Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
1|Prosiding Diskusi Hasil Penelitian. Denpasar, 16 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
ISBN 978-979-3145-32-7
PROSIDING DISKUSI HASIL HASIL PENELITIAN KEHUTANAN “Melalui IPTEK Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal. Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat”
Denpasar, 16 November 2005 Departemen Kehutanan Badan Litbang Kehutanan Pusat Litbang Hutan Dan Konservasi Alam 2006
2|Prosiding Diskusi Hasil Penelitian. Denpasar, 16 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tim Penyusun Penanggungjawab
: Ir. Anwar, M.Sc
Koordinator
: Ir.Syarief Hidayat, M.Sc
Ketua
: Prof Dr. Hendi Suhaendi
Anggota
: Ir. Chairil Anwar, M.Sc Ir. Djoko Wahyono, M.S Ir. Maman Turjaman, DEA
Sekretariat
: Drs. Haryono Mardiah
3|Prosiding Diskusi Hasil Penelitian. Denpasar, 16 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kata Pengantar Puji scan
4|Prosiding Diskusi Hasil Penelitian. Denpasar, 16 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Daftar Isi Kata Pengantar Daftar Isi Daftar Lampiran Sambutan Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara Sambutan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali Rumusan
1.
2. 3.
4.
5. 6.
7.
8.
9.
1 2 3
4
5
6
MAKALAH UTAMA Potensi Kelembagaan Dan Nilai Sosial Budaya Lokal Untuk Mendukung Partisipasi Masyarakat Dalam Melaksanakan Pembangunan Kehutanan Di Daerah Bali I Nyoman Wardi Prospek Pengembangan Hutan Tanaman Cendana Di Propinsi Bali I Komang Surata Uji Coba Jenis-Jenis Introduksi Pada Lahan Kritis Di Dalam Kawasan Hutan Batur Dan Bedugul I Wayan Widhana Susila Gerson Nd Njurumana Feliupus Banani Kebutuhan Dukungan Iptek Dan Partisipasi Masyarakat Lokal Dalam Program Pengelolaan Taman Nasional Bali Barat I Ketut Catur Marbawa Upaya Pelestarian Penyu Di Bali (Rahman Kurniadi) Kebutuhan Dukungan Iptek Dalam Program Pembangunan Kehutanan Di Provinsi Bali I Made Gunaja Pemanfaatan Tanaman Mimba Untuk Rehabilitasi Lahan Kering Sekaligus Meningkatkan Ekonomi Masyarakat Pedesaan Ade Pemanfaatan Pranata Sosial Lokal dalam Rehabilitasi Lahan: Sebuah Pengalaman di Nusa Penida, Bali I.B. Putera Parthama dan Hadi S. Pasaribu Tinjauan Jenis-jenis Pohon Lokal Bali yang Berpotensi Dikembangkan sebagai Katy Komersial Mustaid Siregar, Ni Kadek Erosi Undaharta, Hartutiningsih-M-SiIregar MAKALAH PENUNJANG Kajian Pengelolaan Taman Nasional Bali Barat Eritrina Windyarini Kajian Teknik Penangkaran Penyu Di Bali Mariana Takandjandji Dan Edy Sutrisno Pengembangan Daerah Penyangga Sebagai Alternatif Pengelolaan Kawasan Konservasi Berbasis Masyarakat Di Taman Nasional Bali Barat Sumardi Partisipasi dan Keinginan Masyarakat Lokal Dalam Menangani Permasalahan Hutan Mangrove di Prapat Benoa, Provinsi Bali I Komang Surata Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Terpadu Dalam Mendukung Keberlanjutan System Irigasi Subak Di Bali Gerson ND. Njurumana, I Wayan Widhiana Susila,Tigor Butar Butar Keragaman dan Sebaran Mangrove di Taman Nasional Bali Barat Chairil Anwar
i iii iv v ix xi xiii
1
19 33
41
55 63
71
85
93
101 111 121
133
143
155
5|Prosiding Diskusi Hasil Penelitian. Denpasar, 16 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Daftar Lampiran Jadwal dan Susunan Acara …………………………………………………… Daftar Hadir Peserta ………………………………………………………….
167 169
6|Prosiding Diskusi Hasil Penelitian. Denpasar, 16 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN DALAM ACARA DISKUSI HASIL-HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALI DAN NUSA TENGGARA Denpasar, 16 November 2005 Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua, Om Swastyastu Yang terhormat, 1. Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan 2. Bapak Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Bali 3. Bapak Kepala-kepala Dinas Kehutanan Kabupaten 4. Saudara-saudara Kepala UPT lingkup Dephut Bali 5. Saudara-saudara Kepala UPT lingkup Kehutanan 6. Para Undangan dan Hadirin yang berbahagia Pertama-tama kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkatNya kita dapat bersama-sama hadir pada acara ini dalam keadaan sehat walafiat Yang kedua kami mengucapkan terima kasih kepada 1. Bapak Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Bali, atas dukungan dan kerjasamanya dalam penyelenggaraan acara ini 2. Bapak Kepala Perbenihan Tanaman Hutan Bali-Nusra sebagai koordinator wilayah UPT Dephut di Bali 3. Para penyaji makalah dari Universitas Udayana, Kebun Raya Eka Karya/ LIPI Bali, BPTH Bali-Nusra, Dinas Kehutanan Propinsi Bali, Peneliti Puslitbang Hutan Tanaman dan Puslitbang Hasil Hutan, serta Peneliti Balai Litbang Kehutanan Bali-Nusa Tenggara 4. Panitia dan semua pihak yang telah mebantu hingga terselenggaranya ekspose ini. Selanjutnya perkenankanlah kami menyampaikan laporan penyelenggaraan acara ini :
Latar Belakang dan Dasar Pelaksanaan Salah satu tugas pokok dan fungsi Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara adalah menyebarluaskan hasil-hasil penelitian dan ekspose ini merupakan sarana pelaksanaanya. Penyelenggaraan ekspose kali ini agak berbeda dari yang sebelumnya lakukan karena
materi
kami
atau makalah tidak
hanya berasal dari peneliti dari Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, tetapi juga berasal dari instansi Litbang lainnya seperti dari LIPI, Universitas, dan dari UPT lainnya seperti BPDAS Unda Anyar, BPTH Bali-Nusra, TN Bali Barat, demikian juga dari pengambil kebijakan seperti Dinas Kehutanan Propinsi Bali dan dari pihak swasta PT. INTARAN. Dengan keterlibatan dari berbagai pihak tersebut di atas diharapkan sinergi akan tercipta lebih kuat dan rumusan yang dihasilkan adalah merupakan rumusan bersama yang dapat ditindaklanjuti dalam pelaksanaan tugas pembangunan kehutanan.
7|Prosiding Diskusi Hasil Penelitian. Denpasar, 16 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Maksud dan Tujuan 1. Menggalang dan membangun kerjasama, persepsi dan visi berbagai pihak (pemerintah, masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, Perguruan tinggi, dan pengusaha), dalam rangka penajaman arah penelitian dan pemanfaatan hasil-hasil litbang/iptek kehutanan. 2. Menyajikan hasil-hasil litbang kehutanan baik yang dikerjakan oleh Balai litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara maupun instansi litbang lainnya. 3. Mengetahui kebutuhan litbang dari berbagai instansi terkait. Sasaran 1. Bahan masukan dari berbagai pihak bagi penajaman arah, penetapan dan pendayagunaan hasil-hasil serta rencana litbang BP2KBNT di masa mendayang. 2. Bahan masukan dari berbagai pihak guna peningkatan pelayanan/kiprah BP2KBNT di wilayah propinsi Bali. Luaran •
Iptek peningkatan keberhasilan penanaman dan produktifitas tanaman hutan untuk tujuan rehabilitasi dan konservasi lahan.
•
Iptek untuk mendukung pemantapan pengelolaan kawasan konservasi
Prioritas program yang menghasilkan Iptek yang mendukung pemanfaatan hasil hutan non kayu dan jasa hutan Waktu dan Tempat Ekspose ini dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 19 Desember di Hotel Sanur Beach, Denpasar, Bali. Peserta Peserta ekspose ini direncanakan sebanyak 90 orang yang telah hadir saat ini sekitar 80 orang, yang terdiri dari jajaran Badan Litbang Kehutanan, Dinas Kehutanan dari 8 kabupaten/kota, Dinas Kehutanan Propinsi Bali, UPT Kehutanan di Propinsi Bali, Perguruan Tinggi, Peneliti, Penyuluh, LSM serta undangan lainnya. Sumber Dana Pembiayaan dalam pelaksanaan ekspose ini bersumber dari dana DIPA 2006 Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Demikian laporan ini kami sampaikan dan kami mohon kepada Bapak Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Bali untuk membuka secara resmi Gelar Teknologi Cendana ini. Sekian dan terimakasih. Denpasar, 19 Desember 2006 Kepala Balai,
Ir. Tigor Butar Butar, MSc NIP. 710 006 094
8|Prosiding Diskusi Hasil Penelitian. Denpasar, 16 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN DALAM ACARA EKSPOSE/DISKUSI HASIL-HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALI DAN NUSA TENGGARA 16 NOPEMBER 2005
Asselamualaikum Wr.Wb. Selamat Raya Idul Fitri Selamat pagi dan Salam sejahtera bagi kita semua.
Ibu-ibu dan Bapa-bapak yang berbahagia, Pertama-tama marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, bahwa pada pagi hari ini kita dapat berkumpul bersama di ruangan ini untuk mengikuti acara ekspose dan diskusi hasil-hasil penelitian dan kengembangan Kehutanan. Saya menyambut baik acara ini karena merupakan media/wadah komunikasi bagi para peneliti dan para pengambil kebijakan serta praktisi untuk saling bertukar pikiran dan pengalaman dalam rangka peningkatan kinerja msing-masing dan peningkatan kinerja pembangunan kehutanan di Propinsi Bali.
Hadirin yang saya hormati, Harapan saya, forum ini dapat menciptakan suatu sinergi di antara para peneliti, pengguna, praktisi dan penentu kebijakan pembangunan kehutanan di Propinsi Bali. Saya sangat optimis akan hal ini, karena pengaji makalah bukan hanya dari peneliti litbang kehutanan tetapi juga dari LIPI, Universitas Udayana, Dinas Kehutanan Propinsi, TN Bali Barat, Balai Perbenihan Tanaman Hutan Bali-Nusra, Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar dan lain-lain. Kita menyadari betapapun akuratnya hasil penelitian kalau tidak dapat digunakan sebagai pedoman pelaksanaan oleh para pelaku pembangunan kehutanan, belumlah memberikan arti apaapa. Hasil penelitian harus mampu meningkatkan kinerja pembangunan kehutanan umumnya dan khususnya di propinsi Bali. Peran litbang kehutanan di Propinsi Bali akan lebih ditingkatkan, hal ini telah dimulai dengan dibukanya kantor perwakilan litbang kehutanan di Denpasar, kebun percobaan/stasiun penelitian di Danur Batur dan di Nusa Panida.
Saudara-saudara sekalian Ekosistem di Propinsi Bali mempunyai kekhasan yang tersendiri, karena mempunyai keanekaragaman ekosistem yang bervariasi, mulai dari ekosistem semiarid, , ekosisten pantai, hutan hujan dataran rendah dan hutan hujan dataran tinggi, dengan tipe tanah yang umumnya berasal dari volkanik, topografi pada umumnya berat dengan kawasan hutan yang pada umumnya berfungsi sebagai kawasan lindung dan konservasi. Kondisi hutan saat ini cukup mendapat tekanan dari berbagai kepentingan, sehingga menimbulkan berbagai permasalahan. Berdasarkan kondisi tersebut prioritas litbang perlu dititikberatkan pada teknologi rehabilitasi lahan kritis yang berbasis masyarakat di sekitar hutan, penyediaan paket-paket iptek/kebijakan atau model pemanfaatan jasa hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu.
9|Prosiding Diskusi Hasil Penelitian. Denpasar, 16 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Hadirin yang terhormat, Saya berharap agar ekspose ini dapat menghasilkan rumusan yang konkrit, komprehensif dan aplikatif sehingga dapat digunakan sebagai salah satu input dalam penyusunan rencana pengelolaan kawasan hutan yang berbasis pada masyarakat sekitar hutandan pemanfaatan jasa hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di Propinsi Bali.
Akhirnya saya ucapkan selamat berdiskusi dan berkarya diforum ini. Mudah-mudahan Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan lindungan dan petunjuk-NYA, sehingga acara ini dapat berlangsung dengan baik dan lancar.
Terima kasih.
Denpasar, 16 Nopember 2005 Kepala Badan Ttd Dr. Ir. Hadi S. Pasaribu, M.Sc
10 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
SAMBUTAN KEPALA DINAS KEHUTANAN PROVINSI BALI (Disampaikan Dalam Acara Gelar Teknologi Cendana) tanggal 19 Desember 2006 di Hotel Sanur Beach Denpasar)
OM SWASTIASTU
Yang terhormat Bapak kepala Badan Litbang Kehutanan Yang terhormat Bapak Kepala Balai Peneltian dan Pengembangan Kehutanan Kupang Yang terhormat Para Undangan dan Peserta Gelar Teknologi Cendana
Terima kasih kepada Balitbang c/q Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Kupang atas kesempatan dengan dilangsungkannya Gelar Teknologi di Bali, sehingga Bali mendapat perhatian yang lebih khusus. Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadapan IDA SANGYANG WIDI WASA/Tuhan Yang Maha Esa dan atas wara nugrahenya kita dapat berkumpul bersama-sama dalam acara gelar teknologi cendana ini. Saudara-saudara sekalian Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa kayu cendana merupakan komoditas kayu perdagangan yang bernilai ekonomi tinggi. Lebih-lebih bagi masyarakat di Provinsi Bali, kayu cendana memiliki banyak manfaat terutama sebagai bahan baku industri kerajinan ukiran (patung dan kipas), disamping sebagai sarana ritual (upacara keagamaan) dan sarana pengobatan. Kebutuhan kayu cendana di Bali dipenuhi dari produksi kayu cendana dari Nusa Tenggara Timur, disamping produksi kayu cendana di Bali. Pada periode tahun 1980-1990-an pemenuhan kebutuhan kayu cendana di Provinsi Bali cukup lancar, namun demikian setelah tahun 1990-an pemenuhan kebutuhan kayu cendana mulai seret sejalan dengan dikeluarkannya peraturan daerah di daerah penghasil kayu cendana yaitu Nusa Tenggara Timur yang membatasi eksploitasi kayu cendana.
Saudara-Saudara Peserta Gelar Teknologi Yang Saya Hormati Di wilayah Provinsi Bali, tanaman cendana dapat tumbuh baik seperti di daerah Buleleng Barat (Kecamatan Gerokgak) dan Kabupaten Karangasem (Kecamatan Kubu). Namun demikian kayu cendana yang tumbuh di Bali kualitasnya / aromanya tidak sama dengan kayu cendana dari Nusa Tenggara Timur. Hal inilah yang perlu mendapat perhatian kita semua khususnya pihak Litbang kehutanan dan Perguruan Tinggi, hendaknya dapat memberikan informasi ataupun menyediakan teknologi terapan pengembangan cendana agar kualitas kayu cendana yang ditanam di Bali dapat ditingkatkan. Disamping itu sebagaimana manfaat yang saya sebutkan di atas, maka perlu diadakan pengkajian penelitian secara teknis, ekonomi dan sosial.
11 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Demikian sambutan saya, mudah-mudahan bapak / ibu / saudara peserta gelar teknologi cendana ini dapat berdiskusi ke arah terciptanya teknologi terapan yang kita perlukan dalam pengembangan tanaman cendana di Provinsi Bali. Dengan
ini
acara
gelar
teknologi
cendana
yang
dilaksanakan
pada
hari
Selasa,
tanggal 19 Desember 2006 di Hotel Sanur Beach secara resmi kami buka.
OM SHANTI, SHANTI,SHANTI OM
Denpasar, 16 Nopember 2006 Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali
Ir. Made Sulendra Pembina Utama Muda
12 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
RUMUSAN DISKUSI HASIL-HASIL PENELITIAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALI DAN NUSA TENGGARA Denpasar, 16 Nopember 2005
Sesuai dengan thema ekspose dan diskusi hasil penelitian hari ini, yaitu: Melalui Iptek Kehutanan dan Pemberdayaan Potensi Lokal, Kita Tingkatkan Upaya Pelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat, dan kaitanya dengan permasalahan utama dalam Pembangunan Kehutanan di Propinsi Bali, yang antara lain adalah meningkatnya luas lahan kritis dari tahun ke tahun, gangguan keamanan kawasan hutan, belum optimalnya produktivitas dan pemanfaatan hasil dan jasa hutan, dan belum optimalnya partisipasi masyarakat, maka kegiatan Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara kedepan perlu diprioritaskan pada penyediaan teknologi yang berkaitan dengan rehabilitasi lahan, pemanfaatan jasa hutan, pengamanan hutan dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, serta pemberdayaan potensi kelembagaan dan kearifan lokal bagi partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pembangunan kehutanan. Dari sebelas makalah yang disampaikan oleh berbagai Institusi seperti BP2K Bali Nusra, LIPI, UNUD, BP DAS Unda Anyar, BPTH Bali Nusra, Taman Nasional Bali Barat dan Dinas Kehutanan Propinsi Bali dan hasil diskusi dari peserta, diperoleh beberapa butir-butir rumusan sebagai berikut : 1. Dukungan Iptek Kehutanan diperlukan untuk merehabilitasi lahan kritis dengan pengembangan pola Agroforestry. Beberapa jenis tanaman pokok kehutanan dibudidayakan dengan tanaman lain seperti bambu, kayu bakar, rumput. Tanaman pokok Kehutanan sebagai penghasil kayu pertukangan, perpatungan dan upacara seperti Cendana, Pangkal Buaya dan jenis lokal lainya. 2. Peranan Litbang Kehutanan juga sangat diperlukan untuk membuat model peran aktif masyarakat untuk mendukung rehabilitasi lahan kritis tersebut, konservasi flora dan fauna serta kawasan konservasi dengan merevitalisasi nilai dan pranata lokal. 3. Dalam program pengembangan kehutanan dimasa mendatang sebaiknya direncanakan secara terpadu dengan mengintegrasikan Iptek sebagai dasar teknis dengan kearifan lokal sebagai dasar penggalangan partisipasi masyarakat untuk melestarikan hutan dan meningkatkan kesejahteraan mereka 4. Koordinasi antara instansi terkait serta partisipasi masyarakat (Desa Adat/Pekraman, Kelompok Tani, LSM, swasta/pengusaha dan lain-lain) yang positif sangat diperlukan dalam membangun Kehutanan di Bali Sekian dan terima kasih. Denpasar, 16 Nopember 2005 Tim Perumus, Ketua : Ir. Bambang Priyono, M.Si Sekretaris : Ir. Nursemedi, M.Si Anggota : Ir. Istanto Dwi Martoyo Ir. Djoko Irianto, M.Si Ir. I Made Widnyana
13 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
MAKALAH UTAMA
14 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
POTENSI KELEMBAGAAN DAN NILAI SOSIAL BUDAYA LOKAL UNTUK MENDUKUNG PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MELAKSANAKAN PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI DAERAH BALI Oleh : I Nyoman Wardi ABSTRAK Daerah Bali dengan budaya yang bercorak Hindu dikenal memiliki diversifikasi budaya yang tinggi dengan segala keunikannya. Salah satunya berupa kearifan local ekologi (lingkungan) yang merupakan bagian dari kearifan budaya. Kearifan ekologi tercermin dalam berbagai bentuk system kepercayaan (religi), cerita mitos, nilai teknologi aturan atau norma hokum adat (awigawig). Berbagai bentuk nilai budaya yang diwarisi dam kemudian menjadi landasan etika lingkungan masyarakat Bali untuk memenuhi kebutuhan hidupnya adalah: kalpataru, tumpek unduh, wanakerti, analog hutan dengan Brahman, nilai filosofi figure banaspati dan bhoma, kearifan dalam bentuk hokum adat (awig-awig), dan nilai budaya tri mandala. Lembaga adat yang terkait dengan pengelolaan hutan di Bali adalah: lembaga adat (subak, desa adat/pakraman), lembaga formal, lembaga swasta. Sedangkan kendala pengelolaan sumberdaya hutan di Bali adalah kemiskinan, konflik kepentingan, pencurian kayu, kebakaran hutan, lemahnya koordinasi lintas sektoral. Pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang sinergi dengan kearifan budaya local adalah social forestry. Kata kunci: kelembagaan, nilai social budaya, partisipasi masyarakat, kearifan local, ekologi I. PENDAHULUAN Sejarah keberadaan hutan di permukaan bumi diperkirakan sudah muncul sekitar kala pleistosen khususnya dari zaman glasial (zaman es). Dalam Bahasa Jawa Kuna yang diserap dari Bahasa Sansekerta, hutan disebut vana/wana. Hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, di mana antara yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan (Departemen Kehutanan, 2003 : 5). Hutan sebagai sumberdaya alam, mempunyai peranan penting dalam ekosistem alam dan dalam menopang kehidupan masyarakat dan berbagai organisme lain di planet bumi. Sejak awal munculnya ras manusia, tampaknya hutan mempunyai peranan penting bagi kehidupan mahluk hidup, khususnya bagi manusia sebagai bagian dari alam. Sebagian besar pemenuhan subsistensi manusia berasal dari tumbuhan (plant foods). Butzer (1987:172) mengatakan sejak semula, tumbuhan/hutan (biji, buah, daun, akar/umbi, batang) bukan saja sebagai sumber makanan, tetapi juga sebagai
kayu untuk konstruksi
(bangunan), bahan bakar, serat pakaian, alat-alat dan bahan-bahan kerajinan tangan, sebagai bahan dan komponen obat-obatan, serta sebagai simbol sosial-religius. Selain itu, hutan sebagai tempat hidup dan berkebang biaknya berbagai macam satwa juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan daging sebagai sumber gizi (protein dan unsur gizi lainnya). Perkembangan populasi manusia dengan kemajuannya teknologi membuat keberadaan hutan semakin terdesak dan menyempit. Kini daerah Pulau Bali yang luasnya sekitar 5.632 km2 memiliki hutan (hutan tropis) hanya 130.686, 01 ha (23,20 % dari luas Pulau Bali) (Pemda Bali, 1999: V-22). Kerusakan hutan memberikan dampak yang sangat luas ke berbagai bidang, yaitu berupa kekeringan, banjir/longsor, dan memberikan kerugian ekonomi, sosial, budaya dan agama apda sekala lokal, regional, nasional atau global. 15 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
II. ASPEK HISTORIS HUTAN DAERAH BALI Keberadan hutan pada masa silam dapat diungkap dari sumber Babad/Lontar/Kakawin, sumber arsitektur/relief, dan cerita rakyat (folklor). Keberadaan hutan pada zaman Bali Kuno, di antaranya dapat diketahui dari uraian babad, seperti
Babad Bhuwana Tatwa Maha Rsi Markandeya (Ginarsa, 1979).Dalam babad ini
disebutkan perjalanan suci (tirtayatra) Rsi Markandeya dari Bhumi Jawa (Gunung Di Hyang = Dieng) ke Bali (Balipulina) tahun I Caka 769 atau 847 M (abad IX M). Perjalanan beliau bertujuan untuk menyebarkan paham ajaran Tripaksa. Tirthayatra ini disertai dengan pembukaan dan perabasan hutan di daerah To Langkir (sekarang Besakih) dan di sekitar Ubud/peliatan. Perjalanan beliau pada mulanya diiringi oleh 800 orang, tetapi sebagian meninggal karena kelaparan, kena penyakit dan serangan binatang buas/beracun. Upaya tirthayatra ini baru berhasil setelah pendeta kembali ke Jawa dan mohon petunjuk melalui samadhi di Gunug Rawung (Jawa Timur). Akhirnya beliau kembali ke To Langkir. Sebelum hutan dibuka atau dirabas untuk pemukiman, beliau menanam pedagingan pancadatu sebagai penolak bala yang disertai dengan pendirian
parhyangan yang kemudian dikenal dengan Pura Basukih atau
Besakih. Di dalamnya di sebutkan : “ … ri saka 769,…waluyanikang kata, titanen wus lama sira ta Hyang Maharesi Markandeya atapa ring Wukir Damalung I lemahning Gunung Di Hyang I Yawa, tumuli sira lunga angetan hyun atirtha yatra tumuli teka ring Gunung Raung I Yawa Weta.Yan pirang warsa sira ngkana, tumuli ta sira angetan mareng Balipulina, wetaning bhumi yawa, iniring de sisyanira wolungatus diri, hyun ngwredyaken ikang tatwa-tatwa Trisaktipaksa, makadi Waisnawapaksa mwah sopacaraning tataupacara saprakara. Tan titanen ri lampahira haneng hawan, sigra prapta sira ri To Langkir. Ngkana sira Resi Markandeya iniring sisyanira, amabad wana giri. Nging gawenira makapalang durbiksa, apan sisyanira kweh pejah keneng pinakit lararoga. Wkasan sira Maharesi Markandeya, umangkat mawali ka Gunung Raung ri unggwanira alama. Tumuli sira angwangun tapa samadhi, aminta kadirgayusanira mwang sisyanira haneng Balipulina. Wus linugrahan maring Hyang Susuhunanira ri tembenia, sira ta kesah sakeng Gunung Raung, tumuli lunga sira ka To Langkir, iniring de sisyanira samas diri. Tan kawarnan ring madyaning dalan, sigra ta prapta ri palemahan To Langkir. Ngkana sira sinungsung de sisyanira nguni, sang wus adrewya kuwu-kuwu maring palemahan ika. Nging sisyanira kang sebaga pejah keneng lararoga. Ndan sira Maharesi Markandeya, sigra umendem sarana pancadatu, pinaka panulak kala pamancanira nguni. Ngkana ri palemahan To Langkir, sira Maharesi mwang para sisyanira angawe kuwu-kuwu muwah pura pangastawanira…”.
Cerita tentang keadan hutan di Bali sepintas juga disinggung ketika pengiriman pasukan Majapahit yang dipimpin oleh Gajah Mada ke Bali (1343 M). Gajah Mada turun di Bali Barat (Jembrana) dan menyamar sebagai pemburu di hutan. Ketika beliau bertanya kepada penduduk setempat tentang keberadaan binatang buruan yang terbanyak, penduduk setempat menunjukkan 16 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
, bahwa hutan yang banyak binatang buruannya ada di sekitar Danau atau Pegunungan Tamblingan, Buyan dan sekitar Gunung /Danau Bratan. Mereka meneruskan perjalanan melewati hutan belantara ke Timur hingga di Gunung Batukaru, Desa Munduk, Gobleg dan tiba di Tablingan ( Ginarsa, 1977: 46-47). Informasi tentang pengelolan hutan juga sering diungkap secara ringkas dalam sumbersumber prasasti (sejak abad IX M), terutama dalam kaitannya dengan pejabat yang berwenang menangani dan mengatur masalah hutan ( hulu kayu) yang menyangkut kewajiban pajak, hutan lindung, pohon larangan (konservasi) dan hak masyarkat dalam pemanfaatan hutan. Sementara itu, relief tentang gambaran hutan pada zaman Bali Kuno sering menghiasi tempat- tempat suci apakah sebagai parhyangan (pura) atau pertapaan. Pura-pura di Bali sering dipandang sebagai simbol dari wanadri, yaitu alam hutan dan gunung sebagai stana suci bagi para dewa atau arwah leluhur. Gambaran relief tentang hutan misalnya dapat ditunjuk pada Goa Gajah yang terletak di Gianyar. Goa Gajah merupakan sebuah pertapaan yang diperkirakan berasal dari abad XI M. Penggambaran tentang kehidupan atau aktivitas di hutan juga dipahatkan pada relief Yeh Pulu yang letaknya tidak jauh dari Goa Gajah. Relief yang dipahatkan pada padas yang terletak pada tebing sawah itu sesungguhnya menggambarkan kehidupan orang di tengah hutan. Relief ini diperkirakan berusia antara abad XIV-XV M .Relief ini diperkirakan terkait dengan sistem kepercayaan yang bersifat tantris yang cukup populer dalam cerita Bali ( Kemper, 1977: 134138). Informasi tentang hutan pada masa lampau juga terunmgkap dalam cerita rakyat Bali (folklor). Cerita rakyat yang cukup populer yang hampir dikenal di seluruh desa di Bali adalah cerita Pan Balang Tamak (pan = Bahasa Bali dari kata bapa yang artinya bapak).cerita durma, cupak-gerantang , dan cerita lainnya,demikian pula cerita yang tertuang dalam kitab kesusastraan (kekawin) Lubdhaka. Kemudian berdasarkan laporan ekspedisi Liefrienk dan Kern th. 1900 menggambarkan, bahwa punggung-punggung pegunungan antara Jembrana dan Buleleng masih ditumbuhi hutan yang sangat lebat. Pada tahu 1906 , setelah hampir seluruh kerajaan di Bali jatuh dan dikuasai Belanda, terdapat perubahan aspek kehidupan, yaitu mulai berlangsungnya perambahan hutan untuk dikonversi menjadi kebun kopi, tegalan dan lahan pertanian lain. Pada tahun 1916 Ir. Hoppe sebagai Kepala Waterstaatdienst di Bali, perihatin terhadap terjadinya konversi hutan alam tersebut, dan segera mengadakan pengamatan terhadap DAS (Daerah Aliran Sungai). Pada tahun 1917, Dewa Raja-Raja di Bali melalui keputusan Nomor E. 1/4/5 menunjuk hutan di wilayah Bali Barat (luas 22.600 ha) sebagai Taman Pelindung Alam (natuur park) untuk melindungi burung endemik jalak Bali ( Leucopsar rotschildii) dan satwa banteng Bali ( Bos sondaicus) yang keadaannya semakin langka. Pada tgl. 21 Februari 1919 pemerintah Belanda untuk pertama kalinya
menunjuk
kelompok hutan Sangeh yang luasnya 9,8 ha sebagai Cagar Alam (natuur monument) Dalam cagar alam Sangeh ini yang dilindungi adalah vegetasi pohon pala ( Dipterocarpus trinervis). Dalam hutan Sangeh terdapat tempat suci (pura) dan dihuni oleh banyak kera abu-abu berekor panjang. 17 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pada awal tahun 1926, ditunjukklah 14 lokasi kelompok hutan dan ditetapkan sebagai kawasan hutan negara, yaitu : (1) kelompok hutan Batukaru, (2) Puncak Landep, (3) Gunung Mungsu, (4) Gunung Silangjana, (5) Munduk Pengejaran, (6) Bukit Panulisan, (7) Gunung Batur-Bukit Payang, (8) Kompleks Gunung Abang Agung, (9) Gunung Seraya, (10) Prapat Benoa (11) Yeh Aya, (12) Yeh Leh-Yeh Lebah, (13)Gunung Sang Hyang, dan (14) hutan Gunung Bakungan. Hingga tahun 1929, ke 14 lokasi hutan ini sudah selesai dibuatkan tapal batas definitif, dengan batas d lapangan berbentuk gegumuk, yaitu tumpukan tanah dan batu setinggi 1 m. Selanjutnya berturut-turut diusulkan menjadi kawasan hutan, yaitu th. 1936 kompleks hutan Prapat Agung, tahun 1940 kompleks hutan Candikusuma. Setelah Indonesia merdeka, pada tahun 1947 diusulkan kompleks hutan Banyuwedang, 1977 hutan Sobang, dan pada tahun 1980 hutan Bakau Nusa Lembongan. Hingga tahun 1980-an, luas hutan Bali mencapai 125.008,8 ha ( Dinas, Kehutanan Propinsi Bali, 2003). Akhir-akhir ini, luasan hutan di Bali terus mengalami gangguan dan penyusutan. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor. Di antaranya karena tekanan ekonomi penduduk yang tinggal di sekitar hutan, kecemburuan sosial dan perubahan kebijakan politik, terutama sejak tahun 1998 yang terkait dengan era reformasi dan otonomi daerah (OTDA), pencurian kayu hutan, kebakaran hutan dan dampak negatif industri pariwisata. Berdasarkan luasan hutan provinsi Bali 130.686, 01 ha (23,2 % dari luas Pulau Bali), kondisi sangat kritis 3.538 ha (2,7 % ), kritis 6.286 ha (4,81 %), agak kritis 44.210 ha (33,76 %) dengan jenis tegakan berupa hutan rawan dan semak belukar dan potensial kritis 53.417 ha (40,87 %) ( Bappeda Provinsi Bali, 2005 : I :1) Sementara itu, jumlah penduduk Bali terus berkembang karena proses demografi, terutama besarnya angka in migration (migrasi masuk) dari luar Bali. Kini penduduk Bali telah membengkak menjadi 3.048.317 jiwa dalam luas wilayah sekitar 5632,86 km2 (BPS Provinsi Bali, 2001). Jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pada akhir zaman Bali Kuno (abad XIV), yaitu 800. 000 jiwa, maka berarti selama 6 abad (abad XIV-Abad XXI) perkembangan penduduk Bali telah mengalami peningkatan, yaitu mendekati angka ± 400 % (Wardi, 2003).
III. KEARIFAN BUDAYA DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN A.
Kearifan Budaya Daerah Bali dengan budayanya yang bercorak Hindu dikenal memiliki diversitas budaya
yang tinggi
dengan segala keunikannya. Hal ini merupakan akumulasi dari hasil interaksi
manusia dengan manusia serta dengan lingkungan alamnya secara evolutif dari masa silam. Budaya Bali yang diwarisi hingga sekarang pada hakikatnya hasil akulturasi yang terbentuk dari perpaduan budaya manusia purba (prasejarah) dengan budaya India dan unsur-unsur budaya daerah/negara lain. Karakteristik budaya purba (prasejarah) sangat lekat dengan
pemujaan
terhadap kekuatan alam seperti animisme, totemisme, magis dan pemujaan arwah leluhur. Secara umum dapat dikatakan, bahwa kearifan ekologi (lingkungan) merupakan bagian dari kearifan budaya. Menurut E.F. Schumacher (1987), menyatakan kearifan lingkungan (ekologi) harus diartikan dalam konteks pelestarian. Pada hematnya, kearifan ekologi 18 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
(lingkungan) dapat diartikan sebagai nilai budaya yang mencerminkan keberhasilan adaptasi manusia dalam beriteraksi dengan lingkungan alam yang dilakukan secara sadar dan bijaksana dalam upaya menjaga dan meningkatkan kualitas survivalnya sambil memelihara kondisi dan fungsi lingkungan yang stabil. Kearifan ekologi dapat tercermin dalam berbagai bentuk nilai budaya, di antaranya dalam bentuk sistem kepercayaan (religi), cerita mitos, nilai teknologi, aturan atau norma hukum adat (awig-awig), dan bentuk lainnya. Berbagai bentuk nilai budaya yang diwarisi kemudian menjadi landasan etika lingkungan yang menuntun perilaku masyarakat yang ramah dan mencintai lingkungan dalam beraktivitas dan berinterkasi dengan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
B. Kalpataru dan Tumpek Uduh Dalam cerita yang paling purba yang mungkin dapat ditunjukan tentang apresiasi manusia terhadap tumbuhan, yaitu yang terungkap dalam Adiparwa sebagai kitab pertama dari Mahabharata. Dalam kitab ini ada dikisahkan perjuangan para dewa dengan danawa untuk mencari dan memperebutkan tirtha amrta (tirtha kamandalu) dengan mengaduk lautan susu (Ksirarnawa) dengan menggunakan gunung Mandara Giri. Perebutan tirtha amerta tersebut akhirnya
dimenangkan oleh para dewa.
Dalam ceritra ini
dikisahkan pohon kalpataru
(kalpawreksa) ikut menyertai munculnya kahadiran tirtha amrta tersebut. Tirtha Amrta adalah air sebagai simbol sumber kehidupan yang abadi. Kehadiran pohon kalpataru yang juga disebut sebagai pohon kahyangan (suci) juga dipakai hiasa bangunan-bangunan suci Agama Hindu dan Buda yang ada di Jawa seperti di Candi Borobudur, Mendut, Pawon, Candi Sojiwan, dan Candi Prambanan (Razak, Kamarudin Bin, 199151-59). Demikian pula dalam sumber kesusastraan klasik dari zaman Jawa Kuno, nama pohon kalpataru cukup sering disebutkan, seperti dalam kitab Ramayana, kitab Arjuna Wiwaha, Brahmanda Purana, dan kitab lainnya. Secara etimologi kaplataru berarti pohon hayat/pohon kehidupan. Kehadiran pohon kalpataru sebagai wakil dari hutan yang menyertai kehadiran tirtha amerta dalam cerita terebut dapat diartikan bahwa pohon atau tumbuh-tumbuhan (hutan) adalah sumber kehidupan manusia dan mahluk lain yang abadi yang mestinya dapat menyadarkan umat manusia di bumi untuk mengelola dengan baik keberadaan hutan atau tumbuh-tumbuhan yang memiliki multi fungsi dalam kehidupan di alam. Tanpa hutan atau kehadiran pohon di lingkungan kita tentu tidak akan ada kehidupan Kehadiran kalpatru dalam cerita pencarian tirtha amertha dalam Adiparwa tersebut mengingatkan kita pada hari Tumpek Uduh /Tumpek Wariga yang jatuh pada pertanggalan Bali yaitu hari Saniscara/Sabtu, Kliwon wuku Wariga. Dalam lontar Cundarigama ada diungkap bahwa Tumpek Wariga/Tumpek Uduh adalah upacara pemujaan (piodalan)
Dewa Hyang
Sangkara sebagai manifestasi Tuhan dalam fungsinya sebagai pencipta segala vegetasi dan berbagai jenis kayu-kayuan. Hakikat dari hari Tumpek Wariga adalah untuk mendoakan agar segala tumbuh-tumbuhan dapat tumbuh subur, lebat buahnya agar dapat dimanfaatkan untuk upacara serta untuk ketentraman dan kesejahteraan lahir batin hidup manusia.. Melaui filosofis yadnya tumpek uduh kita diajarkan bahwa sebelum menikmati hasil dari tumbuh-tumbuhan 19 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
(hutan) kita harus berbuat sesuatu yang bersifat memuliakan kehidupan dan perkembangan tumbuh-tumbuhan (hutan). Jadi Tumpek Uduh merupakan momentum yang sangat positif untuk konservasi dan pelestarian keanekaragaman vegetasi, dan sekaligus sebagai
ekspresi
ketergantungan hidup manusia pada alam, khususnya pada tumbuh-tumbuhan. C. Wanakerti Menurut Lontar Purana Bali ( I Ketut Wiana, 1999: 54-55), Sad Kerti terdiri atas: (1) Atma Kerti, (2) Samudra Kerti, (3) Wana Kerti, (4) Danu Kerti, (5) Jagat Kerti, dan (6) Jana Kerti. Tiga dari Sad Kerti tersebut terkait dengan lingkungan alam. Kerti berarti perbuatan jasa (karya positif). Wanakerti, yaitu suatu upaya yang sistematis untuk menjaga kelestarian dan keberadaan fungsi hutan dalam segala artian yang seluas-luasnya baik dalam langkah empiris (sekala) maupun yang bersifat niskala. Kini di Bali dikenal Upacara Wanakerti dengan tujuan untuk menjaga kelestarian fungsi ekosistem hutan (ngupahayu sarwa tumuwuh) untuk habitat dan kesejahteraan segenap mahluk yang ada di dalamnya serta untuk keselamatan dan kesejahteraan hidup manusia. Upacara Wanakerti biasanya dilaksanakan di kawasan hutan luhur
Watukaru (kahyangan tempat
Pemujaan Hyang Ciwa dalam manifestasinya sebagai Mahadewa) yang disertai dengan pelepasan binatang hutan. Beliau yang berstana di Pura Luhur Watukaru juga dikenal sebagai Sang Hyang Tumuwuh, yaitu penguasa
bumi Bali bagian barat yang berperanan penting
memberikan anugrah dan keselamatan serta kemakmuran untuk semua mahluk di bumi.
D. Analogi Hutan dengan Brahmana (Pendeta) Berkaitan dengan keberadaan hutan, dalam Kitab kakawin Niticastra (Dinas Pendidikan dasar Propinsi Bali, 1998 ) bait 10 juga ada disebutkan : “ singharaksakaning alas, alasika ngrakseng ari nityasa singha mwang wana tan patut pada wirodha ngdoh tikang kecari rugdres tang wana de nikang jana tinor wrksanya cilapadang singha nghet ri jurang nikang tegalayun sampun dinondurbala”. Artinya : ‘singha sebagai penjaga hutan, sebaliknya hutan selalu menjaga singha, singha dan hutan tidak pantas bertengkar/berselisih, dan jika singha menjauh, rusak dan hancur leburlah jadinya hutan oleh manusia, pohon-pohonan ditebang habis hingga hutan menjadi gundul, Singha walaupun bersembunyi di jurang tegalan yang luas, akan terus diburu
hingga
kehabisan nafas (mati)’. Sesungguhnya cerita di atas hendak mengilustrasikan pentingnya kerja sama dan saling bahu-membahu antara para agawan (pendeta/perguruan tinggi ?) yang disimbolkan sebagai hutan
dengan pemerintah (raja = ksatria) yang disimbolkan sebagai singha dalam
memelihara dan melindungi kehidupan dalam pembangunan. Walau pun demikian, keberadan hutan yang dianologkan dengan pendeta (pedanda) dapat diinterpretasikan bahwa hutan mengandung nilai
kesucian, menyimpan berbagai rahasia ilmu pengetahuan, dapat
20 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
memberikan kesejeukan dan pelindungan terhadap kehidupan satwa dan manusia, simbol kebijakan, simbol kedamaian, ketenangan, ketentraman, dan simbol kesejahteraan hidup.
21 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
E. Nilai Filosofi Figur Banaspati dan Bhoma Dalam konteks ilmu kebatinan, di Bali juga dikenal filsafat Kanda Pat Bhuta atau Kanda Pat Rare. Menurut filsafat ini, kehadiran empat saudara halus yang menyertai kelahiran kita di bhuana alit (bhumi) selalu manjaga dan melindungi diri kita sepanjang kita ingat dengannya dan mampu memelihara hubungan yang harmonis dengan penuh welas asih. Sesuai dengan fungsi yang diembannya, beliau mentransformasikan diri dalam berbagai bentuk perwujudan dan mempunyai nama yang berbeda-beda. Di antaranya yaitu Sang Banaspati Raja, Banaspati, Praja Pati dan Angga Pati. Dalam konteks lingkungan alam, Banaspati Raja dikenal sebagai penunggu pohon-pohonan yang dikenal sakral dan magis seperti kepuh, rangdu, beringin serta pada pohon-pohon yang besar (taru mageng) lainnya. Sementara Sang Banaspati dikenal sebagai penjaga dan penghuni hutan, sungai-sungai besar, serta batu-batu besar ( Bendesa K. Tonjaya, 1983: 5-7). Kata Banaspati terdiri atas dua patah kata, yaitu banas yang kemungkinan berasal dari kata vanar atau vanas (bahasa Sansekerta) yang sama dengan vana/wana yang artinya hutan, sedangkan pati dapat diartikan pemimpin, raja atau penguasa ( Williams, Monier-Monier, 1960: 918-919). Secara harfiah dalam kata wana atau banas pati terkandung makna sebagai pemimpin atau penguasa hutan. Dalam konteks budaya dan biologis, perwujudan Basnaspati sering digambarkan menyerupai singha. Dalam kesusastraan klaksik seperti kakawin, singha sering dipandang sebagai raja atau penguasa hutan yang gagah, berwibawa serta bijaksana, dan ditakuti oleh mahluk-mahluk lainnya karena kekuatan dan keperkasaannya. Dalam konteks sosial politik, sifat-sifat keunggulan singha sering menjadi model ideal yang dicitacitakan oleh seorang raja besar. Namun singha sebagai simbol kuasaan bukan saja didominasi oleh budaya Bali tetapi juga budaya Cina, India dan budaya dari daerah/negara lainnya. Banaspati sebagai sistem kepercayaan masyarakat Bali juga diwujudkan dalam hasil karya budaya fisik yang dikenal dengan barong singa yang di Cina disebut Barong Sae. Dalam monumen atau arsitektur tradidisonal Bali, khususnya bangunan suci (candi/pura), hiasan kepala singa yang disebut Karang Sae sering digambarkan menghiasi pintu masuk utama (Kori Agung) yang memisahkan halaman jaba tengah dengan halaman jeroan. Jeroan merupakan halaman tersuci tempat dibangunnya berbagai pelinggih (stana suci) bagi para arwah dan para dewa. Di antaranya adalah bangunan suci meru yang sesungguhnya berasal dari kata mahameru sebagai simbol dari unsur alam gunung. Selain berbentuk Karang Sae, pada hiasan pintu masuk Kori Agung sering pula dipakai hiasan berupa Kepala Kala atau Bhoma. Dalam sumber kesusastraan kekawin Bhomantaka, dikisahkan bahwa Sang Bhoma merupakan hasil perkawinan antara Dewi Basundari (Dewi Pertiwi) dengan Dewa Wisnu. Dewa Wisnu bertemu dengan Dewi Basundari ketika hendak menguji dan menelusuri kebesaran Linggamani yang tertancap ke dalam perut bumi sebagai manifestasi dari keagungan dan kemahakuasaan Hyang Ciwa (Tuhan).Dalam kisah ini, Bhoma digambarkan sebagai mahluk yang sangat kuat (sakti) dan wajahnya sangat menyeramkan seperti Danawa.
22 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Terminologi bhoma berasal dari Bahasa Sansekerta yaitu bhauma yang secara harfiah berarti terkait atau diabdikan untuk bumi, lahir dari bumi/tanah, terdiri atau terbuat dari bumi (Williams, Monier-Monier, 1960 : 768). Dalam konteks budaya sekuler, mitos kelahiran Bhoma
diperkirakan sebagai gambaran yang mencerminkan proses ekologi (proses
biogeofisik dan kimia), yaitu interaksi unsur-unsur alam yang sangat vital dalam kehidupan di bhumi. Dewa Wisnu sebagai simbol dari unsur air, dan Dewi Basundari (Dewi Pertiwi) sebagai simbol dari bumi (tanah). Pertemuan atau interaksi antara unsur air dengan bumi (tanah) melahirkan Sang Bhoma sebagai lambang dari pohon-pohon kayu yang besar-besar yang sering dipandang sebagai penjaga dan pelindung hutan. Secara implisit cerita mitos ini mengandung pesan dan makna ekologi yang sangat dalam, yaitu untuk mengelola sumberdaya tanah (lahan) dan sumberdaya air, maka keberadan pohon-pohon sangatlah vital.Tumbuhan-tumbuhan yang besar dengan akarnya–akarnya yang tertancap sangat dalam dan kuat, secara ekologi berfungsi memegang dan melindungi tanah dari ancaman longsor dan erosi yang berakibat terjadinya ketandusan (lahan kritis). Selain itu, mulsa dari biomasa tumbuhan memungkinkan terbentuknya humus yang menyuburkan tanah. Keberadaan pohon-pohon besar juga mampu mempengaruhi iklim mikro (sejuk) fungsinya menyerap unsur kimia CO2 dari udara dan memproduksi O2 dan memungkinkan turunnya hujan. Lewat proses hidrogeologi dan sistem perakaran, pohon-pohonan mampu menyimpan air yang pada musim kemarau dapat mengalir secara alami melalui mata air yang kemudian mengalir dan menyatu ke sungai (DAS) yang fungsinya sangat vital untuk kehidupan segala mahluk. Kearifan yang serupa juga dimiliki oleh budaya masyarakat Badui (Jawa Barat) yang sangat melindungi keberadaan hutan. Mereka memiliki motto, tanpa hutan tidak ada air dan tidak ada kehidupan masa depan (no forest, no water and no future). Pandangan hutan sebagai tempat yang angker, habitat mahluk halus atau sebagai tempat bermain-mainnya mahluk kahyangan (alas dedari atau alas kekeran) masih tetap hidup dalam alam pikiran atau hadir ditengah-tengah kehidupan masyarakat Bali yang tinggal di sekitar hutan. Misalnya masyarakat Tenganan-Karangasem memiliki mitos dan sistem kepercaya terhadap ular atau Lelipi Selahan Bukit sebagai penjelmaan dari tokoh lokal, yaitu I Tundung yang selalu menjaga, mengawasi dan melindungi kebun dan hutan-hutan di Tenganan dan kebun penduduk dari para penjahat pencuri dan perusak hutan. Menurut kepercayaan masyarakat lokal, barang siapa melakukan kesalahan mencuri dan merusak hutan, nasibnya tidak akan luput dari kejaran Lelipi Selahan Bukit, kecuali yang bersangkutan pergi jauh meninggalkan desa atau melakukan upacara penebusan dosa. Gambaran hutan yang sakral juga tercermin dari tinggalan purbakala dalam bentuk pertapaan yang ada di Gua Gajah-Gianyar. (dari abad XI M), demikian pula dari tingkatan kehidupan masyarakat Hindu, yaitu vanasrama sebagai tingkatan ketiga dari caturasrama (brahmacari, grhasta, wanaprasta, dan sanyasin).Dalam sistem kepercayaan yang terwujud dalam arsitektur pura/candi, kita menemukan adanya pandangan wanadri (hutan dan gunung) sebagai tempat suci, tempat menggali dan menemukan kesadaran hidup sejati melalui kontak magis antara manusia dengan Tuhan dalam segala manifestasinya yang agung.
23 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Dalam gambaran arsitektur, mitos
yang terkait dengan sistem ideologi (sistem
kepercayaan) tampaknya mengandung makna kearifan ekologi yang sangat dalam bagi kesejahteraan hidup manusia dan mahluk lainnya.Berdasarkan warisan budaya tersebut kita memperoleh gambaran masyarakat purba yang memandang alam
memiliki nilai-nilai
intrinksik yang disakralkan, dihormati dan dipuja. Makna sakral dalam konteks perilaku lingkungan haruslah diartikan sebagai nilai yang sangat penting dan strategis dalam menopang kehidupan manusia (hulu amrta atau sumber kehidupan yang utama), sedangkan nilai pemujaan atau pengormatan dapat diterjemahkan sebagai sikap yang harus hati-hati dan selalu waspada dalam mengambil keputusan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi (memanfaatkan) keberadaan sumberdaya hutan. Sistem kepercayaan yang melekat pada alam atau arsitektur, cerita mitos, demikian pula filsafat yang terkait dengan ilmu olah batin tersebut, secara tidak langsung menjadi pendoman yang sangat penting dan bermanfaat yang menuntun umat manusia (masyarakat) untuk belajar memperlakukan alam bukan sekedar sebagai objek instrumental, tetapi secara intrinksik juga harus menghargai dan menghormati alam (hutan) dengan segala isinya sebagai subjek. Inilah hakikat dari filosofi kearifan ekologi yang memancar dan mengendap pada kebudayaan manusia yang harus dihormati dan dilestarikan dalam wujud budaya perilaku untuk ketentraman dan kesejahteraan hidup. F.Kearifan Dalam Bentuk Hukum Adat (Awig-awig) Berdasarkan sumber-sumber sejarah dan kepurbakalaan, kearifan masyarakat Bali dalam mengelola hutan telah muncul pada zaman Bali Kuno (abad IX – XV M). Hal ini dapat disaksikan dari cukup seringnya disebutkan dalam prasasti nama-nama jabatan pemerintahan yang terkait dengan pengelolaan hutan. Di antaranya, yaitu : Hulu Kayu, Nayakan/Samgat Buru, Caksu Nayakan Buru, Nayakan Manuk, dan yang lainnya. Hulu Kayu terdiri atas kata hulu berarti pemimpin, dan kayu berarti pohon atau hutan. Kini di Bali ada dikenal Desa Den Kayu, berarti desa yang berada di utara hutan. Secara harfiah hulu kayu berarti pemimpin hutan. Goris (1954b, 248) mengartikan Hulu Kayu sejenis mentri kehutanan. Menurutnya, Hulu Kayu adalah seorang pegawai kerajaan yang mempunyai sangkut paut dengan hutan dan administrasi pemerintahan desa. Jabatan Hulu Kayu mungkin dapat dibandingkan dengan Tuhalas (Katuhalas) yang disebutkan dalam prasasti Jawa Kuno (prasasti Jurugan, th. 876 M) (Kartakusuma, R.,1990 : 123-130). Sementara itu, Samgat Buru atau Nayakan Buru dapat diartikan sebagai pemimpin ahli yang bertugas mengurusi segala kegiatan yang terkait dengan perburuan di hutan termasuk menarik pajak-pajak penghasilan perburuan. Caksu Nayakan Buru tugasnya terkait dengan kegiatan mematai-matai atau mengawasi (caksu = mata) secara langsung kegiatan perburuan di hutan (semacam jagawana). Berdasarkan bukti-bukti prasasti, pada zaman Bali Kuno sudah ada aturan yang cukup tegas untuk memasuki hutan. Dalam prasasti Bebetin AI (Caka 818 atau 896 M) lembar II.a. baris 5 hingga lembar IIb disebutkan: :“… ana tka suruhan hulukayuna, pamuhakyan ya mas ma 4 hatmuang-hatmuang kasiddhan pamayarn pasuk alas ma 6 …”.Masuk hutan atau berburu ke hutan tampaknya harus seizin penguasa. 24 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Selain itu, juga ada ditetapkan aturan konservasi vegetasi. Dalam prasasti Udjung(Caka 932) pada lembar IV a. baris 3-5 disebutkan nama-nama kayu larangan, yaitu : “...mangkana dadya ya rugaken sakweh ning kayu rarangan, makadi kamiri, bodi, munden, sekar kuning, yan hada ya hangebi wumah...” (Goris, 1954a: 105-107).Pada prasasti lain juga disebutkan pohon waringin, kamukus dan kapulaga sebagai pohon yang dilindugi.
Berdasarkan kutipan prasasti tersebut, tampaknya jenis-jenis pohon kayu yang dilindungi adalah pohon kamiri (kemiri), bodi (pohon suci untuk agama Budha), sekar kuning (komuning ?), dan pohon buah muden (mundeh?). Tetapi bila pohon-pohon yang tergolong vegetasi yang dilindungi (pohon larangan) itu mengganggu rumah penduduk, diizinkan untuk ditebang. Perlindungan terhadap vegetasi tersebut mungkin terkait dengan pentingnya fungsi pohon-pohon teresebut dalam pemenuhan kebutuhan masyarakat, baik dalam konteks budaya (agama), pengobatan tradisional atau kebutuhan hidup jenis lain. Undang-undang perlindungan vegetasi spesies tertentu hingga kini masih dapat disaksikan pada desa-desa tua di Bali seperti di Tenganan Pegringsingan yang sangat setia menjaga kelestarian hutannya. Awig-awig (aturan adat) di Desa Tenganan Pegringsingan antara lain mengatur penebangan pohon-pohon harus seizin pengurus desa. Penebangan itupun hanya boleh dilakukan terhadap pohon yang telah berumur minimal 40 tahun. Izin penebangan baru diberikan atas permintaan warga, dan setelah terlebih dahulu diadakan penelitian teradap jenis pohon yang akan ditebang. Pelanggaran terhadap aturan tersebut dapat dikenakan sanksi bertingkat, yaitu dari larangan masuk rumah tetangganya, denda, dan sanksi isolasi dari desa (dikeluarkan dari desa). Aturan adat tersebut juga mengatur, yuaitu pohon apa yang tidak boleh ditanam, jenis pohon apa yang tidak boleh ditebang, buah yang tidak bisa dipetik langsung dari pohonnya kecuali buahnya telah jatuh, baru bisa diambil. Diantara vegetasi (pohon-pohon) yang dikonservasi menurut aturan adat tersebut, yaitu : pohon nangka, tahep, pohon kemiri, pohon pangi, pohon bunga cempaka, pohon enau, durian dan jenis lainnya ( Darmika, I.B., 1992 : 59 – 64). Berkaitan dengan perlindungan hutan di sekitar bangunan suci, maka dalam Prasasti Penataran Besakih A yang berangka tahun Caka 1366 (1444 M) ada memuat tentang hal tersebut. Prasasti yang disimpan di sebuah bangunan pelinggih, yaitu Gedong Kehen di Penataran Agung-Besakih, memuat permakluman raja (Dalem) kepada seluruh rakyat di Bali, terutama para pejabat, seperti Hulupati, Adipati, dan pejabat lain, supaya menghormati keberadaan Hulundang Ring Besakih (Pura Besakih) yang merupakan pusat tempat suci bagi seluruh rakyat di jagat Bali.Berkaitan dengan Pura Besakih sebagai hulu dari segala tempat suci yang ada di Bali, juga ditetapkan suatu aturan penetapan kawasan hutan lindung (cagar alam) untuk mendukung fungsi kawasan suci Pura Besakih. Aturan tersebut melarang bagi semua orang memetik buah-buahan, dan merusak tanaman-tanaman yang terdapat atau tumbuh di tegalan dan di hutan yang ada di sekitar Pura Besakih. Penduduk juga dilarang menangkap dan membunuh binatang (marga satwa) yang berkeliaran di sekitarnya. Pegawai atau pejabat pemerintah, juga dilarang keras mengambil segala sesuatu yang tumbuh di sana, 25 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
jika tiada surat yang sah (surat pupucuk celek penelek) dari Dalem atau raja. Penduduk desa di sekitar Besakih (Desa Besakih dan Desa Lebak) yang diberikan hak istimewa untuk mengawasi dan mengelola keberadaan hutan dan lingkungan Besakih dibebaskan dari segala kewajiban pajak atau upeti. Prasasti diakhiri dengan sapatha atau kutukan bagi mereka yang melanggar. ketentuan tersebut (Arimbawa, I.Bgs, 1988: 25-28). Pernyataan tersebut di atas membuktikan bahwa perhatian raja atau masyarakat tradisional terhadap kelestarian lingkungan hutan sangat besar. Hutan bukan saja menambah keagungan, kesucian, dan nilai magis kawasan pura, tetapi hasil-hasil hutan seperti kayu, buah-buahan, daun, ijuk, dan yang lainnya sangat dibutuhkan untuk upacara dan sebagai bahan konstruksi bangunan suci, seperti meru atau bentuk pelinggih lain. Kemungkinan besar hutan Bali Kuno juga
tidak luput dari ancaman kebakaran,
khususnya kebakaran yang disebabkan oleh ulah manusia. Karena itu, aturan atau undangundang tentang kebakaran juga ditetapkan. Dalam prasasti Trunyan AI lembar IIa baris 4 ada disebutkan : padampadam ma 2 ku 2 … (Goris, 1954: 56), artinya: denda (pajak) untuk pemadam kebakaran sebanyak 2 masaka dan 2 kupang mas. Kutipan prasasti ini membuktikan pentingan perlindungan hutan dari kebakaran. Aturan ini juga dimaksudkan agar orang tidak berbuat secara sembrono di sekitar hutan, terutama yang berkaitan dengan api dan kebakaran hutan, atau kabakaran aset lainnya. Aturan sanksi dari bahaya kebakaran yang disebabkan oleh ulah penduduk (warga) setempat juga ditetapkan dalam awig-awig Desa Tenganan Peggringsingan. Selain hukum positif, sanksi yang sangat ditakuti oleh masyarakat yaitu hukum niskala yang banyak terkait dengan sanksi psikologi, yaitu berupa sapatha atau kutukan. Penerapan hukum niskala seperti termuat dalam prasasti Penataran Besakih di atas dengan menekankan pada aspek hukum karma phala dirasakan oleh warga sangat berat sehingga dipandang cukup efektik untuk mengatasi permasalahan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh ulah manusia.
G. Nilai Budaya Tri Mandala Nilai budaya ini mengapresiasi (memberi makna) pada setiap ruang. Masing-masing ruang mempunyai perbedaan nilai sesuai dengan karakteristiknya. Secara umum dalam konsep Tri Mandala membedakan ruang menjadi tiga, yaitu :
utama mandala, madya
mandala, dan nista mandala. Dasar konsepsi struktur nilai budaya tri mandala berasal dari folosofi makrokosmos yang terbagi ke dalam triloka (tiga alam), yaitu bhur loka (alam bawah = nista mandala) , buhloka (alam tengah = madya mandala) dan swarloka (alam atas/alam ilahi = utama mandala). Ditinjau dari tingkat kesuciannya, utama mandala dipandang sebagai tempat atau ruang tersuci. Dalam tata ruang atau tata letak bangunan suci (pura) Tri Mandala diimplementasikan menjadi pembagian tiga halaman pura (halaman jeroan, jaba tengah dan jaba), sedangkan dalam tataran kawasan geografi konsepsi trimandala diwjudkan dalam tiga pembagian ruang kawasan, yaitu kawasan
pegunungan (hulu/utama mandala), tengah
(dataran/madya mandala), dan hilir (dataran rendah/pesisir/nista mandala).
26 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pembagian ruang makro dalam konteks kawasan geografis ini telah dikenal sejak zaman raja-raja Bali Kuno (sekiatar abad X M). Pada masing-masing ruang makro tersebut biasanya disertai dengan pembangunan tempat suci/pura, yaitu di kawasan hulu yang terkait dengan ekosistem gunung, hutan dan danau dibangun pura gunung, di kawasan tengah terkait dengan ekosistem daratan/dataran dibangunan Pura Penataran (Pura Pusat Kerajaan) dan di hilir atau pesisir dan laut terkait dengan ekosistem pesisir dan laut dibangunan pura laut/pura segara. Pura tersebut dibangun untuk memohon keselamatan, kestabilan dan kedamaian, kesuburan dan kemakmuran serta keharmonis hidup manusia dengan lingkungannya. Pada kawasan hulu daerah Bali terdapat gunung, bukit, hutan dan danau. Ketiga unsur lingkungan ini berinteraksi dan membentuk ekosistem kawasan hulu yang khas. Menurut nilai budaya Bali yang bercorak Hindu, kawasan ini dipandang sebagai ruang yang tersuci di antara tiga ruang yang ada, karena berada pada titik geografis puncak atau kontur tertinggi yang paling pertama bersentuhan dengan alam ilahi. Kawasan gunung (hulu) juga dipandang sebagai salah satu pusat atau poros kekuatan magis yang dipercayai sebagai stana para dewa dan roh-roh gaib lainnya, serta sebagai sumber keberuntungan, kesuburan dan sumber kemakmuran (amertha). Secara alamiah hal ini cukup rasional karena kawasan hulu dengan gunung, hutan dan danaunya befungsi sangat strategis dalam konservasi sumberdaya air dan ekosistem biologis serta konservasi iklim. Dalam konteks ekosistem alam, pengertian sakral di sini dapat diartikan secara rasional, yaitu pengelolaan kawasan hulu yang sangat hati-hati, atau bagaimana caranya memanfaatkan dan memelihara sumberdaya tersebut agar kualitas dan fungsinya dapat lestari atau meningkat. Pembagian daerah Bali menjadi tiga kawasan tersebut (nista, madya, utama mandala) juga dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam rangka pembangunan hutan pada masingmasing kawasan dan pemilihan jenis tumbuh-tumbuhan yang sesuai dengan nilai tersebut yang tentunya juga harus tetap memperhitungkan kesesuaian iklim dan potensi ruang (lahan) setempat.
IV. FUNGSI SOSIAL HUTAN DI BALI Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan dan catatan sejarah yang ada, komunitas di sekitar hutan memanfatkan sumberdaya hutan untuk beberapa kepentingan. Di antaranya, yaitu: 1) Fungsi budaya, yaitu sebagai tempat untuk mendapatkan kayu untuk bahan bangunan suci atau bahan upakara (kayu cendana, kayu cempaka, majegau, enau, bambu, atau tumbuhan lainnnya. ) atau kayu untuk kontstruksi bangunan untuk kepentingan sosial (balai banjar, wantilan dsb). Contoh bangunan suci (meru) di
Pura taman Ayun bahan sering harus
diambilkan dari kayu pohon pala yang ada di Hutan Sangeh- Carangsari- Abiansemal; Hal yang serupa juga ada terjadi di desa atau tempat lainnya. Tumbuhan-tumbuhan tertentu juga dapat dipakai sebagai bahan pewarna untuk kain tradisional seperti kain pegringsingan di Desa Tenganan-Karangasem. Hutan juga dapat sebagai pensupai untuk mendapatkan daun pohon lontar untuk kepetingan tulisan tradisional. Budaya ini telah tumbuh dan berkembang sejak dikenalnya budaya tulis-menulis tradisional dari sejak masa lampau. Kini naskah-
27 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
naskah kuno (babad) dapat diwarisi dalam bentuk tulisan pada daun lontar yang disimpan di museum atau perpustakaan pribadi. 2) Medis , yaitu untuk fungsi pengobatan atau terafi yang bersifat herbal (ramuan obat dari tumbuh-tumbuhan tertentu) seperti terungkap dalam taru usadha/ taru pramana; 3) Fungsi edukasi (pendidikan), yaitu lingkungan hutan sebagai laboratorium lapangan sebagai tempat penelitian dan pengembangan ilmu biologi, medis, atau ekosistem hutan; 4) Sebagai tempat berlindung (keamanan ) dari ancaman fisik; 5) Sebagai sumber kehidupan ekonomi masyarakat : a) ekonomi pertanian secara luas perkebunan dan peternakan( masyarakat di hulu di daerah pegunungan ada subak kebun) budidya kopi, palawija, jeruk, coklat, cengkeh dan pohon tahunan lain yang berbuah. Daun pohon atau rerumputan yang tumbuh di sela-sela pohon sebagai pakan ternak sapi, kambing atau pohon sebagai tempat budidaya lembah madu. b) ekonomi pariwisata . Hutan berfungsi menambah nilai estetika
yang mendukung
pengembangan industri pariwisata, yaitu tempat trecking tour (trecking di kawasan Tamblingan dan Buyan, Hutan Bali Barat untuk birdwatching jalak Bali, Bebandem – Tenganan, dan tempat lain), sebagai tempat rekreasi seperti hutan
kebun raya di
Bedugul. hutan di sekitar danau. Hutan juga dapat sebagai pensuplai kayu atau serat tumbuh-tumbuhan tertentu untuk untuk handicraft untuk souvenir wisata; 6) hutan sebagai sumber energi tradisional untuk mendapatkan kayu api atau untuk membuat arang; 7) Secara tidak langsung hutan juga berfungsi sebagai penyedia sumber air bersih
untuk
dikonsumsi dan untuk MCK, atau air untuk kepentingan irigasi subak. Berdasarkan ilustrasi di atas menggambarkan bahwa hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung dipengaruhi atau tergantung pada hutan (tumbuh-tumbuhan/tanaman). Hal ini sekaligus membuktikan pentingnya arti hutan untuk kehidupan segenap mahluk di bumi.
V. LEMBAGA YANG TERKAIT DALAM PENGELOLAAN HUTAN Lembaga-lembaga yang dapat dipandang sebagai stakeholder dalam pengelolaan hutan di Bali meliputi lembaga adat, lembaga formal dari pemerintah atau lembaga pendidikan dan lembaga swasta. A. Lembaga Adat Lembaga adat yang sering bersentuhan dengan keberadaan hutan baik secara langsung maupun tidk langsung yaitu Subak dan desa adat atau desa pekraman. 1. Subak Pengertian subak secara umum dapat diartikan sebagai suatu badan atau organisasi pertanian tradisonal yang bersifat sosial religius dan mempunyai hak otonomi untuk mengatur dirinya sendiri secara luas
yang meliputi :hak untuk mengatur
dirinya
membentuk pengurus, mengadakan dan mengatur keuangan, melakukan ritus (upacara), membuat
awig-awig
(peraturan),
melaksanakan
sanksi
bagi
anggota
yang
28 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
melanggar.Tujuan organisasi secara umum, yaitu menjaga ketertiban, keteraturan dan keharmonisasn hubungan dalam upaya meningkatkan hasil produksi untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan bersama. Di Bali dikenal dua jenis subak, yaitu subak basah (sawah) dan subak abian (subak kebun). Subah Basah, yaitu organisasi pertanian tradisional yang bersifat sosial religius yang bergerak di wilayah perairan atau lahan basah (sawah).Fungsi subak basah pada umumnya mengatur tata pembagian air di sawah-sawah para anggota/kerama subak, membuat bendungan, membuat saluran air (telabah
atau terowongan/aungan), dan
gotong royong kebersihan saluran air, membuat aturan awig-awig dan menegakan aturan dengan sanksi. Mengadakan saran produksi, mengatur pola tanam dan w aktu tanam, melakukan ritus/upacara pertanian, dan fungsi lainnya. Subak Abian /Kebun, yaitu organisasi pertanian tradisional yang bersifat sosial religius yang bergerak dalam wialayah tanaman ladang atau di lahan kering. Subak Abian umumnya banyak ditemukan pada kawasan hulu DAS, yaitu di daerah-daerah dataran tinggi atau di pegunungan yang relati sulit untuk mendapatkan air. Struktur kepengurusan organisasi subak abian
hingga ke struktur paling bawah
(keanggotaan) umumnya terdiri atas : (1) kelian subak abian ( ketua); (2) Penyarikan (sekretaris); (3) petengen (bendahara); (4) juru arah/kesinoman (juru pemabawa pesan/informasi) (5) kelian tempek (kepala kelompok); dan (6) kerama subak (anggota subak). Struktur keperngurusan subak abian teresbut mempunyai kemiripan dengan subak basah, hanya saja untuk jabatan kelian subak pada subak basah juga disebut pekaseh. Untuk menjaga rasa persatuan di antara anggota, maka diadakan kegiatan gotong royong secara rutin pada masing-masing tempek (kelompok). Kegiatan gotong royong subak abian meliputi membersihan jalan menuju kebun para nggota, gotong royong pembangunan dan rehabilitasi balai subak dan pura subak serta gotong royong kebersihan pada bangunan suci subak. Untuk memudahkan kerja dalam mengatasi permasalahan, masing-masing tempek dalam subak abian tersebut terkadang dibagi lagi menjadi beberapa kelompok yang lebih kecil yang terdiri atas 10 – 15 orang. Untuk mewujudkan tujuan organisasi (meningkatkan produktivitas dan pendapatan anggota), subak abian berpedoman pada 5 kegiatan, yaitu : (1) bidang organisasi, bidang keuangan, bdiang produksi, 4) bidang pemasaran hasil,d am (5) bdiang sosial budaya. ( Aryawati, I Gst Ayu, 1990 : 82). Kehadiran kedua organisasi pertanian tradisional tersebut mempunyai peranan penting untuk menjaga dan melestarikan sumberdaya hutan dan air. Aktivitas Subak Abian lebih banyak terkait dengan kegiatan pertanian yang ada di kawasan hulu DAS (catchment area), sedangkan organisasi subak basah (sawah terkait dengan menjaga dan memlihara kelestarian sumberdaya air dan hutan yang ada di pinggir-pinggir sungai ( DAS) di kawasan bagian tengah dan hilir. 29 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2. Lembaga Desa Adat. Desa Adat, yaitu suatu kesatuan wilayah yang warganya secara bersama-sama mengkonsepsikan dan mengaktifkan upacara-upacara keagamaan/adat untuk memelihara kesucian desa. Rasa kesatuan sebagai warga desa adat terikat oleh adanya faktor-faktor karang desa ( pekarangan, wilayah atau tempat bangunan desa dan warga desa bertempat tinggal), awig-awig (hukum adat) desa, dan kahyangan tiga (tiga pura dea sebagai tempat persembahyangan para warga dan menyangkut sejumlah kewajiban bagi warganya atau penyungsung). Ketiga pura tersebut, yaitu pura desa, pura puseh, dan pura dalem sebagai tempat pemujaan Dewa Trimurti, yaitu Dewa Brahma (aspek kekuatan pencipta) , Wisnu (pemelihara) dan Dewa Ciwa (kekuatan pelebur). Desa adat umumnya dipimpin oleh prajuru desa (pengurus desa) yang dipimpin oleh Kelian Desa Adat (Bendesa Adat) dan dibantu oleh juru tulis (penyarikan), bendahara (juru raksa) dan seksi-seksi lainnya sesuai dengan kepentingan tri hita karana (parhyangan seksi upacara agama, pawongan atau seksi upacara manusa yadnya dan /atau penetapan aturan warga, palemahan atau seksi penataan ruang dan lingkungan). Di bawah desa adat biasanya ada beberapa kesatuan sosial yang lebih kecil yang disebut banjar.Untuk desa-desa yang ada di daerah pegunung sering ada pola satu desa adat kedudukannya sama dengan satu desa dinas atau satu banjar, sdangkan untuk desa-desa yanga da di Bali dataran umumnya satu desa dinas teridri aats beebrapa desa adat, dan satu desa adat etrdiri atas beberapa banjar. Untuk desa yang ada di pegunungan ada kecendrungan pengerahan massa untuk untuk menangani kegiatan sosial adat ditangani oleh desa adat, sehinga fungsi banjar menjadi lemah. Sebaliknya di desa-desa yang ada di daerah
Bali dataran, kewajiban dan tanggung jawab warga lebih dirasakan sebagai
anggota banjar. Mereka yang masuk anggota banjar/desa serta melakukan kewajiban adat tentu mengharapkan
kompensasi pelayanan sosial baik pada saat berduka maupun
bersuka sehingga mereka merasa nyaman. Mereka umumnya merasa malu dan takut jika tidak aktif berpartisipasi dalam kegiatan sosial adat tersebut. Hal utama yang membuat mereka malu atau takut yaitu beban sanksi sosial. Jadi sanksi merupakan bentuk pengendalian sosial untuk mendidik warga
gara dapat melaksanakan tuga dan
kewajibannya secara wajar. Sanksi atas pelanggaran aturan adat (awig-awig atau perarem) sudah jelas adanya mulai dari bentuk peringatan ringan, hingga sanksi yang terberat yaitu dalam bentuk isolasi sosial atau tidak diterimanya seseorang dalam keanggotaan banjar (kasepekan banjar). Karena itu program pembaharuan atau pembangunan atau pengerahan massa biasanya paling efektif dilakukan lewat banjar atau melalui pesangkepan banjar (rapat banjar ) yang diadakan secara rutin ( Sudhana Astika, dkk., 1986 ). Selain itu, pada masing-masing banjar juga terdapat kelompok sosial yang disebut sekehe teruna-teruni atau sekehe dehe. Jika anggota banjar terdiri atas para warga yang dipandang sudah dewasa (sudah berkeluarga), maka sekehe teruna-teruni terdiri atas para pemuda dan pemudi dari banjar tersebut serta berfungsi membantu kegiatan banjar serta untuk menjaga dan memelihara integritas sosial dan sebagai wadah untuk mensosialisasikan nilai-nilai budaya di desa. 30 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Keberadaan organisasi sosial adat tersebut di atas umumnya dijiwai oleh nilai gotong royong (kebersamaan), nilai swadaya, dan nilai bhakti (jiwa pengabdian sosial dengan semangat ngayah) yang cukup menonjol yang mewarnai keberadaan masing-masing organisasi tersebut. B. Lembaga Formal Institusi formal dari pemerintah yang paling bawah yang bersentuhan dengan hutan yaitu Desa Dinas/Kelurahan yang berada di sekitar hutan. Institusi pemerintah yang paling berwenang mengelola sumberdaya hutan untuk daerah Bali, yaitu Dinas Kehutanan Provinsi Bali, Dinas Perkebunan dan atau Pertanian pada masing-masing kabupaten.Untuk hutan-hutan negara seperti TNBB dan yang lain pengelolaannya juga masih berada di bawah kewenangan pemerintah pusat dari departement kehutanan. Selain itu terkait hutan dan keberadaan DAS juga terlibat lembaga PU dari bagian pengairan serta BUMN dari pemerintah (PDAM) sebagai pengguna jasa air bersih untuk publik Sementara itu, lembaga pendidikan formal yang terkait dengan keberadaan hutan bisa dari MIPA jurusan biologi, Fakultas Pertanian atau program studi lingkungan. C. Lembaga Swasta Lembaga swasta dapat menyangkut LSM yang bergerak di bidang lingkungan (hutan atau DAS), dan lembaga dari industri pariwisata (PHRI atau Biro Perjalanan/Travel Agent atau ASITA).
VI. KENDALA PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN DI BALI A. Kemiskinan dan Kerusakan Sumberdaya Hutan Kerusakan sumberdaya hutan sangat terkait dengan masalah sosial ekonomi penduduk, yaitu kemiskinan. Kemiskinan menjadi salah satu penyebab degradasi lingkungan, khususnya sumberdaya hutan. Demikian pula kemiskinan dapat berdampak pada putusanya akses masyarakat terhadap SDA milik bersama (commom property resources). Rusaknya sumeberdaya hutan dan putusnya akses masyarakat dengan sumberdaya hutan akan menciptakan kemiskinan baru. Posisi masyarkat miskin sangat marginal karena berada dalam kondisi serba kekurangan, sehingga tidak mampu memelihara hutan dan lingkungan apalagi untuk memulihkan kerusakan hutan. Kemiskinan dapat terjadi karena berbagai sebab seperti kemiskinan natural (alam), kemiskinan kultural, yaitu etos kerja yang rendah dan pendidik dan penguasaan keterampilan teknis yang kurang memadai. Kemiskinan kultural juga dapat menyakut pergeseran nilai budaya, yaitu runtuhnya nilai etika ekologi dan moral masyarakat atau para pejabat yang berwenang. Menurut wakil Departemen Kehutanan yang disampaikan dalam seminar “ Rencana Pengembangan Pariwisata Alam Nasional di Kawasan Hutan, di Denpasar, 10 Okt.2003, dari masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan, 40 % diperkirakan hidup dan tinggal di sekitar wilayah hutan. Sementara itu, untuk daerah Bali, berdasarkan data Dinas Sosial Provinsi Bali, jumlah KK miskin di Bali th.2003 mencapai 113.712 KK (Kabupeten Buleleng = 30.179 KK/32,20 %, Karangasem = 25.919 KK/27,66 %, Bangli = 4.982/5,23 %, Jembrana = 11.210 KK/11,95 %, Klungkung=7.314 KK/7,80%,Gianyar = 580 KK/0,62%, Tabanan=8.524 KK/9,10 %, Denpasar = 1.951 KK/2,08%, dan Badung= 3.053 KK/3,26 % 31 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Redahnya tingkat pemenuhan kebutuhan serta pemahaman masyarakat terhadap lingkungan berpengaruh pada perilaku yang cendrung mengganggu atau merusak lingkungan sekitarnya. Sebaliknya menurut Schumacher ( 1978 : 76), jika pendidikan hanya mengajarkan tentang sains dan keterampilan teknis (know how) juga tidak menjamin lestarinya fungsi lingkungan (ekosistem).
B. Konflik Kepentingan Koversi hutan menjadi kebun monokultur. Berdasarkan pengamatan secara langsung di kawasan bagian hulu, menunjukkan adanya
aktivitas berkebun terutama terjadi di sekitar
catchment area yaitu di kawasan hutan lindung yang terletak di daerah Kintamani seperti di sekitar Desa Manik Liu, Lembean, Ulian, Serai, Desa Awan, dan Gunung Bau. Aktivitas berkebun yaitu kebun kopi dengan vegetasi penau yaitu pohon dadap yang cukup rapat serta vegetasi alami lain yang bersifat endemik berupa cemara/pinus, pohon seming, pinus, berbagai jenis bambu, pohon enau, nangka atau kebun campuran serta semak
belukar dan ilalang
dikonversi dengan budidaya tanaman monokultur yang bernilai ekonomis lebih tinggi, seperti penanaman jeruk, palawija seperti jagung dan ketela dengan sistem terasering yang kurang baik. Menurut informasi petani setempat, hasil budidaya jeruk hampir mencapai dua kali lipat (sekitar Rp.40.juta/ha dlm setahun) jika dibandingkan dengan hasil budidaya kopi (Rp.25 juta/ha dlm setahun). Karena mendapat keuntungan yang lebih besar, maka ada kecendrungan kebun campuran atau kebun kopi diganti dengan tanaman jeruk yang lingkungannya harus selalu bersih (tanah tanpa penutup vegetasi). Atau ada upaya konversi dari kebun campuran ke monokultur jeruk. Melalui budidaya kebun jeruk mereka dapat menikmati 2 kali panen setahun, yaitu panen raya sekitar bulan Juli-Agustus, dan panen nyeladian (panen tambahan /panen kecil) yaitu 6 bulan setelah panen raya. Menurut informasi petani setempat, kecendrungan budidaya jeruk ini mulai terjadi sekitar th. 1997 (5 tahun lalu). Ini merupakan salah satu cotoh kasus konflik kepentingan antara konservasi DAS dan tekanan ekonomi masyarakat sekitar. Kasus serupa dapat dan sangat mungkin juga terjadi
di tepat lain. Kasus lain yang cukup besar dan
sangat akutal yaitu rencana pemabangunan pembangkit listrik geotermal di Bedugul Desa Candi Kuning Kabupaten Tabanan yang akan menelan puluhan hektar hutan.Dalam proyek geotermal ini terlibat banyak kepetingan, yaitu kepetingan air, energi listrik, ekonomi, ekologi dan kepentingan budaya c. Pencurian Kayu hutan Menurut informasi penduduk, gundulnya kondisi hutan di kawasan hulu juga disebabkan karena adanya perilaku penduduk yang mencuri kayu. Penebangan pohon-pohon secara liar di kawasan hutan, seperti di
di Kintamani pernah terjadi ketika angin badai menerjang dan
menumbangkan pohon-pohonan besar seperti cemara dan pohon
lainnya. Dengan kedok
membersihkan atau memungut kayu dari pohon-pohon yang rebah, penduduk juga menebang pohon-pohon yang masih tumbuh dan berdiri kukuh yang ada di sekitarnya. Akibatnya kini hutan lindung yang ada di kawasan hulu terutama yang ada di kawasan Kintamani kerapatan pohonnya semakin jarang, bahkan ada beberapa tempat yang tampak gundul, karena lahan penutup seperti 32 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
semak belukar dan rerumputan dibersihkan
atau dikupas dari permukaan tanah. Hal ini
berdampak pada meningkatnya erosi lahan terutama pada musim hujan yang lalu yang meningkatkan sedimen sungai, sehingga air sungai tampak selalu keruh. Hal ini tentu
sangat
merugikan jasa usaha air bersih seperti PDAM dan usaha arung jeram/rafting.yang ada di DAS Ayung. D. Kebakaran Hutan Kebakaran hutan hutan cukup sering terjadi terutama pada hutan yang ada di daerah kintamani, karangsem dan baturiti. Kebakaran hutan dapat terjadi secara alami, dan juga sering disebabkan karena ulah para petani yang membuang puntung rokok pada saat mereka mencari pakan ternak di hutan. Karena terbasnya peralatan teknologi, sehingga penangan kebakaran hutan sangat memprihatinkan
33 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
E. Lemahnya Kordinasi Litas Sektoral Lemahnya Kordinasi Litas Sektoral antar instansi yang terkait (egosektoral) dalam perencanaan pembangunan atau dalam pengelolaan sumberdaya alam (hutan). Selain itu, isu Otonomi Daerah juga dapat memicu terjadinya eksploitasi sumberdaya hutan yang berlebihan untuk meningkatkan PAD dalam pembangunan. VII. PENGELOLAAN HUTAN BERBASIS MASYARAKAT LOKAL Menghadapi permasalahan tersebut di atas, selain harus membenahi sektor formal (dinas /instansi), kiranya perlu dikembangkan pengelolaan hutan yang berbasis masyarkat setempat. Menurut PERMEN Kehutanan No: P.01/Menhut-II/2004, yang dimaksud dengan social forestry (pengelolaan hutan berbasis masyarakat), yaitu sistem pengelolaan sumberdaya hutan pada kawasan hutan negara dan atau hutan hak, yang memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat sebagai
dan atau mitra utama dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya dan
mewujudkan kelestarian hutan. Masyarakat lokal (setempat), yaitu masyarakat yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan yang merupkan kesatuan komunitas sosial didasarkan atas mata pencaharian yang bergantung pada hutan, kesejarahan, keterikatan tempat tinggal serta pengaturan tata tertib kehidupan bersama dalam wadah kelembagan. Social forestry dilaksanakan berdasarkan pengelolaan hutan berbasis
pemberdayaan
masyarakat dengan memperhatikan prinsip-prinsip : manfaat dan lestari, swadaya, kebersamaan dan kemitraan, keterpaduan antarsektor, bertahap, berkelanjutan spesifik lokal dan adaptif. Pengelolaan hutan yang berbasis social forestry harus dilakukan secara terpadu antarinstansi atau stakeholder yang terkait, dan terpadu dalam
metode pendekatannya (pendekatan ekologis,
teknologis, ekonomis, sosial kutural, dan sosial politik) Jadi selain harus memperhatikan kualitas ekologis dan aspek lain, maka penangan aspek sosial harus mendapatkan prioritas. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, maka indikator kualitas lingkungan sosial ( Jony Purba , 2002: 29 – 30) dapat meliputi: 1) segenap pihak diikutsertakan dan masing-masing mempunyai peran dan tanggung jawab. Hal ini didasarkan pada prinsip partisipatif dan bertanggung jawab; 2) hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat luas guna meningkatkan kesejahteraan hidupnya; Hal ini ditandai dengan tingkat ekonomi dan pendapatan masyarakat yang memadai, tempat tinggal dan pemukimanan yang sehat dan aman, adanya kesempatan bekerja dan berusaha, tingkat pendidikan penduduk yang memadai dan kesehatan yang prima, distribusi penduduk yang sesuai dengan daya dukung lingkungan dan daya tampung sosial; dan 3) adanya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat serta modal sosial yang dikembangkan masyarakat dalam pemanfaatan sumebrdaya alam (hutan) dan pengelolaan lingkungan hidup. Hal ini ditandai dengan
adanya perlindungan terhadap hak-hak ulayat/adat
masyarakat lokal, dan perlindungan hukum terhadap hak intelektual warga maupun kelompok masyarakat.
34 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
DAFTAR PUSTAKA
Altman, I. dan Chermers, M. 1984. Culture and Environment. Cambridge University Press, California. Ariwibawa, I Bagus, 1988. Pura Batu Madeg di Besakih, Suatu Kajian Arkeologi. Skripsi Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar. Aryawati, Gusti Ayu, 1990. Perkembangan Subak di Bali Tahun 1938 - 1988. Skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Sastra Universitas Udayana, Denpasar. BAPEDAL, 1997. Undang-Undang No. 28 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Jakarta. Belcer, Karl W., 1987. Archeology as Human Ecology: Method and Theory for a Contextual Approach. Cambridge University Press, New York. Darmika, I.B., 1992. Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan dan KelestarianLingkungan : Sebuah Kajian Tentang Tradisi dan Perubahan. Thesis. Universitas Udayana, Denpasar. Derpartemen Kehutanan, Taman Nasional Bali Barat, 1995. Flora Langka Taman Nasional Bali Barat. Gilimanuk-Bali. Dinas Dikbud Propinsi Bali, 1986a. Usana Bali Usana Jawa, Denpasar Dinas Dikbud Propinsi Bali, 1986b. Babad Dalem, Denpasar Dinas Kehutanan Propinsi Bali, 2003. Hutan dan Kehutanan Propinsi Bali, Denpasar. Ginarsa, I.Ketut, ---------. Ekspedisi Gadjah Mada ke Bali, di dalam: Majalah Ilmuilmu Sastra Indonesia, Penerbit Bharata, Jakarta. Gore, R., 1954a. Prasasti Bali I. NV. Masa Ilmu, Bandung Gore, R., 1954b. Prasasti Bali II. N.V. Masa Ilmu, Bandung Schumacher, 1987. Kecil Itu Indah (terjemahan), LP3ES, Jakarta. Wardi, I Nyoman, 2003. Pengelolaan Hutan Pada Zaman Bali Kuno (Kajian Arkeologi Lingkungan). Proyek Penelitian Dosen Muda Didanai Ditjen Dikti, Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
35 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PROSPEK PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN CENDANA (Santalum album L.) DI PROPINSI BALI Oleh I Komang Surata
ABSTRAK Cendana (Santalum album L. ) yang dikenal dengan nama melayu sendana dan dalam dunia perdagangan Sandalwood memegang peranan yang sangat penting sebagai penghasil kayu kerajinan dan memiliki nilai ritual keagamaan yang cukup tinggi di Propinsi Bali. Kebutuhan kayu cendana di daerah ini semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan kemajuan pariwisata. Dewasa ini tidak ada lagi pasokan bahan baku kayu cendana secara resmi dari Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) mengingat populasi cendana di daerah ini sudah menurun dan di beberapa tempat sudah hampir punah. Hal ini karena eksploitasi yang dilakukan secara berlebihan dan terus-menerus, illegal logging serta ketidak berhasilan penaman. Saat ini eksploitasi cendana sudah dihentikan. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan kayu cendana di Propinsi Bali maka perlu segera dilakukan penanaman. Berdasarkan data biofisik wilayah, sosial budaya ekonomi masyarakat dan kesiapan teknologi .maka hampir sepertiga wilayah di Propinsi Bali memenuhi syarat untuk lokasi penanaman cendana. Penanaman dilakukan di lahan/ladang masyarakat (hutan rakyat) dalam bentuk tanaman jalur atau sisipan,sistem tumpangsari,model sumber benih dan kepemilikannya dapat diserahkan ke masyarakat. Model ini sangat bermanafaat untuk memenuhi kebutuhan lahan penanaman cendana yang terbatas dan masyarakat dapat berperan secara aktif untuk memelihara dan menjaga keamanan tanaman cendana. serta dalam jangka panjang dapat menambah pendapatan masyarakat. Untuk menciptakan kemandirian masyarakat maka dalam penanaman cendana pemerintah pusat/daerah dalam 5 tahun pertama perlu memberikan bantuan bibit dan penyuluhan teknologi penanaman kepada petani peserta penanaman dan selanjutnya dimasa mendatang masyarakat diharapkan sudah mampu mandiri untuk melaksanakan program pengembangan budidaya cendana. Kata Kunci: industri kerajinan, nilai ritual keagamaan, populasi menurun, pengembangan cendana, hutan rakyat,silvikultur intensif
I.PENDAHULUAN
Cendana (Santalum album L. ) yang dikenal dengan nama melayu sendana dan dalam dunia perdagangan Sandalwood memegang peranan
yang sangat penting sebagai
kayu
kerajinan,penghasil minyak wangi dan memiliki nilai ritual keagamaan yang cukup tinggi di Bali. Bahan kerajinan yang membutuhkan bahan dasar kayu cendana adalah industri kerajinan patung,1 kipas, tasbih dan bahan aneka dupa. Disamping itu
secara sosial budaya keagamaan oleh
pemeluk Agama Hindu di Bali kayu cendana sangat dibutuhkan untuk kegiatan ritual upakara dan bangunan suci. Selama ini pasokan kayu cendana di Propinsi Bali didatangkan dari Pulau Sumba dan Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Namun dewasa ini karena terjadi penurunan populasi
yang sangat tinggi, akibat eksploitasi yang dilakukan secara terus -menerus dan
berlebihan serta tingginya pencurian maka populasi cendana di beberapa lokasi di NTT sudah
36 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
hampir punah. Oleh karena itu kegiatan penebangan dan pengiriman kayu cendana ke Bali secara resmi telah dihentikan sejak tahun 1997. Pasokan kayu cendana dari NTT ke Bali sejak tahun 1986 sudah mengalami kekurangan . Menurut Kanwil Kehutanan Bali (1987) pada tahun 1986 pasokan kayu cendana ke Bali sebesar 25 ton pada hal kebutuhan untuk kayu kerajinan di Bali sebesar 75 ton/th. Kebutuhan kayu cendana untuk industri kerajian di Bali akan semakin meningkat seiring dengan kemajuan pariwisata dan pertambahan jumlah penduduk. Untuk mengantisipasi permasalahan tersebut sebenarnya sejak tahun anggaran 1968/1969 di Bali telah mulai dikembangkan penanaman cendana yaitu di Kawasan Hutan Bali Barat. Namun karena keterbatasan anggaran maka usaha ini dihentikan. Sampai tahun 1987 di Bali telah tercatat luasan tanaman cendana mencapai 102,4 ha (Dinas Kehutanan Propinsi Bali,1987). Namun karena tingkat keamanan hutan tanaman cendana kurang menguntungkan akibat gangguan terutama pencurian maka pohon cendana saat ini sudah habis ditebang dan hanya tinggal terubusannya saja. Untuk
mengatasi
permasalahan
ini
terutama
kebutuhan
kayu
cendana
yang
meningkat,sedangkan disisi lain daerah produsen cendana di Propinsi NTT sudah menghentikan pengirimannya ke Bali maka sudah selayaknya pengembangan tanaman cendana dilakukan . Akan tetapi pengembangannya harus memperhatikan faktor-faktor penunjang dan penghambat terutama berdasarkan pengalaman kegagalan pengembangan cendana dimasa lalu di Bali. Oleh karena itu pemerintah daerah sudah selayaknya melakukan pengembangan cendana dan segera menyusun strategi pengembangannya. Dengan demikian dimasa yang akan datang Bali diharapkan menjadi sentra kayu cendana di Indonesia mengingat tingginya dukungan sosial budaya masyarakat Ba;i. Perlu diketahui pada abad ke 3 kayu cendana di India didatangkan dari Pulau Timor dengan perahu-perahu dagang lewat kerajaan Sriwijaya dan karena dukungan sosial budaya yang tinggi maka India mulai melakukan penanaman cendana di daerah Mysore yang bijinya didatangkan dari Pulau Timor (Wind dan Rissew,1950). Dewasa ini tercatat India adalah
kayu cendana yang paling tinggi di dunia
dan produksinya rata-rata 2000 ton/th
(Barett,1989), sedangkan Propinsi NTT pada tahun tersebut hanya tercatat 600 ton/th (Surata,2004). Bertolak dari permasalahan tersebut di atas , dalam tulisan ini akan dipaparkan tentang, faktor pendukung pengembangan budidaya cendana (faktor biofisik wilayah, sosial budaya dan ekonomi masyarakat, kesiapan teknologi, species), permasalahan budidaya dan strategi/model pengembanganya.. II.FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNG PENGEMBANGAN A, Dukungan Biofisik Wilayah. 1. Iklim. Hasil kajian literatur yang disajikan pada Tabel 1 menunjukkan bahwa umumnya cendana di Pulau Timor tumbuh baik pada daerah yang mempunyai iklim kering yang jelas atau berdasarkan klasifikasi Schdmith dan Ferguson (1951) memiliki tipe iklim D,E, dan F
37 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dengan curah hujan 625 –1625 mm/th dan jumlah bulan kering 7-8 bulan. Pertumbuhan cendana di daerah iklim kering pegunungan Pulau Timor justru lebih baik karena curah hujan lebih tinggi. Di daerah curah hujan lebih rendah terutama yang mendekati daerah pantai pertumbuhannya lebih rendah (Hamzah,1976). Berdasarkan kriteria peta agoklimat Bali dan Nusa Tenggara (Oldeman at.al.,1980) dan persayaratan iklim tanaman cendana maka hampir sepertiga wilayah di Bali mempunyai prosfek yang baik untuk dikembangkan cendana yaitu kabupaten-kabupaten yang berdekatan dengan pantai yang mempunyai iklim kering yaitu: pulau kecil di Bali ( Nusa Penida, Nusa Lembongan, Nusa Ceningan), Bali Timur ( Karangasem), Bali Barat (Negara dan Singaraja), Bali Selatan ( Jembrana, Badung, Tabanan,Gianyar dan Kelungkung). (Gambar 1). Tabel 1. Kondisi Iklim, Ketinggian Tempat dan Jenis Tanah yang Cocok untuk Pengembangan Cendana . Parameter
Persyaratan tumbuh
Tipe Iklim
Schidmith dan Ferguson Tipe Iklim D,E, 625-1625 mm/th jumlah bulan kering 7-8 bulan 800-1000 mm/th jumlah bulan kering 7-9 bulan
Timor,Sumba,Flores,Alor, Pantar,Alor dan Wetar Timor
Surata, 2004
Bangalore,India
Barett,1989
Suhu
18 – 35 ° C Rata-rata 23 ° C
Timor Bangalore,India
Surata,2004 Barett,1985
Ketinggian Tempat
600-1000 m dpl 50-1000 m dpl 400-800 m dpl (optimum)
India Timor Jatim,Sulawesi,
Barett,1989 Surata,2004 Dephut,1992
Jenis Tanah
Litosol,Mediteran, Regosol,Kompleks
Curah Hujan
Lokasi
NTT
Sumber
Surata,2004
Hamzah,1976 Surata,2004
2. Ketinggian Tempat dan Suhu Udara. Menurut Hamzah (1976 ) di Pulau Timor pohon cendana tumbuh baik pada ketinggian 50 - 1000 m dpl . Semakin tinggi tempat tumbuhnya pertumbuhannya semakin baik, contohnya yaitu di daerah Fatumnasi dan Netpala (Kabupaten TTS_) memiliki pertumbuhan yang lebih baik dari pada yang tumbuh di dataran yang lebih rendah seperti di Kabupaten Kupang. Menurut Barett (1989) tanaman cendana menghendaki temperatur minimum 10ºC dan maksimum 35º C. Sesuai persyaratan ketinggian dan suhu udara maka seluruh daerah di Bali memenuhi syarat untuk pengembangan cendana kecuali sebagian ketinggian G.Agung dan Pegunungan Batukaru. 3. Jenis Tanah Menurut klasifikasi PPT (1993) jenis tanah untuk pertumbuhan alami cendana NTT adalah jenis tanah litosol, mediteran dan regosol dengan bahan induk batuan kapur dan vulkanik. Sifat 38 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
kimia tanah dibawah tegakan hutan alam cendana di P.Timor adalah : tanah di lapisan atas longgar, warna tanah dari merah sampai coklat. Di tanah hitam atau putih pertumbuhan cendana kurang baik ini berarti cendana menyukai jenis tanah litosol dan red mediteran (Hamzah 1976). dan kematiannya cukup tinggi bila ditanam di tanah grumusol. Pada umumnya tanah di NTT miskin cadangan mineral dan
mempunyai kisaran pH tanah 6,59-6,73. Kisaran tersebut
termasuk pH sedang (netral) yang termasuk pH yang baik dan dapat menunjang ketersediaan berbagai unsur hara bagi tanaman Sedangkan sifat fisik tanah mempunyai porositas,drainase, air tersedia baik serta permeabilitas tinggi. Tanah kaya akan zat besi. Hasil studi Hamzah (1976) menyatakan bahwa tempat pertumbuhan cendana di Pulau Timor adalah tanah dangkal dan berbatu (±30 cm), tekstur tanah lempung, pH tanah netral sampai alkalis, Kadar N sedang, P2O5 sedang sampai tinggi, K2O rendah sampai tinggi, warna tanah merah sampai coklat. Pada tanah hitam atau putih keabu -abuan cendana kurang baik pertumbuhannya. Menurut Cherrier (1991) pada tanah berbahan induk batu kapur semakin dalam solum tanah riap tahunan diameter semakin tinggi dan riap diameter yang terbaik pada solum tanah > 10 cm , pada umur 20 tahun dapat mencapai riap diameter 1,49 cm/th. Berdasarkan kondisi tempat tumbuh alam cendana dan peta tanah tinjau P.Bali ( LPT,1970) maka jenis tanah yang ada di Bali yang cocok untuk pengembangan cendana adalah sebagai berikut: a. Kompleks Regosol Coklat –Kelabu. Jenis tanah ini mempunyai sebaran di kaki bawah sebelah Timur dan Selatan Gunung Agung serta sebelah Utara Gunung Batur. Jenis tanah ini berwarna coklat tua hingga kelabu muda, bertekstur kasar hingga berkerikil, mempunyai konsistensi lepas dengan permeabilitas dan drainase tinggi. b. Kompleks Lithosol. Penyebaran di Gunung Seraya dan daerah perbukitan di Karangnasem,. Tanah berwarna coklat kelabu, bertestruktur kasar, berkerikil , dengan struktur lepas,gembur dan permeabilitas tinggi. c. Kompleks Mediteran. Mempunyai sebaran di lereng Gunung Seraya, Nusa Penida Nusa Lembongan, Prapat Agung (Bali Barat) dan sebagian Bali Selatan. 4. Kesesuaian Biofisik Wilayah. Berdasarkan peryaratan iklim ,ketinggian tempat dan peta tanah tinjau P. Bali maka daerahdaerah yang sesuai untuk dikembangkan tanaman cendana di Bali yaitu hampir meliputi sepertiga luas daerah Bali yang meliputi kabupaten- kabupaten yang berdekatan dengan pantai . seperti
Kabupaten Klungkung (bagian Selatan Kelungkung,Nusa Penida,Lembongan dan
Ceningan) , Karangasem (di sekitar Gunung Seraya dan di bagian selatan dan timur Gunung Agung), Kabupaten Buleleng ( di bagian Timur, Barat dan Utara) ,Kabupaten Jembrana ( daerah bagian barat dan selatan) , Kabupaten Badung (daerah di bagian selatan), Kabupaten Tabanan dan Gianyar ( daerah bagian selatan ) yang disajikan pada Gambar 2. B. Dukungan Sosial Budaya dan Ekonomi Masyarakat Masyarakat Bali
terhimpun ke dalam Desa Pakraman yang masing-masing terdiri dari
sejumlah Banjar Adat. Mata pencaharian penduduk sebagian besar petani/nelayan, sebagian kecil 39 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pedagang dan pekerja industri jasa , pegawai negeri/TNI atau Polri. Secara umum tingkat pendapapatan per kapita masyarakat Bali secara nasional cukup baik. Khusus yang bekerja di sektor jasa bahan kerajinan , untuk menopang usahanya, para perajin membutuhkan kayu cendana . Dari sisi sosial budaya , masyarakat Bali adalah pemeluk agama Hindu yang taat dan cukup kuat memegang dan menerapkan adat istiadat Bali dengan konsep Tri Hita Karana. Salah satu konsep ini mengisyaratkan bahwa hubungan manusia dengan alam lingkungannya harus terjaga dengan baik. Salah satunya kewajiban masyarakat Bali untuk menjaga dan melestarikan hutan , seperti kegiatan pembuatan hutan tanaman cendana. Menurut kepercayaan orang Bali cendana adalah kayu yang memiliki kekuatan magis sebagai kayu wangi yang dipakai masyarakat Hindu sebagai bahan bangunan suci, aneka dupa atau bahan pembuat asap dalam setiap persembahyangan. Kata Cenana
(Cendana) selalu
muncul dalam kidung (nyanyian untuk pemujaan) Warga Sari hampir dalam setiap upacara di Pura Pura (Dewa Yadnya) di Bali. Potensi ekonomi masyarakat Bali masih menggantungkan diri dari kegiatan pariwisata . Upaya pengembangan wisata di daerah Bali seiring dengan peningkatan kebutuhan barang kerajinan. Menurut Kanwil Kehutanan Bali (1987) kebutuhan kayu kerajinan di Bali mencapai 15.000 m3/th yang terdiri dari berbagai jenis. Kebutuhan barang kerajinan dari kayu cendana pada tahun 1987 tercatat sebesar 75 ton/th.. Dengan terjadinya pertambahan jumlah penduduk dan kemajuan pariwisata maka kebutuhan kayu ini semakin meningkat. Selama ini kebutuhan barang kerajinan untuk industri pariwisata Bali salah satunya berasal dari kayu cendana. Bentuk-bentuk kerajinan yang banyak membutuhkan kayu cendana di Bali adalah jenis patung, kipas, tasbih disamping juga untuk kebutuhan,minyak wangi, obatobatan dan bahan kosmetik. Sektor usaha barang kerajinan ini sangat berperan sekali dalam menunjang perekonomian masyarakat Bali. Produk pemasaran kayu dan barang kerajinan cendana laku keras di Bali. Melihat kebutuhan yang tinggi kayu cendana di Bali masyarakat Bali ,sebenarnya dari aspek sosial budadaya dan ekonomi sangat mendukung sekali menanama cendana di lahan milik mereka. Sebagai contoh pada acara pembagian bibit cendana di Nusa Penida tahun 2004 yang dilakukan oleh Badan Litbang Kehutanan masyarakat sangat antusias sekali untuk menanam cendana secara swadaya. C. Dukungan Paket Teknologi Paket-paket teknologi hasil penelitian cendana yang telah dihasilkan seperti teknik perbenihan, persemaian, penanaman,pemeliharaan hutan tanaman,pemanenan, regenerasi hutan alam yang secara ringkas disajikan pada Tabel 2 dapat diterapkan dalam menunjang system budidaya cendana di Bali.. Dari aspek perbenihan pemunuhan kebutuhan benih cendana bermutu dengan kualitas dan kuantitas yang memadai dewasa ini masih sangat kurang hanya masih dalam tingkat penelitian. 40 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kegiatan yang sedang dan telah dilakukan antara lain pemilihan pohon plus, uji keturunan, uji provenan, teknik kultur jaringan, pembangunan kebun benih. Adapun hasil sementara kegiatan ini pembangunan kebun benih uji keturunan seluas 1,5 ha di Oelbubuk dan dewasa ini sudah berproduksi,
Tabel 2. Ringkasan Paket Teknologi Hasil Penelitian Cendana Paket Teknologi
Teknik yang dihasilkan
Perbenihan
Pengunduhan buah yang baik dilakukan pada musim berbuah ke dua (panen raya) yaitu pada bulan Maret-April., Cendana mulai berbuah pada umur 4-5 tahun akan tetapi kualitasnya kurang baik, umur optimal berbuah adalah pada umur 20 tahun.Masak fisiologis cendana ditandai oleh daging buah berwarna hitam..Buah yang masak dipungut ,dibersihkan,dijemur sampai kadar air 5-8 % dan disimpan di refigerator suhu 4° C dengan daya simpan sampai 2 tahun.. Dalam -1 kg biji terdapat 5000 biji, dengan persen kecambah 40-50 %
Persemaian
Penyemain biji cendana dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu : lewat pendederan di bedeng tabur dengan media pasir halus 100 % atau lewat penanaman secara langsung di bedeng sapih ( polibag ) 3 biji/polibag dengan media tanah:pasir 4:1 pada tanah yang kandungan liatnya tinggi atau tanah :kompos 5;1 pada tanah yang rendah unsur hara.. Penyemaian biji cendana dilakukan bersamaan dengan penanaman inang primer Alternantera sp. atau cabe (Capsicum frustescen) dalam satu polibag. Umur semai siap tanam > 8 bulan. Sebulan sebelum ditanam dilapangan dilakukan hardening off. Kualitas bibit yang baik tinggi 25-45 cm,diameter 0,6-0,8 cm, batang warna coklat/berkayu, berdasarkan pengalaman hanya 60 % bibit yang kualitasnya baik..
Penanaman
Penanaman dilakukan di lokasi yang sesuai dengan habitat cendana. Penanaman bisa dengan biji,stump dan anakan (plances),selama ini penanaman yang terbaik masih dengan plances (bibit). Jarak tanam 3 x 3 m yang disertai penanaman inang sekunder (inang jangka menengah) dalam lubang yang sama dengan cendana jenis ,turi, A.villosa lamtoro. Inang jangka panjang ditanam dengan jenis Casuarina, mimba, johar sebanyak 20 % dari populasi cendana.. Pada daerah kritis yang kurang curah hujannya perlu menggunakan irigasi tetes sampai tanaman sehat (tanaman dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan). Penanaman dengan tumpang sari terbukti paling baik meningkatkan pertumbuhan cendana..
Pemeliharaan Tanaman
Pembersihan gulma, pendangiran, pemangkasan inang dilakukan secara kontinu yang menaungi cendana.Perlindungan tanaman meliputi pengendalian dari hama dan penyakit serta perlindungan dari gangguan ternak dan pencurian
Pemanenan
Sistem pemanenan dilakukan dengan tebang pilih dengan persyaratan kedalaman bor gubal sampai teras setinggi dada <2,5 cm pada umur daur optimal 50 tahun.. Produksi per pohon rata 100 kg/ph kayu teras. Kadar minyak cendana dari species Santalum album adalah 5-7 % dengan kadar santalol 90 % dan kandungan minyak di akar paling tinggi.
41 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Regenerasi alam
Rgenerasi alam cendana bisa lewat biji,tunas akar baik dari gangguan akar lateral dan penggalian tugak akar saat pemanenan. Permudaan alam dengan biji keberhasilannya rendah (11,94 %). Sedangkan yang terbanyak adalah dari gangguan akar lateral karena kena cangkul (secara tidak sengaja ) (27,21 %) dan penggalian tunggak akar saat pemanenan (60,85 %). Teknik buatan dapat dilakukan dengan cara penggalian akar lateral pohon induk cendana sampai tersingkap, disertai pemotongan akar lateral sepanjang 12 cm , pemberian hormon tumbuh Rootone F 400 ppm yang dilakukan pada musim kemarau. Permudaan dari tungggak akar dapat dilakukan dengan cara penggalian tunggak akar yang dilakukan saat penebangan cendana dan dibuat potongan akar lateral tersingkap.
Sumber,Surata, Idris (2001) Teknik pembuatan hutan tanaman cendana yang sementara ini dilakukan ditujukan untuk menunjang keberhasilan tumbuh dan peningkatan produktivitas dalam pembuatan hutan tanaman. Pembuatan hutan tanaman memerlukan dukungan benih yang baik, teknik budidaya intensif
(ditunjang kwalitas bibit yang baik serta pengelolaan penanaman yang
intensip).
Model partisipatif system tumpang sari dapat dikembangkan untuk pembuatan hutan tanaman cendana melalui kegiatan pembuatan hutan rakyat dan hutan kemasyarakatan. Teknik perbanyakan cendana pengelolaan permudaan cendana dapat dilakukan untuk memperbanyak tanaman cendana secara buatan pada tanaman cendana yang umurnya sudah mencapai 5 tahun. Dan teknik ini ternyata mudah dilakukan dan keberhasilannya cukup baik (Surata dan Idris, ,2001). Disamping itu setelah eksploitasi perlu dilakukan pemeliharaan penggalian tunggak akar karena potensi terubusannya cukup banyak. Untuk menjaga kelestarian cendana maka dalam pemanenanan
perlu dilakukan pada
pohon-pohon yang telah masak tebang yaitu cendana yang mempunyai kedalaman bor gubal kurang dari 2,5 cm, karena kalau teknik ini tidak dilakukan maka pohon-pohon
yang belum
layak tebang dan mempunyai prospek produksi yang tinggi akan menjadi korban. D. Dukungan Species (Jenis). Cendana yang telah dikembangkan di Bali
adalah species
Santalum
album yang
merupakan species yang terbaik di dunia yang berasal dari Indonesia. Menurut Wind dan Risseuw ( 1950) sebaran alami Santalum
album
di Indonesia terdapat di Pulau :Flores,
Adonara,Solor,Lomblen,Alor,Pantar, Rote,Timor , Sumba dan Wetar. Perlu diketahui bahwa di dunia genus Santalum terdapat pada kisaran kondisi tempat tumbuh yang lebar. Menurut Hamilton (1990) pohon cendana dari famili Santalaceae yang ada di dunia hanya 29 species yang tumbuh secara alami tersebar di Indonesia,Australia,India dan negara-negara kepulauan Pasifik. Akan tetapi yang dieksploitasi hanya 8 species
karena
mempunyai aroma dan kadar minyak Santalum album L. adalah salah satu species cendana yang menghasilkan kadar minyak (5-7 %) dan volume kayu teras yang yang paling tinggi di dunia,sehingga beberapa negara sangat tertarik untuk mengembangkan species tersebut. India adalah salah satu negara yang telah berhasil mengembangkan tanaman cendana dari species Santalum album L.yang bijinya didatangkan dari Pulau Timor (Wind dan Rissew,1950). Pada tahun 1990 Australia sedang intensif mengembangkan species cendana yang bijinya didatangkan dari India. Sampai tahun 2005 direncanakan Australia sudah mempunyai 600 ha kebun benih 42 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Santalum album. dan pada tahun 2021 hasil tanaman ini diperkirakan bisa menggantikan S. spicatum (Haffner,1993). III. PERMASALAHAN PENGEMBANGAN A. Keterbatasan Benih Masalah perbenihan merupakan awal dari aktifitas dalam rangkaian pembangunan hutan tanaman cendana Pembangunan benih dalam pembangunan hutan mengandung 2 pengertian pokok yang saling berkaitan erat yaitu pemenuhan benih dalam kuantitas dan kualitas . Benih harus untuk mencukupi untuk areal yang akan ditanami dan mampu berkecambah serta tumbuh menjadi pohon yang berkwaliras baik sehingga hutan yang terbentuk mempunyai kwalitas yang tinggi. Dewasa ini ketersediaan benih cendana dalam sekala besar baik
jumlah maupun
kwalitasnya tidak memadai. Bahkan di daerah asalnya cendana yaitu di Pulau Timor dan Sumba juga tidak memungkinkan lagi mengembangkan cendana dalam sekala yang luas. Oleh karena itu di Bali disarankan mulai menanam cendana dalam sekala kecil dan berkesinambungan yang sekaligus dalam rangka membangun sumber benih cendana. dengan harapan setelah 5 tahun ke depan tanaman cendana ini sudah bisa dimanfaatkan sebagai sumber benih
dan akan
memperoduksi biji yang dapat dipakai untuk pengembangan cendana selanjutnya. Alternatif pengembangan cendana dapat juga berasal dari benih kultur jaringan, akan tetapi karena biayanya cukup mahal yang jatuhnya Rp 18.000 /bibit dan membutuhkan waktu yang cukup lama lebih dari 1 tahun maka teknik ini agak sulit untuk diterapkan mengingat biayanya tinggi dan produksinya masih terbatas (Herawan,2003). B. Tingginya Pencurian. Tanaman
cendana
yang
telah
ditanam
di
Bali
sejak
tahun
1968/69
,1969/70,1973/1974,1974/1975/1975/1976 di lokasi Sumberrejo,Sumberklampok, dan Tegal Bunder, BKPH Gilimanuk,KPH Bali Barat seluas mencapai 102,4 ha.dengan tingkat pertumbuhan sedang, merupakan hutan tanaman cendana yang ditanam.pertama .yang mulai dicoba dikembangkan cendana. Pada umur 10 tahun pertumbuhan diameter berkisar 10-20 cm dan pohon mencapai tinggi 3-5 m.. (Dinas Kehutanan Propinsi Bali,1987). Namun dewasa ini tanaman cendana sudah habis dan tinggal terubusan akibat pencurian. Oleh karena itu untuk strategi pengembangan cendana di masa mendatang di Bali perlu dipertimbangkan masalah keamanan areal tanaman. Disamping
itu mengingat keterbatasan
lahan untuk penanaman maka areal penanaman dilakukan di lahan rakyat dalam bentuk model hutan rakyat yang dikembangkan di setiap lahan petani. Sistem ini sejak beraba- abad yang lalu telah terbukti berhasil dan mampu menopang 83 % produksi cendana di Pulau Timor dan terbukti
masih bertahan sampai sekarang meskipun populasinya sudah berkurang akibat
banyaknya gangguan.. C. Gangguan Hama dan Penyakit
43 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pengembangan cendana dalam sekala yang luas di luar daerah penyebarannya akan menyebabkan gangguan terhadap hama dan penyakit. Pengembangan cendana secara monokultur di Sumberkelampok telah dilaporkan mengalami serangan hama kutu sisik dan konmeo sehingga menimbulkan kematian tanaman cendana hampir 27,8 % di lapangan (Suharti dan Natawirya ,1977). Di India juga dilaporkan jenis kutu sisik ini sebagai agen pembawa penyakit sapu (speke deseases) dan hampir merusak dan mematikan sebagian besar tanaman cendana sehingga untuk menanggulanginya harus mendatangkan genetik yang tahan penyakit dari Pulau Timor (Barrett,1989) Penanaman cendana di luar daerah agihannya dan secara monokultur memang sangat rentan terhadap hama dan penyakit. Menurut Manan (1997). tegakan monokultur adalah tegakan yang sekurang-kurangnya 90 % dari jumlah pohon per ha adalah dari species yang sama Tegakan monokultur biasanya rawan terhadap serangan hama dan penyakit untuk mengurangi dampak negatif tegakan monokultur, maka untuk budidaya cendana perlu ditanam pohon pencampur 15-20 % yang ditanam di batas-batas areal tanaman (batas petak tanaman,batas hutan,pohon tepi ) atau secara campuran yang sekaligus berfungsi sebagai jenis inang jangka menengah dan panjang . D. Alih Teknologi ke Masyarakat Untuk meningkatkan keberhasilan penanaman cendana perlu meningkatkan keterampilan masyarakat peserta penanaman yaitu dengan menyebarkan teknologi penaman cendana ke masyarakat yang dilakukan melalui pelatihan atau penyuluhan . Balai Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan Kupang sudah melakukan pelatihan akan tetapi pesertanya masih terbatas dan belum menyentuh ke masyarakat pengguna. Oleh karena itu
untuk efektifitas dan efisiensi saat
pembagian bibit ke masyarakat sekaligus diprogramkan prakondisi berupa sosialisasi teknologi penanaman ke masyarakat. E. Masalah Program dan Anggaran. Masalah program dan penyediaan anggaran untuk pengembangan cendana ini perlu disusun secara koprehensip. Setiap Kabupaten yang akan mengembangkan cendana
perlu
menyusun rencana pengembangan dalam rangka otonomi kabupaten. Program perencanaan ini harus sesuai dengan persyaratan teknik budidaya contohnya umur bibit yang ditanam harus cukup umur dan penanamannya di lapangan butuh inang. Perlu diketahui bahwa tanaman cendana memerlukan umur yang agak lama ( > 8 bulan ) di persemaian ,.dengan demikian untuk persiapan tanam bulan Desember penyiapan bibit harus sudah dilakukan paling lambat bulan April .
Penanaman bibit yang tidak cukup umur (kwalitasnya kurang baik) menyebabkan
kematian bibit yang cukup tinggi Disamping itu perencanaan perlu
mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut yang
meliputi: penetapan areal lokasi yang memungkinkan untuk pengembangan tanaman cendana , pengembangan dilakukan berbasis masyarakat didasarkan pada potensi kelayakan lokasi berdasarkan data risalah umum lapangan,pengembangan dalam bentuk hutan rakyat, sosialisasi
44 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dan penataan
peserta petani cendana dan
pemantapan kelembagaan pemasaran budidaya
cendana . IV. STRATEGI PENGEMBANGAN A. Sistem Penanaman. Penanaman cendana dilakukan di lahan/ kebun masyarakat dengan sistem jalur dan tanaman sisipan. Penerapan ke dua sistem tersebut
berkaitan erat dengan luas lahan yang
dimiliki masyarakat, kesuburan tanah dan jenis tanaman yang diusahakan. Penanaman sistim jalur/baris dapat dilakukan di lahan/kebun yang kosong atau belum ada tanaman lain yang diusahakan. Sistim ini menggunakan jarak tanam dalam baris 6 x 6 m atau mengikuti baris pematang atau teras sedangkan jarak tanam antar baris disesuaikan dengan tingkat kesuburan tanah dimana kalau tingkat kesuburan tanahnya semakin rendah maka jarak tanam semakin lebar dan jenis tanaman lain yang akan diusahakan. Karena lahannya kosong maka perlu ditanami inang sekunder ditengah tengah barisan tanaman cendana.. Inang sekunder bisa berupa pakan ternak, penghasil buah dan juga kayu pertukangan/bakar. Petani bisa memanfaatkan lahan di antara barisan tanaman pokok untuk budidaya tanaman pangan (jagung, kacang tanah,kacang hijau dan kacang turis) dan menggunakan pohon inang sekunder jangka menengah sebagai pakan ternak (lamtoro, turi,gamal) serta tanaman penghasil buah/kayu perutukangan sebagai pendapatan jangka panjang. Karena daur tanaman cendana cukup panjang (50 th) maka jarak penanaman sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan petani. Sistem tanaman sisipan adalah penanaman cendana yang dilakukan secara sisipan pada pagar atau di tengah-tengah lahan kosong tanaman perkebunan, sehingga tanaman cendana tidak terganggu dan menggangu tanaman pokok ( perkebunan/semusim). Tanaman perkebunan seperti kelapa atau tanaman pagar atau perkebunan lainnya dapat berfungsi sebagai inang sekunder cendana ,sehingga tidak perlu lagi menanam inang sekunder lagi. Akan tetapi perlu diperhatikan penaung dari tanaman pagar atau tanaman perkebunan lainnya jangan terlalu rimbun karena dapat menekan pertumbuhan tanaman cendana. Ada lebih dari 300 jenis tanaman yang
berfungsi
sebagai
inang.
Menurut
Cherrier
(1991)
jenis
kelapa,srikaya,sirsak,mangga,intaran,lamtoro,albisia dapat berfungsi sebagai inang
pohon sekunder
tanaman cendana . Kedua jenis pola tanam tersebut dapat juga dikombinasikan dengan
dengan sistem
tumpang sari dengan tanaman pangan . Untuk penerapan sistem tumpang sari maka jarak tanam perlu diperlebar untuk memberikan hasil tumpang sari yang lebih optimal. Sistem ini sangat membantu untuk menambah pendaptan masyarakat dalam jangka pendek mengingat cendana mempunyai daur yang panjang 50 tahun untuk bisa berproduksi.. Sistem tumpang sari banyak mendatangkan keuntungan antara lain: dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman cendana karena sistem ini selain dapat membantu menyuburkan tanah (apabila dari jenis legum) juga membantu sistem perinangan, penanung tanaman masih muda serta mengurangi persaingan dengan rumput.,,
meningkatkan pendapatan masyarakat,
45 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
masyarakat dapat diharapkan partisipasinya dalam penanggulangan kebakaran dan penjagaan keamanan tanaman pokok cendana dan mengurangi serangan hama dan penyakit Keberhasilan pola
tumpang sari ini
dapat diadopsi untuk diterapkan pada pola
pengembangan hutan rakyat cendana. Penggunaan tanaman pangan (kacang-kacangan, jagung dll) sebagai tanaman sela yang dikombinasikan dengan penanaman jenis inang jangka menengah (jenis tanaman lamtoro, turi atau Acacia villosa) yang ditanam dalam larikan/baris
dan
penananaman inang jangka panjang (jenis Casuarina dan johar ) dalam bentuk jalur sebesar 20 % dari jumlah tanaman pokok sangat mendukung dalam menerapkan pola hutan rakyat. Cendana memerlukan naungan lapang terutama ketika masih muda (1- 2 tahun). Setelah umur 2 tahun cendana memerlukan sinar matahari sebagian, sehingga tanaman penaung /inang harus dipangkas secara periodik agar sebagian sinar matahari dapat diterima langsung tanaman cendana . Menurut Barett (1989) anakan cendana pada umur muda akan tumbuh baik di bawah naungan semak atau kelompok kelompok pohon dibandingkan dalam keadaan terbuka. Hasil penelitian Surata dan Idris (2001) menunjukkan bahwa pertumbuhan cendana pada awal penanaman di bawah tegakan Acacia auriculiformis lebih baik dibandingkan dengan pertumbuhan ditempat terbuka akan tetapi setelah itu akan mengganggu bahkan menekan pertumbuhan tanaman cendana. B. Pengairan dengan Irigasi Tetes. Budidaya cendana dengan pola pengairan dapat dilakukan dalam sekala kecil terbatas pada daerah- daerah yang dekat dengan air. Teknik ini
dan
telah terbukti dapat
meningkatkan pertumbuhan tanaman cendana (menekan kematian bibit dan ketahanan tanaman terhadap kekeringan), karena sistem ini selain dapat membantu menekan setresing bibit saat awal penanaman di lapangan juga membantu mempercepat kesegaran bibit. Kematian bibit yang tinggi di lapangan juga lebih banyak disebabkan karena pengaruh stresing bibit yang tinggi saat awal pemindahan bibit ke lapangan karena curah hujan tidak teratur. Keberhasilan pengairan ini dapat diadopsi untuk diterapkan pada pola pengembangan cendana dalam sekala kecil yang dekat dengan sumber-sumber pengairan. Hasil penelitian Surata (2004) pengairan irigasi tetes yang terbaik adalah dengan menggunakan kombinasi wadah penampung air. Dari uji lapangan menunjukkan bahwa penggunaan irigasi tetes dengan menggunakan wadah periuk tanah dan botol plastik (bekas botol aqua) terbukti dapat meningkatkan keberhasilan tanaman. Adapun persen hidup tanaman yang diperlakukan dengan: wadah periuk, botol aqua, bambu ,tanpa wadah dan kontrol masing masing : 89.43, 88.89, 73.86, 60.10, 15.52%. Sistem pengairan ini juga memungkinkan penanaman cendana yang dilakukan pada musim kering terutama pada bulan Mei-Juli, pada bulan –bulan ini penanaman masih berhasil cukup baik karena kelembaban masih baik ,udara masih dingin. Sistem ini memungkinkan untuk pengembangan budidaya cendana secara intensif di lahan petani B. Sumber Benih di Masyarakat. Untuk keperluan pesryaratan sumber benih di masyarakat maka diusahakan penanaman cendana dilakukan mengelompok dalam satu hamparan lahan yang berdekatan minimal 25 46 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pohon/ kelompok lahan. Hal ini perlu dilakukan agar keturunannya menghasilkan kwalitas benih yang baik dan sekaligus dapat dimanfaatkan sebagai sumber benih cendana untuk pengembangan lebih lanjut di masyarakat. Perlu diketahui bahwa pengunduhan benih dari pohon tunggal yang mengalami penyerbukan sendiri dari segi tidak baik karena akan menurunkan kwalitas pohon yang kurang baik. Oleh karena itu dalam pembagian bibit ke masyarakat perlu dilakukan pembagian bibit minimal 25 pohon/ petani dan lahannya mencukupi untuk kebutuhan penanaman dalam satu hamparan lahan yang jarak kelompok penanamnnya tidak melebihi 100 m . Atau dapat juga kurang dari 25 pohon/petani asalkan dipilih lokasi lahan yang saling berdekatan sehingga dalam satu kelompok lahan yang berdekatan bisa menanam sesuai dengan persyaratan jumlah minimal. V. KESIMPULAN DAN SARAN 1.
Cendana (Santalum album L. ) memegang peranan yang sangat penting secara sosial budaya dan ekonomi yaitu sebagai penghasil kayu kerajinan dan memiliki nilai ritual keagamaan yang cukup tinggi di Propinsi Bali.
2.
Kebutuhan kayu cendana di Bali semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan kemajuan pariwisata.
3.
Dewasa ini tidak ada lagi pasokan bahan baku kayu cendana secara resmi dari NTT mengingat populasi cendana sudah menurun dan diperkirakan di beberapa lokasi hampir punah. Oleh karena itu untuk memenuhi kebutuhan kayu cendana di Propinsi Bali maka perlu segera dilakukan penanaman.
4.
Berdasarkan data biofisik wilayah, sosial budaya ekonomi masyarakat dan
kesiapan
teknologi .maka hampir sepertiga wilayah di Propinsi Bali memenuhi syarat untuk lokasi penanaman cendana. 5.
Permasalahan pengembangan cendana di Bali adalah masalah kebutuhan benih, pencurian, hama penyakit, dukungan dana dan program dari pemerintah dan transfer teknologi kemasyarakat..
6.
Pola pengembangan cendana di Bali perlu dilakukan di lahan masyarakat dapat dilakukan dalam
bentuk tanaman jalur atau
sisipan
yang dikombinasikan dengan tanaman
tumpangsari . 7.
Hasil budidaya tanaman
cendana di lahan masyarakat kepemilikannya diserahkan ke
masyarakat. 8.
Untuk menciptakan kemandirian masyarakat
maka dalam pengembangan penanaman
cendana pemerintah pusat/daerah dalam 5 tahun pertama perlu memberikan bantuan bibit,penyuluhan teknologi dan pembinaan kepada masing-masing petani dan selanjutnya dimasa mendatang masyarakat
diharapkan sudah bisa mandiri untuk melaksanakan
program pengembangan budidaya cendana. 9.
Untuk meningkatkan kwalitas benih cendana untuk pengembangan lanjutan cendana dimasa mendatang penanamannya perlu dilakukan dalam bentuk model sumber benih masyarakat.
47 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
DAFTAR PUSTAKA Barret, D.R. 1989. Santalum album (Indian Sandalwood) literature Review, Mulga Research Centre. Western Australian Institute of Technology. Cherier,,J.F. 1991. Sandalwood in New Caledonia.Sandalwood in the Pacific Region. Proceeding of Symposium on Sandalwood in Pacific. April 9-11. Honolulu Hawai..ACIAR Proceedings No.49 Dephut.1992. Cendana (Santalum album L.). Departemen Kehutanan. Kantor Wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Dinas Kehutanan Bali. 1987. Pengalaman Penanaman Cendana (Santalum album L.) di Propinsi Bali. Makalah Disampaikan pada Diskusi Cendana,18 Juli 1987 di Kampus UGM, Yogyakarta. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Fox J.E.D. and I Komang Surata. 2000. Sandalwood in the tropical forest region: an ideal tree for small holders. Paper presented on the IUFRO working group meeting at Cairns, Queensland, Australia, 7-12 January 2000. Hafner, D.H. 1993. The Quantity and Quality of Heartwood in Two Species of Sandalwood. A thesis for Degree Master of Forest Science. University of Melburne. Hamzah, Z. 1976. Sifat Silvika dan Silvikultur Cendana (Santalum album L.) di Pulau Timor. Laporan No.227. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor. Hamilton,L.and Conrad,C.E.(1990) (editors) Proceedings Symposium Sandalwood in the Pacific.USDA For.Serv.Gen.Tech.Rep.PSW-122 Herawan,T. 2003.Teknik Perkembangan Vegetatif Cendana Melalui Kultur Jaringan. Makalah Disampaikan pada Promosi Hasil-hasil Penelitian dan Temukarya Cendana di Kupang ,13 Desember 2003. Kanwil Kehutanan Bali. 1987. Gambaran Keadaan Pemanfaatan dan Prospek Pengembangan Kayu Cendana di Propinsi Bali. Makalah Disampaikan pada Diskusi Cendana,18 Juli 1987 di Kampus UGM, Yogyakarta. Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Lembaga Penelitian Tanah. 1970. Peta Tanah Tinjau Propinsi Bali Skala 1: 250.000. Lembaga Penelitian Tanah . Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor Manan,S. 1997. Rimbawan dan Masyarakat IPB. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Oldeman,L.R., Las I. and Muladi. 1980. Agroklimatic Map of Kalimantan,Maluku,Irian Jaya,Bali, West and East Nusa Tenggara. Central, Research Institute of Agriculture,Bogor Indonesia. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.1993. Peta Tanah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Schmidt, F.G.and J.M.A. Ferguson .1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Rations for Indonesia with Western New Guinea. Verhand 42. Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Djakarta. Suharti, M., dan Djatnika Natawirya 1977. Penyakit Konmeo pada Tanaman Cendana di Sumberklampok,Bali. Laporan No.249. Lembaga Penelitian Hutan, Bogor. Susila, I Wayan Widhiana.dan Choirul Akhmad. 2000. Potensi, kandungan teras dan kajian pengelolaan tegakan cendana alam. Makalah disampaikan pada ekspose hasil-hasil penelitian BPK Kupang , 28 Maret 2000, Kupang. Surata, I. K. 1992. Perkembangan penelitian pembibitan dan penanaman cendana di Nusa Tenggara Timur. Makalah disampaikan pada seminar nasional tentang status silvikultur di Indonesia saat ini. Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta. Surata, I.K. and J.E.D. Fox. 2000. Goverment initiatives to encaurage land holderrs to participate in planting sandalwood in East Nusa Tenggara. Paper presented on the IUFRO working group meeting at Cairns, Queensland, Australia, 7-12 January 2000. Surata, I.K. dan M. Idris. 2001. Status Penelitian Cendana di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi Edisi Khusus Vol 5 .No.5. Pusat Penelitian Biologi LIPI Surata, I Komang. 2004. Pedoman Budidaya Cendana (Santalum album L.) Badan penelitian Dan Pengembangan Kehutanan, Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Surata,I.K. 2004. Pemanfaatan Irigasi Tetes Untuk Penanaman Cendana (Santalum Album L.) di Lahan Kritis ,Banamblaat ,Pulau Timor, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Laporan Teknis Intern (belum dipublikasikan) Wind,E.J. and Risseuw,P. 1950. Sandalhout de landbouw in de Indische Archipel.. Tectona IV (terjemahan) Bandung.
48 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
49 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
UJI COBA JENIS-JENIS INTRODUKSI PADA LAHAN KRITIS DI DALAM KAWASAN HUTAN BATUR DAN BEDUGUL Oleh : I Wayan Widhana Susila Gerson ND NJurumana dan Feliupus Banani ,
ABSTRAK Lahan kritis diartikan sebagai lahan yang tanahnya secara potensial tidak mampu berperanan dalam salah satu atau beberapa fungsi seperti (1) unsur produksi, (2) media pengaturan tata air (fungsi hidrologi), dan (3) media perlindungan alam lingkungan (fungsi orologi) atau lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Luas lahan kritis Propinsi Bali adalah 307.035 ha, terdiri dari 127.706 ha tersebar di dalam kawasan hutan dan 179.329 ha tersebar di luar kawasan hutan. Jenis-jenis yang di uji coba pada lahan kritis di Kawasan Batur dan Bedugul adalah Ampupu (Eucalyptus urophylla), Pulai (alstonia scholaris), Cendana (Santalum album), Acacia mangium, Majegau (Dysoksilum sp), Gmelina (Gmelina arborea), Mahoni (Sweitenia macrophylla), Kayu Putih (Melaleuca leucadendron), Gaharu (Aquilaria malaccensis), Duabanga (Duabanga moluccana), Mindi/jempinis (Melia azedarah) dan Sengonbuto (Enterolobium cyclocarpum). Jenis-jenis tersebut di uji coba melalui uji species dan uji produksi (ampupu, kayu putih, kamadulensis dan duabanga). Hasil evaluasi tanaman umur enam bulan di lapangan dapat diinformasikan sebagai berikut : 1) Sengon buto merupakan jenis introduksi yang adaptabel pada kondisi kritis di Kawasan Batur yang ditunjukan oleh perkembangan pertumbuhan dan persen tumbuh yang tinggi, yaitu riap diameter 1,37 cm, riap tinggi 61,53 cm, persen tumbuh 96,15 %, dan sampai umur 10 bulan di lapangan persen tumbuhnya 90,16 % ; 2) Jenis kayu putih dan ampupu merupakan jenis yang cukup adaptabel untuk dikembangkan di kawasan kritis Batur dan Bedugul ; dan 3) Pemebrian kompos di Bedugul dan campuran tanah + kompos di Batur pada media tanam belum memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan persen tumbuh tanaman. Kata Kunci : Ujicoba jenis, kesesuian tempat tumbuh, uji produksi I. PENDAHULUAN Saat ini pembangunan berwawasan lingkungan menjadi semacam kebutuhan mutlak bagi setiap bangsa dan Negara yang menginginkan kelestarian sumber daya alamnya. Menjaga dan mempertahankan kelestarian sumber daya alam itu tidak saja penting untuk kehidupan saat ini tetapi juga penting untuk kelangsungan generasi mendatang. Sumber daya hutan sebagai sumber kekayaan alam yang penting untuk kehidupan perlu dijaga dan dikelola dengan baik agar bermanfaat bagi masyarakat, baik secara langsung (pemanfaatan kawasan) maupun tak langsung (lingkungan yang kondusif/iklim mikro, persediaan tata air, mencegah banjir dan tanah longsor). Kawasan hutan di Propinsi Bali seluas 130.686,01 ha belum semuanya berfungsi secara optimal sesuai fungsi-fungsi yang telah ditetapkan yaitu fungsi lindung, fungsi konservasi, pemanfaatan langsung, dan lain-lain. Hal ini disebabkan beberapa luasan kawasan hutan tidak bervegetasi, bahkan sebahagian areal kawasan termasuk kawasan kritis, seperti yang terdapat di Kawasan Batur (kritis karena lahar gunung merapi) dan Bedugul (kritis karena erosi). Dalam kondisi yang kritis maka kawasan hutan yang ada belum dapat secara optimal berperan sebagai pelindung hidro-orologis dan membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Menurut Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar (2004), luas lahan kritis di Propinsi Bali pada tahun 2004 adalah 307.035 ha (54,5 % dari luas wilayah daratan Bali). Dari luas tersebut 127.706 ha berada ddalam kawasan hutan dan sisanya 179.329 ha berada di luar kawasan hutan. Lebih lanjut dikatakan, bahwa upaya menangani lahan kritis sudah dilakukan melalui kegiatan 50 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
reboisasi dan penghijauan namun hasilnya belum sesuai harapan, bahkan akhir-akhir ini laju pertambahan lahan kritis cenderung meningkat berdasarkan indikator fluktuasi aliran sungai yang kontras, distribusi air yang tidak merata sepanjang tahun dan tingginya kandungan sedimentasi. Masih rendahnya keberhasilan penanganan lahan kritis disebabkan oleh banyak aspek seperti aspek teknis, social-ekonomi, budaya, dan lain-lain.
Salah satu aspek teknis yang perlu
diperhatikan adalah pemilihan jenis dan kecocokan tempat tumbuh. Dalam makalah ini mencoba mengetengahkan informasi sementara “uji coba jenis lokal dan introduksi pada lahan kritis di dalam kawasan hutan Batur dan Bedugul”.
II.LAHAN KRITIS DAN UPAYA PENANGGULANGANNYA DI PROPINSI BALI A.Luas Lahan Kritis Banyak para pakar di Indonesia yang mengemukakan definisi atau pengertian lahan kritis dengan cara pendekatan dan kriteria yang berbeda-beda, namun pengertian yang cukup relevan sesuai bidang kehutanan ialah definisi yang dikemukakan oleh Mulyadi dan Supraptohardjo. Menurut
Mulyadi dan Supraptohardjo (1975) di dalam Rachmat Pambudy dan Bungaran
Saragih (1991), tanah kritis diartikan sebagai lahan yang tanahnya secara potensial tidak mampu berperanan dalam salah satu atau beberapa fungsi seperti (1) unsur produksi, (2) media pengaturan tata air (fungsi hidrologi), dan (3) media perlindungan alam lingkungan (fungsi orologi). Pengertian lahan kritis menurut Balai Pengelolaan DAS Unda Anyar (2004) adalah lahan yang telah mengalami kerusakan, sehingga kehilangan atau berkurang fungsinya sampai pada batas yang ditentukan atau diharapkan. Perbedaan pendekatan dalam mendefinisikan lahan kritis menyebabkan perbedaan dalam menetapkan jumlah lahan yang tanahnya dianggap kritis. Selain itu sulitnya pengukuran dan penghitungan jumlah lahan yang tanahnya dianggap kritis juga turut menyebabkan mengapa setiap instansi memiliki angka lahan kritis yang saling berlainan. Parameter penentu kekritisan lahan berdasarkan SK Dirjen RRL No. 041/Kpts/V/1998 tanggal 21 April 1998 dan Peraturan Dirjen RLPS No. SK. 167/V-SET/2004 di dalam Laporan Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis Propinsi Bali Tahun 2004 (2004), yaitu 1) kondisi tutupan vegetasi, 2) kemiringan lereng, 3) tingkat bahaya erosi dan singkapan batuan, dan 4) manajemen pengelolaan. Luas lahan kritis Propinsi Bali berdasarkan kriteria tersebut mencapai 307.035 ha, yaitu seluas 127.706 ha tersebar di dalam kawasan hutan dan 179.329 ha tersebar di luar kawasan hutan. Berdasarkan kriteria tersebut, juga dapat ditentukan tingkat kekritisan lahan sebagai berikut : 1) Di dalam kawasan hutan : sangat kritis 3.933 ha, kritis 18.992 ha, agak kritis 21.027 ha dan potensial kritis 83.754 ha 2) Di luar kawasan hutan : sangat kritis 909 ha, kritis 31.479 ha, agak kritis 77.813 ha, dan potensial kritis 69.128 ha.
51 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
B.Pemilihan Jenis dan Kecocokan Tempat Tumbuh Seperti telah disebutkan, bahwa dalam kondisi yang kritis kawasan hutan yang ada di Batur dan Bedugul tidak dapat secara optimal berperan sebagai fungsi hidro-orologis dan mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.
Salah satu aspek teknis dalam
penanggulangan lahan kritis adalah menanam jenis yang cocok dan cepat tumbuh. Permasalahannya sekarang adalah bagaimana menentukan jenis pohon yang dapat tumbuh, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, sehingga dengan cepat dapat mengembalikan peranan hutan sesuai fungsinya. Dalam pemilihan jenis-jenis perlu diperhatikan setempat, sifat silvika jenis, dan tujuan penanaman.
kendala-kendala seperti kondisi alam Pada kondisi ini, tujuan penanaman
diprioritaskan kepada pengembalian fungsi hidro-orologis kawasan hutan atau memperbaiki lahan yang sudah kritis/rusak dengan cepat (jangka pendek);
manfaat kayu bakar, kayu
pertukangan, dan hasil-hasil lainnya adalah tujuan skunder. Ditinjau dari segi ekologi, jenis-jenis lokal adalah jenis-jenis yang terbaik untuk ditanam di daerah yang bersangkutan. Jika jenis-jenis lokal tidak memungkinkan untuk ditanam, misalnya karena tidak tersedianya benih yang cukup, maka dapat dipilih jenis lain yang cocok secara ekologis.
Dalam hal ekologi, pemilihan jenis untuk suatu daerah penanaman harus
memperhatikan persyaratan tumbuh dalam hubungannya dengan factor jenis tanah, iklim, ketinggian tempat, toleransi jenis tersebut akan cahaya matahari, dan keadaan lapangan serta vegetasi yang ada. III.Uji Coba Jenis-Jenis di Batur dan Bedugul A.Bahan dan Lokasi Kegiatan Kegiatan penanaman dilaksanakan di Bedugul Kabupaten Tabanan dan Batur Kabupaten Bangli pada minggu ketiga Bulan Desember 2004. Tinggi tempat di lokasi Bedugul ± 1200 m dari permukaan laut dan di lokasi Batur ± 950 m dari permukaan laut. Lokasi kawasan Batur, secara individu pada waktu musim hujan dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar hutan untuk bercocok tanam palawija seperti jagung, kacang-kacangan, bawang merah, dan lain-lain. Sedangkan kawasan Bedugul dimanfaatkan oleh masyarakat petani peternak secara berkelompok untuk memanen padang rumput pakan ternak.
Lokasi tanaman uji coba jenis dimanfaatkan oleh
kelompok petani peternak Kamti Sembada. Asal usul benih atau Sumber bibit adalah Ampupu dari Larantuka, Kamadulensis dari Sikumana-Kupang, Pulai dari Rarung-Lombok Tengah, Cendana dari Timor Tengah Selatan, Acacia magium dari Bogor,
Majegau dari rarung-Lombok Tengah, Gmelina dari Lombok
Tengah, Mahoni dari Lombok Tengah, Kayu Putih dari Kupang, Gaharu dari Pusuk-Lombok Barat, Duabanga dari Rarung-Lombok Tengah, Mindi dari Kintamani dan Sengonbuto dari Bogor 52 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
B. Metode Penelitian Terhadap jenis-jenis tersebut, ditanam dengan metode uji species untuk semua jenis dan uji produksi dengan empat jenis (Ampupu, Kayu Putih, Kamadulensis dan Duabanga). Untuk uji species di Batur diberi masukan campuran top soil dan kompos kotoran sapi sebanyak satu ember (komposisi 6 : 1), sedangkan penanaman di bedugul tanpa masukan kompos. Jarak tanam uji species 2 m x 2 m. Untuk uji produksi pola penanaman menggunakan rancangan acak lengkap berblok, dengan ulangan tiga plot yang terdiri dari 25 tanaman setiap plot, jarak tanam 3 m x 3 m dan jarak antar plot 6 m. Dalam penerapan perlakuan dibedakan masing-masing lokasi, yaitu : •
Batur : dalam setiap lobang tanam diberikan masukan campuran top soil dan kompos dari kotoran sapi (komposisi 6 : 1), masing-masing sebanyak 1 ember, 2 ember, dan 3 ember (1 ember = 12 kg)
•
Bedugul, perlakuan yang diberikan adalah dengan memberikan kompos yang berasal dari campuran kotoran ayam dan sekam padi sebanyak 1 ember, 2 ember, dan kontrol ( 0 = tanpa kompos).
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Jenis Setelah umur 6 bulan di lapangan riap dan perkembangan pertumbuhan jenis lokal dan jenisjenis introduksi dapat dilihat pada tabel berikut. Tabel 1. Perkembangan riap jenis-jenis pohon di Batur umur 6 bulan di lapangan Jenis Mindi Sengon Buto Pule Acacia mangium Mahoni Gmelina Cendana Majegau Gaharu
Riap diameter (cm) 0,48 1,37 0,33 0,23 0,25 0,15 0,08 -
Riap tinggi (cm) 24,60 61,53 11,11 15,25 12,13 10,18 2,30 -
Persen tumbuh (%) 96,55 96,15 88,00 86,11 91,67 88,89 13,80 -
Tabel 2. Perkembangan riap jenis-jenis pohon di Bedugul umur 6 bulan di lapangan Jenis Pule Acacia mangium Mahoni Gmelina Cendana Majegau Gaharu
Riap diameter (cm) 0,09 0,17 0,10 0,15 0,03 0,19 0,16
Riap tinggi (cm) 2,79 5,77 2,40 2,58 3,07 2,97 1,37
Persen tumbuh (%) 70,83 75,00 75,00 34,00 37,50 75,00 80,25
53 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pada kedua tabel di atas dapat dilihat bahwa jenis-jenis seperti Pule, Acacia mangium dan mahoni masih adaptebel sampai umur enam bulan di lapangan, dengan indikasi persen tumbuh rata-rata di atas 70 %. Pengukuran dan evaluasi tanaman ini dilaksanakan pada awal bulan Juni tahun 2005. Di Kawasan Batur hujan berhenti sampai akhir Bulan Februari, selama tiga bulan tanaman mengalami cekaman akibat kekeringan ditambah dengan kondisi tapak yang dominan kwarsa yang memantulkan hawa panas terhadap tanaman. Untungnya dalam uji species ini diberikan masukan campuran top soil dan kompos untuk memperbaiki agregat tanah (sifat fisik tanah) sehingga membantu tanaman dalam menghadapi cekaman akibat kekeringan. Hanya beberapa tanaman seperti cendana dan gaharu yang tidak sanggup menghadapi cekaman kekeringan tersebut, sehingga semuanya mati. Perlu diinformasikan bahwa kecuali bibit mindi dan Sengon buto, semua bibit didatangkan dari tempat pembibitan Wanariset Rarung-Lombok Tengah, dan langsung ditanam di lokasi Batur dan Bedugul tanpa perlakuan penyesuaian sebelumnya dengan lokasi tanaman.
Teknik ini juga menyebabkan tanaman mempercepat
mengalami stres, disamping faktor karena kekurangan air dan temperatur tinggi. Pengukuran dan evaluasi tanaman di Batur terakhir dilakukan pada bulan Oktober 2005, atau setelah delapan bulan tanaman mengalami kekeringan, persen tumbuh tanaman sampai umur 10 bulan di lapangan adalah mindi 67,74 %, sengon buto 90,03 %, pule 17,65 %, Acacia mangium 27,78 %, mahoni 22,22 %, Gmelina 19 %, dan jenis cendana, majegau dan gaharu mati semua. Hasil ini menunjukan bahwa kecuali jenis mindi dan sengon buto, terjadi penurunan persen tumbuh yang sangat tajam, rata-rata di bawah 30 %. Hal ini disebabkan tanaman tersebut telah mengalami stres berat atau cekaman akibat kekeringan yang sangat hebat sehingga beberapa dari jenis-jenis tersebut
mati.
Untuk sementara, hasil yang perlu dicatat dan diamati
perkembangannya adalah jenis introduksi sengon buto mempunyai persen tumbuh yang tinggi bahkan mengalahkan pertumbuhan jenis lokal mindi.
Jenis mindi tumbuh alami disekitar
kawasan batur pada tapak yang pasirnya berkurang. Sedangkan kondisi tanaman di Bedugul, tantangannya berbeda dengan tanaman di Batur. Cekaman akibat kekeringan tidak begitu dominan, kemungkinan tantangan akibat faktor lingkungan yang lain seperti cahaya, kelembaban, tanah dan gulma. Di Bedugul sampai Bulan April dan awal Mei, hujan masih turun secara sporadis sehingga tanaman mengalami kekeringan kurang dari sebulan. Kemungkinan dominan yang menyebabkan beberapa tanaman mati adalah faktor ketinggian tempat tumbuh yang sangat berbeda dari tempat pembibitannya dan asal usulnya, faktor tanah yang porositasnya tinggi (ada unsur pasir) dan persaingan dengan gulma. Apalagi semua jenis bibit tersebut, tidak mengalami aklimasi (penyesuaian sebelumnya) dengan tempat penanaman yang baru sehingga pada tahap awal tanaman mengalami stres. Jenis tanah yang ada unsur pasir mengindikasikan adanya masalah dengan persediaan unsur hara di dalam tanah. Adanya gangguan gulma terhadap tanaman terutama dari jenis rumput-rumputan akibat frekuensi dan intensitas hujan yang cukup tinggi sehingga terjadi persaingan dalam pemanfaatan unsur hara dan intensitas cahaya yang akan berpengaruh pula dalam proses fotosintesis. 54 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pengukuran dan evaluasi tanaman di Bedugul terakhir dilakukan pada akhir bulan Oktober 2005, persen tumbuh tanaman sampai umur 10 bulan di lapangan adalah Pule 50 %, Acacia mangium 70,83 %, Mahoni 41,67 %, Gmelina 21,95 %, Cendana 19,44 %, Majegau 77,78 %, dan Gaharu 27,78 %. Hasil ini menunjukan bahwa terjadi penurunan persen tumbuh yang tajam, rata-rata lebih kecil dari 50 % kecuali jenis Acacia mangium dan Majegau. Hal ini berarti, jenisjenis tersebut kurang tahan atau toleransi nya rendah menghadapi cekaman akibat kekeringan selama kurang lenih 5 bulan di lapangan. B .Uji Produksi Sampai umur 6 bulan di lapangan, perkembangan pertumbuhan tanaman uji produksi dapat dilihat pada tabel-tabel berikut : Tabel 3. Riap pertumbuhan tanaman uji produksi di Batur umur 6 bulan di lapanagan Jenis
Kamadulensis
Duabanga
Kayu putih
Ampupu
Pemberian campuran tanah dan kompos
Riap diameter (cm)
Riap tinggi (cm)
Persen tumbuh (%)
1 ember
0,10
9,87
86,00
2 ember
0,06
7,88
80,00
3 ember
0,18
8,58
80,00
1 ember
0,05
4,80
32,00
2 ember
0,07
6,94
8,00
3 ember
0,12
5,52
16,00
1 ember
0,28
19,02
86,67
2 ember
0,35
32,69
86,67
3 ember
0,096
18,63
78,67
1 ember
0,10
19,81
93,33
2 ember
0,15
20,16
90,67
3 ember
0,096
18,63
81,33
Tabel 4 Riap pertumbuhan tanaman uji produksi di Bedugul umur 6 bulan di lapangan Jenis
Kamadulensis
Duabanga
Kayu putih
Pemberian campuran tanah dan kompos
Riap diameter (cm)
Riap tinggi (cm)
Persen tumbuh (%)
0 ember
0,09
12,71
82,66
1 ember
0,16
20,14
72,00
2 ember
0,30
38,04
70,66
0 ember
0,04
2,82
76,00
1 ember
0,07
5,40
74,66
2 ember
0,09
4,66
68,49
0 ember
0,11
12,20
85,33
1 ember
0,19
22,04
86,66
2 ember
0,27
22,86
86,66
0 ember
0,08
16,20
88,00
55 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Ampupu
1 ember
0,13
16,47
84,00
2 ember
0,18
16,17
90,66
Pada tabel 3 dan 4 dapat dilihat bahwa sampai umur tanaman kurang lebih 6 bulan di lapangan, pengaruh perlakuan belum menunjukan hasil yang signifikan terhadap pertumbuhan tanaman, yang ditunjukan oleh hasil yang kurang konsisten dengan bertambahnya tingkat dosis pupuk yang diberikan.
Hal ini berarti bahwa pupuk kompos yang diberikan belum bisa
dimanfaatkan oleh tanaman melalui daya serap akar di dalam tanah atau pupuk kompos yang diberikan tidak bersifat instan untuk tanaman. Kompos merupakan pupuk organik, sedangkan pupuk yang bersifat instan adalah pupuk anorganik yang langsung bisa diserap oleh akar tanaman pada waktu diberikan, seperti pupuk urea, KCl, ZA, dll. Unsur hara yang bisa diserap oleh akar dengan memanfaatkan media air dalam bentuk kation (K+, Ca+, Na+) dan anion (Cl-, SO4=). Oleh karena itu, pupuk kompos yang diberikan terhadap tanaman membutuhkan waktu untuk bisa diserap oleh akar tanaman melalui proses pelapukan dan mengurai menjadi bentuk kation dan anion. Puipuk organik atau kompos mempercepat perbaikan sifat fisik tanah, yaitu memantapkan sifat agregat tanah dan memperbaiki porositas tanah sehingga air hujan yang jatuh ke dalam tanah dapat dimanfaatkan oleh tanaman.
Beda halnya kalau tanah mempunyai
porositas kecil (tanah liat), infiltrasi air hujan ke dalam tanah rendah dan aliran permukaan air hujan menjadi besar, demikian sebaliknya tanah yang mempunyai porositas besar (tanah pasir), infiltrasi air hujan menjadi besar dan segera hilang di dalam tanah, akar tanaman tidak sempat memanfaatkannya. Pada tabel 3 terlihat bahwa, di Batur
kecuali Duabanga tanaman jenis lainnya masih
adaptabel tumbuh yang ditunjukan oleh persen tumbuh rata-rata di atas 80 %. Sedangkan tanaman duabanga persen tumbuhnya rata-rata di bawah 20 %. Hal ini berarti jenis duabanga kurang cocok ditanam pada lahan berpasir di batur karena kurang tahan menghadapi cekaman akibat kekeringan, meskipun sudah diberikan masukan campuran top soil dan kompos ke dalam media tanam. Pengukuran dan evaluasi terakhir pada bulan Oktober 2005, sampai tanaman berumur 10 bulan dilapangan, hasil rata-rata persen tumbuhnya sebagai berikut kayu putih 76 %, Ampupu 69,33 %, kamadulensis 12 %, dan Duabanga mati semua.
Dengan menghadapi
kekeringan selama kurang lebih 8 bulan, jenis duabanga dan kamadulensis mengalami stres berat sehingga banyak tanaman jenis tersebut mati dalam periode 4 bulan dari pengukuran dan evaluasi kedua. Pada tabel 4 dapat dilihat bahwa semua jenis yang dicoba mempunyai persen tumbuh ratarata di atas 70 %. Kayu putih dan ampupu merupakan jenis yang paling baik dalam adaptabilitas di Bedugul dan di Batur.
Oleh karena itu jenis mempunyai toleran yang tinggi dalam
menghadapi stres akibat kekeringan, persaingan dengan gulma (persaingan dalam pemanfaatan cahaya dan unsur hara) dan kelembaban yang tinggi. Pengukuran dan evaluasi terakhir pada bulan Oktober 2005, hasil rata-rata persen tumbuhnya adalah sebagai berikut kayu putih 82,67 %, ampupu 74,22 %, kamadulensis 73,78 % dan duabanga 44,89 %. 56 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
IV.KESIMPULAN Dari evaluasi tanaman umur enam dan sepuluh bulan di lapangan dapat diinformasikan sebagai berikut : 1. Sengo buto merupakan jenis introduksi yang adaptabel pada kondisi kritis di Kawasan Batur yang ditunjukan oleh perkembangan pertumbuhan dan persen tumbuh yang lebih dominan dari pada jenis-jenis lain. 2. Jenis kayu putih dan ampupu merupakan jenis yang yang adaptabilitasnya lebih tinggi dari pada jenis-jenis lain untuk dikembangkan di kawasan kritis Batur dan Bedugul. 3. Kompos merupakan pupuk organik yang membutuhkan waktu untuk bisa diserap oleh akar tanaman, sehingga dalam penelitian ini belum memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan persen tumbuh tanaman.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2004. Laporan Penyusunan Data Spasial Lahan Kering Propinsi Bali Tahun 2004. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar. Denpasar Endang Suhendang. 1991. Proceedings Seminar Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan di Indonesia, Evaluasi Hasil dan Prospek pada Masa Mendatang. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor Pratiwi. 2003. Teknologi dan Kelembagaan Rehabilitasi Lahan Terdegradasi: Proposal Penelitian Terpadu (2003-2009). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Tidak dipublikasikan. Widhiana S. IW. 1988. Alternatif Pemilihan Jenis Pohon untuk Reboisasi Lahan Kritis di Timor. Savana No. 3/1988, hal 9. Proyek Penelitian Kehutanan di Nusa Tenggara Timur. Kupang.
57 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
KEBUTUHAN DUKUNGAN IPTEK DAN PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PROGRAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT Oleh : I Ketut Catur Marbawa ABSTRAK Secara umum pengelolaan Taman Nasional mempunyai tiga fungsi pokok yaitu; sebagai kawasan perlindungan sistim penyan gga kehidupan, sebagai kawssan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta sebagai kawasan pemanfaatan secara lestari potensiu sumberdaya alam dan ekosistimnya. Taman Nasional Bali barat adalah salah satu kawasan pelestarian jalak bali. Untuk mencapai fungsi dan tugas pokoknya, kegiatan pengelolaam Taman Nasional Bali Barat yang saat ini dilakukan meliputi : pemantapan kawasan,Penyusunan rencana, Pembangunan sarana dan prasarana,pengelolaan potensi kawasan, pengelolaan penelitian dan pendidikan, pengelolaan wisata alam, pengembangan integrasi dan kordinasi dan kerjasama p[engelolaan wisata alam. Untuk menunjang keberhasilan kegiatan tersebut, dukungan ipotek sangat diperlukan antara lain: sosial ekonomi, pengembangan dan pemanfaatan, pemberdayaan ekonomi masyarakat, pemuliaan potensi jalak bali, pengelolaan potensi kawasan dan pengelolaan potensi wisata. Khusus untuk sosial budaya masyarakat perlu menjaga keseimbangan anatara kepentingan lokal dan global dengan pengembangan partisipasi masyarakat lokal yan g berbasis konsep budaya tradisional seperti Tri Hita karana. Kata kunci
: Partisipasi masyarakat, Taman Nasional, Ekosistem
I. PENDAHULUAN Sebagai kawasan pelestarian alam, Taman Nasional Bali Barat (selanjutnya disebut TNBB) memiliki tiga tujuan: 1. Perlindungan populasi Jalak Bali beserta ekosistem lainnya seperti ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem hutan pantai dan ekosistem hutan daratan rendah sampai pegunungan sebagai sistem penyangga kehidupan terutama ditujukan untuk menjaga keaslian, keutuhan dan keragaman suksesi alam dalam unit-unit ekosistem yang mantap dan mampu mendukung kehidupan secara optimal. 2. Pengawetan keragaman jenis flora dan fauna serta ekosistemnya ditujukan untuk melindungi, memulihkan keaslian, mengembangkan populasi dan keragaman genetik dalam kawasan TNBB dari gangguan manusia. 3. Pemanfaatan secara lestari SDA dan ekosistemnya ditujukan untuk berbagai pemanfaatan seperti: - sebagai laboratorium lapangan bagi peneliti untuk pengembangan ilmu dan teknologi - sebagai tempat pendidikan untuk kepentingan meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan bagi masyarakat - obyek wisata akan pada zona khusus pemanfaatan yang dapat dibangun fasilitas pariwisata - menunjang budidaya penangkaran jenis flora dan fauna dalam rangka memenuhi kebutuhan protein, binatang kesayangan dan tumbuhan obat-obatan Sesuai fungsi utama sebagai kawasan konservasi, pengelolaan Balai TNBB diarahkan untuk memenuhi fungsi sebagai berikut : 58 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
- Konservasi (perlindungan, pengawetan dan pelestarian) - Pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan - Rekreasi dan wisata alam - Pembinaan masyarakat TNBB mempunyai luas 19.002,89 ha. terdiri dari kawasan terestrial seluas 15.587,89 ha. dan kawasan perairan selaus 3.415 ha yang berdasarkan UU No. 5 tahun 1990, merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Potensi TNBB meliputi berbagai jenis flora dan fauna liar, yang berstatus langka, dilindungi maupun yang keberadaannya masih melimpah, habitat dan letak geomorfologinya serta keindahan alamnya yang masih dalam keadaan utuh. Ekosistem di dalam kawasan TNBB cukup potensial dan lengkap yang meliputi perairan laut, pantai dan pesisirnya, hutan dataran rendah sampai pegunungan merupakan habitat alami bagi hidupan liar yang juga menunjukkan tingginya keanekaragaman hayati antara lain terumbu karang dan biota laut lainnya, vegetasi mangrove, hutan rawa payau, savana dan hutan musim. Flora dan fauna yang cukup beragam, sampai saat ini telah diidentifikasi 176 jenis flora meliputi pohon, semak, tumbuhan memanjat, menjalar, jenis herba, anggrek, paku-pakuan dan rerumputan. Untuk jenis fauna terdiri dari 17 jenis mamalia, 160 jenis burung (aves), berbagai jenis reptil dan ikan. II.KEGIATAN POKOK PENGELOLAAN KAWASAN TAMAN NASIONAL Beberapa kegiatan pokok pengelolaan kawasan TNBB diantaranya : A.
Pemantapan kawasan Untuk terselenggaranga pengelolaan kawasan yang mantap, seluruh kawasan harus memiliki status hukum yang legal. Kawasan TNBB sudah dilakukan pengukuhan dan penataan batas baik teritorial kewenangan wilayah dan fungsi khususnya di darat, sedangkan di perairan masih perlu dibenahi secara tertib dan harmonis baik dengan masyarakat lokal atau pengusaha yang telah memiliki ijin pengelolaan. Untuk keperluan perlindungan kawasan konservasi sebagai penyangga kehidupan, pemantapan kawasan diupayakan melalui pemeliharaan pal batas dan tanda batas termasuk rekonstruksinya. Dimungkinkan juga pengkajian bagian kawasan yang kondisinya tidak sesuai dengan tujuan penetapannya.
B.
Penyusunan Rencana Perencanaan pengelolaan TNBB meliputi Rencana Jangka Panjang
yaitu Rencana
Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) 25 Tahun, rencana jangka menengah yaitu Rencana Karya Lima Tahun (RKL) 5 Tahun, dan dan rencana jangka pendek yaitu Rencana Karya Tahunan (RKT). Rencana teknis disusun terpisah sebagai bagian implementasi Rencana Karya Pengelolaan. 59 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Perencanaan pengelolaan bersifat mengakomodir pengelolaan internal dan untuk kegiatan yang bersifat integrasi eksternal perlu adanya sinergi yang baik antara semua pihak baik pemerintah pusat dan daerah dengan lembaga independen dan masyarakat, sehingga dapat memadukan hubungan kepentingan masyarakat dengan keijaksanaan. Mekanisme sistem pemerintahan yang bersifat kewenangan birokrasi tidak dapat mengakomodir pelaksanaan kegiatan sampai pada tingkat diluar otoritasnya. Pada saan ini TNBB didalam penyusunan Rencana Karya Lima Tahun telah melibatkan lembaga-lembaga independen (LSM) untuk memberikan masukan maupun koreksi, sehingga RKL yang disusun dapat mengakomodir keinginan-keinginan masyarakat dan antara kepentingan pengelola kawasan konservasi dan kepentingan masyarakat dapat berjalan sinergis. 1.
Pembangunan sarana dan prasarana Sarana dan prasarana pengelolaan terdiri dari sarana dan prasarana pokok pengelolaan, sarana dan prasarana pariwisata, dan sarana penunjang antara lain : Kantor pengelola, Pondok Kerja, Jalan Patroli, Pusat Informasi, Fasilitas Penangkaran, Wisma Cinta Alam, Peralatan Komunikasi, Peta Dasar dan Kerja, Perlengkapan Kerja di Perairan, dll
2.
Pengelolaan potensi kawasan a. Inventarisasi dan identifikasi potensi kawasan dan upaya penanganan hasil-hasilnya melalui sistem database b. Pengembangan sistem pemantauan, evaluasi, dan pelaporan kondisi kawasan dan potensinya c. Pembinaan habitat dan populasinya (khususnya Jalak Bali ) d. Program pemulihan populasi liar Jalak Bali melalui penangkaran dan peliaran ke habitat e. Penyediaan plasma nutfah untuk menunjang kegiatan budi daya f. Rehabilitasi kawasan g. Pemakaian kawasan sebagai tempat pengkayaan, penangkaran jenis untuk kepentingan penelitian, pembinaan habitat dan populasi dan rehabilitasi kawasan
3.
Perlindungan dan Pengamanan Kawasan a. Perlindungan dan pengamanan fisik kawasan - Upaya untuk meningkatan efektivitas pengamanan terutama berkaitan erat dengan aksesibilitas Taman Nasional Bali Barat yang terbuka maka diperlukan sistem pengamanan dengan menempatkan pos jaga di daerah-daerah yang diidentikasi rawan pelanggaran. Untuk itu juga diperlukan upaya pengadaan kelengkapan sarana dan prasarana pos jaga, renovasi pos jaga, pengadaan sarana pengamanan laut (speed boat dan perahu mesin), dan sarana pengamanan darat (motor trail), serta alat komunikasi sebagai pendukung kinerja Polisi Hutan 60 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
- Evaluasi secara periodik terhadap sistem pengamanan sebagai salah satu langkah untuk meningkatkan efektivitas kegiatan penjagaan di pos jaga, patroli rutin, operasi pengamanan fungsional dan gabungan. Pembinaan Polhut secara rutin melalui in house training maupun diklat untuk meningkatkan keterampilan dan kemampuan serta disiplin Polhut. b. Identifikasi daerah-daerah rawan gangguan c. Sosialisasi batas kawasan d. Pengembangan kemitraan e. Pemasangan tanda larangan atau pengumuman f. Penegakan hukum g. Pencegahan kebakaran 4.
Pengelolaan Penelitian dan Pendidikan a. Identifikasi obyek penelitian dan pendidikan mengenai tumbuhan, satwa, ekosistem dan sosial ekonomi budaya masyarakat setempat b. Penyiapan pelayanan dan materi penelitian dan pendidikan c. Penyiapan database informasi kegiatan penelitian dan pendidikan d. Penyusunan rencana dan skala prioritas pelaksanaan kegiatan penelitian dan pendidikan e. Pengembangan sistem dokumentasi, publikasi dan promosi
5.
Pengelolaan Wisata Alam Beberapa kegiatan yang dilakukan dalam pengelolaan wisata alam diantaranya : a. Inventarisasi dan identifikasi obyek dan daya tarik wisata dan rekreasi alam di dalam kawasan b. Inventarisasi, identifikasi, dan analisis sosial ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar, kebijakan daerah, ketersediaan sar-pras pendukung c. Peningkatan peranserta masyarakat dalam kesempatan dan peluang usaha dan kerja untuk peningkatan kesejahteraan d. Penjagaan keunikan dan keindahan alam serta mutu kondisi lingkungan e. Pemasaran obyek wisata alam dan pengusahaannya Lingkup kegiatan pariwisata alam di TNBB diantaranya : a. Zona pemanfaatan di Labuan Lalang diarahkan berfungsi sebagai pusat pelayanan pariwisata dengan fungsi utama untuk mengembangkan sarana dan prasarana pariwisata dan rekreasi alam.
61 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
b. Zona rimba, yang sesuai dengan ketentuan hanya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pariwisata terbatas, diarahkan untuk pengembangan program-program interpretasi antara lain telah dikembangkan kegiatan wisata bird watching khusus di habitat alaminya. c. Zona inti sebagai kawasan yang mutlak dilindungi dan tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia,
pemanfaatan untuk pariwisata dilakukan
melalui penampilan maya produk interpretasi (virtual interpretation) kawasan. Rencana pengembangan pariwisata alam di Taman Nasional Bali Barat (TNBB) didasarkan atas rencana pengelolaan yang telah ada yakni Rencana Pengelolaan Taman Nasional (RPTN) Rencana Karya Lima Tahunan (RKL) dan Rencana Karya Tahunan (RKT). Rencana-rencana dimaksud lebih bersifat mengakomodasikan kemungkinan pengembangan pariwisata alam di zona pemanfaatan TNBB. Apabila didasarkan pada asumsi bahwa penetapan/ penunjukan zonasi TNBB juga mengacu pada peluang pemanfaatannya, maka dengan luas zona pemanfaatan TNBB yang 4.390,98 Hektar, masih tersisa kawasan yang dapat diusahakan seluas 3.774,93 Hektar atau 85,97 % dari luas zona pemanfaatan insentif, dengan catatan hanya 10 % areal yang dapat dibangun sarana prasarana. 6. Pengembangan Integrasi dan Koordinasi a. Koordinasi dengan lintas sektoral (stakeholder) b. Pengembangan kemitraan dangan Organisasi Pemerintah dan Non Pemerintah (LSM) baik dalam maupun luar negeri dan masyarakat dengan mengembangkan kemitraan dalam bentuk -
Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, promosi penelitian, pendidikan wisata alam
-
Publik awareness, baik melalui jalur resmi maupun informal tentang fungsi, tujuan, dan manfaat konservasi khususnya mengenai keberadaan Taman Nasional
c. Pembinaan daerah penyangga dititik beratkan pada peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan pariwisata alam dan pemanfaatan plasma nutfah untuk menunjang budidaya. d. Membina program bersama pemangku kawasan hutan dan pesisir untuk dapat mengintegrasikan suatu ekosistem kawasan sesuai fungsinya melalui managemen kolaborasi (Co-Management) sesuai otoritas kewenangan dan tanggung jawab. Lembaga co-management yang tengah dibangun TNBB mempunyai beberapa pendekatan yang berbeda dengan Taman Nasional lain sesuai dengan karakteristik alam dan masyarakatnya serta perkembangan proses yang sudah berjalan baik di tingkat institusional maupun di tingkat masyarakat sendiri. Dengan berangkat dari prinsip dasar co-management yaitu kemitraan maka nantinya pemerintah pusat (TNBB), pemerintah daerah, pihak swasta dan masyarakat harus bermitra/bekerja bersama dalam melakukan pengelolaan TNBB secara lebih efektif. Kemandirian dalam mengemukaken pendapat dan alternatif-alternatif pengelolaan kawasan TNBB menjadi fokus utama. Oleh karena 62 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
itu disepakati lembaga yang terbentuk hanya mengandung unsur-unsur non pemerintah. Suatu kesepakatan kerjasama kemudian akan disusun antara lembaga-lembaga pemerintah terkait seperti TNBB, Pemerintah Kabupaten Buleleng dan Jembrana, serta Pemerintah Propinsi Bali. Poin paling penting dari kesepakatan-kesepakatan kerjasama ini adalah perlunya menyertakan lembaga yang telah terbentuk (Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir TNBB) dalam setiap proses perencanaan pembangunan daerah TNBB dan sekitarnya. 7.
Kerjasama Pengelolaan / Pengusahaan Pariwisata Alam a. Masyarakat / LSM setempat Lembaga Swadaya Masyarakat lokal yang selama ini menjadi Mitra Kerja Taman Nasional Bali Barat dalam mengelola dan menjaga kelestarian potensi alam Taman Nasional diantaranya : Kelompok Usaha Bersama (KUB) Sumber Klampok, Yayasan Bahtera Nusantara Denpasar, Kokokan (sebuah kelompok studi pengamat burung) Universitas Udayana, Jaringan Kerja Bali Barat (sebuah jaringan kerja yang melibatkan beberapa LSM yang menaruh perhatian terhadap pengelolaan Taman Nasional Bali Barat) b. Masyarakat / LSM Nasional Lembaga Swadaya Masyarakat Nasional dan Internasional yang selama ini menjadi Mitra Kerja Taman Nasional Bali Barat dalam mengelola dan menjaga kelestarian potensi alam Taman Nasional diantaranya : Yayasan Konus (Konservasi Alam Nusantara) Bandung, WWF Wallacea Denpasar, Birdlifde Indonesia, The Nature Conservation. c. Perusahaan Pada saat ini di Taman Nasional Bali Barat terdapat 3 (Tiga) perusahaan yang sudah mendapatkan Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) yaitu : Tabel 1. Perusahaan yang mendapat IPPA di TNBB No
Pengelola / Pelaksana
1.
PT. Shorea Barito Wisata
2.
PT. Trimbawan Swastama Sejati
Jenis Usaha / Kegiatan Wisata yang dikembangkan Pengusahaan Pariwisata Alam (Resort) − Wisata Bahari (Diving, snorkling, canoing) − Bird watching − Jungle tracking Pengusahaan Pariwisata Alam (Resort) − Wisata Bahari (Diving, snorkling, canoing) − Bird watching − Jungle tracking − Wisata berkuda
Lokasi / Luas / Volume Labuhan Lalang, Tanjung Kotal, dan Gilimanuk ; Luas 251.5 Ha
Tanjung Gelap dan Banyuwedang ; Luas 284 Ha
Dasar Hukum Pengusahaan (SK.No.Tahun) − SK Menteri Kehutanan No. 786/Menhut-II/1997 (Ijin Prinsip) − SK ijin PPA No. 184 / Kpts-II/1998 (Ijin Operasional) − Dokumen Amdal No. 68 / DJ – VI / Amdal / 1998 − SK Menteri Kehutanan No. 787/Menhut-II/1997 (Ijin Prinsip) − SK ijin PPA No. 635 / Kpts-II/1998 (Ijin Operasional) − Dokumen Amdal No. 68 / DJ – VI / Amdal / 1998
63 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
3.
PT. Disthi Kumala Bahari
Pengusahaan Pariwisata Alam (Budidaya Mutiara) − Wisata Bahari dengan minat khusus (Tiram Mutiara)
Teluk Terima dan Cekik ; Luas 40.05 Ha
− SK Menteri Kehutanan No. 645/Menhut-II/1997 (Ijin Prinsip)
III. KEBUTUHAN DUKUNGAN IPTEK DAN PARTISIPASI MASYARAKAT LOKAL DALAM PROGRAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT Terdapat sebuah pertanyaan yang secara umum dijumpai didalam pengelolaan Taman NasionalTaman Nasional yang ada di seluruh Indonesia, yaitu “Mengapa pengelolaan Taman Nasional sulit mendapatkan partisipasi masyarakat lokal ? “ Pengelolaan Taman Nasional merupakan upaya mempertahankan keaslian suatu spesies kunci berikut ekosistemnya dengan menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan unsur-unsur non hayati secara in situ. Konsep ini tentu sangat ideal untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Akan tetapi, implikasi bagi masyarakat lokal adalah tertutupnya akses terhadap potensi sumberdaya alam Taman Nasional. Sementara banyak fakta menunjukkan bahwa pemenuhan kebutuhan hidup mereka masih sangat tergantung pada sumberdaya alam yang terdapat didalamnya. Disisi lain, sistem pengelolaan Taman Nasional sampai saat ini masih belum mampu mengakomodasi kepentingan hidup dan kehidupan masyarakat disekitar kawasan konservasi secara optimal. Secara filosofis, semua potensi baik flora, fauna maupun ekosistem Taman Nasional perlu dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan. Akan tetapi mengingat UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya,
maka pemanfaatan Taman Nasional dibatasi untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Mengingat UU No 5 Tahun tersebut, pengelola Taman Nasional mengalami kesulitan di dalam menjawab persoalan nyata di lapangan, yaitu keinginan masyarakat lokal untuk dapat mengakses sumberdaya alam Taman Nasional secara langsung untuk tujuan memenuhi kebutuhan dan kelangsungan hidup mereka. Mengembangkan dukungan masyarakat lokal dalam sistem pengelolaan Taman Nasional memang tidak mudah. Dukungan IPTEK dalam mengakomodir kepentingan masyarakat lokal merupakan salah satu hal penting dan mutlak diperlukan dan IPTEK ini diimplementasikan melalui
pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh pengelola Taman Nasional dalam
melibatkan partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan Taman Nasional yang bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Setidaknya ada 3 (tiga) pendekatan yang bisa dilakukan oleh pengelola Taman Nasional untuk pengembangan partisipasi masyarakat lokal yang kesemuanya tidak bisa lepas dari dukungan IPTEK didalam implementasinya, 3 pendekatan itu diantaranya : 1 ) Sosialisasi Nilai Ekonomi Total Taman Nasioanal, 2 ) Pengembangan pemanfaatan Taman Nasional, dan 3) Pemberdayaan Ekonomi masyarakat. 64 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
1. Sosialisasi Nilai Ekonomi Total Taman Nasional Sosialisasi Nilai Ekonomi Total Taman Nasional mutlak diperlukan untuk menjelaskan keterkaitan antara manfaat Taman Nasional dengan kepentingan pembangunan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Sosialisasi Nilai Ekonomi Taman Nasional akan memberikan
pemahaman kepada masyarakat lokal dan para stakeholder Taman Nasional tingginya manfaat intangible suatu kawasan Taman Nasional, disamping informasi ini akan diharapkan dapat meminimalkan miskonsepsi tentang nilai manfaat Taman Nasional dari masyarakat dan para stakeholder Taman Nasional. Menghitung Nilai Ekonomi Total Taman Nasional tidaklah mudah dan diperlukan kemampuan dan tekhnik-tekhnik dan pengetahuan (IPTEK) untuk melakukan penilaian kawasan Taman Nasional untuk jangka panjang. Beberapa manfaat Taman Nasional terutama yang berupa nilai guna konsumtif relatif mudah dinilai dengan satuan moneter. Akan tetapi manfaat-manfaat lain terutama yang bersifat jangka panjang, menghendaki cara penilaian yang lebih rumit, melibatkan serangkaian analogi, permisalan, dan perbandingan-perbandingan. Kesulitan lainnya setelah Nilai Ekonomi Total Taman Nasional diketahui , masih sulitnya mensosialisasikan mengenai besar dan pentingnya manfaat ekonomi Taman Nasional kepada masyarakat sehingga mampu menimbulkan kesadaran konservasi. Informasi Nilai Ekonomi Total Taman Nasional diharapkan dapat mengakhiri pertentangan yang mengarah pada posisi harus memilih antara pembangunan ekonomi dan pembangunan konservasi.
Alokasi lahan untuk Taman Nasional bukanlah suatu investasi yang sia-sia
melainkan justru merupakan bagian yang penting dalam pembangunan ekonomi wilayah, seperti bagaimana kawasan Taman Nasional dapat memberikan subsidi nilai ekonomi yang nyata dalam pembangunan ekonomi seperti nilai ekonomi air, nilai ekowisata, bahkan juga nilai ekonomi penyerap karbon. 2.
Pengembangan Pemanfaatan Taman Nasional
Sementara ini, pemanfaatan sumberdaya alam dan ekosistem Taman Nasional hanya untuk kegiatan penelitian, pendidikan dan wisata alam. Oleh karenanya pemanfaatan Taman Nasional untuk kegiatan penelitian perlu diarahkan untuk penelitian terapan untuk menunjang pengembangan budidaya dan penangkaran satwa di luar kawasan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dukungan IPTEK melalui penelitian jenis-jenis tumbuhan dan satwa yang bernilai ekonomi tinggi perlu dilakukan secara intensif. Kegiatan penelitian ini harus diarahkan sampai pada tahap tekhnik budidaya atau penangkaran yang dapat dilakukan oleh masyarakat sehingga dapat meningkatkan pendapatannya. Kegiatan wisata alam perlu diarahkan pada kegiatan ekowisata yang memberikan peluang peran masyarakat lokal. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sehingga ketergantungan terhadap potensi Taman Nasional yang bersifat ekstraktif dapat dikurangi.
65 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pengembangan kegiatan pendidikan konservasi bagi masyarakat perlu diarahkan kepada pendekatan kesejahteraan melalui pengembangan kelompok swadaya masyarakat seperti kelompok nelayan, kelompok tani rumput laut, penagkaran satwa untuk kegiatan upacara keagamaan.
66 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
3.Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Selain pengembangan usaha ekowisata, program pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat dikembangangkan melalui usaha-usaha yang berbasis kondisi biofisik desa disekitar Taman Nasional baik melalui program misalnya melalui program sosial forestry. Sosial Forestry merupakan sistem pengelolaan sumberdaya hutan yang dilaksanakan baik pada kawasan hutan negara maupun hutan hak, dengan melibatkan masyarakat setempat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraanya dan mewujudkan kelestarian hutan.
Sistem pengelolaan Sosial Forestry yang di dalam kawasan dilakukan secara
komprehensif tidak untuk merubah status dan fungsi hutan, tidak untuk memberikan kepemilikan atas kawasan, namun memberikan hak dan tanggung jawab mengelola hutan secara menyeluruh pada areal hutan yang ditetapkan sebagai kawasan Sosial Forestry. Disamping itu dibentuk kemitraan dengan masyarakat sekaligus memfungsikan secara nyata pemerintah pedesaan dalam pengelolaan hutan. Kegiatan Sosial Forestry di Taman Nasional Bali Barat pada intinya adalah upaya menjaga keamanan kawasan hutan TNBB khususnya yang terletak berbatasan dengan desa daerah penyangga melalui peningkatan produktifitas lahan dengan penanaman jenis-jenis tanaman yang paling dibutuhkan masyarakat desa daerah penyangga yang mempunyai peluang pasar cukup tinggi pada lahan yang dikelola oleh desa atau lahan jalur hijau batas kawasan. Kebijakan Sosial Forestry dilakukan dengan tidak merubah status dan fungsi hutan. Status hutan yang dijadikan Areal Kerja Social Forestry harus dipertahankan sebagai hutan tetap sesuai dengan fungsi pokok yang telah ditetapkan untuk kawasan tersebut. Melihat ketentuan di atas maka Taman Nasional Bali Barat sebagai kawasan konservasi yang dikelola dengan sistem zonasi yaitu zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan dan zona pemanfaatan budaya harus dipertahankan sesuai dengan fungsi pokoknya. Adapun fungsi pokok, peruntukan, kriteria dan penetapan zonasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan flora fauna, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan, pembinaan populasi dan habitat, serta perlindungan keanekaragaman hayati.
Sedangkan
zona pemanfaatan
Taman Nasional Bali Barat fungsi dan peruntukannya hanya untuk kegiatan pemanfaatan, pengembangan pariwisata alam dalam bentuk pembangunan, penyediaan fasilitas dan akomodasi pengelolaan taman nasional dan pariwisata alam. Sosial Forestry di Taman Nasonal Bali Barat dilakukan di luar kawasan yaitu pada lahan masyarakat di desa daerah penyangga dan lahan jalur hijau batas kawasan dengan desa daerah penyangga, serta lahan pengganti kawasan yang digunakan untuk kepentingan selain kepentingan pengelolaan.
Sedangkan Sosial Forestry yang dilakukan di dalam kawasan
Taman Nasional Bali Barat yaitu hanya kegiatan wisata alam pada zona pemanfaatan. Hal ini dilakukan selain Taman Nasonal Bali Barat tidak mempunyai zona Rehabilitasi juga untuk menghindari perubahan fisik (bentang alam) yang terjadi, menghindari penanaman tanaman
67 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
produksi yang bukan tanaman asli kawasan (eksotis spesies), menjaga keaslian, menjaga keunikan, dan menjaga keindahan alam yang ada. Pengembangan program Social Forestry di Taman Nasional tentu memerlukan dukungan IPTEK dalam implementasinya. Pendekatan Social Forestry haruslah mempertimbangkan aspek ekonomi, ekologi, social dan budaya masyarakat. Dan dengan dukungan IPTEK diharapkan kesemua aspek tersebut dapat dianalisa, diteliti, dan dijadikan dasar dalam penentuan kebijakan pemberdayaan masyarakat IV. PEMANFAATAN IPTEK PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT A.
Kegiatan pemulihan populasi Jalak Bali melalui penangkaran. Penangkaran adalah upaya restocking jumlah populasi suatu spesies yang terancam punah. Penangkaran Jalak Bali dirintis sejak tahun 1996. Hasil penangkaran diharapkan mampu mendukung program reintroduksi ke habitat alami, dan direncanakan untuk tetap menjalankan program ini untuk memperoleh jumlah ‘aman’ populasi Jalak Bali di habitat yang memungkinkan untuk berkembangbiak
dan terhindar dari ancaman kepunahan.
Keberhasilan program reintroduksi didukung oleh pelaksanaan pertukaran induk Jalak Bali dengan penangkar lain guna memperkaya variasi genetik. Dalam pemanfatan IPTEK, program pemulihan populasi Jalak Bali ini juga telah menerapkannya diantaranya : − Direncanakan akan dilakukan pemanfaatan Radio Telemetry
berupa pemasangan
transfounder untuk kepentingan pelacakan maupun pemantauan aktivitas biologi burung Jalak Bali hasil penangkaran. Pemasangan transfounder sudah dicoba untuk dipasang namun masih perlu disempurnakan lagi karena pemasangan transfounder pada burung Jalak Bali justru mengurangi aktivitas keliaran burung (burung terlihat terganggu dengan adanya transfounder yang terpasang pada tubuhnya dan diperlukan studi lebih lajut tentang pemasangan ranfounder ini. − Burung Jalak Bali hasil penangkaran yang akan dilepas di habitat pada saat ini telah dipasang Microchip untuk keperluan identifikasi burung. Microchip ini diijeksi ke tubuh burung diantara kulit dan otot burung. Dan dengan alat scaning, bisa dibaca identitas burung yang diidentifikasi. Peralatan ini adalah sumbangan dari Yokohama Zoo (Jepang) .Pada saat ini Taman Nasional Bali Barat menyelenggarakan program kerjasama dengan Yokohama Zoo (Jepang), dan sebagai implementasinya pihak Yokohama telah mengirimkan 20 ekor Burung Jalak Bali hasil penangkaran mereka untuk dilepaskan di habitat asli di Taman Nasional Bali Barat. Kebutuhan dukungan IPTEK lain yang perlu dilakukan dalam mendukung program pemulihan populasi Jalak Bali : − Perlu dilakukannya Studi Biologi perilaku Jalak Bali hasil pelepasan untuk mengetahui perilakuk burung, dan daya adaptasi burung dengan habitat aslinya.
68 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
− Diperlukan riset tentang daya dukung habitat Jalak Bali pada saat ini terhadap populasi Jalak Bali yang ada.
69 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
B.Pengelolaan potensi kawasan Taman Nasional Potensi Taman Nasional Bali Barat meliputi berbagai jenis flora dan fauna liar, yang berstatus langka, dilindungi maupun yang keberadaannya masih melimpah, habitat dan letak geomorfologinya serta keindahan alamnya yang masih dalam keadaan utuh. Ekosistem di dalam kawasan Taman Nasional Bali Barat cukup potensial dan lengkap yang meliputi perairan laut, pantai dan pesisirnya, hutan dataran rendah sampai pegunungan merupakan habitat alami bagi hidupan liar yang juga menunjukkan tingginya keanekaragaman hayati antara lain terumbu karang dan biota laut lainnya, vegetasi mangrove, hutan rawa payau, savana dan hutan musim. Flora dan fauna yang cukup beragam, sampai saat ini telah diidentifikasi 176 jenis flora meliputi pohon, semak, tumbuhan memanjat, menjalar, jenis herba, anggrek, paku-pakuan dan rerumputan. Untuk jenis fauna terdiri dari 17 jenis mamalia, 160 jenis burung (aves), berbagai jenis reptil dan ikan Tanpa
mengenyampingkan
pengelolaan
Taman
Nasional
Bali
Barat
yang masih
memprioritaskan untuk daerah darat dengan fokus utama yaitu perlindungan Jalak Bali, tidak dipungkiri bahwa ternyata kunjungan wisatawan (yang bisa dijadikan sebagai tolak ukur daya tarik kawasan ) ternyata hampir 80 % bertujuan untuk berwisata bahari khususnya ke perairan Pulau Menjangan. Ini berarti potensi perairan terutama terumbu karang dipandang penting utnuk dikelola lebih efektif. Beberapa pemanfaatan IPTEK didalam program perlindungan terumbu karang diantaranya : − Pemasangan alat pengukur suhu air laut untuk memantau kenaikan suhu air laut dalam hubunganya dengan pamanasan global yang sangat erat kaitannya dengan daya tahan terumbu karang akibat perubahan iklim. − Penggunaan metode ilmiah didalam pemantauan kondisi terumbu karang dan juga pemantauan lokasi-lokasi tempat pemijahan ikan karang. Pemahaman dan pengetahuan tentang lokasi pemijahan ikan karang ini sangat penting karena fungsinya sebagai sumber suksesi untuk memelihara populasi ikan dan menjaga jaringan rantai makanan guna menjaga fungsi ekologis di kawasan Taman Nasional. C.Pengamanan Kawasan Pemanfaatan IPTEK dalam kegiatan pengamanan kawasan Taman Nasional relatif belum banyak dilakukan. Namun demikian salah satu kegiatan yang juga bersinggungan dengan pemanfaatan IPTEK yaitu penggunaan Radio Komunikasi untuk memperlancar komunikasi antar personil di dalam kawasan. D.Pemberdayaan Masyarakat Penyangga Taman Nasional Beberapa kegiatan pemanfaatan IPTEK dalam pemberdayaan masyararat penyangga Taman Nasional Bali Barat yang sudah dilakukan diantaranya : − Pemanfaatan Metode / Model Sistem Tiga Strata dalam pemanfaatan kawasan penyangga. Model pengembangan yang direncanakan adalah peningkatan optimalisasi produtivitas lahan untuk dapat memenuhi kebutuhan masyarakat serta sebagai mata pencaharian baru 70 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dalam rangka perbaikan taraf hidup dan peningkatan pendapatan. Lahan diberdayakan dengan sistem tanaman tiga strata yaitu berupa tanaman tinggi sebagai strata penghasil kayu, buah dan pakan ternak; strata tengah berupa tanaman legum dan tanaman obat sebagai penghasil jamu, dan pakan ; dan strata bawah berupa tanaman palawija dan rumput. − Pemanfatan teknolgi pengolahan rumput laut oleh masayarakat penyangga Taman Nasional Bali Barat, sehingga hasil budidaya rumput laut menghasilka produk olahan yang beragam. Dukungan IPTEK dalam pemberdayaan masyararat penyangga Taman Nasional Bali Barat yang perlu dilakukan : − Diperlukan pengetahuan tentang peternakan dengan hasil maksimal mengingat sebagian besar masyarakat penyangga Taman Nasional memiliki hewan ternak yang mana kebutuhan pakannya masih mengandalkan pakan ternak / pohon / tanaman yang ada di dalam kawasan.
Pengetahuan ini diharapkan dapat dijadikan dasar oleh masyarakat
dalam melakukan usaha ternak dengan memanfaatkan lahan yang mereka miliki
tanpa
menekan potensi kawasan Taman Nasional. − Diperlukan pengetahuan tentang usaha-usaha penangkapan ikan yang ramah lingkungan yang bisa diterapkan oleh masyarakat nelayan sehingga penangkapan-penangkpan ikan dengan metode yang merusak seperti penggunaaan bom, potasium dapat dihindari. − Dalam aspek sosial budaya perlu adanya pengetahuan untuk memetakan permasalahan sosial yang ada di masyarakat mengingat Daerah sekitar Taman Nasional Bali Barat adalah daerah dengan tingkat kemajemukan etnis dan sosial yang tinggi. Taman Nasional Bali Barat dibelah oleh dua jalan utama lintas propinsi dan sangat dekat dengan pelabuhan penyebarangan yang padat. Walaupun secara resmi kawasan Taman Nasional Bali Barat tidak mempunyai daerah kantung (enclave) penduduk, pada kenyataannya kawasan Taman Nasional Bali Barat sejak lama telah memberikan mata pencaharian dan kehidupan bagi penduduk di sekitar kawasan.
Selain penduduk asli Bali, tercatat
penduduk menetap dari Jawa, Madura dan Bugis mendominasi penduduk sekitar Taman Nasional Bali Barat. Penduduk dari daerah lainpun banyak memanfaatkan sumberdaya dan pelayanan ekologis Taman Nasional Bali Barat. E.Pengelolaan potensi wisata Taman Nasional Berkembanganya
Pengusahaan Pariwisata ALam di Balai Taman Nasional Bali Barat
merupakan konsekwensi dari prinsip pengelolaan terutama berkaitan dengan asas pemanfaatan yang lestari. Pengembangan pariwisata alam di dalam zona pemanfaatan harus memenuhi ketentuan yang berlaku yaitu 10% dari luas daerah konsesi pengusahaan pariwisata alam untuk dapat menekan seminimal mungkin dampak dari aktifitas yang dilakukan. Salah satu penerapan IPTEK untuk meminimalkan dampak negati dari kegiatan Pengusahaan Pariwisata Alam : 71 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
− Penggunaan teknologi ramah lingkungan untuk pengolahan air limbah kegiatan pariwisata (resort), yang mana limbah diolah sedemikian rupa sehingga limbah cair tersebut dapat dikembalikan / digunakan lagi di dalam kawasan seperti untuk menyiram pohon-pohon yang ada. Dukungan IPTEK yang lain yang diperlukan untuk pengelolaan potensi pariwisata alam Taman Nasional adalah : − Diperlukan adanya studi daya dukung lingkungan Obyek Daya Tarik Wisata Alam (ODTWA) kawasan-kawasan pariwisata alam di Taman Nasional Bali Barat terhadap kapasitas pengunjung, ini penting dilakukan untuk meminimalkan dampak pengunjung terhadap keutuhan potensi wisata kawasan. V. KESIMPULAN Pola pengelolaan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya yang terintegrasi di dalam pola kebijaksanaan dan implementasinya dalam pembangunan secara regional dan nasional membangun suatu keterpaduan kerangka konservasi. Pembangunan model konservasi yang dimengerti dan diintegrasikan dalam suatu kawasan atau wilayah ekosistem memberi peluang yang sangat baik pada optimalisasi pemanfaatan untuk kesejahteraan dan kemakmuran yang berkeadilan, berimbang dan berkelanjutan. Pengembangan upaya konservasi sebenarnya adalah konsep budaya tradisional dan moral di dalam pedoman kehidupan setiap agama, namun karena pelaksanaannya sering dikalahkan dengan kepentingan ekonomi sebagai lambang kemajuan sehingga pedoman kehidupan ini menjadi kerdil. Budaya Agama Hindu yaitu Tri Hita Karana yang mengatur hubungan harmonis manusia dengan Parahyangan (Tuhan), manusia dengan Pawongan (sesama), dan manusia dengan Palemahan (lingkungan) diartikan sempit hanya dalam tata cara pembagian ruang bukan menjadi konsep utuh pola hidup dan kehidupan dalam lingkungan itu. Demikian juga pola pembagian zonasi TNBB bila diartikan hanya sebatas keruangan bukan suatu ekosistem kehidupan maka kelangsungan kehidupan fauna akan menjadi terancam, karena satwa tidak mengerti adanya zonasi yang dibuat manusia. Keterpaduan pola kebijaksanaan, kesinergisan kepentingan, serta pengoptimalan
peran dan
fungsi kewenangan yang dimiliki secara gLobal dan berkelanjutan adalah beberapa hal yang perlu ditumbuh kembangkan dan ditingkatkan antara pemerintah pusat, daerah, dan juga masyarakat sehingga tujuan pengelolaan Taman Nasional seperti yang diharapkan dapat diwujudkan. Pemanfatan IPTEK dan partisipasi masyarakat lokal adalah salah satu hal yang mutlak diperlukan didalam menjawab pengelolaan kawasan konservasi yang berkelanjutan dan mengikuti perkembangan yang ada.
Peran strategis pengelola Tama Nasional adalah
menyeimbangkan antara kepentingan lokal dan kepentingan global.
Pemerintah pusat
seharusnya tidak mengorbankan hal lokal atas sumberdaya hanya demi kepentingan global yang sering mengatasnamakan pelestarian keanekaragaman hayati, perlindungan spesies satwa liar tertentu dan sebagainya.
Perangkat hukum juga harus disiapkan di tingkat nasional guna
72 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
melindungi hak milik inteektual masyarakat lokal serta perlindungan materi genetik dari aksiaksi “pencurian” yang berkedok partnership program.
Dalam hal ini peranan pihak yang
berwenang dalam ilmu pengetahuan seperti LIPI dan Ditjen PHKA sebagai pihak yang berwenang di bidang penelitian kawasan konservasi sangat strategis. Bahkan dalam hal materimateri riset dari sumberdaya laut, kewenangan di bidang bidang ilmiah seharusnya dapat diserahkan kepada Departemen Perikanan dan Kelautan. Mekanisme pengkajian dan penyiapan kerangka hukum semestinya dikonsultasikan kepada stakeholder terkait secara transparan. Dengan demikian, mekanisme kontrol di lapangan juga akan dapat dilaksanakan secara konsekuen dan bertanggung gugat
DEAFTAR PUSTAKA Anonim, 1977. Rencana kerja Lima tahun (RKL). Taman Nasional Bali Barat Periode Tahun Anggaran 1997/1998-2001/2002. Departemen Kehutanan RI. Anonimus, 2003. Pola Pengeloalaan Dan Kepariwisataan di Taman Nasional Bali Barat. Departermen Kehutanan RI Anonimus, 2003. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bali Barat 2003. Departemen Kehutanan RI. Anonim, 2003. Statistik Balai Taman Nasional Bali Barat 2002. Departemen Kehutanan RI Soedirun,D.2002. Makalah Pengelolaan Potensi Sumberdaya Alam Hayati di Balai Taman Nasional Bali Barat.Departemen Kehutanan RI
73 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
UPAYA PELESTARIAN PENYU DI BALI Oleh : Rahman Kurniadi ABSTRAK Penyu merupakan salah satu hewan langka dan dilindungi. Beberapa jenis penyu bahkan telah masuk ke dalam daftar Lampiran (Appendix I) Convention on International Trade of Endangered Species tahun 1978 (CITES). Sementara itu Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan guna melestarikan penyu. Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran tentang upaya berbagai pihak untuk melestarikan penyu di Bali. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat berbagai upaya berbagai pihak untuk melestraikan penyu di Bali. Upaya tersebut antara lain dengan pembentukan Peraturan Daerah, sosialisasi peraturan perundangan, penegakan hukum, penggantian daging penyu dengan daging babi, penggunaan teknologi penangkaran, pelibatan masyarakat dalam penangkaran penyu, dan pelibatan lembaga swadaya masyarakat. Kata kunci : pelestarian penyu, satwa langka, Bali I. PENDAHULUAN Penyu merupakan salah satu hewan langka dan dilindungi. Beberapa jenis penyu bahkan telah masuk ke dalam daftar Lampiran (Appendix I) Convention on International Trade of Endangered Species tahun 1978 (CITES). Sementara itu Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan berbagai peraturan guna melestarikan penyu. mengeluarkan Peraturan Pemerintah
No 7
Diantaranya adalah
dengan
tahun 1999 tentang Pengawetan jenis Tumbuhan
dan Satwa yang dilindungi dan Keputusan Dirjen Perlindungan Hutan dan pelestarian Alam No 07/KPTS/DJ-VI/1988. Enam dari tujuh jenis penyu di dunia terdapat di perairan laut Indonesia. Mereka Antara lain penyu Belimbing ( Dermochelys coriacea), penyu sisik (Eremochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelis imbricata), penyu lekang (Lepidocheys olivacea), penyu tempayan (Caretta caretta), penyu pipih (Natator depressus) dan penyu hijau (Chelonia mydas) (Siregar,1999 dalam Nursahid, 1999). Bali merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menjadi sorotan internasional karena merupakan daerah yang memiliki budaya menggunakan daging penyu untuk keperluan acara adat dan agama.
Badan-badan konservasi internasional telah menekan Pemerintah Indonesia
agar berusaha dengan serius untuk melestarikan penyu. Penelitian ini bertujuan memperoleh gambaran dari berbagai upaya pelestarian penyu di Bali.
Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan acuan bagi Pemerintah Daerah lain yang
memiliki masalah serupa.
Berbagai keberhasilan dan kegagalan yang dialami merupakan
pelajaran yang berharga bagi daerah lain. Hingga kini masih banyak Pemerintah Daerah yang belum melakukan langkah-langkah seperti yang dilakukan Pemerintah Daerah Bali.
II. METODE PENELITIAN Penelitian dimulai pada Bulan Juni tahun 2002 dan berakhir pada Bulan Desember tahun 2002. Penelitian dilakukan dengan cara wawancara terhadap orang-orang yang memiliki keahlian dan hubungan erat dengan pelestarian penyu. Selanjutnya dilakukan verifikasi data
74 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pada tahun 2003 dan 2004. Verifikasi data dilakukan untuk menguji metode penangkaran penyu yang dilakukan masyarakat dan mengkaji keberhasilaannya. Adapun narasumber yang digali keterangannya antara lain : Pemerintah Propinsi Bali Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Bali Kelompok Pelesetari Penyu Kurma Asih di Perancak WWF
III. HASIL PENELITIAN Hasil penelitian menunjukkan terdapat berbagai upaya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk melestarikan Penyu di Bali. Upaya-upaya tersebut sebagai berikut : A. Pembentukan Peraturan Daerah Salah satu upaya Pemerintah Daerah dalam pelestarian penyu adalah mengeluarkan
SK Gubernur Nomor 243/2000 tanggal 1 Juni 2000.
dengan
Dengan demikian
disamping adanya PP No7 tahun 1999 dan kesepakatan CITES tahun 1978. Dengan demikian aparat pemerintah memiliki dasar hukum untuk ikut serta dalam pelestarian penyu. Disamping itu terdapat beberapa peraturan lainnya diantaranya : 1.
S Edaran Gubernur Bali tanggal 8 Juni 1991 tentang pemanfaatan penyu
2.
Surat Edaran Gubernur Nomor 660.1/1751/BKLH tentang kuota pemanfaatan penyu
3.
SK Bupati Badung No.672/1996 yang menyebutkan bahwa penyu yang boleh diperdagangkan hanya yang berukuran panjang kerapas lebih dari 50 cm
4.
Surat Nomor 522/10264/EKbang tanggal 7 September 2001 yang menyatakan bahwa pemanfaatan daging penyu untuk kegiatan upacara agama sifatnya adalah khusus
B. Sosialisasi Peraturan Perundangan Sosialisasi tentang peraturan perundang-undangan
telah dilakukan oleh Pemerintah
Propinsi bali, misalnya dengan adanya surat Nomor 522/10264/Ekbang. Menurut surat tersebut sosialisasi yang dilakukan dalam bentuk : 1. Memulai pemuatan pesan-pesan konservasi secara berkala dalam media masa konvensional seperti
koran, majalah, televisi dan radio.
Juga digalakan kerjasama
dengan kelompok seniman tradisional seperti arja, wayang dan drama gong. 2. Pendekatan dengan
sentuhan nilai-nilai kultur religi berbasis Dharma Agama dan
Dharma Negara. Dharma agama pada intinya adalah upaya menggali nilai-nilai agama (adat) tentang pemanfaatan penyu laut sebagai sarana beryadnya. dharma negara pada dasarnya adalah upaya pencapaian koridor berpikir bahwa Negara Indonesia (terutama Propinsi Bali) mendapat tekanan yang keras dari dunia Internasional akibat perdagangan penyu laut. C. Penegakan hukum Keluarnya peraturan yang melarang penggunaan daging penyu di Bali pada tahun 1999 awalnya memperoleh resistensi keras dari masyarakat. Pada tahun 1999 terjadi demontrasi yang menentang pemberlakuan peraturan tersebut di Kantor BKSDA Bali. Para pelaku perdagangan 75 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pun seolah-olah tidak mengindahkan adanya peraturan tersebut. Pada Awal dikeluarkannya peraturan tersebut, pada Bulan Mei-Agustus 1999 tercatat sekitar 9000 penyu yang diperdagangkan atau dalam satu tahun terdapat 27.000 penyu yang diperdagangkan Nursahid,1999. Dilihat dari kasus diatas, dapat disimpulkan bahwa peraturan-perundangundangan saja tidak mampu untuk melindungi penyu dari kepunahan.
Oleh karena itu Pemerintah Propinsi
Bali bekerja sama dengan Balai Konservasi Sumberdaya Alam berupaya menegakan peraturan tersebut dengan cara melakukan operasi terhadap para pedagang penyu. pedagang penyu antar pulau berhasil ditangkap.
Hasilnya, beberapa
Namun demikian penegakan hukum tersebut
dibalas oleh masyarakat dengan melukan demontrasi di kantor Balai Konservasi sumberdaya Alam. Namun demikian, Pemerintah Daerah Prorinsi Bali tidak untuk melindungi penyu.
mengubah komitmennnya
Berbagai operasi penegakan hukum pun terus digelar guna
mengeliminasi perdagangan penyu. Meskipun tidak semua pelaku perdagangan penyu dapat dijaring, perdagangan penyu perlahan-lahan berkurang.
D. Penggantian daging penyu dengan daging Babi Disamping penegakan hukum, Pemerintah Propinsi Bali berupaya mengurangi konsumsi daging penyu dengan cara mencari daging substitusi guna keperluan upacara agama.
salah
satunya adalah dengan menggantikan daging penyu dengan daging babi. Sementara itu untuk acara-acara keagamaan tertentu masih diijinkan untuk menggunakan daging penyu. Penggantian daging penyu dengan daging Babi memperoleh resistensi dari berbagai tokoh agama dan masyarakat.
Untuk itu Pemerintah Propinsi Bali berusaha meyakinkan
masyarakat bahwa kebijakan tersebut tidak melanggar agama. beberapa tokoh agama pun dapat diajak bekerjasama dengan pemerintah untuk ikut serta melestarikan penyu.
E. Teknologi Penangkaran sederhana Upaya lain untuk melestarikan Penyu adalah dengan menggunakan teknologi penangkaran agar populasi penyu bertambah.
Meskipun kegiatan penangkaran satwa langka
masih kontroversial di kalangan orang-orang konservasi, kegiatan penangkaran diyakini dapat mengembalikan populasi penyu apabila bertujuan untuk perlindungan satwa langka. Mengingat umurnya yang panjang, kegiatan penangkaran penyu dikukan hanya sampai anak penyu (tukik) siap dilepas ke laut. Berikut ini teknologi sederhana penangkaran penyu yang dilakukan oleh BKSDA Bali menurut Juhandara (2002) : Langkah penyelamatan telur penyu untuk ditetaskan secara umum dapat dilakukan dengan tiga cara dengan melihat kendlsinya, sebagai berikut:
76 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
a. Penetasan alami Dilakukan
terhadap sarang telur penyu yang ditemukan pada daerah yang aman dari
pengaruh pasang air laut dan aman dari aktivitas manusia lainnya seperti : tempat berjemur, tempat sandaran perahu, tempat olah raga pantai dan lain-lain.
Penetasan ini dilakukan dengan cara membiarkan secara alami telur-telur penyu sampai menetas. Campur tangan manusia sebatas pengamanan areal, pemagaran dan penandaan lokasi penetasan. Urutan kegiatan yang dilakukan adalah : 1. Langkah pertama amati dengan teliti apakah tempat penyu bertelur tersebut benarbenar aman dari genangan air laut sisaat pasang dan aman dari aktivitas manusia. 2. Apabila diyakini aman maka berilah pagar sementara
dengan menncapkan bambu
disekeliling tempat bertelur dengan diameter kurang lebih 50 cm atau benda lainnya untuk mengurung areal tempat bertelur. 3. Catat siapa yang emnemukan sarang telur pertama kali dan tanggal berapa penyu bertelur demikian pula catat kondisi lingkungan seperti musim hujan, dekat pohon camplung, di dipan hotel A, pasir putih dan halus, pasir abu-abu dan halus dan sebagainya. 4. Setelah data lapangan diperoleh
usahakan dibuatkan pagar kawat disekeliling
tempat bertelur diameter 50 Cm dan papan deskripsi yang lebih permanen terbuat dari seng atau papan white board. 5. Dalam waktu 45 hari sampai dengan 50 hari dihitung sejak telur itu dikeluarkan induknya maka telur-telur penyu akan mentas dengan sendirinya .
Untuk itu
perkiraan tanggal menetas dalam papan deskripsi dapat ditulis.
b. Penetasan semi alami Dilakukan terhadap sarang telur penyu yang ditemukan pada daerah yang tidak aman dari pengaruh pasang air laut dan aktivitas manusia lainnya seperti tempat berjemur, tempat sandaran perahu, tempat olah raga pantai dan lain-lain.
77 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kegiatan ini dilakukan dengan cara memindahkan telur-telur penyu dari tempat yang alami ke tempat yang lebih aman. Pembuatan lubang enetasan dialukan pada areal pasir pantai yang sama. 1. Catat Siapa yang emenmukan sarang telur pertama kali dan tanggal berapa penyu itu bertelur demikian pula catat kondisi lingkungan sekitarnya seperti musim hujan, dekat pohon Camplung, didepan hotel A, pasir putih dan halus, pasir abu-abu dan halus, dan sebaginya. 2. Amati dengan teliti apakah tempat penyu bertelur tersebut benar-benar aman dari genangan air laut sisaat pasang dan aman dari aktivitas manusia. 3. Apabila tidak aman maka usahakan dilakukan pemindahan telur-telur ke tempat yang yang lebih aman. Pemindahan harus dilakukan secepatnya karena setelah lebih dari 2 jam tingkat keberhasilan penetasan penyu akan berkurang. 4. Pengambilan telur-telur penyu harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan tidak boleh membolak-balikan posisi telur sebagaimana saat diambil.
Hal ini perlu
diperhatikan agar Albumen dan Zigot pada telur tidak rusak. 5. Tempat menaruh telur-telur dari sarang alami bisa digunakan ember plastik yang mempunyai pegangan atau kalau dalam keadaan darurat dapat pula digunakan kantong pelastik ukuran besar. 6. Cara penempatan telur-telur tersebut dalam ember adalah dengan menyusunnya lapis demi lapis dimana dalam setiap lapisan penempatan telur diberikan sekat auat pelindung berupa pasir halus dan agak lembab. 7. Pembuatan sarang penetasan semi alami dilakukan dengan menggali lubang pada lokasi yang aman dengan diamater kurang elbih 50 Cm. Kedalaman 55 Cm. Sampai 60 Cm. Setelah lubang siap ambilah pasir laut yang lebih halus, bersih dan agak lembab. Masukan telur-telur penyu tersebut secara perlahan-lahan dan hati-hati serta jangan lupa untuk tidak membolak balik telur-telur itu. 8. dalam sertiap lobang penetasan diisi telur sebanyak 50 butir, setelah itu butiran telur ditimbun dengan pasir pantai yang sudah dibersihkan dan dipilih tadi sampai penuh. Kemudian pasir itu agak dipadatkan dengan cara ditekan-tekan secukupnnya. 9. Setelah itu buatlah pagar pengaman sarang yang terbuat dari kawat disekeliling tempat bertelur dengan diameter kurang lebih 50 cm atau benda lainnya untuk megurung areal tempat bertelur tersebut. Buat pula papan deskripsi yang permanen terbuat dari seng atau papan white board. 10. Dalam waktu 45 sampai 50 hari dihitung sejak telur itu dikeluarkan induknya maka telur-telur penyu akan menetas dengan sendirinya. Untuk itu perkirakan tanggal menetas dalam papan deskripsi dapat ditulis.
78 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Gambar 2. Ember untuk membawa telur penyu
Gambar 3. Sarang semi alami c. Penetasan buatan Penetasan buatan dilakukan terhadap telur-telur yang terancam dari bahaya pasang air laut dan aktivitas manusia serta tidak ada tempat yang layak untuk membuat sarang semi alami di tepi pantai.
Untuk itu penetasan buatan dapat dilakukan dengan
menggunakan boks yang terbuat dari kayu dan mempunyai satu atau dua lobnag dengan diameter 3 cm yang berfungsi sebagai tempat sirkulasi udara.
Ukuran boks dapat
disesuaikan dengan jumlah telur penyu yang akan ditetaskan dalam masing-masing boks. Pada umumnya ukuran boks mempunyai panjang 40 cm lebar 40 cm dan tinggi 80 cm. Lapisan dasar boks diberi pasir pantai yang halus dengan ketebalan 10 cm. Dengan ukuran boks seperti tersebut diatas kapasitas atau jumlah telur maksimal sebanyak 60 butir. Penempatan telur-telur disusun sedemikian rupa hingga tinggi boks 80 cm masih tersisa ruang 15 cm diatasnya untuk kemudian ditutup dengan pasir setebal 10 cm. Pada jarak antara 2 cm sampai dengan 3 cm diatas permukaan pasir pada boks kayu digantung lampu pijar listrik 25 watt. Bila memungkinkan dilakukan pengukuran suhu pasir dengan thermometer karena suhu optimal untuk penetasan telur penyu antara 26 oC – 32 oC. Dalam waktu 50 hari sampai 55 hari telur-telur penyu tersebut akan menetas.
79 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Telur penyu Lapisan pasir pantai tekstur halus
Gambar 4. Visualisasi kotak /boks penetasan buatan
F. Pelibatan masyarakat dalam penangkaran penyu Teknologi sederhana tentang penangkaran penyu telah disosialisasikan dan diaplikasikan oleh masyarakat dengan bantuan LSM dan pemerintah Daerah. Salah satu diantaranya dilakukan dilakukan oleh Kelompok Pelestari Penyu yang terletak di pantai perancak Kab. Jembrana. Sebagai gambaran berikut ini gambaran hasil penangkaran penyu yang dilakukan masyarakat Kelompok Pelestari Penyu dengan menggunakan teknologi sederhana diatas (semi alami).
Tabel 1. Hasil penangkaran penyu oleh Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih.
Tahun 1997
1998
1999
2000
Penyu sisik Penyu Sisik Semu Telur diperoleh
398
Telur menetas
260
Telur rusak
138
Tukik dilepas
238
Telur diperoleh
140
915
Telur menetas
52
678
Telur rusak
88
282
Tukik dilepas
18
611
Telur diperoleh
1782
Telur menetas
1481
Telur rusak
301
Tukik dilepas
1356
Telur diperoleh
5538
Telur menetas
4059
Telur rusak
567
Tukik dilepas
1356
80 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2001
.
Telur diperoleh
5357
Telur menetas
4684
Telur rusak
240
Tukik dilepas
4365
Sumber : Kelompok pelestari Penyu Kurma Asih,2002 Dengan melihat pada Tabel 1 tersebut, maka kita dapat melihat bahwa masyarakat setempat telah mampu melakukan penangkaran penyu. Hal tersebut dapat dilihat dari persentase telur yang menetas dan tukik yang hidup yang rata-rata lebih dari 65%.
G. Pelibatan Lembaga Swadaya Masyarakat Pelestarian penyu di Bali didukung oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), baik LSM lokal maupun LSM Internasional. Mereka aktif dalam memberi pelatihan masyarakat dan memberi sokongan dana. Disamping itu LSM tersebut juga berfungsi sebagai kontrol bagi penegakan hukum dalam bidang pelestarian penyu. Adanya LSM di Bali sangat membantu upaya pelestarian penyu. Hal ini terutama untuk dukungan dana bagi pelestarian penyu yang sangat minim. Pihak-pihak yang terkait dengan pelestarian penyu menghadapi kesulitan dalam dana untuk penangkaran dan penegakan hukum. Dengan bantuan LSM tersebut diharapkan dapat dibantu dengan Sumberdaya manusia dan Sumber dana.
III. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Upaya pelestarian penyu di Bali telah dikukan dengan berbagai upaya yang melibatkan berbagai pihak.
Upaya tersebut dapat dijadikan acuan bagi daerah lain yang menghadapi
masalah serupa. Adapun langkah-langkah yang telah ditempuh untuk melestarikan penyu di Bali adalah sebagai berikut : 1. Pemerintah Daerah berupaya untuk membuat Peraturan daerah yang terkait dengan pelestarian penyu 2. Pemerintah Daerah melakukan sosialisasi tentang adanya peraturan Daerah yang mengatur pelestarian penyu. 3. Pemerintah Daerah dan aparat terkait melakukan penegakan hukum 4. Adanya upaya untuk mengganti daging penyu dengan daging substitusinya 5. Adanya upaya untuk mengembangkan teknologi sederhana penangkaran penyu hingga anak penyu siap dilepas ke laut. 6 Adanya pelibatan masyarakat dalam upaya penangkaran penyu 7. Pelibatan LSM dalam pelestarian penyu B. Saran Dari hasil penelitian kami menyarankan agar langkah-langkah yang ditempuh oleh berbagai pihak untuk melestraikan penyu di Bali dijadikan acuan oleh daerah lain yang menghadapi maslaha serupa. 81 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
DAFTAR PUSTAKA Juhandara, I. 2002. Langkah-Langkah Penyelamatan dan Penetasan penyu. Tidak diterbitkan. Kelompok Pelestari Penyu Kurma Asih.2002 Pantai Perancak Satu-Satunya Pantai Peneluran penyu Yang Masih tersisa di Bali. Tidak diterbitkan. Nursahid, Rosek. 1999. Pembantaian Penyu di Bali. Tidak diterbitkan
82 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
KEBUTUHAN DUKUNGAN IPTEK DALAM PROGRAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN DI PROVINSI BALI Oleh I Made Gunaja ABSTRAK Luas kawasan hutan di Provinsi Bali sekitar 23 %, masih dibawah luasan minimal 30%. Permasalahan pokom yang diahdapi dalam pengelolaan sumberdaya hutan didaerah ini adalah illegal logging, perambahan, pendudukan kawasan hutan, peredaran illegal hasil hutan (illegal trading) dan kebutuhan bahan baku yang tinggi, sehingga mengakibatkan degradasi hutan. Untuk mengatasi permasalahan ini maka program pembangunan kehutanan di Provinsi Bali diprioritaskan pada rehabilitasi dan perlindungan hutan. Untuk menopang keberhasilan progamprogram yang dilakukan, maka dukungan iptek terapan yang praktis dan dengan biaya murah sangat diperlukan. Adapun factor-faktor pendukung utama untuk pembangunan kehutanan di Provinsi Bali adalah: potensi social budaya masyarakat, makin tingginya partisipasi masyarakat dan komitmen pemerintah untuk memperbaiki hutan dan lingkungan dalam rangka menopang tujuan utama daerah wisata di Bali. Kata Kunci: Dukungan IPTEK, program, pengelolaan, sumberdaya hutan
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Luas wilayah Provinsi Bali 563,286 Ha atau 0,29% dari luas kepulauan Indonesia, memiliki kawasan hutan seluas 130.658,01 Ha yang terdiri dari kawasan daratan seluas 127,271,01 Ha dan kawasan perairan seluas 3.415,00 Ha dengan rincian sebagai berikut : 1. Hutan Lindung
: 95.766,06 Ha
2. Hutan Produksi Terbatas
: 1.907,10 Ha
3. Hutan Produksi Terbatas
: 6.719,26 Ha
4. Suaka Alam : - Cagar Alam
: 1.762,00 Ha
- Taman Nasional : = Danau = Perairan
: 15.587,89 Ha : 3.415,00 Ha
- Tahura - Taman Wisata Alam
: 1.373,00 Ha : 4.154,00 Ha
Dalam pengelolaan hutan di Bali, beberapa permasalahan yang dihadapi yaitu : perkembangan aktivitas perekonomian yang berkaitan dengan sumber daya hutan menunjukan kecenderungan semakin mengabaikan prinsip-prinsip kelestarian sumber daya hutan seperti penebangan ilegal, perambahan, pendudukan kawasan hutan dan peredaran hasil hutan ilegal yang kesemuanya bermuara pada terjadinya lahan kritis. Menyadari permasalahan kehutanan Bali yang sangat kompleks, maka ke depan pembangunan kehutanan di Bali di prioritaskan pada rehabilitasi dan perlindungan hutan serta pengembangan hasil hutan non kayu. Untuk menopang keberhasilan program-program yang dilakukan tentunya secara teknis membutuhkan dukungan penelitian yang dapat diaplikasikan di lapangan, praktis dengan biaya yang terjangkau.
83 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
B. Maksud dan Tujuan Adapun maksud disusunnya makalah ini adalah untuk memberikan masukan terhadap kebutuhan penelitian dan hasil-hasilnya yang diperlukan dalam pembangunan kehutanan di Provinsi Bali dan tujuannya adalah agar Badan Litbang langsung dapat merencanakan penelitian yang didasarkan pada kebutuhan.
II. VISI DAN MISI Pembangunan kehutanan di Provinsi Bali memiliki visi : “Terwujudnya luas dan fungsi hutan optimal, aman-lestari didukung masyarakat dan sumber daya manusia profesional untuk pembangunan Bali berkelanjutan”. Dalam mengimplementasikan visi tersebut, dituangkan dalam misi : 1.
Meningkatkan efektivitas rencana dan tata hutan, rehabilitasi dan reklamasi lahan kritis, perlindungan hutan dan konservasi alam serta pemberdayaan masyarakat.
2.
Mengembangkan aneka produksi hasil hutan bersama masyarakat.
3.
Meningkatkan profesionalisme dan pelayanan.
III. PERMASALAHAN A. Masalah Permasalahan pembangunan kehutanan yang dihadapi saat ini adalah : 1.
Lahan kritis cukup luas : -
Di dalam kawasan
: 54.025 Ha
-
Di Luar Kawasan
: 84.885 Ha
2.
3.
Gangguan keamanan hutan dalam 5 (lima) tahun terakhir berupa : -
Penebangan liar/pencurian (132 kali/1.139,56 M3)
-
Perambahan (8.156,20 Ha)
-
Pendudukan kawasan (15 sertifikat)
-
Kebakaran (195 kali / 1.394,69 Ha) Kebutuhan bahan baku pembangunan dan industri kerajinan tinggi (125.000 – 150.000 M3/th).
4.
Kebutuhan lahan sektor lain yang menggunakan kawasan hutan cukup tinggi.
5.
Sumber daya manusia, sarana dan prasarana, data potensi hutan kurang memenuhi.
B.
Analisis SWOT
Melalui analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity dan Treath), maka permasalahan di atas dapat diketahui : 1. Faktor Internal a.
Kekuatan
-
Adanya perangkat lunak antara lain undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
84 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
daerah serta Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah.
-
Tersedianya sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana yang dimiliki Dinas Kehutanan cukup memadai termasuk jalan angkutan alternatif, rata-rata bisa menjangkau kawasan hutan.
-
Kwalitas dan kwantitas SDM Dinas Kehutanan memiliki tenaga sebanyak 279 orang yang terdiri dari : tenaga teknis 150 orang (Sarjana Kehutanan 10 orang, Sarjana Non Kehutanan 10 orang, Non Sarjana (SKMA/KKMA) 13 orang dan Polhut 117 orang) dan tenaga non teknis sebanyak 129 orang (Sarjana 32 orang dan non sarjana 97 orang).
-
Adanya Dinas/Lembaga yang mengurus bidang kehutanan baik di lingkup Provinsi maupun Kabupaten serta UPT Pusat maupun Daerah.
-
Sumber Daya Hutan
-
Kawasan hutan seluas 130.686,01 Ha. dengan tipe hutan dataran tinggi seluas 95.485,22 Ha, hutan dataran rendah seluas 29.606,29 Ha, hutan mangrove seluas 2.179,50 Ha dan kawasan perairan seluas 3.415 Ha.
b. -
Kelemahan Fungsi kawasan hutan belum optimal disebabkan masih adanya lahan kritis dan luas kawasan Hutan Produksi (HP) relatif kecil dan diarahkan berfungsi sebagai Hidroorologis.
-
Data potensi hutan belum akurat dan pemilikan hutan rakyat relatif kecil serta belum memberikan hasil kayu/non kayu yang memadai.
-
Masih adanya lahan di sekitar kawasan konservasi yang belum dimanfaatkan, sehingga tekanan terhadap kawasan hutan terus meningkat serta pemberdayaan masyarakat belum optimal.
-
Penguasaan silvikultur jenis-jenis lokal masih kurang.
2.
Faktor Ekternal
a.
Peluang
-
Potensi sosial budaya masyarakat Bali Kebudayaan Bali memiliki akar dan daya dukung lembaga-lembaga tradisional yang ada seperti Desa Pakraman, Banjar Adat, Subak, Subak Abian serta memperlihatkan kekayaan variasi yang kaya akan konsepsi-konsepsi yang dipakai sebagai landasan pembangunan Daerah Provinsi Bali seperti konsep Tri Hita Karana dan Tri Mandala.
-
Makin tingginya komitmen Pemerintah dalam pemberdayaan masyarakat dan pengentasan kemiskinan.
-
Bali sebagai Daerah tujuan wisata dan dianggap telah menjadi milik dunia, dapat dijadikan Show Windows Pembagunan Kehutanan.
-
Kecendrungan masyarakat untuk kembali ke alam (back to nature)
-
Pendapatan masyarakat Bali secara umum (makro) lebih tinggi dibanding dengan Provinsi lain.
-
Dukungan dan partisifasi masyarakat 85 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Banyaknya dukungan dan partisifasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan seperti organisasi pemerhati lingkungan/kehutanan (LSM) pembuatan hutan oleh masyarakat dan lain-lain.
b.
Tantangan
-
Ketergantungan penduduk di sekitar kawasan hutan terhadap hutan cukup tinggi termasuk pembangunan untuk sektor kehutanan.
-
Gangguan keamanan kawasan hutan masih terjadi.
-
Kebutuhan bahan baku kayu/non kayu serta hasil hutan terus meningkat, dilain pihak pemenuhan bahan baku terbatas.
-
Penyediaan tehnologi silvikultur jenis-jenis lokal.
-
Kebutuhan masyarakat akan pelayanan yang cepat semakin meningkat.
Untuk mengoptimalkan kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan beberapa strategi yang dikembangkan adalah sebagai berikut :
a.Strategi pemanfaatan kekuatan dalam pemantapan peluang : 1.
Koordinasi dan sikronisasi untuk pemantapan pengelolaan hutan.
2.
Penyelamatan lingkungan, rehabilitasi dan pengamanan hutan.
3.
Akomodasi kearifan lokal dan dukungan para pihak.
4.
Percepatan proses penyusunan dan penyempurnaan rencana-rencana kehutanan.
5.
Pengembangan, inventarisasi dan pembangunan obyek wisata alam.
b.Strategi menanggulangi kelemahan dalam pemanfaatan peluang : 1.
Mempertahankan keberadaan kawasan hutan.
2.
Meningkatkan dan mengoptimalkan berbagai aneka fungsi hutan.
3.
Mempercepat penyediaan data dan informasi spasial dan non spasial.
4.
Membangun dan memperkuat komitmen kebersamaan/kolaborasi.
5.
Memperkuat otonomi daerah dan kelembagaan bidang kehutanan.
c.Strategi memanfaatkan kekuatan dalam mengatasi tantangan : 1.
Pelibatan masyarakat/para pihak dalam pengelolaan hutan dalam usaha meningkatkan kesejahteraan dan penyerapan tenaga kerja.
2.
Pelibatan Desa Pakraman/Desa Adat dalam pembangunan, pengawasan dan penanganan hutan.
3.
Peningkatan frekuensi penyuluhan melalui tokoh agama/masyarakat.
IV. TUJUAN, ARAH, SASARAN, KEBIJAKAN DAN PROGRAM PEMBANGUNAN KEHUTANAN A. Tujuan 1. Menurunnya degradasi sumber daya hutan. 2. Meningkatkan mutu dan produktivitas sumber daya hutan
86 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
3. Meningkatnya peran dan kesadaran para pihak untuk ikut berperan serta dalam mewujudkan kelestarian hutan. 4. Terselenggaranya sistem pengelolaan hutan secara adil. 5. Meningkatnya kontribusi hutan terhadap perekonomian nasional dan daerah serta kesejahteraan masyarakat.
B. Arah 1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. 2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial budaya dan ekonomi yang seimbang dan lestari. 3. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai (DAS). 4. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberadaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan dan berwawasan lingkungan sehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap perubahan ekternal. 5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan.
C. Sasaran 1. Terlaksananya rehabilitasi kawasan hutan dan lahan untuk konservasi tanah, daerah tangkapan / sumber air pada DAS, penyerapan polusi, dampak terhadap mikro klimat dalam upaya menyangga kehidupan (5.000 – 7.000 Ha/Tahun) 2. Terkendalinya upaya-upaya pengerusakan hutan dan lahan akibat penebangan liar / pencurian kayu, perambahan, pendudukan kawasan, kebakaran dan lain-lain (menurun + 30 % per tahun). 3. Mantapnya status kawasan hutan yang pengelolaannya didukung oleh SDM dan sarpras yang memadai serta peran para pihak yang optimal, berkelanjutan dan berkeadilan. 4. Meningkatnya kontribusi hutan terhadap pembangunan daerah dan masyarakat sekitar hutan.
D. Kebijakan 1. Pemantapan kawasan hutan serta percepatan proses penyelesaian permasalahan konplik atas lahan dan hutan. 2. Peningkatan rehabilitasi dan reklamasi. 3. Peningkatan pengawasan terhadap gangguan keamanan hutan dan konservasi jenis serta penegakan hukum. 4. Pengelolaan hutan bersama masyarakat baik pemanfaatan, rehabilitasi maupun perlindungan hutan. 5. Mengembangkan aneka produksi hasil hutan, komoditas unggulan dan rintisan. 6. Meningkatkan produktivitas lahan untuk pengembangan pangan. 7. Meningkatkan kualitas aparatur kehutanan. 8. Memantapkan system dan prosedur kerja. 87 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
9. Meningkatkan sarana dan prasarana kerja.
E. Program 1. Program peningkatan efektivitas pengelolaan, konservasi dan rehabilitasi sumber daya alam/hutan. 2. Program pengembangan agribisnis. 3. Pendayagunaan, perencanaan, pengelolaan dan pelaksanaan pengawasan. 4. Program penyempurnaan prasarana fisik pemerintah. 5. Pengadaan perlengkapan dan peralatan. 6. Penataan kelembagaan dan ketatalaksnaan. 7. Peningkatan kapasitas aparatur pemerintah. 8. Peningkatan kualitas pelayanan publik.
V. KEBUTUHAN DUKUNGAN IPTEK KEHUTANAN Menyadari kemampuan yang ada serta dalam upaya untuk meningkatkan keberhasilan program pembangunan kehutanan di Provinsi Bali, diperlukan dukungan IPTEK yang dapat mendukung penelitian yang dibutuhkan dalam pelaksnaan program dan kegiatan di lapangan. Adapun aspek-aspek yang diperlukan dan membutuhkan penelitian adalah : 1. Teknik-teknik untuk memproduksi bibit jenis lokal seperti Putat, Pangi, Kwanitan, Panggal buaya, dll serta teknik-teknik silvikulturnya. Hal ini diperlukan dalam upaya melestarikan jenis-jenis lokal yang dibutuhkan untuk kayu perpatungan maupun kayu petukangan. 2. Kesesuaian lahan dengan jenis tanaman pada areal lahan kritis. Hal ini diperlukan dengan melihat kondisi lahan kritis di Karangasem akan berbeda dengan di daerah Buleleng dan daerah lainnya. 3. Profit sharing antara pemerintah dengan masyarakat dalam pengelolaan hutan. Hal ini dibutuhkan dalam upaya untuk meningkatkan kerjasama yang saling menguntungkan antara pemerintah dan masyarakat dengan variabel yang jelas untuk mewujudkan hutan lestari. 4. Model Agroforestry yang sesuai dengan kondisi masyarakat di Provinsi Bali. Hal ini sangat dibutuhkan dalam pengelolaan hutan karena masyarakat sekitar hutan sangat tergantung pada lahan hutan, sehingga masyarakat dalam jangka pendek, menengah dan panjang mendapatkan hasil untuk menopang kehidupannya tanpa mengabaikan kelestarian hutan. 5. Model partisipasi masyarakat yang cocok dikembangkan di Provinsi Bali. Hal ini dibutuhkan untuk menjaga kestabilan dan peningkatan partisipasi masyarkat dalam mengelola hutan. 6. Riap pertumbuhan bambu (misal : petung, ampel, hitam dll) dan umur masak tebangnya. Hal ini dibutuhkan informasinya untuk menyusun suatu perencanaan kegiatan penanaman bambu yang dibutuhkan di Provinsi Bali. 7. Riap pertumbuhan ranting tanaman buffer zone sebagai penghasil kayu bakar. Hal ini dibutuhkan untuk menyusun rencana penanaman di buffer zone dalam rangka pemenuhan kebutuhan kayu bakar masyarakat sekitar hutan.
VI. P E N U T U P 88 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pembangunan kehutanan yang didukung dengan Iptek yang memadai sebagai pengawal pembangunan diharapkan dapat mempercepat terwujudnya pemulihan dan peningkatan fungsi kawasan hutan, berkembangnya kelembagaan masyarakat pemerhati dan pelestari hutan, berkembangnya usaha ekonomi masyarakat, meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pembangunan kehutanan dan meningkatnya kesejahertaan masyarakat sekitar hutan serta hutan tetap terjaga dan lestari sebagai penyangga kehidupan.
DAFTAR PUSTAKA Aninomous. 1004. Laporan Akuntabilitas Kinerja Pemerinah. Dinas Kehutanan Provinsi Bali Tahun 2004. Dinas Kehutanan Provinsi Bali Anonimous. 1999. Penyediaan Kayu Pertukangan Untuk Pengembangan Industri Kerajinan Dalam Kaitannya dengan Pola Pengembangan Bali Menuju Taman. Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Denpasar. Anonimous. 2004. Statistik Kehutanan Provinsi Bali. Dinas Kehutanan Provinsi Bali. Denpasar. Lembaga Administrasi Negara. 1999. Perencanaan Peningkatan Kinerja. Bahan Kuliah Diktat SPAMA. IAIN. Jakarta
89 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PEMANFAATAN TANAMAN MIMBA UNTUK REHABILITASI LAHAN KERING SEKALIGUS MENINGKATKAN EKONOMI MASYARAKAT PEDESAAN Oleh : Ade ABSTRAK Pemanfaatan mimba atau intaran (Azedirachta indica) adalah salah satu jenis pohon asli Indonesia yang tumbuh di daerah kering dan merupakan tanaman serba guna yang bernilai jual ekonomi tinggi. Produk dari miba antara lain :91) untuk pembuatan pupuk dan pestisida organik (2) kosmetik dan toiletris seperti sabun batangan-sabun cair, body lotion, shampo dan pasta gigi, obat kumur dan produk spa, (3) pembuatan obat(seperti the hijau, capsul neem, obat luka, balsem;(4) pakan ternak; (5) produk lain seperti obat nyamuk, minyak pelumas, pengusir hama gudang dan lain-lain. Dalam kegiatan pembuatan hutan tanaman yang meliputi teknik persemaian, penanaman dan pemeliharaan tidak memerlukan perlakuan khusus dan hampir sama dengan jenis tanaman lain. Khusus untuk kegiatan panen dan paska panen memerlukan teknologi khusus mulai dari pengambilan bahan tanaman yang dikaitkan dengan pengolahan paska panen. Dalam pengembangan tanaman mimba PT. Intaran Indonesia menggunakan konsep Strategi Tiga Lingkaran a.l : preparing processing and developing, yang melibatkan kerjasama semua komponen masyarakat baik pemerintah,LSM, pengusaha dan kelompok tani Keywords: intaran, tanaman,serbaguna I.PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan terluas di dunia dengan keaneka ragaman isinya. Luas dan aneka ragamnya isi hutan Indonesia tersebut tentu saja memberikan keuntungan dan manfaat yang sangat besar bagi kepentingan pertahanan nasional, ekonomi dan aspek lainnya. Dari sisi pertahanan, hutan merupakan salah satu komponen penting dalam mempertahankan negara dari ancaman negara lain yang ingin menginvasi atau menjajah Indonesia. Dari sisi ekonomi, hutan merupakan tumpuan masyarakat (sekitar hutan) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Bahkan hasil hutan baik kayu maupun hasil olahan lainnya mampu memberikan devisa bagi negara. Tapi apa yang sesungguhnya terjadi dari eksploitasi yang dilakukan terhadap hutan untuk mengejar devisa tadi?
Eksploitasi hutan yang tidak bijaksana, tidak mengutamakan
kelestarian hutan dan ditambah ulah sejumlah oknum pejabat, pengusaha dan masyarakat yang nakal telah mengakibatkan krisis hutan yang sangat parah. Indonesia yang menjadi salah satu paru-paru dunia ternyata paling berperan dalam kerusakan hutan. Selama beberapa tahun terakhir puluhan dan mungkin ratusan bencana tanah longsor, banjir dan kekeringan melanda hampir seluruh tanah air. Dari mulai Banjir di Medan, Riau, Jambi, Lampung, Jawa, Bali, NTB, bahkan di Kalimantan telah terjadi bencana banjir yang kini menjadi musibah tahunan, silih berganti kita baca di media cetak atau kita dengar/lihat dari media elektronik. Bencana-bencana tersebut masih menyisakan kepedihan bagi keluarga yang terkena musibah. Kehilangan harta benda, mata pencaharian dan bahkan anggota keluarga harus mereka tanggung akibat bencana yang timbul akibat manajemen hutan yang amburadul. Peran masyakarat sangat penting dalam kelestarian hutan. Bagaimanapun, kerusakan hutan yang terjadi adalah lemahnya tekanan masyarakat untuk mempertahankan hutannya. Selain 90 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
karena tuntutan kebutuhan hidup, lebih kuatnya tekanan kekuasaan mengakibatkan berkurangnya hutan secara drastis. Salah satu upaya yang harus dilakukan selain menjaga hutan secara bersama-sama, adalah dengan berusaha meningkatkan pemanfaatan hasil hutan secara berkualitas oleh masyarakat, baik dengan pengolahan kayu lebih lanjut, maupun mencari alternatif mengolah hasil hutan bukan kayu. Dinas kehutanan mencatat beberapa hasil hutan bukan kayu yang dapat dikembangkan dan ditingkatkan kualitas pengolahannya, antara lain: Damar, Biji Tengkawang, Rotan, Gaharu, Butiran Lak, Minyak Terpentin, Getah Tusam, Minyak Kayu Putih, Kopal, Gondorukem, Kokon (sutra), dan lebah. Keaneka ragaman tanaman dan isi hutan Indonesia memungkinkan kita untuk menggali potensi hutan yang tak pernah akan habisnya.
Kelemahan kita saat ini adalah
kurangnya pengetahuan dan teknologi untuk menggali potensi tersebut. Untuk itu diperlukan motivasi dan keinginan yang lebih tinggi dari masyarakat untuk mencari potensi yang dapat memperoleh tambahan penghasilan. Dalam porsi ini, Intaran Indonesia telah melakukan satu terobosan baru dalam memberikan alternatif pemanfaatan hutan tanpa menebang pohonnya atau merusak hutan yang ada, dengan memanfaatkan salah satu jenis tanaman yang disebut dengan tanaman Neem. Di Jawa tanaman ini di sebut dengan Mimbo atau imbo dan dikenal dengan Intaran di Bali. Tanaman ini konon berasal dari Asia Selatan (India, Srilangka, Birma) yang menyebar ke Asia (Thailand, Philipina, Malaysia, Indonesia), Australia, Afrika (Arab Saudi, Kenya, Ghana, Maroko dll.), Amerika (USA, Mexico, Brazil, dll.). Neem merupakan tanaman yang tidak rewel dan mudah tumbuh di kondisi tropis sampai sub tropis. II. PEMANFAATAN A.
Pemanfaatan Pohon Hampir semua bagian dari tanaman neem memiliki manfaat bagi kehidupan manusia.
Dalam buku The Potentials of the Tree in Ghana (hal 78), Development and Ecological Role of Neem in India (hal 2) dan jurnal yang diterbitkan oleh Neem Foundation (India) Vol. IV No.3 tahun 2002 hal 13, diperlihatkan bagian-bagian neem yang memiliki fungsi bagi manusia, baik bagi pertanian, kesehatan, pemeliharaan hewan dan lingkungan hidup. Dengan sendirinya, manfaat yang diperoleh dari tanaman neem ini telah memunculkan puluhan, ratusan dan mungkin ribuan peluang bisnis yang dapat digali. Makalah ini tidak akan menjelaskan lagi secara rinci peluang bisnis yang ada, karena faktanya di USA dan Jepang yang belum popular tentang neem saja, telah memiliki hak patent lebih dari 30 jenis produk (Jhon Conrick: Neem the Ultimate Herb, hal: 82-83, tahun 1996). Sementara Data dari Neem Conference di Mumbay India (27 – 30 Nov ’02) lalu, tahun 2002 saja sekitar 200 patent telah dikeluarkan untuk produk neem. 1.
Manfaat untuk manusia
91 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Selain berfungsi sebagai obat luar dan dalam berbagai macam penyakit dari Abrasion (luka lecet), ketombe, sakit kepala, jerawat, flu, kolesterol, hipertensi, diabetes, malaria, migraine, cacingan, penyakit gigi/mulut, batuk, penyakit kelamin/AIDS, tbc. gusi sampai Yeast infection (penyakit akibat jamur) dan lain-lain, juga berfungsi sebagai birth control. Fungsi lain yang berguna bagi manusia adalah sebagai pupuk dan pestisida organik dalam pertanian. 2.
Manfaat untuk Hewan peliharaan Zat aktif yang terkandung di dalamnya juga mampu mengusir penyakit hewan yang disebabkan oleh hama, kutu, virus dan bakteri. Selain itu kandungan protein yang terkandung dalam biji menjadi potensi untuk makanan ternak. Yang sudah pasti, daun neem menjadi makanan sehari-hari ternak di pulau Bali, NTB dan NTT pada saat peternak tidak dapat lagi memperoleh rumput dimusim kemarau.
3.
Manfaat untuk Tanaman Seperti dijelaskan diatas, Neem dapat diolah menjadi pupuk dan pestisida organik yang sangat bermanfaat bagi tanaman.
Azadirachtin, Nimbin dan Meliantriol, merupakan
beberapa limonoid yang terkandung dalam biji neem mampu mengendalikan dan mencegah serangan hama, virus dan bakteri. 4.
Manfaat untuk pemecahan Masalah Lokal/Global 4.1. Degradasi hutan Sebagai tanaman hutan, neem cocok untuk mengurangi tingkat degradasi hutan, karena neem relatif mudah pertumbuhan dan perawatannya, sehingga tidak memerlukan perawatan khusus. Ketinggiannya yang mampu mencapai 30 meter dan diameter pohon yang dapat mencapai 2,5 meter (Neem: A tree for solving global problem, by Panel on Neem, National Academy Press, Washington D.C., 1992, page: 23) ditambah kerimbunan daunnya menjadikan tanah kering/kritis menjadi hutan lebat. 4.2. Banjir, Erosi dan Kekeringan Struktur akar yang sering menyamai tinggi pohonnya, menjadikan tanaman ini sebagai penahan air dan tanah yang cocok untuk dikembangkan, sehingga dapat mengantisipasi banjir, erosi/abrasi dan kekeringan. 4.3. Polusi Udara Rimbunnya daun dan gelar tanaman “Evergreen”, mampu menyerap kadar CO2 sampai lebih dari 14 umole per m2 per detik. Juga mampu menyaring unsure-unsur polusi lainnya khususnya SO4 (Global neem update, Vol 1 No. IV, Nov 1996, hal. 3) 4.4. Lahan Kritis/Lahan Kering Neem memang sangat ideal tumbuh di lahan kritis dan lahan kering. Tanaman ini tidak memerlukan curah hujan yang tinggi dan mampu hidup sampai dengan suhu 49o C. Semakin kering lahan tempatnya tumbuh, semakin tinggi zat aktif (Azadirachtin) yang dikandungnya. Dengan demikian Neem mampu menjadi tanaman pioneer di lahan kering, untuk selanjutnya diolah menjadi lahan pertanian/perkebunan. 92 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
4.5. Efek pupuk dan Pestisida kimia Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa pupuk kimia disatu pihak memang memberikan hasil yang sangat menakjubkan bagi hasil pertanian dalam jangka pendek Tapi dipihak lain, efeknya ternyata meninggalkan endapan/residu kimia yang tak terurai oleh organisme tanah, sehingga tanah tidak dapat direhabilitasi yang berakibat pada berkurang dan hilangnya sari tanah yang diperlukan tanaman. Selanjutnya hasil tanaman akan terus berkurang jika pupuk tidak ditambah dengan persentase lebih banyak pada lahan yang sama. Pada akhirnya tanah tersebut tidak dapat lagi ditanami dan menjadi lahan kosong dan tandus. Demikian pula efek pestisida kimia, selain menimbulkan penyakit dan keracunan pada manusia, menyebabkan polusi pada tanah dan resistensi pada hama, sehingga hama menjadi lebih kuat dan pada akhirnya hama tersebut tidak mampu lagi dicegah oleh pestisida kimia. Neem menjadi salah satu kabar gembira bagi pertanian untuk mengurangi pencemaran dan pengurusan tanah. Sifatnya yang menjadi media bagi pengurai untuk mengembalikan kesuburan tanah dapat menjadi solusi bagi tanah yang sudah tercemar pupuk kimia. Demikian pula dengan pestisida dari neem yang bersifat sistemik, tidak menimbulkan resistensi bagi hama, sehingga tidak di perlukan formulasi baru untuk mengusir hama yang ada. Sifat pestisida hanya mengganggu fertilitas dan nafsu makan hewan, sehingga ia akan mati secara alamiah. 4.6. Pengangguran dan Peningkatan penghasilan sampingan/sektor informal Keberadaan neem di lingkungan masyarakat nantinya akan memberikan potensi pendapatan selain manfaat untuk kepentingannya sendiri. Neem yang dapat diolah menjadi material industri, akan memicu home industry
atau badan usaha
bermunculan. Industri tersebut tentu akan menyerap tenaga kerja dan memerlukan material neem yang tidak sedikit. Dari sini paling tidak sejumlah pengangguran dapat direkrut menjadi tenaga kerja dan memperoleh pendapatannya. 4.7. Pendapatan Asli Daerah. Dengan bergeraknya roda ekonomi masyarakat, tentu akan berdampak pada Pendapatan Asli Daerah baik dari pajak-pajak, maupun potensi perdagangan yang muncul dari material neem. Dan peluang bagi daerah setempat untuk membentuk BUMD, misalnya seperti BUMD pupuk/pestisida, sehingga anggaran pembelian pestisida/pupuk dapat dialihkan ke sektor lain. 5.
Perindang Jalan Rimbun dan hijaunya daun neem menjadi ciri khas tanaman ini. Diameter rentangan dahannya mampu mencapai 10 meter. Dengan kerimbunan daunnya, neem mampu menurunkan suhu disekitarnya hingga 10o C.
6.
Windbreaks (Penahan angin) Pohon neem juga mampu menjadi penahan angin/badai sehingga dapat mengurangi kerusakan yang terjadi akibat angin kencang atau badai. 93 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PEMANFAATAN BAGIAN-BAGIAN TANAMAN
B.
Pemanfaatan Bagian Tanaman Dapat dikatakan hampir semua bagian tanaman neem dapat dimanfaatkan baik untuk
kepentingan usaha maupun untuk kepentingan sehari-hari. 1.
Kernel (Neem Kernel) Kernel (inti biji/lembaga neem) yang ditepung digunakan untuk mengusir hama gudang seperti kumbang pengerat, kutu dan hama pembolong biji dll.
2.
Minyak (Neem Oil) Minyak neem umumnya digunakan untuk pestisida organik. Namun dapat dikembangkan untuk bahan obat-obatan, seperti obat tetes mata, jerawat, luka iris atau luka bakar, sengatan binatang berbisa, rematik dll, untuk kosmetik seperti lip balm, body lotion dan toiletries seperti sabun dan shampoo baik untuk manusia maupun hewan juga berfungsi sebagai alat kontrasepsi. Minyak neem juga dikembangkan menjadi pelumas dan bahan untuk pernis kayu bangunan, sehingga kayu bangunan tetap awet dan tidak disukai rayap atau pengerat kayu lainnya.
3.
Ampas Minyak (Neem Sludge) Selain masih bisa diekstrak minyaknya, ampas minyak dapat dikembangkan menjadi cream untuk obat luar seperti luka, luka bakar, kurap, kutu air, dll.
4.
Bungkil (Neem Cake) Kandungan N yang cukup signifikan dalam bungkil menjadikannya potensial untuk dikembangkan menjadi pupuk organik. Selain N, bungkil juga mengandung unsur lain yang diperlukan tanaman, sehingga mampu menjadi soil conditioner bagi tanah/lahan yang sudah rusak. Bungkil neem juga di kombinasikan dengan urea (neem coated urea) untuk mengurangi tingkat penguapan urea sehingga urea yang terserap menjadi optimal. Ekstrak bungkil mengandung zat aktif (Azadirachtin) yang cukup tinggi sehingga, sering digunakan untuk bahan aktif pestisida organik. Bungkil juga menurut hasil penelitian mengandung protein yang cukup tinggi, sehingga potensial dikembangkan menjadi makanan ternak.
5.
Kulit biji (Neem Husk) Kulit biji berfungsi sebagai kompos, material tambahan pupuk dan menjadi mulsa dan pakan ternak.
6.
Daun (Neem Leaf) 6.1. Daun Kering Secara tradisional, masyarakat India menggunakan daun kering selain digunakan untuk kompos, juga digunakan untuk pengusir nyamuk dengan cara dibakar. 94 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Daun kering juga memiliki unsur N yang bisa digunakan untuk bahan pencampur pembuatan pupuk organik.
95 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Daun Segar 6.1.1. Obat Berbagai penyakit dapat disembuhkan oleh daun neem dengan cara mengkonsumsi atau dibalurkan ke tubuh. Penyakit yang disembuhkan dengan cara mengkonsumsinya adalah: Diabetes, Darah rendah/tinggi, kolesterol, sakit kepala, jerawat, malaria, sakit gigi, cacingan, dll. Jika dibalurkan bisa digunakan untuk penyembuhan jerawat, luka, koreng, demam panas, dll.
6.1.2. Kosmetik Ekstrak daun dapat digunakan untuk pembuatan kosmetik. Kandungan moisture yang tinggi (59.4 g/100g) sangat baik untuk memberikan kelembaban
tubuh
dan
zat
aktif
(azadirachtin)
dapat
mengurangi
pertumbuhan bakteri yang merugikan tubuh. 6.1.3. Dental dan Toiletries Daun segar yang ditepung dapat diolah dan digunakan sebagai bahan aktif dalam pembuatan pasta gigi, sabun kesehatan, shampoo pencegah ketombe, kutu dan lain-lain. 6.1.4. Kontraseptik Dengan mengkonsumsi rutin tanpa henti, dapat mengurangi kesuburan pria, sehingga mencegah kehamilan. Tapi hal ini berlaku selama penggunaan yang rutin. Jika tidak mengkonsumsi secara rutin, maka tidak berpengaruh bagi kesuburan (pria). 6.1.5. Pestisida Meski tidak seefektif minyak neem, daun neem juga dapat mengusir dan membunuh beberapa hama penyakit tertentu. Biasanya petani merendam daunnya di seember air dan besok paginya disaring dan disemprotkan ke tanaman. 6.1.6. Pupuk Daun neem berfungsi sebagai kompos dan material tambahan dalam pembuatan pupuk organik. Namun kandungan N yang ada pada daun tidak sebanyak yang ada pada bijinya. 7.
Ranting (Neem branch) Orang India jaman dulu menggunakan ranting neem seperti siwak untuk menyikat gigi. Terbukti kemudian bahwa zat aktif yang ada dalam ranting mampu mencegah gusi berdarah, sekaligus memperkuat gigi dan mengurangi pertumbuhan bakteri dalam mulut. Ranting digunakan sebagai sebagai salah satu bahan aktif untuk pembuatan pasta gigi. India sudah memproduksi pasta gigi berbahan aktif neem.
96 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
8.
Daging buah Daging buah merupakan lapisan luar dari buah neem. Berwarna hijau saat muda dan menguning ketika sudah tua/masak. Rasanya yang manis akan mengundang burung, kelelawar
dan
monyet
untuk
memakannya.
Dengan
demikian
neem
mampu
mengembalikan ekosistem yang hilang akibat gundulnya hutan. Daging buah juga bisa digunakan untuk biogas dan kompos yang bagus untuk perbaikan tanah. Sampai saat ini, secara ekonomis belum dimanfaatkan oleh Intaran Indonesia, karena kurangnya teknologi dan pengetahuan yang dimiliki. Namun suatu saat bahan ini pasti akan diolah secara ekonomis sehingga memberikan tambahan penghasilan. 9.
Bunga Neem (Neem Flower) Selain obat kuat, obat cacing, sakit perut dan beberapa penyakit lainnya, bunga neem disenangi oleh lebah sehingga ada potensi penghasilan bagi petani lebah untuk memperoleh madu yang memiliki khasiat penyegar dan penambah vitalitas.
10. Tuak Neem Tuak yang dibuat dari neem di laporkan salah satu tonic terbaik. 11. Akar Neem (Neem Root) Bagian ini selain mengobati cacingan, penyakit kulit, diabetes, dan beberapa penyakit lainnya, juga digunakan sebagai insektisida. 12. Getah Neem (Neem Gum) Belum ada produk yang di hasilkan dari getah neem, tapi menurut riset, getah neem dilaporkan dapat meningkatkan libido. III.BUDIDAYA 1.
Kondisi untuk Tumbuh Neem bisa disebut tanaman yang “tidak rewel”. Ia bisa tumbuh dimana saja di dataran rendah di daerah tropis sampai subtropis baik tanah kering, berbatu, tanah liat bahkan lahan kritis. pH tanah yang diperlukan berkisar antara 5.5 – 7,0. Bagaimanapun jika pH tanah di bawah atau di atas kisaran itu, tidak menghalangi neem untuk tumbuh. Karena itu akan dinetralisir oleh daun neem yang rontok nantinya. Tempat ideal pertumbuhannya adalah pada ketingggian 0 – 800 dpl. Tapi ada laporan lain menyebutkan bahwa mulai dari 50 – 1.500 m dpl.. Suhu yang diperlukan untuk tumbuh berkisar antara 25 – 49oC. Neem dilaporkan tidak dapat bertahan di daerah dingin. Tetapi terkadang, neem bisa bertahan pada temperatur dibawah 0oC seperti di Dade County, Florida USA.(Neem, N.S. Randhawa & B.S. Parmar, Society of Pesticide Science, India, 1996, hal. 8) Curah hujan pun tidak menjadi mutlak bagi neem. Ia bisa bertoleransi pada musim kemarau yang panjang dengan curah hujan di bawah 130 mm. Curah hujan 450 – 1.150 mm/th adalah ideal untuk pertumbuhan optimalnya. Di Daerah Bangka Belitung, Neem tumbuh 97 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dengan subur di sela-sela perkebunan lada dengan curah hujan mencapai 1200 mm/th. Uniknya, Neem selalu berdaun atau tidak mengalami masa perontokan (evergreen), sekalipun pada musim kemarau. Semakin panas/kering daerah sekitar, daunnya kian terlihat hijau.
2.
Pembibitan Pembibitan dapat dilakukan secara vegetatif berupa pencangkokan dan kultur jaringan, stek, maupun secara generatif dengan biji. Perbanyakan dengan biji tidak seperti padi atau tanaman lain. Biji neem tidak dapat disimpan dan bertahan lama untuk bibit. Jadi pembibitan segera dilakukan setelah panen. Biji yang siap dibibitkan, dimasukkan kedalam karung goni basah atau kain basah untuk proses perkecambahan kira-kira 3 – 7 hari. Biji dapat pula direndam lebih dulu semalaman.
Setelah berkecambah bibit dipindahkan
dengan cara dimasukkan kedalam polybag ukuran 20 - 30 cm yang diisi tanah subur (bisa ditambah pupuk) sedalam 0.5 cm. Panjang polybag untuk mengantisipasi supaya akarnya tidak melingkar dan tetap lurus. Ini bermanfaat untuk perakaran supaya nantinya mampu menembus kedalaman tanah. Selanjutnya dibuat naungan dan dirawat selama 1 – 3 bulan.
3.
Penanaman Penyiapan lahan penanaman yaitu dengan membuat lubang tanam kira-kira seukuran polybag dan bisa ditambah pupuk untuk memberikan nutrisi tambahan sebelum neem bisa beradaptasi. Untuk melindungi tanaman pada masa stress, perlu dibuat sungkupan/naungan, sehingga mengurangi panas matahari. Daerah sekitarnya harus terbuka dan terkena sinar matahari langsung. Usahakan pemindahan neem dari tempat pembibitan ke lokasi penanaman tidak mengganggu/memutus perakaran. Ini supaya akarnya dapat tumbuh maksimal. Pada saat penanaman, sebaiknya menjelang musim hujan, sehingga tidak perlu melakukan penyiraman. Untuk melindungi masa stress tanaman, perlu dibuat sungkupan/naungan sehingga cahaya/panas tidak terlalu banyak.
4.
Pemeliharaan Neem tidak perlu dirawat terus menerus. Jika curah hujan normal, masa perawatan berkisar antara 6 bulan – 1 tahun. Setelah itu neem akan tumbuh dengan sendirinya. Untuk hasil terbaik, dapat juga dilakukan dengan pemberian pupuk supaya tumbuh subur. Jika untuk kepentingan pemanenan buah, perlu dilakukan pemangkasan dahan agar tidak terlalu tinggi.
IV.PANEN 1. Panen Biji Neem umumnya (di daerah Indonesia Timur) mulai berbuah pada usia 3 – 5 tahun dan menjadi produktif pada usia 10 tahun. Pada saat produktif neem mampu berproduksi sebanyak 50 kg per pohon. Neem hanya berbuah setahun sekali, tetapi terkadang bisa sampai
98 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dua kali setahun. (Mimba tanaman obat multifungsi, Dr. Sukrasno & Tim Lentera, Agromedia Pustaka, 2003, hal. 42) 2. Panen Daun Pemetikan Pemetikan daun diusahakan secara bergantian/rotasi sehingga tidak mengganggu pertumbuhannya. Sebaiknya daun yang diambil adalah daun yang berada jauh dari perumahan dan jalan raya yang biasanya tidak terlalu terkontaminasi polusi. Daun yang diambil adalah daun yang berwarna hijau tua. Pemetikan bisa dilakukan bersamaan dengan pemotongan dahan atau dengan cara memetik daunnya saja. 2.2 Pencucian Daun yang dipetik selanjutnya dicek/disortir mana yang sudah rusak atau sudah kuning dan dikeluarkan sehingga tidak merusak kualitas daun yang baik. Selanjutnya dicuci bersih untuk menghilangkan kotoran yang melekat. 2.3 Penyimpanan Jika
tidak
langsung
di
keringkan,
maka
sebaiknya
disimpan
di
ruang
pendingin/Kulkas/AC untuk menjaga agar warnanya tetap hijau hingga masa pengolahannya. V. PENGOLAHAN PASCA PANEN A. Pengepresan Minyak 1.Proses Pecah kulit Proses ini dimulai dengan memecahkan cangkang kulit biji dan memisahkannya dengan kernel (inti biji/lembaga) yang menjadi bahan untuk dipress minyaknya. Umumnya jika proses pengeringannya cukup baik, maka hasil yang diperoleh adalah 60 persen kulit dan 40 persen kernel yang disebut Neem Kernel. Mesin yang digunakan adalah mesin pecah kopi yang sedikit dimodifikasi sehingga sesuai dengan keperluan untuk neem. 2.Proses Press Kernel Selanjutnya, kernel yang sudah dipisahkan dari kulitnya tadi siap dimasukkan ke dalam mesin press, baik yang menggunakan pemanas maupun tanpa pemanas. Jika menggunakan pemanas, maka suhu di penampungan kernel harus terjaga (maksimal 30oC). Hal ini untuk menjaga jangan sampai zat aktifnya (azadirachtin) rusak. Jika mesin kesulitan mengepress minyak karena terlalu licin, dapat ditambahkan 5 – 20 % kulit biji. Kulit ini berfungsi seperti serat untuk mengeluarkan minyaknya. 3.Filtrasi Minyak kotor yang turun dari mesin press tadi selanjutnya dialirkan oleh pipa ke mesin filter yang akan menyaring dan menjernihkan minyak neem. 4.Penyimpanan Penyimpanan minyak sebaiknya ditempat penampungannya
yang minim cahaya dan tempat
bisa berupa drum atau jerigen tak tembus cahaya. Suhu
penyimpanan juga harus di atur tidak boleh melebihi 30oC.
99 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
B. Penepungan Daun 1.Pengeringan Pengeringan daun dapat dilakukan dengan oven biasa, microwave atau mesin pengering khusus (blower) 2.Penepungan Penepungan dilakukan menggunakan blender, atau mesin penepung. 3.Penyimpanan Untuk higienitas, penyimpanan sedapat mungkin ditempat yang bersih dan steril. Dapat juga disimpan di dalam kulkas. C. PENGOLAHAN LANJUTAN Neem dapat diolah lebih lanjut menjadi produk yang bernilai jual, antara lain: 1. Pembuatan Pupuk dan Pestisida organic 2. Kosmetik dan Toiletries, seperti sabun batangan – sabun cair, body lotion, Shampoo, pasta gigi, obat kumur, produk spa 3. Pembuatan Obat seperti teh hijau, kapsul neem, obat luka, balsem, 4. Pakan ternak 5. Produk lain seperti obat nyamuk, minyak pelumas, pengusir hama gudang dll.
VI.POLA PENGEMBANGAN EKONOMI DALAM PEMANFAATAN NEEM Dalam kerangka pengembangan ekonomi dengan memanfaatkan tanaman neem, PT Intaran Indonesia menggunakan konsep yang disebut dengan Strategi Tiga Lingkaran (Triple Circle Strategy). Triple Circle Strategy (TCS) merupakan strategi yang terdiri dari tiga pokok bagian proyek yang dikembangkan YMACK (Yayasan Membina Api Cinta Kasih) bekerja sama dengan unsur masyarakat, Pemerintah dan dunia usaha yang tertarik untuk mengembangkan neem. A. Lingkaran Pertama (Preparing) Lingkaran pertama merupakan strategi untuk pengembangan budidaya neem dan kegiatan pendukung, meliputi penyiapan-penyiapan berupa: 1. Perencanaan program penanaman neem 2. Sosialisasi program 3. Pembentukan kelompok-kelompok petani 4. Pendataan lahan 5. Pembibitan 6. Penanaman dan pemeliharaan 7. Kegiatan pendukung lain (program tanaman sela: jarak, jagung dll) 8. Pendataan tanaman neem yang sudah ada 9. Pembentukan petani pengumpul biji neem 10. Panen dan pengumpulan biji neem 11. Kerjasama dengan lembaga lain (Pemerintah, GTZ, dll) 100 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
12. Pembentukan koperasi/lembaga ekonomi petani neem
101 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
STRATEGI TIGA LINGKARAN
Untuk melaksanakan kegiatan ini YMACK membentuk suatu badan yang diberi nama Nusa Tenggara Neem Propagation (NTNP), Bangka Neem Propagation (BNP) dan Java Neem Propagation (dalam perencanaan). Badan ini bertugas untuk mensosialisasikan neem dan mengajak partisipasi masyarakat (Pemerintah, LSM dan masyarakat) di lokasi untuk bersama-sama menyebarkan dan mengembangkan tanaman neem. B. Lingkaran Kedua (Processing) Lingkaran kedua merupakan strategi melakukan kegiatan processing dari hasil panen. Untuk melaksanakan kegiatan ini YMACK mendirikan PT Intaran Indonesia pada tahun 2000. Kegiatan PT Intaran Indonesia meliputi: 1. Membangun pabrik pemrosesan biji neem 2. Memproses biji neem menjadi minyak 3. Penelitian dan pengembangan produk. 4. Membuat pupuk dan pestisida organik 5. Membuat penelitian dan percobaan penggunaan pestisida neem dan pupuk neem pada berbagai tanaman pertanian 6. Membuat penelitian pengembangan produk dari bahan minyak neem, seperti pestisida, toiletries, kosmetik, pasta gigi, pencegah nyamuk dan produk lainnya 7. Membuat percontohan kebun organik 102 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
8. Memasarkan hasil tanaman organik 9. Mempromosikan dan memasarkan hasil proses biji neem (pestisida neem, pupuk neem dan produk lainnya). C. Lingkaran Ketiga (Developing) Lingkaran Ketiga adalah lingkaran terakhir dari strategi ini yang merupakan strategi untuk mengembangkan dan memasarkan produk yang dihasilkan dari pengolahan neem. Pada bagian ini, kegiatan sepenuhnya adalah: 1. Mendorong munculnya bisnis-bisnis baru yang berbasis neem, terutama koperasikoperasi/kelompok tani 2. Produk diversifikasi 3. Pemasaran produk-produk neem. Pada tahap ini, YMACK selain bertumpu pada PT Intaran Indonesia, juga berharap masuknya dunia bisnis, mempromosikan, mendorong dan memacu
individu-individu atau
kelompok bisnis dalam industri neem. Strategi tahap awal untuk mempromosikan neem adalah melakukan kerjasama dengan perusahaan yang sudah berpengalaman di bidangnya. Pada saat yang sama dilakukan penyampaian informasi mengenai manfaat neem untuk tujuan-tujuan komersial. Sebagai komitmen terhadap petani di daerah pengembang neem, YMACK merencanakan pembentukan kelompok bisnis (seperti koperasi), yang permodalan dan manajemen awalnya akan dibantu oleh PT Intaran sehingga mencapai kemandirian. Dengan demikian diharapkan petani tempat pengembangan neem akan merasakan manfaat dari pohon Intaran ini. Konsep ini sangat ideal untuk diterapkan agar petani tidak menjadi objek dalam setiap pembangunan yang dilakukan. Dikatakan sangat ideal, karena dalam konsep ini, PT Intaran Indonesia hanyalah sebagai “PILOT PROJECT” dari pengembangan neem secara keseluruhan, bukan sebagai penguasa dari industri neem. PT Intaran sengaja disetting dengan teknologi sangat sederhana, sehingga pada gilirannya nanti, masyarakat petani yang sudah dikelompokkan tersebut, dengan mudah mengaplikasikannya. Selanjutnya kelompok masyarakat tadi diarahkan untuk membentuk suatu unit bisnis yang memiliki kemampuan untuk memproses dan mengembangkan produk berbasis tanaman neem. Dengan demikian, unit bisnis ini dapat mengatur dirinya sendiri mulai dari pengadaan bahan, pemrosesan sampai kepada pemasaran produknya. Yayasan MACK tidak menginginkan industri neem ini menjadi milik pengusaha besar seperti kelapa sawit misalnya, sehingga tidak banyak manfaat yang diterima oleh petani. Konsep ini benar-benar diarahkan untuk memberdayakan petani yang bisa mengatur usahanya sendiri. VII.PROSPEK NEEM DI INDONESIA Di Indonesia Nimba/Neem dipasarkan dalam berntuk biji berkulit. Sedangkan di Afrika, India, dan Birma diperjual-belikan dalam berbagai bentuk dan tingkat olahan, seperti biji lepas kulit, minyak, bungkil, dan bahkan dalam bentuk produk-produk industri lain, seperti: sabun, parfum, pasta gigi, lilin, minyak pelumas, bahan kosmetik, dll. Produk nimba dapat dipasarkan juga dalam bentuk kayu bangunan, meubel, serta peralatan lainnya. Selain itu insektisida nimba 103 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
juga dipasarkan dalam bentuk formula, yakni sari nimba baik dari daun maupun biji yang diformulasi oleh berbagai industri dan dikemas dalam kaleng lengkap dengan merek dagang, label serta petunjuk cara penggunaannya. Manfaat ekonomis bagi masyarakat dalam penanaman dan pemanfaatan Nimba selaian dari fungsinya dalam konservasi juga pengolahan hasil Nimba diharapkan kelak dapat mendorong tumbuhnya berbagai industri berskala rumah tangga (home industri) yang dilakukan petani Nimba.
Dengan demikian era industrialisasi yang akan kita masuki tidak hanya
berorientasi pada aspek pertumbuhan tetapi juga aspek pemerataan, karena petani tidak dikondisikan hanya sebagai konsumen tapi juga sebagai produsen yang menghasilkan barang dan jasa. Pemanfaatan Nimba ini telah dikembangkan dalam skala besar di Indonesia serta penanamannya telah mencapai hampir keseluruhan wilayah di Indonesia.
VII.KENDALA-KENDALA DAN PERMASALAHAN DI LAPANGAN Pola pikir masyarakat yang sudah mentradisi seperti pemanfaatan alam semaksimal mungkin, system bercocok tanam yang sangat tergantung pada besarnya input berupa pupuk sintetik dan juga pemberantasan hama yang mutlak menggunakan pestisida kimia tanpa mengindahkan aspek kelestarian alam dan keberlangsungan makhluk hidup di dalamnya menjadi kendala yang serius terutama ketika berhadapan dengan masyarakat di pedesaan yang tingkat pendidikannya rendah. Aspek pelestarian alam yang menjadi kepentingan utama kami selanjutnya menjadi hambatan tatkala dihadapkan pada tingkat kesadaran masyarakat yang rendah terutama masyarakat di pedesaan dimana banyaknya bencana alam yang timbul beberapa tahun belakangan sangat erat kaitannya dengan eksploitasi besar-besaran sumber daya alam secara tidak terencana. Beberapa respon masyarakat ketika kami masuk pertama kali; 1. Betulkah hasil panen yang mereka kumpulkan akan dibeli oleh pihak perusahaan. 2. Betulkah tenaga dan biaya yang mereka kerahkan akan memperoleh nilai yang sebanding. 3. Dengan lemahnya tingkat ekonomi petani menyebabkan mereka kesulitan bila harus mengeluarkan biaya sendiri terlebih dahulu untuk hal-hal yang baru mereka temukan. 4. Sulitnya memberi pemahaman ke masyarakat tentang pemanfaat neem minimnya kesadaran masyarakat tentang pelestarian hutan untuk kepentingan global 5. Sulitnya merubah presepsi masyarakat tentang pentingnya pola hidup yang alami
IX.PENUTUP Tidak dapat dipungkiri bahwa hutan mampu memberikan manfaat bagi bangsa dan negara dalam arti luas, jika dikelola dengan bijaksana. Tetapi sebaliknya akan mendatangkan bencana jika tanpa manajemen hutan yang baik.
104 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Perlu peran serta semua pihak untuk menjaga kelestarian hutan, baik menjaga hutan yang masih tersisa atau memperbanyak hutan (reboisasi) baru untuk menjaga kelangsungan hidup generasi berikutnya. Salah satu alternatif untuk menjaga kelestarian hutan adalah dengan meningkatkan kualitas pengelolaan aneka ragam hasil hutan dan bukan terfokus pada pemanfaatan hasil kayu saja. Untuk melakukan langkah alternatif tersebut, neem merupakan tanaman yang tepat untuk menjaga kelestarian hutan, memperbanyak hutan atau reboisasi, sekaligus memanfaatkan bagianbagian tanaman neem untuk dikelola lebih lanjut menjadi produk yang memiliki nilai tambah. Perlu ditingkatkan kerjasama semua komponen masyarakat, baik pemerintah, LSM, Pengusaha dan kelompok tani untuk memanfaatkan neem dalam kerangka ekonomi, sehingga masing-masing pihak dapat saling menguntungkan tanpa mengesampingkan aspek lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA De Padee,L.S. Bunyaprapatsaraa,M and Lemmen S,RHM..(Editor).1999. Plant Resources of South East Asia No.12 (1). Medical and Poisonus Plants.Bachlinus publisher,Leiden.The Netherlands. Sumadiwangsa, 2002. Kajian kandungan mimba,budidaya dan teknologi Pengolahan Hasil Mimba.Makalah utama Lokakarya Pengembangan Tanaman Mimba,Bali 17-18 Desember 2002. Randhawa,M.S. and B.S. Parmer.1993. Neem Research and Development.New Delhi;Society of Pesticide Science,India.
105 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PEMANFAATAN PRANATA SOSIAL LOKAL DALAM REHABILITASI LAHAN: SEBUAH PENGALAMAN DI NUSA PENIDA, BALI Oleh: I.B. Putera Parthama2 dan Hadi S. Pasaribu3 ABSTRAK Salah satu pendekatan yang dapat diterapkan untuk mewujudkan masyarakat yang sadar dan peduli lingkungan serta komitmen dalam merehabilitasi lahan ialah dengan mengaitkan dan memanfatkan pranata sosial masyarakat sosial setempat. Dalam hal ini masyarakat diingatkan dan diarahkan untuk menerapkan konsepsi lahan, filosofi serta aturan yang mereka miliki sendiri untuk merehabilitasi lahan, bukan diminta mengadopsi rehabilitasi lahan abru model abru. Pendekatan pranata sosial masyarakat setempat yang telah diaktuliasikan didaerah ini antara lain : Tri Hira Karana, Tri Mandala, Tri Fungsi Hutan, Lembaga Pemaksaan Pura, Banjar Pakraman dan awig-awig. Pendekatan tersebut telah dicoba dilaksanakan di Nusa Penida, pulau kecil dan kering yang berada di tenggara Pulau Bali. Penerapan model ini menunjukkan hasil yang positif yaitu: dengan tingkay keberhasilam tanaman 80 %. Masyarakat menunjukkan antusiasme yang tinggi untuk terlibat dalam rehabilitasi lahan sejak awal perencanaan hingga pelaksanaan dan pemeliharaan serta berminat untuk meningkatkan kemampuan teknisnya. Pendekatan serupa bisa diterapkan didaerah lain yang memiliki kondisi sama. Kata kunci: Pranata social local, rehabilitasi lahan, Tri Hita Karana I.PENDAHULUAN Salah satu ukuran keberhasilan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan/Lahan (GN-RHL atau Gerhan) ialah terwujudnya kondisi dimana kegiatan-kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) terus berjalan terlepas dari ada atau tidak ada kegiatan RHL yang didanai pemerintah. Karena itu, RHL tidak bisa lagi dipandang sebagai sebuah persoalan teknis semata dan karenanya perlu perubahan cara pandang. Pertama, seluruh upaya RHL tidak lagi dilihat sebagai sebuah tujuan (goal) melainkan sebagai alat (means) untuk mencapai tujuan, yakni meningkatnya kesejahteraan masyarakat. Artinya, RHL tidak dilakukan hanya untuk (for the sake of) RHL, melainkan lebih jauh lagi yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kedua, dan lebih penting ialah memposisikan masyarakat sebagai pemeran kunci dari kegiatan-kegiatan RHL. Termasuk dalam hal ini ialah memanfaatkan atau merevitalisasi tata nilai dan pranata-pranata sosial setempat dalam kerangka RHL. Dan ketiga, upaya RHL oleh pemerintah harus lebih mengarah kepada penciptaan atmosfer yang kondusif serta peningkatan kapasitas masyarakat guna melaksanakan RHL. Dengan demikian, diharapkan akan terjadi RHL oleh masyarakat untuk masyarakat yang terus bergulir tanpa tergantung dana pemerintah. Nusa Penida, sebuah pulau kecil seluas sekitar 20.000 hektar di tenggara Pulau Bali, adalah sebuah contoh lingkaran tak berujung yang menghubungkan lahan terdegradasi dan rendahnya kesejahteraan masyarakat. Secara fisik, sebagian besar lahan di Nusa Penida, yang hampir 90% berstatus tanah miliki, tergolong tidak produktif, namun berpotensi untuk direhabilitasi dan dikembangkan pemanfaatannya. Dalam hal kesejahteraan, masyarakat Nusa Penida pada umumnya cukup jauh di bawah saudaranya di Pulau Bali. Di sisi lain, setidaknya sejak beberapa tahun terakhir, masyarakat Nusa Penida menunjukkan kehendak dan semangat kolektif yang amat tinggi untuk merehabilitasi lahannya dan meningkatkan kesejahteraannya. Masyarakat
106 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Nusa Penida juga sudah memiliki pranata-pranata sosial yang kondusif bagi upaya rehabilitasi lahan/hutan. Dengan setting seperti ini, menarik untuk dilakukan sebuah upaya untuk memanfaatkan pranata sosial lokal guna menumbuhkan budaya RHL. Untuk itu, sebuah model pemanfaatan tata nilai dan kelembagaan lokal untuk RHL telah dikembangkan dengan kasus Nusa Penida. Model tersebut dapat dijadikan wahana belajar sambil melakukan (learning by doing) dan dapat diadopsi dan dikembangkan untuk tempat-tempat lain dengan kondisi serupa dengan Nusa Penida.
II.PRANATA SOSIAL MASYARAKAT NUSA PENIDA Suatu komunitas atau kelompok masyarakat/etnis pada umumnya memiliki tata nilai, konsepsi atau filosofi mengenai berbagai aspek kehidupan. Selain itu, kelompok masyarakat tertentu juga memiliki tatanan kelembagaan yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat, masyarakat dengan pemerintah, dan masyarakat dengan lingkungan. Sebagian dari konsepsi dan tatanan kelembagaaan tersebut memiliki relevansi dengan pemeliharaan lingkungan hidup, termasuk rehabilitasi hutan/lahan. Pemanfaatan tata nilai dan kelembagaan lokal untuk rehabilitasi lahan tidak lain adalah mengaktualisasikan tata nilai dan kelembagaan yang ada dalam bentuk aksi rehabilitasi lahan. Perlu ditekankan bahwa ini tidak identik dengan mengintegrasikan konsepsi rehabilitasi lahan ke dalam tata nilai dan kelembagaan lokal, melainkan
mengimplementasikan nilai-nilai yang
dianut masyarakat dan memfungsikan kelembagaan yang ada secara lebih kongkrit untuk rehabilitasi lahan. Dengan demikian tidak ada unsur eksternal yang dipaksakan (di-impose) ke dalam tatanan yang ada sehingga diharapkan tidak akan dijumpai adanya bentuk-bentuk resistensi. Lain halnya apabila berangkat dari upaya pengintegrasian konsepsi rehabilitasi lahan ke dalam tata nilai yang ada. Di sini seakan ada unsur eksternal yang dipaksakan untuk menjadi bagian dari suatu sistem yang eksis sehingga tidak selalu efektif. Dalam kasus masyarakat Nusa Penida, terdapat sejumlah konsepsi dan kelembagaan sosial yang berpotensi untuk diaktualisasikan dalam konteks rehabilitasi lahan. Diantaranya ialah:
1. Konsepsi Tri Hita Karana Tri Hita Karana adalah filosofi Hindu yang mengajarkan bahwa manusia harus selalu menjaga keharmonisan hubungan dengan Sang Pencipta (Tuhan Yang Maha Esa), dengan sesama manusia dan dengan alam/lingkungan. Tri Hita Karana dengan mudah dapat direvitalisasi untuk tujuan rehabilitasi hutan/lahan karena rehabilitasi hutan/lahan jelas-jelas merupakan bagian dari menjaga keharmonisan hubungan dengan alam/lingkungan.
2. Konsepsi Tri Mandala Konsepsi Tri Mandala adalah filosofi tata ruang masyarakat Bali yang membagi ruang menjadi tiga kategori, yaitu: utama mandala, madya mandala, dan jaba atau nista mandala. Konsep Tri Mandala diterapkan pada skala mikro (rumah tinggal) maupun makro (wilayah). Dalam skala makro, utama mandala adalah ruang yang diperuntukkan bagi kepentingan-kepentingan spiritual atau religi masyarakat seperti pura. Madya mandala adalah ruang yang diperuntukkan bagi 107 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pelaksanaan kehidupan sosial dan kegiatan ekonomi, termasuk areal pemukiman dan areal pertanian. Sedangkan jaba mandala dapat diartikan semacam ruang untuk menampung limbah dan proses daur ulang. Konsep Tri Mandala dapat pula diinterpretasikan sebagai pembagian: hulu, tengah, hilir karena utama mandala pada umumnya memang berada di hulu. Relevansi konsep Tri Mandala dengan rehabilitasi lahan ialah bahwa masyarakat pada umumnya akan relatif mudah dimobilisasi untuk melakukan rehabilitasi hutan/lahan mulai dari utama mandala (di sekitar pura), diikuti selanjutnya oleh madya mandala dan jaba mandala.
3. Konsepsi Tiga Fungsi Hutan Dalam tradisi Bali, hutan dikategorikan menjadi tiga, yaitu: alas angker atau mahawana, alas rasmini atau sriwana, dan alas harum atau tapawana. Alas angker pada dasarnya dapat diartikan sebagai hutan lindung, karena merupakan hutan yang tidak boleh diganggu. Alas rasmini adalah hutan yang diperuntukkan bagi pembangunan kesejahteraan atau kemakmuran ekonomi secara langsung atau setara dengan hutan produksi. Sedangkan alas harum adalah hutan tempat mengembangkan pasraman bagi orang-orang suci sehingga dapat dipadankan sebagai hutan wisata atau lebih luas lagi hutan konservasi. Mengacu kepada konsepsi ini, masyarakat akan relatif dapat diarahkan untuk tidak mengganggu rehabilitasi hutan/lahan pada alas angker dan alas harum, serta cukup mudah dimotivasi untuk merehabilitasi alas rasmini dan menunggu manfaat jangka-panjangnya.
4. Lembaga Pemaksan Pura Di Bali pura selalu menjadi prioritas pertama dan dapat menjadi penyatu gerak masyarakat yang sangat efektif. Setiap pura di Bali memiliki komunitas yang disebut dengan Pemaksan Pura, yaitu himpunan masyarakat yang secara swadya merawat pura dan bertanggung-jawab atas upacara keagamaan di pura yang bersangkutan. Kaitannya dengan rehabilitasi lahan ialah, bahwa areal di sekitar pura dapat dijadikan inti dari areal rehabilitasi dan Pemaksan Pura dapat dijadikan pelopor pelaksana rehabilitasi yang efektif.
5. Lembaga Desa/Banjar Pekraman Seluruh masyarakat Bali adalah anggota dari banjar-banjar adat yang membentuk suatu desa pakraman. Desa pakraman adalah suatu paguyuban umat Hindu di tingkat desa sebagai wadah bersama untuk mengamalkan ajaran agama.
Desa pakraman tidak memiliki hubungan
struktural formal dengan sistem pemerintahan negara baik pada jaman kerajaan maupun setelah kemerdekaan. Desa pakraman bersifat otonomi penuh. Masyarakat Bali menempatkan banjar dan desa pakraman pada prioritas tinggi dan salah satu malu terbesar bagi orang Bali adalah tersisih/terekstradisi atau menjadi outlier dari komunitas banjar/desa pakraman-nya. Oleh sebab itu, Desa/Banjar Pakraman bisa menjadi sarana penggerak masyarakat yang amat efektif dan ini sangat bermanfaat dalam konteks rehabilitasi lahan.
6. Awig-awig
108 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Awig-awig adalah peraturan lokal yang berlaku untuk lingkup Desa/Banjar Pakraman ataupun himpunan masyarakat lainnya seperti Pemaksan Pura atau Subakii. Awig-awig mengatur segala sesuatu berkaitan dengan tugas dan kewajiban anggota, sanksi atas pelanggaran, tata hubungan antar anggota, dan lain-lain, termasuk yang berkaitan dengan pelestarian lingkungan dan rehabilitasi lahan. Awig-awig disusun dan disepakati bersama oleh seluruh anggota sehingga pada umumnya ditaati secara konsekuen. Karena awig-awig masih diimplementasikan secara riil di masyarakat maka akan sangat mudah dikaitkan dengan upaya-upaya rehabilitasi lahan.
III.DARI KONSEPSI KE IMPLEMENTASI Pemanfaatan tata nilai dan kelembagaan lokal untuk rehabilitasi lahan di Nusa Penida dilakukan dengan beberapa tahapan, yaitu: survey baseline, mobilisasi masyarakat, penerapan intervensi pemerintah, monitoring dan pemberlanjutan atau sustainability.
A.Survey Baseline Survey baseline dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi awal mengenai Nusa Penida. Dari survey ini diperoleh beberapa indikasi antara lain: a.
Peternakan merupakan sentra perekonomian Nusa Penida.
b.
Kebutuhan akan pakan ternak bisa menjadi tekanan bagi upaya rehabilitasi lahan. Karena itu masyarakat berharap justru rehabilitasi lahan dapat menghilangkan masalah pakan ternak, yakni dengan menggunakan jenis-jenis penghasil pakan ternak.
c.
Masyarakat sangat menghendaki upaya rehabilitasi khususnya untuk melestarikan sumbersumber air.
d.
Masyarakat sangat anthusias menanam jati, namun cukup berminat pula menanam jenis lain, baik untuk menghasilkan kayu maupun buah.
e.
Masyarakat sangat mendukung pengembangan pariwisata. Kondisi alam dan budaya juga sangat mendukung pengembangan pariwisata.
B.Mobilisasi Masyarakat
Mobilisasi masyarakat diawali dengan memilih sebuah LSM lokal yaitu Klungkung Tourism Board (KTB) yang berpusat di Semarapura, ibu kota Kabupaten Klungkung. KTB berperan sebagai penghubung antara Pemerintah dengan Pemerintah Daerah dan masyarakat. KTB juga berperan sebagai ”konsultan” yang memberikan masukan mengenai cara pendekatan yang dipandang tepat untuk memobilisasi masyarakat, mengkondisikan masyarakat, mendata dan memilih key persons, serta penyelenggaraan beberapa aspek kegiatan, khususnya pertemuan partisipatif multipihak dan penyusunan awig-awig. Pertemuan partisipatif multipihak dilaksanakan dengan melibatkan berbagai pihak yang berasal dari, tinggal di, terkait dengan atau menaruh perhatian terhadap Nusa Penida.
Pertemuan
dimaksudkan untuk menghimpun harapan dan pendapat masyarakat Nusa Penida berkaitan dengan upaya pengembangan potensi guna peningkatan kesejahteraan. Dari pertemuan tersebut dihasilkan beberapa butir, antara lain: 109 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
a. Masyarakat memahami bahwa Nusa Penida memiliki potensi untuk berkembang dan lepas dari himpitan kemiskinan. Sektor yang dipandang cukup potensial ialah: pariwisata dan peternakan. b. Masyarakat memahami pula bahwa salah satu prakondisi menuju pengembangan potensi wisata dan peternakan ialah merehabilitasi hutan/lahan di Nusa Penida, baik untuk memulihkan fungsi hidroorologi maupun sebagai bagian dari penciptaan lingkungan yang mendukung pariwisata. Oleh sebab itu, ada tiga sendi pengembangan Nusa Penida, yaitu: rehabilitasi lahan, pariwisata dan peternakan. c. Masyarakat telah melihat beberapa kegagalan dari upaya-upaya rehabilitasi lahan sebelumnya dan mengidentifikasi bahwa penyebab utama ialah tidak diikut-sertakannya masyarakat pada keseluruhan proses kegiatan. d. Bila diikut-sertakan secara aktif, masyarakat bertekad untuk mendukung sepenuhnya pelaksanaan rehabilitasi lahan tanpa mengharap pamrih jangka pendek. e. Masyarakat sependapat untuk membentuk suatu forum pengembangan Nusa Penida.
C. Intervensi Pemerintah Intervensi pemerintah dimaksudkan untuk memberikan external force agar potensi internal yang ada dapat bergulir menjadi daya rehabilitasi lahan. Intervensi yang dilakukan adalah:
1. Penggalangan partisipasi lembaga donor Departemen Kehutanan (Badan Litbang Kehutanan) mengundang lembaga donor yang memiliki kerja-sama dengan Departemen Kehutanan untuk ikut berpartisipasi dalam mengembangkan Nusa Penida, khususnya pelaksanaan rehabilitasi lahan.
JICA (Jepang) dan EU-FLB (Uni
Eropa) adalah dua lembaga donor yang menyambut ajakan tersebut.
2. Lokakarya Awig-awig Lokakarya Awig-Awig dilaksanakan tahun 2004 yang diikuti perwakilan masyarakat antara lain: kelian (ketua) desa, kelian (ketua) banjar, pemangku pura, dan wakil kelompok tani. Lokakarya dimaksudkan untuk mengidentifikasi dan menyepakati bagian dari aturan-aturan lokal yang relevan dan dapat diterapkan dalam pelaksanaan rehabilitasi lahan.
Hasil lokakarya berupa
himpunan pasal-pasal peraturan berkaitan dengan lingkungan, hutan, dan rehabilitasi lahan, yang disepakati peserta dan akan disosialisasikan kepada seluruh masyarakat. Sebelum lokakarya awig-awig, masyarakat dikondisikan melalui penyelenggaraan Dharmawacana yakni semacam tabligh akbar atau pernyataan sikap umat. Tampil sebagai pembicara utama ialah Ida Pedanda Made Gunung, seorang tokoh agama (pendeta) terkemuka di Bali.
3. Dukungan Teknis dan Peningkatan Kapasitas Dukungan teknis diberikan dalam bentuk penyediaan IPTEK oleh Badan Litbang Kehutanan, serta penyediaan bantuan teknis oleh UPT Ditjen RLPS. Dukungan tersebut antara lain berupa informasi jenis-jenis tanaman yang cocok untuk Nusa Penida, pembuatan demplot tanaman, serta sosialisasi teknologi penyiapan bibit. Selain itu juga dilakukan pelatihan pelatih (training of 110 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
trainers) teknologi pembibitan. Pelatihan diberikan oleh tenaga dari Balai Perbenihan Tanaman Hutan Bali Nusa Tenggara. Peserta pelatihan terdiri dari wakil-wakil kelompok tani di Nusa Penida.
4. Penunjukkan Nusa Penida sebagai lokasi Gerhan 2004 Departemen Kehutanan (Ditjen RLPS) memberikan dukungan rehabilitasi lahan di Nusa Penida dengan mengalokasikan jatah Gerhan seluas 900 hektar di Nusa Penida. Pelaksanaan Gerhan 2004 secara tidak langsung dijadikan wahana untuk mengimplementasikan konsepsi pendekatan penerapan tata-nilai dan kelembagaan lokal dalam pelaksanaan RHL. Persiapan pelaksanaan GERHAN diawali dengan perencanaan. jenis pohon yang ditanam sesuai permintaan masyarakat yang dihimpun oleh BTP DAS Unda-Anyar maupun yang diperoleh berdasarkan survey baseline dan pertemuan multipihak. Gerhan dilaksanakan di bawah koordinasi Dinas Kebersihan dan Lingkungan Hidup Kabupaten Klungkung yang menangani urusan kehutanan. Secara operasional, sebanyak 12 institusi banjar dari 11 desa pakraman ditunjuk sebagai pelaksana Gerhan. Banjar/desa pakraman tersebut berperan mulai dari penunjukkan lokasi penanaman, pelaksanaan penanaman hingga pengawasan terhadap pelaksanaan. Semua keputusan di lingkup desa/banjar pakraman diperoleh melalui proses diskusi partisipatif (sangkep) yang dilaksanakan oleh banjar/desa pakraman yang bersangkutan. Warga banjar yang melaksanakan penanaman di lapangan terhimpun ke dalam kelompok-kelompok tani (25 kelompom tani). Awig-awig yang berkaitan dengan rehabilitasi lahan menjadi bagian dari acuan selain peraturan perundangan formal. Konsisten dengan konsep Tri Mandala, lokasi penanaman dimulai dari areal di sekitar beberapa pura besar di seantero Nusa Penida.
IV. HASIL Upaya pemanfaatan pranata sosial lokal untuk RHL di Nusa Penida memang tidak diharapkan untuk memberikan hasil secara instant. Terbangunnya anthusiasme masyarakat untuk melaksanakan RHL
bisa dipandang sebagai sebuah hasil yang signifikan terlebih bila
mempertimbangkan bahwa masyarakat Nusa Penida sangat rentan terhadap bahaya apatisme akibat kegagalan-kegagalan kegiatan top-down di masa lalu. Anthusiasme tersebut antara lain diindikasikan oleh terbentuknya 6 kelompok tani pembibitan yang akan menerapkan teknologi pembibitan yang diperoleh dari pelatihan pelatih. Kelompokkelompok ini merencanakan akan memproduksi bibit untuk keperluan rehabilitasi lahan di Nusa Penida sehingga bibit tidak perlu didatangkan dari luar.
Memproduksi bibit secara lokal
memang memiliki banyak keuntungan antara lain: mengurangi kerusakan bibit akibat transportasi dan menciptakan kesempatan berusaha bagi masyarakat setempat.
Tanda
anthusiasme lain ialah minat masyarakat yang tinggi untuk menanam pohon khususnya jati, meskipun harus dengan membeli bibit. Secara fisik, tanaman Gerhan di Nusa Penida relatif memperoleh perawatan yang cukup baik dari masyarakat. Sampai dengan Mei 2005, persen jadi cukup tinggi hingga di atas 80% meskipun pernah dikeluhkan bahwa bibit banyak yang rusak sebelum sampai ke masyarakat (akibat 111 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
transportasi, termasuk menyebrangi laut). Namun demikian, kerasnya alam berupa kekeringan yang datang mulai bulan Juni cukup berakibat negatif terhadap persen persen jadi tanaman. Tetapi yang lebih mendasar, masyarakat kini lebih care, dan merasa memiliki tanaman Gerhan sehingga mau memelihara tanaman termasuk menyiram.
Yang terpenting ialah bahwa telah diperoleh sebuah pembelajaran mengenai pemanfaatan pranata sosial lokal dalam rehabilitasi lahan, dan ada tanda-tanda pendekatan alternatif ini mengarah kepada hasil positip.
Meski Nusa Penida mungkin memiliki kekhususan dalam
beberapa hal, sangat mungkin untuk mereplikasi pendekatan serupa di lokasi lain. Intinya ialah, masyarakat serta pranata sosial yang dimilikinya diangkat dan diberdayakan untuk melaksanakan RHL. Bukan sebaliknya, RHL di-impose ke dalam masyarakat sebagai sesuatu yang bersifat eksternal.
V.PEMBERLANJUTAN Agar rehabilitasi lahan berfungsi sebagai means untuk mencapai goal, yakni peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka pertama-tama rehabilitasi lahan harus tetap bergulir dan diikuti dengan upaya-upaya memfasilitasi realisasi hasil rehabilitasi menjadi real finansial gains (penghasilan finansial yang nyatra). Untuk itu maka diperlukan: 1.
Pemeliharaan momentum dengan meneruskan upaya-upaya rehabilitasi lahan oleh pemerintah meskipun hanya dalam skala kecil (misal berupa demplot tanaman) dan pemberian rekognisi (misalnya berupa penghargaan dari pemerintah).
2.
Pembentukan Tim Pengawal Rehabilitasi Lahan yang beranggotakan tokoh-tokoh masyarakat.
Tim ini akan membantu memelihara motivasi masyarakat untuk
melaksanakan rehabilitasi lahan. 3.
Pemberian dukungan dan advis teknis secara kontinyu kepada masyarakat. Dukungan teknis termasuk pelatihan-pelatihan pembibitan, penanaman dan pemeliharaan tanaman.
4.
Penciptaan pasar yang akan menampung hasil rehabilitasi lahan. Aspek pasar adalah yang paling menentukan, karena masyarakat akan lebih termotivasi apabila upaya rehabilitasi yang dilakukan dapat menghasilkan pemasukan finansial riil. Untuk hasil berupa kayu, termasuk kayu bakar, pasar lokal akan lebih dari cukup. Perlu pula merintis pemanfaatan hutan-hutan yang telah direhabilitasi sebagai obyek wisata.
5.
Menjajagi kemungkinan mengaitkan rehabilitasi lahan dengan peluang implementasi CDM/Kyoto Protocol.
112 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
DAFTAR PUSTAKA
Belce, Karl, W.1987. Archeology as Human Ecology: Method and Theory for a Contextual Approach. Cambridge University Press, New York. Darmika, IB.1992. Awig-awig Desa Adat Tenganan Pegringsingan dan Kelestarian Lingkungan: Sebuah Kajian Tentang Tradisi dan Perubahan . Thesis. Universitas Udayana, Denpasar. Departemen Kehutanan dan Perkebunan.1996. Petunjuk Umum Teknis Pedoman Survei Sosial Ekonomi Kehutanan Indonesoa. Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Kanwil Kehutanan Propinsi Bali. 1994. Informasi Tentang Proyek Pembangunan Rehabilitasi Lahan di Nusa Penida . Kanwil Kehutanan Propinsi Bali.
113 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
TINJAUAN JENIS-JENIS FLORA LOKAL BALI YANG BERPOTENSI DIKEMBANGKAN SEBAGAI KAYU KOMERSIAL * Oleh Mustaid Siregar, Ni Kadek Erosi Undaharta dan Hartutiningsih-M.Siregar ABSTRAK Pengembangan jenis-jenis local yang sesuai dengankondisi biofisik wilayah Bali seperti kondisi tanah, iklim dan factor fisik lainnya akan lebih mudah dikembangkan daripada mengembankan jenis eksotik lainnya. Akan tetapi perlu dipertimbangkan jenis-jenis yang mendapat prioritas mengingat status konservasinya telah mengalami kelangkaan dialam yaitu Manilkara kauki (L) Dub, Dalbergia latifolia Roxb, Lagerstroemia speciosa PErs, Santalum album linn, Cordia subcordata Lamk, Dysoxylum caulostchyum Miq, Heritiera littoralis Dryland, Mimusops elengi L. dan Murraya paniculata Jack. Kata Kunci : Pohon local, kayu komersial, konservasi, kelangkaan jenis
I. PENDAHULUAN Pulau Bali termasuk sebagai salah satu konsumen kayu yang utama di Indonesia, tetapi bukan termasuk produsen utama seperti halnya Kalimantan. Data tahun 1999 menunjukkan kebutuhan kayu di Provinsi Bali setiap tahunnya mencapai 136.796 m3. Kebutuhan tersebut diperuntukkan bagi kayu bahan bangunan 53,84%, perabot rumah tangga 11,03% dan kerajinan rumah tangga 35,13%. Sementara itu jumlah kebutuhan yang terpenuhi baru 114.276 m3 (83,5%). Kebutuhan kayu untuk berbagai keperluan di Provinsi Bali diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan perkembangan pembangunan dan perekonomian di Pulau ini. Luas Pulau Bali yang tergolong kecil (563.200 ha) dengan luas hutannya yang hanya 130.686,01 ha (23,2%) dianggap tidak memungkinkan untuk menjadikan Pulau Bali sebagai daerah yang mandiri dalam memenuhi kebutuhan kayunya. Ini terlihat dari luas hutan produksi di Bali hanya 8.626,36 ha atau 6,6 % dari luas hutan Pulau Bali. Pembangunan Bali (baca: fisik) yang begitu pesat sejak era dunia pariwisata meledak telah menyebabkan Bali menjadi salah satu daerah konsumen kayu terbesar di Indonesia. Meledaknya kunjungan wisata ke Bali telah pula menyebabkan terbukanya peluang pasar souvenir di bidang kerajinan seni ukiran termasuk ukiran berbahan dasar kayu yang memang telah hidup jauh sebelum Bali dikenal sebagai daerah wisata. Berbagai seni ukiran kayu seperti patung, crafts/relief, décor hingga berbagai inovasi untuk furniture tumbuh dan berkembang seiring dengan berkembangnya pariwisata. Minimnya sumberdaya alam di pulau Bali telah disadari sejak lama. Bahan baku alam berbagai produk olahan khususnya yang berkaitan langsung dengan dunia pariwisata seperti aneka souvenir dari kayu, bambu, rotan, makanan, pakaian hingga untuk pembangunan prasarana dan sarana penunjang pariwisata telah lama didatangkan dari luar Pulau Bali. Bahkan kebutuhan untuk sarana upacara masyarakat Hindu Bali dalam menjalankan ibadahnya yakni banten sebagian besar telah lama dipasok daerah lain seperti Jawa Timur dan Nusa Tenggara. Berdasarkan data pemasukan kayu melalui empat pelabuhan di Bali tahun 2003 menunjukkan 114 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
sebanyak 69.100,4708 m3 kebutuhan kayu di Bali didatangkan dari pulau lain terutama Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Sumatera dan Nusa Tenggara (Barat dan Timur). Ini berarti sekitar 60% pemenuhan kayu di Bali masih berasal dari luar Bali. Secara ekologi, Pulau Bali dan Pulau Jawa memiliki kemiripan dan juga tantangan yang relative sama. Perkembangan populasi manusia dan pembangunan yang pesat telah menyebabkan lahan-lahan di kedua wilayah ini mendapat tekanan yang besar. Akan tetapi karena luas pulau Bali yang lebih sempit dan pesatnya pembangunan fisik di sector pariwisata, tekanan pada Pulau Bali lebih terasa. Lahan-lahan subur yang sebagian besar terdapat di bagian selatan telah berubah fungsi, sementara lahan-lahan kering yang mendominasi kawasan utara belum sepenuhnya terkelola dengan baik. Keberadaan hutan di Pulau Bali telah pula mengalami fragmentasi menjadi bercak-bercak khususnya di sekitar puncak gunung yang sifatnya untuk sekedar penyeimbang ekologi dan sebagai pendukung pariwisata. Masih sangat kecil upaya yang dilakukan dalam mendukung perkembangan industri hulu di bidang perhutanan, pertanian dan perkebunan. Sebagian besar dana dan tenaga kerja terampil masih terkonsentrasi di sector hilir yang bersentuhan langsung dengan pariwisata. Akibatnya banyak industri hilir mengalami keterpurukan bahan baku, atau produk yang dihasilkan mengalami perubahan akibat subsitusi bahan baku yang berbeda dari aslinya. Produk-produk yang masih bertahan dengan bahan baku aslinya makin langka dan mahal. Industri kerajinan paku ata dan berbagai produk olahan kayu adalah contohnya. Pulau Bali pada dasarnya kaya akan sumber daya alam khususnya hayati. Kemiripan ekologi dengan Pulau Jawa memungkinkan berbagai jenis hayati tumbuh di dalamnya, tidak terkecuali berbagai jenis pohon penghasil kayu, baik untuk konstruksi, pertukangan, perpatungan maupun untuk penggunaan lainnya. Tulisan ini membahas berbagai jenis pohon penghasil kayu yang tumbuh alami di Bali yang memiliki potensi untuk dikembangkan. Juga dipaparkan berbagai jenis kayu potensial yang meskipun tidak dilaporkan tumbuh alami di Bali tetapi memiliki kesesuaian habitat dengan ekologi pulau Bali.
II.KEANEKARAGAMAN JENIS-JENIS KAYU LOKAL BALI Hutan alami dalam tulisan ini diartikan sebagai vegetasi yang memiliki struktur kanopi berlapis dari jenis pepohonan, perdu dan tumbuhan bawah lainnya dengan tipe perawakan dan bentuk hidup yang beranekaragam serta tumbuh secara alami tanpa campur tangan manusia. Pengertian ini sengaja diberi penekanan untuk membedakannya dengan hutan tanaman atau reboisasi yang juga cukup luas di Bali. Berbeda dengan hutan tanaman/reboisasi yang jenisnya dapat berasal dari luar dan bukan asli Bali, maka jenis kayu yang tumbuh alami di hutan alam digolongkan sebagai jenis lokal di Bali. Tidak tertutup kemungkinannya bahwa sebagian jenisjenis tersebut juga berasal dari hasil penyebaran alami dari jenis-jenis pohon introduksi dari luar atau tanaman reboisasi di sekitarnya. Dengan demikian pengertian jenis lokal dalam tulisan ini tidak berarti jenis endemic (hanya terdapat di Bali). Minimnya informasi hasil-hasil eksplorasi di hutan-hutan Bali, menyebabkan data flora lokal Bali yang berkatagori endemic sulit diperoleh. Selain itu ekologi Pulau Bali dan Pulau Jawa relative sama yang menyebabkan jenis-jenis floranya juga banyak memiliki kesamaan. Podocarpus imbricatus adalah salah satu jenis pohon 115 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dari famili Podocarpaceae yang sebelumnya sering disebut sebagai jenis endemic Pulau Bali. Salah satu alasan kawasan Batukaru dijadikan sebagai Cagar Alam adalah karena keistimewaan tersebut. Akan tetapi, belakangan diketahui Podocarpus imbricatus juga ditemui di Gn. Gede Pangrango – Jawa Barat (Yamada, 1975), Gunung Sibualbuali – Sumatera Utara dan Bukit Raya Bagian Utara – Kalimantan Barat (Siregar, dkk. 1997). Secara umum keberadaan hutan alami di Pulau Bali saat ini dalam keadaan memprihatinkan. Kondisi hutan yang relative masih bagus terdapat hanya dalam bentuk bercakbercak di beberapa gunung atau bukit seperti di Taman Nasional Bali Barat, Cagar Alam Batukaru
dan di beberapa puncak gunung di Kabupaten Jembrana. Sebagai habitat alami
berbagai jenis flora dan fauna, jelas ini kurang menguntungkan. Pergerakan berbagai jenis fauna menjadi sangat terbatas yang merupakan ancaman terbesar dalam mempertahankan hidupnya. Demikian pula keanekaragaman flora juga menjadi terbatas hanya pada jenis-jenis pegunungan. Jenis-jenis kayu yang bernilai ekonomi dan umumnya banyak terdapat pada hutan-hutan dataran rendah semakin langka ditemui. Terlebih-lebih hutan-hutan dataran rendah yang terdapat di sekitar pemukiman. Hutan-hutan primer dataran rendah di Bali saat ini umumnya didominasi tipe hutan mangrove yang juga dalam keadaan terancam kelestariannya. Kekayaan jenis flora Bali termasuk jenis-jenis kayu yang berpotensi ekonomi saat ini masih bisa dilacak dari berbagai laporan eksplorasi dan penelitian. Sayangnya beberapa laporan tidak dapat dijadikan sebagai acuan karena jenis-jenis yang ditampilkan sebagian besar hanya menggunakan nama lokal
yang dapat
menimbulkan kekeliruan
dan kurang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dengan berbagai keterbatasan tersebut serta didasarkan pada laporan hasil-hasil eksplorasi/penelitian dan juga koleksi jenis pohon (penghasil kayu) di Kebun Raya “Eka Karya” Bali yang berasal dari Pulau Bali, maka jenis-jenis pohon yang memiliki diameter batang setinggi dada (dbh) > 10 cm tercatat 394 jenis (Lampiran 1). Jumlah tersebut jelas akan semakin meningkat bila penelusuran makin diperbanyak. Kegiatan eksplorasi juga perlu dilakukan. Sebagai perbandingan data potensi jenis pohon berkayu yang tersebar di hutan-hutan Indonesia diduga mencapai 4000 jenis (Anonimous, 1981), seperti jenis-jenis dari suku Dipterocarpaceae (meranti, kamper, keruing), Araucariaceae (Agathis spp.), Meliaceae dan Fabaceae. Jenis-jenis Dipterocarpaceae saja mencapai 550 jenis. Tidak semua jenis yang terdaftar dalam Lampiran 1 sebagai jenis kayu komersil. Masih diperlukan pengujian lebih lanjut terhadap sifat-sifat fisik kayunya. Dalam buku “Mengenal Sifat-sifat Kayu Indonesia dan Penggunaannya” (Anonimous 1981), hanya mencantumkan 261 jenis kayu ekonomis dan non ekonomis berdasarkan sifat-sifat dan kegunaannya. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari berbagai sumber (Abdurrohim dkk, 2004; Anonimous 1976, 1981, 2005a-b-c; Heyne 1987; Lemmens et al. 1995; Soerianegara & Lemmens 1994; Riswan dan Sutarno 1997; Sutarno dkk. 1995) maka jenis kayu lokal Bali dalam Lampiran 1 hanya 109 jenis yang telah diketahui sifat fisiknya (kelas kekuatan dan keawetannya). Dari 109 jenis tersebut, penggunaan paling banyak adalah untuk konstruksi (Gambar 1). Pada Tabel 1-3 disajikan daftar 10 jenis kayu masing-masing untuk perpatungan, kontruksi dan pertukangan berdasarkan kelas awet dan kelas kuatnya. Data tersebut hanya berdasarkan tersedianya data sesuai dalam Lampiran 1. 116 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
100 90 80 Jumlah jenis
70 60 50 40 30 20 10 lain-lain
Tiang pagar
Kano
Jembatan
Tiang listrik/telepon
Kayu bakar
Moulding
Gagang alat
Korek api
Pulp dan kertas
Pertukangan
Peti pembungkus
Perpatungan
Perkapalan
Plywood (Finir)
Papan
Parket, hiasan interior
Mebelair
Kontruksi
0
Gambar 1. Kekayaan jenis kayu lokal Bali berdasarkan penggunaannya.
Tabel 1. Daftar 10 jenis kayu untuk perpatungan berdasarkan kelas awet dan kelas kuatnya (seleksi dari Lampiran 1) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Ilmiah Manilkara kauki (L.) Dub. Dalbergia latifolia Roxb. Myristica longipes Warb. Murraya paniculata Jack. Santalum album Linn. Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. Michelia alba DC. Mimusops elengi L. Cordia subcordata Lamk. Manglietia glauca Blume.
Sawo kecik Sonokeling Mendarahan Kemuning Cendana Akasia
Sapotaceae Papilionaceae Myristicaceae Rutaceae Santalaceae Fabaceae
Altitude (m dpl) 10-500 600-1000 0-1.500 0-400 0-500 0-1000
Cempaka putih Tanjung Salimuli Kepelan
Magnoliaceae Sapotaceae Boraginaceae Magnoliaceae
0-900 240-1266 600-1500 10-500
Nama daerah
Famili
Kelas Awet I I I II II II
Kelas Kuat I II III I I-II II
II I-II I-II I-II
III I II-III III-IV
Tabel 2. Daftar 10 jenis kayu untuk kontruksi berdasarkan kelas kuat dan kelas awetnya (seleksi dari Lampiran 1) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Ilmiah Manilkara kauki (L.) Dub. Schoutenia ovata Korth. Garcinia mangostana Linn. Schleichera oleosa Merr. Mimusops elengi L. Heritiera littoralis Dryand Vitex pubescens Vahl. Lagerstroemia speciosa Pers. Garcinia celebica Linn. Adenanthera microsperma Teijsm. & Binn.
Nama daerah Sawo kecik Walikukun Manggis Kesambi Tanjung Dungun Laban Bungur Pradah Segawe
Famili Sapotaceae Tiliaceae Guttiferae Sapindaceae Sapotaceae Sterculiaceae Verbenaceae Lythraceae Guttiferae Fabaceae
Altitude (m dpl) 10-500 64-1247 500-1500 900-1500 240-1266 10-600 0-800 700-1000 0-200 0-600
Kelas Kuat I I I I I I I-II I-II I-II I-II
Kelas Awet I II II III I-II I-III I I II I-II
117 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 3. Daftar 10 jenis kayu untuk pertukangan berdasarkan kelas kuat dan kelas awetnya (seleksi dari Lampiran 1) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nama Ilmiah Garcinia mangostana Linn. Gordonia amboinensis (Miq.) Merr. Aglaia oddoratissima Blume Xylocarpus granatum Koen. Dysoxylum densiflorum Miq. Dialium indum L. Terminalia microcarpa Decne. Lagerstroemia speciosa Pers. Sonneratia alba Smith. Dysoxylum caulostachyum Miq.
Manggis Reik
Guttiferae Theaceae
Altitude (m dpl) 500-1500 1700-2300
Kwanitan Nyirih Cempaga Keranji Kunyit-kunyit Bungur Baropa Majegau
Meliaceae Meliaceae Meliaceae Fabaceae Combretaceae Lythraceae Sonneratiaceae Meliaceae
1500-2500 0-1.500 300-700 200-1000 300-1500 700-1000 1000-3000 0-1100
Nama daerah
Famili
Kelas Kuat I II
Kelas Awet II I
II II II II II I-II I-II II-III
III II-III II-III II-III IV I II-III II
III.KONSERVASI JENIS-JENIS KAYU LOKAL BALI Konservasi keanekaragaman hayati sangat penting artinya bagi pembangunan sektor kehutanan, pertanian, perikanan, peternakan, kesehatan, industri, rekreasi dan pariwisata, serta pengembangan ilmu pengetahuan (Bappenas, 1993).
Kesepakatan mengenai konservasi
keanekaragaman hayati ditingkat internasional telah dirumuskan dan dituangkan dalam perjanjian tentang keanekaragaman hayati (Convention on Biological Diversity) di Rio de Janeiro tanggal 5 Juni 1992. Indonesia meratifikasi kesepakatan ini melalui Undang-undang Nomor 5 tahun 1994, konservasi keanekaragaman hayati telah menjadi komitmen nasional yang membutuhkan dukungan seluruh lapisan masyarakat. Istilah konservasi sendiri telah mengalami perkembangan arti sehingga tidak hanya berarti melindungi saja tetapi menjadi How to save, to study and to use. Ini berarti ragam hayati termasuk berbagai jenis kayu yang saat ini dilindungi tidak berarti bersifat statis hanya sekedar dilestarikan. Akan tetapi juga perlu diteliti, dikembangkan untuk penggunaan secara berkelanjutan. Pelestarian sumberdaya hayati pada hakekatnya dapat berkelanjutan bilamana pemanfaatannya dapat dilestarikan. Dimungkinkannya fungsi suatu jenis tumbuhan yang telah langka digantikan oleh jenis lain adalah ancaman yang serius terhadap kelestarian jenis itu sendiri. Tidak dapat dipungkiri bahwa usaha budidaya terhadap suatu jenis tumbuhan yang mulai langka belum menjadi kegiatan yang menarik bilamana masih tersedia jenis lain di alam sebagai penggantinya. Besarnya investasi biaya penelitian untuk mendomestikasi suatu jenis merupakan kendala lain yang dihadapi. Bali pada dasarnya memiliki peluang yang cukup besar dalam mengembangkan jenisjenis kayu lokal. Beberapa kendala seperti keterbatasan lahan, anggaran dan tenaga masih dapat diatasi bila pola kemitraan diterapkan. Selain pengembangan di lahan-lahan hutan produksi, pengembangan jenis-jenis kayu lokal melalui konsep agroforestry atau perhutanan sosial memiliki peluang yang baik untuk diterapkan di Bali. Sebagai contoh pelibatan masyarakat adat atau desa pakraman dalam pengembangan jenis-jenis kayu lokal di kawasan labapura. Budaya gotong-royong yang telah mengakar kuat di masyarakat akan sangat bermanfaat dalam menggulirkan program ini. Kebun-kebun rakyat milik pribadi dapat pula dijadikan sebagai pilihan dengan penerapan sistem tumpang sari. Permasalahannya mungkin pada ketersediaan bibit. Perlu diadakan monitoring secara khusus terhadap sumber-sumber benih yang ada, tidak 118 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
terkecuali yang tumbuh di masyarakat atau di kawasan hutan. Selain itu, sebagian besar jenisjenis kayu lokal memiliki pertumbuhan yang relatif lambat dibandingkan jenis-jenis introduksi (fast growing). Perlu dipertimbangkan pemberian insentif kepada masyarakat
yang
mengusahakannya. Sistem tumpangsari dengan tanaman ekonomi yang berumur pendek pada awal penanaman pohon telah banyak diterapkan di Bali dan menunjukkan tingkat keberhasilan yang tinggi seperti penanaman rasamala (Altingia excelsa) di Lereng Bukit Pohen dan Bukit Tapak. Demikian pula konsep yang sama sedang diterapkan di kawasan bagian utara Taman Nasional Bali Barat melalui penanaman seperti mahoni (Switenia spp.) dan kayu putih (Melaleuca spp.).
IV. KESIMPULAN Dari data yang tersedia saat ini, setidaknya ada 26 jenis kayu lokal Bali yang berpotensi untuk dikembangkan di Bali (Tabel 4). Penetapan ini didasarkan pada kegunaan untuk kontruksi, perpatungan dan pertukangan, kelas kuat dan kelas awet kayunya. Dari 26 jenis tersebut sebanyak 9 jenis perlu mendapat prioritas mengingat status konservasinya telah mulai mengalami proses pelangkaan di alam, yaitu Manilkara kauki (L.) Dub., Dalbergia latifolia Roxb, Lagerstroemia speciosa Pers, Santalum album Linn., Cordia subcordata Lamk., Dysoxylum caulostachyum Miq., Heritiera littoralis Dryand, Mimusops elengi L. dan Murraya paniculata Jack. Tabel 4. Jenis-jenis kayu lokal yang berpotensi untuk dikembangkan di Bali (data didasarkan pada Tabel 1-3). 1
Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.
Akasia
Fabaceae
Altitude (m dpl.) 0-1.000
2
Adenanthera microsperma Teijsm. & Binn.
Segawe
Fabaceae
0-600
3
Aglaia oddoratissima Blume
Kwanitan
Meliaceae
1.500-2.500
4
Cordia subcordata Lamk. 1)
Salimuli
Boraginaceae
600-1.500
Sonokeling
Papilionaceae
600-1.000
Keranji
Fabaceae
200-1.000
Majegau
Meliaceae
0-1.100
Cempaga
Meliaceae
300-700
No.
Nama Ilmiah
5
Dalbergia latifolia Roxb.
6
Dialium indum L.
Nama daerah
1), 2), 5)
7
Dysoxylum caulostachyum Miq.
8
Dysoxylum densiflorum Miq.
9
7)
Famili
Garcinia celebica Linn.
Pradah
Guttiferae
0-200
10
Garcinia mangostana Linn.
Manggis
Guttiferae
500-1.500
11
Gordonia amboinensis (Miq.) Merr.
Reik
Theaceae
1.700-2.300
Dungun
Sterculiaceae
Bungur
Lythraceae
Kepelan
Magnoliaceae
10-500
12
Heritiera littoralis Dryand
4)
13
Lagerstroemia speciosa Pers.
14
Manglietia glauca Blume.
15
Manilkara kauki (L.) Dub.
16
Michelia alba DC.
17
Mimusops elengi L.
1)
1)
8)
18
Murraya paniculata Jack.
19
Myristica longipes Warb.
6)
1), 3), 4)
10-600 700-1.000
Sawo kecik
Sapotaceae
10-500
Cempaka putih
Magnoliaceae
0-900
Tanjung
Sapotaceae
Kemuning
Rutaceae
Mendarahan
Myristicaceae
Cendana
Santalaceae
0-500
240-1.266 0-400 0-1.500
20
Santalum album Linn.
21
Schleichera oleosa Merr.
Kesambi
Sapindaceae
900-1.500
22
Schoutenia ovata Korth.
Walikukun
Tiliaceae
64-1.247
23
Sonneratia alba Smith.
Baropa
Sonneratiaceae
1.000-3.000
24
Terminalia microcarpa Decne.
Kunyit-kunyit
Combretaceae
300-1.500
25
Vitex pubescens Vahl.
Laban
Verbenaceae
0-800
26
Xylocarpus granatum Koen.
Nyirih
Meliaceae
0-1.500
119 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 Keterangan:
1)
Dilindungi (SK. Mentan. 54/Kpts/Um2/1972); (Tumbuhan Langka Indonesia, Mogea, dkk. 2001); dkk. 1993); 8) Rawan (Sarna dkk. 1993)
2) 6)
Genting (IUCN); 3) Rawan (IUCN); 4) Terkikis (WCMC); 5) Jarang Rawan (Tumbuhan Langka Indonesia, Mogea, dkk. 2001); 7) Genting (Sarna
DAFTAR PUSTAKA Abdurrohim, S. Y.I. Mandang, dan U. Sutisna. 2004. Atlas Kayu Indonesia Jilid III. Departemen Kehutanan Balitbang Kehutanan, Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Indonesia. Anonimous. 1976. Indonesian Tropical Hardwoods For The European Market. Direktorat Jendral Kehutanan. Jakarta. Anonimous. 1981. Mengenal Sifat-Sifat Kayu Indonesia dan Penggunaannya. PIKA. Semarang. Anonimous. 2002a. Laporan Inventarisasi Hutan Lindung Kawasan Hutan Silangjana (RTK3) Wilayah Kecamatan Sawan dan Sukasada Kabupaten Buleleng. Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Buleleng. Propinsi Bali. Anonimous. 2002b. Laporan Inventarisasi Hutan Lindung Kawasan Hutan Gunung Mungsu (RTK2) Wilayah Kecamatan Sukasada dan Banjar Kabupaten Buleleng. Propinsi Bali. Anonimous. 2002c. Studi Daya Dukung Habitat Fauna dan Flora Endemik serta Hidrologi di Kawasan Cagar Alam Batukahu Bali untuk Perencanaan Pengusahaan Panas Bumi, LIPI – PERTAMINA, unpublished Report, Jakarta. Anonimous. 2004. Laporan Inventarisasi Hutan Lindung Kawasan Hutan Bali Barat (RTK19) Wilayah Kecamatan Busungbiu Kabupaten Buleleng. Propinsi Bali. Anonimous. 2005a. JenisJenis Kayu di Indonesia Disusun Berdasarkan Nama Perdagangan. Available at http://fwi.or.id/data_hutan/potensi/jenis%20kayu.htm. Opened : 31 Oktober 2005 Anonimous. 2005b. Taman Nasional Bali Barat. Available at http://www.tnbalibarat.com/ kendala_tantangan_kekuatan.html. Opened : 31 Oktober 2005 Anonimous. 2005c. Ecological Species Grouping For Forest Management in East Kalimantan. Available at www.dephut.go.id/informasi/PH/BFMP/ceb 03.pdf. Opened : 31 Oktober 2005. Anonimous. 2005d. Lembar daerah Provinsi daerah Tingkat I Bali No. 169 Tahun : 1999. Seri : D No. 168. Penetapan Kelas dan Kualitas Kayu Serta Harga Dasar Kayu dan Hasil Hutan Lainnya. Available at http://www.bali.go.id/perda/1999/5-169-99.pdf. Opened : 31 Oktober 2005. BAPPENAS, 1993. Biodiversity Action Plan for Indonesia, Jakarta. Heyne, K, 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia. Jilid I-IV. Terjemahan Badan Litbang Kehutanan. Jakarta. Lemmens, R.H.M.J. Soerianegara dan Wong W.C. 1995. Plant Resources of South East Asia 5 (2) Timber trees: Minor commercial timbers. Prosea, Bogor. Indonesia. Mogea, J.P., D. Gandawidjaja, H. Wiriadinata, R.E. Nasution, dan Irawati, 2001. Tumbuhan Langka Indonesia. Puslitbang Biologi-LIPI. Bogor. Indonesia. Riswan, S. dan H. Sutarno. 1997. Latihan Mengenal Pohon Hutan: Kunci Identifikasi dan Fakta Jenis. Prosea. Bogor Indonesia. Sarna, K., I M. Rideng dan N. Sumardika. 1993. Laporan Penelitian, Inventarisasi dan Pelestarian Tanaman Langka di Bali Dalam Usaha Menunjang Obyek Wisata dan Studi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Udayana (tidak dipublikasikan). Siregar, M. 1990. Struktur dan Komposisi Flora Pohon di Gunung Tapak, Bali. Pros. Sem. Biol. Das. I. Peranan Biol. Dasar dalam Pengembangan IPTEK. Puslitbang Biologi-LIPI, Bogor 14 Februari 1989: 88-101. Siregar, M, G. Somaatmadja dan D. Darnaedi. 1997. Keanekaragaman flora Bukit Raya Bagian Utara, Kalimantan Barat. Pros. Seminar Nas. Konservasi Flora Nusantara, Bogor. p.107115. Siregar, M., I.N. Lugrayasa, IBK. Arinasa dan D. Mudiana. 2004. An Alphabetical List Of Plant Species Cultivated In ‘Eka Karya’ Bali Botanic Garden, Bali Botanic Garden Catalogue. Indonesian Institute of Sciences Indonesian Botanic Garden. Bali. Indonesia. Soerianegara and R.H.M.J, Lemmens, 1994. Plant Resources of South East Asia 5 (1) Timber trees : Major commercial timbers. Prosea, Bogor. Indonesia. Sutarno, H., R.E. Nasution, dan E. Soedijoprapto. 1995. Pohon Kehidupan. Prosea. Bogor. Indonesia. Yamada, I. 1975. Forest Ecological Studies of The Montane Forest of Mt. Pangrango. West Java. 1. Stratification and Floristic Composition of The Montane Rain Forest Near Cibodas. Tonan Ajia Kenkyu (The South East Asian Studies) 13(3):400-426 120 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
MAKALAH PENUNJANG
121 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
KAJIAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL BALI BARAT Oleh : Eritrina Windyarini
ABSTRAK Berdasarkan Undang-Undang No. 51/1990 Taman Nasional diartikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Pengelolaan Taman Nasional Bali Barat sangat membutuhkan dukungan dan peran serta berbagai pihak guna mengoptimalkan kawasan sesuai dengan fungsinya, yaitu perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari. Hal ini mengharuskan Taman Nasional Bali Barat memperhatikan faktor lain di luar batas kawasannya. Kegiatan yang berlangsung pada bulan Juli-September 2004 ini dimaksudkan untuk mengkaji pengelolaan kawasan Taman Nasional Bali Barat. Metode yang digunakan adalah studi pustaka, wawancara, dan observasi. Taman Nasional Bali Barat memiliki enam kegiatan pokok pengelolaan, yaitu penataan kawasan, pembinaan daya dukung kawasan, pemanfaatan kawasan, perlidungan dan pengamanan potensi kawasan, koordinasi dan integrasi, serta pembangunan sarana dan prasarana yang dalam pelaksanaanya menemui beberapa hambatan dan kekuatan. Secara keseluruhan kegiatan pengelolaan ini sangatlah kompleks karena melibatkan banyak pihak dengan berbagai peran dan kepentingan yang berbeda. Untuk itu pengembangan TNBB ke depannya diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat serta efisiensi pengelolaan dan menjamin keberlanjutan sumber daya alam melalui pengelolaan bersama. Pengelolaan bersama ini mengacu pada suatu bentuk kerjasama, dimana pihak yang berkepentingan setuju untuk saling berbagi peran dalam manajemen, hak, dan tanggungjawab atas suatu kawasan. Dengan pengelolaan bersama ini diharapkan kawasan dapat menjadi lebih efisien dan efektif dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kata kunci : pengelolaan, Taman Nasional Bali Barat
I. PENDAHULUAN A.Latar Belakang Berdasarkan Undang-Undang No. 51/1990 Taman Nasional diartikan sebagai kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Pengelolaan Taman Nasional Bali Barat yang didasarkan atas asas pelestarian kemampuan dan pemanfaatan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara serasi dan seimbang bertujuan untuk : •
Melestarikan kehidupan, pengawetan, penganekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya
•
Memanfaatkan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya secara optimal sehingga dapat dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, dan pendidikan penunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi
Umumnya setiap lokasi kawasan Taman Nasional ditunjuk dan ditetapkan untuk kepentingan pengelolaan perlindungan, pengawetan dan pelestarian dari keperwakilan keragaman hayati, komunitas atau ekosistem yang sangat khas dan spesifik. Berdasarkan tujuan serta memperhatikan spesifikasi potensi dan permasalahan yang ada, pengelola kemudian merumuskan strategi dan kebijakan pengelolaan yang harus dilaksanakan.
122 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kebijaksanaan pembangunan Taman Nasional Bali Barat tidak terlepas dari kebijaksanaan pembangunan wilayah pemerintah kabupaten Jembrana dan Buleleng, khususnya atau propinsi Bali pada umumnya, dimana Bali dan kepedulian lembaga baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat akan pentingnya Taman Nasional serta karakteristik kebutuhan dan penggunaan lahan oleh masyarakat tersebut. Dengan demikian dalam pelaksanaannya pengelolaan Taman Nasional menjadi sangat kompleks dan rumit karena mencakup banyak pihak dengan berbagai kepentingan yang saling berkaitan, sehingga tidak mungkin hanya ditangani oleh satu institusi saja. Bahkan pengelolaan Taman Nasional Bali Barat sangat membutuhkan dukungan dan peran serta berbagai pihak guna mengoptimalkan kawasan sesuai dengan fungsinya, yaitu perlindungan, pengawetan, dan pemanfaatan secara lestari. Balai Taman Nasional Bali Barat ditetapkan dengan SK Menhut No. 185/Kpts-II/1997 tanggal 31 Maret 1997 dengan luas kawasan 19.002,89 ha. Secara geografis kawasan ini terletak pada 08005’30’’ - 08017’20’’ LS dan 114056’30’’ BT dan secara administrastif termasuk dalam Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana dan Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng. Secara umum, kondisi topografi Taman Nasional Bali Barat terdiri dari daerah pegunungan hingga perairan, dengan variasi ketinggian yang cukup beragam dan didominasi tanah jenis latosol. Sementara itu kondisi iklim yang tropis lebih dipengaruhi oleh letak geografisnya. TNBB merupakan habitat asli burung endemik dan langka, yaitu Jalak Bali (Leucopsar rothchildi), namun secara umum kawasan ini kaya akan potensi flora dan fauna yang beragam baik di daratan maupun di wilayah perairan sesuai dengan kondisi wilayah yang berada di daerah ekoton garis wallacea. (Dartosoewarno, 2003). Kegiatan pengelolaan yang dilakukan merupakan implementasi dari rencana pengelolaan yang telah disusun sebelumnya, baik rencana jangka panjang, menengah,maupun jangka pendek, dimana proses penyusunan dan pembahasannya telah dikomunikasikan, dipahami dan mendapat dukungan pelaksanaan dari stakeholder terkait. Dengan demikian pengelolaan TNBB harus bersifat dinamis untuk bisa mengakomodir perubahan-perubahan yang terus terjadi baik di dalam maupun di luar kawasannya. Untuk itu masukan ataupun saran dari berbagai pihak sangat diperlukan guna kepentingan efektivitas pengelolaan serta implikasinya terhadap kelangsungan dan eksistensi pengelolaan TNBB. B. Maksud Kegiatan Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengkaji pengelolaan Taman Nasional Bali Barat sebagai bahan masukan bagi perencanaan pengelolaan di masa yang akan datang.
II. BAHAN DAN METODE A. Bahan Bahan yang digunakan adalah alat tulis, laporan kegiatan, peta kerja, rencana strategis perencanaan dan pengelolaan kawasan, data kondisi umum kawasan dan monografi desa penyangga. B. Metode Kegiatan berlangsung dari bulan Juli-September 2004 di Balai Taman Nasional Bali Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, wawancara, dan observasi. Data yang berhasil dikumpulkan kemudian ditabulasikan dan dikelompokkan sesuai dengan kelompok sejenis. III. HASIL DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Taman Nasional Bali Barat berlandaskan kepada UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya AlamHayati dan Ekosistem beserta peraturan pelaksanaannya, serta pasal 5 ayat
123 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
1, pasal 20 ayat 1, pasal 33 UUD 1945, UU No. 5 Tahun 1967, UU No. 4 Tahun 1982, UU No. 20 Tahun 1982, dan UU No. 9 Tahun 1985. Kegiatan pokoknya antara lain meliputi :
A. Penataan Kawasan Penataan kawasan merupakan upaya pokok rencana kegiatan TNBB yang utama sebelum rencana kegiatan lainnya dilakukan. Karena dengan tertatanya kawasan maka pemanfaatan fungsi kawasan dapat dikelola secara optimal. Kegiatannya mencakup: Tata batas kawasan Membuat batas kawasan TNBB secara permanen dan bertahap. Adanya tata batas kawasan ini bertujuan untuk memberikan kepastian mengenai batas wilayah kerja yang memiliki kekuatan hukum. Pembagian Zonasi Berdasarkan SK Dirjen PHPA No. 186 Tahun 1999 TNBB terbagi menjadi zona inti, zona rimba, zona pemanfaatan intensif, dan zona budaya. Kegiatan pemantapan kawasan juga dilakukan oleh TNBB melalui pengukuhan dan penataan batas, baik teritorial kewenangan wilayah dan fungsi, maupun dengan pemeliharaan pal batas dan tanda batas kawasan termasuk rekonstruksinya.
B. Pembinaan Daya Dukung Kawasan Daya dukung kawasan merupakan bagian yang paling potensial bagi setiap Taman Nasional, termasuk TNBB. Pembinaan daya dukung kawasan ini meliputi kegiatan : Inventarisasi dan identifikasi potensi kawasan dan upaya penanganan hasil-hasilnya melalui data base. Pengembangan system pemantauan, evaluasi dan pelaporan kondisi kawasan dan potensinya Pembinaan habitat dan populasi (khususnya Jalak Bali) Program pemulihan populasi liar Jalak Bali melalui penangkaran dan peliaran ke habitat Penyediaan plasma nutfah untuk menunjang kegiatan budidaya Rehabilitasi kawasan Pemakaian kawasan sebagai tempat pengayaan dan penangkaran jenis kepentingan penelitian, pembinaan habitat dan populasi dan rehabilitasi kawasan.
C. Pemanfaatan Kawasan Pemanfaatan kawasan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosisem TNBB ditujukan untuk (1) penelitian, sehingga TNBB menjadi laboratorium bagi peneliti untuk mengembangkan ilmu pengetahuan; (2) pendidikan, sehingga TNBB menjadi tempat pendidikan utnuk meningkatkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan bagi anak didik maupun pendidiknya; (3) rekreasi, sehingga TNBB menjadi tempat rekreasi masyarakat sekaligus sebagai media pendidikan bagi masyarakat; (4) wisata alam, di beberapa zona dapat dibangun fasilitas wisata. Pemanfaatan kawasan TNBB sebagai tempat penelitian dan pendidikan antara lain memiliki kegiatan: Identifikasi objek-objek penelitian dan pendidikan mengenai tumbuhan, satwa, ekosistem, dan social ekonomi, budaya masyarakat setempat Penyiapan pelayanan dan materi penelitian dan pendidikan Penyiapan data base informasi kegiatan penelitian dan pendidikan
124 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Penyusunan rencana dan skala prioritas kegiatan penelitian dan pendidikan Pengembangan bentuk kerjasama dalam kegiatan penelitian dan pendidikan Pengembangan system dokumentasi, publikasi, dan promosi Sedangkan kegiatan pemanfaatan kawasan sebagai tempat rekreasi dan wisata alam meliputi : Inventarisasi dan identifikasi objek dan daya tarik wisata dan rekreasi alam dalam kawasan Inventarisasi, identifikasi dan analisis social ekonomi dan budaya masyarakat, kecenderungan pasar, kebijaksanaan sektor kepariwisataan daerah dan ketersediaan sarana dan prasarana pendukung yang berada di sekitar kawasan. Peningkatan peranserta masyarakat sekitar kawasan dalam kesempatan dan peluang usaha dan kerja untuk peningkatan kesejahteraan Penjagaan keunikan dan keindahan alam serta mutu kondisi lingkungan sumber daya alam hayati dan ekosistemnya Pemasaran objek wisata alam dan pengusahaannya Pengembangan pariwisata alam juga tengah dilakukan oleh TNBB. Karena kawasan TNBB selain memiliki keanekaragaman sumber daya alam hayati dan ekosistemnya juga beragam kehidupan sosial budayanya yang berpeluang sebagai objek daya tarik wisata, yang juga upaya menciptakan alternatif kompensasi untuk memperoleh pendapatan masyarakat lokal/daerah dari kegiatan proteksi sebagai awal upaya konservasi. Untuk mendukung kegiatan pariwisata alam juga disediakan sarana dan prasarana, antara lain : Wisma cinta alam, Bumi perkemahan, Resort dan rumah penginapan, Perahu, Tempat persembahyangan, Pusat informasi, Dermaga, Shelter (tempat istirahat), Peralatan selam, Pos jaga, Menara pengamat, Pondok penelitian, dan Guide/pemandu wisata. Berdasarkan surat keputusan Kepala BTNBB No. 523/Kpts/IV-BTNBB/2002 tanggal 30 April 2002 pada saat ini di TNBB terdapat 25 orang pemandu yang berkedudukan di pusat informasi BTNBB di Cekik maupun yang berkedudukan di Labuhan lalang. Setiap orang yang bermaksud untuk melakukan kegiatan di dalam kawasan TNBB harus dilengkapi dengan Surat Ijin Masuk Kawasan Konservasi (Simaksi). Pengunjung masyarakat local dengan tujuan khusus untuk bersembahyang atau ziarah ke pura di kawasan TNBB tidak dipungut karcis masuk kawasan. Pungutan karcis masuk untuk pengunjung ke kawasan TNBB tersebut masih mengacu pada SK Mentri Kehutanan No. 878/Kpts-II/1992 tanggal 8 September 1992. Setiap pengunjung ke TNBB kecuali pengunjung untuk tujuan ziarah atau persembahyangan dikenakan biaya Rp. 2.000,- untuk wisman dan wisnu, sedangkan untuk mahasiswa/siswa atau rombongan yang akan melakukan aktivitas penelitian dipungut Rp. 1000,- dengan asuransi Rp 500,-. Pendistribusian karcis masuk berdasarkan SK Menhut 878/Kpts-II/1992 dengan perimbangan : 40% untuk Pemkab (Buleleng atau Jembrana) 30% untuk Pemprop Bali 15% untuk Kas Negara 15% untuk Departemen Kehutanan Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 18 tahun1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata, pada saat ini di Taman Nasional Bali Barat terdapat 3 Perusahaan Pariwisata Alam (PPA) yang sudah mendapatkan Izin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA) yaitu : PT. Shorea Barito Wisata, PT. Trimbawan Swastama Sejati, dan PT. Disthi Kumala Bahari. D. Perlindungan dan Pengamanan Potensi Kawasan
125 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Upaya perlindungan kawasan TNBB bertujuan agar segala sesuatu yang ada dalam TNBB baik flora maupun fauna tetap utuh dalam arti kuantitas maupun kualitas. Sedangkan pengamanan adalah wujud dari kegiatan yang timbul dari keinginan melindungi kawasan dari gangguan, baik gangguan oleh manusia yang bermukim di sekitar kawasan TNBB, maupun upaya preventif dari gangguan alami. Perlindungan dan pengamanan merupakan titik berat kegiatan di TNBB mengingat banyaknya tindakan pelanggaran yang terus menerus terjadi. Kegiatannya antara lain meliputi : Perlindungan dan pengamanan fisik kawasan Identifikasi daerah-daerah rawan gangguan Sosialisasi batas kawasan Pengembangan kemitraan Pemasangan tanda-tanda larangan atau pengumuman Penegakan hukum Pencegahan kebakaran Pengendalian dan atau pemusnahan hama dan penyakit dan jenis gangguan lainnya setelah melalui atau berdasarkan hasil pengkajian.
E. Koordinasi dan Integrasi Koordinasi dengan lintas sektoral yang melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholder) sejak penyusunan rencana pengelolaan sampai pada tahap pelaksanaan pengelolaan kawasan dan pengembangannya. Bersama organisasi pemerintah dan non pemerintah, baik dalam maupun luar negri dan masyarakat mengembangkan kemitraan dalam bentuk pembangunan sarana dan prasaran pengelolaan, promosi penelitian, pendidikan, wisata alam, dan kegiatan pemanfaatan potensi kawasan untuk kegiatan budidaya, public awarness baik melalui jalur resmi maupun informal, tentang fungsi, tujuan dan manfaat konservasi khususnya keberadaan taman nasional. Pembinaan daerah penyangga dititikberatkan pada peningkatan keterlibatan masyarakat dalam pengembangan wisata alam dan pemanfaatan plasma nutfah untuk menunjang budidaya. Membina suatu program bersama pemangku kawasan hutan dan pesisir untuk dapat mengintegrasikan suatu ekosistem kawasan sesuai fungsinya bagi kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan sesuai dengan zonasinya sebagai zona inti, rimba, pemanfaatan wisata alam, produk penyangga konservasi, baik melalui manajemen kolaborasi atau manajemen peran sesuai dengan otoritas kewenangan dan tanggung jawab yang bermuara kepada pengelolaan konservasi lingkungan dan kehidupan ciptaan Tuhan.
F. Pembangunan sarana prasarana Keberhasilan pengelolaan TNBB tidak bias terlepas dari keberadaan sarana dan prasarana. Sebagaimana layaknya pengembangan dan pengelolaan suatu kawasan, TNBB juga memerlukan sarana dan prasarana. Dan sampai saat ini pengelola TNBB telah mengembangkan sarana prasarana searah dengan tujuan pengembangan TNBB pada umumnya termasuk pemeliharaannya, yang terdiri dari sarana dan prasarana pokok pengleolaan, sarana dan prasarana wisata alam, sarana dan prasarana penunjang, antara lain Kantor pengelola, Pondok kerja/jaga/penelitian, Jalan patroli, Pusat informasi, Wisma cinta alam, Menara pengawas kebakaran, Menara pengintaian satwa, Peralatan navigasi, Peralatan komunikasi, ,Peta-peta dasar dan kerja, Transportasi,Perlengkapan kerja di perairan, Fasilitas penangkaran, Kandang transit satwa atau karantina, Fasilitas rekreasi alam, dll.
126 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Dalam perjalanannya, pengelolaan TNBB ternyata menghadapi beberapa hambatan. Hal ini merupakan suatu kewajaran karena merupakan masalah klasik yang belum juga mendapat pemecahan yang tepat dan hampir dialami oleh semua Taman Nasional lain. Antara lain : Meningkatnya tekanan masyarakat sebagai akibat dari rendahnya kesadaran konservasi dan kondisi sosial ekonomi. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari jumlah penduduk yang terus meningkat namun tidak diimbangi oleh peningkatan ketersediaan lahan bagi pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Ini terjadi tidak hanya pada areal TNBB yang berbatasan langsung dengan pemukiman penduduk, tetapi juga yang jauh dari kawasan. Pengambilan kayu bakar, pakan ternak, dan penggembalaan liar dalam kawasan kerap dijumpai. Sedang di kawasan perairan terlihat banyak sampah-sampah di sepanjang pesisir pantai sebagai dampak aktivitas keseharian masyarakat. Terbukanya aksesibilitas seringkali disalahgunakan untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan ganggungan fisik dan kualitas kawasan. Belum terkoordinasinya batasan dan aturan yang jelas tentang pemanfaatan kawasan, baik oleh Departemen Kehutanan sendiri, instansi lain, pemerintah daerah, pihak swasta, LSM, maupun masyarakat. Aturan perijinan dan sistem peredaran kayu, ikan hias, dan terumbu karang yang belum dapat mengakomodir aspirasi masyarakat akan semakin mendesak kawasan konservasi setelah potensi hutan produksi habis. Namun penetapan aturan maupun batasan ini harus diikuti dengan penegakan hukum yang dapat memberikan efek jera bagi pelakunya. Hal ini penting karena selama ini pelanggaran yang sering terjadi selalu berulang-ulang karena sanksi atau hukuman yang diberikan belum efektif untuk membuat mereka jera. Keterbatasan dana konservasi. Terlebih konservasi merupakan investasi jangka panjang yang membutuhkan dana tidak sedikit. Padahal di sisi lain, kegiatan konservasi tidak mempunyai nilai pengembalian keuntungan yang langsung. Untuk itu dibutuhkan kesadaran yang tinggi dari berbagai pihak dalam penggalangan dananya. Keterbatasan dana ini berakibat pada pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana yang juga terbatas. Sehingga diperlukan kearifan dalam mengelolanya, misalnya dengan menggunakan skala prioritas. Pengelolaan kawasan laut yang belum optimal. Selama ini pengelolaan TNBB cenderung dititikberatkan di daratan. Padahal kawasan ini memiliki panorama bawah laut yang indah dan menjadi daya tarik bagi wisatawan. Data dan informasi yang masih tersebar. Kondisi ini sedikit banyak akan mempengaruhi kegiatan pengelolaan. Oleh karena itu pembuatan data-base sudah menjadi suatu keharusan. Kualitas SDM dari pengelola sendiri, baik teknis maupun non-teknis seperti motivasi dan kedisiplinan kerja yang belum merata. Adanya hambatan-hambatan seperti paparan di atas harus dapat disikapi dengan bijaksana oleh BTNBB. Bahkan bila mungkin hambatan tersebut diolah sehingga justru dapat bermanfaat dalam pengelolaan kawasan. Untuk mengatasinya, BTNBB sebaiknya memulai dari diri sendiri sebagai pihak pengelola. Kendala internal seperti kualitas SDM dan tersebarnya data dan informasi harus diselesaikan terlebih dahulu. Disinilah kemampuan manajerial pengelola berperan. Kualitas SDM misalnya, pengelola (dalam hal ini pimpinan) sangat berperan dalam memotivasi staf dan karyawannya untuk meningkatkan kemampuan teknis dan non-teknisnya sesuai dengan tupoksi masing-masing personil. Antara lain dengan memberikan contoh langsung, maupun pemberian ’reward’ pada staf/karyawan yang berprestasi. Sedangkan untuk me-manajemen kembali data dan informasi yang masih tersebar diperlukan kerjasama dari seluruh personil BTNBB. Dengan demikian perlu adanya kesadaran dan penyatuan visi bahwa database ini bertujuan untuk kemajuan bersama. Sehingga data dan informasi yang dimiliki masing-masing personil dapat dikumpulkan untuk kemudian disusun menjadi suatu data-base. Bila perlu dibuat suatu
127 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
seksi/bagian yang khusus menangani data-base, sehingga input dan out put data dan informasi dapat melalui satu pintu saja.Hal ini akan memudahkan pengguna yang membutuhkan, tidak hanya pengelola sendiri, tetapi juga pihak lain, seperti perguruan tinggi atau LSM yang ingin melakukan penelitian. Kesadaran untuk berbagi inilah yang masih harus ditingkatkan di BTNBB. Hambatan lain yang bersinggungan dengan stakeholder terkait seperti instansi pemerintah, pemerintah daerah, pihak swasta, LSM, maupun masyarakat harus disikapi dengan lebih hati-hati. Koordinasi dan integrasi vertikal dan horisontal dengan berbagai pihak merupakan ‘kunci’ untuk mengatasinya. Karena pengelolaan yang cenderung soliter dan sektoral terbukti telah menjadi salah satu hambatan dalam mewujudkan pelestarian alam, baik di dalam maupun di luar kawasan. Dan itu bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Kawasan TNBB dengan ‘Jalak Bali’ dan keindahan panoramanya telah berusaha untuk membangun kerjasama dengan berbagai pihak. Masih banyaknya kepentingan berbagai pihak pada keberadaan dan kelestarian TNBB, seperti pihak swasta yang beraktivitas di TNBB, masyarakat sekitar yang yang merasakan langsung keuntungan dari keberadaan TNBB, maupun LSM-LSM pemerhati TNBB yang terus menerus memberikan dukungan, berupa dorongan, koreksi, maupun kritikan terhadap pengelolaan TNBB merupakan suatu kekuatan bagi kesinambungan pengelolaan TNBB sendiri. Salah satu bentuk kerjasama konkrit yang dihasilkan adalah pembentukan Forum Komunikasi Masyarakat Peduli Pesisir (FKMPP) yang terdiri dari elemen BTNBB, WWF, masyarakat, serta Pengusaha Pariwisata Alam (PPA). Forum komunikasi ini memfokuskan diri pada pengelolaan di kawasan perairan. FKMPP terbukti dapat berkontribusi cukup baik dalam pengelolaan perairan TNBB. Antara lain dalam sosialisasi dan penegakan ‘Code of Conduct’. Keberadaan FKMPP hendaknya memacu peningkatan pengelolaan perairan TNBB, setidaknya penataan batas kawasan dan inventarisasi potensi sebagai langkah awal. Pembentukan forum seperti ini juga diperlukan untuk mendukung pengelolaan kawasan di darat. Forum komunikasi yang sudah terbentuk ini hendaknya juga mendapat dukungan dari instansi pemerintah seperti BKSDA, Dinas Kehutanan, aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman) dan lain sebagainya. Khususnya berkaitan dengan perdagangan satwa, seperti jalak Bali, ikan hias, dan terumbu karang. Karena jaringan inilah yang kemudian menyediakan pasar dan permintaan akan satwa yang pada akhirnya menimbulkan pencurian dari dalam kawasan. TNBB. Berkaitan dengan keterbatasan dana konservasi, adanya dukungan politis dan pendanaan bagi TNBB dari luar negri masih mempunyai banyak harapan. Potensi kawasan TNBB sebagai obyek tujuan kunjungan wisatawan dapat digali dana konservasi
yang sangat diperlukan di dalam pengelolaan
kawasan, baik di darat maupun perairan. Sedangkan untuk menyiasati terbatasnya sarana dan prasarana, maka kegiatan pemeliharaan pada sapras yang telah ada perlu diintensifkan. Bahkan bila mungkin dilakukan pengembangan kreativitas untuk mendaur ulang sarana-prasarana tersebut. Untuk meminimalkan tekanan masyarakat pada kawasan TNBB, pihak pengelola juga telah berulang-ulang melakukan pembinaan, terutama di desa-desa penyangga yang ada di sekitar kawasan. Meski demikian, hingga saat ini belum diperoleh hasil yang optimal karena masih lebih bersifat keproyekkan. Untuk itu masih perlu dicari format pembinaan yang paling tepat sehingga dapat mencapai sasaran, yaitu meminimalkan tekanan pada kawasan sekaligus menumbuhkan kesadaran konservasi pada desa-desa penyangga. Pada akhirnya pengembangan TNBB ke depannya diharapkan mampu meningkatkan apresiasi masyarakat serta efisiensi pengelolaan dan menjamin keberlanjutan sumber daya alam melalui pengelolaan bersama. Pengelolaan bersama ini mengacu pada suatu bentuk kerjasama, dimana pihak yang berkepentingan setuju untuk saling berbagi peran dalam manajemen, hak, dan tanggungjawab atas suatu
128 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
kawasan. Dengan pengelolaan bersama ini diharapkan kawasan dapat menjadi lebih efisien dan efektif dan berkelanjutan sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dalam pengelolaannya Taman Nasional Bali Barat sebagai salah satu kawasan konservasi dituntut untuk dapat menyeimbangkan prinsip-prinsip perlindungan, pelestarian, dan kepentingan pemanfaatan secara tepat. Enam kegiatan pokok dalam pengelolaan TNBB adalah penataan kawasan, pembinaan daya dukung kawasan, pemanfaatan kawasan, perlidungan dan pengamanan potensi kawasan, koordinasi dan integrasi, serta pembangunan sarana dan prasarana. Adanya hambatan dalam pengelolaan membutuhkan sikap yang bijaksana untuk menyikapinya. Potensi alam, flora dan fauna, serta dukungan dan perhatian berbagai pihak pada kawasan TNBB hendaknya dapat diolah sedemikian rupa oleh BTNBB sehingga dapat mengatasi hambatan dan mencapai pengelolaan yang optimal. B. Saran Beberapa saran yang mungkin bisa menjadi masukan bagi pengelolaan TNBB antara lain sebagai berikut : 1. Meningkatkan pengelolaan di kawasan laut, setidaknya penataan batas kawasan dan inventarisasi potensi sebagai langkah awal. 2. Meningkatkan koordinasi dengan lebih menyamakan persepsi tentang batasan dan aturan pemanfaatan kawasan konservasi, terlebih dengan banyaknya dukungan dari berbagai pihak. 3. Memperbaiki manajemen data dan informasi yang ada di TNBB. Karena hal ini akan memudahkan pengguna, baik dari pengelola sendiri, maupun pihak luar yang sekaligus dapat menjadi media promosi bila dikemas dalam bentuk yang menarik, seperti compact-disc, buku saku, dll. DAFTAR PUSTAKA
Aninomous. 2002. Rencana Strategis Balai Taman Nasional Bali Barat Tahun 2002-2006. BTNBB. Cekik __________ 2003. Laporan Tahunan Balai Taman Nasional Bali Barat. BTNBB. Cekik. __________ 2000. Laporan Pembinaan Daerah Penyangga di Kelurahan Gilimanuk, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Proyek Pemantapan Pengelolaan TNBB. Cekik. __________ 2001. Rancangan Pembinaan Daerah Penyangga di Desa Melaya Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Proyek Pemantapan Pengelolaan TNBB. Cekik. __________ 1999. Rancangan Pembinaan Daerah Penyangga di Desa Blimbingsari Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Proyek Pemantapan Pengelolaan TNBB. Cekik. __________ 1999. Rancangan Pembinaan Daerah Penyangga di Desa Ekasari Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana. Proyek Pemantapan Pengelolaan TNBB. Cekik. __________ 2003. Data Monografi Desa Pejarakan. __________ 1997. RKD Balai Taman Nasional Bali Barat Tahun 1997-2022. BTNBB. Cekik. __________ 2004. Panduan Kegiatan Magang CPNS di Taman Nasional Departemen Kehutanan. Jakarta. Dartosoewarno, S. 2003. Data Dasar Taman Nasional Bali Barat. BTNBB. Cekik. _________ 2003. Pola Pengelolaan Balai Taman Nasional Bali Barat. BTNBB. Cekik. __________ 2003. Napak Tilas Perjalanan Sejarah Balai Taman Nasional Bali Barat. BTNBB. Cekik. Putri, D.N. 2003. Pengelolaan Kawasan Konservasi di Taman Nasional Bali Barat. Laporan PKL. IPB. Bogor. Wiratno, dkk. 2004. Berkaca di Cermin Retak; Refleksi Konservasi dan Implikasi Bagi Pengelolaan Taman Nasional. Edisi 2. The Gibbon Foundation Ind, PILI-NGO Movement. Jakarta.
129 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
KAJIAN TEKNIK PENANGKARAN PENYU DI BALI Oleh : Mariana Takandjandji,Edy Sutrisno ABSTRAK Penyu merupakan reptil laut yang menarik karena mampu beradaptasi dengan baik untuk hidup di perairan laut. Di samping itu, penyu bersifat amphibious, di mana dapat menempuh hidup pada dua habitat yang berbeda. Biasanya penyu hidup di perairan laut dangkal kecuali lahir dan bertelur. Untuk mengkaji teknik penangkaran penyu di Bali, perlu diketahui potensi, penyebaran, bio-ekologi penyu dan statusnya serta kebijakan pemerintah terhadap upaya yang telah dilakukan. Namun permasalahan yang muncul dalam kajian tersebut adalah adanya penangkapan penyu yang dilakukan secara besar-besaran sehingga populasi menurun, baik kualitas maupun kuantitas. Pembinaan yang telah dilakukan antara lain melalui upaya perlindungan penyu dari kepunahan. Upaya tersebut ditempuh dengan cara melindungi penyu dari gangguan manusia dengan cara membuat undang-undang yang melindungi penyu, dan upaya penambahan populasi penyu melalui penangkaran/budidaya. Kata kunci : Penangkaran, penyu, reptil, amphibious, bio-ekologi
I.PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyu merupakan reptilia yang memiliki nilai ekonomi tinggi karena dapat menghasilkan daging, telur, dan karapas. Di samping itu, penyu mempunyai peranan menjaga keseimbangan fungsi ekologi dan keanekaragaman genetika. Namun di sisi lain, penyu merupakan salah satu jenis sumberdaya hayati laut, yang telah terancam punah. Apabila spesies ini punah, akan terjadi erosi genetika yang mengakibatkan tidak seimbangnya tatanan ekologi perairan laut. Pemanfaatan penyu telah lama dilakukan manusia, sebagai sumber pemenuhan kebutuhan protein dan bahan kerajinan. Penyu yang terdapat di perairan laut Indonesia sebanyak 6 spesies, yakni penyu sisik, sisik semu, belimbing, pipih, tempayan, dan penyu hijau. Sedangkan penyu yang ada di dunia, sebanyak 7 spesies. Penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu daging/penyu hijau (Chelonia mydas) adalah 2 jenis penyu yang penyebarannya terdapat di perairan pantai di wilayah pulau Bali. Populasi ke dua jenis penyu tersebut sangat memprihatinkan isebabkan oleh penangkapan yang sudah berlangsung sangat lama dan tidak terkendali. Di samping penangkapan, penurunan populasi penyu juga disebabkan oleh menurunnya kualitas dan kuantitas habitat. Pesatnya pembangunan di sekitar kawasan pantai yang menjadi tempat bertelurnya penyu dan perdagangan penyu, juga semakin mempercepat proses menuju 130 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
kepunahan penyu.
Permintaan daging penyu di Bali yang sangat tinggi untuk memenuhi
konsumsi tradisional, upacara adat dan perayaan agama juga turut mengancam keberadaan spesies ini. Apabila kondisi ini berlangsung terus tanpa terkendali, dikuatirkan populasi penyu di Bali akan semakin menurun bahkan akan menuju ke arah kepunahan. Akibat populasi penyu yang semakin berkurang/menurun, semua jenis penyu yang terdapat di Indonesia telah dilindungi oleh Undang-undang. Upaya perlindungan penyu dari kepunahan ditempuh dengan 2 cara, yakni upaya perlindungan, yang melindungi penyu dari gangguan manusia, dan upaya penambahan populasi penyu melalui penangkaran. Upaya yang pertama ditempuh dengan cara membuat undang-undang yang melindungi penyu dan upaya ke dua ditempuh melalui teknik-teknik budidaya. B.Tujuan dan Sasaran Penelitian : Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji dan mengetahui teknik penangkaran penyu di Bali, serta mengetahui respon masyarakat terhadap upaya-upaya perlindungan /penangkaran penyu. Sedangkan sasaran penelitian ini adalah : 1. tersedianya data potensi dan penyebaran penyu di Bali 2. tersedianya data/informasi ilmiah tentang status kegiatan penangkaran penyu di Bali 3. teridentifikasinya faktor-faktor baik teknis maupun sosial ekonomi dan budaya serta kebijakan yang dapat mendukung/menghambat kegiatan penangkaran penyu II. TINJAUAN PUSTAKA Penyu merupakan reptile laut yang menarik karena kemampuannya dapat berdaptasi dengan baik untuk hidup diperairan laut. Penyu bersifat amphibi yakni dapat menempuh hidup pada dua habitat yang berbeda. Biasanya penyu hidup di perairan laut dangkal kecuali lahir dan bertelur (Nuitja, 1992). Dengan bentuk tubuh yang tidak menahan arus air dan lengan seperti sirip (flipper), penyu mampu berenang untuk jarak jauh dalam waktu singkat. Ketika aktif, penyu berenang dipermukaan klaut untuk bernafas tiap 5 menit dan pada saat beristirahat, penyu berada dibawah air selama 2 jam tanpa bernafas (anonim, 2000) Menurut Reksodiharjo (1996), didunia terdapat 7 jenis penyu dan 6 diantaranya yang terbagi dalam 2 famili ditemukan diperaiaran Indonesia. Keenam penyu tersebut yaitu penyu lekang/sisik semu (Lepidochelys olivacea; Chelonidae); penyu sisik (eretmochelys imbrata; Cheloniidae), penyu pipih), Natator depressa; chelonidae, penyu tempayan (carettacaretta, chelonidae); penyu hijau (Chelonia myda, chelonidae), penyu belimbing (Dermochelys coriacea; Dermochelydae). Ciri-ciri biologis penyu antara lain tubuh memilki kotak pelindung tubuh yang disebut theca. Theca tersusun atas uda lapisan, yaitu: lapisan tanduk yang tipid disebelah luar yang disebut lamina dan lapisan tulang yang tebal disebelah dalam (Bustrad, 1972). Kedua lapisan tersebut terdiri atas kepingan-kepingan yang saling berhubungan. Selnjutnya dikatakan theca terdiri dari 2 bagian yaitu bagian dorsal (karapa) dan bagian bagian ventral (Plastron)
131 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Penyu tidak mempunyai gigi tetapi menyerupai paruh yang snagat tajam (Reksodihardjo, 1996). Slain itu, penyu memiliki tungkai yang telah berubah bentuk menjadi kaki sirip (flipper) lebar untuk berenang. Tungkai depan berkembang baik secara khusus dan merupakan alat utama untuk mendorong. Penyu juga memiliki indera penglihatan, perasa dan peraba. Perbedaan antar jenis penyu dapat dilihat dari bentuk sisik dan jumlah sisik pada theca. Sepanjang hidupnya, penyu berada didalam laut kecuali lahir dan bertelur. Penyu meme\iliki kemampuan mengembara dan menempuh jarak yang jauh (anonymous.1998). Aktivitas hidupnya seperti bermain, mencari makan, istirahat dan kawin dilakukan diperairan kecuali aktivitas bertelur. Makanan merupakan factor biotic yang paling berperamn dalam kehidupan penyu. Nuitja (1992) mengatakan masing-masing species penyu mempunyai karakteristik pada jenis makanan. Penyu hijau berada didaerah padang lamun (Sea weed) dan algae (sea grasses), penyu sisik mempunyai sifat utama yang menyolok yaitu hidup pada perairan dangkal didaerah terumbu karang yang memepunyai produktivitas tinggi dan kaya akan keragaman species penghuni (Reksodihardjo, 1996). Sedangkan makanan penyu lakang pada umumnya berupa tumbuh-tumbuhan laut. Selain itu penyu jenis ini juga memakan jenis-jenis molusca, sea urchin, crabs, ikan dan binatang laut (Nuitja, 1992). Predator penyu pada umumnya adalah binatang-binatang buas seperti babi hutan, anjing hutan, burung dan ikan cucut dan ikan buas lainnya (nuitja, 1992). Ketika masih berupa telur, predatornya adalah kepiting dan biawak, tetapi saat menjadi tukuk, ikan dan burung yang sering memangsanya. Beberapa pernyataan para ahli yang dikutip Nuitja (1992) mengatakan penyu mencapai dewasa kelamin setelah berumur 30 tahun bahkan lebih dari itu. Penyu melakukan perkawinan diperairan dangkal didaerah yang dekat tempat bertelur. Penyu betina akan mendarat
kepantai untuk
bertelur pada malam hari. (Reksodihardjo, 1996). Aktivitas bertelur umumnya dimulai dengan naiknya penyu kepantai antara selang waktu 1-2 jam sesudah air laut pasang pada malam ahri. Pada saat itu, penyu akan sensitive terhadap cahaya atau gangguan lain. Lama peneluran penyu sekitar 2-3 jam III.METODE PENELITIAN a. Lokasi dan Waktu Penelitian : Penelitian kajian teknik penangkaran penyu dilaksanakan pada tahun 2002 mulai bulan Maret 2002 sampai dengan bulan Desember 2002.
Lokasi penelitian yang dipilih adalah pantai
Perancak, Kabupaten Jembrana (Kelompok Pelestarian Penyu Kurma Asih) dan di pulau Sarangan, Kabupaten Badung (Citra Taman Penyu), Bali. b. Bahan dan Peralatan Penelitian : Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian adalah jenis penyu yang terdapat di lokasi penelitian yakni penyu lekang (Lepidochelys olivacea), bak plastik, meteran, tally sheet,
132 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
kuisioner, tape perekam, teropong, camera, kompas, thermometer, caliper, timbangan, dan alat tulis menulis. c. Prosedur Penelitian : Teknik pengumpulan data adalah dengan cara pengumpulan data primer melalui wawancara yang dipandu dengan tally sheet, dan pengamatan langsung di lapangan. Adapun sebagai narasumber adalah masyarakat yang terkait erat dengan konsumsi dan penangkaran penyu. Di samping itu dikumpulkan juga data sekunder yang berasal dari instansi terkait seperti Balai konservasi Sumber Daya Alam Bali dan World Wildlife Fund (WWF) Bali.
133 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Jenis-jenis data dan informasi yang dikumpulkan adalah sebagai berikut : a. Studi potensi, penyebaran, dan aspek bio-ekologi penyu Data dan informasi yang dikumpulkan adalah jenis, penyebaran, habitat, dan status populasi penyu b. Kajian aspek teknis penangkaran penyu Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi tujuan dan volume kegiatan penangkaran, penanganan induk penyu, penanganan peneluran, penanganan tukik, teknik pemberian pakan, performans biologi, tingkat keberhasilan penangkaran, dan permasalahan teknis yang dihadapi c. Kajian sosial budaya dan ekonomi pengelolaan serta pemanfaatan penyu Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi bentuk dan tujuan pemanfaatan penyu, perdagangan penyu, serta partisipasi masyarakat, baik dalam penangkaran maupun kegiatan konservasi penyu d. Kajian kebijakan pelestarian penyu Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi berbagai kebijakan konservasi penyu, baik menyangkut perlindungan, pengawetan, maupun pemanfaatan penyu.
III.HASIL PENELITIAN Hasil kajian teknik penangkaran penyu di Bali tentang habitat meliputi daerah peneluran penyu lekang/sisik semu (Lepidochelys olivacea), yang dilakukan oleh Kelompok Pelestarian Penyu Kurma Asih di desa Perancak, kabupaten Jembrana, dan Citra Taman Penyu di pulau Sarangan, kabupaten Badung. Hasil penelitian diperoleh melalui wawancara, kuesioner, dan beberapa literature pendukung. A.Potensi, penyebaran, dan aspek bioekologi penyu Di dunia terdapat 7 jenis penyu, 6 jenis di antaranya terdapat di perairan Indonesia dan dilindungi oleh Undang-undang (Tabel 1). Tabel 1. Jenis Penyu yang terdapat di Indonesia No.
Jenis Penyu
Nama Latin
Status
1. 2.
Penyu sisik Penyu sisik semu
Eretmochelys imbricata Lepidochelys olivacea
Dilindungi, Endangered Dilindungi, Endangered
3.
Penyu belimbing
Dermochelys coriacea
Dilindungi, Endangered
4.
Penyu pipih
Natator depressus
Dilindungi, Vulnerable
5.
Penyu tempayan
Caretta caretta
Dilindungi, Vulnerable
6.
Penyu hijau
Chelonia mydas
Dilindungi, Endangered
Sumber : Anonim (1999)
134 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Di tingkat internasional, semua jenis penyu telah dimasukkan ke dalam Appendik I pada Konvensi Perdagangan Internasional Flora dan Fauna (CITES) yang berarti bahwa semua jenis penyu tidak boleh diperdagangkan. Badan Konservasi Dunia (IUCN) juga telah memasukkan penyu sebagai satwa yang terancam punah. Untuk perlindungan dalam negeri, dalam Anonimous (2000) dikatakan bahwa 6 jenis penyu yang telah dilindungi antara lain penyu belimbing (Dermochelys coriaceae) dilindungi berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 327/Kpts/Um/5/1978, penyu sisik semu/lekang (Lepidochelys olivacea) dan penyu tempayan (Caretta caretta) berdasarkan SK Menteri Pertanian Nomor 716/Kpts/Um/10/1980, penyu sisik (Eretmochelys imbricata) dan penyu pipih (Natator depressus). Bahkan pemerintah setempat juga telah menyatakan bahwa semua jenis penyu laut yang berada di perairan laut di wilayah Bali, dilindungi berdasarkan SK Gubernur Nomor 234 tahun 2000. Dengan upaya-upaya di atas, diharapkan populasi penyu di perairan Bali dapat dipertahankan. Penyu laut termasuk binatang melata, berdarah dingin, berkulit sisik, bernapas dengan paru-paru dan berkembangbiak dengan bertelur serta mempunyai 4 sirip yang kuat lengkap dengan cakar. Penyu mempunyai bentuk melengkung dan dibungkus dengan karapas keras yang berfungsi untuk melindungi diri dari pemangsa. Jenis-jenis penyu dapat diidentifikasi dengan melihat bentuk karapas yang membungkus tubuhnya. Ciri-ciri biologis penyu menurut Bustrad (1972), yakni tubuh memiliki kotak pelindung tubuh yang disebut theca yang tersusun atas dua lapisan. Lapisan tanduk yang tipis di sebelah luar, yang disebut lamina, dan lapisan tulang yang tebal di sebelah dalam. Kedua lapisan tersebut terdiri atas kepingan-kepingan yang saling berhubungan. Selanjutnya dikatakan, theca terdiri dari 2 bagian yakni bagian dorsal (karapas) dan bagian ventral (plastron). Perbedaan antar jenis penyu dapat dilihat dari bentuk sisik dan jumlah sisik pada theca. Penyu mempunyai indera pendengaran tetapi sulit dilihat dari luar karena tertutup oleh sisik sehingga penyu tidak dapat mendengar dengan jelas atau tidak dapat membedakan tipe bunyi dengan mutlak.
Penyu mempunyai organ yang dapat mendeteksi frekuensi gempa dengan
getaran rendah dari dalam tanah dan penyu juga mempunyai indera yang kuat untuk mengetahui jarak sumber getaran. Penyu dapat membuat bunyi-bunyi khusus dengan cara menghembuskan napas, menggertakkan atau membuat bunyi klik dengan rahangnya. Bunyi yang cukup gaduh terjadi saat penyu melakukan perkawinan. Penyu tidak mempunyai gigi, namun fungsi gigi digantikan oleh paruh keras yang fungsinya berbeda-beda pada setiap jenis. Paruh penyu hijau dan penyu sisik berfungsi seperti gunting rumput yang dapat menghancurkan, memotong, dan mengunyah makanan. Makanan merupakan faktor biotik yang paling berperan dalam kehidupan penyu, dan masingmasing spesies penyu mempunyai karakteristik pada jenis makanan. Penyu hijau berada di daerah padang lamun (sea weeds) dan algae (sea grasses), penyu sisik mempunyai sifat utama yang menyolok yaitu menyukai hidup pada perairan dangkal di daerah terumbu karang yang mempunyai produktivitas tinggi dan kaya akan keragaman spesies penghuni (Reksodiharjo, 135 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
1996). Sedangkan makanan penyu lekang pada umumnya berupa tumbuh-tumbuhan laut. Selain itu, penyu jenis lekang juga memakan jenis-jenis moluska, sea urchin, crabs, ikan, dan binatang laut lainnya (Nuitja, 1992). Penyu berkembangbiak atau bereproduksi dengan cara fentilisasi internal. Saat tiba musim kawin, jantan dan betina yang telah siap kawin, bermigrasi sampai ratusan atau ribuan kilometer dari habitat pakannya untuk berkumpul dan melakukan perkawinan di perairan pantai dekat dengan pantai peneluran. Penyu juga bersifat poliandri di alam, oleh karenanya tidak ada ikatan di antara pasangan individu. Setelah terjadi perkawinan, penyu jantan akan kembali ke daerah pakan, sementara penyu betina tetap berada di perairan pantai dekat peneluran. Setelah tiba waktu untuk bertelur, penyu akan naik ke pantai untuk mencari lokasi yang cocok untuk menetaskan telur. Kegiatan ini biasa dilakukan pada malam hari dan interval waktu bertelur pada penyu betina dalam satu musim bertelur sebanyak 2 – 4 minggu. Hasil wawancara dengan beberapa petugas di lokasi penelitian yang didukung oleh pernyataan para ahli dikatakan bahwa penyu mencapai dewasa kelamin setelah berumur 30 tahun bahkan lebih dari itu. Penyu melakukan perkawinan di perairan dangkal di daerah yang dekat dengan tempat bertelur. Penyu betina mendarat ke pantai untuk bertelur pada malam hari (Reksodiharjo, 1996). Aktivitas bertelur umumnya dimulai dengan naiknya penyu ke pantai antara selang waktu 1 – 2 jam sesudah air laut pasang pada malam hari. Pada saat itu, penyu akan sensitif terhadap cahaya atau gangguan lain. Lama peneluran penyu sekitar 2 – 3 jam. Secara umum daerah tempat bertelur yang menjadi pilihan penyu betina adalah daerah yang mempunyai karakteristik pantai dengan dataran luas dan landai, terletak di atas bagian pantai yang memiliki kemiringan 30° serta di atas pasang surut 30 – 80 m dengan tekstur pasir gembur. Persyaratan ini dimiliki oleh pantai Perancak, kabupaten Jembrana, propinsi Bali. Dewi (1999) mengatakan, parameter fisik yang baik untuk penyu bertelur adalah tanah bertekstur pasir halus 90 %, fraksi pasir 40 – 55 % kuarsa keruh, dan 20,2 – 31,9 % fiagram batuan. Predator penyu umumnya adalah binatang-binatang buas seperti babi hutan, anjing hutan, burung, ikan cucut, dan ikan buas lainnya (Nuitja, 1992). Ketika masih berupa telur, predatornya adalah kepiting dan biawak tetapi saat menjadi tukik, ikan dan burung yang sering memangsanya.
B.Teknik penangkaran penyu di Bali Penangkaran penyu yang dilakukan di Bali masih bersifat semi alami.
Tujuan
pelestarian/penangkaran penyu yang dilakukan adalah untuk menambah populasi penyu di alam dan memperluas daerah penyebaran dan pembiakan penyu di Indonesia. Penangkaran tersebut dilakukan hanya sampai penyu siap dilepaskan ke laut lepas saja, karena usia penyu yang panjang yaitu berkisar dari 30 – 90 tahun. Untuk mengurangi biaya penangkaran, maka penangkaran hanya dilakukan selama 1 tahun. Adapun teknik penangkaran yang dilakukan di pantai Perancak, adalah :
136 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
a.
Pencarian sarang penyu
b.
Pemindahan telur penyu dari sarang ke media penetasan
c.
Pemeliharaan tukik ke media penangkaran
d.
Pelepasan tukik ke laut
Selain di pantai Perancak, ada juga penangkaran yang dilakukan oleh Citra Taman Penyu di pulau Sarangan, Bali. Teknik penangkaran yang dilakukan adalah : a. Pencarian sarang penyu b. Penandaan dan pengamanan pada sarang penyu sampai menetas c. Pemindahan tukik ke media penangkaran d. Pelepasan tukik ke laut Sebagai media penangkaran yang digunakan yaitu bak plastik yang berisi air laut secukupnya. Air laut tersebut diganti setiap hari atau paling lambat 3 hari sekali. Sebagai pakan tukik penyu adalah daging ikan sarden yang telah diiris-iris. Pemberian pakan dilakukan 2 kali dalam sehari. Dari ke dua lokasi penangkaran yakni di pantai Perancak dan pulau Sarangan dinilai lebih praktis dan ekonomis apabila dilakukan di lapangan dan dapat menjadi model percontohan penangkaran penyu. Cara ini paling ekonomis karena tidak memakan waktu yang lama. Upaya penangkaran penyu tersebut diharapkan
dapat menambah populasi
penyu dan melindungi penyu dari
ancaman kepunahan. Data yang diperoleh terlihat bahwa teknik penangkaran penyu di Bali cukup berhasil dalam upaya memperoleh tukik penyu yang siap dilepas ke laut. Pertumbuhan penyu sangat lambat tetapi menurut Hirt (1971), tingkat pertumbuhan penyu di alam bersifat relatif dan belum diketahui secara pasti. Pertumbuhan penyu di alam, berbeda dibandingkan dengan pertumbuhan penyu yang ada di penangkaran. Hal ini erat hubungannya dengan pakan yang dikonsumsi, dimana di alam pakannya adalah algae laut, plankton, dan larva ikan. Selanjutnya Hirt (1971) melaporkan bahwa pertumbuhan tukik di dalam penangkaran yang biasa diberi pakan berbeda seperti daging kelapa dan ikan, menghasilkan panjang karapas 50 – 71 cm dalam waktu 3,0 – 3,5 tahun.
Sementara tukik yang diberi ikan dan roti memberikan
pertambahan berat badan 4,4 kg; panjang karapas 3,2 cm; lebar 270 mm dalam waktu 13 bulan. Selanjutnya dikatakan, pertumbuhan penyu betina lebih cepat dibandingkan dengan penyu jantan. Panjang karapas penyu jantan dari tukik sampai dewasa, berkisar antara 16 – 85 cm sedangkan panjang karapas pada tukik yang baru menetas adalah 3,8 – 4,8 cm. Data yang diperoleh dari pantai Perancak, yang merupakan hasil penelitian Nuitja (1992) mengatakan bahwa tukik yang diberi pakan berupa pellet ikan lemuru (Sardinella sp), dan pellet lamun adalah rata-rata pertambahan panjang karapas 13,1 cm; lebar karapas 15,1 cm; dan berat badan 18,5 gram. Sedangkan tukik yang diberi pakan ikan segar, memperoleh perkembangan rata-rata panjang karapas 26,86 cm dan lebar karapas 24,38 cm. Terlihat bahwa tukik lebih memilih ikan segar atau pellet yang mengandung ikan dibandingkan dengan pakan atau pellet yang tidak mengandung ikan. Dikatakan lebih lanjut, tukik mampu membedakan pellet atau
137 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
makanan yang diberikan dengan penciumannya yang sangat tajam. Di samping itu, tukik sangat peka terhadap rangsangan yang terjadi dalam perairan. Penyu betina dapat melakukan peneluran 2 – 3 kali dalam satu musim bertelur, yang berselang 2 minggu. Penyu betina tidak mengerami telurnya. Setelah beberapa minggu, telur akhirnya menetas. Telur-telur tersebut menetas karena dipengaruhi oleh faktor suhu, kelembaban, dan lingkungan lainnya. Tukik yang dihasilkan akan merayap dari lubang peneluran ke atas dengan cara mengorek pasir dan kegiatan ini dilakukan pada malam hari. Setelah itu, tukik berupaya untuk mencapai pantai. Secara ekologi, tukik yang nantinya akan dilepas ke laut, cenderung akan mencari pakan yang biasa ditemukan di penangkaran. Ketergantungan terhadap makanan tersebut dapat berakibat kurang baik apabila penyu telah berada di alam (laut), karena keterbatasan gerakan tukik akan kekurangan makanan.
Di samping itu, serangan predator juga merupakan faktor penyebab
kematian tukik yang dilepas di alam. Oleh karena itu, perlu adanya system pemberian pakan di penangkaran dengan memperhatikan efek habituasi terhadap tingkah laku makan penyu setelah ditangkarkan dengan mengusahakan pakan yang mudah diperoleh di alam. Di samping itu, pemberian satu jenis pakan tertentu pada tukik di penangkaran, kurang menguntungkan terutama pada saat tukik di lepas di alam. Permasalahan yang dihadapi oleh para penangkar penyu adalah upaya penangkaran penyu memerlukan biaya yang cukup besar sedangkan hasil penangkaran tidak dapat dijual secara bebas karena penyu termasuk satwa yang dilindungi. Oleh karena itu perlu dicarikan solusi agar penangkar penyu dapat melanjutkan kegiatannya. Untuk itu diperlukan dukungan dana dari pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat.
c. Sosial budaya dan ekonomi pengelolaan dan pemanfaatan penyu Partisipasi masyarakat terhadap upaya perlindungan penyu di Bali, ternyata sangat tinggi di mana di pantai Perancak dan pulau Sarangan terdapat kelompok masyarakat yang telah berupaya melakukan upaya penangkaran penyu yang dibina oleh WWF dan KSDA Bali. Namun setelah dikeluarkan peraturan pemerintah setempat (SK Gubernur Bali) yang melarang penggunaan daging penyu di Bali, pada awalnya memperoleh penolakan yang keras dari masyarakat. Demonstrasi dilakukan oleh masyarakat Bali di Kantor Unit Konservasi Sumberdaya Alam. Tetapi karena adanya pelaksanaan peraturan tentang perlindungan penyu secara tegas, dan penyuluhan yang terus-menerus sehingga masyarakat pada akhirnya mengerti dan saat ini daging penyu tidak lagi diperdagangkan secara bebas kecuali pada acara-acara keagamaan tertentu dan itupun telah diupayakan untuk diganti dengan daging lain seperti babi.
Namun demikian
penggunaan daging penyu untuk konsumsi sendiri masih ditemukan. Hampir semua bagian penyu dapat dimanfaatkan, mulai dari daging, telur, karapas hingga tulangnya. Karapas, biasanya digunakan dalam bentuk omzetan (dikeringkan dan disemir). Karapas digunakan sebagai bahan baku pembuatan berbagai jenis souvenir, misalnya dijadikan
138 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
tempat korek api, sendok, garpu, gelang, kalung, cincin, jepit rambut, gantungan kunci, sisir, tempat perhiasan, dan kipas. Daging penyu banyak digemari masyarakat, bahkan merupakan masakan tradisional di Bali dalam bentuk sate, lawar yang dicampur dengan kelapa dan darah. Selain itu, daging penyu mempunyai khasiat sebagai obat kuat, awet muda, dan menghilangkan rheumatik. Daging penyu juga merupakan sumber protein yang murah yang dapat dijangkau oleh daya beli masyarakat kecil. Telur penyu dimanfaatkan sebagai bahan makanan tradisional pada beberapa daerah di Indonesia. Kulit penyu dikeringkan untuk dijadikan kerupuk sedangkan tulang yang sudah hancur dapat digunakan sebagai campuran bahan makanan ternak. Bentuk awetan penyu juga merupakan souvenir yang paling banyak dijual di pasaran.
d. Kebijakan pelestarian penyu Mengatasi ancaman-ancaman dalam pelestarian penyu, diperlukan pengelolaan yang lebih bijaksana dalam hal perdagangan dan pemanfaatan penyu sehingga sesuai dengan kaidah-kaidah konservasi. Salah satu upaya yang telah dilakukan adalah perlindungan habitat yang meliputi daerah peneluran penyu khususnya penyu lekang/sisik semu (Lepidochelys olivacea) yang dilakukan sejak tahun 1997 oleh Konservasi Sumber Daya Alam Bali bekerjasama dengan WWF melakukan pelestarian penyu melalui Kelompok Kurma Asih di desa Perancak, kabupaten Jembrana. Kegiatan tersebut meliputi penetasan, pembesaran, dan pelepasan. Sasaran akhir dari usaha pelestarian penyu sisik semu adalah untuk menambah populasi penyu di alam dan memperluas daerah penyebaran dan pembiakan penyu di Indonesia. V.KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Teknik penangkaran penyu di Bali dilakukan dengan cara pencarian telur penyu, pemindahan telur penyu ke media penetasan, pemindahan telur penyu yang sudah menetas dan telah menjadi tukik, ke media penangkaran, dan pelepasan tukik ke lautan lepas. Kegiatan ini dilakukan di pantai Perancak dan pulau Sarangan Bali dan dinilai telah berhasil dalam upaya memperoleh tukik yang siap dilepaskan ke laut.
B. Saran Penelitian tentang berbagai aspek yang berkaitan dengan penyu sangat diperlukan untuk menambah informasi bagi usaha pengelolaan penangkaran secara tepat. Untuk mendukung upaya tersebut, diperlukan penelitian tentang sifat biologi penyu terutama tentang pertumbuhan tukik. Oleh karena itu, disarankan agar pemerintah dapat mendukung upaya penangkaran penyu di Bali. Di samping itu, teknik penangkaran penyu di Bali perlu disosialisasikan sebagai model penangkaran penyu yang sederhana namun cukup berhasil dalam upaya memperoleh tukik yang 139 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
siap dilepaskan ke laut. Namun hendaklah dipikirkan, agar kiranya masyarakat sekitar pantai senantiasa diajak untuk ikut serta dalam melestarikan penyu.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 1999. Pantai Perancak; Satu-satunya pantai peneluran Penyu yang masih tersisa di Bali. Tidak diterbitkan. WWF. Bali Anonimous. 2000. Peraturan Pemerintah Republik Indonedia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Kanwil DKI Jakarta. Bustrad. 1972. Sea Turtle, Natural History and Conservation. Collins. Sidney. Dewi, N.N.S. 1999. Studi Habitat Peneluran Penyu Sisik Semu (Lepidochelys olivacea) di pantai Perancak, Kabupaten Jembrana. Bali. Skripsi. Fakultas MIPA, Jurusan Biologi. Universitas Udayana. Bali. Hirt, H.F. 1971. Synopsis of Biologycal Data on Green Turtle (Chelonia mydas). FAO Fisheries Synopsis No. 85. John Willey and Sons Inc. Rome Nuitja. 1992. Biologi dan Ekologi Pelestarian Penyu Laut. IPB Press Bogor Palupi, I. S. S. NK. 2002. Perbandingan lokasi bertelur Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea) dan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) di Kabupaten Jembrana, Bali Putri, Dian N. 2002. Model pengelolaan Penyu Sisik Semu (Lepidochelys olivacea) di pantai Perancak. Skripsi. Tidak diterbitkan Reksodiharjo, G. 1996. Panduan Pendidikan Konservasi Kelautan. Program Pengembangan Konservasi Kelautan (WWF-IP). Jakarta Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam. 1997. Penyu laut reptil yang terancam. SBKSDA. Denpasar.
140 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PENGEMBANGAN DAERAH PENYANGGA SEBAGAI ALTERNATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI BERBASIS MASYARAKAT DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT Oleh: Sumardi ABSTRAK Penelitian mengenai pengembangan daerah penyangga sebagai alternatif pengelolaan kawasan konservasi berbasis masyarakat di Taman Nasional Bali Barat (TNBB), betujuan untuk mencari formula/strategi yang tepat dalam bentuk kegiatan nyata untuk pengelolaan TNBB berbasis masyarakat. Teknik pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah dengan melakukan pengamatan langsung di lapangan, wawancara, penyebaran kuisioner kepada masyarakat daerah penyangga (Sumberklampok dan Pejarakan) dan studi literatur. Data dan informasi yang terkumpul di tabulasi dan dianalisa dengan analisa deskriptif dan SWOT (Strenght, Weakness, Opportunities dan Threat). Analisa SWOT ditekankan untuk menganalisa fenomena-fenomena yang diakibatkan oleh kegiatan masyarakat (masyarakat daerah penyangga). Ketergantungan masyarakat desa Sumberklampok dan Pejarakan terhadap kawasan TNBB masih relatif tinggi dan bentuk interaksinya meliputi pemungutan hasil hutan non kayu, kayu bakar serta pemanfaatan lahan. Masyarakat sebagian besar setuju dengan keberadaan TNBB, namun jika tidak disertai dengan pembinaan dan apabila keberadaan TNBB tidak memberikan peningkatan sosial ekonomi maka kerusakan ekosistem dapat terjadi dengan pemanfaatan sumberdaya alam secara berlebihan. Masyarakat sebagian besar menginginkan adanya bentuk keterlibatan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi terhadap pengelolaan TNBB. Keterlibatan masyarakat sebenarnya akan memberikan dampak positif bagi TNBB karena masyarakat akan merasa lebih memiliki dan bertanggung jawab terhadap keberadaan TNBB. Kata kunci: Penyangga, konservasi, berbasis I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Taman Nasional Bali Barat (TNBB) adalah salah satu kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, pendidikan, pengembangan ilmu pendidikan, penunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Sebagai salah satu kawasan pelestarian alam maka keutuhan ekosistem sangat penting dan perlu dijaga agar interaksi antar unsur hayati dan non-hayati di dalamnya dapat terjadi dengan baik serta mendukung fungsinya. Secara umum pengelolaan Taman Nasional mempunyai tiga fungsi pokok, yaitu : 1.Sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan. 2.Sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa. 3.Sebagai kawaan pemanfaatan secara lestari potensi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Melalui pendekatan konservasi kawasan, tiga sasaran pokok yang ingin dicapai adalah terwujudnya kawasan konservasi yang dikelola dengan baik dan aman dari gangguan, menjamin terselenggaranya perlindungan sistem penyangga kehidupan dan pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan, satwa dan tipe ekosistem. Namun demikian untuk mengoptimalkan tiga fungsi pokok tersebut, TNBB dihadapkan pada berbagai masalah yang menyangkut aspek kependudukan, sosial, ekonomi dan budaya 141 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
masyarakat sekitar kawasan, rendahnya tingkat kesadaran masyarakat sekitar terhadap konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya potensial menimbulkan pencurian hasil hutan berupa : kayu bakar, rotan, buah-buahan, kayu bangunan, satwa liar, ikan, pakan ternak dan penggembalaan liar sehingga tekanan terhadap kawasan konservasi masih berlangsung. Permasalahan tersebut menyebebkan terjadinya kerusakan ekosistem TNBB yang dapat menyebabkan semakin menurunnya kualitas dan kuantitas sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Berdasar pada permasalahan di atas, ternyata permasalahan yang timbul lebih banyak disebabkan oleh interaksi masyarakat sekitar. Salah satu alternatif untuk mengurangi ancaman dan gangguan kawasan dari masyarakat sekitar adalah dengan melibatkan masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam usaha perlindungan kawasan konservasi TNBB. Dengan kata lain, perlu dicari formula/strategi dalam bentuk kegiatan nyata untuk melibatkan masyarakat sekitar ikut berperan aktif dalam usaha perlindungan kawasan konservasi TNBB. Untuk melibatkan masyarakat sekitar, sangat penting diketahui potret/gambaran kondisi sosial, ekonomi dan budaya terutama yang berinteraksi dengan kawasan.
II.KEADAAN UMUM TNBB Taman Nasional Bali Barat (TNBB) terletak dalam 2 kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng dan Jembrana, Propinsi Bali. Secara geografis terletak antara 8º05'20" - 8º15'25" LS dan 114º25'00" - 114º56'30" BT. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts– II/1995 tanggal 15 September 1995 TNBB mempunyai luas 19.002,89 Ha yang terdiri dari kawasan daratan 15.587,89 Ha dan kawasan perairan 3.415 Ha. Kemudian berdasarkan Surat Keputusan Dirjen Perlindungan dan Konservasi Alam No. 186/Kpts/DJ–V/1999 tanggal 13 Desember 1999 tentang penunjukan zona di TNBB, kawasan terdiri dari zona inti, rimba, pemanfaatan intensif dan pemanfaatan budaya. Topografi kawasan terdiri dari daratan landai (sebagian besar datar) sampai agak curam, dengan ketinggian antara 0 - 1.414 mdpl. Terdapat 4 buah gunung yaitu G. Prapat Agung (310 mdpl), G. Banyuwedang (430 mdpl), G. Klatakan (698 mdpl) dan G. Sangjang (1002 mdpl). Di perairan laut terdapat 4 pulau yaitu P. Menjangan, P. Burung, P. Gadung dan P. Kalong. Kawasan TNBB menurut Schmidt dan Ferguson termasuk klasifikasi tipe iklim D, E, F dengan curah hujan rata-rata D : 1.064 mm/tahun, E : 972 mm/tahun, F : 1.559 mm/tahun. Temperatur udara rata-rata 33º C pada beberapa lokasi, kelembaban udara di dalam hutan sekitar 86 %. Sungai yang ada dalam kawasan antara lain S. Labuan Lalang, S. Teluk Trima, S. Trenggulun, S. Braja / Klatakan, S. Melaya dan S. Sangjang Gede. TNBB seringkali identik dengan Taman Nasional yang dibentuk untuk memberikan perlindungan bagi keberlangsungan / keberadaan Jalak Bali (Leucopsar rothschildi). Namun secara umum kawasan TNBB kaya potensi fauna, berdasarkan jenisnya fauna di TNBB antara lain terdiri dari 7 jenis mamalia, 2 jenis reptilia, 105 jenis aves, 120 jenis ikan, dan lain-lain. Jenis fauna dilindungi di TNBB antara lain : Jalak Bali, Trenggiling Kesih (Bali), Jelarang Kapan-kapan, Landak, Kueuk, Menjangan, Banteng, Pelanduk Kancil, Biawak dan Penyu Rider. 142 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Jenis flora dilindungi di TNBB antara lain Bayur, Buni, Bungur, Burahol, Cendana, Kemiri, Kepuh, Kesambi, Kruing Bunga, Mundu, Pulai, Sawo Kecik, Sonokeling dan Trenggulun. Berdasarkan ketinggian tempat, TNBB dibagi dalam 2 ekosistem yakni Tipe Ekosistem Darat (Ekosistem Hutan Mangrove, Pantai, Musim, Hujan Daratan Rendah, Evergreen, Savana dan River Rain Forest) dan Tipe Ekosistem laut (Ekosistem Coral Reef, Padang Lamun, Pantai Berpasir, Perairan Laut Dangkal dan Perairan Laut Dalam). (Soedirun, 2002).
III. BAHAN DAN METODE Penelitian dilakukan pada bulan Mei sampai Oktober 2004, di desa Sumberklampok dan Pejarakan, Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali. Bahan dan peralatan yang digunakan antara lain : alat tulis, angket kuesioner, pustaka pendukung. Metode pengumpulan data dan informasi yang digunakan adalah dengan pengamatan langsung, wawancara, penyebaran kuisioner kepada masyarakat sekitar dan studi literatur. Analisa data yang digunakan dalam kegiatan ini adalah dengan menggunakan analisa Deskriptif dan SWOT (strenght, weakness, opportunities and threat). Analisa SWOT ditekankan untuk menganalisa fenomena-fenomena yang diakibatkan oleh kegiatan manusia (masyarakat sekitar).
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keberadaan Desa di Taman Nasional Bali Barat Sumberklampok Desa Sumberklampok, Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali memiliki luas 3.980 ha dengan 679,74 ha non hutan merupakan enclave (derah di dalam kawasan TNBB) yang memiliki kawasan seluas 19.002,89 ha. Wilayah Desa Sumberklampok terdiri dari 3 dusun yaitu Sumber Batok, Sumber Rejo dan Tegal Bunder yang berbatasan dengan : G. Prapat Agung dan Zona Pemanfaatan Intensif TNBB di sebelah utara, Hutan Tanaman Dinas Kehutanan Propinsi Bali di sebelah barat, Zona Rimba dan Zona Pemanfaatan Budaya TNBB di sebelah timur, serta Zona Rimba TNBB di sebelah selatan. Desa Sumberklampok merupakan dataran rendah seluas 55,6 ha dan perbukitan seluas 624,14 ha dengan ketinggian 4,5-7,5 m dpl, suhu rata-rata 32°C dengan curah hujan 78,5 mm/th,. kondisi alam sangat cocok untuk budidaya pertanian dan perkebunan. Jenis tanaman yang banyak dikembangkan adalah tanaman pangan musiman, seperti : jagung, kedelai dan palawija serta tanaman tahunan atau holtikultura, seperti : kelapa, mangga, randu, durian dan rambutan. Kondisi ekonomi masyarakat dan tingkat pendidikan belum memadai sehingga dimungkinkan munculnya aktivitas yang merusak ekosistem TNBB, misalnya : penebangan liar, pengambilan kayu bakar dan pakan ternak yang berlebihan, penggembalaan liar, pengeboman ikan dan perusakan terumbu karang, serta kegiatan illegal lainya. Komunitas Desa Sumberklampok sudah terbentuk sebelum ditetapkannya TNBB sejak tanggal 14 Oktober 1982 oleh Menteri Pertanian dengan SK No. 736/Mentan/X/1982. Wilayah tersebut dahulunya merupakan areal perkebunan yang dikelola oleh pemerintah, sementara masyarakat bekerja sebagai buruh penggarap. Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, 143 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
khususnya para pendatang dari Jawa, Madura dan Lombok, areal perkebunan beralih fungsi menjadi pemukiman dan lahan pertanian. Status lahan masih menjadi hak milik Negara. Dengan ditetapkannya kawasan tersebut menjadi Taman Nasional yaitu TNBB, maka wilayah tersebut menjadi enclave, dengan sendirinya mucul peraturan-peraturan yang membatasi masyarakat untuk memanfaatkan sumberdaya alam. Namun demikian sejak dahulu masyarakat bergantung pada usaha pertanian dan pemungutan hasil hutan. Sebagian besar masyarakat berasal dari etnis Bali yang beragama Hindhu dengan pranata sosial budaya yang masih menerapkan hukum adat awig-awig yaitu larangan untuk menebang kayu atau merambah hutan. Pohon dianggap sakral yang harus dilindungi karena berfungsi sebagai sumber kehidupan dan berhubungan dengan kepercayaan luhur terhadap Dewa. Hal ini membuktikan bahwa dahulunya kesadaran sebagian besar masyarakat terhadap perlindungan kawasan hutan sangat besar. Pejarakan Desa Pejarakan, Kecamatan Gerogak, Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali memiliki luas 3.960 ha yang merupakan penyangga di kawasan TNBB. Wilayah Desa Pejarakan berbatasan dengan : Laut Jawa di sebelah utara, Desa Sumberklampok di sebelah barat, Desa Sumberkima di sebelah timur, serta Hutan milik Dinas Kehutanan Propinsi Bali di sebelah selatan. Kondisi ekonomi masyarakat dan tingkat pendidikan belum memadai sehingga dimungkinkan munculnya aktivitas yang merusak ekosistem TNBB, misalnya : penebangan liar, pengambilan kayu bakar dan pakan ternak yang berlebihan, penggembalaan liar, pengeboman ikan dan perusakan terumbu karang, serta kegiatan illegal lainnya. Kajian sosial, ekonomi dan budaya masyarakat belum mejadi prioritas utama dalam perencanaan TNBB sehingga strategi khusus dalam pembangunan daerah penyangga belum dilaksanakan secara optimal. B. Bentuk Interaksi dan Tingkat Ketergantungan Masyarakat Desa Sumberklampok dan Pejarakan merupakan daerah penyangga kawasan TNBB yang memiliki luas masing-masing 3980 ha dan 3960 ha berupa ladang/tegalan dan infrastruktur pedesaan. Sejak dahulu masyarakat lokal yang sebagian besar
bekerja sebagai petani dan
nelayan telah lama berinteraksi dengan alam dan memiliki ketergantungan yang besar terhadap kawasan TNBB. Interaksi masyarakat Desa Sumberklampok dan Pejarakan terhadap TNBB dapat dilihat dari segi ekonomi, sosial dan budaya yaitu sebagai berikut : a. Pemanfaatan lahan untuk pertanian, b. Pemanfaatan sumberdaya laut, c. Pemungutan Hasil Hutan non kayu, d. Pengambilan satwa liar untuk berbagai keperluan. Ketergantungan masyarakat terhadap kawasan TNBB sangat tinggi berdasarkan pemenuhan kebutuhan hidup yang masih bergantung pada pemanfaatan sumberdaya alam. Praktek pengelolaan sumberdaya alam tersebut dilakukan secara arif dengan tetap menjaga keberlanjutan fungsi perlindungan kawasan, namun pencampuran budaya antara etnis Bali dengan yang lainnya telah menyebabkan pergeseran budaya sehingga penebangan liar dan perambahan hutan mulai terjadi. Rendahnya tingkat pendidikan menyebabkan berkurangnya pemahaman masyarakat terhadap arti penting kawasan TNBB. Kesadaran masyarakat terhadap 144 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pelestarian lingkungan cenderung semakin menurun seiring dengan peningkatan kebutuhan ekonomi. Berdasarkan hasil kuisioner dan pengamatan mengenai pemenuhan kebutuhan pakan ternak dan kayu bakar di lokasi didapatkan data seperti terlihat pada Tabel 1. Tabel 1. Sumber pakan ternak dan kayu bakar masyarakat Sumberklampok dan Pejarakan. No.
Sumber
Sumberklampok Pejarakan (%) (%) 1 2 3 4 1 TNBB 71.02 42.31 2 Lahan milik 10.14 11.54 3 Hutan selain TNBB 18.84 46.15 Total 100 100 Sumber : Data primer kuisioner, pemenuhan kebutuhan pakan ternak dan kayu bakar. Keterangan : Hutan lain TNBB adalah Hutan Dinas Kehutanan Propinsi Bali Dari Tabel 1. terlihat untuk memenuhi kebutuhan pakan ternak dan kayu bakar masyarakat Sumberklampok mengumpulkan dari dalam kawasan TNBB, lahan milik, dan kawasan hutan lain berturut-turut : 71,01 %; 10,14 %; dan 18,84, sedangkan masyarakat Pejarakan 42,31 %; 11,54 %; dan 46,15 %. Masyarakat Sumberklampok memberikan tekanan lebih besar terhadap kawasan TNBB daripada masyarakat Pejarakan seperti terlihat pada Gambar 1.
80 70 42.31
60
46.15
50 (%)
40 30
11.54
20 10
71.02
PJR
0
10.14
18.84 SBK
TNBB Lahan milik Hut an selain TNBB
Sumber
SBK PJR
Gambar 1. Sumber pakan ternak dan kayu bakar masyarakat Sumberklampok dan Pejarakan. Kondisi ketergantungan tersebut sebenarnya dapat dikurangi dengan adanya pembinaanpembinaan pada masyarakat. Kebutuhan pembinaan oleh masyarakat dapat dilihat pada Tabel 2. Dari Tabel 2. menunjukkan bahwa masyarakat sekitar masih memerlukan pembinaan yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan 82,50; sisanya 17,50 % netral dan 0,00 % tidak memerlukan pembinaan.
145 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 2. Kebutuhan pembinaan oleh masyarakat Sumberklampok dan Pejarakan No. Kebutuhan Masy. SBK dan PJR pembinaan (%) 1 2 3 1 Perlu 82.50 2 Netral 17.50 3 Tidak perlu 0.00 Total 100.00 Sumber : Data primer kuisioner, kebutuhan pembinaan. Keterangan : SBK=Sumberklampok, PJR=Pejarakan. C. Persepsi Masyarakat Persepsi masyarakat terhadap keberadaan TNBB dapat dilihat pada Tabel 3. Dari tabel 3. terlihat berturut-turut masyarakat Sumberklampok setuju, netral dan tidak setuju adalah 71,00%; 15,00 %; dan 14,00 %, sedangkan masyarakat Pejarakan 82,00%; 16,00 %; dan 2,00 %. - Setuju. Dengan adanya Taman Nasional Bali Barat akan menjaga kelestarian alam dan fungsi hidrologis, serta dapat menunjang kepentingan masyarakat dalam pemanfaatan sumber daya alam. - Netral . Keberadaan TNBB tidak mempengaruhi kehidupan masyarakat. - Tidak setuju. Dengan adanya TNBB maka masyarakat tidak bebas lagi dalam mengambil hasil hutan dari dalam kawasan yang menjadi hak TNBB. Tabel 3. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Taman Nasional Bali Barat. No.
Persepsi Masyarakat 2
Sumberklampok (%) 1 3 1 Setuju 71 2 Netral 15 3 Tidak setuju 14 Total 100 Sumber : Data primer kuisioner, persepsi masyarakat.
Pejarakan (%) 4 82 16 2 100
Persepsi masyarakat terhadap keberadaan TNBB lebih terlihat jelas pada Gambar 2. Dengan kondisi masyarakat seperti tersebut di atas maka perlu adanya usaha untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang arti penting konservasi kawasan disamping adanya usaha mengangkat kesejahteraan masyarakat sekitar kawasan hutan di daerah penyangga. 82
100 80
(%)
71
60
SBK
40
PJR
16 15
20
14
2 PJR
0 Setuju
SBK Netral
Tidak setuju
Persepsi
Keterangan : SBK=Sumberklampok, PJR=Pejarakan 146 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Gambar 2. Persepsi masyarakat terhadap keberadaan Taman Nasional Bali Barat D. Pelibatan Masyarakat dalam Pengelolaan Kawasan Keberadaan masyarakat di daerah penyangga selama ini masih menjadi resipien pasif yang harus menerima dan melaksanakan semua peraturan dan segala kebijakan yang berlaku di kawasan TNBB. Keadaan tersebut sudah dimaknai sebagai suatu bentuk interaksi masyarakat sekitar oleh TNBB. Tingkat partisipasi seperti tersebut di atas merupakan suatu bentuk interaksi pada tingkat paling rendah menurut analisis Borrini Feyerabend (1996). Tingkat partisipasi yang tertinggi yang selayaknya dikembangkan oleh TNBB adalah kemitraan yang sejajar antara TNBB dengan masyarakat sekitar untuk bersama-sama mengelola kawasan dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi. Balai TNBB sudah sepantasnya untuk memfasilitasi kepentingan masyarakat lokal dalam program konservasi yang diarahkan untuk penguatan ekonomi dan mencari solusi penyelesaian berbagai konflik yang ada, terutama yang berhubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam di dalam kawasan TNBB. Usaha peningkatan kebutuhan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat Sumberklampok dan Pejarakan harus diintegrasikan dalam pengelolaan kawasan sehingga partisipasi masyarakat dapat mendorong pengembangan konservasi berbasis masyarakat. Dari hasil kuisioner pada masyarakat Sumberklampok dan Pejarakan dalam hal pelibatan masyarakat dalam penyusunan rencana, pelaksanaan sampai monitoring dan evaluasi dalam program konservasi yang diarahkan untuk penguatan ekonomi, didapatkan data bahwa masyarakat Sumberklampok menyatakan perlu, netral dan tidak perlu berturut-turut adalah 62,00 %; 16,00 %; dan 22,00 %, masyarakat Pejarakan berturut-turut adalah 68,00 %; 23,00 %; dan 9,00 %, seperti terlihat pada Tabel 4. Tabel 4. Pelibatan Masyarakat dalam pengelolaan Taman Nasional Bali Barat No.
Pelibatan Sumberklampok masyarakat (%) 1 2 3 1 Perlu 62 2 Netral 16 3 Tidak perlu 22 Total 100 Sumber : Data primer kuisioner, pelibatan masyarakat.
Pejarakan (%) 4 68 23 9 100
E. Konflik Sosial Konflik sosial yang seringkali terjadi antara TNBB dengan masyarakat Desa Sumberklampok dan Pejarakan antara lain adalah perambahan hutan, rusaknya tanaman pertanian oleh satwa liar, rusaknya tanaman hutan oleh penggembalaan liar dan sampah oleh aktivitas wisata dan upacara adat. Konflik sosial dengan masyarakat lokal harus secapatnya diselesaikan dan dicari solusinya, karena keadaan ini akan mengancam keberlanjutan fungsi kawasan selain itu hubungan antara TNBB dengan masyarakat lokal akan menjadi kurang harmonis. F. Potensi dan Peluang Pengembangan Konservasi Berbasis Masyarakat Konservasi berbasis masyarakat menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama dengan adanya partisipasi dari tahap perencanaan, pelaksanaan dan monitoring evaluasi dalam 147 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pengelolaan kawasan TNBB. Setidaknya masyarakat lokal mulai untuk dilibatkan dalam program konservasi yang bertujuan ganda yaitu untuk melindungi kawasan, melestarikan sumberdaya hayati dan mensejaterakan masyarakat. Potensi dan peluang pengembangan konservasi berbasis masyarakat, antara lain sebagai berikut a. Aspek Ekonomi Penyediaan lahan sekitar kawasan TNBB (daerah penyangga) untuk pola pemanfaatan dengan sistem agroforestry dengan jenis pertanian, kayu bakar, pakan ternak dan hasil hutan bukan kayu. Daerah ini juga berfungsi sebagai daerah perlindungan masyarakat dari bahaya satwa liar. Mengadakan pelatihan kerajinan dan industri rumah tangga untuk mendukung wisata alam. Perekrutan pemandu wisata yang lebih mengarah pada pengembangan ekowisata yang mengemas aspek sosial dan budaya masyarakat. Penggalian alternatif lapangan kerja untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat daerah penyangga. b. Aspek Sosial Pelibatan masyarakat dalam penyusunan rencana pengelolaan kawasan. Memperjelas status kepemilikan lahan bagi masyarakat dan penataan batas. c. Aspek Budaya Pengembangan wisata alam dengan menonjolkan adat istiadat dan pola hidup tradisional masyarakat. Pengakuan terhadap eksistensi hukum adat Bali dan kelembagaan Desa Adat. Potensi dan peluang pengembangan konservasi berbasis masyarakat tersebut harus mendapat dukungan dari semua pihak baik dari TNBB maupun dari masyarakat. Dalam interaksinya harus ada kesepakatan dalam pengaturan hak dan tanggungjawab antara keduanya, dengan tetap menegakkan hukum yang berlaku kepada masyarakat yang melanggar kaidahkaidah konservasi dan kesepakatan yang dibentuk. Dengan penguatan ekonomi masyarakat dapat mendukung munculnya kesadaran terhadap pelestarian lingkungan hidup. TNBB sebagai sebuah institusi tentunya dapat merumuskan sebuah konsep untuk mengelola kawasan TNBB dengan berbasis masyarakat atau dengan kata lain pengelolaan konservasi TNBB berbasis masyarakat. Konsep tersebut dapat dibuat berdasarkan pada kekuatan/potensi dan kesempatan yang ada dengan mempertimbangkan kelemahan dan ancaman yang mungkin terjadi. Pengelolaan kawasan berbasis masyarakat apabila digambarkan dengan metoda analisa SWOT (strenght, weakness, opportunities dan treat) dapat dilihat pada Tabel 5.
148 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 5. Pengelolaan kawasan berbasis masyarakat di Taman Nasional Bali Barat. Strenght (kekuatan) 1. Potensi Sumber Daya Alam sebagai pintu masuk.
Weakness (kelemahan) 1. Tingkat pendidikan dan kualitas Sumber Daya Manusia yang masih rendah. 2. Kelembagaan adat yang masih 2. Dana untuk mengawali kegiatan / menjunjung tinggi nilai-nilai konsep konservasi berbasis pelestarian kawasan TNBB masyarakat tentunya relatif besar. Opportunities (kesempatan) Threat (ancaman) 1. Dukungan dari berbagai pihak 1. Kesadaran yang masih rendah terhadap pendidikan konservasi terhadap konservasi, yang dapat dan pemberdayaan masyarakat. menimbulkan banyak masalah di 2. Masyarakat sekitar / daerahh kawasan TNBB. penyangga masih memerlukan 2. Tingkat kesejahteraan sentuhan-sentuhan teknologi dan masyarakat yang masih rendah pembinaan untuk peningkatan sehingga sangat rentan terhadap kesejahteran hidup. perambahan kawasan TNBB.
G. Solusi Bentuk Pengembangan Daerah Penyangga Salah satu bentuk pengembangan daerah penyangga adalah dengan adanya pembinaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan mengadakan proyek percontohan bagi masyarakat. Proyek percontohan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat dilakukan adalah dengan membuat proyek percontohan “kandang kelompok” untuk ternak bagi masyarakat daerah penyangga. Dengan proyek percontohan ini diharapkan masyarakat daerah penyangga lainnya akan mencontoh proyek tersebut. Konsep “kandang kelompok” tersebut adalah : dibuat sejumlah kandang berderet pada suatu lokasi untuk menampung semua ternak masyarakat daerah penyangga tertentu, kandang dipusatkan pada satu lokasi. Untuk penyediaan pakan ternak dapat dilakukan penanaman rumput gajah pada daerah perbatasan antara desa dengan kawasan TNBB. Rumput gajah ditanam memanjang pada garis batas antara desa dengan kawasan TNBB. Keuntungan pola pembinaan dengan proyek percontohan “kandang kelompok” ini adalah : Mengurangi penggembalaan liar di kawasan TNBB. Mengurangi pengambilan pakan ternak di kawasan TNBB. Pemeliharaan ternak dapat lebih terpola dan terencana sehingga peningkatan kualitas dan pertumbuhan ternak dapat dilakukan. Pembinaan masyarakat dalam berbagai bidang dapat dilakukan pada masyarakat pemilik “kandang kelompok”. Proyek percontohan “kandang kelompok” merupakan ide pola pembinaan kepada masyarakat daerah penyangga yang perlu untuk di coba keefektifan dan keberhasilannya.
149 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dari pembahasan dan kajian yang dilaksanakan didapatkan beberapa kesimpulan, antara lain adalah sebagai berikut : 1. Ketergantungan masyarakat Sumberklampok dan Pejarakan terhadap kawasan TNBB masih relatif tinggi. 2. Masyarakat Sumberklampok dan Pejarakan sebagian besar setuju dengan keberadaan TNBB, namun pembinaan masyarakat harus dilakukan dan keberadaan TNBB harus memberikan peningkatan sosial-ekonomi masyarakat. 3.
Masyarakat Sumberklampok dan Pejarakan menginginkan adanya bentuk pelibatan dalam perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pada pengelolaan TNBB.
4. Pembinaan nyata yang mengarah pada konservasi kawasan dan peningkatan sosial ekonomi dari TNBB seperti uji coba proyek “kandang kelompok” perlu segera dilakukan. B. Saran Dari kesimpulan di atas beberapa saran untuk pengembangan Taman Nasional Bali Barat, sebagai berikut : 1. Masyarakat daerah penyangga hendaknya mulai dilibatkan dalam pengelolaan TNBB, sehingga masyarakat dapat dijadikan sebagai mitra sejajar bagi TNBB. 2. Pengelolaan kawasan konservasi TNBB yang mengarah pada perlindungan sumberdaya alam harus mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan pelestarian budaya lokal. 3. Bentuk-bentuk kegiatan yang dapat diterapkan dalam pemanfaatan daerah penyangga antara lain : - Pembentukan “kandang kelompok” - Pembentukan pola penanaman agroforestry - Pelatihan ketrampilan dan industri rumah tangga yang mendukung wisata alam dan pelatihan pemandu wisata
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 1997 Rencana Karya Lima Tahun (RKL) Taman Nasional Bali Barat periode Tahun Anggaran 1997/1998 – 2001/2002. Departemen Kehutanan RI. Anonim, 2003. Makalah Pengelolaan Kolaboratif di Balai taman Nasional Bali Barat di Era Otonomi Daerah. Departemen Kehutanan RI. Anonim, 2003. Pola Pengelolaan dan peraturan Kepariwisataan di Taman Nasional Bali Barat. Departemen Kehutanan RI. Anonim, 2003. Rencana Pengelolaan Tahunan Taman Nasional Bali Barat 2003. Departemen Kehutanan RI. Anonim, 2003. Statistik Balai Taman Nasional Bali Barat 2002. Departemen Kehutanan RI. Soedirun, D. 2002. Makalah Pengelolaan Potensi Sumber daya Alam hayati di Balai Taman Nasional Bali Barat. Departemen Kehutanan RI.
150 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Lampiran Kuisioner KUISIONER UNTUK MASYARAKAT DAERAH PENYANGGA 1.
Apakah anda setuju dengan adanya Taman Nasional Bali Barat (TNBB) ? a.
Setuju, karena TNBB menunjang kepentingan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya alam.
b.
Netral, karena tidak mempengaruhi kehidupan masyarakat.
c.
Tidak Setuju, karena TNBB menyebabkan terlalu banyak peraturan yang melarang untuk masuk ke dalam hutan dan mengambil hasil hutan.
2.
3.
Apakah anda membutuhkan pembinaan dari TNBB, untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga ? a.
Ya, karena akan muncul jenis usaha baru.
b.
Netral, karena tidak akan berpengaruh.
c.
Tidak, karena tidak akan menjalankan pembinaan dari TNBB.
Menurut pendapat anda, perlukah masyarakat sekitar TNBB dilibatkan dalam penyusunan rencana kerja pengelolaan kawasan TNBB ?
4.
a.
Perlu, untuk mengakomodir kepentingan masyarakat
b.
Netral, tidak ada pengaruh
c.
Tidak Perlu, masyarakat tidak mempunyai kepentingan di sana.
Darimana anda mendapatkan pakan ternak dan kayu bakar? a.
Usaha pakan di lahan milik sendiri
b.
Kawasan hutan TNBB
c.
Kawasan hutan Dinas Kehutanan Propinsi Bali
151 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PARTISIPASI DAN KEINGINAN MASYARAKAT DALAM MENANGANI PERMASALAHAN HUTAN MANGROVE DI PRAPAT-BENOA, PROPINSI BALI Oleh : I Komang Surata
ABSTRAK Penelitian bertujuan mengkaji data dan informasi partisipasi, dan keinginan masyarakat lokal dalam menangani permasalahan kelestarian mangrove. Metode penelitian pengumpulan data yang dilakukan secara deskriptef survei dengan mewancarai 20 responden masing-masing desa dari 9 desa adat di sekitar mangrove secara purpusive sampling. Wawancara juga dilakukan secara langsung terhadap intansi kehutanan yang mengelola mangrove. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka dan laporan laporan terkait lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberdayaan masyarakat lokal oleh pemerintah dalam kegiatan pengelolaan mangrove di Prapat-Benoa Bali masih rendah 2,34 % terutama dalam kegiatan penanaman.Tingkat partisipasi masyarakat untuk menjaga kelestarian mangrove sudah baik yaitu sebesar 98,66 %. Kegiatan partisipasi masyarakat yang telah dilakukan meliputi:tidak melakukan penebangan kayu bakar, ikut peduli terhadap aktifitas yang merusak atau mematikan tanaman mangrove.Tindakan yang tidak partisipatif dari masyarakat dalam kelestarian mangrove adalah 1,34 % . Untuk menjaga kelestarian mangrove beberapa keinginan masyarakat yang perlu menjadi masukan bagi pemerintah dalam mengatasi permasalahan adalah :memindahkan lokasi TPA atau mengurangi dampak limbahnya, menjaga kebersihan atau mengurangi pembuangan sampah dari hulu dan masyarakat di sekitarnya, pembentukan regu kebersihan mangrove, pembuatan jalan lingkar setapak yang menjadi pembatas zonasi mangrove dengan lahan masyarakat yang sekaligus sebagi jalan rekreasi, tidak memberi ijin tukar menukar kawasan dan pinjam pakai mangrove, melengkapi sarana dan prasarana rekreasi/pariwisata dan sosialisasi program pengelolaan mangrove yang dilakukan pemerintah. Kata Kunci:: masyarakat lokal ,partisipatif, hutan mangrove, pengelolaan.
I.PENDAHULUAN Hutan bakau (mangrove) umumnya berada di daerah tropis yang terletak di titik pertemuan antara laut dan darat dimana ekosistemnya mempunyai bermacam-macam fungsi . Ekosistem mangrove sangat berhubungan dengan kehidupan manusia dalam perlindungan terhadap kondisi alam terutama untuk mencegah abrasi pantai, tempat berkembangnya biota laut, sebagai pengahasil kayu pertukangan, energi, pangan, obat-obatan, tempat usaha tambak udang dan sebagai tempat wanawisata (ekoturisme). Di Propinsi Bali luas hutan mangrove hanya seluas 1931,50 ha, atau 1,52 % dari seluruh hutan yang ada di Bali dan seluas 1373,5 ha yang berada di kawasan hutan Prapat Benoa (Kanwil Kehutanan Propinsi Bali,1994). Walaupun luas hutan mangrove tersebut relatif sangat sedikit dibanding seluruh hutan yang ada, namun hutan mangrove di laokasi ini merupakan kekayaan flora fauna yang mempunyai fungsi sangat penting untuk mendukung kegiatan ekosistem dan pariwisata mengingat lokasinya berdekatan dengan kota , aktivitas pariwisata Kabupaten Badung dan kota Denpasar. Sehingga mempunyai peranan yang sangat penting untuk lingkungan dan keberadaan ekosistem hutan mangrove harus tetap dipertahankan . Hutan mangrove di Kabupaten Badung dan Denpasar sejak tahun 1980- an mengalami kerusakannya yang disebabkan oleh aktifitas masyarakat untuk mencukupi kebutuhan ekonomi 152 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dan pemukiman. Sebagian kawasan berubah fungsi menjadi tambak udang baik di dalam kawasan hutan negara maupun tanah milik. Kegiatan ini disamping memberikan manfaat ekonomi juga menyebabkan degradasi hutan mangrove yang cukup parah. Kondisi seperti ini dikhawatirkan akan menyebabkan abrasi oleh air laut, adanya intrusi air laut kedaratan , hilangnya biota laut dan jenis mangrove, merusak
keindahan lingkungan, jalur hijau dan
pariwisata. Oleh karena itu untuk mencegah kerusakan yang lebih parah maka sejak tahun 1992/1993, kegiatan tambak udang dihentikan dan lokasi bekas tambak udang direhabilitasi kembali dengan dana kerjasama JICA dan Deparemen Kehutanan. Hasil rehabilitasinya yang telah dilaksanakan berhasil cukup baik. Dewasa ini lokasi mangrove direncanakan akan dijadikan pusat pendidikan dan pelatihan mangrove, mangrove park ,komponen kegiatan menunjang kepariwisataan (ekotorisme) , Tahura (Taman Hutan Raya) dan mejadi jalur hijau kota Denpasar. Dengan demikian akan banyak unsur yang terlibat di dalamnya seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah, pengusaha/ komponen pariwisata (pemandu wisata dari biro perjalanan) dan masyarakat. Untuk mencegah kerusakan mangrove yang telah direhabilitasi ,maka dimasa mendatang keterlibatan kepentingan masyarakat yang bermukim di sekitar mangrove perlu diperhatikan. melalui penerapan strategi pola partisipasi masyarakat. Kegitan ini berguna untuk mengantisipasi permasalahan yang timbul dimasa mendatang terutama konflik kepentingan dalam pemanfaatan dan pelestarian mangrove.Pemerintah dalam hal ini tidak boleh meninggalkan stekeholder seperti masyarakat dalam keterlibatan untuk menjaga dan ikut memanfaatkan dan melestarikan mangrove. Pemerintah ke depan dalam kegiatan pelestarian diharapakan lebih banyak berfungsi sebagai fasilitator dan menumbuhkan peran serta masyarakat. Peranserta (partisipasi) masyarakat yang lebih dilandasi kesadaran individu /kelompok dan lingkungannya, tanpa adanya suatu paksaan. Berdasarkan pemaparan masalah tersebut di atas, maka
dilakukan penelitian yang
bertujuan untuk mengkaji data dan informasi partisipasi dan keinginan masyarakat lokal dalam menangani permasalahan kelestarian mangrove II.METODE PENELITIAN A.Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Hutan Mangrove Prapat Benoa , Kabupaten Badung dan Denpasar,Propinsi Bali yang dimulai pada bulan April – Juli 2002. B. Bahan dan Alat Bahan dan alat bantu yang dipergunakan dalam penelitian ini antara lain : daftar pertanyaan (koesioner) untuk masyarakat responden, alat tulis menulis, alat perekam, alat ukur, peta kawasan dan laporan-laporan serta literature yang berkaitan dengan penelitian ini. C. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data Pengumpulan data dilakukan secara deskriptif survei yang terdiri dari dua kegiatan pokok, yaitu pencarian dan penafsiran data (Nazier, 1988). Data yang dikumpulkan berupa data 153 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
primer yang diperoleh dari wawancara dari 20 responden secara purposive sampling pada setiap lembaga adat dan wawancara secara langsung terhadap instansi pemerintah. Sedangkan data sekunder dikumpulkan melalui studi pustaka, laporan-laporan lembaga terkait dan laporan ilmiah lainnya. Data dan informasi yang dikumpulkan dianalisis dengan metode tabulasi (Depratemen Kehutanan, 1996).
III.HASIL DAN PEMBAHASAN A. Letak dan Kondisi Wilayah Kawasan Mangrove. Secara administratif Tahura Ngurah Rai terletak dalam dua wilayah pemerintahan yaitu Kodya Denpasar dan Kabupaten Badung . Untuk Kodya Denpasar lokasi mangrove berada dalam wilayah Kecamatan Kuta. Berdasarkan
hasil pengamatan, terdapat 9 adat/kelurahan
terdekat yang berada di lokasi mangrove yaitu 5 desa/ kelurahan yang paling dekat posisinya dengan kawasan Tahura ; Kuta, Tuban, Jimbaran dan Benoa. Sedangkan untuk Kabupaten Badung terletak di Kecamatan Denpasar Selatan ada 4 Desa yaitu :Sanur, Serangan, Pedungan dan Pemogan. Jumlah penduduk di sekitar desa Tahura adalah 98.135 orang dengan kepadatan 1654 orang/km2 dan tingkat pendidikan cukup baik . Hal ini tercermin dari tingkat pendidikan 3,4 % Sarjana dan berdekatan dengan lokasi Perguruan Tinggi. Komposisi pekerjaan yang dilakukan penduduk adalah sebagai pegawai negeri, pegawai swasta, berusaha di sektor pariwisata, sektor jasa , nelayan dan buruh. Hutan mangrove di Prapat –Benoa termasuk dalam RTK 10 dengan luas 1.373,5 ha mempunyai peranan sangat penting karena lokasinya sangat strategis berada berdekatan dengan Pelabuhan laut Benoa, Airport Ngurah Rai , di pinggir jalan by Pass Kota Denpasar, berdekatan dengan lokasi pasilitas pariwisata seperti Hotel, Restoran dan kegitan rekreasi lainnya. Akibat pembukaan usaha budidaya tambak udang tahun 1980-an areal hutan mengalami kerusakan seluas 334,06 ha. Kemudian untuk merehabilitasi kerusakan ini maka kegiatan tambak udang dihentikan dan sejak tahun 1990 dilakukan rehabilitasi oleh dinas kehutanan seluas 100 ha dan dilanjutkan rehabilitasinya pada tahun 1992-1997 atas bantuan JICA dan Depratemen Kehutanan (PPLH Lemlit Universitas Udayana, 2000) . Untuk menunjang kepentingan lingkungan kota dan pariwisata berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia 544/Kpts-II/93 tanggal 25 September 1993 status kawasan hutan mangrove di PrapatBenoa diubah menjadi Taman Hutan Raya Ngurah Rai. B. Peranan Pemerintah dalam Pemberdayaan Masyarakat Pelibatan masyarakat oleh pemerintah meliputi kegiatan rehabilitasi mangrove berupa merekrut tenaga kerja untuk kegiatan penanaman mangrove sebesar 2,34 % yaitu
20 -30
orang/tahun. Minat masyarakat untuk bekerja pada proyek mangrove sangat rendah , karena hanya terfokus pada kegiatan yang lebih mengandalkan tenaga /fisik sebatas karyawan buruh persemaian dan penanaman. Umumnya mereka lebih memilih kerja di Hotel, sektor jasa lainnya 154 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
atau jadi pedagang dari pada bekerja di hutan mangrove terutama yang memiliki ijazah SMA ke atas. Bila dilihat dari asal usulnya buruh yang bekerja dalam kegiatan rehabilitasi mangrove terdiri dari masyarakat lokal setempat (diluar dan lokasi mangrove). Berdasarkan data yang diperoleh dari asal usul jumlah masyarakat lokal setempat yang direkrut untuk kegiatan rehabilitasi adalah kecil dan bersifat musiman. Mereka umumnya menjadi tenaga kerja harian yang
kegiatannya
bersifat
insidentil
sesuai
dengan
kebutuhan
proyek
seperti
persemaian,penananam dan pemeliharaan mangrove. Dari data yang dikumpulkan di lokasi menunjukkan bahwa pihak proyek lebih banyak melibatkan masyarakat lokal setempat terutama dalam kegiatan rehabilitasi mangrove karena masyarakat lokal lebih mengusai wilayah dan jarak ke lokasi tidak begitu jauh.. Sebenarnya pemberdayaan masyarakat oleh para pengelola mangrove menerut Menteri Kehutanan dan Perkebunan (1999) tidak terbatas dengan memperkerjakan /melibatkan mereka sebagai tenaga kerja saja, tetapi juga dalam hal –hal tertentu masyarakat perlu dilibatkan dalam pengambilan keputusan, anatra lain: a. Masyarakat perlu dilibatkan dalam penyusunan rencana program pembinaan masyarakat desa di sekitar hutan b. Masyarakat juga perlu memberikan saran dan masukan dalam persiapan perencanaan kegiatan pengusahaan hutan. Pengelolaan mangrove oleh pemerintah dalam melakukan kegiatan belum melibatkan masyarakat, terutama pada kegiatan –kegiatan yang dirasa dapat menimbulkan konflik antara masyarakat dan proyek . Kegitan-kegiatan tersebut a.l. rencana pengembangan Tahura, jalan dan kegiatan lain yang berhubungan dengan adat-istiadat masyarakat setempat, selain keterlibatan masyarakat dalam menyusun program-program pembinaan masyarakat desa adat perlu dilakukan. Pengelola mangrove dalam mengambil keputusan hanya saat ini masih dominan dari unsur pemerintah saja. C.Partisipasi Masyarakat dalam Pengelolaan Mangrove Tingkat partisipasi masyarakat dalam menjaga kelestarian mangrove sudah cukup baik yaitu sebesar 98,66 %. Kegiatan partisipasi masyarakat yang telah dilakukan : meliputi: tidak melakukan penebangan ,membantu menanam mangrove secara swadaya, ikut peduli terhadap aktifitas yang merusak atau mematikan tanaman mangrove. Masyarakat di sekitar mangrove tidak melakukan kegiatan pemungutan kayu bakar dari hutan bakau. karena hampir 100 % penduduk di sekitar mangrove sudah memakai minyak tanah untuk memasak. Keterlibatan masyarakat desa maupun kota sudah sangat baik dalam penanaman mangrove. Bahkan pada hari-hari tertentu kegiatan swadaya beberapa organissasi untuk menanam mangrove cukup tinggi.
155 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kepedulian masyarakat terhadap kerusakan mangrove cukup tinggi hal ini dapat dilihat dari protes masyarakat lokal terhadap kebocoran pipa minyak pertamina yang menyebabkan kematian mangrove, yang pernah terjadi di dekat Pelabuhan Benoa dan Pelabuhan Ngurah Rai. Pemerintah seharusnya memberikan sanksi kepada pertamina atas kerugian yang ditimbulkan dengan menanam kembali hutan bakau yang rusak.. Disamping itu kerusakan mangrove juga ditimbulkan akibat pinjam pakai tempat pembuangan sampah (TPA) dan tempat pengelolaan limbah cair yang merusak tanaman mangrove disamping polusi udara yang ditimbulkan di sekitarnya berupa bau busuk dan asap dari pembakaran sampah. Tukar menukar dan pinjam pakai mangrove banyak disorot oleh masyarakat akan memepercepat penurunan luasan kawasan hutan mangrove . Oleh karena itu sudah saatnya hal ini tidak dilakukan lagi mengingat akan mempercepat degradasi hutan mangrove. Kelestarian ekosistem hutan mangrove terganggu oleh kiriman sampah dari hulu, akibat banjir dan pembuangan sampah di kali di daerah hulu. Limbah ini banyak sekali jumlahnya yang tertampung di mangrove dan seperti di sekitar dam estuarine menimbulkan pemandangan dan bau yang tidak baik.. Dengan demikian peran serta masyarakat di hulu untuk tidak membuang sampah di sungai sangat diperlukan. Untuk kelestarian hutan mangrove dimasa mendatang kegiatan pengelolaan mangrove tidak boleh terlepas dari keadaan sosial ekonomi masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Oleh karena itu perlu peningkatan upaya-upaya untuk menampung aspirasi , kepentingan dan kebutuhan masyarakat setempat dengan memperhatikan masukan dari
desa adat setempat.
Menurut Wanggai, Tokede, dan Hadi ( 1995) perlu ditemukan solusi bagaimana mengelola hutan mangrove tersebut dengan pendekatan masyarakat sebagai mitra kerja, mitra usaha yang memiliki akses secara kongkrit pada kelestarian mangrove. Hal ini dapat ditempuh dengan pola partisipatif , sehingga masyarakat setempat tidak hanya menjadi objek pembangunan tetapi sekaligus subyek pembangunan. Dengan penerapan pola partisipatif ini maka akan memberdayakan masyarakat, dan menghindari konflik antara masyarakat dan pengelola.dan sekaligus untuk menjaga pelestarian D. Kegiatan Masyarakat di dalam Kawasan Mangrove Aktifitas masyarakat lokal dalam pemanfaatan mangrove meliputi kegiatan: memancing ikan, rekreasi, kegiatan keagamaan pada areal lokasi pura yang berada di lokasi mangrove. Kegiatan masyarakat nelayan di sekitar mangrove sudah sejak turun menurun mengerti bahwa hutan mangrove merupakan sumber kehidupan mereka. Ketergantungan hidupnya seperti untuk mencukupi kebutuhan udang, ikan,kepiting dan kerang untuk konsumsi sendiri dan untuk diperjual belikan. Namun dengan adanya pengerusakan (pada waktu dibabat untuk tambak udang) maka terasa sekali terjadi penurunan usaha mereka. Dan mereka kebanyakan mengeluh dengan kondisi seperti ini.
Dengan demikian persepsi masyarakat sangat positif
dalam
pelestarian hutan mangrove, karena terbukti manfaat dan fungsi hutan mangrove sangat penting dalam menunjang pendapatan mereka.
156 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kegiatan masyarakat di sekitarnya dan diluar lokasi mangrove untuk melakukan rekreasi di hutan mangrove sekarang sudah terasa, baik lewat rekreasi memancing maupun orang-orang yang ingin menikmati keindahan alam di hutan mangrove. Prasarana traking memamng sudah ada akan tetapi sangat terbatas jumlahnya oleh karena itu prasarana perlu ditingkatkan untuk kegiatan wisata alam. Menurut Inoue dkk (1999) untuk mengembangkan ekotorisme di dalam kawasan hutan, kegiatan harus dilaksanakan di tingkat masyarakat. Masyarakat setempat harus mendapatkan keuntungan pelayanan berupa pemanduan, penjualan makanan, akomodasi dan lain-lain. Selama mereka memperoleh kehidupan yang cukup dari usaha tersebut, maka mereka tidak akan memilih untuk mengkonversi lingkungan alami. Menurut saran mereka sebaiknya digunakan pendekatan pola partisipatif masyarakat dalam pengelolaan ekotorisme mangrove . Kegiatan masyarakat di wilayah mangrove ada berhubungan dengan agama. Ada
6
kompleks pura yang masing-masing terdiri dari atas beberapa banguan (pelinggih), kuburan, kelenteng. Tempat-tempat ibadah berupa pura itu memiliki keberadaan yang dilihat dari satu sisi memang mengambil lokasi
mangrove tetapi disisi lain
berpotensi cukup baik untuk
melestarikan mangrove itu sendiri. Potensi ini merupakan potensi sosial budaya
yang
merupakan suatu kearipan budaya tradisional untuk menjaga kelestarian mangrove. Kegiatan akses masyarakat pada areal mangrove tempat ibadah
belum diakui sebagai tanah adat..
Peraturan ini sangat penting karena akan lebih bijaksana dalam mengelola , apa yang menjadi hak-hak masyarakat sekitarnya. Dalam kegiatan pelestarian mangrove lembaga adat dalam hal ini desa adat (pangkraman) sangat berperan. Aturan adat
berhak untuk menentukan boleh
tidaknya masyarakat melakukan kegiatan di mangrove. E. Keinginan Masyarakat dalam Menangani Permasalahan Kelestarian Mangrove Bentuk tindakan masyarakat yang kurang partisipatif dalam kelestarian mangrove sebesar 1,34 %, Tidakan tersebut seperti penyerobotan tanah oleh pemilik tanah yang lokasinya berbatasan dengan lokasi mangrove dan pembuangan limbah ke hutan mangrove. Para pemilik bangunan yang berada di sekitar mangrove yang bangunannya membelakangi hutan mangrove sering memperluas areal tanah mereka dengan memindahkan pal batas ,mengurug hutan mangrove dari sisa material bangunan dan mebuang sampah.. Aktivias mereka sangat sulit diketahui mengingat tidak ada jalan tembus untuk pemeriksaan batas kawasan dan pemukiman karena tertutup oleh rumah. Kejadian ini ditimbulkan oleh sulitnya jalan untuk mengadakan pemeriksaan, lemahnya pengawasan oleh pemerintah dan pemerintah belum memberdayakan lembaga adat setempat dalam menjaga keamanan dan kelestarian mangrove. Permasalahan penyerobotan tanah oleh pemilik tanah yang lokasinya berbatasan dengan mangrove perlu segera ditertibkan. Untuk mengantisipasi masalah ini sudah saatnya dibuat jalan lingkar setapak yang menjadi pembatas zonasi mangrove dengan lahan masyarakat yang sekaligus sebagi jalan rekreasi dan rumah-rumah penduduk harus menghadap ke arah pantai dan tidak membelakangi pantai bagi mereka yang suka traking dengan sepeda di sekitar hutan mangrove.
157 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pembuangan limbah oleh masyarakat yang bermukim di sekitar mangrove dilakukan oleh bangunan yang letaknya berdekatan dengan kawasan mangrove yang menyebabkan pencemaran lingkungan.Pembuangan sampah ini perlu dicegah dengan mengadakan penyuluhan kepada masyarakat Pembuangan sampah dari hulu yang merupakan sampah terbesar perlu dicegah dengan meningkatkan kesadaran kali bersih yang sudah dicanangkan oleh Kodya Denpasar untuk Tukad Badung, disamping pembangunan Estuari Dam seluas 48,27 ha ( Dinas Kehutanan Propinsi Bali,2001). Adalah tempat akhir berkumpulnya limbah dari hulu sungai badung dan dari dam ini tinggal diangkat sampahnya dan dibuang ke lokasi lain. Disamping itu masih ada selokan pembuangan air yang mengarah ke hutan mangrove perlu dibuatkan bangunan penampung sampah sehingga sampahnya lebih mudah untuk ditampung dan selanjutnya di buang ke lokasi pembuangan. menjaga kebersihan atau menekan pembuangan limbah di lokasi mangrove, dan pembentukan regu kebersihan mangrove.. Pinjam pakai kawasan hutan umtuk pembuangan TPA (tempat pembuangan sampah ) oleh Departemen Pekerjaan Umum seluas 14,4 Ha dan pembuangan limbah cair (lagoon) seluas 30 ha oleh PT
Bali Tourism Dvelopment Coorporation BTDC)
telah
disorot masyarakat
sekitarnya yang menyebabkan polisi lingkungan (Dinas Kehutanan Bali,2000) . Bahkan menurut hasil pengamatan menimbulkan kematian bakau seluas 2,4 ha disekeliling lokasi pembuangan limbah.,timbul bau tidak sedap, asap pembuangan . Untuk mengantisipasi permasalah ini beberapa keinginan masyarakat dalam kelestarian mangrove adalah: memindahkan lokasi TPA atau mengurangi limbah dampak limbah melalui pembutan kompos F. Pengeloaan Hutan Mangrove Sebagai Objek Wisata Alam Pengelolaan hutan mangrove sebagai obyek wisata alam , merupakan salah satu bentuk pemenfaatan yang sedikit menimbulkan kerusakan dan melestarikan lingkungan. Karena potensi ekosisitem hutan mangrove (keunikan dan kekhasan) dimanfaatkan sebagai obyek wisata alam, wisata ilmiah dan sebagai daya tarik wisata air.
Melalui pembinaan dan pelatihan dapat
membangkitkan motivasi masyarakat sekitar
hutan
(industri kerajinan, angkutan
perahau,berjualan makanan dan minuman) untuk berperan serta dalam kegiatan pengusahaan wisata alam. Disamping itu tersedianya obyek wisata alam, wisata ilmiah dan wisata bahari akan banyak menarik masyarakat untuk memanfaatkan sebagai sarana rekreasi, penelitian , penedidikan dan kecintaan terhadap ekosisitem hutan mangrove. Permasalahan yang sering dihadapi adalah belum mapannya pemahaman wisata alam (ekotourisme) di kalangan pengunjung. Pada umumnya masyarakat masih melihat kawasan wisata alam sebagaimana kawasan wisata lainnya, yaitu menikmati keindahan obyek wisata . Sedangkan yang diharapkan dari pengunjung dalam menikmati kawasan wisata alam adalah pemahaman akan keunikan dan kekhasan ekosistem hutan mangrove , proses ekologis, proses biologis yang berlangsung pada ekosisitem hutan mangrove. Kondisi fisik yang unik dan khas , serta keindahan dan kekhasan panorama alam hutan bakau dan pendidikan lingkungan. Di samping itu pada kawasan wisata alam pada umumnya
belum tersedia program-program
interpretasi yang memudahkan bagi pengunjung untuk menikmati, mempelajari dan memanfaatkan potensi wisata alam. 158 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Program kegiatan yang diinginkan oleh masyarakat dalam pengelolaan mangrove: Penyuluhan dan pelatihan keterampilan, Memberdayakan kelembagaan adat yang sudah ada, melakukan perbaikan sarana dan prasarana pariwisata dan bantuan tempat ibadah, penyuluhan system zonasi pengelolaan tahuara, pelatihan teknik pemandu wisata dan interpretasi lingkungan, mengakuai hak adat/ulayat masyarakat setempat dalam pengelolaan hutan mangrove dan penataan pemukiman pada daerah yang berbatasan dengan areal mangrove, menyerap .. Pendekatan yang dilakukan pemerintah selama ini masih menggunakan pendekatan terhadap pelaksanaan program. Pada hal endekatan yang terbaik adalah pendekatan yang berdasarkan kepentingan, kemampuan dan permasalahan yang dihadapi masyarakat tersebut. Oleh karena itu sosialisasi program pengelolaan mangrove perlu dilakukan oleh pemerintah, IV.KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Pemberdayaan masyarakat lokal oleh pemerintah dalam kegiatan pengelolaan mangrove di Prapat-Benoa Bali sangat terbatas hanya 2,34., terutama dalam kegitan rehabilitasi mangrove yang sifatnya sementara . 2. Tingkat partisipasi masyarakat untuk menjaga kelestarian mangrove sudah cukup baik yaitu sebesar 98,66 %. 3. Kegiatan
partisipasi masyarakat yang telah dilakukan
meliputi:tidak melakukan
penebangan kayu bakar,ikut peduli terhadap aktifitas yang merusak atau mematikan tanaman mangrove. 4. Bentuk tindakan masyarakat yang kurang partisipatif dalam kelestarian mangrove 1,34 % adalah adanya beberapa penyerobotan tanah oleh pemilik tanah yang lokasinya berbatasan dengan lokasi mangrove dan pembuangan limbah ke hutan mangrove. 5. Masyarakat menganggap bahwa keuntungan yang bisa dinikmati dari kelestarian mangrove adalah untuk menjaga kebersihan lingkungan objek pariwisata di sekitar Kuta,Nusa Dua dan Tanjung Benoa ,menambah kesejukan dan keindahan Kota Denpasar dan Kabupaten Badung 6. Kegiatan masyarakat yang dilakukan di lokasi mangrove seperti: memancing ikan, rekreasi, kegiatan keagamaan pada areal lokasi pura/pantai yang berada di lokasi mangrove. 7. Untuk kelestarian mangrove beberapa keinginan masyarakat untuk mengantisipasi permasalahan adalah : memindahkan lokasi tempat pembuangan sampah atau mengurangi dampak limbah di lokasi mangrove, menjaga kebersihan atau menekan pembuangan limbah dari hulu dan masyarakat sekitarnya, pembentukan regu kebersihan mangrove, pembuatan jalan lingkar setapak yang menjadi pembatas zonasi mangrove dengan lahan masyarakat yang sekaligus sebagi jalan rekreasi, tidak memberi ijin tukar menukar kawasan dan pinjam pakai mangrove, 8. Pengelolaan hutan mangrove sebagai obyek wisata alam , merupakan salah satu bentuk pemanfaatan yang sedikit menimbulkan kerusakan dan melestarikan lingkungan Untuk menunjang maka pemerintah perlu melakukan penyuluhan dan pelatihan keterampilan 159 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
wisata tentang pengelolaan mangrove di Tahura, penyuluhan sistem zonasi pengelolaan tahura, melakukan perbaikan sarana dan prasarana pariwisata , pelatihan teknik pemandu wisata , B. Saran 1. Perlunya pemerintah daerah yang mengelola tahura untuk mengeluarkan peraturan yang menyangkut hak dan kewajiaban masyarakat yang berada di sekitar areal tahura, sehingga tidak terjadi konflik kepentingan. 2. Diperlukan perhatian dari pihak Tahura untuk melibatkan masyarakat sekitarnya untuk menyusun program kerja dan pelibatan masyarakat dalam pelibatan kegiatan dalam rangka peningkatan peran serta masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam pengelolaan mangrove. Sehingga akan meningkatan peran serta masyarakat sebagai mitra pemerintah dalam pengelolaan mangrove. 3. Diperlukan sosialisasi/penyuluhan
yang lebih baik mengenai kebijakan-kebijakan
pemerintah dala mengelola Tahura yang berkaitan dengan kondisi yang dapat menyembatani antara keinginan masyarakat dan pihak Tahura. 4. Mengakui hak-hak adat/ulayat masyarakat dan memanfaakan aturan kearifan tradisional setempat seperti masalah bisama pura dalam pengelolaan mangrove
DAFTAR PUSTAKA Departemen Kehutanan dan Perkebunan . 1996. Petunjuk umum teknis pedoman survei sosial ekonomi kehutanan Indonesia. Badan Litbang Kehutanan dan Perkebunan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta. Dinas Kehutanan Bali. 2000. Perkembangan Pinjam Pakai Kawasan Hutan Propinsi Bali Tahun 2000. Dinas Kehutanan Propinsi Bali. Denpasar. Inoue, Y., Oki Hadiyati, H.M. Afwan Affandi, K.R. Sudarma,I. N. Budiana. 1999. Model Pengelolaan Hutan Mangrove Lestari. Hasil Studi Kelayakan di Republik Indonesia. JICA dan Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Kanwil Kehutanan Propinsi Bali. 1994. Informasi Tentang Proyek Pembangunan Hutan Mangrove di Prapat Benoa Suwung Denpasar Bali. Kanwil Kehutanan Propinsi Bali. Menteri Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Surat keputusan menteri kehutanan dan perkebunan No. 318/Kpts-II/1999. Tentang peran serta masyarakat dalam pengusahaan hutan . Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. Nazier,M. 1988. Metode Penelitian . Ghalia Indonesia .Jakarta. PPLH-Lemlit Universitas Udayana , 2000. Rencana Pengelolaan (Management Plant) Kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai Propinsi Bali. PPLH-Lemlit Universitas Udayana dengan Dinas Kehutanan Propinsi Bali. Sukmana, Cecep. 1995. Menejemen Hutan Mangrove di Indonesia. Proceding Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia. Konsep Permasalahan dan Strategi Menuju Era Ekolabel. Fakultas Kehutanan IPB, Yayasan Gunung Menghijau, Yayasan Pendidikan Ambarwati. .Wanggai, F.,M.J. Tokede, Paria Hadi. 1995. Pengelolaan Produksi Lestari dalam Penerapan Ekolabel pada Hutan Produksi di Tahun 2000 (Studi Kasus pada HPH di Irian Jaya). Proceding Pengelolaan Hutan Produksi Lestari di Indonesia. Konsep Permasalahan dan Strategi Menuju Era Ekolabel. Fakultas Kehutanan IPB, Yayasan Gunung Menghijau, Yayasan Pendidikan Ambarwati.
160 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI TERPADU DALAM MENDUKUNG KEBERLANJUTAN SISTEM IRIGASI SUBAK DI BALI Oleh : Gerson ND. Njurumana, I Wayan Widhiana Susila, Tigor Butar Butar ABSTRAK Keberlanjutan sistim irigasi subak sangat ditentukan oleh berfungsinya komponen pendukun baik internal maupun eksternal. Faktor kesehatan DAS termasuk fqaktor eksrternal yang menentukan keberlanjutan faktor internal. Penguatan kelembagaan subak menjadi salah pilar pendukung keberlanjutan sistim tersebut dimasa mendatang. Kata kunci: Subak, Keberlanjutan, DAS
I.PENDAHULUAN Daerah aliran sungai merupakan satuan wilayah tangkapan air (cathman area) yang di batasi oleh pemisah topografi yang menerima hujan, menampung dan mengalirkan ke sungai dan seterusnya ke danau dan laut
serta
mengisi air bawah tanah. Pengertian DAS seperti
dikemukakan oleh Asdak (1995, 2002) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Karena DAS sebagai sebuah ekosistem, terjadi interaksi antara berbagai faktor penyusunnya seperti faktor abiotik, biotik dan manusia. Sebagai ekosistem, pasti dijumpai adanya masukan (input) dan segala proses yang berkaitan dengan masukan tersebut yang dapat dievaluasi berdasarkan luaran (output) yang dihasilkan.
Bila curah hujan dipandang sebagai unsur masukan dalam ekosistem DAS, maka
luaran yang dihasilkan adalah debit air sungai, penambahan air tanah dan limpasan sedimentasi sedangkan komponen lain seperti tanah, vegetasi, sungai dalam hal ini bertindak sebagai prosessor (Suripin 2002). Kerusakan DAS di Indonesia mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Pada tahun 1984 terdapat 22 DAS kritis, dan pada tahun 1992 menjadi 39 DAS kritis dan hingga tahun 1998 bertambah lagi menjadi 59 DAS kritis, dan saat ini diperkirakan ada 70 DAS kritis. Pengelolaan sumberdaya DAS telah menjadi perhatian publik dalam beberapa dekade terakhir. Berbagai 161 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
bencana alam yang terjadi seperti banjir dan krisis air bersih telah membangkitkan kesadaran semua pihak tentang pentingnya kelestarian ekosistem DAS, sehingga pengelolaannya harus terpadu melibatkan seluruh unsur terkait. Kesadaran tersebut seharusnya mendorong semua pihak yang memperoleh manfaat untuk memberikan kontribusi terhadap tindakan rehabilitasi, konservasi dan pelestarian DAS. Pengelolaan DAS merupakan suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat manipulasi sumberdaya alam dan manusia yang terdapat dalam ekosistem DAS untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa lingkungan yang optimal tanpa menyebabkan kerusakan terhadap sumberdaya tanah dan air. Bentuk pengelolaan DAS terpadu adalah pemanfaatan potensi sumberdaya alam beserta jasa lingkungan (environment services) yang ada dalam DAS melalui penilaian yang menyeluruh tentang DAS dan potensi jasa-jasa lingkungan. Pengelolaan DAS secara terpadu dan berkelanjutan pada prinsipnya merupakan upaya pemanfaatan, perlindungan dan pelestarian serta pengendalian yang dilaksakan secara terpadu (multi sektor), menyeluruh (hulu – hilir, kuantitas – kualitas, in stream – off stream), berkelanjutan (lintas generasi), berwawasan lingkungan (konservasi ekosistem) dengan DAS (satuan wilayah hidrologis) sebagai kesatuan pengelolaan. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang memiliki ketergantungan cukup tinggi terhadap ekosistem DAS karena berkaitan dengan sumberdaya air untuk irigasi seperti sistem subak yang diterapkan oleh masyarakat di Pulau Bali. Bila terjadi degradasi dan kerusakan ekosistem DAS memberikan dampak langsung terhadap keberlanjutan sistem subak dan produksi pangan. Subak merupakan salah satu model irigasi tradisional yang dijumpai di Pulau Bali untuk pengelolaan sumberdaya air bagi kepentingan pertanian dan produksi pangan. Keberlanjutan subak sangat ditentukan oleh berfungsinya faktor pendukung yang meliputi faktor internal berupa organisasi petani pengelola air, jaringan dan sarana prasarana irigasi, produksi pangan, ekosistem lahan sawah beririgasi, ritual sosio-religius yang berkaitan dengan budidaya pertanian (padi) dan faktor eksternal yaitu kondisi kesehatan DAS mulai dari hulu sampai hilir. Faktor eksternal berupa ekosistem DAS memiliki peran yang cukup signifikan dalam pengelolaan dan keberlanjutan subak, sedangkan faktor internal lebih banyak sebagai komponen pendukung untuk mengelola dan memanfaatkan jasa lingkungan yang sudah ada. II.PENGELOLAAN LAHAN DAN KELESTARIAN EKOSISTEM DAS Propinsi Bali terdiri dari beberapa pulau yaitu pulau Bali, pulau Nusa Penida, Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, Serangan dan Menjangan, memiliki luas wilayah sebesar 563.286 ha atau 0,29 % dari luas wilayah Indonesia. Luas hutannya sebesar 130.686,01 ha, terdiri dari kawasan hutan perairan / bakau seluas 3.415 ha dan kawasan hutan daratan sebesar 127.271,01 ha. Jenis tanah yang ada di dominasi oleh jenis tanah latosol (46,05 %) dan regosol (32,35 %) dan sisanya dalah jenis tanah Alluvial, Mediteran dan Andosol. Potret penggunaan lahan pada Tahun 2000 terdiri dari pemanfaatan untuk pemukiman sebesar 5,95 %, sawah 15,83 %, kawasan hutan 22,59 %, perkebunan 23,42 %, tegalan 20,43 %, lahan kritis 7,58 %, danau /
waduk 0,64 % dan
penggunaan lain seluas 3,56 %. Sampai saat ini luas lahan kritis telah mencapai 307.035 ha 162 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
terdiri dari kondisi sangat kritis sebesar 4.842 ha, kondisi kritis seluas 50.471 ha, kondisi agak kritis seluas 98.840 ha dan potensial kritis seluas 152.882 ha (Tabel 1). Bila ditinjau dari segi satuan wilayah daerah aliran sungai (DAS), maka propinsi Bali dapat dibagi dalam 12 (dua belas) Sub DAS yaitu Sema Bona (11.432 ha /2,03 %), Penida (20.284 ha / 3,60 %), Leh Balian (28.370 ha / 5,03 %), Blingkang Anyar (36.694 ha / 6,52 %), Teluk terima Pancoran (42.761 ha / 7,59 %), Biluk Poh Gumbrih (43.339 ha /7,69 %), Oten Sungi (48.175 ha / 8,55 %), Klatakan Lubang (51.664 ha / 9,17 %), Oos Jinah (58.346 ha /10,36), Sabah Daya (66.947 ha /11,89 %), Pangi Ayung (67.582 ha /12,00 %) dan Unda (87.692 ha /15,57 %) (Anon 2002).
163 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 1. Penyebaran lahan kritis di Propinsi Bali N o
Kabupaten
Lahan kritis di dalam kawasan hutan (Ha)
Lahan kritis di luar kawasan hutan (Ha)
Tingkat Kritis
Tingkat Kritis Agak Kritis
Jumlah
Sanga t Kritis
Kritis
Agak Kritis
Potensia l Kritis
Sangat Kritis
Kritis
Potensi al Kritis
0
90
775
180
0
2.211
7.054
8.300
18.610
2.450
1.353
2.850
2.687
49
598
10.122
18.463
38.572
1
Badung
2
Bangli
3
Buleleng
605
8.513
4.555
37.186
0
2.045
21.755
20.602
95.261
4
Denpasar
0
40
100
0
0
0
0
0
140
5
Gianyar
0
0
0
0
0
0
6.190
3.565
9.755
6
Jembrana
0
1.883
7.398
32.032
0
0
3.255
4.835
49.403
7
Karangasem
878
4.615
4.690
4.032
860
17.10 0
18.690
950
51.815
8
Klungkung
0
846
202
0
0
9.465
8.435
1.850
20.798
9
Tabanan
0
1.652
457
7.637
0
0
3.255
4.835
22.681
3.933 18.992
21.02 7
83.754
909
31.47 9
77.813
69.128
307.03 5
JUMLAH
Sumber : Anonim 2002
Berdasarkan data tersebut di atas, kondisi lahan kritis dan potensial kritis telah mencapai 54 % dari luas wilayah propinsi Bali. Persentase luas lahan kritis akan semakin bertambah seiring dengan meningkatnya aktivitas pemanfaatan lahan dan kegiatan konversi pada berbagai kepentingan pembangunan. Mengingat Bali merupakan daerah primadona pariwisata dunia, nilai ekonomi lahan makin mengalami peningkatan dari waktu ke waktu yang diiringi meningkatnya kebutuhan terhadap lahan. Dalam rangka mengefektifkan pemanfaatan potensi DAS, maka diperlukan tersedianya data base ekosistem DAS di Propinsi Bali, sehingga mendukung konsep pembangunan dan pengelolaan subak secara berkelanjutan. Database karakteristik DAS yang meliputi karakteristik fisik (geometri DAS, pola aliran dan bentuk DAS, alur sungai, morfologi) yang dipengaruhi oleh kondisi iklim, kondisi geologis, kondisi geomorfologis, kondisi tanah, kondisi vegetasi, kondisi hidrologis (air di atas permukaan tanah / hujan, air pada permukaan tanah/sungai/danau/waduk dan air di bawah permukaan tanah / air tanah / mata air ), tata guna lahan, kondisi sosial (demografis / tenaga kerja), ekonomi (sarana dan prasarana ekonomi, komoditi, bahan galian) dan budaya (adat istiadat) masyarakat yang berada dalam satuan ekosistem DAS. Pengelolaan lahan berkaitan erat dengan konservasi tanah dan air sehingga tercapai produktivitas tanah yang tinggi dan terkendalinya erosi. Kebijakan pengelolaan tanah mencakup sedikitnya 3 hal meliputi (a) lahan harus digunakan sesuai dengan kemampuannya; (b) penggunaan lahan harus diarahkan agar tanah terlindungi dari erosi dan kerusakan serta (c) penggunaan teknikteknik konservasi tanah dan air yang sesuai seperti guludan, terasering dan penutupan lapisan permukaan tanah dengan vegetasi.
164 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
III.PENGELOLAAN SUMBERDAYA AIR DAN PENGUATAN KELEMBAGAAN SUBAK Selama kondisi kesehatan DAS terjaga, volume sumberdaya air yang berada dalam satuan DAS relatip stabil setiap tahunnya. Persoalan yang dihadapi adalah bagaimana agar air tersebut dapat tersedia dalam jumlah dan mutu yang diperlukan pada setiap waktu. Dengan demikian, pengelolaan sumberdaya air membutuhkan tindakan untuk mendapatkan, memanfaatkan, mendistribusikan pada kantong-kantong pengguna, dengan sasaran diperolehnya hasil air sesuai dengan kebutuhan dengan mempertimbangkan aspek kuantitas, kualitas sesuai standar baku dan mutu peruntukkan yang tersedia sepanjang waktu. Karena itu aspek pengelolaan sumberdaya air dalam ekosistem DAS harus mencakup aspek pemanfaatan, aspek pelestarian dan aspek pengendalian.
PENGELOLAAN DAS DAN SUBAK LESTARI
Ekosistem DAS Sehat (Keseimbangan Neraca Air)
Produksi Pangan Meningkat Partisipasi Multi Pihak
Input DAS (Curah Hujan)
Out Put DAS (Debit Air Stabil)
Revitalisasi Faktor Internal Subak
SISTEM IRIGASI SUBAK
Gambar 1. Visualisasi Alur Pengelolaan Subak Subak sebagai salah satu bentuk irigasi tradisional sudah ada sejak ratusan tahun silam. Keberlanjutan sistem subak sampai saat ini mengindikasikan masih terpeliharanya seluruh komponen pendukungnya, meliputi (a) organisasi petani pengelola air irigasi; (b) sarana dan prasarana irigasi; (c) lahan sawah irigasi; (d) produksi pangan; (e) upacara adat yang berkaitan dengan budidaya padi dan (f) kesehatan lingkungan DAS. Keseimbangan antara ekosistem DAS (sistem neraca air) dengan sistem irigasi subak perlu dipertahankan seperti terlihat pada gambar 1. Faktor kesehatan lingkungan DAS dalam sistem subak dapat digambarkan pada sistem neraca air pada suatu DAS yang diamati di lapangan dalam bentuk aliran permukaan atau debit aliran air. Debit aliran air yang stabil baik pada musim hujan maupun musim kemarau merupakan indikasi masih terpeliharanya kesehatan ekosistem DAS. 165 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Mengingat komponen subak tidak dapat berdiri sendiri, maka kelembagaan subak
harus
mengakomodir semua komponennya termasuk pengelolaan ekosistem DAS. Dalam konteks ini, masyarakat yang berada pada daerah hulu dan hilir DAS merupakan satu kesatuan kelembagaan dalam membangun kebersamaan pengelolaan DAS untuk mendukung keberlanjutan irigasi subak. Dari enam komponen pendukung subak, aspek DAS memainkan peran sangat signifikan terhadap kelima aspek lainnya. Organisasi pengelola air irigasi dan sarana-prasarana irigasi subak tidak akan berfungsi jika ekosistem DAS yang berfungsi sebagai tata air mengalami kerusakan, aspek produksi tidak akan berjalan dan ritual keagamaan yang berkaitan dengan budidaya padi akan melemah karena semua kehilangan energinya yaitu sumber air irigasi yang dihasilkan oleh ekosistem DAS. Dengan demikian, faktor internal subak harus diberdayakan sedemikian rupa sehingga tidak saja berdaya guna untuk komponen internalnya tetapi diarahkan untuk mendukung komponen eksternal yaitu
kesehatan ekosistem DAS.
Karena itu,
pengelolaan kelembagaan subak harus mencakup berbagai pemanfaatan sumberdaya air pada daerah hulu dan sepanjang aliran sungai, sehingga sinergis pengelolaannya dan adil pembagian sumberdaya airnya. Mengacu pada hasil inventarisasi yang dilakukan Widhiantini dan Pitana (2000), jumlah subak di Bali mencapai 1.611 buah yang melayani 100.221,532 ha sawah, dengan distribusi subak Gianyar (478) buah, Tabanan (348) buah, Buleleng (296) buah, Karangasem (140) buah, Badung (113) buah, Jemberana (95) buah, Bangli (50) buah dan Denpasar (45) buah. Data jumlah subak tersebut belum menjamin terpenuhinya kebutuhan air irigasi karena terjadi konflik kepentingan dengan sektor lain yang tidak dapat dihindari. Pada daeah irigasi Mambal yang mengairi 43 subak di
wilayah Badung, Tabanan dan Denpasar mengalami defisit air irigasi akibat
pemanfaatan untuk air minum oleh PDAM. Semula rata-rata debit air mencapai 900 liter/detik dan menurun menjadi 600 liter/detik, karena sebanyak 300 liter/detik telah digunakan untuk keperluan sektor non pertanian (Anon 1999). Demikian juga konflik kepentingan terhadap sumberdaya air terjadi antara subak-subak dengan sektor pariwisata, rumah tangga dan industri. Pada pihak lain, kerusakan ekosistem DAS menyebabkan volume air pada musim hujan tidak tertampung baik sehingga sangat melimpah dan berakibat rusaknya sarana dan prasarana irigasi dan tanaman. Ancaman lain yang dihadapi oleh irigasi subak adalah pesatnya alih fungsi sawah beririgasi ke penggunaan lain untuk akomodasi pariwisata seperti hotel, restoran, villa, rumah makan dan lapangan golf (Sutawan 2004). Hal ini menyebabkan data luas sawah irigasi di Bali selalu mengalami perubahan akibat alih fungsi penggunaan lain. Dalam rangka meningkatkan sasaran pencapaian tujuan, maka perlindungan dan pemberdayaan terhadap komponen dan kelembagaan subak sangat diperlukan melalui : -
Membatasi konversi lahan melalui tersedianya tata ruang pemanfaatan lahan yang terkonsep dan mempertimbangkan sifat dan karakteristik DAS dalam menjaga ketersediaan air, kepastian hukum terhadap kawasan-kawasan perlindungan atau daerah tangkapan air serta mendorong masyarakat untuk menghindari alih fungsi lahan pada berbagai penggunaan lain.
166 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
-
Peningkatan kapasitas petani dalam mengembangkan subak (bantuan
modal usaha,
ketrampilan usaha dan manejemen pengelolaan) -
Membangun kemitraan pengelola subak dengan desa adat/desa pakraman, asosiasi hotel dan restauran, garmen, pemerintah dan pihak swasta untuk meningkatkan kepedulian terhadap keberlanjutan subak.
-
Membangun lembaga koordinasi diantara subak sehingga menghindari konflik pemanfaatan sumberdaya air. Lembaga koordinasi ini berfungsi memfasilitasi penggunaan air antar subak (subak gede) maupun antar subak yang berada pada sepanjang aliran sungai (subak agung).
-
Melindungi DAS dari konversi lahan dan degradasi melalui jaminan kepastian hukum baik hukum positif maupun hukum adat terhadap pihak-pihak yang merusak ekosistem DAS.
Mendorong kelembagaan subak
bersama pemerintah untuk
melaksanakan
rehabilitasi daerah tangkapan air dan mempertahankan satuan-satuan ekosistem hutan yang masih ada sampai saat ini. III.PENGELOLAAN SUMBERDAYA VEGETASI DAN BINA AKTIVITAS MANUSIA Kehadiran vegetasi dalam ekosistem DAS mutlak diperlukan untuk mendukung ketabilan ekosistem dan melindungi permukaan tanah dari ancaman erosi dan pengaruh langsung dari sinar matahari. Peran ekologi tersebut
lebih efektif diperankan oleh jenis vegetasi hutan,
sehingga keberadaan hutan menjadi prasyarat penentu kelestarian ekosistem DAS. Pada ekosistem hutan
yang memiliki komposisi dan tingkatan strata tajuk lebih banyak dengan
heterogenitas pepohonan dan vegetasi yang tinggi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menunjang fungsi lindungnya terhadap lingkungan dibandingkan dengan komunitas hutan tanaman. Peranan vegetasi pada berbagai lapisan tajuk dan serasah di lantai hutan sangat berpengaruh terhadap arah sirkulasi air dalam suatu ekosistem hutan. Kerapatan penutupan tajuk dan tebalnya serasah di lantai hutan dapat meningkatkan kelembaban (suhu udara menjadi turun) yang selanjutnya dapat menurunkan energi panas (sensible heat) sehingga mengurangi hilangnya air melalui proses evaporasi dari permukaan tanah, (Sallata dan Mulyadhi 1997). Salah satu tantangan yang dihadapi dalam pengelolaan ekosistem DAS adalah menyeimbangkan perlindungan dan pelestarian sumberdaya DAS yang terbatas dengan makin meningkatnya tekanan manusia terhadap sumberdaya tersebut. Hubungan timbal balik antara vegetasi hutan dan ketersediaan sumberdaya air pada satuan ekosistem DAS sangat berpengaruh nyata, sehingga kelestarian hutan menjadi indikasi kelestarian jasa lingkungan yang dihasilkan, salah satunya sumberdaya air.
Pengelolaan vegetasi, khususnya vegetasi hutan memiliki kontribusi yang
cukup besar dalam membantu persediaan air tanah, terutama efek spons (sponge effect) yang menyerap dan menahan air hujan sehingga lebih lambat dan merata, mengurangi kecenderungan banjir pada musim hujan lebat serta melepaskan air secara terus menerus pada musim kemarau. Hutan sebagai komunitas vegetasi dan induk dari segala sungai memiliki fungsi hidro-orologis dalam pengaturan tata air, pengendalian erosi dan banjir serta memelihara kesuburan tanah (Manan 1992). Keberadaan hutan dan fungsi hutan tidak dapat digantikan oleh bangunan167 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
bangunan (structural works ) seperti waduk, dam dan bendungan dalam pengaturan tata air. Gangguan terhadap ekosistem hutan dalam bentuk deforestation dan forest degradation akibat pembakaran hutan dan alih fungsi lahan dapat merugikan dan berdampak luas bagi kesinambungan penyediaan air DAS (Hadi 1993). Dalam rangka mendukung fungsi DAS terhadap tata air yang lestari , salah satu alternatipnya adalah pembangunan ekosistem hutan atau komunitas pepohonan yang berpegaruh baik terhadap tata air. Berbagai pola pendekatan yang mengarah pada kesinambungan pelestarian tata air penting untuk dilakukan, yang aplikasinya bisa diintegrasikan dengan berbagai macam bentuk pengelolaan dan penyelamatan ekosistem DAS seperti kegiatan reboisasi, penghijauan, hutan rakyat maupun pengembangan teknologi tradisional yang di miliki oleh masyarakat. Dampak kerusakan hutan pada ekosistem DAS telah menyebabkan bencana kekeringan di seluruh wilayah Indonesia. Menurut Pangesti (2000) dalam Kodoatie,et all., (2002), kebutuhan air terbesar berdasarkan sektor kegiatan dapat dibagi dalam tiga kelompok besar yaitu, satu, kebutuhan domestik; dua, irigasi pertanian; dan tiga, industri. Pada tahun 1990 kebutuhan air untuk domestik adalah sebesar 3.169 juta m3, sedangkan angka proyeksi untuk tahun 2000 dan 2015 berturut-turut sebesar 6.114 juta m3 dan 8.903 juta m3 . Persentase kenaikan berkisar antara 10 % / tahun (1990 – 2000) dan 6.67 % / tahun (2000 – 2015). Kebutuhan air untuk keperluan irigasi pertanian dan tambak pada tahun 1990 sebesar 74.9 x 109 m3 / tahun, sedangkan pada tahun 2000 kebutuhan air untuk keperluan tersebut meningkat menjadi 91.5 x 109 m3/ tahun dan pada tahun 2015 kebutuhan tersebut menjadi sebesar 116.96 x 109 m3/ tahun. Berarti adanya peningkatan kebutuhan untuk sektor ini sebesar 10 % / tahun (1990 – 2000) dan antara 2000 – 2015 meningkat sebesar 6.7 % / tahun. Kebutuhan air untuk sektor industri juga cukup besar. Berdasarkan informasi dari Departemen Perindustrian, kebutuhan air untuk sektor industri di Indonesia adalah sebesar 703.5 x 106 m3/tahun pada tahun 1990 dan sebesar 6.475 x 109m3/tahun pada tahun 1998. Berarti adanya peningkatan kebutuhan sebesar 12.5 %/tahun terutama akibat berkembangnya industri diberbagai propinsi di Indonesia (Isnugroho 2002). Sumber lain dari data Kementerian Lingkungan Hidup seperti yang dilansir harian Kompas (29 Agustus 2003) memperlihatkan bahwa defisit air di Indonesia sudah terjadi sejak tahun 1995, yaitu di Jawa (32,3 miliar m³/tahun) dan di Bali (1,5 miliar m³/tahun). Secara gamblang dituliskan bahwa defisit air akan terus meningkat hingga 52,8 miliar m³/tahun di Jawa dan 7,5 miliar m³/tahun di Bali pada tahun 2000. Demikian juga pada tahun 2015 defisit air di Jawa diperkirakan mencapai 134,1 miliar m³/tahun sedangkan di Bali diperkirakan mengalami defisit air sebanyak 27,6 miliar m³/tahun. Dengan demikian, pengelolaan vegetasi dalam rangka pengelolaan ekosistem DAS diarahkan untuk tercapainya kondisi hutan yang sehat dan lestari dengan kerapatan vegetasi yang tinggi dan lebat terutama pada kawasan lindung pendukung tata air .
dan terpeliharanya vegetasi sebagai komponen
Kesehatan ekosistem DAS tidak
saja berdampak sektoral seperti
keberlanjutan irigasi subak di Bali, tetapi memiliki dampak multidimensi bagi keberlangsungan proses-proses pembangunan yang berkaitan dengan sumberdaya air, seperti sektor industri, pariwisata dan kebutuhan domestik. Karena itu pengelolaan air dan sumber air secara integratif 168 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dan berkelanjutan sangat diperlukan melalui program-program penyelamatan dan rehabilitasi yang terpadu, mengingat bahwa air merupakan kebutuhan pokok yang tidak diperoleh pada setiap tempat, waktu, jumlah dan sesuai dengan standar mutu yang di syaratkan. Dalam konteks ini manusia merupakan kunci dalam pengelolaan sumberdaya air,
manusia bisa bertindak
sebagai perusak tatanan ekosistem yang ada, di pihak lain dapat bertindak sebagai pembangun dan penyelamat ekosistem dan lingkungan. Karena itu pembinaan aktivitas manusia pada ekosistem DAS di maksudkan untuk membangkitkan dan memupuk kesadaran, kemauan dan kemampuan agar berperan serta berkelanjutan.
dalam pengelolaan untuk memperoleh manfaat yang
Melalui dukungan dan partisipasi publik, akan tercipta ekosistem DAS dan
komunitas pepohonan (hutan) yang berpengaruh baik terhadap iklim mikro setempat. Kondisi iklim mikro yang stabil akan meningkatkan kelembaban udara sehingga mengurangi kehilangan air melalui evapotranspirasi yang disebabkan oleh temperatur yang rendah. Penguapan yang rendah tentunya akan berpengaruh baik terhadap pasokan air terutama ketersediaan air tanah, sehingga tidak mengganggu keseimbangan neraca air dan selanjutnya masyarakat dapat memperoleh sumber air yang layak untuk berbagai pemanfaatannya (Sallata dan Njurumana 2003). Dalam kerangka membangun partisipasi publik, maka pengelolaan sumberdaya DAS harus berpijak dari terminology water for life sehingga mampu menggugah partisipasi publik. Karena itu pengelolaan sumberdaya ekosistem DAS sangat diperlukan kemitraan dengan melibatkan partisipasi pihak pengguna mulai perencanaan maupun aplikasinya dengan beberapa pertimbangan yaitu (a) Memperoleh dukungan publik; (b) Membangkitkan kesadaran, pemahaman dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem DAS; (c) Tergalinya keahlian-keahlian dan kearifan lokal yang dimiliki kelompok masyarakat yang mendukung pengelolaan ekosistem DAS, dan (d) terbangunnya kemitraan yang mampu
menjembatani
konflik kepentingan pengelolaan DAS. Melalui kesepahaman dan kemitraan yang terbangun, akan terbentuk pola pikir berupa reorientasi pengelolaan, artinya bagaimana partisipasi masyarakat dalam mengelola ekosistem DAS seperti partisipasi mereka dalam mengelola pertanian ataupun perkebunan sehingga mampu memberikan hasil yang memuaskan. Dalam mendukung hal tersebut, Lembaga terkait memiliki 3 (tiga) peran sebagai pendobrak (pioner), mencari peluang-peluang strategis yang dapat dimanfaatkan dalam pengelolaan ekosistem DAS; pendamping (quide), selalu pro aktif melakukan pendampingan terhadap masyarakat
dan
pendorong (stimulator), selalu mendorong partisipasi masyarakat dalam pengelolaan ekosistem DAS. Pembinaan aktivitas manusia juga diarahkan pada pemberdayaan berbagai potensi masyarakat yang dapat mendukung pengelolaan ekosistem DAS, salah satunya konsepsi Tri Hita Karana sebagai falsafah utama subak dan kearifan lokal lain yang berkembang dalam masyarakat Bali. Tri Hita Karana mengandung makna tiga komponen/unsur yang mengilhami kesejahteraan atau kebahagiaan yang memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya, meliputi : hubungan antara manusia dengan Tuhan (parhyangan), hubungan di antara sesama manusia (pawongan / buana alit), dan hubungan manusia dengan alam (palemahan atau buana agung).
Konsep ini
169 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
menegaskan bahwa untuk mendapatkan kesejahteraan lahiriah dan spiritual, manusia harus membina keserasian hubungan timbal balik antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan sesama manusia, dan hubungan antar manusia dengan alam dan lingkungannya (Anon 2002). Falsafah Tri Hita Karana telah memasyarakat dan menjiwai seluruh aspek kehidupan dan perilaku hidup mayoritas masyarakat umat Hindu di Bali (Sudarma 1985). Norma dan nilai tradisional yang berkembang dalam komunitas masyarakat Bali merupakan modal sosial yang mendorong pelaksanaan pembangunan, khususnya sektor kehutanan. Pendekatan kearifan lokal memungkinkan prakarsa pembangunan khususnya rehabilitasi lahan dan lingkungan diletakkan atas dasar pengetahuan masyarakat setempat, sehingga mendorong proses pembauran, penguatan, penggerakan dan penyelarasan pengetahuan setempat dengan pengetahuan dari luar (Njurumana 2004). Kearifan lokal memiliki ciri tersendiri karena bersifat khas untuk keadaan suatu masyarakat tertentu, didasarkan atas pengalaman kumulatif bersama, telah beradaptasi dengan budaya dan lingkungan setempat, dinamis dan senantiasa berubah menurut keadaan serta disebarkan melalui saluran-saluran komunikasi tradisional.
Peranan
kearifan lokal dalam pembangunan memiliki nilai tersendiri karena merupakan dasar kemandirian dan keswadayaan; mampu mendorong dan memperkuat partisipasi masyarakat dan proses pemberdayaan; menjamin daya hidup dan berkelanjutan; terbuka dan mendorong pemanfaatan teknologi tepat guna yang efisien dan efektif serta memberikan kesempatan untuk memahami dan memfasilitasi perancangan pendekatan pembangunan yang sesuai
dengan
karakteristik wilayah dan sosekbud masyarakat lokal (Njurumana, et all. 2005). V. KUANTIFIKASI JASA LINGKUNGAN EKOSISTEM DAS Salah satu faktor penyebab kegagalan dalam pengelolaan ekosistem DAS adalah belum adanya informasi yang memberikan alasan rasional mengenai nilai kuantitatif jasa lingkungan yang dihasilkan dari satuan kawasan DAS. Peningkatan kerusakan dan degradasi sumberdaya alam juga disebabkan oleh terbatasnya data dan informasi mengenai nilai jasa dan ekonomi dari pelestarian ekosistem DAS. Keterbatasan ini tentunya berimplikasi pada rendahnya daya dukung legitimasi hukum dalam menegakkan aturan mengenai pengelolaan ekosistem DAS serta tidak adanya landasan data ilmiah yang dapat dimanfaatkan sebagai referensi dalam kampanye – kampanye nilai guna konservasi DAS. Karena DAS merupakan satuan ekosistem, pasti dijumpai saling ketergantungan antara berbagai unsur yang ada di dalamnya dan tidak dapat berdiri sendiri. Tersedianya udara bersih bagi manusia dan binatang sangat ditentukan oleh kehadiran tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohon berzat hijau daun yang menyerap karbon dan melepaskan zat udara bersih. Hutan dan tumbuhtumbuhan bisa berkembang dengan baik apabila terjadi curahan hujan yang berasal dari proses penguapan air laut yang ditiup angin ke tanah daratan. Tumbuh-tumbuhan yang dimakan hewan akan mengeluarkan kotoran dan menjadi unsur hara bagi tanaman. Udara, air, tanah, tumbuhtumbuhan dan hewan di ibaratkan sebagai sebuah rantai ekosistem yang saling kait-mengait dalam mata rantai ekosistem DAS yang hidup dan saling menghidupi. Dalam sistem kehidupan lingkungan seperti inilah perlu dikembangkan aspek ekonomi sebagai subsistem, sehingga pembangunan ekonomi yang dilakukan sudah memperhitungkan aspek daya 170 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dukung lingkungan.
Disinilah diperlukan reorientasi pembagunan ekonomi dengan
menempatkan pembangunan ekonomi di dalam kerangka pembangunan lingkungan sehingga setiap tindakan pengolahan sumber daya alam perlu memperhatikan cirinya dalam lingkungan. Pengelolaan sumber daya alam yang bisa diperbaharui tidak melebihi ambang batas pembaharuannya. Ini berarti pemanfaatan tumbuh-tumbuhan harus memperhatikan ambang batas regenerasinya, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan sedangkan modal sumberdaya alam tidak dimusnahkan. Proses pembangunan ekonomi berbasis DAS bisa berkelanjutan bila fungsi-fungsi ekosistem
bisa terjaga dan tetap berfungsi secara berkelanjutan, sehingga
memelihara
ketersediaan potensi alam bagi generasi mendatang sekaligus menyelamatkan lingkungan hidup dari kerusakan Salah satu faktor penyebab kegagalan dalam pengelolaan adalah belum adanya informasi yang memberikan alasan rasional mengenai nilai ekonomi yang akan dihasilkan dari sebuah kawasan pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam dalam ekosistem DAS. Sampai saat ini masih terbatas sistem kuantifikasi terhadap nilai ekonomi dari kerusakan maupun pemanfaatan yang bisa diandalkan dalam menganalisa potensi pelestarian lingkungan sebagai sebuah investasi. Pada sisi lain kuantifikasi nilai ekonomi lingkungan lebih banyak dilakukan melalui pendekatan akibat yang ditimbulkan, seperti bila terjadi banjir akibat gangguan ekosistem DAS dan lingkungan sekitarnya melalui pendataan kerugian materil untuk prediksi tingkat kerugiannya. Kuantifikasi yang terjadi selama ini lebih menekankan pada data-data potensi yang tidak lain diarahkan pada bagaimana mengeksploitasi potensi yang ada untuk menghasilkan rupiah atau sebatas data kerusakan sebagai resiko dari sistem pemanfaatan lingkungan yang tidak mempertimbangkan kelestariannya. Pada pihak lain, meningkatnya kerusakan lingkungan dan ekosistem DAS disebabkan oleh terbatasnya sistem manejemen perencanaan pengelolaan yang berbasis pada data dan informasi mengenai nilai ekonomi dari pelestarian ekosistem DAS, implikasinya adalah meningkatnya jumlah DAS yang mengalami degradasi di Indonesia. Keterbatasan ini berimplikasi pada rendahnya dukungan legitimasi hukum dalam menegakkan aturan mengenai pengelolaan serta tidak adanya landasan data ilmiah yang dapat dimanfaatkan sebagai referensi dalam meningkatkan kampanye nilai guna pelestarian lingkungan ekosistem DAS. Sebagai teladan, kasus pembalakan hutan yang mengorbankan banyak vegetasi tingkat semai, pancang dan tiang dapat diperkirakan berapa nilai rupiah yang harus dikeluarkan untuk merehabilitasi lahan-lahan bekas tebangan. Akibat fragmentasi hutan menyebabkan tertekannya habitat satwa maupun organisme lainnya sehingga terpaksa melakukan migrasi dengan segala resiko di tempat yang baru. Selain itu aktivitas pembalakan hutan dan penyaradan kayu akan meningkatkan jumlah lahan yang peka terhadap erosi dan timbulnya aliran permukaan. Secara fakta, kegiatan eksploitasi hutan untuk sesaat menghasilkan devisa yang cukup menjanjikan, pada pihak lain merusak dan merubah struktur ekosistem yang berpengaruh terhadap penurunan kualitas lingkungan. Berbagai bencana yang terjadi seperti krisis air bersih, tanah longsor dan lainnya merupakan indikasi bahwa kita sedang memasuki tahapan krisis ekologi, sehingga perlu terobosan alternatif yang menjamin peran serta semua pihak. Untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam 171 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
mengelola DAS agar tetap lestari dan berfungsi dengan baik perlu adanya kebijakan yang mengatur mekanisme pembayaran jasa lingkungan. Diharapkan melalui pembayaran jasa lingkungan, mampu menekan dan mengontrol laju kerusakan hutan sekaligus memberdayakan kesejahteraan masyarakat di sekitar DAS agar lebih kompetitif dalam menjaga hutan di bandingkan dengan pemanfaatan tata guna lahan lainnya. Dalam tataran global saat ini, sumbersumber pembiayaan yang dapat dimanfaatkan untuk pembayaran jasa lingkungan dapat diperoleh melalui pemungutan pajak BBM penghasil karbon, pembayaran air oleh perusahaan pembangkit listrik (PLTA), pemanfaatan bendungan dalam sebuah DAS, penghapusan hutang melalui mekanisme pemulihan lingkungan (debt for nature swaps) dan pembayaran jasa susut karbon mengacu pada Protokol Kyoto. Sebagai contoh DAS Citarum memiliki kapasitas membangkitkan listrik 2000 gigawatt hour per tahun. Dari hasil penjualan listrik tersebut, sebanyak 10 miliar dikembalikan kepada Pemda sebagai PAD. Namun sampai saat ini 75 % kondisi DAS Citarum sudah dalam keadaan kritis, akibat tingginya limbah anorganik dan organik. Apabila 10 % atau 1 miliar pertahun dari hasil penjualan digunakan untuk pemulihan lingkungan melalui rehabilitasi DAS dari hulu sampai hilir dan pemberdayaan masyarakat sekitarnya, maka jaminan nilai ekonomi dan ekologinya akan tetap terjaga. Demikian halnya juga dengan PDAM, harus memberikan kontribusi nyata dengan menyisihkan sekian persen yang digunakan untuk merehabilitasi kawasan-kawasan daerah tangkapan air dan ekosistem DAS, sehingga kestabilan sumber air dapat dipertahankan. Mengingat kompleksitas ekosistem DAS yang sangat beragam memberikan gambaran pentingnya kuantifikasi nilai ekonomi lingkungan ekosistem DAS. Berapa besar nilai keuntungan suatu kegiatan pembangunan dibandingkan dengan nilai kerugiannya akibat rusaknya lingkungan dan kehidupan sosial masyarakat masih sangat terbuka untuk dilakukan oleh siapa saja sehingga memberikan informasi akurat. Paling tidak mengetuk pintu hati masyarakat maupun stake holders agar lebih arif dan bijak dalam memanfaatkan lingkungan dan ekosistem DAS.
VI.KESIMPULAN Berdasarkan pemikiran – pemikiran tersebut di atas, beberapa simpulan yang dapat diambil sebagai berikut : a. Kesehatan ekosistem DAS menjadi titik kunci bagi berfungsinya seluruh aspek pembangunan yang berkaitan dengan jasa lingkungan yang dihasilkan. b. Keberlanjutan sistem irigasi tradisional Subak sangat ditentukan oleh berfungsinya komponen pendukung baik faktor internal maupun faktor eksternal. Dalam hal ini faktor eksternal yaitu kesehatan DAS memainkan peran yang dominan terhadap keberlanjutan faktor internal. c. Penguatan kelembagaan subak menjadi salah satu pilar penentu keberlanjutannya dalam mendukung pembangunan sektor pertanian di pulau Bali.
172 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
d. Mengingat ruang lingkup ekosistem DAS cukup luas bahkan lintas wilayah administratif, maka sangat diperlukan keterpaduan dan kesamaan persepsi seluruh sektor yang berkepentingan baik langsung maupun tidak langsung terhadap keberlanjutan ekosistem DAS. e. Pengelolaan ekosistem DAS dan kelembagaan secara terpadu pada dasarnya adalah pengelolaan dalam konsep multi guna dengan sasaran mengelola sumberdaya (alam, manusia dan buatan) pada tingkat yang paling menguntungkan baik jangka pendek maupun jangka panjang. f. Perencanaan pengelolaan DAS harus berbasis pada data dan informasi potensi dan kuantifikasi jasa lingkungan dari ekosistem DAS. Karena itu sangat diperlukan dukungan riset dalam menyediakan informasi di maksud.
DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 2000. Hasil Kegiatan Tindak Lanjut (KTL) pada Subak-Subak di Kabupaten Tabanan dan Badung. Tabanan : Bagian Proyek Pengembangan Tata Guna Air. Anonimus. 2002. Laporan Penyusunan Data Spasial Lahan Kritis Propinsi Bali. Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Unda Anyar. Direktorat Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial. Denpasar Anonimus. 2002. Tuntunan Pembinaan dan Penilaian Subak. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Denpasar Asdak, Chay. 1995, 2002. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press Hadi S. 1993. Aspek Perlindungan Hutan dan Kelestarian Hasil Pengusahaan Hutan Alam Produksi. Forum Pengkajian Pengelolaan Hutan Tropis. Jurusan Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Harian Kompas. Terbitan 29 Agustus 2003. Jakarta Isnugroho. 2002. Sistem Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Suatu Wilayah. Makalah Seminar Sehari Pengelolaan Sumberdaya Air dalam Otonomi Daerah oleh Himpunan Teknik Hidraulika Indonesia. Penerbit ANDI Yogyakarta. Kodoatie R. J, Suharyanto, Sri Sangkawati dan Sutarto Edhisono. 2002. Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Otonomi Daerah. Penerbit ANDI. Yogyakarta. Manan, S. 1992. Perkembangan Hidrologi Hutan dan Pembangunan Hutan Berwawasan Lingkungan di Indonesia. Makalah Simposium 25 Tahun Perkembangan Hidrologi di Indonesia. LIPI-Puslitbang Pengairan Dep. PU. Jakarta Njurumana, G. ND. 2004. Nilai Penting Kearifan Lokal dalam Rehabilitasi Lahan. Sebuah Artikel. Diterbitkan oleh Harian Pagi Timor Express. Selasa, 7 Desember 2004. Njurumana, G. ND, Tigor B.B., Harisetijono dan Oskar K.O. 2005. Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Mendukung Rehabilitasi Lahan di Wilayah Semi Arid. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Kerjasama Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Nusa Cendana dan Pemda Tk. II Sumba Timur. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang kehutanan. Bogor. Sallata, M. K. dan D. Mulyadhi. 1997. Pengelolaan Kawasan Lindung untuk Kelestarian Fungsi Daerah Aliran Sungai. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian dan Pengembangan Konservasi Sumber Daya Alam. Balai Penelitian Kehutanan Ujung Pandang. Sallata, M. K., dan G. ND. Njurumana. 2003. Pembentukan Iklim Mikro Melalui Komunitas Pepohonan untuk Kelestarian Tata Air Berbasis Masyarakat. Info Hutan No. 158/2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor - Indonesia. Sudarma, I Nengah. 1985. Konsepsi Tri Hita Karana dalam Pelestarian Eksistensi Desa Adat. Widya Dharma Majalah Dwibulan, No. II/ Tahun IV/1985. Institut Hindu Dharma Denpasar. Suripin. 2002. Pelestarian Sumberdaya Tanah dan Air. Yogyakarta. Penerbit Andi 173 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Sutawan, Nyoman. 2004. Subak Menghadapi Tantangan Globalisasi; Perlu Upaya Pelestarian dan Pemberdayaan secara lebih Serius. Seminar Tentang Sistem Subak di Bali Menghadapi Era Globalisasi Widhiantini dan Pitana. 2000. Penentuan Harga Air, Biaya Oprasi dan Pemeliharaan Irigasi Sebagai Salah Satu Perencanaan Desentralisasi Irigasi. Prosiding Seminar Nasional Pengelolaan Sumberdaya Air Dalam Konteks Otonomi Daerah. Bandung : Pusat Dinamika Pembangunan – Universitas Padjadjaran.
174 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
KERAGAMAN DAN SEBARAN MANGROVE DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT Oleh Chairil Anwar ABSTRAK Taman Nasional (TN Bali Barat) memiliki keragaman jenis mangrove yang cukup tinggi. Sekurang-kurangnya dijumpai 53 jenis vegetasi mangrove dan vegetasi peralihannya yang menempati lima kompleks mangrove di TN Bali Barat. Empat belas jenis vegetasi merupakan elemen utama pembentuk mangrove, 10 jenis merupakan elemen tambahan dan 29 jenis selebihnya merupakan jenis-jenis vegatasi peralihan yang biasanya berasosiasi dengan mangrove. Berdasarkan hasil pengukuran secara kasar, diperkirakan luas mangrove diwilayah TN Bali Barat adalah 551 ha yang terdiri dari mangrove komplek Teluk Gilimanuk (59.9%); Komplek Possumur (3,7%) Komplek Pulau Menjangan (2,1%), komplek Teluk Trima (24,9%); dan komplek Tanjung Gelap (9,4%). Seluruh jenis (53 jenis) yang dijumpai diwilayah TN Bali Barat, dijumpai dan tersebar dikomplek Gilimanuk, sedangkan \untuk komplek mangrove lainnya hanya dijumpai sebanyak 25 jenis (Possumur), 23 jenis (komplek Menjangan), 43 jenis |(Komplek Teluk Trima) dan 43 jenis (komplek Tanjung Gelap). Jenis elemen utama yang mendominasi areal mangrove di TN Bali Barat adalah Ceriops tagal (20,8%), Rhizophora apiculata (20,1%) serta avicenna marina (13,9%), sementara jenis elemen tambahan yang mendominasi areal mangrove di taman nasional ini adalah Excoecaria agallocha (17,7%0 Kata kunci: Taman nasional Bali Barat, Mangrove, Gilimanuk, Possumur, Pulau Menjangan, Teluk Trima, Tanjung Gelap dan luas. I. PENDAHULUAN Taman Nasional (TN) Bali Barat merupakan salah satu dari sekian taman nasional yang penunjukkannya melalui Keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/95. Sebagaimana taman nasional lain yang memiliki keunikan ekologis, TN Bali Barat juga memiliki beberapa keunikan yang mendasari dibentuknya sebuah taman. TN Bali Barat terdiri dari beberapa tipe vegetasi yaitu hutan mangrove, hutan pantai, hutan musim, hutan hujan dataran rendah, savanna, terumbu karang, padang lamun, pantai berpasir serta perairan laut dangkal dan dalam. Taman nasional ini memiliki 175 jenis tumbuhan dan 14 jenis diantaranya merupakan tumbuhan langka, seperti Bayur (Ptereospermum javanicum), ketanggi (lagerstroemia speciosa), Burachol (Stelochocarpus burahol), cendana (santalum album) dan sosnokeling (Dalbergia latifolia) (Ditjen PHKA, 2003). Disamping memiliki satwa burung yang endemik dan langka, seperti burung jalak Bali (Loucopsar rothschildi), Taman nasional juga memiliki burung jalak putih (Sturnus marmorata), terucuk (Pycnonotus goaiavier) dan ibis putih kepala hitam (Threskiornis melanocephalus). Dalam TN Bali Barat juga dijumpai banteng (Bos javanicus-javanicus), kijang (Muntiacus muntjak-nainggolani), luwak (Pardofelis marmorata), ternggiling (Manis javanica), landak (Hystrix brachyura brachyura) dan kancil (tragulus javancus javanicus). Sedangkan biota lautnya terdiri dari 45 jenis karang diantaranya Hilmeda macroloba, Chromis spp, Balistes spp
II. PEMBAHASAN A. Kondisi Umum Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan No. 493/Kpts-II/95, TN Bali Barat memiliki luas areal 19.002,89 ha. Letaknya tepat diujung barat laut Pulau Bali, yang secara administratif 175 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pemerintahan terletak dalam wilayah Kabupaten Buleleng dan Jembaran. Secara geografis, Taman Nasional ini terletak diantara koordinat 114*25’-114*34’ BT dan antara 8*0.5’-8*15’LS. Ketinggian tempat taman nasional ini berkisar antara 0-1.414 m dpl, dengan Gunung Klatakan berada didalam wilayahnya. Temperatur rata-rata hariannya 33*C dengan curah hujan antara 972-1.550 mm/tahun (Ditjen PHKA, 2003). Terdapat lima komplek mangrove di TN Bali Barat, yaitu komplek Teluk Gilimanuk dibagian timur dan berbatasan dengan selat Bali; Komplek Possumur yang terletak dibagian utara dan berbatasan langsung dengan Laut Bali; komplek Menjangan tang terletak di Pulau Menjangan dan pantai diseberangnya, komplek Teluk Trima, teluk diselatan Pulau Menjangan setra kompleks Tanjung Gelap berbatas tertimur taman nasional yang merupakan areal teluk terdiri dari areal Pantai Gebang, Pantai Bajul dan Pantai Banyuwedang. (gambar1). B. Parameter pengamatan Pada dasarnya mangrove terdiri dari tiga elemen pembentyuknya, yaitu: (a) Elemen utama seperti Rhizophora, Avicennia, Bruguiera, Ceriops, Sonneratia, Excoecaria dan Aegiceras serta (c) jenis-jenis yang ebrasosiasi dengan mangrove seperti callophyllum, Baringtonia, Terminalia dan lainnya (Kitamura et.all, 1997). Salah satu parameter dalam pengamtan ini adalah pencatatan kehadiran jenis-jenis tumbuhan dalam setiap kompleks mangrove yang terdapat dalam TN Bali Barat. Parameter lainnya adalah perkiraan kasar luas areal yang didominasi oleh masing-masing jenis elemen utama dan elemn tambahan mangrove yang terdapat dalam wilayah TN Bali Barat. C. Cara Kerja Dengan melakukan pengukuran dan perkitaan panjang serta penentuan arah dengan bantuan kompas dilapangan, maka dilakukan pemetaan batas areal mangrove pada peta kerja TN Bali Barat. Batas areal yand didominasi oleh masing-masing jenis mangrove elemen utama dan tambahan juga dipetakan untuk kemudian dilakukan penaksiran luas areal.
III.
KERAGAMAN DAN SEBARAN SERTA PERKIRAAN LUAS
Hasil inventarisir menunjukkan bahwa sekurangnya terdapat 53 jenis vegetasi mangrove dan jenis peralihannya yang menempati wilayah TN Bali Barat. Empat belas jenis diantaranya merupakan jenis mangrove elemen utama, 10 jenis merupakan mangrove jenis elemen tambahan dan 29 jenis selebihnya merupakan jenis peralihan yang biasanya hidup berasosiasi dengan mangrove. Sebaran mangrove masing-masing komplek d\hutan dari 5 komplek hutan mangrove di TN Bali Barat dapat dilihat pada lampiran 1. A. Kompleks Teluk Gilimanuk Luas wilayah kompleks mangrove Teluk Gilimanuk diperkirakan sekitar 330 ha. Rincian perkiraan luas mangrove per jenisnya dapat dilihat pada lampiran 2. Se cara geografis, wilayah ini terletak dikoordinat antara 114*26’-114*29’BT dan antara 8*8,5’-8*11.3’ LS. Baik keragaman jenis maupun keluasannya, mangrove diwilayah ini menempati urutan tertinggi dalam seluruh wilayah penganatan. Lima puluh tiga jenis mangrobe yang dijumpai, dijumpai pula diwilayah Teluk Gilimanuk ini, Mengingat cukup luas dan rapatnya mangrove di wilayah ini, maka dalam pembahasannya, komplek mangrove Teluk Gilimanuk dibagi dalam empat sub 176 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
komplek, yaitu (a) Pesisir pantai teluk Gilimanuk (b) Pulau Gadung (c) Pulau Kalong (d) Pulau Burung. Luas hutan mangrove pada masing-masing sub kompleks tersebut adalah 301 ha, 20 ha, 6 ha dan 3 ha. 1. Pesisir Pantai Teluk Gilimanuk Sebagian besar wilayah bagian barat mulut teluk ini sudah merupakan wilayah pemukiman, bahkan pada ujung mulut teluk ini terletak pelabuhan penyeberangan feri untuk lintasan antara Gilimanuk (Bali) dan Ketapang (Banyuwangi, Jatim). Namun pada sebagian areal lannya masih banyak dijumpai tumbuhan mangrovenya. Pada bagian tepi pantai sepanjang pesisir teluk banyak didominasi oleh kelompok Rhizophora apiculata (lebih kurang 20 % luas) dan sonneratia alba (sekitar 10 %), R. Mucronata kadang-kadang dijumpai diantaranya. Agak ke arah daratan dijumpai kelompok Ceriops tagal dalam jumlah yang cukup luas (sekitar 27 % luas), disamping Avicenna marina (sekitar 10 %) . A Officinalis dan C Decandra kadang-kadang nampak dalam kelompok-kelompok ini. Jauh kearah daratan, dibagian timur teluk, banyak dijumpai Excocaria agallocha (sekitar 19% luas), sedangkan dibagian utaranya banayk dijumpai Pemphis acidula ( sekitar 10% luas). Achhrostichum aerum kadang kadang muncul dalam kelompok-kelompok kecil disekitarnya. Dibagian pantai utara yang berbatasan dengan selat Bali, hanya dijumpai P.acidulla dan E.agallocha dalam kelompok-kelompok kecil, sedangkan S. Alba dijumpai dalam beberapa pohon. Namun dibagian selatannya dijumpai beberapa pohon Heritiera Littoralis Dibagian barat pesisir panai teluk dijumpai jenis-jenis lain dalam jumlah yang tidak terlalu luas, seperti: Bruguiera gymnorrizha, B. Cylindrica, R.Stylosa, Osbornia Octodonta, Xylocarpus granatum dan Nypa fruticans. R. Lamarckii, jenis hibrid alami antara R. Stylosa dan R. Apiculata juga menghuni wilayah ini terutama di pesisir pantai barat teluk dan di bagian daratan pada selat antara pesisir teluk dengan pulau Gandung. Jenis R. Lamarckii ini jadi menarik karena di samping buahnya hibrid, jenis ini jarang dijumpai secara mengelompok disekitar tegakan E. Agallocha, dibagian timur teluk. Dibandingkan dengan L. Racemosa yang banyak dijumpai diwilayah lain di TN Bali Barat, L. Lithorea ini jarang dijumpai dnegan batang yang tinggi serta diameternya yang lebih besar. 2. Pulau Gandung Batas pulau ini dengan daratan tidak terlalu jelas, mengingat dangkalnya selat pulau tersebut dan bahkan banyak diantaranya telah ditumbuhi oleh jenis mangrove. Disepanjang selat ini banyak dijumpai R.Stylosa. Namun secara keseluruhan, pulau ini banyak didominasi oleh C. Tagal (lebih kurang 35 % luas) terutama di bagian tengah pulau. Kelompok R. Apiculata (sekitar 30 % luas) yang kadang-kadang tercampur dengan R. Mucronata
mendominasi dibagian tepi
pulaunya. Beberapa jenis lain yang dijumpai mengelompok dalam jumlah yang tidak terlalu besar adalah A. marina, S.Alba dan R. Lamackii. Jenis-jenis lain yang akdang dijumpai tersebar dalam jumlah kecil adalah B. gymnorrhiza, B.Cylindrica, X.granatum, X.Mollucensis dam X.Mekongensis 3. Pulau Kalong Pulau yang terletak di tengah teluk ini didominasi oleh R. Styilosa yang hampir memenuhi wilayah bagian barat, utara dan selatan pantai pulaunya (lebih kurang 80 %), sedangkan pada bagian timurnya banyak dijumpai R. Apiculata. Pada bagian tenga pulau di jumpai S.Alba dalam 177 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
jumlah cukup banyak dan mengelompok. Jenis-jenis lain yang kadang-kadang dijumpai diantara tegakan tadi adalah B.Gymnorrhiza, B. Cylindrica dan C. Tagal. 4. Pulau Burung Dibandingkan dengan Pulau Kalong, Keragaman jenis mangrove dalam pulau ini relatif lebih kaya. Didalam pulau yang letaknya dekat mulut teluk Gilimanuk ini banyak dijumpai B.Gymnorrhiza, yang mengelompok dibagian tengah hingga bangian selatan pulau. Didalam tegakan ini kadang-kadang dijumpai B. Cylindrica. Agak kearah dalam pulau dijumpai kelompok-kelompok C. Tagal. Disepanjang pantai, terutama dibagian utara banyak dijumpai R. Stylosa dans ebagian kecil R. Mucronata dan R. Apiculata diantaranya. Jenis-jenis lain yang dijumpai dipulau ini dalam bentuk kelompok-kelompok kecil adalah X.granatum, X.Mollucensis dam X.Mekongensis B. Komplek Possumur Tidak banyak dijumpai mangrove komplek mangrove Possumur ini, mengingat tidak banyak dijumpainya teluk-teluk yang luas disepanjang pesisie, disamping arealnya terjal dan berbatu, serta pantainya juga berbatasan langsung dengan laut lepas. Hanya dijumpai sebanyak 22 jenis mangrove dikomplek ini dari 53 jeni yang dijumpai diseluruh wilayah taman nasional. Secara geografis, kompleks Possumur ini terletak pada koordinat antara 114*26’-1144*30’ BT dan antara 8*5,5’-8*6,5’ LS. Diperkirakan luas tumbuhan mangrove di komplek Possumr ini hanya 20, 4 ha berupa jalur tipis yang memanjang pantai dengan perkiraan rincian luas areal tiap kelompk jenisnya sebagaimana teretra pada lampiran 2. Di sekitar Tanjung Batulicin, bagian timur Possumur yang pantainya berbatasan dengan Selat Bali, hanya dijumpai beberapa kelompok P. Acidula berupa jalur tipis. Selebihnya tidak dijumpai adanya tumbuhan mangrove lainnya. Disepanjang pantai utara, mulai dari Tanjung Lampu Merah kearah timur hingga teluk Kelor, juga hanya dijumpai pula kelompok-kelompok kecil C. Tagal diantaranya. Disekitar Teluk Kelor dijumpai jenis E. Agallocha dan R.apiculata dalam kelompok-kelompok kecil diantara jalur P.acidula. Dibagian timur wilayah Possumur dijumpai sub komplek hutan mangrove Teluk Berumbun dijumpai dengan tingkat keragaman C. Tagal merupakan jenis yang cukup dominan diwilayah ini disamping P. Acidula dan campuran R.apiculata dan R Stylosa. Akdang-kadang dijumpai pula beberapa pohon C. Decandra diantara kelompok-kelompok C. Tagal. Kearah daratan wilayah ini dijumpai pula E. Agallocha, B. Gymnorrhiza, B. Cylindrica, A. Officinalis a. Marina dan Aegiceras floridum, X.Granatum juga dijumpai beberapa pohon diwilayah ini. C. Komplek Pulau Menjangan Sebagian areal komplek mangrove Pulau Menjangan ini terdapat disub komplek mangrove Teluk Klompang, yang merupakan lanjutan bagian timur wilayah mangrove komplek Possumur. Sebagian mangrove lainnya berada di wilayah Pulau Menjangan. Tidak kurang dari 23 jenis mangrove dari 53 jenis mangrove wilayah Taman nasional, dijumpai di komplek mangrove Pulau Menjangan. Secara geografis, Pulau Menjangan terletak di koordinat antara 114*30’114*32’ BT dan antara 8*5’-8*6’ LS. Luas total mangrove dikomplek ini diperkirakan sekitar 11,6 ha dengan rincian luas perjenis sebagaimana teretra pada lampiran 2.
178 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Sebagaimana mangrove diwilayah kompleks Possumur, diwilayah sub komplek Teluk Klompang juga dipenuhi dengan jalur tipis P. Acidula, memanjang sepanjang pantai yang berbatasan dengan selat Menjangan. Dibeberapa tempat dijumpai pula kelompok C.Tagal dan kelompokkelompok kecil E. Agallocha. Sebagian besar mangrove di sub kompleks mangrove Pulau Menjangan terkonsentrasi disepanjang pantai bagian selatan dan barat pulau. R. Apiculata nampaknya mendominasi sub komplek ini disamping P. Acidula. Di bagian lain dijumpai B. Gymnorrhoza dan C tagal dalam bentuk kelompok-kelompok kecil. Di bagian utara pulau dijumpai kelompok-kelompok kecil R. Apiculata, R.stylosa R. Mucronata, A.Marina, L.Racemosa. S.Alba, B.Gymnorrhiza dan beberapa pohon X.granatum. Sedangkan dibagian sebelah timur pulau hanya dijumpai jalur tipis P. Acidula. D. Komplek Teluk Trima Komplek mangrove Teluk Trima merupakan komplek mangrove terluas kedua setelah komplek mangrove Teluk Gilimanuk. Dari 53 jenis mangrove yang dijumpai di taman nasional, sekurangkurangnya terdapat sebanyak 43 jenis mangrove di komplek Teluk Tima ini adalah 137 ha, dengan rincian perkiraan luas per jenis sebagaimana tertera pada lampiran 2. Komplek mangrove ini terletak diselatan Pulau Menjangan yang secara geografis terletak di koordinat antara 114*30’-114*33’ BT dan antara 8*7’-8*9,5’ LS. Disepanjang pesisir barat Teluk Trima banyak dijumpai R. Apiculata yang diselingi oleh beberapa kelompok S. Alba. Kearah dalam atau daratan ujung lokasi Tanjung Kotal (Bagian utara kompleks Teluk Trima) banyak dihuni oleh C. Tagal serta A. Marina. Dan P. Acidula yang berupa kelompok dan jalur yang memanjang kearah selatan. A. Officinalis kadang-kadang dijumpai diantara kelompok-kelompk A. Marina. Dibagian selatannya, dijumpai pula kelompkkelompok C. Tagal dan decandara. Sebagaimana biasanya, pada bagian dalam yang juga memanjang dari lokais Tanjung Kotal kearah selatan, didominasi oleh E. Agallocha. Beberapa jenis lain yang dijumpai dari kelompok-kelompok kecil diwilayah pesisir barat Kompleks Teluk Trima adalah B.Gymnorrhiza, L.Racemosa, A. Aerum, Aegiceras corniculatum dan A.Floridum. Disebelah utara Tanjung Kotal yang juga merupakan lanjutan dari sub kompleks mangrove Teluk Klompang (Komplek Pulau Menjangan), banyak dijumpai komplek P. Acidula yang merupakan jalur tipis memenjang sepanjang pantai. Di beberapa tempat, terutama dibagian daratannya, dihuni oleh E. Agallocha dalam kelompok-kelompok kecil X.granatum, X.Mekongenisi dan X. Moluccencis hanya dijumpai beberapa pohon didalam jalur P. Acidula. Dibagian timur pesisir Teluk Trima, dimana lokasi Labuan Lalang terletak, banyak dihuni oleh S.Alba, terutama ditepi-tepi pantainya. Di bagian pantai lainnya ditempati oleh kelompokkelompok R. Apicula dan R. Styloas. Dibagian yang agak kedalam dijumpai jalur-jalur A. Marina dan C.Tagal sedangkan di bagian yang terdalam dijumpai E. Agallocha dalam kelompok yang agak luas. Beberapa jenis lain yang menghuni sub komplek mangrove ini, namun dlam kelompok-kelompok kecil, yaitu A.Floridum dan Heritiera littoralis. Mangrove.
179 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
E. Komplek Tanjung Gelap. Komplek mangrove Tanjung Gelap merupakan batas tertimur dari akwasan mangrove TN Bali Barat. Sekurang-kurangnya terdapat 43 jenis mangrove yang menghuni komplek ini dari 53 jenis mangrove yang etrdapat dalam wilayah taman nasional. Secara geografis komplek mangrove yang terletak pada koordinat antara 114&33’-114*34.5’BT dan antara 8*7,8-8*8 LS. Total luas tumbuhan mangrove diperkirakan hanya 52 Ha, dengan rincian setiap jenisnya sebagaimana teretra pada lampiran 2. Disis bagian barat mulut teluk dari lokasi Tanjung Gelap hingga pantai Gebang hampir sepanjang pantainya dipenuhi oleh ajlur R. Apiculata (lebih kurang 39% luas). Beberapa Rhizopora lainnya seperti R. Stylosa dan R.
Mucronata kadang-kadang dijumpai dalam
kelompok kecil didalamnya. Disekitar pantai Bajul yang merupakan pusat areal mangrove di kompleks mangrove Tanjung Gelap , dijumpai pula jalur R. Apiculata terutama disepanjang pantainya Agak kedalam wiayah mangrovenya didominasi oleh C decandra dan C. Tagal. Disamping A marina. Jauh kearah dalam lagi dikumpai kelompok-kelompok E. Agollocha, P. Acidula dan L, Racemosa. Kelompok-kelompok kecil A aerum kadangkala dijumpai diantaranya. Beberapa jenis mangrove lain dalam satuan-satuan kecil adalah X.granatum, X.Mollucemcis dan X. Officinalis, S.Alba, O.Octodonta, A.Coeniculatum dan A.Floridum. Disekitar pantai Banyuwedang-tempat bermuaranya sumber air panas- yang merupakan bagian timur komplek Tanjung Gelap, juga didominasi oleh R. Apiculata berupa jalur disepanjang pantainya. Di beberapa tempat diarah dalamnya dijumpai pula R Stylosa dan S. Alba dalam kelompok-kelompok kecil. Disebelah daratnya dijumpai kelompok-kelompok Offinalis dan C. Tagal.
IV. KESIMPULAN Berdasarkan hasil bahasan diatas dapat disimpulkan 1.
Sekurang-kurangnya terdapat 53 jenis vegetasi mangrove dan vegetasi peralihannya (asosiasi) yang menghuni kawasan mangrove Taman Nasional Bali Barat. . Empat belas jenis diantaranya merupakan jenis mangrove elemen utama, 10 jenis merupakan mangrove jenis elemen tambahan dan 29 jenis selebihnya merupakan jenis peralihan yang biasanya hidup berasosiasi dengan mangrove.
2.
Perkiraaan luas hutan mangove di wilayah TN Bali Barat adalah 551 ha, yang terdiri dari mangrove kompleks Teluk Gilimanuk (Sekitar 330 ha atau 59,9% luas areal), kompleks Possumur (sekitar 20 ha atau 3,7 % luas areal), kompleks Menjangan (sekitar 137 ha atau 24,9% luas areal), kompleks Teluk Trima (sekitar 137 ha atau 24,9 % luas areal) dan kompleks Tanjung Gelap (sekitar 52 ha atau 9,4 % luas areal).
3.
Seluruh jenis (53 jenis) yang dijumpai diwilayah TN Bali Barat , dijumpai dan tersebar dikompleks Teluk Gilimanuk, sedangkan untuk komplek mangrove lainnya hanya sebanyak 22 jenis (Kompleks Possumur), 23 jenis (kompleks Pulau Menjangan), 43 jenis (komplek Teluk Trima) dan 43 jenis (komplek Tanjung Gelap).
180 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
4.
Jenis-jenis elemen utama yang mendominasi wilayah TN Bali Barat adalah C.Tagal (Sekitar 114.63 ha=20,8 % luas areal), R.apiculata (sekitar 110, 54 ha= 20,1% luas areal), serta A. Marina (sekitar 76,76 ha=13,9% luas area;). Sedangkan jenis elemen tambahan yang mendominasi wilayah ini adalah E agallocha (sekitar 97,68 ha=17,1% luas areal).
5.
Secara umum R. Apiculata (lebih kurang 20,1% luas areal) berada dibagian luar atau dekat dengan garis pantai, bersamaan dengan S.Alba (Sekitar 7,7 % luas areal). A.Marina (lebih kurang 13, 9 % luas areal) dan C.Tagal (lebih kurang 20,8% luas areal) berada di bagian tengah dan kemudian E.agallocha (lebih kurang 17,7 % luas real) berada di bagian paling belakang . P. Acidula (lebih kurang 10,9 % luas areal) kadang-kadang berada didepan apabila pantainya tidak memiliki mangrove elemen utama.
DAFTAR PUSTAKA Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. 2003. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan. UNESCO dan CIFOR, Jakarta. Kitamura SC Anwar, A.Chaniago dan S. Baba.1997. Handbook of Mangrove in Indonesia (Bali dan Lombok) Ditjen RRL. Departemen Kehutanan, JICA, ISME, Jakarta.
181 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
182 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
LAMPIRAN
Tukik yang telah dipindahkan ke tempat pembesaran (pantai Perancak)
183 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Penyu di lokasi penangkaran di pulau Sarangan, kabupaten Badung
184 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
TINJAUAN PUSTAKA
Penyu merupakan reptil laut yang menarik karena kemampuannya dapat beradaptasi dengan baik untuk hidup di perairan laut. Penyu bersifat amphibious yakni dapat menempuh hidup pada dua habitat yang berbeda. Biasanya penyu hidup di perairan laut dangkal kecuali lahir dan bertelur (Nuitja, 1992). Dengan bentuk tubuh yang tidak menahan arus air dan lengan seperti sirip (flipper), penyu mampu berenang untuk jarak yang jauh dalam waktu singkat. Ketika aktif, penyu berenang di permukaan laut untuk bernapas tiap 5 menit dan pada saat beristrahat, penyu berada di bawah air selama 2 jam tanpa bernapas (Anonimous, 2000)
Menurut Reksodiharjo (1996), di dunia terdapat 7 jenis penyu dan 6 diantaranya yang terbagi dalam 2 famili ditemukan di perairan Indonesia. Keenam penyu tersebut yaitu penyu lekang/sisik semu (Lepidochelys olivacea; Cheloniidae), penyu sisik (Eretmochelys imbracata; Cheloniidae), penyu pipih (Natator depressa; Cheloniidae), penyu tempayan (Caretta caretta; Cheloniidae), penyu hijau (Chelonia mydas; Cheloniidae), penyu belimbing (Dermochelys coriacea; Dermochelyidae).
Ciri-ciri biologis penyu antara lain tubuh memiliki kotak pelindung tubuh yang disebut theca. Theca tersusun atas dua lapisan, yaitu lapisan tanduk yang tipis di sebelah luar, yang disebut lamina, dan lapisan tulang yang tebal di sebelah dalam (Bustrad, 1972). Kedua lapisan tersebut terdiri atas kepingan-kepingan yang saling berhubungan. Selanjutnya dikatakan, theca terdiri dari 2 bagian yakni bagian dorsal (karapas) dan bagian ventral (plastron).
Penyu tidak mempunyai gigi tetapi mempunyai mulut yang menyerupai paruh yang sangat tajam (Reksodiharjo, 1996). Selain itu, penyu memilki tungkai yang telah berubah bentuk menjadi kaki sirip (flipper) lebar untuk berenang. Tungkai depan berkembang baik secara khusus dan merupakan alat utama untuk mendorong. Penyu juga memiliki indera penglihatan, perasa, dan peraba. Perbedaan antar jenis penyu dapat dilihat dari bentuk sisik dan jumlah sisik pada theca.
185 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Sepanjang hidupnya, penyu berada di dalam laut kecuali lahir dan bertelur. Penyu memiliki kemampuan mengembara dan menempuh jarak yang jauh (Anonimous, 1998). Aktivitas hidupnya seperti bermain, mencari makan, istrahat, dan kawin dilakukan di perairan kecuali aktivitas bertelur.
Makanan merupakan faktor biotik yang paling berperan dalam kehidupan penyu. Nuitja (1992) mengatakan masing-masing spesies penyu mempunyai karakteristik pada jenis makanan. Penyu hijau berada di daerah padang lamun (sea weeds) dan algae (sea grasses), penyu sisik mempunyai sifat utama yang menyolok yaitu menyukai hidup pada perairan dangkal di daerah terumbu karang yang mempunyai produktivitas tinggi dan kaya akan keragaman spesies penghuni (Reksodiharjo, 1996). Sedangkan makanan penyu lekang pada umumnya berupa tumbuh-tumbuhan laut. Selain itu, penyu jenis ini juga memakan jenis-jenis moluska, sea urchin, crabs, ikan, dan binatang laut lainnya (Nuitja, 1992).
Predator penyu pada umumnya adalah binatang-binatang buas seperti babi hutan, anjing hutan, burung, ikan cucut, dan ikan buas lainnya (Nuitja, 1992). Ketika masih berupa telur, predatornya adalah kepiting dan biawak tetapi saat menjadi tukik, ikan dan burung yang sering memangsanya.
Beberapa pernyataan para ahli yang dikutip oleh Nuitja (1992) mengatakan penyu mencapai dewasa kelamin setelah berumur 30 tahun bahkan lebih dari itu. Penyu melakukan perkawinan di perairan dangkal di daerah yang dekat dengan tempat bertelur. Penyu betina akan mendarat ke pantai untuk bertelur pada malam hari (Reksodiharjo, 1996). Aktivitas bertelur umumnya dimulai dengan naiknya penyu ke pantai antara selang waktu 1 – 2 jam sesudah air laut pasang pada malam hari. Pada saat itu, penyu akan sensitive terhadap cahaya atau gangguan lain. Lama peneluran penyu sekitar 2 – 3 jam.
Natih (1989) mengatakan aktivitas bertelur pada penyu dibagi dalam 7 tahap yaitu :
186 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
a. tahap adaptasi, dilakukan dengan mengatasi tarikan ombak yang cukup kuat pada waktu mendarat ke pantai. Setelah mendarat, penyu berjalan dengan arah tegak lurus terhadap pantai dan selanjutnya menentukan tempat aman untuk bertelur menggunakan indera penglihatan (mata) yang merupakan alat deteksi yang sangat peka terhadap cahaya b. menggali lubang badan, dilakukan dengan menggunakan kedua pasang flipper. Gerakan flipper depan menyerupai gerakan mengais dan digerakkan secara bersamaan ke depan kemudian berhenti di belakang. Flipper belakang mendorong badan sehingga flipper depan dapat menggali pasir lebih dalam c. menggali lubang telur, dilakukan dengan cara menyendok salah satu flipper belakang bergantian, sampai pada kedalaman dimana flipper belakang tidak dapat menyendok pasir d. tahap bertelur, dimulai dengan gerakan salah satu flipper belakang menahan badan, dan menjaga agar bibir lubang telur tidak runtuh. Flipper satunya menutup bagian lain dari bibir lubang sarang sekaligus menyebabkan masuknya kloaka ke dalam lubang telur. Setelah itu, telur mulai keluar dari lubang kloaka. Setiap kali bertelur, keluar 1 – 3 butir sekaligus. Penyu betina dapat melakukan peneluran 2 – 3 kali dalam satu musim bertelur dengan selang waktu 2 minggu e. menutup lubang telur, dilakukan secara flipper belakang secara bergantian mengambil pasir di sekitar lubang telur. Setelah telur telah tertimbun pasir, lubang telur dipadatkan dengan cara menepuk bagian atasnya f. menutup lubang badan dan menyamar, gerakan ini dilakukan bersamaan antara flipper kanan depan dan kiri belakang. Pasir diambil dari depan lubang sehingga mengurug lubang badan.
Gerakan ini dilakukan sambil bergerak maju, dengan maksud untuk
menyamarkan lubang telur yang sebenarnya g. kembali ke laut, dilakukan setelah penyu selesai bertelur
187 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
188 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
.
189 | P r o s i d i n g D i s k u s i H a s i l P e n e l i t i a n . D e n p a s a r , 1 6 N o v e m b e r 2005