terdapat pada dada. Bagian sayap dan ekor bawah berwarna biru dengan garis-garis hitam. Nuri talaud (E. histrio) memiliki tiga anak sub spesies yaitu E.h. histrio (Kepulauan Sangihe), E.h. talautensis (Kepulauan Talaud), E.h. callengeri (Pulau Miangas dan Kepulauan Nanusa). Kingdom
: Animalia
Phylum
: Chordata
Class
: Aves
Order
: Psittaciformes
Family
: Psittacidae
144 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peluang Konservasi Ex Situ……. Anita Mayasari dan Ady Suryawan
Genus
: Eos
Species
: Eos histrio
Sub species
: E. h. histrio (Kep. Sangihe) E. h. talautensis (Kep. Talaud) E. h. chalengeri (P. Miangas dan Kep. Nanusa)
Menurut informasi Birdlife (2011), di hutan burung ini mengkonsumsi buah dan serangga, namun terkadang dijumpai di areal pertanian sedang menghisap nektar bunga kelapa dan tanaman buah lain. Lidah burung nuri talaud memanjang seperti sikat yang didisain khusus untuk menjilat nektar dan serbuk sari. Biasa ditemukan bersarang di lubang pada pohon-pohon besar dan tinggi seperti Canarium sp., Pometia sp. dan Pterospermum celebicum (Lambert, 1997). Musim kawinnya pada bulan Mei-Juni dan menghasilkan telur yang biasanya berjumlah 1-2 butir. 2. Distribusi Sampiri Burung ini merupakan jenis endemik karena secara alami hanya terdapat di Kepulauan Sangihe-Talaud (hampir ditemukan secara khusus di Karakelong) Provinsi Sulawesi Utara. Habitatnya berada di Kepulauan Talaud yaitu terbentuk dari pulau-pulau karang antara lain : Karakelong, Salebabu dan Kaburuang dan sejumlah kepulauan kecil lainnya. Lebih ke selatan memanjang kepulauan vulkanis dari Sangihe, sampai ke arah selatan yaitu Biaro yang berada di ujung timur laut Sulawesi. (Coates dan Bishop, 2000). Namun demikian hanya ada satu populasi dari subjenis E.h. talautensis, yang populasinya dalam kondisi dapat bertahan hidup (Lambert, 1997).
145
Gambar 1. Peta persebaran Eos histrio di Kepulauan Sangihe-Talaud (Lambert, 1997) Coates dan Bishop (2000) menyatakan bahwa nuri talaud termasuk ke dalam spesies yang paling terancam di kawasan Wallacea dan tidak menutup kemungkinan mengalami kepunahan lokal di masa mendatang jika tidak ada upaya konservasi yang tegas. Populasinya di alam menurun secara tajam. Rusaknya habitat dan perdagangan liar menjadi kunci penyebab kepunahan jenis ini. Data investigasi tahun 2003 oleh Action Sampiri, lembaga internasional yang bergerak dalam upaya konservasi burung
Sampiri,
melaporkan
bahwa
total
burung
sampiri
yang
diperdagangkan di 3 (tiga) kampung yang menjadi basis penangkap dan pedagang selama periode 8 (delapan) tahun terakhir mencapai sekitar 6.480 ekor atau sekitar 810 ekor pertahun, sebagian besar untuk diselundupkan ke negara Filipina (Arini, 2011). Arini (2011) mengungkapkan bahwa ancaman kepunahan populasi burung Sampiri dipengaruhi oleh faktor perdagangan liar dan kondisi habitat pada pulau-pulau kecil. Kawasan di pulau kecil sangat rentan terhadap ancaman bencana alam seperti kenaikan permukaan air laut
146 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peluang Konservasi Ex Situ……. Anita Mayasari dan Ady Suryawan
akibat pemanasan global, abrasi air laut, intrusi air laut. Burung-burung yang mendiami pulau kecil dengan segala bentuk adaptasi dalam populasi kecilnya sangat rentan oleh aktivitas manusia. Hal ini sebagaimana pernah dikatakan Wood (2007) bahwa jika ingin melindungi burung-burung endemik pulau kecil, para pemerhati konservasi dapat memulainya dengan memahami bagaimana penduduk lokal mengatur sumberdayanya. 3. Status Konservasi Sampiri Sejak tahun 1994, CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) telah memasukkan nuri talaud kedalam daftar Appendix I, yang artinya dilarang diperdagangkan secara internasional. Namun kenyataannya, IUCN (International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources) menyebutkan sejak tahun 1999 sebanyak 1000-2000 ekor per tahun diselundupkan dari Karakelong, 80% diantaranya menuju Filipina. (Lambert, 1997). Sejak tahun 1994 pula IUCN sudah menetapkan Sampiri sebagai spesies terancam punah dengan status keterancaman Endangered atau genting. Artinya jenis ini menghadapi resiko kepunahan sangat tinggi di alam dalam waktu dekat. Pada tahun 1996 dilakukan survey lapangan untuk menilai status konservasi terbaru burung Sampiri dan sekali lagi menegaskan bahwa nuri talaud merupakan jenis endemik dan terancam punah, salah satu penyebab utama adalah penangkarapan liar untuk perdagangan (IUCN, 1997). Adanya masukan dan desakan dari berbagai lembaga terhadap pemerintah untuk melindungi kelestarianya, maka pada tahun 1999 sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, burung nuri talaud masuk dalam daftar burung dilindungi. PP ini ditindaklanjuti dengan penetapan kawasan Hutan Lindung Sahendaruman (3549 ha) dan Hutan Lindung (9000 ha) di Pulau Karakelong diperuntukkan bagi perlindungan dan pelestarian burung sampiri. Dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 57 Tahun 2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018, dijelaskan bahwa sampiri termasuk dalam kategori satwa prioritas sangat tinggi mengingat jumlahnya yang
147
semakin sedikit di alam sehingga diperlukan kegiatan penyadartahuan dan penegakan hukum dan sistem insentif. B. Upaya Konservasi Sampiri Arini (2011) menyebutkan bahwa
upaya
perlindungan dari
pemerintah yang sudah ada hingga saat ini belum
mengarah pada
kebijakan aspek pemanfaatan spesies yang dilindungi terbatas. Padahal menurunnya populasi sampiri di alam memerlukan upaya pelestarian yang lebih intensif. Metode pelestarian lain yang mungkin untuk dilakukan pengembangan adalah konservasi secara ex situ salah satunya dengan penangkaran. Menurut Mardiastuti (2007) melakukan penangkaran merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk sedikit menekan laju penurunan populasi burung di alam. Tidak hanya itu saja, kegiatan penangkaran juga dapat dimanfaaatkan untuk pendidikan, penelitian dan pengembangan ekowisata (Setio dan Takandjanji, 2006). Hasil penangkaran dapat dilepasliarkan ke alam, sesuai dengan aturan dan persyaratan yang berlaku. Sedangkan hasil keturunan F2 dan seterusnya dapat digunakan untuk tujuan komersiil. Kutilang (2011) menegaskan jika suatu jenis burung telah masuk dalam daftar Appendiks I CITES, berarti hanya burung hasil penangkaran yang dapat diperdagangkan secara internasional. Sehingga pengembangan penangkaran, khususnya jenis-jenis burung paruh bengkok endemik Indonesia harus segera dilakukan, tidak dapat ditawar lagi. Berdasarkan PP No.7 Tahun 1999, kegiatan koleksi dan penangkaran burung di daerah merupakan bagian dari pengelolaan diluar habitat (ex situ) dengan maksud untuk menyelamatkan sumberdaya genetik dan populasi jenis satwa burung dengan tetap memperhatikan kemurnian jenisnya. Kegiatan tersebut meliputi pemeliharaan, perkembangbiakan, serta penelitian dan pengembangannya. Penangkaran dapat dilakukan dengan cara pengembangbiakan satwa secara buatan dalam lingkungan yang terkontrol di dalam kandang. Lingkungan terkontrol merupakan lingkungan yang dimanipulasi untuk tujuan memproduksi jenis satwa tertentu. Lingkungan diberi batas yang jelas untuk menjaga keluar masuknya satwa, telur, atau gamet serta dicirikan dengan adanya rumah
148 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peluang Konservasi Ex Situ……. Anita Mayasari dan Ady Suryawan
buatan, pembuangan limbah, fasilitas kesehatan, perlindungan dari predator dan pemberian makanan secara buatan. C.
Dasar Kegiatan Penangkaran Sampiri di BPK Manado Kegiatan penangkaran satwa liar dilindungi merupakan kegiatan yang
mendapat pengawasan dari pemerintah. Beberapa dasar dalam melakukan kegiatan penangkaran burung sampiri di BPK Manado antara lain : 1. Keputusan Menteri Kehutanan No. 57 Tahun 2008 tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional 2008-2018 menjelaskan bahwa Sampiri termasuk dalam kategori satwa prioritas sangat tinggi. Selain itu minimnya data terutama dalam hal populasi di alam, penangkapan untuk perdagangan liar, tekanan hilangnya habitat, maka diperlukan suatu upaya penangkaran untuk menekan kepunahan. 2. Ketersediaan
sumberdaya
manusia
dan
biaya
yang
memadai.
Sumberdaya manusia dibutuhkan sebagai tenaga untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan teknis kegiatan penelitian penangkaran didukung oleh kesiapan anggaran dari lembaga yang akan melaksanakan kegiatan. 3. Prinsip-prinsip penangkaran paruh bengkok secara umum sudah ada, sehingga dapat menjadi acuan dan diaplikasikan pada prinsip-prinsip kegiatan penelitian penangkaran burung Sampiri. 4. Penelitian-penelitian terkait paruh bengkok khususnya di bidang habitat, pakan dan perkembangbiakan sudah sejak lama dilakukan. Hasil penelitian tersebut dapat dijadikan acuan dan diaplikasikan pada kegitan penelitian penangkaran burung sampiri. 5. Belum ada lembaga pemerintah/swasta yang secara khusus bergerak di bidang penangkaran burung sampiri. Dengan status kelangkaan genting, burung sampiri selaku satwa dengan prioritas sangat tinggi didesak untuk segera mendapatkan upaya konservasi yang nyata untuk menekan laju kepunahan di alam. Salah satunya adalah upaya penangkaran. III. STRATEGI PENANGKARAN SAMPIRI Penangkaran burung nuri talaud dapat dikembangkan melalui pendekatan dengan mengadaptasi prinsip-prinsip penangkaran burung paruh bengkok yang telah berhasil di Indonesia. Mengadaptasi prinsip
149
penangkaran menurut Setio dan Takandjadji (2006), PT Anak Burung Tropikana Bali (Cahyono, 2010), Haryoko (2005), Widodo (2006) serta informasi yang diperoleh dari penangkar burung paruh bengkok, maka dirumuskan beberapa strategi untuk menangkarkan burung Sampiri antara lain: 1. Penyiapan lingkungan biologi Lingkungan pemeliharaan burung diusahakan dibuat menyerupai habitat alaminya. Suasana yang teduh, nyaman, dekat dengan sumber pakan dan sekaligus aman dari ancaman sehingga burung dapat melakukan aktivitas hidupnya secara normal. Untuk kandang yang berukuran besar seperti kubah, misalnya dengan cara penanaman spesies tumbuhan yang tajuknya rindang, percabangan horizontal, pohon tidak terlalu tinggi, tidak berduri dan beracun, sumber pakan, dan berbuah sepanjang tahun, misalnya jenis Ficus spp. atau Muntingia calabura (talok/kersen). 2. Penyiapan lingkungan fisik Beberapa hal yang harus diperhatikan adalah pemilihan lokasi, bentuk dan ukuran kandang, dan jenis peruntukan kandang. Kandang burung harus terbuat dari bahan material yang kuat, tahan lama, anti karat, harga terjangkau dan perawatannya mudah dan murah. Astawa (2010) dalam Cahyono (2010) mengatakan bahwa kandang yang ideal dapat membangkitkan naluri burung untuk berbiak. Di alam burung paruh bengkok biasa menyukai sarang yang gelap dan dalam, sehingga diperlukan bahan dari kayu kelapa atau enau. Misalnya untuk burung Nuri ukuran kandangnya tidak terlalu besar, namun tetap dapat bergerak dengan leluasa dan tidak tertekan. Sehingga burung merasa nyaman di kandang. Bentuk, ukuran dan penempatan kandang harus disesuaikan dengan jumlah burung yang akan dipelihara. Perawatan kebersihan dan pengecekan kondisi kandang harus dilakukan secara rutin. Jika ada kerusakan, kandang harus segera diperbaiki. Kandang dicuci dan disikat dengan cairan pembersih/deterjen. Agar lebih steril dilakukan penyemprotan desinfektan secara rutin dengan dosis yang tepat. Desinfektan berfungsi membunuh bakteri, kuman penyakit, parasit,
150 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peluang Konservasi Ex Situ……. Anita Mayasari dan Ady Suryawan
jamur, kutu dan virus yang dapat menyebabkan burung sakit. Pengolahan limbah dari kotoran dan sisa pakan burung dilakukan untuk mencegah pencemaran maupun penyebaran penyakit. Sanitasi lingkungan yang baik berperan penting bagi kesehatan burung maupun orang-orang yang beraktivitas di sekitarnya. 3. Penyiapan dan pemeliharaan burung Indukan burung yang akan dipelihara harus dipilih yang kondisi fisiknya yang sehat, tidak cacat dan berpenyakit, diusahakan sudah dewasa dan mencapai usia matang seksual, persentase indukan jantan dan betina harus seimbang, dan asal-usul harus jelas untuk menghindari kemungkinan inbreeding satu turunan dan harus berasal dari galur murni. Penandaan burung dilakukan dengan cara memasang cincin/ring khusus pada kaki burung. Penandaan ini berfungsi untuk mengetahui silsilah, umur, jenis kelamin, sekaligus sebagai penanda bahwa burung tersebut adalah burung penangkaran. Penjodohan diusahakan dilakukan secara alami dengan cara menempatkan beberapa pasang burung didalam satu kandang dan membiarkannya untuk memilih sendiri pasangan yang diiinginkannya. Kemudian memisahkan pasangan yang telah terbentuk ke kandang masingmasing. Selama beberapa waktu pasangan burung harus tetap diawasi agar tidak saling bertengkar. Selanjutnya adalah faktor yang berkaitan dengan pakan. Astawa (2010) dalam Cahyono (2010) menambahkan bahwa faktor lain untuk mendorong naluri berbiak nuri yaitu kecukupan pakan. Pakan yang diberikan pada burung harus berkualitas baik dan mampu memenuhi komposisi kecukupan kebutuhan nutrisinya, serta sesuai dengan sistem metabolisme burung.
Burung yang sehat dan tercukupi kebutuhan
pakannya otomatis akan segera berbiak. Menurut Haryoko (2005) dan Widodo (2006) salah satu faktor unsur pakan yang dapat meningkatkan naluri berbiak burung adalah protein. Yang harus diperhatikan adalah jenis, proporsi dan cara pemberian pakan yang dibedakan antara indukan dan anakan. Perawatan kesehatan burung dilakukan dengan cara pemberian
151
suplemen (vitamin dan mineral) yang biasanya tidak terdapat dalam kandungan pakan yang diberikan. Kegiatan pemeriksaan kesehatan oleh ahli medis harus diagendakan secara rutin. 4. Pengelolaan penangkaran Penerapan SOP (Standard Operasional Procedure) dalam kegiatan penangkaran burung
dimaksudkan agar burung dapat hidup dan
berkembangbiak dengan baik, lingkungan tetap sehat dan bersih dari sumber penyakit. SOP meliputi tatacara pengadaan dan pengiriman burung, penerimaan dan karantina burung, adaptasi dan penempatan, pengelolaan pakan dan obat-obatan, pengelolaan kebersihan kandang dan lingkungan, pengelolaan kesehatan dan pengendalian penyakit, pengelolaan reproduksi dan pembesaran anakan serta pengelolaan catatan kejadian. IV. KESIMPULAN Kegiatan penangkaran burung sampiri bukan hal yang tidak mungkin dilakukan. Melalui pemilihan strategi yang tepat berlandaskan hasil-hasil penelitian burung paruh bengkok yang sudah pernah dilakukan disesuaikan dengan karakteristik ekologi dari burung sampiri sendiri merupakan modal yang cukup memadai untuk mengembangkan teknologi penangkaran burung sampiri. DAFTAR PUSTAKA Arini, D.I.D. 2011. Redupnya Nyanyian Sampiri (Eos histrio) dari Bumi Talaud. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. Birdlife,
2011. Red and Blue Lory Eos histrio. Diakses dari http://www.birdlife.org/datazone/speciesfactsheet.php tanggal 20 Juli 2011.
BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) Sulut. 2005. Inventarisasi Satwa Endemik di Suaka Margasatwa Karakelong, Kabupaten Talaud. BKSDA Sulut. Manado.
152 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peluang Konservasi Ex Situ……. Anita Mayasari dan Ady Suryawan
Cahyono.D.S. 2010. Beternak Burung Paruh Bengkok Lokalan Ternyata Mudah. Diakses dari http://www.klubburung.com tanggal 2 Juli 2011. Coates, B.J dan Bishop, K.D. 2000. Panduan Lapangan Burung-Burung di Kawasan Wallacea. Birdlife Internasional-Indonesia Programme & Dove Publikation Pty. Ltd. Bogor. Haryoko. T. 2005. Evaluasi Kualitas Nutrisi Pakan Burung Perkici Pelangi (Trichoglossus haematodus ) di Kandang Penangkaran Zoologi. Laporan Teknik Pengembangan Burung Perkici yang Diperdagangkan. Bidang Zoologi-Pusat Penelitian Biologi. LIPI. Cibinong. Diakses dari www.elib.pdii.go.id pada tanggal 20 September 2011. Lambert, Dr.F.R. 1997. Pengkajian Lapangan tentang Status Konservasi Nuri Talaud di Indonesia. IUCN Species Survival Commission. IUCN. Bangkok. Mardiastuti. A. 2007. Dan Burungpun Mendunia.Majalah Burung No. IV. Ed. Maret Hal. 3-7. Burung Indonesia. Bogor. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor & Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Diakses dari http://www.dephut.go.id tanggal 15 Juli 2011. Setio. P dan Takandjadji, M. 2006. Konservasi Ex Situ Burung Endemik Langka Melalui Penangkaran. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumberdaya Hutan. 20 September 2006. Padang. Diakses dari www.dephut.go.id/file/pujo_mariana.pdf tanggal 23 Juli 2011. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 57 Tahun 2008 Tentang Arahan Strategis Konservasi Spesies Nasional Tahun 2008 – 2018. Diakses dari http://www.dephut.go.id/files/P57_08.pdf tanggal 5 Januari 2012. Wood. P. 2007. Pulau-Pulau Kecil Butuh Upaya Besar. Majalah Burung No. VI Ed. Juli Hal. 26-28. Burung Indonesia. Bogor.
153
Widodo. W. 2006. Studi Pakan Burung Perkici Pelangi (Trichoglossus haematodus Linnaeus, 1771) dalam Laboratorium Penangkaran. Biota Vol. XI (3): 146-151 Oktober. Diakses dari www.isjd.pdii.go.id/admin/jurnal/11306146151.pdf tanggal 25 September 2011.
154 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Arboretum BPK Manado……. Sumarno N. Patandi
ARBORETUM BPK MANADO, “Sebuah bentuk konservasi ex situ di kawasan Wallacea” Sumarno N. Patandi Balai Penelitian Kehutanan Manado Jalan. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email :
[email protected]
RINGKASAN Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi, namun karena pengelolaannya yang kurang bijaksana sehingga mengikis kekayaan hayati tersebut. Lambat namun pasti predikat mega biodiversity country kini bergeser menjadi hotspot country, yaitu negara yang mempunyai tingkat ancaman kepunahan keanekaragaman hayati paling tinggi. Tingginya pemanfaatan kayu pertukangan sebagai bahan baku perumahan di wilayah Sulawesi Utara membuat makin sulitnya memperoleh kayu-kayu potensial di alam. Untuk mencegah terjadinya kepunahan pada jenis-jenis tertentu terutama spesies tumbuhan berpotensi maka sejak tahun 2011 Balai Penelitian Kehutanan Manado telah membangun arboretum seluas 5,8 ha dalam rangka mengelola keanekaragaman hayati. Tumbuhan yang terdapat di Arboretum sebanyak 50 jenis dengan jumlah individu sebayak 681 tumbuhan, diantaranya jenis – jenis unggulan lokal Sulawesi Utara seperti Palaquium obtusifolium, Emerrillia ovalis, Magnolia elegans dan jenis endemik Sulawesi yaitu Diospyros minahasae dan Diospyros celebica. Terdapat juga kelompok buah – buahan seperti Pometia pinnata, Canarium asperum, Tricalysia minahasae, Lansium domesticum serta tanaman hutan lainnya. Pembangunan Arboretum ini diharapkan dapat mendorong upaya konservasi ex situ di setiap daerah guna menjaga kelestarian keanekaragaman hayati. Kata Kunci : Arboretum, Konservasi ex situ, Tumbuhan, BPK Manado
I. PENDAHULUAN Letak geografis, topografi dan keadaan iklim Indonesia memberi dampak positif bagi terciptanya keanekaragaman hayati tropika yang sangat besar. Kawasan Wallacea yang terdiri atas Pulau Sulawesi, sebagian Maluku, Kepulauan Banda dan Nusa Tenggara Barat sangat kaya akan keragamanan hayati, baik di darat ataupun di lautan dan menjadi surga bagi para pecinta
155
flora dan fauna. Untuk tumbuhan, kawasan Wallacea diperkirakan memiliki lebih dari 10.000 jenis tumbuhan, di mana 15% diantaranya merupakan jenis yang endemik (Anonim 2012). Keegoisan manusia dalam pengelolaan keanekaragaman hayati pada beberapa dasawarsa terakhir ini telah merusak dan menggerogoti kekayaan alam yang kita miliki. Lambat namun pasti predikat mega biodiversity country kini telah bergeser menjadi hotspot country, yaitu negara yang mempunyai tingkat ancaman kepunahan keanekaragaman hayati paling tinggi. Mekanisme yang paling efektif dan efisien dalam upaya melestarikan keanekaragaman hayati adalah dengan mencegah destruksi atau degradasi habitat
(Hastari 2005). Dalam melestarikan populasi masing- masing
spesies dan gen, berbagai usaha konservasi telah dilakukan, yaitu pilihan proteksi in-situ seperti program manajemen hutan belantara hingga proteksi ex-situ melalui kebun botani, kebun binatang, bank genetika dan arboretum. Mengacu kepada Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah (2002) salah satu bentuk pelestarian keanekaragaman hayati ex-situ adalah arboretum, arboretum merupakan tempat koleksi botani yang khusus diisi dengan jenis pepohonan. Keanekaragaman pohon diwakili di dalamnya, sehingga arboretum dapat berfungsi sebagai kebun plasma nutfah pepohonan. Pada umumnya arboretum menampung semua jenis tanaman tahunan seperti buah-buahan, industri, dan perkebunan baik yang langka maupun yang telah dibudidayakan. Penanaman pohon dalam kebun arboretum biasanya disesuaikan dengan keadaan di alam, tanpa menganut sistem budidaya, tanpa memperhatikan jarak tanam atau arahnya. Namun tata letaknya harus mempertimbangkan arah sinar matahari. Dengan cara demikian arboretum akan terkesan sebagai hutan buatan. Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan tahapan – tahapan pembangunan arboretum BPK Manado dan jenis-jenis tumbuhan koleksinya. Diharapkan informasi yang diperoleh dapat bermanfaat bagi semua stakeholder yang peduli terhadap usaha pelestarian sumberdaya alam hayati.
156 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Arboretum BPK Manado……. Sumarno N. Patandi
II. PEMBANGUNAN ARBORETUM BPK MANADO Dalam rangka mensukseskan pembangunan kehutanan serta mempertahankan keanekaragaman hayati, sejak tahun 2011 BPK Manado telah merintis pembangunan arboretum. Areal arboretum dengan luas 5,8 ha dibangun dalam kompleks perkantoran BPK Manado yang merupakan wilayah administrasi Kelurahan Kima Atas, Kecamatan Mapanget, Kota Manado. Arboretum yang dibangun mengemban fungsi sebagai tempat koleksian hidup berbagai jenis tumbuhan hutan, dengan tujuan sebagai tempat penelitian dan praktek pendidikan yang terkait dengan bidang kehutanan dan lingkungan hidup serta sumber benih dalam jumlah terbatas. Sesuai dengan rancangan awal, koleksi Arboretum BPK Manado merupakan perwakilan flora Sulawesi Utara, Gorontalo dan Maluku Utara. Tahun 2011, diawali dari koleksi Sulawesi Utara yang merupakan hasil eksplorasi dan kini telah dilakukan penanaman untuk koleksi jenis-jenis tumbuhan
Sulawesi
Utara.
Diharapkan
eksplorasi
berikut
dapat
dilaksanakan di daerah Gorontalo, dan Maluku Utara agar sesuai dengan konsep rancangan awal Arboretum BPK Manado. Tahapan pembangunan Arboretum BPK Manado akan diuraikan sebagai berikut. A. Eksplorasi Eksplorasi flora merupakan bagian kegiatan yang tidak terpisahkan dari arboretum karena dari kegiatan ini akan diperoleh koleksi asli dari hutan. Banyaknya jenis tumbuhan hutan memungkinkan untuk terus digali sebagai sumber-sumber genetik yang tersebar di areal-areal hutan. Pengumpulan materi genetik dengan cara melakukan peninjauan dan pengambilan langsung ke lapangan materi tumbuhan yang dibutuhkan, baik berupa benih/ biji maupun anakan dari cabutan yang berasal dari pohon induk yang sesuai dengan kaidah ilmiah. B. Identifikasi tumbuhan Identifikasi jenis tumbuhan dilakukan dengan mencocokkan setiap nama daerah yang diketahui dengan nama ilmiah dalam buku identifikasi jenis tanaman hutan (Tree Flora Of Indonesia Check List For Sulawesi, Atlas
157
Kayu, Tumbuhan Berguna, website www.plantamor.com dan lain – lain). Untuk memastikan penamaan ilmiah yang benar digunakan website www.ipni.org. C. Penataan lokasi koleksi dan penanaman Penataan lokasi Arboretum BPK Manado dibagi ke dalam beberapa bagian yang dipisahkan oleh jalan, saluran air dan bangunan kantor dan diberikan tanda plang berupa simbol hurup. Kemudian setiap bagian dibagi kedalam petak-petak dan setiap petak ditandai dengan angka romawi. Peta lokasi arboretum dapat dilihat pada gambar 1.
Gambar 1. Peta Arboretum BPK Manado
Penanaman tumbuhan koleksi dikelompokkan berdasarkan famili untuk memperlihatkan hubungan kekerabatanya. Untuk tujuan penelitian dibuat petak khusus untuk jenis-jenis eboni dari marga Diospyros, dan jenis-
158 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Arboretum BPK Manado……. Sumarno N. Patandi
jenis cempaka. Untuk jenis-jenis tanaman hutan rakyat disatukan dalam satu blok. Jarak tanam yang digunakan adalah 3 x 3 m, lubang tanam dibuat dengan ukuran 20 – 40 cm atau disesuaikan dengan ukuran bibit. Pupuk dasar yang digunakan untuk masing-masing individu adalah pupuk kompos dengan dosis 100 gr/ tanaman yang diberikan pada saat awal penanaman. D. Pemeliharaan Pemeliharaan tumbuhan pasca tanam dilakukan selama tahun berjalan yang bertujuan untuk menciptakan ruang tumbuh optimal bagi perkembangan tanaman
(Zobel dan Talbert 1984). Beberapa kegiatan
pemeliharaan yang dilaksanakan diantaranya penyulaman terhadap beberapa jenis tumbuhan yang memang relatif sulit beradaptasi dengan kondisi lingkungan arboretum. Penyiraman musim
dilakukan
kemarau
pada sampai
tumbuhan dapat hidup dengan baik. Penyemprotan insektisida dilakukan terhadap beberapa tanaman yang terserang hama dan penyakit. Pendangiran dan pemberian
pupuk
lanjutan
berupa pupuk NPK butir dengan dosis 100 gr/tanaman dilakukan pada
tumbuhan
setelah
berumur sekitar tiga bulan.
Gambar 2. Kegiatan pemeliharaan
E. Evaluasi tanaman Pemantauan dan evaluasi koleksi dilaksanakan secara rutin mencakup status koleksi, lokasi keberadaanya, kelengkapan nomor dan papan nama koleksi sehingga dapat segera dilakukan tindakan yang tepat
159
(Lestari 2007). Inventarisasi dengan sistem sensus 100% terhadap tanaman di arboretum dilakukan untuk mendapatkan data pertumbuhan secara lengkap terhadap keberadaan jenis-jenis tumbuhan di arboretum. Pengukuran tinggi dilakukan dengan menggunakan mistar (1 meter) sedangkan
pengukuran
keliling
menggunakan
kaliper.
Informasi
pertumbuhan ini sangat penting untuk mengetahui kemampuan adaptasi setiap jenis di areal arboretum. F. Dokumentasi koleksi tumbuhan Pendataan pada setiap tumbuhan koleksi dilakukan secara sistematis sehingga seluruh tumbuhan koleksi terdokumentasi dengan baik. Data dan informasi yang dicatat terdiri atas asal usul koleksi seperti tanggal koleksi, habitat asal, lokasi asal, kondisi populasi alami, tanggal dan lokasi tanam di Arboretum serta data pendukung lainnya. Masing-masing tumbuhan koleksi di arboretum diidentifikasi dengan label yang menunjukkan nama lokal, nama ilmiah, famili dan nomor koleksi yang berhubungan dengan database. Tumbuhan hutan yang menjadi koleksi hingga saat ini di Arboretum BPK Manado tercatat sebanyak 50 jenis yang terbagi dalam 26 famili yang berbeda, dengan jumlah individu tanaman keseluruhan sebanyak 681 tanaman. Jenis-jenis tanaman koleksi Arboretum BPK Manado disajikan pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Tanaman koleksi Arboretum BPK Manado No
Nama Lokal
Nama Latin
1
Nyatoh
Palaquium obtusifolium Burck.
2
Cempaka
Magnolia elegans ( Blume.) H. Keng
3
Wasian
Emerrillia ovalis ( Miq ). Dandy
4
Lea
Durio kutejensis ( Hassk. ) Beec
5
Sengon
Albizia falcataria
6
Kayu manis
Cinnamomun burmannii
7
Linggua
Pterocarpus indicus
8
Ketapang
Terminalia Catappa
9
Putat
Baringtonia sp.
10
Kayu bugis
Koordersiodendron Pinnatum
11
Kapuraca
Calophyllum inophyllum
160 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Status
VU
VU
LC
Arboretum BPK Manado……. Sumarno N. Patandi
No
Nama Lokal
Nama Latin
12
Pakoba
Tricalysia minahasae Comb. Nov
13
Duku
Lansium domesticum
14
Kenanga
Cananga odorata
15
Kenari
Canarium asperum
16
Kemiri
Aleurites moluccana
17
Waru
Hibiscus tiliaceus
18
Eboni
Diospyros rumphii Bakh
19
Eboni
Diospyros ebenum Koenig
20
Eboni
Diospyros pilosanthera Blanco
21
Eboni
Diospyros minahasae Bakh
23
Jabon merah
Anthocephalus macrophyllus ( Roxb).
Status
LC
E
Havil 24
Jati putih
Gmelina arborea
25
Mahoni
Swietenia macrophylla
26
Bancana
Gymnachranthera paniculata
27
Jambu mente
Anacardium occidentale
28
Pinus
Pinus merkusii
29
Damar
Agathis dammara ( Lambert ). L. C. Rich
30
Matoa
Pometia pinnata
31
Manggis
Garcinia bancana
32
Beringin
Ficus celebensis.
33
Meranti
Shorea sp.
34
Kapulu
Pipturus argenteus (G.Forst) Wedd
35
Lansat
Aglaia argentea
36
Trembesi
Samanea saman
37
Ficus
Ficus sp.
38
Sukun
Artocarpus sp.
39
Cemara
Casuarina sp.
40
Spathodea
Spathodea campanulata
41
Durian
Durio sp.
42
Eboni
Diospyros celebica Bakh
43
Eboni
Diospyros malabarica (Desr.) Kostel
45
Eboni
Diospyros kortalsiana Hiern.
46
Eboni
Diospyros cauliflora Blume.
VU
E/VU
161
No
Nama Lokal
Nama Latin
47
Eboni
Diospyros lolin Bakh
48
Jabon
Anthocephalus cadamba
49
Eboni
Diospyros hebecarpa A.Koenig
50
Eboni
Diospyros Philipinensis A.DC
Status
Keterangan: VU (Vulnerable); LC (least concern);(E (Endemik)
Kayu hitam atau kayu eboni merupakan jenis kayu komersil yang memiliki nilai jual yang sangat tinggi karena sifat fisik dan keindahan kayunya. Terdapat sebelas jenis kayu hitam di Arboretum BPK Manado, diantaranya Diospyros celebica, Diospyros rumphii, Diospyros minahasae, Diospyros lolin dan lain-lain. Untuk jenis Diospyros celebica dan Diospyros minahasae, merupakan dua jenis dari marga Diospyros yang penyebarannya hanya terbatas di Sulawesi sehingga menjadi jenis flora endemik Sulawesi. Jenis - jenis pohon penghasil buah banyak ditanam di Arboretum BPK Manado seperti Pometia pinata, Canarium asperum, Tricalysia minahasae, Lansium domesticum, dan lain-lain. Selain untuk koleksi juga mempunyai nilai ekonomi dari buahnya, dimana buah- buahan merupakan salah satu komoditas yang mempunyai nilai ekonomi yang cukup penting di pasar perdagangan. Terdapat juga satu jenis introduksi, yaitu jenis Durio kutejensis, dimana jenis ini termasuk dalam golongan durian liar asal Kalimantan yang saat ini kondisinya sedang menghadapi risiko kepunahan
Gambar 3. Tanaman koleksi Arboretum BPK Manado
162 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Jenis-jenis lain seperti, Palaqium obtusifolium, Emerrillia ovalis, Magnolia elegans , juga terdapat di Arboretum BPK Manado. Jenisjenis tersebut merupakan jenisjenis tanaman hutan rakyat yang menjadi unggulan lokal Sulawesi Utara. Ketiga jenis tersebut sudah lama digemari masyarakat Sulawesi utara bahan baku utama pembuatan rumah/rumah adat dan mebeler/peralatan rumah tangga.
Arboretum BPK Manado……. Sumarno N. Patandi
Berdasarkan status IUCN Red List, jenis Diospyros celebica, Durio kutejensis, Pinus merkusii dan Pterocarpus indicus, masuk dalam status vulnerable yaitu sedang menghadapi risiko kepunahan di alam liar pada waktu yang akan datang atau rentan kepunahan. Terdapat juga dua jenis tanaman koleksi yang telah dievaluasi namun tidak masuk ke dalam kategori manapun, diantaranya Calophyllum inophyllum dan Canarium asperum.
Untuk
jenis-jenis
yang
rentan
kepunahan,
selain
mempertahankan koleksi yang sudah ada akan terus diupayakan penambahan koleksi di Arboretum BPK Manado. III. STRATEGI ARBORETUM BPK MANADO DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA GENETIK Kegiatan arboretum sangat kental dengan ilmu botani dan cabangcabangnya. Keberadaannya diharapkan dapat memberikan manfaat semaksimal mungkin bagi masyarakat luas sehingga perlu pengelolaan yang sebaik-baiknya. Keakuratan data ilmiah adalah kunci utama yang diemban, karena itu seluruh aktivitas di dalam arboretum harus didukung oleh sumberdaya manusia yang memadai. Pengelolaan Arboretum BPK Manado dilakukan oleh satu unit kerja yang saling terkait satu sama lain. Untuk pendataan koleksi dibentuk tim tersendiri yang mengelola data dan menginventarisasi koleksi periode tertentu serta mengelola data seluruh tanaman koleksi. Tugas lainnya adalah pembibitan yang bertugas merawat bibit tanaman koleksi dari hasil eksplorasi maupun dari sumber lainya agar tumbuh maksimal. Untuk keperluan masyarakat luas yang berminat kepada tumbuh-tumbuhan hutan akan disediakan di persemaian. Selain mempertahankan koleksi yang sudah ada, akan terus diupayakan penambahan koleksi baik dari hasil eksplorasi, pertukaran material koleksi, maupun sumbangan dari institusi atau perorangan. Untuk mengembangkan segala potensi yang ada di arboretum, dilakukan penelitian oleh kelompok peneliti dengan basis tanaman koleksi. Dari kegiatan penelitian ini diharapkan akan melahirkan penemuan-penemuan baru yang bermanfaat untuk manusia.
163
IV. KENDALA DAN TANTANGAN Mengingat pembangunan Arboretum BPK Manado masih dalam tahap penyiapan tanaman koleksi maka kendala utama yang dihadapi adalah kurang lancarnya pengelolaan pembibitan. Hal ini berkaitan dengan terbatasnya tenaga teknis yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan pembibitan, akibatnya kualitas pertumbuhan bibit kurang terjamin. Namun dengan penambahan tenaga teknis dalam pengelolaan pembibitan diharapkan kendala ini dapat segera teratasi. Dalam penyelenggaraan kegiatan konservasi ex situ dihadapkan pada kendala-kendala sehingga belum banyak terbangun areal untuk tujuan tersebut. Kendala yang dihadapi diantaranya adalah memerlukan kegiatan eksplorasi dan penelitian terlebih dahulu. Hal ini dilakukan untuk melihat adanya kecocokan terhadap daerah atau lokasi sebelum kegiatan tersebut dilakukan, disamping itu pada kegiatan ini dibutuhkan pula dana yang cukup besar serta tersedianya tenaga dan orang yang berpengalaman (Sudarmadji 2002). Kendala-kendala inilah yang menyebabkan pengelolaan sumberdaya hayati belum tertangani dengan baik. Setiap daerah mempunyai jenis tumbuhan hutan yang spesifik dan ini merupakan potensi yang dapat dikembangkan dengan membangun arealareal konservasi ex situ yang efektif dan efisien seperti arboretum. Kekurangan tenaga ahli di tingkat daerah dapat diatasi dengan melibatkan peneliti dibidang konservasi. Teknisi kehutanan diharapkan juga mampu mendampingi kelompok pelaksana dalam merencanakan dan melaksanakan kegiatan tersebut. Kolaborasi antara potensi daerah dengan tenaga ahli yang ada akan menghasilkan areal konservasi ex situ secara ilmiah dan aplikatif. Kolaborasi semua pihak diharapakan dapat memecahkan kendalakendala yang dihadapi dalam upaya pelestarian tanaman hutan. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Tumbuhan yang dikonservasi di Arboretum BPK Manado sampai akhir tahun 2011 sebanyak 681 tanaman, terdiri dari 50 jenis yang terbagi dalam 26 famili yang berbeda.
Diantaranya jenis-jenis penghasil buah seperti
164 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Arboretum BPK Manado……. Sumarno N. Patandi
Pometia
pinñata,
Canarium
ovatumTricalysia
minahasa,
Lansium
domesticum, Aleurites moluccana (L) Willd dll. Jenis endemik yaitu Diospyros minahasae, Diospyros celebica dan jenis-jenis tumbuhan hutan lainnya yang banyak terdapat di kawasan hutan Sulawesi Utara. B. Saran Posisi Arboretum BPK Manado yang strategis di pusat kota Manado dengan kondisi alam yang sejuk dan indah serta tumbuhan koleksi yang dipilihnya akan menjadi kekuatan tersendiri bagi arboretum ini untuk dapat berkiprah ditingkat lokal, nasional maupun internasional, namun hal ini hanya akan terealisasi bila mendapat dukungan yang memadai dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2012. Restorasi-Ekosistem. http://www.wallacea.org. Di akses tanggal 4 februari 2012. Hastari. B. Karakteristik Objek Wisata dan Persepsi Masyarakat Sebagai Dasar Dalam Pengembangan Wisata Alam Study Kasus Arboretum Nyaru Menteng Palangkaraya. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Lestari. 2007. Panduan Penanaman dan Pemeliharaan Tumbuhan Koleksi Kebun Raya. Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor, LIPI. Bogor. Komisi Nasional Plasma Nutfah. 2002. Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah. Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta. IUCN. 2011. The IUCN Red List Treathened Species. http://www.iucnredlist. org. Di Akses Tanggal 18 Januari 2011. Sudarmadji, 2002. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Konservasi Sumber Daya Alam Hayati di Era Pelaksanaan Otonomi Daerah. Universitas Jember. Jember.
165
Zobel,B., and J.Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Wiley and Sons. New York.
166 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Struktur dan Komposisi Vegetasi….. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
STRUKTUR DAN KOMPOSISI VEGETASI HABITAT EBONI (Diospyros spp.) PADA HUTAN DATARAN RENDAH DI CAGAR ALAM TANGKOKO Julianus Kinho 1), Ady Suryawan 2) dan Titiek Setyawati 3) 1,2)
Balai Penelitian Kehutanan Manado JL. Raya Adipura, Kel.Kima Atas, Kec.Mapanget, Manado; Telp. 0431-3666683 1) 2)
[email protected],
[email protected] 3) Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl.Gunung Batu No.5 Po Box 165; Telp. 0251 633234; Fax 0251 638111 Bogor
[email protected]
RINGKASAN Eboni memiliki kualitas kayu yang sangat tinggi, selain sifat fisika yang kuat, keindahan serat merupakan alasan utama dari pemanfaatan kayu eboni. Eksploitasi kayu eboni sudah dilakukan sejak abad ke-18 dan setelah tahun 1955 mengalami penurunan jumlah tebangan, pada tahun 1969 sampai 1982 berhasil dicatat 3 sebesar 114.341,678 m sehingga menyebabkan populasi eboni semakin terbatas dan terancam punah. Pertumbuhan eboni yang lambat dan permudaan yang sulit tidak mampu mengimbangi laju eksploitasi di alamnya, sehingga perlu adanya upaya untuk menghindari kepunahan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari struktur dan komposisi vegetasi habitat eboni di hutan dataran rendah Cagar Alam Tangkoko, Sulawesi Utara. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pihak pengelola kawasan CA.Tangkoko dalam rangka penyelamatan jenis eboni di Sulawesi Utara. Penelitian dilakukan di sekitar Sungai Kali Bersih dengan plot pengamatan sebanyak 5 jalur berukuran 20 x 300 meter. Analisa dilakukan dengan menghitung nilai INP dan Indeks Shannon untuk mengetahui jenis-jenis dominan dan kestabilan komunitas terhadap lingkungannya. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat 86 jenis dari 34 suku di hutan dataran rendah. Kenanga (Cananga odorata) merupakan jenis paling dominan, terbukti pada kelima jalur didominasi jenis ini dan pada jalur kedua INPnya mencapai 106,70%. Kerapatan pohon diameter >10 cm mencapai 244,7/ha dengan LBDS 2 29,539 m /ha dan pada tingkat permudaan kerapatan mencapai 533/ha. Hubungan kelas diameter dan jumlah individu membentuk kurva huruf J terbalik, menandakan bahwa komunitas ekosistem masih akan berkembang. Delapan jenis eboni yang berhasil ditemukan yaitu D. cauliflora Blume., D. ebenum Koen., D. hebecarpa Cunn. Ex Benth., D. khortalsiana Hiern. D. malabarica (Desr.) Kostel., D. maritima Blume., D. minahassae Bakh., dan D. pilosanthera Blanco., dengan populasi dan permudaan yang sangat terbatas. Hal ini dipengaruhi oleh sifat
167
genetik eboni dan adanya kompetisi antar jenis yang kuat, sehingga perlu adanya upaya khusus untuk menghindari kepunahan. Secara keseluruhan, CA Tangkoko dilihat dari fungsi konservasi dan ekologi masih baik karena mampu memberikan perlindungan bagi satwa, mata air, dan beberapa aspek pemanfaatan lainnya seperti ekowisata, pendidikan dan penelitian. Kata Kunci : Struktur, Komposisi, Eboni, Cagar Alam, Tangkoko
I. PENDAHULUAN Kayu eboni memiliki nilai ekonomi tinggi, selain keindahan serat dan warna kayunya, jenis ini memiliki kekerasan yang tinggi, sehingga dimasukkan kedalam kategori jenis eksotik. Eboni merupakan anggota suku Ebenacea, Marga Diospyros termasuk Lissocarpa dan Maba, memiliki antara 400 hingga 500 jenis yang tersebar di daerah pantropis (Sunaryo, 2003). Bukil dalam Sunaryo (2003) mengatakan bahwa dibeberapa negara, Diospyros merupakan tumbuhan penghasil buah yang banyak disukai seperti buah kesemek (D. kaki) di Asia Timur, buah datel (D. lotus) di daerah Asia Barat, ataupun buah persimmon (D. virginiana) di daerah Amerika Utara, namun nilai ekonomi dari jenis-jenis tersebut terutama adalah pada kualitas kayunya. Memang tidak semua jenis memiliki kayu yang baik, namun setidakya di beberapa negara dikenal jenis penghasil kayu berkualitas tinggi seperti D. ebenum di Srilangka, D. reticulate di Maruritius dan D. celebica di Sulawesi. Karena keunggulan tersebut maka kayu eboni banyak dimanfaatkan sebagai bahan mewah untuk bangunan perumahan, mebeler, bahan-bahan kerajinan dan lain sebagainya. Keindahan kayu eboni terutama ditentukan oleh tekstur, komposisi dan struktur serat-serat yang menyusunya yang terdiri dari warna gelap dan terang. Proses ini oleh Baker et. all (1992) dijelaskan bahwa kualitas kayu terbentuk dari hasil genotip dan fenotip. Perkembangan akar, batang, cabang, daun, dan pertumbuhan pucuk puncak pohon merupakan fungsi genotipe, sedangkan lingkungan pertumbuhan bersifat periodisitas yang menyebabkan warna gelap saat mengalami berhenti bertumbuh dan terang saat mengalami pertumbuhan. Keadaan ini terlihat kontras pada negara yang memiliki dua musim.
168 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Struktur dan Komposisi Vegetasi……. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
Pemungutan kayu eboni khususnya jenis D. celebica telah dilakukan sejak abad ke-18 dan mengalami penurunan ekspor sejak tahun 1955. Menurut Sanusi (2002) volume tebangan kayu eboni yang berhasil tercatat selama kurun waktu 1969 sampai 1982 sebesar 114.341,678 m3 sehingga menyebabkan populasi eboni semakin terbatas dan terancam punah. Untuk melindunginya, IUCN menetapkan stastusnya dengan kategori “rentan” (vulnerable) dan CITES memasukannya ke dalam kelompok Apendiks 2. Pemerintah menetapkan eboni menjadi jenis dilindungi dengan keluarnya PP No. 7 tahun 1999. Penyebaran alami eboni di Indonesia meliputi seluruh pulau Jawa, Sulawesi, Maluku, Kalimantan, sebagain Nusa Tenggara dan bagian barat Irian Jaya. Menurut Alrasyid (2002) eboni yang memilik penyebaran paling luas adalah D. ferrea yaitu seluruh Jawa, Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara, dan paling sempit D. celebica hanya di Sulawesi. Pertumbuhan eboni di alam dilaporkan berasosiasi dengan jenis pohon lain seperti Canarium asperum, Pometia pinnata, Dracontomelon mangiferum, Vitex quinata, Palaquium obtusifolium, Alstonia sp., Emerrillia ovalis, Octomeles sp., Homalium sp., Ficus sp., dan Intsia bijuga. Persebaran eboni dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sebaran alami Diospyros spp., di Indonesia No
Jenis
1
D. celebica
2
D. ebenum
3
D. ferrea
4
D. lolin
Sebaran D. ebenum secara almi di jumpai di Sulawesi (Minahasa, Poso, Buton), Maluku (Halmahera, Tanimbar, Aru) dan Nusa Tenggara (Sumbawa, Flores). Sulawesi (Minahasa, Poso, Buton), Maluku (Halmahera, Tanimbar, Aru) dan Nusa Tenggara (Sumbawa, Flores) seluruh Jawa, Sulawesi (Poso, Gorontalo, Buton), Maluku (Wetar, Aru, Tanimbar, Sula), Nusa Tenggara (Sumbawa, Flores, Timor), Irian Jaya (Fakfak, Mimika, Innawatan). Maluku terutama di Morotai, Bacan, Halmahera, Aru dan Tanimbar.
169
No
Jenis
5
D. macrophylla
6
D. pilosanthera
7
D. rumphii
Sebaran Jawa, Madura, Sumatra (Langkat, Simalungun, Kroei, Kotabumi), Kalimantan (Sambas, Purukcau, Muara Tewe, Martapura, Pleihari, P. Laut, Balikpapan, Kutai) dan Sulawesi (Poso, Donggala, Palopo, Malili, Mamuju). Kalimantan (Kutai, Bulungan, Berau, Tarakan, Tidung), Sulawesi (Poso, Bolaang Mongondow, Gorontalo, Minahasa, Banggai, Muna), Maluku (Morotai, Buru, Tanibar, Halmahera) dan Irian Jaya. Maluku (Morotai, Halmahera) dan Sulawesi (Sangihe dan Talaud).
Sumber : Alrasyid (2002)
Kinho (2010) melaporkan bahwa di CA. Tangkoko terdapat 8 jenis eboni yaitu D. cauliflora Blum, D. ebenum Koen, D.hebecarpa Cunn. Ex Benth, D. khortalsiana Hiern, D. malabarica (Desr.) Kostel, D.maritima Blume, D. minahassae Bakh, dan D. pilosanthera Blanco. Populasi eboni yang ditemukan sangat minim, dengan permudaan yang sangat terbatas, dijelaskan bahwa hal ini akan sangat mempengaruhi regenerasi eboni yang dapat menyebabkan terjadinya kelangkaan jenis, khususnya pada hutan dataran rendah. Hutan dataran rendah di CA. Tangkoko seringkali mengalami tekanan yang cukup tinggi karena akses masyarakat ke dalam hutan sangat mudah, sehingga perlu diketahui informasi tentang kondisi terkini habitat eboni di CA. Tangkoko. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan informasi tentang struktur dan komposisi vegetasi habitat eboni di hutan tropis dataran rendah Cagar Alam Tangkoko. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk pengambilan kebijakan dalam rencana pengelolaan kawasan CA. Tangkoko kedepan. I.
METODE PENELITIAN
A.
Lokasi dan Pembuatan Petak Penelitian ini dilaksanakan pada kawasan hutan dataran rendah di
Cagar Alam Tongkoko, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Pengumpulan data
170 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Struktur dan Komposisi Vegetasi……. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
diawali dengan survey awal pada tanggal 14 sampai 18 Juli dan pengambilan data dilakukan pada tanggal 18 sampai 24 Agustus 2010. Lokasi survey awal dilakukan secara menyebar untuk mencari daerah yang terdapat eboni paling banyak. Hasil survey menunjukan bahwa eboni tidak tersebar secara merata sehingga pada saat pengambilan data penelitian, dilakukan di kawasan Kali Bersih yang secara geografis terletak pada 1250 9’-1250 10’LU dan 1031’ - 1032’BT dengan topografi bergelombang sampai lereng, dengan ketinggian antara 137 - 195 mdpl. B. Pengumpulan Data Tegakan Penelitian dilakukan pada petak pengamatan berukuran 20 x 300 meter. Vegetasi yang berdiameter batang setinggi dada (130 cm dari tanah) > 20 cm dan vegetasi berdiameter diantara 20 dan 20 cm dicatat dari petak berukuran 10 x 10 m, sedangkan untuk mengetahui komposisi pancang dibuat petak berukuran 5 x 5 dan petak pengamatan semai berukuran 2x2 m. Jumlah jalur 5 dengan jumlah petak setiap jalur 15, sehingga total areal pengamatan 5 jalur x 20 x 300 = 3.000 m2 atau 3 ha. Menurut Soerianegara dan Indrawan dalam Indriyanto (2006) luas petak contoh minimum untuk hutan hujan tropis 3 ha, sehingga luas petak ini dianggap sudah memenuhi syarat. Identifikasi jenis-jenis vegetasi yang dijumpai dilakukan secara langsung dan yang belum dapat diidentifikasi dikirim ke Herbarium P3HKA Bogor (BB) untuk diidentifikasi lebih lanjut. C.
Analisis Data Semua data yang terkumpul dianalisis dan ditabulasi. Untuk
menentukan spesies penting dalam komunitas dari seluruh tegakan maka digunakan indeks nilai penting (INP). Rumus INP menurut Indriyanto (2006) yaitu INP = FR + KR + DR dimana FR (frekuensi relatif), KR (kerapatan relatif) dan DR (dominansi relatif). Indeks keanekaragaman jenis menurut Shannon yang merupakan gambaran kualitas tegakan dihitung dengan menggunakan formula sebgai berikut:
171
H= dimana : H
= Indeks keanekaragaman jenis
ni
= indeks nilai penting jenis ke-i
N
= jumlah indeks nilai penting seluruh jenis.
Jika H < 1 maka komunitas vegetasi dengan kondisi lingkungan kurang stabil. Jika H > 2 maka komunitas vegetasi dengan kondisi lingkungan sangat stabil Jika 1 < H < 2 maka komunitas vegetasi II. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Struktur dan Komposisi Tegakan Hasil pengamatan mencatat sedikitnya 86 jenis dari 34 suku yang
tersebar dalam berbagai diameter. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 2, kerapatan hutan mencapai 244,7 pohon/ha dengan LBDS 29,539 m2/ha dan hasil perhitungan
INP, menunjukan bahwa CA. Tangkoko
didominasi oleh Cananga odorataa. Hasil pengamatan ke-5 jalur menunjukan bahwa C. odorata
memiliki INP tertinggi pada jalur
pengamatan ke-2 yaitu 106,70%, kemudian jalur 4 yaitu 47,72%, jalur 5 yaitu 35,14%, jalur 3 yaitu 38,89% dan paling kecil pada jalur 1 yaitu 23,56%, sehingga struktur hutan di lokasi penelitian di dominasi oleh C. odorata.
Hal ini didukung oleh kelimpahan yang tinggi pada tingkat
frekuensi relatif dan kerapatan relatifnya dengan rata-rata dari kelima jalur sebesar 19,54 % dan 15,42%. Table 2. Hasil perhitungan INP pada setiap petak Plot
∑ LBDS (m2/ha)
Kerapatan N/ha
Jalur 1 Jalur 2 Jalur 3 Jalur 4 Jalur 5 Total
39,995 35,477 19,776 29,142 23,303 29,539
236,7 248,3 251,7 258,3 228,3 244,7
H 3.271 2.365 3.045 3.005 2.987
Jumlah Suku 24 28 24 26 26 34
172 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Jumlah Jenis 49 49 47 49 44 86
Jenis paling dominan berdasarkan Indeks Nilai Penting Cananga odorata 23.56% C. odorata 106.70% C. odorata 38.89% C. odorata 47.27% C. odorata 35.14%
Struktur dan Komposisi Vegetasi……. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
Pohon Kenanga (C. odorata Hook. f. & Thoms) merupakan vegetasi yang tumbuh di daerah hutan dataran rendah yang lembab, namun juga dapat dibudidayakan di dataran tinggi. Jenis ini ditemukan tumbuh secara alami di Indo-Malaysia dan telah diintroduksi secara luas di kawasan Polynesia, Micronesia dan Kepulauan Pasifik serta sudah tersebar di kawasan Pantropik. Kenanga banyak digunakan sebagai pewangi ataupun sarana dalam upacara agama di Bali dan Jawa serta obat alternatif untuk penyakit malaria, asma dan gatal-gatal. Di daerah Sulawesi sendiri kulit batang ini digunakan sebagai tali (Kurniawan, 2006; Manner dan Elevitch, 2006; dan Sinohin, 1999). Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cendrawasih et. all (2005) dan Kurniawan (2006 dan 2008) yang mengatakan bahwa pada hutan dataran rendah CA. Tangkoko didominasi oleh Palaquium sp., dari suku Sapotaceae. Cendrawasih (2005) menyatakan bahwa Palaquium sp., merupakan salah satu jenis berpotensi dan endemik di Sulawesi. Hasil penelitian Kurniawan (2006 dan 2008) dijelaskan bahwa jenis pohon dominan selanjutnya adalah Dracontomelon dao (Blanco) Meril dan Rolfe (Anac) dan C. odorata pada urutan kedua. Berdasarkan komposisi penyusun hutan di CA Tangkoko, terlihat bahwa dinamika atau hubungan populasi pohon penyusun hutan saling berinteraksi dan mengalami persaingan yang ketat.
Faktor yang
mempengaruhi dinamika adalah adanya hubungan antar spesies dan lingkungan. Indriyanto (2006) menjelaskan bahwa pada kawasan yang memiliki kondisi lingkungan sama diseluruh area akan menyebabkan kompetisi
yang
kuat
antar
individu
anggota
populasi,
sehingga
menyebabkan pola distribusi yang seragam. Penelitian Kurniawan (2008) menjelaskan bahwa asosiasi pohon di CA Tangkoko yang memiliki hubungan positif hanya C. odorata dan Melanolepis multiglandulisa Rich.f.et Zoll (Kayu kapur) dengan nilai Chisquare 2,43% pada taraf uji 1% sehingga jenis ini mempunyai kecenderungan untuk hidup bersama. Barbour dalam Kurniawan (2008) menyebutkan bahwa bila jenis berasosiasi positif maka akan menghasilkan hubungan spasial secara positif terhadap pasangannya. Jika satu pasangan
173
didapatkan dalam sampling, maka kemungkinan besar akan ditemukan pasangan lainnya tumbuh di dekatnya. Adanya hubungan positif inilah kemudian
akan
membentuk
komunitas
lebih
kompak
diantara
pasangannya, namun akan mempengaruhi pada jumlah individu dan persebaran jenis vegetasi lainnya. Pada tahun 2010 pohon dominan di Cagar Alam Tangkoko bukan lagi Palaquium sp., melainkan C. odorata. Diduga
hubungan
yang
positif
diantara
individu
akan
mampu
mempengaruhi pola distribusi dan kemampuan beradaptasi dengan lingkungan lebih tinggi.
Gambar 1. Grafik hubungan kelas diameter dengan kerapatan (individu/ha)
Grafik pada gambar 1, menunjukan bahwa hubungan kelas diameter
dan jumlah pohon membentuk huruf J terbalik sedangkan
hubungan dengan
luas bidang dasar perhektar menghalami kenaikan.
Mueller et. all (1974) menyatakan bahwa kecenderungan jumlah yang tinggi pada tingkat permudaan menandakan terpeliharanya populasi di habitatnya, dan sangat mungkin di waktu yang akan datang jumlah populasi akan terus berkembang. Menurut Pambudhi dalam Sidiyasa (2009) menjelaskan bahwa kondisi normal hutan alam memiliki luas bidang dasar untuk pohon berdiameter batang > 10 cm sebesar 27-38 m2/ha, sehingga hasil pengamatan ini memberikan gambaran bahwa Cagar Alam Tangkoko dalam keadaan normal dengan lbds sebesar 29.539 m2/ha.
174 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Struktur dan Komposisi Vegetasi……. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
Kerapatan pohon didominasi oleh pohon dengan ukuran diameter 20-29 cm sebanyak 81,3 pohon/Ha sedangkan kerapatan pohon berdiameter > 60 cm sebesar 23,7 pohon/ha.
2
Gambar 2. Grafik hubungan kelas diameter dengan LBDS (m /ha)
Luas bidang dasar atau bisa disebut juga luas penutupan per hektar digunakan untuk mengetahui proporsi antara luas tempat tumbuh yang ditutupi oleh spesies tumbuhan dengan luas total habitat. Gambar 2 menunjukan bahwa luas penutupan mengalami peningkatan seiring dengan besar kelas diameter pohon. Hasil pembagian perkelas diameter didapat bahwa pohon berdiameter > 60 cm memiliki luas penutupan paling luas sebesar 13,28 m2/ha atau merupakan kelas paling dominan. Dominasi dapat terlihat dari persebaran luas penutupan atau LBDS, sehingga dapat kita ketahui bahwa struktur dan komposisi di CA Tangkoko membentuk komunitas pohon dominan sampai komunitas pohon tertekan. Walaupun pada kelas diameter paling kecil memiliki jumlah per hektar paling banyak, namun tidak sebanding dengan proporsi luas penutupan area pohon berdiameter diatas 60 cm. Adanya struktur yang demikian akan membentuk dinamika hutan yang baik dan kelestarian populasi cederung terjaga dari poroses kepunahan. B. Keanekaragaman Tegakan Keragaman jenis yang berhasil tercatat pada pengamatan ini sebanyak 86 jenis dari 34 suku yang terdiri dari 77 jenis tingkat pohon, 51 jenis tingkat tiang, 88 jenis tingkat pancang dan 69 jenis tingkat semai, 734
175
pohon berdiameter > 10 cm dan 1659 dijumpai pada tingkat semai dan pancang. Eboni yang berhasil diidentifikasi sebanyak 8 jenis yaitu D. cauliflora Blum, D. ebenum Koen, D.hebecarpa Cunn. Ex Benth, D. khortalsiana Hiern, D. malabarica (Desr.) Kostel, D. maritima Blum., D. minahassae Bakh, dan D. pilosanthera Blanco. Hasil perhitungan Indeks Shannon masing-masing jalur yaitu 3.272 pada jalur pertama, 2.366 pada jalur kedua, 3.045 pada jalur ketiga, 3.005 pada jalur keempat dan 2.988 pada jalur kelima, sehingga menurut Soerianegara dan Indrawan dalam Indriyanto (2006) berdasarkan indeks Shannon, CA Tangkoko memiliki lingkungan komunitas vegetasi dalam kondisi yang sangat stabil. C. Populasi dan Penyebaran Eboni Di CA.Tangkoko Penelitian ini berhasil mencatat 8 jenis eboni, kemudian data-data eboni yang berhasil diklasifikasian sesuai tingkat hidup vegetasi yaitu pohon, tiang, pancang dan semai. Hasil klasifikasi dapat dilihat pada Tabel 3 yang mana menunjukan sebaran eboni yang ditemukan sangat terbatas. Tabel 3. Sebaran eboni berdasarkan tingkat vegetasi No
Jenis
Pohon
Tiang
Pancang
Semai
1.
D. malabarica
1
0
0
4
2.
D. cauliflora
3
3
16
11
3.
D. minahassae .
8
0
1
0
4.
D. pilosanthera
15
0
0
13
5.
D. ebenum.
0
1
1
0
6.
D. maritima
0
1
2
0
7.
D khortalsiana
0
1
0
0
8.
D. hebecarpa.
0
0
1
5
Beberapa jenis tidak ditemukan adanya permudaan dan sebagian lain tidak ditemukan dalam tingkat pohon maupun tiang, selain itu kerapatan individu sangat kecil. Jenis eboni yang masih banyak ditemukan hanya D. pilosanthera kemudian disusul D. cauliflora, D. minahassae, D. malabarica, D. maritima, D. ebenum, D. hebecarpa dan D. khortalsiana jenis yang paling sedikit. Adanya persaingan yang kuat antar jenis-jenis pohon yang ada akan
176 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Struktur dan Komposisi Vegetasi……. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
mempengaruhi kondisi populasi jenis eboni yang ada. Adanya dominansi dan asosiasi positif
C. odorata
dan M. multiglandulosa akan
mempengaruhi pertumbuhan anakan eboni. Rahman dan Abdullah (2002) menjelaskan bahwa pengaruh naungan 70% dan 50% akan meningkatkan pertumbuhan anakan eboni D. celebica. Eboni
merupakan
jenis
pohon
permudaannya
sulit
dan
pertumbuhannya lambat. Kualitas biji eboni sangat mudah terdegradasi oleh berbagai serangan jamur dan bakteri khususnya serangan jamur Penicillopsis clavariaeformis. Daya perkecambahan akan cepat menurun bila disimpan dalam beberapa hari. Sifat ini disebut Rekalsitran, pada biji yang dijemur selama 3 hari daya perkecambahan akan menjadi 0%. Taksiran yang dilakukan Steup dan Beversluis dalam Alrasyid (2002) menyebutkan bahwa MAI dari diameter dan volumenya berkisar 0,5 cm/th dan 0,5 m3/ha/th, sehingga untuk mencapai volume 40 m3/ha diperlukan waktu 80 tahun. Percobaan penanaman D. celebica di bawah tegakan jati di Jawa selama dua tahun pohon muda eboni hanya mencapai 30-100 cm, 4 tahun 40-160 cm, rata-rata penambahan tinggi pertahun sekitar 90 cm sampai 10 tahun pertama dan 1,5 cm untuk diameter batang. Dilihat dari jumlah populasi eboni di alam, tentunya sangat menghawatirkan bagi kelestarian eboni yang ada di CA Tangkoko. Perlu adanya upaya penyelamatan baik secara eksitu maupun insitu terhadap populasi berbagai jenis eboni. Konservasi insitu perlu adanya pengelolaan secara jelas terhadap jenis-jenis yang terancam punah. Hal ini membutuhkan eksplorasi di kawasan konservasi lain untuk mengetahui persebarannya dan perlu adanya kebun pelestarian dengan perbanyakan jenis di sekitar kawasan konservasi setempat. Konservasi eksitu dapat dilakukan dengan pengawetan tanaman seperti pembangunan kebun benih, penyimpanan biji, pengembangan teknologi perbanyakan secara in vitro, pengembangan bank-bank plasma sebagai upaya konservasi genetik dari setiap jenis yang terancam punah.
177
III. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Keanekaragaman vegetasi dataran rendah tercatat 86 jenis dari 34 suku yang membentuk kondisi lingkungan komunitas vegetasi sangat stabil dan secara keseluruhan apabila ditinjau dari fungsi-fungsi konservasi dan ekologi masih cukup baik karena mampu memberikan perlindungan bagi satwa liar, mata air, dan beberapa aspek pemanfaatan lainnya seperti ekowisata, pendidikan dan penelitian. 2. Pohon Kenanga (Cananga odorata) merupakan jenis pohon yang paling dominan ditemukan berasosiasi dengan Eboni (Disopyros spp.) di CA.Tangkoko. 3. Delapan jenis Eboni yang ditemukan di CA.Tangkoko yaitu : D. cauliflora Blume., D. ebenum Koen., D. hebecarpa Cunn. Ex Benth., D. korthalsiana Hiern. D. malabarica (Desr.) Kostel., D. maritima Blume., D. minahassae Bakh., dan D. pilosanthera Blanco. 4. Permudaan Eboni di CA.Tangkoko sangat terbatas. Hal ini diduga dipengaruhi oleh faktor genetik dan adanya hubungan antar spesies (positif dan negatif) yang kuat. B. Saran Untuk mempertahankan dan menyelamatkan Eboni (Diospyros spp.)
dari kelangkaan dan kepunahan, diperlukan perencanaan dan
penanganan silvlikultur jenis. Salah satu langkah yang dapat dilakukan yaitu dengan membangun plot konservasi insitu Eboni di CA.Tangkoko yang intens dan rutin dipantau pertumbuhan dan perkembangannya (dinamika populasinya)
178 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Struktur dan Komposisi Vegetasi……. Julianus Kinho, Ady Suryawan dan Titiek Setyawati
DAFTAR PUSTAKA. Alrasyid, H. 2002. Kajian Budidaya Pohon Eboni. Berita Bilogi Volume 6, Nomor 2. Halaman 219-225. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor. Cendrawasih, P., Masiki, A.D. dan Muslih, I.,2005. Mengenal BKSDA Sulut dan Konservasi. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. Manado. Baker F.S, Daniel, T.W., dan Helms J.A. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur 2nd Ed. Gadjah Mada Press. Yogyakarta Indriyanto.2006. Ekologi Hutan. PT.Bumi Aksara. Jakarta Kurniawan, A. 2006. Vegetasi Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Balai Konservasi Tumbuhan - LIPI. Bali . 2008. Asosiasi Jenis-Jenis Pohon Dominan di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Balai Konservasi Tumbuhan - LIPI. Bali Mueller-Dumbois, D. dan H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons, Inc. Canada. Riswan, S. 2002. Kajian Biologi Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Berita Bilogi Volume 6, Nomor 2. Halaman 211-218. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor Rahman, W., dan Abdullah, M.. N. 2002. Efek Naungan dan Asal Anakan Terhadap Pertumbuhan Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Berita Bilogi Volume 6, Nomor 2. Halaman 297-301. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor
179
Sanusi, D. 2002. Kajian Produksi, Perdagangan, Industri dan Teknologi Eboni. Berita Bilogi Volume 6, Nomor 2. Halaman 191-206. Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi-LIPI. Bogor. Sunaryo. 2003. Tingkat Kualitas Kayu Eboni (Diospyros celebica Bakh.) Berdasarkan Komposisi Serat Gelap dan Terang. Pusat Penelitian Biologi-LIPI. Bogor. Sidiyasa,
K. 2009. Struktur dan Komposisi Tegakan Serta Keanekaragamannya di Hutan Lindung Sungai Wain, Balikpapan, Kalimantan Timur. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam Vol IV hal. 79 – 90. Bogor.
180 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Potensi dan Sebaran Nyatoh….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
POTENSI DAN SEBARAN NYATOH (Palaquium obtusifolium Burck) DI SULAWESI BAGIAN UTARA Ady Suryawan, Julianus Kinho dan Anita Mayasari Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura, Kima Atas, Mapanget, Manado
[email protected]
RINGKASAN Rumah kayu “woloan" merupakan rumah adat masyarakat Sulawesi Utara yang telah mendapat pasar ekspor dengan nilai tertinggi mencapai 173.600,00 US$ (Sasmuko, 2010). Salah satu bahan baku pembuatan rumah woloan adalah nyatoh yang didapatkan dari kebun masyarakat dan hutan alam. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji potensi nyatoh sebagai bahan konstruksi dan distribusi pada kawasan konservasi dan sebagai bahan menentukan sumber benih dalam pengembangan hutan tanaman di Sulawesi Utara. Penelitian dilakukan dengan metode nedsteed sampling dan analisa data INP. Plot pengamatan seluas 12 hektar atau 150 plot di CA Tangkoko dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. Hasil penelitian menunjukan bahwa Nyatoh sangat populer sebagai bahan baku rumah woloan yang telah mendapat pasar ekspor. Sebaran nyatoh dan potensi regenerasi di kawasan Cagar Alam Tangkoko dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone cukup tinggi ditunjukan dengan anakan yang sangat melimpah dan terdistribusi dalam berbagai ketinggian antara 135 -560 mdpl. Sedikitnya 51 pohon teridentifikasi di kedua kawasan dengan kualitas bagus dan memiliki anakan dalam jumlah melimpah. Kata kunci : Nyatoh, Palaquium obtusifolium, Potensi, Sebaran, Woloan.
I. PENDAHULUAN Industri perkayuan di Sulawesi Utara yang paling terkenal adalah industri kayu rumah adat woloan. Menurut Sasmuko (2010) proses produksi rumah woloan dilakukan secara tradisional oleh masyarakat menggunakan jenis kayu besi (Intsia bijuga), nyatoh (Palaquium spp.) dan cempaka (Elmerillia ovalis D.) yang diperoleh dari hutan alam dan kebun masyarakat setempat. Namun saat ini ketiga jenis bahan baku tersebut sudah sulit didapatkan. Hal ini menyebabkan ekspor rumah woloan pada dua tahun
181
terakhir mengalami penurunan bila dibandingkan dengan tahun 2002 yaitu 173.600,00 USD menjadi 47.494,20 USD pada tahun 2007 (Sasmuko, 2010). Harian Kompas (2011) mengatakan bahwa di Kota Tomohon dan sekitarnya ada 100 pengerajin yang menggantungkan usahanya pada produksi rumah woloan dengan nilai transaksi mencapai 15 miliar per tahun. Pada tahun 2011, kebutuhan lokal dan permintaan ekspor rumah woloan ke Timur Tengah, Dubai, dan Arab Saudi mengalami peningkatan hingga 60%. Nyatoh (P. obtusifolium Burck) yang merupakan salah satu bahan rumah Woloan termasuk dalam Family Sapotacea. Menurut Idris et all. 2008 nyatoh memiliki kelas awet III-IV, berat jenis 0,56 dan biasanya dipakai untuk membuat perahu atau kano, papan lantai, panil, dinding, dayung, roda gerobak dan alat-alat rumah tangga lainnya. Salah satu habitat di Provinsi Sulawesi Utara adalah Cagar Alam Tangkoko dan TN Bogani Nani Wartabone. Menurut Cendrawasih et all (2005); Kurniawan (2006) dan Kurniawan et all (2008) jenis P. obtusifolium merupakan salah satu jenis dominan di CA Tangkoko, potensial dan merupakan pohon lokal (endemik) di Sulawesi. Tujuan tulisan ini adalah mengkaji potensi, nyatoh sebagai bahan konstruksi dan distribusi pada Kawasan konservasi Cagar Alam Tangkoko dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone. II. Metode A. Lokasi dan Waktu Penelitian Obyek penelitian ini adalah Cagar Alam (CA) Tangkoko dan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW). Secara astronomis plot CA Tangkoko terletak pada 01o32’47’ LU dan 125o09’30” BT, sedangkan di TNBNW terletak pada 00o30’406 LU dan 123o15’398” BT atau sekitar 25 km dari kota Gorontalo. Penelitian dilakukan pada bulan Agustus sampai Nopember 2010. B.
Prosedur Penelitian Penelitian
menggunakan
metode
nedsteed
sampling
untuk
mengetahui potensi dan sebaran nyatoh di kedua kawasan. Jumlah plot penelitian sebanyak 300 dengan luas total 12 hektar. Untuk mengetahui
182 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Potensi dan Sebaran Nyatoh….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
penyebaran dan besar dominasi dilakukan INP (Indeks Nialai Penting) dengan rumus menurut Indriyanto 2010 yaitu INP = KR (Kerapatan Relatif) + FR (Frekuensi Relatif) + DR (Dominasi Relatif). Pengamatan dilakukan pada semua jenis pohon meliputi tinggi dan diameter. Tulisan ini juga didukung dengan data hasil wawancara dengan pengrajin rumah woloan terkait permasalahan yang sering muncul dalam proses produksi di Desa Woloan, Kota Tomohon, Sulawesi Utara. III. Hasil dan Pembahasan A. Potensi Nyatoh (P. obtusifolium) sebagai Bahan Baku Konstruksi Di Sulawesi Utara kayu jenis nyatoh P. obtusifolium merupakan bahan baku pembuatan rumah adat woloan digunakan sebagai bagian dinding, plafon, lantai, kusen, daun pintu dan jendela serta sebagai tiang. Menurut Ratnaningrum dan Wibisono 2002 ada dua jenis kayu yang sangat digemari oleh masyarakat Sulawesi Utara yaitu cempaka (Elmerilia spp.) dan nyatoh (Palaquium
spp.),
sehingga
masyarakat
sangat
antusias
dalam
mengupayakan pasokan bahan baku. Sedangkan menurut Sasmuko 2010 ada tiga jenis kayu yang digunakan dalam pembuatan rumah woloan yaitu cempaka (Elmerilia ovalis), nyatoh (Palaquium sp) dan kayu besi (Intsia bijuga). Dijelaskan bahwa ketiga jenis kayu tersebut sudah sulit diperoleh, pasokan utama berasal dari hutan alam dan kebun masyarakat setempat. B.
Sebaran Tegakan Nyatoh (P. obtusifolium Burck) di Kawasan Konservasi
Kondisi topografi plot penelitian di CA Tangkoko memiliki karakter daerah landai berada pada ketinggian antara 167 – 278 dan 506 – 560 mdpl. Curah hujan CA Tangkoko berkisar 2.500 – 3.000 mm/tahun, dengan temperatur rata-rata 20o C - 25o C. Sedangkan plot penelitian TNBNW terletak di seksi Suwawa dengan topografi perbukitan, lereng yang terjal sampai landai dan ditemui sungai kecil cukup banyak dengan ketinggian tempat antara 135 – 306 dan 476 – 512 mdpl. Menurut Cendrawasih et all (2005) berdasar Shcmidt dan Ferguson kedua kawasan penelitian memiliki iklim Tipe A, B dan C. Peta penelitian tersaji pada Gambar 1.
183
Keterangan :
1 = Lokasi penelitian Di CA Tangkoko 2 = Lokasi penelitian di TN Bogani Nani Wartabone (Bagian Provinsi Gorontalo)
Gambar 1. Peta sebaran 51 pohon nyatoh yang berhasil di identifikasi.
Keanekaragaman habitat nyatoh (P. obtusifolium Burck) di kawasan CA. Tangkoko 140 jenis dan TNBNW 123 jenis pohon. Dinamika populasi dan sebaran nyatoh (P. obtusifolium) di habitat alam dapat dilihat dari nilai INP seperti pada Tabel 1 dan 2. Tabel 1. Hasil tabulasi INP lima jenis pohon dominan di CA Tangkoko No
Nama jenis
Family
DR
KR
FR
INP
%
%
%
%
1
Cananga odorata Hook.f.et Th
Annonaceae
7.24
8.23
6.21
21.68
2
P. obtusifolium Burck
Sapotaceae
6.57
4.15
4.66
15.38
3
Acalypha caturus Bl.
Euphorbiaceae
1.82
6.67
5.81
14.30
4
Siphonodon celastrinew Griff.
Celastraceae
2.90
6.80
3.84
13.54
5
Spathodea campanulata
Bignoniaceae
3.84
5.90
3.35
13.09
184 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Potensi dan Sebaran Nyatoh….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
Tabel 2. Hasil tabulasi INP lima jenis pohon dominan di TNBNW No 1
Nama
Family
Drypetes neglecta (Koord.) Euphorbiaceae
DR
KR
FR
INP
%
%
%
%
8.18
7.25
6.01
21.44
Pax & Hoffm 2
Aglaia sp.
Meliaceae
4.20
5.01
4.69
13.90
3
P. obtusifolium Burck
Sapotaceae
4.88
3.41
3.85
12.14
Benth.
Burseraceae
3.64
3.64
4.57
11.84
Euginia sp.
Myrtaceae
1.99
4.69
4.69
11.38
4 5
Canarium asperum
Berdasar nilai Tabel 2 dan 3 menunjukan bahwa nyatoh (P. obtusifolium) memiliki nilai ukup tinggi sehingga tergolong jenis dominan. Angka ini menunjukan bahwa nyatoh tersebar cukup merata mulai ujung Sulawesi Utara (CA Tangkoko) hingga daerah Gorontalo (TNBNW). Berdasar hasil perhitungan INP di kedua lokasi menunjukan bahwa dominasi, kerapatan dan frekuensi perjumpaan dengan nyatoh P.obstusifolium lebih tinggi di CA Tangkoko daripada di TNBNW. Hal ini berarti nyatoh lebih mudah dijumpai di CA Tangkoko dan berdiameter rata-rata lebih besar daripada nyatoh di TNBWN. Berdasar ketinggian, letak petak ukur pengamatan berada pada ketinggian hingga 560 mdpl. Menurut Ratnaningrum dan Wibisono 2002, nyatoh dapat tumbuh di dataran rendah namun kadang dijumpai pada ketinggian 1.600 mdpl. Pengamatan jumlah individu berdasar kelas diameter di kedua kawasan konservasi disajikan pada Gambar 2.
185
Jumlah
Diameter (cm)
Gambar 2. Grafik hubungan kelas diameter dan jumlah individu nyatoh
Gambar 2 menunjukan bahwa populasi nyatoh pada tegakan muda sangat melimpah dibanding dengan tegakan dewasa. Hal ini akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan regenerasi. Menurut Supriyadi (2001) jumlah permudaan yang melimpah dan tidak terputusnya kelas diameter menjadi faktor utamanya. Pada kedua kawasan, dijumpai ada beberapa tegakan yang memiliki anakan sangat banyak. Sedikitnya ada 51 pohon yang berhasil dijumpai di kedua kawasan penelitian dengan diameter diatas 30 cm dan memiliki anakan yang cukup banyak, seperti tersaji pada Gambar 3 di bawah ini.
Gambar 3. Pohon induk dan anakan nyatoh (P. obtusifolium) di kawasan konservasi.
Distribusi dari 51 pohon teridentifikasi tersebar di hampir semua jalur penelitian. Melimpahnya jumlah anakan ini menjadi salah satu potensi untuk dimanfaatkan menjadi bahan pembuatan tanaman melalui cabutan dan stek pucuk atau batang. Menurut Hani dan Effendi (2009) anakan yang tumbuh di bawah tegakan akan mengalami pertumbuhan yang kurang optimal. Karena akan mengalami persaingan yang cukup ketat dalam mendapatkan unsur hara dan cahaya.
186 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Potensi dan Sebaran Nyatoh….. Ady Suryawan, Julianus Kinho & Anita Mayasari
C. Uji Coba Anakan Nyatoh di Luar Habitat Tinggi dan diameter rata-rata nyatoh (P. obtusifolium) umur 13 bulan yang teramati sebagai minggu pertama, ditanam di Arboretum Balai Penelitian Kehutanan Manado tersaji pada Gambar 4.
Minggu keGambar 4. Grafik rerata pertambahan dimensi nyatoh selama tiga minggu
Hasil rata-rata tinggi dan diameter pada Gambar 4, bila kita bandingkan minggu 1, 2, 3 dan 30 maka pertambahan tinggi dan diameter rata-rata sekitar 6,5 cm dan 0,5 mm/minggu. Menurut Ratnaningrum dan Wibisono (2002) tinggi nyatoh pada umur 7 tahun mencapai 8 m, 23 tahun mencapai 17 m dan pada umur 50 berdiameter 50 cm. Pertumbuhan akan maksimal bila mendapat cukup sinar matahari. Peluang yang dapat kita lakukan adalah bagaimana sistem silvikultur dapat diterapkan sehingga pertumbuhan akan optimal dan riap yang dihasilkan lebih tinggi. Hal ini perlu karena permintaan bahan baku kayu semakin meningkat. IV. KESIMPULAN DAN SARAN Nyatoh menjadi bahan baku utama dalam pembuatan rumah woloan dan telah diekspor ke berbagai negara. Potensi sebaran dan regenerasi nyatoh di kawasan konservasi cukup tinggi yaitu ditemukan diberbagai ketinggian antara 135 – 560 mdpl dan ditemukan anakan yang sangat melimpah. Upaya upaya penanaman dan penjarangan anakan di alam perlu segera dilakukan untuk meningkatkan populasi di alam.
187
DAFTAR PUSTAKA Cendrawasih, P., Masiki, A.D. dan Muslih, I.,2005. Mengenal BKSDA Sulut dan Konservasi. Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara. Manado. Hani, A. dan Effendi, R. 2009. Potensi Permudaan Alam Tingkat Semai (Khaya antotecha) di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Sukabumi, Jawa Barat. Bogor. Mitra Hutan Tanaman Vol 4 No 2 Hal 49-56 Idris, M.M., et all. 2008. Atlas Hand Book edisi ke 4. Puslitbang Hasil Hutan. Departemen Kehutanan. Bogor. Indriyanto, 2010. Ekologi Hutan. Jakarta. Bumi Aksara. Kompas. 2011. Rumah Kayu Woloan: Ibarat Nafsu Besar Tenaga Kurang. Kompas.com edisi 9 pebruari 2011diakses http://nasional.kompas.com/read/2011/02/09/03372314/ Kompas.2011. Rumah Kayu Rakitan Diminati Timur Tengah. Kompas.com edisi 18 Mei 2011. Diakses http://properti.kompas.com/index.php/read/2011/05/18/1741228/ Rumah.Kayu. Rakitan.Diminati.Timur.Tengah Kurniawan, A. 2006. Vegetasi Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Balai Konservasi Tumbuhan - LIPI. Bali Kurniawan,A., Undaharta, N.K.E. dan Pendit, I.M.R. 2008. Asosiasi JenisJenis Pohon Dominan di Hutan Dataran Rendah Cagar Alam Tangkoko, Bitung, Sulawesi Utara. Balai Konservasi Tumbuhan - LIPI. Bali Ratnaningrum, Y. W. N. dan Wibisono, G. 2002. Pembangunan Sumber Benih Kayu Unggulan Setempat Di Sulawesi Utara. Gerbang Inovasi 7 hal 29-35. Jurnal LPKM-UGM. Yogyakarta. Sasmuko, S.A. 2010. Karakteristik Kayu Lokal Untuk Rumah Woloan Di Provinsi Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Mataram. Mataram di akses dari www.fordamof.orgfileadi%20sasmuko%20Rumah%20Woloan%20.2010.pdf.pdf. Pada tanggal 15 januari 2012
188 | Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
KARAKTERISTIK TINGKAT DEGRADASI SUB DAS BIYONGA DI PROVINSI GORONTALO Supratman Tabba Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Tugu Adipura Raya Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp/Fax : (0431) 869181 Email :
[email protected]
RINGKASAN Sub DAS Biyonga merupakan salah satu hulu daerah tangkapan air Danau Limboto, dan memiliki peranan sangat penting bagi kelestarian Danau Limboto. Sebagian besar daerah tangkapan Sub DAS telah terjadi perubahan penutupan lahan pada lereng-lereng yang curam, hal ini merupakan salah satu faktor utama penyebab terjadinya degradasi. Degradasi lahan menyebabkan tanaman akan sulit tumbuh karena menurunnya kualitas tanah, sehingga kemampuan tanah untuk menyerap dan menahan air berkurang. Untuk itulah perlu penelitian tentang degradasi lahan, dengan maksud untuk mendiagnosa jenis, faktor penyebab dan tempat degradasinya, sehingga pada akhirnya dapat dilakukan penyusunan alternatif rencana pengelolaan DAS sesuai dengan kerusakannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Sub DAS Biyonga masuk kategori Agak Terdegradasi. Penyebab utama semakin meluasnya lahan kritis di Sub DAS Biyonga adalah praktek perladangan berpindah yang dilakukan oleh masyarakat hulu. Masyarakat membuka lahan untuk budidaya pertanian lahan kering dengan tanaman semusim jagung dan cabe sebagai komoditi utama. Lahan dibuka dengan cara dibakar, tujuannya adalah agar lahan dapat dengan cepat terbuka dan tidak membutuhkan biaya besar. Ketika kesuburan tanah menurun dan tidak lagi memberikan produksi maksimal, areal tersebut akan ditinggalkan dan membuka lahan baru. Kata Kunci : Sub DAS, Kritis, Degradasi, Lahan, Perladangan Berpindah, Gorontalo
I. PENDAHULUAN Permasalahan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) di Indonesia dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan. Keterbatasan ketersediaan lahan subur dan cocok untuk pertanian telah mendorong pembukaan lahan-lahan budidaya baru yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Perambahan hutan dilakukan oleh masyarakat yang
189
dikonversi menjadi budidaya pertanian intensif, menyebabkan terjadinya degradasi pada kawasan hutan. Dampaknya adalah erosi, banjir, longsor di daerah tangkapan airnya sehingga menimbulkan berbagai masalah, sehingga implikasi dari akumulasi kejadian tersebut bermuara pada daerah hilir. Daerah Aliran Sungai Limboto merupakan satu dari sekian banyak DAS dengan kategori prioritas berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.328/Menhut-II/2009 tanggal 12 Juni 2009 tentang Penetapan DAS Prioritas dalam rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014. Penurunan produktivitas lahan sebagai akibat kemerosotan fungsi dan kesuburan tanah disebabkan beberapa faktor, antara lain hilangnya unsur hara dari daerah perakaran, berkurangnya kandungan bahan organik, terakumulasinya bahan beracun bagi pertumbuhan tanaman, aliran permukaan (surface run off) dan erosi. Penyebab utama sebagai pemicu terjadinya tekanan masyarakat terhadap lahan adalah kemiskinan, minimnya kondisi pendidikan dan pemahaman masyarakat serta kurangnya penyuluhan bagi masyarakat dibidang konservasi dan pelestarian mutu lingkungan. Sehingga sebagian besar masyarakat kurang memiliki kepekaan (sense of crisis) terhadap permasalahan dan isu pokok lingkungan yang mencuat. Disamping itu minimnya rasa memiliki (sense of belonging) terhadap hutan. Di sisi lain, adanya Kebijakan Pemerintah Provinsi yang mencanangkan program Agropolitan Jagung (Zea mays) sebagai komoditi unggulan turut berdampak pada degradasi lahan. Dimana untuk memenuhi target kebutuhan jagung nasional, lahan-lahan kosong tanpa terkecuali lahan kritis terkesan dipaksakan untuk budidaya pertanian lahan kering jagung dan cabe (Capsicum annuum). Implemantasi pelaksanaan program agropolitan dilapangan tidak disertai dengan teknik-teknik rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, sehingga berimplikasi pada kondisi lahan kritis yang semakin meluas. Oleh karena itu dipandang perlu adanya evaluasi kinerja pada Sub DAS Biyonga DAS Limboto untuk mengetahui aktifitas dan kerusakannya.
190 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui tingkat degradasi di Sub DAS Biyonga bagian hulu sebagai penyebab pendangkalan danau. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Bahan Penelitan ini dilakukan di Sub DAS Biyonga, yang merupakan salah satu rangkaian Sub DAS pembentuk DAS Limboto dan hulu daerah tangkapan air (Catchment Area) Danau Limboto. Bahan dan alat yang digunakan antara lain peta kontur, peta penggunaan lahan, peta jenis tanah, peta topografi, peta geologi dan Soffware GIS (Arc view 3.3), GPS, dan alat tulis menulis. B. Metode Pengumpulan Data Data sekunder diperoleh dari berbagai Instansi pemerintah antara lain : Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bone Bolango Provinsi Gorontalo, Balai Penelitian Kehutanan Manado, Badan Pusat Statistika Kabupaten Gorontalo, Badan Perencanan Daerah Kabupaten Gorontalo serta studi pustaka/literatur dan Laporan hasil penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Timur. Data primer yang dikumpulkan meliputi : 1. Cek Lapangan (Ground Chek) terhadap data penutupan Lahan hasil Interpretasi peta. 2. Informasi kelas Kemiringan Lereng dan Jenis tanah dari analisis peta Balai Pengelolaan DAS Bone Bolango Gorontalo 3. Overlay peta penutupan lahan, jenis tanah dan kelas kemiringan lereng. Dari overlay tersebut akan terbentuk poligon-poligon lebih kecil yang dinamakan unit lahan. Informasi pada unit lahan inilah yang akan diskoring dan diamati dilapangan untuk menentukan nilai kekritisan Sub DAS Biyonga. Adapun Teknik pengumpulan data kekritisan sebagai berikut : 1. Faktor Alami a. Kedalaman/Jeluk solum tanah adalah bagian dari profil tanah yang terbentuk akibat proses pembentukan tanah yaitu horison A dan B
191
(Dephut 2006). Parameter ini dapat diketahui dengan cara membuat profil dilapangan. Profil dibuat dengan cara menggali tanah secara vertikal dengan lebar ± 1 m dengan kedalaman tertentu. Secara umum profil dibuat untuk melihat penampang vertikal tanah yang menunjukkan susunan horison tanah. Sedangkan untuk mengetahui Jenis-jenis tanah dominan pada SUB DAS Biyonga dilakukan dengan analisis peta. b. Lereng (Slope) lahan adalah bentuk permukaan lahan/tanah dengan kemiringan tertentu (Dephut, 2006). Informasi ini diperoleh dari analisis peta kelas kemiringan lereng kemudian dianalisis untuk diketahui kemiringan lereng dominan pada Sub DAS Biyonga. c. Batuan Singkapan (Out crop) adalah daerah dimana karena kondisi biofisiknya sedikit sekali mengalami pelapukan sehingga tidak terbentuk lapisan tanah, atau daerah yang telah mengalami erosi sangat berat sehingga mencapai batuan dasarnya (bed rock). Data mengenai singkapan ini umumnya sangat terbatas karena hanya dapat diperoleh dari foto udara skala besar atau citra penginderaan jauh resolusi tinggi seperti Ikonos, Quik Bird, yang untuk pengadaannya memerlukan biaya besar. Sehingga pada penelitian ini data tersebut akan diperoleh melalui survey dan pengamatan langsung dilapangan. d. Morfoerosi dibatasi pada dua jenis erosi yaitu erosi jurang dan erosi tebing sungai. Kedua erosi ini termasuk kategori erosi sangat berat. Seperti halnya singkapan informasi mengenai kedua jenis erosi tersebut hanya dapat diperoleh melalui foto udara resolusi tinggi seperti IFU dan Ikonos. Pada penelitian ini informasi tersebut akan diketahui melalui identifikasi lapangan. e. Jenis Tanah terhadap Kepekaan Erosi diperoleh dari peta jenis tanah Sub DAS Biyonga dan studi literatur karakteristik jenis tanah. Parameter ini sangat jelas, tanah dengan kategori mudah tererosi mendapat skor tinggi sedangkan tanah yang tidak peka terhadap erosi akan mendapat skor rendah.
192 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
2. Faktor Manajemen Faktor manajemen yang dimaksud pada formulasi ini adalah intervensi manusia terhadap lahan. Manusia merupakan faktor kunci dan penentu rusak tidaknya suatu lahan, tidak atau produktifnya lahan secara lestari berkelanjutan (sustainable). Parameter Manajemen dibagi menjadi dua yaitu : a. Kondisi Vegetasi Parameter yang diamati adalah penutupan lahan atau vegetasi dominan. Data tersebut diperoleh dengan pengamatan dilapangan, wawancara dan analisis jenis dan persen tutupan lahan. b. Konservasi Tanah Adapun parameter yang diamati adalah tindakan konservasi tanah dan air berupa teras. Data tersebut diperoleh dengan melakukan pengamatan dilapangan. C. Analisis Data Secara umum analisis data dilakukan dengan menggunakan Perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG) dan kegiatan identifikasi lapangan. Soft ware yang digunakan adalah Arcview GIS versi 3.3. Teknik analisis data sebagai berikut : a. Melakukan analisis peta penggunaan lahan dan groundchek. b. Melakukan skoring terhadap data setiap parameter kekritisan. Skoring parameternya didasarkan pada unit lahan yang terbentuk dari hasil overlay peta penggunaan lahan, jenis tanah dan kelas kemiringan lereng serta hasil pengamatan lapangan. c. Hasil dari overlay peta kemudian ditabulasi dan diskoring berdasarkan masing-masing parameter pada setiap unit lahan untuk mendapatkan nilai kerentanan degradasi Sub DAS Biyonga. Klasifikasi tingkat kerentanan degradasi DAS/Sub DAS disajikan pada Tabel 1.
193
Tabel 1. Klasifikasi Tingkat Kerentanan/Degradasi DAS (Sub DAS) No
Kategori
Nilai
Tingkat Degradasi
1
Tinggi
> 4,3
Sangat Terdegradasi
2
Agak Tinggi
3,5 – 4,3
Terdegradasi
3
Sedang
2,6 – 3,4
Agak Terdegradasi
4
Agak Rendah
1,7 – 2,5
Sedikit Terdegradasi
5
Rendah
< 1,7
Tidak Terdegradsi
Sumber : Paimin et al (2006)
Penilaian terhadap Degradasi Sub DAS Biyonga berdasarkan klasifikasi tingkat kekritisan dapat diketahui dengan cara menjumlahkan seluruh hasil kali dari skor dan bobot pada setiap parameter lalu kemudian dibagi 100. Pada bobot dengan nilai skor rendah menunjukkan bahwa kondisi karakteristik Sub DAS tidak rentan, sedangkan skor tinggi menunjukkan bahwa Sub DAS dalam kondisi rentan terhadap degradasi. D.
Keadaan Umum Lokasi
1.
Luas dan Letak Catchment Area Sub DAS biyonga seluas 6.552,71 ha secara
keseluruhan berada di Kelurahan Biyonga Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo Provinsi Gorontalo. Secara geografis terletak antara 121o 20’ 24”–123o 32’ 09” BT dan 00o 24’ 04” – 01o 02’ 30” LU, dengan ketinggian tempat antara 75-125 m dpl. Adapun batas-batas Sub DAS Biyonga : Sebelah Utara Berbatasan dengan DAS Palu Sulawesi Tengah, Selatan dengan Danau Limboto, Timur dengan DAS Marisa Kab. Pohuwato, dan Sebelah Barat berbatasan dengan DAS Bolango Kab. Bone Bolango. 2. Penggunaan Lahan dan Topografi Pada Catchment Area Sub DAS Biyonga terdapat delapan tipe penggunaan lahan (Analisis Peta BPDAS Bone Bolango, 2010). Tutupan lahan di dominasi vegetasi hutan skunder sekitar 46,70 %, dengan sedikit pemukiman sekitar 1,54 % dan hanya sebagian kecil lahan kosong yaitu sekitar 0,39 %.
194 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
Tabel 2. Penggunaan Lahan pada Sub DAS Biyonga No
Luas
Penggunaan Lahan
(Ha)
%
1.
Hutan Sekunder (Ht)
3.059,86
46,70
2.
Pertanian lahan Kering Campur Semak (Pc)
1.372,94
20,95
3.
Semak Belukar (Sb)
976,91
14,91
4.
Perkebunan (P)
282,41
4,31
5.
Pertanian lahan Kering (Pk)
490,20
7,48
6.
Pemukiman (Pm)
101,06
1,54
7.
Sawah (S)
243,76
3,72
8.
Tanah Terbuka (TT)
25,57
0,39
6.552,71
100
Total Sumber : Analisis peta tahun 2010
Sebagian besar Catchment area didominasi kelas kemiringan lereng Curam, sehingga dapat dikatakan bahwa Sub DAS Biyonga memiliki kemiringan DAS relatif besar. Kemiringan lereng dibagi menjadi lima kelas berdasarkan klasifikasi Asdak (2002). Tabel 3. Kelas kemiringan lereng pada Sub DAS Biyonga. No
Kisaran Lereng (%)
1.
0–8
2.
8 -15
3.
Luas
Kelas Kemiringan Lereng
(Ha)
%
I. Datar (Dt)
1.217,50
18,58
II. Landai (L)
0,0
0,0
15 - 25
III. Agak Curam (Ac)
0,0
0,0
4.
25 – 40
IV. Curam (C)
2.954,44
45,09
5.
> 40
V. Sangat Curam (Sc)
2.379,77
36,32
6.552,71
100
Total Sumber : Analisis Peta tahun 2010
3. Jenis Tanah dan Geologi Jenis tanah padaSub DAS Biyonga yaitu Entisol, Inceptisol dan Utisol. Jenis tanah Ultisol dominan dengan luas 3.350,50 ha atau sekitar 51,13 %. Sedangkan Inceptisol merupakan tanah paling kecil seluas 816,93 ha atau sekitar 12,47 % dan selebihnya tanah Entisol seluas 2.385,21 ha atau sekitar 36,40 %.
195
Struktur geologi utama DAS Limboto adalah sesar normal dan lurus mendatar. Pembentukan sesar ini diduga dipengaruhi oleh gerakan tektano yang ditimbulkan oleh adanya sesar Gorontalo. Sesar Gorontalo diduga merupakan sesar yang masih aktif hingga sekarang, indikasi yang teridentifikasi dilapangan yaitu masih dapat ditemukan adanya mata air panas di Desa Pentadio dan Lambongo. Khusus Sub DAS Biyonga jenis batuan didominasi formasi batuan diorit bone yaitu dengan luas 4.748,27 ha atau sekitar 72,46 % dan batuan gunung api Bilungala seluas 1.035,51 atau sekitar 15,80 % (Analisis Peta Geologi BPDAS Bone Bolango, 2010). 4. Iklim dan Curah Hujan Berdasarkan analisis data curah hujan sepuluh tahun terakhir diketahui hujan tahunan sebesar 1137 mm. Curah hujan bulanan rendah pada bulan September sebesar 33 mm dan tertinggi pada bulan nopember sebesar 134 mm. Jumlah bulan kering sebanyak 44, bulan lembab sebanyak 26 dan bulan basah sebanyak 49. Menurut klasifikasi Scmidt dan Fergosun, Sub DAS Biyonga termasuk tipe iklim D (sedang) dengan nisbah bulan kering terhadap bulan basah sebesar 89 %. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Karakteristik Kekritisan Sub DAS Biyonga
1.
Solum Tanah Secara umum kedalaman solum tanah di Sub DAS Biyonga < 30 cm
(Salim et al, 2006). Sehingga dapat dikemukakan bahwa kedalaman solum pada Sub DAS Biyonga masuk kategori agak tinggi. Solum tanah dangkal sebagai akibat aktifitas pertanian tanpa teknik konservasi pada daerah hulu. Sehingga terjadi perpindahan dan penghayutan lapisan tanah atas (top soil) ketika hujan. Tanah Entisol merupakan tanah yang dianggap paling muda, sehingga bahan induknya seringkali dangkal (< 45 cm) atau tampak tanah sebagai batuan padat yang padu (Darmawijaya, 1990). Tanah ini belum lama mengalami perkembangan tanah, akibat pengaruh iklim yang lemeh, letusan vulkan ataupun tofografi yang terlalu miring/bergelombang.
196 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
Inceptisol adalah jenis tanah masih muda, belum mengalami perkembangan, berasal dari bahan induk aluvium, tekstur beranekaragam, belum terbentuk struktur. Konsistensi dalam keadaan basah lekat, pH bermacam-macam, kesuburan sedang hingga tinggi. Penyebarannya di daerah dataran aluvial sungai, dataran aluvial pantai dan daerah cekungan (depresi). Faktor lain yang diduga penyebab dagkalnya solum adalah kegiatan bercocok tanaman semusim oleh masyarakat di hulu Sub DAS Biyonga. Kegiatan ini berlangsung secara intensif tanpa dibarengi penerapan konservasi tanah ramah lingkungan. Sehingga terjadi kemerosotan fungsi, menurunnya kesuburan, tanah menjadi kritis dan nampak dominan pasir pada permukaan tanah tersebut. Tanah yang kesuburannya merosot dapat terjadi karena erosi permukaan (hilangnya tanah lapisan atas/kaya bahan organik) atau karena pencucian (leaching) hara yang intensif, meningkatnya keracunan alumunium dan fiksasi fosfat, serta berkurangnya kemampuan menahan air. Di samping itu juga dapat disebabkan oleh adanya pemanfaatan tanah secara berlebihan sehingga keseimbangannya terganggu dan petani tidak memberi input pupuk secara seimbang (Notohadiprawira et al, 1999). 2. Lereng (Slope) Lereng adalah bentuk permukaan lahan/tanah dengan kemiringan tertentu (Dephut, 2006). Sebagian besar wilayah Sub DAS Biyonga berada pada kelerengan agak curam hingga sangat curam. Dengan demikian kondisi ini sangat berpotensi menimbulkan degradasi lahan. Lereng merupakan faktor alami yang dapat menyebabkan terjadinya kekritisan pada lahan, hal ini terjadi bila adanya input curah hujan yang kemudian menghasilkan erosi. Pada sebagian besar lahan dengan lereng sangat terjal sangat berpotensi mengakibatkan kekritisan, apalagi bila areal tersebut tidak terdapat vegetasi penutup. Hubungan antara kemiringan lereng dengan fungsi hidro-orologis adalah bahwa semakin kecil kemiringan lereng akan semakin memperbesar kemungkinan air hujan untuk meresap kedalam tanah, hal ini dikarenakan semakin kecilnya air hujan yang menjadi air permukaan. Disamping itu
197
aliran air pada daerah datar, cenderung lebih lambat dibandingkan dengan daerah curam, sehingga kemungkinan terjadinya erosi juga kecil. Dengan demikian pengaruh daerah dengan lereng datar terhadap kemungkinan timbulnya lahan kritis, juga semakin kecil. Selain memperbesar jumlah aliran permukaan makin besar lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan, dengan demikian memperbesar anergi angkut air, selain itu dengan makin miringnya lereng, maka jumlah butir-butir tanah yang terpercik kebawah oleh tumbukan butir hujan semakin banyak. Jika lereng permukaan tanah menjadi dua kali lebih curam maka banyaknya erosi per satuan luas menjadi 2- 2,5 kali lebih banyak (Arsyad, 1989). 3. Batuan Singkapan Singkapan (Out crop) adalah daerah dimana karena kondisi biofisiknya sedikit sekali mengalami pelapukan sehingga tidak terbentuk lapisan tanah, atau daerah yang telah mengalami erosi sangat berat sehingga mencapai batuan dasarnya (bed rock). Berdasarkan pendekatan peta geologi dan observasi lapangan, secara umum dapat dikemukakan bahwa tidak terdapat batuan singkapan dalam Catchment Area Sub DAS Biyonga. Batuan-batuan yang muncul pada permukaan tanah diidentifikasi sebagai akibat erosi permukaan dan umumnya terdapat pada lahan-lahan dengan lereng yang terjal. Ditinjau dari parameter singkapan, Sub DAS Biyonga relatif tidak rentan degradasi. Daerah dengan batuan singkapan yang luas pada umumnya memiliki daya dukung lahan yang rendah baik untuk diusahakan sebagai lahan pertanian atau sebagai kawasan lindung. Batuan singkapan merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman. Karena pada daerah dengan singkapan yang luas/banyak maka volume tanah yang ada di daerah tersebut, sebagai media tumbuh tanaman juga semakin sedikit, disamping itu adanya singkapan juga merupakan faktor penghambat pengelolaan tanah secara mekanis.
198 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
4. Morfoerosi Morfoerosi dibatasi pada dua jenis erosi, yaitu erosi jurang dan erosi tebing sungai. Hasil pengamatan disungai utama (Sungai Biyonga) nampak telah terjadi erosi tebing sungai, indikatornya adalah adanya meandering disebagian besar kelokan sungai. Walau demikian persentase erosi terhadap luas unit lahan < 0 % sehingga dapat dikatakan bahwa tidak ada erosi tebing sungai. Karena parameter tersebut tidak berpengaruh signifikan terhadap angka kekritisan. Morfoerosi juga ditemukan berupa longsoran yang kemudian dikategorikan sebagai erosi jurang seluas ± 4 ha atau sekitar 0,44 % dari luas unit lahan. Dengan hasil tersebut unit lahan ini masih tergolong rendah dari sisi parameter morfoerosi karena besaran persentasenya kurang dari 1 %. Erosi yang ditemukan hampir disebagian besar lahan kosong dan lahan bekas pertanian tanaman semusim adalah erosi permukaan. Erosi permukaan didefenisikan sebagai pengangkutan lapisan tanah yang merata tebalnya dari suatu permukaan bidang tanah (Arsyad, 1989). Karena kehilangan lapisan olah tanah seragam pada lahan maka bentuk erosi ini tidak segera nampak. Jika proses erosi telah berjalan lanjut barulah disadari bahwa telah terjadi erosi permukaan. Dilapangan erosi permukaan dicirikan dengan lahan tandus, nampak pasir pada permukaan tanah. Tanaman sulit tumbuh karena media tumbuhnya tidak lagi lapisan tanah atas tapi sudah merupakan sub soil yang tidak baik bagi pertumbuhan tanaman. Erosi Jurang adalah pengikisan tanah oleh air dengan kedalaman > 8 m, dan lebar > 5 m dimana jurang yang tererosi tersebut mempunyai panjang 50 m atau lebih. Jurang ini ditandai dengan erosi aktif pada pangkal jurang yang disebabkan oleh aliran air dan saluran drainase, tepi jurang yang curam dan deposisi material tererosi didasar jurang atau di hilir (Dirjen RRL, 1998). Erosi tebing sungai adalah pengikisan material oleh air dari tebing kali atau sungai, erosi ini dikenali sebagai areal yang tandus (tanpa vegetasi), atau karena adanya erosi longsoran dan slump disepanjang tebing sungai. Kedua jenis Erosi tersebut dikategorikan sebagai erosi yang
199
sangat berat karena dapat memindahkan atau menghayutkan tanah sekaligus secara tiba-tiba dan dalam jumlah besar. Erosi tebing sungai dapat berubah menjadi tanah longsor ketika permukaan sungai surut (meningkat gaya tarik ke bawah). Dengan kata lain erosi tebing sungai dalam bentuk longsoran tanah terjadi karena beban meningkat oleh adanya kelembaban tanah yang tinggi dan beban ini lebih besar dari pada gaya yang mempetahankan tanah tetap pada tempatnya (Hooke, 1979) dalam (Asdak, 2002). Erosi tebing sungai dipengaruhi antara lain : kecepatan aliran, kondisi vegetasi disepanjang tebing sungai, kegiatan bercocok tanam dipinggir sungai, kedalaman dan lebar sungai, bentuk alur sungai dan tekstur tanah. Erosi teing sungai dapat dikurangi dengan cara penanaman vegetasi sepanjang tepi sungai. 5. Jenis Tanah Terhadap Kepekaan Erosi Jenis tanah utama penyusun Sub DAS Biyonga adalah Inceptisol, Entisol dan Ultisol. Tanah Entisol merupakan jenis tanah yang peka terhadap erosi sehingga pada lahan dengan jenis tanah tersebut sangat rentan terdegradasi. Hardjowigeno (2003) mengemukakan bahwa tanah entisol merupakan tanah mineral dengan ketebalan 20 cm atau kurang, dan dibawahnya terdapat batuan keras yang padu. Tabel 4. Jenis tanah pada Sub DAS Biyonga No
Luas
Jenis Tanah
(Ha)
%
1.
Tanah Entisol (Ent)
3.350,50
51,13
2.
Tanah Inceptisol (Inc)
8.16,93
12,47
3.
Tanah Ultisol (Ult)
2.385,21
36,40
6.552,71
100
Total Sumber : Analisis Peta 2010
Inceptisol diketegorikan tidak rentan karena umumnya berada dibagian hilir dengan kemiringan lereng relatif datar. Inceptisol adalah Tanah yang berasal dari endapan batu berlapis-lapis, bahan organik jumlahnya berubah tidak teratur dengan kedalaman. Hanya terdapat epipedon ochrik, histik atau sulfurik, kandungan pasir kurang dari 60 % (Hardjowigeno, 2003). Tanah Inceptisol adalah tanah-tanah (order tanah) 200 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
yang memiliki ciri-ciri masih sangat muda, masih dalam tingkat permulaan dalam perkembangan. Horison yang menjadi cirinya epidendon ochrik, histrik dan albik (Dephut, 2006). Tanah Inceptisol kurang dipengaruhi iklim dan vegetasi, tetapi yang paling nampak pengaruhnya pada ciri dan sifat tanahnya ialah bahan induk dan topografi sebagai akibat waktu terbentuknya yang masih muda, tanah ini hanya meliputi lahan yang sering atau baru saja mengalami banjir. Inceptisol merupakan campuran kandungan cukup banyak hara yang dibutuhkan untuk tanaman sehingga umumnya dianggap tanah subur. Bila dilihat cara terbentuknya maka fisiografi untuk terbentuknya tanah ini terbatas pada lembah sungai, dataran pantai dan bekas danau yang kesemuanya memiliki relief datar atau cekungan. Tanah Ultisol adalah tanah dengan horizon argalik (horizon penimbun liat), tidak mempunyai albik, kejenuhan basa kurang dari 50 % (Dephut, 2006). Faktor pendukung penyebab jenis tanah ini peka terhadap erosi adalah karena berada pada kemiringan lereng curam dan sangat curam. Sehingga ketika diatas permukaannya tidak terdapat tutupan
Foto : A. G. Salim
vegetasi maka akan mempercepat terjadinya proses erosi.
Gambar 1. Kondisi umum DAS Gorontalo, okupasi hutan pada daerah ketinggian untuk pertanian lahan kering (kiri) dan pembukaan lahan dengan cara dibakar (kanan)
6.
Kondisi Vegetasi Sebagian besar daerah tangkapan air Sub DAS Biyonga masih
merupakan Hutan Sekunder. Beberapa komoditi seperti kelapa (Cocos
201
nucifera) dan vegetasi kemiri (Aleurites moluccana)ditemukan dalam skala kecil pada Catchment Area. Selain kedua jenis tersebut juga ditemukan tanaman semusim seperti kacang tanah, kacang hijau, ubi jalar, ubi kayu, dan tomat. Penggunaan lahan merupakan parameter penentu terhadap cepat tidaknya suatu lahan terdegradasi. Pada penggunaan lahan tanah terbuka terjadi kemerosotan kualitas tanah, hal tersebut terjadi karena tidak adanya vegetasi penutup. Sehingga erosi sangat mudah terjadi, kemampuan tumbuh tanaman pokok menjadi rendah karena kedalaman solum tanah yang relatif tipis. Hal yang sama juga terjadi pada pertanian lahan kering dan semak belukar. Ketiga penggunaan lahan ini merupakan penyumbang terbesar terjadinya degradasi pada Sub DAS Biyonga. Umumnya areal bekas perladangan berpindah saat ini berubah menjadi alang-alang dan semak belukar, hal ini merupakan konsekwensi dari makin tipisnya lapisan subur tanah. Sehingga yang dapat cepat tumbuh pada areal tersebut adalah jenis tumbuhan dari famili yang memiliki perakaran dangkal, seperti Mimusa foedica, Mimusa infica, alangalang dan jenis-jenis herba lainnya. Lahan persawahan ditemukan pada daerah hilir, sebagian besar sawah merupakan areal genangan danau yang mengalami pendangkalan. Karena kemiringan lereng relatif datar sehingga aliran permukaan sebagai cikal bakal terjadinya erosi juga sangat minim. Meski berada pada daerah hulu sawah merupakan penggunaan lahan yang relatif aman dari sudut pandang konservasi tanah dan air. Sebab bidang olah sawah yang berlevel dan membentuk seperti teras. Kawasan berhutan berada di hulu Sub DAS pada kemiringan lereng curam hingga sangat curam walaupun merupakan hutan skunder. Hutan adalah vegetasi yang dipercaya mampu menekan erosi, karena memiliki struktur tajuk berlapis sehingga dapat menurunkan kecepatan terminal air hujan dan memperkecil diameter tetesan air hujan. Asdak (2002) mengemukakan bahwa pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah : (1) melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan (menurunkan terminal dan memperkecil diameter air hujan), (2) menurunkan kecepatan dan volume air larian, (3) menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem perakaran dan serasah yang 202 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
dihasilkan, (4) mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air. Pengaruh pengelolaan vegetasi terhadap hasil air menyatakan bahwa aliran tahunan akan meningkat apabila tidak ada vegetasi atau jumlah vegetasi berkurang cukup besar. Faktor kondisi penutupan lahan, sangat berpengaruh terhadap kondisi hidrologis khususnya dalam DAS. Suatu lahan dengan penutupan lahan yang baik memiliki kemampuan meredam energi kinetis hujan, sehingga memperkecil terjadinya erosi percik (splasherosion), memperkecil koefisien aliran sehingga mempertinggi kemungkinan penyerapan air hujan, khususnya pada lahan dengan solum tebal (sponge effect). Disamping itu kondisi penutupan lahan yang baik juga memberikan seresah yang cukup banyak, sehingga bisa mempertahankan kesuburan
Foto : S. Tabba
tanah.
Gambar 2. Kondisi hulu Sub DAS Biyonga yang didominasi lahan kosong , semak dan alang-alang
203
Gambar 3. Peta Penggunaan Lahan Sub DAS Biyonga
Gambar 3. Peta penggunaan lahan Sub DAS Biyonga
7.
Konservasi Tanah Secara umum dalam chactment area Sub DAS Biyonga sama sekali
tidak ditemukan penerapan teknik konservasi tanah berupa teras. Sebagian besar areal budidaya pertanian tanpa teras berada dibagian hulu Sub DAS dengan lereng sangat terjal. Kondisi budidaya pertanian tanpa teras dilakukan sesuai dengan kebiasaan masyarakat pada umumnya pembukaan tanah untuk tanaman semusim digunakan sapi untuk membajak kebunkebun yang memiliki kemiringan antara 8 - 25 %. Masyarakat juga memiliki
204 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
kebiasaan yang meninggalkan kebun-kebun garapan mereka ketika sudah tidak subur lagi. Sehingga pada lahan bekas pertanian saat ini terlihat kritis, hal itu ditandai dengan tumbuhnya semak belukar dan alang-alang. Usahausaha konservasi tanah ditujukan untuk mencegah kerusakan tanah oleh erosi, memperbaiki tanah yang rusak, memelihara serta meningkatkan produktivitas tanah agar dapat digunakan secara lestari dan sustainable (Arsyad, 1989). Dengan demikian maka konservasi tanah berarti menyesuaikan jenis penggunaan tanah dan memberikan perlakuan yang sesuai dengan syarat-syarat yang diperlukan, agar tanah dapat berfungsi secara lestari. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Kartasapoetra et al (2000), tindakan Konservasi Tanah dan Air diarahkan pada tiga perlakuan pokok yaitu : (1) memperbesar resistensi permukaan tanah sehingga lapisan permukaan tanah tahan terhadap pengaruh tumbukan butir-butir air hujan. (2) memperbesar kapasitas infiltrasi tanah, sehingga laju limpasan dapat dikurangi. (3) mengurangi laju permukaan agar daya kikisnya terhadap tanah dapat diperkecil dan memperbesar resistensi tanah sehingga daya rusak dan daya hanyut limpasan terhadap partikel-partikel tanah dapat diperkecil. B. Tingkat Degradasi Sub DAS Biyonga Berdasarkan hasil overlay peta dan Skoring yang dilakukan pada tiap unit lahan, menunjukkan bahwa tingkat degradasi Sub DAS Biyonga termasuk kategori sedang (Agak Terdegradasi). Luas daerah kritis mencapai 1.311,53 ha atau sekitar 20,02 %. Berada pada lahan dengan kemiringan lereng curam hingga sangat curam dan jenis tanah sebagian besar tanah entisol dan ultisol. Kategori kritis berada pada lahan dengan penggunaan lahan pertanian lahan kering campur semak. Daerah Sangat Kritis hanya 25,57ha atau sekitar 0,39 %dengan kemiringan lereng agak curam (25 – 45 %), kategori ini ditemukan pada penggunaan lahan tanah terbuka. Daerah Agak Kritis dengan luas 1.060,28 ha atau sekitar 16,18 %, kategori ini berada pada daerah hulu hingga hilir Sub DAS Biyonga dengan kemiringan relatif datar (0 – 8 %) sampai Sangat
205
Curam (> 45 %). Kriteria ini terdapat pada penggunaan lahan semak belukar, sawah dan sebagian kecil pertanian lahan kering campur semak. Daerah tidak Kritis mencapai luas 397,29 ha atau sekitar 6,06 %, kriteria ini dijumpai tersebar merata pada Chatment area Sub DAS Biyonga mulai dari hulu hingga hilir, pada penggunaan lahan perkebunan, pemukiman, dan sawah. Daerah sedikit kritis merupakan kategori paling luas yang mencapai 3.758,04 ha atau sekitar 57,35 %. Kategori ini berada pada semua tipe penggunaan hutan, pertanian lahan kering dan sebagian kecil semak belukar. Ditemukan pada semua kelas kemiringan lereng. Kekritisan disebabkan lahan pertanian tanpa penerapan konservasi tanah berupa teras, kemiringan lereng relatif curam, solum dangkal, dan jenis
Foto : Supratman Tabba
tanah yang peka terhadap erosi serta minimnya tutupan vegetasi.
Gambar 6. Banjir pada hulu Sub DAS beberapa saat setelah hujan, indikator terjadinya degradasi lahan
206 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
Gambar 1. Peta tingkat kekritisan Sub DAS Biyonga
207
C. Arahan Penanganan Somasiri (1998) dalam Paimin, et al (2006) memberikan pengertian degradasi lahan sebagai pengurangan atau kehilangan keseluruhan kapasitas sumberdaya alam untuk memproduksi tanaman yang bergizi dan sehat sebagai akibat erosi, pembentukan lapisan kedap, dan akumulasi zat kimia beracun (toxic) dll. Selanjutnya Paimin et al (2006) mengemukakan bahwa Degradasi DAS adalah hilangnya nilai dengan waktu, termasuk menurunnya potensi produksi lahan dan air yang diikuti dengan tandatanda perubahan watak hidrologi sistem sungai (kualitas, kuantitas, waktu aliran). Pada akhirnya akan membawa percepatan degradasi ekologi, penurunan peluang ekonomi, dan peningkatan persoalan sosial. Daerah terdegradasi sesegera mungkin harus mendapatkan prioritas penanganan untuk mengembalikan produktifitas tanah demi keberlanjutan hasil maksimal, dalam hal ini rehabilitasi lahan. Rehabilitasi juga diperuntukkan untuk menghutankan kembali lahan-lahan gundul dan gersang yang dianggap sebagai faktor penyebab terjadinya kerusakan DAS. Pada lahanlahan pertanian sebaiknya menerapkan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air berupa penggunaan teras untuk meminimalkan erosi, sehingga pendangkalan danau dapat diatasi. Hutan pada Sub DAS Biyonga sangat rentan terdegradasi, hal tersebut disebabkan jenis tanahnya termasuk ketegori dengan erodibilitas rendah. Sehingga ketika hutan dibuka maka akan terjadi erosi dan nantinya akan berimplikasi pada terdegradasinya lahan. Pada penelitian ini arahan lahan ditujukan pada lahan-lahan dengan kategori agak kritis hingga sangat kritis terutama yang berada pada kemiringan lereng curam hingga sangat curam. Adapun beberapa alternatif penanganan lahan kritis : 1. Melakukan rehabilitasi terhadap daerah-daerah kritis terutama pada lahan tanpa vegetasi maupun areal beralang-alang dan semak belukar. Minimal untuk tahap awal areal tersebut tertutup oleh vegetasi sehingga aliran permukaan (surface runoff) ketika hujan dapat diminimalkan, dan erosi dapat dikendalikan. 2. Intensifikasi Pertanian, dimana lahan-lahan yang telah dibuka untuk pertanian lebih diintensifkan dengan cara penggunaan pupuk baik 208 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
organik maupun pupuk NPK. Sehingga pembukaan hutan untuk lahan pertanian baru (perladangan berpidah) dapat diminimalkan. 3. Membangun keterpaduan antara pihak pemerintah baik pusat maupun daerah. Dalam hal ini Balai Pengelolaan DAS Bone Bolango, Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten Gorontalo, Dinas PU Perairan, Badan Perencanaan Daerah Gorontalo, Masyarakat Hulu/Hilir DAS dan juga tim pakar dari Perguruan Tinggi serta semua stake holders yang mendapat manfaat dari Danau Limboto. 4. Penerapan Konservasi tanah dan air baik secara vegetatif maupun mekanis. Hal itu diperuntukkan untuk meminimalkan daya rusak hujan yang jatuh, mengurangi aliran permukaan dan erosi serta meningkatkan kemampuan tanah. Adapun metode yang lazim digunakan yaitu penanaman tanaman penutup tanah (cover crop) secara terus menerus, penanaman dalam lorong
atau pembuatan teras pada lahan-lahan
pertanian di hulu-hulu DAS/Sub DAS yang merupakan daerah penyangga. 5. Penggunaan Gamal sebagai Alley Cropping untuk mempertahankan kesuburan tanah dan pengendalian erosi. Hasil penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Timur menunjukkan bahwa jalur gamal mampu menekan erosi hingga 54,99 % dan penambahan Nitrogen dalam tanah mampu menekan erosi sebesar 93 % (Salim et al, 2006). Selain itu hasil produksi pangkasan gamal juga dapat digunakan untuk pakan ternak. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A.
Kesimpulan 1. Sub DAS Biyonga masuk dalam kategori agak terdegradasi (sedang). Kondisi tersebut banyak dipengaruhi oleh pola budidaya pertanian di daerah hulu yang tidak menerapkan kaidah konservasi tanah. 2. Degradasi lahan banyak diakibatkan oleh aktifitas perladangan berpindah (Shifting cultivation) yang dipraktekkan oleh masyarakat hulu. Kegiatan ini berlangsung terus menerus tanpa adanya input pupuk dan penerapan kaidah-kaidah konservasi tanah dan air.
209
3. Okupasi areal hutan menjadi pertanian lahan kering juga disinyalir sebagai penyebab menjamurnya lahan kritis. B. Saran 1. Pada Lahan-lahan kritis sebaiknya segera dibuatkan skala prioritas rehabilitasi lahan untuk mengembalikan produktifitas lahan melalui pendekatan teknik-teknik Agroforestry. 2. Untuk mencegah meluasnya lahan kritis perlu diadakan penyuluhan melalui kajian Partisipatory Rural Appraisal (PRA). Dengan melibatkan instansi terkait seperti Dinas Kehutanan Kabupaten maupun Provinsi, Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Bone Bolango, Perguruan Tinggi, masyarakat hulu/hilir, LSM sebagai pendamping dan semua Stakeholder yang mendapat manfaat dari Danau Limboto. 3. Melakukan kajian yang lebih mendalam untuk mengidentifikasi faktor utama penyebab Degradasi Sub DAS Biyonga, dan penentuan kesesuaian jenis tanaman terhadap lahan. DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. Institut Pertanian Bogor Press. Bogor. Asdak, C. 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. 2002. Pusat Data Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan Daerah (PDP3D), Basis Data. Gorontalo. Darmawijaya, M. Isa. 1990. Klasifikasi tanah. dasar Teori bagi peneliti tanah dan pelaksana pertanian di Indonesia.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Departemen Kehutanan, 2009. Keputusan Menteri Kehutanan No. SK. 328/Menhut-II/2009. Penetapan Daerah Aliran Sungai (DAS) Prioritas Dalam Rangka Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Tahun 2010-2014. Jakarta.
210 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
, 2006. Glossary Pengelolaan DAS. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Indonesia Bagian Timur. Makassar. Dirjen RRL, 1998. Keputusan Direktorat Jendral Reboisasi dan Rehabilitasi LahanNo : 041/Kpts/V/1998. Pedoman Penyusunan Rencana Teknik Lapangan Rehabilitasi dan Konservasi Tanah. Jakarta. Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Edisi baru cetakan kelima. Akademika Pressindo. Jakarta. Kartasapoetra, G., A.G. Kartasapoetra dan M.M Sutedjo. 2000. Teknologi Konservasi Tanah dan Air.Rineka Cipta. Jakarta. Lee, R. 1990. Hidrologi Hutan (terjemahan : Forest Hidrology). Gadjah Mada University Press.Yogyakarta. Notohadiprawira, T., R. Sutanto., A. Maas dan S. Yasni. 1999. Kebutuhan Riset, Inventarisasi dan Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Tanah di Indonesia. Kantor Kementerian Negara Riset dan Teknologi. Dewan Riset Nasional. Jakarta. Paimin, Sukresno dan Purwanto. 2006. Selidik Cepat Degradasi Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS). Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Salim, A.G., S. Tabba. 2006. Penggunaan Gamal (Gliricidia sepium (Jacq)) Sebagai Tanaman Lorong dalam Mempertahankan Kesuburan Tanah dan Mengendalikan Erosi. Buku Seri Teknologi Konservasi Tanah dan Air. Balai Litbang Teknologi Pengelolaan DAS Indonesia Bagian Timur. Makassar.
211
Lampiran 1. Formulasi Kekritisan dalam penentuan kerentanan degradasi DAS/Sub DAS No.
Parameter/Bobot
A.
ALAMI (45 %)
a.
Solum Tanah (cm) (10 %)
b.
Lereng (%) (15 %)
c.
Geologi (Batuan Singkapan) (5 %)
d.
Morfoerosi (erosi Jurang, tebing sungai) persen dari unit lahan (10 %) Jenis tanah terhadap kepekaan erosi (5 %)
e.
Besaran
Kategori Nilai
Skor
> 90 60 – < 90 30 – < 60 15 – < 30 < 15 0-<8 8 - < 15 15 – < 25 25 – < 45 > 45 < 20 20 – < 40 40 – < 60 60 – 80 > 80 0% 1 – < 20 % 20 – < 40 % 40 – 60 % > 60
Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi Rendah Agak Rendah Sedang Agak Tinggi Tinggi Rendah Agak Rendah Sedang Agak tinggi Tinggi
1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5
Rendah
1
Agak Rendah
2
Sedang
3
Agak Tinggi
4
Tinggi
5
Alluvial, tanah Glei, Planosol, Hidromorf, Laterik (Entisol, Ultisol, Alfisol) Latosol (Inseptisol, Ultisol) Brown forest soil, non calcic, brown, mediteran (Inseptisol, Alfisol) Andosol, Laterit, Grumosol, Podsol, Podsolik (Andisol, Ultisol, Vertisol, Spodsol, Oksisol) Regosol, Litosol, Organosol, Renzina (Entisol, Histosol, Mollisol)
212 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
No. B. 1.
a.
Parameter/Bobot MANAJEMEN Kawasan Hutan dan Perkebunan (55 %) Kondisi Vegetasi (45 %)
Besaran
Vegetasi Hutan, Tanaman Perkebunan + Cover Crope atau Tanaman Perkebunan Berserasah Banyak Vegetasi Utama < 50 % + Semak Belukar Semak Belukar Pertanian lahan kering, AlangAlang Vegetasi Sedikit (> 50 % Tanah Terbuka)
b.
Konservasi (10 %)
Tanah
Teras Gulud + Tanaman Penguat Tanaman Terassering/Alley Cropping Guludan Mulsa Teras Gulud Tanaman Tanpa Terassering
Kategori Nilai
Skor
Rendah
1
Agak Rendah
2
Sedang
3
Agak Tinggi
4
Tinggi
5
Rendah
1
Agak Rendah
2
Sedang
3
Agak Tinggi
4
Tinggi
5
Sumber : Paimin et al (2006)
213
214
Lampiran 2. Hasil Skoring penilaian tingkat degradasi Sub DAS Biyonga Skor dan Parameter Lereng (15 %)
Jenis Tanah (5 %)
4
5
4
1
1
1
5
2,4
2. (Ht-Ult-Ac)
4
4
4
1
1
1
5
2,2
3. (Sb-Ult-Sc)
4
5
4
1
1
3
5
3,4
4.(Sb-Ent-Sc)
4
5
5
1
1
3
5
3,3
5.(Ht-Ent-Sc)
4
5
5
1
1
1
5
2,4
6.(Pt-Ult-Ac)
4
4
4
1
1
4
5
3,7
7.(Pc-Ent-Sc)
4
4
5
1
1
3
5
3,3
Sedikit Kritis Sedikit Kritis Agak Kritis Agak Kritis Sedikit Kritis Kritis Agak Kritis
8.(Pc-Ult-Ac) 9.(Ht-Ent-Ac) 10.(Pc-Ent-Sc)
4 4 4
4 5 4
5 5 4
1 1 1
1 1 1
1 4 4
5 5 5
3,9 3,7
Kritis Kritis
1. (Ht-Ult-Sc)
214 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Batuan Vegetasi Morfoerosi Singkapan Penutup (10 %) (5%) (45 %)
Konservasi Tanah Mekanis (10 %)
Solum Tanah (10 %)
Unit Lahan
Jumlah
Kategori
Nilai Kekritisan
0,44 0,03 0,02 0,25 0,16 0,02 0,21
0,03 0,50
Karakteristik Tingkat Degradasi….. Supratman Tabba
Skor dan Parameter Batuan Vegetasi Morfoerosi Singkapan Penutup (10 %) (5%) (45 %)
Konservasi Tanah Mekanis (10 %)
Solum Tanah (10 %)
Lereng (15 %)
Jenis Tanah (5 %)
11. (Pc-Ult-Sc)
4
4
5
1
1
1
5
2,4
12.(Pc-Ult-Ac) 13.(Tb-Ult-Ac) 14.(Ht-Ult-Ac)
4 4 4
5 5 4
5 4 4
1 1 1
1 1 1
4 4 4
5 5 5
3,9 3,8 3,7
15.(Pc-Ult-Dtr)
4
4
4
1
1
5
5
4,2
16.(Pc-Ult-Dtr)
4
4
4
1
1
1
5
2,2
17.(Pk-Ult-Dtr)
4
1
4
1
1
4
1
2,8
18.(Pt-Ult-Dtr)
4
1
4
1
1
4
1
2,8
19.(Pk-Ult-Dtr)
4
1
4
1
1
1
1
1,9
20.(Pt-Inc-Dtr)
4
1
4
1
1
4
1
1,9
4
1
1
1
1
1
1
1,7
Unit Lahan
Jumlah
21.(Sw-Inc-Dtr)
Kategori
Sedikit Kritis Kritis Kritis Kritis Sangat Kritis Sedikit Kritis Agak Kritis Agak Kritis Sedikit Kritis Sedikit Kritis Sedikit Kritis
Nilai Kekritisan
0,01 0,03 0,02 0,16 0,02 O,18 0,04 0,01 0,05 0,02 0,01
215
215
216 Skor dan Parameter Batuan Vegetasi Morfoerosi Singkapan Penutup (10 %) (5%) (45 %)
Konservasi Tanah Mekanis (10 %)
Unit Lahan
Solum Tanah (10 %)
Lereng (15 %)
Jenis Tanah (5 %)
22.(Pm-Inc-Dtr)
4
1
1
1
1
4
1
1,7
23.(Pm-Inc-Dtr)
4
1
1
1
1
1
1
3,1
24.(Sw-Inc-Dtr)
4
1
1
1
1
1
1
1,8
25.(Sw-Inc-Dtr)
4
1
1
1
1
1
1
1,8
26.(Sb-Inc-Dtr)
4
1
1
1
1
1
1
3,1
27.(Pt-Inc-Dtr)
4
1
1
1
1
1
1
3,1
28.(Pc-Ent-Sc)
4
1
1
1
1
3
1
2,2
29.(Pc-Ult-Ac)
4
1
1
1
1
4
1
2,6
Luas Sub DAS Biyonga : 6.552,71 ha Sumber : Analisis Data Primer
216 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Jumlah
Nilai Degradasi
Kategori
Sedikit Kritis Agak Kritis Sedikit Kritis Sedikit Kritis Agak Kritis Agak Kritis Sedikit Kritis Agak Kritis
Nilai Kekritisan
0,01 0,03 0,01 0,01 0,01 0,02 0,02 0,13 2,73
Penghitungan Emisi dan Serapan CO2….. Nurlita Indah Wahyuni
PENGHITUNGAN EMISI DAN SERAPAN CO2 TAHUN 2000-2009 PADA SEKTOR BERBASIS LAHAN DI SULAWESI UTARA Nurlita Indah Wahyuni Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec.Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email :
[email protected] RINGKASAN Tulisan ini memaparkan hasil penghitungan emisi dan serapan CO 2 sektor berbasis lahan di Sulawesi Utara serta perubahannya antara tahun 2000 hingga 2009. Metode yang digunakan adalah metode IPCC (Intergovermental Panel on Climate Change) Guideline 2006 yang mengukur emisi atau serapan gas rumah kaca pada seluruh kategori penutupan lahan. Jenis penutupan lahan di Sulawesi Utara terbagi menjadi 6 (enam) yaitu lahan hutan, lahan pertanian, padang rumput, lahan basah, pemukiman dan area penggunaan lain. Dalam jangka waktu 2000-2009, sektor berbasis lahan di Sulawesi Utara menghasilkan emisi bersih sebesar 9,64 Juta Ton CO2/tahun. Kata kunci : Sulawesi Utara, emisi dan serapan CO2, IPCC GL 2006
I. PENDAHULUAN Sebagai salah satu negara yang turut mengesahkan konvensi perubahan iklim atau UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change), Indonesia perlu mengetahui berapa jumlah emisi atau serapan GRK (Gas Rumah Kaca) pada semua sektor termasuk sektor berbasis lahan atau AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use). Selain mengeluarkan emisi sektor AFOLU juga menyerap GRK, namun emisi yang dihasilkan lebih besar daripada serapannya. Karbondioksida (CO2) merupakan salah satu GRK yang perlu diketahui jumlah yang teremisi atau terserap, karena berdasarkan data SNC (Second National Communication) pada tahun 2000 CO2 menyumbang 82% total emisi GRK di Indonesia (SNC,2009). Terdapat banyak metode untuk menghitung emisi dan serapan
217
CO2, salah satu metode yang diakui secara internasional adalah metode yang dikeluarkan oleh IPCC yaitu IPCC Guideline 2006. Aplikasi metode ini diharapkan dapat menghasilkan data yang lebih akurat karena pengukuran dilaksanakan pada seluruh kategori lahan dan sumber karbon serta konsisten dalam pembagian kategori lahan (Ginoga, et al. 2009). Deforestasi merupakan salah satu perubahan penutupan lahan dan termasuk dalam salah satu pemicu emisi CO2. Hal ini sesuai dengan data World Resource Institute yang dikutip dalam Stern Report, deforestasi menyumbang sekitar 18 % terhadap emisi GRK global (Masripatin, 2007). Badan Planologi Kehutanan (2008) menyebutkan bahwa antara tahun 20032006, Provinsi Sulawesi Utara memiliki angka deforestasi pada hutan primer dan hutan sekunder yang cukup tinggi yaitu sebesar 5.200 ha/tahun. Berdasarkan kondisi tersebut, tulisan ini menyajikan informasi besar emisi atau serapan CO2 pada sektor berbasis lahan di Provinsi Sulawesi Utara serta perubahannya antara tahun 2000 hingga tahun 2009. II. METODE Data yang digunakan berupa peta penutupan lahan Sulawesi Utara tahun 2000, 2003, 2006 dan 2009, serta faktor emisi dan serapan CO2 pada 5 sumber karbon yang diambil dari IPCC Guideline 2006 (default value). Sumber karbon yang diukur emisi atau serapannya adalah biomasa di atas permukaan tanah, biomasa di bawah permukaan tanah, kayu mati, serasah dan tanah. Sedangkan faktor emisi dan serapan terdiri dari riap, fraksi karbon, nisbah akar pucuk, kerapatan kayu, serta biomasa sebelum dan setelah konversi lahan (IPCC, 2006). Perubahan cadangan karbon diperoleh dengan cara mengalikan luas perubahan penutupan lahan dengan faktor emisi atau serapan. Tingkat kerincian faktor emisi dan serapan menggunakan data yang diberikan oleh IPCC pada skala global (IPCC, 2006). Berdasarkan data Badan Planologi Kehutanan, terdapat 17 jenis penutupan lahan di Sulawesi Utara. Penutupan lahan tersebut kemudian dikelompokkan lagi menjadi enam
218 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Penghitungan Emisi dan Serapan CO2….. Nurlita Indah Wahyuni
penutupan lahan sesuai dengan IPCC Guideline 2006 seperti tercantum dalam Tabel 1 berikut. Tabel 1. Kategori penutupan lahan
1
Penutupan Lahan Badan Planologi Kehutanan Hutan Lahan Kering Primer
2
Hutan Lahan Kering Sekunder
3
Hutan Mangrove Primer
4
Hutan Mangrove Sekunder
5
Perkebunan
6
Pertanian Lahan Kering
7
Pertanian Lahan Kering Campur
No
Penutupan Lahan IPCC Guideline 2006 Lahan Hutan (Forest Land)
Lahan Pertanian (Crop Land)
Semak 8
Sawah
9
Semak/Belukar
10
Semak/Belukar Rawa
11
Rawa
12
Pemukiman
13
Tanah Terbuka
14
Tubuh Air
15
Tambak
16
Bandara
17
Pertambangan
Padang Rumput (Grass Land) Lahan Basah (Wet Land) Pemukiman (Settlement)
Area Penggunaan Lain (Other Land)
Sumber data : BPKH Wilayah VI Manado dan IPCC Guideline 2006
Persamaan yang digunakan untuk menghitung perubahan cadangan karbon sektor AFOLU adalah sebagai berikut: Di mana: ΔCAFOLU : perubahan cadangan karbon pada sektor berbasis lahan (AFOLU) ΔCFL
: perubahan cadangan karbon pada lahan hutan (Forest Land)
ΔCCL
: perubahan cadangan karbon pada lahan pertanian (Crop Land)
ΔCGL
: perubahan cadangan karbon pada padang rumput (Grass Land)
ΔCWL
: perubahan cadangan karbon pada lahan basah (Wet Land)
219
ΔCSL
:perubahan
cadangan
karbon
pada
pemukiman
(Settlement) ΔCOL
: perubahan cadangan karbon pada area penggunaan lain (Other Land)
III. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penyesuaian kategori lahan pada Tabel 1, dapat dihitung luasan lahan yang tetap atau berubah menjadi penutupan lahan yang lain. Luas penutupan lahan serta perubahannya pada masing-masing kategori antara tahun 2000-2009 tercantum dalam Tabel 2. Dalam Tabel 2 tersebut diketahui
terdapat 12 penutupan lahan dan perubahannya,
masing-masing kategori ini dapat menjadi menjadi sumber emisi atau serapan. Luas perubahan penutupan lahan atau luas penutupan lahan yang tetap antara dua tahun pengamatan adalah data aktivitas yang akan dikalikan dengan faktor emisi atau faktor serapan. Jika hasil perhitungan negatif maka perubahan penutupan lahan tersebut mengemisikan CO2, sebaliknya jika hasilnya positif maka perubahan penutupan lahan tersebut berfungsi sebagai penyerap CO2. Tabel 2. Perubahan luas penutupan lahan (ha) Uraian Luas total
Tahun 2000
2003
2006
2009
1.458.681
1.458.681
1.458.620
1.458.342
719.368
615.191
590.881
585.137
615.191
590.434
584.991
0
447
146
704.416
738.377
781.676
608.835
704.154
741.282
95.581
34.223
40.023
98.074
88.480
50.516
1. GL tetap GL
65.019
67.917
48.915
2. Lahan dikonversi menjadi GL
33.055
20.563
1.484
Kategori Penutupan Lahan Forest Land (Lahan Hutan) 1. FL tetap FL 2. Lahan dikonversi menjadi FL Crop Land (Lahan Pertanian)
609.277
1. CL tetap CL 2. Lahan dikonversi menjadi CL Grass Land (Padang Rumput)
89.773
Uraian
220 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Tahun
Penghitungan Emisi dan Serapan CO2….. Nurlita Indah Wahyuni
2000 Wet Land (Lahan Basah)
2003
703
1. WL tetap WL 23.277
1. S tetap S 2. Lahan dikonversi menjadi S
2009
703
463
703
703
463
2. Lahan dikonversi menjadi WL Settlement (Pemukiman)
2006
703 0
0
0
22.925
22.808
22.918
22.724
22.726
22.808
200
81
110
17.372
17.372
17.631
16.283
17.372
16.867
1.089
0
765
Other Land (Area Penggunaan Lain)
16.283
1. OL tetap OL 2. Lahan dikonversi menjadi OL
Keterangan: Diolah dari peta penutupan lahan Sulawesi Utara (BPKH Wilayah VI Manado)
Sesuai dengan data Badan Planologi (2008) yang menyebutkan bahwa tingkat deforestasi di Sulawesi Utara cukup tinggi, dalam kajian ini juga terlihat bahwa terjadi rata-rata penurunan luas lahan hutan dalam kurun waktu 2000-2009 adalah sebesar 13.423 ha/tahun. Persentase perubahan luas penutupan lahan antar tahun pengamatan disajikan dalam Tabel 3. Selain lahan hutan, penutupan lahan yang juga berkurang adalah padang rumput. Dalam Tabel 3 terlihat bahwa padang rumput dan lahan basah berkurang secara signifikan pada jangka waktu antara tahun 2006-2009, yaitu masing-masing sebesar 42,91% dan 34,14%. Tabel 3. Persentase perubahan luas penutupan lahan (%) Kategori Penutupan Lahan Forest Land (Lahan Hutan)
Tahun 2000-2003
2003-2006
2006-2009
-14,48
-3,92
-0,97
Crop Land (Lahan Pertanian)
15,62
4,82
5,86
Grass Land (Padang Rumput)
9,25
-9,78
-42,91
Wet Land (Lahan Basah)
0
0
-34,14
Settlement (Pemukiman)
-1,52
-0,51
0,48
6,69
0
1,49
Other Land (Area Penggunaan Lain)
Keterangan: Tanda (-) berarti terjadi pengurangan luas penutupan lahan
221
Berkurangnya luasan penutupan lahan hutan dan padang rumput disebabkan oleh konversi menjadi penutupan lahan lain seperti lahan pertanian, pemukiman dan area penggunaan lain. Sedangkan jenis penutupan lahan yang bertambah luasannya adalah lahan pertanian dan area penggunaan lain. Perubahan luas pemukiman bernilai negatif atau berkurang pada jangka waktu tahun 2000-2003 dan 2003-2006 sebesar 1,52% dan 0,51%. Hal ini dimungkinkan terjadi karena kesalahan pada saat interpretasi tutupan lahan dari data penginderaan jauh. Hasil perhitungan emisi atau serapan CO2 pada setiap penutupan lahan terdapat dalam Tabel 4. Tabel 4. Hasil perhitungan emisi atau serapan CO2 pada setiap penutupan lahan (juta ton CO2/tahun). No
Perubahan Penutupan Lahan
2000-2003
2003-2006
2006-2009
Serapan
Emisi
Serapan
Emisi
Serapan
Emisi
1
Hutan tetap hutan
4,94
0,07
4,74
0,07
4,70
0,03
2
Lahan menjadi hutan
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
3
Lahan pertanian tetap lahan pertanian Lahan menjadi lahan pertanian Padang rumput tetap padang rumput Lahan menjadi padang rumput Lahan basah tetap lahan basah Lahan menjadi lahan basah Pemukiman tetap pemukiman Lahan menjadi pemukiman Lahan menjadi area penggunaan lain Total
0,00
5,92
0,00
6,84
0,00
7,20
0,00
10,40
0,00
3,72
0,00
4,35
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
2,69
0,00
1,68
0,00
0.12
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,02
0,00
0,00
0,00
0,00
0,00
0,09
0,00
0,00
0,00
0,06
4,94
19,19
4,74
12,31
4,70
11,78
4 5 6 7 8 9 10 11
Berdasarkan Tabel 4 tersebut, diperoleh 11 jenis perubahan penutupan lahan yang menghasilkan emisi atau serapan CO2 serta hanya
222 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Penghitungan Emisi dan Serapan CO2….. Nurlita Indah Wahyuni
terdapat satu jenis perubahan penutupan lahan yang menyerap CO2 yaitu hutan tetap hutan. Hal ini sesuai dengan fungsi hutan sebagai penyerap CO2 di atmosfer saat proses fotosintesis, karbon yang terserap kemudian disimpan dalam bentuk biomasa hutan. Selain menyerap karbon, hutan juga mengemisikan CO2 saat terjadi pemanenan kayu, namun emisi yang dihasilkan tidak sebesar emisi saat hutan dikonversi menjadi penutupan lahan lainnya. Jenis perubahan penutupan lahan yang menghasilkan emisi adalah lahan pertanian, lahan menjadi lahan pertanian, lahan menjadi padang rumput, lahan menjadi pemukiman dan lahan menjadi area penggunaan lain. Rata-rata emisi terbesar dihasilkan dari lahan yang berubah menjadi lahan pertanian sebesar 6,65 Juta Ton CO2/tahun dan lahan pertanian tetap lahan pertanian yaitu sebesar 6,16 Juta Ton CO2/tahun. Emisi CO2 tersebut berasal dari hilangnya biomasa terutama vegetasi hutan yang dikonversi menjadi lahan pertanian. Sedangkan jenis penutupan lahan yang tidak mengemisi CO2 atau menyerap CO2 adalah lahan menjadi hutan, padang rumput tetap padang rumput, lahan basah tetap lahan basah, lahan menjadi lahan basah, dan pemukiman tetap pemukiman. Emisi dan serapan CO2 antara tahun 2000-2009 terdapat dalam Gambar 1.
Gambar 1. Emisi dan serapan CO2 Sektor AFOLU Tahun 2000-2009 di Sulawesi Utara.
223
Dalam kurun waktu 2000-2009, emisi terbesar terjadi pada tahun 2000-2003 sebesar 19,19 Juta Ton CO2/ tahun. Emisi ini terus menurun sehingga pada tahun 2006-2009 emisi CO2 hanya sebesar 11,78 Juta Ton CO2/ tahun. Berdasarkan Gambar 1, diketahui terjadi penurunan emisi CO2 dengan rata-rata penurunan emisi sebesar 14,43 Juta Ton CO2/ tahun. Besarnya jumlah serapan CO2 dalam jangka waktu ini juga menurun namun tidak secara signifikan seperti penurunan emisi. Serapan CO2 relatif tetap yaitu antara 4,70 – 4,94 Juta Ton CO2/ tahun atau 4,79 Juta Ton CO2/tahun. Selisih antara emisi dan serapan merupakan emisi bersih, menurut perhitungan besarnya emisi bersih Sulawesi Utara antara tahun 2000-2009 adalah 9,64 Juta Ton CO2/tahun. Nilai serapan CO2 yang kecil dan cenderung tetap disebabkan karena serapan hanya berasal dari kategori lahan hutan tetap menjadi lahan hutan yaitu faktor pertambahan biomasa. Di lain pihak, faktor utama penyebab perubahan jumlah emisi CO2 adalah menurunnya deforestasi atau luas konversi lahan hutan menjadi penutupan lahan lainnya. Hal ini menunjukkan penurunan total emisi CO2 tidak disebabkan oleh peningkatan serapan, lebih disebabkan oleh penurunan deforestasi. Karena nilai faktor emisi dan faktor serapan yang digunakan adalah default value yang nilainya tetap antara tahun 2000-2009, maka yang paling berpengaruh terhadap jumlah emisi dan serapan CO2 adalah luas perubahan penutupan lahan. IV. KESIMPULAN Dalam jangka waktu 2000-2009, sektor berbasis lahan atau AFOLU (Agriculture, Forestry and Other Land Use) di Sulawesi Utara mengemisikan CO2 sebesar 14,43 Juta Ton CO2 /tahun dan menyerap 4,79 Juta Ton CO2/tahun, sehingga rata-rata emisi bersih yang dihasilkan sebesar 9,64 Juta Ton CO2/tahun. Penurunan emisi CO2 sektor AFOLU berbanding lurus dengan dengan penurunan angka deforestasi.
224 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Penghitungan Emisi dan Serapan CO2….. Nurlita Indah Wahyuni
DAFTAR PUSTAKA Badan Planologi Kehutanan. 2008. Perhitungan Deforestasi Indonesia Tahun 2008. Pusat Inventarisasi dan Perpetaan Hutan. Departemen Kehutanan. Ginoga, K et al. 2009. Aplikasi Inventarisasi GRK dengan IPCC Guideline: Meningkatkan Kesiapan. Policy Brief. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementrian Kehutanan. IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories Volume 4: Agriculture, Forestry and Other Land Use. Intergovernmental Panel on Climate Change. Masripatin, Nur. 2007. Apa Itu REDD?. Departemen Kehutanan. SNC. 2009. Summary for Policy Makers: Indonesia Second National Communication Under The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Jakarta. State Minister for the Environment Republic of Indonesia.
225
226 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Kearifan Suku Togutil dalam……. Lis Nurrani dan Supratman Tabba
KEARIFAN SUKU TOGUTIL DALAM KONSERVASI TAMAN NASIONAL AKETAJAWE DI WILAYAH HUTAN TAYAWI PROVINSI MALUKU UTARA Lis Nurrani dan Supratman Tabba Balai Penelitian Kehutanan Manado Jl. Raya Adipura Kel. Kima Atas Kec. Mapanget Kota Manado Telp : (0431) 3666683 Email :
[email protected]
RINGKASAN Kearifan merupakan nilai-nilai intelektual kreativitas dan pengetahuan lokal yang diyakini kebenaran serta menjadi norma dalam bertingkahlaku oleh individuindividu pada komunitas masyarakat tertentu. Faktor inilah yang kemudian menentukan pembangunan peradaban dan budaya masyarakat dari dulu hingga masa modern saat ini. Kondisi ini pulalah yang tergambar pada masyarakat Togutil, sebuah komunitas suku terasing dengan kehidupan primitif. Namun dengan segala keterbatasan hidup, pengetahuan dan pendidikan tidak membuat mereka enggan melestarikan dan menjaga Hutan Tayawi yang merupakan kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Provinsi Maluku Utara. Sebuah fakta yang mungkin sangat sulit ditemukan pada masa kini, dimana perkembangan teknologi dan perubahan budaya menjadi suatu keharusan dalam kehidupan. Kata Kunci : Kearifan Tradisional, TN Aketajawe, Togutil, Hutan Tayawi, Maluku Utara
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Halmahera merupakan pulau paling besar di wilayah Provinsi Maluku
Utara dengan luas 18.000 km2 dan menjadi pulau kedua terbesar setelah Seram di wilayah kompleks Kepulauan Maluku. Halmahera juga dianggap terkaya dalam keanakeragaman hayati di kawasan Maluku. Selain itu Pulau Halmahera dinyatakan memiliki banyak spesies endemik. Hasil survei-survei lapangan yang dipusatkan pada kelompok avifauna menyimpulkan ada sejumlah 213 jenis burung yang tercatat di Halmahera, 126 jenis
227
diantaranya merupakan burung penetap. Burung penetap dianggap penting bagi konservasi dan saat ini diperkirakan terancam punah secara global (Poulsen et al, 1999). Kompleksitas hutan Halmahera adalah salah satu tipe ekosistem bagi keberadaan dan habitat jenis-jenis paruh bengkok dan cenderawasih Halmahera (Semioptera wallacei). Dasar inilah yang kemudian menjadi tonggak terbentuknya Taman Nasional Aketajawe Lolobata (TNAL) sebagai kawasan perlindungan dan konservasi in situ bagi flora dan fauna khususnya yang endemik kawasan Maluku Utara. Kerusakan dan hilangnya fungsi hutan akibat aktifitas penebangan oleh pemegang ijin usaha di wilayah daratan Halmahera mengakibatkan terancamnya satwa-satwa karena berkurangnya luasan habitat, faktor inilah yang juga menjadi elemen penting bagi keberadaan Taman Nasional. Kekayaan alam TNAL terlihat dari beragamnya potensi hayati, fisik dan kondisi sosial masyarakat yang berada di dalam dan di sekitar wilayah Taman Nasional. Salah satu keunikan kawasan konservasi ini adalah keberadaan suku terasing (Togutil) yang hidup secara nomaden dalam kawasan hutan. Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Togutil saat ini merupakan perpindahan dari sistem kepercayaan asli yang mulai ditinggalkan ketika masuknya penyebaran agama Kristen dan proyek pemukiman kembali masyarakat terasing di daerah Lolobata pada akhir tahun 1970 an. Togutil sering juga disebut suku Tobelo dalam, tidak banyak informasi mengenai kehidupan sosial, prilaku dan asal mula keberadaan orang-orang suku dalam tersebut. Hal terpenting dari sisi lain kehidupan suku terasing Togutil adalah perilaku dan pola bercocok tanamnya yang tidak mengakibatkan kerusakan kawasan hutan dan secara tidak langsung turut mengkonservasi Taman Nasional. Togutil merupakan suku terasing yang hidup dengan sepenuhnya bergantung pada hasil buruan dan bercocok tanam secara subsisten. Nuansa primitif nampak dari kehidupannya yang tinggal pada pondok sederhana tanpa dinding dengan beratapkan daun palem serdang (Livistona rotundifolia) serta legalitas pernikahan sedarah maupun anak dan orang tua. Animisme adalah sistem kepercayaan yang dianut oleh sebagian besar 228 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Kearifan Suku Togutil dalam……. Lis Nurrani dan Supratman Tabba
masyarakat suku Togutil, meski saat ini telah ada lembaga asing yang telah memperkenalkan agama. Perilaku orang-orang suku yang mengekspolitasi dan memanfaatkan hasil hutan secara tradisional adalah metode konservasi alamiah yang turut andil dalam melestarikan kawasan TNAL. B. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku suku Togutil dan mengidentifikasi tindakan ril sebagai implementasi kearifan lokal yang dilakukan oleh masyarakat suku Togutil terhadap kelestarian kawasan hutan Tayawi sebagai bagian dari TNAL. Faktor utama yang berkontribusi signifikan terhadap keberlanjutan kawasan dimana hingga kini melalui kultur dan kebiasaan mereka turut mendukung pelestarian kawasan konservasi alam. II. BAHAN DAN METODE A. Lokasi dan Waktu Penelitian dilakukan pada pemukiman suku togutil dalam kompleks Hutan Blok Aketajawe yang secara administrasi pemerintahan merupakan wilayah Desa Koli Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan Provinsi Maluku Utara. Penelitian ini dilaksanakan selama ± dua bulan yaitu pada bulan Oktober 2010 dan Juni 2011. B. Bahan dan Alat Adapun yang menjadi bahan dalam penelitian ini adalah Masyarakat Suku Togutil dan alat yang digunakan terdiri atas voice recorder atau alat perekam, kamera, kuisioner dan alat tulis menulis. C. Metode Pengumpulan dan Analisis Data Data primer diperoleh menggunakan metode purposive sampling melalui teknik wawancara dengan pendekatan tokoh-tokoh kunci antara lain Kepala Suku, tokoh adat, tokoh agama (Gembala Pantekosta) dan tokoh-tokoh masyarakat berpengaruh lainnya serta petugas pembina dari Pihak Institusi Taman Nasional. Data sekunder dilakukan dengan metode desk study melalui studi literatur dari pustaka-pustaka yang telah ada. Informasi yang diperoleh kemudian dianalisis dan dideskripsikan.
229
D. Kondisi Umum Lokasi Penelitian TNAL memiliki berbagai rangkaian habitat dan spesies dari unit biogeografi kelompok Halmahera dalam satu unit pengelolaan. Kawasan ini diharapkan menjadi perlindungan terhadap perwakilan keanekaragaman ekosistem dan rangkaian habitat dataran rendah sampai pegunungan, yang mencakup perwakilan asli dari seluruh jenis habitat darat yang penting di Pulau Halmahera. Hutan konservasi ini bertujuan sebagai perlindungan daerah resapan air yang penting bagi kawasan sekitarnya untuk kebutuhan air masyarakat guna kepentingan pertanian, industri dan lainnya. Coates dan Bishop (2000) menyatakan hampir sebagian dari Pulau Halmahera memiliki tipe vegetasi hutan hujan dataran rendah dengan jenis tanah mengandung banyak batu kapur koral dan batuan ultrabasa dan memiliki iklim yang sangat kering. Yang unik dari kawasan ini adalah pilihan terpenting bagi masyarakat hutan Togutil untuk dapat terus menjalankan cara hidup tradisionalnya. Hutan ini ditetapkan sebagai kawasan konservasi dengan status Taman Nasional berdasarkan surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 397/Menhut-II/2004. Wilayah Taman Nasional berada pada tiga wilayah administrasi yaitu Kota Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Tengah dan Kabupaten Halmahera Timur. TNAL merupakan kawasan konservasi yang mengkombinasikan dua kawasan inti terpisah yaitu Hutan Aketajawe (77.100 Ha) dan Hutan Lolobata (90.200 Ha). Luas total kedua blok hutan tersebut mencakup areal sebanyak 167.300 ha. Pengelolaan TNAL dibagi dalam tiga Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) yaitu SPTN wilayah I Weda di Halmahera Tengah, SPTN Wilayah II Maba pada Halmahera Timur dan SPTN Wilayah III Subaim Kota Tidore Kepulauan (Statistik Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata, 2007). Selain keanekaragaman flora dan fauna, komunitas suku togutil memiliki eksotisme budaya dan daya tarik tersendiri bagi TNAL. Suku terasing ini menempati hutan dan wilayah penyangga (buffer zone), kebanyakan pemukiman Togutil memilih tempat yang dekat dengan sungai. Hutan Tayawi adalah salah satu tempat dimana komunitas suku togutil dapat ditemukan, wilayah ini merupakan bagian dari kompleks blok 230 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Kearifan Suku Togutil dalam……. Lis Nurrani dan Supratman Tabba
Aketajawe. Tayawi memiliki kekayaan alam potensial berupa hutan yang masih terbilang baik. Selain itu memiliki keanekaragaman flora-fauna, tumbuhan obat tradisional, sungai yang mengalir sepanjang tahun serta potensi tambang. Suku Togutil yang hidup di hutan Tayawi merupakan hasil relokasi dari hutan belantara yang dilakukan oleh pemerintah bekerjasama dengan yayasan asing dalam rangka mengangkat derajat masyarakat terasing ini. Namun orang Togutil lebih memilih membuat rumah tradisional dari pada menempati fasilitas rumah yang telah disiapkan oleh pemerintah. Fenomena ini tidaklah mengherankan karena orang Togutil terbiasa hidup di alam bebas dan telah menjadi bagian dari ekosistem hutan Tayawi. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Sosial dan Kehidupan Suku Togutil Togutil merupakan sebutan untuk masyarakat yang hidup terasing dipedalaman belantara Halmahera di Provinsi Maluku Utara. Togutil sendiri berasal dari bahasa Tobelo kuno yang berarti “Orang Yang Hidup Dalam Hutan” sehingga orang-orang Togutil sering kali disebut sebagai suku Tobelo dalam. Konon Suku Togutil merupakan orang-orang pelarian yang tidak menginginkan sistem Belasteng (perpajakan) yang sangat tinggi oleh penjajahan dimasa lalu sehingga eksodus ke hutan. Bahasa Tobelo kuno adalah alat komunikasi sehar-hari Suku Togutil, Bahasa ini berbeda dengan Bahasa Tobelo Modern karena dialeknya lebih cepat dan halus. Tidak banyak masyarakat biasa yang mengerti bahasa tersebut, hal inilah yang mengakibatkan tidak banyak orang yang dapat berkomunikasi dengan orang Togutil. Suku-suku yang mendiami hutan Halmahera cukup banyak dan mereka hidup dalam kelompok-kelompok kecil, namun hingga kini belum ada informasi mengenai jumlah Suku Togutil secara keseluruhan. Hutan Tayawi yang berada di Desa Koli Kecamatan Oba Kota Tidore Kepulauan merupakan tempat bermukim salah satu kelompok suku togutil. Jumlah masyarakat Togutil di wilayah Hutan Tayawi sebanyak 66 orang yang terdiri dari 22 Kepala Keluarga. Kehidupan Suku Togutil Tayawi jauh dari
peradaban
modern.
Agama
Kristen
Pantekosta
merupakan
231
kepercayaan yang mereka anut saat ini. Kondisi primitif terlihat dari gaya hidup mereka yang tinggal dalam pondok sederhana tanpa dinding dan tidak dilengkapi peralatan rumah tangga modern, bahkan terkadang menetap pada lubang batu ataupun di atas pohon. Rumah tradisional suku Togutil hanya terdiri dari ranting kayu beratapkan daun Woka (Livistona rotundifolia). Keprimitipan mereka juga tergambar dari hubungan sedarah yang mereka jalani selama ini yaitu ayah menikahi anak perempuannya dan anak laki-lakinya bisa menikahi ibunya ataupun menikah dengan sesama saudara. Berdasarkan informasi masyarakat bahwa suku Togutil yang masih menganut sistim kepercayaan asli (animisme) adalah mereka yang masih tinggal jauh di dalam hutan yang sama sekali belum tersentuh oleh pengaruh dunia luar. Kesatuan pemukimannya masih sangat terisolir, kelompok ini oleh Huliselan 1980 dikelompok sebagai Togutil biri-biri atau dalam Keputusan Presiden Nomor 111 tahun 1999 termasuk dalam kategori KAT Kategori I (Kelana). Sistem kepercayaan atau keyakinan asli orang Togutil terpusat pada ruh-ruh leluhur yang menempati seluruh alam lingkungan, orang Togutil percaya akan adanya kekuatan dan kekuasaan tertinggi yaitu Jou Ma Dutu, pemilik alam semesta atau biasanya disebut juga o gikiri-moi yaitu jiwa atau nyawa (Martodirdjo, 1996). Walaupun demikian orang Togutil tidak pernah melakukan upacara-upacara pemujaan, mereka tidak pernah menyebut istilah atau nama khusus untuk sistim religi aslinya. Kepercayaan asli orang Togutil yang terpusat pada penghormatan dan pemujaan pada leluhur tersebut digambarkan dalam berbagai mahluk halus yang dalam pandangan orang Togutil menempati seluruh lingkungan hidup sekitar baik dalam bentuk benda yang bersifat alami (nature) maupun benda hasil karya cipta manusia (culture) yang dipercaya memiliki yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan usaha ataupun aktivitas dalam kehidupan sehari-hari (Karim et al, 2006). Keprimitipan Togutil juga nampak dari prosesi pemakaman, dahulu ketika salah seorang dari kelompok togutil meninggal maka jenasah tersebut dibiarkan sehari semalam ditempat dimana orang tersebut meninggal. Ketika ada orang Togutil lain yang melintas didepan jenasah 232 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Kearifan Suku Togutil dalam……. Lis Nurrani dan Supratman Tabba
tersebut maka seketika itu pula orang tersebut akan dibunuh karena diangggap sebagai penyebab kematian. Pemakaman dilakukan dengan mendudukkan jenasah pada pohon beringin atau pohon besar lainnya, kemudian kelompok Togutil lainnya akan segera meninggalkan wilayah itu untuk mencari pemukiman baru karena mengganggap bahwa tempat tersebut akan membawa sial bagi mereka. Perang antara suku Togutil masih sering terjadi antara kelompokkelompok kecil, faktor penyebab pertikaian sangat bervariasi antara lain diakibatkan perebutan wilayah kekuasaan dan daerah perburuan satwa. Wanita merupakan faktor paling berpengaruh terhadap perang karena sering kali terjadi penculikan wanita togutil dari kelompok Togutil lainnya, senjata yang banyak digunakan untuk berperang dan berburu antara lain tombak dan pedang. Secara perlahan pemerintah Kota Tidore Kepulauan telah melakukan pembinaan agar masyarakat Togutil dapat bersosialisasi dengan dunia luar. Pemda telah membangun pemukiman kemudian merelokasi mereka dari dalam hutan, hal ini merupakan komitmen untuk mengangkat derajat dan martabat suku Togutil sebagai bagian dari masyarakat Maluku Utara. Meski telah mengenal dan menggunakan pakaian namun perlu pendekatan yang lebih intensif untuk merubah budaya primitif yang telah mengakar dalam kalangan masyarakat Togutil sejak ratusan tahun lalu. Meskipun suku Togutil masih tergolong primitif dan hidup secara semi nomaden dengan keterbatasan pengetahuan bahkan tidak mengenal dunia pendidikan tapi pada sisi konservasi suku Togutil justru turut melestarikan kawasan Taman Nasional. Beberapa tindakan yang menjadi kearifan dan kultur dalam memanfaatkan hasil hutan, suku Togutil secara langsung turut mendukung konservasi kawasan Taman Nasional khususnya hutan Tayawi. Namun kebanyakan orang Togutil tidak sadar dan mengerti apa yang mereka kerjakan telah banyak membantu pemerintah dalam melestarikan hutan.
233
234 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011 Gambar 1. Peta Pemukiman Suku Togutil di Hutan Tayawi TN. Aketajawe
Kearifan Suku Togutil dalam……. Lis Nurrani dan Supratman Tabba
B. Kearifan Suku Togutil dan Kelestarian Hutan Tayawi Menurut Undang-Undang 41 tahun 1999, kearifan tradisional didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia berupa kekayaan kultural, baik seni dan atau teknologi maupun nilai-nilai yang telah menjadi tradisi atau budaya masyarakat. Kekayaan tersebut merupakan modal sosial untuk peningkatan dan pengembangan kualitas Sumber Daya Manusia dan penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Kehutanan. Kearifan adalah kultur maupun nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat dimana output akhirnya adalah mengembangkan dan mempertahankan keberadaan hutan dan ekosistemnya. Sebagaimana masyarakat di Maluku pada umumnya, masyarakat Togutil juga memiliki kearifan dalam pengelolaan plasma nutfah. Kearifan masyarakat Togutil dalam upaya pelestarian plasma nutfah tercermin dalam kebiasaan secara turun temurun yang dilakukan oleh leluhur sebelumnya baik berupa pantangan atau larangan. Beberapa sistem yang memiliki nilai-nilai kearifan ini adalah : 1. Larangan Pengambilan Hasil Hutan Orang-orang suku Togutil sangat resisten terhadap perubahan bahkan tidak senang dengan pendatang yang berkunjung kepemukiman mereka. Sifat antisosial ini lebih diakibatkan karena trauma dimasa lalu dengan penyiksaan dan kerja paksa oleh penjajah. Suku Togutil akan responsif terhadap pendatang apalagi jika pendatang tersebut tidak dapat berkomunikasi menggunakan bahasa Tobelo. Asumsi orang Togutil bahwa mereka adalah musuh yang akan mengacau dan membunuh. Karena itulah orang togutil akan melakukan tindakan represif terhadap orang asing karena dianggap sebagai musuh yang dapat membahayakan jiwa komunitas suku Togutil. Sifat antisosial ini menjadi benteng terhadap kelestarian hutan Tayawi karena ketika masyarakat melakukan perambahan atau mengambil hasil hutan seperti rotan, damar dan sebagainya maka orang-orang suku Togutil akan merasa terganggu dan bereaksi. Menurut informasi masyarakat sekitar kawasan bahwa suku Togutil tidak segan-segan akan
235
melakukan tindakan represif dengan para perambah hutan. Sebagai bagian dari ekosistem hutan tayawi suku Togutil memiliki naluri untuk mempertahankan diri ketika merasa bahwa habitat mereka terusik. Suku Togutil tidak memperkenankan masyarakat luar mengeksploitasi dan memanfaatkan sumber daya alam didalam hutan yang merupakan habitat mereka. Hilangnya sumber daya alam hutan Tayawi berarti rusaknya sebagian dari kehidupan orang-orang Togutil, rusaknya kehidupan berarti akan menghilangkan dan memusnahkan peradaban suku terasing Halmahera ini. Tradisi
inilah
yang
kemudian
muncul
sebagai
wahana
untuk
mempertahankan keberadaan hutan Tayawi sebagai habitat orang-orang Togutil. Dengan demikian kelestarian taman nasional dapat terjaga dengan baik dan siklus ekosistem terus berlangsung secara alamiah. 2. Pertanian Tradisional Bertani merupakan salah satu metode orang-orang Togutil dalam mempertahankan hidup di alam selain melakukan perburuan satwa, sistem yang
diterapkan
adalah
pertanian
subsisten.
Tanaman
penghasil
karbohidrat adalah komoditi utama yang ditanam yaitu singkong, ubi rambat, pisang dan keladi. Jenis-jenis tersebut merupakan bahan pokok dalam mengolah makanan yang menjadi menu sehar-hari orang Togutil, selain itu mereka banyak memanfaatkan olahan Sagu (Metroxylon spp.) yang diperoleh dari hutan. Seiring dengan program pembinaan oleh pemerintah daerah dan pihak taman nasional, kini masyarakat togutil telah mengenal dan coba membudidayakan tanaman Kelapa dan coklat disekitar pemukiman mereka. Berdasarkan hasil wawancara menunjukkan bahwa umumnya masyarakat Togutil mengolah lahan untuk kebun tidak lebih dari 0,5 Ha, dimana luas rata-rata lahan yang digarap yaitu 10 m x 10 m. Bagi masyarakat Togutil tipe menetap sementara umumnya memiliki lahan atau kebun kurang dari 1 ha. Lahan milik bersama dalam masyarakat Togutil biasanya berupa areal hutan atau suatu kawasan dimana terdapat sumber mata pencaharian berupa bahan makanan pokok atau areal perburuan yang
236 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Kearifan Suku Togutil dalam……. Lis Nurrani dan Supratman Tabba
biasanya sebut ”mialolingiri”. Bagi masyarakat Togutil, mialolingiri merupakan areal hutan atau lahan yang telah dijadikan sebagai milik bersama yang harus dimanfaatkan dan dikelola secara bersama pula. Lahan milik bersama dapat pula berupa suatu lahan yang ditetapkan secara bersama-sama untuk dikelola satu jenis tanaman atau beberapa jenis tanaman yang telah disepakati bersama-sama yang disebut kebun jemaat, ataupun kebun/lahan masyarakat. Meski memanfaatkan hutan sebagai lahan pertanian namun suku Togutil bukanlah mesin perusak lingkungan, terbukti dari sejak ratusan tahun keberadaan mereka tidak membuat hutan menjadi rusak, namun justru turut melestarikan dengan menjaga keberadaan kawasan tersebut. Mereka hanya memanfaatkan lahan untuk bertani seadanya sebagai sarana pemenuhan kebutuhan sehari-hari agar dapat bertahan hidup. Fakta lain bahwa Aketajawe merupakan salah satu dari sedikit hutan di daratan Maluku Utara yang masih baik, hal inilah yang menjadi bukti eksistensi suku Togutil dalam mendukung kelestarian hutan Maluku Utara khususnya Taman Nasional Aketajawe. 3. Pemanfaatan Kayu Melakukan pelarangan bagi orang luar mengeksploitasi kekayaan yang ada di hutan Tayawi tidak berarti bahwa suku Togutil tidak memanfaatkannya. Masyarakat Togutil biasanya mengambil damar dan rotan untuk dikelola sebagai bahan kerajinan tradisional berupa keranjang ataupun tikar kemudian dijual atau ditukar (barter) dengan penduduk desa ketika hari pasar. Meski hidup primitif tapi suku Togutil mengenal uang sebagai alat tukar menukar barang, namun demikian mereka tidak mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan tapi diambil seperlunya sesuai dengan kebutuhan. Hasil penjualan tersebut biasanya hanya ditukar dengan makanan, pinang ataupun tembakau karena kebiasaan masyarakat Togutil sangat gemar mengisap rokok dan makan pinang. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan menunjukkan bahwa ratarata pendapatan masyarakat togutil < Rp. 500.000,- per bulan. Sumber
237
penghasilan umumnya berasal penjualan hasil buruan atau hasil lain yang diperoleh dari hutan (telur burung gosong) maupun dari kebun yang dikelola disekitar satuan pemukiman mereka. Meski demikian hasil kebun tidak berkontribusi besar terhadap pendapatan masyarakat togutil, karena hasil kebun hanya dibarter dengan tembakau, pinang dan sirih sebagai kebutuhan sehari-hari. Pemanfaatan kayu oleh masyarakat Togutil terbatas hanya untuk mendirikan rumah. Umumnya mereka membangun tempat tinggal atau pemukimannya di tepi sungai dalam kawasan hutan atau dalam jarak ± 20 – 100 m dari tepi sungai. Pola pemukiman penduduk suku Togutil adalah pola menyebar yakni rumah-rumah dibangun dalam jarak yang berjauhan yaitu berkisar 20 m sampai 2 km atau lebih. Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan selama penelitian, diperoleh data jarak antara satuan pemukiman ternyata ada yang lebih dari 5 km. Menurut Martodirdjo (2001) Jarak tersebut bisa lebih dari 500 m dan jarak terjauh antara 1- 6 km. Kuantitas kayu yang diperlukan untuk membangun rumah suku Togutil tidaklah banyak, karena struktur fisik rumah orang Togutil sangat sederhana. Secara umum rumah tradisional suku Togutil dibagi atas tipe sederhana, sedang dan lengkap. Tipe paling sederhana hanya terdiri dari satu bangunan (gubuk / o tau ma amoko) dengan ukuran ± 1,5 x 2 m yang terbuka semua sisinya. Didalam gubuk tersebut terdapat balai-balai (o dangiri) sebagai tempat menerima tamu sekaligus tempat tidur. Dapur hanya berupa sebuah tungku api (o rikana) yang pada malam hari berfungsi sebagai perapian untuk pengusir nyamuk dan penghangat badan. Tipe sedang biasanya ditandai dengan penambahan 1 gubuk untuk dapur diluar gubuk utama. Sedangkan Tipe lengkap ditandai dengan penambahan beberapa gubuk biasa untuk tempat tidur anak-anak yang telah dewasa tapi belum berkeluarga atau gubuk untuk tamu. Pemanfaatan kayu untuk mendirikan rumah Suku Togutil hanya menggunakan ranting, dahan, sedikit papan sebagai alas dan daun woka (Livistonia rotundifolia) untuk atap. Kayu yang digunakan diperkirakan tidak lebih dari satu kubik dan tidak perlu menebang pohon, penggunaan kayu lainnya hanya terbatas untuk kepentingan bahan bakar ketika memasak 238 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Kearifan Suku Togutil dalam……. Lis Nurrani dan Supratman Tabba
dan perapian dimalam hari. Pemanfaatan kayu secara arif oleh suku Togutil secara tidak langsung telah menjaga siklus permudaan tegakan hutan secara alami. Kondisi ini terlihat dengan lestarinya pohon-pohon di wilayah Hutan Tayawi.
Gambar 2. Rumah tradisional suku togutil tipe sederhana dan sedang
4. Tradisi Berburu Satwa Berburu satwa adalah kegiatan utama yang dilakukan oleh laki-laki Togutil. Babi (Sus scrofa) dan Rusa Sambar (Cervus timorensis) merupakan satwa buruan utama. Ketika melakukan perburuan dalam hutan, laki-laki Togutil akan meninggalkan keluarga mereka hingga berhari-hari untuk memperoleh hasil yang maksimal. Banyak spesies burung juga sering kali diburu untuk makanan terutama jenis teresterial yang mudah ditangkap, yang paling banyak dieksploitasi adalah telur burung gosong (Megapodius freycinet). Jenis gosong adalah afivauna yang memiliki ciri dan karakteristik serupa dengan burung maleo di daratan Sulawesi termasuk telur yang berukuran lebih besar dari telur ayam dimana panjang telur dapat mencapai 10 cm dengan diameter 4-5 cm. Karena ukurannya yang besar sehingga telur gosong banyak dicari untuk dijual atau ditukarkan dengan penduduk kampung pada saat hari pasar, terkadang juga dikonsumsi sendiri. Masyarakat suku Togutil memiliki ketergantungan sangat tinggi terhadap hasil buruan untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena daging satwa buruan merupakan makanan pokok dan dari hasil buruan itulah suku
239
Togutil bertahan hidup. Hal yang menarik adalah ketika berburu, masyarakat Togutil sangat selektif terhadap satwa buruannya yaitu mereka hanya membunuh babi dan rusa dewasa saja. Jika ada anak babi atau rusa yang masuk jerat maka seketika itu mereka langsung melepaskannya. Alasan tidak membunuh anak satwa ketika berburu yaitu (1). Pendapat bahwa anak satwa masih berpotensi untuk menjadi lebih besar (2) Jika diambil sekalipun anak satwa tidak menghasilkan daging yang maksimal (3) Orang Togutil merasa kasian ketika akan membunuh anak satwa. Meski hidup dalam keterasingan dan lekat dengan keprimitifan namun dari sisi konservasi suku Togutil merupakan pahlawan penjaga dan menjadi benteng terdepan untuk kelestarian kawasan Taman Nasional Aketajawe khususnya wilayah hutan Tayawi. Tradisi masyarakat Togutil ketika berburu telah secara langsung turut melestarikan fauna secara signifikan karena tetap menjaga keseimbangan ekosistem dengan tidak mengeksploitasi satwa secara berlebihan.
Gambar 3. Tengkorak babi dewasa hasil buruan suku togutil Kebiasaan berburu satwa yang dilakukan masyarakat suku Togutil tidak mengakibatkan penurunan kuantitas populasi jenis tertentu, tapi justru menjadi bagian dari penyeimbang siklus rantai makanan di alam. Dengan demikian siklus rantai makanan yang terjadi di alam akan tetap stabil sehingga dampak adanya over populasi pada jenis tertentu tidak akan
240 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Kearifan Suku Togutil dalam……. Lis Nurrani dan Supratman Tabba
terjadi khususnya di wilayah hutan Tayawi. Kondisi ini tidak terlepas karena hutan merupakan bagian dari habitat suku Togutil sejak ratusan tahun lalu, sehingga secara alamiah rasa memiliki (sense of beloging) dan naluri mempertahankan diri akan muncul ketika kehidupan mereka terusik. 5. Pembentukan Kelompok Tani Togutil dalam Pelestarian Kawasan Hutan Sejak tahun 2010 Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata bekerjasama dengan Balai Pengelolaan DAS Ake Malamo telah melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat suku Togutil melalui pelibatan kegiatan pengayaan tanaman. Meski tidak paham apa maksud dan mengapa dilakukan kegiatan penanaman tapi mereka sangat senang melakukan hal tersebut. Asumsi orang togutil menanam berarti melestarikan ekosistem tempat hidup mereka. Tidak jarang masyarakat rela menginap di hutan karena kegiatan pengayaan memang difokuskan dalam kawasan Taman Nasional Aketajawe. Dalam rangka peningkatan kesejahteraan dan untuk mengkoordinir secara baik pelestarian kawasan konservasi, pihak Taman Nasional membentuk kelompok tani Togutil untuk wilayah Tayawi. Pembentukan kelompok tani suku Togutil diharapkan dapat lebih meningkatkan partisifasi masyarakat dalam menjaga tanaman pengayaan guna kelestarian kawasan hutan Aketajawe. Guna mendukung kelancaran program tersebut, taman nasional memberikan bantuan berupa alat-alat pertanian secara cumacuma. C.
Konsep Pelibatan Tokoh Adat Sebagai Solusi Mempertahankan Kelestarian Hutan Desentralisasi sektor kehutanan merupakan salah satu kebijakan
prioritas Kementerian Kehutanan. Hal ini juga dapat diartikan lebih lanjut dengan pengelolaan hutan berbasis daerah dan lebih banyak melibatkan masyarakat. Konsep Pengelolaan ini diasumsikan sebagai babak baru dari berbagai kebijakan dimasa lampau yang dinilai tidak berpihak pada kelestarian lingkungan. Masyarakat lebih banyak dilibatkan dan menjadi mitra dalam pengelolaan untuk peningkatan
kesejahteraan. Kerusakan
241
hutan dan lahan dewasa ini telah merubah paradigma pengelolaan hutan berbasis pemanfaatan kayu (timber harvesting) menjadi pemanfaat yang lebih mengedepankan jasa hutan. Kerusakan hutan dibanyak tempat lebih disebabkan oleh karena masyarakat merasa tidak mendapatkan manfaat langsung dari keberadaan hutan. Tidak jarang justru masyarakat dianggap sebagai musuh yang dapat mengancam kelestarian hutan. Kondisi tersebut makin bertambah kompleks dengan kurangnya kontroling dari berbagai pihak yang berkompeten. Pengelolaan dan pelestarian kawasan Tayawi adalah merupakan salah satu contoh dari keberhasilan masyarakat suku Togutil. Hal ini terjadi karena peran tokoh-tokoh adat terutama kepala suku yang memberikan apresiasi positif dan dukungan. Dalam tatanan kebudayaan suku Togutil kepala suku merupakan pimpinan tertinggi pemerintahan yang disegani karena memiliki kemampuan yang lebih dibanding dengan masyarakat Togutil lainnya. Perkataan kepala suku mutlak menjadi keputusan yang akan diikuti oleh masyarakat suku, begitu pula dengan pemanfaatan sumber daya alam. Dalam Pelestarian kawasan Tayawi, kepala suku memiliki peran vital karena menjadi komando yang senantiasa mengarahkan dan memerintahkan agar senantiasa memanfaatkan hasil hutan secara bijaksana. Sejarah Indonesia mencatat bahwa dahulu kala wilayah nusantara terdiri dari tiga fase kejayaan yaitu Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebelum lahirnya nama Indonesia, dimana sistem pemerintahan dan kebijakan pada semua lini adalah mutlak keputusan raja atau kepala suku dan pemuka adat tidak terkecuali dalam pemanfaatan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat. Secara umum nilai-nilai tersebut masih melekat di sebagaian besar masyarakat Indonesia dan pada beberapa daerah yang masih menerapkan norma-norma tersebut hingga saat ini. Maka tidaklah mustahil menerapkan sistem pengelolaan hutan dengan pendekatan tokoh-tokoh adat di tempat berbeda yang memiliki karakteristik sama. Mengingat sejarah panjang dimasa lalu membentuk masyarakat Indonesia yang berbeda suku menjadi satu sistem kebudayaan dengan ketaatan terhadap tokoh adat atau raja dimasa lalu. 242 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Kearifan Suku Togutil dalam……. Lis Nurrani dan Supratman Tabba
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Karakteristik masyarakat primitif/suku terasing masih tetap melekat dalam kehidupan suku Togutil (nomaden), hal ini dicirikan dengan pola pemukiman berpindah-pindah dan ketergantungan terhadap hutan yang sangat tinggi. Budaya primitif Suku Togutil lebih ramah terhadap pengelolaan hutan, hal ini terlihat dari kearifan masyarakat yang rela mempertahankan
hutan
ditengah-tengah
keterbatasan
hidup
dan
pengetahuan. Hal ini selaras dengan tujuan pembangunan kehutanan yaitu memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestarian hutan. B. Saran Kehidupan primitif suku Togutil dalam kawasan Taman Nasional Aketajawe merupakan potensi wisata alam (ecotourism) potensial untuk dikembangkan mengingat kebudayaan suku ini cukup unik dan endemik. Dimana dewasa ini kebudayaan telah tumbuh menjadi salah satu wisata alam favorit amat diminati wisatawan mancanegara maupun domestik. Kegiatan ini selaras dengan prioritas pemerintah untuk meningkatkan ekonomi kreatif berbasis pariwisata, dimana program ini bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar hutan.
DAFTAR PUSTAKA Coates, BJ., K.D Bishop., dan D. Gardner. 2000. Panduan Lapangan Burung Burung di Kawasan Wallacea : Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara. Birdlife Internasional Indonesia Programe. Jakarta. Departemen Kehutanan. 2009. Buku Statistik Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Ternate. . 2004. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 397/Kpts-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004. Tentang Penetapan
243
Kawasan Taman Nasional Aketajawe Lolobata di Maluku Utara. Jakarta. Karim, A.K., M. Thohari dan Sumardjo. 2006. Pemanfaatan Keanekaragaman Genetik Tumbuhan oleh masyarakat Togutil di Sekitar Taman Nasional Aketajawe Lolobata. Media Konservasi Vol. XI. No. 3. Jakarta. Keputusan Presiden Nomor 111 tahun 1999 tentang Pembinaan Kesejahteraan Sosial Komunitas Adat Terpencil. Jakarta. Martodirdjo, H.S. 1991. Orang Togutil di Halmahera. (Disertasi). Universitas Padjadjaran Bandung. Bandung. Poulsen, Michael K., Frank R. L., dan Yusup C. 1999. Evaluasi Terhadap Usulan Taman Nasional Lalobata dan Aketajawe. BirdLife Internasional Indonesia Programe. Bogor. Sitorus, F.M.T.1998. Penelitian Kualitatif. Kelompok Dokumentasi Ilmu-Ilmu Sosial. Institut Pertanian Bogor press. Bogor. Soehartono,I.1999. Metode Penelitian Sosial. Suatu Teknik Penelitian Bidang Kesejahteraan Sosial dan Ilmu Sosial Lainnya. PT. Remaja Rosda Karya. Bandung. Undang - Undang No 5 Tahun 1990. Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jakarta. Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999. Tentang Kehutanan. Jakarta.
244 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Uji Daya Kecambah dan Pertumbuhan……. Sugeng Pudjiono
UJI DAYA KECAMBAH DAN PERTUMBUHAN AWAL SEMAI Acacia mangium 40 FAMILI BERASAL DARI 10 FAMILI TERBAIK 4 KEBUN BENIH SEMAI F2 SUB LINE Sugeng Pudjiono Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta, E-mail :
[email protected]
RINGKASAN Variasi jumlah benih per gram dan uji daya kecambah dari famili-famili terbaik penting diketahui untuk memberikan informasi awal kemampuan suatu famili yang akan dikembangkan untuk suatu pertanaman dalam skala luas. Demikian pula dengan pertumbuhan awal tanaman di persemaian yang akan menentukan keberhasilan penanaman. Penelitian ini menggunakan rancangan acak lengkap menggunakan masing-masing benih dari 10 famili terbaik dari 4 kebun benih semai F2 sub line. Penelitian dilakukan di laboratorium biologi reproduksi dan persemaian Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah benih per gram, daya kecambah, tinggi dan diameter semai dipengaruhi oleh famili. Jumlah benih per gram berkisar 68 – 124 butir, famili yang mempunyai benih ukuran besar adalah famili 3 dan ukuran terkecil adalah famili 17. Daya kecambah berkisar dari 20%-100%. Famili yang mempunyai daya kecambah terbaik adalah famili 33, 34, 16. Pertumbuhan tinggi semai yang terbaik adalah famili 5 dengan tinggi 20,58 cm, sedangkan yang terendah famili 23 dengan tinggi 7,03 cm. Diameter batang terbesar adalah famili 8 sebesar 2,49 mm, sedangkan diameter terkecil famili 22 sebesar 1,36 mm. Kata kunci : Daya Kecambah, Benih, Tinggi, Diameter, Famili, Kebun Benih
245
I. PENDAHULUAN Penggunaan benih unggul A. mangium memberikan kontribusi yang besar terhadap peningkatan produktivitas tegakan yang dihasilkan serta mampu memperpendek daur tegakan. Peningkatan kualitas genetik benih yang dimuliakan mencapai 47% dari benih yang belum dimuliakan, sedangkan benih dari Kebun Benih generasi 2 dibanding dari Kebun Benih generasi 1 akan meningkat sebesar 15,8% (Hastanto, 2009). Penggunaan benih unggul dari kebun benih generasi pertama dibandingkan dengan APB A. mangium dari Subanjeriji perolehan genetik yang dicapai pada sifat volume 32-55%, tinggi bebas cabang 2,3-30%, bentuk batang 1,4-11%, diameter 8,7-15,5% dan tinggi 10-20% (Setyaji dan Nirsatmanto, 2009). Untuk meningkatkan produktivitas hutan tidak hanya mutu genetis tetapi juga diperlukan kualitas fisik dan fisiologis suatu benih. Kualitas fisik mencakup ukuran, berat dan penampakan visual benih. Kualitas fisiologis menggambarkan kemampuan berkecambah dan vigor benih. Sedangkan kualitas genetik mencerminkan sifat-sifat unggul yang diwariskan oleh tanaman induknya yang berhubungan dengan
pertumbuhan dan
penampakan tegakan di lapangan. Kualitas genetik sangat ditentukan oleh kondisi sumber benihnya (Putri, et al., 2010). Uji perkecambahan, variasi jumlah benih per gram, pertumbuhan awal tanaman di persemaian dari beberapa famili terbaik belum banyak diketahui. Hal tersebut menyangkut sifat fisik, fisiologis maupun genetis dari suatu benih yang berasal dari benih yang berkualitas unggul karena berasal dari kebun benih semai generasi kedua. Untuk itu maka perlu mengetahui pengaruh famili suatu benih terhadap variabel yang akan diteliti untuk menambah informasi yang diperlukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui variasi jumlah butir per gram, persentase daya kecambah, tinggi dan diameter semai A. mangium umur 4 bulan dari masing-masing famili.
246 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Uji Daya Kecambah dan Pertumbuhan……. Sugeng Pudjiono
II.
METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu penelitian Penelitian variasi berat benih per gram dan uji daya kecambah benih A. mangium dilakukan di Laboratorium Biologi Reproduksi BBPBPTH. Penelitian pertumbuhan semai A. mangium dilakukan di persemaian BBPBPTH Purwobinangun Yogyakarta. Waktu penelitian variasi berat benih dan uji daya kecambah dilakukan pada bulan Juli 2011.
Penelitian
pertumbuhan semai A. mangium dilaksanakan dari bulan Agustus sampai Nopember 2011. B.
Bahan penelitian Bahan berupa benih A. mangium dari 4 Kebun Benih Semai F2 sub
line, masing-masing sub line diambil 10 famili terbaik sebanyak 2 gram, timbangan digital, kertas tissue, petridish, handspray, aquades. Jumlah keseluruhan famili 40 famili. Tabel 1. Asal benih 40 famili terbaik dari kebun benih F2 A. mangium. Famili
Sumber benih
Informasi asal benih asli (Seed Origin Information) FTIP F1 CSIRO
Famili 1
SSO F2
709
16991
BVG 01538
Gubam NE Morehead WP
Famili 2
SSO F2
714
16991
BVG 01547
Gubam NE Morehead WP
Famili 3
SSO F2
705
16990
BVG 01557
Derideri E Morehead
Famili 4
SSO F2
0
16992
MM000988
Bimadebun WP
Famili 5
SSO F2
191
16997
MM000999
Boite NE Morehead WP
Famili 6
SSO F2
709
16991
BVG 01538
Gubam NE Morehead WP
Famili 7
SSO F2
204
16590
BVG 01273
Dimisisi WP
Famili 8
SSO F2
180
16994
MM001004
Arufi Village WP
Famili 9
SSO F2
193
16992
MM000979
Bimadebun WP
Famili 10
SSO F2
709
16991
BVG01538
Gubam NE Morehead WP
Famili 11
SSO F2
232
15644
TREE0008
Oriomo
Famili 12
SSO F2
227
15644
TREE0001
Oriomo
Famili 13
SSO F2
766
16938
K 0000021
Kini WP
Famili 14
SSO F2
766
16938
K 0000021
Kini WP
Famili 15
SSO F2
767
16938
K 0000022
Kini WP
Famili 16
SSO F2
0
16938
K 0000045
Kini WP
Famili 17
SSO F2
0
16938
K 0000028
Kini WP
Famili 18
SSO F2
754
16971
BVG 01629
Wipim District WP
247
Sumber benih
Informasi asal benih asli (Seed Origin Information) FTIP F1 CSIRO
Famili 19
SSO F2
228
15644
TREE 0003
Oriomo
Famili 20
SSO F2
0
16938
K 0000061
Kini WP
Famili 21
SSO F2
110
18265
GJM 1360
Claudie River
Famili 22
SSO F2
146
16932
T 0000009
135K NNE Coen
Famili 23
SSO F2
0
19214
T 169
Claudie River
Famili 24
SSO F2
128
17701
JM 002358
Claudie R & Iron RA
Famili 25
SSO F2
55
231
6
Claudie River (Ex ACEB)
Famili 26
SSO F2
654
18265
GJM 1363
Claudie River
Famili 27
SSO F2
113
18265
GJM 1371
Claudie River
Famili 28
SSO F2
0
18265
GJM 1366
Claudie River
Famili 29
SSO F2
146
16932
T 0000009
135K NNE Coen
Famili 30
SSO F2
146
16932
T 0000009
135K NNE Coen
Famili 31
SSO F2
90
499
1
Pascoe Rvr Area SL 35815
Famili 32
SSO F2
49
230
22
Cassowary Ck Iron Range
Famili 33
SSO F2
132
17702
GJM 00824
Pascoe River
Famili 34
SSO F2
0
18995
ML 84
Pascoe R Cape Y
Famili 35
SSO F2
49
230
22
Cassowary CK-Iron Range
Famili 36
SSO F2
92
499
3
Pascoe Rvr Area SL 35815
Famili 37
SSO F2
0
18995
MHL 96
Pascoe R Cape Y
Famili 38
SSO F2
0
18995
MHL 94
Pascoe R Cape Y
Famili 39
SSO F2
0
18995
MHL 92
Pascoe R Cape Y
Famili 40
SSO F2
666
17946
GJM 1100
Claudie River
Famili
248 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Uji Daya Kecambah dan Pertumbuhan……. Sugeng Pudjiono
Bahan untuk persemaian berupa tanah top soil, kompos, polibag 12 x 15cm, semprotan punggung, pupuk NPK 16:16:16, gembor, bibit A. mangium hasil penaburan. C. Metoda Penelitian 1. Variasi Jumlah Butir Benih Per Gram Benih A. mangium 2 gram dari masing-masing famili dibagi 2 dengan menimbang sehingga diperoleh berat masing-masing 1 gram. Berat benih 1 gram kemudian dihitung jumlah butirnya. 2. Daya kecambah Tiap-tiap famili diambil 20 butir, yang kemudian dibagi 2 sehingga masing-masing 10 butir. Media disiapkan berupa petridish yang diberi kertas tissue rangkap 4.
Kemudian petridish tersebut disemprot air
sehingga kertas tissue yang ada didalamnya menjadi basah tetapi airnya tidak tergenang. Tiap-tiap petridish diletakkan benih A. mangium sebanyak 10 butir per petridish. Benih yang ditabur diamati setiap hari dan dicatat biji yang berkecambah setiap minggu sampai minggu ketiga. 3. Pertumbuhan semai A. mangium Penanaman benih A. mangium dilakukan di persemaian. Setiap 2 minggu sekali tanaman diberi pupuk NPK yang sudah dicairkan dengan dosis 50gr/liter. Bibit tanaman yang diukur untuk masing-masing famili 3 ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 10 tanaman. Pengukuran dilakukan setelah bibit tanaman A. mangium berumur 4 bulan. Adapun yang diukur adalah tinggi bibit dan diameter bibit.
Tinggi tanaman diukur dari
permukaan tanah sampai ujung tanaman. Pengukuran diameter tanaman dilakukan 0,5 cm dari permukaan tanah dengan cara menancapkan batang korek api setinggi 0,5 cm dari permukaan tanah.
249
4. Analisis data Variabel yang diukur atau diamati pada penelitian variasi berat benih dan uji daya kecambah benih adalah jumlah benih tiap gram, persentase kecambah
benih.
Data
persentase
kecambah
terlebih
ditransformasikan kedalam bentuk Arc sin √x untuk
dahulu
meningkatkan
ketelitian dalam pengujiannya. Variabel yang diukur pada penelitian pertumbuhan semai A. mangium umur 4 bulan adalah tinggi tanaman dan diameter tanaman. Model matematis yang digunakan adalah : Yij = µ + Fi + εij Dimana : i Yij
= 1,2,... t dan j= 1,2,...r = Pengamatan pada famili ke i ulangan ke j
µ
= Rerata umum
Fi
= Pengaruh famili ke i
εij
= Pengaruh acak pada famili ke i ulangan ke j
Data hasil pengamatan dan pengukuran kemudian dianalisis dengan analisis varians, bila ada beda nyata dilanjutkan dengan uji Jarak Duncan (DMRT). III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan dan pengukuran uji variasi jumlah benih per gram, uji daya kecambah dan pertumbuhan tanaman A. mangium di persemaian telah dilakukan. Data yang diperoleh diuji dengan menggunakan analisis varians. Hasil pengolahan tersebut dapat dilihat pada tabel 2. dibawah ini.
250 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Uji Daya Kecambah dan Pertumbuhan……. Sugeng Pudjiono
Tabel 2. Analisis varians pengaruh famili terhadap jumlah benih/gram, persentase kecambah, tinggi semai dan diameter semai A. mangium dari 40 famili Jumlah
Sumber variasi Famili
39
10760.95000
275.92179
6.75**
<.0001
benih
Rep
1
7.20000
7.20000
0.18
0.6770
Galat
39
1593.800000
40.86667
Total
79
12361.95000
Persentase
Famili
39
15806.55860
582.08420
2.96**
0.0005
kecambah
Rep
1
241.33878
241.33878
1.23
0.2745
Galat
39
7901.954850
196.42605
Total
79
30603.23849
Tinggi
Famili
39
1259.461005
32.293872
8.53**
<.0001
tanaman
Rep
21.547481 2
10.773741
2.85
0.0641
3.784831
Variabel
db
JK
KT
F hit
P
Galat
78
295.216787
Total
119
1576.225274
Diameter
Famili
39
9.59442783
0.24601097
6.02**
<.0001
tanaman
Rep
0.29455647 2
0.14727823
3.61
0.0318
0.04184696
Galat
78
3.18606287
Total
119
13.07504717
Keterangan : ** berbeda sangat nyata pada taraf 0,01
Dari hasil analisis varians tersebut diperoleh informasi bahwa jumlah benih per gram, uji daya kecambah dan pertumbuhan awal tanaman A. mangium yaitu tinggi dan diameter menunjukkan perbedaan yang sangat nyata.
Pengaruh famili berpengaruh sangat nyata terhadap keempat
variabel tersebut (Tabel 2).
Untuk mengetahui lebih detail mengenai
perbedaan tersebut maka dilanjutkan dengan uji Duncan (DMRT). Hasil uji Duncan dapat dilihat pada Tabel 3 dibawah ini.
251
Tabel 3. Rata-rata jumlah benih per gram, persentase kecambah, tinggi semai dan diameter semai dari 40 famili umur 4 bulan di persemaian dan uji Duncan.
1
Famili 1
83.0 ghijklmn
Persentase kecambah (arc sin√x) 67.50 abcde
14,80
cdefghij
2,04
bcdefg
2
Famili 2
81.5 hijklmn
67.50
abcde
11,20
ijkl
1,68
fghijkl
3
Famili 3
68.0 n
50.77
bcdef
11,44
ijkl
1,53
jkl
4
Famili 4
82.5 ghijklmn
33.21
ef
14,82
cdefghij
2,04
bcdefg
5
Famili 5
73.0 lmn
53.78
bcdef
17,45
abcd
2,20
abcd
6
Famili 6
69.0 mn
80.78
ab
13,44
efghijk
2,01
bcdefgh
7
Famili 7
80.00 ijklmn
67.50
abcde
17,47
abcd
2,23
abc
8
Famili 8
83.5 fghijklmn
80.78
ab
20,58
a
2,49
a
9
Famili 9
77.0 jklmn
80.78
ab
20,37
ab
2,38
ab
10
Famili 10
82.5 ghijklmn
73.40
abcd
14,94
cdefghi
1,81
defghijk
No
Famili
Jumlah benih per gram (butir)
Tinggi (cm)
Diameter (mm)
11
Famili 11
78.5 ijklmn
56.79
abcdef
17,63
abcd
2,38
ab
12
Famili 12
105.5 bcd
40.00
def
12,01
hijk
1,55
jkl
13
Famili 13
91.5 defghij
56.79
abcdef
16,84
bcde
2,22
abc
14
Famili 14
79.0 ijklmn
76.72
abc
14,82
cdefghij
2,04
bcdefg
15
Famili 15
87.0 fghijkl
50.77
bcdef
15,42
cdefgh
2,11
abcde
16
Famili 16
96.5 cdefgh
90.00
a
11,42
ijkl
1,68
fghijkl
17
Famili 17
124.0 a
73.40
abcd
16,02
cdefg
2,02
bcdefgh
18
Famili 18
113.5 ab
26.56
f
12,67
ghijk
2,21
abc
19
Famili 19
102.5 bcde
64.18
abcde
15,37
cdefgh
2,05
bcdefg
20
Famili 20
107.5 bc
53.78
bcdef
13,44
efghijk
1,80
defghijk
21
Famili 21
83.5 fghijklmn
63.44
abcde
7,19
n
1,42
kl
22
Famili 22
89.0 efghijk
73.40
abcd
7,42
mn
1,36
l
23
Famili 23
86.5 fghijkl
38.67
ef
7,03
n
1,44
kl
24
Famili 24
76.0 jklmn
46.34
bcdef
13,51
efghijk
1,62
hijkl
25
Famili 25
91.5 defghij
46.34
bcdef
11,26
ijkl
1,68
fghijkl
26
Famili 26
85.5 fghijkl
50.40
bcdef
12,01
hijk
1,72
efghijkl
27
Famili 27
82.5 ghijklmn
56.79
abcdef
10,65
klm
1,61
ijkl
28
Famili 28
88.5 efghijkl
50.77
bcdef
12,62
ghijk
1,97
cdefghi
29
Famili 29
74.0 klmn
47.89
bcdef
14,23
defghijk
1,85
cdefghij
30
Famili 30
98.0 cdefg
43.01
cdef
13,40
efghijk
1,88
cdefghij
31
Famili 31
78.0 ijklmn
40.00
def
18,35
abc
2,10
bcde
32
Famili 32
91.5 defghij
76.72
abc
17,55
abcd
2,08
bcdef
33
Famili 33
84.0 fghijklm
90.00
a
16,67
cdef
1,96
cdefghi
252 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Uji Daya Kecambah dan Pertumbuhan……. Sugeng Pudjiono 34
Famili 34
91.5 defghij
90.00
a
13,10
efghijk
1,72
efghijkl
35
Famili 35
93.5 cdefghi
80.78
ab
7,96
lmn
1,78
efghijk
36
Famili 36
99.0 cdef
80.78
ab
10,98
jkl
1,65
ghijkl
37
Famili 37
85.0 fghijkl
76.72
abc
12,39
ghijk
1,56
jkl
38
Famili 38
86.0 fghijkl
76.72
abc
13,60
efghijk
1,52
jkl
39
Famili 39
84.5 fghijklm
80.78
ab
15,53
cdefgh
1,90
cdefghij
40
Famili 40
75.5 klmn
76.72
abc
12,89
fghijk
1,69
fghijkl
Keterangan : Huruf yang sama menunjukkan tidak beda nyata.
Dari Tabel 3 di atas diketahui bahwa famili 3 menunjukkan famili yang mempunyai benih berukuran terbesar dari yang diuji, berbeda dengan jumlah benih yang berasal dari famili lain. Jumlah benih dibawah 70 butir/gr hanya ditunjukkan oleh famili no 3 dan 6. Famili yang mengandung banyak biji per gramnya adalah famili 17 sebanyak 124 butir/gr dan famili 18 dengan jumlah 113 butir/gr. Secara fisik famili 3 dan 6 mempunyai fisik benih yang berukuran lebih besar, sedangkan famili 17 dan 18 mempunyai benih yang berukuran lebih kecil. Berdasarkan ukuran benih bahwa benih famili 3 (68 butir/gr) berbeda nyata dengan 22 famili lainnya yang mempunyai berat 84-124 butir/gr (Tabel 2). Ukuran benih terkadang berkorelasi dengan viabilitas dan vigor benih, dimana benih yang relatif berat cenderung mempunyai vigor yang lebih baik (Suita dan Ismiati, 2010). Sorensen dan Campbell (1993) dalam Suita dan Ismiati (2010) menyatakan benih dengan berat dan ukuran lebih besar lebih banyak dipilih karena umumnya berhubungan dengan kecepatan berkecambah dan perkembangan semai yang lebih baik. Famili berpengaruh sangat nyata terhadap persentase daya kecambah benih. Famili 33, 34 dan 16 menunjukkan persentase kecambah yang sangat baik (100%), berbeda sangat nyata dengan 15 famili lainnya yang persentase daya kecambahnya dibawah 70% (Tabel 3). Kecepatan perkecambahan dipengaruhi oleh faktor genetik dan faktor lingkungan seperti tanah dan iklim mikro. Faktor genetik terutama struktur kandungan cadangan makanan yang terdapat dalam benih seperti karbohidrat, protein, lemak dan hormon pengatur tumbuh. Besarnya kandungan cadangan makanan ini dipengaruhi oleh ukuran benih, semakin besar ukuran benih maka kandungan cadangan makanan yang terdapat dalam
253
benih semakin tinggi. Ukuran benih ini sering bervariasi, kendatipun pada jenis tanaman yang sama (Siregar, 2010) Famili 8 merupakan famili terbaik dalam hal pertumbuhan tinggi (20,58 cm) berbeda sangat nyata terhadap 33 famili lainnya yang pertumbuhan tingginya dibawah 17,45 cm, tetapi tidak beda nyata dengan 6 famili lainnya yaitu famili ( 9(20,37 cm), 31(18,35 cm), 11(17,63 cm), 32(17,55), 7(17,47 cm dan 5(17,45 cm)). Famili 8 juga merupakan famili terbaik dalam hal diameter batang yang berbeda sangat nyata dengan 33 famili lainnya. Famili 8 berdiameter 2,49 mm tidak berbeda dengan 6 famili lain yaitu famili 11 (2,38 mm), 9 (2,378 mm), 7 (2,377 mm), 13 (2,22 mm), 18 (2,21 mm), 5 (2,20 mm). Ukuran benih berpengaruh terhadap kandungan cadangan makanan yang terdapat dalam benih (Siregar, 2010). Hal ini diperkuat dari hasil penelitian Suita dan Ismiati (2010) pada jenis kesambi yang menunjukkan bahwa benih yang berukuran kecil mempunyai rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter yang lebih rendah dari benih ukuran besar dan sedang. Wilaida, T (2011) menyatakan bahwa ukuran benih juga berpengaruh terhadap 4 (empat) jenis pertumbuhan bibit tanaman hutan.
Demikian pula
dinyatakan oleh Suita dan Megawati (2008) bahwa ukuran benih besar berpengaruh nyata terhadap diameter bibit. IV. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Famili memberikan perbedaan yang sangat nyata terhadap jumlah benih per gram, daya kecambah, rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter semai. 2. Famili yang mempunyai benih ukuran besar adalah famili 3 dan ukuran terkecil adalah famili 17. Jumlah benih per gram berkisar 68 – 124 butir. Daya kecambah berkisar dari 20%-100%. Famili yang mempunyai daya kecambah terbaik adalah famili 33, 34, 16. Pertumbuhan tinggi semai yang terbaik adalah famili 8 dengan tinggi 20,58 cm, sedangkan yang terendah famili 23 dengan tinggi 7,03 cm. Diameter batang terbesar adalah famili 8 sebesar 2,49 mm, sedangkan diameter terkecil famili 22 sebesar 1,36 mm.
254 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Uji Daya Kecambah dan Pertumbuhan……. Sugeng Pudjiono
UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada sdri Arie Triani, sdr Suwandi, S.Hut dan Maman Sulaeman atas bantuannya dalam hal pengukuran dan koleksi data serta entri data penelitian ini. DAFTAR PUSTAKA Hastanto, H. 2009. Peran Benih Unggul untuk Meningkatkan Produktivitas Hutan Tanaman Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada. Status Terkini Penelitian Pemuliaan Tanaman Hutan. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Putri. KP, Dusrajat. D dan Kartiana, EK. 2010. Produktivitas Benih Acacia mangium Asal Sumber Benih Parungpanjang. Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor dan Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Bandung, 20 Oktober 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Bogor. Rohandi, A. dan Widyani, N. 2010. Tekno Hutan Tanaman. Vol. 3 No.1. ISSN: 2085-2967. Pusat Penelitian dan Pengembagan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Bogor. Setyaji, A dan Widyani, N. 2010. Tekno Hutan Tanaman. Vol. 3 No.1. ISSN: 2085-2967. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Bogor. Siregar, N. 2010. Pengaruh Ukuran Benih terhadap Perkecambahan Benih dan Pertumbuhan Bibit Gmelina (Gmelina arborea Linn.). Tekno Hutan Tanaman. Vol. 3 No.1. ISSN: 2085-2967. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Bogor
255
Suita E. dan Ismiati, E. 2010. Pengaruh Ukuran Benih terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan Bibit Kesambi (Schleichera oleosa Merr.). Prosiding Seminar Hasil-hasil Penelitian Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor dan Balai Penelitian Kehutanan Ciamis. Bandung, 20 Oktober 2010. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peningkatan Produktivitas Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Bogor
Suita, E dan Megawati. 2008. Pengaruh Ukuran Benih terhadap Perkecambahan dan Pertumbuhan bibit Kemenyan (Styrax benzoin). Prosiding Workshop Sintesa Hasil Litbang Hutan Tanaman, Bogor, 19 Desember 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Bogor. Wilaida, T. 2011. Rencana Pemanfaatan Sumber Benih: Potensi Produksi, Penanganan dan Pemanfaatan Serta Distribusi Sumber Benih. Workshop Pembangunan Sumber Benih UPT Lingkup Badan Litbang Kehutanan. Tahun 2011. Hotel Inna Garuda Yogyakarta, 30 Juni-1 Juli 2011. Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Kementerian Kehutanan. Yogyakarta.
256 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Variasi Pertumbuhan Beberapa Klon Jati……. Mahfudz dan Soni Anggoro
VARIASI PERTUMBUHAN BEBERAPA KLON JATI PADA DUA JARAK TANAM DI RPH BANARAN BKPH PLAYEN GUNUNG KIDUL Mahfudz¹ and Soni Anggoro2 1
Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan
Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15 Purwobinangun, Pakem,Sleman, Yogyakarta Email:
[email protected] 2
INSTIPER Jogjakarta
Jl. Nangka II, Maguwoharjo (Ringroad Utara) , Yogyakarta
RINGKASAN Jati merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan kualitas kayu yang baik. Karena nilai ekonominya tinggi dan penanganannya mudah, maka jati telah dikenal sebagai jenis andalan dan dikembangkan baik dalam skala industri oleh perusahaan maupun dalam bentuk hutan rakyat. Yang menjadi tantangan dalam pengembangan hutan rakyat adalah bagaimana agar materi tanaman yang akan dibudidayakan tersebut merupakan tanaman yang secara genetik unggul, tersedia dalam jumlah yang cukup dan dalam waktu yang tepat. Penggunaan jarak tanam yang tepat dalam penanaman dapat meningkatkan pertumbuhan klon jati di lapangan. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui klon-klon jati yang memiliki pertumbuhan paling baik di lapangan dan mengetahui jarak tanam yang sesuai untuk pertumbuhan klon jati di Hutan Penelitian Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan yang berlokasi di RPH Banaran BKPH Playen Gunung Kidul . Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2007 dengan metode Rancangan Acak Lengkap Berblok atau Randomized Complete Block Design (RCBD). Tanaman pada plot uji berumur 3 tahun 9 bulan. Penanamannya menggunakan jarak tanam 3x3 meter dan 6x2 meter. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Jarak tanam 6x2 meter memberikan pertumbuhan paling baik di lapangan untuk pertumbuhan tinggi, diameter, kenampakan kondisi tajuk serta kemiringan pohon sampai umur 3 tahun 9 bulan dan Klon Cepu 1 menunjukkan pertumbuhan paling baik dibandingkan klon lainnya. Kata kunci: Jati, klon, pertumbuhan
257
I. PENDAHULUAN Jati merupakan salah satu jenis tanaman yang mempunyai nilai ekonomi tinggi dan kualitas kayu yang baik. Karena nilai ekonominya tinggi dan penanganannya mudah, maka jati telah dikenal sebagai jenis andalan dan dikembangkan baik dalam skala industri oleh perusahaan maupun dalam bentuk hutan rakyat (Triyono, 2004). Luasan tanaman jati di Indonesia telah mencapai luas lebih dari 1 juta hektar, dan oleh masyarakat jati ditanam dan dibudidayakan baik secara murni maupun campuran dengan tanaman perkebunan baik di Jawa seperti Gunung Kidul, Wonogiri, Pacitan, Tuban, Malang Selatan, Madura, maupun di luar Jawa seperti Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Sumatera Utara, dan Kalimantan Selatan (Mahfudz, 2003). Yang menjadi tantangan dalam pengembangan hutan rakyat adalah bagaimana agar materi tanaman yang akan dibudidayakan tersebut merupakan tanaman yang secara genetik unggul, tersedia dalam jumlah yang cukup dan dalam waktu yang tepat (Na’iem, 2002). Benih jati dengan prasarat semacam itu hanya dapat dipenuhi lewat program pemuliaan pohon yang antara lain melalui pembangunan uji genetik antara lain melalui uji klon. Klon adalah individu yang secara genetik identik dengan induknya sebagai hasil dari pembiakan vegetatif. Penggunaan jarak tanam yang tepat dalam penanaman dapat meningkatkan pertumbuhan klon jati di lapangan. Menurut Harjadi (1979) jarak tanam mempengaruhi populasi tanaman dan efisiensi penggunaan cahaya, juga mempengaruhi kompetisi antara tanaman dalam menggunakan air dan zat hara, dengan demikian akan mempengaruhi hasil. Agar tanaman hasil pembiakan vegetatif dapat tumbuh dengan baik maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan pemilihan asal klon terbaik dan pengaturan jarak tanam. Informasi mengenai pengaruh jarak tanam terhadap pertumbuhan sangat diperlukan bagi pengembangan hutan tanaman jati, maka dari itu dipandang penting untuk dilakukan pengamatan pertumbuhan klon-klon jati pada jarak tanam tertentu di areal pertanaman uji klon dan jarak tanam yang sudah ada serta melakukan pengukuran terhadap beberapa karakter pohon untuk kemudian dilakukan evaluasi terhadap pertumbuhan klon-klon jati tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui klon-klon jati yang memiliki pertumbuhan paling baik di lapangan dan 2. Mengetahui jarak tanam yang sesuai untuk pertumbuhan klon jati.
258 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Variasi Pertumbuhan Beberapa Klon Jati……. Mahfudz dan Soni Anggoro
II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan pada plot uji klon dan jarak tanam jati di Hutan Penelitian Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan yang berlokasi di RPH Banaran BKPH Playen Gunung Kidul. Alat yang digunakan selama penelitian adalah galah ukur, kaliper, busur, blangko pengukuran, peta penanaman, dan alat tulis. Bahan penelitian berupa tanaman jati dari 12 klon yang telah diidentifikasi asalnya (klon nomor : 1, 2, 3, 4, 5 berasal dari Cepu dan klon nomor : 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 berasal dari Madiun) yang berasal dari stek pucuk. Penelitian dilakukan pada bulan Januari 2007 dan tanaman pada plot uji berumur 3 tahun 9 bulan. Penanamannya menggunakan jarak tanam 3x3 meter dan 6x2 meter. Rancangan percobaan yang digunakan di dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Berblok atau Randomized Complete Block Design (RCBD) dengan perlakuan 12 klon tanaman jati serta jarak tanam 3x3 meter dan 6x2 meter. Masing-masing jarak tanam mempunyai 4 blok. Dalam masing-masing blok terdapat 5 treeplot untuk setiap klon. III. HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Tinggi Tanaman
Berdasarkan hasil analisis varians sebagaimana disajikan pada Tabel 1. menunjukkan bahwa adanya variasi klon tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman jati, namun adanya variasi jarak tanam menunjukkan berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman jati. Interaksi antara klon dan jarak tanam serta adanya blok menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman jati. Tabel 1. Analisis varians tinggi tanaman Sumber Variasi
db
JK
KT
Fhitung
Ftabel
Klon Jarak tanam Blok Klon*Jarak tanam Error Total
11 1 3 11 69 95
23,426 49,018 7,111 14,513 91,646 185,713
2,130 49,018 2,370 1,319 1,328
1,603 *) 36,906 ns 1,785 ns 0,993
ns
1,942 3,988 2,748 1,942
Keterangan : ns : non signifikan (tidak ada beda nyata/ tidak berpengaruh nyata). *) : ada beda nyata/ berpengaruh nyata.
259
Hasil pengamatan dan perhitungan sebagaimana disajikan pada Tabel 2., klon C1 menunjukkan pertumbuhan rata-rata tinggi yang paling besar yaitu 8,2469 m, kemudian diikuti klon C3 sebesar 7,8972 m, klon M8 sebesar 7,3192 m, klon M9 sebesar 7,3002 m, klon M10 sebesar 7,1511 m, klon M6 sebesar 7,0382 m, klon C4 sebesar 6,9872 m, klon M11 sebesar 6,9152 m, klon M7 sebesar 6,8891 m, klon C5 sebesar 6,6801 m, klon M12 sebesar 6,5461 m, klon C2 sebesar 6,5377 m. Meskipun rata-rata tinggi antar klon tanaman jati berbeda, tetapi berdasarkan hasil analisis varians terhadap tinggi tanaman, ternyata adanya variasi klon tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman jati. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun rata-rata tinggi klon tanaman jati berbeda tetapi keseluruhan klon mempunyai kemampuan yang sama untuk pertumbuhan tinggi. Tabel 2. Rata-rata tinggi tanaman No. Klon
Jarak Tanam 3x3 meter
Jarak Tanam 6x2 meter
Rata-rata
C1
6,8611
9,6327
8,2469 a
C2
5,6764
7,3990
6,5377 a
C3
7,9090
7,8855
7,8972 a
C4
5,8065
8,1680
6,9872 a
C5
5,5419
7,8182
6,6801 a
M6
6,3707
7,7057
7,0382 a
M7
6,0742
7,7040
6,8891 a
M8
6,9169
7,7215
7,3192 a
M9
6,7793
7,8210
7,3002 a
M10
6,2922
8,0100
7,1511 a
M11
6,6446
7,1858
6,9152 a
M12
6,0607
7,0315
6,5461 a
6,4111 b
7,8402 c
(-)
Rata-rata
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata. Tanda (-) menunjukkan tidak ada interaksi antara kedua faktor.
Pertumbuhan meninggi pada tanaman merupakan hasil aktifitas dari meristem apikal. Pada pertumbuhan tersebut dipengaruhi oleh tiga faktor lingkungan dan satu faktor dari dalam tanaman. Tiga faktor lingkungan tersebut adalah unsur hara dalam tanah, persediaan air dalam tanah, dan cahaya. Sedangkan satu faktor dari dalam tanaman adalah faktor genetik. 260 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Variasi Pertumbuhan Beberapa Klon Jati……. Mahfudz dan Soni Anggoro
Agar kebutuhan tanaman akan unsur hara, air dan cahaya dapat terpenuhi secara optimal maka salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan pengaturan jarak tanam. Berdasarkan hasil dari analisis varians terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa adanya variasi jarak tanam ternyata berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi tanaman jati tetapi interaksi antara klon dan jarak tanam tidak berpengaruh nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan jarak tanam menunjukkan kemampuan yang berbeda dalam pertumbuhan tinggi. Pada jarak tanam 6x2 meter, rata-rata tinggi tanaman jati menunjukkan hasil yang paling baik jika dibandingkan jarak tanam 3x3 meter. Pertumbuhan rata-rata tinggi tanaman jati pada jarak tanam 6x2 meter adalah sebesar 7,8402 m sedangkan rata-rata tinggi tanaman jati pada jarak tanam 3x3 meter adalah sebesar 6,4111 meter. Hasil tersebut berbeda dengan teori yang ada dimana disebutkan bahwa pada jarak tanam yang rapat maka pertumbuhan tanaman akan lebih tinggi dibandingkan jarak tanam yang lebih lebar. Salah satu prinsip yang harus dipegang dalam penentuan jarak tanam menurut Prianto (2002) adalah jarak tanam harus disesuaikan dengan sifat spesies yang ditanam. Penggunaan jarak tanam 6x2 meter untuk jati umur 3 tahun 9 bulan lebih sesuai bila dibandingkan jarak tanam 3x3 meter. Hal ini sesuai dengan karakterisitik jati yang memiliki tajuk lebar, perakaran dangkal dan lebar maka jarak tanamnya harus lebih lebar. B.
Diameter Tanaman Hasil analisis varians sebagaimana diasjikan pada Tabel 1, menunjukkan bahwa adanya variasi klon dan jarak tanam menunjukkan ada pengaruh nyata terhadap diameter tanaman, namun interaksi antara kedua perlakuan tersebut serta adanya blok tidak berpengaruh nyata terhadap diameter tanaman.
261
Tabel 3. Analisis varians diameter tanaman Sumber Variasi
db
JK
KT
Klon Jarak tanam Blok Klon*Jarak tanam Error Total
11 1 3 11 69 95
41,470 44,146 10,960 24,304 130,134 251,014
3,770 44,146 3,653 2,209 1,886
Fhitung
Ftabel *)
1,999 *) 23,407 ns 1,937 ns 1,171
1,942 3,988 2,748 1,942
Keterangan : ns : non signifikan (tidak ada beda nyata/ tidak berpengaruh nyata). *) : ada beda nyata/ berpengaruh nyata.
Hasil rata-rata diameter pada setiap perlakuan sebagaimana terlihat pada Tabel 4, menunjukkan bahwa klon C1 berbeda nyata dengan klon C2, klon C5, klon M6, dan klon M12, sedangkan klon C2 berbeda nyata dengan klon C3, klon M8, klon M9, klon M10. Berdasarkan hasil analisis terhadap diameter tanaman, ternyata adanya variasi klon berpengaruh nyata terhadap diameter tanaman jati. Hal ini berarti bahwa keseluruhan klon yang ada menunjukkan kemampuan yang berbeda-beda dalam pertumbuhan diameternya. Dari hasil pengamatan, diameter tanaman yang paling besar adalah klon C1 yaitu sebesar 8,5925 cm, kemudian diikuti oleh klon M10 sebesar 7,9640 cm, klon C3 sebesar 7,6573 cm, klon M8 sebesar 7,6131 cm, klon M9 sebesar 7,4981 cm, klon C4 sebesar 7,2581 cm, klon M11 sebesar 7,1550 cm, klon M7 sebesar 7,0100 cm, klon M6 sebesar 6,9408 cm, klon C5 sebesar 6,7915 cm, klon M12 sebesar 6,7619 cm, klon C2 sebesar 5,8706 cm. Tabel 4. Rata-rata diameter tanaman No. Klon
Jarak Tanam 3x3 meter
Jarak Tanam 6x2 meter
C1
7,1250
10,0600
8,5925 f
C2
5,3112
6,4300
5,8706 h
C3
7,9396
7,3750
7,6573 fg
C4
5,9912
8,5250
7,2581 fgh
C5
5,3767
8,2062
6,7915 gh
M6
6,2517
7,6300
6,9408 gh
M7
6,2462
7,7737
7,0100 fgh
262 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Rata-rata
Variasi Pertumbuhan Beberapa Klon Jati……. Mahfudz dan Soni Anggoro
No. Klon
Jarak Tanam 3x3 meter
Jarak Tanam 6x2 meter
Rata-rata
M8
7,2362
7,9900
7,6131 fg
M9
7,2283
7,7679
7,4981 fg
M10
7,1029
8,8250
7,9640 fg
M11
7,0112
7,2987
7,1550 fgh
M12
6,1550
7,3687
6,7619 gh
Rata-rata
6,5813 j
7,9375 k
(-)
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata. Tanda (-) menunjukkan tidak ada interaksi antara kedua faktor.
Rata-rata diameter tanaman jati yang terbaik adalah pada jarak tanam 6x2 meter yaitu sebesar 7,9375 cm sedangkan pada jarak tanam 3x3 meter adalah sebesar 6,5813 cm. Untuk mendapatkan diameter tanaman yang lebih besar, maka penggunaan jarak tanam yang lebih lebar dapat diterapkan. Hal ini disebabkan dengan jarak tanam yang lebih lebar maka tanaman jati akan mendapatkan sinar matahari yang melimpah untuk pertumbuhannya sehingga antara tanaman jati satu dengan yang lainnya tidak terdorong untuk berkompetisi dalam mencapai ketinggian tertentu untuk mendapatkan sinar matahari. Menurut Mahfudz, (2003) pengaturan jarak tanam yang lebar akan menghasilkan diameter yang lebih besar dikarenakan kompetisi perakaran antara pohon jati satu dengan lainnya dalam mendapatkan hara dalam tanah rendah. Hal ini membantu sistem perakaran jati lebih leluasa dan optimal dalam penyerapan hara tanah bagi pertumbuhan tanaman jati. Pada parameter tinggi dan diameter diketahui bahwa klon yang mempunyai pertumbuhan tinggi dan diameter terbaik maupun terendah terdapat kesamaan. Artinya klon yang pertumbuhan tingginya baik biasanya diikuti dengan pertumbuhan diameter yang baik juga. Begitu juga klon yang pertumbuhan tingginya jelek biasanya pertumbuhan diameternya juga jelek. Klon C1 menunjukkan pertumbuhan tinggi dan diameter yang paling baik, sedangkan klon yang pertumbuhan tinggi dan diameternya paling jelek adalah klon C2.
263
C.
Kondisi Tajuk Tanaman Dari hasil pengamatan kondisi tajuk di lapangan, kemudian diberikan skor penilaian yaitu : a. Skor 1 : Bila kondisi tajuk jarang. b. Skor 2 : Bila kondisi tajuk agak rapat. c. Skor 3 : Bila kondisi tajuk rapat. Dari hasil pemberian skor penilaian kemudian dihitung rata-ratanya untuk masing-masing klon dalam setiap blok. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan analisis varians seperti yang disajikan dalam Tabel 5. Tabel 5. Analisis varians kondisi tajuk tanaman Sumber Variasi
db
JK
KT
Fhitung
Klon Jarak tanam Blok Klon*Jarak tanam Error Total
11 1 3 11 69 95
4,032 1,525 4,581 2,257 21,770 34,166
0,367 1,525 1,527 0,205 0,316
1,162 *) 4,834 *) 4,840 ns 0,650
ns
Ftabel 1,942 3,988 2,748 1,942
Keterangan : ns : non signifikan (tidak ada beda nyata/ tidak berpengaruh nyata). *) : ada beda nyata/ berpengaruh nyata.
Berdasarkan analisis varians terhadap kondisi tajuk tanaman menunjukkan bahwa adanya variasi klon tidak berpengaruh nyata terhadap kondisi tajuk tanaman sedangkan adanya variasi jarak tanam serta adanya blok berpengaruh nyata terhadap kondisi tajuk tanaman. Interaksi antara klon dengan jarak tanam menunjukkan tidak berpengaruh nyata. Berdasarkan analisis varians terhadap kondisi tajuk tanaman juga menunjukkan bahwa adanya variasi klon tidak berpengaruh nyata terhadap kondisi tajuk tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan klon mempunyai nilai yang sama untuk kondisi tajuknya. Hasil pengamatan dan perhitungan sebagaimana disajikan dalam Tabel 6, klon C1 mempunyai rata-rata skor kondisi tajuk tanaman yang paling besar yaitu 2,4146, kemudian diikuti oleh klon M9 sebesar 2,2521, klon M8 sebesar 2,2125, klon C4 sebesar 2,1875, klon M6 sebesar 2,1771, klon C5 sebesar 2,0917, klon M10 sebesar 2,0646, klon M12 sebesar 2,0521, klon M7 sebesar 2,0500, klon 11 sebesar 2,0312, klon C3 sebesar 1,9437, klon C2 sebesar 1,5312. 264 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Variasi Pertumbuhan Beberapa Klon Jati……. Mahfudz dan Soni Anggoro
Tabel 6. Rata-rata Skor Kondisi Tajuk Tanaman No. Klon
Jarak Tanam 3x3 meter
Jarak Tanam 6x2 meter
Rata-rata
C1
2,0125
2,8167
2,4146 n
C2
1,4625
1,6000
1,5312 n
C3
1,9375
1,9500
1,9437 n
C4
1,8500
2,5250
2,1875 n
C5
1,8333
2,3500
2,0917 n
M6
2,3167
2,0375
2,1771 n
M7
1,9000
2,2000
2,0500 n
M8
2,2250
2,2000
2,2125 n
M9
2,2000
2,3042
2,2521 n
M10
2,0292
2,1000
2,0646 n
M11
1,7625
2,3000
2,0312 n
M12
1,9667
2,1375
2,0521 n
1,9580 p
2,2101 q
(-)
Rata-rata
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata. Tanda (-) menunjukkan tidak ada interaksi antara kedua faktor.
Sebagian besar klon mempunyai rata-rata skor kondisi tajuk diatas 2, kecuali klon C3 dan C2. Hal ini dapat dikatakan bahwa kondisis tajuk klonklon tersebut agak rapat. Kondisi tajuk klon C3 dapat dikatakan juga agak rapat karena rata-rata skornya mendekati 2, sedangkan kondisi tajuk klon C2 termasuk jarang karena rata-rata skornya kurang dari 2 . Pada analisis varians, adanya variasi jarak tanam menunjukkan beda nyata terhadap kondisi tajuk tanaman. Hal ini menunjukkan bahwa jarak tanam 3x3 meter dan 6x2 meter mempunyai nilai yang berbeda dalam hal penilaian kondisi tajuk tanaman. Rata-rata skor kondisi tajuk tanaman yang paling besar adalah pada jarak tanam 6x2 meter yaitu sebesar 2,2101, sedangkan pada jarak tanam 3x3 meter adalah sebesar 1,9580. Pada umumnya pohon jati memiliki tajuk yang kurang lebat, tetapi karena daunnya lebar, maka tajuk memberi naungan yang lebat dan merata (Mahfudz, 2003). Pengamatan kondisi tajuk tanaman, dapat diasumsikan yaitu jika kondisi tajuk tanaman rapat berarti proses fotosintesis akan
265
berlangsung dengan baik sehingga karbohidrat yang dihasilkan juga banyak. Karbohidrat tersebut akan digunakan untuk membentuk jaringan-jaringan baru sehingga pertumbuhan tanaman akan meningkat. Namun apabila tajuk tanaman jarang, maka dapat diartikan bahwa karbohidrat yang dihasilkan dalam proses fotosintesis sedikit sehingga pembentukan jaringan baru juga lambat akibatnya pertumbuhan tanaman juga akan lambat. D.
Kemiringan Pohon Pengamatan kemiringan pohon dilakukan dengan melihat kondisi batang tanaman dari batang bawah hingga batang atas, jika ada yang bengkok diukur derajat simpangannya dari posisi vertikal batang. Setelah dilakukan penilaian, dapat diketahui bahwa kemiringan pohon yang paling kecil adalah 00 sedangkan kemiringan pohon yang paling besar adalah 600. Data tersebut kemudian dibagi menjadi 3 skor, yaitu : a. Skor 1 : miring (kemiringan 410 - 600). b. Skor 2 : agak miring (kemiringan 210 - 400). c. Skor 3 : lurus (kemiringan 00 - 200). Data dari hasil pemberian skor kemudian dilakukan analisis varians seperti disajikan dalam Tabel 7. Tabel 7. Analisis varians kemiringan pohon Sumber Variasi
db
JK
KT
Fhitung
Klon Jarak tanam Blok Klon*Jarak tanam Error Total
11 1 3 11 69 95
1,196 0,0004 0,361 1,532 7,331 10,420
0,109 0,0004 0,120 0,139 0,106
1,023 ns 0,003 ns 1,131 ns 1,311
ns
Ftabel 1,942 3,988 2,748 1,942
Keterangan : ns : non signifikan (tidak ada beda nyata/ tidak berpengaruh nyata).
Berdasarkan hasil analisis varians terhadap kemiringan pohon menunjukkan bahwa perlakuan klon dan jarak tanam serta interaksi keduanya tidak menunjukkan beda nyata. Adanya blok juga menunjukkan tidak beda nyata. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8.
266 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Variasi Pertumbuhan Beberapa Klon Jati……. Mahfudz dan Soni Anggoro
Tabel 8. Rata-rata skor kemiringan pohon. No. Klon
Jarak Tanam 3x3 meter
Jarak Tanam 6x2 meter
Rata-rata
C1
2,6875
3,0000
2,8437 r
C2
2,6125
2,8500
2,7312 r
C3
2,7083
2,1000
2,4042 r
C4
2,7375
2,7500
2,7437 r
C5
2,5083
2,8125
2,6604 r
M6
2,9000
2,7500
2,8250 r
M7
2,7375
2,7500
2,7437 r
M8
2,7000
2,4500
2,5750 r
M9
2,6667
2,6583
2,6625 r
M10
2,6083
2,8500
2,7292 r
M11
2,6750
2,6917
2,6833 r
M12
2,7750
2,7000
2,7375 r
2,6931 y
2,6969 y
(-)
Rata-rata
Keterangan : Angka rata-rata yang diikuti huruf yang sama tidak menunjukkan beda nyata. Tanda (-) menunjukkan tidak ada interaksi antara kedua faktor.
Berdasarkan hasil analisis varians terhadap kemiringan pohon menunjukkan bahwa adanya variasi klon ternyata tidak berpengaruh nyata terhadap kemiringan pohon. Hal ini dapat diartikan bahwa keseluruhan klon mempunyai nilai yang sama dalam hal kemiringannya. Dari hasil pengamatan dan perhitungan menunjukkan bahwa ratarata skor kemiringan pohon yang terbesar adalah pada klon C1 sebesar 2,8437, kemudian diikuti oleh klon M6 sebesar 2,8250, klon C4 dan klon M7 sebesar 2,7437, klon M12 sebesar 2,7375, klon C2 sebesar 2,7312, klon M10 sebesar 2,7292, klon M11 sebesar 2,6833, klon M9 sebesar 2,6625, klon C5 sebesar 2,6604, klon M8 sebesar 2,5750, klon C3 sebesar 2,4042. Meskipun keseluruhan klon tidak berbeda nyata tetapi berdasarkan hasil perhitungan tersebut, dapat disimpulkan bahwa keseluruhan klon mempunyai derajat kemiringan yang kecil. Hal ini dapat dilihat dari ratarata skor kemiringan yang keseluruhannya mendekati skor 3, artinya hampir seluruh klon mempunyai kenampakan lurus kecuali klon C3 yang agak miring.
267
Adanya variasi jarak tanam serta interaksinya dengan klon juga menunjukkan tidak berpengaruh nyata terhadap kemiringan pohon. Hal ini menunjukkan bahwa keseluruhan klon baik yang ditanam dengan jarak tanam 3x3 meter maupun 6x2 meter mempunyai nilai yang sama dalam hal kemiringannya. Berdasarkan hasil pengamatan dan perhitungan, jarak tanam 6x2 meter menunjukkan hasil yang paling baik dibandingkan jarak tanam 3x3 meter. Rata-rata skor kemiringan pohon pada jarak tanam 6x2 meter yaitu sebesar 2,6969 sedangkan pada jarak tanam 3x3 meter adalah sebesar 2,6931. Hasil tersebut sesuai dengan pendapat Harjadi (1979), yaitu jarak tanam akan mempengaruhi keefisienan penggunaan cahaya serta akan mempengaruhi hasil. Pada jarak tanam 6x2 meter, kebutuhan tanaman akan cahaya terpenuhi dengan baik, serta kompetisi antar tanaman dalam hal penggunakan air dan zat hara sangat kecil sehingga kemiringannya juga kecil. Pada jarak tanam 3x3, meskipun jarak antar tanaman rapat yang kemungkinan kemiringan pohonnya kecil tetapi kompetisi antar tanaman dalam hal penggunakan air dan zat hara serta kebutuhan akan cahaya kurang terpenuhi dengan baik, sehingga kecenderungan tanaman dalam berkompetisi untuk memenuhi kebutuhan akan cahaya, air serta unsur hara sangat besar. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Klon jati yang menunjukkan pertumbuhan paling baik di lapangan untuk pertumbuhan tinggi, pertumbuhan diameter, kenampakan kondisi tajuk serta kemiringan pohon sampai umur 3 tahun 9 bulan adalah klon Cepu 1. 2. Jarak tanam yang menunjukkan pertumbuhan paling baik di lapangan untuk pertumbuhan tinggi, pertumbuhan diameter, kenampakan kondisi tajuk serta kemiringan pohon sampai umur 3 tahun 9 bulan adalah 6x2 meter. B. SARAN 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan pada umur-umur berikutnya untuk mengetahui kelanjutan pertumbuhan beberapa klon tanaman jati pada jarak tanam 3x3 meter dan 6x2 meter di hutan penelitian Watu Sipat pada petak 22a, RPH Banaran, BKPH Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta. 2. Bila tanaman jati asal stek pucuk akan dikembangkan di Gunung Kidul terutama pada petak 22a, RPH Banaran, BKPH Playen dan pertumbuhan tinggi, diameter serta kenampakan kondisi tajuk dan kemiringan pohon
268 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Variasi Pertumbuhan Beberapa Klon Jati……. Mahfudz dan Soni Anggoro
digunakan sebagai parameter yang mempunyai nilai lebih, maka klon Cepu 1 dapat ditunjuk sebagai sumber benih klon dengan jarak tanam 6x2 meter.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2002. Strategi dan Metode Pemuliaan. Materi Inhouse Training Pemuliaan Pohon. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. Fauzi, M. Anis, 2004. Perbanyakan Tanaman Jati (Tectona grandis L.f.) Secara Vegetatif. Prosiding Pelatihan Petugas Pengelola Persemaian Jati Provinsi Sulawesi Tenggara. Kendari. Gardner, Franklin P., R. Brent Pearce, and Roger L. Mirchell, 1991. Fisiologi Tanaman budidaya. Diterjemahkan oleh Herawati Susilo dan Subiyanto. Penerbit Universitas Indonesia. Jakarta. Hardjodarsono, M.S., 1977. Jati. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Harjadi, Sri Setyati, 1979. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. Hidayat, Arief, 1998. Evaluasi Awal Uji Klon Dari 121 Pohon Plus Jati (Tectona grandis L.f) dengan Okulasi. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Tidak diterbitkan. Mahfudz, 2003. Sekilas Tentang Jati. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Yogyakarta. , 2003. Penelitian dan Pengembangan Pemuliaan Jati Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Makalah dalm Ekspose Hasil-Hasil Penelitian P3BPTH , Yogyakarta. Prianto, Sukirno Dwiasmoro, 2002. Hand Out Kuliah Teknik Penanaman Hutan. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Sabarnurdin, M.S., S.M. Widyastuti, dan Ambar Kusumandari, 1999. Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Skripsi. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Samingan, Tjahjono, 1982. Dendrologi. Kerjasama Bagian Ekologi Fakultas Pertanian IPB dengan Penerbit PT. Gramedia. Jakarta. Suhartati, Tatik, 2003. Petunjuk Praktikum Statistika II. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Stiper. Yogyakarta. Sumarna, Yana, 2002. Budidaya Jati. Penebar Swadaya. Jakarta. Suryowinoto, Moeso, 1996. Pemuliaan Tanaman Secara In Vitro. Kanisius. Yogyakarta.
269
Soeseno, Oemi Hani`in, 1975. Pembiakan Vegetatif. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Triyono, 2004 . Potensi dan Sebaran Hutan Jati Rakyat di Era Gerhan. Makalah dalam Pertemuan Forum Komunikasi Jati di Yogyakarta tanggal 17 September 2004. Puslitbang Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan . Yogyakarta. Yudianto, Wahyu, 2006. Variasi Pertumbuhan Beberapa Klon Jati Pada Dua Jarak Tanam di RPH Banaran BKPH Playen Gunung Kidul. Skripsi S-1. Fakultas Pertanian Universitas Wangsa Manggala. Yogyakarta. Tidak diterbitkan.
270 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peranan Penelitian dan Pengembangan……. Mahfudz dan Sugeng Pudjiono
PERANAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN MERBAU Mahfudz dan Sugeng Pudjiono Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta Email:
[email protected]
RINGKASAN Kebutuhan kayu merbau di pasar lokal, regional, nasional dan internasional masih besar. Pemenuhan kebutuhan kayu merbau sampai saat ini masih dilakukan dari hutan alam. Apabila penebangan merbau terus dilakukan tanpa diimbangi dengan upaya penanaman dan managemen pengelolaan yang memadai, dikhawatirkan populasi Intsia bijuga akan semakin menurun. Penurunan potensi sumber daya alam merbau tersebut tidak saja mengancam kemampuan memproduksi kayu merbau, tetapi yang lebih serius lagi adalah menurunnya potensi genetik merbau. Jenis pohon merbau (Intsia bijuga) termasuk salah satu jenis pohon yang tersebar terutama pada beberapa daerah di Indonesia. Keberadaan jenis merbau baik potensi maupun luasnya di luar Papua sudah menurun. Untuk melestarikan merbau khususnya di Papua perlu dilakukan berbagai upaya diantaranya kegiatan litbang jenis merbau. Peranan penelitian dan pengembangan dalam pengelolaan merbau sangat strategis. Sehubungan dengan itu berbagai kegiatan penelitian dan pengembangan untuk melestarikan produksi merbau perlu dilakukan khususnya di Papua. Kerjasama penelitian merbau antara pihak pemerintah dan swasta yang mengelola jenis merbau hendaknya ditingkatkan dalam rangka melestarikan jenis ini. Kata kunci: Merbau, intsia bijuga, papua
I. PENDAHULUAN Intsia bijuga atau merbau merupakan salah satu jenis pohon yang sudah sangat dikenal dunia.
dalam perdagangan kayu di Indonesia maupun
Kayu merbau banyak digunakan untuk kontruksi bangunan,
bantalan kereta api, rangka jembatan, dinding, lantai, moulding, dan furniture. Limbahnya juga dapat digunakan untuk briket arang. Merbau memiliki sebaran alam yang sangat luas di dunia antara lain di Samoa, Australia, Birma, Kamboja, India, Indonesia, Madagaskar (pada dataran
271
rendah di bagian barat), Malaysia, Myanmar, Pulau – pulau di Pasifik, Papua Nugini, Philipina, Tanzania, Thailand, dan Vietnam. Penyebaran jenis ini di Indonesia adalah Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Timor, Maluku, dan Papua. Greenpeace menyatakan bahwa saat ini populasi merbau di dunia secara signifikan
hanya ditemukan di pulau Nugini yaitu Papua
(Hapsoro, 2008). Potensi kayu merbau di Papua mencapai 84,4% dari total kayu merbau di Indonesia (Tong, et al., 2009). Produksi
seluas
Tercatat dari luas Hutan
16.705.921 ha, wilayah yang
berpotensi merbau
mencapai 5.615.137 ha dengan potensi merbau 50 cm up 13,67 m3/ha (Kayoi, 2009). Kebutuhan
kayu merbau di pasar lokal, regional, nasional dan
internasional masih besar. Pemenuhan kebutuhan kayu merbau sampai saat ini masih dilakukan dari hutan alam.
Produksi kayu bulat merbau
setiap tahun dari Papua berkisar antara 463.327,33 – 556.366,77 m3/tahun dengan luas areal tebangan 77.116,9 – 87.508,8 ha/tahun.
Rata-rata
proporsi jenis merbau terhadap produksi kayu bulat jenis komersial di Papua sebesar 28,6 % (Tokede et.al, 2006), bahkan di beberapa lokasi dapat mencapai 52,2% (Rachman, 2003 ; Tokede et al. 2006). Apabila penebangan merbau terus dilakukan tanpa diimbangi dengan upaya penanaman dan managemen pengelolaan yang memadai, dikhawatirkan populasi Intsia bijuga akan semakin menurun. Penurunan potensi sumber daya alam merbau tersebut tidak saja mengancam kemampuan memproduksi kayu merbau, tetapi yang lebih serius lagi adalah menurunnya potensi genetik merbau. Hasil monitoring UNEP-WCMC menunjukkan bahwa status konservasi I. bijuga sudah termasuk kategori rawan (VU A1cd) dan
ada keinginan dari beberapa pihak untuk
memasukkannya dalam APENDIX III CITES (Tokede et al, 2006, Tong P.S et al., 2009). Tekanan terhadap potensi sumberdaya genetik merbau saat ini juga masih terus berlangsung yang antara lain disebabkan oleh penebangan dan konversi lahan baik untuk lahan perkebunan maupun pertambangan. Melihat kondisi tersebut, maka upaya penelitian dan pengembangan jenis
272 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peranan Penelitian dan Pengembangan……. Mahfudz dan Sugeng Pudjiono
merbau menjadi salah satu langkah yang sangat strategis untuk dilakukan dalam mendukung kegiatan pengelolaan merbau pada masa yang akan datang. Makalah ini disusun untuk memberikan gambaran peranan penelitian dan pengembangan dalam mendukung pengelolaan merbau. II. REVIEW STATUS LITBANG MERBAU Badan litbang kehutanan mulai melakukan penelitian merbau secara terintegratif sejak tahun 2005. Pada tahun 2004 Badan Litbang Kehutanan telah melakukan review yang dimaksudkan
untuk
mengkaji status
penelitian dan pengembangan merbau yang telah dilakukan. Hasil review selanjutnya akan dijadikan acuan dalam melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan merbau. Review dilakukan dengan mengumpulkan literatur dan tulisan ilmiah tentang merbau. Pengumpulan data-data dan publikasi dilakukan di Jakarta, Bogor, Jogjakarta, Ujung Pandang dan Papua. Berdasarkan kajian yang dilakukan secara umum penelitian dan publikasi merbau masih terbatas yaitu hanya 56 publikasi. Sebagian besar penelitian (48%) publikasi terkait dengan ekploitasi dan teknologi hasil hutan, dan hanya 1,7% terkait dengan konservasi dan 17,85 % berhubungan dengan teknologi benih dan bibit. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa upaya penyelamatan merbau masih sangat terbatas untuk diteliti dan kecendrungannya masih pada kegiatan eksploitasi. III. PERANAN LITBANG DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN MERBAU A. Kebijakan Penelitian Kebijakan penelitian penelitian dan pengembangan merbau
di
tingkat Badan Litbang kehutanan terbagi atas 2 masa yaitu: 1. Tahun 2005-2009, dilakukan dalam skema penelitian terpadu tentang merbau yang mencakup aspek konservasi, pemuliaan dan budidaya. Kegiatan ini dikoordinir oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan di Jogjakarta. Selain itu beberapa aspek lain
273
juga dilakukan penelitiannya seperti sosial ekonomi, biometrika, dan teknologi pengolahan dan penggunaan kayunya. 2. Mulai tahun 2010 dilakukan dalam skema penelitian integratif yaitu dalam Rencana Penelitian Integratif (RPI) kayu pertukangan
yang
dikoordinir oleh Pusat Litbang Peningkatan Produktivitas Hutan dan RPI bioteknologi dan pemuliaan tanaman hutan yang dikoordinir oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan B. Implementasi penelitian dan pengembangan 1. Penelitian Konservasi dan Pemuliaan Merbau Penelitian konservasi dan pemuliaan merbau dimaksudkan untuk menyediakan data dan informasi dalam mendukung upaya penyelamatan dan penyediaan benih untuk pembangunan hutan tanaman. Beberapa kegiatan penelitian yang telah dilakukan antara lain : a. Eksplorasi Materi Genetik Pengumpulan materi genetik merbau telah dilakukan pada 19 populasi merbau di Maluku dan Papua. Eksplorasi materi genetik dilakukan untuk menyediakan materi genetik guna keperluan analisis keragaman genetik, pembangunan plot konservasi dan pemuliaan merbau.
Keadaan
umum masing- masing lokasi adalah sebagai berikut : Tabel 1. Keadaan umum masing-masing populasi No
Populasi
Penutupan lahan¹
1
Biak
Hutan lahan kering Primer Hutan lahan Kering Sekunder
2
Mandopi
3
Manokwari
Hutan Lahan Kering Primer
4
Oransbari
Hutan lahan kering sekunder
Jenis Tanah²
Mediteran Rensina Podsolik coklat kelabu Podsolik coklat kelabu Podsolik merah
274 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Lereng²
Topografi²
0-15 %
100-400 mdpl
<3%
0-100 mdpl
0-15%
0-100 mdpl
<3%
100-400 mdpl
Peranan Penelitian dan Pengembangan……. Mahfudz dan Sugeng Pudjiono
5
Tuwanwowi
Hutan lahan kering primer
6
Wasior
Hutan lahan kering primer
7
Minamin
Hutan lahan kering primer
8
Nabire
Hutan lahan kering primer
9
Nusa Jaya
Hutan lahan kering primer
10
Waigo
Hutan lahan kering sekunder
11
Klamono
Hutan lahan kering sekunder
kuning hidromorf kelabu Podsolik merah kuning hidromorf kelabu Podsolik merah kuning hidromorf kelabu Podsolik merah kuning hidromorf kelabu Podsolik merah kuning hidromorf kelabu Podsolik merah kuning hidromorf kelabu Podsolik merah kuning hidromorf kelabu Podsolik merah kuning hidromorf kelabu
<3%
100-400 mdpl
<3%
100-400 mdpl
0-15%
100-400 mdpl
<3%
0-100 mdpl
0-15%
100-400 mdpl
<3%
0-100 mdpl
<3%
0-100 mdpl
275
12
Manimeri
Hutan lahan kering primer
13
Babo
Hutan lahan kering primer
14
Muskona
Hutan lahan kering primer
15
Seram
16
Ternate/Hal tim
Hutan lahan kering sekunder Hutan lahan kering primer
17
Sarmi
Hutan lahan kering primer
18
Jayapura
Hutan lahan kering primer
19
Carita
Hutan tanaman
Podsolik merah kuning hidromorf kelabu Podsolik merah kuning hidromorf kelabu Podsolik merah kuning hidromorf kelabu Podsolik merah kunig Podsolik merah kuning Podsolik merah kuning hidromorf kelabu Podsolik merah kuning hidromorf kelabu Podsolik merah kuning
<3%
0-100 mdp
<3%
0-100 mdpl
0-15%
0-100 mdpl
<3%
0-100 mdpl
0-15%
100-400 mdpl
0-15%
100-400 mdpl
0-15%
100-400 mdpl
0-15%
0-100 mdpl
Keterangan: 1. Peta penutupan lahan Propinsi Papua Tahun 2005 2. Peta Propinsi Papua, 2009
Pada tabel 1 terlihat bahwa populasi-populasi merbau pada umumnya berada pada hutan lahan kering primer maupun sekunder pada
276 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peranan Penelitian dan Pengembangan……. Mahfudz dan Sugeng Pudjiono
tanah podsolik merah kuning dengan kelerengan 0-15 % dan ketinggian dibawah 400 mdpl. Tokede et al. (2006) menyebutkan bahwa Intsia bijuga umumnya sesuai tumbuh di hutan dataran rendah.
Sedangkan Intsia
palembanica banyak dijumpai tumbuh pada hutan dataran tinggi. Secara alami di Papua, jenis dijumpai tumbuh bercampur dengan jenis pohon lain di Papua. b. Analisis Keragaman genetik Analisis keragaman genetik dilakukan untuk mendapatkan data dan informasi keragaman genetik pada populasi merbau. Analisis keragaman genetik dilakukan dengan analisis DNA. Berdasarkan analisis DNA yang dilakukan oleh laboratorium moleculer B2PBPTH (Rimbawanto dan AYBC Widyatmoko, 2006) dari 4 populasi (Manokwari, Nabire, Ternate dan Carita) menunjukkan keragaman genetik yang cukup tinggi 0,296 dimana angka ini lebih besar daripada jenis
rata-rata keragaman genetik
baik
untuk
kelompok jenis tropis maupun konifer. Namun penurunan keragaman genetik dapat terjadi bila penebangan dilakukan secara berlebihan tanpa melihat kapasitas produksi tegakan yang ada. Rata- rata jarak genetik antar populasi sebesar 0,141 hasil analisis DNA menunjukkan bahwa 86% keragaman genetik berada di dalam populasi, sedangkan sisanya berada di antara populasi. Hasil analisis keragaman genetik secara menyeluruh untuk populasi Papua dan Maluku (14 populasi) menunjukkan rata-rata persentase lokus polimorfik sebesar 96,40% dan rata-rata keragaman genetik (He) sebesar 0,402. Total keragaman genetik merbau masih cukup besar yaitu 0,438. Sebagian besar keragaman genetik yaitu 93,38% didistribusikan dalam populasi
dan sisanya sebesar
6,62% didistribusikan
antar populasi.
Hubungan kekerabatan antara populasi terbagi menjadi 4 kelompok utama. Masih tingginya keragaman genetik merbau antara lain disebabkan oleh adanya perkawinan silang pada merbau yang oleh nilai rerata perkawinan silang pada multi lokus (tm) dan rerata perkawinan silang pada suatu lokus (ts) yang sangat tinggi yaitu tm = 1,00 dan ts = 0,994. Nilai perkawinan kerabat pada merbau sangat rendah yaitu 0,006. 277
c. Pembangunan Plot Konservasi Konservasi
merbau sebenarnya telah dilakukan beberapa puluh
tahun silam dengan membangun plot uji coba di Carita, Darmaga, dan Manokwari. dengan materi genetik dari populasi yang terbatas.
Sejak
tahun 2005 B2PBPTH mulai membangun plot konservasi dengan materi genetik dari populasi-populasi merbau di Papua, Maluku dan Jawa (Carita, Ternate, Seram, Nabire, Wasior, Manokwari, Biak, dan Sorong,dll). Plot konservasi yang dibangun dari materi generatif dibangun di Bondowoso dan Gunung Kidul masing-masing seluas 3,2 ha. Plot konservasi dibangun dengan memisahkan masing-masing populasi dalam satu blok. Pesentase jadi tanaman mencapai 93% untuk Bondowoso dan 65% untuk plot konservasi sumberdaya genetik di Gunung Kidul. Terdapat variasi pertumbuhan diantara populasi yang digunakan.
Hasil evaluasi
pertumbuhan tanaman umur 18 bulan pada plot konservasi di Bondowoso sebagaimana terlihat pada Tabel 2, terlihat bahwa populasi dari Oransbari dan Wasior menunjukkan pertumbuhan terbaik untuk tinggi dan diameter. Sedangkan
untuk plot konservasi
di Gunung Kidul
populasi Nabire
menunjukkan pertumbuhan terbaik untuk tinggi dan Populasi Waigo untuk diameter pada umur 12 bulan. Tabel 2. Hasil evaluasi tanaman pada kebun konservasi di Bondowoso dan Gunung Kidul No
Populasi
Bondowoso
Gunung Kidul
18 Bulan
12 Bulan
Tinggi (cm)
Diameter
Tinggi
Diameter
(mm)
(cm)
(mm)
1
Biak
89,92
11,68
2
Mandopi
95,50
12,29
3
Minamin
88,23
12,95
95,22
11,31
4
Nabire
89,68
10,85
107,67
10,93
5
NusaJaya
86,71
12,78
6
Oransbari
96,74
12,79
105,17
11,31
7
Seram
53,46
8,37
80,98
9,23
8
Tuwanwowi
91,18
11,61
105,45
10,90
278 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peranan Penelitian dan Pengembangan……. Mahfudz dan Sugeng Pudjiono
9
Waigo
91,52
11,94
99,68
11,84
10
Wasior
101,11
12,98
91,02
11,51
Pertumbuhan merbau pada kedua
lokasi relatif lebih baik bila
dibandingkan dengan uji coba penanaman di KHDTK Angresi Manokwari. Hasil pengamatan satu tahun setelah tanam, persen hidup tanaman mencapai 79,24 % dengan rata-rata riap tinggi 24,47 cm/tahun (Tokede et al., 2006). Pada umur lima tahun setelah tanam sesuai yang dilaporkan Auri (1993) dalam Tokede et al. (2006) menunjukkan bahwa riap tinggi rata-rata tahunan mencapai 89 cm/tahun dan riap diameter rata-rata tahunan sebesar 0,73 cm/tahun. Hasil pertumbuhan tanaman muda periode awal penanaman seperti yang diuraikan di atas mengindikasikan bahwa jenis merbau memiliki prospek pertumbuhan yang baik di lapangan. Apalagi bila dalam penanamannya menggunakan bibit yang bermutu dan perlakukan silvikultur terhadap tanaman di lapangan dilakukan secara intensif. Pembangunan plot konservasi juga dilakukan dengan menggunakan materi vegetaif berupa stek pucuk. Untuk mendukung upaya konservasi, teknologi
perbanyakan vegetatif untuk merbau ini relatif mudah.
Perbanyakan vegetatif dengan stek pucuk ini menghasilkan persentase keberhasilan 47,54% - 91,25%
dan grafting (sambungan) diatas 55%.
Aplikasi teknologi ini sangat memungkinkan untuk mendukung upaya konservasi khususnya dalam memperbanyak tanaman yang hanya tersisa tunggaknya di hutan alam sebagai akibat penebangan yang tidak terkontrol. Plot Konservasi yang berasal dari materi vegetatif telah dibangun di Gunung Kidul dan Sobang Banten masing-masing seluas 2,5 ha pada tahun 2006 dan 2007 dengan menggunakan 12 populasi (Gunung Kidul) dan 14 populasi (Banten). Kemampuan bertahan hidup tanaman hasil perbanyakan vegetatif dengan cara stek pucuk di lapangan bisa mencapai 66,67 % (Sobang) dan 55,56 % (Gunung Kidul).
279
d. Pembangunan Uji Keturunan Merbau Untuk menghasilkan benih unggul merbau pada masa yang akan datang , maka pada tahun 2008 telah dibangun plot uji keturunan pada 2 lokasi di Sobang (Banten) dan Bintuni. Materi genetik yang digunakan berasal dari 8 populasi merbau dan 100 famili. Keberhasilan tanaman pada plot uji keturunan sangat tinggi yaitu diatas 90%. Selain itu pada tahun 2008 juga telah dibangun plot uji provenans merbau di Manokwari menggunakan 8 populasi merbau di Papua oleh Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. 2. Penelitian silvikultur/budidaya merbau a. Teknologi Perbenihan Penelitian teknologi perbenihan telah banyak dilakukan oleh Balai Teknologi Perbenihan Bogor dan Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Menurut laporan dari Suripaty, et al. (2001) bahwa pohon induk merbau di alam menghasilkan buah masak pada bulan September – Desember setiap tahun. Polong buah masak berwarna coklat tua. Setiap polong berisi 1 – 3 biji. Biji dapat dipungut di hutan alam setelah jatuh dan biasanya telah terpisah dari polong. Biji merbau berukuran besar dan berwarna coklat tua sehingga untuk pemungutan biji di bawah pohon induk mudah dilakukan. Untarto (1996) menyarankan bahwa di Manokwari, pemungutan biji dilakukan pada bulan September sampai Desember sedangkan di Biak pada bulan Desember. Biji merbau yang telah tua dan jatuh, tidak langsung berkecambah terutama pada daerah-daerah berpasir dan liat.
Pada
daerah-daerah berbatu dan berkarang, biji yang jatuh dalam beberapa hari dapat berkecambah, karena kulit biji yang keras pecah akibat terbentur batu. Biji merbau cukup tahan disimpan dengan viabilitas yang cukup tinggi karena kulit biji yang keras dan dapat melindungi daging buah dari proses pengeringan. Dengan demikian biji merbau tergolong biji dengan dormansi fisik. Biji yang dipungut dari hutan alam umumnya memiliki daya kecambah cukup tinggi. Ekstrakasi buah dilakukan dengan cara menjemur
280 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peranan Penelitian dan Pengembangan……. Mahfudz dan Sugeng Pudjiono
di bawah sinar matahari selama 1-2 hr, kemudian buah dikupas secara manual. Teknik perkecambahan biji merbau cukup sederhana.
Untuk
mematahkan dormansi fisik (kulit biji yang keras) cukup dengan perlakuan pengikiran, persentase biji berkecambah dapat mencapai 90 %. Selain itu perlakuan pendahuluan sebelum dikecambahkan dapat dilakukan dengan kombinasi cara dikikir kemudian direndam dalam asam sulfat pekat selama 1 jam. Media perkecambahan adalah tanah dan pasir 1:1 yang disterilkan dengan cara digoreng selama 2 jam. Penyimpanan benih dapat dilakukan di dalam ruang simpan AC dan wadah simpan kantong plastik dengan periode simpan 6 bulan - 1 tahun. Sebelum benih disimpan sebaiknya benih dicampur dengan fungisida dalam bentuk tepung. Penyimpanan benih dengan cara seed soil bank, periode simpan nya 2 bulan. Hasil percobaan menunjukkan bahwa benih merbau memiliki daya simpan yang cukup tinggi dimana penurunan kualitas fisiologi terjadi setelah 15 kali pengusangan. (Zanzibar dan Sudrajat, 2007).
281
b. Pengembangan Teknologi Propagasi Teknologi propagasi sangat diperlukan dalam kegiatan penanaman maupun untuk kegiatan pemuliaan. Penanaman dengan biji langgsung masih rendah keberhasilannya.
Penelitian perbanyakan vegetatif baru
menghasilkan persentase keberhasilan yang masih rendah persentase berakarnya (Yuniarti, N. 2000). Perbanyakan tanaman secara generatif melalui biji dengan perlakuan pendahuluan terhadap biji cara dikikir dapat meningkatkan keberhasilan perkecambahan 79 sampai 93% dengan kecepatan berkecambah 14 hari. Demikian pula perbanyakan tanaman merbau dengan stek pucuk menghasilkan persentase keberhasilan yang cukup tinggi 47,54% - 91,25% sehingga perbanyakan tanaman yang bergenetik unggul tidak menjadi kendala. Kemampuan bertahan hidup tanaman hasil perbanyakan vegetatif dengan cara stek pucuk dilapangan cukup baik sebesar 85,4%. Perbanyakan dengan cara grafting menghasilkan persen jadi diatas 55%. Teknologi grafting ini sangat mendukung program pemuliaan apabila kita ingin membangun kebun benih klon untuk menghasilkan benih unggul dalam waktu yang relatif cepat. Perbanyakan tanaman merbau secara generatif maupun vegetatif sudah diketahui dan dikuasai sehingga kedepan perbanyakan tanaman dapat lebih mudah ditangani. Upaya mendapatkan bibit unggul secara teknik sudah ditemukan sehingga harapannya kedepan tanaman Merbau yang ditanam merupakan tanaman yang unggul sehingga produktivitasnya bisa meningkat. c. Teknik penanaman Penanaman jenis merbau untuk skala Arboretum, telah dilakukan sejak zaman Belanda (tahun 60 an) di Manokwari. Percobaan penanaman merbau dalam skala arboretum maupun skala uji coba juga telah dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan sebagaimana disajikan pada Tabel 3. Percobaan penanaman oleh BPK Manokwari di Wanariset 1 Angresi dengan luas 0,4 ha dengan jarak tanam 3 x 3 m2 menunjukkan pertumbuhan yang baik. Hasil pengamatan satu tahun setelah tanam, persen hidup tanaman mencapai 79,24 % dengan rata-rata riap tinggi 24,47 cm/tahun. Mahfudz et
282 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peranan Penelitian dan Pengembangan……. Mahfudz dan Sugeng Pudjiono
al. (2006) melaporkan bahwa pertumbuhan tanaman pada umur 11 tahun di Anggresi mencapai 11,8 untuk tinggi dan 12,9 untuk diameter. Tabel 3. Plot Penelitian Penanaman Merbau No
Hutan Penelitian/Pelatihan, Intsitusi
Lokasi, Kabupaten
Luas
/Provinsi 1. Hutan Penelitian Darmaga, Badan
Darmaga, Bogor
2 Ha
Jasinga, Bogor
1 Ha
Sukabumi, Jawa
*
Litbang Kehutanan 2. Hutan Penelitian Haurbentes, Badan Litbang Kehutanan 3. Hutan Pendidikan Gunung Walat, Instutut Pertanian Bogor 4. Hutan Penelitian Playen Gunung Kidul, Badan Litbang Kehutanan 5. Arboretum Purwobinangun, Badan Litbang Kehutanan 6. Hutan Penelitian Wanagama, Universitas Gadjah Mada 7. Hutan Penelitian Bondowoso, Badan Litbang Kehutanan 8. Hutan Penelitian Anggresi Manokwari, Badan Litbang Kehutanan 9. Plot Penelitian Prafi, Manokwari, Badan Litbang 10. Hutan Penelitian Tuwanwouwi Manokwari , Badan Litbang Kehutanan
Barat Gunung Kidul,
3,2 Ha
Yogjakarta Sleman,
0,25
Yogjakarta
Ha
Gunung Kidul,
1 Ha
Yogjakarta Bondowoso,
3,2 Ha
Jawa Timur Manokwari,
1,4 Ha
Papua Barat Manokwari,Pap
9 Ha
ua Barat Manokwari,
1 Ha
Papua Barat
283
11. Hutan Penelitian Inamberi Manokwari,
Manokwari,
Balitbang Kehutanan
Papua Barat
12. Hutan Pendidikan Anggori,
Manokwari,
Manokwari, Universitas Negeri Papua 13. Hutan Penelitian Sobang Banten, Balitbang Kehutanan
0,5 Ha
1 Ha
Papua Barat Pandeglang,
6,5 Ha
Banten
Penelitian teknik penanaman campuran merbau dengan jenis lain yaitu khaya antoteca dan pulai sedang dilakukan di Kawasan Hutan dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Sobang
oleh Pusat Litbang Peningkatan
Produktivitas Hutan. Penanaman jenis merbau khususnya Intsia bijuga dengan teknik. Penanaman benih langsung di lapangan juga telah dilakukan. Penelitian ini dilakukan di Carita, Banten. Perlakuan yang digunakan berupa : (a) perlakuan biji : a1. benih tanpa perlakuan ditanam pada tapak yang tidak dibersihkan, a2. benih tanpa perlakuan ditugal sedalam 2-3 cm pada tapak yang dibersihkan dan digemburkan a3. Benih tanpa perlakuan ditanam pada tanah yang dibersihkan dan digemburkan a.4. Benih dikikir dan direndam air selama 30 menitdi tanam pada tapak yang dibersihkan dan digemburkan a.5. Benih dikikir dan direndam air selama 30 menit ditugal sedalam 2-3 cm ditanam pada tapak yang dibersihkan dan digemburkan (b) Perlakuan naungan: b1. Dibawah tegakan dengan jarak antar pohon 6 m b2. Di tempat terbuka Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa penaburan benih merbau lebih baik di bawah tegakan dengan intensitas 55-65 %, pertumbuhan diameter semai yang tertinggi pada perlakuan benih dikikir, direndam air selama 30 menit ditugal sedalam 2-3 cm dan ditanam pada tapak yang dibersihkan
284 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peranan Penelitian dan Pengembangan……. Mahfudz dan Sugeng Pudjiono
dan digemburkan. Penanaman benih merbau secara langsung
dapat
dilakukan dengan sistem jalur atau cemplongan di hutan sekunder atau semak belukar (Nurhasybi dan Sudrajat, 2009). d. Penelitian log tracking merbau Penelitian log tracking merbau dilakukan untuk membuat data base asal usul kayu merbau di Indonesia. Penelitian ini merupakan salah satu penelitian unggulan Badan Litbang Kehutanan
untuk mengembangkan
lacak balak kayu dengan teknologi DNA. Penelitian sudah dimulai pada tahun 2009
oleh Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan
Tanaman Hutan di Jogjakarta. 3. Ekologi dan Biometrika hutan Penelitian ekologi dan biometrika hutan banyak dilakukan oleh Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Pengamatan struktur tegakan dan komposiasi jenis dilakukan pada petak-petak ukur permanen bekerjasama dengan beberapa perusahaan IUHPHH di Papua. Asosiasi merbau dengan jenis lain di Papua dapat disajikan pada Tabel 4. Balai Penelitain Kehutanan Manokwari juga telah membuat kurva tabel volume, angka bentuk merbau, dan tingkat regenerasi pada hutan alam merbau di Papua. Tabel 4. Asosisasi jenis pada populasi alam merbau pada beberapa lokasi di Papua
No
Populasi
Asosiasi jenis merbau
1.
Oransbari
Adina multifolia, Alstonia schoolaris, Celtis latifolia, Homalium foetidum, Aglalia.eusideroxylon, Canarium acutifolium, Hopea iriana, Koorsiodendron pinnatum, Mastixiodendron stoddardii, Pometia pinnata, Palaquium amboinense, Teysmaniadendron bogoriense, Myristica tubifolora. Nilai Penting I.bijuga 5,63 (Kuswandi dan S. Abdurarrohim, 1989)
2.
Wasior
Pometia pinnata,Phimiliodendron amboinicum, Palaqium amboinicum, Cananga odorata,Pometia
285
pinnata,Myristica spp, vatica papuana , canarium spp,Eugenia spp,Pterygota horsfeldii.Diospyros lolin, Dracontomelon, Alstonia scholaris 3.
Nabire
Mastixiodendron,Myristica tubiflora,Hopea,Anisoptera, Callophyllum inophyllum, Teismaniodendron,Prunus,Planchonella odorata, Litsea tubiculata,Garcinia dulcis,Terminalia copelandi, Pterygota,Maniltoa, Semecarpus, Pometia pinnata,Eugenia Homonoia, Pometia coreaceae Pometia pinnata, Pometia coreaceae, Koordersiodendron pinnatum, Celtis latifolia , Cryptocarya caloneura, , Litsea glutinosa, Palaquium amboinensis , Vatica papuana,, Cananga odorata ,Celtis latifolia,Disoxillum sp,Drancontomelum edule,Dyospiros amboinense, Canarium decumanum, Maniltoa Spondias dulcis.
4.
Waigo
5.
Waropen
Myristica sp.,Horsfieldia sp.,Eugenia sp.,Drypetes sp.,Gymnagrantera sp.,Gnetum gnemon,Teysmaniadendron sp.,Cryptocarya sp.,Haplolobus sp.,Haplolobus sp.,Vatica papuanaDracontomelum edule,Eugenia sp.,Pometia pinnata, Anysopthera sp,Terminalia sp.
6.
Manimeri, Bintuni
Teysmaniadendron bogoriense, Pterocymbiumbeccarii, Pometia pinnata, Pometia coreaceae, Koordersiodendron pinnatum, Celtis latifolia , Cryptocarya caloneura, Alstonia scholaris, Litsea glutinosa, Palaquium amboinense, Canarium decumanum, Maniltoa Spondias dulcis. Nilai Penting I.bijuga 5,86 (Ammar W.S, 1989)
7.
Babo
Koordersiodendron pinnatum, Celtis latifolia , Cryptocarya caloneura, Alstonia scholaris, Litsea glutinosa, Palaquium amboinense, Canarium decumanum, Maniltoa Spondias dulcis ,Teysmaniadendron bogoriense, Pterocymbiumbeccarii, Pometia pinnata, Pometia coreaceae, Drancontomelum
286 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peranan Penelitian dan Pengembangan……. Mahfudz dan Sugeng Pudjiono
edule 8.
Muskona, Bintuni
Teysmaniadendron bogoriense, Pterocymbiumbeccarii, Pometia pinnata, Pometia coreaceae, Koordersiodendron pinnatum, Celtis latifolia , Vatica papuana ,Cryptocarya caloneura, Alstonia scholaris, Litsea glutinosa, Palaquium amboinense, Maniltoa, Canarium decumanum, Spondias dulcis.
9.
Fakfak
Pometia acuminata,Vatica,Planchonela,Reinwardtiodendron, Arthocarpus,Pterygota,Mastixiodendron,Myristica tubiflora, Eugenia,Canarium indicum,Dyospiros discolor,Pometia pinata,Pometia coreaceae,Homalium,Litsea, Gnetum gnemon, Teymaniodendron Pterygota ,Hopea,Gonocarium,Pimeliodendron
10.
Sarmi
Alstonia scholaris,Homalium foetidum ,Pometia,Palaquium amboinensis , Vatica papuana,, Cananga odorata ,Celtis latifolia,Disoxillum sp,Drancontomelum edule,Dyospiros,Evodia sp,Gmelina ,Heritiera sp,Hymantondra sp,Inocarpus sp,Koordersiodendron pinnatum ,Litsea spp,Maniltoa grandiflora ,Octomeles sumatrana,Paraserianthes spp
11.
Jayapura
Homalium foetidum, Pimelodendrum pinatum, Eugenia sp, Paratocarpus triandus,Myristica spp, Celtis latifolia, Canarium indicum, Myristica spp, Dracontomelum edule, Palaquium amboinensis, Cananga odorata, Pimelodendrum pinatum, Pometia pinnata, Pometia coreaceae, Diospiros pylosantera, Pterigota horsfieldii, Octomeles sumatrana, Vatica papuana, Homalium foetidum, Canarium indicum, Homalium foetidum, Alstonia scholaris
287
4. Teknologi Hasil Hutan Penelitian teknologi hasil hutan dan pemananenan merbau telah banyak dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan. Berdasarkan kajian pada review yang dilakukan secara umum penelitian dan publikasi merbau terbesar yaitu 48% terkait dengan ekploitasi dan teknologi hasil hutan. Badan litbang kehutanan telah membuat atlas kayu Indonesia yang dapat diakses oleh masyarakat. 5. Sosial Ekonomi Penelitian sosial ekonomi tentang pengelolaan hutan di Papua sudah banyak dilakukan di Papua baik oleh
Pusat Litbang Sosial
Ekonomi dan Kebijakan serta Balai Penelitian Kehutanan Manokwari. Namun demikian aspek penelitian sosial ekonomi untuk jenis merbau sampai saat ini belum banyak dilakukan. 6. Kegiatan Pengembangan Kegiatan pengembangan
hasil penelitian telah dilakukan melalui
beberapa media antara lain publikasi, desiminasi dan alih teknologi hasil penelitian. Desiminasi dalam bentuk seminar telah dilakukan beberapa kali di Jogjakarta dan Manokwari. Sedangkan untuk mengotimalkan hasil riset, telah dilakukan alih teknologi Propinsi Papua
yang difasilitasi oleh dinas kehutanan
dan pertemuan multistakeholder yang difasilitasi oleh
pusat pengendalian pembangunan kehutanan. IV. PENUTUP 1. Jenis pohon merbau (Intsia bijuga) termasuk salah satu jenis pohon yang tersebar terutama pada beberapa daerah di
Indonesia.
Keberadaan jenis merbau baik potensi maupun luasnya di luar Papua sudah menurun. Untuk melestarikan merbau khususnya di Papua perlu dilakukan berbagai upaya diantaranya kegiatan litbang jenis merbau. 2. Peranan penelitian dan pengembangan dalam pengelolaan merbau sangat strategis. Sehubungan dengan itu berbagai kegiatan penelitian
288 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Peranan Penelitian dan Pengembangan……. Mahfudz dan Sugeng Pudjiono
dan pengembangan untuk melestarikan produksi merbau
perlu
dilakukan khususnya di Papua. 3. Kerjasama penelitian merbau antara pihak pemerintah dan swasta yang mengelola jenis merbau hendaknya ditingkatkan dalam rangka melestarikan jenis ini.
DAFTAR PUSTAKA Hapsoro. 2007. Pengabdian Hukum dan Permintaan Pasar Internasional Mengancam Kelangsungan Merbau. Greenpeace Asia Tenggara. www.greenpeace.org. Kayoi, M. 2009. Potensi Hasil Hutan Merbau di Provinsi Papua. Makalah dalam Rapat Koordinasi Pengembangan Pemanfaatan Potensi Merbau
Tahun 2009 di Jayapura. Pusdal IV. Jakarta (tidak
diterbitkan). Mahfudz, S.Pudjiono, Tri Pamungkas, P. Mardi Utomo dan B.A. Suripaty. 2006. Merbau dan upaya konservasinya.
Puslitbang Hutan
Tanaman. Badan Litbang Kehutanan Nurhasybi dan D.J. Sudrajat. 2009. Teknik Penaburan Benih Merbau (Intsia bijuga) secara langsung di Hutan Penelitian Parung Panjang Bogor. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol.6. No. 4. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Bogor. Rachman, E.
2003.
Pengelolaan Kayu Merbau di Hutan Alam: Kajian
Potensi dan eksploitasi kayu merbau di hutan alam produksi. Dalam Prosiding Lokakarya Ekspose Hasil-Hal Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Tahun 2003. BPK Manokwari. pp : 110 -122. Rimbawanto, A. dan AYBC Widyatmoko. 2006. Keragaman genetik empat populasi
Intsia
bijuga
berdasarkan
penanda
RAPD
dan
implikasinya bagi program konservasi genetik. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. 3 (3): 149-154. 289
Suripatty, B.A., R.R. Maai, D. Leppe, D. Seran,
dan B. Yafit,.
2001.
Silvikultur Jenis Beberapa Jenis Andalan Penghasil Kayu dan Bukan Kayu di Papua. Dalam Prosiding Lokakarya Ekspose HasilHal Penelitian Balai Penelitian Kehutanan Manokwari Tahun 2001. BPK Manokwari. pp : 101 -117 Tokede, M.J.,B. V. Mambai,L. B. Pangkali dan Z.
Mardiyadi. 2006.
Persediaan Tegakan Alam dan Analisis Perdagangan Merbau di Papua. WWF Region Sahul papua. Jayapura. Tong, P.S., Chen, H.K., Hewitt,J. dan Affre A. 2009. Review of Trade in Merbau
For Mayor Range
States. Traffic Southeast Asia.
Selangor-Malaysia. Zanzibar, M. 2007. Pengaruh Perlakuan Pengusangan dengan Uap Etanol terhadap Penurunan Kualitas Fisiologi Benih Akor, Merbau dan Mindi. Jurnal Penelitian Hutan Tanaman. Vol.4. No.2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman Bogor. Untarto, T.M. 1998. Merbau (Intsia bijuga) Jenis Andalan Yang Unggul (Ayu)
Irian
Jaya
:
Gambaran
umum
dan
prospek
pengembangannya. Matoa: Visi & Misi BPK Manokwari. Informasi Teknis Nomor 5/1998. Badan
Penelitian
Balai Penelitian Kehutanan Manokwari.
dan
Pengembangan
Kehutanan
Perkebunan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.
290 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
dan
Teknologi Pengembangan Hutan Rakyat……. Mahfudz, Hamdan A.A. dan Sugeng Pudjiono
TEKNOLOGI PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT (PEMBIBITAN UNTUK MENDUKUNG PENGEMBANGAN HUTAN RAKYAT) Mahfudz , Hamdan A.A, dan Sugeng Pudjiono Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta Email:
[email protected]
I.
PENDAHULUAN Pengembangan hutan rakyat pada masa yang akan datang akan
semakin strategis dalam memenuhi kebutuhan industri kayu di Indonesia. Dengan semakin menurunnya kapasitas produksi hutan alam, hutan rakyat merupakan salah satu pilihan yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pengembangan hutan rakyat ini sejalan dengan kebijakan revitalisasi
sektor kehutanan khususnya
industri kehutanan
Departemen Kehutanan yang telah menetapkan beberapa sasaran antara lain ”fasilitasi pembangunan Hutan Tanaman Industri seluas minimal 5 juta
ha” dan didukung oleh industri yang efisien
pembangunan hutan rakyat seluas 2 juta ha”.
dan ”fasilitasi
Peran hutan rakyat ini
semakain jelas dengan adanya prediksi kebutuhan kayu untuk industri primer (industri kayu gergajian, kayu lapis, chip, pulp dan MDF) dengan sumber bahan baku hutan tanaman maupun hutan rakyat di dalamnya yang mencapai 57 juta m3 pada tahun 2010. Salah satu aspek penting dalam pengembangan hutan rakyat adalah kegiatan pembibitan yang nantinya akan menentukan kualitas bibit yang akan digunakan dalam penanaman. Kegiatan pembibitan ini mencakup sumber benih, teknik perbanyakan tanaman dan teknik persemaian. Beberapa jenis tanaman saat ini mulai dilihat
dan
telah banyak
dikembangkan dalam pengembangan hutan rakyat antara lain :
Jati,
Pulai, Sukun, Kemiri, Suren, Sengon, Wadang dan Mindi. Jenis-jenis ini 291
banyak dipilih antara lain
karena pertimbangan
nilai
ekonomi dari
kayunya, daurnya yang realatif pendek, dan nilai tambah yang dimilikinya. II.
SUMBER BENIH UNTUK HUTAN RAKYAT Sumber benih dapat didefinisikan sebagai tempat dimana benih
tersebut dikumpulkan. Benih yang akan digunakan akan menentukan mutu tegakan yang akan dihasilkan di masa yang akan datang , tidak terkecuali pada hutan rakyat. Pada umunya petani pada hutan rakyat dalam menanam pohon hutan masih menggunakan benih yang dihasilkan atau dikumpulkan dari pohon-pohon benih di lahan petani dan lahan adat (Roshetko, et.al. 2004). Cara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya antara lain adalah benih mudah tersedia dan tidak memerlukan biaya yang mahal serta tidak memerlukan pengelolaan yang khusus. Namun terdapat beberapa kelemahan dengan cara ini yaitu benih yang dikumpulkan dari beberapa pohon saja (misal 1-5 pohon) dan tidak didasarkan pada kualitas tegakan (tinggi, kelurusan, kesehatan, dll), sehingga akan menghasilkan
benih dengan kualitas
dibawah optimal
(fisiologis dan genetik). Keadaan ini dapat terjadi karena akses benih bermutu masih sangat terbatas, meskipun sebenarnya petani menyadari pentingnya mutu benih bagi hasil pertanaman mereka. Untuk benih-benih pertanian, petani
secara umum sudah menggunakan benih bermutu
karena benih tersebut sudah tersedia dan mudah diperoleh. Atas dasar potensi genetiknya, sumber benih dapat digolongkan kedalam (Anonimous, 2004) : 1.
Benih yang belum ditingkatkan potensi genetiknya , yaitu benih-benih yang berasal dari pohon induk yang belum dilakukan tindakan seleksi.
2.
Benih yang telah diperbaiki potensi genetiknya , yaitu benih-benih yang berasal dari tegakan dilakukan seleksi
atau pohon-pohon induk
yang telah
penampilan (fenotipik) namun belum dilakukan
pengujian potensi genetiknya. 3.
Benih yang telah ditingkatkan potensi genetiknya atau dapat pula disebut dengan benih unggul, yaitu benih-benih yang berasal dari kebun benih dari pohon induk yang telah diuji potensi genetiknya.
292 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Teknologi Pengembangan Hutan Rakyat……. Mahfudz, Hamdan A.A. dan Sugeng Pudjiono
Beberapa sumber benih sebagian sudah ada terutama yang dikelola oleh Perum Perhutani. Sedangkan terdapat juga potensi sumber benih yang terdapat pada hutan rakyat dan
dapat dikembangkan
untuk
mendukung pengembangan hutan rakyat adalah sebagai berikut : Tabel 1. Potensi sumber benih untuk Hutan Rakyat No
Jenis Tanaman
Lokasi
1.
Jati (Tectona grandis)
Perhutani (Unit I,II,III)
2.
Sengon (Paraserianthes falcataria)
3.
Pulai (Alstonia scholaris)
4.
Suren (Toona sureni)
Perhutani (Unit I,II,III) Candiroto Ponorogo Kediri Pacitan Gunung Kidul Bondowoso Cibugel/Sumedang
5.
Mindi (Melia azadarach)
Bondowoso Bogor, Cianjur, sukabumi, Bandung
6.
Wadang (Pterospermum javanicum)
7.
Sukun (Artocarpus altilis)
Klaten Boyolali Blitar Cilacap
8.
Kemiri (Aleurites moluccana)
Wonogiri Ponorogo
Keterangan Jawa Timur, Jateng, Jabar (KBK, APB, TBS) APB KB Hutan tanaman Lahan milik rakyat Hutan tanaman, Lahan milik rakyat Hutan tanaman, Lahan milik rakyat Lahan milik rakyat Lahan milik rakyat Hutan tanaman, lahan milik rakyat
Sumber : Danu et.al (2004)
293
Potensi sumber benih yang ada pada hutan rakyat saat ini belum sepenuhnya ditangani dengan baik, oleh karena itu diperlukan upayaupaya yang intensif di dalam pengelolaan sumber benih pada hutan rakyat. III. PERBANYAKAN TANAMAN Perbanyakan tanaman hutan secara teknis silvikultur terbagi atas perbanyakan secara generatif dan perbanyakan secara Perbanyakan
generatif adalah
perbanyakan
tanaman
vegetatif. dengan
menggunakan biji. Sedangkan perbanyakan vegetatiif adalah perbanyakan tanaman dengan menggunakan organ vegetatifnya sepeti batang, tunas pucuk, daun, dll.
Kedua teknik
mempunyai kelemahan
perbanyakan tersebut masing-masing
dan kelebihan. Perbanyakan
secara generatif
mempunyai kelebihan
mudah dilakukan dan sederhana, namun sifat
anakannya tidak sama
dengan induknya dan sangat tergantung pada
musim buah. Sedangkan perbanyakan vegetatif mempunyai kelebihan sifat genetik anaknya sama dengan induknya dan dapat diproduksi kapan saja bibitnya, namun perbanyakan ini memerlukan sedikit keahlian dan ketrampilan . Secara umum teknik perbanyakan vegetatif ini terbagi atas perbanyakan vegetatif secara makro ( stek , okulasi, dan grafting) dan vegetatif mikro secara kultur jaringan. Stek adalah metode perbanyakan vegetatif
secara makro atau
konvensional dengan menumbuhkan terlebih dahulu batang, tunas-tunas axilar, ataupun akar tanaman pada media persemaian sampai berakar sebelum dipindahkan ke lapangan. Keberhasilan
stek tergantung pada
beberapa faktor dalam dan luar. Yang termasuk faktor dalam diantaranya adalah tingkat
ketuaan donor
stek,
kondisi fisiologi stek, waktu
pengumpulan stek, dsb. Sedangkan yang termasuk faktor luar antara lain adalah
media perakaran,
suhu, kelembaban, intensitas cahaya dan
hormon pengatur tumbuh. Grafting adalah
penyambungan tanaman
baik dengan cara
menempelkan mata tunas (buds) atau ruas tanaman pada batang bawah
294 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Teknologi Pengembangan Hutan Rakyat……. Mahfudz, Hamdan A.A. dan Sugeng Pudjiono
tanaman (rootstock). Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keberhasilan penyambungan (Puspa, 2002 dan Moko , 2004) adalah: 1. Scion dan rootstock harus kompatibel (cocok) 2. Faktor tanaman : keadaan fisiologi tanaman, kehalusan sayatan, persentuhan kambium, ukuran scion dengan batang bawah , dan kesehatan batang bawah yang akan digunakan sebagai bahan perbanyakan 3.
Faktor lingkungan : waktu penyambungan, Temperatur (optimum untuk penyambungan adalah 25-30ºC dengan kelembaban 70%), Cahaya matahari, dan Oksigen (yang berperan dalam pembentukan bagian sel atau kalus). Kultur jaringan adalah suatu metode perbanyakan tanaman secara
vegetatif dengan cara mengisolasi bagian tanaman seperti sel, kelompok sel, jaringan, organ, protoplasma, serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali. Beberapa jenis tanaman saat ini sudah dapat dikembangkan secara vegetatif dengan ketersediaan teknologi yang ada sebagaimana terlihat pada Tabel 2. Tabel 2. Sistim perbanyakan anakan jenis untuk hutan rakyat No
Jenis Tanaman
Perbanyakan Generatif
1
Jati (Tectona grandis)
Bisa
Vegetatif Stek pucuk, okulasi, grafting, kultur jaringan, stek mikro
2
Sengon (Paraserianthes
Bisa
falcataria)
Stek pucuk (% jadi masih rendah ) dan pencangkokan
3
Pulai (Alstonia scholaris)
Bisa
Stek pucuk
4
Suren (Toona sureni)
Bisa
Stek pucuk dan stek batang
5
Mindi (Melia azadarach)
Bisa
-
295
6
Wadang (Pterospermum
Bisa
-
javanicum) 7
Sukun (Artocarpus altilis)
-
Stek akar, stek pucuk
8
Kemiri (Aleurites
Bisa
-
moluccana) Sumber : Mahfudz et.al (2004), Mahfudz et al (2005), Pudjiono (1997), Jayusman (2007)
IV. TEKNIK PERSEMAIAN Teknik persemaian beberapa jenis tanaman hutan rakyat yang dapat dikembangkan adalah : Tabel 3. Teknik persemaian jenis-jenis tanaman untuk hutan rakyat No 1
Jenis Tanaman Jati (Tectona grandis)
Teknik Persemaian Generatif : Penyemaian diawali dengan penanaman jati pada bedeng tabur. Sebelum ditanam pada bedeng tabur benih jati Biji direndam dalam air dingin/air mengalir – dijemur masingmasing 2 hari dan diulang 3-4 kali. Media yang digunakan adalah pasir yang telah diayak dan dijemur/dipanaskan. Penaburan dilakukan dengan bekas tangkai menghadap kebawah sedalam kurang lebih 2 cm. Penyiraman dilakukan hanya apabila kondisi media kekurangan air (2-3 hari sekali) Media semai
yang dipergunakan adalah
campuran pasir+tanah+ kompos daun (7::2:1) . Ukuran polibag 10 x 15 cm. Pemupukan dilakukan setelah bibit berumur 2 minggu dengan pupuk NPK cair (5gr/1 liter air). Pemupukan dilakukan setiap 2 minggu sekali sampai bibit siap tanam pada umur 3 bulan. Dalam persemain sekitar 40 %.
296 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
diperlukan
naungan
Teknologi Pengembangan Hutan Rakyat……. Mahfudz, Hamdan A.A. dan Sugeng Pudjiono
Vegetatif : Media dan cara yang digunakan pada penyapihan tanaman hasil stek ataupun kultur jaringan sama dengan media pada cara generatif setelah materi vegetatif siap dipindahkan dari bak stek ataupun dari hasil perakaran pada kultur jaringan. penyapihan
pada
hasil
perbanyakan
vegetatif
bibit (stek,
Hanya pada kuljar)
diperlukan penyungkupan pada tahap awal selama kurang lebih 2-3 minggu. 2
Sengon (Paraserianthes
Generatif :
falcataria)
Perlakuan pendahuluan
dilakukan
cara
direndam dengan air mendidih dan dibiarkan dingin sampai dengan 24 jam. Selanjutnya ditabur pada media tabur campuran pasir tanah 1:1. Benih dikecambahkan dengan menekan benih ke dalam media dan ditutup pasir setebal
1,5 cm.
Bedeng kecambah
diletakkan di tempat tanpa naungan dan benih rata-rata berkecambah setelah 7 hari. Bibit siap disapih ke dalam polibag setelah beraun dua atau umur 1 bulan. Media semai menggunakan
campuran
tanah+pasir+
kompos (7:2:1) Bibit siap ditanam setelah 3 bulan disapih. . Vegetatif : Pembiakan vegetatif sengon yang biasa dilakukan
adalah
pencangkokan.
Pencangkokan dapat dilakukan pada pohon induk, trubusan yang tumbuh pada bekas tebangan atau di persemaian.
297
3
Pulai (Alstonia scholaris)
Generatif : Benih pulai dikecambahkan pada pasir halus atau dicampur dengan tanah (1:1) dalam bak kecambah . Selanjutnya
bak cecambah
ditutup dengan sungkup plastik. Penyemaian dilakukan setelah kecambah berumur 14-21 hari. Semai harus bebas dari terik matahari dan terpaan hujan dengan menggunakan shading net berukuran 50-75%. Setelah disapih bibit dipelihara di persemaian sampai siap tanam setelah berumur 4 bulan. Vegetatif : Perbanyakaan vegetatif juga dapat dilakukan untuk pulai yaitu dengan stek pucuk atau stek batang. Untuk memacu pertumbuhan akar secara cepat dapat digunakan hormon IAA ataupun IBA dengan konsentasi 10 ppm. Media untuk stek biasanya menggunakan pasir
yang
Sedangkan
terlebih media
dahulu
disterilisasi.
penyapihannya
dapat
menggunakan tanah+pasir+ kompos (7:2:1) Bibit siap ditanam setelah 3 bulan disapih. 4
Suren (Toona sureni)
Generatif : Benih dikecambahkan pada media pasir sungai dengan cara menebarkan benih pada media kemudian ditaburi pasir halus setebal 1-2 cm. kecambah kemudian disapih ke media tanah + kompos (5 : 1) setelah berumur 3-4 minggu
dan
memiliki
sepasang
sempurna. Bibit dipelihara
daun
dipersemaian
sampai siap tanam setelah berumur 3-4 bulan setelah disapih. Vegetatif : Perbanyakan
298 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
vegetatif
dapat
dilakukan
Teknologi Pengembangan Hutan Rakyat……. Mahfudz, Hamdan A.A. dan Sugeng Pudjiono
dengan cara stek cabang dan stek pucuk dari bibit di persemaian.
Cabang diambil dari
pohon induk dan dibawa ke persemian dengan cara dibungkus kulit batang pisang untuk
memelihara
kelembabannya.
Stek
cabang dibuat dengan panjang 20-30 cm. Sebelum ditanam ditanam, pangkal stek direndam dalam larutan hormon umbuh akar. Penanaman dilakukan pada media pasir sungai dalam bedengan sungkup. Bibit stek kemudian disapih ke media tanah + kompos (5 :1) di persemaian dengan naungan paranet 50 %. 5
Mindi (Melia azadarach)
Generatif : Sebelum disemaikan benih direndam dengan larutan asam sulfat encer selama 10 menit kemudian direndam dalam GA-3 200 ppm selama
12
jam.
Setelah
itu
benih
dikecambahkan pada media campuran tanah dan pasir (1:1) dalam bak kecambah. Biasanya dengan metoda ini dapat mencapai daya kecambah 70%. Kecambah kemudian disapih pada media campuran tanah, pasir dan kompos (7:2:1). Bibit dipelihara dipersemaian sampai siap tanam setelah berumur 4-6 bulan. Vegetatif : Pembiakan vegetatif dapat dilakukan dengan cara pencangkokan sedangkan cara lainnya masih sulit dilakukan. 6
Wadang
Generatif :
(Pterospermum
Benih disemaikan pada media pasir sungai
javanicum)
dalam bak kecambah. kecambah kemudian disapih setelah kecambah memiliki 2 daun, ke
299
media pertumbuhan berupa campuran tanah, pasir dan kompos dengan perbandingan 7:2:1. 7
Sukun (Artocarpus
Vegetatif :
altilis)
Pembibitan sukun dilakukan dengan cara stek akar dan stek pucuk. Stek akar dilakukan dengan menanam akan dengan panjang 15 cm dan diameter 2-3 cm. Penanaman dilakukan pada media pasir dalam bedengan sungkup kemudian disapih setelah berumur 3 bulan. Bibit stek akar yang tumbuh disapih ke media tanah + kompos (3:1) dan dipelihara di persemaian sampai siap tanam setelah berumur 6 bulan. Stek pucuk sukun dapat dilakukan dengan menggunakan tunas yang tumbuh pada stek akar atau tunas yang diperoleh dari kebun pangkas. Penanaman stek pucuk dilakukan pada media pasir dalam bedengan sungkup dan siap disapih stelah berumur 2-3 bulan, kemudian di pelihara sampai siap tanam.
8
Kemiri (Aleurites
Generatif :
moluccana)
Benih yang akan disenmaikan sebaiknya benih yang tenggelam jika direndam dalam air. Biji kemiri memiliki kulit yang keras sehingga perlu perlakuan skarifikasi benih dengan
cara
pemukulan,
pengikiran,
pembakaran atau perendaman selama 15 hari atau larutan KNO3 dengan konsentrasi 2 gram /liter. Stelah itu benih ditanam pada media tanah + kompos dalam polibag dengan kedalaman 2,5 cm dengan bagian yang mendatar
(pangkal)
dibawah.
Kemudian
ditimbun tanah sedikit sehingga bagian atas biji rata dengan tanah. Bibit dipelihara di
300 |Ekspose Hasil Litbang BPK Manado Tahun 2011
Teknologi Pengembangan Hutan Rakyat……. Mahfudz, Hamdan A.A. dan Sugeng Pudjiono
persemaian sampai siap tanam.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2003. Teknik Pembibitan dan Konservasi Tanah. Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Departemen Kehutanan. Alrasjid, H. 1993. Pedoman Penanaman Tanaman Sukun (Arthocarpus altilis) Fosberg. Informasi Teknis No. 42. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Bogor Danu, Nurhasbi dan Yulanto Bramasto. 2004. Potensi Produksi Benih di Jawa. Makalah dalam Prosing Ekspose Terpadu hasil Penelitian Badan Litbang Kehutanan tanggal 11-12 Oktober 2004. Jogjakarta. Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Jayusman, 2005. Pengujian Nilai Kecambah Surian Berdasarkan Daerah Sumber benih. Wana Benih Vol. 6 Suplemen No. 01, Desember 2005, hal. 100-107. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan Tanaman. Nurhasybi, Hero Dien, P.K., M. Zanzibar, Dede J.S., Agus, A.P., Buharman, Sudrajat dan Suhariyanto.
2003. Atlas Benih Tanaman Hutan
Indonesia. Jilid I. Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Perbenihan. Badan Penelitian dan Pengembanagan Kehutanan. Bogor. Pitojo, S. 1992. Budidaya Sukun. Penerbit Kanisius. Jogyakarta. Roshetko,M.J.; Mulawarman dan Joko Iriantono. 2004. Kebun Benih Untuk Petani dan LSM. Suplemen GEDEHA Edisi XiV Tahun 2004.
Benih
Untuk Rakyat. Kerjasama Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan, IFSP,ICRAF dan Bina Swadaya.
301
DISKUSI Sesi I Moderator : Dr. Ir. Mahfudz, MP Materi Dialog Enterpreneur di Bidang Kehutanan Pertanyaan 1. Yopi Golioth (LP2S Sulut) a. apakah perlu dibentuk lembaga atau semacam koperasi untuk menampung produksi kayu rakyat untuk mengantisipasi menurunnya minat masyarakat dalam menanam pohon. b. sertifikasi kayu sebagai syarat pemasaran kayu c. informasi tentang bibit tersertifikasi untuk menghindari dan mengurangi dampak wabah terhadap jenis-jenis unggul yang dikembangkan oleh masyarakat dan cara budidaya yang mudah dilaksanakan oleh masyarakat. d. ada kelompok tani tanaman aren untuk produksi gula semut dan gula aren di sekitar Danau Tondano. 2. Agustinus (BTN Bogani Nani Wartabone) a. perbedaan bibit tanaman yg dihasilkan dari metode kultur jaringan dan perbanyakan tanaman secara konvensional b. apakah kultur jaringan merubah sifat jenis tanaman 3. Marsidi (Desa Mengkang) a. perlu informasi tentang jenis tanaman hutan yang dapat dikembangkan sebagai obat serta pemasarannya 4. Ventje Runtuwarow (Bakorluh Sulut) a. informasi nomor kontak (telepon dan email) semua narasumber b. BPK Manado perlu menyebarkan informasi kehutanan terutama di bidang teknologi kepada masyarakat c. diharapkan dapat menjalin kerjasama dengan Bakorluh untuk menyebarkan informasi tersebut.
Tanggapan 1. Linus Sisman penanaman jabon 350 ha, bisa memenuhi kebutuhan 1 industri kecil. Jabon merah sangat sesuai untuk dikembangkan di kawasan Sulut. Selain kayu, dapat dimanfaatkan daunnya, untuk antiseptik (mouthwash). Kultur jaringan: produksi aren yg baik, dalam 1 hari bisa menghasilkan 2-3 kg gula. Tanaman plum, baik juga dikembangkan, pemasaran ekspor. Kultur jaringan tidak merubah genetik, bisa juga digunakan untuk mengembangkan jenis endemik. Tanaman aren bisa dimanfaatkan niranya, untuk gula (lebih bagus daripada kelapa). Kombinasi jabon dengan sorgum (biji sorgum bisa diolah menjadi gula). 2. Hilman: bisnis di bidang kehutanan, pemanfaatan lahan hutan. Litbang mencari tanaman obat dari hutan yang bisa dikembangkan. Meningkatkan animo masyarakat, misalnya pembagian bibit gratis. Serta perlu upaya dari pemerintah untuk mengajak masyarakat menanam pohon di lahan mereka. Harga kayu terus meningkat dari tahun ke tahun, menanam kayu tidak akan rugi. Perlu ada petugas yang turun di lapangan untuk memberikan informasi kepada masyarakat tentang potensi tanaman hutan. 3. Mahfudz: perlu kolaborasi antara penelitian dan penyuluhan (forum komunikasi litbangluh di jakarta). Industri kehutanan sangat propektif untuk dikembangkan baik dalam bentuk monokultur maupun kombinasi dengan jenis tanaman pertanian. Kultur jaringan sangat efektif untuk perbanyakan tanaman dalam waktu singkat, serta pengkayaan jenis. Komunikasi antar pihak di sektor kehutanan perlu terus dibina. 4. Armusi: mangrove bisa dimanfaatkan untuk sektor pangan misalnya dibuat gula, permen
Sesi II Moderator
: Ir. Hengky Walangitan, MP
Materi 1. Strategi Rehabilitasi Lahan dan Sistem Kelembagaan dalam Pengendalian Banjir dan Longsor di Daerah Tangkapan Air Limboto 2. Pola Insentif Efektif dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan 3. Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam Menjaga Kelestarian Hutan di Sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone 4. Kisah Sukses Membangun Desa Mandiri Energi di Desa Mengkang Kecamatan Lolayan Kabupaten Bolaang Mongondow Diskusi: 1. Yopi Golioth (LP2S Sulut) a. cara untuk mengintegrasikan beberapa metode insentif untuk masyarakat b. saran agar pemberian insentif dilaksanakan beberapa tahun untuk meminimalisir persoalan karena merubah perilaku masyarakat membutuhkan waktu. 2. Agustinus (BTN Bogani Nani Wartabone) a. definisi tentang DAS, yang dimaksud dalam makalah DAS Limboto atau danau Limboto b. informasi dan masukan bagi makalah: pemberdayaan masyarakat dimulai dari membangun kesepahaman atau persamaan pendapat. Desa Mengkang merupakan salah satu desa binaan TN BNW sebagai desa model konservasi. 3. Askhari (BTN Bogani Nani Wartabone) a. ada beberapa metode insentif efektif yang sudah diterapkan namun metode yang sama tidak bisa diterapkan pada desa yang berbeda. Misalnya, Desa Mengkang efektif dengan cara mikrohidro, namun desa lainnya dengan cara bantuan bibit tanaman perkebunan seperti kakao, kemiri dan cengkeh
4. Asmadi (BPK Manado) a. beberapa faktor yang mempengaruhi pendangkalan Danau Limboto antara lain masih terjadi ego-sektoral para pemangku kepentingan dan ketidakjelasan sumber biaya untuk program rehabilitasi. 5. Ventje Runtuwarow (Bakorluh Sulut) a. definisi pembangunan yang menyeluruh b. penjelasan tentang efektivitas komunikasi dalam pemberian insentif c. peran sangadi dalam menggerakkan masyarakat Tanggapan: 1. La Ode Asir: a. penyebab kerusakan DAS Limboto adalah banyak masterplan pengelolaan DAS Limboto yang tumpang tindih. Saat ini forum DAS Limboto sedang dibangun lagi dan masterplan pengelolaannya akan diintegrasikan dengan RTRW. b. DAS dapat didefinisikan sebagai penggabungan beberapa sub-DAS sungai-sungai yang mengalir menuju Danau Limboto dan semua areal yang dialiri oleh sungai-sungai tersebut. c. Ego-sektoral diindikasikan dengan adanya aturan yang tumpang tindih. d. Pembangunan yang menyeluruh berarti aturan yang dibuat oleh pengelola di daerah hulu harus terkait dengan peraturan hingga daerah hilir, dan dilaksanakan secara menyeluruh. 2. Kristian Mairi: a. Terdapat banyak metode pemberdayaan antara lain Rapid Rural Appraisal (RRA), Participatory Rural Appraisal (PRA) dan Participatory Action Research (PAR). Apapun metode yang digunakan, yang lebih penting adalah efektifitasnya. Insentif mikrohidro hanyalah salah satu alat dalam program pemberdayaan, sedangkan tahapan yang pertama kali dilakukan adalah membangun kesepahaman. b. Program multiyears bidang kehutanan dilaksanakan maksimal 3 tahun, kemudian berpindah ke lokasi lainnya.
3. Lis Nurrani: a. Mikrohidro hanya sarana pemberdayaan masyarakat untuk menjaga kelestarian hutan, karena manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakat. b. Sangadi berperan dalam pembentukan peraturan desa. Sesi III Moderator
: Dr. Ir. J.S. Tasirin, Msc
Materi 1. Studi Keragaman Cempaka Berdasarkan Karakteristik Morfologi di Sulawesi Utara 2. Identifikasi Keberadaan Tegakan Cempaka (Magnolia elegance) di Hutan Lindung Lolombulan sebagai Sumber Benih Potensial 3. Potensi Pemanfaatan Keanekaragaman Hayati Jenis Pohon di Cagar Alam Tangkoko dan Strategi Pengelolaannya 4. Teknik Budidaya Jabon Merah (Anthocephalus macrophyllus (ROXB.) Havil) Diskusi 1. Erwin (BP DAS Tondano) a. Banyak jenis cempaka di Sulawesi Utara, apakah E. cempaka sama dengan E. celebica? b. Penjelasan tentang buah buni 2. Agustinus (BTN Bogani Nani Wartabone): a. relevansi judul “pemanfaatan” karena CA Tangkoko adalah kawasan konservasi sedangkan pemanfaatan diharapkan dilakukan di luar kawasan Tanggapan 1. Julianus Kinho: Nama jenis berarti sama karena biasanya pakar taksonomi selalu melakukan review terhadap suatu jenis, misalnya E. cempaka direvisi menjadi E. celebica. Buah buni adalah buah majemuk yang terdapat dalam satu tangkai buah (seperti gambar).
2. Jhon Tasirin: ada beberapa jenis buah, buah buni dicirikan sengan selaput berupa daging buah yang membungkus biji 3. Ady Suryawan: Strategi pemanfaatan keanekaragaman hayati dalam kawasan konservasi adalah domestikasi di luar kawasan. Karena terdapat beberapa jenis yang sudah hampir punah (endangered) dan juga terdapat jenis-jenis endemik yang dapat dimanfaatkan. 4. Jhon Tasirin: perlu dihindari kesalahpahaman dalam penggunaan 'pemanfaatan' di dalam kawasan berstatus Kawasan Konsevasi. Sesi IV Moderator
: Dr. Ir. Martina A Langi, Msc
Materi 1. Identifikasi Sumber Pakan Alami Anoa (Bubalus spp) di Suaka Margasatwa Nantu 2. Peluang Konservasi Ex Situ Burung Sampiri (Eos histrio) Melalui Penangkaran 3. Arboretum BPK Manado Sebuah Bentuk Konservasi Ek-Situ di Kawasan Wallacea Diskusi 1. Jhon Tasirin (UNSRAT): a. saran untuk perbaikan tabel dalam makalah, penulisan nama famili tumbuhan b. Eos histrio sudah diperdagangkan sampai ke luar negeri. Penangkaran burung sampiri berdasarkan karakteristik morfologi c. status pohon yang ditanam di arboretum, apakah semuanya vulnerable IUCN? Disarankan untuk menanam jenis yang bukan pohon, misalnya anggrek.
2.Askhari (BTN Bogani Nani Wartabone) jenis pakan yang diteliti termasuk untuk anoa dataran rendah atau dataran tinggi selain di Karakelang, di wilayah mana di Sulawesi Utara yang bisa dilakukan kegiatan penangkaran 3. Rimer N.D (Dishut Minahasa Utara) aturan baku tentang pembangunan arboretum 4. Agustinus (BTN Bogani Nani Wartabone) a. ada beberapa spesies kunci di Sulawesi Utara yaitu anoa, babi rusa dan maleo, sehingga peningkatan populasi harus didukung dengan pembinaan sumber makanan. b. penyeludupan satwa ke luar negeri memicu prioritas peningkatan populasi sampiri c. jenis- jenis endemik dominan kawasan Wallacea di dalam arboretum 5. Julianus Kinho (BPK Manado) a. penamaan ilmiah untuk pakan satwa b. penamaan ilmiah yang kurang tepat pada jenis- jenis yang ditanam di arboretum, misalnya Albisia (sengon), D. minahasae, Canarium Tanggapan: 1. Diah Irawati Dwi Arini: a. akan dilakukan evaluasi penamaan ilmiah b. arah penelitian adalah anoa dataran rendah, namun dalam hal perilaku tidak ada perbedaan yang signifikan antara anoa dataran rendah dan anoa dataran tinggi c. data pakan dapat digunakan oleh BTNBW d. akan dilakukan evaluasi metode perhitungan populasi untuk monitoring populasi dan metode yang saat ini dipakai adalah metode jejak
2. Anita Mayasari: a. penangkaran burung sampiri di luar negeri sudah memenuhi permintaan pasar b. teknik penangkapan burung sampiri di Karakelang adalah di pohon tidur c. salah satu output yang diharapkan dalam kegiatan penangkaran adalah petunjuk teknis tentang penangkaran sampiri, dan mendorong masyarakat untuk melaksanakan penangkaran sehingga mengurangi tingkat perburuan di alam d. status satwa dilindungi yang ditangkarkan, keturunan F2 hasil penangkaran yang diperdagangkan sudah bukan satwa dilindungi lagi atau statusnya sudah berubah 3. Sumarno Patandi: a. akan diperbaharui penamaan ilmiah koleksi jenis di arboretum b. tidak ada batasan luas minimal suatu areal dapat ditetapkan sebagai arboretum, yang terpenting adalah memenuhi syarat jumlah dan jenis koleksi c. akan dialokasikan area untuk jenis2 endemik pada masing2 kawasan wallacea
JADWAL ACARA WAKTU
ACARA
PETUGAS
08.00-08.30
Registrasi
Panita/MC
08.30-08.35
Pembukaan
MC
08.35-08.45
Pembacaan Doa
ArifIrawan, S.Si
0845-09.00
Laporan Penyelenggaraan
Kepala BPK Manado
09.00-09.20
Sambutan/Arahan dan Pembukaan
09.20-09.40
Rehat Kopi
KepalaDishut Sulawesi Utara Panita/MC
Keynote Speech dan Diskusi Sesi I 09.40-11.00
Dialog Enterpreneur di bidang Kehutanan Oleh : - Ir. Linus ( PT. SilvatropikaKultura) - Dr. Hilman (KementerianPertanian) - H. Armusi (PT. SaranaTani) Presentasi dan DiskusiSesi II 11.00-11.10
11.10-11.20
11.20-11.30
11.30-11.40
Strategi Rehabilitasi Lahan dan Sistem Kelembagaan dalam Pengendalian Banjir dan Longsor di Daerah Tangkapan Air Limboto Oleh : Ir. La Ode Asir, M.Si (Peneliti Muda BPK Manado) Pola Insentif Efektif Dalam Rangka Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Hutan Oleh : Kristian Mairi, S.Hut, M.Sc (Peneliti Muda BPK Manado) Partisipasi Masyarakat Mengkang dalam Menjaga Kelestarian Hutan di Sekitar Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Oleh : Lis Nurrani, S.Hut (Peneliti Pertama BPK Manado) Kisah Suksess ” Membangun Desa Mandiri Energi di Desa Mengkang, Kec Lolayan, Kab Bolaang Mongondow Oleh : Marsidi Kadengkeng (Sangadi Desa Mengkeng , Kec Lolayan, Kab Bolaang Mongondow)
Moderator : Dr. Ir. Mahfudz, MP
Moderator : Ir. Hengky Walangitan, MP
11.40-12.30 DiskusiSesi II 12.30-13.30 ISHOMA PresentasidanDiskusiSesi III Studi Keragaman Cempaka Berdasarkan Karakteristik Morfologi di Sulawesi Utara 13.30-13.40 Oleh : Julianus Kinho, S.Hut ( Peneliti Pertama BPK Manado) Keberadaan Tegakan Cempaka (Magnolia elegance) di Hutan Lindung Lolombulan 13.40-13.50 sebagai Sumber Benih Potensial Oleh : Arif Irawan, S.Si (Peneliti Pertama BPK Manado) Potensi Beberapa Jenis Pohon Kurang Dikenal di Cagar Alam Tangkoko dan Strategi 13.50-14.00 Pengelolaan Keanekaragaman Hayati Oleh : AdySuryawan, S.Hut (Peneliti Pertama BPK Manado) Teknik Budidaya Jabon Merah (Anthocepallusmacrophyllus (ROXB.) Havil) 14.00-14.10 Oleh : Hanif Nurul Hidayah, S.Hut (Calon Peneliti BPK Manado) 14.10-14.50 DiskusiSesi III PresentasidanDiskusiSesi IV Identifikasi Sumber pakan Alami Anoa (Bubalus spp.) di Suaka Margasatwa Nantu 14.50-15.00 Oleh : Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut (Peneliti Pertama BPK Manado) Peluang Konservasi Eks Situ Burung Sampiri (Eos histrio) melalui Penangkaran 15.00-15.10 Oleh : Anita Mayasari, S.Hut (Calon Peneliti BPK Manado) Arboretum BPK Manado “ Sebuah Bentuk Konservasi EX Situ yang efektif dan Efisien 15.10-15.20 Oleh : Sumarno N Patandi (Teknisi Litkayasa Pelaksana BPK Manado) 15.20-15.50 Diskusi Sesi IV 15.50-16.00 Rehat Kopi 16.00-16.10 Pembacaan Rumusan 16.10Penutupan
Panitia
Moderator : Dr.Ir. J.S. Tasirin, M.Sc
Moderator : Dr.Ir. Martina A Langi, M.Sc
Panitia Panitia Panitia
DAFTAR PESERTA NO
NAMA
INSTANSI
1
Yuyus Afrianto
Balai Taman Nasional Bunaken
2
Amusi
PT. Sarana Tani
3
Linus Sisman
PT. Silava Tropika Kultura
4
Yetty Siska Sumule
BP4K Kab Minut
5
Erwin H.P.
BPDAS Tondano
6
Marsidi K.
Kades Mengkang
7
Ventje Runtuwarow
Bakorluh Prov. Sulut
8
Marthen Kumeang
Bakorluh Prov. Sulut
9
Taufik Ismail
BTN. Bunaken
10
Berty Ngangi
BP4K Minut
11
Herry Rotinsulu
Dishut Sulut
12
Rudy Suryadi
BPK Manado
13
Rudi Suhendar
Dishut Halbar
14
Yopi Golioth
LP2S Sulut
15
Hengky Walangitan
PS. Kehutanan Unsrat
16
Askhari
BTN. Bogani Nani Wartabone
17
Andhy Triharyanto
BKSDA Sulut
18
Agung R.R.
BKSDA Sulut
19
Vicky Maringka
Dishut Minut
20
Daru Haryono
BPKH VI Manado
21
Agustinus R.L.
BTN. Bogani Nani Wartabone
22
Raimer N.D.
Dishut Minut
23
Giyarto
Macaca Nigra Project
24
Ismail Agung
Macaca Nigra Project
25
John Tasirin
UNSRAT
NO
NAMA
INSTANSI
26
Martina Langi
UNSRAT
27
Selfie K. Turang
BPDAS Tondano
28
Yulianti B.
BPTPTH Bogor
29
Hani S. Nuroniah
Pusprohut Bogor
30
Rinto H.
BPK Manado
31
Rina Mamonto
BPK Manado
32
Syamsir Shabri
BPK Manado
33
Hendra S.M.
BPK Manado
34
Jafaruddin
BPK Manado
35
Melki S.
BPK Manado
36
Sumarno
BPK Manado
37
Diah Irawati
BPK Manado
38
Ady Suryawan
BPK Manado
39
Kristian Mairi
BPK Manado
40
Harwiyaddin Kamma
BPK Manado
41
Anita M.
BPK Manado
42
Yermias Kaffiar
BPK Manado
43
Julianus Kinho
BPK Manado
44
Malombassi
BPK Manado
45
Lis Nurrani
BPK Manado
46
Afandi Ahmad
BPK Manado
47
Hanif Nurul Hidayah
BPK Manado
48
La Ode Asir
BPK Manado
49
Lulus Turbianti
BPK Manado
50
M. Farid Fahmi
BPK Manado